Ceritasilat Novel Online

Permainan Maut 1

Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu Bagian 1



PERMAINAN MAUT

Oleh Lexie Xu

Johan series 3

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

GM 312 01 15 0007

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Gedung Gramedia Blok 1, Lt.5

Jl. Palmerah Barat 29?37, Jakarta 10270

Cover oleh Regina Feby

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

anggota IKAPI, Jakarta, November 2011

www.gramediapustakautama.com

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

280 hlm., 20 cm.

ISBN: 978 ? 602 ? 03 ? 1295 ? 8

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab Percetakan

Dedicated to my one and only, Alexis Maxwell.

To quote Bruno Mars in his song Just The Way You Are,

"When I see your face, there?s not a thing that I would change,

cause you?re amazing, just the way you are.

And when you smile, the whole world stops

and stares for a while,

cause you?re amazing just the way you are."

It?s so true babe, you?re perfect just the way you are,

and I love you so much.

Tony

SEHARUSNYA aku menyadari ketidakwajaran malam ini.

Meski sedang musim kemarau, hujan turun dengan deras. Se

sekali terdengar bunyi petir menggelegar, keras dan dekat, mem

buatku mengira-ngira pohon manakah yang akan tumbang malam

ini. Seekor kucing hitam melompat dari atap, berhenti di depan

jendela kamarku untuk berteduh dan membersihkan wajahnya.

Lalu, bagaikan menyadari ada yang mengawasinya, kucing itu

menoleh padaku dan menatapku dengan matanya yang kehijauan

menyala dalam kegelapan. Lalu dia mengeong perlahan, seolaholah memberiku peringatan.

Hati-hati. Malam ini akan ada kejadian yang tidak diingin

kan.

Bulu kudukku merinding, membuatku buru-buru mematikan

AC. Meski begitu, kamarku tetap terasa sangat dingin. Terlalu

dingin. Gila, ini benar-benar aneh. Biasanya aku hobi hidup

bagaikan penguin, bersantai di dalam kamar bersuhu rendah

dengan kaus kutang dan celana pendek sambil menggerogoti es

batu, tapi malam ini hawanya terasa begitu menusuk hingga ke

dalam tulang.

Perasaan tak enak mulai merayapi hatiku. Mungkin karena

cuaca ini, mungkin karena kucing yang bisa berbahasa pikiran

tadi, tapi mungkin juga cuma karena kebelet pipis lantaran cuaca

dingin. Bukan sesuatu yang aneh-aneh banget, kan?

Di koridor, jam dinding berdentang dua belas kali. Jadi sekarang

sudah tengah malam. Hmm, benar-benar waktu yang tepat untuk

adegan I Scream When I Know What You Did Last Halloween. Sayang,

adegan semacam itu tidak terlalu memberi efek untukku. Bukannya

aku sok hebat, tapi aku tidak takut?ataupun percaya?pada yang

namanya setan, hantu, roh gentayangan, arwah penasaran.

Arghh! Ada yang terbang-terbang dan mencakari kepalaku! Oh.

Hanya kupu-kupu yang nyasar ke dalam rumah. Oke, aku tahu,

aku sudah bereaksi ekstrem banget. Tapi itu bukan gara-gara

mendadak aku jadi pengecut lho. Semua ini gara-gara e-mail yang

kuterima dua minggu lalu. E-mail yang aneh banget.

Baca sekali lagi, ah.

! This message is High Priority.

From: ailina_cute@yahoo.com

To: thereal_tony_stark@gmail.com

Subject: Really need you

Halo, Tony, gimana kabarmu? Baik-baik saja, kan? Sudah

lama sekali sejak terakhir kali kamu menulis e-mail untuk

ku. Bahkan, kalau aku nggak salah, kamu tidak membalas

tiga e-mail terakhirku. Yah, aku mengerti, kamu memang

bukan tipe cowok yang hobi membalas e-mail. Tapi aku

benar-benar ingin tahu keadaanmu saat ini. Bagaimana

dengan Markus? Kalian tetap bersahabat, kan? Apa kamu

akan tetap meneruskan kegiatanmu di klub judo di tahun

terakhir SMA ini?

Aku sendiri baik-baik saja. Tahun ini tahun terakhirku

di SMA, sekaligus tahun terakhirku untuk mendapatkan

pendidikan akademis. Aku sudah memutuskan untuk tidak

melanjutkan ke bangku kuliah, melainkan membantu ke

luargaku mengelola penginapan yang akan kami buka

nanti.

Ah ya, aku belum cerita. Keluarga kami akan membuka

penginapan. Kami berhasil menemukan sebuah rumah

besar yang menarik namun murah meriah, serta bisa

diubah menjadi penginapan sederhana tanpa perlu

banyak renovasi. Memang tempatnya agak terpencil, tapi

pemandangannya indah luar biasa. Bahkan penduduk

lokal pun akan tertarik mengunjungi kami. Terlebih lagi,

kami sudah menemukan seorang juru masak yang sangat

ahli.

Tapi mungkin perasaanku saja. Sejak membeli rumah

ini, sepertinya kami terus-menerus dirundung kesialan.

Pertama-tama, ayahku ditabrak motor sampai tulang kaki

nya retak. Lalu ibuku ditodong saat hendak berangkat ke

pasar. Meski sudah menyerahkan dompetnya, ibuku tetap

mendapat dua tusukan di perut. Untunglah beliau berhasil

diselamatkan tepat pada waktunya. Kakak laki-lakiku meng

ikuti asuransi dan harus menjalani medical check-up, lalu

mengetahui bahwa dia ternyata menderita kanker darah

stadium 4. Kini dia dirawat di Jakarta. Semua ini terjadi

dalam waktu sebulan saja. Kini, akibat semua kejadian ini,

yang tinggal di rumah hanyalah aku dan adik cewekku.

Bagaimana menurutmu, Ton? Terus terang, inilah yang

membuatku menulis e-mail untukmu. Aku merasa semua

ini bukan hanya kebetulan, dan aku mengharapkan kamu

membantuku menyelidikinya. Bisakah kamu datang ke sini

bersama Markus? Aku tahu, ini permintaan yang terlalu

merepotkan, tapi aku nggak tahu kepada siapa lagi aku

harus minta tolong. Kalau kamu merasa segan berkunjung

ke rumah yang ditinggali dua orang cewek hanya berdua

dengan Markus, kamu boleh mengajak teman-teman

kamu yang lain. Rumahku selalu terbuka untuk kalian.

Tapi tolong jangan ceritakan masalah keluarga kami pada

siapa pun, ya. Aku tidak mau dicap sebagai cewek aneh

yang percaya takhayul.

Thanks banget, Ton.

Love always,

Ailina

Ailina adalah teman sekelasku selama tiga tahun berturut-turut

waktu SMP. Beberapa saat setelah masuk SMA, orangtuanya

bangkrut, dan mereka terpaksa kembali ke kota asal mereka di

Pontianak. Dengan sisa kekayaan mereka, ayah Ailina mencoba

berinvestasi pada beberapa bisnis yang pasti-akan-menghasilkanuang-banyak-dalam-sekejap. Tentu saja, semua itu hanya bualan

tukang obat. Yah, memang ada orang-orang yang masih belum

belajar apa-apa meski kepala sudah botak, perut sudah buncit,

dan keriput berseliweran di mana-mana.

Nah, kurasa kalian sekarang sedang senggol-senggolan dengan

teman di sebelah kalian, berbisik-bisik soal tulisan "Love always"

di akhir e-mail itu. Tidak ada yang perlu kusembunyikan kok.

Kami tak punya hubungan romantis?atau setidaknya, dari pihak

ku. Memang Ailina pernah bilang dia suka padaku, tapi itu sudah

lama sekali, zaman ketika dinosaurus masih belum punah. Oke,

pernyataan barusan memang agak lebay, tapi benar kok, kejadian

nya sudah lama banget sampai-sampai aku nyaris lupa?dan aku

menolaknya pula. Akhirnya, meski tidak berpacaran, kami men

jalin pertemanan yang cukup menyenangkan. Setelah pindah

sekolah, Ailina rajin mengirimiku e-mail selama beberapa waktu.

Sayangnya, aku adalah teman koresponden yang buruk yang

jarang-jarang membalas e-mail. Tanpa disadari, tahu-tahu saja

kami sudah kehilangan kontak.

Tapi kini tiba-tiba dia mengirimiku e-mail lagi, e-mail yang

menceritakan masalah superaneh yang langsung menarik

perhatianku. Harus kuakui, masalah ini memang bukan masalah

ringan. Ayah yang tertabrak motor, ibu yang ditusuk penodong,

kakak laki-laki yang didiagnosis menderita kanker. Habis itu apa

lagi? Mungkin saja akan ada sesuatu yang buruk yang menimpa

Ailina dan adiknya. Seingatku, adiknya bahkan baru berusia

empat belas tahun.

Brengsek. Kenapa semua ini harus terjadi pada saat-saat seperti

ini? Sebentar lagi aku bakalan berlibur ke Singapura dengan

Jenny, pacarku yang supercantik. Aku sudah menanti-nantikannya,

memimpikannya, bahkan di siang bolong, sampai-sampai nyaris

kena banting beberapa kali waktu pertandingan judo kaliber

nasional yang diadakan setelah ulangan umum lalu. Untunglah

kami masih tetap sanggup mempertahankan gelar nasional kami.

Kalau tidak, bisa-bisa aku dicap sebagai kapten tim judo paling

goblok sepanjang sejarah SMA Persada Internasional.

Oke, sepertinya kondisi inilah yang orang-orang sebut sebagai

dilema. Aku ingin sekali membantu Ailina, dan sejujurnya aku

juga penasaran dengan nasib buruk yang diceritakannya itu. Tapi

aku juga tidak sudi membatalkan liburan bareng Jenny. Bisa saja

aku meminta Jenny menemaniku ke rumah Ailina, tapi itu per

mintaan yang terlalu egois. Jenny tinggal terpisah dengan orang

tuanya yang lebih sering bekerja di Singapura, dan hanya pada

saat liburan seperti inilah dia bisa berkumpul dengan mereka.

Berbeda dengan kebanyakan anak-anak ABG lainnya?seperti

aku, misalnya?Jenny sangat menyayangi orangtuanya dan selalu

merindukan mereka. Namun karena dia pacar yang sangat baik,

Jenny sempat menunda liburannya demi menemaniku ke

pertandingan judo. Tidak mungkin aku memintanya mengubah

rencana liburannya lagi dan mengikutiku ke Pontianak.

Bagaimana kalau aku meninggalkan Jenny dan berangkat ke

Pontianak berdua dengan Markus? Tidak, itu sama sekali bukan

pilihan. Selain bosan berduaan dengan Markus melulu sepanjang

hidupku, aku juga ingin sekali menghabiskan liburan ini bareng

Jenny. Benar-benar ingin sekali. Dan aku tahu Jenny juga sudah

menunggu-nunggu liburan bersamaku. Aku tidak ingin me

ngecewakannya. Aku tak akan mengecewakannya.

Dan masalah Ailina jelas-jelas bukan urusanku. Masih banyak
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teman lain yang bisa dimintai tolong oleh Ailina, sementara pacar

Jenny cuma aku seorang. Lagi pula, mungkin saja semua kejadian

buruk yang diceritakan Ailina itu hanya kebetulan. Jadilah aku

berusaha tidak mengacuhkan e-mail itu selama beberapa saat.

Namun Ailina terus mengirimiku e-mail lagi, yang intinya me

nanyakan keputusanku seraya terus mendesakku untuk menolong

nya, mendorongku untuk kembali membuka e-mail pertamanya

dan memikirkan masalah ini sekali lagi.

Oke, cukup sudah. Aku menutup e-mail itu, mematikan

komputer, lalu melompat ke ranjangku. Sambil menciumi bantal

yang menguarkan bau iler familier yang mengantarkanku ke

dunia ketidaksadaran, aku mengambil keputusan. Aku tak akan

memikirkan hal lain lagi selain Jenny dan liburan kami. Aku

mencintai Jenny lebih dari segalanya, dan aku tidak ingin me

nyakiti hatinya, terutama setelah aku menyimpan rahasia itu

darinya.

Yep, rahasia yang itu.

Mataku langsung terbuka lebar. Brengsek. Seharusnya aku tidak

menyembunyikan hal itu dari Jenny. Seharusnya aku memberitahu

dia secepatnya, sebelum dia mengetahui kenyataan itu sendiri.

Jenny bukan cewek bodoh. Dia memang tidak berpengalaman,

tapi itu bukan berarti dia polos dan naif. Itulah yang membuatku

jatuh cinta padanya selama bertahun-tahun. Namun, hal itu juga

berarti?cepat atau lambat?Jenny pasti akan mengetahui rahasia

ini. Dan lebih baik aku yang mengatakannya sendiri ketimbang

dia menemukan itu secara kebetulan.

Tapi tidak gampang buatku untuk mengungkapkan kelemah

anku sendiri di hadapannya. Apalagi, aku takut kalau-kalau dia

bakal mengambil tindakan ekstrem yang seharusnya tak perlu

dilakukannya. Tapi bodoh sekali kalau aku sampai kehilangan

Jenny lantaran menyembunyikan semua itu....

Karena larut dalam lamunanku yang kacau-balau, aku kehilang

an kewaspadaanku. Aku sama sekali tidak menyadari pintu kamar

ku terbuka perlahan-lahan. Sebuah bayangan hitam menyelinap

masuk dari celah pintu yang sempit. Sesaat dia melayangkan

pandangan ke sekelilingnya, lalu tatapan tajam itu berhenti pada

diriku. Kemudian, tanpa bersuara sedikit pun, dia mengendapendap mendekatiku.

Saat aku mendengar bunyi napasnya yang keras menyerupai

geraman, semuanya sudah terlambat. Tahu-tahu saja leherku

sudah dicekik oleh lengan halus yang jelas-jelas bukan milik

seorang lelaki. Tapi lengan itu jelas-jelas lebih berotot daripada

cewek-cewek kebanyakan, menandakan penyerangku ini bukan

orang sembarangan. Sesaat aku hanya bisa megap-megap sambil

menduga-duga siapa yang berani-beraninya menduduki punggung

ku seraya mencekikku itu.

Seorang kekasih lama? Tidak mungkin. Aku tidak punya ke

kasih lama. Dari dulu hingga sekarang?juga di masa depan

nanti?cewekku cuma Jenny seorang. Titik.

Seorang penggemar fanatik yang cemburu? Nah, ini lebih

masuk akal. Aku tidak buta dan tidak suka berpura-pura bodoh.

Kenyataannya, memang ada beberapa cewek yang cukup gencar

mendekatiku. Pertanyaannya, siapakah orangnya? Apa dia Diana,

XII-IPA yang kini seharusnya sudah kuliah di Melbourne? Atau

Merry dari kelas XI-IPS yang penyendiri itu? Masalahnya, meski

Diana pernah menjadi anggota klub judo dan Merry pernah

masuk klub taekwondo, mereka tak memiliki lengan berotot baja

seperti penyerangku ini.

"Serius sekali. Mikirin aku, ya?"

Dia rupanya.

Oke, sekarang aku benar-benar ngeri. Aku harus melepaskan

diri. Kalau tidak, dia tidak akan segan-segan menghabisiku saat

ini juga. Padahal yang benar saja, ini kan baru awal cerita, dan

akulah tokoh utamanya. Aku tak mau jadi korban pertama dalam

kisah ini. Malu-maluin banget soalnya.

Kuayunkan tubuhku ke depan dengan gerakan salto, dan si

penyerang langsung melepaskan diri dariku. Spontan aku langsung

memasang kuda-kuda judoku.

"Masih bisa bergaya-gaya mirip monyet?" Nenek sihir yang

menyerangku itu merapikan rambutnya yang sempat acak-acakan.

Lalu, dengan gerakan perlahan-lahan, dia berdiri tegak di hadap

anku. Di balik rambut panjang dan keperakan yang menjuntai di

depan wajahnya yang pucat dan dingin, terlihat sorot mata dan

seringai di bibir yang memberitahuku bahwa dia meremehkanku,

dan ini membuat hatiku langsung panas. "Sayang, riwayatmu

akan berakhir malam ini."

"Lebay banget." Aku balas menyeringai. "Apa bukan sebalik

nya?"

Tanpa peringatan, penyerangku mendekatiku dengan gerakan

yang lebih cepat daripada dugaanku dan menarik piamaku kuatkuat. Sayang, dia tidak mengira aku punya kebiasaan mengenakan

piama superdekil. Piamaku itu langsung sobek, membuat serang

annya gagal. Tapi ini tidak berarti aku tidak kesal. Piama ke

sayanganku rusak, dan semua ini gara-gara si nenek sihir keparat

ini. Aku melancarkan serangan balasan dengan menyisipkan

tanganku ke ketiaknya, menangkap lengannya, dan menariknya

untuk melemparkannya. Namun lagi-lagi dia berkelit dengan

luwes?hal yang berhasil dilakukannya lantaran tubuhku terlalu

besar.

Oke, judo memang memiliki teknik-teknik yang bagus, tapi

peraturan yang kami miliki membuat judo terlihat seperti per

tempuran yang penuh sopan santun. Tidak boleh menjambak,

tidak boleh meninju muka, tidak boleh menggigit, tidak boleh

menendang selangkangan. Dalam pertempuran hidup dan mati

begini, kurasa aku akan melupakan judo dan mengeluarkan

teknik gulat ala The Rock.

Tentu saja, tolol sekali kalau aku langsung mendaki meja

komputer, lalu melompat sambil mengeluarkan jurus smack down.

Aku lebih suka pertarungan jarak dekat yang memungkinkanku

mengendalikan situasi. Kutangkap pergelangan tangan penyerang

ku dan menguncinya, siap mematahkannya kalau dia berani

macam-macam. Saat si nenek sihir tak bisa bergerak, aku me

layangkan tinjuku, siap memukuli anggota badannya yang mana

saja untuk melumpuhkannya. Namun yang benar saja. Memang

nya boleh, menyerang cewek dengan teknik kuncian, lalu melan

carkan serangan berupa tinju? Memangnya aku cowok apaan?

Tak kuduga, si nenek sihir keparat dan tak berperasaan itu

menggunakan kebimbanganku yang hanya sekejap itu untuk

bertindak. Dia melancarkan tendangan ke arah mukaku dengan

kakinya yang berbalut sepatu hak tinggi. Demi menjaga ke

tampanan wajahku, aku terpaksa melepaskannya. Namun tak

urung pipiku tergores sepatu hak tingginya.

Sekarang aku mulai marah sungguhan. Persetan dengan aturan

tidak-boleh-mukul-cewek, apalagi nenek-nenek. Yang ini benarbenar sudah keterlaluan. Pokoknya, aku akan mengeluarkan se

luruh kemampuanku saat ini juga!

Tiba-tiba pintu kamarku mengempas hingga terbuka dan

Markus, sohibku yang tidak tahu adat, menerobos masuk. Dan,

kalau aku tidak salah lihat, sepertinya dia girang sekali melihat si

nenek sihir. Tapi perasaan itu hanya tampak sekejap di wajahnya.

Mungkin saja aku salah lihat. Tak mungkin ada orang yang

kegirangan melihat si nenek sihir.

"Lari!" teriakku pada Markus. "Nenek sihir datang!"

Brengsek, si nenek sihir menonjok perutku.

"Jangan kurang ajar, brengsek," seringainya, menampakkan gigi

taring yang tajam-tajam mirip vampir. "Panggil aku Kakak."

Yep, betul. Inilah rahasia terbesar dalam hidupku. Rahasia yang

bahkan kusimpan rapat-rapat dari Jenny. Cewek gila yang berani

menyerangku malam-malam begini adalah kakak kandungku alias

si nenek sihir. Dan seandainya aku bisa memilih, aku tak bakalan

sudi menceritakan kenyataan ini pada siapa pun, tak peduli aku

disiksa dengan berbagai cara?dipukuli, ditendang, dikitik-kitik.

Sori, soal kemampuan bertahan dalam situasi buruk, aku sudah

terlatih dengan baik, dan semua itu berkat si nenek sihir juga.

Dan kalau bukan karena dia membongkar identitasnya sendiri,

sudah pasti aku akan menyembunyikan hal ini dari kalian semua

untuk selama-lamanya.

Kalian pasti menduga aku merahasiakan hal ini lantaran kakak

perempuanku itu adalah anak haram. Sama sekali bukan. Dia

kakak kandungku seayah, seibu, bahkan sepembantu. Dia juga

bukan pecandu narkoba, penghuni rehab, atau semacamnya. Ka

lau kalian memandangnya dengan mata telanjang, kalian akan

mendapatkan dia hanyalah cewek normal yang biasa-biasa saja.

Jangan tertipu.

Saat aku menyebutnya sebagai nenek sihir, aku tidak sekadar

bercanda. Kakakku itu benar-benar cewek paling cemen sepanjang

masa. Kenangan masa kecilku dipenuhi dengan gebukan-gebukan

yang kuterima darinya dan suara tawa penuh kemenangannya

yang berbunyi "Ohohoho" menggelegar. Dia hobi meloncat-loncat

di ranjangku, yang berakibat kamarku jadi berantakan dan aku

diomeli ibuku habis-habisan?tapi aku tidak pernah boleh

mengutak-atik kamarnya. Pernah sekali aku tertarik dengan buku

cergamnya, lalu tahu-tahu saja aku sudah dituduh mengileri buku

cergam itu?sampai saat ini aku masih yakin itu ilernya sen

diri!?dan sebagai akibatnya, aku harus mengganti buku cergam

itu dan merelakan uang jajanku selama seminggu.

Lalu, pada usia TK, aku mulai punya teman. Namun satu per

satu temanku digebuki oleh kakak gilaku itu sampai tak ada yang

berani berteman denganku lagi?hingga kemunculan Markus.

Tapi sohibku itu memang agak-agak tidak waras juga. Soalnya,

saat pertama kali melihat kakakku, dia bilang, "Wah, kakakmu

cantik banget, ya!" Sial bagi Markus, waktu itu kakakku sedang

bercita-cita menjadi penata rambut di salon. Tiga jam berikutnya,

Markus ngibrit dari rumahku dengan kepala pitak-pitak. Sejak

saat itu Markus tidak pernah membantahku lagi setiap kali aku

berteriak, "Lari! Nenek sihir datang!"

Untunglah, orangtuaku pun prihatin dengan sikap kakakku

yang sudah tidak terkendalikan ini. Setelah lulus SD, kakakku

dimasukkan ke sekolah berasrama khusus cewek paling disiplin di

seluruh Indonesia. Berkat itulah aku terhindar dari pengalaman

masa kecil yang traumatis. Bersama Markus, sohibku yang setia,

aku pun menikmati kehidupan damai dan tenteram yang sudah

lama kuimpi-impikan, yang melibatkan pengintaian terhadap

cewek cantik yang tinggal di rumah hantu di seberang rumahku,

pelatihan berat di klub judo, serta pergaulan masa ABG yang

ramai dan menyenangkan. Dan kebahagiaanku mencapai

puncaknya saat cewek yang sudah kutaksir bertahun-tahun, cewek

cantik yang tinggal di rumah hantu di seberang rumahku itu,

Jenny Angkasa, bersedia pacaran denganku. Rasanya, tak ada

cowok ABG yang lebih bahagia lagi ketimbang diriku.

Tapi ini bukan berarti kutukan yang menimpaku sudah

berakhir. Setiap liburan sekolah, si nenek sihir selalu kembali ke

rumah, dan semakin dewasa, kebejatannya semakin menjadi-jadi.

Penampilannya mirip cewek preman, dengan rambut panjang
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hitam yang di-highlight warna keperakan, eye-liner tebal di se

keliling matanya, belum lagi sepatu hak tinggi dengan warnawarna ngejreng (yang paling membuatku ketakutan adalah yang

berwarna oranye dan bermotif totol-totol harimau). Lebih gawat

lagi, kemampuan judonya tidak kalah denganku. Oke, tentu saja

aku menang dalam soal tenaga, tapi dia lebih jago dalam hal

kecepatan dan strategi. Demi keutuhan nyawa dan kesehatan

mentalku, setiap liburan aku selalu kabur ke luar negeri dan baru

berani kembali setelah si nenek sihir kembali ke penjaranya?

maksudku, asramanya.

Untunglah, selama dua tahun terakhir ini si nenek sihir sibuk

dengan kuliahnya di University of British Columbia dan tidak

sempat pulang. Mungkin dia kelabakan juga mendengar bahasa

Inggris berlogat Prancis yang dimiliki orang-orang Kanada itu.

Huahaha. Rasakan.

Tapi tetap saja, meski sudah diasingkan sejauh mungkin, dia

tetap berbahaya. Sangat berbahaya. Itulah sebabnya keberadaannya

tetap harus menjadi rahasiaku dari semua orang?termasuk Jenny.

Terutama Jenny. Sikap santun yang dimiliki Jenny pasti akan

memberinya ide yang tidak-tidak, seperti memperbaiki hubungan

ku dengan si nenek sihir atau semacamnya?hal-hal yang mem

buatnya bakalan dekat-dekat dengan si nenek sihir. Yang benar

saja. Itu sama saja menyerahkan domba ke tangan serigala.

Celakanya, serigala ini sepertinya sudah mengendus sesuatu.

Buktinya, dia pulang mendadak setelah dua tahun penuh tidak

pulang-pulang. Apa dia sudah tahu sesuatu tentang Jenny?

"Kenapa bisa pulang di saat-saat begini?" tanyaku tanpa ber

susah payah menutupi ketidaksenanganku. "Bukannya kamu sibuk

kuliah?"

"Pernah dengar yang namanya summer break?" sahutnya sambil

menyeberangi kamarku dengan langkah ringan. "Belakangan ini

aku mulai memiliki waktu luang. Aku nggak tau harus ngapain

di Vancouver, jadi kupikir lebih baik aku mampir ke rumah dan

ngagetin kalian semua."

Dan memang aku kaget setengah mati melihat kemunculannya.

Brengsek. Kukira aku bakalan aman darinya setidaknya selama

beberapa tahun. Kuperhatikan si nenek sihir duduk di ranjangku

dengan sikap sok. Kakinya disilangkan dengan angkuh, sementara

matanya menelusuri kamarku dengan cermat. Pandangannya ber

henti pada koperku yang menggembung saking penuhnya.

Gawat.

"Kenapa? Kali ini telat kabur?" tanyanya ringan. "Mau berlibur

ke mana kali ini?"

"Kamp latihan judo," sahutku cepat sebelum Markus si mulut

ember membuka mulut.

"Oh, ya? Lalu kenapa seragam judomu malah ditinggal?"

Brengsek, aku lupa kalau seragam judoku masih teronggok di

lantai. Seragam yang langsung kucampakkan ke lantai dan tidak

pernah kusentuh lagi setelah musim pertandingan judo berakhir.

Semoga saja tidak ada cendawan beracun atau semacamnya yang

tumbuh di sana.

"Kan aku barusan pulang dari pertandingan nasional," kilahku.

"Dan ini bukan acara yang terlalu resmi kok. Cuma latihan

intensif buat yang mau ngikutin ujian kenaikan tingkat."

"Oh, kedengarannya menyenangkan." Brengsek. Aku lupa si

nenek sihir paling suka adegan kekerasan. "Aku boleh ikut?"

Arghh. "Nggak. Nggak boleh. Tempatnya jauh dan terpencil."

Alis si nenek sihir terangkat. "Emangnya ada di mana?"

Dan tanpa banyak pikir lagi, aku pun menyahut, "Di Ponti

anak."

Markus

SEJAK kecil, aku selalu menganggap Tory cantik sekali.

Yeah, betul. Yang kumaksud adalah kakak Tony yang galak

banget itu. Memang, harus kuakui dia rada menakutkan. Dengan

hobinya menindas-nindas siapa pun yang ada di sekitarnya, dia

bagaikan jelmaan ratu keji yang siap menghukum mati siapa pun

yang tidak mau menjadi keset kakinya. Tapi kalau kita mau

memperhatikan baik-baik, di balik sikap galak itu terlihat sorot

mata yang bersinar nakal, bagaikan peri kecil yang jail dan senang

mempermainkan orang-orang di sekitarnya. Bagiku, dia kelihatan

sangat menggemaskan.

Dan jujur saja, penampilannya juga oke banget. Memang sih,

berbeda dengan Tony yang terlahir pretty boy, wajah Tory tidak

cantik sekali. Matanya terlalu sayu, hidungnya terlalu mancung,

bibirnya terlalu tipis. Tapi mata sayu itu selalu berapi-api me

nampakkan semangatnya, hidung yang terlalu mancung itu meng

ingatkanku pada Cleopatra, dan bibir yang terlalu tipis itu selalu

menyunggingkan senyum penuh misteri (Tony mungkin akan

menyebutnya "senyum penuh cemoohan"). Tubuhnya langsing

mendekati kurus dan jauh lebih tinggi daripada cewek-cewek

kebanyakan?hanya beda sekitar sepuluh sentimeter dari aku dan

Tony. Kebanyakan cowok akan menganggapnya tidak seksi, tapi

di mataku dia mirip supermodel. Pilihan pakaiannya pun selalu

unik dengan warna-warna berani. Tory tidak akan mengenakan

pakaian berwarna pastel seperti pink atau biru muda. Dia akan

mengenakan pakaian berwarna merah manyala atau biru tua?

atau barangkali pakaian berwarna oranye dengan motif totol-totol

macan. Sekali lihat saja, kita akan tahu dia cewek pemberani yang

gemar menantang bahaya.

Tapi tentu saja, aku tidak berani mengutarakan pendapatku ini

pada Tony. Bisa-bisa sobat baikku itu mendapat serangan jantung

dini. Seperti kakak-beradik normal lainnya, mereka berdua meng

anggap satu sama lain sampah masyarakat dan hobi bertengkar

dengan kesengitan luar biasa.

Diam-diam aku iri dengan keakraban mereka.

Sekarang aku bersandar di ambang pintu tanpa banyak bacot,

mengawasi dengan geli usaha keras Tony untuk membohongi

kakaknya itu. Sebagai teman sejak kecil, aku tahu benar ke

mampuan Tony sebagai ahli strategi dan pembuat rencana. Biasa

nya aku selalu menyerahkan tugas-tugas yang memerlukan otak

dan pemikiran padanya, sementara aku sendiri tidak keberatan

mengikuti saran-saran dan perencanaannya. Bukan berarti aku

goblok, tentu saja. Aku hanya tidak menyukai tugas yang sulitsulit dan ingin menikmati situasi sebisa mungkin.

Dan sekarang, aku juga mengerti apa yang ada dalam pikiran

Tony. Bakalan berabe kalau sampai Tory ketemu Jenny. Keduanya

sangat bertolak belakang. Tory tukang tindas kelas wahid, se

mentara Jenny cewek yang suka mengalah dan rela diperbudak

selama itu bisa menghindarkannya dari konfrontasi. Harus

kuakui, itu salah satu kekurangan Jenny yang paling besar, sekali

gus juga sifat yang membuat Tony dan aku ingin melindunginya.

Seandainya Tony punya cara untuk menghindarkan Jenny dari

gangguan Tory, aku pasti akan membantunya dengan senang hati.

Yah, entah kenapa, sejak kecil aku selalu punya naluri protektif

terhadap cewek itu.

Tapi Tory jelas bukan cewek bodoh. Lagi pula, dia sudah ter

biasa dengan tipu daya Tony.

"Ke Pontianak, heh?" Orang yang belum mengenal Tory pasti

akan mengira dia sungguh-sungguh tertarik. "Itu kan bukan kota

kecil dan terpencil. Lagian, di situ banyak makanan enak."

"Jangan salah," balas Tony. "Kotanya sendiri emang lumayan.

Tapi tempat yang kami tuju ada di pedalaman. Namanya juga

kamp latihan intensif."

Wajah Tory tetap tidak berubah. Disilangkannya kakinya yang

panjang dan putih, membuatku harus menahan diri agar tidak

memelototinya. "Kok bisa sih punya rencana ke tempat seperti

itu?"

"Kami minjam penginapan milik teman SMP-ku," sahut Tony,

lalu menambahkan dengan penuh arti, "katanya, tempatnya sa

ngat terpencil dan angker. Tempat yang cocok untuk uji ke

beranian bagi para anggota klub judo."

Arti tersiratnya kira-kira, Gue nggak suka elo ikutan pergi.

Minggat lo, sono!

"Oh, begitu." Tory manggut-manggut tanpa memedulikan arti

tersirat Tony. "Kedengarannya emang menarik." Dia menepuk

telapak tangan kirinya dengan kepalan tangan kanannya. "Yosh,

kuputuskan. Aku ikut."

"Lebih baik jangan," kata Tony dengan wajah khawatir yang

jelas-jelas tampak palsu. "Seperti yang kubilang, ini latihan superintensif, dan anggota aktif klub judo kami terdiri atas cowokcowok kasar."

Yang terakhir ini benar juga. Berkat latihan berat yang di

berikan oleh kami berdua selaku kapten dan wakil kapten, para

anggota yang tidak serius segera kabur dalam waktu singkat. Bagi

aku dan Tony, ini semacam seleksi anggota juga.

"Kami bakalan sibuk latihan dan nggak punya waktu buat

nemenin kamu, jadi kamu pasti bosan di sana. Mana tempatnya

terpencil, lagi. Pokoknya, nggak ada hiburan apa-apa deh. Bisabisa, dalam waktu dua puluh empat jam kamu udah kepingin

pulang."

"Wah, dengar ucapanmu, aku malah ngerasa makin tertantang."

Tory memang luar biasa. "Jangan khawatir. Kalaupun nanti

ternyata nggak betah, aku nggak akan ngerepotin kalian. Seperti

moto hidupku: Datang nggak diundang, pulang nggak diantar."

Buset. Bukannya itu moto film Jelangkung?

"Jadi kapan kita berangkat?" tanya Tory penuh semangat.

"Tiga hari lagi," sahut Tony muram. Yang benar adalah, tiga

hari lagi adalah hari keberangkatan kami ke Singapura.

"Kalo gitu aku udah harus siap-siap." Dengan sebuah lompatan

ringan, Tory bangkit berdiri, lalu berjalan keluar dari kamar Tony.

Saat melewatiku, dia menyentuh kerah bajuku dan tersenyum

seraya mendongak padaku. "Kenapa dari tadi diam aja?"

"Terlalu sibuk perhatiin kamu," sahutku santai, meski jantung

ku mulai deg-degan tak keruan. Jantungku memang selalu bekerja

lebih cepat setiap kali Tory mendekatiku. Untuk menutupi sikap

saltingku, aku membetulkan letak kacamataku. "Biasa, untuk me

lampiaskan rasa kangen."

"Gombal banget." Tory mendecak. "Kalo emang kangen, kamu

nggak akan ikut-ikutan Tony kabur setiap kali aku pulang."

"Namanya juga setia kawan." Aku tidak bisa menahan diri

untuk menyibak rambut keperakan yang menjuntai di depan

wajah Tory. "Tapi aku selalu nyempatin diri untuk ketemu kamu

barang satu-dua kali, kan?"

"Itu karena kamu pernah berjanji selamanya akan traktir aku

setiap kali aku pulang untuk liburan."

Yeah, itu cerita lama. Waktu itu, Tory menangis karena disuruh

bersekolah di sekolah berasrama. Entah kenapa, dari sekian ba

nyak orang, dia malah mencariku untuk curhat. Katanya, dia

tidak merasa diinginkan di rumah. Lalu aku pun memberikan

janji itu supaya dia tidak meraung-raung lagi. Tak kusangka,

hingga saat ini aku selalu menikmati waktu-waktu bersama Tory,

meski waktu yang kami lewatkan tidak pernah terlalu lama. Dua

tahun lalu aku pernah menghadapi pilihan antara cewek yang

waktu itu sedang kupacari dan Tory. Aku memilih untuk me

menuhi janjiku pada Tory. Alhasil, aku diputusin oleh cewek itu.

Namun aku sama sekali tidak menyesal. Hubunganku dengan
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tory jauh lebih dalam daripada dengan pacar-pacarku yang

segudang itu. Soalnya, dia kakak sahabatku sejak kecil. Wajarwajar saja kan kalau aku menganggapnya sangat penting? Kalian

semua pasti juga menganggap saudara sahabat kalian sebagai

orang-orang yang penting bagi kalian, bukan?

Masalah yang lebih penting, tadinya aku merahasiakan semua

ini dari Tony. Soalnya aku tahu banget soal paham anti-Tory

yang dianutnya. Tapi kini semuanya sudah terbongkar.

"Lo bikin perjanjian dengan iblis?!" teriak Tony dengan raut

muka seolah-olah dia sudah dikhianati. Atau diselingkuhi.

Gawat.

Buru-buru aku menyahut, "Ini nggak seperti yang elo duga,

man."

"Emangnya apa yang gue duga?" balas Tony sengit. Lalu

matanya terbelalak, diikuti dengan teriakan penuh tuduhan,

"Kalian pacaran diam-diam di belakang gue, ya?"

Crap. Kalau orang lain yang mendengar percakapan ini, bisabisa aku disangka punya hubungan tak wajar dengan Tony. Amitamit.

"Nggak!" sahutku dan Tory nyaris serempak. "Kami cuma

temenan biasa."

"Temenan biasa kok nyahutnya bisa kompak gitu?" tanya Tony

curiga. "Apa ini jawaban yang udah disiapin?"

"Enak aja," gerutuku kesal. "Nggak usah parno gitu dong,

man."

"Lagian," Tory mengaitkan tangannya pada lenganku, dan aku

langsung kegirangan merasakan kedekatan itu, "apa urusanmu

kalo aku mau pacaran dengan Markus?"

"Tentu saja itu urusanku!" sergah Tony. "Sebagai sohib setia,

aku nggak akan biarin si goblok ini dipermainkan sama kamu!"

Aku menatap Tony dengan tersinggung. Seenaknya saja dia

mengataiku goblok, mentang-mentang rankingnya lebih tinggi

dariku. Padahal perbedaan nilai kami tipis sekali. Kebetulan saja

semester ini nilai Kimia-ku agak rendah. Bukan masalah. Aku

cuma terlalu sibuk pacaran. Dengan gampang aku pasti bisa

mengejarnya kembali, dan jika saat itu tiba, aku akan menyumpal

mulut Tony dengan sandalku yang paling bau?meskipun sandal

itu mungkin masih jauh lebih wangi daripada sepatu Tony yang

terbagus.

"Mana mungkin aku bisa mempermainkan Markus?" tanya

Tory dengan nada mencemooh. "Markus nggak bodoh. Seharus

nya kamu yang paling tau soal ini."

Wow, cewek ini benar-benar luar biasa.

Sepeninggal Tory, Tony mondar-mandir di dalam kamarnya

bagaikan setrikaan jelek yang sudah siap dipensiunkan.

"Dasar nenek sihir," gerutunya. "Dia benar-benar licik. Kalo

sampai dia pacaran sama elo, itu sama aja dengan sekali tembak

dua burung kena." Kadangkala Tony memang suka mengucapkan

kalimat-kalimat vulgar dan amat sangat menakutkan. "Lo jangan

sampai ketipu sama dia, man. Bisa-bisa lo kejebak dalam pernikah

an penuh derita sengsara seumur hidup lo."

"Please deh," tegurku geli bercampur kesal. "Boro-boro nikah,

pacaran sama dia aja belum. Lagian, gue belum gila, coy. Biarpun

hobi pacaran, setitik pun gue nggak pernah mikirin per

nikahan."

"Yah, tapi tetep aja. Lo tau sendiri si nenek sihir, kelicikannya

luar biasa. Dia bisa ngejebak Einstein sekalipun." Ucapan Tony

memang agak-agak lebay kalau sudah menyangkut soal kakaknya.

Kuduga, dia sebenarnya rada trauma akibat sering dikerjai waktu

masih kecil. "Pokoknya lo harus ekstra hati-hati. Ngerti?"

"Iya, iya," sahutku tanpa benar-benar memedulikan kata-kata

nya.

"Omong-omong, ngapain lo tiba-tiba muncul di kamar gue

seperti ini?" tanyanya mendadak.

Crap. Kukira dia sudah lupa soal itu. "Oh, hm, biasanya Tory

emang selalu ngirim SMS ke gue setiap kali dia pulang."

"Dan setiap kali itu pula lo langsung ke sini?" Wajah Tony

berubah. "Seperti waktu itu lo ninggalin gue begitu aja di New

Zealand?"

"Itu kan udah tiga tahun lalu!" ucapku jengkel. "Dasar pen

dendam."

"Soal itu gue belajar dari elo," balas Tony. "Siapa yang masih

kesal dengan masalah kacamata?"

Yeah. Sobatku yang brengsek inilah yang membuatku kapok

mengenakan lensa kontak dan penampilanku yang sempurna jadi

rusak dengan kehadiran kacamata yang harus kukenakan dengan

sangat terpaksa. "Dendam ini nggak akan sirna sebelum gue

nggak ngasih satu baretan di muka lo, Ton."

"Jangan! Kalo gue nggak ganteng lagi, bisa-bisa gue dicampakin

Jenny!" teriak Tony dengan nada centil yang biasa dikeluarkannya

kalau teringat Jenny.

"Lo kira Jenny sedangkal itu?"

"Bener juga sih..." Wajah Tony tampak pongah, lalu mendadak

terlihat kecut. "Gimana caranya kita ngasih tau Jenny kalo kita

batal ke Singapura, man?"

Bagian tersulit dari masalah ini bukanlah memberitahu Jenny, tapi

memberitahu Jenny tanpa ketahuan Tory. Kakak Tony itu

mengikuti kami ke mana-mana. Aku sempat mengajaknya pergi

berduaan saja supaya Tony punya kesempatan untuk bertemu

Jenny, tapi Tory malah bilang dia masih enggan berpisah dengan

Tony setelah sekian lama tidak ketemu. Buntut-buntutnya, aku

terpaksa mentraktir Tory berikut Tony di American Grill. Dan

asal tahu saja, selera makan Tony luar biasa. Nyaris saja kartu

kreditku mencapai batasnya lantaran pengeluaran tak terduga

ini.

Tapi akhirnya kami berhasil lolos juga saat Tory diajak ngobrol

oleh orangtuanya. Dengan ilmu gerak kilat yang nyaris setara

dengan kemampuan ninja?Naruto pasti langsung berguru pada

kami kalau sampai melihat aksi kami yang keren ini?kami me

nyelinap keluar dari rumah Tony dan kabur ke rumah Jenny yang

letaknya hanya berbeda beberapa blok. Kebetulan, saat kami tiba

di sana, Jenny sedang asyik main dengan sohib dekatnya,

Hanny.

Sekali lagi harus kuucapkan, Jenny bukanlah cewek yang ber

pikiran dangkal. Meski tampak kecewa, dia sama sekali tidak

ngambek ataupun menangis hanya karena perubahan rencana itu.

Dibanding cewek-cewek lain di sekolah kami, Jenny termasuk

bermental tenang dan kuat, terutama pada saat-saat dia harus

menghadapi kesulitan atau kekecewaan.

Beda lagi dengan Hanny yang manja dan egois. Cewek galak

itu langsung marah-marah saat kami bilang kami harus pergi ke

kamp latihan judo.

"Judo lagi," decaknya dengan gaya khasnya yang sombong.

"Orang idiot mana yang tega mencampakkan dua cewek cantik

demi pergi dengan segerombolan cowok-cowok jelek?"

Tony cuma mingkem. Dia memang agak takut pada Hanny.

Kurasa ini karena rasa bersalah akibat masa lalu mereka yang

tidak begitu baik. Dulu, Hanny terkenal sebagai cewek yang suka

mempermainkan hati cowok-cowok yang naksir padanya. Tidak

heran, Hanny memang termasuk cewek paling cantik yang pernah

kulihat?dan saat ini merupakan cewek paling populer di sekolah

kami. Salah satu mantan pacarnya, yang sekaligus adalah teman

sekelas kami, jengkel karena diputuskan dan menantang kami

para cowok untuk mematahkan hati Hanny. Tony yang sok

pahlawan langsung menyanggupi taruhan itu. Namun belakangan,

setelah mengenal diri Hanny yang sebenarnya, dia menyesal dan

menarik diri dari taruhan itu, bahkan sampai sekarang berusaha

menebus kesalahannya itu.

Kalau kupikir-pikir lagi, sifat Tony yang selalu berusaha mem

bela kebenaran inilah yang membuatku suka berteman dengannya.

Cowok-cowok lain pasti sudah kabur dan melupakan insiden

itu?barangkali aku juga begitu. Tapi Tony tidak lari dari ke

salahannya dan berusaha menghadapi konsekuensinya. Itulah yang

membuatku mengaguminya.

"Sori, tapi ini mendesak," ucap Tony dengan penuh rasa sesal.

"Seandainya bisa, aku akan berusaha keras untuk tetap pergi,

tapi..."

Tony terdiam.

Aku tahu, yang tak bisa diucapkannya adalah, "Tapi yang kami

hadapi saat ini adalah Tory, dan Tory tidak gampang diusir

pergi." (Crap. Jadi teringat film Jelangkung lagi.) Setelah Tony

mengucapkan kata-kata itu, Jenny dan Hanny pasti akan

bertanya, "Siapa tuh Tory?" Dan Tony terpaksa harus membeber

kan rahasia hidupnya yang terdalam, yang menurutnya teramat

sangat memalukan sampai dia rela mati untuk menutupinya

(padahal menurutku rahasia itu tidak parah-parah amat kok).

"Udahlah, bukan masalah besar kok," kata Jenny menengahi.

"Kan liburan kita yang tersisa cuma tiga minggu..."

"Dan semua ini gara-gara apa?" Hanny memelototi kami lagi.

"Klub judo lagi! Udahlah, mendingan kalian keluar aja dari klub

jelek itu. Lagian, kalian kan udah kelas dua belas. Apa kalian

nggak takut nggak lulus SMA?"

Aku dan Tony berpandangan, lalu tertawa terbahak-bahak.

Tidak mungkin pasangan berotak cemerlang seperti kami tidak

lulus SMA!

Oh, oh. Apakah aku barusan bilang "pasangan"? Amit-amit.

"Tenang," kataku sambil mengusap bahu Hanny dengan geli.

"Kami bukan murid yang harus ngabisin waktu semalam suntuk

cuma untuk mempelajari peta buta."

Sekarang pelototan Hanny hanya tertuju padaku. "Nggak usah

pegang-pegang. Kan kita udah putus."

Aku mengangkat alis, lalu menarik tanganku. Sebenarnya aku

ingin meralat ucapannya. Kami tidak pernah pacaran. Beberapa

waktu lalu, aku dan Hanny pernah menjalani hubungan tanpa

status yang berkembang akibat persahabatan kami yang kelewat

dekat, namun kami sama-sama memutuskan bahwa hubungan

kami jauh lebih menyenangkan tanpa adanya campur tangan

adegan-adegan romantis.

"Maksudmu, karena sekarang kamu udah pacaran dengan si

ketua OSIS?" Aku tersenyum. "Apa sih yang kamu liat dari si

cebol itu?"

"Dia nggak cebol," bantah Hanny. "Dan dia keren banget."

Lagi-lagi aku dan Tony berpandangan dan ngakak lagi. Di

seluruh penjuru Indonesia ini mungkin banyak ketua OSIS yang

keren-keren, tapi Benji, ketua OSIS kami, sama sekali tidak

punya kualitas seperti itu. Dia tipe politikus sejati yang ambisius

dan tidak segan-segan bermain kotor untuk menjatuhkan lawanlawannya. Aku dan Tony sama sekali tidak menyukainya. Lagi

pula, suara teriakannya seperti ayam betina disembelih. Hanny

benar-benar tolol kalau menyangkut soal memilih cowok.

Tidak termasuk aku, tentu saja.

"Jadi kalian akan pergi ke Pontianak?" tanya Jenny ingin tahu.

"Seperti apa kota itu?"

"Nggak tau," sahut Tony jujur.

"Kotanya nggak terlalu besar, tapi cukup berkembang," jelasku
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sudah sempat melakukan sedikit penyelidikan. "Kota itu

terkenal dengan makanan khas yang enak, seperti pakis, bakmi

kepiting, dodol, dan udang galah goreng pete."

"Udang galah goreng pete?" Mata Tony membesar. "Wow, kita

harus coba, man!"

Hanny menatap Tony dengan jengkel, sementara Jenny me

mandangi pacarnya itu dengan geli.

"Kok sepertinya kamu nggak tau apa-apa soal kota yang bakal

kamu datangi ini, Ton?" tanya Jenny dengan nada meledek.

"Ah, iya, hm..." Tony menggaruk-garuk kepalanya. "Di antara

kami berdua, Markus yang lebih jago nyari informasi, kan?"

Memang betul. Tapi ada alasan lain di balik semua ini. Be

lakangan ini, gerak-gerik Tony diamat-amati terus oleh Tory,

membuat sobatku itu memilih untuk tidak berbuat apa-apa dari

pada melakukan kecerobohan yang membangkitkan rasa curiga

Tory.

"Sepertinya kamu bakal bersenang-senang di sana nanti," kata

Jenny sambil menggandeng tangan Tony. Jujur saja, kemesraan

mereka kadang membuatku iri. Rasa iri itulah yang membuatku

sempat ingin pacaran dengan Hanny. Tapi dengan cewek mana

pun, aku tidak bisa merasakan perasaan sedalam yang dimiliki

Tony dan Jenny. "Jangan khawatir. Aku dan Hanny pasti juga

akan bersenang-senang. Ya nggak, Han?"

"Ya, kami akan ngecengin cowok-cowok Singapura yang keren,

rapi, dan bersih," kata Hanny dengan wajah polos, membuatku

ingin tertawa lagi. Yah, sobatku Tony memang ganteng, kelewat

ganteng malah, tapi kebersihan jelas bukan kualitasnya. Sobatku

itu termasuk makhluk paling dekil yang pernah mendekam di

muka bumi ini. "Mungkin Jenny bakal kepincut satu atau dua

cowok sebelum pulang ke sini."

"Ah, aku yakin Jenny nggak akan tergoda, meski banyak

cowok yang lebih ganteng dan bersih dibanding aku berseliweran

di depan matanya," kata Tony pongah, lalu berpaling pada Jenny

dengan tampang khawatir. "Bener, kan? Bener, kan?"

"Iya," sahut Jenny geli. "Nggak akan ada kejadian seperti itu

deh."

Jenny memang terlihat baik-baik saja, tapi aku tahu apa yang

ada di balik pikirannya. Tidak seperti Hanny yang penuh percaya

diri, Jenny tidak pernah merasa dirinya sanggup menarik per

hatian cowok-cowok. Sikapnya yang rendah diri itulah yang

menutupi kecantikannya yang lembut dan sederhana, membuatnya

tidak pernah dilirik cowok-cowok yang silau oleh daya tarik

Hanny.

Tapi aku juga tahu, bukan karena itulah dia tidak akan

selingkuh dengan cowok lain. Bagi Jenny, dari dulu selalu hanya

ada Tony?dan begitu pula sebaliknya.

Crap. Lagi-lagi aku merasa iri.

Menggunakan telepon Jenny secara semena-mena, kami pun

menghubungi teman-teman klub judo yang masih ada. Sebagian

besar masih sedang menikmati liburan panjang mereka dengan

bepergian ke luar negeri, tapi hampir semua para senior klub

yang kami inginkan ada di rumah. Kebanyakan berdalih bahwa

mereka tinggal di rumah lantaran kecapekan akibat pertandingan

judo akbar, tapi aku yakin sebagian besar tidak punya teman atau

keluarga yang bisa diajak liburan. Kalian mungkin mengira klub

judo terdiri atas sederetan cowok-cowok bishounen yang lebih

cantik daripada bunga atau ungkapan indah dan romantis se

macamnya itu, dan semuanya merupakan tokoh-tokoh populer

yang menjadi idola sekolah kami. Kalian salah. Tony dan aku

adalah pemandangan langka di klub judo. Sisanya terdiri atas

cowok-cowok culun, penuh bulu, gampang berkeringat, dan jelasjelas menderita bau badan kronis. Cewek-cewek yang bergabung

dengan klub judo dengan niat ngeceng pasti langsung ngacir pada

minggu pertama. Tidak heran kalau mereka juga tidak populer di

saat liburan.

Jadi, dalam waktu dua jam saja, kami berhasil menghubungi

semua personel penting klub judo. Semuanya menyanggupi usul

kami untuk mengadakan kamp latihan intensif di Pontianak de

ngan penuh semangat. Sepertinya, rasa capek akibat pertandingan

judo akbar langsung sirna secara ajaib.

Tak ada satu pun di antara kami yang menduga betapa me

ngerikannya petualangan yang akan kami hadapi.

Tory

TAK kusangka, kami tiba juga di Pontianak.

Serius deh. Memangnya kalian pikir aku bakalan percaya

adikku yang pemalas itu punya hobi traveling? Jelas-jelas niatnya

itu untuk menghindariku saja. Entah dia mengatakan dia pergi

ke Melbourne, Tokyo, ataupun Wellington, aku yakin kerjaan

utamanya di kota-kota besar nan membosankan itu adalah tidur.

Dasar goblok. Kenapa sih dia tidak tidur di rumah saja? Memang

nya aku bakalan ganggu dia?

Yah, mungkin akan kuganggu sedikit sih. Atau banyak.

Ohohoho.

Melihat tampang suram adikku yang seolah-olah mengatakan

"aku rela terjun ke neraka asal bisa keluar dari situasi ini", aku

yakin dia sudah menyembunyikan sesuatu dariku. Bukannya dia

jarang-jarang memasang tampang begitu. Bahkan, sebenarnya,

setiap kali dia bersamaku, wajahnya selalu penuh penderitaan.

Tapi kali ini ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuatnya

tetap bertahan di tempat yang menurutnya adalah neraka ini.

Jadi ada rahasia di balik semua ini. Hmm, menarik juga. Yosh,

aku akan membongkar rahasia itu sebelum kami pulang.

Berhati-hatilah, Tony. Ohohoho.

Baru keluar dari pesawat, kami langsung dibakar hidup-hidup

oleh sinar matahari yang brutal banget.

"Sesuai dengan reputasinya, Kota Khatulistiwa," ucap Markus

yang menjulang di sebelahku. Dia tampak keren banget dengan

kemeja putih lengan panjang dan celana panjang khaki. Fakta

bahwa dia tidur selama di pesawat sama sekali tidak membuatnya

kelihatan kacau. Bahkan dia kelihatan segar luar biasa. Beda

banget dengan Tony yang saat ini sedang berusaha menidurkan

rambutnya yang mencong-mencong seperti ekor burung. "Kota

yang tepat berada di garis lintang nol derajat. Gosipnya, pada saat

jam dua belas siang, bayangan kita akan tepat berada di bawah

tubuh kita, sehingga mengesankan kita nggak punya bayangan."

Dia menoleh padaku. "Kamu tahu nggak nama kota ini berasal

dari kata kuntilanak?"

Aku mengangkat alis di balik kacamata hitam yang kukenakan.

"Nggak, tapi tempat sepanas neraka gini udah layak punya satu-dua

makhluk halus yang seram-seram. Kalau aku ini vampir, tubuhku

pasti udah hangus jadi debu, lalu akan kuhantui kota ini sebagai roh

penasaran yang hobi mengisap darah. Hahaha."

Markus terkekeh. "Kamu emang nggak ada duanya, Ry."

Jantungku berdebar sesaat saat Markus memanggilku dengan

namaku, bukan dengan panggilan "Kakak" seperti biasanya. Men

dadak rasanya dia bukan Markus si-sohib-adik-yang-dulu-pernahkukagetin-waktu-lagi-pipis, melainkan Markus si-cowok-gantengasing-yang-ketemu-di-bandara. Yeah, awalnya aku juga heran

waktu Tony memperkenalkanku pada teman-temannya sebagai

"pacar Markus" dan bukannya "kakak Tony".

Tapi belakangan aku jadi mengerti. Ternyata anggota klub judo

bukan terdiri atas cowok-cowok ganteng bertubuh tinggi, kuat,

dan kokoh seperti dalam novel-novel panas Harlequin yang sering

kubaca diam-diam, melainkan merupakan rombongan cowok

culun yang tadinya kukira cuma ada dalam mimpi. Tunggu ya,

kulihat-lihat dulu. Ya, selain aku, Markus, dan Tony, ada dua

cowok bongsor yang sama sekali nggak keren, tiga cowok cebol

hasil mutan manusia dengan kurcaci, sepasang kembar idiot yang

menertawakan apa saja yang bisa ditertawakan, dan satu cowok

pesolek yang lebih feminin dibanding aku dan entah kenapa hobi

memelototiku. Aku bahkan tidak mau repot-repot menghafal

nama-nama mereka. Kusebut saja mereka "si cowok tinggi penuh

bulu kayak hutan rimba dan punya aroma ketek memabukkan"

atau "si kembar idiot yang lebih idiot daripada kembarannya".

Nah, meski sudah diperkenalkan sebagai "pacar Markus",

pecundang-pecundang itu tetap memelototiku dengan muka

rakus. Hell, kalau aku jadi Tony, aku juga bakalan ketakutan

kalau orang-orang semacam itu mengincar posisi jadi kakak ipar

ku. Tapi aku juga mengerti, tidak oke kalau Tony memperkenal

kanku dengan titel panjang "pacar Markus dan kakak Tony",

karena kan kita tidak boleh pacaran dengan orang-orang yang

punya hubungan darah, persahabatan, atau utang-piutang dengan

kita. Yang kita mangsa adalah orang-orang malang di luar sana.

Namun ini tidak menghalangiku untuk memperbudak anakanak cupu itu. Kini aku punya segerombolan orang yang bisa

kusuruh-suruh?mulai dari peran tukang ojek payung hingga

portir yang membawakan bagasi. Yah, inilah hal yang paling

menyenangkan dari main bareng Tony. Selalu saja ada temantemannya yang bisa kutindas-tindas.

Tapi seharusnya Tony lebih percaya padaku. Aku tahu, ada

gosip-gosip tidak jelas soal cewek-cewek sekolah khusus putri,

bahwa kami-kami ini lebih terbiasa di antara kaum cewek, sering

panik kalau berhadapan dengan makhluk beda jenis kelamin

sekaligus tidak sabar untuk mendapatkan pacar secepat mungkin.

Asal tahu saja, semua gosip ini salah?atau setidaknya, tidak bisa

diterapkan pada diriku. Aku tidak begitu nyaman bergaul dengan

cewek-cewek?apalagi beberapa di antara mereka menganggapku

cewek macho yang patut diidolakan?dan aku merasa lebih santai

di antara kaum cowok.

Tapi itu tidak berarti aku ngebet punya pacar. Bukannya

standarku tinggi dalam soal memilih cowok. Aku tidak pilah-pilih

soal penampilan. Mau punya tampang sejelek Hulk, Mr. Hyde,

dan pembantunya Frankenstein dijadikan satu pun tak apa. Tapi

setidaknya dia harus kuat, sekuat Hulk, Mr. Hyde, dan

Frankenstein digabungkan jadi satu. Habis, kalau mereka letoyletoy, bisa-bisa mereka mati kupukuli setiap hari?atau aku yang

mendekam di penjara dengan tuduhan melakukan KDRT alias

Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Alasan ini saja sudah mem

buatku kesulitan mendapatkan cowok. Bisa dibilang, hampir

semua cowok lebih lemah daripada aku.

Saat kubilang hampir semuanya, itu berarti tidak semuanya

lebih lemah daripada diriku. Tidak usah jauh-jauh, adikku yang

tengil itu saja sudah merupakan lawan tanding yang cukup se

banding. Oke, aku memang harus menggunakan akal licik untuk

menumbangkannya, tapi itu salahnya sendiri. Kalian kan tahu,

dalam pertempuran hidup dan mati, tidak ada yang namanya

peraturan. Tapi dia masih saja sok gentle. Yah, sebenarnya aku

kagum dengan sifatnya yang rada tolol itu sih, tapi berhubung

dia adikku, dia tidak termasuk dalam golongan cowok yang bisa

didekati. Dalam segala ketidaknormalanku, aku masih cukup

waras untuk pantang menjalin hubungan inses.

Selain Tony, ada juga Markus, "pacar"-ku saat ini. Hmm, kalau

yang ini sih, jujur saja, yummy banget. Bertolak belakang dengan

adikku yang dekil, Markus selalu kelihatan tenang dan rapi.

Rambutnya selalu dicepak pendek. Dengan kacamata berbingkai

tanduk yang sesekali dibetulkannya dan tubuhnya yang tinggi tegap,

semuanya menandakan dia orang yang lebih suka mengawasi
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketimbang ngoceh sampai berbusa-busa (kalau adikku tergolong

yang hobi ngoceh-ngoceh sampai ludahnya muncrat-muncrat).

Meski sering malang melintang di bawah sinar matahari, kulit

Markus senantiasa putih bersih lantaran punya gen Kaukasia. Dan

di atas semuanya, dia juga lawan tanding yang cukup setara

denganku. Hanya saja, aku punya perasaan dia sering mengalah

kalau kuajak bertanding. Diam-diam ini membuatku senang juga.

Jarang ada cowok yang tetap bersikap anggun setelah kukalahkan.

Bukan berarti aku naksir padanya. Yang benar saja. Dia kan

sohib adikku. Sekali lagi, kita tidak memangsa sohib adik, kakak,

bapak, maupun ibu. Begini-begini aku masih tahu adat kok.

Tapi cowok yang mau jadi pacarku juga harus punya otak.

Padahal kalian juga tahu kan, jarang ada cowok berotak yang

berotot, dan demikian juga sebaliknya. (Bukannya aku seksis. Aku

juga tahu, banyak cewek cantik berotak tolol, sementara cewekcewek pintar malah berpenampilan culun.) Padahal hal ini pen

ting banget. Bukannya kenapa, kalau dia tidak cukup pintar,

dalam waktu singkat dia bakalan jadi gila karena tiap hari kuajak

berdebat soal Da Vinci?s Code, jual-beli budak?ayo tebak, aku di

pihak mana?atau demonstrasi menentang perburuan yeti.

Yeah, mungkin kalian melongo mendengar topik terakhir yang

kedengaran serius banget itu. Begini, sebenarnya aku adalah anggota

Green Peace. Tidak nyangka, kan? Ohohoho. Padahal jelas banget,

di mana lagi aku bisa ketemu orang-orang cupu yang bisa kukerjai?

Sudah untung aku tidak lagi bergabung dengan para otaku?kalian

tahu kan, para maniak anime dan manga itu lho. Yah, terakhir kali

aku memang agak-agak keterlaluan. Aku membuat situs keren yang

kelihatan terhormat, mengatakan aku adalah pemegang buku Death

Note yang terakhir, menuliskan nama anak-anak dalam klub

tempatku bergabung?termasuk namaku, supaya tidak dicurigai?

dan mengatakan mereka akan mati akibat serangan jantung dalam

waktu tiga hari. Semuanya langsung heboh, menangis-nangis, minta

pengampunan Tuhan dan orangtua, menulis surat wasiat, mem

berikan pengakuan cinta pada orang-orang yang mereka taksir sejak

lama, dan entah apa lagi. Memang di saat-saat mendekati kematian,

orang suka berbuat yang aneh-aneh. Setelah tiga hari berlalu dan

mereka terbukti masih sehat-sehat saja, mereka mengadakan

penyelidikan yang berakhir padaku. Aku langsung ditendang keluar

dari keanggotaan, dan namaku masuk daftar hitam para otaku di

seluruh dunia. Untunglah aku bergabung secara online dan meng

gunakan nama Tony sebagai nama samaranku. Berhubung tidak

punya cara untuk memastikan wajah dan genderku, mereka percayapercaya saja dengan identitas yang kuberikan pada mereka.

Singkat kata, tanpa sepengetahuannya, Tony punya reputasi

buruk di kalangan otaku.

Tapi aku berusaha keras menjaga nama baikku di Green Peace,

soalnya kali ini aku menggunakan nama asliku. Apa daya, mereka

lebih teliti dalam memeriksa identitas anggota. Jadi aku tidak bisa

menggunakan nama samaran lagi. Tapi aku masih bisa bersenang41

senang kok. Kadang aku menulis surat anonim pada mereka,

bahwa ada tumbuhan atau binatang langka di tempat-tempat

yang jauh dan terpencil. Lalu, sambil memasang muka polos, aku

duduk diam di pojokan menyaksikan kehebohan orang-orang

yang mendebat kebenaran makhluk ajaib yang kusebutkan dalam

surat itu. Pernah sekali aku mengarang nama Latin untuk jenis

tupai, Pencopetus ulungus, dan ada anggota sok tahu yang me

ngatakan bahwa dia pernah mendengar profesor di universitasnya

menyebutkan nama itu.

Dunia memang dipenuhi orang-orang lucu.

Kembali ke topik, intinya aku susah punya pacar. Dan bukan

nya aku keberatan dengan sikon seperti ini. Buatku, punya pacar

hanya menyusahkan. Harus dicari-cari, dan setelah dapat, belum

tentu dia seperti yang kita harapkan. Misalnya ternyata dia punya

aroma mulut yang bikin pingsan atau hobi mondar-mandir hanya

dengan memakai celana dalam (warna putih pula!) dan kaus kaki.

Itu sih nggak keren banget. Lebih baik otakku yang muter-terusdua-puluh-empat-jam-sehari-tujuh-hari-seminggu ini kugunakan

untuk menciptakan berbagai permainan seru.

Dan kini lagi-lagi aku berada di tempat yang tepat untuk

membuat permainan baru. Kuawasi cowok-cowok di sekelilingku.

Semuanya kelihatan masih muda dan tolol, penuh semangat

menggebu-gebu untuk memberi kesan bagus pada cewek-cewek,

sangat tepat sebagai teman sepermainan yang gampang dikerjai.

Aku punya beberapa ide bagus untuk acara kali ini, tapi sebagian

di antaranya agak bahaya.

Tapi tidak menarik bukan, kalau kita tidak menyerempet

bahaya sekali-sekali?

"Tony, aku di sini!"

Dengan seruan itu, berakhirlah statusku sebagai satu-satunya

cewek dalam rombongan ini. Seorang cewek melambai-lambai

dari balik pagar yang membatasi pengunjung dengan terminal

kedatangan. Wajahnya cantik dengan tubuh mungil, kulit agak

gelap, dan rambut hitam panjang dan lurus. Dia kelihatan sangat

imut. Di antara kerumunan para penjemput, dialah yang paling

mencolok. Perhatian para penggemar-baru-yang-sempat-menjadibudakku langsung beralih padanya.

Hell, hanya begitulah kesetiaan para budak cinta. Habis manis

sepah dibuang. Begitu muncul cewek baru dan muda, cewek lama

dan tua dilupakan. Mengenaskan.

"Ailina!" balas Tony, balik ke wajah tengilnya yang minta di

tampar. "Lama nggak ketemu, wajahmu makin cantik aja."

Hmm, dasar gombal. Kusenggol Markus dan berbisik dengan

suara penuh persekongkolan, "Eh, ini pacar online si Tony?"

"Tentu aja bukan," sahut Markus geli. "Dia teman SMP kami,

tapi dia lebih dekat dengan Tony."

"Bukan karena Tony teman yang ramah dan baik hati, kan?"

"Jelas bukan," sahut Markus jujur.

Dengan kata lain, cewek-sok-imut-yang-bukan-cewek-online ini

naksir adikku. Hmm, aku tidak sudi punya adik ipar imut dan ceria

begini. Aku mau yang tahan banting. Seperti Teletubbies, misal

nya.

"Halo, Markus," sapa si cewek-cebol-sok-imut-yang-mintadiketeki dengan suara riang yang minta ditampar juga. "Kamu

kok nggak hitam-hitam sih?"

"Yah, begitulah," sahut Markus ramah. "Ini syarat utama untuk

menjadi putra pengusaha krim pencerah kulit. Kalau nggak be

gitu, produk kami bisa nggak laku."

"Kalo begitu hati-hati." Hmm, logat cewek itu sepertinya agak

aneh. "Matahari di sini ganas banget. Dalam waktu tiga bulan

setelah tiba di sini, kulitku langsung segelap orang lokal. Sekarang

mungkin aku sulit dibedain dengan orang lokal."

"Bagus dong," ucapku tanpa bisa ditahan lagi. "Masuk kandang

harimau mengaum, masuk kandang kambing mengembik. Kalo

nggak seperti itu, bisa mati dalam sekejap."

Si cewek-cebol-sok-imut-dan-sok-ceria terperanjat menyadari

kehadiranku. Mungkin hanya perasaanku, tapi sepertinya dia

tidak senang melihat ada cewek di rombongan cowok yang di

taksirnya. "Kamu siapa, ya?"

"Ini Tory," sahut Tony cepat sebelum aku sempat membuka

mulut. "Pacar Markus."

"Yeah, aku pacar Markus," sahutku sambil memeluk lengan

Markus. "Sori dari tadi kurang mesra, darling."

"No problem," sahut Markus kalem, sementara wajah cewekcebol-sok-imut-yang-naksir-adikku-bagaikan-pungguk-merindukanbulan itu berubah jadi ceria lagi.

"Oh, pacar Markus?" serunya riang. "Ya, aku lupa kalau Markus

jarang muncul tanpa pacar di dekatnya. Habis sudah lama kami

tidak ketemu sih."

Aku berpaling pada Markus. "Jarang muncul tanpa pacar,

heh?"

Wajah Markus yang tenang tampak terusik, membuatku makin

senang saja.

"Jadi saat ini punya pacar lain nggak, Markus?"

"Nggak," sahutnya santai. "Saat ini cuma kamu pacarku satusatunya."

Deg!

Hell, kenapa tuh jantungku mendadak berbunyi deg? Dasar

konyol. Ini cuma permainan. Permainan. Sama sekali tidak ada

hubungannya dengan kenyataan.

"Semuanya udah ambil bagasi?" tanya si cewek-sok-imut-dansok-perhatian. "Kalo udah beres semua, kita jalan ke mobil."

Mobil yang dimaksud ternyata sebuah pick-up beratap yang

mirip bemo dan agak bau.

"Sori." Si cewek-sok-imut-yang-menjebak-kami-naik-bemo

meringis. "Aku bermaksud nyariin kendaraan yang lebih nyaman,

tapi cuma ini yang bisa kupenuhi dengan budget-ku."

"Nggak apa-apa. Kami cowok-cowok udah biasa hidup susah,"

bual adikku yang bahkan belum pernah bikin mi instan sendiri.

"Ini udah cukup bagus kok."

Seorang penduduk lokal menghampiri kami. Awalnya kukira

dia mau cari gara-gara, apalagi ada tato gede banget di lengan

nya. Namun muka orang itu cengengesan, dan tato gede di

lengannya ternyata salib berukir-ukir dengan tulisan "Jesus is

my savior".

"Ini sopir kita," kata si cewek-cebol-sok-imut-yang-bawa-sopirpreman. "Namanya Asat, tapi orang-orang sini memanggilnya

Abang aja."

"Maksudmu Bang Sat?" tukasku iseng.

Wajah si cewek-cebol-sok-imut-dan-sok-sopan langsung me

merah. "Nggak, Abang aja kok."

"Halo." Si Bang-Sat-yang-dipanggil-Abang-aja menyapa dengan

bahasa Melayu yang lucu. "Kalian budak-budak dari Jakarte ye?

Tenang, jak, tadak useh suseh-suseh. Biar kame yang angkut

barang-barang kau."

Bukan cuma aku yang melongo dengan muka idiot saat

mendengar bahasa aneh yang ajaibnya bisa dimengerti telinga

kami itu. Apalagi si Bang-Sat-bertato-keren langsung menyambar

koper-koper kami dan melemparkannya ke atas bak belakang

pick-up seolah koper-koper kami cuma bantal-bantal ringan.

Yang lebih lucu lagi, si cewek-cebol-sok-imut-yang-mengakumirip-penduduk-lokal menyahuti si sopir dengan bahasa yang

sama, "Abang nape banyak cakap? Pasti mau kenalan sama pe

rempuan Jakarte. Tadak bise bah, Bang. Die dah punya laki."

Kini aku mengerti kenapa logatnya terdengar aneh di telingaku.

Sebenarnya dia sudah terbiasa dengan bahasa Melayu, tapi meng

hadapi teman-teman dari Jakarta, dia memaksakan diri untuk

menggunakan bahasa Indonesia biasa.

Tapi hell, aku dibilang sudah punya laki. Saat menoleh pada

Markus, aku melihat cowok itu sedang menahan senyum.

"Apanya yang lucu?" tanyaku. "Pasaranmu jadi turun, tau?"

"No problem," sahutnya. "Selama bisa liat kamu punya laki."

Dasar cowok kurang ajar.

Karena status bohonganku itu, waktu pick-up mulai melaju,

aku pun mengambil tempat duduk di samping Markus. Ber

hubung area bak belakang sangat terbatas, si cowok-pesoleksuperfeminin buru-buru mengungsi ke bangku depan, duduk di

samping Bang Sat yang menyopir laksana Michael Schumacher,

sementara kami yang tersisa duduk berimpit-impitan sambil meng

hadapi risiko tertimpa barang-barang bawaan kami. Setidaknya

Markus cukup cerdas untuk mengambil tempat duduk di dekat

pintu bak, sehingga aku bisa melongok ke luar dengan gampang

dan melihat-lihat kota Pontianak yang masih asing bagiku itu?

sekaligus untuk mengalihkan kejengkelanku akibat mendengar
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ocehan cowok-cowok pecundang di sekitarku yang sibuk menarik

perhatian si cewek-cebol-sok-imut yang girang mendapati dirinya

menjadi pusat perhatian.

Kota ini ternyata lumayan juga. Kebanyakan rukonya sudah

berumur tua dengan cat pudar dan ketinggian maksimal tiga

lantai, demikian juga gedung-gedungnya yang tampak sangat

artistik. Namun di sana-sini tampak tanda-tanda kota yang sedang

berkembang?mal besar, gedung-gedung hotel bertingkat tinggi,

dan showroom-showroom mobil. Oke, biarpun sepanas neraka, kota

ini kelihatannya menyenangkan juga.

"Awas!"

Pick-up yang kami tumpangi berhenti mendadak, membuat

kami semua terempas ke samping. Namun Markus sama sekali

tidak bergeser sesenti pun saat punggungku menekan tubuhnya

yang kokoh. Sementara di sisi yang lain, aku nyaris mati digencet

si-cowok-raksasa-berbulu-kribo-dan-berbau-ketek-stadium-empat.

"Sori, saya nggak bermaksud kurang ajar," ucap si bau-ketekajegile dengan tampang malu-malu. Tapi sebenarnya dia tidak

sepemalu itu. Soalnya, tahu-tahu saja dia membentak ke depan.

"Bang Sopir, kenapa berhenti mendadak?"

"Bukan salah kame, bah!" teriak Bang Sat yang menyetir seperti

sedang bawa boom-boom car. "Si motor bebek potong jalan kame

tadak pasang sen."

"Kesembronoan para pengendara motor di kota ini emang

udah beken banget," jelas si cewek-cebol-sok-imut yang sok jadi

guide. "Para polisi pun sudah terbiasa mengawasi mereka lebih

ketat ketimbang pengendara mobil atau truk."

"Jangan cakap gitu, bah!" teriak Bang Sat yang kupingnya se

tajam Superman. "Kame juga bawa motor tiap hari. Kame tahu

kau kesa gara-gara bapak kau baru kena tabrak, tapi kame tadak

salah ape-ape. Nape pula kau hina kame?"

"Maaf, Bang, kame tadak maksud gitu," ucap si cewek-cebolsok-imut-yang-ketahuan-memaki-maki dengan wajah memerah

karena malu.

"Jadi ayahmu baru saja ditabrak motor?" tanya Markus. Saat

si cewek-cebol-sok-imut mengangguk, Markus bertanya lagi, "Lalu

sekarang ibumu nemenin ayahmu di rumah sakit?"

"Yah, ibuku emang berada di rumah sakit juga, tapi bukan

karena nemenin ayahku," sahut si cewek-cebol-sok-imut salah

tingkah. "Ibuku ditusuk orang dalam sebuah insiden penodong

an."

Keluarga ini sial banget sih. Mungkin Tony mengajak kami

beramai-ramai kemari supaya penginapan yang dikelola keluarga

cewek ini mendapat pemasukan ekstra. Adikku itu memang sering

sok baik dalam urusan begituan.

"Pasti situasi sekarang berat sekali untuk keluargamu," kata

Markus prihatin.

"Begitulah," angguk si cewek-cebol-sok-imut. "Makanya aku

senang sekali dengan kedatangan kalian." Dia menoleh pada Tony

dan menatap adikku itu dengan wajah memuja seolah-olah adik

ku itu sebangsa Justin Bieber. "Semoga ini nggak ngerepotin

kamu, ya?"

"Nggak," sahut adikku dengan muka welas asih. "Nggak repot

sama sekali kok."

Wah, jawaban seperti itu benar-benar merusak reputasiku.

Mungkin aku kurang bertingkah sepanjang perjalanan ini. Yosh,

aku akan berusaha lebih keras lagi untuk membuat keonaran,

supaya jawaban Tony berubah jadi, "Sedikit repot sih" atau

bahkan pernyataan yang lebih memuaskan seperti, "Udah nyaris

mau mati".

Kuperhatikan, kota ini dipenuhi restoran-restoran, menandakan

masakan setempat pastilah merupakan salah satu daya tarik kota

ini. Mungkin kami harus menyempatkan diri mencoba-coba

menu di beberapa restoran. Bakmi kepiting terdengar lezat, demi

kian pula nasi ayam, kwetiaw sapi, bubur ikan, juhi panggang...

Oke, sekarang aku lapar berat. Perutku keroncongan. Cacingcacing di perutku berteriak-teriak penuh amarah. Aku harus

makan ASAP?as soon as possible.

Tapi bukannya mampir di salah satu restoran terdekat, kami

malah menaiki jembatan besi raksasa dan meninggalkan pusat

kota, lalu berbelok dari jalan protokol sempit yang tersedia ke

jalanan rusak berhiaskan batu-batu besar. Dalam waktu singkat,

pantatku jadi biru-biru seperti pantat bayi. Kami melewati

jembatan kayu yang bergoyang-goyang, dan saat kami melintas di

atasnya, kukira jembatan itu bakalan putus dan kami semua

bakalan menghadap Raja Neraka bersama-sama.

Hell, kukira Tony hanya menipuku saat dia bilang tujuan kami

adalah tempat yang terpencil dan berada di pedalaman. Tidak

tahunya ini sungguhan. Dasar sial. Sekali-sekalinya dia bersikap

jujur, kenyataannya sepahit ini.

Setelah perjalanan penuh derita yang terasa bagaikan tiada

akhir, pick-up yang kami tumpangi mulai melambat. Saat itu

juga, tercium olehku wangi jeruk yang manis dan pekat.

"Selamat datang di Lembah Jeruk," kata si cewek-cebol-sokimut-dan-sama-sekali-tidak-rendah-hati mengumumkan dengan

suara penuh kebanggaan.

Dan memang pemandangan di sekitar kami sangatlah me

nakjubkan. Ke mana pun mataku memandang, yang kulihat

adalah pohon-pohon rimbun yang sarat dengan jeruk-jeruk hijau.

Membuatku ingin langsung memanjat pohon-pohon itu, me

makan jeruk-jeruknya, dan meludahkan biji-bijinya pada siapa

pun orang malang yang lewat di dekatku.

"Kami boleh memetik jeruk di sini?" tanya Tony antusias. Hmm,

mungkin adikku itu punya rencana yang sama denganku.

"Boleh," sahut si cewek-cebol-sok-imut. "Justru itulah salah

satu keistimewaan tempat ini."

"Memangnya ada keistimewaan apa lagi?" tanyaku ingin tahu.

Si cewek-cebol-sok-imut-dan-sok-misterius tersenyum. "Liat aja

nanti."

Dasar pelit. Jawab saja tidak mau.

Beberapa detik kemudian, kusadari bahwa si cewek-cebol-sokimut memang tidak bermaksud bergaya-gaya misterius, melainkan

tidak sanggup menjelaskan keistimewaan berikutnya dengan katakata, saat aku melihat bangunan yang akan menjadi tempat

tinggal kami. Bangunan itu bangunan kuno berlantai empat yang

sangat besar, namun tidak punya nilai artistik sama sekali. Terbuat

dari kayu dan balok, bangunan itu tampak rapuh dan reyot.

Setiap daun pintu dan jendela berderak-derak saat ditiup angin,

menimbulkan suara siap roboh sewaktu-waktu. Tidak ada yang

berukuran sama satu sama lain, dan semuanya memberi kesan

bahwa ruangan di baliknya gelap gulita. Seberapa lama pun kami

memandanginya, bangunan itu tampak aneh, timpang, dan tidak

wajar.

Dan di belakangnya, membentanglah Sungai Kapuas yang

punya reputasi sebagai sungai terpanjang di seluruh Indonesia,

sekaligus sungai yang punya reputasi sebagai tempat bermukim

buaya-buaya pemangsa manusia.

Bulu kudukku langsung merinding.

Luar biasa, ini benar-benar tempat yang sempurna untuk ber

main.

Tony

OKE, sekarang semuanya mulai menarik.

Awalnya sih aku berang banget. Sudah berhari-hari mengkhayal

kan pacaran mesra di luar negeri, sekarang aku harus terbang

dengan pesawat kecil yang sering terguncang akibat turbulensi

udara, membuatku terpaksa harus berlagak pingsan supaya tidak

makin mabuk saja. Terpikir olehku untuk membuka pintu darurat

pesawat, melemparkan si nenek sihir ke luar, menutup pintu da

rurat, lalu menyuruh pilot putar balik. Sayang, rasanya pintu

darurat tak mungkin bisa dipasang kembali segampang itu. Bisabisa nyawa seluruh penumpang dan kru pesawat jadi melayang

gara-gara ulahku yang sembrono.

Hah? Nasib si nenek sihir setelah dilemparkan keluar dari pe

sawat? Tidak usah khawatir. Dia bisa mengeluarkan sapu ijuk

ajaibnya untuk menyelamatkan diri kok (yep, memang tidak

secanggih Harry Potter yang pakai Firebolt, tapi setidaknya bisa

dipakai untuk menyelamatkan diri).

Setelah pulih dari mabuk udara, aku sudah mulai ceria lagi.

Yah, memang susah berlama-lama bete. Bisa-bisa tampangku jadi

mirip Shrek. Lagi pula, begitu banyak restoran yang menjanjikan

makanan unik. Mana mungkin aku tidak riang kembali?

Namun, saat menatap rumah Ailina untuk pertama kalinya,

perasaan tidak enak yang seketika bangkit mengingatkanku bahwa

perjalanan ini bukan hanya untuk menghalangi pertemuan antara

si nenek sihir dan Jenny. Ada misteri yang menunggu untuk ku

pecahkan, dan supaya aman, memang lebih baik Jenny tidak

ikut-ikutan.

Rumah Ailina adalah rumah paling suram yang pernah ku

masuki. Meski di luar ruangan sangat panas sampai-sampai aku

kepingin banget mencabik-cabik bajuku dan berdiri telanjang di

depan AC?harap jangan dibayangkan!?udara di dalam rumah

terasa dingin dan lembap, membuat tubuhku merinding karena

alasan yang tidak jelas. Padahal, boro-boro AC, rumah itu bahkan

tidak memiliki sambungan listrik. Untuk penerangan, mereka

menggunakan lampu minyak yang hanya dinyalakan pada saat

malam hari, sehingga suasana di dalam rumah itu selalu berkesan

gelap dan suram. Koridor-koridornya panjang dan gelap, dan

pada setiap jarak tertentu terdapat tempat lilin atau jendela

sempit yang memberikan penerangan samar-samar. Saluran airnya

sangat sederhana. Di musim kemarau, mereka menggunakan air

yang ditimba dari sumur. Sedangkan di musim hujan, ada tong

raksasa di atap yang bisa menampung air hujan dalam jumlah

besar. Kakusnya pun tipe yang belum pernah kulihat seumur

hidupku?kakus cemplung yang arah salurannya membuyarkan

rencanaku untuk berenang beramai-ramai menyeberangi Sungai

Kapuas.

Intinya, rumah itu kuno banget deh.

Dan kayu-kayunya jelas sudah dimakan usia. Lantainya bolong52

bolong dan berkeriut-keriut saat kami menginjaknya. Daun pintu

dan jendelanya, engselnya sudah karatan dan nyaris copot. Ada

lagi titik-titik kecil di lantai yang merupakan kotoran rayap. Dan

bau lembap yang melekat pada bangunan itu pastilah berasal dari

kayu-kayu yang membentuk dinding dan atap, yang sudah

bertahan dari segala macam cuaca. Kurasa usia rumah ini lebih

tua daripada usia kakekku, nenekku, ayahku, ibuku, aku, dan si

nenek sihir dijadikan satu?mungkin juga lebih.

Di bagian belakang rumah terdapat pekarangan luas untuk

menjemur pakaian dan sebuah gudang besar yang terpisah dengan

rumah induk. Di belakangnya, terbentanglah Sungai Kapuas yang

awalnya tampak begitu mengesankan. Bagi orang-orang yang

sudah terbiasa melihat Sungai Ciliwung atau sungai-sungai lain

di Jakarta, Sungai Kapuas terlihat sangat luas, bersih, dan asyik

buat dijadikan tempat berenang (selama kalian tidak membayang

kan kakus-kakus cemplung yang tentunya tidak hanya terdapat

di rumah Ailina). Tidak banyak sampah yang hanyut di sana,

paling-paling hanya ada satu-dua gelondong kayu yang hanyut

dibawa arus. Yang membuatku mengerutkan alis, di tempat se

indah ini tercium bau busuk kematian yang begitu kental.
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa itu?" tanyaku sambil menunjuk sebuah bangkai kambing

yang digantung di atas sebatang pohon jeruk di tepi sungai.

"Persembahan," sahut Ailina singkat.

Aku manggut-manggut sok tahu. Yah, namanya orang desa,

pasti masih percaya takhayul. "Pada dewa, gitu?"

"Bukan. Pada buaya. Maksudnya, itu makanan untuk buaya,

gitu."

"Buaya?" tanyaku kaget. "Beneran?"

Ailina menunjuk salah satu batang mengapung yang tadinya

kukira gelondong kayu. "Emangnya kalian kira itu apa?"

Wajah kami para anggota klub judo yang biasanya gagah per

kasa langsung memucat.

"Tenang aja," kata Ailina yang geli melihat perubahan wajah

kami. "Mereka nggak akan ganggu kalian, asal kalian nggak nekat

berenang bareng mereka."

Rencana awalku untuk menyeberangi Sungai Kapuas memang

idiot banget.

Yang menambah keterpencilan rumah ini adalah tiadanya

saluran telepon. Bahkan ponsel-ponsel kami tidak bisa men

dapatkan sinyal. Namun anak-anak klub judo yang biasanya tidak

bisa hidup tanpa BlackBerry, Facebook, dan Twitter ini tidak

mengeluarkan protes sepatah kata pun. Kurasa mereka semua

sengaja jaim di depan Ailina.

Tapi kata-kata Ailina memang benar. Meski sederhana, rumah

ini sangat unik dan mengesankan. Aku jadi ingat rumah hantu

yang dulu ditinggali Jenny dan pernah membuatku penasaran

setengah mati selama bertahun-tahun. Dibanding rumah ini,

mantan rumah Jenny itu hanyalah rumah hantu berskala mini.

Di sisi lain, rumah angker dan suram inilah yang, menurut

Ailina, membawa kesialan bagi keluarganya. Ayah yang tertabrak

motor, ibu yang ditusuk penodong, lalu kakak laki-lakinya yang

didiagnosis menderita kanker. Apakah semua itu berhubungan

dengan rumah ini?

Ataukah ada teka-teki di balik semua ini?

Kami diperkenalkan pada dua orang penduduk lokal yang

membantu mengurusi rumah itu, salah satunya adalah juru masak

yang diceritakan Ailina dalam e-mailnya padaku. Keduanya wa

nita paruh baya yang pendiam, sopan, ramah, dan sama sekali

tidak terlihat memiliki gelagat cemas atau mencurigakan. Se

andainya mereka tahu ada sesuatu yang tidak wajar soal rumah

ini, mereka sama sekali tidak menampakkannya.

Setelah puas melihat-lihat, kami segera memilih kamar masingmasing. Ada sebelas kamar di rumah itu, belum termasuk dua

kamar pengurus rumah yang terletak di lantai dasar. Empat

kamar terbesar yang terletak di lantai dua sudah ditempati oleh

lima anggota keluarga Ailina. Dari tujuh kamar yang tersisa di

lantai tiga dan lantai empat, kamar terbesar adalah kamar yang

terletak di lantai teratas, dengan langit-langit miring mengikuti

bentuk atap. Tanpa banyak cincong, aku dan Markus langsung

mengklaim kamar itu sebagai hak milik kami.

"Untung kita langsung rebut kamar ini duluan," kataku puas

sambil memandang ke luar jendela, ke arah Sungai Kapuas. Dari

kejauhan begini, airnya terlihat oranye, memantulkan warna langit

senja. Sampan-sampan kecil dan tongkang-tongkang yang lebih

besar hilir-mudik menyeberangi sungai, sebagian besar sebagai alat

transportasi, namun sebagian di antaranya milik nelayan-nelayan

penangkap ikan air tawar. Sulit dibayangkan bahwa sungai itu

sebenarnya dipenuhi buaya dan kotoran manusia. "Bayangin kalau

kita harus tinggal di kamar-kamar sempit dengan satu ranjang.

Nggak sudi gue tidur seranjang sama cowok."

"Lo kira gue sudi tidur sama makhluk sejorok elo?" Terdengar

suara Markus yang santai. Sohibku itu sedang mengeluarkan

bawaannya dan merapikannya ke dalam lemari. "Gue tegesin lagi,

terserah lo mau apain tempat lo, tapi jangan berantakin daerah

jajahan gue. Berani ngelanggar, lo akan gue lempar ke sungai di

depan sana."

Aku menoleh ke tengah-tengah kamar. Seperti biasa, Markus

sudah membuat garis yang membelah kamar kami menjadi dua

sama besar dengan kapur culun yang dibawa-bawanya setiap kali

bepergian denganku. Di dekat pintu, dia membuat sebuah kotak

yang disebutnya sebagai "daerah netral". Markus memang freak.

Terakhir kali dia lupa membawa kapur, dia harus menelan satu

strip Panadol?tidak sekaligus, tentu saja?untuk menghilangkan

sakit kepala akibat semua kekacauan yang kubuat.

Aku meletakkan beberapa strip Panadol di samping tempat

tidurnya. "Nih, buat nenangin syaraf lo kalo-kalo gue lupa

diri."

Tanpa menoleh pun aku bisa merasakan hunjaman pelototan

Markus di belakang punggungku.

"Wah, kok tau-tau kalian udah home sweet home?"

Mendengar suara jail itu, aku langsung menoleh ke arah pintu.

Brengsek, si nenek sihir lagi.

"Ngapain kamu di sini?" ketusku. "Kenapa nggak milih-milih

kamar?"

"Udah kok," sahutnya riang. "Udah beres-beres malah. Omongomong, kamarku ada di sebelah lho."

Aku melotot. "APA???"

"Abis mau gimana lagi?" Si nenek sihir berkacak pinggang.

"Tempat ini nakutin banget. Aku butuh berada di dekat orangorang yang bisa melindungi aku."

"Tenang aja," gerutuku. "Hantu maupun buaya pasti bakalan

kabur kalo berhadapan denganmu."

"Ohohoho," si nenek sihir tertawa palsu seraya menutupi mu

lutnya. "Jadi malu dipuji begitu."

Si nenek sihir memang narsis. Hinaan pun disangka pujian.

"Omong-omong, kamu berutang besar padaku, ya."

"Apaan?" tanyaku kaget. "Utang dari mana?"

"Kamu bikin aku harus pura-pura jadi pacar Markus seharian,"

tukasnya. "Aku capek nih bersikap pura-pura mesra."

"Oh, ya?" tanyaku sengit. "Sepertinya tadi tampangmu enjoyenjoy aja tuh."

"Namanya juga aktris yang baik," balasnya. "Pokoknya harus

dibayar, ya! Kalau nggak, akan kusebarin bahwa hubungan kami

bohongan belaka."

Brengsek! Sudah kuduga suatu saat semua ini akan membuatku

membayar mahal. "Iya deh. Tapi aku nggak mau disuruh nge

lakuin sesuatu yang ngelanggar hati nurani, ya!"

"Tenang aja." Mata si nenek sihir menyipit. "Nggak perlu

ngelanggar hati nurani kok."

Kenapa aku selalu merasa kalah licik dibanding nenek sihir

ini?

Terdengar bunyi bel berdentang keras.

"Kalo nggak salah, sepertinya itu panggilan untuk makan

malam," duga Markus.

Baguslah. Aku sudah kelaparan banget. Nyaris saja kusikat

jeruk-jeruk menggiurkan di depan rumah tadi. Untung saja aku

masih bisa jaim. Tidak lucu kalau aku menciptakan legenda di

sekitar sini sebagai pendatang-yang-menghabisi-kebun-jerukdalam-waktu-lima-menit, bersaing dengan legenda buaya dan

legenda sumur.

Omong-omong, sumurnya memang rada mengerikan. Mirip

sumur tempat Sadako, hantu di film The Ring, kecemplung.

Meski tidak percaya setan, aku tak bakalan berani dekat-dekat

sumur itu pada malam hari.

Kami menuruni tangga yang sewaktu-waktu bisa ambruk, me

nuju ruang makan yang terletak di lantai dasar. Di sana, selain

kedua pengurus rumah yang berseliweran membawakan makanan,

belum ada yang kelihatan. Tampaknya kamilah orang-orang yang

paling rakus di rumah ini.

Tanpa malu-malu, kami langsung menempati kursi-kursi yang

paling strategis, dengan banyak makanan di hadapan kami.

Tadinya aku sudah siap-siap pindah tempat duduk kalau-kalau si

nenek sihir berniat duduk di sebelahku. Habis, aku yakin dia

bakalan main rebut-rebutan makanan denganku?permainan yang

sangat menyebalkan di saat kita sedang lapar berat. Untunglah

dia duduk di samping Markus, jauh sekali dari tempat dudukku.

Dengan riang aku mencomot beberapa potong udang dari salad

dengan saus mustard. Hmm, yummy.

Tak lama kemudian muncullah dua anggota klub paling

rakus?maksudku, setelah aku, Markus, dan si nenek sihir yang

selera makannya tak kalah dengan cowok-cowok?yaitu Agus

yang punya tubuh raksasa (tak setinggi aku dan Markus, tapi

jauh lebih gendut), otak kecil mungil, mulut besar, dan ketek

superbau, serta Martin yang pendek kurus, berkepala botak, dan

dari kejauhan mirip korek api berjalan.

"Wah, kelihatannya makanannya lezat banget!" seru Martin

sambil mengulurkan tangannya ke meja dengan gerakan cepat

bagaikan pencopet.

Aku langsung memukul tangannya.

"Tunggu yang lain dulu," perintahku penuh wibawa, dan Martin

langsung mundur dengan muka cemberut-tapi-tak-berdaya.

"Eh, bukannya tadi kamu juga udah makan duluan?" tanya si

nenek sihir.

Aku memelototi si nenek sihir yang langsung memasang wajah

polos. "Beda dong. Yang namanya ketua klub punya beberapa

hak istimewa."

"Ketua klub judo ternyata semena-mena banget," komentar si

nenek sihir lagi. "Untung aku bukan anggota klub malang ini."

Dasar nenek sihir.

Rombongan kedua yang turun adalah Leo yang tinggi kurus

dan berkacamata dengan raut wajah mirip belalang raksasa, Sugi

yang nyasar di klub judo padahal kerjaannya hanyalah meng

gambar cewek-cewek cantik berdada besar ala komik City

Hunter?dan mirip banget pula?dan Irwan yang tidak mencolok

banget, nyaris tak kasatmata, sampai-sampai aku baru memper

hatikannya waktu dia berhasil lulus ujian sabuk hitam paling

cepat dibanding teman-teman seangkatannya. Dialah orang yang

diam-diam kuinginkan untuk menjadi penggantiku.

Sebelum rombongan kedua mencapai pintu ruang makan,

seseorang sudah menerobos mereka sambil menjerit.

"Aih, jijay, ih! Ada laba-laba besar banget di kamar eike!"

Orang yang menjeritkan kata-kata itu adalah cowok paling

lebay di klub judo. Namanya Jaya Sanjaya Tarunajaya?orang

tuanya pasti punya selera humor tinggi untuk menamai anak

mereka seperti itu?tapi dia memaksa semua orang memanggilnya

"Jay sajah yah" (entah sengaja atau tidak, kalimat ini pun me

ngandung kata "Jaya"). Jay punya keyakinan kuat bahwa dirinya

adalah cowok babyface dengan pembawaan cute yang memancing

rasa iri di mana-mana, sehingga dia butuh perlindungan dari

cowok-cowok kuat dan perkasa. Itu sebabnya dia bergabung de

ngan klub judo. Alasan yang sama sekali tidak bisa diterima akal

sehat?mana belakangan ketahuan bahwa dia naksir berat pada

Markus?tapi berhubung kami butuh orang buat disuruh-suruh

dan dikerjai, Jay pun berhasil meraih reputasi sebagai salah satu

anggota paling penting dalam klub kami.

Di belakang Jay, dua cowok menyusulnya sambil ketawaketawa. Keduanya punya tampang yang mirip banget, salah satu
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya memainkan laba-laba karet dengan kedua tangannya. Mereka

adalah Aldo dan Aldi, kembar identik klub kami yang cebol

banget, superiseng, dan hobi mengerjai Jay. Bagi yang pertama

kali melihat mereka, pasti sulit membedakan mereka. Tapi kalau

kalian sudah sering bertemu mereka, kalian akan tahu bahwa

Aldi-lah otak kenakalan mereka, sementara Aldo sering kebagian

peran menirukan ucapan Aldi, lalu ketawa-ketawa dengan suara

mirip ringkikan kuda.

"Laba-laba ini maksud lo?" tanya Aldi sambil melemparkan

laba-laba karet di tangannya pada kembarannya yang langsung

menangkapnya dengan sigap. "Emang sih, tampangnya ngeri

banget, tapi dia kan nggak idup, Jay."

Aldo terkekeh-kekeh. "Iya, dia kan udah mati, Jay."

"Bukan udah mati, bego," tukas Aldi. "Tapi emang dari sono

nya nggak pernah idup."

Dari sekian banyak pasangan kembar keren di dunia ini, klub

judo kami harus kebagian kembar kurcaci yang jail dan tolol.

Benar-benar tragis.

Nona rumah kami muncul beberapa saat kemudian?atau

harus kukatakan, nona-nona rumah, karena Ailina muncul dengan

seorang cewek yang tampak seusia dengannya. Dari tampangnya

yang mirip Ailina, tak sulit ditebak bahwa dialah adik perempuan

Ailina yang katanya lebih muda tiga tahun. Tapi ya ampun, dari

kaus ketat dan celana pendeknya yang menonjolkan bentuk

badannya, bisa-bisa dia dikira lebih dewasa daripada Ailina.

Cewek-cewek zaman sekarang memang lebih cepat berkem

bang.

"Wah, banyak banget cowok-cowoknya!" seru adik Ailina saat

memasuki ruang makan. Matanya menelusuri kami dengan teliti,

berhenti padaku cukup lama, lalu beralih pada Markus. "Elo

bule, ya?"

"Separuh," sahut Markus sambil tersenyum.

"Gue suka bule," kata adik Ailina sambil melompat-lompat ke

samping Markus. "Boleh kenalan nggak? Nama lo siapa?"

"Celina," tegur Ailina. "Markus udah punya cewek lho."

"Oh, jadi namanya Markus?" Aku mengagumi adik Ailina yang

rupanya bernama Celina ini. Dia menarik sebuah bangku dan

nyempil di antara Markus dan si nenek sihir. Lalu dia menoleh

pada si nenek sihir sambil mengerutkan hidung, seolah-olah si

nenek sihir adalah makhluk pengganggu yang tak diharapkan

(sebenarnya, itulah peran si nenek sihir di mana-mana). "Tolong

geser dikit, bisa nggak?"

Si nenek sihir diam sejenak. "Oke."

Oh, oh. Suara si nenek sihir kedengaran berbahaya. Aku tidak

mau ikut campur ah.

"Jadi," tanya Celina sambil menggeser bangkunya mendekati

Markus, "di antara orangtua lo, yang mana yang bule? Bokap

atau nyokap?"

Mulutku ternganga saat melihat si nenek sihir berdiri sambil

mengangkat garpunya dan menatap tangan Celina yang me

lingkari lengan Markus. Suaraku menelan ludah rupanya sangat

keras, karena Markus langsung mengikuti pandangan mataku dan

ikut melongo juga.

Dan bukan hanya wajah kami berdua yang memucat saat si

nenek sihir menghunjamkan garpunya ke tangan Celina yang

langsung menjerit keras-keras.

"Apa-apaan sih lo?" pekik Celina histeris.

"Sori," sahut si nenek sihir kalem. Garpunya ternyata tidak

menancap di lengan Celina, melainkan pada sepotong sayur di

samping lengan itu. "Makananku tercecer di dekat kamu."

"Lain kali hati-hati dong," ketus Celina yang sepertinya tidak

sadar nyawanya sempat berada di ujung tanduk.

"Celina," kata Ailina tergagap. "Udah deh, jangan ganggu

tamu-tamu kita. Kalau sikap lo seperti itu, bisa-bisa penginapan

kita nggak laku."

"Gue nggak bersikap seperti ini pada semua tamu kok,"

sanggah Celina, lalu melirik Markus sambil tersenyum penuh arti.

"Cuma pada cowok bule ini."

"Cel!"

"Apa-apaan sih?" Celina tiba-tiba menggebrak meja, lalu berdiri

dan menatap kakaknya dengan tatapan berapi-api. "Sedikit-sedikit

nggak seneng! Emangnya lo siapa? Orangtua gue?"

"Bukan begitu, Cel..."

"Lo emang selalu nggak seneng sama gue. Emangnya salah

kalo gue nggak malu-malu nyatain keinginan gue?" sergah Celina

lagi. "Nggak setiap orang kayak elo, yang lebih suka nyenengin

hati orang lain dibanding ngejar keinginan diri sendiri. Dasar si

Kakak."

Ucapan Celina yang penuh kemarahan diakhiri dengan ke

heningan di sekeliling kami. Namun kata-katanya yang terakhir

diucapkan dengan penekanan yang memancing kecurigaanku. Aku

ingin bertanya, namun mendadak saja keheningan dipecahkan

oleh bunyi kriuk-kriuk keras yang terdengar dari sebelahku. Aku

menoleh pada si nenek sihir, jengkel dengan cara mengunyahnya

yang dahsyat.

"Salad ini enak banget," ucapnya setelah menelan makanan di

dalam mulutnya, sama sekali tidak memedulikan pertengkaran

antarsaudara yang baru saja kami saksikan itu. "Makanan khas

daerah ini, ya?"

"Ya," sahut Ailina, tampak berterima kasih mendengar

pertanyaan si nenek sihir yang berhasil membuat perhatian kami

semua teralih. "Namanya selade."

Dengan penuh semangat, Ailina memperkenalkan kami dengan

hidangan lainnya. Tentu saja ini dilakukannya untuk menghindari

pertengkaran dengan Celina, tapi kami semua benar-benar tertarik

dengan penjelasannya. Ada ikan jelawat yang ditim dengan kecap

asin dan daun-daunan, dagingnya yang putih dan gurih terasa

begitu segar. Udang galah yang besar-besar bersalut saus kunyit

yang disebut dengan saus asam garam, yang dimasak sedemikian

rupa sampai-sampai kulitnya pun bisa dimakan (kalau yang saus

asam garam saja begini enak, aku tidak sabar menunggu yang ada

petenya). Sayuran pakis yang dimasak dengan belacan yang pedas

menggugah selera. Sedangkan untuk penutupnya adalah kue

manis yang digoreng dengan sayur kucai.

Singkatnya, bagaikan hidangan dari surga deh.

"Kalian tiap hari makan seperti ini?" tanyaku takjub.

"Ya nggak dong," sahut Ailina geli. "Kalau tiap hari kayak gini,

bisa tekor lah. Ini kan makan malam untuk merayakan hari

pertama kalian di sini, jadi harus lebih istimewa daripada biasa

nya."

Yah, tak mungkin mengharapkan makanan mewah setiap hari

dengan tarif inap Rp150.000,- per orang. (Yeah, memangnya aku

sejahat itu, menyuruh Ailina yang sudah jatuh miskin me

nanggung biaya hidup kami?)

Untunglah setelah itu tidak ada insiden heboh lain. Seperti

biasa, para cowok culun klub judo?itu berarti tidak termasuk

aku dan Markus?langsung bertingkah norak demi menarik per

hatian cewek-cewek baru kenalan mereka, terutama pada Celina

yang memang merupakan tipe cewek-cewek populer pada umum

nya. Fakta bahwa Celina naksir berat pada Markus sama sekali

tidak membuat mundur teman-temanku yang tidak tahu malu

itu. Maklum, meskipun Markus punya reputasi playboy, dia tidak

pernah selingkuh dari cewek yang sedang dipacarinya. Jelaslah

teman-temanku yang tolol-tolol itu mengira Markus sedang jatuh

cinta setengah mati pada si nenek sihir yang saat ini sedang

menyamar sebagai pacarnya.

Dasar goblok. Hanya cowok supergila dan masokis yang bisa

jatuh cinta setengah mati pada si nenek sihir yang punya se

gudang kekurangan itu.

Aku segera mengalihkan acara makan malam kami ke arah yang

lebih positif dengan membahas acara kami di sini. Biarpun kami

datang karena alasan yang tidak jelas, aku tak berniat menyianyiakan waktu kami. Ujian kenaikan tingkat sudah mendekat, dan

aku tidak rela menyerahkan kepengurusan klub pada anak-anak

ingusan bersabuk cokelat yang tidak berpengalaman. Dalam judo,

kuat saja tidak berarti bisa memenangkan pertandingan. Dibutuhkan

refleks dan trik-trik yang didapat dari latihan keras dan pengalaman

tanding yang sangat banyak. Jujur saja, aku masih belum puas

dengan kualitas anak-anak klub judo saat ini, dan inilah saat yang

tepat untuk menggembleng mereka.

Pidato yang hebat untuk menutupi tujuan terselubungku,

yakni menyelidiki misteri kutukan rumah angker ini.

Lagi pula, daftar kegiatan kamp latihan judo kami ternyata

tidak "superintensif " seperti yang kudengung-dengungkan pada

si nenek sihir. Pada dasarnya, kegiatan itu terdiri atas bermalasmalasan pada siang hari, latihan gila-gilaan pada sore hari, dan

jalan-jalan pada malam hari. Sementara pagi hari yah,

katakan saja sebagian besar dari kami, terutama aku, bukanlah

orang-orang yang hobi bangun pagi. Apalagi bangun siang itu

kan semacam hak istimewa yang hanya bisa didapatkan pada

hari libur. Jadi kita tidak boleh sembarangan menyia-nyiakan

nya, kan?

Seusai mengosongkan periuk nasi dan menghabisi isi setiap

piring hingga licin tandas, kami semua setuju untuk mandi dan

beristirahat. Hanya ada tiga kamar mandi di rumah sebesar

itu?semuanya terletak di lantai dasar?dan si nenek sihir lang

sung merebut salah satunya sebelum kami semua sempat ber

tindak. Berkat jabatan tinggi kami di klub judo, aku dan Markus

berhasil mendapatkan giliran pertama untuk menggunakan dua

kamar mandi sisanya. Tak lama kemudian, kami berdua sudah

bersantai-santai di kamar tidur kami.

"Malam ini kita beraksi," kataku mengumumkan keras-keras.

Kalau ada satu hal yang membuat Markus si cowok supercuek

kelihatan lebih manusiawi, itu adalah kata-kata tersebut.

"Beraksi?" Dia menegakkan punggung dan duduk di tempat

tidurnya. "Emangnya kita mau ngapain?"

Aku belum menceritakan perihal keluarga Ailina pada Markus.

Habis, dalam e-mailnya, Ailina berpesan padaku supaya aku tidak

mengumbar masalah keluarganya pada orang lain. Menurutku,

alasannya rada konyol, tapi terlalu banyak alasan konyol di dunia

ini untuk kudebat. Singkat kata, aku tak banyak cincong.

Jadi, aku hanya balas bertanya, "Emangnya lo nggak penasaran

sama rumah ini?"

"Penasaran sih." Markus menggaruk-garuk dagu. "Ngingetin

gue sama rumah Jenny yang dulu."

"Sama kayak gue." Namanya juga sohib. Lama-lama cara

berpikir kami jadi mirip. "Gue kepingin tau, apa ada cerita lama

juga di rumah ini."

"Mungkin banyak," kata Markus separuh tepekur. "Rumah ini

jauh lebih tua daripada rumah Jenny. Setidaknya, pasti ada cerita

yang bisa kita temuin." Dia menatapku dengan ingin tahu. "Apa

Ailina pernah cerita?"

Wah, aku lupa kalau sohibku ini lumayan cerdas. "Nggak juga
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sih. Dia baru beli rumah ini, jadi bisa dibilang dia juga sama

asingnya dengan kita."

"Gimana kalo dua pengurus rumah tadi?"

"Nggak ada salahnya ditanyain," anggukku. "Tapi agak-agak

nggak sopan juga, ngedobrak masuk ke kamar pengurus rumah

pada jam begini."

"Yah, kita pakai cara gentleman dong, coy."

"Cara gentleman?" Aku mengerutkan alis. "Emangnya cara se

perti apa?"

"Ngetok pintu, bego."

Brengsek. Memangnya dia kira aku betul-betul akan men

dobrak kamar pengurus rumah?

Di luar kamar, koridor terlihat remang-remang. Sebagian lilin

yang menjadi sumber penerangan sudah padam, sementara di luar

sana bulan sama sekali tidak kelihatan. Karena tidak ingin

menarik perhatian oknum-oknum tertentu?terutama oknum

berupa nenek sihir di sebelah kamar?kami lebih menyukai ke

gelapan yang membuat kami nyaris tak terlihat ini.

Aku berharap kami bisa menyelidiki rumah ini dengan gerakan

cepat dan tanpa suara, namun harapan itu mustahil. Setiap kali

kami menjejakkan kaki di lantai kayu yang sudah tua itu, ter

dengar bunyi berderik keras memecahkan keheningan.

"Gawat! Kalo kayak gini terus, semua bisa kebangun nih,"

gumam Markus.

"Selangkah demi selangkah aja," usulku. "Kita nginjeknya

bareng-bareng, jadi nggak ada bunyi berderik bersahut-sahutan."

Setelah beberapa waktu, kami akhirnya terbiasa bergerak dalam

langkah-langkah ringan dan seirama dengan keributan seminimal

mungkin. Tapi itu tidak mengurangi rasa khawatirku. Sebaliknya,

dalam kegelapan ini, perasaan tidak enak yang kurasakan sejak

memasuki rumah ini semakin menguasai hatiku. Rasanya, bisa

saja sewaktu-waktu kami bertemu seseorang?atau sesuatu?yang

tidak ingin kami jumpai. Setiap kali berbelok, setiap kali melewati

pintu tertutup, setiap kali melompati lubang di lantai, tubuhku

selalu menegang.

Brengsek. Rumah ini benar-benar menakutkan.

Ada perasaan lega yang menyenangkan saat kami mendekati

bagian belakang lantai dasar di rumah itu. Terdengar lagu ke

roncong sayup-sayup, sementara kegelapan dan rasa dingin ber

ganti dengan sinar terang dan kehangatan dari api unggun kecil

yang dinyalakan di pekarangan belakang. Suasananya terasa me

nyenangkan. Mungkin kedua pengurus rumah sedang asyik

membakar ikan sambil bercakap-cakap, menggosipi sebelas

pendatang dari Jakarta yang bertampang manja. Mungkin adegan

si nenek sihir yang nyaris menikam Celina tadi menjadi topik

paling hot.

Namun sama sekali tidak terdengar suara orang bercakapcakap.

Oke, keheningan ini terasa sangat ganjil. Aku tahu kedua

pengurus rumah itu tidak banyak bicara, tapi masa mereka juga

berdiam-diaman saja di saat tidak sedang bekerja?

Sebuah tangan merayap di pundakku.

"Cari apa, Jang?"

Kutelan jeritan ketakutan yang siap membahana dan menatap

pengurus rumah sekaligus juru masak, Bi Ani, lalu pada tangan

nya yang sedang menggenggam sebilah pisau yang kelihatan ta

jam.

Oh, my God.

"Mm, saya laper, Bi. Ada yang bisa dimakan?"

Bibir si bibi melengkung ke atas. "Tunggu sebentar, Jang."

"Makan?" bisik Markus saat si bibi dan pisaunya lenyap ke

arah dapur. "Bukannya lo barusan ngabisin lima piring nasi?"

"Apa boleh buat," balasku tertahan. "Cuma itu alasan yang

kepikir saat ini."

Markus menepuk lengannya sendiri. "Crap! Banyak nyamuk

malam-malam begini."

"Maklumlah. Namanya juga deket rawa-rawa." Aku menelan

ludah sambil menatap ke arah sungai di tengah kegelapan malam.

Di sana terlihat titik-titik berwarna kuning mengintai. "Mending

an nyamuk daripada buaya."

"Yah, soal itu sih elo bener juga."

Bi Ani muncul sambil membawa nampan berisi potonganpotongan makanan berbentuk bulat dan berwarna-warni men

curigakan. Kayak makanan beracun, gitu. "Silakan dimakan, Jang.

Ini dodol khas daerah sini."

Dodol-dodol yang kelihatan beracun itu ternyata luar biasa

enaknya. Ada yang terbuat dari telur, talas, dan?astaga?duren,

makanan favoritku! Gila! Kalau aku tidak berusaha mengendalikan

nafsu makanku, dalam waktu singkat aku pasti lebih gendut

daripada Agus.

"Bi Atiek mana, Bi?" tanya Markus menanyakan pengurus

rumah yang satu lagi.

"Sudah tidur, Jang. Capek katanya."

Bi Ani memang baik hati. Alih-alih bahasa Melayu yang biasa

digunakannya, dia menggunakan bahasa Indonesia supaya kami

bisa mengerti kata-katanya.

"Bibi sendiri nggak capek?" tanya Markus lagi. Sohibku yang

satu ini memang paling pandai mengambil hati ibu-ibu dengan

perhatiannya yang kelihatan tulus banget (bahkan aku pun tidak

tahu itu perhatian sungguhan atau palsu).

"Tidak, Jang. Sudah biasa. Bibi punya anak lelaki tujuh orang,

semuanya nakal-nakal."

"Wah, rumah Bibi pasti ramai banget," komentar Markus.

"Bibi nggak kesepian kerja di tempat terpencil begini?"

Ujung bibir Bi Ani melengkung lagi. "Kalau malam memang

sepi, Jang, tapi kalau siang kan ramai."

"Tapi kan kalau malam-malam begini seram, Bi," kataku de

ngan mulut penuh. "Apa Bibi nggak takut kalau-kalau ada

makhluk halus di sekitar sini?"

Bi Ani langsung mematung. Sesaat kukira dia terkejut men

dengar kata-kataku, namun saat aku mengikuti pandangannya,

aku pun terperangah saking kagetnya.

Di dekat pintu menuju dapur, tersembunyi dalam kegelapan,

tampak seorang wanita tinggi semampai bergaun putih. Tangan

nya didekap di dadanya, sementara wajahnya begitu menyilaukan,

hingga yang terlihat hanyalah bibirnya yang merah darah.

Rambutnya yang panjang melambai-lambai tertiup angin malam.

Perlahan, wanita itu melangkah ke arah kami.

"Aku udah nyari kalian ke mana-mana," ucapnya dengan suara

menyeramkan. "Dan sekarang, aku nggak akan lepasin kalian

lagi."

Markus

"GILA!" teriak sobatku dengan muka pucat. "Jangan nakut
nakutin orang kayak gitu, bego!"

Tory menurunkan senter yang disorotkan ke wajahnya.

Bibirnya yang dipoles lipstik yang sangat merah nyengir lebar.

"Takut nih yeee...!"

"Nggak tuh," balas Tony ketus. "Ngapain kamu turun ke

mari?"

"Kalian berisik banget, jadi aku kebangun," kata Tory sambil

duduk di sampingku, dan jantungku mulai berderap dengan

kecepatan tak wajar lagi. "Lagian, mana boleh sih kalian ninggalin

aku seenak jidat?" Dia menyenggol rusukku, dan aku langsung

meringis karena tenaga Tory bukan tenaga cewek biasa. "Kamu

juga. Makan nggak ngajak-ngajak. Dasar pelit! Takut jatahmu

berkurang, ya?"

"Bukan begitu. Tadinya kami cuma kepingin turun buat lihatlihat, tapi lalu ketemu Bi Ani." Aku buru-buru mengangsurkan

mangkukku. "Kamu boleh ambil jatahku semuanya kok."

"Wow, enak!" Mata Tory membulat. "Ini dodol ya, Bi?"

"Betul, Moy." Bi Ani memperhatikan Tory. "Amoy tadi yang

nusuk Non Celina, ya?"

Rasanya lucu mendengar Tory dipanggil Amoy, tapi yang

bersangkutan malah lebih tertarik pada makanannya.

"Ah, Bibi ada-ada aja. Saya nggak nusuk Celina kok. Kebetulan

aja sayur saya mental ke dekat dia."

"Tapi saya lihat Amoy sengaja jatuhin sayurnya ke dekat Non

Celina."

Tory mengunyah-ngunyah sejenak. "Emang sih. Abis dia nyebelin

banget."

"Iya, Amoy hebat sekali." Pujian Bi Ani membuat Tony me

longo, sementara wajah Tory sama sekali tidak berubah. "Non

Ailina baik, tapi Non Celina manja dan galak sekali. Bibi tidak

suka sama Non Celina."

"Halah, Bibi kan juru masak, pasti punya koleksi pisau dan

golok buat ngajarin tuh anak satu-dua jurus. Kalau nggak,

ludahin aja makanannya."

Bi Ani tertawa. "Amoy mau tambah lagi makanannya?"

"Kalo nggak diludahin, boleh juga," sahut Tory sambil

nyengir.

"Buat Amoy, Bibi kasih yang terbaik bah."

Saat Bi Ani beranjak pergi, Tory bertanya dengan muka polos,

"Yang terbaik itu berarti diludahin atau nggak?"

"Kalo buat kamu sih, sepertinya diludahin lebih bagus," gerutu

Tony. "Kenapa sih muncul-muncul harus nakutin gitu?"

"Namanya juga penampakan, nggak keren kalau nggak

nyeremin," sahut Tory. "Gimana? Kaget nggak tadi?"

"Kaget," sahutku jujur. "Kalo aku punya penyakit jantung,

sekarang aku udah nggak ada di dunia ini, Ry."

"Hei," tegurnya. "Kalo lagi nggak ada orang, panggil ?Kakak?

dong. Jangan kurang ajar."

"Sekarang kan ada Bi Ani," kilahku sambil mengedik ke arah

dapur.

"Ah, nggak mungkin kedengeran." Tory mengulurkan sumpit

nya secepat kilat, berhasil mendahului Tony dan merebut

potongan dodol duren terakhir. "Sorry, bro. You lose."

Tony cemberut. "Dasar nenek sihir licik. Dan omong-omong,

kenapa nggak ada nyamuk yang ngerubutin kamu? Apa nyamuknyamuk itu juga takut sama kekuatan sihir kamu yang menakut

kan?"

"Bukan lah. Mereka takut sama Autan, bego."

Bi Ani muncul lagi sambil membawa senampan dodol yang?

diberkatilah dia?didominasi dengan warna hijau, menandakan

kali ini lebih banyak dodol rasa duren. Wajah Tony kembali

berseri-seri. "Terima kasih ya, Bi. Bibi baik banget deh."

"Terima kasih, Bi," ucapku saat Bi Ani mengangsurkan mang

kuk dan sumpit baru untukku, dan langsung memindahkan

sejumlah dodol duren ke dalam mangkukku sebelum jadi bahan

rebutan Tony dan Tory.

"Jadi, Bi," kata Tory dengan mulut penuh, "ada cerita seru

nggak soal hantu-hantuan di rumah ini?"

Cewek ini memang blakblakan banget.

"Rumahnya seram begini, Moy," kata Bi Ani sambil tersenyum.

"Masa tidak ada cerita hantu?"

"Jadi ini tentang hantu apa, Bi?" tanya Tony penasaran.
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hantu Kakak dan Adik."

Ucapan itu membuatku langsung merinding. Entah kenapa,

aku teringat cara Celina menyapa Ailina. Sepertinya ada hubung

annya dengan cerita ini.

"Dahulu kala, rumah ini rumah termegah di daerah ini, se

mentara perkebunan jeruk ini adalah perkebunan terbesar. Rumah

dan perkebunan ini sangat ramai, dipenuhi oleh anggota keluarga

inti, sanak saudara, pengurus rumah, pekerja perkebunan, dan

tamu-tamu."

Aku bisa membayangkan zaman itu, zaman ketika rumah reyot

ini masih baru dan megah. Bisa kulihat orang-orang berpakaian

kuno berseliweran di perkebunan yang kini begitu sepi. Perbedaan

yang begitu kontras membuatku merasa pilu dan sedih.

"Keluarga inti terdiri atas sang pemilik perkebunan yang sudah

tua dengan istrinya, serta dua anak perempuan mereka yang

dilahirkan pada saat usia mereka sudah lanjut. Sang Kakak, yaitu

gadis yang lembut dan baik hati, dan si Adik, gadis yang serakah

dan pendengki.

"Sang Kakak mendedikasikan seluruh waktunya untuk merawat

orangtuanya. Tidak heran orangtua mereka lebih menyayangi sang

Kakak. Sudah bukan rahasia lagi, kalau mereka meninggal, rumah


Pendekar Rajawali Sakti 133 Tengkorak Dewa Arak 60 Perawan Perawan Persembahan Siluman Ular Putih 10 Misteri Dewa

Cari Blog Ini