Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu Bagian 3
Pandu. "Beliin gue Coca-Cola. Pakai es, ya!"
"Ya, Kak." Pandu berlalu sambil mendumel, "Kok gue lagi sih
yang kena?"
"Mungkin karena dompet lo tebel," kata teman di sebelahnya.
"Keliatan tuh pantat lo gede banget."
"Sial! Itu sih bukan gara-gara dompet, tapi pantat gue emang
gede dari sononya!"
Saat Frankie duduk di sebelahku, aku tidak segan-segan lagi.
Langsung saja aku meninjunya. Tapi sebelum tinjuku mengenai
sasaran, dengan santai cowok itu menangkap tanganku.
"Heitss!" katanya sambil menarik tanganku ke pangkuannya,
dan jantung sialku mulai deg-degan dengan penuh semangat lagi.
"Biarpun gue nggak akan mukul cewek, gue juga nggak akan
ngebiarin cewek mukul gue?ouch!"
Teriakan terakhir Frankie ini lantaran aku menginjak kakinya
kuat-kuat.
"Kenapa sih lo sadis banget sama gue?" protesnya sambil meng
angkat kakinya dan mulai meniup-niup sepatunya, seolah-olah itu
bisa mengurangi rasa sakit di kakinya.
"Abis, gue dipermalukan gitu," sahutku cemberut.
"Apanya yang dipermalukan?" tanyanya heran. "Kan gue
ngajarin mereka supaya segan dan hormat sama elo. Nggak tau
nya gue malah dapet balasan kayak gini. Ternyata Tuan Putri
orangnya tegaan, nggak punya rasa terima kasih, nggak punya
belas kasihan...."
"Eh, apa hubungannya sama nggak punya belas kasihan?" po
tongku kesal.
"Yah, rakyat jelata dipukul terus dihina gitu...," balasnya ri
ngan.
Sial! Kalau mendengarnya bicara begitu, sepertinya aku me
mang tidak punya belas kasihan.
Aku berjalan pergi sambil mengentak-entakkan kaki.
"Hei, tunggu dulu!" teriak Frankie. "Lo mau ke mana?"
"Ke auditorium, tolol. Emangnya mau ke mana lagi?"
"Bener juga, untung lo ingetin," katanya riang. "Gue udah
nyaris lupa kita harus kembali ke auditorium. Bukan salah gue
kalo gue terlahir dengan ingatan pendek. Kalo nggak ada yang
ingetin gue buat sekolah, tau-tau aja gue udah bolos. Kalo nggak
ada yang ingetin gue buat ngerjain PR, tahu-tahu aja kuping gue
udah kena jewer guru. Kalau nggak ada yang ingetin gue
buat"
Ocehan Frankie terhenti saat melewati Pandu yang membawa
Coca-Cola dan es dalam kantong plastik. Disambarnya minuman
itu, lalu diseruputnya keras-keras. "Ah, tenggorokan gue serasa
berfungsi kembali! Thanks, coy, tapi lo lupa ngasih hormat waktu
Tuan Putri lewat. Nanti gue hukum, ya!"
Aku tidak sempat mendengar jawaban Pandu lagi karena ter
gesa-gesa meninggalkan Frankie. Kudengar dia memanggilmanggilku dari belakang, tapi aku tidak menggubrisnya. Dengan
langkah-langkah cepat aku berjalan menuju auditorium. Karena
terburu-buru, aku tidak melihat kiri-kanan lagi. Tahu-tahu saja
aku nyaris menabrak seseorang.
Ternyata Ivan, dan?astaga?wajahnya penuh air mata.
"Kenapa kamu, Van?" tanyaku spontan saking kagetnya. "Ada
kabar buruk?"
"Iya...," sahutnya tersendat-sendat. "Aku diputusin Anita...."
Gila cowok ini. Bisa-bisanya dia menangis di sekolah lantaran
diputusin cewek.
"Oh, gitu," gumamku. "Aku ikut sedih deh...."
Untuk menghindari suasana canggung, aku berusaha kabur
secepatnya, tapi Ivan sudah meraih pergelangan tanganku.
"Han, bisa ngomong sebentar nggak?"
Penolakan sudah ada di ujung lidahku.
"Please...," pinta Ivan.
Sial, aku tidak ingin dikata-katai lagi sebagai cewek tidak pu
nya belas kasihan. "Bentar aja, ya?"
"Iya, bentar aja."
Kami duduk di pagar pendek yang mengelilingi taman sekolah
kami yang indah. Biasanya pagar itu menjadi tempat duduk kami
saat menikmati makan siang atau ngeceng di saat istirahat. Aku
benar-benar sial karena harus menggunakan tempat ini untuk
ngobrol dengan Ivan yang lagi terisak-isak.
Dengan tidak sabar aku menunggu sampai isakan Ivan terhenti.
Saat aku sudah tidak tahan lagi dan berniat cabut, tiba-tiba dia
berkata, "Han, jawab aku dengan jujur, ya."
"Iya," sahutku ketus.
"Kenapa sih kamu waktu itu mutusin aku?"
Aku melongo.
"Bukan kamu aja," katanya sendu. "Anita, juga mantan-mantan
ku yang lain, merekalah yang mutusin aku. Aku nggak pernah
mutusin mereka. Terus terang, aku nggak habis ngerti, apa sih
salahku sampai mereka semua nggak tahan sama aku?"
Oke, aku tahu aku jahat banget, tapi saat ini aku sudah nyaris
ngakak-ngakak.
"Dulu aku kira kamu yang jahat sama aku, tapi setelah ku
pikir-pikir, sepertinya kesalahannya terletak padaku. Kalo kamu
nggak keberatan, Han, boleh nggak kamu kasih tau aku apa ke
kuranganku, kenapa sampai-sampai kamu ingin mengakhiri hu
bungan denganku?"
Aku berusaha sekuat tenaga untuk tampak serius. "Mm, begini,
Van."
"Ya?" tanya Ivan penuh harap.
"Kamu itu cengeng banget!"
Mata Ivan berkedip sekali. "Hah?"
"Kamu itu...," ucapku sabar, sambil menekankan kata demi
kata, "...cengeng banget."
"Nggak," bantah Ivan sambil sesenggukan. "Aku nggak cengeng
kok..."
"Oh, ya?" Dengan wajah sepolos mungkin, aku mengangsurkan
tisu.
Ivan terdiam lama, lalu menerima tisu itu dan menyedot ingus
nya dengan suara mirip gajah.
"Aku...," Ivan berusaha menyembunyikan isakannya namun tidak
berhasil melakukannya, "...emang sedikit melankolis sih..."
"Oke," anggukku geli.
"Hatiku sangat lembut, Han..."
"Iya, aku tau."
Sesaat kami duduk tanpa berkata-kata.
"Emangnya sifat ini jelek banget, ya...?" tanya Ivan akhirnya.
"Asal kamu tau aja, aku belum pernah ketemu cowok yang
lebih parah daripada kamu." Yah, kurasa lebih baik aku langsung
mengatakannya tanpa memperhalusnya sama sekali. "Kerjaan
kamu nangis melulu saat kita pacaran. Lama-lama aku enek juga
karena tiap hari harus ngeliat air mata dan ingus kamu bertebaran
di mana-mana!"
Ivan buru-buru mengusap ingusnya dengan tisu yang sudah
menggumpal. "Sori..."
Aku mengangguk. "No problem. Toh itu sudah lama berlalu."
"Menurutmu, hal itu yang bikin mantan-mantanku mutusin
aku?"
"Nggak ada alasan lain lagi."
Wajah Ivan berubah cerah. "Bener? Jadi aku nggak punya ke
kurangan lain?"
"Bukan begitu." Sial, cowok ini gampang benar kege-eran.
"Cuma, minus hal itu, kamu emang nggak jelek-jelek amat."
"Begitu, ya?" Ivan mengangguk-angguk. "Boleh minta tisu
lagi?"
Setelah membersihkan wajahnya, bekas-bekas tangisan itu tidak
terlalu terlihat lagi.
"Aku cinta sekali pada Anita, Han."
"Jangan ngomong ke aku dong. Ngomong ke dia sana."
"Kamu jealous, ya?"
Aku memelototi Ivan yang langsung nyengir.
"Just kidding," katanya. "Thanks banget, Han, kamu udah bantuin
aku dalam masalah ini. Aku janji, aku akan ngubah sifat jelek ini
secepatnya. Setelah itu, aku akan nembak Anita sekali lagi."
Aku mengangguk. "Bagus! Cowok emang harus punya tekad."
Ivan berdiri. "Ayo, kita kembali ke auditorium. Jangan sampe
kita digosipin yang nggak-nggak."
Iya, amit-amit kalau sampai aku digosipkan menyambar cowok
cengeng yang barusan diputusin oleh Anita. Nggak level banget
deh.
Kami tiba di auditorium tepat pada waktunya. Benji, seperti
biasa, sudah stand-by di depan podium. Kusadari dia melirik ke
arah kami waktu aku memasuki auditorium bersama Ivan. Dari
tampangnya saja aku tahu dia sudah mengira yang tidak-tidak.
Tapi masa bodoh apa yang dipikirkan olehnya, selama dia tidak
menyebarkan gosip sesat.
Saat semua anak baru sudah menduduki tempat mereka, Benji
memukulkan penghapus papan tulis ke meja podium.
"Sekarang tibalah saat yang kalian tunggu-tunggu seharian ini,"
katanya dengan suara rendah yang kedengaran seram. "Saat untuk
kisah horor."
Seperti biasa, Ivan yang bertugas mematikan lampu. Ruangan
langsung menjadi gelap gulita, sangat cocok mengiringi kisah
horor tentang cewek-cewek yang bermain papan ouija di ruangan
rapat OSIS. Suasana terasa mencekam, dan tidak ada yang bicara
selain Benji yang terlihat jauh di atas podium. Satu-satunya
penerangan berada di atas kepala Benji, meneranginya seperti
seorang dewa kematian yang melatunkan nasib manusia-manusia
tragis.
Terlintas dalam pikiranku, ini adalah saat-saat yang sangat
rapuh bagi setiap orang. Kegelapan memenuhi ruangan, dan
perhatian setiap orang tertuju pada Benji. Saat yang tepat bagi
roh jahat untuk menarik seseorang ke dalam kegelapan, baik
sebagai sekutu maupun sebagai korban.
Dan pada saat itulah kurasakan jari-jari panjang yang dingin
mencengkeram leherku, siap menarikku ke dalam kegelapan.
Tidak mau menuruti keinginannya, aku langsung menjerit se
keras-kerasnya. Suaraku membahana di seluruh ruangan, terdengar
sangat mengerikan, bahkan di telingaku sendiri. Jantungku me
mukuli dadaku begitu keras, membuatku berpikir, Inilah saatnya.
Inilah saat-saat terakhirku.
Aku berusaha meronta, namun tangan itu membekap mulutku
dan terdengar bisikan di dekat telingaku.
"Ya ampun, Tuan Putri. Kenapa sih lo selalu menjerit setiap
kali gue deket-deket?"
Namun hanya itulah yang bisa diucapkan Frankie, karena saat
itu juga seluruh auditorium menjadi geger.
"Ada apa? Siapa yang menjerit?"
"Ada yang dibunuh hantu!"
"Kami mau keluar!"
Ivan langsung menyalakan lampu. Langsung terlihat olehku,
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebagian besar anak-anak baru sudah mengerumuni pintu audito
rium yang terkunci, sementara sebagian kecil yang masih bertahan
di kursi tampak ketakutan dengan wajah pucat dan tubuh yang
merosot seakan-akan siap bersembunyi di bawah kursi. Namun
sejumlah besar pengurus MOS juga sudah mengkeret di pojokan
bersama Ivan di dekat sakelar lampu, dan sisanya bergabung
dengan anak-anak baru di pintu keluar.
Wajahku memerah melihat keributan yang kutimbulkan itu,
demikian pula wajah partner kejahatanku. Namun sementara aku
menahan malu setengah mati, Frankie malah nyaris terbahakbahak.
"Tenang! Tenang!" Benji memukuli meja podium dengan peng
hapus papan tulis. Matanya jelalatan ke seluruh ruangan, mencaricari kejadian janggal yang tak bakalan ada. "Siapa yang menjerit
tadi?"
Pada saat aku siap mengaku, tiba-tiba kudengar suara Ivan
yang berteriak dengan tergetar. "Anita!"
Aku sudah berniat membantah bahwa bukan Anita yang men
jerit, melainkan aku, tapi lalu Ivan melanjutkan, "...Anita nggak
ada di sini!"
"Ronny juga...!" tambah Violina dengan suara ketakutan.
Suasana makin dicekam kepanikan.
"Tenang!" teriak Benji lagi, lalu melayangkan pandangan pada
kami para pengurus MOS. "Siapa yang terakhir ngeliat mereka
berdua?"
"Aku tadi masih sempat ketemu Anita di ruang rapat OSIS,
lalu aku ninggalin dia di situ...." Suara Ivan melemah. "Aku
nggak ngeliat dia masuk ke sini, Ben..."
"Kalau begitu, berarti bukan dia yang menjerit tadi dong?"
Ah, sial, sepertinya aku memang harus mengaku...
"Udahlah," kata Frankie mendadak. "Daripada ngeributin soal
itu, lebih baik kita cari Anita dan Ronny. Dan tempat pertama
yang harus kita cari adalah ruang rapat OSIS!"
"Kenapa kita harus cari mereka di situ?" tanya Benji tidak
senang, tapi Frankie sudah keburu menyambar tanganku dan me
narikku pergi. Tak kuduga, gerakan itu membuat para pengurus
MOS lain mengikuti kami. Bagaikan Laut Merah yang dibelah
Musa, kerumunan terbuka bagi kami saat Frankie berteriak,
"Minggir semuanya! Urusan hidup dan mati nih!"
Pintu ruang rapat OSIS tertutup rapat, mengingatkanku pada
ruang klub KPR saat kami datangi bersama-sama. Namun,
berbeda dengan saat itu, ketika Frankie menekan hendel, pintu
itu tetap bergeming.
"Nit, kamu ada di dalam?" tanya Ivan seraya mengetuk pintu.
"Buka pintunya dong!"
Tidak ada sahutan dari dalam.
"Nita!" bentak Benji tanpa basa-basi. "Buka pintunya! Ini pe
rintah!"
Gila, omongannya sok kuasa banget.
Benji dan Ivan mulai membentur-benturkan bahu mereka pada
pintu itu, namun tidak ada hasilnya.
"Minggir!" kata Frankie dengan tidak sabar.
Saat kedua cowok itu menyingkir, Frankie langsung berlari me
nuju pintu itu, lalu mendobraknya sekuat tenaga dengan bahunya
yang kekar. Kami langsung bisa melihat Anita yang sedang
terkapar di lantai. Tubuhnya kejang-kejang dengan mulut berbusa,
matanya penuh air mata, membuatku teringat pada Peter yang
berusaha membebaskan diri dari cekikan tali yang melilit lehernya
dengan sia-sia.
Keputusasaan.
Lagi-lagi kata itulah yang terlintas dalam pikiranku.
"Ronny!"
Mendengar jeritan Violina, kami langsung berpaling dari Anita
dan melihat Ronny yang nyaris tak terlihat karena terhalang oleh
meja. Seperti Anita, tubuhnya juga menggelinjang hebat dengan
mulut berbusa. Dan seakan-akan sudah putus harapan untuk
hidup, tanpa malu-malu Ronny mengucurkan air mata ketakut
Perasaan itu mencekik diriku. Keputusasaan Anita dan Ronny
yang sangat hebat, yang sama-sama mengira inilah saat-saat
terakhir mereka di dunia. Mereka pasti sedang mengalami rasa
sakit yang menyiksa, yang perlahan-lahan melenyapkan napas
mereka.
Dan perasaan itu nyaris meledak di dalam hatiku, sampaisampai aku nyaris pingsan karenanya, tatkala aku melihat benda
itu tergeletak di atas meja.
Papan ouija.
"SEBENARNYA permainan apa yang sedang kalian laku
kan?"
Setelah Anita dan Ronny dibawa pergi oleh ambulans, semen
tara anak-anak baru dipulangkan, kami semua disuruh berkumpul
di ruangan kepala sekolah. Pak Sal mondar-mandir dengan
langkah-langkah cepat yang mencerminkan kemarahannya.
"Belum pernah terjadi kekacauan yang begini heboh di sekolah
ini!" bentaknya. "Gedung runtuh yang nyaris menelan korban
jiwa anak-anak baru, kasus-kasus percobaan bunuh diri yang
melibatkan siswa-siswi terbaik di sekolah kita, vandalisme dengan
darah ayam di mana-mana." Beliau menatap kami dengan garang.
"Dan kejadian hari ini tidak bisa ditolerir lagi. Apa ada di antara
kalian yang bisa menjelaskan semua ini?"
Semua berdiam diri sambil menunduk.
"Kejadian hari ini kesalahan saya, Pak."
Seseorang berbicara dengan suara gemetar. Setelah satu detik
yang sangat lama, kusadari pengecut tolol itu adalah aku sen
diri.
"Sewaktu Benji sedang bicara di podium, tanpa sengaja saya
menjerit keras-keras"
"Untuk apa kamu menjerit keras-keras?" sela Pak Sal tajam.
"Karena gue?karena saya bikin Hanny kaget, Pak," sahut
Frankie cepat. Aku menatap cowok itu, takjub dengan keputusan
cepatnya untuk membelaku. Tak semua orang berani mengambil
risiko di-blacklist oleh Pak Sal. "Sebenarnya, ini kesalahan gue,
ehm, aku, eitss, saya Eh, tadi udah bener juga."
Bahkan Pak Sal tidak sanggup menahan senyum melihat sikap
Frankie yang salah tingkah karena tak terbiasa bersikap sopan.
"Intinya, ini salah saya, Pak," ulang Frankie dengan lebih tegas.
"Saya cuma ingin menakut-nakuti Hanny, tapi tak disangka
semua orang jadi ikut ketakutan."
Wajah Pak Sal tampak aneh saat mulutnya berkedut-kedut.
Sepertinya dia sedang menahan tawa, tapi sulit dipastikan karena
mulut itu tersembunyi di balik kumis lebat.
"Lalu, yang terjadi pada Anita dan Ronny?"
"Kalau soal itu, kami nggak tau apa-apa," sahut Frankie me
wakili kami berdua.
"Kalau begitu, itu bukan kesalahan kalian," kata Pak Sal, me
nyebabkan kelegaan luar biasa di hatiku. "Sebaliknya, tanpa ke
gegeran dalam auditorium, kalian mungkin tak akan mencari
mereka, dan itu berarti, kemungkinan besar mereka tak akan
berhasil diselamatkan."
Oke, sekali lagi, kesalahanku malah berubah menjadi jasa tak
jelas. Entah kenapa aku sering mengalami hal-hal semacam ini.
Hoki, mungkin.
Pak Sal menatap kami semua, lalu tatapannya terhenti pada
Ivan. "Ada yang tahu alasan mereka memutuskan untuk bunuh
diri bersama?"
Ivan menunduk.
"Menurut, ehm, saya, ini bukan kasus bunuh diri, Pak."
Pak Sal menoleh ke arah orang yang melontarkan ucapan itu.
"Kamu terdengar yakin sekali, Frankie Cahyadi."
Frankie tampak kaget karena Pak Sal mengenal namanya.
Sebenarnya, ada gosip bahwa Pak Sal mengetahui nama lengkap
setiap siswa di sekolah kami, mulai dari siswa teladan sampai
siswa pembuat onar seperti Frankie. Hari ini aku menemukan
bahwa gosip itu ternyata bukan sekadar kabar burung.
"Saya yakin, kamu punya opini sendiri mengenai semua
masalah ini," kata Pak Sal seraya menatap Frankie dengan sorot
mata tajam yang bakal membuat semua orang ketakutan.
Tapi sepertinya Frankie, yang tadinya sempat merasa canggung
di depan Pak Sal, sudah mulai terbiasa dengan hal itu. Suaranya
tenang saat menanggapi Pak Sal.
"Betul, Pak. Saya cukup yakin, dari kedua kasus yang ada,
yaitu kasus Anita-Ronny dan kasus Peter, nggak ada satu pun
yang merupakan kasus bunuh diri."
Mata Pak Sal menyipit. "Maksudmu, ada yang berusaha men
celakai mereka?"
Frankie mengangguk lagi. "Betul, Pak."
"Menurut kamu, ada pembunuh berkeliaran di sekolah ini,
pembunuh yang berdarah dingin dan sanggup menghabisi nyawa
anak-anak SMA yang tidak bersalah, dan berani melakukannya
di depan hidung saya?!"
Wajah Pak Sal tampak sangat tersinggung, entah karena ucapan
Frankie atau karena ada orang yang berani melakukan kejahatan
di dalam wilayahnya.
"Bukan pembunuh sungguhan yang melakukannya, Pak," Violina
mengutarakan pendapatnya, "melainkan hantu..."
Pak Sal mengerutkan alisnya. "Hantu?"
"Atau roh jahat, atau apa pun semacam itu, yang merasuki
mereka untuk melakukan perbuatan itu...," sahut Violina dengan
suara tergetar.
Suara Pak Sal terdengar lembut. "Saya bukannya tidak percaya
dengan hal-hal semacam itu, Violina Marcella, tapi saya meng
harapkan jawaban yang lebih logis."
"Menurut saya, pelakunya adalah anak-anak baru," kata Benji.
"Mereka pasti marah pada kami, para pengurus, akibat pekan
MOS ini."
"Dan hanya karena masalah sepele itu mereka ingin mencabut
nyawa pengurus MOS?" kata Pak Sal sambil menggeleng. "Ini
juga tidak masuk akal, Ben."
"Tapi kenyataannya, semua ini terjadi sejak kecelakaan yang
menimpa anak-anak baru pada hari pertama, Pak," kilah Benji.
Pak Sal menoleh lagi pada Frankie yang sedang melongoklongok ke luar jendela. "Menurut kamu bagaimana, Frankie?"
"Hah?" Frankie kaget karena ditegur secara mendadak. "Oh,
ehm, menurut saya, ini bukan pekerjaan hantu ataupun anakanak baru, tapi murid senior atau staf penting di sekolah ini.
Dan ini berarti, pelakunya bisa semua orang. Semua yang ada di
ruangan ini, termasuk saya. Termasuk Bapak."
Semua orang di dalam ruangan tampak tersinggung mendengar
ucapan Frankie, termasuk Pak Sal.
"Ini penghinaan besar-besaran!" teriak Benji melengking tinggi.
"Frank, jaga mulut kamu!" tambah Ivan dengan wajah merah
menahan malu.
Namun kepala sekolah kami sanggup mengendalikan emosinya
lebih cepat daripada yang lain.
"Ini tuduhan yang sangat serius, Frankie," kata Pak Sal pelanpelan. "Atas dasar apa kamu berkata begitu?"
"Maaf, Pak," kata Frankie dengan ketenangan yang membutuh
kan keberanian luar biasa. "Karena alasan yang baru saja saya
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebutkan, lebih sedikit informasi yang saya sampaikan ke Bapak,
lebih baik."
Wajah Pak Sal memerah, namun suaranya terkendali saat me
nyahut, "Maksudmu, kamu menolak menjawab karena mencurigai
kami semua yang ada di sini?"
"Betul, Pak."
Anggukan Frankie makin menimbulkan gelombang kemarahan
pada semua orang yang berada di dalam ruangan, namun Pak Sal
hanya tepekur lama sekali.
"Oke," katanya tiba-tiba. "Sebenarnya saya cukup terkesan
padamu hari ini, Frankie. Namun, sekali lagi, tuduhanmu sangat
serius, dan saya tidak bisa membantumu tanpa alasan yang jelas.
Kalau saya mengatakan saya percaya kepadamu, ini berarti saya
setuju bahwa ada salah satu di antara orang-orang yang kamu
sebutkan tadi adalah pembunuh yang sangat keji, tak berbelas
kasihan, dan tidak segan-segan membunuh murid-murid terbaik
di sekolah kita, dan itu sesuatu yang tak mungkin diterima semua
orang."
Hampir setiap pengurus MOS di ruangan itu mengangguk
dengan penuh semangat.
"Cari bukti kalau kamu benar, dan saya akan mendukungmu,"
kata Pak Sal tegas. "Untuk sementara waktu, saya serahkan pe
nyelesaian masalah ini pada Benji."
Pak Sal menoleh pada Benji yang langsung memasang wajah
penuh kemenangan.
"Apa kamu yakin pelakunya adalah anak-anak baru?"
"Ya, Pak," angguk Benji. "Saya yakin, motifnya adalah kecelaka
an yang terjadi pada hari pertama itu. Banyak anak baru yang
merasa kecelakaan itu adalah tanggung jawab pengurus MOS,
yang sebenarnya sangat mustahil karena kami semua tidak men
duga kejadian itu sama sekali. Saya juga yakin, kemungkinan
besar pelaku kejadian ini lebih dari satu orang, karena sepertinya
mustahil kejahatan seperti ini dijalankan oleh satu orang saja."
"Pemikiran yang masuk akal." Ucapan Pak Sal membuat dada
Benji membusung. "Baiklah, terserah padamu bagaimana cara
menangani hal ini. Yang penting, jangan sampai kelewatan. Saya
tidak mau sampai ada publikasi buruk tentang sekolah ini, me
ngerti?"
"Baik, Pak."
Pak Sal mengangguk. "Baiklah, kalian boleh pulang sekarang."
Dengan kata-kata itu, kami pun diusir dari kantor kepala seko
lah.
"Berani-beraninya lo nuduh kami semua," desis Benji saat
pintu kantor kepala sekolah sudah tertutup. Ditatapnya Frankie
dengan geram. "Dengan otak lo yang nggak seberapa itu, apa lo
tau, seberapa banyak kesulitan yang bisa lo timbulin pada kami?
Lo kira kami seperti elo, yang udah terbiasa dapat tuduhan-tuduh
an memalukan? Semua ini bisa ngancurin masa depan kami,
tau?!"
"Ben, tenang," kata Ivan dengan nada memperingatkan.
"Tenang? Tenang, kata lo?!" tanya Benji histeris. "Gara-gara
permintaan lo yang nggak masuk akal, gue harus nerima pembuat
onar yang udah siap dikeluarin dari sekolah ini ke dalam tim
elite kita! Dan sekarang dia nyaris ngacauin semuanya!"
"Emangnya apa yang dia kacauin?" sergahku.
Benji menatapku dengan tidak percaya. "Lagi-lagi kamu
ngebela dia, Han! Kenapa kamu selalu lebih ngebela dia ketim
bang aku?"
"Aku nggak ngebela siapa-siapa," tegasku. "Tapi aku nggak suka
cara kamu bicara sama bawahan kamu."
"Hei!" protes Frankie. "Gue bukan bawahan dia!"
"Diam!" bentakku pada Frankie. "Lo udah dihina-hina sama
orang kayak gitu, masih aja cuek. Sekarang begitu gue buka
mulut, lo langsung protes."
"Sori, Tuan Putri," kata Frankie tenang. "Abis, yang lebih jago
bicara itu bukan mulut gue, tapi tinju gue."
Baru kusadari bahwa dari tadi Frankie sudah siap menonjok
muka Benji. Wajah Benji tampak memucat. Sepertinya dia ingat
bagaimana rasanya saat tinju raksasa itu menghantam mukanya.
"Kalo lo berani ninju gue di depan semua orang, gue akan
pastiin lo dikeluarin dari sekolah ini!" geram Benji. "Dan semen
tara ini, lo dikeluarin dari kepengurusan MOS."
"Benji!" tegur Ivan dengan nada tak setuju, namun Benji tidak
memedulikannya.
"Yang setuju dengan keputusan gue ini, silakan berdiri di
belakang gue. Yang nggak setuju, silakan ikutin si pembuat onar
itu."
Aku terperangah, tidak menyangka Benji tega melakukan tindak
an yang begitu menjijikkan di depan semua orang.
Namun yang membuatku lebih kaget lagi, Ivan langsung
menghampiri adiknya. Dan melihat muka Frankie yang tenang
dan tegas, sepertinya bukan aku satu-satunya orang yang tidak
memercayai perkembangan baru ini.
"Sori, Ben," kata Ivan dengan wajah tegang. "Kali ini gue
nggak bisa mihak elo."
"Dasar kakak-beradik, sama bodohnya," dengus Benji. "Gimana
dengan yang lain?"
Violina-lah yang pertama-tama menghampiri Benji.
"Sori...," kata Violina pada Frankie dengan wajah menyesal.
"Gimanapun, dia ketua OSIS kita, Frank."
Frankie cuma tersenyum santai menanggapi kata-kata Violina.
Satu per satu pengurus MOS berdiri di belakang Benji, hingga
yang tersisa hanya aku.
"Gimana, Han?" tanya Benji dengan suara keras. "Ini ke
sempatan yang tepat untuk milih sekali lagi, aku atau dia."
Sekali lagi, cowok ini memang luar biasa menjijikkan.
"Kamu benar dalam satu hal, Ben," kataku dengan nada manis.
"Frankie emang pembuat onar kelas berat yang hanya bisa bikin
masalah."
Aku melirik ke arah Frankie, yang menanggapi kata-kataku
dengan senyum di bibir dan alis terangkat tinggi.
"Tapi kalo kamu kira kamu bisa nyuruh aku milih, kamu salah
besar," lanjutku dengan suara menajam. "Aku bukan orang yang
bisa terjebak dalam permainan murahan seperti ini. Kamu mau
keluarin dia? Ya keluarin aja. Kamu punya kekuasaan itu. Kenapa
kamu harus memperlihatkan bahwa semua orang ada di pihak
kamu? Dasar pengecut." Kutatap dia dengan angkuh. "Asal kamu
tau aja, Ben, seandainya aku punya kekuasaan untuk ngeluarin
anggota pengurus MOS, yang akan aku keluarin itu bukan dia,
melainkan kamu! Dan seandainya kandidat ketua OSIS tahun
depan cuma ada kamu dan Frankie, yang terpilih pastilah
Frankie, bukan kamu."
Sepertinya ocehanku lumayan keren juga, karena semua orang
tampak terpana mendengarnya. Mumpung suasananya sedang
mendukung, aku membalikkan tubuh, lalu berkata, "Frankie, elo
mau ikut gue nggak?"
"Mau, Tuan Putri." Frankie menyengir ke arah kerumunan di
belakang Benji yang tampak syok. "Sori, guys, gue cabut dulu.
Dadah. Yuk, Van, lo mau ikut nggak?"
Tanpa berkata-kata, Ivan mengikuti kami berdua.
Saat kami sudah lumayan jauh dari Benji dan konco-konconya,
Ivan berkata, "Kata-kata kamu bener, Han. Benji dulu berhasil
jadi ketua OSIS karena dia pandai ngejilat kakak-kakak senior
yang mendukungnya mencapai kedudukan itu. Tapi sekarang,
tanpa orang-orang yang bisa dijilatnya, dia pasti akan kalah
seandainya dia diizinin nyalonin diri lagi."
"Ah, lo ngomong gitu karena dulu lo kalah dari dia," ledek
Frankie.
"Nggak kok," bantah Ivan dengan muka merah. "Gue serius.
Emang begitu cara Benji memenangkan suara dulu."
"Iya, iya, kami percaya," sahut Frankie sambil merangkul kakak
nya. "Omong-omong, nyesel nggak lo join sama kami?"
"Nggak," sahut Ivan. "Dari dulu gue selalu yakin lo punya po
tensi, terutama dalam soal organisasi. Makanya gue berkeras lo
diikutsertakan dalam kepengurusan OSIS dan MOS."
"Hah?" Frankie kaget. "Gue juga pengurus OSIS? Seksi apa
gue?"
Ivan tampak jengkel sekali. "Seksi hantu. Nggak pernah no
ngol, soalnya."
"Abis, gue nggak tau gue pengurus OSIS," Frankie menggarukgaruk kepalanya.
"Ya udahlah, bentar lagi masa kepengurusan juga bakal lewat,
jadi itu nggak penting lagi. Tapi, soal kasus-kasus yang terjadi
belakangan ini, gue punya feeling lo bakalan bisa ngebongkar
kasus ini, Frank." Ivan diam sejenak. "Mm, menurut lo, kenapa
ya Ronny bisa ada di ruangan itu bareng Anita? Apa mereka
selingkuh dari gue, ya?"
"Yah, gue juga nggak tahu, Van," sahut Frankie jujur. "Soal
itu, lo harus tanya ke Anita sendiri."
"Tapi kalo emang mereka selingkuh, gue harus gimana?" tanya
Ivan dengan mata mulai berkaca-kaca lagi. "Gue bener-bener
cinta sama Anita, Frank. Rasanya kejam, tapi waktu gue ngeliat
mereka berdua di ruangan itu, bukannya panik, gue malah lang
sung cemburu banget." Ivan mengusap wajahnya. "Saat ini gue
bener-bener putus asa, Frank..."
Putus asa. Kata-kata itu lagi.
"Anita nggak selingkuh, Van," kataku, dan seketika itu juga
aku tahu kata-kataku memang benar.
"Jangan hibur gue, Han..."
"Jangan cengeng lagi!" bentakku tak sabar. "Lo bilang lo cinta
banget sama dia, tapi lo nggak percaya sama dia. Cinta apaan
tuh? Nggak kakak, nggak adik, dua-duanya sama gobloknya."
"Hei!" protes Frankie kaget. "Emangnya apa salah gue, tahutahu disamain sama cowok cengeng kayak gitu?"
"Iya!" seru Ivan, tidak sadar bahwa Frankie sedang mengatai
nya. "Mana mau gue disamain sama tukang berantem yang nggak
naik kelas?"
Setelah menyadari apa yang saling mereka katakan, kedua
kakak-beradik itu langsung saling melotot.
"Kalian berdua emang betul-betul tolol," gerutuku. "Males
bener deh ngomong sama kalian! Udah deh, gue pulang aja!"
"Tunggu," kata Ivan saat aku hendak meninggalkan mereka.
"Apa kamu yakin Anita nggak selingkuh dengan Ronny, Han?"
"Iya," anggukku yakin. "Itu cuma adegan yang disusun oleh si
pelaku untuk bikin kamu merasa putus asa."
"Putus asa." Frankie menatapku lekat-lekat. "Pasti itu perasaan
yang dirasain Peter, Anita, maupun Ronny sebelum kita selametin
mereka, ya." Walaupun mengesalkan, Frankie memang cepat
tanggap. "Gue juga merasa begitu...."
"Kalo diingat-ingat, mungkin itu juga yang dirasain Mila se
belum kita nyelametin dia dari reruntuhan gedung," tambah
Frankie, lalu menoleh pada Ivan. "Omong-omong, mulai sekarang
lo harus hati-hati, bro."
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Emangnya kenapa?" tanya Ivan terheran-heran.
"Modus operandinya sangat jelas," jelas Frankie. "Dia nyerang
Peter di ruang klub KPR, sesuai kisah horor yang dikarang Peter.
Dia juga nyerang Anita di ruang rapat OSIS, persis kisah
karangan Anita. Jadi, kemungkinan terbesar, tindakannya yang
berikutnya adalah...," Frankie menatap Ivan, "...menyerang lo di
gedung gym."
Wajah Ivan memucat. "Lo pikir begitu?"
Frankie mengangguk. "Sembilan puluh sembilan persen. Tapi
biar gitu, ada juga kemungkinan dia nyerang lo di tempat lain,
lalu ngangkut lo ke gym. Tapi berhubung itu bakalan jadi sesuatu
yang terlalu mencolok, gue yakin dia lebih milih nyerang lo di
gym. Dan setahu gue, lo emang sering main ke gym, kan?"
"Ya mau gimana lagi? Gue kan kapten tim atletik putra, dan
sebentar lagi kami akan mulai mengikuti kejuaraan atletik
tahunan," sahut Ivan lemah.
"Itu bakal membuka banyak kesempatan buat nyerang elo,"
kata Frankie. "Tapi muka lo nggak usah mendadak kayak chicken
gitu, bro. Kalo kita bisa menduga langkah si pelaku yang berikut
nya, kita bisa balas ngejebak dia."
Tiba-tiba, dengan muka preman Frankie memerintahkan,
"Jadiin gue anggota tim atletik lo, Van."
"Apa?" teriak Ivan kaget. "Emangnya cabang atletik apa yang
lo kuasai?"
"Nggak usah menghina gitu," gerutu Frankie. "Lo kan tau gue
jenius dalam segala macam olahraga. Apalagi cuma lari-lari terus
terjun bebas gitu."
"Nggak usah ngomong seolah-olah gue mau mimpin bunuh
diri massal dong," balas Ivan tidak kalah jengkel. "Ya udah, lo
mau ikut regu mana?"
"Yang gampang aja," kata Frankie. "Yang lempar-lemparin batu
ke penonton gitu deh."
"Itu bukan batu, tapi peluru besi," kata Ivan makin cemberut
saja. "Dan lemparnya bukan ke penonton, bego."
Frankie tampak kecewa. "Yah, kok nggak seru bener?"
"Lagian," kata Ivan sambil meraih tangan Frankie dan meme
riksanya. "Tangan lo nggak cocok buat tolak peluru. Tangan lo
panjang, juga jari-jari lo. Padahal ini olahraga yang lebih cocok
untuk orang yang tangannya pendek dan jari-jarinya kecil."
"Buat Muppet, maksudnya."
"Gue jadi inget, kenapa selama bertahun-tahun gue emosi me
lulu sama elo." Kukira hanya aku yang sering dibikin kesal oleh
Frankie. "Dan alasan yang nggak kalah penting untuk nolak lo
jadi atlet tolak peluru, itu outdoor event, jadi nggak ada hubung
annya sama gym." Frankie langsung manggut-manggut setuju.
"Menurut gue, cabang atletik yang cocok buat elo itu lompat
tinggi. Itu indoor event, dan setau gue, lo lumayan jago, kan?"
"Hah, lompat tinggi? Sama boring-nya, bro," dengus Frankie
meremehkan. "Tapi yah, lebih mending loncat-loncat nggak keru
an daripada ikutan olahraga buat Muppet."
"Nggak usah menghina-hina deh." Ivan mulai kehilangan ke
sabarannya. "Jadi, apa rencana lo buat ngejebak si pelaku? Cuma
bergabung dengan klub atletik?"
"Yah, itu awalnya," seringai Frankie. "Mulai sekarang, kita akan
selalu bersama-sama setiap kali elo punya kebutuhan di gedung
gym. Dan saat gue bilang kita, itu berarti termasuk elo juga, Tuan
Putri." Matanya menatapku lekat-lekat. "Saat ini gue nggak mau
lo terpisah jauh-jauh dari gue. Ngerti?"
Sesaat tenggorokanku tercekat menyadari betapa intensnya
tatapan itu, tapi aku masih bisa memasang sikap sok. "Gue nggak
butuh perlindungan lo."
"Ya, tapi gue butuh melindungi elo. Kalo gue terus-menerus
mencemaskan elo yang nggak tau ada di mana dan kemungkinan
bisa diterkam si Oknum X, gue bisa gila, tau?"
Sial. Kenapa cowok ini selalu bisa saja meluluhkan hatiku?
"Oknum X?" tanya Ivan bingung.
"Itu nama yang gue dan Tuan Putri gunakan untuk si pelaku,"
kata Frankie menjelaskan. "Nah, intinya, kita akan jadi umpan.
Umpan yang cukup menarik, kalo gue nggak salah ngerti jalan
pikiran si Oknum X. Kalo dia berhasil membekuk kita, dia akan
mendapatkan wakil ketua OSIS, pembuat onar yang udah nge
repotin banyak orang, dan cewek paling beken di sekolah kita
sekaligus!"
Mata Frankie mengerling jail ke arahku, dan meski aku ber
lagak sok cuek, dalam hati aku merasa geli mendengar katakatanya.
"Pasti dia akan ngincar kita," kata Frankie lagi. "Kalo itu ter
jadi, lo nggak boleh segan-segan, bro. Lo harus bersikap seolaholah lo tega melukai dia. Ingat apa yang dia lakuin pada Anita,
dan lo pasti bisa melakukannya."
Yah, kami tak akan lupa dengan apa yang terjadi pada Anita?
juga Ronny. Keduanya terkapar di lantai ruang rapat OSIS,
dengan tubuh kejang-kejang, mulut berbusa, mata bersimbah air
mata, dan keputusasaan menghiasi sorot mata mereka. Rasanya
sangat menyedihkan, sekaligus juga mengerikan.
Siapa gerangan yang tega-teganya menyiksa mereka dengan
kematian yang perlahan-lahan?
Atau lebih tepatnya lagi, makhluk tak berhati seperti apa yang
sanggup melakukan tindakan sekeji itu?
KISAH horor keempat SMA Persada Internasional:
"Kisah ini berlangsung di gedung gym. Pada suatu ketika, ada
dua siswa yang menjadi pelari kebanggaan sekolah ini. Suatu hari
diadakan perlombaan lari antarsekolah, dan cuma salah satu dari
kedua siswa ini yang bisa menjadi wakil sekolah. Jadi, salah satu
dari kedua pelari ini, yang berwatak sangat licik, menyelipkan
paku-paku kecil ke sepatu saingannya yang akan dipakai dalam tes
penentuan di antara mereka. Saat tes penentuan baru berlangsung
beberapa saat, si saingan ini mengeluh kesakitan karena kedua
telapak kakinya terluka. Saat diperiksa dokter, ketahuanlah bahwa
kedua kakinya terkena gangrene dan harus diamputasi. Tidak kuat
menghadapi hidup tanpa dua kaki, akhirnya siswa ini bunuh diri
dengan cara melompat dari lantai dua gym ke lantai bawah.
Hingga kini, pada malam hari, masih terdengar bunyi orang
menyeret-nyeret tubuhnya di dalam gedung gym"
Ivan, kelas XII IPS 1, Wakil Ketua OSIS, Ketua Tim Atletik
Sepertinya, hari ini, wajah-wajah kusut sedang populer.
Hampir setiap anak baru tampak seperti tidak tidur semalam
an. Wajah mereka pucat, sementara bagian bawah mata mereka
terlihat hitam dengan kantong mata tebal. Mirip vampir, sebenar
nya. Apalagi, meski tampang mereka seperti kurang energi, gerakgerik mereka dipenuhi semangat yang tidak biasa. Sesekali mereka
berbisik-bisik sambil melirik-lirik para pengurus MOS. Pasti
mereka asyik bergosip soal kejadian kemarin (mungkin mereka
sibuk menebak-nebak siapa pengurus MOS yang paling pengecut
dan suka menjerit-jerit di tengah kegelapan). Tak heran, gara-gara
kebanyakan bergosip, mereka menjadi sasaran empuk kemarahan
Benji yang semakin menjadi-jadi.
Ketua OSIS kami itu memang marah besar. Mungkin sebagian
kemarahannya diakibatkan olehku, namun sepertinya dia lebih
marah pada Frankie dan Ivan ketimbang aku. Kelakuan sadisnya
langsung meningkat satu level setiap kali Frankie atau Ivan lewat
di hadapannya.
Dan omong-omong, bukan hanya anak baru yang berwajah
kusut. Ivan juga kelihatan lesu luar biasa.
"Hei, bro, kalo kayak gini, lo bakalan disergap Oknum X de
ngan gampang nih!" ledek Frankie, membuat kakaknya itu lang
sung memelototinya.
"Gue nggak tidur semalaman nih."
"Kenapa?" goda Frankie lagi. "Takut mati, ya?"
Ivan mendelik, namun rona merah di wajahnya menandakan
tebakan main-main Frankie itu ternyata benar. Meski begitu,
untuk membela kehormatan, Ivan pun membantah, "Enak aja!
Lo kira gue pengecut?"
"Halah! Nggak usah malu, bro." Frankie merangkul kakaknya
dengan gaya sok akrab. "Tapi lo tenang aja. Selama ada gue, lo
bakalan baik-baik aja. Liat aja si Tuan Putri, dia kan udah jadi
sasaran empuk dari kapan tau, tapi sampe sekarang masih sehat
walafiat karena gue kuntit terus."
Kini giliran aku yang memelototi Frankie. Seandainya Frankie
menerima seratus perak setiap kali ada yang memelototi dia, pasti
sekarang cowok menyebalkan itu sudah jadi konglomerat.
Namun kini perhatianku teralih pada sikap gelisah Ivan yang
mencurigakan.
"Bukan soal itu," kata Ivan sambil melirik kiri-kanan. Men
dadak kusadari dia sedang mencari-cari Benji. Saat melihat Benji
sedang berada di dekat kami, Ivan berkata, "Ah, udahlah, bukan
hal penting."
"Apa?" tanyaku ingin tahu. "Apa sih, Van? Ada hubungannya
dengan Benji?"
"Nggak," sahut Ivan, tapi lagi-lagi aku merasa dia tidak mengata
kan kebenaran. "Udahlah, ayo kita kerja baik-baik hari ini."
Aku dan Frankie mengawasi kepergian Ivan.
"Ada yang dia sembunyiin...," gumam Frankie di sampingku,
membuatku terperanjat. Biarpun menyebalkan, Frankie memang
bermata awas. "Tapi sekarang ini bukan waktunya ngorek-ngorek.
Ayo, Tuan Putri, kita kejar dia sebelum Oknum X mulai ber
tindak lagi."
Sepanjang hari itu, biarpun berusaha kelihatan tenang, Ivan
tidak sanggup menyembunyikan ketakutannya. Meski aku dan
Frankie terus menempelinya seperti lintah, kegugupannya terlihat
jelas. Setiap kali ada gerakan mendadak atau bunyi keras, Ivan
selalu terlonjak kaget. Sesekali dia menoleh ke belakang, seakanakan merasa ada yang mengawasinya. Sekali waktu, Violina
mencoleknya dengan ganjen, dan dia nyaris meninju cewek itu.
Sayang Ivan sempat menahan tangannya saat menyadari siapa
yang menyentuhnya. Andai saja dia langsung menonjok dengan
membabi buta, itu akan menjadi peristiwa paling menyenangkan
bagiku sepanjang pekan MOS ini.
"Wah, kakak gue bertambah tua tiga puluh tahun dalam
semalam," komentar Frankie saat kami asyik menikmati es kelapa
muda yang dibayar oleh, tentu saja, Pandu. "Liat kerutan-kerutan
di wajahnya. Kemaren nggak ada, kan? Dan uban yang di puncak
kepalanya itu tuh..."
"Itu sih debu kapur," gerutuku. "Kan elo yang naburin itu di
situ."
"Oh, ya?" Frankie menyipitkan mata. "Kelihatannya seperti
uban asli dari sini. Debu-debu itu menyatu dengan alami di
kepala Ivan bagaikan ketombe..."
"Katanya kayak uban asli, sekarang mendadak dibilang kayak
ketombe."
"Yang jelas, itu bikin Ivan jadi keliatan jelek natural, dan arti
nya tujuan gue udah tercapai."
"Lo emang adik paling brengsek di dunia."
"Thank you."
Seperti biasa, waktu istirahat kedua, Ivan selalu mampir di gym
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu selesai makan. Kali ini dia melakukannya dengan tampang
bagaikan napi yang siap digiring untuk dieksekusi mati.
Hal yang mungkin saja terjadi.
Saat menyusuri koridor gedung gym yang sepi bersama Frankie
dan Ivan, kusadari aku belum pernah melihat gedung ini benarbenar dipenuhi orang. Meski seandainya sedang dipakai untuk
menyelenggarakan pertandingan atau semacamnya, selalu saja ada
tempat-tempat sepi yang mengundang orang-orang yang berniat
jahat untuk beraksi. Ruang ganti yang luas, gudang-gudang per
alatan, toilet dengan bilik-bilik kecil, belokan-belokan gelap. Se
orang pembunuh maniak akan punya kesempatan untuk meraih
kakiku dari bawah bangku di tribun penonton dan menarikku ke
bawah tribun, menerkamku saat aku berjalan di koridor-koridor
gelap, mengurungku di dalam salah satu gudang bawah tanah,
sebelum akhirnya memutilasi tubuhku secara perlahan-lahan...
Oke, Hanny. Hentikan semua khayalan mengerikan ini! Ke
nyataan sudah cukup menakutkan tanpa perlu tambahan imajinasi
yang berlebihan. Lagi pula, kalau dipikir-pikir, tidak ada gudang
bawah tanah di gedung gym ini kok. Aku memang sudah mulai
melantur.
Kupaksakan diriku membuyarkan lamunan mengerikan itu, lalu
mengalihkan perhatian pada pemandangan di depan mata. Frankie,
setelah mengganti seragam sekolahnya yang preman banget dengan
seragam tim atletik Ivan yang agak kekecilan untuknya, sedang asyik
ngobrol dengan anggota tim atletik lain seolah-olah dia sudah
menjadi anggota tim seumur hidupnya. Padahal, menurut Ivan, baru
kali inilah Frankie hadir dalam latihan tim atletik?dan bukan
sekadar jadi penonton pula?dan hampir semua anggota tim baru
dikenalnya hari ini. Cowok itu, tak salah lagi, memang pakarnya
SKSD. Kalau diingat-ingat, gara-gara sifatnya yang seperti itulah aku
tidak pernah bisa menghindar darinya.
"Frankie!" teriak Ivan. "Jangan main-main mulu. Ayo, cepat
mulai tes kemampuannya!"
"Halah, dasar perusak kesenangan," cela Frankie, lalu menoleh
padaku dan mengedipkan mata. "Wish me luck, Tuan Putri!"
Aku mencibir. "Wish it yourself."
"Tuan Putri emang nggak ada duanya." Frankie nyengir, lalu
mulai mengambil kuda-kuda di belakang garis start.
"Siap?" Ivan memberi aba-aba. "Mulai!"
Aku melongo saat Frankie melesat dengan kecepatan tinggi,
mengingatkanku pada anak panah yang baru meluncur dari
busur, lalu melompat melewati rintangan dengan gaya yang sangat
anggun. Sangat berbeda dengan imej yang biasa ditampakkan
olehnya. Sesaat aku hanya bisa terpana mengaguminya.
"Idih..., Tuan Putri ngeces gara-gara terpesona sama kekerenan
gue!"
Sial. Kuralat lagi pendapatku. Frankie memang tidak ada anggunanggunnya sama sekali.
"Bagus!" puji Ivan, tampak bangga dengan kemampuan adik
nya. "Bukan cuma gue, semua juga mengakui kemampuan lo,
Frank. Mulai sekarang, lo resmi jadi anggota tim atletik. Ini ke
banggaan bagi keluarga kita. Meski ini cuma bagian dari rencana
kita, lo harus gunain kesempatan ini sebaik-baiknya, mumpung
dalam waktu dekat bakal ada pertandingan atletik. Siapa tau,
berkat prestasi yang lo raih, lo bisa jadi ketua tim atletik yang
berikutnya."
"Nggak usah mimpi kejauhan," kata Frankie cuek. "Gue sama
sekali nggak minat sama yang begituan. Lain kalo lo suruh gue
jadi ketua klub tinju."
"Mana ada klub tinju di sekolah kita?" tanya Ivan jengkel.
"Iya, sayang, ya? Nanti deh, gue minta Pak Sal bikinin satu.
Nanti ketua dan anggota pertamanya pastilah gue. Tuan Putri, lo
jadi manajernya, ya?"
"Nggak mau," tolakku mentah-mentah. "Klub itu pasti bakalan
bau banget."
"Jelas dong. Bukan cowok namanya kalau nggak bau."
Gila. Rasanya lebih baik aku jadi perawan tua kalau semua
cowok memang bau seperti kata Frankie. Tapi omong-omong, si
Frankie sendiri tidak bau kok. Kenapa dia promosi yang tidaktidak mengenai kaumnya sendiri? Dasar goblok.
"Ya udah, kita kembali ke auditorium," ajak Ivan. "Kita udah
nyolong waktu acara MOS kita. Bisa-bisa Benji kira kita lagi
ngerencanain kudeta."
"Ya udah, sekalian kita kudeta aja," seringai Frankie.
"Telat lo ngajakin sekarang. Kalo setahun lalu, pasti gue terima
dengan senang hati."
Dasar dua kakak-beradik ini. Tidak kusangka, dalam kondisi
yang seperti ini, hubungan mereka malah menjadi jauh lebih
akrab daripada yang pernah mereka jalani seumur hidup me
reka.
Kami kembali ke auditorium, dan mendapatkan anak-anak
baru sedang melakukan kericuhan di sana.
"Mana kisah horornya, Kak?"
"Kami harus tau supaya bisa menyatu dengan sekolah ini!"
"Kasih kami kisah horor lagi!"
"Kisah horor! Kisah horor! Kisah horor!"
Gila. Kenapa mereka mendadak jadi bernafsu begitu? Kupan
dangi muka-muka liar di depanku dengan bingung. Saat menoleh
pada teman-teman sesama pengurus MOS, aku terkesiap tatkala
Benji menyunggingkan senyum penuh kepuasan.
Mencurigakan.
Benji menaiki podium dengan wajah serius, sama sekali tidak
menampakkan kegembiraan yang sempat kulihat sepintas tadi.
Dengan suara suram dan sedikit tergetar, Benji menceritakan ki
sah horor karangan Ivan. Bukannya terdengar membosankan atau
culun, nada suaranya malah membuat kisah itu terdengar mengeri
kan. Saat kisah itu selesai diceritakan, selama beberapa saat,
keheningan melanda seluruh auditorium. Keheningan yang aneh,
setelah sebelumnya terjadi keramaian yang begitu heboh.
Lalu Pandu, anak baru kesayanganku, mengangkat tangannya
dengan wajah penuh tekad dan berusaha mengabaikan tatapan
tajam Benji. "Kak, apa benar lagi-lagi salah seorang pengurus
MOS ngalamin kecelakaan di tempat dalam kisah horor hari
ini?"
Benji diam sejenak. "Ya, benar."
"Kak!" Anak baru lain mengacungkan tangan. "Apa benar
hingga saat ini, semua yang terjadi pada kisah-kisah horor yang
udah diceritain itu juga menimpa para pengurus MOS?"
Lagi-lagi keheningan mencekam seluruh auditorium.
"Memang ada sedikit persamaan dalam kecelakaan-kecelakaan
itu," sahut Benji akhirnya, "tapi hingga saat ini, semua pengurus
MOS yang jadi korban berhasil diselamatkan."
Kini anak-anak baru mulai riuh.
"Apa kisah berikutnya, Kak?"
"Di mana kisah itu berlangsung?"
"Kenapa hanya pengurus MOS yang diincar?"
"Cukup!" potong Benji tegas. "Kalian nggak perlu mengkha
watirkan semua itu. Kami para pengurus MOS akan tetap me
laksanakan tugas kami dengan sebaik-baiknya, termasuk mencerita
kan satu kisah horor setiap hari. Dan kalian dilarang menginterogasi
pengurus MOS lainnya. Cukup kerjakan tugas kalian sebagai peserta
MOS, atau kalian harus mengulang keseluruhan proses ini tahun
depan."
Ancaman itu, tentu saja, berhasil membungkam anak-anak baru.
"Tugas mengerikan hari ini bukanlah meneliti ruangan yang
berada dalam kisah ini, melainkan membuat makalah mengenai
kejadian itu. Coba kalian tuliskan, bagaimana caranya seseorang
menjadi korban di dalam ruang rapat OSIS yang tertutup itu.
Apakah itu ulah roh-roh masa lalu yang masih belum puas me
mangsa nyawa, ataukah ada pelaku lain yang lebih nyata. Setelah
menyelesaikan tugas outdoor terakhir, kalian boleh pulang."
Benji melangkah turun dari podium. Saat melewatiku, dia
berhenti, membuatku langsung terheran-heran.
"Aku akan buktiin."
Hah?
"Aku akan buktiin bahwa aku jadi ketua OSIS bukan karena
kebetulan, tapi karena aku emang punya kemampuan. Bukan
cuma orang tertentu yang punya otak yang bisa nyelidikin semua
kejadian ini. Aku akan buktiin dengan ngebongkar semuanya
lewat caraku sendiri. Mungkin, dengan kejadian ini, kamu akan
berpikir ulang mengenai hubungan kita."
Aku melongo saat dia meninggalkanku. Tak kusangka, dia
masih berharap jadian lagi denganku. Yang benar saja. Memang
nya aku pernah melakukan hal setolol itu, jadian lagi dengan
cowok yang kuputuskan lantaran orangnya menyebalkan?
"Hei, orang tertentu yang dimaksud ada di sini," kata Frankie
dengan muka tengil. "Orang tertentu itu juga akan melakukannya
dengan caranya sendiri, dan caranya adalah pulang yuk!"
Aku memelototi Frankie. "Apa-apaan lo? Udah dibilang kan,
masih ada satu tugas outdoor!"
"Makanya, cepetan diselesaiin," kata Frankie enteng. "Asal elo
ngasih mereka tugas yang ringan-ringan, dalam waktu sekejap semua
udah beres, dan kita semua bisa pulang. Gampang, kan?"
"Dasar bodoh," celaku. "Lo kira semuanya segampang yang lo
pikir?"
Aku berjalan menuju Grup BAB, yang dengan noraknya
langsung memberikan penghormatan ala militer ajaran Frankie
yang membuat semua orang menoleh padaku.
"Sekarang kalian sapu halaman depan!" teriakku dengan nada
sekejam mungkin. "Kalo udah bersih, buruan pulang sana! Jangan
menyita waktu kami lebih banyak lagi!"
"Siap, Tuan Putri!"
Sebelum aku mulai marah-marah lagi karena panggilan konyol
dan menjijikkan itu, Frankie sudah bertepuk tangan dengan
penuh semangat.
"Bagus, bagus! Kalian mengerti dengan cepat!" katanya seolaholah dia adalah orang tua sakti yang biasa membagi-bagikan jurus
silat rahasia pada anak-anak berbakat. "Sekarang, akan gue ajarin
jurus baru yang lebih seru lagi. Pasang mata dan kuping kalian
baik-baik!"
Lalu tanpa bisa kucegah lagi, cowok sialan dan super memalu
kan itu sudah mulai bernyanyi dengan penuh perasaan, tangannya
bergerak-gerak ke atas, ke bawah, ke kiri, dan ke kanan dengan
tidak beraturan.
Si Hanny Pelangi, nama Tuan Putri
Biar sering galak, nggak bikin takut
Pengawalnya ganteng, siapa gerangan?
Si pengawal keren luar biasa.
"Dasar nggak kreatif!" teriakku sambil berusaha sekuat tenaga
menahan tawa karena tarian konyol yang diperlihatkan cowok
geblek itu. "Udah nyontek irama lagu Pelangi, syairnya nggak
berima sama sekali pula. Udah gitu, tau-tau tokoh utamanya
ganti di tengah jalan."
"Yah, mau gimana lagi, Tuan Putri?" sahut Frankie santai.
"Gue Frankie yang pelajaran bahasa Indonesia aja nilainya merah,
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan Rendra yang bisa punya darah seni turun-temurun. Lagian,
kalau nggak ada gue di lagu itu, nggak seru. Bener nggak, Anakanak?"
Kesal banget, semua anggota Grup BAB mengiyakan dengan
penuh semangat. Cowok ini benar-benar sudah mengontaminasi
anak-anak kesayanganku.
"Nah, kalian bisa tiruin gerakan gue, kan?" tanya Frankie
dengan muka serius. "Ingat, ini gerakan yang sangat powerful.
Kalo kalian bisa niruinnya, kalian bebas dari tugas nyapu yang
gampang bener itu!"
Anak-anak baru bersorak dengan suara yang makin semangat
saja. Benar-benar sialan banget. Kenapa aku bisa ketiban cowok
yang hobi merebut kekuasaan seperti ini?
"Nah," Frankie berpaling padaku dan mengedip. "Kita bisa
pulang lebih pagi lagi kan, kalo mereka nggak perlu ngejalanin
tugas nyapu?"
Gila, selain semua kekurangan yang sulit kusebutkan saking
banyaknya itu, cowok ini juga sangat licik.
Tapi, kali ini, kurasa aku memetik keuntungan juga dari ke
kurangannya itu...
"Hei, mau ke mana lo?"
Kami dihadang tampang Ivan yang ketakutan.
"Masih ada latihan atletik, tau."
"Bolos ajalah, demi keselamatan kita semua," kata Frankie yang
tampak ogah diseret kembali ke gedung gym.
"Nggak bisa," tolak Ivan. "Sebentar lagi gue bakalan lengser dari
jabatan ketua. Padahal sebentar lagi kan bakal ada pertandingan.
Jadi gue harus mempersiapkan semuanya dengan sebaik-baiknya,
supaya ketua periode berikutnya nggak kerepotan."
"Dasar orang yang terlalu bertanggung jawab," gerutu Frankie.
"Terpaksa gue harus ikut-ikutan jadi anak baik, padahal itu kan
bukan diri gue yang sebenarnya."
"Harusnya lo bersyukur dong, bukannya berkeluh kesah nggak
jelas gitu." Ivan menoleh padaku. "Tuan Put... eh, Han, kamu
ikut juga, ya?"
"Wah, semua mulai ketularan gue, manggil lo dengan nama
Tuan Putri," kata Frankie riang. "Gue emang jago nyari nama
julukan. Omong-omong, julukan gue sendiri ?Pembuat Onar
Tiada Tanding?. Keren, kan?"
"Lo aja yang ngerasa keren," gerutuku sebal bercampur geli
mendengar julukan konyol itu, lalu menyahuti Ivan, "Nggak deh,
aku mau pulang aja."
"Nggak boleh." Kini Frankie yang berlagak sok kuasa. "Udah
gue bilang, gue nggak mau lo terpisah dari gue. Lo harus ikut."
Sial, padahal kukira aku sudah bisa pulang dan bersantai-santai.
Sudah kuduga, tak ada untungnya bergaul dengan Frankie. "Kalo
gitu, ngapain nanya?"
"Yang nanya kan kakak gue yang sopan itu, bukan gue yang
super kurang ajar ini."
Selain tidak ada untungnya bergaul dengan Frankie, cowok
menyebalkan ini juga selalu menang saat berdebat. Harusnya dia
ikut tim debat sekolah kami yang punya prestasi kaliber regional
itu.
Dengan muka cemberut aku mengikuti Frankie dan Ivan
kembali ke gym. Setiba di sana, aku langsung duduk di bangku
penonton dengan bete, sementara Frankie, tanpa malu-malu lagi,
mengganti seragam sekolahnya dengan seragam tim atletik di
lapangan. Untungnya, selain aku, hanya ada tim atletik putra
yang sedang berlatih. Tak ada yang berniat melirik-lirik adegan
porno yang dipertontonkan Frankie. Selain aku yang sedikitbanyak rada penasaran, tentu saja. Sayang, cowok itu berganti
pakaian secepat kilat. Nyaris tak ada yang bisa dilihat.
Ehm, sebenarnya tidak juga sih. Cowok itu sendiri saja sudah
merupakan pemandangan yang luar biasa menyenangkan. Tapi
sampai mati pun aku tak bakal sudi mengakui hal ini di depan
mukanya.
Dan cara cowok itu berlatih, astaga! Rasanya latihan tim atletik
mendadak menjadi pertunjukan paling menarik yang pernah
kulihat. Caranya memasang kuda-kuda di belakang garis start,
bagaimana dia melesat dengan kecepatan tinggi, dan bagaimana
dia melemparkan dirinya melalui penghalang.... Sejujurnya, aku
memang nyaris menitikkan air liur, seperti yang dituduhkan co
wok sialan itu padaku.
Tapi sekali lagi, aku tak bakalan sudi mengakui hal ini di
depan mukanya.
"Hebat kan dia?"
Aku menoleh pada Ivan, yang menatap lurus pada adiknya.
"Males sih ngakuinnya, tapi dalam banyak hal, sebenernya dia
jauh lebih hebat daripada aku," kata Ivan sambil tersenyum. "Tapi
dia kurang pinter ngambil hati orang. Sebaliknya, dia sangat ahli
bikin jengkel orang. Ayah kami sering kesal dibuatnya, dan harus
kuakui, ulahku sering membuat dia makin disebelin."
"Makanya, jangan nambahin masalah dia dong," gerutuku.
"Yah, habis mau gimana lagi? Aku ambisius, Han," aku Ivan.
"Aku ingin jadi anak kesayangan semua orang. Orangtua kami,
sanak keluarga, guru-guru, teman-teman. Kadang aku nggak
segan-segan melakukan kelicikan untuk mendapatkan semua itu.
Nggak taunya, pada saat-saat seperti ini, satu-satunya yang bisa
bikin aku merasa aman cuma Frankie, orang yang sering kurugiin
karena ambisiku itu."
"Kalo kamu emang lihai, seharusnya kamu bisa mencapai
ambisi kamu tanpa perlu bikin Frankie jatuh ke dalam masalah,"
ketusku.
"Nggak, aku nggak selihai itu," kata Ivan jujur. "Dan aku juga
nggak mungkin bisa mencapai ambisiku tanpa ada kambing
hitam. Harus ada yang dibandingin, harus ada yang kalah. Siapa
yang kuat, dia yang menang."
"Hei, yang namanya hukum rimba itu udah nggak matching
dalam dunia modern," balasku. "Bukannya lebih baik kalo kamu
bekerja sama dengan semua orang, gunain semua kelebihan
mereka, dan bikin mereka ngakuin kepemimpinan kamu karena
kamu sanggup ngatur orang-orang hebat?"
Ivan menatapku dengan tatapan kagum. "Wah, kamu harus
nyalonin diri jadi ketua OSIS periode mendatang, Han! Aku
yakin kamu bisa menang."
Hm, belakangan ini banyak orang yang berpikir aku sanggup
menjadi ketua OSIS, termasuk aku sendiri. Daripada mengecewa
kan harapan semua orang, kurasa lebih baik aku serius mencalon
kan diri.
Tiba-tiba salah seorang anggota tim atletik menghampiri kami.
"Van, Alvin sakit perut tuh. Katanya dia nggak mungkin bisa
latihan hari ini."
"Apa-apaan sih?" decak Ivan kesal. "Paling alasan aja! Si Alvin kan
kerjanya cuma bisa bentak-bentak, sementara kemampuannya gitugitu aja. Udah kubilang, kalo kali ini dia mau mangkir latihan lagi,
aku nggak akan segan-segan ngeganti dia dengan orang lain!" Lalu
Ivan bangkit dan pamitan denganku, "Sebentar ya, Han."
"Tunggu dulu!"
Tahu-tahu saja Frankie menghampiri kami dengan tubuh
bercucuran keringat. Sial, kenapa aku jadi deg-degan? Padahal
tampangnya jadi makin dekil saja. Seharusnya aku malah jijik dan
menjauh, bukannya langsung salah tingkah begini.
"Mau ke mana?" tuntutnya.
"Ruang ganti cowok," sahut Ivan. "Sebentar aja."
"Enak aja main bilang sebentar," dumel Frankie. "Udah di
larang pulang, harus latihan nggak jelas gini, tahu-tahu lo main
minggat aja. Pokoknya gue mau ikut!"
"Ya udah," sahut Ivan, tampak lega juga karena tidak harus
pergi sendirian.
"Tuan Putri ikut juga, ya?"
Ivan melongo. "Hei, kita bakalan ke ruang ganti cowok.
Hanny nggak mungkin mau pergi."
"Mau kok," sahut Frankie sambil nyengir padaku. "Mau kan,
Tuan Putri?"
"Iya dong!" sahutku penuh semangat. Siapa yang mau kehilang
an kesempatan tengok-tengok ruang ganti cowok?
Ivan menggeleng-geleng. "Ya udah. Nanti jangan teriak-teriak
ya, kalau ngelihat adegan nggak senonoh."
"Kalo itu sih udah," kataku sambil menunjuk Frankie. "Dia
tadi ganti baju di tengah-tengah lapangan."
"Di pinggir lapangan, kali," sahut Frankie geli. "Senarsisnarsisnya gue, nggak mungkin gue pamer bodi di tengah-tengah
lapangan gitu."
"Whatever deh."
Yang pertama-tama kulihat dari ruang ganti cowok, bahkan
sebelum memasuki ruangan itu, adalah sebuah boks untuk
kondisi darurat. Boks itu berisi alat pemadam kebakaran dan
sebilah kapak di sampingnya. Pemandangan itu langsung mem
buat bulu kudukku merinding. Seandainya saja Oknum X ada di
sekitar sini dan menggunakan kapak itu untuk menghabisi kami
semua.
Ivan membuka pintu ruang ganti cowok, dan aku langsung
mundur selangkah saking kagetnya. Habis, ruangan itu benarbenar pengap. Udara begitu kering dan panas, dipenuhi bau asam
yang rasanya bisa kutebak dari mana asalnya. Secara spontan aku
membasahi bibirku supaya tidak pecah gara-gara udara kering
tersebut.
"Alvin, di mana lo?!" tanya Ivan dengan suara berang.
Terdengar suara lemah menyahut, "Di sini, Van. Perut gue
sakit banget nih..."
Dengan cepat Ivan menuju ke arah suara itu sambil mengomel,
"Perut sakit aja teriak-teriak. Lo cowok, bukan? Kan lo cuma
perlu selesaiin di toilet, abis itu ikut latihan?arghh!"
Terdengar bunyi pukulan yang sangat keras dibarengi teriakan
Ivan.
"Ivan!"
Aku dan Frankie langsung berlari menyusul Ivan. Namun saat
kami tiba di tempat yang kami duga sebagai tempat diserangnya
Ivan, kami hanya melihat kedua kaki Ivan yang terbujur di lantai
perlahan-lahan lenyap ke dalam salah satu loker, seperti anggota
tubuh yang lainnya. Lalu, yang membuat hatiku semakin dicekam
kengerian, sebuah tangan kurus dan putih terjulur ke luar, meraih
pintu loker dan menutupnya dengan sebuah bantingan keras.
Frankie-lah yang sadar duluan.
"Ivan!" teriaknya lagi sambil melompat ke depan loker itu dan
mulai menggedornya. "Sialan! Ada jepitan, Han?"
Teriakan panik Frankie membuatku kembali pada kondisi genting
yang sedang kami hadapi. Namun, menjadi cewek tidak membuatku
membawa jepitan rambut ke mana-mana. Apalagi aku tidak suka
rambutku dihiasi jepitan yang mungkin akan merusak proses
smoothing yang membuat rambutku bagus banget itu.
Melihat gelenganku, Frankie makin panik saja. "Brengsek!
Gimana caranya ngedobrak pintu sialan ini?"
Aku teringat sesuatu yang kulihat pada saat sebelum aku
memasuki ruangan ini. "Ada kapak di boks darurat di luar ruang
loker!"
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Frankie langsung melesat ke luar ruangan. Terdengar bunyi
pecahan kaca tanda boks darurat dipecahkan. Dalam sekejap,
Frankie sudah kembali ke dalam ruang ganti dengan kapak dalam
genggamannya. Matanya yang berkilat-kilat membuatnya bisa
dikira sebagai pembunuh serial berkapak.
"Minggir, Han!" geramnya.
Dengan patuh aku menyingkir. Frankie langsung menghajar
pintu loker itu dengan sekuat tenaga. Dalam lima kali hantaman,
terlihat sebuah lubang yang cukup besar sehingga Frankie bisa
membuka loker itu dari dalam.
Kami melihat ke dalam loker itu. Di sana terdapat sebuah lu
bang besar menembus dinding loker, bahkan menembus dinding
ruang ganti cowok, menuju tangga darurat yang memang terletak
di samping ruang ganti cowok. Berhubung loker itu sangat
sempit, sepertinya Frankie tidak mungkin bisa menggunakan
lubang itu untuk menuju tangga darurat.
"Ikut gue, Han!"
Tanpa mempertanyakan perintah Frankie, aku langsung meng
ikutinya keluar dari ruang ganti cowok menuju tangga darurat.
Memang, tangga darurat di sekolah kami jarang dipergunakan,
bahkan para petugas kebersihan lebih suka menggunakan tangga
umum. Kalau sampai ada yang melubangi dinding, pasti tidak
akan ketahuan dalam waktu singkat. Namun, lubang besar pada
dinding itu pasti tidak dibuat baru-baru ini. Saat kami tiba di
tempat itu, aku bisa melihat bekas-bekas bahwa lubang itu sem
pat ditutupi dengan rapi sebelumnya dan baru dibuka belakangan
ini.
Jadi, ini kejahatan terencana. Kejahatan yang sudah dipikirkan
lama sebelum semua ini dimulai.
Siapa orang yang dendam pada semua pengurus MOS bahkan
sebelum acara MOS dimulai?
Saat sedang kebingungan di tangga darurat, kami mendengar
pintu dibuka dari arah atas. Frankie langsung berlari ke atas
dengan menaiki tiga anak tangga sekaligus dengan kakinya yang
panjang, sementara aku hanya bisa melompati dua anak tangga
sekaligus.
Pintu pertama yang kami jumpai, aku tahu pasti, mengarah ke
balkon tribun penonton di gedung gym. Saat kami membuka
pintu itu, kami melihat Ivan tergeletak di lantai, sedang megap168
megap lantaran disiram dengan benda cair keemasan dari botol
plastik oleh seseorang yang tidak bisa kutebak identitasnya.
Tubuhnya agak membungkuk, terbungkus jubah yang panjang
dan longgar. Saat mendengar kedatangan kami, orang itu lang
sung menoleh.
"Voldemort!" teriak Frankie.
Teriakan itu jelas tidak masuk akal. Kami tidak berada dalam
novel Harry Potter, dan Voldemort tidak ada dalam dunia nyata
ini. Namun orang itu benar-benar mirip musuh bebuyutan Harry
Potter itu. Wajahnya yang pucat tirus, tubuhnya yang kurus dan
membungkuk, jari-jarinya yang panjang serta kulitnya yang pucat
mengering, semua itu tampak begitu nyata di mataku sehingga
aku butuh beberapa waktu untuk menyadari bahwa semua itu
hanyalah hasil make-up.
Begitu melihat kami, orang itu langsung menendang Ivan ke
bawah balkon, lalu lari dengan kecepatan yang tidak seperti ke
cepatan lari manusia pada umumnya. Tapi kami tidak sempat
memikirkannya lagi lantaran terdengar teriakan Ivan.
"Tolooong...!"
Kami langsung menghampiri balkon dan melihat Ivan ber
gelantungan di pinggiran balkon dengan wajah pucat.
"Gue nggak bisa manjat ke atas!" teriak Ivan pada kami de
ngan panik. "Gue disiram minyak!"
"Nggak usah khawatir." Frankie memanjat ke luar balkon, ber
gelantungan pada pagar balkon dan mulai menurunkan separuh
tubuhnya. "Gue akan angkat lo ke atas!"
Kedua cowok itu sama-sama berteriak keras saat tarikan Frankie
pada tangan Ivan terlepas.
"Nggak bisa," kata Ivan dengan wajah makin pucat saja. "Ter
lalu licin!"
"Bisa!" kata Frankie berkeras. "Pasti bisa!"
Dia menurunkan tubuhnya semakin ke bawah hanya dengan
ditahan oleh sebelah tangannya, dan mencoba menarik lengan
atas Ivan dengan tangannya yang lain. Lagi-lagi tarikan itu
tergelincir akibat kulit Ivan yang licin.
"Gimana ini...?" tanya Ivan sambil melirik ke bawah. "Ini lebih
dari lima meter. Leher gue bisa patah kalo jatuh!"
"Tenang aja, gue nggak akan biarin itu terjadi," kata Frankie
sambil mengertakkan gigi dan menggapai kakaknya lagi. "Gue
pasti bisa ngangkat lo!"
"Iya, tolong, Frank...," kata Ivan lemah. "Jari-jari gue udah
nggak sanggup nahan nih. Licin banget!"
"Gue tau. Sabar, Van...!"
Ivan berteriak ketakutan saat jari-jarinya terlepas dari pinggiran
balkon yang dicengkeramnya sedari tadi, namun tangan Frankie
langsung menangkap sebelah lengannya.
"Pegang tangan gue dengan tangan lo yang satu lagi!" bentak
Frankie pada Ivan. "Cepet!"
"Frankie"
Mata Ivan membelalak penuh rasa ngeri yang amat sangat saat
menatap sesuatu di belakang kami berdua.
Aku menoleh terlebih dahulu, namun terlambat. Kurasakan
permukaan besi tongkat bisbol yang dingin dan keras saat benda
itu menghantam punggungku. Samar-samar kudengar teriakan
Frankie memanggil namaku, namun semua pancaindraku terpusat
pada kesakitan yang kuderita akibat pukulan itu.
Aku bisa mendengar suara kelebatan tongkat bisbol itu saat
membelah udara, disusul oleh teriakan Frankie yang lebih menye
rupai kaget daripada kesakitan. Namun pukulan itu tidak cuma
sekali, melainkan berkali-kali. Aku bisa membayangkan Frankie,
tidak sudi melepaskan tangan kakaknya, meski dengan demikian
dia hanya bisa menerima pukulan-pukulan itu tanpa bisa mem
balas. Cowok itu seperti Arnold Schwarzenegger yang tak matimati meski sudah dihajar dengan berbagai cara dalam film Termi
nator yang pertama. Oke, memang saat itu Schwarzenegger
berperan sebagai penjahat, tapi yang penting Frankie menyerupai
nya dalam soal ketangguhan, bukan dalam soal kejahatannya
(meski harus kuakui, Frankie bukannya cowok yang mulia-mulia
banget). Kegigihan itulah yang membuat aku berusaha bangkit,
meski punggungku yang kesakitan membuatku mengalami kesulit
Sebelum aku sempat beraksi, terdengar teriakan keras Ivan
yang menggema mengerikan saat cowok itu meluncur jatuh ke
bawah balkon.
Air mataku menggenang saat menyadari inilah akhirnya.
Seperti Ronny yang menjadi korban tambahan pada saat kejadian
yang menimpa Anita, aku dan Frankie juga akan menjadi korban
bertaraf figuran pada kecelakaan yang menimpa Ivan. Mengenas
kan, karena aku tidak pernah mendukung acara karangmengarang kisah-kisah horor sialan itu. Mengenaskan, karena aku
harus mati tanpa ketemu Jenny sekali lagi. Mengenaskan, karena
aku belum sempat mengatakan apa yang ada di dalam hatiku
pada
"Nggak akan gue biarin, sialan!" Kudengar geraman Frankie.
"Akan gue singkap kedok busuk lo, dasar Voldemort palsu!"
Terdengar suara kelebatan tongkat bisbol lagi, namun kali ini
tak terdengar suara hantaman. Aku mendongak, dan meski
pandanganku kabur, aku bisa melihat Frankie menahan tongkat
bisbol itu.
"Sori, dalam pertarungan one by one gini, lo bukan lawan gue
yang setimpal, tau?!" geram Frankie. "Lagian, tenaga apaan ini?
Tenaga cewek?"
Frankie pasti belum pernah nonton film. Orang yang kebanyak
an mengoceh biasanya pasti mendapat serangan balik. Benar saja,
dengan tangan yang satu lagi, Oknum X menyerang Frankie
dengan pisau, membuat cowok itu berteriak kaget dan melangkah
mundur. Pada saat itulah Oknum X berlari pergi. Frankie
menjangkau, berhasil menyobek jubah milik Oknum X, namun
hanya itulah yang berhasil dilakukannya.
Dan itu pun sudah cukup, karena dari sekelebat itu aku me
lihat sepasang kaki yang jenjang, putih, dan halus tanpa bulu.
Sepasang kaki yang pasti akan terlihat memukau kalau saja pe
miliknya tidak memiliki tampang semengerikan itu.
Menyadari bahwa kedoknya akan segera terbuka, Oknum X
buru-buru melarikan diri tanpa menuntaskan tugasnya untuk
menyingkirkan kami seperti dia menyingkirkan Ivan.
Lalu, sebuah wajah mengerikan penuh darah mendekati wajah
ku. Aku nyaris saja menjerit kalau tidak mengenali wajah itu
sebagai wajah Frankie.
"Lo nggak apa-apa, Han?" tanyanya.
Enak saja aku tidak apa-apa! Begitulah yang ingin kuteriakkan
padanya. Apa dia tidak bisa melihat, berdiri saja aku sudah tidak
sanggup? Tapi tentu saja aku tidak bisa mengatakan semua itu
pada orang yang sudah menerima pukulan berkali-kali lebih ban
yak daripada yang kuterima, dan masih saja sempat mengadakan
perlawanan terhadap penyerang kami, bahkan mengusirnya.
Jadi yang kukatakan hanyalah, "Kita salah, Frank. Oknum X
bukan cowok, tapi cewek!"
BERLAWANAN dengan dugaan yang sempat membuat kami
ketakutan setengah mati, Ivan ternyata masih hidup.
Berkat kemampuan atletiknya, Ivan berhasil menjatuhkan diri
dengan pose yang tepat, sehingga kepala dan lehernya selamat
dari luka-luka yang tidak diinginkan. Dia mengalami sedikit
gegar otak, tapi bisa dibilang itu luka yang sangat minor ke
timbang berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Pendaratan
itu mengakibatkan kedua kakinya patah dan tulang-tulang kaki
nya retak sampai-sampai harus diisi dengan titanium (setelah
ini mungkin Ivan bisa menjadi Wolverine sekolah kami). Me
nurut dokter, dia harus mendekam di rumah sakit selama lebih
dari sebulan dan menjalani beberapa kali operasi, tapi sekali
lagi, itu jauh lebih baik daripada berbagai kemungkinan buruk
yang bisa terjadi.
Dan dalam kesempatan ini, lagi-lagi aku tidak mengalami luka
berarti?sesuatu yang akan kubanggakan pada Jenny nanti?
sedangkan Frankie, meski harus dibalut seperti mumi, dengan
tangan kiri yang harus digips pula, berhasil meloloskan diri dari
keharusan diopname di rumah sakit.
"Wah, Tuan Putri, kita berdua bagaikan pasangan Imhotep dan
Anck-Su-Namun, ya," katanya menyinggung pasangan penjahat
dalam film The Mummy.
"Lo aja jadi Imhotep sendirian." Cowok ini, baik dalam keada
an sehat walafiat maupun babak belur, tetap saja menjengkelkan.
"Sekalian botakin rambut lo, sono!"
"Nggak bisa," tolaknya tegas. "Ini modal gue menuju kesukses
an. Tanpa rambut keren gue, gue nggak seberapa ganteng."
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Halah! Bilang aja rambut gondrong lo buat nutupin muka lo
yang nggak seberapa ganteng."
Tampang Frankie kelihatan terpukul. "Jadi maksud lo, gue
jelek, gitu?"
Oke, melihatnya memasang tampang seperti itu, aku jadi tidak
enak hati juga. Meski sering menghina tampang jelek orang lain,
aku tidak pernah melakukannya pada orang-orang yang baik hati
atau dekat denganku.
"Muka lo sih nggak jelek-jelek amat," hiburku. "Cuma nggak
ada apa-apanya dibanding Robert Pattinson."
"Okelah, gue tahu kalo dibandingin sama Robert Pattinson
kejauhan. Tapi kalo sama George Clooney, kira-kira masih se
banding dong..."
Cowok ini benar-benar tidak tahu malu. Aku menyesal pakai
acara tidak enak hati untuk menghinanya. "Ngaca dulu sana!
Yang sebanding sama lo tuh sohib lo, si Imhotep! Cuma beda di
rambut. Makanya, sana botakin rambut lo. Pasti lo sama dia jadi
mirip pinang dibelah kapak?eh, dibelah dua."
"Nggak ah. Kalo mirip pinang, udah pasti jelek bener."
Kami berdua langsung terdiam saat sosok besar Pak Sal muncul
di depan pintu.
"Senang melihat kalian berdua baik-baik saja," katanya sambil
melangkah masuk dan membuat kami berdua merasa kecil dan
tak berdaya. "Bisa kalian jelaskan apa yang terjadi?"
Kami berdua berpandangan, lalu Frankie mengangkat bahu.
"Karena Bapak udah pasti bukan pelakunya," katanya pada Pak
Sal, "gue akan ceritakan semuanya. Eh, maksudnya, saya. Sori,
Pak."
Pak Sal mengangguk sambil berusaha terlihat galak, namun
kuperhatikan kumisnya agak maju, menandakan beliau sedang
menahan senyum.
"Begini, Pak. Bapak tahu bahwa ada banyak pendapat me
ngenai semua ini. Bahwa semua kasus ini adalah kasus bunuh diri
akibat kerasukan roh-roh jahat. Bahwa kecelakaan-kecelakaan ini
dilakukan oleh anak-anak baru. Sedangkan pendapat saya, Bapak
udah tahu, yaitu bahwa ini dilakukan oleh murid-murid senior,
atau lebih parah lagi, guru-guru atau petugas kebersihan."
Pak Sal mengangguk.
"Akan saya jelaskan kenapa pendapat-pendapat lain tidak
mungkin terjadi, dan hanya pendapat saya yang bisa diterima,"
kata Frankie tegas tanpa terdengar pongah seperti biasa. "Pertamatama, tulisan-tulisan vandalisme itu. Tanpa tulisan-tulisan itu, kita
mungkin bisa menganggap semua ini perbuatan hantu atau
monster atau apa aja. Tapi tulisan-tulisan itu adalah bukti bahwa
ini perbuatan manusia, perbuatan orang yang mengira kita semua
cukup bodoh untuk menganggap darah yang digunakannya ada
lah darah manusia. Sayang, dalam waktu singkat, kita semua tahu
itu darah ayam. Dan hantu mana yang begitu bodoh mengguna
kan darah ayam untuk kegiatan tulis-menulis, atau lebih tepat
lagi, hantu mana yang bisa menulis, sementara mereka makhluk
transparan yang bisa menembus benda padat? Jadi, kita bisa
singkirkan kemungkinan kalau semua ini perbuatan makhluk
halus."
Pak Sal diam sejenak. "Teruskan."
"Kedua, sebelum semua kecelakaan ini terjadi, Hanny pernah
bilang pada saya, bahwa dia curiga itu perbuatan murid senior
yang memiliki akses ke setiap tempat yang digunakan untuk
melakukan vandalisme itu. Bagi saya, kemungkinan itu nggak
tertutup pada murid senior saja, melainkan juga guru dan staf
sekolah. Biar gampang, mari kita sebut pelaku semua ini sebagai
Oknum X."
Pak Sal mengangguk.
"Nah, tindakan vandalisme ini diikuti dengan kasus Peter dan
kasus Anita-Ronny. Kebetulan? Menurut saya, nggak mungkin.
Pasti ini dilakukan orang yang sama. Orang yang mungkin saja
dikenal oleh Peter, Anita, dan Ronny, sehingga mereka nggak
waspada dan bisa dijebak oleh dia. Orang yang punya akses
untuk masuk ke ruang klub KPR dan ruang rapat OSIS."
"Tapi bisa saja si pelaku menjebak mereka di tempat lain, lalu
membawa mereka ke tempat kejadian," Pak Sal memberikan pen
dapat.
"Nggak mungkin, Pak," tegas Frankie. "Perbuatan mencolok
seperti itu punya risiko besar untuk ketahuan. Oknum X nggak
akan berani mengambil risiko itu."
"Benar juga," Pak Sal mengangguk. "Teruskan lagi."
"Berdasarkan kejadian-kejadian terdahulu, kami sudah menge
tahui modus operandinya, Pak. Jadi saya, Hanny, dan Ivan beren
cana untuk menjebaknya."
"Modus operandi?" Pak Sal mengerutkan alis.
"Iya, dia bergerak berdasarkan kisah horor sekolah kita."
Pak Sal tampak heran. "Kisah horor sekolah kita?"
"Itu, ehm, kisah horor yang dikarang oleh para pengurus MOS
untuk meramaikan acara MOS," jelas Frankie. "Kisah yang di
karang oleh Peter ber-setting di ruangan klub KPR, dan kecelaka
an Peter terjadi di situ. Kisah karangan Anita ber-setting di ruang
rapat OSIS, dan kecelakaan yang menimpanya terjadi di ruangan
itu. Kami menarik kesimpulan, kecelakaan yang menimpa Ivan
akan terjadi di gedung gym, seperti cerita karangan Ivan, dan
memang itulah yang terjadi."
Pak Sal tepekur mendengar penjelasan Frankie. "Lanjutkan."
"Kami menempeli Ivan dengan ketat, berharap kami bisa mem
bekuk Oknum X itu pada saat dia muncul. Namun, ternyata dia
berhasil mencuri waktu saat Ivan muncul seorang diri, lalu men
jebaknya melalui salah seorang anggota tim atletik bernama Alvin.
Omong-omong, Bapak harus menanyai Alvin, karena dia
mungkin tahu sesuatu tentang Oknum X. Barangkali dia malah
bersekongkol dengan Oknum X." Pak Sal mengangguk. "Kami
mengejar Oknum X, namun persiapan yang dia lakukan terlalu
matang."
Frankie menjelaskan secara terperinci bagaimana Oknum X
yang mengenakan jubah itu melumuri Ivan dengan minyak, lalu
kabur saat kami memergokinya, dan kembali pada saat kami
tidak menduganya. Frankie juga sempat memberitahu Pak Sal soal
satu-satunya anggota tubuh yang kami lihat dari Oknum X, yaitu
sepasang kaki yang indah dan mulus.
"Pastinya bukan milik Bapak, guru-guru, ataupun para petugas
kebersihan yang betisnya segede batang pohon itu," kata Frankie
nyengir, lalu wajahnya berubah serius. "Jadi Bapak, guru-guru,
dan para petugas kebersihan tersingkir dari daftar tertuduh. Yang
tersisa hanyalah murid-murid senior."
Wajah Frankie berubah serius saat dia melanjutkan ceritanya
dengan apa yang belum kuketahui juga. Setelah berhasil mengusir
Oknum X dan meyakinkan bahwa aku baik-baik saja, kami ber
dua segera berlari menghampiri Ivan. Menyadari bahwa kakak
Frankie itu masih bernapas, kami langsung memanggil ambulans.
Frankie berpesan padaku untuk menjaga Ivan baik-baik, sementara
dia akan pergi untuk menginterogasi Alvin.
Rupanya Alvin benar-benar sakit parah. Saat Frankie pergi
melabraknya, cowok itu sedang sibuk di dalam kamar mandi
entah untuk keberapa kalinya hari itu. Wajahnya tampak pucat
pasi dan penuh keringat, tangannya mendekap perutnya erat-erat.
Dia mengaku tidak tahu apa-apa soal kejadian yang menimpa
Ivan, dan sangat terkejut waktu melihat ada yang menghajar Ivan
dari belakang. Namun karena perutnya yang mulas, dia tidak bisa
membantu Ivan sama sekali, malah kejadian itu membuat sakit
perutnya bertambah parah sehingga dia harus buru-buru ngacir
ke toilet.
"Kamu percaya ucapannya?" tanya Pak Sal pada Frankie.
"Ya, Pak," angguk Frankie. "Saat ambulans tiba, saya paksa dia
ikut dengan kami. Menurut pemeriksaan dokter, dia memang
menderita keracunan makanan. Sepertinya dia korban sampingan
kejadian ini."
Pak Sal menatap kami berdua lekat-lekat.
"Kerja yang bagus sekali, Anak-anak," ucapnya perlahan dan
lembut, membuat hidung kami berdua kembang-kempis karena
bangga. "Saya tidak menyangka kalian bisa melakukan sampai
sejauh ini, sampai nyaris membekuk pelaku yang kalian namakan
Oknum X itu, sementara tak ada satu pun yang bisa menebak
siapa pelakunya. Kalian betul-betul luar biasa."
Pada saat kami sedang membubung karena pujian-pujian itu,
Pak Sal menambahkan, "Tapi saya tidak mengharapkan hal ini
terjadi lagi. Lain kali, kalau kalian menghadapi masalah, langsung
beritahu salah satu guru atau, lebih baik lagi, saya sendiri. Jangan
bertindak sendirian. Masalah ini sangat berbahaya, dan saya tidak
ingin ada yang terluka lagi. Mengerti?"
Tatapannya yang mengancam membuat Frankie dan aku lang
sung menempelkan punggung kami ke dinding saking tegang
nya.
"Baik, Pak," sahut kami berdua dengan suara tercekik.
"Bagus," angguk Pak Sal. "Saya akan memanggil polisi. Mereka
akan membutuhkan kalian untuk memberikan keterangan.
Ceritakanlah semuanya, dan setelah itu, serahkan sisanya pada
mereka."
Begitu polisi tiba, kami segera memberikan keterangan dan
menjawab pertanyaan mereka yang mendetail dengan jelas.
Setelah itu kami menemui dokter yang mengobservasi kami, dan
dokter memutuskan bahwa kami boleh pulang setelah mewantiwanti kami luar biasa panjangnya.
Sesaat sebelum pergi, Frankie berhenti di depan ruang operasi
Ivan. Wajahnya mengeras, membuatku tiba-tiba menyadari bahwa
meski tetap tengil seperti biasanya, saat ini Frankie pasti sangat
mengkhawatirkan keadaan kakaknya. Dokter sudah menenangkan
kami bahwa Ivan tidak apa-apa, namun Frankie pasti sangat ke
takutan dan sedih saat menyaksikan kakaknya terjatuh dari
balkon.
Perlahan kusentuh bahunya.
"Frank..."
"Ayo, Tuan Putri, kita pulang," kata Frankie dengan suara
tenang. "Besok akan kita tangkap si Oknum X."
Namun ketenangan itu hanya kedok, karena saat dia meng
gandengku, tangannya gemetaran. Aku meremas tangannya, ber
harap itu bisa menambahkan sedikit kekuatan padanya.
Semua perasaan lembut terhadap Frankie langsung buyar saat
kami kembali ke sekolah untuk mengambil mobil. Tanpa meng
gubris penampilannya yang mirip mayat hidup, Frankie memaksa
memegang setir.
"Meski dalam keadaan terluka parah begini," katanya pongah,
"gue masih lebih jago bawa mobil daripada elo."
"Dengan bacot gede seperti itu," balasku sebal, "berlebihan
banget lo disebut terluka parah."
Tapi berhubung aku sendiri meragukan kemampuan menyetir
ku, kuserahkan kunci mobilku pada cowok sialan itu. Satu lagi
hal yang tak bakalan kuakui, aku merasa sangat aman saat
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Frankie yang menyetir mobilku. Rasanya jauh lebih aman ke
timbang dibawa oleh cowok-cowok lain.
Dari arah sekolah menuju rumahku, kami melewati sebuah
jalan sepi dan panjang yang mirip jalan tol, lebar dan lurus, di
pagari rumah-rumah raksasa milik orang-orang terkaya di
kompleks kami dan lahan-lahan luas yang belum laku-laku juga
saking mahalnya. Saking bagusnya, jalan ini sering digunakan
oleh anak-anak ABG untuk balap mobil dan motor pada malammalam tertentu. Sebagai konsekuensinya, jalan ini juga terkenal
sebagai lokasi yang paling rawan kecelakaan.
"Tuan Putri, lo kenal orang yang bawa mobil Jazz pink?"
Aku mengerutkan alis. Selain Violina yang bawa Benz silver
sialan itu, aku tidak tahu mobil yang dibawa oleh cewek-cewek
lain. Aku hafal mobil-mobil yang dibawa oleh cowok-cowok,
terutama yang pernah mengajakku kencan, tapi jelas tak ada satu
pun yang membawa mobil Jazz pink.
"Nggak," sahutku. "Emangnya kenapa?"
"Ada yang nguntit kita sedari tadi...," gumamnya. "Kemungkin
an besar, si Voldemort."
"Maksud lo, Oknum X?"
"Ganti nama aja sekarang, biar lebih keren."
"Penjahat aja dikasih nama keren," gerutuku sambil melihat ke
belakang melalui kaca spion di sampingku. Benar saja, di bela
kang kami, sebuah Honda Jazz berwarna pink menempel ketat.
Saat melihat pengemudinya, aku menjerit saking kagetnya. "Dia
nggak ada mukanya!"
"Bukan nggak ada mukanya," cela Frankie, "tapi dia pake se
macam topeng. Sepertinya penjahat kita yang satu ini punya
banyak kostum. Penampilannya keren banget."
"Apanya yang keren?" tanyaku ketakutan. "Nakutin, tau!"
"Justru itulah peran penjahat." Wajah Frankie mengeras. "Sial,
dia mulai main kasar!"
Honda Jazz itu mengambil jalur sebelah kanan, tepat di sebelah
kami, lalu mulai mendesak kami ke pinggir. Jalan ini cuma paspasan untuk dua mobil, sehingga mobil kami mulai mepet de
ngan bahu jalan.
"Sial!" geram Frankie lagi. "Ngajak berantem dia!"
"Berhenti aja," usulku, "biar dia cengok di depan."
"Enak aja! Kalo begitu, dia bisa kabur dong."
"Jadi lo maunya gimana?"
"Gue tabrak aja, ya?"
"Enak aja!" seruku spontan. "Ini mobil baru, man!"
"Tapi emangnya gue bisa ngelepasin orang yang baru aja mu
kul elo di depan gue dan ngirim kakak gue ke kamar operasi?!"
Meski suaranya terdengar tenang, mata Frankie menyala-nyala,
menandakan kemarahan besar yang bergolak di dalam hatinya,
membuatku jadi ciut juga. "Tenang aja. Nanti gue ganti ongkos
perbaikannya."
"Nggak usah," ketusku, berusaha menyembunyikan rasa malu
karena lebih mementingkan mobil baru ketimbang perasaan
Frankie. "Gue juga sebel sama dia."
"Lo kira gue cowok macam apa, Tuan Putri? Gue pasti bakal
bertanggung jawab atas semua tindakan gue." Sial, lagi-lagi niat
baikku ditolak mentah-mentah. "Pegangan, Tuan Putri!"
Aku berpegangan pada pegangan di bagian atas pintu mobil.
Sial, menyesal banget kubilang aku aman bersama Frankie. Main
bareng cowok ini memang tidak ada untungnya sama sekali.
Frankie mempercepat mobil kami, namun si pengemudi Jazz
berhasil menyusul kami, bahkan mulai mendesak mobil kami.
Hatiku mencelos saat mendengar bunyi goresan menyakitkan di
bagian samping mobilku. Rasanya aku bisa membayangkan suara
ocehan ayahku.
Sudahlah, lupakan soal itu. Yang penting menangkap Oknum X.
"Sori, Tuan Putri!" Frankie membanting setir dan menghantam
balik Jazz itu. Bukannya ngacir, si Jazz malah menghantam lagi.
Untuk menyeimbangkan posisi mobil, Frankie kembali mengarah
kan setir ke sebelah kanan dan lagi-lagi menghantam Jazz ter
sebut.
Dan di luar dugaan kami, mobil itu terguling melewati pe
misah jalan dan menggelinding ke lajur sebelah.
"Brengsek!" teriak Frankie sambil buru-buru menepikan mobil
dan menghambur ke luar mobil. "Semoga dia nggak mati!"
Aku ikut menghambur ke luar mobil dan menyusul Frankie
yang segera berusaha membuka paksa pintu mobil Jazz itu.
Karena sudah ringsek, pintu itu berhasil dilepaskannya bahkan
hanya dengan satu tangan. Tanpa berpikir panjang, cowok goblok
itu meraih ke dalam mobil, berniat menyelamatkan siapa pun
yang tergolek dalam keadaan terluka di dalamnya.
Mataku terbelalak saat melihat kilatan dari pisau yang diayun
kan si Oknum X pada Frankie. Untunglah refleks Frankie sangat
cepat. Dengan gerakan spontan dia melompat mundur.
"Brengsek!" teriak Frankie. "Perban gue putus!"
Sekarang cowok itu mirip mumi miskin yang compangcamping.
Seandainya Frankie berada dalam keadaan normal, Oknum X
tak bakalan lolos dari cowok itu. Namun saat ini kondisi Frankie
benar-benar parah, dengan kepala dan tubuh penuh perban,
tangan kiri digips dan tangan kanan yang kesakitan karena baru
saja melepaskan pintu Jazz tersebut. Cowok itu berusaha men
jatuhkan pisau yang digunakan Oknum X untuk menyerangnya
dengan kedua kakinya, namun Oknum X tidak berniat berlamalama dengan Frankie. Begitu melihat ada kesempatan, dia lang
sung melarikan diri dari Frankie.
"Hei, jangan kabur!" seru Frankie sambil mengejarnya. Dasar
tolol. Memangnya dikiranya ada kemungkinan si Oknum X ber
sedia menuruti perintahnya?
Yang tak kuduga, ternyata dari seluruh tempat yang bisa
ditujunya, Oknum X malah berlari ke arahku. Aku terpaku
menatap wajahnya yang ditutupi topeng mengerikan, topeng yang
mirip topeng hoki yang sering dipakai Jason si pembunuh
berantai, hanya saja yang ini berwarna krem seperti wajah manu
sia, lebih datar dan bolong-bolongnya hanya sedikit. Kudengar
teriakan Frankie yang menyuruhku lari, tapi aku tidak sanggup
bergerak.
Sedetik sebelum Oknum X mendekatiku, pikiranku bekerja.
Dia juga sama-sama cewek seperti aku, jadi aku tak perlu takut
padanya. Di samping kenyataan itu, aku lebih atletis daripada
cewek-cewek kebanyakan. Aku pasti bisa merobohkannya!
Jadi, dengan pemikiran itu, aku pun maju menghampirinya.
Oknum X menghunjamkan pisaunya padaku. Secara spontan
aku berkelit dan memegangi kedua bahunya. Dengan penuh
percaya diri, aku menyundulkan kepalaku ke kepalanya.
Siapa sangka sundulan itu membuat mataku jadi berkunangkunang?
Sesaat kami berdua tergeletak tanpa bergerak di atas rerumputan
seperti pasangan lesbi yang sedang berpacaran. Tercium olehku
wangi yang familier, wangi yang menenangkan perasaanku, wangi
yang seharusnya milik orang yang begitu dekat denganku. Wangi itu
membuatku lebih dulu tersadar dibanding Oknum X. Yang pertamatama terpikir olehku adalah mencopot topeng yang dikenakan si
Oknum X. Jadi, kuulurkan tanganku dengan perasaan berdebardebar, siap melihat wajah siapa pun yang ada di balik kedok itu.
Ujung besi yang tajam menempel di pinggangku.
Oke, kali ini aku sudah bertindak bodoh. Seharusnya aku me
rebut pisaunya lebih dulu.
Frankie, yang kini sudah menyusul Oknum X, menatapku de
ngan wajah pucat, dan aku membalas tatapannya dengan penuh
sesal.
"Sori, Frank...," ucapku.
Frankie memberiku senyuman menenangkan, dan suaranya te
nang saat berkata, "Lepasin dia. Kalo lo mau apa-apain gue, gue
nggak akan ngelawan. Janji."
Perasaanku jadi terharu banget mendengar ucapan Frankie yang
bersungguh-sungguh itu. Namun, sebagai jawaban tawaran itu,
Oknum X malah menarikku mundur.
"Jangan!" teriak Frankie saat melihat wajahku yang ketakutan.
"Jangan bawa dia. Bawa aja gue. Gue bisa berguna buat lo suruhsuruh, tapi kalau dia, dia cuma bisa ngerepotin elo. Lo kan juga
tahu reputasi dia sebagai anak manja."
Rasa haruku langsung lenyap saat mendengar ucapannya yang
penuh penghinaan itu.
"Nggak usah dengerin bacot si tukang ngoceh ini!" bentakku
pada Oknum X. "Bawa aja gue, nggak usah banyak cincong!"
"Tuan Putri," tegur Frankie, "lo nggak ngerti maksud orang
buat nyelamatin elo?"
"Orang bego juga tau," balasku. "Tapi gue nggak sudi dihinahina supaya bisa selamat. Lo kira gue nggak punya harga diri?"
Frankie diam sejenak. "Sori." Saat aku ingin memaafkannya,
kudengar dia melanjutkan, "Tapi kata-kata gue emang ada bener
nya, kan?"
Cowok ini benar-benar mengesalkan.
"Kalo emang pendapat lo kayak gitu, mendingan lo pergi aja!"
bentakku, tidak menyadari bahwa pegangan Oknum X padaku me
longgar, sementara Frankie makin mendekati kami. "Gue nggak sudi
ditolong oleh cowok yang nganggap gue merepotkan..."
Aku menjerit kaget saat Frankie, dengan tangan kanannya yang
masih berfungsi, merenggut tangan si Oknum X yang memegang
pisau. Namun, si Oknum X bukannya melepaskan pisaunya se
perti yang diharapkan, malah langsung melayangkan tinju ke
muka Frankie yang dipenuhi luka-luka. Seandainya tinju itu me
ngenai sasaran, Frankie pasti bakal merasa sakit banget. Namun,
kali ini aku sigap dan menahan tangan si Oknum X.
"Jangan berani-berani..." Ucapanku terhenti saat melihat jubah
Oknum X tersingkap, menampakkan sebuah gantungan ponsel
mungil berbentuk sandal jepit di dekat saku kemeja seragamnya.
Tanganku langsung melemah, membuat Oknum X berhasil me
lepaskan diri, mendorongku ke arah Frankie, dan sementara
Frankie berusaha menyambutku supaya tidak terjatuh, Oknum X
berlari ke arah mobilku dan melarikannya.
Sesaat, samar-samar aku mendengar suara Frankie yang me
nanyakan apakah aku baik-baik saja.
Lalu, mendadak terdengar suara Frankie yang sejernih kristal.
"Han, gue cium nih kalo lo nggak nyahut lagi!"
Aku mendongak padanya. Wajahku memerah, bukan hanya
karena ucapannya, melainkan juga karena caranya memanggilku.
"Apa?"
"Nah, diancam gitu baru bereaksi." Frankie nyengir. "Elo nggak
apa-apa?"
Bukannya menjawab pertanyaannya, aku malah langsung me
ngeluarkan ponselku. Kutekan nomor menuju Singapura.
Tidak ada jawaban.
Rasanya aku ingin menangis saja.
"Han, elo kenapa?" tanya Frankie menyadari kecemasanku.
"Gantungan ponsel yang dipakai Oknum X...," bisikku. Air mata
ku mulai mengalir tak terkendalikan. "Gantungan itu punya Jenny."
"LO yakin, Han?"
Untuk menjawab pertanyaan Frankie, aku mengeluarkan gan
tungan ponsel milikku. Gantungan ponsel itu berbentuk sandal
jepit, sama persis dengan milik Jenny. Bedanya, punyaku ber
warna shocking pink, sementara milik Jenny berwarna biru aqua.
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Frankie membisu saat melihat gantungan itu. Jelas, dia juga me
lihat gantungan yang sama di saku Oknum X.
"Gue tadi langsung telepon Jenny, tapi nggak ada yang angkat.
Gue takut." Aku mendongak menatap Frankie, mataku kabur
karena air mata. "Gue takut Jenny udah dicelakain sama dia,
Frank!"
"Nggak," Frankie meraihku dan memelukku. Tercium bau
Betadine yang kuat dari luka-luka yang diderita cowok itu, ber
campur dengan aroma tubuhnya yang khas. Merasakan kokohnya
tubuh Frankie dan kehangatannya, membuatku teringat bagai
mana cowok ini selalu bisa kuandalkan. Perasaanku pun menjadi
Petualangan Tom Sawyer Karya Mark Twain Fear Street Terperangkap Trapped Pendekar Cambuk Naga 15 Pemburu Dosa
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama