Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono Bagian 4
berhak menunjukkan hal itu dengan tegas di hadapan
' siapa pun.
Rasa marah dan rasa ingin menunjukkan haknya
itu semakin menggebu-gebu tatkala dengan mata
kepala sendiri Astri melihat Wawan sedang asyik
berduaan dengan Nunik, seperti sepasang kekasih.
Darahnya mendidih dan tangannya gemetar.
"Mas Wawan!" teriaknya begitu berada di dekat
kedua orang yang sedang asyik bekerja sambil mengobrol itu.
Baik Wawan maupun Nunik tersentak dan bersama sama menoleh ke arah asal suara.
"Tri!" seru Wawan keheranan.
"Dik Astri!" Hampir bersamaan Nunik juga menyebut nama gadis yang tiba tiba muncul di hadapannya itu. "Ayo... mari masuk!"
Astri hanya melirik sesaat ke arah Nunik. Ada
perasaan cemburu yang semakin melimpahi dadanya
melihat betapa cantik dan menariknya Nunik dalam
gaun rumahnya yang berwarna cerah itu. Perempuan
itu memang sedang berada di puncak kecantikannya.
"Aku hanya ingin menemui Mas Wawan," sahut
Astri tanpa senyum. Bahkan tanpa basa-basi.
"Oh silakan!" Nunik mencoba bersikap netral dan
sedapat dapatnya tetap menunjukkan diri sebagai
nyonya rumah yang ramah. Bagaimanapun juga ia
harus dapat menjaga suasana, sebab sedikit-banyak
ia dapat menangkap perasaan Astri. Andai kata ia
menjadi Astri, pasti hatinya juga akan kesal kalau
kekasihnya lebih suka bersama perempuan lain.
"Ada' apa, Tri?" Wawan meluruskan punggung
sambil membersihkan tanah dari telapak tangannya.
"Kau ingat Bude Wadi?"
"Ingat. Kakak tertua ibumu, kan?"
"Ya. Bude Wadi memintaku datang ke rumahnya.
Katanya ada perlu. Tetapi seharian tadi kau kutunggu,
tidak muncul barang sekejap pun!" sahut Astri dengan sikap menyalahkan. "Pasti Bude menunggunungguku!"
"Tetapi tidak ada janji bahwa aku harus datang
hari ini, kan?"
"Walaupun tidak, biasanya kau suka muncul di
rumah begitu saja!" kata Astri, semakin bersikap
otoriter dengan gayanya yang memperlihatkan "kekuasaan" dan haknya sebagai orang terdekat dengan
Wawan. "Sekarang aya antarkan aku ke sana.
Tinggalkan dulu kesibukanmu itu!"
Nunik menahan napas dan membuang wajahnya
ke tempat lain karena merasa tak enak. Selama bergaul dengan Wawan, lelaki itu termasuk lelaki yang
kuat pribadinya dan kuat pula harga dirinya. Tetapi
tetap memakai penalarannya secara sehat. Sebagai
anak tunggal ia dididik untuk bukan saja memiliki
harga diri, tetapi juga harus mampu menempatkan
dirinya di mana saja ia berada. ia boleh memerintah
maupun diperintah orang asal takaran dan situasikondisinya tepat dan jelas. Dan sore itu Astri telah
bersikap keliru. Seolah sudah seharusnya Wawan
datang mengunjunginya pada hari libur, ada ataupun
tidak adanya janji di antara mereka. Lain dari itu
Wawan dianggapnya salah. Dan harus menebus kesalahan itu dengan menuruti perintahnya.
Nunik merasa khawatir kalau-kalau Wawan yang
pasti merasa tersinggung itu akan melontarkan katakata yang akan membuat Astri merasa malu.
"Rumah Bude Wadi rasa-rasanya jaraknya sama
dengan rumahmu ke tempat ini!" kata Wawan, sinis
sekali. Kekhawatiran Nunik memang tidak berlebihan.
Lelaki itu menatap wajah Astri yang tampak garang
diasapi api amarah yang sedang menguasai hatinya.
"Jadi, kalau kau berani datang sendirian dari rumahmu kemari, semestinya kau juga berani datang sendirian ke rumah budemu itu. Sungguh, Tri, aku tak
mengerti kenapa kau berpikir bahwa kewajibankulah
mengantarkanmu ke mana-mana sementara sebenarnya
kau mampu melakukannya sendiri!"
Astri memerah wajahnya. Matanya berkilat-kilat
dan menyambar ke arah Nunik dengan penuh kebencian, yang dengan cepat tertangkap oleh yang
bersangkutan. Tetapi dengan cepat Nunik mencoba
tidak merasa tersinggung. Sebab ia dapat memahami
perasaan Astri saat itu.
"Mas Wan, sebaiknya kau..." Kata-kata Nunik
yang ingin menengahi kedua insan yang sedang
sama-sama diliputi kemarahan itu terhenti oleh suara
Astri yang galak.
"Jangan ikut campur urusan kami, Mbak," katanya
menyambar. "Apalagi kan harus tahu, dirimu ikut
ambil bagian dalam persoalan ini!"
"Astri!" Wawan berseru kaget, tak menyangka
Astri akan berkata seperti itu.
"Apakah aku salah bicara begitu?" sahut Astri
dengan mata berkilau kilat dan bibir menipis. "Seandainya Mbak Nunik tidak ada di sini, aku yakin
kau sudah ada di rumahku hari ini!"
"Jangan mengada ada, Tri!" Wawan semakin kuat
dicekam oleh amarahnya. "Dan jangan membawabawa orang yang tak ada kaitannya dengan masalah
di antara kita berdua!"
"Tidak ada kaitannya?" Astri mendengus. "Kau
keliru besar kalau berpikir seperti itu. Mana rasa
adilmu? Menganggap aku harus berani ke sana kemari sendiri sedangkan menurut ceritamu dulu, kau
sering harus mengantarkan Mbak Nunik ke sana
kemari sebagai pengawalnya!"
"Jangan membawa-bawa masa lalu itu, Tri. Tidak
releyan sama sekali. Karena apa yang kukerjakan
untuk Jeng Nunik itu adalah atas permintaan Pak
Menggung. Bahkan beliau memberiku kepercayaan
yang tak diberikannya kepada orang lain untuk mengawasi Jeng Nunik. Dan perlu diketahui, umur Jeng
Nunik saat itu jauh lebih muda daripada umurrnu
sekarang. Sehingga tentu saja juga lebih memerlukan
pengawasan yang khusus...."
"Ah, alasan klise!" sembur Astri. "Sebab sesungguhnya..."
Nunik yang merasa tak enak terlibat di dalam
pertengkaran sepasang kekasih itu memotong katakata Astri dengan gesit.
"Mas Wan, antarkan Dik Astri ke rumah budenyal"
katanya dengan suara mantap. "Kau tak boleh mem
pertahankan pendapatmu sendiri. Bagaimanapun juga
ia calon istrimu. Ayo, Dik Astri, tunggulah di sini.
Biar Mas Wawan ganti pakaian dulu!"
Mata Nunik bersorot tajam ketika memandang
Wawan sewaktu ia bicara. Wawan memahami apa
yang ada di balik kata-kata perempuan itu. Nunik
ingin ia mengalah demi kebaikan semua pihak. ia
tahu, memang tidak enak berada di tempat Nunik
dalam suasana seperti itu. Dengan menuruti katakata Nunik akan lebih baik keadaannya, daripada
kalau masing-masing pihak mempertahankan pendapat
dan kemauannyasendiri-sendiri, yang akibatnya malah
dapat memojokkan Nunik.
Melihat kata katanya tadi dapat dimengerti oleh
Wawan, Nunik segera meraih tangan Astri. Katanya
dengan suara lembut, "Ayolah, Dik Astri, duduklah
dulu di teras sambil menunggu Mas Wawan ganti
pakaian!"
"Bagaimana? Jadi minta diantar?" tanya Wawan
sesudah aliran darahnya yang semula menggelegak
_ kini lebih tenang jalannya.
Astri tertegun, tidak menyangka bahwa W_awan
bisa secepat itu mengalah kepadanya.
"Kalau memang kau mau, ya tentu saja jadi ke
sana. Mau tak mau kan aku harus menjumpai Bude
Wadi. ia sudah menungguku seharian ini!" sahutnya
kemudian.
Wawan melirik Nunik tanpa sepengetahuan Astri,
' dan menyurutkan rasa terima kasih kepada perempuan
itu lewat kedua belah matanya. Dan samar, Nunik
membalasnya dengan senyum manis.
"Kalau begitu, tunggu aku ganti baju dulu!" kata
Wawan kemudian.
Astri terpaksa menganggukkan kepala, meskipun
perasaannya masih belum tertata baik. Ia benarbenar masih agak bingung, tak menyangka bahwa
Wawan akan secepat itu menuruti kemauannya. Lebihlebih jika diingat bagaimana marahnya ia tadi.
"Ayo, Dik Astri, duduk dulu!" kata Nunik sambil
menghela Astri. Ia "tak ingin kesempatan baik itu
berlalu. Dan ia merasa lega dapat sedikit menjinakkan
gadis yang belum lama tadi memperlihatkan kegalakannya.
Dengan langkah-langkah yang masih terasa berat,
Astri terpaksa mengikuti Nunik menuju teras. Dan
sesampai di sana ia segera duduk. Kakinya terasa
agak lemas sesudah menyangga ketegangan yang
mengaliri seluruh tubuhnya tadi.
Melihat Astri sudah duduk, Nunik tersenyum manis.
"Nah, Mas Wawan sebentar lagi pasti sudah siap,"
katanya kemudian. "Kuharap persoalan yang sesungguhnya sepele tadi jangan diperpanjang lagi. Mungkin
Mas Wawan memang bersalah, tidak datang ke rumah
Dik Astri. Tetapi sebaiknya Dik Astri jangan menuduhnya yang bukan-bukan, sebab yang bersalah
adalah eyangku. Ia meminta bantuannya menggunting
tanaman hias di depan itu. Sebab tak ada seorang
pun di antara kami di rumah ini yang sepandai dia
membuat bulatan-bulatan seperti itu!"
Nunik berharap dustanya itu dapat dipercaya oleh
Astri. Ia sudah merasa bahwa gadis itu sungguhsungguh mencemburuinya. Kalau itu dibiarkan, bisa
kacau jadinya. Sebab ia akan tinggal di kota ini
untuk waktu yang tak terbatas, alias entah sampai
kapan. .
"Sebenarnya aku marah-marah tadi juga ada alasannya kok, Mbak!" sahut Astri. Suaranya masih
belum diwarnai keramahan sedikit pun, kendati sang
nyonya rumah sudah bersikap begitu manis. '
"Oh ya, kenapa?"
"Semalam kami bertengkar. Mbak Nik pasti juga
melihat kami berdua makan di rumah makan yang
Mbak Nanik datangi itu, kan?"
"Ya, aku melihat kalian. Maaf kalau aku tak menegur!" sahut Nunik, mulai merasa tak enak lagi.
"Kami sedang sibuk membicarakan sesuatu yang
penting."
"Masalahnya, Mbak, Mas Wawan tampaknya merasa cemburu kepada lelaki ganteng yang duduk
bersama Mbak Nik semalam. Aku sudah melihatnya
sejak di bioskop!"
"Oh, Dik Astri melihat ia mendekatiku, ya?" kata
Nunik sambi] berpikir keras untuk mendustai Astri.
Berdusta demi kebaikan, dosanya tak seberapa besar
menurut anggapannya "Memang dia menegurku, kenapa menonton film dengan lelaki Iain. Katanya, tak
baik seorang perempuan yang sudah bersuami pergi
menonton film bersama lelaki lain. Seperti kau tadi,
Dik, tadi malam aku juga marah sebab caranya menegurku persis seperti menegur anak kecil. Jadi Dik,
percayalah bahwa Mas Wawan itu bukannya merasa
cemburu melihatku bersama lelaki lain, tetapi merasa
marah karena aku tidak mematuhi nasihatnya. Padahal
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku kan bukan anak kecil lagi."
"Sungguh begitu?" suara Astri keluar dalam nada
yang mengandung ketidakpercayaan.
"Sungguh, Dik Astri."
Astri terdiam. Tampaknya masih belum mempercayai apa yang dikatakan oleh Nunik, sehingga si
nyonya rumah menyadari gawatnya persoalan. Astri
memang berhak merasa marah ataupun cemburu.
Sebab kenyataannya sikap Wawan terhadapnya memang berlebihan. Siapa pun yang jadi kekasih Wawan
pastilah merasa dinomorduakan.
"Sekarang kubuatkan minum dulu ya, Dik. Es teh
atau mungkin es sirup akan menyejukkan perasaanmu!" kata Nunik demi melihat Astri terdiam. Ia tak
ingin membuang kesempatan untuk menjauhi Astri
itu. Nunik sadar, bahwa salah atau tidak, cara Astri
marah-marah maupun berkata-kata, baik kepada
Wawan maupun kepadanya, itu mempunyai kaitan
besar dengan dirinya. Dan itu membuatnya merasa
tak enak.
Di dalam Nunik menyuruh Siti membuatkan minuman untuk Astri, sedangkan ia sendiri masuk ke
kamar, mencoba menenangkan diri dan mencari strategi apa yang sekiranya dapat digunakannya untuk
mengatasi keadaan yang tak mengenakkan seperti
itu.
Tiba-tiba matanya tertuju kepada surat yang dibuatnya untuk Hardiman. Pikirannya bekerja. Hendak ditunjukkannya suatu kesan bahwa ia adalah perempuan
yang bersuami kepada Astri, agar gadis itu merasa
agak tenang. Lalu dengan pikiran itu ia kembali ke
depan sambil mengantar Siti yang membawa es
sirup untuk tamunya itu.
Astri sedang melihat arlojinya ketika Nunik kembali ke teras. Sesudah Siti selesai meletakkan gelas
di muka Astri dan kemudian pergi, Nunik menyilakan
tamunya untuk minum.
"Minumlah, Dik Astri!" katanya. Ia merasa senang
bahwa Siti memilih membuatkan es sirup untuk
Astri. Kebetulan kemarin dulu ada salah seorang sepupu yang juga cucu eyangnya, membawakan es
sirup asam buatan sendiri yang rasanya amat segar.
Karena memang merasa'haus, Astri langsung meminum es sirup di hadapannya itu sampai hampir
setengah gelas. Rasa sejuk dan segar segera membasahi kerongkongan dan dadanya. Nunik yakin
sedikit atau banyak kemarahan yang masih tersisa di
dada gadis itu mulai berkurang lagi oleh es sirup
yang diminumnya tadi.
"Dik Astri, apakah aku bisa titip sesuatu kalau
kau nanti pergi dengan Mas Wawan?" tanyanya.
"Titip apa?"
"Mengeposkan surat. Belum kuberi prangko. Siapa
tahu kau melewati toko atau warung yang menjual
prangko, tolong surat ini diberi prangko. Lalu kalau
kalian melewati bus surat, diposkan sekalian. Tapi
Seandainya merepotkan, berikan saja kepada Mas
Wawan biar besok pagi saja diposkan olehnya,"
jawab Nunik. "Bisa, Dik?"
"Akan kuusahakan kalau memang nanti ada waktunya," sahut Astri sambil menerima surat yang diulurkan oleh Nunik kepadanya. "Tetapi seandainya
tidak bisa, akan kuberikan kepada Mas Wawan seperti
pesanmu itu."
"Terima kasih, Dik."
Nunik merasa lega tak harus bercakap-cakap dengan Astri Iebih lama lagi. Dari tempatnya, ia sudah
melihat Wawan masuk ke halaman. Pakaiannya sudah
rapi dan rambutnya yang tadi berantakan tertiup
angin dan tersentuh ranting-ranting pohon yang cligunting olehnya, sudah tertata apik.
"Nah, itu Mas Wawan sudah siap, Dik Astri!"
katanya kemudian.
Astri menganggukkan kepala. Meskipun air mukanya masih jauh dari ramah sebagaimana biasanya,
tetapi api amarah sudah tak terlalu berkobar-kohar
di dada gadis itu. Sesudah pamit kepada Nunik,
dengan diam gadis itu berjalan bersama Wawan
meninggalkan rumah itu. Diam-diam Nunik berharap
segala sesuatunya akan berjalan normal kembali
meskipun ia mengakui bahwa sejak hari itu perasaannya terhadap Astri semakin mengganjal di dadanya.
Pikirnya, kalaupun ia harus menyerahkan Wawan ke
tangan perempuan lain, bukan Astri-lah orangnya. Ia
tak menyukai gadis itu. Dan ia yakin sekali gadis
itu pun tak menyukainya. Barangkali masing-masing
merasa cemburu kepada yang lain. Astri merasa
takut kalau-kalau hati Wawan tertambal kepada teman
akrabnya semasa kecil itu. Dan Nunik merasa perhatian Wawan yang semula begitu penuh terhadapnya,
akan berkurang untuk Astri. Atau mungkin oleh
sebab-sebab lain. Entahlah. Yang bersangkutan sendiri
tak dapat memastikannya. Lebih-lebih Nunik yang
memang tak mampu memikirkan persoalan yang
mengganggu perasaannya itu. Tetapi jelas ia merasa
cemburu kepada Astri.
Sementara itu Astri yang pergi bersama Wawan
masih belum dapat melupakan kemarahannya, sedangkan Wawan yang merasa terpaksa pergi mengantar
gadis manja itu, tak dapat melupakan kata-kata tajam
yang ditujukan kepadanya tadi.
Memang diakuinya bahwa Nunik pun tak selalu
manis terhadapnya. Tetapi ada perbedaan besar yang
tak ada pada diri Astri. Nunik selalu merasa dan
bahkan menghayati, bahwa Wawan adalah bagian
dari kehidupannya sendiri, persis sebagaimana Wawan
juga merasakannya. Ada keterikatan batin yang hanya
bisa dirasakan oleh masingmasing pihak. Tak ada
hal-hal atau kata kata yang memberi kesan bahwa
Nunik memerintahnya atau menunjukkan semacam
Otoritas sebagaimana yang "ditunjukkan oleh Astri
terhadapnya. Kaiaupun ada, sifatnya sangat berbeda.
Astri melakukannya karena ingin mengikat Wawan
sebagai miliknya, sedangkan Nunik melakukannya
karena merasa Wawan adalah pelindungnya, pahlawannya, dan milik kehidupannya yang paling dekat.
"Kok diam saja," kata Astri tiba-tiba, melepaskan
Wawan dari perbandingan yang sedang dilakukannya
di dalam kepalanya itu. "Merasa terpaksa mengantarku, ya?"
"Kau sendiri diam saja sejak tadi. Masa aku harus
bicara!" sahut Wawan. "Ya kalau bicaraku berkenan di
hatimu. Kalau tidak?"
"Kau sinis!"
"Aku hanya menghindari pertengkaran. Sejak semalam kau selalu menyalahkan aku!"
"Kan ada alasannya. Apakah kau tak merasa bahwa perhatianmu kepada Mbak Nunik lebih besar
daripada perhatianmu kepadaku?"
"itu hanya perasaanmu saja!" Wawan menjawab
dengan perasaan tak enak, sebab iajuga menyadari, apa
yang dikatakan oleh Astri itu tidak salah. Tetapi sebagai
seorang yang selalu mencoba untuk dapat memperbaiki
suatu kesalahan atau sedikitnya mengurangi kadar
kesalahannya, ia berharap dapat lebih memperhatikan
Astri daripada Nunik. Tetapi sayangnya sikap Astri
sendiri tak pernah menunjang. Selalu saja membuat hati
Wawan diganjali perasaan jengkel dan marah. Seperti
yang terjadi hari ini. Apalagi di depan Nunik. Kalau
saja perempuan itu tak turun tangan agar ia mau
menuruti kemauan Astri, barangkali saat ini ia sedang
bersantai di rumah menonton acara televisi yang
belakangan ini semakin bagus-bagus.
"Itu bukan sekadar perasaan, Mas!" Wawan menw '
dengar Astri menjawab perkataannya tadi. "Tetapi
kenyataan. Kau memang lebih banyak memperhatikan
Mbak Nunik. Dan aku berhak untuk mengingatkan!"
"Mengingatkan sih boleh-boleh saja, Tri. Tetapi
hendaknya pada jalur yang benar. Jangan menyerangkujmengkritikku, dan bahkan marah-marah kepadaku
di tempat umum seolah aku ini penjahat atau terdakwa yang melakukan kesalahan besar!" kata
Wawan lagi. "Kau kan seorang putri Jawa yang
dibekali sikap-sikap tenggang rasa dan kemampuan
untuk selalu dapat bersikap dan bertindak sesuai
dengan keselarasan. Kenapa itu semua tak kaupakai?
Kenapa justru membiarkan emosi-emosi yang seharusnya dapat dijinakkan, mencuat keluar begitu saja,
bahkan juga di hadapan orang lain?"
"Sekarang kau selalu mencelaku dan membandingbandingkan diriku dengan orang lain!"
"Sebenarnya sudah lama hal ini ingin kukatakan
kepadamu, Astri. Tetapi selalu _kutahan-tahan sebab
toh persoalan yang muncul sebelum ini bukanlah
persoalan besar. Namun belakangan ini sudah lain
lagi masalahnya. Karena sudah ada orang ketiga
yang masuk ke dalam persoalan. Dan kau cemburu
kepadanya. Malah tadi menuduhku membandingkan
dirimu dengan dia."
"Ah, alasan saja. Memang nyatanya belakangan
ini kau selalu menyalahkan sikapku, seolah tidak .
ada yang benar!"
"Lho, apakah bukan sebaliknya?" Alis mata
Wawan naik. "Bukankah selama ini kau selalu menyalahkan aku di depan umum kalau ada sesuatu
yang sedikit saja tak berkenan di hatimu? Seperti
yang terjadi semalam, di rumah makan itu. Memang
benar, rasa cemburu itu sesuatu yang wajar dan bisa
merupakan bumbu bumbu percintaan. Tetapi salurkan
itu pada tempatnya yang tepat. Jangan asal menumpahkannya begitu saja tanpa memedulikan ha]hal lainnya Tak peduli dilihat orang banyak sekalipun. Terus terang aku merasa amat malu!"
"Bersama Mbak Nunik kau tak pernah merasa
malu?" Astri membalas serangan Wawan dengan ketus sekali.
"Lagi-lagi pikiranmu selalu lari ke sana!" gerutu
Wawan.
"Pikiranmu juga ada di sana, kan?"
"Tri, apakah kau datang dan lalu mengajakku
pergi ini* hanya untuk melanjutkan pertengkaran kita
semalam? Kalau tidak, hentikan pembicaraan yang
kekanak-kanakan ini!" kata Wawan jengkel. Nada
Suaranya setengah membentak. "Tetapi kalau ya, aku
akan kembali kerumah!"
Suara yang mengandung ancaman itu menyebabkan
Astri terdiam. Rem�rem emosinya terpaksa dipakainya. Dan Wawan menjadi lebih lega meskipun ia sadar bahwa perdamaian yang berhasil diusahakannya
itu tidak merasuk ke dalam hati, dan umurnya pun
tak lama.
Tetapi yah, apa lagi yang masih bisa diharapkannya
selain itu?
"JENG nunm!"
Nunik menarik napas panjang. Ternyata tidak mudah menghindari perjumpaan dengan Wawan. Sudah
diusahakannya untuk tidak menoleh ke arah toko
milik Wawan dengan maksud agar Bu Marto tidakmelihatnya. Tapi sekarang justru orang yang menjadi
sumber usahanya itu yang malah melihatnya.r
"Sebentar, Pak, berhenti dulu!" Nunik terpaksa
berkata demikian kepada tukang becak yang ditumpanginya.
"Baik, Bu."
Nunik menoleh ke arah Wawan yang sedang melangkah keluar dari tokonya dengan langkah-langkah
lebar.
"Mau ke mana?" tanyanya kemudian.
"Ke kantor pos. Mau mengirim sesuatu untuk
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ibuku!" Nunik menjawab sambil menunjuk bungkusan
besar yang tergeletak di sampingnya.
Pergi ke kantor pos besar dari arah rumah eyang
Nunik memang mau tak mau harus melewati toko
meubel milik Wawan. Dan Nunik sudah memperhitungkan kemungkinan akan bertemu dengan Pak
Marto atau Bu Marto, yang lebih banyak berada di
ruang pamer toko Wawan itu. Oleh sebab itu ia
berusaha menyembunyikan wajahnya dengan jalan
memalingkannya ke arah yang berlawanan dengan
toko Wawan. Berharap kedua pasang mata tua mereka
tak lagi terlalu awas untuk menangkap pemandangan
yang ada di sekitar tempat itu.
Sebenarnya bukan kedua orang tua itu yang dihindarinya, tetapi Wawan. Dalam pikirannya ada
kekhawatiran kalau-kalau perjumpaannya dengan
mereka akan merembet kepada perjumpaannya dengan
Wawan. Jadi lebih baik ia menghindari perjumpaan
dengan mereka semua. Hanya saja ia tak menyangka
akan sesial itu, sebab justru orang yang paling dihindarinya telah melihatnya melintas di muka tokonya!
"Kok tidak pernah mampir ke toko lagi?" tanya
Wawan begitu sampai di samping becak Nunik.
"Repot!" sahut Nunik tanpa pikir panjang. "Lihat,
saking repotnya sampai-sampai baru sekarang aku
sempat mengirimkan sesuatu kepada lbu!"
Wawan mulai lebih memperhatikan penjelasan yang
dikatakan oleh Nunik dengan saksama. Pikirannya
bergerak cepat. Kemudian ditatapnya'mata Nunik
dengan tajam.
"Kenapa tidak kaubawa sendiri saja oleh-olehmu
itu?" tanyanya memancing.
"Nanti terlalu lama di tempatku. Sebagian bungkusan itu ada makanannya. Sayang kalau sampai tak
bisa dimakan karena kadaluwarsa!" jawab Nunik
masih belum menyadari arah pertanyaan Wawan.
"Jadi artinya, kau masih belum memastikan kapan
kepulanganmu ke Jakarta. kan? Jeng, apakah itu
bijaksana meninggalkan suami terlalu lama?"
Pertanyaan Wawan itu baru membuka pikiran
Nunik, bahwa tanpa sadar ia telah sedikit menyibak
rahasia pribadinya.
"Seandainya tidak pulang pun, itu kan urusanku,
Mas!"
"Kau sungguh menjengkelkan!" gerutu Wawan.
"Tahu perbuatanmu keliru, masih saja mau mendebat
kata-kataku yang ingin melihatmu berada di jalan
yang benar demi merintis ke arah kebahagiaanmu
sendiri!"
"Jadi, kau ingin aku segera pulang ke Jakarta?"
"Suamimu kan ada di sana. Jangan membahayakan
kebahagiaanmu sendiri!"
"Apakah itu bukan alasan saja?" Nunik mencoba
menyakiti hati Wawan. Ia merasa jengkel kepada
dirinya sendiri karena senang mendengar kata-kata
itu. Sebab dari katawkata Wawan, ia tahu betul bahwa
dirinya masih menjadi pusat pemikiran lelaki itu.
Untuk melampiaskan kejengkelannya, Nunik menyakiti si sumber kejengkelan. "Kenyataan sebenarv
nya, kau ingin melihatku jauh darimu dan dari Dik
Astri. Supaya aku jangan menjadi biang pertengkaran
di antara kalian. lya, kan? Ayo mengaku sajalah!"
Tujuan Nunik membuat Wawan jengkel, berhasil.
"Jeng, aku kenal siapa dirimu dan bagaimana
caramu berpikir!" gerutunya dengan hati geram. "Jadi
aku juga tahu bahwa kau sedang sengaja membuatku
marah. Dan kuakui. kau berhasil dengan baik sekali.
Tetapi yang tak kuketahui, apa motivasimu dalam
hal ini!"
Nunik nyaris terdiam tanpa mampu berkata apa
pun, sebab apa yang diucapkan oleh Wawan tidaklah
salah. Dan motivasi yang melandasi keinginannya
untuk menyakiti hati Wawan adalah sesuatu yang
sebenarnya merupakan kelemahan batinnya. Sebab
perhatian Wawan yang masih tetap sebesar dulu terhadapnya itu, membuatnya merasa gembira dan
bahkan bahagia. Tetapi justru karena itulah, bahaya
laten yang bisa menghancurkan hatinya bisa terjadi.
"Huh. tak bisa menjawab kata-kataku, kan?" kata
Wawan lagi.
Nunik mendelik.
"Mas, ayo kita pergi sekarang!" katanya kemudian.
Bukan kepada Wawan, tetapi kepada pengemudi
becak setengah baya yang ada di belakangnya.
"Tunggu!" Wawan berseru. Dan tak berapa lama
kemudian ia sudah meloncat ke atas becak yang
ditumpangi Nunik. Bungkusan yang akan dikirim ke
Jakarta dipangkunya. "Ayo, Pak, siap jalan. Nanti
ongkosnya saya tambah!"
"Apa-apaan sih, Mas?" gerutu Nunik. Kejengkelannya entah pergi ke mana, ia tak tahu. Yang ia tahu
adalah perasaan lain yang tiba-tiba muncul tatkala
lengannya bersentuhan dengan lengan Wawan dan
aroma maskulin dari tubuh Wawan menyerbu hidungnya.
"Bukan apa apa. Aku cuma ingin meyakinkan
bahwa aku selalu bersikap tulus terhadapmu. Bahwa
aku ingin melihatmu hidup berbahagia bersama
suamimu. Untuk itu tentu saja kau harus kembali ke
Jakarta. Kembalilah kepadanya!"
"Tanpa nasihat sederhana seperti itu pun aku
sudah tahu bahwa aku harus kembali ke Jakarta.
Tak usah kau suruh-suruh!"
"Ayolah, jangan asal menjawab saja. Kalau memang kau sudah tahu, kerjakanlah!"
"Seandainya Eyang atau bapakku yang menyuruhnya pun, kalau aku belum mau pulang, ya aku tidak
akan pulang!" sahut Nunik dengan suara menantang.
ia ingin suasana di atas becak itu menjadi hangat
karena perdebatan, agar pikirannya tak terlalu dipengaruhi oleh kedekatan tubuh'mereka. Otot-otot
lengan Wawan yang kukuh terasa menekan lengannya
yang telanjang. Menyesal ia memakai gaun tanpa
lengan seperti itu.
"Jeng, sebenarnya ada apa di antara dirimu dengan
Mas Hardiman?" tanya Wawan mengganti nada
suaranya dengan tiba-tiba. Begitu lembut namun juga
sarat dengan tuntutan untuk dijawab. "Masa kalau
dia dinas ke luar kota, kau juga lalu meninggalkan
rumah begitu saja?"
"Ti... tidak ada apa-apa!" jawab Nunik mengelak.
"Aku kenal siapa dirimu, Jeng. Kalau tidak ada
apa-apa, pasti kau tidak meninggalkan suamimu terlalu lama. Kau pikir aku baru memikirkannya sekarang?" gerutu Wawan lagi. "Tidak. Aku sudah
lama memikirkannya dan bertanyautanya sendiri di
dalam hatiku. Kau seorang wanita yang tahu apa
yang harus kaulakukan betapapun keras kepalanya
dirimu. Kau seorang yang sangat menjunjung tanggung jawab. Jadi..."
"Jangan berkhotbah di sini, Mas. Oke?" kata
Nunik menyela bicara Wawan tadi dengan cepat.
"Sebab aku tak akan mendengarkannya. Sayang kalau
napasmu terbuang-buang percuma."
"Jeng, apa pun yang terjadi di antara suamikistri
itu harus diselesaikan!" kata Wawan lagi tanpa memedulikan kata-kata Nunik tadi. "Dan bukannya dihindari dengan melarikan diri kemari! Heran aku,
tak biasanya kau begini."
Nunik akan menjawab kata-kata Wawan, tetapi
tidak jadi. Sebab di ujung jalan sana ia melihat
Astri berdiri dengan air muka yang sulit ditebak
maknanya. Hanya matanya saja yang menyiratkan
kemarahan yang luar biasa. Berkilat-kilat.dan menyambar ke arah dirinya dan Wawan yang berada di
dalam becak.
"Ada Dik Astri...," Nunik berbisik. "Itu di ujung
jalan!"
"Biar saja!" Wawan berkata setengah putus asa
dan pasrah. "Entah apa dan kenapa nasibku ini.
Selalu saja berbantah, bertengkar, dan berdebat dengan wanita. Wanita wanita yang cantik-cantik, lagi.
Buruk betul nasibku ini!"
Kalau tidak sedang dalam keadaan tegang, pasti
Nunik tertawa keras mendengar'keluhannya. Tak
biasanya Wawan berkeluh kesah. Apalagi yang isinya
seperti itu.
"Turunlah dari becak, hampiri dia dan katakan
bahwa kebetulan kita sama sama ingin ke kantor
pos. Ayo!" bisik Nunik begitu mendengar keluhan
Wawan tadi. "Cepat!"
"Jangan mengajariku!" desis Wawan. "Aku tahu
apa yang harus kulakukan terhadapnya, Jeng!"
"Wah, hebat!" sindir Nunik.
Entah memang itu hebat atau sebaliknya, yang
pasti Wawan tidak bertindak apa pun kecuali tetap
berada di dalam becak bersama Nunik dan membiar
kan kendaraan itu terus melaju. Akibatnya, Nunik
merasa tak tenang.
"Kau sungguh keterlaiuan. Pura-pura tidak melihatnya.!" tegur perempuan itu dengan gelisah.
"Lho, justru itulah strategiku untuk menghadapinya
nanti!" sahut Wawan kalem. "Tenanglah. Bersikaplah
seperti aku, pura-pura tidak melihatnya. Soal bagaimana nanti. serahkan saja kepadaku. Berharap saja
segala sesuatunya akan beres dengan siendirinya sebagaimana yang kupikirkan."
"Hm, kau memang sungguh hebat, Mas!" Nunik
menyindir lagi. Tetapi yang disindir tak memedulikannya. Oleh sebab itu meskipun Nunik merasa kesal
berbaur gelisah, ia terpaksa membiarkannya.
Tetapi di rumah ia tak bisa melupakan peristiwa
tadi. Dengan amat jelas ia dapat menangkap kebencian yang semakin menyala-nyala dari bola mata Astri.
Rupanya gadis itu sudah tiba pada puncak kemarahannya dan tak lagi mau mengerti.
Di dalam batinnya lagi-lagi Nunik tak bisa me'
nyalahkan Astri. Ia dapat memahami mengapa gadis
itu menjadi marah dan benci kepadanya. Hanya saja
gadis itu termasuk gadis yang emosional sehingga
rasionya menjadi kurang peka. Tetapi yah, memang
nasibnyalah harus dilihat oleh Astri sedang berduaan
dengan WaWan. Dari arah tokonya pula. Padahal
sekilas pun ia tak mempunyai rencana untuk pergi
bersama lelaki itu. Bahkan ia ingin menghindari
perjumpaannya dengan Wawan, untuk menjaga halhal yang bisa membahayakan hubungan mereka.
Sorenya ketika Nunik mencoba melupakan
peristiwa siang tadi dengan mempelajari catatan
kursus bahasa Inggris yang masih terus diikutinya,
Siti melaporkan bahwa ada seorang gadis manis
mencarinya. Dada Nunik berdesir. Pikirannya melayang kepada Astri. Menurut perasaannya, pastilah
gadis itu yang datang.
Perkiraan Nanik tidak salah. Memang Astri-lah
yang datang mencarinya. Air muka gadis itu masih
tak berbeda jauh dari yang dilihat oleh Nunik siang
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tadi. Keruh dan matanya berkilat penuh kebencian.
"Silakan duduk, Dik Astri!" kata Nunik begitu
keluar dan mendapati gadis itu masih berdiri di
teras. "Atau masuk sajalah."
"Biar di sini saja!" Sambil menjawab seperti itu,
Astri duduk.
"Ada perlu...?" tanya Nunik berbasa basi.
"Kalau tidak perlu sekali, rasanya tak mungkin
aku kemari, Mbak!" Astri menjawab ketus. "Dan
sebaiknya aku langsung saja bicara pada pokok persoalan yang ingin kukatakan kepadamu!"
"Silakan. Aku siap mendengarnya!"
"Sebenarnya kedatangan Mbak Nik ke kota ini
apakah memang ada maksud untuk bermain-main
dengan Mas Wawan ataupun dengan lelaki lainnya?"
Astri menyuarakan apa yang katanya akan langsung
dikatakannya itu. Tak peduli bahwa ucapan seperti
itu membuat pipi Nunik menjadi kemerahan menahan
marah.
"Kalau ya kenapa, dan kalau tidak kenapa?" Nunik
yang mulai kehilangan rasa sabarnya menantang.
Kalau Astri mau bicara baik-baik, pasti ia akan
membantu gadis itu mendekatkannya kembali kepada
Wawan. Tetapi rupanya Astri memang sulit diajak
bicara dari hati ke hati. Persis yang pernah dikatakan
oleh Wawan secara tak sadar.
"Kalau ya, pikirkanlah akibatnya. Kau telah mer
nyalahi aturan main yang berlaku di dalam masyarakat baik-baik. Orang akan menyebutmu perempuan nakal dan istri yang serong. Bahkan juga
perebut kekasih orang?" sahut Astri dengan suara
tajam. "Kalau tidak, segeralah tinggalkan kota ini
agar jangan ada lagi gadis lain yang patah hati
karena ulahmu. Sungguh sayang, kecantikanmu kaupergunakan untuk memikat orang!"
"Meninggalkan kota ini atas suruhanmu? Oh tidak,
Dik. Aku berhak tinggal di sini sampai kapan pun.
Aku bahkan sedang mengurus KTP untuk menjadi
warga kota ini. Jelas?"
Mendengar kata-kata itu Astri terenyak.
"Kau memang tidak... tidak tahu malu!" desisnya.
"Dan tidak bisa diajak bicara baik-baik. Kalau begini
_ caranya, aku juga bisa bertindak sama kejamnya!"
"Begitukah yang kaunamakan bicara baik-baik?
Sejak datang saja pun caramu bicara sudah memerahkan telinga. Dan sekarang mengancamku pula,"
Nunik semakin mendongkoi menghadapi gadis galak
itu.
"Aku tidak akan bersikap begini kalau sikapmu
pantas dan patut dihormati. Ketahuilah, sejak kau
datang ke kota ini, segala sesuatu di sekitarku menjadi kacau�balau. Tak ada lagi ketentraman. Me'
rusakkan hubunganku dengan Mas Wawan. Menjauhkanku dari kedua orangtua Mas Wawan. Ke manakah
pikiranmu? Tidak kaurasakankah itu semua?"
"Apakah kaupikir aku mau merebut Mas Wawan?
Kalau itu yang ada dalam pikiranmu, kau keliru
besar. Tanpa kurebut pun ia pasti akan datang kepadaku dengan sukarela!" bual Nunik saking marah_
nya. "Tetapi aku tidak mau bersikap serendah itu.
Maka aku mencari teman yang lain. Dan kau sudah
melihat bagaimana orangnya ketika di bioskop
maupun di rumah makan beberapa malam yang lalu!"
"Tetapi kau membuatnya cemburu sehingga
perhatiannya tercurah kepadamu!"
""Rasanya aku sudah pernah menceritakan bahwa ia
menegur dan menasihatiku sepertinya aku ini anak
kecil. Dan aku menjadi marah karenanya. Tak seujung
kuku pun aku berniat membuatnya cemburu. Jelas?"
"Dan kau lebih suka mencari mangsa lain dengan
menggaet lelaki ganteng bermobii mewah itu. kan?
Huh. ke manakah moralmu? Punya suami kok bisabisanya berkelakuan seperti itu? Tidak takutkah kau
bahwa perbuatanmu itu akan membuat malu eyangmu,
keluargamu, dan sanak-saudaramu yang lain?" dengus
Astri. "Katanya keturunan ningrat, tetapi kelakuanmu
seperti lalat. Hinggap di sana dan hinggap di sini!"
"Cukup, Dik Astri!" Nunik berdiri sambil bertolak
pinggang. "Aku tidak terima kaulimpahi dengan
ucapan-ucapan mutiaramu itu. Sekarang, pulanglah.
Aku tak mau melihatmu duduk di mukaku lagi!"
"Baik, baik. Kupahami bagaimana perasaanmu
yang menjadi malu dan mungkin juga merasa bersalah
akibat perkataanku tadi!" Astri menyusul berdiri dan
meraih tasnya. "Aku akan pulang. Tetapi ingat, aku
tak bisa tinggal diam begitu saja atas perbuatanmu
yang merusak masa depanku!"
Nunik terdiam dan membiarkan gadis itu menghilang dari hadapannya. Tubuhnya menggigil menahan
perasaannya. Ah, kenapa tadi emosinya terpancing
sehingga melayani gadis galak itu?
Perasaan amarah yang masih tetap bergumpalgumpal meskipun Astri sudah pergi beberapa jam
yang lalu membuatnya resah. Dan akhirnya ia meng"
anggap perlu untuk bicara dengan Wawan. Dipanggilnya Siti.
"Ya, Den Loro?" _
"Tolong panggilkan Mas Wawan supaya datang
kemari, ya?" katanya kepada gadis tanggung itu.
"Katakan ada hal yang sangat penting."
Siti mengiyakan. Tak berapa lama sesudah itu
'Wawan langsung muncul di hadapan Nunik yang
masih saja merasa giginya gemeletuk menahan amarah yang tak bisa dilampiaskannya itu.
"Ada apa, Jeng? Kok kelihatannya sangat penting?" tanya lelaki itu sambil duduk di muka Nunik.
"Sangat penting karena benar benar membuatku
kehabisan rasa sabar!" Nunik menjawab dengan suara
tajam.
"Ada "apa?"
"Calon istrimu melabrakku dan mengata ngataiku
dengan setumpuk kata-kata mutiara simpanannya.
Bahkan aku diancamnya!"
Wawan tersentak kaget.
"Dia berani kemari padahal rumahku ada di belakang ini?" katanya. "Ayo, Jeng. ceritakan dari awal.
Siapa tahu aku bisa mengurus masalah ini."
Nunik menganggukkan kepala dan segera menceritakan semua yang terjadi sore tadi tanpa ada
yang dikurangi maupun ditambah tambahinya. Ia ingin
bersikap jujur. Tapi andai kata pun tidak, pasti
Wawan dengan mudah akan dapat mengetahuinya.
"Sebaiknya kau tenang-tenang saja, Jeng!" kata
Wawan sesudah cerita Nunik selesai. "Mudahumudahan aku bisa mengatasinya!"
"Dari tadi sesumbarrnu begitu. Tetapi kenyataannya?"
"Sabarlah. Tetapi untuk sementara ini, sebaiknya
kau jangan datang ke tokoku. Hindari berjumpa dengan Astri. Oke?"
Karena usulan itu sesuai dengan rencananya sendiri.
Nunik menurut. Bahkan untuk sementara ia juga tidak
mau bertemu dengan Wawan ataupun orangorang lain
kecuali dengan keluarganya sendiri. Dengan begitu ia
berharap mendapat sedikit ketenangan. Jadi, ia sangat
kaget ketika tiba-tiba sewaktu sedang duduk-duduk di
teras melihat sebuah taksi masuk ke halaman dan
menurunkan seorang lelaki yang paling tak diinginkannya datang kemari. Penumpangnya adalah Hardiman,
bekas suaminya!
"Untuk apa kau datang kemari?" sembumya begitu
lelaki itu berada di mukanya. "Rasanya semua hal
sudah tertulis di dalam suratku. Dan kalau kedatanganrnu ini ada kaitannya dengan masa lalu kita, itu
pun rasanya sudah kita selesaikan di pengadilan!"
"ltukah kata-kata sambutan seorang perempuan
yang pernah sekian tahun lamanya menjadi istriku,
menjadi orang terdekat denganku?" Dengan sikap
tak peduli Hardiman langsung duduk di teras.
'"lni bukan rumahku, Mas. Seharusnya kau bilang
kulonuwun lebih dulu kepada eyangku!"
"itu bisa kulakukan nanti sesudah aku bicara denganmu!"
"Seperti kata-kataku tadi, aku sudah tidak punya
urusan apa apa lagi denganmu. Segala sesuatunya
sudah diselesaikan dan sudah tamat. Dan jelas-jelas
pula kukatakan, aku sudah tak ingin kembali kepadamu!" Nunik menyembur-nyembur dengan penuh
kemarahan. Segala kejengkelan, kegelisahan, dan
amarah yang selama berhariahari ini mengganggu
ketenangan hatinya ditumpahkannya.
"Apakah karena ada lelaki lain?"
"Surat balasanku sudah sampai ke tanganmu, kan?"
"Ya, sudah."
"Kalau begitu tentunya kau juga sudah membaca
bahwa saat ini aku sedang mulai menjalin hubungan
dengan seorang lelaki. Jadi, kenapa kau bertanya
seperti itu?"
"Karena kau sedang ngawur, Nunik. Dan itulah
sebabnya aku memutuskan untuk datang sendiri kemari. Kalau kutulisi surat Bagi, pasti bukan saja tak
akan memenuhi apa yang kuharapkan, tetapi juga
belum tentu akan kaubalas," Hardiman menjawab
sambil menyandarkan punggungnya.
"Ngawur apa?" Nunik mulai bersungut-sungut.
"Kok tahu tahunya kalau aku ngawur. Padahal sudah
tidak ada kaitan apa pun lagi di antara diriku dan
dirimu. Tetapi andai kata pun aku memang sedang
ngawur, itu urusanku. Dengan sendirinya aku sendiri
pula yang akan menghadapi segala risikonya _dan
berani mempertanggungjawabkannya. Jelas?"
"Baik, baik!" sahut Hardiman lagi. "Kalau kau
ngawur memang itu urusanmu, dan kau juga yang
'227
menanggung segala akibat serta tanggung jawabnya.
Tetapi bagaimana kalau dalam urusanmu itu sampai
menyangkut orang lain, bahkan juga kebahagiaannya?"
"Kau itu bicara apa sih?"
Hardiman tidak segera menjawab. Dengan matanya
yang tajam dan sedikit kurang ajar, ia. menelusuri
seluruh wajah Nunik dan akhirnya juga bagianbagian tubuhnya yang lain. Tak peduli yang dipandangi menjadi risi karenanya.
"Jawab pertanyaanku, Mas!" kata Nunik menahan
emosinya agar jangan sampai meledak.
"Maksud bicaraku begini," jawab Hardiman sesudah puas menatap Nunik yang menurut pandangan
matanya tampak lebih cantik dan lebih segar daripada
ketika ia masih menjadi istrinya. "Bahwa kau ingin
menjalin hubungan cintadengan leiaki lain, itu bolehboleh saja. Aku tak merasa keberatan. Tetapi persoalan atau kenyataannya sekarang ini adalah sesuatu
yang tak bisa kubiarkan begitu saja. Jadi aku harus
ikut campur. Sebab lelaki yang sedang kaugandrungi
itu punya kekasih. Nik, percayalah kepadaku bahwa
memilih kekasih itu harus dengan tenang dan banyak
pertimbangan, sedangkan kau belum lama berada di
kota ini kembali, tetapi sudah mengatakan sedang
mulai menjalin hubungan dengan seseorang. Aku
kenal siapa dirimu, Nik. Tak mungkin kau bisa
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
demikian cepat jatuh cinta!"
"Khotbahmu tak lucu!" Nunik mencibir dengan
bibirnya yang indah. "Kau mengaku kenal siapa aku,
tetapi kenyataannya kau tak tahu apa-apa. Orangjatuh
cinta pada pandangan pertama saja pun ada kok. Masa
aku tidak!"
Semula Nunik akan membantah perkataan Hardiman,
bahwa perasaan cintanya kepada lelaki lain bukan
baru terjadi belakangan ini, tetapi sudah sejak dulu
dan baru disadarinya sekarang. Tetapi kalau hal itu
dikatakan dengan terus terang, bisa-bisa Hardiman
akan mengacaukannya. Karena dengan begitu sama
saja ia mengakui telah mengganggu percintaan orang.
Sebab siapa lelaki itu kalau bukan Wawan, bukan?
"Tidak, Nik, aku yakin kau hanya merasa sedang
jatuh cinta saja. Sesungguhnya itu hanya cinta semu.
Hanya sebagai peiarian belaka. Hanya sebagai kempensasi saja. Kau sedang terluka, kau sedang kesepian," sahut Hardiman menanggapi kata-kata Nunik
tadi.
"Alangkah pandainya kau menganalisis hati orang!"
dengus Nunik.
"Aku bicara berdasarkan kenyataan, Nik!" sahut
Hardiman kalem, tetapi mengandung serangan yang
siap dimuntahkannya. "Kau bukan perempuan murahan. Tak mungkin kau akan lekas jatuh cinta. Apalagi
kepada dua orang sekaligus. Jadi, kurasa itu semua
hanyalah mekanisme jiwamu yang melindungimu dari
perasaan patah hati dan rindu kepadaku!"
""Aku merasa patah hati? Aku merasa rindu kepadamu? Apa tidak salah itu?" dengus Nunik lagi.
"Jangan mengarang isapan jempol!"
"Akuilah, Nik. Karena itulah aku datang kemari
dan memintamu sekali lagi untuk kembali kepadaku.
Aku tak ingin kau keliru langkah hanya karena
Sesungguhnya akulah yang kauhasratkan!"
Nunik melempar Hardiman dengan buku yang
sedang dibacanya.
"Kau sungguh memuakkan dengan cerita karanganmu itu, Mas!" teriaknya. "Ayo, pergilah dan jangan
berpikir yang bukan-bukan."
Hardiman mengelak dan memungut buku yang
jatuh di lantai tak-jauh dari tempatnya duduk.
"Kok marah? Apakah kau merasa malu mengakuinya?"
"Aku malu kepada angin dan burung burung di
udara, sebab orang yang pernah dekat denganku itu
ternyata hanyalah seorang lelaki yang besar sekali
rasa ge-erwnya. Seorang egosentris keias wahid!"
"Terserah kau mau bilang apa, aku tahu apa yang
kuyakini ini. Tetapi satu hal harus kausadari, yaitu
janganlah bercintaan dengan kekasih orang. Dan
jangan tergiur oleh kekayaan, kegantengan, maupun
kemudahan kemudahan yang diberikan olehnya."
Nunik tertegun. Sudah dua kali Hardiman menyinggung tentang dua hal. Pertama, tentang merebut
kekasih orang. Dan kedua, tentang lelaki lain yang
ganteng dan kaya. Seolah ia sudah tahu apa yang
terjadi dalam kehidupan Nunikl belakangan ini.
"Kau bicara seolahwoiah aku ini mau merebut
kekasih orang dan sekaligus juga berpacaran dengan
lelaki lain yang kaukatakan ganteng dan kaya itu!"
katanya kemudian, ingin memancing Hardiman. la
curiga lelaki itu telah memata matainya. ""itu hanya
dugaanmu saja, kan?"
"Tidak. Itu bukan dugaan. Aku tahu pasti dari
sumber yang bisa kupercaya!" Hardiman menjawab
dengan sikapnya yang masih tetapseenaknya.
Hm, jadi memang dia punya mata-mata, Nunik
berpikir dengan hati mendongkol.
"Apa hakmu mematamataiku sih?"
"Aku tidak memata-mataimu. Tetapi ada orang
yang sangat berkepentingan dalam hal ini. ia sangat
takut kalau kalau kau merebut'kekasihnya. Sekaligus
ia juga ingin mendekatkan kita kembali karena menyangka kau masih terikat perkawinan denganku!"
Nunik tertegun lagi. Pikirannya melayang kepada
Astri.
"Apakah kaukenal Astri?" tanyanya kemudian.
"Tidak."
"Tetapi dia kan yang menceritakan dongeng seribu
satu malam itu kepadamu?"
"Ya, bisa dikatakan demikian."
Pikiran Nunik mulai terbuka. Pasti Astri telah
menulis surat kepada Hardiman. Dan alamatnya di_
dapat dari surat yang dititipkannya kepada gadis itu.
Tak salah lagi!
"Ia menulis surat kepadamu, kan?"
"Ia meminta bantuankul" seringai Hardiman.
"Kata-kata itu lebih tepat. Dan bagi kepentingan kita
sendiri, aku melihat ada kesempatan baik" bagi semua
pihak. Seperti kataku tadi, aku tidak ingin kau bertindak membabi buta hanya untuk mengatasi rasa
kesepian ataupun sebagai kompensasi karena kehilangan orang yang dekat denganmu!"
Nunik mengumpat di dalam hati. Jadi, biang keladi
kehadiran Hardiman ini adalah Astri. Rupanya inilah
bentuk ancaman yang diucapkan gadis itu beberapa
hari yang lalu. Sungguh nekat sekali dia. Tak berpikir
panjang pula. Untung saja ia sudah bukan istri
Hardiman lagi. Seandainya masih, bisa terjadi perang
dunia antara sepasang suami-istri!
"Mas, kuharap kauingat ingat dan kaugarisbawahi
kata-kataku ini. Jangan berpikir yang aneh aneh tentang diriku. Sebab tidak ada di dalam pikiranku
untuk merebut kekasih orang. Juga kalaupun aku
punya hubungan dengan lelaki lain, itu sama sekali
bukan mencari kompensasi atau apa pun istilahmu.
Aku tak pernah merasakan kehilangan dirimu, persisnya sejak proses perceraian dimulai. Tak seujung
kuku pun perasaan yang pernah ada dalam hatiku
terhadapmu, tersisa pada diriku. Semua telah musnah.
Jadi, Mas, inilah penegasanku sebagai tambahan dari
isi suratku kepadamu kemarin._Sekarang, pulanglah
ke Jakarta. Tak ada gunanya kau berlama-lama di
sini. Oke?"
Hardiman menatap mata Nunik beberapa saat lamanya.
"Apakah kata-katamu itu bisa dipercaya?" tanyanya
kemudian.
"Aku bukan pembohong!" sahut Nunik jengkel.
"Ini kan persoalan penting. Masa aku berbohong!"
"Bukan itu yang kumaksudkan, tetapi apakah saat
ini kau bukannya sedang dalam suasana hati yang
labil sehingga kau sendiri tak tahu apakah katakatamu itu benar."
"Untuk kauketahui, Mas, jalan pikiranku masih
tetap normal!" sergah Nunik. "Nah, kita akhiri pembicaraan yang tak ada gunanya ini. Sudah tidak ada
satu pun hal yang berkaitan di antara diriku dan dirimu
yang masih perlu dibicarakan lagi. Dan duduklah baikbaik. Kupanggilkan Eyang Kakung dan Eyang Putri,
ya? Kau belum menjumpai mereka, kan?"
Hardiman tidak bisa mengatakan apa-apa lagi ka
rena Nunik langsung beranjak pergi. Sementara itu
ia juga merasa sudah bukan lagi anggota keluarga
pemilik rumah ini, sehingga tak enak kalau ia menyusul Nunik masuk ke dalam.
Pertemuan di antara kakek-nenek Nunik dan
Hardiman berlangsUng lancar berkat kebijaksanaan
kedua eyang Nunik yang sudah banyak makan asam
garam dunia ini. Percakapan juga berjalan enak.
Apalagi sebelumnya Nunik sempat memberi bisikan
bahwa Hardiman ingin mengajaknya kembali dan ia
mengatakan dengan terus terang kepada kedua orang
tua itu bahwa cintanya kepada lelaki itu telah padam
sama sekali. Apalagi respeknya. Tak mungkin dan
tak'akan pernah mungkin ia mau kembali kepada
lelaki itu.
"Lagi pula ia sudah hidup berbahagia bersama
istri dan anaknya kok, Eyang," tambahnya. "Jadi
kalau seandainya dia nanti menyinggung hal itu,
Eyang berdua sudah mengetahui pendirian Nunik!"
Untungnya pembicaraan hanya berkisar pada halhal yang umum, seperti kehidupan yang kompleks di
Ibukota dan semacam itu. Baru sesudah Hardiman
minta izin pulang, masalah pribadi mulai disinggung.
"Menginap di mana?" tanya kakek Nunik tanpa
menyadari bahwa pertanyaan itu dapat dimanipulasi
ole h Hardiman.
"Di hotel, Eyang. Habis mau menginap di mana
lagi? Sekarang kan saya bukan keluarga Eyang lagi."
"Ah. jangan mengatakan demikian. Meskipun tidak
ada kaitan keluarga lagi, kalau Nak Hardiman ingin
.menginap di rumah ini, silakan. Ada dua kamar
tidur kosong di rumah ini!"
Yah, apa lagi yang harus dikatakan oleh Eyang
Nunik kalau tidak demikian, bukan? Orang tua itu
adalah orang kuno yang masih menjunjung sikap
persaudaraan dan gotong-royong serta keselarasan di
mana sedapat dapatnya selalu menjauhi konflik.
"Boleh, Eyang?" Hardiman menatap penuh harap
kepada lelaki tua itu.
"Boleh, kalau aku tidak ada di rumah ini!" Nunik
yang menjawab. "Sebab tidak pantas dilihat orang
kalau sampai kau menginap di tempat tinggalku."
"Nunik!" eyangnya menegur lembut.
"Biar saja, Eyang. Nunik kan menjaga nama Nunik
sendiri dan sekaligus juga menjaga rumah tangga
Mas Hardiman yang sekarang ini tidak terganggu
desas-desus "yang mungkin muncul. Apa nanti kata
istrimu kalau tahu kau menginap di sini!"
"ia tidak apa-apa. Hatinya baik kok, Nik. Bahkan
ia bersedia berbagi tempat denganmu..."
"Justru karena hatinya baik itulah kau harus meru
jaga perasaannya!" Nunik menyerang tanpa ampun.
"Seikhlas-ikhlasnya ia bermadu, aku yakin hatinya
pasti terluka. Aku tidak percaya ada istri yang bersedia dimadu!"
"Tetapi aku sudah pernah mengatakan kepadamu
bahwa dia"
"Apa pun, itu tak ada artinya buatku, Mas. Sudah
kukatakan puluhan kali, aku tidak ingin kembali
kepadamu. Masa lalu kita sudah tutup buku. Pupuklah
dan konsentrasikan seluruh perhatianmu kepada perkawinanmu yang baru itu. Apalagi dari perkawinanmu
sekarang ini kau memperoleh seorang anak!"
"Sudahlah, jangan ribut di sini," sela nenek Nunik.
"Pulanglah, Nak Hardi. Eyang rasa apa yang dikatakan oleh Nunik itu benar. Hentikanlah harapanmu
untuk mengajaknya kembali sebab akan sia-sia saja.
Hargailah kemauannya. Kau sudah berbahagia bersama istri barumu. Jangan serakah hendak mengambil
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nunik lagi. Bukan saja yang bersangkutan tidak
mau, tetapi juga bisa menimbulkan hal-hal yang
kelak akan disesali. Sebab tidaklah mudah menjalani
kehidupan dengan dua istri. Ya kalau keuanganmu
tetap bagus seperti sekarang. Kalau tidak?"
"Benar, Nak Hardiman!" Kini kakek Nunik ganti
bersuara. "Dan akan banyak lagi persoalan-persoalan
yang muncul. Berebut perhatian, bersaing, dan banyak
lagi. Pasti kau akan pusing, Nak!"
"Mas Hardiman itu kan sesungguhnya hanya merasa egonya sebagai seorang lelaki sedang goyah.
Seperti seorang anak yang mempunyai dua layangan,
ia ingin membuang satunya. Tetapi begitu dibuang
dan layangan itu diminati anak lain, egonya tak
merelakannya," kata Nunik.
"Hus Nuniki" tegur neneknya.
Nunik membuang pandang ke luar. Kalau tidak,
pasti pancaran kebencian terhadap lelaki di dekatnya
itu akan terbias. ia tak menyukai lelaki yang tak
memiliki kematangan jiwa. Menurut pendapatnya,
lelaki semacam itu lebih sukar dihadapi, dibanding
dengan seorang anak kecil yang paling nakal sekalipun.
Apa yang dirasakan oleh Nunik memang tidak
salah. Khususnya kalau berkaitan dengan Hardiman.
Lelaki itu terlalu menjadikan dirinya sendiri sebagai
pusat dari sebagian besar pemikiran dan tindakannya.
Dan Nunik mengetahui hal itu sesudah terlambat.
Untung saja dalam perkawinannya dengan Hardiman
ia tidak mempunyai anak, sebab kalau ada pastilah
tidak akan semudah itu ia mengajukan perceraian.
Baginya, anak adalah segala-galanya. Ia tak mau
mengurangi kebahagiaan masa kanak-kanak mereka.
Perceraian sebaik apa pun dan demi hal yang terbaik
sekalipun, pasti akan mengurangi kebahagiaan dan
rasa aman anak-anak yang lahir dari perkawinan itu.
Sementara Nunik sedang berusaha menghindari
pertemuan berikutnya dengan Hardiman yang sewaktuwaktu bisa muncul di rumah eyangnya, Wawan
sedang berusaha menjinakkan hati Astri. Ia merasa
bertanggung jawab atas retaknya hubungan mereka
berdua. Kalau saja ia tak terlalu memperhatikan
Nunik dan terserap pada kenanganukenangan manis
masa kanak kanaknya dengan perempuan itu, pastilah
Astri tidak akan melakukan tindakan yang kurang
pada tempatnya.
Sore itu adalah sore keempat ia datang ke rumah
Astri tanpa gadis itu mau menemuinya. Merasa jengkel oleh sikap kekanakan Astri, ia menulis pada
selembar kertas yang diberikannya kepada pembantu
rumah tangga orangtua Astri.
"Sampaikan kepadanya, ya? Kutunggu di sini!"
katanya sambil duduk .di teras. "Sepuluh menit iagi
dia tidak keluar, aku pulang."
Pembantu yang tahu bahwa antara tamunya dan
anak majikannya sedang terjadi konflik, mengiyakan.
Sudah empat sore tamunya itu datang, tetapi empat
kali pula ia datang dengan sia-sia. Dan sekarang
kesabarannya diuji. ia sempat melihat tulisan yang
sekarang dibawanya ke kamar Astri itu:
Kalau sore ini kau tak mau menemui aku. untuk
selanjutnya aku tak akan pernah mau berjumpa lagi
denganmu. Aku bersungguh-sungguh!
Syukurlah, itu berhasil mengeluarkan Astri dari
kamarnya. Meskipun dengan wajah mendung dan
keruh, mau juga ia keluar menemui Wawan.
"Mau apa mencariku?" tanyanya begitu berhadapan
muka dengan tamunya itu. "Masih memerlukanku?"
"Tri, aku datang untuk berbicara dari hati ke bati.
Harus kuakui bahwa kecemburuanmu beralasan. itu
sudah pernah kukatakan. Juga sudah pernah kukatakan bahwa cara untuk memperlihatkan kecemburuan
itu harus pada tempatnya. Jangan membabi buta. Tetapi ternyata kau bahkan melakukan tindakan yang
lebih dari yang pernah kusangka. Tri, kurasa tak
sepantasnya kau melabrak Jeng Nunik. Ia tidak bersalah. Akulah yang memaksa ikut pergi dengannya
ke kantor pos siang itu. Percayalah kepadaku!"
"Kau datang kemari ini mau mengkritikku, mencelaku, mengajakku bertengkar, atau membela diri?"
sahut Astri. Suaranya terdengar pedas.
"Apa pun menurutmu, aku hanya ingin bicara
dari hati ke hati sebagaimana yang kukatakan tadi!"
"Kalau memang begitu, beri kesempatan padaku
untuk memuntahkan perasaanku!"
"Silakan!" jawab Wawan; "Kita bicara dalam suasana keterbukaan!"
"Terus terang aku merasa kecewa terhadapmu.
Katamu, akulah satwsatunya gadis terdekat denganmu.
Tetapi nyatanya, kau sangat memperhatikan Mbak
Nunik dan menomorsatukan dirinya. Semenjak dia
datang, waktumu lebih banyak kaupergunakan bersamanya..."
"Jangan berlebihan, Tri. Aku memang sering pergi
bersamanya ataupun mengobrol dengannya. Tetapi
waktuku masih tetap lebih banyak kupakai bersamamu," Wawan menyela.
"Tetapi seandainya tidak ada dia, pasti waktumu
akan lebih banyak lagi untukku!"
"Mungkin, itu kuakui. Tetapi perlu kauingat bahwa
di kota ini ia adalah tamu. Mengingat persahabatan
kami dulu, di mana ia kuperlakukan sebagai adikku
sendiri, rasanya tidaklah terlalu salah kalau selama
ia tinggal di kota ini, aku banyak menemaninya.
Sedang bersamamu, itu kan bisa kita lakukan kapan
saja. Lebih-lebih kalau kita berdua kelak jadi menikah. Kuharap kau dapat memahaminya!"
"Firasatku mengatakan bahwa di antara kalian
telah terjalin sesuatu yang lebih dari sekadar rasa
persaudaraan. Sebagai seseorang yang dekat dengan.mu, kurasakan bahwa setiap kausebut namanya matamu berbinar lain dan suaramu terdengar hangat!"
"Jangan mengada ada, Tri. Kita bicara secara rasional. Bukan firasat-firasatan," bantah Wawan. meskipun di dalam hati ia meragukan bantahannya sendiri.
Benarkah demikian yang terjadi pada dirinya, seperti
yang dikatakan oleh Astri itu? pikirnya.
"Oke. Sekarang satu pertanyaan lagi untukmu.
Mas, masih tetap sebulat semulakah keinginanmu
untuk memperistriku suatu saat nanti? Jawablah se
cara jujur. Apalagi katamu tadi, kita akan bicara dari
hati ke hati dalam suasana keterbukaan!"
Ditanya seperti itu, Wawan merasa gugup di dalam
hatinya. Kalau mau bicara jujur, belakangan ini
perasaannya terhadap Astri yang semula mengandung
kasih, mulai meluntur oleh sikap gadis itu sendiri.
Selama ini ia selalu mengalah dan menerima kekurangan Astri dengan pengertian bahwa antara
usianya dan usia Astri terpaut cukup banyak. Tetapi
belakangan ini dia mulai merasa lelah mengikuti
aturan main Astri yang seenaknya sendiri dan bahkan
cenderung ingin mengaturnya itu. Kehadiran Nunik
memperjelas sikapnya yang ingin memperlihatkan
bahwa ia punya hak lebih terhadap Wawan. Bahkan
kata-kata ibunya yang pernah mengingatkannya pada
awal hubungan mereka dulu dan yang tak pernah
digubrisnya, kini terngiang-ngiang kembali di telinganya.
"Wan, gadis itu masih terlalu hijau. Ia sangat
dimanja oleh keluarganya!" kata ibunya ketika itu.
"Pikirkanlah baik baik, apakah perasaanrnu kepadanya
itu sungguh murni ataukah karena sesuatu yang lain.
Merasa dibutuhkan olehnya, misalnya. Atau karena
bersamanya kau merasa menjadi semacam pelindung.
Atau entahlah!"
Waktu itu Wawan membantahnya. Tetapi bantahan
itu semakin lama semakin menipis. Bahkan sekarang
akhirnya ia mulai memikirkan kata kata yang diucapkan oleh ibunya itu. Apakah benar analisis perempuan
itu?
"He, kok melamun!" suara Astri yang keras menyentakkan Wawan dari lamunannya.
"Apa katamu tadi?" tanyanya.
"Apakah tekadrnu menikah denganku nanti masih
bulat seperti semula?" Astri mengulangi pertanyaannya dengan kesal. "Yang kuperlukan dari pertanyaan
itu adalah kejujuranmut"
"Aku tidak tahu, Tri. Itulah jawabanku kalau kau
menginginkan kejujuran dariku!" Wawan terpaksa
menjawab juga karena Astri tak sabar menantikan
jawabannya.
"Kok tidak tahu. Jelaskan alasannya!"
"Bukannya aku meragukan kebulatan tekadku, Tri.
Tetapi yang kuragukan adalah kebahagiaan kita berdua. Ternyata masih banyak hal di antara kita berdua
yang harus lebih dilihat dan dipelajari. Maaf ya, Tri,
hal ini terpaksa kukatakan terus terang. Sebab pada
kenyataannya, terutama yang terjadi akhir-akhir ini,
aku masih suka tertegun melihat beberapa tindakaninu
yang begitu impulsif. Terus terang, aku tak menyangka. Sebaliknya, kukira kau pun juga tertegun
melihat beberapa tindakanku yang tanpa kusadari
telah melukai perasaanmu!"
"Aku yakin penilaianmu itu pasti berkaitan dengan
kedatangan Mbak Nunikt" sahut Astri pedas. "Seharusnya kau dulu menikah dengan dia, Mas."
"Astri!" Wawan terkejut mendengar kata-kata itu.
"Bicaraku beralasan, Mas. Dan sekarang aku mulai
mengerti kenapa setiap kali berpacaran, hubunganmu
tidak bisa berlangsung terlalu lama!"
"Jangan membawanbawa orang lain dalam hal ini,
Astri. Apalagi kau kan sudah tahu, bahwa putusnya
hubunganku dengan Endang, dengan Narti, dan
dengan Titik itu karena sikapku yang kurang meSra
akibat terlalu membiarkan diriku tenggelam di dalam
pekerjaanku!"
"Tetapi apakah pernah kaupikirkan kenapa kau
lebih mencintai pekerjaanmu daripada kekasihmu?
Tidakkah itu ada kaitannya dengan masa ialumu
bersama Mbak Nunik?"
'"Apa maksud bicaramu itu. Tri?" Wawan tertegun
lagi. Tak menyangka akan mendengar katavkata seperti itu dari mulut Astri.
"Barangkali tanpa kausadari, kau selalu membandingkan kekasihmu dengan Mbak Nunik. Dan
karena mereka tak menunjukkan sesuatu yang mengingatkanmu kepada Mbak Nunik, sikapmu menjadi
dingin. Maka untuk menghilangkan perasaan itu,
kaularikan perhatianmu kepada pekerjaan sehingga
akhirnya kekasihmu merasa kaunomorduakan!"
Untuk kesekian kalinya Wawan tersentak kaget.
Apa yang dikatakan oleh Astri itu memang hanya
berdasarkan dugaan akibat perasaan cemburunya,
tetapi di dalam isi bicaranya itu ada hal-hal yang
perlu dipikirkan oleh Wawan. Tak ada asap kalau
tidak ada api.
Tetapi di hadapan Astri, ia tak mau mengatakan
apa yang sedang terlintas di dalam pikirannya itu.
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukannya ia tak mau bersikap jujur, ia cuma tak
ingin menyakiti hati gadis itu.
"Tri, janganlah mengada-ada seperti itu," katanya
kemudian. "Nyatanya terhadapmu aku kan lebih serius
dan lebih banyak mencurahkan perhatian, sedangkan
terhadap gadis-gadis lain itu, terus terang aku memang tak begitu yakin terhadap perasaanku sendiri.
Soalnya pada saat itu aku masih sedang menggebu
gebu merintis tokoku. Persoalan dengan gadis yang
khusus, apalagi dengan niat memperistrinya, tak menjadi perhatian utamaku."
"Jadi hanya terhadapku saja kau baru memikirkan
langkah yang lebih jauh, yaitu membentuk rumah
tanggal?"
!!Ya'SS
"Sekarang pun?"
"Ya, sekarang pun!"
"Tetapi kau tadi mengatakan keraguanmu!"
"Itu wajar, bukan? Bagiku menikah adalah pilihan
hidup yang hanya satu kali saja dalam hidupku.
Justru karena itulah aku harus bertindak hati-hati.
Dan dalam kehati-hatianku itulah muncul keraguan
sebagaimana yang kukatakan tadi. Landasannya adalah kekhawatiranku kalau-kalau aku tak mampu membahagiakanmu. Aku bukan lelaki yang termasuk sabar
dan telaten menghadapi sikap-sikap kekanakan sebagaimana yang sering kauperlihatkan. itu memang
kekuranganku. Dan kuharap kau mampu memakluminya. Aku ini anak tunggal yang tak pernah mengerti
bagaimana menghadapi ulah saudara-saudaraku, khususnya saudara perempuanku!"
"Tetapi terhadap Mbak Nunik kau mampu bersikap
sabar dan telaten!" dengus Astri.
Wawan menarik napas panjang, menyadari kekeliruannya memakai alasan untuk menetralisir kemarahan
Astri itu. Tetapi ia masih mampu berpikir lain untuk
sedikit mengurangi kekeliruan bicaranya tadi.
"Itu berbeda, Tri. Terhadap Jeng Nunik aku merasa
mendapat tanggung jawab yang diberikan oleh kakekneneknyal" katanya kemudian. "Aku terpaksa harus
bersabar menghadapinya. Keluargaku berutang budi
yang tidak sedikit kepada keluarganya. Padahal kalau
dibilang sabar, itu tidak benar. Sering kali aku merasa
amat jengkel menghadapinya. Bahkan dulu, entah
berapa kali aku pernah hampir memukulnya!"
Apa yang dikatakan oleh Wawan itu memang
berdasarkan kenyataan. Hanya saja ia tidak menceritakan bagaimana sayangnya ia kepada Nunik dan
bagaimana ia menghayati dengan perasaan bahagia
perannya sebagai pelindung dan pengawal perempuan
itu di masa kecil mereka. Untung Astri mempercayai
bicaranya karena memang terdengar meyakinkan.
"Sudahlah," kata Astri menanggapi kata-kata
Wawan itu. "Mungkin aku memang terlalu mendesak
jawaban darimu. Jadi sekali lagi, jelasnya kau masih
mengharapkan aku menjadi istrimu, kan?"
"Ya."
"Kalau begitu, .demi niat baik itu maukah kau
menuruti keinginanku?"
"Keinginan apa?"
"Pokoknya demi kebaikan hubungan kita selanjut- nya dan demi ketenangan serta kedamaian di antara
kita berdua!"
"Apa itu, coba katakan!"
"Jauhilah Mbak Nunik. Hentikan hubunganmu
yang akrab dengannya. Sekarang adalah masa sekarang yang menjurus ke masa depan. Masa lalu adalah masa lalu yang hanya merupakan bagian dari sei
jatah kehidupan kita!" _
Wawan terdiam. Bagaimana mungkin dan bagaimana bisa ia memenuhi permintaan Astri yang seperti
itu, meskipun alasannya dapat diterima oleh rasionya?
"Bisa atau tidak, Mas?" Astri berkata lagi. Sekarang suaranya terdengar Iebih mendesak dan menuntut
untuk dipenuhi.
Wawan menarik napas panjang. Astri memang
masih labil dan tidak konsekuen dengan ucapannya
tadi. Baru saja ia mengakui dirinya terlalu mendesak
jawaban darinya, sekarang malah lebih keras nadanya.
"Permintaanmu itu sulit, Astri!" akhirnya ia berkata
dengan terus terang. "Kau kan tahu sendiri, rumah
kami berdekatan dan hubungan antara keluarganya
dengan keluargaku begitu akrab. Bagaimana mungkin
aku bisa menghindari berjumpa dengannya. Itu alasanku yang pertama. Alasanku yang kedua, aku juga
sudah pernah bercerita padamu bahwa setiap pagi
aku selalu membersihkan kandang dan memberi makan burung-burung kakeknya. Itu pun sudah memberi
peluang bagiku untuk bertemu dengannya tanpa bisa
kucegah!"
"Kalau kau mau, bisa saja, Mas. Yang penting
kan kemauanmu!" gerutu Astri. "Dan terus terang
saja, aku merasa heran kenapa manumaunya kau
diperlakukan seperti budak oleh mereka!"
Wawan terkejut mendengar kata-kata Astri yang
keras itu.
"Tri, jangan pernah sekali kali berkata seperti itu
lagi!" katanya menahan marah. "Mereka tak pernah
memperbudakku. Bahkan menyuruhku merawat
burung-burung pun tidak. Aku yang bersedia mengerjakan tugas tugas tersebut, sebab aku tidak tega melihat
kakek Nunik mengerjakannya sendiri. Ia sangat menyayangi semua burung peliharaannya. Dan ia tak
pernah membiarkan burung burung itu dirawat oleh
orang lain. Bahwa aku diberi kepercayaan untuk
menggantikannya, bagiku itu suatu penghargaan tersendiri. Tidak sembarang orang dipercaya seperti itu.
Bahkan bukan hanya dalam hal itu saja aku dipereayainya, tetapi dalam hampir semua hal."
"Ya sudah, kalau memang begitu," sahut Astri,
menyadari kemarahan Wawan yang mulai .tersulut.
"Tetapi sedapat-dapatnya hindarilah Mbak Nunik.
Kalau kebetulan kau berpapasan atau bertemu muka
dengan dia secara tak sengaja. sapalah sebentar saja,
lalu katakan bahwa kau harus cepat-cepat pergi.
Atau apalah asal kau jangan berlama-lama dengan
dia. Ini bukannya aku tak mempercayai kalian, tetapi
demi menentramkan perasaanku. Sebab seperti kataku
tadi, firasatku sudah memberi tanda bahaya, meskipun
katamu yang penting adalah rasio, karena katamu
pula firasat itu tidak rasional. Tetapi menurutku,
firasat itu juga perlu diperhatikan, sebab di dalam
kehidupan ini ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan oleh rasio!"
Mendengar kata kata Astri itu, Wawan menganggukkan kepala. Ia bisa mengerti, namun di dalam
batinnya sebenarnya ia tidak suka diberi batasanbatasan yang berbau perintah itu. Tetapi demi menghindari pertengkaran lebih lanjut, ia terpaksa menekan
rasa tersinggungnya. Lain kesempatan ia akan mencetuskan rasa tak sukanya itu.
"Bagaimana kalau dia datang ke toko?" tanyanya
kemudian. Dengan pertanyaan itu, ia ingin memancing pendapat Astri.
"Katakan saja kau pergi!"
"Itu tidak mungkin, Tri. Ia datang ke toko pasti
bukan hanya karena ingin bertemu denganku saja,
tetapi juga dengan kedua orangtuaku. Hubungan mereka sangat akrab, sehingga andai kata aku tidak
ada di tempat, mereka pasti akan tetap berhandaihandai. Dan itu bisa sampai berjam-jam lamanya,
karena dia bukan wanita yang suka diam. Pasti
sambil mengobrol ini dan itu ia dengan senang hati
akan membantu apa saja yang dikerjakan oleh kedua
orangtuaku!" sahut Wawan. "Bagaimana mungkin
aku bisa bersembunyi sekian lamanya?"
"Kalau begitu tunjukkan sikap yang acuh tak acuh
dan dingin!" kata Astri mengajari. "Pasti ia akan
mengerti bahwa kehadirannya tak kaukehendaki!"
"Tidak bisa, Tri. ltu tak sesuai dengan kata hatiku!" sekarang Wawan mulai membantah. "Sebab
jelas sekali itu bertolak belakang dengan adat dan
sopan-santun bangsa kita."
"Ah, atasan saja!" Astri yang sudah mulai mendingin perasaannya, teraduk kembali emosinya. "Sebab sebenarnya kau merasa berat menjauhinya!"
"Jangan mengarang, Tri!"
"Jadi, aku salah? Kalau begitu aku berharap usahakulah yang akan berhasil menjauhkanmu darinya!"
"Usaha apa?"
"Pokoknya aku juga berusaha agar Mbak Nunik
tidak lagi mengganggu ketenangan kita!" jawab Astri.
"Iya, usaha apa?" tanya Wawan lagi. Sekarang
ada desakan dalam nada suaranya. "Aku ingin tahu."
Astri tidak segera menjawab. Matanya menatap
mata Wawan. la mengerti lelaki itu mengkhawatirkan
tindakannya.
"Tri, usaha apa?" Wawan bertanya lagi.
"Kenapa sih kau begitu ingin tahu?"
"Terus terang saja, aku khaWatir kau melakukan
tindakan yang tak kautimbang baik-buruknya lebih
dulu sebagaimana yang sudah-sudah!" jawab Wawan.
"Tetapi kali ini aku bertindak demi kebaikan semua
pihak, termasuk Mbak Nunik sendiri bersama
suaminya!"
"Apa yang kaulakukan?"
"Menyurati suaminya!"
"Menyurati Mas Hardiman?" Mata Wawan terbelalak. "Apa yang kaukatakan di dalam suratmu
itu, dan dari mana kau mengetahui alamatnya?"
"Alamatnya kuketahui dari surat Mbak Nunik yang
dititipkannya kepadaku beberapa hari yang lalu!"
jawab Astri tanpa menjelaskan pertanyaan lainnya.
Tetapi Wawan tahu. Ia bertanya lagi.
"Lalu apa isinya?"
"Kukatakan bahwa istrinya perlu diawasi kalau ia
tak ingin perkawinan mereka hancur!"
Wawan terlonjak bangun dari tempat duduknya.
Wajahnya memerah.
"Kau keterlaluan!" desisnya. "Ini bukan hal sepele,
Tri. Mereka bisa kacawbalau kalau kauberikan
gambaran buruk sebagaimana yang kautulis dalam
suratmu itu!"
"Aduh, kenapa kau yang ribut sih, Mas?" Astri
mengerutkan dahinya hingga kedua alis matanya
bertaut menjadi satu. "Aku bermaksud baik, demi
menyelamatkan perkawinan mereka. Mbak Nunik kan
bukan saja pergi berduaan denganmu, tetapi juga
dengan lelaki lain. Kalau dibiarkan saja kan ia bisa
semakin merajalela!"
Wawan tidak menjawab. Dan kemudian tanpa berkata apa-apa lagi ia segera pergi dari hadapan Astri
dan meninggalkan gadis itu dalam keadaan bingung,
karena tak menyangka Wawan akan bersikap seperti
itu. Lalu begitu menyadari bahwa Wawan bersikap
begitu karena khawatir melihat Nunik mengalami
persoalan dengan suaminya, hati gadis itu pun menggelegak oleh amarah. Rupanya Wawan memang tidak
bisa lepas sarna sekali dari hal hal yang menyangkut
Nunik!
Wawan dengan gerakan terburu buru mengendarai
mobilnya menuju rumah Nunik. Tujuannya akan
memberi peringatan kepada perempuan itu kalaukalau menerima s'urat Hardiman yang mempertanyakan masalah yang dikatakan oleh Astri di dalam
suratnya.
Tetapi ketika ia meloncat dari mobilnya dan melangkah dengan langkahnlangkah lebar menyeberangi
halaman rumah eyang Nunik, matanya menangkap
sesosok pria yang sedang duduk di teras dengan
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sikap tak sabar. Dan meskipun Wawan belum pernah
melihat Hardiman kecuali dari fotonya, itu pun hanya
sekilas saja, ia tahu pria itu suami Nunik. Itu artinya,
ia telah terlambat datang. Atau lebih tepat lagi, ia
telah terlambat mengetahui perbuatan Astri yang tak
berpikir panjang lebih dulu itu!
HARDIMAN menoleh begitu telinganya mendengar
suara langkah kaki sedang berjalan ke arahnya. Kedua
alisnya yang langsung terangkat, bertaut menjadi
satu.
"Selamat sore," Wawan mendahului apa pun yang
mungkin akan diucapkan oleh lelaki di hadapannya
itu.
"Sore. Mencari siapa?"
"Tidak mencari siapa siapa," Wawan mencoba tersenyum. "Saya tetangga dekat di belakang rumah
ini, dan biasa datang kemari. Sore ini saya ingin
melihat burung�burung di belakang. Tadi pagi saya
belum sempat mengganti airnya!"
Hardiman menatap tajam wajah Wawan yang
meskipun tidak ganteng tetapi sangat menarik itu.
"Anda Wawan?" tanyanya menebak nebak.
"Benar...." jawab Wawan. "Rupanya Anda pernah
juga mendengar nama saya."
"Kebetulan," kata Hardiman. "Saya ingin bicara
dengan Anda."
"Tentang...?" Wawan tak mau duduk. la tetap ber_ diri di tangga teras yang paling bawah. Perasaannya
tak enak. Ini pasti ada kaitannya dengan surat Astri.
Dan rupanya lelaki bernama Hardiman ini juga tipe
orang yang tak mau banyak menggunakan penimbangan
kalau mengatakan sesuatu. Bukankah mereka berdua
belum berkenalan? Bahkan berjabat tangan saja pun
tidak.
' "Tentang sesuatu hal yang penting, yang menyangkut pribadi Anda!" Ia mendengar Hardiman berkata
lagi. .
"Tetapi saya belum tahu siapa Anda?" tanya
Wawan. Memang benar apa katanya itu. Ya, kalau
lelaki itu memang benar Hardiman, meskipun tandatandanya cukup jelas. Tetapi kalau bukan?
"Oh, saya Hardiman!" '
"Saudara Hardiman" Wawan bergumam. "Apa
yang ingin Anda bicarakan?"
"Kalau dikatakan sebagai pembicaraan rasanya
kurang tepat, sebab yang ingin saya katakan adalah
himbauan atau katakanlah peringatan. Jauhilah Nunik
dan urusilah kekasih Anda sendiri!"
Tersirat aliran darah Wawan begitu mendengar katakata Hardiman. Wajah lelaki itu menjadi merah padam.
"Saya tidak menduga Anda yang bertubuh gagah
seperti ini. berpikiran sependek itu!" katanya kemudian dengan mendesis. "Semudah itukah Anda mempercayai surat yang ditulis oleh seorang gadis kekanakkanakan yang sedang diamuk rasa cemburu? Ini
sungguh lelucon yang sama sekali tidak lucu. Andai
kata pun memang terjadi sesuatu sebagaimana yang
ditulis oleh tunangan saya, bukan dengan cara beginilah Anda menyelesaikan persoalan."
"He, jangan bicara sekasar itu kepada saya
Hardiman berdiri dan mulai mengepalkan tangannya.
|"
"Tunjukkan di mana letak kekasaran saya, Bung.
Bukankah saya berbicara berdasarkan kenyataan?"
Wawan yang biasa bekerja dengan menggunakan
tenaga dan menyukai olahraga itu mulai siap siaga
menyambut apa pun yang akan dihadapinya. "Dan
untuk apa Anda bersiap-siap seperti hendak memukul
saya? Apakah Anda kira kepalan tangan akan menyelesaikan masalah? Terus terang saya tidak suka
baju saya kena nnda darah walaupun saya tidak
takut berkelahi dengan siapa pun. Dan bukan hanya
karena hal itu saja. Menurut saya, kalau kepala saya
masih bisa dipakai untuk berpikir, untuk apa menggunakan tenaga seperti makhluk-makhluk yang tak
dianugerahi Tuhan dengan akal dan budi saja?!"
"Anda mulai menghina!" Hardiman melangkah
maju dan mengencangkan letak arlojinya. _
"He, apauapaan sih kalian!" suara Nunik yang
baru keluar dengan membawa minuman menghentikan
gerakan Hardiman. "Seperti bukan lelaki dewasa
saja. Seperti manusia-manusia yang belum pernah
belajar sopan-santun pergaulan saja."
"Bukan aku yang memulainya, Jeng!" kata Wawan
membela diri.
Nunik menoleh ke arah lelaki itu, tersenyum sekilas dan kemudian mengangguk.
"Aku tahu, Mas!" sahutnya. "Aku kenal siapa dirimu!"
"Nunik, rupanya memang benar isi surat gadis itu.
Kau hendak merebut kekasihnya!" Hardiman menyela
dengan suara keras. "Di hadapanku saja kau tak tahu
malu memuji orang!"
Nunik menoleh ke arah Hardiman. Matanya menatap dengan tajam lelaki itu.
"Kalaupun itu benar, bukan hakmu untuk mengurus
persoalanku!" katanya dengan mendesis. Kemudian
Nunik berpaling ke arah Wawan, lalu dengan suara
yang lembut dan sangat akrab ia memohon, "Mas,
pulanglah. Biarkan aku sendiri mengurus persoalan
ml."
Wawan sudah amat mengenali sifat _Nunik. Perinintaan yang diucapkan dengan sepenuh perasaan
itu menyentuh hatinya. Ia menganggukkan kepala.
"Baiklah. Dan maaf," sahutnya kemudian.
"Tidak ada hal-hal yang perlu dimaafkan!"_kata
Nunik sambil memberi isyarat agar Wawan segera
meninggalkan tempat itu.
Wawan menurut. Dengan langkah-langkah lebar ia
segera meninggalkan rumah itu, walaupun hatinya
kacau-balau. Ia tidak menyangka sama sekali, bahwa
suami Nunik ternyata lelaki yang mentalnya belum
dewasa. Kasihan Nunik, pikirnya. itukah yang menyebabkan perempuan itu meninggalkannya sampai
sekian lamanya dan mengorbankan kariernya? Cuti
di luar tanggungan adalah sesuatu yang hanya ditempuh oleh mereka yang terpaksa melakukannya.
Ah. tidak bahagiakah perkawinan Nunik dengan lelaki
semacam itu?
Nunik menatap tajam wajah Hardiman dengan
pandangan melecehkan. "Begitukah caramu menyelesaikan suatu masalah?" katanya kemudian dengan
suara mendesis. "Kampungan. Seperti anak kemarin
sore saja!"
"Kau berani mencelaku?"
"Kenapa tidak? Kau memang pantas dicela!"
"Kau telah banyak berubah, Niki" Hardiman ber"
kata setengah mengeluh. "Rasanya aku seperti berhadapan dengan orang lain."
"Bagus kalau kau memang punya pendapat demikian, Mas. Memang aku telah berubah. Pengalaman
membuatku menjadi lebih kaya. Dan aku gembira
kau sekarang merasa asing terhadapku. Sebab kita
berdua saat ini memangmerupakan orang-orang asing
yang tak mempunyai kaitan apa pun lagi. Nah,
sesudah kausadari, tentunya kau tak perlu lagi harus
berulang-ulang datang kemari, kan?" sahut Nunik
kalem. "Sebab tak akan ada gunanya. Aku tetap
pada pendirianku semula, untuk tidak akan kembali
kepadamu. Tak ada hal-hal yang pantas diperhitungkan ataupun sebagai alasan aku harus rujuk denganmu. Kau sungguh-sungguh hanya bagian dari masa
laluku."
"Tetapi, Nik, aku masih mencintaimu..."
"Bukan!" Nunik menyela dengan tangkas. "Yang
kaucintai adalah dirimu sendiri. Penolakanku membuat
egomu terluka. Padahal itu tidak perlu. Kau sudah
mempunyai keluarga dan berbahagia bersama mereka.
Jangan lukai hati istrimu yang sekarang."
"Kau pandai bicara sekarang!"
"Mengatakan suatu kenyataan bukanlah kepandaian
namanya!" Nunik menyela lagi.
"Dan ketus!"
"Itu perlu untuk menghadapimu. Nah, minumlah
es teh manis yang dibuatkan oleh Mbok Surti untukmu itu. Lalu berpikirlah untuk segera kembali ke
Jakarta. Masa cutimu hanya kaupergunakan untuk
hal yang sia-sia begini. Seharusnya kaupergunakan
untuk memanjakan istri dan anakmu. Ayolah, hadapi
kenyataan ini dengan pandangan yang lebih luas!"
Dengan menggerutu tanpa dapat ditangkap dengan
jelas kata-katanya, Hardiman meminum es teh yang
tersedia di atas meja teras itu. Nunik memperhatikannya. Ada rasa iba melihat lelaki yang dulu pernah
menjadi pujaannya itu kini baginya hanya seperti
orang lain saja, sebab tak lagi tersisa rasa penghargaan terhadap lelaki itu.
"Nah, pulanglah segera keJakarta, Mas!" Tanpa
sadar suara Nunik berubah menjadi lebih lembut.
Hardiman merasakannya, hingga timbul lagi harapannya untuk membujuk dan melunakkan hati perempuan itu.
"Aku akan mematuhi saranmu, Nik. Tetapi malam
ini izinkanlah aku mengajakmu menonton film lalu
makan malam bersama. Oke?" pintanya.
Kalau saja Nunik belum kenal siapa Hardiman,
pastilah ajakan manis itu akan dipenuhinya. Anggap
saja sebagai malam perpisahan. Tetapi karena ia
yakin lelaki itu akan. membujuknya lagi dan mungkin
juga meminta yang bukan-bukan, ajakan itu ditolaknya dengan halus.
"Aku sedang lelah. Terima kasih atas ajakanmu
itu!"
"Kalau begitu bagaimana jika besok malam?"
Hardiman belum mau menyerah. "Bisa, kan?"
"Kau sudah harus kembali ke Jakarta, Mas. Ingat
anak dan istrimu," suara Nunik tegas sekali.
"Kita lihat saja besok bagaimana, ya?"
Nunik tidak menjawab. Hardiman menganggapnya
sebagai persetujuan sehingga ketika ia pamit pulang
ke hotelnya, hatinya terasa lebih lega.
Sepanjang malam Nunik merasa gelisah. Ia jengkel
terhadap segala hal yang dialaminya belakangan ini'.
Muak rasanya menghadapi semua itu lebih lama
lagi. Belum lagi ajakan Hardiman yang masih saja
mengira' dirinya belum hilang dari hati Nunik. Besar
kemungkinan ia akan datang dan membujuknya pergi
lagi. Rupanya ia mulai sadar bahwa rujuk dengan
Nunik sudah tidak mungkin lagi. Dan ia ingin apa
pun yang mungkin masih bisa diraihnya bersama
Nunik dengan pergi bersama malam itu, akan terpenuhi. Semua itu mudah ditebak oleh Nunik, yang
menjelang tengah _malam itu memutuskan suatu rencana. ia akan pergi ke Yogya lagi untuk menghindari
Hardiman. ia akan meminta kepada seluruh isi rumah
untuk merahasiakan kepergiannya. Pasti dengan penuh
pengertian mereka akan membantunya.
Nunik melaksanakan apa yang direncanakannya
itu pagi-pagi sekali. Karena uangnya ada, ia memilih
memakai taksi meskipun ongkosnya mahal. Tetapi
cepat, aman, dan nyaman.
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Barangkali baru sekitar sepuluh kilometer Nunik
berada dalam perjalanan, ketika Wawan masuk ke
halaman belakang lewat pintu samping. Mbok Surti
baru saja menyiapkan sarapan. Wawan berhenti di
muka jendela dapur dan menyapa seperti biasanya.
"Repot ya, Mbok, ada tamu!" kata lelaki itu berbasa basi. "Perlu bantuan?"
"Ada tamu?" "Mbok Surti menaikkan alis matanya.
"Siapa?"
"Lha, Mas Hardiman itu kan tamu, biarpun cucu
menantu tuan rumah!" sahut Wawan sambil melihat
bahan-bahan yang sedang akan dimasak oleh Mbok
Surti. "Dia suka nasi gorengmu rupanya."
"Mas Wawan itu bicara apa sih?" Mbok Surti
menanggapi bicara Wawan sambil tetap membiarkan
tangannya sibuk. "Masa Den Hardiman menginap di
sini. Kan ya tidak pantas!"
Wawan tertegun. Seluruh perhatiannya tercurah
kepada bibir Mbok Surti yang tebal.
"Kok tidak pantas sih?" tanyanya, tak tahan menyimpan keheranannya. "Suami cucunya tentunya
pantas tidur di sini. Lha di mana lagi sih, Mbok.
Masa di hotel atau di tempat lain!"
Sekarang Mbok Surti yang tertegun. Kesibukan
tangannya terhenti. Matanya menatap mata Wawan
beberapa saat lamanya.
"Mas Wawan ini lupa atau sedang mimpi sih?"
tanyanya kemudian.
"Lupa apa dan mimpi apa sih, Mbok?" Wawan
ganti bertanya. "Dan yang sedang kaubicarakan itu
apa?" "Ya ampun, Mas! Apa tidak ingat kalau Den
Hardiman itu sudah bukan suami Den Loro Nunik?"
Mbok Surti menggeleng-gelengkan kepala berulang
kali sambii tersenyum geli. "Belum tua sudah pelupa!"
Mata Wawan terbelalak. Sekali lagi matanya mengarah ke bibir Mbok Surti, mengharapkan penjelasan
lebih jauh.
"Demi Tuhan, Mbok. Aku tidak tahu kalau Jeng
Nunik itu bercerai dengan Mas Hardiman!" katanya
sungguh-sungguh sehingga senyum di bibir Mbok
Surti lenyap. _
"Lho, Mas Wawan belum tahu kalau Den Loro
Nunik pulang ke kota ini karena perceraiannya dengan Den Hardiman?" Sekarang mata Mbok Surti
yang membesar menatap ke arah Wawan yang berdiri
mematung, nyaris tak mempercayai apa yang didengarnya itu.
"Sungguh, Mbok. Tetapi... tetapi kenapa Jeng
Nunik tidak mengatakannya kepadaku?"
"Mungkin dia malu, Mas. Atau menyangka Mas
Wawan sudah tahu. Seperti juga Mbok Ti mengira
Mas Wawan sudah tahu. Lha wong setiap hari bertemu kok. Saya pikir Mas Wawan tahu semua mengenai Den Loro Nunik!" sahut Mbok Surti sambil
mulai melanjutkan pekerjaannya yang terhenti tadi.
"Kalian berdua kan begitu akrab!"
Wawan terdiam beberapa saat lamanya. Apa yang
dikatakan oleh Mbok Surti tidak salah. ia dan Nunik
mempunyai hubungan yang sangat akrab dan nyaris
tak ada hal-hal yang dirahasiakan di antara mereka.
Bahwa Nunik menyembunyikan persoalan perceraiannya darinya, pastilah ada sesuatu yang menyebabkannya. Pikiran Wawan langsung lari kepada sikap Nunik
setiap ia menanyakan tentang kehidupannya di Jakarta
selama lebih dari sepuluh tahun yang tak ada beritanya itu. Dengan pintarnya perempuan itu selalu mengelak dan mengalihkannya kepada pembicaraan lainnya. Bahkan membiarkan kesan seolah Hardiman
sedang ke luar kota untuk waktu yang lama dengan
berkata, "Dia tidak ada di tempat kok."
Yah, tentu saja. Hardiman sudah tidak ada tempat
di hati Nunik lagi, karena mereka sudah bercerai.
Dan itulah jawaban mengapa Nunik lari ke kota ini
dan meninggalkan pekerjaan serta kariernya yang
bagus di Jakarta. Atau apakah itu ada kaitannya dengan lelaki ganteng bermobil mewah dengan nomor
polisi AB itu?
"Mbok, boleh aku tahu kenapa mereka bercerai?"
tanyanya sesudah beberapa saat lamanya hanya berdiri
termangu mangu di muka jendela dapur.
"Den Hardiman menghamili wanita lain dan kemudian memperistri perempuan itu!". sahut Mbok
Surti setengah berbisik. "Lelaki buaya. Dan sekarang
sesudah bosan dengan permainan barunya, bolakbalik menulis surat dan bahkan menyusul sendiri
kemari, minta rujuk!"
Wawan menahan napas. Isi dadanya yang masih
belum pulih dari rasa terkejut itu mulai bergolak
kembali. - '
"Kurang ajar sekali lelaki itu!" katanya mendesis.
"Dan lalu bagaimana, Mbok, apakah Jeng Nunik
mau kembali kepadanya?"
"Eh, mana mau dia!" sahut Mbok Surti. "Seandainya pun mau, pasti akan Mbok Ti nasihati,
jangan mau dipermainkan oleh lelaki. Apalagi alasannya karena Den Loro tidak bisa mempunyai anak.
Itu kan menyakitkan. Memangnya perempuan itu
diperlukan hanya untuk melahirkan anak!"
"Hus, kok Mbok Ti yang marah-marah!" Wawan
mencoba tersenyum untuk menentramkan permaannya.
Ia tak bisa mengerti dirinya sendiri, mengapa berita
yang baru didengarnya itu membuat perasaannya
kacau-balau dan pikirannya jungkir-balik.
"Lha, siapa yang tidak marah. Coba, Mas, kurang
apa sih Den Loro Nunik itu? Orangnya cantik, hatinya baik, otaknya terang, dan tindak-tanduknya penuh
perhitungan!"
"Jadi Mas Hardiman kemarin itu tidak menginap
di sini, kalau begitu. Tetapi lagaknya seperti masih
sebagai anggota keluarga saja. Kemarin aku kemari,
tetapi tampaknya ia tidak begitu senang..."
"Ia cemburu!" bisik Mbok Surti. "Lelaki kan begitu, Mas. Kalau sudah tak suka, istri atau kekasih
dibuang-buang. Tetapi begitu istri atau kekasihnya
yang sudah dibuang itu dimaui orang. dia tidak rela.
Serba menyusahkan orang perempuan saja!"
"Tidak semua begitu, Mbok. Sedikitnya aku akan
membuktikannya," kata Wawan. "Tetapi omongomong nih, Mbok, apakah Jeng Nunik bisa menghindari desakan Mas Hardiman yang kelihatannya
tak kenal menyerah itu?"
"Kemarin Den Loro Nunik sudah berhasil menolak
ajakannya menonton film. Tetapi nanti sore Den
Hardiman mau kemari lagi, mencoba membujuknya
kembali. Mas Wawan kan tahu, Jeng Nunik itu tidak
tegaan. Karena itu ia memutuskan pergi jauh."
"Pergi jauh? Ke mana?"
"Ke Yogya, lalu entah ke mana. Mbok Ti tidak
diberitahu kok. Mungkin Ndoro Sepuh Menggung.
tahu. Tetapi itu rahasia. Jangan sampai Den Hardiman
tahu."
Wawan menganggukkan kepala, lalu melayangkan
matanya ke arah kandang burung yang akan dibersihkannya.
"Kapan Jeng Nunik perginya, Mbok?" tanyanya
kemudian.
"Baru setengah jam yang lalu!"
"Naik apa"?"
"Naik taksi, sendirian. Kasihan anak itu!" Mbok
Surti mengeluh. Dan pada saat itulah Mbok Surti
baru teringat akan janjinya kepada Nunik untuk
tidak mengatakan tentang perceraiannya dengan
Hardiman. Tetapi sudah terlambat. Wawan sudah
tahu dan langsung pergi.
Memang kasihan, pikir Wawan membenarkan katakata Mbok Surti. Pasti sebelum ini perasaan perempuan itu seperti tercabik-cabik. Wawan tahu betul bahwa
Nunik sangat menentang apa yang dinamakan perceraian. Lebih lebih karena di dalam keluarga besar
mereka tak seorang pun yang rumah tangganya mengalami perceraian. Wawan tahu betul hal itu. Jadi, bahwa sampai ia menempuh jalan pintas yang tak disukai-'
nya, itu karena alasan yang sudah tidak bisa ditolerir
lagi. Dan itu pasti sangat melukai dirinya sendiri.
Sepanjang pagi itu perasaan Wawan tak enak,
sehingga sesudah menurunkan kedua orangtuanya di
muka toko, ia tidak mematikan mesin mobilnya
sehingga ibunya merasa heran.
"Mau ke mana lagi?" tanyanya.
"Bu, Ibu dan Bapak saja yang menjaga toko hari
ini, ya?" Wawan malah bal-ik bertanya.
"Iya, boleh saja. Tetapi kau mau ke mana?"
"Belum tahu, Bu..." Mata Wawan yang resah menatap ibunya sehingga perempuan _itu dapat menangkap
keresahan itu.
'260
"Ada apa sebenarnya, Wan? Sejak tadi lbu lihat
kau tampak resah dan murung," ujar ibunya lagi.
"Apakah itu ada kaitannya dengan Nak Astri?"
"Ya, bisa dikatakan demikian."
"lbu boleh tahu?"
"Boleh. Duduklah di dalam mobil kembali, Bui"
Bu Marto tidak segera menuruti kata kata anaknya.
Tetapi menoleh ke arah Pak Marto yang sedang
membuka pintu toko.
"Pak, aku tidak membantumu dulu, ya! Rupanya
ada sesuatu yang akan dibicarakan oleh Wawan kepadaku!" katanya.
"Baik. Tetapi jangan terlalu lama. Kalau ada pembeli tidak ada yang menemani lho, sebab aku hari
ini akan mengawasi si Pardi mengganti jok sofa
pesanan Bu Dokter Indra!"
"Ya, aku tahu kok, Pak. lni cuma sebentar," sahut
Bu Marto. Sesudah melihat Pak Marto masuk dan
membuka toko meubel mereka, perempuan itu kemudian naik kembali ke mobil Wawan. "Nah, apa
yang ingin kaukatakan kepadaku?"
Wawan menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan pelan lebih dulu sebelum mulai bicara.
"Pertama-tama mengenai Astri, Bu. Dia sangat
cemburu terhadap Jeng Nunik...," katanya. "Itu wajar
dan bisa kumenger'ti. Karena aku dan Jeng Nunik
memang masih saja akrab seperti dulu. Tetapi cara
Astri melampiaskan kecemburuannya itu sudah kelewatan. Mula mula melabrakku, lalu melabrak Jeng
Nunik ke rumahnya, dan terakhir menulis surat kepada suami Jeng Nunik sampai lelaki itu datang menyusul kemari!"
"Eh, sampai begitu?" Bu Marto berseru kaget.
"Wah, gawat jadinya kalau begitu. Bagaimana kalau
suami-istri itu ribut dan ramai sendiri? Wah, kita
jadi merasa tak enak lebih lebih kalau Pak dan Bu
Menggung mengetahuinya. Ah, Astri kok tidak bisa
berpikir panjang sih!"
"Tunggu dulu, Bu, masalahnya bukan hanya itu
saja!" sela Wawan dengan suara sabar. "Sebab yang
membuatku semakin resah karena baru saja tadi aku
mendengar dari Mbok Surti bahwa ternyata Jeng
Nunik dan Mas H'ardiman itu sudah bercerai beberapa
buian yang lalu!"
"Jeng Nunik bercerai dari suaminya?" Mata Bu
Marto membesar "ltu pasti sesuatu yang sudah tak
bisa ditolong lagi."
"Memang, karena Mas Hardiman menghamili gadis
lain dan kemudian menikahinya. Alasannya antara
lain karena ia tak bisa mengharapkan keturunan dari
Pengantin Kecilku Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jeng Nunikl"
"Wah, kok kurang ajar sekali!"
"itu masih belum seberapa, Bu. Mas Hardiman
datang kemari ini kan karena mengetahui kedekatanku
dengan bekas istrinya itu..."
"Karena surat dari Astri itu, kan?" sela Bu Marto.
"Ya, dan ia mengajak Jeng Nunik untuk rujuk.
Tetapi Jeng Nunik sudah tidak ingin kembali kepadanya. Pertama, karena ia sudah tidak mempunyai perasaan kasih lagi kepada Mas Hardiman. Kedua,
karena ia tak ingin mengurangi kebahagiaan istri
dan anak Mas Hardiman yang sekarang. Ketiga, ia
ingin menikmati kesendiriannya dulu dan meniti
karier pribadinya yang selama ini terhambat karena
perkawinannya. Rupanya ia inerasa takut untuk memasuki kehidupan perkawinannya lagi. Apalagi
dengan orang yang sama!"
Bu Marto melirik anaknya. "Kok kau tahu begitu
jelas mengenai Jeng Nunik? Dari mana itu?" tanyanya. tak berapa lama sesudah itu.
"Dari Mbok Surti. Terhadap Jeng Nunik itu, Mbok
Surti kan seperti induk ayam yang selalu ingin melindungi anaknya dengan kepak sayapnya. Tadi aku
lama berbicara dengannya!"
"Dan kau lalu menjadi resah? Karena Astri ambil
bagian dalam kemelut itu?"
""Ya?!
"Tetapi juga karena kau baru mengetahui bahwa
Jeng Nunik itu bercerai dari suaminya dan mengalami
hal-hal yang pahit. Ya, kan?"
"Ya, memang."
"Dan karena keresahanmu begitu besar, kau tak
sanggup bekerja hari ini. Begitu, kan?"
liYan-H
"Nah, apakah keresahanmu itu bisa berkurang dengan tidak bekerja, Wan?" pancing ibunya. "Apakah
bukan sebaliknya, dengan bekerja keresahanrnu dapat
dipindahkan kepada pekerjaan?"
"Rasanya tidak bisa, Bu. Aku aku benar benar
gelisah!"
"Kalau begitu iakukanlah apa yang ingin kaulakukan, asa] itu sesuai dengan kata hatimu dan kau berani
mempenanggungiawabkannya dengan akal sehat!"
Wawan terdiam. Ditatapnya mata ibunya. Tetapi ia
tak menemukan apa pun kecuali tetaga kasih yang
berlimpah-limpah.
"Baiklah Bu, kalau begitu!" katanya kemudian.
"Terima kasih atas sarannya. Aku akan mencoba menenangkan pikiranku."
Bu Marto tersenyum manis, menepuk bahu Wawan,
kemudian turun dari mobil dengan sikap yang menampilkan kepercayaan kepada sang anak.
"Hati-hatilah kalau begitu!" katanya kemudian sambil menutup pintu. '
Wawan menganggukkan kepala dan kemudian men-A
jalankan mobilnya. Tanpa ragu sedikit pun mobilnya
menuju ke arah luar kota dan kemudian menyusuri
perjalanan menuju Yogya. Sebab menurut kata hatinya,
keresahan batinnya itu hanya bisa dikurangi apabila ia
pergi ke Yogya dan menyusul Nunik. '
Satu seperempat jam kemudian ia sudah memasuki
kota yang dituju itu dan langsung ke rumah Ati, sepupu Nunik. Rumah perempuan itu bukanlah tempat
yang asing bagi Wawan. la cukup akrab dengan
sepupu Nunik. Dan tokonya menjadi langganannya.
Bahkan atas "iklan dari mulut ke mulut" Ati, beberapa orang tetangganya ikut menjadi pelanggan
toko meubel Wawan yang mutunya terjamin dan
harganya bisa memakai "harga teman".
Rumah Ati tampak sepi menjelang siang itu. Pasti
suaminya sedang di kantor dan anak-anaknya ada di
sekolah masing masing. Entah di manakah Nunik
dan di mana pula sang nyonya rumah.
Tetapi ternyata Ati-lah yang membukakan pintu
rumahnya ketika mendengar bel pintu berbunyi. Wajahnya tampak kaget ketika melihat Wawan sudah
ada di hadapannya dengan wajah yang tak seperti
biasanya.
"Ada apa, Dik Wawan?" tanyanya tergesa-gesa.
"Eyang tidak apa-apa, kan?"
Menyadari sikapnya yang dapat menimbulkan
dugaan yang bukan-bukan, Wawan segera mengurangi
ketegangan hatinya dengan tertawa.
"Mereka semua sehat kok, Mbak," sahut Wawan.
"Aku datang cuma mau mencari Jeng Nunik. Kata
Mbok Surti, dia ke Yogya. Kalau ke Yogya kan pasti
kemari."
"Oh, Nunik!" Ati tampak lega. "Kusangka Eyang
merasa khawatir memikirkan cucu kesayangannya
itu, lalu jatuh sakit. Ayolah, masuk dulu, Dik Wawan.
Jauh-jauh kau datang kemari kan tenggorokan jadi
kering. Minum dulu, ya?"
"Aku ingin bertemu Jeng Nunik, Mbak. Terus
terang aku gelisah memikirkannya. Kok sampai diamdiam lari kemari!"
"Ah, kau itu kok masih saja seperti dulu. Selalu
memikirkan dan memperhatikan Nunik. Dia sudah
bukan gadis kecil lagi ,lho!" tawa Ati sambil memberi
isyarat kepada pembahtu rumah tangganya yang kebetulan melintas di ruang dalamagar membuatkan
minuman. '
"Aku menyadari hal itu. Justru karena itu aku memprihatinkan nasibnya. Aku ingin menghiburnya..."
Suara Wawan terhenti oleh tawa Ati.
"Kau itu benar-benar seperti malaikat pelindung
baginya!" katanya kemudian. "Kalau saja aku bisa
. memberi usul, dan kalau saja kasihmu kepadanya
bukan kasih persaudaraan, ingin aku melihatmu menjadi suaminya. la pasti akan terjamin berada dalam
pelukanmul"
Pipi Wawan merona merah mendengar kata-kata
Ati. Ia sudah kenal sifat perempuan itu. Ati memang
suka bicara blak blakan, jujur, dan hatinya baik.
Tetapi dalam hal yang pribadi seperti itu, Wawan
merasa sungkan mendengarnya.
"Mbak Ati ada-ada saja," gumamnya salah tingkah.
"Nah, sekarang Jeng Nunik ada di mana?"
"Ke Kaliurang, Dik. Dia langsung ke sana begitu
datang tadi. Kebetulan aku memang membutuhkan
seseorang untuk mengawasi pembuatan taman di
rumah peristirahatanku itu. Jadi selain bersembunyi
dari kejaran suaminya, ia mempunyai kesibukan yang
tidak membuatnya jadi bosan berada sendirian di
tempat itu."
"Ada penjaganya, bukan?"
_ "Ada, tetapi kan di belakang."
"Apakah aku boleh menyusulnya ke sana, Mbak?"
"Lha, kau kemari itu tujuanmu apa. Menyusulnya,
kan? Kok masih bertanya juga!" tawa Ati lagi. "Ayo
minum dulu, baru kejarlah ke sana!"
Wawan tersenyum manis. Dari kedua belah matanya tersirat perasaan terima kasihnya. Segelas es
sirup yang baru saja diletakkan oleh pembantu Ati
itu langsung dihabiskannya dalam sekejap.
"Aku akan ke sana, Mbak. Ada pesan untuknya
Ki Ageng Ringin Putih Karya Widi Widayat Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara Wiro Sableng 038 Iblis Berjanggut Biru
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama