Ceritasilat Novel Online

Orang Orang Proyek 4

Orang Orang Proyek Karya Ahmad Tohari Bagian 4

Wati. Pikiran Yos sedang tersita oleh perubahan sikap Wati yang telah melaksanakan kata-katanya. Wati mengirim surat yang menyatakan dia ingin menikah dalam tahun 1991 ini juga. Menikah sekarang? Bukankah Wati tahu aku

Bagian Keempat

sama sekali belum siap? Yos menghitung umur sendiri. Tamat SMA tahun 1987 pada usia sembilan belas tahun. Diterima di Fakultas Pertanian, tapi paruh tahun keluar karena merasa tidak cocok. Tahun berikut ikut UMPTN lagi dan diterima di Fakultas Filsafat. Tidak betah lagi. Kesempatan terakhir ikut UMPTN dicobanya untuk ganti fakultas dan Yos diterima di Fakultas MIPA. Nah, ini cocok. Maka setelah dihitung dalam semester lima usia Yos adalah 24. Dan Wati teman seangkatan di SMA, hanya berbeda jurusan. Maka usia Wati minimal 24, dan sudah bekerja.

Yos gelisah. Dan makin gelisah ketika nalar sendiri mengatakan, wajar bila Wati sudah ingin menikah. Yos ingat sudah beberapa kali menghadiri perkawinan teman-teman perempuan seangkatan, ya teman-teman Wati juga. Malah sepanjang yang diketahui Yos sudah ada dua teman adik seangkatan yang bersuami. Itu belum terhitung mereka yang hanya tamat SMA lalu kawin, atau harus kawin karena pacaran kebablasan.

Jam di pojok meja itu tetap setia menghitung detik. Bu- nyi cek-cek dengan variasi suara yang sangat tipis bisa dirasakan oleh Yos yang sedang berada dalam situasi amat sensitif. Tok-tok tukang mi goreng menjauh. Dan Yos membalikkan badan, tengkurap.

Menerima permintaan kawin, hampir tidak mungkin. Nalar sendiri yang mengatakan demikian. Menundanya, rasanya sulit juga. Kalau mau ditunda, mengapa Wati min- ta kawin tahun ini juga? Jadi aku harus menolaknya? Atau inilah yang sesungguhnya dikehendaki Wati? Aku menolak, lalu seperti dikatakan dalam suratnya " demi kebaikan masing-masing sebaiknya kita jalan sendiri-sendiri" . Dan Yos duduk.

Kebaikan masing-masing. Ah, betapa pahit dan menusuk perasaan ungkapan ini. Sialnya, akal Yos sendiri bilang dalam kepahitannya ungkapan tadi mengandung kebenaran juga. Bila dia melepas Wati untuk berjalan sendiri, Yos bisa lebih berkonsentrasi pada studi. Lebih punya ruang dan waktu luas untuk menyiapkan hari depan. Dan lebih menghargai hak Wati untuk memperhitungkan sendiri masa depannya berdasar pada kondisi-kondisi objektif yang melekat pada dirinya.

Tapi ini terlalu rasioal. Pacaran adalah tindakan untuk dan atas nama rasa. Jadi, bila dilakukan mengikuti jalur rasional tak akan ada asyiknya.

Cek-cek-cek. Jam hampir menunjuk angka sebelas. Ada bunyi klik dari kamar sebelah. Dia mematikan lampu. Tektek-tektek, tukang mi rebus datang. Yos merebahkan diri lagi.

Pacaran adalah soal rasa. Tapi apa kamu mau makan rasa? Kalau keasyikan sering memabukkan orang pacaran, apa orang bisa kenyang, membangun rumah, membiayai kehidupan keluarga, hanya dengan keasyikan? Jadi, perhitungan yang nalar juga harus ikut bicara.

Kalau begitu sikap Wati nalar? Rasional? Ada rasa pahit tertelan ketika Yos mengiyakan pertanyaannya sendiri. Ya. Dan Yos teringat kata orang; dalam pacaran bila akal mendekat, rasa menjauh. Kata orang lagi, kalau pacaran ingin berhasil, ambil jarak yang sama antara nalar dan rasa. Maksudnya, keputusan mau lanjut atau putus merupakan katakata akhir setelah unsur rasa dan nalar sama-sama dipertimbangkan.

Tektek-tektek tukang mi rebus makin sering terdengar, mungkin karena sepi pembeli. Jam sudah menunjuk angka sebelas lebih.

" Memang sangat menyakitkan. Lebih menyakitkan lagi bila kabar itu benar; Wati tentu sudah menghitung aku akan menolak permintaannya. Dengan demikian, ada alasan bagi Wati untuk berjalan sendiri dan meninggalkan aku. Tapi mengapa aku harus sakit bila nyatanya aku belum siap kawin? Atau menunggu sekian tahun sampai aku lulus kemudian dapat kerja, kemudian baru kawin, tentulah bukan hal yang nyaman bagi Wati. Jadi aku egois?"

Egois atau tidak, Wati sudah lama menjadi pacar Yos. Tak salah bila Yos merasa Wati sudah menjadi bagian dirinya. Kehilangan Wati adalah sama dengan kehilangan dirinya sebagian. " Dan siapa bilang ini urusan sederhana? Lagi pula ada hal lain yang harus kupertimbangkan: harga diri. Bagaimana kata teman-teman bila aku kehilangan Wati? Mereka akan melecehkan aku. Mereka akan melihat aku sebagai anak yang patut mereka kasihani. Ini sungguh brengsek!"

Hingga tengah malam Yos masih duduk termangu. Membagi perasaan mungkin akan mengurangi beban pikiran. Tapi dengan siapa di tengah malam begini? Semua teman kos sudah tidur. Lagi pula tak ada di antara mereka yang bisa diajak berbicara urusan pribadi. Tapi Gogi?

Yos keluar kamar menuju pesawat telepon di ruang tamu. Gogi menjawab sambil marah-marah karena dia harus memutus tidur nyenyaknya.

" Brengsek betul. Kamu mau ngomong apa sih? Apa nggak ada hari esok?"

" Sori, Gog. Ini emergency. Wati minta kawin. Jangan tertawa dulu! Nah, aku mesti bagaimana?"

Sialan! Diminta jangan tertawa Gogi malah ngakak. " Si Wati masih virgin, kan?"

" Tentu. Aku kan cowok superalim."

" Kamu itu anak pinter tapi guoblok juga. Pilihanmu sangat jelas dan cuma ada dua; kamu mau kuliah atau kamu mau kawin. Tak ada jawaban intermediate. Jawab cepat!"

" Gog, aku bingung. Terus terang aku lagi nggak bisa mikir."

" Dasar bloon. Pertanyaan begitu gamblang kamu malah bingung. Yos, kalau aku jadi kamu, jelas aku akan pilih terus kuliah. Soal kawin he? Memang aku mikirin? He? Lagi pula kamu kuno amat sih. Takut kehilangan Wati? Iya? Ah, kamu murahan. Kamu nggak ngerti ya, selain Wati masih seabrek cewek lain. Buka matamu. Kampus kita tidak sesempit dompetmu. He?"

Yos malu. Di mata Gogi, terasa dirinya memang lemah. Dia putuskan telepon setelah mengucapkan terima kasih kepada Gogi. Tapi Yos belum beranjak. Rasanya dia masih ingin bicara dengan yang lain. Tapi siapa; Ibu?

Nomor diputar, interlokal. Yos merasa lama tak ada yang mengangkat. Akhirnya tersambung juga. Dan ayah Yos yang bicara.

" Maaf, Pak. Aku mau ngomong sama Ibu," sahut Yos seret.

Klek. Suara pesawat diletakkan. Diangkat lagi tak lama ke dian. Ibu Yos bicara dengan suara bernada waswas. Tapi kemudian mengeluh setelah tahu apa yang dikatakan anaknya. Dan seperti Gogi, ibu Yos juga bertanya tentang kegadisan Wati. Lega, karena ternyata Yos bisa menjaga diri.

" Jadi bagaimana, Bu?"

" Kamu tidak boleh kawin sebelum lulus dan dapat pekerjaan. Ini untuk kebaikanmu sendiri. Memang sayang, Ibu akan merasa kehilangan Wati. Dia anak yang baik. Tapi dia kok begitu?"

" Ibu mau membujuk Wati agar dia mau mengubah pikiran?"

" Demi kamu Yos, Ibu mau. Tapi Yos, Ibu punya perasaan lain. Wati mungkin sudah punya pilihan lain yang siap nikah. Ini perasaan Ibu. Nah, bila perasaan Ibu benar, rasanya tak ada guna membujuk dia. Yos, Ibu tahu bagaimana perasaanmu sekarang. Tapi kamu harus berani melihat dan menyadari kenyataan. Sekarang, kuatkan dirimu agar kuliahmu tak terganggu."

" Jadi...?"

" Ibu kira Wati akan meninggalkanmu. Memang menyakitkan. Tapi biarkan dia. Kamu akan dapat ganti. Percayalah sama Ibu. Sekarang tidurlah, Anak Lanang, sudah malam."

Cek-cek-cek.... Jam di pojok meja itu alangkah setianya. Bunyi motor ngebut di jalan raya yang sudah lengang.

Anak Lanang! Yos tersindir oleh sebutan yang diberikan ibunya; Anak Lanang. Anak Lelaki. Dengan sebutan itu ibunya pasti ingin bilang, kamu jangan cengeng. Jadilah lelaki yang tangguh. Gagah.

" Ya. Ya. Ya. Suara akal sehat itu benar. Omongan Gogi juga benar. Pendapat dan nasihat Ibu apalagi. Namun bila aku harus berpisah dari Wati, rasanya masih ada perhitungan yang belum tunai. Ada harga yang harus dibayar agar impas. Ya. Harga itu ada karena dulu Wati mau aku pacari, katanya mau menunggu sampai aku selesai kuliah dan bekerja, baru menikah. Ah, itu indah sekali. Lalu mengapa sekarang mendadak Wati minta kawin? Dan itu cara yang dia pilih untuk minta berpisah dari aku? Di sinilah harga yang harus dihitung dan harus aku bayar tunai! Kalau tidak, akan aku kemanakan mukaku ini?"

Libur tengah semester. Pamit kepada ibunya mau pergi ke rumah teman di Semarang, tapi nyatanya Yos memacu motornya ke arah rumah Wati, hampir dua ratus kilometer dari Yogyakarta. Yamaha RX-King, jenis sepeda motor pacu yang masih baru; Yos melarikannya hampir mendekati kecepatan penuh. Berangkat jam tujuh dari Yogya, belum jam sembilan motor Yos sudah memasuki lokasi proyek.

Melepas helm dan jaket, melap muka dengan saputangan, Yos melangkah ke kantor.

Panas matahari mulai terasa. Di langit burung-burung bangau terbang berputar-putar. Suaranya melengking kering. Mereka merindukan hujan. Debu mulai mengawang. Ditambah dengan deru truk pengangkut bahan-bahan bangunan, maka suasana proyek terasa memanggang. Dan Yos merasa gerah. Hatinya terasa gersang ketika dia mengetuk pintu proyek.

Yos merasakan kelengangan yang begitu lama sampai terdengar bunyi srek-srek langkah mendekat. Pintu terbuka dan Yos berhadapan dengan gadis berkerudung. Bukan Wati. Mereka berpandangan karena belum saling kenal. Ah, nanti dulu. " Rasanya aku pernah melihat anak ini," pikir Yos. Juga pikir gadis berkerudung itu.

" Selamat pagi," ucap Yos.

" Selamat pagi. Mau bertemu siapa, Mas?"

" Oh ya. Aku ingin bertemu Wati. Dia bekerja di sini, kan?"

" Rasanya iya. Mas siapa?" " Namaku Wiyoso. Yos."

" Begini. Rasanya Mbak Wati sedang ke kantor pos. Aku dengar begitu. Aku kira hanya sebentar. Mari masuk." " Terima kasih. Mbak bekerja di sini juga?"

" Tidak. Aku menyusul kakak yang bekerja di proyek ini. Mumpung sedang libur tengah semester. Namaku Aminah. Aku adik Mas Kabul, pelaksana proyek ini." Yos terdiam sejenak. Dia sudah mendengar nama pelaksana proyek ini adalah Insinyur Kabul. Tapi Yos belum pernah melihat orangnya. Lebih setahun yang lalu Wati pernah cerita, atasannya insinyur idealis yang masih bujangan. Apakah sekarang insinyur itu sudah punya istri, Yos tidak tahu.

" Apakah Mas dari Yogya?" " Ya. Kok tahu?"

" Untung-untungan saja. Sebab rasanya aku pernah melihat Mas di... ah. Mungkin di toko buku. Mungkin di kampus. Atau entahlah."

" Kamu dari Yogya juga?"

" Aku dari Gombong, kuliah di Yogya."

Kemudian Aminah menyebut nama almamater dan fakultasnya. Yos nyengir. Ternyata mereka datang dari perguruan tinggi yang sama. Ah, tapi peduli apa. Itu sama sekali tak penting. Bagi Yos, selain bertemu Wati secepatnya adalah urusan lain yang tak perlu diperhatikan.

" Aku datang kemari menyusul kakak. Mas?" " Aku ingin bertemu Wati...."

" Maksudku, Wati adik atau kakak Mas?"

Yos diam. Membuang muka ke samping. Menunduk. Gelisah. Aminah merasa pertanyaannya membuat Yos risi. Tapi sikap Yos adalah jawaban tanpa kata-kata. Tentu, Wati adalah pacar Yos. Dan Aminah maklum.

" Maaf ya, Mas, aku mau menyusul kakak sambil melihat-lihat proyek. Silakan menunggu Mbak Wati di sini."

Aminah keluar dan kedua matanya langsung menyipit karena teriknya matahari. Mendekati tapak proyek jembatan, Aminah melihat pemandangan yang sangat mengesankan. Dengan mesin derek besar balok-balok beton se- dang dipasang. Balok-balok itu ditata dalam lima jalur, ujung yang satu berada di atas fondasi dan ujung lainnya pada tiang jembatan di tengah sungai. Hiruk-pikuk para pekerja. Teriakan-teriakan pembantu operator dan gerak mekanis derek bersatu menciptakan suasana yang sarat dinamika kerja. Dan suasana menjadi lebih ramai karena banyak penduduk datang dari kampung-kampung terdekat untuk menonton pekerjaan besar itu berlangsung.

Dan kegiatan besar itu berada di bawah kendali Kabul. Aminah bangga. Tapi Aminah juga amat terharu. Andaikan Biyung tahu. Tiap sen hasil penjualan gembus dan klanting yang dulu dihemat Biyung kini telah berbuah. Biyung, lihatlah kakakku. Meskipun sewaktu kecil kauberi makan nasi inthil, kini dia bisa memimpin pekerjaan sebesar ini. Biyung, suatu kali Biyung harus menyaksikan bagaimana anakmu benar-benar sudah menjadi insinyur. Dan Aminah mengusap mata. Bahkan air matanya gagal disembunyikan ketika Kabul melihat dan kemudian mendekat. Tapi Kabul pura-pura tidak mengetahuinya.

" Panas, Dik. Nanti kepalamu pusing."

" Aku menyusul ke proyek ini karena ingin melihat bagaimana Mas bekerja. Oh iya, di kantor ada tamu untuk Mbak Wati. Rasanya sih dia pacarnya. Aku sudah menyuruh dia menunggu."

" Itu bagus. Dan sekarang carilah tempat yang teduh. Atau pakailah ini."

Kabul melepas helm dan langsung menaruhnya di atas kepala Aminah yang tertutup kerudung. Terlihat adegan akrab, manis, antara kakak dan adik. Sayang, panas matahari memaksa keakraban yang manis itu berakhir. Meski sudah memakai helm, Aminah tak tahan lebih lama berada di tapak proyek. Maka Aminah menjauh dan berteduh di emper warung Mak Sumeh. Sementara Kabul kembali mendekati mesin derek karena tak ingin ada kesalahan sedikit pun dalam menata balok-balok jembatan.

Di kantor proyek, Yos duduk sendiri. Dan sangat gelisah. Setiap saat pandangannya diarahkan ke jalan masuk proyek karena sudah tak sabar menunggu kedatangan Wati. Ketika terdengar bunyi sepeda motor mendekat, Yos bahkan bangkit berdiri. Wati datang. Setelah memarkir sepeda motor dan melepas helm, Wati melangkah ke arah kantor proyek. Di tangannya ada amplop besar. Tapi Wati menghentikan langkah ketika melihat motor lain. Wati mengenal motor itu, milik Yos. Jantung Wati berdenyut lebih cepat dan mendadak terasa ada beban di atas kepalanya.

Menunduk, Wati meneruskan langkah. Wajahnya menjadi layar yang menampilkan perasaan yang berubah-ubah dengan cepat. Alisnya merapat. Dan benar-benar terkejut ketika pintu terbuka, Yos berdiri di sana.

Sejenak kedua anak muda itu bersitatap. Bibir Wati bergerak-gerak. Namun yang kemudian terdengar adalah suara Yos.

" Kamu dari kantor pos?" " Iya. Kok tahu? Kamu sudah lama? Duduklah, Yos." Akhirnya, kegagapan mencair. Yos duduk lagi. Wati meletakkan amplop di meja kerjanya, melakukan ini-itu dan tak jelas apa tujuannya, lalu duduk di kursi tamu berhadapan dengan Yos.

" Kamu datang langsung dari Yogya? Naik motor?" " Ya."

Wati mulai menguasai diri. Yos malah makin gelisah. Dan tanpa aba-aba Yos bangkit, keluar menuju motornya. Wati terpana sejenak. Ketegangan wajahnya baru mengendur setelah tahu Yos hanya mau mengambil rokok di saku jaket yang tersampir di motor. Ketika duduk kembali, ro- kok sudah menyala di bibir Yos.

" Wat, aku datang untuk bertanya...."

Yos mematikan rokok yang baru sekali diisap. Wati menatap Yos, namun dengan posisi wajah menunduk. Menunggu. Wati memijit-mijit kuku jari telunjuk.

" Ya, aku mau tanya, kamu benar-benar minta kawin segera?"

" Ya," jawab Wati lirih. Yos gelisah sekali. Diambilnya rokok baru, dipasang di mulut, tapi korek api di mana? " Tapi kamu tahu hal itu tak mungkin bagi aku, kan?" Wati diam dan terus memijit-mijit kukunya. Wajah Yos memerah. Matanya menyala. Jemarinya mengepal-ngepal. Kemudian suaranya keluar dengan getar amarah.

" Apa sebenarnya kamu ingin hubungan kita berakhir? Tolong jawab!"

Wati menelan ludah. Tangannya gemetar.

" Ya, Yos. Dan maafkan aku." Hening.

" Aku boleh tahu sebabnya?"

Wati merasa tenggorokannya gatal. Terbatuk. " Tadi kamu sudah mengatakannya. Kamu bilang tak mungkin menikah dengan aku dalam waktu dekat. Yos, setelah aku pikir, aku tak bisa menunggu terlalu lama. Umurku..."

" Tapi dulu kamu mau. Iya, kan? Mengapa sekarang tidak? Jadi kamu penipu. Kamu pengkhianat."

Yos benar-benar marah. Kedua matanya berkobar dan tangannya mengepal. Wati pasi. Wajahnya ciut. Matanya mewakili kecemasan yang sangat. Kedua bibirnya rapat. Ketika merasa harus berbicara, bibir Wati bergetar.

" Maafkan aku. Ini memang salahku, karena aku mengubah pikiran."

" Baik! Aku maafkan kamu! Karena aku tak bisa berbuat lain! Tapi kamu juga harus memaafkan ini...!"

Yos bangkit, melangkah cepat ke meja kerja Wati. Gelas minum Wati disambar, sedetik kemudian pecah berhamburan di lantai. Wati menjerit sambil menutup wajah dengan tangannya.

Dan Yos berdiri dengan kaki menggigil. Tunai?

Yos masih berdiri dan wajahnya membara. Seorang kuli yang kebetulan lewat bergegas lapor kepada Kabul; ada bunyi gelas dibanting dan jerit Wati di kantor proyek. Dalam jalan cepat Kabul kembali ke kantor. Aminah mengejarnya dari belakang. Keduanya masuk dan terpana. Yos menatap Kabul sekilas, lalu membuang muka. Intuisi Kabul bekerja dengan sangat cepat. Tak sampai satu detik Kabul sudah bisa meyakinkan diri mengenai apa yang baru terjadi, dan mengapa. Dia sedih dan menggeleng. Dia tersinggung, karena ada orang membanting gelas di kantornya. Tapi Kabul berusaha keras mengendalikan perasaan. Menahan kemarahan.

" Maafkan aku, Pak," ujar Yos sambil melangkah ke arah Kabul. " Aku teman Wati. Namaku Yos. Aku telah berbuat kasar di tempat ini."

Kabul mengangkat alis, lalu menyambut tangan Yos. Dia menghargai keterusterangan anak muda ini.

" Kalian sedang punya masalah? Selesaikanlah dulu. Kami tidak ingin campur tangan."

Kabul membimbing tangan Aminah, mengajaknya keluar. Tapi tertahan oleh suara dari belakang.

" Tunggu, Pak. Urusanku dengan Wati sudah selesai. Aku mau pergi. Sekali lagi, maafkan aku."

Kabul dan Aminah terhenti di luar pintu. Mereka menyaksikan Yos menyalami Wati yang masih duduk dan terisak-isak. Janggal dan hambar. Yos keluar, mengangguk kepada Kabul dan Aminah, kemudian bergegas menuju motornya. Semenit kemudian motor itu sudah menderu ke arah jalan. Tapi Yos tidak memacunya seperti ketika dia datang. Barangkali karena sebutan pengkhianat yang dia berikan kepada Wati adalah imbal tunai atas harga yang sudah dia bayar lunas.

Deru motor Yos tak terdengar lagi. Aminah yang baru kenal Wati sejak datang kemarin siang tidak mengerti apaapa. Bahkan Kabul melalui intuisinya hanya bisa menduga bahwa krisis antara Wati dan pacarnya telah mencapai puncak. Kabul tidak ingin bertanya apa pun kepada Wati. Maka setelah suasana mereda, Kabul kembali ke tapak proyek. Masih ada waktu setengah jam sebelum saat istirahat tiba.

Aminah tinggal menemani Wati. Menenangkannya. Tapi Aminah juga ingin minta Wati berbagi rasa. Atau, daripada mengendap jadi beban, mengapa tidak curah rasa saja. Wati menolak. Anehnya, Wati mau juga bicara sepotongsepotong. Dan setelah merangkai-rangkai Aminah mendapat gambaran lengkap tentang hubungan Wati-Yos yang baru saja berakhir.

" Apa sudah ada orang yang siap menggantikan Yos?" Aminah iseng-iseng bertanya. Entahlah, Wati terkejut. Mendadak matanya berkaca-kaca. Wati malah menangis. Aminah menyesal.

" Maafkan aku, Mbak."

Dengan dua mesin derek di seberang-menyeberang sungai pemasangan balok-balok jembatan selesai dalam lima hari. Kabul lega karena tahap pembangunan struktur jembatan sudah selesai. Tahap berikut adalah pekerjaan pembuatan lantai dan pagar pengaman jembatan serta sayap-sayap fondasi. Terakhir nanti adalah pengaspalan. Pada tahap ini, seluruh pekerja proyek bergiat. Tukang batu membangun sayap fondasi, tukang las dan tukang besi menyiapkan rancang untuk cor lantai, tukang kayu menyiapkan papanpapan cor.

Proyek jadi lebih ramai. Ir. Dalkijo, manajer proyek, menyuruh Kabul menambah jumlah tukang dan kuli. " Jembatan harus selesai dan diresmikan tepat pada HUT GLM," itu kata-kata Dalkijo yang telah diulang-ulang belasan kali. Dan HUT golongan penguasa itu makin dekat. Dalam hi- tungan Kabul, HUT GLM tinggal 52 hari lagi. Bila tak ada hambatan, waktu sepanjang itu cukup untuk menyelesaikan proyek jembatan dengan tuntas.

Tapi Kabul merasa tak punya jaminan dalam waktu 52 hari semuanya akan berjalan lancar. Musim hujan sudah nyata datang. Hujan sering memaksa tukang batu berhenti bekerja karena tak mungkin memasang adukan dalam guyuran air. Tenda-tenda harus dipasang untuk memayungi tukang-tukang las yang sedang menggarap rancangan lantai jembatan.

Dalam musim hujan, mutu pasir sungai juga turun karena kandungan tanahnya bertambah. Kabul akan mengalami kesulitan mencari pasir sungai yang memenuhi baku mutu untuk pengecoran. Repotnya, katanya karena keterbatasan dana, Manajer Proyek sudah memutuskan menggunakan pasir sungai untuk bahan pembuatan lantai jembatan. Memang, bila dibilas lebih dulu, pasir sungai pun bisa menjadi komponen beton yang memenuhi syarat. Namun pembilasan akan memakan waktu dan juga biaya. Lagi pula harus dipersiapkan peralatan khas untuk mencuci ratusan kubik pasir. Dan peralatan itu tidak ada.

Masih pusing dengan masalah pasir, kemarin kepala Kabul dibuat puyeng lagi. Permintaan atas kekurangan besi rancang yang diajukan kepada Dalkijo dijawab dengan kedatangan truk tronton; isinya besi rancang bekas bongkaran jembatan di pantura.

Bagi Kabul, ini sudah keterlaluan. Kabul protes. Maka meskipun sudah diturunkan dari kendaraan pengangkutnya, besi-besi bekas itu dibiarkan menumpuk di halaman kantor proyek. Melalui radio komunikasi Kabul menyatakan tidak akan mau menggunakan besi bekas itu. Tapi Dalkijo bersikeras.

" Aduh, Dik Kabul ini bagaimana? Sudahlah, ikuti perintahku. Gunakan besi itu. Toh itu hanya untuk menutup kekurangan. Aku tahu penggunaan besi bekas memang tidak baik. Tapi bagaimana lagi, dana sudah habis. Makanya, kita pun tak mampu membeli pasir giling. Dana benar-benar sudah habis."

" Pak, kali ini saya tidak bisa berkompromi," jawab Kabul penuh percaya diri.

" Tak bisa kompromi bagaimana? Dengar, Dik Kabul. Kita sudah selesai membangun bagian terpenting, yakni struktur jembatan. Bukankah Dik Kabul yakin sejauh ini pekerjaan kita bisa dipertanggungjawabkan?"

" Saya bertanggung jawab atas kualitas struktur jembatan."

" Nah. Dengan demikian kita tinggal menyelesaikan bagian-bagian luar struktur. Bila kita sedikit menurunkan kualitas di bagian ini, mestinya tidak mengapa. Taruhlah, karena kita menggunakan pasir sungai dan besi bekas, lalu lantai jembatan hanya kuat bertahan satu atau dua tahun, Dik Kabul tak usah risau. Karena struktur jembatan tidak ada masalah. Lagi pula kita dikejar waktu. Dan aku bendaharawan GLM. Bupati, Dandim, Kapolres, Kepala Kejaksaan, Ketua Pengadilan, semua kader dan pendukung GLM. Di DPRD, golongan kita dominan. Bahkan wakil dua parpol itu juga orang-orang yang berjiwa GLM tapi diberi baju hijau dan merah. Semuanya pendukung setia Bapak Pembangunan. Jadi siapa yang berani mengusili kita? Paling-paling LSM! Dan untuk meladeni anak-anak LSM kita punya aparat keamanan. Jadi, Dik Kabul tenang sajalah. Semua bisa kita reka-reka. Semua bisa kita atur."

" Sebentar, Pak," sela Kabul. " Bapak bilang saya tak perlu risau meskipun lantai jembatan mungkin hanya bisa bertahan satu-dua tahun?"

" Ya. Bila nanti lantai jembatan rusak, ya kita perbaiki lagi, tentu saja bila disediakan dananya. Kita ini pemborong. Makin banyak jembatan rusak, makin banyak pula borongan yang akan kita dapat. Begitu saja kok susah? Lagi pula, Dik Kabul, bila jembatan rusak, bukan hanya pemborong yang harus bertanggung jawab. Kita tahu beta- pa banyak truk, trailer pengangkut peti kemas, yang melanggar batas berat muatan. Mereka lolos di jembatan timbang setelah sopir menyuap pegawai di sana. Alaaah, Dik Kabul tahu kan, yang namanya jembatan timbang?

Jadi, sebaik apa pun jembatan yang kita buat, bila banyak kendaraan kelebihan berat lewat, ya tahu sendirilah."

" Pak Dalkijo, saya ingatkan ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1990; pemborong wajib menjamin bangunan yang dikerjakan bisa dimanfaatkan setidaknya selama sepuluh tahun."

" Wah, Dik Kabul, terima kasih atas peringatan ini. Dan terus terang, aku juga tidak pernah melupakan undang-undang itu. Tapi bisa dibilang undang-undang tersebut baru lahir kemarin sore. Jadi, belum memasyarakat. Lagi pula Dik Kabul tahu bagaimana efektivitas hukum di negeri ini. Penegakannya amburadul. Maka banyak orang bilang di sini hukum dibuat hanya untuk dilanggar. Iya, kan?"

" Ya, saya tahu. Meskipun begitu saya tidak mau menggunakan besi bekas itu. Bila dipaksakan, lebih baik saya mengundurkan diri."

" Apa? Mengundurkan diri? Tunggu, Dik Kabul. Jangan bicara begitu. Atau begini saja. Besok aku akan datang ke proyek. Kita akan bicara baik-baik. Ngomong penting seperti ini tidak mungkin cukup lewat radio. Besok aku datang."

Putus. Dan Kabul menarik napas panjang. Kepalanya terasa berdenyut-denyut. Dan Kabul makin pusing, karena siang ini Cak Mun pasti akan datang dan bertanya mau diapakan besi-besi bekas itu; besi yang baru sudah habis dirancang. Diapakan? Dibuang atau dijual kepada pedagang besi rongsok. Itulah jawaban Kabul yang tak bisa ditawar lagi. Atau, Kabul akan segera menulis surat pernyataan mengundurkan diri.

Wati mendengar semua kata yang diucapkan Kabul me- lalui radio komunikasinya. Wati juga bisa merasakan panasnya pembicaraan. Dan kata " mengundurkan diri" yang diucapkan Kabul membuat Wati gelisah. Maka Wati memberanikan diri bertanya ketika Kabul berjalan melintas di depan mejanya.

" Mas Kabul habis berbicara dengan Pak Dalkijo?" " Ya," jawab Kabul tanpa semangat.

" Sepertinya gawat?"

" Gawat sih tidak. Kalau sedikit tegang, ya." " Mas Kabul mengucapkan kata-kata mengundurkan diri lagi. Dan kali ini terasa lebih keras. Itu tidak gawat? Aku sedih bila Mas Kabul mengucapkan kata-kata itu."

Kabul menggaruk-garuk kepala. Entahlah, Kabul menghayati apa yang dikatakan Wati. Apalagi pada detik yang sama Kabul melihat Wati merengut. Rengut itu terasa mengharap, memohon, atau malah menagih?

" Wat, maafkan bila ucapanku tadi membuat kamu sedih. Tapi jujur saja, kali ini aku lebih serius. Besok Pak Dalkijo akan datang dan besok pula akan menjadi hari penentuan; aku bertahan atau keluar dari proyek ini."

Wati menggigit bibir. Tangannya bermain bolpoin. Merengut. Dan jantung Kabul mendadak berdenyut lebih cepat.

" Kalau Mas Kabul pindah kerja, ajak aku, ya?" Wati kembali mengigit bibir dan tangannya masih bermain bolpoin. Kabul tampak gagap. Dan gelisah.

" Aku belum sampai berpikir tentang pindah kerja atau apa pun. Semua tergantung pada pembicaraanku dengan Pak Dalkijo besok. Ayo, kita ke warung. Sudah hampir jam dua belas."

" Kali ini aku tak ikut, Mas. Aku tak lapar. Tapi kalau Mas mau, nanti bawakan pisang. Cukup satu buah." " Benar, kamu tak mau makan?" desak Kabul. " Benar, Mas. Aku sungguh tidak lapar."

Wati kembali menggigit bibir. Bolpoin masih bergerakgerak di tangannya. Selama berbicara wajahnya tetap menunduk. Dan merengut. Kabul jadi tak ingin meninggalkannya. Tapi Kabul juga tidak tahu apa yang akan dilakukan bila tetap tinggal bersama Wati. Akhirnya, dengan setengah hati Kabul memutuskan keluar.

Sebelum duduk di tempat biasa Kabul sudah disambut dengan senyum lebar Mak Sumeh. Namun setelah menyadari Kabul datang seorang diri, wajah Mak Sumeh berubah.

" Kok sendiri, Pak Insinyur? Wati di mana?" " Wati tidak ingin makan. Katanya tidak lapar." " Ah, Pak Insinyur. Aku tahu apa maunya Wati. Dia tidak mau makan karena sedang meminta sesuatu kepada Pak Insinyur."

" Mak Sumeh sok tahu!"

" Ya tahu. Aku ini perempuan tua yang banyak pengalaman soal begitu-begituan. Sekarang Wati sudah benar-benar putus sama pacarnya. Iya, kan?"

Kabul diam. Dia teringat cerita Aminah sebelum dia kembali ke Gombong beberapa hari lalu. Kata Aminah, Wati telah putus hubungan dengan pacarnya, Yos. Aminah tahu sebabnya; Wati ingin lekas kawin, tapi Yos tidak siap.

" Nah, asal sampeyan tahu, Pak Insinyur. Gara-gara sampeyan-lah Wati meninggalkan pacarnya."

Kabul menegakkan kepala. Wajahnya jadi serius. Mak Sumeh tertawa dan tangannya mengayun ke sana kemari, sehingga gelang-gelang bergemerincing.

" Maafkan perempuan tua ini, Pak Insinyur. Sesungguhnya aku ingin mengatakan, Wati meninggalkan pacar karena lebih tertarik kepada Pak Insinyur. Jadi Pak Insinyur tak salah apa-apa. Aku juga tidak ingin menyalahkan Wati. Sebab, selama masih ada kesempatan memilih, kenapa tidak? Nah, sekarang Wati tidak mau makan. Aku kira karena dia sakit."

" Tidak. Aku yakin Wati tidak sakit."

" Sakit badan sih mungkin tidak, Pak Insinyur. Tapi sakit batin? Kalau benar taksiran ini, wah, aku khawatir dokter yang bisa menyembuhkannya cuma Pak Insinyur." " Aku insinyur, bukan dokter."

" Iyalah, Pak Insinyur. Tapi bagi sakitnya Wati saat ini, sampeyan adalah dokter. Nah, dokter yang punya hati nu- rani pasti tahu penderitaan orang sakit. Dan aku sangat percaya Pak Insinyur punya nurani."

Celoteh panjang Mak Sumeh membuat Kabul merasa semua ruang di kepalanya penuh. Dan ada rasa sebal karena Mak Sumeh agaknya tahu terlalu banyak. Hal ini terjadi tak bisa lain, kecuali Wati telah menjadikan Mak Sumeh tempat berbagi rasa. Mengapa harus Mak Sumeh? Apakah karena aku, Kabul, memang belum pernah membukakan pintu bagi pembicaraan dari hati ke hati? Tiba-tiba pertanyaan ini mengejar Kabul yang kemudian merasa terpojok. Tiba-tiba wajah Wati yang merengut muncul pada layar bayangan. Kabul merasakan Wati benar-benar dalam dirinya.

Hidangan di depan Kabul sudah lengkap. Tapi dia tidak juga mulai bersantap.

Mak Sumeh melepaskan rokok dari mulutnya. Gelangnya bergemerincing.

" Aku malu kepada pacar Wati."

" Malu? Nah, ini pertanda apa? Bila Pak Insinyur malu kepada bekas pacar Wati, artinya Pak Insinyur sudah merasa akan menjadi pacar Wati yang baru. He-he-he, maafkan mulut tua yang lancang ini. Tapi Pak Insinyur, apakah aku salah?"

Kali ini nyinyir Mak Sumeh membuat Kabul terbungkam. Kelancangan perempuan pemilik warung itu membuat Kabul sulit membuka mulut. Kabul merasa sesuatu yang masih ingin disembunyikan dalam hati sudah tertebak oleh Mak Sumeh. Ada senyum di bibir Kabul, namun kaku dan tawar. Atau Kabul merasa lebih baik mulai menyantap hidangan di hadapannya. Namun gulai ikan emas dengan nasi yang masih hangat kali ini tak ada rasa apa pun.

Meskipun perut Kabul terasa lapar, kali ini seleranya tiba-tiba lenyap. Makan menjadi hal yang sangat mekanis. Tapi Kabul terus menyuap makan siangnya, mengunyah dan menelannya tanpa rasa apa-apa. Sementara Mak Sumeh terus nyinyir.

" Pak Insinyur, aku memang makcomblang. Aku biasa minta uang pengertian bila berhasil mempertemukan lakilaki dan perempuan dengan jodohnya. Namun demi Pak Insinyur dan Wati, sungguh, aku lillahi ta ala. Gratisan. Yang penting, ayolah. Aku senang bisa nyawang Pak Insinyur mengawini Wati. Betul!"

Gemerincing gelang. Letup nyala anak geretan, percik bubuk cengkeh terbakar. Sedotan penuh kenikmatan. Dan asap mengepul dari bibir yang sejenak berhenti nyinyir. Kabul seperti acuh tak acuh terhadap omongan Mak Sumeh. Tapi sebenarnya Kabul mendengar semua. Dan pada saat yang sama Wati muncul dari dalam diri Kabul sendiri. Merengut dan mengingatkan Kabul akan pisang yang dipesannya.

" Ada pisang, Mak?" tanya Kabul dengan mulut masih penuh.

" Aduh, kali ini pisangku jelek. Tapi aku lihat di warung sebelah ada pisang ambon yang baik, bukan peraman." Mak Sumeh melepas rokoknya dengan sigap sampai gelangnya bergemerincingan. Lalu berteriak menyuruh Sonah membeli pisang di warung sebelah. Ketika pisang itu sampai di depannya, Kabul yakin Mak Sumeh berkata benar. Sesisir pisang ambon gading yang matang alami yang baunya sudah harum.

Dengan menenteng sesisir pisang Kabul kembali ke kantor proyek. Wati menyambutnya dengan wajah sangat cair. Matanya benderang ketika melihat Kabul meletakkan sesisir pisang di mejanya.

" Mas, aku hanya minta satu pisang. Kenapa Mas bawakan sesisir?"

" Tidak apa-apa, kan? Kalau kamu minta satu sisir, akan saya bawakan satu tandan."

Mata Wati membelalak. Lalu menunduk sambil tersenyum. Wati merasa ada sesuatu yang menyublim, entah apa, datang dari kata-kata Kabul dan lambat laun mengendap dalam hatinya. Sejuk. Terasa jembar. Nyaman sekali. Atau Wati malah berdebar-debar.

" Terima kasih ya, Mas," suara Wati hampir tertahan di tenggorokan. Kabul hanya mengangguk. Dan tidak bisa bilang apa-apa ketika dilihatnya mata Wati berkaca-kaca. Tapi bibirnya tersenyum. Entah senyum apa, karena Kabul baru sekali melihat senyum Wati seperti itu.

Besok Dalkijo datang. Dan menunggu hari esok rasanya seperti menunggu gumpal kekecewaan yang kian pekat. Kabul sangat gelisah. " Mungkinkah Dalkijo mau mengambil sikap surut untuk memenuhi tuntutanku?" pikir Kabul. " Aku menuntut untuk pemasangan lantai jembatan harus digunakan besi baru, pasir bermutu baik. Dan aku juga menuntut penyelesaian proyek ini tidak dipaksa bersamaan dengan pelaksanaan HUT GLM. Dan kedua tuntutan ini adalah harga pasti."

Hampir jam empat sore Kabul berada di tengah susunan balok-balok jembatan yang melintang berbanjar di atas Sungai Cibawor. Struktur jembatan yang terdiri atas fondasi di kedua tepi sungai, tiga tiang serta balok-balok jembatan sudah selesai dikerjakan. Sampai sedemikian jauh Kabul cukup puas. Sosok jembatan sudah kelihatan gagahnya. Mutunya pun, meski Kabul tidak seratus persen puas, bisa

Bagian Kelima

dipertanggungjawabkan. Kini para tukang sedang merancang besi untuk persiapan cor lantai. Namun pekerjaan itu dihentikan sejak tadi siang, karena Kabul tidak ingin menggunakan besi bekas yang disodorkan atasannya.

Dari tempatnya berdiri Kabul memerhatikan tukang-tukang batu yang sedang memasang sayap fondasi dan talud. Di bawahnya mengalir air yang lumayan jernih, karena sudah satu hari satu malam hujan tidak turun. Pemandangan di sekeliling proyek sudah menghijau. Rumpun bambu kembali melebat. Pepohonan memunculkan pupuspupus baru, hijau muda, segar. Rebung bermunculan dari rumpun bambu ampel yang merimbun di tepi sungai.

Tapi dari seberang sana hadir peristiwa alami kecil namun sangat mengesankan. Pelepah pinang yang sudah kuning tiba-tiba rebah dan dengan sangat tertib luruh ke bawah. Burung yang bersarang di sana beterbangan. Pelepah itu jatuh dalam lintasan yang agak condong dan mendarat sebagian di air dan sebagian lagi di darat. Pertunjukan alam masih berlangsung. Pelepah pinang itu perlahan-lahan terseret dan akhirnya hanyut terbawa aliran air Sungai Cibawor. Di atas sana pelepah itu meninggalkan kelopak mayang yang masih kuncup, putih bersih kekuningan.

Untuk beberapa saat Kabul masih tersihir oleh pemandangan dari seberang kali itu. Namun setelah pelepah pinang itu lenyap dalam pusaran air, Kabul tersadar kembali. Dia menarik napas panjang, berjalan meniti balok jembatan dan& apa? Samar-samar telinga Kabul mendengar bunyi seruling dari arah hulu. Bunyi itu hadir antara sayup dan hilang, sehingga telinga yang tak cukup peka tak mungkin bisa mendengarnya. Pak Tarya! Tentulah lelaki tua itu sedang duduk di batu besar di bawah pohon mbulu di hulu sana. Entahlah, Kabul sangat ingin menyusul Pak Tarya. Siapa tahu ini hari terakhir aku berada di proyek ini, pikir Kabul. Kalau ya, aku akan berpisah dengan Pak Tarya dan entah kapan bisa bertemu lagi.

Maka dengan langkah cepat Kabul meninggalkan tapak proyek, berjalan ke arah hulu. Makin dekat ke pohon mbulu besar itu, bunyi seruling makin nyata. Dan pada jarak tertentu Kabul memperlambat langkah lalu berhenti. Kabul tidak ingin kedatangannya cepat diketahui Pak Tarya.

Dari arah belakang Kabul dapat melihat kepala dan punggung Pak Tarya. Tangkai pancing yang sudah dipasang terpancang condong di hadapannya. Boleh jadi karena lama tak ada ikan mendekat, Pak Tarya menunggu sambil meniup serulingnya.

Ya, seruling bambu itu. Bunyinya sangat padu dan akrab menyapa sekeliling, mungkin karena bunyi itu keluar dari seruas buluh. Alunannya seakan datang dari lubuk alam, maka tanpa campur tangan dari luar bisa selaras dengan suara burung perkutut liar yang kebetulan sedang hinggap dalam kerimbunan pohon mbulu. Malah bunyi seruling itu terasa serasi sebagai pengiring sehelai daun waru tua yang tiba-tiba lepas dari rantingnya, melayang berputar seperti burung dan jatuh perlahan ke atas permukaan air. Kabul tetap berdiri, diam, karena masih ingin menikmati lebih lama bunyi lembut itu. Namun ternyata terdengar suara Pak Tarya rengeng-rengeng. Ah, lelaki ini memang manusia yang ayem, pikir Kabul yang masih berdiri diam di tempat tanpa diketahui Pak Tarya. Mungkin bagi Pak Tarya, hidup adalah angin dan dia adalah burung elang yang melayang, meniti, mengalir, sambil menikmati semilirnya. Atau seperti pernah dikatakan Pak Tarya, hidup pun bisa diajak bersenda gurau.

Pak Tarya terus bersenandung. Rengeng-rengeng. Kabul berusaha menangkap tembang apa yang sedang mengalir dari hati Pak Tarya dan menangkap kata-kata yang hanyut dalam senandung itu; Asmaradana.

Nora gampang wong ngaurip Yen tan weruh uripira

Uripe padha lan kebo Angur kebo dagingira Kalal yen pinangana

Pan manungsa dagingipun Yen pinangan pasthi karam.

Poma-poma wekas mami Anak-putu aja lena Aja katungkul uripe Lan aja duwe kareman Marang papaes dunya Siyang-dalu dipun emut Yen urip manggih antaka Kabul terhanyut oleh senandung yang mengalun di tepi sungai itu. Lembut, serta mengingatkan dia sewaktu masih anak-anak di kampung halaman. Malam hari sebelum tidur Kabul sering mendengar sayup-sayup suara orang sedang maca, yakni membaca tembang yang dilakukan seperti itu. Kabul ingin terus mendengarnya. Tapi Pak Tarya tiba-tiba berhenti untuk menarik pancingnya. Dan luput.

" Sayang tidak kena ya, Pak?" ujar Kabul sambil mende- kat lalu melompat ke atas batu besar. Pak Tarya kelihatan agak terkejut, lalu menoleh ke belakang. Senyum khasnya kemudian mengembang.

" Aduh, Mas Kabul? Sampeyan sudah lama di situ?" " Baru beberapa menit. Saya sengaja diam karena asyik mendengar seruling. Juga rengeng-rengeng Asmaradana tadi."

" Wah, saya jadi malu. Mau ikut mancing? Saya membawa pancing cadangan."

" Terima kasih. Tapi saya lebih suka mendengar Pak Tarya nembang."

" He-he-he. Wong itu tadi tembang lucu. Kok sampeyan suka mendengarnya?"

" Lucu bagaimana?"

" Lha iya. Kata penganggit-nya dalam tembang tadi, hidup tidaklah mudah bila kita tak tahu makna kehidupan ini."

" Nah, itu ungkapan yang dalam dan tak ada lucunya, bukan?"

" Lucunya pada baris-baris selanjutnya. Kata penganggitnya lagi, hidup tanpa tahu makna kehidupan samalah dengan kerbau. Mending kerbau, dagingnya halal dimakan. Sedangkan daging manusia tentu haram. He-he-he...."

Kabul ikut tertawa. Tapi tiba-tiba wajah Kabul berubah serius.

" Lalu apa yang dimaksud makna kehidupan? Saya ini insinyur. Jadi tak pernah mendapat pelajaran filsafat."

" Memangnya saya tahu? Saya cuma nembang kok. Namun cobalah pahami pupuh yang kedua. Agaknya ini nasihat buat kita. Kata sang penganggit, hati-hatilah, jangan sampai kita terlena. Dan jangan sampai kita punya kesenangan terhadap pernik keindahan dunia. Siang-malam kita harus ingat, hidup akan berakhir di ujung maut. Demikian. Nah, di zaman serba jor-joran mengumbar kesenangan ragawi seperti sekarang, siapa yang mau mikir dan peduli terhadap nasihat kuno semacam ini?"

" Kuno?"

" Ya. Penganggit-nya juga orang kuno, Pakubuwana IV dari Surakarta."

" Kuno?" ulang Kabul. Pak Tarya tidak jadi berhe-he-he karena melihat wajah Kabul serius. Dia malah berpikir ada apa di balik pengulangan pertanyaan yang diajukan Kabul.

" Mas Kabul, apa sampeyan menganggap nasihat tadi masih relevan untuk zaman kita ini?"

" Entahlah, Pak Tarya. Namun saya merasa saat ini banyak orang tak peduli dikatakan sebagai kerbau yang hanya punya naluri harus isi perut sepenuh mungkin dan tak peduli bagaimana mendapatkannya."
Orang Orang Proyek Karya Ahmad Tohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pak Tarya tertawa. Gayanya membenarkan omongan Kabul.

" Mas Kabul, dulu Ki Hajar Dewantara bilang begini. Pilih mana dari dua kondisi ini: Numpak montor sinambi sawan tangis atau mikul dhawet sinambi rengeng-rengeng. Secara samar Ki Hajar menganjurkan orang memilih kondisi kedua. Yakni, hidup sederhana sambil mengembangkan rasa, dan dengan cara ini orang bisa ayem. Daripada yang pertama? Yakni, hidup banyak harta namun terus gelisah karena selalu diburu oleh keserakahan sendiri."

" Ya, saya pernah mendengar nasihat Ki Hajar itu. Namun sekali lagi, orang sekarang kebanyakan lebih suka memilih yang pertama. Lebih baik numpak montor, punya rumah lima, uang banyak, tak peduli semuanya hasil nyolong harta rakyat atau negara. Lebih baik hidup penuh gaya meskipun selalu dikejar tuntutan yang terus meningkat daripada hidup sederhana dan ketinggalan zaman. Soal jiwa yang gelisah karena dikejar kebutuhan yang terus meningkat? Ah, ada obatnya yang gampang: bar, minuman keras, perempuan, drugs, narkotika."

" He-he-he, tapi sampeyan jangan emosi, Mas Kabul. Dan ngomong-ngomong, sampeyan pilih numpak montor sinambi sawan tangis atau mikul dhawet sinambi rengeng-rengeng?"

" Saya? Ah, kalau bisa saya numpak montor sinambi rengeng-rengeng. Artinya, saya ingin punya mobil, rumah bagus, uang banyak, tapi hasil kerja yang wajar."

" Kok curang? Mas Kabul mengambil pilihan yang tidak ditawarkan."

" Pak Tarya juga curang. Sebab untuk zaman sekarang, kedua pilihan itu terlalu sederhana, hitam-putih."

" He-he, ya. Tapi Mas Kabul, untuk mengetahui sikap seseorang dengan cara mudah, pilihan yang ditawarkan memang harus sederhana, atau diekstremkan sekalian. Nah, apabila menghadapi dua pilihan sederhana tadi, mana yang akan sampeyan ambil?"

Kabul nyengir. Tapi entahlah, tiba-tiba bayangan Biyung hadir. Dulu, Biyung memilih menanak inthil daripada menanak nasi agar bisa berhemat dan dengan demikian bisa menabung. Hasilnya adalah kenyataan Kabul dan kedua adiknya bisa sekolah sampai ke perguruan tinggi. Namun sikap hemat Biyung pastilah tidak cukup apabila ayah Kabul tidak mengimbanginya. Ayah Kabul yang disebutnya Bapa, juga hidup nyugag kesenengan, sangat membatasi diri terhadap kenikmatan hidup.

" Pak Tarya, kedua orangtua saya tak kenal Ki Hajar. Namun saya tahu mereka mengikutinya. Dan saya sangat hormat kepada Bapa-Biyung yang memilih hidup ayem dalam kesahajaan; memilih makan nasi inthil, tapi bisa among rasa daripada makan enak sambil mengumbar keinginan yang bermuara pada keserakahan."

" He-he-he, dan sampeyan sendiri?" " Saya adalah anak kandung Bapa-Biyung." " Ya, ya, saya tahu. Saya..."

Teng-teng... teng-teng... teng-teng.... Omongan Pak Tarya terpotong bunyi lonceng proyek. Jam empat sore. Akhir jam kerja. Dari jarak hampir dua ratus meter Kabul mendengar sorak para tukang dan kuli. Entahlah, mereka selalu menyambut lonceng tanda akhir jam kerja dengan sorakan. Mungkin karena selama bekerja mereka tertekan oleh ketatnya aturan. Atau oleh kenyataan upah yang rendah. Dan mereka akan kembali bekerja untuk lembur yang biasa dimulai jam tujuh malam.

Kabul minta diri kepada Pak Tarya yang kelihatan masih betah duduk di atas batu sambil menunggu pancingnya. Menjauh sekian belas langkah, Kabul kembali mendengar Pak Tarya rengeng-rengeng: Nora gampang wong ngaurip, yen tan weruh uripira, uripe padha lan kebo...

Kabul tersenyum. Kasihan kepada mendiang Pakubuwana IV yang mungkin tidak pernah meramal pada masa sesudah hidupnya banyak orang tidak peduli hidup mereka disamakan dengan hidup kerbau.

Dan di kantor proyek Kabul mendapat kejutan. Wati, yang biasa pulang sebelum jam tiga, masih duduk di kursi. Jam dinding di atasnya menunjuk pukul 16.03. Kabul siap bertanya mengapa Wati belum pulang, namun Wati malah menduluinya.

" Mas, aku belum pulang. Aku masih ingin baca-baca di sini. Boleh, kan?"

" Ya, mengapa tidak. Tapi bagaimana kalau ibumu menunggu? Kamu biasa pulang sebelum jam tiga, bukan?"

" Biar saja Ibu menunggu. Aku bukan anak remaja lagi yang bisa diatur-atur. Iya, kan?"

" Ya, kamu sudah dewasa." " Memang. Tapi, tapi, aku ingin diantar pulang. Mas mau? Atau, Mas capek, ya?"

" Bilang sudah dewasa kok ingin diantar pulang?" " Ah, Mas kok gitu sih? Bilang saja nggak mau antar aku pulang."

Wati merengut. Tak lama, hanya beberapa detik. Tapi Kabul berdebar dan merasa harus menyerah. Dan debar di dada Kabul lebih lama daripada rengutan Wati. Malah sisa debar masih ada ketika Kabul sudah duduk di belakang kemudi jipnya. Wati duduk di sebelah dengan wajah ceria. Hatinya meriah. Matahari sore hilang-tampak di balik rimbun pepohonan setelah jip itu melaju meninggalkan lokasi proyek. Dari warungnya Mak Sumeh memandang Wati dan Kabul sambil tersenyum lebar. Dan bergumam sendiri.

" Aku bilang juga apa. Pak Insinyur, akhirnya sampeyan mau juga. Ah, dasar lelaki, suka kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak mau. Tapi akhirnya? Dasar!"

Pagi ini kegiatan di proyek baru satu jam dimulai ketika dari arah utara terdengar deru motor besar. Dan siapa pun yang ada di proyek itu segera tahu siapa yang datang. Hanya ada satu motor besar seperti itu yang beberapa kali muncul di proyek dan pengendaranya pun sama; Insinyur Dalkijo, yang mendapat banyak sebutan: Bos Proyek atau Pak Pemborong. Tapi Dalkijo sendiri lebih suka mendapat julukan Koboi.

Dan sang Koboi muncul mengendarai kuda besi Harley Davidson. Pakai topi seperti yang dikenakan Franco Nero dalam film koboi A Coffin for Jango. Celana jins ketat dan sepatu berhak tinggi. Hem berlengan panjang bermotif kotak-kotak. Tapi menyalahi penampilan koboi yang sebenarnya, di pinggang Dalkijo tak ada pistol. Sebagai gantinya adalah pesawat radio komunikasi di pinggang kiri. Juga menyalahi kebiasaan para koboi, Dalkijo pakai kacamata gelap.

Turun dan memarkir kuda besinya, ulah Dalkijo masih meniru perilaku para koboi. Gila Franco Nero, Clint East Wood, atau Clark Gable dalam peran koboi mereka yang tak pernah lupa mengusap kepala kuda, Dalkijo mengusap lampu Harley-nya sebelum pergi. Sayangnya, bila orang tak pernah melihat koboi cengar-cengir kecuali Koboi Cengeng-nya Bagyo cs Dalkijo malah cengengesan. Apalagi ketika beberapa tukang dan mandor berhenti bekerja hanya untuk mengagumi motor besar kebanggaan bos proyek itu.

Dan lihat gaya Dalkijo ketika berjalan menuju kantor proyek. Langkahnya ringan. Kedua tangan mengayun bebas, seperti tangan jagoan yang setiap detik siap mencabut dan menarik picu pada saat yang hampir bersamaan. Untunglah ketika membuka pintu kantor proyek Dalkijo lupa gaya para koboi bila mereka membuka pintu bar. Maka Dalkijo masuk dengan gaya aslinya, gaya anak petani Blora.

" Kula nuwun, Dik Kabul ada?" " Ada, Pak," Wati yang menjawab.

" Ya, saya ada, Pak." Kabul kebetulan sedang berada di kamar pribadi.

" Kalian baik semua? Aduh, Wati, biasanya orang bekerja di proyek jadi tampak kusut dan berdebu. Tapi kamu malah makin cantik."

" Terima kasih, tapi apa betul aku cantik, Pak?" Kabul keluar. Menyalami atasannya. Wajahnya sedikit tegang. Tapi ketegangan itu cepat hilang, karena Dalkijo bisa membuat suasana menjadi sangat cair.

" Bila aku bilang Wati makin cantik, Dik Kabul setuju, kan?"

" Ya, setuju. Sungguh."

Pipi Wati merah. Matanya berkaca-kaca. Tak bisa bilang apa-apa, jadi serbakikuk. Dan Dalkijo benar-benar menjadi pengendali suasana.

" Wati, kamu ambil minuman di warung. Dan, Dik Kabul, mari duduk. Kita bicara meneruskan omongan kemarin. Santai saja."

Kabul menurut. Tersenyum resmi, menunggu sampai Dalkijo selesai menyalakan rokoknya. Dan mengangkat kedua kakinya ke atas meja.

" Begini, Dik Kabul. Aku datang kemari dengan keputusan. Maka kita tidak akan bicara banyak-banyak." " Maksud Bapak?"

" Ya. Keputusan itu kuambil tadi malam setelah aku ber- bicara dengan pihak pemilik proyek, tokoh-tokoh partai dan khususnya jajaran GLM. Mereka telah setuju kebijakan yang kuambil. Dan itu pula keputusan yang kubawa saat ini."

" Artinya, besi bekas, pasir yang kurang bermutu, tetap akan dipakai?"

" Ya. Dan peresmian jembatan ini tetap akan dilaksanakan tepat pada HUT GLM. Itulah keputusan yang ada dan Dik Kabul kuminta bisa menerimanya."

" Maaf, saya pun tetap berada pada keputusan saya. Saya tak bisa...."

" Tunggu, Dik Kabul. Aku tidak akan lupa Dik Kabul dan aku sama-sama insinyur, lulus dari perguruan tinggi yang sama, hanya beda angkatan. Kita sudah sekian lama bekerja sama. Dan terus terang, aku sudah menganggap Dik Kabul adik kandungku. Maka laksanakanlah keputusan itu."

" Maaf, Pak Dalkijo. Kalau keputusan Anda sudah final, saya pun tak mungkin berubah. Saya tetap mengundurkan diri."

Wati sudah diiringi Sonah yang membawa teh botol dan dua gelas berisi es batu. Wati tertegun karena merasa terperangkap oleh suasana yang kaku. Setelah menata minuman Wati duduk di meja kerjanya, membeku.

" Coba dengar, Dik Kabul. Harap jangan dilupakan keputusan Dik Kabul bisa membahayakan Dik Kabul sendiri. Ah, bila Dik Kabul mau aku eman, bertahan dan selesaikanlah proyek ini. Sebab, pemilik proyek adalah dua nama tapi satu entitas; ya pemerintah, ya GLM.

(" Brengsek kamu! Pemilik proyek adalah rakyat, tahu?" ) " Dan kalau mereka menganggap Dik Kabul tidak loyal kepada mereka, atau lebih jauhnya mereka menganggap Dik Kabul menghambat pembangunan yang sedang giatgiatnya dilaksanakan, mereka bisa mengambil tindakan represif. Artinya, Dik Kabul akan berurusan dengan aparat keamanan. Nah, Dik Kabul, jangan sampai hal itu terjadi."

" Aparat keamanan? Apa urusan mereka dengan saya?" " Oh, Dik Kabul..."

Dalkijo tertawa, melepas kacamata hitamnya, lalu menuang minumannya ke dalam gelas. Menenggak, menghapus bibir dengan punggung tangan. Sungguh dia tidak lupa akan gaya para penggembala sapi. Dan di tempatnya Wati tetap membeku. Wati merasa hatinya sedang menjadi taruhan dalam pembicaraan yang hangat antara dua lelaki di depannya.

" Dik Kabul, sampeyan memang insinyur. Tapi terlalu lugu. Dengar, Dik. Untuk memeriksa atau bahkan menahan Dik Kabul, mereka akan menemukan banyak alasan. Misalnya, menghambat pelaksanaan program pembangunan, tidak loyal kepada pemerintah, menentang Orde Baru, sampai kepada indikasi bahaya laten komunis. Dan sekali lagi Dik Kabul berurusan dengan aparat keamanan, nama Dik Kabul akan masuk daftar hitam; Dik Kabul akan tetap diawasi dan mungkin tidak akan dapat bekerja di mana pun. Terus terang aku sampaikan hal ini karena aku eman sama Dik Kabul. Jadi, sekali lagi, turutilah nasihat kakak angkatan, ya aku ini. Selesaikan proyek ini seperti yang kami maui. Atau, apakah Dik Kabul mau repot menghadapi pemeriksaan aparat keamanan?"

Tenang. Kabul tampak sangat tenang. Dan dia sebenarnya sudah menyediakan cukup kata-kata untuk menanggapi tekanan Dalkijo. Namun Kabul memilih diam sejenak. Dari tempat duduknya Wati mengikuti dengan saksama pembicaraan itu. Wajahnya kadang tampak tegang, kadang tampak sedih. Ingin ikut bicara. Tapi apa?

" Terima kasih atas nasihat Pak Dalkijo. Untuk mereka yang suka gampangan dan ingin serbamudah, nasihat Bapak tentu pas. Dan maaf, Pak, saya bukan dari kalangan seperti itu. Jadi saya memilih mengundurkan diri terhitung sejak hari ini."

" Dik Kabul!"

" Maaf, Pak. Keputusan saya tak bisa ditarik lagi. Saya keluar!"

Dalkijo menarik kedua kakinya dari atas meja dan membantingnya ke lantai. Berdiri dengan kaki terbuka seperti koboi siap berkelahi. Tapi Kabul malah kelihatan tenang. Untuk beberapa saat suasana terasa genting.

" Baik! Tapi jangan salahkan aku bila Dik Kabul harus menghadapi interogasi aparat keamanan. Dan ini, Dik Kabul. Idealismemu tidak akan membuatmu jadi pahlawan. Kecuali Don Kisot!"

Kabul masih diam dan tenang. Tapi Wati menangis. Dan tersentak ketika Dalkijo meninju daun meja lalu keluar dengan wajah seperti terbakar. Bergegas menuju motor besarnya yang segera menderu begitu Dalkijo mendudukinya.

Hanya dalam bilangan detik koboi proyek itu sudah menghilang dan hanya menyisakan ringkik berat kuda besinya yang cepat menjauh.

Tinggallah Kabul dan Wati. Keduanya masih diam. Atau Wati yang kembali mengisak. Kabul mendekat dan meletakkan tangan di pundaknya. Kulit Wati merinding. " Wat, kamu jangan menangis."

Sepi.

" Mas menganggap seakan aku tidak ada? Mas mengambil keputusan untuk Mas sendiri, dan aku tak ada arti sama sekali?"

" Apa maksudmu, Wat?"

" Teganya Mas meninggalkan aku sendiri di sini." Kabul tergagap. Berdiri dan berjalan mengelilingi ruangan.

" Maaf, Wat, aku memutuskan berhenti karena prinsip yang harus kubela. Aku harus pergi, namun aku minta kamu tetap bekerja sampai proyek ini selesai. Atau dianggap selesai menjelang pada HUT GLM, kira-kira sebulan lagi."

" Mas mau ke mana?"

" Istirahat barang sebentar, mungkin di rumah Biyung. Aku janji akan tetap menghubungimu lewat telepon." " Terus pindah kerja atau bagaimana?"

" Sebenarnya aku ingin kembali ke kampus, sebab bekerja di lapangan ternyata berat buatku. Tapi entahlah bila aku bekerja di proyek milik swasta."

" Kapan Mas berangkat?"

" Paling cepat nanti siang. Sebelum pergi, aku perlu berpamitan kepada Mandor, tukang, Mak Sumeh. Juga Pak Tarya dan Bas, eh, Kades Basar."

" Ke aku tidak? Aku tak ada arti bagi Mas. Iya, kan?" Telinga Kabul terasa terjewer. Dan tanpa sepatah kata pun Kabul meraih tangan Wati, mengajaknya keluar. Mereka berjalan lambat menuju warung Mak Sumeh. Kabul memeluk Wati di pundaknya, suatu hal yang baru sekali dilakukannya. Kepala Wati condong ke dada Kabul.

" Aduh, mesra amat. Mbok dari dulu begitu," gurau Mak Sumeh ketika Kabul dan Wati masuk ke warungnya.

" Mumpung Mas Kabul belum pergi, Mak. Dia sudah berhenti bekerja di proyek ini."

" Ah, yang benar!"

" Benar, Mak."

Dan Wati mengatakan semuanya. Mak Sumeh tertegun. Gelangnya bergemerincing ketika perempuan gemuk itu berjalan kian-kemari tak tahu tujuan.

" Pak Insinyur berhenti? Kenapa?" " Tidak apa-apa, Mak...."

" Dia tadi bertengkar dengan Pak Dalkijo." " Wah, gawat."

" Biasa, Mak. Pada dua orang pasti ada perbedaan. Dan karena ada perbedaan pendapat yang mendasar antara aku dan Pak Dalkijo, aku merasa lebih baik berhenti. Itu saja."

" Dan Wati ditinggal?" " Ya. Tapi tidak."

" Bagaimana?"

" Kapan-kapan Wati kujemput, dan kuajak menemui Biyung, emakku. Kamu mau, Wat?"

Wati menoleh perlahan. Mata Wati berkaca-kaca. Senyumnya polos, tapi di mata Kabul malah tampak begitu indah. Ketika mengangguk untuk mengiyakan ajakan Kabul, anggukan ini terasa meruntuhkan hati Kabul.

" Dari dulu aku bilang apa," kata Mak Sumeh. " Kalian memang pasangan yang serasi. Jadi, syukurlah bila kalian mulai pacaran. Tapi, Pak Insinyur, kasih tahu aku bila Pak Insinyur punya proyek baru. Aku akan buka warung lagi."

" Bila proyekku ada di Jakarta?"

" Eh, jangan khawatir. Di Jakarta, Bandung, Tangerang, Bekasi, Surabaya, ada banyak saudaraku yang punya usaha warteg. Jangan pandang enteng orang Tegal. Betul! He-hehe...."

Keluar dari warung Mak Sumeh, Kabul mengajak Wati berkeliling proyek. Wati menjadi juru bicara. Mandor, tukang, dan para kuli terkejut ketika mendengar Kabul sudah berhenti bekerja dan akan meninggalkan proyek. Kang Acep malah mengusap matanya yang basah.

" Kumaha atuh, Bapak? Kunaon tega meninggalkan kami? Kalau mau pindah proyek, ajak-ajak saya. Boleh kan saya ikut?"

Kabul terharu. Dan makin terharu ketika melihat Bejo juga datang dengan mata merah.

" Bapak keluar? Saya ikut. Saya senang punya pengawas yang mau ketawa sama tukang dan kuli. Yang mau samasama makan di warung Mak Sumeh. Yang mau nanggap Tante Ana. Oh, kasihan Tante Ana. Dia tidak tahu Pak Kabul pergi."

" Ya, Kang Acep, Bejo, dan yang lain, nanti kalau aku punya proyek baru, kalian kuajak. Tapi kalian harus tetap di sini sampai proyek ini selesai tak lama lagi. Wati juga."

Sepi. Dan Kang Acep, Bejo, serta yang lain hanya memandang dengan tatapan kosong ketika Kabul dan Wati berlalu. Mereka tetap berdiri sampai Kabul dan Wati masuk ke kantor proyek.

Jam tiga sore Kabul sudah selesai berkemas. Barang-barang miliknya memang tidak seberapa, sehingga cukup dipak dalam satu tas yang tak begitu besar, kecuali peralatan gambar. Jip tua itu sudah diparkir di depan pintu kantor. Dan entah siapa yang mengawali, sekian banyak pekerja proyek datang dan berdiri mengelilingi jip. Bahkan juga Mak Sumeh, Sonah, Sri. Maka ketika Kabul keluar dengan menenteng tasnya, suasana haru tidak mudah dielakkan. Apalagi Wati jelas-jelas menangis. Mak Sumeh juga.

" Aduh, terima kasih. Aku merasa dihargai. Tapi kalian jangan menangis, karena insya Allah kita akan bertemu lagi."

" Aku ikut sampai ke rumah Kades Basar. Boleh?" pinta Wati.

" Tentu. Nah, ayo." Kemudian Kabul menyalami semuanya. Wati naik dan duduk di samping Kabul. Mesin jip hidup. Roda-rodanya bergerak. Kabul tak ingin terjerat oleh situasi cengeng. Maka sambil melambaikan tangan dia menekan gas dan jip pun melaju. Di belakang, pundak-pundak berjatuhan. Kang Acep, Bejo, Mak Sumeh membisu. Dan mengusap mata.

Sebenarnya Kabul sudah punya rumah pribadi di permukiman yang masih hijau di pinggir kota. Namun keberangkatannya kali ini bukan untuk kembali ke rumah itu, melainkan untuk Biyung. Keputusannya keluar dari proyek meski diambil dengan sadar ternyata ada ongkosnya. Kegelisahan. Kesehariannya yang selama ini terasa sudah jelas tiba-tiba jadi samar, baur. Pertanyaan " apa berikutnya?" sesudah keluar dari proyek ternyata tidak mudah dijawab. Hidup menjadi kurang jelas, mengambang. Dan Kabul tahu di mana ada keteduhan yang akan mampu menenangkan kembali hatinya. Biyung.

Bagi Kabul, Biyung adalah lembaga, lebih dari sekadar perempuan yang telah melahirkannya. Memang, personi- fikasi ke-biyung-an terwakili sepenuhnya oleh sosok perempuan kampung yang perkasa itu. Namun nuansa ke-biyungan bisa terasa pada suasana rumah tua yang dulu menjadi tempat Kabul dierami hingga tamat sekolah dasar. Bahkan nuansa ke-biyung-an bisa tercium dari bau udara senthong atau bilik dengan balai-balai bambu, tikar pandan, bantal lusuh, tempat dulu dia kelon sambil bermain puting tetek Emak sepasang tetek anggun pada dada bidang yang menawarkan daya hidup dan rasa aman bagi anak-anak.

Atau pada sebatang pohon mangga di halaman. Dulu pohon itu hanya sebesar batang pinang. Dulu Kabul sering memanjat untuk memetik buahnya yang gemadhing dan di bawahnya sudah menunggu kedua adiknya, Samad dan Aminah. Kabul senang makan mangga sambil duduk di atas dahan, langsung menggerogoti dengan giginya. Mangga masak di pohon? Enak, manis, wangi alami. Tapi lebih enak lagi mangga masak di pohon yang separuhnya sudah habis dimakan kampret.

Suara tokek di bubungan rumah di malam hari, bunyi gembus digoreng dalam minyak mendidih di pagi hari, atau bunyi bakiak Bapa yang rajin pergi ke surau melengkapi dunia Biyung yang selalu mengundang kerinduan.

Biyung. Kini Kabul benar-benar merindukannya. Bukan hanya karena dia sudah beberapa bulan tidak menemuinya, tapi lebih dari itu. Dia ingin meredam kegelisahannya dalam keteduhan dunia Biyung. Mengadu kepada Emak seperti anak kecil setelah kalah bermain kelereng? Mungkin. Atau entahlah. Yang jelas Kabul yakin keputusannya keluar dari proyek tak bisa disebut sebagai kekalahan.

Hampir jam lima sore jip Kabul memasuki halaman rumah tua itu, rumah Biyung. Setelah mesin mati terasa benar suasana lengang. Kabul turun sambil nyangklong tas di pundaknya. Bunyi langkah sepatunya berubah begitu kaki menapak lantai semen. Sepi. Tanpa mengetuk pintu Kabul masuk.

" Salamu ngalaikum. Yung? Biyung?"

Suara Kabul mengisi seluruh ruangan rumah berdinding kayu itu. Terdengar bunyi langkah dari dapur. " Biyung di rumah?"

" Siapa itu? Si Kabul?" terdengar suara yang begitu menyejukkan. Suara Biyung.

" Iya, Yung."

Biyung muncul dengan tangan memutih oleh ampas singkong. Seorang kerabat perempuan yang selama ini tinggal bersama Biyung juga datang. Agaknya Biyung sedang memarut singkong untuk membuat klanting. Ibu dan anak bersitatap. Bersalaman. Kabul merasa tangan Biyung sejuk, mengimbaskan rasa damai. Dan tetap kuat, tangan perempuan petani yang tetap bekerja sampai hari tua. Mata Biyung menyapu tubuh Kabul dari kepala hingga kaki, lalu tersenyum. Kabul melihat kerlap-kerlip surgawi di mata Biyung.

" Anak Lanang, kamu waras-slamet, kan?" ujar Biyung. Kabul mengangguk. Biyung menepuk-nepuk pundak Kabul sehingga banyak ampas singkong melekat di bajunya.

" Aku belum selesai marut singkong. Kamu mandi dulu, sembahyang, lalu makan. Di meja ada sega-jangan." " Baik, Yung. Samad atau Aminah tidak pulang?" " Tidak. Samad bilang mau cari kerja ke Batam. Di mana itu? Jauh?"

" Jauh, Yung. Tapi biar saja. Dia laki-laki." " Iya, tapi kalau ada yang dekat, jangan pilih yang jauh. Aku sudah tua. Ahad lalu Aminah pulang diantar temannya, anak lelaki."

" Siapa?"

" Aduh, Biyung lupa namanya. Katanya, teman sekampung, eh, kam... kam..."

" Kampus."

" Ya, sekampung, ehm, sekampus. Namanya si Jos? Yos? Iya, namanya Yos."

Kabul tertegun. Yos? Nama ini pernah dikenal. Siapa? Bekas pacar Wati? Brengsek! Kabul nyengir. Getir.

" Eh, kamu linglung? Datang dari jauh bisa membawa hawa buruk. Jadi, sana, mandi!"

Kini Kabul tersenyum. Terasa betul Biyung tetap memandangnya sebagai anak yang masih kanak-kanak. Tapi Kabul justru menikmati kedekatan. Dan rasa aman seperti dia masih bocah.

Waras-slamet atau sehat-selamat adalah pertanyaan pertama yang selalu keluar dari mulut Biyung bila berjumpa dengan anak-anaknya. Belakangan Kabul baru sadar dua kata itu bukan pertanyaan sederhana. Pertanyaan yang me- nyangkut keadaan kesehatan memang gamblang dan sangat mudah dijawab. Tapi soal selamat?

Ketika bertanya " Ko slamet?" atau " Kamu selamat?" , rasanya Biyung tidak hanya ingin tahu tentang keselamatan ragawi anaknya, tapi juga hati dan jiwanya. " Bila aku yakin tubuhku sehat, bagaimana dengan jiwaku?" Pertanyaan yang muncul dari dalam itu mengusik Kabul selama dia berada di kamar mandi. Terbukti Biyung sangat peduli akan keselamatan sejati anak-anaknya. " Ah, Biyung akan tahu kami adalah anak-anaknya, anak-anak dari budaya cablaka yang dibesarkan dengan prinsip-prinsip apa anane, apa mesthine, apa benere. Biyung tak perlu khawatir kami akan keluar dari prinsip-prinsip itu, karena kami sangat menghargai jalan keselamatan yang diajarkan Biyung."

Malam hari Kabul tidur nyenyak. Berada di rumah Biyung rasanya ayem, mengendap. Masih ada suara tokek di bubungan. Suara tikus busuk berkejaran di kolong balaibalai. Atau kirap kelelawar dalam kerimbunan pohon mangga di halaman. Semuanya mengantar Kabul hanyut ke alam mimpi. Tapi sebelum tidur Kabul sempat ngobrol banyak bersama Biyung. Dan mata Biyung berbinar-binar ketika Kabul bilang ingin cari istri. Atau Kabul malah bilang dia sudah punya calon istri.

" Aduh, Anak Lanang, kamu sungguh menyenangkan hati Biyung. Cepatlah menikah supaya Biyung cepat menimang cucu. Ya, memang sudah tiba titi mangsane kamu harus berumah tangga. Ya, Anak Lanang, ya..."

Biyung tidak bisa meneruskan kata-katanya, barangkali karena dadanya sesak oleh rasa haru.

Meski tidak lagi jadi orang proyek, pada HUT GLM Kabul menyempatkan diri hadir. Dia ingin menonton peresmian jembatan yang akan dilaksanakan sehabis upacara HUT sekaligus mengawali pawai besar-besaran massa GLM. Dengan kacamata rayban dan topi pandan yang lebar, Kabul berdiri di tempat yang tinggi di sebelah utara jembatan. Kecuali Wati yang berdiri satu payung dengan Pak Tarya yang tegak di samping, tak ada orang yang mengenali Kabul. Tapi entahlah. Tiba-tiba Bejo muncul bersama Tante Ana. Keduanya bergabung dan mereka berimpit di bawah satu payung.

Hampir jam dua belas. Sehabis upacara di lapangan, ribuan massa GLM mengiringi ketua umum mereka Salat Jumat di masjid yang masih bau cat karena baru direhab total. Puluhan ribu lainnya sudah bersiap mengikuti pawai besar yang akan dimulai dari lokasi jembatan. Ribuan kendaraan berbaris memanjang berkilo-kilometer, sepeda motor, mobil-mobil bagus para pejabat dan tokoh GLM, truk besar-kecil, kendaraan proyek dari truk sampai jip, siap berpawai unjuk kesetiaan buta kepada sang berhala.

Dan yang sangat kontras: apabila pejabat dan politikus yang semuanya kader GLM duduk dalam mobil bagus ber- AC, tengoklah puluhan ribu massa akar rumput yang telah di-GLM-kan itu. Paling beruntung mereka yang naik sepeda motor. Tapi yang di atas truk itu, mereka dipaksakan ke dalam bak-bak truk seperti singkong yang ditata semampat mungkin, sementara panas matahari sangat memanggang. Dan udara sangat berdebu. Atau sebentar lagi cuaca bisa berubah teduh tapi akan disusul hujan deras.

Ribuan mesin mulai hidup. Dan sorak-sorai membahana. Sang Ketua Umum datang dan mobil mewahnya menempati kepala barisan. Ribuan massa merangsek dan meneriakkan yel-yel GLM ketika diumumkan Ketua Umum siap menggunting pita tanda peresmian penggunaan jembatan. Maka sang Ketua turun dari mobil dengan senyum khas, karena gigi taringnya sedikit gingsul. Langkahnya megah. Penuh kejayaan. Dan puja-puji, hidup Orde Baru.

Seorang perempuan muda yang tampil dalam warna serba-GLM dari kain, baju, selendang, sepatu, baki yang dipegang, hingga pita gunting, maju mendekati sang Ketua. Dan sesaat kemudian rantai kembang warna GLM pun putus. Gemuruh suara sorak ribuan manusia. Pada detik yang sama di tempatnya berdiri Kabul merasa dadanya tertusuk. Amat sangat sakit. Maka Kabul tak sempat mendengar gempita selanjutnya, atau melihat pemandangan penuh eforia yang menggila. Atau suasana memang benarbenar gila, karena massa GLM sedang mabuk kejayaan meski hampa dan palsu.

Setelah Kabul berhasil mengembalikan kesadaran, dilihatnya iring-iringan pawai besar sudah mulai bergerak. Mercedez Benz sang Ketua mengepalai barisan dipandu oleh iringan sepeda motor besar yang membunyikan sirene meraung-raung. Koboi Dalkijo dengan kuda Harley Davidson-nya tampak sangat jaya, karena ikut menjadi pemandu barisan.

Di belakang Mercedez Benz sang Ketua membuntut puluhan mobil bagus lainnya. Menyusul puluhan mobil pelat merah, kendaraan-kendaraan proyek, ratusan truk dan mobil niaga bak terbuka serta ribuan sepeda motor. Truktruk sarat manusia lelaki dan perempuan tumbal ambisi para politikus mengekor di ujung konvoi yang begitu panjang.

Untunglah, sinar matahari yang sangat tajam sering terhalang awan. Namun bila mendung beranjak, gumpalan awan di sana-sini malahan ikut memantulkan cahaya matahari sehingga udara terasa semakin menjerang. Ah, ribuan manusia yang dimampatkan dalam bak-bak truk itu. Tahukah kalian untuk apa kalian dinistakan seperti itu?

" Aduh, panasnya, tapi pawainya ramai ya, Mas?" Wati berbisik di dekat telinga Kabul.

" Ya, ramai. Tapi sekaligus terlihat tidak manusiawinya orang-orang politik."

" Ya kamu lihat sendiri orang kampung dan petani yang diangkut dengan truk-truk itu. Mereka diperlakukan seperti ternak. Bila panas kepanasan, bila hujan kehujanan. Bila mereka lapar dan haus di tengah jalan, siapa yang peduli?"

" Tapi mereka kelihatan gembira. Iya, kan?" " Betul. Mereka menikmati kegembiraan semu, bahkan tragis. Ya, tragis karena mereka tidak menyadari telah menjadi korban, menjadi tumbal bagi ambisi orang-orang partai. Dan semua ini terjadi karena massa kebanyakan kurang terdidik sehingga buta akan hak-hak politik mereka. Akibatnya mereka jadi sangat mudah digiring ke sana-kemari, ditipu, dan akhirnya dimobilisasi. Yang sedang kita lihat saat ini adalah mobilisasi atau pengerahan massa yang mengerikan. Celakanya, selain GLM, dua partai lain melakukan hal yang sama. Mereka memanfaatkan dengan licik kebodohan massa untuk tujuan-tujuan politik mereka..." Kabul berhenti bicara, karena Bejo tiba-tiba berseru. " Aduh, Pak Kabul. Ada truk trailer penuh muatan mau melewati jembatan. Apa kuat? Lantai jembatan baru selesai dicor seminggu yang lalu."

Kabul memandang ke arah yang ditunjuk Bejo. Ya. Di tengah ingar-bingar massa yang menggila dan deru ribuan mesin yang menggetarkan bumi, tampak sebuah trailer dalam barisan ratusan truk lain. Muatan trailer itu adalah puluhan kader GLM berseragam dan berdiri megah serta sebuah pohon klepu besar yang dipajang lengkap dengan akar-akarnya. Klepu adalah lambang GLM yang telah dikeramatkan dan dijadikan berhala lain. Lihat, betapa khusyuk para kader GLM yang berada di atas trailer itu, karena mereka sedang mengiringi berhala yang mereka keramatkan.

Mata Kabul tak berkedip mengikuti laju trailer beroda delapan belas yang mulai mendekati jembatan. Massa terus ingar-bingar. Wati merapat ke tubuh Kabul. Pak Tarya diam, namun kelihatan ikut tegang. Tapi Tante Ana bermanja-manja minta perhatian Bejo.

" Mas Bejo sih masa pakai payung sendiri. Aku kan panas. Idiih, teganya...."

" Sori, Tante...."

" Idiiiiih! Gemes deh. Kamu sih panggil aku Mbak atau Ana saja. Jangan pakai Tante."

" Ya, Mbak Daripan, eh, Mbak..." Bejo berhenti dan meringis karena cubitan keras Tante Ana.

" Ya, ya, Mbak Ana sayang...."

" Nah, dari tadi begitu kenapa sih? Kan aku jadi senang. Aduh, Mas Bejo gagah deh...."

" Ya, tentu. Tapi kamu jangan rewel. Lihat. Lihat! Trailer itu mulai masuk jembatan. Apa kuat?"

Kabul menahan napas. Beban berat trailer terasa menindih dan menggilas dadanya. Tapi puluhan ribu manusia mabuk itu tak satu pun peduli. Mereka menggeber motor dan klakson dalam histeria yang makin gila, dan terus meneriakkan yel-yel kejayaan palsu. Dan roda trailer terus bergulir menekan lantai jembatan yang pasti belum sempurna mengeras. Bejo menekankan tapak tangan di kedua pipinya. Cemas. Kabul makin tegang. Pak Tarya membisu. Wati makin merapat. Dan sorak Bejo meledak setelah trailer melewati jembatan.

" Aduh, Pak Kabul! Aku bersyukur, ternyata lantai jembatan sudah kuat, tidak ambrol."

Kabul mengosongkan parunya untuk mengusir rasa kecewa yang menyesaki hatinya. Apa yang dikhawatirkan hampir pasti terjadi. Dan jerih payah selama hampir dua tahun akan sangat ternoda. Memang dia hanya bertanggung jawab atas kualitas struktur jembatan. Jadi soal lantai bukan tanggung jawabnya. Namun masyarakat umum hanya tahu Kabul-lah yang memimpin pembangunan jembatan itu.

Rasa sakit di hati membuat tontonan konyol pawai politik yang sangat ingar-bingar tak lagi menarik perhatian Kabul. Malah dia merasa demikian sebal, sehingga Kabul berharap pawai cepat usai. Apalagi cuaca semakin terik karena awan menghilang.

Ketika kendaraan paling buntut akhirnya melewati jembatan, penonton pun perlahan bubar. Namun Kabul belum beranjak. Matanya masih memandang jembatan baru itu dengan mata dan dengan hatinya. " Kamu tampak bagus dan gagah. Tapi proses pembangunanmu diselimuti kesontoloyo-an yang parah. Umurmu tak akan panjang dan anggaran pembangunanmu yang sebagian jadi bancakan akan menjadi beban masyarakat miskin."

Mungkin Kabul masih ingin bertahan dan merenung di tempat tinggi itu. Tapi Wati mengajaknya turun. Kabul mengalah. Sambil menggandeng Wati, Kabul mengajak Pak Tarya, Bejo, dan Tante Ana istirahat di warung Mak Sumeh. Mereka menuruni tebing, melintasi jembatan, dan kemudian mendapati Mak Sumeh sedang mengemasi barang-barang dibantu Sri dan Sonah. Agaknya warung siap tutup untuk selamanya.

" Aduh, aduh, dasar lagi untung. Aku masih bisa bertemu Pak Insinyur, Wati, dan semuanya. Tapi tak ada lagi yang bisa disajikan, kecuali minuman botol. Itu pun harus diambil dari peti yang sudah dikemasi. Lagi pula meja kursi sudah ditumpuk. Bagaimana?"

" Tak apalah, Mak," jawab Wati. " Sediakan minuman, biar kami menikmati sambil berdiri di sini. Di luar sangat panas."

" Agaknya, inilah pesta perpisahan kita. Jadi minuman aku gratiskan."

" Wah, jangan, Mak...."

" Sudah kuputuskan seperti itu, Wat. Ayo minum. Semua minum. Sebab entah kapan lagi kita bisa kumpul seperti ini. Lagi pula, aduh, kalian benar-benar sudah pacaran, kan? Aku ikut senang. Sungguh."

Acara perpisahan dadakan di warung Mak Sumeh yang hampir tutup terasa mengesankan meskipun berlangsung nyaris tanpa kata-kata. Semua minum dengan cara menenggak botol sambil berdiri. Diam dan saling bertukar senyum. Tapi mereka merasa senyum dan wajah yang tulus lebih mewakili daripada seribu kata.

Pak Tarya yang sadar Kabul menyimpan rasa kecewa karena jembatan diresmikan sebelum waktunya, juga tak banyak bicara. Yang paling banyak omong adalah Tante Ana.

" Aduh, besok proyek sudah sepi dong. Lalu aku mbarang di mana?"

" Jangankan besok," tanggap Pak Tarya. " Nanti sore pun sudah tak ada lagi orang berjualan di sini. Tempat ini hanya akan ramai oleh kendaraan yang lewat. Selebihnya akan kembali sepi seperti semula. Apalagi bila harta benda pemborong sudah diangkut pergi."

" Ya, aku pun akan segera mengangkut barang-barang ini. Aku sedang menunggu truk," ujar Mak Sumeh.

" Dan aku harus mengembalikan Tante Ana ke terminal," sela Bejo. " Tapi entah naik apa."

" Kalau mau, kalian bisa ikut aku. Tapi aku mau antar Wati dulu ke rumahnya. Bagaimana?"

" Boleh, Pak."

" Kalau begitu, habiskan minum kalian. Kita berangkat sekarang agar tidak mengganggu keberangkatan Mak Sumeh. Dan, Pak Tarya?"

" Jangan pikirkan saya. Saya meninggalkan pancing di tempat biasa. Habis dari sini saya akan meneruskan mancing."

" Pak Insinyur, bila ada proyek baru, ajaklah aku. Aku senang buka warung di proyek yang dipimpin Pak Insinyur."

" Kalau proyekku di Sulawesi Tengah?"

Mak Sumeh tertawa. Dan gelangnya bergemerincing. Ketika Kabul, Wati, Pak Tarya, Bejo, dan Tante Ana keluar dari warung Mak Sumeh yang sudah dinyatakan tutup, mereka terpana. Kendaraan yang melintasi jembatan memang ramai. Namun proyek sudah terasa mati. Sepi sekali. Orang-orang proyek hampir tak kelihatan lagi. Agak jauh di sana kelihatan dua atau tiga lelaki sedang membongkar warung. Paman Martasatang kelihatan sedang mengumpulkan sisa-sisa papan cor, mungkin untuk kayu bakar. Rakit Pak Martasatang yang ditambat di hulu jembatan sudah tidak ada. Bedeng-bedeng proyek lengang. Hanya tampak seorang satpam yang bertugas menunggui peralatan milik pemborong yang belum sempat diangkut pergi.

Kabul menyalami Pak Tarya dengan kata-kata singkat namun disertai perasaan yang dalam dan berat. Pak Tarya tersenyum dan menyilakan Kabul sewaktu-waktu singgah untuk mancing bersama. Kabul mengiyakan lalu naik ke jipnya. Wati, Bejo, dan Tante Ana menyusul naik. Kemudian semuanya memerhatikan Pak Tarya yang berjalan ringan, menjauh, menuruni sayap jembatan, dan hilang di balik rumpun bambu ampel. Kabul menghidupkan jipnya. Dan tanpa seorang pun berbicara jip itu bergerak maju.

Kabul merasa kepergiannya diperhatikan oleh jembatan baru yang pernah dibayangkan bakal menjadi karya kebanggaan namun akhirnya malah menyisakan kekecewaan. Apakah pembangunan jembatan atau bangunan sipil lain di seantero negeri diliputi ke-sontoloyo-an yang sama? Apakah semuanya digerogoti tikus-tikus primitif yang hidup makmur atas beban yang ditanggung oleh masyarakat miskin?

Kepergian Kabul juga terasa disaksikan oleh sisa sebentuk patembayan proyek yang pernah hadir selama hampir dua tahun dan kini bubar sudah. Mereka adalah ratusan pekerja, puluhan pedagang makanan dan minuman, pengasong rokok, dan Tante Ana. Lalu tiba-tiba Kabul digoda pertanyaan, setelah jembatan diresmikan, akan ke manakah Kang Acep, Cak Mun, Mak Sumeh, Tante Ana, dan ratusan lainnya? Tali patembayan yang mengikat mereka sudah bubrah. Kabul sendiri belum tahu pekerjaan apa dan di mana yang akan dihadapi berikutnya. Namun demikian, ada sesuatu yang terasa pasti di hati Kabul; kini Wati duduk di sebelahnya dalam jip yang akan berangkat meninggalkan proyek untuk selamanya. Dan Wati sudah nyata hadir dalam dirinya.

Jip meninggalkan pelataran bekas kantor proyek, masuk ke jalan yang baru diaspal dan melaju menjauhi jembatan. Debu mengepul di belakang ketika jip menambah kecepatan. Dan keempat penumpangnya membisu. " Kok semuanya manyun sih?" celetuk Tante Ana. Tak ada tanggapan. Jip makin laju, makin jauh meninggalkan jembatan.

Akhir Desember 1992, hanya satu tahun setelah Kabul meninggalkan proyek pembangunan jembatan Sungai Cibawor. Keinginan Kabul bekerja di proyek milik swasta terlaksana ketika dia mendapat kepercayaan menjadi site manager pembangunan hotel di Cirebon. Libur akhir tahun ingin dinikmatinya di rumah Biyung bersama Wati yang sudah menjadi Nyonya Kabul. Mereka baru sebulan menikah.

Untuk mencapai rumah Biyung dari arah Cirebon, Kabul akan melewati jembatan Sungai Cibawor yang dulu digarapnya meskipun tidak sampai selesai. Hampir jam empat sore mobil Kabul mencapai Desa Cibawor. Ah, Kades Basar dan Pak Tarya sedang apa? Dan pertanyaan yang muncul itu segera terlupakan karena tiba-tiba Kabul terpana. Di mulut jalan simpang tiga Kabul harus menghentikan mobil. Ada papan melintang dengan tulisan " jembatan rusak" . Lalu ada tanda panah yang menunjukkan jalan alternatif. Kabul dan Wati saling pandang. Wajah Kabul tegang dan merah. Dan pengumuman itu justru membuat Kabul ingin meneruskan perjalanan ke arah jembatan. " Aku ingin ke sana, Wat. Rasanya harus!"

Wati memahami perasaan Kabul, lalu mengangguk. Kabul turun dari mobil untuk membuka jalan yang terhalang papan pengumuman. Kembali ke mobil dan langsung melaju lurus.

Jembatan Cibawor sudah kelihatan. Tampak mangkrak dan kesepian. Kegagahan yang dulu sempat tampak kini hilang. Dan begitu turun dari mobil di mulut jembatan, Kabul segera tahu bagian mana yang rusak. Lantai jebol pada dua titik dan aspal sudah retak hampir sepanjang lantai jembatan. Kabul meminta Wati tetap di mobil, karena dia mau turun untuk mengintip bagian struktur jembatan dari sayap fondasi. Tampaknya tak ada masalah. Kerusakan hanya terdapat pada bagian lantai jembatan. Meski demikian rasa kecewa, malu, dan marah tak bisa dihindarkan. Pahit. Dan Kabul merasa kepalanya pening.

Naik kembali ke badan jembatan Kabul tiba-tiba menghentikan langkah. Diam untuk memasang telinga. Seruling! Ya, lamat-lamat Kabul mendengar bunyi itu. Pasti Pak Tarya sedang menunggui pancing sambil duduk meniup serulingnya. Di atasnya adalah kerimbunan pohon mbulu yang memberi rasa aman bagi berbagai burung. Sempat tebersit keinginan di hati Kabul untuk menemui Pak Tarya, tapi urung. Rasa rindu kepada Biyung mengalahkan keinginan sesaat itu. " Pak Tarya, aku akan menemui nanti sepulang dari Biyung," janji Kabul dalam hati.

" Sudah, Mas?" seru Wati dari mobil.

Kabul menjawab dengan langkah menuju mobilnya. Wajahnya masih berat. Duduk di belakang kemudi, tapi kunci kontak tak kunjung disentuhnya. Malah memejamkan mata. Lama. Dengan mata terpejam Kabul malah melihat ribuan proyek bangunan sipil yang digarap dengan kesontoloyo-an. Orang-orang proyek sudah dikenal masyarakat sebagai tukang suap, tukang kongkalikong, apa saja bisa dilakukan asal dapat untung. Dan korban kegilaan mereka adalah masyarakat umum, karena mutu bangunan yang mereka kerjakan tak mencapai mutu baku.

Dan ada cerita humor yang sangat populer tentang orang-orang proyek. Suatu saat di akhirat, penghuni neraka dan penghuni surga ingin saling kunjung. Maka penghuni kedua tempat itu sepakat membuat jembatan yang akan menghubungkan wilayah neraka dan wilayah surga. Bagian jembatan di wilayah neraka akan dibangun oleh orang neraka dan sebaliknya. Ternyata penghuni neraka lebih ce- pat menyelesaikan pekerjaannya daripada para penghuni surga. Dan ketika dicari sebabnya, ditemukan kenyataan di antara para penghuni neraka banyak mantan orang proyek.

Masih duduk dan belum menghidupkan mesin mobilnya, Kabul menyampaikan cerita konyol itu kepada Wati. Wati tertawa.

" Dari mana Mas mendapat cerita itu?"

" Mau tahu? Dari orang proyek yang dulu jadi bos kita."

" Pak Dalkijo?" " Ya."

" Edddddaaaaan. Jadi, orang-orang proyek sesungguhnya sadar akan kegilaan mereka?"
Orang Orang Proyek Karya Ahmad Tohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Mereka, orang-orang proyek, baik dari pihak pemilik maupun pemborong, sama saja. Mereka tahu dan sadar akan kegilaan mereka. Dan tampaknya mereka tak peduli. Bagi mereka proyek apa saja dan di mana saja adalah ajang bancakan. Dan karena kebiasaan itu, kata proyek pun kini memiliki tekanan arti yang khas. Yakni semacam kegiatan resmi, tapi bisa direkayasa agar tercipta ruang untuk jalan pintas menjadi kaya. Maka apa saja bisa diproyekkan."

" Apa saja?"

" Ya, apa saja bisa diproyekkan. Tidak hanya pembangunan jembatan atau infrastruktur lain, tapi juga pengadaan kotak pemilu, pembagian sembako untuk orang miskin, pengadaan bacaan untuk anak sekolah, program transmigrasi, program penanggulangan bencana alam. Bahkan Sidang Umum MPR dan penyusunan undang-undang bisa mereka jadikan proyek yang mendatangkan duit. Orangorang proyek rakus dan licin, dan mereka ada di manamana."

" Kegilaan besar-besaran ini akan berlangsung sampai kapan, Mas?"

Kabul tidak segera menjawab. Wajahnya beku. Pandangannya seakan buntu. Lalu tangannya bergerak untuk memutar kunci kontak.

" Rayap baru berhenti makan bila kayu yang digerogotinya sudah habis. Atau bila mereka disiram racun antiserangga."

Mesin mobil mendesis. Keempat rodanya mulai bergulir.

" Kita tinggalkan tempat ini dan singgah ke rumah orangtuamu, terus ke rumah Biyung. Bagaimana?" " Aku ikut saja, Mas."

Mobil berputar dan melaju cepat meninggalkan jembatan Sungai Cibawor. Jembatan yang sekilas tampak gagah itu lantainya sudah jebol meski umurnya baru satu tahun. Rasa sakit tiba-tiba menusuk dada Kabul.

Angin sore masuk melalui celah kaca mobil. Namun kesejukannya tak bisa meredam hati Kabul yang tiba-tiba sangat digelisahkan oleh pertanyaan: Ada berapa ribu proyek yang senasib dengan jembatan Cibawor? Dan dengan mental " orang-orang proyek" yang merajalela di manamana, bisakah orang berharap akan terbangun tatanan hidup yang punya masa depan?

Bantaran Kali Tajum, April-Mei 2001

Tamat


Raja Petir 04 Asmara Sang Pengemis Mahesa Edan 1 Rahasia Makam Mahesa Detektif Stop Teror Melanda Kelas 9a

Cari Blog Ini