Ceritasilat Novel Online

Peluk Ia Untukku 2

Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S Bagian 2

kebingungan yang teramat sangat dalam menghadapi situasi ini.

Seolah aku terseret dalam sebuah masalah yang aku sendiri tidak

paham harus bagaimana mengatasinya. Sungguh aku betulbetul merindukan rumah saat ini, di mana aku bisa menceritakan

kebingunganku dan meminta pendapat Bapak dan Ibu, atau

mungkin pula melupakannya dengan bercanda bersama kedelapan

adikku. Alhasil, saat itu aku hanya bisa mendengarkan semua keluh

kesah dan kisah yang diungkapkan oleh Mas Atmo dan istri. Mas

Soerono sendiri setelah sarapan berpamitan untuk mengurus

beberapa hal menyangkut pekerjaannya. Dan di sinilah aku

pagi ini meraba-raba masa depanku.

Akhirnya, di hari-hari terakhirku di Jakarta, aku lebih banyak

diam dan berpikir. Penat rasanya kepalaku, apalagi membayangkan

bahwa sebulan lagi aku pun harus menempuh ujian akhir di kampus.

Jika saja boleh memilih, jujur aku tidak ingin memikirkan masalah

pernikahan dulu. Aku ingin fokus belajar demi menghadapi ujian

akhir agar dapat memperoleh nilai baik. Aku memiliki impian dan

cita-cita yang hanya dapat kuwujudkan jika pendidikanku dapat

kuselesaikan dengan baik.

Namun, apa mau dikata, kedua orang tuaku rupanya memiliki

rencana lain terhadap anak perempuannya ini. Mungkin idenya

datang dari Bapak, yang tampak begitu mencemaskanku sejak

aku beranjak dewasa. Aku sudah merasakan hal itu jauh sebelum

aku berangkat ke Malang beberapa waktu lalu. Tapi, mungkin pula

mereka beranggapan bahwa dengan menikahkanku, tanggung

jawab mereka akan tuntas dan beralih kepada suamiku kelak. Jikalau

dugaanku yang terakhir yang benar, aku tak akan menyalahkannya.

Toh jika kupikir dengan hati yang lapang dan ikhlas, tujuan dan

keinginan mereka tersebut sejalan dengan keinginanku untuk

segera mandiri agar tidak lagi menjadi beban bagi kedua orang

tuaku. Hanya saja, solusi yang kami pilih berbeda. Aku menilai

bahwa jalan keluar terbaik bagiku adalah lulus sesegera mungkin

dan mencari kerja agar dapat hidup mandiri di atas kakiku sendiri.

Sementara, orang tuaku beranggapan bahwa jalan keluar terbaik

bagiku adalah menikah dengan lelaki pilihan mereka hingga mereka

tak perlu mencemaskan masa depanku lagi.

Jelang kepulangan kami keesokan harinya ke Kota Gudeg, entah

kenapa aku merasa sudah waktunya bagiku untuk memberikan

keputusan kepada Mas Soerono. Aku ingin masalah ini cepat

terselesaikan dengan baik. Kuajak Mas Soerono untuk berbincang

pada malam harinya. Kali ini dengan secangkir teh panas yang

kubuat dan kuhidangkan sendiri untuknya, seperti biasa dengan

gula yang kupisahkan ke dalam cangkir khusus supaya ia bisa

menentukan sendiri seberapa banyak takaran gula yang ia inginkan

di dalam tehnya.

"Mas, aku sudah siap memberikan jawaban kepadamu," ujarku

membuka percakapan di antara kami. Mas Soerono yang malam

itu wajahnya telah kembali segar dan penuh senyum, menatapku.

Matanya menyiratkan keingintahuan yang tinggi atas keputusan

yang ingin segera kusampaikan kepadanya.

"Jadi, bagaimana, Dik?" tanyanya.

Duh, mengapa jantungku berdentum-dentum seperti ini?

Jujur aku sama sekali belum pernah merasakan jantungku berdetak

sekeras ini sebelumnya, seumur hidupku. Baru kali ini pula aku

dihadapkan pada situasi yang aku tahu akan mengubah jalan

kehidupanku di depan sana, apa pun keputusan yang akan kuambil.

Semua perlu perhitungan dengan kehati-hatian, tak bisa diputuskan

begitu saja. Masa depanku, harus kutentukan, justru pada saat aku

sedang berada ratusan kilometer jauhnya dari rumah. Kulirik cepat

wajah Mas Soerono yang tampak menegang, berubah 180 derajat

dari wajahnya sebelum aku melontarkan kalimat pembuka tadi.

"Aku tidak bisa menerima lamaranmu, Mas. Maaf."

Akhirnya, hanya kalimat itu yang mampu terucap dari mulutku

sebelum kutundukkan kepalaku dalam-dalam, tak sanggup untuk

melihat sinar kekecewaan yang pastinya akan tersirat dari kedua

bola mata lelaki di hadapanku itu.

Hening.

Semenit.

Dua menit.

Nyaris sepuluh menit berlalu, dan Mas Soerono belum meng

ucapkan sepatah kata pun. Aku bingung harus menjelaskan apa.

Bagiku, rasanya tak perlu penjelasan untuk keputusan yang telah

kuambil itu. Tentu ia sudah sangat mengerti risiko seperti apa

yang harus dihadapi ketika memutuskan untuk menerima rencana

perjodohan yang diatur oleh bapakku bagi kami berdua. Tentu pula,

ketika ia memutuskan untuk berterus terang kepadaku tentang

statusnya yang sudah menduda, ia sudah mempersiapkan diri

untuk menerima segala kemungkinan yang akan terjadi, termasuk

kemungkinan terburuk.

"Maafkan aku, Mas. Semua ini bukan semata-mata karena

statusmu yang sudah bercerai dan menduda. Justru aku mengagumi

keterusteranganmu. Namun, saat ini terus terang aku masih ingin

kuliah dan masih belum memikirkan hal lain selain itu. Aku punya

cita-cita dan mimpi yang ingin kuwujudkan terlebih dahulu sebelum

aku menikah dan berumah tangga. Aku harus menyelesaikan ujian

akhir satu bulan lagi untuk kemudian bekerja."

Ganti kali ini Mas Soerono yang sepertinya tak mampu

mengucapkan satu patah kata pun. Sebagai lelaki, kulihat ia

berusaha untuk menegarkan hatinya. Aku tahu, ia baru saja lepas dari

nyeri luar biasa yang terjadi dalam hidupnya akibat pernikahannya

yang gagal, yang menyebabkan dirinya harus terpisah dari anak

perempuannya.

"Baiklah, Dik. Saya menghormati apa pun keputusanmu. Saya

mengerti jalan yang kamu ambil. Kita tetap dapat menjadi kawan

baik mulai hari ini. Saya harap, kamu takkan sungkan kepada saya."

Aku lega mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Mas

Soerono malam itu. Sebuah beban amat berat seolah terangkat

pelan-pelan dari kedua bahuku. Entah apa yang harus aku

jelaskan kepada Bapak dan Ibu di Yogya besok. Kuputuskan untuk

memikirkannya besok saja saat sudah mencapai Kota Yogya. Saat

ini aku hanya ingin merasakan sejenak kelegaan dalam hatiku.

Setidaknya satu keputusan mahapenting telah kuambil, tanpa saran

dan bantuan dari siapa pun. Mungkin, aku juga telah mengecewakan

Mas Atmo yang begitu berharap aku mau menerima lamaran

adiknya. Sedikit rasa menyesal dan bimbang tiba-tiba menyeruak

dalam dada, apakah keputusan yang kuambil ini benar? Ya Tuhan,

sebegitu sulitnyakah untuk memutuskan satu hal dalam kehidupan?

Keesokan harinya, kami bersiap untuk kembali menempuh

perjalanan panjang menuju kota kelahiranku. Aku sudah tak sabar

hendak kembali pada aktivitasku di kampus, tak sabar untuk kembali

menekuni buku-buku yang teronggok dan kutinggalkan begitu saja

di atas meja kala diperintahkan oleh Bapak untuk berkemas menuju

Jakarta. Pendek kata, aku siap kembali menjadi Tatiek Lidwina yang

penuh semangat mengejar cita-cita.

Mas Soerono tampaknya sudah menerima sepenuhnya

keputusan yang kuambil, terbukti dari sikapnya terhadapku yang

seolah tanpa beban. Kami menjadi lebih akrab setelah empat hari

berada di Ibu Kota, dan kuharap kami memang akan bisa menjadi

teman baik pada masa-masa mendatang. Bahkan tak menutup

kemungkinan, aku bisa menganggapnya sebagai seorang kakak

lelaki yang selama ini tak pernah kumiliki.

Setelah berpamitan kepada seluruh anggota keluarga di Jakarta

dan setelah banyak janji dan basa-basi terlontar di udara, akhirnya

aku dan Mas Soerono pulang kembali ke Yogyakarta tercinta. Pulang,

dengan beban yang telah terangkat sepenuhnya dari bahu kami

berdua. Pulang, dengan keyakinan dan kesiapan untuk menghadapi

jalan kami di depan sana yang akan kami tempuh sendiri-sendiri.

Dalam perjalanan, lagi-lagi aku diingatkan bahwa aku harus

dapat memberi penjelasan yang sejujur-jujurnya kepada kedua

orang tuaku. Tapi, pikiranku seperti malas untuk diajak berdiskusi.

Ah, nanti sajalah.... Aku yakin kedua orang tuaku akan mengerti dan

menghargai keputusanku ini.

Yakin, Tuhan akan menggenggamku erat di dalam kasih-Nya.

Kejutan Menanti

ecak yang mengantarkan kami berdua akhirnya tiba di

depan rumahku, rumah yang rasanya telah sangat lama

kutinggalkan meskipun nyatanya hanya empat hari saja aku berada

di Jakarta. Dengan sekantong plastik penuh oleh-oleh yang kubawa

dari Jakarta untuk kedelapan orang adikku, rasanya tak sabar aku

bertemu dengan mereka dan melepas rindu.

Pagar rumah sudah terlihat dari kejauhan. Aku sedemikian

gembira berada kembali di Yogya, tempat keluargaku berada.

Rindu tak tertahankan rasanya siap meluncur keluar dari dalam diri.

Bagaikan bocah kecil, kepalaku menjulur-julur keluar dari dalam

becak, mencari-cari sosok adik-adik yang biasanya pada pagi hari

seperti ini sudah sibuk berpamitan hendak berangkat ke sekolah.

Ketika becak berhenti tepat di depan pagar rumah, aku ter

sentak kaget.

Di halaman depan rumah, tampak beberapa orang sedang

lalu-lalang mengangkat sesuatu. Sebuah tenda besar berwarna

putih, seperti tenda yang biasa dipakai di acara hajatan kelurahan

terpasang dari ujung ke ujung. Ada acara apa lagi ini? batinku dalam

kebingungan.

Aku turun dari becak perlahan sambil memegang erat tas

dengan kedua tanganku. Kulirik Mas Soerono yang sedang

membayar becak dan kemudian berdiri di sisiku. Kami sama-sama

tegak menatap ke halaman rumah yang ramai, riuh rendah dengan

suara orang yang saling mengobrol sambil bekerja. Ada yang

sedang mengikat tali tenda, ada yang sedang menumpuk kursi-kursi

di sudut sana. Ah, ada apa ini? Lagi-lagi hanya kalimat tanyaku itu

yang mampu terlontar.

Bergegas kubuka pagar dan setengah berlari menuju ke dalam.

Tak kuhiraukan Mas Soerono yang mencoba mengikuti langkahlangkah kakiku yang bersegera mencari-cari Ibu.

"Ibuuu Ibuuu!" teriakanku menggema di ruang tengah.

Ibu tergopoh-gopoh keluar dari dapur dan menghampiriku.

"Tatiek, sudah pulang kamu?!Ya ampuun, Nduk, Ibu kangeeen!"

seru Ibu sambil memelukku erat. Aku balas memeluknya lebih erat.

Namun kegiatan saling melepas rindu itu mau tak mau kuhentikan

sementara. Ada hal lain yang lebih mendesak untuk kutanyakan.

"Mana Bapak, Bu? Di rumah kita mau ada acara apa? Kok pasang

tenda segala? Kok saya ndak dikabari to?"

Ibu tersenyum.

"Lho piye, bapakmu ?kan jam segini biasanya sudah ada di

kantor, Nduk."

"Oh iya, Bu. Saya lupa. Lantas, semua ini." Kalimatku meng

gantung, menatap ke halaman rumah. Tampak Mas Soerono

berdiri canggung di depan pintu karena rupanya aku lupa untuk

mempersilakannya masuk ke dalam.

Ibu mengusap punggungku penuh cinta.

"Hari Minggu nanti kita akan hajatan." Pendek saja jawaban Ibu

atas berondongan pertanyaanku.

"Iya, saya tahu. Hajatan apa, Bu? Dua hari lagi, to? Kenapa saya

ndak diberi tahu?"
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebuah senyum penuh misteri kembali menghias bibir Ibu.

"Ya hajatan pesta pernikahanmu dengan Nak Soerono, Nduk.

Apa Mas-mu itu tidak memberitahukanya kepadamu?" Ibu kemudian

menatap Mas Soerono yang menjadi salah tingkah.

Ya Tuhan, jadi ini rencana mereka bertiga? Bapak, Ibu, dan Mas

Soerono? Diam-diam ternyata selama ini mereka telah memutuskan

untuk menikahkan aku dengan Mas Soerono, dan kepergianku ke

Jakarta adalah bagian dari rencana tersebut.

Aku terkejut bukan kepalang. Siapa yang tidak syok setelah

berhari-hari meninggalkan rumah, tahu-tahu ketika kembali sebuah

pesta pernikahan telah dipersiapkan dengan sedemikian matang

oleh orang tuaku. Gemetar, aku memutuskan untuk duduk karena

kedua lututku rasanya lemas, tak sanggup menopang tubuhku untuk

berdiri. Ibu gegas meraih tas berisi pakaianku dan plastik oleh-oleh,

kemudian membawanya masuk ke ruangan dalam. Lidahku kelu,

tak sanggup rasanya menerima kejutan demi kejutan yang

menghampiriku berturut-turut selama satu minggu belakangan.

Mas Soerono yang rupanya maklum atas kondisiku yang masih

syok memutuskan untuk masuk dan duduk di sebelahku tanpa

kupersilakan. Aku hanya mampu menatapnya sedemikian rupa,

dengan hati yang kacau-balau. Skenario macam apa ini?

"Dik, maafkan aku. Aku lupa memberitahumu. Sungguh, aku

tak sengaja seperti ini. Seharusnya ketika di Jakarta, aku ceritakan

kepadamu perihal rencana Bapak untuk menikahkan kita sepulang

dari sana. Bapak dan ibumu yang merencanakan semua ini. Aku

diminta untuk mengajakmu ke Jakarta pun untuk menceritakan

statusku, sekaligus memberitahukan rencana ini. Maaf, penolakanmu

atas lamaranku di Jakarta sama sekali tak pernah aku sangka."

"Jadi, bagaimana ini, Mas?" Terbata aku bertanya padanya,

rasa-rasanya mataku mulai menghangat. Kalau tak ingat di rumah

ini banyak orang yang kukenal, mungkin aku sudah menangis

sejak tadi.

Tanpa sadar, kubiarkan Mas Soerono menggenggam kedua

tanganku yang sudah terasa dingin sejak tadi.

"Dik, andai kamu tahu, aku sungguh ingin menikahimu dan

menjadikanmu sebagai istri. Bukan karena perjodohan ini, tapi

karena memang aku sudah tertarik padamu sejak pertama kali

melihatmu, di sini, di kursi yang sedang kita duduki ini. Jika

memang cinta bisa datang secepat itu, aku akui, aku mencintaimu.

Entah aku tak tahu apakah yang kurasakan ini adalah cinta atau

bukan, tapi aku sayang padamu. Aku ingin kamu mendampingiku,

menjadi istriku, seumur hidup. Tidak untuk saling meninggalkan,

namun untuk saling menemukan. Tidak untuk menjadikan

salah satu lebih tinggi derajatnya dari yang lain, namun untuk

sama-sama belajar bahwa pernikahan adalah sebuah ikatan suci

yang harus dijalani dengan orang yang tepat. Dan aku tahu,

kamulah orangnya. Tapi, aku juga tahu bahwa keputusanmu telah

kamu ambil saat kita di Jakarta. Aku tak berhak memaksamu, tak

juga ingin memohon kepadamu untuk menerima pinangan yang

tak pernah kamu inginkan." Itu kalimat terpanjang yang pernah

diucapkan oleh seorang Soerono sepanjang aku mengenalnya.

Tanpa memberiku kesempatan untuk menjawab, ia melanjutkan

kata-katanya.

"Andai saja aku bisa meyakinkanmu untuk menerimaku sebagai

seorang suami, aku berjanji untuk tidak akan pernah menyakitimu

seumur hidupku, menjadikanmu sebagai satu-satunya wanita

yang kusayangi, dan berjanji akan bertanggung jawab penuh

atasmu. Namun, aku juga sangat sadar akan janji yang telah kita

ikrarkan di Jakarta untuk menjadi kawan biasa. Karenanya, aku

menyerahkan semua keputusan kembali kepadamu. Sungguh, aku

pun tak menyangka akan secepat ini orang tuamu mempersiapkan

segalanya. Kupikir kupikir sekembali dari Jakarta, kita memiliki

waktu untuk menjelaskan semuanya kepada mereka."

Perlahan Mas Soerono melepaskan genggaman tangannya,

kemudian menunduk sambil meremas-remas rambutnya.

Aku hanya mampu terdiam.

Kemudian, sekelilingku seolah berputar dan menjadi gelap.

Dan, aku tak ingat apa-apa lagi.

Pernikahan Itu

ini hari itu aku terbangun dengan sekujur tubuh yang

terasa sangat lemah. Rasanya, ingin aku terus berbaring dan

memejamkan mata, melupakan segala hal yang terjadi belakangan

ini dalam kehidupanku yang terasa susul-menyusul, penuh kejutan.

Dua hari yang penuh dilema, penuh air mata.

Tak henti aku menangis, meski Bapak dan Ibu berusaha

menenangkanku dengan seribu satu cara dan beribu-ribu kalimat

manis penuh kesejukan. Aku tak membenci mereka, aku hanya

membenci diriku yang tak mampu menolak keinginan kedua

orang tuaku untuk menikahkan aku dengan lelaki pilihan mereka.

Zaman memang sudah semakin maju, namun rupanya adat masih

mengungkungku sedemikian rupa. Aku, anak perempuan tertua

mereka, yang selama ini selalu merasa diberi kebebasan untuk

menentukan jalan hidup dan masa depanku sendiri, nyatanya

saat ini bahkan tak kuasa menentukan sendiri calon suami yang

diinginkan untuk mendampingi seumur hidup.

Tak hendak kusesali nasib, tak hendak kusalahkan takdir, pun

tak ingin aku menyalahkan Mas Rono, Bapak, dan Ibu, ketika pada

akhirnya aku menerima keputusan Bapak untuk menikahkanku

dengan lelaki pilihannya. Di sela jeritan hatiku yang merasa ingin

memberontak namun tak kuasa, aku berusaha menyelipkan sedikit

pemakluman bahwa Bapak, seperti juga bapak-bapak lainnya, pasti

tahu yang terbaik untuk anak perempuannya. Tak ada orang tua

yang hendak menjerumuskan anaknya ke dalam jurang kenistaan

dan ketidakbahagiaan hidup. Tak ada, kucoba untuk meyakinkan

diriku terus dengan kata-kata itu.

Kesibukan tampaknya mewarnai dunia di luar sana, di luar

kamarku. Suara-suara orang sibuk bercakap-cakap di dapur

sayup-sayup sampai ke telingaku yang masih meringkuk di

pembaringan. Tapi sungguh, aku tak ingin tahu apa yang sedang

terjadi saat itu.

"Nduk, ayo bangun. Sebentar lagi Bude Parni sampai, lho. Kamu

harus siap-siap." Tiba-tiba suara lembut Ibu terdengar begitu dekat.

Aku membalikkan badan ke arah sumber suara. Ibu duduk di tepi

ranjang dan menatapku lembut.

"Bu," setengah mengeluh aku berusaha duduk.

Ibu mengusap kakiku.

"Ini hari besarmu, kamu harus jadi wanita paling cantik hari ini.

Ayo, jangan sedih, kehidupan baru akan kamu jelang mulai hari ini,

Nduk. Ibu mendoakanmu. Yakinlah atas takdir Tuhan."

Hari itu, aku merasa setengah sadar. Nyawaku entah berada di

mana. Aku didandani bak seorang putri raja dengan baju pengantin

khas Yogyakarta. Kuperhatikan diriku di depan cermin. Hari itu

aku melihat Tatiek yang lain dalam balutan baju berwarna hitam

dengan benang-benang emas yang menjadi ornamennya. Aku

hampir tak mengenali wajahku sendiri. Pantas saja beberapa orang

yang melihat aku melontarkan kata "manglingi" alias benar-benar

berubah, dalam artian yang positif dan menyenangkan tentunya

bagi perempuan mana pun.

Kuperhatikan kedelapan adikku memakai pakaian terbaik

mereka. Sejenak aku kagum dengan kedua orang tuaku yang dalam

waktu singkat dapat mempersiapkan semua ini. Mungkin untuk

anak tercinta tak ada yang mustahil bagi mereka, dan mengingat

hal itu, tanpa terasa air mataku menggenang. Kucoba setengah

mati untuk menahan air mataku jatuh agar tidak merusak riasan di

wajah. Dadaku menyesak, betapa aku semakin tak tahu bagaimana

harus membalas semua yang aku terima pada kedua orang tuaku

yang sangat kucintai itu.

Tak lama kemudian, aku diberi tahu bahwa rombongan keluarga

besar Mas Soerono diperkirakan akan tiba pukul delapan pagi.

Tiba-tiba aku diliputi kegelisahan. Jantungku tak henti-henti bertalu,

hatiku... ah, beribu kecamuk meraja di dalamnya. Mengingat Mas

Soerono masih berstatus seorang muslim, meskipun ia telah setuju

untuk berpindah keyakinan seperti permintaan Bapak, pernikahan

kami rencananya hanya akan dilaksanakan di catatan sipil, meskipun

tetap harus meminta izin dispensasi dari pastor.

"Pengantin datang! Pengantin datang!" Aku dikagetkan oleh

suara Totok, adikku, yang memenuhi seluruh ruangan. Semua

seketika mendadak riuh. Aku gemetar. Sebentar lagi statusku

sebagai seorang perempuan bebas akan berganti menjadi seorang

istri, istri dari lelaki yang sama sekali belum pernah aku kenal baik

sebelumnya.

Setelah sebelumnya waktu berjalan begitu lambat, begitu

kulihat Mas Soerono datang disertai keluarganya untuk meminangku,

detik demi detik tak terasa lagi. Semua seolah berputar dengan

begitu cepat hingga bunyi gamelan, riuh tetangga dan keluarga

yang berdatangan, dan suara-suara lain tak lagi bisa kudengar jelas.

Sampai kemudian aku dapat mendengar suaraku mengatakan "iya,

saya bersedia".

Aku, Lidwina Tatiek Mangkudiningrat, akhirnya resmi menjadi

istri dari Mas Soerono lewat sebuah upacara pernikahan yang

begitu sederhana namun terasa sakralnya. Aku sempat meneteskan

air mata kala Mas Rono, begitu aku memanggilnya kemudian,

mengucapkan janji setia dengan teramat lancar dan tegas. Sungguh,

entah kehidupan seperti apa yang kelak akan aku jalani bersama

lelaki ini. Cinta itu belum lagi datang menghampiri hatiku, meski

aku yakin ada cinta yang ia miliki untukku.

Bapak, Ibu, dan kedelapan adikku tampak begitu bahagia di

hari pernikahanku. Aku pun tentu saja bahagia melihat mereka

berbahagia seperti itu. Rasanya, pengorbananku tak sia-sia. Ya,

kuakui aku memang terlalu takut dan tak berani menolak perintah

Bapak untuk menikah. Bukan takut dimarahi seperti ketika

adik-adikku berbuat onar, tapi aku teramat sangat takut menyakiti

Bapak dan Ibu yang sangat kucintai. Aku takut melukai hati mereka.

Saat ini aku hanya berharap tekadku untuk memulai hidup baru

atas restu kedua orangtua tak akan sia-sia begitu saja.

Tuhanku, restui perjalananku kali ini.

Jadikan pernikahan kami penuh berkah dan bahagia.

Tumbuhkanlah cinta di hatiku untuk suamiku....

Ribuan doa terlantun bersama airmata yang kuteteskan

diam-diam.

SELANG dua hari setelah pesta pernikahan digelar, Mas Rono sakit

dan terpaksa harus menjalani rawat inap di rumah sakit. Sebagai

seorang perempuan yang sedang belajar menjadi istri yang baik,

aku terus mendampinginya. Sakit Mas Rono itu sesungguhnya

merupakan puncak dari kelelahannya selama ini. Sebelum menikah,

Mas Rono telah cukup lama bekerja di Irian, di pedalaman dekat

puncak Jayawijaya. Tiga bulan sebelum ia pulang ke Yogya dengan

niat untuk menjemput anak dan istrinya dan membawa mereka ke

Irian, di sana terjadi bencana kelaparan. Tidak ada makanan yang

bisa dimakan, bahkan sepotong ubi pun yang biasanya menjadi

makanan pengganti di sana tidak ditemukan. Mas Rono berjuang
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk terus bisa bekerja sambil menahan lapar dari hari ke hari.

Ndilalah tragedi itu datang justru ketika ia telanjur menandatangani

kontrak dengan kantor tempatnya bekerja, di mana ia diharuskan

untuk membawa keluarganya turut serta tinggal di Irian. Ditambah

lagi, kepulangannya ke Yogya hendak menjemput keluarga tercinta

justru dibalas dengan kekecewaan yang teramat mendalam,

mengetahui sang istri yang akhirnya menuntut cerai dan sempat

harus memperebutkan hak asuh anak. Semua itu datang susulmenyusul. Meski kemudian diakhiri dengan kisah manis yaitu

sebuah pernikahan, Mas Rono tampaknya tak sanggup menahan

kelelahan yang sebelumnya sudah menimpanya.

Selama Mas Rono dirawat di rumah sakit, selama itu pula aku tak

beranjak dari sisinya. Terus terang, saat itu aku tak bisa menentukan

apakah semua yang kulakukan itu dilandasi oleh sebuah perasaan

bernama cinta atau bukan. Jujur, aku tak tahu. Yang aku tahu

adalah aku harus menjalankan tugasku sebagai seorang istri untuk

merawatnya dengan baik. Ia suamiku sekarang. Suami yang harus

aku openi dengan sebaik mungkin. Selain itu, barangkali perasaan

lainnya adalah perasaan tak tega melihat Mas Rono yang biasanya

tegap dan kuat terbaring lunglai dan tak berdaya.

Pada saat yang bersamaan, aku juga sebenarnya sedang gelisah

terkait ujian akhir di kampus. Selangkah lagi aku akan menyelesaikan

studiku, sesuatu yang selama ini selalu menjadi impianku. Aku

gelisah karena aku belum tahu bagaimana nasibku kali ini. Apakah

aku akan dapat mengikuti ujian akhir setelah resmi menjadi istri dari

Mas Rono? Ataukah, Bapak akan memintaku untuk berhenti kuliah

yang juga artinya menghentikan cita-cita yang kubangun siang dan

malam? Perkara yang satu ini masih jadi tanda tanya yang sangat

besar bagiku dan terus terang membuatku sulit tidur.

SUDAH hampir satu minggu ini, aku melakukan aktivitas yang

hampir sama, yaitu menemani Mas Rono di rumah sakit setelah

sebelumnya menyelesaikan tugasku sebagai mahasiswa di kampus.

Ternyata Mas Rono terlalu lelah dan butuh istirahat total tidak hanya

satu atau dua hari. Menurut dokter yang menanganinya, kekurangan

gizi selama bertugas di Papua menjadi salah satu penyebab Mas

Rono jatuh sakit.

Siang itu, rupanya tak seperti biasanya. Sesampai di kamar

tempat Mas Rono dirawat, aku kaget karena melihat Bapak ada di

sana. Bukankah seharusnya Bapak ada di kantor? batinku sedikit

cemas. Tak bisa kuterka apa alasan Bapak ada di rumah sakit

pada waktu yang tidak seperti biasanya. Pasalnya, Bapak, Ibu, dan

adik-adik yang sudah besar biasanya datang ke rumah sakit pada

sore hari, kala waktu jenguk tiba, untuk sekadar menanyakan kondisi

dan mengantarkan rantang berisi makanan untukku.

Kuletakkan tas dan diktat kuliahku di meja kecil di samping

ranjang Mas Rono, mencium tangan suamiku, baru kemudian

mencium tangan Bapak sebagai tanda baktiku sebagai anak.

"Tumben Bapak kemari siang-siang begini. Bapak ndak

ke kantor?" tanyaku, sambil mengupas sebutir jeruk dan me

nyodorkannya pada Mas Rono. Meski tubuh rasanya lelah setelah

sejak pagi hingga siang kuliah, terus kuingat nasihat Ibu bahwa

seorang istri haruslah berbakti terhadap suami dan mendahulukan

kepentingannya di atas diri sendiri. Itulah ciri perempuan Jawa,

menurut ibuku. Patuh dan taat pada suami, bukan berarti

menempatkan diri di bawah kakinya, melainkan berusaha

menyenangkan dan membahagiakan hatinya meski sebanyak apa

pun aktivitasku yang melelahkan dan menyita tenaga dan pikiran.

Tak lupa sebelumnya kusodorkan pula sebutir jeruk yang telah

kukupas kepada Bapak, namun Beliau menggeleng.

"Bapak cuma mampir sebentar. Ada hal yang ingin Bapak

sampaikan kepada kalian." Jawaban Bapak membuatku meneleng

kan kepala tanda heran. Sepertinya Bapak membawa kabar yang

serius. Mas Rono yang sejak tadi hanya diam memberi tanda

kepadaku untuk mengambilkan segelas air bening yang ada di

meja. Setelah kupenuhi permintaannya, kembali aku memfokuskan

diri kepada berita yang hendak disampaikan oleh Bapak.

"Hmm, begini. Bapak tahu satu bulan lagi Tatiek akan ujian

akhir, bukan?"

Aku mengangguk, diikuti oleh anggukan pelan dari Mas Rono.

Kami masih belum tahu ke mana arah pembicaraan Bapak.

"Bapak dan Ibu sudah memutuskan bahwa Tatiek boleh

mengikuti ujian akhir dan menyelesaikan masa kuliahnya sambil

Soerono memulihkan kesehatan terlebih dahulu. Setelah itu,

Bapak harap kamu, Nduk, harus ikut suamimu kembali bekerja dan

bertugas ke Irian."

Spontan aku terlonjak kaget mendengar penuturan Bapak.

Sungguh kabar di siang bolong ini akhirnya menjawab semua

kegelisahanku selama ini, kabar sekaligus keputusan yang terus

terang kusikapi dengan bimbang. Alasan pertama, aku sangat

bahagia bisa diizinkan mengikuti ujian akhir. Namun, yang

membuatku bimbang adalah jika harus ikut suamiku ke Papua,

aku harus berpisah dengan Bapak dan Ibu untuk waktu yang lama.

Berpisah dengan adik-adik yang sangat aku sayangi. Berpisah

dengan Kota Yogyakarta tercinta. Apakah aku sanggup?

"Bagaimana, Nduk? Kamu bersedia, ?kan?" Pertanyaan Bapak

mengagetkanku yang sejak tadi terdiam, sibuk dengan pikiranku

sendiri. Buru-buru aku melepas senyum, senyum yang kutahu

mungkin terlihat tidak selepas biasanya.

"Saya setuju, Pak. Bukankah seorang istri itu harus mengikuti

ke mana pun suaminya pergi?" Diam-diam kulirik Mas Rono yang

tampak semringah mendengar jawabanku.

"Bagaimana, Nak Rono? Kamu setuju bukan?" tanya Bapak, kali

ini ditujukan kepada suamiku.

Gegas kulihat Mas Rono menganggukkan kepala secepat kilat.

"Saya setuju, Pak. Saya memang ingin Dik Tatiek menyelesaikan

kuliahnya dulu. Tanggung tinggal satu bulan lagi. Saya bersedia

menunggu sampai Dik Tatiek lulus, baru kemudian saya akan

mengajaknya tinggal di Irian. "

Bapak tampak bahagia mendengar jawaban menantunya. Mas

Rono memang tak pernah mengecewakan Bapak selama nyaris

satu minggu menjadi menantunya. Ia adalah lelaki tegas, sekaligus

penurut terhadap orang tua. Tak pernah kulihat ia membantah

perkataan Bapak. Selalu Mas Rono menurut dan menakzimi setiap

keputusan yang ditetapkan, baik oleh orang tuaku maupun oleh

orang tuanya, mertuaku.

"Baiklah kalau begitu. Bapak sepertinya harus kembali ke

kantor, masih banyak pekerjaan. Biar nanti sore Ibu yang datang

kemari membawakan makanan untuk Tatiek."

Selepas itu, Bapak berpamitan dan meninggalkan kami

berdua. Pikiranku sudah berlarian ke sana kemari, bahagia rasanya

membayangkan aku bisa mengikuti ujian akhir perkuliahan bersama

teman-temanku. Itu berarti, setidaknya satu impianku akan bisa aku

wujudkan sesuai harapan.

SELANG dua hari setelah itu, dokter memperbolehkan Mas Rono

pulang karena kondisi tubuhnya berangsur-angsur mulai membaik.

Tubuhnya yang sempat mengurus perlahan mulai kembali ke berat

semula. Itu artinya, aku tak lagi harus bolak-balik ke rumah-kampusrumah sakit setiap harinya. Hal itu juga berarti bahwa aku memiliki

kesempatan lebih banyak untuk mempersiapkan diri jelang ujian

akhir yang semakin dekat di depan mata.

Meskipun disibukkan oleh kegiatan perkuliahan, aku yang

masih tinggal di rumah orang tuaku selepas menikah tak pernah

melalaikan sedikit pun kewajibanku sebagai seorang istri. Setiap

hari aku yang menyiapkan makan, mencucikan pakaian, hingga

mengatur pakaian yang harus dikenakan oleh suamiku. Pun

demikian dengan Mas Rono. Ia selalu rajin dan setia mengantar

jemputku di kampus dengan sepeda sederhana milik Bapak.

Jika melihat suamiku menjemput usai jam kuliah, biasanya

teman-temanku menggoda kami dengan celetukan-celetukan khas

mereka.

"Tiieek, iki bojomu dataaaang!"

Aku hanya mampu tersipu malu jika sudah digoda sedemikian

rupa, sementara Mas Rono seperti biasanya melemparkan senyum

ramah dan langsung menggandeng tanganku untuk segera naik ke

atas sepeda dan meluncur pergi dari kampus. Biasanya, Mas Rono

akan mengajakku keliling Kota Yogya dengan sepedanya sebelum

mengarahkan kendaraan sederhana kami menuju pulang.

"Bagaimana kuliahmu hari ini, Dik?" Pertanyaan itu biasa ter

lontar dari mulutnya dalam perjalanan pulang. Aku yang sibuk

berpegangan erat-erat pada pinggangnya pun biasa menjawabnya

dengan kalimat-kalimat singkat.

"Lancar, Mas."

Meski kami sudah beberapa minggu menjadi suami istri,

namun terasa ada yang masih mengganjal di hatiku. Mungkin

karena perasaan cinta itu belum tumbuh juga untuknya. Bukan aku

tak ingin berusaha untuk mencintainya sepenuh hati. Masalahnya

adalah aku belum terbiasa dengan kehadiran seorang suami dalam

kehidupanku. Apalagi sosok suami yang senyatanya dinikahkan

denganku bukan atas kemauanku sendiri, bukan pilihan hatiku.

Memang harus kuakui dan tak mampu kupungkiri, Mas Rono cukup

ideal untuk dijadikan sebagai suami. Sikapnya yang sabar, lembut,

dan telaten, mampu melengkapi aku yang terbiasa ramai, ceplasceplos, dan riang. Namun, toh semua itu belum mampu melunakkan

hatiku seketika.

Butuh proses.

Mungkin sangat panjang.

Maafkan aku, Mas....

Memulai Hidup Baru

DJOGJAKARTA, OKTOBER 1970

khirnya, hari besar yang kutunggu-tunggu datang juga.

Sepagian aku sibuk menyiapkan segala keperluan untuk

menempuh ujian akhirku di kampus. Aku merasa sangat siap

menghadapi ujian sesulit apa pun itu karena betul-betul aku telah

berusaha keras belajar siang dan malam di tengah kesibukanku

sebagai seorang istri bagi suamiku, anak bagi orang tuaku, dan

kakak bagi kedelapan adikku.

Kesibukanku bertambah karena pada hari itu bukan hanya

ujian akhir yang harus kuhadapi, melainkan sebuah peristiwa

yang akan menjadi titik balik dari kehidupanku selama ini. Ya, aku

dan suamiku telah berembuk bersama keluarga besar, dan telah

diputuskan bahwa kami akan langsung bertolak menuju Irian pada

sore hari setelah ujian akhir selesai kutempuh. Segala persiapan

untuk keberangkatan kami telah selesai pada hari sebelumnya. Aku

dan Mas Rono tak membawa apa-apa, kecuali beberapa pakaian

terbaik dan beberapa peralatan rumah tangga kecil seperti cobek

dan seprai. Seperti biasa, Ibu yang membantuku untuk menyiapkan

segalanya dengan teliti. Rupanya, telah beliau perhatikan betul apa

saja yang harus dan tidak boleh kami bawa menuju Irian.

Seperti yang telah kuperkirakan, soal-soal ujian berhasil kulalap

tanpa kendala berarti. Tuhan rupanya mendengar doa-doaku

selama ini yang senantiasa memohon agar aku dimampukanNya untuk menempuh perjuangan terakhirku sebagai seorang

mahasiswi. Puji Tuhan.

Setelah ujian usai, gegas aku melangkah menuju bagian depan

kampus. Teman-teman masih sibuk saling mengobrol, membahas
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

soal-soal ujian dan rencana mereka di depan sana. Aku tak mungkin

bergabung bersama mereka, mengingat Mas Rono pasti sudah

menunggu untuk bersama-sama pulang ke rumah dan bersiap-siap

berangkat sore nanti.

Setiba di rumah, kami disambut oleh suasana yang tampak

lengang tak seperti biasanya. Adik-adik yang biasanya sudah tiba

dari sekolah dan asyik bermain di halaman rumah, tak terlihat satu

pun batang hidungnya. Rupanya mereka semua sedang duduk

berkumpul di ruang tengah, menunggu kedatangan kami. Yang

pertama kali kulihat saat masuk ke ruang tengah adalah wajah

Bapak dan Ibu yang tampak tidak seceria hari-hari biasa. Mas

Rono mengekor di belakangku setelah terlebih dahulu memarkir

sepedanya di halaman samping. Kami masuk dengan penuh

kebingungan.

"Ini ada apa, kok ndak seperti biasanya?" tanyaku kepada Ibu

yang duduk di kursi sebelah Bapak. Sejak tadi Ibu tampak asyik

melamun, melayangkan pandang pada entah apa.

"Ndak ada apa-apa, Nduk. Kami semua sedang membayangkan

rumah ini tanpa kehadiranmu nanti. Pasti sepi, ndak ada lagi orang

yang sering teriak memarahi adik-adik, ndak ada lagi yang sibuk

bantu Ibu di dapur subuh-subuh."

Aku langsung tertawa setengah geli mendengar jawaban Ibu.

Bukan karena aku tak merasakan sedih seperti yang dirasakan oleh

seluruh keluargaku saat itu, namun aku spontan membayangkan

Ibu yang bisa jadi akan menjadikan melamun sebagai hobi barunya.

"Ibu, Tatiek pergi ?kan ndak untuk selamanya to. Kami akan

usahakan pulang sesering mungkin jika kondisi mendukung. Kata

Ibu, sebagai seorang istri saya harus ikut ke mana pun suami saya

pergi bukan?" Kupeluk Ibu sepenuh sayang. Rambutnya yang mulai

memutih menandakan usianya yang sudah beranjak senja. Kulitnya

yang bersentuhan dengan kulitku pun terasa mulai berkerut-kerut.

Ibu, perempuan hebat yang selama ini selalu menjadi panutanku

dan senantiasa mendukung setiap langkahku tanpa pernah mencela

sedikit pun. Oh, sungguh tak dapat kubayangkan bagaimana kelak

harus hidup berjauhan dengan belahan hatiku itu.

Perpisahan sore itu diwarnai oleh beragam perasaan yang

campur aduk. Adik-adik mulai rewel, meski sebagian yang masih

kecil asyik saja terus bermain seolah tak terjadi apa pun di rumah.

Bapak, yang selama ini selalu menjadikanku sebagai teman diskusi

di rumah, berusaha menutupi kesedihannya dengan mengajak Mas

Rono bercakap mengenai banyak hal tentang kondisi di Irian nun

jauh beribu kilometer jaraknya dari kota kami tercinta. Ibu sibuk

mengemas kue-kue dan makanan siap santap yang akan menjadi

bekal kami di perjalanan.

Pangkat Mas Rono di Irian yang masih merupakan pegawai

biasa membuat suamiku itu tak mampu mengajakku naik pesawat,

hingga kami harus berangkat dulu ke Jakarta, menuju pelabuhan

Tanjung Priok untuk bertolak ke Irian menggunakan kapal laut.

Nenek dan Ibu mengantar kami, sementara Bapak dan adik-adik

ditinggal di rumah dengan dijaga oleh beberapa orang kerabat.

Sungguh sebuah perpisahan yang sangat luar biasa menyiksa

batinku. Selama ini boleh dibilang nyaris sepenuhnya aku yang

bertanggung jawab mengurus seluruh adikku selain Ibu. Hampir

tak pernah ada yang terlewat dari pengawasan dan ketelitianku.

Kebandelan, kelucuan, dan seluruh kelakuan adik-adikku tak luput

dari perhatianku. Ah, bagaimana cara aku memuaskan rinduku

pada mereka di tempat yang sangat jauh nanti? Tak juga pupus

dari ingatanku, mata adik-adikku saat melambaikan tangan mereka

padaku. Ketika itu aku masih sanggup menahan air mataku untuk

tak berjatuhan, tapi kali ini mengingat mereka, aku tak sanggup

menahannya lagi. Ya Tuhan, kumohon beri aku kekuatan.

DENGAN menggunakan kereta api dari Yogyakarta, kami serom

bongan berangkat ke Jakarta, menuju Tanjung Priok. Seumur hidup

belum pernah aku naik kapal laut ataupun pesawat. Maklum, sebagai

anak perempuan paling besar, aku belum pernah meninggalkan

rumah menuju tempat sejauh itu. Satu-satunya kali aku jauh dari

keluarga hanyalah ketika aku pergi ke Malang.

Sesampai kami di tanjung Priok, kapal yang akan membawa

kami berlayar ke kehidupan baru telah bersandar. Mas Rono

menunjuk sebuah kapal berukuran sangat besar yang di badannya

tertulis dengan huruf-huruf kapital, WANDEBORI. Rupanya kapal itu

adalah kapal yang hendak kami naiki. Begitu takjubnya aku melihat

wara-wiri banyak orang yang masuk ke dalam kapal, bukan hanya

menenteng tas berisi pakaian, melainkan membawa barang-barang

lain, bahkan membawa ternak!

Jelang kapal berangkat, aku memeluk Nenek dan Ibu erat-erat.

Kami bertangisan, terutama aku yang ketika di Yogya berusaha

menenangkan Ibu, nyatanya pertahananku jebol juga saat di

pelabuhan. Aku menangis tersedu-sedu tak ubahnya anak kecil

yang dipaksa berpisah dengan orang tuanya pada hari pertamanya

harus masuk sekolah. Ibu terlihat menepuk-nepuk bahu Mas Rono,

menitipkan anak perempuannya kepada menantu pertamanya itu.

Aku lantas mengusap air mata yang tak henti mengalir di pipiku,

memandang Ibu yang kedua matanya sudah bengkak akibat terlalu

banyak menangis.

Seribu satu nasihat menjadi bekal lain bagi kami pada hari

itu. Hati-hati, pintar-pintarlah beradaptasi dengan suasana dan

lingkungan baru, patuhlah pada suami, dan serentetan nasihat lain

keluar lirih dari mulut Ibu. Aku hanya mampu mengamini sembari

mengangguk-anggukan kepala mengiyakan.

Mas Rono kemudian meraih tas berisi pakaian kami, sementara

aku memegang erat satu kantong plastik besar berisi makanan yang

disiapkan Ibu sejak di Yogya. Setelah mencium tangan, lenganku

digamit dan digandeng masuk ke dalam kapal.

Saat itu, kurasakan kedua telapak tanganku berkeringat dingin,

tidak seperti biasanya. Aku merasa begitu tegang, sama sekali tidak

tahu apa yang akan kualami di luar sana. Kali ini aku akan bepergian

sangat jauh hanya berdua dengan suamiku, tanpa orang tua, tanpa

kedelapan adikku, dan meninggalkan kehidupan masa laluku jauh

di belakang sana. Dengan lembut, tangan kiri Mas Rono yang tidak

memegang apa pun, meraih jemariku dan menggenggamnya erat.

Seakan suamiku itu tahu kegelisahan dan kegundahan hatiku. Hatiku

menghangat. Aku merasa aman di sampingnya. Aku pergi bukan

dengan lelaki asing, melainkan dengan suamiku sendiri, demikian

kalimat-kalimat yang senantiasa kubisikkan kepada hati kecilku.

Mas Rono mengingatkan bahwa kami akan berada di atas

kapal selama berhari-hari, nyaris dua minggu. Aku masih terpesona

dengan hal-hal baru yang kutemui. Saat malam, kami harus tidur di

atas dek, bercampur dengan penumpang lain yang tidur berbarisbaris memanjang persis seperti ikan sarden dalam kaleng yang

sering dimasak Ibu. Wandebori melaju di atas perairan yang tampak

tenang meski sesekali angin laut begitu keras meniup hingga

membuatku mabuk, terasa seperti masuk angin.

"Dik, ayo makan dulu."

Mas Rono duduk di sampingku. Saat itu kami sudah berada

di atas dek, mempersiapkan tempat untuk kami berbaring sekadar

meluruskan punggung. Lantai kapal yang dingin sudah kualasi

dengan selendang pemberian Ibu.

Aku menggelengkan kepala. Sejak memasuki kapal, perutku

terasa diaduk-aduk hingga sama sekali tak muncul nafsu makan.

"Mas saja yang makan ya, aku tidak lapar," sahutku pendek.

Kuraih kantong plastik di mana Ibu menyimpan bekal kami. Lontong

buatan Ibu yang berisi sayuran kuserahkan kepada Mas Rono yang

menerimanya dengan sigap dan langsung menyantapnya seketika.

Baru saja melontarkan kalimat itu, mendadak perutku terasa

mual sekali. Secepat kilat aku berlari ke toilet kapal. Di sana telah

berbaris para penumpang yang memiliki niat yang sama denganku,

memakai kamar mandi untuk berbagai keperluan. Aku harus

menunggu dengan sabar sebelum akhirnya tiba giliranku masuk

ke kamar mandi dan menumpahkan keluar seluruh isi perutku

tanpa sisa.

Ah, ini pasti masuk angin, batinku. Setelah muntah, aku merasa

kondisiku agak membaik. Mas Rono begitu perhatian padaku.

Melihat wajah istrinya memucat, ia dengan sigap membalurkan

minyak angin yang kami bawa ke perutku, juga pelipisku. Hangat

yang menjalar dari minyak angin itu sedikit membuatku merasa

nyaman hingga akhirnya aku terlelap di samping suamiku, tak ingat

apa-apa lagi.

Berhari-hari kami berada di atas kapal bersama para penumpang

lainnya yang berasal dari berbagai suku dengan berbagai tujuan.

Selama berhari-hari itu pulalah seluruh tubuhku sangat lemas

karena rupanya mual dan muntah yang kualami tidak hanya di awal

perjalanan melainkan berlanjut terus di hari-hari kemudian. Setiap

makanan yang masuk ke perutku tanpa menunggu lama pasti akan

keluar kembali. Mas Rono tampak cemas melihatku. Aku sendiri

sudah pasrah, apa pun yang terjadi harus aku jalani sepenuh hati.

Aku beruntung karena di kantin kapal, selain menjual nasi dan

lauk-pauknya, juga ada buah-buahan dan rujak. Rujak itulah yang

akhirnya sering aku nikmati di berbagai kesempatan. Rujak yang

asam dan segar, rupanya lebih manjur menghilangkan mualku

daripada sepiring nasi beserta lauknya.

Kapal sempat merapat di Manokwari sebelum kembali

melanjutkan perjalanan. Kami, para penumpang, dengan riang turun

ke darat untuk sekadar berjalan-jalan di sekitar pelabuhan. Berada

di darat kembali setelah lama diombang-ambingkan gelombang

laut membuatku merasa begitu segar. Mendadak aku ingin sekali

merasakan nikmatnya minum segelas air es. Segera kubisikkan

kepada Mas Rono perihal keinginanku itu.

Beruntung, di pelabuhan ada sebuah warung yang menjual

barang-barang kelontong, juga makanan dan minuman ringan.

Segera aku menuju ke sana, berniat membeli segelas air es.

"Dik, kita ndak bisa beli minum di situ." Suamiku mencoba

mengingatkanku.

"Lho, memang kenapa, Mas? Mereka tidak berjualan air es? Ayo

dicoba dulu tanya, siapa tahu ada," ngototku.

"Bukan begitu. Di Papua ini, mata uangnya berbeda dengan

mata uang Jawa. Di sini nama mata uangnya IBRP, Irian Barat

Rupiah. Bentuknya beda dengan rupiah di Yogya," bisik Mas Rono di

telingaku sambil terkekeh geli.

Aku memberengut kesal. Aku kepengin sekali minum

air es, bagaimanapun caranya. Tak hilang akal, akhirnya aku

nekat mengetuk pintu rumah warga yang terletak tak jauh dari

pelabuhan, hanya untuk meminta segelas air es. Untungnya, di

salah satu rumah, akhirnya keinginanku itu terpenuhi. Dengan

penuh semangat kureguk habis air di dalam gelas belimbing

itu hingga tandas, tak bersisa. Namun tak lama sesudahnya, aku

kembali muntah-muntah. Hoeeek....

Mas Rono tentu saja mencemaskan keadaanku yang tak

kunjung membaik. Sedikit mengomel, ia memintaku untuk makan

nasi meski hanya sedikit. Bukan tak ingin aku menuruti kemauannya,

tapi bagaimana lagi. Setiap kali selesai makan, tak lama kemudian

aku kembali muntah.
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begini terus kondisimu, sebaiknya begitu tiba kita

langsung menuju ke Puskemas saja," putus Mas Rono dan tak

mampu kubantah selain menganggukkan kepala.

Akhirnya, setelah melalui perjalanan panjang selama kurang

lebih dua belas hari, tibalah saatnya Wondebori merapat di

pelabuhan Biak, pelabuhan terakhir kami. Rupanya perjalanan

kami belum berhenti sampai di sini. Kami masih harus melakukan

perjalanan lagi menuju sebuah kabupaten kecil di pelosok Paniai.

Ya Tuhan. Padahal seluruh tubuhku sudah terasa remuk redam

akibat perjalanan teramat panjang yang baru kali itu aku lalui.

Selama menunggu Mas Rono mengurus surat-surat untuk

mendapatkan biaya perjalanan kami ke kabupaten tujuan, kami

pun menginap di sebuah hotel milik negara. Terselip rasa cemas dan

khawatir karena aku sama sekali belum pernah bertemu dengan

warga asli Irian sebelumnya. Kulit mereka yang kebanyakan hitam

legam dan eksotis, rambut mereka yang ikal ah, tak pernah

kubayangkan dirikuakan berada di antara mereka. Bagaimana kalau

mereka tak seramah orang Jawa? Bagaimana kalau hidup di sana

ternyata tidak senyaman dan seaman hidup di Pulau Jawa? Ah, aku

segera menepis kekhawatiran-kekhawatiran itu.

Rupanya, sebagai seorang pegawai, perjalanan Mas Rono

menuju lokasi di mana ia akan ditempatkan dibiayai sepenuhnya

oleh negara. Itu sebabnya kami harus tinggal lebih lama di Biak

karena kami baru bisa melanjutkan perjalanan setelah biaya

perjalanan cair. Selama tinggal di hotel itu pula, aku masih saja

harus bolak-balik ke kamar mandi, terutama setiap pagi karena

mual yang masih berkelanjutan. Tidak biasanya aku mengalami hal

seperti ini. Untung saja hotel yang terbilang sederhana itu cukup

nyaman bagiku untuk beristirahat. Aku terus terang salut pada Mas

Rono. Dari sekian banyak hal yang harus ia urus, ia masih sempat

memilihkan hotel yang diharapkannya mampu menyenangkan

hatiku. Ah, Mas Rono.

Beberapa hari kemudian, Mas Rono membawa kabar bahwa

surat yang diurusnya sudah beres semua. Dana sudah turun dari

pusat, dan itu artinya, kami bisa segera membeli tiket pesawat dari

Biak menuju Nabire, kota yang akan menjadi tempat tinggal kami

selama suamiku bertugas di Irian. Menurut informasi yang kudapat

dari Mas Rono, Nabire berada bagian dari Kabupaten Paniai, Ibu kota

Kabupaten Paniai adalah Nabire yang ada di pedalaman dengan

ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut. Entah seperti apa

situasi di sana, sama sekali aku belum mampu membayangkannya.

Sebelumnya saat masih di Yogya, aku sempat mencari-cari letak

kota itu di peta Irian. Wah, ternyata mudah menemukan kota itu

karena letaknya yang ada di seputar leher "burung" pulau tersebut.

Perjalanan menggunakan pesawat terbang berukuran kecil

sungguh membuatku sangat takut karena seumur hidup belum

pernah aku naik pesawat. Guncangan-guncangan selama kami

berada di atas awan membuat perutku yang memang sekarang

sering mual makin menjadi-jadi. Untung saja Mas Rono selalu siap

sedia berada di sampingku, menenangkanku selama perjalanan.

Minyak angin yang semula ditaruhnya di dalam tas, semenjak

melihat kondisiku kulihat selalu berada di kantong jaketnya yang

mulai terlihat lusuh itu.

"Dik, begitu sampai di Nabire, kita ke Puskesmas ya. Aku

khawatir dengan kondisimu. Takut terjadi apa-apa. Jangan ditunda

lagi."

Aku mengangguk. Tubuhku memang sudah tidak bisa diajak

kompromi lagi. Rasanya sangat lemas. Kali ini aku sama sekali tak

bertenaga. Setiap hari aku tidak bersemangat dan ingin tidur terus

sepanjang waktu. Aku sakit apa? Apakah sakitku berat? Selalu

begitu pertanyaanku siang dan malam, dipenuhi kecemasan.

Betul saja, begitu mendarat di Nabire, Mas Rono langsung

membawaku ke Puskesmas terdekat. Saat itu Nabire masih

merupakan kota kecil di pedalaman. Belum ada rumah sakit

berfasilitas lengkap. Hanya ada dokter yang ditugaskan di sana dan

biasanya bertugas di Puskesmas sekaligus buka praktik di rumah

yang harus siaga 24 jam jika ada masyarakat yang membutuhkan

bantuannya. Sambil membawa koper dan tas yang lumayan berat

disertai wajah yang pastinya tampak kelelahan, kami sampai di

Puskesmas. Jangan berpikir bahwa Puskesmas di kota sekecil

Nabire ini akan seperti Puskesmas yang ada di Pulau Jawa. Dari

jauh, Puskesmas itu sekilas seperti rumah biasa dan, yang membuat

aku heran, tampak sepi. Seakan tahu yang ada di pikiranku, Mas

Rono menceritakan bahwa rupanya orang sini belum terbiasa untuk

mengadukan keluhan seputar penyakit ke dokter. Kebanyakan

mereka masih percaya pada dukun atau bahkan lebih sering

menganggap penyakit sebagai kutukan dari roh jahat.

Sampai di dalam, satu-satunya kamar yang ada di Puskesmas

itu, aku langsung diperiksa oleh dokter. Beliau lalu bertanya

mengenai kesehatanku secara lengkap. Ia menanyakan sejak kapan

aku mulai merasakan mual, apa penyebabnya, dan segala hal yang

sempat membuat aku sebal karena begitu terperinci. Setelah aku

menjawab semua pertanyaannya, dokter itu malah senyum-senyum

kepada kami yang kebingungan melihat sikapnya itu.

"Dokter, saya sakit apa sebenarnya?" tanyaku begitu penasaran.

Dokter itu lagi-lagi tersenyum, kemudian menyalami Mas Rono

dan aku yang masih saja bertanya-tanya sambil menyambut uluran

tangannya dengan ragu.

"Selamat, Bapak dan Ibu sebentar lagi akan menjadi orang tua.

Ibu sedang hamil muda. Tolong dijaga makannya dan kesehatannya

ya, biar bayinya lahir sehat dan selamat."

Ya Tuhan, aku hamil to!

Kembali aku dan Mas Rono berpandangan penuh ragu untuk

yang kesekian kalinya. Setelah berpamitan pun rasanya aku masih

tidak percaya kalau aku akan hamil secepat itu. Berbeda dengan

suamiku yang tampak begitu berbahagia mendengar kabar itu,

aku justru tidak tahu bagaimana perasaanku yang sesungguhnya.

Antara percaya dan tidak, antara bahagia dan ragu. Aku ternyata

bisa hamil dari hasil pernikahanku dengan lelaki yang dijodohkan

oleh orang tua yang belum benar-benar aku cintai.

Pejuang Pendatang

i Nabire, kami tinggal di sebuah mes milik negara, berbaur

dengan penghuni mes lainnya. Sebuah mes sederhana

yang terdiri dari beberapa bagian atau petak yang mungkin boleh

disebut rumah karena masing-masing terdiri dari satu ruang depan,

satu kamar tidur, dan satu dapur, sementara kamar mandi terletak

di luar mes. Di antara teman-temannya, baru Mas Rono yang

membawa serta istri dan tentu saja saat ini anak yang ada di dalam

kandunganku. Masih agak canggung setiap kali aku mengingat

bahwa sekarang ini ada raga lain dalam tubuhku.

Aku diajak masuk ke petak yang selama ini menjadi rumah

Mas Rono. Belum ada perabotan lengkap di petakan kami itu,

selain seperangkat meja kursi tamu dan sebuah kompor minyak

tanah, serta kasur sederhana di sebuah ranjang kayu yang sama

sederhananya. Sembari meletakkan tas berisi pakaian, mataku

otomatis mencari-cari lemari pakaian. Tak kutemukan benda

yang untuk sebagian besar perempuan menjadi cukup penting.

Namanya laki-laki, dengan pakaian mereka yang cenderung itu-itu

saja, bisa jadi mereka merasa tak membutuhkan tempat untuk

menyimpannya. Alhasil, pakaian-pakaian terpaksa kami letakkan

rapi di pojok kamar dalam tumpukan yang cukup tinggi.

Minimalis, kata itu mungkin yang pas untuk menggambarkan

keadaan tempat tinggal Mas Rono ini. Aku bersyukur karena Ibu

membekali kami dengan sebuah tas yang berisi peralatan rumah

tangga, seperti cobek dan seprai. Setidaknya seluruh barang

tersebut bisa kami pakai sementara sebagai modal kami membina

rumah tangga baru di tempat yang sama sekali baru.

KEHAMILAN pertamaku di tanah orang, jauh dari orang tua, adik-adik,

dan sanak saudara ternyata sungguh sangat berat. Selama masa

itu, aku tak mampu berbuat apa pun karena muntah dan muntah

lagi. Berat badanku merosot drastis, dari yang semula 55 kilogram

menjadi tinggal 42 kilogram. Untung saja aku memiliki seorang

suami yang sungguh cekatan. Ialah yang tampaknya dengan ikhlas

dan rela melakukan tugas-tugas rumah tangga, seperti mencuci,

membersihkan rumah, dan memasak karena aku tidak mampu

melakukannya. Setiap hari aku hanya mampu berbaring. Kata dokter

yang memeriksaku dulu, masa-masa berat ini akan terus aku lalui

selama empat bulan pertama dari masa kehamilan, akibat hormon

di tubuh perempuan yang berubah karena kehamilan tersebut.

Setelah empat bulan yang berat berhasil aku lalui, berangsurangsur kondisiku mulai membaik. Mual yang kurasakan sudah

tidak terlalu sering lagi datang menghampiri. Syukurlah, karena

aku sungguh tak tega melihat Mas Rono yang terpaksa harus

bekerja ekstra keras selama ini. Ia yang sudah letih disibukkan oleh

pekerjaan kantor yang tak habis-habis, begitu pulang ke rumah

masih harus membantuku mengurusi segala pekerjaan di rumah.

Meski cinta itu belum lagi datang di hatiku, namun segala perhatian

dan kasih sayangnya mampu menundukkan kekerasan hatiku. Aku

sungguh berharap cepat atau lambat rasa itu akan dapat kumiliki

dan kupersembahkan untuknya, untuk suamiku, bapak dari

anak-anakku kelak.

NABIRE, 1970

Suamiku ditempatkan di Nabire di bagian Keuangan dalam Seksi

Perjalanan pemerintahan setempat. Sebelumnya, selama enam bulan

ia ditempatkan sebagai Kepala Distrik di Bioga, Paniai, kemudian

bertugas sebagai Camat di Illaga, pedalaman Irian dekat puncak

Jayawiyaja selama kurang lebih satu setengah tahun. Di posisinya

yang sekarang, setiap hari ia mengurusi semua hal yang berkaitan

dengan perjalanan dinas pegawai keluar daerah, dan melayani

keperluan masyarakat. Warga yang sakit juga menjadi salah satu di

antara tugas Mas Rono. Suamikulah yang harus mengurusi ke mana

orang itu harus dibawa, berikut biaya perjalanannya.

Aku masih ingat, dalam seminggu, seluruh pegawai?sekarang

pegawai negeri?hanya berada di kantor selama 2-3 hari saja.

Selebihnya, bersama-sama mereka melakukan kegiatan di luar

kantor. Dengan hanya memakai celana pendek dan membawa

parang, sekop, dan gergaji, mereka akan bekerja bakti membabat

hutan yang masih lebat, membangun jalan, membangun lapangan.

Pokoknya, apa pun mereka kerjakan untuk membangun daerah di

mana kami tinggal. Uniknya, semua pekerjaan tersebut dilakukan

oleh semua warga, tanpa pandang bulu, mulai dari bupati, staf,

hingga masyarakat. Semua orang turun ke lapangan dan bekerja.

Dari tempat tinggalku, aku bisa melihat bagaimana mereka secara

gotong royong membangun berbagai macam hal. Kekhawatiranku

bahwa orang-orang Irian tak seramah orang-orang dari Pulau Jawa

ternyata tak terbukti. Nyatanya, mereka pun sama seperti orang

Jawa, ada yang ramah dan ada pula yang tidak.

Mengingat pekerjaan Mas Rono berkaitan dengan keuangan,

otomatis setiap pulang bekerja, suamiku itu membawa pula semua

uang milik negara tersebut. Hal itu ia lakukan karena belum ada

brankas yang aman untuk menyimpan semua uang itu di kantornya.

Untuk hal yang satu ini aku sempat merasa ngeri, bagaimana jika
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada yang berniat tak baik pada Mas Rono. Tapi, aku lagi-lagi aku

berusaha menepis pikiran negatifku. Aku yang sedang hamil ini

juga harus menerima jika pada saat-saat tertentu ia harus bertugas

ke luar Nabire; Biak atau Jayapura yang paling sering, untuk

mengantar para kepala suku atau kepala desa yang akan ditatar di

sana. Maklum, pada masa itu, masyarakat masih lugu dan belum

mengerti banyak hal sehingga Mas Rono-lah yang mengurus

semuanya, bahkan sampai hal-hal terkecil sekalipun.

Jadi, jangan bayangkan Nabire pada masa itu berkembang

sama pesatnya seperti saat ini. Meski di sana terdapat airport

atau bandara, kondisinya masih amat sederhana. Pelabuhan pun

hanya dapat disinggahi oleh kapal-kapal kecil. Pembangunan

belum mencakup semua bidang di daerah itu. Kami bisa dibilang

masih sangat terbelakang karena letak daerah kami yang sangat

jauh dari pusat pemerintahan negara. Pasar sebagai tempat jual

beli dan transaksi segala kebutuhan hidup sehari-hari pun belum

lagi ada di wilayah kami. Yang kami makan sehari-hari hanyalah

makanan siap saji "jatah" pegawai yang dikirim langsung dari pusat.

Semuanya berupa makanan kaleng. Mungkin hanya beras saja yang

tidak dikalengkan karena kami mendapatkan jatah beras dalam

karung-karung besar yang cukup digunakan hingga pengiriman

selanjutnya datang. Sebut saja ikan sarden, kornet, makanan laut,

mi, nasi goreng, hingga kacang, semua tersedia di dalam kaleng.

Tentu saja rasanya tidak sesegar jika makanan tersebut didapatkan

langsung dari pasar.

Oh ya, di rumah kami tidak ada satu pun barang pecah belah,

bahkan piring dan gelas pun terbuat dari kaleng. Aku masih

ingat, ketika pertama kali tinggal di Nabire, kami membeli enam

buah piring kaleng dari sebuah toko cina yang merupakan toko

satu-satunya di kota itu. Toko sederhana itu menjual barang

kelontong dan keperluan dapur. Kami beruntung karena kami

sempat mendapatkan pembagian dari pemerintah berupa kompor,

wajan, panci, dan peralatan dapur lainnya. Sebagai bahan bakar

kompor, kami harus memakai minyak tanah dan harus membelinya

dalam jumlah besar yaitu memakai drum. Jika stok minyak tanah

habis, terpaksa aku harus mau memasak menggunakan kayu bakar.

Tapi, lagi-lagi aku sungguh beruntung dianugerahi oleh

Tuhan seorang suami yang tak pernah hilang akal. Demi agar aku

mendapatkan asupan gizi yang baik dan seimbang untuk kehamilan

anak pertama kami, setiap pulang dari kantor, Mas Rono selalu asyik

berada di halaman mes yang luas. Di sana, berbagai hal ia lakukan,

terutama menanam sayur-sayuran segar yang bibitnya ia dapatkan

dari kota terdekat. Masyarakat yang melihatnya berkebun dengan

hasilnya yang ternyata sangat banyak hingga mampu memenuhi

kebutuhan sayur mayur segar kami, akhirnya meniru aksi suamiku

itu. Mereka bersama-sama mulai rajin menanam sayur pula di

halaman rumah mereka masing-masing.

Jika aku sedang ingin makan ikan atau udang segar, biasanya

Mas Rono akan menunggu hingga hari gelap, kemudian ia akan

pergi membawa petromaks, kelewai, atau parang, menuju ke sungai

yang tidak jauh dari rumah untuk menangkap ikan dan udang.

Jika sedang beruntung, tengah malam ia akan pulang membawa

hasil tangkapan satu plastik ukuran sedang yang di dalamnya

berisi ikan atau udang segar beraneka ukuran. Tak bisa kulupakan

wajah ceria suamiku itu jika ia berhasil menangkap ikan atau udang

dalam jumlah yang lumayan banyak. Biasanya aku akan segera

mengolahnya, dengan cara digoreng atau dimasak dengan bumbu,

kemudian kami pun menyantapnya sampai kenyang. Jika masakan

itu tidak habis, keesokan harinya aku tinggal membagikannya

kepada para tetangga.

Bicara soal makanan, sesekali kami makan cukup mewah di

rumah bupati saat ia mengadakan pesta. Biasanya kami, para ibu,

akan berkumpul untuk memasak hidangan istimewa yang akan

disuguhkan dalam pesta tersebut. Saat itu jangankan katering,

rumah makan pun belum ada di wilayah kami. Yang kami masak

hanyalah bahan makanan setempat dengan bumbu-bumbu seadanya

yang dikirim langsung dari Biak atau Jayapura. Tapi, makanan

seperti itu, bagi kami sudah cukup mewah. Pesta di rumah bupati

itu menjadi satu-satunya hiburan bagi kami, masyarakat sekitar.

Setelah beberapa bulan tinggal di mes, lama kelamaan aku

menjadi bosan. Setiap pagi hingga sore hari aku ditinggal sendirian

di rumah tanpa melakukan kegiatan apa pun. Aku yang terbiasa

aktif di organisasi selama di Yogya, akhirnya merasa jenuh dan

bingung hendak melakukan apa. Keterbatasan fasilitas di rumah

kecil kami itu membuatku seakan lumpuh dan tak berdaya. Aku

pun tak hilang akal, berusaha mencari-cari cara untuk bisa kembali

aktif dan mengisi kekosongan aktivitas. Apalagi kehamilanku sudah

mulai tidak rewel dan aku tidak pernah mual lagi.

Wah, aku bisa gila kalau lama-kelamaan harus terus berdiam

diri di rumah tanpa melakukan kegiatan apa pun. Sudah sangat

sering aku menangis tiba-tiba jika teringat Bapak, Ibu, adik-adik,

dan kerabat di kampung halamanku. Rasanya sudah berabad-abad

aku tak bertemu mereka, mendengar suara mereka, bercakap apa

pun dengan mereka. Aku rindu rumah. Dan, kerinduan akan rumah

semakin menjadi-jadi ketika aku sedang sendiri.

Suatu malam, aku memberanikan diri mengajak suamiku bicara.

"Mas, nngg... kalau boleh, aku ingin bekerja."

Mas Rono yang sedang menikmati secangkir kopi hitam sambil

mengisap rokok dalam-dalam menolehkan kepalanya kepadaku

dengan mengangkat alisnya sedikit, tanda heran.

"Bekerja? Apa maksudmu, Dik? Mengapa tiba-tiba kamu ingin

bekerja?" tanya Mas Rono penuh selidik.

Aku menarik napas panjang sambil mengelus perutku yang

mulai membesar.

"Aku bisa melakukan apa saja. Aku bisa mengajar. Meskipun

hasil ujianku belum keluar dan aku belum mendapatkan ijazah, tapi

aku bisa mengajar untuk sekolah yang ada di Nabire. Aku sangat

suka menjadi guru, dan memang cita-citaku ingin menjadi seorang

guru. Itu sebabnya waktu itu aku mengambil kuliah di PGSLP, Mas."

Kutatap suamiku sedemikian rupa, hendak membaca isi hatinya.

"Iya, Mas ngerti, Dik. Tapi, untuk apa kamu mengajar? Bukankah

kondisimu sedang dalam keadaan hamil? Kesehatanmu pun selama

hamil ini sering drop, bagaimana mungkin aku membiarkan istriku

bekerja dalam keadaan seperti itu?"

Mas Rono lantas mengelus perutku perlahan. Mendadak, ada

rasa hangat menelusup diam-diam ke dalam hatiku. Ah, rasa apakah

ini?

"Mas, tolong izinkan aku. Sungguh, aku tidak apa-apa. Justru

kalau tidak ada kegiatan, aku bisa mati bosan di sini, di kota yang

sangat sepi seperti ini. Aku tidak punya aktivitas apa pun sepagian

hingga sore hari ketika Mas pulang. Aku jenuh, Mas. Aku harus

menemukan kegiatan yang bisa membuatku bergerak dan otakku

bisa dipakai untuk berpikir."

Sejenak keheningan menyergap di antara kami berdua.

Sungguh-sungguh hening, tanpa suara apa pun. Sunyi senyap

meningkahi diamnya kami.

Aku pasrah. Apa pun keputusan Mas Rono sebagai suami, akan

aku terima. Aku tahu Mas Rono hanya mencemaskan kesehatan

aku dan calon anak kami saja. Sebagai seorang suami, ia bukan tipe

lelaki yang senantiasa mengekang pasangannya. Ia bukan orang

yang otoriter.

"Dik, sebetulnya aku berat mengizinkanmu bekerja dalam

kondisi hamil seperti ini. Namun, aku akan mengizinkannya hanya

jika kamu mau berjanji bahwa apa pun pekerjaan yang akan kamu

kerjakan nanti, tidak akan membuatmu menjadi lelah. Bekerjalah

hanya untuk mengisi waktu, dan bukan untuk mencari uang. Kamu

mau ?kan berjanji untukku?" Suaranya yang tegas, namun lembut

membuatku sejenak terpesona. Aku seolah melihat Bapak yang

sedang bicara di hadapanku.

Mendengar keputusan dari suamiku, tentu saja aku bahagia

bukan kepalang. Tak ada hal yang paling membahagiakan di dunia,

selain melakukan sesuatu atas restu dari suami. Malam itu, seusai

perbincangan kami mengenai banyak hal terutama masalah tentang

mau bekerja di mana, kapan, apa saja yang harus dipersiapkan, dan

masih banyak hal lainnya, akhirnya aku bisa terlelap dengan hati

yang penuh dengan rasa bahagia, untuk pertama kalinya.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Belum lagi aku mulai mencari

pekerjaan yang ingin aku lakukan, tiba-tiba datang tawaran dari

sebuah Sekolah Menengah Pertama di Nabire, yaitu SMP YPK.

Mereka mendengar dari mulut ke mulut bahwa istri dari Bapak

Soerono adalah seorang lulusan PGSLP dari Yogyakarta. Sudah aku

jelaskan bahwa ketika pertama datang ke Nabire, aku baru saja

menyelesaikan ujian akhirku dan sama sekali belum diwisuda. Itu

artinya aku belum lulus kecuali jika hasil ujian sudah diumumkan.

Pihak sekolah rupanya tidak peduli. Mereka sangat mem

butuhkan seorang guru untuk mengisi keterbatasan jumlah guru

di sekolah tersebut, dan mereka menilai bahwa akulah yang paling

tepat untuk mengisi posisi tersebut. Karena memang niatku adalah

untuk mencari kegiatan positif, akhirnya setelah berembuk dengan

suami, kuputuskan untuk menerima tawaran tersebut, meskipun

aku tahu bahwa aku tidak akan menerima honor apa pun di

sana. Aku sangat mengerti, kondisi sekolah masih jauh untuk bisa

memberikan penghasilan yang layak bagi para gurunya. Setelah

tawaran tersebut kuterima, aku mulai mempersiapkan diri untuk

mengajar, di antaranya aku meminta Bapak dan Ibu untuk mencari

kabar ke kampus apakah aku lulus ujian dan mengirimkan ijazahku

lewat pos dengan alamat kantor Bapak Bupati di Nabire.

Waktu itu aku mengajar mata pelajaran Biologi. Hal itu boleh

dibilang cukup nekat karena aku mengajar hanya mengandalkan

buku pegangan. Ah, bagiku, yang terpenting aku siap mengajar

dan mendidik murid-murid di SMP itu, sebuah mimpi dan cita-cita

yang kucatatkan sejak lama.

Kehidupanku mulai bergairah kembali sejak aku mengajar.

Apalagi saat menginjakkan kakiku masuk dalam kelas yang

dindingnya sudah begitu kusam, sekusam baju para muridku

sembari kulihat satu per satu mata polos mereka, semangatku

untuk membuat mereka maju tiba-tiba membara. Aku tidak lagi

dilanda kebosanan yang teramat sangat dan merasakan sepi. Setiap

pagi aku bangun sedini mungkin. Menyiapkan segala keperluan

suamiku, memasak, merapikan rumah, dan setelah makan pagi,

kami pun berangkat mengisi hari dengan aktivitas masing-masing.

Biasanya Mas Rono akan mengantarkanku ke sekolah terlebih

dahulu, baru ia menuju ke tempat kerjanya.

Tentunya kondisiku sebagai perempuan hamil sangat berbeda.

Kesehatanku sempat drop karena kelelahan hingga aku pernah

pingsan di sekolah dan terpaksa dibawa oleh murid-muridku

ke rumah. Suamiku panik dan nyaris saja aku diminta berhenti

mengajar. Namun, karena aku berhasil meyakinkannya bahwa

kondisiku baik-baik saja dan aku pingsan hanya karena sedikit lelah,

akhirnya ia mengalah dan mengizinkanku untuk tetap mengajar.

Aku hanya sempat mengajar selama satu semester saja. Ketika
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kehamilanku sudah tua dan sudah memasuki masa-masa persiapan

melahirkan, Mas Rono memintaku untuk berhenti mengajar dan kali

ini aku mematuhi keinginannya. Aku sendiri sudah tidak sanggup

berjalan jauh karena perutku yang rasanya semakin membesar dari

hari ke hari. Alhasil, sambil menunggu kelahiran anak pertamaku,

hari-hariku diisi dengan mempersiapkan segala keperluan bayi.

NABIRE, 1971

Tibalah hari yang kunantikan selama sembilan bulan. Suatu pagi

aku merasakan bahwa kontraksi di perutku semakin menjadi. Aku

yang sama sekali belum berpengalaman menjadi seorang ibu, tentu

saja panik dan membuat suamiku ikut pula panik.

"Mas, tolong cepat panggil bidan dan dokter. Rasanya sudah

waktunya." Suaraku tertahan-tahan karena harus merasakan nyeri

yang luar biasa.

Secepat kilat ia pergi ke luar rumah setelah terlebih dahulu

memastikan bahwa aku sudah berbaring di kamar kami dalam

keadaan nyaman. Ketika kembali, ia sudah bersama satu orang bidan

dan satu orang dokter yang akan membantu proses persalinanku.

Saat-saat itu menjadi saat yang paling mendebarkan dan sempat

membuatku dihantui ketakutan. Aku menangis menahan sakit,

sekaligus merasakan rindu yang paling pilu terhadap Ibu. Baru saat

inilah kutahu beratnya perjuangan menjadi seorang ibu. Bagaimana

mungkin ibuku mampu bertahan melahirkan sepuluh anak berturutturut, sedang sakitnya begitu luar biasa seperti itu?

Akhirnya, melalui proses persalinan secara normal, lahirlah

anak pertama kami. Puji Tuhan, anak pertamaku lelaki! Tak terkira

kebahagiaan yang kami rasakan, terutama yang dirasakan oleh

suamiku. Aku sangat mengerti perasaannya. Bagaimana tidak,

ia adalah seorang lelaki yang telah memiliki satu orang anak

perempuan, namun tak pernah bisa memeluk dan melihatnya lagi.

Anak yang kulahirkan ini merupakan anugerah luar biasa baginya

karena akhirnya ia dapat melampiaskan seluruh kerinduannya

untuk memiliki seorang anak lelaki.

Bayi yang lucu, montok, dan sangat sehat itu kami beri nama

Dito. Ia lahir pada saat kota yang kami tinggali perlahan mulai

berubah menjadi lebih maju. Mata uang IBRP yang selama ini

dipakai di wilayah kami sudah diganti dengan mata uang rupiah

sehingga harga seluruh barang pun mulai disesuaikan. Toko-toko

mulai bermunculan satu per satu menjual beraneka rupa barang.

Nabire mulai menjelma menjadi kota yang ramai. Para pendatang

mulai berdatangan, terutama para transmigran yang datang dari

Pulau Jawa, membaur dengan masyarakat asli Irian.

Kantor bupati yang sebelumnya hanya berupa bangunan

sederhana, mulai direnovasi menjadi lebih bagus dan megah.

Gedung-gedung perkantoran mulai berdiri dengan gagah. Hutan

dan rawa yang lebat mulai dibabat dijadikan daerah pemukiman

baru. Bagiku, semua kemajuan yang terjadi di Nabire kala itu seakan

ditandai oleh kelahiran anak pertama kami tercinta. Anak yang

kelak kuharapkan akan tumbuh besar menjadi lelaki yang tampan

dan taat pada agama, yang akan menjadi pengikat hatiku dan Mas

Rono. Sejak itu pulalah panggilan kami untuk satu sama lain mulai

berubah. Aku memanggil suamiku dengan sebutan Bapak, dan

ia memanggilku dengan panggilan Ibu. Sebuah panggilan yang

terasa agung dan megah.

Ya, aku telah menjadi seorang ibu.

Sempurnalah aku menjadi perempuan seutuhnya.

Siapa Bilang Hidup Itu

Selamanya Indah

NABIRE, AWAL 1972

ada satu titik dalam kehidupan kami, Mas Rono mendapatkan

kesempatan belajar di APDN Jayapura. Sebelumnya, ia

memang lulusan dari sekolah pamong praja di Bandung. Jadi, di

APDN Jayapura ini, ia berkesempatan melanjutkan studinya ke

tingkat yang lebih tinggi. Tentu saja hal ini patut kami syukuri.

Dengan sedikit perasaan berat meninggalkan Nabire yang telah

sekian lama kami tinggali dan membawa kesan yang mendalam

bagiku, akhirnya aku dan Mas Dito ikut ke Jayapura, melepas

segala kenangan yang pernah kami catatkan di Nabire. Kutepiskan

impian untuk kembali mengajar murid-muridku tercinta, sekaligus

kuhapus bayangan wajah mereka satu demi satu. Nabire adalah

masa lalu, Jayapura adalah masa depan. Aku sudah bertekad untuk

menyongsong masa depan, seperti apa pun itu.

Maka sebelum berangkat, aku sempat membaca buku tentang

Jayapura. Kota yang satu ini termasuk kota yang cukup besar dan

kebetulan berada di wilayah paling ujung timur dari Indonesia.

Banyak orang menilai bahwa kota ini termasuk kota yang eksotis,

agak penasaran juga aku dibuatnya. Meskipun begitu, sampai

di Jayapura, aku belum bisa membuktikannya dan membuat aku

semakin penasaran. Di Jayapura, kami belum mendapat rumah

dinas hingga untuk sementara harus menyewa sebuah rumah

kontrakan di dekat kampus, daerah Waena. Di sana kami tinggal

beramai-ramai dengan banyak mahasiswa lainnya yang datang dari

berbagai daerah, baik yang masih bujangan maupun yang sudah

berkeluarga seperti kami.

Di mataku, Jayapura lebih ramah ketimbang Nabire. Fasilitas di

sana bisa dikatakan lebih lengkap hingga rasanya aku yang sudah

sekian tahun tinggal di Nabire bagaikan orang desa yang baru saja

datang ke kota, takjub dengan segala isinya. Di Jayapura inilah

ternyata ada sebuah gedung bioskop, sesuatu yang tidak pernah

aku temukan di Nabire. Jadilah kami berdua sering membawa Dito

pergi ke bioskop dan menonton film sepuasnya. Untuk kegiatan

yang satu ini, ada cerita yang tak bisa kulupakan dan sering

membuatku tersenyum sendiri. Pada suatu ketika, dalam sebuah

film Indonesia yang ber-setting di Kota Yogya, tugu Yogya tiba-tiba

tampak tegak berdiri di layar, dan bisa ditebak apa yang terjadi

denganku. Mendadak air mataku tumpah dengan derasnya, dadaku

menyesak teramat sangat. Ah, ternyata aku sangat merindukan

kota kelahiranku itu. Rasanya sudah berabad-abad aku tidak pulang

dan menengok keluargaku di sana meski komunikasi selalu lancar

melalui surat-menyurat. Kapankah aku bisa pulang menemui

keluargaku tercinta? Meski kehidupan kami terasa mulus dan

baik-baik saja, tapi sesungguhnya banyak hal tak terduga yang aku

rasakan selama mendampingi Mas Rono. Aku tahu pada dasarnya

suamiku adalah orang yang baik dan sangat perhatian. Namun jika

sedang tersinggung atau marah, suamiku itu bisa melampiaskannya

kepadaku secara berlebihan.

Ya, berlebihan rasanya sulit untuk menceritakan satu masa

dalam kehidupanku ini. Ingin rasanya aku lupakan atau buang

saja bagian ini dari sejarah hidupku. Tapi, entah kenapa aku tak

bisa dan tak mau membuang sejarah yang suka atau tidak suka

telah membentuk diriku menjadi semakin dewasa dan membentuk

cintaku pada Mas Rono menjadi sedemikian rupa indahnya.

Ya pada satu masa kami mulai sering bertengkar. Hal-hal kecil

bisa menjadi suluh dari pertengkaran yang kian membesar.

Pertengkaran itu biasanya terjadi karena kami tidak mau saling

mengalah. Ada yang menilai hal itu karena aku adalah anak paling

tua di rumah hingga tak terbiasa untuk menurut begitu saja pada

segala omongan suami. Tapi, setengah mati aku akan membela diri

jika ada yang menilai aku seperti itu.

Kuakui dalam sebagian besar pertengkaran, akulah yang

memulainya. Sebelumnya, aku merasa sudah berusaha menahan

diri. Jika kulihat suamiku sedang dalam kondisi tidak nyaman dan

merasa kesal, aku lebih banyak diam. Namun di lain waktu, aku

akan melawannya habis-habisan ketika aku merasa posisiku tidak

bersalah. Dan, pada saat-saat seperti itulah aku mulai mengenal

siapa suamiku sesungguhnya. Ia sering tak mampu mengontrol

emosinya dan sempat beberapa kali memukulku. Tentu saja ketika

hal itu terjadi pertama kali, aku sama sekali tak pernah menyangka.

Mas Rono yang selama ini sangat perhatian padaku, bisa melukai

hati sekaligus fisikku. Aku benar-benar tak pernah menyangkanya

sama sekali. Meskipun setiap kali melakukannya, suamiku selalu

meminta maaf sepenuh penyesalan, tak bisa kututupi betapa aku

merasakan luka hati yang teramat sangat. Aku yang sepanjang kecil

hingga dewasa tak pernah merasakan pukulan dari ayahku sendiri,

pada saat itu harus merasakan kekerasan dari suamiku, orang yang

selama ini aku percayai sepenuh hati. Aku sempat merasakan diriku

begitu terpuruk hingga badanku pun mengurus.

Untung kondisi seperti itu tak lama, aku mencoba bangkit lagi

demi cintaku pada anakku. Kucoba memahami kondisi keluarga

kecilku saat itu dengan lebih bijak. Kucoba juga memahami kondisi

psikologis suamiku yang sebelumnya pernah disakiti sedemikian

rupa oleh mantan istrinya dulu. Tentunya hal itu menyisakan trauma

yang cukup mendalam hingga ia akhirnya menjadi seorang lelaki

yang sempat beberapa kali tak mampu mengendalikan emosi. Aku

pun bangkit. Seorang Tatiek kutahu tak pernah menyerah.

Di situlah perjuanganku yang sesungguhnya dimulai. Aku

berusaha untuk menunjukkan bahwa aku mulai belajar untuk

mencintai suamiku dan berusaha membuktikan kepadanya bahwa

tidak setiap perempuan akan menyakitinya seperti yang pernah

dilakukan oleh mantan istrinya pada masa lalu. Meskipun pada

suatu hari aku tak bisa menahan sebuah pertanyaan yang

menggelisahkanku selama ini terlontar dari mulutku.

"Mas, cintakah kamu kepadaku?"

"Mengapa kamu mempertanyakan hal itu?" sergah Mas Rono

dengan muka yang agak cemberut. Mungkin ia merasa harga

dirinya terhina mendapat pertanyaan yang seolah menyangsikan

perasaannya.

"Nyuwun sewu, Mas, aku hanya ingin tahu. Selama ini, sejak

menikah, Mas sama sekali tak pernah mengungkapkan perasaan

Mas kepadaku lagi. Tak pernah Mas mengatakan bahwa Mas

mencintaiku. Apakah karena pernikahan kita ini hanya dijodohkan

oleh orang tuaku saja? Jujurlah, Mas." Kali ini emosiku sudah ikut

campur. Kebetulan saat itu Dito masih menyusu padaku. Kuusap

kepalanya yang dipenuhi keringat. Cuaca memang sedang sangat

panas, pun demikian dengan hatiku.

"Dik, aku minta maaf. Aku sama sekali tak pernah bermaksud

menyakitimu. Sungguh. Aku sangat menyesal. Tapi, tak usah kamu

tanyakan lagi bagaimana perasaanku padamu. Tidakkah apa yang

kuperbuat selama ini sudah cukup membuktikannya? Aku bukan

anak kemarin sore yang dengan mudahnya mengumbar kata cinta.

Aku hanya mampu berusaha memperlihatkannya dengan caraku

sendiri."

Aku terdiam cukup lama.

"Kamu tahu, mengapa aku mau bersusah payah menanam

sayuran di kebun kita di Nabire? Mengapa aku rela berangkat

pada malam yang gelap menyusuri hutan menuju sungai hanya

karena kamu ingin makan ikan atau udang? Kamu tahu, mengapa

setiap pagi kamu tak pernah sekali pun melewatkan kebiasaanmu

membuatkan aku secangkir kopi hitam dengan gula yang sesuai

seperti kesukaanku? Itulah yang dinamakan cinta, Dik, tanpa perlu

merendahkan arti cinta itu dengan melontarkannya terlalu sering

melalui kata-kata. Karena terkadang kata-kata hanya menjadikannya
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak bermakna."

Sampai di situ, aku mulai merasa mataku menghangat. Lekas

aku menunduk berusaha menyembunyikannya dari tatapan Mas

Rono.

"Kalau dirimu merasa bahwa aku tidak mencintaimu karena

perlakuanku yang mungkin teramat buruk akhir-akhir ini ter

hadapmu, aku tak bisa menyalahkan. Kuakui aku memang lekas

emosi dan tak terkontrol belakangan ini."

Mas Rono lantas bangkit dari duduknya dan menghampiriku

yang hanya berjarak sejengkal dari dirinya. Diraihnya Dito yang baru

saja selesai menyusu dan erat ia dekap dalam pelukannya.

"Anak kita ini adalah anak yang sangat aku nantikan kehadiran

nya, sejak pertama kali ia masih belum berbentuk apa-apa di

perutmu. Kamu kupinang karena aku ingin bisa membangun

kembali sebuah keluarga yang utuh, memiliki istri yang bisa kucintai

dan kubahagiakan sepenuh hati. Maafkan aku, jika belakangan ini

caraku salah. Maafkan aku."

Sambil masih terus menggendong Dito dengan lengan kirinya,

Mas Rono meremas jemariku. Pertahananku bobol, air mataku

tak mampu lagi kubendung. Oh, sesungguhnya telah jauh hari

kumaafkan apa pun sikapnya yang mungkin menyakitiku. Meskipun

aku belum mampu mencintainya, namun tak dapat kupungkiri

bahwa aku ingin dicintai olehnya, oleh lelaki pilihan Bapak yang

kupercaya akan mampu berjalan bersamaku menuju hari esok nun

di depan sana.

Senja itu, untuk pertama kalinya, kami berpelukan bertiga.

Dalam diam yang mengandung berjuta kata berlesakan di

udara, pengertian-pengertian yang tak terucapkan hanya mampu

menyesaki ruang-ruang hati kami.

ANAK pertama kami barulah berusia 10 bulan ketika aku menyadari

bahwa aku tidak datang bulan. Lekas aku memeriksakan diri

ke dokter, dan benar sangkaku. Aku kembali hamil anak kedua,

puji Tuhan! Padahal saat itu aku sudah kembali bekerja menjadi

karyawan di PUSKAT Hamadi di Jayapura. Di Jawa, yang kutahu

hamil ketika anak sebelumnya masih sangat kecil disebut dengan

hamil bumbung, atau nyundul.

Mendengar kabar kehamilan keduaku ini, Mas Rono begitu

semringah. Tak henti-hentinya ia menebar tawa di rumah kami. Ia

ajak Dito bercakap-cakap, memperkenalkan calon adik yang bahkan

belum terbentuk di rahimku. Rumah tangga kami kembali adem

ayem, tenteram, dan sifat meledak-ledak suamiku jauh berkurang

drastis. Kami mulai lebih sering bercakap tentang segala hal,

memperbaiki pola komunikasi kami yang mungkin kurang baik di

hari-hari yang lalu.

Aku bersyukur karena kehamilan keduaku ini tidak mengalami

masa-masa sulit seperti kehamilan pertama. Aku tidak sering

muntah-muntah pada awal kehamilan. Mungkin karena tubuhku

sudah terbiasa dengan kondisi hamil. Jadilah, aku berusaha menjalani

aktivitas sehari-hari dengan tanggung jawab yang semakin besar.

Setiap pagi kutitipkan Dito kepada istri dari teman-teman Mas

Rono di rumah sebelum kami berangkat ke tempat kerja. Tak lupa

kusampaikan pula kabar menggembirakan itu kepada keluargaku

di Yogyakarta, dan mereka, seperti yang telah kuduga, amat sangat

gembira menyambut kabar tersebut.

Sebagai mahasiswa yang sedang tugas belajar dan sudah

menikah, tentu tanggung jawab suamiku semakin bertambah.

Gaji kami sering kali tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari. Untunglah, dari kampus suamiku, kami mendapat uang

saku sebesar sepuluh ribu rupiah. Jumlah itu termasuk lumayan

pada saat itu karena bisa dipakai untuk membeli susu dan berbagai

keperluan Dito lainnya. Jika sudah memasuki tanggal tua, menu

makan kami hanyalah ikan mujair goreng yang kami ambil dari

kolam dan sesekali tumis kangkung menyertainya. Kangkung yang

kami ambil dari sekitar kolam dan terkadang minyak gorengnya

sering terpaksa harus mengutang dari kios yang berada tak jauh

dari tempat tinggal kami.

Memasuki usia delapan bulan kehamilan, aku memutuskan

untuk berhenti bekerja dan kembali fokus di rumah, terutama

untuk menyambut kelahiran anak kedua kami. Ketika itu kami

mendapat kejutan tak terduga. Adikku, Joni, datang dari Jawa untuk

meneruskan sekolah sambil membantu aku, kakaknya. Kedatangan

Joni menghapus sedikit rasa rinduku pada rumah di Yogya.

Tahun 1972, anak keduaku lahir di Jayapura. Seorang bayi

perempuan cantik nan sehat, kami beri nama Dina. Kehadirannya

menjadi pelengkap bagi keluarga kecil kami. Akhirnya, sempurna

sudah aku dan Mas Rono menjadi orang tua dari sepasang

bayi yang sehat dan lucu. Dan sejujurnya, meski hidup dengan

penghasilan yang pas-pasan, aku mulai menikmati kehidupan di

Jayapura. Sayangnya, ketika aku mulai menikmati satu masa dalam

kehidupanku ini, Mas Rono yang telah menyelesaikan kuliahnya di

APDN, harus pasrah saat mendapatkan tugas untuk ditempatkan di

Kabupaten Paniai, Kecamatan Moanemani, Irian. Aku pun sebagai

istri tak bisa tidak harus menyertai suamiku.

#10

Melangkah Lagi

ke Tempat yang Baru

MOANEMANI, 1974

ami sekeluarga harus kembali melangkahkan kaki ke tempat

yang benar-benar baru. Dengan menumpang pesawat

Cesna, kami terbang menuju petualangan kami selanjutnya. Kali

ini, kami membawa serta dua anak yang sudah tumbuh menjadi

balita yang aktif. Sementara, Joni terpaksa kami tinggal di Jayapura

karena ia masih harus menyelesaikan sekolahnya. Dari dalam

pesawat, kulihat pemandangan di bawah sana, dan mataku seakan

tak mau berkedip. Kecamatan Moanemani ternyata sungguh

indah, sepanjang mata memandang yang ada hanya hijaunya

pepohonan. Semoga indah pula segala kenang yang akan kami

catatkan di dalamnya, demikian bisik hatiku.

SK yang dikeluarkan untuk suamiku adalah SK sebagai camat.

Ya, suamiku ditunjuk sebagai camat yang akan mengabdi di

wilayah Kecamatan Moanemani, Irian Barat. Tugas ini harus siap

ia emban dengan sebaik mungkin, dengan aku sebagai istri yang

akan mendampinginya ke mana pun ia pergi. Kedatangan kami

di kecamatan itu disambut oleh masyarakat dengan sangat baik.

Sebagai seorang abdi masyarakat, sepak terjang suamiku sudah tak

diragukan lagi. Aku sendiri diam-diam mengaguminya. Kinerjanya

yang luar biasa mampu menjadikan kecamatan tempatnya bertugas

jauh lebih baik. Mula-mula ia merapikan kantor camat terlebih

dahulu. Kebersihannya diperhatikan betul, sistem administrasinya

pun diperbaiki. Setelah itu, ia baru mulai mengelola wilayahnya

dengan begitu teliti. Rumah-rumah warga ditata rapi, dipasangkan

pagar, dan babi yang berkeliaran di jalan harus dimasukkan ke

dalam kandang, tidak boleh sembarangan dikeluarkan. Intinya,

lingkungan diatur menjadi sedemikian rapi.

Selain masalah fisik, masalah hukum pun tak luput dari per

hatiannya. Banyak permasalahan masyarakat yang harus ia tangani

sebagai camat. Hukum Indonesia yang berlaku, ia sesuaikan

dengan hukum adat. Dalam hal ini, Mas Rono tampaknya tahu

benar bahwa ia tidak boleh serampangan. Ia harus hati-hati dan

bijaksana menyikapi segala persoalan. Memang tidak mudah

menjadi seorang camat di wilayah pedalaman. Banyak kendala

yang harus ditangani dengan baik, dan sepertinya suamiku bekerja

nyaris 24 jam dalam sehari.

Sebagai istri, aku tak mampu membantunya, selain berusaha

sekuat tenaga untuk selalu mendukung dan memudahkan keseharian

nya, misalnya dengan tidak terlalu melibatkan dirinya dalam

permasalahan rumah tangga dan sebisa mungkin menyelesaikan

sendiri semua urusan rumah. Hal itu bukan karena aku bermaksud

mengenyampingkan perannya sebagai seorang pemimpin di

keluarga kami, justru sebaliknya, aku ingin ia mampu fokus dan

mengerahkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk masyarakat.

Segala kasus yang dilakukan oleh warga harus ditangani

langsung olehnya. Tak jarang bahkan ia harus mengorbankan harta

bendanya demi penyelesaian kasus tersebut. Seperti ketika seorang

pegawai harian di kecamatan membuat gempar desa dengan

ulahnya yang membawa kabur anak gadis dari suku setempat,

suamiku harus menenangkan warga yang mengamuk dan

menyelesaikan perkara tersebut dengan bijaksana. Pegawai harian

di kecamatan itu pun akhirnya terpaksa harus membayar denda

sesuai dengan hukum adat setempat yang berlaku, dan ia harus

dipulangkan kembali ke Jayapura. Ternyata, pegawainya tersebut

tidak mampu membayar denda yang diminta. Lantas, bagaimana

menyelesaikannya? Karena ia adalah pegawai kecamatan, otomatis

denda akhirnya harus dibayarkan sendiri oleh sang camat yang

tak lain dan tak bukan adalah suamiku. Tidak tanggung-tanggung,

denda yang harus dibayarkan ternyata jumlahnya sama dengan

satu kali gaji! Belum lagi Mas Rono harus mengeluarkan biaya-biaya

lainnya, seperti menyewa pesawat Cesna untuk memulangkan

pegawainya itu, pun harus membekalinya dengan uang saku. Aku

sebagai istrinya tentu saja mau tak terkena imbasnya. Untung saja

mengetatkan ikat pinggang sudah bukan hal yang baru bagiku dan

keluarga kecilku.

Sungguh, jika bukan orang yang kuat mental, tentu tidak ada

yang akan sanggup menjabat sebagai camat di sana. Aku sendiri

yang tidak terlibat dan hanya mendengar dari cerita-cerita suamiku

dan masyarakat sekitar hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala

dan mengelus dada mendengar cerita tersebut. Bukan itu saja,

aku masih ingat satu kejadian di kecamatan kami yang kembali

membuat geger seisi kampung. Lewat tengah malam ketika kami

terlelap, pintu rumah kami diketuk orang. Rupanya ada yang datang

membawa kabar bahwa di desa yang cukup jauh dari tempat

kami, telah terjadi pembunuhan terhadap seorang perempuan.

Bukan hanya dibunuh, mayatnya pun dimutilasi. Pelaku yang tak

lain adalah suaminya sendiri kabur ke hutan sewaktu polisi akan

menangkapnya. Suamiku yang mendengarkan laporan itu dengan

tenang dan penuh perhatian mendengarkannya, sementara aku

ngeri setengah mati.

Beberapa hari setelah peristiwa yang menghebohkan itu kembali

pintu rumah kami diketuk orang lewat tengah malam. Ketika pintu

dibuka oleh Mas Rono yang setengah mengantuk, di depan pintu

sudah berdiri seorang lelaki berkulit hitam legam dengan memakai

koteka. Lelaki itu rupanya hendak menyerahkan diri. Ia mengaku

telah membunuh istrinya. Lelaki itu tak mau menyerahkan diri

kepada polisi. Ia hanya mau menyerahkan diri pada Pak Camat! Aku

yang mendengarkannya agak bergidik, tetapi sekaligus juga hanya

bisa geleng-geleng kepala mendengar permintaan lelaki itu.

Dua permasalahan itu tentu tak bisa dibandingkan dengan

seribu satu permasalahan lain yang terus berdatangan, baik siang

maupun malam. Kasus-kasusnya pun tak bisa dikatakan ringan, mulai

dari kasus pemerkosaan, poligami tanpa izin, hingga memikirkan

cara agar masyarakat setempat mau memakai pakaian. Meskipun tak
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya masalah yang datang, tak jarang datang pula berbagai hadiah,

seperti babi, makanan, dan lain sebagainya. Rupanya hadiah-hadiah

tersebut sering dimaksudkan sebagai "sogokan" agar suamiku mau

melunakkan sikapnya dalam kasus-kasus tertentu. Nah, untuk yang

satu ini aku tak bisa meredam kekagumanku pada suamiku karena

ia sama sekali tak pernah mengindahkan mereka. Harga dirinya

terlalu tinggi untuk mau menerima berbagai upaya sogok dan suap

tersebut. Meskipun sering kali "sogokan" itu adalah sesuatu yang

memang sedang kami butuhkan pada saat itu. Risikonya tentu saja

adalah hidup kami tidak lekas menjadi kaya karenanya.

Aku masih ingat ketika Mas Rono harus berupaya menjalankan

"Operasi Koteka", di mana ia dan seluruh jajarannya harus berpikir

keras mengupayakan masyarakat mau melepaskan koteka yang

menjadi pakaian adat mereka dan memakai pakaian yang layak serta

menutup aurat. Dibuatlah aturan oleh camat bahwa masyarakat

harus menanam kopi dan mereka akan diupah dengan pakaian baik

untuk lelaki maupun perempuan, tanpa kecuali. Banyak masyarakat

yang menolak aturan tersebut karena mereka berpendapat bahwa

percuma memakai pakaian kalau tidak punya uang untuk membeli

sabun. Namun sebagai camat yang bertanggung jawab, Mas Rono

tak pernah berputus asa untuk terus mengingatkan mereka akan

pentingnya berpakaian.

Ada satu peristiwa lucu. Dito, putra pertamaku, yang saat itu

masih berusia 5,5 tahun terpaksa harus kami sekolahkan langsung

di SD YPPK Moanemani karena saat itu tidak ada taman kanak-kanak

di sana. Setiap hari teman-temannya berangkat ke sekolah dengan

memakai pakaian adat. Teman-teman perempuannya memakai

more, sementara yang lelaki memakai koteka seluruhnya. Hanya

Dito yang berangkat ke sekolah dengan memakai celana dan

kemeja. Setiap pulang sekolah, Dito akan membawa satu atau dua

orang temannya pulang ke rumah. Semula aku berpikir ia hendak

mengajak teman-temannya itu bermain, tapi aku salah sangka.

Ternyata ia meminta kepadaku, ibunya, agar mau memberi celana

dan baju untuk temannya itu. Ketika itu, aku tak pernah menolak

permintaannya tersebut. Dalam hati, aku justru bangga karena

sekecil itu anakku sudah mampu memengaruhi teman-temannya

ke arah kebaikan.

Masih sangat banyak kisah yang kami alami selama di

Moanemani. Beribu cerita yang tak akan pernah mampu kami

lupakan, sama seperti segala kenangan kami di Nabire dan Jayapura.

Semua kenangan itu memberi kesan dan arti yang mendalam baik

untuk diri kami sendiri, maupun untuk keluarga kami. Perjalanan

kehidupan kami pun tak terhenti sampai di situ. Kami masih harus

berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang semuanya masih

termasuk wilayah Irian Barat. Aku pun pada akhirnya terbiasa

mengemasi seluruh barang milik kami dengan cepat, siap untuk

pindah ke tempat yang baru.

Pulang

MOANEMANI, 1977

erbagai peristiwa datang silih berganti dalam kehidupan

kami. Suka duka mendampingi Bapak sebagai seorang

pejabat di wilayah pedalaman betul-betul kujalani dengan sepenuh

hati. Aku nyaris lupa bahwa telah bertahun-tahun aku tak pernah

pulang ke Yogyakarta, kota kelahiranku tercinta. Anak-anakku hanya

mengenal eyang mereka dari cerita-ceritaku dan dari foto yang

rutin dikirimkan oleh keluarga besar kami, baik dari pihak suamiku

maupun dari pihakku.

Tak kuelakkan kenyataan bahwa seringkali kerinduan akan

pulang menyergapku sedemikian rupa hingga aku merasa amat

nelangsa di tempat yang teramat jauhnya ini. Namun, berulang kali

pula kuenyahkan perasaan-perasaan tersebut. Di mana pun kami

tinggal, di situlah keluarga kami berada, kucoba menanamkan

prinsip itu. Kedua orang tua dan kedelapan adikku senantiasa hidup

dalam setiap doa yang kupanjatkan setiap saat. Bukan tak ingin

kami pulang kampung, menuju pangkuan orang tua dan kerabat

tercinta, namun kendala kondisi yang belum memungkinkan,

membuat kami harus menahan kerinduan itu lebih lama. Aku

yakin, kelak akan ada saatnya kami untuk pulang.

Sungguh merupakan suatu perjuangan berat bagi kami untuk

bisa mengambil cuti dan pulang ke Yogyakarta menemui keluarga

tercinta. Setiap harinya, kerinduan selalu kami larungkan dalam

doa-doa harian, memohon agar kami diberi kesempatan pulang ke

tanah kelahiran.

Dan, pada suatu hari doa kami dikabulkan Tuhan, meski

melalui cara yang tak kami sangka-sangka. Mas Rono tiba-tiba

jatuh sakit. Di wilayah kami, saat itu belum ada Puskesmas apalagi

rumah sakit. Agar Mas Rono bisa diperiksa oleh dokter, kami harus

menempuh perjalanan menaiki pesawat Cesna selama tujuh menit

menuju ke Puskesmas terdekat yang memiliki dokter jaga. Setelah

diperiksa, rupanya dokter tak menemukan tanda penyakit apa

pun pada tubuh suamiku. Berulang kali diperiksa, tetap hasilnya

nihil, suamiku baik-baik saja katanya. Namun, keadaannya tak

kunjung membaik. Hingga suatu hari, ketika bupati berkunjung ke

Kecamatan Moanemani, aku memberanikan diri untuk meminta

waktu bertemu dengan Beliau dan memohon izin dari Bupati agar

kami diperbolehkan pulang ke Yogyakarta untuk memeriksakan

Mas Rono ke rumah sakit di sana.

Kenekatanku untuk bicara langsung dengan Pak Bupati sangat

beralasan. Selama ini Mas Rono selalu saja mengenyampingkan

kepentingan pribadi kami di atas kepentingan pekerjaannya. Jadi,

menurutku sangatlah wajar kalau inilah waktu yang tepat untuk

sedikit menuntut hak kami. Di luar dugaan, Pak Bupati sangat

mendukung permintaanku tersebut. Ia malah memperbolehkan

Mas Rono cuti dan mengajak kami sekeluarga pulang kampung atas

biaya yang ditanggung sepenuhnya oleh Beliau. Puji Tuhan!

Entah kenapa, aku merasa obat yang paling mujarab untuk

segala sakit sekarang ini adalah pulang, menuntaskan segala

kerinduan yang kami pendam selama ini. Kami berempat, aku,

Mas Rono, Dito, dan Dina, akhirnya bisa terbang menuju tanah

kelahiran tercinta, Yogyakarta. Tak terkirakan betapa bahagianya

hati kami semua karena bisa bertemu kembali dengan orang tua

dan sanak saudara yang selama tujuh tahun dipisahkan oleh jarak

yang sedemikian jauh. Bukan hanya kami, bahkan kedua anak

kami yang saat itu masih kecil-kecil juga sangat antusias dengan

kepulangan ini. Maklum, seumur-umur mereka belum pernah pergi

begitu jauhnya dari tanah tempat mereka dilahirkan. Sesampai di

Kota Yogya, mereka sangat takjub melihat perkembangan teknologi

yang belumlah sampai di Irian ketika itu. Mereka bisa menonton

televisi, sebuah benda yang bahkan belum ada di rumah kami.

Tapi yang terpenting dari semuanya, tepat seperti dugaanku,

sakit Mas Rono mendadak hilang ketika kami tiba di kampung

halaman. Ia menjadi sehat kembali, segar bugar seperti sedia kala.

Terutama, ketika akhirnya kami menyempatkan diri pulang ke

Tepus, kampung halaman suamiku. Kami disambut seperti tamu

agung. Sebuah pesta besar diadakan untuk merayakan kepulangan

kami. Tak tanggung-tanggung, seekor kambing dan banyak ayam

dipotong untuk dimasak dan disuguhkan bersama dengan beraneka

hidangan lezat lainnya. Aku sungguh merasa terharu. Maklum, baru

kali ini pula aku menginjakkan kaki di kampung tempat Mas Rono

dilahirkan.

Baru beberapa hari aku menikmati kepulanganku, pada suatu

pagi, ketika kami sedang menginap di rumah orang tuaku?selama

cuti, kami sekeluarga menginap bergantian di rumah orang tua

suamiku di Tepus dan di rumah orang tuaku di Yogya?tiba-tiba Ibu

menghampiriku yang sedang duduk sendirian di beranda sambil

memandangi kedua anakku bermain di halaman, persis seperti

adik-adikku dulu, bertahun-tahun yang lalu.

"Tatiek, Ibu mau bicara padamu, Nak." Ibu membuka percakapan

di antara kami. Aku tersenyum. Percakapan dari hati ke hati dengan

Ibu seperti inilah yang begitu aku rindukan selama jauh dari

kedua orang tuaku. Percakapan antara seorang ibu dengan anak

perempuannya yang sekarang sudah begitu matang dan menjadi

orang tua pula.

"Tumben, bicara saja pakai pamit segala, Bu. Ono opo to?" tanyaku.

"Sebetulnya ada hal yang Ibu rahasiakan selama bertahuntahun ini dari kamu, Nduk. Maafkan Ibu ya."

Aku mengernyitkan kening. Tak biasanya Ibu bermain rahasiarahasiaan begini. Apalagi katanya rahasia yang akan ia ungkapkan

pagi ini sudah disimpannya bertahun-tahun. Tumben. Rahasia

apa? Aku menjadi sangat penasaran.

"Ibu, ada apa?" desakku tak sabar.

Ibu menghela napas panjang.

"Sebenarnya sebelum kamu menikah dengan Nak Soerono,

temanmu yang bernama Wawan pernah datang ke rumah ini. Waktu

itu kamu dan Nak Soerono sedang berada di Jakarta. Ia mencarimu,

namun Ibu bilang kamu tidak ada. Akhirnya, ia menitipkan sebuah

surat pada Ibu."

Aku terus terang sangat terkejut mendengar penjelasan Ibu

hingga tak mampu berkata apa-apa. Sejenak kesunyian melingkupi

kami, sampai akhirnya aku tersadar dan kembali bertanya pada Ibu,

"Surat apa, Bu? Apa isinya?"

Ibu kelihatan agak tidak enak.

"Surat itu... eng ... surat itu berisi tumpahan perasaannya

kepadamu, Nduk. Di surat itu, ia tulis bahwa ia naksir sama kamu

sejak lama."

Sungguh, aku tak menyangka bahwa rahasia itulah yang Ibu

pendam selama bertahun-tahun. Sejenak aku diam mencoba

mencerna seluruh perkataan Ibu, namun kemudian aku tertawa.

"Hahaha, Ibu.... Kenapa Ibu tidak pernah menyampaikan surat itu

kepadaku?"

"Karena Ibu dan bapakmu saat itu sedang berniat menjodoh

kanmu dengan Nak Soerono. Kami takut jika membaca surat itu,

kamu akan berubah pikiran dan ndak mau dinikahkan dengan

laki-laki yang menjadi suamimu sekarang itu," jelas Ibu.

Aku kembali tertawa. Sungguh unik jalan hidup yang

disuguhkan Tuhan kepadaku. Andai saja surat dari Mas Wawan

itu diserahkan kepadaku saat itu juga, hampir pasti aku memang

akan lebih memilih Mas Wawan yang jelas-jelas sudah kukenal lama

dan sudah kuketahui perasaannya kepadaku. Namun, itulah yang

dinamakan takdir. Jodoh dan kematian, hanya Tuhan yang mampu

menentukan. Tak bisa kupungkiri, ada rasa yang tiba-tiba muncul

di sela-sela tawaku. Meski ketika itu aku tak bisa menamainya apa,

apakah sedih, nelangsa, atau.... Ah, kugantungkan saja tanda tanya

itu. Tak mungkin aku menyesali yang sudah terjadi, apalagi di depan

mataku saat ini ada dua buah hatiku yang tak akan mungkin hadir

di dunia jika aku tak menikah dengan Mas Rono. Dosa besar jika

aku menyesali keputusanku untuk menikah dengan Mas Rono

beberapa tahun lalu. Aku melihat Ibu memperhatikan betul-betul

roman mukaku. Aku tahu ia merasa sangat bersalah. Tapi, pada saat

itu entah kenapa aku merasa lebih bersalah karena membiarkan Ibu

menanggung beban ini begitu lama. Untung saja Ibu tak sampai


Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Pendekar Gila 24 Tujuh Tumbal Perawan Harian Vampir 04 Takdir

Cari Blog Ini