Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S Bagian 1
Peluk Ia Untukku
Tatiek S.
Ebook by pustaka-indo.blogspot.com
GWI 703.14.1.107
Editor: Lygia Pecandu hujan & Yuli P.
Penata Isi: Abdurrahman
Desain Kover: Chyntia Yanetha
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia,
anggota IKAPI, Jakarta 2014.
Prolog
Siang yang sebelumnya lengang tiba-tiba diriuhkan oleh suara
langkah kaki tergopoh-gopoh, hampir bersamaan dengan
suara daun pintu yang dibanting begitu keras dan kursi yang
dipindahkan dengan kasar dan tergesa-gesa. Sementara tanganku
masih melanjutkan menggoreng tempe kesukaan keluargaku,
telinga dan pikiranku seakan memaksaku untuk ingin tahu ada
apa gerangan di luar sana. Langkah kaki siapakah yang merusak
keheningan rumah ini tiba-tiba? Seingatku, Dito dan Dina baru akan
tiba dari sekolah satu jam lagi, sementara Bapak sedang mengajak
Dela ke acara di kantornya.
"Buuu, Ibuuu kemari cepat!"
Deg. Suara Bapak. Kumatikan kompor begitu saja, padahal
tempe baru saja kumasukkan ke dalam minyak yang mulai panas.
Kuseka tanganku yang basah dan berlepotan terkena bumbu
tempe ke celemek merah muda yang mulai luntur dimakan usia.
Aku berlari ke ruang tengah. Mataku langsung saja menuju ke
arah Bapak. Jantungku seakan berhenti sesaat. Kulihat wajah
Bapak yang tampak cemas sedang membopong Dela yang terkulai
lemas. Mulutku tiba-tiba tak mampu mengeluarkan sepatah kata
pun. Pikiranku kosong. Kurasakan buliran keringat dingin mulai
membasahi tanganku. Aku panik bukan buatan. Seingatku tadi
pagi, Dela tampak baik-baik saja. Ia begitu ceria memakai gaun
berwarna hijau tosca kesukaannya, sementara rambutnya kukepang
dua di sisi kiri dan kanan kepalanya.
Tanpa banyak suara, Bapak berlari ke kamar Dela yang ter
letak persis di samping kamar utama, kamarku dan Bapak. Aku
mengikuti Bapak dari belakang, yang dengan tangannya yang kuat
menggendong Dela yang masih tak sadarkan diri. Di kamar, oleh
Bapak, tubuh mungilnya dibaringkan ke atas ranjang yang segera
kuselimuti. Ketika dahinya kusentuh dengan punggung tanganku,
semburat hawa panas terpancar dari sana. Dela demam.
Aku memandang Bapak tanpa suara. Bapak balik meman
dangku, agak lama.
Kami berdua tahu, penyakit Dela kumat lagi. Penyakit yang
telah berpuluh-puluh kali berusaha kami obati, namun tak juga mau
minggat dari tubuh buah hatiku yang satu ini.
Bapak tertunduk.
"Bagaimana ini, Bu? Kasihan Dela. Tadi saat tiba di kantor, ia
baik-baik saja. Aku ajak dia duduk-duduk di ruang kerjaku. Ia pun asyik
menggambar di buku gambar yang Ibu bawakan untuknya. Jelang
siang, Dela merengek minta dibelikan balon di tukang balon keliling
yang tiap hari lewat di depan kantor. Aku sedang sedikit sibuk tadi,
jadi tak mendengar permintaannya. Rengekannya semakin kencang
karena tukang balonnya keburu pergi. Ia menangis terus meski sudah
kubujuk. Tak lama, ia mengamuk dan tiba-tiba jadi begini, Bu."
Aku mencoba mendengarkan kalimat demi kalimat yang keluar
dari mulut Bapak. Kalimat-kalimat yang sebenarnya sudah bak rapalan
dalam kepalaku. Ya tanpa diceritakan pun, aku seakan sudah tahu
jalan ceritanya. Bahkan, kisah selebihnya sudah aku pahami karena
bukan baru sekali atau dua kali aku mengalami atau mendengarnya.
Penyakit Dela memang sering kumat jika ia mengalami hal-hal
tertentu, seperti kelelahan, terkena sinar matahari berlebihan hingga
merasa kepanasan, atau karena keinginannya tak terpenuhi.
Ah, anakku anak kesayanganku.
Suatu Sore
Bersama Bapak
TEPUS, 2014
Kenangan melemparku ke masa lalu. Aku menghela napas
panjang. Ah tempat ini selalu berhasil membuat dadaku
seakan-akan dipenuhi oleh sesuatu dan sukses memaksa mataku
memanas. Ya aku tak bisa membohongi perasaanku. Gundukan
tanah yang ada di hadapanku dan berada di antara pepohonan
yang sesekali seolah membisikkan kata-kata rahasia ini selalu
membuat pikiranku melayang-layang ke satu masa itu. Satu masa di
mana kekasih jiwaku masih ada di sampingku.
Tak sadar, air mataku meluncur begitu saja, dan bukannya
berhenti, semakin lama malah semakin deras. Dadaku pun
semakin sesak. Aku sesenggukan. Entah sudah berapa helai tisu
yang kupakai untuk menghapus air mataku, tapi tak juga berhasil
menghapus kilasan-kilasan kisah tentang dirinya. Bayangan demi
bayangan bermain-main di kelopak mataku. Hingga detik ini, aku
tak sanggup membuat bayangan tentang dirinya lenyap. Masih
teringat dengan jelas sosok itu, sosok yang sering kali membuat
aku tak mampu membantah apa pun yang ia inginkan dariku. Masih
teringat jelas juga suaranya ketika memanggil namaku. Bahkan
meskipun Sang Kuasa telah memeluknya, saat aku memejamkan
mataku sambil mengingat sosoknya, aku masih bisa mendengar
suara itu sayup-sayup menyapaku dan menemaniku. Benar, aku
hampir berani bersumpah kalau betul suara itu adalah suaranya.
Suara penuh wibawa yang membuat aku jatuh cinta. Aku yakin
saat itu dia memang sedang memanggil aku. Ah kalau sudah
seperti ini, siapa yang ingin kenangan itu pergi jika hanya itu
satu-satunya yang mampu membuatku bertahan hingga saat ini?
Sebelumnya, aku selalu mendengar bahwa kehilangan belahan
hati adalah hal yang paling menyakitkan di dunia. Tapi, tak pernah
sedikit pun terbayangkan olehku bahwa rasanya akan seperti ini.
Rasa yang kurasakan saat ini bagiku tak layak jika dinamakan sakit.
Bagiku, rasa ini hanya punya arti remuk atau dengan kata lain
hancur berantakan hingga aku tak sanggup lagi merasakannya.
Ibarat kematian itu sendiri, kehilangan orang tercinta untuk selamalamanya bagiku sama seperti mati begitu saja. Seolah nyawaku
terlepas perlahan dari tubuh dan melayang pergi, tanpa aku punya
kuasa untuk menariknya kembali.
Aku harus mengakui bahwa diriku memang hancur, meski
entah hancur seperti apa yang mampu mewakili kehancuranku
sepeninggal Mas Soerono, lelaki yang telah mendampingiku
selama puluhan tahun. Lelaki yang pada bahunya kusandarkan
kepercayaan penuh atas hidupku selepas dipersunting olehnya. Tak
akan pernah ada rasa sakit yang sebanding dengan sakit yang satu
ini, kini kuyakini hal itu sepenuh hati.
Aku melayangkan pandanganku ke sekeliling, kuseka air mata
yang masih menggenangi mataku. Pemakaman ini masih sesunyi
dahulu, ketika aku pertama kali datang untuk mengantarkan kekasih
hatiku ke peristirahatan terakhirnya. Sunyi yang mengundangku
untuk berkontemplasi dan berdialog dengan hati nuraniku,
membuatku seakan dapat mendengar suaraku sendiri. Sunyi yang
mampu menenggelamkanku dalam sejuta kenangan yang meluncur
perlahan menuruni bukit-bukit nun jauh di sana, mencari-cari dan
menggapai sesuatu yang entah harus kunamakan apa.
Desau angin bahkan tak lagi mampu kurasakan gemerisiknya
di sekujur tubuh. Memejamkan mata di hadapan pusara teramat
sederhana, aku tenggelam kian dalam dan semakin dalam. Tak
kuhiraukan senja yang belum usai jingganya, bahkan tak kupedulikan
seseorang yang menemaniku acap kali datang ke makam ini.
"Ibu, hari sudah gelap. Ayo, kita pulang." Dina, putri keduaku,
menyentuh bahuku pelan, memecahkan sunyi, membuyarkan
keheninganku.
Aku menelengkan kepala, menoleh kepadanya.
"Pulang ke mana, Nak? Di sini rumahku, di sini tempatku yang
seharusnya, di samping bapakmu."
Aku menghela napas dalam-dalam. Rinduku belum lagi usai,
dan aku tahu pasti bahwa tak akan pernah usai. Dina hanya bisa
sunyi. Dari tatapan matanya, aku tahu Dina sangat mengerti akan
hal itu. Beberapa tahun belakangan ini, memang Dina-lah yang
selalu menemaniku jika aku ingin berziarah ke makam almarhum
bapaknya, suamiku. Entah kenapa aku merasa nyaman saja jika
ditemani anak keduaku ini. Dina seakan paham betul bahwa aku
benar-benar tak ingin diganggu oleh apa pun dan siapa pun
saat berkunjung ke pemakaman keluarga yang perjalanannya
memakan waktu sekitar dua setengah jam dari rumahku di pusat
kota. Mataku tanpa sadar memperhatikan dirinya yang sepertinya
juga sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Putriku yang satu
itu, kata orang-orang di sekitarku, sangat mirip bapaknya. Dan, aku
pun sepakat dengan mereka. Ia keras seperti bapaknya, tapi apa
adanya dan tak suka basa-basi. Ya sebenarnya semua anakku
boleh dikatakan mempunyai karakter yang sama. Itu jugalah yang
mungkin membuat aku nyaman bersama mereka. Kenyamanan
yang sama, yang pernah aku rasakan saat bersama bapak mereka,
kekasih hatiku. Aku tak pernah merasa dibohongi.
Tanpa sadar, aku berbisik sangat perlahan, sebenarnya
kutujukan kepada diriku sendiri, sembari berharap ia yang terbaring
jauh di bawah sana mampu mendengar bisikanku itu.
"Ibu masih mau di sini, ingin bermalam di sini. Kasihan bapak
mu, berpuluh tahun ia tak pernah tidur sendiri. Selalu ada Ibu di
sampingnya. Pasti selama di sini, ia selalu kesepian karena Ibu tak
ada. Kamu tahu, Dina." Bisikanku terputus angin yang mulai
bertiup kencang. Selanjutnya, Dina pasti sudah sangat hafal akan
kalimat-kalimat yang akan terlontar dari mulutku. Tak butuh waktu
lama bagiku untuk mengingat-ingat dan mulai berkisah tentang
masa laluku bersama bapaknya. Dan seperti biasanya, ia akan
membiarkanku selama beberapa saat kembali tenggelam bersama
segala cerita masa lalu itu.
Beberapa tahun terakhir, yang terasa bagai sudah berabadabad, membuatku lupa akan kondisi tubuhku yang kian ringkih
dimakan waktu dan digerogoti satu penyakit yang tak pernah
kusangka akan mampir dalam tubuhku.
"Ibu."
Hanya satu kata itu yang terucap dari mulut Dina, namun
mampu menjelaskan ribuan makna yang ada di dalamnya. Satu
kata itu menyiratkan pengertian mendalam yang mungkin hanya
mampu dirasakan oleh perempuan yang kehilangan pujaan hatinya.
Ketika pada akhirnya aku menyerah pada waktu dan berusaha
bangkit perlahan dipapah oleh putriku itu, mataku menghangat
begitu tiba-tiba. Air mataku menetes lagi. Dengan terbata,
kuseka pusara yang sesungguhnya sudah teramat bersih karena
sebelumnya telah dirapikan Dina. Kubelai pusara di hadapanku
itu dengan teramat hati-hati sambil memejamkan mataku, terasa
seakan tangan kekasih hatiku yang kuat itu sedang membelaiku.
Tubuhku yang sebelumnya sempat menggigil diterpa angin sore
pun menghangat. Kuucapkan kalimat-kalimat perpisahan yang
tentunya hanya dapat dimengerti oleh dua hati yang saling memiliki,
meski saat ini harus terpisah secara jasmani.
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mas, aku pamit. Aku akan datang lagi ke sini. Menemanimu lagi.
Aku akan datang lagi, Sayangku. Tunggu aku di sini."
Terasa tangan Dina semakin kuat menggenggam tanganku.
Mungkin jalanan menuju pemakaman keluarga yang berbatu itu
membuat ia khawatir aku akan tersandung atau terjatuh, tapi bisa
jadi Dina ingin menguatkan hatiku yang sedang resah sore itu. Aku
lebih suka menganggap kemungkinan kedua yang saat itu ada
dalam pikiran anakku itu. Satu demi satu langkah kaki kutapaki
menjejaki tanah kering yang berdebu dan berbatu itu sambil
mengucapkan janji setiaku padanya, sang pujaan hati. Kugenggam
erat hatiku. Selamat tinggal, Sayang sampai berjumpa lagi.
DJOGJAKARTA, 1970
Aku terkejut sedemikian rupa ketika memasuki area rumahku
sehabis menghadiri sebuah pertunjukan teater di kotaku. Suasana
rumahku terasa berbeda. Entah apa. Kusandarkan sepeda ontelku
begitu saja ke tembok rumah, mengeluarkan bunyi yang lumayan
memecah keheningan suasana sekitar saat itu. Bergegas aku masuk
melalui pintu belakang dan mencari sosok ibuku. Biasanya setiap
senja menjelang, Ibu akan berada di dapur, membuat teh pahit
untuk Bapak. Ia menjerang air di teko, dan sambil menunggu air
mendidih, Ibu seolah tak ingin berpangku tangan. Ada saja rupa-rupa
olahan yang ia hasilkan dari tangan halusnya untuk Bapak, aku, dan
kedelapan adikku yang masih kecil-kecil.
Biasanya, hanya satu macam makanan kecil yang akan ia
persembahkan di atas meja ruang depan untuk menemani secangkir
teh pahit panas untuk Bapak; terkadang pisang goreng, getuk, atau
kue-kue basah lainnya. Ibu memang sangat pandai memasak, entah
itu makanan berat atau sekadar kudapan ringan. Kepandaiannya
itu menjadi kebanggaan dan tentu saja kegembiraan bagi kami.
Siapa yang bisa menolak kudapan karya Ibu yang nikmat tiada tara
itu? Biasanya pula, setelah pulang berkegiatan pada sore hari, aku
akan dengan penuh semangat menemani Bapak duduk-duduk di
beranda atau terkadang di ruang depan jika cuaca sedang buruk.
Sambil menikmati secangkir teh yang ditemani kudapan favorit,
biasanya Bapak akan mengajakku berbincang-bincang tentang apa
pun. Oh iya, bapakku boleh dibilang cukup terkenal pada masanya
di kotaku ini. Bapakku bernama Mangkudiningrat. Konon, darah
keraton mengalir di seluruh persendian tubuhnya. Aku sempat
mengira mungkin karena itulah Bapak disegani oleh orang-orang
yang ada di sekitarnya, tapi ternyata tak hanya melulu karena hal
itu. Ketegasannya dalam bersikaplah yang nyatanya membuat
banyak orang tak berani bersikap seenaknya pada bapakku,
sekaligus membuatnya dicintai banyak orang. Termasuk, tentu saja,
dicintai oleh anak-anaknya, karena selain tegas, sejak dulu Bapak
adalah sosok yang lucu dan ramah di hadapan kami. Kerap kami
dibuatnya tertawa dengan kisah-kisah yang dituturkannya. Ia
selalu mampu mencari kelucuan di balik semua kisah keseharian
yang dialaminya, dan sambil kami berbincang, terkadang Ibu turut
bergabung bersama kami. Memang, Ibu lebih sering menghabiskan
waktu di dapur, sibuk dengan urusan rumah tangga, atau jika sore,
sibuk di belakang, menyuruh adik-adikku mandi. Bisa dibayangkan
tentunya bagaimana sibuknya ibuku dengan delapan adikku yang
masih kecil-kecil ketika itu.
Sebenarnya aku adalah anak kedua, namun kakakku meninggal
dunia sewaktu usianya baru menjelang dua tahun karena sakit.
Sejak itulah aku yang menjadi kakak tertua bagi adik-adikku itu.
Mengurus dan mengajari delapan orang anak yang kebanyakan
lelaki tentu bukan hal mudah bagi Ibu. Selalu ada aku yang siap
turun tangan membantunya mengurusi kedelapan adikku itu
tanpa diminta. Semua itu kulakukan bukan atas dasar keterpaksaan,
melainkan karena tuntutan hati nurani, selain memang sejak dulu
aku sangat menyukai anak kecil.
Kulangkahkan kakiku dengan tergesa-gesa. Hatiku seperti tak
bisa diajak untuk tenang. Perasaanku mengatakan ada sesuatu yang
berbeda senja itu. Kecurigaanku semakin bertambah ketika Ibu tak
kutemui di tempat yang paling ia sukai di rumah, yaitu dapur. Yang
terlihat oleh mataku hanya berpiring-piring kudapan manis, entah
untuk siapa dan untuk acara apa, dengan wanginya yang entah
kenapa kali ini sama sekali tak membuat perutku bergejolak.
Biasanya, Ibu atau Bapak pasti akan memberitahuku apabila
akan mengadakan acara di rumah, entah sekadar syukuran hari
ulang tahunku atau adik-adikku atau sekadar menjamu tamu-tamu
Bapak yang datang silih berganti meski tak setiap hari. Namun
siang ini, Ibu tak berkata apa pun ketika aku berpamitan untuk
pergi menonton pertunjukan teater. Sambil mencari-cari sosok
ibuku, aku mencoba mengingat-ingat lagi. Jangan-jangan begitu
bersemangatnya aku hendak menonton pertunjukan, sampai tak
mendengar Ibu atau Bapak berpesan sesuatu padaku siang tadi.
Tapi... aku benar-benar tidak ingat.
"Ibu!" seruku.
Aku masuk ke ruang tengah, Ibu juga tak ada di sana. Aku
semakin bingung dibuatnya. Betul-betul firasatku mengatakan akan
ada hal yang berbeda dari biasanya, namun sungguh aku tak dapat
menebaknya.
"Ibuuu!" panggilku lagi dengan agak keras. Rumah terasa begitu
sunyi, aku sama sekali tak mendengar celotehan dan teriakan
adik-adik yang biasa kudengar. Padahal saat itu sudah pukul empat
sore, dan biasanya sudah waktunya bagi mereka untuk mandi.
Sambil terus memanggil-manggil ibuku, aku melangkah ke
kamar Ibu dan Bapak. Rupanya Ibu ada di sana. Ia sedang duduk di
hadapan meja rias yang terbuat dari kayu jati pilihan. Pakaiannya
tampak sangat rapi, tak seperti biasanya. Dengan memakai kain
batik dan kebaya berwarna merah marun, kulit putih ibu yang
meskipun sudah mulai sedikit keriput karena usia tampak semakin
bercahaya. Di mataku, senja itu Ibu terlihat sangat cantik. Pantas
Bapak mabuk kepayang dibuatnya.
Dengan sepenuh heran dan hati bertanya-tanya, kuhampiri Ibu
sambil menatapnya melalui cermin. "Ibu mau pergi ke mana? Kok
sore ini cantik sekali?"
Ibu tersenyum lebar, kemudian membalikkan badannya
menghadapku. Ditatapnya aku lekat-lekat sedemikian rupa hingga
aku jengah sendiri dibuatnya. "Nduk, Ibu ndak mau pergi ke
mana-mana. Sebentar lagi akan ada tamu istimewa. Ayo, lekas kamu
bersiap-siap. Adik-adik sudah sedari tadi mandi, sekarang sudah rapi
dan wangi. Ibu suruh mereka main di rumah tetangga dulu."
Aku memiringkan kepala tanda keheranan. "Tamu istimewa?
Siapa, Bu? Bapak tumben belum pulang? Yang mau datang itu tamu
Bapak? Mengapa saya diminta untuk bersiap-siap?"
Aku yang memang pada dasarnya tak akan pernah berhenti
bertanya sebelum rasa penasaranku terpuaskan terus saja mengoceh
meluncurkan serentetan pertanyaan. Apalagi bagiku semua hal
yang kulihat senja itu benar-benar di luar ritual kami sehari-hari.
Banyaknya kudapan, Ibu yang berdandan, dan adik-adik yang ujar
Ibu sudah rapi dan wangi, sungguh membuat banyak pertanyaan
muncul tak henti dalam kepalaku. Untung saja meski dibesarkan
dalam lingkungan keluarga yang memiliki darah ningrat, aku dan
adik-adik dididik secara moderat. Kami memang harus patuh pada
toto kromo, namun tetap bebas mengeluarkan pendapat. Selama ini
pendapat-pendapat yang terlontar dari pikiran kami tak dihalangi
dan tak pernah dibatasi. Sungguh aku merasa bersyukur pada
Tuhan bisa dibesarkan di keluarga seperti ini.
"Sudahlah, nanti kamu juga akan tahu sendiri. Ayo, cepat
mandi dulu. Kamu tidak mencium bau keringat dari badan kamu
ya? Ndak baik cah ayu sore-sore begini masih belum mandi juga."
Seraya tertawa, Ibu lantas mendorongku halus, memintaku untuk
keluar dari kamarnya.
Aku yang masih diliputi ribuan pertanyaan tentu saja tak kuasa
menolak perintah Ibu. Meskipun perintah yang dilontarkan keluar
dengan bahasa yang sangat lembut dan tak jarang disertai candaan,
aku tahu di baliknya ada ketegasan yang tak mampu kubantah
sepatah kata pun.
SELESAI mandi dan bersalin pakaian dengan rok terusan berbungabunga biru dan merah muda, kulihat Bapak sudah ada di rumah dan
sedang duduk di ruang tengah. Ketika melihatku keluar dari kamar,
Bapak memanggilku untuk duduk di kursi sebelahnya.
"Bapak baru pulang?" tanyaku sambil menarik kursi di sebelah
nya dan mendudukinya.
Bapak tersenyum simpul, diraihnya teh yang ada di hadapannya
dan direguknya sedikit demi sedikit; ciri khas Bapak. Selanjutnya,
Bapak mengajakku berbincang tentang kegiatanku hari itu dan
dengan senang hati meluncurlah ceritaku tanpa perlu ditanya lagi.
Sampai titik itu, aku seakan lupa bahwa sebelumnya pikiranku
diselimuti oleh banyak pertanyaan. Sekali lagi, aku merasa jadi anak
paling beruntung di dunia karena memiliki sepasang orang tua yang
begitu penuh pengertian dan kasih sayang berlimpah terhadap
anak-anaknya tanpa pernah membeda-bedakan satu dan lainnya.
Masih merupakan keturunan dari Sultan Hamengku Buwono
II, membuat keluarga kami menjadi keluarga yang termasuk
berkecukupan pada masa itu. Bapak dipercaya untuk memangku
jabatan di Biro Ekonomi dan Desentralisasi pada masa pemerintahan
Sultan Hamengku Buwono IX, jabatan yang sudah diembannya
sejak sekitar tahun 1960-an saat usiaku masih belasan. Sementara
Ibu, selain tugas utamanya sebagai istri dan ibu dari 9 orang anak,
setelah Bapak pensiun ia juga memiliki kesibukan sehari-sehari
sebagai pengajar mata pelajaran Pendidikan Keterampilan Keluarga
(PKK) SMP Sang Timur.
Di mataku, hidup terasa sedemikian sempurnanya. Aku dan
adik-adik memiliki rumah tempat berteduh yang nyaman dan
kokoh. Limpahan kasih sayang dan cinta dari Bapak dan Ibu tak
pernah putus kami cecap setiap harinya. Bisa dibilang, aku dan
adik-adikku hampir tak pernah merasakan duka.
"Nduk, Bapak nyaris tak menyadari kalau kamu sudah dewasa
dan mandiri."
Tiba-tiba saja Bapak memecah kesunyian yang sempat tercipta
di antara kami setelah aku usai bercerita. Aku sedikit mengerutkan
kening, tak mengerti ke mana arah pembicaraan Bapak sore itu. Tak
seperti biasanya Bapak mengajakku bicara tentang masalah pribadi
seperti itu.
Melihatku hanya diam menunggu kelanjutan kata-katanya,
Bapak tersenyum.
"Kamu ingat, Nduk, Bapak dan kamu dilahirkan di weton yang
sama. Menurut orang-orang tua zaman dulu, watak kita sama-sama
keras dan tidak baik jika ada weton yang sama bernaung di bawah
satu atap. Itu sebabnya Bapak dan Ibu dulu memindahkanmu ke
rumah Eyang."
Bapak kemudian terdiam sembari matanya tampak menerawang
menatap langit-langit ruang tengah. Entah apa yang dipikirkannya
kala itu. Perkara weton yang sama, yang dijadikan sebagai alasan
Bapak dan Ibu memindahkanku ke rumah Eyang, memang sudah
kuketahui sejak dulu. Saat masih kecil, selama beberapa tahun aku
memang tinggal di rumah Eyang Putri yang memanjakanku teramat
sangat. Ketika itu, aku tetap pulang ke rumah untuk menjenguk
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bapak, Ibu, dan adik-adik, sebelum pada malam hari aku harus
kembali ke rumah Eyang Putri. Kebetulan jarak dari rumah Eyang
ke rumah kami dekat, tidak sampai setengah jam jika mengayuh
sepeda ontelku.
Eyang Putri adalah salah satu pengusaha bahan bangunan
terbesar di Yogyakarta pada masa itu. Tentu saja, ia tak pernah
merasa keberatan dilimpahi tanggung jawab untuk mengasuh dan
membesarkanku sejak kecil. Ia memiliki banyak fasilitas di rumah
yang memudahkannya, selain karena memang aku sebagai cucunya
tak memiliki sifat manja, berkat didikan orang tuaku.
"Selama ini kamu sudah banyak membantu Bapak dan Ibu
mengurusi adik-adikmu yang masih kecil-kecil. Sekarang usiamu
sudah berapa ya? Dua puluh satu tahun ?kan? Sudah saatnya kamu
memiliki pendamping hidup yang akan meng
gantikan tugas
bapakmu untuk menjaga dirimu."
Kalimat selanjutnya yang meluncur dari mulut bapakku kali ini
membuat dudukku mulai terasa gelisah. Aku semakin tak mengerti
apa yang hendak Bapak sampaikan dari kalimat demi kalimat yang
ia tuturkan senja itu. Mataku memandang ke arah pintu, namun
sesungguhnya pandanganku jauh menembus semua yang ada di
depanku demi mengembarakan pikiranku, mencoba menebaknebak maksud perkataan Bapak.
"Apa kabar Wawan?"
Sontak pertanyaan singkat Bapak membuat jantungku terasa
mencelus. Bapak menanyakan kabar seorang lelaki yang selama
beberapa bulan belakangan akrab denganku, tepatnya sejak aku
mulai mengecap status sebagai mahasiswi. Lelaki yang kutahu
memiliki niat lebih terhadapku, lebih dari sekadar kawan biasa. Ia
adalah teman sekampusku di Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan
Pertama (PGSLP) jurusan Bahasa Inggris. Teman-teman lain pun
sering mengolok-olok aku dan Wawan dengan cap "berpacaran", jika
kebetulan mereka berpapasan dengan kami yang memang cukup
sering pergi berdua, meski tidak pada malam hari. Aku yang sama
sekali belum memiliki pengalaman berhubungan dengan lawan
jenis memang amat menjaga sopan santun pergaulan, meski Bapak
dan Ibu tak pernah mengekang kami.
Hubunganku dengan Mas Wawan memang cukup dekat,
namun belum sampai ke tahap mana pun selain perkawanan biasa.
Mas Wawan juga belum pernah satu kali pun mengungkapkan
perasaannya terhadapku. Meski tanpa perlu diucapkan secara
lisan, aku sudah tahu isi hatinya. Sebagai seorang perempuan yang
beranjak dewasa dan bergaul dengan banyak orang dari berbagai
kalangan, aku tentu sudah tahu jika ada seorang lawan jenis
yang dengan tingkah laku dan sikapnya memberikan sinyal-sinyal
perhatian yang lebih dari sekadar kawan. Namun, sebagai seorang
perempuan Jawa yang sangat memegang teguh adat, sangat
pantang bagiku untuk menanyakan langsung apakah pemuda itu
benar memiliki perasaan khusus terhadapku.
Yang kurasakan, hubunganku dengan Mas Wawan memang
belum mengarah ke mana pun. Hubungan kami boleh dikatakan
masih mengambang. Kami masih saling meraba perasaan satu
sama lain. Mas Wawan, pemuda pemalu yang sulit mengungkapkan
perasaannya, dan aku, perempuan yang sesungguhnya memiliki
rasa ingin tahu yang tinggi namun masih menjaga gengsi untuk
bertanya langsung kepadanya.
"Nduk."
Teguran Bapak membuat lamunanku seketika buyar. Aku
kembali tersipu kala melihat Bapak menatapku sedemikian rupa.
Mungkin tanpa kusadari sedari tadi Bapak memperhatikanku
diam-diam.
"Iyo, Pak," sahutku, makin menundukkan kepala karena
jengah.
"Bapak bertanya padamu, lho. Piye kabar Wawan?" ulang Bapak
lagi.
"Sudah lama saya ndak ketemu dia, Pak," jawabku, mencoba
untuk jujur.
Bapak manggut-manggut. Diam-diam, kulirik Bapak dengan
sudut mataku. Mencoba mereka-reka apa selanjutnya yang ingin
Bapak bicarakan denganku sore itu.
"Lantas, bagaimana hubunganmu dengan dia? Ibu bilang, dia
salah satu kawan istimewamu, benar begitu? Apakah kalian sudah
saling mengikat hati?"
Duh, Bapak. Meski dibesarkan di lingkungan ningrat, namun
kebiasaan Bapak bergaul dengan banyak kalangan dan petinggi
membuat ucapan Bapak selalu tanpa basa-basi, langsung tepat
menuju sasaran. Tak aneh jika kabarnya Bapak sering kali membuat
lawan bicaranya jengah dengan keterusterangannya itu. Rasa jengah
yang barangkali sama dengan yang sedang aku rasakan saat ini.
Aku menggelengkan kepala pelan-pelan.
"Ndak ada hubungan istimewa, Pak. Saya dan Mas Wawan
berteman biasa saja, kok. Kami cuma sering ketemu di kampus
dan di acara-acara Mudika?Muda-Mudi Katolik. Jadi, kami cukup
akrab." Sengaja tak kuceritakan kepada Bapak tentang naluriku
mengenai perasaan Mas Wawan yang kuyakin memiliki nuansa lain
terhadapku.
Bapak kembali manggut-manggut, entah karena mengerti
atau karena sedang berpikir untuk mengajukan pertanyaan lain
terhadapku. Sejurus kemudian, Bapak tampak mengerutkan
keningnya sesaat sebelum akhirnya melembutkan wajahnya dan
mengembuskan napas.
"Wis, ora popo. Bapak cuma mau tanya saja. Sebentar lagi Bapak
akan kedatangan tamu yang rencananya mau Bapak kenalkan ke
kamu."
Nah. Keringat dingin entah kenapa mulai menetes satu demi
satu.
"Siapa, Pak?"
"Bawahan Bapak di kantor. Nanti juga kamu tahu."
"Lantas, apa hubungannya dengan saya?"
"Wis, lihat saja nanti. Sekarang kamu ke dapur sana. Bantu
ibumu menyiapkan makanan."
Jika Bapak sudah mengeluarkan kalimat pamungkasnya
dengan maksud mengusirku secara halus, maka seperti biasa aku
tak mampu membantah. Aku beringsut bangkit, membereskan
kursi bekas dudukku ke posisinya semula, kemudian pamit untuk
pergi ke dapur.
AKU takkan pernah bisa melupakan percakapanku dengan Bapak
sore itu. Percakapanku berdua Bapak yang nyatanya akan mengubah
jalan hidupku di depan sana. Sebuah percakapan sederhana yang
kelak menjadi awal dari kisahku selanjutnya.
Sambil merapikan kembali piring-piring kecil berisi beraneka
jenis kudapan, kupasang kedua telingaku lebar-lebar, berusaha
mencuri dengar percakapan yang lamat-lamat sayup dari ruang
tengah, antara Bapak, Ibu, dan tamu yang sejak tadi telah dinantinanti.
Aku tak sempat mengintip siapa tamu tersebut, tapi tiba-tiba
saja dadaku bergetar tak seperti biasanya. Ada yang hadir menelusup
ke bilik hati dan kuartikan hal itu sebagai sebuah pertanda. Meski
aku sama sekali tak mampu mereka-reka pertanda apa yang sedang
kucoba halau dari benakku.
Berulang kali piring-piring makanan kecil kugeser-geser,
gelas-gelas belimbing bening yang berderet di rak kuraih satu
persatu dan kutata rapi di baki. Kutuang air yang sudah mulai ber
golak ke teko meja yang di dalamnya sudah kuisi dengan daun-daun
teh kering berkualitas tinggi yang selalu tersedia di dapur rumah
kami. Bapak memang selalu ingin teh yang diminumnya hanya
setiap sore itu berasal dari kualitas terbaik di Yogyakarta, meski
harganya sedikit lebih mahal dibandingkan teh biasa. Wangi
aroma teh menguar ketika air mendidih kutuang ke dalam teko.
Kumasukkan beberapa butir gula batu ke dalam mangkuk kecil,
siapa tahu tamu Bapak ingin tehnya dihidangkan manis.
Dari pintu belakang, kudengar adik-adikku sedang berkumpul
di amben yang memang sengaja diletakkan Bapak di teras belakang
untuk dijadikan tempat kami bercengkerama menghabiskan sore,
bermain, dan bersenda gurau. Adik-adikku sedang tertawa-tawa,
entah menertawakan apa. Dunia anak-anak memang sungguh unik
dan tak terlupakan, membuatku sesekali merasa rindu ingin kembali
ke masa itu. Pikiran mereka sama sekali belum dibebani oleh hal-hal
berat seperti orang dewasa.
Setelah selesai dengan pekerjaanku, aku bangkit menuju ke
tempat adik-adikku berkumpul. Sambil bertumpu pada daun pintu
ukir terbuat dari jati, aku memandangi mereka sepenuh sayang.
"Kalian sedang apa?"
Totok, adik lelakiku nomor empat, menyahuti pertanyaanku
sambil tertawa lebar.
"Kami sedang main pengantin-pengantinan, Mbak."
Aku mengernyit.
"Main pengantin-pengantinan? Opo kuwi?"
"Iyo, sebentar lagi ?kan Mbak Tatiek jadi pengantin, to? Nah, tadi
Mbak tanya, pengantin itu kayak apa. Jadi, kita main pengantinpengantinan."
Aku tersenyum, meski jantungku rasanya semakin tak keruan.
Entah apa maksudnya, namun sepertinya beberapa adikku yang
sudah agak besar paham akan apa yang sedang terjadi di rumahku
malam itu. Sementara aku, sang kakak, sekaligus orang yang
tampaknya menjadi tokoh utama dalam semua keanahen ini, malah
sama sekali tak tahu apa-apa.
Belum usai aku memperhatikan adik-adikku bermain dan
menyelesaikan kegundahan hatiku, Ibu masuk ke dapur dan
memanggilku.
"Tatiek, dipanggil Bapak, Nduk."
Sedikit enggan kuseret kakiku menjauhi teras belakang dan
melangkah menuju ruang tengah. Setiap langkah yang kutapakkan
satu persatu saat itu entah kenapa terasa lambat, membuatku
semakin dekat pada sesuatu yang sedari tadi mengusik rasa
penasaranku, dan jantungku berdetak kian keras.
NAMAKU Lidwina Tatiek Mangkudiningrat. Inilah kisahku. Kisah
seorang perempuan yang pada satu senja, ketika jingga mulai
meredup dan gelap menggantikan cahaya matahari, harus patuh
dan tunduk pada kehendak orang tua. Kehendak, yang bukannya
tak ingin kutaati sepenuh hati, meski senyatanya aku sendiri tak
mampu mengelaki takdir.
Hampir mendekati magrib, tamu istimewa Bapak baru datang.
Setelah beberapa jenak mereka berbincang?yang tak jua mampu
kutangkap apa isinya meski telah melebarkan kedua telinga?
akhirnya Bapak meminta Ibu memanggilku dari dapur. Dan
di sinilah aku, berdiri tegak sambil menundukkan kepala persis
di samping Bapak yang tetap duduk di kursinya semula seperti
sebelumnya, ketika bercakap-cakap denganku.
Belum mampu aku mengangkat kepala, walaupun rasa
penasaran telah menarik-narik seluruh urat sarafku, hendak mencari
tahu siapa sosok yang saat itu duduk tepat di hadapan Bapak.
"Nah, ini anak perempuan Bapak yang paling besar, Nak. Ayo,
kenalan dulu."
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terdengar suara kursi didorong ke belakang dan pemuda yang
sebelumnya duduk tampak berdiri. Aku dapat melihat sepatunya
yang sudah terlihat agak usang namun mengilap itu maju perlahan
ke arahku. Mau tak mau, aku mengangkat kepala dan menatap
pemuda itu untuk pertama kali. Tanpa banyak basa-basi, lelaki
itu mengulurkan tangannya ke arahku, mengajakku bersalaman.
Ragu, kusambut uluran tangan dari pemuda dengan tinggi badan
di atas rata-rata tinggi pemuda pada masa itu. Tingginya menurut
penilaianku sekitar 170 senti, dengan badan yang boleh dibilang tak
kurus dan tak juga gemuk, alias proporsional. Sementara, wajahnya
menurutku cukup ganteng untuk ukuran ketampanan pada masa
itu. Belum lagi kumis tipis yang menghiasi wajahnya, seakan
hendak memastikan tingkat kedewasaan dan kewibawaannya
sebagai laki-laki.
"Soerono."
Kudengar ia menyebutkan namanya.
"Tatiek."
Setelah itu, pemuda bernama Soerono itu kembali duduk di
tempat semula dan Ibu menyuruhku duduk di sampingnya. Tak
lama, Dewi, adikku sekaligus anak nomor tiga dalam keluarga, keluar
dari dapur sembari membawa baki berisi teko, tiga gelas belimbing,
dan beberapa piring makanan kecil.
"Ayo, silakan, Nak Soerono, disambi minum teh dulu. Pasti
perjalanan ke sini lumayan jauh ya, dari Wonosari ke Yogya." Bapak
mengangsurkan tangannya mempersilakan. Setelah perbincangan
basa-basi, Bapak bangkit, diikuti oleh Ibu.
"Bapak mau leyeh-leyeh sebentar ya, punggung tua Bapak ini
sudah pegal sekali, sejak pulang tadi belum dibaringkan. Ibu juga
mau mengurusi adik-adikmu dulu."
Wah, segera saja aku sudah bisa menduga rencana Bapak
dengan meninggalkanku berdua saja dengan Mas Soerono. Aku
panik. Aku belum kenal betul siapa pemuda yang ada di hadapanku
ini. Setelah Bapak dan Ibu meninggalkan kami berdua, kami
malah saling terdiam seribu bahasa. Mendadak, aku yang dikenal
banyak orang sebagai gadis yang supel, ramah, dan mau bergaul
dengan siapa saja, tiba-tiba saja tak mampu mengeluarkan sepatah
kata. Pun demikian dengan Mas Soerono, kami seolah mendadak
berubah jadi sepasang manusia batu. Membisu dan tak berani
bergerak sedikit pun. Walau begitu sesekali tetap saja aku mencuri
pandang ke arahnya. Sebaliknya, ia pun kerap kupergoki sedang
mencuri-curi pandang ke arahku, kemudian membuang muka
kembali ketika matanya bersitatap dengan mataku. Kecanggungan
memang langsung menyergap kami, meski Mas Soerono beberapa
kali berusaha memecahkan kecanggungan itu dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan singkat yang lantas kujawab tak kalah
singkatnya.
Aku kembali mulai gelisah. Kalau Bapak dan Ibu tak kunjung
datang kembali menemui kami, entah aku harus bagaimana lagi.
Untung saja, tak lama setelah hatiku mulai bertanya-tanya, Ibu
muncul dari kamar.
"Nak Rono, Tatiek, maaf sekali Ibu hari ini tak sempat memasak
makan malam. Kata Bapak, kalian pergilah cari makanan, Nak
Soerono pasti lapar, ?kan?"
Aku terlonjak. Mas Soerono tersenyum singkat.
"Cari makanan di mana, Bu? Saya tidak lapar." Aku mencoba
protes. Keengganan muncul karena aku tahu ada niat lain di balik
perintah Bapak supaya aku dan Mas Soerono pergi berdua mencari
makan.
"Ya terserah, to. Tanya Nak Soerono mau makan apa. Kamu
temani sana."
Tanpa diperintah dua kali, Mas Soerono bangkit. Melalui sorot
matanya, ia seperti mengajakku untuk ikut bangun dari kursi dan
mengikuti permintaan Ibu. Akhirnya, tanpa mampu menolak,
aku mencium tangan Ibu dan berpamitan, meskipun sama sekali
tak punya gambaran hendak pergi ke mana berdua saja dengan
Mas Soerono. Tanpa sempat kusadari betul, akhirnya aku dan Mas
Soerono sudah berada dalam satu becak, menuju Kedaulatan
Rakyat (KR) di Jalan Tugu. Daerah itu terkenal dengan jajanannya
yang menggugah selera. Namun, rupanya KR tutup hari Minggu
seperti itu. Sejenak kami kebingungan hendak ke mana.
"Jadi, kita mau ke mana?" tanya Mas Soerono.
"Ndak tahu, Mas."
"Kalau jam segini, adik-adik sudah tidur belum?"
"Biasanya sih belum, Mas."
Mas Soerono mengangguk dan tampak berpikir sejenak
sebelum akhirnya mengajakku kembali mencari becak.
"Ayo, kita ke alun-alun."
"Dik Tatiek, mau makan apa?"
Gemuruh nun jauh di dasar hati kembali perlahan-lahan
muncul.
"Terserah Mas saja. Saya ikut."
"Kalau begitu, saya mau ajak Dik Tatiek makan sate kambing di
pojok alun-alun. Tempat itu langganan saya. Satenya enak sekali."
Dalam diam, kuanggukkan kepala tanda setuju.
Sesampai di warung sate langganan Mas Soerono, dengan
tulisan cukup besar di depannya, ?Sate Kambing Pak Amat?,
ternyata sudah banyak orang yang sedang mengantre. Tampak
penjual sate dengan badannya yang kurus tak henti-henti mengipasngipaskan anyaman yang terbuat dari bambu di atas sate yang ia
jejerkan pada sebuah panggangan penuh arang membara dengan
tinggi kurang lebih satu meter. Harum aroma daging berbumbu
yang ditusuk dengan sebilah tusukan terbuat dari bambu itu
menyeruak terbawa asap dan mewarnai langit gulita Kota Yogya.
Tiba giliran kami memesan, Mas Soerono meminta dibuatkan
beberapa puluh tusuk sate dan dibungkus untuk dibawa pulang.
"Untuk siapa membeli sate sebanyak itu? Pesan Ibu ?kan Mas
Soerono saja yang makan," protesku.
"Ndak, Dik. Ini sekalian saja untuk adik-adik semua kita belikan.
Tadi ?kan Ibu bilang beliau tidak masak to? Adik-adik mau makan
apa? Masa kita enak-enakan makan di sini, sementara yang di rumah
kelaparan menanti kita datang?"
Aku tahu, ia hanya bercanda. Tak urung akhirnya aku tertawa
dibuatnya. Itulah pertama kalinya kebekuan di antara kami mulai
mencair.
"Atau, Dik Tatiek mau kita makan dulu di sini?" tawar Mas
Soerono yang kusambut dengan gelengan kepala kuat-kuat.
"Kita bungkus saja, Mas. Lalu, kita pulang ke rumah. Aku
lelah sekali," elakku, meskipun aku tahu aku cuma mencari-cari
alasan saja untuk segera lepas dari semua kecanggungan dan
ketidakmenentuan hatiku saat ini.
Pemuda yang baru saja berkenalan denganku beberapa jam
sebelumnya itu mengangguk tanda menyepakati keputusanku.
Setelah sate rapi dibungkus dan dimasukkan ke dalam kantung
plastik hitam, Mas Soerono menukarkan beberapa kantong sate itu
dengan beberapa lembar rupiah. Kami pun kembali pulang dengan
menumpang becak. Perjalanan pulang kali ini tak seperti perjalanan
pergi, kami mulai berbincang-bincang ringan ditemani angin
malam yang seakan menggoda kebersamaan kami. Dari percakapan
kami sepanjang perjalanan pulang, akhirnya kuketahui bahwa Mas
Soerono belum pernah menikah dan masih berstatus perjaka.
Sampai di rumah, Mas Soerono langsung berpamitan hendak
pulang. Bapak dan Ibu menyambut kami di beranda, dan sementara
Mas Soerono berpamitan, adik-adikku menyerbu sate yang kami
bawa dan langsung memboyongnya ke dapur.
Setelah Mas Soerono pulang, aku pun mengomel pada
adik-adikku. "Aku yang pergi dan tidak makan di sana, adik-adik
yang senang," keluhku sambil memajukan bibirku beberapa senti,
pura-pura marah.
Bapak dan Ibu hanya tertawa mendengar keluhanku yang
sambil lalu. Aku masuk ke kamar, mendadak rasa laparku hilang.
Kubiarkan saja adik-adikku berteriakan di dapur memperebutkan
bungkusan-bungkusan sate kambing itu. Dalam diam, aku ter
senyum sambil membaringkan tubuhku di ranjang. Kukenang
perkenalanku dengan pemuda yang diakui Bapak sebagai
bawahannya itu. Entah mengapa, perasaan gundah yang sejak
tiba di rumah sore tadi kembali menyeruak. Meski belum memiliki
perasaan apa-apa terhadap pemuda itu, aku tahu maksud Bapak
dan Ibu memperkenalkan aku padanya. Aku setengahnya yakin
bahwa semua keanehan sore tadi tak lain dan tak bukan adalah
untuk menjodohkan aku dan pemuda itu. Dan, malam itu, tibatiba menyelinap sebuah perasaan dan keyakinan yang begitu saja
muncul bahwa kelak pemuda itulah yang akan menjadi pasanganku.
Entah mengapa.
Aku hanya tahu saja.
(DI kemudian hari, setelah kami menikah, Mas Rono bercerita bahwa
sekembalinya dari rumahku setelah pulang dari membeli sate, ia
kembali ke warung Sate Kambing Pak Amat dan makan sate dengan
lahapnya karena terus terang saat itu ia teramat lapar).
Pergi Untuk Kembali
ebagai anak tertua di rumah kami, aku secara otomatis
dianggap sebagai pelindung adik-adik. Dengan temperamen
Bapak yang keras dalam menghadapi anak-anaknya, terutama anak
laki-laki, tak jarang seakan memaksaku untuk bisa menjadi ?bumper?
bagi adik-adikku. Mungkin karena naluri keperempuananku, aku tak
pernah tega melihat adik-adik dimarahi oleh Bapak meskipun hal itu
tak lain adalah akibat kenakalan mereka.
Setiap kali Bapak mengomeli dan memarahi adik-adikku, akulah
yang pasti akan maju sebagai pembela mereka. Entah apa yang
menyebabkan aku tidak merasa takut dimarahi oleh Bapak karena
membela mereka. Bukannya tak menaruh hormat dan tak segan
kepada Bapak dan Ibu, namun bagiku, hal tersebut tak semestinya
serta-merta membuatku menjadi anak yang menurut begitu saja
terhadap apa pun yang menjadi perintah orang tua. Pasalnya, jika
demikian, untuk apa Bapak dan Ibu mengajari sikap kritis pada
anak-anaknya jika ujung-ujungnya tetap saja tak bisa digunakan
bahkan dalam lingkup keluarga sekalipun.
Tak hanya itu, aku tak pernah tega melihat adik-adikku
meringkuk di pojok rumah karena ketakutan diiringi suara Bapak
yang menggelegar memarahi mereka. Sebab, di mataku, kenakalan
adik-adikku selama ini kebanyakan masih bisa ditoleransi sebagai
kenakalan yang biasa dilakukan oleh anak-anak seusia mereka, atau
dengan kata lain tidak ada di antaranya yang bisa dikategorikan
sebagai kenakalan yang serius atau parah.
Pernah suatu ketika Didit, adikku nomor lima, jatuh dari sepeda
dan menangis tersedu-sedu, mungkin karena merasa kesakitan
yang teramat sangat. Aku yang saat itu sedang berada di kamar
langsung berlari tergopoh-gopoh ke luar rumah begitu mendengar
tangisan adikku terdengar semakin keras. Tak butuh waktu lama
bagiku untuk menemukan adikku, yang kulitnya tampak semakin
legam karena terbakar matahari, terduduk lunglai di halaman
depan rumahku dengan tangisan yang belum juga berhenti. Di
sampingnya, tampak sepedanya tergeletak begitu saja. Segera
kuhampiri dia dan kulihat kakinya berdarah-darah, ada jari-jari
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sepeda yang menancap di telapak kakinya. Siapa yang tak cemas dan
panik melihat pemandangan seperti itu di depan mata? Kebetulan
Ibu dan Bapak sedang tidak ada di rumah. Aku segera memutar
otak. Kulihat adik-adikku yang lain hanya berani mengerumuni Didit
tanpa berani melakukan apa pun selain berusaha menenangkannya
yang terus-menerus menangis.
"Sayang, jangan menangis. Sebentar ya, Mbak akan lepaskan
jari-jari sepeda itu. Kamu tahan sedikit sakitnya ya."
Tanganku sempat berkeringat, grogi. Pasalnya, apa yang akan
aku lakukan sebentar lagi tak pernah aku lakukan sebelumnya.
Demi adikku, aku harus berani melakukannya.
Pelan-pelan tanganku meraih jari-jari sepeda itu dan dalam
hitungan detik benda itu sudah keluar dari telapak kakinya. Didit
menjerit kesakitan. Darah mengalir deras dari bekas lukanya.
Meskipun panik, kucoba menenangkan diriku sembari pada saat
yang bersamaan menenangkan Didit. Bergegas kuperintahkan
salah satu adikku untuk mengambil kapas, perban, dan alkohol.
Kubersihkan perlahan lukanya dengan sangat berhati-hati dan
menutupnya dengan perban, tentu saja diiringi jeritan Didit yang
semakin keras.
Memang, di antara adik-adikku yang lain, Didit dan Totok
adalah dua adikku yang boleh dikatakan lumayan nakal. Bapak yang
sangat disiplin sering kali kehabisan akal dibuatnya. Kalau sudah
bermain, mereka sering lupa waktu, lupa belajar, dan tak jarang lupa
mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Hal-hal seperti itulah yang
sering membuat Bapak kesal. Alhasil, jangan ditanya berapa kali dua
adikku itu terkena omelan dan jeweran dari Bapak.
Menjadi kakak tertua dari tiga orang adik perempuan dan lima
orang adik laki-laki membuatku harus memiliki kesabaran yang
sangat ekstra. Mengingat Bapak sibuk dengan pekerjaannya dan
Ibu juga disibukkan dengan kegiatan rumah tangga dan kegiatan
PKK, tanpa ada yang memerintah aku sering menjadi pengganti
kedua orang tuaku itu, terutama dalam mendidik dan mengurus
adik-adik di rumah. Maka, tak aneh jika adik-adikku menjadi lebih
suka meminta pendapatku tentang segala hal ketimbang meminta
pandangan Ibu, apalagi Bapak yang belum apa-apa sudah memberi
kesan menyeramkan bagi mereka.
DJOGJAKARTA, 1962
Suasana sunyi di rumah dipecahkan oleh menggelegarnya suara
Bapak yang berteriak memanggil Totok.
"Tok, Totok!!! Ke mana anak itu?!"
Aku, yang sebelumnya sedang membaca buku, terkejut dan
bergegas menghampiri Bapak. Kulihat wajah Bapak memerah tanda
menahan amarah yang luar biasa di hatinya.
"Ada apa, Pak? Bapak mencari Totok?"
Masih sambil menahan emosi luar biasa, kulihat Bapak menarik
napas dalam-dalam.
"Dia nakal lagi. Bapak capek menghadapi kebandelannya.
Terserah saja dia mau lari ke mana setelah ini. Yang jelas, kalau
sampai nanti dia pulang, Bapak mau pukul dia."
Aku sangat mengetahui bahwa Bapak tidak pernah main-main
dengan ucapannya. Sekali ia menyatakan sesuatu, bahkan
hujan badai pun tak akan pernah bisa menghalanginya untuk
mewujudkannya. Mendengar ancaman Bapak itu, aku langsung
berlari ke luar rumah. Kupanggil nama adikku itu berkali-kali, namun
tak kunjung kulihat batang hidungnya. Akhirnya, kususuri daerah
seputaran rumahku sembari menanyakan keberadaan Totok kepada
para tetangga. Sialnya, nyaris semua orang yang kutanyai memilih
untuk menggelengkan kepalanya.
Jelang magrib, akhirnya Totok berhasil kutemukan. Adikku
yang memiliki postur tubuh cenderung tinggi itu sedang bermain
di taman sendirian. Mungkin ia takut pulang, membayangkan sikap
Bapak terhadap dirinya nanti. Tapi melihat aku datang, mata kecilnya
tampak langsung berbinar-binar.
"Ayo pulang, Totok. Sebentar lagi hari mulai gelap. Bapak dan
Ibu bakal marah kalau kamu ndak pulang-pulang ke rumah."
Totok menggeleng cepat. Kami lantas duduk di sebuah bangku
kayu. Sunyi melingkupi kami. Kaki kurusnya yang panjang dan
terlihat kering karena terlalu sering bermain di bawah matahari
menendang-nendang batu kerikil di hadapannya.
"Aku takut sama Bapak, Mbak."
"Makanya, jangan bandel," sahutku cepat.
"Aku nggak bandel. Bapak saja yang mengira aku begitu!"
sergah Totok kencang.
Aku tersenyum.
Totok tampak memanyunkan bibirnya sekian sentimeter.
"Kalau kamu mau menuruti Mbak untuk pulang sekarang juga,
Mbak janji akan membelamu di depan Bapak nanti."
Totok bergeming. Namun, tampaknya keyakinannya mulai
goyah. Ia terlihat ragu-ragu untuk mengambil keputusan. Aku pun
segera membelai-belai kepalanya.
"Aku tahu adikku yang satu ini sebenarnya bukan anak nakal
seperti yang sering dikatakan Bapak dan Ibu. Makanya, aku berani
membelamu mati-matian selama ini, termasuk saat ini. Sejak kapan
kakakmu ini berbohong?"
Akhirnya, meski tampak melakukannya dengan setengah hati,
Totok mulai luluh. Namun, ia masih mengajukan satu permohonan
lagi sebelum kami pulang.
"Mbak, tapi kamu sanggup asal gendong aku sampai rumah?
Aku capek tadi seharian lari-lari."
Sontak aku tertawa terbahak mendengar permintaannya.
Cepat aku bangkit dan menggendongnya. Tubuhnya yang termasuk
bongsor untuk ukuran anak-anak lain seusianya membuat napasku
ngos-ngosan saat menggendongnya.
Sampai di rumah, Bapak telah menunggu kami di teras. Raut
wajahnya mengeras melihat kami pulang dengan Totok yang berada
di gendonganku.
"Dari mana saja kamu, Totok? Kakakmu sampai harus mencaricarimu ke mana-mana. Kerjamu hanya merepotkan seisi rumah saja."
Melihat Bapak marah dan hendak memukul Totok, aku langsung
membelanya.
"Jangan, Pak. Jangan pukul Totok. Dia masih kecil."
Bahkan, aku sampai menangis saat itu karena tak ingin Totok
dipukul oleh Bapak. Dan memang, mendengar permohonanku itu,
Bapak akhirnya luluh dan memerintahkan Totok untuk segera mandi
dan mengerjakan tugas-tugas sekolahnya.
Begitulah pekerjaan sebagai seorang kakak yang memiliki
banyak adik, membuatku jadi merasa bertanggung jawab atas
segala hal yang menimpa adik-adikku. Aku rela menjadi tameng
mereka dalam menghadapi kemarahan Bapak dan Ibu. Adikadikku pun tampaknya sangat berterima kasih kepadaku, dan tak
bisa dielakkan semakin lama kami seakan tak bisa terpisahkan satu
sama lain.
DJOGJAKARTA, 1968
Tanpa terasa, akhirnya aku lulus juga dari bangku SMA. Aku sudah
bukan remaja lagi, melainkan sudah tumbuh menjadi gadis dewasa.
Pada masa ini aku semakin menyukai kesenian. Mengikuti teater,
membaca puisi, dan terlibat di beberapa pementasan seni, membuat
aku selalu bersemangat setiap kali melangkahkan kaki ke sekolah.
Aku sangat menikmati saat-saat itu. Hidupku seakan mengalir dan
dipenuhi kebahagiaan.
Bukannya hendak menyombongkan diri, aku pun tumbuh
menjadi gadis yang supel dan memiliki banyak teman di mana-mana.
Aku memang tidak pernah memilih-milih teman, apalagi
berdasarkan tingkat ekonomi. Soal itu menjadi satu hal yang juga
diajarkan oleh orang tuaku. Aku tahu Bapak dan Ibu sering kali
mencemaskanku karena khawatir anak perempuan tertuanya ini
salah dalam pergaulan dan memberikan contoh yang tidak baik
bagi adik-adiknya. Untuk itu, aku tak pernah lelah meyakinkan
mereka bahwa mereka telah berhasil mendidik anaknya yang satu
ini menjadi manusia yang berprinsip. Ya dalam pikiranku, tak ada
yang lain selain ingin membuat mereka bangga dan bahagia. Aku
juga bertekad untuk selalu menjaga kehormatanku, salah satunya
dengan memiliki ketegasan dalam bersikap. Dalam menjaga
pergaulanku dengan lawan jenis, misalnya, aku punya strategi
tertentu. Aku memang grapyak alias mudah mendapat kenalan baru
yang berasal dari dunia yang berbeda dengan dunia yang aku jalani
selama ini. Namun, jangan harap ada lelaki iseng yang bisa begitu
saja mempermainkanku. Untuk yang satu ini, aku selalu mengingat
pesan Bapak dan Ibu bahwa aku harus bisa menjadi teladan bagi
adik-adikku. Aku tahu keteladanan yang dimaksudkan, salah
satunya adalah dengan lebih berhati-hati kelak ketika menghadapi
pergaulan, terutama dengan lawan jenis.
Ketika lulus dari bangku sekolah, aku langsung memutuskan
untuk kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (IKIP)
jurusan Bahasa Inggris. Di tempat yang baru ini, aku kembali terlibat
dalam berbagai aktivitas, di antaranya pementasan pembacaan
puisi, pementasan teater, koor, dan Mudika di Gereja.
Di Mudika ini, temanku semakin bertambah banyak. Setiap
hari aku memiliki beragam kegiatan yang kujalani bersama
teman-temanku. Masa mudaku terasa sedemikian indah. Namun,
rupanya diam-diam Bapak cemas juga melihat pergaulanku, meski
diakuinya masih ada dalam jalur yang benar. Bapak pun mulai
sering mengajakku berbincang setiap sore selepas ia bekerja. Kami
selalu duduk di teras depan, di kursi yang juga terbuat dari kayu
jati seperti perabotan lainnya yang ada di rumah kami. Aku dan
Bapak biasanya bercakap-cakap sambil menikmati secangkir teh
panas dan sepiring camilan. Ketika berbincang itulah, Bapak acap
kali menasihatiku untuk selalu berhati-hati dalam memilih teman.
Terkadang aku hanya manggut-manggut mengamini nasihat Bapak,
namun lebih sering jiwa mudaku memberontak. Aku sering kali
merasa bahwa diriku sudah tidak pantas lagi untuk dinasihati atau
digurui. Aku sudah dewasa, sudah tahu mana yang baik dan mana
yang tidak baik bagi diriku sendiri. Lagi pula, aku merasa akulah yang
paling tahu seperti apa kehidupanku, bukan Bapak, bukan pula Ibu.
Pernah, saking kesalnya aku karena selalu dinasihati ini dan itu
oleh Bapak, aku berujar di hadapan ibuku saat Bapak tak ada, "Andai
saja ada orang yang mau melamarku dan mengajakku keluar dari
rumah ini untuk pergi jauh, aku mauuu, aku mauuu, Bu!"
"Ssssttt, jangan omong yang ndak-ndak, ora apik to, Nduk!"
tukas Ibu cepat.
DJOGJAKARTA, 1969
Belum lagi satu semester usai kujalani di bangku kuliah, aku
bertemu dengan seorang pastor yang berasal dari Kota Malang.
Kami bertemu tanpa sengaja di sebuah kegiatan, dan akhirnya kami
berkenalan. Pastor itu bercerita bahwa ia memiliki sebuah yayasan
untuk anak-anak dengan kondisi cacat mental di Malang. Nama
yayasan itu adalah ALMA?Asosiasi Lembaga Misionaris Awam.
Yayasan mempunyai sekolah, Ia mengasuh sekolah itu bersama
beberapa orang guru yang jumlahnya sangat tidak memadai jika
dibandingkan jumlah murid di sana. Anak-anak dengan cacat
mental ganda yang menjadi murid sekolah milik pastor tersebut
berasal dari beragam kalangan, namun kebanyakan berasal dari
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keluarga kaya raya. Murid-murid dengan latar belakang ekonomi
keluarga yang lebih kaya memberikan bayaran berkali lipat hanya
untuk bisa bersekolah di sana.
Tanpa pernah kuduga, pastor itu menawariku untuk ikut
bersamanya ke Malang. Ia bahkan menjanjikan padaku bahwa
aku akan dikuliahkan di sana secara gratis tanpa harus membayar
biaya apa pun asal aku mau membantunya mengajar anak-anak
di sekolahnya. Aku tentu saja tertarik dengan ajakannya. Benakku
lantas menghitung dengan cepat. Jika menerima tawaran sang
pastor, aku bisa kuliah dengan gratis tanpa harus menyusahkan
kedua orang tuaku. Ya, kedua orang tuaku memang bukan
keluarga susah. Namun dengan sembilan anak yang harus
dihidupi dan disekolahkan dengan baik, tentu Bapak dan Ibu
kerepotan. Aku, sebagai anak tertua, ikhlas mengalah demi
kedelapan orang adikku yang lebih membutuhkan biaya. Tidak
hanya itu, aku merasa pasti ada kebanggaan tersendiri jika bisa
membiayai kuliahku secara mandiri.
Berbekal keyakinan dan alasan-alasan tadi, akhirnya aku
menerima tawaran dari sang pastor. Hal lain yang mendasari
keputusanku untuk pergi ke Malang adalah keinginanku terbebas
dari nasihat-nasihat panjang Bapak seputar pergaulanku. Aku tahu
bahwa nasihat Bapak itu timbul karena khawatir anak gadisnya
terlibat dalam pergaulan yang salah. Tapi, aku sangat yakin
kecemasan Bapak itu terlalu berlebihan karena aku bisa menjaga
diriku sendiri dengan baik. Aku sangat yakin akan hal yang satu itu.
Bapak dan Ibu, begitu mengetahui niatanku tersebut, sudah
aku tebak sebelumnya langsung tak menyetujuinya. Apalagi
Bapak, dengan wajahnya yang mengeras, ia langsung melontarkan
kata "tidak". Ketika itu aku diam, menunggu saatnya untuk bicara
dan memperlihatkan kuatnya niatku. Begitu kedua orang tuaku
selesai bicara, barulah aku mengeluarkan seluruh alasanku di balik
keputusanku untuk tinggal di Malang. Di ujung pembicaraan,
mereka luluh dan membiarkanku pergi. Meskipun jujur, aku tak
sampai hati melihat kekhawatiran teramat sangat yang terpancar
di mata mereka. Belum lagi saat kulihat mata beberapa adikku yang
berkaca-kaca, yang ternyata mencuri dengar pembicaraan kami
malam itu. Di kemudian hari, akhirnya aku menyesalkan mengapa
saat itu aku memilih untuk seolah melarikan diri dari rumah.
SELAMA enam bulan tinggal di Malang, sang pastor membuktikan
janjinya kepadaku. Aku disekolahkan untuk mempelajari filsafat di
sana. Jadwalku kuliah seminggu sekali, selebihnya hari-hari kuisi
dengan membantu pastor menjadi guru bagi anak-anak cacat
mental yang belajar di sekolah miliknya. Selama enam bulan itu pula,
otakku dipaksa untuk bekerja lebih keras demi memahami setiap
bahan kuliah yang diajarkan. Pelajaran filsafat menurutku bukanlah
pelajaran yang bisa dengan mudah diikuti oleh siapa pun. Saat
menerima teori-teori filsafat pada awal-awal masa kuliah saja kuakui
otakku sempat dibikin keblinger. Bagiku, mempelajari filsafat seakan
mempelajari hal-hal yang sifatnya mengawang-awang. Ilmu Filsafat
bukanlah ilmu pasti yang bisa dengan tegas menyebut 1+1 adalah
2. Jadi, aku merasa tak aneh jika satu atau dua temanku di sana
akhirnya berguguran satu per satu. Bahkan, ada juga yang sampai
dibuat stres dan depresi karenanya. Lama-kelamaan, aku pun
merasakan hal yang demikian. Otakku tak lagi mampu mencerna
mata kuliah demi mata kuliah yang diajarkan di sana dengan
baik. Aku yang sangat menyukai bidang sosial dan bahasa merasa
kesulitan memahami teori-teori yang semakin hari semakin rumit.
Akhirnya, karena sudah tidak tahan lagi, setelah mengumpulkan
keberanian, aku kemudian menghadap pastor yang mengajakku
untuk berkarya di Malang.
"Pastor, saya sudah tidak kuat. Saya tidak sanggup belajar di
sini lebih lama. Kalau terus-menerus belajar filsafat, sepertinya
lama-lama saya bisa gila," ucapan itu yang pertama kali terlontar
dari mulutku ketika pada akhirnya memiliki kesempatan untuk
berbicara dengannya.
Setelah mengucapkan kalimat itu, aku memperhatikan raut
wajah sang pastor. Boleh dibilang ketika itu aku sudah pasrah saja
jika sang pastor marah atau melontarkan kecewaannya padaku.
Pasalnya, aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Aku dibesarkan
dalam keluarga yang tak bisa lama berpura-pura. Untung, sang
pastor memiliki hati yang luas. Ia bukan tipe orang yang mudah
tersinggung dan marah. Sambil menepuk-nepuk bahuku, dengan
lembut ia menyahut pernyataanku.
"Oh, itu artinya kamu adalah orang yang terlalu peka. Tidak
apa-apa kalau kamu ingin pulang."
Sudah, begitu saja reaksi sang pastor. Reaksi seperti itu tentu
saja sama sekali di luar perkiraanku. Tak butuh berhari-hari, aku
sudah dibelikan tiket olehnya untuk pulang ke Yogyakarta. Aku juga
diberi uang saku, dan dimintanya aku untuk membelikan oleh-oleh
untuk seluruh anggota keluargaku.
Akhirnya, aku pulang ke Yogyakarta. Kepulanganku ke
Yogyakarta tentunya sekaligus membawaku kembali ke rumah orang
tuaku, kembali kepada orang-orang tercinta yang selama berbulanbulan coba kuabaikan kerinduanku atas mereka. Tanpa rencana,
ketika akhirnya aku berhadapan langsung dengan keluargaku,
kutuntaskan segala rindu dan kubunuh rasa penyesalanku. Begitu
kakiku melangkah masuk ke dalam rumah dan kulihat adikku
satu per satu muncul, aku tak bisa menahan air mataku jatuh. Ah,
ternyata aku begitu merindukan mereka. Kupeluk mereka erat satu
per satu, kedelapan orang adik yang sangat kucintai. Aku juga
ternyata sangat merindukan rumah ini. Kuseka air mataku perlahan.
Malu juga aku menangis di depan adik-adikku.
Aku pun mulai bisa tersenyum. Tak lama aku melihat kedua
orang tuaku muncul hampir bersamaan di hadapanku. Ibu muncul
dari pintu dapur, sementara Bapak keluar dari kamar. Lagi-lagi air
mataku mengalir. Setengah berlari aku menghampiri Bapak dan Ibu.
Kubisikkan puji syukur kepada Tuhan berkali-kali saat aku bersimpuh
dan memeluk kaki Bapak dan Ibu. Setengah berbisik pula, aku
memohon ampunan mereka. Enam bulan aku memutuskan untuk
pergi dari kenyamanan rumah ini, dan kini, aku kembali. Meskipun
sungguh bukan untuk mencari kenyamanan, aku kembali demi
sebuah keinginan untuk membahagiakan orang-orang yang aku
cintai. Itu saja, dan bagiku, hal itu sudah lebih dari segalanya.
Bukan Siti Nurbaya
DJOGJAKARTA, 1970
agi masih begitu buta karena mentari belum tampak jua. Aku
nglilir dan akhirnya tak bisa tidur lagi. Di ranjang kecilku, aku
hanya mampu membolak-balikkan tubuh sambil membayangkan
peristiwa tadi malam. Pikiranku seperti ingin mencoba mengingatingat sosok pemuda yang semalam diperkenalkan oleh Bapak. "Mas
Soerono," tak sadar aku menggumamkan namanya.
Siapakah pemuda itu sesungguhnya? Rasa penasaranku
tiba-tiba muncul. Sebelumnya, Bapak dan Ibu sama sekali tidak
pernah menyebut-nyebut nama itu dalam setiap perbincangan
mereka bersamaku. Iya, seingatku tidak, aku seperti ingin meyakin
kan diriku sendiri. Lantas mengapa Bapak memperkenalkan aku
dengan pemuda itu dalam sebuah perkenalan setengah resmi?
Menurutku, perkenalanku dengan Mas Soerono semalam kuyakini
bukan terjadi secara kebetulan. Dimulai dengan sikap Ibu yang
mendadak begitu misterius, tidak seterbuka biasanya, hingga Bapak
yang malah menyuruhku pergi berduaan dengan pemuda itu. Soal
terakhir itu yang aneh, pasalnya Bapak adalah orang yang paling
cerewet untuk urusan hubungan aku dan laki-laki.
Lamunanku tiba-tiba terhenti ketika sayup-sayup dari arah
dapur, aku mulai mendengar suara-suara. "Pasti Ibu," ujarku pelan.
Pada jam seperti ini, biasanya Ibu memang sudah bangun dan mulai
sibuk menyiapkan sarapan bagi seisi rumah. Aku lantas memaksakan
diriku untuk bangkit dari tempat tidur, tepatnya bangkit dari
lamunanku. Rasa penasaranku tentang kedatangan Mas Soerono
seakan menambah semangatku. Ah, daripada menduga-duga, lebih
baik aku mencoba mengorek-ngorek keterangan dari Ibu sambil
membantunya memasak di dapur. Siapa tahu berhasil.
Segera kugunakan sandalku sambil tersenyum-senyum sendiri.
Jika di seluruh bagian rumah lainnya gelap gulita karena Bapak
memang memiliki peraturan untuk selalu mematikan lampu yang
tidak terpakai, maka dapur selalu menjadi bagian yang paling
terang setiap subuh menjelang. Mengingat dapur memang menjadi
pusat kegiatan kami di pagi buta. Adik-adik yang kadang terbangun
dengan setengah hati karena masih sangat mengantuk namun
harus bersiap-siap sekolah, dan Bapak yang dengan setia selama
bertahun-tahun selalu duduk di kursi yang itu-itu juga, seolah
hendak menemani Ibu menyiapkan segalanya setiap pagi di dapur.
Ibu pun sepertinya tak terganggu dengan semua hiruk pikuk yang
terjadi di sekitarnya.
Jika sarapan sudah hampir siap, kami lantas berpindah duduk
di amben, sebuah bale besar yang terbuat dari kayu. Di sanalah
Ibu menyediakan bergelas-gelas susu hangat bagi kami yang akan
menemani sepiring nasi goreng mengepul yang siap kami santap
sebelum kehebohan pagi hari lainnya dimulai. Jujur, aku sangat
menyukai rutinitas pagi di rumahku ini. Dengan banyak adik,
rumah terasa sangat ramai dan hangat. Ibu pun tampak tak pernah
mengeluh dengan segala kesibukannya di rumah.
Tiba di dapur, kulihat Ibu sedang menjerang air. Mungkin saat
ini adalah saat yang tepat bagiku untuk bertanya, bisikku dalam hati.
"Ehem," aku berdeham, mencoba melancarkan tenggorokanku
yang mendadak terasa kering.
Ibu menoleh dan tersenyum hangat. Pagi yang dingin
mendadak jadi terasa ikut menghangat, sehangat senyuman Ibu
yang mengembang.
"Kamu sudah bangun to, Nduk. Ayo sini, duduk dekat Ibu. Biar
hangat badanmu."
Segera kuhampiri Ibu dan duduk tepat di sampingnya.
"Ibu."
Jeda sejenak. Aku bingung hendak dari mana memulai per
tanyaan yang semenjak aku memelekkan mata sudah memenuhi
kepalaku.
"Ada apa?"
"Nggg anu."
"Kamu mau bilang apa, Nduk? Kok seperti kebingungan begitu?"
Ibu mengamatiku sedemikian rupa, membuat aku menunduk
karena jengah.
"Aku ingin menanyakan soal bawahan Bapak itu lho, Bu."
"Bawahan yang mana?"
Alih-alih menjawab pertanyaan, aku malah memperhatikan
wajah Ibu. Jangan-jangan Ibu hendak menggodaku dengan
pertanyaan itu. Ya yang mana lagi kalau bukan yang tadi malam
datang ke rumah kita, Bu. Aku ingin melontarkan kalimat itu, tapi
entah kenapa aku malu. Ada rasa takut ketahuan, entah ketahuan
apa. Mmm bukan "entah", mungkin karena aku sebenarnya
sudah bisa mulai menduga-duga perasaan seperti apa yang saat ini
sedang menggoda hatiku, sama seperti pertanyaan Ibu tadi. Belum
sempat aku menjawab, Ibu sudah melanjutkan pertanyaannya.
"Oh, Nak Soerono? Apa yang ingin kamu tanyakan soal dia,
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiek?" tanya Ibu, kali ini kulihat senyum menggoda di wajah Ibu.
Aku pun tersipu dan jengah. Tanya apa ya? Kenapa aku jadi
grogi seperti ini? Lagi-lagi aku berbicara pada diriku sendiri.
"Bu, apa maksud Bapak mengenalkan aku dengan dia? Soalnya,
tumben, tidak biasanya Bapak seperti itu." Akhirnya meluncur
juga pertanyaan keramat yang sejak semalam mengusik tidurku.
Ada rasa lega, mungkin rasanya seperti orang yang baru sembuh
dari sakit gigi.
Ibu tak segera menjawab pertanyaanku. Kali ini raut wajahnya
tampak serius. Jarang sekali kulihat Ibu memunculkan raut wajah
seperti itu. Wah, perasaanku mulai jadi tak enak kembali. Kulihat
matanya malah menerawang jauh, entah memikirkan apa. Dingin
yang tiba-tiba menelusup menerpa kakiku, membuatku sedikit
menggigil di hawa subuh. Lekas kuangkat kedua kakiku dan
meletakkannya berlipat di bawah tubuhku, duduk di atas amben,
menanti jawaban dari Ibu.
Tampak Ibu menghela napas sebelum mulai bersuara. Terus
terang aku jadi tak tega. Aku jadi menyesal sudah membuat pagi
yang ceria ini berubah menjadi muram. Ada apakah gerangan?
"Tatiek, memang Bapak bukan tanpa alasan mengajak Nak
Soerono datang ke rumah ini dan memperkenalkannya kepadamu.
Bapak ingin menjodohkanmu dengan dia, Nak."
Kemudian, sunyi.
Aku terdiam. Ibu terdiam.
"Kenapa harus dia? Kenapa Bapak ingin menjodohkanku
dengan dia, Bu?" Tiba-tiba mulutku bersuara dengan sendirinya.
Hanya pertanyaan itu yang akhirnya mampu kulontarkan kepada
Ibu. Pagi ini ada begitu banyak jeda yang mengambang di antara
kami. Tidak seperti percakapan di hari-hari lain yang selalu sambungmenyambung seolah tanpa halangan dan tanpa beban.
"Nduk, kamu sudah dewasa, sudah lulus SMA. Sudah waktunya
kamu mulai memikirkan masa depanmu. Sebagai perempuan, masa
depan kita adalah menjadi seorang istri, dan kemudian menjadi
ibu. Kita tak bisa mengelak dari takdir itu." Ibu menghela napas,
kemudian menyambung kembali kata-katanya.
"Bapak khawatir melihat pergaulanmu dengan banyak teman.
Bapak ingin ada lelaki yang bisa menjagamu, menggantikan Bapak.
Soerono dianggap Bapak pas dan memenuhi kriteria yang Bapak
inginkan sebagai calon suamimu."
Aku mendongak dan menatap Ibu lekat-lekat.
"Tapi, aku nggak mau dijodohkan, Bu! Aku masih mau
melanjutkan kuliahku. Kemarin aku cuma cuti, sebentar lagi aku
mau neruske? dan belum mau menikah. Apalagi menikah dengan
dia, kenal juga nggak." Mulutku maju beberapa sentimeter,
memberengut kesal.
Ibu malah jadi senyum-senyum memandangku yang cemberut
seperti itu.
"Dengar, Bapak hanya ingin yang terbaik buatmu. Witing tresno
jalaran soko kulino. Nanti lama-lama kalau sudah kenal juga pasti
bisa suka. Contohnya, bapak ibumu ini. Dulu mana ada pacaran.
Dikenalkan, langsung disuruh nikah. Blas, hasilnya 10 anak dan
kami bisa saling mencinta, to?" Ibu terkekeh. Kekehannya lucu, mau
tak mau membuatku jadi tersenyum melihatnya. Entahlah, meski
terselip rasa masygul terhadap niat Bapak untuk menjodohkanku
dengan lelaki itu, namun perasaan yang muncul saat aku berada di
dalam satu becak yang sama dengannya tak mau berhenti bermain41
main di hatiku. Perasaan bahwa kelak dialah yang akan menjadi
pasanganku. Dan, entah kenapa, pagi pun kembali cerah.
JIKA ditanya apakah aku memiliki keinginan untuk melanjutkan
kuliah lagi setelah sempat terhenti selama enam bulan karena
kepergianku ke Malang, jawabanku tentu iya. Aku ingin melanjutkan
kuliahku yang sempat tertunda. Beruntung, karena waktu itu aku
sempat mengambil cuti dan tidak pergi begitu saja, sehingga
namaku masih tercatat di IKIP sebagai mahasiswi dan otomatis bisa
kembali melanjutkan kuliah seperti biasa.
Namun, dalam enam bulan ternyata segalanya bisa berubah.
Aku, yang semula tercatat sebagai mahasiswa IKIP di Jurusan
Bahasa Inggris, akhirnya memutuskan untuk pindah kampus demi
mengambil jalan pintas, yaitu masuk ke PGSLP (Pendidikan Guru
Sekolah Lanjutan Pertama), dan mengambil mata kuliah yang sama,
yaitu Bahasa Inggris. Mengapa aku memutuskan untuk pindah?
Tekadku masih sama seperti dulu. Sebisa mungkin aku tak ingin
menyusahkan kedua orang tuaku.
Dengan masuk PGSLP, secara otomatis waktu yang kubutuhkan
untuk kuliah dan lulus hanya satu tahun. Setelah itu, aku berhak
mengantongi surat izin untuk langsung mengajar. Artinya, aku bisa
segera mandiri dan lepas dari tanggung jawab kedua orang tuaku.
Aku sungguh beruntung karena tak mengalami kesulitan apa pun
berkaitan dengan kepindahanku dari IKIP ke PGSLP. Kedua orang
tuaku pun tidak melarang rencanaku tersebut. Maka, mulailah aku
kembali memasuki dunia kampus, tempatku akan menuntut ilmu
dan mengejar cita-citaku.
Kembali ke kampus, membuatku kembali bertemu dengan
Wawan, lelaki yang sempat dekat denganku pada awal-awal aku
baru menjejakkan kaki di kampus itu beberapa bulan lalu. Kami
sempat bertemu, meski rasanya kali ini menjadi agak kaku. Mungkin
karena sudah cukup lama kami tak bersua dan tak saling berkabar
apa pun. Satu hal lagi yang membuat pertemananku dengannya
menjadi renggang adalah karena sekarang kami kuliah di jurusan
yang berbeda. Alhasil, sangat sedikit waktu dan kesempatan bagi
kami untuk bertemu. Aktivitas dan rutinitas harian di kampus
yang tak sama pun membuat kami menjadi asing satu sama lain.
Ujung-ujungnya, setiap kali tanpa sengaja berpapasan, kami hanya
saling berpandang, untuk kemudian saling mengangguk tanda
menyapa tanpa suara, dan kembali meneruskan perjalanan masingmasing.
Sungguhpun terselip sedikit rasa gundah akan hubungan
kami yang harus berakhir seperti itu, aku tak merasa benar-benar
terganggu. Kuakui rasa sayang untuknya memang pernah ada,
namun perasaan yang nyatanya tak pernah berkembang ke arah
mana pun itu membuat aku lebih mudah untuk tak memikirkannya.
Apalagi aku pun kemudian disibukkan dengan tugas-tugas
kuliah, kegiatan di luar kampus, dan kesibukan di rumah yang tak
henti-hentinya menyita nyaris seluruh perhatianku. Impian utamaku
saat ini cuma satu, aku hanya ingin segera lulus agar bisa segera
bekerja dan membantu kedua orangtuaku.
Rahasia Jakarta
DJOGJAKARTA, 1970
anpa terasa, sebulan lagi aku akan menghadapi ujian akhir
masa perkuliahan. Impian dan aroma kebebasan seakan
sudah menari-nari di pelupuk mataku. Jika teman-temanku
mengaku resah karena tak lama lagi akan menghadapi ujian, aku
justru merasakan semangat yang membara setiap aku membuka
mataku pada pagi hari. Padahal setiap kali aku bangkit dari tempat
tidur, yang kulihat di meja kamarku hanyalah setumpuk diktat
yang semakin menggunung. Kuakui, di sela-sela semangat yang
menyala itu, ada juga rasa malas yang menyelinap sesekali. Tentu
saja kulawan setengah mati rasa malas itu. Aku hanya ingin lulus,
dan semoga dapat meraih nilai tertinggi. Itu saja.
Sementara itu, situasi rumah masih sama seperti hari-hari
kemarin. Setiap hari rumah ditingkahi suara berisik adik-adikku
yang bermain atau bahkan bertengkar. Selalu ada saja yang mereka
perebutkan, dan selalu aku sebagai kakak paling tua yang akan
melerai mereka, bahkan menyiapkan pembelaan jika Bapak dan Ibu
mulai pusing akibat ulah mereka. Sebandel apa pun adik-adikku,
tetap aku menyayangi mereka tanpa pernah kubedakan antara satu
dengan lainnya.
Namun, pada suatu hari, rutinitas yang sama dari hari ke
hari itu dipecahkan oleh satu kejadian. Saat itu, aku sedang asyik
belajar di kamar. Tiba-tiba dari arah ruang tengah, kudengar Bapak
memanggilku. Bergegas kututup buku yang sedang kupelajari
dan segera bangkit. Aku tahu Bapak paling tidak suka kalau
panggilannya tak digubris. Kami, anak-anaknya, sudah sangat
paham kalau kami harus langsung menghampirinya begitu ia
memanggil. Dalam situasi-situasi tertentu, aku sering kali tak
mampu menahan rasa sebalku pada karakter Bapak yang aku
sebut dengan istilah "tidak sabaran". Satu istilah yang belakangan
ternyata juga "dicapkan" padaku oleh adik-adikku dan aku sering
geli sendiri saat mendengarnya. Ya barangkali memang benar
pepatah bahwa buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya.
"Tatiek!" Suara Bapak mengagetkanku lagi.
"Iya, Pak. Sebentar!" sahutku setengah berteriak. Setengah
berlari aku keluar dari kamar dan menuju ruang tengah.
Deg! Jantungku mendadak seolah nyaris berhenti ketika kulihat
siapa orang yang sedang duduk bersama Bapak di ruang tamu yang
dipenuhi oleh barang-barang antik warisan keluarga. Mas Soerono,
bisikku dalam hati. Mau apa ia datang kemari? pikirku seketika.
Kembali, percakapanku dengan Ibu beberapa waktu lalu terngiang
di kedua telingaku.
"Ada apa, Pak?" tanyaku pelan, meski dengan napas yang
agak ngos-ngosan. Aku sama sekali tak berani melihat ke arah
Mas Soerono. Mungkin malu, mungkin gengsi, aku tak bisa men
deskripsikan perasaanku saat itu.
"Cepat kamu berkemas. Nak Soerono mau mengajakmu ke
Jakarta." Singkat Bapak berkata, namun efeknya membuatku kaget
setengah mati. Kali ini rasa kaget yang tak biasa.
"Ke Jakarta, Pak? Un un untuk apa?" sergahku kaget dan
terbata-bata. Aku lupa bahwa Mas Soerono sedang ada di depanku
dan barangkali sedang menatapku lekat.
"Sudah, tak usah banyak bertanya dulu. Nanti kamu juga tahu."
Ingin rasanya melontarkan banyak pertanyaan ketika itu.
Namun, meski ribuan tanya masih saja melesak-lesak di hati
menuntut jawaban, mau tak mau aku terpaksa menuruti perintah
Bapak. Setengah hati aku bangkit menuju kamar untuk bersiapsiap. Sungguh, aku sangat bingung akan situasi seperti ini. Seolah
aku dipaksa masuk ke dalam gua gelap tanpa aku bisa melihat
apa pun yang ada di dalamnya. Aku merasa kehilangan arah tanpa
mampu membaca keadaan. Bahkan, memutuskan untuk menuruti
kehendakku sendiri pun saat itu aku sama sekali tak mampu. Tak
bisa dipungkiri, ada juga rasa kesal dalam hatiku yang muncul
ketika itu. Aku tiba-tiba merasa seperti seorang Siti Nurbaya yang
pernah kubaca ceritanya di perpustakaan sekolahku.
CUKUP jauh perjalanan yang harus kami tempuh untuk sampai di
Jakarta. Dalam perjalanan, baru kutahu bahwa rupanya Mas Soerono
ingin mengajakku ke rumah kakaknya yang sudah bertahun-tahun
hidup di sana. Aku masih bingung dengan situasi ini. Untuk apa aku
diajak ke sana? Bukankah di antara kami tidak pernah atau boleh
dibilang belum ada hubungan apa pun?
Di antara kebingunganku itu, sepanjang jalan Mas Soerono
tampaknya berusaha menenangkanku. Ia sepertinya sangat tahu
bahwa aku bukanlah tipe perempuan yang bisa dengan mudah
mengiyakan sesuatu yang belum dipahami maksudnya. Mungkin
saja Bapak sudah menceritakan sekilas tentang siapa seorang
Tatiek. Mas Soerono juga beberapa kali mencoba untuk membuka
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
percakapan yang lebih pribadi sifatnya. Ia bertanya tentang kuliahku,
masa kecilku, sahabat-sahabatku, hingga mendengarkan ceritaku
tentang berbagai tingkah laku dan polah kedelapan adikku. Tak
sadar Mas Soerono sudah berganti posisi menjadi pendengar yang
baik. Dan ketika tersadar, aku merasakan mukaku memanas. Pasti
pada saat itu mukaku memerah karena Mas Soerono menanyakan
hal itu. Ah, kalau ingat akan hal itu, aku jadi malu sendiri.
Kuakui perjalanan panjang ini telah menumbuhkan sedikit
perasaan simpatiku terhadap lelaki berbadan kurus dan tinggi itu.
Di mataku, terlepas dari upaya Bapak dan Ibu untuk menjodohkan
kami berdua, Mas Soerono adalah lelaki sederhana yang baik. Ia
dewasa dan sangat pendiam. Beberapa kali tanpa sengaja kupergoki
ia tengah menatapku dalam diam.
Kami berangkat ke Jakarta dengan menaiki bus malam.
Jika sesuai jadwal, maka kami akan tiba di Jakarta siang hari.
Ketika malam semakin meninggi dan kami mulai lelah bercakapcakap, aku memutuskan untuk tidur saja. Apalagi baru setengah
perjalanan, seluruh tubuhku sudah terasa sangat pegal karena
kursi bus yang boleh dibilang jauh dari kata empuk. Dengan
sedikit basa-basi adat Jawa, aku pun pamit kepada Mas Soerono
untuk memejamkan mata.
Sepertinya, aku baru saja terlelap ketika tiba-tiba aku terbangun
karena merasa ingin buang air kecil. Sejenak aku tergagap, lupa
kalau aku sedang berada di atas bus bersama seorang lelaki yang
belum begitu aku kenal. Ketika itu, bus dalam keadaan gelap
gulita. Hanya ada satu lampu menyala redup di bagian depan
dekat sopir yang membawa bus dengan kecepatan lumayan tinggi.
Aku mengedip-ngedipkan mataku, mencoba beradaptasi dengan
cahaya yang sangat minim hingga mataku akhirnya mampu melihat
dalam kegelapan. Kutolehkan kepalaku, dan kulihat Mas Soerono
sedang terkantuk-kantuk, sementara penumpang lain terlelap
dalam pulasnya. Aku berusaha menahan rasa ingin buang airku
dan memutuskan untuk mencoba kembali tidur. Namun baru saja
hendak memejamkan mataku, tiba-tiba Mas Soerono menegakkan
tubuhnya dan memandang ke arahku.
"Kamu pegal, Dik? Ndak bisa tidur ya? Kedinginan?" tanyanya
penuh perhatian. Tanpa menunggu jawabanku, ia membetulkan
letak syal yang sejak tadi kupakai untuk menyelimuti tubuhku
melawan dinginnya angin yang masuk dari celah-celah jendela.
Aku hanya mampu menggelengkan kepala. Sungguh, aku
tersentuh mendapatkan perlakuan seperti itu. Ia mengingatkanku
akan sosok Bapak yang selalu penuh perhatian kepada Ibu,
aku, dan adik-adikku. Ah, cepat kutepiskan lamunanku sebelum
berkepanjangan ke hal-hal yang lain. Aku pun kembali tenggelam
ke alam mimpi, bertambah pulas diayun oleh jalannya bus yang
melaju menembus heningnya malam dan sedikit perasaan
berbunga-bunga yang tiba-tiba menyeruak.
Sungguh tak pernah sama sekali kusangka jika ternyata satu
rahasia besar menantiku di Jakarta. Setiba di Ibu Kota, Mas Soerono
mengajakku langsung menuju rumah kakaknya di bilangan
Jatinegara. Sebuah rumah mungil berhalaman mungil pula, namun
tampak rapi, bersih, dengan halaman yang dipenuhi tanaman dan
pepohonan. Di sana, aku diperkenalkan pada keluarga kecil yang
belakangan kutahu tak lain adalah kakak dari Mas Soerono. Mas
Soedarno namanya. Tapi, kami memanggilnya dengan sebutan Mas
Atmo. Dari pandangan pertama, aku sudah bisa menilai bahwa
laki-laki yang diperkenalkan kepadaku ini adalah seorang lelaki
ramah yang berpembawaan kalem dan sabar. Tubuhnya tak jauh
berbeda dari Mas Soerono. Yang membedakan barangkali pada
kerut-kerut halus di wajahnya dan beberapa helai rambut putih,
menjadi pertanda usia yang tak bisa dipungkiri sekaligus tak jarang
memperlihatkan beban hidup. Pada saat yang sama, aku juga
diperkenalkan pada istri Mas Atmo. Mbak Titik namanya. Sebelumnya
aku sempat mengira perempuan yang ada di hadapanku itu juga
adalah perempuan Jawa. Apalagi selama ini nama "Titik" yang aku
tahu identik dengan nama seorang perempuan keturunan Jawa,
entah itu Jawa Timur ataupun Jawa Tengah. Tapi, ternyata aku salah
besar. Pembawaannya yang lembut dan wajahnya yang bulat telur
nan manis itu ternyata asli Betawi alias Betawi tulen. Aku sempat
geli sendiri. Dan, tak butuh waktu lama bagiku untuk merasa akrab
dengannya seolah telah mengenalnya sejak dulu.
Di rumah Mas Atmo, aku merasa diriku disambut bagaikan
tamu agung. Hal itu jujur sempat membuat aku kikuk. Aku disuguhi
segala rupa makanan khas Jakarta yang belum pernah kucicipi
sebelumnya. Untung saja, baik Mas Atmo maupun istrinya mampu
membuat aku segera kerasan. Bagaimana tidak, tak seperti Mas
Soerono yang lebih banyak diam, Mas Atmo dan istrinya hampir
tak pernah membiarkan aku merasa sunyi. Ada saja obrolan yang
terlontar dari mulut mereka. Bahkan, Mbak Titik pun tak sungkan
menceritakan hal-hal keluarga besar mereka, terutama tentang
masa kecil Mas Soerono, hingga membuatku sempat tertawa
mendengarnya sekaligus membuat Mas Soerono sukses tersipu di
hadapanku.
Meskipun aku menikmati obrolan itu, aku merasa sangat
sangat lelah. Seakan tahu isi hatiku, tak lama kemudian Mbak
Titik mengajakku ke sebuah kamar yang sudah disiapkan untuk
tempatku tidur. Kamar itu sepertinya mereka siapkan khusus untuk
tamu karena begitu rapi dengan ranjang kayu berlapis seprai batik
yang tampak sangat nyaman. Begitu nyamannya hingga aku seakan
sudah melihat kasur itu melambai-lambaikan tangannya sejak aku
masuk tadi. Kuhirup udara kamar itu; wangi kayu. Ruangannya
memang tidak besar, tapi sang tuan rumah tampaknya tahu
bagaimana mengatur perabotan yang ada di dalamnya hingga tidak
terasa sumpek. Mbak Titik mempersilakan aku untuk beristirahat
melepas penat dan membaringkan tubuhku yang terasa amat
sangat lungkrah dan pegal.
"Tidurlah, Dik Tatiek. Nanti, kalau pegal dan capeknya sudah
hilang, Mbak bangunkan ya, kita makan siang. Atau, makan sore?
Pokoknya sebangunmulah. Anggap saja ini di rumahmu sendiri,
jangan sungkan ya," ujar Mbak Titik sambil meletakkan tasku di
samping meja hias yang terbuat dari kayu jati, persis di sebelah
ranjang.
Setelah mengucapkan terima kasih, juga tak lupa berpamitan
untuk beristirahat pada Mas Soerono, aku menutup pintu kamar,
dan segera mengganti pakaianku yang terasa lengket di tubuh
karena sudah sehari semalam berada dalam perjalanan. Tadi,
sempat terpikir olehku untuk mandi setibanya di rumah ini, namun
kelelahan yang luar biasa membuatku enggan beranjak dari kursi
dan kuputuskan untuk mandi nanti saja, sehabis bangun tidur.
Udara Kota Jakarta begitu lembap kurasakan. Panasnya
berbeda dengan panas yang biasa kurasakan di Kota Yogya. Di sini,
seolah angin pun enggan bertiup. Dengan cepat, pakaianku pun
bersimbah keringat, membuatku cukup sulit memejamkan mata,
meskipun sebuah kipas angin yang tergantung di langit-langit
kamar tampaknya sudah berusaha keras untuk membuat penghuni
kamar merasakan sedikit sejuk. Tapi setelah berulang kali membolakbalikkan badan karena masih merasa aneh tidur di rumah orang
lain, ditambah dengan udara yang panas, akhirnya tanpa sadar aku
terpejam juga. Aku terbang ke alam mimpi. Sebelumnya, sayup
kudengar di ruang tengah, Mas Soerono tengah berbincang dengan
kakak ipar perempuannya, entah sedang membicarakan apa. Aku
tak tahu, dan tak ingin tahu, tubuhku terlampau lelah, pikiranku
melayang jauh. Sesaat sebelum benar-benar jatuh tertidur, aku
sempat bertanya dalam hati, sedang apakah kedelapan adikku nun
jauh di Yogya sana?
AKU terbangun sore hari, dan sejenak kebingungan karena suasana
kamar yang terasa asing untukku. Rupanya matahari Jakarta sudah
menyurup, menyisakan jingga berkilau yang sinarnya mengintip
malu dari balik jendela kamar. Sepertinya aku tertidur lelap sekali
hingga tak menyadari waktu. Sepertinya tak ada yang berani
membangunkan tidurku.
Aku segera keluar kamar. Melihat aku bangun, Mbak Titik
langsung memintaku untuk mandi dan bersiap makan. Amboi,
saking capeknya, aku sampai lupa makan siang. Pantas perutku
terasa begitu lapar. Tak kulihat Mas Soerono di seluruh penjuru
rumah. Melihatku menoleh ke sana kemari seakan sedang mencari
sesuatu, Mbak Titik seolah paham karena ia langsung menjelaskan
bahwa adik iparnya sedang pergi mengajak keponakannya bermain.
Aku hanya bisa mengangguk perlahan, jiwaku sepertinya masih
enggan untuk benar-benar menyatu denganku. Aku merasakan
badanku masih sangat lelah.
Makan malam tampaknya dilakukan lebih cepat dari biasanya
karena sang tamu telah melewatkan waktu makan siangnya begitu
saja. Makan malam yang bagiku terasa hangat, meskipun jumlah
anggota keluarga yang duduk bersama di meja makan tidak seramai
di rumahku. Di sini hanya ada Mbak Titik, Mas Atmo, satu orang
anaknya yang masih kecil, aku, dan Mas Soerono. Semula aku merasa
bahwa suasana makan malam akan berlangsung lebih hening dari
makan malam yang biasa kurasakan di rumahku. Tapi, lagi-lagi aku
salah besar. Jumlah anggota keluarga yang mungil itu nyatanya tak
kalah ramainya ketimbang rumahku. Anak mereka lucu luar biasa.
Ada saja celotehnya sepanjang waktu makan malam, yang tak jarang
membuat kami para orang dewasa tertawa terbahak-bahak. Belum
lagi obrolan khas ibu rumah tangga yang terlontar dari mulut Mbak
Titik. Aku nyaris lupa bahwa baru tadi pagi aku mengenal mereka.
Selepas makan malam usai, aku membantu membereskan
piring-piring kotor dan membawanya ke dapur. Baru saja hendak
kucuci piring-piring itu, Mas Soerono menyusulku ke dapur.
"Dik, sudah, biarkan saja piring-piring itu. Nanti saja dicucinya.
Ayo ke teras, ada sesuatu yang mau aku bicarakan denganmu." Lirih
suaranya terdengar di telingaku.
Seketika tubuhku menegang merasakan ketidaknyamanan yang
entah apa. Dan entah kenapa, setiap kali Mas Soerono berbicara
dengan nada tegas, aku hanya kuasa menganggukkan kepalaku.
Satu hal ini sering kali membuatku kesal. Bagaimana tidak, seorang
Tatiek yang biasanya tak mudah menganggukkan kepalanya,
seakan mati kutu jika sudah berhadapan dengan pria yang satu ini.
Dengan terburu-buru, kucuci tanganku, mengeringkannya sekilas
dengan lap yang tergantung di samping wastafel, dan kuikuti
langkah kaki Mas Soerono ke teras depan.
Untungnya udara malam cukup sejuk kurasa, mengobati rasa
sumuk yang sejak tiba di kota ini mengikutiku ke segala arah.
Aku mengambil tempat duduk tepat di hadapan Mas Soerono.
Teras rumah ini sangat mungil, namun resik tertata seperti halnya
di dalam rumah. Kursi besi berwarna putih menjadi tempat bagi
penghuninya menikmati suasana malam, dihiasi taman yang juga
luasnya tak seberapa dengan harum melati menyeruak.
Aku tak sempat puas menikmati suasana karena hatiku sudah
teramat tegang, menanti hal apa yang akan dibicarakan oleh lelaki
yang malam itu tampak sedikit lebih murung dan tegang ketimbang
biasanya. Meski baru dua kali bertemu dan menatap langsung
wajah Mas Soerono dari dekat, aku menilai dirinya termasuk orang
yang cukup ramah dan berusaha menunjukkan sikap ceria di depan
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang lain. Wajahnya selalu penuh senyum, setidaknya saat kami
bertemu, meskipun sifatnya yang pendiam membuat bicaranya irit.
Malam ini, wajah penuh senyum itu seolah menghilang, digantikan
oleh wajah murung, seolah ada timbunan masalah yang sedang
menyesaki isi kepalanya. Sungguh, aku tak mampu menebak
masalah apa yang sekiranya tengah menggelayuti pikiran laki-laki
yang ada di hadapanku malam ini. Aku hanya mampu diam dan
menunggu, sama sekali tak berani untuk menebak.
Menit demi menit berlalu begitu saja dalam kebisuan. Bebe
rapa kali kudengar ia menghela napas panjang, seperti hendak
membuang beban di dada. Aku menatap lurus ke arahnya, kali ini
tanpa malu-malu. Rasa penasaran yang teramat besar akan apa yang
ingin dikatakan Mas Soerono membuatku melupakan sejenak rasa
malu itu. Aku kembali menjadi sosokku semula, seorang Tatiek, gadis
yang selalu ingin tahu tentang segala hal yang bagiku merupakan
misteri.
"Mas, mau membicarakan apa?" Akhirnya tak sabar kulontarkan
pertanyaan yang sejak tadi kutahan.
Mendapat pancingan pertanyaan seperti itu, Mas Soerono
kembali menghela napas seolah tengah mengumpulkan kekuatan
dan keberanian untuk berbicara. "Sungguh Dik Tatiek ingin tahu?
Apakah nanti kalau aku menceritakan sesuatu yang selama ini
belum Dik Tatiek ketahui, kamu ndak akan marah?"
Aku tertawa tertahan. "Mas Mas... ada-ada saja. Bagaimana
mungkin aku bisa tahu apakah aku akan marah atau tidak, lah tahu
persoalannya saja tidak. Makanya, ayo ceritakan dulu. Nanti baru
kuberi tahu apakah aku akan marah atau tidak," jawabku sedikit
mencoba berdiplomasi.
Malam itu aku merasakan suasana tiba-tiba semakin sunyi.
Apalagi tak kudengar suara apa pun dari dalam rumah. Sepertinya
keluarga Mas Atmo sudah tertidur. Tinggal kami berdua yang masih
terjaga, dengan perasaan masing-masing.
"Dik, sebenarnya ada sesuatu yang ingin sekali kuceritakan
padamu sejak dulu. Namun bapakmu, Bapak Mangkudiningrat,
melarangku untuk menyampaikan ini kepadamu."
Nah, nah, rupanya Mas Soerono mulai terbuka kepadaku.
Rasanya mulutku ingin langsung melontarkan pertanyaan,
tapi entah kenapa aku hanya bisa diam, menunggu kelanjutan
pembicaraannya. Aku pun mulai mendengar jantungku berdetak
dengan irama yang tak biasanya. Hal apa yang ingin ia ceritakan
namun dilarang oleh Bapak? Mengapa pula Bapak melarang Mas
Soerono menceritakannya kepadaku?
"Dik aku pernah menikah, namun beberapa waktu lalu
kami bercerai. Keluargaku muslim, aku muslim. Sampai saat ini aku
menganut agama Islam."
Satu pernyataan singkat yang keluar dari mulutnya itu ternyata
mampu membuatku teramat kaget. Meskipun sebelumnya aku
sempat bertanya-tanya pada diriku sendiri saat melihat Mas Atmo
dan istrinya salat bersama ketika Magrib, tapi, saat itu entah kenapa
aku sama sekali tak tergerak untuk mencari tahu apakah Mas
Soerono melakukan hal yang sama atau tidak. Bukannya agama
tak penting bagiku, tapi mungkin karena selama ini aku diajarkan
oleh keluargaku untuk memandang agama sebagai urusan pribadi
yang sama sekali tak bisa dicampuri oleh siapa pun yang ada di luar
pribadi itu.
Selanjutnya, yang ada hanya suara jangkrik dan sunyi yang
datang silih berganti. Baru saja aku hendak melontarkan kalimat,
Mas Soerono sudah mulai bercerita lagi. Bisa jadi ia hendak melihat
responsku terlebih dahulu. Selagi pikiranku bekerja lumayan keras,
telingaku mulai mendengar Mas Soerono menceritakan alasan
ia bercerai dari istrinya. Dari kalimat-kalimat yang terlontar, aku
menarik kesimpulan bahwa Mas Soerono bercerai karena sang istri
tidak mau mendampinginya sebagai seorang istri ke Irian, tempat ia
ditugaskan. Bukannya tak pernah mencoba, sebelumnya ia sempat
menjalani kehidupan rumah tangga dengan jarak berjauhan selama
beberapa tahun. Namun, suatu ketika saat ia pulang membawa
segunung rindu, alih-alih mendapatkan sambutan dari istri dan
anaknya, sang istri tidak ia jumpai di rumah mereka yang letaknya
berdekatan dengan rumah keluarga Mas Soerono di salah satu
daerah bernama Tepus yang terletak di Gunung Kidul. Istrinya
tenyata sudah beberapa bulan tidak lagi tinggal di rumah mereka.
Ia pulang ke rumah orang tuanya dengan membawa serta anak
perempuan mereka.
Masih tidak berprasangka buruk, Mas Soerono mencoba
menyusul mereka ke rumah sang mertua. Namun, apa yang terjadi
di rumah mertuanya ketika itu membuat batin Mas Soerono
terpukul sangat dalam. Sang istri memang menemuinya, namun
bukan untuk menuntaskan kerinduan di antara mereka yang
telah tersimpan sekian lama. Justru sebaliknya, istrinya malah
menuntut perceraian. Seolah tak cukup kabar mengejutkan itu
membuat Mas Soerono syok, istrinya juga mengaku bahwa selama
ditinggal suaminya bertugas di luar pulau, ia telah bertemu dan
tertarik dengan lelaki lain yang ia anggap memiliki segala-galanya
dibanding dengan seorang Soerono!
Ya, itu cerita yang terlontar dari mulut Mas Soerono. Entah
kenapa, ketika itu aku percaya bahwa laki-laki yang ada di hadap
anku ini tidak sedang berbohong. Bisa jadi mimik wajahnya ketika
bercerita panjang lebar tanpa satu kali pun coba kusela dan tekanan
pada suaranya yang membuatku yakin bahwa Mas Soerono tidak
sedang mengarang cerita dusta.
"Dik, pada saat saya sedang merasa putus asa dan nyaris gila
karena cobaan yang sedemikian berat hingga memutuskan untuk
tidak akan kembali ke tanah Irian, bapak, ya, Bapak Mangkudiningrat,
menyuruh saya untuk datang ke rumahnya, entah untuk keperluan
apa. Hari itu, ia hanya meminta saya untuk datang pada sore hari
ke rumahnya."
Sejenak, keheningan kembali menyeruak di antara kami. Hanya
desahan napas lelaki itu yang terdengar, sementara jantungku
sendiri rasanya berdetak tak keruan. Meskipun aku percaya dengan
semua cerita Mas Soerono tentang masa lalunya, tapi tentu masih
sulit bagiku untuk mencernanya dengan utuh.
"Saya yang sama sekali tidak mengerti mengapa atasan saya itu
memerintahkan datang ke rumahnya, terus mendesak Beliau untuk
menjelaskan sikapnya yang teramat misterius bagi saya saat itu. Baru
setelah saya desak, Bapak bercerita bahwa ia memiliki seorang anak
perempuan yang sudah dewasa dan hendak ia jodohkan dengan
saya. Bapak Dik Tatiek pula yang meminta saya untuk merahasiakan
soal status saya yang duda ini kepada Adik."
Aku sungguh tak menyangka mendengar pengakuan jujur
dari bibir Mas Soerono tersebut. Bapak? Yang selama ini senantiasa
mengajari kami tentang arti kejujuran justru meminta Mas Soerono
membohongiku, anak perempuannya? Apa alasan Bapak melakukan
semua itu? Mengapa Bapak tega melakukannya?
Lalu, Ibu, perempuan berhati malaikat itu, yang kusayangi siang
dan malam sepenuh jiwa, mengapa tega menyembunyikan rahasia
ini dari aku, anak perempuannya sendiri?
Seribu satu pertanyaan menyesak tak terbendung lagi.
Sedemikian kagetnya aku, hingga tak mampu berkata apa-apa
kepada Mas Soerono.
Melihat aku yang masih saja diam seribu bahasa, Mas Soerono
mengartikan diamku itu sebagai sikap menanti cerita selanjutnya.
Kemudian, mengalirlah lagi kisah lainnya, tentang anak perempuan
satu-satunya yang ia miliki dan teramat ia cintai, anak yang memang
selama ini ia inginkan dan ketika tahu istrinya mengandung
bagaikan dunia dan seisinya menjadi milik mereka. Lalu, tentang
perceraian dirinya dan sang istri yang saat ini sedang dalam proses.
Lalu ah, tentang banyak hal, yang terus terang tak sanggup
kucerna satu persatu malam itu. Semua kisah itu seakan tak mau
mampir barang sejenak dalam kepalaku alias masuk kuping kiri
dan langsung bablas keluar dari kuping kanan. Lama-lama, seakan
aku hanya bisa mendengar kata-kata tanpa huruf vokal. Sampai
tiba-tiba, sebuah kalimat yang terlontar dari mulut Mas Soerono
seakan menghentikan waktu.
"Maafkan saya, Dik. Saya tahu saya salah menyimpan ke
bohongan ini kepadamu dan tak jujur sejak awal. Saya cuma
tak ingin menolak perintah bapakmu. Namun, saya ternyata tak
sanggup menyimpannya lebih lama. Tersiksa rasanya, sungguh."
Tiba-tiba kurasakan suara Mas Soerono menjadi lebih berat.
Rupanya ia menyimpan beban yang berusaha disembunyikannya.
Kali ini ganti aku yang menghela napas.
"Lantas mengapa sekarang Mas menceritakan semua ini
kepada saya?" Tak tahan lagi keluar juga pertanyaan yang sejak tadi
kusimpan dalam-dalam.
Lelaki itu menatapku.
Kami terdiam dan hanya saling menatap.
"Karena setelah saya diperkenalkan kepadamu, saya tertarik
untuk mengenalmu lebih dalam. Rasanya perjodohan yang
direncanakan oleh bapak dan ibumu bukan rencana yang buruk.
Itu sebabnya, setelah memikirkan baik-baik dan tentunya meminta
pendapat orang tuamu, saya memutuskan untuk berterus terang.
Saya mengajakmu ke Jakarta, selain untuk membicarakan masalah
ini, juga agar kamu bisa mengenal salah satu kakak yang selama ini
memang dekat dengan saya dan tahu masalah ini sejak awal."
Sontak aku terkaget kembali. Jadi, selama ini Mas Atmo tahu
semuanya? Pantas sejak kami tiba di rumah ini pagi tadi, sikap Mas
Atmo terhadapku seperti terlalu akrab, seakan sudah menganggapku
sebagai bagian dari keluarganya.
Aku bingung hendak berkata apa lagi. Lidahku terasa kelu.
Kepalaku mendadak berat diberondong banyak cerita yang sama
sekali di luar dugaanku akan aku dengar malam ini, jauh dari
rumahku.
"Dik." Mas Soerono memanggilku lirih.
Aku diam. Tapi, jantungku berdetak semakin kencang. Perutku
pun tiba-tiba bergolak bukan karena mulas. Dalam kepalaku,
seakan banyak yang hilir mudik. Ingin rasanya kujentikkan jariku,
memerintahkan waktu berhenti sebentar, tapi siapa aku ini? Semua
yang ada di dunia ini, hanya akan manut pada perintah pemiliknya.
"Kalau Dik Tatiek mau dengan saya, saya rasanya bersyukur
sekali. Tapi kalau Dik Tatiek menolak karena status saya yang
sudah menduda, saya pun tidak apa-apa. Sungguh, saya tidak
ingin memaksakan kehendak kepada orang lain, apalagi terhadap
wanita sepertimu. Saya sadar, Dik Tatiek masih gadis dan belum
pernah menikah. Tentu sangat riskan bagi dirimu untuk menerima
saya, seorang duda yang sudah memiliki satu orang anak. Semua
keputusan saya serahkan kepadamu. Jika niat baik saya ini tidak Dik
Tatiek terima, saya mengerti. Kita tetap bisa berteman, ?kan?"
Rupanya, sampai di titik ini, aku melihat Mas Soerono sudah
pasrah terhadap apa pun keputusanku. Aku merasakan kebingungan
yang teramat sangat. Terus terang, aku tak tahu apakah harus bahagia
atau sedih mendengar semua penuturan sekaligus permohonan
dari laki-laki yang malam ini sukses membuat aku terenyuh melihat
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
raut wajahnya. Ujung-ujungnya, aku meminta untuk melanjutkan
pembicaraan esok pagi dan Mas Soerono mengiyakannya, apalagi
mengingat malam sudah sangat larut ketika itu.
KEESOKAN harinya, Mas Atmo dan sang istri yang rupanya sudah
tahu bahwa kejujuran sudah diungkapkan oleh adik kesayangannya
mengajakku berbincang-bincang. Semula aku mengira kakak Mas
Soerono itu akan langsung melanjutkan pembicaran pada malam
tadi, tapi ternyata tidak. Seperti biasa ia dan sang istri bercanda dan
melontarkan lelucon-lelucon yang lumayan meregangkan sarafku
semenjak pembicaraanku dengan Mas Soerono tadi malam. Boleh
jadi, Mas Atmo dan Mbak Titik dapat menangkap keteganganku
dan tak tega melihat tampangku pagi itu. Mereka mungkin melihat
mataku yang agak celong karena jujur aku tak bisa tidur nyenyak
semalam. Tadi malam aku juga sempat menangis. Aku tak tahu
apakah aku menangis bahagia atau justru menangis kebingungan
dengan jalan hidupku.
Setelah beberapa saat, mereka baru menceritakan keinginan
mereka untuk melihat Mas Soerono menikah dan memiliki seorang
istri yang baik. Kali ini, dari kacamata sang kakak, aku mengetahui
bahwa rupanya permasalahan keluarga adiknya itu sudah bukan
rahasia lagi bagi keluarga besar mereka. Hanya saja seluruh keluarga
besar memutuskan untuk tidak ikut campur terhadap permasalahan
tersebut, tidak ingin Soerono yang sedang bertugas di Irian menjadi
stres dan tidak fokus dalam bekerja karenanya.
Lagi-lagi, alih-alih merasa kasihan dan prihatin dengan semua
cerita yang terlontar dari mulut Mas Atmo, aku justru merasakan
Goosebumps Kembali Ke Horrorland Pendekar Bloon 12 Perjalanan Ke Alam Pendekar Slebor 50 Dewi Ular Hitam
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama