Ceritasilat Novel Online

Orang Orang Proyek 3

Orang Orang Proyek Karya Ahmad Tohari Bagian 3

Salam untuk Biyung. Entahlah, kata " Biyung" selalu masuk ke hati Kabul bersama perasaan yang sangat dalam. Baginya, " Biyung" tak mungkin tergantikan oleh " Ibu" atau " Mama" . Biyung adalah bumi. Biyung adalah citra yang mewakili sumber daya adikodrati yang menghidupi, melindungi, membimbing. Dan Biyung yang dimaksud Kabul sekarang masih hidup dan tetap perkasa dalam keluguannya jauh di desa sana. Meski sudah tua, Biyung tak pernah minta apa-apa. Dalam kerentaannya Biyung tetap mandiri. Kalaupun dia disokong Kabul, itu terjadi atas keinginan Kabul sendiri. Biyung bisa bertahan dan sehat hanya dengan sega-jangan, nasi inthil, oyek, dan gembus. Hingga kini.

Nasihat Basar agar Kabul tidak memberi harapan kepada Wati tak pernah dilupakan. Maka Kabul membuat dirinya selalu sudah ada acara bila malam Minggu Wati mengajaknya nonton bareng. Majalah kesukaan dibeli di hari pertama terbit, sehingga tak ada peluang bagi Wati untuk memasoknya. Dan ketika pertama kali diajak makan siang di warung Mak Sumeh lagi, Wati terdiam. Sinar matanya penuh pertanyaan.

" Kok kembali makan di warung, Mas? Memang makan di ruangan kantor kenapa?"

Kabul hanya bisa senyum.

" Mas kayaknya berubah deh. Kenapa?" Kali ini Kabul pun hanya bisa senyum. Namun dengan jawaban itu Wati malah merasa pertanyaannya diiyakan. Maka sejak hari pertama, suasana makan siang di warung Mak Sumeh terasa dingin. Wati kehilangan selera dan Kabul sulit menyembunyikan kegelisahannya. Apalagi suatu hari setelah kembali ke ruang kantor, Wati jadi pendiam. Merengut terus. Kabul keluar ketika jam istirahat sudah usai. Dia ingin mengawasi pengecoran tiang kedua. Sebentar di sana, Kabul balik ke kantor proyek dan menemukan Wati sedang buru-buru menghapus air mata. Sebetulnya Kabul tidak ingin bertanya. Namun seakan mulutnya bergerak di luar kendali.

" Kamu menangis, Wat? Kenapa?"

Sejenak Wati tetap sibuk mengusap mata. Dan tetap menunduk.

" Tidak, Mas. Tidak apa-apa. Tapi kalau aku pulang dulu, boleh, ya?"

" Kamu sakit?"

" Tidak juga... eh, ya. Aku pusing sedikit." " Okelah, kalau begitu. Pulanglah, tapi hati-hati." Wati menatap Kabul sejenak. Mencoba tersenyum, tapi terasa janggal. Membereskan tas, mengunci laci meja, dan keluar. Kabul hanya memandang Wati dari tempat duduk. Tak lama kemudian terdengar bunyi motor dihidupkan, dan hati Kabul terasa ikut bergulir. Dan guliran itu baru berhenti setelah bunyi motor Wati benar-benar hilang dari pendengaran.

Sepi. Terasa ada ruang kosong mengembang di hati Kabul. Padahal dulu, Kabul tak pernah punya perasaan itu. Wati ada atau tidak, sama saja. Ah, tidak! Kabul mengibaskan kepala. Lalu keluar. Es teh di warung Mak Sumeh mungkin bisa memberi kesejukan. Tapi di sana Kabul tidak hanya mendapat minuman kesukaannya, melainkan juga nyinyir pemilik warung.

" Kok aku lihat dari sini Wati pulang gasik, Pak Insinyur? Dia sakit?"

" Ya," jawab Kabul cepat, dengan maksud menghentikan pertanyaan Mak Sumeh sampai di situ saja. Tapi gemerin- cing puluhan gelang di tangan seperti meramaikan pertanyaan berikutnya.

" Tapi ketika makan siang tadi Wati sehat-sehat saja? Atau mungkin Wati sakit di hati?"

Kabul bungkam. Kemudian ditenggaknya sisa es tehnya. Termenung.

" Pak Insinyur, aku sudah bilang dari dulu, Wati suka sama Pak Insinyur. Mungkin dia sakit karena hatinya tidak mendapat tanggapan dari Pak Insinyur. Apa Pak Insinyur benar-benar tidak mau? Atau karena Pak Insinyur mendengar Wati sudah punya pacar?"

Kabul membiarkan nyinyir Mak Sumeh menguap. Alihalih menanggapi omongan pemilik warung itu, Kabul malah minta tambah es teh. Sri melayaninya dengan setia, dan seperti biasa, tanpa kata-kata.

" Bila soal pacar yang jadi masalah, Pak Insinyur, aku ini sama-sama perempuan. Wong sering aku naksir lelaki lain, meski aku punya suami. Eh, ini jujur. Memang tidak perlu sampai selingkuh, tapi soal naksir, aku kira hal yang lum- rah termasuk bagi perempuan bersuami. Nah, si Wati kan baru berpacaran. Jadi wajar saja kalau dia naksir yang lainnya, ya Pak Insinyur sendiri. Jadi, mbok dilayanilah...."

Dengan wajah tanpa ekspresi Kabul bangkit, membayar minuman, lalu melangkah keluar. Mak Sumeh memandangnya dari belakang sambil menggeleng. " Anak muda yang keras kepala. Jadi apa yang kamu maui, Pak Insinyur?"

Hari-hari yang terasa kaku. Meski hanya berdua di ruang kantor proyek itu, Kabul dan Wati jadi jarang berbicara, kecuali urusan resmi. Suasana terasa kering seperti kemarau di luar yang belum juga berakhir. Kabul jadi tidak betah. Dan dia merasa dirinya menjadi sebab kegaguan di ruang itu, yang sudah berlangsung hampir dua minggu. Wati makin sering minta izin pulang awal. Bahkan, pagi ini di meja Kabul ada surat keterangan dokter; Wati sakit dan mendapat istirahat tiga hari.

Wati sakit? Kabul tahu pada hari-hari terakhir ini Wati memang makin sedikit bicara. Keceriaannya sangat jauh berkurang. Bila sedang merenung, dia tampak sedang bergulat dengan perasaannya sendiri. Pada saat demikian, wajah terutama matanya membersitkan adanya beban yang menindih hatinya.

Wati menderita? Jangan-jangan, ya. Dan bila ya, akulah penyebabnya? Pertanyaan ini lama berputar-putar di depan mata Kabul. Lalu masuk menembus dahi dan mengejar dirinya dari dalam. Kabul tergagap. Aku telah menyebabkan Wati menderita?

Entah, pertanyaan yang terus mengejar itu membawa Kabul ke hadapan Biyung. Dulu Biyung dengan perilakunya, bukan dengan kata-katanya, selalu mengajari Kabul agar jangan berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain menderita. Dengan perilaku nyata juga Biyung mengajari bagaimana membantu orang lain lepas dari penderitaan.

Kabul ingat saat paceklik di kampungnya, ketika dia masih anak-anak. Suatu hari Biyung menumbuk gaplek banyak-banyak untuk ditanak menjadi nasi inthil. Setelah masak, dikumpulkannya beberapa lelaki tetangga yang tungkainya mulai membengkak. Gejala busung lapar. Biyung mencatu mereka dengan nasi inthil dan sayuran selama beberapa hari sampai mereka kembali bertenaga untuk bekerja. Anehnya, Kabul masih ingat, Biyung seakan marah kepada para lelaki yang telah dicatunya itu.

" Kalian memang bodoh, jadi pantas kelaparan. Bila punya padi meski cuma sedikit, kalian jual semua gaplek. Kalian tak mau prihatin dan lebih suka nasi daripada inthil. Tapi ketika paceklik kamu beli kembali gaplek kalian dari tengkulak dengan harga tinggi. Dan kalau gaplekmu habis? Kalian ya seperti sekarang ini; udhimen, hongeroedeem, atau apa?

" Lihat aku ini! Padiku lebih banyak dari kalian. Tapi aku tetap menyimpan gaplek, bahkan tetap makan nasi campur inthil. Jadi ketika datang paceklik, aku bisa bertahan dan juga bisa menolong kalian lepas dari kelaparan."

Kelaparan adalah penderitaan yang tidak kepalang. Dan Biyung sering membantu tetangga melepaskan diri dari penderitaan itu. Tapi kini aku, Kabul, malah mendatangkan penderitaan kepada Wati, meski masalahnya bukan kelaparan.

Pagi ini Kabul ingin menjenguk Wati di rumahnya. Atau nanti sore saja? Ya, nanti sore saja. Hari ini Kabul harus banyak mengawasi pekerjaan di proyek. Pada tahap tertentu, pekerjaan harus ditungguinya secara langsung agar tukang tidak melakukan kesalahan. Tapi entahlah, ternyata Kabul tak sabar menunggu hingga sore hari. Pada jam istirahat dia sudah duduk di belakang kemudi jipnya, siap meninggalkan lokasi proyek. Dan sepuluh menit kemudian jip proyek itu sudah berhenti di jalan raya depan rumah Wati.

Di rumah, Wati hanya ditemani ibu dan pembantu. Bapaknya, anggota DPRD, belum pulang. Demikian juga dua atau tiga adiknya. Mereka belum kembali dari sekolah.

Di pintu Kabul disambut oleh ibu Wati. Sikapnya wajar, mungkin karena Kabul pernah datang sebelumnya. Namun terasa ibu Wati menahan diri dari sikap yang terlalu ramah.

" Silakan masuk, Pak."

" Terima kasih, Bu. Tapi mohon jangan panggil saya Pak. Saya malu."

" Oh? Jadi Ibu harus panggil apa? Nak, Dik, Mas?" " Terserah Ibu."

" Baiklah, Nak. Silakan duduk. Lalu, boleh saya tahu, Nak ingin bertemu siapa? Wati apa bapaknya?"

" Ada surat dokter yang menyatakan Wati sakit. Jadi saya ingin melihat dia. Saya harap sakitnya tidak serius." " Oh, itu? Ya, kemarin sore Wati diantar ke dokter. Katanya sih cuma pusing dan hilang nafsu makan."

" Syukurlah kalau hanya pusing. Maaf, Bu, apakah saya bisa...?"

Kabul tidak meneruskan kata-katanya karena melihat Wati muncul dari ruang tengah. Memakai baju kaus dan celana panjang batik yang kombor. Matanya layu. Kesegaran yang selama ini menjadi bagian penampilannya seakan hilang entah ke mana. Bibirnya pucat. Tapi Wati mencoba tersenyum. Ada percik nyala di matanya. Tadi Wati tergugah ketika mendengar bunyi jip berhenti. Dia langsung bisa memastikan siapa yang datang. Hatinya langsung berdebar. Tetes air matanya gagal ditahan. Wati bergegas ke kamar mandi untuk membasuh muka. Dan kini dia berhadapan dengan Kabul.

Sesaat memandang Wati, muncul rasa iba di hati Kabul. Atau mungkin rasa bersalah? Timbul juga keinginan, kalau bisa, membantu mengakhiri penderitaan Wati. Tapi apa, dan bagaimana?

" Aku tak mengganggu istirahatmu, Wat?" untung Kabul bisa memulai pembicaraan. Wati hanya menggeleng. Mulutnya bergerak-gerak tanpa suara. Maju dan duduk di samping ibunya, berhadapan dengan Kabul.

" Terima kasih, Mas mau datang melihat aku." " Sama-sama, Wat. Semoga kamu cepat sembuh." " Tapi, Wat, kamu tidak boleh terlalu lama di luar kamar," kata ibu Wati dengan nada datar. " Kan dokter bilang kamu harus banyak istirahat. Jadi, ayo masuk dan istirahatlah di kamar."

" Aku kira ibumu benar. Banyaklah istirahat. Aku pun sudah cukup karena sudah melihat keadaanmu." " Mas sungguh tidak ingin lebih lama lagi di sini?" " Wat," potong ibu Wati. " Dokter bilang apa?" Wajah Wati yang layu mendadak tersaput mendung. Bangkit dan dengan berlari kecil Wati masuk ke kamar tanpa pamit kepada tamunya. Kabul mengangkat alis karena tiba-tiba merasa terjebak dalam suasana yang kaku. Pada saat itu Kabul tak melihat apa pun yang pantas dilakukannya, kecuali minta diri. Ibu Wati menanggapinya dengan sikap dan bahasa pas-pasan saja.

Bulan tua. Ketika kokok ayam pertama terdengar, bulan yang tinggal sepertiga bulatan masih sepenggalah di atas ufuk barat. Di timur, bintang kejora tampak sempurna, karena langit kemarau sangat bersih. Puluhan kelelawar, yang lapar karena buah-buahan dan serangga sangat berkurang di musim kemarau, harus mencari makanan pengganti agar bisa bertahan hidup. Mereka memilih daun benguk, lembayung, atau daun indri sebagai pengisi perut.

Di belakang rumah Kang Martasatang yang terletak di tepi Sungai Cibawor ada serumpun tanaman benguk yang menjalar menutupi pohon lamtoro. Pada dini hari yang hening itu banyak kelelawar beterbangan di seputar rumpun benguk itu. Ada yang hinggap sesaat pada daunnya yang muda, menyobek dengan mulutnya, lalu terbang lagi. Mereka seperti tak peduli pada lelaki yang sedang jongkok di belakang rumah. Kang Martasatang yang hampir

Bagian Ketiga

semalaman tak bisa tidur akhirnya memilih keluar rumah untuk mencoba mengusir kegelisahannya.

Sudah empat hari Sawin, anak bungsunya yang ikut nguli di proyek, tidak pulang. Kemarin dan kemarin dulu Kang Martasatang mencari Sawin ke tempat sanak saudara dan tidak menemukannya. Teman-teman Sawin sesama kuli proyek pun tak ada yang bisa memberitahu ke mana Sawin pergi. Tapi Bejo bilang Sabtu sore Sawin seorang diri pergi nonton dangdut yang digelar di terminal bus di kota. Bejo tidak ikut pergi, karena terminal itu hampir dua puluh kilometer jauhnya dari proyek.

Hari kedua sejak Sawin tidak pulang, Kang Martasatang mulai diganggu selentingan yang entah dari siapa asalnya. Selentingan itu mengatakan proyek sedang minta tumbal seekor jengger atau ayam jantan muda. Tumbal harus diberikan, konon, karena pada awal penggarapan proyek hanya didahului dengan doa-doa biasa, tidak disertai acara tanam kepala kerbau. " Jadi, lihatlah. Hasil kerja bulan pertama di proyek itu langsung disapu banjir," kata Wircumplung, tetangga Kang Martasatang. " Nah, musim hujan akan datang lagi. Kalau tumbal tidak diberikan, seluruh bangunan jembatan yang sudah setengah jadi bisa dirobohkan bah. Lihat sajalah," tambahnya.

Sesobek daun benguk yang lepas dari mulut kelelawar jatuh di pundak Kang Martasatang. Lelaki yang sedang risau itu hanya menengadah. Dalam keremangan cahaya bulan tua, tampak puluhan kelelawar masih beterbangan mengitari rumpun benguk. Kirap sayap mereka mengibas udara yang dingin dan sepi. Tapi Kang Martasatang mengutuk sengit ketika tangannya kejatuhan sesuatu yang basah dan sengak. Kencing kelelawar. Sambil mengumpat seorang diri Kang Martasatang menjauh, dan jongkok lagi. Terdengar suara tokek dari lubang pohon nangka di dekatnya. Kemudian lengang lagi.

Seekor jengger harus dijadikan tumbal. Kang Martasatang mengartikan jengger sama dengan perjaka atau lelaki muda. Sawin? Apakah Sawin sebenarnya telah mati karena dijadikan tumbal proyek jembatan?

Sampai sejauh ini Kang Martasatang masih maju-mundur antara percaya dan tidak. Tapi, tadi sore Wircumplung datang lagi. Dia cerita, pada malam Selasa kemarin, tiga hari sesudah Sawin hilang, di proyek ada kegiatan yang katanya, luar biasa. Pengecoran tiang jembatan yang kedua. Dimulai sejak sore hingga pagi. Banyak priyayi datang, suatu hal yang tidak biasa. Semua mesin dihidupkan, juga mesin las yang tidak ada sangkutannya dengan pelaksanaan pengecoran. Bunyi yang gemuruh dan ingar-bingar berlangsung sepanjang malam.

" Apa tidak mungkin sebenarnya saat itu sedang berlangsung penyerahan tumbal? Bisa saja, agar tidak diketahui orang, si tumbal dimasukkan ke rancang besi tiang lalu dicor?" kata Wircumplung.

" Anakku meringkuk di dalam adonan cor yang kini jadi tiang beton jembatan?" Inilah pertanyaan yang menghantui dan mengejar Kang Martasatang sejak sore hingga dini hari ini. Gambaran jasad yang terbungkus beton sangat tebal dan akan abadi di sana terus membayang dalam rongga matanya. Dan semakin dituruti, gambaran itu makin nyata membayang. Kang Martasatang merasa kepalanya panas dan rasa itu terus merambat ke seluruh tubuh.

Jago kluruk rame kapiarsi Lawa kalong luru padhelikan Jrih kawanen ing semune Wetan bang sulakipun

Mertandhani yen wus bangun enjing Rembulan urus gumlewang sakuloning gunung Ing padesan wiwit obah

Lanang-wadon pan samya anyambut kardi Netepi kuwajiban

Kokok ayam terdengar makin ramai. Kelelawar dan kalong mencari tempat bersembunyi. Seakan takut kesiangan. Langit di timur merah rona, menandakan pagi kan menjelang. Bulan sudah tergelincir ke barat gunung. Pedesaan mulai hidup. Lelaki-perempuan siap berangkat kerja, untuk memenuhi kewajiban.

Dan azan Subuh sayup terdengar jauh dari seberang Sungai Cibawor. Bulan yang pasti hampir menyentuh cakrawala langit barat. Kejora memucat dan gemintang mulai tampak samar karena datangnya cahaya matahari. Dengung lebah di sekitar pohon kopi yang sedang berbunga. Cecet burung sikatan yang selalu bangun menjelang fajar. Burung ini siap menyambar lalat pertama yang terbang dari atau menuju tempat kotor di tebing sungai. Orangorang yang tinggal di sepanjang tepi sungai itu tak biasa membuat kakus.

Deru kendaraan mulai terdengar dari arah jalan raya yang membujur di balik bukit. Induk ayam mulai keluar dan membimbing anak-anaknya mengais serangga di bawah sampah. Remang rumah-rumah, remang pepohonan, dan remang tanah. Kabut tipis mulai tampak menyaput dan melayang di atas permukaan Sungai Cibawor.

Kang Martasatang terbatuk. Udara dingin sudah terlalu lama mengusik paru-parunya yang sudah tua. Batuk dan batuk lagi. Maka lelaki yang tetap gelisah itu harus mengalah. Masuk ke rumah melalui pintu belakang, melewati istri yang ternyata sudah bangun dan sedang menyalakan kayu api. Kang Martasatang langsung menuju beranda dan duduk terpencil di risban kayu. Kulitnya segera merasakan kehangatan udara di dalam. Kang Martasatang tersandar. Lama-kelamaan matanya hanya setengah terbuka. Bersamaan dengan tarikan napasnya yang kian melambat, matanya pun mulai terpejam. Lelaki tua itu tertidur sambil duduk. Kantuk tak dapat dicegah, karena Kang Martasatang terjaga hampir sepanjang malam.

Demi Sang Kala yang sedang memberi kesempatan, Kang Martasatang lelap sambil duduk. Adalah jiwa Kang Martasatang yang saat ini sedang melayang kembali ke masa lalu. Dulu, bila rakit penyeberangan harus ditambat karena air Sungai Cibawor sangat surut, Kang Martasatang pindah pekerjaan menjadi penangkap ikan. Bukan dengan kail atau jala, melainkan dengan tangan kosong. Bersama beberapa teman, dulu, Kang Martasatang terkenal jago rogoh, atau gogoh, yakni menangkap ikan tanpa alat.

Mereka menyelam di lubuk-lubuk Sungai Cibawor, memburu ikan sampai ke ceruk atau celah batu yang paling dalam seperti cerpelai mengejar mangsa. Konon rogoh ikan tidak bisa dilakukan pada sembarang hari. Dan ada mantranya. Dalam tidurnya itu pun mulut Kang Martasatang komat-kamit karena dia sedang merapal mantra ngumbuknguyum. Dengan mantra itu ikan-ikan berkumpul dan menjadi jinak. Maka sering terlihat para pe-rogoh muncul ke permukaan dengan kedua tangan menggenggam dan mulut menggigit ikan. Bahkan sering kedua ketiak mereka pun menjepit dua tangkapan.

Mata Kang Martasatang masih terpejam ketika dia mulai bergerak gelisah. Tangan mengepal karena dia merasa sedang menggenggam ikan. Menegakkan punggung, meng- angkat wajah, dan menyemburkan udara seperti orang yang baru muncul setelah sekian lama menyelam. Membuka mata, melihat kanan-kiri, dan sadar tak ada ikan atau apa pun dalam genggaman tangannya. Hampa. " Gusti Pangeran, aku mimpi," gumamnya.

" He-he, Kang Marta, pagi-pagi sudah mimpi? Tidur sambil duduk bisa bermimpi?"

Kang Martasatang terkejut mendengar pertanyaan itu. Dia menggosok matanya, dan samar-samar muncul sosok Wircumplung yang sudah duduk di hadapannya. Tak ada jawaban. Tapi tangan Kang Martasatang menjulur untuk mengangkat gelas minuman yang agaknya sudah disajikan istrinya sebelum dia bangun. Juga ada kukus ubi keladi.

" Tadi malam aku kurang tidur, mikir Sawin." " Ya, Kang. Saya datang kemari juga karena ingin tahu sampeyan mau apa. Ini hari kelima, Kang."

Kang Martasatang hanya menunduk. " Selasa kemarin pasarannya apa, Kang?" " Kalau tak salah, Kliwon?"

" Itulah. Jadi Selasa kemarin adalah Kliwon. Selasa Kliwon. Pada malam itulah berlangsung kesibukan yang luar biasa di proyek dari sore hingga pagi hari. Kang, bagaimana bila Sawin benar-benar dijadikan tumbal pembangunan jembatan? Apa sampeyan mau diam saja?"

Sambil menunggu tanggapan, Wircumplung meraih ubi keladi dan mengantarkannya ke mulut. Kang Martasatang masih diam. Tapi wajah tuanya terlihat berubah. Terlihat ada kepedihan atau kemarahan yang tertahan. Sepasang mata tua itu seperti memendam bara.

" Wir, menurut kamu, aku harus bagaimana?" " Ya, jangan hanya diam. Berbuatlah sesuatu. Sampeyan harus tidak rela Sawin dijadikan tumbal. Dia anak sampeyan."

" Iya, tapi jelasnya aku harus bagaimana?"

" Kang Marta, sampeyan harus berani bertanya langsung kepada orang proyek di mana Sawin sekarang berada. Kalau mereka bilang tidak tahu, suruh mereka bongkar tiang beton jembatan yang dicor Selasa kemarin. Kalau mayat Sawin ada di sana, nah! Mereka sudah terbukti mengambil Sawin untuk dijadikan tumbal pembangunan jembatan. Mereka harus bertanggung jawab mengembalikan Sawin dalam keadaan hidup. Atau, karena mereka berutang nyawa..."

" Tunggu, Wir," potong istri Martasatang. " Jangan terburu menuntut orang proyek untuk masalah yang belum jelas. Begini. Aku dengar Sawin menyukai siapa itu, pelayan warung di proyek. Anu, namanya Sonah. Malah Sawin pernah malam-malam membawa Sonah kemari. Jadi, jangan-jangan Sawin pergi bersama Sonah."

Wircumplung menunduk, semangatnya surut. " Bagaimana, Kang?"

" Rasanya istriku benar juga. Jadi, sekarang aku mau pergi ke warung itu. Warung Mak Sumeh. Kamu ikut, Wir?"

Wircumplung hanya mengangguk. Keduanya bangkit. Istri Martasatang meminta suaminya mencuci muka dulu sebelum berangkat. Tapi Kang Martasatang tak peduli. Terdengar bunyi berderak ketika lelaki tua itu membuka pintu. Wircumplung membuntut, dan sampai di halaman keduanya segera tersiram cahaya matahari yang mulai naik. Kang Martasatang dan Wircumplung berjalan beriringan melalui pekarangan dan tanah kosong yang kering sepanjang bantaran Sungai Cibawor. Kerepyak dedaunan kering yang terinjak. Bau debu. Dan desing langau pitek yang kering menusuk telinga. Celeret gombel atau cecak terbang melayang dari batang pohon ke batang pohon lainnya.

Mereka menapaki jalan pintas agar bisa secepatnya mencapai lokasi proyek. Dan tubuh dua lelaki itu menjadi layar permainan bayang-bayang pepohonan. Seekor puyuh tibatiba mengepak dan melesat karena terkejut oleh bunyi langkah Kang Martasatang dan Wircumplung. Burung itu terbang rendah, menimbulkan suara riuh, melintasi sungai, dan hilang dalam rumpun ilalang kering.

Kang Martasatang sering muncul di proyek, sehingga kedatangannya tidak menarik perhatian. Bersama Wircumplung mereka langsung menuju warung Mak Sumeh. Mendapat tamu bukan langganan, Mak Sumeh merasa ada perbedaan. Dan Mak Sumeh belum sempat berkata apa pun, karena Kang Martasatang menduluinya.

" Mak, aku mau bertemu Sonah. Anaknya ada?" suara Kang Martasatang terasa kering.

" Oh, Sonah? Ya, ada. Dia sedang mencuci apa di belakang. Ada apa, Kang Marta? Eh, kalau tak salah Kang Marta ayahnya Sawin, kan? Bagaimana? Dia sudah pulang?"

" Aku mau tanya... Nah, ini Sonah. Nak, kamu tahu Sawin sekarang di mana?"

Sonah, yang sudah mendengar cerita Sawin hilang, terkesiap. Ah, Sawin memang suka cengar-cengir kepadanya. Malah ingin memacarinya. Dan apa pula ini? Ayah Sawin bertanya di mana Sawin?

" Sonah baru kembali ke sini Rabu kemarin," Mak Sumeh menengahi suasana yang bisu. " Dia baru pulang dari kampungnya, di Jatibarang, Brebes. Berangkatnya Jumat yang lalu. Betul, tidak, Sonah?"

" Betul, Mak. Jadi saya tidak tahu di mana Sawin sekarang berada."

" Kamu bicara yang sebenarnya, bukan?" tanya Wircumplung.

" Iya. Saya tidak bohong. Buat apa saya bicara tidak benar?"

Kang Martasatang dan Wircumplung sama-sama menatap Sonah. Dan keduanya melihat kejujuran dari wajah pelayan warung itu.

" Tapi benar Sawin suka sama kamu? Iya, kan?" Pertanyaan ini membuat pipi Sonah mendadak jadi merah. Jemarinya meremas kain lap. Kesan takut, atau malu, terpancar dari wajahnya.

" Ya, mungkin saja," kata Mak Sumeh. " Apa kalian tidak pernah muda? He-he-he. Walaupun begitu, jangan bawabawa Sonah dalam urusan hilangnya Sawin."

Wajah Kang Martasatang terlihat buntu. Wircumplung membisikkan sesuatu, lalu keduanya minta diri. Sesudah agak jauh dari warung, mereka berhenti.

" Kang Marta, mumpung di sini, apa tidak sebaiknya kita bertemu orang yang memimpin proyek ini?" " Pak Kabul?"

" Tapi aku harus bilang apa?"

" Kang Marta ini bagaimana? Di rumah tadi aku sudah ngomong sampeyan harus bertanya benarkah Sawin telah dijadikan tumbal. Bila mereka bilang tidak, sampeyan harus minta mereka membongkar tiang beton yang dicor Selasa kemarin. Ingat?"

Meski tampak ragu, Kang Martasatang mengangguk. " Nah, ayo. Tak usah takut atau pakewuh. Ini soal anak. Dan anak adalah awak, darah daging sampeyan sendiri."

Akhirnya Kang Martasatang bergerak. Bujukan Wircumplung menyemangati langkahnya. Bahkan bayangan jasad anaknya yang meringkuk di dalam adukan beton membatu kembali memenuhi rongga matanya.

" Kula nuwun!" ujar Kang Martasatang di depan pintu kantor proyek. Suaranya bergetar seakan menahan daya ledak. Wati membuka pintu dan segera bersitatap dengan dua wajah dingin dan mata tajam.

" Kami berdua ingin bertemu Pak Kabul. Ada?" Mendengar ada orang ingin bertemu, Kabul bangkit dan mendekat ke pintu.

" Oh, Kang Martasatang? Bagaimana anakmu?" Mungkin Kabul bermaksud bertanya lebih banyak. Tapi niat itu dibatalkan karena dia melihat wajah dua tamunya mengeras.

" Mari masuk...."

" Cukup di sini. Kami tak perlu masuk," jawab Kang Martasatang dengan wajah dan bahasa yang kaku. " Pak Kabul, saya ingin sampeyan menjawab pertanyaan saya. Sebenarnya, ada kegiatan apa di proyek ini pada malam Selasa kemarin?"

Terpana sejenak, Kabul lalu mengingat-ingat jadwal ke-giatan proyek dua hari lalu. Setelah gamblang, Kabul memandang lurus ke arah Kang Martasatang.

" Ya, malam Selasa lalu ada pengecoran tiang jembatan kedua. Memang ada apa, Kang Marta?"

" Tapi tidak seperti biasa. Terasa aneh," Wircumplung ikut bicara.

" Apa yang aneh, Kang?"

" Ngecor tiang jembatan sepanjang malam? Dan mengapa banyak priyayi datang? Mengapa semua mesin dihidupkan? Saya kira hal ini ada hubungannya dengan hilangnya anak saya. Sawin." Wajah Kang Martasatang mulai merah.

" Nanti dulu. Kang Marta sedang bicara soal apa?" " Pak Kabul jangan pura-pura bingung!" kata-kata Kang Marta terdengar makin mengeras. " Anak saya, Sawin, hilang karena telah dijadikan tumbal proyek ini dan jasadnya ikut dicor jadi bagian tiang jembatan. Sekarang jawab: Iya apa tidak?"

Antara geli dan marah, antara terkejut dan bingung, Kabul merapatkan bibir. Ketika bibir Kabul terbuka, keluar jawaban tegas.

" Tidak! Tuduhan Kang Marta tak masuk akal. Kalau ada benda lunak ikut dicor, tiang beton akan jadi lemah. Lagi pula, apa kami sudah gila?"

" Kalau bilang tidak, saya minta bukti." " Kang Marta minta bukti apa?"

" Bongkar kembali tiang jembatan yang dicor Selasa ke- marin! Bongkar!"

Kabul terpana. Dia sungguh bingung. Dan mata kedua tamunya sudah tampak berkobar. Ini serius?

" Aduh, Kang, tidak bisa. Itu mustahil."

Wati, yang melihat gelagat buruk, cepat mengambil inisiatif. Dia menerobos keluar, lari ke pos satpam. Tapi Wati tak perlu sampai ke sana, karena Pak Satpam malah sedang berjalan cepat menuju kantor proyek karena mendengar orang berbicara keras. Agak terlambat, karena Kang Martasatang dan Wircumplung sudah amukan. Karena gagal memukul Kabul dengan sepotong kayu, kaca-kaca kantor proyek yang jadi sasaran.

Kegaduhan itu mengundang para pekerja datang. Cak Mun, Kang Acep, Bejo, semua datang. Mereka membujuk Kang Martasatang dan Wircumplung menghentikan amukan. Tapi keduanya terus membabi buta. Pak Satpam mengeluarkan tembakan peringatan. Dan bunyi letusan itu malah lebih mengobarkan kemarahan keduanya.

Kang Acep merasa terpanggil. Juga Cak Mun. Kang Acep, si mandor itu, bisa menjadi pendekar Cimande. Dia menghadapi Kang Martasatang dan dalam beberapa langkah saja lelaki tua itu sudah bisa diredam. Cak Mun, si tukang las, mengeluarkan ilmu Maduranya. Komat-kamit sebentar, menatap Wircumplung yang kemudian hanya berdiri diam karena kehilangan daya amuknya. Kegaduhan berakhir setelah dua lelaki itu dibawa Pak Satpam ke balai desa.

Kabul menyusul. Dia merasa perlu menjelaskan kepada Kang Martasatang bahwa tak ada sesuatu yang aneh terjadi Selasa lalu. Pengecoran dilakukan malam hari karena tuntutan jadwal. Dan pada malam itu Pak Dalkijo membawa beberapa rekan untuk melihat-lihat proyek. Selain itu, ada beberapa mahasiswa fakultas teknik yang sedang ikut belajar praktik lapangan. Selebihnya adalah omong kosong yang dibuat oleh tukang isu, entah siapa dia.

Atau, kemarahan dan kecemasan Kang Martasatang benar-benar berakhir karena sehari kemudian Sawin, si anak hilang itu, muncul kembali di rumahnya. Enam hari Sawin menghilang menjadi cerita yang sungguh menghibur. Dan konyol. Ternyata, Sawin memang suka sama Sonah. Ketika mendengar hari Jumat Sonah pulang ke kampungnya di Jatibarang, Sabtu esoknya setelah gajian Sawin menyusul. Modalnya adalah cerita Sonah sendiri bahwa rumahnya tidak jauh dari pasar Jatibarang. Konyolnya, Sawin pergi ke Jatibarang, Cirebon. Padahal kampung Sonah ada di Jatibarang lain di wilayah Brebes.

" Aku tiga hari telasar-telusur di sana. Tapi, mana bisa ketemu rumah si Sonah?" cerita Sawin malu-malu kepada para tetangga. " Karena putus asa aku kembali ke terminal. Malam hari di terminal ada anak nawarin cimeng. Juga koplo. Nah, aku teler sehari-semalam di bangku terminal. Ketika bangun, dompet sudah hilang. Brengsek!" " Jadi kamu pulang naik apa?"

" Nebeng truk. Itu pun tak mudah, karena rata-rata sopir mengira aku maling atau rampok."

Cerita " Sawin Mencari Cinta" menjadi hiburan segar untuk para pekerja proyek. Entahlah, tak ada orang yang marah kepada Sawin, dan dia diterima kembali menjadi kuli proyek. Kabul juga minta kepada Basar, kades, agar amukan Kang Martasatang dan Wircumplung tidak diproses menjadi perkara hukum. Maka kegiatan proyek kembali normal. Sonah dan Sawin jadi benar-benar pacaran. Maka Kang Martasatang tak perlu lagi membayangkan jasad anaknya terkubur dalam tiang beton. Yang dia harus pikirkan kemudian adalah persiapan melamar Sonah untuk anaknya. Dan, itu pun persoalan besar, karena Kang Martasatang tak punya penghasilan apa-apa setelah rakitnya ditambat, mungkin untuk selama-lamanya.

Pak Tarya terlambat mendengar ada orang mengamuk di proyek. Dia menyesal tidak bisa memberikan simpati kepada Kabul pada kesempatan awal. Untuk menutup penyesalan itu, selepas magrib Pak Tarya cepat-cepat meninggalkan rumah menuju tempat Kabul. Malam ini Pak Tarya tampil agak rapi; pakai baju lengan panjang, berkopiah, tapi tetap bersandal jepit. Dan ada yang baru pada lakilaki penggemar mancing itu: kacamata. Kabul yang sedang nonton TV tergesa-gesa bangkit untuk membukakan pintu dan langsung terkesan oleh barang baru yang menghias wajah Pak Tarya. Karena merasa mendapat perhatian khusus, Pak Tarya tertawa.

" Kacamata saya?"

" Ya. Pak Tarya tampak lebih mantap," tanggap Kabul. " Mari, duduk."

" Ini kacamata riben, apa Ray band?" " Ya, riben lah."

" Pokoknya itu. Mata saya sedang belekan, tak tahan terhadap sinar lampu yang terang. Bila sedang sehat mata saya tak perlu kacamata. Bahkan sehari-hari saya masih bisa baca koran dengan mata telanjang. Mas Kabul tahu mengapa mata saya tetap awas meskipun usia saya di atas enam puluh? Jawabnya, mancing!"

" Mancing? Apa hubungannya dengan kesehatan mata?"

" Nah, urusan ini hanya tukang mancing yang tahu. Begini, Mas Kabul. Mata tukang mancing biasanya terfokus lama pada jarak yang tetap, yaitu jarak pelampung atau kumbul pancing di permukaan air. Ini mungkin membuat lensa mata tukang mancing tetap baik. Maka, bila ingin mata sehat, jadilah tukang mancing. He-he-he...." " Ah, itu teori ngawur."

" Mungkin. Tapi teman saya kini melepas kacamata minusnya setelah rajin memancing."

" Itu hal biasa, Pak Tarya. Tak usah jadi tukang mancing pun adakalanya orang bermata minus bisa sembuh sendiri."

" Ya, sudah. Toh niat saya datang kemari bukan mau ngomong soal kacamata. Mas Kabul, saya sudah dengar peristiwa yang terjadi di sini dua hari yang lalu. Menyedihkan. Konyol. Tapi kalau mau, kita bisa mendapat pelajaran."

" Ya, Pak Tarya. Dan saya nyaris celaka. Tapi sudahlah. Semua sudah lewat dan saya sudah memaafkan Kang Martasatang."

" Bagus. Sampeyan benar. Memaafkan mereka. Kemudian, marilah kita ambil pelajaran. Peristiwa ini memang kecil, tapi saya kira mengandung makna yang pantas kita renungkan."

" Maksud Pak Tarya?"

" Yah, kita telah disadarkan bahwa ternyata kadar animisme di tengah masyarakat kita masih lumayan tinggi. Dengarkan, Mas Kabul, orang sini percaya misalnya, mayat yang hanyut di sungai bisa mencegah kelongsoran tebing."

" Bagaimana?"

" Begini. Bila ada mayat hanyut dan terhenti di tepian sungai, di tempat itu tidak akan terjadi longsor. Maka pemilik tepian sungai yang rawan longsor dengan senang hati akan menanam di tanahnya mayat yang kebetulan hanyut. Malah pada tahun 1984, ketika ada pembasmian preman dan copet, ada orang pesan mayat untuk dikubur di tanahnya yang miring dan rawan longsor."

" Hubungannya dengan peristiwa di sini kemarin?" " Orang di sini percaya bahwa jasad manusia punya mata dan kekuatan yang besar. Maka mereka percaya setiap jembatan atau bangunan besar lain, seperti waduk atau bendungan, harus diberi tumbal berupa mayat manusia. Dan tumbal itu konon bisa macam-macam. Kalau disebut jengger atau ayam jantan muda, maksudnya adalah perjaka. Kalau disebut babon atau ayam betina, maksudnya adalah perempuan dewasa. Dan kalau disebut pitik, maksudnya adalah anak-anak."

Kabul mengangguk-angguk. Oh, pantas, Kang Martasatang menuntut tiang beton jembatan yang baru dicor dibongkar, sebab dia percaya mayat Sawin ada di dalamnya.

" Selain soal takhayul tadi, ada fakta lain yang muncul dari peristiwa kemarin," sambung Pak Tarya. " Dan ini sebaiknya kita catat. Ternyata, wong cilik seperti Kang Martasatang bisa mengamuk ketika tekanan yang dideritanya tak tertahankan lagi. Derita pertama diterima ketika rakitnya harus ditambatkan, karena orang tidak memerlukannya lagi. Padahal rakit adalah satu-satunya sumber penghasilannya."

Pak Tarya berhenti untuk melepas kacamata, kemudian melap matanya yang perih.

" Saya tanya sampeyan, Mas Kabul; siapa yang peduli terhadap Kang Martasatang yang kehilangan satu-satunya mata pencaharian? Lurah? Golongan? Anggota dewan? Atau sampeyan sendiri yang sedang memimpin pembangunan jembatan dan akan menggusur sumber penghasilan Kang Martasatang? Semuanya tidak, bukan?" Kabul terpana. Dan Pak Tarya tersenyum. Ironis. " Kang Martasatang kemudian menanggung derita kedua yang sangat berat karena keyakinannnya, Sawin telah mati jadi tumbal proyek ini. Padahal Sawin anak bungsu kesayangannya. Maka dia mengamuk karena jiwanya tak mampu lagi menahan tekanan penderitaan."

" Ya, saya maklum."

" Memang harus dimaklumi. Masalahnya, di sini Kang Martasatang memang hanya satu. Tapi martasatangmartasatang lain jumlahnya puluhan ribu, atau bahkan puluhan juta. Mereka ada di mana-mana. Mereka jadi terkorbankan demi pembangunan ini-itu. Seperti Kang Martasatang saat ini, mereka kehilangan masa depan. Lalu apa yang akan terjadi bila mereka seperti Kang Martasatang; habis kesabaran lalu mengamuk?"

Melihat Kabul lama termenung, Pak Tarya tertawa. Tapi dalam nuansa yang pahit.

Kabul masih merenung. Dia membayangkan keluarga Kang Martasatang; saat ini mereka bisa menanak nasi karena Sawin anak mereka, masih menjadi kuli di proyek. Tapi bagaimana kelak bila jembatan sudah jadi? Jembatan itu memang harus dibangun karena sudah menjadi kebutuhan umum. Tapi mengapa harus mengorbankan kehidupan keluarga Kang Martasatang? Lalu disebut jer basuki mawa beya, bukankah Kang Martasatang harus ikut menikmati basuki-nya dan tidak malah menjadikan dia korban sebagai beya?

" Saya jadi malu kepada keluarga Martasatang," desah Kabul.

Pak Tarya tertawa lagi.

" He-he, baguslah. Artinya, dalam diri sampeyan masih tersisa sikap perwira."

" Perwira? Saya tidak pernah ingin jadi perwira." " Perwira militer? Oh, bukan itu yang saya maksud. Saya bisa mengerti bila Mas Kabul tidak ingin jadi perwira militer, karena saat ini banyak perwira yang ora merwirani lagi.

Yang saya maksud dengan perwira adalah parawira. Yaitu orang-orang yang tidak merasa kehilangan apa pun ketika bersikap hormat dan peduli kepada orang lain; orangorang yang tidak merasa rendah ketika meninggikan harkat dan martabat orang lain. Mereka adalah orang-orang yang malu ketika merasa dirinya lebih penting daripada orang lain siapa pun orang lain itu. Nah, saya senang andaikata sampeyan tidak merasa lebih penting daripada Kang Martasatang, meskipun sampeyan insinyur dan dia cuma mantan tukang rakit penyeberangan. He-he-he...."

Kabul menggaruk kepala, mencoba ikut tertawa, namun suaranya terdengar getir. Dan karena tidak tahu harus berkata atau berbuat apa, Kabul minta izin keluar. Berlari kecil menuju warung Mak Sumeh dan minta Sri atau Sonah mengantar kopi dan makanan kecil. Di luar sepi, karena jam lembur belum dimulai. Pekerja yang akan lembur masih bergerombol di seputar warung Mak Sumeh dan warung-warung lain. Sawin, yang kini mendapat sebutan baru si Tumbal, sedang dirubung teman-teman. Kisah konyolnya tak bosan diceritakan ulang.

" Mas Kabul, saya menyesal telah bicara muluk-muluk," kata Pak Tarya setelah Kabul kembali. " Seharusnya saya datang kemari untuk sebatas menyampaikan simpati atas peristiwa yang sampeyan alami kemarin dulu. Sesudah itu kita omong-omong soal mancing. Nah, bagaimana besok; ada waktu?"

" Wah, sayang, Pak Tarya. Sampai proyek ini selesai, jangan-jangan saya tak punya waktu lowong, kecuali malam hari bila pas tidak ada lembur. Proyek ini memang sedang dikebut. Demi pemilu, kan?"

" Ya, demi Golongan Lestari Menang, he-he-he...." " Kok Pak Tarya ikut seloroh? Orang pensiunan harus setia dan mendukung GLM, kan?"

" He-he-he... diharuskan secara terus terang sih tidak. Tapi, diamang-amang, iya. GLM memang hebat. Kami para pensiunan tak bisa menolak apa pun yang mereka kehendaki. Kekuasaannya merambah ke mana-mana. Bahkan, urusan tempat tidur pun dicampurinya."

" Ah, yang bener...."

" Betul. Dengarkan kampanye mereka nanti. Kata mereka, kader GLM harus berhasil setidaknya meng-GLM-kan teman sebatur, teman sesumur, serta teman sekasur. Nah, apa ini bukan mencampuri urusan tempat tidur? Tapi sudahlah, saya mah nrimo saja. Kan GLM sedang didhapuk menjadi pemegang kuasa. Cuma kadang saya ingin bilang, kekua- saan tidak langgeng. Semua punya titik akhir. Dan satu hal lagi. Kita mengenal pepatah, trima sing nglakoni, ora trima sing ngemongi."

" Artinya?"

" Jangan anggap enteng orang-orang tertindas tapi hanya bisa diam. Sebab yang ngemong, Gusti Allah, ada di belakang mereka...."

Pak Tarya kelihatan masih ingin meneruskan omongannya. Namun bunyi dua sepeda motor, satu di antaranya Vespa, terdengar berhenti di halaman. Kabul sudah bisa menduga siapa yang datang. Dan benar. Kades Basar dan seorang lagi sedang memarkir kendaraan masing-masing. Sesaat kemudian keduanya berjalan beriringan. Kabul menyambut mereka di depan pintu.

Sonah datang dengan nampan berisi dua gelas kopi. Kabul minta tambah dua gelas lagi untuk dua tamu yang baru datang.

" Silakan masuk. Wah, saya sedang punya tamu, tokoh kita."

" Tokoh dunia pemancingan," tanggap Pak Tarya sambil tertawa.

" Wah, pasti gayeng, ya?" ujar Basar sambil tersenyum. " Tapi maaf, rasanya kedatangan kami mengganggu kalian. Begini. Saya mengantar Pak Baldun yang ingin bertemu Kabul, eh maaf, pelaksana proyek ini. Pak Baldun adalah ketua panitia renovasi masjid di kampung ini. Nah, silakan Pak Baldun, bicaralah sendiri."

Hening sejenak, sampai terdengar Baldun terbatuk. Lela- ki lima puluh tahunan ini berjaket GLM, berkopiah. Sisa rambut yang tak tertutup mengilat oleh minyak. Sebelum berbicara, dia mengeluarkan kertas-kertas dari map yang sewarna dengan jaketnya. Dan dari kata pengantar Basar tadi, Kabul sudah bisa meraba apa yang akan disampaikan Baldun.

Dan tak salah lagi. Sebagai ketua panitia renovasi masjid, Baldun mengajukan surat permohonan bantuan kepada pelaksana proyek. Bantuan yang diminta diharapkan berupa uang serta material bangunan, terutama besi beton dan semen. Kabul membaca surat permohonan bantuan yang disodorkan Baldun. Lampirannya lengkap. Dalam susunan kepanitiaan, Kades Basar jadi salah seorang pelindung. Gambar bangunannya juga lengkap dan baik. Ternyata rencana itu bukan sekadar renovasi, melainkan pembangunan kembali sebuah masjid dan ukurannya diperbesar. Rekomendasi-rekomendasi. Sudah ada disposisi dan pembuatnya manajer proyek, Ir. Dalkijo. Kepala Kabul mulai terasa pening.

" Begitulah, Pak Kabul," kata Baldun penuh percaya diri. " Karena bantuan yang kami minta ditujukan untuk merenovasi masjid, kami percaya Pak Kabul akan mengabulkannya. Ah, kebetulan Anda, Insinyur Kabul. Maka bolehlah saya punya keyakinan permohonan kami akan terkabul."

Baldun tertawa ringan, mungkin untuk mencairkan suasana yang terasa resmi. Tapi wajah Kabul tetap liat. Basar gelisah. Dan Pak Tarya duduk tenang.

Sambil menyandar ke belakang, Kabul memijit-mijit kening lalu mengosongkan paru dalam desahan yang panjang. Dia menatap Basar, dan dengan sinar matanya Kabul menyampaikan kekecewaan kepada teman lama sesama mantan aktivis kampus itu.

" Pak Baldun, saya sudah membaca surat permohonan ini," ujar Kabul. " Juga terima kasih atas peluang yang Ba- pak berikan kepada kami untuk ikut membangun masjid. Sekarang kita lihat apakah kami bisa mengabulkan permohonan Anda."

Baldun mengangkat wajah, lalu menoleh kepada Basar yang duduk di sebelah. Pak Tarya masih tenang.

" Maksud Pak Kabul?"

" Begini, Pak Baldun. Karena kami ingin menyelesaikan pembangunan dengan hasil yang sebaik-baiknya, kami hanya bisa membantu Anda apabila proyek ini sudah selesai. Itu pun bila nanti ternyata ada material yang tersisa. Sekarang ini sisa material, yang biasanya berupa batu, batu split, potongan besi, serta sedikit semen, belum bisa dihitung."

Baldun kembali mengangkat wajah. Lelaki berjaket itu seperti meminta Kabul mengulangi kata-katanya. Tapi bibir Kabul malah merapat.

" Bisa membantu apabila proyek ini sudah selesai? Dan itu pun hanya material sisa? Bagaimana ini, Pak Kades?"

Basar terbatuk. Dia sudah tahu betul watak temannya yang sekarang jadi pelaksana proyek ini. Basar merasa ser- basalah.

" Begini, Bul, eh maksud saya Insinyur Kabul. Panitia menjadwalkan renovasi masjid selesai bersamaan dengan selesainya pembangunan jembatan ini. Kita sudah tahu peresmian jembatan secara terselubung akan menjadi ajang kampanye GLM. Ketua Umum akan datang dari Jakarta dan akan Salat Jumat di masjid yang akan kita renovasi. Jadi..."

" Ya, sekarang saya sudah tahu."

" Nah, dengan demikian bantuan yang kami harapkan bisa diterima secepatnya. Dan bukan material sisa. Karena kami juga dikejar waktu."

" Sar, eh, Saudara Kades, situ sudah dengar kami ingin jembatan ini selesai dengan mutu baik. Artinya bahan-bahan bangunan tidak bisa dikurangi untuk tujuan lain...."

" Untuk sebuah masjid sekalipun? Begitu?" sodok Baldun.

" Ya!" jawab Kabul lugas. " Masjid adalah bangunan suci dan sebagai orang Islam saya merasa wajib menyumbangnya..."

" Tapi nanti dulu. Karena kesuciannya, pembangunan sebuah masjid harus tertib dan pakai tata krama. Semua material di sini kan, dibeli untuk membangun jembatan, bukan lainnya. Jadi kalau ingin tertib, semua material di sini tidak boleh dipakai untuk tujuan lain, kecuali sisanya."
Orang Orang Proyek Karya Ahmad Tohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kabul berhenti dan kembali melirik Basar. " Kenapa anak ini ikut-ikutan merongrong proyek?" tanya Kabul dalam hati.

" Kedua," sambung Kabul, " anggaran proyek ini sudah digerogoti di sana-sini hingga mengakibatkan kebocoran anggaran yang mencapai tiga puluh persen. Dan asal Anda berdua tahu, kami adalah kontraktor batangan karena pemenang tender sebenarnya adalah kontraktor lain milik anak menteri. Dan gubernur. Mereka menjual pekerjaan ini dengan keuntungan di atas dua puluh persen. Dan sekarang panitia pembangunan masjid mau ikut-ikutan membebani proyek ini. Terus terang saya khawatir hal ini menodai kesucian agama kita."

Baldun kelihatan terkejut. Wajahnya mengeras. Matanya membulat penuh. Tapi Basar biasa saja dan hal ini tercatat oleh Kabul. Ya, setidaknya si Kades ini tak kaget oleh omonganku. Pak Tarya malah kelihatan menyelonjorkan kaki, santai.

" Pak Kabul," kata Baldun dengan suara dalam. " Kami datang kemari dengan rekomendasi dari Ketua GLM Provinsi dan dari Ketua DPRD Kabupaten. Malah Manajer Proyek, Bapak Insinyur Dalkijo, telah membubuhkan disposisi dalam surat permohonan yang kami ajukan. Apakah semua itu belum cukup?"

Untuk menciptakan jeda Kabul menyilakan ketiga tamu- nya minum kopi yang sudah lama terhidang. Basar dan Pak Tarya menurut, tapi Baldun pura-pura sibuk dengan kancing jaket GLM-nya. Sementara dari luar terdengar kegiatan para tukang yang mulai kerja lembur. Mesin molen menderu. Generator menaikkan dayanya. Bejo memanggilmanggil Sawin yang masih berada di warung Mak Sumeh, enggan meninggalkan Sonah.

Jeda yang dibuat Kabul bisa mengendapkan suasana. Pak Tarya malah sempat memuji sedapnya kopi panas ketika dihirup pada malam musim kemarau yang dingin. Lalu Kabul merasa saat meneruskan bicara telah tiba.

" Pak Baldun, mohon dipahami, pada dasarnya kami menerima permintaan bantuan yang Anda ajukan. Insya Allah nanti akan tersisa material yang bisa dipergunakan untuk membantu pembangunan masjid. Artinya, kami tidak mengabaikan rekomendasi dan disposisi yang ada dalam surat permohonan ini. Kami hanya minta panitia mau menunggu sampai proyek ini selesai, karena bantuan tidak bisa kami berikan sekarang."

Kabul berhenti untuk mengatur napas. Atau untuk lebih mengendalikan perasaan yang mulai naik. Kabul sedikit menggeser posisi duduknya, sehingga kini dia lurus menghadap Basar. Wajah si Teman Lama itu terlihat pakewuh.

" Saya juga mohon Pak Kades sebagai pelindung panitia memahami tanggung jawab saya. Dengan anggaran yang sudah compang-camping saya harus menjaga mutu bangunan jembatan. Ini persoalan berat dan sudah mencapai am- bang batas. Atau malah sudah melewatinya. Artinya, pembebanan lebih lanjut bisa menyebabkan baku mutu jembatan tidak bisa tercapai. Dan bila hal ini benar-benar terjadi, kita semua tahu apa akibatnya."

Ada rasa lega dalam dada Kabul karena dia sudah menyampaikan alasan yang melatarbelakangi sikapnya. Juga lega karena dia berhasil menahan diri untuk tidak mengemukakan sekian banyak contoh bangunan sipil yang tidak memenuhi baku mutu karena biayanya dipakai bancakan. Ribuan bangunan SD, terminal bus, dan pasar Inpres yang buruk dan berumur sangat pendek; jembatan, bendungan atau waduk yang sudah harus diperbaiki meskipun baru beberapa tahun diresmikan.

Namun Kabul gagal menahan diri untuk tidak berpikir lebih jauh; bila terhadap proyek tingkat sedang seperti yang sedang dia garap terjadi kebocoran anggaran sedemikian besar, hal yang lebih gigantik tentulah terjadi juga pada megaproyek-megaproyek yang ada di seluruh Indonesia. Juga bank-bank pemerintah, Pertamina, tambang timah, gas alam, tambang tembaga, Bulog, Perusda....

" Jadi keputusannya bagaimana?" desak Baldun yang tampak kesal.

" Jawaban saya sudah jelas, sumbangan akan kami berikan setelah proyek ini selesai."

" Bagaimana jika karena sikap Pak Kabul ini masjid belum selesai ketika Pemimpin Umum GLM tiba di sini; Anda mau bertanggung jawab?"

" Pak Baldun, tanggung jawab saya hanya menyangkut pembangunan jembatan."

" Baik. Tapi Anda akan saya laporkan ke atas. Saya akan cari data jangan-jangan Anda tidak bersih lingkungan. Sebab indikatornya mulai jelas. Masa iya dimintai bantuan untuk pembangunan masjid Anda banyak berkelit. Cukup. Selamat malam. Dan selanjutnya mungkin Anda tidak bisa mendapat proyek lagi. Atau Pak Dalkijo akan memecat Anda."

" Sebentar, Pak Baldun," cegah Basar. " Saya ambil alih pembicaraan ini."

" Silakan. Tapi saya merasa tak ada gunanya lebih lama berada di sini."

" Kalau begitu, silakan pulang dulu. Pembicaraan akan saya lanjutkan sendiri."

Baldun keluar dengan wajah kaku seperti jaket yang dipakainya. Melewati pintu yang kemudian dibiarkan terbuka. Tak lama kemudian motornya menderu meninggalkan lokasi proyek yang tetap hidup karena banyak tukang bekerja lembur. Wajah Kabul membeku. Perasaannya tersinggung oleh kata-kata Baldun yang meragukan dirinya bersih lingkungan; labelisasi politis yang telah membuat ribuan orang tak berdosa sengsara.

Sebenarnya Kabul tak peduli dirinya disebut bersih atau tidak bersih lingkungan. Ketersinggungannya lebih disebabkan oleh kenyataan labelisasi bersih lingkungan adalah taktik politik murahan dan sangat menistakan martabat manusia. Celakanya labelisasi itu telah memakan ribuan korban. Ironisnya pada sisi lain labelisasi bersih lingkungan sering dimainkan menjadi alat ampuh untuk menjatuhkan orang yang tak disukai. Dan Kabul baru saja mendengarnya dari mulut Baldun.

Saya tak bersih lingkungan? Entahlah. Yang jelas saya anak petani penjual gembus dan klanting. Ayah, konon, pernah ikut berjuang pada masa Agresi II dan tertembak, sehingga tangannya cacat tetap. NU tahan banting. Ada bibi saya menikah dengan orang yang pernah menjadi anggota DI/TII. Bibi yang lain beruntung dinikahi mayor yang menjadi komandan batalion TNI. Seorang kerabat jauh yang bertransmigrasi ke Sumut konon jadi anggota organisasi tani komunis, dan lenyap dalam huru-hara pasca pemberontakan PKI tahun 1965. Jadi saya bersih lingkungan atau tidak, saya tak peduli.

Basar terbatuk untuk mencoba membuyarkan lamunan Kabul. Gagal. Tapi kekeh Pak Tarya membuat Kabul terjaga.

" Bul, tolong pahami posisiku yang sulit ini." " Aku tahu kamu kades yang karenanya wajib jadi kader GLM. Meski kamu mantan aktivis, cepat atau lambat kamu akan terpolusi oleh budaya yang telah seperempat abad dikembangkan golongan politik ini. Feodalisme baru, pe- nyeragaman, rekayasa, korupsi, munafik, dan semuanya dibungkus dalam retorika pembangunan."

" Bul, cukup. Aku masih temanmu seperti lima tahun lalu ketika kita masih sama-sama aktivis kampus. Dan asal kamu tahu, mungkin aku satu-satunya kades yang diamdiam golput. Maka dengarlah. Sekarang kita bicara tanpa Baldun. Pada prisipnya aku mengerti dan mendukung sikapmu. Kamu juga pernah bilang sebaiknya aku tetap jadi kades. Jadi, mari kita berbagi pengertian."

" Kamu mau ngomong apa? Tadi Baldun omong soal bersih lingkungan. Sekarang kamu mau mengatakan keislamanku patut diragukan?"

" Calm down, please. Aku mau bilang, coba kamu katakan ada atau tidak material yang sekarang sudah bisa dipastikan akan menjadi barang sisa."

" Ada. Sekian ribu bekas kantong semen. Mau? Juga sekian kuintal potongan-potongan besi beton. Kalau kamu mau, semua bisa jadi duit, meskipun tak seberapa." " Batu kali?"

" Batu kali, batu split, pasir, apalagi semen, tidak mungkin kuberikan sekarang meski nanti mungkin ada tersisa."

" Pak Kades," sela Pak Tarya. " Sebaiknya terimalah kantong semen dan besi-besi potongan itu. Biarlah saya yang menjualnya, hitung-hitung saya ikut membantu panitia." " Dan, Basar, kamu boleh ambil lima puluh sak semen dari toko Atay. Aku pribadi yang akan membayarnya."

Ada plong terlihat di wajah Kades Basar. Atau sebenarnya Basar baru saja mendapat semacam kejutan. Entahlah. Dia menarik napas. Lega.

" Pak Tarya," ujar Basar sambil melirik ke kiri. " Apakah Vespa tua saya laku ditukar dengan lima puluh sak se- men?"

Pak Tarya komat-kamit, menghitung. " Jelas laku, Pak Kades."

" Kalau begitu, besok tolong carikan pembeli." " Pak Kades serius?"

" Serius!"

Basar minta diri dan ternyata Pak Tarya pun menyusul berpamitan. Tinggal seorang diri, Kabul merasa hanya ada satu hal yang harus dilakukannya; keluar untuk mengontrol para pekerja. Diambilnya jaket dari cantelan paku di dinding. Udara di luar sudah begitu dingin. Jam sembilan malam. Para pekerja akan lembur sampai jam dua belas.

Tiang ketiga, terakhir, sedang dipersiapkan untuk dicor. Malam ini pekerjaan rancang besi dan pemasangan papan cor harus selesai. Puluhan tukang bekerja di bawah sorot lampu yang kuat. Ada untungnya, sinar lampu bisa membantu para pekerja terbebas dari dinginnya air dan udara kemarau. Malah mereka tampak berkeringat.

Kabul melihat mereka dari fondasi selatan setelah menyeberangi jembatan kerapyak bambu. Ah, komunitas pekerja kasar di proyek. Mungkin mereka merasa beruntung, karena sementara ada proyek mereka punya penghasilan. Bila proyek selesai mereka bubar, pergi ke sana kemari untuk mendapat pekerjaan baru. Para mandor lebih beruntung. Biasanya mereka sudah punya hubungan baik dengan pelaksana, sehingga mereka akan dihubungi bila ada proyek baru.

Dan kebanyakan mandor bisa menjadi kanibal terhadap para tukang dan kuli. Mandor sering merasa punya hak menentukan gaji bawahan. Memotong gaji tukang dan kuli menjadi hal biasa. Ironisnya, para tukang dan kuli pun menganggap hal demikian wajar karena mandorlah yang memberi mereka pekerjaan. Jadi, tukang dan kuli adalah penerima beban terberat dari kecurangan-kecurangan yang dilakukan sejak dari tingkat pusat sampai ke tingkat pelaksanaan di lokasi proyek.

Tegak sendiri di atas fondasi jembatan yang baru jadi, Kabul masih menatap para pekerja. Seharusnya mereka tidak perlu lembur kalau jadwal proyek ini tidak dikaitkaitkan dengan pemilu. Lembur hanya diperlukan pada pengecoran yang memang tidak boleh terputus. Tapi karena politik, semuanya bisa dipaksakan. Dan apakah para pekerja itu tahu diri mereka sedang menjadi objek kepentingan politik yang memaksa mereka bekerja lembur?

Bulan muda sudah menyentuh bayangan pohon-pohon kelapa jauh di barat. Tapi pemandangan itu menjadi sangat samar karena lampu-lampu proyek yang begitu kuat. Demikian kuat sehingga orang bisa mudah membedakan antara kelelawar dan burung cabak yang terbang memasuki wilayah cahaya lampu. Kabul kembali melewati jembatan kerapyak bambu. Langkahnya ditandai dengan derak kerapyak. Makin dekat ke tepi, bunyi derak terdengar ma- kin ringan. Dan hilang begitu kaki Kabul menginjak daratan, yakni bangunan fondasi sebelah utara.

Malam yang entah mengapa, terasa sangat melelahkan. Kedatangan Baldun masih menyisakan kesan yang menyebalkan. Atau Baldun tidak akan main-main dengan ancamannya; lapor kepada Ir. Dalkijo bahwa Kabul tidak kooperatif terhadap kepentingan GLM. Atau lagi, Ir. Dalkijo yang nyatanya adalah tokoh GLM akan memecat Kabul karena ternyata tidak loyal. Ya, loyalitas yang buta adalah budaya yang sangat dipentingkan dalam kultur GLM.

Namun hampir dini hari ternyata Kabul tertidur juga. Dan mimpi menyenangkan. Kembali ke masa anak-anak bersama Rasman dan kawan-kawan. Lepas ngaji Rasman mengikat sarungnya hingga menjadi kantong kain. Dengan kantong itu dia naik pohon jambu di samping surau dan merontoki buahnya. Senangnya, tak ada orang tua yang marah ketika pagi-pagi surau sungguh-sungguh berantakan.

Pagi-pagi Kabul bangun dengan kepala terasa berat. Subuhnya terlambat. Disuruhnya orang minta air panas ke warung Mak Sumeh. Setelah mandi dengan air hangat tubuhnya terasa kembali segar. Diambilnya gulungan kertas dari laci, lalu digelarnya di atas meja. Terpampang gambar jembatan yang sudah jadi. Tampak gagah dan berwatak. Andaikan ada deretan pohon besar pada ruas jalan sebelah-menyebelah dengan jembatan sebagai latar depan. Jauh di belakang sudah ada barisan perbukitan yang siap menjadi latar belakang!

Tapi entahlah, dalam hati Kabul mulai terasa ada percik keraguan. Dia mulai diganggu kekhawatiran jembatan tidak akan terwujud seperti yang dia cita-citakan. Mungkin bentuknya bisa mewakili perwujudan gambar secara sempurna, tapi mutunya? Padahal mutu adalah penentu daya tahan. Daya tahan adalah usia. Kabul jadi ingat menjelang pemilu 1977 ada peresmian jembatan oleh Wapres. Jembatan itu terletak kurang dari tiga puluh kilometer dari proyek yang sedang dia garap. Peresmiannya juga menjadi ajang kampanye besar GLM. Dan dua tahun kemudian jembatan itu sudah harus diperbaiki karena lantainya jebol.

Dalam banyak kasus rusaknya jembatan-jembatan baru, Kabul terkesan oleh suara-suara yang muncul di tengah masyarakat. Banyak orang percaya, jembatan atau bangunan sipil lainnya sengaja dibuat di bawah baku mutu, sehingga cepat rusak. Dengan demikian, cepat pula datangnya pekerjaan baru buat kontraktor. Dan bila datang pekerjaan baru buat perbaikan jembatan atau lainnya, akan tercipta peluang ngobyek bagi pejabat terkait.

Sebagai sarjana teknik Kabul sering bertanya-tanya mengapa terlalu sedikit insinyur yang bisa jadi panutan seperti Rooseno, Sudiarto, atau Sutami. Selain berdedikasi tinggi, mereka meninggalkan karya-karya monumental. Kehidupan pribadi mereka bermartabat, ora kagetan, ora gumunan, apa-lagi kemaruk. Sutami malah hidup sangat bersahaja dalam status sebagai menteri pun. Apakah karena mereka masih mengalami pendidikan zaman Belanda yang sangat menekankan idealisme serta kedisiplinan ilmu? Apa karena kepribadian mereka memang kuat? Atau lagi, apa karena mereka hidup pada masa yang relatif belum terlalu korup?

Deretan pertanyaan itu membawa Kabul sampai ke deretan pertanyaan lain di baliknya. Mengapa banyak insinyur dari generasi berikut lebih suka memilih sikap pragmatis, baik dalam karier maupun kehidupan pribadi? Kabul mencoba mereka-reka jawabnya. Mungkin karena zaman sudah berubah. Pragmatisme sudah nyata hadir, sehingga orangorang idealis tampak sebagai makhluk aneh, lucu, bahkan bloon. Pada zaman yang serba gampangan, orang-orang berhati lurus seakan terkategorikan sebagai mereka yang melu edan ora tahan, yen tan melu anglakoni boya kaduman milik.

Mungkin juga sikap pragmatis sebagian insinyur disebabkan meriahnya contoh dari atas. Keluarga presiden, menteri, jenderal, gubernur, anggota DPR, pengusaha yang kongkalikong dengan pejabat, hidup dalam pragmatisme yang sangat kental. Oportunis dan mumpung sebagai anak kandung pragmatisme yang sangat mereka akrabi. Luar biasa kaya, konsumtif, kemaruk, dan terkadang sikap sangat tega terhadap kelompok masyarakat miskin sering mereka perlihatkan tanpa tedheng aling-aling. Korupsi dalam berbagai bentuk dan manifestasinya dibiarkan merajalela. Keadaan demikian sangat mungkin mengerosi idealisme sebagian besar insinyur dan sekaligus menyebabkan mereka ingin meniru gebyar kehidupan mereka yang di atas.

Atau karena daulat rakyat sesungguhnya memang belum tegak di republik yang sudah 45 tahun berdiri ini. Yang tetap tegak dari dulu adalah daulat pejabat, seperti pada zaman kerajaan. Dalam sistem kekuasaan seperti ini, presiden merasa dirinya raja. Dan birokrasi di bawahnya, dari pusat sampai ke daerah, merasa diri mereka adalah patih, adipati, panikel, penewu, dan seterusnya. Orang-orang politik yang berkumpul di gedung parlemen tak lebih dari orang yang dibayar sebagai tukang stempel kerajaan. Tentara ti- dak lagi menjadi pembela rakyat dan tanah air tetapi pembela kekuasaan sang raja.

Maka, apakah kata " korupsi" dikenal dalam sistem kekuasaan kerajaan? Tidak. Karena bumi, air, udara, dan kekayaan yang terkandung serta manusia yang hidup di atasnya adalah milik raja dan para pembantunya. " Korupsi" hanya ada pada kamus negara republik. Tapi republik belum pernah tegak di negeri ini. Maka tak sedikit insinyur birokrat yang merasa jadi raja kecil yang menganggap proyek adalah objek kekuasaannya, bukan amanat rakyat yang akan membayar biaya pembangunannya.

Lamunan Kabul putus karena pintu depan terbuka. Sri, pelayan warung Mak Sumeh, masuk membawa kopi dan pisang goreng. Sri segera berlalu dan menutup pintu dari luar. Namun hanya dalam hitungan detik pintu kembali terbuka. Wati masuk, memberi salam dengan suara tenggorokan. Sejak masuk kembali sesudah sakit, wajah Wati seperti bunga pot yang terlambat disiram. Malah jelas sekali tubuh Wati jadi lebih kurus.

Kabul menggulung kembali gambar jembatan itu, meng- gulung kembali pikiran liar yang ngambra-ambra. Dan entahlah, suara Wati yang serak-parau tiba-tiba menyita perhatiannya.

" Kamu sudah benar-benar sembuh kan, Wat?" tanya Kabul sambil memerhatikan Wati yang sedang melap meja kerja.

" Sudah kok, Mas," jawab Wati tanpa menoleh. Wajahnya nol. " Tapi aku belum berani naik motor. Jadi aku masih diantar Bani, adikku."

" Kata dokter, kamu sakit apa?"

Wati menggigit bibir. Menunduk. Jelas sekali dia enggan menjawab pertanyaan Kabul. Merengut. Ah, selalu jantung Kabul menyentak dalam detik-detik Wati merengut. Dan detik yang mendebarkan itu cepat berlalu, karena Wati menoleh dan berusaha tersenyum.

" Dokter hanya bilang aku harus istirahat, itu saja." " Yang kamu rasakan?"

Wati kembali menunduk. Menelan ludah. Kemudian tan- pa menoleh Wati menjawab lirih.

" Hanya lemas, dan anu& sering berdebar-debar." Suasana kembali gagap. Kabul memasukkan gulungan gambar ke laci. Menoleh ke Wati yang masih menunduk sambil membuka-buka catatan. Terdengar suara Bejo dari gudang material memanggil-manggil Sawin dan beberapa nama lagi. Semen harus dipanggul dari gudang ke dekat mesin molen. Deru truk yang membawa pasir dan batu split. Dump truck memuntahkan batu kali dengan bunyi bergemuruh. Dan suara Bejo lagi. Kali ini untuk mengolok Sawin, yang agaknya berhenti di depan warung Mak Sumeh demi Sonah.

Mungkin untuk menghapus kebekuan, Kabul bercerita tentang kedatangan panitia renovasi masjid tadi malam. Wati mengangkat wajah ketika mendengar Kabul hanya memberikan kantong-kantong semen dan besi-besi potongan. Dan Wati membelalakkan mata ketika Kabul bilang dirinya sudah berada pada titik hampir tidak tahan lagi bekerja di proyek ini.

" Rasanya ketahananku sudah mendekati titik kritis." " Maksud Mas Kabul?"

" Aku mulai ragu apakah aku akan bekerja di sini sampai proyek selesai. Sebab aku tidak yakin proyek ini akan rampung dengan baik. Maksudku jembatan yang sedang kita bangun ini mungkin tidak akan memenuhi baku mutu. Dan kalau sudah bisa dipastikan demikian, aku akan mengundurkan diri sebelum pekerjaan berakhir."

" Mas tidak khawatir akan dikatakan lari meninggalkan tanggung jawab?"

" Ya, kamu benar. Kekhawatiran itu ada. Namun lebih berat bila aku harus menyerahkan kepada masyarakat jembatan yang tidak bermutu. Aku akan merasa sia-sia jadi insinyur bila jembatan yang kubuat hanya bisa dipakai satu-dua tahun, kemudian harus diperbaiki." Setelah lama termenung Wati mengangkat kepala. Tanpa menoleh ke arah Kabul, Wati bicara.

" Andaikata Mas benar-benar memutuskan berhenti, lalu?"

" Aku ingin jadi dosen, meskipun aku harus kuliah lagi. Kerja lapangan ternyata kurang cocok karena banyak urusan nonteknik yang merongrong."

" Lalu?"

Kabul bingung.

" Lalu Mas Kabul pergi dari sini. Iya, kan?" " Ya, harus. Aku tak mungkin kuliah di tempat ini." " Nah, iya, kan? Lalu?"

Kabul tak tahu harus bilang apa lagi. Tiba-tiba dia merasa berada dalam situasi yang ganjil. Terasa ada tagihan pada harkat kelelakiannya. Atau tagihan kejujuran karena jantungnya toh jadi lebih keras berdenyut pada detik-detik Wati merengut. Dan selintas Kabul melihat Wati menghapus air mata. Rasanya dia juga mengerti mengapa Wati menangis. Hening.

Siang ini Kabul makan sendirian di warung Mak Sumeh. Tadi, Wati hanya menggeleng ketika diajak keluar. Wati juga tetap menggeleng ketika Kabul bilang sakitnya bisa kambuh kalau perut dibiarkan kosong. Kabul sempat berpikir bila makan siang kali ini dilakukan di kantor proyek mungkin Wati mau. Atau, jangan-jangan itulah yang diharapkan Wati. Tapi Kabul ingat janjinya kepada Basar, tidak akan lagi makan berdua-duaan di ruang kantor.

Nasi hangat, sayur asem panas, pepes jamur, dan sambal lalap dikunyah tanpa rasa yang jelas. Kabul makan sementara pikirannya melanglang ke mana-mana. Yang paling sering ke ruang kantor yang terletak hanya beberapa puluh meter dari warung Mak Sumeh. Wati masih mengusap air mata di sana?

Pikiran Kabul masih melayang-layang sampai terdengar gemerincing gelang-gelang emas di tangan Mak Sumeh. Kali ini Kabul mencium wangi bau sirih yang kuat. Rupanya Mak Sumeh tahu diri. Dia memakai deodoran wangi sirih untuk melawan bau badannya yang asam-asam sengak.

" Tumben sendiri, Pak Insinyur? Wati?" " Ada."

" Lagi ngambek?" " Tak tahulah." " Pasti ngambek."

" Kok Mak Sumeh yakin?"

" Iyalah, wong Wati sudah ngomong banyak sama aku. Eh, Pak Insinyur tahu, ketika Wati sakit, aku juga menjenguk ke rumahnya?"

" Betul. Saat itulah Wati, secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui ibunya, menumpahkan semua isi hati kepadaku. Nah, Pak Insinyur sebaiknya mau dengar ceritaku. Mumpung saatnya baik. Mau?"

Sambil tetap mengunyah nasi Kabul mengangguk. Mak Sumeh menggeser kursi lebih dekat. Bau wangi sirih menyengat. Tapi segar juga.

Suara gemerincing mendului omongan Mak Sumeh. " Begini, Pak Insinyur, Wati sakit karena memikirkan Pak Insinyur. Tahu, kan?"

Kabul mendadak berhenti mengunyah. Sekejap menatap mata Mak Sumeh yang nyengir, sehingga gigi emasnya tampak semua. Kabul kembali menyendok nasi. Mak Sumeh bangkit sebentar untuk mengambil rokok serta korek api. Asap segera mengepul didului percik halus cengkeh terbakar.

" Jadi, Pak Insinyur, hargailah perasaan Wati. Apa sih salahnya menghargai perasaan orang?"

" Mak Sumeh kok tidak berhenti berkata seperti itu. Aku sudah bilang, pantang bagiku memacari orang yang sudah punya pacar. Bagimana aku bisa menyenangkan Wati bila harus ada orang yang sakit hati?"

" Alaaah, Pak Insinyur juga tak bosan-bosannya berkata seperti itu. Pak Insinyur, aku percaya perasaan Wati terhadap Pak Insinyur bukan hal yang dibuat-buat. Perasaan seperti itu tumbuh tanpa dikehendaki. Kata orang kan rasa benci bisa disalahkan, tapi rasa suka? Apalagi Wati masih sendiri, baru ikatan pacaran yang belum diresmikan. Ya bagaimana mau diresmikan bila si pacar dua tahun lagi baru tamat?"

Kabul menyelesaikan suap terakhir, lalu mendorong piring ke tengah meja. Minum, melap mulut dengan kertas tisu. Menggaruk-garuk kepala, kelihatan mau bicara tapi terhenti hanya pada gerakan bibir tanpa bunyi. Mak Sumeh nyengir lagi, gigi emasnya muncul lagi.

" Nah, Pak Insinyur, aku juga punya cerita terbaru. Yang ini mungkin Pak Insinyur suka mendengarnya. Wati bilang, dua hari lalu, hubungan dengan pacarnya mulai gawat."

Terdengar gesekan kaki kursi di lantai karena Kabul mengubah posisi duduknya.

" Agaknya Wati lama tidak mau membalas surat-surat pacarnya. Tentu si pacar marah. Dia mendatangi Wati dan menanyakan kepadanya apa yang sebenarnya sedang terjadi."

Mudah-mudahan Wati tidak menghubung-hubungkan dirinya denganku, pikir Kabul.

" Kata Wati, dia menjawab tidak ada apa-apa. Si pacar terus mendesak dan akhirnya Wati marah. Kamu ngotot menuntut aku membalas suratmu? Baik, besok akan ada surat untukmu. Surat itu adalah tuntutanku agar kamu menikahiku secepatnya. Aku tak mau menunggumu sampai selesai kuliah, cari kerjaan...."

" Terus?" tanggap Kabul yang mulai meminati cerita Mak Sumeh.

" Kata Wati, pacarnya kebingungan."

" Mak Sumeh mengira aku suka mendengar cerita ini?" Mak Sumeh menatap mata Kabul. Dari sana dia tahu Kabul tidak menyukai ceritanya.

" Suka atau tidak suka, Pak Insinyur, itulah cerita yang disampaikan Wati kepadaku. Orang yang sudah kolot seperti aku bisa mengira-ngira Wati menghendaki aku meneruskan cerita itu kepada Pak Insinyur. Dia kan tidak mungkin bercerita sendiri, malu.

" Satu hal lagi, Pak Insinyur. Desakan Wati kepada pacarnya kukira bukan perkara main-main. Bila Wati benarbenar ngebet nikah, jangan ada orang yang menyalahkannya. Sebab dia memang sudah matang. Ah, Pak Insinyur, sekarang kan yang namanya video asyik bisa ditonton di mana-mana. Ibu-ibu dan anak-anak kecil sudah banyak yang lihat. Mungkin juga Wati pernah pula melihatnya, siapa tahu. Jadi kalau dia kebelet kawin, sementara pacarnya belum siap? He..."

Entah apa lagi yang akan dikatakan Mak Sumeh, Kabul tidak lagi siap mendengarnya. Radio komunikasi di pinggangnya menyala. Ir. Dalkijo bicara. Kabul bersiap menerima teguran atau kemarahan atasannya karena hanya memberikan kantong semen dan besi potongan kepada panitia pembangunan masjid. Tapi tidak. Dalkijo bicara soal lain.

" Semua balok jembatan sudah datang?" suara Dalkijo. " Sudah. Tapi ada dua yang cacat retak seperti dulu saya laporkan. Dan gantinya belum datang. Bagaimana?"

" Kapan balok-balok akan dipasang? Secepatnya, kan? Aku akan pesan derek besar."

Kabul mendengus. Soal balok cacat tidak ditanggapi. Brengsek!

" Lusa pengecoran tiang terakhir selesai. Jadi pemasangan balok paling cepat tujuh belas hari ke depan." " Apa? Kok lama betul? Nanti bisa terlambat. Apa jadinya bila di hari peresmian jembatan belum sempurna? Ingat, peresmian akan dilakukan Wapres dan disaksikan juga oleh Ketua Umum GLM. Jangan main-main."

" Tidak ada yang main-main. Soalnya adalah, kita tidak menggunakan semen khusus yang bisa mempercepat wak- tu pengerasan."

" Siapa suruh tidak pakai semen khusus?" " Dana yang tidak cukup!"

" Yah, atur sajalah. Pokoknya aku tidak mau tahu; pasanglah balok jembatan begitu derek datang." " Kapan itu?"

" Memang belum pasti karena kita belum dapat derek. Tapi jelas secepatnya."

" Kalau kurang dari tujuh belas hari, tidak bisa. Tiangtiang belum cukup kuat. Bagaimana bila retak atau runtuh?"

" Tidak. Aku pernah melakukan hal seperti itu, tidak apa-apa. Atau, kita kan kontraktor, pemborong. Yang penting untung, kan?"

" Masyarakat akan mengatakan kita pemborong brengsek."

" Kan masyarakat sudah diwakili anggota dewan yang kini sudah bisa duduk manis. Jadi jangan takut ada keluhan dari masyarakat. Tenang, tenang, semuanya bisa diatur...."

Pembicaraan habis. Kabul bersungut-sungut. Bagaimana kalau mesin derek datang sebelum tujuh belas hari? Apakah balok-balok jembatan harus dipasang juga? Apakah dua balok yang cacat itu tidak akan diganti? Kabul mencoba mengusir pertanyaan-pertanyaan itu dengan menggarukgaruk kepala yang tidak gatal. Bangkit, membayar hidangan, dan keluar. Mak Sumeh memandangnya sambil menggeleng. Dan mengisap rokoknya dalam-dalam.

Di depan warung, Kabul berpapasan dengan Kang Acep yang baru salat di belakang garasi. Tak ada tegur sapa, karena Kang Acep melihat wajah Kabul kehilangan keramahan. Tapi sampai di ruang kantor perasaan Kabul cepat berubah. Wati masih duduk seperti semula seakan membiarkan dirinya terpencil. Ketika mengangkat wajah terlihat matanya layu. Wati memang berusaha tersenyum, namun senyumnya seakan hanya polesan di luar.

Kabul ingin mengulangi nasihat agar Wati tidak membiarkan perutnya kosong. Atau bahkan bertanya mengapa Wati sudah lama tidak menampakkan kegembiraan. Atau lagi, apa benar Wati sedang punya masalah dengan pacarnya.

Kata-kata itu sudah siap di kepala. Anehnya yang kemudian keluar dari mulut Kabul adalah kata-kata lain. Sama sekali lain.

" Tadi Pak Dalkijo bicara. Dia sedang memesan derek untuk mengangkat dan memasang balok-balok jembatan. Aku tidak akan setuju bila balok-balok dipasang terlalu awal, sebab berbahaya. Mudah-mudahan derek datang tidak kurang dari tujuh belas hari sejak sekarang." " Kenapa, Mas?" suara Wati terdengar lirih tapi bening.

" Itulah syarat yang ditentukan agar tiang jembatan siap diberi beban."

" Kelihatannya Mas Kabul sering tidak sejalan dengan Pak Dalkijo?"

" Terus terang, ya. Padahal dia seniorku di fakultas teknik."

" Bila ternyata derek datang lebih awal dan Pak Dalkijo memberi perintah agar balok-balok jembatan segera dipasang?"

" Kalau terjadi demikian, toleransiku habis. Demi perasaanku sendiri, aku akan berhenti. Ya, aku akan meninggalkan proyek ini."

Pada detik Kabul mengucapkan kata terakhir Wati me- nunduk.

" Tapi, Wat, aku sungguh berharap hal itu tidak akan terjadi. Aku masih punya keinginan kuat menyelesaikan proyek ini dengan mutu yang bisa dipertanggungjawabkan. Karena di sanalah reputasiku dipertaruhkan."

" Semoga saja keinginan Mas terlaksana. Sebab bila tidak, dan Mas meninggalkan proyek ini, aku pun akan ikut keluar."

" Ah, kamu tak perlu ikut-ikutan keluar. Atau begini saja, kita tak usah berandai-andai. Sebab betapapun sekarang aku masih bekerja di sini. Kamu juga masih di sini."

" Tapi tolong jawab pertanyaanku. Mas tidak akan keluar sampai proyek ini selesai, kan?"

Wati menatap Kabul. Yang ditatap terlihat salah tingkah. Gamang. Karena pertanyaannya tidak mendapat jawaban, Wati merengut. Ada getaran mengimbas jantung Kabul. Getaran itu merambat naik dan membuat semacam pijar dalam bola matanya. Dan pijar lembut itu terlihat juga oleh Wati. Untuk sementara bagi Wati, pijar yang amat samar itu cukuplah sebagai jawaban.

Bergembira di atas kekecewaan orang lain adalah hal yang tak disukai Kabul. Anehnya, itulah yang terjadi ketika dia baru saja menerima pembicaraan lewat radio. Ir. Dalkijo boleh marah besar, karena derek yang dipesannya terperosok ke dalam parit ketika melewati jembatan yang sedang, dan sudah berkali-kali, diperbaiki selepas kota Cirebon. Karena mengalami kerusakan, derek itu tak mungkin bisa bekerja dalam waktu dekat. Dicoba mencari derek lain, na- mun waktu tersingkat yang bisa dicapai adalah tiga minggu. Jadi, selagi atasannya kecewa luar biasa, Kabul malah merasa plong.

Kabul juga memanfaatkan situasi psikologis atasannya; ketika Dalkijo sedang pusing oleh masalah derek, Kabul malah menuntut agar dua balok jembatan yang cacat segera diganti. Mungkin karena tidak mau dibikin lebih pusing, tuntutan Kabul pun dipenuhi. Plong lagi. Maka hari-hari berikut Kabul bekerja dengan wajah lebih jernih. Dan Wati ikut menikmati kegembiraan yang merasuki hati Kabul. Seperti ada semi di hatinya, ceria mulai muncul dalam perilakunya.

Dan Sabtu siang ini Tante Ana datang. Ketika para mandor hampir selesai membagi-bagi gaji tukang dan kernet. Kebetulan Wati belum pulang. Sejauh ini Wati baru pertama kali menyaksikan penampilan Tante Ana di proyek. Kali ini Tante Ana tidak berkain kebaya, tapi celana jins pre-wash. Kaus katun kombor berlengan panjang tanpa leher, bersandal karet busa tebal. Semua kuku dicat merah. Pakai sanggul modern yang membuat tengkuknya terbuka. Bedak putih di leher mulai longsor oleh keringat.

Wati terkikih sampai berurai air mata. Dan mungkin tanpa sadar dia bergayut di pundak Kabul.

" Lucu ya, Mas? Tapi aku kok kasihan juga. Dia lelaki apa perempuan sih, Mas?"

" Kata orang pinter, tubuhnya memang lelaki, tapi dalam jiwanya dia merasa, tepatnya menyadari, dirinya perempuan."

Tante Ana belum mulai bernyanyi. Dia masih bergenitgenit, bercakap dengan suara jantan bersama dua tukang yang sudah menerima gaji mingguan. Bejo, anak yang pa- ling diakrabi Tante Ana, masih antre. Tapi dia sudah tahu artis favoritnya datang. Jadi Bejo langsung menghambur begitu uang gaji sudah berada dalam genggaman.

" Aduh, Mas Bejo, yang cakep, yang ganteng, nggak lupa sama aku, kan?"

Gombalan Tante Ana kepada Bejo membuat Wati terkikih lagi.

" Oh, pasti tidak, Ssssayyyyaaaang...."

" Pasti bohong deh. Buktinya aku nggak diberi uang. Baru gajian, kan?"

" Uangnya tinggal sedikit, itu pun belum bayar bon-bon- an di warung Mak Sumeh. Kreditan sandal. Bank harian. Kamu seratus perak saja. Mau, kan? Kamu bukan pacar matre, kan?"

" Iya deh, Mas Bejo yang cakep."

" Tapi goyang dulu dong, ayo goyang, goyang...." Crek-crek cirrrr, crek-crek cir, crek-crek cir... " Hidup di bui bagaikan burung, makan diantre nasinya jagung. Badan rusak dan pikiran bingung, apa daya badanku terkurung..."

Crek-crek cirrrr, crek-crek cirrr...

Masih dengan uang mencuat dari genggaman Bejo mulai goyang. Kedua tangannya menjulang gemulai, wajahnya hampir tengadah dengan mata setengah tertutup. Langkahnya selalu jatuh pada crek, dan goyang pinggulnya jatuh pada cirrr. Makin syahdu, makin asyik. Dan kenikmatan jiwa yang terpancar dari gerak dan mimik Bejo mengimbas anak-anak yang lain. Jadilah belasan, puluhan anak-anak muda bergoyang mengelilingi Tante Ana. Sawin yang tak ikut goyang mengambil ember plastik untuk membuat bunyi gendang. Saimin mengambil dua potongan besi untuk membuat bunyi metal.

Dung-dung crek dung-dung cirrr, dung-dung crek dungdung kling...

" Oh kawan, dengar lagu ini, badan hidup serasa mati. Jangan sampai kawan mengalami, hidup di bui menyiksa diri. Apalagi penjara Tangerang, masuk gemuk keluar tinggal tulang. Karena kerja secara paksa, tua-muda turun ke sawah..."

Cir-cir-cirrrrrr&

Kini mandor-mandor ikut terjun ke arena. Kang Acep, Cak Mun, malah Pak Satpam ikut goyang. Suara jantan Tante Ana tenggelam dalam tepuk bersama. Tapi bencong itu malah makin bersemangat. Nadinya muncul ketika dia tarik suara tinggi. Keringatnya ke mana-mana. Bedak su- dah jadi lumpur putih di kening, di leher, dan di tengkuknya.

Kabul dan Wati yang sejak awal menonton dari depan pintu kantor proyek masih setia berdiri di sana. Tangan Wati yang sudah tidak bergayut lagi di pundak Kabul sering meletik-letik mengikuti bunyi kecrek. Kegembiraan para tukang dan kuli mengimbas ke dalam jiwanya.

Tapi Kabul malah sering mengangkat alis. Nyanyi serta goyang para tukang dan kernet itu malah membuatnya termenung. Ah, kalian anak-anak muda yang sedang tenggelam dan mabuk irama goyang. Ayolah beriang ria, ayolah reguk kegembiraan. Terbanglah tinggi dalam keasyikan. Larutlah dalam irama goyang yang memabukkan. Karena di alam nyata kalian selalu dihadang kegelisahan. Ketidakpastian memperoleh pekerjaan, ketidakpastian mendapat kepantasan hidup. Dan secuil ruang di masa depan. " Eh, Mas Kabul kok ngelamun sih?" tegur Wati. " Ah, aku ngelamun, ya?"

" Iya. Ingat seseorang?" " Tidak."

" Lalu?"

" Lihat, anak-anak itu menari untuk melupakan kepahit-an hidup. Tapi memang lebih baik menari daripada bersedih hati. Karena kesedihan hanya akan lebih menghancurkan mereka."

Wati terkesan oleh kata-kata Kabul. Dan dia tidak tahu Kabul kembali merenung. Ah, lagu kesayangan Tante Ana itu. Lagu yang mengandung romantisme penderitaan para preman kelas teri. Dan kearifan yang mereka gali dari pengalaman di penjara Tangerang atau " tangerang" .

Tiba-tiba suasana jadi riuh oleh gelak tawa. Tante Ana menggunakan kesempatan penghabisan lagu pertama untuk meraih Bejo ke dalam rengkuhannya. Tenaga jantan yang dia miliki tak tertandingi oleh Bejo. Sekali masuk ke rengkuhan, cup-cup. Dengan gemas Tante Ana menciumi pipi Bejo yang langsung coreng-moreng.

Hiruk-pikuk tak berlangsung lama. Setelah puas menciumi Bejo, semangat Tante Ana malah lebih berkobar. Dia merasa, atau menikmati, suasana di mana keberadaannya mendapat pengakuan. Dalam hal-hal tertentu malah penghargaan. " Nah, inilah aku, Tante Ana. Aku ada, hadir. Dan aku bukan Daripan. Nama itu adalah hantu yang harus kukalahkan sama sekali. Kalian, ayo bergoyang. Tapi jangan lupa berilah aku kesaksian. Aku ada. Aku hadir. Aku dumadia. Aku Tante Ana." Dan semangat Tante Ana terus menggebu. Maka...

Crek, dung-dung crek, kling. Crek dung-dung crek, cirrr... Crek dung-dung crek...!

" Rek, ayo rek, mlaku-mlaku nang Tunjungan..." Suara berat Tante Ana mengawali perubahan irama goyang. Makin riuh. Orang-orang warung ikut menonton dari tempat masing-masing. Pengasong kelontong yang selalu datang setiap Sabtu siang, ikut bertepuk atau malah ikut bergoyang. " Ser, ser, goyang teruuuuus..." itu suara Sawin.

Wati masih ingin menikmati lebih lama hura-hura yang disemangati oleh Tante Ana. Tetapi ada tangan menggamit lengannya. Wati menengok, Bani yang menjemput pulang sudah berdiri di belakangnya. Sudah agak lama kedatangan Bani tak diketahuinya. Ya, Bani, remaja SMA, tadi sempat melihat kakaknya bergayut di pundak Kabul. " Mas, Bani sudah datang. Aku pulang dulu, ya?" Kabul menoleh. Dipandangnya Bani. Senyumnya tak disambut. Bani hanya membalas pandangan Kabul dengan mata bertanya.

" Ya, memang sudah saatnya kamu pulang. Bani, hatihati naik motornya, ya."

Sekali lagi Bani menatap Kabul dengan tanda tanya. Hanya sekilas. Motor dihidupkan dengan starter dan Wati naik. Kakak-beradik itu berlalu dan Wati meninggalkan bayangan jernih wajahnya.

Riang ria Tante Ana masih berlanjut. Setelah Rek, Ayo Rek masih ada dua lagu pop Jawa yang dinyanyikan untuk menggoyang anak-anak proyek. Kemudian Warung Pojok yang diulang-ulang sampai lima kali. Lalu Tante Ana minta istirahat. Bejo mengambil teh manis ke warung Mak Sumeh. Tante Ana minum seperti kuda koboi ngokop air di dulang kayu.

Jujur, Kabul sering merasa berutang budi kepada Tante Ana. Kedatangan banci itu selalu membawa kegembiraan bagi anak-anak proyek. Hiburan gratis. Atau simpati yang mendalam bagi dia yang tak pernah berhenti mencari pengakuan bahwa dirinya perempuan, pencarian tak berkesudahan yang mungkin akan berakhir sia-sia. Kadang untuk membalas budi, Kabul ingin memberikan uang dalam jumlah yang layak. Tapi betulkah uang adalah tujuan utama pengembaraan Tante Ana? Jangan-jangan ada yang lebih penting di atas soal uang, pengakuan dan penghargaan yang tulus.

Maka Kabul mengajak Tante Ana makan di warung Mak Sumeh. Mungkin karena memang sudah lelah bergoyang ria, Tante Ana menyambut ajakan Kabul.

" Aduh, Bapak baik deh..." ujar Tante Ana dengan tekanan ketantean yang berlebih.

" Panggil aku Mas."

" Eh, iya. Aku panggil Mas saja, ya? Aduh, malah manis. Mas mau traktir aku makan juga? Ayo, Mas, perutku lapar. Kasihan, kan?" Kata " kan" diucapkan sangat lantun. Tante Ana diiringi Kabul berjalan menuju warung Mak Sumeh.

" Ya, Tante boleh makan apa saja yang disukai. Gratis. Tapi aku cuma menemani karena sudah makan."

" Ah, itu curang. Masa sih aku makan sendirian. Nggak mesra dong. Kita boleh he-he-he pacaran, kan?" " Tidak boleh. Nanti Bejo marah."

" Eh, iya. Bej-bej-bejat. Eh, Be-jo. Dia kan pacarku. Aku lupa deh."

Atas pesanan Tante Ana, Sonah dan Sri menyiapkan hidangan lengkap. Nasi putih lauk macam-macam: bandeng goreng, rendang, lalapan, plus sambal terasi. Petai rebus dan sambal petai juga.

" Kenapa sih Mas traktir aku? Mas suka sama aku, kan? Ayo ngaku aja. Aku kan masih ting-ting."

" Ya, aku suka sama kamu karena kita sudah jadi teman. Iya, kan? Kamu mau punya teman aku?"

" Eh, mau sekali. Apalagi aku dengar, ya aku dengar, ya, aku dengar Mas masih bujangan, hi..."

" Nah, makanlah yang enak. Aku keluar dulu, ya?" " Idiiihh, kok pergi. Katanya pacar, eh hi-hi..." Sampai di kamar pribadi di kantor proyek, Kabul kepanasan dan ingin segera mandi. Meskipun sudah sore, uda- ra memang panas. Musim pancaroba sudah datang. Kemarau akan diganti musim hujan. Sudah beberapa hari langit mulai berawan dan angin seakan mati. Ada pohon gadung merambati pohon sirsak di belakang kantor proyek. Sulursulurnya mulai berdaun, pertanda musim hujan sudah dekat. Dan derit baling-baling bambu di ujung kampung tak terdengar lagi karena sudah beberapa hari berhenti berputar.

Sabtu ini hari terakhir pengecoran tiang jembatan. Volume pekerjaan menjadi jauh berkurang karena kegiatan proyek sebagian besar berhenti untuk menunggu tiang jembatan mengeras dan kuat diberi beban. Kemarin Kabul sudah mengumpulkan para mandor, mereka bisa meliburkan selama dua minggu sebagian tukang dan kernet. Atau bergilir masing-masing bagian libur satu minggu.

Banyak tukang, terutama yang sudah berkeluarga, senang karena punya peluang kumpul anak-istri. Bagi yang berhemat, akan membawa pulang uang untuk membeli beras dan lauk-pauk, cadangan satu minggu. Bila lebih, mungkin mereka akan mampir ke toko membeli sepatu atau kaus buat anak-anak. Atau baju buat istri. Atau untuk menebus radio atau piring yang sedang digadai. Tak jarang juga mereka harus membayar utang yang dibuat kala nganggur.

Tapi banyak tukang muda yang menghabiskan gaji mereka seenaknya. Malam hari mereka main kartu dengan taruhan. Minum, nyimeng, ngoplo, atau ketiga-tiganya. Konsumsi rokok sangat tinggi. Atau untuk menyewa video porno. Mak Sumeh yang ahli menjaring gaji para tukang, diam-diam menyediakan perempuan di suatu tempat jauh dari proyek. Maka tak jarang banyak tukang meninggalkan utang di warung atau pada tukang kredit barang. Dan mereka menganggap hal demikian sudah biasa.

Malam minggu yang sepi karena tidak ada pekerjaan lembur. Hampir separo tukang dan kuli libur satu minggu. Bulan muda yang kesepian tampak samar. Gemintang menghilang karena langit mulai berawan. Kabul tidur nyenyak karena kerja kerasnya siang hari. Dia mimpi naik sepeda Raleigh Basar, memboncengkan Wati menyusup jalan-jalan kecil di bawah rumpun bambu. Cik-cik-cik. Melayang di atas hamparan sawah, di atas Sungai Cibawor, dan mendengar sayup-sayup alunan seruling Pak Tarya.

Di kamar kosnya yang lumayan baik, Wiyoso atau Yoso atau Yos duduk diam menghadap meja belajar. Yos mahasiswa MIPA semester lima. Beberapa buku tentang matematika ada di hadapannya. Namun satu pun tak ada yang terbuka. Kertas catatan pun masih kosong. Jam di pojok meja hampir menunjuk angka sepuluh malam. Bunyi detiknya makin terdengar nyata. Yos gelisah dan kehilangan semangat belajar. Tok-tok tukang mi goreng di luar seakan menyuruhnya bangkit. Tapi Yos juga kehilangan nafsu makan. Dan Yos mengurungkan niat memesan mi goreng. Dia berjalan ke arah kasur yang digelar di lantai. Detik jam itu menemaninya dengan sangat setia.


Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung Pendekar Mabuk 053 Titisan Dewa Pelebur Suro Bodong 02 Pedang Urat Petir

Cari Blog Ini