Ceritasilat Novel Online

Pengurus Mos Harus Mati 4

Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu Bagian 4

lebih tenang, meski hanya sedikit. "Jangan berpikir yang nggaknggak dulu."

"Tapi nggak ada yang tau kalo gue dan Jenny punya gantungan

ini, soalnya ini masih sangat baru," kataku tersendat-sendat. "Bah

kan Tony dan Markus yang paling deket sama gue dan Jenny

juga belum tau. Jadi, gimana cara si Oknum X dapetin gantung

an ponsel Jenny?"

"Coba elo telepon Jenny dulu," saran Frankie. "Telepon juga

orangtuanya, semua tempat yang mungkin dituju sama dia."

"Sekarang seharusnya Jenny masih di Singapura. Di sana dia

tinggal sendirian. Sebenarnya dia tinggal bareng orangtuanya, tapi

mereka selalu pulang larut malam akibat kesibukan pekerjaan me

reka. Sementara itu, rumahnya di sini cuma ditunggui Mbak

Mirna"

"Telepon semuanya. Juga kalau bisa, telepon Tony dan

Markus."

Seperti yang pernah kami coba, nomor ponsel Tony dan

Markus tidak bisa dihubungi. Seperti yang pernah dikatakan

Peter, dua cowok itu benar-benar raib bagaikan ditelan bumi.

Mbak Mirna, meski kegirangan mendengar suaraku, menyahut

bahwa Jenny belum kembali dari Singapura. Suara pengurus

rumah Jenny itu terdengar curiga.

"Apa kalian bertengkar lagi?" tanyanya.

"Nggak," sahutku cepat. "Saya balik lebih cepat, Mbak, soalnya

ada acara di sekolah."

Setelah mendengarkan gerutuan Mbak Mirna selama sepuluh

menit, bahwa seharusnya Jenny lebih aktif di sekolah seperti aku

dan sebagainya, aku pun berhasil menanyakan nomor ponsel

orangtua Jenny. Begitu kusudahi pembicaraan dengan Mbak

Mirna, aku langsung menelepon mereka.

"Jenny?" tanya ibu Jenny dengan nada seolah-olah dia baru ingat

kalau dia punya anak. "Bukannya Jenny tinggal bareng kamu,

Han?"

Hatiku mencelos. "Nggak, Tante. Saya udah kembali ke Indo

nesia."

"Oh iya, Jenny pernah cerita...." Ibu Jenny terdiam lama.

"Tante juga lama nggak lihat dia, Han. Tante kira kalian pergi

menginap entah di mana tanpa bilang-bilang. Kamu kan tahu,

Oom dan Tante selalu memberikan kebebasan untuknya."

Kali ini kebebasan itu terdengar sangat keterlaluan dan sama

sekali tidak perhatian, membuatku ingin menangis untuk Jenny.

Sial, saat ini aku betul-betul sedang cengeng.

"Jangan khawatir, Han. Kalau nanti malam dia nggak pulang,

Tante akan kirim orang untuk mencarinya."

Aku mengucapkan terima kasih dan menyudahi pembicaraan.

"Nggak ada yang tau?" tanya Frankie prihatin.

Aku menggeleng dengan hati dicekam ketakutan. "Gimana nih,

Frank? Jenny tuh bukan cewek kayak gue. Dia tuh lemah lembut,

feminin, dan terlalu baik. Dia gampang ditipu orang, Frank, dan

nggak ada orang di sampingnya saat ini. Tony nggak ada, Markus

nggak ada, bahkan gue yang seharusnya pulang bareng dia pun

kabur duluan. Kalau ada apa-apa terjadi sama dia, semua itu

salah gue, Frank..."

Aku mulai menangis lagi, dan Frankie langsung mendekapku.

Ada perasaan aneh menggelitik hatiku, debaran yang menyenang

kan pada saat-saat gelap begini, saat merasakan Frankie begitu

dekat denganku.

"Dia sangat berarti buat elo, ya?"

"Sangat," anggukku di dadanya. "Dia sahabat terbaik gue,

Frank. Gue dan dia udah melalui sangat banyak pertengkaran

yang nyaris membuat kami jadi musuh seumur hidup, kepercaya

an yang diuji habis-habisan, situasi di antara hidup dan mati....

Pokoknya, begitu banyak hal yang membuat Jenny seharusnya

jauh lebih berharga daripada semua hal yang pernah gue miliki.

Tapi gue malah ninggalin dia sendirian karena gue kepingin jadi

pengurus MOS. Gue bener-bener egois, Frank."

"Elo nggak egois." Suara Frankie terasa sejuk di dekat telinga

ku. "Elo cuma ambisius. Nggak semua orang berambisi, dan

nggak semua ambisi itu baik, tapi elo cocok dengan ambisi lo,

Han." Aku mendongak padanya, dan dia tersenyum padaku.

"Gue bohong waktu bilang lo merepotkan. Sebenarnya lo cewek

yang sangat bisa diandalkan. Cewek mana lagi yang bisa nyundul

penjahat bersenjata pisau? Cewek mana lagi yang bisa jadi partner

gue buat berantem di saat gue sedang terluka gini?"

Hatiku melambung oleh pujiannya, bukan cuma karena semua

itu terdengar menyenangkan, tapi karena aku tahu itu benar.

"Dan kalo Jenny persis seperti yang gue bayangkan, jangan

khawatir, dia akan baik-baik aja."

Aku menatapnya dengan agak kaget.

"Emangnya lo belum pernah liat Jenny?" tanyaku heran. Asal

tahu saja, setiap murid sekolah kami?kuralat, nyaris setiap murid

sekolah kami?tahu soal aku dan Jenny. Kami bahkan dipanggil

sebagai satu kesatuan, "Hanny dan Jenny". Tidak ada yang bisa ber

teman dengan Hanny tanpa Jenny, begitu pula sebaliknya. Itu sebab

nya, saat pacaran dengan Jenny, mau tak mau Tony harus bersahabat

juga denganku. Kalau tidak, bisa-bisa dia ditendang oleh Jenny.

"Sori...," sahut Frankie dengan muka nyaris kelihatan malu-malu.

Itu pun kalau cowok itu punya urat malu. "Saat ngeliat elo, gue

nggak bisa ngeliat cewek lain lagi."

Jantungku berdebar keras. "Ngerayu, ya?"

"Serius, Tuan Putri," katanya lembut, namun terdengar ke

sungguhan pada nadanya. "Meski saat itu bagi gue lo keliatan

nyebelin, tetap aja gue nggak bisa liat cewek lain. Rasanya seperti

tersihir oleh seorang cewek penyihir yang jahat."

Aku cemberut. "Kayaknya kata-kata lo nggak pernah manis

semua. Muji di kalimat yang satu, menghina di kalimat yang

lain."

"Sori, gue emang bukan cowok yang manis." Frankie nyengir.

"Gue cowok yang apa adanya."

Kusadari bahwa cowok yang apa adanya inilah yang kuinginkan

untuk bersamaku selama sisa hidupku yang masih panjang ini.

"Han..."

Pasti cowok ini mau mengajakku pacaran. Oke, bagaimana aku

harus menjawabnya? Jawaban tipikal gue-pikir-pikir-dulu atau

langsung oke? Aku teringat terakhir kali aku menjawab "oke" saat

diajak pacaran, dan bagaimana hasilnya ternyata kacau berat (ya,

cowok yang mengajakku pacaran waktu itu adalah si Tony sialan).

Tidak, aku harus tetap tegas dengan pendirianku, selalu menyahut

beri-gue-waktu-seminggu-untuk-berpikir.

"Menurut lo, Jenny bener-bener baik?"

Aku mengerjapkan mata, tak menduga pertanyaan itu. "Hah?"

"Mm, terlintas nggak dalam pikiran lo kalau ternyata Jenny

adalah Oknum X?"

Kemarahan yang mendadak muncul membuat aku menarik diri

dari Frankie.

"Jangan berani-berani!" ucapku dingin.

"Tapi lo harus mengakui," kata Frankie pelan, "kalo kemung

kinan besar..."

"Kemungkinan besar apanya?!" bentakku, berusaha menyingkir

kan wangi yang tercium dari tubuh Oknum X saat kami berdekat

an. Wangi familier itu. Wangi Jenny. "Lo nggak kenal Jenny sama

sekali! Dia itu cewek paling mulia di dunia ini! Nggak mungkin

dia nyelakain semua teman kita, nggak mungkin dia nyelakain

gue!"

Memikirkan Jenny mungkin mencelakaiku membuat dadaku

terasa sesak. Tapi wangi itu, gantungan ponsel itu. Tidak, tidak

mungkin. Aku sudah pernah mencurigai Jenny, dan aku salah

besar. Aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama lagi. Ku

gelengkan kepalaku keras-keras. "Nggak mungkin dia tega ngelaku

in semua itu, Frank. Kalau lo kenal Jenny, lo pasti nggak akan

mikirin hal itu sedetik pun!"

"Tapi biasanya pelaku kejahatan emang orang yang nggak ter

duga," bantah Frankie, "dan orang itu biasanya deket dengan

kita. Lagi pula, sori, Han, gue nggak percaya kalo lo bilang Jenny

cewek paling mulia di dunia ini. Nggak mungkin ada cewek

seperti itu di sekolah kita yang borju dan dipenuhi anak-anak

manja itu. Elo terlalu deket sama Jenny, sampai-sampai lo nggak

bisa ngeliat dari perspektif yang tepat"

"Perspektif yang tepat itu ya perspektif gue!" teriakku berang.

"Perspektif lo perspektif orang luar yang goblok dan nggak tahu

apa-apa! Gue kenal Jenny luar-dalam, gue tahu dia nggak mung

kin ngelakuin hal-hal sejahat itu. Boro-boro mukul gue, nge

bentak gue aja dia nggak bakalan tega!"

"Ya udah, ya udah!"

Frankie menarikku, dan dengan tololnya aku bersandar di

bahunya.

"Nggak mungkin Jenny...," ucapku berkeras.

"Iya, kalo lo seyakin itu, gue percaya," katanya sambil meng

usap rambutku. "Jangan marah lagi, Tuan Putri. Gue kan nggak

bermaksud apa-apa, hanya saja kemungkinan itu terlintas dalam

pikiran gue."

Jantungku nyaris berhenti saat merasakan sapuan bibir Frankie

di rambutku.

"Lo nyolong cium gue, ya?" tanyaku dengan tubuh mene

gang.

"Tuan Putri...." Suara Frankie terdengar geli. "Nggak ada yang

nyangka lo udah pacaran ratusan kali kalo ngeliat sikap lo yang

nggak romantis sama sekali ini."

"Gue emang nggak romantis," balasku sambil mendongak me

natap cowok itu. "Dan gue nggak pacaran sampai ratusan kali

kok. Cuma," aku berusaha menghitung berapa kali aku pernah

pacaran, "...puluhan kali."

Frankie tertawa sambil membenamkan wajahnya di rambutku

dan memelukku lebih erat lagi. "Bandingin aja sama gue yang

belum pernah pacaran sama sekali."

"Gitu aja bangga. Dasar cowok nggak laku."

Frankie menarik diri dariku. Mukanya tampak lucu.

"Cowok nggak laku?" ulangnya. "Lo tau nggak, ada berapa

cewek yang pernah ngejar-ngejar gue?"

Rasa cemburuku langsung terbit. "Siapa yang pernah ngejarngejar elo?"

"Banyak!" sahutnya sok. "Tapi nggak ada yang secakep elo

sih...."

Sekarang aku jadi curiga. "Jangan masukin gue ke daftar cewek

yang ngejar-ngejar elo, ya!"

Frankie tertawa. "Bukan ding, lo satu-satunya nama di daftar

yang satu lagi."

"Daftar apa?"

"Daftar cewek yang pernah gue kejar."

Sial! Kenapa cowok ini pandai sekali membuat jantungku

berdebar tak keruan? Untuk menutupi perasaanku, aku cemberut

dan berkata, "Dasar nggak tau malu! Adik kelas berani-beraninya

ngejar kakak kelas. Nyolong cium, lagi! Lain kali nggak boleh ya,

Dik."
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lagi-lagi mukanya kelihatan lucu. "Siapa yang lo panggil ?Dik??

Dasar cebol."

"Cebol?" dengusku. "Seratus enam puluh senti itu nggak cebol,

kali! Dasar anak kelas sepuluh!"

"Eits, itu bukan lantaran gue masih kecil, tapi karena gue

nggak naik kelas."

"Yang begituan nggak usah dibanggain."

"Nggak bangga kok," balasnya. "Tapi gue nggak sudi dibilang

lebih kecil. Lebih nggak sudi lagi dipanggil ?Dik?."

"Aneh banget," celaku. "Orang lain seneng dibilang lebih muda,

kenapa lo nggak seneng?"

"Cuma cewek yang seneng dibilang lebih muda," tukasnya.

"Kalo gue sih lebih seneng disangka lebih tua."

"Iya deh, Oom."

Frankie mendelik padaku. "Nggak setua itu, kaleee!"

"Jadi maunya dipanggil apa?" tanyaku geli.

Dia tepekur lama, seolah-olah jawaban atas pertanyaan ini me

mang harus dipikirkan secara serius. Lalu mendadak tampangnya

seperti mendapat pencerahan.

"Mulai sekarang, panggil gue Kakanda."

Aku langsung berjalan meninggalkannya.

"Nggak keren, ya?" tanyanya sambil menyusul di sampingku.

"Gimana kalo Abang? Mas? Kakak?"

Aku menoleh padanya. "Panggilan yang paling cocok buat elo,

si Brengsek."

"Itu kan nggak ada manis-manisnya," protesnya.

"Ngaca dulu sana. Emangnya lo punya tampang yang layak

dikasih panggilan manis?"

"Nanti deh, begitu pulang gue langsung ngaca. Janji."

Kami berdua berdiri di tepi jalan tanpa berbuat apa-apa.

"Nah, kita mau ngapain sekarang?" tanya Frankie.

"Ya nungguin taksi," ketusku. "Lo kira kita mejeng doang?"

"Nungguin taksi sama aja dengan mejeng doang," kata Frankie

tenang. "Berapa banyak taksi yang lewat di jalan sepi ini? Sebiji

seminggu?"

Aku cemberut. "Jadi saran lo apa?"

"Kita telepon bala bantuan."

Dengan penuh gaya Frankie mencabut ponselnya yang kukenali

sebagai ponsel yang pernah ngetren beberapa tahun lalu dan kini

sudah jadi rongsokan.

"Halo, Les? Udah pulang kerja? Ada waktu buat jemput gue

dan Hanny di pinggir jalan tol deket sekolahan?" Cara bicaranya

seolah-olah kami baru saja pulang kencan atau hal-hal ceria se

macam itu, bukannya baru dipukuli hingga babak belur dan jadi

korban perampasan mobil. "Belum, kami belum makan. Boleh,

bawain minum sekalian. Itu tuh, es kelapa muda Mpok Surti!

Iya, iya, betul! Gue mau yang dicampur sama es jeruk itu!"

Lalu, dia bertanya padaku, "Mau es jeruk, es kelapa muda,

atau campur?"

Cowok ini benar-benar tidak mengerti yang namanya keadaan

genting.

"Campur."

Oke, kalau aku, bukannya aku tidak mengerti keadaan genting.

Hanya saja, sekarang aku haus banget. Rasanya aku rela menjual

jiwaku demi membeli es jeruk dicampur es kelapa muda. Tapi

untunglah, saat ini sepertinya aku tidak perlu bayar apa-apa.

"Es kelapanya jadi dua, Les. Esnya yang banyak, ya! Haus bener

gue! Oke, sampai nanti." Frankie mematikan ponselnya, lalu berkata

padaku dengan riang, "Sip, bala bantuan segera datang!"

Kami berdua duduk di trotoar seperti sepasang mumi yang

hidup terlunta-lunta setelah kabur dari piramida.

"Sori soal mobil lo...," kata Frankie sambil menoleh padaku.

"Ya," anggukku murung. "Bokap gue bakalan bunuh gue."

"Nanti gue usulin gue yang dibunuh aja deh. Mungkin setelah

menghabisi satu nyawa, bokap lo nggak akan haus darah lagi."

"Lo kira bokap gue sebrutal apa?" tukasku geli.

"Yah, kalau diliat dari sifat anaknya, mungkin brutal banget."

Aku menonjok bahunya, dan dia meringis.

"Gimanapun, kejadian sore ini salah gue," kata Frankie lagi.

Aku menoleh padanya. "Kok tahu-tahu bilang gitu?"

"Pertama-tama, gue berhasil menyingkap identitas Oknum X.

Meski cuma sedikit yang kita ketahui, ini pasti udah ngacauin

rencananya dan bikin dia jadi panik. Nggak heran dia ngelakuin

tindakan di luar modus operandinya, kan?"

Kata-kata Frankie benar juga.

"Lagian, gue yang maksa buat ngejar dia. Kalo gue nggak soksokan, mungkin mobil lo cuma tergores dikit."

"Iya, lo emang hobi sok-sokan, tapi buat gue sama aja kok.

Tergores ataupun dicuri, gue pasti diomelin abis-abisan."

"Nanti gue pasti bertanggung jawab deh," hibur Frankie. "Gue

bakalan nemuin orangtua lo dan ngejelasin semua yang udah

terjadi. Gimanapun, semua ini udah telanjur. Mereka pasti ngerti

kondisi yang kita hadapi."

Aku memelototinya. "Tolong deh, jangan deskripsiin masalah

kita seolah-olah lo baru menghamili gue."

"Hah?" Tampang Frankie bengong sejenak. "Nggak lah. Gue kan

anak polos, mana mungkin gue ngelakuin hal sebejat itu? Kecuali

kalo lo ngegoda gue abis-abisan, Tuan Putri. Kalo begitu, mungkin

gue susah bertahan juga dari prinsip-prinsip kuat gue..."

Cowok ini benar-benar kurang ajar. Sejak kapan aku jadi ce

wek penggoda? Memangnya aku Violina?

"Capek gue dengerin omongan lo!" ketusku sambil berdiri,

menepuk-nepuk rokku, lalu berjalan pergi.

"Hei, Tuan Putri, tunggu!" Kudengar Frankie berteriak di

belakangku. "Ya ampun, setiap kali ngambek, pasti kerjanya kabur

melulu."

Aku mempercepat langkahku saat Frankie berhasil menyusulku.

Tapi berhubung kaki sialannya jauh lebih panjang daripada kaki

ku, apalagi kakiku juga masih agak sakit akibat tertimpa balok

beberapa hari lalu, dia sama sekali tidak mengalami kesulitan

menyejajarkan langkahnya dengan langkahku.

"Jangan marah dong. Kita kan baru selamat dari marabahaya

bersama-sama. Kapan lagi lo bisa nemuin cowok yang bisa

dampingin lo baik dalam susah maupun sengsara, setengah hidup

maupun setengah mati, seperti yang udah kita alamin sama-sama

ini?"

Kubiarkan dia merepet sesukanya di sampingku tanpa benarbenar kudengarkan. Habis, omongannya benar-benar tidak ber

mutu. Lebih baik aku memikirkan hal lain yang lebih penting,

seperti bagaimana aku harus menjelaskan semua kejadian hari ini

pada orangtuaku sebelum aku diberi vonis hukuman mati.

Sebuah truk bobrok melintas di samping kami.

"Gila! Ini pasti pertengkaran antarkekasih paling dahsyat yang

pernah gue temuin!"

Mendengar suara familier itu, aku langsung berseru girang,

"Les!"

"Halo, Han." Les menghentikan truknya. "Si Frankie sampai

babak belur begitu karena perbuatanmu?"

"Kuharap sih begitu," gerutuku.

Sementara itu, si cowok babak belur memprotes dengan tidak

tahu terima kasih, "Yah, kok gue dijemput pake truk nyaris

mogok gini?"

"Truk nyaris mogok yang lo maksud ini truk milik gue sendiri,

tau!" cela Les. "Ayo masuk, Han!"

Tanpa malu-malu kami segera masuk ke truk itu. Begitu

menemukan kantong plastik berisi dua bungkus es kelapa campur

jeruk di kursi penumpang, kami langsung berseru girang.

"Jadi," Les menjalankan truknya lagi, "ceritanya gimana sampai

kalian berdua terdampar di jalanan kosong dengan kondisi me

ngenaskan gini?"

"Ini semua gara-gara Oknum X," kata Frankie.

Setelah menyedot esnya dengan kekuatan penuh, Frankie mulai

menceritakan semua yang terjadi pada kami sejak terakhir kali

kami ketemu Les. Aku tidak menimpali sama sekali karena sibuk

menikmati esku. Setelah mengalami berbagai kejadian mengerikan,

menikmati minuman enak begini rasanya benar-benar bagaikan

berada di surga. Tidak secara harfiah, tentu saja, karena aku

masih belum kepingin mati dan sangat betah berada di bumi.

Les menyimak cerita Frankie sambil menyetir, memberikan

pertanyaan-pertanyaan yang menandakan dia memperhatikan

dengan baik, dan pada akhirnya memberikan komentar, "Seperti

nya pembuat onar seperti elo pun belum pernah nemuin bahaya

seperti ini ya, Frank?"

"Begitulah...," kata Frankie muram. "Gue kesel banget karena

gue nggak bisa berbuat apa-apa untuk nyelametin Ivan, Les."

"Kalo nggak berbuat apa-apa, lo nggak akan babak belur be

gini, Frank." Ucapan Les sama seperti jawaban yang akan kuberi

kan pada Frankie, seandainya dia lebih manis sedikit. "Tapi ke

jadian sore ini ada hikmahnya juga, Han."

"Hikmah apa?" tanyaku ingin tahu.

"Aku yakin, ayahmu pasti mengasuransikan mobilmu. Kalau si

Oknum X hanya menggores mobilmu, kamu mungkin akan sulit

narik klaim dari asuransi, karena goresan itu mungkin saja terjadi

akibat kecerobohanmu. Tapi kalau dicuri, udah jelas semuanya

akan jadi tanggungan perusahaan asuransi. Jadi, selain beberapa

kerepotan, kemungkinan semuanya akan baik-baik aja." Aku lega

sekali mendengar penjelasan Les. "Tapi, untuk jaga-jaga, biar

nanti aku yang bicara dengan ayahmu."

"Enak aja!" sergah Frankie. "Itu tugas gue, tau!"

"Tampang lo kayak anak tengil gitu, siapa yang mau percaya

sama omongan lo?" balas Les kejam.

"Kayak tampang lo nggak tengil aja!"

"Sori, entah kenapa, calon-calon mertua gitu biasanya sering

terkesan sama gue."

"Itu gue lebih nggak rela lagi!" teriak Frankie. "Itu calon mer

tua gue, bukan calon mertua lo!"

"Hei, itu ortu gue!" teriakku tak mau kalah.

"Hei, kita ke kantor polisi dulu, ya!"

Serempak, aku dan Frankie menoleh pada Les.

"Hah? Cuma gara-gara ini gue mau diserahin ke polisi?" tanya

Frankie panik.

"Bukan begitu," tukas Les geli. "Tapi kita harus melaporkan

perampasan mobilmu, Han. Kalau kita menyelesaikan masalah ini

sebelum pulang, ini pasti akan mengurangi kemarahan orangtua

mu."

Betul juga. Memang asyik bergaul dengan cowok dewasa se

perti Les. Sepertinya dia selalu tahu apa yang harus dilakukan.

"Cari kenalanku, Inspektur Lukas," pesanku. "Dia paman

Markus."

"Markus-Markus melulu dari tadi," gerutu Frankie.

Aku menatapnya galak. "Sejak kapan gue ngomongin Markus

melulu?"

"Auk ah!" sahut Frankie sinis.
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya ampun, Frank, hari gini masih jealous," kata Les geli. "De

wasa sedikit dong."

"Iya nih, dewasa dikit dong," kataku membeo ucapan Les.

Frankie cuma melemparkan tatapan sebal pada kami.

Urusan kami di kantor polisi tidak terlalu lama. Inspektur

Lukas rupanya sudah mendengar peristiwa-peristiwa yang terjadi

di sekolah kami.

"Sepertinya kamu selalu terjerumus dalam masalah ya, Han,"

kata paman Markus itu dengan geli.

"Iya, Pak Inspektur," sambar Frankie sebelum aku sempat me

nyahut. "Dia emang tukang cari masalah."

"Hei, bisa diam nggak sih?" bentakku. "Ini kantor polisi. Kalo

lo macem-macem, gue suruh orang penjarain lo juga."

"Lah, apa salah gue sampai harus dipenjara?" tanya Frankie

dengan suara agak kecil, menandakan dia takut juga dengan

ancamanku.

"Banyak." Aku berpikir sejenak. "Salah satunya, suka beran

tem."

"Nggak," bantah Frankie, lalu menoleh pada Pak Inspektur

yang menatap kami dengan geli. "Sungguh, Pak. Saya udah jarang

berantem. Minggu ini malah nggak sempet."

"Terus, kejadian lo sama Benji?"

Tangan Frankie membekap mulutku. "Udah selesai interogasi

nya, Pak? Kami boleh pergi, ya?"

Tawa Les langsung menyembur, sementara Pak Inspektur cuma

menatap kami dengan mata berkilat-kilat geli. "Saya belum tanya

apa-apa, kan?"

Si Frankie memang goblok.

Aku menceritakan kejadian sore ini, diselingi tambahan-tambah

an tak berguna dari Frankie dan pertanyaan-pertanyaan dari Pak

Inspektur yang mencatat saat mendengar keteranganku. Pada

akhirnya, Pak Inspektur mengangguk-angguk.

"Oke, nanti akan saya sampaikan pada polisi yang menangani

kasus sekolahmu."

Aku menatapnya dengan kecewa. "Oom bukan polisi yang me

nangani kasus ini?" Aku memanggil Inspektur Lukas dengan se

butan "oom"?seperti cara Markus memanggil pamannya itu?ka

rena sudah merasa cukup akrab dengan beliau sejak beliau

menangani kejadian yang melibatkan aku, Jenny, Tony, dan

Markus waktu itu.*

"Sayangnya bukan. Saat ini saya sedang sibuk dengan kasus lain.

Tapi tenang saja. Kalau kasus itu sudah selesai, dengan senang hati

saya akan ikut membantu menyelesaikan kasus kalian."

"Oke deh, makasih banyak, Oom Lukas." Aku mengucapkan

terima kasih.

Setelah semua urusan selesai, kami segera berpamitan dengan

Inspektur Lukas, lalu kembali ke mobil.

"Sekarang kita ke rumahmu, Han," kata Les mengambil alih

kembali. "Lewat mana, ya?"

"Gampang kok jalannya," sahut Frankie seolah-olah dia yang

ditanya. "Lewat sebelah sini lebih cepat."

Dengan tampang sok tahu, Frankie menunjukkan pada Les

jalan menuju rumahku, padahal itu kan rumahku. Seharusnya

aku yang menunjukkan jalan dong. Jadilah kami berdua berebut

an bicara. Untunglah Les lalu memarahi Frankie dan menyuruh

nya diam.

Kami tiba di rumahku. Seperti rencana, Les mengantarku ma

suk, dan Frankie tentu saja tidak mau ketinggalan.

Saat pintu rumahku terbuka, kulihat wajah ibuku yang me

mucat ngeri.

"Astaga! Apa yang terjadi padamu, Nak?"

Aku sudah siap untuk menangis dan merengek di pelukan

ibuku. Setelah mengalami hal mengerikan sepanjang hari, hal

yang paling menyenangkan adalah bermanja-manja di pelukan ibu

Baca Obsesi, Lexie Xu, Gramedia Pustaka Utama

sendiri. Namun, bukannya mulai menghiburku, ibuku malah

menghampiri Frankie dan merangkul cowok yang tampangnya

tidak kalah syok denganku itu.

"Anak malang, kenapa sampai terluka parah seperti ini?" ucap

ibuku cemas. "Kamu nggak apa-apa?"

Oke, cowok itu memang kelihatan tidak berdaya dengan lukalukanya itu. Tapi ibuku tidak tahu manusia macam apa Frankie

sesungguhnya. Kalau beliau tahu, beliau tak bakalan menghujani

Frankie dengan sikap keibuan seperti itu.

"Ma..."

"Apa yang terjadi, Han?" Ibuku menoleh padaku. Wajahnya

berubah galak. "Kamu nabrak dia, ya?"

"Ma!" hardikku kesal. "Apa Mama nggak liat, anak semata

wayang Mama juga luka-luka?"

Ibuku menatapku dengan saksama. "Mana?"

"Ini!" Aku menaikkan poniku dan memperlihatkan memar

bekas adu kepalaku dengan Oknum X. "Liat, gede banget, kan?

Terus yang ini juga...," aku menunjukkan punggungku yang

masih terasa sakit dan pastinya lebam, "...tadi ada yang mukul

aku pake tongkat bisbol...."

Ibuku menatapku dengan raut wajah tidak percaya. "Kamu

ribut-ribut soal memar-memar segitu aja di depan anak yang

terluka seluruh badannya ini?!"

Tidak adil betul membandingkan lukaku dengan luka Frankie.

Tapi mungkin ibuku benar juga. Tidak seharusnya aku me

ngeluh.

Apa yang kuocehkan? Aku Hanny Pelangi. Aku cewek manja

yang tidak biasa mengerjakan tugas kasar, apalagi berkelahi dengan

penjahat bersenjata. Mobil kesayanganku dirampas orang di depan

mataku setelah digores-gores dengan tidak berperikemobilan, dan

aku tidak tahu apakah setelah ini aku masih diizinkan membawa

mobil atau tidak. Pokoknya, hari ini hari yang paling traumatis

bagiku, dan aku mau menangis sekeras-kerasnya.

Saat melihat mataku yang mengerjap-ngerjapkan air mata, Les

dan Frankie langsung panik.

"Luka saya nggak ada apa-apanya, Tante," ucap Frankie cepat.

"Perbannya aja yang banyak. Dalemnya mulus banget kok."

"Lagi pula, Hanny baru mengalami kejadian yang lebih me

ngerikan, Bu," kata Les.

Mendengar panggilan yang jarang dilontarkan oleh temantemanku itu, barulah ibuku menyadari kehadiran cowok yang

usianya lebih dekat dengannya ketimbang denganku itu. Memang,

terkadang Les bisa tampil begitu low profile sehingga orang-orang

tidak menyadari keberadaannya. Namun kini, saat harus meng

hadapi Les, ibuku langsung terpesona.

"Kamu siapa, ya?"

"Saya..."

Sebelum Les sempat menyahut, ayahku muncul dan langsung

menambah kericuhan.

"Ada apa ribut-ribut begini?" tanyanya dengan tampang sok

galak. "Kenapa kamu diantar pulang, Han? Mana mobilmu?"

Matanya menelusuri kami dengan curiga. "Kalian luka-luka. Apa

kalian baru kecelakaan? Mobilnya bagaimana?"

Sial, ibuku lebih perhatian pada temanku, ayahku lebih perhati

an pada mobilku. Aku tidak mengerti kenapa semua orang, ter

masuk Jenny, menganggap orangtuaku adalah orangtua yang

ideal.

Teringat Jenny membuat hatiku jadi murung lagi.

Melihatku hanya diam membisu, Les langsung mengambil alih

situasi.

"Selamat sore, Bapak, Ibu." Dia menyalami orangtuaku yang

langsung memperhatikannya dengan penuh rasa ingin tahu. "Saya

Leslie, teman Frankie dan Hanny. Akan saya jelaskan situasi yang

baru saja dialami oleh Frankie dan Hanny."

"Situasi?" tanya ayahku tak sabar.

"Ng... Nak Leslie...." Ibuku jelas-jelas sulit menerima bahwa

teman anaknya nyaris seusia dengannya, dan masih saja me

manggil Les dengan sebutan cupu itu. "Mari masuk dulu. Kita

bicara di tempat yang lebih nyaman saja. Juga anak muda ini.

Namamu Frankie, ya? Ayo, silakan masuk."

Dalam sekejap ibuku tampil jadi nyonya rumah yang ramah

dan hangat, menyajikan teh hangat dan berbagai kue-kue manis.

Di sisi lain, Les langsung berhasil memesona kedua orangtuaku.

Dengan pilihan kata-kata yang tepat, dia menceritakan kejadian

yang kualami bersama Frankie sebagai tindakan heroik yang

sangat mengesankan. Tahu-tahu saja ibuku sudah merangkulku

erat-erat dan berkata, "Untung kamu baik-baik saja, Han."

Akhirnya ada yang memperhatikanku juga!

Sementara itu, ayahku langsung menelepon perusahaan asuransi

begitu Les menyelesaikan ceritanya. Lalu, saat dia menutup tele

pon, dia menepuk bahuku dan berkata, "Tenang saja, Sayang.

Kamu nggak usah khawatir lagi. Kita akan dapatkan mobilmu

kembali, utuh."

Aku menatap Les dengan takjub. Ternyata dia tidak main-main

waktu mengatakan dia pandai berhubungan dengan calon mertua,

meski itu bukan calon mertuanya. Dan jelas, bukan calon mertua

cowok yang satunya lagi juga.

Karena desakan orangtuaku, Frankie dan Les ikut makan ma

lam bersama kami. Lagi-lagi aku takjub melihat kedua cowok itu,

bagaimana keduanya sanggup membawa diri dengan baik dan

sopan. Les yang tidak pernah memiliki keluarga yang utuh, tidak

canggung saat menghadapi orangtuaku yang jelas-jelas meng

anggapnya seusia denganku. Sementara Frankie si pembuat onar

juga terlihat seperti anak yang baik. Kalau melihat pembawaannya

saat ini, tak bakalan ada yang menyangka dia tukang berkelahi

yang hobi bolos sekolah sampai-sampai tidak naik kelas.

Setelah makan malam, keduanya pamit dengan sikap tahu

diri.

"Hanny pasti sudah capek," kata Les saat orangtuaku berusaha

menahan mereka, "dan dia butuh tenaga untuk menghadapi hari

esok di sekolah. Akan ada banyak pertanyaan dan perhatian

dengan maksud baik, tapi sangat menguras tenaga." Dia menoleh

padaku. "Istirahat ya, Han?"

"Nggak usah pikirin macam-macam." Frankie menyentuh ram

but depanku. "Jangan lupa olesin memar lo itu dengan salep."

"Iya, tau," tukasku. "Gue juga nggak mau kecantikan gue ber

kurang gara-gara beginian aja."

Frankie menghela napas. "Dasar Tuan Putri, tetep sok sampai

detik-detik terakhir."

"Ayo, Frank, kita cabut," ajak Les. "Selamat malam, Pak, Bu.

Bye, Han!"

"Bye, Les!"

"Gue nggak di-bye juga?" Tentu saja ini ocehan Frankie.

"Bye, Dik."

Frankie menatapku dengan muka datar. "Besok ya, balasnya."

Dasar jaim. Mentang-mentang di depan orangtuaku.

Saat keduanya sudah lenyap dari pandangan, barulah orangtua

ku mengajakku masuk. Aku langsung curiga saat keduanya me
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

natapku dengan wajah tersenyum penuh persekongkolan.

"Apa?" tanyaku kurang ajar.

"Frankie itu pacar barumu?"

Aku memelototi orangtuaku. "Enak aja! Siapa yang mau sama

cowok geblek kayak gitu?"

"Dia kan masih kecil, jadi kelihatan geblek," kata ayahku sok tahu.

"Nanti kalau sudah besar, anak itu bakalan jadi orang hebat!"

"Baru ketemu sebentar aja Papa udah tau masa depan dia ka

yak apa?" sindirku.

"Yah, begini-begini kan Papa pandai menilai orang," kata ayahku.

"Seperti kamu, kamu itu bakalan jadi istri yang bikin susah suami."

Astaga, masa ada ayah yang berani mengatai anaknya seperti itu?

"Makanya kamu harus punya suami yang kuat, yang sanggup

mengatasi kamu, yang bisa bikin kamu respek sama dia."

Aku tidak sanggup menahan tawa. "Dan Frankie orang yang

bisa bikin aku respek?"

Ayahku tersenyum. "Liat aja nanti."

Orangtuaku memang mengada-ada. Ya sudahlah. Biar saja

mereka mengada-ada. Yang penting aku tidak kena omel malam

ini. Yay!

Aku berendam lama-lama di dalam bathtub yang sudah kuisi

dengan air hangat yang dicampur dengan wangi aromaterapi.

Pikiranku jadi rileks. Kupejamkan mataku rapat-rapat, menikmati

waktu istirahat yang hanya milikku sendiri. Namun pikiranku

lagi-lagi kembali pada orang yang paling berarti dalam hidupku

saat ini.

Jenny, saat ini kamu ada di mana?

KISAH horor kelima SMA Persada Internasional:

"Pada suatu ketika, terdapat seorang siswi yang sangat pengiri dan

sering mengkritik murid-murid populer di sekolah ini, membuatnya

menjadi salah satu tokoh yang paling tidak disenangi di sekolah. Suatu

hari, siswi ini mengkritik salah satu cewek paling cantik dan populer

di sekolah, dan kritikan itu membuat berang salah satu murid laki-laki

yang jatuh cinta pada cewek populer itu. Maka si murid laki-laki pun

menyiapkan jebakan bagi siswi itu di laboratorium kimia. Pada saat

mereka sedang mengadakan praktikum, tiba-tiba saja lemari berangka

besi yang dipenuhi tabung-tabung kimia menimpa siswi pengiri itu.

Siswi pengiri itu tewas seketika di tempat, dengan tubuh dan wajah

hancur berantakan karena zat-zat kimia yang mengenainya. Namun

roh penasaran si siswi pengiri tidak mau disingkirkan begitu saja.

Setiap kali ada kesempatan, hantu si siswi pengiri selalu mengganggu

murid-murid yang sedang mengadakan praktikum di laboratorium

kimia, siap melakukan pembalasan dendam pada murid-murid yang

lengah dan tidak menyadari kehadirannya"

Violina, kelas XII Bahasa 2, Sekretaris II OSIS

"Pertanyaan dan perhatian dengan maksud baik" yang disebutsebut Les semalam ternyata direbut semuanya oleh seorang bajing

an bernama Frankie.

Saat aku tiba di sekolah, sepuluh menit menjelang bel masuk,

kulihat dia sedang membual habis-habisan di depan para peng

urus MOS yang terkesima mendengar omong kosongnya.

"Kakinya bener-bener panjang, putih, dan seksi banget...," kata

nya dengan muka menerawang yang membuatku kepingin

membantu si Oknum X memukulinya, "...tapi cuma sampe segitu

yang bisa diliat. Tubuhnya bongkok, kulitnya pucat totol-totol,

jadi kayaknya dia bisa nularin penyakit yang nggak bisa di

sembuhin deh. Matanya gede banget, warnanya merah, asli nggak

pake lensa kontak. Idungnya pesek banget, sampe nyaris rata, tapi

dia punya lubang idung yang gede-gede sampe kita bisa liat

upilnya. Mulutnya keriput-keriput, nggak ada bibir sama sekali,

mana giginya ompong semua, tinggal jigongnya aja yang tersisa.

Pokoknya, mirip nenek sihir deh!"

"Kata lo kayak Voldemort," gerutuku.

"Lho, Voldemort kan nenek sihir juga!"

Aku memelototi si goblok itu. "Lo bisa bedain cowok dengan

cewek nggak sih?"

"Masa nggak bisa?" balasnya penuh semangat. "Cowok itu

nggak punya"

"Frankie." Selaan Benji yang tepat waktu menghentikan

omongan Frankie yang siap merusak moral para pengurus MOS.

"Kenapa lo bisa sama-sama Ivan saat serangan itu terjadi?"

"Pastinya," sahut Frankie dengan tampang sok pintar, "karena

gue berhasil nebak jalan pikiran si Voldemort."

"Kalo gitu," kata Violina genit, "kamu tau dong siapa korban

berikutnya."

"Ya," sahut Frankie tegas. "Korban berikutnya ya elo, Viol."

Suasana yang tadinya ceria langsung berubah sunyi.

Lalu Violina tertawa kecil. "Ah, jangan bercanda! Kok bisa aku

yang jadi korban berikutnya? Kan aku nggak salah apa-apa."

"Karena elo yang mengarang kisah horor nomor lima." Frankie

menatap para pengurus MOS dengan heran. "Apa nggak ada

yang sadar? Semuanya keliatan begitu jelas kok. Para korban

nggak lain adalah para pengarang kisah horor sesuai urutan,

mungkin juga ditambah pengurus MOS lain yang kebetulan ada

di TKP."

Hanya sedikit gerakan yang terjadi, tapi aku bisa melihat be

tapa para pengurus MOS yang lain mulai beringsut menjauhi

Violina yang tampak pucat.

"Bener juga...," kata Benji dengan muka muram. "Diawali

dengan Mila, Peter, Anita, lalu yang terakhir Ivan. Sepertinya

sasaran selanjutnya adalah Violina, dan target terakhir adalah

aku...!"

Frankie mengangguk. "Seratus buat Kosis."

"Jadi, apa yang harus aku lakuin?" Mataku langsung tertuju

pada jari-jari Violina yang memegangi lengan Frankie. "Aku

nggak mau jadi korban seperti yang lainnya. Kamu harus tolong

aku, Frank!"

Dasar cewek keparat. Belum pernah kutemui cewek ganjen

selihai ini. Bisa-bisanya dia menggunakan kesempatan ini untuk

melakukan PDKT pada Frankie!

"Lo nggak usah khawatir, Viol," kata Frankie dengan nada

lembut yang terdengar lebay banget di telingaku. "Gue udah janji

untuk nangkap orang itu dengan tangan gue sendiri. Jadi, mulai

sekarang, gue nggak akan ninggalin elo."

Oke, dari sekian kegoblokan yang dilakukan Frankie, inilah

puncaknya. Ini membuktikan dia tidak berbeda dengan cowokcowok lain, semuanya tidak ada yang sanggup lolos dari pesona

dangkal Violina. Benar-benar mengenaskan. Kurasa aku memang

harus menetapkan hati untuk menjadi perawan tua daripada

harus terjebak seumur hidup dengan makhluk-makhluk purba

yang goblok dan lemah terhadap cewek-cewek dangkal dan breng

sek semacam itu. Bisa-bisa aku makan hati seumur hidup.

Aku beranjak pergi.

"Hei, Tuan Putri, mau ke mana?"

"Bukan urusan lo," ketusku tanpa menoleh.

Bisa kudengar suara Frankie yang penuh kebingungan di

belakang punggungku. "Kok tau-tau ngambek sih?"

Cowok ini memang sudah tidak bisa ditolong lagi. Gobloknya

benar-benar keterlaluan.

Selama sisa hari ini aku menghindari Frankie. Tapi bukannya

minta maaf, merayu, atau apa sajalah yang menunjukkan perhatian

nya padaku, Frankie malah mendampingi Violina mengurusi Grup

Kurap-nya yang menyebalkan. Aku berusaha keras tidak memper

hatikan mereka. Namun, meski sudah menahan diri sekuat tenaga,

tak urung setiap beberapa menit sekali aku selalu melirik ke arah

mereka. Tadinya kupikir ini tak apa-apa selama tidak diketahui

siapa-siapa, namun tiba-tiba saja Pandu menyeletuk, "Wah, Kak,

sepertinya Kakak dicampakin Kak Frankie, ya?"

Anak baru ini benar-benar minta ditabok. Bukannya mengurusi

hal penting, dia malah membahas gosip sesat.

Selama sisa hari yang menyebalkan ini, hari ini aku harus

berurusan dengan orang-orang yang maunya kuusir jauh-jauh,

mulai dari anak-anak baru yang terus-menerus mendesakku untuk

menceritakan kisah horor terbaru hingga Benji yang memintaku

untuk membantunya mengumpulkan makalah tentang kisah horor

yang dibuat oleh anak-anak baru. Berhubung pengganggu yang

terakhir ini adalah ketua OSIS dan ketua panitia MOS, mau tak

mau aku harus menuruti perintahnya. Kami mengambil waktu

setelah istirahat sore untuk membaca isi makalah itu.

Tak kuduga, tugas itu menarik juga. Aku bisa melihat berbagai

teori menarik yang dipikirkan oleh otak anak-anak baru yang

masih segar dan penuh imajinasi, meski hampir semuanya me

miliki teori-teori yang serupa. Mungkin mereka saling me

nyontek?seperti yang akan kulakukan kalau aku jadi anak

baru?mungkin juga itu teori-teori populer. Sebagian besar

mengemukakan teori bahwa semua ini kutukan roh-roh yang

menguasai sekolah kami, yang dengan senang hati mengambil

nyawa orang-orang yang berani membongkar kisah-kisah mereka

di depan umum dan menjadikan semua kisah sebagai acara

menyenangkan. Sisanya yang lebih masuk akal mengatakan bahwa

ini adalah perbuatan anak-anak yang tidak suka melihat ulah para

pengurus MOS yang terlalu mabuk kekuasaan, menimbulkan rasa

dengki dan iri pada murid-murid lain yang tidak terpilih jadi

pengurus MOS. Aku lebih menyukai teori terakhir ini, karena

murid yang dengki lebih gampang dihadapi ketimbang makhluk

halus.

Lagi pula, lawan kami yang berkaki indah, hobi menabrak,

punya gantungan ponsel, dan bisa mencuri mobil, jelas bukan

makhluk halus.

Selain teori-teori itu, ada juga yang memikirkan teori lain yang

lebih unik. Dengan berani Pandu menuliskan teori yang pernah

dianut Benji, bahwa semua ini adalah ulah anak baru yang men

dendam pada semua pengurus MOS akibat kecelakaan yang

terjadi pada hari pertama pekan MOS. Aku langsung menyem

bunyikan makalahnya, karena seandainya Benji masih menaruh

kecurigaan pada murid-murid baru, Pandu pasti akan langsung

jadi tersangka utama. Apalagi, dia termasuk salah satu korban

kecelakaan yang berhasil selamat.

Anak baru yang lain punya teori bahwa kecelakaan-kecelakaan

ini adalah perbuatan psikopat yang mengejar salah satu pengurus

MOS, sedangkan sisanya hanyalah collateral damages (aku jadi

curiga teori ini diambil dari tragedi yang pernah kualami setengah

tahun lalu, dan salah satu pengurus MOS yang dimaksud adalah

aku). Ada lagi yang mengatakan bahwa ini semacam pembalasan

dendam dari siswa lemah yang sering ditindas oleh anak-anak

populer?dan kebetulan para pengurus MOS terdiri atas anakanak paling populer di sekolah kami. Tak urung pula, ada

pendapat brengsek yang mengatakan bahwa semua ini adalah

kebohongan para pengurus MOS yang berusaha menjadikan acara

MOS makin menarik.

Tapi, seberapa pun kedengaran menyebalkannya, teori terakhir

ini harus kupertimbangkan juga. Aku tidak pernah menyingkirkan

Benji dari daftar tersangkaku. Dialah orang yang punya motif

paling masuk akal. Dia sangat berambisi menjadikan acara MOS
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahun ini lebih seru dibanding acara MOS tahun-tahun lalu,

sehingga akan ada yang mengatakan ini acara MOS paling sukses.

Bukannya tidak mungkin dia tega mencelakai teman-temannya,

termasuk aku, demi prestasinya itu. Benji orang paling ambisius

yang pernah kutemui.

Tapi sehebat-hebatnya Benji, dia tidak mungkin memiliki se

pasang kaki indah yang hanya dimiliki oleh kaum cewek, kan?

Penyamaran sehebat apa pun tidak mampu memberinya anggota

tubuh yang begitu berbeda.

Oke, mungkin saja dia punya pembantu. Seseorang yang ber

sedia melakukan apa saja untuknya. Mungkin karena jabatannya

sebagai ketua OSIS, mungkin juga karena daya tarik cowok itu,

atau barangkali cowok itu mengancam ke sana kemari dengan

tampang pemeras kelas berat. Cewek mana saja tak bakalan bisa

melawannya. Jadi, siapa cewek yang cukup penting sehingga mau

diperhatikan oleh para korban itu?

Sebuah nama terlintas dalam pikiranku.

Violina.

Oke, ini bukan karena aku cemburu atau semacamnya. Asal

tahu saja, aku sama sekali tidak cemburu, meski cewek itu me

nempeli Frankie seperti lintah seharian ini. Aku tidak peduli apa

yang mereka lakukan berdua. Toh aku ini Hanny Pelangi. Aku

bisa mendapatkan cowok seperti apa pun yang kumau. Kenapa

aku harus rebutan dengan Violina? Apalagi cowoknya cuma

Frankie, cowok goblok dan buta yang tidak tahu cewek mana

yang berkualitas dan cewek mana yang cuma modal tampang.

Cowok seperti ini bagusnya diinjak-injak, dihajar-hajar, dibuang

ke tong sampah, dihanyutkan ke laut.

"Gimana, Han?" Suara Benji membuatku terperanjat. "Ada

yang mencurigakan?"

"Nggak ada, Ben." Saking kagetnya, aku langsung berdiri. Sial,

kenapa jantungku berdebar-debar? Seperti maling tertangkap

basah saja. Padahal yang seharusnya jadi penjahat kan dia, bukan

aku.

Mendadak kusadari kejanggalan pertanyaan yang dilontarkan

Benji.

"Emangnya kamu masih ngira pelakunya anak baru?"

"Hanny, kamu terlalu naif," kata Benji sambil menggelenggeleng. "Kamu udah disesatkan oleh Frankie yang bilang bahwa

ini perbuatan murid senior. Yang bener aja. Kamu kira ada salah

satu teman kita yang tega nyelakain teman sendiri? Ini pasti per

buatan anak baru yang sangat licik dan nggak berhati, yang

nggak ragu-ragu ngorbanin teman-teman yang baru dikenalnya,

demi membalas dendam pada kita, para pengurus MOS."

Aku tersinggung mendengar Benji menghina Frankie. "Pen

dapat Frankie nggak sesat, Ben. Kata-katanya masuk akal.

Kamu kira ada murid baru yang begitu mengenal sekolah kita?

Mereka bahkan nggak tahu bahwa kisah-kisah horor itu karang

an kita aja! Tapi, pelaku semua kejadian ini bisa memprediksi

siapa pengarang kisah horor berikutnya. Pelakunya pasti peng

urus MOS juga."

Oke, sebenarnya aku cuma asal ngomong, tapi tak kuduga

kata-kataku masuk akal juga. Tentu saja. Kenapa selama ini kami

begitu buta? Oknum X pasti salah satu pengurus MOS!

Namun Benji hanya menatapku dengan sorot mata kasihan.

"Kamu bener-bener udah dipengaruhi Frankie, Han," katanya

lembut. "Aku heran, kenapa kamu nggak sadar? Semua ini cuma

siasat licik Frankie untuk memecah-belah kita semua. Dia nggak

punya teman, jadi dia nggak mungkin bisa ngerti rasa setia kawan

kita pada teman-teman lain, bahwa kita nggak mungkin sanggup

ngelakuin hal-hal keji pada teman-teman kita sendiri."

Aku memikirkan Frankie, Les, dan bagaimana kehidupan keras

mengajari mereka untuk hidup saling membantu.

"Kurasa malah kamu yang harus belajar dari Frankie soal ke

setiakawanan, Ben."

Benji tertawa menghina. "Kamu bener-bener sudah dibutain

sama Frankie. Mana mungkin orang kayak dia sanggup ngerti

hal-hal mulia, Han? Tapi aku harus akui kehebatan dia, bisa bikin

kamu percaya sama dia sampe seperti ini. Sementara aku udah

berusaha sekuat tenaga, tapi kamu tetep lebih ngedukung cerita

nya."

"Itu karena kata-katanya lebih masuk akal."

Aku melangkah mundur saat Benji maju mendekatiku. Men

dadak kusadari bahwa saat ini kami hanya berdua. Kalau memang

Benji otak semua ini, berarti aku berada dalam bahaya. Habis,

kemarin Oknum X melanggar modus operandinya sendiri demi

mencelakai aku dan Frankie, lantaran kami menjadi saksi hidup

keberadaan dirinya. Kalau Benji ingin melenyapkanku, saat ini

tidak ada yang bakalan menolongku.

Sementara itu Frankie sedang berasyik-masyuk dengan Violina.

Dasar buaya keparat.

"Masuk akal? Buka mata kamu, Han!" kata Benji dengan wajah

lima senti di depan wajahku. Sikapnya yang mengancam membuat

bulu kudukku merinding. "Dia anak berandalan, aku anak baikbaik. Masa kamu belain anak semacam itu?"

Aku sudah siap menjerit kalau Benji berani mendekatiku lebih

dari ini, namun tiba-tiba saja kudengar suara pintu terbuka. Pe

rasaanku lega luar biasa karena aku tidak perlu menampakkan

rasa takutku.

Rasa lega itu lenyap saat melihat semua mata tertuju pada

kami. Kecurigaan, tawa, penghinaan, semuanya tercermin di wa

jah para pengurus MOS. Kemarahan bangkit dari dalam hatiku

saat menyadari apa yang mereka pikirkan tentang aku dan

Benji.

Hanya sekejap aku merasakan hal itu, karena tahu-tahu Frankie

sudah menyeruak dari kerumunan itu dan melompat berdiri di

antara aku dan Benji. Aku cuma melongo saat cowok itu men

cekal kerah baju Benji dan mendorongnya hingga ke dinding.

"Jangan berani-berani nyentuh dia, bangsat!" teriaknya.

Meski sesaat Benji terlihat takut, dia berhasil membalas tatapan

Frankie dengan tenang. "Emangnya lo bisa apa dengan tangan

sisa sebelah begitu?"

Frankie tertawa mendengus. "Dengan satu tangan gini pun

udah cukup buat bikin lo sekarat, man. Coba aja, emangnya lo

bisa ngelolosin diri?!"

Ucapan Frankie benar. Meski Benji berusaha bergerak, dia

sama sekali tidak bisa melepaskan diri dari cekalan Frankie. Oke,

sekarang ketakutanku berpindah pada Frankie. Kalau sampai

cowok idiot itu menonjok Benji di depan semua orang ini, Benji

pasti akan berhasil membuat Frankie diskors?atau lebih parah

lagi, dikeluarkan dari sekolah.

"Frankie!" Aku menarik tangannya. "Udahlah. Lepasin dia,

Frank."

Rahang Frankie mengeras. Matanya yang tajam tetap tertuju

pada Benji. "Kalo sekali lagi gue ngeliat lo berani gangguin

Hanny, lo akan gue kirim ke neraka yang paling dalam!"

Dilepaskannya Benji seraya mendorongnya, sehingga Benji

sempat terbentur ke dinding. Benji mengusap tengkuknya sambil

menyeringai kesakitan.

"Dasar anak nggak tahu adat," geramnya. "Jangan kira lo akan

lolos dari semua ini, Frank!"

Setelah melontarkan ancaman itu, Benji langsung kabur ter

birit-birit. Namun perhatian Frankie sudah tertuju sepenuhnya

padaku.

"Lo nggak apa-apa?" tanyanya. "Dia apain elo?"

"Bukan apa-apa, kali...." Terdengar celaan Violina dari bela

kang. "Mereka cuma ingin bermesraan, dan kita semua cuma jadi

pengganggu."

Aku memelototi Violina yang berusaha memasang wajah polos

tak berdosa, namun kemarahanku berkobar saat mendengar

Frankie bertanya, "Masa sih? Elo mau jadian lagi sama dia?"

Pelototanku beralih pada Frankie. Aku ingin membantahnya,

namun tiba-tiba aku teringat bagaimana dia sudah menemani

Violina seharian, bagaimana dia tidak mengindahkanku, dan kini

melihatnya lebih mendengarkan Violina ketimbang memercayaiku.

Aku mendongak angkuh dan berkata, "Itu bukan urusan lo."

"Wah, itu jawaban mengiyakan secara tersirat."

Brengsek, lagi-lagi Violina memanas-manasi situasi. Aku yakin

dia senang melihat pertengkaran aku dengan Frankie. Namun

bukannya menyadari hal itu, Frankie malah termakan ucapan

Violina, terlihat dari rahangnya yang mengeras.

"Han, gue serius kali ini," ucapnya dengan nada suara yang

terlalu dingin di telingaku.

Biasanya aku menyukai cara Frankie memanggilku, tapi saat

itu panggilan itu terasa bagaikan tikaman yang membuat nyeri

hatiku. Gara-gara itu, aku makin ketus saja.

"Emangnya gue nggak serius?!" balasku. "Nggak usah campurin

urusan gue. Lo cukup urus urusan lo sendiri, yang omong-omong,

bukan urusan gue juga, jadi nggak akan gue campurin. Ngerti?"

"Jangan goblok!" Sial, si brengsek itu berani mengataiku goblok?

Memangnya siapa yang lebih goblok, aku atau dia? "Emangnya elo

buta? Benji itu nggak pantes buat elo!"

"Ngaca dulu, coy!" balasku tidak kalah galak. "Yang goblok dan

buta itu siapa? Elo, tau!"

Dan sekarang muka cowok itu jadi goblok beneran. "Hah?

Kok gue?"

"Iya!" Merasa di atas angin, aku makin nyolot saja. "Coba abis

ini lo pergi ke toilet, ngaca dulu! Kalo udah, baru ngomong sama

gue lagi. Ngerti?"

Setelah menyemburkan kata-kata itu, aku buru-buru kabur dari

ruang rapat OSIS.

Gila, belum pernah jantungku berdebar sekeras ini. Bukan

hanya kejadian bersama Benji yang membuatku ketakutan, melain

kan juga bertengkar dengan Frankie di hadapan seluruh pengurus

MOS, seolah-olah kami musuh bebuyutan seumur hidup. Barulah

kali ini aku menyadari betapa mengerikan hawa yang dipancarkan

Frankie saat dia menghadapi lawan-lawannya. Mata yang

menyorotkan bahaya, otot-otot yang siap digunakan, tangan besar

yang mengepal, semua itu membuatku merasa kecil dan tidak

berdaya. Pasti seperti ini juga perasaan yang dirasakan setiap

orang yang berhadapan dengan Frankie.

Pantas saja Benji berubah jadi pengecut setiap kali digertak

Frankie, tidak peduli Frankie dalam keadaan segar bugar ataupun

dipenuhi luka-luka seperti saat ini.

"Hanny...!"

Aku menoleh dan berseru girang saat melihat siapa yang me

nyapaku. "Mila! Kapan keluar dari rumah sakit?"

"Ah, sebenarnya aku nggak lama-lama di rumah sakit kok,"

seringai Mila, yang tampak luar biasa bugar selain kaki kanannya

yang masih digips, sehingga dia harus menggunakan tongkat pe

nopang. "Tapi daripada disuruh-suruh di sekolah, aku milih

tidur-tiduran di rumah."

"Wah, pilihan orang bijak tuh," kataku sambil merangkulnya
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan gembira. "Jadi hari ini kamu kembali bertugas?"

"Mungkin, tapi aku cuma bisa ngerjain pekerjaan yang sepele.

Kondisiku nggak memungkinkan untuk banyak bergerak. Tapi

Benji maksa aku masuk hari ini. Katanya, nggak ada yang bisa

ngurus masalah pesta perayaan selesainya MOS."

Astaga. Dengan semua kejadian ini, Benji masih punya mood

untuk merayakan selesainya MOS? Cowok itu makin mencuriga

kan saja.

"Aku udah dengar berita soal kecelakaan-kecelakaan yang

terjadi di sekolah," kata Mila dengan wajah prihatin. "Gimana

keadaannya? Apa semua orang ketakutan?"

"Hari ini sepertinya semua mulai keliatan tegang," sahutku.

"Tadinya mereka semua masih mengira itu kejadian random."

"Aku sempat ngejenguk Peter waktu aku keluar dari rumah sakit."

Ya ampun, kami-kami yang sehat malah sama sekali tidak

menjenguk teman-teman kami yang di rumah sakit. Kurasa, dari

sekian banyak pengurus MOS, Mila-lah yang paling baik dan

perhatian. "Bekas luka di lehernya bener-bener mengerikan.... Kata

nya itu nggak akan hilang dalam waktu dekat, dan mungkin pita

suaranya bakalan terganggu juga. Untung nyawanya selamat."

"Iya, untung banget." Aku merinding saat teringat bagaimana

kondisi Peter waktu kami temukan. "Menurut kamu siapa pelaku

nya, Mil?"

Mila meringis. "Aduh, otakku nggak cukup pandai untuk

mikirin hal-hal rumit seperti itu. Tapi kalo kamu tanya aku, aku

setuju dengan pendapat Benji."

"Pendapat Benji?"

"Iya," angguk Mila. "Dia bilang sama aku, pelakunya itu salah

satu dari anak baru. Anak-anak itu pasti marah sama kita, Han,

karena kita udah bersikap semena-mena pada mereka. Seharusnya

kita nggak boleh jahat sama mereka ataupun sama orang lain.

Perbuatan jahat pasti akan dapat balasannya."

Cewek ini benar-benar baik hati. "Kamu emang bener, Mil.

Tapi menurut aku, pelakunya bukan salah satu dari anak-anak

baru itu."

Mila menatapku dengan heran. "Masa? Jadi, menurut kamu,

siapa yang tega ngelakuin semua tindakan mengerikan itu?"

Aku segera menceritakan apa yang aku dan Frankie ketahui

tentang Oknum X pada Mila. Mau tak mau, aku harus mencerita

kan kedekatanku dengan Frankie. Bisa kulihat sinar mata Mila

berubah geli setiap kali aku menyebut nama Frankie. Sial, semua

orang jadi salah paham dengan hubungan kami, yang sebetulnya

tak ada apa-apanya, hanya karena cowok bego itu menempel

padaku terus-terusan belakangan ini.

"Wah, kamu dan Frankie hebat banget!" komentar Mila kagum

saat aku menyelesaikan ceritaku yang panjang lebar. "Bener-bener

kayak pasangan detektif dalam cerita aja. Dan seperti dalam

cerita-cerita itu, kalian akan berakhir sebagai pasangan!"

"Amit-amit," gerutuku. "Mana mungkin aku mau jadi pasang

an sama Frankie? Cowok itu bego banget. Liat aja, sekarang dia

udah nempel terus sama Violina!"

Kami berdua menoleh ke arah kantin. Tampak Frankie sedang

asyik bercengkerama dengan Violina. Sialnya, saat itu Frankie se

dang menoleh ke arah kami juga. Buru-buru aku berlagak melihat

burung-burung yang sedang buang kotoran di atas atap.

"Wah, dia perhatiin kamu dari tadi lho," kata Mila dengan

nada menggoda.

"Namanya cowok emang begitu," celaku. "Udah punya satu di

tangan, masih juga ngelirik yang lain. Dasar payah!"

"Soal itu, kamu emang bener."

Aku kaget melihat perubahan wajah Mila. Mendadak dia

kelihatan murung dan sedih sekali. Pasti sebelum ini dia pernah

disakiti seorang cowok. Aku berusaha mengingat-ingat, siapa

cowok yang pernah digosipkan dengan Mila. Tapi aku tidak

berhasil mengingat satu pun. Sepertinya Mila berhasil menyimpan

masalah cintanya jauh-jauh dari jangkauan tukang gosip.

Sebelum aku sempat bertanya, Mila buru-buru berkata, "Nah,

aku harus jalan dulu, Han. Kalo aku nggak ngelakuin tugasku,

Benji bisa marah-marah lagi. Atau kamu mau bantuin aku?"

Melihat tampangku yang jelas-jelas keberatan banget, Mila

tertawa dan menarik tanganku.

"Ayolah, ini nggak susah-susah amat kok," katanya. "Kita cuma

perlu nelepon event organizer langganan OSIS kita dan ngasih tau

konsep pesta kita, dan mereka akan ngatur sisanya. Aku yakin,

pengalaman ini pasti berguna buat kamu, Han. Kamu pasti tetep

dapat jabatan di kepengurusan OSIS yang akan datang. Kurasa,

jabatan sekretaris atau bendahara udah pasti ada di tangan

kamu."

Hmm, cewek ini tidak tahu ambisiku setinggi apa. Aku tidak

mengincar jabatan-jabatan cupu itu. Aku ingin jadi ketua OSIS.

Tapi karena tertarik mendengar bujukan Mila, aku pun meng

ikutinya ke ruang sekretariat OSIS yang dipenuhi meja-meja yang

diperlengkapi komputer terbaru, pesawat telepon, pendingin

ruangan, bahkan kulkas. Pantas saja banyak orang mengincar

kedudukan sebagai pejabat tinggi OSIS. Mereka jadi punya ruang

istirahat yang mewah.

Ucapan Mila memang benar. Tugas yang harus kami lakukan

sama sekali tidak sulit. Bahkan, kurasa aku akan jago sekali me

lakukannya. Kami menelepon event organizer, memerintahkan

mereka membuatkan pesta paling heboh dan fantastis, men

cereweti mereka dengan berbagai detail, dan meneriaki mereka

setiap kali mereka memberikan saran culun. Dalam waktu dua

menit, Mila langsung mengakui kehebatanku dan menyerahkan

gagang telepon padaku.

Saat aku memutuskan hubungan telepon, Mila menatapku de

ngan kagum.

"Astaga, Han. Kalo tau kamu sesigap ini, aku nggak perlu repotrepot dateng ke sekolah hari ini. Masalahnya, Anita masuk rumah

sakit dan Violina nggak bisa diandalkan. Benji kira nggak ada yang

bisa dimintain tolong lagi, jadi terpaksa aku harus masuk.

Seandainya dia tau di sisinya ada cewek yang serbabisa...."

Hidungku kembang-kempis mendengar pujian itu. Aku ber

usaha memikirkan kata-kata untuk merendah, tapi ternyata tidak

ada kata-kata seperti itu dalam kamusku. "Benji emang tukang

ngerendahin orang. Dia kira aku cewek cantik berotak tolol kayak

Violina."

"Yah, harus diakui kan, Han, jarang ada cewek cantik yang

kualitasnya sehebat kamu."

Sekarang aku jadi malu dipuji seperti itu. Mila memang cewek

yang manis banget. Coba kami saling mengenal lebih awal, mung

kin kami bisa jadi teman akrab.

Jantungku nyaris berhenti saat pintu terbuka dan Frankie me

nerjang masuk. Naluriku menyuruhku untuk kabur dari cowok

yang tampak tidak sabar itu, tetapi sori-sori saja, begini-begini

aku bukan pengecut.

Aku berdiri untuk menyambutnya. "Ada apa?"

"Gue udah ke WC."

Apa-apaan cowok ini? "Lalu? Apa urusan gue dengan kegiatan

lo di WC?"

Dia mendecak tak sabar. "Maksudnya, gue udah ngaca, seperti

yang lo bilang."

Oh. Dasar goblok. Yang begituan pun benar-benar dilakukan

nya. "Terus?"

"Terus, gue jadi ngerti." Gila, kalau ada alat ukur kadar sok

dalam tampang seseorang, nilai Frankie pasti sudah mencapai

angka maksimum. "Lo jealous ya, sama gue?"

"APA???" Mataku nyaris keluar saking kagetnya. "Lo kerasukan

setan apa sampe mikir gitu?"

"Soalnya, tadi waktu gue ngaca, gue liat-liat, ternyata muka

gue ganteng banget." Keparat ini benar-benar narsis kelas berat.

"Rasanya nggak ada alasan kenapa lo tiba-tiba jadi antipati sama

gue. Terus gue pikir-pikir, mungkin karena tampang ganteng gue,

lo jadi posesif. Jadi waktu gue mau ngelindungin cewek lain, lo

jadi ngamuk. Masuk akal, kan?"

Rasanya aku tidak percaya mendengar ucapan superkacau itu.

"Masuk akal apanya? Yang bener aja. Gue udah dikatain jealousan, posesif pula. Padahal lo sendiri yang cacat, narsisnya nggak

kira-kira gitu. Orang kayak lo nggak pantes buat menghuni

planet ini, tau!"

"Jadi lo ngusir gue ke planet lain?" sergahnya. "Sadis amat lo.

Elo tahu nggak di planet lain nggak ada oksigen?"

"Emang lo napas pake oksigen? Bukannya lo napas pake heli

um?"

"Lo kira gue balon?"

Orang ini benar-benar goblok. Bisa-bisanya perdebatan kami

melenceng begini jauh dari topik. "Udah, ah. Capek gue ngo

mong sama elo. Nggak ada awal, nggak ada buntut. Udah, ngacir

aja lo sana!"

"Kenapa sih gue diusir-usir melulu?" protes Frankie tanpa me

nampakkan tanda-tanda kudu ngacir seperti perintahku. "Kan

tadi gue udah pergi ke WC sesuai keinginan lo. Lalu sekarang

gue salah apa lagi?"

"Abis lo nuduh gue jealous sama elo."

"Emangnya salah?!" balas Frankie sengit. "Coba jelasin ke anak

bego ini, Tuan Putri, kenapa hari ini lo berang banget sama gue,

padahal kemaren udah ngenal-ngenalin gue ke ortu lo segala."

Aku memelototinya, sementara Mila menyela kaget. "Kamu

udah ngenalin Frankie ke ortu kamu? Hubungan kalian udah

seserius itu?"

Ingin rasanya aku mengupah seorang pembunuh bayaran untuk

menembaki Frankie?atau barangkali kusuruh saja Oknum X,

kalau dia mau dibayar.

"Kami nggak punya hubungan apa-apa," jelasku pada Mila.

"Kemarin dia ketemu orangtuaku secara kebetulan aja. Aku sama

sekali nggak ada niat ngenalin mereka." Aku berpaling pada

Frankie dan membentak, "Nggak usah sebar-sebar berita sesat

tentang kita, bisa nggak? Daripada mengkhayal yang nggak-nggak,

mendingan lo urus tuh cewek lo yang butuh dilindungin itu!"

"Tuh!" teriak Frankie sambil menudingku dan menoleh pada

Mila. "Tuh, ada nada jealous, kan? Ya kan, Mil? Gue bener, kan?"

Aku menoleh pada Mila dan bertanya ngotot, "Nggak ada,

kan?"

"Ehm," Mila tampak tak nyaman. "Sebenarnya aku ada keperlu

an di tempat lain"

Tanpa menjelaskan lebih lanjut lagi, Mila langsung meng

hambur ke luar ruangan dengan kecepatan yang tergolong luar

biasa untuk cewek yang kakinya digips dan harus menggunakan

tongkat penopang.

"Nah, lo bikin dia takut deh," tuduh Frankie padaku.

"Lo yang suka nakut-nakutin orang," balasku.

"Iya deh, saking gantengnya gue, orang-orang jadi gampang

takut."

Aku memelototi Frankie saat dia menarikku duduk. "Apa-apa
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

an sih?"

"Sini, dengerin gue dulu."

Sambil cemberut aku duduk di sampingnya.

"Tuan Putri, gue tahu ini saat-saat yang berat buat kita semua,"

katanya dengan nada sabar yang jarang kudengar darinya. "Lo

stres berat dan takut"

Oke, sekarang aku dituduh pengecut. "Siapa yang takut?"

"Dari tampang lo, udah jelas-jelas lo nggak tidur semalem

an."

Sial, ini penghinaan terbesar. Dengan kata lain, dia mengatai

tampangku JELEK! Kuangkat tanganku, siap untuk menampar

cowok bermulut kurang ajar itu, tapi dengan ringan Frankie me

nangkap tanganku.

"Udah gue bilang, dengerin gue dulu." Tidak sudi, kalau aku

dikata-katain seperti ini terus. "Maksud gue, lo pasti ketakutan

semaleman karena mikirin kemungkinan bahwa Oknum X udah

nangkap Jenny, kan?"

Sial, sial! Setelah bertingkah menyebalkan, sekarang dia ber

ubah jadi begitu pengertian. Lebih parah lagi, mataku mulai ber

kaca-kaca. Aku langsung membuang muka.

"Lalu?" ketusku.

"Gue pasti akan nyelesaiin semua ini." Kali ini aku tidak me

narik diri saat Frankie menggenggam tanganku. "Demi semua

orang, tapi terutama buat elo. Gue akan cari Oknum X dan

temuin Jenny, gimanapun caranya. Meskipun demi itu gue harus

menempuh jalan licik."

"Jalan licik?" tanyaku heran.

"Iya." Mendadak wajahnya tersipu-sipu. "Gue berlagak ber

teman sama Violina."

"Kayak begitu dibilang teman," gerutuku, tapi aku jadi makin

penasaran. "Ngapain lo berlagak berteman sama dia?"

"Karena," lagi-lagi tampang Frankie berubah sok, "gue yakin

dia adalah Oknum X."

Melihat tampang kagetku, muka Frankie makin pongah saja.

"Dia memenuhi semua persyaratan," jelasnya. "Dia memiliki

akses ke mana aja. Dia sanggup menarik perhatian setiap orang

yang ingin dijebaknya. Dia juga termasuk salah satu pengarang

kisah horor, sehingga orang-orang nggak akan nyurigain dia!"

"Tapi emangnya dia sanggup ngelakuin semua itu dengan otak

dangkalnya itu?" selaku.

Frankie diam sejenak. "Mungkin dia nggak kerja sendirian."

Aku mengangguk dan mengucapkan nama orang yang ku

curigai. "Benji."

"Masa?" teriak Frankie kaget. "Udah gue duga, ada yang nggak

beres dengan orang itu." Mendadak dia terdiam. "Jadi, karena

itu lo deketin dia hari ini? Wah, Tuan Putri, kita berdua emang

pasangan kompak dan serasi yang punya jalan pikiran yang

sama!"

"Nggak usah ge-er," potongku lagi. "Gue bareng dia hari ini

karena dia itu ketua OSIS dan gue nggak bisa nolak kalau dia

nyuruh-nyuruh gue."

"Tapi seharusnya lo cari cara untuk nolak dia dong, kalo lo

emang nyurigain dia," protes Frankie. "Oke, mulai sekarang, lo

ikut gue main sama Violina."

"APA???" teriakku kaget. "Nggak mau. Jangan seret-seret gue

ke dalam pertemanan nggak guna begitu dong."

"Apanya yang nggak guna?" balasnya. "Lo mau nemuin Jenny

nggak?"

Ah, sial. "Ya, udah. Mana cewek lo itu?"

"Cewek gue, lagi," dumel Frankie. "Cewek gue cuma satu, dan

dia jelas-jelas bukan Violina."

Sial! Kenapa jantungku langsung deg-degan begini? "Katanya

belum pernah punya cewek. Kenapa sekarang tau-tau ada satu?"

"Iya, udah berubah," kata Frankie sambil nyengir. "Ayo, kita

cari Violina. Seharusnya saat ini dia ada di auditorium."

Kami berdua segera pergi ke auditorium. Di sana semua orang

sudah berkumpul. Lampu sudah dipadamkan. Anak-anak baru

berbisik-bisik dengan penuh semangat, namun dengungan suara

mereka langsung lenyap saat Benji menaiki podium. Aku dan

Frankie menyelinap ke deretan bangku yang ditempati para

pengurus MOS. Mila juga ada di antara mereka. Dia langsung

menyunggingkan senyum saat kami mendekatinya.

"Liat Violina nggak?" tanya Frankie saat kami mengambil

tempat duduk di sampingnya.

Mila menggeleng. "Dari tadi aku nggak ketemu dia."

"Sial." Wajah Frankie yang khawatir membuat hatiku jadi

panas. "Apa dugaan gue salah?"

Kami mendengarkan kisah horor kelima yang diceritakan Benji

di podium. Makin lama, Benji makin jago saja bercerita. Kisah

horor kelima ini disontek Violina dari kejadian setengah tahun

lalu, saat salah satu temanku menjadi korban psikopat yang ter

obsesi denganku. Berbeda dengan kisah horor kelima, temanku

tidak sampai meninggal, namun hanya mengalami luka-luka yang

sangat parah. Tapi luka-lukanya yang cukup mengerikan itu pun

terkadang masih menghantui mimpi-mimpiku. Aku berusaha

menghibur diri bahwa semua itu bukan perbuatanku, mana

temanku itu termasuk cewek yang menyebalkan banget. Tapi hati

kecilku selalu mengingatkanku bahwa gara-gara akulah dia

mengalami semua itu. Kalau saja cowok gila itu tidak terobsesi

padaku, dia tak bakalan mengalami kecelakaan yang mengerikan

itu.

"Sial!" Kudengar Frankie mengumpat lagi di sebelahku.

"Violina bener-bener nggak ada di sini, Han!"

"Kalo gitu lo cari aja!" bentakku seraya berbisik.

"Lo ikut juga dong."

Cowok sialan itu langsung menarikku, dan aku tidak bisa

menolaknya tanpa menimbulkan keributan. Terpaksa aku meng

ikuti Frankie menyelinap ke luar auditorium. Lagi pula, harus

kuakui, aku juga ingin tahu keberadaan Violina saat ini.

"Lo mau cari dia di mana?" tanyaku saat kami sudah berada

di luar.

"Di mana lagi kalau bukan lab kimia?"

Berbeda dengan biasanya, laboratorium itu tampak gelap. Saat

kami membuka pintu, suasana begitu tenang dan sunyi, hanya

bunyi derikan daun pintu yang memecah keheningan. Kami

melangkah ke dalam laboratorium perlahan-lahan, namun suara

langkah kami terdengar begitu keras dalam kesunyian itu.

"Viol?" panggil Frankie hati-hati. "Kamu ada di dalam?"

Tidak ada tanda-tanda bahwa Violina pernah datang kemari.

Semuanya berada di tempatnya. Tak ada bekas-bekas pergumulan

atau semacamnya.

Oke, rasanya kecemasan kami mulai berlebihan.

Kulewati lemari kaca yang digunakan untuk menyimpan

gulungan-gulungan tabel unsur-unsur kimia dan sejenisnya. Awal

nya aku tidak begitu memperhatikan, tapi lalu tiba-tiba sepatuku

terasa lengket. Aku langsung menunduk.

Dan melihat genangan darah yang terasa kental.

Aku menoleh ke dalam lemari kaca. Di dalamnya, tampak

wajah Violina yang rusak karena dipenuhi goresan-goresan yang

meneteskan darah.

Dan aku pun menjerit sekeras-kerasnya.

TUBUHKU masih gemetaran saat Frankie membimbingku du

duk di kantor Pak Sal.

Aku tidak bisa melupakan semua itu. Kulit wajah Violina yang

pucat bagaikan pualam di balik pintu kaca, begitu kontras dengan

goresan-goresan berwarna merah yang menghiasinya. Frankie

menarikku menjauh, lalu melepaskan ganjalan di pegangan lemari

dan membukanya. Seketika itu juga tubuh Violina langsung

terkulai menimpanya.

Dengan cekatan Frankie membaringkan Violina di lantai. Dalam

posisi itu, kami bisa melihat bagaimana sekujur tubuhnya dipenuhi

goresan yang sama dengan goresan di wajahnya. Di dekat lambung

nya, tertancap pisau yang menjadi penyebab semua luka itu.

Sementara aku terpaku ketakutan, Frankie memanggil Pak Sal,

yang langsung menelepon paramedis, sementara guru-guru mem

berikan pertolongan pertama pada Violina. Menurut guru biologi

kami, Bu Lasmie, tusukan itu tidak mengakibatkan kerusakan

pada organ dalam, namun seandainya kami telat menemukannya,

bisa dipastikan Violina akan mati karena kehabisan darah.

Selesai mengalihkan tugas penyelamatan pada Pak Sal dan

guru-guru, Frankie langsung menghampiriku dan menarikku

duduk di kursi terdekat. Sesaat kami tidak bicara apa-apa sembari

memperhatikan kehebohan di sekitar kami.

"Gue merasa bersalah banget, Frank...," ucapku pelan.

Tangan Frankie yang menggenggam tanganku meremas per

lahan. "Gue juga..."

"Gue tadinya sebel banget sama dia..."

"Gue juga..."

Aku menoleh padanya. "Masa?"

Frankie mengangguk muram. "Abis, tingkah lakunya nggak

mirip cewek-cewek biasa. Jelas aja gue jadi curiga dia Oknum

X."

Oke, aku tahu ini saat yang tidak tepat untuk tertawa, tapi tak

urung aku nyengir juga. "Nggak mirip cewek-cewek biasa?"

"Lebih mirip selebriti, gitu."

Ternyata Frankie si cowok-super-tidak-sensitif juga merasa se

perti itu.

Pandangan kami berdua sama-sama tertuju pada pintu saat

Benji muncul dengan wajah pucat.

"Viol!" serunya dengan suara melengking bak cewek histeris.

"Viol juga kena?!"

Matanya yang bergerak-gerak liar melewati aku dan Frankie

seolah-olah kami benda tak kasatmata, namun dia langsung ter

kesiap saat melihat tubuh Violina yang tergolek di lantai.

"Aduh, Viol!" Dia langsung menghampiri Violina dan meng

genggam tangan cewek itu. "Kenapa semua ini bisa terjadi?"

"Berlebihan banget," komentar Frankie di sebelahku. "Seperti

adegan film aja."

"Atau mereka emang punya affair," timpalku tak senang

melihat sikap Benji yang sok mesra pada Violina. Kalau sampai

Benji benar-benar berselingkuh dengan Violina saat kami masih

berpacaran, akan kutinju dia sampai mental ke ujung dunia. Bu

kan karena aku masih menyukainya, tapi ini kan masalah harga

diri. Enak saja dia main-main di belakangku. Dikiranya aku

cewek yang gampang direndahkan begitu saja?

"Jealous ya, Tuan Putri?"

Aku memelototi Frankie. Sebelum aku sempat menyemburkan

kata-kata pedas, Benji sudah meloncat dengan tatapan garang.

"Aku akan mengakhiri semua ini sekarang juga!" teriak Benji

bak prajurit yang siap bertarung hingga titik darah penghabisan,

lalu berlari pergi.
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mau ke mana dia?" tanya Frankie heran.

"Nggak tau." Aku berdiri sambil menarik Frankie. "Pokoknya

kita ikutin dia aja!"

Bagaikan dikomando, kami semua segera mengejar Benji?aku,

Frankie, Pak Sal, dan sebagian besar guru. Cuma Bu Lasmie yang

tetap tinggal untuk menjaga Violina sekaligus menunggu tim

paramedis.

Kami semua berhenti di deretan loker yang digunakan anakanak baru.

"Pak," Benji menoleh pada Pak Sal yang tumben-tumbenan

saat ini kelihatan bingung. "Saya minta izin untuk membuka lo

ker ini."

Aku terbelalak mengenali loker yang ditunjuk Benji. Loker

Pandu, anak baru kesayanganku yang hobi mentraktir?maksud

ku, sering kupaksa mentraktir aku. "Benji! Apa-apaan kamu?"

Benji tidak menggubris pertanyaanku. "Saya mohon dengan

sangat, Pak. Saya tidak akan melakukan ini kalau tidak punya

dasar-dasar yang kuat."

Pak Sal ragu-ragu sejenak, lalu mengangkat ponselnya dan ber

kata, "Panggil Sofyan kemari."

Pak Sofyan kepala sekuriti di SMA kami. Gosipnya beliau

memiliki kunci emas yang punya kesaktian tiada tara?kunci

yang sanggup membuka loker mana pun. Hari ini, aku me

nyaksikan kekuatan super kunci itu dengan mataku sendiri.

"Astaga," bisik Frankie di sampingku. "Rasanya gue kepingin

jambret kunci itu."

"Gue juga," sahutku.

Kalau aku punya kunci itu, loker pertama yang bakalan ku

bongkar adalah milik Frankie. Akan kupastikan dia membuang

semua benda yang tidak berkaitan dengan diriku (kecuali buku

pelajaran, tentu saja).

Sial, aku malah melantur pada saat-saat tegang begini. Ini

semua gara-gara Benji si goblok yang hobi melakukan hal yang

sia-sia. Aku berkacak pinggang sambil memelototinya. "Udahlah.

Kamu nggak akan nemuin apa-apa di situ, Ben."

Tapi Benji seperti kerasukan setan. Dikeluarkannya semua

barang-barang Pandu dengan ganas. Barang-barang yang tampak

sangat wajar. Buku-buku cetak yang diperlukan saat MOS, buku

tulis, jas sekolah lengkap dengan topi dan dasi, payung, bekal

makanan. Tunggu dulu. Bekal makanan? Apa aku benar-benar

sudah memoroti anak malang itu?

Akhirnya loker itu kosong melompong.

"Benar, kan?" tanyaku penuh kemenangan. "Udah kubilang,

nggak ada apa-apa di sini. Kamu cuma menuruti insting tololmu

yang nggak ada juntrungan! Hei, ngapain kamu? Kamu nge

rusak properti sekolah, tau!"

"Justru ini tempat persembunyian yang baik!" tukas Benji

tanpa berhenti melepaskan sekrup-sekrup di lantai loker Pandu.

"Semua cowok pasti nyembunyiin sesuatu di sini."

Aku melemparkan tatapan tajam pada Frankie, berharap dia

membantah, namun yang bersangkutan cuma mengangguk de

ngan muka tersipu-sipu. "Dalam hal ini dia emang bener, Tuan

Putri."

Aku jadi bertanya-tanya apa yang disembunyikan Frankie di

bawah lantai lokernya.

Dan aku terkesiap saat melihat apa yang ditemukan oleh Benji

di bawah lantai loker Pandu.

Jubah yang dikenakan Oknum X. Topeng datar yang mengeri

kan itu. Sebuah botol dengan tanda "X" yang menandakan isinya

adalah cairan berbahaya?mungkin racun yang digunakan pada

Anita dan Ronny. Lalu jarum suntik. Yang terakhir, sebuah

flashdisk.

"Apa ini?" tanya Pak Sal dengan wajah tanpa ekspresi.

"Kita lihat saja isinya di komputer kelas, Pak," kata Benji

penuh semangat.

Kami semua segera memasuki kelas terdekat yang digunakan

oleh anak-anak baru dan mengusir mereka semua hingga yang

tersisa hanyalah aku, Frankie, Benji, Pak Sal, Pak Sofyan, dan

para guru. Benji mencolokkan flashdisk itu pada salah satu slot

USB di komputer kelas. Langsung tampak tulisan besar-besar

berwarna merah yang sepertinya disorot di auditorium.

Pengurus MOS harus mati.

Lalu, kami pun melihat kembali adegan-adegan mengerikan

yang tak terlupakan seumur hidup kami. Karena semua adegan

itu disorot oleh Oknum X, kami seolah-olah melihat dari posisi

Oknum X. Dan pada saat itu, berkali-kali aku bisa merasakan

perasaan Oknum X yang kejam, berdarah dingin, dan tak ber

belas kasih.

Musuh yang sangat mengerikan.

Adegan pertama menyorot Peter dari belakang. Kami tidak

mungkin salah mengenalinya, karena dia satu-satunya orang di

dunia ini yang memiliki kemampuan menata rambut luar biasa

jelek. Aku tahu kita tidak boleh menjelek-jelekkan orang yang

sudah meninggal, tapi

Tunggu dulu. Peter belum meninggal ding. Oke, jadi aku

boleh melanjutkan menjelek-jelekkannya. Serius, Peter mirip ba

nget makhluk mutan campuran antara manusia, landak, dan

duren. Kita tahu dia makhluk hidup, tapi apakah dia manusia,

hewan, atau tumbuh-tumbuhan, itulah yang sulit dipastikan.

Jantungku berdebar-debar saat menyadari Oknum X ada di

belakang pintu ruangan klub KPR. Dari posisi itu, dia bisa me

lihat kedatangan Peter, sedangkan Peter sama sekali tidak me

nyadari kehadirannya.

"Kenapa kamu manggil aku ke sini?" tanya Peter, seolah-olah

di ruangan itu ada seseorang yang tidak tersorot kamera. "Apa

kamu udah siap nyeritain masalah itu?"

Masalah itu? Apa maksudnya masalah itu?

Napasku tersentak saat kamera mendekati Peter. Kami melihat

Peter menoleh, wajahnya tampak kaget, lalu tiba-tiba saja layar

menjadi hitam.

Adegan langsung berganti pada Peter yang tergolek di lantai.

Tampak jelas dia diseret dengan perlahan-lahan. Kepala Peter ber

gerak saat dia mengerang perlahan.

"Ada apa ini?" tanyanya nanar. "Apa yang kamu mau dari

aku...?"

Tampang Peter langsung sadar, wajahnya dihiasi rasa ngeri, saat

kami melihat sepasang tangan yang ditutupi sarung tangan

karet?yang belakangan ditemukan di bawah lantai loker Pandu

juga?melingkari leher Peter dengan tali.

"Hei, tunggu dulu! Apa mau kalian?"

Dia berteriak keras, namun suaranya terhenti saat tali itu mulai

mencekik lehernya. Kami melihat Peter digantung ke atas, tubuh

nya meronta-ronta sementara matanya mendelik ke bawah. Tadi

nya kukira mulutnya yang bergerak-gerak itu megap-megap,

namun belakangan kusadari Peter sedang mengucapkan sesuatu.

Maafkan aku...

Namun Oknum X malah menyorot adegan Peter yang me

ronta-ronta itu dengan tenang, seolah-olah semua ini hanya

tontonan menarik baginya. Lalu mendadak kami mendengar

ketukan pintu dan suara Benji yang mengatakan, "Peter, buka

pintu!" Oknum X buru-buru menaruh kameranya di atas meja,

mengetik kalimat "Ayo kita mati bersama" di komputer klub yang

sudah dinyalakan, lalu membawa kameranya keluar lewat jendela

yang menghadap ke belakang ruangan.

"Jadi, saat kita datang, dia masih ada di situ!" gumam Frankie

tampak kesal.

Adegan berganti ke ruang rapat OSIS. Kali ini Oknum X

bersembunyi di dalam lemari. Dari celah pintu lemari, dia me

nyorot ke arah Anita yang sedang menghadap ke luar jendela

ruangan. Dari gerakannya, sepertinya cewek itu sedang menangis.

Kuduga ini terjadi setelah dia memutuskan hubungan dengan

Ivan. Yah, aku sih tidak pernah habis mengerti dengan cewekcewek yang hobi nangis setelah memutuskan hubungan. Kalau

aku sih sudah pasti lega banget?terutama waktu memutuskan

Ivan. Rasanya kepingin teriak-teriak di jalan, "Gue bebas! Gue

bebas!" Tapi kalau aku benar-benar melakukan hal itu, orangorang mungkin akan mengira aku mantan narapidana.

Terdengar bunyi pintu terbuka. Anita langsung menyusut air

matanya. Wajahnya berubah garang waktu melihat siapa yang

datang.

"Kamu lagi. Apa lagi maumu sekarang?"

"Nit." Ronny menghampiri Anita. Tampak punggungnya yang

lebar dan bagian belakang kepalanya yang botak serta memantul

kan cahaya. "Coba kamu dengerin dulu"

"Dengerin apanya?" Tumben-tumbenan Anita yang biasanya

berkepala dingin bersikap begitu sengit. "Gara-gara kamu, hubung

an aku dan Ivan nggak mungkin kembali seperti dulu lagi. Se

karang apa lagi yang kamu mau?"

Aku dan Frankie saling melirik. Ronny menyebabkan hubung

an Anita dan Ivan rusak? Apa maksudnya?

Lagi-lagi jantungku seperti dijepit saat kamera mendekati Ronny.

Aku tidak sanggup menahan suara terkesiap saat melihat tangan

Oknum X yang bersarung tangan karet terangkat seraya meng

genggam jarum suntik. Tubuh Ronny berjengit saat jarum itu

menancap di punggungnya. Cowok itu berusaha menoleh ke bela

kang, melihat siapa penyerangnya, namun sebelum berhasil melaku

kannya dia sudah tersungkur dengan suara keras.

Dan kami bisa melihat wajah Anita yang ketakutan. Matanya

terbelalak ngeri melihat Oknum X.

"Siapa kamu?" tanyanya dengan suara nyaris tak terdengar. Saat

Oknum X mendekatinya, Anita menggeleng sambil berkata, "Ja

ngan, tolong jangan..."

Lalu dia menoleh ke samping, ke arah yang tidak disorot ka

mera, dengan wajah tak percaya. Saat itu aku langsung tersadar.

Ada orang lain di ruangan itu.

Anita menjerit saat Oknum X meraihnya, dan langsung ping

san saat jarum suntik itu mengenai bahunya.

Adegan berubah menjadi saat Anita dan Ronny sudah terkapar di

lantai. Yang pertama dihampiri Oknum X adalah Ronny. Tentu saja,

kalau Ronny tiba-tiba tersadar, Oknum X tak bakalan bisa melawan

nya. Ronny kapten tim basket sekolah kami. Meski punya kepala

plontos ala Cuplis, dia memiliki naluri kepemimpinan yang bagus,

ahli strategi, dan kemampuan fisik di atas rata-rata. Tidak sembarang

orang bisa merobohkan cowok seperti Ronny.

Ronny mengeluh pelan, tanda cowok itu mulai tersadar. Na

mun dengan tenang dan tidak tergesa-gesa, Oknum X duduk di

atas dadanya, membuka mulut Ronny dan memasang corong di

mulutnya. Lalu, bajingan itu menuangkan semacam cairan men

jijikkan ke dalam corong itu.

Kami hanya bisa menonton tanpa daya saat Oknum X me

lakukan hal yang sama pada Anita.

Lalu mendadak terdengar suara ketukan di pintu.

"Nit, kamu ada di dalam?" Oknum X menoleh ke arah pintu

saat terdengar suara Ivan. "Buka pintunya dong!"
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan ketenangan yang mengagumkan, Oknum X berdiri

setelah mengambil corong dari mulut Anita. Bisa kulihat mata

Anita mulai mengerjap-ngerjap, tanda cewek itu sudah mulai ter

sadar pula.

"Nita!" Kali ini suara Benji yang sok terdengar keras. "Buka

pintunya! Ini perintah!"

Oke, seperti yang terpikir olehku saat berdiri di belakang Benji

saat semua ini terjadi: Cowok ini benar-benar sok kuasa.

Oknum X membuka pintu lemari, mengeluarkan papan ouija

dari dalamnya, dan menaruhnya di meja. Setelah itu, alih-alih

kabur, dia malah menyembunyikan diri di dalam lemari. Lebih

gila lagi, dia menyorot kedatangan kami dari celah pintu lemari.

Aku bisa melihat Ivan yang langsung menghambur pada Anita

dengan air mata berderai, aku yang meletakkan tanganku di bahu

Ivan dengan sikap penuh penghiburan, dan pantat Frankie yang

menutupi adegan mengharukan itu. Dasar cowok goblok perusak

suasana. Tapi pantatnya boleh juga. Kencang, gitu. Aku jadi

maklum kenapa cewek-cewek hobi histeris kalau melihat pantat

Ricky Martin.

Sial, kenapa aku malah memikirkan pantat si goblok itu

sementara ada adegan seram di depan mata?

Adegan berganti ke ruang ganti cowok di gedung gym. Tampak

kamera menyorot dari lubang-lubang pintu loker, menandakan

Oknum X sedang bersembunyi di dalam loker. Terdengar suara

berang Ivan.

"Alvin, di mana lo?!"

"Di sini, Van. Perut gue sakit banget nih."

Dari lubang-lubang pintu loker, terlihat Ivan mendekat sambil

mengomel.

"Perut sakit aja teriak-teriak. Lo cowok, bukan?" Hatiku ter

cekat saat melihat perlahan-lahan pintu loker terbuka. Tapi Ivan

malah sama sekali tidak memperhatikannya. Kami semua me

nyaksikan di layar bagaimana sebuah tongkat bisbol terangkat.

"Kan lo cuma perlu selesaiin di toilet, abis itu ikut latihan?

arghh!"

Tongkat bisbol itu menghantam punggung Ivan.

"Ivan!"

Terdengar teriakan aku dan Frankie, namun sosok kami masih

belum terlihat. Seperti biasa, Oknum X bekerja dengan tenang

dan tidak tergesa-gesa. Dengan santai dia menyeret tubuh Ivan

ke dalam loker, lalu menutup pintu loker. Layar pun meng

gelap.

Adegan berganti ke balkon tribun penonton di gedung gym.

Lagi-lagi aku mengagumi ketenangan Oknum X saat menyorot

wajah Ivan yang sedang disiraminya dengan minyak. Penjahat itu

sama sekali tidak tergesa-gesa, meski dia tahu aku dan Frankie

sedang mengejarnya. Anggota tubuh Ivan yang disiram terakhir

adalah wajahnya, membuat kakak Frankie itu langsung terbangun

karena megap-megap.

Pintu darurat terbuka dengan keras, dan kamera langsung

gelap. Tidak sulit bagiku untuk menduga bahwa Oknum X lang

sung menyembunyikan kamera itu ke dalam jubahnya. Sepertinya

Oknum X juga mematikan kameranya, karena aku ingat Frankie

sempat berteriak dengan norak, "Voldemort!" tapi bagian itu sama

sekali tidak ada. Malahan adegan langsung berganti pada aku

yang cuma berdiri dengan wajah tolol sambil melihat Frankie

yang sedang menolong Ivan mati-matian.

Catatan untuk diri sendiri: lain kali aku harus bergaya lebih

keren saat sedang ketakutan.

Kamera diletakkan di dekat pintu tempat Oknum X muncul.

Aku terkesiap saat melihat Oknum X berjalan ke arahku, tegap

dan gagah dengan tongkat bisbol di tangan kanannya. Dan meski

kejadiannya sudah lewat, aku tetap menjerit saat menyaksikan

adegan tongkat bisbol itu menghajar punggungku.

Untunglah kali ini Frankie tidak cuma meneriakkan namaku,

melainkan merangkul tubuhku erat-erat, sehingga aku tidak se

takut waktu itu.

Namun, pemandangan berikutnya begitu mengerikan. Aku

melihat Oknum X memukuli Frankie dengan ganas dan bertubitubi, sementara cowok itu hanya bisa membungkuk dan me

nyembunyikan wajahnya tanpa bisa membalas atau menangkis,

karena tangannya yang satu digunakan untuk memegangi pagar

balkon, sementara tangannya yang lain sedang memegangi Ivan.

Air mataku mulai mengalir lagi membayangkan rasa sakit yang

diderita Frankie saat itu, yang hingga kini masih membekas di

seluruh tubuhnya. Aku yang hanya terkena hajar sekali saja sudah

kesakitan banget, apalagi dia yang menerima begitu banyak pukul

an telak.

Cowok ini benar-benar luar biasa.

Lalu, terdengar lolongan Ivan saat pegangannya pada Frankie

terlepas, diakhiri dengan suara keras yang terasa menyakitkan di

jantungku. Lagi-lagi aku bersyukur Ivan masih selamat setelah

terjatuh dari balkon yang cukup tinggi itu. Saat aku mendongak

pada Frankie, aku melihat ekspresinya sedang memikirkan hal

yang sama denganku.

Selanjutnya, tampak adegan Frankie yang langsung melompat

naik dari balik pagar balkon, menahan tongkat bisbol dengan

tangannya, lalu menyeringai dengan wajah penuh darah yang

rada-rada mengerikan.

"Sori, dalam pertarungan one by one gini, lo bukan lawan gue

yang setimpal, tau?" Tampang Frankie di sebelahku terlihat sok

saat mendengar suaranya menggema di ruangan tempat kami ber

ada. "Lagian, tenaga apaan ini? Tenaga cewek?"

Namun Oknum X belum menyerah. Saat senjatanya dipegangi

Frankie, dia mengeluarkan senjata lain berupa pisau yang lang

sung dihunjamkannya ke wajah Frankie yang langsung berteriak

kaget dan melangkah mundur.

Seharusnya kami melihat adegan Oknum X melarikan diri,

namun adegan itu sepertinya dipotong oleh Oknum X. Tahu-tahu

saja, adegan berganti ke laboratorium kimia yang, anehnya, terang

benderang. Dari posisinya, aku tahu Oknum X sedang duduk

atau berjongkok di pojokan.

"Halo?" Terdengar suara Violina. Suara itu biasanya terdengar

menyebalkan di telingaku, tapi saat ini baru kusadari bahwa suara

Violina memang merdu. "Ada orang di sini?"

Kami semua menegang saat melihat Violina membelakangi

Oknum X.

"Nggak ada siapa-siapa di sini, Kak." Kami langsung lega saat

melihat beberapa anak baru muncul di belakang Violina. Rupanya

Violina memang tidak sebodoh itu, muncul di laboratorium se

orang diri. "Sepertinya Kakak dikerjain."

"Emang nih...." Violina tertawa. "Aku udah takut sekali tadi.

Kalian kan tau, aku tidak seberani orang-orang lain."

"Bukannya sifat itu yang bikin kita semua ingin melindungi

Kakak?"

Oke, aku tahu nasib Violina malang banget, tapi mendengar

dialog-dialog murahan begini membuatku kepingin muntah saja.

"Iya, aku emang makhluk lemah tak berdaya." Dan sekarang

aku jijik pada Violina. Padahal cewek itu sudah terkapar dengan

tubuh rusak dan nyaris kehabisan darah. Aku memang bejat.

"Makanya, sebenarnya aku nggak percaya waktu ngeliat surat

yang ditulis Benji itu."

"Iya, Kak Benji nggak mungkin tega nyuruh Kakak datang

kemari, apalagi cuma sendirian."

Semua orang dalam ruangan melirik ke arah Benji yang men

dadak tampak tegang.

"Itu bukan surat dariku...," jelasnya kaku. "Aku pasti udah di

fitnah."

Saat ini, semua kata-kata tidak sepenting adegan yang tampak

di layar.

"Ya udahlah, udah waktunya kita kembali ke auditorium," kata

Violina sambil mendorong anak-anaknya keluar.

"Eh, Kak, lampunya mau dimatiin nggak?"

"Oh ya, tentu. Tapi kalian kan nggak tau letaknya, jadi biar

aku aja yang matiin."

Napasku tersentak saat Oknum X bangkit dari posisinya,

meletakkan kamera, lalu berjalan perlahan-lahan ke arah Violina

yang sedang menggapai-gapai sakelar lampu di belakang lemari

dan sama sekali tidak punya bayangan siapa yang sedang men

dekatinya.

"Nah, da." Tangan kiri Oknum X membekap mulut Violina,

sementara tangan kanannya menekan belati di leher cewek malang

itu. Lalu, sepertinya dia membisiki Violina sesuatu, karena bebe

rapa saat kemudian dia melepaskan bekapannya di mulut Violina

dan Violina langsung berteriak, "Sori! Mendadak ada urusan

pribadi di sini.... Kalian jalan dulu deh...."

Selama beberapa saat, yang ada hanyalah keheningan.

"Ya udah kalo gitu. Kami jalan duluan ya, Kak."

Terdengar langkah-langkah menjauh dari laboratorium.

"Kamu mau apa...?" bisik Violina dengan suara gemetar.

Sebagai jawabannya, Oknum X memukul bagian belakang

leher Violina, dan cewek itu pun jatuh pingsan.

Adegan berganti. Kini kamera dipegang oleh Oknum X di

depan wajahnya, menyorot ke arah Violina yang sedang terbaring

di atas lantai dengan wajah damai. Dengan kamera ditelusurinya

tubuh Violina, mulai dari wajahnya hingga kakinya, lalu kembali

ke wajahnya lagi. Kamera berhenti pada wajah Violina, lalu mem

besar, seolah-olah Oknum X mendekat ke wajah Violina.

Dan aku tidak bisa menahan jeritanku saat tangan Oknum X

yang bersarung tangan dan memegangi pisau mulai menyayat

wajah Violina. Tanpa berpikir panjang lagi aku menyembunyikan

wajahku ke bahu Frankie yang langsung mendekapku erat-erat.

Tapi, karena penasaran, aku mengintip ke layar monitor lagi, dan

menyaksikan adegan itu hingga akhir.

Brutal. Itulah kata yang terlintas dalam pikiranku saat melihat

perbuatan Oknum X. Dengan darah dingin dia menyayat-nyayat

Violina, mulai dari wajah hingga ke seluruh tubuhnya. Darah

muncul perlahan-lahan dari setiap sayatan, makin lama makin

mengucur keras, membuatku ingin sekali mengambil sesuatu

untuk membekap setiap luka itu dan menghentikan perdarahan

nya. Di dalam hati aku menangis untuk Violina. Cewek yang

begitu membanggakan kecantikannya itu kini rusak berantakan

di tangan seorang penjahat. Perasaan siapa yang tidak hancur me

lihatnya?

Penjahat seperti apa yang tega melakukan hal-hal seperti ini?

Lalu, rekaman itu pun terputus.

Pada saat kami semua masih terpana melihat adegan-adegan keji

itu, Benji menyadarkan kami pada situasi yang kami hadapi.

"Udah jelas, kan?" katanya. "Rekaman ini milik pelaku semua

kejahatan ini. Dan berhubung rekaman ini ditemukan di loker

anak baru bernama Pandu, pasti dialah pelakunya!"

"Nggak mungkin!" bantahku seketika. "Pandu nggak mungkin
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ngelakuin hal itu!"

"Kenapa nggak mungkin?" balas Benji, lalu dia melanjutkan

dengan nada lebih lembut. "Han, aku tahu dia salah satu anggota

grupmu. Dan berhubung dialah pelakunya, kamu pasti merasa

gagal ngawasin dia. Tapi saat ini kita harus ngutamain kepenting

an semua orang..."

"Bukan masalah gagal atau nggak!" Aku gusar karena Benji

mengiraku sedangkal itu. "Aku kenal Pandu, dan aku yakin dia

nggak punya hati sejahat itu!"

"Kamu baru kenal dia beberapa hari, Han."

"Tapi aku nggak buta!"

"Sudah." Suara Pak Sal menyela pertengkaran kami berdua.

"Untuk lebih jelasnya, panggil saja Pandu Setiadi ke sini untuk

ditanyai."

Yang membuat posisi Pandu yang malang makin terlihat

lemah, ternyata anak itu tidak ada di auditorium, melainkan di

temukan di toilet cowok. Katanya, dia sudah sakit perut selama

hampir satu jam terakhir ini.

Ini berarti, tidak ada yang bisa menegaskan keberadaannya saat

hal yang menimpa Violina itu terjadi.

"Emangnya apa yang terjadi?" tanyanya heran.

Benji mencekal tangannya. "Ayo, ke sini."

Dengan muka bertanya-tanya, Pandu menurut saja sewaktu

diseret Benji ke ruangan kelas tempat kami menonton rekaman

itu. Namun wajah itu langsung memucat saat Benji memutar

kembali tayangan itu.

"Gila!" katanya separuh berbisik. "Ini sungguhan terjadi? Orang

gila mana yang tega ngelakuin ini?"

Hening sejenak.

"Rekaman ini ditemuin di loker kamu, Ndu!" kata Benji de

ngan tidak berperasaan.

"Apa???" Pandu tampak terkejut. "Kenapa barang terkutuk itu

bisa ada di... Tunggu dulu." Dia mengamati wajah kami satu per

satu. "Apa kalian semua nuduh saya?"


Perjanjian Dengan Maut Appointment With Rahasia Benteng Kuno Thian Ge Tjiat Hush Hush Trilogy Buku 3 Silence Karya

Cari Blog Ini