Ceritasilat Novel Online

Peluk Ia Untukku 3

Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S Bagian 3

sakit karena terlalu memikirkannya.

Pelan, kuhampiri Ibu dan kucium pipinya sembari berbisik, "Ibu,

aku sekarang ini sudah sangat berbahagia memiliki keluarga kecil

yang ceria seperti ini. Doakan aku selalu ya, Bu."

Kulihat mata Ibu berkaca-kaca, tapi aku sangat yakin kali ini Ibu

menangis bahagia.

SAYANG, masa cuti suamiku hanya berlangsung selama dua minggu

saja. Setelah itu, kami sekeluarga harus kembali bersiap pulang

ke Irian, meski dengan sangat berat hati. Mas Rono harus kembali

kepada pekerjaannya yang sudah menanti. Meski demikian, dua

minggu rasanya tuntas mengobati segala kerinduan kami yang

terpendam selama ini. Suasana perpisahan penuh haru sungguh tak

akan pernah bisa kulupakan sampai kapanpun.

Selamat tinggal Yogya, kota tempatku dilahirkan, patah hati,

sekaligus menemukan cinta. Aku dan keluarga kecilku pasti akan

kembali.

KETIKA anak keduaku, Dina, memasuki usia enam tahun, aku

kembali hamil anak ketiga. Seorang anak yang memang sangat

kami nantikan kehadirannya. Anak ketiga kami lahir ketika aku

sudah mampu meyakinkan diriku sendiri bahwa aku mencintai

suamiku. Ya, meski mungkin kelihatannya sangat terlambat, namun

kesadaran itu membuatku sadar bahwa selama ini aku telah begitu

lama menyia-nyiakan waktuku untuk mencintai suamiku dengan

sungguh-sungguh.

Witing tresno jalaran soko kulino, demikian pepatah Jawa

yang masih kuingat betul di luar kepala dan ternyata terbukti

benar terjadi dalam pernikahan kami. Setelah bertahun-tahun aku

menjadi istrinya, dengan segala suka duka yang telah kami lewati

bersama, akhirnya aku merasakan bahwa ada cinta teramat besar

yang kumiliki untuk suamiku, cinta yang penuh perjuangan. Cinta

yang tidak datang tiba-tiba, namun bertumbuh perlahan dari dalam

diri seiring dengan kian banyaknya kisah yang kami catatkan berdua

dalam perjalanan rumah tangga kami.

Memang sungguh aneh, namun nyata kurasakan, ketika

menjelang melahirkan anak ketiga kami, cintaku dan cinta Mas

Rono betul-betul menyatu. Di situlah aku menyadari satu hal lagi

bahwa perjuangan untuk bisa menumbuhkan benih-benih cinta

tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dalam perjalanan,

akhirnya aku dapat merasakan cintanya untukku, yang tak pernah

mampu ia ungkapkan lewat kata. Seluruh sikap, tutur kata,

perlakuan, dan semua hal yang ia lakukan terhadapku, di sanalah

cinta yang megah itu selalu ada. Tak aneh jika aku merasa begitu

bahagia saat menyadari bahwa aku kembali hamil. Inilah kehamilan

yang aku nantikan selama ini. Berbeda dengan dua kehamilan

sebelumnya, secara psikis aku merasa masih belum siap sama sekali.

Kedua anakku yang sebelumnya hadir di tengah aku yang belum

sepenuhnya mampu mencintai bapak mereka dengan utuh. Aku

menjadi ibu hanya karena merasa bahwa memang sudah takdirku

seperti itu. Meski demikian, cintaku pada kedua anakku tak mampu

kugambarkan. Seluruh hidupku pun ikhlas kukorbankan demi darah

dagingku, kedua buah hatiku. Perkara aku yang belum benar-benar

yakin akan perasaanku pada bapak mereka, bagiku adalah satu hal

yang lain.

Masih kuingat di luar kepala, pada tahun 1979 di Nabire

akhirnya lahir seorang bayi perempuan cantik yang kami beri

nama Dela. Dengan kelahiran Dela inilah, keluarga kami semakin

terasa lengkap dan hangat. Kedua kakaknya menyambut kehadiran

adik baru mereka dengan suka cita. Hal itu mereka ungkapkan

dengan cara yang sering kali membuat aku terharu, misalnya

ketika mereka dengan riang gembira membantu aku mengganti

popok adik mereka saat mengompol. Sama sekali tak ada raut

enggan pada wajah mereka. Padahal anak-anak lain mungkin akan

jijik atau malas membantu hal-hal yang seperti itu. Dari situ aku

yakin bahwa mereka sangat mencintai adik mereka. Keyakinan itu

benar-benar membantuku karena ketika itu aku tak mau menyewa

asisten rumah tangga. Entah kenapa, aku tak bisa mempercayakan

kedua buah hatiku dan rumahku diurus oleh orang lain. Aku ingin

merawat keluargaku dengan tanganku sendiri seperti ibuku. Ya

seperti Ibu. Aku ingin seperti ibuku.

Di tahun ini pulalah aku merasa kebahagiaanku sebagai seorang

istri sekaligus ibu bagi ketiga malaikat kecilku begitu sempurna. Mas

Rono yang sempat begitu sibuk dengan kegiatan kantornya pun

mulai mengubah sikapnya, menjadi lebih perhatian lagi pada aku

dan ketiga buah hatinya. Aku pun merasa menjelma menjadi bak

ratu di rumah. Aku merasa amat dimanjakan dan dilimpahi dengan

hujanan perhatian dan kasih sayang. Tuhan memang Maha Baik dan

Maha Pencinta bagi umat-Nya yang mau bersabar.

Terima kasih, Tuhan.

Terima kasih atas anugerah cinta yang Engkau limpahkan

kepada keluarga kami.

#12

Epilepsi

NABIRE, 1979

uatu hari, ketika Dela memasuki usia 5,5 bulan, ia

mendapatkan vaksin cacar. Tak ada yang aneh saat itu.

Namun, pada sore harinya, Dela mengalami panas tinggi hingga

kejang-kejang. Aku yang panik langsung membawanya ke dokter

umum karena kedua anakku yang lain tak pernah mengalami hal

seperti ini. Tapi, menurut dokter itu, kejang dan panas tinggi itu

hanya efek samping dari vaksin yang diberikan dan sama sekali

tidak akan berbahaya. Aku percaya saja dengan apa yang dikatakan

oleh dokter itu. Namun anehnya, sejak saat itu, beberapa kali Dela

kembali mengalami panas tinggi disertai kejang tanpa aku tahu

apa penyebabnya. Kecemasan dan ketakutan menyergap aku dan

suami. Kami tak ingin terjadi apa pun terhadap kesehatan anak

bungsu kami. Berbagai cara dan upaya coba kami lakukan demi

kesembuhannya, namun belum ada satu pun yang berhasil.

Sebagai orang tua, tentu tak ada yang tak sedih melihat salah

satu anaknya tak ceria dan sering mengalami sakit seperti ini. Aku

bertambah nelangsa saat mengingat kondisi kami yang berada di

desa terpencil dan jauh dari fasilitas kesehatan yang memadai.

Benar-benar aku tak menyangka akan mengalami hal seperti ini.

Apalagi kian lama Dela kian sering mengalami demam tinggi yang

disertai kejang-kejang tanpa henti. Aku dan suamiku semakin

cemas melihat perkembangan kesehatan Dela yang seperti itu.

Sering kali aku menangis di tengah malam yang sunyi melihat

Dela dalam kondisi terlelap. Tubuh sekecil itu dan dengan wajah

malaikat tanpa dosa harus mengalami ketidaknyamanan seperti

itu, rasanya ingin kupindahkan saja penyakit dari tubuhnya ke

tubuhku agar aku saja yang merasakan segala nyeri, dan bukan

dia, bidadari kecilku.

Masih teramat jelas teringat dalam benakku, malam itu tubuh

ringkih Dela kembali harus tersiksa oleh serangan demam dan

kejang. Waktu itu kami sekeluarga sangat panik, lebih-lebih aku.

Aku hanya mampu menjerit-jerit histeris menyaksikan kondisi Dela

tersebut. Untung saja sebelumnya kedua anakku yang lain sudah

dititipkan Mas Rono untuk sementara ke tetangga terdekat. Mas

Rono seakan tahu aku hampir pasti tak akan mampu menahan

emosiku. Tangisanku tak mampu kusembunyikan lagi. Aku berteriak

meminta tolong dipanggilkan seorang pastor untuk membaptiskan

Dela karena kondisinya yang menurut kami sudah gawat. Nyaris

tanpa jeda aku dan suamiku berdoa, senantiasa memohon petunjuk

Tuhan bagi kami. Kami adalah pemeluk agama Katolik, jadi dalam

kepercayaan agama kami, anak-anak harus dipermandikan, tak

terkecuali dengan Dela.

Saat itu pikiranku sudah melayang entah kemana. Yang kupikir

kan hanyalah apa yang harus aku lakukan jika memang saat itu

adalah saat-saat terakhir Dela hidup di dunia. Sebagai orang tua,

aku dan suamiku harus ikhlas dengan segala ketentuan yang sudah

digariskan oleh-Nya, meski hatiku terasa nyeri bagaikan dirajam.

Jangan pernah ditanya bagaimana perasaanku ketika melihatnya

anfal. Wajahnya yang pucat, bibirnya yang membiru, air liurnya yang

terus keluar, dan badannya yang menggelepar-gelepar sembari

mengeluarkan suara seperti sapi sedang dipotong, ibu mana yang

kuat melihat buah hatinya seperti itu?Jika tak ingat bahwa masih ada

Dito dan Dina yang membutuhkan perhatian dan kasih sayangku,

bisa jadi ketika itu kewarasanku sudah hilang alias gila. Tak kuasa aku

menanggung beban ini. Ketika itu aku sempat bertanya-tanya, dosa

apakah yang membuat aku harus menyaksikan buah hatiku sendiri

berada dalam keadaan tersiksa seperti itu. Karma apa yang sedang

kutanggung ya, Tuhan, begitu hatiku menjerit. Ingin rasanya aku

menghujat sang pemilik hidup, tapi aku tak kuasa melakukannya.

Apalagi ketika ingatanku melayang pada mata-mata bening kedua

anakku yang lain. Ya mereka menguatkanku. Merekalah yang

membuat aku berusaha sekuat tenaga untuk menguasai diriku.

"Tuhan, aku percaya dengan kuasa dan rencana-Mu. Aku

menyayanginya, namun, jika Engkau lebih sayang padanya, aku

ikhlas. Sungguh aku tak sanggup melihat ia tersiksa seperti ini."

Doa seperti inilah yang kupanjatkan ketika Dela anfal. Ingin rasanya

aku melakukan sesuatu agar dapat mengurangi penderitaan yang

dirasakan oleh tubuh mungil Dela, menggantikannya berada di

posisi seperti itu. Tapi aku sadar, aku hanya bisa berdoa dan terus

melakukan yang terbaik untuknya.

Saat Dela anfal, pastor yang kami cari sedang tidak ada di

tempat, dan yang datang kepada kami hanyalah prodiakon,

pembantu pastor. Apa boleh buat, melihat Dela yang sudah kejang

sebanyak 18 kali, aku pasrah melihat pembantu pastor tersebut

membaptis dan mempermandikan Dela. Puji Tuhan, keesokan

harinya setelah dibaptis, demam Dela mereda dan bayi mungil itu

kembali baik-baik saja. Tak henti-henti kami sekeluarga mengucap

syukur atas berkat Tuhan itu.

BARU saja aku merasakan kelegaan sesaat, datang kabar dari kota

kelahiranku. Mertuaku, ibu dari suamiku, mengalami sakit parah.

Ketika itu, Mas Rono memutuskan bahwa kami harus pulang

bersama anak-anak ke Yogyakarta untuk sementara waktu. Selain

untuk menjaga dan menemani mertua, aku dan Mas Rono juga akan

mengupayakan kesembuhan Dela di sana. Mengingat peralatan

kedokteran dan ilmu pengetahuan di Yogyakarta tentunya sudah

jauh lebih berkembang daripada di pedalaman Irian. Aku sungguh

tak pernah mengira sedikit pun bahwa kesempatan kami yang

kedua untuk pulang ke kota kelahiran justru harus diwarnai dengan

ujian yang begitu terasa berat bagiku. Dahulu, pada kepulangan

kami yang pertama, suamiku yang sakit. Kali ini kami harus pulang

dalam kondisi Dela yang sakit. Namun demi kesembuhan Dela, apa

pun akan aku lakukan.

Sesuai kesepakatan, tak lama kami sekeluarga akan terbang

ke Yogyakarta. Segera, Mas Rono mengajukan permohonan cuti ke

instansi tempat ia bekerja dengan alasan menengok orang tua yang

sakit. Untung saja permohonannya tersebut dikabulkan hingga kami

dapat berangkat anak-beranak pulang menuju Kota Yogya tercinta.

Saat tiba di Yogyakarta, kami disambut oleh keluarga besar.

Wah, teramat lama rasanya aku tak menjumpai wajah-wajah mereka.
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bapak dan Ibu memelukku sangat erat. Mereka seakan paham bahwa

aku sedang menanggung beban yang tak ringan, meskipun aku tak

pernah menceritakannya. Kami bertangis-tangisan. Adik-adik sudah

tumbuh besar, tinggi, dan makin dewasa. Aku pangling melihat

mereka. Ketiga anakku pun disambut sedemikian rupa oleh Om dan

Tante mereka.

"Nduk, akhirnya kamu pulang juga, Nak!" seru Ibu menghambur

ke arahku dan memelukku erat-erat. Tangisan kami pecah seketika.

Rindu yang menggelora di dada membuncah seolah mendapatkan

tempat pelampiasannya. Inilah saat yang kami tunggu-tunggu siang

dan malam, dan selalu terbawa hingga ke dalam mimpi.

Selama di Yogyakarta, kami bolak-balik antara rumahku

dengan rumah keluarga Mas Rono untuk menjenguk mertuaku. Di

satu kesempatan, akhirnya aku berhasil membawa Dela ke dokter

spesialis anak. Kepada dokter itu kuceritakan sejarah penyakit Dela,

mulai dari gejalanya yang sering kali mengalami panas tinggi hingga

kejang-kejang, sampai mendata upaya pengobatan apa yang telah

kami lakukan untuknya.

Melihat dan mendengar sejarah sakit Dela, Dokter mendiagnosis

bahwa kemungkinan besar penyakitnya adalah malaria. Segera

dilakukan cek darah, namun ternyata hasilnya negatif. Bukan malaria

yang sedang diderita oleh anak bungsu kami itu. Akhirnya, kami

hanya dibekali obat penurun panas karena mereka menganggap

Dela hanya demam biasa.

Tak lama kami menghabiskan waktu di Yogyakarta. Rasanya

belum puas kami melepas rindu setelah bertahun-tahun terpisah

jarak dan pulau. Rasanya, aku juga belum puas membawa Dela

memeriksakan kondisinya ke beberapa dokter. Tapi apa mau

dikata, terpaksa kami harus kembali pulang ke Irian karena harus

melanjutkan aktivitas di sana. Sementara fokusku saat itu adalah

mengupayakan kesembuhan bagi Dela. Dito dan Dina tumbuh

menjadi anak yang begitu penurut dan tak sulit diatur. Bahkan,

aku terkadang merasa mereka sudah bukan anak kecil lagi dengan

segala pengertian yang mereka berikan padaku dan bapak mereka.

Untuk yang satu ini, aku tak henti-henti mengucapkan puji dan

syukur pada Tuhan.

Ketika usia Dela menginjak dua tahun, frekuensi kejang Dela

semakin bertambah. Obat yang kubawa dari dokter anak di

Yogyakarta pun sudah habis. Alhasil, dengan sangat terpaksa aku

kembali lagi memeriksakan Dela ke dokter umum di Irian. Hasilnya

pun sudah bisa ditebak bahwa menurut mereka tetap belum

mengetahui sakit apa yang diderita oleh Dela.

Pada saat seperti itu, suamiku mendapat panggilan dari bupati.

Rupanya ada peraturan baru, bahwa setiap pejabat yang belum

memiliki gelar sarjana diperintahkan untuk sekolah lagi di IIP, Institut

Ilmu Pemerintahan, di Jakarta. Mas Rono memang belum menjadi

seorang sarjana. Pendidikan terakhirnya di APDN hanya setingkat

D-3, bukan sarjana.

"Bagaimana, Bu... apakah aku harus berangkat?" tanya suamiku

meminta persetujuanku.

"Tentu saja, Pak. Ini kesempatan baik. Apalagi Jakarta ?kan lebih

dekat ke Yogya ketimbang Irian! Kita bisa pulang lagi, Pak. Anak-anak

tentunya kangen ingin bertemu dengan eyang mereka. Dan, kita

bisa memeriksakan Dela di tempat yang lebih baik, dengan dokter

yang lebih profesional."

Begitulah, akhirnya keputusan diambil. Kami sekeluarga akan

pindah sementara dari Irian, kembali ke tanah Jawa. Berkemas

lagi. Sesungguhnya, terselip perasaan cemas akan perjalanan

panjang kami kali ini menuju tanah Jawa. Aku mengkhawatirkan

kondisi Dela yang sering tiba-tiba kejang tanpa kenal waktu dan

tempat. Tapi, ketika itu, aku lagi-lagi hanya mampu melangitkan

doa terus-menerus tanpa henti, semoga Tuhan mau melindungi

perjalanan kami dan memberikan setitik cahaya di depan sana bagi

kesembuhan Dela.

DJOGJAKARTA, 1981

Aku memutuskan bahwa selama suamiku melanjutkan pendidikan

di Ibu Kota, aku dan anak-anak akan tinggal di Yogyakarta saja.

Selain untuk mengirit biaya hidup, juga agar aku bisa lebih dekat

dengan keluarga dan dapat menitipkan Dito dan Dina sementara

aku fokus pada kesembuhan Dela. Untung saja Mas Rono tak

keberatan dengan keputusanku itu. Kami malah berdiskusi tentang

kapan saja Mas Rono harus pulang ke Yogya. Di titik itu, sangat berat

rasanya berjauhan dengan suami yang telah kuanggap sebagai

belahan jiwa. Cinta yang datang terlambat di hatiku, membuat

aku di usia yang semakin bertambah, justru merasa seperti anak

muda yang baru jatuh cinta. Rasanya tak ingin berpisah jauh dari

suami yang telah nyaris dua belas tahun mengarungi kehidupan

rumah tangga bersamaku. Tapi, apa daya, saat itu kesembuhan

Dela mengalahkan segalanya. Aku selalu berusaha memosisikan

pikiranku untuk selalu rasional.

Atas saran dari seluruh keluarga besar, akhirnya aku membawa

Dela menemui seorang dokter spesialis saraf atau yang biasa disebut

neurolog. Di situlah kondisi Dela diperiksa dengan lebih detail

dan teliti. Aku kembali harus menjelaskan awal mula penyakitnya,

berikut obat-obatan apa yang selama ini kuberikan atas resep dari

dokter yang pernah memeriksanya.

Tidak seperti yang lalu-lalu, kali ini dokter saraf tersebut

meminta Dela untuk menjalani serangkaian tes termasuk EEG?

Electroencephalograms, untuk mengetahui dengan pasti apa

sesungguhnya penyakit yang sedang bersarang di tubuh Dela.

Tanpa butuh waktu lama, aku menyetujui perintah dokter tersebut.

Dan, ternyata, hasil diagnosa terakhir dokter menunjukkan Dela

menderita penyakit E-P-I-L-E-P-S-I. Bahkan untuk mengeja nama

penyakit itu pun aku harus terbata-bata, karena sama sekali buta

dan tak memiliki pengetahuan apa pun tentangnya.

Setelah menerima hasil diagnosis dokter tersebut, aku ber

segera menanyakan lebih lengkap tentang penyakit epilepsi kepada

dokter.

"Epilepsi terjadi karena adanya beberapa jenis kelainan pada

otak. Jelasnya, terjadi kerusakan pada saraf di otak pasien. Kerusakan

ini bisa terjadi pada saat dilahirkan, namun ada pula beberapa

kasus epilepsi di mana pasien menderita kerusakan otak sesudah

kelahiran. Biasanya, epilepsi yang terjadi sebelum atau pada saat

dilahirkan, kebanyakan dikarenakan faktor genetik, meskipun tidak

semuanya seperti itu. Ada kemungkinan genetik tertentu yang

bertanggung jawab, namun ada kalanya pula karena faktor-faktor

lain yang mengganggu perkembangan otak janin ketika masih

berada di dalam kandungan. Untuk epilepsi yang terjadi ketika

bayi sudah terlahir, bisa diakibatkan oleh kekurangan oksigen pada

saat kelahiran, ataupun adanya pendarahan intracranial. Bisa juga

karena infeksi otak seperti meningitis, dan lain sebagainya." Panjang

lebar penjelasan dari dokter yang dipenuhi dengan berbagai istilah

kedokteran yang sama sekali tak aku ketahui artinya.

Aku hanya mampu mengangguk-anggukan kepala dengan

pikiran yang dipenuhi dengan berbagai pertanyaan.

"Dok, apakah kejang yang dialami oleh anak saya berbahaya?

Apa dampaknya bagi anak saya?" aku melanjutkan pertanyaan.

"Ibu, jika kejang yang terjadi hanya sebentar, kemungkinan

tidak akan berdampak apa pun pada anak. Namun yang perlu

dikhawatirkan adalah jika kejang yang dialami pasien terjadi cukup

lama, bisa merusak otak, tapi ini sangat langka terjadi."

Aku termangu. Ingatanku melayang pada malam ketika Dela

dibaptis. Ia kejang-kejang tanpa henti hingga 18 kali, dan mengalami

serangan anfal.

Melihatku hanya mampu diam, dokter kemudian melanjutkan

penjelasannya.

"Yang perlu dikhawatirkan pula adalah dampak lain daripada

kejang itu sendiri, Bu. Pasien penderita epilepsi biasanya mengalami

serangan mendadak tanpa kenal waktu dan tempat. Hal ini dapat

membahayakan, karena bisa saja mereka terluka akibat kehilangan

kesadaran dan terjatuh saat terjadinya serangan."

"Apakah anak saya bisa disembuhkan, Dok?" sambungku lagi,

belum puas mendapat keterangan dari dokter.

"Sebenarnya ada berbagai kondisi. Epilepsi sendiri sebenarnya

dapat disembuhkan dengan pengobatan yang kontinu dan

berkelanjutan. Untuk itu, pasien harus benar-benar dipastikan

memang menyandang epilepsi melalui serangkaian diagnosa

dan tes yang benar, misalnya dengan pemeriksaan EEG. Pasien

sendiri, jika harus menjalani pengobatan, usahakan sebisa mungkin

hanya menggunakan satu jenis obat saja, yang wajib diminum

secara teratur. Karena jika obat yang biasa diminum tiba-tiba

dihentikan begitu saja, maka akan menimbulkan serangan yang

hebat. Pengobatan yang dijalani juga harus dilakukan secara rutin

selama kurang lebih 2-3 tahun, bahkan pada beberapa kasus harus

diberikan untuk seumur hidup."

Penjelasan dokter yang panjang lebar membuatku terenyak.

Rentetan informasi lain seputar penyakit ini pun membuat kepalaku

pusing mendadak. Begitu beratnya penyakit yang harus kau

tanggung, Nak! Sebagai seorang Ibu, hati kecilku menangis karena

duka lara yang berkepanjangan. Penyakit yang singgah di tubuh

Dela bukan penyakit main-main. Tak dapat kubayangkan bagaimana

kelak pertumbuhannya jika penyakit ini terus menerus datang dan

membuatnya anfal tanpa diduga.

Menurut informasi yang kudapat saat itu, penyakit epilepsi

bisa dioperasi, namun hanya jika memang sudah tidak dapat

ditanggulangi dengan mengonsumsi obat. Dan hanya epilepsi jenis

tertentu saja yang bisa dioperasi. Dunia seakan mendadak runtuh

di sekitarku. Hiburan dari keluarga dan suami tak mampu membuat

perasaanku menjadi lebih baik. Aku tahu, mereka juga sama

sedihnya seperti aku, namun tak ada yang mampu menandingi

besarnya kesedihan seorang ibu yang mengandung dan melahirnya

anaknya dengan perjuangan antara hidup dan mati.

Untuk mengurangi penderitaan yang dirasakan oleh Dela,

dokter meminta kami untuk mencari tahu apa penyebab atau

pemicu dari kejang yang dialaminya. Seperti Dela, dia akan kejang

jika mengalami demam. Jadi sebisa mungkin kami yang di rumah

harus senantiasa memantau dan menjaga agar Dela jangan sampai

mengalami demam. Memberikan obat untuknya juga kami lakukan

sebagai salah satu upaya penyembuhan.

Entah, tak mampu kuhitung berapa kali aku berburu dokter

speasialis saraf. Kudatangi satu persatu tempat praktik mereka,

kukejar mereka hingga ke rumah sakit mana pun, hanya untuk

mencari second opinion dan mendapatkan kabar baik atas

kesembuhan Dela. Namun semua hasil analisa dokter sama saja.

Bahkan pernah di satu dokter kami diberi obat yang harus diminum

oleh Dela. Namun apa yang terjadi, ketika ia meminum obat tersebut,

ia langsung memeletkan lidahnya terus, padahal baru satu kali obat

itu diberikan. Lidahnya seperti kaku. Panik, secepat kilat kubawa

Dela kembali ke dokter yang memberikan obat tersebut. Sampai di

sana baru ketahuan bahwa obat yang diberikan itu dosisnya terlalu

tinggi. Ya, Tuhan! Untung saja saat itu di tempat praktik dokter ada
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pohon kelapa, lekas kuminta satu butir kelapa untuk menetralisir

kelebihan obat yang terlanjur masuk ke tubuh anakku.

Setelah sempat berganti dokter beberapa kali, akhirnya aku

menemukan dokter spesialis saraf perempuan, dan kubawa Dela

ke sana. Kami mulai rutin mendatanginya setiap bulan di saat

obat yang diberikan sebelumnya habis. Setiap kali datang, dokter

Laksmi, demikian nama dokter perempuan itu, akan memeriksa

Dela secara detail dan meminta laporan perkembangannya. Aku

memang selalu mencatat perkembangan Dela dari hari ke hari.

Bagaimana kejangnya, berapa kali ia mengalami kejang sejak

pemeriksaan sebelumnya, bagaimana tumbuh kembangnya. Secara

fisik, perkembangan Dela normal-normal saja layaknya anak-anak

lain. Ia bisa bicara, berjalan, pertumbuhan gigi normal. Pendek kata,

fisiknya tak jauh berbeda dari anak-anak lain seusianya.

Dalam hal makan, Dela juga tak menemukan kendala berarti.

Pola makannya sama seperti yang lain, normal saja. Hanya saja jika

penyakitnya sudah kambuh, jantungku mau copot rasanya.

Selama suamiku melanjutkan kuliah di Jakarta, kami hanya

bertemu dua hingga tiga minggu sekali ketika ia pulang ke Yogyakarta

menengok kami, anak-anak dan istrinya. Setiap kali ia pulang, aku

akan melaporkan perkembangan kesehatan Dela kepadanya secara

detail, karena sebagai bapaknya, Mas Rono berhak tahu segala hal

yang terjadi pada anak-anak. Terkadang jika ada uang lebih, Mas

Rono datang seminggu sekali pada akhir minggu. Itu pun sudah

cukup bagi kami untuk menuntaskan kerinduan yang mendalam

terhadapnya.

Setiap kali Mas Rono ada di Yogya, aku tak pernah lupa untuk

memasakkan makanan kesukaannya. Kami sekeluarga tinggal

di rumah orang tuaku karena faktor ekonomis dan juga agar aku

memiliki teman untuk membantu mengurus ketiga anakku, apalagi

Dito dan Dina juga sekolah di sana. Beruntung, karena adik-adikku

yang masih tinggal bersama Bapak dan Ibu mau menyingsingkan

lengan untuk membantu, terutama di saat-saat Dela mengalami

anfal.

Mas Rono sangat mencintai ketiga anaknya. Bisa dibilang, ia

nyaris tak pernah lagi bertemu dengan anaknya dari sang mantan

istri. Oleh karena itu, ia lampiaskan segala kerinduan kepada ketiga

anak kami. Dalam beberapa hal, sikap Mas Rono terhadap anak-anak

sama seperti sikap Bapak terhadap kami. Tegas, namun sangat

penyayang. Tak jarang setiap kali ia pulang, ia mengajak ketiga

anaknya berjalan-jalan ke tempat-tempat wisata di Yogyakarta.

Kadang bersamaku, namun kalau aku sedang repot mengurusi

Dela, ia hanya akan mengajak Dito dan Dina bersamanya.

Selalu ada hal-hal indah di tengah ujian hidup yang tak

berkesudahan. Aku dan Mas Rono meyakini itu sepenuh hati. Namun

bagi kami, kehadiran Dela dalam kehidupan kami bukanlah sebuah

musibah, melainkan anugerah dan mukjizat dari Tuhan yang tak

terhingga. Meskipun harus mengalami sakit seperti itu, namun kami

yakin semua ini terjadi atas kehendak Tuhan. Ia dititipkan kepada

kami karena Tuhan tahu kami mampu. Ya, kami pasti mampu.

Itu sebabnya, aku, Mas Rono, Dito, dan Dina sangat menyayangi

Dela. Tak pernah satu kali pun kedua kakaknya menjaili adiknya

yang sakit itu. Aku dan suami senantiasa mengajari mereka untuk

mencintai adiknya, tanpa pernah mengganggunya, karena Dela

sedang sakit. Puji Tuhan, mereka begitu penurut.

HARI demi hari kujalani, tanpa terasa sudah begitu banyak waktu

yang kuhabiskan untuk merawat dan mengobati Dela. Segala

usaha, baik medis maupun non medis, terus kami usahakan demi

kesembuhannya. Karena terlalu inginnya aku melihat anakku

sembuh kembali, apa pun yang orang sarankan untuk Dela selalu

aku turuti. Terutama kalau orang-orang tua yang memintanya.

Pernah aku disarankan untuk memberikan kopi kepada Dela

setiap pagi untuk diminumnya meskipun hanya seteguk. Katanya,

itu berkhasiat supaya anak tidak mengalami kejang. Aku turuti.

Pernah pula aku diminta untuk memberikan cicak putih yang telah

dibuang isinya, dibumbui hanya garam saja, dan digoreng atau

dibakar untuk dimakan oleh Dela. Entah sudah berapa ratus cicak

putih yang telah dikonsumsi oleh Dela tanpa pernah menolak. Aku

yakin ia sama denganku, ingin segera sembuh dari penyakitnya.

Selain usaha non medis yang berupa makanan, beberapa ada

juga yang menyarankan melakukan sesuatu karena mitos saja.

Mertuaku meminta dicarikan dandang besar dan merang, yaitu

tanaman padi yang sudah dipanen dan diambil padinya. Kemudian

dandang itu diletakkan di atas tungku dengan merang sebagai

bahan bakarnya. Setelah itu, Dela yang masih balita digendong

dan dimasukkan ke dalam dandang, hanya di atasnya saja, sebagai

simbol untu membersihkan segala penyakitnya. Meski aku merasa

bahwa hal tersebut tidak masuk akal, namun entah mengapa aku

menurutinya tanpa banyak bertanya.

Di lain hari, bapakku yang ganti mengajak Dela berangkat ke

Solo. Di sana, kabarnya ada gajah peliharaan Sultan Solo. Gajah itu

diambil kotorannya, lantas dibungkus dengan daun dan ditaruh di

atas ubun-ubun Dela. Katanya untuk obat. Kuturuti juga proses itu

meskipun terasa janggal. Yang penting bagaimana caranya agar

Dela dapat sembuh dan tumbuh normal seperti anak-anak lainnya.

Selama masa pengobatan dan masa-masa menjalani ritual

mitos dari leluhur, tak kurang banyaknya dukun yang datang ke

rumah dan mengaku bisa menolong Dela. Dari satu dukun ke

dukun yang lain, akhirnya aku mencari solusi. Suatu hari, pernah ada

seorang dukun yang mengaku pandai mengobati saraf, salah satu

dukun terhebat katanya. Aku biarkan ia mengobati Dela dengan

caranya. Biasanya, jika sedang mengobati, ia akan menaruh kakinya

di atas dan mengambil posisi kepala di bawah, dan itu ia lakukan

selama satu jam penuh. Beberapa kali dukun itu datang. Karena

terlalu percaya, aku tetap sabar mengikuti segala prosesi dan syaratsyarat yang dimintanya. Namun pada akhirnya dukun itu menyerah.

Hingga berkali-kali ia datang, tak ada satu pun perkembangan dari

kesehatan Dela. Sang dukun pun memintaku untuk bersabar dan

terus berdoa, karena ia tak sanggup menolong lagi.

Tak hanya itu saja, pada suatu ketika, di satu titik puncak

keputusasaanku mencari penyembuhan bagi Dela, tiba-tiba

datang ke rumah seorang dukun yang mengaku tahu bagaimana

mengobati penyakit Dela. Menurutnya, penyakit Dela ini bukan

penyakit biasa, melainkan penyakit gaib. Dengan yakin ia menyebut

bahwa Dela sakit karena bapaknya mencari kekayaan lewat jalan

yang tidak halal dan sang anak dijadikan tumbal. Uedaaan! Ya

Tuhan, ampuni aku!

Mulai sejak itulah Mas Rono memarahiku habis-habisan.

"Ibu punya Tuhan tidak? Kalau percaya sama Tuhan, berhenti

dukun-dukunan segala! Kita ini kerja untuk anak, jangan sampai

anak malah jadi korban!"

Dimarahi seperti itu membuatku menangis dan menyesali

semuanya.

Sejak itu, aku berhenti percaya pada dukun apa pun yang

disarankan oleh semua orang. Aku bertobat dan berjanji untuk

tidak lagi percaya terhadap hal-hal seperti itu. Berapa banyak

waktu dan uang yang terbuang untuk melakukan upaya yang

salah seperti itu. Tuhan, ampuni aku! Kala malam tiba, kuciumi

Dela sambil menangis luar biasa tanpa ia menyadarinya. Sungguh,

aku tak tega melihat tubuhnya yang semakin kurus dari hari ke

hari. Ia begitu sabar menahan sakitnya.

Selama tinggal di Yogyakarta, selain mengurus Dela dan

kakak-kakaknya, aku juga mengajar di sekolah Sang Timur, tempat

Ibuku mengajar. Jika saat itu Ibu hanyalah seorang guru honorer

karena usianya yang sudah tua, aku beruntung karena telah

diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Di sana aku mengajar Bahasa

Inggris. Setiap hari kulakoni pekerjaan itu tanpa mengeluh meski

harus tak keruan membayangkan harus meninggalkan Dela dan

kakak-kakaknya di rumah tanpa pengawasanku, meski memang ada

Om dan Tante-nya yang turut mengawasi jika aku sedang bekerja.

Ketika Dela mulai bertambah usia, aku dan suamiku

memasukkannya ke TK Sang Timur yang lokasinya masih satu

kompleks sekolah dengan SMP Sang Timur. Setiap pagi, aku dan

Dela berangkat naik becak ke sekolah bersama satu pengasuhnya

yang memang aku gaji untuk selalu mendampingi Dela ke mana

pun ia pergi. Sampai masuk ke dalam kelas, pengasuhnya pun ikut

masuk. Pendek kata, Dela tak pernah boleh lepas dari pengawasan.

Karena aku takut, sewaktu-waktu penyakitnya bisa kambuh dan tak

ada orang yang mampu menolongnya kecuali orang yang sudah

tahu bagaimana menangani dirinya.

Pernah beberapa kali Dela kumat di sekolah. Teman-temannya

berlari menyusulku ke sekolah dan memberitahukan bahwa Dela

kumat. Aku harus tergopoh-gopoh berlari ke sekolah Dela untuk

menolongnya. Setelah ia siuman, kubawa ia ke ruang kerjaku dan

tetap berada di sana sampai waktunya kami pulang ke rumah.

Rutinitas seperti itulah yang harus kujalani setiap hari selama

anak-anakku sekolah. Tanpa kenal lelah, tanpa mudah menyerah.

#13

Kembali

ke Tanah Irian

ada satu titik dari kehidupanku yang terkadang teramat

melelahkan, aku merasa cobaan yang harus kami tanggung

begitu beratnya. Kadang pula aku merasa tak sanggup lagi. Jika

sudah demikian, aku hanya bisa menangis, mengadu lewat doa-doa

malam yang kupanjatkan kepada Tuhan. Atau, aku sering pula

menangis bersimpuh di pangkuan Ibu. Dengan penuh kelembutan,

Ibu biasa membelai rambutku sepenuh sayang, mencoba menyerap

segala sedih dan duka yang kurasakan. Meski aku tahu, tak sedikit

pula beban Ibu selama ini, namun ia senantiasa selalu dapat menjadi

penyejuk batinku selain suamiku, Mas Rono.

Beberapa tahun setelah dikirim ke Jakarta untuk melanjutkan

kuliah, akhirnya masa pendidikan Mas Rono berakhir sudah. Ia

diwisuda dan telah berhasil meraih gelar sarjana dengan hasil yang

memuaskan. Sebagai abdi negara, kami pun harus rela dipindahkan

kembali ke Irian karena seperti itulah kesepakatannya sejak awal.

Bahwa Mas Rono harus kembali ke Irian setelah tugas belajarnya

selesai karena ia masih sangat dibutuhkan di sana.

Aku dan anak-anak sih merasa tidak masalah, yang aku

khawatirkan hanyalah nasib Dela. Masalahnya, dokter ahli saraf

yang selama ini menangani Dela dan memberikan obat tinggal di

Yogyakarta. Bagaimana jika obat yang harus diminum Dela habis

dan tidak ada stoknya di Irian? Setelah berkonsultasi, akhirnya

diambil jalan tengah. Dokter Laksmi akan memberikan stok obat

untuk satu bulan, dan setiap bulan aku akan mengirimkan sejumlah

uang untuk pembelian obat berikutnya, dan obat akan dikirim

melalui paket.

Setelah Dito dan Dina lulus SMP, aku mengirim mereka untuk

bersekolah di Yogyakarta. Dan setelah itu, merekalah yang akan

mengirim obat Dela kepada kami di Irian.

KEMBALI tinggal di Irian, secara otomatis proses pengobatan Dela

terhenti dan hanya mengandalkan obat dari dokter Laksmi. Aku

yang tak ingin berpangku tangan dan hanya menunggu keajaiban
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akhirnya memulai lagi pengobatan alternatif untuk Dela. Kembali

bermunculan saran dan uluran tangan memberikan bantuan

informasi untuk kesembuhan anak bungsuku itu. Namun, lagi-lagi

yang datang adalah orang pintar alias dukun.

Mulai dari dukun asal Ternate yang mengobati Dela dengan

cara mengguyur seluruh tubuhnya dengan air dari kepala hingga

kaki setiap magrib tiba, dukun Makassar yang memasukkan

seluruh benda tajam yang ada di rumah ke dalam sebuah ember

dan disiram dengan air hangat, kemudian air hangat itu dipakai

untuk memandikan Dela, lengkap dengan segala jampi-jampinya,

sepasang dukun asal Irian yang mengaku bisa menyembuhkan Dela

melalui media air yang disimpan di dalam gelas, hingga seorang

dukun entah berasal dari mana yang mengaku bahwa ia pernah

mengobati seorang putra raja di Malaysia hingga sembuh, namun

ternyata ia tak lebih dari seorang penipu! Tak terhitung berapa

banyak lagi orang yang datang mengaku sebagai ?orang pintar?yang

ingin membantu menyembuhkan Dela. Namun, semuanya berakhir

sia-sia, tak ada satu orang pun yang berhasil menyembuhkan, yang

ada malah banyak ritual yang harus kami jalani dan semuanya aneh.

Awalnya aku betul-betul serius mengikuti segala petunjuk

yang diminta. Tekadku sangat bulat, semua demi Dela. Namun,

kadangkala, melihat pekerjaan mereka yang tanpa hasil berarti, aku

merasa heran, kecewa, sekaligus sedih tak terkira, semua campur

aduk, membaur tak keruan.

Terkadang, di puncak rasa lelah, aku menangis di pelukan Mas

Rono.

"Pak, sampai kapan Dela akan menderita seperti ini? Segala

usaha yang kita lakukan tak pernah membuahkan hasil. Yang ada

kita malah habis-habisan mengikuti segala petunjuk, namun tak ada

kemajuan buat Dela," isakku.

Mas Rono mengeratkan pelukannya.

"Sabar, Bu. Sudah, lebih baik kita kembali fokus pada pengobatan

Dela bersama dokter. Lupakan segala pengobatan alternatif itu.

Bukannya sembuh, malah kita nurut saja disuruh melakukan

yang aneh-aneh. Kasihan Dela, aku ndak tega melihatnya harus

melakukan sesuatu yang bagi kita saja sudah berat, apalagi untuk

dia yang sakit seperti itu."

Dalam hati aku membenarkan perkataan Mas Rono. Seluruh

pengobatan alternatif yang akhirnya malah mendatangkan dukun

ini itu malah bablas hasilnya, nol besar.

"Kita berdua harus kuat, Bu. Demi anak-anak kita, demi Dela.

Kamu tak boleh terlalu sering menangis, karena itu hanya akan

membuat aku dan Dela sedih. Ibu nggak mau kan lihat Bapak

sedih?" tanya Mas Rono sambil menatap mataku, lembut.

Aku tersenyum. Sungguh, aku merasa menjadi perempuan

paling beruntung di dunia. Di tengah segala ujian hidup yang

teramat berat kurasakan, Tuhan memberiku seseorang yang mampu

menemaniku melewatinya bersama-sama. Hilang sudah segala

resah dan duka.

Hari demi hari kembali dilalui dengan segala kehebohan. Tak

pernah bisa kulupakan betapa Dela bisa anfal di mana saja selama

ini. Di gereja, restoran, di toko, pesawat, di mobil, bahkan lebih

sering lagi di sekolah. Ya, kami tetap menyekolahkan Dela meskipun

tidak resmi dan hanya ikut-ikutan saja sekadar ia bisa, itu pun harus

tetap ada yang mendampingi, yaitu pengasuhnya.

Aku dan Mas Rono yang sangat menyayangi Dela tak pernah

menganggapnya memiliki keanehan dan harus dijauhkan dari

lingkungan. Justru sebaliknya, kami selalu bersikap bahwa Dela

normal seperti anak kami yang lainnya. Setiap kali ada acara di

kantornya, suamiku selalu saja mengajak Dela ikut serta bersamanya.

Pun demikian denganku, kami selalu berbagi tugas mengajak Dela

ikut serta setiap kali kami pergi ke luar rumah, jika ia sedang dalam

kondisi sehat dan baik-baik saja.

Jika penyakitnya sedang kambuh, barulah muncul dilema

dalam hatiku. Aku adalah seorang guru, setelah diangkat sebagai

pegawai negeri, secara otomatis aku ditempatkan sebagai guru di

sekolah di wilayah kerja suamiku. Itu artinya, aku harus sepenuh

tanggung jawab melaksanakan kewajibanku sebagai abdi negara

seperti suamiku. Namun dilema itu akan muncul ketika Dela kumat.

Tak mungkin suamiku yang sekarang menjabat sebagai salah satu

petinggi di Pemda setempat harus membolos demi merawat Dela.

Itu artinya, sepenuhnya tanggung jawab harus aku yang pikul. Aku

yang harus mengalah izin untuk tidak mengajar dan menjaga Dela

di rumah secara penuh.

Berulang kali Dela harus diopname di rumah sakit. Bukan hanya

karena epilepsi yang dideritanya, ia juga pernah didiagnosis terkena

radang otak, hingga malaria. Semua penyakit itu membuat kami

dan warga sekitar heboh karena membuat Dela berada dalam

kondisi kritis. Untunglah, Dela termasuk tipe anak yang tidak pernah

memberontak dan rewel meski harus selalu berada dalam kondisi

sakitnya setiap saat. Tak pernah sedikit pun ia mengeluh ketika

harus meminum obatnya secara terus-menerus.

Jika ada kesempatan untuk pergi ke Jakarta, biasanya aku akan

berangkat; terkadang hanya berdua saja dengan Dela. Di masa itu,

menaiki pesawat dengan mendorong kursi roda masih merupakan

pemandangan langka dan sering menjadi tontonan bagi orang lain.

Namun aku tak pernah merasa malu. Bagiku, Dela adalah belahan

jiwa yang senantiasa harus selalu ada di sisiku. Di Jakarta, kami

akan menemui seorang dokter ahli saraf yang akhirnya menangani

kasus penyakit Dela. Dokternya sangat baik. Keluarga pasien

penderita epilepsi sering diajaknya berdialog karena menurut

beliau, keluargalah yang paling berperan dalam menangani si anak

terutama ketika sakitnya kambuh. Selama ditangani oleh dokter ini,

penyakit Dela jarang kambuh karena ia selalu diperiksa secara rinci,

dan tak pernah lupa meminum obatnya.

SETELAH kedua kakaknya dikirim untuk melanjutkan sekolah

mereka di Yogyakarta, praktis di rumah ini hanya tinggal kami

berempat yang tinggal. Aku, suamiku, Dela, dan pengasuhnya. Tak

ada lagi orang lain. Tak heran jika Dela menjadi amat sangat manja

dan lengket terhadap kami. Meskipun jika ditilik lebih dalam, Dela

lebih dekat dengan bapaknya. Kedekatan Dela dengan bapaknya

sungguh terasa istimewa. Ia benar-benar menjadikan sosok bapak

sebagai panutan sejatinya, mungkin karena tak ia temui sosok

laki-laki lain dalam keluarga kami. Mas-nya, Dito, tidak pernah

sedekat bapak terhadap Dela karena Dito harus berada jauh dari

rumah.

Kemanjaan Dela kepada bapaknya membuat siapa pun

yang melihatnya akan merasakan iri yang luar biasa. Mas Rono,

dengan kasih sayangnya yang luar biasa, selalu memanjakan Dela

semampu yang ia bisa. Apa pun kemauan Dela, selama ia mampu

memenuhinya, akan selalu terpenuhi. Acap kali, sepulang bekerja,

Dela meminta kepada bapaknya untuk jalan-jalan, dan Mas Rono

pun akan menurutinya dengan senang hati, walau kelelahan tampak

jelas di raut wajahnya, bahkan tak sempat berganti pakaian.

"Bapak, jalan-jalan!" celoteh Dela, menyambut kepulangan

bapaknya dengan suka cita.

"Anak gadis Bapak yang cantiik, mau jalan-jalan ke mana lagi?

Kamu nggak capek?" tanya Mas Rono semringah sambil memeluk

Dela erat.

Biasanya, Dela akan menggeleng kuat-kuat jika ditanya seperti

itu. Jika sedang sehat, energinya seolah tak pernah habis.

Dela sangat suka jika bapaknya pulang membawakan kue-kue

favoritnya. Terutama setiap kali penyakitnya anfal. Setelah masa

kejangnya berakhir, malamnya ia akan rewel dan uring-uringan, dan

Mas Rono yang akan berusaha membujuknya, sering kali dengan

menyediakan berbagai lauk dan kue yang enak-enak buat Dela.

Terkadang, urusan mandi pun Dela lebih suka dimandikan oleh

bapaknya, meski sesekali aku dan pengasuhnya juga bergantian

memandikan Dela jika bapaknya tidak ada di rumah.

Ketika Dela mulai agak besar, setiap kali aktivitas kami di luar

rumah dimulai dengan pertanyaan, "Dela mau ikut siapa?" Kalau

ia memutuskan untuk ikut bapaknya, maka ia akan ikut Mas Rono

ke kantor. Pun demikian jika ia memilih untuk ikut aku, maka aku

akan membawanya ke sekolah. Jika tiba waktuku untuk masuk

kelas, Dela akan kutitipkan kepada teman-teman guru yang sedang

tidak mengajar.

Di sekolahnya sendiri, Dela mulai jarang masuk. Sewaktu

masih TK dulu, ia menjalaninya secara normal selama dua tahun.

Begitu mulai masuk sekolah dasar, karena keterbatasan fisiknya

yang sering kali kumat, maka ia sering terpaksa membolos. Dan

itu sebabnya ia harus menjalani setiap kelas yang dilaluinya selama

dua tahun alias tidak naik kelas. Kelas 1 SD, dijalaninya selama dua

tahun. Kelas 2 pun dua tahun. Ketika duduk di kelas 3, Dela kembali

mengalami serangan kejang yang lebih parah hingga akhirnya aku

memutuskan supaya Dela tidak perlu sekolah lagi dan tinggal saja di

rumah. Kami akan mencarikan guru untuknya semata-mata bukan

untuk mengajarinya, melainkan untuk mengisi kegiatan saja supaya

ia tidak bosan di rumah.

Setiap siang, jika Dela tidak ikut kami, ia akan belajar di rumah

bersama guru yang datang ke rumah kami. Pelajaran yang diberikan

oleh guru kami hanyalah pelajaran yang ringan-ringan saja, sekadar

untuk membuat Dela merasa bersemangat. Guru yang kami minta

untuk mengajar Dela pun sempat berganti sebanyak dua kali. Guru

kedua yang datang untuk mengajari Dela di rumah berasal dari

guru SLB setempat. Kebetulan, dulu sewaktu guru Dela masih SMP,

akulah yang menjadi gurunya. Tak salah pilihanku, guru itu begitu

telaten mengajari dan membimbing Dela.

Pernah, di satu waktu aku memutuskan untuk memasukkan

Dela sekolah di SLB itu. Namun Dela hanya belajar selama satu hari

di sana, karena hari berikutnya aku memutuskan untuk menariknya

kembali ke rumah dan belajar di rumah saja. Karena aku tidak tega;

di SLB itu muridnya campuran, semua siswa dengan penyakit dan

cacat yang berbeda-beda dicampur menjadi satu, dan itu membuat

Dela merasa bingung, hingga akhirnya aku memilih untuk

memanggil gurunya di sana saja yang datang ke rumah.

"Dela mau belajar di rumah lagi?" tanyaku sepulangnya Dela

dari SLB.

"Mau, Bu. Dela mau di rumah saja. Di sekolah nggak enak.

Terlalu ramai, Dela pusing," sahutnya pendek.

Benar apa kata dokter, semanjur apa pun obat yang diberikan

untuk Dela, tak ada obat yang lebih mujarab selain obat berupa

Cinta Kasih. Selama ini, cinta kasih itu pula yang senantiasa berusaha

kami berikan untuknya, tanpa kenal lelah. Tanpa pernah merasa

malu atau risih terhadap pandangan orang lain kepada kami. Bagi

kami, Dela tetap merupakan mukjizat yang dititipkan Tuhan untuk

kami rawat dan jaga sebaik mungkin.

#14

Pahlawan Trikora &

Masa Pensiun

i Irian Jaya, yang sekarang namanya sudah beralih menjadi

Papua, kami telah begitu banyak mengalami pasang surutnya
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kehidupan. Sungguh, tak pernah kami duga, bahwa perjuangan

suamiku selama berpuluh tahun mengabdi di tanah Papua, akhirnya

berbuah sangat manis. Pada 1980, rupanya nama suamiku tercatat

sebagai salah satu dari sekian banyak orang yang dianugerahi gelar

Pahlawan Trikora oleh Presiden Soeharto.

Gelar pahlawan Trikora ini diberikan bagi mereka yang ber

juang demi mempertahankan tanah Irian/Papua dari tangan

penjajah. Namun, rupanya, abdi negara yang bertugas di Irian untuk

membangun di sana juga dianggap layak untuk mendapatkan

gelar tersebut. Pemberian gelar tersebut dibatasi hanya sampai

pada mereka yang tercatat berjuang demi tanah Papua hingga Mei

tahun 1968. Puji Tuhan, Bapak yang memang telah bertugas di sana

pada tahun itu akhirnya terpilih menjadi salah satu di antara sekian

banyak orang yang dianugerahi gelar tersebut.

Gelar Pahlawan Trikora itu disusul dengan turunnya SK lang

sung dari Presiden Soeharto tentang pemberian gelar tersebut.

Tak terkira betapa bahagianya hati kami semua, terlebih aku.

Sungguh aku sangat terharu karena perjuangan suamiku tak sia-sia.

Aku menjadi saksi betapa luar biasa sepak terjang beliau selama

mengabdi sekian puluh tahun menjadi abdi negara, membangun

inci demi inci pedalaman Papua menjadi lebih baik dari sebelum ia

datang ke sana.

Perjuangan suamiku sungguh tanpa pamrih. Selama ini, tak

satu kali pun terbersit di hatinya untuk mengharap penghargaan

dalam bentuk apa pun. Suamiku ikhlas bekerja demi negeri tercinta,

khususnya demi rakyat Papua yang masih dalam kondisi terbelakang

dan memprihatinkan. Dan ketika pada akhirnya perjuangan itu

dihargai oleh negeri ini dengan sebentuk gelar yang tak kecil artinya,

tentu hal tersebut menjadi kebanggaan tersendiri bagi kami.

Selain mendapat gelar tersebut, ada hadiah lain yang diberikan

oleh pemerintah kepada para penerima gelar pahlawan Trikora.

Hadiahnya adalah pulang kampung bagi mereka yang masih

bertugas di Papua. Pulang kampung sekeluarga dengan dibiayai

sepenuhnya oleh negara, plus ditambah uang saku yang jumlahnya

lumayan. Hadiah tersebut diberikan dalam bentuk uang tunai,

dan nyatanya bebas kami gunakan apa saja selain untuk pulang

kampung.

Kami memutuskan akan menggunakan uang hadiah itu sebagai

tambahan untuk membangun rumah impian kami di Yogyakarta,

yang rencananya akan kami tinggali kelak ketika kami akan

menghabiskan masa pensiun kami pulang ke kampung halaman.

Selesai diwisuda sebagai seorang Sarjana lulusan IIP Jakarta,

Bapak ditugaskan kembali sebagai Kepala Bagian Keuangan

Kabupaten Paniai pada 1984 hingga 1991. Setelah itu ia diangkat

menjadi Asisten I di Kantor Bupati, masih di wilayah Kabupaten

Nabire pada 1991 hingga 1995. Hingga akhirnya diangkatlah ia

sebagai Kepala Dinas P & K Kabupaten Nabire pada tahun 1995

sampai tahun 1997. Saat itulah, tugasnya sebagai abdi negara

menjadi paripurna. Akhirnya, suamiku, Mas Soerono-ku, mulai

memasuki masa pensiunnya.

Oktober 1997 resmi menjadi saat terakhir Mas Rono menjadi

seorang pegawai. Segudang rencana telah kususun dan kupersiap

kan untuk Mas Rono agar suamiku dapat menghabiskan masa

pensiunnya dengan menyenangkan dan bahagia. Terbayang olehku,

bahwa akhirnya kami betul-betul dapat menikmati istirahat kami di

usia yang tidak lagi muda. Saat itu, aku masih mengajar, dan itu

artinya dari segi keuangan kami tidak mengalami kendala berarti,

bahkan berlebih.

Namun rupanya, sifat pekerja keras yang ada dalam diri Mas

Rono tak dapat dihentikan begitu saja oleh sebuah kata: PENSIUN.

Seminggu setelah masa pensiunnya, tiba-tiba ada seorang Bruder

yang mencarinya. Namanya Bruder Piet Both. Dulu ia tinggal di

Moanemani dan sekarang menjabat sebagai Manager di AMA,

sebuah perusahaan penerbangan milik keuskupan Jayapura.

Pesawat-pesawat yang ada di AMA tadinya dipergunakan untuk

operasional keuskupan saja. Namun karena banyak waktu di mana

keuskupan tidak ada kegiatan apa pun yang membutuhkan pesawat,

akhirnya diputuskan bahwa pesawat itu dapat dipergunakan untuk

kegiatan komersil. Sejak saat itulah AMA mengoperasikan pesawatpesawat itu di saat-saat tertentu sebagai pesawat komersil, dan

penumpangnya dikenai biaya tiket.

Bruder datang ke rumah, untuk membujuk Mas Rono agar mau

membantunya bekerja sebagai Manager di AMA Cabang Nabire.

Karena sifat Mas Rono yang tak pernah mau santai dan tinggal diam,

akhirnya Mas Rono memutuskan untuk menerima tawaran tersebut.

Maka jadilah Mas Rono menjabat sebagai Manager AMA Nabire.

Tugasnya antara lain adalah mengatur pesawat, mengatur

para pilot yang kebanyakan berasal dari luar negeri, mengatur para

karyawan, dan seribu satu pekerjaan yang akhirnya selalu dikerjakan

oleh Mas Rono. Setiap hari, tak pernah lupa Mas Rono mengajakku

berdoa, dan mengingatkan untuk senantiasa bersyukur dan

memohon untuk diberikan kekuatan agar bisa menjalankan tugas

ini dengan baik.

Selama dua tahun lebih sedikit bertugas di AMA, kondisi

keuangan kami amat baik, karena penghasilan yang diterimanya

jauh lebih dari cukup untuk hidup kami sekeluarga. Kami bisa

menyekolahkan anak-anak di sekolah terbaik, kami juga bisa

mengobati penyakit Dela secara baik. Pendek kata, meski telah

bertambah usia, namun etos kerja keras yang dimiliki oleh suamiku

itu tak mampu dihentikannya begitu saja.

SETIAP pagi, mulai pukul 04.30, suamiku harus sudah berada

di airport sebelum para pilot AMA datang. Banyak yang harus

dikerjakannya. Semuanya penuh suka dan duka. Belum lagi

mengurusi para penumpang pesawat yang kadang bandel.

Misalnya, ada yang membawa barang-barang yang dilarang seperti

minuman keras, bahkan pernah ada yang membawa minyak tanah

ke dalam pesawat. Tentunya itu sangat membahayakan. Lagi-lagi

Mas Rono yang harus membereskan segala permasalahan tersebut.

Tak jarang ada pihak-pihak yang mencoba menyuap suamiku

semata-mata agar urusan mereka dalam hal penerbangan

dipermudahkan. Namun, suamiku tetap bergeming. Beliau tak

pernah mau menerima suap tersebut, karena ia menganggap bahwa

tanggung jawab keselamatan penerbangan ada di pundaknya.

Di masa Mas Rono aktif di AMA, ia berhasil membuka kerja sama

dengan pemerintah. Jika ada pejabat yang ingin berkunjung ke

pedalaman namun pesawat biasa tidak ada, maka mereka akan

langsung menghubungi AMA untuk mencarter pesawat demi

kelancaran transportasi mereka.

Dari keuntungan komersial inilah, pihak AMA akhirnya berhasil

meraup keuntungan yang tidak sedikit. Di bawah kepemimpinan

Mas Rono sebagai Manager AMA Cabang Nabire, mereka berhasil

membangun rumah-rumah tempat tinggal pilot, pun memperbesar

gudang.

Aku tahu, sebenarnya Mas Rono yang usianya sudah mulai

beranjak senja, pasti sangat lelah dengan segala aktivitasnya yang

masih saja tanpa henti selama ini. Segala persoalan seolah tak ada

habisnya, selalu saja ada dari hari ke hari. Terkadang, aku sampai

tak tega melihatnya harus berangkat di pagi buta dan pulang larut

malam. Tak sanggup aku membayangkan ia masih harus bekerja

keras demi kami, aku dan anak-anaknya.

Selama aktif bekerja di AMA, Mas Rono sering diminta pula

mengajar di STIA, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara di Nabire.

Semua itu ia lakukan di sela-sela waktunya bekerja untuk AMA. Aku

sampai tak habis pikir dan sering menggelengkan kepala melihat

kesibukannya tersebut. Luar biasa, apakah tidak ada kata letih

dalam kamus hidupnya? Setiap hari aku selalu melihatnya begitu

bersemangat bekerja, tanpa kenal lelah, tanpa pernah menyerah.

Hingga akhirnya, pada suatu hari kami mendapat kabar bahwa

STIA ingin menarik Mas Rono bergabung bersama mereka menjadi

dosen tetap. Aku dan Mas Rono akhirnya berdiskusi lama, apakah

akan tetap di AMA ataupun menerima tawaran pihak STIA untuk

menjadi dosen tetap di sana. Terus terang aku tidak mengizinkan

suamiku mengerjakan keduanya sekaligus, karena aku tak ingin

tubuhnya yang mulai menua harus mengalami drop akibat

kelelahan. Jadi kuminta ia untuk memilih satu di antara dua pilihan

tersebut, AMA atau STIA.

Rupanya, Mas Rono merasa tertantang untuk bisa melakukan

sesuatu demi kemajuan pendidikan. Jadilah akhirnya Mas

Rono memutuskan untuk menerima tawaran STIA dan melepas

kedudukannya di AMA Nabire. Saat itu kondisi AMA sudah mulai

membaik dibanding kondisi ketika Mas Rono belum bergabung

di sana. Rupanya, di STIA, tidak hanya posisi dosen tetap yang

telah menantinya, jabatan Ketua STIA pun ditawarkan kepadanya.

Suamiku tak mampu menolak tawaran itu.

Maka sejak saat itu resmilah Mas Rono menjadi Ketua STIA,

dan aku masih saja mengajar. Masa pensiunku masih lumayan

lama. Jika ada orang bertanya mengapa kami berdua belum pulang

ke Yogyakarta padahal suamiku sudah pensiun, selalu Mas Rono

menjawab bahwa kami menunggu sampai aku pensiun, baru kami

akan pulang ke kampung halaman tercinta.

Terkadang, aku merasa heran dengan sikap suamiku tercinta.

Padahal masa baktinya di tanah Papua sudah berakhir, namun

terus saja ia memiliki beribu macam alasan untuk tetap tinggal di

tanah ini. Salah satunya adalah untuk memajukan pendidikan di

Papua. Jika sudah begitu, aku tak bisa berkata apa-apa lagi selain

mengamini pendapatnya.

Entah kapan suamiku akan memutuskan untuk benar-benar

pensiun dari segala aktivitasnya dan menghabiskan sisa waktunya

berdua saja denganku, istrinya.

#15

Selamat Jalan,

Kekasih

PAPUA, 2000

ehidupan berputar layaknya sebuah film yang tayang di

sebuah bioskop. Ia akan terus bergerak maju tanpa sedikit

pun mundur ke belakang. Segala hal yang terjadi dalam kehidupan,

senantiasa hanya akan menjadi kenangan, pahit atau pun manis.

Begitu pula dengan kehidupan keluargaku. Kami telah melakukan

perjalanan yang sangat panjang untuk bisa sampai di titik ini.

Titik di mana aku dan suamiku hanya mampu berpasrah diri pada

kebesaran Tuhan.

Perjuangan yang kami lakukan untuk mempertahankan

kebahagiaan keluarga kami sungguh membuat kami menjadi

teramat dekat satu sama lain. Mengeratkan kami sebagai sepasang

suami istri yang saling setia, saling berkorban, dan terus berusaha

mengobarkan api cinta di dalamnya. Tanpa terasa, sudah 30 tahun

berlalu sejak aku pertama kali bertemu dengan pemuda Soerono

di ruang tengah rumahku. Perjodohan kami yang dulu sempat aku

sesali dan aku tolak, nyatanya telah menjadi salah satu hal terbaik

yang aku jalani dalam hidup.

Tuhan telah mengirim Mas Rono untukku, dan aku untuknya.

Kami memang telah ditakdirkan untuk bersama, jauh sebelum
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saling bertatapan dan berjabat tangan di rumahku kala itu. Mas

Rono berhasil membuktikan kepadaku, bahwa cinta akan datang

karena terbiasa. Sekarang, justru yang kurasakan adalah kian hari

aku kian mencintainya. Di tengah perjuangan berat kami menjalani

takdir kami satu per satu, ada kebahagiaan berlimpah, berkah luar

biasa yang kami terima berkat Tuhan.

Tiga puluh tahun lebih aku mendampingi Mas Rono sebagai

seorang istri lengkap dengan segala kelebihan dan kekuranganku,

tanpa sedikit pun suamiku pernah mengeluh atas diriku. Hal itu

tak membuatku bangga terhadap diri sendiri, justru sebaliknya,

aku yang harus memberikan penghormatan mendalam untuknya,

karena ia yang tak pernah sedikit pun menunjukkan kekecewaannya

terhadapku sebagai istri yang mungkin memiliki banyak kesalahan.

Anak-anak kami sekarang sudah semakin dewasa. Sudah

waktunya untuk membangun kehidupannya sendiri. Setelah

Dito berhasil menjadi seorang sarjana dari UGM, kini ia telah

menyelesaikan kuliah pascasarjananya di Jakarta, di jurusan

Akuntansi Internasional. Sementara Dina melanjutkan kuliah

di Swiss dan akhirnya bekerja di sana. Aku dan suamiku hanya

mampu mengiringi anak-anak kami dengan doa. Sungguh, rasanya

bersyukur sekali, karena di tengah kesedihan mendalam karena satu

per satu anak kami pergi meninggalkan kami menjemput mimpi

mereka masing-masing, Tuhan masih menitipkan satu anak lagi

yang akan senantiasa selalu berada di samping kami. Ya, dialah Dela.

Pernah suatu ketika, aku dan suami bercakap-cakap di beranda

rumah kami yang sekarang menjadi sunyi. Kala itu, Mas Rono sudah

memasuki masa pensiun meskipun karena sifatnya yang menolak

untuk berdiam diri, ia masih saja aktif bekerja di luar rumah.

"Pak, kita sudah semakin tua ya, anak-anak sudah pergi dari

rumah. Bapak kesepian ndak?"

Mas Rono hanya terkekeh, memperlihatkan giginya yang masih

berderet rapi meskipun usianya sudah melebihi kepala lima.

"Bagaimana bisa aku merasa kesepian, jika Ibu selalu ada di

sampingku?" ia balik bertanya. Kali ini aku yang terpaksa tersipu

malu.

"Ah, Bapak. Sudah tua masih saja suka menggombali istri."

Kekehan Mas Rono semakin menjadi.

"Tapi, Pak, syukur ya, ada Dela di rumah ini. Jadi rumah kita

tidak terlalu sunyi," sambungku.

Sejenak kami menghela napas berdua. Nama Dela selalu ada

dalam setiap hembusan napas kami, dalam setiap perbincangan

kami.

"Yaa, inilah yang namanya takdir, Bu. Mungkin kita sempat

merasa dunia seakan runtuh ketika Dela pertama kali divonis sakit

epilepsi. Tapi, ternyata Tuhan Mahabesar, bukan? Selalu ada hikmah

di balik setiap peristiwa. Andai saja Dela normal seperti kedua

kakaknya, detik ini, di rumah ini, hanya akan ada Ibu dan Bapak saja

menghabiskan masa tua berdua."

Aku mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju.

JAKARTA, 2001

Tak ada yang lebih membahagiakan hati sepasang suami istri

yang mulai beranjak senja, selain menyaksikan anak-anak mereka

berhasil menjemput mimpinya masing-masing dan berjuang untuk

membangun kehidupan baru bersama pasangannya. Begitu pula

yang kami rasakan ketika mendapat kabar bahwa Dito akan menikah

di Jakarta, dengan kekasih hati pilihannya sendiri. Sebagai orang

tua, kami sangat terharu dan bangga, karena itu berarti sebentar

lagi anak tertua kami akan memasuki gerbang kedewasaannya

sebagai seorang lelaki.

Mungkin karena tak ingin menyusahkan kami, Dito memutuskan

untuk mengurus segala persiapan pernikahannya berdua saja

dengan calon istrinya, Hesty. Aku dan suami menyerahkan segala

keputusan kepadanya. Kami percaya, anak lelaki kami telah tumbuh

menjadi seorang lelaki dewasa yang mampu melakukan apa pun

yang ia inginkan.

Dua minggu sebelum pernikahan tiba, aku, Mas Rono, dan

Dela berangkat ke Jakarta. Rencananya kami akan tinggal di rumah

yang disewa Dito dari hasil kerjanya selama ini. Dina terpaksa tidak

bisa ikut menyaksikan pernikahan kakaknya karena ia masih harus

bekerja, kali ini di Amerika Serikat. Selama perjalanan, tak ada

kendala berarti yang kami alami, saat itu Dela masih bisa berjalan

dan ucapannya juga masih sangat baik.

Sesampainya kami di Jakarta, setelah beristirahat seharian

penuh, keesokan harinya kami berjalan-jalan ke mal ditemani oleh

Dito dan calon istrinya. Mendadak, penyakit Dela kambuh. Panas

tubuhnya meninggi, dan terpaksa kami harus pulang ke rumah. Tiba

di rumah, kejangnya semakin menjadi dan tak bisa diatasi di rumah

meskipun kami sudah berusaha melakukan yang terbaik untuknya.

Akhirnya, kami membawanya ke rumah sakit. Terpaksa Dela harus

diopname di sana dan menjalani serangkaian pemeriksaan lagi.

Satu hari sebelum hari pernikahan tiba, Dela terpaksa masih

harus tinggal di rumah sakit. Aku berbagi tugas dengan suamiku.

Aku harus ada di gereja untuk mendampingi Dito mengucapkan

janji setianya sebagai seorang suami, dan Mas Rono yang akan

menjaga Dela. Namun, kami masih berharap keajaiban akan datang,

karena Dito pun merasa keberatan jika Dela tak menghadiri upacara

pernikahannya.

Aku dan suami mencoba berdialog dengan dokter untuk

mencari jalan keluar terbaik di situasi seperti ini. Mungkin karena

melihat betapa berharapnya kami, akhirnya dokter memutuskan

bahwa Dela boleh keluar sebentar dari rumah sakit untuk hadir

di pernikahan kakaknya. Tak terkira betapa bahagianya hati kami

mendengar keputusan itu. Menurut dokter, mungkin dengan

menghadiri pernikahan kakaknya, Dela akan merasa senang dan

mampu mempercepat kepulihannya dari serangan epilepsi.

Keesokan harinya, bapaknya membawa Dela menuju gereja

dengan menggunakan ambulans dari rumah sakit. Dela masuk

ke gereja menggunakan kursi roda, lengkap dengan infus yang

tergantung di samping kursi, dan kateternya. Saat itu, tak ada yang

tak menangis menyaksikan peristiwa tersebut. Di mana seorang

adik yang sedang sakit dan seharusnya masih harus dirawat di

rumah sakit, datang ke gereja hanya untuk menyaksikan kakak

lelaki satu-satunya menikah. Seluruh undangan yang hadir, tak

terkecuali para saudara dan kerabat, semuanya menangis penuh

haru. Berbeda dengan Dela, meskipun seluruh undangan di gereja

menangis, ia justru tampak amat sangat bahagia dan sangat senang

berada di sana.

Selamat jadi manten, Mas Dito!

Selamat menempuh kehidupan baru di depan sana.

SEBULAN setelah Dito menikah, Dina pulang kembali ke tanah air.

Kepulangannya menjadi kebahagiaan tersendiri bagi kami, terutama

untuk Dela. Tak kepalang riangnya ia melihat kakak perempuannya

berdiri di depan pintu rumah dan menghambur memeluk dirinya.

Dela menjerit-jerit riang. Setelah puas memeluk adik bungsunya,

Dina menghampiri dan memeluk aku serta bapaknya sepenuh

rindu. Kami bertangisan. Anak perempuan kami pulang kembali ke

pelukan.

Kepulangan Dina bertepatan dengan makin dekatnya hari ulang

tahun Dela yang jatuh pada tanggal 16 Juni. Keceriaan memenuhi

seluruh ruang di rumah kami kala itu. Tak ada pesta besar-besaran.

Hanya sebuah perayaan sederhana, karena Dela sendiri sangat suka

dirayakan ulang tahunnya. Permintaannya cuma dua saja setiap kali

ulang tahun.

"Kue ulang tahun dan lilin yang banyak."

Itu sebabnya, setiap kali Dela ulang tahun, sebisa mungkin

seluruh keluarga berkumpul. Entah seperti saat ini di mana kami

semua berkumpul di Jakarta, ataukah Dito yang akan mengajak

istrinya ke Papua, dan Dina pun selalu hadir kecuali saat ia berada

di luar negeri.

Perayaan kali ini memang sangat sederhana. Kami berkumpul

di rumah, menyalakan lilin di atas kue ulang tahun kesukaan Dela

dan berdoa. Setiap tahun, Mas Rono yang akan memimpin doa,

kali ini pun demikian. Suasana syahdu mengiringi doa-doa Bapak.

Doa yang sangat indah, dan membuat kami semua meneteskan air

mata. Bapak mengajak kami untuk mendoakan yang terbaik bagi

Dela, berpasrah diri terhadap keadaan apa pun yang kami jalani.

Akhirnya, setelah semua keriaan usai kami kembali ke Papua,

Mas Rono jatuh sakit. Ia mengeluh rasanya seperti masuk angin

saja. Kepalanya selalu merasa pusing. Dibawa ke rumah sakit di

Papua, dokter bilang tidak ditemukan sakit apa pun dalam tubuh

Mas Rono. Kami pun pulang kembali ke rumah. Namun, pusing

yang diderita Mas Rono tak kunjung membaik. Setelah bolak-balik

beberapa kali ke rumah sakit, aku meminta suamiku berangkat ke

Yogyakarta untuk diperiksa lebih mendalam. Bersama dengan satu

orang mantri dan dalam kondisi lengan diinfus, suamiku berangkat

ke Yogyakarta sementara aku menjaga Dela di rumah. Apa mau

dikata, di Yogyakarta pun dokter tak menemukan penyakit apa

pun yang mengkhawatirkan di tubuh Mas Rono. Ia hanya diminta

untuk beristirahat dan mengurangi rokoknya. Ya, suamiku memang

perokok yang sangat aktif sejak masih muda dulu.

Tak puas dengan diagnosis dokter di Yogyakarta, Dito dan Dina

berusaha membawa Mas Rono ke Jakarta. Lagi-lagi hasilnya sama

saja.

"Bapak sehat. Tidak sakit apa-apa".

Akhirnya, kedua anakku memutuskan untuk membawa

bapaknya kembali pulang ke rumah kami, ke Papua. Meski sudah

diminta untuk beristirahat lebih banyak di masa pensiunnya, namun

Mas Rono tetap tak betah berdiam diri di rumah. Ia masih tercatat

menjabat sebagai Ketua STIA Satya Wiyata Mandala, dan tugas itu

masih terus dilaksanakannya sekembalinya kami ke Papua.

Sering kali aku mengomel sayang kepada suamiku yang ter

kadang keras kepala itu.

"Bapak itu nggak bisa dibilangin! Badan Bapak sudah tidak

muda lagi. Mudah masuk angin. Apa salahnya sih tinggal saja di

rumah, biar Ibu yang rawat," keluhku sambil memijati tubuh Bapak.

Kerutan-kerutan yang sudah menghiasi wajah dan seluruh tubuhnya

tak mampu menghilangkan ketampanan Mas Rono di mataku.

"Ibu ini kayak ndak kenal Bapak saja. Sudah berapa tahun kita

menikah? Apa pernah Bapak sanggup satu hari saja tidak bekerja?"

tanya Bapak sambil terbatuk-batuk.

"Iya, tapi kan itu dulu, Pak. Sekarang kondisinya sudah berbeda.

Mbok ya sayangi tubuhmu."

Lagi-lagi Mas Rono hanya tertawa kecil. Entah memang ia tidak

merasakan sakit, atau ia hanya tak ingin membuatku menangis. Mas

Rono, ah, selalu saja ia tak pernah sanggup melihatku meneteskan

air mata. Sepertinya, apa pun akan selalu ia lakukan jika itu bisa

membuat hatiku merasa bahagia.

Seperti berpuluh tahun lalu ketika aku mengandung anak

pertama kami.Seperti dulu, kala ia mengurus semua pekerjaan

rumah tangga dengan tubuhnya yang masih gagah, sementara aku,

istrinya, mabuk berat karena mengandung anak kami.
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seperti yang selama ini selalu ia lakukan, berusaha

menumbuhkan cinta itu di hatiku, meski sejak awal ia tahu bahwa

ketika pertama kali menikah dulu, aku tidak mencintainya.

Tak pernah ia berputus asa dan menyerah pada keadaan.

PAPUA, NOVEMBER 2002

Kesibukan suamiku masih saja menghiasi hari-hari kami. Saat itu

Mas Rono sedang sibuk mengurusi persiapan skripsi mahasiswamahasiswinya di kampus. Setiap hari selalu ruang kerjanya dipenuhi

oleh para mahasiswanya yang ingin berkonsultasi seputar skripsi

mereka masing-masing. Semua dilayani dengan baik dan sabar

oleh suamiku.

Namun, suatu pagi di hari Minggu bulan November, Mas Rono

bercerita bahwa malam tadi ia bermimpi.

"Ada seorang kakek tua dari Papua tiba-tiba datang menghampiri

Bapak. Orang itu bilang, ?Kamu sudah waktunya?."

"Lantas, Bapak jawab apa?" tanyaku penasaran.

"Bapak cuma jawab, dua tahun lagi," sahut Mas Rono.

Aku tak punya firasat apa pun mendengar cerita suamiku soal

mimpinya itu.

AKU masih ingat betul, waktu itu tanggal 12, hari Selasa di bulan

November. Mas Rono masih berangkat ke Pemda untuk menemui

para pejabat yang sekiranya bisa diajak bergabung ke dalam tim

penguji calon-calon sarjana S1 yang akan menjalani sidang skripsi

di hari Senin berikutnya. Sepulangnya dari Pemda, aku melihat

suamiku tampak lelah. Kubiarkan ia berbaring beristirahat, setelah

sebelumnya kubalur tubuhnya dengan minyak angin untuk

menghangatkan. Mas Rono pun tertidur lelap.

Rabu, 13 November, Dela kambuh lagi penyakitnya. Ia kembali

kejang-kejang hingga aku terpaksa menjemput dokter yang

biasa menangani Dela untuk datang ke rumah. Seperti biasa,

dokter memeriksa Dela, menyuntik dan memberinya obat hingga

keadaannya normal kembali. Saat itulah aku mengatakan kepada

dokter bahwa sepertinya Mas Rono beberapa hari belakangan

terlihat sangat capek dan loyo.

"Kira-kira harus bagaimana ya, Bu?" tanyaku pada dokter yang

gegas memeriksa kondisi suamiku.

"Bapak harus banyak istirahat, Bu. Sebaiknya saya infus dulu ya.

Tenang saja, isinya hanya vitamin, kok. Untuk menambah stamina

Bapak supaya tidak drop," ujar dokter setelah memeriksa Mas Rono.

Kamis, dokter kembali datang untuk mengecek darahnya.

Hasilnya, Mas Rono dinyatakan terkena malaria dan diberikan

obat. Selama waktu itu pula, suamiku hanya mampu berbaring tak

berdaya di tempat tidur kami.

Selama dalam keadaan sakit, suamiku masih saja tak bisa

diam. Di rumah bertumpuk skripsi para mahasiswa, banyak sekali,

yang harus ditandatanganinya. Di hari Jumat, Mas Rono pun mash

mengundang para staf dosen ke rumah untuk mengarahkan mereka

mempersiapkan ujian skripsi Senin berikutnya. Rencananya, ujian

skripsi itu akan diikuti oleh 78 orang mahasiswa. Tentu kesibukannya

seolah tak habis-habis. Tamu datang dan pergi di rumah kami, baik

itu dosen maupun mahasiswa. Semua pekerjaan itu dilakukan Mas

Rono dalam kondisi terinfus. Ya, Tuhan!

Hari Sabtu sore, ada seorang mahasiswa yang diminta Mas

Rono untuk memijatinya. Mahasiswa tersebut memang dikenal

pintar memijat. Hari itu berlalu teramat panjang bagiku. Gundah

rasanya melihat kekasih hati terbaring sedemikian rupa tanpa

aku tahu harus melakukan apa. Yang mampu kulakukan hanyalah

berusaha memenuhi semua keinginannya dan melakukan yang

terbaik baginya.

Minggu pagi, entah mengapa, hatiku tergerak untuk meng

hubungi pastor dan memintanya datang untuk mendoakan

Mas Rono. Tak sampai lima menit, pastor tersebut akhirnya tiba

di rumah. Melihat kondisi Mas Rono, akhirnya pagi itu suamiku

mendapatkan Sakramen Perminyakan Suci. Aku tak memiliki pikiran

macam-macam saat itu. Yang ada di kepalaku hanyalah harapan

bagi kesembuhan suamiku. Sudah sangat sering keluarga kami

mengadakan Sakramen Perminyakan Suci bagi Dela setiap kali

sakitnya kambuh, sehingga aku menganggap sakramen saat itu pun

sama seperti sakramen-sakramen sebelumnya yang kami lakukan.

Setelah memberikan minyak suci, pastor memberkati air

mineral dan menyerahkannya kepadaku untuk diminumkan sedikit

demi sedikit kepada Mas Rono. Tak lama pastor kemudian pamit

karena ia harus memimpin misa di gereja. Sepeninggal pastor, aku

mencoba untuk menyuapi suamiku segelas susu dan air berkat,

namun baru saja beberapa sendok masuk ke mulutnya, Mas Rono

sudah menolak dengan alasan kenyang.

"Bu, aku mau tidur," ujar suamiku, sangat lirih.

"Iya, Pak. Yo wis, tidurlah. Aku selimuti ya," sahutku, sambil

membetulkan letak selimutnya. Kemudian Mas Rono tidur lelap.

Tampak pulas sekali. Ada sedikit kelegaan di hatiku. Mudah-mudahan

ini pertanda baik, bisikku kepada diri sendiri.

Suamiku tertidur lama sekali. Beberapa kali aku mendengar

suaranya mendengkur keras. Saat itulah aku mulai gemetar.

Mendadak ada rasa gelisah dalam hati melihat tidurnya yang tidak

seperti biasanya. Hatiku mulai tidak keruan dan memutuskan untuk

memanggil dokter ke rumah.

"Bu, Bapak kondisinya sudah kritis. Sebaiknya Ibu memanggil

anak-anak untuk kumpul semua di sini. Saya takut, umur Bapak tak

lama lagi."

Deg!

Perkataan dokter membuat jantungku nyaris copot. Gemetar,

aku berusaha menghubungi Dito dan Dina. Kebetulan saat itu Dina

baru saja tiba di rumah Dito untuk liburan. Aku meminta mereka

untuk secepatnya datang ke Papua, saat itu juga.

Suasana panik mulai menyergap kami. Di telepon, terdengar

Dito terkejut mendengar kondisi bapaknya sudah sedemikian

parahnya. Anak-anak kami berjanji untuk segera terbang dengan

pesawat saat itu juga.

Setelah menghubungi kedua anakku, aku kembali ke sisi Mas

Rono. Saat itu kondisinya tampak amat sangat tenang. Diam, tak

ada gerakan apa pun. Dela sudah tertidur pulas di kamarnya. Aku

sendirian mendaraskan doa terus-menerus di telinga suamiku

sambil menggenggam erat kedua tangannya. Air mataku, entah

sudah sejak kapan terus mengalir tak henti.

Pukul 21.20 WIT, kurasakan tubuh suamiku diam tak bergerak,

tanpa suara. Aku tahu, kekasih hatiku sudah tiada. Tubuhnya sudah

kaku dan dingin membeku. Tenang sekali, indah sekali kepergian

Mas Rono menghadap Pencipta-nya. Empat puluh hari setelah

ulang tahunnya yang ke-61, Mas Rono meninggalkan kami untk

selama-lamanya, di pangkuanku.

Selamat jalan, Mas Rono. Selamat jalan, kekasih hati tercinta.

Kembalilah ke pelukan Tuhan.

MALAM itu, jenazah suamiku langsung diberkati oleh pastor. Lagu

"Nderek Dewi Maria" mengumandang di malam yang sunyi. Tak bisa

lagi kubendung air mataku yang jatuh bertubi-tubi. Entah siapa

yang menyebarkan kabar kepergian Mas Rono, namun malam itu,

telepon berdering tak henti-henti dari para sahabat dan kerabat

yang menanyakan kondisi suamiku.

Suasana menjadi kacau balau saat sahabat-sahabat Mas Rono

datang ke rumah dan menangis histeris melihat kenyataan yang ada

bahwa memang Mas Rono telah pergi meninggalkan kami semua.

Bupati yang malam itu datang ke rumah kami menanyakan tentang

rencana pemakaman suamiku. Apakah hendak dimakamkan di

Papua atau di Yogyakarta? Aku yang masih tak sanggup berpikir apa

pun menjawab dengan terbata bahwa aku menunggu keputusan

anak-anakku dulu.

Kuhubungi Dito dan Dina yang saat itu rupanya masih ada di

bandara menunggu kedatangan pesawat yang akan membawa

mereka ke Papua. Mendengar kabar dari ibunya bahwa bapak

mereka telah tiada, kedua anakku menangis histeris. Aku mencoba

menenangkan mereka dan meminta mereka cepat datang dan

hati-hati di perjalanan.

Ketika pagi mulai menjelang, aku meminta keponakanku yang

tinggal bersama kami untuk menjemput Dito dan Dina ke bandara.

Begitu kedua anakku tiba di depan pintu dan melihat jenazah

bapaknya, mereka begitu histeris. Dina pingsan. Dito menangis

hebat. Aku mencoba menanyakan pendapat mereka tentang di

mana bapak mereka akan dimakamkan. Namun rupanya duka

yang mendalam membuat mereka tak mampu berkata-kata. Semua

menyerahkan keputusan ke tanganku.

Akhirnya, kuputuskan untuk memakamkan suamiku di tanah

kelahirannya. Jenazah suamiku kami bawa ke Yogyakarta dan

dimakamkan di pemakaman keluarganya di Tepus, Gunung Kidul.

Kukembalikan ia ke tanah tumpah darahnya. Sudah terlalu lama

suamiku mengabdi di tanah Papua, sekaranglah saatnya pulang

kembali ke kota kelahirannya, untuk selamanya.

Dela sama sekali tak mengetahui kalau bapaknya sudah tiada.

Kami tak ingin ia histeris dan merasa kehilangan karena kami takut

itu akan membuatnya kembali kambuh. Saat pemakaman, Dela

hadir di sana. Justru aneh, Dela sangat tabah dan kuat, setelah

ibunya mengucapkan selamat jalan dengan bahasa Jawa.

Dela mengerti dan menyambung ucapan ibunya, "Selamat

jalan Bapak, Selamat jalan Bapak." Para pelayat, saudara saudara

semua terharu dan menangis mendengar omongan Dela itu, semua

hanyut dalam kesedihan, lebih-lebih hatiku tak karu-karuan kupeluk

Dela dan kuciumi, "Kuat, kuat, Tuhan kuatkan!"

Ternyata dampak semua itu ada, setelah pemakaman bapaknya

Dela dari situ Dela tak pernah mau menyebut nama bapaknya.

Bahkan fotonyapun tak mau melihatnya, ia berpaling "ya Tuhan".

Baru empat tahun setelah itu, ketika Dina bertanya pada Dela

sambil membawa foto Bapak mereka, "Ini siapa, Dela?" Dan, dia

menjawab,"Itu foto Bapak Soerono." Ya Tuhan, untuk mengucapkan

nama bapaknya saja perlu proses empat tahun baginya.

Perjalanan membawa jenazah dari Nabira ke Yogyakarta

sungguh merupakan perjalanan yang teramat panjang kurasakaan

saat itu. Nyaris seluruh warga Nabire melayat dan melepas kepergian

Mas Rono. Semua proses dan surat-surat yang kami perlukan untuk

memberangkatkan jenazah suamiku diambil alih dan diurus oleh

Bapak Bupati dan stafnya.

Aku dan ketiga anakku menyertai jenazah Mas Rono didampingi

oleh wakil bupati dan salah satu kepala bagian Pemda setempat.

untuk sampai ke Yogyakarta. Kami harus tiga kali naik pesawat. Dari

Nabire ke Biak, dari Biak menuju ke Jakarta, dan kemudian berganti

pesawat lagi dari Jakarta menuju Yogyakarta.

Sesampai di Yogyakarta, hari sudah malam. Kami memutuskan

untuk menyemayamkan Mas Rono di Yogyakarta sebelum keesokan

harinya membawanya ke desa tempat ia dilahirkan. Selama dalam

perjalanan, aku tak kuasa menahan tangis. Kupeluk ketiga anakku,

kami menangis tanpa henti. Sungguh berat rasanya kehilangan

belahan hati, orang yang paling kami cintai.

Seluruh handai taulan dan kerabat memenuhi pemakaman.

Semua melepas kepergian suamiku dengan doa. Ada rasa sedih
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan bahagia campur aduk selama prosesi pemakaman itu

berlangsung. Betapa tidak, kami sangat sedih kehilangan orang

yang paling kami cintai, namun sekaligus merasa bahagia, karena

bisa membawanya pulang kembali ke kampung halamannya untuk

dimakamkan di sana.

Jangan pernah menanyakan bagaimana perasaanku saat itu.

Setengah nyawaku bagaikan tercerabut begitu saja, nyeri. Berharihari aku masih saja menangisi kepergian suamiku, meski aku sadar,

aku harus mengikhlaskannya pergi. Ribuan doa tak henti kulantunkan

untuknya. Memohon ampunan atas segala dosa-dosanya selama ini.

Atas desakan kedua anakku, Dito dan Dina, akhirnya aku

memutuskan untuk pindah dari Papua, kota tempat kami

menghabiskan sebagian besar kehidupan kami. Untuk apa lagi aku

tinggal di sana? Hidupku, telah terkubur di Tepus bersama suamiku

yang terbaring di sana. Tinggal aku dan Dela yang tersisa, sementara

tubuhku sudah mulai ringkih dan menua pula. Tak sanggup

mengurus Dela sendirian, meskipun dibantu oleh pengasuhnya.

Aku dan Dela pulang dulu ke Papua. Statusku saat itu masih

cuti. Aku memang belum lagi pensiun. Aku berencana untuk

tinggal sedikit lebih lama di Papua untuk mengurus kepindahanku,

termasuk mengurus pensiun diniku. Sebagai seorang guru PNS,

masa pensiunku baru akan datang di usia 60 tahun, sedang usiaku

baru menginjak 53 tahun. Sempat aku merasa bingung bagaimana

caranya aku bisa mengajukan pensiun dini agar bisa pindah ke

Yogyakarta.

Untung teman-temanku di Papua sangat baik dan mau

menolongku. Mereka tentunya tak tega melihatku menghabiskan

masa tua hanya bersama Dela di Papua tanpa sanak saudara.

Akhirnya, mereka membantuku untuk mengurus surat mutasi,

dan menyebutkan bahwa aku akan dimutasi menjadi pegawai

Pemda di Nabire. Sebagai pegawai Pemda, usia masa pensiun

adalah 56 tahun, dan aku bisa mengurus surat pensiunku. Terima

kasih, Puji Tuhan!

DJOGJAKARTA, 2003-2011

Mulailah aku dan Dela menjalani kehidupan baru di Yogyakarta,

kembali ke kota kelahiran tercinta. Kami mulai belajar menyesuaikan

diri dengan keadaan sekeliling. Begitu sampai di Yogya, hal pertama

yang aku lakukan adalah kembali mencari dokter spesialis saraf

untuk menangani kondisi Dela. Atas rekomendasi dari dokter saraf

Dela di Jakarta, akhirnya kutemukanlah dokter yang tepat. Dela

mulai kembali menjalani pengobatan dari awal. Setiap bulan tak

pernah aku alpa membawa Dela kontrol ke dokter ditemani oleh

Dina. Tak pernah sedikit pun aku patah semangat dalam mengurus

Dela, meskipun penyakitnya masih sering kambuh. Kadang

seminggu sekali, dua minggu sekali, ah, tidak pernah tentu.

Selama delapan tahun tinggal di kota kelahiranku, tak terhitung

sudah berapa kali Dela keluar masuk rumah sakit untuk menjalani

perawatan akibat anfal. Di rentang waktu itu pula, akhirnya Dina

bertemu dengan jodohnya dan menikah dengan Hari, seorang

lelaki yang sangat baik di mataku. Lega rasaku bisa menitipkan Dina

di bawah perlindungannya. Aku yakin, Hari akan bisa mencintai dan

melindungi Dina sepenuh hati, seperti yang dulu dilakukan oleh

almarhum suamiku. Meskipun di hari pernikahannya, Dina sempat

menangis histeris dan tak bisa menyembunyikan kesedihannya

karena tak ada bapak yang mendampingi. Namun, Dina sempat

bercerita padaku, bahwa ia melihat bapaknya duduk di samping

Dito, penampakan yang hanya dilihat oleh Dina seorang. Aku hanya

mampu menahan tangis di hatiku mendengar kisahnya itu.

SELAMA tinggal di Yogyakarta, aku sempat menjadi abdi

dalem keraton. Jabatan sebagai abdi dalem keraton ini tak bisa

sembarangan begitu saja terbuka untuk umum. Hanya mereka yang

merupakan keturunan keraton dan abdi-abdi dalem sebelumnya

yang diizinkan untuk melamar posisi ini. Aku, yang memiliki darah

keraton dari garis Bapak, baik dari eyang putri maupun dari eyang

kakung, mendapat kesempatan luar biasa ini, menjadi abdi dalem

khusus untuk kegiatan-kegiatan kebudayaan keraton.

Selama menjadi abdi dalem, fotoku sempat masuk koran

Kedaulatan Rakyat ketika diwisuda dan mendapat gelar Nyi Raden

Wedono. Ya, itulah gelarku sebagai abdi dalem. Kegiatan menjadi

abdi dalem sangat kunikmati dan mengisi hari-hari tuaku meskipun

tak mendapat honor. Darah seni memang mengalir deras di tubuhku.

Selain menjadi abdi dalem, kegiatan lain yang kujalani untuk

mengisi hari-hari di luar mengurusi segala kebutuhan Dela adalah

berakting. Dunia seni peran memang telah kutekuni sejak masih

menjadi mahasiswi dulu. Aku senang bermain teater, menulis puisi,

membacakan puisi, dan seabrek kegiatan seni lainnya. Rupanya,

kesukaanku berkesenian itu akhirnya dapat memulihkanku dari

duka yang berkepanjangan.

Berawal dari sebuah iklan yang kubaca di sebuah harian

di Yogyakarta dari sebuah agensi yang sedang membutuhkan

beberapa orang untuk di-casting menjadi pemain, akhirnya aku

memberanikan diri untuk mengikuti casting, meskipun usiaku

sudah tidak muda lagi. Pengalamanku ikut casting, syuting, dan

seterusnya itu membuatku ketagihan untuk terus mencari info.

Aku pernah diterima bermain di FTV, reality show, peran figuran,

juga membantu anak-anak mahasiswa ISI dalam pagelaran seni.

Semuanya itu kujalani dengan senang hati untuk mengisi waktu

luang dan mencari pengalaman.

Rupanya, Dela pun sangat senang mengikuti sepak terjang

ibunya di dunia seni. Ia selalu semangat jika aku mengajaknya ke

lokasi syuting. Bahagia sekali melihat binar di kedua bola matanya

saat melihatku berakting.

JAKARTA, 2012

Kian hari keadaan semakin sulit untukku. Aku sudah tidak muda

lagi. Sudah tak sanggup rasanya menggendong Dela ke sana kemari

seperti dulu. Apalagi saat ini Dela semakin sulit berjalan. Sempat

diperiksa ke dokter, dan dokter mengatakan bahwa ada saraf di

otaknya yang sudah tidak berfungsi lagi akibat penyakit epilepsi

yang dideritanya, dan itu menyebabkan kakinya lumpuh, tak

mampu bergerak. Kalau digandeng oleh dua orang, ia bisa berjalan

meskipun sedikit demi sedikit dan sulit. Sekali saja dilepas, seketika

ia akan jatuh.

Di suatu hari, anak lelakiku datang ke rumah. Ia mengajak aku

dan adiknya, Dina, membicarakan sesuatu. Rupanya, sebagai anak

lelaki satu-satunya di keluarga kami, ia ingin aku dan Dela tinggal di

rumahnya di Jakarta.

"Aku minta Dik Dina dan Mas Har mengizinkan ibu dan Dela

ikut bersamaku ke Jakarta," pinta Dito.

"Oh, aku sih ndak masalah walaupun aku lebih senang kalau Ibu

dan adik tinggal di Yogyakarta. It?s not a big deal. Mas Dito tanyakan

saja kepada Ibu, mau tidak ikut ke Jakarta," ujar Dina yang diamini

oleh Har, suaminya.

Aku berdeham.

"Ibu manut aja, Nak. Ibu sudah tua, sudah tidak ingin apa-apa lagi."

Dito tampak semringah.

"Baiklah kalau begitu. Itu artinya Ibu bersedia ikut bersamaku.

Jadi, sebaiknya kita berkemas, agar esok kita bertiga bisa langsung

berangkat ke Jakarta."

Percakapan itu menjadi penutup delapan tahunku di Yogyakarta

karena di hari berikutnya, aku dan Dela akhirnya berangkat bersama

Dito ke Jakarta. Aku jalani saja semua apa adanya. Apalagi setelah

aku pikirkan baik-baik, bahwa ada hikmahnya aku pindah ke

Jakarta, karena itu berarti aku bisa memberikan ruang dan waktu

bagi Dina dan suaminya hidup berumah tangga berdua setelah

selama delapan bulan terakhir hari-hari mereka disibukkan untuk

memperhatikan aku dan Dela.

Selama di Jakarta, tak banyak aktivitas yang aku lakukan. Dito

dan istrinya telah menyediakan pengasuh khusus untuk Dela yang

selalu siap siaga 24 jam melakukan apa pun untuk Dela, sehingga

aku tak perlu capek lagi mengurus kebutuhan Dela secara detail

setiap hari. Sejak dulu, Dela selalu tidur satu ranjang denganku,

agar aku bisa mengawasi dan menjaga Dela setiap malam. Pun di

Jakarta, Dito menyiapkan satu kamar khusus untuk kami berdua.

Di Jakarta, begitu banyak mukjizat yang kualami berhubungan

dengan Dela. Acap kali ia akan anfal, tiba-tiba tidak jadi. Bagi orang

lain mungkin hal ini biasa, namun bagiku, ini sesuatu yang luar

biasa. Berkah Bapa di surga. Dela pun tampaknya senang tinggal di

Jakarta, di rumah Mas-nya. Karena di sana ada dua keponakannya

yang lucu-lucu dan sering bermain bersamanya.

Sejak tinggal di Jakarta, pengobatan Dela terus dilakukan

secara rutin. Kami kembali ke dokter lamanya untuk kontrol

dan mendapatkan obat. Dela memang terus harus meminum

obat-obatnya yang sudah tak bisa kuingat lagi namanya saking

banyaknya. Jika satu kali saja ia tidak meminum obat, bisa dipastikan

penyakitnya akan kambuh dengan cepat.

Empat tahun setelah kepergian suamiku, akhirnya Dela

baru bisa menerima kalau bapaknya telah tiada. Selama empat

tahun pertama, Dela sama sekali tidak mau melihat foto bapak

atau menyebut namanya. Mungkin ia trauma dan merasakan

kehilangan yang teramat sangat. Puji Tuhan, saat ini Dela sudah tak

menunjukkan reaksi berlebihan bila ada yang menyebut soal Bapak

atau menunjukkan fotonya.

JAKARTA, AKHIR DESEMBER 2013

Deg!

Jantungku serasa mau copot ketika tanganku tanpa sengaja

menyenggol dada kananku. Saat itu hari Rabu, dan aku sedang

menonton TV bersama Dela. Teraba oleh jemariku, di dadaku ada

benjolan sebesar kacang kedelai.

Gegas kuhubungi Dina di Yogyakarta melalui telepon genggam.

"Dina, barusan ndak sengaja ibu meraba dada kanan, ada

benjolan. Kira-kira apa ya?"

"Tenang, Ibu harus tenang ya. Aku akan bicarakan dengan Mas

Dito. Segera kita ke dokter," pinta Dina kepadaku.

Hari Jumat, aku menceritakan soal benjolan di dadaku kepada

Dito dan istrinya. Senin, dengan diantar oleh anak dan menantu,

aku berangkat ke Rumah Sakit Puri di Pondok Indah untuk menemui

dokter bedah di sana. Begitu dokter memeriksa dan meraba, ia

menemukan benjolan yang sama. Akhirnya aku langsung diminta

untuk masuk ruang rawat inap untuk mempersiapkan operasi di

hari Rabu.

Setelah mendapat kabar dari Dito, Dina dan suaminya langsung

terbang ke Jakarta. Adik-adik, keponakan, dan besan yang berada

di Jakarta juga hadir di hari operasi untuk memberikan dukungan

mereka kepadaku.

Sebelum masuk ruang operasi, dokter berpesan, "Kalau

operasinya sebentar, berarti benjolan di payudara itu hanya tumor

biasa. Namun kalau lama, berarti benjolan itu ganas."

Betapa histerisnya anak-anakku, terutama Dina, ketika ternyata

aku dioperasi selama tiga jam penuh. Sungguh lama. Sesudah

operasi, Dina bercerita bahwa pada saat itu ia panik luar biasa,

begitu histeris dan menangis tanpa henti. Aku sendiri hanya pasrah

saja. Sama sekali tidak terbersit kekhawatiran di hatiku. Melalui
Peluk Ia Untukku Karya Tatiek S di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

operasi tersebut, seluruh payudara kananku dibuang total. Rupanya

benjolan tersebut adalah kanker payudara. Aku bersyukur karena

dapat mendeteksinya sejak dini hingga langsung dapat diambil

tindakan untuk membuang kanker tersebut hingga ke akar-akarnya.

Supaya tuntas, anak-anak memutuskan aku harus dikemoterapi.

Aku menurut. Diambillah paket enam kali kemoterapi. Meski akibat

kemo tersebut rambutku harus mengalami kerontokan total

dan pusing serta mual berkepanjangan akibat efek samping dari

obat-obatan yang diberikan selama dikemoterapi.

Selama dioperasi dan dirawat di rumah sakit, aku sama sekali

tak mencemaskan kondisi kesehatanku. Sebaliknya, yang ada

dalam pikiranku hanya Dela dan Dela saja. Rasa rindu menyergap,

memikirkan sedang apa ia? Apakah Dela sudah makan? Bagaimana

kalau Dela mau tidur malam-malam tak ada Ibu?

Operasi pengangkatan payudara telah menyelamatkanku. Aku

sangat bersyukur karena lagi-lagi Bapa di surga telah memberikan

mukjizatnya untuk kami. Aku tak dapat membayangkan andai

benjolan itu terlambat aku ketahui. Sejak kemoterapi selesai,

aku harus menjalankan pola hidup sehat agar kanker itu tak lagi

menghampiri tubuhku. Makananku diatur hanya mengonsumsi

makanan sehat dan segar, aku pun mulai rajin berolahraga ringan

agar kondisi tubuhku fit.

Aku ingin hidup lebih lama agar dapat menemani Dela selama

mungkin. Itu janjiku pada diri sendiri, pada Dela, pada anak-anakku

yang lain, dan pada suamiku, Mas Soerono.

JULI, 2014

Setelah hampir dua tahun berada di Jakarta dengan segala

kenyamanan dan fasilitas yang disiapkan oleh Dito dan istrinya,

suka duka kulalui, dan segala anugerah serta mukjizat kudapatkan.

Kutinggalkan kota kenangan, Papua dan Yogyakarta, kota di mana

aku dilahirkan, tempat aku menghabiskan masa kecil hingga

dewasaku di sana, tempat di mana pertama kali aku bertemu dengan

belahan jiwaku. Tempat di mana semuanya bermula. Aku merasa

sudah tua, apa lagi yang akan kucari? Masih panjang garis batas ini

kujalani. Saat ini yang kupikirkan hanyalah Dela, buah hatiku yang

kondisinya masih saja belum membaik. Kuturuti semua keinginan

permata hatiku ini. Kadang, ketika kerinduan pada suamiku

menyerang, aku langsung berangkat ke Yogyakarta. Kusempatkan

diri walau sesaat untuk menyendiri di Tepus, di makam Mas Rono.

Tetap kujalani pula kontrol dan terapi bagi kesembuhan Dela,

juga kesembuhan totalku dari penyakit kanker payudara yang

sempat kuderita. Aku takkan pernah menyerah, aku masih mau

hidup seribu tahun lagi!

Masih banyak hal yang ingin kulakukan di dunia ini.

Aku masih ingin berakting lagi, meskipun dengan peran-peran

terbatas. Aku masih ingin menulis, dan menulis lagi, apa saja,

tentang kisahku di dunia ini. Kuserahkan semua ke dalam tangan

Tuhan, berpasrah dan bersyukur.

Hiburanku setiap hari hanyalah melihat kedua cucuku tumbuh

berkembang, dan melihat ketiga anakku dan menantu-menantuku

hidup bahagia. Semuanya adalah kenikmatan tiada tara yang

masih diberikan Tuhan kepadaku setelah duka cita mendalam saat

kepergian Mas Rono bertahun-tahun lalu.

Epilog

da begitu banyak bentuk kepedihan dalam hidup, pun

ada berjenis-jenis luka di dalamnya. Yang kurasakan saat

ini hanya satu. Satu saja, namun telah sempat membuat duniaku

seakan runtuh seketika. Pedih dan luka karena kehilangan belahan

jiwa. Suami, kekasih tersayang, cahaya yang senantiasa menerangi

jalanku, orang yang selama puluhan tahun telah mengenalku

dengan sedemikian baik, kawan dan sahabat terindah. Ya... lelaki

yang telah lebih dari tiga puluh tahun merajut cinta bersama, kini

telah tiada.

Gelap, rasanya hujan begitu saja berderai seketika. Meski

kemudian kusadari bahwa hujan itu bukan tercurah dari langit,

melainkan dari kedua mataku. Menyembunyikan air mata, ternyata

tak semudah menyembunyikan luka di dada. Terkadang di malam

hari yang sunyi, kudapati diriku mengunci diri di dalam kamar,

meluapkan duka, bercakap-cakap dengan bayangan sang kekasih,

mengiris-iris luka sendiri.

Sempat aku merasa menjadi sebuah kapal yang oleng,

kehilangan arah di tengah badai yang menerjang, sementara

Sang Nakhoda pergi untuk selamanya. Namun, layar harus tetap

terkembang, karena ada tiga penumpang kapal yang harus

diselamatkan sampai ke pelabuhan tujuan. Tak hendak aku

menjadikan diriku sombong dan takabur, merasa diri paling hebat

dan kuat. Bukan pula ingin mengumumkan kepada seluruh dunia,

bahwa aku, yang air matanya masih selalu mengalir acap kali

untuk lelaki luar biasa yang telah tiada, akan tetap tegar berdiri

menantang karang. Aku hanya ingin berpasrah hati, menyerahkan

segala takdir pada yang Mahakuasa.

Perjuanganku mencapai cinta sejati memang penuh liku dan

kerikil, namun kulalui semua itu, dan kurasakan cintaku kepada

suamiku tak pernah mati, terus hidup sepanjang waktu.

Seandainya saja bisa, ingin aku menulis surat untuk kekasih

hatiku, dan kutitipkan pada Bapa di surga.

Tuhan, mengapa duka ini begitu dalam?

Aku tahu, Kau menjaganya dengan baik sekali di surga-Mu.

Tapi hati ini perih, Tuhan, tiap kali ingatan tentangnya muncul.

Aku kehilangan dia, Tuhan

Ia pergi tanpa aku sempat mengucapkan salam perpisahan.

Atau, bahkan maaf

Sejuta tanyaku terkubur bersama pusaranya.

Pertanyaan-pertanyaan yang kini tak lagi penting.

Namun, ada sedikit tanya yang masih tersisa, Tuhan

Di surga-Mu sekarang, masihkah ia menyimpan ingatan tentang

kehidupannya di bumi?

Jika nanti aku diizinkan bertemu dengannya lagi,

apakah kami akan masih saling mengingat, Tuhan?

Tuhan, bolehkah aku meminta, satu saat saja,

di dalam mimpi, aku bertemu dengannya?

Seperti apa dia sekarang, Tuhan?

Apakah makannya masih selahap dulu,

saat aku menghidangkan makanan

yang selalu menjadi kesukaannya?

Apakah di sana ia baik-baik saja dan masih bisa tertawa?

Hatiku kerap basah oleh rindu.

Tak bisa terbang memulai perjalanan baru.

Tuhan, aku merindukan dirinya.

Bantu aku sembuhkan luka ini, Tuhan

Titip cinta untuknya, peluk ia untukku.

Izinkan aku mengucapkan salam perpisahan,

Lalu berkata, "Auf Wiedersehen, Meine Liebe."

Sampai kita berjumpa lagi.

__TAMAT__


Perang Gaib Serial Dewi Ular Karya Tara Durhaka Karya Boe Beng Tjoe Pendekar Cambuk Naga 8 Kutukan Jaka Bego

Cari Blog Ini