Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu Bagian 2
dan perkebunan akan jatuh ke tangan sang Kakak. Si Adik
merasa sangat iri, namun berusaha melupakan kedengkiannya
dengan cara bersenang-senang dengan tamu-tamu keluarga.
"Dari sekian banyak tamu, terdapatlah seorang pangeran dari
Kerajaan Melayu. Si Adik langsung jatuh cinta pada sang
Pangeran, tetapi sang Pangeran memilih sang Kakak yang baik
hati.
"Karena kecemburuan yang sudah tak tertahankan lagi, si Adik
pun membuat rencana jahat untuk membunuh sang Kakak dan
merebut semua miliknya, mulai dari orangtua, rumah, perkebun
an, hingga sang Pangeran.
"Suatu hari, sang Adik memanggil sang Kakak untuk me
ngunjunginya di kamarnya di lantai teratas. Saat sang Kakak
menaiki tangga, dia melihat sang Adik sudah menunggunya di
puncak tangga. Namun, bukannya menyambutnya, sang Adik
malah berusaha mendorongnya. Sang Kakak berhasil menghindar,
dan sebagai akibatnya, sang Adik-lah yang jatuh ke bawah tangga
dan mati dengan kepala pecah.
"Bagi kebanyakan orang, itu hanyalah sebuah kecelakaan.
Namun tidak demikian halnya bagi hantu sang Adik. Karena
wataknya yang jahat dan selalu beranggapan orang lain sejahat
dirinya, dia percaya bahwa kakaknya sengaja membunuhnya
karena takut pada dirinya yang masih muda dan cantik serta
sanggup merebut segala yang dimilikinya. Maka arwah sang Adik
pun menghantui tangga tempat kematian menjemputnya, meng
ambil nyawa setiap penghuni rumah itu, satu per satu, tanpa
kecuali?mulai dari iparnya, yaitu si Pangeran yang kaya raya.
Lalu orangtuanya, saudara-saudaranya, keponakan-keponakannya,
bahkan juga para pelayan. Tidak ada yang bisa melarikan diri,
karena satu-satunya jalan keluar dari tempat ini hanya ada satu,
yaitu jalan dengan jembatan kayu, dan jalan itu tidak bisa di
gunakan karena kekuatan dendam sang Adik membuat jembatan
itu runtuh.
"Akhirnya, yang tersisa hanyalah sang Kakak. Sang Kakak
menunggu-nunggu, kapan gilirannya untuk dibunuh oleh hantu
sang Adik. Namun pembalasan sang Adik bukanlah memberikan
kematian bagi sang Kakak, melainkan usia panjang yang sangat
sepi, penuh rasa menyesal karena menyebabkan sang Adik me
ninggal, dan penuh rasa bersalah karena menyebabkan kematian
begitu banyak orang.
"Pada akhirnya, sang Kakak meninggal dalam keadaan sangat
tidak bahagia. Namun keinginannya untuk mengusir kesepian dan
kepedihan begitu kuat, membuat arwahnya menjadi roh penasaran
yang kemudian menggentayangi rumah itu. Setiap malam, sang
Kakak akan mencari, dari kamar ke kamar, seseorang untuk me
nemaninya di rumah itu. Satu per satu orang yang pernah men
coba tinggal di rumah ini lenyap tanpa bekas dari kamar mereka.
Namun meski sudah banyak roh yang dikumpulkannya, kesepian
sang Kakak tidak pernah berakhir.
"Dan seperti itulah dendam sang Adik terbalaskan."
Kami semua terdiam mendengar kisah itu.
"Kok tokoh utamanya malah jadi hantu juga?" tanyaku me
mecahkan keheningan.
"Namanya juga cerita seram," sahut Tory, tampak nyaman de
ngan topik ini. "Semua cerita yang betul-betul seram pasti ber
akhir mengerikan. Kalau akhirnya happy ending, ceritanya malah
jadi nggak seram."
"Tapi ini kan kisah nyata," kilah Tony, lalu berpaling pada Bi
Ani. "Benar kan, Bi?"
"Katanya sih begitu, Jang," angguk Bi Ani. "Katanya, hingga
saat ini, arwah sang Kakak dan si Adik tetap menghantui rumah
ini, merasuki setiap kakak-beradik yang tinggal di sini, bersaing
hingga kedua-duanya mati. Lalu, dalam kematian mereka, mereka
tetap akan meneruskan perseteruan mereka."
Lagi-lagi kata-kata Bi Ani mengingatkanku pada Ailina dan
Celina. Kepribadian keduanya memang bertolak belakang, dan
tidak heran kalau keduanya tidak saling menyukai. Tapi kalau
mereka saling membenci hingga menyebabkan kematian orangorang di sekitar mereka? Rasanya tidak mungkin.
"Bibi bilang, kamar sang Adik di lantai teratas." Meski Tony
yang melontarkan pernyataan itu, kami semua sama-sama
menatap Bi Ani dengan penuh rasa ingin tahu. "Bibi tau nggak
kamarnya yang mana?"
Bi Ani diam sejenak. "Kamar Amoy ini."
Tatapan kami semua tertuju pada Tory yang makan dengan
tenang.
"Pantas," ucap Tory dengan wajah tanpa ekspresi. "Dari tadi
aku ngerasa ada hawa pembunuh yang sangat kental mengintaiku.
Mungkin dalam waktu dekat aku bakalan dibunuh."
Hanya cewek ini yang bisa mengatakan hal-hal mengerikan
dengan muka tenang. "Itu cuma dongeng, Ry. Kamu nggak usah
nanggapin dengan serius."
Tory mengerling ke arahku. "Bukannya kamu yang selalu serius
nanggapin kisah-kisah begituan? Waktu SD aja, kamu langsung
kepingin nyelidikin rumah di seberang rumah kami waktu aku
singgung-singgung soal hantu-hantu gentayangan itu."
Kini Tony yang melongo menatapku. "Jadi lo ngajakin gue
bikin karya tulis soal rumah Jenny gara-gara dia???"
Yeah, ini kisah lama yang sudah basi dan seharusnya tak perlu
diungkit-ungkit lagi. Waktu SD, kami disuruh membuat karya
tulis. Lalu kuusulkan pada Tony untuk membuat karya tulis ten
tang rumah Jenny yang dulu. Saat itu Jenny masih belum
menempati rumah kosong yang tidak laku dijual itu lantaran
pernah ada beberapa peristiwa kematian yang saling bersangkutan.
Tak heran banyak gosip seram mengenai rumah itu. Saat aku
sedang kebingungan memikirkan topik karya tulis, Tory me
nyinggung soal rumah itu, dan aku langsung merasa tertantang.
Tapi, yang benar saja, aku tidak sudi disalahkan. "Halah, lo
juga langsung nafsu kalau ada yang ngomongin cewek-cewek
bergaun putih yang berkeliaran di tengah malam. Dan jangan
bilang lo ngajakin kita semua ke sini karena rumah ini sangat
tenang dan damai."
"Nggak usah ngomong seolah-olah gue cowok mesum dong,"
gerutu Tony. "Soal rumah ini, gue juga sama kagetnya dengan elo
waktu pertama kali liat rumah ini kok."
"Tapi nggak usah nutupin deh, Ailina pasti udah cerita se
suatu." Dari wajah Tony, aku tahu kata-kataku mengena pada
sasaran. "Mungkin dia nggak mau lo cerita-cerita sama orang lain.
Terserah. Nanti juga gue tau sendiri. Asal jangan nyangka gue
idiot aja."
"Iya deh, sori. Lo jenius banget. IQ lo lebih tinggi daripada
IQ Aldi dan Aldo dijadiin satu!"
Dasar kurang ajar. Kukira dia merasa bersalah, tapi dia malah
meledekku dengan lelucon basi begitu.
"Sudah malam, Jang." Suara Bi Ani menyadarkanku bahwa
juru masak itu sudah letih. Tidak heran. Memangnya gampang
mengurus rumah dan membuatkan makanan untuk dua nona
rumah dan sebelas pendatang baru? "Bibi tidur dulu, ya."
"Iya, Bi. Maaf ya, sudah mengganggu sampai larut malam
begini." Aku menoleh pada Tory dan Tony. "Ayo, kita juga harus
tidur."
Kami segera menaiki tangga kayu yang curam itu. Tadi rasanya
tempat itu begitu mengerikan, tapi sekarang rasanya malah
lumayan menyenangkan. Aku bertanya-tanya, apa perubahan ini
ada hubungannya dengan keberadaan Tory?
Tony langsung masuk ke kamar kami, tapi aku mengantar
kan Tory sampai ke depan pintu kamarnya. "Berani tidur sen
diri?"
Tory mendengus. "Begini aja sih aku nggak mungkin takut."
Aku tidak mengerti kenapa dia merasa harus kelihatan kuat di
depan semua orang. Padahal aku tidak keberatan melindunginya
barang satu, dua, atau bahkan seribu kali pun?dan bukan hanya
kebagian peran ditonjok-tonjoki seperti yang terjadi selama ini.
"Ya udah, pokoknya kamu tau aku ada di sebelah," ucapku.
"Kapan aja kamu butuh aku, bangunin aja."
Mata Tory menyipit. "Beneran?"
Perasaanku mendadak jadi tidak enak. "Iya."
"Oke deh kalo gitu." Tory tersenyum manis sekali, senyum
yang membuatku rela melakukan apa saja untuk membuat se
nyum itu sering terlihat. "G?nite, Markus."
Lalu, tanpa menunggu jawabanku lagi, dia pun menutup pintu
kamarnya.
Aku percaya aku adalah makhluk pagi.
Berbeda dengan sohibku Tony yang hobi bangun jam dua
siang jika dicuekin jam beker dan guru piket, aku lebih suka
bangun pagi-pagi meski tidak ada acara mendesak yang mem
buatku perlu melakukannya. Bagiku, bangun pagi adalah sebuah
kesenangan. Udara pagi yang segar, sinar matahari yang menerpa
lembut, pemandangan embun pagi menetes dari dedaunan?
semua itu kenikmatan yang hanya bisa didapatkan dengan ba
ngun pagi.
Tapi saat aku bilang "bangun pagi", itu berarti jam enam atau
jam tujuh pagi?dan bukan jam empat subuh!
"Untuk ukuran cowok yang dibangunin secara paksa, kamu
terlihat cukup segar."
Aku melirik cewek yang sedang berlari di sebelahku sambil
berusaha menyembunyikan kedongkolanku ke dalam sudut hatiku
yang terdalam. Aku masih tidak bisa melupakan adegan beberapa
saat lalu, waktu aku lagi enak-enak berada di alam mimpi, tahutahu saja wajahku dihujani beberapa tamparan yang tidak keras
namun berhasil melemparkanku kembali ke dunia nyata?dan
jantungku nyaris terhenti saat melihat sosok hitam menjulang
tinggi di samping ranjangku bagaikan malaikat kematian yang
siap menjemput ajalku.
"Ayo," seringai sang malaikat, "kita jalanin siksaan neraka
sama-sama."
Lalu, tanpa memberiku kesempatan untuk menolak, aku diseret
turun dan dipaksa berlari mengelilingi seluruh lahan milik
keluarga Ailina berkali-kali?mungkin sekarang sudah yang ke
tujuh kalinya.
"Kamu sendiri juga lincah luar biasa subuh-subuh begini,
sampai-sampai keliatan nggak wajar."
"Justru buatku beginilah yang wajar," kata Tory kalem. "Halhal yang nggak wajar buat orang lain, wajar buatku."
Aku menangkap nada berbeda dalam kalimat terakhirnya itu.
Aku teringat waktu dia menangis di pelukanku delapan tahun
lalu, seorang cewek dua belas tahun yang bergulat dengan
masa ABG yang sulit dan kondisi keluarga yang tidak me
nyenangkan. Kini cewek itu sudah berubah menjadi cewek
dewasa yang cantik, kuat, penuh percaya diri, dan hobi me
nertawakan masalah. "Hal-hal beginilah yang bikin kamu beda
dari yang lain, Ry."
"Maksudmu ?Kak?. Pas kita lagi lari pagi gini, nggak ada yang
nguping pembicaraan kita deh."
"Nggak ah. Di tempat yang ada legenda seram soal Kakak, aku
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebih suka manggil kamu Tory aja."
"Bukannya justru itu cocok denganku?" seringainya. "Atau
kamu emang mulai kurang ajar? Boleh juga si kecil Markus
nih."
"Nggak salah?" Aku tertawa. "Sekarang kamu lebih pendek
daripada aku lho."
"Tinggi badan boleh menipu mata, tapi usia nggak bisa me
nipu hati."
Sekali lagi aku meliriknya, mengagumi sosoknya yang sedang
berlari. Butir-butir keringat mulai mengalir turun dari pelipisnya,
sementara napasnya mulai terengah-engah. Tapi gerakan larinya
masih mantap, menandakan dia belum capek sama sekali. Padahal
kami sudah mengelilingi lahan ini tujuh kali.
Gila. Aku tidak boleh kelihatan capek juga.
"Udah punya cowok belum, Ry?"
Tory mengerang. "Hell, kenapa kamu selalu nanya itu setiap
kali kita ketemu?"
"Abis nggak wajar cewek secantik kamu jomblo melulu."
"Udah kubilang, aku lebih cocok sama hal-hal yang nggak
wajar. Kamu sendiri," dia menoleh padaku dan tersenyum jail,
"kenapa nggak punya pacar kali ini? Dicampakin, ya?"
"Tuduhannya seram banget." Aku tertawa, tapi tidak menjawab
pertanyaannya. Yeah, entah sudah berapa lama aku tidak ber
pacaran. Mungkin sejak aku menjalin hubungan singkat tanpa
status dengan Hanny. "Sekarang aku sedang nyari cewek yang
tepat, Ry."
"Bikin merinding aja." Cuma cewek inilah yang bakalan
tertawa atau merinding kalau aku sedang mengucapkan kata-kata
yang kusangka bakalan membuat hati cewek kelepek-kelepek.
"Emangnya selama ini ada yang salah dengan cewek-cewek yang
kamu pacarin?" Matanya membulat kesenangan. "Pasti kamu baru
saja kena batunya. Ayo, buruan, ngaku sama Kak Tory yang
cantik ini, apa yang udah terjadi!"
Aku gelagapan saat cewek itu merangkulku dengan gaya yang
sama seperti gaya adiknya waktu merangkulku. Tapi masalahnya,
dia bukan sohib dekil yang bisa kudorong-dorong sejauh
mungkin. Ini Tory, cewek yang bisa jadi supermodel kalau dia
menginginkannya, cewek yang menghiasi mimpi-mimpiku di saat
aku masih belum pernah berpacaran sekali pun, cewek yang
bahkan hingga kini tetap menghiasi mimpi-mimpiku meski aku
sudah menyadari tak ada harapan bagiku untuk mendapat
kannya.
"Nggak ada alasan khusus kok," sahutku sambil berusaha me
masang muka tenang. "Tapi sebentar lagi kan aku lulus SMA.
Aku nggak bisa main-main lagi soal cewek, dan harus mulai
belajar ngejalanin hubungan jangka panjang."
"Seperti Tony, ya?"
Crap, apa dia sudah tahu soal Jenny?
"Kayaknya adikku itu kerjanya nyari-nyari cewek yang tepat,
sampai nggak pernah pacaran sampai usia bangkotan gitu. Atau
jangan-jangan dia homo?"
Aku tertawa memikirkan kemungkinan itu. "Kalo Tony homo,
dia pasti udah jadian sama Jay."
"Bener juga." Tory manggut-manggut. "Apa dia udah punya
cewek yang dia suka?"
Cewek ini benar-benar licin. "Wah, soal itu sih aku nggak
pernah tanya."
Tory menyipitkan matanya. "Nggak mungkin."
"Beneran." Aku tidak bohong. Sejak dulu, aku tidak perlu tanyatanya soal siapa cewek yang disukai Tony. Sohibku itulah yang tidak
malu-malu curhat soal Jenny setiap hari. "Tapi bukannya bagus kalo
kami cowok-cowok lebih serius dalam soal pacaran?"
"Apa bagusnya serius-serius?" Tak kuduga, Tory malah mencela.
"Kalian kan cuma anak SMA. Nggak ada salahnya kalian mainmain soal pacaran. Kalau kalian terlalu serius, bisa-bisa yang ada
malah kecelakaan ini, kecelakaan itu, dan tau-tau sinetron Per
nikahan Dini terjadi dalam hidup kalian."
"Kamu ternyata hobi nonton sinetron juga?" tanyaku geli.
Tory terdiam sejenak. "Dulu, tapi itu rahasia, ya."
"Iya, iya. Tapi bukannya yang kecelakaan dini itu terjadi garagara kebanyakan main?"
"Maksudku main ya main yang lebih ceria, gitu. Nonton film
horor, naik roller coaster, balapan di arena go-kart, ikutan bungee
jumping, lindas-lindasan di arena ice skating"
"Pacaran sama kamu pasti dipenuhi banyak adrenalin, ya?"
selaku geli.
"Yah, namanya juga anak muda, mumpung belum sakit jan
tung. Nanti-nanti kalau udah jadi om-om, kamu bakalan nyesel
nggak pernah ngalamin semua itu. Seperti itu, misalnya." Dia
menunjuk ke perkebunan jeruk di depan kami. "Harusnya kita
bersenang-senang. Manjat pohon, makan jeruk..."
"Dan ngelepehin biji-bijinya ke bawah?"
Tory menatapku dengan muka senang. "Di balik tampang
kalemmu, kamu itu cowok liar banget, ya?"
"Try me," balasku penuh arti.
Tory tertawa. "Ayo, kita balapan sampai ke pohon jeruk ter
dekat, lalu kita puasin rasa haus kita dengan makan jeruk."
Seperti biasa, aku membiarkan Tory melewatiku. Senang rasa
nya melihat wajahnya yang berseri-seri setiap kali memenangkan
perlombaan. Kami lalu berlomba memanjat pohon. Tory pandai
memanjat seperti monyet. Kali ini aku benar-benar tidak me
ngalah, namun cewek itu berhasil mendahuluiku. Dengan cengir
an lebar di wajah, dia mengulurkan tangan untuk menarikku.
"Kali ini kemenanganku murni, ya?" tanyanya.
Ternyata dia tahu juga aku selalu mengalah untuknya.
"Yeah."
"Baguslah, sekali-sekali aku bisa menang darimu." Tory duduk
di pertengahan cabang pohon, memetik sebuah jeruk dan me
lemparkannya padaku?padahal aku hanya duduk di sebelahnya.
"Nih, buatmu."
"Thank you."
Meski biasanya aku lebih menyukai sikap higienis, kali ini aku
tidak segan-segan mengusapkan buah jeruk pada bajuku, lalu
mulai mengupas dan memakannya. Kalau Tory yang menyuruhku,
makan batu pun aku oke-oke saja?bukan karena aku senang
makan batu, tapi karena aku ingin membuatnya terkesan. Meski
makan batu mungkin tak akan membuatnya terkesan padaku,
melainkan menganggapku idiot kelas berat.
"Udah capek-capek manjat, ternyata lokasi kita nggak tinggitinggi amat, ya." Tory melongok ke bawah. "Paling-paling sekitar
dua meter."
Aku ikutan melongok. "Walaupun cuma dua meter, kalo kita
lompat ke bawah, kita bisa patah leher, kali."
Tory menyeringai. "Berani lompat?"
Tanpa memberi aba-aba, aku langsung melompat ke bawah.
Bisa kudengar dia menjerit kaget, namun kekhawatirannya tak
beralasan. Aku berhasil mendarat dengan kedua kaki menjejak
tanah dan tubuh tegak. Kudongakkan kepalaku dan tersenyum.
"Giliranmu?"
Melihatku baik-baik saja, wajah Tory tampak lega. Lalu sekali
lagi dia memperlihatkan seringai lebar. "Tentu aja."
Sama sepertiku, dia langsung melompat tanpa aba-aba?dan
sama sepertiku, dia berhasil mendarat dengan kedua kaki men
jejak di tanah pula. Namun berbeda denganku, tubuhnya agak
terhuyung-huyung, membuatnya nyaris terjengkang ke belakang.
Sebelum kepalanya menyentuh tanah, aku berhasil menahan
leher dan pinggangnya.
"Untung sekali ada kesatria yang nolongin kamu di sini," ucap
ku sambil nyengir.
Dia menatapku tanpa berkedip. "Ya, untung sekali ya."
Entah karena adrenalin yang menguasai diriku, atau karena
suasana romantis pagi itu?udara segar yang menyejukkan, langit
cerah berwarna biru muda, sinar matahari yang menyeruak di
antara pepohonan, bunyi gemeresik dedaunan pohon jeruk,
embun pagi yang menetes, daun-daun cokelat yang berguguran?
aku tidak menahan diri kali ini, dan mendaratkan ciuman di
bibirnya. Mata Tory terpejam saat bibir kami saling menyentuh.
"Kamu udah ngelewatin batas, Markus," bisiknya saat aku
menghentikan ciuman kami.
"Yeah, aku emang liar." Aku menariknya berdiri kembali dan
menatapnya lekat-lekat, berusaha tak mengindahkan jantungku
yang nyaris meledak karena bekerja terlalu cepat. "Mau pacaran
sungguhan sama aku, Ry?"
Tory membalas tatapanku tanpa berkata-kata. Lalu dia meng
ucapkan jawaban yang belum pernah kudengar saat kulontarkan
pertanyaan itu pada cewek-cewek lain. "Nggak, thank you."
"Kenapa?" tanyaku sambil berusaha menyembunyikan rasa
kecewa yang langsung menghantamku dengan keras. "Karena aku
sahabat Tony?"
"Karena itu dan masih banyak hal lain lagi." Dia diam sejenak,
lalu menyunggingkan senyum jail. "Katanya kamu mau cari
cewek yang tepat kali ini. Aku nggak mungkin cewek yang tepat
buatmu, Markus."
"Siapa yang bilang begitu?" Aku meraih tangannya saat dia
menarik diri dariku. "Di mataku, kamu nggak punya kekurangan,
Ry."
Dia mengangkat alisnya. "Beberapa waktu lalu kamu masih
manggil aku ?Kakak?."
"Yeah, panggilan yang konyol," balasku. "Aku nggak pernah
nganggap kamu kakakku."
"Tapi kamu nggak bisa nyangkal kalau aku lebih tua dua
tahun daripada kamu." Crap. Yang ini memang tidak bisa di
sangkal. Dia cewek kuliahan, dan aku masih anak SMA culun.
"Cowok paling bego di dunia juga tau, lebih baik nyari cewek
yang sepantaran, atau mungkin yang lebih muda. Apa gunanya
punya cewek yang lebih tua?"
"Aku bukannya nyari cewek yang lebih tua," balasku lagi. "Aku
cuma ingin kamu, Ry. Sedari dulu, cuma kamu cewek yang
kuinginkan."
"Kalo itu lebih parah lagi." Dia mengibaskan tangan. "Dasar
anak kecil. Kamu cuma menginginkan benda yang selama ini
nggak bisa kamu dapetin. Begitu udah didapetin, rasanya ya gitugitu aja."
Aku tak percaya mendengar semua ini. Bisa-bisanya dia meng
anggapku seperti itu.
"Dan seharusnya kamu juga tau sifatku. Kalo kamu pacaran
denganku, kamu cuma bakalan kupermainkan, tau?"
Oke, sekarang mulai terasa sakit.
Sepertinya dia mengerti perasaanku, karena suaranya melembut.
"Sori, aku ngelakuin ini juga buat kebaikanmu. Aku peduli sama
kamu, Markus, sama seperti aku peduli pada Tony. Aku nggak
ingin ngelakuin apa pun yang nyakitin kamu. Dan aku yang
sekarang ini nggak mungkin bisa bahagiain kamu."
Saat ini, pikiranku terlalu kacau untuk membantahnya. Jadi
yang kulakukan hanyalah mengangguk kelu.
"Ayo, kita kembali ke penginapan," kata Tory dengan nada
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebih riang. "Siapa tahu Bi Ani udah nyiapin sarapan enak."
Aku tidak menyahutinya, dan memang itu tidak perlu. Seperti
biasa, Tory berjalan mendahuluiku. Terserah bagiku untuk meng
ikuti kemauannya?atau membiarkannya meninggalkanku seorang
diri.
Namun seburuk apa pun perlakuannya padaku, aku tak akan
mau ditinggalkan olehnya.
Di depan pintu penginapan, Celina sudah menunggu kami.
"Hei, Markus!" serunya sambil melompat ke sampingku dan
menggandeng tanganku. "Ke mana aja kamu pagi-pagi? Lari pagi,
ya? Kok nggak ngajak-ngajak?"
Aku menyembunyikan perasaanku yang kacau-balau dan me
nyunggingkan senyum. "Nggak apa-apa. Udah sarapan, Cel?"
"Belum, mau sarapan bareng?" Aku mengangguk. "Aku akan
suruh Bi Ani buatin makanan yang banyak."
Aku menoleh pada Tory. "Kamu ikut sarapan juga, Ry?"
Tapi Tory terus berjalan ke arah tangga. "Nope," dia melambai
kan tangannya tanpa menoleh. "Kamu duluan aja."
Pagi itu berubah menjadi mimpi buruk. Tony tampaknya serius
banget ingin bangun setelah jam makan siang. Aku sempat masuk
ke dalam kamar waktu selesai mandi dan berusaha membangun
kannya, tapi yang kudapatkan hanyalah gerutuan separuh sadar,
"Go to hell!" Teman-teman klub judo lainnya juga tampaknya
malas keluar dari kamar masing-masing, mungkin ketakutan
melihat sinar matahari yang mulai memanggang hidup-hidup
segala makhluk yang sedang berjalan di permukaan bumi. Aku
sempat melihat Ailina sekejap, tapi cewek itu tampaknya sedang
murung?sama sekali tidak mirip dengan Ailina yang kami temui
kemarin. Wajahnya pucat dan tampak lingkaran di bawah mata
nya. Mungkin dia kecapekan, karena bisa kulihat dia membantu
Bi Ani dan Bi Atiek mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga.
Mungkin seharusnya kami bantu-bantu sedikit di tempat ini dan
tidak cuma merepotkan begini.
Sementara itu, Tory sama sekali tidak kelihatan lagi.
Jadi aku hanya berduaan dengan Celina. Kuajak dia kelilingkeliling perkebunan jeruk, yang kini sama sekali tidak ada kerenkerennya setelah tidak bersama Tory. Mana para pengurus per
kebunan mulai berdatangan, dan aku terlalu sibuk menyapa
mereka sampai-sampai mengabaikan Celina yang terus berceloteh
di sampingku. Kami sempat duduk-duduk di pinggir sungai, lalu
Celina mengeluh bahwa duduk di atas tanah membuat pakaian
nya kotor. Pada akhirnya, tak ada yang kami lakukan selain jalanjalan tak ada juntrungan. Celina terus berkeluh kesah tentang
kehidupannya yang tak menyenangkan di sini dan bagaimana dia
akan kembali ke Jakarta suatu saat nanti.
"Dan bukan cuma itu yang bikin gue nggak suka tinggal di
sini," kata Celina. "Masih ada juga masalah kutukan itu."
Kalimat terakhirnya menarik perhatianku. "Kutukan itu?"
"Ailina belum cerita, ya?" Aku menggeleng. "Sejak ngebeli
penginapan jelek ini, keluarga gue jadi sial melulu. Bokap gue
ketabrak motor, nyokap gue ditusuk penodong, kakak gue kena
kanker darah. Semuanya terjadi dalam waktu sebulan aja."
Wah, cerita yang menarik. Mungkinkah Tony sudah tahu
semua itu? Itukah sebabnya kami semua diajak ke sini?
"Menurut lo, mungkin nggak semua itu hanya kebetulan?"
Meski cerita itu membuat penasaran, aku tidak tahu apa yang
bisa kusimpulkan dari kisah itu. Jadi aku hanya menggeleng.
"Aku nggak tau, Cel."
Celina menggigit bibirnya sendiri. "Gue takut, gue yang bakal
an jadi korban berikutnya, Mar..." Lalu dia mendongak dan me
natapku dengan penuh permohonan. "Tapi elo akan ngelindungin
gue, kan?"
Tepat pada saat itu, kami memasuki ruang makan?dan tatap
anku langsung bertemu dengan tatapan Tory. Aku langsung lupa
pada Celina dan pertanyaannya. Sesaat aku dan Tory saling me
natap tanpa bicara. Lalu, ujung bibir kanan Tory melengkung ke
atas.
"Asyik acara jalan-jalannya?" tanyanya.
Aku mengangkat bahu. "Gitu deh."
"Sepertinya kurang seru, ya," kata Tory ringan. "Ya jelas lah.
Ngapain juga kamu bawa cewek nontonin buaya makan bangkai?
Kamu ini emang nggak romantis, Markus."
Jadi dia melihat kami. Yah, tak mengherankan, jendela kamar
nya juga menghadap ke Sungai Kapuas, sama seperti jendela
kamar kami.
"Siapa bilang nggak seru?" Celina tampak tidak senang. "Lagi
pula, elo ini siapa sih, dari kemarin ganggu aja?"
Tory tersenyum manis. "Ah, bukan siapa-siapa kok."
"Bukannya bukan siapa-siapa." Ailina muncul sambil mem
bawakan makanan untuk Tory. "Dia pacarnya Markus, Cel. Se
harusnya kamu yang dibilang ngeganggu, bukannya dia."
"Pacar Markus?" jerit Celina ngeri. "Nenek-nenek ini?"
"Tenang, jangan khawatir," kata Tory. "Dengan kecepatan
bertumbuh kayak gitu, dalam waktu lima tahun kamu bakalan
jauh lebih tua daripada aku. Saat itu mungkin semua orang harus
manggil kamu nenek buyut, termasuk aku, si nenek-nenek."
Celina mendelik marah, namun Tory malah menyulangi Celina
dengan jus jeruknya. Gayanya membuatku jadi tersenyum. Cewek
ini memang nggak ada matinya.
Mungkin karena melihat senyumku, kemarahan Celina tahutahu beralih padaku. "Cewek ini benar-benar pacar lo?"
Meski barusan ditolak, aku tetap mengikuti sandiwara yang
dibuat Tony. "Yeah."
Celina menatapku seolah-olah aku baru saja ketahuan ngupil.
"Apa sih yang elo lihat dari cewek mengerikan itu?"
"Yeah, Markus." Tory bertopang dagu pada meja makan.
"Coba, apa sih yang kamu lihat dari cewek mengerikan ini?"
Menyadari ini adalah salah satu cara Tory untuk memper
mainkanku, kuputuskan untuk membalasnya.
"Coba ya," kataku santai sambil menatap ke arah Tory. "Per
tama-tama, kamu tuh cantik luar biasa."
"Cantik?" ulang Tory.
"Luar biasa?" sambung Celina.
Aku mengangguk. "Cantik luar biasa, sampai-sampai aku nggak
bisa ngalihin pandanganku ke cewek lain saat ada kamu."
"Ah," Tory bersandar pada kursinya. "Tapi kamu tetep bisa
nemuin cewek lain buat diajak jalan-jalan kok."
"Itu karena kamu nggak mau nemenin aku," balasku ringan.
"Alasan yang nggak masuk akal," ketus Celina. "Kalau dia
cantik, gue apa?"
"Kamu cantik juga," sahutku jujur. "Tapi selalu ada cewek ter
cantik dalam hidup seorang cowok, dan bagiku, cewek tercantik
itu selalu Tory, nggak pernah berubah sejak aku berusia empat
tahun hingga sekarang."
"Sejak empat tahun?" tanya Tory geli. "Kamu emang terlalu
cepat dewasa dari dulu."
Aku hanya tersenyum menanggapinya.
"Lalu?" tuntut Celina. "Cuma itu? Kalo cuma itu, gue yakin
gue bisa melebihi dia."
"Dia nggak cuma cantik, tapi juga sangat unik." Aku tidak
mengalihkan pandanganku dari Tory. "Dia selalu tampil berani,
karena dia nggak ingin disangka lemah. Dia selalu berusaha
menjadi cewek yang kuat, karena dia nggak ingin mengandalkan
siapa-siapa. Dia selalu bersikap mandiri, karena dia punya
ketakutan bahwa seluruh dunia akan ninggalin dia dan dia harus
hidup sendirian."
Kini Tory yang ternganga menatapku.
"Di mataku kamu cewek yang berdiri lebih tegak dibandingin
orang-orang lain di sekitarmu, dan aku mengagumi usahamu itu.
Tapi aku juga tahu kamu butuh orang yang bisa jadi sandaran
kamu, orang yang kamu percayai, orang yang nggak akan
ninggalin kamu untuk apa pun. Dan jujur aja, Tory, siapa yang
selama ini selalu ada di sampingmu saat kamu sedang nggak
ingin sendirian?"
Tory menatapku lama sekali, lalu tersenyum. Perlahan dia
bangkit dari kursinya, lalu berjalan ke arahku. Lalu, tanpa malumalu dia mendaratkan sebuah kecupan di pipiku.
"Kamu emang pantas jadi pacarku, Markus."
Lalu, sekali lagi, dia berjalan pergi, meninggalkanku dengan
sebuah pertanyaan besar terngiang-ngiang di dalam hatiku.
Jadi kenapa kamu menolakku?
Aku berpaling untuk mengusir pertanyaan itu, dan mendapat
kan sahabatku, Tony, melongo hanya dengan sepotong handuk
melilit pinggangnya.
"Man, gue tau lo udah berusaha keras nutupin rahasia gue dari
semua orang," kata Tony saat kami sudah kembali ke kamar
kami?dan tentunya setelah dia berpakaian lengkap. "Tapi kayak
nya usaha lo terlalu meyakinkan deh."
"Apa maksud lo?" tanyaku, berpura-pura tidak mengerti.
"Akting lo di ruang makan tadi, man," kata Tony sambil
mengawasiku. "Itu kelewat hebat, sampai-sampai gue ngerasa itu
semua beneran. Dan bukannya gue nggak sadar kalau lo dan si
nenek sihir emang deket banget. Kalo dipikir-pikir lagi, mungkin
dia cewek satu-satunya yang berhubungan lama dengan elo. Tiga
belas tahun. Gile! Itu lebih lama daripada lamanya gue kenal
Jenny."
"Tapi itu karena dia kakak lo," sahutku mengingatkan.
"Emang sih." Tony manggut-manggut. "Dia emang bukan
cewek-cewek lain yang langsung lo ajak pacaran begitu ngobrol
lima menit. Tapi kejadian tadi lho." Tony menatapku lekat-lekat.
"Lo beneran mikir dia cewek paling cantik dalam hidup lo sejak
lo umur empat tahun?"
"Lo udah nguping lama, ya?" tanyaku sebal.
"Bukannya nguping, man," balas Tony. "Kalo mau nguping,
gue pasti pake kostum yang lebih matching. Serbahitam, dengan
slayer dan penutup mulut ala ninja. Atau mungkin gue nyamar
jadi maling jemuran. Pokoknya nggak mungkin gue nguping
dengan penampilan setengah bugil gitu deh."
"Iya, iya." Aku tidak ingin membayangkan cowok mana pun
dalam keadaan setengah bugil. Amit-amit. "Lo cuma kebetulan
nongol di situ."
"Iya, gue tadinya udah mau naik tangga, tapi gue kaget bener
waktu denger lo bilang si nenek sihir cewek paling cakep sejak
usia TK gitu. Gue kira lo lagi kesurupan. Tapi nggak taunya
tampang lo kayak lagi lomba pidato dalam bahasa Inggris waktu
itu."
"Oh, yang gue menang se-DKI itu, ya?"
"Nggak usah nyombong dong. Kan itu bahasa ibu lo."
"Maksud lo, bahasa bapak gue. Kan babe gue yang bule, coy,
bukan nyokap gue."
"Yah, pokoknya bahasa leluhur lo deh, dasar geblek. Dan
nggak usah ngalihin topik. Do you really think that that-witch is
the most beautiful girl in the world?"
"Nggak usah sok bahasa Inggris gitu dong," gerutuku.
"Lho, kan kita barusan ngomongin bahasa leluhur lo, apa
salahnya gue gaya-gaya bule dikit?" tanya Tony membela diri.
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Come on, bro. Spill it up!"
"Logat lo kayak Samuel L. Jackson, tau nggak?" celaku. "Pe
nampilan juga. Tinggal keritingnya aja."
"Sori ya, gini-gini rambut lurus gue asli, bukan hasil smoothing."
Tony langsung mengibaskan rambut panjangnya yang lurus dan
halus kayak iklan sampo. "Jadi, jelas gue bukan Samuel L. Jackson.
Lagian, kalau lo mau liat pantat gue, lo bakalan tahu warna kulit asli
gue putih kok."
"Kalo gue sampai liat pantat lo, kewarasan gue pasti langsung
berkurang setengahnya, coy."
"Emang sih, gue juga ogah diliat-liat gitu." Tony mendecak.
"Udah, nggak usah ngalihin topik. Mana jawaban atas pertanyaan
gue? Mana? Berikan! Berikan segera!"
"Iya, iya." Kadang kelakuan Tony memang mirip tukang
todong beneran, sampai-sampai aku merasa harus menyerahkan
sesuatu. "Yang itu gue nggak bohong. Waktu pertama kali ke
temu, Tory kan udah umur enam tahun, coy. Cewek-cewek TK
seusia kita masih gendut, montok, dan hobi ngompol, dia udah
langsing, tinggi, dan banyak gaya. Bagi gue yang waktu itu masih
balita, dia keliatan kayak Xena the Warrior Princess."
"Apa cakepnya Xena?" Giliran Tony yang mencela. "Ototnya
di mana-mana gitu. Mendingan Gabriella yang manis dan
imut."
"Yeah, itu kan tipe cewek yang lo suka. Cewek lemah lembut
yang harus dilindungi, kayak Jenny."
"Tapi mantan-mantan cewek lo nggak ada yang mirip Ade Rai
gitu, man."
"Siapa juga yang mau sama cewek yang mirip Ade Rai?"
bentakku kesal. Sobatku ini memang kadang-kadang minta di
jotos barang satu-dua kali, biar otaknya lebih waras sedikit. "Lo
tahu sendiri, buat gue semua cewek cakep. Tapi cewek pertama
yang bikin gue benar-benar terpesona itu ya Tory."
"Tapi itu nggak berarti sampai sekarang lo masih nganggap dia
yang paling cantik dong?"
Oke, aku tahu kapan aku harus jujur dan kapan aku harus
menutupi kenyataan. "Emang sih."
"Oke." Tony mengangguk puas. "Lega gue dengernya. Kirain
gue harus nyelametin lo dari tangan si nenek sihir."
"Thank you, tapi gue nggak butuh lo buat nyelametin gue."
"Harus dong, man," tegas Tony serius. "Kalo lo sampai jatuh
ke tangannya, nggak pelak lagi hidup lo bakalan hancur. Tiap
hari lo bakalan jadi bulan-bulanan dia, dikerjain, ditindas,
dipermalukan. Dan meskipun lo mau kabur, lo nggak akan bisa,
karena dia jauh lebih kuat daripada seluruh anggota klub judo
kita digabungin jadi satu."
"Kalo gitu, gimana caranya lo selametin gue?" tanyaku geli.
"Kan lo anggota klub judo kita juga."
"Maksud gue anggota reguler," kata Tony. "Kalau kekuatan gue
sih jelas sebanding sama si nenek sihir. Mungkin selevel lebih
tinggi. Gue udah berlatih gila-gilaan setahunan ini, man, bahkan
sampai ngadain kamp latihan intensif segala."
"Dan tidur sampai jam segini termasuk latihan intensif lo?"
tanyaku sepolos mungkin.
"Istirahat," kata Tony sambil mengelus-elus jenggot imajinatif
nya, "adalah bagian terpenting dalam latihan judo."
Jeritan keras memotong ceramah Tony. Kami langsung me
lupakan petuah yang sedang dilontarkan Tony dan berlari ke luar
kamar. Di dekat tangga, kami melihat Tory dan Celina sedang
berdebat.
"Jangan mendekat!" jerit Celina dengan wajah ketakutan. "Gue
nggak main-main. Jangan maju lagi!"
Kami melihat Tory mengulurkan tangan pada Celina, lalu
Celina jatuh terguling-guling ke bawah tangga.
"Celina!"
Aku dan Tony langsung berlari ke arah tangga dan melongok
ke bawah. Kami melihat Celina terkapar dalam posisi tidak wajar
di dasar tangga. Di sekelilingnya, rekan-rekan klub judo berdiri
mematung.
"Ya ampun, cewek yang malang banget!" seru Agus sambil
mengulurkan tangan.
Crap, kalau sedari tadi mereka ada di situ, seharusnya mereka
menolong Celina sebelum dia jatuh sampai ke dasar tangga!
"Jangan pegang-pegang, Gus!" bentak Tony di sebelahku.
"Irwan, coba cek denyut nadinya, masih ada nggak?"
Irwan meraba nadi di leher Celina. "Ya, masih ada, tapi sangat
lemah."
"Telepon ambulans!" perintah Tony, tapi lalu dia berhenti
bicara karena tersadar. "Brengsek, di rumah ini nggak ada telepon.
Kita harus bawa dia ke rumah sakit sekarang juga. Leo, panggil
Ailina."
Kami menoleh pada Tory yang, untuk pertama kali dalam
hidupnya, tampak pucat.
"Jadi, apa yang barusan terjadi?" tanya Tony dengan suara
galak, menuntut penjelasan.
Tory hanya diam sambil menatap kami.
"Tory!" bentak Tony lagi.
Aku menyentuh lengan Tony. "Udah, coy," tegurku. "Sebaiknya
kita urus Celina dulu."
Meski tidak ingin, aku mendahului Tony menuruni tangga dan
menghampiri tubuh Celina yang tidak diutak-atik sedari tadi.
Posisi tubuh Celina kelihatan tidak seperti manusia biasa, lebih
mirip boneka marionet yang sendi-sendinya bisa diarahkan ke
mana saja sesuka kita.
Tony berjongkok di sebelahku. "Menurut lo, lehernya pa
tah?"
"Gue rasa nggak," gelengku. "Nggak ada bunyi tulang patah,
kan?"
"Ada apa, Ton? Celina!" jerit Ailina yang baru tiba. "Dia
kenapa? Kok tau-tau jadi begini?"
Tony diam sejenak. "Dia jatuh dari tangga, Lin."
"Kok bisa?" tanya Ailina histeris. "Kenapa dia bisa tiba-tiba
jatuh?"
Aku dan Tony sama sekali tidak sanggup menyahut.
"Dia didorong." Dari belakang kami, terdengar suara Jay yang
halus. "Dia didorong ke bawah oleh Tory."
Tory
PENJELASAN?
Tidak ada.
Sejujurnya, aku pun tidak tahu apa yang terjadi.
Asal tahu saja, belum pernah aku bertemu cewek yang lebih
menyebalkan daripada cewek-SMP-bermuka-tante-tante ini. Sejak
pertemuan pertama kali, dia sudah membuatku jengkel dengan
berpose mesra dengan Markus pada setiap kesempatan. Bukannya
aku anti dengan semua cewek yang SKSD dengan Markus (kalau
memang begitu, aku bakalan harus musuhan dengan separuh
cewek di dunia ini dong), tapi cewek ini tidak malu-malu me
nyuruhku menyingkir supaya dia bisa pedekate dengan Markus.
Apa ada cewek yang lebih agresif lagi daripada cewek ini?
Sudah begitu, di saat aku sedang shock karena diberi ciuman
yang amat luar biasa dan diajak pacaran oleh cowok paling keren
yang pernah kutemui seumur hidupku, tahu-tahu saja cowok itu
sudah digandeng cewek sialan itu. Mood-ku langsung rusak berat.
Hell, aku memang tolol karena langsung menolak Markus, tapi
aku benar-benar ketakutan dibuatnya?atau lebih tepat lagi, ke
takutan dibuat oleh perasaan girang tak terkatakan yang tahutahu melanda hatiku. Belum pernah aku merasakan perasaan
sekuat ini, perasaan yang seolah-olah sanggup membuat diriku di
luar kendali. Bagaimana kalau Markus tidak berbeda dengan
orang-orang lain yang mencampakkanku sejauh mungkin dari
mereka? Bisa-bisa aku jadi gila. Jadi, sebelum tahu-tahu aku jadi
sinting, aku mengambil tindakan keras. Aku menolaknya. Aku
menolak Markus, meskipun setiap kata yang kuucapkan merobekrobek hatiku, meskipun menyaksikan raut wajah Markus yang
sedih membuat mataku jadi pedas.
Tapi aku tidak bisa membiarkan diriku mencintai orang
sedalam ini. Aku pernah sangat menyayangi Ali, boneka beruang
yang lucu namun belakangan dicabik-cabik oleh Tony yang
mengira beruang itu bisa hidup dan memakannya (dan hingga
saat ini aku masih terus memastikan Tony membayar harganya).
Aku pernah sangat menyayangi Bo, anjing yang kupelihara saat
berusia enam tahun, tapi suatu hari dia mengikutiku main di
jalan dan ditabrak mobil sampai mati (belakangan aku berhasil
menyelidiki rumah si penabrak dan kumasukkan segerombolan
tikus ke dalam rumah keparat itu). Aku pernah sangat me
nyayangi orangtuaku, tapi mereka mengusirku dari rumah dan
menyuruhku tinggal di asrama yang dipenuhi orang-orang yang
tak pernah kulihat seumur hidupku (untung saja orang-orang itu
ternyata lumayan. Bahkan, belakangan aku jadi penguasa asrama.
Orang-orang harus bayar upeti padaku). Orang-orang yang ku
sayangi selalu meninggalkanku dalam kesendirian yang menyedih
kan. Makanya aku menjalani hidup seperti ini?hidup yang di
penuhi kejailan-kejailan, hidup yang tidak serius, hidup yang
ditujukan untuk main-main saja.
Saat sedang berusaha meredakan gejolak perasaanku, si cewekmonyet-ingusan malah menambah kacau dengan beradegan mesra
dengan Markus di depan mataku. Oke, mereka melakukannya
tidak di depan mataku, melainkan jauh di bawah kamarku?tapi
tetap saja, aku bisa melihat mereka dengan jelas, bagaimana me
reka bergandengan tangan, bagaimana si cewek-ingusan-berdadabesar itu bergelayut manja di lengan Markus, bagaimana mereka
menertawakan lelucon yang tidak kudengar (memangnya apa sih
yang begitu lucu? Aku ingin tahu juga). Mana mungkin aku
tidak naik pitam?
Dan pada akhirnya, dia malah mengataiku nenek-nenek. Please
deh. Di antara aku dan dia, dia yang bakalan lebih dulu jadi
nenek-nenek ketimbang aku. Oke, dia memang lebih muda lima
atau enam tahun daripada aku, tapi sekarang saja dia sudah
kelihatan lebih tua daripada kakaknya (atau mungkin saja si
kakak yang selalu bergaya-gaya sok imut?). Dalam waktu singkat,
dia akan kelihatan lebih tua daripada aku, lebih tua daripada ibu
nya, bahkan lebih tua daripada neneknya. Pada saat itu, aku
bakalan ketawa dari liang kuburku (berhubung aku memang lebih
tua, kemungkinan aku lebih cepat mati dibanding dirinya).
Namun puncaknya adalah pada saat semua orang sedang men
dekam di kamar, dia pun menampakkan wajahnya yang se
benarnya. Dia membuka kamarku tanpa mengetuk, lalu mem
beriku isyarat dengan satu jari seperti gerakan mengupil, tapi aku
tahu maksudnya adalah "Follow me." (Dari tampangnya aku tahu
dia menggunakan bahasa Inggris.)
Tidak perlu otak jenius sepertiku untuk menerka cewek itu
datang untuk cat fight. Sori-sori saja, aku belajar ilmu bela diri
bukan untuk jambak-jambakan dengan sesama cewek. Kuangkat
sebelah tanganku dengan gaya cool banget, kira-kira berarti "No,
thanks." (Karena dia menggunakan bahasa Inggris, aku tidak mau
kalah dong. Bahasa Inggrisnya paling-paling bahasa Inggris anak
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
SMP yang masih belum hafal irregular verbs, sedangkan aku
sudah mempelajari sastra Inggris tingkat tinggi sejenis thou-shaltnot-pass dan alas-poor-Yorick.) Lalu, karena aku tidak ingin ber
urusan dengannya lagi, aku mengibas-ngibaskan tangan yang
mengisyaratkan "Get the hell out of here."
Namun si cewek-centil-bermuka-tiga-ribu-tahun-lebih-tua-dari
pada-usianya itu malah memberi isyarat lagi. Pertama-tama de
ngan gerakan mengupil tadi, lalu tahu-tahu dia melakukan gerak
an potong leher yang tentu berarti "If you ain?t come with me, I?ll
kill you."
Dan karena aku tidak mau kalah, aku pun mencekik diriku
sendiri, lalu terbatuk-batuk sebentar karena aku melakukannya
dengan terlalu sungguh-sungguh. Setelah gangguan kecil itu ber
lalu, aku pun mengedikkan dagu dengan muka sok. Artinya, "I?m
not afraid to die, you cut-throat-bitch!"
Yang membuatku kaget, tahu-tahu dia melemparkan vas di
dekat pintu kamar padaku. Dan cara melemparkannya benarbenar cupu?kayak sedang mengoper bola basket gitu, jadi bisa
kutangkap tanpa ada adegan pecahan vas berserakan di seluruh
penjuru kamarku. Tetap saja, ini sudah kelewat batas. Cewek itu
benar-benar tidak bisa diberi ampun. Aku langsung mengejarnya
sampai ke depan tangga.
Tapi bukannya menuruni tangga, cewek itu malah berhenti
tepat di depan tangga.
"Putusin Markus hari ini juga!" perintahnya dengan muka kaupasti-mati-kalau-tidak-menuruti-kata-kataku.
"Kalo aku nggak mau, emangnya kamu bisa apa?" balasku
dengan gaya silakan-bunuh-aku-sesukanya,-toh-aku-bakalan-hiduplagi-kok-ohohoho.
Cewek ini benar-benar luar biasa beraninya. Tahu-tahu saja dia
mengulurkan tangan untuk menjambak rambutku. Tentu saja
manuver murahan seperti itu bisa kuhindari dengan mudah. Ku
cekal tangannya dan kutarik dia sampai hidung kami nyaris
menyentuh.
"Mau main-main denganku?" seringaiku. "Silakan. Tapi FYI,
aku ini judoka sabuk hitam, tau? Jago kickboxing pula. Aku bisa
menghajar kamu dan kakakmu sampai babak belur tanpa kalian
bisa nyentuh sehelai pun rambutku."
Si cewek-ingusan-yang-mulai-kenal-kerasnya-dunia itu mulai
keder.
"Lepasin gue," geramnya.
Aku melepaskannya, siap kalau-kalau dia mulai menghantamku
membabi buta. Namun cewek itu hanya menggeram bagaikan
buldog ompong, "You witch!"
"And you bitch," balasku ringan.
Sesaat dia tidak sanggup membalas kata-kataku, lalu menjerit
keras-keras karena kesal.
"Astaga, gitu aja langsung kesurupan...," cetusku.
"Jangan mendekat!"
What the hell?
Aku terpana saat cewek itu menatapku dengan wajah ketakut
"Gue nggak main-main," bentaknya sambil melangkah mundur.
"Jangan maju lagi!"
"Hei, hei," tegurku sambil mengulurkan tanganku. "Awas,
kamu bisa ja"
Tapi cewek itu seperti tersengat oleh sentuhanku. Bukannya
membiarkan dirinya ditarik olehku, dia malah menyentakkan
tubuhnya ke belakang.
Dan dia pun jatuh terguling-guling hingga ke kaki tangga.
Sesaat aku tidak sanggup bergerak. Adegan-adegan di sekeliling
ku seperti adegan dalam film yang dipercepat, sementara aku ha
nya bisa terpaku di tempatku. Tony membentak-bentakku,
Markus mencoba meredakan kemarahan Tony, sementara semua
orang mengelilingi tubuh Celina yang terbujur di bawah tangga
sambil menatapku dengan penuh tuduhan.
Kamu membunuhnya!
Sejujurnya, ini bukan pertama kali aku menjadi tertuduh
utama dalam sebuah tindak kejahatan. Waktu SD, aku pernah
menonjok muka seorang anak cowok yang berani menyingkap
rok teman cewekku. Akibatnya, gigi depan si anak-cowok-mesum
hancur, dan orangtuanya datang ke sekolah untuk menggugatku.
Aku dipanggil ke ruangan kepala sekolah, dicap murid ber
masalah, dan beruntung tidak dikeluarkan dari sekolah berkat
nilai-nilaiku yang bagus.
Di depan gereja, aku pernah menemukan tiga ekor anak
kucing yang dibuang yang sedang kehujanan. Karena tidak boleh
melewatkan kebaktian, aku terpaksa mengungsikan mereka untuk
sementara ke dalam saku jaketku. Di tengah-tengah kebaktian,
ketiga anak kucing itu memutuskan untuk melakukan pen
jelajahan bak Indiana Jones. Jemaat langsung menjerit-jerit, me
ngira ada berjuta-juta tikus besar menyerang gereja. Pada akhirnya
aku ketahuan sebagai penyebab keributan itu. Semua orang marah
padaku, meminta pendeta menindak tegas diriku. Untuk me
muaskan kemarahan massa, si pendeta terpaksa menyuruhku
menyapu gereja selama sebulan. Namun sebagai gantinya, dia juga
memelihara ketiga anak kucing itu. Si bapak-pendeta-separuhkeriting-separuh-botak itu memang baik.
Waktu acara makan malam keluarga besar kami. Semua orang
duduk dengan manis di grand ballroom Hotel Hadiputra
Grandeurs, dengan setelan dan gaun seharga belasan juta dan
perhiasan yang puluhan kali lipat lebih mahal lagi. Hidangan
mewah disajikan dalam piring-piring keramik yang sangat halus
dan indah. Saat salad lobster yang besar dan mewah dikeluarkan,
wadahnya yang berbentuk kapal bergoyang-goyang. Sepertinya
bakalan menimpa kakekku yang sudah harus menggunakan kursi
roda ke mana-mana karena baru kena stroke tahun lalu. Demi
menyelamatkan Kakek, aku menerkam si pelayan yang membawa
salad lobster?yang jatuh menimpa pelayan yang membawakan
tumpukan gelas berisi anggur merah, dan minuman mahal itu
pun roboh ke atas meja makan, menghadiahi setiap orang dengan
cipratan-cipratan anggur dan makanan beraneka ragam. Kalau
kupikir-pikir, andai kubiarkan saja, mungkin hanya Kakek yang
bakalan marah-marah karena ditumpahi salad, dan korban
kemarahannya adalah si pelayan yang ceroboh itu?atau Kakek
barangkali bakalan jatuh pingsan, lalu semua orang buru-buru
mengantarnya ke rumah sakit dengan penuh kekhawatiran namun
dokter mengumumkan beliau akan baik-baik saja. Namun karena
aksi penyelamatanku, setiap anggota keluarga yang duduk di meja
kami ngamuk-ngamuk, dan yang jadi sasaran amukan itu adalah
aku. Orangtuaku malu berat, dan aku disetrap tidak boleh keluar
rumah selama liburan.
Intinya, aku sudah cukup akrab dengan skenario-skenario se
macam ini. No biggie. Aku bisa menghadapinya kok.
Tapi kenyataannya, saat ini aku benar-benar lumpuh. Aku
tidak sanggup melakukan apa-apa. Seharusnya aku berusaha mem
bela diri, mengamuk karena tuduhan sesat itu, atau apalah?tapi
aku malah bengong-bengong saja. Yang lebih parah lagi, rasanya
aku mau muntah. Hal yang tadinya permainan belaka kini
membuat seseorang nyaris tewas.
Dan mungkin saja dia bakalan tewas, kalau pertolongan tidak
segera dilakukan.
Aku kembali pada kenyataan, dan menghadapi si-kakak-sokimut-yang-berlinang-air-mata yang menatapku dengan berang di
balik air matanya.
"Kamu yang ngedorong Celina?" pekiknya padaku.
Semua mata tertuju padaku. Kata-kata "Bukan aku pelakunya"
sudah di ujung lidahku, tapi mendadak aku merasa kesal sekali
dengan seluruh dunia. Memangnya aku punya tampang sekeji
itu?
Aku mengangkat daguku tinggi-tinggi. "Emangnya kenapa kalo
iya?"
Tak kusangka, si kakak-sok-imut-yang-sedang-kalap langsung
menamparku.
"Dasar cewek jahat!" jeritnya sambil menyerangku. "Emangnya
apa salah adikku padamu? Kenapa kamu sampai hati mencelakai
nya? Apa kamu nggak tau dia cuma anak SMP?"
Sebelum dia sempat menyentuhku, Markus sudah berdiri di
depanku, menghalangi serangan cewek itu, sementara Tony me
narik si kakak-sok-imut yang sedang meraung-raung itu ke bela
kang. Tanpa malu-malu, si kakak-sok-imut-yang-berduka langsung
menangis dalam pelukan adikku, yang segera menghiburnya
dengan berbagai kata-kata yang kedengaran konyol.
Kudengar Markus berkata dengan suara rendah, "Tory, kembali
ke kamarmu."
"Nggak..."
"Kembali ke kamarmu!" tegas Markus.
Aku memelototi cowok itu. Hell, dia juga tidak percaya
padaku? Setelah Tony membentakku, kini dia juga bersikap
begitu jahat padaku? Padahal tadi pagi dia bilang dia tidak
akan pernah meninggalkanku. Mana buktinya? Sekarang begitu
aku dituduh macam-macam, ditampar pula, dia malah langsung
main kasar.
Kukeraskan rahangku dan kutahan air mataku.
"Nggak usah bentak-bentak," sahutku dengan mata kering.
"Aku masih punya mata dan kuping kok."
Lalu, sambil mempertahankan harga diriku yang terakhir, aku
pun berjalan setegak mungkin menuju kamarku.
Begitu menutup pintu kamar, seluruh tubuhku langsung meng
gigil. Apa yang terjadi barusan? Kenapa aku ini? Kenapa aku
tidak langsung bilang pada mereka, "Bukan aku yang men
dorongnya. Dia jatuh sendiri!"? Kenapa aku malah menuntun
mereka pada kesimpulan yang keliru? Sekarang aku sudah me
nodai namaku sendiri hanya karena aku tersinggung dengan
tuduhan itu.
Aku benar-benar goblok.
Tony membentakku. Markus juga. Orang-orang yang tadinya
kukira paling dekat denganku di dunia ini selalu mengkhianatiku.
Tidak pernah ada yang mau membelaku di saat aku menghadapi
masalah. Seharusnya aku sudah tahu ini dari dulu, tapi saat ini,
sekali lagi aku merasa bagaikan diinjak-injak segerombolan sapi
yang sedang kebelet.
Aku hancur berantakan.
Jangan menangis. Tidak boleh menangis. Tory Senjakala tidak
pernah menangis. Oke, hanya sekali, tapi itu dulu banget, jadi
tidak masuk hitungan. Waktu itu aku masih kecil, lemah, dan
naif. Sekarang aku sudah dewasa. Aku kuat, aku bisa menghadapi
semua ini sendirian.
Kuatur napasku, lalu kukembalikan pikiranku ke arah yang
semestinya.
Jadi, apa yang terjadi tadi? Kenapa si cewek-yang-masih-SMPdan-menurut-kakaknya-tidak-punya-salah itu tiba-tiba jatuh? Aku
kan tidak mendesaknya. Dia tidak perlu mundur-mundur. Tapi
seingatku dia memang mundur-mundur. Mukanya itu lho, kayak
melihat setan. Memangnya tampangku seseram itu?
Apakah dia melihat seseorang yang lain? Roh sang Adik yang
masih menghantui tangga itu?
Yang benar saja. Aku tidak percaya hantu. Kalau aku memang
percaya hal-hal begituan, tidak mungkin aku berani mati me
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lakukan begitu banyak kejailan yang berfungsi untuk meledek
orang-orang yang takut hantu. Sang Adik boleh bikin legenda
seram dan tragis, tapi aku yakin itu hanyalah kisah karangan
salah satu manusia pengkhayal yang terpengaruh suasana seram
rumah ini.
Lalu kenapa si cewek-yang-masih-SMP yang kini tepar di
ujung tangga itu bisa terjatuh begitu keras, seakan-akan ada yang
mendorongnya?atau menariknya?jatuh?
Aku benar-benar tidak mengerti.
Yosh, aku akan menyelidikinya. Enak saja aku dituduh macammacam. Akan kubuktikan bahwa aku tidak layak mendapat tam
paran dan makian sebagai "cewek jahat". Aku memang jail, tapi
aku tidak jahat. Aku akan menemukan apa?atau siapa?yang
menyebabkan si cewek-gila-tukang-nyari-ribut itu jatuh sampai
menggelinding seperti itu, lalu aku akan menendang semua orang
yang bersujud minta maaf padaku karena sudah salah tuduh, dan
berkata, "Kalau minta maaf aja udah beres, kita nggak butuh
polisi." (Ini aku kutip dari kata-kata favorit Domyoji, dari manga
Hanayori Dango. Cowok itu benar-benar brutal. Keren, pokok
nya.)
Tapi bagaimana cara aku mencari tahu semua itu? Meng
interogasi si cewek-pingsan-yang-lehernya-kemungkinan-patah itu?
Tidak mungkin, kecuali kalau aku kepingin dikata-katai sebagai
cewek masokis yang tidak punya belas kasihan.
Oke, aku akan mengikuti jejak detektif terhebat di seluruh
dunia, Sherlock Holmes. Langkah pertama yang harus kulakukan
adalah menganalisis TKP.
Aku membuka pintu perlahan-lahan. Hmm, sepertinya keribut
an sudah mereda. Mungkin si cewek-pingsan-yang-terluka-hebat
itu sudah diungsikan ke rumah sakit terdekat. Aku berjingkatjingkat mendekati tangga. Hell, kenapa sih lantai kayu ini
berderak-derak terus? Tapi setidaknya maling bakalan mikir tiga
ribu kali untuk menyatroni rumah ini. Selain kemungkinan ke
tahuan tinggi banget, hasil rampokan juga tak bakalan seberapa.
Aku tiba di depan tangga, tempat kejadian misterius tadi
terjadi. Kupejamkan mataku, membayangkan si anak-SMP-ber
wajah-sengit di hadapanku. Awalnya dia begitu marah padaku,
berniat menjambak rambutku dan mengataiku witch alias nenek
sihir segala. Lalu aku mengeluarkan jurusku yang keren, dan tibatiba dia mulai keder.
Apa yang terjadi setelah itu?
Aku berpindah tempat, ke posisi si cewek-ingusan-sok-dewasa
yang tadinya mau one-by-one denganku. Aku berusaha me
mikirkan perasaannya. Cewek di depanku tinggi, cantik, dingin
(oke, mungkin dia tak bakalan menganggapku cantik, tapi orang
boleh berandai-andai dong), menyeramkan, dan berhasil me
nangkis seranganku tanpa kesulitan, bahkan mengaku punya
sabuk hitam dan jago kickboxing segala. Karena aku culun dan
tukang gertak tanpa punya pengalaman berantem sekali pun, aku
tidak mungkin menang darinya.
Kecuali.
"Kamu lagi ngapain?"
Aku tersentak dan membuka mataku. Hell, itu si keparat
Markus!
"Bukan urusanmu," sahutku berusaha kedengaran riang, tapi
sebenarnya kemarahan dan kesedihan mulai menggelegak dalam
hatiku. Bajingan ini tadinya bilang dia akan selalu bersamaku,
tidak pernah meninggalkanku. Dasar gombal. GOMBAL!
Markus bersandar di dinding, mengamatiku diam-diam.
"Kenapa?" tanyaku dengan nada ceria yang sama dengan se
belumnya. "Mau jagain aku biar nggak kabur, ya? Tenang. Kamu
tau aku. Aku bukan orang yang suka kabur dari tanggung jawab
kok, biarpun kalian berencana mau ngegantung aku di atas
pohon dekat sungai yang suka dimangkali buaya-buaya."
Markus menatapku lama. "Kamu ngawur, Ry."
"Aku? Ngawur? Yang bener aja." Mataku serasa menyemburkan
api. Kalau aku memang nenek sihir betulan, Markus pasti sudah
kehilangan ketenangannya yang menyebalkan itu, memegangi
pantatnya yang kebakaran sambil berteriak-teriak memanggil
pemadam kebakaran. "Kamu kira aku bodoh? Kamu kira aku
nggak tau apa yang ada di dalam pikiran orang-orang? ?Itu lagilagi ulah Tory si pembuat masalah. Dia bikin malu keluarga kita.?
Itu kan yang ada dalam pikiran Tony?" Mendadak sebuah pikiran
menyakitkan muncul di dalam hatiku. "Itu kan sebabnya dia
nggak pernah memperkenalkan aku sebagai kakaknya?"
"Tory..."
"Aku muak dengan kamu dan Tony," geramku. "Aku muak
karena selama bertahun-tahun akulah yang berusaha ngedeketin
diri dengan kalian, tapi kalian selalu kabur entah ke mana, me
rasa kebagusan untuk berhubungan denganku. Aku muak dengan
persahabatan kalian yang tolol, seakan-akan nggak ada orang lain
lagi yang cukup baik untuk join dengan kalian. Aku muak de
ngan tampangmu yang sok hebat, selalu kalem dan tenang
seakan-akan nggak pernah punya masalah, dan hell, emang kamu
nggak pernah punya masalah berat, dasar bajingan beruntung!
Kamu selalu disayang orangtuamu, punya prestasi hebat, nggak
pernah kekurangan cewek, teman-temanmu mengagumimu.
Sampai-sampai kamu nggak punya kerjaan lain selain ngurusin
warna-warna pakaian yang serasi, kamar yang superrapi, rambut
yang harus disisiri sehelai demi sehelai."
Oke, sekarang aku tidak tahu apa lagi yang bisa kuucapkan.
Akibatnya aku cuma berdiri dengan tampang marah dan napas
ngos-ngosan. Hell, pasti aku kelihatan tolol banget.
Perlahan-lahan Markus mendekat. Gerakannya mengingatkanku
pada macan yang sedang mengamati lawannya, santai namun
waspada, siap menerkam sewaktu-waktu. Tubuhku langsung
menegang. Otakku berputar keras. Apa yang akan dilakukannya?
Apa yang akan diucapkannya? Apakah dia akan menyuruhku
menyerahkan diri ke polisi?
Jantungku nyaris berhenti berdetak saat dia mendesakku. Di
belakangku, tangga yang begitu curam, yang kabarnya sudah
menelan banyak jiwa, sudah menunggu?tenang, sabar, penuh
penantian. Kalau sampai aku salah langkah, riwayatku bakalan
tamat.
Aku tidak sanggup bergerak. Mundur, berarti aku bakalan
mati. Maju, berarti aku bakalan menabrak Markus. Dan dari
tatapan cowok itu, sepertinya dia tidak berniat mundur dan mem
biarkanku pergi.
"Kenapa?" tanyaku memasang wajah menantang. "Masih ber
niat ngerayu aku? Sori-sori aja, aku bukan cewek idiot yang bisa
kemakan rayuan gombalmu."
"Sedikit pun aku nggak pernah ngerayu kamu, Ry," ucapnya
lembut.
"Nggak pernah?" Mendadak kemarahanku bangkit. "Emangnya
apa yang terjadi tadi pagi? Kamu ngajakin aku pacaran, lalu
ngomongin hal-hal pribadi tentang diriku, seolah-olah kamu
mengenal aku lebih daripada semua orang. Lalu kamu bilang soal
orang yang kupercayai, orang yang nggak akan ninggalin aku,
seolah-olah kamu sanggup jadi orang seperti itu. Tapi kenyata
annya kamu sama seperti orang-orang lain. Kamu nggak percaya
padaku. Kamu mengkhianati aku dan ninggalin aku"
"Kalo aku ninggalin kamu, kenapa sekarang aku ada di sini?"
selanya tenang, namun tegas.
"Who knows." Aku mengangkat bahu. "Mungkin kamu disuruh
Tony jagain aku biar nggak kabur."
"Aku bukan bawahan Tony, Ry. Aku ada di sini bukan karena
disuruh Tony, tapi karena kemauanku sendiri." Hell, kenapa tatap
annya padaku bisa begitu lembut? "Sedari tadi aku jagain kamu.
Just in case kamu butuh seseorang buat curhat." Cowok itu
tersenyum. "Atau mungkin butuh partner untuk rekonstruksi ke
jadian."
Aku tercengang mendengar ucapannya.
"Saat kamu merasa terancam," ucapnya perlahan, seolah-olah
pada diri sendiri, "biasanya kamu akan ngedesak lawanmu sampai
terpojok. Di kala lawanmu udah nggak mampu ngelawan lagi,"
napasku tersentak saat Markus maju selangkah ke arahku.
Spontan kakiku langsung melangkah mundur dan kehilangan
pijakan. Saat aku nyaris terpelanting ke bawah seperti si cewekanu-yang-tak-bisa-kuingat-lagi-saat-ini, tangan Markus langsung
melingkari pinggangku, "kamu akan langsung nolong. Siapa pun
lawanmu. Karena kamu nggak pernah berniat nyelakain siapasiapa. Kamu cuma nggak suka kalah."
Tatapan Markus menghunjam mataku. "Tadi waktu kami
keluar, kami liat tanganmu terulur ke Celina. Ada dua kemungkin
an. Kamu ngedorong dia, atau justru kamu berusaha nolongin
dia. Sebagai orang yang udah kenal kamu sejak usia empat tahun,
aku yakin seratus persen kemungkinan kedualah yang terjadi.
Kamu berusaha nolong dia. Dan karena aku tau kemampuanmu,
aku juga tau kamu pasti cukup cepat untuk nangkap Celina.
Pertanyaannya, kenapa dia tetap terjatuh?"
Tubuhku membeku mendengar perkataan Markus yang panjang
lebar.
"Kamu percaya padaku," ucapku tak percaya.
"Tentu aja," sahut Markus lembut. "Kamu yang nggak percaya
padaku."
Perasaanku makin kacau. "Tapi tadi kamu bentak aku."
"Itu karena aku nggak mau kamu diserang atau disakiti orangorang yang nggak tahu kebenaran dan cuma bisa asal tuduh, dan
aku juga tau kamu bakalan nantang mereka dengan tolol seperti
tadi. Aku nggak punya waktu untuk berdebat dengan kamu, Ry.
Mau nggak mau, aku harus bersikap tegas." Jari-jarinya membelai
rambutku dengan lembut. "Sori, kalo aku sempat nyakitin
kamu."
Aku menatap Markus lama sekali.
Lalu, untuk kedua kalinya dalam hidupku, aku pun menangis
dalam pelukannya.
Tony
"CEWEK itu berbahaya."
Itulah yang diucapkan Ailina saat situasi mulai membaik. Dan
sejujurnya, sekarang barulah aku bisa berpikir jernih. Awalnya aku
benar-benar hanya bertindak sesuai insting. Begitu menyadari
tidak ada telepon untuk memanggil ambulans, aku langsung
berlari seperti dikejar setan menuju rumah Bang Sat yang jauhnya
sekitar lima kilometer dengan bermodal petunjuk arah tak jelas
dari Ailina yang masih histeris melihat kondisi adiknya. Percaya
deh, belum pernah aku lari secepat itu. Tadinya kukira kakiku
bakalan lepas saking capeknya, sampai-sampai Markus harus
menggantikanku mengarahkan semua orang untuk menggotong
Celina (harus hati-hati karena kami tidak ingin memperparah
lukanya. Minimal dia pasti gegar otak). Berdasarkan keputusan
masing-masing, aku ikut ke rumah sakit, sementara Markus ingin
tetap tinggal dan menemani si nenek sihir.
Dengan menggunakan pick-up bobrok Bang Sat yang ternyata
sanggup ngebut kalau gasnya diinjak sedalam-dalamnya?aku
sampai khawatir pick-up itu meledak di tengah jalan dan kami
semua langsung terbang ke alam baka?kami tiba di rumah sakit
dalam waktu singkat. Celina langsung dibawa oleh para perawat
ke ruang gawat darurat, sementara aku, Ailina, dan rekan-rekan
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
klub judo menunggu di ruang tunggu rumah sakit.
"Aku nggak suka sama cewek itu," isak Ailina. "Kerjanya cari
perhatian dengan cara bikin malu orang. Udah gitu, dari awal dia
udah benci pada Celina karena adikku itu naksir Markus, dan dia
merasa terancam karena Celina lebih cantik darinya. Aku yakin
dia sebenarnya ingin menusuk Celina dengan garpu itu. Aku juga
lihat mereka berantem hebat di ruang makan tadi pagi. Dan
sekarang dia ngedorong Celina." Ailina menatapku dengan mata
penuh air mata. "Aku ingin dia pergi dari rumahku, Ton."
Aku menatap Ailina lama sekali, lalu berkata pelan, "Lin, aku
tahu kamu sekarang sedang marah dan sedih, tapi aku kenal Tory.
Aku juga nggak suka sama dia, Lin. Tapi aku harus bilang, dia
sama sekali nggak seperti yang kamu bilang tadi. Selera humornya
emang aneh, tapi dia nggak jahat. Dia nggak pernah berniat cari
perhatian. Sebaliknya, dia suka memperhatikan orang-orang dan
menertawakan mereka. Mungkin dia suka mempermalukan orangorang, dan ada orang-orang yang senang mempermalukan orang
lain untuk ngerendahin mereka, tapi dia bukan orang seperti itu.
Dia suka mempermalukan orang lain hanya karena, sekali lagi,
selera humornya yang aneh. Dan yep, dia emang nyebelin juga.
Amat sangat nyebelin. Tapi dia bukan orang jahat." Gila, kurasa
aku sudah sinting berat. Kenapa aku bisa membela si nenek sihir
sampai mulutku berbusa-busa begini? "Soal Celina, aku yakin
Tory nggak pernah berniat nyelakain adikmu, Lin. Dia nggak
mungkin iri dengan kecantikan Celina, karena pikirannya nggak
pernah ke arah situ. Dia juga nggak mungkin benci pada Celina
karena Markus. Perasaan Tory ke Markus nggak seperti itu,
Lin."
Saat kuselesaikan ocehanku yang panjang lebar itu, Ailina
menatapku dengan sorot mata terluka. "Kamu ngomongin semua
ini seolah-olah kamu kenal banget sama dia. Jangan bilang kamu
juga suka sama dia, Ton."
"Amit-amit," aku tertawa kecut. "Sedikit pun aku nggak suka
sama dia. Tapi aku emang kenal banget sama dia. Soalnya," aku
menarik napas, "dia kakakku, Lin."
Sesaat yang terdengar hanyalah bunyi napas Agus yang keras
banget, tanda upil anak itu sudah memenuhi kedua lubang
hidungnya.
"Kakak kamu?" tanya Ailina setelah pulih dari rasa kagetnya.
"Kamu nggak pernah bilang kamu punya kakak."
"Dan kenapa lo nggak bilang dari awal?" sambung Sugi he
ran.
"Karena," aku menghela napas, "dia itu ngeselin banget. Kalo
semua orang tahu gue punya kakak, tiap kali ada acara, pasti dia
diundang juga. Dan gue tau, dia pasti bakalan ngambil ke
sempatan itu untuk bikin keonaran di mana-mana. Seperti kejadi
an kali ini juga." Aku menatap Ailina. "Lin, aku nggak akan
ngebela kakakku seandainya dia bersalah. Tapi aku yakin, dia
sama sekali nggak berniat nyelakain Celina. Aku berani jamin itu
dengan seluruh reputasiku. Tapi harus kuakui juga, dia emang
senang mengacau di mana-mana. Kalau kamu nggak bisa terima
sifat dia yang satu itu, itu hakmu. Di sini rumahmu. Kamu
berhak nyuruh dia pulang."
Ailina menatapku tanpa berkedip.
"Jadi dia bukan pacar Markus?" tanya Leo mendadak.
"Bukan," gelengku.
"Kalo gitu, jangan disuruh pulang dong. Kasihan." Aku me
natap Leo dengan amat sangat curiga. Setelah mendengar si
nenek sihir masih single, mendadak saja Leo jadi cowok penuh
belas kasihan. Sepertinya Leo menyadari kecurigaanku juga. Buruburu dia menambahkan, "Gue nggak peduli dia kakak lo atau
pacar Markus, tapi kalo lo yakin dia nggak bersalah, masa lo
tetep suruh dia pulang? Pasti dia bakal sedih sekali, kan?"
"Iya, lagian, paling-paling itu cuma kecelakaan," sambung
Irwan. "Tangga itu kan curam banget. Gue aja sering nyaris jatuh
di tangga. Makanya gue kecewa banget waktu kebagian kamar di
lantai paling atas."
"Bener," angguk Sugi. "Kalo menurut gue sih, itu cuma ke
celakaan."
"Kalo eike sih sebenarnya malah berharap dia bener-bener
ngedorong si centil itu." Jay menyenggol Ailina. "Ngaku aja deh,
adek dikau emang minta dijambak. Berani-beraninya genit-genitan
sama Markus. Nggak tau ya, Markus itu punya eike?"
"Halah, dari kemaren lo bete aja sama si Tory lantaran lo kira
dia pacar Markus," goda Aldi.
"Iya nih, kayak kita-kita nggak tau lo naksir sama si Tory aja,
Jay," sambung Aldo.
"Bukan, bego," tegur Aldi pada saudara kembarnya yang idiot.
"Yang dia taksir kan si Markus. Gue kira lo udah tau sejak
lama."
"Yah, kan siapa tau selera berubah," kilah Aldo membela diri.
Pandanganku beralih pada Agus dan Martin, pasangan Asterix
dan Obelix klub kami, yang masih belum mengeluarkan pen
dapat.
Martin membalas tatapanku dengan anggukan. "Kalo lo bilang
dia nggak salah, dia nggak salah."
"Iya, gue percaya total sama elo, Ton." Agus merangkulku.
Celakanya, aku tidak sempat menghindar lantaran keburu puyeng
akibat bau keteknya. "Omong-omong, masukin kata-kata gue ini
ke data lo ya, Ton. Siapa tau ini bisa digunain untuk pemilihan
ketua periode mendatang."
Aku meliriknya dengan jengkel. "Ketua dipilih berdasarkan
kemampuan dan vote seluruh anggota, bukan berdasarkan pen
dapat pribadi gue. Tapi kalo iya pun, lo nggak ada dalam daftar
gue."
Tampang Agus kelihatan kecewa banget. Halah, dari zaman
Flinstone hingga era Terminator kayak gini, selalu saja ada
oknum-oknum yang berharap bisa mendapatkan keuntungan dari
nepotisme.
Perasaan syukur memenuhi hatiku saat melihat para anggota
klubku tidak berpikiran yang tidak-tidak soal si nenek sihir.
Bukannya aku senang-senang amat pada si nenek sihir. Ku
tegaskan sekali lagi, aku tidak suka banget padanya. Menurutku
dia menyebalkan dan sangat berbahaya bagi umat manusia.
Tapi, bagaimanapun, dia kakakku.
Dan brengsek, aku memang sayang padanya. Oke, kuucapkan
sekali ini saja. Sekali saja. Lain kali aku tak bakalan sudi meng
ulangi kata-kata memalukan ini lagi. Mengerti?
Brengsek. Bahkan di dalam hatiku pun, si nenek sihir bisa
bikin malu. Terbukti kesaktiannya bukan main-main.
Aku menatap Ailina dengan penuh harap.
Setelah beberapa saat membisu, Ailina akhirnya mengangguk.
"Oke, demi persahabatan kita, aku nggak akan ngusir dia."
Ah, leganya... Hah? Lega? Bukannya biasanya aku senang jauhjauh dari si nenek sihir? Arghh. Makin lama aku makin tidak
waras saja.
"Tapi ini nggak berarti aku mau beramah-tamah dengannya,
ya."
Aku balas mengangguk. "Fair enough."
Menyudahi pembicaraan itu, Ailina pun menunduk. Aku
duduk di sebelahnya. Mungkin seharusnya aku menggenggam
tangannya untuk memberinya kekuatan atau semacamnya, tapi
aku tidak bisa. Tadi, waktu Ailina menerkam si nenek sihir, aku
terpaksa harus menarik Ailina menjauh, dan setelah itu Ailina
menangis dalam pelukanku. Di dalam hati aku merasa bersalah
setengah mati pada Jenny. Bagaimana kalau saat ini Jenny berada
dalam pelukan cowok lain?
Memangnya bangsat-berani-mati mana yang berani menyentuh
Jenny?
Tuh kan. Memikirkan itu saja aku sudah naik pitam. Bagai
mana perasaan Jenny kalau sampai melihatku berpelukan dengan
Ailina, biarpun tidak ada mesra-mesranya sama sekali? Aku tidak
ingin menyakiti hatinya sedikit pun. Meskipun itu berarti aku
harus bersikap dingin pada temanku yang sedang dirundung
kesusahan.
Tanpa sengaja aku menoleh pada Ailina?dan aku tertegun.
Kulihat temanku yang sedang menatap ke arah ruang operasi itu
tengah tersenyum. Bukan senyum ramah atau lembut seperti
biasanya, tapi senyum dingin dan sadis.
Seolah-olah dia mengharapkan kematian adiknya di dalam sana.
Apakah benar, kakak-adik ini dirasuki roh sang Kakak dan si
Adik dari legenda?
Menyadari Ailina hendak menoleh ke arahku, aku langsung
mendongak, pura-pura mengagumi langit-langit.
"Tony."
"Yep," jawabku secuek mungkin.
"Soal kutukan itu," Ailina ragu sejenak, "kamu masih mau
bantu aku menyelidikinya?"
Aku berpikir sejenak seraya mengamati Ailina. Wajah temanku
itu sudah kembali seperti sediakala, seakan-akan tadi aku hanya
salah lihat. Yah, mungkin saja aku memang salah lihat. Lebih
baik aku tidak memikirkan hal itu dulu.
Jadi aku pun menyahut, "Tentu aja. Ini udah jadi masalah
pribadi, Lin. Meskipun tadi aku bilang ini bukan salah Tory, aku
yakin Tory juga nggak terima kalau kamu maafin dia begitu aja.
Dia pasti mau cari tau kenapa Celina bisa sampai jatuh. "
"Baguslah kalo begitu." Ailina tersenyum. "Aku takut kalian
semua langsung pulang. Bagaimanapun, kalian tamu pertama di
penginapan kami. Nggak lucu kalo kalian semua langsung pulang
setelah nginap semalam doang. Ini bisa jadi tanda bahwa peng
inapan ini nggak mungkin jalan."
Aku tertawa. "Nggak lah, Lin. Terus terang, aku suka peng
inapanmu. Tempatnya benar-benar asri. Buat orang yang kepingin
menyepi dari kehidupan kota yang sumpek, ini benar-benar
tempat yang tepat."
"Terima kasih, Ton, kata-katamu sangat berarti buatku." Ailina
diam sejenak. "Maaf ya, tadi ucapanku soal Tory terlalu keras."
Aku menggeleng. "Nenek sihir itu emang perlu digalakin kok.
Kalo kita nunjukin kelemahan sedikit aja di depannya, dia pasti
langsung nindas kita."
"Kamu pasti sering direpotin sama dia, ya," komentar Ailina.
"Yah, dia bikin masa kecilku jadi penuh warna." Aku tersentak
mendengar ucapanku sendiri. Ya, betul. Selama ini aku tidak
pernah memikirkan ini, tapi dibanding semua orang, si nenek
sihirlah yang paling membentuk kepribadianku. "Dia kakak yang
sangat baik, Lin."
Ailina mengangguk.
"Omong-omong," kataku, "apa orangtuamu juga dirawat di
rumah sakit ini?"
Ailina berkedip. "Nggak, mereka dirawat di rumah sakit di
pusat kota."
"Oh, jauh juga ya," sahutku. "Apa kami perlu nengok mere
ka?"
"Ah, nggak usah," tolak Ailina cepat-cepat. "Mereka udah baikbaik aja. Cuma dokter masih tetap nahan mereka biar lebih yakin
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan kondisi mereka." Dia menoleh ke arah jam dinding.
"Lama sekali ya. Apa Celina bakalan baik-baik aja?"
Sekali lagi, sesuatu yang aneh mengusik perasaanku. Sepertinya
Ailina sengaja menghindari topik mengenai orangtuanya ini. Aneh
sekali.
Sebelum aku sempat memikirkan hal itu lebih lanjut, seorang
dokter muncul dari dalam ruang operasi, dan kami semua lang
sung mengerubunginya bak lalat mengerumuni tong sampah.
"Tidak ada luka yang parah," katanya sambil menekuri catatan
penuh tulisan cakar ayam yang tak terbaca olehku meski sudah
kupelototi habis-habisan. "Dia beruntung karena masih muda dan
kuat. Tapi memang ada sedikit masalah. Pertama-tama, dia men
derita gegar otak, jadi dia masih harus diobservasi di sini. Kedua,
tulang kaki kirinya retak, jadi harus dioperasi sedikit dan digips.
Setelah keduanya sembuh, dia akan kembali seperti sediakala."
"Terima kasih banyak, Dok," ucap Ailina. "Saya boleh
mendampinginya?"
"Tentu saja boleh," angguk si dokter.
Untuk ketiga kalinya, perasaanku terusik saat kukira Ailina dan
si dokter bertukar pandang. Tapi lalu si dokter meninggalkan
kami tanpa bicara sepatah kata pun lagi.
Ah, pasti aku sudah sangat capek, sehingga semua hal jadi
terlihat aneh di mataku.
"Maaf ya, Ton," Ailina menoleh padaku, "aku terpaksa tinggal
in kalian dulu. Untuk sementara, Bi Ani dan Bi Atiek yang akan
mengurus kebutuhan kalian. Kalo ada apa-apa, bilang aja pada
mereka."
"Jangan khawatir," sahutku. "Kami bisa ngurus diri sendiri
kok. Kamu cukup pikirin Celina aja. Oh ya, kamu mau dibawa
kan keperluan untuk menginap?"
"Boleh. Titip pesan sama Bi Atiek deh. Dia akan mengurus
semuanya nanti."
Seandainya saja waktu itu aku tahu seberapa jauh kami harus
mengurusi diri sendiri. Kurasa, aku pasti bakalan ngibrit sejauhjauhnya.
Markus
"OKE, aku udah baik-baik aja."
Muka Tory jauh dari kata "baik-baik saja". Matanya merah dan
sembap, hidungnya masih penuh ingus, dan sudut bibirnya masih
tertarik ke bawah. Satu-satunya yang membuatku memercayai
kata-katanya adalah sorot matanya yang sudah bersinar-sinar
kembali, penuh kekuatan dan keteguhan.
"Jadi, menurutmu apa yang terjadi pada pacarmu itu?"
"Dia bukan pacarku," tukasku jengkel. "Dan mendingan kita
tunggu Tony balik dulu, baru kita bahas. Aku punya beberapa
pertanyaan penting buat dia."
Tory mengerutkan alis. "Pertanyaan penting?"
"Yeah." Aku mengangguk. "Semua kejadian ini mulai aneh.
Ayah Ailina ditabrak motor, ibu Ailina ditusuk penodong, kakak
laki-laki Ailina terkena kanker, dan sekarang adik Ailina terjatuh
dari tangga. Apa kamu nggak ngerasa aneh?"
Tory menatapku dalam-dalam, membuat jantung keparatku
mulai berulah lagi. Tapi aku melanjutkan ocehanku.
"Yang lebih aneh lagi, kebetulan kita ada di sini pada saat-saat
seperti ini. Mungkin kita hanya kebetulan bernasib sial, tapi
sayangnya, aku nggak percaya yang namanya kebetulan. Menurut
ku," aku diam sejenak, "Tony pasti tau sesuatu tentang semua
ini."
"Pasti," angguk Tory, yang amat mengenal watak adiknya.
"Pasti dia udah tahu hal ini sebelumnya, lalu terbang ke sini
dengan tampang sok pahlawan dan narsis ala Superman untuk
nyelametin Lois."
Aku memahami tuduhan tersirat Tory. "Kalo yang kamu
maksud Tony diam-diam suka pada Ailina, itu sih salah total."
"Masa?" tanya Tory tak percaya. "Anak itu kan suka cewek
yang imut-imut dan sok feminin gitu."
Yeah, memang pendapat itu ada benarnya. Tapi Jenny sama
sekali tidak mirip Ailina. Jenny jauh lebih lembut dan lebih baik
hati, sekaligus juga lebih cerdas dan lebih kuat. Ya ampun, tak
kuduga aku bakalan kangen banget sama cewek itu di sini, jauh
lebih kangen pada Jenny daripada Hanny yang cantik banget dan
nyaris jadi pacarku. Apa boleh buat, aku tumbuh besar sambil
mendengarkan curhatan Tony soal cewek-cantik-di-rumah-hantuseberang-rumah dan menemani Tony mengintip cewek itu (sambil
berlagak naksir cewek itu juga, karena aku kesal banget dengan
ulah Tony yang pernah membuatku trauma pakai lensa kontak
dan ingin membuat Tony kelabakan karena mengira kami naksir
cewek yang sama).
"Soal itu, percaya aja padaku."
Crap, aku bicara terlalu banyak?atau menunjukkan terlalu
banyak. Seharusnya aku tidak boleh terlihat terlalu yakin. Wajah
Tory yang tadinya masih sembap karena habis menangis, kini
sudah berubah kembali jadi Tory si cewek-jail-yang-senang-me
ngorek-ngorek-rahasia-pribadi-semua-orang. "Aku nggak percaya
kamu bisa seyakin itu. Pasti ada apa-apanya." Matanya membulat
kesenangan. "Tony udah punya pacar, ya? Ngaku, cepet!"
Oke, pikiranku mulai berkelebat, membayangkan bagaimana
kalau Jenny sampai jatuh ke dalam tangan Tory. Itu bakalan sama
saja dengan menyerahkan kelinci kecil tak berdaya ke dalam
tangan Godzilla yang sedang haus darah. Belum lagi di belakang
nya bakalan ada T-rex?maksudku Tony?yang bakalan meng
habisi si Godzilla kalau sampai memergoki Godzilla itu ongkangongkang kaki sambil makan sate kelinci.
Singkat kata, keselamatan dunia saat ini bergantung pada
jawabanku.
"Kamu terlalu curigaan, Ry," ucapku menghindari jawaban
langsung?tapi tak mungkin bagiku mengalihkan topik, karena
itu justru akan membuat Tory yakin kecurigaannya beralasan.
"Gini lho. Tony kan udah belasan tahun nggak pernah punya
cewek. Seandainya dia bener-bener punya, emangnya kamu pikir
dia rela pergi ke sini bareng cowok-cowok nggak laku dan
ninggalin ceweknya entah di mana?"
Mendengar argumenku, Tory manggut-manggut. "Bener juga sih.
Cuma kelakuan anak itu bener-bener aneh. Maksudku, emang
apa jeleknya si cewek-sok-imut itu? Emang sih, gayanya yang hobi
loncat-loncat itu bikin aku kepingin nendang dia sampai mental ke
langit. Tapi buat banyak cowok, gaya seperti itu kan cute."
Yah, harus kuakui Ailina memang tipe cewek cute. "Tapi Tony
nggak mungkin jatuh cinta cuma gara-gara cute aja, Ry. Dia
jomblo ribuan tahun gitu kan bukan gara-gara tampangnya jelek,
tapi gara-gara tekadnya kuat, nggak gampang tergoda sama cewek
ini dan itu."
"Nggak seperti kamu, ya?" timpal Tory sambil nyengir.
Crap. "Udah kuduga, sebaiknya aku nggak belain Tony dalam
masalah ini," gerutuku.
Tory tertawa. "Jadi gimana hubunganmu dengan cewek yang
tadi kudorong sampe keguling-guling jatuh itu?"
Meski sebal dengan tuduhan itu, aku lega dia sudah bisa
membuat lelucon. Sepertinya dia sudah tidak terlalu shock lagi
dengan kecelakaan tadi. "Hubungan kami baik-baik aja sebagai
teman biasa."
"Teman biasa pakai gandengan segala?"
"Kenapa?" Aku mengangkat sebelah alisku. "Kok kedengerannya
kamu agak-agak jealous?"
"Jangan mikir kejauhan." Tory mencibir. "Aku cuma nggak
suka kamu pacaran dengan cewek yang tabiatnya jelek kayak
gitu."
"Kalo gitu, kamu tinggal bilang aja," ucapku. "Bahkan kalo
kamu nggak mau aku main sama dia, kamu tinggal bilang, dan
aku nggak akan main sama dia lagi."
Tory menatapku tak percaya. "Segampang itu?"
Aku mengangguk. "Segampang itu."
Tory diam sejenak. "Aku nggak mau kamu main sama dia
lagi."
Aku tersenyum. "Oke. Aku nggak akan main sama dia lagi."
"Jangan nyesel nanti, ya."
"Nggak akan nyesel deh," janjiku. "By the way, berhubung
sekarang tinggal kita berdua di rumah ini"
"Masih ada Bi Ani dan Bi Atiek," sela Tory, seakan-akan fakta
bahwa kami hanya berduaan di rumah ini membuatnya merasa
tidak nyaman.
"Yah, tapi mereka kan sibuk dengan pekerjaan mereka." Aku
menyeringai pada Tory, mengusulkan sesuatu yang pasti sangat
disukai cewek itu. "Mau menggeledah kamar para anggota ke
luarga ini?"
Sesuai dugaanku, mata Tory langsung berkilat-kilat kesenangan.
"Ayo!"
Kami menuju lantai dua dan memeriksa setiap kamar yang
ada, yang ternyata semuanya dikunci rapat. Yang aneh, aku me
lihat ada debu pada celah bawah pintu dua kamar di antaranya.
Yang pertama pastilah kamar orangtua Ailina, karena bahkan dari
luar pun kelihatan jelas kamar itu kamar terbesar di rumah ini,
dan yang kedua, menurut dugaanku, adalah kamar kakak laki-laki
Ailina. Aku masih ingat kakak laki-laki Ailina, senior di sekolah
kami dulu. Orangnya tinggi besar (badannya bahkan lebih gede
daripada Agus), agak idiot namun temperamental, membuatnya
sering diledek sebagai orang aneh. Setiap kali diledek, dia selalu
membalikkan meja atau membanting kursi?hal-hal semacam
itulah. Bukannya jadi takut, orang-orang malah semakin gencar
meledeknya.
"Jadi gimana?" tanya Tory.
Aku balas bertanya. "Kamu punya jurus ngebuka pintu dengan
jepitan rambut?"
"Sayang," wajah Tory tampak menyesal, "aku kepingin sekali
nguasain jurus itu, tapi belum pernah ada yang mau berbaik hati
ngajarin jurus itu padaku."
"Kalo gitu, kita pakai jurus yang kita bisa. Kita akan masuk
ke kamar-kamar itu lewat jendela."
Membayangkan kami bakalan merayap-rayap di dinding seperti
cicak membuat wajah Tory memerah. "Aku harus ulangi katakataku lagi. Kamu emang bener-bener cowok liar, Markus."
Aku suka sekali bagaimana dia selalu memanggilku "Markus".
Bukan "Mar" seperti sebagian besar temanku, atau "Kus" seperti
sebagian kecil teman dekat yang hobi meledekku?yeah, panggil
an itu membuatku merasa dijuluki "Tikus"?atau "man" seperti
panggilan Tony padaku, yang diberikannya karena mirip dengan
nama lengkapku, Markus Mann.
"Ayo!" Aku memberi isyarat pada Tory untuk mengikutiku.
"Kita keluar dari jendela ini."
Dengan cekatan aku dan Tory keluar dari jendela. Kaki kami
berpijak pada pinggiran dari kayu tebal yang membatasi langitlangit tingkat satu dan lantai tingkat dua. Dengan akses sesempit
itu, kami hanya bisa beringsut-ingsut perlahan menuju jendela
berikutnya, yang?sesuai tebakanku?adalah kamar Celina.
"Bisa berabe nih kalo tau-tau Bi Ani atau Bi Atiek muncul,"
kataku dengan suara rendah sambil berusaha merekatkan pung
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gungku ke dinding kayu.
"Ya kita tinggal lompat ke bawah. Kan tadi pagi kita udah
latihan lompat dari ketinggian dua meter."
"Bener juga."
Sayangnya, berbeda dengan tadi pagi, dengan pijakan sempit
yang membatasi gerakan kami, mustahil bagi kami mengambil
ancang-ancang sebelum melompat. Artinya, kemungkinan besar
kami hanya akan melemparkan diri ke bawah seperti orang
bunuh diri, sehingga mengakibatkan leher kami patah dan
tengkorak kami terbelah jadi dua. "Atau kita mungkin bisa lom
pat ke dalam ruangan di balik jendela."
Sesaat Tory tidak menyahutiku. "Itu rencana yang jauh lebih
bagus."
"Aku senang kamu mengakuinya."
Sayangnya, semua tidak selancar bayangan kami. Saat kami
tiba di jendela kamar terdekat, yaitu kamar Celina, kami baru
menyadari jendela itu jendela model lama dengan dua daun
jendela tanpa kaca. Iseng aku menarik pinggiran daun jendela
yang agak menonjol, dan jendela itu terbuka! Jendela itu tidak
dikunci. Yang menjadi masalah adalah, jendela itu berjeruji,
berupa empat batang besi karatan yang melintang vertikal. Sudah
pasti kami tak bisa masuk ke dalamnya.
"Ya ampun," kata Tory sambil mendesakku supaya bergeser dan
memberinya akses lebih dekat ke jendela tersebut. "Kok ada sih
orang yang mau tinggal di kamar yang jendelanya kayak penjara
begini?"
"Yah, kan namanya juga melindungi diri dari penjahat."
Tory menyeringai. "Seperti kita, gitu?"
"Kita kan justru orang baiknya di sini," kilahku.
"Halah! Itu sih menurutmu. Kalo menurut keluarga pemilik
rumah ini, kita jelas-jelas penyusup tak diinginkan."
"Iya deh, apa katamu." Tidak ada gunanya melawan cewek ini.
"Yang jelas, sekarang kita harus mencari jalan masuk lain..."
Mataku nyaris copot saat melihat Tory menggenggam sebatang
jeruji yang sudah copot dari tempatnya semula.
"Astaga! Kamu emang cewek brutal!" komentarku kaget ber
campur geli. "Kalo semua orang kayak kamu, penjara di dunia
ini nggak akan ada isinya."
Bukannya terhina, Tory malah nyengir. "Iya, aku memang
jagoan. Sini, biar aku jebol jendela ini..."
"Biar aku aja."
Tanpa menunggu jawaban Tory, aku mencoba mengguncang
jeruji itu. Ternyata, hanya dengan satu sentakan kecil, jeruji itu
langsung copot. Aku menoleh pada Tory, yang cengirannya
bertambah lebar.
"Aku tarik kembali ucapanku," kataku, kali ini jengkel ber
campur geli. "Yang beginian sih cowok maho ala Jay juga bisa."
Ucapanku berhasil membuat Tory cemberut. Kurasa itu sebuah
kemenangan kecil juga.
Setelah melepaskan semua jeruji, aku masuk lebih dulu ke
kamar Celina, lalu mengulurkan tangan dan membantu Tory
masuk. Kuletakkan keempat batang jeruji di lantai. Pada pandang
an pertama, kamar Celina terlihat seperti kamar cewek remaja
pada umumnya. Warna-warna pastel, terutama pink, mendominasi
ruangan itu. Poster-poster selebriti ganteng, mulai dari Robert
Pattinson sampai David Beckham, ditempel di mana-mana.
Koleksi boneka Barbie memenuhi salah satu sudut ruangan.
Crap. Gara-gara kejadian setengah tahun lalu, aku jadi takut
melihat boneka yang mirip manusia. Kenapa sih cewek-cewek
tidak mengoleksi boneka yang lebih lucu, seperti Shrek, misal
nya?
"Aneh banget," gumam Tory. "Ini kebetulan atau ada sesuatu
yang mengerikan di sini?"
"Emangnya ada apa?" tanyaku heran, karena aku sama sekali
tidak menyadari adanya sesuatu yang aneh.
"Semuanya." Tory melayangkan pandangannya ke sekeliling
ruangan. "Nggak ada satu pun benda yang sempurna. Semuanya
pasti udah cacat." Dia menunjuk meja tulis. "Meja yang kakinya
timpang. Gelas yang nggak ada pegangan. Pensil patah." Lemari.
"Pintu laci lepas." Ranjang. "Per kasur keluar. Bantal dan guling
sobek. Juga seprai dan selimut."
Benar saja. Ke mana pun mataku menatap, selalu terlihat ada
benda yang cacat. Poster yang robek atau dicorat-coret. Boneka
yang kakinya hilang. Kaca meja rias yang pecah.
"Mungkin aja mereka sangat miskin, sampai-sampai mereka
cuma bisa ngebeli barang-barang bekas yang cacat," dugaku tidak
yakin.
"Yeah, sementara kamar tamunya rapi-rapi semua," balas Tory.
Kamar ini tiba-tiba terasa sangat mengerikan.
"Apa itu?"
Mata Tory yang tajam menyapu bagian bawah tempat tidur,
dan menarik keluar sebuah kardus berisi benda-benda rusak lain.
Boneka beruang yang isi perutnya terburai keluar, termos yang
pecah, bando yang patah...
"Hei, ini sikat gigiku!" teriak Tory.
Aku melongo menatapnya. "Sikat gigi kamu?"
Tory mengangguk. "Tadi pagi sikat gigiku yang kutaruh di
kamar mandi hilang. Kirain diembat siapa gitu, nggak taunya ada
di sini." Ditatapnya aku dengan geli. "Jadi, nyesel nggak tadi pagi
udah nyium aku?"
"Yah, bau mulutmu oke-oke aja sih," sahutku jujur.
"Itu karena aku udah minta sikat gigi baru sama Bi Ani."
Dasar cewek jail. Rupanya dia sengaja menjebakku. "Tapi kenapa
sikat gigiku ada di sini, ini emang sangat menarik." Tory me
ngerutkan alisnya. "Jangan-jangan, ini kotak berisi barang-barang
milik orang-orang yang nggak disukai si cewek gila itu."
Dan barang-barang itu dirusak. Kali ini Tory benar. Mungkin
saja Celina memang tidak waras.
Tory menyenggolku. "Untung kamu nggak kepincut sama dia,
ya."
Cewek ini kadangkala memang menyebalkan. "Nggak, aku ke
pincutnya sama kamu kok."
Perasaanku jadi senang tatkala melihat wajah Tory memerah.
Untuk mengalihkan topik, dia buru-buru berkata, "Yuk, kita pindah
ke kamar berikutnya."
Setelah memasang kembali jeruji yang sempat kami lepaskan tadi,
kami pun menyusuri pinggiran dinding lagi untuk mencapai jendela
berikutnya. Sialnya, jendela itu ada di sisi dinding yang berbeda, dan
kami harus melewati pojokan rumah untuk mencapainya. Kami
bergerak dengan kecepatan yang sangat pelan dan penuh kehatihatian. Setiap detik terasa bagaikan satu jam.
Saat melewati pojokan rumah itu, aku menghela napas lega.
Namun kelegaanku membuatku lengah. Tiba-tiba saja kakiku meng
injak udara kosong. Aku sudah siap menghadapi nasib kepala-pecahdan-otak-berhamburan, namun Tory menahanku dengan kekuatan
yang tak kuduga.
Aku menghela napas lega. "Thanks."
"Nggak usah. Itu buat ngelunasin utangku tadi pagi, waktu
aku nyaris jatuh saat lompat dari atas pohon."
"Oh, kirain bayaran atas ciuman hebat tadi pagi."
Tory memelototiku, sementara aku nyengir.
Kami berhasil mencapai kamar Ailina dengan selamat. Seperti
tadi, kami harus melepaskan jeruji jendela untuk memasukinya.
Berbeda dengan kamar Celina, kamar Ailina sama sekali tidak
memiliki benda-benda cacat. Semuanya terlihat begitu biasa dan
normal...
"Wow." Tory menyibakkan sebuah bantal, yang langsung me
nampakkan sebilah pisau. "Rahasia besar sang nona rumah yang
sempurna."
Aku membuka laci meja. "Ini, ada satu juga di sini."
Dalam waktu lima menit, kami menemukan empat bilah pisau
lainnya?di dalam lemari, di laci meja rias, di kolong tempat
tidur, dan di tong sampah. Kami menatap enam bilah pisau itu
dengan perasaan tak enak.
"Koleksi yang menarik," komentar Tory sambil melipat kedua
tangannya. "Mungkin dia takut dibunuh roh si Adik."
"Yang satu hobi ngerusak," ucapku. "Yang satu lagi parno.
Kakak-beradik ini benar-benar luar biasa."
"Yah, kalo mereka masuk rumah sakit jiwa, setidaknya mereka
bisa jadi teman sekamar," kata Tory nyengir. "Siap menghadapi
kejutan di kamar berikutnya?"
Kami beralih ke jendela berikutnya, yang merupakan jendela
kamar yang kuduga sebagai kamar kakak laki-laki kedua cewek
itu. Saat kami bertengger di jendela saja, kami sudah melongo
melihat isi kamar itu.
Kamar itu hancur berantakan.
Terlihat pecahan gelas, perabotan-perabotan besar yang ter
guling, kursi yang hancur, juga kertas-kertas yang berserakan.
Sepertinya tidak ada yang utuh di kamar itu.
"Ternyata Celina nggak ada apa-apanya dibanding yang satu
ini," gumamku.
Kami memasuki kamar itu dengan hati-hati, tidak ingin
menginjak sesuatu yang bakalan melukai kami. Tidak ada yang
bisa dilihat.
Tapi mata tajam Tory selalu bisa melihat sesuatu.
"Semua kertas di ruangan ini dibiarin berserakan, tapi utuh,"
katanya sambil membungkuk. "Cuma ini yang dirobek-robek."
Kami menyatukan sobekan-sobekan kertas itu seperti me
nyelesaikan puzzle, dan berhasil menemukan bahwa isi kertas itu
adalah hasil laporan medis. Rupanya, kakak laki-laki Ailina, nama
nya Linardi?aku baru ingat, dia biasa dipanggil Nardi?memang
menderita kanker darah. Menurut laporan ini, sepertinya penyakit
nya itu sudah mencapai stadium empat. Kami menemukan se
lembar surat dokter yang mengatakan bahwa tidak ada lagi yang
bisa mereka lakukan selain memberikan obat-obatan untuk me
ringankan sakit pada saat-saat terakhir.
Tidak heran penerima surat ini mengamuk dan menghancurkan
kamarnya sendiri.
"Ayo, kita ke kamar terakhir," ajakku, menyadari tak ada
informasi lain lagi yang bisa kami dapatkan di kamar ini.
Kamar terakhir adalah kamar orangtua ketiga kakak-beradik
itu. Seperti yang terlihat dari luar, kamar itu memang luas se
kali?mungkin sekitar seratus meter persegi?dan tampak kosong
karena minimnya perabotan yang ada.
Aku membuka laci meja tulis. Kosong.
Jeritan Tory membuatku langsung menoleh.
Pemandangan di depan mataku membuat jantungku nyaris
berhenti. Gila, ribuan, puluhan ribu, bahkan mungkin berjutajuta serangga sedang mengepung Tory dengan gerakan yang ganas
banget! Langsung saja kusambar bantal yang ada di tempat tidur
dan melompat ke samping Tory, lalu menariknya menjauh seraya
mengusir serangga yang berani mengikuti kami dengan meng
gunakan bantal itu.
Betul-betul senjata yang tidak keren.
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah beberapa saat memukul-mukul dan menepuk-nepuk tak
keruan, akhirnya kami berhasil lolos juga.
"Cuma rayap." Tory bergidik, hal yang nyaris tidak pernah
dilakukannya. "Tapi serem banget, ya!"
Aku hanya bisa mengangguk kelu. Rasanya rayap itu terbang
dan masuk ke mulutku, lubang hidungku, telingaku, mana saja
yang bisa dimasuki mereka. Aku mendengus-dengus, dan dua
ekor rayap terbang keluar dari lubang hidungku. Crap.
"Kok bisa kamu diserang mereka?" tanyaku pada Tory.
"Aku cuma ngebuka lemari itu kok," jawabnya sambil me
nunjuk sebuah lemari.
Aku menoleh ke lemari yang dimaksud Tory.
Lemari itu kosong melompong.
Tory dan aku berpandangan. Perasaan tak enak menjalari tu
buhku. "Ayo, kita geledah kamar ini."
Kami mulai mengobrak-abrik kamar itu dengan kewaspadaan
tinggi. Amit-amit kalau kami sampai terkepung sekoloni rayap
ganas lagi. Namun untunglah, hanya lemari tadi yang menjadi
tempat tinggal serangga-serangga itu.
Di sisi lain, kami tidak menemukan sedikit pun tanda-tanda
bahwa kamar itu pernah ditinggali.
Oke, semuanya jadi semakin menyeramkan.
"Apa mereka benar-benar punya orangtua?" gumam Tory.
Perasaanku mengatakan jawaban atas pertanyaan itu adalah ti
dak.
"Ayo, kita keluar sebelum orang-orang kembali," ajakku mu
ram.
Kami memanjat ke luar jendela. Saat sedang beringsut-ingsut
menyusuri pinggiran dinding, mendadak terdengar olehku suara
Bi Ani dan Bi Atiek sedang bercakap-cakap. Dari suara yang se
makin mendekat itu kami tahu bahwa mereka sedang berjalan ke
arah kami.
Gawat! Kami terlalu jauh dari jendela yang bisa kami panjat
masuk.
"Pipa," bisik Tory.
Betul juga. Ada pipa air yang menghubungkan bak di lantai
teratas dengan kamar mandi. Dengan sigap aku menuruni pipa
itu dan tiba di atas tanah dengan selamat. Namun tidak demikian
halnya dengan Tory. Dia harus menunggu sampai aku selesai
menuruni pipa. Kalau tidak, bisa-bisa pipanya patah dan kami
sama-sama terjatuh. Tapi kini dia masih di atas, sementara suara
Bi Ani dan Bi Atiek makin keras terdengar.
"Non Celin terlalu suka main yang bahaye-bahaye," komentar
Bi Ani. "Bikin semua jadi kacau jak. Kasian bah si Amoy, tadak
salah tapi dibikin suseh."
"Jangan banyak cakap kau," balas Bi Atiek ketus. "Kau tadak
tahu ape-ape. Non Celin itu sayang bah, sama keluarganya.
Semua ini dia kerjain demi keluarganya, bah."
Hmm, jadi ada perbedaan pendapat di antara Bi Ani dan Bi
Atiek mengenai masalah Celina. Jelas, kesendirian Bi Ani tadi
malam sudah membuktikan bahwa kedua wanita paruh baya itu
tidak akrab. Ditilik dari ucapan Bi Atiek yang terdengar setia,
mungkin pengurus rumah tangga itu sudah bekerja jauh lebih
lama dibanding Bi Ani.
Omong-omong, apa yang dikerjakan Celina demi keluarga
nya?
Ah, nanti saja aku pikirkan semua ini. Yang lebih penting seka
rang adalah menyelamatkan Tory.
"Lompat," bisikku sambil memberi isyarat. "Aku akan tangkap
kamu."
Ucapan yang benar-benar berisiko tinggi. Jarak antara kami
berdua sekitar dua setengah meter. Kemungkinan yang lebih besar
adalah aku tak sanggup menangkapnya. Kalaupun bisa, yang
mungkin bakal terjadi adalah aku ditimpa oleh Tory. Bagiku,
rasanya akan seperti dilempari batu seberat setengah kuintal (ku
rang-lebih sebegitulah berat badan Tory). Sedangkan bagi Tory,
akibatnya akan sama saja dengan terjun bebas tanpa pengaman.
Kurasa, di dunia ini, tak ada orang sinting yang akan bersedia
menuruti usulku itu.
Kecuali Tory.
Tentu saja, keyakinannya padaku bukanlah keyakinan buta.
Dia mengambil ancang-ancang dengan kuda-kuda semantap yang
dimungkinkannya, lalu melompat ke arahku.
Dan aku tidak mengecewakannya.
Sesaat kami berpelukan di atas tanah, saling tersenyum penuh
penghargaan.
"Lompatanmu bagus," pujiku sambil membantunya berdiri.
"Itu karena aku percaya banget padamu."
Karena ucapan itu benar-benar tulus, aku pun melambung ke
langit ketujuh. Tanpa berpikir panjang lagi, aku pun menunduk
untuk menciumnya. Tory menatapku lekat-lekat, lalu bukannya
meninjuku atau semacamnya, dia malah memejamkan matanya.
Aduh.
Namun sesaat sebelum bibir kami saling menyentuh, terdengar
bunyi gerungan kasar yang kukenali sebagai pick-up Bang Sat.
Aku menoleh.
Dan mataku langsung bertabrakan dengan mata Tony yang
duduk di bangku depan.
Tony
"WHAT the hell is that???"
Aku membuka pintu pick-up, nyaris mencopotnya, dan dalam
sedetik sudah menyeruak di antara pasangan paling tak serasi di
dunia itu?kakakku yang mirip nenek sihir dan sohibku yang
punya mental playboy.
"Apa-apaan lo, man?" bentakku sambil menarik kerah Markus.
Brengsek! Bajingan ini masih saja mengenakan kemeja di saat
udara lagi panas-panasnya. Bikin penampilanku makin terdepak
saja. "Baru gue tinggal sebentar lo udah lepas kontrol gini!"
"Ada apa?"
Para anggota klub judo menyusul di belakangku.
"Lo bilang mereka nggak pacaran, Ton!" tuduh Leo.
Aku menyorongkan telapak tanganku ke arahnya tanpa me
noleh. "Shut up, Leo. Dan elo," aku menggeram ke arah Markus,
"apa penjelasan lo?"
Markus menatapku dengan tenang.
"Nggak ada penjelasan." Suaranya sama sekali tidak menyirat
kan rasa bersalah. "Gue emang suka sama dia, Ton."
Dia memanggilku dengan namaku, bukannya coy-coy seperti
biasa.
Dia serius.
"Suka?" tanya Leo kebingungan. "Hei, Tony! Kata lo mereka
cuma akting!"
Aku menyorongkan telapak tanganku ke arahnya lagi. "Shut
up, Leo." Lalu aku membentak Markus, "Brengsek! Suka? Nggak
usah banyak bacot! Lo kira gue nggak kenal elo? Selama ini gue
diam-diam aja lihat semua cewek jadi korban lo, tapi si nenek
sihir? Mana bisa gue diem aja? Dasar bajingan!"
"Bajingan?" balas Markus, kali ini terdengar kesal. "Bajingan?
Lo ngatain gue bajingan? Coba kita ngaca bareng-bareng, siapa
yang lebih mirip bajingan!"
Aku memelototinya. "Udah salah, masih berani ngatain orang
mirip bajingan!"
"Eh, si Markus bener juga," sela Leo. "Secara sifat, emang si
Markus pantas disebut bajingan, tapi tampang lo itu lho, Ton,
dekil banget. Mana rambut lo panjang riap-riapan, lagi."
Aku dan Markus serentak menyorongkan telapak tangan kami
berdua ke arah Leo. "Shut up, Leo!"
Dan tentu saja, karena otaknya tidak bego-bego amat, Leo pun
kini membungkam mulutnya sendiri demi tidak dihajar sampai
babak belur oleh dua cowok paling kuat di klub judo.
"Ton, lo bilang mantan-mantan pacar gue itu korban," kata
Markus dengan suara dingin. "Lo sendiri juga tau kan, perlakuan
gue ke mereka. Emangnya kapan gue pernah bikin mereka marah
atau sakit hati? Emangnya kapan gue pernah selingkuh? Emang
nya gue pernah ngelakuin hal-hal bejat pada mereka?"
Sekarang aku yang kehilangan kata-kata.
"Oke, itu emang bener," kataku setelah beberapa saat. "Tapi
kan pada akhirnya, lo yang mutusin mereka semua. Cewek yang
baik-baik dan keliatan sempurna pun nggak bisa bikin lo punya
hubungan jangka panjang, apalagi yang penuh kekurangan kayak
si nenek sihir. Jangan bilang kali ini beda, ya!"
"Kali ini emang beda." Markus menatapku dengan tekad.
Astaga, yang benar saja. Apa semua yang kulihat dan kudengar
ini sungguhan? "Bertentangan dengan tuduhan lo, gue nggak
pernah memperlakukan mantan-mantan pacar gue dengan buruk.
Tapi terhadap Tory, gue akan berusaha sekuat tenaga untuk lebih
baik lagi. Karena dia sangat berarti buat gue."
"Sangat berarti buat elo?" dengusku. "Jangan bikin gue emosi
deh! Sejak kapan dia berarti buat elo? Selama ini lo nggak pernah
sebut-sebut soal itu, padahal mulut lo kan ember banget."
Oke, soal ember ini, mungkin perasaanku saja. Setahuku,
Markus jarang-jarang membongkar rahasiaku. Bahkan hubungan
ku dengan Jenny pun disimpannya baik-baik dari si nenek sihir.
Tapi berhubung hal itu sudah kumuntahkan, aku tidak mungkin
tahu-tahu bilang, "Eh, salah. I take it back." Bisa-bisa aku di
ketawain orang-orang.
"Pokoknya," kataku ngotot, "gue nggak terima lo pedekate
sama si nenek sihir. Sekarang mendingan lo putusin, lebih pen
ting gue atau dia???"
Markus memelototiku. "Yang bener aja. Masa lo suruh gue
milih?"
"Iya dong," balasku. "Kalo lo pilih dia, udah jelas persahabatan
kita jadi rusak. Kalo lo masih respek sama gue, mendingan lo
lupain aja semua niat buruk lo!"
Tiba-tiba terdengar tawa kecil dari dekat kami.
"Ah, seru juga liat dua cowok yang bersahabat dari kecil
berantem gara-gara seorang cewek." Si brengsek yang berani ber
sikap kurang ajar itu tak lain adalah si nenek sihir. "Apalagi kalau
cewek itu adalah aku. Aduh, rasanya tersanjung banget."
Si nenek sihir memang minta dihajar.
"Hei, Tony yang paling lucu di seluruh dunia." Brengsek! Aku
tidak suka disebut paling lucu di seluruh dunia. Memangnya aku
pelawak? "Coba kamu pikirin baik-baik. Markus itu sohib yang
baik nggak?"
Aku mendelik padanya. Memangnya aku mau ngaku si Markus
sohib yang baik pada saat lagi berantem seperti ini?
"Pasti baiknya luar biasa, sampai kamu nggak bisa jawab gitu."
Kurang ajar. Sebaik-baiknya Markus, tidak mungkin aku
menganggapnya baik luar biasa. Cukup baik, tapi tidak luar biasa.
"Sedangkan aku, yah, kamu tahulah aku orangnya gimana."
Oke, sekarang dia mendapatkan perhatian penuhku.
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tau nggak, sebenarnya aku lho yang ngerayu Markus." Oke,
sekarang aku jadi melongo. "Abis aku bete banget. Semua orang
nuduh aku yang ngedorong si cewek-tukang-ngajakin-berantem.
Rasanya seneng banget ada yang masih tetep mau baik-baikin
aku, nganggap aku nggak bersalah, dan sebagainya. Sekarang,
setelah semuanya ketauan, Markus terlalu gentleman untuk
mengakui bahwa dia dirayu sama aku. Tapi," si nenek sihir
menyunggingkan senyum menyebalkan, "nggak kusangka kamu
melindungiku sampai habis-habisan begini, Markus. Kalo udah
begitu, aku merasa kamu cintaaa sekali padaku. Tanpa bisa di
tahan lagi, aku jadi terharu banget."
Aku betul-betul kehabisan kata-kata saat melihat si nenek sihir
berpura-pura mengusap air mata palsunya.
Si nenek sihir mendekati Markus, lalu menepuk bahunya.
"Sori, Markus, kisah cinta kita yang romantis tiada tara ter
paksa harus berakhir di sini," ucap si nenek sihir dengan suara
dramatis. "Nggak mungkin aku tega ngebiarin kamu harus milih
antara cinta dan persahabatan. Jadi terpaksa aku campakin kamu.
Dadaaah!"
Aku masih tetap saja melongo saat si nenek sihir meninggalkan
kami, sampai-sampai aku tidak sadar Markus sudah berada di
sampingku.
"Ayo, kita ikutin dia," gumamnya dengan suara rendah. "Ada
banyak hal yang harus kita bicarain. Dan ada banyak yang harus
elo pertanggungjawabkan."
Hah? Kenapa tahu-tahu aku harus bertanggung jawab?
Memangnya apa yang terjadi?
Brengsek. Pengalaman dua setan cilik ini seru banget!
Berkumpul di kamarku dan Markus, aku mendumel habishabisan di dalam hati sementara Markus dan si nenek sihir
bergantian menceritakan bagaimana mereka menggeledah kamar
Ailina dan keluarganya. Gila! Padahal aku kan tokoh utama kisah
ini. Kok bisa-bisanya adegan mereka lebih seru, sementara aku
malah hanya ongkang-ongkang kaki di ruang tunggu rumah sakit
sambil menghibur cewek misterius yang tersenyum di saat-saat
tak tepat dan ternyata menyembunyikan enam bilah pisau di
kamarnya?
Rasa penasaranku memuncak saat mendengar bagaimana keada
an kamar orangtua Ailina dan menemukan kamar itu hanya
ditinggali jutaan rayap. Tidak ada tanda-tanda bekas keberadaan
orangtua Ailina.
Lalu bagaimana dengan kisah yang diceritakan Ailina pada
Mendadak aku teringat percakapan antara aku dan Ailina di
rumah sakit saat aku menyinggung untuk menjenguk orangtua
nya. Kalau memang orangtuanya tidak pernah ada, pantas saja
dia tidak ingin aku menjenguk mereka!
Oke, perasaanku makin terganggu saja sekarang.
"Coy," teguran Markus membuyarkan lamunanku. "Lo ngerasa
ada sesuatu yang familier nggak?"
Aku menatapnya tanpa berkedip, lalu menyebut satu nama.
"Johan."
Markus tidak mengangguk, namun aku tahu dia merasakan hal
yang sama. Johan adalah psikopat di sekolah kami, teman sekelas
Jenny dan Hanny, yang sangat terobsesi pada Hanny, dan sebagai
akibatnya, sangat membenci Jenny. Setengah tahun lalu dia nyaris
membunuh kami semua?Jenny, Hanny, aku, dan Markus, dua
teman sekelas Jenny yang lain, juga beberapa orang lain yang
terlibat secara tidak sengaja?namun pada akhirnya semua usaha
itu berhasil kami gagalkan. Kini dia mendekam di rumah sakit
jiwa, dan kami berhasil melewati hari-hari setelah itu dengan
baik. Tapi tak bisa kumungkiri, kejadian itu menggoreskan
trauma di dalam hati kami semua.
"Tapi ini nggak mungkin perbuatan dia," gelengku. "Sekarang
dia udah ada di RSJ. Lagi pula, dia nggak punya hubungan apaapa sama Ailina. Saat dia masuk ke sekolah kita, Ailina kan udah
pindah ke sini."
"Emang bener."
Ya, betul. Ini bukan perbuatan Johan. Kalau iya, semua ini
bakalan mengerikan?tapi untunglah hal itu tidak mungkin.
Markus menatapku penuh selidik. "Coy, sekarang gue harus
tanya elo. Lo nyembunyiin sesuatu dari kami nggak, soal
Ailina?"
Brengsek. Oke, aku tahu, cepat atau lambat aku harus meng
hadapi pertanyaan ini dari Markus. Sohibku itu kan bukan orang
goblok yang mau saja kuseret ke mana-mana tanpa banyak
cingcong. Makanya, aku juga sudah memikirkan apa jawaban
yang harus kuberikan kepadanya.
Tadinya aku berniat menutup mulutku rapat-rapat soal masalah
keluarga Ailina. Memang sih, aku tidak pernah berjanji apa-apa
pada Ailina, tapi dia sudah memintaku untuk tidak menyebarkan
nya. Dan sebagai teman yang baik, seharusnya aku menuruti
permintaannya. Namun kini ada kemungkinan yang sangat besar
bahwa Ailina sudah membohongiku. Menahan kisah ini bisa jadi
membahayakan kami semua.
Dan rasanya konyol banget merahasiakan sesuatu yang bisa jadi
hanya kisah bohongan.
Ya sudahlah. Kali ini biar aku yang berperan jadi cowok
ember.
Jadilah aku menuturkan "kutukan" yang menimpa keluarga
Ailina, "kutukan" yang kuduga tidak pernah sungguh-sungguh
terjadi?selain pada kakak laki-lakinya. Setelah mendengar
ceritaku, Markus langsung mengangguk.
"Udah gue duga, nggak mungkin lo mau terbang jauh-jauh ke
sini cuma lantaran ditawari rumah hantu nggak jelas," komentar
Saksi Mata Super Thriller Karya Pantang Berdendam Serial Tujuh Manusia Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama