Ceritasilat Novel Online

Pengantin Kecilku 5

Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono Bagian 5

barangkali?" katanya kemudian sambil meletakkan

gelas kosong ke tempatnya kembali.

"Tidak. Cuma tolong bawakan makanan ini untuk

isengiseng di sana!" Sambil berkata begitu Ati masuk

ke dalam. Ketika keluar kembali, di tangannya terdapat beberapa bungkus makanan kering.

"Terima kasih, Mbak. Bagianku pasti ada di sini!"

Wawan tertawa sambil menerima bungkusan yang

diulurkan oleh Ati kepadanya.

"Pasti!" tawa Ati. "Nanti dulu, kuambilkan kantong

plastik."

Sesudah semuanya beres, Wawan pamit.

"Aku akan langsung ke sana. Sekali.iagi terima

kasih atas segala galanyal"

"Sudah tahu alamatnya?" tanya Ati dengan

pandangan geli.

"Ya belum to!" Wawan tergelak. "Wah, hampir saja

aku mengobrak-abrik seluruh Kaliurang!"

"ltulah kalau terburu-buru. Mari sini, kubuatkan

petanya!" sahut Ati sambil menggeleng gelengkan

kepalanya. "Orang kok tidak sabaran. Seperti tak

tahan lagi ingin bertemu dengan kekasih. Hati hati,

Dik Wawan, jangan sampai pikiranmu terbelah belah."

"Terbelah bagaimana?" Wawan menoleh dengan

pipi yang dilintasi rona merah.

"Yah, kau kan sudah mempunyai calon istri. Jangan sampai membuat kekasihmu itu cemburu. Kau

terlalu berlebihan terhadap Nunik sih. Kalau aku

jadi kekasihmu. sudah kulabrak kau sejak kemarinkemarin. Atau sedikitnya, akan kuminta kau supaya

menentukan pilihan!"

Cara bicara Ati yang biak-biakan itu memang

tidak mengandung tujuan khusus, tetapi tetap saja

menyentuh perasaan Wawan yang paling dalam.

Sebab apa yang dikatakan oleh Ati dengan bergurau

itu memang beralasan.

Merasa tak enak, begitu Ati selesai menggambar

peta letak rumah peristirahatannya itu, Wawanlangsung berangkat sesudah pamit. Dan dengan kecepatan

sedang lelaki itu melarikan mobil menuju ke atas.

Letak Kaliurang tidak terlalu jauh dari Yogya. Hanya

sekitar 27 kilometer. Apalagi jalannya mulus dan

lalu-lintasnya tak padat. Tak sampai sejam ia pasti

sudah sampai ke tempat yang dituju. Lebih-lebih

karena selain peta yang digambarkan oleh Ati itu

begitu jelas, daerah Kaliurang sendiri pun tidaklah

terlalu padat dan tidak sulit ditelusuri. Oleh sebab

itu tanpa banyak menemui kesulitan Wawan dapat

menemukan rumah peristirahatan Ati. Apalagi ia

melihat dua orang tukang yang sedang membuat

taman. Menurut Ati tadi, kedatangan Nunik yang

ingin menghindari Hardiman merupakan kebetulan

yang menguntungkan baginya. Sebab perempuan itu

bisa dimintainya bantuan untuk mengawasi pekerjaan

tukang-tukang yang sedang mengerjakan tamannya

itu. Dengan demikian ia sendiri tak usah harus

mondar-mandir ke Kaliurang.

Tatkala Wawan berhenti di muka rumah peristirahatan yang mungil tetapi cantik itu, Nunik tidak

kelihatan. Tetapi tatkala ia berjalan menuju pintu,

lelaki itu melihat Nunik sedang duduk di ruang

tamu dengan sikap amat santai. la sedang sibuk

mengisi teka-teki silang sehingga pendengarannya

tak tersentuh kedatangan Wawan.

"Kulonuwzm...," Wawan berkata sambil mengetuk

pelan daun pintu rumah yang terbuka itu.

Nunik menoleh dan kedua belah kakinya yang

semula bersetumpu pada meja di mukanya terlepas.

"Kau" desisnya, menyuarakan ketidakpercayaannya. "Kok bisa sampai kemari sih?"

"Tentu saja bisa," Wawan menjawab sambil melangkah masuk, kemudian duduk di muka Nunik.

"Karena aku sengaja melacak kepergianmu. Dan kebetulan semua orang yang kutanyai tentang hal itu

memberi bantuan yang baik sekali."

"Kenapa kau menyusulku?"

."Karena aku ingin sekali bertemu denganmu!"

"Apakah itu berkaitan dengan sikap kasar Mas

Hardiman kepadamu kemarin?"

"Bukan."

"Bukan? Kalau begitu, karena apa?"

"Karena aku ingin berbincang-bincang sedikit denganmu!" jawab Wawan. "Tetapi sebelumnya, terus

terang saja aku lapar. Apakah ada makanan di sini?"

. "Ada warung di dekat sini. Masakannya lumayan.

Meskipun tempatnya sederhana, tetapi bersih. Mau?"

"Mau sekali. Ayo kita ke sana sekarang!" kata

Wawan sambii meiihat arlojinya. Jam sebelas lebih

sedikit.

Wawan memang merasa perutnya sudah minta

diisi. Tetapi masalahnya bukan sekadar ingin makan

sesuatu. Sebab dari apa yang pernah dibacanya di

sebuah artikel, ia tahu bahwa berbicara hal-hal' yang

penting dengan perut kosong sering kali tak dapat

mencapai penyelesaian yang baik. Jadi ia memutuskan

untuk mengisi perut lebih dulu, karena perutnya

sudah terdengar keroncongan.

"Ayolah kalau kau memang merasa lapar. Tetapi

aku hanya menemanimu saja lho. Aku masih belum

lapar."

"Baiklah."

Di warung yang tak jauh dari rumah peristirahatan

'269

milik Ati dan suaminya itu sepi. Memang belum

saatnya orang makan siang. Untuk menemani Wawan

makan, Nunik meminta dibuatkan es campur. Dan

dia meminumnya pelan pelan untuk menyamai waktu

yang dipakai oleh Wawan untuk makan. Sesekali

mereka membicarakan hal hal yang umum, yang tak

ada kaitannya dengan kehidupan pribadi mereka

masing-masing. Tetapi rupanya Wawan sudah tidak

sabar lagi. Begitu perutnya terasa nyaman oleh nasi

rawon dengan lalap toge dan telur asin itu, ia menyandarkan punggungnya ke kursi dan langsung

membicarakan apa yang ingin dikatakan kepada perempuan yang duduk di mukanya itu.

"Jeng, kenapa kau menyembunyikan perceraianmu

dengan Hardiman dariku?" tanyanya tanpa senyum,

tetapi mengagetkan.

"Aku tidak menyembunyikannya. Aku hanya tidak

mengatakannya kepadamu karena kau tidak menanyakan tentang hai itu!" sahut Nunik tanpa berani menatap mata Wawan.

"Bagaimana aku akan bertanya hal semacam itu

kalau setiap kali kita bicara mengenai kehidupanmu

selama sepuluh tahun ini, kau selalu memberi kesan

padaku bahwa kau masih menjadi istri Mas

Hardiman? Dan bahkan memberi kesan bahwa saat

ini suamimu sedang bertugas ke luar kota sehingga

seolah-olah kau berlibur ke rumah eyangmu itu untuk

mengisi kesendirianmu selama ditinggal suami."

Nunik tidak menjawab. Perhatiannya diiarikannya

kepada isi gelas di depannya. Tangannya mengadukaduk sehingga sepotong cincau hitam meloncat ke

luar.

"Kok diam, Jeng?" desak Wawan. "Takut mengakuinya. ya?" '

Mendengar- itu Nunik mengangkat wajahnya dan

menghentikan gerak tangannya yang iseng itu.

"Bukannya takut mengakuinya, Mas. Tetapi... tetapi

ada alasan-alasan yang membuatku tak ingin kau

tahu mengenai perceraianku dengan Mas Hardiman!"

sahutnya lama kemudian.

"Boleh aku tahu apa alasan itu?"

"Tidak begitu penting, Mas. Kecuali aku hanya

merasa sedikit malu kenapa jalan pintas itu harus

kutempuh!"

"Aku yakin, alasan itu benar demikian. Aku kenal

dirimu yang begitu teguh menghormati nilai-nilai

perkawinan. Tetapi aku juga yakin itu bukan alasan

utama. Kau sudah mengenal diriku. Kau pasti tahu

aku bukan orang yang lekas menyalahkan atau mencela tindakan orang. Apalagi aku kenal dirimu dengan

baik. Tetapi kau toh tetap menyembunyikan kenyataan

itu dariku. Nah, kuharap sekarang kau mau menjelaskannya. Aku ingin mengetahuinya!"

"Tidak ada hal hal yang sifatnya khusus kok!"

"Baiklah, Jeng," Wawan menghela napas panjang.

"Kalau kau memang tak mau mengatakannya kepadaku, aku tak akan memaksamu!"

"Maaf. Percayalah, aku tak berniat jelek dalam

hal ini!"

"Oh, tanpa kaukatakan pun, aku tahu," Wawan

menjawab sambil memberi isyarat kepada pemilik

warung untuk mencatat berapa yang harus dibayarnya.

"Tetapi kan harus tahu bahwa aku masih menunggu

jawabanmu secara jujur. Caramu menutupi perceraian

tim itu dariku sementara kepada orang lain bahkan

juga kepada Mbok Surti tidak, membuatku merasa

tersinggung. Jadi, kau harus menjelaskannya. Aku

tak memaksamu seperti kataku tadi, tetapi aku menghimbau agar kau mau bersikap jujur, mengapa aku

kauperlakukan berbeda dari perlakuanmu terhadap

yang lain. Apalagi kalau diingat hubungan kita yang

akrab selama ini. Kenapa justru kepadaku kau inenyembunyikannya. ini yang tak bisa kuterima, Jeng.

Maka kutunggu penjelasanmu. Oke?"

Nunik' tidak menjawab. Dibiarkannya lelaki itu

mengeluarkan dompet dan membayar makanan dan

minuman yang mereka nikmati tadi. Kemudian ia

berdiri mengikuti langkahalangkah kaki Wawan keluar

dari warung itu.

Sementara itu panas' matahari di awal musim kemarau terasa seperti menggigit. Langit begitu bersih.

Teriknya panas mentari siang menyirami bumi tanpa

penghalang apa pun. Nunik berjalan di sisi Wawan

masih dengan membisu. Tetapi lelaki yang berjalan

di sampingnya itu tak mau membiarkan suasana

hening terbentang di antara mereka berdua.

"Tukang tukang taman itu bekerja sampai jam

berapa nanti?" tanyanya.

"Kata Mbak Ati, sampai jam empat."

"Siapa yang menjamin makannya?"

"Tidak termasuk perjanjian. Tetapi menurut Mbak

Ati, ia selalu memberi uang untuk makan siang

yang diberikannya setiap Sabtu."

"Wah. lama juga ya membuat taman yang tak

seberapa besar ini!" '

"Mereka bukan hanya membuatkan taman saja

kok. Sebelumnya mereka juga dimintai tolong membuatkan gudang di belakang."

"Lalu kau sendiri sampai kapan akan bersembunyi

di tempat ini?"

"Aku tidak bersembunyi!"
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin Tetapi kau jelas menghindar dari Mas

Hardiman. Dan merahasiakan hal tersebut dariku

Sungguh lho, Jeng, aku benarwbenar merasa betapa

banyak berubahnya dirimu sekarang ini. Bukankah

kau tahu bahwa aku masih tetap Wawan yang dulu,

yang selalu siap membantumu dalam segala hal

asalkan aku sanggup. Wawan yang selalu siap

menjadi tempatmu mengadu dan minta pendapat.

Apa yang menyebabkan perubahan itu?"

"Kan sudah pemah kukatakan, kita berdua sudah

semakin dewasa dan tak mungkin lagi bersikap seperti

dulu. Ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan, manamana yang boleh dikatakan dan mana-mana yang

sebaiknya jangan dikatakan!"

Wawan tertawa sengau.

"Kalau saja aku tak kenal siapa perempuan

bemama Nunik itu, pastilah kata-katamu yang rasional

itu kupercayai. Tetapi tidak, Jeng. Aku kenal siapa

dirimu. Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya!"

katanya kemudian.

"Aku lelah, Mas. Di sini aku ingin beristirahat

dan melonggarkan keteganganwketegangan pikiran

yang kualaml ini. Apa pun alasanmu untuk memintaku bersikap jujur dan memberi penjelasan, kuharap

sekarang ini tak usah dibicarakan dulu. Oke?"

"Oke!" Wawan menganggukkan kepala. Setelah

itu suasana menjadi enak kembali. Bahkan Wawan

dan Nunik kemudian berjalan-jalan di sekitar Kaliurang sampai hari menjelang sore. Sesampai di rumah

kembali, Nunik bertanya kepadanya.

"Ini sudah hampir sore, Mas. Kau tidak siap�siap

pulang?" tanyanya. "Mau mandi dulu atau cuci muka

dulu barangkali?"

"Nanti saja. Aku masih betah menikmati udara

sejuk di tempat ini," Wawan menjawab kalem_

"Tidak takut kemalaman di jalan?"

"Aku takut kemalaman di jalan? Huh, berangkat

dari rumah ke Surabaya sendirian pada jam dua

malam saja aku tidak takut. Kau ini ada-ada saja!"

"Tetapi kau tidak takut membuat hati Bu Marto

resah karena kau belum juga muncul?"

"lbu tahu aku pergi ke luar kota!"

"Ah, terserahlah!" Akhirnya Nunik merasa kesal.

"Pokoknya aku bicara begitu tadi kan untuk kebaikanmu juga. Apalagi mengingat dirimu yang seharian

ini belum beristirahat. Nanti kecapekan di jalan.

Tetapi kalau kau tak mau mendengar saranku, ya

sudah. "Kau sendiri yang akan mengalami enak atau

tidaknya nanti!"

Wawan tertawa.

"Sudahlah, pokoknya kau tak usah khawatir!" katanya kemudian.

Tetapi bagaimana hati Nunik tidak khawatir, kalau

sampai sore sudah berganti senja ia melihat Wawan

masih saja enak enak duduk menonton televisi dan

tampaknya menikmati apa yang dilihatnya itu. Sedikit

pun tidak ada tanda-tanda ia akan segera pulang.

"Mas, kau sudah mandi?" tanyanya.

"Belum. Dingin!"

"Kalau begitu kau akan pulang tanpa mandi lebih

dulu?" tanya Nunik ingin tahu. "Karena kau tidak

membawa pakaian?"

"Aku membawa. Komplet."

"Kalau begitu, cepatlah mandi. Nanti kusuruh

Mbok Mi, istrinya Pak Darmo yang menjaga rumah

ini, supaya memasakkan air untukmu. Iya, mau?"

"Baik, aku akan mandi dengan air panas!"

Mendengar itu hati Nunik terasa agak lega. Sebab

itu artinya Wawan akan segera bersiap-siap pulang

ke kotanya. Oleh karena itu ketika lelaki itu berada

di kamar mandi ia segera menyiapkan setermos kecil

kopi untuk dibawa pulang olehnya. Siapa tahu di

jalan ia mengantuk.

Tatkala Wawan keluar dengan pakaian bersih dan

rambut setengah basah yang membuatnya tampak

begitu segar dan rapi, Nunik segera menunjukkan

termos yang telah disiapkannya tadi.

"Nanti termosnya dibawa, ya!" katanya. "Isinya

kopi manis. Siapa tahu kau nanti mengantuk di jalan.

Ini termosnya Mbak Ati, jadi kapan kapan kalau kau

ke Yogya atau dia menjenguk Eyang, harap barang ini

dikembalikan kepadanya."

"Tetapi siapa yang mau membawa termos itu

pergi dari sini?" Wawan bertanya kepada Nunik

dengan pandangan mata lembut.

"Kau tak mau membawanya? Ya sudah, kalau

begitu. Tetapi sebelum berangkat minum dulu kopinya. Aku sudah susah-susah membuatnya lho."

"Nanti malam saja kalau udaranya semakin dingin,

aku akan menghabiskannya!"

"Nanti malam? Kau mau pulang jam berapa nanti?

Apa tidak kemalaman?"

"Siapa yang mengatakan aku akan pulang malam

ini?"

Nunik mengerutkan dahinya.

"Kau tidak pulang? Maksudmu kau akan menginap di Kaliurang ini?" tanyanya kemudian.

"Kalau boleh!" _

"Kau gila, Mas. Masa mau menginap di sini. Apa

nanti kata orang," gerutu Nunik. Dadanya berdebar

antara senang dan takut. Senang karena ada yang

menemaninya mengobrol, takut kalau-kalau ada orang

yang mengetahuinya. Meskipun ada dua kamar tidur di

rumah ini, tetapi tetap saja tidak pantas dilihat orang.

"Orang mana? Tidak ada orang yang melihat kita,

kecuali kalau kau yang tidak membolehkan aku

menginap di sini. Andai kata kau tidak membolehkan

aku tidur di rumah ini pun, aku juga tetap tidak akan

pulang sekarang. Ada banyak penginapan kosong di

sekitar sini, dan aku bisa menyewa kamar di salah satu

penginapan yang dekat dengan tempat ini!"

"Kau sungguh nekat, Masi" gerutu Nunlk. "Aku

benar-benar geregetan sekali padamu. Apakah tak

kaupikirkan bahwa menginap bersama seorang janda,

meskipun "di kamar yang berbeda itu tidak baik

dilihat orang? Apalagi di tempat seperti ini, yang

jauh dari keramaian!"

"Ah, baik atau tidak itu tergantung dari penilaian

orang yang hanya melihat dari luar saja. Dan hal hal

semacam itu tak akan masuk ke hatiku. Masa bodoh.

Nah, kau mau bilang apa kalau aku tak mau memedulikan apa pun penilaian orang?"

"Kadang kadang kau itu sangat menjengkelkan,

Mas, kau tahu?"

"Tidak. Aku hanya tahu bahwa orang yang bisa

sangat menjengkelkan dan membuat geregetan itu .

adalah kau sendiri. Bukan cuma kadang-kadang, tetapi

hampir selalu. Kadang-kadang aku berpikir janganjangan kau itu diciptakan Tuhan untuk membuatku'

jengkel dan belajar bersabar. Apalagi..."

Suara Wawan terhenti oleh lemparan bantai kursi

yang mengenai wajahnya. Bantal kursi yang dilemparkan oleh Nunik dari balik sandaran sofa itu

mencium telak wajahnya.

"Kau itu memang pintar bicara!" gerutu perempuan

itu. '

Wawan mengambil bantal kursi yang kemudian

terjatuh ke lantai tadi, lalu melemparkannya ke arah

Nunik dengan tertawa-tawa

"Nih, kukembalikan lagi barangmu ini!" katanya.

"Biar mencium pipimu juga."

Nunik terpekik kecil. Bantal yang dilemparkan

oleh Wawan itu ditangkapnya sebelum sempat mengenai wajahnya. Tetapi karena ia berdiri menyandar

pada sandaran sofa sementara tubuhnya saat menangkap bantal itu terulur jauh, keseimbangannya

pun hilang. la terjerembap jatuh ke sofa meskipun

bantal itu dapat ditangkapnya.

Melihat itu Wawan melompat ke arahnya dan dengan

tangkas menahan tubuh Nunik agar jangan sampai

terguling ke bawah. Dan usahanya itu berhasil baik.

"Kau sih, terlalu bersemangat!" gerutu lelaki itu.

"Ah, yang penting kan wajahku tak kena lemparanmu. Berarti aku pemenangnya!"

"Kapan sih kau tak menjadi pemenang!" Wawan

menggerutu lagi. "Lebih-lebih jika bermain bersamaku. Kalau kalah sedikit saja, ngambek. He, kaupikir

aku dulu selalu kalah olehmu, ya?"

"Tidak!" Nunik menjawab dengan menatap mata

Wawan yang sekarang duduk di sofa sementara ia

sendiri menyandar ke lengan kursi. Dan bantal yang

tadi ditangkapnya berada di atas dadanya. Di dalam

mata yang tengah menatap mata Wawan itu, terdapat

pancaran rasa geli. "Aku .tahu. Kau memang sengaja

mengalah!" .

"Coba dari dulu kau mengetahuinya. Pasti saat itu

kau tidak akan menjadi besar kepala mengira serbabisa!" Wawan menggerutu lagi.

Mendengar gerutuan itu pancaran rasa geli yang

semula melumuri bola mata Nunik menyebar ke seluruh wajahnya.

"Kaupikir aku ini berotak udang, ya?" sahutnya

dengan suara menahan tawa. "Waktu masih kecil

pun aku sudah tahu bahwa kau selalu mengalah.

Dan justru karena itulah'selain aku pura-pura tak

tahu, hal itu kupakai sebagai kesempatan emas untuk

dinobatkan menjadi sang pemenang!"

"Oh, dasar licik!" Wawan menggerutu lagi untuk

kesekian kalinya. Bukan main gemas hatinya. "Kalau

saja kau lelaki, sudah kupuntir lenganmul"

"He, sekarang ini zaman lelaki dan perempuan

tidak boleh dibedakan dalam banyak hal. Ayo, kalau

berani memuntir lenganku, aku akan membalasnya.

Kau pikir hanya kau saja yang punya kekuatan?

Begini�begini, aku juga suka olahraga lho!"

"Kau menantangku? Tidak takut akibatnya?"

"Aku takut kepadamu? He, jangan mimpi."

Wawan menjawab tantangan Nunik dengan mengulurkan tangannya tanpa maksud bersungguh-sungguh

ingin memuntir lengan Nunik. Tetapi perempuan itu

mengira Wawan memang akan melakukan ancamannya, sehingga sambil tertawa�tawa ia mengelak. Tetapi

justru karena gerakannya yang tak terkontrol itulah

maka sentuhan di antara tubuh mereka berdua jadi

tak terhindarkan. Dan seperti yang pernah terjadi,

udara bermuatan magis membungkus mereka berdua.

Sementara itu kedua pasang mata mereka saling

menatap seolah kekuatan magis yang menyelimuti

mereka berpusat di sana dan berusaha untuk saling
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengalahkan pihak lainnya. Dan ternyata tak seorang

pun yang kalah atau menang. Keduanya terjera't

begitu saja tanpa sempat berpikir apa pun. Tangan

Wawan yang masih memegang kedua pergelangan

tangan Nunik dengan maksud agar perempuan itu

tak mampu bergerak seperti tujuannya semula, kini

berubah sifat. Dengan gerakan kuat tetapi dengan

kelembutan yang luar biasa, tangan Nunik diraihnya

hingga wajah mereka menjadi begitu dekat satu

sama lain. Dan kemudian dengan gerakan yang sama

kuat dan sama lembutnya, tangan Wawan beralih

menyangga punggung Nunik dan meletakkannya kembali ke atas sandaran lengan sofa. Lalu bibir

perempuan itu dikecupnya dengan mesra.

Tangan Nunik yang sekarang bebas terulur begitu

saja dan memeluk leher Wawan sehingga keduanya

saling menguasai kepala dan punggung masingmasing.

Wawan mengeluh lembut. Perasaannya begitu me

luap-luap. Suatu kesadaran yang tak lagi diberati

oleh apa pun dalam batinnya, mengambang dan

muncul dalam suatu keyakinan. Kini ia tahu bahwa

satu satunya perempuan di dunia ini yang dicintainya

adalah perempuan yang kini sedang dipeluknya.

Bukan Endang, Narti, Titik, atau Astri sekalipun.

Bersama mereka, ia tidak pernah bergolak seperti

saat ini. Bersama mereka otaknya berjalan sehat dan

rem-rem serta kendalinya sangat kuat. Berbeda dengan apa yang dialaminya sekarang. Ia tak mampu

menghentikan segala perbuatannya. Otaknya macet.

Nalarnya mampet.

Tangan Wawan mulai menjalar mengelusi rambut

Nunik, lalu turun ke lehernya, bahunya, lengannya.

Sementara itu bibirnya pun tak kalah gerakannya.

Dengan sepenuh hasrat kelakiannya. digigitnya dagu

Nunik pelan pelan. Lalu ia menciumi lehernya, sisi

telinganya, dan kemudian membiarkan seluruh dirinya

mencumbui perempuan yang teramat dicintainya itu.

Nunik bukan perempuan mentah. Dari semua perlakuan Wawan, ia sudah menangkap adanya getargetar bernapaskan cinta. la menyadari bahwa perbuatan Wawan yang demikian intim dan mesra itu

tak mungkin akan terjadi apabila tidak ada cinta di

dalamnya.

Sebenarnya apa pun yang menjadi pendorong atau

asal penggerak dan perbuatan Wawan terhadapnya itu,

Nunik ingin menghentikannya. ia tidak ingin menodai

serat-serat cinta yang demikian lembut namun lentur

dan kuat itu, dengan membiarkan cumbuan di atas sofa

itu terus berlanjut. Tetapi ketika kecupan-kecupan

Wawan semakin membakar dirinya, apa yang ada di

dalam pikirannya itu terkubur entah di mana. Malahan

dengan sepenuh perasaan, kecupan Wawan dibalasnya.

Dengan bibirnya yang hangat tetapi teramat lembut

dan mengandung kasih itu, dikecupinya leher lelaki itu

sementara tangannya mengelus kuduknya. Dirasakannya

rambut yang lurus tetapi manis terjuntai dari kepala itu

mulai terasa lembap.

Sekali lagi Wawan mengeluh tatkala lehernya yang

sensitif dikecupi oleh bibir Nunik yang lembut. Dengan dada bergelora tangannya mulai meraba bahu

Nunik dengan menyingkirkan blusnya jauh-jauh ke

lengan perempuan itu. Nunik mendesah. Wajahnya

disembunyikan ke lekuk leher Wawan sementara

tangannya bergerak mengelus punggung lelaki itu.

Alarm yang dibunyikan oleh akal sehat kedua insan

itu pun meledak, tak berfungsi lagi. Dan akibatnya

percumbuan yang semula tak direncanakan itu terus

berlanjut. Suasana senja yang sedang bergulir ke

malam, angin gunung yang menerobos kisi�kisi jendela maupun lubang ventilasi rumah tak terasakan.

Sementara itu setan tertawa-tawa, berhasil menyusup

ke dalam pusaran cinta kasih di antara kedua insan

itu dan semakin melumpuhkan akal sehat mereka.

Seluruh kasih, seluruh damba, seluruh hasrat, dan

seluruh kerinduan lepas bebas tak tertahankan.

Semuanya dicurahkan sehabis habisnya hingga tuntas

oleh kedua insan yang saling berpeluk dan mencumbu

itu. Tanpa berpikir hal semacam itu tak sepatutnya

dilakukan oleh dua orang yang belum terikat sebagai

suami-istri. Tanpa mengingat apa akibatnya, apa risikonya, dan apa pula pengaruhnya bagi hubungan

mereka selanjutnya, mengingat Wawan adalah kekasih

gadis lain. Kedua insan yang sedang terbalut suasana

magis itu hanya mempunyai satu perhatian. Yaitu

saling memberi, saling berlomba mewujudkan kasih,

saling mencumbu, dan saling melengkapi. Dan akhirnya tatkala badai perasaan itu mulai berkurang dan

berkurang, wajah keduanya pun mulai didatangi kesadaran akan ruang dan waktu yang semula hilang

lenyap entah ke mana. Pada saat itulah pipi Nunik

menjadi merah padam karena malu. Dan pada saat

itu pula wajah Wawan merona jingga karena malu

dan sesal.

"Makilah aku...," bisik lelaki itu seraya menyembunyikan wajahnya yang terasa panas di dalam kerimbunan rambut Nunik. "Tampar dan usirlah aku.

Aku... aku akan menerimanya." '

Nunik juga menyembunyikan wajahnya di balik

bantal kursi. Di sekujur tubuhnya masih mengalir

darah berisi cinta dan kepuasan yang luar biasa.

Belum pernah ia mengalami keadaan yang begitu

manis dan mengisi seluruh ruang dalam batinnya

sebagaimana yang dirasakannya saat itu._

"Kalau begitu, kau juga boleh memaki-makiku...."

bisiknya dari balik bantal yang menyembunyikan

wajahnya yang merah padam itu. "Dan kan juga

boleh menamparkul"

Mendengar jawaban tersebut tangan Wawan mengetatkan pelukannya di sekelilling tubuh yang tadi

digumulinya dengan sepenuh perasaannya itu.

"Oh, Jeng aku tak bisa mengungkapkan bagaimana perasaanku saat ini. Semuanya menakjubkan,

semuanya begitu memukau, sehingga rasanya seperti

bukan kenyataan. Tetapi mimpi...," Wawan mendesah

di balik -kerimbunan rambut Nunik yang harum.

"Apakah kau marah karena aku mengatakan ini

dengan terus terang?"

"Ti tidak...," sahut Nunik tersendat-sendat. Kalau

saja wajah Astri tidak muncul dengan tiba-tiba, pasti

ia akan mengatakan hal yang sama. Dan sebagai

gantinya ia melanjutkan kata-katanya. "Tetapi harap

peristiwa ini segera dilupakan. Kita berada di jalur

kehidupan yang berbeda. Kau dengan masa depanmu

bersama Dik Astri..."

Tubuh Wawan menegang beberapa saat lamanya. '

Kesadarannya pulih. Rasa tanggung jawabnya muncul.

Ia dan Astri masih terikat perjanjian. untuk hidup

berdua menjadi suami-istri, kendatipun belum ada

tertulis hitam di atas putih.

"Ah... kenapa kauingatkan aku kepadanya?" keluh-nya sambil mengangkat wajahnya dari sisi kepala

Nunik. Pelukannya mengendur.

Merasa kepalanya terbebas. Nunik mendorong

lembut dada Wawan sehingga yang didorong melepaskan pelukannya. Dan dengan gerakan cepat dan

dengan wajah yang mulai kemerah-merahan kembali,

mereka berdua segera membetulkan letak pakaian

mereka yang. berantakan. Lebih-lebih Nunik. Tak

satu pun kancing blusnya yang tak terlepas, sedangkan penutup dadanya entah berada di mana.

"Kewajibankulah... mengingatkan tanggung jawabmu sebagai lelaki yang sudah mempunyai calon

istri...," katanya dengan suara bergelombang. Pengaruh rasa malu yang berbaur rasa sedih tatkala mengucapkan kata-kata itu mewarnai suaranya. Wawan

terdiam menyadari kebenaran yang terkandung dalam

kata-kata Nunik itu. Dan Nunik yang melihat itu

segera menyambung bicaranya tadi.

"Sebaiknya lupakan apa yang tadi terjadi. Kalau

itu merupakan sesuatu yang kita anggap kotor dan

semacam itu. buanglah jauh-jauh dari kenangan kita.

Tetapi sebaliknya kalau itu kita anggap indah atau

semacam itu, kuburkanlah di dalam kenangan sebagai

bagian atau malah puncak dari hubungan manis kita

selama ini. Namun jangan diingat-ingat lagi."

Wawan masih terdiam. Dengan langkah lesu ia

berjalan ke arah termos kopi yang tadi dibuatkan

oleh Nunik. Dituangkannya isi termos itu ke dalam

gelas lalu dihirupnya sedikit demi sedikit dengan

pikiran kalut.

Nunik bangkit dari sofa, lalu dengan telapak tangannya ia membetulkan letak rambutnya yang kusut

bekas cumbuan Wawan.

"Aku akan ke belakang rumah, meminta tolong

kepada Mbok Mi atau Pak Darmo membelikan

makanan buat kita. Sesudah itu sebaiknya kau pulang,

Mas."

"Aku tak sanggup pulang dalam keadaan begini,

Jeng" '

"Keadaan bagaimana...?"

"Keadaan yang campur baur dan pikiran yang

simpang siur...," sahut Wawan terus terang. "Kau

bicara seolah apa yang terjadi tadi bukan sesuatu

yang luar biasa. Padahal bagikujaku sungguhsungguh tak menyangka... akan begini jadinya. Seperti

mimpi rasanya. Dan itu telah memunculkan pelbagai

hal dalam diriku. Aku perlu waktu untuk menatanya

kembali. Sebab sejak malam ini hubungan di antara

kita berdua sudah tidak lagi seperti semula. Kau

bukan lagi adik kecilku. Aku bukan lagi pelindungmu, penga'walmu, atau semacam itu lagi."

"Lalu apa...?"

Wawan tidak segera menjawab. Tetapi matanya

.begitu tajam menatap mata Nunik. Ada semacam

siratan rasa putus asa yang memancar dari kedua

bola matanya yang berkilauan itu.

"Kalau bukan seperti itu, lalu apa, Mas?" Nunik

mengulangi kembali pertanyaannya.

"Kau adalah pengantin kecilku... hal sebenarnya

yang ingin kulakukan dulu di masa kecil'kita, tetapi

yang aku malu melakukannya!"

Nunik tertegun. Isi dadanya bergolak hebat!

TELAH sebulan berlalu sejak kejadian di Kaliurang

antara Nunik dan Wawan. Dan telah sebulan pula

Nunik tak pernah bertemu muka dengan Wawan

dalam arti sampai bercakap-cakap seperti biasanya,

sebab_Nunik selain menghindari lelaki itu. Dan

kalaupun tanpa sengaja berpapasan dengan Wawan,

Nunik hanya menyapa sepatah atau dua patah kata

basa-basi.

Sejauh itu kelihatannya semuanya berjalan mulus

kendati hanya tampak dari luar saja. Dan Nunik

ingin mempertahankan keadaan itu, berharap dengan

menjauhkan diri dari kehidupan dan kesibukan
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wawan sehari-hari, lelaki itu akan dapat menata

hatinya dan mengembalikan perhatiannya kepada

Astri. _

Memang itu tidak mudah, Nunik harus mengakuinya. Keintiman yang terjalin di antara mereka berdua

secara batiniah dulu telah terbalut pula secara badaniah. Betapapun ia ingin menguburkannya jauh-jauh

di relung batinnya yang paling tersembunyi, apa

yang dialaminya bersama Wawan muncul lagi dan

lagi. Ada sesuatu yang sungguh menakjubkan dalam

peristiwa itu. Sesuatu yang tak pernah dialaminya

dulu bersama Hardiman. Apabila bersama Hardiman

hanya ada semacam perasaan wajib dan juga hanya

bersifat jasmani belaka, bersama Wawan terdapat

perasaan yang sedemikian indahnya, mengatasi hal-'

hal yang bersifat jasmani.'Ada hasrat untuk memberi.

Ada damba untuk menyatukan jiwa. Ada keinginan

untuk meleburkan diri ke dalam suatu kebersamaan.

Dan ada kerinduan untuk saling melengkapi, agar

menjadi suatu kesempurnaan. Jadi, bagaimana mungkin dia bisa membuang semua itu jauh-jauh dari

batinnya?

Memang, kadang-kadang kalau dirinya terlalu dikuasai oleh perasaan yang mengharu-biru semacam

itu, ada rasa cemburu yang menggoda batinnya.

Sebab dengan membiarkan dirinya tidak berjumpa

dengan Wawan, ia telah memberi kesempatan luas

bagi laki laki itu untuk lebih mendekatkan dan mengakrabkan kembali hubungannya dengan Astri.

Nunik sering berpikir bahwa Wawan sekarang

mungkin sedang menyesali apa yang pernah terjadi

di Kaliurang sebulan lebih yang lalu, sebab lelaki

itu tak pernah lagi berusaha menjumpainya dan

menganggap usaha Nunik untuk menghindarinya itu

sebagai sesuatu yang wajar dan seharusnya terjadi.

Satu satunya hal yang dapat menghibur hati Nunik

sekarang adalah hubungannya dengan Hardiman

benarwbenar telah putus sama sekali. Istrinya menulis

surat kepada Nunik dan berterima kasih kepadanya

karena telah mengembalikan lelaki itu kepadanya.

"Padahal aku sudah memberinya kesempatan untuk

mendekatimu' kembali. Mbak Nunik," begitu antara

lain yang ditulis perempuan itu. "Bukan untuk alasan

apa apa, tetapi semata-mata demi menebus kesalahanku dulu terhadapmu. Kalau kau masih mencintainya,

aku akan mengalah dan menyisihkan tempat buatmu

dalam kehidupan Mas Hardi, sebab tampaknya ia

masih mencintaimu. Tetapi kemudian seteiah usahanya

sia-sia dan kau berhasil meyakinkannya bahwa kau

sudah tidak lagi mencintainya dan tidak mungkin

kembali lagi kepadanya, Mas Hardi insaf bahwa

masa lalu tak mungkin akan terulang kembali. Kini

ia sudah mulai menikmati kehidupan hari ini dan

hari esok bersamaku dan anak kami. Mbak Nunik,

terima kasih dan mohon kelapangan dadamu untuk

memaafkan kami semua!"

Itu persoalan dengan Hardiman. Sedangkan persoalan dengan Budi Asmoro, meskipun bahaya dari

pihak sana masih ada, tetapi selama ia tidak memberi

peluang, selama itu pula tidak ada ancaman yang

perlu ditakuti. Jadi,_ketika Budi Asmoro datang

berkunjung dan mengajaknya makan malam, ia masih

mau menurutinya. Apalagi lelaki itu begitu manis,

dalam arti tidak melakukan hal hal yang di luar

batas keharusan, baik lewat kata-kata maupun perbuatan. Tampaknya ia tetap berpegang pada pernyataan Nunik dulu, bahwa ia hanya mau berteman biasa

saja dengannya. Bahkan juga menghargai keinginan

Nunik dengan baik. Seandainya tidak demikian, sudah

pasti Nunik tak akan mau pergi bersamanya, sebab

ia tidak ingin memberi harapan kepada lelaki yang

sedang mencari istri itu.

Hari hari terus berjalan seperti biasa. Hari berganti

hari dan minggu berganti minggu. Pada suatu hari

tatkala salah seorang sepupunya merintiskan jalan

agar ia dapat diterima di sebuah kantor bank asing,

Nunik mulai mencurahkan dirinya kepada hal-hal

yang menyangkut masa depannya. Uang simpanannya

terus saja berkurang untuk keperluan pribadinya maupun untuk menyumbang kebutuhan rumah tangga

eyangnya. Sudah saatnya ia memikirkan hidupnya

dengan bekerja dan mendapatkan mata pencarian

tetap.

Sebelum wawancara akhir, Nunik yang sudah beberapa waktu lamanya tak pernah membeli baju-baju

kantor yang modis, sore itu memerlukan pergi berbelanja ke pertokoan di pusat kota. Ketika ia sedang

memilihumilih gaun untuk dipadukan dengan blazer

warna cokelat kehijauan yang dimiiikinya, seseorang

berbisik di dekatnya.

"Warna itu pasti pantas untuk kulitmu!"

Nunik menoleh dan melihat Wawan berdiri begitu

dekat dengan'dirinya. Pakaiannya santai. Celana jins

dan kemeja kaus serta sepatu santai. Tetapi ia tampak

menarik sekali karena tubuhnya yang atletis tercetak

dengan jelas.

"Hai!" Nunik tersenyum sekilas, kemudian mengalihkan perhatiannya ke arah deretan gaun di hadapannya. Dadanya berdegup lebih cepat menyadari betapa menariknya lelaki itu dan betapa dekatnya ia

berdiri di belakangnya, seolah ia dapat merasakan

hangatnya napas Wawan menyapu nyapu lehernya.

"Memborong?" .

"Hanya ingin membeli dua atau tiga potong gaun.

Kemungkinan aku akan diterima bekerja di sebuah

bank asing!"

"Selamat kalau begitu. Sesudah mendapatkan apa

yang kaubutuhkan, mau ke mana lagi?"

"Pulang."

"Makan malam bersamaku, ya? Mau?"

"Kau tidak sedang ditunggu... seseorang?"

Wawan melirik Nunik. Ada selintas dugaan lewat

di kepalanya ketika mendengar suara Nunik yang

tersendat itu.

"Siapa yang kaumaksudkan, Jeng?" tanyanya kemudian.

"Dik Astri."

"Oh, dia. Tidak. Tidak ada acara bersamanya

kok!" sahut Wawan sambil melirik Nunik lagi. "Mau

ya, makan malam bersamaku? Sudah lama sekali

rasanya kita tidak mengobrol-obral lagi."

"Ya."

"Jadi, mau?"

"Kalau memang tidak ada yang akan marah, baiklah!"

"Kujamin tidak akan ada yang marah."

"Kalau begitu tunggulah, aku akan memilih salah

satu gaun ini. Aku tertarik pada yang kehijauan dan

rok lipit dengan blus putih lengan panjang itu!"

"Yang itu? Menurutku sangat bagus. Sportif tetapi

feminin. Pasti pantas sekali untukmu!"

"Tetapi yang mana?"

"Ambil saja kedua-duanya."

"Ah, kau selalu bisa menghilangkan keraguanku,"

Nunik tersenyum sambil melambaikan tangannya kepada pelayan toko yang langsung meiayaninya. "Terima kasih atas bantuanmu, Mas."

"Kau terlalu tinggi menempatkan diriku, Jeng.

Sebenarnya kan hal sepele. Kalau suka, ya dibeli.

Uangnya ada. kok ragu." '

"Yah, memang. Aku terlalu banyak pertimbangan.

Takut nanti ada yang lebih bagus dan lalu menyesal!"

"Ya kalau ada uangnya, dibeli juga. Kan targetmu

mau membeli tiga potong gaun. Begitu kan katamu

tadi?"

"Tetapi harga kedua gaun tadi di luar harga yang

kutargetkan!"

"Kalau begitu ya tutup mata saja, tak usah melihat

gaun gaun lainnya. Kelak kalau ada uangnya, bisa

mencari lagi yang lebih bagus. Kan beres. Ya, to?"

"Iya," Nunik tersenyum. Rasanya hidup bersama

Wawan kalau tidak ada orang-orang lain yang menjadi penghalang, bisa berjalan mulus. Banyak hal

yang dapat ditanganinya. Dari hal-hal sepele seperti

urusan memilih gaun tadi sampai ke hal-hal yang

rumit.

Selesai membayar Nunik mengekor di belakang

Wawan dan bersama sama mereka menuju ke tempat

parkir. Saat itu senja telah berganti malam. Bintangbintang di langit bertaburan. Angin lembut bertiup

sepoi�sepoi.

"Ini tadi kebetulan kau lewat dan melihatku, atau

memang kau sendiri sedang mencari-cari sesuatu di

toko tadi?" tanya Nunik sesudah mereka duduk berdampingan menyusuri jalan raya.

"Aku mencari kado perkawinan untuk seorang

teman. Tetapi tak jadi, sebab aku lalu ingat bahwa

dia memerlukan rak buku gantung. Aku bisa menyuruh orang membuatkannya di bengkel tokoku.

Jadi aku bermaksud pulang saja. Tetapi karena me

lihatmu, niatku pulang kuurungkan. Aku ingin sekali

pergi dan makan malam denganmu!"

"Karena perutmu lapar?" Nunik berkata sekenanya,

sebab hatinya berdebar riang mendengar suara Wawan

yang mengatakan ingin sekali berada bersamanya itu.

"Tidak. Karena aku rindu sekali kepadamu!"

Suara Wawan yang mantap dan nada suaranya

yang bersungguh-sungguh itu membuat Nunik menyambar wajah lelaki itu dengan matanya. Debur

dadanya semakin bertaiu talu.

Melihat Nunik tak dapat berkata-kata, Wawan

menoleh.

"Bagaimana berita tentang Mas Hardiman? Masih

menulis surat untukmu?" tanyanya kemudian, mengalihkan pembicaraan.

"Tidak. Sudah beres semua."

"Waktu kau lari ke Kaliurang, apakah dia datang

mencarimu?"

"Ya...." Pipi Nunik merona merah tatkala nama

Kaliurang disebut oleh Wawan. Lekas-lekas ia melanjutkan biearanya agar lintasan pikiran- tentang Kaliurang itu berlalu. "Dua hari berturut-turut dia ke

rumah meneariku. Tetapi kedua eyangku menasihatinya, bahwa percuma saja usahanya mendekatiku itu.

Entah apa saja yang dikatakan oleh Eyang Kakung

dan Eyang Putri, tetapi sesudah itu ia pulang kembali

ke Jakarta dan bahkan istrinya menulis surat untukku,

berterima kasih atas ketegasanku menolak suaminya

itu!"

"Syukurlah kalau begitu. Aku ikut merasa lega."

"Terima kasih atas perhatianmu!" Nunik menjawab

tanpa berani menoleh lagi-.

"Kenapa harus berterima kasih?" Wawan berkata

setengah menggerutu. "Biasanya tak pernah mengucapkan terima kasih."

"Itu kemajuan namanya. Aku menjadi lebih tahu

bersopan santun!" Nunik mengulum senyumnya.

Wawan tertawa. "Masih ada satu lagi perhatianku

terhadapmu yang belum kuutarakan!" katanya kemudian.

"Tentang?"
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentang lelaki ganteng bermobil mewah dengan

nomor polisi AB itu. Sudah lama aku tak melihatnya!"

"Aku yang menyuruhnya untuk tidak terlalu sering

mengunjungiku. Bukankah kau menasihatiku begitu?

Katamu tak pantas aku pergi berduaan dengan lelaki

lain..."

"Itu kan karena aku belum tahu bahwa kau sudah

tidak terikat tali perkawinan dengan Mas Hardiman,"

senyum Wawan. ia tahu, Nunik menyindir kemarahankemarahannya waktu itu. "Nah, apakah kalian bertengkar atau semacam itu sehingga ia tak lagi datangdatang menjumpaimu?"

"Kenapa kau begitu ingin tahu sih?"

"Karena aku ingin tahu siapa lelaki yang mendekatimu. Begitu tahu bahwa kau menjanda karena

alasan alasan menggelikan yang dipakai oleh Mas

Hardiman untuk membenarkan dirinya sendiri agar

perbuatannya yang tak setia kepadamu itu bisa dimengerti, caraku berpikir berubah!" jawab Wawan.

"Tapi aku tidak ingin kisah pahit semacam itu terulang pada dirimu."

"Kalau memang itu yang kaukhawatirkan, jangan

takut. Aku telah menolak pendekatannya dan secara

tegas kukatakan bahwa aku tidak akan memikirkan

hubungan khusus dengan seorang pria dalam jangka

waktu yang lama. Dan dia mengerti sehingga mulai

mencari sasaran lain. Ia sudah tak sabar mendapatkan

seorang istri untuk diajaknya membentuk sebuah

keluarga," sahut Nunik. "Jelas?"

"Jelas dan lega. Aku benar benar prihatin dirimu

akan terjatuh lagi ke tangan lelaki yang tak punya

otak!" _

"Mas Budi mempunyai otak yang terang, perasaan

yang lembut, dan karakter yang baik. Dia tinggal di

sebelah rumah Mbak Ati dan teman sekantor

suaminya. Tak mungkin ia akan menyia nyiakan istri!"

"Wah, sempurna itu. Tetapi kenapa kau tak mau

menerima pendekatannya?" pancing Wawan.

Nunik tidak segera menjawab karena mobil telah

memasuki halaman rumah makan yang terkenal de_

ngan masakan kimlonya. Wawan menggamit lengan

Nunik dan membawanya masuk ke dalam. Pertanyaan

Wawan tadi masih menggantung, belum terjawab.

Nunik merasa lega bahwa _Wawan telah melupakan

pertanyaan itu. Selama makan, pertanyaan seperti itu

tak disinggung-singgungnya lagi.

Tetapi ternyata Nunik keliru. Sesudah hidangan di

atas meja habis, Wawan menatap mata Nunik dan

mengulangi lagi pertanyaan yang dikira Nunik telah

terlupakan tadi.

"Jeng, kenapa kau menolak didekati lelaki yang

sempurna seperti Budi itu?" katanya.

"Aku tak mencari lelaki yang sempurna."

"Apa yang kaucari?"

"Aku tak mencari apa-apa!"

"Tidak berpikir untuk menjalin hubungan khusus

dengan seorang lelaki?"

"Sudah kukatakan tadi, aku tak mau memikirkan

hal itu. Aku sedang ingin meniti karierku kembali!"

sahut Nunik. "Dan itu berlaku bukan saja untuk

menolak pendekatan Mas Budi, tetapi juga untuk

setiap pria yang ingin mendekatiku!"

"Tak ada perkecualian?"

"Tidak."

"Bagaimana kalau lelaki itu aku, Jeng?"

Nunik menahan napas. Sedikit-banyak ia sudah

menangkap ada perasaan istimewa lelaki itu terhadapnya sejak dari Kaliurang lebih dari sebulan

yang lalu. Tetapi mendengarnya dengan telinga sendiri

adalah sesuatu yang berbeda.

"Kau... kau jangan main main begitu ah, Mas!"

sahutnya kemudian. "Tidak baik kalau terdengar

orang. Apalagi kalau orang itu kenal dengan Dik

Astri atau keluarganya."

"ltu takjadi masalah kok.. Jeng!" komentar Wawan

kalem.

"Kok tak menjadi masalah. Kau ini bagaimana

sih, Mas?" Nunik mencela dengan terus terang. "Atau

kau ingin meniru perbuatan Mas Hardiman?"

"Jangan menyamakan diriku dengan dia, Jeng.

Kasusnya berbeda. Sampai turun dari Kaliurang sesudah... sesudah kejadianw malam itu, aku masih

bertekad untuk konsekuen terhadap niatku semula

untuk memperistri Astri. Kendati aku mulai menyadari

bahwa sesungguhnya tidak ada perasaan cinta di

hatiku terhadapnya. Pikirku, kalau kami sudah

menjadi suami-istri, tentu akan timbul juga perasaan

cinta yang sesungguhnya. Toh di dalam hatiku sudah

ada kasih terhadapnya. Tetapi ternyata Astri sendirilah

yang merusaknya."

"Merusak bagaimana?"

"Rupanya ia tahu kita berdua pergi ke luar kota.

Disangkanya aku dan kau berangkat bersama-sama."

"Ia tahu dari mana?"

"Dari Bapak dan Ibu. Ia mencariku ke toko."

"Lalu?"

"Lalu dia menelepon ke rumahmu, ingin tahu

apakah kau ada di rumah atau tidak. Siti yang menerima telepon mengatakan bahwa kau pergi ke luar

kota. Jadi, mudahlah lintasan lintasan pikiran negatif

muncul di kepala Astri. Waktu aku pulang dan berkunjung ke rumahnya sambi! membawakan oleholeh, dia langsung memberondongku dengan bermacam-macam pertanyaan. Antara lain apakah di

luar kota aku berjumpa denganmu. Aku menjawabnya

dengan terus terang."

"Tentu saja ia marah. Kau sungguh keterlaluan

' sih, Mas. Tidak dapatkah kau membohonginya demi

kebaikan?"

"Kau tak pernah kenal siapa Astri. Kalau aku

membohonginya dan kemudian temyata ia mengetahui

kebohonganku, akibatnya akan jauh lebih hebat. Jadi

aku memilih bersikap jujur."

"Tetapi dia pasti merasa cemburu."

"Ya, memang. Tetapi aku kan telah bersikap jujur."

"Apa' reaksinya?"

"Marah itu pasti. Dan aku dapat memahami hal

itu. Tentunya ia tersinggung karena aku tak mem

beritahu akan ke luar kota. Tetapi itu toh tak perlu

dipermasalahkan sedemikian kerasnya, sebab kepergi _

anku ke luar kota tanpa memberitahu dia lebih dulu

bukan baru sekali itu saja, tetapi sudah sering. Misalnya saja tiba-tiba aku harus mencari bahan bahan

tatkala ada laporan dari bengkel kami bahwa bahan

untuk jok kursi atau kebutuhan lainnya, habis. Tetapi

tampaknya Astri tidak mau menerima penjelasan apa

pun."

"Ia masih muda, Mas. Perlu belajar lebih banyak

lagi dari pengalaman orang. Kau harus sabar terhadapnya, sebab bagaimanapun juga, semua itu

landasannya hanyalah karena cintanya kepadamu. la

tidak ingin kehilangan dirimu!"

"Aku kenal siapa Astri, Jeng. Apa yang dilakukannya sampai sampai berani menulis surat kepada Mas

Hardiman itu lebih dikarenakan ingin memiliki diriku

sepenuhnya. Bahkan juga ingin memuaskan hasratnya

untuk menguasai diriku. Artinya menguasai seseorang

yang diharapkannya akan menjadi objek yang bisa

membahagiakan dirinya. Aku sebagai seorang indi

_vidu berpribadi, tak dilihatnya."

"Ah, kau jangan menceritakan kekurangan orang

di hadapanku. Tidak baik lho. Mas. Aku sendiri

juga tidak enak mendengarnya!"

"Bukannya begitu, Jeng, apalagi hanya kepadamu

sajalah hal itu kuceritakan. Aku tak tahan lagi menghadapinya. Ia sangat egois dan mudah sekali mengamuk tanpa ingat hal-hal lainnya kecuali untuk kepuasan dirinya sendiri. Sampai-sampai aku baru tahu

kemarin bahwa ternyata Astri itu punya begitu banyak

perbendaharaan kata-kata yang luar biasa memalukan!"

"ia masih muda, Mas!"

"Sejak kecil saja pun, biarpun aku bukan turunan

priyayi, kedua orangtuaku mendidikku untuk mempergunakan kata-kata yang baik saja. Coba bayangkan,

di sekitar rumahku saja yang bukan tempat orang

terpelajar maupun priyayi, belum pernah aku mendengar ada seorang wanita memaki-maki seperti makian Astri kepadaku. Suaranya yang nyaring dan tak

terkontrol itu begitu keras dan pasti akan terdengar

oleh tetangga kiri-kanan rumah. Menurutku, itu sangat

memalukan."

"Tetapi janganlah hanya karena itu hubungan kalian menjadi retak!" komentar Nunik merasa tak enak.

"Kau harus memaklumi bahwa ia merasa cemburu

kepadaku. Kurasa itu tidaklah terlalu buruk, Mas.

Aku pun akan bersikap sama kalau kekasihku menginap di luar kota tanpa memberitahu. Apalagi Astri

mengira kita pergi bersama sama!"

"Sudahlah, pokoknya aku sudah tak mau tahu

dengannya!"

Nunik tertegun.

"Kau itu bagaimana sih?" tanyanya kemudian. "Bukannya mencari upaya agar hubungan kalian membaik,

malah begitu!" _

"Dia yang memutuskan hubungan lebih dulu kok."

"Itu kan karena terbawa emosinya yang sedang

meledak-ledak."

"Aku ingin menikah bukan untuk mencari penyakit,

Jeng. Yang kudambakan adalah kedamaian dan suasana hangat yang akan bisa memacu kreativitasku

dan mendorong karierku. Bersama Astri, jelas itu

tidak mungkin. Aku bukan orang yang sangat sabar

yang bersedia setiap waktu memang seseorang yang

kekanakan macam Astri."

"Terhadapku, kau mau!"

Wawan tersenyum dan menatap Nunik dengan

mesra.

"Itu lain. Sangat lain katanya kemudian. "Pertama, kau tak pernah memiliki kecenderungan untuk

mendikteku ataupun menguasaiku. Kedua, aku sudah

kenal betul liku-liku hatimu. Ketiga, aku... aku mencintaimu, Jeng. Mula-mula kusangka warna cinta itu

masih sama seperti dulu ketika kita masih kanakkanak. Tetapi ternyata aku sadar "dengan sepenuh

kesadaranku bahwa ternyata aku mencintaimu seperti

cinta seorang lelaki kepada wanita yang menjadi

pusat perhatiannya. Lebih lebih sesudah kejadian di

Kaliurang itu. Aku berani memastikan bahwa hal

semacam itu tak akan mungkin dapat kualami jika

aku bersama wanita lain. Sebab bersamamu, aku

mengalami sesuatu yang sangat menakjubkan. Seolah

hanya kau seorang sajalah yang pas, yang cocok

dan dapat saling melengkapi dengan sempurna!"

Sekali lagi Nunik tertegun. Kini ia tak mampu

bicara apa pun. Sungguh ia tak mengira akan mendengar pengakuan seperti itu.

"Jeng, aku tahu kau heran mendengar kata-kataku.

Tetapi seharusnya kalau kau mau lebih memperhatikan segala hal yang terjadi di antara kita, kau

pasti tidak akan heran. Sedikit-banyak pasti dalam

batinmu juga timbul hal-hal atau pertanyaan mengenai
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hubungan di antara kita berdua ini yang demikian

akrab. Kau juga pasti bertanya-tanya mengapa kita

bisa sampai berciuman di halaman rumah eyangmu

|"

waktu itu, bahkan mengapa sampai peristiwa di

Kaliurang itu dapat terjadi. Apalagi sedemikian mulusnya, seolah kita berdua sudah terbiasa melakukannya. Lepas dari pantas atau tidaknya itu semua,

cobalah kauanalisis baik-baik, Jeng."

Nunik tertunduk dengan pipi kemerahan.

"Sejujurnya,. memang aku sendiri sering merasa

heran. Tetapi selaiu saja kalau hatiku mulai memikirkannya, aku sudah merepresikannya jauh-jauh ke

relung batinku yang paling geiap!" sahutnya perlahan.

"Aku bisa mengerti itu. Dan memang cukup wajar

kalau kau bersikap demikian. Jeng, aku yakin... kau

pun mencintaiku!"

"Aku tidak tahu..." Nunik tak berani berterus

terang.

"Kalau begitu pikirkanlah. Andai kata kau masih

istri Mas Hardiman, sudah pasti aku tidak akan

menyarankan demikian. Membicarakannya saja pun

aku tak mungkin akan melakukannya!" sahut Wawan

dengan suara tegas. "Begitu pun aku tak akan merenungkan kembali mengapa aku langsung jatuh hati

kepada Astri ketika melihat kemanjaannya, kekeraskepalaannya. Sebab gadis itu mengingatkan diriku

kepadamu, sehingga aku bisa berperan lagi seperti

yang kualami bersamamu semasa kita masih kanakkanak dan remaja dulu. Singkat kata, kupindahkan

harapanku untuk kembali merenda keakrabanku

bersamamu dulu kepada Astri, yang ternyata semakin

lama semakin memperlihatkan bahwa ia bukan saja

berbeda darimu, tetapi juga bertolak belakang. Terus

terang aku merasa berdosa kepadanya dan ingin

memperbaikinya. Tetapi sayang sekali, ia tak mau

mengerti. Bahkan menyokong usahaku pun tidak,

tetapi malah merusaknya. Jeng, sudah kukatakan

tadi, aku bukan menikah untuk mencari momongan

yang harus kulayani terus perasaannya. Ada saatnya

aku merasa amat letih menghadapi kelakuannya itu.

Dan sekarang, itu sudah tiba pada puncaknya."

"Kuharap, apa pun keputusanmu itu tidak ada

sangkut pautnya denganku!"

"Bagaimana tidak. "Jeng? Kalau semula aku memilih Astri karena ia mengingatkanku kepadamu,

sekarang aku merasa bersalah kalau tetap melanjutkan

hubunganku dengannya, juga karena dirimu!" sahut

Wawan. "Karena kesadaranku bahwa aku mencintaimulah maka aku juga lalu sadar bahwa sesungguhnya

aku tak pernah mencintai Astri!"

"Kata katamu membuatku ngeri, Mas!" Nunik menarik napas panjang. Ah, semestinya ia merasa bahagia mendengar pengakuan seperti itu. Tetapi karena

ia sadar bahwa ada seorang gadis yang menjadi

korban dari perasaan Wawan terhadapnya, kebahagiaan itu lenyap. Yang ada justru perasaan bersalah dan

sedih.

"Kenapa?"

"Karena gara-gara kita berdua, Astri yang sebenarnya tidak bersalah itu menjadi korban," sahut Nunik

terus terang. "Ya untungnya saja sifatnya agak keterlaluan walaupun aku yakin itu bisa diubah apabila ia

menjadi lebih dewasa lagi nanti. Kalau dia gadis

yang lembut dan manis, bukankah kesalahan itu

menjadi jauh lebih besar porsinya, Mas? Cobalah

telusuri itu!"

Wawan terdiam. Ia mulai menyadari pikiran Nunik.

"Sekarang begini sajalah, Mas, cobalah pikirkan

sekali lagi segala sesuatunya, baru kau bisa menjumpai

aku lagi. Aku tak yakin Dik Astri berniat sungguhsungguh dengan kata-katanya yang mengatakan ingin

memutuskan hubungan denganmu. Selama itu sebaiknya kitajangan bertemu-temu dulu, khawatir Dik Astri

melihat dan merusak kembali pendekatanmu terhadapnya!" Nunik berkata lagi demi melihat Wawan terdiam.

"Ada baiknya menghapuskan dugaanmu sendiri bahwa

kau mencintaiku dan aku mencintaimu!"

"Itu bukan dugaan, Jeng. Itu kepastian yang sudah

kupelajari sekian lamanya. Tentunya tak perlu ku-'

rangkaikan satu per satu semua pengalaman yang

terjadi di antara kita, seperti misalnya waktu aku

mengucapkan maafku setelah ciuman pertama kita

dulu itu. Kau tentunya belum lupa betapa tersinggung

dan terlukanya hatimu waktu kukatakan, "Lupakan

itu semua, kita berdua sedang terpengaruh oleh

kebutuhan kebutuhan manusia dewasa. Apalagi kau

sedang jauh dari suami". Ingat kan, Jeng, saatvsaat

itu"? Akhir-akhir ini aku baru sadar betapa pedihnya

hatimu mendengar kata-kataku. Apalagi jika kuingat

bagaimana dengan suara gemetar kaukatakan, *Kau

membuat hubungan kita menjadi kotor dan rendah!"

Sekarang Nunik yang terdiam. Ia teringat apa

yang dikatakan oleh Wawan itu, dan ingat pula

betapa terlukanya ia waktu itu. Sebab dari kata-kata

Wawan, ia menangkap bahwa lelaki itu menganggap

mereka berdua kotor seperti sampah. Seolah-olah

pula, ia seorang wanita yang mudah tergiur cumbuan

pria, akibat jauh dari suami.

"Jeng, kalau kuingat saat- saat itu, aku sadar bahwa

perasaan terluka itu jelas tidak akan separah itu

kalau kau tidak mempunyai perasaan khusus terhadapku. Jadi, singkat kata tak mungkin kita berdua

menyangkal bahwa di antara kita tidak ada cinta

kasih, yang sesungguhnya prosesnya sudah dimulai

sejak kita masih kanak-kanak. Cuba pikirkan, mungkinkah kau menolak anak anak lelaki lain menjadi

pengantinmu, kalau perasaanmu terhadapku hanya

melulu berisi kasih persaudaraan? Jeng, andai kata

kau hanya menganggapku sebagi kakakrnu saja, tak

mungkin kau akan memilihku menjadi pengantinmu

tatkala kita dulu main pengantin-pengantinanl"

"Tetapi nyatanya kau tak mau!"

"Sudah pernah kukatakan, aku malu!" senyum

Wawan. "Masa anak kelas satu SMP mau main

pengantin-pengantinan? Tetapi sesungguhnya di dalam

hatiku, aku mau. Kau tampak cantik sekali dengan

daun-daunan dan bunga-bungaan yang dirangkai

sebagai bunga pengantin itu, oleh salah seorang

anak perempuan teman sepermainan kita!"

"lh, anak kecil kok sudah tahu mana anak yang

cantik!"

"Karena mataku awas dan jiwa seniku besar!"

Senyum Wawan semakin lebar. Suasana yang semula

agak menekan, mulai terurai.

"Ah, sudahlah, kita terlalu lama mengobrol di

sini," kata Nunik sambil meraih tasnya. "Lihat, pelayan rumah makan itu terus-menerus menunggu

kapan kita akan berdiri!"

"Ayolah kalau begitu!" Sambil berkata, Wawan

memberi isyarat kepada pelayan untuk mengambilkan

bon.

"Tetapi apa pun itu, Mas, kau harus kembali kepada Dik Astri. Aku sudah pernah merasakan betapa

sakitnya dikhianati orang. Jadi, aku tak mau menjadi

pengkhianat atau semacam itu."

"Jeng, apakah kau malu mengakui bahwa kau

mencintaiku?"

"Aku tak mau membahas hal itu sebelum kau

' menyelesaikan persoalanmu dengan Dik Astri. Kalau

kau nanti sudah pasti akan merintis jalan ke arah

yang lebih pasti lagi bersama Dik Astri, baru aku

mau membicarakannya. Oke?" .

Di dalam hati Nunik sudah lama mengetahui bahwa ia memang mencintai Wawan. Tetapi di dalam

hatinya pula ada kesadaran bahwa hanya sampai

batas itulah apa yang dirasakan dan dialaminya itu.

Ia tak ingin merusak hubungan antara Astri dan

Wawan, apalagi retaknya hubungan mereka itu karena

dirinya. Ia yakin Astri akan mau membina dirinya

sendiri apabila Wawan memberinya kesempatan dan

mau membohonginya, bahwa di antara dia dan lelaki

itu hanya ada kasih persaudaraan. Dan sesudah itu

ia mau menjauhinya demi ketenangan batin semua

pihak.

Wawan tidak menanggapi saran Nunik itu. Tetapi

selama beberapa hari ia tidak tampak. Bahkan urusan

memberi makanan burung dan membersihkan kandang

pun diserahkan kepada Siti. Ketika Nunik mengorek

keterangan dari gadis tanggung itu, ia mendapat

jawaban bahwa Wawan sedang ke luar kota, menagih

pembayaran.

Nunik percaya Wawan sedang ke luar kota. Tetapi

ia tidak percaya hal itu akan memakan waktu sampai

enam hari lamanya. Jadi diam-diam dia mengira

lelaki itu sedang sibuk mendekati Astri tanpa mau

terpengaruh oleh kehadiran Nunik di dekatnya.

Nunik menganggap hal itu baik, kalau benar dugaannya. Tetapi tatkala ia merasakan tubuhnya sering

terasa tak enak dan hatinya menjadi murung tanpa

sebab yang jelas, kerinduannya kepada lelaki itu

terasa menyesakkan dadanya. Pikirnya, cinta itu memang indah. Tetapi cinta itu juga suatu penyakit.

Tubuh yang paling sehat pun bisa menjadi sakit

akibat cinta yang tak sampai.

Ia pernah membaca ada sekian banyaknya penyakit

akibat kejiwaan. Sebagian tergolong apa yang dinamakan Psikosomatik. Dan itu memerlukan pengobatan

demi mengurangi segala sesuatu yang mengganggu

kesehatannya. Jadi tatkata ia mulai sering diganggu

oleh rasa pusing dan bahkan juga rasa mual, diputus!

kannya untuk meminta pertolongan dokter.

"Saya tidak menemukan sesuatu yang berarti,"

kata dokter yang memeriksanya. "Tekanan darah

bagus. Paru-paru dan jantung tidak menunjukkan

gejala apa-apa. Melihat sinar wajah dan bagian dalam

kelopak mata Anda, tampaknya Anda juga tidak

menderita HB rendah. Kemudian dari pemeriksaan

saya, tidak ada kelenjar-kelenjar di bawah telinga

yang membengkak. Secara umum, Anda sehat."

"Tetapi tubuh saya lemah, lesu, dan sering pusingpusing. Dokter. Dan bahkan belakangan ini rasanya

seperti masuk angin. Ada sedikit kembung dan rasa

mual," bantah Nunik. "Jangan-jangan saya kena maag

atau mengalami Psikosomatik!"

Dokter itu menatap mata Nunik sesaat lamanya.

"itu mungkin saja," sahutnya kemudian. "Tetapi

sebelum dugaan mengarah ke sana, apakah haid

Anda masih lancar Seperti biasa?"

Nunik terkejut. Pembalut wanita yang dibelinya

dua bulan lalu untuk persediaan masih utuh. Belum

dibuka sama sekali.

"Oh ya, rasanya sudah lama saya tidak mendapat

haid. Apakah itu ada hubungannya, Dokter? Apakah

banyaknya pikiran dapat berpengaruh terhadap siklus

haid?" tanyanya kemudian.
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anda bersuami?"

"Ya, saya bersuami!" Nunik tak mau menceritakan

bahwa ia sudah menjanda. ia merasa malu. Lagi

pula menurut pemikirannya, tidak ada salahnya ia

mengatakan dirinya masih bersuami.

"Kalau begitu, bisa juga kemungkinan Anda

sedang hamil, Bu!"

Nunik terkejut lagi Lebih kaget daripada sebelumnya.

"Itu tidak mungkin!" bantahnya lagi. "Setelah bertahunwtahun kami menikah dan setelah sekian kali

pula saya berusaha agar hamil dengan mendatangi

dokter-dokter kandungan terkenal tanpa hasil, masa

sekarang saya hamil!"

"Memang itu baru dugaan saya, Bu. Tetapi tidak

ada salahnya kalau diadakan pemeriksaan, bukan?

Sebaiknya Anda datang ke dokter kandungan untuk

memastikan apakah Anda mengandung atau tidak.

Dan sedikitnya dokter juga akan memeriksa mengapa

haid Anda bulan lalu tidak datang. Siapa tahu itu

juga berpengaruh pada tubuh Anda, yang menyebabkan keluhan-keluhan yang Anda katakan tadi."

"Baiklah kalau begitu, Dokter!" akhirnya Nunik

mematuhi saran yang memang beralasan dan dapat

diterima akal itu.

Meskipun demikian ia menertawakan dokter umum

tadi. Mana mungkin ia yang dikatakan sebagai perempuan mandul oleh Hardiman bisa hamil oleh

ah, oleh siapa? Nunik tersentak. Apakah peristiwa

Kaliurang yang cuma satu kali itu dapat berakibat

sejauh itu?

Pikiran itu mendorong Nunik untuk mengunjungi

dokter kandungan sebagaimana yang disarankan oleh

dokter yang pertama kaii dikunjunginya itu. Dan

hasilnya benar membuatnya terheran-heran dan kebingungan, tidak tahu apakah ia harus merasa

berbahagia ataukah sebaliknya. Sebab ia benar-benar

telah mengandung.

"Sudah teraba. Umur janin Anda sudah memasuki

minggu ketujuh!" kata dokter kandungan itu.

Sepanjang jalan di dalam taksi, Nunik menangis.

Mengapa nasibnya begini? Mengapa di saat ia tak sekali pun memikirkan tentang kehadiran seorang bayi,

rahimnya kini justru telah berisi seorang calon bayi

yang setiap detik sedang membangun diri untuk menjadi bertambah besar, bertambah kuat, dan membentuk

tubuh sempurna sebagai seorang manusia mungil?

Hasratnya untuk bekerja yang semula berkobarkobar, padam sama sekali. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Dadanya penuh dengan persoalan, sebab

ia tahu betapa besar akibat yang disebabkan oleh

kehamilannya itu. Keluarganya akan heboh. Si janda

muda mengandung tanpa suami. Belum lagi akibatnya

bagi hubungan Astri dengan Wawan andai kata

mereka melihat perutnya membesar.

Sungguh, Nunik benar-benar merasa dirinya hancur

lebur, meskipun harus diakuinya bahwa di sudut

hatinya yang terdalam ia merasa senang ternyata ia

bukanlah perempuan mandul seperti yang disangkanya

semula. Menjadi seorang ibu adalah dambaannya,

apalagi anak itu adalah anak buah cintanya. Ah,

rupanya anak itu datangnya harus karena rasa cinta,

bukan karena kewajiban belaka sebagaimana yang

pernah dialaminya bersama Hardiman dalam kehidupan perkawinan mereka dulu.

Beberapa hari sesudah mengetahui dirinya hamil,

segala kegiatannya di luar rumah dihentikannya. Ia

tidak mau pergi ke tempat kursus bahasa Inggrisnya. la tidak mau pergi ke rumah sepupunya yang

menjanjikan pekerjaan untuknya. ia tidak mau lagi

mencari keperluan keperluan untuk mempersiapkan

dirinya menjadi karyawan bank asing. Ia juga tidak

lagi mau pergi berjalan-jalan mencari angin atau

semacam itu. ia lebih suka berkurung diri di kamarnya. Film-iilm seri televisi maupun RCTI dan SCTV

yang ditangkap oleh parabola yang dibelikan Ati

untuk eyangnya diabaikannya. Padahal Siti telah mengetuk pintunya dan memberitahu film film kesayangannya sedang mulai diputar.

Kedua eyangnya memang mengkhawatirkannya,

tetapi karena Nunik dapat menunjukkan obat-obat

yang diberikan oleh dokternya dan mengatakan dirinya hanya terkena tlu ringan saja, kedua orang tua

itu tak terlalu memikirkannya. Padahal obat-obat

yang ditunjukkan oleh Nunik kepada kedua eyangnya

itu hanya berisi vitamin-vitamin saja.

Satu-satunya orang yang mencurigai bahwa pe

nyakit Nunik bukan penyakit biasa adalah Mbok

Surti. Jurang perbedaan usia maupun cara berpikir

di antara dia dan Nunik tidaklah selebar yang ada di

antara anak asuhannya itu dengan kedua eyangnya.

Dulu kalau Nunik ngambek atau mempunyai persoalan, kakekmenek Nunik yang sudah tua dan

kurang telaten menghadapi anak kecil itu selalu

menyerahkan penanganannya kepada Mbok Surti.

Jadi, perempuan itu lebih banyak mengenal Nunik

daripada kedua eyang Nunik.

Ketika selama beberapa hari pun Nunik tampak

berbeda daripada biasanya, ia merasa perlu mendekatinya.

"Den Loro ingin makan apa sih?" tanyanya pada

suatu pagi sebelum berangkat ke pasar. "Kok beberapa hari ini susah sekali makan."

"Balikan buah-buahan yang segar saja, Mbok,

selera makanku tidak ada"

Mbok Surti tidak segera beranjak dari tepi ranjang

tempat Nunik sedang berbaring dengan tubuh dan

perasaan yang sama lesunya.

"Den Loro, sebenarnya ada apa sih?" tanyanya

hati hati.

Nunik menoleh ke arah perempuan yang mengasihinya sebagai anaknya sendiri itu. ia melihat kecemasan memancar dari kedua belah mata perempuan

tua itu. Ada rasa haru menyaksikan itu.

"Tidak ada apa-apa kok, Mbok" sahutnya kemudian. Sedih sekali ia harus terus-menerus berbohong seperti itu. Padahal ia tahu, berapa lama lagi

kebohongan semacam itu bisa dipertahankannya?

Orang akan melihat bentuk tubuhnya berubah.

"Pasti ada apa-apa...," Mbok Surti duduk di tepi

tempat tidur, pada bagian kakinya. "Mbok punya

firasat yang lebih tajam daripada Ndoro Menggung."

'Nunik terdiam lama sehingga Mbok Surti bersuara

lagi. = '

"Den Loro, kalau ada kesulitan apa pun kecuali

tentang uang. katakanlah kepada Mbok Ti. Percayalah, Mbok Ti akan ikut memikirkannya dan ikut

menanggungnya!"

Leher Nunik terasa sakit mendengar kata-kata yang

diucapkan dengan sepenuh kasih itu.

"Aku... aku sedang susah dan bingung, Mbok,"

akhirnya ia mengakui.

"Itu sudah Mbok Ti lihat. Tetapi apa sebabnya,

Mbok tidak tahu. Sekarang izinkanlah Mbok Ti ikut

memikirkannya. Apakah Den Loro merasa menyesal

telah menolak Den Hardiman? Kalau ya, janganlah

malu untuk mengakuinya. Semua orang akan memahaminya. Tinggal-Den Loro mau atau tidak menjalani kehidupan bermadu."

"Oh, bukan karena itu, Mbok!" kata Nunik menyela. "Sedikit pun hatiku tidak tertuju ke sana!"

"Sesungguhnya, Mbok Ti juga sudah menduga

begitu," Mbok Surti menarik napas panjang. "Sebab

mata Mbok Ti lebih melihat sesuatu yang lain yang

mungkin Den Lord sendiri enggan mengakuinya.

Den Loro, apakah Den Loro... jatuh cinta kepada

Mas Wawan?"

Nunik menyembunyikan wajahnya di balik guling.

Ia tidak mau menjawab Sehingga Mbok Surti menyingkirkan guling itu dari muka Nunik.

"itu bukan hal yang memalukan, Den Loro. Mas

Wawan itu lelaki yang gagah, menarik, dan berhati

tulus. Dan Mbok Ti yakin, ia pun jatuh cinta kepada

Den Loro. Mungkin sudah lama, tetapi baru sekarang

muncul dengan lebih jelas. Kalau ya, kenapa harus

merasa susah? la pantas untuk Den Loro. Jangan

melihat soal keturunan...."

"Mbok, aku tak pernah memikirkan tentang keturunan!" Nunik menyela lagi. "Dan sebaiknya pembicaraan ini tak usah dilanjutkan."

"Tidak, Den Loro. Kita harus menyelesaikannya.

Kalau tidak, pasti akan menimbulkan penyakit. Mbok

Ti ini orang bodoh, tetapi kalau melihat orang bisa

menjadi sakit bahkan bisa mati karena mengalami

kesedihan luar biasa, sudah pernah. Jadi, Den Loro,

kita harus menyelesaikannya. Den Lore harus mengakuinya dan tidak perlu merasa takut menghadapi

kenyataan."

Nunik terdiam lagi. Wajahnya semakin tampak

keruh menyadari kebenaran yang diucapkan oleh

pengasuhnya itu.

"Den Loro, Mbok Ti tidak yakin kalau Mas

Wawan itu mencintai calon istrinya."

"Tetapi ia harus bersikap ksatria dan memenuhi

janjinya untuk menikahi Dik Astri, Mbok!" Untuk

ketiga kalinya Nunik menyela lagi. "Dan aku tidak

ingin merusak hubungan mereka, sebab sudah pernah

kualami bagaimana sakitnya dikhianati lelaki!"

"Kalau memang Den Loro berpikir seperti itu,

hadapilah risiko dari pemikiran sedemikian itu dengan

jiwa lapang, jangan biarkan diri sendiri rusak karenanya. Relakan dan terimalah nasib yang tidak bisa

kita ubah. Jangan membenturkan diri pada gunung

menjulang di hadapan kita, Den Loro. Ayolah bangkit, Mbok Ti akan bantu. Kalau Den Loro ingin

beristirahat ke tempat lain atau mencari suasana lain

yang sekiranya agak meringankan beban batin itu,

pergilah ke rumah Den Loro Ati. Atau kembalilah

ke Jakarta, ke rumah orangtua Den Loro..."

"Tidak bisa., Mbok!" Nunik berkata dengan suara

tertekan. "Kalaupun harus pergi, aku akan pergi ke

tempat yang jauh dari mereka semua. Dan mungkin

tak akan kembali lagi...."

"Ya ampun, Den Loro, kenapa harus begitu?"

Mbok Surti memotong bicara Nunik dengan kaget.

"Jangan putus asa, Den Loro!"

"Bagaimana tidak merasa putus asa, Mbok. Nasibku begini..." Suara Nunik terhenti oleh tangisnya

yang meledak. Tangis yang sejak tadi hanya ditahannya saja.

Nunik bukan perempuan cengeng. Ia lebih suka

menyembunyikan tangisnya dengan marah-marah atau

semacam itu. Mbok Surti sudah teramat mengenal

sifat-sifat perempuan muda di dekatnya itu. Ia tahu

betul bahwa Nunik seorang yang keras kepala dan

degil serta sangat menggarisbawahi harga dirinya. Ia

tak pernah mau menunjukkan kelemahan hatinya

kalau tidak sangat terpaksa. Jadi, tangis yang dilihatnya sekarang adalah sesuatu yang sudah tidak bisa

dikuasai oleh perempuan muda itu.

"Sudahlah, Den Loro jangan menangis...," katanya. "Nanti Mbok Ti ikut sedih."

"Mbok..." Nunik terisak-isak. Dan tiba-tiba perutnya terasa tegang akibat emosi yang menguasainya

itu. Tangisnya terhenti dan ia mengusap lembut perut

nya. Sadar bahwa kandungannya terpengaruh oleh

suasana hatinya itu.

"Kenapa, Den Loro?" tanya Mbok Surti yang
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat wajah Nunik berubah tegang.

"Ti tidak apa-apa..

"Den Loro ini tidak biasa. Den Loro tampak beda

daripada biasanya," Mbok Surti mendesak dengan

suara cemas. Tangannya memeluk kaki Nunik yang

berada di dekatnya. "Ada apa sebenarnya"? Den Loro

sakit apa? Jangan biarkan diri sendiri tersiksa

"penyakit cinta. Den Loro."

Mendengar kecemasan dan sikap keibuan yang

mendalam itu, runtuhlah hati Nunik. ia tahu, di

tangan perempuan itu rahasianya akan terjaga dan

perasaannya akan dijaga.

"Mbok, aku.. aku hamil." tangisnya kembali.

Mbok Surti kaget sekali. Tetapi dengan sepenuh

usahanya, ia berusaha untuk tidak'terlarut dalam

perasaannya. Dipeluknya tubuh Nunik erat erat.

"Tenanglah... tenanglah," hiburnya. "Jangan terlalu

sedih. Mempunyai bayi itu suatu anugerah tersendiri,

Den Loro. Jangan biarkan ia ikut mengalami kesedihan karena hati ibunya sedang berduka. Sekarang

yang penting, carilah jalan keluar yang baik. Kalau

perlu rujuklah kembali dengan Den Hardiman. Nanti

kalau bayinya lahir, Den Loro bisa meminta cerai

lagi apabila memang Den Loro sudah tidak men

' cintainya lagi...."

"Mbok, persoalan ini tidak ada hubungannya

dengan Mas Hardiman!" sela Nunik di antara isak

tangisnya. _

"Tidak ada?" Mbok Surti bertanya dengan bingung.

"Tidak. Bayi ini... milik... Wawan!"

"Ya Tuhan, pantaslah Den Loro begini sedih,"

Mbok Surti berseru kebingungan. "Lalu... apa yang

harus kita lakukan?"

"Mbok, berjanjilah, jangan kaukatakan hal ini kepada Eyang maupun kepada orang lain!"

"Ba... baik, Den Loro," Mbok Surti menjawab

dengan penuh rasa prihatin. "Tetapi tetapi berapa

lama hal itu bisa kita rahasiakan?"

"Aku... aku akan pergi dari kota ini...," sahut

Nunik. "ltulah satu-satunya yang bisa kupikirkan."

"Kembali ke Jakarta, Den?"

"Tidak. Ke Yogya!"

"Ke rumah Den Loro Ati?"

"Tidak. Aku akan mengontrak rumah di pinggiran

kota, dekat Kaliurang. Aku akan bersembunyi...."

"Bagaimana bisa mencari rumah kontrakan dengan

mudah, sedangkan Den Loro belum tahu kota Yogya

dengan baik?"

Nunik terdiam. Mbok Surti lalu berkata lagi, "Dan

bagaimana mengatakan kepada Nduro Menggung mengenai kepergian Den Loro?"

"Aku akan mengatakan pulang ke Jakarta dan

tidak jadi bekerja di sini. Hai itu.sudah kupikirkan,

Mbok. Cuma bagaimana caranya mencari rumah'di

Yogya, aku memang tidak tahu..."

"Mbok Ti akan mengusahakannyal" Tiba tiba perempuan tua itu merasa harus melindungi Nunik.

"Mbok Ti akan ke Yogya dan minta bantuan kepada

Den Loro Ati. Mbok akan katakan bahwa rumah itu

bukan untuk Den Loro Nunik, tetapi untuk orang

lain yang minta bantuan."

"Apakah Mbak Ati akan mempercayainya?"

"Bisa jadi tidak. Tetapi pasti ia tidak berpikir dan

tidak menyangka untuk Den Loro Nunik. Sedikitnya

ia merasa heran, kok tumben-tumbennya Mbok Ti

mencari rumah. Nanti Mbok Ti akan memberi kesan

seolah membutuhkan uang, sehingga ia nanti akan

mengira Mbok Ti menerima uang sebagai perantara!"

"Kalau Mbok Ti menganggap itu bisa dipakai

sebagai cara untuk mengatasi kesulitan ini... lakukanlah, Mbok. Soal uang tak usah dipikirkan. Biarpun

tidak banyak, kalau hanya untuk mengontrak rumah

kecil-kecilan dan untuk hidup sehari-hari saja, tidak

menjadi masalah. Uang simpananku ada, dan uang

yang dari Mas Hardiman waktu kami bercerai juga

masih ada, meskipun sudah berkurang."

Mbok Surti menganggukkan kepalanya. Esok harinya ia pamit kepada majikannya, mengatakan akan

menengok keponakannya di desa. Hal seperti itu

bukan jarang terjadi. Mbok Surti tidak pernah pulang

ke kampung untuk berlebaran karena keluarga-keluarga yang lebih tua darinya sudah tidak ada semua.

Jadi kalau pulang ke desa, hanya menjenguk mereka

yang masih muda. Itu pun kalau berangkatnya pagipagi sekali, sore sudah pulang kembali. Dengan

demikian orang rumah tak ada yang merasa heran

tatkala ia pamit hari itu.

"Kalau tidak capek, ya saya pulang sore, Ndoro.

Tetapi kalau capek, ya pulang kemari besok agak

siang-siangan. _Siti sudah bisa memasak yang

gampang-gampang kok!" begitu ia bicara.

Rencana Mbok Surti dan Nunik itu rupanya berjalan cukup lancar. Empat hari sesudah Mbok Surti

kembali dari Yogya, Ati menelepon dan mengatakan

ada beberapa rumah seperti yang diinginkan oleh

Mbok Surti.

"Bagaimana, Den?" Mbok Surti menutup corong

telepon dan berbisik kepada Nunik yang berdiri di

sampingnya.

"Minta alamatnya saja!" bisik Nunik kembali.

Mbok Surti mengeja alamat yang dikatakan oleh

Ati, dan Nunik menulis di sampingnya ketika di

seberang sana Ati menyebutkan alamat-alamat yang

dimaksudkan.

Hari itu juga Nunik dan Mbok Surti pergi ke

Yogya dan menginap di hotel. Alasan yang diberikan

kepada kedua eyangnya, Nunik akan berobat ke

dokter yang katanya bisa menyembuhkan pusingpusing yang tak sembuh-sembuh dengan'menggunakan tusuk jarum.

"Pergilah dan hati-hati. Mudah-mudahan kau tidak

sering lesu lesu lagi, Nduk. Walaupun Eyang cenderung menyangka tubuhmu yang terasa tak enak itu

akibat pikiran berat. Jadi menurut kami, obatnya

adalah melupakan Hardiman kalau kau memang

benar-benar tidak ingin kembali kepadanya!" begitu

komentar eyangnya.

Nunik tidak memberi tanggapan kecuali menganggukkan kepalanya. Di Yogya, bersama Mbok Surti

ia mendatangi rumah-rumah yang dikatakan oleh Ati

lewat telepon. Akhirnya Nunik merasa cocok dengan

salah satu rumah-rumah itu, yaitu yang terletak di

Jalan Kaliurang KM 12. Memang agak masuk ke

gang, tetapi suasananya tenang dan tampak terpisah

dari rumah-rumah lainnya. Jadi, Nunik segera membayar uang mukanya.

"Minggu ini saya akan pindah!" katanya kepada

si pemilik rumah.

Mbok Surti, yang merasa tak tega melihat keadaan

Nunik, meminta bantuan ke desanya kalau-kalau ada

perempuan yang mau bekerja di Yogya untuk sementara waktu. Dan ternyata ada. Seorang janda beranak

seorang yang masih di bawah umur, mau ikut Nunik

dengan syarat anaknya boleh dibawa. Nunik setuju.

Hanya dalam waktu satu minggu sesudah Mbok

Surti mengetahui Nunik hamil, langkah awal untuk

mengatasi kemelut itu telah berhasil diambil. Untuk

sementara waktu bolehlah hati Nunik terasa agak

lega. Ia tidak perlu hidup sendirian sebagaimana

yang dibayangkannya semula. Ada Yu Ipah dan

Bawuk, anaknya yang berumur lima tahun.

Sementara itu di tempat lain Wawan sudah melihat

gejala-gejala aneh di sekitar Nunik. Sebab tiba-tiba

saja ia melihat perempuan itu tak mau bertemu

dengannya barang sekejap pun. Dan kemudian tibatiba pula ia mendengar dari Siti bahwa Nunik sudah

kembali ke Jakarta dan memutuskan untuk tidak jadi

bekerja di kota ini.

Wawan menjadi gelisah. Kalau saja tidak ingat

hal lain-lainnya, mau ia menyusul ke Jakarta. Hatinya

menjadi kosong, seperti orang yang baru kematian

orang terdekat. Pekerjaannya tidak ada yang benar,

sampai-sampai kedua orangtuanya menyuruhnya

tenang. .

"Kalau kau ingin kembali kepada Nak Astri, kem-'

balilah. Pergilah ke tempatnya!" kata ayahnya. "Katakan penyesalanmu. Lalu berusahalah untuk memperbaiki hubungan kalian!"

"lbu tahu harga dirimu terluka," sambung ibunya.

"Tetapi mengalah demi kebaikan, itu bukan kekalahan

yang konyol, Wan. Temuilah Nak Astri kalau kau

memang cinta padanya. Tetapi janganlah membuat

dirimu rusak karenanya!"

"Bapak dan lbu keliru besar!" sahut Wawan. "Aku

tidak mencintai Astri."

Bu Marto yang lebih arif dan sesekali pernah disinggahi dugaan kepada satu hal yang sekarang muncul di dalam pikirannya, berkata dengan suara hati '

hati.

"Kalau demikian, pastilah itu ada kaitannya dengan

kepergian Jeng- Nunik kembali ke Jakarta. Kau...

merindukannya!"

Wawan tersentak. Sama seperti ayahnya yang juga

tersentak mendengar kata kata Bu Marto yang diucapkan dengan terus terang itu.

"ibu benar, bukan?" tanya Bu Marto lagi.

"1... iya, Bu. Aku... aku merasa kehilangan...."

"Tetapi dia sudah kembali kepada suaminya, Wan.

Jangan memimpikan rembulan di atas awan!" selaf

ayahnya.

"Dia tidak akan kembali kepada suaminya. Hal

ini pernah dikatakan dengan tegas kepadaku. Ia tak

mau hidup bermadu, dan bahkan cintanya kepada

Mas Hardiman sudah mati sejak lama. Dia pergi

hanya karena memberi kesempatan kepadaku agar

kembali kepada Astri. Apa yang diinginkannya sudah

kulakukan, agar bisa melenyapkan rasa bersalahku

maupun rasa bersalahnya. Tetapi Dik Astri mengusirku seperti mengusir anjing penyakitan. Rasanya

sudah cukup aku berusaha menjadi lelaki yang patuh

pada janji dan kata-kataku kepadanya...."

' "Kalau begitu, pergilah ke Jakarta dan carilah

suatu kepastian!" kata Pak Marto memberi jalan kepadanya.

Kata kata itu terdengar merdu di telinga Wawan.

Semangatnya muncul.

"Baik,'aku akan menyusulnya ke Jakarta. Aku

akan mencari kepastian. Baikkah nasibku atau sebaliknya, itu akan kucari jawabannya di sana!" katanya

memutuskan.

Tetapi karena Wawan tidak tahu alamat orangtua

Nunik, lelaki itu bertanya tanpa kentara kepada eyang

Nunik dan mendapatkan alamatnya dari kedua orang

tua itu. Sesudah meminta bantuan Siti untuk menggantikan pekerjaannya mengurusi burung-burung

eyang Nunik, dengan langkah lebar-iebar lelaki itu
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjalan keluar halaman.

"Mas Wawan!" ia mendengar namanya disebut

seseorang. Suara itu terdengar dari arah pohon jambu

di sudut rumah. Tatkala ia menoleh, suara itu ter-dengar lagi, "lni Mbok Ti. Kemarilahl"

- Dalam keremangan senja Wawan mendekati tempat

Mbok Surti bersembunyi. Dahinya berkerut melihat

hal yang tak biasanya itu.

"Ada apa, Mbok. kok kelihatannya begitu penting?" tanya Wawan masih dengan dahi berkerut.

"Mas Wawan jangan pergi ke Jakarta!" sahut

Mbok Surti.

"Kenapa?" Wawan tambah heran.

"Karena ia tidak ada di Jakarta."

"Oh ya? Lalu dia ada di mana?"

"Ada di Yogya."

"Di rumah Mbak Ati?"

"Tidak. Dia bersembunyi di suatu tempat. Hanya

Mbok Ti yang tahu tempatnya!"

"Kenapa, Mbok? Mengapa dia harus bersem- '

bunyi?" Keheranan Wawan tiba di puncaknya. "Apakah Mas Hardiman masih sering menulis surat kepadanya, atau mengancam akan membawanya dengan

paksa?"

"Tidak, Mas. Ia bersembunyi karena satu hal.

Sebenarnya Mbok Ti sudah berjanji untuk merahasiakannya, tetapi Mbok Ti merasa tidak tahan melihat

penderitaannya. Ia tidak mempunyai penghasilan tetap

dan hidup melulu dari uang tabungannya. Waktu

Mbok Ti ke sana, makanannya sungguh sederhana.

Dan segala sesuatunya tampak serbadarurat. la memang tidur di atas kasur, tapi kasur itu ditaruh di

lantai karena tidak mempunyai tempat tidur. Meja

dan kursi dibeli dari yang lewat. Entah terbuat dari

kayu apa itu. Ringan dan kasar sekali buatannya.

Padahal ia masih harus memikirkan ongkos ke dokter

secara berkala, masih harus memikirkan hal hal lain

yang menyangkut kehidupannya nanti. Sungguh Mbok

tidak tahan melihatnya. ia sudah terbiasa hidup senang dan dalam kelimpahan materi. Sekarang ia

mau menjalani kehidupan seperti itu, padahal ia

harus menjaga kesehatan dan kekuatannya...."

"Mbok, kau itu berkata tentang apa sih?" Wawan

bertanya dengan tidak sabar. Perasaannya kacaubalau, tidak menyangka Nunik akan senekat itu meng

hindari orang-orang yang tak ingin dijumpainya.

"Ceritakanlah dengan tenang dan..."

"Mbok tidak bisa..." Mbok Surti menatap Wawan

dengan air mata berlinang. "Mas..., Den Loro Nunik

sedang hamil dan ia ingin menyembunyikannya dari

pandangan orang banyak"

Hati Wawan seperti diremas mendengar perkataan

itu. . '

"Itu pastilah atas paksaan Mas Hardiman!" desisnya kemudian. "Jeng Nunik sudah tidak mau, masih

juga dipaksa. Dan sesuatu yang dikiranya tak mungkin terjadi, terjadi. la hamil di saat segalanya sudah

terlambat. Sungguh bajingan lelaki itu!"

"Mas Wawan kau keliru. Persis dugaan Mbok

Ti waktu mendengar Den Loro hamil!" kata Mbok

Surti cepat.

"Keliru bagaimana?"

"Yang membuatnya hamil bukan Den Hardiman.

Tetapi... Mas Wawan sendiri!"

"Apa...?!" Wawan berseru dengan mata terbelalak

dan wajah pucat. "Ya Tuhan, Mbok, ayo antarkan

aku ke sana sekarang juga!"

"Tetapi..."

"Ayo. antarkan ke sana, Mbok!" dengan tak sabar

Wawan merengkuh bahu Mbok Surti." "Katakan kepada Pak dan Bu Menggung, kau disusul orang

supaya pulang ke desa malam ini. Ada hal penting.

Besok akan pulang kembali kemari secepatnya."

Meskipun permintaan Mbok Surti dianggap aneh

karena tak biasanya demikian, kedua eyang Nunik

mengizinkan perempuan itu pergi. Apalagi ketika

mengetahui Mbok Surti akan mmm Wawan yang

321 .

mau pergi ke luar kota. Kekhawatiran mereka

meluntur.

Udara sejuk menyambut kehadiran Wawan tatkala

ia berjalan ke arah rumah kontrakan yang ditunjukkan

oleh Mbok Surti, yang memilih tetap tinggal di

mobil. Sayup-sayup ia mendengar suara radio dari

rumah itu. Rupanya hanya radio saja hiburan Nunik

selama tinggal di tempat itu. Pintu dan jendelanya

tertutup rapat. Hari belum lagi malam, tetapi tampaknya suasana pinggir kota yang sepi itu mengantar

orang lebih cepat masuk ke kamar tidur.

Pelan pelan ia mengetuk pintu rumah itu.

"Siapa?" tanya suara dari dalam rumah. Bunyi radio

sudah dikecilkan. Wawan tahu, itu suara Nunik. Hati_ nya menjadi lega danjantungnya berdebar kencang.

"Aku...."

"Aku siapa?" Nunik yang merasa takut didatangi

orang jahat membuka pintu rumahnya pelan-pelan,

dan siap untuk menutupnya kembali kalau ternyata

di luar itu bukan orang baik-baik.

"Aku. Wawan" sambil menjawab pertanyaan

Nunik, Wawan mendorong pintu di mukanya dengan

pelan tetapi cukup kuat untuk menyembulkan tubuhnya di hadapannya. "Masa tidak mengenali suaraku?"

Tetapi siapa yang akan menyangka Wawan akan

menemukannya di tempat itu? pikir Nunik dengan

terperanjat. Matanya terbelalak lebar.

"Kau..."

"Ya, aku. Aku ingin berjumpa dengan. ibu anakku!"

sambil berkata seperti itu Wawan melangkah masuk

dan menutup pintunya kembali.

"Mas..."

Wawan tidak peduli apa pun. tubuh Nunik dipeluknya dengan sepenuh perasaan dan kerinduannya.

"Jangan pikirkan hal hal lainnya." bisiknya sambil

menciumi rambut Nunik. "Pikirkan saja dirimu, aku,

dan anak kita."

"Mbok Surti kan yang..."

"Kataku tadi, jangan pikirkan hal-hal lainnya. Pikirkan saja anak kita dan kita berdua." bisik Wawan

dengan suara gemetar. "Aku akan mengawinimu sesegera mungkin, tak peduli siapa pun yang akan menentangnya. Itu pun kalau ada yang menentangnya.

Aku yakin tidak ada. Dan jangan pikirkan tentang

Astri. Ia tidak ingin memperbaiki hubungan kami

sehingga hatiku lega, sekali rasanya..."

"Tetapi, Mas..."

"Tidak ada tetapi-tetaplah!" Wawan memotong katakata Nunik yang sejak tadi hanya ditelan kembali saja

itu. "Kita akan menjalani hidup yang baru. Di Yogya

ini aku akan membuka cabang tokoku. Aku sudah

lama menabung sen demi sen untuk masa depanku.

Dan sekarang masa depan itu sudah di ufuk timur. Aku

akan mengawini pengantin kecilku dulu dan memulai

hidup baru bersamanya di kota Yogya ini !"

"Mas..."

"Ssstt... jangan bicara apa pun. Pokoknya, semuanya beres. Esok juga aku dan kedua orangtuaku

akan menyelesaikan segala sesuatunya," kata Wawan

lagi. "Kau tak usah ikut campur, sebab aku tak mau

mendengar protes apa pun dan tak mau mendengar

kata-kata yang berisi keraguan. Kau harus percaya

padaku bahwa segala sesuatunya pasti beres."

Nunik tak berani menyela lagi bicara Wawan.

Apalagi isinya begitu manis dan begitu membangkitkan semangat baru di dalam dirinya. Karenanya ia

hanya dapat meletakkan kepalanya ke atas dada

Wawan yang kukuh dan menyuarakan detak jantung

berisi kasih cintanya itu.

"Sekarang, ayolah berkemas. Ikut aku menginap

di hotel. Aku tak mau berbagi kasur sempit. di

bawah itu denganmu. Dan aku juga tak mau tidur

sendirian di kamar hotel yang serbalengkap dengan

memikirkan ibu anakku tidur di sini. Biar kasur itu

dipakai oleh Mbok Surti..."

"Mbok Surti ikut kemari?" Kepala Nunik terangkat

kembali.

"Ya, ia ada di dalam mobil."

"Ah, perempuan berhati emas itu..." Mata Nunik

menjadi basah. "Dialah pahlawan dalam penderitaan

yang kualami ini."

"Kita berdua akan membalasnya kelak janji

Wawan sambil mendekap kembali tubuh Nunik. "Nah,

ayolah kita segera mencari hotel."

"Apakah itu pantas.?"

"Bermalam bersama calon istriku yang sekarang

sedang mengandung anakku, tidak pantas?" sahut

Wawan mesra. "Kalau ada yang mengatakan demikian, suruh saja mereka menjenguk ke kamar kita

nanti. Aku hanya akan tidur dengan memeiukmu

saja. Lebih dari itu, nanti saja kalau kau sudah menjadi istriku...."

"Tetapi kalau hanya menciumku saja boleh, kan?"

Nunik sudah mulai lega dan senang hatinya. Rasa

humornya mulai datang kembali.

1"

"Kenapa tidak? Dan sekarang, akan kuberikan

panjarnya lebih dulu karena aku tak tahan lagi

menyimpan kerinduan ini." Usai berkata seperti itu,

bibir Wawan pun menangkap bibir Nunik dan menciumnya dengan penuh kemesraan.

' Dan Nunik mengulurkan lengannya, membalas

pelukan Wawan dengan mengunci leher lelaki itu

dengan kedua lengannya. Kemudian kecupan bibir

Wawan dibalasnya. Sama mesranya dan sama hangatnya.

Tamat


Fear Street Saga I Pengkhianatan Dewa Linglung 8 Pertarungan Dua Naga Pendekar Rajawali Sakti 200 Bencana

Cari Blog Ini