Ceritasilat Novel Online

Pengantin Kecilku 2

Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono Bagian 2

pergelangan tangan dan jari jarinya, juga penitinya.

Ada yang tampak berlebihan pada diri mereka, sementara kau dan keluargamu selalu tampil pas tetapi

anggun!"

Nunik tertawa lagi.

"Kau fanatik terhadap keluarga kami!" katanya.

"Sudah ah, aku tak mau bicara mengenai hal-hal

semacam itu lagi. Lebih baik bicara tentang hal-hal

lain. Aku belum menceritakan bahwa siang tadi aku

mengobrol lama dengan ibumu."

"Wah, apa saja yang kalian obrolkan?"

"Banyak. Antara lain membicarakan dirimu," sahut

Nunik, merasa senang dapat mengalihkan pembicaraan. Meskipun ia turunan bangsawan tinggi, tetapi ia

menganggap itu bukan hal yang istimewa. Semua itu

adalah ciptaan manusia. Bukan ciptaan Tuhan. Tuhan

tak pernah membeda-bedakan manusia. Bagi Nunik

yang penting adalah kebangsawanan atau kepriyayian

sikap. Dan itu bisa dipelajari. Bukan karena asalusul yang menyangkut darah atau keturunan.

"Kok membicarakan diriku? Seperti tidak ada pembicaraan lain yang lebih baik saja!" tawa Wawan.

"Masalahnya karena Bu Marto itu mengkhawatirkan dirimu."

"Kenapa? Karena aku belum belum juga menikah?"

"Nah, kau sudah tahu itu!"

"Tentu saja aku tahu. lbu selalu menyinggung hal

itu di setiap kesempatan. Seolah aku ini tak mungkin

mengalami kebahagiaan kalau tidak menikah!"

"Semua ibu berpendapat demikian, meskipun kehidupan perkawinannya sendiri barangkali juga kacauv _

balau. Aku rasa, itu ada kaitannya dengan keturunan.

Mereka ingin melihat cucu-cucu mereka. Dan khusus

bagi Bu Marto, itu bisa dimengerti. Kau adalah anak

satu-satunya."

"Memangnya mempunyai anak itu gampang?

Tanggung jawabnya kan besar. Apalagi di zaman

sekarang yang segalanya serbaantre, serba berebut,

di sekolah, di tempat tempat pelayanan umum, di

kendaraan-kendaraan, bahkan di rumah-rumah sakit

sekalipun. Belum lagi berebut menempati lowongan

pekerjaan!"

"ltu kalau kita memikirkannya sampai sejauh itu.

Tetapi bagi ibu-ibu kita kan lain lagi. Anak adalah

karunia. Waktu aku beium juga mempunyai anak di

tahun kedua perkawinanku, ibuku ribut sekali. Apalagi sesudah menginjak tahun keempat. Tetapi ketika

adikku memberinya cucu, aku tak lagi terlalu didesakdesaknya."

"Apakah kan sudah pernah mencoba minum jamu

Jawa, Jeng?"

"Belum pernah." Nunik menjawab pertanyaan

Wawan tadi dengan enggan. Ia tidak menyukai perubahan pembicaraan yang kini menyangkut tentang

dirinya.

"Tetapi mencoba pengobatan secara tradisional perlu juga to, Jeng. Jadi, jangan hanya usaha secara

medis saja!" kata Wawan lagi, tanpa mengerti bahwa

kata-katanya membuat Nunik merasa jengkel.

"Ah, kau sama saja seperti ibuku dan ibumu!"

gerutu Nunik.

"Kok sama? Apanya?"

"Cara kalian berpikir mengenai perkawinan. Apakah kebahagiaan sebuah rumah tangga itu tergantung

kepada ada atau tidaknya seorang anak di dalam

perkawinan itu?"

"Oh, ya tidak. Ada banyak pasangan suami-istri

tidak mempunyai anak tetapi merasa bahagia karena

hidup mereka terasa berarti. Ada yang membesarkan

anak anak orang lain tanpa pamrih. Ada yang mengisi

kesibukan bermanfaat berdua-duaan sampai tua dalam

kedamaian dan kerukunan. Dan banyak lagi. Sementara itu ada yang mempunyai beberapa anak tetapi

merasa tak bahagia. Mungkin anaknya kurang ajar,

atau mungkin begini atau begitu. Itu aku sadari,"

sahut Wawan dengan suara sabar seperti biasanya.

"Tetapi sebagai manusia yang normal, apa salahnya

kalau seseorang berusaha mempunyai anak dan mendidiknya sebaik mungkin agar menjadi insan yang

berguna bagi nusa dan bangsa, agama, dan keluarga.

Ya. kan?"

"Lalu kausarankan aku supaya mencoba minum

jamu penyubur?" dengus Nunik. "Iya'?"

"Lho, apa salahnya? Mumpung kau sedang di

sini. Kau juga harus menyadari, bahwa salah satu

dari tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga."

"Sudahlah, aku tahu maksud baikmu, Mas Wawan.

Tetapi itu semua sudah tak relevan lagi untukku.

Lagi puia, kita kan sedang membicarakan dirimu,

kok berubah arah membicarakan diriku!"

""Pembicaraan tentang diriku bukankah sudah selesai?" seringai Wawan. "Wah, jadi rupanya aku

inilah tokoh beritanya."

Nunik tertawa melihat seringai lucu di wajah

lelaki itu.

"Aku cuma mau mengingatkanmu mengenai kekhawatiran Bu Marto terhadap kesantaianmu menghadapi hari esok dalam hai urusan berumah tangga.

Meskipun kau masih termasuk muda, tetapi untuk

ukuran jejaka kan sudah hampir masuk golongan

jejaka tua. lho. Sudah saatnya kau memikirkan per

kawinan. Apalagi calonnya sudah ada. lbumu sudah

ingin menimang cucu!" katanya kemudian.

"Mempunyai anak itu tidak gampang" suara

Wawan terhenti oleh tawa Nunik yang semakin bernada geli. "Kok tertawa?"

-"Karena kau itu lucu. Pikiranmu itu seperti angin

yang sulit ditebak arah embusannya. Tadi kau bilang

mempunyai anak itu tidak gampang dan besar tanggung jawabnya. Tetapi kausuruh aku minum jamu

jawa biar subur. Sekarang mau bilang lagi, mempunyai anak itu tidak gampang. Lalu yang mana sih

pendapatmu yang benar?"

"Semuanya benar!" Wawan ikut tertawa. "Tetapi

sesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Begitu lho.

Situasi dan kondisimu tentu lain dengan situasi dan

kondisi yang kuhadapi!"

"Ah, kau tahu apa!" Nunik mulai menggerutu

lagi. "Yang sudah jelas tampak padamu, kau itu

sudah mempunyai calon yang memenuhi semua persyaratan. Dia cantik, pandai, baik hati, dan tampaknya

juga sudah siap mendampi'ngimu."

"Kau berpendapat begitu, Jeng?"

"Ya. Sebab mau cari yang bagaimana lagi"? Dik

Astri itu sudah mendekati sempurna, sedangkan di

dunia ini tidak ada yang sempurna, kan?"

"Mmm, kalau begitu pendapatmu, aku akan mulai

memikirkan apa yang diinginkan oleh ibuku.

_ Tunggulah tanggal mainnya!"

"Wah, itu artinya tak lama lagi aku akan menerima

kartu undangan. Boleh kan berharap demikian?"

"Boleh saja," Wawan menjawab kata-kata Nunik

dengan kalem. "Nah, sekarang ganti membicarakan

dirimu. Sejak kedatanganmu kemarin, aku masih

belum tahu betul bagaimana keadaanmu selama ini?

Apa pekerjaanmu, bagaimana suamimu, tinggal di

mana kalian, dan apa kesibukan sehari-harimu belum

kauceritakan kepadaku. Padahal sudah sepuluh tahun

kita tidak berjumpa. Ingin sekali aku mengetahui

keadaanmu, Jeng. Tentu boleh aku mengetahuinya?"

"Kenapa tidak?" sahut Nunik dengan suara lirih.

"Cuma saja, aku tak yakin apakah cerita tentang

diriku itu cukup menarik untuk didengarkan."

"Tentu saja menarik, karena aku sungguh-sungguh

ingin. mengetahuinya. Bukan cuma sekadar basa-basi

percakapan !"

"Tetapi ceritanya panjang Sekali. Apakah tempat

yang kita tuju masih jauh dari sini?"

"Sekitar delapan atau sembilan menit lagi!"

"Kalau begitu, ceritanya nanti saja!"

Wawan menurut. Memang tidak enak bercerita

dalam suasana yang kurang tepat. Apaiagi perhatian

keduanya bisa terpecah karena memikirkan waktu

yang sempit dan tujuan memenuhi undangan. Jadi

akhirnya mereka mengobrol tentang hal-hal yang

ringan hingga sampai ke tujuan.

Nunik yang sudah terbiasa bergaul dengan pelbagai

macam lapisan masyarakat dan sering mendapat

undangan makan malam di mana-mana, dengan luwes

dapat menyesuaikan diri di tempat yang belum

dikenalnya itu. Wawan kagum melihat kemampuannya

itu. Lebih-lebih karena hampir semua orang yang dikenalkannya kepada perempuan itu menyukainya.

Bahkan salah seorang yang menyangka Nunik mem

punyai hubungan khusus dengannya1 berbisik diamdiam di telinganya.

"Kuharap kali ini kami akan segera mendapat

undangan perkawinan darimu, Mas Wawan. Dia

sungguh-sungguh istimewa!"

Pipi Wawan agak merana mendapat bisikan seperti

itu. Tetapi ia tak berani membantah. Saatnya kesempaten untuk melakukannya tak ada. Namun biarpun

tak banyak, kataukata temannya itu cukup mengganggu perasaannya sampai pesta makan malam itu

usai. Hal itu membuat Wawan sendiri heran. Oleh

karena itu kejanggalan yang terasakan uiehnya tadi

disingkirkannya jauh-jauh dari hatinya. Ia tak ingin

merusak suasana batin sendiri.

Di dalam perjalanan pulang kembali ke rumah,

Nunik mengucapkan terima kasih atas ajakannya ke

undangan makan malam itu.

"Makanannya luar biasa enak!" katanya kemudian.

"Aku jadi merasa tak enak sebab mestinya bukan

aku yang menemanimu tadi. Tetapi Dik Astri. Ada

beberapa sorot mata spekulatif dari teman temanmu

tadi ketika menatapku. Aku merasa risi karenanya!"

"Ah, jangan dihiraukan," sahut Wawan, sama seperti yang dikatakannya kepada hatinya sendiri. "Itu

kan hal yang wajar. Mereka baru melihatmu, sedangkan kau malam ini memang tampak memukau."

"Ngawur saja!"

"Tidak, aku tidak ngawur. Kau memang mengagumkan, Jeng!"

"Ab, aku tak merasa demikian. Tetapi yang penting

aku ingin mengingatkanmu satu hal yang patut kau

garisbawahi, Mas!" sahut Nunik serius. "Khususnya

di masa mendatang."

"Tentang?"

"Tentang caramu memperlakukanku. Seperti memujiku terang-terangan dan tentang hal-hal semacam

itu yang. dulu semasa kita masih kecil hingga remaja

tak menjadi masalah. Sekarang semua itu harus kita

pikirkan akibatnya bagi orang lain. Dalam hal ini

adalah perasaan Dik Astri. Aku tak mengatakan

keadaan di antara kita yang begini akrab ini akan

mendatangkan rasa cemburu kepadanya. Tetapi kalau

perasaan tak enak, itu pasti. Sebab seandainya kekasihku masih tetap akrab dengan bekas teman masa

kecilnya dan bahkan tak ada basa-basi di antara

mereka, aku pasti bukan saja akan merasa tak enak,

tetapi juga merasa cemburu!"
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau terlalu jauh berpikir, Jeng!"

"Ah, kau tahu apa mengenai hati perempuan sih!"

gerutu Nunik. "Jangan meremehkan hal-hal kecil

yang sebenarnya bisa berakibat besar lho!"

"Aku tak mau bicara hal-hal seperti itu. Sekarang

aku hanya ingin bicara mengenai dirimu saja. Kau

sudah berjanji akan menceritakan tentang dirimu

sejak kita berpisah sampai sekarang ini. Tahun-tahun

itu adalah hubungan yang hilang di antara kita. Aku

ingin menguntainya kembali. Kehidupanmu amat penting bagiku untuk kuketahui!"

Wajar sekali kata-kata Wawan itu. Tetapi bagi

Nunik, maknanya terasa menyentuh hingga ke relung

batinnya. Wawan masih seperti dulu, selalu memperhatikannya, menjadikan dirinya sebagai bagian dari

kepentingannya.

"Sebelum kumulai, aku ingin tahu apakah nanti

sesudah mengantarkan aku pulang kau akan mengembalikan mobilmu ke toko?"

"Ya, tentu saja. Gerobakku ini kan tak mungkin

masuk lewat gang kecil di sebelah rumahmu." Wawan

tersenyum. "Kenapa kautanyakan itu?"

"Aku tak ingin merepotkanmu. Sesudah mengantarku pulang, kau harus kembali ke toko dulu untuk

menyimpan mobilmu, dan kemudian balik lagi ke

rumahmu. Kan tak praktisi"

"Memang. Tetapi selain terpaksa kulakukan sebagai

risiko tinggal di gang kecil, hal itu juga sudah sering kulakukan kalau aku dan ibuku bepergian sesudah toko tutup. Jadi. bukan hal yang berat bagiku!"

"Tetapi untuk kali ini biar saja mobilmu diparkir di

halaman rumah eyangku. Nanti aku yang memintakan

izin. Percayalah, eyangku tidak akan keberatan.

Halaman seluas itu apa artinya ditempati mobil selama

satu malam saja. Jadi, kau tak usah bolak-balik!"

"Kalau kauanggap itu baik, ya terima kasih atas

saranmu itu."

"Kenapa kau tidak pindah rumah saja sih, Mas?"

"Hal itu tak pernah terpikirkan oleh'kami. Rumah

itu mengandung banyak kenangan. Kami tinggal di

'sana sudah puluhan tahun lamanya. Dan di rumah

itu pula kami mengalami limpahan rezeki dari Tuhan.

Lebih-lebih lagi kami tidak ingin berpisah dengan

para tetangga yang sudah begitu akrab dengan kami.

Khususnya dengan keluarga eyangmu. Di tempat

lain kami yakin kedamaian dan kebersamaan sebagaimana yang kami rasakan selama tinggal di tempat

itu, tak akan seindah ini."

"Lalu kelak Dik Astri akan kaubawa tinggal di

situ?" pancing Nunik ingin tahu.

"Tentu saja tidak. Mungkin kalau ada rezeki, ya

lebih baik membeli rumah di tempat lain bagi kami

berdua. Itu kan rumah Bapak!" jawab Wawan. "Kau

sendiri ketika sudah menikah juga tidak suka tinggal

bersama orangtua, bukan?" '

"Ya..."

"Nah, ayo kita mulai cerita tentang dirimu, Jeng.

Dari tadi setiap mau bercerita kau selalu mengalihkan

pembicaraan kepada hal-hal lain."

"Masa sih?"

"Ya, aku merasakannya. Bahkan sudah sejak semula. Kenapa sih? Apakah aku sudah kauanggap

orang lain yang tak masuk hitungan untuk boleh

mengetahui keadaanmu?"

"Bukan begitu, Mas. Jangan ngawur!" sahut Nunik

cepat. "Sebenarnya aku enggan menceritakan keadaan

diriku. Sungguh-sungguh tak ada yang menarik untuk

diceritakan!"

"Aku ingin mendengar ceritamu bukan dengan

tujuan mencari sesuatu yang menarik. Aku toh bukan

pengarang atau pencipta lagu yang kalau melihat

atau mendengar sesuatu yang mengesankan, iaiu

timbul keinginan untuk melahirkan suatu karya!"

seringai Wawan.

"Baiklah kalau begitu," senyum Nunik. Senyumnya

tawar dan terkembang tanpa disertai perasaan. "Tetapi

tunggu sampai kita tiba di rumah. Kita nanti bicara

di teras depan!"

"Oke. Aku setuju."

Wawan memarkir mobilnya jauh dari teras supaya

suaranya tidak mengganggu penghuni rumah. Setelah

kendaraan itu diparkir di bawah pohon mangga dekat

pagar, baru ia mencabut kunci kontaknya.

"Jangan turun dulu," katanya sambil meloncat ke

luar. "Nanti kubantu. Kau belum biasa naik-turun

mobil ini. Sudah begitu di sini gelap. Besok akan

kupasangi lampu kalauPak Menggung setuju. Lampu

teras tak sampai kemari cahayanya!"

!!Ya-F)

Sambil mengiyakan kata-kata Wawan itu, Nunik

melangkahkan kakinya dari mobil. Lupa kalau Wawan

akan membantunya. Maka tepat seperti apa yang

dikhawatirkan oleh lelaki itu, Nunik kehilangan keseimbangan ketika meletakkan kakinya ke tanah

dengan sepatu tingginya itu. Dan akibatnya ia jatuh

terduduk Sesudah kedua iututnya mencium tanah.

Tanpa sadar ia mengaduh.

"Kan tadi sudah kubilang!" gerutu Wawan sambil

meloncat mendekati tempat Nunik jatuh. "Dari dulu

kau ini memang tak pernah mendengar kataku."

Kalau yang berkata seperti itu bukan Wawan,

pastilah Nunik akan merasa tersinggung. Sudah sakit

digerutui pula. Tetapi karena ia sudah amat mengenal

cara Wawan berbicara dan bersikap maupun menggerutuinya, yang diwarnai oleh perasaannya yang

selalu ingin melindunginya, Nunik bukan saja tak

tersinggung oleh teguran seperti itu, tetapi juga lupa

bahwa kondisi dan situasi kini sudah sangat berbeda

dari dulu, sepuluh tahun lebih yang lalu. Lebih-lebih

juga sudah amat berbeda dari belasan tahun lalu

tatkala ia masih kecil. Rasanya saat ini keadaan tak

berbeda dari dulu.

"Aku sungguh lupa kalau kau sudah memperingatkan tadi, Masl" sahutnya dengan suara manja seperti

yang dulu sering dilakukannya. "Sekarang aku menyesal. Kakiku jadi sakit sekali!"

Masih setengah menggumamkan gerutunya atas

ketidakhati-hatian Nunik, Wawan berjongkok di dekat

wanita yang masih terduduk di tanah itu.

"Coba kulihat, apanya yang sakit!" katanya kemudian sambil mulai memeriksa kaki Nunik. "Ah,

sayang sekali aku tidak membawa lampu senter tadi.

Padahal biasanya di dalam mobil selalu kusediakan

lampu senter, menjaga kalau-kalau ada yang kurang

beres pada mesin mobil."

"Lututku yang sakit, Mas. Aku tak menyangka

tanah di sini keras sekali!" sahut Nunik jengkel.

"'Jangan jangan kulitku jadi cacat!"

"Ah. masa cuma tergores tanah keras saja bisa

cacat sih!" kata Wawan lagi. "Coba kulihat!"

Dalam kegelapan malam, apa yang dimaksudkan

dengan melihat adalah meraba. Jadi, tentu saja tanpa

berpikir yang lain tangan Wawan pun terulur dan

meraba lutut Nunik. Sebab seperti perempuan itu,

Wawan pun terbawa arus masa lalu, lupa bahwa ia

bukan anak remaja kemarin sore yang merasa bertanggung jawab atas keselamatan Nunik. Lupa pula

bahwa Nunik tidak lagi memerlukan perhatian dan

tanggung jawabnya seperti ketika masih sering duduk

di belakang boncengan sepedanya, atau ketika ia

membutuhkan bantuannya membuat pekerjaan rumah

yang sulit-sulit seperti dulu. Dan keduanya baru menyadari perbedaan besar dengan masa lalu itu tatkala

tangan dewasa Wawan bersentuhan dengan lutut

mulus milik seorang perempuan yang sudah lama

meninggalkan masa kanak-kanaknya. Seperti sudah

berjanjian keduanya menegang pada saat bersamaan.

Tangan Wawan terhenti di lutut Nunik, tidak jadi

memeriksa apa pun, sedangkan Nunik yang semula

cerewet, mendadak menjadi kelu lidahnya.

lni sungguh merupakan pengalaman baru yang

tak disangka-sangka, baik bagi Wawan maupun

Nunik. Tak pernah terpikirkan oleh keduanya bahwa

sentuhan semacam itu akan mampu melumpuhkan

kewarasan otak mereka hingga untuk beberapa saat

lamanya mereka berdua tidak bisa memikirkan apa

pun kecuali berdiam diri dengan napas tersangkutsangkut yang semakin lama semakin membuat dada

mereka terengah-engah.

"Metal...." Akhirnya Wawan mampu juga lebih

dulu menguasai dirinya. Telapak tangannya yang

semula menyentuh lutut Nunik dengan akrab, ditariknya kembali. "Seharusnya aku tak boleh menyentuhmu!"

Nunik yang akhirnya juga mampu menguasai diri

sesudah mendengar suara Wawan yang agak bergetar

itu, mulai lagi merasakan sakit pada lututnya.

"Kenapa harus minta maaf dan kenapa merasa tak

boleh menyentuh lukaku?" tanyanya setengah menggerutu. "Kakiku sakit, mengerti?"

Wawan tersenyum dalam kegelapan, merasa agak

.jengkel melihat ulah Nunik. Apakah perempuan itu

tadi tak menghiraukan udara aneh yang mencekam

perasaannya? Tidak sadarkan ia bahwa ada perbedaan

besar yang tiba-tiba terjadi dan terasakan ketika tangannya menyentuh lutut mulusnya itu? Sudah jelas

tak mungkin segala yang terjadi di masa lalu itu

dikembalikan lagi. Kalau dulu dengan bebasnya ia

bisa meraih tangan perempuan itu dan bahkan juga

memeluknya kalau ia harus membantunya memanjat

pohon misalnya, kini hal hal seperti itu tak bisa lagi

dilakukannya. Lebih-lebih sesudah kejadian malam

ini. Ia harus ekstra hati-hati jika berdekatan.dengan

Nunik. Sebab ternyata ada suatu sambungan atau

semacam arus listrik timbal balik antara dirinya dengan Nunik yang harus mereka garis bawahi. Tetapi

tampaknya Nunik tak terlalu menghiraukannya. Atau

mungkin juga tak terlaiu menyadarinya. Entahlah,

Wawan tak bisa menebaknya.

"He, kek diam saja!" Nunik menggerutu lagi.

"Aku kan tadi bilang, kakiku ini sakit. Kau tidak

kasihan kepadaku?"

Entah sengaja atau tidak, Nunik mengembalikan

suasana masa lalu dengan bersikap manja dan menuntut untuk diperhatikan. Yang jelas ia ingin mengatasi perasaan aneh yang menyebabkan debar jantungnya menjadi lebih cepat, dengan cara seperti itu.

"Jeng" Wawan si lelaki dewasa yang menyadari

peringatan akan adanya tanda bahaya, merasa ragu.

"Apakah, apakah itu pantas?"

"Apanya yang tidak pantas?" tanya Nunik masih

dengan gayanya yang manja dan merajuk.

"Meraba lututmu... ingat lho, Jeng, kita ini sudah

bukan kanak-kanak lagi, tetapi orang-orang dewasa...,"

Wawan berkata agak terbata bata.
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa? Takut dilihat orang?" tantang Nunik.

"Lihat, di sini gelap. Tidak ada orang yang melihat

kita. Kau sungguh pengecut!"

Sikap dan cara bicara Nunik mengingatkan Wawan

kembali betapa seringnya dulu perempuan itu bersikap

keras kepala dan mau menang sendiri. Kalau tidak

dituruti, pasti akan ngambek sampai berjam-jam [amanya.

"Kau ini tidak berubah juga." ia mulai tertulari

oieh sikap Nunik, sehingga sikapnya sendiri mulai

terwarnai oleh kebiasaan masa lalunya apabila menghadapi wanita itu. "Mau menang sendiri saja. Sudah

kukatakan meraba lututmu itu tidak pantas, ya tidak

pantas. Jangan didebat terus."

"Pantas atau tidak itu kan kalau terlihat orang

lain, sedangkan di sini tidak ada orang lain. Padahal

kakiku sakit sekali dan kau tak mau menolongku!"

gerutu Nunik lagi. "Itu yang jadi masalah. Luka

kakiku itu!"

Merasa kewalahan, tangan Wawan yang semula

sudah jauh dari lutut Nunik, mulai terulur lagi.

"Aku bukannya tak mau menolongmu," gumamnya.

"Tetapi aku merasa tak enak."

"Tak enak? Kenapa?" sungut Nunikf

"Kau ini memang sengaja tak mau menggubris

suasana aneh tadi atau tak mau memikirkan adanya...

' adanya..."

"Adanya apa?" tanya Nunik ketika Wawan menelan kembali kata-katanya.

"Adanya bahaya. ini tempat gelap, tanpa kehadiran

orang lain, lagi. Kan ya tak baik kalau tubuh kita

bersentuhan secara akrab begini?"

"Tak baik, tak pantas, tak semestinya... huh, alasan

saja." Nunik menyela [agi bicara Wawan yang belum

tuntas. "Kau memang sudah berubah, Mas Wawan.

Tak lagi mau berakrab akrab denganku." .

"Kau salah mengerti," Wawan semakin kewalahan.

"Kau tak mau menyadari bahwa situasi dan kondisinya sudah berbeda sekarang ini..."

"Karena kau sudah kaya, sudah jadi bus, dan

merasa rendah kalau menuruti kemauanku berakrabakrab seperti dulu!" tuduh Nunik.

"Nah, kau semakin ngawur," Wawan menjadi jengkel. Persis dulu kalau ia merasa jengkel menghadapi

kedegilan Nunik. "Sudahlah, kemarikan kakimu yang

sakit itu!"

Nunik menurut dengan patuh, dan tangan Wawan

yang semula hanya tergantung di udara tanpa berani

bergerak lebih jauh, terulur menyentuh lutut Nunik

kembali. Tetapi persis seperti yang sudah diramalkannya, lagi lagi ia merasakan suasana aneh tadi. Bahkan

dadanya berdegup kencang sekali tatkala kepekaan

tangannya bukannya menelusuri luka untuk mengetahui seberapa parahnya, tetapi menangkap betapa

mulus dan lembutnya kulit kaki Nunik. Dan ia tak

mampu mengendalikan kewarasan otaknya. lemarinya

yang peka tadi mengelus-elus lutut Nunik beberapa

saat. lamanya.

"Masih sakit...?" tanyanya dengan suara bergelombang.

Nunik yang merasa lututnya dielus-elus oleh Wawan

mulai sadar bahwa perasaan aneh yang dirasakannya

tadi memang bukan sekadar bayangan belaka. ltu

sungguh-sungguh terjadi. Dadanya berdebar-debar dan

napasnya tersangkut-sangkut. Ia mulai membenarkan

apa yang dikatakan oleh Wawan tadi. Situasi dan

kondisi masa kini sudah jauh berbeda dengan masa

kanak-kanaknya dulu. Kini ia seorang wanita muda

yang matang. Kini Wawan adalah seorang lelaki

dewasa yang matang pula.

"Bagaimana, masih sakit...?" Terdengar lagi suara

Wawan yang bergelombang tadi.

Nunik agak tersentak dan mengembuskan napasnya

yang masih terasa menyangkut di lehernya.

"Masih..." ia menjawab sekenanya. Padahal rasa

sakit tadi entah sudah menghilang ke mana, ia tak

tahu.

"Kalau dielus-elus begini, apakah ada bedanya?"

tanya Wawan lagi.

"Ya, ada bedanya...," suara Nunik terdengar bergetar.

"Enak, kan? Tidak terasa terlalu nyeri lagi...?"

"Ti... tidak..."

Wawan terdiam. Ia sudah menangkap getaran suara

Nanik dan sikapnya yang mendadak berubah. Kekeraskepalaannya lenyap. Kedegilannya hilang. Dan

bahkan gerutuannya tak terdengar lagi. Menyadari

itu degup jantungnya bertambah cepat, sebab ia tahu

bahwa saat itu Nunik, sama seperti dirinya sendiri,

juga amat terpengaruh oleh kedekatan fisik di antara

mereka berdua. Kepalanya seperti berputar rasanya.

"Sudah, ya?" katanya dengan suara serak. "Tanganku, te terasa capek. Sebaiknya lukamu diberi

obat saja!"

Nunik tidak membantah. Dianggukkannya kepalanya. Maka demi melihat anggukan kepala itu Wawan

segera berdiri. Dan sambil bergerak untuk berdiri,

tangannya meraih lengan Nunik untuk mengangkat

perempuan itu agar berdiri juga. Tetapi debar-debar

jantungnya masih menggila, kedua belah kaki Nunik

yang menjadi lemah itu tak mampu menopang berat

tubuhnya. Hingga tanpa dapat ditahannya tubuh

Nunik oleng dan langsung tersendat ke dada Wawan.

Otomatis lengan Wawan terulur dan mendekap

tubuh perempuan itu hingga kini berada di dalam

pelukannya. Sekali lagi udara aneh yang terasakan tadi

datang lagi. Bedanya kini terasa lebih dahsyat daripada

sebelumnya. Sebab ia mencium arema tubuh dan

rambut Nunik yang harum, yang menyiarkan kekhasannya sebagai wanita. Sebaliknya bagi Nunik yang

sudah lama tak pernah merasakan betapa nyamannya

berada di dalam pelukan seorang lelaki berdada

bidang yang seperti menjanjikan perlindungan dan

rasa aman, dekapan Wawan itu membuatnya seperti di

awang-awang. Tanpa sadar disandarkannya kepalanya

ke dada Wawan yang bidang dan kekar itu.

Keadaan seperti itu sungguh bukan saja tak disangkawsangka akan terjadi di antara mereka, tetapi

juga tak disadari betapa bahayanya. Sehingga ketika

keduanya lupa diri dan lupa segalanya, dan membiarkan arus aneh tadi menguasai mereka berdua, tidak

sulit ditebak kalau gerakan berikutnya adalah gerakan

seperti sepasang kekasih yang sedang memadu cinta.

Kepala Wawan mendekati wajah Nunik, lalu bibir

perempuan itu diraihnya dengan bibirnya sendiri dengan sepenuh hasrat kelakiannya.

Ciuman Wawan yang begitu penuh gairah seperti

menyulut diri Nunik. Dengan sedikit melenguh

ciuman lelaki itu dibalasnya dengan sama bergairahnya. Bahkan akhirnya dengan seluruh hasrat ia meng

ulurkan lengannya ke atas dan memeluk leher Wawan

sementara tubuhnya menekan tubuh lelaki itu. Dan

mereka berdua pun berpeluk cium, seperti tak pernah

puas-puasnya. Wawan menghujani wajah Nunik dengan kecupan-kecupannya yang berpindah-pindah

cepat dan meninggalkan sedikit isapan-isapan di

bagian tertentu. Di bawah telinga, di batas pipi dan

lehernya, di matanya, sementara Nunik menelusuri

leher dan bahu Wawan dengan jemarinya yang lentik

dan lembut.

Wawan melenguh pelan ketika jemari Nunik sampai ke bagian bawah lehernya dengan menyusup

lewat sela-sela kancing kemejanya. Tubuhnya menggigil. Kalau saja otaknya tidak ditegur oleh hati

kecilnya yang paling murni, maulah ia mengangkat

Nunik ke atas lantai bak pick-apunya untuk dibumbunya lebih jauh.

Tetapi tidak. Kesadarannya segera saja pulih tatkala

ia sadar bahwa perbuatannya dengan Nunik itu keliru.

Dengan malu-malu ia melepaskan pelukannya, lalu

mendorong bahu Nunik dengan gerakan lembut dan

hati-hati.

"lni lho, Jeng. ini yang kukatakan bahaya tadi,

bisiknya. Suaranya terdengar serak dan bergelombang,

"Aku, aku sudah memperingatkannya tadi. Kita berdua

sudah bukan kanak kanak lagi. Kedekatan fisik begini

akan menyebabkan otak waras kita terganggu oleh...

oleh kebutuhan manusia dewasa, apalagi kau sedang

jauh dari suamimu. lni... ini akan menurunkan kadar

hubungan kita. Bahkan kalau perbuatan ini tadi tak

segera kuhentikan, nilainya bisa jatuh ke titik nol...."

Mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Wawan

dengan gelombang perasaan yang terbias lewat suaranya itu, Nunik seperti ditampar rasanya. Ia tak pernah

berpikir seperti itu. Baginya, Wawan adalah orang

yang pernah begitu dekat dan menjadi bagian terpenting dalam kehidupannya dulu.

Kata-kata Wawan tadi terasa menyengat batinnya

yang terdalam dan seperti menjungkirbalikkan tempatnya sendiri di dalam hati Nunik. Lelaki itu memang

mengatakan sesuatu yang tidak salah. Sedikitnya,

ada betulnya juga. Bahwa mereka berdua kini sudah

bukan kanak-kanak lagi. Berduaan di tempat gelap

dengan tubuh saling bersentuhan akan dapat mengundang terjadinya sesuatu yang kurang pantas. Tetapi

ada satu hal yang telah Wawan lupakan dan tak

hinggap dalam ingatannya; ia tak ingat betapa dekatnya mereka dulu dan betapa eratnya hubungan mereka berdua, sampai-sampai ketika Nunik main

pengantin-pengantinan bersama teman�teman sebaya,

Wawan-lah yang dipilihnya menjadi" pengantinnya

meskipun mereka tak sebaya. Jadi kalaupun ada kekeliruan dalam perbuatan mereka berdua tadi, itu

bukanlah diwarnai oleh hal-hal negatif yang dapat

menurunkan kadar hubungan mereka sampai jatuh

merosot. Apalagi sampai ke titik nol sebagaimana

yang diucapkannya tadi. Lebih-lebih karena lelaki

itu menekankan kebutuhan fisik sebagai penyebab

terjadinya perbuatan intim tadi, bahwa Nunik kesepian

karena jauh dari Hardiman. Bukankah itu sama

artinya dengan hendak mengatakan bahwa ia sedang

merasa haus lelaki, sehingga berada bersama siapa

pun ia akan terlena? Ah, Wawan telah melakukan

kesalahan besar!

"Kau... kau membuat kedekatan dan keakraban

kita seperti sampah busuk!" desis Nunik. Lalu sesudah berusaha mati-matian untuk menahan agar air

matanya jangan sampai tergulir lepas dari bendungannya, ia berkata lagi, "Seperti barang murahan di tepi

_ jalan!"

Katavkata yang diucapkan dengan sepenuh perasaan

itu membuat Wawan tertegun beberapa saat lamanya.

Ia tak pernah menyangka akan seperti itulah jalan

pikiran Nunik. Padahal sedikit pun ia tak pernah

mempunyai maksud seperti itu. Bahkan berpikir pun

tidak. Ia harus menjelaskannya kepada perempuan

itu sebelum pendapat tadi meresap ke dalam kepalanya yang indah itu. Ia tak menyukai ganjalan di

antara mereka berdua. Lebih Iebih jika diingat betapa

manisnya hubungan 'mereka selama ini, dan yang

lebih istimewa lagi karena mereka baru bertemu lagi

sesudah sepuluh tahun lebih tak berjumpa. Belum

pernah ada ganjalan sebesar ini di antara mereka
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdua. Jadi, ia harus mencegahnya, begitu Wawan

berpikir.

Tetapi terlambat. Nunik sudah berlari pergi. masuk

ke rumah!

NUNik terbangun oleh suara kicau dan nyanyian

burung-burung di belakang. Dari nada suara cerianya,

ia tahu saat itu mereka sedang diberi makan oleh

Wawan. Dan air minumnya juga diganti dengan

yang baru. Bahkan ia juga sudah tahu cara Wawan

menggembirakan burung burung eyangnya itu. Di

dalam kandangnya yang luas, lelaki itu meletakkan

sebuah wadah plastik berukuran dua puluh kali tiga

puluh sentimeter dan tinggi sekitar delapan senti

yang berisi air bersih untuk tempat burung-burung

itu mandi dan bermain air. Dengan rajinnya Wawan

selalu membersihkan wadah itu dan menggantinya

dengan air bersih setiap hari.

Dengan perasaan enggan Nunik bangkit dari tempat

tidurnya dan membuka daun jendela kamarnya lebarlebar sehingga udara pagi yang sejuk dan berbau

rumput basah menyerbu masuk ke dalam kamarnya.

Lama ia termenung di bingkai jendela kamarnya,

menatap halaman samping. Semalaman tadi ia nyaris

tak dapat tidur. Ada sesuatu yang mengganggu perasaannya. Peristiwa malam tadi di halaman depan,

di samping mobil Wawan, datang berulang kali ke

dalam ingatannya. Seperti seseorang yang memutar

sebuah film berulang-ulang. Ia merasa betapa sesungguhnya Wawan masih begitu kuat merasuk ke

dalam kehidupannya di kota ini. Baru saja ia tiba

lelaki itu sudah langsung menyerbu ke dalam kegiatan

dan kehidupannya sehari-hari. Seperti dulu juga. Bahkan sekarang lebih terasa. Bukan saja karena isi

kamar yang ditempatinya ini datang dari toko meubelnya, tetapi juga dalam segala hal yang berkaitan

dengan dirinya. Lebih-lebih sejak peristiwa semalam.

Sulit baginya mengusir rasa sakit dalam batinnya

setiap kali kata-kata Wawan sesudah cumbuan mereka

terngiang-ngiang di telinganya. Cara lelaki itu menanggapi kejadian itu sungguh melukai perasaannya.

Bisa-bisanya Wawan menganggapnya sebagai istri

kesepian yang haus belaian lelaki. Padahal keadaan

seperti itu sungguh amat jauh darinya. Ia bukanlah

wanita murahan yang mudah jatuh ke dalam pelukan

lelaki. Bahkan seganteng dan segagah apa pun lelaki

itu. Baginya cukup sekali saja ia terjatuh ke dalam

rayuan lelaki yang telah berhasil membawanya ke

dalam perkawinan yang ternyata hanya berisi ke!

pahitan demi kepahitan itu. Wawan tidak tahu semua

itu. Ia juga tidak tahu bahwa kehadirannya kembali

ke kota ini adalah upayanya menghapus kenangankenangan pahit yang dialaminya selama tinggal di

Jakarta. Bahkan ia juga tidak tahu bahwa kedatangannya ke rumah ini adalah karena hasratnya untuk

mendapatkan tempat yang aman dan nyaman sebagaimana pernah dirasakannya ketika kanakvkanak dulu.

Dan itu juga berkaitan dengan diri Wawan, sebab

lelaki itu termasuk bagian dari rasa aman dan kenyamanan itu sendiri. Dan karena Wawan adalah

satu-satunya lelaki selain eyang kakungnya, yang

menempati tempat tersendiri dalam hati dan dalam

kehidupannya dulu.

'Tetapi sekarang Wawan telah menggulirkan segala

perasaan manis yang pernah dikecapnya hanya dalam

dua atau tiga kalimat saja. Alangkah ironisnya.

"Den Loro Nunikl" Suara ketukan pintu kamarnya

yang diiringi oleh suara Mbok Surti menguapkan

lamunan Nunik.

"Masuk, Mbok. Pintunya tak kukuneil" sahutnya

tanpa berniat pergi dari muka jendela. Tubuhnya

menyandar ke tembok dan kedua belah sikunya

bertumpu pada kusen jendela. Sikap tubuh seperti

itu sulit dilakukannya di Jakarta yang hampir semua

jendela rumahnya diberi terali besi hingga tak bisa

dipakai untuk menikmati pemandangan di luar rumah

dengan sesantai itu.

Mbok Surti masuk dengan hati-hati.

"Kok bangunnya kesiangan, Den Loro," katanya

kemudian. "Tidak sedang kurang enak badan, kan?"

"Hanya malas bangun saja kok, Mbok. Ada apa,

pagi-pagi kok sudah mencariku?"

"Cuma mau bertanya, Den Loro mau titip apa

dari pasar? Mbok Ti mau ke pasar. Dan kebetulan

Mas Wawan sebentar lagi berangkat ke toko dengan

mobilnya. Saya mau manut!"

"Aku kangen getuk, Mbok. Tolong belikan aku

beberapa bungkus yang baru matang dan masih

panas-panas itu!"

"Getuk yang mana? Getuk lindri atau...?"

"Getuk macam-macam, Mbok."

"Oh, getuk ubi, gatot, tiwul, dan sejenisnya itu?"

"Heeh. Ah, begitu kausebutkan, li'urku langsung

keluar lho, Mbok!" sahut Nunik sambil bergerak

meraih tas di atas meja sampingnya. "Ini uangnya,

Mbok!"

"Seribu rupiah? Kok banyak sekali. Getuknya sebungkus hanya dua ratus rupiah. Itu pun isinya

banyak!"

"Ya kalau begitu belikan aku makanan lainnya

yang aneh aneh, Mbok. Terserah apa saja!"

"Cenil ya?"

"Apa sajalah. Pokoknya yang enak!"

Mbok Surti menyimpan uang itu di dalam dompetnya sambil menganggukkan kepala.

"Baiklah, Den Loro," sahutnya kemudian. "Mbok

sekarang mau pergi. Nanti kalau sudah mandi, ambil

sarapannya sendiri di meja makan, ya? Pagi ini

Mbok Ti membuat nasi goreng Jawa. Pakai terasi."

"Ya, nanti aku akan makan nasi goreng Jawa mu

itu, Mbok!" tawa Nunik. "Asal jangan diberi petai

lho,"

"Tidak kok, Den Loro." Mbok Surti bergerak

menuju ke pintu kamar, bermaksud keluar. Tetapi

baru beberapa langkah ia berhenti dan menoleh kembali ke arah Nunik. "Oh ya, Den Loro. Ini tadi saya

dititipi Mas Wawan surat untuk Den Loro!"

"Surat? Kol-: ada ada saja...," sahut Nunik dengan

dada berdesir. "Seperti tidak bisa bicara berhadapan

saja." '

"Mungkin tahu kalau Den Loro pagi ini bangun

siang. Tampaknya mau berpesan pada Mbok Ti,

tetapi takut keliru. Jadi ia menulis surat ini. Mbok

menerka-nerka, ia sedang murung. Mungkin ada per

soalan yang dihadapinya dan ingin dibicarakannya

dengan Den Loro."

"Mungkin juga. Tentang tunangannya, barangkali!"

"Mungkin juga." Mbok Surti mempercayai alasan

yang dikemukakan oleh Nunik tanpa curiga sehingga

Nunik merasa lega. ia tidak ingin orang lain melihat

ada sesuatu yang sedang terjadi di antara dirinya dengan Wawan.

"Getuknya jangan lupa, Mbok," kata Nunik lagi,

berusaha memindahkan perhatian Mbok Surti.

"Tidak, Den Loro. Nah, Mbok Ti bersiap-siap

dulu, ya!"

"Ya."

Sepeninggal Mbok Surti, Nunik membuka amplop

surat dari Wawan tadi. ia ingin tahu apa yang dikatakan oleh lelaki itu. Tetapi ternyata isinya tak

banyak. Bunyinya demikian:

Jeng Nanik,

Tadi malam aku tak bisa tidur memikirkan peritrriwa semalam. Pikiranku gelisah sekali. Karam/ran

ada ganjalan besar di antara kita berdua. Aku tak

ingin kehilangan keakraban yang sudah ierpinial kuat

di antara kita selama ini. Jadi izinkan aku siang nanti

menjempmmu untuk makan siang di suatu tempat.

Kalau kau tidak mau, berarti malam nanti" aku akan

mengalami hal yang sama. Tak bisa tidur lagi. Kau

masih mempunyai rasa belas kasihan kepadaku, bukan?

Wu wan

Usai membaca surat itu Nunik menarik napas

panjang. Ia dapat membayangkan gelisahnya Wawan.

Ah, pastilah lelaki itu sedang menyesali perbuatannya,

karena menganggap peristiwa semalam sebagai sesuatu

yang sangat murahan dan menjijikkan, pikir Nunik

dengan perasaan pahit yang sangat menyiksanya.

Siksaan seperti itu mengagetkan Nunik sendiri,

karena ia tak mengira kepahitan yang dirasakannya

ternyata begitu menyiksa serta menembus seluruh

batinnya. Apalagi sesudah dikaji lebih jauh, kepahitan

itu sesungguhnya berasal dari satu hal, yaitu perasaan

tak rela dan penentangan batinnya atas anggapan

dan penilaian Wawan yang dangkal terhadap peristiwa

semalam. Sebab ia yakin andai kata lelaki lain yang

menciumnya, apalagi secara intim seperti yang dilakukan oleh Wawan dengan segala cumbuannya semalam, pastilah ia akan menolak mentah-mentah.

Barangkali juga ia malah akan menamparnya kerass

keras. Dengan kata lain, apa yang terjadi malam itu

telah memberinya bukti kuat bahwa sesungguhnya

Wawan masih tetap menempati tempat yang istimewa

dalam hatinya. Dan dalam perjalanan waktu dan ke- '

matangan usianya, tempat itu menjadi amat khusus.

Dan kalaumau ditinjau lebih jauh lagi, sesungguhnya

di lubuk sanubarinya yang tersembunyi, ia menaruh

rasa kasih terhadap lelaki itu. Dan tampaknya perasaan Semacam itu selama ini hanya tersembunyi se"

demikian rapatnya, seperti benih penyakit berbahaya

yang tak kelihatan dan menanti saatnya untuk muncul

dan menyerang dirinya. Dan itulah sebenarnya kenyataan yang membuatnya kaget tadi.

Tetapi kesadaran semacam itu bukan hanya membuat Nunik tersentak kaget, tapi juga membuatnya

menjadi amat murung. Ia tidak ingin jatuh cinta. Kepada siapa pun juga. Apalagi kepada Wawan. Sebab

ia sudah kapok berurusan dengan cinta dan segala

hal yang tersangkut di dalamnya. Terlebih ia sadar

bahwa Wawan hanya menyayanginya sebagai adik

yang perlu dilindungi. Dan terlebih lagi, Wawan

sudah mempunyai calon istri. _

Sambil menekan deburjantungnya yang bergerak

cepat, Nnnik berpikir keras. Ia harus menemukan

cara agar jangan sampai membiarkan perasaannya

terhadap Wawan itu berkembang, meskipun ia sadar

itu tidak mudah. Dan hanya ada satu upayaiyang

mudah-mudahan dapat dipakai sebagai benteng baginya, yaitu ketidaktahuan Wawan tentang perceraiannya

dengan Hardiman. Untung sekali ia belum sempat

menceritakan hal itu, baik kepada Bu Marto maupun

kepada Wawan'sendiri.

Meskipun Nunik juga menyadari bahwa benteng

yang diharapkannya dapat melindungi dirinya dari

keintiman khusus yang bisa terjadi di antara dirinya
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Wawan itu bukan benteng yang kuat, ia merasa

tidak apa-apa kalau memenuhi ajakan Wawan. Pikirnya, kalau hanya makan siang bersama saja, tidak

ada bahayanya. Jadi menjelang tengah hari Nanik

mulai berhias. Ia mengenakan celana panjang berwarna agak gelap dan blus berbunga-bunga cerah

yang serasi. Secara keseluruhan ia tampak cantik

dan menarik. Tetapi bagi mata seawas mata Wawan,

tertangkap kemurungan dan keletihan yang pekat

tersorot dari mata perempuan itu.

Walaupun Wawan sudah menangkap suasana hati

Nunik saat itu, ia diam saja. Bahkan dibiarkannya

Nanik membisu sepanjang perjalanan, kendati suasananya jadi terasa menekan perasaan. Nunik bukanlah

gadis pendiam. [a ceriwis dan suka mengomentari apa

saja yang dilihatnya dengan komentar komentarnya

yang sering kali lucu dan menyegarkan. Perempuan itu

memang bisa menjadi sumber kegembiraan tersendiri.

Tetapi kemudian karena Wawan tidak tahu harus

memilih rumah makan mana yang akan dikunjungi,

terpaksa ia memecah kebisuan itu pada akhirnya.

"Enaknya makan di mana kita?" tanyanya minta

pendapat.

"Terserah. Aku tak punya nafsu makan!" jawab

Nunik pendek. Nadanya terdengar ketus.

Mendengar itu, tanpa bertanyawtanya lagi Wawan

segera mengarahkan mobilnya ke arah luar kota.

Sekitar dua puluh kilometer dari pinggir kota, Wawan

membelokkan kendaraan itu ke sebuah halaman luas

milik sebuah rumah makan besar bergaya campuran

antara seni modern dan alam pedesaan. Selain mejameja dan kursi sebagaimana yang terdapat di rumah

makan pada umumnya, di halaman juga tersebar

dangau-dangau yang terbuat dari anyaman bambu.

Di tempat-tempat itu hanya disediakan meja pendek

panjang dan tikar pandan sebagai pengganti kursi.

Tempatnya sungguh menyenangkan karena hampir

semua dangau menghadap ke arah sawah dan bukitbukit. Sudah begitu makanannya pun sesuai dengan

suasananya. Ada lodeh desa, sayur asam, ikan bakar,

ayam bakar, sampai pecel sambal tumpeng lengkap

dengan kerupuk kreceknya sekalian.

"Mau makan apa?" tanya Wawan sambil mengulurkan dahar menu.

"Kan sudah kukatakan, aku tak punya nafsu makan,

jadi ya terserah!" suara Nunik masih terdengar ketus.

"Baik, akan kupesankan menurut seleraku yang

sehat!" sahut Wawan jengkel. Kemudian tangannya

melambai ke arah pelayan yang langsung membawa

pergi daftar pesanan yang ditulisnya tadi. Dan kemudian lanjutnya, "Jeng, bersikaplah dewasa dan

rasional. Aku ingin minta maaf kepadamu atas peristiwa semalam dan mohon lupakan peristiwa itu!"

"Peristiwa yang mana? Rasanya semalam itu ada

sekian banyaknya peristiwa yang terjadi!" dengus

Nunik sinis.

"Semuanya!" _

"Tidak bisa!" jawab Nunik tegas. "Bagaimana

mungkin aku bisa melupakan hal itu? Kau telah mengempaskan nilai hubungan kita' selama ini!"

"Aduh, Jeng, aku benar-benar minta maaf..," kata

Wawan tersendat. "Hal itu tak akan kuulangi lagi.

Aku terpengaruh oleh suasana malam. Sampai sampai

kubiarkan dirimu yang mungkin sedang merindukan

kehangatan pelukan suami itu menjadi terpengaruh

pula!"

Nunik terdiam. Ia tahu kini, Wawan masih belum

mengetahui sungguh-sungguh, kesalahan apa yang

dilakukannya. Sudut pandangnya terhadap peristiwa

semalam masih diwarnai dengan penilaian jasmani.

Melihat Nunik terdiam, lelaki itu menarik napas

panjang lagi.

"Jeng, kata-katamu yang mengatakan bahwa aku

telah membuat hubungan kita menjadi seperti sampah

busuk dan barang murahan di pinggir jalan membuatku merasa amat tertekan!" katanya kemudian. "Pada

hal demi Tuhan, sedikit pun aku tak pernah bermaksud seperti itu. Bahkan memikirkannya pun tidak!"

"Secara sadar memang tidak. Tetapi secara tak

sadar, kau sendirilah yang menilai hubungan kita,

dan bahkan diri kita masingmasing ini sampah!"

Wawan tertegun beberapa saat lamanya, tanpa

mampu menembus apa yang ada di dalam dada perempuan yang duduk di dekatnya itu.

"Jelaskan kata-katamu, Jeng" pintanya kemudian

dengan suara memohon. "Aku sungguh tak mampu

mencapai jalan pikiranmu!"

"ingat-ingat sajalah apa yang kaukatakan setelah...

setelah peristiwa semalam!"

Wawan terdiam lagi. Tetapi pikirannya masih terbalut kabut. Ia tak merasa ada kata-katanya yang

keliru.

"Aku tak merasa itu salah, Jeng!"

"Oh begitu?" Darah Nunik pelan-pelan mulai

menggelegak. "Jadi, artinya kauanggap aku ini perempuan murah yang mau saja bercumbu denganmu

karena aku... aku sedang jauh dari suami? Jadi,

pikirmu pula, aku ini seorang istri yang mudah tergelincir apabila jauh dari suami? Begitu. kan?"

Wawan tersentak demi mendengar kata-kata itu.

Pelan�pe|an pikirannya mulai terbuka dan mampu

mengikuti arah pikiran Nunik.

"Jeng, aku sungguh tidak bermaksud seperti itu.

Bagaimana mungkin aku menilaimu serendah itu!"

katanya tergesa-gesa.

"Sudah kukatakan, secara sadar mungkin tidak.

Tetapi secara tak sadar? Konon kata ahli jiwa, apa

yang keluar dari mulut secara terpeleset atau selip

lidah istilahnya, adalah apa' yang sebenarnya ada di

dalam hati yang tersembunyi!"

"Jangan menyamaratakan, Jeng!"

"Jangan? Lalu apa kalau begitu? Pujiankah yang

kaukatakan itu?"

"Jangan sinis, Jeng!"

"Lalu apa yang harus kukatakan kepadamu kalau

begitu?" suara Nunik meninggi sehingga Wawan

menoleh ke kiri dan ke kanan. Untung pengunjung

lainnya duduk di dangau yang agak jauh, dan perhatian mereka tak terarah kepadanya maupun kepada

Nunik.

"Aku hanya ingin kesalahanku bisa dimaafkan.

Itu saja!"

"Memaafkan itu mudah, Mas. Tetapi melupakan,

nya, itu sulit!"

Nunik melihat Wawan memejamkan mata.

"Aku menyadari itu, Jeng. Sebab aku sendiri sesungguhnya tak bisa memaafkan. diriku sendiri. Justru

karena itulah aku mengkhawatirkan dirimu, agar jangan sampai tertekan oleh rasa bersalah terhadap

suamimu!" kata lelaki itu sesudah beberapa saat

lamanya terdiam. "Sebab kalau kita mau bersikap

jujur, kejadian semalam itu adalah suatu pelanggaran.

Atau dengan kata lain yang tak enak didengar,

penyelewengan namanya."

Nunik tidak menjawab. Kedua belah pipinya terasa

panas. Dan Wawan melihat pipi itu menjadi kemerah'

merahan, menambah cantik wajah ayu di depannya.

Tetapi melihat itu hati .lelaki itu malah tersiksa

rasanya.

"Mungkin aku bicara terlalu biak-biakan ya,

Jeng...?" katanya kemudian. "Maafkanlah. Aku bicara

begitu tadi hanya untuk mendudukkan persoalan pada

tempat sebenarnya, sehingga kita juga dapat melihatnya dengan jelas. Setelah itu kita cari jalan keluarnya,

agar kita berdua sama-sama dapat melupakan

peristiwa itu dan kemudian membuka lembaran baru

di hadapan kita. Kau tetap sebagai istri yang setia

terhadap suami!"

Nunik tetap tak mau memberi komentar terhadap

kata-kata Wawan, sehingga akhirnya Wawan juga

tidak lagi melanjutkan bicaranya. Suasana di tempat

itu pun menjadi hening. Dan dalam keheningan semacam itu barulah keduanya mampu melihat hal-hal

lainnya di sekitar mereka berdua saat itu. Angin semilir yang membawa aroma hawa pedesaan dan

yang menyejukkan kepala mereka. Lalu padi yang

menguning menari-nari di hadapan mereka, warnanya

yang keemasan cantik sekali tatkala ditimpa sinar

matahari siang. Sementara itu kupu-kupu beterbangan

ke sana kemari di jalan setapak dari batu-batuan

yang dipenuhi pelbagai jenis tanaman hias dan yang

membatasi dangau yang satu dengan dangau yang

lain. Warnanya cantik-cantik. Seolah hendak memperagakan betapa kayanya Tuhan dan betapa tingginya

seni ciptaan Nya.

"Jeng Nunik...," Wawan memecah keheningan yang

sesungguhnya sedang mulai dinikmati oleh Nunik.

Nunik diam saja. Tetapi dari gerakan kepalanya

Wawan tahu perempuan itu mendengar panggilannya.!

"Jeng Nanik," kata Wawan lagi sesudah beberapa

saat lamanya Nunik tetap tak 'mau menjawab panggil

annya. "Jangan biarkan keakraban dan kedekatan

kita dulu ternodai oleh peristiwa semalam. Untuk itu

aku memohon, lupakanlah meskipun aku tahu itu

tidak mudah.. Seperti kataku tadi, hadapi sajalah

masa masa mendatang dengan membuka lembaranlembaran baru. Dan satu hal yang harus kau percaya.

bahwa apa pun yang terjadi, percayalah, bahwa aku

tak berniat buruk terhadapmu. Jadi artinya, juga tak

setitik kecil pun aku mempunyai niat untuk merendahkan dirimu maupun merendahkan nilai hubungan kita. Dengan demikian, entah apa pun anggapanmu

terhadapku, aku yakin itu hanyalah perbedaan cara

kita berdua memandang peristiwa semalam. Atau...

di antara kita berdua telah terjadi salah pengertian,

meskipun terus terang saja aku tak tahu di mana

letak kesalahannya!"

Seperti tadi, Nunik masih tetap diam sehingga

Wawan menjadi jengkel.

"Kalau mau marah terus, silakan marah!" katanya.

"Tetapi kalau kau masih merasa sebagai orang lndonesia yang mengerti bahasa Indonesia, kau bisa mencerna kata-kataku tadi. Jangan keras kepala!"

Bola mata Nunik bergerak dan sinarnya menyambar ke wajah Wawan. Lelaki itu sudah melihat

perubahan kilatnya yang berbeda daripada sebelumnya. Sebagai orang yang pernah begitu dekat dengan

perempuan itu, Wawan tahu ada siratan geli dari

lubuk hati perempuan itu ketika mendengar gerutuannya. Pastilah itu ada kaitannya dengan kenangan

masa lalu mereka dulu. Entah 'berapa puluh kali perempuan itu digerutuinya karena keras kepala dan

mau menang sendiri. Sedemikian seringnya sampai

sampai telinga Nunik menjadi kebal. Dan itu khusus

karena keakraban mereka yang terjalin secara istimewa. yang tak setiap orang akan mampu mendapatkannya. Jangan harap Nunik yang keras kepala

itu bisa sedegil yang diperlihatkannya di hadapan

Wawan bila ia berhadapan dengan orang lain. Juga

sebaliknya, jangan diharap Nunik tak akan marah

apabila orang lain yang menggerutui dan mengatainya

keras kepala.

Menemukan siratan rasa geli yang meskipun cuma

selintas, membuat hati Wawan yang semula begitu
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sarat penuh tekanan batin, terasa sedikit longgar

Dan ia tak mau membuang kesempatan emas itu.

"Jeng, terimalah ucapan maafku!" katanya sambil

mengulurkan telapak tangannya ke arah tangan Nunik

yang bersetumpu pada meja di mukanya.

Nunik melirik lagi. Cuma sesaat. Tetapi Wawan

segera meraih kembali perhatiannya agar perempuan

itu jangan sampai memperhatikan hal-hal lain.

"Sambutlah tanganku, Jeng. Kecuali kau belum

pernah belajar bagaimana caranya bersopan santun

terhadap orang yang lebih tua dan yang beriba iba

meminta maaf kepadamu!" katanya.

Bibir Nunik tampak mengetat dan dahinya agak

berkerut. Meskipun. demikian tangannya mulai bergerak, walaupun tidak terarah kepada uluran tangan

Wawan. Seperti tadi, kali itu pun Wawan tak mau

melepaskan kesempatan emas itu. Lekas- lekas tangan

yang bergerak itu ditangkapnya untuk kemudian

diremasnya dengan lembut.

"Terima kasih...," katanya dengan suara serak.

Nanik diam saja. Tetapi matanya menatap mata

Wawan dengan pandangan sedih. ia menyadari ketulusan hati Wawan. Tetapi ia juga menyadari

anggapan lelaki itu terhadap peristiwa semalam masih

tetap tak berubah. Hanya bedanya, sekarang ini Nunik

lebih mampu mengikuti cara berpikir Wawan. Bahwa

ia menganggap perbuatan mereka semalam itu keliru

dan bisa dikatakan sebagai penyelewengan. Dan bahwa penitikberatan kesalahan itu adalah pada situasi

dan kondisinya. Bukan pada pribadi-pribadi yang

melakukannya. Kalaupun ada, itu adalah semacam

kenakalan seorang anak yang keliru melangkah. Dan

perlu dibimbing menuju ke arah yang benar.

"Jeng, jangan memandangku seperti itu," tiba tiba

Nunik mendengar Wawan berkata dengan nada suara

yang mengandung permohonan.

Mendengar perkataan yang diucapkan seperti itu,

mata Nunik menjadi berkedipvkedip seperti dian

tertiup angin. Sementara itu bibirnya yang berbentuk

indah agak terkuak.

"Kenapa...?" tanyanya kemudian.

"Aku tak tahan!"

"Tak tahan bagaimana?"

"Tak tahan melihat kesedihanmu. Ah, aku pasti

telah melukai hatimu ya. Jeng."

Nunik, yang jika berhadapan dengan Wawan menjadi seorang manusia yang emosional, dalam arti

mudah marah, mudah sedih, mudah gembira, dan

mudah menjadi iba, meluruhkan_ semua kemarahan

yang sebenarnya masih menggumpal tersembunyi di

dadanya. Ia sadar dirinya tak boleh mementingkan

diri sendiri. '

"Ya, kau memang telah melukai hatiku, Mas!"

sahutnya dengan sikap jujur. "Tetapi aku tak lagi

bisa menyimpan kemarahan di dalam dadaku, meskipun luka hati itu perlu waktu untuk menyembuhkannya. Dan dalam hal ini kau tak usah merasa terlalu

bersalah, sebab aku mulai dapat memahami caramu

'berpikir. Kau tak akan mampu menangkap gejolak

pikiran maupun perasaanku dengan caramu berpikir

itu!"

"Ajarilah aku kalau begitu, Jeng!"

Nunik menggelengkan kepala. "I Ial seperti itu tak

bisa dipelajari, tetapi dialami melalui pengalaman

sendiri. Nah, sekarang aku tak mau membicarakan hal

itu lagi, termasuk persoalan di seputar kejadian semalam. Walaupun kauajak aku untuk melupakan semua

itu, namun aku hanya bisa menuruti sebatas apa yang

tadi kukatakan, yaitu menghentikan semua pembicaraan

itu hingga di sini. Tetapi untuk melupakannya, barangkali agak sulit. Ada hal-hal yang tak bisa kudiamkan

begitu saja. Hanya saja jangan tanyakan apa itu, sebab

aku tak akan menjawabnya. Oke?"

"Kalau begitu katamu, apa yang masih bisa kuusahakan lagi kecuali mengiyakan kata-katamu itu,

bukan?" sahut Wawan dengan tersenyum. Senyum

yang mengandung kesedihan dan kepasrahan.

"Bagus!" kata _Nunik sambil mencoba mengibaskan

bayangan senyum di bibir Wawan itu.

"Tetapi, Jeng. aku belum mendengar pernyataanmu

secara tegas sebagai bukti bahwa kau benanbenar

telah memaafkanku!"

Suara Wawan yang penuh harapan itu menyentuh

perasaan Nanik. Ia mencoba menguakkan senyum di

bibirnya.

"Yah baiklah, Mas. Aku telah memaafkanmu. Tetapi di samping itu aku juga mengharapkan maafmu

untukku!" katanya sendu.

"Untuk kesalahan apa?" alis mata Wawan naik.

"Untuk... kemanjaanku. Untuk... kebodohanku, untuk kekeraskepataanku. Bahwa... bahwa sentuhan fisik

di tempat gelap dan sunyi seperti semalam itu... bisa

berbahaya. Kau kau telah mengingatkanku semalam

sebelum peristiwa itu terjadi. Tetapi aku begitu keras

kepala dan tetap memintamu supaya meraba lututku

yang sakit, lalu kubiarkan tanganmu mengelus-elus

paha dan lututku itu sehingga..."

Suara Nunik yang terbata-bata terhenti oleh tangan

Wawan yang dengan gesit menutup mulut perempuan

itu. Persis seperti dulu semasa mereka kecil apabila

Nunik memaki-maki.

"Stop!" kata lelaki itu dengan suara lembut". "Kau

tadi telah mengatakan secara tegas untuk tidak lagi

membicarakan semua hal yang menyangkut kejadian

semalam. Tetapi sekarang kau malahan membicarakannya secara rinci!"

Wajah Nunik merona merah kembali demi mendengar kata-kata Wawan. Tangan lelaki itu diangkatnya dari mulutnya. Gerakan itu menyebabkan hidungnya mencium aroma wewangian maskulin yang berbaur tembakau. Khas bau Wawan yang sempat mendesirkan darahnya seperti kejadian semalam.

"Aku lupa...," katanya pelan. Dan untuk tidak

membiarkan darahnya mengalir terlalu deras, tangan

lelaki itu hendak dilepaskannya.

Tetapi gerakannya kalah cepat dengan Wawan

yang meloloskan tangannya dari genggaman Nunik

lalu sebagai gantinya ia menggenggam tangan wanita

itu ke dalam telapak tangannya yang kokoh dan

berotot. Dan kemudian dengan gerakan yang sama

gesitnya, punggung tangan Nunik dibawanya ke arah

mulutnya, lalu dikecupnya dengan lembut dan dengan

sikap takzim.

"Kecupan ini untuk menyatakan rasa terima kasihku atas pemberian maafmu," bisiknya.

'Nunik tak mampu menjawab. Napasnya tersangkut

di leher. Bibir Wawan yang lembut dan napasnya

yang hangat terasa menyapu-nyapu punggung telapak

tangannya. Itu sebabnya usahanya untuk menghentikan desiran darahnya agar jangan terlalu cepat mengalir bukan saja tak berhasil, tetapi bahkan kini

menjadi lebih cepat meiaju.

Untunglah dari tempat duduknya ia dapat melihat

pelayan sedang berjalan ke arahnya dengan nampan

besar berisi pesanan makanan yang diminta Wawan

tadi.

"Makanannya datang...," katanya dengan suara bergetar yang sulit ditahannya.

Wawan menganggukkan kepala dan tangan Nunik

dilepaskannya. Dengan sendirinya perhatian Wawan

terbagi, apalagi dengan pintar Nunik mengalihkan

pikiran ,mereka ke hal hal lain. Mula mula memang

terasa tersendat-sendat dan keduanya masih belum

bisa bersikap biasa seperti sebelum peristiwa semalam

terjadi. Tetapi lambat laun kekakuan dan rasa canggung itu menghilang sehingga dalam perjalanan pulang ke kota kembali, suasananya sudah nyaris seperti

sediakala. Bahkan Wawan sempat menagih janjinya

yang masih belum juga terpenuhi.

"Kau belum menceritakan keadaanmu selama tinggal di Jakarta. dan juga sepanjang waktu yang hilang

di antara kita berdua." katanya.

"Kan aku sudah bilang, tak ada yang menarik

dalam kehidupanku. Semuanya biasa-biasa saja,"

Nunik mengelak. Sekarang ia sudah memutuskan

untuk tidak akan menceritakan kehidupan perkawinannya dengan Hardiman. Wawan tidak boleh tahu bahwa ia tidak pernah merasa bahagia dalam perkawinannya dengan Hardiman. Ia berharap Wawan jangan

sampai tahu bahwa ia telah bercerai dari lelaki itu!

"Dan bukankah aku juga telah mengatakan bahwa

aku tidak mencari atau ingin mendengarkan suatu

cerita yang menarik? Aku hanya ingin mengetahui

kehidupanmu, Jeng. Aku sungguh sungguh buta mengenai kehidupanmu selama lebih dari sepuluh tahun

ini!" sahut Wawan menanggapi kata-katanya tadi.

"Yah., kalau kau benar benar ingin tahu, kehidupanitu di Jakarta selama ini biasa-biasa saja, sama seperti

kehidupan orang lain. Usai menamatkan kuliah, aku

bekerja dan bertemu dengan lelaki yang kemudian

menjadi suamiku," akhirnya Nunik bercerita juga

sesudah berulang kali Wawan mendesaknya. Tetapi

ia hanya memilih yang sekiranya tak akan membuka

apa yang ingin disembunyikannya dari Wawan. "Sesudah menjadi ibu rumah tangga. untuk beberapa

saat lamanya aku berhenti bekerja sambil menanti

datangnya anak di dalam kehidupan kami. Tetapi

sesudah dua tahun tanda-tanda itu tak datang, aku

pun bekerja kembali karena tidak enak menjadi penganggur. Apalagi dokterku juga menyarankan supaya

aku jangan terlalu berpikir tentang bayi karena hal

semacam itu justru akan menjauhkan hadirnya bayi

yang kudambakan. Tetapi nyatanya, meskipun pikiranku tak lagi terlalu diserap oleh hasrat untuk menjadi

seorang ibu, tetap saja bayi yang kudamba-dambakan

tak kunjung datang. Nah, kurasa sudah banyak

pengalaman hidupku yang kuceritakan hari ini!"

Wawan menoleh ke arah Nunik dan tersenyum

tipis.

"Belum, Jeng, belum semuanyal"'katanya kemudian.

"Apa lagi yang harus kuceritakan?"

"Yah. tentang kebahagiaanmu misalnya!"

Nunik menahan napasnya sesaat. Sesudah berpikir

sebentar. baru ia berani menjawab pertanyaan Wawan

tadi.

"Yah, aku merasa bahagia," jawabnya. "Aku dapat

mengamalkan ilmu yang sekian tahun lamanya kupelajari itu dengan baik. Dan suamiku tidak keberatan

aku merintis karierku. Cukup ceritaku?"

"Belum!"

"Belum?" sungut Nunik jengkel. "Maumu itu mendengar cerita yang mana sih, Mas? Bukankah semuanya sudah kuceritakan?"

"Jeng, aku kenal siapa dirimu. Kau tukang cerita

dan kalau menceritakan sesuatu, orang bisa terbawa

larut seolah ikut terlibat. Ingatkah kau, Jeng, aku

pernah menyangka bahwa kelak kau akan menjadi

pengarang!"

"Ya, ingat. Tetapi aku tak tertarik untuk menjadi

pengarang. Lalu apa hubungannya dengan ceritaku

tadi?" '

"Kau tadi menceritakan pengalaman hidupmu seperti menceritakan kehidupan orang lain. Bukan cerita

tentang dirimu pribadi. Aku merasa, ada banyak hal

yang masih kausimpan," Wawan menjawab dengan

nada suara meyakinkan sehingga sulit dibantah. ."Nah,

kalau sekarang ini aku sudah kauanggap bukan orang
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dekat lagi sehingga hal-hal tertentu tak semestinya

kuketahui, ya sudah. Simpanlah ceritamu itu. Aku tak

berhak mengetahuinya dan dengan rendah hati pula

aku akan menghormati ketentuan itu. Tetapi. kalau

alasannya karena hal-hal lain, tentu aku tak bisa

menerima, sebab berarti kau tak lagi menaruh kepercayaan kepadaku."

"Bagaimana kalau kedua prasangkamu itu" tidak

ada yang benar?"

Wawan menarik napas panjang. Sahutnya kemudian, "Entahlah. Aku sekarang merasa bahwa entah

sengaja atau tidak, kau sedang membangun tembok

pemisah di antara kita berdua!"

"Itu kan perasaanmu saja, Mas. Kau toh tak bisa

melongok isi hati orang. Dalam hal ini aku kan

sudah mengatakan sejak semula, bahwa pengalaman

hidupku selama sepuluh tahun itu tidak ada yang

menarik. Tetapi kau seperti tidak peduli."

"Bukannya tidak peduli, Jeng. Tetapi aku merasa

kau enggan bercerita."

"Yah, kalau mau bicara jujur, aku memang enggan

bercerita!" cetus Nunik tak sadar.

Wawan melirik Nunik beberapa saat lamanya.

"Jeng, apakah ada bagian bagian pahit yang kaualami di dalam perjalanan hidupmu selama itu?"

tanyanya seolah pandangan matanya diarahkan kembali kejalan raya di mukanya.

"Oh ya. Tentu saja, Mas. Kehidupan ini kan tidak

hanya berisi hal-hal yang romantis saja!" sahut Nunik

mengelak.

"Jeng, kau pasti tahu, bukan itu yang kumaksudl"

gumam Wawan setengah menggerutu. "Tetapi sudahlah, k_alau kau tak ingin bercerita, aku tak akan

memaksamu. Tetapi perlu kau ingat kembali, bahwa

setiap saat aku selalu bersedia menjadi tempatmu

mengadu."

"Aku tak pernah melupakan hal itu kok, Mas!"

"Syukurlah," Wawan menjawab dengan suara lega.

"Setidaknya aku tahu bahwa diriku masih mendapat

tempat di hatimu!"

"Tentu saja!" '

"Jeng Nunik, sebenarnya masih ada satu hal lain

yang ingin kuketahui tentang dirimu!"

"Mengenai apa?"

"Mengenai kehadiranmu di kota ini. Kata Mbok

Surti, kau membawa koper-koper besar. Kelihatannya

kau akan lama tinggal di kota ini. Apakah perkiraanku itu benar?"

Ditanya seperti itu, Nunik menjadi gugup. Tetapi

dengan sekuat daya ia mencoba menenangkan diri

dan berusaha menjawab pertanyaan Wawan dengan

wajar.

"Lama atau tidaknya, itu tergantung keadaan kok,

Mas!" jawabnya kemudian.

"Tergantung keadaan bagaimana?"

"Yah, kalau kangen orang Jakarta, 'ya aku akan

lekas kembali ke sana. Kalau tidak, ya aku akan

berlama-lama tinggal di sini!"

"Kau masih bekerja, kan?"

"Mm... ya...," Nunik terpaksa berdusta.

"Apakah sekarang ini kau sedang cuti?"

"Ya..."

"Berarti paling lama kau hanya akan tinggal di

sini selama dua minggu. Apakah suamimu tidak

merasa keberatan terlalu lama kautinggalkan, Jeng?"

tanya Wawan lagi. "Kan sudah kuingatkan padamu

kemarin, bahwa bagi seorang wanita yang sudah

bersuami, sebaiknya kalau bepergian ke luar kota itu

bersama sama suami. Kalaupun terpaksa sendiri, ya

jangan terlalu lama."

"Memang kalau tidak begitu, kenapa? Apakah kewajiban seorang istri itu harus selalu terus berada di

sisi suaminya dan harus selalu siap kalau diperlukan

untuk melayani segala kebutuhannya? Begitu?"

Wawan tertawa.

"Bukan, bukan begitu yang kumaksudkan. Aku

bukan penganut perkawinan kuno yang mengatakan

seorang istri harus bisa menerapkan surga nama,

neraka kami, atau ke surga sang istri ikut dan ke

neraka istri terbawa, seolah seorang istri itu bukan

subjek yang utuh," katanya kemudian. "Tetapi aku

juga selalu ingat bahwa kita ini hidup di dalam masyarakat Timur yang mempunyai banyak aturan yang

tak tertulis hitam di atas putih tetapi yang tetap

hidup dari generasi ke generasi; bahwa sepasang

suami istri itu dua pribadi satu kesatuan. Di mana

ada istri, di situ ada suami. Begitupun sebaliknya.

Tentu itu di luar urusan pekerjaan masingmasing

lho. Jadi, kalau kau tinggal di kota ini sampai se_

kian lamanya, orang akan bertanya-tanya ke mana

suamimu, dan mengapa kautinggalkan terlalu lama.

Kan begitu, Jeng!"

"Wah, itu artinya kalau aku akan tinggal di sini

lebih dari dua minggu, orang akan bertanya-tanya,

ya?" suara Nunik agak meninggi. Ia tidak ingin

urusan rumah tangganya dibicarakan orang.

_ "itu kenyataan yang tak terelakkan, Jeng. Mereka

bukannya mau tahu urusan orang, tetapi mereka

pasti akan merasa heran dan menduga-duga mungkin

terjadi sesuatu yang agak menyimpang dari kebiasaan

pada umumnya."

"Kalau itu memang terjadi, ya sudah, aku akan

membiarkannya. Lama-kelamaan mereka yang ingin

tahu itu kan bosan sendiri. Aku tak peduli kok, selama aku tidak melakukan hal-hal yang salah. Baik

salah secara moral maupun yang melanggar ketentuan

umum."

"Mendengar bicaramu, tampaknya kau memang

akan tinggal lebih lama di sini. Apakah benar?"

"Kan tadi sudah kukatakan, tergantung keadaan."

"Jadi artinya, bisa lama bisa juga sebentar? Begitu,

kan?

"Ya." _

"Kalau lama, itu artinya berapa lama, Jeng?"

"Yah, lama cuti besar itu biasanya berapa lama

sih?" Nunik balik bertanya sambil meruncingkan

bibirnya.

"Satu bulan? Satu setengah bulan?"

"Yah, kalau begitu ya sekitar itulah aku akan

tinggal di sini. Atau mungkin lebih. Aku kan bisa

mengambil cuti di luar tanggungan!" sahut Nunik

kalem. '

Wawan tertegun. la melirik Nunik sekali lagi.

"Suamimu kaubiarkan sendiri?"

"Suamiku tidak ada di tempat koki" dalih Nunik

sekenanya.

"Oh, suamimu sedang tugas ke luar kota?"

"Yah, begitulah!"

"Kok begitulah? Ceritakanlah padaku, Jeng. Aku

benar benar ingin tahu kehidupanmu. Khususnya kehidupan rumah tanggamu. Kalau mendengar kau

hidup bahagia, kan aku senang mendengarnya!"

"Pokoknya aku berbahagia, Mas. Dan suamiku

tidak keberatan aku tinggal lama bersama Eyang.

Saat ini ia tak memerlukanku. Jelas?"

"Karena sedang tidak di tempat?"

"Ya."

"Oh, itu sih soal lain. Tentunya kau kesepian

kalau-ditinggal sendiri terlalu lama. Memang ada

baiknya kalau kau pergi berlibur dan tinggal bersama

kedua eyangmu!"

"Tampaknya kau masih juga belum berubah, Mas.

Dari dulu selalu saja mengkhawatirkan aku kalaukalau aku ini melakukan kesalahan!" gerutu Nunik.

"Padahal sekarang ini aku kan sudah dewasa. Masa

sih aku belum bisa memilah-milah mana yang baik

dan mana yang buruk."

"Aku percaya sekarang ini kau sudah dewasa, dan

sudah matang untuk memilih tindakan yang benar dan

bertanggung jawab. Tetapi aku masih melihat ada

beberapa sifat keras kepalamu yang belum sepenuhnya

hilang. Jadi, aku yakin kalau hatimu yang keras dan

kepalamu yang membatu itu sedang kumat, kau tak

lagi mau memakai pertimbangan akal budimu yang

dewasa itu!"

"Ah, jangan khawatir!"

"Mudah-mudahan aku memang tidak perlu harus

mengkhawatirkan dirimu." Wawan tersenyum. "Nah,

kita sudah masuk ke kota, sebaiknya kau kuantar ke

rumah atau kau mau pergi ke tempat lain?"

Nunik melihat arlojinya.

"Aku mau ke pertokoan sebentar. Mau membelikan

Mbok Surti celemek. Kalau masak, bagian perutnya

selalu saja kotor."

"Itu karena perutnya gendut!" senyum Wawan

lagi

"Ya, memang. Semakin gemuk saja dia!" Nunik

juga tersenyum

"Belanjanya lama atau tidak?"

"Kalau lama kenapa, dan kalau tidak kenapa?"

"Kaiau nanti sampai agak sore, datang saja ke

tokoku. Nanti kita pulang sama-sama!"

"Apakah kita berempat bisa cukup duduk di muka

begini?" tawa Nunik "Aku emo/1 kautaruh di bak

terbuka di belakang itu lho!"

"Jangan khawatir!" Wawan juga tertawa "Bapak

hari ini tidak ke toko kok. Sedang ke luar kota, memesan barang!"

"Kalau memang begitu, aku nanti akan pulang ke

tokomu, Mas!" kata Nunik memutuskan. Ia merasa

senang hubungan baik mereka telah pulih seperti

'semula. Ini suatu kemajuan. Jadi ada baiknya juga

kalau tawaran Wawan diterimanya.

"Kutunggu, ya!"

"Ya."

Karena Nunik senang berjalan-jaian dan membeli

sesuatu untuk kedua eyangnya, dan untuk Mbok

Surti maupun Sjti, waktu tak terasa hilangnya. Tahutahu sudah hampir jam empat sore. Oleh karena itu

sebelum pergi ke toko Wawan ia membeli makanan

kecil untuk Bu Marto sebagai oleh oleh. Kemudian

dengan berbecak ia meninggalkan pertokoan itu. Jarak

antara pertokoan dengan toko Wawan hanya sekitar

dua setengah kilometer saja. Jadi tak terlalu lama
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada di jalan, ia sudah sampai.

Di ruang pamer ia melihat Bu Marto yang langsung tertawa lebar menyambut kedatangannya.

"Memboreng apa, Jeng Nunik?" sapanya.

"Hanya barang-barang untuk menyenangkan orang

rumah saja kok, Bu Marto. Dan ini saya juga membawakan sesuatu untuk dibawa pulang," kata Nunik

sambil menyerahkan bungkusan berisi kue-kue basah

ke tangan Bu Marto.

"Wah, kok repot-repot, Jeng!" sambut Bu Marto.

"Apanya yang repot, Bu Marto. Kalau bicara soal

repot. Mas Wawan itu yang selalu saya repoti. Baru

beberapa hari kembali ke kota ini saja, saya sudah diajaknya makan-makan di tempat yang enak. Apa bisa

saya nanti membalas kebaikan keluarga Bu Marto?"

"Eh, kok mendadak berbasa-basi begitu!" Bu

Marto tergelak. "Jangan begitu ah. Keluarga Jeng

Nunik dengan keluarga kami kan sudah bukan seperti

orang lain saja. Ayo masuk. Jangan berdiri di sini!"

"Laris tokonya hari ini, Bu Marto?"

"Yah, lumayan. Tadi ada sepasang pengantin baru

membeli seperangkat perabot untuk isi rumahnya!"

sahut yang ditanya sambil menggamit lengan Nunik

untuk diajak masuk ke ruang dalam, tempat pribadi

yang tidak setiap tamu bisa masuk.

"Wah, itu ya bukan lumayan lagi, Bu Marto."

Bu Marto hanya tersenyum. Nunik dibawanya

masuk ke tempat Wawan bekerja. Lelaki itu menyukai

tempat yang tersendiri untuk membuat desain perabot

yang akan dipasarkannya. Sesudah berbincang-bincang

lebih "jauh dengan lelaki itu, Nunik tahu bahwa

Wawan lulusan sekoiah tinggi teknik interior. Sejak

kecil lelaki itu memang memperlihatkan jiwa seni

dan kreativitas yang tinggi. Orangnya juga tak pernah

mau menganggur.

Ketika pintu dibuka dan Bu Marto masuk bersama

Nunik, barulah tampak bahwa Wawan tidak sedang

sendirian. Ada Astri yang duduk cemberut di sudut

sofa sementara Wawan sedang menulis di mejanya

yang lebar.

"Lho, Nak Astri," sapa Bu Marto. "Ibu kok tidak

melihatmu masuk kemari. Sudah lama?"

"Ya, sudah kira-kira satu jam yang lalu, Bu!"

sahut yang ditanya tanpa senyum. "Tetapi Mas

Wawan lebih suka mengobrol dengan kertas-kertas

di depannya!"

"Tanggung, Dik Astri!" seringai Wawan sambil

menatap orang-orang di sekitarnya itu dengan pandangan memohon pengertian. "Kan 'sudah kukatakan tadi.

Dan aku sudah minta maaf karena sulit meninggalkan

pekerjaan begini. Sebab bisa terbengkalai."

"Sudahlah, Wan, masa pekerjaanmu tidak bisa

ditinggal barang sebentar saja!" Bu Marto menengahi.

Perempuan itu sudah menangkap adanya udara tak

sehat di sekitar tempat itu. "Kasihan Nak Astri.

Sudah terlalu lama menunggumu!"

"Bukan hanya itu saja. Bu. Saya sudah dua kali

ini kemari dalam sehari tadi," Astri menjawab setengah mengadu. "Siang tadi saya kemari mau mengajaknya makan siang. Ternyata tidak ada di tempat.

Padahal saya sudah membolos hanya untuk bisa

makan siang bersama-sama!"

"Jangan salahkan aku, Tri," Wawan membela diri.

"Pertama, kau tidak mengatakan lebih dulu kalau

mau makan siang bersamaku. Kedua, sebelumnya

kita juga tidak ada janji untuk makan siang. Khususnya karena belakangan ini aku lebih repot daripada

biasanya. Kau lihat ini, aku masih harus mendesain

ruang kantor pesanan orang!"

"Ya, aku tahu kau memang repot sekali belakangan

ini!" Astri menjawab dengan nada sinis. Sesudah itu

matanya yang bulat dan tajam melirik ke arah Nunik

beberapa saat lamanya, sehingga perempuan itu yakin

bahwa Astri mengetahui kepergian-kepergian Wawan

bersamanya. Akibatnya ia merasa tak enak. Apalagi

ia dapat meramalkan betapa akan semakin kesalnya

hati Astri kalau ia tahu bahwa kedatangannya ke

toko ini karena mau ikut mobil Wawan. Maka pikirannya pun bekerja.

"Mas Wawan," katanya kemudian sesudah menetapkan diri.

Wawan menoleh ke arahnya.

"Ya...?"

"Aku mau pamit pulang. lni tadi aku cuma mampir

mau membawakan sesuatu untuk ibumu."

"Lho, katanya mau ikut mobilku?"

"A-h, tak usah. Aku mau lekas-lekas sampai ke

rumah kok!" jawab Nunik sambil memaki Wawan di

dalam hati. Polos betul sih, pikirnya. Kenapa soal

ikut mobilnya dikatakan di muka Astri, padahal

gadis itu sedang merasa diabaikan?

"Aku tak lama lagi juga selesai, Jeng!"

Nunik mendelik diam-diam ke arah Wawan tanpa

sepengetahuan yang lain kecuali oleh yang bersangkutan, lalu dengan gerakan yang juga diamdiam, ia memberi isyarat agar memikirkan kehadiran

Astri. Dan demi melihat peringatan itu, Wawan pun

tersenyum sekilas untuk kemudian menganggukkan

kepala tanda mengerti. Nunik menjadi lega karenanya.

"Aku memang ingin pulang sendiri kok, Mas

Wawan," katanya kemudian. "Kedatanganku kemari

ini selain untuk membawakan oleh-oleh bagi Bu

Marto, juga untuk mengatakan bahwa aku tak jadi

ikut mobilmu karena harus iekas Iekas pulang. Tadi

aku lupa mengatakan bahwa Eyang Putri minta diantarkan ke dokter mata." .

"Kalau memang begitu, ya sudahlah!" sahut

Wawan.

Nunik tersenyum. Manis sekali senyumnya karena

dapat membuat Wawan mematuhinya.

"Ayo, Bu Marto, antarkan saya ke depan," katanya

kemudian. Lalu masih dengan senyum manis ia menoleh ke arah Astri. "Ayo, Dik Astri, aku pulang

dulu, ya?"

"Silakan, Mbak!" sahut Astri pendek.

Di muka toko, sambil menunggu becak kosong

lewat, Nunik berkata kepada Bu Marto sambil menggelengkan kepala.

"Mas Wawan itu terlalu," katanya. "Mestinya pekerjaannya ditunda dulu kalau kekasihnya datang!"

"Ya begitu itu si Wawan kalau menghadapi gadis

gadis. Makanya tak pernah panjang umur percintaannya dengan mereka. Paling banter dua bulan!"

"Dua bulan?"

"lya. Tetapi ya siapa sih yang tahan dinomorduakan kekasih!"

"Mungkin karena masih belum sreg saja hatinya,

Bu. Mudah-mudahan dengan Dik Astri ini bisa langsung sampai ke perkawinan!"

"Yah, mudah mudahan. Sudah hampir satu tahun

hubungan mereka. Ini suatu keajaiban."

"Bu Marto juga sudah cocok mendapatkan calon

menantu seperti Dik Astri yang berwajah manis menarik itu, bukan?"

"Sekarang ini bagi saya yang penting adalah kebahagiaan Wawan. Soal cocok atau tidak, itu urusan

lain," Bu Marto tersenyum tipis. "Walaupun kadangkadang saya merasa kecewa juga, kok gadis yang

didekatinya secara serius lebih dari yang lain-lainnya

itu, masih muda. Hampir delapan tahun'beda usia

mereka."

"Ah, delapan tahun tidak terlalu banyak bedanya,

Bu. Bu Marto tak usah khawatir. Nanti kalau sudah

menjadi seorang istri, apalagi sudah menjadi ibu,

Dik Astri tentu akan bersikap lebih dewasa dan

lebih matang!" kata Nunik. Diusirnya lintasan rasa

sakit yang tiba-tiba lewat di dalam hatinya tatkala

kata-kata itu terucapkan oleh mulutnya. Sungguh

menekan hatinya sendiri membayangkan semua yang

dikatakannya kepada Bu Marto itu.

"Yah, mudah-mudahan, Jeng," Bu Marto menganggukkan kepalanya. "Saya sudah amat rindu menimang cucu. Kalau bisa ya, jangan seorang. Se

tidaknya ya, dua orang. Mempunyai anak cuma seorang begini, sering kali saya merasa kesepian kalau

ditinggal pergi. Dengan adanya beberapa orang cucu,

kan rumah kami nanti akan terasa lebih semarak."

"Ya memang, Bu!"

Yah, memang benar, bukan? Berapa tahun sudah

ia berusaha agar rahimnya disinggahi buah hati yang

bisa menyemarakkan rumahnya dengan tawa dan

bahkan dengan tangisnya?

Nunik merasa dadanya sesak. Wawan kelak pasti

akan mempunyai beberapa orang anak dengan Astri.

Sedangkan dirinya sendiri? Bukan saja ia harus membiarkan Wawan menjadi milik orang lain dan membentuk keluarga bahagia bersama orang itu, tetapi

juga merasa gamang membayangkan masa depannya

sendiri. Akan bagaimanakah nasibnya esok, lusa,

dan selanjutnya? Kalau Hardiman saja yang dulu begitu menggebu-gebu cintanya dapat menyingkirkannya

begitu saja dengan alasan tak mampu memberinya

anak, bagaimana nanti kalau bertemu pria lain yang

tahu ia hanyalah seorang janda cerai?

MESKIPUN Nunik tidak melihat dengan mata kepala

sendiri. tetapi indra keenamnya mengatakan bahwa

di belakangnya ada seseorang yang sedang mengikuti"

nya. Tetapi ia tidak berani menoleh. Hanya langkah

kakinya saja yang dipercepatnya.

Saat itu hari sudah senja. ia baru saja pulang dari

kursus bahasa Inggris, khusus memperdalam tentang

hal-hal yang menyangkut dunia perkantoran dan usaha. Hal itu dianggapnya perlu sebagai salah satu

bekalnya mencari pekerjaan nanti. Meskipun sudah

menjadi sarjana, ia merasa bahasa Inggris-nya masih

sering kacau-balau.

Dari tempat kursus ia bermaksud pergi ke toko

buku terbesar di kota untuk mencari buku-buku

yang dapat menunjang pelajaran bahasa yang sedang

diikutinya itu. Dari tempat kursusnya, toko buku

yang terletak di sekitar pertokoan itu tak terlalu jauh

letaknya. Dengan naik becak jaraknya tanggung. Apalagi dengan bus kota. .ladi, ia memilih berjalan kaki.

Tetapi kini ia menyesal. Pikirnya, kalau yang mengikutinya itu bukan penjahat atau penjambret atau

penodong, tentulah lelaki iseng berhidung belang.

Kadangkadang ia menyesali dirinya yang sering

kurang panjang pikir. Mengira di kota kecil, apalagi

di kota di Jawa Tengah yang merupakan salah satu

pusat budaya keraton yang tinggi, tak akan terjadi

suatu kejahatan. Nyatanya belakangan ini di Yogya

yang tak jauh dari kota ini, sering terjadi penjambretan. Lebih-lebih terhadap orang asing. Sungguh memalukan sekali. Dan sekarang di kota yang kata

orang penduduknya lebih halus, lembut, dan sopan

santun ini dirinya diikuti oleh seseorang, kendati

malam belum lagi turun.

"Halo?" bisik suara di belakangnya, tatkala ia

sudah hampir mencapai toko terujung dari kompleks

pertokoan yang sedang didatanginya itu.

Nunik mempercepat langkah kakinya lagi, tanpa

berniat menoleh sedikit pun. Pikirnya, di tempat

yang ramai pastilah orang yang mengikutinya itu
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan menghentikan niat buruknya.

"'I lalu..," bisik suara itu lagi. Lebih dekat daripada

sebelumnya. "Wah, cantik cantik kok tuli!"

Nunik diam saja. Tetapi rasa takutnya agak berkurang karena mendengar bisikan semacam itu. _Penjabat tidak akan bicara begitu. Jadi, kemungkinan

besar orang itu cuma lelaki kurang ajar saja. Dan

menghadapi lelaki kurang ajar tidaklah sulit. Nunik

sudah sering dikurangajari orang di jalan. Kalau

hanya dihujani kata-kata berisi godaan atau kekurangajaran, baginya tak jadi masalah besar selama orang

itu tidak melakukan hal-hal yang menyakiti atau

menjailinya.

"Halo, Jeng Nunik..."

Mendengar namanya disebut, barulah Nunik meng

hentikan langkahnya dan langsung menoleh ke belakang.

"Ah, Mas Wawan!" serunya lega. "Kau sungguh

keterlaluan. menakut-nakuti orang saja. Kukira orang

jahat tadi!"

"Takut?" Wawan mulai menjajari langkah kaki

Nunik. Sekarang mereka berdua memperlambat langkah

mereka.

"Tentu saja. Tetapi waktu kau bilang cantik-cantik

kok tuli, rasanya takutku agak berkurang. Sebab

penjahat kan tidak begitu!"

"Kalau terhadap lelaki kurang ajar-, tidak takut?" '

"Tergantung tingkat kekurangajarannya. Kalau

cuma sekadar menggoda dengan mulut saja, aku

tidak takut. Kuanggap saja mereka "seperti anjing

sedang menggonggong."

"Sering kau dikurangajari seperti itu?"

"Sering sekali. Bahkan meskipun aku sudah bukan

remaja begini. Orang Jakarta memang lebih agresif.

Malahan anak-anak remaja pun berani menggoda tante-tante!"

"Tetapi tentunya yang digoda mereka, apalagi yang

sering digoda oleh lelaki-lelaki semacam itu, adalah

wanita-wanita secantik dirimu."

Nunik menoleh ke arah Wawan. Ia mengenakan

kaus berkerah yang mencetak tubuhnya yang gagah.

Memang Wawan tidak ganteng ataupun tampan, tetapi

secara keseluruhan ia benar-benar menarik. Penampilannya tampak begitu jantan dengan tubuhnya yang

atletis. Suatu bentuk yang dihasilkan oleh kesukaannya bergerak dan berolahraga semenjak keeil. Dan

kelincahan yang terpupuk oleh kesukaannya memanjat

pohon. memanjat genting, dan sebagainya. Kini di

masa dewasanya apa yang terbentuk dan terpupuk

semenjak kecil itu menghasilkan lirikan dari beberapa

wanita yang berpapasan di jalan dengannya. Sosok

seperti Wawan memang mengundang orang untuk

menoleh lebih dari sekali.

"Kau masih saja suka memujiku secara terus terang!" kata Nunik sesudah mengagumi teman seperjalanannya itu. "Bukankah sudah kukatakan itu tidak

baik. Khususnya bagi pendengaran orang lain. Kita

ini orang Jawa yang sejak kecil diberi contoh untuk

tidak mengatakan tentang sesuatu yang menyangkut

perasaan secara terang�teranganl"

"Benar. aku juga tahu itu. Tetapi hal semacam itu

tidak terjadi di dalam lingkungan intern keluarga.

Keluarga terdekat adalah tempat kita tidak perlu

harus memakai istilah terkait-ethnic atau puraupura

dalam arti berbasa-basi. Ingat, kan?"

"Ya. Tetapi bagaimanapun juga eratnya kita yang

sudah seperti keluarga dekat ini, orang luar tak

mampu merasakannya. Bahkanmelihatnya pun belum

tentu bisa. Khususnya dalam persoalan kita ini adalah

Dik Astri. Bukankah pernah kukatakan hal itu kepadamu, Mas? Aku kan bukan hanya asa] mengingatkan saja, tetapi malahan sudah mengalaminya.

Dik Astri tahu kita beberapa kali keluar bersamasama hanya berduaan saja. Entah karena cemburu

atau tidak, tetapi jelas sekali ia tak menyukai hal

itu!"

"Jadi, kau lalu menjauhiku seperti hampir sepuluh

hari lamanya ini?" sahut Wawan sambil memasukkan

telapak tangannya ke pantalonnya. "Setiap aku ke

rumahmu, Mbok Surti atau Siti mengatakan kau

tidak ada di rumah. Dan setiap pagi kalau aku

mengurusi burung-burung eyangmu. jendela kamarmu

sengaja tak kaubuka supaya kalau aku memilih lewat

di muka kamarmu, kita tidak akan berjumpa!"

"Aku memang sengaja menjauhimu, itu harus kus

akut. Tetapi masalahnya bukan melulu karena men"

jaga perasaan Dik Astri saja. Tetapi juga supaya aku

bisa mencurahkan pikiranku kepada kesibukanku yang

baru!"

"Kesibukan baru apa?"

"Kursus bahasa Inggris," Nunik menjawab sambil

menaiki anak tangga menuju sebuah kios buku.

Siapa tahu di toko kecil itu ada buku-buku yang dicarinya, sehingga tak perlu harus pergi ke toko buku

yang besar. "Sekarang pun aku sedang mencari bukubuku yang akan ikut menunjang kelancaran peIajarankul"

Wawan diam saja dan membiarkan Nunik berbicara

dengan pelayan toko yang ada di muka mereka.

Tetapi kelihatannya buku yang dicarinya tidak ada,

sehingga perempuan itu keluar lagi dari situ. Dan

Wawan mengekor di belakangnya.

"Jeng, kursusnya berapa lama?" tanyanya sesudah

ia berdiam diri beberapa saat lamanya.

"Aku ambil yang semiprivat dan seminggu datang

tiga kali!" sahut yang ditanya.

"Ini tadi juga baru pulang kursus, ya?" tanya

Wawan lagi sambil melirik bawaan Nunik.

"Ya. Dan kau tadi dari mana, Mas?"

"Dari rumah. Sedang iseng ingin jalan-jalan. Lalu

aku melihatmu berjalan sehingga aku minta berhenti

dan lalu turun untuk menyusulmu. Tidak keberatan.

kan?"

"Tidak," Nunik tertawa kecil. "Harus kukatakan

tidak, kan? Kau toh sudah berjalan bersama-samaku

sejak tadi. Masa aku tega mengatakan keberatan."

Wawan tersenyum.

"Kalaupun kau merasa keberatan, aku tetap akan

nekat berjalan bersamamu. Lebih baik digerutui tetapi

ada teman daripada berjalan sendirian tanpa teman!"

katanya kemudian.

"Dik Astri di mana?"

"Sedang ada urusan keluarga," Wawan menjawab

pendek.

"Kalian baik-baik saja, kan?"

"Baik-baik saja."

"Syukurlah."

"Kembali kepada cerita tentang kursusmu tadi,

kau belum menjawab sampai berapa lama kursus

bahasa Inggris-mu itu?" kata Wawan mengalihkan

pembicaraan.

"Mungkin tiga bulan. Aku kurang tahu. Belum

. kutanyakan!" sahut Nunik tanpa menyadari betapa

pentingnya jawaban yang ingin diketahui oleh Wawan

itu.

"Tiga bulan?" alis mata Wawan terangkat. Dan

melihat itu barulah Nunik menyadarinya.

"Mungkin. Jadi bisa saja cuma satu bulan!" sahutnya mulai memagari diri.

"Tidak mungkin kursus bahasa hanya satu bulan

saja." Wawan menatap mata Nunik. "Jeng, apakah

kau tidak terlalu lama meninggalkan suamimu?"

"Kan sudah kukatakan, dia tidak ada di tempat."

"Aku ingat itu, tetapi kau kan juga punya rumah

tangga yang tidak bisa ditinggalkan terlalu lama."

"Jangan terlalu banyak mengguruiku, Mas. Aku

tahu apa yang harus kulakukan."

"Kau sudah banyak berubah...," gumam Wawan.

"Kau pun demikian. Dan kurasa itu wajar. Kita

sudah semakin tumbuh dan berkembang sesuai dengan bertambahnya umur kita. Sedangkan situasi

dan kondisi yang ada di seputar kehidupan kita

masing-masing juga sudah berbeda dengan dulu..."

"Ah, kau tahu bukan itu yang kumaksudkan!"

Wawan menggumam lagi. Kini diwarnai oleh gerutuan.

"Sudahlah, aku tak mau membicarakan hal itu

meskipun aku tahu kau bermaksud baik. Nah, aku

ingin tahu kenapa kau tidak naik mobil!" Kini Nunik

yang mengalihkan pembicaraan. _

"Sudah kutaruh di toko kembali. Lebih bebas

naik kendaraan umum," sahut yang ditanya.

"Dan selain mengikutiku ke toko, kau mau ke

mana lagi?"

"Tidak ke mana-mana. Aku hanya ingin menemanimu. Dan lalu sesudah kau belanja, aku ingin mengajakmu makan nasi liwet lesehan!"

"Enak?"

"Aku tak akan mengajakmu kalau tidak enak

"Oke. Aku mau mencicipi nasi liwetmu itu!"

"Dan mau nonton film bersamaku sesudah itu?"

"Tidak. Eyang pasti akan cemas kalau aku pulang

terlalu malam!" sahut Nunik. Mereka sudah tiba di

toko buku yang memang merupakan tujuan Nunik.

"Aku akan menelepon dan mengatakan kepada

|"

mereka bahwa malam ini aku ingin mentraktirmu

nonton. Di toko buku- itu pasti ada telepon umum.

Serahkan masalah itu kepadaku!"

Nunik tidak tega menolak kemauan Wawan. Lelaki

itu tampak begitu yakin akan dapat mengajaknya

nonton. Kalau ditolak, pastilah ia akan kecewa.

"Terserahlah kalau begitu...," akhirnya ia menjawab.

Dan ternyata Nunik merasa senang menonton film

itu. Ceritanya bagus. Hanya sayangnya penontonnya

tidak banyak. Mungkin karena bukan malam libur.

Di tengah pertunjukan Wawan menawarinya permen pedas. Memang hanya itu yang dibawanya,

karena mereka baru saja selesai makan nasi liwet.

Baik Wawan maupun Nunik, sama-sama minta tambah. Memang rasanya lebih sedap makan di atas

pincuk daun pisang meskipun dengan dilandasi piring

juga. Sudah begitu nasinya hangat, ayamnya gurih,

dan sayur labu siamnya enak. .

Nunik mengambil permen yang diulurkan oleh

Wawan. Tetapi karena gelap tangan Nunik menyentuh

telapak tangan Wawan yang segera menangkapnya.

"Kok tanganmu dingin, Jeng?" kata lelaki itu.

"Aku sampai kaget waktu tersentuh tanganmu!"

"Dingin. AC-nya terlalu dingin!" sahut Nunik gelisah. Perbuatan Wawan menggenggam tangannya dirasa terlalu akrab. Apakah lelaki itu tidak ingat

peristiwa sepuluh hari yang lalu?

"Kalau begitu sembunyikan tanganmu yang satu

ke saku gaunmu. Yang ini biar kugenggam supaya
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hangat!" _

Nunik tidak berani membantah, karena cara Wawan

bicara dan menggenggam tangannya terasa begitu

' wajar. Seperti seorang kakak yang hendak melindungi

adiknya. Jadi akhirnya ia diam saja.

Tetapi mereka berdua tak berpikir panjang bahwa

sentuhan tangan itu terlalu intim bagi sepasang insan

yang sudah sama-sama dewasa. Pikiran dan perhatian

mereka yang semula tercurah ke layar mulai terpecah.

Apalagi Wawan, yang merasakan betapa mulus kulit

tangan Nunik serta [entiknya-jari-jemari perempuan

itu. Tanpa dapat menahan diri, tangannya mengeluselus jemari yang ada di dalam tangannya itu dengan

gerakan lembut. Sesekali juga pada punggung telapak

tangannya dan berlama-lama di tengah tengah telapak

tangan itu.

Nunik merasa napasnya mulai tak keruan. Otaknya

menjadi lumpuh. Padahal kalau saja otaknya tidak

sedang terlena seperti itu, ia masih teringat untuk

tidak membiarkan keintiman itu berlanjut. Ia belum

dapat melupakan kejadian di halaman depan rumah

eyangnya sepuluh malam yang lalu.

Untung filmnya segera usai. Dengan demikian

Wawan segera melepaskan tangan Nunik begitu

tulisan "The End" terbaca. Namun keduanya sudah

telanjur tak mampu mengembalikan suasana seperti

_ biasa. Juga ketika Wawan membawa Nunik pulang

dengan taksi.

Tetapi seperti di dalam gedung bioskop yang

dingin ditambah tak banyak penonton hingga menambah dinginnya udara, di dalam taksi pun AC-nya

terasa sangat dingin. Taksi-taksi di kota ini memang

masih baru-baru karena belum lama kota ini diberi

pelayanan angkutan taksi.

Ketika turun dari taksi dan mereka berdua berjalan

menyeberangi halaman rumah kakek Nunik, barulah

Wawan yang sepanjang perjalanan tadi nyaris berdiam

diri mengimbangi Nunik yangjuga tak banyak bicara,

bertanya kepada perempuan itu.

"Dingin sekali, ya?" Sejak tadi ia sudah melihat

Nunik menggigil.

"Ya. Aku sampai menggigil. Mana tidak memakai

baju hangat. Aku tak tahu kalau mau diajak nonton

dan naik taksi sih!"

"Mari kupeluk kalau begitu!"

Nunik menegang sesaat lamanya. Apakah Wawan

lupa bahwa mereka bukan kanak-kanak lagi? pikirnya.

Dulu memang pernah terjadi, Nunik demam dan

tubuhnya menggigil. Kedua eyangnya belum tahu

karena keduanya sedang bepergian. Wawan-lah yang

memeluk tubuhnya sesudah memakaikan baju hangat

untuknya. Dan entah itu karena kebetulan atau karena

usahanya, dalam waktu yang tak terlalu lama Nunik

sudah berkeringat. Suhu tubuhnya menurun. ltu dulu

ketika Nunik masih kecil.

Tetapi sekarang Wawan tampaknya tak ingat apa

pun kecuali keinginan untuk menghentikan rasa dingin

yang sedang Nunik rasakan. Apalagi dia sendiri pun

merasakan betapa dinginnya berada di ruang ber-AC

dan kemudian disambut udara malam yang sejuk.

Angin berbau air memang sedang mengancam kota.

Sesekali di kejauhan terlihat kilatan yang merobek

langit. Jadi sadar maupun tidak, Wawan menganggap

memeluk Nunik itu sebagai perbuatan yang wajar.

Tetapi Nunik tak mampu menganggap perlakuan

Wawan yang akrab itu sebagai sesuatu yang wajar.

Lebih-lebih lengannya yang merapat pada dada lelaki

itu merasakan debaran jantung lelaki itu.

"Mas Wan, aku sudah tidak merasa dingin lagi

kok...," katanya kemudian. Suaranya terdengar bergetar. Dan getar suara itu tertangkap oleh Wawan.

"Suaramu masih bergetar begitu kok tidak mau

mengaku kalau kedinginan!" gerutu Wawan, masih

tetap memeluk Nunik sambil melangkah.

Nunik merasa lega bahwa Wawan menyangka

suaranya bergetar karena kedinginan dan bukannya

karena ia berada begitu rapat dengannya.

"Tetapi aku sudah hampir tiba di rumah!" sahutnya,

mencoba tersenyum wajar dengan menengadahkan

wajahnya. Dikiranya perbuatan itu akan menetralisir

hatinya yang sedang amat terpengaruh oleh perbuatan

Wawan yang dengan enaknya memeluk tubuhnya

itu. Tak enak rasanya.

Nunik baru menyadari kekeliruannya tatkala langkah Wawan terhenti dan lelaki itu membalas tatapannya dengan menundukkan kepala. Wajah mereka

begitu dekat satu sama lain. Bahkan Nunik merasakan

napas Wawan yang hangat menyapu-nyapu anakanak rambut di atas dahinya. Dalam keremangan

cahaya lampu teras di depan mereka, kedua pasang

mata itu pun saling bertaut. Nunik menatap mata

Wawan dan Wawan menatap mata Nunik. Beribu

bahasa yang tak terucap di bibir namun ramai di

hati berjejalan di udara di sekitar mereka, membuat

sekeliling mereka menjadi penuh dengan suasana

aneh yang tak bisa dirumuskan ke dalam katavkata.

Mata Nunik terasa amat berat, tak tahan menghadapi situasi semacam itu. Kedua kakinya terasa

lemas, sedang otaknya berperang dengan hatinya.

Antara perintah untuk segera melepaskan diri dari

pelukan Wawan dengan keinginan untuk menikmati

kenyamanan pelukannya yang hangat. Dan dalam

peperangan batin itu bibir Nunik terkuak, seolah

ingin mengeluhkan ketakberdayaannya menghadapi

kedua hasrat batinnya itu.

Wawan menatap wajah Nunik tanpa berkedip. la

menikmati kecantikannya lewat pandangan matanya

dan melihat mata perempuan yang sedang dipeluknya

itu tampak bergetar. Sungguh pemandangan seperti

itu amat memukaunya. Sama sekali ia tak menyangka

akan menemui pengalaman memesona seperti itu.

Tak heran apabila ia menjadi lupa diri untuk beberapa

saat lamanya. Lebih-lebih lagi tatkala ia melihat

bibir Nunik merekah. Maka dengan segala ketakberdayaannya seperti yang juga sedang dialami oleh

Nanik, lelaki itu menundukkan kepala dan kemudian

mengecup bibir itu dengan amat mesranya.

Suasana yang remang, udara yang dingin, jeritan

burung malam, dan desah dedaunan yang tak berdaya

tertiup angin tajam seolah tak ada lagi di sekitar

mereka berdua. Tubuh keduanya salingmerapat dan

pelukan tangan mereka semakin ketat. Dada mereka

berlalu-telu tak terkendali, seolah mereka tak ingin

berhenti dari keadaan seperti itu. Namun bagaimanapun juga mereka harus kembali kepada realitas yang

sedang mereka hadapi, mau ataupun tidak. Ketika

dua ekor kucing yang sedang berkejaran dengan

suara riuh melintas di dekat mereka, Nunik tersadar

dari ienanya. Dilepaskannya dirinya dari pelukan

Wawan dan segera menjauhi lelaki itu.

Wawan berdiri dengan wajah kebingungan sementara Nunik menatap wajah lelaki itu dengan pipi

kemerah-merahan. Kedua belah tangannya tergantung

lunglai di sisi tubuhnya. Hatinya kacau balau.

"Jeng..., aku tak bisa mengatakan apa pun dalam

peristiwa yang tak direncanakan maupun tak disangkasangka ini," kata Wawan memutuskan suasana

canggung yang amat menekan perasaan itu. "Kecuali

rasa penyesalan. Kenapa kau tidak menamparku keraskeras?"

Nunik terpaku di tempatnya. Beberapa saat lamanya

ia memandang ke mata Wawan dengan sayu, kemudian tanpa berkata apa pun ia membalikkan tubuhnya dan melesat masuk ke rumah lewat pintu samping.

Wawan berdiri mematung di tempatnya. Punggung

Nunik ditatapnya tanpa berkedip sampai perempuan

itu menghilang di balik pintu pagar samping rumah.

Lama setelah itu barulah kedua kakinya mampu

bergerak meninggalkan rumah itu. Lalu dengan langkah lunglai lelaki itu berjalan menuju rumahnya

yang terletak di belakang rumah Nunik.

Kalau malam itu Nunik tak dapat tidur karena


Panji Sakti Karya Khu Lung Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie Panji Sakti Karya Khu Lung

Cari Blog Ini