Ceritasilat Novel Online

Pengantin Kecilku 1

Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono Bagian 1



PENGANTIN KECILKU

Oleh'. Maria A. Sardjono

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

GM 401 01 14 0094

(9 Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Gedung Gramedia Blok 1, Lt. 5

Jl. Palmerah Barat 29 33, Jakarta 10270

Desain sampul'. maryna_design(q)yahoo.com

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

anggota IKAPI, Jakarta, 2014

www.gramediapustakautama.com

Hak cipta dilindungi oleh undangeundang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Cetakan ketiga: Desember 2003

Cetakan keempat'. November 2014

ISBN 978 602 03 1057 2

328 hlm; 18 cm

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab percetakan

********

SINAR matahari pagi yang keemas ernasan menjilat

lembut kulit lengan Nunik ketika ia turun dari dokar

yang membawanya dari stasiun kereta api. Dengan

langkah lambat untuk menyesuaikan kakinya dengan

langkah-langkah kaki kusir yang berjalan di mukanya

sambil memanggul koper besarnya, perempuan muda

itu berjalan menuju teras rumah. Dia sendiri hanya

menjinjing sebuah tas pakaian dan tas kosmetik,

sementara tas tangannya dibiarkan tergantung bebas

di bahunya.

"Letakkan di atas lantai saja, Pak!" katanya sesudah sampai .di tempat yang dituju. la mempergunakan bahasa Jawa yang masih dikuasainya dengan

cukup bagus. Kemudian dengan ucapan terima kasih

ia mengeluarkan selembar uang ribuan, ongkos yang

diminta oleh kusir itu ketika tawar-menawar di stasiun

tadi. ia masih" menambahkannya dengan dua Iembar

uang ratusan yang masih baru.

"Oh, matur nuwun, Ndoro si kusir tergopoh

menerima uang itu. Ia membungkukkan tubuhnya

yang tampak mulai rapuh dimakan usia dan kerja keras

itu. Uang ratusan masih berharga di kota kecil ini.

"Terima kasih kembali!" Nunik tersenyum dan

membiarkan lelaki tua itu terbungkuk bungkuk pergi.

Mautak mau ia harus menerima dan memaklumi

sisa-sisa zaman feodal "yang masih belum hilang dari

kota kerajaan ini. Pengaruh dua buah keraton yang

telah berabad-abad begitu kuat mewarnai kehidupan

kota ini, belum seluruhnya sirna oleh udara kemerdekaan dan sentuhan modernisasi yang merambah di

mana-mana. Pengaruh itu bahkan masih cukup pekat

menyentuh rumah dan sekitarnya yang ada di hadapan

Nunik saat itu.

Apa yang disebut teras oleh orang orang sekarang,

di rumah itu lebih berbentuk sebagai pendopo luas

dengan atap joglonya dan pilar-pilar kayu besar

berukiran naga di bagian atasnya. Kayunya didominasi

oleh wama merah dan kuning keemasan. Dan lantainya terbuat dari ubin abu abu buatan puluhan tahun

lalu yang keras dan mengilat. Pasti dingin duduk di

atasnya. Nunik belum melupakan bagaimana seringnya dia dulu berbaring-baring di tempat itu, sambil

menunggu giliran bermain congklak atau bekei. Rasarasanya masih terasa olehnya bagaimana sejuknya

ubin itu di atas kulitnya.

Sungguh, pengaruh suasana keraton yang tenang

dan bersih karena kakeknya masih berkerabat dekat

dengan penghuninya, masih terasa di tempat itu.

Gaya rumah serta tanam tanamannya, seperti pohon

sawo kecik, melati gambir, kenanga, ceplok piring,

srikaya, dan sebagainya, masih lengkap menyemaraki

halaman rumah yang luas itu. Entah itu pohon yang

dulu, entah keturunannya, Nunik tak tahu. Yang

jelas kakek dan neneknya masih ingin menjiplak

halaman keraton, meskipun. barangkali keadaan keraton sekarang ini sudah tidak seperti itu. Ketika

masih kecil dan diajak oleh neneknya ke keraton,

tempat itu masih bersih dan menyenangkan. Tetapi

sekarang tampaknya kurang terurus. Entahlah. Barangkali waktu terakhir ia melihat tempat itu, haiaman

istana sedang kotor dan beium sempat dibersihkan.

Namun apa pun yang dilihatnya sejak turun dari

kereta api tadi, sentuhan zaman feodal memang

masihdapat dirasakannya. Tetapi bukan karena itu

ia tadi memilih naik dokar. Dan bukan karena kusir

dokarnya menghormatinya secara berlebihan ataupun

karena ia dipanggil dengan sebutan ndoro (sebutan

untuk para priyayi/bangsawan). Tetapi karena ia merasa kasihan kepada ielaki tua itu. Ia melihat nyaris

tak seorang pun para penumpang yang turun dari

kereta api menolehkan kepala ke arah kendaraan

yang ditarik oleh kuda itu. Tampaknya mereka lebih

suka naik kendaraan lain daripada dokar yang dikusiri

oleh seorang lelaki tua bercelana hitam lebar, berikat

pinggang besar, dan berikat kepala itu.

Namun Nunik mampu meresapi kehidupan kota

kecil yang memberi kesan santai dan tak terburuburu itu. Ketika kepalanya terangguk-angguk sepanjang perjalanannya dengan dokar tadi, ia sempat

melihat betapa banyaknya sepeda, becak, bahkan sepeda motor yang dikendarai dengan tenang tanpa

kesan tergesa. Beda sekali dengan lalu lintas Jakarta

yang serba terburu-buru, berebut saling mendahului,

dan 'macet di mana-mana. Lebih-lebih pada jam

sibuk. Senang rasanya dapat bergerak dalam arus

kehidupan dengan sikap tenang dan tak tergesa seperti

itu. Tetapi ah, saat'ini apa yang harus diburunya?

Dan apa yang akan membuatnya tergesa-gesa? Tak

ada satu pun!

Tanpa sadar Nunik menghela napas dalam dalam.

Alangkah peliknya kehidupan ini, pikirnya. Batas

antara kebahagiaan dan kesedihan ternyata hanya setipis kertas belaka. Tetapi betapa besar perbedaannya.

Kemarin�kemarin ia masih dapat tertawa dan berangan-angan menggantungkan cita dan harapan. Sekarang ia tak tahu apa yang akan terjadi esok dan

esoknya lagi, karena semua yang ada di depannya

menjadi serbagelap dan tak menentu. Dan hanya

satu yang ia ketahui, yaitu setiap kali kesusahan menindih batinnya, ia akan lari ke kota ini dan bersembunyi di dalam pelukan kedua eyangnya. Seperti

ketika orangtuanya mengalami badai rumah tangga.

Seperti ketika ia tak lulus ujian negara karena suasana

rumah orangtuanya sama sekali tak menunjang usahanya untuk belajar. Dan seperti ketika ia patah hati

tatkala keluarga Sony menjauhkan pria itu darinya,

karena Nanik dianggap lahir dari keluarga tak hannonis dan ayah yang suka perempuan. Dan banyak lagi

kepahitan yang dialaminya sepanjang hidupnya selama

tiga puluh tahun ini. Dan semua kepahitan yang

dilarikannya kemari, persis seperti yang dirasakannya

sekarang ini.

Di dunia ini rasa-rasanya hanya kakek dan neneknyalah tempat yang paling aman dan paling hangat

untuk dijadikan tempat mengadu dan berkeluh-kesah.

Terlebih setiap kali tangisnya usai terkuras di hadapan

mereka, ia akan merasa terhibur dan pipinya yang

semula basah akan mengering. Ada rasa damai dan

tenteram bila ia berada bersama kedua eyangnya.

Ada rasa hangat dan tenang berdekatan dengan mereka berdua.

Dan sekarang Nunik pun berharap yang sama

seperti yang sudah-sudah. Mengeluhkan duka hatinya

kepada kakek dan neneknya itu, dan berharap luka

hatinya segera mengering disentuh mereka. Meskipun

dibanding dulu-dulu, kini Nunik ragu dirinya akan

berhasil mengibaskan duka dari hatinya, sebab kepahitan yang dideritanya kali ini terlalu mendarah

daging. Bukan itu saja. Ia juga menyangsikan apakah

kakek-neneknya akan dapat mengerti dan memahami

keputusannya bercerai dari Hardiman. Dapatkah

jurang perbedaan usia di antara dirinya dengan kedua

orang tua itu akan mampu terjembatani, sementara

sikap dan pandangan hidup mereka mengenai perkawinan boleh jadi bertolak belakang.

Tetapi ah, Wawan pasti akan lebih memiliki pengertian dan lebih mampu memahaminya. Begitu

tiba-tiba terloncat pikiran di benak Nunik. Ia tersentak

sendiri. Ia tak menyangka, nama itu akan menyerbu

masuk ke dalam ingatannya. Padahal sudah berapa

tahun mereka tak pernah berjumpa? Delapan, sembilan, sepuluh, atau belasan tabun? Nunik tak bisa

mengingatnya. Ia hanya ingat bahwa seiain kakekneneknya, masih ada lagi seseorang yang mampu

mengusap hatinya apabila terluka dan memberinya

pegangan apabila'ia terombang-ambing. Dan orang

itu adalah Wawan.

Wawan adalah teman mainnya semasa kecil. Sebenamya kalau dikatakan sebagai kawan tidaklah

terlalu tepat. Ada dua perbedaan di antara dirinya

dengan lelaki itu. Usia Wawan empat tahun di atas

usianya. Untuk ukuran kanak-kanak, jarak usia sekian

itu tidak dapat disebut sebagai sebaya. Yang benar,

Wawan adalah pelindungnya dari kekurangaj-aran

anak anak lelaki bengal di sekitar mereka. Perbedaan

yang kedua adalah mengenai asal-usul keluarga.

Nunik jelas berdarah bangsawan dan berasal dari

keluarga berada. Tetapi Wawan datang dari keluarga

yang kurang mampu dan hanya berdarah merah

orang kebanyakan. Rumahnya terletak di belakang

rumah kakek Nunik. Kalau mau ke rumahnya, harus

lewat gang kecil di samping pagar halaman rumah

kakek Nunik. Gangnya kecil, tetapi di sana padat

penduduknya. Ayah Wawan bekerja sebagai tukang

pos dan ibunya berjualan lotek dan kue�kue murahan.

Tetapi serbabersih. Bukan saja karena pada dasarnya

keluarga itu pembersih, tetapi juga tahu kesehatan

berkat pengetahuan yang pernah diberikan oleh seorang dokter. Bu Marto, ibu Wawan, pernah bekerja

di sebuah keluarga dokter, khusus melayani ibu sang

dokter yang sakit-sakitan. Di tempat itulah ia belajar

mengenai kebersihan dan kesehatan sehari-hari. Ketika

menikah dengan Pak Marto, apa yang didapatnya

selama itu dipraktekkannya di dalam keluarganya.

Khususnya untuk Wawan, anak tunggal mereka.

Meskipun bukan orang kaya, Wawan dibesarkan

dengan baik sekali. Makanannya tidak mewah, tetapi

selalu bersih dan memenuhi syarat kesehatan.

Keluarga kakek Nunik menyukai keluarga Pak

Marto sejak awal mula mereka bertetangga. Sebelum

menikah dengan ibu Wawan, Pak Marto yang bekerja

sebagai pengantar surat itu sudah 'sering ke rumah

kakek Nunik untuk membantu-bantu. Tetapi kakeknenek Nunik menyukai keluarga Pak Marto bukan

karena mereka selalu menghormati dan membantu

banyak pekerjaan, melainkan karena keluarga Pak

Marto memang menyenangkan. Meskipun bukan

orang kaya, mereka tak pernah merasa rendah diri.
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka juga tak pernah mengukur segala sesuatu

dengan uang. Kalau mereka ingin membantu orang,

itu dikarenakan sikap persaudaraan dan penjabaran

dari sikap hidup yang rukun bersama orang lain.

Wawan pun dididik demikian sejak kecil, hingga

tanpa pamrih anak itu sering memanjatkan buahbuahan yang matang di pepohonan rumah kakek

Nunik. Atau mengajari Nunik matematika kalau anak

itu sulit menyelesaikan PR-nya. Atau menjemput

dan mengantar Nunik ke sekolah dengan sepedanya.

Kakek dan nenek Nunik membiarkannya bukan karena itu menghemat ongkos becak. tetapi karena

tahu ketulusan hati Pak Marto sekeluarga. Dengan

menerima bantuan mereka, mereka merasa dihargai.

Dan sebaliknya untuk menunjukkan rasa terima kasih

dan kedekatan di antara keluarga mereka kakek

Nunik selalu menomorsatukan keluarga Pak Marto

kalau ia mempunyai sesuatu yang berlebih. Misalnya

kalau mendapat banyak bingkisan makanan dan buahbuahan, keluarga Pak Marto selalu dibagi. Atau

kalau kenaikan kelas, nenek Nunik pasti memberi

hadiah kepada Wawan yang telah membantu Nunik

belajar: Entah itu tas sekolah, pakaian, atau bukubuku, tetapi selalu ada. Dan keluarga Pak Marto

menerimanya dengan senang hati, bukan karena

barangnya yang berharga, melainkan karena itu adalah

cara untuk mempererat hubungan batin di. antara

mereka.

Hubungan baik itu terus berlanjut sampai akhirnya

Nunik terpaksa harus pulang ke rumah orangtuanya

seusai menamatkan SMA. Ia akan kuliah di Jakarta.

Meskipun demikian setidaknya setahun sekali Nunik

pasti berlibur ke rumah kakek-neneknya. Dan Wawan

yang sudah bekerja setamat SMA masih tetap seperti

dulu, mengulurkan tangan kalau di rumah kakek

Nunik ada pekerjaan yang tak bisa dikerjakan oleh

mereka. Ia maklum, di rumah kakek Nunik hanya

ada sepasang suami istri tua, seorang pembantu rumah

tangga yang juga sudah cukup berumur, dan seorang

gadis tanggung keponakan pembantu itu.

Dulu semasa Nunik dan Wawan masih kecil, mereka memang akrab dan sering bermain serta belajar

bersama-sama. Tetapi Wawan selalu memanggil Nunik

dengan sebutan "Den Nunik". Begitupun orangtuanya

jika memanggil Nunik. Kalau mereka memanggil

kakek dan nenek Nunik, sebutan yang mereka pergunakan adalah yang diberikan oleh orang-orang

sekitar tempat itu, yaitu "Ndoro Menggung".

Tetapi kini Nunik yang semakin dewasa dan luas

wawasannya tak mau lagi dipanggil dengan sebutan

"Den", kecuali oleh pembantu kakek-neneknya. ia

meminta supaya keluarga Pak Marto memanggilnya

dengan nama saja. Tetapi mereka merasa sungkan dan

kemudian mengambil jalan tengah, menyebut Nunik

dengan sebutan "Jeng Nunik". Nunik terpaksa menerimanya karena panggilan itu lebih bersifat umum.

Terhadap Wawan, Nunik memang tak selalu manis.

Di masa kecilnya anak lelaki itu sering menjadi

tempat luapan kemarahannya jika ia sedang jengkel.

Entah berapa kali ia telah memukul Wawan, tetapi

anak lelaki itu membiarkannya dengan sabar. Tentu

saja kakek-nenek Nunik tidak melihat kejadian-kejadian semacam itu. Sebab kalau mereka memergoki

Nunik nakal terhadap Wawan, pastilah Nunik akan

kena hukum.

Ketika mereka beranjak besar, Nunik juga masih

suka bersikap semaunya sendiri terhadap Wawan.

Diamadiam ia suka menyuruh temannya itu membuatkan PR kalau ia sedang malas. Dan dengan

patuh serta senang hati Wawan akan menurutinya.

Atau kalau tidak menyuruhnya membuatkan PR, ya

mengenangkan kalimat-kalimat untuk membalas suratsurat dari pemuda-pemuda yang jatuh hati kepadanya.

"Yang bagus lho, Wan!" perintah Nunik kalau ia

tertarik pada pengagumnya.

"Jangan sampai menyakiti perasaannya lho!" perintahnya kalau ia tidak ingin membalas pernyataan

cinta pengagumnya. '

Dan Wawan pun mengiyakan dengan patuh.

Tetapi bukan berarti Wawan selalu menuruti saja

kemauan Nunik. Sebab pernah juga ia marah ketika

Nunik menyuruhnya berbohong kepada kakek-neneknya.

"Bilang saja aku belajar ke rumah Tiwi bersama

Tari!" katanya memerintah. "Jangan bilang kalau

aku jalan jalan ke Kaliurang!"

"Tidak, Den. Aku tak mau mengatakan begitu kepada Ndoro Menggung. Bahkan aku juga tidak setuju

kalau Den Nunik pergi ke Kaliurang bersama sama

Tono dan yang lain-lain itu. Tidak baik!"

"Kok tidak baik? Kan aku perginya dengan temanteman lainnya. Bukan hanya dengan Tono saja!"

"Aku yakin di dalam hati Den Nunik juga tahu,

kalau pergi malam malam ke sana, meskipun katanya

hanya jalan-jalan saja, itu tidak baik. Lain kalau

perginya pada siang hari!"

Waktu Nunik nekat mau berangkat, Wawan mengancam.

"Kalau Den Nunik tidak mau mendengar saranku,

ya sudah, pergilah. Tetapi jangan pernah lagi bertanya

apa-apa kepadaku. Aku sungguh-sungguh lho!" katanya. "Dan demi tidak kehilangan kepercayaan Ndoro

Menggung, aku akan mengatakan apa adanya; bahwa

Den Nunik pergi ke Kaliurang. Bukannya belajar di

rumah Tiwi!"

Karena takut diadukan kepada kakeknya, Nunik

terpaksa mengurungkan niatnya ikut ke Kaliurang.

Tetapi selama beberapa hari ia tidak mau menegur

wawan kalau pemuda itu lewat di muka rumahnya

atau kalau ia datang membantu Mbok Surti mengambilkan buah melinjo untuk sayur lodeh. Baru kemudian ketika Yanti, salah seorang temannya yang

ikut ke Kaliurang, mengandung hanya beberapa bulan

sebelum ujian akhir SMA, Nunik meminta maaf dan

berterima kasih kepada Wawan dengan berlinangan

air mata.

"Sudahlah, tak usah dipikirkan!" kata Wawan ketika itu. "Aku hanya memikirkan keselamatan Den

Nunik saja. Anak-anak sekarang punya banyak taktik

untuk mendekati gadis yang mereka cintai. Ada saja

cara mereka supaya gadis itu mau dibawa pergi ke

tempat-tempat yang jauh dari pandangan orangtua."

"Apakah itu pengalamanmu sendiri?"

"Pengalaman teman-temanku, Den. Mereka sering

bercerita!"

"Kau sendiri belum pernah punya pengalaman

dengan gadis-gadis, Wan? Temanmu di SMA dulu

misainya. Atau temanmu di tempat bekerja sekarang?"

"Yah, sedikit sedikit sih ada, Den." Wajah Wawan

agak memerah ditanya seperti itu. "Tetapi aku tak

mau terlalu jauh. Aku masih belum mampu meraih

cita-cita. Jadi, urusan gadis dan cinta nanti-nanti saja

kupikirkan!"

Meskipun demikian Wawan pandai memberi saran

dan nasihat kepada Nunik kalau gadis itu menemui

masalah dengan teman prianya. Bahkan tatkala Nunik

sudah kuliah di Jakarta dan kemudian lari kembali

ke kota ini karena patah hati dengan Sony, Wawanlah yang banyak membantunya. Kakek dan neneknya

hanya bisa menghibur, tapi tidak memberinya jalan

keluar yang cocok untuk gadis seusia Nunik, yang

hidup di zaman modern seperti sekarang. _

Kini telah sepuluh tahun mereka tak berjumpa.

Sejak Nunik bekerja dan kemudian menikah dengan

Hardiman, hubungan akrabnya dengan Wawan tak

semulus dulu. Bukan saja karena Nunik sudah tak

sesering dulu pergi mengunjungi kakek-neneknya,

tetapi juga karena Wawan tinggal di kota lain. Kata

Bu Marto, Wawan sedang melanjutkan studinya sesudah berhasil mengumpulkan uang. Tetapi kuliah di

mana dan jurusan apa, Nunik tak tahu. Apalagi ia

juga tak terlalu memikirkan bekas teman mainnya

itu. Sesudah menjadi dewasa dan mempunyai urusan

sendiri-sendiri, mereka memang tak lagi berhubungan,

kecuali tentu saja dengan Pak Marto dan Bu Marto.

Waktu itu Pak Marto sudah pensiun. Di rumah ia

membantu istrinya berjualan, sebab Bu Marto sekarang sudah tidak berjualan lotek dan kue kue, tetapi

mempunyai warung kecil yang kata nenek Nunik,

amat laris karena cukup lengkap isinya. Dari jarum

jahit sampai buku tulis, 'dari bumbu dapur seperti

garam, sampai beras.

Ketika terakhir kalinya Nunik berkunjung ke sana,

Wawan tidak ada, dan Bu Marto masih berjualan

lotek. Kedatangan Nunik cukup menggugupkan perempuan itu. Tergopoh ia mengambilkan piring terbagus yang dipunyainya untuk meny'uguhinya sepiring

lotek yang tak terlalu pedas. Seperti dulu.

"Jeng Nunik sekarang berisi, jadi tampak semakin

cantik dan segar!" katanya waktu itu. "Jangan-jangan

sudah mengandung?"

Ketika itu Nunik baru setahun menikah dengan

Hardiman. Dan belum ada tanda tanda kehamilan

padanya.

"Oh belum, Bu Marto Aku agak gemuk karena

harus sering makan Ada sedikit gangguan pada Iambungku!" sahut Nunik terus terang.

"Wah, itu pasti karena makannya tidak teratur,"

katanya.

"Mungkin. Tetapi sebenarnya kalau dipikir pikir

makanku malah lebih teratur di kantor daripada di

rumah. Tetapi kok ya kena gejala maag!"

"Kalau begitu mungkin Jeng Nunik sering tegang

atau semacam itu!" kata Bu Marto ketika itu. "Keu

iihatannya hidup di Jakarta itu tak bisa santai seperti

di sini, ya?"

"Mungkin. Bu Marto. Tetapi omong-omong, apakah aku kelihatan gemuk sekali?"

Bu Marto tertawa.

"Masa segitu gemuk to, Jeng. ltu namanya berisi.

Bagus sekali. Jadi tampak segar, putih, dan cantik.

Asal jangan bertambah gemuk lagi. Kalau mau tamw

bah lagi, ya paling banter dua kilo lagi. Jangan

lebih," katanya kemudian.

"Kalau gemuk, jadi jelek ya, Bu Marto?"

"Ah, ya tidak jelek. Apalagi orang secantik Jeng

Nunik. Biar gemuk ya pasti akan tetap cantik saja.

Tetapi kalau kegemukan, kan kesehatan jadi kurang

prima, karena terlalu banyak lemak dan kehilangan

kegesitan. Bisa sakit jantung, darah tinggi, kencing

manis, kolesterol tinggi, dan banyak lagi. Lha kalau

orang kurang sehat dengan sendirinya kan kecantikannya jadi pudar. Ya, kan?"

Nunik tersenyum waktu itu.

Kini di pendopo yang telah beberapa tahun tak

dilihatnya itu, Nunik juga tersenyum sendiri teringat

gaya Bu Marto kalau menguliahinya tentang keSehatan. Ia juga tersenyum teringat Wawan yang

sedikit-banyak menuruni gaya hidup ibunya. Kalau
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wawan mendengar nenek Nunik menggerutui cucunya

karena susah makan, pastilah anak lelaki itu segera

membawanya ke rumah untuk menjumpai ibunya

dan mengadukan hal itu. Lalu mulailah Bu Marto

menguliahinya, mengatakan bahwa apabila anak kecil

susah makan, kalau besar nanti akan sangat menyesal.

"Karena kalau sudah besar, sudah tidak tumbuh

lagi. Jadi tubuhnya sudah telanjur jelek karena tidak

berkembang dengan baik. Sudah begitu juga bisa

penyakitan karena daya tahan tubuhnya terhadap

penyakit kurang. Sudah begitu ia juga tidak menarik

karena kurang vitamin. Kulitnya kasar, rambutnya

kusampwajahnya tidak segar, dan matanya lesu!"

begitu dulu Bu Marto selalu menakut-nakutinya. Kemudian karena takut kalau Sudah besar tidak cantik,

Nunik pun memaksa dirinya untuk makan apa saja

yang terhidang di atas meja makan.

Suara nyanyian burung prenjak di dahan pohon

sawo kecik yang tumbuh di sudut halaman samping,

merebut perhatian Nunik dan membuyarkan seluruh

lamunannya. ia kembali ke masa kini, menyadari

betapa letih tubuhnya sekarang sesudah dua belas

jam berada dalam perjalanan dari Jakarta.

Terakhir kali Nanik datang ke tempat ini adalah

ketika ia baru satu tahun menikah. Ketika itu kedatangannya juga disambut oleh nyanyian burung

prenjak. Memang, itu pasti hanya kebetulan belaka.

Meskipun demikian perasaan Nunik bagai dielus

sebab ia merasa alam di sekitar rumah itu telah menyambut gembira kehadirannya kembali di tempat ia

dulu menghabiskan masa kanak-kanaknya.

Empat tahun sudah ia tidak mengunjungi tempat

ini. Dan seperti empat tahun yang lalu, sekarang ia

juga datang seorang diri tanpa Hardirnan. Tetapi

kalau empat tahun lalu ia datang karena kesepian ditinggal Hardiman yang bertugas ke luar negeri selama

sepuluh bulan, kini ia datang karena perceraian mereka.

Nunik berdiri di teras memandang pucuk-pucuk

pohon sawo kecik, mencari burung prenjak yang

suaranya begitu renyah terdengar. Hari ini adalah

hari kedua puluh lima sesudah ia resmi menjadi

janda. Seperti delapan atau sepuluh tahun yang lalu

ia tak ingat persisnya, kedatangannya ke rumah ini

mengandung harapan akan kedamaian dan ketenangan

batin yang mampu mengusap duka hatinya. Sudah

berkali kali rumah ini mampu memberinya kehangatan, kedamaian, dan usapan yang akan menyegarkan

duka lara batinnya. Dan sudah dua kali ia dapat

pulang ke Jakarta kembali dengan hati lebih tenang,

meskipun tabu dirinya telah kehilangan cinta. Pertama

dengan Sony yang lebih memilih keluarganya. Dan

kedua dengan Bambang yang terpikat kepada gadis

lain yang lebih seksi.

Namun sekarang Nunik' tak yakin apakah kakekneneknya dan juga Wawan, andai kata ia ada di

sini, akan bisa mengobati luka batinnya hingga ia

dapat pulang ke Jakarta dengan luka-luka hati yang

hampir bertaut. Karena dengan Hardiman ia bukan

sekadar berpacaran, seperti halnya dengan Sony dan

Bambang dulu. Dengan Hardiman ia sudah mengarungi kehidupan dan berbagi suka-duka selama

hampir enam tahun lamanya. Pedih rasanya ketika ia

mengetahui pengkhianatan Hardiman justru dilakukan

di saat ia sedang gencar-gencarnya berobat agar perkawinan mereka diwarnai tangis bayi. Sungguh tidak

mudah melupakan air muka Hardiman yang licik

tatkala Nunik memergoki kecurangannya. Harga dirinya seperti diinjak injak dengan sadis oleh lelaki itu.

"Nunik," kata lelaki itu dua bulan yang lalu.

"Percayalah, cintaku masih padamu. Aku ingin menikahi Santi semata-mata hanya karena sudah tidak

sabar menunggu hadirnya anak di dalam kehidupanku.

Santi seorang wanita yang sabar dan lembut hati,

Nunik. ia sudah terbiasa hidup berbagi dengan keenam

saudaranya. Aku yakin ia akan menerimamu sebagai

istri pertamaku dengan ikhlas. Bahkan, kalau nanti

kami mempunyai lebih dari seorang anak, mengingat

ia datang dari keluarga yang subur, ia mau menyerahkan

salah seorang anaknya untuk kaurawat."

ingin rasanya Nunik melempar muka Hardiman

dengan asbak kaca besar di mukanya, kalau ia tidak

ingat ajaran neneknya untuk tetap bersikap anggun

daiam keadaan apa pun. Karenanya dengan kelembutan yang tetap terjaga, meski dengan iuka menganga yang menyemburkan darah di hatinya, ia

mampu berucap, "Terima kasih atas keikhlasan calon

istrimu itu, Mas. Tetapi sampaikan ucapan maafku,

aku tak akan mau dan tak akan rela untuk hidup

dimadu. Dengan kata lain, silakan kau menikah

dengan Santi, tetapi ceraikan aku. Kecuali kalau kau

mengurungkan niatmu untuk menikahinya. Tetapi aku

yakin rencana kalian telah matang dan tak ada jalan

mundur lagi."

"Memang begitu, Nunik. Dan kau tahu sebabnya.

Aku tidak ingin jarak usiaku dengan anakku nanti

terlalu lebar kalau tetap menunggu usahamu. Apalagi

usaha itu toh belum tentu berhasil. Jadi jalan ini

juga kutempuh demi kau, Nunik. Dengan adanya

anak dalam perkawinanku dengan Santi nanti, hatiku

akan menjadi lebih damai sehingga hubunganku denganmu dapat lebih harmonis. Dan kalau Santi akan

menyerahkan anak kami yang lain kepadamu nanti,

itu juga baik buat dirimu. Naluri keibuanmu dapat

kautumpahkan kepada anak itui"

Ah, alangkah enaknya letaki bicara. Semuanya

serbamudah dikatakan, seolah bicara mengenai cuaca

saja. Tak pernah terpikirkan bahwa semanis apa pun

yang dikatakannya, semua itu adalah racun bagi

Nunik.

"Kalau memang sudah bulat tekadmu untuk menikah lagi, silakan. Aku tak akan menghalangimu.

Tetapi sekali lagi kukatakan, sudah menjadi prinsip

dalam hidupku, aku tak mau hidup dimadu!" kata

Nunik dengan susah payah. Ah, alangkah sulitnya

bersikap anggun, tanpa tangis dan tanpa amarah

yang terbias pada sikap dan wajahnya. Sementara

batinnya terasa hancur.

"Ah, Nunik, jangan melarikan diri dari kenyataan

yang pernah terjadi di dalam kehidupan orangtuamu.

Bukankah ayahmu pernah menikah lagi?" kata

Hardiman waktu itu. "Dan ibumu bisa menerima itu

dengan ikhlas?"

"Ibuku tak pernah merasa ikhlas menerima madunya," kata Nunik tegas. "ia terpaksa menerimanya

karena tidak berani menempuh jalan lain. Tetapi aku

bukan ibuku. Aku akan memilih jalan lain, yaitu

perceraian. Bahkan semasa kecilku pun aku tak bisa

melihat hal-hal semacam itu. Maka itu aku dulu

memilih tinggal bersama Eyang di tempat lain yang

jauh dari rumah orangtuaku. Paham?"

Percuma saja Hardiman membujuk Nunik dengan

pelbagai macam rayuan agar perempuan itu mau

menerima kehadiran Santi. Jadi begitulah akhirnya,

perceraian mereka pun tak terhindarkan lagi, sebab

seperti yang dikatakan Nunik, dia bukan ibunya. Ia

tak bisa berdiam diri sebagaimana sikap ibunya ketika

menghadapi persoalan yang sama. Ia bukanlah ibunya

yang merusak diri sendiri, membiarkan tangis jatuh

berderai-derai di kamar tidurnya yang sepi, dan membiarkan suaminya pergi ke pelukan wanita lain. Bagi

Nunik akan terasa lebih menyenangkan hidup tanpa

suami. *

ia teringat betapa besar harapan yang terkandung

di hatinya untuk menemukan kedamaian di tempat

kakek neneknya. Nunik mengibaskan kenangan pahit

itu dengan niat masuk ke dalam rumah. ia tahu,

pintu yang tertutup di mukanya itu tak dikunci,

seperti yang sudah menjadi kebiasaan di rumah ini.

Kalau di rumah tidak ada orang atau semua orang

tidur, baruiah pintu itu dikunci. .Dan sudah puluhan

tahun dengan kebiasaan demikian, rumah besar itu

aman-aman saja. Tak pernah ada pencuri masuk ke

rumah. '

Sesudah masuk dan menutup pintu kembali, Nunik

mendorong kopernya sampai ke muka ambang pintu

lebar yang menghubungkan ruang tamu dengan ruang

tengah. Di situ ia menghentikan semua gerakannya

dan tertegun lama. Pandang matanya terarah kepada

sepasang suami istri yang sedang duduk menghadap

ke jendela terbuka yang mengirimkan cahaya surya

pagi dan menerangi ruangan itu hingga tampak semarak. Keduanya sedang asyik sendiri-sendiri.

Kepedihan menyayat perasaan Nunik tatkala

matanya menelusuri tubuh-tubuh renta di hadapannya

itu. Alangkah kejamnya sang waktu yang telah menelan usia pasangan itu. Dan betapa rapuhnya mereka

kini.

"Eyang...," ia berbisik dengan suara serak.

Tetapi tidak ada sahutan. Keduanya masih tetap

asyik dengan pekerjaan masing-masing. Si 'Kakek

sibuk membaca koran sambil berulang-ulang membetulkan letak kacamatanya. Mungkin kacamatanya

sudah harus diganti. Sedang si Nenek sedang sibuk

menggosok tempat sirihnya yang terbuat dari kuningan. Tampaknyq kebiasaan menyirihnya masih belum

ditinggalkan, kendati di masa sekarang sudah jarang

sekali ada orang menyirih.

"Eyang." Nunik menambah kekuatan suaranya

sesudah berdehem mengusir suaranya yang serak

tadi. ' _

Kali itu si Nenek mendengarnya. Ia menoleh dan

melorotkan kacamatanya.

"Ya Allah, kaukah itu Nunik...?" sapanya sambil

meletakkan tempat sirih ke atas meja dengan gerakan

tergesa.

"Ya, Eyang Putri, ini Nunik...," sahut Nunik sambil

berlari menghambur ke pangkuan neneknya, untuk

.meneiungkupkan wajahnya ke tempat yang dirasanya

paling aman di dunia ini. Air mata yang selama berbulan-bulan ini ditahannya karena harga diri, pagi

itu dilepaskannya.

Sang Kakek kaget dan melepaskan korannya.

"Nunik?" serunya. "Begitu cepat!"

Rupanya masih banyak yang akan diucapkan dari

bibirnya yang terbuka dan tertutup kembali itu. Tetapi

menyadari perasaan sang cucu yang teraduk-aduk, ia

membiarkan tangis perempuan muda itu terkuras.

Sering kali tangis yang tertumpah akan dapat membersihkan noda-noda luka di hati seseorang.

Sesekali tangan sang Nenek mengelus lembut

rambut dan dahi di atas pangkuannya itu. Tetapi karena tangis Nunik seperti tak ada akhimya, perempuan tua itu pun berusaha menghentikannya.

"Sudah... sudah... jangan diteruskan tangismu itu,"

katanya dengan suara lembut sarat kasih sayang.
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cukup sudah air matamu tertumpah. Tangismu membuat hati Eyang jadi seperti disayat-sayat rasanya.

Ayolah, kuasai dirimu, Nduki"

"Eyang putrimu benar, Nduk," sang Kakek menimpali. "Menangis itu perlu untuk mengurangi beratnya beban batin. Tetapi terlampau banyak menangis.

tak ada gunanya!"

"Memang, Nduk. Tak ada gunanya menangisi halhal yang telah lewat. Yang penting hadapilah masa

kini dan masa yang akan datang. Masa lalu boleh

diingat sejauh itu bisa diambil untuk cermin di masa

mendatang!" kata neneknya lagi.

"Benar kata eyang putrimu itu, Nduk!" sang Kakek

ganti berkata. "Ambillah pelajaran dari pengalaman

yang lalu itu, tetapi jangan disimpan."

"Dan yang penting sekarang, tenangkan dan

senangkan hatimu di sini sesukamu. Tinggallah bersama kami sampai kapan saja kau suka!" sambung

sang Nenek lagi.

"Benar, Nduk, rumah ini juga rumahmu!" sang

Kakek ganti menyambung.

Nunik tertegun dan air matanya terhenti demi

mendengar kata-kata yang diucapkan silih berganti

itu. Rasa rasanya kedua orang tua itu sudah mengetahui masalah yang dihadapi olehnya dan memahami mengapa ia tiba-tiba datang mengunjungi

mereka berdua.

Merasakan kepala yang tertegun dan isak tangis

yang tiba-tiba terhenti di atas pangkuannya itu, si

nenek mengetahui apa yang kira-kira sedang terpikirkan oleh cucunya itu. Ia membungkuk, mengs

angkat dagu Nunik. dan menengadahkan kepalanya.

Lalu dengan gerakan sekilas diciumnya pipi yang

basah itu.

"ibumu mengirimi kami surat kilat khusus. Betapapun, ia sangat mencintaimu dan mengkhawatirkan

dirimu, Ndak," katanya kemudian.

Nunik mengangguk dan menghapus air matanya.

Melihat itu, sang kakek menyela,

"Duduklah, Ndukl" katanya. "Tetapi sebelum itu,

mendekatlah kemari sebentar. Aku betum menciummu

sejak tadi!"_

Nunik berdiri mendekati kakeknya dan membiarkan

kedua belah pipinya yang masih lembap itu diciumi

oleh kakeknya. Ah, berada di antara kedua" orang

tua itu menimbulkan perasaan terlindungi, disayangi,

dan diperlakukan seperti dulu ketika ia masih kanakkanak. Sungguh, rasanya belum begitu lama tatkala

ia berlari dengan langkah kaki pendek pendek, se.

pendek langkah kakinya yang masih kecil-kecil,

datang bergantian ke pangkuan kakek dan neneknya

hanya untuk sekadar minta dicium dan disayangsayang. Rasanya pula, bagi kakek-neneknya itu, sekarang ini pun ia masih tetap sama seperti dulu,

gadis kecil yang cengeng.

Usai dicium kakeknya, Nunik memilih duduk di

sudut, dekat meja teh. Kakeknya mengawasinya sebentar dan kemudian melepaskan kacamatanya dan

melapnya dengan hati-hati.

"biduk," katanya kemudian. "Lepaskanlah beban

pikiranmu itu. Cobalah untuk menerima keadaan itu

dengan pasrah dan pikiran bening. Tidak semua

perceraian itu merupakan suatu aib. Dan' tidak semua

perceraian itu buruk akibatnya. Apalagi dalam hal

ini, kau berada di tempat yang benar."

"Dengarkan kata eyang kakungmu itu, Nunik!"

sambung sang nenek dengan suara lembut. "Sebagai

manusia bermartabat, kita wajib mengejar keutamaan

dan kebenaran. Namun sebagai manusia yang terdiri

atas darah dan daging yang lemah serta tak mampu

menghindari nasib atau takdir yang ditentukan dari

'atas, kita harus dapat menerima kenyataan dengan

pasrah. Betapapun pahit kenyataan itu. Oleh sebab

itu, sepanjang kehidupan ini kita harus selalu berteman dengan apa yang dinamakan kesabaran, ketawakalan, nrimo, dan ikhlas menerima apa yang

menjadi bagian kita sebagaimana sudah diajarkan

kepada kita oleh para sesepuh atau leluhur kita

secara turun-temurun. Hanya dengan cara begitulah

kita bisa hidup selaras dengan Tuhan, dengan dunia,

dan dengan diri kita sendiri!"

Nunik menganggukkan kepala dan menarik napas

panjang berulang kali. Ajaran seperti yang didengarnya itu sungguh sederhana, tetapi tidaklah mudah

untuk dilakukan. Lebih-lebih hidup di Jakarta atau

di kota kota besar lain, yang dalam segala hal selalu

harus berbagi dan berebut dengan sesamanya. Dalam

keragaman masalah yang sering kali juga tumpang

tindih, orang cenderung mementingkan keakuannya

dan melupakan keselarasan dengan yang lain. Apalagi

berikhlas rela diperlakukan tak adil oleh sesamanya.

Tak heran kalau seseorang bisa melupakan ajaranajaran indah seperti yang dikatakan oleh" neneknya.

Yang sering terjadi justru seseorang menjadi begitu

egois, serakah, kehilangan ketenangan dan kedamaian

sehingga dengan sendirinya juga tak sanggup membangun keselarasan dengan Tuhan, dengan sesama

atau dunia, dan dengan dirinya sendiri.

Kini di kota kecil dan di rumah yang masih sarat

dengan ajaran ajaran yang kuno tetapi sesungguhnya

masih relevan dan bahkan masih amat berguna sebagai bekal melayari kehidupan ini, Nunik mulai

dapat meresapinya. Hanya dengan berkompromi dengan realitaslah seseorang akan dapat meniti ke arah

ketenteraman dan kedamaian batin. Menentang

dengan membabi buta, tanpa akal dan hati bening,

maka hanya benturan-benturan sajalah yang ditemuinya.

Mengingat itu seolah ada seteguk kesegaran yang

terasa mengusap kelelahan jiwanya.

"Terima kasih atas ajaran yang Eyang ingatkan

kembali...," katanya mendesah. "Tetapi mohon doa

Eyang sekalian agar Nunik bisa tabah dan kuat!"

"Itu pasti, Nduk. Tanpa kauminta pun Eyang

berdua selalu berdoa bagimu dan bagi semua anak

cucu kami," sang kakek menjawab kata-kata Nunik

dengan lembut. "Tetapi kau sendiri hendaklah selalu

ingat untuk menjunjung segala ajaran yang pernah

kauterima dari kami. Bukan karena itu saja kau

wajib untuk mempertahankannya, tetapi juga karena

kau adalah keturunan priyayi tinggi. Kau harus

mampu mengendalikan emosi dan tidak mudah menyerah kepada keinginan seperti nafsu nafsu amarah,

ingin berkuasa, ingin memberontak tanpa jalur semestinya, dan hal-hal seperti itu. Kita harus mampu

bersikap sepi ing pamrih dan rame ing gawe. Menolong sesama dengan tulus ikhlas tanpa mengharapkan balasan. Dan selalu bersikap mawas diri setiap

menghadapi persoalan. Kita jangan hanya bisa menuding hidung orang lain dan mencari cari kambing

hitam serta..."

"Sudah sudah, Pak!" neneknya menimpali dengan

tergesa. "Cukup sudah semua yang tadi kita ingatkan

kepada Nunik. Dia baru saja datang. Biarkan dia

istirahat dulu!"

"Oh ya, aku lupa, Bu," sahut sang kakek sambil

mengangguk-anggukkan kepala. "Maklum sudah tua!"

Nunik mencoba tersenyum. Bahkan dicobanya untuk melupakan kemelut hatinya dengan mengalihkan

perhatiannya ke sekeliling.

"Rasa-rasanya, tidak ada yang berubah di rumah

ini. Kecuali meja teh ini dipindahkan kemari"

gumamnya kemudian.

"Ah, siapa bilang tidak ada yang berubah!" sahut

neneknya tertawa. Nunik meiihat ada gigi hilang

lagi dari mulut perempuan tua itu. "Lihat kami ini.

Sudah tua dan telinga kami mulai berkurang ketajamannyal"

"Dan kaki juga mudah sekali gemetar kalau terlalu

lama duduk!" sambung kakeknya.

"Tetapi Eyang berdua masih tampak segar dan

sehat!" hibur Nunik.

"Sehat apal" gerutu sang kakek. "Bangkit dari

kursi saja sudah tidak gesit seperti kemarin kemarin.

Jangan menghibur kami. Kami tidak jadi kecil hati

karena kerentaan kami. Itu kan peristiwa alami yang

harus diterima sebagai bagian dari kehidupan. Ya

kan, Bu?"

"Lha iya, tentu saja!" sela sang istri sambil tertawa

lagi. "Ya mana lumrah to umur delapan puluh lebih

masih segesit kancil."

Mendengar itu suaminya terkekeh dan gusinya

yang empat tahun lalu masih dihuni oleh beberapa

gigi di bagian depan, kini tampak kosong.

"Kau benar, Bu. Kau pun sudah tidak selincah

Srikandi seperti masa mudamu, yang pernah membuatku gernas setengah mati dulu. He he... tetapi

meskipun sudah tua, hati kita berdua toh masih

menikmati kegairahan, bisa hidup bersama sama

meskipun sudah putih semua rambut kita dan sudah

kosong semua gusi kita. Apalagi dengan adanya

cucu kesayangan kita ini. bukan main senangnya

hati ini. Ya kan, Bu?"

"Ya. Dengan adanya Nunik, rasanya rumah ini

menjadi lebih semarak dan hati kita menjadi lebih

bergairah. Dan kau, Pak, bisa mengajaknya mengobral!"

"Sambil sikat gigi ya, Bu...," tawa suaminya lagi.

"He he... dulu waktu masih muda, mana bisa sikat

gigi sambil mengobrol. Sekarang, bisa!"

Nunik tertawa mendengar lelucon orang tua itu

dan melirik gigi palsu sang kakek yang diletakkan

di atas mangkuk di dekat mereka.

"Dan biarpun kau marah, Pak... kau bisa tertawa

terus. Tetapi tawamu di mangkuk itu lho!" goda

sang istri.

Untuk kesekian kalinya, sang kakek terkekeh.

"Lihat, Nduk, kedatanganmu membuat kami berdua

jadi pelawak. Menyegarkan rasanya. Mestinya kau

sering datang mengunjungi kami di sini. Masa selama

emp'at tahun ini, hanya surat dan kiriman-kirimanmu

saja yang datang. Apa tidak kangen kepada kami?"

Nunik memejamkan mata, merasa bersalah. Kalau

liburan ia dan Hardiman lebih memilih ke luar

negeri atau ke Bali. Dan tak singgah ke rumah

kakek-neneknya hanya karena menuruti keinginan

Hardiman yang lebih suka pergi ke tempat tempat

ramai. Padahal tinggal berapa lama lagi kedua orang

tua itu menyisakan umur mereka kalau diingat keduanya sudah berusia lanjut. Sekarang Nunik menyesal tidak berpikir seperti itu. Ingin sekali ia menebus tahun tahun yang telah hilang itu.

"Nunik akan tinggal di sini lagi menemani Eyang

berdua," katanya emosional. "Dan Nanik akan mencari pekerjaan di kota ini."

"Lho... lho, lalu bagaimana dengan pekerjaanmu

di Jakarta? Kata ibumu, gajimu besar!"

"Nunik sudah memutuskan untuk meninggalkan

kota yang penuh kepahitan itu kok, Eyang. Biarpun

uang banyak, kalau hati tak bahagia,'apa gunanya?

Lebih baik kembali ke kota yang tenteram ini dan

mencari pekerjaan apa saja yang bisa didapat."

"Ee, ya jangan terburu-buru memutuskan soal itu,

'Nduk. Pikir baik�baik dulu. ibumu sangat khawatir

atas dirimu lho!"
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sesudah hidup sendiri lagi begini, Eyang, Nunik

memilih tinggal bersama Eyang daripada bersama

Ibu dan Bapak. Atau Eyang tidak suka Nunik tinggal

di sini lagi?"

"Lho... lho, kok merajuk anak ini!" tawa sang

Kakek. "Kami berdua senang sekali kalau kau mau

hidup bersama di sini. Tetapi kami berdua harus

lebih memikirkan kepentinganmu. Di Jakarta kan

bisa mengumpulkan uang dan membeli rumah. Di

sini, mendapat pekerjaan saja pun belum tentu gampang."

"Nunik mau hidup bersama Eyang Kakung dan

Eyang Putri. Dan uang simpanan Nunik cukup lumayan banyaknya untuk hidup menganggur selama

beberapa tahun. Mas Hardiman memberikan sebagian

simpanannya untuk Nunik ketika bercerai waktu itu.

Jadi masalah pekerjaan, itu tidak terlalu mendesak

meskipun Nunik tidak suka menganggur."

"Ah, itu semua bisa dibicarakan nanti atau besokbesok saja!" sela neneknya. "Sekarang, ayo mandi

dulu lalu istirahat."

"Tidak sarapan?" suaminya tertawa.

"Ya tentunya sarapan to, Pak. Kau juga sudah

lapar to?"

"Sama seperti kau, Bu. Lapar!"

Nunik tertawa lagi. Ah, senang hatinya dapat

menggembirakan kakek-neneknya sehingga mereka

berdua mulai bercanda. Padahal tadi sebelum kedatangannya, kedua orang tua itu masing-masing

asyik dengan pekerjaan mereka sendiri, sehingga tak

terdengar suara obrolan mereka. Apalagi suara tawa

mereka!

"Sudahlah sana, bawa kopermu masuk ke kamar,

Nik. Eyang akan menyuruh Mbok Surti menyiapkan

sarapan untuk kita bertiga!" kata neneknya kemudian,

menghentikan canda tawanya.

Nunik tertegun. Mbok Surti! Ah, pembantu itu

masih ada di sini! Pembantu yang dulu sering menyuapinya jika ia segan makan! Pembantu yang

sangat menyayanginya karena perempuan itu tak

mempunyai seorang anak pun.

Hati Nunik seperti ditetesi air sejuk yang menyegarkan. Kembali ke rumah ini membuatnya seperti

dilimpahi harapan dan janji-janji untuk sekali lagi

menikmati kehangatan dan kedamaian bersama penghuni rumah ini.

"MBOK SURTI masih seperti dulu, Eyang?" Nunik

bertanya dengan kerinduan yang tibantiba bergelora

di hatinya.

Sesudah kedua eyangnya, Mbok Surti-lah orang

terdekat di rumah ini. Ia tak akan pernah melupakan

jasa pembantu yang sudah menjadi anggota keluarga

sejak puluhan tahun yang lalu. Kalau Nunik sakit,

Mbok Surti-lah yang paling sibuk. Memasakkan apa

saja yang kiranya akan membangkitkan selera makan

Nunik. Mbok Surti pulalah yang mengingatkannya

makan obat. Bahkan dia juga yang membersihkan

muntahannya. Dan Mbok Surti pula yang menangisi

kepergiannya ketika sepuluh tahun lebih yang lalu ia

pamit pulang ke rumah orangtua di Jakarta untuk

melanjutkan studinya.

"Ya, Mbok Surti masih seperti dulu. Suka masak,

suka menggerutu kalau masakannya tidak disentuh.

Tetapi bicara tentang keadaan fisiknya, tentu saja

lain. Kekuatannya sudah tidak seperti dulu lagi.

Kalau dulu kau masih bisa digendongnya, sekarang

kau yang harus menggendongnya, Nik," sahut neneknya menjawab pertanyaan Nunik tadi.

Kini di kamarnya, percakapannya dengan neneknya

tentang Mbok Surti terngiang kembali di telinganya.

Memang benar, sekarang pastilah Mbok Surti sudah

tidak kuat seperti dulu. Waktu dan usia telah menguras fisiknya. Sama seperti kedua eyangnya.

"Den Lord...." Suara lembut dan takut-takut memasuki kamar dan melepaskan Nunik dari pikirannya

tentang Mbok Surti.

Di ambang pintu, Nunik melihat seorang gadis

tanggung berdiri dengan sikap takut takut dan malumaiu.

"Eh, siapa kan...?" tanyanya agak keheranan.

"Saya Siti Amini, Den Loro," sahut gadis itu.

"Keponakan Mbok Surti. Saya disuruh'Lik Surti menanyakan pada Den Loro, apakah sudah tidak repot

lagi dengan kedua Ndoro Sepuh?"

"Siti Amini? Ah, nama yang bagus!" komentar

Nunik sambil tersenyum manis teringat bahwa sekarang Mbok Surti sudah tidak kuat'bekerja sendirian.

"Jadi, kau keponakan Mbok Ti. Kenapa dia menanyakan seperti itu kepadaku, Siti?"

"Karena Lik Ti menunggu kesempatan untuk menjumpai Den Loro. Dia tidak mau mengganggu acara

kangemkangenan Den Loro dengan kedua Ndoro

Sepuh. Dan dia sudah tidak sabar lagi ingin melihat

Den Loro!"

Rasa haru menggumpai dalam dada Nunik. Ah,

Mbok Surti masih saja mencurahkan rasa keibuannya

kepadanya. Padahal ia sudah bukan bocah lagi, melainkan seorang wanita dewasa. Bahkan telah pula

menjanda.

"Katakan kepadanya, aku sudah tidak repot lagi

dengan kedua eyangku," sahutnya kemudian.

"Akan saya sampaikan!" Wajah Siti tampak berseri.

Dengan gerakan tangkas sesuai dengan usianya yang

belia, ia melesat keluar kamar Nunik.

Tak berapa lama kemudian seorang perempuan

tua bertubuh montok, berumur sekitar enam puluh

limaan, masuk ke dalam kamar Nunik dengan wajah

ramai oleh senyum.

"Den Loro Nunik..." Perempuan itu mengembangkan lengannya yang montok lebar-lebar. "Aduh, bukan main kangennya Mbok Ti kepadamu!"

"Mboook...." Nunik menghambur ke dalam pelukan

Mbok Surti, tanpa merasa bahwa perempuan itu hanya seorang pembantu rumah tangga. Diangsurkannya

pipinya kepada perempuan tua itu. "Cium aku,

Mbok!"

Tetapi Mbok Surti ragu-ragu. Dulu semasa Nunik

kecil, memang sudah sering ia menciumi pipi asuhannya itu dengan kasih dan gemas. Tetapi sekarang?

Apalagi mengingat kedudukannya sendiri. Namun

Nunik tahu apa yang dipikirkannya itu.

"Ayolah, cium aku, Mbok. Katamu, kau'kangen

kepadaku. Kok tidak mau menciumku!" katanya.

Maka tanpa ragu perempuan tua itu pun mencium _

kedua belah pipi Nunik dengan hati yang amat

berbunga. '

"Kenapa baru sekarang Den Loro datang berkunjung kemari!" katanya dengan mata berkaca-kaca

penuh keharuan. "Empat tahun bukan waktu yang

sebentar, Den Loro. Mbok selalu menghitungwhitungnya, kapan Den Loro ingat kepada orang orang di

sini!"

"Aku yang salah, Mbok!" Nunik melepaskan diri

dari pelukan Mbok Surti sambi] menarik napas

panjang. "Kubiarkan diriku terseret segala urusan

yang ternyata toh tidak memberi kebahagiaan. Jadi.

Mbok... untuk menebus kesalahanku itu, aku akan

tinggal di sini lagi."

"Oh ya?" Mata Mbok Surti berseri�seri. "Sampai

kapan?"

"Entah sampai kapan. Aku ingin mencoba mulai

menata hidupku kembali dari tempat ini. Di Jakarta

aku kehilangan rasa damai, Mbok"

"Sudahlah," Mbok Surti memotong kata-kata Nunik

dengan bijaksana. Ia tak tahan mendengar suara

bekas asuhannya yang mulai menggelelar itu. "Yang

penting Den Loro kalau tinggal di sini lagi nanti,

harus mengajak Mbok Ti jalan-jalan ke Gajah

Mungkur. Mbok ingin melihat tempat kelahiran Mbok

yang sekarang sudah menjadi waduk yang indah

pemandangannya itu. Katanya, banyak orang berjualan

ikan goreng di sana..."

"Wah, aku juga belum pernah ke sana, Mbok,"

sahut Nunik, yang karena usaha Mbok Surti berhasil

dialihkan perhatiannya.- "Nanti kita berdua sama

sama pergi ke sana!"

"Nah, sekarang yang penting Den Loro mandi

dulu. Nanti kusuruh Siti membuat air panas biar

rasa capek Den Loro hilang. Saya akan menyiapkan

sarapan!"

"Ah, masih seperti dulu juga. Membuatkan air

panas untuk mandi, menyiapkan sarapan istimewa...,"

sahut Nunik. "Rasanya semua itu belum lama terjadi."

"Memang demikian!" Mbok Surti tertawa sehingga

perutnya yang gendut tampak bergerak gerak. "Yang

beda, sekarang Mbok Ti sudah tua dan tambah

gemuk."

"Olahraga, Mbok."

"Sudah setiap hari, Den Loro. Menyapu halaman

rumah, main silat dengan memakai penggorengan,

panci, dan dandang," Mbok Surti terkekeh-kekeh

sambil berjalan keluar kamar. "Lha wong sudah tua

begini kok ya disuruh olahraga. Apa nggak bikin

geger orang kampung."

Nunik tersenyum. Senang hatinya dapat membuat

orang-orang di rumah ini tersenyum dan tertawa

gembira.

Sesudah Mbok Surti keluar kamar, Nunik mengembalikan perhatiannya ke dalam kamar yang dulu ditempatinya selama bertahun tahun tinggal di rumah

ini. Kamamya memang masih yang dulu, tetapi tempat itu sudah berubah. Tempat tidurnya bukan yang

dulu lagi. Lemarinya juga bukan lemari pakaiannya

yang dulu. Bahkan cermin biasnya pun berbeda.

Apa yang dilihatnya serbamodern. Berbeda dari

bendawbenda lain yang ada di dalam rumah ini.

Barang-barang yang semasa kecilnya dulu sudah

sering dilihatnya dan menyatu dengan rumah serta

penghuninya. Barang barang tua dan kuno, yang

meskipun sudah amat jauh ketinggalan modelnya

tetapi selalu terawat dengan baik sekali. Meja makan

bundar yang tebal-tebal kayu jatinya, dengan penyangga berbentuk persegi di tengahnya dan empat

kaki menjulur bergeiung menyentuh lantai itu, misalnya. Dan yang peliturnya selalu diperbaharui. Semua

itu sudah teramat akrab baginya. Tetapi isi kamar

ini?

"Kenapa termenung, Nduk?" suara neneknya memasuki telinga Nunik. Cucunya itu langsung menolehkan kepala ke arah perempuan tua yang sedang

berjalan ke arahnya. Sudah delapan puluh tahun

lebih umur neneknya, tetapi gerakannya masih cukup

gesit dan pendengarannya masih cukup tajam. Yang

membuatnya kelihatan tua dan rapuh hanya kulitnya

yang sudah keriput di mana mana dan matanya yang

sudah rabun.

"Perabotan yang lama ke mana, Eyang?"

"Oh, itu. Diminta oleh mbakyumu, Nik!"

"Mbakyu yang mana?" tanya Nunik. Di dalam

rumah orangtuanya Nunik adalah anak pertama. Adiknya dua orang. Jadi kalau eyangnya menyebut mbakyumu atau kangmasmu, itu artinya saudara-saudara
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepupunya. Anak-anak kakak ibunya.

"Ati!" senyum neneknya. "Tempat tidur ukir yang

kaupakai dulu itu diminta, berikut lemari pakaian

dan cermin biasnya sekalian. Katanya barang-barang

itu termasuk barang antik. Lalu ditukarnya dengan

barang-barang modern seperti yang ada di kamarmu

iru."

"Tetapi barang-barang kuno kan mahal harganya,

Eyang."

"Ya, aku tahu itu. Belum lagi nilai sejarahnya.

Sebab tempat tidur itu punyaku semasa aku masih

gadis. Entah buatan kapan, Eyang sendiri tak tahu.

Jadi kuminta dengan sangat supaya Ati menyimpannya baik-baik dan jangan menjual atau memberikan

barang-barang antik tersebut kepada orang luar yang

bukan keturunanku."

"Pasti Mbak Ati tahu juga nilainya, Eyang!" se

nyum=_Nunik sambil membayangkan kakak sepupunya

itu.

"Oh ya, tentu," tawa eyangnya pula. "Kalau tidak,

masa mau kakakmu itu menukarnya dengan televisi

berwarna yang besar untuk kami!"

"Ah, royal sekali dia. Sudah menukar perabotan

dengan yang modern, masih ditambah dengan televisi

besar pula. Pasti suaminya sekarang sudah semakin

kaya!"

"Memang suaminya sudah semakin hebat, Nduk.

Tetapi soal royalnya, ah Ati tidak seroyal yang

kelihatan!" tawa neneknya lagi. "Sebab untuk pengisi

kamar ini dia tak terlalu banyak mengeluarkan uang.

Ia mendapat kening banyak sekali dari pemilik toko

meubelnya."

"Wah, enak betul! Sedang cuci gudang rupanya

_ toko meubel itu!" komentar Nunik.

"Tidak, tidak begitu kok, Nduk..." Suara sang

Nenek yang belum sempat menyelesaikan bicaranya

itu terhenti oleh suara masuknya Siti ke dalam

kamar. Perhatian mereka berdua terarah ke sana.

"Air panasnya sudah dituang di kamar mandi,

Den Loro!" kata anak tanggung itu memberitahu.

"Oh ya? Kok cepat sekali, Siti?"

"Ya, Den Loro, sebab cuma tinggal mendidihkan

saja. lagi. Tadi sudah mendidih.- Dan waktu Den

Loro minta dibuatkan air panas, air itu masih cukup

panas."

"Oh, begitu. Baiklah, Siti, nanti aku akan ke sana.

Terima kasih, ya?"

"Ya, Den."

"Nah, mandilah sana, Ndukl" sela eyangnya.

"Selagi airnya masih panas. Aku dan eyang kakungmu menunggumu di meja makan lho."

"Ya, Eyang..."

Begitulah hari pertama kedatangan Nunik kembali

ke rumah kakek-neneknya. Ia merasa semua orang

telah menyambut kehadirannya dengan hati yang

hangat. Sungguh ini membuatnya merasa gembira,

sebab segalanya berjalan dengan lancar'sekali, seolah

ia baru tiba dari bepergian selama beberapa hari dan

bukannya bertahun-tahun lamanya. Semuanya berjalan

dengan sendirinya, seolah ia masih berada di dalam

kesibukan dan urusannya yang ada di seputar rumah

ll'll.

Pagi harinya sesudah ia tidur nyenyak karena

kecapekan dan merasa lega sebab temyata kakek"

neneknya tidak mencela perceraiannya dengan

Hardirnan, Nunik terbangun pada jam enam pagi.

Tubuhnya terasa segar. Dan hatinya terasa mulai

dirasuki kedamaian.

Udara pagi yang sejuk langsung menyiramkan

kesegaran bau-bauan yang berasal dari halaman,

begitu jendeia kamar dibukanya lebar-lebar. Bau bunga melati gambir, bau rumput basah tersiram embun,

bau bunga kemuning yang ditanam sepanjang pagar

rumah yang memasuki kamarnya itu sungguh mengingatkan Nunik kepada kekhasan rumah kakek-neneknya itu. Ditambah suara burung puter yang bersahutsahutan dengan burung perkutut, suasana kehidupan

terasa damai. Rasa rindu di hati Nunik bagai terusap

oleh suasana pagi pertama ia bangun tidur di rumah

kakek-neneknya itu. Dengan perasaan senang Nunik

menghirup udara dan menikmati suara nyanyian

burung burung peliharaan kakeknya. Alangkah berbedanya dengan suasana di rumah orangtuanya, scsudah ia kembali ke sana sejak perpisahannya dengan

Hardiman. Tak hentinya terdengar musik rack di

sana. Kalau bukan dari kamar adiknya, ya dari kamarnya sendiri. Atau dari rumah tetangga yang menyetel lagu-lagu itu dengan keras.

Bagi Nunik, kedua macam suara itu sama bagusnya.

Tetapi menurut perasaannya, tidak sama efeknya.

Mendengar musik rock jantung seperti dipacu lebih

cepat dan kakinya ingin dientak-entakkannya dalam

gairah jiwa sehingga seluruh tubuh ingin ikut bergoyang seirama musik itu. Tetapi mendengar nyanyian

burung di antara desiran angin pagi yang sejuk,

membuat kita merasakan hati yang damai, tenang, dan

ingin membagikan kedamaian itu kepada orang lain.

Sedang apakah kakek-neneknya? pikirnya sambil

meraih sisir dan menyisiri rambutnya yang berantakan.

Tanpa mandi dulu, kecuali menyikat giginya karena

ingin segera menjumpai mereka, Nunik mengganti

gaun tidurnya dengan daster dan langsung keluar

kamar. Tetapi langkah kakinya terhenti di ruang

tengah ketika menyadari suara nyanyian burung tadi

telah berubah menjadi celoteh burung-burung lainnya.

Suara celoteh itu pendek-pendek dan sepertinya mengungkapkan kegembiraan. Nunik merasa tertarik demi

mendengar celoteh burung-burung itu. Langkah kakinya

yang semula menuju ke ruang tengah berbalik arah. la

menuju ke serambi samping untuk mencapai selasar

yang menghubungkan tempat itu dengan serambi

belakangnya yang luas. Di tempat itulah biasanya

kakek Nunik menggantungkan kurungan-kurungan

burungnya. Sepanjang ingatan Nunik, kakeknya selalu

memelihara burung, dan selalu berganti-ganti kecuali

burung perkutut dan burung puter kesukaannya. Tampaknya kini koleksi burung kakeknya sudah bertambah

jenisnya. Nunik melihat ada burung poksai yang

kicauannya sudah terdengar dari kamarnya sejak kemarin. Suaranya yang macam-maeam mengesankan

bahwa ia burung jantan yang kenes dan gesit. Burung

poksai milik ayahnya di Jakarta tidak sepandai itu.

Nunik berhenti di teras, demi mengetahui di tengah

halaman belakang sekarang ternyata juga didirikan

kandang burung yang terbuat dari kawat baja. Luasnya sekitar dua kali dua setengah meter dan tingginya

hampir tiga meter. Di tengah-tengah kandang terdapat

pohon beringin hias pendek yang rimbun daunnya.

Di dalamnya terdapat sekitar sepuluh ekor burung.

Entah jenis burung apa saja, Nunik tak tahu. Tetapi

tampaknya ada juga jalaknya. Rupanya suara celoteh

burung-burung itulah yang tadi terdengar olehnya.

Tetapi yang merebut perhatian Nunik sesudah

langkah kakinya mencapai kandang itu bukan burungburung itu, melainkan sosok tubuh seorang lelaki

yang berdiri membelakanginya, sedang memberi makan burung-burung itu.

Lelaki itu bertubuh gagah dan atletis. Ia mengenakan celana jins yang sudah pudar warnanya tetapi

kaus oblong berwarna biru yang dikenakannya tampaknya masih termasuk baru. Entah siapa lelaki itu,

Nunik tak tahu.

Mungkin karena Nunik berada di belakangnya

dan lelaki itu merasakannya, ia berbalik dengan

gerakan mendadak. Dan dengan sama tiba-tibanya

pula. baik Nunik maupun lelaki itu sama-sama terkejut dan kemudian sama-sama menyebutkan nama

masing-masing.

"Jeng Nunik!"

"Wawan!"

Bergegas Wawan menyelesaikan pekerjaannya. ia

keluar dari pintu kandang dengan tergesa dan menutupnya kembali.

"Aduh, apa kabar, Jeng?" sapanya sambil mengulurkan tangan dengan air muka berseri-seri. "Aku

tak menyangka Jeng Nunik akan datang kemari. Begitu tiba-tiba!"

"Ya, memang tanpa rencana lebih dulu." sahut

Nunik gembira. "Keinginanku datang kemari ini mendadak muncul. Dan aku juga tak menyangka akan

bertemu denganmu di sini. Apalagi melihatmu begini... begini..."

Wawan tertawa melihat Nunik tak mampu merumuskan apa yang ingin dikatakannya.

"Gemuk, ya?" katanya kemudian. "Beda sekali

dengan diriku sepuluh tahun yang lalu!"

"Bukan itu!" bantah Nunik ikut tertawa. "Tetapi

berisi. Kau tampak gagah sekarang. Dulu kau kan

kurus."

"Dulu aku masih pemuda ingusan dan masa depanku belum pasti. Dan terutama, orang kalau sudah di

atas tiga puluh tahun, apalagi mendekati tiga puluh

lima, tubuhnya semakin berisi dan berisi dan lalu

kalau tidak bisa menjaga diri, kelak di atas empat

puluhan akan menjadi gemuk dengan perut yang

gendut!" tawa Wawan lagi.

"Yang pasti sekarang hidupmu pasti sudah mapan.

Tentunya kau sudah menjadi sarjana, kan?"

"Yang tepat, menjadi tukang!"

"Oh, kau seorang insinyur ya, Wan?"

"Bukan, Jeng. Cuma tukang."

"Tukang? Kau dulu melanjutkan studimu di mana

sih?"

"Di Yogya."

"Di jurusan apa, maksudku!"

"Oh, itu. Yah, pokoknya ilmu yang bisa menjadi

andalan hidup. Itu yang penting, kan? Nah, ayo

ceritakan padaku, bagaimana kehidupanmu sekarang,

Jeng!" Wawan mengalihkan pembicaraan. "Sudah

berapa orang anakmu?"

Nunik terdiam beberapa saat. Tampaknya Wawan

tak tahu apa-apa mengenai kehidupannya. Mungkin

lelaki itu tak pernah bertanya apa pun mengenai diri

Nunik. Ah, padahal mereka dulu begitu akrab sampaisampai Nunik menganggap lelaki itu adalah bagian

dari kehidupan yang ada di rumah ini. Dan ia

merasa seharusnya Wawan juga merasakan hal yang

sama. Tetapi tampaknya ia tak mempunyai minat

sedikit pun untuk mengetahui kehidupan Nunik.

"A aku... belum mempunyai anak, Want" sahutnya agak kecewa.

"Oh, maaf. Aku tak tahu!" sahut Wawan dengan

suara lembut yang menyiratkan ketulusan permintaan

maafnya. "Tetapi itu biasa, Jeng. Ada seorang kenalanku, baru mempunyai anak sesudah tujuh tahun

menikah!"

"Ya..."

"Mm... kau datang sendiri atau dengan suamimu?"

"Sendirian."

"Suamimu?"

Nunik mencoba tersenyum meskipun rasanya begitu tersiksa.
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia... dia ada di Jakarta. Kau sendiri, bagaimana

keadaanmu, Wan? Sudah berapa orang anakmu?"

tanyanya kemudian.

"Aku?" Wawan tertawa. "Ah, ternyata selama ini

kita kurang berkomunikasi. Bahkan dapat dikatakan

sudah putus hubungan, hingga kita tak pernah mengetahui keadaan yang lain. Jeng Nunik, bagaimana

mungkin aku akan bisa mempunyai anak kalau beristri saja pun belum. Saat ini aku sedang mulai

membangun hubungan dengan seorang gadis. Jadi,

masih jauh untuk memikirkan anak, meskipun umurku

sudah tidak terlalu muda lagi!"

"Mudah mudahan segalanya berjalan lancar ya,

Wan!"

"Mudah mudahan, Jeng!"

"Wan, maukah kau memanggil aku dengan namaku

saja?" pinta Nunik sesudah beberapa kali ia mendengar Wawan memanggilnya dengan sebutan "jeng",

padahal ia sendiri memanggil nama saja kepada

lelaki itu. Risi telinganya mendengar itu. "Kita sekarang sudah bukan anak-anak lagi!"

"Ah, tak enak, Jeng. Kau memiliki darah ningrat,

sedangkan aku tidak!" sahut Wawan tegas. "Tak

enak rasanya memanggilmu dengan nama saja."

"Kau itu seorang sarjana, Wan. Tetapi pikiranmu

masih juga tidak berubah dalam hal itu. Ataukah di

bangku kuliahmu diajarkan bahwa darah orang berbeda-beda warnanya?"

"Jangan sinis begitu!" Wawan tertawa.

"Habis, jengkel padamu. Apakah tak terpikir olehmu bahwa darah biru atau ningrat dan darah orang

kebanyakan itu adalah buatan manusia? Tuhan tidak

menciptakan hal-hal semacam itu. Semua manusia

mempunyai martabat yang sama dan hak asasi yang

sama pula. Dan sebagai manusia yang kebetulan

sama-sama sebagai rakyat lndonesia, kita juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Jadi, Wan,

hapuskanlah panggilan 'jeng' itu dari caramu menyebutkul"

"Aku merasa tak enak. Percayalah, aku juga sependapat denganmu. Tetapi aku juga harus bisa menenggang perasaan orang lain, bukan? Kedua eyangmu,

misalnya. Atau bapak dan ibuku. Apa nanti kata mereka kalau aku tiba-tiba memanggil namamu saja!"

"Oke, sekarang aku mengerti alasanmu. Oleh sebab

itu aku yang harus mengubah panggilanku kepadamu,

kalau kau tak bisa mengubah pannggilanmu kepadaku. Dan untuk itu, kuharap dengan sangat. kau

tidak boleh memprotesnya. Sadarilah, zaman sudah

berubah!"

"Lalu kau mau memanggilku apa? Oom?" canda

Wawan setengah tak peduli. "Atau pakde?"

"Mas Wawan!"

"Aduh, apa tidak berlebihan itu?"

"Tidak!" sahut Nunik. "Nah, aku tak mau berdebat

mengenai hal ini. Dan jangan merasa tak enak kepada

siapa pun. Sebab aku yakin orang akan bisa memahaminya!"

Wawan tersenyum sambil mengangkat sedikit bahunya.

"Terserahlah.... itu bukan mauku..., sahutnya kemudian, setengah bergumam.

"Mas Wan, omong-omong nih, kapan kau kembali

ke kota ini dan apa saja kesibukanmu sekarang?"

tanya Nunik kemudian, mengalihkan pembicaraan.

"Tentunya sudah tidak bekerja di tempat yang dulu,

kan?"

"Wah, pertanyaan yang bertubi-tubi!" kata Wawan

tertawa lagi. "Aku kembali ke kota ini sudah hampir

empat tahun yang lalu. Dan tentu saja aku tidak

kembali bekerja di tempat yang dulu. Bidangnya

lain sama sekali. Dulu aku bekerja di tempat itu kan

untuk mengumpulkan uang guna biaya melanjutkan

kuliah!"

"Keluargamu sungguh keluarga teladan, Mas

Wawan," komentar Nunik dengan tulus. la tak mengira bahwa saat itu Wawan sedang merasa kagum

atas caranya menyebut namanya dengan panggilan

"mas" itu. Begitu lancar dan luwes, seolah sudah

terbiasa seperti itu. "Seandainya orangtuamu tidak

ber-KB, belum tentu kau bisa meraih eita-eitamu

dan mengangkat derajat orangtuamu. Bayangkan saja,

seorang tukang pos dan penjual lotek bisa mempunyai

anak bergelar sarjana, sedangkan orang-orang yang

mampu pun belum tentu anaknya jadi orang!"

"Kau pantas menjadi penyuluh KB, Jeng!"

"Nah, sekarang kau yang sinis!"

"Begitu kok sinis. itu pujian kok!"

"Oh, itu ia sekarang gayamu kalau memuji?"

Kedua orang itu tertawa. Tetapi Wawan langsung

melihat arlojinya.

"Aku harus pergi bekerja, Jeng. Nanti sore aku

ke sini lagi dan kita bisa mengobrol!" katanya kemudian. "Dan tertawa-tawa lagi!"

"Baiklah. Wah, aku sungguh-sungguh mendapatkan

kejutan bahwa ternyata kau sudah kembali lagi!"

"Aku juga mendapat kejutan bahwa ternyata kau

masih ingat untuk datang berkunjung kemari lagi.

Aku benar-benar tak menyangka, sebab kata ibuku

sudah empat tahun lebih kau tidak datang-datang

kemari!"

"Aku sibuk, Mas Wan. Apalagi waktu aku datang

kemari, kau tidak ada. Tak ada yang mengajakku

mengobrol seperti dulu. Jadi, buat apa aku datang

ke kota ini? Ya, kan?"

"Wah, lama tinggal di Jakarta jadi pandai merayu

nih, ya?" untuk kesekian kalinya Wawan tertawa

lagi. "Padahal selama ini kau baru ingat kepadaku

kalau membutuhkan penolong."

"Yah, kuakui itu!" tiba-tiba tatapan mata Nunik

yang semula berseri-seri karena pertemuan yang tak

disangka-sangka itu menjadi agak redup. "Aku tak

pernah bisa melupakan betapa banyaknya jasa yang

pernah kauberikan kepadaku dulu."

"Ah, itu kan karena aku merasa senang membantubantu orang yang membutuhkan tenaga atau pikiranku. Khususnya kau, Jeng. Kita telah puluhan tahun

bertetangga dan hubungan keluarga kita amat akrab.

Sampai sekarang."

"Jadi itulah sebabnya kau yang memberi makan

burung-burung Eyang Kakung, ya?" senyum Nunik.

"Bukan itu saja. Aku juga masih suka membantu

Mbok Surti memanjatkan buah melinjo atau kelapa

muda. Juga aku masih suka disuruh-suruh oleh keluarga ini kalau tidak ada yang bisa dimintai bantuani"

"Dan kau mau?" Alis mata Nunik naik ke atas.

"Tidakkah itu membuatmu merasa... yah, merasa

rendah? Bukankah saat ini situasi dan kondisinya

sudah berbeda?"

"Merasa rendah? Wah, itu kata-kata yang keliru,

Jeng. Aku tak pernah berpikir atau merasa seperti

itu. Bahwa keluarga eyangmu masih membiarkanku

keluar-masuk kemari untuk membantu-bantu, justru

membuatku merasa masih dianggap sebagai orang

dekat betapapun situasi dan kondisinya sudah berubah. Kalau tidak demikian, tentunya aku juga tidak

akan kemari. bukan?"

Nunik menganggukkan kepalanya dengan haru.

Dan Wawan melirik arlojinya lagi.

"Wah, aku harus pergi, Jeng!" katanya.

"Nanti sore kemari, kan?"

"Kan aku sudah janji?" senyum Wawan sambil

berjalan keluar halaman melalui pintu samping.

Tubuhnya yang gagah tampak menarik. Sebelum ia

menghilang di balik tanaman merambat yang menyelimuti pagar pintu samping, ia berhenti dan berbalik

ke arah Nunik yang masih berdiri di tempat semula.

Katanya, ."Jeng, kenapa datang kemari tanpa suami?

Kalau boleh aku memberi saran seperti yang dulu

sering kulakukan bagimu, sebaiknya kalau bepergian

ke luar kota itu bersama-sama suami. Kecuali kalau

tugas kantor, tentu saja."

Nunik terdiam, tak berani menjawab. Hal itu membuat mata Wawan mengecil sesaat lamanya. Pikirnya,

Nunik sekarang tidak sama seperti Nunik yang dulu.

Kalau saran atau nasihatnya mengena, ia akan menganggukkan kepala. Kalau tidak, ia akan marahvmarah

dan memberi alasan tentang ketidaksetujuannya.

Tetapi tak pernah berdiam diri seperti itu.

"Maaf kalau aku terlalu lancang mencampuri persoalan pribadimu, Jeng!" kala Wawan lagi sesudah

menghela napas panjang.

"Kau tidak lancang, Mas," sahut Nunik merasa

tak enak. "Maafkan aku kalau kata-karamu tadi tak

menimbulkan reaksi padaku. ltu ada alasannya!"

"Boleh aku tahu?" suara Wawan yang langsung

mengandung keakraban mengingatkan Nunik betapa

erat hubungan mereka berdua dulu. Wawan selalu

berkata begitu setiap melihat Nunik sedang murung.

Dan tanpa ragu sedikit pun Nunik pasti akan mencurahkan isi hatinya kepada lelaki itu. Sekarang

mendengar lagi kata kata seperti itu membuat Nunik

dirasuki perasaan baru kembali.

"Boleh, Mas. Tetapi tidak sekarang. Aku akan

lama tinggal di sini kok. Masih banyak waktu yang

akan bisa kita isi dengan pelbagai macam hal bersama-sama!" sahutnya. "Oke!?"

"Oke. Sampai nanti sore."

Sepeninggal Wawan, Nunik segera mandi, sarapan,

dan kemudian bergegas menuju rumah Bu dan Pak

Mario di belakang rumah. Ternyata rumah itu sekarang sudah diperbaiki. Memang tetap kecil seperti

dulu, tetapi sudah menjadi bangunan yang modern

dan bagus sehingga tampak mencolok dibanding dengan rumah-rumah di sekitarnya. Tetapi toko yang

dulu sudah tidak ada lagi. Apalagi bangunan darurat

di muka rumah yang dulu dipakai untuk berjualan

lotek. Semuanya sudah hilang.

Nunik mengetuk pintu rumah yang tertutup di

depannya itu. Seorang gadis tanggung berumur sekitar

empat belas tahun membukakan pintu untuknya. Ia

belum pernah melihat anak itu, sehingga ia merasa

ragu apakah keluarga Pak Marto masih tinggal di

rumah ini.

"Hm apakah ini rumah Pak Marto?" tanyanya

kepada anak itu.

"Ya, betul."

"Pak dan Bu Marto ada di rumah?"

"Oh, sudah pergi."

"Pergi ke mana?"

"Berdagang."

Nunik tersenyum di dalam hati. Kalau sudah terbiasa berjualan, biarpun anaknya sudah jadi orang

dan kehidupan mereka berkecukupan. sulit juga rupanya meninggalkan apa yang sudah digeluti itu.

"Pulangnya sore?" tanyanya.

"Ya." _

"Mereka berdagang apa?" tanya Nunik lagi, tak

dapat mengekang rasa ingin tahunya.

"Membuka toko."

"Oh, begitu," Nunik bergumam. Di dalam hati

ia memuji suami-istri itu. Tak pernah mereka mau
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duduk enak enakan saja. Pastilah dengan modal uang

dari Wawan, mereka berdua memperbesar dan memperluas toko mereka dulu dengan pindah di tempat

yang lebih baik. "Di mana sih tokonya?"

Gadis tanggung itu menyebutkan nama jalan.

Nunik masih ingat, tempat itu tak terlalu jauh dari

rumah. Mungkin baik juga kalau ia berkunjung ke

sana dan membuat kejutan bagi mereka.

"Nama tokonya apa, Dik?"

"Toko Usaha Maju, Mbak."

"Saya akan ke sana."

' "Mbak... siapa?"

"Saya tetangga depan itu!" sahut Nunik sambil

menunjuk pagar tembok belakang rumah eyangnya.

"Oh, cucu Ndoro Menggung, ya?"

"Ya. Tetapi eh, Dik, jangan ikut-ikutan memanggil

pakai sebutan ndoro ah!" sahut Nunik tersenyum.

"Sudah bukan zamannya. Dan kau sendiri siapa?

Wajahmu mirip Bu Marto."

"Saya keponakannya, Mbak. Disuruh-suruh

membantu Bude Marto mengawasi rumah ini. Soalnya

setiap hari ditinggal pergi."

"Kau tidak sekolah?"

"Sekolah, Mbak. Masuk siang."

"SMP?"

"Ya."

"Kalau ditinggal sekolah, siapa yang menjaga rumah?"

"Ada Mbak Siti, tetangga yang membantu-bantu

masak dan mencuci pakaian di sini."

"Oh begitu. Nah, saya pulang dulu ya, Dik. Siapa

namanya?"

"Wanti, Mbak."

"Nah, kepareng ya, Dik Wanti."

"Monggo, monggo, Mbak. Terima kasih atas kedatangannya."

Nunik memilih naik becak untuk pergi ke alamat

toko yang ditunjukkan oleh Wanti tadi. Memang

jalannya agak lambat dan berkesan santai. Tetapi

justru karena itulah ia dapat melihat-lihat bagian

kota yang sudah lebih empat tahun tak dikunjunginya

dengan lebih baik. Segera saja ia sudah dapat

melihat pertokoan baru yang empat tahun lalu belum

ada. Lalu sebuah gedung bioskop baru tampak olehnya. Kelihatannya kota ini pun sedang berbenah diri

agar tampak lebih cantik daripada sebelumnya. Apalagi jalan-jalan yang dilaluinya tadi tampak bersih

dengan tempat sampah di sana-sini serta pot pot

besar berisi bunga atau tanaman hias lainnya.

Toko Usaha Maju yang didatanginya itu ternyata

tidak seperti yang dibayangkannya. Semula dikiranya

itu merupakan toko kelontong. Tapi ternyata toko itu

merupakan toko mebel yang cukup besar dengan

penataan artistik.

Semula Nunik merasa ragu untuk masuk, khawatir

ia keliru alamat. Tetapi tatkata matanya menangkap

bayangan tubuh Bu Marto yang masih seperti dulu,

seolah tahun tahun yang berlalu tak pernah mengubah

dirinya, keraguannya pun lenyap.

"Bu Marto...," sapanya dengan gembira.

Bu Marto, yang saat itu sedang memandori dua

orang tukang yang sedang memasang sofa rakitan,

menoleh. Dan demi melihat siapa yang baru datang

tadi, wajahnya menjadi cerah. Senyumnya amat lebar.

"Aduh, Jeng Nunik!" sahutnya. Dipeluknya perempuan muda yang baru datang itu sesaat lamanya.

"Kangen sekali saya. Tadi pagi Wawan bercerita

bahwa Jeng Nunik mengunjungi Ndoro Menggung.

Wah, rasanya ingin sekali saya datang ke sana untuk

melihat Jeng Nunik. Tetapi karena waktunya sempit,

keinginan itu saya tekan dulu. Eh, malah Jeng Nunik

yang datang kemari. Tahu toko ini dari Wanti to?"

"Ya, Bu Marto. Saya ke sana, kecele. Tidak ada

siapa-siapa." '

"Ya memang, seharian kami selalu di sini. Yah,

begini inilah hasil dari keprihatinan kami selama

berpuluh tahun, Jeng!"

"Saya kagum lho, Bu Marto. Dari berjualan lotek

sampai berjualan meubel bagus bagus begini...," komentar Nunik seraya melayangkan matanya ke seluruh"

ruang depan yang luas itu. "Tetapi eh..., apakah kedatangan saya tidak mengganggu Bu Marto?"

"Tidak, tidak merepotkan kok. Malah senang.

Sungguh!" sahut Bu Marto sambil memberi isyarat

kepada kedua tukang tadi untuk melanjutkan pekerjaan mereka. "Lalu mengenai berdagang begini, ini

bukan dari usaha saya jualan lotek atau toko kelontong kecil-kecilan kami dulu lho. Di sini saya

cuma pegawai. Begitupun Pak Marto!"

"Hanya pegawai?"

"Ya," sahutnya tertawa. "Persis sama seperti kedua

tukang tadi!"

"Ah, Bu Marto ada-ada saja. Masa iya? Lalu

kalau begitu, siapa yang jadi bosnya?" senyum Nunik.

"Bosnya merangkap pemilik toko ini ya si Wawan

itu."

"Mas Wawan?"

"Ya, Wawan. Jangan memanggil dengan sebutan

'mas' ah, Jeng!"

"Lho, kenapa tidak boleh? Dia lebih tua umurnya

dari saya. Dan kalau ia memanggil saya dengan

sebutan "jeng', sudah semestinya saya memanggil

dengan sebutan "mas". Kita kan sama sarna manusia

ciptaan. Sudah begitu, tak semestinya dan sudah

bukan zamannya lagi orang mempergunakan atau

mempersoalkan kebangsawanan."

"Tetapi risi telinga saya mendengar Jeng Nunik

memanggil Wawan dengan sebutan 'mas"!" bantah

Bu Marto.

"Lama-kelamaan pasti tidak akan risi lagi!" senyum

Nunik. Lalu lanjutnya kemudian sesudah menarik

napas panjang beberapa kali, "Eh, Bu Marto, sekarang ada di mana bos kita itu?"

"Sedang di dalam, di ruang kantornya. Mari saya

antar ke sana," sahut Bu Marto, masih seramah dan

sehangat dulu. "Pasti dia tidak menyangka Jeng

Nunik akan mengunjunginya sampai kemari!"

"Pak Marto di mana, Bu?"

"Oh, dia sedang mengantar kiriman barang, Jeng."

"Mengantar barang apa?"

"Kebetulan tadi ada orang membeli dua lemari

pakaian, Jeng."

"Oh begitu...," sahut Nunik sambi! mengekor di

belakang Bu Marto. Mereka masuk ke kantor yang

terletak di bagian tengah. Ruangannya tidak besar,

tetapi menyenangkan. Baik dari segi penataan dan

pilihan perabotannya, maupun dari kenyamanan udara

berkat alat pendingin ruangan. Ketika Bu Marto dan

Nunik masuk ke ruangan itu, Wawan sedang menelepon seseorang. Waktu melihat kedua wanita yang

baru masuk itu, mata itu bersinar gembira. Lalu

dengan isyarat tangan ia menyuruh Nunik duduk.

Perempuan itu langsung duduk di depan meja tulis

besar yang ada di hadapan Wawan saat itu.

"Wah, aku tak menyangka Jeng Nunik mau

menengok tempat kami mencari nafkah!" senyumnya

sesudah meletakkan gagang telepon kembali.

"Aku kangen kepada Bu Marto. Tadi aku ke rumah kalian, tetapi keeele. Kusangka aku akan melihat

toko kelontong rumahan, tetapi ternyata melihat rumah yang sudah berubah cantik dan penghuninya

yang sudah menjadi pengusaha!"

"Ah, jangan melebih-lebihkan," tawa Bu Marto

sambil mencubit dagu Nunik, seolah perempuan itu

masih gadis kecil dulu. "Kami bisa sampai kemari

ini kan melalui perjuangan yang panjang, Jeng!"

"Naik apa tadi?" sela Wawan.

"Naik becak.".

"Sendiri?"

"Berdua dengan tukang becaknya!"

Ketiga orang itu pun tertawa mendengar canda

Nunik.

"Mau minum apa nih?" tanya Wawan kemudian.

"Apa sajalah." sahut Nunik, terhenti oleh suara

Bu Marto.

"Kenapa tak kauajak minum-minum di luar sana,

Wan? Kan ada es teler atau es buah. Atau mungkin

mau es gempol plered!" sela Bu Marto. "Pokoknya

yang di Jakarta tidak ada."

"Es gempol plered? Apa itu?"

"Ya lihat saja sendiri nanti. Pokoknya enak."

"Apakah tidak mengganggu pekerjaanmu, Mas

Wan?"

"inilah enaknya menjadi majikan merangkap tukang

di perusahaan sendiri." senyum Wawan. "Ayo. kita

keluar dulu. Ibu mau oleh-oleh makanan apa?"

"Apa sajalah. Aku tadi juga sudah memesan soto

kok, untuk makan siang," sahut Bu Marto.

Wawan menganggukkan kepala dan dengan isyarat

tangan menyilakan Nunik berjalan di muka. Tetapi

baru beberapa langkah dari pintu depan toke, masuk

seorang gadis berwajah manis dan berambut panjang

dengan gerakan luwes. Senyumnya tampak menarik

sekali tatkala ia berjalan ke arah Wawan.

"Mas... belum makan siang, kan?" katanya begitu

sampai di dekat Wawan dan Nunik yang menghentikan langkah kaki mereka begitu melihat gadis bee

rambut panjang itu masuk.

"Belum. Kenapa?"

"Mau mengajakmu makan siang. Aku baru saja

menerima bonus!" sahut gadis itu.

"Oh ya? Senang sekali tentunya!" sambut Wawan

dengan hangat. "Tetapi omong-omong. kau belum

berkenalan dengan Mbak Nunik ini, kan?"

Gadis berambut panjang yang manis itu mengalihv

kan perhatiannya kepada Nunik dan baru menyadari

hadirnya orang lain di dekat mereka. Matanya yang

lebar tampak agak terkejut demi melihat seorang

perempuan muda berparas cantik dan berkulit kuning

langsat berada di bagian toko yang terlarang untuk

orang luar.

"Ayo kenalkan dulu, Tri," kata Wawan lagi sambil

mengenalkan kedua perempuan di dekatnya itu. "Ini

Astri, Jeng Nunik. Teman dekatku. Dan Astri, ini

Mbak Nunik. tetanggaku semasa kecil dulu."

Nunik menguiurkan tangan ke arah Astri sambil
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersenyum manis. ia dapat menduga siapa gadis itu.

Cara Wawan mengenalkannya dengan menyebut Astri

sebagai teman dekatnya, mengingatkan Nunik kepada

cerita Wawan pagi tadi.

"Aku baru mulai menjalin hubungan khusus dengan seseorang, Jeng," begitu antara lain yang dikatakan Wawan tadi pagi.

Pikiran itu menyebabkan perhatian Nunik tercurah

kepada Astri. Gadis itu memang menarik dan termasuk gadis yang jarang ada duanya. Rambutnya

hitam panjang, hanya dikepang satu'dan dibiarkan

lepas' sampai ke pinggul. Di zaman sekarang tidak

mudah menemukan wanita berambut demikian. Pantaslah Wawan mencintainya.

"Sekarang tinggal di mana, Mbak?" suara Astri

yang manja merebut pikiran Nunik yang sedang melayang-layang itu.

"Sebenarnya saya berdomisili di Jakarta, tetapi

sekarang ini saya akan tinggal di sini selama saya

suka."

Jawaban itu bukan saja membuat Astri tertegun

karena suatu sebab yang tak jelas, tetapi juga membuat Wawan terkejut. Namun baik Astri maupun

Wawan sama sama menyimpan isi hati mereka tanpa

menganggap itu perlu diungkapkan. Setidaknya, untuk

saat itu. Bahkan Astri lalu mengalihkan pembicaraan.

"Bagaimana, Mas? Kita bisa makan siang bersama,

kan?" tanyanya.

"Boleh saja, karena kebetulan aku dan Jeng Nunik

ini baru saja mau keluar mencari makanan," sahut

Wawan. "Jadi kebetulan sekali. Kita bisa pergi bertiga."

Nunik merasa tak enak. Ia yakin Astri tak suka

pergi bersamanya, karena tujuan kedatangannya itu

untuk mengajak Wawan makan siang. Tanpa kehadiran orang ketiga. .

"Mas Wan, sebenarnya aku tidak lapar. Kalau

haus sih iya. Tetapi juga tak terlalu mendesak. Jadi,

maaf kalau tiba-tiba aku tidak ingin ikut kalian

pergi makan. Sebab ada hal lain yang lebih mendesak

untuk kulakukan!" katanya memberi alasan. "Tadinya

aku lupa, saking senangnya berjumpa kembali dengan

teman masa kecilku dulu."

Wawan menatap tajam mata Nunik sehingga perempuan itu membuang pandangannya ke tempat

lain. Rupanya Wawan sudah menduga alasan sebenarnya yang menyebabkan Nunik urung pergi bersamanya. Tetapi hal itu tak dikatakannya. Ia dapat memahami keputusan perempuan itu. Hanya saja karena

dirinya sebagai tuan rumah dan Nunik sebagai tamunya, ia merasa harus bersikap netral.

"Jeng Nunik, makan bertiga pasti akan membangkitkan selera makanmu. Percayalah. Kau belum

mencicipi ayam bakar sini, kan?" katanya. "Mau,

ya?"

Nunik tersenyum manis.

"Wah, aku ingin mencicipi ayam bakar yang kaukatakan itu, Mas!" sahutnya kemudian. "Tetapi sekali

lagi, maaf, aku punya pekerjaan yang harus kuselesaikan. Lain kali aku pasti mau ikut pergi bersama

kalian berdua. Nah, sekarang berangkatlah kalian

berdua. Aku masih ingin mengobrol dengan Bu

Marto sebentar, baru pergi!"

"Sudah, Mas, kalau Mbak Nunik tidak bisa ikut

kita, ya jangan dipaksa," sela Astri. "Ayo ah, sudah

makin siang nih. Perutku sudah keroncongan lho."

"Silakan, Mas Wawan. Kalau mau pergi, pergilah.

Jangan sungkan!" kata Nunik ikut mendesak.

Wawan menghela napas panjang dan menatap mata

Nunik sekali lagi. Ada semacam kekecewaan yang

terbias dari sorot matanya. Nunik langsung dapat

menangkapnya. Sebab bukan saja karena ia sudah

amat mengenali bahasa tubuh yang menyiratkan perasaan lelaki itu akibat eratnya pergaulan mereka

berdua dulu, tetapi juga karena ia merasakan hal yang

serupa. Yaitu adanyajurang jurang kecil yang muncul

di antara mereka berdua. Situasi, kondisi, dan mungkin

juga tahun-tahun perpisahan yang terbengkalai di

antara mereka berdua dulu, telah merenggangkan

keakraban dan kedekatan mereka. Dan meskipun

mereka berdua menyadari bahwa hal semacam itu

kadang-kadang memang tak terelakkan, namun tuh

ada rasa nyeri juga di dalam batin mereka.

Untuk menetralisir perasaannya dan juga untuk

menawarkan perasaan Wawan, Nunik tersenyum.

"Seiamat makan siang untuk kalian berdua!"

katanya kemudian.

"Terima kasih!" Astri yang menjawab kata-kata

Nunik, dan langsung menggenggam lengan Wawan

dengan kedua belah tangannya. "Ayo, Mas!"

Sesudah Wawan dan Astri pergi, Bu Marto yang

semula hanya memperhatikan ketiga orang muda itu

dari jauh, mendekati Nunik.

"Kok tidak jadi keluar mencari sesuatu untuk

memanjakan lidah, Jeng?" tanyanya sambil tersenyum.

"Merasa sungkan, ya?"

Kata-kata Bu Marto yang lugu dan langsung pada

permasalahannya itu menyentuh perasaan Nunik. Enak'

juga dapat berkata tanpa harus memakai filter yang

kadang malah diinterpretasikan secara keliru.

"Tentu saja to, Bu Marto!" sahutnya terus terang

sambil tertawa. "Masa saya tidak berperasaan. Saya

sendiri pun kalau ingin berduaan dan ada orang

ketiga, kan ya tidak senang."

"Ya memang..."

"Wah, kapan mereka menikahnya, Bu Marto?"

"Tidak tahu, Jeng. Kalau ditanya mengenai hal

itu, Wawan selalu mengelak. Entah apa maunya "itu.

Sebagai orangtua, saya ya ingin melihat anak itu

lekas�lekas memikirkan rumah tangga. Teman-temannya semua sudah mempunyai anak. Siapa yang tidak

jadi gelisah karenanya, bukan, Jeng? Wawan anak

kami satu�satunya, tidak ada lainnya..."

"Jangan terlalu khawatir, Bu Marto!" hibur Nunik.

"Saya rasa kali ini Mas Wawan serius dengan Astri.

Percayalah!"

"Ya, mudah mudahan begitu, Jeng."

Demikianlah kedua perempuan itu mengobrol ini

dan itu, melepaskan kerinduan sesudah sekian tahun

tidak berjumpa. Ada-ada saja yang mereka bicarakan.

Namun meskipun sejauh itu mereka mengobrol,

Nunik selalu menjaga agar jangan sampai Bu Marto

menanyakan kehidupan perkawinannya dengan

Hardiman. Sebab pasti hanya akan merusak suasana

saja. Padahal suasananya sedang menyenangkan.

Ah, Hardiman memang mampu merusak kesenangan orang!

SORENYA tatkala Nunik baru selesai mandi dan sedang

merencanakan untuk pergi melihat-lihat keramaian

kota dengan mengajak Siti Amini, Mbok Surti mengetuk pintu kamarnya.

"Ada tamu, Den Loro!" katanya sambil tertawa.

"Tamu? Siapa?" Nunik merasa heran karena kedatangannya ke kota ini secara diam-diam. Sudah

begitu teman sekolahnya pun entah ada di mana

sekarang ini. Sudah sekian tahun lamanya mereka

tak pernah saling memberi kabar.

"Mas Wawan!"

Nunik tertawa, mulai mengerti kenapa Mbok Surti

tadi tertawa ketika memberitahu lelaki itu datang

mencarinya. Dan melihat bekas asuhannya itu tertawa,

Mbok Surti melanjutkan bicaranya.

"Soalnya sore ini dia kelihatan luar biasa, Den

Loro. Pakaiannya bagus dan sepatunya mengilat.

Rambutnya rapi, mungkin baru disisiri oleh orang

salon!"

Nunik tertawa lagi.

"Mungkin dia mau pergi dan mampir kemari dulu

untuk pamer kegagahannya!" katanya kemudian. "Memang, dia sekarang gagah ya, Mbok!"

"Ya. Mudah-mudahan lekas dapat jodoh dia. Kalau

tidak, beberapa waktu lagi bisa disebut perjaka tua!"

"Ya, mudah-mudahan, Mbok. Bu Marto juga sudah

gelisah memikirkannya. Maklum, anak satu-satunya!"

sahut Nunik sambil menyisiri rambutnya. "Heh, ma'u

apa dia?!"

Tetapi entah mau apa pun, mau tak mau toh

Nunik harus menemui telaki muda itu. Sebab yang

dicarinya memang dia, bukan salah seorang eyangnya.

"Dia ada di teras samping, Den!" kata Mbok

Surti ketika Nunik meninggalkan kamarnya.

_ "Ya, aku akan ke sana!" sahut Nunik. Di dalam

hati ia menghargai cara Wawan bergaul dan memakai

sopan santunnya. Meskipun ia sudah menjadi sarjana

dan telah berhasil pula dalam usahanya, terapi hatinya

tak pernah berubah. Ia tak mau duduk di ruang

tamu. Padahal sejak dulu pun baik kedua eyangnya

'maupun dia sendiri, tak pernah mempersoalkan halhal kecil semacam itu. Di mana pun Wawan atau

kedua orangtuanya mau duduk jika datang berkunjung

ke rumah ini, tidak menjadi masalah. Tetapi rupanya

sampai sekarang pun Wawan masih menilai dirinya

tak setara dengan keluarga yang didatanginya itu.

Persis seperti yang dikatakan oleh Mbok Surti,

sore itu Nunik melihat Wawan tampak berbeda dari

biasanya. Pakaiannya rapi, berkemeja lengan panjang,

berpantalon yang terbuat dari bahan pilihan, dan

bersepatu kulit. Sedang rambutnya tersisir rapi. Panjangnya mencapai kuduk. Lelaki itu sedang menatap

rerumputan di mukanya, nyaris tak berkedip. Ia tidak

melihat kedatangan Nunik.

"Hai!" sapa Nunik agar lelaki itu tahu kehadirannya.

"Oh, hai!" Wawan menoleh ke arah ambang pintu,

tempat Nunik sedang berdiri. "Selamat sore, Jeng!"

"Selamat sore," tawa Nunik. "Eh, formal sekali.

Terutama penampilanmu sore ini. Mau ke mana sih?"

"Mau mengajakmu makan malam, Jeng. Sebagai

pengganti yang gagal tadi siang!"

"Jadi ajakan ini semacam penebusan rasa bersalahmu ya, Mas?" tawa Nunik lagi. "Jangan terlalu

dipikirkan ah. Siang tadi aku memang tak terlalu

ingin keluar makan. Lebih enak mengobrol!"

"Dan aku yang akan kauajak mengobrol, malah

pergi!" '

"Aku maklum, Mas Wan. Percayalah bahwa aku

pun akan meninggalkan tamuku kalau kekasihku

datang berkunjung dan ingin menggunakan saat istirahat jam kantor itu bersama-sama. Kau tak perlu

harus menebus kesalahan karena memang tidak ada

yang salah dalam hal ini. Oke?"

"Oke! Tetapi, Jeng, alasanku mengajak makan

malam bukan hanya itu saja kok," kata Wawan.

"Aku mendapat undangan makan malam untuk dua

orang di rumah makan terbesar dan paling terkenal

di kota ini. Mau, ya?"

"Ada acara apa sih, Mas?"

"Ulang tahun perkawinan seorang teman!"
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Semestinya kau bukan mengajakku ke sana, Mas

Wawan. Tetapi mengajak Astri. Sebab apa nanti

katanya atau kata keluarganya kalau mengetahui kau

pergi bersama perempuan lain'?"

"Astri akan memahaminya, Jeng. Sudah sewajarnya

kalau aku menemanimu selama tinggal di kota ini.

Kau adalah tamu kota kami!"

"Sungguh?"

"Sungguh!"

Nunik sudah kenal betul siapa Wawan sehingga

ia mempercayai apa yang dikatakannya. Oleh sebab

itu ia segera masuk ke kamarnya sendiri untuk menukar gaunnya, mengimbangi penampilan Wawan

yang rapi senja itu. Dan secara keseluruhan, ia memang tampak cantik. Warna gaunnya memperjelas

kulitnya yang kuning langsat.

"Wah, kau tampak cantik sekali, Jeng!" komentar

Wawan ketika Nunik keluar lagi. "Aku harus ekstra

hati-hati menjaga istri orang agar jangan sampai didamprat' suamimu seandainya ada yang menjailirnu!"

Nunik tidak memberi komentar apa pun sehingga

Wawan menatapnya dengan pandangan heran. Sudah

berubahkah Nunik sekarang? pikirnya. Baginya, hal

itu kurang mengenakkan perasaannya. Sejak kecil

mereka sudah terbiasa saling melontarkan pujian

kalau ada hal-hal yang patut dipuji, atau saling melontarkan kritikan dan kecaman kalau memang ada

hal-hal yang patut dikecam atau dikritik.

"Marah karena kupuji biak biakan ya, Jeng?"

tanyanya kemudian. "Karena kita sekarang sudah

sama-sama dewasa dan bukan kanak-kanak lagi?"

1"Bukan karena itu!" sahut Nunik cepat. "Aku tak

pernah berubah kok. Kecuali hal hal yang bersifat

lahiriah, aku ini masih Nunik yang dulu. Percayalah!"

"Syukurlah kalau begitu. Tetapi terus terang saja,

Jeng, entah apa, aku menangkap sesuatu yang berbeda pada dirimu. Rasa-rasanya kau tidak lagi seterbuka dulu. Ini membuatku merasa ada jurangjurang

kecil di antara kita berdua...."

"Kuakui itu, Mas. Tetapi ada alasannya. Nanti akan

kuceritakan !"

""Sudah dua kali kau berjanji padaku untuk menceritakan sesuatu lho, Jeng. Ada apa sih sebenarnya?"

"Nanti sajalah kalau waktunya lebih tepat. Aku di

sini akan lama kok!" sahut Nunik sambil membetulkan letak rambutnya. "Ayo kita berangkat sekarang

saja."

"Kita pamit dulu kepada eyangmul"

"Baik!"

Sesudah pamit dan mereka berdua berjalan menyeberangi halaman rumah menuju pintu pagar, Wawan

berkata lagi, "Kita naik gerobak lho, Jeng!"

"Gerobak apa?"

"Naik pick up yang bak belakangnya terbuka. Kendaraanku ya itu saja. Untuk mengangkat barang di

tokoku!"

"Itu sudah bagus sekali," tawa Nunik yang di

Jakarta sudah terbiasa naik sedan tetapi yang tak

pernah menolak naik kendaraan umum, apa pun itu.

"Daripada naik sepeda seperti masa kecil kita dulu!"

"Kok masih ingat?"

"Tentu saja. Sebab gara-gara suka naik sepeda

berboncengan dulu, waktu anak-anak tetangga main

pengantin-pengantinan, kita dijadikan pengantin."

"Ya. Sebab kata mereka, setiap hari naik sepeda

bersama-sama berarti ya kalau besar akan menjadi

pengantin betulan."

"Wah, ingatanmu juga masih menyimpan hal itu!"

kata Nunik.

"Tentu saja, sebab aku ingat bagaimana kau marah

waktu aku tak mau ikut main pengantin-pengantinan.

Padahal aku kan malu sekali waktu itu. Soalnya kalian

masih kecil-kecil, sedangkan aku sudah duduk di kelas

enam SD. Kalau ingat itu, aku suka tertawa sendiri!"

Nunik tertawa geli mendengar kata-kata Wawan.

"Kau tak mengerti perasaanku waktu- itu sih!"

katanya kemudian. "Kupikir, kau tidak mau jadi

pengantinku, tetapi mau jadi pengantin-dengan anak

lain. Padahal menurut perasaanku, kau adalah milikku

karena kau setiap hari datang ke rumahku, mengantarku ke sekolah, mengajariku matematika,_dan sebagainya!"

Mendengar kata-kata Nunik, Wawan terdiam seketika. Akibatnya suasana menjadi hening. Tetapi

bagi keduanya terasa mencekam perasaan. Lebihlebih bagi Nunik. Sebab karena kata-katanyalah suasana yang semula begitu bening itu menjadi berkabut

perasaan. Tetapi karena sudah menjadi kebiasaannya

untuk bicara terbuka jika berhadapan dengan Wawan,

ganjalan perasaan yang tak menyenangkan itu diuraikannya dengan menanyai lelaki itu.

"Hei, apakah kata kataku tadi ada yang salah?"

tanyanya. '

"Tidak, tidak ada yang salah. Kenapa kau berpikir

seperti itu, Jeng?"

"Sebab mendadak sekali kau terdiam dan wajahmu

berubah!" sahut Nunik terus terang.

"Oh, itu," Wawan berkata pelan. "Aku hanya '

sedang teringat kembali masa-masa kecil kita dulu

kok, Jeng. Coba kita sadari, berapa banyak pengataman yang pahit dan manis yang telah kita alami

bersama. Kata-katamu tadi mengingatkan bahwa

sesungguhnya kita ini sudah seperti saudara saja."

"Memang begitu!"

"Cuma saja kau ini berdarah ningrat sedangkan

aku berdarah..."

"Merah!" potong Nunik gesit. "Sama dengan

darahku dan darah orang-orang yang berlalu-lalang

di jalan itu!" *

"Tidak. Pasti ada bedanya! Bandingkan dengan

perempuan itu misalnya." Sambil berkata seperti itu,

Wawan membuka pintu mobilnya dan'membantu

Nunik naik. Karena kendaraan itu agak tinggi, Wawan

membantu Nunik naik dengan cara mencekal lengannya kuat-kuat. Kedekatan di antara mereka menimbulkan kesan asing bagi Nunik. Entah apa itu, tetapi yang

jelas ia menangkap aroma maskulin menguar dari

tubuh lelaki itu. Entah dari mana asalnya, mungkin

dari pakaiannya, mungkin dari rambutnya, dan entah

mungkin juga dari bagian dalam pangkal lengannya.

Atau mungkin juga dari lehernya. Dulu, seingat

Nunik, Wawan tidak harum. Bahkan kadang-kadang

rambutnya berbau apak karena anak itu enggan

keramas. Bu Marto sering mengejar-ngejarnya supaya

sering keramas, karena ia naik sepeda setiap hari.

"Aku sungguh tak menyangka masih sekolot itu

pikiranmu. Kulihat orang itu nyaris sempurna!" sahut

Nunik sesudah memperhatikan perempuan yang dimaksud oleh Wawan tadi. la sedang melangkah

pergi sesudah membayar taksi yang tadi ditumpanginya. "Pakaiannya bagus, wajahnya cantik."

"Mungkin. Tetapi aku tidak melihat keanggunan

sebagaimana yang kaumiliki!"

"Kau terlalu berlebihan menilai, Mas Wawan. .langan begitu ah, tidak fair penilaianmu!"

"Bisa jadi. Tetapi tadi waktu aku melihat ia meludah, penilaianku yang memang tidak tinggi menjadi

semakin merosot. Pengalamanku bergaul mengajari

diriku bahwa meludah di tempat umum secara sembarangan itu tidak pantas. Aku belum pernah melihatmu meludah di tempat umum! Bahkan di halaman rumah sendiri pun tidak. Waktu kuperhatikan

lebih jauh, ternyata eyangmu pun tidak melakukan

hal itu. Juga sepupu sepupumu kalau sedang menginap. Jadi rupanya memang ada hal-hal tertentu yang

membedakan kalian dengan yang lain. Semua itu

kuamati lho, Jeng."

Nunik tertawa.

"Kurasa kau memang terlalu berlebihan_menilai

orang!" katanya kemudian. "Dan mencampuradukkan

penilaianmu mengenai kebiasaan baik suatu keluarga

ataupun suatu budaya tertentu dengan asal-usul yang

menyangkut kebangsawanan. Percayalah padaku, Mas.

Kau harus mengubah cara berpikirmu."

"Mungkin juga, Jeng. Sebab boleh jadi ini bersumber pada keakrabanku dengan keluargamu. Tanpa

sengaja kubandingkan kalian dengan keluarga-keluarga di sekitar rumahku yang masih kampung itu,"

Wawan tertawa. "Tetapi sulit sekali melepaskan

pengaruh itu. Apalagi kalau aku melihat pedagangpedagang kaya-raya itu. Di pasar saja pakaiannya

penuh gebyar. Perhiasannya memenuhi leher, telinga,


Satria Gendeng 20 Bisikan Iblis Lembah Lima Sekawan 10 Rahasia Harta Karun Pendekar Mabuk 41 Penguasa Teluk Neraka

Cari Blog Ini