Ceritasilat Novel Online

Orang Orang Proyek 2

Orang Orang Proyek Karya Ahmad Tohari Bagian 2

Agak lama tak kelihatan, malam ini Tante Ana muncul di proyek. Lelaki banci ini seperti biasa berdandan menjadi perempuan menor. Kelewat menor. Wajahnya putih oleh bedak yang sangat tebal. Bibirnya bergincu manyala. Kain dan kebayanya ketat dengan sanggul lebih besar daripada kepala. Dan bulu mata buatan. Perkakas utamanya, kecrek, tentu tak pernah lepas dari tangan. Tapi lenggoknya manis juga.

Kabul tak pernah keberatan atas kehadiran Tante Ana selama dia tidak berada terlalu dekat dengan para pekerja yang sedang lembur. Maka malam ini Kabul menyilakan Tante Ana mbarang sepuasnya di halaman kantor proyek. Tukang dan kernet yang tidak lembur berdatangan begitu mendengar Tante Ana mulai bermain. Selalu Tante Ana mulai dengan lagu Hidup di Bui. Suaranya hampir berhasil diubah menjadi suara perempuan. Tapi tak jarang seketika

Bagian Kedua

suaranya jatuh lagi ke suara lelaki. Dan ketika itu justru tercipta kekonyolan segar yang mendatangkan gelak tawa.

Makin banyak penonton yang datang membuat Tante Ana makin bersemangat. Lenggok dan goyang pinggulnya makin panas. Beberapa anak muda ikut meramaikan musik Tante Ana dengan memukul-mukul kaleng kosong atau potongan besi. Bejo malah rela meninggalkan kartu gaple yang mulai digelar bersama tiga temannya. Dia menyeruak menembus lingkaran yang mengelilingi Tante Ana. Joget, terus joget. Karpan, teman Bejo, bergabung. Lalu Kasimin. Musik kecrek dan kaleng kian seru. Lontaran kata panas di antara gelak tawa. Sorak-sorai. Dan goyang Tante Ana makin cabul saja.

Tiba-tiba kecrek berhenti. Semua ikut berhenti. Bejo, Karpan, Kasimin bersungut karena harus menghabisi joget ketika semangat mereka masih penuh.

" Terus, Tante. Terus. Goyang sampai pagi," seru suara dari belakang.

" Aduh, kamu sih," tanggap Tante Ana dengan bibir diperempuankan. Matanya diputar genit. " Aku kan capek. Minum dong.... Idih, apa nggak ada yang kasihan sama aku?"

Bejo, yang sudah dikenal paling senang bila Tante Ana datang, lari ke warung Mak Sumeh. Dan kembali dengan segelas teh manis. Tante Ana menenggaknya. Kali ini dia lupa tentang minum cara perempuan. Lalu, masih dengan gelas di tangan kanan, Tante Ana mendekati Bejo. Mencium pipi Bejo dengan gemas. Sorak-sorai berderai lagi. Musik kecrek dan kaleng berlanjut. Yang berjoget makin banyak. Orang-orang proyek sedang bergembira dengan cara mereka, ya, cara Tante Ana.

Kabul menikmati suasana yang sangat cair itu melalui jendela kamarnya. Dia sering merasa berutang budi kepada Tante Ana. Karena dengan kedatangannya anak-anak proyek mendapat hiburan murah. Mereka, anak-anak proyek itu, adalah generasi yang malang. Kebanyakan mereka meninggalkan bangku sekolah sebelum waktunya untuk masuk ke pasar tenaga kerja demi perut. Dan di proyek ini mereka digaji terlalu kecil karena pos anggaran untuk gaji mereka tertekan oleh besarnya faktor X yang harus ditanggung pelaksana proyek. Faktor X ini adalah pungutan liar, halus maupun kasar, langsung maupun tak langsung, yang dilakukan oleh oknum-oknum resmi sipil dan tentara, orang partai, preman-preman, serta tokoh-tokoh lokal yang menganggap proyek itu memang " proyek" . Selain itu, para mandor ikut memeras tukang dan kernet karena mereka merasa telah berjasa memberi pekerjaan buat tukang, dan kuli.

Maka ayolah, Tante Ana. Ayolah. Beri anak-anak muda itu hiburan. Anak-anak yang malang dari generasi yang nyaris tak punya masa depan. Bawalah mereka berjoget dan tertawa untuk melupakan sejenak kehidupan yang getir, keras, dan tak tentu arah. Kalau bukan kamu, Tante Ana, siapa lagi yang mau mengajak mereka bergembira? Dalkijo sang pemimpin proyek ini? Pasti tidak. Dalkijo, yang meski lahir dari wilayah kultur miskin seperti asal anak-anak itu, tak mungkin mengakrabi mereka karena telah bersumpah tobat melarat. Dalkijo telah berhasil mentas dari kubang kemelaratan dan ingin menikmati sendiri status sosialnya yang baru sebagai orang kaya anyaran.

Kecrek dan musik kaleng terus berdecit, berdenting. Suara jantan Tante Ana tenggelam oleh tawa ria. Kadang terdengar Tante Ana meringkik lalu mengomel genit, karena ada tangan jail menusuk pantatnya, ingin tahu setebal apa karet busa yang mengganjal di sana.

Ah, Tante Ana. Kabul pernah mendengar dia punya nama asli Daripan. Siang hari mengasong rokok di terminal, sepuluh kilometer lebih dari proyek. Tinggal di balik tembok terminal dengan seorang gadis kecil. Konon gadis itu direbut Tante Ana dari ibunya yang hendak menjual si bocah di pasar berahi, di sekitar terminal. Kini Tante Ana muncul untuk menggembirakan anak-anak proyek. Menyanyi sampai serak, main kecrek sampai berkeringat. Demi apa? Sangat boleh jadi demi sepotong pengakuan bahwa dirinya perempuan meskipun secara lahir dia laki-laki. Ah, Tante Ana, pengakuan itu tak akan kaudapat, kecuali sekadar untuk seloroh. Dan kepala Kabul terasa berat.

Hampir jam sepuluh ketika Tante Ana berhenti mbarang. Keringatnya seperti orang habis kehujanan. Padahal udara malam kemarau terasa dingin dan kering. Kang Acep, Cak Mun, dan beberapa lainnya memberi uang walaupun Tante Ana tak pernah meminta. Dan Bejo tanpa canggung menuntun Tante Ana ke warung Mak Sumeh seperti menggandeng pengantin perempuan. Istirahat. Namun hanya sebentar di sana, Tante Ana merengek minta diantar pulang ke terminal. Repotnya, kesetiaan Bejo tak berlanjut. Dia menolak mengantar si banci karena lelah, katanya.

" Siapa yang mau mengantar Tante Ana boleh pakai sepeda motor proyek," ujar Kabul yang muncul kemudian. " Juga akan saya beri hadiah dua ribu perak. Ayo, siapa?"

Sepi. Sampai ironi itu muncul. Ternyata hanya Bejo pula yang mau tanggap. Sambil tersenyum dia melangkah. Maka semua tahu Bejo mau mengantar Tante Ana. Sepeda motor dihidupkan dan menderu. Tante Ana tertawa manja, duduk di belakang seperti gadis bergayut pada pacarnya. Bejo nyengir. " Jangan lupa, Tante Ana batangan!" teriak entah siapa. Bejo nyengir lagi. Menderu, menjauh, dan lenyap dari jangkauan cahaya lampu-lampu proyek.

Kerumunan mulai berurai. Orang-orang bubar. Sebagian menuju bedeng untuk tidur. Sebagian lagi menuju emper gudang untuk main gaple. Kabul tak keberatan mereka main gaple, apalagi besok hari Minggu. Namun mereka dilarang bertaruh dan minum miras. Satpam akan mengawasi anak-anak muda itu. Dan Kabul tidak tahu larangannya sering bocor. Pertaruhan uang tetap ada dan diamdiam Mak Sumeh menjual " Topi Miring" . Diam-diam pula Mak Sumeh menerima pesanan bila ada mandor, tukang, atau kuli yang perlu perempuan.

Kabul juga ingin pulang ke kamarnya. Ada film bagus di TV. Namun langkahnya terhenti, karena Kabul melihat Pak Tarya yang langsung tertawa begitu dia bertatapan dengan Kabul.

" Selarut ini Pak Tarya mau mancing?" tanya Kabul melihat temannya itu membawa peralatan pancing tapi tampak berbeda dari peralatan yang biasa dia bawa. Pak Tarya berjaket dan bertutup kepala rajut. Dia juga menenteng gulungan tikar plastik.

" Biasa, Mas Kabul. Saya mau mancing ikan moa. Di sini orang bilang ikan pelus."

" Ya, saya tahu. Saya dengar ikan jenis itu biasa dipancing malam hari."

" Sebetulnya saya sudah lama di sini. Sejak lepas isya. Tapi karena ingin lebih dulu meramaikan pentas Tante Ana, soal mancing saya tunda sementara."

" Nanti dulu, Pak Tarya. Besok hari Minggu, kan?" " Ya."

" Nanti dulu. Anu." Kabul tampak ragu. Dan menggaruk kepala.

" Bagaimana bila saya ikut? Boleh?"

" Aduh, Mas Kabul. Jangan. Bukan saya tidak mau diikuti, tapi sampeyan tak pantas malam hari berada di pinggir kali. Jadi..."

" Saya ingin mendapat pengalaman baru. Bagaimana sih rasanya mancing di malam hari?"

" Aduh, saya jadi tidak enak."

" Tapi saya boleh ikut, kan? Jadi, tunggu. Saya mau ambil jaket dan senter."

Karena tak bisa menolak, Pak Tarya pergi bersama Kabul. Mereka tidak pergi ke arah hulu proyek seperti biasanya, tetapi ke hilir. Sekitar lima ratus meter dari proyek mereka berhenti. Mata Kabul menangkap kelap-kelip cahaya dua atau tiga lampu ting di seberang.

" Itu juga lampu orang mancing seperti kita," jelas Pak Tarya sebelum Kabul bertanya. " Selain orang sini, adakalanya mereka datang dari kota kita, bahkan dari Tasik."

" Tasikmalaya? Yang hampir dua ratus kilometer dari sini?"

" Ya. Yah, yang namanya mancing, kalau sudah suka, jarak ratusan kilo tidak jadi masalah."

Pak Tarya menyiapkan dua pancing. Keduanya untuk Pak Tarya sendiri, karena Kabul hanya ingin menemani. Umpannya gangsir, sejenis jangkrik besar. Kali ini Pak Tarya menggunakan tali nilon hampir setebal lidi. Ikan moa atau pelus, yang bisa mencapai berat belasan kilogram, memang harus ditarik dengan tali yang cukup kuat.

Selesai memasang pancing Pak Tarya menggelar tikar plastik di tempat yang rata. Lampu ting sudah dinyalakan begitu mereka sampai. Untuk berjaga-jaga dari gangguan ular Pak Tarya menebar serbuk garam di seputar tikar.

" Bila mancing seperti ini, Pak Tarya selalu dapat ikan pelus?"

" He-he-he. Di mana pun yang namanya mancing adalah kerja untung-untungan. Jadi saya sering dapat ikan, sering juga tidak sama sekali. Tapi saya tak pernah bosan. Mungkin karena begini; setelah umpan dilempar, kita jadi punya harapan. Ya, harapan. Bukankah harapan, sekecil apa pun, adalah kebutuhan hidup?"

" Namun bagaimana orang yang pergi mancing hanya untuk membuang stres karena nganggur?"

" Ya, sama. Dengan memasang pancing mereka ingin punya harapan, meskipun sekadar untuk satu atau dua ikan. Dan sesungguhnya ini menyedihkan. Namun demikian, saya tak suka dengan orang yang kerjanya semata-mata mancing. Kasihan yang di rumah."

" Istri dan anak-anak?"

" Ya. Karena, berapa sih penghasilan tukang mancing?" Hampir jam sebelas malam. Duduk di alam terbuka ketika kemarau mencapai puncak keringnya dan jauh dari perkampungan penduduk seakan membawa Kabul ke dunia yang berbeda. Bulan muda sudah tenggelam. Bersihnya langit tampak dari gemintang yang muncul merata. Sesekali langit tergores oleh cahaya meteor atau bintang berpindah. Dari balik bukit yang memanjang di selatan tampak semburat cahaya kota pelabuhan.

Dan mata ternyata benar merupakan karunia yang luar biasa. Setelah lama berada dalam lingkungan gelap, mata melakukan adaptasi. Kabul merasakannya. Kini matanya menangkap pemandangan sekitar dalam tingkat remang karena bantuan cahaya bintang dan lampu ting yang nyalanya hanya sebesar gabah. Memang, semuanya remang-remang; rimbun pohon, bantaran kali, rumpun bambu. Dan dalam jarak beberapa depa di atasnya Kabul kadang melihat kelebat kelelawar.

Di sebelah utara, lampu-lampu besar yang menerangi proyek membuat angkasa di atasnya seperti berada dalam kabut cahaya. Burung-burung cabak, sejenis unggas malam, tampak jelas ketika lintasan terbangnya masuk ke medan yang terang. Kelelawar berdatangan untuk menyambar serangga yang seperti diundang oleh cahaya lampu.

Lengang. Namun bukan tanpa suara. Kabul masih mendengar dengan jelas suara-suara jangkrik sungu yang berderik di dekatnya. Dulu sewaktu kecil, Kabul suka mencari jangkrik jenis itu pada malam hari di musim kemarau. Selain jangkrik, Kabul juga mendengar suara walangkerik dan banyak serangga lainnya. Juga cecet burung bence yang melintas pulang-balik di atas kepalanya. Suara burung malam ini sering dijadikan pertanda adanya pencuri. Karena, burung itu selalu mencecet bila matanya yang tajam melihat sesuatu yang bergerak dalam gelap.

Pak Tarya menyalakan rokok. Sekilas wajah tuanya muncul dari kegelapan. Dan wajah itu muncul lagi dalam remang kemerahan bila Pak Tarya sedang menyedot rokoknya. Bau belerang terbakar di ujung anak korek api. " Pak Tarya bawa seruling?"

" Aduh, tidak. Kata orang, tak baik meniup seruling di malam hari, apalagi di tempat seperti ini; bisa mengundang ular."

" Pak Tarya percaya?"

" Sebetulnya tidak. Atau paling tidak saya meragukannya. Karena saya pernah membaca, semua jenis ular tak punya indra pendengaran. Atau entahlah. Nyatanya saat ini saya tak membawa seruling."

" Sayang."

" Tapi saya punya gantinya, yakni cerita konyol tentang apa lagi kalau bukan tentang tukang mancing. Begini. Ada seorang PNS yang gemar sekali mancing. Karena pegawai, dia hanya bisa mancing hari Minggu. Suatu kali, ketika dia baru sampai di kolam pemancingan, anaknya menyusul. Si anak minta ayahnya segera pulang, karena ada tetangga meninggal tertabrak motor. Mau tahu tanggapan si tukang mancing? Wong mau meninggal saja kok memilih hari Minggu. Apa tidak ada hari lain? Untuk kesempatan mancing kali ini saya sudah menunggu selama enam hari. Itulah sableng-nya orang yang sudah keranjingan mancing."

Kabul dan Pak Tarya sama-sama tertawa. Tapi cerita Pak Tarya yang katanya kisah nyata seakan mengandung duri yang menusuk nurani ketika diputar ulang. Dan Kabul masih merenungi kisah itu ketika Pak Tarya menyajikan cerita kedua.

" Ini menyangkut teman saya. Karena merasa terlalu sering ditinggal mancing, istri teman saya itu protes. Tapi menanggapi protes istrinya, teman itu malah membawa peralatan pancingnya ke hadapan sang istri. Kalau aku disuruh memilih kamu atau alat pancing ini, aku pilih yang ini. Tentu saja si istri merasa sangat terhina lalu minta cerai. Ya Tuhan, mereka benar-benar bercerai gara-gara pancing."

" Gila," desah Kabul. " Dan Pak Tarya tidak akan segila itu, kan?"

" He-he, pasti tidak. Saya tidak pernah menganggap mancing sebagai hal yang sangat penting. Bagi saya mancing hanya menjadi ruang bermain, karena saya mau apa lagi? Anak-anak sudah mentas, istri bisa mandiri dengan warungnya, dan saya punya pensiun. Saya hanya tinggal mengapung dan bergurau mengikuti aliran kehidupan. He-he-he. Di sinilah letak yang namanya mutu hidup. Iya, kan?"

Pak Tarya tertawa, tapi Kabul malah menarik napas panjang. Ya, Kabul terkesan. Bergurau dengan kehidupan? Enak juga kedengarannya. Tapi apa yang dimaksud? Kabul akan bertanya kepada Pak Tarya. Tapi Pak Tarya bangkit karena giring-giring yang dipasang di ujung tangkai pancing berbunyi. Dicabutnya tangkai pancing itu dari tanah lalu disentak ke belakang.

" Kena."

" Kena?"

" Ya, kena. Tolong senternya. Soroti tali pancing. Ikan pelus harus cepat ditarik agar dia tidak masuk ke celah batu. Kalau masuk, celaka."

Pak Tarya sangat sibuk. Tangan kanan memegang tangkai dan tangan kiri menggulung tali pancing. Kabul yang agak gagap hanya bisa membantu menyorotkan senternya ke permukaan air. Ikan itu berontak sekuat tenaga. Tapi Pak Tarya terus menariknya keluar. Air berkecipak. Ah, ternyata ikan pelus itu tidak terlalu besar, hanya seukuran lengan Kabul.

Selesai mengurus ikan yang terpancing dan memasang kembali talinya, Pak Tarya duduk lagi di samping Kabul. Bau anyir, padahal Pak Tarya sudah turun untuk membasuh tangan di bibir sungai. Sudah jam dua belas lebih. Dingin malam kemarau menyusup melalui leher jaket. Tikar plastik terasa sedingin batang pisang. Alam seakan kosong dari kegiatan manusia. Dan di utara sana lampulampu proyek masih menampilkan burung-burung cabak dan kelelawar yang melintasi medan cahaya. Dalam keremangan Kabul melihat ada sesuatu yang melintas dan menukik tajam. Lalu kecipak agak keras di permukaan air. " Burung hantu menyelam dan menangkap ikan," kata Pak Tarya.

" Kalau ngantuk tidurlah, Mas," ujar Pak Tarya. " Ah, saya ingin dapat satu lagi supaya perolehan kita patut kita bawa pulang."

Kabul menuruti permintaan Pak Tarya. Dia merebahkan diri. Kini langit seakan tidak lagi di atas, tetapi di hadapannya. Kabul teringat pelajaran astronomi di SMA. Kata Pak Guru, memandang bintang gemintang sama dengan memandang masa lalu. Ribuan bintang yang saat ini kelihatan dari bumi sesungguhnya sudah tidak eksis lagi. Namun karena letaknya yang berjarak puluhan juta tahun cahaya, penampakan sebuah bintang masih berlangsung meskipun sesungguhnya bintang itu sudah lama padam. Dengan kata lain, ribuan bintang yang tampak itu sebagian adalah bintang masa lalu dan kini sudah tidak ada lagi.

" Mas Kabul," suara Pak Tarya memecah sunyi. " Yang sedang sampeyan garap ini proyek yang keberapa?"

" Ketiga. Tapi itu sudah cukup untuk membuatku gelisah."

" Seperti pernah sampeyan katakan, karena banyaknya penyimpangan dan penyelewengan?"

" Ah, Mas Kabul. Mengapa sampeyan harus gelisah? Bukankah seharusnya sampeyan bangga sebab dipercaya menangani proyek sebesar ini? Soal penyelewengan, di mana sih hal itu tidak terjadi?"

" Kegelisahan saya mungkin muncul karena saya mewarisi watak orangtua. Saya anak petani kecil. Kami biasa bersikap cablaka. Tidak biasa nakal. Tidak biasa slingkuh, apalagi selingkuh."

" Hubungannya dengan kegelisahan sampeyan?" " Begini. Semua insinyur sipil, tak terkecuali saya, tahu bagaimana jembatan, yang benar-benar jembatan, harus dibangun. Nah, ke-cablaka-an saya menuntut agar saya tidak mengkhianati pengetahuan itu, pengetahuan teknik sipil. Tapi, dari pengalaman melaksanakan pembangunan ketiga proyek itu saya mengalami sendiri bahwa ilmu teknik sipil banyak dikebiri."

" Celakanya," sambung Kabul. " Hal ini agaknya sudah menjadi gejala umum di mana-mana. Sedihnya lagi, tak sedikit insinyur telah kehilangan komitmen profesi dan tanggung jawab moral keilmuan mereka. Jadilah mereka bagian dalam barisan orang yang mengebiri ilmu teknik sipil. Akibatnya, bangunan sipil jalan raya, SD Inpres, jembatan, gedung ini-itu, dan seterusnya berdiri dengan mutu di bawah standar. Dengan tingkat mutu yang rendah, nilai manfaat bangunan itu pasti rendah pula umurnya pendek, tingkat keamanannya payah, dan seterusnya. Pak Tarya juga tahu kebanyakan bangunan yang saya sebut dibiayai dengan dana pinjaman. Dan siapa yang harus menanggung beban utang itu kita sudah tahu."

Pak Tarya tertawa. Selanjutnya, lengang. Lalu terdengar suara burung bluwek yang ditimpali cecet burung bence. Dan langit kembali tergores meteor. Walangkerik masih terus berderik dari semak di tebing sungai yang terjal.

" Kan zaman sudah edan, Mas. Pilihan kita hanya dua. Ikut edan atau jadi korban keedanan."

" Memang sih, Pak, sekarang ini di mana tidak ada orang edan? Jajaran birokrasi pemerintah, gudangnya. Jajaran penegak hukum, tentara, Depdikbud, Depag, sama saja. Pengusaha, kontraktor, bankir, tak ada beda." " Wakil rakyat?"

" He-he. Wakil Rakyat kan cuma topeng. Isinya nggih sami."

" Lha iya. Memang zaman sudah benar-benar edan. Zaman yang kedatangannya sudah diramal oleh Ki Ronggowarsito lebih seabad yang lalu kini nyata hadir. Tapi gendheng-nya..."

" Apa yang gendheng?"

" Dulu Ki Ronggowarsito menciptakan tembang tentang zaman edan itu sebagai peringatan agar orang tetap memilih jalan keselamatan, bukan jalan gila. Namun sekarang tembang itu malah dihayati terbalik, sehingga seolah-olah menjadi pembenar atas perilaku edan. Buktinya, ya itu tadi, orang-orang sudah membenarkan ungkapan, bila tidak ikut edan tidak akan mendapat bagian. Artinya, banyak orang rela disebut edan asalkan perut kenyang."

" Artinya pula, masyarakat sudah menerima perilaku edan?"

" Mungkin. Atau entahlah. Tapi agaknya mereka, masyarakat, terpaksa menerima perilaku edan sebagai hal biasa karena sudah menjadi hal keseharian yang terjadi di mana pun, kapan pun."

Kabul bangun menegakkan punggung. Dia terkesan atas kata-kata Pak Tarya. Masyarakat sudah menganggap laku edan sebagai hal biasa? Kalau begitu, kecenderungan ini akan tumbuh menjadi bangunan nilai? Ya? Seharusnya tidak. Sebab bila ya, jalan di depan pasti buntu. " Pak Tarya, sekarang tanggal berapa?" " Kalau tak salah 13 Juni 1991. Kenapa?"

" Saya mau ngomong. Ini serius dan silakan Pak Tarya jadi saksi."

" Kok gawat?"

" Begini. Bila masyarakat sudah menganggap perilaku edan adalah hal biasa, sehingga tak usah dirisaukan dan dicegah, kita bakalan ambruk. Andaikan tidak, bila kita adalah negara, jadilah negara-negaraan. Kalau kita adalah masyarakat, jadilah masyarakat-masyarakatan."

" He-he-he, kalau kita adalah partai, ya, partai-partaian? Kalau kita hukum, ya hukum-hukuman?" gurau Pak Tarya.

" Ya. Dan seterusnya. Dan harap catat, ini omongan saya hari ini, 13 Juni 1991," ujar Kabul.

" Kok sampeyan begitu pesimis?"

" Begini. Ibarat kita sebuah rumah kayu, rayap sudah makan dari tiang sampai bubungan. Semua kayu telah keropos. Kalau hal itu dibiarkan, hanya satu hal yang akan kita temui di depan; rumah kayu itu akan ambruk. Sayangnya saya yang awam ini tak bisa berbuat apa-apa. Atau, sebenarnya saya berbuat sesuatu yang kecil saja. Yakni andaikan proyek-proyek yang saya tangani dikerjakan tanpa penyelewengan dan kecurangan apa pun. Tapi ternyata saya tak bisa. Proyek ini dibangun dengan rayap-rayap yang doyan batu, semen, besi, apalagi duit. Jelas, yang berdiri nanti adalah jembatan-jembatanan, tapi biaya yang dikeluarkan dan harus jadi beban rakyat bisa untuk membangun dua jembatan yang memenuhi standar mutu."

Kabul menarik napas untuk menekan emosi yang sulit dibendung. Tapi Pak Tarya dalam kebiasaannya ber-he-hehe, meskipun dia sudah yakin kegelisahan Kabul bukan perkara main-main.

Sejenak sepi. Hanya bunyi percik halus cengkeh terbakar ketika Pak Tarya mengisap rokoknya. Di langit rasi Bimasakti muncul sangat jelas. Angin kemarau yang bertiup dari tenggara membuat udara terasa makin dingin. Dan tiba-tiba giring-giring di ujung tangkai pancing Pak Tarya berbunyi nyaring.

" Nah, satu lagi."

Pak Tarya sibuk lagi. Atau lebih sibuk karena ikan pelus yang memakan pancing agaknya lebih besar dari ikan yang pertama kena. Sayangnya Kabul hanya bisa membantu dengan menyorot permukaan air. Tapi benar, ikan pelus yang ditarik Pak Tarya kali ini lebih besar.

Hampir jam satu tengah malam Kabul dan Pak Tarya pulang. Karena gembira mendapat pengalaman baru, Kabul minta jadi pembawa dua ikan yang beratnya pasti lebih dari empat kilogram.

" Saya minta besok sampeyan makan pagi di rumah saya. Tidak ada lembur?"

" Lembur untuk anak-anak dan mandor yang kebagian ngecor. Tapi bila yang ditawarkan untuk lauk makan pagi adalah ikan ini, saya ingin datang."

" Ya, tentu ikan ini. Saya akan memasaknya sendiri. Pepes ikan pelus gurih sekali. Apalagi bila diberi bumbu parutan cengkir, kelapa yang masih sangat muda. Malah bagi saya lebih enak parutan cengkir daripada ikan pelus-nya." " Kok bisa begitu?"

" He-he, soalnya pelus adalah jenis ikan yang sangat ber- lemak. Tekanan darah saya terasa naik sesudah makan ikan pelus. Yah, Mas Kabul, orang seumur saya sudah dige- rogoti ketuaan. Ada darah tinggi, ambeien, ompong, dan sering sulit tidur. Terakhir, malah impotensi. He-he-he, tapi saya biasa saja. Sungguh. Saya lebih merisaukan darah tinggi saya. Sebab kalau saya tiba-tiba kena stroke pas sedang mancing, bisa-bisa saya mati kecebur kali. He-he-he."

Pak Tarya tertawa lagi. Kabul juga tersenyum. Dia baru mendengar ada lelaki tidak malu mengakui impotensinya. Ah, Pak Tarya memang mengesankan.

Kabul dan Pak Tarya terus berjalan ke hulu mendekati lokasi proyek. Setelah mencapai tempat di bawah lampu proyek, Kabul baru melihat dengan jelas yang namanya ikan pelus. Mirip belut, tapi lebih tebal dan ekornya bersirip. Bejo dan teman-temannya, yang agaknya mau menghabiskan malam Minggu dengan main gaple, berdatangan. Mereka terkesan.

" Ah, besok saya mau beli pancing," kata Bejo. " Saya mau ikut Pak Tarya memancing ikan pelus."

" Jangan," tanggap Kabul. " Semua pekerja di proyek ini saya larang ikut-ikutan mancing, apalagi di malam hari. Sebab siangnya kalian bisa teler sewaktu kerja."

" Nah! Kok Pak Kabul malah sudah mancing?" usik Bejo. " Saya kan baru ingin. Ah, siapa saja yang pernah mancing tidak berhak melarang orang lain mancing. Iya kan, Pak Kabul?"

Kabul hanya bisa tersenyum. Diam-diam dia mengaku kalah. Atau Kabul sering harus mengalah kepada keinginan anak-anak muda itu yang di mata Kabul adalah bagian generasi korban zaman. Zaman salah urus yang menyebab- kan hak anak-anak itu untuk mendapat pendidikan yang cukup tak pernah terwujud. Zaman revitalisasi feodalisme yang melahirkan priyayi-priyayi kemaruk, kagetan, dan gumunan. Dan mereka tak becus memenuhi kewajiban membangun ekonomi agar setiap anak muda mendapat pekerjaan dengan upah yang pantas.

Dan Kabul menggeleng. Dia tergagap ketika Pak Tarya minta diri. Ya, besok Kabul akan menikmati pepes ikan pelus dengan bumbu parutan cengkir. Seperti apa rasanya?

Pak Tarya berjalan lambat menjauhi kawasan terang. Lamakelamaan tubuhnya yang kering dan tua itu kelihatan makin samar sebelum akhirnya benar-benar hilang ditelan kegelapan.

Kabul agak terlambat bangun. Lari ke kamar mandi, keluar, menyambar sajadah. Mandinya belakangan. Sri, pembantu Mak Sumeh, datang membawa termos berisi air panas. Rutin, karena Kabul suka minum kopi di kamar sendiri setiap pagi. Duduk di kursi tamu dengan majalah. Bejo dan tiga temannya masih tergolek di emper garasi dengan berselimut sarung. Mereka memang tidak lembur.

Jenuh membaca majalah, Kabul keluar dari kantor yang merangkap menjadi tempat daruratnya selama memimpin pekerjaan proyek. Terdengar bunyi sepeda motor yang sudah akrab di telinganya. Apa iya? Ini hari Minggu. Wati biasanya libur, karena itu memang haknya. Tapi benar, di atas motor itu ada Wati. Pakaiannya tidak resmi, bersandal. Ada koran atau majalah terjepit dengan tali karet di jok motornya.

" Tumben hari Minggu kamu datang, Wat?" tanya Kabul dengan senyum.

" Nggak boleh apa?" Sedikit merengut. Ah, entahlah. Kabul ingat detik yang aneh itu. Yakni detik ketika Kabul menyadari Wati yang sudah berbulan-bulan bersamanya dalam satu ruangan memang cantik. Detik itu datang ketika Wati sedang merengut.

" Aku mau baca koran di sini. Bila membaca di rumah aku harus berebut dengan banyak orang. Ini, aku juga bawa koran mingguan kesukaan Mas Kabul."

" Terima kasih. Nah, baca-bacalah dulu, aku mau lihat persiapan pekerjaan yang akan digarap hari ini. Pengecoran tiang jembatan yang kedua selesai tadi malam. Kini giliran tiang ketiga."

" Lama?"

" Secukupnya, dan aku kira tidak lama."

Kabul menjauh sambil tersenyum. Datang ke proyek yang berjarak empat kilometer dari rumah hanya untuk baca koran? Mungkin ya, mungkin tidak. Ah, masa bodoh, karena Kabul sungguh tidak keberatan atas kedatangan Wati.

Dan benar Kabul pergi tidak lama, setengah jam. Atau kurang. Kabul kembali dengan langkah panjang. Masuk kamar dan keluar dengan kunci kontak di tangan.

" Wat, maaf. Aku mau pergi. Ada janji dengan Pak Tarya untuk makan pagi di rumahnya. Nah, bagaimana bila kamu ikut sekalian?"

" Tapi aku tak diundang, kan?" Mata Wati membiaskan keraguan. Atau kecewa.

" Memang, tapi apa salahnya kamu ikut. Kita sudah sama-sama mengenal Pak Tarya, bukan?"

" Kalau aku sih bukan hanya kenal, karena Pak Tarya orang sini. Dia itu orang nyentrik. Terkenal doyan baca. Di desa ini hanya ada dua pelanggan koran, Pak Tarya dan bapakku. Kalau bapakku langganan koran memang sudah seharusnya. Tapi Pak Tarya? Pensiun pegawai kantor penerangan tingkat kecamatan, berapa sih besarnya? Tapi itulah Pak Tarya. Untung istrinya punya warung dan anak mereka hanya dua. Kini keduanya sudah menikah." " Dan hobi mancingnya itu lho!"

" Yah, semua orang di sini sudah lama menganggap mancing adalah bagian jati diri Pak Tarya. Selebihnya Pak Tarya memang ramah dan jenaka. Maka banyak orang suka kepadanya."

" Konon, ketika muda pernah jadi wartawan di Jakarta?" " Ah, itu aku tidak tahu. Aku kan baru lahir tahun 1968. Tapi di sini Pak Tarya memang dikenal punya pengetahuan yang luas."

" Ya, rasanya memang begitu. Nah, sekarang bagaimana? Kamu ikut aku ke rumah Pak Tarya?"

" Mas Kabul tidak keberatan?"

" Ah, kamu bagaimana? Jelas aku yang mengajak kamu, jadi bagaimana aku bisa keberatan?"

" Kalau ngajaknya cuma pura-pura?"

Kabul terdiam. Ya, perempuan memang perasa. Dan Kabul menunggu Wati merengut. Tidak. Wati malah tertawa.

" Aku tidak suka berpura-pura. Jadi ayolah." " Pakai motorku saja ya, Mas?"

Kabul terdiam. Kalau naik motor, Kabul merasa kurang enak. Sebab orang akan menganggap dia sudah benar-benar dekat dengan Wati. Kabul sadar akan nilai-nilai masyarakat dusun. Apalagi konon Wati sudah punya pacar.

" Pakai jip proyek saja. Mau?"

Wati diam. Lalu merengut. Dan selalu, hati Kabul tersedot oleh nuansa merengut yang menyaput wajah Wati. " Kalau naik jip kita tidak kepanasan."

" Tapi aku ingin naik motor." Kabul masih menikmati nuansa merengut itu. Luluh.

" Ya sudah, ayo naik sepeda motor. Aku kira Pak Tarya sudah menunggu."

Kabul mengambil kunci kontak dari tangan Wati. Mesin motor hidup. Kecanggungan tampak dari gerak-gerik Kabul. Tapi Wati kelihatan sangat siap dan menikmati posisi duduknya yang lengket di punggung Kabul.

Motor berwarna biru itu meninggalkan proyek, melaju di sepanjang jalan mati karena puluhan tahun jembatannya putus, masuk ke lorong kampung seperti yang ditunjukkan Wati. Menyelinap di bawah rumpun bambu yang meranggas, hampir menabrak induk ayam yang sedang menggiring lima anaknya, dan beberapa anak berhenti bermain untuk melihat siapa yang lewat. Beberapa kali bunyi motor yang dinaiki Kabul dan Wati membuat perempuan-perempuan menengok, menatap. Wati dibonceng siapa itu orang proyek? Betul? Wati dibonceng orang proyek yang masih bujangan itu?

Perempuan-perempuan itu boleh menggantung tanya. Karena, Wati dan Kabul tak pernah mendengar mereka. Dan motor itu terus menelusup kampung, keluar-masuk bayang kerindangan pohon, lalu berhenti di depan rumah berdinding tembok sepotong.

" Ya, ini rumah Pak Tarya. Dan itu orangnya keluar." Wati turun dan Kabul memarkir motornya. Kemudian keduanya masuk dan di pintu disambut Pak Tarya. Istrinya sedang melayani pembeli di warung yang terletak di ruang depan kiri rumah. Pak Tarya tertawa. Tapi ada cahaya dari matanya yang mungkin mewakili keheranannya. Kabul datang berdua dengan Wati?

" Biar tambah ramai, saya ajak Wati," senyum Kabul agak kaku.

" Itu baik sekali, mari masuk. Kamu mimpi apa tadi malam, Bu, kok sekarang kita menerima tamu orang penting? Yang satu pelaksana proyek, yang satu anak gadis putri anggota DPRD."

" Aduh, mimpi apa ya? Tapi pokoknya ayo masuk," tanggap Bu Tarya. " Mau langsung ke ruang makan? Semua sudah siap. Malah saat ini sudah terlalu siang untuk acara makan pagi."

Karena desakan Pak dan Bu Tarya, Kabul dan Wati menurut. Sampai di ruang makan, hidung mereka langsung disapa aroma pepes ikan pelus. Kabul memang lahir di kampung, tapi pepes pelus adalah hidangan baru baginya. Ditambah dengan sambal terasi dan lalap daun kemangi serta keripik tempe, semuanya jadi terasa sungguh enak.

" Karena Mas Kabul mau makan pagi di sini, istri saya sengaja menanak nasi khusus dari beras rajalele. Ketika ditanak diberi pandan wangi. Nah, enak, bukan?"

" Terima kasih, memang enak sekali. Ditambah lagi saya sudah betul-betul lapar."

" Tapi Nak Wati kelihatan tak bergairah?"

" Aduh, saya sudah makan pagi di rumah, Pak. Maka sekarang saya hanya bisa makan sedikit. Eh, anu, pepesnya boleh juga ya? Bu Tarya hebat ya?"

" Khusus soal pepes pelus, pujilah Pak Tarya," kata Kabul yang sudah tahu siapa pembuat pepes itu.

" Ya, betul. Sayalah yang membuat pepes. Inilah satusatunya keterampilan saya yang mungkin bisa dibanggakan. Tapi semua bermula dari ketakutan istri saya terhadap ikan pelus. Dia takut, atau geli, melihat ikan yang berbentuk bulat-panjang, licin, dan suka telasar-telusur. He-he-he. Maka kalau saya dapat pelus, saya pula yang harus mengolahnya. Nah, lama-kelamaan jadi terampil."

" Jadi, andaikata Ibu tidak takut sama ikan pelus, Pak Tarya tak akan bisa membuat pepes?"

" Barangkali ya. Jadi, Mas Kabul, carilah istri yang tidak geli manakala harus memegang ikan yang licin, bulat-panjang, dan suka telasar-telusur. He-he-he."

Kabul tersenyum tipis, Wati tak tahu apa yang lucu dari kata-kata Pak Tarya barusan. Apalagi Pak Tarya mengalihkan pokok pembicaraan ke hal lain yang jauh dari soal pelus.

" Anu, Mas Kabul. Omongan sampeyan tadi malam masih terngiang-ngiang di telinga saya."

" Omongan yang mana?"

" Kegelisahan. Rasanya sampeyan mulai tidak kerasan di proyek ini?"

Jawaban Kabul yang sangat spontan membuat Pak Tarya dan Wati agak terpana.

" Tapi saya akan tetap bekerja sebaik-baiknya sejauh yang bisa saya lakukan. Saya tidak ingin mengkhianati keinsinyuran saya. Namun kalau keadaan di dunia perproyekan masih seperti ini, rasa-rasanya inilah proyek saya yang terakhir."

" Terakhir?" tanya Wati. Dia sudah lama tahu kegelisahan Kabul.

" Mungkin. Saya mulai merasa tidak cocok menjadi orang lapangan. Maksud saya, menjadi pelaksana ternyata harus menghadapi kendala-kendala nonteknis yang menyebalkan. Rasanya, di sinilah ketidakcocokan saya."

" Tapi sampeyan akan menyelesaikan proyek ini, kan?" " Selama saya masih bisa menahan perasaan terhadap hal-hal yang menyebalkan itu, saya akan menyelesaikan proyek ini. Saya juga masih terikat kewajiban menghidupi dan membiayai ibu serta dua adik saya. Ini berarti saya harus punya penghasilan. Maka saya tidak akan membuat keputusan yang tergesa-gesa. Namun bila kesebalan saya sudah melewati ambang batas, ya tak tahulah!" " Wah, gawat."

" Tapi aku minta, Mas tidak akan bilang mau keluar." Kabul memijit dahi sambil tersenyum kaku. Dan pembicaraan tentang kegelisahan Kabul terhenti. Masalah itu tak muncul lagi sampai Kabul dan Wati minta diri. * * *

Malam ini Basar, kades, menerima tiga tamu lelaki. Semua berjaket partai. Tamu-1 necis rambut berminyak dan tersisir rapi. Kacamatanya tampak dari jenis yang mahal. Berkumis. Tamu-2 lebih tua, berkopiah, satu gigi depannya ompong, berkacamata minus, dan terus merokok. Tamu-3 terus memainkan gantungan kunci mobil. Dialah yang mengemudikan mobil, tapi pasti bukan sekadar sopir. Dia mungkin mewakili angkatan muda partai. Dari ketiganya, Tamu-1 yang paling banyak bicara.

" Dewan Pimpinan Daerah Golongan Lestari Menang telah memutuskan HUT-nya akan diselenggarakan di sini, di lapangan desa ini," kata Tamu-1. Selama bicara, telunjuk kanannya selalu berkibar-kibar di udara dan nadi di lehernya menonjol. " Sebagai kepala desa dan kader golongan, Anda sudah tahu apa kewajiban Anda. Sejak saat ini Anda masuk kelompok kami, panitia tingkat kabupaten."

Basar mengangguk. Tapi ada kegelisahan membersit dari sorot matanya. Istri Basar mengeluarkan kopi dan makanan kecil, keripik pisang.

Pembicaraan terpotong karena Basar harus membantu istrinya membagikan hidangan. Dan menyilakan para tamu menikmatinya. Tamu-3 mengulurkan tangan meraih cangkir kopi. Tamu-2 diam saja. Tamu-1 malah kelihatan masam, karena pidatonya terpaksa dipotong. Lihatlah dia kembali mengibar-ngibarkan telunjuknya di udara.

" Kami tahu, Anda mampu menggalang dan mengerahkan semua potensi massa serta dan ini sangat penting potensi dana. Kepada seluruh warga hendaknya dikatakan mereka hanya punya satu pilihan yang tepat, yaitu Golongan Lestari Menang alias Orde Baru. Karena, selain GLM, isinya cuma politikus-politikus tukang omong kosong. Sedangkan kita, GLM, jagonya pembangunan. Maka ketua dewan pembina kita digelari Bapak Pembangunan. Iya, kan?"

Basar mengangguk. Senyumnya dangkal. Ingatannya terbang ke belakang, ke suatu saat ketika dia bersama para aktivis kampus mengkritik perilaku kekuasaan. Eh, mengapa aku sekarang jadi kades?

" Nah!" ujar Tamu-1. Wajahnya jadi lebih kemilau karena merasa mendapat tambahan semangat. Tamu-2 menyandar ke belakang sambil melepaskan asap rokoknya. Tamu-3 masih bermain dengan kunci kontak.

" Jangan lupa warga yang ber-KTP dengan tanda OT atau ET. Ingatkan mereka akan peristiwa 65 agar mereka dan seluruh keluarga mereka menjadi pendukung kita. Manfaatkan kekuasaan Anda ketika warga datang untuk minta tanda tangan demi melestarikan kemenangan GLM. Dan, Anda tidak akan memberikan atau memperpanjang surat izin usaha untuk toko, warung, kilang padi, dan sebagainya, kecuali mereka berjanji dan sudah terbukti mendukung kita."

Tamu-1 menurunkan telunjuknya yang sejak tadi terus berkibar dan bergoyang kiri-kanan. Menyeruput kopi, mungkin karena tenggorokannya kering akibat ngomong terus. Ya, semoga dia sudah capek ngomong, pikir Basar. Tapi tidak. Lihat telunjuk itu berkibar lagi dengan tenaga yang tetap kuat.

" Dan kebetulan. Sangat kebetulan. Di wilayah desa yang Anda pimpin, kini ada proyek besar. Pelaksananya adalah kontraktor yang dulu kita menangkan dalam lelang pekerjaan. Jadi, mereka sudah tahu apa kewajiban mereka terhadap kita. Mereka akan memperbantukan truk-truk dan kendaraan lain untuk mengangkut massa datang ke lokasi upacara HUT..."

" Juga untuk pawai keliling," sela Tamu-3 yang berhenti bermain kunci kontak dalam sedetik berbicara, tapi kemudian bermain lagi.

" Ya, itu pasti," sambung Tamu-1. Dia mulai mengibarkan telunjuk, tapi mulutnya terpotong oleh Tamu-2 yang sejak tadi terus asyik dengan rokoknya.

" Tenda! Jangan lupa tenda. Karena yang jadi pembicara utama adalah menteri, soal tenda jangan dianggap kecil. Orang-orang proyek akan Anda minta melaksanakan pemasangan tenda upacara, tenda terbaik yang bisa didapat di kabupaten ini."

" Kami tadi melihat jalan menuju lapangan desa belum dikeraskan," ujar Tamu-3. " Sepantasnya Ketua Umum GLM harus selalu lewat jalan beraspal."

" Ya, itu pun akan menjadi bagian orang-orang proyek. Mereka juga akan memindahkan generator, menyiapkan corong-corong, podium, dan mengurus pembiayaan perjalanan Ketua Umum dan para pengawalnya. Nah, sekarang, Saudara Kades, apa yang ingin Saudara sampaikan kepada kami?"

Telunjuk Tamu-1 belum turun, tapi sejenak berhenti ber- kibar. Basar merenung. Mau omong apa ya? Oh, ada!

" Saya dengar sebelum acara HUT harus ada malam hiburan?"

" Oh, Gusti, Saudara benar. Saya yang lupa. Jadi begini. Ada dua jenis kesenian yang akan kita tampilkan. Pertama, wayang kulit. Kami sudah menghubungi dalang dan memesan lakonnya, yaitu Gatotkaca Kembar Tiga. Ah, lakon yang bagus untuk kepentingan GLM...."

" Kok saya baru dengar ada lakon wayang seperti itu...." " Eh, di masa pembangunan, semua dalang harus kreatif mencipta lakon yang bersemangat Orde Baru. Dan Gatotkaca Kembar Tiga menceritakan ada tiga Gatotkaca. Yang satu ber-kampuh warna hijau, satu lagi ber-kampuh warna merah, dan yang lain ber-kampuh warna lambang GLM. Dan akhir cerita membuktikan, sang Gatotkaca yang ber-kampuh warna GLM-lah yang asli. Lainnya palsu dan kerjanya bikin kacau negara."

" Tapi ceritanya tidak berhenti di situ," potong Tamu-2. " Setelah dikalahkan Gatotkaca asli, dua yang palsu berbalik menjadi abdi sang pemenang," sambung Tamu-2. " Nah, begitu. Lakon yang pas. Iya, kan?"

Basar mengangguk dan kali ini tawanya lepas. Dia merasa wilayah intelektualnya berhadapan dengan kreasi murahan yang sangat menggelikan. Untunglah Tamu-1 tidak menjangkau makna tawa Basar. Maka telunjuknya makin berkibar saja.

" Lalu kesenian kedua, yakni lengger, sepenuhnya menjadi tanggung jawab Anda, Saudara Kades. Karena, di sini banyak kelompok lengger, kan?"

Telunjuk Tamu-1 berhenti. Basar mengangguk. " Ya! Tapi jangan lupa, mintalah orang dinas kebudayaan mengubah pupuh-pupuh atau lirik nyanyian lengger. Sesuaikan kata-katanya dengan semangat Orde Baru. Misalnya..." Tamu-1 kelihatan termenung untuk mengingat sesuatu.

" Misalnya ini: Kembange kembang terong. Kepengin cemerong-cerong. Arep nembung akeh ewong. Itu bunyinya yang asli. Tapi, seniman lengger zaman sekarang harus diordebarukan. Maka, parikan tadi akan kita ubah jadi begini: Kembange kembang terong. Kepengin cemerong-cerong. Orde Baru pilihan inyong. Nah, itu sekadar contoh dan kelanjutannya menjadi tugas orang-orang Dikbud Kabupaten."

Tamu-1 menurunkan telunjuknya yang sudah sekian lama berkibar. Wajahnya puas seakan baru saja menikmati puncak kepuasan syahwati. Meneguk kopi untuk membasahi kerongkongan yang letih. Tamu-2 mengangguk-angguk, mengembuskan asap ke atas. Tamu-3 lebih asyik bermain kunci kontak, pertanda dia ingin berangkat. Dan benar, tak lama kemudian Tamu-1 bangkit dan minta diri kepada Basar. Dua koleganya menyusul. Ketiganya, orangorang Golongan Lestari Menang itu, keluar. Tapi Tamu-3 berbalik, berbisik kepada tuan rumah. Basar, dengan langkah lesu, masuk dan keluar lagi dengan amplop di tangan. Dalam proses bersalaman, amplop itu telah pindah ke tangan Tamu-3.

Basar memerhatikan mobil tamu yang meninggalkan ha- laman rumahnya dengan perasaan kosong. Dan selalu ada pertanyaan yang meloncat-loncat di depan mata: Benarkah aku bagian orang-orang partai seperti ketiga tamu itu? Ba- sar selalu waswas ketika berhadapan dengan pertanyaan ini. Sialnya jawaban yang terdengar dari dalam dadanya sendiri berbunyi: Ya!
Orang Orang Proyek Karya Ahmad Tohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Memang ya. Karena, sistem kekuasaan di bawah Golongan Lestari Menang, GLM, menempatkan jajaran perangkat desa dan kelurahan seluruh Indonesia menjadi onderbouw mereka. Jajaran perangkat desa adalah satu di antara tiga pilar penopang GLM. Dua pilar lain adalah birokrasi pegawai negeri dan ABRI. Maka, suka atau tidak, kades seperti Basar sudah tercantum sebagai kader Golongan Lestari Menang.

Masuk ke rumah, Basar mengempaskan diri di kursi panjang. Istrinya, sambil menggendong anak, sibuk membereskan meja tamu. Basar menghela napas panjang.

Ya, dia merasa makin tertekan setelah menemukan dirinya jelas berada dalam, malah menjadi bagian, sistem kekuasaan yang dulu amat sering dikritiknya. Dulu, ketika bersama Kabul masih giat sebagai aktivis kampus, Basar yakin Orde Baru banyak melakukan penyimpangan. Semangat republik demokrasi dibungkam, sehingga rakyat sebagai pemilik sah kekuasaan malah jadi objek yang terinjak kekuasaan. Sebaliknya, feodalisme gaya baru yang menganggap kekuasaan adalah kewenangan istimewa yang dimiliki pemegangnya, telah melahirkan sistem yang amat korup dan tak terkendali. Kini negeri ini adalah yang paling korup di Asia. Atau malah di dunia?

Seorang diri, Basar menggeleng dan mengusap wajah.

Gelisah. Basar teringat Kabul. Ingat mimik Tamu-1 dengan telunjuknya yang suka berkibar bila dia bicara. Atau rasa terjerat. Ingin melihat dirinya berada di luar sistem yang korup ini! Ah, semua ini bermula dari kesalahan atau ketololan sendiri mengapa dulu aku ikut pemilihan Kades? Tepatnya, mengapa aku dulu mengalah kepada desakan Bapak, Emak, Paman, Bibi, yang menginginkan aku ikut nyalon?

Ya, aku mengerti. Bagi mereka, status kades yang kusandang akan ikut menaikkan martabat mereka. Orang sini bilang, seluruh kerabat bisa nunut yoni atau berlindung di bawah wibawaku bila aku terpilih jadi kades. Atau aku sebenarnya kalah menghadapi keadaan; malu disebut sarjana lontang-lantung, sehingga jadi kades pun tak apalah. Atau lagi, bukankah tidak muluk pikiran yang muncul di kepalaku saat itu: memperbaiki kehidupan warga desaku sendiri melalui jabatanku sebagai kades?

Wajah tiga tamu orang Golongan Lestari Menang kembali masuk ke layar ingatan Basar. HUT GLM. Kas Desa akan diperas habis. Padahal ada bangunan TK yang harus diperbaiki, gorong-gorong jeblos, perbaikan saluran air se- bab di musim hujan satu pedukuhan biasa banjir. Dan perhatian serta dana untuk melaksanakan semua kewajiban itu harus dialihkan demi HUT GLM?

Kini wajah Kabul yang masuk. Ah, sahabat yang senasib. Kamu pasti akan pusing bila orang-orang GLM itu mendatangimu malam ini. Proyekmu akan dijarah. Ya, tapi kamu Kabul anak yang lugas. Mungkin kamu akan berani bertahan dengan sikap cablaka-mu. Mungkin kamu akan membantah mereka: Ini proyek milik rakyat, bukan milik Golongan Lestari Menang. Proyek ini dibangun dengan dana utang dari luar negeri yang akan jadi beban anak-cucu rak- yat. Maka, bila benar kalian punya otak dan hati, jangan main-main dengan proyek ini. Atau kalian akan kualat oleh kutukan anak-cucumu sendiri!

Plas!

Tapi, Kabul, benarkah kamu akan seberani itu? Sebab bila kamu berani membantah, si Tamu-1 pasti akan menerormu dengan tuduhan sengit; loyalitasmu terhadap Orde Baru diragukan tak mau berpartisipasi dalam pembangunan. Atau kamu akan diteliti, dikuliti, sampai mereka yakin bahwa kamu bersih lingkungan. Yakni, kamu bukan anak, kemenakan, sepupu jauh, satu buyut, dengan orang yang terlibat gerakan komunis.

Mungkin juga orang-orang GLM itu akan menertawakan kamu. Mereka akan bilang: Kok kamu bisa demikian naif dengan mencoba membantah kami? Kami kasih tahu ya. Yang tanda tangan utang luar negeri adalah menteri yang kader GLM. Demikian juga Menteri Pekerjaan Umum, gubernur, bupati, camat, kepala bank, semuanya, bukan sekadar anggota, tetapi kader GLM. Dan pengusaha kontraktor yang bernama Insinyur Dalkijo? Dia bendahara GLM.

Masih sendiri, Basar mendengus. Dia sudah membayangkan hasil lelang sewa sawah bandha desa, sumber pokok pendapatan desa, akan berkurang sangat banyak gara-gara HUT GLM. Padahal, tanpa adanya HUT itu pun hasil lelang selalu di-bancak orang kecamatan dan orang kabupaten hingga mencapai hampir sepuluh persen. Lalu orangorang yang ber-KTP dengan kode OT dan ET?

Mereka adalah " orang terlibat" dan " eks terlibat" PKI. Aku diperintah terus mengancam, sehingga mereka bersama anak-cucu selalu tunduk, takut, dan pasrah bongkokan di hadapan kepentingan GLM?

Gusti, demi pemilik nama Sang Pengampun, Sang Penyayang. Haruskah mereka menanggung beban sejarah seumur hidup? Haruskah anak-cucu mereka terus menanggung hukuman kesalahan politik yang tidak mereka lakukan? Lihat mata mereka ketika kusebutkan kata " GLM" atau " Orde Baru" atau " pemerintah" atau lainnya yang menyangkut kekuasaan negara. Dalam bola mata mereka ada cekam ketakutan. Ada bayangan yang menggigil karena kecut hati. Wajah berubah jadi pucat dengan bibir bergetar. Tangan wel-welan karena tak tahu lagi cerca dan nista apa lagi yang akan mereka terima.

Dan Basar tercengang sendiri ketika dalam rongga matanya muncul satu demi satu sosok Kang Sanu, Kang Bolot, Kang Setu, Kang Dalim, dan masih banyak lainnya. Mereka adalah warga desa yang disandangi gelar yang selalu membuat mereka ketakutan: OT dan ET. Dan aku Kades Basar mendapat perintah mengabadikan stigma pemberontakan komunis tahun 1965 hingga diri dan jiwa mereka luluh? Bukankah cukup bila aku meminta mereka dengan baik-baik, demi ketenteraman jiwa, menusuk GLM dalam setiap pemilu? Tindakan ini pun bagiku sudah merupakan pelanggaran terhadap hak dasar mereka.

Oh, GLM. Kalian memang telah bermurah hati memberi kesempatan kepada Kang Sanu dan teman-teman senasib mengikuti beberapa kali pemilu, asal mereka menusuk gambarmu. Tapi mengapa kalian melarang mereka ikut pilkades, sehingga terjadilah ini: Karena merasa pernah ikut pemilu, Kang Sanu datang ke balai desa untuk menanyakan undangan mengikuti pilkades yang belum diterimanya. Dalam pikiran Kang Sanu, kalau dia boleh ikut pemilu, pilkades pun dia boleh ikut.

Namun, di balai desa Kang Sanu mendapat penjelasan, semua OT dan ET memang tidak mendapat undangan, karena mereka tidak boleh ikut pilkades. Aneh! Apakah ini karena tidak semua calon kades adalah orang GLM? " Memangnya kamu siapa, berani minta ikut pilkades?" tanya seorang pamong dengan cibiran yang melumpuhkan persendian Kang Sanu.

Dan lihatlah apa yang kemudian terjadi pada Kang Sanu. Dia tercengang. Hampir satu menit dia berdiri dengan wajah pasi dan mulut tergagap-gagap. Mungkin dia merasa keberadaannya tiba-tiba merosot jauh di bawah titik nol. Berbalik. Kaki dan tangannya gemetar. Berjalan tertatih menuju sepedanya yang distandar di halaman balai desa. Orang-orang memandang Kang Sanu dari belakang sambil tertawa. Kang Sanu berhasil mencapai sepedanya. Tapi gemetar kaki dan tangannya makin jelas. Ada rembesan air membasahi celana Kang Sanu. Lelaki kurus itu klenger ngadeg. Lalu roboh bersama sepedanya. Dan kalian para kader GLM di balai desa! Sudah puaskah kalian karena berhasil menghancurleburkan hidup Kang Sanu?

Pertanyaan itu terus melayang sampai Basar hadir kem- bali ke alam nyata. Dia kembali mengusap wajah, lalu minum. Istrinya yang datang sambil membopong anak agak terkejut karena melihat wajah suaminya berat. Tapi perem- puan lembut itu tidak bertanya apa-apa. Malah dengan kelembutannya pula dia meninggalkan Basar sendiri di ruang tamu.

Lembut? Istriku memang lembut, pikir Basar. Dan jelas istriku tak pantas memasuki urusan politik. Tapi pada HUT GLM nanti dia akan berbaris memimpin para ibu pamong desa ini. Kebaya seragamnya akan membuat dia yang ayu dan lembut itu tampak sebagai barang yang dibuat di pabrik. Kedirian dan kepribadiannya akan lenyap dalam nuansa sama warna dan sama suara. Ya, dalam HUT GLM nanti istriku akan menjadi satu di antara ribuan bebek yang patuh dihalau ke sana kemari oleh orang seperti Tamu-1 yang baru meninggalkan rumah ini.

Atau, sudahlah. Basar merasa sangat letih. Dia bangkit dan masuk kamar. Di sana dia mendapati anaknya tergolek tidur sendiri. Ibunya di kamar mandi. Ah, wajah bocah ini tampak begitu tenang. Ketenangan pada wajah tak berdosa itu mengimbas ke hati Basar yang kemudian merebahkan diri di samping si mungil.

Basar hampir terlambat Salat Subuh karena bangun kesiangan. Kunjungan orang-orang GLM tadi malam membuatnya gelisah sepanjang malam, sehingga Basar kurang tidur. Selesai makan pagi Basar minta diri kepada istrinya, mau ke proyek. Basar ingin ketemu Kabul. Vespa dikeluarkan, lalu digenjot, digenjot lagi, tapi tak mau hidup. Tampak agak kesal, Basar ganti mengambil sepeda tua, merek Raleigh, buatan Inggris. Basar memang suka koleksi sepeda tua.

Matahari mulai menghangatkan kampung dalam suasana pagi kemarau yang masih sejuk. Decik teratur sepeda tua yang dinaiki Basar terdengar dalam irama datar, namun entahlah, enak juga dinikmatinya. Kadang decik itu berubah menjadi kericik cepat bila Basar memutar balik pedal sepedanya, lalu kembali cik-cik-cik-cik...

Lepas jalan kampung yang agak lebar, Basar membelokkan Raleigh-nya ke kanan masuk gang kecil. Menyelusup di bawah kerindangan pepohonan. Sepasang burung kepodang berloncatan di dahan. Daun waru tua yang kuning lepas dari rantingnya karena embusan angin, melayang dan jatuh hampir menyentuh kepala Basar. Teriakan angsa yang memanggil anak-anaknya karena merasa terusik oleh bunyi sepeda. Dan bau ikan asin yang agaknya sedang digoreng di dapur seorang penduduk. Lalu ada cecak terbang melayang dari pohon ke pohon. Jakun kuningnya terus bergerak-gerak. Binatang itu bergerak melingkar ke balik pohon ketika Basar melintas di dekatnya.

Beberapa penduduk yang berpapasan mengangguk hormat. Kades Basar disegani orang. Mungkin karena ayah Basar adalah orang terkaya di desa itu. Atau bukan apaapa, selain karena Basar punya bawaan semanak, semedulur. Dia senang menghadapi warganya dengan wajah jernih dan kata-kata yang tulus.

Proyek mulai hidup. Basar sudah bisa mendengar dentam godam pembelah batu. Mesin molen sudah menderu. Truk curah menumpahkan batu kali dengan bunyi gemuruh. Dan teriakan-teriakan tukang yang kadang cabul. Basar tersenyum.

Tapi, apakah mereka mulai bekerja sejak jam tujuh? Sebentar berpikir, Basar sudah menemukan penjelasannya. Ya, sangat boleh jadi proyek ini sedang dikebut untuk me- ngejar target waktu. Untuk ajang pamer dalam HUT GLM bulan depan dan ajang kampanye pemilu setahun lagi. Basar sudah mendengar peresmian proyek ini akan dilakukan oleh Wapres dan menjadi ajang kampanye besar-besaran Golongan Lestari Menang.

Basar tersusul Wati yang baru datang. Di halaman kantor proyek keduanya berhenti. Mereka bertegur sapa dengan ramah, tapi resmi. Kemudian Basar menaruh sepeda dan Wati mengurus motornya. Keduanya masuk, tapi Kabul tidak ada. Basar mengetuk kamar pribadi sahabatnya itu, sepi.

" Mungkin Mas Kabul sedang mengawasi orang kerja." " Aku kira begitu. Baiklah, aku ke sana. Aku juga ingin sesekali melihat situasi proyek."

Di depan warung Mak Sumeh, Basar berhenti dan tersenyum sendiri. Sawin, anak Kang Martasatang yang jadi kernet tukang batu, sedang cengar-cengir kepada Sonah, pelayan warung. Melihat Basar datang, Sawin menghentikan ulahnya dan ingin cepat berlalu.

" Tunggu, Win," panggil Basar. Merasa dipanggil kadesnya, Sawin berhenti ketakutan. " Kelihatannya teman-teman kamu sedang bekerja. Mengapa kamu sendiri di sini?" " Anu, Pak. Disuruh beli anu& rokok."

Basar tersenyum, dan membiarkan Sawin berlalu sambil membawa kebohongannya.

Sungai Cibawor sedang menanggung puncak kemarau. Air surut lebih setengah daripada biasanya. Tepiannya yang terjal terlihat lebih dalam. Sosok batu-batu besar yang sering diduduki Pak Tarya ketika mancing makin njenggereng. Dan sedikit di hulu proyek, rakit penyeberangan milik Kang Martasatang tertambat merana karena sudah sekian bulan tak terpakai.

Namun kemarau juga sangat membantu pekerjaan proyek. Malah karena kecilnya air, Kabul bisa merentang titian kerapyak dari tepi ke tepi sungai untuk mempermudah gerak dan perjalanan para pekerja. Dan pagi ini Basar menemukan Kabul sedang berdiri di atas titian kerapyak itu. Dia sedang mengawasi pekerja perancang besi beton yang ada pada calon tiang kedua.

Basar bermaksud menyusul Kabul dengan meniti kerapyak. Namun Kabul mencegahnya.

" Jangan, Pak Kades. Aku akan datang ke situ. Aku sudah selesai di sini."

Kabul bergegas. Kerikil berjatuhan dari atas kerapyak menimbulkan bunyi beriringan di permukaan air. Kerapyak itu bergoyang, berderit. Bejo mengambil rokok dari balik topi. Sejak ditunggu Kabul, dia tak berani menyalakannya.

" Bila sepagi ini kamu sudah datang, pasti ada masalah penting. Begitu?" tanya Kabul yang tetap ber-kamu kepada teman lama yang sudah jadi kades itu.

" Penting atau tidak, yang jelas aku ingin berbagi rasa dengan kamu."

" Ayolah bicara. Tapi di sini? Matahari mulai panas. Atau di kantorku?"

" Aku memilih warung Mak Sumeh. Oh, tidak. Aku ingin bicara dengan kamu tanpa kehadiran orang lain." " Eh, serius? Kalau begitu..."

Kabul memutar kepala untuk melihat tempat yang teduh.

" Mari, ada tempat teduh di dekat tambatan rakit Kang Martasatang. Kita ke sana."

Rakit Kang Martasatang ditambatkan pada sebatang rumpun bambu ampel yang tumbuh subur di tepian Cibawor yang agak curam. Tapi di sana ada bagian permukaan tanah kering berpasir. Kabul dan Basar sampai ke sana. Seekor kadal lari dan menyelinap ke bawah selumpring, kelopak bambu muda, yang berserakan. Ada burung raja udang sedang mengintai ikan dari ranting bambu di atas air. Mungkin jengkel karena terganggu kedatangan Kabul dan Basar, burung berparuh merah itu terbang melesat ke utara sambil menjerit. Lintasannya merendah hanya beberapa jengkal dari permukaan air, lalu hilang di kelokan sungai.

Sambil berdiri di tanah berpasir di bawah kerindangan rumpun bambu ampel, Basar menceritakan pengalaman didatangi tamu orang-orang GLM. Wajahnya berat, tapi dia mencoba tersenyum.

" Begitulah. Dan aku datang untuk bertanya apakah tadi malam mereka mengunjungimu?"

" Tidak," jawab Kabul sambil menggeleng. Pundaknya jatuh. Menghela napas panjang. Kabul khawatir omongan Basar akan jadi kenyataan, dan proyek akan menanggung beban cukup berat untuk HUT GLM.

" Kamu mau apa bila mereka, orang-orang GLM itu, datang kepadamu?"

Kabul tampak gelisah.

" Mereka pasti akan datang, kan?" ulang Basar. " Ya. Atau bahkan Pak Dalkijo sendiri yang akan menyuruhku melayani segala kebutuhan dan permintaan mereka."

" Kalau benar begitu, kamu bagaimana?" Kabul kelihatan makin gelisah.

" Kamu sendiri bagaimana?" Kabul balik bertanya kepada Basar. Dan kegelisahan itu menjalar dari Kabul ke Basar. Kades itu mengangkat alis. Lama terdiam sebelum akhirnya Basar buka mulut.

" Memang salahku, bekas aktivis jadi kades di zaman Orde Baru yang gila ini," keluh Basar. " Ternyata tugas utama kades zaman Orde Baru bukan melayani masyarakat, melainkan GLM. Ini konyol, malah menjijikkan. Kalau sejak dulu aku sadar akan hal ini, aku tak mau jadi kades.

Sialnya, semua ini sudah terlanjur. Apa aku harus berhenti?"

" Itulah pertanyaannya."

" Bila aku berhenti, apakah desaku akan menjadi lebih baik? Apa ini tidak berarti aku melepaskan tanggung jawab dan membiarkan warga desaku mengalami salah pimpin dan salah urus seperti dulu?"

Basar berhenti bicara dan wajahnya sudah merah. Di atas mereka rumpun bambu bergoyang dan daun-daunnya yang kuning luruh. Angin mengalir membawa bau tanah kering dan debu proyek. Si raja udang datang lagi, hinggap di cabang satu depa di atas air, manggut-manggut, terbang lagi setelah tahu Basar dan Kabul masih di sana. Gumpalan-gumpalan lumut hanyut perlahan, dan meruncing ketika memasuki alur air deras. Anak-anak ikan wader berkerumun sambil makan tinja yang mengapung dan hanyut di permukaan air.

" Kamu yakin dirimu dibutuhkan warga?"

" Tepat. Pertanyaan itu memang sering mengusik diriku. Dan di sana pula sesungguhnya keputusan kugantung. Menurutmu bagaimana?"

" Aku jujur. Bukan hanya desa ini, melainkan semua desa, membutuhkan kades atau lurah seperti kamu. Kukira perubahan harus dimulai dari desa. Sayang, aku juga tahu hal ini tidak mudah dalam sistem kekuasaan gila seperti saat ini."

" Terima kasih. Kalau kamu bilang aku dibutuhkan, aku akan mencoba bertahan. Aku akan bersiasat untuk sedikit mengurangi dampak kerakusan GLM, agar kerusakan desaku tak terlalu parah. Ya kalau benda yang rusak, tapi kalau hati dan moral rakyat serta nilai-nilai yang hidup di sini?"

" Baguslah. Tapi persiapkan mentalmu karena yang akan kamu hadapi adalah sistem kekuasaan kemaruk-mumpung yang sudah dibangun selama seperempat abad. Kamu tidak bakalan berhasil penuh."

" Hal itu sangat kusadari. Maka aku bilang, paling-paling aku hanya bisa mengurangi dampak kerakusan dan kekemaruk-an kuasa mereka terhadap warga desa ini."

" Ya, dan pada dasarnya aku pun sama. Aku tidak ingin mengambil tindakan tinggal glanggang colong playu. Aku ingin bertahan sampai proyek ini selesai dengan baik dan bisa dipertanggungjawabkan mutunya kepada rakyat...." " Bukan kepada Pak Dalkijo atau Bupati?" Basar tertawa. " Bukan," ujar Kabul sengit. " Malah bukan juga kepada DPRD yang cuma legislatif-legislatifan itu. Tapi seperti kamu juga, rasanya aku tak akan sepenuhnya berhasil. Entahlah."

Burung raja udang datang lagi, hinggap di ranting yang sama setelah Basar dan Kabul meninggalkan bantaran kali berpasir itu. Diam sebentar dengan kepala turun-naik, burung itu melihat mangsa. Tiba-tiba ia menukik terjun dengan gerakan yang sangat tangkas. Air berkecipak ketika burung itu mengepak dan terbang menyusuri permukaan sungai ke utara. Seekor udang terjepit di paruh merahnya. Kabul mengajak singgah ke warung Mak Sumeh, namun Basar menolaknya. " Seharusnya aku sudah lama hadir di balai desa. Ini sangat terlambat." Maka sepeda tua itu kembali berdecik meninggalkan lokasi proyek. Kabul melepas kepergian temannya dengan perasaan mengambang. Skeptis. Tapi Kabul tersenyum ketika dari jauh dia melihat orang-orang mengangguk takzim kepada Basar. Ya, dia kepala desa.

Kabul masuk ke warung Mak Sumeh, menarik kursi sambil minta minuman kesukaannya, es teh. Kali ini bukan Sonah, melainkan Sri, yang melayaninya. Mak Sumeh tidak kelihatan. Tapi sesaat kemudian terdengar kerincing gelang emas yang memberati kedua tangannya. Tak salah lagi, perempuan Tegal itu muncul dari balik tabir kain. Pakai kaus oblong dan kainnya kendor tanpa setagen. Sambil berjalan keluar biliknya Mak Sumeh menyambar rokok dan menyalakannya.

" Ya, begitu, Pak Insinyur. Bila sudah panas, berteduh dulu," sapa Mak Sumeh. Gelang-gelang di tangannya berdencing lagi ketika dia menarik kursi ke depan Kabul. Mak Sumeh menduga pikiran Kabul sedang melayang jauh entah ke mana. Dan Mak Sumeh ingin membawanya kembali ke ruang warungnya.

" Kemarin asyik ya, Pak Insinyur?"

Kabul mengangkat wajah dan bertanya lewat gerakan alisnya.

" Ya, kemarin kulihat dari sini Pak Insinyur boncengan sama Wati. Aku bilang apa, kalian berdua memang pasangan yang pantas. Iya, kan?"

Kabul agak gagap karena merasa ditarik ke dalam ruang pembicaraan yang tiba-tiba dihadirkan.

" Pak Insinyur tahu, kepergian berdua dengan Wati kali ini jadi perhatian orang? Soalnya, Pak Insinyur berdua dengan Wati naik sepeda motor. Dan cara Wati menempel di punggung Pak Insinyur itu& wah."

Kabul masih diam. Atau hanya tersenyum samar. " Tadi Wati kemari dan cerita dengan wajah gembira. Dia bilang, kemarin diajak Pak Insinyur makan pagi di rumah Pak Tarya. Lauknya pepes ikan pelus. Tapi katanya, Wati makan sedikit karena sudah senang dibonceng Pak Insinyur. Dan, Pak Insinyur, kalian berdua dilihat banyak orang. Kukira orang akan percaya bila dikatakan ada apaapa antara Pak Insinyur dengan Wati. Nah."

Lengang di dalam. Tetapi dari luar terdengar kesibukan kerja. Truk yang datang dan menumpahkan batu dengan bunyi gemuruh. Tukang rancang besi beton memukul-mukulkan palu. Tukang batu yang menggedor-gedor tong karena kernet terlambat membawakan adukan. Dan suara Bejo meledek Sawin yang dituduhnya sering menggombali Sonah. Cak Mun berteriak minta dipinjami korek api. Kang Acep dengan aksen Sundanya menegur tukang yang kurang rapi memasang batu. Lalu serombongan burung manyar terbang ke selatan melintasi warung Mak Sumeh.

Kabul hanya tersenyum dan mengangkat pundak untuk semua celoteh Mak Sumeh. Lelaki muda itu bangkit, membayar minuman, lalu keluar. Mak Sumeh memandangnya sambil melongo. Mungkin dongkol. Matahari langsung me-natap Kabul dengan sinarnya yang panas ketika dia melangkah ke halaman. Berjalan di udara terbuka yang berdebu, Kabul langsung menuju kantor proyek. Hampir jam dua belas siang.

" Ke mana saja, Mas? Kok lama sekali?" Wati bertanya tanpa mengangkat wajah begitu Kabul masuk ruangan. Dan pura-pura menulis entah apa. Duduknya gelisah.

" Ngobrol sama Basar, eh, Pak Kades," jawab Kabul datar. Wati masih menunduk. Masih gelisah.

" Makan siang yuk. Mas sudah lapar, kan? Eh, nanti dulu. Aku punya ini untuk Mas. Enak. Manis sekali."

Kabul membiarkan Wati meletakkan setangkai buah matoa di hadapannya.

" Buah pertama dari pohon yang tumbuh di halaman. Aku pun baru kali ini merasakan enaknya buah ini. Cobalah, Mas."

Kabul mengambil satu, mengamati sebentar. Dia sudah mendengar ada buah berasal dari Irian bernama matoa. Tapi Kabul juga belum pernah merasakan enaknya.

" Enak kan, Mas?" Mata Wati benderang ketika menatap Kabul. Mengangguk.

" Ya, enak."

" Iya, kan? Nah, sekarang ayo makan siang." " Wat, aku malas keluar. Suruh Sonah atau Sri membawakan makan siang kita kemari."

" Mas ingin makan di ruang ini? Wah, ini kejutan. Aku suka sekali, Mas. Sebab, seperti di rumah sendiri, ya kan?

Sedangkan makan di warung? Sumpek. Banyak orang, lagi."

Dengan kegembiraan yang tidak ditutup-tutupi Wati bersicepat keluar menuju warung Mak Sumeh. Pada saat yang hampir bersamaan terdengar teng-teng-teng... bunyi potongan besi dipukul bertalu. Waktu istirahat tiba. Terdengar sambutan gembira puluhan pekerja. Mesin molen, mesin las, vibrator beton, godam pembelah batu, semua berhenti. Gantinya adalah riuh manusia-manusia yang gembira karena akan menikmati satu jam istirahat setelah berpanas dan bercucur keringat. Mereka bisa makan, merokok, beribadah kalau mau, dan Sawin akan kembali menggombali Sonah di warung Mak Sumeh. Bejo akan minum es cendol. Kang Acep akan mandi di sungai, memakai kain sarung dan kopiah, lalu menyelinap ke belakang bedeng untuk menggelar sajadah. Salat. " Keur urang mah, salat teh penting," Kang Acep sering bilang begitu.

Dan untuk yang pertama kali, Kabul dan Wati makan siang di ruang kantor. Eh, Kabul ternyata membenarkan ucapan Wati. Makan siang di tempat itu terasa lebih pas bila dibandingkan dengan makan di warung Mak Sumeh, meski masakan dan cita rasanya sama.

" Buat selanjutnya, seperti ini saja ya, Mas? Terasa ada privasi. Ya, kan?"

Kabul tersenyum. Buruk, karena mulutnya penuh nasi. Meski demikian Wati senang. Sungguh.

Sejak hari itu ada pekerjaan baru bagi Sonah atau Sri, pelayan warung Mak Sumeh. Setiap tengah hari mereka membawakan hidangan makan siang ke kantor proyek untuk Kabul dan Wati. Sebenarnya Kabul menyesal. Memang dialah yang kali pertama mengusulkan makan siang di ruang kantor. Sebab, yang dikatakan Wati ternyata benar privasi. Situasi dan nuansa pribadi pun hadir. Seperti ada jarak yang semakin hari semakin pendek. Atau ruang yang semakin padat.

Dan Wati sering membawa lauk tambahan dari rumah ayam goreng empuk atau sambal petai yang tak pernah ada di warung Mak Sumeh. Juga majalah kesukaan Kabul, kebetulan Kabul memang sering tak sempat pergi ke kota. Pada titik perkembangan tertentu, Kabul pernah mencoba menghentikan semuanya; kembali makan siang di warung atau meminta Wati berhenti memasok majalah. Tapi ternyata tidak mudah melakukannya. Karena semuanya seakan mengalir tenang seperti air Sungai Cibawor yang kini sangat jernih.

Namun setidaknya Kabul bisa menahan diri ketika malam minggu kemarin Wati mengajaknya nonton film ke kota.

" Aku memang suka nonton, Wat. Tapi maaf, untuk nonton berdua sama kamu aku khawatir akan dikatakan ku- rang pantas."

" Mas malu nonton bersama aku? Iya, kan?" tanya Wati. Matanya naik. Kabul nyengir janggal.

" Tidak, sungguh tidak."

" Lalu?"

" Kamu pasti sudah tahu alasan saya; bagaimana nanti perasaan pacar kamu. Mak Sumeh betul kan, kamu sudah punya pacar?"

Wati terdiam. Ada keterkejutan tampak dari bola matanya. Atau kekecewaan. Lalu menunduk. Meremas jemari. Atau Wati ingin memperlihatkan kepada Kabul tak ada cincin apa pun di jarinya. Ya, karena entah mengapa Wati tidak tahan untuk tidak melepaskannya dua bulan yang lalu.

" Jadi betul Mas tidak mau?"

Pertanyaan ini membawa tekanan baru. Mata Wati ikut bertanya, " Kamu sungguh tidak memahami aku?" Wati merengut. Dan Kabul mengendurkan pundak. Ya, dari wajah yang merengut itu selalu muncul daya yang melemahkan Kabul.

" Aduh, bagaimana ya? Anu... Apa mungkin kamu mengajak adik atau saudara kamu lainnya?"

Wati diam dan kelihatan sedang mengolah pertimbangan.

" Baik, Mas." Akhirnya. Mata Wati menyala. " Aku akan mengajak adikku si Bani. Terima kasih ya, Mas?"

Bunyi decik tromol sepeda tua itu terus terdengar mengikuti laju perjalanan Kades Basar. Dan irama decik itu kian cepat bila Basar mengubah gigi tromol sepedanya dari yang kecil ke yang besar. Atau tromol malah mengeluarkan bunyi decik yang mendesir ketika Basar berhenti mengayuh pedal. Cik-cik-cik... cirrrrr.

Minggu pagi yang dingin. Kemarau belum memberikan tanda-tanda akan berakhir. Dedaunan kering berserakan di tengah jalan kampung yang dilalui Basar. Daun waru, ketapang, sengon, dan terutama bambu tumpang-tindih menjadi tumpukan sampah tebal di tengah dan di pinggir jalan. Pelepah-pelepah pisang merunduk dengan daun menguning. Tapi pohon kopi, bungur, dan bacang malah memilih musim kemarau untuk berbunga.

Harum bunga kopi menyapa. Di sana bunga bungur dalam untaian besar tampak segar oleh kilau embun yang memantulkan sinar pagi. Dan, di depan ada beberapa anak lelaki yang sibuk menyambit mangga. Bila ada buah yang kena dan jatuh, mereka berebut dalam sorak-sorai yang amat lucu dipandang. Tapi anak-anak itu serentak berhenti ketika mendengar decik sepeda Basar. Saling pandang antarmereka dan cengar-cengir. Malu-malu. Basar berhenti sambil menawarkan wajah seorang ayah.

" Sepagi ini kalian makan mangga muda?" Anak-anak saling pandang lagi. Cekikikan. " Kalian tidak takut kena marah pemilik pohon mangga ini?"

Seorang anak mencoba lari, tapi ditahan yang lain. Basar tertawa, dan mereka ikut tertawa dengan mata bercahaya.

" Ah, Pak Kades," ada suara dari belakang. Eyang Naya. " Cucu-cucu saya memang ora lumrah. Tapi wong namanya bocah, saya mau apa? Biarlah mereka menyambiti mangga emprit yang tidak akan laku dijual itu...."

" Jadi pohon mangga ini milik sampeyan, Yang?" " Betul, Pak Kades."

" Oh, mereka cucu-cucu sampeyan, anak-anak yang beruntung karena punya eyang yang bisa ngemong."

Mungkin karena merasa mendapat pembenaran, cucucucu Eyang Naya kembali beraksi. Batu-batu dan potongan bambu beterbangan ke arah buah mangga yang merimbun. Satu-dua kena dan jatuh. Cucu-cucu itu berebut dan gem- bira. Kakek mereka, Eyang Naya, memandang sambil ber- gendong tangan. Wajahnya tanpa ekspresi. Tapi mata tuanya memancarkan rasa bahagia.

Pemandangan yang mengesankan, pikir Basar. Kakek dan para cucu berada dalam ruang komunikasi yang demikian alami dan hidup. Si kakek menghadirkan ruang dan kesempatan mengaktualisasikan diri kepada para cucu dengan penuh pengertian dan kearifan. Tiba-tiba terasa ada sesuatu yang menyumbat tenggorokan Basar. Ada keharuan datang tanpa bisa ditolak. Dan keharuan itu melekat mengiringi laju sepeda Raleigh-nya yang terus berdecik dan meluncur ke arah proyek. Cik-cik-cik... cirrrrrr.

Sampai di tujuan, Basar mendapati proyek lengang. Libur total? Jawabannya ada di warung Mak Sumeh dan warungwarung lain yang sepi. Di sana hanya ada dua satpam yang sedang ngopi. Bahkan Mak Sumeh sendiri sedang keluar, mungkin ke pasar atau warteg lain miliknya yang ada di beberapa tempat. Di bedeng asrama ada dua atau tiga pekerja yang sedang bermalasan. Mereka layak mendapat waktu istirahat dengan cara yang mereka sukai.

Basar siap kecewa karena mungkin dia akan gagal bertemu sahabat yang ditujunya; Kabul. Untung-untungan, Basar terus maju mendekati kantor proyek. Raleigh-nya berdecir sebelum berhenti dan distandar di bawah pohon mangga. Sebelum membalikkan badan Basar mendengar bunyi pintu terbuka.

" Alhamdulillah, kamu ada. Aku khawatir kamu pergi, sebab proyek sepi sekali."

" Aku liburkan. Mari masuk."

Kabul mengambil bulu ayam untuk mengusir debu yang terasa ada di mana-mana. Debu tanah, debu pasir, debu semen: debu proyek. Basar dipersilakan duduk di kursi yang baru dibersihkan. Kemudian Kabul keluar. Dengan bertepuk tangan dia memanggil Sonah atau Sri. Dengan kode jari dia minta kopi dua gelas.

" Minggu lalu kamu datang membawa cerita orang-orang politik yang sengak itu," ujar Kabul. " Kini bukan cerita itu lagi yang kamu bawa, kan?"

Tawa yang keras mendahului jawaban Basar. " Nanti dulu. Tadi kamu bilang pekerja kamu liburkan? Bukankah proyek ini harus selesai sebelum masa kampanye pemilu?"

" Memang. Dan untuk meliburkan pekerja, aku harus berdebat dulu dengan Pak Dalkijo. Aku tak mau jadi ujung tangan kapitalis baru yang menindas bangsa sendiri. Libur hari Minggu adalah hak mereka. Apalagi sudah dua bulan mereka bekerja tanpa libur."

Basar mengangguk tanda mengerti.

" Sekarang kamu mau membawa omongan apa?" " Omong-omong santai. Dan siapa tahu kamu suka akan omongan ini."

" Ya, mulailah ngomong. Aku mau mendengar." " Ah, tunggu dulu. Kamu seperti sedang punya tamu? Aku mendengar ada suara di kamar mandi, Wati?"

" Yang bener! Itu adikku, Samad, datang kemarin sore. Dia mau pamer karena sudah lulus. Insinyur hidro. Jadi di sini saat ini ada tiga orang dari satu almamater; kamu, aku, dan adikku."

" Hebat! Eh, maksudku lucu. Iya, kan?" " Bukan! Bukan lucu, tapi kuoonyoool!"

Kedua sahabat lama itu tertawa bebas. Samad keluar, malu-malu bersalaman dengan Basar yang diperkenalkan oleh Kabul. Pemuda berkacamata itu cepat menyingkir karena masih mengenakan celana pendek dan handuk masih melingkar di lehernya.

" Samad sudah selesai, aku ayem," ujar Kabul. " Dan adiknya, Aminah, malah lebih hebat. Dia tak mau lagi kusokong, karena katanya sudah bisa nyambi jualan cendera mata. Aku hampir menangis mendengarnya. Bayangkan, mahasiswi farmasi harus jualan cendera mata; bagaimana membagi waktunya? Dan berapa untungnya?" Basar menelan ludah.

" Tekad adikmu itu kuat. Agaknya dia ingin lebih cepat mandiri," tanggap Basar.

" Bukan itu yang menyebabkan aku ingin menangis. Aminah mengingatkanku akan biyung-nya, ya, biyung-ku dan Samad. Agar bisa menyekolahkan kami, Biyung tidak pernah menanak nasi tetapi oyek, semacam thiwul. Biyung kami juga bertani kecil-kecilan sambil jualan klanthing dan gembus. Jadi aku, juga Samad adikku, adalah insinyur-insinyur gembus, insinyur oyek. Tidak lebih...."

Entahlah, Kabul jadi sungguh menangis. Bahkan Basar terimbas. Lengang. Terdengar hiruk-pikuk rombongan manyar yang terbang ke selatan. Derit baling-baling bambu di ujung kampung. Angin tenggara sudah bertiup.

" Kamu harus bersyukur dan bangga punya biyung perempuan sejati dan perkasa," hibur Basar. " Biyung-mu memasukkan ke perutmu makanan surgawi, meskipun ujudnya gembus dan oyek. Surgawi, karena gembus dan oyek yang kamu makan adalah keringat biyung kalian sendiri. Dengan makanan yang sebaik itu jiwa dan hatimu bisa tetap cablaka; jujur, sederhana, apa adanya."

Kabul malah tersedu. Dan Basar seperti terbakar emo
" Tegakkan kepalamu di hadapan mereka yang dibesarkan dengan makanan enak, serbamudah, dan mewah, tapi semuanya berbau neraka karena merupakan hasil korupsi dan hasil menipu rakyat. Percayalah, di hadapan kesejatianmu, mereka tak ada apa-apanya...."

" Cukup. Kok jadi begini?" kata Kabul lirih sambil mengusap mata.

" Maafkan aku. Kok aku juga ikut terhanyut?" Sonah datang membawa dua gelas kopi dan keripik singkong. Kedatangan Sonah tanpa disengaja menghadirkan jeda yang menurunkan ketegangan emosi. Perlahan suasana mencair. Samad keluar dari kamar kakaknya, langsung minta diri untuk melihat-lihat proyek. Kabul dan Basar melihat mata Samad merah. Pasti dia mendengar pem- bicaraan di luar selagi dia berada di dalam kamar.

" Ya, sana. Coba lihat apakah fondasi jembatan tidak salah. Kamu insinyur hidro, kan?" kata Kabul dengan getar suara yang belum sepenuhnya pulih.

" Setahuku insinyur hidro tidak harus tahu soal fondasi jembatan."

Kakak-beradik insinyur itu tertawa. Terasa sangat akrab.

Dengan kopi dan keripik singkong, dan dengan angin kemarau yang menerobos masuk lewat jendela, suasana dalam kantor proyek itu terasa cair kembali. Basar tersenyum-senyum sebelum memulai kata-katanya.

" Bul, kali ini aku datang sebagai teman. Artinya, sama sekali tak ada kaitannya dengan jabatanku sebagai kades."

Kabul hanya mengangguk ringan. Dan menanti sambil mengunyah keripik singkong.

" Begini. Ini soal kamu dan Wati..."

Kabul mengangkat wajah. Mata berkedip cepat. " Ya, kenapa?"

" Suara di luar kian santer. Orang bilang, kamu pacaran sama Wati. Betul?"

Kabul mengeluh. Kabul gelisah. Cengar-cengir seperti anak kecil yang merasa akan dipermalukan.

" Kok cengengesan?"

" Aku mau bilang apa ya? Rasanya aku biasa saja. Ya, jujur saja, aku menganggap Wati teman yang punya daya tarik. Tapi aku tahu dia sudah punya pacar. Jadi, aku sampai saat ini tetap menjaga jarak."

" Begitu?"

" Sungguh."

" Aku percaya kamu. Aku juga akan ikut malu bila punya teman, ya kamu itu, merebut pacar orang. Tapi bagaimana dengan Wati sendiri? Aku dengar dia mulai menjauh dari pacarnya gara-gara kamu."

" Gara-gara aku?"

" Kamu boncengan sama Wati. Iya, kan? Tiap hari rantang-runtung makan siang bersama. Juga nonton bareng. Ini kampung, Bul. Jadi jangan salahkan orang yang mengatakan kamu ada apa-apa dengan Wati."

Makin gelisah. Kabul minum kopi, mengambil keripik, tapi tak dimakan. Terbayang wajah Wati ketika merengut. Dan garuk-garuk kepala.

" Ah, tolong. Aku harus bagaimana?"

" He, kok kamu jadi tolol, Saudara Insinyur?" gurau Basar. Namun gurauan itu tak mempan. Alih-alih Kabul tertawa, tersenyum pun tidak.

" Ini serius; aku harus bagaimana?"

" Begini. Kamu jangan lagi pernah memberi harapan kepada Wati."

Kabul tercenung. Apa selama ini aku memberi harapan? Jangan-jangan, ya. Kalau begitu aku tidak akan memboncengkan Wati lagi. Tidak akan nonton bareng lagi. Dan juga tidak akan makan siang bersama. Apa makan siang bersama bukan hal yang biasa saja?

" Ya, aku berjanji tidak akan mengulang hal-hal yang kamu sebut tadi. Tapi soal makan bersama, apakah hal itu bisa jadi ukuran bahwa yang bersangkutan sedang pacaran?"

" Dari gosip yang beredar, aku dengar kamu makan bersama di tempat ini, bukan di warung seperti sebelumnya?"

" Nah, kembalilah makan di warung. Itu lebih aman dan tidak menimbulkan dugaan macam-macam." " Baik. Semua akan aku lakukan, Kawan."

" Bagus. Mudah-mudahan berhasil. Dan ngomong-ngomong soal pacar, mbok ya kamu segera cari yang bukan Wati. Tunggu apa lagi?"

Kabul tersenyum lebar. Menghabiskan kopi lalu membersihkan bibir yang menghitam dengan punggung tangan.

" Terima kasih atas nasihatmu. Ya, tadi kamu dengar sendiri, Samad sudah selesai kuliah. Aminah tak mau lagi kusokong. Tinggal Ibu, ya, biyung-ku."

" Jangan lagi beralasan karena membantu ibu, kamu terus menunda kawin. Ini konyol, karena aku yakin ibumu malah sudah ngebet punya cucu. Percayalah. Eh, tapi..." " Apa?"

" Ah, anu..."

Ganti Basar yang tiba-tiba tercenung. Ya, bagi Kabul per-soalannya mungkin lebih mudah. Aku percaya omongan dia. Tapi bagaimana si Wati? Yang aku dengar, dia serius ingin ganti pacar. Aku tahu pacar Wati yang sekarang masih kuliah. Sementara saban hari dia berdekatan dengan insinyur muda, bujangan, punya pekerjaan mapan. Soal tampang, si Kabul memang tak ada ganteng-gantengnya. Tapi siapa bisa melarang orang suka sama dia? " He, kok linglung!" bentak Kabul. Basar tergagap. " Oh, ya, kopi ini memang enak, ya? Keripiknya juga renyah. Aku suka. Nah, terima kasih. Aku mau ngurus Vespa-ku yang sudah sebulan ngedongkrok."

Tanpa basa-basi Basar keluar. Mungkin lupa dirinya sudah jadi kades, bukan lagi mahasiswa seperti empat tahun lalu. Kabul pun bersikap sepadan. Dia melepas tamunya dengan cara khas mahasiswa, tidak ada resmi-resmian.

Tak lama kemudian terdengar decik sepeda Raleigh bergulir menjauh. Kabul pun keluar untuk menyusul Samad yang sedang melihat-lihat proyek. Insinyur yang masih bau toga itu kedapatan sedang meremas-remas pasir giling. Samad membuka genggamannya di depan mata Kabul.

" Mas, mutu pasir giling ini kurang baik, ya? Pasti batu kalinya juga mutu rendah."

Kabul mengangkat alis. Dalam hati dia memuji adiknya yang bermata jeli.

" Di sana tadi aku lihat besi rancang betonnya buatan pabrik yang tak punya merek dagang. Mas percaya akan mutunya?"

Sekali lagi Kabul mengangkat alis. " Oh, adikku, kamu belum tahu betapa sulit menaati ketentuan ilmu teknik di proyek ini. Karena, anggaran sudah jadi bancakan, sehingga semua sektornya harus ditekan. Biro pengawas yang menjamin mutu proyek pun tidak kebal duit. Dan orang-orang DPRD? Ah, mereka tak mau pusing apakah pasir atau besi beton memenuhi persyaratan teknik atau tidak. Bagi mereka yang penting bendaharawan proyek tahu bila mereka datang."

Jam tiga siang Kabul mengantar Samad ke terminal de- ngan jipnya. Dalam perjalanan Samad mengajukan pertanyaan yang tak terduga.

" Tadi pagi Mas Basar ngomong soal perempuan. Namanya Wati? Siapa dia, Mas?"

Kabul menjawab lugas dan singkat.

" Aku setuju Mas cari perempuan lain dan segeralah menikah."

" Akan kucoba, Dik. Tapi aku kira soal jodoh gampanggampang susah. Orang lain bisa menganggapnya gampang. Dan aku? Rasanya tak mudah."

" Mungkin. Karena Mas kayaknya sudah tidak lagi menempatkan urusan menikah pada prioritas utama."
Orang Orang Proyek Karya Ahmad Tohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Atau karena usiaku sudah di atas tiga puluh? Kata orang, hasrat menikah pada lelaki paling tinggi pada usia 23-25 tahun. Sesudah itu makin bertambah usia makin turun."

" Entahlah, Mas. Yang jelas Mas masih ingin menikah, kan? Soalnya, benar kata Mas Basar. Biyung sering bertanya kepadaku, Mas sudah punya pacar apa belum." Blap. Tiba-tiba roda jip melindas jalan berlubang. Guncangan yang terjadi cukup keras. Obrolan mendadak berhenti, karena Kabul sibuk dengan kemudi dan Samad sibuk mencari keseimbangan duduk. Sesudah jalan rata, obrolan segera tersambung lagi. Namun topiknya beralih jauh.

" Di ruas jalan yang rusak ini, pada musim hujan lalu, terjadi kecelakaan tunggal," cerita Kabul. " Ada pengendara Vespa jatuh karena roda kendaraannya masuk lubang di tengah jalan yang tertutup air."

" Meninggal?"

" Ya. Akhirnya lelaki itu meninggal di rumah sakit. Yang jadi beban pikiranku hingga saat ini, kecelakaan tunggal itu terjadi bukan karena kesalahan si pengendara Vespa, melainkan kesalahan Dinas Pekerjaan Umum, ya, kesalahan negara. Pengendara itu punya SIM dan nomor kendaraan yang sah. Artinya dia mengendarai Vespa dengan membayar pajak. He drove by tax. Tapi negara hanya mau mengambil pajaknya dan tidak mau bertanggung jawab atas kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan jalan. Ini negara apa? Dan orang-orang PU itu, di mana nyali mereka?" " Jadi harusnya bagaimana, Mas?"

" Keluarga korban seharusnya menuntut pemerintah, Dinas PU, baik secara pidana maupun perdata. Pidana, karena orang-orang Dinas PU yang digaji rakyat itu telah melalaikan kewajiban memelihara jalan, dan karena kelalaian itu terjadi kecelakaan yang menyebabkan pengguna jalan meninggal dunia."

" Perdatanya?"

" Keluarga korban rugi secara material karena kehilangan ayah, suami, yang menjadi tulang punggung kehidupan mereka. Materi yang seharusnya mereka peroleh bila korban masih hidup, harus diganti pemerintah. Belum lagi kerugian immaterial yang bisa dikonversi ke dalam nilai uang."

" Jadi mereka, keluarga korban, benar-benar menggugat pemerintah?"

" Itulah! Keluarga korban ternyata tidak menuntut apaapa. Agaknya mereka tidak tahu akan hak-hak mereka. Dan orang-orang pemerintah, khususnya di jajaran Dinas PU, menikmati kondisi ini. Demikian juga kejaksaan. Jaksa seharusnya tanpa diminta oleh keluarga korban menuntut Dinas PU atas kasus kecelakaan itu. Nyatanya? Brengsek!" " Tapi apa akar semua kebrengsekan itu?"

" Kamu pernah dengar. The king can do no wrong? Nah, ubahlah menjadi: The country can do no wrong, alias negara tak bisa berbuat salah. Karena para pejabatnya, dalam kasus ini orang-orang PU tadi, menganggap diri tak mungkin berbuat salah."

" Jadi siapa yang salah?"

" Dengan paradigma the King can do no wrong, si pengendara itulah yang harus disalahkan. Mengapa ia menabrak kubangan? Atau, soal mati karena jatuh dari Vespa, apa pun penyebab kejatuhannya, itu sudah takdir. Habis!"

" Brengsek!" Samad mulai terbakar emosinya. " Negara dan pejabat negara merasa dirinya tak bisa salah? Itu kan kultur negara kerajaan yang feodal? Apa kita yang sudah 45 tahun menjadi negara republik masih berjiwa feodal?"

" Apa kamu kira negara kita yang konon ber-Pancasila ini, dan yang semua aparatnya sudah ditatar P4, adalah negara republik demokrasi? Bangun, bangun! Hentikan mimpimu. Dan sadarilah di tahun 1991 ini kita hidup di bawah orde feodal baru."

Diam. Samad melepaskan isi paru-paru untuk membuang sebal yang mengimpit hatinya. Tapi rasa sebal itu tak mau menyingkir, sehingga kepalanya terasa pening. Kabul juga diam. Matanya menyala pertanda emosi belum sepenuhnya reda. Ada serombongan itik menyeberang jalan dan Kabul harus memperlambat laju jipnya. Sebuah truk pengangkut semen datang dari depan. Sopirnya yang sudah mengenal jip yang dikendarai Kabul, mengangguk hormat. Truk itu datang memasok semen untuk proyek. Mendekati sebuah simpang empat, Kabul sepertinya akan mengambil jalan lurus. Dan dia tergagap ketika Samad mengingatkannya.

" Ke kanan, Mas!" Kabul tergagap oleh peringatan adiknya. Sekian detik sebelum terlambat. Kabul membelokkan jipnya ke kanan. Kabul mengusap wajahnya dengan saputangan. Agaknya diperlukan waktu beberapa menit sampai pikiran Kabul kembali membumi untuk menyadari saat ini dirinya sedang mengantar Samad ke terminal. Melaju terus ke arah timur, masuk terminal. Samad turun, bersalaman. " Salamku untuk Biyung."

" Iya, Mas." Samad membalikkan badan, lalu bergegas menuju bus yang sedang menunggu penumpang jurusan Gombong.


Hus Hus Karya Becca Fitzpatrick Pendekar Cambuk Naga 1 Racun Puri Iblis

Cari Blog Ini