Ceritasilat Novel Online

Pengurus Mos Harus Mati 2

Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu Bagian 2

saat menurunkanku di bangku kantin. Di sana, dokter sekolah

dan beberapa guru langsung menyambutku dengan perban dan

Betadine.

"Jelas," ketusku setelah basa-basi sejenak dengan para guru.

"Hari ini dia bener-bener brengsek, kerjanya nindas anak-anak

baru yang malang itu. Kalo bodi gue segede bodi elo, gue udah

gebukin dia sampe sekarat!"

"Bukannya itu emang tugas pengurus MOS?"

"Jadi lo ngedukung si Benji?" bentakku kesal, nyaris me

nendang Bu Lasmie, guru biologi yang sedang mengobati lukaku.

Buru-buru aku meminta maaf. Penting untuk menjalin hubungan

baik dengan guru yang mengajarkan mata pelajaran kelemah

anmu. "Jadi kalo lo ada, lo juga akan bantu si Benji nyiksa anakanak itu? Dan omong-omong, tadi lo ke mana? Bolos melulu

kerjanya. Pantes nggak naik kelas!"

"Ya ampun, lo lagi terluka gini tetep aja galak banget," kata

Frankie sambil nyengir. "Tadi gue nggak bolos kok, tapi main

basket sama anak-anak tim basket. Gue juga ogah disuruh nindas

anak-anak gitu."

Aku mendengus. "Kalo gitu kenapa lo mau-mau aja jadi peng

urus MOS?"

"Karena...," mata Frankie bersinar-sinar jail, "ada Tuan Putri

yang bikin gue penasaran."

Sial, cuma karena kata-kata itu, wajahku merona. Untung

sekarang sudah gelap, jadi tidak ada yang mengetahui hal itu.

Anak-anak yang terluka juga mulai berdatangan, jadi aku bisa

mengalihkan perhatian Frankie. Setelah lukaku selesai diobati,

dengan langkah tertatih-tatih dan tangan ditopang Frankie, aku

menghampiri anak-anak Grup BAB satu per satu. Seperti duga

anku, mereka semua mengalami luka ringan, kecuali Pandu yang

kemungkinan besar menderita gegar otak.

Grup Jerawat mendapat luka-luka yang lebih parah. Hampir

semuanya harus diangkut ambulans untuk diobservasi lebih lanjut

di rumah sakit. Bahkan tulang kering Mila dicurigai retak.

Berbeda denganku yang masih bisa berjalan dengan cara

melompat-lompat dengan satu kaki, Mila sama sekali tidak bisa

bergerak dan cuma bisa berbaring pucat di atas tandu.

"Sori, Han...," bisiknya terputus-putus dengan air mata meng

alir di pipinya. "Aku telat ngasih peringatan...."

"Bukan salah kamu," hiburku sambil menggenggam tangannya.

"Cepet sembuh ya, La."

Mila mengangguk, lalu memejamkan mata, seolah-olah ber

bicara denganku sudah menguras tenaga terakhirnya.

"Benji bangsat!" geramku. "Dia akan gue jadiin budak di

kencan berikutnya!"

Ups. Sial. Aku keceplosan memaki-maki dengan umpatan

"bangsat". Itu kan kata umpatan yang kasar banget dan tidak

pantas diucapkan, apalagi di depan cowok. Tapi bukannya ketawa

atau memarahiku, Frankie malah menghentikan langkahnya.

Berhubung gerakanku bergantung pada bantuannya, aku ikut

berhenti juga.

"Kenapa?" tanyaku heran melihat wajahnya yang suram.

Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah balas bertanya,

"Kenapa sih elo mau pacaran sama cowok loser kayak Benji?"

"Loser-loser gitu dia ketua OSIS, bo!" balasku tersinggung,

bukan karena Benji dihina, tapi gara-gara aku dituduh mau saja

pacaran dengan cowok loser.

"Ya, tapi seperti kata elo, sifatnya brengsek gitu."

"Halah, itu kan cuma satu kekurangan kecil di tengah-tengah

lautan kelebihan dia yang lain," tukasku. "Lagian, kenapa sih elo

tau-tau protes? Emangnya ini urusan elo?"

Frankie menatapku dengan jengkel. "Unbelievable."

Aku melongo saat dia meninggalkanku. "Hei, elo nggak

temenin gue pulang hari ini?"

"Nggak. Suruh aja pacar lo yang cuma punya satu-kekurangankecil-di-tengah-lautan-kelebihan itu yang nganterin elo!"

Sialan! Dasar cowok brengsek!

Setelah memastikan semua anggota Grup BAB dijemput

orangtua masing-masing, aku pun berjalan tertatih-tatih menuju

mobilku dengan menggunakan tongkat penopang di ketiakku.

Tega amat si Frankie, meninggalkanku sendiri saat kakiku sedang

sakit seperti ini. Bagaimana pula aku harus menyetir?

Tapi saat tiba di mobilku, kulihat Frankie sedang berjongkok di

dekat mobilku. Saat melihat aku datang, dia langsung berdiri.

"Ngapain di sini?" tanyaku, lega melihat kehadirannya, namun

tetap berusaha kelihatan bete untuk menjaga gengsi.

"Nemenin lo pulang."

"Tadi katanya nggak mau."

"Yah, boleh-boleh aja kan gue berubah pikiran?"

Kami sama-sama tidak berbicara dan saling mengawasi.

"Elo nggak seneng sama Benji, ya?" tanyaku akhirnya.

"Banget."

"Kenapa? Karena dia cowok gue?"

Frankie terdiam lagi.

"Lo jealous sama Benji, Frank?"

Frankie menatapku dengan jengkel. "Lo kayaknya seneng

banget."

"Iya dong," sahutku sambil nyengir. "Lo naksir gue, Frank?"

Berani sumpah aku melihat wajahnya merona. "Nggak."

"Halah, malu-malu," aku menyikutnya. "Ngaku aja, gue nggak

akan ketawain lo kok."

"Yang begini apa namanya kalau bukan ngetawain?" gumam

nya.

Mendadak saja duniaku dipenuhi bintang-bintang, pelangi, dan

benda-benda indah lainnya, membuatku tertawa terkekeh-kekeh

seperti nenek sihir. Dengan ceria kutusuk pinggangnya dengan

tongkat penopang yang sedari tadi kukepit di ketiakku.

"Ayo, anterin Tuan Putri pulang," perintahku.

"Baik, Tuan Putri."

Setelah itu kami tidak menyinggung-nyinggung topik itu lagi,

karena meski aku senang?bahkan bahagia?dengan kenyataan

itu, hubungan kami tak mungkin lebih daripada yang ada saat

ini. Karena, tidak mungkin aku memutuskan pacarku yang ketua

OSIS dan anak baik-baik demi adik kelas yang tidak naik kelas

dan gemar membuat onar.

Benar, kan?

SEANDAINYA tidak ada tulisan itu, mungkin Benji sudah

menghentikan acara Enam Kisah Horor yang konyol itu.

"Pengurus MOS Harus Mati!"

Demikianlah bunyi tulisan yang sudah terpampang di dinding

auditorium saat kami tiba di sekolah. Kata-kata itu ditulis besarbesar, dengan tinta berwarna merah, sehingga tampak sangat

mencolok dan tak mungkin terlewatkan?dan, jujur saja, agak

mengerikan. Rasanya seperti ditulis dengan emosi yang sangat

kuat dan mendalam.

Seperti sebuah dendam.

Petugas kebersihanlah yang pertama kali menemukan tulisan

itu. Sejak saat itu, auditorium langsung ditutup bagaikan TKP

yang harus diamankan. Anak-anak baru dialihkan ke auditorium

lain yang lebih kecil. Kami, para pengurus MOS (kecuali Frankie

yang, tentu saja, bolos lagi), menatap tulisan itu tanpa berkatakata. Indra keenamku membuat perutku menegang dan terasa

mual.

"Ini bukan tinta," kata petugas kebersihan yang membersihkan

tulisan itu. "Ini darah ayam. Tercium nggak, baunya yang

amis?"

Euw. Menjijikkan banget. Pantas dari tadi aku mual. Ternyata

bukan gara-gara indra keenam.

"Pasti perbuatan anak-anak baru," kata Ivan muram.

"Benar-benar keterlaluan!" geram Benji, lupa bahwa dialah

yang paling bersemangat dengan keinginannya membuat anakanak baru ingin membunuhnya. "Emangnya mereka kira kita

nggak merasa bersalah atas kejadian kemarin? Tapi kalo begini

caranya, ini artinya mereka juga nyari masalah. Pokoknya, kalo

sampe nggak ada yang mau ngaku, aku nggak akan ngubah cara

MOS kita, nggak peduli apa kata Pak Sal!"

"Pak Sal?" tanyaku, seketika berubah waswas saat Benji me

nyinggung kepala sekolah kami yang tinggi, berkumis, berwibawa,

dan sangat kusegani itu. "Apa hubungannya dengan Pak Sal?"

"Tadi malam kami dipanggil Pak Sal," jelas Ivan. "Kami di

suruh ngasih penjelasan tentang robohnya proyek gedung baru

itu. Biarpun marah banget, untung Pak Sal masih bersedia de

ngerin cerita dari sisi kami. Akhirnya, Pak Sal bilang, berhubung

ini cuma kecelakaan, dia nggak akan menghukum kita. Tapi se

bagai gantinya, kita harus balik ke cara lama yang tradisional."

"Yah," cetus Peter kecewa. "Apa serunya kalau gitu?"

"Emang!" Benji membenarkan dengan suara melengking se

belum akhirnya berdeham supaya suaranya kembali normal.

"Makanya, seperti yang kubilang tadi, kalo sampe nggak ada yang

mau ngaku, aku nggak mau kembali ke cara lama. Akan kubikin

anak-anak baru itu sadar, siapa sebenarnya yang berkuasa di

sini!"

Dengan berang bagaikan binatang buas yang kena rajam, Benji

memimpin kami ke auditorium kedua yang sedang dipenuhi

sorak-sorai dan tawa girang. Seakan-akan ada yang menekan

tombol pause, keriuhan itu langsung lenyap saat kami masuk.

Dengan penuh wibawa Benji naik ke podium, sementara kami

semua mengekor di belakangnya dengan muka figuran sejati.

"Gue akan bertanya tiga kali," kata Benji dingin, "dan kalian

punya waktu seharian untuk merenungkan masalah ini. Apakah

lelucon ini layak dinikmati lama-lama, ataukah lebih gampang

memberitahukan siapa nama pelakunya dan menghabiskan sisa

minggu dengan MOS yang santai?!"

Benji melayangkan pandangan kejam ke seluruh penjuru

auditorium yang mendadak berubah gelisah.

"Pikirkan baik-baik. Setelah kesempatan itu lewat dan belum

ada pengakuan apa pun, kami akan menghukum kalian semua

dengan cara yang tak terbayangkan oleh kalian!"

Mataku langsung menerawang saat berusaha membayangkan

hukuman dengan cara yang tak terbayangkan. Karena tak bisa

dibayangkan, jadinya tak seberapa seram. Tapi rupanya hanya aku

yang berpikiran begitu, karena anak-anak baru langsung kasakkusuk dengan wajah panik.

"Mereka mulai kacau," gumam Ivan gembira. "Pasti dalam

waktu singkat bakal ada yang ngaku."

Tidak tahunya, sesaat setelah bel istirahat pertama berbunyi,

Benji dan Ivan dibuat kaget saat hendak membuang hajat. Lang

sung lupa dengan niat semula, mereka berlari-lari menemui kami,

para pengurus MOS lain, yang sedang bersantai di kantin.

"Ada tulisan itu lagi di toilet cowok!" teriak Benji gusar.

Berbondong-bondong kami mengunjungi toilet cowok, se

mentara Benji pergi untuk melapor pada kepala sekolah dan

memanggil petugas kebersihan. Ini pertama kalinya aku me

ngunjungi tempat pribadi cowok. Berbeda dengan Anita dan

cewek-cewek lain yang langsung ngacir dengan tampang malu,

aku langsung saja menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.

Nanti, saat Jenny pulang, ada banyak yang bisa kupamerkan

padanya. Bisa mengganti ban mobil sendiri (berkat menonton
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Frankie si montir amatir beraksi), nyaris terkubur dalam gedung

yang roboh (dan selamat dengan luka minor?hari ini aku

bahkan tak perlu pakai tongkat lagi), sekarang bisa main ke toilet

cowok pula. Mana mungkin Jenny tidak iri?

Brengsek! Ada yang menulis nama dan nomor ponselku di

toilet cowok! Keparat! Kalau kutemukan oknum yang melakukan

nya, akan kuhajar dia dengan dongkrak mobil!

Mungkin Jenny tidak tahu bagaimana bentuk dongkrak mobil.

Dasar cewek.

Kupusatkan perhatianku pada tulisan merah di tembok yang

tidak ditutupi ubin. Bau amis menandakan bahwa lagi-lagi tulisan

itu dibuat dengan darah ayam. Lagi-lagi perutku terasa mual.

Dasar menyebalkan. Apa pelakunya tidak bisa menulisnya dengan

tinta yang lebih wangi?dengan Stabilo, misalnya?

"Kini setidaknya kita tahu, pelaku yang berani mati ini ter

nyata cowok," kata Ivan dengan penuh kemenangan. "Kita fokus

in aja untuk nyiksa anak-anak baru cowok."

Mendadak pintu terbuka secara kasar, dan seorang cowok

masuk seraya menarik turun ritsleting celananya.

"Lho, kok banyak yang mejeng di sini?" Sial, itu si Frankie.

"Astaga, ada Tuan Putri! Nyaris aja gue pamerin harta gue satusatunya."

Sial, lebih baik aku keluar saja deh.

Saat menerjang ke luar toilet cowok, aku berpapasan dengan

petugas kebersihan yang membawa ember yang dipenuhi

pembersih, pemutih, dan semacamnya.

"Pak," kataku sambil mengeluarkan selembar uang lima ribuan,

"sekalian dong, tolong hapus tulisan di samping wastafel paling

kanan."

Si petugas nyengir. "Oke, Non Hanny."

Sial, petugas itu langsung tahu bahwa akulah Hanny yang di

maksud tulisan di samping wastafel itu. Kali ini popularitas tidak

lagi terasa menyenangkan.

Aku baru menginjak lantai kantin saat Frankie menyusulku.

"Hei, kok nggak nungguin?" tegurnya sambil menyejajarkan

langkahnya di sampingku. "Takut, ya?"

"Takut apaan?"

"Takut sama tulisan..." Lalu, suara Frankie sengaja diseramseramkan, "Pengurus MOS harus mati!"

"Halah, itu kan cuma tulisan iseng anak-anak baru yang lagi

kesal," kataku sok berani, padahal aku sempat ketakutan juga tadi

pagi. "Gue lebih takut harta lo satu-satunya itu trauma."

Frankie menatapku geli. "Emangnya kenapa bisa trauma?"

"Iya, soalnya bisa-bisa gue pelototin pakai mata laser kayak si

Cyclops yang di X-Men."

"Wah, kalau itu sih emang bakalan trauma!" Frankie me

ngerutkan alis, wajahnya tampak serius. "Omong-omong, gue

sempet kepikiran juga sih."

"Kepikiran apa?"

"Kalau si Cyclops nggak punya kacamata item, dia nggak bisa

pipis dong. Nanti pas lagi lihat ke bawah, tau-tau... arghhh!"

Melihat wajah ngeri Frankie, aku jadi ingin ngakak. "Kenapa

harus liat ke bawah? Bisa aja dia merem kayak tunanetra."

"Yah, pokoknya dari semua anggota X-Men, gue paling ogah

jadi Cyclops deh. Kecelakaan gampang terjadi."

"Jadi Wolverine mau?" tanyaku menawarkan. "Waktu lagi pipis,

tau-tau di sebelahnya ada Deadpool ngajakin duel. Lalu, sebelum

sempet pakai celana lagi, kuku adamantium-nya udah keluar dulu

an, lalu... arghhh!"

Wajah Frankie makin ngeri saja. "Kalau yang beginian muncul

juga di Enam Kisah Horor, pasti anak-anak cowok jadi nggak

bisa tidur."

"Tapi yang cewek-cewek jadi santai aja dong."

"Bener juga sih."

Sementara Frankie manggut-manggut, aku meneriaki tukang

nasi padang dan memesan nasi ayam goreng dengan sambal hi

jau.

"Omong-omong, tadi lo nyuruh petugas kebersihan ngehapus

nama lo di toilet cowok?"

Aku melirik Frankie dengan jengkel. "Iya, nggak sopan naruhnaruh nama keren gitu di tempat orang-orang buang hajat."

"Yah, tapi menurut gue itu sia-sia aja," kata Frankie santai.

"Pertama, nama dan nomor ponsel lo ada di semua toilet cowok

di setiap lantai." Brengsek. "Kedua, seandainya dihapus pun, pasti

bakal ada yang nulis lagi." Sekali lagi, brengsek. "Jadi mending lo

terima nasib ajalah. Anggep aja itu pujian."

Aku mendengus. "Pantas banyak cowok nggak laku. Cara muji

nya kayak gitu sih."

Tiba-tiba kusadari Frankie cuma duduk dan tidak membeli

apa-apa.

"Hei," tegurku, "elo nggak makan?"

"Nggak. Kan mau nabung."

"Itu kata lain dari nggak ada duit, ya?"

"Iya, hehe."

Aku tidak tahu banyak soal cowok dan pertumbuhannya, tapi

setahuku cowok-cowok seusia Frankie butuh makanan lebih ba

nyak daripada yang dibutuhkan seluruh penghuni kebun bina

tang. Apalagi yang ukurannya kira-kira tiga kali lipat daripada

tubuhku, seperti cowok itu. Jelas tidak sehat banget kalau dia

malah diet lantaran tidak punya duit.

"Gue traktir deh," kataku bermurah hati. "Mau makan apa?"

Frankie tersenyum mangkel. "Lo kira gue apaan, mau-mau aja

ditraktir cewek?"

"Udah miskin, nggak usah mikirin harga diri deh."

"Kalo orang miskin nggak punya harga diri, apa lagi yang ter

sisa?"

Aku diam sejenak. "Katanya masih ada harta satu-satunya."

Frankie tertawa. "Serius, gue nggak apa-apa kok. Nanti pulang

sekolah gue makan di warteg deket bengkel aja. Di situ lebih

murah meriah. Goceng dapet nasi sebakul."

"Bohong," kataku kaget.

"Serius. Kalau mau, nanti pergi bareng deh."

Aku meliriknya curiga. "Ngajakin nge-date, ya?"

"Iya. Sori, nggak bisa di Planet Hollywood."

Aku diam lagi. "Awas ya, kalo nggak goceng."

"Sip deh, Tuan Putri."

Saat melihatku berjalan menuju meja yang dipenuhi para peng

urus MOS lain, Frankie mendesah.

"Wah, gue jadi inget tugas gue untuk kabur dari MOS sejauh76

jauhnya," katanya. "Kalo nggak, reputasi jelek gue bisa hancur.

Sori, Tuan Putri, gue nggak bisa nemenin lagi."

Meski kecewa, aku berhasil menyembunyikan itu dengan baik.

"Wartegnya jadi nggak?"

"Jadi dong. Nanti kabarin gue aja kalo lo udah mau pulang,

oke?"

Setelah mengucapkan kata-kata itu, Frankie pun lenyap di

antara kerumunan murid-murid bertampang ganas yang sibuk

berebut makanan.

"Waduh, waduh," sapa Violina saat aku mendekat. "Liat, siapa

nih yang barusan mesra banget."

"Mesra banget apanya?" ketusku sambil duduk.

"Semua orang juga bisa liat, Han, kalo lo dan Frankie

belakangan ini deket banget," kata Anita yang duduk di sebelahku

dengan nada menegur. "Terlalu deket, malah."

"Iya tuh," sambung Violina dengan tampang prihatin yang

tidak pada tempatnya. "Waktu kemarin lo sok berani masuk ke

dalam gedung."

"Hei, hei," selaku tak senang. "Apa maksud lo sok berani?"

"Jelas, kan?" tanya Violina heran. "Nggak ada yang nyuruh elo

dan Mila masuk ke gedung gym itu."

"Dan nggak ada yang ngelarang kami juga," tukasku kesal.

"Ah, itu bukan masalah besar," kata Violina sambil me

ngibaskan tangannya. Dasar cewek sialan. Yang disebutnya dengan

bukan masalah besar telah membuat dua lusin anak-anak baru

plus satu pengurus MOS harus dirawat di rumah sakit. "Pokok

nya, begitu gedungnya mulai runtuh, gue liat Frankie langsung

lari secepat angin dari arah gedung basket. Lalu, tahu-tahu aja dia

udah mulai ngegali-gali reruntuhan untuk nyari mayat lo!"

"Apanya yang mayat gue?" selaku lagi dengan jengkel.

"Yah, kami sempet ngira kalian semua udah mati," kilah

Violina dengan wajah merah.

Meski begitu, tidak ada yang menangis. Tragis banget.

"Keliatan sekali dia tergila-gila sama elo, Han," kata Anita

sambil menatapku penuh selidik. "Gimana dengan elo?"

Meski merasa ge-er mendengar cerita cewek-cewek itu tentang

Frankie, aku berusaha memperlihatkan sikap cuek. "We?re just

friends."

"Yah, baguslah kalo cuma berteman," Anita mengangguk se

tuju. "Lo itu cantik, cerdas, dan penuh potensi, Han. Sayang

kalau pacaran sama cowok yang nggak punya masa depan kayak

Frankie. Lo lebih cocok dapetin cowok yang jauh lebih bagus.

Benji, misalnya."

Kata-kata Anita langsung melenyapkan selera makanku. Ucapan

itu terdengar sangat materialistis, namun yang lebih mengerikan

lagi, pikiran itulah yang terlintas di pikiranku saat aku menyadari

Frankie menyukaiku.

"Gue ngerti perasaan lo," kata Violina sambil menggenggam

tanganku dengan sok akrab. "Frankie emang keren sih. Bodinya

gede dan bagus, sifatnya macho pula. Nggak heran kalau elo

sampai tergoda. Tapi cowok kayak gitu cuma bagus buat dijadiin

mainan. Kalau diseriusin," Violina bergidik, "bisa-bisa kita di

ajakin makan ubi bakar terus."

Oke, kuputuskan, aku tak akan menjadi cewek-cewek seperti

mereka.

Kusingkirkan makananku, lalu berdiri.

"Lo mau ke mana?" tanya Anita kaget.

"Ke mana aja asal nggak ada ajaran sesatnya," tegasku tanpa

mengindahkan kaidah-kaidah kesopanan lagi. "Gue udah cukup

bejat, tau? Nggak usah pakai diajar-ajarin lagi."

Sebelum meninggalkan kedua cewek itu, aku sempat me

nangkap air muka terkejut mewarnai wajah mereka. Lalu, saat

aku membalikkan badan, aku bisa mendengar kata-kata Anita

yang sinis, "Astaga, sekarang dia ketularan kekurangajaran cowok

itu!"

Aduh, aku rindu setengah mati pada Jenny.

"ADA yang nggak beres?"

Kerut-kerut di wajahku langsung hilang saat melihat penampil

an Frankie saat ini. Dia mengenakan seragam tim basket ber

warna ungu yang minim banget, memperlihatkan sepasang lengan

kekar dan kaki berotot yang membuatku nyaris ngiler seperti

cewek udik yang belum pernah melihat cowok keren. Saat dia

membalikkan badan untuk memberi tanda pada timnya, kulihat

nama yang tertera pada seragam itu: Ronny.

"Ganti nama nih ceritanya?" tanyaku tak sanggup menahan
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cengiran.

"Iya, biar bisa perintah-perintah anak-anak basket lantaran di

kira kapten tim," sahutnya ringan. "Kenapa? Kok muka lo kayak

orang depresi?"

"Itu sih nggak usah ditanya," kataku mendumel. "Bisa-bisa gue

tambah depresi. Ayo, cepetan ajak gue makan di warteg."

"Hah?" Dia mengangkat tangan untuk melirik jam tangannya.

"Astaga, Tuan Putri. Ini kan baru lima menit sejak lo beli nasi

padang! Selera makan Tuan Putri ternyata nggak kira-kira. Kalo

udah gini, kita bisa tebak ke mana pajak negeri ini menga

lir."

"Lo mau makan atau mau ngoceh sih?" selaku kesal.

"Makan dong. Cuma politikus yang lebih milih ngoceh ke

timbang makan."

"Ya udah, ayo kita ke warteg."

"Tunggu, gue mau ngasih pelukan perpisahan dulu sama

temen-temen. Pasti mereka bakal kehilangan gue saat gue pergi

nanti."

Frankie berlari meninggalkanku. Lima detik kemudian ter

dengar makian keras membahana, "Anjrit! Lo pergi sih nggak

masalah, tapi kita jadi kurang orang nih!"

Tak lama kemudian Frankie menghampiriku lagi dalam se

ragam biasa dan muka cengar-cengir. "Udah gue bilang kan, me

reka bakalan kehilangan gue?"

Iya sih, tapi kukira kejadiannya lebih sentimental.

Kami menuju lapangan parkir, tapi lalu mendadak Frankie ber

belok.

"Nyasar ke mana lo?" tanyaku heran.

"Nggak nyasar kok," katanya sambil menghampiri sebuah mo

tor raksasa. "Kita naik ini aja."

"Hah?" Kukira kami akan naik mobilku. Lagi pula, aku belum

pernah naik motor seumur hidupku. "Tapi..."

"Kalo kita naik mobil lo, kita bakalan ngalamin kesulitan waktu

ngelewatin pos satpam. Kan sekarang belum jamnya pulang."

Benar juga kata-katanya. Biar begitu, dengan ragu-ragu ku

terima helm yang disodorkan Frankie.

"Kenapa?" tanya Frankie. "Nggak pernah naik motor sebelum

nya?"

Aku menatapnya dengan heran bercampur jengkel. "Kok elo

tahu semua soal gue?"

"Bukan tau soal elo, tapi tau soal cewek-cewek Persada Inter

nasional." Sialan, jadi maksudnya, aku cewek pasaran? "Tapi

nggak apa-apa. Diboncengin naik motor sama aja kok kayak di

boncengin naik sepeda."

"Maksud lo, nggak nakutin?" tanyaku penuh harap.

"Bukan. Maksud gue, lama-lama juga terbiasa."

Dasar brengsek.

Anehnya, kata-kata itu benar juga. Meski awalnya aku menjerit

"Arghh!" saat motor itu melesat dengan kecepatan tinggi, dalam

setengah menit saja jeritan itu berubah jadi, "Apa nggak bisa

lebih cepet?"

Frankie cuma tertawa dan berkata, "Tuan Putri emang punya

segudang kekurangan. Sombong, manja, rakus, suka bolos, suka

kebut-kebutan..."

"Diam, dasar siput!"

Kami melewati kompleks perumahan kami yang mewah dan

memasuki daerah permukiman kumuh di luar kompleks.

"Di mana-mana selalu seperti ini." Suara Frankie mengatasi

bunyi knalpot yang menggerung-gerung marah. "Kompleks pe

rumahan mewah berdampingan dengan daerah permukiman

kumuh. Nggak peduli di Pondok Indah, Pluit, Sunter, Kebon

Jeruk, Tebet. Pantes aja semua orang teriak-teriak soal kesenjangan

sosial."

Merasa tersindir, aku berusaha membela kaumku. "Sebenarnya

kan pendapatan permukiman kumuh jadi terangkat juga, kalau

ada perumahan mewah di dekat mereka."

"Emang sih. Tapi apa nggak ngenes, setiap hari harus ngeliat

orang-orang yang naik BMW tapi cemberut, sementara yang

miskin-miskin udah sangat bersyukur kalo dapet tempat duduk

di bus?" Frankie diam sejenak. "Elo nggak ngerasa bersalah kalo

ngeliat orang-orang di luar sana, Han?"

"Nggak."

Jawabanku yang spontan itu langsung mengingatkanku pada

pemikiran Anita dan Violina yang dangkal. Karena tidak ingin

seperti mereka, kuperas otakku dan mulai memikirkan hal ini

dengan lebih serius.

"Jujur aja, gue nggak tau, Frank. Tapi menurut gue, itu sesuatu

di luar kendali kita. Kayak gue, misalnya. Sejak lahir gue udah

hidup nyaman dalam hal materi. Kalo tau-tau bokap gue

bangkrut dan gue harus hidup miskin, mungkin gue bakalan

ngerasa sengsara banget, padahal buat orang lain hidup kayak gitu

masih oke-oke aja. Terus, kayak elo, misalnya. Sejak kecil lo

disadisin bokap lo, jadi lo merasa termotivasi untuk sesegera

mungkin berhenti tergantung sama dia. Sementara anak-anak lain

seusia elo?gue, misalnya?nggak pernah kepikir untuk berpisah

dari orangtua seumur hidup."

Kami sama-sama diam, tenggelam dalam perenungan kami,

berkat kata-kata bijak yang baru pertama kali kuucapkan seumur

hidupku itu.

"Dan satu lagi," kataku saat Frankie menepi supaya kami bisa

ngobrol lebih leluasa. "Mungkin aja lo pikir, anak-anak dari ke

luarga miskin itu menderita. Tapi siapa tahu, mereka justru lebih

bahagia daripada kita karena mereka nggak terikat materi. Di saat

lo berantem sama bokap lo yang terus-menerus menekan lo dan

di saat gue merasa menderita karena Violina sialan bawa mobil

yang lebih keren daripada mobil gue...," (yeah, cewek genit itu

bawa Benz! Nyaris saja kugores mobil itu dengan koin!) "...anakanak dari keluarga miskin mungkin lagi makan ubi bakar bareng

keluarga mereka dan ketawa-ketawa ceria, mensyukuri orangtua

mereka yang menyayangi mereka?nggak seperti bokap lo. Se

mentara, orangtua mereka bersyukur karena anak-anak mereka

begitu manis dan mandiri?nggak manja dan rese seperti gue.

Tentu aja, nggak semua kehidupan orang miskin seperti itu. Sama

aja dengan nggak semua orangtua dari keluarga kaya itu brengsek

dan anak-anak dari keluarga kaya itu manja." Seperti Jenny.

"Intinya, buat kebanyakan orang, materi itu patut diributkan, tapi

sebenarnya yang lebih menentukan kebahagiaan kita adalah

orang-orang di sekeliling kita, orang-orang yang kita sayangi dan

menyayangi kita."

Frankie yang sudah melepas helmnya menoleh padaku sambil

tersenyum. "Tuan Putri punya pemikiran yang dalem juga, ya?"

Untung saja dia tidak tahu niatku untuk menggores mobil

Violina.

"Ya, Tuan Putri nggak cuma punya segudang kekurangan

dong."

Frankie tertawa. "Elo ini cewek paling menarik dan paling

nggak ngebosenin yang pernah gue kenal, Han."

Jarang sekali Frankie mengucapkan namaku, dan setiap kali dia

melakukannya, jantungku langsung meloncat-loncat kegirangan.

"Nah, berhubung pemikiran mendalam Tuan Putri sudah

selesai," kataku pongah, "kita bisa jalan lagi."

"Jalan ke mana? Kita udah nyampe. Ocehan lo aja yang pan

jang banget. Padahal dari tadi gue udah nungguin kapan selesai

nya."

Dasar brengsek. Aku yakin dia sengaja mempermalukanku.

"Ngobrol dong dari tadi. Kan gue nggak tahu kita udah nyam

pe."

"Maunya sih nyela, tapi Tuan Putri asyik pidato sampe lupa

waktu dan tempat."

Aku melepaskan helm dan menatap bayanganku melalui kaca

spion. Astaga, rambutku jadi berbentuk helm! Aku cepat-cepat

mengacak-acak rambutku supaya kembali ke bentuk alami, lalu

mengikuti Frankie masuk ke sebuah gubuk yang disebutnya

sebagai warteg. (Oooh, jadi begini toh bentuknya warteg....)

Dengan cepat Frankie memesan nasi dan menunjuk beberapa

macam menu pilihannya pada orang yang berdiri di balik konter

kaca berisi makanan?mungkin sebutannya adalah tukang

warteg?dan dalam waktu sepuluh detik sepiring besar nasi

dengan banyak lauk tertumpuk di atasnya, diserahkan tukang

warteg itu kepada Frankie. Ternyata si Frankie tidak cuma mem

bual saat mengatakan dia bisa membeli nasi sebakul dengan duit

goceng. Saat aku sedang terkagum-kagum, si tukang warteg ber

paling menatapku.

"Non mau pesan apa?"

Aku memandangi lauk-pauk yang tampak asing itu. "Sama

seperti yang dipesan temen saya aja."

Sepuluh detik berikutnya aku menerima piring nasiku juga,

plus segelas teh kental yang (astaga!) gratis dan bisa diisi ulang.

Kumasukkan sesuap besar nasi dan lauk-pauk ke dalam mulut

ku tanpa pilih-pilih. "Wow, enak banget nih. Apa sih yang ijo

garing-garing ini?"

"Pete."

Hoek!

Sial! Aku, Hanny yang selalu anggun dan jaga imej, sekarang

keselek pete sampai mau mati rasanya. Kugapai-gapai gelas mi

numanku, menenggak semuanya sampai ludes, lalu merenggut

minuman Frankie dan menghabiskannya juga. Sementara itu,

semua orang di dalam warteg menatapku gembira dengan sorot

mata menyiratkan selamat-bergabung-dengan-klub-pencinta-pete.

Setelah berhasil menyelamatkan diri dari kematian yang

memalukan, kutonjok bahu Frankie yang ngakak-ngakak sedari

tadi.

"Kenapa nggak bilang kalau itu pete?" dampratku.

"Emangnya kenapa?" tanya Frankie masih sambil tertawa. "Apa

pun namanya, yang penting kan enak. Elo kan juga tau yang

namanya don?t judge the book by its cover...."

"Tapi kalau pete kan baunya bisa sampai berhari-hari. Gimana

kalau reputasi gue jadi rusak?"

"Ya baunya bisa sampai berhari-hari kalau lo nggak sikat gigi.

Kalau sikat gigi sih sebentar juga lenyap."

"Bener?" todongku garang, lalu kupelototi si tukang warteg

seolah-olah orang itu sama bersalahnya dengan Frankie yang su

dah mencekokiku pete. "Bener nggak, Mas?"

"Biasanya sih gitu, Non. Tapi kadang kalau petenya ketuaan,

baunya bisa bertahan dua-tiga hari."

Ah, sial. Belum apa-apa aku sudah dibikin rusak.

Tapi minus masalah pete (yang semuanya sudah kupindahkan

ke piring Frankie, biar dia sajalah yang jadi bau pete), makanan

ini memang enak sekali. Apa benar harganya cuma lima ribu

perak? Pantas saja Frankie memilih makan di sini daripada makan

di kantin yang mahal dan membosankan. Apalagi, kalau di kantin

sekolah, upaya penyelamatan diri dari mati-keselek-pete yang ku
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lakukan tadi pasti sudah menelan biaya minuman minimal se

puluh ribu rupiah, sementara di sini gratis tanpa perlu adegan

tawar-menawar lagi.

Begitu kami keluar dari warteg?dan si tolol Frankie yang sok

gengsi memaksa untuk menraktirku?kusadari aku punya kebutuh

an mendesak.

"Frank," bisikku malu-malu, "di sekitar sini ada toilet nggak?"

Frankie langsung cengar-cengir. "Kebanyakan minum gara-gara

keselek pete tadi, ya?"

Sialan. "Kalau sampai gue tewas di tempat, itu semua gara-gara

elo. Jadi buruan tanggung jawab dan cepet cariin gue toilet."

"Iya, dasar Tuan Putri. Di sini ada toilet sih, tapi kurang sip.

Mau nebeng toilet di bengkel aja?"

Aku termangu-mangu sejenak, bingung antara toilet-dekat-tapikurang-sip dan toilet-sip-tapi-harus-nahan-pipis-lagi. "Iya, toilet

di bengkel aja."

"Oke kalo gitu. Ayo, naik ke atas motor."

Brengsek. Motor yang berguncang-guncang ini malah bikin

aku tambah kebelet saja. Ingin rasanya kusuruh si Frankie pu

tar balik ke warteg tadi. Tapi sudahlah, jadi orang tidak boleh

terlalu plinplan. Lagi pula, toilet bersih terdengar lebih me

nyenangkan.

Akhirnya kami tiba di depan sebuah bengkel. Dari depan,

bengkel itu biasa-biasa saja, bahkan terkesan kecil, sederhana, dan

agak suram. Frankie mengurangi kecepatan motornya, tapi tidak

berhenti sampai dia membelok ke dalam bengkel dan menye

lonong ke dalamnya.

Bagian dalam bengkel itu ternyata lebih luas daripada yang

kuduga. Bunyi khas bengkel yang berisik memenuhi udara. Lima

buah mobil terparkir di bagian dalam bengkel. Tiga di antaranya

sedang diservis, sementara dua sisanya sedang dibersihkan.

Cowok-cowok bertubuh kekar berseliweran dengan coreng-moreng

di muka, baju, dan celana jins mereka, menebarkan hawa-hawa

penuh testosteron yang membuatku merasa tidak pantas berada

di sini.

Saat mendengar gerungan motor Frankie, seorang cowok yang

sedang tiduran di kolong mobil langsung meluncur keluar dengan

semacam tempat tidur beroda di punggungnya. Hmm, sepertinya

dia bukannya sedang tiduran, melainkan sedang sibuk dengan

mesin di bagian bawah mobil tersebut.

Cowok itu berdiri dengan gerakan santai namun menyiratkan

kekuatan?mengingatkanku pada macan yang lagi jalan-jalan

sehabis makan?sambil mengusap wajahnya yang kotor dengan

lap yang ada di bahunya. Begitu wajahnya lebih bersih sedikit,

kusadari cowok itu ternyata GANTENG banget. Rambutnya

yang panjang sampai ke bahu dan di-highlight dengan warna

merah mencolok diikat sekenanya saja, menyisakan beberapa helai

rambut menjuntai di depan wajahnya. Sepasang alis tebal dengan

luka di ujung alis sebelah kiri menaungi sepasang mata yang agak

sipit dan menyorot ramah. Hidungnya besar dan mancung,

dengan bibir menyunggingkan senyum memesona. Telinganya

dipenuhi beberapa anting-anting perak, membuatnya terlihat

makin keren saja. Belum lagi tubuhnya yang jelas-jelas six-pack

banget, terbungkus kaus hitam ketat sederhana dan celana jins

hitam, kurasa untuk menyembunyikan noda yang biasa didapat

kan dalam pekerjaannya. Andai usiaku sudah dua puluh lima,

aku pasti bakalan tergila-gila pada cowok yang sepertinya sudah

berusia tiga puluh tahunan itu. Tapi berhubung usiaku baru tujuh

belas, buatku dia cuma oom-oom ganteng biasa.

Lagi pula, sulit terpesona lama-lama pada seorang cowok saat

kau sedang memikirkan toilet.

"Yo, Les!" seru Frankie sambil berhenti di depannya. "Butuh

toilet buruan nih."

Gila, kebutuhan pribadiku diumumkan di depan publik begini.

Memang sih dia tidak menyebutkan nama, tapi kurasa kalau Frankie

yang butuh toilet, dia pasti langsung ngacir tanpa pamit lagi.

Dan seperti pemikiranku, cowok yang dipanggil Les itu lang

sung mengerti bahwa bukan Frankie yang sedang kebelet pipis.

Tatapannya mengarah padaku saat dia berkata dengan suara

rendah yang ramah, "Naik tangga ini, pintu pertama."

Lima menit kemudian, aku sudah lebih santai saat menuruni

tangga. Kulihat Frankie dan si oom-ganteng-bernama-Les sedang

asyik nongkrong di anak tangga terbawah. Saat tiba di dekat

mereka, aku langsung menginjak punggung Frankie.

"Ampun, Tuan Putri," kata Frankie sambil berdiri, lalu berkata

pada cowok di sebelahnya. "Ini Tuan Putri, Les. Ini Les yang gue

ceritain, Tuan Putri."

"Halo." Cowok itu sama sekali tidak keberatan saat aku diper

kenalkan sebagai Tuan Putri. Dijabatnya tanganku dengan tangan

yang (untunglah) bersih banget. Kuperhatikan, ada tato tengkorak

bajak laut di dekat jempol kanannya, dan satu lagi yang ber

ukuran lebih besar di lengan kiri atas. "Senang bisa ketemu sama

kamu. Semoga selama ini Frankie nggak terlalu bikin repot."

"Wah, jangan salah, Les," kata Frankie sambil nyengir. "Yang

ngerepotin tuh dia, bukan gue. Waktu pertama kali kenalan aja,

gue udah disuruh gantiin ban mobilnya..."

"Halah, waktu pertama kali ketemu, lo sengaknya minta

ampun," cibirku. "Kalo gue jago tinju, lo udah gepeng, kali."

Frankie meraih pergelangan tanganku, membuatku mengepal

kan tangan secara otomatis.

"Tinju sekecil gini?" Dia memamerkan tanganku pada Les.

"Gila, kalo gue gepeng cuma gara-gara benda imut begini,

reputasi gue bisa hancur banget."

"Apa maksud lo benda imut begini?!" bentakku.

"Tenang, Tuan Putri. Jangan cepet emosi. Kalo sampe tinju lo

segede karung, gue juga nggak akan sudi deket-deket sama elo."

Sial, dia benar. Aku juga tidak mau punya tinju segede karung.

Bisa-bisa aku tidak feminin lagi.

Baru kusadari Les menatap kami berdua dengan geli.

"Untuk ukuran orang yang baru berteman kurang dari sepuluh

hari, kalian termasuk akrab sekali," komentarnya.

"Itu karena si Frankie naksir berat sama gue," sambarku se

belum Frankie mulai menuduh sebaliknya.

"Benar!" seru Frankie pede, dan dengan sok akrab langsung

merangkul bahuku. "Jadi gimana, Les? Serasi nggak?"

Les menatap kami bergantian dengan wajah ragu, membuatku

mulai berharap-harap cemas, bertanya-tanya apa yang salah

sampai dia memikirkan jawabannya begitu lama

Lalu mendadak Les nyengir lebar. "Kalo gue jawab nggak,

sepertinya ada dua orang yang bakalan gebukin gue."

Aku melongo, sementara Frankie langsung memprotes, "Jadi

itu sebabnya lo jawabnya lama banget? Dasar tukang ngeje

bak!"

"Ini bukan ngejebak," kata Les santai, "tapi mempelajari manu

sia. Sama aja kayak kita berantem dan kita harus memperhatikan

kuda-kuda lawan supaya kita tau dia nyerang dari mana."

Aku manggut-manggut, membayangkan Wong Fei Hung

sedang memasang kuda-kuda bergaya bangau. Dua tangan te

rentang di kiri-kanan, satu kaki terangkat. Cupu banget, pokok

nya.

"Les, gue harus balikin motor si Viktor nih," kata Frankie.

Aku baru tahu, ternyata motor raksasanya cuma motor pinjaman.

Tapi tentu saja, dengan kondisi keuangan seperti itu, aku yakin

Frankie tak bakalan menghabiskan tabungannya untuk bendabenda yang bisa dipinjamnya dari orang lain. "Lo tau dia lagi ada

di mana?"

"Paling-paling lagi di kantornya," sahut Les. "Nggak mau di

tinggal di sini aja? Biar nanti gue yang balikin."

"Jangan, gue nggak mau ngerepotin." Tumben. "Gue samperin

dia aja deh kalo gitu. Jagain Tuan Putri, ya!" Lalu padaku, dia

berkata, "Tuan Putri, jangan kangen sama gue, ya. Cuma bentar

kok."

"Eh," panggilku agak cemas. "Jadi nanti kita pulang naik apa?"

"Gampang," kata Frankie sambil mengibaskan tangannya.

"Naik bajaj aja."

BAJAJ???

Aku tidak tahu mukaku seperti apa, tapi Frankie dan Les lang

sung ngakak melihatku.

"Tenang aja, Tuan Putri," kata Frankie sambil nyengir. "Di sini

banyak mobil dan motor. Tinggal comot aja. Yang ini juga baru

gue comot tadi pagi."

Sial, sepertinya aku baru saja dikerjai lagi.

Aku dan Les menatap kepergian Frankie. Dalam hati aku me

rasa cemas, bertanya-tanya bagaimana aku harus bersikap di

depan cowok yang dihormati Frankie sebagai mentornya itu.

"Tau nggak, ini pertama kalinya Frankie bawa cewek ke sini?"

Aku menoleh dengan bingung. "Hah?"

Les tersenyum padaku, lalu kembali duduk di anak tangga dan

memberiku isyarat untuk duduk di sampingnya.

"Sebenarnya bengkel ini bisa dibilang pangkalan anak-anak

badung," Les menjelaskan. "Berhubung biaya yang dikenakan

bengkel ini sangat murah, anak-anak sering membawa motor

mereka untuk diservis di sini. Karena dulunya aku juga anak

badung," Les nyengir, "mereka jadi merasa cocok denganku.

Lambat laun, tempat ini jadi sangat terkenal di kalangan anakanak badung.

"Dari sekian banyak anak badung, Frankie paling menarik

perhatianku. Kamu pasti menyadari dia cukup besar untuk ukur

an anak SMA." Aku mengangguk. "Kenyataannya, dia memang

sangat kuat. Pernah sekali dia berurusan dengan geng motor yang

terdiri atas lima belas atau dua puluh orang. Frankie memang

babak belur, tapi nggak ada anggota geng motor itu yang lolos

dari dia. Semuanya terluka lebih parah. Orang yang begitu kuat

biasanya sombong dan suka menindas. Tapi Frankie beda. Dia

punya hati yang baik."

Soal itu, sebenarnya aku juga sudah menyadarinya.

"Dia juga dewasa untuk ukuran anak seusianya. Sementara

anak-anak lain sering banget bergonta-ganti pacar, dia selalu

sendirian. Katanya, nggak ada cewek yang mau dengannya. Tapi

nggak taunya, sekali bawa cewek, dia bawa cewek yang paling

cakep di sekolahnya!"

Aku mengerjap-ngerjap bingung mendengar ucapan Les.

"Yah, aku kenal kamu, Hanny Pelangi." Aku kaget mendengar

Les menyebut namaku, karena sejak tadi Frankie tidak meng

ucapkan namaku di depan Les, tapi cowok ini bahkan bisa

menyebut nama lengkapku. "Sejak setengah tahun lalu, hampir

setiap hari Frankie cerita tentang si Tuan Putri yang nongol di

koran, yang ngalahin psikopat yang terobsesi padanya, dan yang

bersahabat dengan cowok yang udah ngerusak nama baiknya

dengan bertaruh tentang dirinya."

Sial, kejadian memalukan itu juga diketahui Les? Tapi masa

sih Frankie sudah menyukaiku sejak lama? Rasanya tidak bisa

percaya deh, mengingat pertemuan pertama kami yang mengesal

kan itu.
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalo aku percaya semua ucapan Frankie, aku pasti akan

nganggap kamu cewek paling hebat di dunia."

Oke, sekarang aku tersipu-sipu dipuji cowok ganteng. Tapi dia

mengucapkan semua itu dengan sedemikian rupa, sehingga aku

tahu dia mengatakan semua itu bukan karena menaruh hati

padaku, melainkan karena respek terhadapku. Sikap yang sangat

jarang kudapatkan dari cowok lain. Kurasa, dia biasa memper

lakukan setiap orang seperti ini, dan karena itulah anak-anak

badung seperti Frankie mengidolakannya.

"Jadi, saat aku bilang senang ketemu sama kamu tadi, aku

benar-benar bermaksud seperti itu. Bukan basa-basi belaka." Les

tersenyum. "Aku harap nanti-nanti kita akan sering ketemu lagi,

Han."

"Pasti." Aku mengangguk penuh keyakinan. Lalu, karena aku

tipe orang yang blakblakan, aku langsung melontarkan pertanyaan

yang mungkin dianggap kurang ajar oleh separuh dunia ini.

"Kamu dewasa banget, Les. Emangnya umurmu berapa sih?"

"Mm...." Dia menggaruk-garuk kepalanya, pasti bukan karena

gatal-gatal, karena rambutnya terlihat sangat bersih dan rapi. "Se

benarnya, aku nggak tau usiaku, juga tanggal lahirku."

Aku melongo. "Kok bisa?"

"Yah...." Dia tersenyum ringan, tanpa terlihat minder ataupun

malu. "Ibuku pemabuk yang jarang hidup dalam dunia nyata,

jadi dia nggak ingat hari kelahiranku." Dan sebelum aku sempat

bertanya, dia melanjutkan lagi, "Aku nggak punya ayah. Sebelum

melahirkan aku, ibuku hobi bergonta-ganti pasangan, dan karena

dia sering mabuk, dia nggak tahu siapa ayahku. Tapi aku punya

ayah tiri yang pemabuk juga dan menganggap aku sangat

ngerepotin. Setelah aku lulus SD, mereka berhenti ngurusin aku.

Jadi aku berhenti sekolah lalu kerja di bengkel-bengkel seperti ini,

sampai akhirnya aku bisa punya bengkel sendiri."

Cara Les menceritakan semua itu begitu santai, namun aku

tahu kehidupan seperti itu pasti sangat sulit. Bayangkan saja,

bagaimana rasanya punya ibu pemabuk yang bahkan tidak ingat

kapan hari lahir kita. Apa yang terjadi dengan Les yang masih

bayi, bagaimana dia bisa bertahan, aku tidak bisa membayangkan

nya.

Mendadak saja aku teringat kata-kataku pada Frankie tadi. Ten

tang anak-anak miskin yang bersyukur dengan keluarga mereka

yang sederhana namun bahagia. Mungkin di dunia ini memang

ada segelintir anak-anak miskin yang merasa sederhana dan

bahagia, tapi lebih banyak lagi yang memiliki kehidupan penuh

masalah seperti yang sudah dijalani Les. Ditelantarkan oleh orang

tua yang tidak beres, harus memperjuangkan kehidupannya sen

diri sejak kecil dan tidak punya kesempatan untuk menikmati

kemewahan yang begitu normal bagiku, seperti kehidupan remaja,

pendidikan, dan hal-hal semacam itu. Pantas saja Frankie sangat

sinis terhadap orang-orang kaya. Pantas saja dia sangat sinis pada

kemanjaanku. Sial, aku jadi malu banget dengan semua ucapanku

yang sok tahu tadi. Aku heran Frankie tidak langsung mence

ramahiku panjang lebar.

Seolah-olah tahu aku sedang memikirkan Frankie, Les berkata,

"Aku tahu Frankie nggak sabar untuk ngikutin jejakku, tapi kon

disinya sangat berbeda denganku. Ayahnya memang keras ter

hadapnya, terlalu keras. Tapi itu bukan berarti ayahnya nggak

menyayangi dia atau berniat menelantarkannya. Orangtua juga

manusia biasa, nggak sempurna dan sering berbuat salah dalam

soal mendidik anak. Sekarang Frankie masih kecil, dan dia nggak

bisa ngeliat semua itu karena dia keras kepala banget. Aku udah

berusaha sekuat tenaga membujuknya, tapi sepertinya sendirian

doang nggak cukup untuk bikin dia sadar." Les tersenyum jail

padaku. "Berminat jadi sekutuku?"

"Les," sahutku sangsi, "kamu yang tiap hari dipuji-puji aja

nggak didengerin, apalagi aku yang tiap hari dihina-hina dan

diajak berantem?"

"Ya, tapi aku bukan cewek cantik yang bikin dia tergila-gila,

meski udah dihina-hina dan diajak berantem setiap hari."

Jujur saja, aku sudah terbiasa dipuja cowok. Ada saatnya itu

terasa menyenangkan, ada pula saatnya aku kesal banget dibuat

nya?tapi aku tidak pernah tersipu-sipu karenanya. Tapi saat ini,

wajahku terasa panas banget.

"Emangnya dia tergila-gila padaku?" tanyaku ingin tahu.

"Seperti yang kubilang, cuma kamu cewek yang pernah diajak

nya ke sini," sahut Les sederhana. "Itu membuktikan sesuatu,

kan?"

Yah, melihat betapa respeknya Frankie pada Les, mengajak

cewek menemuinya kira-kira bisa disamakan dengan cowok-cowok

normal yang mengajak pacar mereka menemui orangtuanya.

Tunggu dulu. Masa sih perasaannya padaku seserius itu?

"Sepertinya kamu jadi bingung," kata Les sambil mengamati

wajahku. "Udah deh, nggak usah dipikirin dulu. Gimanapun,

kalian kan baru kenal selama sepuluh hari. Mendingan enjoy dulu

aja."

Gampang saja dia ngomong. Kan bukan dia yang dibikin degdegan oleh Frankie si cowok sial.

"Oh ya, dengar-dengar, kalian berdua bergabung dengan pani

tia MOS?"

"Ya," sahutku muram.

Lagi-lagi Les menemukan sesuatu dari mengamati wajahku.

"Keliatannya kamu nggak terlalu senang."

"Dulunya aku senang."

Ada sesuatu dalam diri Les yang membuat orang-orang memer

cayainya. Mungkin karena sikapnya yang tenang dan penuh

penerimaan yang membuatnya bisa dinobatkan sebagai pendengar

terbaik di dunia, atau caranya menatap kita seolah-olah cerita

yang kita sampaikan adalah cerita terpenting di dunia, atau se

nyumnya yang ramah dan membuat kita merasa nyaman. Atau

yang lebih mungkin lagi, karena semua hal yang barusan kusebut

kan itu. Pokoknya, tahu-tahu saja aku sudah menceritakan semua

nya, mulai dari saat aku meninggalkan Jenny di Singapura demi

menjadi pengurus MOS hingga keenekanku pada sifat Benji yang

semena-mena pada anggota baru.

Saat kuceritakan semuanya kembali, aku baru menyadari betapa

buruknya semua keputusanku. Mencampakkan sahabatku demi

jabatan yang ternyata tak menyenangkan, berdiam diri saat me

lihat anak-anak baru ditindas, mempertahankan pacar brengsek

demi rencana untuk menjadi ketua OSIS. Begitu ceritaku selesai,

aku menatap Les, mengharapkan protesan, tuduhan, ceramah,

atau apa sajalah.

Tapi dia malah bertanya, "Jadi menurutmu siapa pelakunya?"

"Hah?"

"Tadi kamu bilang, anak-anak baru itu cupu banget. Apa me

nurutmu mereka sanggup nyari darah ayam lalu menuliskannya

di tempat-tempat publik begitu?"

Benar juga. Tidak mungkin anak baru yang melakukan hal itu.

Mereka tak bakalan sanggup. Ya, mereka menikmati hasil dari

tulisan-tulisan itu, yaitu tampang marah dan terhina para peng

urus MOS, tapi mereka tidak mungkin memikirkan dan melaku

kan tindakan yang begitu menjijikkan. Ada sesuatu di sini, se

suatu yang lebih dalam lagi...!

Saking sibuknya dengan lamunanku, aku cuma mengiyakan

dengan muka menerawang saat Les minta diri karena ada yang

harus diurusnya. Tak heran, sebuah bisikan di dekat telingaku

membuat jantungku langsung berdentam-dentam keras.

"Ada masalah pelik kenegaraan yang bikin pusing Tuan Putri?"

Sejak kapan cowok hantu ini menyelinap di belakangku?

Aku berusaha menenangkan jantungku yang mulai tak terken

dali dengan menanggapi kekonyolannya. "Iya, dan sepertinya

butuh bantuan rakyat jelata untuk memecahkannya."

"Rakyat jelata siap melayani Tuan Putri."

Sial, jantungku makin tak mau disuruh diam saja. Aku pun

mulai mencerocos, mengatakan semua yang menyita pikiranku

tadi, berharap percakapan serius itu bisa membuatku melupakan

debar-debar aneh ini.

Saat ceritaku selesai, Frankie tampak tenggelam dalam pere

nungannya.

"Jadi, ini bukan pancingan biar besok gue nggak bolos MOS

lagi?"

Dasar cowok sialan. "Emangnya apa urusan gue, lo ikut MOS

atau nggak?"

"Yah, kalo nggak ada gue kan lo pasti merasa sepi."

Cowok ini ge-eran banget!

"Sori mengecewakan, tapi ini murni masalah kenegaraan."

"Yah, emang mengecewakan sih. Tapi nggak apalah, orang

berjiwa besar harus rela berkorban. Besok gue nggak akan bolos

deh."

Gawat, sekarang aku kegirangan!

"Janji, ya?"

"Iya, Tuan Putri, tapi nggak usah kegirangan gitu dong."

Memangnya aku begini gampang ditebak?

"Yuk, kita pulang sekarang," ajak Frankie.

Sekarang giliranku yang kecewa, tapi aku bertekad tidak mem

perlihatkannya.

"Oke." Aku memasang wajah dingin dan angkuh bak Putri Es.

"Kita pulang naik apa?"

"Naik motor tadi lagi mau?" tanya Frankie menawarkan.

"Viktor ternyata lagi pergi ke luar negeri, jadi sepertinya motor

itu bakalan jadi hak milik gue untuk beberapa waktu."

"Oke. By the way, siapa sih Viktor?"

"Viktor Yamada, sohib Les yang paling dekat."

"Yamada?" Nama belakang itu menarik perhatianku. Nama

bernada Jepang itu sangat pasaran di negara aslinya, namun sa

ngat jarang digunakan oleh orang di Indonesia. "Ada hubungan

dengan keluarga Ocean Corporation?"

"Iya. Masih sepupuan, kalo nggak salah."

Wow, keluarga konglomerat tersebut? "Kayak langit dan bumi

aja."

"Hah?"

"Abis, background Les kayak gitu."

"Oh." Sekilas aku melihat wajah Frankie yang berubah muram,

namun dia menutupinya dengan cengiran. "Dia udah cerita,

ya?"

"Iya." Aku mengangguk sambil menahan malu. "Sepertinya gue

udah ngomong gede soal biar-miskin-asal-bahagia tadi, ya?"

Frankie tertawa. "Sedikit sih, tapi lo ada benernya kok. Yang

menentukan kebahagiaan bukan materi, tapi orang-orang yang

kita miliki. Dulu Les emang menderita, tapi sekarang dia baikbaik aja karena dia punya Viktor, gue, juga teman-teman lain.

Tapi harus gue akui, gue juga salut karena dia nggak iri sama

sekali terhadap Viktor, sementara gue...," Frankie nyengir lagi,

"...masih aja iri sama Ivan."

"Sama cowok yang gue campakin gara-gara cengeng itu?"

Mulut Frankie ternganga. "Lo campakin dia gara-gara dia ce
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ngeng?"

"Coba aja lo punya pacar cengeng. Kalo cewek, mungkin

masih bisa dimengerti. Tapi kalo cowok? Asli minta digampar

deh!"

Sebelum kata-kataku berakhir, Frankie sudah tertawa terbahakbahak. Sambil menggeleng-geleng, dia berkata, "Aduh, Tuan

Putri. Gue bener-bener nggak habis ngerti kenapa selama ini gue

bisa hidup tanpa elo."

Seharusnya aku merasa ge-er mendengar ucapan Frankie. Na

mun cowok itu mengatakan semua itu dengan begitu ringan,

begitu santai, sehingga itu tidak terasa seperti pujian, melainkan

cuma untuk main-main. Jadi aku membalas, "Iya, lo emang rugi

banget selama ini bete-bete sama gue demi cowok cengeng."

"Ampun, Tuan Putri. Hamba berjanji akan menebus dosa itu

seumur hidup."

"Bagus. Tindakan penebusan lo yang pertama adalah nganterin

gue ke mobil gue dengan selamat."

"Iya, Tuan Putri. Silakan naik ke tunggangan hamba yang

sederhana ini."

Kami berpamitan pada Les yang sedang berkutat di bawah mobil,

lalu kembali ke sekolah. Aku tercengang waktu menyadari Frankie

tidak hanya mengantarku ke mobilku, melainkan juga menggiringku

ke kursi penumpang, sementara dia menduduki kursi pengemudi

seakan-akan itu tempatnya yang semestinya.

"Udah berasa kayak mobil sendiri, ya?" gerutuku saat dia men

jalankan mobil.

"Nggak, tapi berasa kayak mobil majikan," sahutnya ringan

sekaligus berhasil menutup mulutku.

Saat kami membelok di tikungan terakhir sebelum tiba di

rumahku, aku melihat mobil Taruna terparkir di depan rumah

Begitu melihat mobilku mendekat, Benji langsung turun dari

mobilnya. Wajahnya tampak kaku dan datar, menandakan dia

sedang berusaha keras mengendalikan kemarahannya.

"Ke mana aja kamu?!" teriaknya dengan suara melengking. Me

nyadari wibawanya yang bakalan hancur kalau dia terus-terusan

mengeluarkan suara seperti itu, Benji pun mendesis, namun tetap

tidak menahan kemarahannya. "Bisa-bisanya kamu mengabaikan

semua tanggung jawab kamu sebagai pengurus MOS. Apa kamu

tahu, hari ini semuanya kacau-balau? Kelakuan anak-anak baru

itu makin nggak terkendali. Kalimat menjijikkan yang ditulis

dengan darah ayam itu ada di mana-mana. Di auditorium, toilet

cowok, lapangan basket indoor, lab fisika, bahkan dinding loker

lantai tiga! Dan yang nggak kalah ngeselin, anak-anak kelompok

mu jadi telantar, bikin kami semua kelabakan karena jadi punya

tugas ekstra ngurusin mereka. Sebaiknya kamu punya alasan yang

cukup bagus untuk semua ini!"

Awalnya aku merasa oke-oke saja membolos, terutama setelah

muak melihat kelakuan Benji serta mendengar ceramah mate

rialistis Anita dan Violina. Namun kini, teringat bagaimana aku

mengabaikan anak-anak cupu yang seharusnya kuurus, membuat

ku jadi merasa bersalah. Berhubung aku jarang merasa bersalah,

aku jadi tak tahu apa yang harus kukatakan.

"Pelaku yang nulis-nulis ancaman itu udah ngaku?" tanyaku

berusaha menyembunyikan rasa bersalahku.

"Nggak!" bentak Benji gusar. "Dasar pengecut. Besok gue bakal

an nyiksa mereka habis-habisan. Liat aja, biar tahu rasa mereka.

Dan kamu..."

"Udah, lo nggak usah marah-marah gitu sama Hanny. Bukan

salah dia kok." Kudengar Frankie memotong semburan kemarahan

Benji dengan tenang. "Gue yang ngajakin dia bolos."

Aku menoleh pada Frankie dengan kaget. Memang sih, dia

yang mengajakku makan di warteg, tapi akulah yang menentukan

waktunya. Akulah yang ingin bolos.

"Udah gue duga, pasti lo yang ngasih Hanny pengaruh buruk!"

Benji berpaling padaku dan menghunjamkan sorot mata meng

ancam. "Mulai sekarang kamu nggak boleh temenan sama dia

lagi!"

"Benji," protesku, tapi Frankie sudah menyergah keras.

"Apa hak lo ngelarang dia?"

"Gue pacarnya!" balas Benji dengan suara separuh meleng

king.

"Cuma pacar," Frankie mendengus. "Itu nggak berarti apa-apa."

"Itu mau lo?" Benji tersenyum sinis. "Sayang, itu berarti ba

nyak sekali. Asal tau aja, orangtua Hanny sangat menyukai gue.

Kalo gue ceritain kejadian hari ini ke mereka, lo kira Hanny bisa

lolos dari hukuman mereka?"

"Gila, hari gini masih suka ngadu!" Frankie tertawa mengejek.

"Kosis kita malu-maluin banget sih."

"Nggak sememalukan cowok yang nggak naik kelas karena

suka bikin onar," balas Benji. "Dan sangat pandai nyebarin penga

ruh buruk pula. Dalam waktu sehari aja lo udah ngubah Hanny

jadi cewek rusak."

Tanpa bisa kucegah lagi, tinju Frankie melayang ke muka

Benji, menyebabkan cowok tolol itu mental hingga menabrak

pagar di belakangnya. Aku bisa melihat hasil tonjokan itu di

sebelah mata Benji yang berwarna merah tua.

"Lo bisa ngatain gue apa aja," geram Frankie dengan mata

berkilat-kilat karena marah. "Tapi lo nggak boleh ngatain Hanny

sepatah kata pun!"

"Frankie yang sok pahlawan." Benji ternyata belum kapok.

"Tergila-gila sama pacar gue, ya? Tapi cuma cewek goblok yang

bakalan milih pecundang dan pembuat onar yang bahkan naik

kelas pun nggak bisa!"

Dan sekali lagi, Frankie menghantam muka Benji dengan ke

cepatan yang menakutkan. Aku melotot saat melihat hidung

Benji mulai mengucurkan darah.

"Benji!" seruku kaget, lalu menoleh pada Frankie. "Cukup,

Frank!"

"Enak aja! Emangnya lo rela dikata-katain seperti itu?!"

"Gue bilang cukup!" tegasku. "Apa pun yang dia lakuin, lo

nggak boleh mukul dia sampai kayak gitu. Liat, idungnya sampe

patah gitu."

Aku ingin mengatakan bahwa kalau sampai Benji melaporkan

hal ini pada pihak sekolah, Frankie pasti akan mendapatkan

kesulitan besar, namun Frankie malah menatapku dengan wajah

tak percaya.

"Jadi bener, lo lebih milih dia?"

Tenggorokanku menjadi kelu. Sesungguhnya, aku juga masih

memikirkan jawaban atas pertanyaan itu?dan sebenarnya, hari

ini aku nyaris saja mendapatkan jawabannya.

Frankie yang salah mengartikan kebisuanku langsung tersenyum

mengejek.

"Jadi emang bener. Sori deh, gue udah ngerusak muka pacar

lo." Dia sengaja menekankan kata pacar dengan nada sinis, meng

ingatkanku pada sikap kasarnya waktu malam pertama pertemuan

kami.

Frankie membalikkan badan. "Lo nggak usah khawatir, Ben.

Mulai sekarang, gue nggak akan ngeganggu atau ngerusak pacar

lo lagi. Jaga dia baik-baik, ya."

Hatiku terasa nyeri sekali saat melihat Frankie berjalan pergi

tanpa menoleh lagi padaku. Aku ingin sekali mencegahnya pergi,

tapi kakiku tidak sanggup bergerak. Pasti saat ini dia benci sekali

padaku. Yah, wajar saja. Dia sudah membelaku mati-matian, tapi

bukannya memuji dan mendukungnya, aku malah mencelanya.

Meski sebenarnya aku tidak bermaksud mencelanya. Aku hanya

tak ingin dia terjerumus ke dalam kesulitan gara-gara Benji, dan

aku lebih tidak ingin lagi dia terjerumus ke dalam kesulitan garagara aku.

"Han, cepet bawa aku ke rumah sakit," kata Benji dengan

nada sengau lantaran hidungnya masih dibekapnya. Padahal,

mungkin saja hidung itu sudah tidak mengucurkan darah lagi.

"Pergi aja sendiri."

Sepertinya Benji tidak memercayai telinganya. "Apa?"

"Pergi aja sendiri, kan kamu bawa mobil," kataku pelan. "Biar

idungmu patah, kamu masih bisa nyetir, kan? Dan, oh ya, by the

way, kita putus."

KISAH horor kedua SMA Persada Internasional:

"Kisah ini terjadi pada ketua klub KPR dari generasi pertama. Sang

ketua yang berasal dari keluarga yang tidak bahagia lebih sering

menghabiskan waktu di ruang klub daripada pulang ke rumah. Dia

diam-diam keranjingan chatting dengan seorang cewek yang kisah

hidupnya mirip dengan dirinya, bagaikan soulmate. Suatu hari, si

ketua menerima pesan singkat. ?Aku sudah letih dengan kehidupan

ini,? ketik cewek itu. ?Aku akan bunuh diri. Kamu mau mati

bersamaku?? Lalu sang ketua menyahut, ?Kalau tidak ada kamu,

hidupku tidak berarti.? Keesokan harinya, petugas kebersihan sekolah

menemukan sang ketua gantung diri di depan monitor komputer berisi

dialog tadi. Tidak diketahui apakah cewek itu benar-benar bunuh diri

atau cuma bohongan, tapi sejak saat itu, setiap pagi, anggota-anggota

klub KPR pasti menemukan monitor komputer di klub mereka dalam

keadaan menyala. Satu-satunya aplikasi yang dijalankan adalah

aplikasi chatting, dan hanya ada satu baris percakapan di situ, ?Ayo

kita mati bersama.?"

Peter, kelas XII Bahasa 3, Ketua Klub KPR

***

Aku tidak senang saat Frankie menepati janjinya.

Berbeda dengan dua hari sebelumnya, kali ini dia tidak me

larikan diri dari kegiatan MOS. Sebaliknya, dia malah asyik

membantu si keparat Violina mengurusi Grup Kurap yang ter

diri atas para penggemar Violina. Alhasil, anak-anak baru itu

memelototinya sepanjang hari, mengira mereka cowok ber

untung yang berhasil menggaet cewek pujaan mereka. Mereka

tidak tahu, cewek idola mereka begitu materialistis, sampaisampai cowok semacam Frankie hanya pantas untuk menjadi

cowok mainannya.

Aku ingin meneriakkan hal itu keras-keras ke kuping Frankie,

supaya dia menyadari wajah asli Violina, tapi seperti kata-katanya

pada Benji, cowok brengsek itu sama sekali tidak memedulikanku

hari ini. Oke kalau itu yang dia inginkan. Akan kubiarkan dia

jadi bulan-bulanan Violina. Biar dia tahu rasa.

Sial, aku sakit hati banget dicuekin begini.

Sementara itu, Benji menjalani hari yang sangat produktif. Di

satu sisi dia benar-benar melaksanakan ancamannya dan menindas

anak-anak baru itu seolah-olah tidak ada hari esok lagi. Dibentak

nya setiap anak tanpa alasan. Disuruhnya mereka menyikat setiap

petak ubin yang ada di lapangan upacara, menggosok dinding,

dan membersihkan toilet. Lebih parah lagi, setiap kali dia

menangkap basah ada yang berbisik-bisik, dia akan langsung

memberikan hukuman berat.

"Kalau kalian ada waktu untuk ngobrol, lebih baik kalian guna

kan untuk mengerjakan pekerjaan kalian!" teriaknya keji.

Hanya perlu sebuah bilik raksasa untuk menampung anak-anak

yang bakalan dijadikan bulan-bulanan, dan Benji akan jadi figur

sempurna Hitler versi ABG.
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun di sisi lain, setiap kali Benji mendapat waktu luang?

yang sangat jarang didapatkannya gara-gara kegiatan Nazi-nya

itu?dia langsung duduk sendirian dan memamerkan wajah su

ram seolah-olah dia anak anjing yang barusan ditendang olehku.

Matanya yang memar sebelah dan hidungnya yang dipasangi

perban membuatnya tampak lucu sekaligus nelangsa. Sesekali dia

menatapku, lalu menghela napas sambil menggeleng-geleng.

Orang goblok pun tahu dia memasang semua ulah itu untuk

menarik perhatianku. Tapi sori-sori saja, aku tidak merasa kasihan

sedikit pun.

"Kak, hari ini kok Kakak sadis banget?"

Aku menoleh pada anak baru yang sok ikut campur itu.

"Diam kamu, dasar Panda."

"Maksud Kakak, dasar Pandu?"

"Nggak usah ngelawak yang basi-basi gitu deh."

"Yah, saya cuma ingin Kakak baik-baik aja," kilah Pandu.

"Kami semua berharap Kakak baik-baik aja."

Aku melemparkan tatapan pada setiap anak buahku. Benar

saja, mereka semua menatapku dengan perhatian yang tidak per

nah kudapatkan dari teman-teman yang tak begitu dekat dengan

ku. Orang-orang yang memperhatikanku seperti ini hanyalah

Jenny, Tony, Markus, dan ah, yang terakhir ini sudah tidak

perlu disebutkan lagi.

"Sori, guys," ucapku terharu. "Aku nggak apa-apa kok. Mung

kin cuma laper. Ayo, Pandu, beliin Kentucky."

"Iya, Kak." Pandu menjauh dengan sopan. Setelah agak jauh,

kulihat dia menyikut temannya dan berbisik-bisik, "Udah gue

bilang, jangan gue yang nanya. Pasti disuruh beliin makanan lagi,

kan? Tekor deh gue bulan ini!"

Ups.

Sial, bahkan pengorbanan Pandu atas uang jajannya tidak

mengobati rasa senangku. Saat aku menuju ke meja makan

khusus anak-anak pengurus MOS di kantin, kulihat Frankie dan

Violina sedang ketawa-ketawa sambil main pukul-pukulan. Gila,

sok mesra banget. Kuharap salah satu kuku Violina yang tajam

itu sempat mencolok mata Frankie.

Tapi bukan Hanny namanya kalau menghindar. Dengan berang

aku duduk di tempat kosong di samping Frankie dan membentak,

"Geser!"

Frankie mengangkat alis, namun tidak seperti biasanya, kali ini

dia tidak mengomentari sikap kasarku. Dengan tenang dia

menggeser tempat duduknya, membuat Violina cekikikan dan

berkata, "Aduh, malu banget, jadi dempet-dempetan sama Frankie

deh."

Dasar menjijikkan. Dempetan sana sampai gepeng.

"Wah, makan siang Hanny hari ini elite banget," goda Ronny.

"Pasti dapat dari anak baru lagi, ya?"

Aku memasukkan satu perkedel utuh ke dalam mulutku.

"Lebih baik ngasih hukuman begini daripada nindas-nindas me

reka sampe mereka kepingin ngebunuh kita."

Kata-kataku berhasil membungkam Ronny. Bahkan, sebenarnya,

kata-kata itu membuat semua orang di meja itu terdiam, selain

suara tercekik dari sebelahku yang menandakan si cowok-sialantukang-ngelaba alias Frankie sedang menahan ketawa.

"Ada yang lucu?!" bentakku padanya. "Lo kira semua ini lucu?!"

"Nggak," gumam Frankie. "Ampun, Tuan Putri."

Jawabannya itu membuat perasaanku kacau-balau. Dasar breng

sek. Kalau dia tidak ingin berurusan denganku lagi, kalau dia

lebih senang bergenit-genit dengan Violina, kenapa dia masih

memanggilku Tuan Putri? Sekarang mataku jadi pedas karena air

mata. Sial. Ini benar-benar kacau.

Untuk mengusir perasaan yang menyebalkan ini, aku mem

bentak-bentak lagi. "Mana Peter?"

Berkat kegalakanku, semua orang langsung menyadari absennya

cowok itu.

"Dasar," gerutu Ivan. "Apa dia bolos juga?"

Aku langsung tersinggung. "Apa maksudmu bolos juga?"

Ivan langsung gelagapan. "Sori, salah ngomong, Han. Jangan

sensi dong."

Mendengar suara Ivan yang makin lama makin lemah, aku

tahu cowok itu terluka karena kubentak di depan semua orang,

tapi hari ini aku sedang tidak ingin menjaga perasaan orang

lain.

"Tapi bener juga," kata Benji dengan lagak sok penting. "Tadi

dia bilang dia ada urusan di ruangan klub. Setelah itu dia nggak

balik-balik lagi. Ada apa, ya?"

"Mungkin lagi ngambek gara-gara masalah kemarin," duga

Anita.

"Masalah apa?" tanyaku ingin tahu.

Benji yang menyahutku. "Kemarin dia mau ngunci anak-anak

kelompoknya di ruang klub KPR setelah nyeritain kisah horor

kedua, tapi nggak dapat persetujuan Pak Sal."

Kisah horor kedua? Yang soal apa ya? Oh ya, kisah cinta tragis

milik ketua klub KPR generasi pertama, yang agak mirip kisah

Romeo dan Juliet, tapi konon keduanya sama-sama tipe ABG

yang tidak laku.

"Masa gitu doang bete?" tanyaku heran. "Emangnya dia..."

Aku ingin mengatakan, memangnya dia Ivan yang tukang

nangis tiap kali dibantah, tapi Ivan yang sepertinya sudah tahu

apa yang ingin kukatakan buru-buru menyela.

"Kayak kamu nggak kenal Peter aja, Han. Dia kan sombong

banget. Dia nganggap klub KPR-nya itu klub paling elite di se

kolah kita."

"Ya," Benji mengangguk sebal. "Kadang aku rasa, dia merasa

posisinya lebih tinggi daripada ketua OSIS. Dia pasti nganggap

keputusan Pak Sal adalah serangan terhadap kekuasaannya!"

Astaga, orang-orang ini benar-benar mabuk kekuasaan. Yah, kalau

kuingat-ingat, sepertinya dulu aku juga seperti mereka, menganggap

diriku hebat banget karena sudah terpilih menjadi anggota OSIS,

juga pengurus MOS. Dalam hal-hal seperti ini aku memang harus

lebih banyak belajar dari Jenny. Entah kenapa, sohibku itu selalu

punya prioritas yang lebih baik dibandingkan denganku.

Sial, aku rindu banget pada Jenny. Kapan sih cewek itu kem

bali?

"Ngambek atau nggak, dia nggak punya hak untuk mengabai

kan tanggung jawabnya sebagai pengurus MOS," tegas Benji.

"Kalo dia nggak muncul-muncul juga hingga kita selesai makan,

aku akan cari dia ke ruangan klubnya."

"Lebih baik kita semua ikut kamu, Ben," usul Anita. "Peter

orang yang punya harga diri. Dia pasti nggak mau orang-orang

tau dia sedang terpuruk akibat keputusan Pak Sal. Jadi, kalau

kita rame-rame nemuin dia, dia pasti akan kembali pada tugas

nya."

Tak lama kemudian kami sudah berbondong-bondong menuju

ruangan klub KPR yang terletak di bangunan sayap gedung sekolah

kami. Dengan kesal kulihat Frankie berjalan bersama-sama Violina

yang terus-menerus bersikap centil. Kuseruput root beer kalenganku

sampai berbunyi keras seraya tidak mengacuhkan Ronny dan Benji

yang berjalan bersamaku. Ronny pasrah saja diperlakukan semenamena olehku, tapi Benji tidak bisa menerimanya.

"Kamu benar-benar nggak suka sama aku lagi?" tanya Benji

dengan muka kalo-kamu-putusin-aku-akan-lompat-ke-bawahtebing.

"Iya."

"Masa kamu bisa berubah dalam sekejap begini, Han?"

"Bukan sekejap," balasku dingin. "Sebenernya dari dulu aku

nggak pernah bener-bener suka sama kamu, Ben, dan sikapmu

yang sadis pada anak-anak baru bikin aku enek kelas berat."

Mendengar kata-kataku yang tak berperasaan, Benji menghenti

kan langkahnya dan tertegun. Tapi aku tidak menggubrisnya dan

berjalan terus. Kurasakan lirikan tajam Frankie. Jarak kami cukup

jauh, sehingga aku yakin cowok itu tidak mungkin bisa men

dengar percakapan kami, kecuali dia punya pendengaran super

yang menyamai Superman?atau dia memasang alat penyadap,

yang tak mungkin dilakukannya berhubung alat itu mahal banget.

Tapi bisa jadi dia menduga apa yang kami perbincangkan.

Masa bodoh. Memangnya aku peduli apa yang dipikirkan

Frankie tentang aku dan Benji? Cowok yang hobi sok ganjen de

ngan cewek centil seperti Violina sih lebih baik ke laut saja.

Ruangan klub KPR, seperti ruangan-ruangan klub lain di

masa-masa MOS ini, tampak kosong. Pintunya tertutup rapat,

demikian juga semua jendelanya.

"Ternyata Peter nggak ada di sini," kata Ivan heran. "Ke mana

dia?"

"Mungkin aja dia lagi ngumpet," kata Benji yang pulih dengan

cepat setelah kucampakkan?atau ini hanyalah kedoknya supaya

terlihat tegar?sambil melangkah maju dan mengetuk pintu.

"Peter, buka pintunya!"

Tidak terdengar jawaban.

"Udah gue bilang, dia nggak ada di sini," gerutu Ivan.

"Peter!" Benji mulai menggedor, namun lagi-lagi tidak men

dapatkan jawaban. Akhirnya dia langsung membuka pintu yang

ternyata tak terkunci sama sekali.

Dan kami semua terpaku di tempat!

Kami melihat Peter tergantung pada seutas tali di langit-langit.

Tangannya menarik-narik tali yang membelit lehernya, sementara

kedua kakinya menendang-nendang dengan panik. Muka Peter

merah sekali, nyaris membiru. Matanya dipenuhi air mata, dan

meski mulutnya membuka, dia tidak bisa mengucapkan sepatah

kata pun. Dan betapapun ketakutannya aku saat ini, perasaan

yang lebih menguasai hatiku saat ini adalah keputusasaan yang

begitu kuat. Keputusasaan hebat yang dirasakan Peter, yang

mengira tidak ada yang akan menolongnya. Keputusasaan yang

akan menjadi hal terakhir yang dirasakan Peter, kalau saja kami

tidak mencarinya kemari.

"Gila!" Frankie yang pertama-tama bereaksi. Dia buru-buru

meraih kedua kaki Peter yang memberontak hebat, mengangkatnya

hingga Peter tidak bergelantungan lagi. "Panggil guru-guru dan

ambulans!"

Benji langsung melesat pergi, sementara Ivan dan Ronny lang

sung membantu Frankie menurunkan Peter. Setelah berhasil me

nurunkannya, Frankie langsung melepaskan belitan tali pada leher

Peter. Belitan itu menimbulkan bekas yang sangat mengerikan

pada leher Peter. Bukannya langsung menangis terharu atau ber

terima kasih saat dibebaskan, Peter langsung terkulai pingsan.

"Astaga," kata Ivan prihatin, "apa dia berniat bunuh diri garagara keinginannya nggak disetujui Pak Sal?"

"Masa sih?" tanya Frankie sinis. "Kalo dia emang kepingin

mati, kenapa juga pake keluar air mata segala?"

Mendengar kata-kata Frankie, secara spontan mataku langsung

mencari-cari?dan dalam sekejap menemukan hal yang kucari-cari

itu. Monitor komputer klub KPR yang sedang menyala, dengan

sebaris tulisan terpampang pada jendela Yahoo! Messenger: "Ayo

kita mati bersama."

"Liat!" kataku sambil menunjuk monitor itu, dan serempak
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata semua orang tertuju ke monitor itu.

"Gila, kok mirip banget sama kisah horor bohongan yang di

ceritain Peter ke kita?!" teriak Frankie kaget, mengutarakan tepat

apa yang ada di dalam hati kami semua.

"Itu bukan kisah bohongan...," kata Violina dengan suara ter

getar, membuat setiap pasang mata langsung menatapnya. Dasar

pencari sensasi keparat. "Peter pernah cerita sama aku, itu emang

kisah sungguhan yang diceritain turun-temurun oleh ketua klub

KPR pada para anggotanya." Violina menatap ruangan itu dengan

wajah ketakutan. "Roh itu emang ada, roh yang ngajak orangorang untuk bunuh diri...."

Ucapan Violina membuat kami semua terdiam. Aku bisa me

rasakan perpecahan di dalam ruangan itu. Sebagian menganggap

kata-kata Violina menggelikan, tetapi ada juga yang memercayai

nya.

Seperti aku. Sial, kenapa juga aku harus berada di pihak

Violina?

"Jangan bercanda!" bentak Anita dengan wajah pucat. "Gue

nggak percaya. Nggak ada yang namanya hantu di dunia ini."

"Tapi apa yang bisa ngejelasin kelakuan Peter?" tanya Violina

sengit. "Dia kan bukan tipe cowok yang mau bunuh diri."

"Salah," Ivan menggeleng. "Justru siswa ambisius seperti Peter

itulah yang punya kecenderungan bunuh diri. Menurutku, pasti

dia nemuin sesuatu yang mengancam kredibilitasnya, bikin dia

merasa dia berada di jalan buntu."

"Dan dia ngajak kita bunuh diri bareng?" tanya Frankie de

ngan muka sok polos. "Baik bener."

"Itu pasti upaya Peter untuk mendramatisir kondisi ini," kata

Ivan yakin. "Nggak mengherankan juga mengingat sifatnya yang

seperti itu."

"Kalo emang dia kepingin mendramatisir, lebih efektif kalo dia

ninggalin surat aja," tukas Ronny. "Rasanya lebih masuk akal kalo

Peter ngelakuin semua ini karena...," Ronny diam sejenak, "...karena

dia didesak oleh sesuatu yang lain. Sesuatu yang jahat dan me

ngerikan."

Saat ucapan Ronny berakhir, mendadak saja kulitku diserbu

hawa dingin yang tidak wajar. Habis, matahari bersinar begitu

terik di luar sana, dan AC di ruangan ini sama sekali tidak

bekerja. Dari mana datangnya hawa yang menyeramkan ini?

Sesaat, rasanya ada yang memperhatikan kami. Seseorang?atau

sesuatu?yang berdiri di belakang, menertawakan ketakutan kami.

Sesuatu yang?seperti kata Ronny?jahat dan mengerikan. Se

suatu yang familier.

"Ada apa ini?"

Pak Sal melangkah masuk ke ruangan. Dalam sekejap, kepala

sekolah kami itu berhasil mengusir semua ketakutan kami, meng

gantikannya dengan ketakutan yang lain?ketakutan terhadap

dirinya?dan membuat kami semua langsung mengkeret di tempat.

Pak Sal berdiri dengan tubuhnya yang tinggi tegap, kumisnya yang

lebat, dan suara beratnya yang mirip Saruman si Penguasa Isengard

dalam kisah Lord of the Rings. Kalau saja dia punya rambut gondrong

dan jenggot putih yang di-smoothing, pasti dia bisa ikutan main

dalam film trilogi arahan Peter Jackson itu.

Dengan satu langkah raksasa Pak Sal menghampiri Peter,

membuka kedua kelopak mata Peter tanpa mencoloknya, merabaraba leher Peter yang dipenuhi bekas-bekas guratan tali, dan me

nempelkan kuping raksasanya di dada Peter. Lalu dia berkata

dengan penuh wibawa pada Benji yang mengekor di belakangnya,

"Belitan sekuat ini pada lehernya mungkin merusak pita suaranya.

Cepat telepon ambulans!"

"Baik, Pak."

Sementara Benji mulai menelepon, Pak Sal menatap kami satu

per satu. "Ada yang tahu kenapa hal ini bisa terjadi?"

Kami semua bungkam. Tidak ada yang berani bercuap-cuap

soal kisah horor, roh bunuh diri, maupun perdebatan kami se

belum kemunculan Pak Sal.

Akhirnya Frankie yang bersuara.

"Yang kami tahu cuma ini, Pak," katanya sambil menunjukkan

monitor komputer klub KPR pada Pak Sal.

Pak Sal menatap kalimat itu lama-lama.

"Ayo kita mati bersama." Sesaat kukira Pak Sal benar-benar

mengajak kami bunuh diri bareng sebelum akhirnya kusadari dia

sedang membaca kalimat mengerikan di monitor itu dengan suara

keras. Keningnya berkerut saat tatapannya beralih pada kami

semua. "Siapa yang menulis kalimat ini? Peter?"

"Kami juga nggak tau, Pak...," sahutku. "Itu yang harus di

jawab oleh Peter."

Pak Sal mendengus. "Sepertinya hal itu tak akan bisa terjadi

dalam waktu singkat. Padahal saya butuh jawabannya secepat

mungkin." Kepala sekolah kami itu bangkit berdiri. Tubuhnya

menjulang di atas kami semua, termasuk Frankie yang sudah ber

tubuh cukup tinggi. "Oke, sekarang kalian semua keluar dulu,

supaya tidak mengotori tempat kejadian ini. Polisi akan meng

usutnya, dan lebih baik kita tidak menghalangi pekerjaan mereka.

Jangan lupa, kalau kalian menemukan sesuatu, jangan ragu-ragu

memberitahu saya."

Dengan gerakan praktis, Pak Sal menghalau kami supaya jauhjauh dari ruangan klub. Setelah berada dalam jarak aman yang

cukup jauh dari Pak Sal, Frankie langsung mengusap kening

nya.

"Gila," katanya. "Nggak tau kenapa, setiap kali Pak Sal nongol,

jantung gue langsung ngajakin ngacir bareng."

"Itu karena lo hobi nyari gara-gara," ketusku sengak, padahal

sebenarnya aku juga merasakan hal yang sama. "Coba lo jadi

anak baik-baik, jantung lo pasti diem aja."

"Wah, bukannya itu tambah bahaya?" Sial, benar juga. "Jadi

apa yang harus kita lakukan soal si Peter dan monitornya yang

menyeramkan?"

"Kalian udah dengar apa kata Pak Sal," kata Benji sambil

bersedekap. "Kita nggak ada sangkut pautnya. Biar aja polisi

yang mengusutnya. Gimanapun, nggak ada yang bisa kita laku

in."

"Nggak ada yang bisa kita lakuin?" ulangku tidak setuju. "Kita

udah terlibat begini. Masa kita mau diam-diam aja?"

"Terus, kamu maunya kita gimana?" tanya Benji bingung,

tidak ingin membantahku, tetapi tidak juga menyetujuiku. "Bisabisa kita malah menghalangi kerja polisi."

"Lagi pula...," tambah Violina dengan mata dibelalakkan untuk

memamerkan mata belonya (Dasar cewek sok cakep. Mataku juga

nggak kalah belo dan indah kok!), "...emangnya kamu mau ber

hadapan dengan hantu-hantu serem di dalam sana?"

Sial, benar juga kata Violina. Aku mungkin tidak seberapa

takut menghalangi kerja polisi, tapi aku ngeri juga kalau harus

berhadapan dengan roh-roh halus tak jelas. Tapi kalau tidak me

lakukan apa-apa, rasanya pengecut sekali?dan itu jelas bukan

sifatku.

Oke. Kalau mereka mau diam-diam saja, itu pilihan mereka?

tapi itu bukan pilihanku.

Aku berjalan pergi.

"Han!"

Jantungku langsung melonjak saat mendengar panggilan itu,

tapi aku berlagak cuek hingga sebuah tangan kuat meraih lengan

"Lo mau ngapain?" tanya Frankie tajam.

Aku melemparkan lirikan dingin. "Bukan urusan lo."

Kusentakkan tanganku, lalu berjalan pergi lagi. Lagi-lagi Frankie

mencekal lenganku dan menghentikanku.

"Jangan cari masalah deh," tegurnya.

"Sori, yang suka nyari masalah itu elo, bukan gue." Aku berusaha

melepaskan diri lagi, tapi kali ini cengkeraman Frankie pada

lenganku kuat sekali. "Frank, lepasin, bisa nggak? Sakit nih."

Cekalannya mengendur, tapi dia tetap tidak melepaskanku.

Kupelototi dia, tetapi cowok nyolot itu malah balas memelototi

ku. Yang lebih mengesalkan lagi, lututku mulai lemas, apalagi saat

tangannya yang memegang tanganku mengusap sikuku dengan

lembut. Rasanya ingin meleleh saja di hadapannya, tapi aku tidak

berniat menampakkan hal itu padanya. Sori-sori saja, aku bukan

Violina yang langsung ketawa-ketiwi saat dirayu.

"Frankie!" bentakku.

"Hanny," balasnya dengan tampang sengak.

"Lepasin gue dong. Malu nih diliat orang."

"Biarin. Gue nggak malu."

"Dasar orang nggak tau malu!"

"Wah, kasian, lo baru tau sekarang."

Kenapa di dunia ini ada orang yang begini mengesalkan sih?

"Sana, lo kembali baik-baikin pacar baru lo si Violina aja. Ntar

dia jealous lagi liat lo pegang-pegang cewek lain."

"Gila, pacar lama aja gue nggak ada, apalagi pacar baru!" Se

karang si brengsek itu nyengir lebar. "Atau lo diitung pacar lama

gue?"

Aku memelototinya. "Amit-amit. Gue nggak sudi jadi pacar

lama lo!"

"Yah, pokoknya lo tenang aja. Gue belum punya pacar baru

kok. Lagian, gue rasa yang jealous bukan dia, tapi si cewek rese

yang nggak mau jadi pacar lama gue."

Ah, sial. Sepertinya aku tidak mungkin menang berdebat

dengan orang yang begini tidak tahu malu. Kutarik tanganku

kuat-kuat, tapi dia malah menarikku hingga mendekat.

"Hei," katanya sambil menatapku dalam-dalam, "elo udah

putus sama Benji, ya?"

Sial, jantungku nyaris berhenti berdetak dibuatnya. "Bukan

urusan lo."

"Ulangin aja kata-kata itu ribuan kali. Itu nggak ngubah ke

nyataan kalo semua urusan lo ya urusan gue juga."

Sial, wajahku jadi panas. Benar-benar memalukan banget. Aku

harus memasang tampang seangkuh mungkin.

"Whatever." Kutegakkan bahuku dan kusibakkan rambutku

dengan tanganku yang bebas. "Terserah kalo lo mau ribut-ribut

soal hal yang nggak penting. Tapi gue bukan orang yang nggak

ada kerjaan kayak elo. Gue nggak akan berpangku tangan saat

temen gue punya masalah, meskipun temen gue itu nggak me

nyenangkan seperti si Peter. Gue nggak peduli apa yang lo pikirin

soal gue, tapi kalau lo berani menghalangi gue, gue nggak akan

ngampunin elo."

Astaga, kata-kataku benar-benar murahan banget. Tapi balasan

yang kuterima ternyata tidak kalah cheesy.

"Aduh, Tuan Putri, mana mungkin gue yang cuma rakyat

jelata ini berani menghalangi Tuan Putri? Malahan, kalo bisa, gue

kepingin bantuin lo."

"Gue nggak butuh bantuan elo."

Frankie tidak menggubris kata-kataku. "Seperti kata Ronny,

Peter nggak mungkin bunuh diri. Jadi..."

Wajahku memucat. "Jadi elo juga ngerasa ini perbuatan hantu?"

Mendengar pertanyaanku, Frankie langsung terdiam. Janganjangan dia malu mengakui dia percaya takhayul. Cowok yang sok

macho kan sering malu mengakui kelemahan mereka. Tadinya aku

berusaha menghindari tatapan Frankie yang tajam itu, tapi kini,
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saking penasarannya, aku menatapnya terang-terangan.

Ternyata si sialan itu sedang menahan ketawa.

"Sori," katanya saat menyadari perbuatannya tertangkap basah

olehku. "Abis, omongan lo lucu banget. Emangnya lo percaya

soal hantu-hantuan, Han?"

Aku cemberut. "Hantu itu emang ada. Kalo nggak, kenapa

semua orang ngeributin soal itu?"

"Masuk akal." Frankie mengangguk-angguk. "Tapi saat ini kita

nggak berurusan dengan hantu."

"Tau dari mana?" tanyaku ingin tahu.

"Elo sendiri yang bilang ke gue." Aku melongo. "Ingat tulisan

Pengurus MOS harus mati itu? Lo bilang, itu nggak mungkin

perbuatan anak-anak baru. Jadi, anggaplah itu perbuatan

seseorang yang kita namai aja ?Oknum X?. Seseorang yang bukan

anak baru, yang benci sama pengurus MOS, yang punya akses ke

auditorium, toilet cowok, dan tempat-tempat penting lainnya."

Dasar tolol. Toilet cowok saja dibilang penting.

"Sekarang kita renungkan apabila persamaan ini kita gunakan

dalam kasus Peter. Seandainya kasus ini bukan perbuatan

hantu...," cowok itu menyunggingkan cengiran jail dan menyebal

kan, "...berarti ini perbuatan seseorang yang kemungkinan besar

bukan anak baru, karena dia bisa masuk ke dalam ruangan klub

KPR. Dia juga pasti membenci Peter yang merupakan pengurus

MOS. Dan karena nggak semua orang bisa memasuki ruangan

klub seenaknya, orang ini pasti punya akses ke tempat-tempat

penting, minimal ruangan klub KPR."

Aku tersadar. "Oknum X...."

Frankie mengangguk sambil tersenyum. "Terlalu kebetulan kan,

kalo hantu milih waktu seperti ini untuk minta korban? Atau elo

juga percaya hantu bisa ngambil kesempatan dalam kesempit

an?"

Dasar cowok sialan. Tapi kata-katanya memang benar. Ini ter

lalu kebetulan. Ada seseorang yang melakukan semua ini.

Dan sekali lagi, mengutip kata-kata Ronny, seseorang itu pasti

lah seseorang yang sangat jahat dan mengerikan.

Pertanyaannya, siapakah orang tersebut?

KISAH horor ketiga SMA Persada Internasional:

"Di setiap masa, di setiap sekolah, selalu ada pelajaran favorit

siswa yang dikenal secara umum dengan nama Pelajaran Kosong.

Pada suatu hari yang tidak dapat ditentukan tanggal tepatnya, di

saat pelajaran favorit tersebut berlangsung, sekelompok siswi

berkumpul di ruang rapat OSIS dan memainkan papan ouija kuno

yang mereka temukan dalam lemari ruangan tersebut. Awalnya

cewek-cewek itu cuma iseng, memainkan papan itu untuk menge

tahui siapa kekasih mereka di masa yang akan datang. Namun, satu

per satu peserta permainan itu tewas dengan sangat mengerikan.

Salah satunya dirampok, dua di antara mereka mati tertabrak, dan

sisanya, karena tidak tahan, akhirnya bunuh diri. Setiap malam,

seperti saat ini, roh mereka berkumpul lagi di sini, menunggununggu dengan penuh harap, menatap kita satu per satu, siapakah

yang akan bergabung dengan mereka."

Anita, kelas XII IPS 2, Bendahara I OSIS

Rasanya aku ingin menghajar Frankie.

Atau mungkin lebih aman kalau aku membayar orang yang

bertubuh lebih meyakinkan untuk menggebuknya. Soalnya, biar

pun sebagai cewek tubuhku lumayan atletis, aku tidak mungkin

bisa menang melawan cowok raksasa itu. Lebih baik kupercayakan

misi penting ini pada orang lain yang punya kemampuan untuk

melakukannya.

Dengan geram kulihat cowok itu membentak-bentak Grup

BAB kesayanganku, menyuruh mereka berbaris dengan rapi dalam

pose istirahat.

"Perhatian semuanya!" teriaknya dengan gaya sok penting. "Se

telah dua hari mengamati kelakuan kalian semua secara diam-diam,

ditambah setengah hari mengamati dari jarak dekat, gue, sebagai

anggota rahasia MOS, menyimpulkan bahwa kalian ternyata nggak

punya etika. Padahal, etika merupakan salah satu sikap yang sangat

penting untuk bermasyarakat. Jadi, gue putuskan, hari ini gue akan

mengajari kalian topik yang luar biasa tersebut."

Pandu mengacungkan jarinya. "Kakak bukannya pacar Kak

Violina yang ada di sebelah situ?"

Frankie tidak menoleh sama sekali pada Violina yang sedari

tadi menatapnya dengan penuh harap.

"Nope," sahutnya tegas namun ringan. "Violina senior yang

sangat gue hormati, dan bersedia membantu gue saat gue butuh

penyamaran khusus dalam tugas-tugas penting yang gue emban.

Tapi, tolong camkan pernyataan berikut ini baik-baik. Se

benernya...," wajahnya makin serius saja, "...gue masih single."

Dasar geblek. Memangnya siapa yang peduli dia masih single

atau tidak?

"Nah, sekarang pelajaran etika kalian yang pertama dimulai.

Pertama-tama, kalian harus menyadari betapa dalamnya jurang

perbedaan antara kalian dan kakak cantik yang harus makan hati

selama beberapa hari ini gara-gara kekurangajaran kalian."

Dengan wajah sengak yang akan kutonjok kalau aku ada dalam

barisan anak-anak baru?dengan catatan tubuhku harus lebih

gede daripada tubuhnya, tentu saja, karena aku tidak mungkin

segoblok itu menentang orang yang lebih besar dibanding aku?

Frankie memandangi para anggota Grup BAB satu per satu.

"Liat tampang kalian. Culunnya minta ampun. Bukannya gue

kasar ya, tapi nggak ada satu pun di antara kalian yang punya

kans untuk mendapatkan predikat cowok atau cewek populer.

Udah gitu, seragam kalian itu lho, kuno banget dan harusnya

udah punah. Nggak tau kalian mungut dari mana benda langka

gitu. Yang nggak kalah penting, usia kalian juga masih ingusan

banget. Harusnya kalian semua masih main Thomas-Thomasan!"

Salah satu anggota Grup BAB yang berani mati menyela,

"Thomas itu apa, Kak?"

"Kereta api biru yang keren banget itu, bego!" bentak Frankie.

"Masa yang gituan aja nggak tau? Keliatan banget kalian masih

butuh dibimbing. Bener-bener ijo banget, kayak si Percy, temen

si Thomas yang sok baik banget itu."

Sepertinya cowok ini sering banget nonton Thomas.

"Nah, sekarang kita liat si Kakak Cantik ini...." Semua mata

langsung tertuju padaku. "Cakepnya bener-bener nggak tahan!

Apa kalian tau, waktu MOS tahun lalu, di saat temen-temennya

yang lain masih cupu dan layak dihina-hina seperti kalian, dia

malah udah berhasil bikin semua senior tunduk sama dia?"

Oke, aku sudah sering sekali mendengar berbagai macam puji

an dari segala macam cowok, tapi dibilang "cakepnya bener-bener

nggak tahan" di depan selusin anak-anak yang langsung me

mandangiku dengan kagum? Kurasa Marilyn Monroe yang sudah

bosan mendengar kecantikannya dipuji-puji pun pasti bakal

bangkit dari kuburnya. Apalagi aku. Tentu saja, dalam kasusku,

wajahku cuma merona merah, bukannya bangkit dari kubur

segala. Aku kan masih hidup, sehat walafiat pula.

"Dan bukannya dia yang pesenin delivery buat senior, melain

kan senior yang pesenin delivery buat dia. Bayangin, mana ada di

antara kalian yang sesakti itu?"

Oke, aku makin ge-er saja.

"Nah, selain itu, seragamnya itu pun dibikin secara khusus.

Setiap detailnya melanggar peraturan sekolah. Tapi, nggak ada

satu orang pun yang berani protes. Kenapa? Karena seragamnya

itu keren banget, nggak seperti seragam Flinstone kalian yang

garing dan boring itu. Besok-besok, jangan lupa permak seragam

kalian juga, ya!"

Gila orang ini, ajarannya benar-benar merusak kepolosan anakanak baru.

"Udah gitu, kalian harus tahu, si Kakak Cantik udah berhasil

membuktikan bahwa nggak semua cewek cantik itu berotak bo

long. Liat aja semua prestasinya. Keren-keren banget. Pertama,

kalian pasti belum kenal Pak Yono, guru seni rupa sekaligus guru

paling killer di sekolah kita. Tapi, segalak-galaknya Pak Yono itu,

dia juga nggak berkutik menghadapi si Kakak Cantik. Bukan

karena dia terpesona, sebab Pak Yono itu tipe guru yang nggak

punya perasaan, tapi karena si Kakak Cantik ini jago banget me

lukis. Menuruti mental gurunya, Pak Yono pun nggak tega me

nurunkan tangan kejam pada siswi berbakat ini."

Kini aku menatap Frankie dengan heran. Ya, bukannya me

nyombong?oke, aku memang menyombong sedikit?aku me

mang sangat pandai melukis. Bakat ini diturunkan dari orang

tuaku yang memang berdarah seniman. Tapi menurutku seni rupa

bukanlah pelajaran penting, dan teman-teman sekelasku pun tidak

banyak yang tahu-menahu soal bakatku ini.

"Nah, selain punya bakat seni, si Kakak Cantik juga punya

otak cerdas. Buktinya, dia bisa meraih ranking sepuluh besar."

Halah, yang itu sih pas-pasan saja. Tapi lagi-lagi aku terheranheran. Dari mana Frankie tahu soal rankingku?

"Dan seakan-akan penampilan, bakat, dan otak nggak cukup

untuk melengkapi kesempurnaannya, si Kakak Cantik juga se

orang pemberani. Bayangin aja, dia berhasil membekuk psikopat

yang mengincar nyawanya!"

Seketika semua menjadi riuh.

"Pantas muka Kak Hanny rasanya familier!"

"Iya, gue juga pernah baca di koran tuh!"

"Tapi waktu di foto kok keliatan jelek?"

Sial. Iya deh, salah satu kekuranganku, aku sangat tidak foto

genik. Seandainya aku tidak punya kekurangan itu, mungkin aku

bakalan merintis karier jadi selebriti. Kayak Agnes Monica gitu

lho.

"Sekarang kalian udah tahu kan, gue bukan cuma membual?"

tanya Frankie dengan muka sok, seolah-olah dialah yang layak

mendapat pujian atas semua kelebihan-kelebihanku. "Kakak

Cantik ini layak mendapatkan penghormatan yang sedalamdalamnya dari kalian. Setuju nggak?"

Cara Frankie menanyakan hal itu mirip tukang todong yang

siap menghunjamkan pisau kalau korbannya menolak keinginan

nya, jadi semua anggota Grup BAB buru-buru menyahut, "Se

tujuuu, Kaaak!"

"Bagus," Frankie mengangguk-angguk. "Mulai sekarang, kalian

harus memanggil dia Tuan Putri. Ayo, cepat panggil!"

"Tuan Putri...," panggil semua anggota Grup BAB bersamasama.

"Kurang gaya!" teriak Frankie tidak senang. "Kalian seharusnya

memberi penghormatan kayak gini. Ayo, tiruin gue!"

Aku hanya bisa melongo saat cowok itu mengentakkan kaki

kanannya, lalu memberikan hormat ala militer. "Hormat, Tuan

Putri!"

Serempak semua anggota Grup BAB meniru Frankie dan ber

teriak dengan suara membahana, "Hormat, Tuan Putri!"

Gila, belum pernah aku semalu ini. Apalagi setiap pengurus

MOS, ditambah anak-anak baru bawahan mereka, memandang

kami dengan tatapan geli (kecuali Benji dan Violina yang kelihatan

sirik banget). Rasanya aku ingin lenyap ke dalam tanah. Atau meng

gebuki Frankie sampai pingsan supaya urusan ini cepat selesai.

"Bagus!" teriak Frankie puas. "Ingat. Mulai sekarang, setiap kali
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketemu si Kakak Cantik, kalian harus melakukan penghormatan

seperti ini. Jelas?"

"Jelas, Kaaak!"

"Sekarang kalian punya waktu lima menit untuk istirahat se

belum kembali ke auditorium. Hei, elo!" Frankie menghardik


Pendekar Gagak Rimang 7 Siasat Yang Pendekar Rajawali Sakti 205 Asmara Gila Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya

Cari Blog Ini