Ceritasilat Novel Online

Pengantin Kecilku 3

Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono Bagian 3

semakin menyadari bahwa dirinya benar-benar telah

jatuh cinta kepada Wawan dengan cinta yang matang

dan yang sifatnya lebih dapat dipertanggungjawabkan

dibandingkan dengan perasaannya dulu ketika pertama

kali jatuh cinta kepada Hardiman, Wawan mulai bertanya-tanya sendiri mengenai masa depannya. Khususnya terhadap Astri dan rencana mereka untuk menikah nantinya. Benarkah ia sungguh sungguh mencintai gadis itu? Benarkah bahwa Astri yang diidam

idamkannya untuk menjadi istri dan ibu anak-anaknya

kelak? Mampukah ia menghindari kontak-knntak fisik

yang semakin mengarah kepada erotisme antara

dirinya dan Nunik? Lalu, ke manakah perginya hasrat

hatinya untuk menjadi seorang kakak atau pelindung

setia bagi perempuan itu? Lagi pula mengapa secepat

itu proses perubahan dari perasaannya yang lama

kepada perasaannya yang baru? Adakah itu berkaitan

dengan daya tarik Nunik yang semakin besar dan

kecantikannya yang semakin matang sesudah lebih

dari sepuluh tahun tak berjumpa?

Semua itu patut dipertanyakan kembali dan kembali

lagi. Hanya saja ia kini sadar bahwa proses perubahan

perasaannya terhadap Ntinik ternyata tak secepat

sangkaannya. Bahwa ia baru menyadari, mungkin

prosesnya memang terlalu cepat. Tetapi kalau pergeseran perasaannya sendiri, rasanya tidak datang

secara cepat. Sebab kalau mau dikaji lebih lanjut,

Wawan masih ingat bagaimana ia dulu sering menyimpan perasaan sedih setiap melihat Nunik berpacaran dengan pemuda-pemuda lain. Ia tidak rela

gadis yang "diasuhnya" sejak kecil lebih memperhatikan pemuda lain. Apalagi kalau dengan keras kepala

Nunik tak mau mendengarkan nasihat-nasihat atau

saranhya agar jangan terlalu memberi hati kepada

teman-teman lelakinya. Ia ingat sekali bagaimana

dulu ia ingin mendekap gadis itu erat-erat agar

jangan sampai bisa pergi. Tetapi ia juga ingat betapa

kesadarannya sebagai seorang pemuda yang mempunyai latar belakang keluarga dan pendidikan yang

berbeda dengan Nunik menyebabkan ia seperti seekor

burung pungguk yang merindukan bulan.

Yah, kalau ia mau mengakui dengan jujur, keberv

hasilannya di bidang studi maupun kariernya sebagai

pengusaha itu bukanlah melulu karena dorongan kedua

orangtuanya. Tetapi lebih-lebih karena keinginannya

untuk mengangkat diri dan derajatnya agar sedikit

lebih seimbang dengan semua yang dimiliki Nunik.

Ah, apakah ia mencintai perempuan itu? pikirnya

dengan hati rawan. Memang ia juga pernah mempertanyakan hal yang sama, dulu di masa awal kedewasaannya, tetapi dijawabnya sendiri bahwa itu adalah sisa-sisa cinta monyet. Atau mungkin lebih memiliki kepastian sebagai cinta seorang kakak terhadap

adiknya. Atau juga mungkin sebagai seorang insan

yang merasa memiliki seseorang yang terdekat dan

menjadi bagian dari kehidupannya. Persis seperti

yang Nunik rasakan dan katakan ketika mereka berjumpa lagi sesudah sepuluh tahun lebih tak bertemu.

"Aku merasa marah karena kau tak mau menjadi

pengantinku waktu itu!" kata Nunik dua minggu

yang lalu; ketika mereka mengenang kembali masa

kanak-kanak mereka. "Pikirku, kau lebih suka

menjadi pengantin anak lain dan bukan karena malu

sebab sudah tidak pantas main pengantin pengantinan

lagi. Pikirku, kau milikku karena kau menjadi bagian

terpenting dalam kehidupanku sehari-hari!"

Sedemikian banyaknya persoalan, pertanyaan, dan

kenangan silih berganti timbul dalam pikiran Wawan,

sampai akhirnya lelaki itu tak bisa tidur. Baru menjelang pagi ketika ia mulai letih lahir dan batin, ia

bisa terlelap. Tetapi akibatnya ia kesiangan bangun.

Pak Marto dan Bu Marto yang menyayangi anak

tunggal mereka, menyangka lelaki itu kelelahan akibat

bekerja sampai larut malam di tokonya. Jadi, mereka

membiarkan lelaki itu tidur sampai agak siang.

Ketika Wawan terbangun, matahari sudah tinggi.

Padahal ia mempunyai janji bertemu dengan seseorang

yang ingin minta sarannya untuk mengisi kantornya

yang baru. Lelaki yang sudah diberinya janji untuk

bertemu di tokonya itu seorang yang dinamis dan

penuh semangat, sehingga Wawan menganggap perlu

sekali menjumpainya tepat pada waktu yang sudah

disepakati bersama. Tetapi karena ia kesiangan, ia tak

sempat mengurus burung burung eyang Nunik. Jadi

sebelum pergi ia akan mampir ke Sana untuk memberitahu Mbok Surti atau Siti, tergantung siapa yang

lebih dulu dijumpainya, bahwa ia tak bisa melakukan

tugasnya. Dan ia akan meminta bantuan Siti agar gadis

tanggung itu mau menggantikan tugasnya untuk hari

itu. .

Kebetulan ketika Wawan sedang mendorong pintu

pagar depan, Siti keluar dari pintu samping sambil

membawa keranjang sampah. Maka cepat cepat ia

berpesan kepadanya bahwa ia tidak bisa mengurus

burung-burung pagi itu.

"Jadi tolong kerjakan untukku ya, Siti?" pintanya.

"Nanti sore kubawakan oleh-oleh kue kesukaanmu."

"Yang lezat lho, Mas Wawan!" sahut Siti. Gadis

tanggung yang baik itu selalu siap sedia membantu

Siapa pun. Apalagi untuk Wawan yang bukan saja

ramah kepadanya, tetapi juga suka memberikan kuekue yang lezat untuknya dan untuk Mbok Surti.

"Ya, pasti. Yang lezat, Ti!" Wawan tersenyum

sambil pergi.

Nunik yang tidak tahu bahwa pagi itu Wawan

sudah minta bantuan Siti, mengira lelaki itu melakukan tugasnya seperti biasa sehingga ia tak berani

pergi ke belakang. Ia tak berani bertemu muka dengan Wawan. Ketika Mbok Surti melintas di muka

_ kamarnya dengan membawa lap dan bulu ayam,

perempuan itu dipanggilnya.

"Mbok, minta tolong, ya?" katanya begitu Mbok

Surti datang.

"Minta tolong apa, Den Loro?"

"Katakan kepada Siti supaya membuatkan aku air

panas untuk mandi. Aku kedinginan!"

"Hawanya memang dingin kok, Den Loro. Padahal

hujannya semalam tak terlalu lama!" sahut Mbok

Surti sambil berjalan kembali ke belakang. "Tunggu

ya, akan Mbok siapkan nanti air panasnya!"

"Biar si Siti saja, Mbok."

"Siti sedang mengurus burung di belakang. Den

Loro!"

"Mas Wawan tidak kemari?"

"Tidak. Tetapi dia sudah berpesan kepada Siti untuk menggantikan tugasnya."

Mendengar berita itu, hati Nunik terasa tercekat.

lni pasti ada kaitannya dengan peristiwa semalam,

pikirnya. Jika memang demikian halnya, itu sudah

menyalahi sifat Wawan biasanya. Lelaki itu seorang

yang bertanggung jawab, sportif, dan berjiwa ksatria.

Jadi, kalau ia sampai tak datang untuk mengurus

burung-burung eyangnya, pasti ada sesuatu yang

mengganjal berat di hati lelaki itu. Entah apa. Tetapi

apa pun itu, Nunik merasa tak enak. Ia harus menetralisir agar segala ganjalan dapat terkikis. Sebab

1'38

kalau dibiarkan, suasana tak enak itu akan berpengaruh besar bukan saja pada hubungan baiknya

dengan lelaki itu, tetapi juga pada keluarga kedua

belah pihak. Tak biasanya Wawan bersikap seperti

itu. Jangan-jangan lelaki itu menyangkanya sebagai

perempuan penggoda?

Nunik merasa resah. Menjelang istirahat siang ia

sengaja pergi ke toko Wawan untuk menjumpai

lelaki itu. Pikirnya, kalau persoalan baru yang tak

disangka-sangka munculnya itu tak diselesaikan, pasti

akan semakin buruk buntutnya.

Bu Marto tidak tampak di ruang depan ketika ia

masuk. Yang ada Pak Marto dan pegawainya. Lelaki

tua itu menyambutnya dengan ramah.

"Bu Marto'mana. Pak"?" tanyanya.

"Oh, ada urusan keluarga, Jeng. Membantu sepupu

menyunatkan anak bungsunya," sahut lelaki itu. "Ada

pesan yang perlu saya sampaikan, barangkali?"

"Tidak, Pak. Saya mau bertemu dengan Mas

Wawan kok. Ada perlu sedikit!"

"Oh. silakan masuk saja, Jeng. Langsung ke ruang

kerjanya."

"Terima kasih, Pak."

Pak Marto dan Bu Marto tak pernah menganggap

kehadiran Nunik yang mencari Wawan itu sebagai

sesuatu yang janggal. Sudah semenjak kecil kalau

ada sesuatu, entah kabar gembira ataupun kesulitan,

Nunik selalu mencari Wawan ke rumah. Begitupun '

sebaliknya, kalau Wawan ingin membagi kesenangan,

selalu mencari Nunik di rumah eyangnya.

Ketika Nunik membuka ruang kerja Wawan, matanYa membentur pemandangan yang bukan saja tak

pernah disangkanya, tetapi juga terasa menyentak

batinnya. Ia melihat Wawan sedang memeluk Astri

dan mengelus-elus rambutnya. Ia sungguh menyesal

tidak mengetuk pintu lebih dulu. Tetapi karena sudah

telanjur dan ia juga melihat mata lelaki itu telah

melihat kedatangannya, lekas-lekas ia menutup pintu

kembali.

"Maal!" katanya sambil tergesa gesa. pergi. Ah,

betapa sial nasibnya. Jauh-jauh ia datang dari rumah

untuk menyelamatkan kelanggengan hubungannya dengan Wawan, tetapi ternyata lelaki itu sedang berpelukan mesra dengan gadisnya.

Nunik memaki dirinya sendiri di dalam batinnya

yang sedang terguncang itu. Kenapa ia harus merasa

sedih dan merasa seperti ditinggalkan oleh orang

terdekat ketika melihat adegan mesra tadi? Dan mengapa pula ada rasa cemburu yang menggigiti hatinya

demi melihat lelaki yang bukan apa-apanya itu memeluk

gadis lain? Lalu mengapa pula timbul kemarahan di

sisi lain batinnya melihat lelaki itu berpeluk mesra

dengan perempuan lain, padahal baru semalam bibirnya

mengecup bibirnya dengan kemesraan pekat yang

masih dapat dirasakannya. Pertanyaan pertanyaan yang

membuat pusing kepala saja!

Suara langkah kaki di belakangnya membuat Nunik

semakin bergegas untuk meninggalkan tempat itu.

"Jeng Nunikl" panggil suara itu. Suara Wawan!

Nunik tidak menjawab, tetapi langkah kakinya

semakin cepat. Dan melihat itu Wawan segera melompat. Dalam gerakan yang sama gesitnya dengan

lompatan yang dilakukannya tadi, tangannya memegang

lengan Nunik.

"Jeng, kau datang mencariku, pasti ada sesuatu

yang penting!" kata lelaki itu. "Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa!" sahut Nunik tanpa nada.

Bahkan wajahnya tampak dingin dan tak menyiratkan

apa pun, sehingga sulit bagi Wawan untuk menjenguk

isi hatinya. "Ayo ah. masuk kembali. Dik Astri

menunggumu lho, Mas. Maafkan, aku tak tahu kalau

ada Dik Astri di dalam. Dan aku juga minta maaf
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah lancang menghentikan kalian memadu kasih."

"Kau tidak perlu minta maaf kepadaku."

"Memang. Yang benar seharusnya aku minta maaf

kepada kalian berdua. Dan bukannya kepadamu saja.

Aku menyesal telah mengganggu kalian berdua!"

"Kau tidak mengganggu..."

"Siapa bilang?" Nunik memotong kata kata Wawan

dengan tegas. "Pasangan sedang asyik masyuk kuganggu. Aku membuka pintu begitu saja tanpa mengetuk dulu, dan tanpa menyadari bahwa situasi

maupun kondisi sekarang ini sudah amat berbeda

dengan masa masa lalu kita!"

"Jeng, kau keliru..."

"Apanya yang keliru?" Nunik memotong lagi bi- cara Wawan. "Nah, sudahlah, Mas, tak usah mempersoalkan hal ini asal kau mau memberi maa'f atas

kelancanganku tadi. Tolong katakan hal ini kepada

Dik Astri juga. Lain kali aku pasti akan mengetuk

pintu lebih dulu!"

"Kau bukan tamu, Jeng. Kau tak perlu harus mengetuk pintu ruang kerjaku dulu sebelum masuk.

Kau bebas berbuat sesukamu di sini. Sama seperti

Sikapmu kepadaku dulu!" bantah Wawan.

"Masalahnya bukan cuma sekadar itu, Mas

Wawan Lagi-lagi Nunik memenggal kata-kata

Wawan. "Tetapi demi menjaga agar tidak ada yang

merasa malu seandainya aku memergokimu sedang

berkasih mesra dengan Dik Astri. Kau pikir aku

tidak akan merasa malu menyaksikan adegan semacam itu?"

"Tetapi, Jeng, kau salah mengerti mengenai..."

"Aku tak pernah salah mengerti mengenai hal'hal

yang khusus!" Untuk kesekian kalinya Nunik memotong pembicaraan yang belum selesai. "Nah, cukup

mengenai perdebatan ini. Oke? Aku harus cepat pergi.

Ada perlu. Sampaikan salamku kepada Dik Astri."

Wawan tidak mengatakan apa apa, tetapi kakinya

mengikuti langkah Nunik sehingga perempuan itu

menghentikan langkahnya.

"Kataku, biarkan aku pergi karena ada keperluan

yang harus kulakukan. Kembalilah kepada Dik Astri

kalau tak mau terjadi ketegangan di antara kalian

berdua. Masa baru berkasih-kasihan langsung ditinggal pergi hanya untuk menemuiku? Kau tak

perlu harus mengantarkanku sampai ke pintu depan!"

Usai berkata seperti itu, Nunik mendorong pelan

dada Wawan. "Sana, kembalilah ke ruang kerjamul"

"Jeng..."

"Mas Wawan, kau ditunggu Dik Astri!"

"Jeng Nunik, kumohon dengarkan perkataanku

dulu," Wawan masih juga belum pergi dari tempat

berdirinya. "Kau tak perlu merasa bersalah karena

kedatanganmu yang tiba-tiba ini. Aku malah senang

karena itu artinya kau tidak terlalu marah oleh peu

ristiwa semalam. Setidaknya, kau tak memvonis

begitu saja terhadap..."

"Aku merasa bersalah?" Nunik memotong lagi

pembicaraan Wawan. Kati itu disertai dengan alis

terangkat tinggi dan bibir mengerucut karena marah.

"Bagaimana kau bisa mengatakan demikian sedangkan dirimu sendiri tak mempunyai rasa bersalah

barang sedikit pun!"

"Aku justru lebih banyak memiliki rasa bersalah,

Jeng. Sebab bagaimanapun juga akrabnya kita..."

"Bagus kalau kau merasa bersalah. Setidaknya

kau masih memiliki hati nurani yang sehat!" dengus

Nunik.

"Hati nurani? Apa kaitannya?"

"Lho. kau tadi merasa bersalah karena apa?"

"Karena peristiwa semalam. Aku tak berhasil mengendalikan diriku tatkata melihat kau menatapku

dengan pandangan mata yang begitu polos dan bibir

yang merekah terbuka!"

Pipi Nunik merona merah. Dikibaskannya tangannya ke udara untuk menetralisir rasa malu yang

tengah merambat ke wajahnya itu.

"Bukan hanya itu, tetapi juga karena kelakuanmu

yang... yang munafik!" dengusnya lagi.

"Munafik? Aku munafik?"

"Kaupikir apa namanya, jika semalam kau begitu

tenang dan senang mencium seorang wanita dan lalu

siang ini memesrai wanita lain'?"

Wawan tertegun.

"Tetapi. Jeng..."

"Tidak ada tetapiwtetapian!" Nunik memotong katakata Wawan dengan cepat dan gesit. Secepat dan

segesit langkah kakinya yang melesat ke luar. Untung

di ruang tengah tidak ada Pak Marto sehingga ia

tidak perlu harus berbasa-basi lebih dulu. Dan begitu

sampai di luar. ia melambaikan tangannya ke arah

taksi kosong yang kebetulan sekali lewat di mukanya.

Untung juga toko Wawan terletak di daerah yang

strategis, pikirnya sambil masuk ke dalam taksi.

Kalau tidak, pastilah lelaki itu masih akan mengejarnya. Apa pun yang terjadi di antara dirinya dan

Wawan, dan meskipun ada yang perlu diselesaikan,

tak semestinya lelaki itu begitu saja meninggalkan

tunangannya yang tadi berada di dalam pelukannya!

Nunik masih merasakan kekacauan di hatinya tatkala ia sudah tiba kembali di rumah. Rasanya segala

sesuatu di sekitarnya serba tak menyenangkan. Rasan'ya ia ingin Lari entah ke mana. Asal jangan membuatnya ia teringat kepada Waivan. Lelaki itu sungguh

telah merusak ketenangan batinnya saja.

Untuk mendinginkan perasaannya yang kacau-balau

itu, Nunik berbaring-hering di kamarnya dengan membawa sejumlah majalah baru yang kemarin dulu dibelinya. Dengan setengah berbaring karena tubuhnya

ditopang oleh setumpuk bantal dan guling, ia mencoba menenggelamkan dirinya ke dalam bacaan

meskipun itu memerlukan usaha yang keras, sebab

pikirannya tentang Wawan selalu menggodanya.

Sayangnya sewaktu ia baru mulai larut dalam

bacaan yang sedang terkembang di tangannya itu,

Siti mengetuk pintu kamarnya.

"Den Loro, Ndoro Menggung menyuruh Den Loro

makan siang!" kata gadis tanggung itu dari luar

kamar.

"Katakan aku tak lapar, Til"

"Nanti Ndoro Menggung suamiwistri marah lho,

Den Loro!"

"Tidak, mereka tak akan marah. Masa orang tidak

lapar harus makan juga. Iya, kan?" Kedua alis di

wajah Nunik nyaris bertaut. Ia tidak suka diganggu

oleh Siti, apa pun alasannya. Hanya saja ia tak ingin

memperlihatkannya di muka yang bersangkutan,

karena ia sadar bahwa kejengkelannya yang mudah

muncul itu disebabkan suasana hatinya yang sedang

tak bagus.

"Tetapi. Den, Ndoro Putri Menggung tadi sudah

membuatkan serundeng dan empal lidah khusus untuk

Den Loro!" kata Siti lagi.

Nunik menarik napas panjang.

"Sudah kukatakan. aku belum lapar ya belum

lapar, Ti!" sahut Nunik, berusaha dengan sekuat

tenaga untuk tidak mengucapkan kata-kata yang sekiranya akan menyakiti hati Siti-. "Nanti kalau aku

lapar, pasti aku akan ke ruang makan. Katakan

begitu kepada Eyang!"

"Baik, Den Loro" sahut Siti yang mulai menyadari bahwa ia terlalu mendesak perempuan cantik

yang ada di dalam kamar itu. "Saya... minta maaf

ya, Den, telah mengganggu...."

"Kau tidak bersalah kok minta maaf, Ti?" potong

Nunik menghentikan bicara Siti. "Aku tak apa-apa

kok. Cuma belum lapar saja."

"Ya, Den Loro." kata Siti lega. "Jadi, seperti itukah yang harus saya sampaikan kepada Ndoro Putri

Menggung?"

"Ya," suara Nunik melembut. "Katakan bahwa

aku belum lapar dan ingin beristirahat dulu."

"Baiklah, Den Loro."

Sepeninggal Siti. Nunik tercenung. Ia menyadari

ketakutan Siti tadi. Gadis tanggung itu takut kalaukalau melakukan kekeliruan yang akan menyebabkan

ia dimarahi. Kasihan. Padahal ia tidak bersalah apa

pun.

Akulah yang tadi menjadi tidak sabar, nyaris marah

hanya karena disuruh makan. Bukankah seharusnya

aku merasa berterima kasih karena diperhatikan?

begitu Nunik berpikir sambil meremas ujung-ujung

rambutnya sendiri. Apa sebenarnya yang sedang salah

pada dirinya ini?

Kalau baru disuruh makan saja ia sudah bisa

marah, apalagi kalau ada sesuatu yang menyinggung

perasaannya. Padahal di sebuah keluarga yang seharmonis apa pun. pasti ada saja hal-hal yang tak

mengenakkan dari masing-masing pihak. Disengaja

ataupun tidak. Dapatkah ia menahan diri kalau hal

semacam itu menimpanya? Mampukah ia mengatasinya tanpa harus mengumbar emosinya?

Nunik menggelengkan kepala perlahan. Tidak,

pikirnya. Ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak boleh

merusak suasana damai dan tenang di rumah ini.

Dan satuksatunya upaya untuk menghindari hal hal

yang dikhawatirkan adalah pergi untuk sementara

dari rumah ini. Entah ke mana, pokoknya bukan

Jakarta. Kalau perasaannya sudah lebih tenang, barulah ia kembali kemari.

Lintasan kepada pusat atau sumber kerisauan itu,

yaitu Wawan, menimbulkan tekadnya untuk sesegera

mungkin melaksanakan niatnya menyingkir sementara

dari rumah eyangnya itu. Sebab ia yakin, sore nanti

pastilah lelaki itu akan datang untuk melanjutkan

pembicaraan di tokonya tadi. Tetapi, ke mana?

"Nunik!" suara eyang putrinya menyela pikirannya.

"Dalam, Eyang...," sahut Nunik dalam bahasa Jawa

halus. Tetapi di dalam hati ia merasa enggan bicara.

Sebab pasti eyangnya akan mempersoalkan absennya

di meja makan.

Perempuan tua yang masih tampak rapi penampilannya meskipun wajahnya sudah keriput dan tubuhnya sudah tampak rapuh itu membuka pintu dan

segera masuk.

"Kenapa tidak mau makan bersama Eyang?" tanyanya sambil duduk di tepi tempat tidur.

"Siti mengatakan apa. Eyang?"

"Kau masih kenyang."

"Ya, memang begitulah, Eyang. Nunik masih belum merasa lapar."

"'Hanya karena itu atau karena ada sesuatu yang

menyusahkanmu?"

Nunik menahan napas sesaat. Eyangnya sudah tak

begitu jelas lagi daya penglihatannya. Dan meskipun

masih dapat mendengar suara orang berbicara. tetapi

daya tangkapnya sudah berkurang. Tetapi indra keenamnya rupanya masih setajam dulu. Merasa kenyang dan tidak ikut makan bersama bukanlah hal

aneh bagi Nunik. Sudah biasa baginya absen dari

makan bersama. Tetapi entah dari mana. selalu saja

eyangnya tahu alasan absennya. Malas, kenyang,

terlalu banyak makan makanan kecil, sibuk mengerjakan PR, atau karena hati sedih.

"Nunik sedang bingung...," jawabnya kemudian.
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebab percuma saja menyembunyikan sesuatu dari

eyangnya.

"Sudah kuduga...." eyangnya bergumam pelan.

"Boleh Eyang tahu sebabnya?"

"Nunik mulai merasa jemu," dalihnya tak mau

berterus terang sepenuhnya.

"Bagaimana dengan kursus bahasamu?"

"Lancar, Eyang."

"Kalau begitu, kesibukanmu harus ditambah. Kecuali kalau kau ingin kembali ke Jakarta."

"Tidak, Eyang!" Nunik menjawab keras.

"Lho, ya siapa tahu to, Nduk. Barangkali saja

sesudah berpisah selama sekian minggu ini. hatimu

melunak dan mau memikirkan kembali permintaan

Hardiman untuk tidak meninggalkannya. Sebab

sesungguhnya, lelaki itu masih mencintaimu."

"Tidak. Ia lebih mencintai dirinya sendiri!" Nunik

berkata dengan penuh keyakinan. "Mempunyai dua

istri memberinya banyak kemudahan. Dari mana

Eyang bisa menduga bahwa dia masih mencintai

Nunik?"

"Dari surat ibumu."

"Ah, tahu apa Ibu mengenai hal itu? ibu menyamakan kasus Nunik dengan kasusnya bersama Bapak.

Tidak kok, Eyang. Kebingungan Nunik tidak ada

kaitannya sama sekali dengan dia. Nunik hanya

merasa masa depan Nunik itu masih begitu gelap

gulita...."

Eyangnya mengecup dahi Nunik dengan penuh

kasih.

"Eyang mengerti itu," katanya kemudian. "Tetapi

jalanilah itu dengan sabar dan nrimo. Ingat, hidup

ini bukan untuk dipersoalkan, tetapi untuk dijalani.

Tentu dengan usaha yang langkahnya tak boleh lebih

dari bayang-bayang kita. Nah, sekarang hentikan

pikiranmu yang sedang menerawang ke mana-mana

itu. Dengan mengunjungi kakakmu Ati, misalnya.

Atau ke tempat lain!"

Ah, eyangnya memang selalu mampu membukakan

pintu baginya apabila ia sedang terperangkap dalam

keruwetan. Tak terpikirkan tadi bahwa. ia bisa ke

rumah Mbak Ati atau ke rumah sepupu-sepupu lainnya. '

"Baiklah, Eyang, Nunik akan ke Yogya, ke rumah

Mbak Ati!" katanya dengan suara lega. "Sekarang

juga." '

"Sekarang? Kenapa tidak besok saja?"

"Eyang, Nunik sudah kangen sekali kepada Mbak

Ati!" dalihnya.

"Baiklah, kalau kau memang mau pergi sekarang.

Tetapi tunggulah sampai Wawan pulang dari tokonya.

Dia pasti dengan senang hati mau mengantarkanmu!"

"Tidak, Eyang!" Nunik menjawab cepat, lebih

cepat daripada yang diinginkannya. "Nunik bisa pergi

sendiri. Dari sini ke Yogya kan hanya sekitar satu

seperempat jam saja. Kendaraan ke sana juga banyak.

Kalaupun tidak, Nunik bisa memakai taksi!"

Ah, eyangnya tidak tahu bahwa justru Wawandah

yang sedang dihindarinya, Nunik berpikir gelisah.

Dilihatnya, sudah jam dua lewat.

' "Nunik akan segera berangkat, Eyang!"

"Kalau memang itu maumu, ya segeralah berangkat. Jangan sampai kau kemalaman di jalan."

"Ya, Eyang. Nunik akan segera bersiapsiap. Biar

nanti mandi sore di sana saja. Dan langsung jalanjalan ke Malioboro dengan Mbak Ati. Nunik kangen

makan lesehan di sana!"

"Jangan lama-lama di sana. Nanti kursus bahasamu

ketinggalan."

"Paling lama lima hari kok, Eyang. Jadi membolosnya cuma satu kali saja."

"Ya terserahiah, Nduk. Asal kau kembali dari

Yogya nanti dengan pikiran yang lebih segar."

"Doakan, Eyang!" pinta Nunik dengan takzim.

Eyangnya tersenyum. Senyumnya terasa amat

teduh. Nunik tak tahan untuk tidak mencium pipinya

yang sudah kendur itu dengan sepenuh kasihnya.

H'ARI masih pagi. Dengan sikap santai tanpa kesan

tergesa, Nunik mengayuh sepeda sport milik kakak

sepupunya mengelilingi perumahan baru itu. Dan

sambil berkeliling, tak henti-hentinya ia mengagumi

bangunan-bangunan rumah mewah di sekitar tempat

itu. Dulu perumahan itu belum ada. Entah apa dulunya tempat itu, Nunik tak tahu. Ia hanya-tahu bahwa

Ati, kakak sepupunya itu, sekarang semakin maju

hidupnya. Rumahnya mewah. Mobilnya ada tiga.

Dan jika berlibur, ia ke luar negeri. Dan tampaknya

rata-rata penghuni di tempat itu juga setaraf dengan

kehidupan Ati sekeluarga.

"Selamat pagi...," suara berat di belakangnya menyentuh telinga Nunik. Dan karena suara itu sudah

dikenalnya, ia pun segera membalas sapaan yang

diucapkan dengan ramah itu.

"Selamat pagi, Mas!" sahutnya. Dengan matanya

yang bagus ia melirik orang yang menyusulnya dengan sepeda sport" canggih yang harganya pasti sangat

mahal.

"Masih pagi sekali sudah bersepeda!" kata orang itu

lagi. Dan seperti tadi, Nunik melirik lelaki itu lagi.

Kini agak lebih lama sehingga ia juga sempat menangkap sosoknya. Bertubuh sedang, tetapi berwajahganteng dan berair muka hangat yang tampaknya

seperti orang yang tak pernah mengalami kesusahan

hidup.

"Ya, karena saya tak mau dijilat sinar matahari.

Terus terang saja, menurut perasaan saya matahari di

Yogya ini terasa lebih tajam menyengat kulit daripada

di Jakarta," sahut Nunik sesudah puas meneliti lawan

bicaranya.

"Sudah dua orang mengatakan hal yang sama,"

sahut lelaki itu. "Mungkin saja memang demikian,

karena perbedaan lapisan udaranya barangkali. Atau

soal ketinggiannya yang berbeda. Entahlah!"

"Mas Budi juga sering olahraga pagi-pagi begini?"

tanya Nunik mengalihkan pembicaraan.

"Ya. Tetapi tidak selalu bersepeda. Kadang-kadang

lari pagi. Kadang kadang tenis kalau ada lawannya.

Jadi, tidak tentu," sahut yang ditanya sambil mengagumi kecantikan Nunik pagi itu. ia memang

tampak sangat menawan dalam pakaiannya yang sportif dan rambutnya yang setengah basah dan tersembunyi di bawah topi birunya. Keringat membuat

anak-anak rambutnya melingkar-lingkar dan melekat

pada dahinya yang bagus dan terletak di bawah

topinya.

"Udara pagi di Yogya jauh lebih segar dan bersih

dibanding dengan udara kota Jakarta yang sudah

tercemar," komentar Nunik sambil memasukkan udara

ke paru parunya dengan tarikan dalam. "Jadi, untuk

lari pagi atau olahraga lainnya terasa menyenangkan.

Di Jakarta sulit mendapatkan tempat yang betul

betul bebas dari polusi udara. Belum lagi adanya

kemungkinan tertabrak kendaraan!"

"Ya, memang begitu. Ada seorang kenalan yang

sepupunya meninggal karena tabrak lari ketika sedang

lari pagi."

"Tetapi di sini kecil kemungkinannya!" komentar

Nunik. "Apalagi pengendara pengendara mobil atau

sepeda motor di kota ini tidak merasa seperti dikejar-kejar waktu seperti pengendara pengendara di

sana." Begitulah sepasang insan itu terus mengobrol

sepanjang perjalanan bersepeda itu. Percakapan mereka sungguh terasa menyenangkan dan di antara

mereka terasa adanya jalinan keakraban meskipun

perkenalan mereka baru terjadi kemarin dulu.

Memang, sewaktu Nunik turun dari taksi yang

membawanya dari kotanya hingga ke Yogya, Ati

dan suaminya sedang mengobrol dengan tetangga

dekatnya, yaitu lelaki yang sedang mengayuh sepeda

di samping Nunik itu.

Budi Asmoro, pria itu, adalah tetangga yang akrab

dengan keluarga Ati sejak pindah ke perumahan itu.

Bukan saja karena rumah mereka bersebelahan, tetapi

juga karena lelaki itu bekerja di kantor yang sama

dengan suami Ati.

' "Lelaki itu belum menikah, meskipun sudah berumur tiga puluh lima lho, Nik!" kata suami Ati

kepada sepupu istrinya itu. ".Padahal ganteng dan

hidupnya sudah mapan!"

"Pasti memiliki kelainan!" sahut Nunik. "Entah

itu porsinya sedikit atau banyak, pasti ada!"

"Ya memang," sela Ati sambil tertawa. Mereka

bertiga sedang membicarakan Budi Asmoro yang

sudah pulang ke rumahnya setelah lama mengobrol

bersama di ruangan itu. "Kelainannya itu adalah

terlalu cerewet dan terlalu tinggi meletakkan kriteria.

Harus beginilah. Harus begitulah gadis yang dicarinya. Maka tahu tahu umurnya sudah merangkak jauh.

Dan baru sekarang ia menyesal dan ribut memasang

mata dengan sungguh-sungguh. Ia khawatir tak sempat membesarkan anak sampai dewasa kalau jarak

usianya jauh!"

"Jadi, sekarang kriterianya mencari istri sudah

membumi dan tidak lagi di awang-awan'g ya, Mbak?"

komentar Nunik.

"Begitulah. Dan kami ini yang paling sering dimintai bantuan. Dia tadi bahkan sempat bertanya

kepadaku mengenai dirimu lho, Nik!" kata suami

Ati lagi.

"Kapan?" sela istrinya sebelum Nunik sempat menjawab.

"Waktu aku mengantarkannya ke depan sesudah

pamit tadi!"

"Apa yang ditanyakan oleh Budi tadi sih, Mas?"

tanya istrinya lagi.

"'r'ah, mengenai hubungannya dengan kita. Lalu

ya kukatakan apa adanya. Dia juga mengatakan

bahwa Nunik itu cantik."

"Apakah ia juga menanyakan status Nanik?"

"Ya. Karena tampaknya ia mulai tertarik begitu

mengetahui Nunik itu sepupumu yang paling akrab.

Jadi aku langsung memotong minatnya dengan mengatakan hal sebenarnya supaya jangan sampai ia

jatuh cinta dulu lalu terbentur pada kriterianya!"

"Bahwa Nunik itu janda?"

"Iya. Dan kukatakan pula bahwa jandanya janda

cerai. Tetapi juga demi nama baik Nunik, kukatakan

perceraian itu karena kesalahan pihak suaminya yang

punya hubungan dengan wanita lain."

"He... he kalian itu membicarakan orang, kok

orangnya ada di depan kalian!" sela Nunik. "Ketahuilah, aku tak tertarik pada pembicaraan kalian

dan lebih-lebih lagi kepada lelaki tadi, betapapun

hebatnya dia. Jangan coba-coba menjadi comblang
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ya. Awas!"

Ati dan suaminya tertawa keras. Dan memang

mereka juga tak berani merintiskan jalan bagi Budi

Asmoro dan Nunik. Sebab keduanya mempunyai

latar belakang yang berbeda dalam hal kehidupan

pribadi masing-masing. Nunik bercerai dengan

Hardiman karena alasan perempuan itu belum juga

mempunyai anak sesudah sekian lamanya hidup bersama, sedangkan Budi Asmoro mencari istri karena

dirinya merasa sudah nyaris ketinggalan untuk mempunyai anak sehingga salah satu alasan penting untuk

segera mendapatkan istri adalah secepatnya membentuk keluarga yang akan menghasilkan anak yang

akan meneruskan garis keturunannya.

Namun ternyata Budi amat terkesan kepada Nunik

dan meruntuhkan segala kriterianya tentang seorang

istri. Bukan perawan, tak apa. Bukan perempuan

subur, itu tak menjadi masalah. "Pada zaman kemajuan

begini, kalau punya uang bisa saja mencari jalan lain

untuk mendapatkan anak. Entah dengan cara bayi

tabung. Ataupun dengan meminjam rahim orang. Ia

sudah mulai realistis. Karena salah satu kriterianya

adalah mendapatkan istri yang tak boleh lebih dari

enam tahun jarak usianya dengan dirinya sendiri, ia

sadar bahwa mendapatkan gadis yang masih belum

menikah di akhir umur dua puluhan, tidak banyak lagi.

Umumnya mereka sudah berumah tangga. Jadi, apa

salahnya mencoba-coba mendekati sepupu Ati yang

cantik menarik itu? Begitu pikirnya. Sedikitnya mereka

bisa berteman.

Nunik sendiri pun menyukai Budi. Tetapi kesukaan

itu hanyalah sebatas teman. Paling banter kalau itu

akan berlangsung lama, ya sebagai sahabat. Sejauh

yang sudah dialaminya selama beberapa hari ini, ia

dan Budi bisa amat cocok satu sama lainnya. Mereka

berdua dapat mengobrol dengan enak. Bahkan juga

berdebat dan saling berargumentasi dengan sportif

dan malahan menambah wawasan masing-masing

pihak. Pendek kata mereka dapat berteman dengan

kompak dan menyenangkan.

Sekarang demi melihat hal itu, justru Ati yang

menjadi resah. Ketika pagi itu Nunik kembali dari

bersepeda dan terlihat pulang bersama Budi, Ati

mulai mengingatkan Nunik.

"Nik, hati-hati lho, jangan terlalu erat dengan

Budi!" katanya begitu Nunik masuk ke rumah.

"Jangan kbawatir," sahut Nunik yang memahami

sepupunya itu. "Aku tak punya keinginan untuk

menjalin hubungan khusus. dengan pria mana pun.

Termasuk Mas Budi."

"Kok tadi bisa bersepeda sama-sama?"

"Kebetulan saja. Dia melihatku bersepeda, lalu

menyusulku dan kami bisa bersepeda sambil mengobrol."

"Kau tahu mengapa aku memberimu peringatan,

kan?"

"Tahu sekali. la mencari istri karena ingin segera

mendapatkan keturunan, sedangkan aku bercerai dati

Mas Hardiman karena alasan sebaliknya," Nunik

menjawab sambil tersenyum. "Terima kasih atas keprihatinanmu, Mbak."

"Aku menyayangimu, Nik. Kau tentu tahu aku

tak dikaruniai adik perempuan..."

"Sudah kukatakan, aku tahu!" sela Nunik, senyumnya semakin lebar. "Sudah ribuan kali kaukatakan

_ itu. Dan bukankah aku juga sering mengatakan bahwa

di antara sepupu-sepupu kita, kita berdualah yang

paling akrab. Kau tidak mempunyai adik perempuan

dan aku tak mempunyai kakak."

"Ya sudah, kalau kauingat itu. Seandainya alasan

Budi mencari istri itu bukan karena ingin lekas

mempunyai anak, akulah yang paling Senang melihat

kalian menjadi suami-istri. Dia lelaki yang baik dan

berasal dari keluarga terhormat!"

"Apa pun alasannya, sedikit pun aku tak tertarik

kepadanya kok. Mbak. Sebagai teman, memang ya..

Tetapi lebih dari itu. tidak. Aku sudah kapok menjalin

ikatan dengan seorang-lelaki!"

"Tetapi keliru kalau kau lalu menjadi kapok, Nik.

Jangan menilai lelaki seperti Dik Hardiman semua!"

"Aku tahu. Tetapi saat ini aku akan meniti karierku

dulu, Mbak. Sudah sekian lamanya kukorbankan

diriku sendiri demi kesetiaan yang sia-sia. Sekarang

aku akan menebusnya!"

"Terserah apa maumu, Nik. Aku hanya ingin me

lihatmu bahagia. Asal jangan dendam terhadap kaum

pria saja."

"Tidak. Dalam banyak hal aku menyukai mereka

kok. Wanita dan pria saling membutuhkan, saling

memerlukan. Jadi harus menjadi mitra dalam mem"

bentuk dan mengisi dunia yang sejahtera. Dan kaum

pria harus sadar sungguh mengenai hal itu. Jangan

menganggap bahwa tugas utama wanita adalah menjadi pabrik anak!"

"Hus, jangan sinis begitu!"

"Aku bicara mengenai kenyataan yang pernah

kualami, Mbak," sahut Nunik tersenyum kering.

"Sebab seandainya aku mempunyai anak, barangkali tidak akan begini ini jadinya. Sampai membuat

malu keluarga karena terjadinya perceraian dalam

keluarga besar kita!"

"Ah, sudahlah. jangan menyalahkan diri sendiri.

Belum tentu Dik Hardiman akan tetap setia kepadamu

seandainya kau mempunyai sepuluh anak sekalipun.

Terus terang saja aku sudah melihat adanya sinar

mata yang tak tulus dan tak lurus dari kedua bola

matanya. Bukankah konon kata orang mata itu

jendela hati?"

"Entahlah, Mbak. Tetapi lepas dari segala macam

hal yang tadi telah kita bicarakan, apakah menurutmu

akan cukup pantas seandainya aku mengiyakan ajakan

Mas Budi nonton film malam ini?"

"Dia mengajakmu nonton?"

"Dan dilanjutkan makan malam."

"Kau sendiri sudah mengiyakan atau belum?"

"Belum. Kukatakan aku akan memikirkannya lebih

dulu."

"Kalau suara hatimu sendiri mengatakan apa?"

"Kalau suara hatiku sendiri mengatakan tak apaapa untuk pergi dengan Mas Budi sekali ini. Toh

besok siang aku sudah akan kembali ke rumah

Eyang. Anggap saja itu semacam pesta perpisahan!"

"Kalau begitu pergilah, Nik. Sekali-sekali kau

perlu juga mencari suasana lain!"

Tetapi berbeda dengan Nunik yang menganggap

kepergian pertamanya dengan Budi itu sebagai semacam pesta perpisahan. Sebab bagi Budi Asmoro,

bepergian berdua-duaan itu adalah pintu awal untuk

menembus jalan yang lebih jauh dan lebih luas di

kemudian hari. Itu sebabnya tatkala Nunik sudah

pulang kembali ke kotanya, Budi merasa perlu berkunjung ke sana dan menjalin keakraban yang lebih

lanjut dengan perempuan itu. Jarak Yogya dengan

kota tempat Nunik tinggal bisa ditempuh dengan

mobil selama kurang-lebih satu jam. Bagi Budi dengan menggunakan mobilnya yang bagus itu, jarak

satu jam lebih tidak menjadi masalah. Jadi pada

malam minggu berikutnya, ia datang ke tempat Nunik

dan mengajak perempuan itu nonton film lagi.

Ada dua hal yang membuat Nunik bersedia diajak

nonton film oleh Budi, meskipun ia belum lama berkenalan dengannya. Pertama, ia merasa dirinya tak

berperasaan seandainya menolak ajakan lelaki ganteng

itu, sebab jauh-jauh ia datang dari Yogya hanya

untuk menjumpainya dan mengajaknya berakhir

pekan. Kedua, Nunik ingin menghibur dirinya sendiri

dengan menonton film, makan enak, dan jalan-jalan

bersama Budi.

Ya, Nunik memang ingin menghibur diri sesudah

menjelang senja tadi ia melihat Wawan lewat di

muka rumah tanpa sekali pun menoleh. Lelaki itu

_ tampak semakin gagah dan menarik. Pakaiannya

bagus dan gaya rambutnya yang baru tampak pantas

bagi raut wajahnya. Pastilah ia sedang berangkat ke

tempat Astri. Dan pasti mereka juga akan menguntai

lebih erat dan rapat lagi benang benang cinta mereka.

Melihat itu, meskipun dengan perasaan malu, Nunik

harus mengakui pada dirinya sendiri bahwa ia merasa

cemburu. Jadi, daripada berjam-jam tersiksa oleh

perasaan-perasaan semacam itu, bukankah lebih baik

kalau ia pergi menonton bersama Budi?

Sejam sesudah Budi memetuk pintu rumahnya,

Nunik sudah duduk di sisi lelaki itu, di dalam mobil

mewah yang nyaman. Malam itu seperti biasanya

Nunik tampak amat cantik dan menarik dengan pakaiannya yang berpotongan sederhana tetapi model serta _

warnanya begitu pas dan menonjolkan kecantikannya

yang khas. Mata bulat besar tetapi yang meruncing

agak naik di sudut luarnya, hidungnya yang mungil

tetapi mancung, bibirnya yang selalu tampak tersenyum dan penuh, lalu dagunya yang terbelah dan

mencuat seperti lebah bergantung. Belum lagi alis

dan rambutnya yang hitam. Belum pula lehernya

yang jenjang.

Nunik cukup menyadari bahwa dirinya tampak se_

makin cantik senja itu. Tetapi bukan tujuannya untuk

meraih kekaguman dari Budi. Ia hanya ingin menyesuaikan diri dengan Budi yang senja itu pun

tampak semakin ganteng. la pandai mematut diri

dan pakaiannya terbuat dan bahan-bahan pilihan.

Tampang ada. Uang ada. Apa yang tidak bisa membuatnya semakin menarik?

Ketika keduanya masuk ke lobi gedung bioskop

yang mereka tuju, Nunik semakin menyadari kelebihan dirinya dan Budi. Hampir semua kepala di tempat

itu menoleh kepada mereka dan berlama-lama meneliti penampilan mereka dan kemudian memancarkan

sorot mata kagum.

Mungkin Budi sudah terbiasa mengalami hal semacam itu. ia tampak tenang saja berjalan ke arah

kursi panjang yang kosong. Di depan bangku itu terdapat akuarium kecil berisi ikan-ikan hias yang hilirmudik memamerkan kecantikan mereka. Tetapi Nunik

merasa risi. Di kota kecil kepedulian seseorang akan

yang lainnya memang terasa lebih nyata. Dan susahnya

ia tak bisa untuk tidak mengacuhkan. Jadi dia terpaksa

berjalan di sisi Budi dengan sikap agak malu-malu.

Seperti gadis belasan tahun yang baru pertama kali

muncul di muka Umum bersama kekasihnya.

"Loketnya belum buka, Dik Nik. Duduklah dulu

di sini!" kata Budi menyilakan Nunik duduk. Sambil

berkata seperti itu, matanya melirik ke arloji emas

yang melilit pergelangan tangannya. "Mungkin sebentar lagi akan dibuka."
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nunik menganggukkan kepala, kemudian duduk

di tempat yang dipilihkan oleh Budi. Lelaki itu menyusul kemudian. Orang-orang di sekitar tempat itu

sebagian masih memperhatikan pasangan yang tampak

serasi dalam segala hal itu. Sebagian menyangka

mereka adalah suami-istri yang masih baru. Bukan

hal yang aneh. Wajah keduanya bukanlah wajah remaja lagi. '

"Mau minum atau makan kue dulu?" tanya Budi

lagi sambil melayangkan matanya ke arah pojok penjualan makananikecil dan minuman yang tampaknya

penuh dengan penganan menggiurkan.

"Minum saja," sahut yang ditanya.

"Permen?"

"Boleh. Cari yang pedas rasanya, ya?"

"Oke," sahut Budi sambil tersenyum dan mengembalikan matanya ke wajah Nunik yang tampak

cantik tertimpa cahaya lampu dari atas kepala mereka

itu. "Eh, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu!"

"Mengatakan apa?"

"Aku merasa amat bangga membawamu ke muka

umum seperti ini," sahut Budi dengan suara direndahkan. "Hampir semua orang memandang ke arah kita.

Dan aku sempat menangkap nada kagum dari sinar

mata mereka!"

"Jangan ge-er ah!" Nunik menjawab agak tersipu.

"Aku tidak merasa ge-er. Sungguh. Itu buktinya.

Di seberang sana... ssst, jangan kautengok dulu, ada

seorang lelaki gagah yang terus-menerus memandang

ke arah kita, khususnya kepadamu. Padahal di sebelahnya sudah ada seorang wanita muda yang manis

dan menarik!"

Sesudah beberapa saat, tanpa kentara Nunik menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Budi. Darahnya

agak tersirap melihat lelaki yang tadi dibicarakan

Budi itu. Sebab lelaki itu tak lain adalah Wawan.

Dan perempuan manis yang dipuji oleh Budi tadi

adalah Astri, kekasih Wawan.

"Oh, itu...," desahnya kemudian sesudah mampu

mengatasi perasaannya yang agak kacau. "Orang

yang sedang kita bicarakan itu kukenal baik sekali!"

"Oh, pantas saja kalau begitu. Tetapi kenapa tidak

menegurmu?"

"Jawabannya mudah. Ia merasa sungkan karena

aku sedang bersama lelaki yang sama sekali asing

baginya. Apalagi tak disangka-sangka pula!" Nunik

menjawab sambil melarikan matanya ke tempat lain,

khawatir Wawan mengetahui bahwa ia sudah melihat

kehadirannya.

"Apakah kita yang sebaiknya menegur lebih dulu?"

tanya Budi meminta pendapat. "Sebab kalau tidak,

jangan-jangan mereka akan mengira kita ini sombong." .

"Biar sajalah, Mas," sahut Nunik berpura-pura tak

acuh. "Dia toh tidak tahu kalau aku sudah melihat

kehadirannya. Jadi, kurasa lebih baik aku tetap bersikap seolah-olah dia tidak ada di sini."

"Wah, sombong juga kau rupanya!" tawa Budi.

"Hanya kadang-kadang, kalau diperlukan!" Nunik

juga tertawa. Dengan tertawa pikirannya dapat dialihkan, sebab kalau tidak hatinya akan terasa semakin

tak enak. Wawan duduk begitu rapat di sisi Astri,

sementara gadis itu tampaknya begitu asyik mengobrol dan sesekali menengadahkan wajahnya ke samping, menatap Wawan dengan sikap manja dan minta

perhatian.

"Jadi, menurutmu sekarang ini sikap sombongmu

itu diperlukan?" tanya Budi masih tertawa.

"Ya, sebab kalau aku menyapanya atau dia menyapaku karena tahu aku sudah melihat kehadirannya,

kita tidak akan bebas lagi. Mau minum saja mesti

menawarinya dan menawari teman wanitanya itu.

Lalu akan banyak basa basinya. Terutama di antara

kalian. Baru berkenalan, apa sih yang bisa dibicarakan dengan menarik?"

"Betul juga. Jadi, kita pura pura tak tahu mereka

ada di sana?"

"Tepat, Bung."

Budi tertawa lagi. Tepat saat itu loket karcis

dibuka. Seorang gadis cantik yang sayangnya memakai rias wajah terlalu berat, duduk di depan loket

dan mulai melayani pembeli. Rupanya film yang

akan ditonton oleh Budi dan Nunik itu termasuk

laris. Ada beberapa film yang waktu mainnya nyaris

bersamaan di gedung bioskop itu. Dan loket penjualan karcisnya pun sudah dibuka, sedangkan penjual

karcisnya juga sama menariknya. Tetapi hanya loket

yang akan dituju oleh Budi saja yang penuh.

"Tunggu di sini ya, Dik Nik!"

"Ya, santai sajalah. Tak usah terburu-buru."

"Tetapi kan perlu memilih tempat yang enak."

"Asal jangan terlalu di depan, semua tempat bagiku

sama saja!"

"Kau wanita yang realistis dan praktis, Dik Nunik.

Aku sudah melihatnya sejak awal!" senyum lelaki

itu sambil menatap mata Nunik.

"Kesan pertama "sering keliru, Mas. Sudahsana,

antre saja daripada bicara yang bukan-bukan!"

Budi Asmoro tersenyum manis, kemudian menganggukkan kepala. Lalu dengan langkah lebar ia

berjalan ke arah loket yang tak jauh dari tempat me_reka duduk tadi.

Baru Nunik akan mengambil saputangan dari

dalam tas tangannya, ia didekati oleh Wawan yang

sedang berjalan sendirian, melewati tempatnya. Rupanya lelaki itu juga akan antre membeli karcis.

"Jeng, mau nonton juga?" sapanya.

Nunik pura pura kaget melihat lelaki itu.

"He, kok di sini!" sahutnya. "Dengan siapa?"

"Biasa, dengan Astri."

"Memupuk cinta nih, ya?"

"Kau juga sedang memupuk... sesuatu barangkali?"

Wawan berkata tanpa senyum. "Nah, biarpun kau

akan marah, aku akan tetap mengingatkanmu. Aku

merasa berkewajiban melakukannya."

"Mengingatkan apa?"

"Bahwa sebaiknya jangan pergi dengan lelaki lain

yang bukan suamimu," sahut Wawan terus terang.

"Ini kota kecil, Jeng. Orang akan menilai yang

bukan-bukan kalau kau berlaku kurang bijaksana!"

"Orang lain itu siapa?" Nunik jengkel seperti

anak kecil. "Kau sendiri juga orang lain, kan?"

"Jeng, jangan keras kepala. Kau pasti bisa merasa

bahwa aku mengatakan ini, apalagi di tempat yang

kurang tepat, demi kebaikanmu sendiri. Demi nama

baikmu, demi keselamatanmu. Sebab kalau ada orang

yang menyampaikan kepada suamimu bahwa kau di

sini nonton dengan pria lain dan bersikap mesra, pasti

rumah tanggamu akan mengalami kesulitan."

"Lalu apa katamu mengenai kepergian kita berdua

' selama beberapa kali? Bukankah kau seorang lelaki?

Dan bukankah kau malahan... malahan merangkul

dan menciumku?"

Pipi Wawan merona merah sesaat lamanya, dan

matanya menatap mata Nunik dengan pandangan

tajam yang sulit diurai maknanya. Sementara itu

wajahnya tampak tegang.

"Hus, jangan menatapku seperti menatap hantu!"

desis Nunik yang wajahnya juga bersemu merah.

"Sudah sana, antrelah. Lihat, Dik Astri memperhativ

kan kita!"

Wawan menarik napas panjang.

"Kau... kau ini rupanya ditakdirkan lahir untuk

membuatku sering merasa jengkel dan kewalahan!"

desisnya kemudian sambil melangkah pergi.

Nunik tertegun. la teringat masa lalu. Entah sudah

berapa puluh kali lelaki itu sering dibuatnya kesal.

Bahkan betapa seringnya ia dulu membentak Wawan

kalau terlalu banyak mengurusi urusan pribadinya.

Lebih lebih kalau ia akan pergi berduaan dengan

teman-teman sekolahnya.

"Jangan terlalu akrab dengan si Polan. Dia itu suka

berganti-ganti pacar!" begitu antara lain yang sering

diucapkan oleh Wawan, meskipun mengenai si Polan'

ia tak terlalu banyak tahu. Atau, "Hati-hati bergaul

dengan si Anu. Kalau diajak pergi ke suatu tempat

yang khusus jangan mau. Biarpun dia juga mengajak

kawan-kawan lain. tetapi pemuda seperti itu akan

mencari kesempatan untuk membawamu ke tempat

yang sunyi dan memisahkan diri dari yang lain!"

Tetapi apa pun nasihat Wawan, yang terlalu

mengkhawatirkan dirinya karena kedua eyangnya yang

sudah tua itu tak mampu mengikuti sepak terjangnya

akibat usia lanjut mereka, Nunik tak pernah menurutinya. Kalaupun akhirnya menurut, pasti melalui perdebatan sengit lebih dulu. Dan itu jelas membuat

Wawan sering mendongkol dan merasa kewalahan.

Sepeninggal Wawan, Nunik mengalihkan perhatian

kepada Astri. Tetapi karena gadis itu kebetulan sedang memandang ke arahnya, Nunik menyapanya

dengan tawa lebar dan jemari yang dilambai-lambaikan. Tetapi entah disengaja atau tidak, atau mungkin

juga Astri memang tidak sedang melihatnya, sapaan

itu tak dibalasnya.

Untung tidak ada orang yang melihat perbuatan

Nunik tadi. Kalau tidak, alangkah malunya. Ah,

sialan si Astri, pikirnya jengkel. Dan sialan pula si

Wawan itu. Kota ini memang bukan kota besar.

Tetapi kalau gedung bioskop saja pasti bukan cuma

tiga atau empat buah yang dimiliki kota ini. Pasti'

lebih. Tetapi kenapa ia harus berjumpa dengan lelaki

ini di tempat yang sama?

Akibat pertemuan itu, lenyaplah yang diinginkan

oleh Nunik. Bukan hiburan yang didapatnya, melainkan rasa jengkel dan cemburu yang bergelut menjadi

satu di dalam dadanya. Sampai-sampai mengikuti

jalan cerita filmnya pun sulit sekali. Di mana letak

bagusnya, ia tak tahu sedikit pun. Jadi tak heran

ketika film bubar ia merasa agak lega dan berharap

makan malam nanti akan sedikit mengurangi kepenuhan dadanya.

Tetapi bencinya, tatkala ia sudah duduk dengan

tenang bersama Budi dan pesanan .makanan sudah

diberikan kepada pelayan, matanya membentur sosok

tubuh Wawan yang masuk ke restoran yang sama

dengan langkah tenang, berdampingan dengan Astri.

Sulit menduga apakah Wawan sengaja mengekor

di belakangnya ataukah kehadirannya di rumah makan

itu juga suatu kebetulan seperti yang terjadi di gedung

bioskop tadi. Tetapi yang pasti selera makan Nunik

menjadi patah berkepingvkeping. Apalagi ketika matanya beradu pandang dengan Astri yang membuang

muka.

Ah, gadis itu menambah berat beban pikirannya,

keluh Nunik dengan perasaan tertekan. Firasat kewanitaannya mengatakan bahwa gadis itu mulai tak

menyukainya. Mungkin juga mencemburuinya. Tentulah ia sudah menangkap adanya hubungan dan jalinan

yang mendalam antara dirinya dengan kekasihnya
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Memang Wawan terlalu po'los untuk menyaring

mana-mana yang seharusnya tak perlu diperlihatkan

ataupun diceritakannya. Keprihatinan lelaki itu yang

berlebihan atau perhatiannya yang keterlaluan terhadap Nunik pastilah mencuil perasaan Astri. Boleh

jadi gadis itu merasa dinomorduakan oleh Wawan.

Nunik dapat memahami itu. Seandainya ia berada

di tempat Astri, pastilah juga akan demikian perasaannya. Siapa yang suka kekasihnya memperhatikan perempuan lain secara berlebihan?

Seperti malam ini, misalnya. Jelas tadi Astri melihat dari jauh bagaimana Wawan mendekati Nunik

dan mencelanya. Ekspresi wajah Wawan dan Nunik

menunjukkan adanya ketegangan di antara mereka

berdua. Dan lalu sekarang ternyata rumah makan

untuk 'tempat mengisi perut saja pun dipilih di tempat

Nunik sedang duduk menanti pesanannya. Sedikitbanyak sudah pasti Astri menaruh curiga janganjangan Wawan memang sengaja membuntuti Nunik.

Sama persis seperti yang juga ada di dalam pikiran

Nunik.

"Kok mendadak jadi tak banyak bicara, Dik

Nunik?" kata Budi yang sejak tadi tak henti-hentinya

menatap wajah di hadapannya itu. Dia duduk membelakangi pintu masuk, sehingga kedatangan Wawan

bersama Astri yang kemudian memilih duduk di

dekat dinding tak dilihatnya.

"Mengantuk, Mas!" sahut Nunik mencari alasan

yang mudah.

"Baru jam sepuluh!" Budi melirik arlojinya.

"Orang mengantuk itu ya tidak kenal waktu, Mas.

Baru jam tujuh kalau mengantuk ya mengantuk saja!"

senyum Nunik.

"Benar!" Budi tersenyum. "Tetapi masa ada aku

bisa mengantuk!"

"Biarpun ada teman atau bahkan pejabat tinggi

duduk di depanku, kalau aku mengantuk, ya mengantuk saja!"

"Beda denganku, Dik Nik. Kalau aku biarpun

mengantuk, kalau duduk di dekat seseorang yang

istimewa, pastilah kantuknya akan hilang."

"Ah, orang kan berbedawbeda!" sahut Nunik,

merasa tak enak tatkala Budi menyebutnya sebagai

orang istimewa. Lekas-lekas ia membelokkan pembicaraan ke arah lain. "Bicara mengenai mengantuk

tadi, aku jadi ingat satu hal. Di mana kau nanti

malam akan menginap, Mas? Tentunya tidak langsung

pulang ke Yogya, kan?"

"Tidak. Aku akan menginap di hotel saja," jawab

Budi sambil mempermainkan asbak di depannya.

"Besok masih ada acara lain yang ingin kuisi bersamamu."

"Acara apa lagi"?"

"Jalan jalan ke Tawangmangu. Kita berangkat jam

enam atau setengah tujuh pagi dan pulang jam

empat sore. Mau, kan?"

Nunik berpikir sejenak. Ia tidak ingin hubungannya

dengan Budi Asmoro terlalu jauh. Dalam segala hal.

Ia juga tak ingin memberi harapan kepadanya. ltu

kalau lelaki itu serius hendak menguntai hubungan

khusus dengannya. Bila tidak, juga kurang pada

tempatnya kalau mereka menjadi akrab dan lalu

sering pergi berdua-duaan tanpa tujuan tertentu.

Serbasusah! .

"Besok aku mempunyai acara lain, Mas!" jawabnya

kemudian. "Acara keluarga." Ah, untung ia teringat

kepada undangan ulang tahun Menuk, sepupunya

yang lain. Kemarin dulu gadis remaja itu menelepon

ke rumah dan minta supaya Nunik datang. Banyak

sepupu lain yang ingin bertemu dengannya sesudah

sekian lama tak berjumpa.

"Jam berapa?" Budi tak kenal putus asa rupanya.

"Makan siang bersama. Ada sepupuku yang berulang tahun dan memakai kesempatan itu untuk

mempertemukanku kembali dengan sepupu-sepupuku

yang lain. Mungkin kalau bisa, Mbak Ati dan suaminya juga akan datang."

"Kalau begitu, sorenya kita cari angin bersamasama sebelum aku kembali ke Yogya, ya?"

"Cari angin ke mana?"

"Ya jalan-jalan saja, sekadar melemaskan otot.

Lalu kita makan apa saja yang kita temui nanti."

"Nanti kupikir-pikir dulu."

"Kapan lagi?"

"Begini sajalah, kautelepon aku besok pagi sekitar

jam setengah sembilan mengenai kepastian bisa atau

tidaknya aku pergi bersamamu!" Nunik memutuskan

sesudah menarik napas panjang._ "Biar nanti kupikirkan dulu ajakanmu itu."

"Apakah untuk mengatakan "ya" saja atas ajakanku

harus bepikir lama dan memerlukan sampai semalaman?"

"Mas, kau harus memikirkan hal hal lainnya juga

dalam hal ini!" sahut Nunik terus terang. Apa yang

didesiskan oleh Wawan di lobi bioskop tadi dipakainya sebagai alasan. "Kau kan sudah tahu dari Mbak

Ati, aku ini seorang janda, kan?"

"Ya. Memangnya kenapa?"

"Di mana-mana seorang janda muda, apalagi tanpa

anak dan janda cerai pula, selalu menjadi bahan perhatian orang. Aku belum lama kembali ke kota ini.

Kepulanganku yang tiba-tiba dan untuk waktu yang

tak terbatas saja, sudah menimbulkan perhatian

orang. Apalagi kalau aku sering bepergian dengan

lelaki. Apa nanti kata orang? Dan apa nanti anggapan

orang tentang keluarga kami, khususnya kedua eyangku. Aku sudah mencoreng muka mereka dengan

perceraianku itu. Aku tak ingin menambahnya lagi

dengan gosip hanya karena mereka melihatku sering

keluar bersama lelaki yang tidak mereka kenal. Kau

kan juga tahu dari Mbak Ati, bahwa di sekitar

tempat kami kedua eyangku menjadi panutan, menjadi

orang yang dihormati dan dituakan."

Budi Asmoro tersenyum lembut dan menatap mata

Nunik beberapa saat lamanya sebelum memberi komentar.

"Aku memahami situasi yang kauhadapi, Dik

Nunik!" gumamnya, selembut pandangan matanya.

"Ketahuilah, Dik Nik, salah satu yang membuatku

menyukaimu itu adalah karena kau suka berterus

terang dan menempatkan masalah pada tempatnya."

"Aku cuma mengatakan suatu kenyataan kok,

Mas." .

"Dan pada proporsi yang sebenarnya!"

"Aku hanya ingin bersikap realistis saja."

"ltu bagus sekali. Nah, kembali ke soal semula.

Kalau kau besok bersedia pergi denganku, apakah

itu artinya minggu berikutnya kalau aku datang lagi

kemari, kau akan membatasi kepergianmu bersamaku?" .

"Ya, sebaiknya memang demikian, Dan ada satu

hal yang perlu juga kukatakan kepadamu. Boleh kan

kalau aku berterus terang?"

"Katakan saja, Dik Nik. Aku juga sepertimu,

suka bicara dalam situasi keterbukaan!"

"Begini lho, Mas. Aku menjadi janda ini kan

baru beberapa bulan. Belum lama. Jadi, terus terang

saja aku masih merasakan pahit-getirnya kehidupan

berumah tangga. Nah, dalam anganku, kalau aku

bisa konsisten dengan rencana hidupku di masa

mendatang, aku ini ingin. merintis kembali karierku

yang sempat tersendat selama kehidupan perkawinanku dulu. Jadi, dengan demikian pikiran untuk menjalin kembali suatu hubungan khusus dengan seorang

pria tidak ada di dalam pikiranku. Memang hubungan

kita yang baik dan manis ini masih-terlalu pagi

kalau dikatakan sebagai hubungan yang mengarah

ke sana. Tetapi" alangkah baiknya kalau sebelum melangkah lebih jauh kau mengetahui apa yang

terkandung di dalam hatiku ini!"

Budi Asmoro menjilat bibirnya yang terasa kering.

"Kata-katamu _kuhargai, Dik Nunik," sahutnya kemudian. "Dengan keterusterangan dan keterbukaan

seperti ini kita memang jadi lebih enak berhadapan

satu sama lain. Meskipun kadang-kadang terdengar

pahit, keterbukaan semacam ini akan sangat membantu seseorang untuk meneliti langkah kakinya dan

kemudian mengarahkan ke arah yang lebih tepat!"

".Iadi...?"

"Jadi, aku mengerti sekarang bahwa kau sudah

mendengar dari Ati dan suaminya mengenai rencanaku mencari istri."

"Yah, aku sudah mendengarnya. Dan kuharap kedekatan kita yang rasanya terlalu cepat prosesnya

ini, tidak ada kaitannya dengan rencanamu mencari

istri."

?Kalau mau bicara jujur, sebenarnya ada, Dik

Nik. Memang benar seperti katamu tadi, hal itu maw

sih terlalu pagi. Tetapi toh pikiran ke arah sana

ada."

"Karena kau terkecoh oleh kecocokan dan keharmonisan pergaulan kita, sehingga melupakan tujuanmu

berkeluarga. Aku ini wanita yang mungkin ditakdirkan tidak bisa punya anak lho,_ Mas. Jadi, selain

yang sudah kukatakan tadi, yaitu aku belum memikirkan pria lain, alasan tadi juga membuatku

enggan memikirkan perkawinan."

"Aku menyukaimu, Dik Nunik."

"Aku juga menyukaimu!" Nunik menjawab cepat.

"Dan kurasa hanya sebatas itulah perasaan kita harus

berhenti. Dengan perkataan lain, hanya sebatas persahabatanlah hubungan kita akan menjadi langgeng.

Sebab kalau sudah lebih dari itu, akan terjadi banyak

benturan yang pasti akan mengecewakan. Aku seorang janda. Kau seorang perjaka. Aku belum tentu

bisa mempunyai anak, sedangkan kau ingin membentuk sebuah keluarga yang akan meneruskan garis

keturunan. Aku ingin berkarier, sedangkan kau ingin

"istri yang sungguh-sungguh dapat mencurahkan sepenuh perhatiannya kepada rumah tangga. Dan banyak lagi. Nah, kuharap pembicaraan kita yang

singkat tetapi terbuka ini bisa membuat kita masingmasing dapat menentukan langkah!"

Budi Asmoro mengangguk anggukkan kepala. ia

belum mempunyai kesempatan bicara lagi karena

saat itu dua orang pelayan yang membawakan pesanan mereka datang. Dengan diam ia memperhatikan

kedua pelayan itu mengosongkan baki masing-masing.

Dan baru sesudah mereka pergi, ia bersuara.

"Ayo diserbu, Dik Nik!" katanya dengan suara

hangat yang berhasil muncul kembali dalam suaranya.

"Selagi masih panas!"

"Siap!" Nunik tersenyum.

"Aku sungguh menyukai segala keterbukaanmu,

kecocokan di antara kita, dan segala sesuatu yang

menyangkut hal itu!" kata Budi sambil menyorongkan

bakul nasi dari bambu yang mengepulkan bau harum

nasi panas ke depan Nunik. "Sekarang aku menjadi

realistis kembali atas bantuanmu dengan berbicara

dari hati ke hati begini."

"Dengan demikian..."

"Dengan demikian aku juga sadar untuk tidak lagi

berpikir yang bukan-bukan mengenai hubungan kita

ini. Tetapi akujadi ingin meminta satu kesediaanmu!"

"Kesediaan dalam hal apa."

"Tetap mempertahankan persahabatan kita, yang

meskipun masih baru ini sudah manis dan mampu

memberi kehangatan dalam hatiku."
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh ya, tentu."

"Dan sekali-sekali aku boleh kemari dan mengajakmu bepergian?"

"Boleh." Nunik tersenyum manis.

"Dan kalau aku sedang merasa kesepian, boleh

meneleponmu? Atau kalau situasinya mengizinkan,

kau juga mau datang lagi ke Yogya mengunjungi

Ati?"

"Tentu."

"Tanpa kau merasa kutempatkan pada apa yang

dinamakan objek?"

"Ya. Aku tahu, kau tidak memperalatku sebagai

objek untuk mengisi rasa kesepianmu!" Nunik tersenyum manis lagi. "Karena aku percaya kau menghormati persahabatan kita sebagaimana mestinya."

"Ah, senangnya dapat berbicara begini denganmu,

Dik Nik. Kau sungguh telah membuat segalanya

menjadi mudah dan enak bagiku. Untuk itu aku

mengucapkan terima kasih atas segala pengertianmu."

"Aku juga berterima kasih atas pengertianmu, sebab

seperti dirimu, aku jadi merasa lebih mudah untuk melanjutkan hubungan kita dalam suasana sehat begini."

"Kalau begitu, ayo kita sama-sama habiskan

hidangan ini. Mmm, ayam bakarnya sungguh leza ."

"Rupanya ini ayam kampung."

"Ya." _

Mereka berdua bersantap dalam suasana yang lebih

menyenangkan, karena segala ganjalan hati yang

semula hanya tersimpan di dada mereka telah tergulir.

Mereka mengobrol dengan gembira, keduanya samasama merasakan persahabatan mereka yang masih

muda 'itu menjadi lebih tulus sifatnya. Tak ada pamrih

di dalamnya, tak ada semacam tuntutan atau harapan

yang bersifat khusus.

Sementara itu dari tempat kejauhan yang agak

terlindung oleh pilar-pilar rumah makan, Wawan

memperhatikan kedua insan itu dengan perasaan

campur baur. Antara marah dan sesal. Antara tidak

suka dan tidak rela. Dan hatinya bertanya-tanya

sendiri dengan sepenuh keingintahuannya. Siapakah

lelaki itu? Mengapa Nunik dapat secepat itu berakrabakrab dengan seorang pria. sementara ia masih menjadi istri orang? Menilik mobil lelaki itu bernomor

polisi AB, apakah itu ada kaitannya dengan kepergian

Nunik beberapa hari yang lalu? Perempuan itu pergi

ke Yogya dengan diam-diam dan sangat mendadak.

Dan ia pergi pada hari yang sama ketika ia memergokinya sedang memeluk Astri. Bahkan sejak

hari itu Nunik selalu berusaha menghindarinya. Kalau

pagi-pagi ia datang untuk membersihkan kandang

burung dan memberi makan, jendela kamar perempuan itu masih tertutup. Padahal ia tahu, Nunik

selalu bangun pagi. Dan kalau sore-sore ia datang

berkunjung entah dengan dalih apa pun, Nunik selalu

diam diam masuk ke kamarnya dan membiarkannya

mengobrol dengan eyang kakungnya di teras depan.

"Mas, kau mengajakku makan di sini karena lapar

atau karena mau membuntuti Mbak Nunik?" suara

'Astri yang bernada tak senang menyerbu telinga

Wawan.

"Aku lapar, Dik Astri. Kenapa kau menanyakan

hal yang bukan bukan saja sih?" '

"Lapar kok makannya seperti orang yang muak

melihat makanan? Dan sejak tadi perhatianmu terus_

menerus memperhatikan Mbak Nunik dengan temannya itu. Kau cemburu ya, Mas?"

"Dik Astri jangan mematahkan selera makanku!"

sahut Wawan tak senang. "Sebagai orang yang punya

hubungan dekat seperti saudara, tentu saja aku ingin

tahu siapa lelaki yang pergi bersama Jeng Nunik itu."

"Caramu memperhatikannya sudah keterlaluan,

Mas. Dia kan bukan anak kecil lagi. Itu pertama.

Kedua, dia sudah mempunyai suami. Maka suaminyalah yang lebih bertanggung jawab untuk memperhatikannya. Bukan dirimu. Kau mempunyai tanggung

jawab sendiri untuk memikirkan urusanmu sendiri."

"Aku tak ingin bertengkar denganmu, Astri. Ayolah, habiskan makanan di depan kita ini, lalu kita

pulang!"

"Aku ingin pulang sekarang!" Astri mulai merajuk.

"Habiskan dulu makanannya. Aku tak ingin rumah

makan ini mengira kita tidak menyukainya."

"Kalau begitu, habiskan saja sendiri!"

"Tidak. Harus bersamamu!" Wawan berkata tegas.

"Selera makanku hilang!"

"Aku juga. Tetapi sebagai orang yang berperasaan,

aku tak ingin mengecewakan yang memasaknya."

"Aku tak peduli, Mas!"

"Tetapi aku peduli, Astri. Jadi, duduklah dengan

tenang dan habiskan makanan yang kaupesan tadi!"

"Jangan memerintahku seperti merintah pegawaimu

di toko!"

Wawan menarik napas paniang. Ia merasa hatinya

semakin penuhdengan pelbagai macam perasaan.

"Sudahlah, Astri, terserah padamu kalau begitu,"

gumamnya dengan suara letih. "Kalau mau pulang,

ayo pulang!"

Mendengar Wawan mengalah, Astri justru merasa

tak enak. Tetapi karena selera makannya sudah hilang, ia tak mau mengatakan apa-apa lagi. Dengan

wajah murung diraihnya tasnya lalu berdiri. Mau tak

mau Wawan menyusul. Beriringan mereka keluar

dari rumah makan.

Nunik, yang sedang sibuk dengan nasi dan sambal

lalapnya yang sedap itu, tak memperhatikan bahwa

Wawan dan Astri sudah tidak ada di tempat. Bahkan

ingatan tentang lelaki itu juga tak lagi memenuhi

perasaannya. Perut kenyang, udara sejuk, dan bintangbintang bertaburan, serta obrolan yang menyenangkan

sepanjang jalan menuju pulang itu lebih menguasai

dirinya.

"Terima kasih atas segalanya ya, Mas Budi!" kata

Nunik ketika turun dari sedan Budi yang nyaman.

"Aku juga berterima kasih atas kesediaanmu menemani musafir yang kesepian ini," sahut Budi sambil

menutup kembali pintu mobil tempat Nunik tadi

keluar. "Apakah eyangmu belum tidur?" '

"Sudah."

"Kalau begitu sampaikan saja salam hormatku.

Besok kalau mau pulang ke Yogya, aku akan pamit

kepada mereka."

Nunik menganggukkan kepala. Dan setelah meyakinkan Budi bahwa ia bisa ditinggal sendiri dan ia

punya kunci serep, ia melambaikan tangan mengiringi

kepergian lelaki itu. Kemudian dengan langkah tenang

ia menyeberangi halaman menuju pintu pagar samping. Tetapi suara seseorang yang tiba tiba muncul

dari arah kegelapan menghentikan gerakan kakinya.

Suara Wawan.

"Aku ingin bicara empat mata. Jangan masuk

dulu!" kata lelaki itu sambil berjalan mendekatinya.

Kedua tangannya berada di saku pantalonnya.

Tanpa disadarinya Nunik bergerak menghadap ke

arahnya!

WAJAH Wawan yang tertimpa bayang-bayang pohon

sawo kecik di pinggir tembok halaman itu tampak

tegang. Melihat langkah kaki Nunik terhenti, lelaki

itu mengeluarkan kedua tangannya dari dalam saku

celananya.

"Kemarilah, duduk dulu di sini," katanya sambil

menunjuk ke arah tempat duduk baru di belakangnya.

Tempat itu biasa dipakai oleh kakek dan nenek

Nunik kalau ingin duduk-duduk di bawah kerimbunan

pepohonan yang tersebar di halaman rumah.

Dengan enggan Nunik menuruti kehendak Wawan.

Tetapi wajahnya tampak kaku dan bibirnya bertaut

rapat.

"Nah, jelaskan kepadaku, siapa lelaki tadi?" tanya

Wawan begitu perempuan itu duduk. Ia sendiri menyusul duduk tak jauh dari sisinya.

Nunik menoleh dan menatap lelaki yang duduk

dekat dengannya itu. Dan dia dapat menangkap

bayangan kemarahan yang membias dari kedua bola

matanya. Seketika itu juga ia teringat masa lalunya

dulu. Wawan selalu lebih galak daripada kedua

eyangnya. Sikapnya juga selalu-tampak lebih protektif

dibanding kedua orang tua itu. Bahkan juga lebih

meragukan kemampuan Nunik untuk menjaga diri

sendiri. Dan tampaknya sekarang pun Wawan masih

memperlihatkan hal yang sama seperti belasan tahun

yang lalu.

"Mas, aku bukan anak remaja lagi!" desisnya menahan marah. "Tak sepantasnya kau memperlakukan

aku seperti anak kemarin sore yang telah melakukan

kesalahan."

"Kau memang patut kuperlakukan seperti itu,

karenaapa yang kaulakukan sepanjang petang hingga

malam ini tidak benar!"

"Kau tak berhak menghakimikul"

"Secara hukum atau pertalian keluarga memang

tidak. Tetapi secara moral aku merasa berkewajiban

untuk mengingatkanmu. Kau itu sudah bersuami,

Jeng. Tidak sepantasnya kau pergi bersama lelaki

lain hanya berdua-duaan dan tampak seperti orang

yang sedang berpacaran!"

Nunik tertawa sinis sekali. Tetapi matanya yang

bagus memancarkan kemarahan.

"Kau terlalu memandang rendah padaku. Kauanggap aku ini akan mudah terjatuh ke dalam pelukan

lelaki karena rindu belaian suami. Begitu bukan

yang ada di dalam kepalamu?" sembur-nya kemudian.

"Aku tak pernah menganggapmu rendah. Justru..."

"Ah, gombal!" Nunik memotong kata-kata Wawan

yang belum selesai itu. "Aku kan sudah pernah

bilang, bahwa secara sadar mungkin kau tak menganggapku rendah. Tetapi apa yang secara tak sadar

terdapat di bawah ambang kesadaranmu?"

"Sudahlah, aku memang tak sanggup membuktikan

apa yang ada di hatiku ini. Tetapi demi kedua

eyangmu yang telah sering mempercayakan keselamatanmu kepadaku, jawablah pertanyaanku tadi. Siapa

lelaki itu!"

"Karena caramu bertanya seperti itu, aku tak mau

menjawab!"

"Caraku bertanya kenapa?"

"Mengandung kecurigaan!" _kata Nunik jengkel.

"Bahkan bernada tuduhan!"

"Jeng, salahkah aku kalau berpikir negatif seperti

itu? Dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan sikapmu yang bebas dan akrab dengan lelaki itu!"

"Dan denganmu aku tak pernah bersikap seperti

itu?" suara Nunik meninggi tanpa disadarinya.

"Ssst... nanti eyangmu terbangun!" Jemari Wawan

menempel di ujung bibir Nunik yang sedang mengerucut itu. "Kau jangan membandingkan aku dengan

lelaki lain. Kau dan aku punya hubungan khusus
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang memberi peluang untuk melanggar batasanbatasan yang ada di antara dirimu dengan lelaki

mana pun yang bukan suamimu."

"Sampai-sampai kau boleh dua kali menciumku?!"

kata Nunik dengan suara pedas, sambil menyingkirkan

jemari Wawan dari bibirnya.

"Jeng, kumohon dengan sangat, janganlah peristiwa

yang tak sengaja dan tak disangka-sangka itu kauungkit-ungkit lagi!"

"Kenapa? Karena tak tahan ditegur oleh nuranimu

sendiri?"

Wawan tidak menjawab. Tetapi sorot matanya

menghunjam ke mata Nunik sehingga perempuan itu

bersuara lagi untuk menenteramkan perasaannya yang

mendadak kacau. Wajah lelaki itu tak seberapa jauh

dari wajahnya. Dan temaramnya lampu yang membias

ke wajah lelaki itu memperlihatkan betapa kokoh rahang di depannya itu. Dan betapa menariknya lelaki

itu.

"Kenapa terdiam? Tidak bisa menjawab?" tanyanya

kemudian dengan suara yang sengaja dibuat garang.

Tetapi usahanya nyaris tak berhasil. Ada getaran

halus yang mudah-mudahan tak tertangkap oleh

telinga Wawan.

"Aku sedang berpikir...," sahut yang ditanya.

"Tentang?"

"Kesalahanku dalam peristiwa-peristiwa itu."

"Memangnya kenapa?"

"Apakah itu merupakan kesalahanku sepenuhnya?"

"Maksudmu'?"

"Aku jelas merasakan respons yang hangat dari

pihakmu. Apa pun alasannya, tetapi jelas sekali itu...,"

suara Wawan terhenti oleh tamparan di pipinya.

Wawan terkejut. Da'n Nunik sendiri pun tersentak

kaget. Perempuan itu tak pernah membayangkan ia

akan bisa lepas kendali semacam itu. Ketika sedang

panas-panasnya bertengkar dengan Hardiman waktu

lelaki itu hendak mempertahankan dirinya agar tetap

menjadi istri pertamanya, ia tak pernah lepas kontrol.

Baik ucapan-ucapannya maupun kelakuannya. Ia tak

.pemah melihat agresivitas semacam itu baik di dalam

keluarganya maupun dirinya. Padahal waktu itu ia

merasa begitu terhina dan harga dirinya sebagai seorang wanita begitu terinjak-injak. Tetapi sekarang ia,

yang katanya putri Jawa ningrat, mampu melayangkan

tangannya ke pipi orang yang lebih tua umurnya!

"Oh, maaf, Mas...," katanya kemudian dengan

suara tersendat-sendat. "Aku sungguh-sungguh tak

sengaja. Aku tidak bermaksud..."

"Aku tahu..." Wawan meraih tangan yang tadi

menampar pipinya itu. "Aku sudah menangkap dengan jelas kekagetanmu lewat wajah dan sikapmu.

Tetapi, Jeng... jangan lakukan lagi hal hal seperti

itu. Bukan demi kepentinganku, tetapi demi dirimu

sendiri. Jangan sampai menjatuhkan derajatmu oleh

perbuatanmu sendiri yang lepas kendali. Seolah belum

pernah kau mendapat ajaran, bagaimana seharusnya

seorang wanita yang tinggi pribadinya mampu menutupi emosi-emosinya. Entah itu yang negatif atau

positif...."

"Sudahlah," Nunik memotong lagi bicara Wawan.

"Aku... aku minta maaf kepadamu atas kelakuanku

tadi. Sungguh mati, aku benar-benar tak mampu

menahan diriku lagi...."

"Karena kau ingin lari dari kenyataan

"Jangan ngawur!" '

"Aku tidak ngawur!"

"Mas, kenapa sih kau selalu mencampuri urusanku

dan selalu membuatku tersudut? Aku tak tahan menghadapi segala ulah dan bicaramu!" kata Nunik lagi.

Kali ini suaranya terdengar bergelombang.

"Jeng..." Wawan meraih telapak tangan Nunik dan

membawanya ke dadanya. "Aku aku juga tak tahan

menghadapimu. Kau sungguh-sungguh membuat otakku

yang waras menjadi porak-poranda. Kau membuatku

merasa gemas, jengkel, kewalahan, tetapi juga membuatku merasa bangga... merasa... Oh, Jeng... aku...

aku..."

'"

Entah apa yang akan dikatakan oleh Wawan,

Nunik tak tahu. Suaranya sebentar hilang sebentar

terdengar. Tetapi membuatnya jadi terpaku, terbelalak

menatap bibir yang sedang berkata-kata seperti itu.

Dan entah apa yang akan terjadi selanjutnya andai

kata kedua orang yang seperti terbungkus udara bermuatan magis itu tak mendengar suara langkahlangkah kaki diseret dari arah belakang lewat pintu

samping.

Secara bersamaan baik Nunik maupun Wawan

melompat dari bangku semen itu. Dan secara bersamaan keduanya melangkah menuju arah asal suara

langkah-langkah tadi.

"Den Loro Nunik?" terdengar suara berat Mbok

Surti.

"Ya, aku."

"Oh, saya kira suara maling tadi!" Mbok Surti

muncul dari pintu pagar samping .yang membatasi

halaman depan dan halaman samping yang menyambung ke halaman belakang. "Lega hati saya."

"Belum tidur, Mbok?"

"Sudah tadi. Tetapi terbangun suara kuding meloncat ke atas atap. Lalu Mbok tidak bisa tidur

lagi," Mbok Surti berkata lagi. Kini sambil membetuikan letak sanggulnya yang melorot ke pundak.

"Dan rasa-rasanya saya mendengar orang bercakapcakap..."

"itu suara kami, Mbok!" Wawan menyeia sambil

tersenyum. Rupanya ia sudah mampu mengatasi

suasana aneh tadi.

"Lho, tadi itu Den Loro Nunik pergi dengan Mas

Wawan atau dengan lelaki lain to?"

"Dengan lelaki lain," Wawan yang menjawabkan.

"Lalu kebetulan kami bertemu, jadi sekalian kuantar

Jeng Nunik pulang. Sekalian jalan, begitu. Daripada

lelaki itu yang mengantarkan jauh�jauh, kan lebih

baik aku yang mengawalinya."

"Lebih baik lagi ya tinggal di rumah saja menemani Ndoro Menggung, sekalian sambil nonton

televisi," gumam Mbok Surti. "Oh ya, tadi Den

Hardiman menulis surat untuk Den Loro. Saya taruh

di kamar." _

"Malam-malam ada surat datang?"

"Melalui temannya yang kebetulan berkunjung ke

kota ini, Den Loro. Tadi, tak lama sesudah Den

Loro berangkat pergi!"

"Mbok Surti, Jeng Nunik," Wawan menyela pembicaraan kedua orang itu. "Sebaiknya aku pulang

dulu. Besok aku harus bangun pagi-pagi sekali."

"Oh ya, Mas!" Mbok Surti mengalihkan perhatiannya kepada lelaki itu. "Terima kasih lho, sudah mengembalikan Den Loro sampai di rumah dengan

selamat."

"Ah, seperti yang baru sekarang saja aku antar

Jeng Nunik, Mbok," tawa Wawan. '

"Ooh, ya tidak, Mas!" Mbok Surti tersenyum.

"Tampaknya Mas Wawan ini memang nasibnya harus

sering menjadi pengawal Den Loro Nunik. Entah

sampai kapan. Kalau bukan sampai Mas Wawan

menikah dengan Mbak Astri, ya sampai Den Loro

Nunik mengakhiri masa..."

"Ayo, Mbok, malam-malam kok mengobrol di

sini!" Nunik yang mengetahui apa yang akan dikata

kan oleh Mbok Surti, cepat-cepat menghentikannya.

"Nanti Eyang terbangun lho. Dan kau, Mas Wawan,

pulanglah. Katamu besok harus bangun pagi. Terima

kasih ya atas bantuanmu tadi."

"Ya." Tanpa sepengetahuan Mbok Surti, Wawan

mengedipkan sebelah matanya, karena tanpa rencana

sebelumnya mereka berdua sudah kompak membohongi Mbok Surti. Seolah mereka berdua pulang

bersama-sama dan bukannya Wawan menantikan

Nunik pulang dari bepergian dengan Budi.

Nunik tersenyum. Suasana yang menekan perasaan

tadi lenyap dan menjadi normal kembali. Tetapi ia

sama sekali tak menyangka bahwa dalam perjalanan

pulang ke rumah, Wawan tak henti hentinya bertanya

sendiri di dalam batinnya mengenai kata-kata Mbok

Surti tadi.

Pikir lelaki itu, memang benar bahwa tampaknya

ia ditakdirkan untuk selalu menjadi pengawal dan

bahkan pelindung bagi Nunik dalam banyak hal.

Tetapi sampai kapan? Sampai ia menikah dengan Astri sebagaimana yang dikatakan oleh Mbok Surti

tadi? Atau sampai Nunik mengakhiri masa... Masa

apakah? Kenapa Nunik tadi menghentikan kata-kata

perempuan tua itu?

Di kamar Nunik, selesai menunjukkan di mana ia

tadi meletakkan Surat titipan dari Jakarta, Mbok

Surti mengatakan sesuatu.

"Den Loro, jangan�jangan Den Hardiman mau

minta rujuk lagi. Cobalah Den Loro timbang baikbaik permintaannya, kalau isi surat itu memang berisi

permintaan rujuk. Ingatlah saat-saat manis dulu. Mbok

Ti tak pernah bisa melupakan betapa manis dan

serasinya Den Loro dengan Den Bagus Hardiman

dulu. Seperti Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih."

"Mbok, masa lalu adalah sejarah bagiku. Sesuatu

yang tak mungkin kembali lagi. Masalahnya bukan

karena hal-hal lain. Masalahnya hanya pada satu hal

yang paling pokok. Aku sedikit pun sudah tidak

mencintainya lagi. Dan tak sedikit pun tersisa lagi

respek atau penghargaanku terhadapnya. Jadi, bagaimana mungkin bisa rujuk?"

"Tetapi ya siapa tahu kan, Den? Mbok hanya

berharap bisa melihat kebahagiaan Den Loro sebelum

Mbok semakin tua!"

"Hus. Sekarang ini saja aku kan sudah berbahagia.

Ada Eyang yang mengasihiku. Ada Mbok Ti yang

menyayangi dan memanjakanku!"

Mbok Surti tersenyum.

"Sudahlah!" gumamnya kemudian. "Bacalah surat

itu dengan tenang. Mbok mau melanjutkan mimpi

yang terpotong tadi!" '

"Tetapi, Mbok, aku pesan satu hal padamu, ya?"

kata Nunik begitu melihat Mbok Surti mau keluar

dari kamarnya.

"Pesan apa?" tanya Mbok Surti, menghentikan

langkah kakinya dan menoleh ke arah Nunik.

"Harap mengenai perceraianku dengan Mas

Hardiman itu kaurahasiakan dan jangan beritahukan

Mas Wawan serta kedua orangtuanya, ya?"

"Lho, memangnya kenapa, Den Loro?" Dahi perempuan tua itu berkerut.

"Aku tidak suka caranya menasihatiku," jawab

Nunik berdusta. "Mas Wawan itu nyinyir dan selalu
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menganggapku seperti anak kecil. Kalau memberi

saran atau nasihat atau malah menegur, seperti kakekkakek saja. Melebihi Eyang Kakung kalau bicara

kepadaku!"

Mbok Surti tertawa.

"Itu kan saking sayangnya dia kepada Den Loro!"

katanya kemudian. "Hati-hati lho, Den, sikapnya

yang seperti itu bisa membuat tunangannya merasa

cemburu. Mas Wawan itu memang keterlaluan sih

sayangnya kepada Den Loro!"

Nunik terdiam. Untung Mbok Surti tidak melanjutkan bicaranya lagi. Sesudah menguap perempuan itu

membuka pintu kamar Nunik dan pergi ke kamarnya

kembali.

Yah, memang benar bahwa Wawan keterlaluan

menyayanginya. Segala hal yang dilakukan olehnya

selalu disoroti oleh lelaki itu dengan saksama. Seperti

ibu yang mengawasi anaknya yang baru mulai berjalan. Takut kalau-kalau tersandung sesuatu. Khawatir

kalau-kalau salah jalan. Tetapi bukan seperti itu

yang diinginkan oleh Nunik.

Sambil menimang-nimang surat dari Hardiman

yang belum dibacanya, pikirannya bergerak menelusuri beberapa kejadian yang pernah dialami olehnya

bersama Wawan. Dan akhirnya, terhenti pada apa

yang terjadi malam ini sebelum Mbok Surti muncul.

Lelaki itu tampak gugup dan bicaranya tak beraturan.

Itu bukanlah sikap Wawan yang biasanya. Jadi, tentu

Saja membuat Nunik tak- habis-habisnya bertanya

sendiri dalam hati. mengenai hal yang dirasa aneh

itu.

Dentang jam besar yang terletak di sudut ruang

tengah meraih perhatian Nunik. Dihitungnya, tepat

dua belas kali. Malam memang telah semakin larut.

Tidak salah lagi. Meskipun jam kuno besar itu

berumur lebih tua daripada Nunik, tetapi jalannya

selalu tepat. Eyang kakungnya selalu rajin merawatu

nya. Setiap tahun selalu ada tukang servis yang dipanggilnya. Sama seperti ia dan istrinya merawat

tubuh mereka. Usia panjang yang dicapainya adalah

juga berkat perawatannya sejak muda. Tidak pernah

merokok, tidak pernah makan berlebihan. Selalu

seimbang dalam segala hal. Dan tidak pernah ngoya

atau membiarkan ambisi berlebihan menungganginya

sehingga dunia batinnya selalu tenang, tenteram, dan

damai.

"Ingatlah, Nduk, apa yang kita capai di masa

mendatang selalu berkat usaha di masavmasa sebelumnya. Semakin ,dini upaya itu dilakukan, semakin

baik hasilnya. Dalam segala hal!".begitu eyangnya

selalu memberi nasihat. "Sadarilah, bahwa yang memetik hasil usaha kita, ya kita sendiri. Sedikitnya

kalau kita sudah tua sekali, tidak menyusahkan anak

cucu sebagaimana orang-orang jompo yang untuk

mandi dan makan saja harus dibantu. Biarpun sudah

tidak gesit, kedua eyangmu ini masih bisa mengerjakan apa-apa sendiri!"

Nunik tersadar kembali kepada ruang dan waktu

yang sedang dialaminya, tatkala kaget mendengar

suara kucing meloncat ke atap rumah. Dan dia tersenyum sendiri menyadari kembara pikirannya tadi.

Dengan sedikit mendesah ia bangkit dari tepi tempat

tidur dan langsung ke kamar mandi. Sesudah ber

baring di tempat tidurnya dengan mengenakan baju

tidur, barulah surat Hardiman dibukanya.

Sebenarnya ia merasa enggan membaca surat dari

lelaki itu. Tetapi karena ingin tahu mengapa Hardiman'

tiba tiba menulis surat kepadanya, dibacanya juga

_ surat itu.

Berita pertama yang ditulisnya adalah mengenai

anaknya. Berita kedua tentang keinginannya untuk

rujuk dengannya.

"Nanik, aku ingin membagi kebahagiaan bersamamu. Aku ingin kau yang memangku dan menimang

anak itu. Sungguh betapa mengagumkan bayi itu. Kau

pasti menyukainya. Aku yakin, seandainya kau mau

kembali kepadaku, ibu si bayi pasif akan ikut merasa

senang karena anaknya akan mendapat hujan kasih

sayang dari" kita bertiga.

Nanik, percayalab kepadaku, aku masih mencintaimu. Sering kali aku merindukan kehadiranmu di

sisiku... "

Begitu antara lain isi surat Hardiman. Nunik tidak

tahu apa lagi yang ditulis oleh Hardiman, karena

belum sampai habis ia telah mencabik-cabik surat

itu dengan perasaan jijik. Ah, kenapa ia dulu bisa

jatuh cinta kepada lelaki menjijikkan itu? pikirnya

penuh sesal. Bahwa istri barunya itu sudah melahirkan hanya beberapa bulan sesudah perceraian terjadi,

mudah ditebak bahwa Hardiman sudah lama menjalin

hubungan gelap dengan perempuan itu. Jadi rasanya

hanya alasan saja katau Hardiman ingin menikahi

perempuan itu karena ingin mempunyai keturunan.

Dan sekarang tanpa merasa malu ia menceritakan

kelahiran anaknya dan keinginannya untuk membagi

kebahagiaan bersamanya.

Merasa dongkol karena Hardiman menganggap ia

akan tergiur kembali pada rayuan gombalnya itu,

Nunik bangkit lagi dari tempat tidur dan segera membalas surat Hardiman malam itu juga. Menundanya

hanya akan membuat tidurnya tak nyenyak karena

jengkeL

Isi surat yang ditulisnya tidak panjang, tetapi tegas dan jelas. Antara lain bunyinya:

Perlu kausadari dan kaugarisbawahi dalam pikiranmu, Mas. bahwa tatkala aku memutuskan untuk berpisah denganmu, otak dan kesadaran batinku jernih.

Artinya, memang itulah yang kuinginkan. Jadi, itu

berarti keputusan yang kuambil sangat matang dan

tak mungkin akan berubah. Dan sejak saat itu aku

akan mengatur hidup dan masa depanku tanpa dirimu

dan tanpa hal-hal yang ada kaitannya dengan dirimu

lagi. _

Oleh karena itu, Mas, ketika kau memintaku untuk?

rujuk sebelum ini (I'caiau tak salah, suratmu kemarin

adalah permintaan rigiukmu yang keempat), aku telah

mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin. Dan

meskipun waktu itu aku belum tahu apakah akan bisa

jatuh cinta lagi kepada lelaki. lain, tetapi sudah kun

pastikan dan kuya/cini serta kuinginkan untuk tidak

akan kembali kepadamu.

Sekarang keyakinan dan keinginan itu bukan saja

masih tetap sama. tetapi juga semakin menebal. Aku

tidak akan pernah lagi kembali kepadamu sampai

kapan pun. Sebab di sini aku sudah menemukan cinta

yang baru. C ima yang kudambakan akan tetap Mengisi

hidupku di kemudian hari hingga kelak saat aku sudah

menjadi seorang nenek tua. "

Setelah selesai dimasukkannya surat yang ditulisnya

itu ke dalam amplop. Lalu langsung direkatnya tutupnya tanpa 'membaeanya lagi. Oleh karena belum

diberi prangko. Nunik memasukkan surat itu ke

dalam tas tangannya. Lusa kalau pergi ke tempat

kursus bahasa, akan dibelikannya prangko dan Iangsung diposkan.

Lalu Nunik merencanakan apa yang akan dikerjas

kan esok Minggu dan hari Senin nanti. la yakin

Budi akan pulang besok. Lelaki itu sudah tahu

bagaimana rencana hidupnya dan bagaimana pandangannya ke masa depan, hingga sifat hubungan mereka

tidak akan menjurus kepada sesuatu yang bersifat

khusus. Suatu hal yang tidak diinginkan oleh Nunik.

Ia hanya ingin berteman biasa saja dengan Budi,

betapapun ia merasakan sejumlah besar kecocokan

di antara mereka. Pertama, ia tidak mencintai lelaki

itu dan rasanya juga tidak akan mungkin bisa jatuh

cinta kepadanya. Tak ada getar khusus barang sedikit

pun terhadap lelaki ganteng dan kaya itu. Kedua. ia

tak ingin menumbuhkan harapan atau peluang bagi

tetangga Mbak Ati itu. Biarlah ia mengalihkan harapan khusus itu kepada perempuan lain. Kalau bisa

yang belum pernah menikah dan mampu memberinya

anak.

Dugaan Nunik tidak meleset. Sekitar jam sepuluh

pagi Budi menelepon dari hotel tempatnya menginap.

"Dik Nunik, aku akan segera pulang ke Yogya.

Ada titipan buat Ati barangkali?"

Semula Nunik akan mengatakan tidak. Tetapi ia

ingin menyenangkan Budi, agar lelaki itu merasa

kedatangannya ke Yogya tidak sia-sia.

"Kalau ada, apakah tidak akan merepotkanmu?"

"Tidak. Jadi, ada yang akan kautitipkan padaku

buat saudaramu itu, Dik Nik?"

"Ya."

"Kalau begitu, aku nanti akan mampir ke rumahrnu."

"Baik. Kutunggu ya... dan terima kasih sebelumnya

lho!" )

"Terima kasih kembali!"

Nunik lekas-lekas ke toko di dekat rumah eyangnya, begitu ia meletakkan gagang telepon kembali

ke tempatnya. Di sana ia membeli rempeyek dan keripik paru. Ati selalu membeli makanan kesukaannya

itu di toko tersebut setiap menjenguk kedua eyangnya.

Kedua makanan tersebut khusus buatan toko itu sendiri, sedangkan berbagai macam makanan baik yang

kalengan, yang bungkusan, maupun yang potonganpotongan dan berjajar di lemari pajangan bagian

kue-kue basah di toko itu, kalau bukan dibeli dari

tempat lain, pasti merupakan titipan orang. Semuanya

termasuk laris karena toko itu sering didatangi orang

yang ingin membeli oleh-oleh maupun untuk arisan

atau rapat. Tetapi yang paling laris adalah rempeyek

dan parunya. Bukan saja karena renyah, tetapi juga

karena bumbunya enak. Dan selalu baru karena

dibuat sendiri.

Nunik membeli tiga bungkus besar rempeyek dan

tiga bungkus sedang keripik paru. Keripik parunya

memang agak mahal. Keenam bungkus makanan itu

dibagi dua. Satu bungkus rempeyek dan satu bungkus

paru disendirikannya dan dimasukkan ke dalam tas

plastik lain.

Ketika Nunik kembali dari toko melalui pintu

samping, ia melihat Wawan sedang berada di dalam

kandang, asyik mengguntingi pohon yang terdapat di

dalam kandang. Dan karena lelaki itu begitu asyik

dengan pekerjaannya dan tidak melihat kehadiran

Nunik, lekas-lekas Nunik menyelinap masuk. ia tidak

ingin bertemu Wawan.

Sayangnya ketika Nunik mengambil minum karena

haus sesudah berjalan di bawah terik matahari.

Wawan kebetulan sedang menoleh ke dalam. Begitu

melihat Nunik, ia tersenyum.

"Selamat pagi, Jeng!" sapanya berbasa basi.

"Sudah siang kok!" sahut Nunik sambil menghirup

gelas berisi air es yang baru dituangnya dari botol.
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tumben kok siang datangnya."

"Pertama, bangunnya memang kesiangan. Kedua,

karena hari Minggu ini memang sengaja kupakai

untuk mengurusi tanaman tanamannya juga. Jika terlalu rimbun nanti burung-burungnya kurang bebas

geraknya!"

"Kok Minggu begini tidak dipakai untuk bersamasama dengan Dik Astri?"

"Kan kemarin sudah. Nanti sore saja kalau ada

waktu, aku akan mengajaknya jalan�jaEan mencari

angin. Tidak adajanji kok. Dan kau sendiri kok tidak

membuat acara bersama... bersama lelaki ganteng

itu?"

Karena suara Wawan terdengar sinis, Nunik sengaja ingin membua; lelaki itu jengkel.

"Sebentar lagi dia datang!" sahutnya sambil

melangkah pergi. ia tidak mau dinyinyiri oleh lelaki

itu.

Dan Wawan pun menatap punggungnya dengan

gemas. Apalagi tak berapa lama kemudian ia melihat

mobil mewah Budi masuk ke halaman, dan Nunik

langsung menghambur ke depan. Sesudah Nunik

memberikan titipan untuk kakak sepupunya, ia mengulurkan kantong piastik satunya yang tadi dipisahkannya.

"Mas Budi, yang ini untukmu. Buat iseng-iseng

dijalan!" katanya. "Enak lho. Makanan ini kesukaan

Mbak Ati!"

"Wah, kejatuhan rezeki nih. Terima kasih ya, Dik

Nik!" . '

"Aku yang berterima kasih. Nah, selamat jalan

dan hatiuhati di jalan. Hari Minggu begini banyak

orang bepergian."

"Terima kasih. Nah, sampai ketemu, ya. Kalau

minggu depan bisa main kemari, aku akan kemari.

Kalau tidak, ya minggu berikutnya."

"Baiklah."

Sesudah Budi Asmoro pergi, diam diam Nunik

menyelinap masuk ke rumah lagi, supaya Wawan

mengira ia pergi dengan lelaki itu. Biar Wawan semakin jengkel karena kata-katanya tak didengar.

Selama lelaki itu masih ada di belakang, Nunik

tetap berada di kamarnya.' Sampai ia mendengar

Wawan pamit kepada Mbok Surti di belakang.

Sorenya, karena merasa bebas, sesudah mandi ia

langsung ke teras sambil membawa selembar koran

Minggu dan dua majalah terbaru. Tetapi baru saja ia

duduk, dari arah samping rumah muncul lagi Wawan.

Lelaki itu mengenakan celana pendek dan kaus oblong berwarna merah. Kedua tangannya penuh barang.

Ada slang air, ada gunting, ada cangkul, dan ada

obat pembasmi hama.

Nunik kaget, tak mengira bahwa Wawan sudah

ada lagi di rumahnya. Mungkin ia datang ketika

Nunik sedang mandi tadi. Seperti Nunik, Wawan

juga kaget. Tak mengira perempuan itu ada di rumah.

"Lho, kok sudah pulang?" tanya Wawan yang

mengira perempuan itu pergi dengan Budi.

, "Memangnya mau seharian? Kasihan, kan? Sore

ini ia sudah harus berangkat ke kotanya lagi!" sahut

Nunik dengan wajah tak berdosa itu. "Dan kau

sendiri, kenapa tak jadi jalan-jalan dengan Dik Astri?"

"Aku tak bisa melihat tanaman hias rumah

eyangmu berantakan seperti itu. Siti kurang telaten

merawatnya!" Wawan menjawab sambil menunjuk

ke arah tanaman hias yang ada di sisi kanan dan

kiri halaman rumah yang luas itu. Memang bukan

tanaman modern, tetapi cukup manis untuk menemani

beberapa tanaman yang sudah ada sejak Nunik remaja

dulu.

"Kalau aku jadi Dik Astri, pasti aku akan tersinggung oleh tanaman hias orang!"

"Untung Astri bukan kau, Jeng!" Wawan menatap

mata Nunik dengan pandangan nakal. "Sebab kalau

punya kekasih kau, Jeng, aku pasti akan sakit jantung!"

""Memang kenapa?"

"Yah, pokoknya sakit jantung. Kau itu seperti

petasan!"

"Jelaskan artinya!" tuntut Nunik sambil bertolak

pinggang.

"Tak usah, ya!"

"Harus!"

"Siapa yang mengharuskan?" Sambil berkata seperti itu, Wawan berjalan ke arah tanaman hias yang

tadi ditunjuk oleh jarinya.

"Aku!" Nunik meloncat turun dari teras. "Ayo

katakan!"

"Yah, antara lain kau membuat kekasih atau

suamimu cemburu!" Wawan terpaksa menjawab.

"Kalau Mas Hardiman mengetahui kau terus�menerus

pergi dengan lelaki ganteng, pasti dia juga akan

marah!"

"Ah, belum tentu!" Nunik menjawab dengan sikap

degil. "Lalu, apa lagi yang membuatmu sakit jantung

seandainya kau menjadi kekasihku? Tadi katamu

alasan yang baru kau bilang tadi hanya salah satu di

antaranya!"

"Jeng, aku kemari mau bekerja. Bukan untuk melayanimu berdebat. Oke?" Sambil berkata seperti itu

Wawan langsung meletakkan barang-barang yang

dibawanya ke tanah, kecuali gunting tanamannya.

Dan kemudian tanpa menengok ke arah Nunik, ia

mulai meratakan daun daun bunga asoka yang kemudian dibentuknya membulat.

Melihat itu Nunik tak berkata apa-apa lagi. LebihIebih karena perhatiannya tercurah kepada tangan

Wawan yang terampil. Lelaki itu sungguh orang

yang serbabisa, pikirnya dengan kagum.

"He, daripada berdiri mematung begitu, bantulah

aku menyiraminya!" kata Wawan yang mengetahui

perempuan di dekatnya itu sedang mengawasi pekerjaannya. '

Nunik menjadi dongkol. Tetapi karena sadar apa

yang dilakukan Wawan itu untuk kepentingan rumah

eyangnya, mau tak mau ia terpaksa menurut. Siang

yang tergeletak di tanah diambilnya dan diurai

gulungannya. Lalu disambungkannya ke keran yang

_ada di sisi tembok pagar. Mulailah ia asyik membantu

Wawan.

Suasana sore yang cerah dan angin yang bertiup

' sepoi sepoi lembut itu menenteramkan perasaan

Nunik, dan mungkin juga Wawan. Sehingga akhirnya

mereka berdua dapat mengobrol dengan enak seperti

biasa. Kadangkadang juga diseling goda-menggoda,

seolah tak ada ganjalan lagi di antara mereka berdua.

Atau mungkin tersingkirkan untuk sementara. Entahlah. Yang jelas orang yang melihat pasti menyangka

mereka berdua begitu serasi, rukun, dan harmonis.

Setidaknya itulah yang disaksikan oleh Astri ketika

gadis itu memasuki halaman rumah eyang Nunik

beberapa waktu kemudian.

Sepanjang sore itu Astri menunggu kedatangan

Wawan. Meskipun Wawan tidak berjanji akan datang

ke rumahnya, harapan itu tumbuh di hati Astri.

Bukan saja karena hal semacam itu sudah sering

terjadi, tetapi juga karena ia merasa tak enak sesudah

peristiwa semalam. Wawan telah mengatakan terus

terang kepadanya, bahwa ia tidak menyukai gadis

yang mudah ngambek dan marah-marah di tempat

umum.

"Biarpun barangkali tidak terdengar telinga orang,

tetapi dari air mukamu siapa pun akan tahu bahwa

kita sedang bertengkar!" begitu antara lain yang dikatakan oleh Wawan semalam, ketika mengantarkannya pulang sesudah acara makan malam yang mengecewakan itu. "Dan aku tidak suka itu terjadi padaku.

Seperti pergi dengan gadis remaja yang masih belum

mampu mengendalikan emosi saja!"

Waktu itu Astri marah sekali. Tetapi sesudah dipikir lebih dalam, ia sadar bahwa semalam ia memang kurang mampu mengontrol diri. Jadi sambil

berharap akan melihat Wawan muncul di rumahnya,

ia merencanakan untuk meminta maaf kepada lelaki

itu. Dan ia akan mengajaknya makan malam lagi,

untuk menukar acara makan malam yang tak menyenangkan semalam.

Tetapi Wawan ternyata tidak muncul. Oleh karena

itu demi niat baiknya gadis itu pun datang ke rumah

Wawan. Namun ternyata lelaki itu tidak ada di tempat.

"Ke rumah Jeng Nunik di depan itu!" kata Bu

Marto. "Susullah, Nak. Pasti ia senang melihatmu

datang!"

Astri mengiyakan. Di wajahnya tak terbayang betapa sebenarnya ia sangat marah mendapati kenyataan

itu. Semenjak Nunik datang kembali ke kota ini,

Wawan telah menomorduakan dirinya. Sudah sepatutnya kalau ia merasa cemburu dan disepelekan, pikir

gadis itu sambil berjalan ke arah rumah Nunik. Dan

semakin dipikir, semakin hatinya terasa panas. Tampaknya Nunik menjadi orang yang paling penting

bagi Wawan. ia tak tahan menghadapi hal itu.

Berpikir seperti itu, rencananya untuk meminta

maaf kepada Wawan hilang lenyap tak berbekas. Ia

bahkan ingin menunjukkan bahwa tempatnya di hati

Wawan lebih "sah" daripada Nunik. Nunik hanyalah

teman masa kecil Wawan, betapapun eratnya hubungan mereka dulu. Dan dia sebagai calon istri' Wawan

adalah masa kini dan masa depan lelaki itu. ia


Pendekar Rajawali Sakti 65 Kuda Api Pahala Anak Berbakti Karya Siao Shen Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie

Cari Blog Ini