Ceritasilat Novel Online

Pengurus Mos Harus Mati 5

Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu Bagian 5

Wajahnya berubah saat tidak mendapat jawaban.

"Ini gila!" teriaknya lagi. "Mana mungkin saya tega ngelakuin

hal-hal mengerikan seperti itu?"

"Mungkin aja." Benji mengeluarkan secarik kertas dari sakunya

dan meletakkannya di meja. "Inilah yang membuat kecurigaan

saya tertuju pada Pandu, Pak."

Pak Sal meraih kertas itu dan membacanya. "Teori Kutukan

Kisah Horor."

Aku terperanjat. Itu pasti lembaran kertas makalah yang dibuat

oleh anak-anak baru atas perintah Benji. Dari mana Benji mem

peroleh makalah Pandu yang sudah kusembunyikan sebelumnya

itu?

"Kamu mengemukakan motif kamu di sana," kata Benji pada

Pandu dengan mata menghunjam keras. "Karena dendam pada

pengurus-pengurus MOS yang bersikap kejam pada anak-anak

baru, bahkan nyaris mengubur kalian di proyek gedung baru,

kamu segera menggunakan kisah-kisah horor untuk mencelakai

para pengurus MOS. Benar-benar keji!"

Pandu menggeleng panik, lalu menoleh padaku. "Kak, aku

nggak melakukannya! Kak Hanny percaya sama aku, kan?"

Karena masih syok dengan berbagai kejadian yang terjadi

barusan, aku tidak tahu bagaimana harus menyahutnya. Akhirnya

aku berpaling pada Pak Sal dan berkata, "Pasti ada kesalahan,

Pak. Pandu nggak mungkin bisa melakukan semua itu!"

"Kamu tahu dari mana, Han?" tanya Benji sinis. "Dari acara

MOS selama lima hari ini?"

"Ya," tegasku. "Dan kurasa aku cukup jeli untuk ngeliat se

andainya Pandu emang mengalami gangguan jiwa seperti itu."

Pandangan kami semua terarah pada Pak Sal, mengharapkan

keputusannya.

"Maaf, Hanny, semua bukti memang mengarah pada anak baru

ini," ucap Pak Sal dengan penuh sesal.

"Tapi, Pak..."

"Sudah, lebih baik kita serahkan urusan ini pada polisi." Pak

Sal menatap Pandu lekat-lekat. "Pandu Setiadi, kalau kamu me

mang tidak bersalah, tentu kamu tidak keberatan diinterogasi oleh

polisi."

Pandu diam sejenak, lalu menyahut dengan tegas, "Tentu saja

tidak, Pak. Tapi saya menolak diperlakukan sebagai orang yang

bersalah."

Pak Sal mengangguk. "Dianggap tidak bersalah sampai terbukti

bersalah. Saya akan menelepon orangtuamu untuk mendampingi

kamu saat kamu diinterogasi."

"Terima kasih, Pak." Pandu menoleh padaku. "Kak Hanny,

terima kasih karena Kakak udah belain aku.... Akan aku buktiin

kalo kepercayaan Kakak sama aku nggak sia-sia."

Mataku jadi pedas mendengar ucapan Pandu. "Pandu..."

Tapi Pak Sal sudah menggiring Pandu pergi. Tak pelak lagi,

kepala sekolah kami berniat menahannya supaya tidak bertemu

siapa-siapa hingga anak itu diinterogasi.

Sepeninggal Pak Sal dan Pandu, Benji berpaling padaku. "Jadi

sekarang kamu tahu, akulah yang berhasil memecahkan kasus ini,

bukan si pembuat onar yang nggak berguna itu."

"Si pembuat onar nggak bener-bener nggak berguna kok."

Nada Frankie terdengar santai saat mengomentari ucapan Benji.

"Kadang dia bisa dipekerjakan sebagai tukang pukul untuk

mukulin anak baik-baik."

Benji langsung mundur selangkah. "Pokoknya, nggak ada guna

nya kamu terus berhubungan sama anak ini. Kamu hanya akan

ditulari berbagai kesialan dan kegagalan. Kalo kamu kembali lagi

padaku, aku akan kasih kamu berbagai keuntungan. Kamu akan

aku jadiin ketua OSIS yang baru, dan kita akan jadi pasangan

paling populer di sekolah. Belum lagi..."

"Lebih mirip jualan daripada ngajakin pacaran," sela Frankie

sambil menatapku. "Gimana, Tuan Putri? Tertarik dengan tawaran

nya?"

Aku menatap Benji lekat-lekat. "Aku nggak percaya Pandu

pelakunya, dan menurutku kamu udah salah nuduh orang. Tapi,

tanpa semua masalah ini pun, aku tegaskan sekali lagi, nggak pe

duli apa pun yang kamu kasih ke aku, aku nggak sudi jadi pacar

kamu lagi!"

Wajah Benji berubah, tapi hanya sekejap, membuatku sekali

lagi mengagumi kepandaian Benji menyembunyikan perasaannya

yang sebenarnya.

"Nggak kusangka, kamu lebih milih si pembuat onar itu ke

timbang aku." Dia tersenyum angkuh penuh harga diri. "Kuharap

kalian bisa menjalin hubungan yang langgeng, meski kalau ngeliat

perbedaan di antara kalian, kurasa harapan itu bakal sia-sia. Pada

saat itu, kamu akan sadar siapa yang lebih tepat buat kamu, Han.

Aku, atau si pembuat onar."

Lalu, tanpa menunggu jawaban kami lagi, dia meninggalkan

ruangan dengan dagu terangkat tinggi.

"Jadi," kata Frankie santai, "lebih milih si pembuat onar nih?"

"Nggak usah mimpi," gerutuku jengkel. "Ayo kita pulang."

Saat keluar dari ruangan kelas itu, Frankie langsung menyejajar

kan langkahnya di sampingku.

"Jangan khawatir, Tuan Putri," katanya riang. "Kita akan

gunain waktu yang tersisa untuk nyari pelaku yang sebenarnya

dan mecahin masalah ini."

Aku hanya mengangguk perlahan. Pikiranku kembali dihantui

adegan-adegan mengerikan dari rekaman di flashdisk dan tuduhan

yang ditimpakan pada Pandu yang tidak bersalah.

Sementara itu, sama sekali tidak ada jejak atau informasi ten

tang keberadaan Jenny.

Jenny, lo ada di mana? Kenapa lo nggak menghubungi gue?

Apa hubungan semua kejadian ini dengan lo?

KISAH horor terakhir SMA Persada Internasional:

"Suatu ketika di SMA Persada Internasional pernah ada seorang

siswa kelas XII yang bermasalah dan terancam bakal dikeluarkan dari

sekolah. Lalu, pada malam prom, dia kalap karena membayangkan

teman-teman seangkatannya bakalan lulus dengan gemilang, sementara

nasibnya begitu memalukan. Jadi dia mengunci semua orang dalam

auditorium, termasuk dirinya, lalu dia membantai semua orang yang

ada di situ dengan gergaji mesin. Saat akhirnya polisi berhasil mem

buka pintu itu, terlihatlah pemandangan yang sangat mengerikan dan

tak terlupakan. Potongan-potongan tubuh manusia berserakan di

seluruh ruangan, berlumuran darah amis yang sudah mulai mengering.

Tak ada yang hidup, seorang pun tidak, termasuk sang pelaku, yang

menuntaskan misinya dengan bunuh diri. Sejak saat itu, setiap malam,

di auditorium akan terdengar jeritan dan tangisan orang-orang yang

kehilangan anggota tubuh mereka."

Benji, kelas XII IPA 1, Ketua OSIS

Lagi-lagi aku tidak bisa tidur semalaman.

Sambil duduk di depan meja riasku, aku memperhatikan wajah

ku sendiri melalui cermin. Sial, aku jadi punya kantong mata,

dan warnanya lebih gelap dibanding kulit wajahku yang jauh

lebih pucat daripada biasanya. Kalau aku menyipitkan mata, aku

bisa melihat wajahku mirip sekali dengan panda yang punya

tanda hitam di kedua matanya.

Panda. Aku pernah salah memanggil Pandu dengan nama

Panda. Pikiran itu membuatku mengernyit, namun aku cepatcepat berhenti melakukannya saat melihat kerutan-kerutan di

wajahku. Sial, semua urusan ini membuat kecantikanku jadi ber

kurang drastis. Aku tahu aku seharusnya merasa bersyukur kalau

mengingat tragedi yang menimpa Violina yang malang, tapi me

mangnya aku tidak boleh berharap aku tetap kelihatan cantik

seperti sediakala pada saat semuanya selesai?

Aku merias wajahku dengan lebih cermat hari ini, karena aku

ingin tampil prima pada hari terakhir MOS ini. Aku ingin anakanak baru mengingatku sebagai pengurus MOS yang cantik sejak

awal hingga akhir, bukannya sebagai cewek yang jadi tua dan

jelek dalam enam hari.

Namun suasana di sekolah hari ini benar-benar di luar dugaanku.

Tanpa perlu memiliki kemampuan Sherlock Holmes, aku langsung

bisa menebak bahwa aksi Benji kemarin sudah disebarluaskan.

Kemungkinan besar oleh dirinya sendiri, berhubung selain Pak Sal

dan para guru, hanya aku dan Frankie-lah yang mengetahui masalah

itu. Guru-guru kami bukanlah tukang gosip, apalagi Pak Sal yang

berwibawa itu, sedangkan aku dan Frankie tetap menganggap Benji

sudah melakukan kesalahan besar. Bagaimana dia menyebarluaskan

hal itu tanpa menyebabkan dirinya disangka membual, itu benarbenar di luar akal pemikiran kami.

Yang jelas, mendadak saja anak-anak baru mengubah pendapat

mereka tentang Benji. Tadinya aku yakin mereka menganggapnya

sebagai titisan Hitler, dan kini mendadak saja imejnya berubah

menjadi Robert Pattinson. Mereka semua langsung menghentikan

kegiatan mereka saat Benji lewat, murid-murid cowok menatap

dengan penuh hormat, sementara murid-murid cewek cekikikan

sambil melirik malu-malu.

Lebih gila lagi, pada waktu istirahat kedua, ada sekumpulan

cewek yang menyerahkan surat-surat yang kemudian ditunjukkan

Benji padaku.

"Ini surat-surat dari pengagumku," katanya dengan muka

rendah-hati-tapi-tak-sabar-untuk-menceritakan-segalanya-padadunia. Hanya dengan satu lirikan aku sudah mengetahui isi surat

yang dipenuhi gambar-gambar hati itu. "Mereka bahkan ngajak

aku foto bareng. Agak makan waktu sih, karena semuanya mau

foto berduaan aja sama aku, tapi aku nggak tega nolak keinginan

mereka. Gimanapun, aku terpaksa nolak uluran cinta mereka.

Soalnya, perasaanku sama kamu masih belum hilang."

Bulu kudukku merinding mendengar ucapannya yang sok

romantis itu.

"Nggak usah malu-malu. Terima aja salah satunya yang paling

kamu suka. Tuh, yang ini." Aku menyisihkan satu kertas. "Yang

ini kertasnya warna pink dan agak wangi, tulisannya juga bagus.

Pasti orangnya cantik dan feminin. Pilih aja dia."

Benji menatapku dengan muka aneh. "Yang itu dari ibu cleaning

service!"

"Hah?" Aku langsung menyambar surat itu. "Ibu cleaning

service juga ngasih surat cinta?"

"Iya."

Betul juga. Memang sih isi surat itu bukan mengajak pacaran,

selingkuh, atau semacamnya, melainkan sekadar curhat-curhatan.

Buset. Padahal setahuku ibu itu sudah punya lima anak. Hidup

ini memang penuh kejutan. "Ya udah, jangan pilih yang ini. Pilih

aja yang lain."

"Udah kubilang, aku masih belum bisa ngelupain kamu, jadi

aku nggak bisa milih salah satu..."

"Hanny!" Pintu terbuka keras dan Mila menghambur masuk

seraya menyeret kaki kirinya yang masih digips. Dipeganginya

kedua bahuku erat-erat, dan wajahnya yang lembut tampak

cemas. "Aku udah denger tentang salah satu anak dalam grup

kamu yang dituduh sebagai pelaku semua kejadian belakangan

ini. Kamu pasti sedih banget. Aku sendiri pasti begitu kalo anak

yang aku peduliin selama ini ngalamin kesulitan."

Cewek ini memang perhatian banget. "Yah, memang hari ini
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nggak terlalu menyenangkan buat aku."

Mila menatapku dengan prihatin. "Ada yang bisa kubantu?"

"Aku nggak apa-apa kok. Thanks ya, Mil."

"Pokoknya, kalo butuh apa-apa, jangan segan-segan bilang

sama aku, ya...." Mila berpaling pada Benji. "Oh ya, kamu

manggil aku, Ben?"

"Iya," sahut Benji. "Gimana persiapan nanti malam?"

"Semuanya udah beres," kata Mila dengan nada efisien. "Event

organizer lagi nyiapin Auditorium I, sementara anak-anak baru

belajar di Auditorium II. Undangan yang kamu approve kemarin

udah berada dalam proses printing, dan pasti udah siap disebar

sebelum jam sekolah berakhir."

"Bagus." Benji mengangguk dengan wajah puas. "Malam ini,

pekan MOS akan berakhir dengan meriah, dan semua akan

mengingat pekan MOS tahun ini selama puluhan tahun. Ini

benar-benar suatu kesuksesan bagi OSIS periode kita, Mila."

Astaga! Orang ini benar-benar keterlaluan! Teman-temannya

nyaris celaka karena perbuatan seorang psikopat dan dia hanya

memikirkan kesuksesan OSIS yang dipimpinnya.

Di sisi lain, ini semakin meningkatkan kecurigaanku pada Benji.

Dia punya motif yang sangat kuat untuk itu. Lagi pula, dalam be

berapa kesempatan, tingkah lakunya benar-benar mengherankan.

Tapi, bagaimana caranya aku membuktikan hal ini?

Tiba-tiba pintu terbuka dan Frankie melenggang masuk.

"Hai, Kosis. Hai, Mila. Dan hai, Tuan Putri yang cantik."

Cowok ini benar-benar tidak tahu malu. "Ada pers di depan."

"Pers maksud kamu, klub KPR?" tanya Mila bingung.

"Bukan, pers sungguhan. Mereka mau wawancarain elo, Ben,

soal kasus yang barusan terjadi ini. Sebelum gue masuk, gue

sempet denger Pak Sal sedang nolak wawancara itu karena Pandu

belum terbukti bersalah."

"Apanya yang belum terbukti?" sergah Benji sambil keluar.

"Aku akan urus masalah ini. Mila, kamu juga ikut untuk nge

dukung pernyataanku."

"Oke." Mila segera keluar menyusul Benji sambil menyeret

kaki kirinya.

Kusadari Frankie sedang menatap kepergian mereka dengan

muka bego.

"Ngapain lo ke sini?" ketusku kasar, tak senang Frankie me

natap cewek lain seperti itu.

Frankie mendadak tersadar. "Ah, nggak. Gue cuma nggak mau

lo berlama-lama dengan selebriti baru kita. Bisa-bisa lo kena tebar

pesona lagi."

Aku mengibaskan rambutku. "Ah, nggak masalah dia tebartebar pesona, yang penting gue tetep kebal."

"Bener juga sih." Frankie nyengir, lalu dia menimpal dengan

ringan, "Omong-omong, si selebriti kok sepertinya bahagia sekali

dengan perkembangan saat ini, ya? Seakan-akan hal-hal buruk

yang menimpa teman-temannya itu bukan urusannya aja."

Ternyata bukan cuma aku yang berpikiran seperti itu.

Tapi, apa buktinya Benji yang melakukan semua itu? Kami

tidak punya apa-apa selain insting.

Yang lebih parah lagi, ternyata Benji tetap melanjutkan acara

penceritaan kisah horor. Kali terakhir ini dia menceritakan kisah

horor karangannya sendiri, kisah yang menurutku adalah kisah

paling menyeramkan dari semuanya. Dan yang tidak kalah me

ngerikan adalah cara Benji menceritakan kisah itu, begitu penuh

perasaan dan penghayatan, seolah-olah dia pernah berada di

dalam ruangan mengerikan tersebut.

"Sekarang Enam Kisah Horor sudah lengkap," katanya dengan

suara menyeramkan. "Lima di antaranya telah menjadi kenyataan.

Bagaimana dengan yang keenam? Kita hanya bisa mengetahuinya

dengan menghadiri pesta perayaan berakhirnya MOS nanti malam

di tempat kejadian kisah horor terakhir." Dia diam sejenak sebelum

akhirnya menambahkan dengan dramatis, "Di auditorium."

Aku dan Frankie bertatapan tanpa daya. Dengan ucapan itu,

Benji memastikan bahwa pada detik-detik terakhir pekan MOS

nanti, semua kemenangan dan kesuksesan pekan MOS tahun ini

akan menjadi miliknya sendiri.

Dan kami tidak bisa berbuat apa-apa untuk menggagalkan

nya.

***

Akan kubunuh si keparat Frankie malam ini.

Cowok itu benar-benar layak mendapatkan tindakan superultra-sadis dariku. Habis, bayangkan saja, hingga satu jam setelah

pesta perayaan berakhirnya MOS dimulai, cowok itu belum

nongol-nongol juga! Padahal aku sudah tampil luar biasa cantik,

dengan gaun panjang berwarna madu yang menonjolkan bentuk

tubuhku dengan sempurna. Tanpa perlu lirik kiri-kanan, aku tahu

semua cowok diam-diam memperhatikanku. Itu sih lagu lama

dalam hidupku. Aku tidak merasa tersanjung lagi karenanya, dan

tidak merasa terganggu pula. Meskipun harus kuakui, seandainya

mendadak aku harus kehilangan semua ini, aku pasti akan bete

sekali.

Yang membuatku kesal, aku harus berdiri sendirian di sini se

perti cewek tidak berotak yang sedang mejeng dan terpaksa

meladeni sejumlah anak baru tolol berdasi kupu-kupu superculun

yang berani-beraninya mengajakku dansa, makan bareng, bahkan

pacaran. Yang benar saja. Pacaran dengan anak bau kencur? Lebih

baik aku jadi perawan tua saja seumur hidup.

Sial, dulu aku begitu menikmati posisiku sebagai cewek po

puler. Kenapa kini aku malah merasa tidak nyaman?

Lebih sial lagi, Benji menghampiriku. Dengan muka penuh

pengertian semua anak baru yang mengerubungiku langsung

kabur dan memberi tempat untuknya.

"Sepertinya pengawalmu nggak keliatan," katanya sambil me

nyunggingkan senyum yang menurutku sangat menyebalkan.

"Kenapa? Malu karena udah kalah ngelawan aku?"

"Ah, dia sih nggak punya urat malu," sahutku dengan nada

manis. "Tapi mungkin dia males dateng ke sini karena dia nggak

suka hal-hal berbau kemewahan seperti ini."

Sambil mengatakan hal-hal itu, kusadari kata-kataku memang

benar. Pesta yang dipenuhi anak-anak ABG yang mengenakan

gaun dan setelan seharga jutaan, makanan lezat yang berlimpah,

hiburan berupa band lokal terkenal, belum lagi pemborosan

sumber daya seperti listrik dan sebagainya, tentu tidak cocok buat

Frankie.

Tapi, setidaknya si geblek itu kan bisa memberitahu aku

supaya aku tidak perlu menghadiri pesta sialan ini sendirian!

"Benji. Hanny."

Kami berdua menoleh dan melihat Mila melangkah ke arah

kami. Cewek itu tampak cantik sekali dengan gaun merah yang

juga dilengkapi dengan syal, meski dia masih juga menggunakan

tongkat penopang jelek itu karena kakinya belum lepas dari

gips.

Wajah Benji sama sekali tidak kelihatan senang melihat ke

munculan Mila.

"Ada masalah?" tanyanya dengan nada formal.

"Nggak." Mila tampak tergagap menanggapi sikap dingin

Benji. "Hanya nggak ingin sendirian malam ini."

"Yah, jangan sendirian dong," kataku sambil menggamitnya.

"Kamu bisa join sama aku. Aku juga bete nih, dari tadi nggak

ada temen."

Mila menatapku tak percaya. "Ah, Hanny kan selalu punya

segudang penggemar yang mengerubungi."

"Mereka bukan temen yang bisa kuajak ngobrol. Mereka nggak

seperti kamu, Mila."

Kebanggaan merekah dalam hatiku saat Mila menatapku de

ngan penuh rasa terima kasih. "Kamu emang unik banget, Han.

Selain cantik, kamu juga baik hati dan nggak sombong."

Sambil menyibak rambutku untuk menahan rasa bangga yang

makin memuncak ini, aku menyahut, "Ah, biasa aja."

Gaya kerenku terganggu oleh dering ponsel yang berasal dari

clutch berbalut mutiara yang kubawa.

"Sori, sebentar." Aku menekan tombol untuk menjawab.

"Halo?"

"Hanny...? Halo, Hanny...? Ini Markus!"

"Markus?" Astaga, tak kuduga aku bakalan senang sekali men

dengar suaranya! "Markus, lama nggak denger kabar dari kamu!

Kamu lagi di mana?"

"Hanny..., bisa dengar suaraku...?" Ada apa dengan cowok ini?

Aku bisa mendengar suaranya dengan begitu jelas. Jangan-jangan

sambungannya sedang buruk. "Han, jangan pergi ke mana-mana!

Jenny juga nggak boleh! Dengar, dia udah kembali. Saat ini..."

Bunyi dengingan keras membuatku harus menjauhkan telingaku

dari telepon sejenak. "Astaga, bunyi apaan tuh, Mar? Markus...?

Halo...?"

Sial, sambungannya terputus. Apa-apaan sih si Markus? Siapa

yang sudah kembali dan kenapa aku tidak boleh ke mana-mana?

Bisa-bisanya dia bicara tidak jelas begitu.

Terdengar suara Mila di belakangku. "Markus, ya?"

Aku menoleh. "Iya nih. Tapi sambungannya jelek. Tahu-tahu

aja putus."

"Mungkin nanti dia bakalan telepon lagi," ucap Mila prihatin.

"Mungkin," sahutku penuh harap.

Namun telepon yang kuharapkan itu tidak kunjung tiba. Se

telah menunggu beberapa saat, aku tidak tahan lagi. Aku berusaha

menelepon balik, namun yang terdengar olehku hanyalah nada

sibuk. Benar-benar membuat penasaran. Markus kedengaran sa

ngat aneh. Kalau aku tidak salah menduga, sepertinya dia sedang

ketakutan. Padahal, Markus yang kutahu adalah cowok yang

sangat pemberani. Apa yang terjadi padanya? Apa yang terjadi

pada Tony? Sekali lagi, siapa yang sudah kembali dan kenapa

mereka melarang aku dan Jenny pergi ke mana-mana?

Saat sedang sibuk-sibuknya memikirkan semua itu, mendadak

terdengar jeritan-jeritan ketakutan.

"Pintu utama auditorium terkunci!"

"Pintu samping juga!"

"Jendela-jendela nggak bisa dibuka!"

Jeritan-jeritan panik mulai memenuhi udara, membuatku segera

melupakan telepon dari Markus. Kusadari bahwa Oknum X

beraksi lagi. Mataku langsung tertuju pada Benji. Anehnya, wajah

cowok itu menunjukkan kemarahan yang amat sangat. Bukan

raut wajah yang akan ditampakkan oleh Oknum X. Lebih aneh

lagi, cowok itu langsung menoleh pada Mila.

"Udah kubilang, jangan kacauin malam ini!"

Aku melongo, sementara Mila membantah, "Yang ini bukan

perbuatan aku!"

"Kalo bukan perbuatan kamu, siapa lagi yang sanggup nge

lakuin kejahatan-kejahatan ini?"

"HAHAHA...."

Suara tawa menyebalkan dari arah samping membuat kami

semua menoleh. Frankie berdiri di tengah-tengah ruangan, tam
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pak pongah dengan pakaian paling kumal di ruangan ini?kaus

oranye tanpa lengan, celana jins gombrong tiga perempat, sandal

jepit seharga lima ribuan, penopang tangan yang kini berwarna

abu-abu (tadinya putih bersih), dan topi yang bagian depannya

diputar ke belakang.

"Pelaku kejadian malam ini adalah gue!" katanya keras-keras

tanpa malu. "Tapi, kerjaan gue cuma ngunci ruangan ini dan

nggak bunuh-bunuhin orang. Sedangkan Oknum X, pelaku se

benarnya dari semua kejadian mengerikan ini adalah kalian

berdua, MILA DAN BENJI!"

Suara cowok itu menggema di seluruh auditorium yang men

dadak sepi, terutama bagian terakhir yang menyebutkan nama

Mila dan Benji. Pak Sal dan guru-guru segera mendekat pada

kami.

"Ada apa ini?" tanya Pak Sal dengan suaranya yang dingin,

tampak tidak senang dengan interupsi ini.

"Bukan apa-apa, Pak," sahut Benji cepat. "Hanya keonaran

biasa yang dibuat oleh Frankie."

"Keonaran biasa?" tanya Frankie, tanpa malu-malu mengguna

kan mikrofon untuk memperkeras suaranya. "Ini bukan keonaran

biasa, Bung. Ini saat untuk menangkap pelaku sebenarnya di

balik kejahatan besar yang terjadi di sekolah kita!"

"Dan lo nuduh gue dan Mila?" sergah Benji. "Bener-bener

bodoh. Emangnya lo punya bukti apa?"

Dengan tangannya yang masih memegang mikrofon, Frankie

mengacungkan jari telunjuknya. "Pertama-tama, percakapan

barusan antara lo dan Mila. Jangan kira gue nggak denger. Dari

tadi gue ngumpet di bawah meja."

Dasar goblok. Memangnya tindakan konyol itu perlu diumum

kan ke seluruh dunia?

"Itu bukan apa-apa." Benji melambaikan tangannya. "Gue cuma

negur Mila karena gue menginginkan malam yang sempurna

malam ini, dan dia lupa menelepon untuk nambah petugas sekuriti.

Itu sebabnya gue jadi marah."

"Lalu kenapa Mila bilang bahwa yang ini bukan perbuatan

dia?" balas Frankie dengan nada menantang. "Emangnya yang

termasuk perbuatan Mila itu yang mana?"

Aku tercengang mendengar ucapan Frankie, lalu berpaling pada

Mila. "Mila, apa kata-kata Benji benar?"

Sejenak Mila seperti tidak bisa berkata-kata. "Nggak, tuduhan

itu nggak benar sama sekali."

"Oh, ya?" tanya Frankie dengan suara menggelegar. "Kalo be

gitu, gimana dengan ini?"

Dari sound system yang memenuhi seluruh auditorium, ter

dengar suara seperti bunyi tombol sederet nomor telepon ditekan,

lalu terdengar suara rekaman.

Suara seorang wanita. "Halo?"

"Halo, selamat siang." Suara Frankie. "Bisa bicara dengan Mila?"

"Mila sedang ada di sekolah tuh."

"Wah, saya kira kaki Mila sedang cedera, jadi dia nggak masuk."

"Masuk kok. Meski cedera, dia tetap masuk sekolah sejak hari

kedua. Mila memang sangat berdedikasi pada tugas-tugas sekolah

nya."

"Oh, begitu, ya? Terima kasih, Tante."

Suara rekaman itu terputus.

"Nah," kata Frankie dengan mata tajam melekat pada Mila.

"Yang kami semua tau, kamu baru muncul kemarin, kan? Per

tanyaannya, jadi selama ini kamu ada di mana?"

"Aku." Mila tertegun sejenak. "Aku berusaha pergi ke se

kolah, tapi begitu tiba di sekolah aku kecapekan, jadi aku isti

rahat di ruang UKS."

Frankie tidak tampak kecewa mendengar jawaban itu. "Oke,

lalu gimana dengan ini?"

Dia mengepit mikrofon di ketiaknya?mikrofon yang malang?

lalu merogoh sakunya dan menunjukkan selembar foto di audi

torium, yang sepertinya diambil waktu Benji sedang komat-kamit

menceritakan kisah horor. Tapi orang yang difoto bukanlah Benji,

melainkan aku?maksudku, aku sebagai fokus utamanya, dan di

sampingku ada Frankie yang sedang menguap lebar-lebar dan Mila

yang menumpukan kaki kanannya yang digips pada tongkat pe

nopangnya.

"Ini foto kemarin," kata Frankie mengumumkan, "dan yang

ini foto hari ini."

Aku tercengang karena lagi-lagi ada foto yang serupa, aku

dengan fokus utama, Frankie dan Mila di kedua sisiku. Namun,

ada satu hal yang sangat jelas dan langsung menyita perhatianku

di foto kedua ini.

Gipsnya ada di kaki kiri.

Aku menoleh pada Mila. "Mila, kok gipsnya bisa kebalik?"

"Ya, betul," sambung Frankie penuh semangat. "Itu gips bener

an atau asal pasang aja, biar kita semua ketipu? Atau, ada se

suatu yang disembunyiin di dalamnya?"

Tanpa melihat pun aku tahu mata semua orang di dalam audi

torium tertuju pada kaki Mila.

Sesaat Mila tidak bergerak. Lalu dia tersenyum.

"Kamu benar-benar hebat, Frankie." Senyum yang biasanya

lembut itu kini terlihat dingin. "Tadinya kukira tidak mungkin

ada orang yang mencurigai aku, namun kamu berhasil menge

tahui keterlibatanku. Terus terang, kamu faktor tak terduga dalam

keseluruhan rencana kami...."

"Kami?" selaku. "Siapa itu kami?"

Pandangan Mila beralih pada Benji yang langsung membentak,

"Kenapa kamu liat-liat aku? Aku nggak terlibat sama sekali."

"Betulkah?" Frankie menyeringai dengan tampang mirip bajing

an. Sungguh, kalau dia berteriak "Akulah pelakunya!", semua

orang pasti bakalan langsung percaya dan polisi pasti akan mem

bekuknya seketika itu juga tanpa perlu pakai acara interogasiinterogasian lagi. "Lalu kenapa lo begitu panik, Pak Kosis?"

"Aku nggak panik...," bantah Benji gusar.

"Oh, ya?" Frankie nyengir lagi. "Kalo gitu, elo nggak keberatan

dong tadi gue bongkar-bongkar loker lo."

Aku bisa melihat urat-urat timbul di tangan Benji yang me

ngepal. "Untuk apa lo bongkar-bongkar loker gue?!"

"Nyari sesuatu yang menarik, tentunya."

"Tapi lo nggak berhasil nemuin apa pun, kan?" sergah Benji.

"Sebaliknya, gue nemuin ini."

Frankie mengeluarkan selembar foto lagi. Berkat penglihatanku

yang tajam bagaikan elang, aku bisa melihat foto Polaroid itu

meski dari kejauhan. Foto Benji yang sedang merangkul Mila.

Pose mereka bagaikan pasangan yang sedang jatuh cinta, kecuali

bahwa hanya Mila yang tersenyum bahagia ke arah kamera.

Wajah Benji, sebaliknya, tampak bosan, bahkan dia memalingkan

wajahnya dari kamera.

Benji langsung tertegun. "Foto itu..."

"Foto mesra yang nggak terduga ada di dalam loker, kan?"

tanya Frankie ringan. "Biasanya, cewek yang merasa nggak aman

dengan hubungan cintanya akan diam-diam nyelipin fotonya ke

dalam dompet atau loker pacarnya, dengan harapan agar pacarnya

akan selalu teringat padanya. Dan ngeliat tampang lo yang bego

banget, gue yakin ini salah satu jenis foto seperti itu." Frankie

membalikkan fotonya. "Hmm, tanggalnya baru dua minggu lalu.

Aneh, bukannya waktu itu lo lagi pacaran dengan Tuan Putri?"

"Mana?" Aku merebut foto itu dan melihat tanggal yang

tertera. Tanggal saat aku sedang menikmati liburan di Singapura

bersama Jenny. "Oh, iya. Betul juga." Aku menoleh pada Benji

dan menyipitkan mataku. "Jadi waktu itu kamu selingkuh sama

Mila, ya?"

Merasakan ketajaman tatapanku, Benji melangkah mundur.

"Bukan. Bukan seperti itu, Han..."

"Kami emang udah berhubungan dari dulu," sela Mila, pelan

namun jelas. "Hubungan tanpa status, tepatnya. Tapi, waktu

kamu mendadak single lagi, dia bilang dia harus gunain kesempat

an yang sangat jarang ini untuk jadi pacar kamu. Kalo nggak,

nanti kamu keburu disambar cowok lain lagi." Yah, apa daya, aku

memang laku sih. "Dan saat kalian jadian, statusku berubah jadi

pacar gelap Benji."

Dasar bajingan. Berani-beraninya si Benji punya pacar gelap,

sementara aku yang jauh lebih populer ketimbang Benji malah

belum pernah punya pacar gelap satu pun. Rasanya seperti kalah

keren. Sial, aku juga ingin punya pacar gelap barang satu-dua

orang!

"Oke, mungkin gue emang udah berperilaku nggak pantas,"

kata Benji. Sekali lagi: dasar bajingan. Bisa-bisanya dia menyebut

perbuatan kriminalnya dengan istilah nggak pantas. Lebih tepat

kalau dia menyebutnya murahan. Atau lebih bagus lagi, mesum

kelas berat. "Tapi itu bukan sesuatu yang fatal-fatal amat dan bi

kin gue harus dijeblosin ke penjara, kan?"

"Emang nggak," sahut Frankie, wajahnya berubah serius. "Tapi

sebagai pasangan kejahatan Mila, udah bagus lo nggak dihukum

mati."

"Gue bukan pasangan kejahatan Mila!" bantah Benji, kali ini

dengan suara yang mulai melengking.

"Oh, ya? Lalu kenapa film ini nunjukin sebaliknya?"

Bagaikan diperintah, layar proyektor raksasa di panggung mulai

menampilkan adegan-adegan mengerikan dari flashdisk yang diambil

dari loker Pandu. Berhubung tidak mungkin layar itu bisa diperintah

ke sana kemari, pasti ada yang membantu Frankie?dan ini berarti

Les ada di sekitar sini. Aku mulai celingak-celinguk, tapi tidak

menemukan sosok cowok keren itu sama sekali.

Sementara itu, Benji berteriak-teriak tidak senang, "Hei, itu

barang bukti!"

"Sori, waktu elo lagi nyari Pandu, gue sempet ngopi semuanya

ke dalam komputer kelas, jadi yang ini bukan barang bukti," kata

Frankie sambil nyengir.

Cowok ini ternyata tidak melulu goblok.

Saat melihat adegan yang menimpa Peter, terdengar seruan dan

jeritan di seluruh ruangan. Namun dengan cueknya Frankie meng

hentikan adegan saat sedang seru-serunya, yaitu pada saat perganti

an adegan sewaktu Peter diserang dari belakang dan adegan Peter

hendak digantung. (Astaga, apakah aku barusan mengatakan

"sedang seru-serunya"? Kurasa aku mulai maniak juga.)

"Nah, sekarang semua perhatikan baik-baik. Semua orang pasti

mengira dua adegan ini terjadi pada waktu yang bersamaan.

Benar, kan?" Bahkan Pak Sal pun turut mengangguk menanggapi

pertanyaan Frankie. "Kenyataannya, ini dua kejadian yang ber

beda. Coba kita liat benda ini."

Nyaris tak mendapat perhatian, terdapat jam dinding yang

tersorot oleh kamera. Pada adegan pertama, jam itu menunjukkan

pukul dua belas kurang lima belas menit, yaitu sesaat sebelum

istirahat kedua dimulai. Sedangkan pada adegan kedua, jam

menunjukkan pukul setengah satu, berarti saat istirahat kedua

nyaris berakhir.
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalian semua bisa liat sendiri, siapa orang yang punya alibi

paling kuat pada adegan kedua? Orang yang suaranya terdengar

sangat keras?"

Meski tidak ada yang berbicara, benak semua orang memikir

kan orang yang sama.

Benji.

"Pada adegan pertama, semua orang tidak punya alibi. Tapi,

sebagai orang berakal sehat, kita tahu bahwa pelakunya pasti dua

orang, karena nggak mungkin Oknum X bisa menyerang Peter

tanpa ketahuan orang yang ditemui Peter itu." Frankie menoleh

pada Mila. "Gue yakin, saat Peter siuman, dia akan nyebut nama

elo sebagai orang yang ditemuinya itu."

Mila cuma membisu mendengar ucapan Frankie.

"Nah, kita nggak perlu mengkhawatirkan jawaban itu dulu,"

kata Frankie ringan, "dan kita lanjutkan tontonan kita. Tapi

sebelumnya gue ingin kalian semua perhatikan baik-baik. Semua

adegan ini seolah-olah menegaskan alibi Benji, padahal setiap

peristiwa merupakan dua adegan pada waktu yang berbeda, yang

dijadikan satu seolah-olah terjadi pada waktu yang sama."

Sementara para penonton yang baru pertama kali melihat

adegan-adegan itu berseru-seru kaget bercampur ngeri, kali ini

aku menonton semua adegan itu dengan pandangan yang ber

beda. Betul kata Frankie. Memang dalam adegan-adegan lain ti

dak ada jam dinding yang bisa menunjukkan waktu kejadian.

Namun sudut sorot sinar matahari dan bentuk bayangan sudah

lebih dari cukup untuk membuktikan perbedaan waktu ter

sebut.

Sementara itu, Frankie terus mengoceh seolah-olah dia adalah

seorang pakar dan kami semua cuma orang-orang idiot yang

menggantungkan hidup-mati kami pada penjelasannya.

"Coba liat adegan Anita dan Ronny ini. Kalau kalian baru

pertama kali menontonnya, kalian akan mengira adegan itu hanya

melibatkan Anita dan Ronny. Padahal, ada orang ketiga dalam

ruangan itu." Yah, soal itu sih, aku juga sudah menduganya pada

saat pertama kali menontonnya. "Orang yang menyebabkan putus

nya hubungan antara Anita dan Ivan. Lagi-lagi, gue menduga

orang itu adalah elo, Mil."

Lagi-lagi Mila bungkam.

"Sekarang adegan ketiga. Adegan yang juga melibatkan gue

dan Tuan Putri."

"Tuan Putri?" Suara Pak Sal yang berat menyela.

"Ehm, maksud saya, Hanny, Pak...." Tampang Frankie malumalu sejenak sebelum akhirnya berbicara dengan penuh semangat

dengan mikrofon lagi. "Coba liat adegan pertama ini. Pelaku

memukul Ivan begitu kuat sampai-sampai Ivan langsung nggak

sadarkan diri, lalu dia menyeret kakak gue yang berat itu sampai

ke atas balkon melalui tangga darurat. Mana mungkin itu seorang

cewek? Jelas-jelas ini perbuatan cowok. Dan jelas bukan Pandu,

karena anak tolol itu pendek, begeng, dan culun."

Sial, kenapa anak kesayanganku yang hobi mentraktir itu

dihina-hina di depan umum?

"Sementara lo, Benji," tuding Frankie pada Benji yang tampak

tak senang karena diperlakukan dengan tidak sopan, "emang

pendek, tapi cukup atletis sehingga sanggup menyeret Ivan yang

tinggi maupun beratnya nggak beda jauh sama elo. Nggak banyak

cowok yang bertubuh pendekar seperti elo."

"Pendekar?" tanyaku bodoh.

"Pendek tapi kekar, maksudnya." Oooh. "Kalo dibandingbandingin, lo dan Mila punya tinggi badan yang nggak beda

jauh, tapi lo lebih kekar. Itu sebabnya Oknum X harus pakai ju

bah, untuk menutupi bahwa pelakunya bukan hanya satu orang,

melainkan dua, dan keduanya berbeda jenis kelamin."

Jadi itulah sebabnya mereka menggunakan kostum mirip

Voldemort.

"Nah, sekarang adegan keempat dengan Violina." Adegan yang

paling menakutkan bagi kebanyakan cewek. Para siswi baru lang

sung menjerit-jerit sambil menutup mata mereka saat menyaksi

kan adegan itu. "Pada adegan kali ini, kalian nggak sempat mem

buat alibi untuk Benji. Karena gue dan Tuan Putri udah tau

modus operandi kalian, kalian jadi panik dan terburu-buru me

lakukan bagian terakhir ini. Sejauh ini gue benar?"

Benji menatap Frankie dengan gusar, sementara Mila hanya

menunduk.

"Mila," kataku lembut, "kamu harus tau, saat Peter dan Anita

tersadar, mereka akan segera nyebut nama kamu. Kamu nggak

punya jalan keluar lagi. Satu-satunya jalan untuk meringankan

hukuman kamu adalah bekerja sama dan kasih tau pada kami

semua, siapa pasangan kejahatan kamu..."

"Mereka yang salah."

Hah?

"Ivan, Anita, Violina, Peter, dan Ronny," ucap Mila pelan. "Se

belum semua ini terjadi, aku adalah pacar gelap Ivan."

Pacar gelap lagi???

"Ya, menyedihkan, tapi ini nyata." Senyum Mila tampak sedih.

"Semua cowok menyukai aku, mau menjalin hubungan tanpa

status sama aku, tapi mereka nggak mau berhubungan resmi sama

aku karena mereka menginginkan cewek lain yang lebih baik.

Hubunganku dengan Ivan sangat menyenangkan, semuanya tam

pak begitu sempurna, sampai akhirnya... Ivan berpaling pada

Violina." Mila diam sejenak, lalu menambahkan, "Padahal aku

hamil."

HAMIL?

Kepalaku mulai pusing. Benji dan Ivan punya pacar gelap.

Mila. Lalu, Mila hamil oleh Ivan. Di antara orang-orang ini,

aku?Hanny Pelangi, si cewek populer?jadi merasa seperti anak

bawang yang tidak punya pengalaman apa-apa.

Ada sesuatu yang mulai terdengar cukup menyenangkan di

telingaku sendiri. Kurasa perilakuku jauh lebih baik daripada

mereka semua.

"Sebagai teman baik Ivan, Ronny menyuruh aku aborsi,

bahkan Ronny memberi aku uang untuk melakukannya. Dalam

keadaan bingung, aku pun melakukannya. Dan aku nyesel

banget...." Air mata bergulir di pipi Mila. "Aku nyesel udah mem

bunuh bayi yang nggak sempat kukenal, bayi yang seharusnya

punya hak untuk hidup, tapi dia harus meninggal tanpa sempat

mengenal dunia karena keegoisan orangtuanya...."

Oke, sekarang aku mulai ikutan sedih mendengar kisahnya.

"Celakanya, Violina nggak pernah berniat serius dengan Ivan.

Dalam sekejap, dia ninggalin Ivan. Seharusnya aku ada untuk

Ivan, tapi waktu itu aku lagi kesakitan karena efek-efek setelah

aborsi. Dan akhirnya, Anita-lah yang ada untuk Ivan. Lalu me

reka saling jatuh cinta. Dan mereka ngejalanin hubungan yang

sempurna dan bahagia. Hubungan yang seharusnya menjadi

milikku." Wajah Mila yang lembut berubah gusar. "Aku udah

banyak berkorban, tapi sekarang aku malah ditinggalin begitu

aja!"

"Simpen keluhan lo buat nanti," kata Frankie tanpa berperasa

an. "Lanjutin ceritanya dong."

Mila menghela napas. Wajahnya yang gusar kembali berubah

menjadi lembut. "Lalu aku jalan sama Benji. Hubungan kami juga

baik dan menyenangkan. Tapi tiba-tiba, lagi-lagi Violina mengincar

Benji. Aku berusaha mencegah Benji nanggapin rayuan cewek jahat

itu, tapi aku nggak cukup cantik. Jadi, saat aku dengar Hanny putus

dari pacarnya, aku buru-buru kasih tau Benji yang sudah lama

tertarik pada Hanny. Seperti rencanaku, Benji berpaling dari Violina

dan akhirnya pacaran sama Hanny."

Wah, ini berarti daya tarikku lebih dahsyat dibanding Violina.

Sudah kuduga aku lebih cantik dari cewek centil itu.

"Tapi lalu Peter mengetahui masa laluku, dan dia mau mem

bongkarnya. Aku jadi ketakutan. Tepat pada saat itu, Benji

ngumpulin kita para pengurus MOS dan memberikan ide tentang

kisah horor di sekolah ini. Jadi, pada malam itu..."

"Mila!" bentak Benji dengan suara melengking tanda panik.

"Jadi, pada malam itu lo ngajuin diri sebagai umpan pertama,

yang akan jadi motif bagi seseorang buat nyelakain para pengurus

MOS!" tebak Frankie. "Dan tertuduh yang paling sempurna ada

lah seorang anak baru. Betul, kan?"

"Nggak!" bantah Benji. "Itu nggak bener. Kalaupun emang

Mila yang ngerencanain semua ini, itu semua nggak ada hubung

annya dengan aku!"

Mila tertegun mendengar ucapan Benji. "Benji?"

"Jadi elo pelakunya!" kata Benji sambil menuding Mila. "Lo

yang ngelakuin semua kekejaman itu. Lebih celaka lagi, lo nyeret

gue ke dalam kejahatan lo, karena lo nggak mau dihukum sen

dirian. Tapi nggak akan ada yang percaya sama tuduhan lo,

karena semua itu bohong!"

Sesaat semua terdiam mendengar ucapan Benji yang terdengar

palsu dan kejam.

"Udah aku duga, pada akhirnya kamu akan mengkhianati aku...."

Mila tersenyum sedih, lalu menunduk. "Frankie, tadi kamu nanya,

apa gips yang aku pake ini nyembunyiin sesuatu. Kamu bener.

Semua senjataku selalu kusembunyiin di sini, termasuk senjata

untuk malam ini, senjata yang kupinjam diam-diam dari ayahku."

Dari balik gipsnya, Mila mengeluarkan sepucuk pistol, yang

kemudian diacungkannya pada Benji, sementara aku hanya bisa

terbelalak di samping Benji.

Sial, andai tembakannya meleset, bisa-bisa aku yang jadi kor

ban.

"Seandainya aja kamu ngebela aku," kata Mila pada Benji,

"aku bersedia nanggung semua kesalahan ini untuk kamu. Tapi

karena aku sadar perasaan kamu padaku begini dangkal, rasanya

tolol banget kalo aku mendekam di penjara sendirian. Jadi, Benji,

akuilah kalo kamu juga ngelakuin semua ini sama aku. Mungkin

aku akan ampuni nyawa kamu!"

Mungkin karena Benji sanggup bergerak lebih cepat daripada

kecepatan cahaya?atau mungkin juga karena Mila tidak benarbenar ingin mencelakai cowok itu?tahu-tahu saja cowok itu

berhasil merampas pistol dari tangan Mila dan balas mengacung

kannya ke kepala cewek itu.

"Dasar cewek tolol!" geram Benji. "Berani-beraninya ngerusak

reputasi aku dengan semua omong kosong itu? Emangnya ada

yang mau percaya sama kamu?"

"Aku udah bersiap-siap," balas Mila seolah-olah dia tak takut

mati. "Aku nyimpan semua bukti keterlibatan kamu. Video utuh

dari rekaman yang kita tunjukin ke orang-orang lain, kamera

yang masih bernoda darah Violina dan ada sidik jari kamu,

ponsel yang dipenuhi SMS-SMS kita. Semua itu ada di..."

Jantungku nyaris berhenti saat Benji menembak punggung

Mila. Seperti adegan lambat dalam film, perlahan-lahan Mila

jatuh tersungkur ke lantai. Sedetik kemudian, semua langsung

menyadari apa yang terjadi. Orang-orang mulai menjerit-jerit

ketakutan dan mencari tempat persembunyian.

"Benji!" teriak Pak Sal di tengah-tengah keriuhan. "Sudah

cukup. Jangan teruskan lagi. Kalau kamu serahkan pistolnya..."
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keriuhan makin menjadi-jadi saat Benji menembak Pak Sal.

"Bapak kira saya tidak tahu?" bentak Benji pada Pak Sal yang

langsung jatuh berlutut sambil memegangi perutnya yang ter

tembak. "Dari awal Bapak lebih percaya pada Frankie. Bapak

berada di pihak dia, meski Bapak tau dia itu pembuat onar.

Sekarang Bapak juga percaya kalau saya pelakunya, kan?"

Kurasa, sampai titik ini, tak ada yang ragu lagi kalau Benji-lah

pasangan kejahatan Mila.

"Hei, Kosis."

Aku menatap Frankie dengan ketakutan. Apa dia sudah gila?

Apa dia tidak menyadari hobi baru Benji, yaitu menembaknembaki semua orang yang berani bicara dengannya?

"Biar lo tembak-tembakin semua orang di sini, lo sendiri juga

nggak akan lolos! Gue udah ngunci semua pintu, dan salah satu

orang di sini pasti udah nelepon polisi atau ambulans karena ke

lakuan gila lo itu. Belum lagi di luar Pak Sofyan dan gengnya

juga udah menanti elo. Lebih baik lo nyerahin diri, Kosis, se

belum hukuman lo bertambah berat."

"Nyerahin diri?" teriak Benji dengan suara melengking. "Ke

pecundang macam diri lo? Nggak sudi!"

Aku menjerit saat dia menembak dan Frankie tersungkur.

Namun sedetik kemudian kusadari Frankie bukannya tersungkur,

melainkan menjatuhkan diri. Benji tidak berhasil menembak

nya.

Namun Benji tidak tahu hal itu. Dia keburu melarikan diri.

"Dia kabur ke belakang panggung!" teriak Frankie. "Sial, Les

ada di situ!" Dia menoleh padaku. "Tunggu di sini, Tuan Putri.

Awas kalau berani ikut. Bahaya!"

Aku menatap kepergiannya dengan jengkel bercampur khawatir.

Aku tahu, kalau aku ikut dengannya, aku tidak bakalan bisa

membantu apa-apa, malah akan merepotkannya saja. Tapi beraniberaninya cowok sialan itu bilang, "Awas kalau berani ikut."

Seolah-olah aku bakalan takut saja dengan ancaman kosong itu.

Namun saat ini aku punya tugas lain yang tidak kalah penting.

Aku langsung berlutut di samping Mila yang terbaring di lantai

di dekatku dan meraihnya ke dalam pelukanku, tidak peduli

darahnya mulai mengotori gaunku.

"Mila...," panggilku sambil mengguncang bahunya lebih keras.

"Kamu baik-baik aja...?"

"Hanny," sahut Mila dengan mata dibanjiri air mata. "Sakit

sekali, Han."

Saat ini aku tidak peduli dengan rasa sakitnya, karena itulah

yang pantas didapatkannya setelah mencelakai lima pengurus

MOS, memukuli aku dan Frankie, serta mencuri mobilku.

Belum lagi masalah Jenny.

"Gantungan ponsel Jenny...," ucapku tak sabar. "Yang ber

bentuk sandal jepit itu... Kamu yang bawa, kan?"

"Sandal jepit..." Suara Mila menandakan dia sudah separuh tak

sadar. Aku mulai takut dia bakalan mati dalam pelukanku.

"Warna biru..."

"Betul!" teriakku penuh semangat. "Dari mana kamu dapetin

itu? Dan cologne Jenny. Kenapa kamu bisa pakai cologne itu?"

"Cologne," bisik Mila. "Dia yang kasih aku itu semua.

Cologne dan gantungan kunci. Untuk kasih peringatan buat

kamu..."

"Dia?" tanyaku makin tak sabar saja. "Siapa dia? Benji?"

Mila menggeleng lemah. "Orang yang kasih aku ide untuk

ngelakuin semua ini..."

Lalu Mila menyebut nama yang paling kutakuti di seluruh du

nia ini.

Johan.

Perasaan ngeri langsung merayapi seluruh tubuhku. "Apa

maksud kamu? Johan???"

"Dia baik...," bisik Mila. "Johan baik sama aku..."

Ternyata Johan yang berdiri di belakang semua ini. Pantas saja

semuanya terasa begitu mengerikan. Pantas semuanya terasa be

gitu familier.

Lalu, Jenny?

"Terus gimana dengan Jenny???" tanyaku mulai histeris, suaraku

melengking seperti suara Benji.

Namun mata Mila sudah terpejam rapat-rapat. Aku meng

guncangnya keras-keras, namun tubuhnya terasa makin berat

saja.

Sial, dia mati. Mila mati. Mila

Sebuah tangan halus terulur ke leher Mila.

"Tenang, Hanny," kata Bu Lasmie, pemilik tangan halus itu.

"Mila hanya pingsan. Mungkin karena kehabisan darah. Saat ini

kita hanya bisa berpasrah pada nasib."

Aku mengangguk sambil menelan ludah, tapi pikiranku terus

tertuju pada Johan.

Dan, Jenny.

Apa yang Johan lakukan pada Jenny?

Sial, Frankie tidak tahu keterlibatan Johan dalam masalah ini.

Lebih menakutkan lagi, mungkinkah Johan ada di dekat-dekat

sini?

"Bu, tolong pegangi Mila," kataku sambil memindahkan tubuh

Mila yang berat pada Bu Lasmie. "Saya harus memperingatkan

Frankie."

"Jangan, Han." Bu Lasmie memegangi tanganku. "Kamu tidak

bisa berbuat apa-apa untuk membantu Frankie."

"Tapi saya harus memperingatkan dia!" teriakku. "Johan ada di

sini!"

Kata-kataku membuat suasana jadi hening. Wajah guru-guru

yang mengenali nama itu langsung memucat.

Perlahan-lahan Bu Lasmie melepaskan tangannya dariku.

"Hati-hati, Han...," bisiknya.

Aku mengangguk, lalu segera berlari pergi.

BAGIAN belakang panggung benar-benar bertolak belakang

dari bagian depannya.

Sementara di auditorium begitu gemerlap, mewah, dan tertata

rapi, suasana di belakang panggung begitu suram, kotor, dan

berantakan. Bangku-bangku tergeletak tak beraturan, meja besar

yang terletak di tengah-tengah ruangan dipenuhi kaleng-kaleng

soda yang sudah dibuka, kulit-kulit kacang, dan kantong-kantong

camilan bekas makanan anggota band yang kami sewa. Kabelkabel dan rantai-rantai tidak jelas, juga sarang laba-laba, me

lintang ke sana kemari. Aku nyaris menjerit saat menemukan

sebuah maneken separuh badan menyambutku di depan ruang

rias yang sudah kosong dan berlampu remang-remang, dan aku

menjerit betulan saat seekor tikus berlari melintas di antara kedua

kakiku.

Pintu dari kamar rias menuju gudang belakang terbuka.

Kegelapan dan keheningan menyambutku saat aku memasuki

gudang itu. Cahaya bulan menyelinap masuk melalui jendela di

bagian atas gudang, namun cahaya itu hanya cukup untuk me

nerangi tempat-tempat tertentu. Bau minyak tanah yang tajam

dan tidak enak memenuhi udara, membuat perutku bergolak.

Tapi otakku tetap jalan, dan aku melakukan tindakan cerdik de

ngan melepaskan sepatu hak tinggiku. Sambil memegangi sepatu

ku di satu tangan dan clutch-ku di tangan lain, aku melangkah

hati-hati ke dalam kegelapan dan keheningan itu.

Tapi sial, aku benar-benar ketakutan setengah mati. Di suatu

tempat di dalam kegelapan ini, ada Johan yang sedang menunggu

ku masuk ke dalam jebakannya.

Johan. Sudah lama aku tidak mendengar nama itu, meng

hindari mengucapkan nama itu, berusaha melupakannya dari da

lam benakku, namun aku tidak pernah benar-benar lupa. Orang

yang membuatku ketakutan setengah mati, orang yang menyadar

kanku bahwa di dunia ini ada orang yang tidak segan-segan

menyakiti orang lain demi mendapatkan keinginannya, orang

yang merasa dirinya benar meski sudah melakukan hal-hal yang

mengerikan.

Tadinya kupikir aku tidak perlu mengingatnya lagi, lantaran

Johan sudah dijebloskan ke rumah sakit jiwa. Namun ternyata

kini dia kembali lagi, dan dengan kecerdikannya dia mengguna

kan tangan orang lain untuk mencapai tujuannya. Dia berhasil

menyebarkan kengerian di antara kami, mengacaukan hidup

anak-anak SMA yang seharusnya normal-normal saja, dan men

jadikan pekan MOS ini sebagai pekan paling menakutkan dalam

hidup banyak orang.

Termasuk diriku. Terutama diriku.

Dan aku masih belum tahu apa yang telah dilakukannya pada

Jenny, sahabatku yang paling dekat, sekaligus cewek yang paling

dibenci Johan di seluruh dunia ini.

Juga Tony, pacar Jenny, dan Markus, sahabat Tony.

Telepon itu. Markus bilang dia sudah kembali. Mungkinkah

yang dimaksudkannya adalah Johan? Tapi dari mana Markus tahu

tentang Johan? Apakah Markus dan Tony sudah bertemu Johan?

Lagi-lagi perasaan ngeri merayapi seluruh tubuhku. Johan sanggup

melakukan begitu banyak kejadian di SMA kami dengan

mengendalikan Mila dan Benji. Bagaimana kalau dia juga sudah

berhasil mencelakai Jenny, Tony, dan Markus dengan cara yang

sama?

Bunyi langkah di belakangku membuat lamunanku terputus.

Aku langsung membalikkan badan, namun semuanya sudah ter

lambat. Sebuah rantai besar melingkari leherku dan mencekikku

kuat-kuat, membuatku langsung melemparkan harta bendaku?

sepatu dan clutch?dan berjuang untuk mempertahankan harta

yang lebih penting. Nyawaku.

"Tenang aja, belum waktunya kamu mati."

Kudengar bisikan Benji di dekat telingaku. Sial, gampang saja

dia ngomong. Bukan lehernya yang sedang dibelit rantai besi

karatan. Lagi pula, setelah begitu banyak mendengar kebohongan

nya, mana mungkin aku percaya pada kata-katanya lagi?

"Liat, Frankie!" teriak Benji keras-keras. "Hanny ada di tangan

gue sekarang. Kalo lo nggak nyerahin diri, gue akan cekik Hanny

di hadapan lo sekarang juga!"

Aku mencengkeram rantai di leherku seraya berusaha meng

ambil napas sebisaku. Sial, semoga saja si idiot itu tidak menam

pakkan diri.

Ternyata Frankie benar-benar menampakkan diri. Dan dengan

begonya cowok itu berdiri tepat di bawah jendela yang saat itu

diterangi sinar bulan, sehingga sosoknya terlihat sangat jelas.

Wajah Frankie tergores, membuat sebagian wajah dan bahunya

berlumuran darah. Belakangan aku tahu ternyata itu luka akibat

terserempet peluru, namun saat ini aku hanya bisa menatapnya

dengan mata terbelalak. Cowok itu penuh luka?dan tangannya

digips pula. Sementara lawannya memegang pistol dan membawa

sandera alias aku. Tapi Frankie sama sekali tidak tampak gentar.

"Lepasin dia," ucapnya dengan suara rendah yang terdengar

berbahaya.

Satu tangan Benji memegangi rantai yang membelit leherku,

dan satu lagi mengacungkan pistol ke arah Frankie. Dari ekor

mataku aku melihat Benji tersenyum.
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bersedia nuker nyawa lo dengan nyawa Hanny?"

"Ya." Mata Frankie yang menatapku dalam-dalam membuat

hatiku terasa nyeri. Belum pernah kutemui cowok yang begitu

tulus terhadapku. "Asal lo mau lepasin dia."

"Heroik sekali!" dengus Benji. "Seorang pembuat onar bisa

juga ngorbanin nyawa demi cewek yang belum tentu ngebales

cintanya."

"Oh jelas! Selama ini gue emang nyimpan rahasia penting. Di

balik topeng pembuat onar, gue ini cowok baik dan berhati mulia

lho...!" Sial, kukira Frankie bakalan mengatakan sesuatu yang ro

mantis, tapi ternyata dia masih tetap narsis pada saat-saat genting

begini. "Yah... kira-kira seperti elo deh! Di balik topeng Kosis, lo

cuma cowok keji dan bejat yang harus dipenjara seumur hidup."

Gila. Frankie sudah gila juga. Kenapa dia malah berusaha me

mancing kemarahan Benji pada saat-saat begini? Apa dia tidak

takut ditembaki sampai tubuhnya bolong-bolong?

Tapi lagi-lagi Benji hanya tersenyum. "Cuma pecundang yang

banyak omong di saat-saat terakhirnya."

"Ah, dibanding gue, elo yang lebih mirip pecundang, Ben."

Frankie nyengir seolah-olah nyawanya tidak sedang berada di

ujung tanduk. "Lo cuma bisa berhasil dengan cara kotor. Kasihan

amat. Emangnya kalo pake jalan bersih dan baik-baik, lo nggak

akan bisa berhasil?"

"Apa bedanya cara baik-baik dan cara kotor?" tanya Benji de

ngan nada filosofis. "Selama setahun ini, gue udah jadi ketua

OSIS yang hebat. Itu yang terpenting, kan? Sama kayak elo,

orang-orang cuma ngeliat elo sebagai pembuat onar yang nggak

naik kelas."

"Ya, tapi lo jadi ketua OSIS pun dengan cara licik. Kalo cuma

ngandelin suara pendukung, Ivan pasti menang dari elo. Jadi

untuk nyingkirin Ivan, lo lobiin kakak-kakak kelas. Akibatnya,

yang Ivan dapetin cuma suara dari angkatan kalian. Tapi itu pun

cukup buat ngejadiin dia wakil ketua OSIS! Bayangin kalo dia

dapet suara dari tiga angkatan. Lo pasti udah tersingkir jauhjauh!"

Dari ujung mataku, aku bisa melihat rahang Benji mulai kaku.

"Kakak lo pantas kalah," katanya. "Dia terlalu lembek dan ce

ngeng. Dia itu banci!"

Frankie tertawa mengejek. "Dia jauh lebih baik ketimbang elo

yang kerjanya main licik. Dia manusia terhormat, sedangkan lo

cuma," Frankie berpikir sejenak, "...parasit!"

Tolong, Frankie, jangan bikin orang ini lebih marah lagi.

"Parasit?"

"Ya, makhluk yang cuma bisa berhasil dengan nyelakain orang

lain. Elo nggak beda jauh sama benalu, lintah, cacing pita, pokok

nya makhluk-makhluk menjijikkan deh. Makanya, mendingan lo

minggir jauh-jauh dari kami!"

Bersamaan dengan teriakan Frankie, mendadak saja sebuah

bayangan melompat mendekati kami, mengagetkan Benji yang

langsung mengacungkan pistolnya ke arah bayangan itu. Garagara gerakan itu, ikatan rantai di leherku semakin mengencang,

membuatku megap-megap menggapai udara. Sial, Benji memang

bilang tak akan mencelakaiku, tapi dalam keadaan begini, bisabisa aku mati tanpa disengaja. Namun sepertinya tak ada yang

peduli aku bisa bernapas atau tidak. Frankie menendang pistol

yang dipegang Benji hingga terpental ke atas, sementara bayangan

yang mendekati itu?yang rupanya adalah Les?menonjok perut

Benji hingga cowok maniak itu memegangi perutnya erat-erat

dengan kedua tangannya.

Dan itu berarti, aku terbebas dari rantai keparat itu.

"Les, jagain si Tuan Putri buat gue!"

"Oke." Les berlutut di sampingku, membantuku mengenyahkan

rantai yang membelit leherku. "Han, kamu nggak apa-apa?"

Aku menggeleng. "Kamu bantu Frankie aja, Les."

Les tersenyum. "Tenang aja, dia nggak butuh bantuan gue kok."

"Tapi dia cuma bisa pake satu tangan!" bantahku.

"Oh iya, bener juga." Wajah Les berubah serius. "Tapi aku

tetap nggak bisa bantuin dia, Han. Frankie nggak suka main ke

royok. Aku juga nggak mau melakukannya."

Dasar cowok gengsian. Memangnya apa salahnya kita menge

royok penjahat? Yang penting kan kita bisa membekuk mereka.

Habis perkara.

Tapi bukannya minta bantuan, Frankie malah masih sempat

berteriak-teriak pada Les, "Tuan Putri baik-baik aja, Les?"

"Baik-baik aja," sahut Les keras namun riang. "Nggak usah

khawatir."

"Bagus kalo gitu. Gue bisa lebih konsen menghajar si brengsek

ini."

Apanya yang menghajar? Yang kulihat hanyalah Frankie dibikin

kewalahan oleh Benji. Apalagi saat Benji memungut sebuah

tongkat besi dari lantai dan menggunakannya untuk memukul

Frankie. Namun Frankie sanggup menghindari sabetan-sabetan

cepat tongkat Benji. Gerakannya begitu cepat namun terkendali,

dan dalam pandangan mataku, cowok itu bagaikan menari-nari

dengan gerakan yang indah namun tegas dan kuat.

Gila, Frankie keren banget!

Aku menjerit saat Benji menghantamkan tongkatnya sekuat

tenaga ke kepala Frankie. Tapi bukannya menghindar, Frankie

malah menahan tongkat itu dengan tangannya yang bebas, lalu

berkata dengan cengiran di bibirnya, "Gotcha!"

Lalu dia menendang kaki Benji hingga cowok itu jatuh ber

lutut, dan menendang sekali lagi ke dada Benji hingga pegangan

Benji pada tongkatnya terlepas dan cowok itu terlempar hingga

ke dekat dinding. Frankie memutar tongkat yang tadinya diguna

kan Benji itu dengan ringan, lalu menekan dada Benji dan ber

kata pongah, "Sori, semuanya berakhir di sini, man." Lalu tanpa

mengalihkan pandangannya dari Benji, dia berteriak lagi pada

Les, "Jagain si brengsek ini, Les. Gue punya urusan sama Tuan

Putri sebentar."

"Oke."

Tanpa banyak basa-basi, Les menghampiri Benji, menariknya

bangun dan mengikat tangannya dengan rantai yang tadinya di

gunakan Benji untuk membelit leherku. Sementara itu, Frankie

menghampiriku.

"Jadi beneran lo nggak apa-apa?" tanyanya sambil mengamatiku

dengan pandangan saksama yang membuat wajahku memerah.

"Kenapa lo berlumuran darah?"

"Bukan darah gue kok," sahutku dengan suara lemah yang me

malukan.

"Oh. Jadi lega." Cowok itu sama sekali tidak peduli darah

siapa yang melekat di gaunku ini. Yang penting bukan darahku.

"Dasar Tuan Putri. Udah gue bilang jangan ikut, masih juga keras

kepala."

"Ada hal penting yang mesti gue sampein ke elo." Aku me

meriksa wajahnya yang berdarah. "Kok ada luka di sini?"

"Nggak masalah. Cuma keserempet peluru."

Aduh. Itu berarti pelurunya sudah dekat sekali dengannya.

Untung dia cuma tergores. Untung banget.

"Dan ini...," aku menyentuh bekas keunguan di tangannya,

"...kena pukulan Benji tadi?"

"Nggak masalah. Udah pernah kena pukulan yang lebih kuat."

Memangnya dia kira jawaban seperti ini bisa menenangkanku?

"Kalian kira semuanya udah selesai, tapi kalian terlalu nge

remehin gue!"

Kami semua menoleh pada Benji yang menatap kami dengan

mata berapi-api. Yah, seharusnya kami tahu dia bukan cowok

yang rela membiarkan musuh-musuhnya hidup bahagia. Tapi

mana mungkin kami bisa menduga siasat sekotor itu? Dengan

gerakan mendadak, Benji berlari melepaskan diri dari Les yang

sama sekali tidak menduga Benji sanggup melakukan hal senekat

itu. Detik berikutnya, Benji menendang sesuatu di dekat

dinding?sesuatu yang belakangan kusadari adalah lilin pendek

dan kecil yang tidak menarik perhatian?dan tiba-tiba saja kobar

an api sudah menyebar di sekeliling kami.

Benji tertawa terbahak-bahak seperti orang sinting?atau mung

kin saja dia memang sudah sinting beneran. "Dasar bolot. Masa

kalian nggak nyium bau minyak? Gue udah siramin minyak

tanah di bawah semua dinding gudang ini. Gue juga yang nyalain

lilin ini. Dan si goblok ini," dia merujuk pada Frankie, "sempet

ngeganggu gue, jadi gue berusaha ngusir dia dengan satu-dua

tembakan. Gue mau ngusir dia hingga ke neraka, tapi sepertinya

Raja Neraka pun nggak sudi nerima dia."

"Mana mungkin dia mau nerima gue? Dasar idiot! Dia kan

musuh gue, member of Malaikat Surgawi Klub Dot Com."

Yang ada cowok ini benar-benar perluditendangdotcom.

"Udah, nggak usah banyak bacot lagi." Les menyentak rantai

yang mengikat tangan Benji, membuat cowok itu langsung ber

teriak kesakitan dengan suaranya yang melengking bak cewek di

colek cowok mesum. "Sekarang kita harus pergi dari sini sebelum

kita semua jadi steik. Jalan, buruan!"

Secara spontan, aku meraih sepatu dan clutch yang kulempar

kan tadi, lalu mengikuti Frankie dan Les yang sedang menyeret

Benji. Kami berbalik menuju jalan masuk yang kami gunakan

tadi, namun pintu menuju kamar rias sudah tertutup oleh bebe

rapa palang kayu yang jatuh dari atas.

"Nggak ada gunanya," seringai Benji. "Dengan cara gue nyi

ramin minyak ke sekeliling gudang, nggak ada lagi jalan keluar.

Api akan merembet menuju peti-peti kayu berisi barang-barang

yang mudah terbakar, dan semuanya akan semakin parah!"

Bunyi krak yang sangat keras membuat Benji terdiam dan

perhatian kami teralih. Lalu, mendadak saja sebuah balok besar

jatuh dari langit-langit?dan nyaris saja menimpa kami kalau

kami tidak melompat ke belakang.

"Kata-kata gue bener, kan?" teriak Benji. "Kalian hanya bisa

terkurung di sini tanpa bisa berbuat apa-apa untuk nyelametin

nyawa kalian!"

Cowok itu tertawa terbahak-bahak, lalu suara tawanya berubah

jadi aneh sekali. Setelah beberapa lama, baru kusadari tawa Benji

sudah berubah menjadi tangisan yang tak terkendalikan.

"Gue nggak mau mati!" raungnya. "Kenapa gue nyalain api

nya? Gue nggak mau masuk penjara! Kenapa gue nurutin Mila

dan ngikutin rencananya? Gue nggak mau kehilangan semua yang

gue miliki selama ini. Kenapa gue begini tolol?"

Oke, aku tidak tahan lagi. Kutampar cowok brengsek itu kuatkuat sampai telapak tanganku sendiri terasa sakit.

"Jangan merengek!" bentakku keras. "Belum terlambat kalo

kamu mau selamat! Berhenti nangis dan kita coba cari jalan

keluar sama-sama! Ngerti?"

Benji ternganga menatapku, lalu mengangguk sambil mengusap

air matanya. "Ngerti."

Namun, sepertinya aku terlalu memandang remeh keadaan

kami saat ini. Di segala penjuru ruangan, yang ada hanyalah api

yang berkobar-kobar dan balok-balok, baik yang merintangi jalan

kami maupun yang berjatuhan dari langit-langit. Tubuhku terasa

panas, seakan-akan kulitku bakalan mengelupas, dan tercium bau
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hangus yang begitu dekat, seolah-olah ada bagian tubuhku yang

sudah terbakar.

Sial, aku tidak sudi mati dalam keadaan jelek dan gosong!

Telapak kakiku terasa panas, jadi aku mengenakan lagi sepatu

ku, meski haknya yang tinggi membuat langkahku terhambat

dalam ruangan yang sudah diobrak-abrik oleh api itu. Asap yang

memenuhi ruangan membuat mataku semakin perih. Aku ingin

menguceknya, tapi tanganku dipenuhi jelaga. Napasku terasa

sesak dan tenggorokanku begitu kering, membuatku terbatukbatuk terus. Kupikir kondisiku sudah parah banget, sampai tahutahu Benji jatuh pingsan dan nyaris terguling ke dalam api kalau

tidak keburu ditangkap oleh Les. Yah, setidaknya aku tidak

selemah cowok tolol itu.

Mendadak kulihat sebuah balok sedang meluncur turun, tepat

di atas kepala Frankie.

"Awas!"

Aku mendorong Frankie. Sebagai balasan tindakan penuh niat

baikku, kurasakan kesakitan yang nyaris saja melumpuhkan se

luruh tubuhku, membuatku menjerit keras-keras.

"Han!" Kudengar teriakan Frankie. "Sabar, tenang, gue akan

singkirin ini!"

Air mata membanjiri mataku saat Frankie berusaha mengangkat

balok sialan yang menimpa kakiku. Balok itu berat dan panas

setengah mati, jauh lebih menyakitkan daripada balok yang me

nimpaku pada hari pertama MOS. Rasanya separuh nyawaku

langsung hilang saat balok itu menimpaku, dan separuh lagi

sedang mengantre untuk minta dilenyapkan juga.

Dan air mataku bertambah deras saat melihat satu-satunya ta

ngan Frankie yang masih sehat kini memerah karena balok ke

parat itu.

"Udah, jangan diterusin lagi!" kataku sambil memegangi lengan

nya.

"Lalu? Emangnya gue harus ninggalin elo di sini?" balasnya

sambil menarik balok itu sekuat tenaga, namun lagi-lagi dia di

kalahkan oleh rasa sakit di tangannya. "Kalo lo tetep di sini, gue

tetep di sini juga."

"Sini, biar gue bantu." Les membaringkan Benji di lantai, lalu

membantu Frankie mengangkat balok yang menimpa kakiku.

Dua kali mereka harus berusaha mengangkatnya sebelum akhirnya

berhasil menyingkirkan balok itu dari kakiku. Aku bebas dari si

balok keparat, namun kakiku pincang, tangan kedua penolongku

luka bakar, dan masih ada oknum penjahat yang sedang pingsan

menunggu untuk digotong ke luar. Napas kami sesak karena

kehabisan udara, dan tenggorokan kami yang dipenuhi asap

membuat kami tidak sanggup bicara sama sekali. Sementara itu,

pagar api yang mengelilingi kami begitu tebal, membuat kami

tidak mungkin menerobos keluar hidup-hidup.

Sudah berkali-kali aku merasa waktuku berakhir, tapi kali ini

sepertinya sudah tidak ada jalan keluar lagi. Kami semua akan

mati di sini. Aku, Les, Benji, juga Frankie. Aku tidak peduli pada

Benji, tapi aku menyesal menyeret Frankie dan Les dalam masalah

ini. Bagaimanapun, semua ini gara-gara aku. Memang Benji yang

menyulut api ini, tapi Johan-lah dalangnya. Sasaran Johan selalu

aku, dan orang-orang lain hanyalah collateral damages.

Aku menoleh pada Frankie, menatapnya dengan pedih. Aku

belum sempat mengatakan apa pun pada cowok ini, kecuali

omelan dan umpatan. Padahal ada banyak sekali yang ingin ku

katakan padanya. Kata-kata yang begitu berharga, yang mem

buatku tidak rela mengatakannya, dan kini aku menyesal karena

aku begitu pelit dengan kata-kata itu. Seharusnya aku mem

beritahu Frankie semua yang ada di dalam hatiku. Seharusnya

aku membiarkan dia tahu apa yang kurasakan terhadapnya.

"Kenapa lo ngeliat gue seperti itu?" tanya Frankie sambil mem

balas tatapanku dengan sorot mata tajam. Suaranya serak sekali.

"Dasar bego. Ini bukan saat-saat terakhir, tau! Masih jauh!"

Mataku pedih mendengar ucapan itu. Aku tahu dia masih ber

usaha membesarkan hatiku, tapi aku harus menerima kenyataan.

Tidak semua cerita berakhir bahagia, tidak semua orang bebas

menentukan kapan saat kematian mereka. Kalau bisa, aku juga

ingin hidup lebih lama. Aku ingin menikmati hari-hari yang

damai bersama Frankie?meski sulit juga membayangkan aku bisa

melewati sehari tanpa bertengkar dengannya. Aku ingin mem

perkenalkannya pada Jenny dan Tony, dan membuat mereka iri

pada kami seperti aku iri pada mereka selama ini. Aku ingin

pamer pada Markus bahwa aku duluan yang berhasil menemukan

pasangan yang cocok untukku. Aku ingin melihat Frankie men

capai cita-citanya, aku ingin melihat dia membuktikan kepada

semua orang bahwa dia bisa lebih sukses daripada Ivan.

Sial, begitu banyak keinginanku yang belum tercapai. Apa aku

harus mati sekarang? Aku tidak rela. Benar-benar tidak rela.

"Hanny...!"

Suara yang terdengar samar-samar itu membuat seluruh tubuh

ku membeku.

"Hanny! Lo ada di dalam?"

"Jangan masuk, Nona! Apa Anda ingin mati?"

"Tapi sahabat saya ada di dalam, Pak!"

Sial, lagi-lagi air mataku mulai bercucuran lagi. Namun kali

ini, tanpa mengindahkan tanganku yang kotor, aku mengusapnya,

lalu berteriak sekeras yang dimungkinkan tenggorokanku yang

sakit.

"Jenny! Jangan masuk! Gue yang akan keluar!"

Hening sejenak.

"Oke, tapi buruan keluar, ya!"

Sejak kapan Jenny berubah menjadi seceriwis ini? "Oke!" Men

dadak saja kakiku yang pincang tidak terasa terlalu sakit lagi.

"Ayo, Frankie. Kita jalan."

"Wah, ternyata ada mukjizat sungguhan di dunia ini!" kata

Frankie serak sambil merangkul bahuku. "Oke, Tuan Putri. Kita

keluar dari sini."

Pada saat inilah aku mengerti. Di dunia ini, akal sehat dan

logika memang memegang kendali. Namun, ada sesuatu yang

lebih kuat lagi, yang sanggup mematahkan kekuatan akal sehat

dan logika.

Sesuatu itu adalah tekad.

Tekadlah yang membuat manusia sanggup memindahkan

gunung. Tekadlah yang membuat manusia menemukan cara

untuk terbang dan mendarat di bulan. Dan tekadlah yang mem

buat empat orang yang terluka parah sanggup keluar dari

kebakaran hidup-hidup.

Kekuatan tekad membuahkan mukjizat.

Api makin membesar dan menyebar ke peti-peti kayu yang

langsung meledak bagaikan bom-bom mungil namun me

nakutkan. Setiap langkah bisa jadi adalah langkah menuju

kematian, namun kami pantang mundur. Dan seperti keajaiban,

tahu-tahu saja api mulai tersingkir dari hadapanku, dan di sana,

berdirilah Jenny, orang yang paling dekat denganku di seluruh

dunia ini.

Sebelum aku sempat menghambur padanya, tiba-tiba saja para

medis mulai menyongsong dan memapah aku.

"Kamu tidak apa-apa?"

"Kakimu terluka. Ayo, duduk di sini."

"Tahan. Akan terasa sakit sedikit."

Karena kondisi tubuhku yang lemah, aku tidak melawan saat

para petugas itu mendudukkanku dan mulai memberikan perawat

an. Untung saja mereka tidak memisahkan aku dari Frankie dan

Les. Namun tetap saja, aku sangat ingin berbicara dengan Jenny.

Seandainya saja mereka memanggilkan Jenny untukku...

"Halo, Hanny." Tiba-tiba terdengar suara familier yang me

nyenangkan. "Sepertinya malam ini kamu sibuk sekali."

"Oom Lukas!" seruku gembira, dan makin gembira saja me

lihat dia membawa Jenny. Para petugas paramedis langsung mem

beri jalan pada Inspektur Lukas, namun Jenny-lah yang meng

gunakan jalan itu dan memberiku pelukan erat.

"Kenapa lo nggak ada di mana-mana?" raungku tanpa meng

ucapkan terima kasih sedikit pun, padahal aku tahu berkat Jennylah aku bisa keluar dari kebakaran itu hidup-hidup. Aku tahu

aku memang egois banget. Tapi Jenny tahu itu, dan dia menerima

ku apa adanya. "Gue telepon lo berkali-kali, tapi lo nggak pernah

ada!"

"Sori, sori!" balas Jenny sambil menangis. "Waktu lo pulang,

gue ketemu Jenny Tompel dan Jenny Bajaj. Sejak hari itu mereka

ngekor gue ke mana-mana. Gue jadi nggak punya waktu

luang..."

"Kenapa lo nggak kabarin gue?" sergahku. "Gue bener-bener

khawatir sama elo, tau!"

"Maunya gue kayak gitu, tapi lo tau sendiri mereka ribut

banget. Kalo gue telepon elo, bisa-bisa lo juga kena teror mereka,

terus gue deh yang kena omelan lo."

Hmm, benar juga sih. Aku memang benci banget pada dua

cewek menyebalkan yang berbagi nama yang sama dengan sahabat

ku itu. Mereka berdua ribut banget, dan ini bukan dalam pe

ngertian yang baik. Percaya deh, kalian bakalan gila kalau harus

menghabiskan waktu seharian dengan kedua Jenny yang itu.

Hanya cewek sesabar dan sebaik Jenny Angkasa yang bisa

menghabiskan waktu berhari-hari dengan mereka.

Tapi bukan aku kalau berhenti ngambek begitu saja. "Tapi gue

kan tinggalin pesan sama nyokap lo, supaya lo menghubungi

gue."

"Hah? Masa?" tanya Jenny sambil menyusut air matanya. "Nyo

kap nggak bilang apa-apa tuh. Pasti udah lupa."

Sial, seharusnya aku ingat sifat orangtua Jenny yang tidak

pedulian itu.

Dan satu hal yang harus kuingat. "Jen, mana gantungan ponsel

lo?"

Mata Jenny berkedip. "Gantungan ponsel?"

Aku mendecak tak sabar. "Yang sandal jepit, yang kita beli

bareng."

"Oh, itu. Ada tuh di sini." Dia mengeluarkan ponsel dari saku

celananya, dan gantungan ponsel berbentuk sandal jepit itu

terpasang dengan cantik di situ. "Emangnya kenapa?"

Bulu kudukku merinding. Kenapa Johan bisa memiliki gan

tungan ponsel yang sama juga? Hanya ada satu kemungkinan.

Dia mengintai kami sewaktu kami berada di Singapura.

"Johan..." Sial, suaraku gemetaran. "Johan ada di sini, Jen...!"

"Johan? Pak Inspektur Lukas yang sedari tadi menunggui kami

dengan sabar kini menyela dengan wajah tertarik. Tak heran,

beliaulah yang mengurus perpindahan Johan ke rumah sakit jiwa.

"Johan juga terlibat di sini?"

"Ya." Tak kuduga, Jenny-lah yang menyahut. "Bahkan dialah

yang merencanakan semua ini, Oom!" Lalu Jenny menoleh

padaku dengan wajah pucat. "Gue ketemu dia, Han. Itu sebabnya

dari airport gue langsung dateng ke sini." Jenny mencengkeram

lenganku. "Kita harus memperingatkan Tony dan Markus,

Han."
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gue rasa, mereka udah tahu...," sahutku kelu. "Mereka sempet

nelepon gue, Jen."

Cengkeraman Jenny pada lenganku makin kuat. "Siapa? Tony?"

"Bukan, Markus."

"Apa? Markus?" Kini Frankie yang menyergah. "Apa urusannya

dia nelepon elo?"

Jenny menoleh pada Frankie dengan tatapan bingung. Ber

hubung Jenny cewek yang terlalu sopan untuk bilang, "Siapa elo,

berani-beraninya nyela percakapan intim dua sahabat akrab?",

maka aku mengambil inisiatif untuk memperkenalkan mereka.

"Mm, Jen, kenalin. Ini Frankie, mantan teman seangkatan kita

yang pembuat onar dan hobi nggak naik kelas, yang kini udah jadi

adik kelas kita yang pembuat onar dan semoga bisa naik kelas."

Frankie langsung melotot padaku. "Dan ini Les, rekan kerjanya."

"Wah, dataku sedikit amat, ya," kata Les sambil nyengir.

"Halo, Jen, senang kenalan denganmu."

Sikap Les benar-benar tanpa cela, membuatku merasa bangga

karena bisa memperkenalkan cowok sekeren itu pada Jenny, tapi

Frankie bersikap sebaliknya.

"Jadi ini Jenny Angkasa yang legendaris toh. Halo, udah lama

gue kepingin kenalan sama elo."

Kini giliran aku yang memelototinya. Dasar cowok gombal dan

norak. Sejak kapan Jenny jadi legendaris? Dan kenapa dia tebartebar pesona di depan Jenny? "Nggak usah bikin malu dong."

"Masa begini bikin malu?" tanya Frankie heran. "Kan gue

cuma mau beramah-tamah."

"Nggak perlu jaim gitu deh di depan Jenny," bentakku.

"Dalam waktu singkat dia juga bakal tau sifat-sifat lo yang nggak

tahu adat, nggak tau malu, nggak tau sopan santun, nggak tau

diri..."

"Yah, itu risikonya punya sifat innocent," kata Frankie sambil

memasang muka idiot. Cowok itu benar-benar mengesalkan.

"Jadi, Markus, eh... ngapain dia nelepon lo?"

Sial, cowok itu masih ingat saja dengan topik pembicaraan

kami.

"Dia cuma nyuruh gue dan Jenny jangan ke mana-mana,"

ketusku. "Lalu katanya, dia udah kembali."

"Markus udah kembali?" tanya Frankie tolol.

"Bukan. Johan, bego."

"Oh. Nggak masalah. Nanti kalo dia berani menampakkan

diri, akan gue gepengin mukanya."

"Dengan kondisi kayak gitu?" cibirku sambil melirik kedua

tangan Frankie. Yang satu digips, yang satu dibalut gara-gara

mengalami luka bakar. "Berhadapan dengan Jenny aja lo pasti

kalah."

"Ah, cowok se-gallant gue nggak mungkin tega berhadapan

dengan cewek," kata Frankie dengan muka pongah yang mem

buatku ingin menonjoknya.

"Lalu, Tony gimana, Han?" tanya Jenny cemas.

"Gue nggak tau...," sahutku lemah. "Sambungannya jelek ba

nget, jadi putus sebelum Markus sempet ngejelasin apa yang

terjadi pada mereka. Gue coba telepon balik, tapi nggak bisa.

Tau-tau situasi jadi gawat. Tapi nggak apa-apa, sekarang semuanya

udah selesai. Kita bisa coba nelepon mereka lagi. Gue masih

simpen nomornya kok."

Ya, benar. Meski menghadapi situasi yang melibatkan hidup

dan mati, sejak tadi aku tidak melepaskan clutch-ku. Sepertinya

alam bawah sadarku selalu ingat bahwa benda ini sangat penting

untukku, setara dengan nyawaku, karena ada dompet dan ponsel

yang tersimpan di dalamnya. Aku mengeluarkan ponselku, me

mamerkan gantungan sandal jepitnya yang berwarna shocking

pink, lalu memilih menu Recent Calls. "Nih, ini nomornya."

"Hm, kalau tidak salah, sepertinya ini nomor telepon umum,"

kata Inspektur Lukas. "Biar saya yang akan menyelidiki nomor

itu. Sekarang, bagaimana kalau kita selesaikan semua ini supaya

kalian bisa pulang?"

"Menyelesaikan semua ini" berarti memberi keterangan pada

Inspektur Lukas supaya dia bisa membuat laporan. Setelah semua

nya selesai, Pak Inspektur juga memberi kami beberapa informasi

lain. Setelah diinterogasi seharian, kemarin Pandu harus bermalam

di sel tahanan, namun berkat perkembangan hari ini, tentu saja

dia akan dibebaskan secepat mungkin. City-ku juga sudah

berhasil ditemukan. Rupanya setelah mencurinya, Mila memarkir

mobil itu di dalam mal. Petugas sekuriti langsung menghubungi

Inspektur Lukas saat berita kehilangan disebarkan. Sementara Jazz

pink yang sempat digunakan oleh Mila untuk mencelakai Frankie

dan aku rupanya merupakan mobil curian.

Mila, sekali lagi, diangkut oleh ambulans ke rumah sakit. Na

mun tidak pelak lagi, setelah dia sembuh, dia akan diadili untuk

kejahatannya. Sedangkan Benji akan menghadapi konsekuensi

perbuatannya dalam waktu yang lebih cepat, soalnya dia nyaris

tak mengalami luka selain akibat beberapa gebukan yang

diterimanya dari Frankie. Belakangan kami diberitahu bahwa Pak

Sal yang sempat menghadapi kondisi kritis berhasil diselamatkan

berkat pertolongan yang tepat pada waktunya. Untunglah. Se

berapa pun galaknya bapak kepala sekolah itu, kami semua sangat

menghormatinya.

Setelah menyelesaikan tugasnya, Inspektur Lukas segera minta

diri untuk kembali ke kantor dan membuat laporan.

"Nah, kita semua juga sudah capek," kata Les. "Gimana kalo

aku antar kalian semua pulang?"

"Tunggu, Les," kata Frankie tiba-tiba. "Ada yang harus gue

bicarain Tuan Putri. Bisa kasih kami waktu sebentar?"

"Oke," jawab Les penuh pengertian. "Ayo, Jen. Kita tinggalin

mereka dulu."

Jantungku mulai berdebar-debar lagi saat Les dan Jenny me

ninggalkan kami. Sesaat, aku dan Frankie hanya duduk ber

dampingan sambil membisu. Setelah beberapa lama, aku jadi ti

dak tahan lagi.

"Mau ngomong apa?" Aku bangkit berdiri. "Kalo nggak ada

yang penting, besok-besok aja baru ngomong. Gue udah capek

nih, mau pulang dan tidur."

"Hanny...."

Dengan tangan kanannya yang berbalut perban Frankie me

narikku ke dalam pelukannya, lalu mencium bibirku. Di depan

semua orang?petugas paramedis, polisi, para guru, anak-anak

baru, para pengurus MOS yang tersisa, dan Inspektur Lukas yang

masih menanyai orang-orang. Juga di depan Les dan Jenny yang

sempat menoleh untuk mengecek kami, lalu buru-buru meng

alihkan pandangan dengan tampang malu-malu.

Arghhh! Cowok ini membuat reputasiku jadi hancur! Hidupku

tak akan pernah sama lagi!

Tapi kenapa aku tidak punya tenaga untuk menolaknya? Se

luruh tubuhku melemas merespons ciumannya. Tanganku meng

gapai lehernya, mencari pegangan supaya bisa tetap berdiri.

Jantungku memukuli dadaku dengan sangat keras.

Dan aku belum pernah merasa sebahagia saat ini.

Saat ciuman kami berakhir, Frankie menyandarkan aku ke

bahunya. Bahu yang begitu nyaman dan membuatku merasa

aman.

"Sori...," ucapnya pelan. "Seharusnya gue cari waktu yang lebih

tepat, ya..."

"Iya," gumamku. "Lo bikin kita jadi tontonan, tau?"

"Masalahnya, kita nggak tahu apa yang akan terjadi di masa

depan." Frankie memegangi bahuku, membuatku terpaksa me

ninggalkan bahu yang menyenangkan itu dan membalas tatapan

nya yang serius. "Selama beberapa hari ini, gue terus-menerus

menghadapi risiko bakalan kehilangan elo setiap hari. Ini benerbener bikin gue depresi. Dan itu udah cukup untuk jatah seumur

hidup. Tapi gue nggak pandai ngomong, dan gue tau lo udah

pernah dapat berbagai macam pengakuan cinta dari begitu banyak

cowok. Gue nggak sudi ngucapin kata-kata yang sama dengan

yang pernah diucapin salah satu dari mereka. Jadi gue to the point

aja."

Ah, sial. Aku punya perasaan semua ini tak bakalan jadi ro

mantis. "Jadi, poinnya adalah...?"

"Poinnya adalah...," tatapan Frankie yang mengancam me

ngitari kerumunan di sekeliling kami, "...sekarang semua orang

tau kalo kita pacaran. Dan mereka semua juga harus tau, mulai

sekarang, siapa pun yang berani ganggu elo, berarti harus ber

hadapan dengan gue."

Cowok ini benar-benar sok jago kelas berat.

"Jadi, lo oke dengan situasi kayak gini? Maksud gue, kita

berdua..."

Frankie tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan memberiku

isyarat dengan mengangkat alisnya dua kali berturut-turut. Tawa

ku langsung menyembur melihat ulahnya itu.

"Gaya lo kok seakan-akan ngajakin gue ngelakuin hal yang

nggak-nggak sih?"

"Oh, kalau itu sih gue juga nggak nolak."

Aku melayangkan tinju main-main ke wajahnya. "Nggak usah

mimpi. Yang itu masih kejauhan, tau!"

"Iya, gue tau," dumel Frankie. "Gue juga cuma bercanda kok."

Dia menatapku lama-lama. "Lo masih belum jawab pertanyaan

gue lho."

Sekarang aku yang terdiam.

"Ya udah deh, terpaksa," sahutku akhirnya.

Frankie mengangkat alisnya lagi. "Terpaksa?"

"Daripada elo patah hati dan jadi biksu."

Frankie tertawa. "Nggak lah, gue nggak akan jadi biksu. Tapi

mungkin aja gue botakin kepala gue, pake sarung ke mana-mana,

bertapa di gunung sambil memanjatkan doa."

"Yah, itu apa bedanya sama biksu?" balasku geli.

"Yah, kalo biksu berdoa untuk kebahagiaan orang-orang, kalo

gue berdoa untuk kebahagiaan diri sendiri." Tawaku menyembur

lagi. "Tapi biksu nggak boleh makan Kentucky, padahal gue kan

doyan banget fastfood kayak gitu. Udah gitu, biksu nggak bisa

nonton DVD, tapi gue nggak bisa hidup tanpa Smallville..."

"Cukup, cukup," selaku. "Emang lo nggak bakat jadi biksu.

Makanya gue terpaksa deh ngabulin keinginan lo, biar lo nggak

ngelakuin hal-hal bodoh."

"Apa ajalah, yang penting lo mau jadi cewek gue!" kata

Frankie sambil merangkul bahuku. "Ya udah, ayo kita sebarin

berita bahagia ini ke seluruh penjuru dunia. Mau telepon Sonora,

RCTI, atau." Dia kaget waktu aku mengeluarkan ponselku.

"Wah, sungguhan nih mau telepon?"

"Bukan gitu," balasku jengkel. "Ada bunyi SMS, tau!"

"Oh, kirain lo ngedukung ide gue."

Aneh, SMS itu berasal dari nomor yang tak kukenal. Tanpa

berpikir panjang aku membuka SMS itu.

Halo, Han. Masih inget gue?

Tanpa menyebut nama pun, aku langsung tahu siapa yang me

ngirim SMS itu.
Pengurus Mos Harus Mati Johan series 2 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Johan.

Sambil berusaha menekan perasaanku yang langsung kacau,

aku melanjutkan membaca SMS itu.

Lo sangat cantik malam ini, dengan rambut disanggul dan

gaun warna madu yang jadi trade mark lo. Sesuai dugaan gue,

lo emang pantas berambut panjang.

Ah, sial. Dia ada di sini. Johan ada di sini.

Aku celingak-celingkuk, mencoba mencari-cari Johan di tengah

keramaian, namun aku tidak berhasil menemukannya.

Di manakah dia mengawasi kami?

Pertunjukan minggu ini sangat menarik, tapi ini baru

permulaan. Gue udah nyiapin panggung yang lebih seru lagi.

Lo mau bermain lagi sama gue?

Aku menelan ludah. Dia menggunakan istilah bermain. Johan

masih tetap tidak waras seperti dulu. Tentu saja, kalau dia sudah

menjadi manusia biasa, dia tak akan menggunakan Mila dan

Benji untuk meneror sekolah kami.

Sial, aku benar-benar takut padanya.

"Tuan Putri? Ada apa?"

Suara Frankie membawaku kembali pada kenyataan. Benar,

kini ada Frankie di sampingku. Frankie yang selalu bisa kuandal

kan. Selain dia, juga ada Tony dan Markus. Dan tentu saja Jenny.

Sedangkan Johan hanya sendirian. Tidak mungkin dia bisa

menang, kan? Semuanya pasti akan baik-baik saja.

"Nggak apa-apa," sahutku sambil menyunggingkan senyum.

"Semuanya baik-baik aja."

Namun saat kami melangkah pergi, aku bisa merasakan

sepasang mata jahat mengawasiku secara diam-diam, dengan licik

bersembunyi di balik bayangan orang-orang lain, siap menerkam

dan menghabisiku pada saat-saat tak terduga.

Dan sayup-sayup, suaranya yang tenang namun mengancam

terngiang-ngiang di ujung benakku.

Tunggu gue, Han. Nggak lama lagi gue akan mengakhiri semua

nya.

Tamat


The Last Secret Of Temple Decrypted Dewa Linglung 16 Keris Kutukan Iblis Pendekar Cambuk Naga 15 Pemburu Dosa

Cari Blog Ini