Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan Bagian 1
Rumah adalah di Mana Pun
19 Pejalan Perempuan
Ebook by pustaka-indo.blogspot.com
GWI: 703.14.5.010
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT. Grasindo,
Jln. Palmerah Barat No. 33-37, Jakarta 10270
Anggota IKAPI, Jakarta, Maret 2014
Cetakan pertama: Maret, 2014
Editor: Adinto F. Susanto
Perancang sampul: wesfixity@gmail.com
Penata isi: wesfixity@gmail.com
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ISBN: 978-602-251-464-0
Dicetak oleh Percetakan PT. Gramedia, Jakarta
*******
Rumah adalah tempat kita menambatkan rindu. Dengan begitu, rumah pula
yang membuat kita bisa bergerak, mengarungi puluhan, ratusan, bahkan ribuan
kilometer. Namun, apa arti rumah di mata pejalan (traveler) perempuan ini?
Kesembilangbelas perempuan ini berbagi cerita cinta dan rindunya. Mereka
telah melanglang buana ke tempat-tempat yang mereka rindui, hanya sekadar
untuk menghirup aroma rumah itu. Indonesia adalah negara tercinta, dan di
ribuan pulaunya, terhampar "rumah" mereka. Dalam buku ini, Anda bisa melihat interaksi yang mereka alami, yang melibatkan segala emosi.
Silakan masuk semakin dalam, ikut dalam kisah migrasi mereka. Dan, mulailah
untuk memaknai sendiri, benarkah rumah itu hanya satu, atau sebenarnya,
rumah ada di mana pun.
Salam,
editor
Daftar Isi
Kabut Cinta Mandalawangi
Di Tebing Tomini, Aku Jatuh Cinta Begitu Dalam
Aku Terpikat Padamu, Wae Rebo
Melarung Ingatan Tentangmu di Bromo
Selalu Ada Cerita Manis di Blue Fire
Yeay... Banyak Kenangan di Derawan!
Mahameru Menyapaku "Hai Rinjani"
Kelana Bentang Ranah Minangkabau
Rumah adalah di Mana Pun
Persisan Anta Tuan
Melangkah ke Selatan Pulau Sulawesi
Bersantai di Sabang, Santai Bang!
Pashmina Tanda Cinta
Pelajaran di Baluran
Pulau Dewata Punya Cerita
Sepenggal Kisah di Pulau Sang Mutiara Hitam
Ini bukan Mimpi
Gua Jepang di Paris Van Java
Sepotong Surga yang Tuhan Titipkan
*****
Kabut Cinta Mandalawangi
Agita Violy
Selalu ada keraguan tiap kali mau melangkahkan kaki keluar rumah untuk
pergi berhari-hari. Pergi untuk naik gunung, misalnya. Ada sebuah keraguan di hati: untuk apa aku melangkah kali ini? Aku baru saja menyudahi hubunganku dengannya, beberapa hari setelah ulang tahun pertama kita.
Apakah perjalanan ini hanya sebuah pelarian? Atau pencerahan batin yang
suntuk? Atau mungkin perjalan?an di mana aku harus mulai membersihkan sisa-sisa kenanganku bersamanya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku
sendiri pun, aku masih ragu.
Seorang teman pernah berkata, "Ketika hatimu patah, bawalah kakimu untuk
melangkah." Sepatah itukah hatiku sampai-sampai harus melangkahkan kaki
ke gunung? Rumit memang. Namun sudahlah, nikmati saja perjalanannya.
Pukul 8 malam, aku tiba di Kampung Rambutan. Sudah banyak pendaki yang
melintas dengan carrier besar di punggungnya, namun tak juga ku temukan
teman-teman seperjalananku. Sepertinya aku yang pertama tiba. Segera
kuhubungi Rangga dan menanyakan posisinya.
Rangga adalah sosok lelaki muda yang tegas, dengan postur tubuh kurus dan
berkulit sawo matang. Rambutnya panjang dan selalu dikuncir. Bukan berarti
statusnya mahasiswa gadungan atau pengangguran, ia bekerja pada institusi
yang memang tidak mengutamakan penampilan. Tak perlu menunggu lama, ia
datang beberapa menit setelah aku duduk di sebuah warung. Kami menunaikan makan malam sambil menunggu yang lainnya.
Kemudian Rama dan Dinda datang. Mereka berdua adalah sepasang travelmate yang selalu ribut dan bertengkar di tiap perjalanan, namun keduanya tak
pernah bisa dipisahkan. Sekalinya terpisah, salah satu dari mereka akan merasa
ada sesuatu yang kurang. Rama perawakannya gemuk dan memiliki hobi memasak, sementara Dinda kurus dan susah makan. Cocok sekali, bukan?
Sesaat setelah semangkuk soto ayam dan segelas es jeruk di hadapanku habis,
terlihat sosok Nadia di kejauhan yang berjalan semangat menghampiri kami.
Ia terlihat manis dengan carrier di punggungnya yang berwarna hijau stabilo.
Tak lama Bowo hadir dengan carrier super besarnya. Setelah berbasa-basi dan
membahas sedikit tentang gunung yang akan kami daki, akhirnya kami berenam segera mencari bus menuju kawasan Cibodas.
Perjalanan dari Kampung Rambutan menuju Cibodas ditempuh dalam waktu 3
jam. Selama di bus, kami tertidur untuk memulihkan sisa-sisa energi sepulang
bekerja seharian tadi. Pikiranku mengawang-awang kepada ia, yang setahun
terakhir menemaniku di tiap perjalanan. Kami sudah menghabiskan banyak
waktu di tiap tempat dan kota-kota yang kami kunjungi. Namun ia memilih
pergi ketika aku menemukan hobi baruku, mendaki gunung. Janggal, 'kan?
Semua berawal pada akhir 2012, ketika aku mengutarakan niatku untuk menikmati alam Semeru di malam tahun baru. Ia menolak mentah-mentah untuk
menemaniku, ia pun bersikeras tak mengizinkanku. Entah karena memang khawatir dengan fisikku yang lemah atau karena faktor lain, aku tak tahu. Namun
aku tetap melangkahkan kakiku ke sana, ke tanah tertinggi pulau Jawa bersama
keenam teman-temanku ini. Dan yang paling mengenaskan adalah, ketika aku
menghubunginya melalui saluran telepon bahwa aku sudah turun, ia tak peduli.
Ia juga tak menjemputku. Bahkan dengan angkuhnya mengatakan bahwa ia sedang menikmati liburan tahun baru dengan sahabat kami, seorang wanita yang
kerap kali menjadi tempat curhat kami dan bertindak sebagai penengah bila
hubungan kami sedang bergejolak. Ternyata!! Arghh!
Rumah adalah di Mana Pun
Mengingat-ingat hal itu di dalam bus yang semakin dingin membuat hatiku
kian membeku, mengeras bagai es. Bus melaju kencang dan terus menanjak,
sementara hatiku terasa memberontak.
"Yuk, bangun yuk. Udah mau sampai," Ujar Bowo membangunkan yang lainnya. Aku masih menatap nanar jendela bus, kenangan pahit masih bergelayut.
Bowolah yang paling mengerti apa yang kualami. Selama ini, ia selalu bersedia
menjadi tempat sampahku. Dengan telaten dan sabar, ia mendengarkan tiap
kalimat yang meluncur dari mulutku. Kemudian ketika aku diam, barulah ia
mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan dan petuah yang selalu berhasil
membuatku tumpah.
Kami turun perlahan dari bus, kemudian menumpuk carrier-carrier di satu sisi
jalan. Dua orang pendaki asal Bandung menyambut kedatangan kami dengan
penuh rindu. Terakhir kali kami bertemu di Semeru empat bulan lalu. Ihsan
menjabat tanganku dengan lembut dan hangat sementara Fahrul mengguncang-guncangkan tubuh kami dengan semangat.
"Kumaha, damang?" Tanya mereka kompak dengan logat Sunda yang khas.
"Alhamdulillah, saeee." Jawabku dengan logat Jawa.
"Eeettdaaah.. Ngomong ape sih lu pada? Gue orang Betawi kagak ngarti nih!"
celetuk Rama. Kami semua tetawa. Dinginnya Cibodas terasa hangat dengan
sebuah persahabatan yang terdiri dari berbagai suku ini. Tak peduli dari mana
asal kami, tak peduli seperti apa latar belakang kami. Kami selalu bangga bisa
dipertemukan dan dipersatukan oleh Semeru. Semerulah yang membawa kami
melakukan pendakian-pendakian lanjutan seperti malam ini.
Kami segera menyewa angkutan umum sampai ke pintu masuk Cibodas, kemudian menjajah sebuah warung untuk mengisi perut, dan beristirahat. Dinda
dan Rama dengan mudahnya tidur di sudut warung yang dibuat lesehan. Ihsan
dan Bowo menonton televisi dengan mata menyala-nyala. Ya, Real Madrid sedang bertanding malam itu. Sementara aku dan Nadia melahap mie rebus dan
teh panas untuk menghangatkan badan. Fahrul dan Rangga sedang berbagi
beban perlengkapan kelompok, menjejalkan tenda dan kompor ke dalam carrier
masing-masing.
Rumah adalah di Mana Pun
Waktu berjalan sangat cepat. Setelah menunaikan shalat subuh, kami berkemas dan memulai perjalanan. Entah pukul berapa kala itu, langit Cibodas begitu biru ditambah anggunnya penampakan Gede dan Pangrango yang terletak
berdampingan. Kami berjalan perlahan, membentuk satu barisan, menuju pos
perizinan pendakian. Aku hanya diam, dan berjalan sendiri tanpa teman bicara.
Bowo mengurus perizinan pendakian, kami hanya diperbolehkan berada di
dalam Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango selama tiga hari dan
tak boleh lebih. TNGGP memiliki sistem perizinan yang paling menyulitkan para
pendaki. Dari mulai booking online, pembatasan kuota, kewajiban mengenakan
sepatu, dan larangan mendaki dengan sandal, pengecekkan barang-barang
kimia yang kami bawa, larangan membuat api unggun, sampai peraturan setiap
pendaki harus membawa turun sampahnya dan melapor ke petugasnya lagi.
Iya, ribet memang. Namun dengan cara seperti itu, kawasan TNGGP ini terlihat
sangat rapi dan terawat.
Kawasan Taman Nasional ini didominasi oleh hutan hujan tropis pegunungan.
Di dalamnya, dapat ditemukan pohon raksasa Rasamala dan berbagai macam
jenis anggrek hutan. Langitnya selalu terlihat teduh karena terhalang pohonpohon besar. Beberapa jenis burung dan owa jawa yang hampir punah sengaja
dipelihara dan dilestarikan di kawasan ini. Tak heran bila di sepanjang perjalan?
an, akan terdengar kicauan burung dan suara owa jawa.
Setelah perizinan selesai, kami berdoa dalam satu lingkaran. Hal seperti inilah
yang selalu membuatku terharu. Kami saling mengingatkan agar tak berjalan
terlalu jauh dari teman di dekatnya. Ibaratnya, siapa menjaga siapa. Tak boleh
ada yang terlepas. Sekalipun berjalan sendirian, jangan sampai melamun atau
takabur. Dan jika di tengah jalan takut tersesat, lebih baik berhenti sebentar untuk menunggu yang lainnya.
Aku berjalan beriringan dengan Rangga. Ia memperhatikanku dengan tatapan serius, "Lo kok jadi gendut, sih? Perasaan empat bulan lalu masih kecil."
Tanyanya mengagetkanku. Aku hanya menjawabnya dengan cemberut. Andai
Rangga tahu betapa aku sangat membutuhkan cokelat sebagai obat patah hati.
Sebungkus cokelat isi sebelas potong kuhabiskan setiap harinya. Bagaimana
badanku tak membengkak?
Rumah adalah di Mana Pun
Setelah berjalan kurang dari satu jam, kami tiba di Telaga Biru. Bowo mencuci
tangannya dan membasuh muka. "Tahu nggak, kenapa tempat ini dinamain
Telaga Biru?" Tanyanya menghadapku. Aku hanya menggeleng. "Soalnya di
sini masih ada ganggang biru yang hidup. Kalau mataharinya terang, pasti kelihatan." Lanjutnya kemudian. Namun kali itu yang kulihat airnya keruh dan tak
biru sama sekali.
"Agit nggak mau foto-foto?" Tanya Bowo, mengalihkan pandanganku dari
telaga-biru-berair-keruh.
"Eh? Bowo nggak foto-foto?" Aku balik tanya. Mungkin agak malu.
"Enggak, kemarin gue udah foto di sini." Jawabnya jelas.
"Agit juga enggak deh." Kami melanjutkan perjalanan. Kali ini Bowo yang
mendampingiku sementara Rangga sudah di depan bersama yang lainnya.
"Agit gimana kelanjutannya sama pacarnya?" Tanya Bowo memulai percakap?
an. Aku hanya tersenyum getir, tanda bahwa belum siap bercerita duluan.
Bowo mengangguk-angguk paham dan melanjutkan kalimatnya, "Pacar gue
minta putus terus. Padahal udah gue pertahanin banget dari semenjak kita turun Semeru. Tapi ya mau gimana lagi, namanya udah nggak cocok." Telingaku
terasa geli mendengar seorang pria berusia dua puluh tujuh tahun ini curhat.
"Terus dia mau putus?" Tanyaku heran.
"Gue cuma nurutin permintaannya. Giliran gue jawab oke, dia malah merengek.
Bilang gue nggak perjuangin dia lah, nggak ngertiin dia banget lah. Gue jadi
mikir, kalau suatu saat dia jadi istri gue dan minta cerai, terus saat itu gue
hilang kendali dan bilang iya, 'kan jatuhnya jadi talak! Gue nggak mau kayak
gitu!" Bowo terlihat berapi-api. Aku menatapnya nanar. Benar juga pikirannya ini. Ternyata, dalam sebuah hubungan pun perlu adanya timbal balik. Tak
hanya pria yang mengejar dan tak melulu wanitanya merengek. Semua ada
porsinya masing-masing. Lagipula, jika keduanya saling cinta, tak perlu diminta
pun akan tetap bertahan dan setia.
"Agit juga akhirnya putus, dan nyari pelarian ke sini." Jawabku kemudian.
Rumah adalah di Mana Pun
"Yaudah, 'kan ada kita-kita yang saling menghibur satu sama lain. Nanti kita
ke Mandalawangi, tempatnya asyik buat buang galau." Bowo menghiburku
sambil membuka sebungkus Cha-cha berukuran besar. Ia melahap beberapa
butir sekaligus. Sementara tanganku yang mungil hanya dapat menggenggam
sedikit. Aku memakannya satu per satu.
"Yang lain pada di mana, ya?" Tanyaku penasaran. Karena dari tadi kami hanya
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdua di tengah hutan yang sepi. Kami sudah terbiasa berjalan berpencar
seperti ini jika melakukan pendakian pada siang hari. Yang membawa tenda
biasanya berjalan paling depan.
"Fahrul sama Nadia jalannya paling cepat, pasti mereka di depan. Terus Rangga
di belakangnya, jalan sendirian. Kita di tengah-tengah, lagi galau. Di belakang
kita, pasti ada Rama sama Dinda yang sepanjang jalan berantem terus. Nah, di
paling belakang, pasti Ihsan. Dia jagoan buat sweeper."
"Ihsan sendirian?" Tanyaku iseng. Padahal masing-masing dari kami tentu sudah hafal bagaimana urutan dan gaya jalan satu sama lain. Bowo menangkap
sinyal aneh yang terpancar dari mataku.
"Iya. Kenapa? Agit mau nemenin? Gosipnya kalian lagi deket ya? Ciyeee.... Yang
diam-diam dapat oleh-oleh songket Kalimantan dari Ihsan. Hahahaha."
"Ih, apaan sih!" Aku menimpukinya dengan butiran-butiran Cha-cha.
"Cuma mau ngingetin aja..." Bowo menggantung kalimatnya. Aku menunggu.
"Ihsan anaknya baik, kok." Pipiku terasa memanas. Seolah-olah sedang diterpa
matahari yang begitu terik di tengah pantai. Padahal saat ini aku sedang berada
di tengah hutan dengan pepohonan rimbun yang diselimuti kabut. Cinta, tak
ada habisnya bila dibahas.
Jalan terus menanjak. Jalur Cibodas ini terbuat dari batu-batuan yang disusun
rapi seperti anak tangga, sehingga memudahkan para pendaki. Namun kenyataannya, kaki kecilku begitu sakit menapaki bebatuan ini. Kakiku lebih berteman dengan pijakan tanah yang padat.
Rumah adalah di Mana Pun
Pos demi pos kami lalui, Nadia dan Fahrul sudah menunggu kami di pos sebelum air panas. Rama terkilir dan beberapa teman membantu memapahnya.
Kami memutuskan untuk beristirahat di sini. Dinda memijati Rama sambil
mengomel, "Makanya, udah tua nggak usah kebanyakan gaya! Naik gunung
nggak usah bawa tas berat-berat. Encoknya kumat, 'kan! Sukurin!"
"Ini makanan semua isi tas gue. Awas lo, Nda. Nanti nggak gue masakin biar
lo kelaparan!" Rama mengancam. Namun Dinda malah menjulurkan lidahnya,
meledek. Kami tertawa melihat kelakuan mereka berdua.
Nadia dan Fahrul melanjutkan perjalanan. Duo kancil ini memang paling semangat untuk sampai duluan. Kebetulan memang Fahrul yang membawa tenda. Badanku terasa semakin dingin sehingga aku memutuskan untuk menyusul
mereka berdua. Sementara yang lainnya masih ingin bersantai di Pos sebelum
air panas.
Langit Cibodas begitu gelap. Kabut mulai turun dan gerimis mulai menitik.
Aku mengenakan jas hujan yang sengaja kuletakkan di bagian teratas carrier
sehingga memudahkanku mengambilnya, namun hujan semakin deras dan
memaksaku untuk berhenti berjalan. Aku menemukan serombongan pendaki
yang berteduh di bawah flysheet ? semacam kain dengan bahan anti air yang
dibentangkan dan mampu melindungi diri dari hujan atau angin. Segera ku
hampiri mereka dan turut bergabung dalam satu flysheet. Kami saling berbagi
kehangatan.
Kami menunggu hujan reda, namun yang terjadi malah sebaliknya. Hujan
semakin deras dan beberapa pohon tumbang karenanya. Badanku semakin
menggigil dan dengan keadaan perut kosong seperti ini, aku sangat takut
terserang hypothermia. Aku berpamitan kepada mereka untuk melanjutkan
perjalanan dan tak lupa berterima kasih karena telah berbagi ruang untuk ber?
teduh.
Aku duduk di sebuah batu besar yang berlumut. Membuka sepatu dan memeras kaus kaki yang sudah banjir tak karuan. Kemudian kukenakan lagi dan
mengisi perut dengan beberapa potong biskuit. Setelah agak kenyang, aku
masih terdiam di sana. Berharap ada orang datang. Namun yang ditunggu
kehadirannya tak kunjung tiba. Aku memejamkan mata, meresapi setiap bunyi
Rumah adalah di Mana Pun
bunyian yang ada. Kicauan burung dan lolongan owa jawa seolah-olah saling
bersahutan, juga desir angin yang beberapa kali diselingi petir. Aku mulai masuk ke dimensi lain.
Seketika ada orang berteriak. "Mbaaak!! Temannya hypo di pinggir jalan sanaaa!!!" Aku membuka mata. Kulihat seorang bapak berlari ke arahku, tergo?
poh-gopoh.
"Hah? Siapa?" Tanyaku kaget.
"Ga tau, sama cowok. Berdua doang." Sambungnya lagi dengan napas tere?
ngah-engah.
"Nadia? Fahrul? Yassalaaaam.." Aku hendak berlari, namun si Bapak mengis?
yaratkan agar aku tak panik.
"Mbak bawa flysheet?" Tanyanya kemudian. Aku hanya menjawab dengan gelengan.
"Ya sudah, mbak lurus aja. Ada temen-temen saya juga lagi nanganin yang
hypo. Mbak bawa kompor nggak?"?
"Bawa, tapi spirtusnya dibawa teman."?
"Ada kok, teman saya bawa spirtus. Hati-hati mbak, nggak usah panik." Tuturnya, kemudian meninggalkanku. Aku berjalan gontai ke arah yang ia tunjuk.
Hypothermia adalah suatu kondisi di mana mekanisme tubuh untuk peng?
aturan suhu kesulitan mengatasi tekanan suhu dingin. Penderita bisa menggigil
kedinginan hingga tak sadarkan diri. Kondisi seperti ini kerap kali menjadi salah
satu faktor utama penyebab kematian di gunung. Cibodas yang dingin terasa
luar biasa lebih dingin ditambah hujan deras seperti ini.
Aku berjalan sedikit tergesa. Pikiranku kalut. Bagaimana bisa sosok seriang
Nadia tiba-tiba terserang Hypothermia? Ia memang kurus, tapi 'kan ia rajin
makan. Lagipula mana mungkin Fahrul tak sadar bila Nadia menampakan gejala kedinginan. Sudahlah, namanya juga musibah.
Rumah adalah di Mana Pun
Dari kejauhan, terlihat sekumpulan pendaki yang mengerubuti sesuatu. Aku
menghampirinya. Seketika kudapati sosok wanita berusia sekitar dua puluh
tahun tergeletak lemas dipinggir jalan. Ia bukan Nadia, dan sosok pria dengan
muka panik disebelahnya juga bukan Fahrul. Aku menghela napas lega. Merasa
bersalah karena telah memikirkan yang tidak-tidak.
"Assalamu'alaikuum.. Kenapa ni, Bang?" Tanyaku bersikap ramah.
"Wa alaikumussalaaam.. Hypothermia, Neng. Kedinginan. Ada kompor nggak?"
Tanya salah satu dari mereka. Aku membuka carrier, mengeluarkan kompor,
dan memberikannya pada seorang bapak. Ia meraihnya, kemudian mengeluarkan spirtus dan nesting. Ia merebus air.
Beberapa dari mereka sibuk memasang flysheet. Aku membantu menghangatkan korban, mulai dari meminumkan cokelat hangat suap demi suap, melumurkan minyak panas ke badannya, menggenggam tangannya, hingga memeluk
tubuhnya. Semua cara kulakukan agar badannya kembali hangat.
Tiba-tiba "si mbak" tak sadarkan diri. Ia pingsan dan deru napasnya melemah.
Badannya dingin dan kaku. Wajahnya juga semakin pucat. Bola matanya sedikit terbuka dan hanya kelihatan warna putihnya saja. Aku menampari pipinya
agar bangun, juga menekan-nekan perutnya dengan botol berisi air panas. Ia
seketika berteriak kepanasan. Bahkan ia berteriak dalam keadaan tidak sadar.
Rasanya seperti sedang berhadapan dengan orang yang sedang kesurupan,
atau malah di ambang batas kematian. Bulu kudukku berdiri seketika.
"Neng, itu gantiin bajunya. Dah basah semua." Teriak bapak-bapak dibalik flysheet.
"Nih, Git, bajunya." Seorang pria, mungkin pacarnya, memberiku sebungkus
pakaian. Kubuka plastiknya, kemudian kuhitung. Tujuh lembar pakaian? Kakak
ini mau camping berapa hari!?
"Kak, diganti dulu yuk bajunyaa.." Kataku pelan. Ia mengangguk lemah dan aku
menggantikan bajunya dengan teliti. Saat itu ia mengenakan 5 lapis pakaian.
Tebal-tebal memang, namun semua tembus air dan tak cepat mengering.
Itulah yang menjadi penyebab ia Hypotermia, kedinginan akut. Sementara
Rumah adalah di Mana Pun
aku hanya mengenakan selembar kaos dengan bahan quickdry dan selapis
jas hujan. Selain kulitku yang tebal, aku percaya bahwa doamu dari jarak jauh
cukup untuk menghangatkanku. Entah doa siapa. Aku malah senyum-senyum
sendiri.
Setelah diganti bajunya, dia pingsan lagi. Tiba-tiba, Bowo dan Ihsan melintas.
Dari pesan berantai, mereka mengira bahwa aku lah yang terserang hypothermia sehingga mereka panik dan buru-buru ke sini. Mereka berdua membantuku menangani kasus ini. Sementara Rangga, Dinda, dan Rama meneruskan
perjalanan untuk mengirim pesan berantai kepada teman-teman korban yang
telah tiba di Camp Kandang Badak lebih dahulu. Tak lama, teman seperjalanan
mbak ini datang, kemudian memutuskan untuk membawanya turun.
Turun dengan tandu darurat pun tidak mudah. Dari sekian banyak orang di
sana, hanya aku yang membawa sarung. Lebih tepatnya sarung songket dari
Kalimantan yang sengaja diberikan Ihsan sebagai oleh-oleh untukku. Dengan
lemas kuberikan sarung yang harusnya menghangatkanku ketika malam nanti.
Entah kapan mereka akan mengembalikannya. Aku hanya pasrah.
"Ikhlasin aja, yah.. Buat nolong orang. Nanti pake sarung aku aja." Ujar Ihsan
ketika melihatku cemberut. Aku tersenyum getir. Kemudian kami melanjutkan
perjalanan lagi. Bowo sengaja mendahului kami dengan senyum misterius
yang disunggingkannya. Sehingga kami berdua menempati posisi paling belakang.
"Tadi teh aku kira yang hypo si Agit.." Ujar Ihsan dengan logat Sundanya yang
khas. "Habiiis, tau-tau ada Abang-abang lari-lari bilang temennya ada yang
hypo, cewe, pake kerudung. Aku langsung lari buru-buru. Si Bowo udah sibuk aja bilang 'tenang San, tenang..' tapi nggak aku gubris. Pas udah deket
kok n
? ggak kenal mukanya. Eeeeh, nggak taunya di situ teh malah Agit yang
nolong?in yaa.." Ihsan nyerocos panjang lebar.
"Iyah, aku juga udah panik kirain Nadia yang hypo. Nggak taunya bukan. Giliran
aku nolongin, aku takut tau-tau kalian lewat terus nggak liat ada aku di balik
flysheet. Terus aku ditinggal sendirian paling belakang, terus aku tak tau arah,
terus tak tau jalan pulang, terus aku bagaikan butiran debu, terus..."
Rumah adalah di Mana Pun
"Hahahahahaha..." Kami tertawa dalam gerimis. Ada rasa lega bersemayam
dalam benakku. Karena ternyata walaupun sedari tadi melangkah seorang diri,
aku tak pernah benar-benar sendirian. Masih ada teman-teman yang mengkhawatirkan keadaanku. Masih ada untaian doa yang tanpa disadari selalu
menemani langkahku. Rintik hujan pun seolah-olah menambahkan kesan romantis. Selanjutnya, keheningan menemani langkah kami. Berbanding terbalik
dengan hati dan otakku terasa semakin berisik.
Sesampainya di Camp Kandang Badak, tenda-tenda telah didirikan. Camp Kandang Badak adalah area untuk berkemah yang bentuknya tak seperti tanah lapang, tanahnya juga agak miring. Area ini masih didominasi pepohonan tinggi
besar dan telah di bangun beberapa shelter di dekat sumber air. Mungkin dulunya di sini adalah habitat Badak Jawa; sayang saat ini sudah tak ada lagi badak
yang berkeliaran di sini. Kami mengisi perut dengan roti bakar isi sosis, nasi
dengan lauk telur dan nugget juga ikan asin. Rama bahkan sempat-sempatnya
membuatkan kami makaroni pasta dan makaroni panggang. Kopi, teh, dan
susu panas juga diseduh untuk menghangatkan kami. Kami tak melanjutkan
perjalan?an ke puncak sore ini karena kondisi badan yang sudah terlalu lelah.
Perjalanan akan dilanjutkan esok hari.
Hari semakin gelap dan tubuh kami mulai terlelap.
"Agiiit.. Bangun yuuk.." Nadia membangunkanku.?Aku terbangun dan duduk
sambil meregangkan otot-ototku. "Setengah enam ni, masih rada gerimis," lanjutnya. Ia membuka tenda dan meninggalkanku. Aku bergegas menyusulnya.
Setelah buang air di tengah hutan, kami masak-masak dan menunaikan sarap?
an. Kemudian berkemas dan menyiapkan bekal untuk melanjutkan perjalanan.
Perjalanan menuju Puncak Pangrango sangatlah berat. Medan yang kami
tapaki berupa tanah yang becek karena hujan dan pepohonan yang tumbang
di sepanjang jalur. Aku terseok-seok menghadapi jalur yang terus menanjak.
Beberapa kali bajuku tersangkut di ranting pohon dan tak jarang pula kakiku
tersandung akar yang melintang. Kabut terus mengiringi langkah kami.
Rumah adalah di Mana Pun
Selama 3 jam, jalur yang kami tempuh masih sama. Ihsan dan Bowo bergantian
membantu menarik tanganku ketika kaki kecilku tak dapat menaiki gundukan
demi gundukan tanah atau batu yang lebih tinggi. Mereka berdua terus menye?
mangatiku agar tak menyerah, sementara kabut membuat semangatku benarbenar sirna. Untuk apa lagi ke puncak bila tak dapat melihat apa-apa?
"Bowo, Ihsan... Aku turun aja, yah? Udah kabut gini... Percuma lah ke puncak
nggak kelihatan apa-apaaaa. Udah nggak kuat jugaaaa." Keluhku jujur. Mereka
hanya tersenyum tanpa mengucap sepatah kata. Dan hanya berdiri mematung,
menungguku. Mereka berdua tentu sudah hafal tabiat burukku yang suka merengek minta turun jika yang lainnya sudah berada jauh di depan sementara
aku tertinggal jauh di belakang.
Aku yang merasa ditunggu, mulai beranjak dari tempat ku berdiri. Berjalan
pelan selangkah demi selangkah. Batinku bergejolak. Napasku tersengalsengal. Bagiku, puncak hanyalah bonus. Sementara sebenar-benarnya puncak
ada di dalam hati kita sendiri. Tak perlu memaksakan diri untuk menaklukan
puncak gunung, tapi yang kita perlukan adalah menaklukan ego sendiri.
"Udah tiga jam kayak giniii terus... Puncaknya berapa lama lagi? Aku butuh
kepastiaaaan!" Rengekku lagi. Kali ini mereka berdua malah menatapku sambil
menyeringai penuh arti. Aku memperhatikan mereka berdua secara bergantian
dengan tatapan heran.
"Agit pasti sedang berhalusinasi. Coba makan dulu. Nih, ada biskuit." Ujar Bowo
mengeluarkan sebungkus biskuit dari tasnya.
"Aku juga bawa minum, nih." Ihsan tak mau kalah. Aku hendak mengambil
kedu?anya, namun mereka malah berlari menjauhiku.
"Eiiitsss, nanti dulu. Harus sampai puncak dulu. Hahaha." Sial! Ternyata mereka
berdua menggodaku. Aku memasang wajah melas. Mereka berdua cekikikan
dan aku tak kuasa menahan tawa atas kebodohanku merengek seperti tadi. Ah,
betapa manjanya aku ini.
"Buruan jalannya, Nadia udah sampai puncaaak! Lapaaaar!" Suara nyaring milik
Nadia melengking dari jarak yang tak begitu jauh.
Rumah adalah di Mana Pun
"Ayooo... Agit semangaat! Puncaknya sudah dekaaat!" Kali ini suara Dinda
terdengar setengah berteriak. Semangatku seketika membara, puncak sudah
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dekat! Ihsan menarik tanganku lebih kuat dan mengajakku berlari di sepanjang
jalur yang terus menanjak. Sampai akhirnya kami menjejakkan kaki di sebuah
tanah datar dengan latar Gunung Gede yang terhalang kabut tipis.
Inilah puncak Pangrango, 3019 meter di atas permukaan laut! Aku menghela
napas lega dan mengucap syukur.
"Makanya, punya badan jangan gendut-gendut! Jalan nanjak jadi tambah berat,
'kan?" Ujar Rangga sambil menepuk-nepuk pundakku. Aku hanya membalas dengan cengiran tanpa ada wajah berdosa. Aku tahu, pasti Rangga telah
menungguku lama di puncak ini. Biar saja, siapa suruh tidak sabaran. Yang
diperlukan dalam mendaki 'kan melatih kesabaran. Bowo dan Ihsan saja sabar
menungguku. Hihihi.
Perjalanan kami tak terhenti hanya sekadar di puncak. Kami segera menuju
Mandalawangi. Lembah kasih yang begitu fenomenal dengan ribuan edelweiss yang ranum. Sebuah tempat di mana seorang aktivis bernama Soe Hok
Gie kerap kali mengasingkan diri ketika jenuh dengan carut-marut ibu kota. Ia
begitu mencintai tempat ini. Bahkan beberapa media mengatakan bahwa abu
jenazahnya di tebar di sini.
Mataku terasa panas ketika tiba di Mandalawangi. Seluruh badanku bagai
mendapat relaksasi dari apa yang kulihat dan rasakan. Haru. Kabut tipis seolah-olah memberi nuansa damai kepada bunga-bunga abadi. Sang edelweis
dengan jenis Anaphalis Javanica tumbuh bertebaran di lembah kasih yang
luasnya berhektar-hektar. Aku tak pernah melihat tempat seromantis ini sebelumnya. Inilah arti perjalanan sesungguhnya, memberi kejutan kepada diri
sendiri atas segala lelah yang telah dihadapi. Tiba-tiba Bowo mengisyaratkan
agar kami segera berkumpul di bawah flysheet yang telah ia pasang. Kami
duduk berdekatan tanpa jeda. Ia mengeluarkan secarik kertas dan Fahrul
mengeluarkan kamera untuk merekamnya.
Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang jurangmu
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
Rumah adalah di Mana Pun
Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku
Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
Malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita mengerti,
Tanpa kita bisa menawar
Terimalah dan hadapilah
Dan antara ransel ransel kosong dan api unggun yang membara
Aku terima ini semua
Melampaui batas batas hutanmu, melampaui batas batas jurangmu
Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup
Jakarta, 19-7-1966
Soe Hok Gie
Bowo melipat kembali kertasnya. Kemudian menahan napas, seperti hendak
mengatakan sesuatu. Ia terlihat kebingungan mencari kata-kata yang pas
untuk disampaikan pada kami. Fahrul masih merekamnya. Dan kami masih
menunggu.
"Gue sayang sama kalian..," ujarnya pelan.
Kami menahan haru. Tak menyangka orang "seajaib" Bowo mampu meluncurkan kalimat seperti itu dari mulutnya. Senyum-senyum kecil merekah di tiap
bibir kami. Kami saling berpelukan satu sama lain. Tanpa jarak. Ada sebuah
kedamaian yang menyeruak hingga ke relung hati. Gerimis yang turun membuat suasana sendu ini semakin menjadi-jadi. Kami berjanji, suatu saat akan
Rumah adalah di Mana Pun
kembali lagi ke sini. Kami percaya, apa yang telah dipersatukan oleh gunung tak
akan bisa dipisahkan oleh tangan manusia. Seperti persahabatan ini.
"Ini tempat cocok banget buat buang galau. Gue mau buang semua kenangan
mantan gue di sini," celetuk Bowo, kemudian pergi meninggalkan kami. Sementara Rangga malah membuka bajunya dan berlari mengitari sekeliling dengan
alasan ingin tahu bagaimana rasanya "disetubuhi kabut." Namun yang terjadi,
mereka berdua malah kedinginan. Ada-ada saja kelakuan mereka ini. Aku hendak beranjak dari tempat dudukku dan membuang kenangan di suatu tempat,
namun Ihsan menahanku.
"Agit, makan dulu." Ujar Ihsan sambil mengaduk mie rebus yang telah masak.
"Ndak bawa sendok." Jawabku singkat.
"Sini, aku suapin"
Seketika pipiku bersemu, dan semua kenangan tentang mantanku tiba-tiba
berlalu. Menghilang dan lenyap di telan kabut cinta Mandalawangi.***
Agita Violy, seorang gadis 19 tahun penggemar pisang yang hobi jalan-jalan.
Berstatus sebagai mahasiswa yang bekerja paruh waktu demi memenuhi kecanduannya pada traveling, terutama mendaki gunung. Senang menuliskan catatan
perjalanan di blog pribadinya (http://agitavioly.blogspot.com) hingga akhirnya
bercita-cita sebagai travel writer. Buku ini adalah antologi pertamanya. Bisa
dihubungi via e-mail: agitavioly@gmail.com , twitter: @agitavio dan Facebook:
Ageta Violy Otomo.
Rumah adalah di Mana Pun
Di Tebing Tomini, Aku Jatuh Cinta Begitu Dalam
Nany Diansari Korompot
ntah dari mana, panggilan itu datang begitu saja. Begitu tiba-tiba. Saya
memang mencintai alam bebas dan setiap perjalanan, mencintai debur
ombak dan pasir pantai sebesar saya memuja edelweis mekar dan di?ngin
gunung-gunung. Laut adalah magis bagiku, berbasah-basah, berdebar oleh
debur laut. Saya betah bermalam-malam hanya untuk menghirup wangi laut
dan udara asin sambil berbaring di pasir pantai di bawah hamparan bintang di
suatu subuh di pantai yang sepi.
Tetapi untuk menyelam ke dasar sungguh tak pernah sekalipun terpikir. Yang
saya tahu olahraga selam adalah olahraga yang berisiko. Tulisan atau liputanliputan tentang surga bawah laut tidak begitu menarik perhatianku. Surga
bawah laut hanya mitos yang seperti begitu jauh. Sampai suatu siang, dengan
mengabaikan tumpukan tugas di meja kantor saya mulai mencari informasi
tentang dunia selam.
Saya baru tahu, teluk Tomini yang bersinggungan dengan provinsi Sulawesi
Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah adalah bagian dari Coral Triangle, segitiga terumbu karang dunia yang sangat terkenal dengan kekayaan bawah lautnya. Saya juga mendengar tentang indahnya Bunaken dan surga di kepulauan
Togean, tapi saya baru tahu bahwa Gorontalo adalah tujuan baru para penye?
lam dunia dengan titik-titik selam paling menakjubkan. Entah semenakjubkan
apa. Dan sejak tidak menemukan alasan yang memanggilku untuk mencoba
bawah laut Indonesia, saya memutuskan bahwa, saya "diundang" oleh dunia
bawah untuk datang berkunjung. Itu cukup untuk sementara.
Saya, perempuan pedalaman Sulawesi. Kotamobagu, adalah kota kecil yang
terletak di provinsi Sulawesi Utara. Masa kecilku adalah gunung, bukit-bukit,
hutan, sawah dan perkebunan. Sungai yang mengajariku berenang. Laut hanya
sesekali untuk liburan sekolah. Merasakan berenang di gemerlap laut adalah
kemewahan besar bagiku.
Pagi itu, awal September yang cerah, dengan mobil travel bersama beberapa
penumpang, saya menuju Gorontalo. Tujuh jam perjalanan darat dengan jalan
berkelok-kelok yang melelahkan tertawar oleh pemandangan sepanjang pantai utara. Saat sebagian penumpang mulai mabuk perjalanan, mini bus yang
kami tumpangi berhenti di sebuah tebing, tepat menghadap biru laut dengan
tiga pulau kecil dikeliling pasir putih tersusun rapi. Langit begitu teduh. Angin
begitu pelan. Di sebelah kanan hamparan beribu pohon kelapa terlihat dari atas
tebing ini. Benar-benar mujarab untuk mabuk perjalanan.
Sore kami tiba di kota Gorontalo. Provinsi baru yang berkembang begitu cepat.
Kota ini tak pernah asing bagiku. Empat tahun kuliah di sini memberiku cukup
waktu untuk mendatangi hampir setiap sudut pedalamannya. Kota ini, jalanan
ini selalu sama bagiku meski begitu banyak bangunan yang berubah. Saya
kenal hampir semua tempat di sini; Danau Limboto, Benteng Otanaha tempat
kami berburu sore, gunung-gunung, laut-laut paling eksotis seperti Torosiaje
dan Bone Pantai, pulau-pulau paling damai seperti Pulau Saronde dan masih
banyak lagi. Saya pernah percaya bahwa, Pulau Saronde adalah tempat Adam
dan Hawa kembali jatuh cinta setelah di buang ke bumi dari surga. Sa?yangnya,
selain kawan-kawan saya yang mengiyakan tak ada lagi yang mau percaya.
Penginapan tempat saya tinggal cukup sepi. Ini bukan akhir pekan. Dan cukup
dengan Rp250.000 saya bisa dapat kamar terbaik. Double bed, shower, tv, ac,
kulkas, lemari pakaian, dan sofa. Murah meriah. Hal pertama yang saya lakukan
setelah mandi dan lebih segar adalah berburu binte. Kuliner khas Gorontalo ini
hukumnya wajib saat kalian mampir di sini. Binte adalah sop jagung, dengan
rasa khas dan wangi rempah yang sangat mengundang selera.
Rumah adalah di Mana Pun
Pukul 8.30, saya bertemu bang Wawan, instruktur dari Tomini Diving Center
yang sudah saya kontak sebelumnya. Setelah sedikit perkenalan dia menjelaskan tentang rencana Discovery Scuba Dive yang akan kami lakukan besok pagi.
Discovery Scuba Dive adalah pengenalan untuk penyelam pemula yang belum
bersertifikat tetapi dengan ketentuan yang ketat, dalam kondisi sehat terutama,
tidak memiliki beberapa riwayat penyakit tertentu seperti asma, epilepsi dan
jantung, harus bisa mengatasi equalisasi tekanan pada telinga ketika menye?
lam, dan harus tetap dalam pengawasan instruktur yang berpengalaman, jelasnya
Dia bertanya detail menganai riwayat penyakitku.
"Maag," kujawab
"Asma?"
"Tidak.."
"Tidak punya riwayat penyakit jantung 'kan?"
"Sejauh ini sih tidak.."
"Mudah panik?"
"Tidak juga," jawabku sambil senyum. Bagus, katanya.
"Kok pengen nyelam? Siapa yang ajak?"
"Nggak ada.. Pengen aja sendiri... Aku aja nyesal kenapa selama ini nggak ada
yang ajak hehehe"
"Serius? Jadinya kenapa pengen menyelam?"
"Ya nggak ada.. Nggak tau tiba-tiba saja aku pengen belajar selam. Hidayah
mungkin?"
Bang Wawan garuk-garuk kepala bingung. Lah saya juga bingung.
"Hhhm... tapi.. Aku nggak bisa berenang. Nggak papa 'kan?" Akhirnya perta?
nyaan yang saya khawatirkan keluar juga. Saya berharap dengan nada santai
Rumah adalah di Mana Pun
dia akan menjawab 'ya bisa aja, emang kenapa', tapi tanpa menjawab dia malah
melotot ke arahku.
"Hah, jadi kamu nggak bisa berenang? Dan, berani-beraninya mau belajar di?
ving?"
Waduh gawat. Saya sudah di sini dan kunjunganku ke negeri bawah laut tidak
boleh batal.
"Eh tapi sebenarnya bisa. Awalnya aku bisa waktu kecil, tapi aku pernah hanyut
di sungai dan sejak itu jadi tidak bisa berenang. Tapi sebenarnya bisa kok..
Dulu.. Beneran," tukasku buru-buru sebelum saya dijatuhi vonis tidak bisa menyelam.
"Oh.. trauma mungkin?" tanyanya sambil ngakak.
"Tidak. Aku nggak takut laut. aku biasa berenang di laut pake pelampung. Aku
juga bisa naik perahu. Memangnya nggak bisa menyelam ya kalo nggak bisa
berenang?"
"Hhm.. sebenarnya bahaya sih.. Olahraga menyelam terutama bagi pemula dan
belum bersertifikat sangat berisiko."
"Aku bisa sedikit kok. Dan aku yakin aku bisa belajar menyelam, serius..." saya
masih ngotot. Pasang tampang sok sedih mungkin membantu.
"Ya sudah.. kita lihat langsung besok."
Yess!!!
Masih begitu pagi. Selimut masih begitu manja tidak mau lepas, dan mata masih super ngantuk setelah semalam susah tidur degdegan menunggu pagi ini.
Rasanya seperti malam lebaran saat saya kecil, begitu dinanti sampai susah
tidur. Hehehee
Saya harus bersiap, base layer legging panjang, celana pendek, kaos, kemeja
flanel, kerudung, dengan tas ransel isi lengkap. Kamera, kotak makanan (yang
masih kosong), botol air minum, handuk kecil, dan baju ganti.
Rumah adalah di Mana Pun
Pukul 5.30, sarapan hotel belum ada, tapi ke arah kanan seberang jalan ada
warung kopi sederhana. Secangkir kopi hitam pasti cukup untuk pagi indah
ini. Kopi pekat nikmat dengan sedikit campuran jahe. Jalanan belum begitu ramai. Saya ngopi sambil mengisi kotak makanan dengan Sabongi, jajanan khas
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gorontalo sambil menunggu jemputan bang Wawan ke kantor Tomini Diving
Center untuk pengecekan gear.
Pukul 6.00 dengan sepeda motor kami meluncur ke kantor Tomini Diving Center yang ternyata tidak begitu jauh dari hotel tempat saya menginap. Setelah
menyiapkan tabung, alat selam yang kami butuhkan, dan berfoto sebentar
dengan latar dinding biru laut bertulis "wololo habari divers?" yang artinya "apa
kabar divers?" dalam bahasa Gorontalo di kantor diving center itu, kami langsung mengarah ke Leato. Spot ini sangat cocok buat pemula, kata bang Wawan,
arus yang tenang tapi dengan pemandangan bawah laut yang selalu sukses
meracuni para diver pemula yang lagi mencoba Discovery Scuba Dive di sini.
Setelah sekitar 20 menit berkendara, kami tiba di Leato. Langit biru. Laut yang
tenang. Hanya ada riak ombak-ombak kecil yang sesekali menyapu putih pasir.
Entah perasaan itu datang dari mana tetapi berhadapan dengan laut lepas dan
pasir putih selalu membawa rasa haru yang dalam. Saya seperti diantar pulang.
Selain pondok-pondok kecil untuk bersantai, di sana hanya ada satu warung
makan sederhana yang sering melayani para penyelam dengan kamar mandi
untuk ganti pakaian.
Saya menikmati pantai ini sejenak sebelum instruktur mulai menjelaskan alat
apa saja yang akan digunakan dalam penyelaman dan apa yang harus saya
perhatikan nanti. Membenamkan kaki di pasir pantai tidak cukup meredakan
rasa degdegan. Semakin paniklah saya setiap kali bang Wawan mengingatkan
untuk tidak panik. Hari masih pagi dan laut begitu jernih. Di batas langit dan
laut, awan mulai berarak perlahan.
Saya mengganti pakaian dengan wet suit setelah sesi perkenalan alat selam
dan kegunaannya serta beberapa kode untuk berkomunikasi selesai. Dengan
boots, masker biru di leher, fins di tangan, kami turun ke laut yang hangat. Ada
kolam alami di laut, tidak begitu jauh dari bibir pantai tempat kita akan mencoba peralatan selam sebelum benar-benar masuk ke dalam air. Darahku berdesir
menikmati sentuh air.
Rumah adalah di Mana Pun
Saya memasang pemberat. Bang Wawan membantu saya menggunakan fins
dan BCD yang sudah terpasang tabung oksigen dan regulator.
"Nanti kita tidak akan bernapas dengan hidung sama sekali. Hidung kita tidak
berfungsi. Kita pakai regulator dan bernapas dengan mulut," katanya sambil
mempraktikkan cara menggunakan regulator. Seperti memakai pelindung mulut untuk petinju.
"Kalo maskermu kemasukan air - mengingat kamu pake kerudung jadi tidak
semua sisi masker melekat sempurna, kamu nggak boleh panik. Kepala dite?
ngadahkan, tekan bagian atas masker dan buang napas dari hidung untuk
mendorong air keluar. Dan kalau telingamu sakit yang disebabkan oleh tekanan
di dalam air, kamu pencet hidung dan bernapas keras sampai ada bunyi
berdengung atau sampai telingamu tidak terasa sakit lagi. Siap?"
"Siap, Bang!" kataku sok mantap sambil mempraktikkan petunjuknya barusan.
Oh baiklah, jadi nanti maskerku kemasukan air, hidung penuh air asin dan mata
perih. Tapi tidak, tidak bisa, semua akan baik-baik saja. Mendadak seperti ada
seratus kupu-kupu beterbangan dalam perutku. Huuftt.. Saya menarik napas
dalam. Saya pasti bisa. Tenang, Di.. tidak akan ada apa apa...
"Oke, kita coba regulatornya!"
Saya pun memasang masker dan regulator. Hidung tidak berfungsi tertutup
masker dan ternyata bernapas dengan regulator sangat berat. Saya seperti sedang sakit asma dan ada bunyi seperti peluit macet tiap kali saya mengembuskan udara keluar dari regulator.
"Kira-kira berapa lama kita akan menyelam Bang?"
"Tergantung.. mungkin sekitar 45 sampai 50 menit."
Nah, tabung yang berat di punggung dan bernapas dengan regulator yang
sungguh menyesakkan dada selama hampir sejam.
Saya sejenak ragu. Apa yang akan terjadi di bawah sana? Saya tidak bisa berenang. Saya sama sekali tidak menguasai keterampilan menyelam. Dan saya
panik. Baik. Saya panik. Apa saya harus bilang ke instruktur? Saya melihat
Rumah adalah di Mana Pun
sekeliling, tidak ada siapa-siapa kecuali Ibu warung yang sibuk dengan masakannya. Tidak ada perahu nelayan di sekitar sini. Siapa yang akan menolong
kalau seandainya ada apa-apa? Pandanganku mendadak seperti berkunangkunang mengingat segala risiko yang mungkin bisa terjadi. Kuatkan. Kuatkan..
Saya meletakan tangan di dada, merasakan detak jantung biasanya menenangkan.
Membasuh wajah dengan air laut sedikit membantu ternyata. Wangi asin yang
khas memenuhi otak, mengaburkan pikiran-pikiran yang semakin tidak jelas.
Oh oke, bagaimana seandainya ada mahluk berbisa? Ular laut mungkin? Atau
ubur-ubur beracun? Atau ikan besar? Atau paus pembunuh yang mencium
aroma darah manusia (seperti di film-film)?? Mulai ngawur!!! Saya membasuh
wajah lagi beberapa kali dan bernapas dalam.
"Baik, kita coba bernapas dalam air. Pakai masker dan regulator, masukkan
kepala ke dalam air dan fbernapaslah seperti biasa. Setelah lima belas detik,
kita angkat kepala lagi ke permukaan" perintah Bang wawan memotong rasa
raguku. Saya tidak sempat bertanya apa-apa lagi. Tidak sempat bilang panik.
Terserahlah, dia pasti bisa mengatasi keadaan darurat di kedalaman, hiburku.
Saya baru mau bertanya, kira-kira berapa lama manusia bisa bertahan tenggelam di dalam air tanpa bisa bernapas, tapi tangan Bang Wawan sudah
memulai isyarat menghitung.
Kami memasang lagi masker dan regulator dan mulai bernapas dengan bunyi
ngik-ngik. Satu dua tiga! Kami memasukkan kepala ke dalam air. Pada detik
ketiga saya bangun dengan cepat, melepas regulator dari mulut. Bang Wawan
kaget dan mengikuti gerakan refleksku.
"Kenapa Di?"
"Wuiihhh banyak ikan biru, Baaaangg!" teriakku histeris dengan muka paling
antusias.
"Hufft.. Kupikir kenapa.." katanya sambil tersenyum lega.
"Itu ikan biru kecil-kecil kenapa banyak bangeeett??"
"Itu masih kurang banyak. Nanti ada lebih banyak lagi," saya hanya melongo.
Rumah adalah di Mana Pun
Kali ini sukses dengan muka bego.
"Kita coba lagi. Jangan ada gerakan tambahan. Cukup masukkan kepala ke
dalam air dan coba biasakan bernapas dengan regulator."
Tiga puluh detik kemudian kita angkat kepala dan memutuskan siap menyelam
keluar dari kolam.
"Siap, Di?"
"Siap, Bang."
"Kamu nggak panik, 'kan?"
"Nggak bang, tenang, aku cuman terlalu bersemangat, hahaha," tawaku garing.
Well, jantungku berdegup kencang tapi hampir melupakan segala khayalanku
tentang regulator tidak berfungsi, atau apa pun tentang ubur-ubur beracun.
Saya hanya ingin segera ke sana, ke dasar lebih dalam dari teluk ini, Tomini.
Saya berdoa sejenak untuk keselamatan, dan kita memulai perjalanan mendebarkan ini.
Kami menyelam ke luar kolam. Laut bebas. Beberapa detik pertama, saya kebingungan seperti mendadak terlempar ke dunia asing berwarna biru yang
entah apa. Tak ada pantai dan suara debur ombak. Saya menyesuaikan penglihatan dan pernapasan. Instruktur membantu saya fokus dengan mengarahkan
perhatian ke kerumunan ikan-ikan atau terumbu karang. Segera setelahnya,
saya lupa tentang tabung oksigen yang berat di punggung dan hidung yang tak
berfungsi. Saya lupa ini di mana dan saya lupa saya adalah penyelam pemula
yang tak boleh banyak tingkah. Saya seperti anak kecil yang girang dilepas ke
taman bermain tak berbatas. Ini hebat.
Ternyata, di dalam air, berat tabung tidak terasa dan kita akan terbiasa bernapas dengan sendirinya. Tidak ada lagi bunyi ngik-ngik seperti peluit macet
kemasukan pasir. Ini juga bukan seperti berenang. Tubuh menjadi ringan, kita
tidak menggunakan kedua tangan seperti berenang, kita tidak tenggelam tidak
pula mengambang di permukaan.Tubuh bergerak perlahan mengikuti ke mana
kita mengarahkan. Ini adalah terbang dikelilingi jutaan mahluk laut yang indah
Rumah adalah di Mana Pun
tiada banding. Dunia yang hening. Hanya ada letup dadaku yang begitu ingin
berteriak keras tapi juga tidak ingin berkata-kata di saat yang sama. Surga apa
ini?
Bayangkan, kita tersesat di negeri antah berantah yang seperti begitu penuh
sihir. Hening berwarna biru terang. Kita terbang dikelilingi ribuan ikan yang tak
takut mendekat. Kuning merah biru putih hitam jingga hijau. Terumbu karang
warna warni dan entah segala mahluk apa yang begitu ramah melambai-lambai. Ini tempat apa? Ini seperti bukan di dunia nyata.
Saya terbang ke arah kumpulan ikan-ikan kecil berwarna ungu. Mereka tidak terganggu. Saya berkhayal masuk ke negeri dongeng, dan ikan-ikan itu
menanyakan asal kedatangan saya. Dialog imajiner dengan para ikan terhenti
saat tiba-tiba setengah lusin makhluk kecil seperti bayi kuda laut muncul di
depan wajahku, begitu dekat. Oh Tuhaaaan, mereka seperti begitu rapuh, kecil
dan sangat indah. Merah muda, ungu, jingga, sewarna permen. Saya seperti
bisa mencomotnya dengan telunjuk dan ibu jari kemudian memasukkannya ke
dalam mulut.
Beberapa kali saya harus memijit hidung sambil menekan napas keluar
saat mulai menyelam lebih dalam. Tapi sama sekali tidak terganggu. Segera
setelahnya, saya lupa dan kembali mendekati dua ekor clownfish yang asyik
bermain di rumahnya. Saya menjulurkan tangan ingin menyentuh tapi tiba-tiba
seperti ada aliran listrik dari sulur-sulur anemon, rumah ikan-ikan nemo itu.
Magnet, ternyata bukan listrik. Saya mendadak panik tapi ingin tertawa histeris.
Begitu banyak yang ingin saya katakan, yang ingin saya tanyakan, tapi di sana,
di negeri para bayi kuda laut hanya ada keheningan. Damai.
Kita menyelam semakin dalam. Di satu titik yang agak jauh, saya lihat ada
lampion ungu berkilauan. Kami mendekat, dan lampion itu ternyata adalah
ubur-ubur ungu sebesar bola kaki. Kami mengamatinya sampai puas. Aaakkk
ini benar-benar menggemaskan, kuliatnya seperti balon ungu yang diisi air.
Rasanya mau saya bawa pulang.
Keasyikan mengamati lampion ungu, saya kaget ketika tersadar kita sudah
berada tepat di bibir jurang. Jurang laut berwarna biru gelap. Saya panik ketika
Rumah adalah di Mana Pun
Bang Wawan memberi isyarat kita akan masuk ke dalam jurang itu. Dasarnya
tidak terlihat dengan warna biru kental seperti berkabut tebal. Apa di balik ngarai itu? Apa yang akan menyambut kita di balik kabut tebal dunia lain itu? Saya
tidak berani melewati pinggir jurang dan berpikir kita akan jatuh terjun bebas
ke bawah, ah tapi mungkin saja tidak, hiburku pada diri sendiri.
Saya makin panik ketika merasa air masuk ke masker. Air masuk ke hidung dan
mata terasa perih hampir tidak bisa dibuka. Saya tidak bisa melihat instruksi
dari bang Wawan. Gawat! Gawat! Bagaimana ini? Saya panik dan ingin meronta. Refleks saya tidak membuka mata, gelap, dan saya tidak melihat Bang
Wawan, satu-satunya manusia di sini. Jangan sampai dia sudah turun ke dalam
jurang dan tidak sadar saya tidak dibelakangnya! Oh Tuhan, jangan sampai!
Saya berusaha menenangkan diri, dan mengingat apa yang harus dilakukan.
Saya tahu, bahwa selain diri sendiri tidak ada yang bisa membantu mengatasi
kepanikan.
Setelah menenangkan diri. Saya menengadah sambil menekan bagian atas
masker, dan mengembuskan napas kuat-kuat dari hidung untuk menekan air
keluar. Dua kali, dan tidak ada lagi air yang terasa menutupi mata dan hidung.
Saya membuka mata, di sekeliling terang lagi, dan masih setenang sebelumnya.
Saya mengarahkan pandangan ke sekeliling, dan yang terlihat hanyalah warna
biru, dengan sinar matahari yang menembus permukaan air membentuk tiraitirai cahaya putih. Di mana ini? Apa yang terjadi? Saya seperti dikelilingi tirai
cahaya dalam khusuknya sebuah upacara pemberkatan. Saya merentang tangan, menyentuh bias cahaya, menerima limpah berkat dari permukaan. Saya
tidak berkata apa-apa, tapi segenap diri dan kesadaran percaya bahwa hanya
Tuhan Maha Tinggilah yang bisa mencipta sesempurna ini. Tragedi masker
terlupa begitu saja.
Tersadar lagi, saya sudah terbang menghadap drop-off, tebing terjal yang
ditutupi segala jenis terumbu karang beraneka bentuk dan warna yang menjadi rumah bagi jutaan biota laut teluk Tomini ini. Karang-karang besar merah
muda menempel begitu saja. Bang Wawan menunjukan beberapa Salvador
dalam berbagai bentuk dan ukuran. Hebat! Saya terkagum-kagum dalam hati.
Hanya dinding tegak berwarna sejauh mata memandang dan biru gelap di
bawah kita. Saya seperti ingin menyentuh semuanya satu per satu dan masuk
lebih dalam lagi. Makin dalam.
Di sini, di negeri magis ini, waktu seperti terhenti. Kita seperti tersihir. Entah
sudah berapa lama kami menyelam. Depth Gauge menunjukan kita sudah menyelam sedalam 14 meter, dan jumlah oksigen menipis. Kami harus naik. Masih
sambil terus mengamati surga di dasar laut teluk tomini ini kami mulai menye?
lam keluar jurang. Terus naik perlahan, berhenti sejenak untuk safety stop. Oh,
ada bintang laut besar berwarna biru yang lagi bersantai di atas sebuah karang
keras. Klik klik! Saya difoto bersama bintang laut. Difoto dengan pipi kembung
dan tak bisa pasang senyum manis tak apalah. Asal ada bukti saya benar-benar
menyelam. Ada bukti bahwa ini bukan halusinasi. Setelah dirasa cukup, kami
naik ke permukaan.
Huufftt, melepas masker dan regulator dan kembali bernapas normal cukup
melegakan. Saya mengambil napas dalam. Udara terasa jernih di paru-paru.
Lagit biru dan matahari yang mulai terik mengambil alih kesadaran saya, bahwa apa yang saya lihat barusan adalah nyata. Tak ada negeri dongeng. Tak ada
ilmu sihir. Itu adalah senyatanya surga di bawah laut kita, Nusantara. Di area
yang agak dangkal, kami melepas beberapa peralatan. Senang rasanya bisa
berteriak dan tertawa lepas lagi. Laut masih sesepi pagi tadi, anginpun masih
seteduh yang saya ingat.
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di pantai, seorang teman siap menunggu dengan bidikan kameranya. Berlatar laut tenang dan langit biru teduh, wet suit, fins di tangan kiri, BCD diseret
tangan kanan, kami berjalan begitu dramatis ke arah pantai. Aiihh saya merasa
seperti salah seorang personel Charlie?s Angels yang baru menyelesaikan misi
memasang peledak di lambung kapal target. Oke, cukup. Mulai melantur.
Pisang goreng, sambal pedes dan tiga gelas kopi dari ibu pemilik warung menutup pagi sempurna di hari Rabu yang luar biasa. Obrolan hangat kawan lama
tumpah ruah tentang apa saja. Saya hanya tersenyum, dan tak tahu memulai
dari mana ketika ditanya tentang cerita penyelaman barusan.
Semua orang harus tahu di dalam sana ada surga. Semua orang harus tahu, di
dalam sana, ada berjuta kehidupan yang akan rusak dan mati ketika sebagian
dari kita tidak bertanggung jawab, dan sebagian lagi membiarkan perilaku itu.
Ya, semua orang harus tahu, pikirku.
Hari beranjak siang. Saya ganti pakaian, kemudian membantu bang Wawan
berkemas. Di jalan pulang, saya tahu, saya bukan lagi orang yang sama seperti
saat datang pagi tadi. Saya bukan lagi perempuan yang sama, yang datang
mencari tempat baru untuk bertualang. Saya pulang dengan rasa haru dan pelajaran-pelajaran baru. Saya pulang dengan tekad, harapan dan pikiran-pikiran
baru. Di palung yang dalam, dan diam, dan rendah hati, ada kekayaan yang tak
tampak dari permukaan. Di sana, di ngarai-ngarai Tomini yang tak berdasar
saya jatuh cinta. Begitu dalam jatuh cinta.
"Hanya kebijaksanaan, Dian, dan setinggi-tingginya penghargaan yang bisa
menjaga surga ini tetap ada untuk anak cucu kita nanti" kata Bang Wawan.
"Kita ke mana, Di, setelah ini?" Tanya bang Syam sambil memperlihatkan hasil
foto di kameranya.
"Makan siang bang? Ikan Bala Rica sepertinya. Gimana? Setelah makan temani
saya ke Benteng Otanaha.. Saya ingin membaca puisi-puisi di sana.."***
Nany Diansari Korompot, lahir di Kotamobagu, Sulawesi utara, 15 Desember
1987. Penulis, yang karya-karyanya belum juga terbit. pembaca yang setia tentang apa saja. pecinta puisi.pecinta gunung-gunung, laut-laut, kota-kota. Diver
syariah. Pejalan yang menulis di jalan pulang, dan Jalan Pulang; enkadiansari.
blogspot.com, menulis baginya adalah cara merayakan rindu dan ingatan-ingatan. Email nanydiansary@yahoo.com. Twitter @nydiansari.
Aku Terpikat Padamu, Wae Rebo
Chlara Sinta
ndonesia bagian timur memang surga bagi para petualang. Banyak tempattempat indah yang masih terjaga keasriannya.Wisata yang dituju adalah
wisata alam yang indah dan menantang. Saya tidak pernah pergi dari Pulau
Jawa dan Bali sebelumnya. Indonesia bagian timur hanya bisa saya lihat dari
jejaring sosial, internet, buku, dan majalah. Salah satu tempat yang selalu dibicarakan adalah Flores!
Flores, saya pikir hanya di dalam angan-angan untuk pergi ke sana. Namun,
benar yang orang-orang bilang bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia
ini. Hal yang terbayang saat pertama kali saat mendengar kata Flores adalah
keindahan alamnya yang masih asli terjaga. Tempat wisata yang tebersit di
pikiran saya adalah Pulau Komodo, Pantai Pink, dan Danau Kelimutu. Saya
tidak pernah terbayang tentang desa yang membuat saya terkagum-kagum,
Desa Adat Wae Rebo.
Perjalanan itu terwujud di bulan Oktober 2013. Saya dan teman-teman membuat sebuah rencana untuk pergi ke sana dan tidak ada satu pun di antara kami
yang pernah ke Flores. Nekat? mungkin. Itu karena kami berenam juga tidak
menyewa jasa biro perjalanan yang biasanya membuka "open trip." Terkadang
"open trip" membuat kita tidak leluasa membuat rencana perjalanan kita
sendiri. Perjalanan yang tidak terikat dengan suatu biro perjalanan biasanya
justru lebih asyik dan lebih terasa petualangannya karena kita bisa mencari
tahu sendiri tempat yang ingin kita kunjungi. Waktu yang dihabiskan pun tidak
terlalu terburu-buru sehingga dapat lebih menikmati perjalanan. Kami pun
mencari data-data di internet dan review dari blog para traveler yang sudah
lebih dulu ke sana. Blog dari para traveler tersebut sangat membantu kami untuk membuat sebuah rencana perjalanan.
Perjalanan tentu dimulai dari pemesanan tiket. Kami sudah memesan tiket
jauh-jauh hari dan ternyata BAAAM!! tiket penerbangan kami dari Bali menuju
Labuan Bajo dibatalkan karena ada APEC 2013 di Bali. Akhirnya kami memutuskan untuk melakukan perjalanan melalui jalur darat. Perjalanan yang seharusnya hanya memakan waktu sekitar lebih dari 4 jam dari Jakarta berubah
menjadi dua hari. Namun, saya tetap semangat karena saya percaya semua itu
akan terbayar oleh keindahan Flores.
Firasatku benar, sesampainya di Labuan Bajo, langsung terbayar dengan hamparan kapal dengan latar belakang laut dan gunung yang indah. Salah satu
penumpang yang kami temui di kapal menawarkan untuk membantu mencarikan penginapan dan tempat makan. Beliau sangat baik sekali menolong kami
dengan ikhlas. Beliau sebenarnya menawarkan paket untuk island hopping
dari pulau Komodo dan sekitarnya tetapi menurut kami harga yang ditawarkan
cukup mahal. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari sendiri paket island
hopping ke tempat yang dingiinkan seperti Pulau Rinca, Pantai Pink, Pulau
Komodo, dan Pulau Bidadari. Semua itu membuat saya semakin mengagumi
indahnya Flores.
Namun, perjalanan kami tidak berhenti sampai di situ. Tujuan terakhir kami
tidak kalah menantangnya dengan sebelumnya. Desa Adat yang sudah dikenal
di mata dunia yaitu, Desa Adat Wae Rebo.
Saya sempat memiliki keraguan saat saya dan teman-teman memutuskan
untuk tetap pergi ke sana. Alasannya adalah di antara kami tidak ada yang me?
ngetahui medan yang akan ditempuh. Sekali lagi saya berterima kasih kepada
para penulis blog perjalanan di Indonesia. Kami mengetahui info itu semua
dari blog orang yang terdahulu pernah ke sana. Di sini saya menyadari bahwa
semua traveler intinya memiliki sifat kekeluargaan dan saling berbagi. Hal itu
Rumah adalah di Mana Pun
lah yang membuat saya terpacu untuk membuat sebuah blog setelah perjalan?
an saya di Flores. Blog-blog tersebut menuntun kami pada sebuah perjalanan
dari Labuan Bajo ke Wae Rebo. Kami memperoleh informasi dari pihak restoran
yang kami kunjungi untuk menghubungi sebuah biro perjalanan yang bisa
mengantarkan ke Ruteng.
Kami berangkat dari Labuan Bajo sekitar pukul 5 sore. Perjalanan ini cukup
panjang yaitu 5 jam. Ini disebabkan travel ini juga menjemput penumpangpenumpang lain yang sudah memesan sebelumnya. Kami sampai di Ruteng
pukul 10 malam. Kami menginap di sebuah hotel yang cukup terjangkau yaitu
250,000 rupiah untuk 3 orang. Udara di Ruteng sangat dingin sehingga kamar
hotel tidak diperlukan AC. Kami melepas lelah sambil membersihkan badan
karena selama island hopping kami tidak dapat mandi secara total. Kami bermalam di kapal dengan air seadanya. Namun, keadaan ini juga membuat saya
tersadar untuk tetap memikirkan teman yang lain di dalam keterbatasan dan
beradaptasi dengan keadaan.
Keesokan harinya, kami langsung keluar hotel dengan keadaan bingung. Kami
bertanya-tanya bagaimana cara untuk menuju Denge. Setelah beberapa saat
menunggu ada mobil yang tampak seperti angkutan umum. Di Flores, kebanyakan angkutan umum tidak memiliki nomor angkutan - tidak seperti di
Jakarta. Kami menanyakan kepada mereka apakah bisa mengantar kami ke
Denge. Akhirnya mereka menyetujui untuk mengantar kami ke Terminal Mena
dan mereka pun menghubungi rekan di sana untuk mengantar kami ke Denge.
Sesampainya di Terminal Mena, kami terkejut karena kendaraan yang akan ditumpangi adalah truk yang sudah dimodifikasi menjadi angkutan umum yang
diberi nama Oto. Untuk naik Oto, kami harus memanjat ban truk yang cukup
besar dan palang kayu sebagai pembatas di pinggir truk. Perjalanan dari terminal Mena ke Denge cukup membuat jantung berdebar. Kendaraan ini melaju
cukup kencang di jalan yang berliku-liku. Di samping kiri atau kanan, terdapat
jurang yang cukup curam, tetapi menyuguhkan pemandangan alam yang sa?
ngat indah.
Perjalanan ini memakan waktu sekitar 4,5 jam. Di Denge, kami langsung di?
sam?but oleh wanita yang mengajak untuk mampir untuk ke rumahnya. Rumah
beliau seperti masih setengah dibangun. Temboknya masih belum di cat,
Rumah adalah di Mana Pun
lantainya pun masih belum dipasangi keramik. Sebelumnya kami sudah meng?
utarakan keinginan kami untuk ke Wae Rebo. Di rumahnya kami langsung
disuguhi makan siang. Di rumah ini, tinggal beberapa keluarga. Mereka sangat
ramah terhadap para pengunjung. Mereka menawarkan diri untuk menjadi pemandu ke Wae Rebo. Kami sangat bersyukur sekali dipertemukan oleh mereka.
Akhirnya kami akan dipandu oleh Pak Sebastian untuk menuju ke Desa Adat
Wae Rebo. Kami sudah diberitahu akan mendaki sekitar 4 jam. Jujur, saya tidak mencari data apa pun tentang medan yang akan ditempuh. Hal yang saya
ketahui hanyalah kami harus trekking dan perjalanan yang ditempuh tidak bisa
dilalui oleh kendaraan. Dihantui rasa penasaran, saya pun bersemangat sekali
untuk memulai perjalanan ini.
Perjalanan dimulai pukul 14.30 siang, di tengah panas terik yang cukup menye?
ngat kami harus menanjak gunung. Mayoritas dari kami adalah wanita. Wanita
terkadang dianggap lemah untuk mengerjakan sesuatu hal yang memerlukan
tenaga dan usaha keras. Namun, tekad yang kuat membimbing saya untuk
terus melanjutkan perjalanan. Saya harus membuktikan bahwa wanita tidak
seperti yang dibicarakan, dianggap lemah dan mudah menyerah. Kesulitan ini
justru saya jadikan sebagai tantangan yang harus dituntaskan hingga akhir.
Tanjakan pertama benar-benar berat. Saya hampir menyerah karena jantung
saya sudah berdebar kencang dan keringat sudah seperti mandi. Teman saya
juga mengalami hal yang sama, napasnya sudah tidak stabil. Saya tidak terpikir
medan yang ditempuh akan seberat ini. Hal ini mungkin juga akibat saya tidak
punya pengalaman naik gunung dan jarang olahraga. Selain itu, bawaan saya
cukup berat karena berisi perlengkapan menginap.
Setiap 15 menit kami semua berhenti untuk beristirahat. Pak Sebastian hanya
tertawa saja melihat kami yang selalu kelelahan. Dia sudah terbiasa naik-turun
gunung untuk memandu wisatawan. Beliau sangat sabar dan terus memberikan semangat kepada kami agar tetap melanjutkan perjalanan. Selama
perjalan?an apabila kami bertemu dengan penduduk sekitar, mereka selalu
menyapa kami "Selamat siang" lalu mereka pasti akan menanyakan bagaimana
perjalanan kami dan memberi semangat. Betapa ramahnya orang Flores,
Rumah adalah di Mana Pun
saya sudah jatuh cinta dengan daerah ini sejak sampai pertama kali sampai
di Labuan Bajo. Rasa lelah yang dirasa selama perjalanan menjadi semakin
tenang jika bertemu dengan warga dan tambah semangat lagi untuk mencapai
Wae Rebo.
Salah satu rekan saya mengalami kelelahan yang cukup hebat di perjalanan.
Dia sering berhenti dan terserang kram di bagian paha. Pendakian ini meng?
ajarkan saya untuk tetap setia kawan dan tidak mementingkan ego sendiri.
Kita harus selalu berhenti di saat salah satu dari teman kita merasa kelelahan
walaupun sebenarnya kita masih kuat untuk terus melanjutkan perjalanan. Kita
memulai perjalanan ini bersama maka harus diakhiri bersama juga.
Tanjakan yang dilalui itu terkadang sangat tajam dan licin karena penuh de?
ngan bebatuan dan tanah kering. Kami sudah menanyakan kepada Pak Sebastian tentang binatang buas yang mungkin ada di sini, beliau menjawab yang
ada hanya ular saja. Mendengarnya saja sudah tidak terbayangkan. Melakukan
pendakian di sini saya sarankan untuk memakai celana panjang, mungkin lebih
baik celana jeans karena terkadang ada tanaman yang tajam dan bisa membuat
kulit berdarah atau gatal. Akhirnya kami sampai setengah perjalanan. Di sini
terdapat mata air yang terasa jauh lebih segar dari es apa pun juga yang biasa
kita minum. Pas sekali karena semua persediaan minuman kami telah habis.
Airnya sangat jernih dan dingin. Botol minuman pun bisa berembun karena
dinginnya air tersebut. Tempat ini memang biasa menjadi tempat peristirahat?
an para pendaki dan tempat bertemunya para warga yang memang ingin
beristirahat, atau sekadar untuk bercengkrama. Kami langsung isi ulang air minum kami dan bercengkrama dengan beberapa orang di situ yang sudah lebih
dulu duduk. Seperti biasa, mereka sangat ramah menyapa kami dan mena?
nyakan kesan-kesan perjalanan.
Matahari sepertinya terlalu cepat tenggelam, kami mempercepat langkah karena sedikit panik. Kami tidak bisa membayangkan apabila harus tetap berjalan di
kegelapan karena di samping kiri atau kanan dari jalan setapak tersebut adalah
jurang. Kalau tidak teliti dan fokus, akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Kami pun melanjutkan perjalanan di kegelapan dengan penerangan yang berasal dari handphone atau power bank yang kami punya. Kami saling menerangi
langkah teman kami yang di depan atau belakang supaya tetap bersama dan
Rumah adalah di Mana Pun
berada di jalurnya. Lalu Pak Sebastian pun mengatakan bahwa kami akan sampai sebentar lagi, dan benar saja setelah kami melewati sebuah jembatan, terdengar lolongan anjing yang menandakan sudah ada kehidupan di dekat kami.
Akhirnya kami sampai di tujuan, Desa Adat Wae Rebo.
Desa Adat Wae Rebo. Daerah pegunungan sangat identik dengan hawa dinginnya. Jaket yang dipakai tidak mampu menahan udara dingin yang menerpa.
Malam itu kami diminta menuju langsung ke 'niang? yang utama, yaitu tempat
pertemuan para pemimpin adat yang masih memiliki darah keturunan petinggi
adat. Niang berarti "rumah" dalam bahasa manggarai. Para pemuka adat menyambut kami dengan sapaan dan berbincang sedikit tentang perasaan kami
setelah mendaki cukup lama untuk mencapai ke sini. Suasana kekeluargaan
itu muncul lagi, suasana ini membuat siapa pun merasa nyaman. Rasa lelah
langsung mencair dalam suasana malam itu. Setelah itu kami disuruh menuju
niang untuk para tamu atau wisatawan.
Niang berbentuk lingkaran, atapnya terbuat dari jerami. Dinding dan lantai
niang terbuat dari kayu. Di dalamnya, terdapat beberapa tikar dilapis semacam
busa di bawahnya, sehingga terasa empuk untuk ditiduri. Tidak ada sekat di
dalam niang ini. Kamar mandinya berada di luar dengan air yang sangat dingin
karena berasal langsung dari pegunungan. Pada saat kami menginap di sana,
kami berbarengan dengan dua turis asing yang berasal dari Brasil dan Perancis. Mereka sudah lebih dulu sampai di sini daripada kami.
Rasa kantuk melanda pada saat sudah berbaring di atas tikar tersebut. Tibatiba ada seorang laki-laki yang mukanya seperti orang Jawa. Benar saja, ia
bernama Mas Sugi yang ditugaskan untuk mengembangkan ecotourism di sini.
Dia adalah pekerja LSM yang bergerak di bidang kepariwisataan yang dibiayai
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
oleh luar negeri. Dia menceritakan pengalamannya di sini yang sungguh meng?
inspirasi. Dialah yang mengajarkan para ibu memasak walaupun sebenarnya
ia tidak bisa memasak. Resep itu hanya dia dapatkan dari internet. Tujuannya adalah supaya para ibu dapat memasak yang lebih bervariasi untuk para
wisatawan yang datang. Dia bercerita juga tentang perjuangan anak-anak Wae
Rebo yang tidak tinggal di rumah hanya untuk sekolah. Kebanyakan dari mere?
ka bersekolah di Denge. Jadi ada sebuah penginapan khusus untuk anak-anak
Rumah adalah di Mana Pun
tersebut dan mereka akan pulang ke Wae Rebo satu minggu sekali. Mereka
harus jauh dari orang tua di umur mereka yang sedang membutuhkan pengawasan dan perhatian orang tua. Dia juga menceritakan proyek dari LSM tempat
ia bernaung, dan apa yang menjadi tugasnya. Saya salut sekali dengan Mas
Sugi yang rela meninggalkan keluarga demi pekerjaannya yang mulia, untuk
melestarikan pariwisata Indonesia.
Kami bersenda gurau di suasana malam yang hangat. Lalu Mas Sugi memberikan buku tamu yang diisi oleh semua wisatawan yang pernah singgah di Wae
Rebo. Ternyata sudah banyak sekali wisatawan mancanegara yang berkunjung
di sini. Sekali lagi saya bangga karena telah menjadi warga Indonesia yang
memiliki banyak kebudayaan yang sangat indah dan unik. Dalam hati, saya
bertekad untuk ikut melestarikan warisan budaya Indonesia.
Di tengah-tengah perbincangan, para ibu menyediakan makan malam untuk
kami. Aku melirik Mas Sugi sambil tersenyum. Pasti resep ini berkat Mas Sugi,
pikir saya dalam hati. Kami makan dengan lahap bersama 2 wisatawan a?sing
tersebut. Mereka pun tampak sangat menikmati. Setelah selesai makan, kami
keluar dari niang untuk melihat bintang. Sungguh indah melihat taburan bintang di langit yang gelap. Ini adalah pemandangan yang jarang saya lihat di Jakarta. Mungkin karena sudah banyaknya polusi yang menutupi langit ibukota.
Di sini, tidak terdapat sinyal seluler sama sekali sehingga memang sulit untuk
berkomunikasi dengan keluarga. Tidak mengapa, sebab terbayar dengan keindahan alam yang bisa dinikmati secara utuh, tanpa ada kelekatan dengan media sosial. Tak terasa hari sudah mulai larut malam, kami pun harus beristirahat
untuk bangun pagi di keesokan harinya untuk melihat upacara kematian salah
satu penduduk desa.
Alarm saya sudah berbunyi. Saya sengaja memasang alarm di saat matahari
terbit karena ingin melihat sang fajar keluar dari balik pegunungan. Udara
dingin di luar tak mengurungkan niat saya untuk melihat matahari terbit. Saat
yang dinanti datang juga, matahari itu perlahan muncul dari balik pegunungan.
Sinarnya menyinari paparan pohon hijau di pegunungan. Setiap detik di sini
adalah kekaguman, ketentraman, keindahan, kekeluargaan, keakraban, dan
Rumah adalah di Mana Pun
kehangatan. Saya bersyukur dan berterima kasih kepada Sang Pencipta karena
telah mengizinkan saya untuk melihat keindahan ciptaan-Nya. Kami mengabadikan lukisan alam ini.
Selang beberapa waktu, aktivitas mulai terlihat. Beberapa bapak menjemur
kopi khas Manggarai yang sangat enak. Biji kopi ini sangat harum, dan akan
langsung ditumbuk apabila ada wisatawan yang membeli. Sudah beberapa kali
saya disuguhi kopi hitam khas Manggarai ini dan terasa enak di lidah. Hangatnya sangat pas bila diminum di daerah pegunungan yang dingin.
Waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi, menandakan dimulainya upacara
adat peringatan kematian warga desa tiga hari yang lalu. Upacara dimulai dari
penyembelihan babi hutan yang dijadikan sesaji untuk para leluhur. Setelah
disembelih, hati babi harus diambil untuk sesaji. Hati babi yang diambil tidak
boleh ada yang cacat, jadi perlu keahlian juga untuk memotongnya karena apabila tidak utuh, sesaji dianggap tidak layak bagi para leluhur. Sesaji itu sebenarnya juga untuk menebus kesalahan yang sudah dibuat oleh orang yang sudah
meninggal tersebut. Setelah prosesi itu, kami diminta masuk ke dalam niang
yang khusus untuk pertemuan atau rapat para warga. Di sana, sudah berkumpul beberapa warga yang sedang duduk-duduk sambil menunggu prosesi selanjutnya. Saya duduk di antara para "mama," sebutan untuk ibu-ibu yang ada
di sana.
Prosesi selanjutnya adalah melempar hati babi yang tadi dipotong dan nasi
ke lantai sebagai simbol persembahan. Para tetua adat memakai sorban yang
diikatkan di kepala. Mereka berbicara dengan bahasa Manggarai untuk membuka prosesi tersebut. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan makan bersama.
Kami baru saja disuguhi sarapan oleh para ibu di tempat kami menginap. Kami
sempat menolak karena sudah kenyang, tapi mereka mengharuskan kami
untuk mengambil sedikit saja untuk syarat. Makanan yang disuguhkan yaitu
sayur labu beserta daunnya yang dimasak dengan kuah bening dan nasi. Di
sela-sela makan bersama saya berbincang-bincang dengan para mama. Mere?
ka semua sangat lucu dan senang bercanda. Mereka bercerita kalau mereka
belajar bahasa Indonesia dari para wisatawan yang datang. Mereka juga bilang
kalau mereka ingin sekali berbincang-bincang dengan turis asing asal Brazil
yang datang karena mereka merasa kasihan seolah-olah meninggalkannya
Rumah adalah di Mana Pun
sendirian, tetapi sebenarnya karena mereka tidak bisa berbahasa Inggris.
Akhirnya saya membantu berbicara dan menyampaikan maksud para Mama
kepada turis asing tersebut. Dia pun akhirnya mengobrol bersama kami dan dia
juga bercerita kalau dia dan pacarnya mengetahui Wae Rebo dari internet.
Saya menyempatkan diri bermain ke dapur tempat para ibu memasak. Dapur
ini sangat tradisional, masih menggunakan tungku untuk memasak. Saya pun
bermain-main dengan beberapa anak kecil yang sangat menggemaskan. Aroma kekeluargaan yang kuat tercium di sini. Setiap orang saling bertegur sapa,
berbincang-bincang, dan gotong royong. Hal ini yang jarang saya temukan
di Jakarta, bahkan di daerah tempat tinggal saya sendiri. Penduduk di daerah
perkotaan yang berkembang khususnya Jakarta, cenderung individualis. Tidak
semua orang peduli satu sama lain, mereka sibuk dengan urusannya masingmasing.
Setelah upacara selesai, kami berfoto bersama dengan warga yang masih ada
di tempat rapat lalu kami kembali lagi ke niang tempat kami bermukim untuk
membereskan perlengkapan untuk kembali lagi ke Labuan Bajo. Sebelum itu
kami mengambil kopi yang kami sudah pesan sebelumnya. Kami masuk ke
niang yang dipakai untuk tempat tinggal mereka. Satu niang dapat dihuni untuk beberapa kepala keluarga. Di dalamnya, ada beberapa sekat ruangan yang
cukup untuk tidur saja. Sebenarnya, kami harus membeli kopi dari kelompok
para mama yang mendapat giliran untuk menjamu kami, tetapi kami berpikir
untuk berbagi rezeki kepada warga yang lain.
Tibalah saat yang paling saya tidak suka, apalagi kalau bukan perpisahan.
Sebelum meninggalkan desa, salah satu warga meminta izin mengambil foto
kami satu-persatu. Ini merupakan salah satu tradisi mereka. Mungkin sebagai
kenang-kenangan. Berhubung berfoto adalah hobi saya, maka saya pun segera
mengiyakan. Setelah itu kami benar-benar berpisah, sedih rasanya meninggalkan desa ini. Desa adat yang penuh dengan keramahan dan kekeluargaan.
Dalam perjalanan pulang, setelah turun dari Wae Rebo, saya kembali terkenang. Di dalam oto kol menuju pusat kota, saya memandangi pepohonan dan
jalan jalan yang seolah menjauh, meninggalkan kami. Ini hal yang terberat bagi
Rumah adalah di Mana Pun
saya karena Wae Rebo merupakan tujuan terakhir saya di Flores. Dan, ternyata
yang termanis. Tadi, saat mengantar keberangkatan kami, bahkan anak-anak
kecil, Pak Sebastian, dan saudara-saudaranya turut mengantar kepergian kami.
Anak-anak pun mengikuti oto kol yang kami tumpangi. Sungguh tidak pernah
saya sesedih ini pada saat traveling. Mata saya otomatis berkaca-kaca, seperti
berpisah dengan keluarga. Terutama dengan Pak Sebastian yang selalu sabar
memandu kami untuk mencapai tujuan.
Wae Rebo tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya. Saya sudah
terpikat pada Wae Rebo. Saya merasa beruntung pernah mengunjungi Desa
Adat Wae Rebo. Desa yang mendapatkan penghargaan paling tinggi oleh
UNESCO Asia Pasific Awards 2012 yaitu "Award of Excellence." Begitu juga
dengan Flores, tempat yang sangat indah baik pemandangan alam maupun
penduduknya. Saya selalu dibantu oleh penduduk di sini dan diberikan petunjuk serta diarahkan ke orang yang bisa mengantarkan kami dari satu tempat
ke tempat lainnya. Terima kasih Flores, Terima Kasih Wae Rebo. Kami bangsa
Indonesia sangat bangga memiliki kalian. Saya cinta Indonesia!***
Chlara Shinta Dewanti Ramadhani lahir di Yogyakarta pada 27 Maret 1990. Menyelesaikan kuliah D3 di FISIP UI pada tahun 2010 dan melanjutkan studi untuk
memperoleh gelar sarjana di Universitas Mercu Buana. Memiliki hobi traveling
terutama yang berhubungan dengan alam. Pantai adalah tempat favoritnya untuk
berlibur. Langit, laut, dan pasir putih adalah paduan yang sempurna. Facebook:
Chlara Shinta Dewanti Ramadhani, twitter: @clrsnt, blog: travelerstrick.blogspot.
com, Instagram: chlarashintadr.
Rumah adalah di Mana Pun
Melarung Ingatan Tentangmu di Bromo
Silvani Habibah
emoga kakak-kakak selamat dalam perjalanan seterusnya, yah. Kakak
percaya tidak bahwa pertemuan kita ini sudah diatur Tuhan? Ya, kak,
saya memang Hindu tapi saya percaya dengan ajaran islam yang meng?
ajarkan tentang ada surga, neraka, dosa, pahala, takdir, dan kekuatan doa.
Saya sebagai sopir taksi tidak mau bohong-bohong karena saya percaya dosa.
Tuhan yang mempertemukan, dan doa orang tua kakak kepada Tuhan untuk
memohonkan keselamatan bagi anaknyalah yang akhirnya membawa sopir
taksi ini, yaitu saya. Kakak-kakak ini adalah wujud Tuhan yang mengabulkan
doa saya, supaya mendapat rezeki hari ini. Jadi inilah yang disebut takdir Tuhan"
Dipertemukan oleh Takdir Tuhan. Kata-kata itu diucapkan oleh seorang sopir
taksi di Kuala Lumpur. Hingga sekarang, kalimatnya melekat di benak, seperti
sebuah palang yang dipakukan ke dinding. Mungkin kata-kata itu akan terasa
biasa saja atau sekadar obrolan santai penumpang dengan sopir taksi, tapi bagi
saya yang sedang rapuh, itu sangat berarti. Menyejukkan, sekaligus menentramkan. Saya mulai bisa memahami dengan lapang hati, bahwa pertemuan
dengan lelaki yang telah meninggalkan luka itu adalah juga takdir Allah. Buat
apa menyesalinya; semua terjadi untuk sebuah alasan: bahwa Tuhan ingin aku
menjalani dan merasakannya.
Jika hatimu terluka maka bawalah kakimu tuk melangkah. Pepatah itu sangat
cocok untuk saya. Berlari dari kenyataan, mungkin. Melupakan masalah se
jenak, mungkin. Saat saya sudah mengenal apa itu galau, saya sudah terbiasa
untuk keluar rumah untuk sekadar mencari angin segar, duduk-duduk di pinggir danau, ke museum, atau keliling naik motor atau sepeda. Semakin dewasa,
kaki ini membawa diri untuk berjalan lebih jauh, sejauh mungkin melepaskan
masalah untuk sementara.
Peristiwa beberapa tahun lalu merupakan titik terendah dalam hidup saya, patah hati telah "sukses" membuat saya kalut. Lelaki itu saya temui saat melakukan perjalanan, memberi kebahagiaan namun akhirnya juga meninggalkan luka
yang membekas. Proses penyembuhannya membuat saya berjalan semakin
jauh, ke banyak tempat. Bandung, Batam, Singapura, Malaysia. Menjauh, menjauh, menjauh. Menjauh dari dia yang suka menarik saya kembali ke titik minus
saat saya sedang merangkak menggapai angka satu.
Selepas dari Malaysia, saya belajar memaafkan dia dan diri sendiri. Perjalanan
berikutnya, yaitu ke Bromo, merupakan destinasi yang tepat untuk mencetuskan niat saya: kamu harus bisa move on mulai detik ini.
Ini kali pertama saya melakukan perjalanan jauh seorang diri, walaupun di tempat tujuan sudah ada teman tetapi berangkat seorang diri ke luar kota cukup
membuat orang tua saya was-was. Cukup sulit meyakinkan orang tua agar
percaya saya akan baik-baik saja. Yah apalagi kalau tahu anaknya punya tujuan
lain dalam melakukan perjalanan ini, menyembuhkan luka.
Dua hari keliling Surabaya, saya sempat mampir ke House of Sampoerna dan
Masjid Cheng Ho. Sore harinya saya bertolak ke Malang karena tepat malam
harinya saya sudah harus bertualang lagi. Tanggal 22 desember 2012, pukul
00.00 saya berangkat ke Bromo, bertemu Gina di dekat Universitas Malang.
Gina adalah teman SD saya. Saat saya mengutarakan niat akan ke Surabaya
dan Malang, dia mengajak saya bertemu dan kami merencanakan perjalanan
ke Bromo. Dia "mencari massa" dari teman-teman kursus bahasa Inggrisnya
di Pare. Gina, Wulan, Idza, Iip, Bintang, Wais dan Aip sudah siap tempur malam
itu. Dengan menyewa motor dari Pare, kami siap menuju Bromo.
Rumah adalah di Mana Pun
Mengawali perjalanan dengan tertawa-tawa dan foto-foto, dengan perbekalan
seadanya kami berangkat, bahkan saya tidak membawa minuman atau makanan. Persiapan kami adalah memakai baju berlapis-lapis. Kak Silvi, teman saya
yang menampung saya selama di Malang membekali saya syal Arema, katanya
tidak cukup dengan baju rangkap tiga. Jangan lupa pakai kaus kaki, sepatu,
sarung tangan dan masker. Selain itu, rupanya saya tetap harus pakai celana
yang hangat, celana jeans tidak akan cukup menangkal dinginnya Bromo di
malam hari.
Kami melewati jalur Pasuruan untuk memulai pertualangan ini. Kami mulai
memasuki desa sekitar kawasan Bromo. Saya tidak dapat memperkirakan ada
di desa mana saat itu karena jalan sangat gelap, dan keadaan mulai mencekam.
Jalan mulai bertambah gelap, kemudian motor Aip dan Bintang kehabisan bensin. Akhirnya kami membangunkan warga yang menjual bensin. Alhamdulllah
mereka mau menolong. Kami masih melanjutkan perjalanan. Perjalanan terasa
semakin mencekam, udara semakin dingin, jalan semakin curam dan samping
kanan-kirinya adalah jurang. Motor saya dan Iip sempat tergilincir di tanjakan
yang sangat curam; andai kami tidak sigap, bisa saja masuk jurang. Aip dan
Gina juga jatuh, untungnya jatuh di jalan biasa, bukan di tanjakan seperti kami.
Akibat kejadian itu, kami semakin memperdekat jarak, menyalakan lampu sign
untuk memfokuskan konsentrasi, dan memberi tanda.
Udara yang dingin dan malam yang makin larut membuat mata mengantuk,
Wulan dan Idza sempat terpejam tapi saya tidak bisa terpejam sedikit pun,
keadaan jalan dan udara yang ekstrem mengusir rasa kantuk saya. Pegangan
saya tidak lepas dari jaket Iip yang sudah dingin pula. Saya hanya mampu bertasbih dan berusaha tenang saat dibonceng agar tidak merusak konsentrasi Iip.
Malam itu adalah malam terpanjang bagi saya. Aip yang ada di depan membelokan motornya ke tempat yang terparkir banyak mobil jeep, saya pikir sudah
sampai tetapi kami hanya beristirahat dan waktu baru menunjukan pukul
02.30. Perjalanan masih panjang kata Bintang.
"Selamat Datang di Desa Ngadiwono" itulah yang tertulis di sana. Di sana ba?
nyak persewaan mobil jeep, kami melanjutkan perjalanan karena bapak-bapak
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di sana memperingatkan kami agar segera berangkat lagi, khawatir kabut keburu turun. Kami segera melanjutkan perjalanan dengan udara yang semakin
Rumah adalah di Mana Pun
dingin, tetapi perjalanan selanjutnya agak lebih baik karena sudah banyak motor-motor lain yang lewat, terutama mas-mas ojek Bromo berban motor besar.
Tarif satu mobil jeep Rp350.000 dan ojeknya Rp50.000.
Pemandangan kota dari kawasan Bromo sangat indah, lampu-lampu berpijar
digelapnya kota, bagaikan kelap-kelip sinar yang mulai memberikan titik-titik
terang di kegelapan hati saya. Saya membayangkan, ada sinar di sana yang
menuntun saya untuk pindah ke lain tempat. Toh gelap tidak akan dikenal gelap
tanpa adanya sinar, jika hatimu gelap maka carilah sinarnya. Jangan biarkan
kegelapan itu terus menyelimuti.
Saya dan Iip tidak henti-hentinya berdecak kagum dengan keindahan kota dini
hari itu. Akhirnya kami sampai di pintu masuk wisata Bromo pada pukul 03.30.
Kami membeli tiket masuk seharga Rp12.000 untuk 1 motor (dua orang). Saya
mengucap syukur sudah sampai di pintu masuk yang berarti sudah dekat,
tetapi kami masih harus menyusuri jalan gelap dan curam lagi sekitar sete?
ngah jam. Pukul 04.00, kami sampai di Penanjakan untuk berburu matahari
terbit. Alhamdulillah. Udara semakin dingin, Wulan sampai menyewa jaket
panjang seharga Rp10.000. Saya dan Gina membeli sarung tangan lagi, ditawar
dapat harga Rp5000 dari harga awal Rp15.000. Memang di sana harus jago
menawar, hehehe.
Saat sampai di Pananjakan hari masih gelap, tetapi orang-orang sudah
memenuhi pinggiran pagar untuk mendapatkan tempat terbaik membidik
lukisanNya pagi itu. Matahari mulai bangun dari tidurnya, malu-malu memancarkan sinar jingga kepada dunia, pengunjung sudah menyiapkan kuda-kuda
agar tidak ketinggalan momen bangunnya Sang Fajar. Matahari di ufuk timur
seakan memberikan kehangatan untuk hati yang sedang berusaha menyembuhkan luka, menyusup memberikan dekapan yang hangat, menerangi hati
yang diselimuti awan hitam. Tiga gunung mulai beradu kecantikan, merebut
perhatian saya. Di bawah sinar jingga, Bromo, Batok dan Semeru membuat kamera pengunjung tak henti-hentinya berpindah ke sana ke mari. Seolah napas
saya terhenti selama beberapa saat, mengagumi trio gunung itu. Megah, cantik,
mewah, dan entah kata apalagi yang dapat melukiskan perpaduan itu.
Rumah adalah di Mana Pun
Saya sengaja memejamkan mata, dan dalam hati berteriak pada semesta:
terima kasih, terima kasih atas keindahanmu! Kegagahan tiga gunung itu seolah menggoyangkan pohon luka di hati. Kecantikan lukisanNya yang dipadu
dengan iringan awan putih membuat saya malu dengan kejelekan hati ini yang
masih saja menyesali semua Takdir Allah.
Waktu sudah menunjukan angka 5, Gina mulai menggiring kami untuk salat
subuh tapi ternyata dia sudah salat duluan. Mushola di sana seadanya, hanya
ruangan kosong saja, jadi harus bawa mukena dan sarung. Ambil wudhu di
sana itu seperti ambil wudhu pake air es. Brrr, dingin sekali. Selesai salat, kami
mengganjal perut dan minum kopi dahulu di warung, harganya selangit deh.
Hahaha, tetapi yah daripada kedinginan dengan perut kosong. Mie instan dan
kopi di Penanjakan adalah yang ternikmat yang pernah kurasakan, ya mungkin
karena kenikmatan berbanding lurus dengan suasana hati yang sedang bahagia.
Setelah makan, kami meluncur ke Lautan Pasir Bromo. Jalan menuju ke sana
tidak kalah curamnya, malah lebih curam. Apalagi hari sudah terang membuat
kami lebih merasakan kecemasan yang berlipat, jurang-jurang di sana terlihat
jelas. Saat malam kami hanya mengira-ngira keadaan jalan, merinding saat sadar jalan seperti itu yang kami lewati tadi malam. Wuiihh, tidak terbayang kalau
kehabisan bensin atau ban bocor.
Akhirnya, kami sampai di lautan pasir, atau yang biasanya disebut pasir berbisik. Saya kembali dibuat terkesima, Gunung Batok yang tinggi, berdiri kokoh
di lautan pasir, dihiasi awan cantik yang hilir mudik bertemankan langit biru
yang cantik. Gunung Batok begitu dekat dan saya merasa begitu. Maka, kegalauanmu hanyalah seperti salah satu butiran-butiran pasir di hamparan pasir
yang jumlahnya miliyaran. Rasa malu itu lagi-lagi memeluk hati ini, kegalauan
yang kecil saja bisa membuat saya menyesali Takdir Allah. Sungguh orang
yang tidak bersyukur. Maafkan saya, Ya Allah.
Kami kembali berusaha naik motor di lautan pasir ini hingga sampailah kami
di lautan jeep, ini adalah tempat untuk naik ke kawah. Di sana, banyak jeep dan
Rumah adalah di Mana Pun
kuda berparkir. Hehehe Naik ke atas kawah itu jalannya jauh melewati banyak
anak tangga, melihatnya saja capek. Bisa naik kuda sampai tengah perjalanan,
tetapi tarifnya itu selangit, Rp100.000 pergi pulang. U+ntuk kantong backpacker seperti saya sih lebih baik uangnya untuk beli makan. Yang naik ke atas
hanya Wulan, Bintang dan Aip. Yang lain memilih tidur di atas banner Fabulous
yang digelar di pasir dengan pemandangan hamparan jeep, Fabulous adalah
nama tempat les mereka di Pare. Hari semakin panas tetapi udara tetap dingin,
saya saja enggan melepaskan jaket. Mereka yang tidur merasa semakin panas,
akhirnya berinisiatif tidur di mushola. Sebenarnya tepat di belakang kami, ada
kamar mandi dan mushola, musholanya tidak begitu besar tapi cukup nyaman,
karena kecil mungkin tidak enak kalau tidur di sana tapi mereka sudah tidak
tahan, akhirnya saya yang menjaga tas-tas mereka dan mendapat pandangan
sinis dari penjaga kamar mandi. hahaha tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa,
kasian melihat teman-teman yang tidak kuat menahan kantuk. Setelah pandangan itu semakin menjadi dan mengusir dengan halus, mengepel tempat
saya duduk, akhirnya dengan tidak tega saya membangunkan Idza, Gina, Wais
dan Iip.
Tidak lama datanglah ibu dan bayinya, kemudian si Ibu menidurkan anaknya di
karpet mushola. Dan ada gadis yang umurnya tidak jauh dengan saya bersamanya, ternyata dia berasal dari Blitar dan ke Bromo untuk berjualan. Dia ha?
nya sesekali pulang ke kampungnya. Ternyata kawasan wisata Bromo memang
harta karun bagi warga sekitar, banyak orang yang bergantung padanya. Dan
lagi saya merasa tersindir, gadis sebaya dengan saya harus mencari nafkah
jauh dari kampung halamannya sedangkan saya ke Bromo hanya untuk lari sejenak dari kenyataan, betapa kurang bersyukurnya diri ini yang sudah diberikan
banyak nikmat, masih saja mempertanyakan TakdirNya.
Setelah mengobrol dengan mereka berbarengan juga dengan Aip, Bintang dan
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama