Ceritasilat Novel Online

Permainan Maut 3

Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu Bagian 3

nya penuh pengertian. "Pasti ada udang di balik batu. Sekarang

gue tau ceritanya."

"Cara lo ngomong seakan-akan gue berharap bisa ngedapetin

keuntungan dari situasi ini aja," gerutuku.

"Emang iya, kan?" kata si nenek sihir sok tahu. "Tadinya

kukira kamu naksir sama si cewek-parno-tukang-jual-pisau itu,

tapi ternyata ini cuma sindrom sok pahlawan yang bikin enek."

Si nenek sihir memang minta dibakar hidup-hidup.

Aku memutuskan untuk mengabaikan komentar mereka yang

tidak penting banget itu dan melanjutkan dengan bagaimana

Ailina menolak tawaranku untuk menjenguk orangtuanya di

rumah sakit dan bagaimana dia menghindari topik itu.

"Gue punya feeling orangtua mereka udah meninggal," kata

Markus muram. "Kalo emang bener, nggak heran anak-anaknya

jadi kacau-balau begitu."

"Tapi kalo begitu, pertanyaannya, kenapa mereka bisa me

ninggal?" gumamku. "Dan kalo emang begitu, buat apa Ailina

mengundang kita ke sini?"

Setelah diam lama, si nenek sihir mendadak berbicara, "Mung

kin udah waktunya kamu mulangin teman-teman klub judo

mu."

Dari tempat dudukku, aku mendongak menatapnya.

"Di sini nggak aman," katanya tenang. "Kamu ngajak mereka

kemari karena diundang teman lamamu yang minta pertolongan

mu. Tapi kenyataannya, yang menunggu di sini adalah kakakberadik sakit jiwa yang udah ngebohongin kamu habis-habisan.

Ini jelas-jelas bukan dusta putih yang dilakukan untuk berbuat

baik. Kemungkinan besar, mereka berniat buruk."

Kata-kata si nenek sihir masuk akal juga.

"Tapi kalo aku sih nggak berniat cepet-cepet pulang lho," si

nenek sihir cepat-cepat menambahkan. "Aku nggak sudi ninggalin

reputasi sebagai maniak-yang-hobi-ngedorong-cewek-dari-atastangga. Masih lebih mending kalo kutonjok cewek itu sampai

mukanya melesak ke dalam, dan karena tenaga dalamku yang

kuat, dia mental sampai ke Sungai Kapuas, disambut para buaya

yang siap mencabik-cabik seluruh tubuhnya, daripada"

"Oke, oke, kami ngerti maksudmu," selaku, tidak berminat

mendengar lebih lanjut tentang adegan-adegan kekerasan yang

ingin dilakoni si nenek sihir. "Kita bertiga akan tinggal di sini

sampai semua misteri terjawab. Sekarang, mendingan kita makan

dulu. Gue yakin anak-anak klub judo udah pada kelaparan.

Setelah perut terisi, baru kita bahas semua ini rame-rame."

"Jangan di depan Bi Ani atau Bi Atiek," kata Markus meng

ingatkan. "Kita nggak tau mereka tau sesuatu atau nggak tentang

semua ini."

Iya, iya. Memangnya aku seceroboh itu?

Meski sudah melewati jam makan siang, masakan yang

dihidangkan tetap hangat dan luar biasa enaknya. Memang tidak

semewah hidangan kemarin, tapi kami masih bisa menikmati sup

ayam sayur asin, udang rebus, telur bawang bombay, tumis

kangkung, dan asinan ebi campur sayur asin. Saat gelas-gelas diisi

es jeruk dingin, kami semua langsung berteriak-teriak gembira,

membuat Bi Atiek yang menyajikan minuman itu langsung

terlonjak kaget.

Dalam waktu lima belas menit, tak ada lagi makanan yang

tersisa. Kami semua duduk melorot di kursi masing-masing. Be

berapa meratapi perut buncit yang muncul di usia muda, sisanya

meratapi piring yang terlalu cepat kosong. Di pojok meja, Agus

yang tidak pernah punya pikiran berat asyik menggerogoti tulang

ayam dengan berisik.

"Abis ini kita ngumpul dulu di kamar gue," ucapku setelah

selesai mengunyah es batu yang tersisa di gelasku. "Kita harus

ngebahas acara latihan kita."

Si nenek sihir berdiri, dan lagi-lagi Markus membuat mataku

melotot karena menangkap tangan si nenek sihir dengan gaya sok

mesra banget.

"Kamu mau ke mana?" tanyanya pada si nenek sihir.

"Ini acara klub kalian," kata si nenek sihir tenang. "Aku nggak

mau ngeganggu."

Nggak mau mengganggu? Tumben. Biasanya si nenek sihir

paling girang bila diberi kesempatan untuk mengganggu orang.

Tapi kini dia malah malu-malu kucing. Memangnya ada apa

sih?

"Kamu nggak akan ngeganggu, Ry."

"Oh, ya?" Si nenek sihir tersenyum pahit. "Meskipun aku udah

ngedorong nona rumah kita yang cantik ke bawah tangga?"

Rupanya si nenek sihir masih merasa tertuduh karena kejadian

tadi pagi.

"Jangan macam-macam," ketusku. "Nggak ada yang mikir

kamu seperti itu, bener nggak?"

"Bener!" seru Leo keras, seolah-olah ingin menegaskan bahwa

inilah waktunya dia tampil. Dengan gerakan cepat yang jarang

ditampakkannya, mendadak saja dia sudah berdiri di samping si

nenek sihir, merenggutnya dari tangan Markus. "Kami semua

percaya padamu, Ry. Nggak mungkin kamu berniat nyelakain

Celina."

"Itu kecelakaan aja, Ry," kata Sugi. "Kamu jangan ngerasa ber

salah karenanya."

"Betul, sis," kata Jay sambil menggandeng tangan si nenek sihir

yang satu lagi. "Jangan sensi gitu dong. Nggak ada yang nyalahin

dikau kok."

Si nenek sihir tampak bingung seakan-akan belum pernah

menghadapi situasi ketika orang-orang memercayainya dengan

sepenuh hati. Dia menatap ke arahku, dan aku mengangguk tegas

padanya. Tatapannya beralih pada Markus, yang balas menatapnya

sambil tersenyum-senyum idiot. Lalu si nenek sihir menatap

langit-langit, menatap lorong menuju toilet, dan akhirnya me

natap pintu keluar seakan-akan siap ngacir sejauh-jauhnya dari

ruang makan.

Dia sudah mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri saat

Irwan berkata, "Kamu harus ikut acara kami, Ry. Kamu kakak

Tony, dan kamu pasti juga suka judo, kan?"

Si nenek sihir dan Markus langsung menoleh padaku.

"Kamu cerita ke mereka kalo aku kakakmu?" tanya si nenek

sihir kaget.

"Elo bocorin rahasia terbesar hidup lo?" tanya Markus lebih

kaget lagi.

"Aku rahasia terbesar hidupmu? Culun amat!" teriak si nenek

sihir lagi.

Kini keduanya menatapku dengan ingin tahu, dan aku jadi

salah tingkah. Brengsek! Kenapa ketahuan membocorkan rahasia

ini lebih memalukan daripada sekadar membocorkannya?

"Ya, emm," aku gelagapan sejenak, "namanya juga kelepas

an."

"Elo nggak pernah kelepasan," sela Markus.

"Apalagi soal rahasia terbesar dalam hidupmu," sambung si

nenek sihir dengan nada meledek yang membuatku ingin gantung

diri secepatnya.

"Yah, pokoknya sekarang itu udah bukan rahasia lagi!"

bentakku malu dan sangat tidak senang.

Si nenek sihir tersenyum-senyum. Lalu dengan muka me

nantang yang rada jail, dia berkata, "Jujur aja, aku emang punya

niat untuk ngedorong dia lho."

"Sama kok, sis," kata Jay sambil merangkul bahunya. "Eike

juga."

Sekejap wajah si nenek sihir kelihatan terharu banget. Tapi ha

nya sekejap. Lalu, dengan sikap santai, dia merangkul Jay dengan

penuh persekongkolan.

"Hei, Jay," katanya. "Udah pernah denger legenda tentang

Kakak dan Adik?"

Kejailan si nenek sihir memang tidak pernah berakhir.

Tory

HIDUP memang tidak bisa ditebak.

Tadinya kukira posisiku di rumah ini sudah terpojok. Kalian

tahu, seperti kancil kecil malang yang siap disantap buaya-buaya

gila. Yah, aku sudah biasa menghadapi yang seperti itu?dan

sudah mengharapkannya juga. Tapi menghadapi perlakuan manis

begini, mulai dari Jay yang sepakat denganku bahwa si cewekSMP-tukang-godain-cowok memang perlu didorong satu-dua kali

dari atas tangga, hingga Tony yang meneriakkan dengan penuh

kebanggaan bahwa aku adalah kakaknya (oke, mungkin dia tidak

bangga-bangga banget, tapi sepertinya itu pengakuan yang sangat

berarti baginya), aku jadi tak berkutik. Hell, kukira klub ini

hanyalah berisi pecundang-pecundang culun tak ada kerjaan yang

sudah gembira sekali kalau ada yang mengajak mereka latihan

judo di kota-yang-panasnya-mirip-tetangga-neraka dan menginap

di penginapan paling bobrok di seluruh dunia, tapi ternyata

mereka semua anak-anak manis juga.

Seperti kata pepatah, jangan menilai buku dari sampulnya.

Kurasa aku harus mulai menghafali nama mereka satu per satu.

Tentu saja, itu kalau mereka tidak lari pontang-panting setelah

mendengar cerita Tony soal "kutukan" yang menimpa keluarga

tuan rumah kami yang misterius. Mereka semua sudah sempat

tepekur saat aku bercerita dengan suara keras-keras tentang tangga

mengerikan yang hobi menelan nyawa banyak orang dan hantu

yang gentayangan malam-malam demi mencari teman gaul, tapi

keceriaan anak-anak klub judo tersebut langsung raib bagaikan

diserap Dementor-nya novel Harry Potter tatkala adikku men

ceritakan masalah "kutukan" yang menimpa keluarga nona-nona

rumah kami yang sedang beristirahat dengan damai di rumah

sakit.

Di tengah-tengah keheningan itu, mendadak seseorang bangkit

sambil memukuli meja nakas laksana gorila sedang mengamuk.

"Ya ampun, kalian semua, kenapa pada diam aja?" Rupanya

si cowok-tinggi-besar-berbulu-dengan-aroma-ketek-luar-biasa-danbermuka-mirip-gorila, yang sepertinya bernama Agus. "Hari gini

masih percaya kutukan? Ck, ck, ck, kalian semua emang to

lol!"

"Siapa yang percaya kutukan?" sergah si cowok-tinggi-bersuaracempreng-dan-hobi-cengar-cengir-penuh-makna-padaku (meski

aku tidak mengerti maknanya), yang belakangan kuketahui

bernama Leo. "Semua ini kedengarannya aneh luar biasa, Ton. Lo

yakin lo nggak cuma nakut-nakutin kami?"

"Gue sih lebih seneng kalo semua ini cuma buat nakut-nakutin

kalian," sahut Tony dengan ekspresi datar. "Gue bener-bener

nggak tau, semua ini hanya kutukan atau bener-bener sesuatu

yang berbahaya. Tapi, satu hal yang jelas, Ailina udah ngebohong

in gue. Gue nggak tau kenapa dia berbohong, tapi gue punya

feeling buruk soal semua ini." Tony melayangkan tatapan tajam

pada setiap orang yang berkumpul di kamarku itu. "Jadi gue

ngerti perasaan siapa pun yang kepingin pulang, alih-alih berkutat

di tempat yang nggak jelas ini. Gue sendiri nggak bisa pulang

karena gue udah menyanggupi datang ke sini, dan gue nggak

akan pulang dengan tangan kosong."

Lagi-lagi semuanya terdiam mendengar ucapan Tony.

"Sekadar informasi," Markus berkata tenang, "gue tetep di sini

buat nemenin Tony."
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku juga," timpalku tak mau kalah. "Aku nggak akan kabur

begitu aja setelah dituduh ngelakuin hal yang nggak-nggak oleh

dua nona rumah yang nggak jelas itu. Enak aja mereka kulepasin

setelah berani macem-macem denganku."

Aku menyadari Markus melirikku dengan geli, tapi aku ber

lagak tidak melihatnya. Adikku mengerling ke arah kami dengan

penuh kecurigaan, namun perhatiannya teralihkan saat salah satu

anggota klub judo mulai bicara lagi.

"Gue tetep tinggal," kata si cowok-bertubuh-sedang-bermukasedang-berpenampilan-sedang?pokoknya dia sedang-sedang saja.

Bahkan namanya juga sedang-sedang saja. Irwan, kalau aku tidak

salah. "Tujuan gue dateng ke sini karena gue mau latihan judo

bareng kalian semua, dan gue nggak berniat pulang tanpa ha

sil."

"Setuju," angguk si cowok-cempreng-bernama-Leo yang rupa

nya merupakan sohib si cowok-biasa-Irwan. "Lagi pula, seorang

judoka nggak akan langsung minta pulang kampung hanya karena

gosip-gosip nggak masuk akal. Gue tetep tinggal di sini juga."

"Yah, kalo kalian berdua tetep tinggal, masa gue pulang

sendirian?" keluh cowok-gempal-berambut-jabrik-dan-hobi-gambar

yang ternyata bernama Sugi. Aku pernah memergokinya meng

gambar cewek seksi waktu kami sedang terbanting-banting di

dalam pick-up dalam perjalanan kemari. Kukira dia menggambar

ku, soalnya dia duduk di seberangku, tapi bodi cewek itu ternyata

yahud banget. Jelas itu bukan aku. "Ya udah, gue tinggal juga

deh."

"Eike sih mau go home," kata si cowok-paling-feminin-di-se

luruh-dunia alias Jay. Jujur saja, aku menyukai sikapnya yang

sama sekali tidak menutup-nutupi rasa takutnya. "Yang seremserem gitu biasanya ngincer cowok-cowok cute seperti eike. Eike

nggak mau jadi korban!"

"Hah? Lo mau pulang sendirian?" teriak salah satu kembar,

sepertinya yang lebih pintar, yang kayaknya bernama Didi.

"Nggak bisa! Nanti kalo lo digodain cowok jelek gimana? Udah

deh, biar lo selamat sampai tujuan tanpa kekurangan sesuatu pun,

gue dan Aldo yang bakalan nemenin lo pulang."

Oh, bukan Didi, tapi Aldi.

"Iya nih, Jay," sambung kembarannya yang lebih idiot, yang

ternyata bernama Aldo, bukan Dodo. "Jangan pulang sendirian.

Kalo nggak ada elo, gue dan Aldi jadi takut tinggal di sini."

"Bukan, bego!" bentak Didi (setelah dipikir-pikir, nama Didi

kedengaran lebih manis ketimbang Aldi). "Bukan kita yang takut,

tapi si Jay!"

"Tapi gue ketakutan juga, Di," aku Aldo.

"Ya udah, kalian bertiga pulang aja," gerutu Tony, lalu ber

paling pada anggota paling imut dalam klub judo, yang mirip

betul dengan jarum pentul. "Terus, lo gimana, Tin?"

Si cowok-jarum-pentul-yang-sepertinya-bernama-Tintin menatap

kami semua, lalu menyahut datar, "Gue sih mikirin keluarga gue.

Nanti mereka cemas nungguin berita dari gue. Sori, bukannya

gue nggak setia kawan."

"Gue nggak nganggap gitu kok." Adikku menepuk bahu si

jarum pentul dengan muka sok penuh pengertian. "Gue udah

suruh Bang Sat datang ke sini besok pagi-pagi untuk ngejemput

yang kepingin pulang, jadi kalian punya waktu buat siap-siap."

"Dan kita punya waktu malam ini untuk party!" seru si gorila

girang. "Bi Ani, keluarkan semua makanan enak malam ini!"

"Anjrit!" jerit Jay. "Masih mau makan juga, Gushie? Diet dong,

Sayang. Bodi sapi jangan dipiara. Kayak Markus dong, makannya

dijaga dengan teratur, bodi juga atletis."

"Ye, lo masih berani ngomong gitu," cela Agus. "Tapi begitu

ada bahaya, Markus langsung lo tinggal."

Wajah Jay langsung memerah. "Habis mau gimana, eike kan

lemah tak berdaya. Eike sih percaya Markus bisa melindungi diri

sendiri, tapi eike nggak yakin Markus masih sempat melindungi

eike."

"Maksudmu, Jay," kataku polos, "kamu akan tetap tinggal

kalau Markus janji mau melindungi kamu?"

"Ah, eike nggak berani berharap gitu," Jay tertawa canggung.

"Tapi kalo Markus bilang bisa, eike pasti percaya."

Aku bersandar di kursi, menikmati pertunjukan di depanku.

Jay menatap Markus dengan penuh harap, sementara Markus

yang berdiri tak jauh dariku mengangkat sebelah alis mendengar

ucapan Jay. Dasar cowok sok kalem. Kali ini aku ingin tahu apa

dia masih tetap sanggup memasang tampang tanpa ekspresinya.

Tatapan Markus beralih padaku, dan aku buru-buru memasang

raut wajah tak berdosa.

"Jay, buat gue, kalo cuma melindungi elo sih sama sekali nggak

masalah. Tapi kali ini situasinya lebih rumit." Karena cara Markus

menatapku mencolok banget, semua orang jadi ikut-ikutan me

lihat ke arahku. Hell, kenapa aku yang jadi salah tingkah? "Kali

ini, gue punya utang budi yang harus gue balas, yang harus gue

utamakan di atas segalanya."

"Utang budi?" tanya Jay bingung sambil ikut memandangiku.

"Iya," angguk Markus. "Beberapa jam lalu Tory bilang di

depan kalian semua kalo dia udah ngerayu gue."

Arghh. Kenapa dia mengungkit masalah memalukan itu? Sudah

cukup bete aku harus berlagak merayunya, tapi aku kan tidak

ingin persahabatannya dengan si Tony Tengil terganggu gara-gara

sesuatu yang tak bakalan terjadi di antara aku dan dia.

"Sebenarnya itu nggak bener." Tatapan Markus kini mengarah

pada Tony. "Coy, lo juga sadar, dari semua cewek yang pernah

berhubungan dengan gue, cuma ada dua cewek yang benar-benar

lama. Tory dan Jenny."

Jenny? JENNY??? Siapa cewek itu???

"Tapi dibanding Tory, Jenny nggak ada apa-apanya. Soalnya

kita cuma mengawasi dia dari jauh. Sebelum benar-benar kenalan

sama dia, kita nggak tau apa-apa soal dia. Tapi kalo Tory, gue

kenal dia sejak kecil. Gue tau sifat-sifatnya, gue tahu apa makan

an kesukaannya..."

"Oh, ya?" selaku kaget.

"Es krim Haagen Daaz rasa chocolate chip." Ting-tong. Tepat

sekali. "Warna kesukaanmu hitam dan putih. Kamu ngaku ke

semua orang kalo kamu suka Linkin Park, tapi sebenarnya yang

kamu suka itu Vanness Wu." Hell, rahasiaku disiarkan di depan

semua orang begini! "Kamu hobi niru-niru Cruella de Vil, tapi

kamu suka nangis kalau nonton film yang ada anjingnya. Lassie,

Beethoven, 101 Dalmatians, Air Bud, Homeward Bound, Eight

Below, Marley and Me..." Arghh. Stop. Stop. "Dan biarpun sering

menindas orang, rasa keadilanmu sangat tinggi. Itu sebabnya

kamu nggak akan pergi dari sini meskipun diusir. Dan karena

itulah, aku juga nggak akan pergi dari sini."

Aku memelototi cowok yang sudah membongkar rahasiaku di

depan semua orang, tapi cowok itu membalasku dengan tatapan

yang tak kalah polosnya dengan tatapanku tadi.

Hell, cowok ini memang nggak ada duanya.

"Tony." Markus tidak memedulikanku lagi dan menghadap

Tony. Adikku yang tadinya ongkang-ongkang kaki itu kini lang

sung berdiri tegak. "Lo tau kan bukan dia yang ngerayu gue

tadi?"

"Jelas lah," balas Tony jengkel. "Cewek separuh cowok gitu

mana bisa ngerayu?"

Dasar adik keparat.

"Lo juga tau kalo gue serius sama dia?"

Wajah Tony mengeras. "Buktiin dulu."

"Pasti." Markus mengangguk, lalu melayangkan pandangan ke

seluruh ruangan. "Jadi semuanya ngerti kan, kalo kejadian di

perkebunan jeruk tadi bukan salah Tory?"

Hell, semuanya jadi cengengesan menatapku. Belum pernah

aku semalu ini.

"Bagus, cuma kepingin make sure. Dan Leo, kalo lo mau ngejar

Tory, lo tau kalo lo bakalan berhadapan dengan gue, kan?"

Leo hanya memberengut. "Iya, tau."

"Bagus." Sikap cowok yang hobi berlagak tenang itu kini jadi

riang. "Jadi begitulah ceritanya, Jay. Lo ngerti kan rumitnya posisi

gue, harus melindungi cewek yang kerjanya melindungi gue

juga?"

Arghh. Belum pernah aku semalu ini.

"Iya deh, eike kalah," sungut Jay, lalu mencibir ke arahku.

"Eike jadi benci lagi sama dikau."

Aku mengangkat bahu.

"Yah, udah takdir. Eike terima nasib ajalah," keluh Jay lagi.

"Ya udah, sekarang meeting kita berakhir," kata Tony, tampak

jengkel dengan perkembangan terakhir. "Tapi sebelumnya gue

kepingin tanya dulu, kalian mau latihan tanding sebentar nggak?"

"Mau!" teriak semua anggota klub judo dengan penuh se

mangat.

Ternyata semuanya benar-benar niat mau latihan. Benar-benar

tak kusangka.

Saat kami semua menuruni tangga menuju perkebunan jeruk?

Jay sampai minta dipegangi Didi dan Dodo karena takut di

mangsa si tangga?aku sengaja menunggu sampai Tony dan

Markus berjalan di depanku. Lalu tanpa malu-malu aku me

nyeruak di antara keduanya.

"Jadi," ucapku riang, "siapa di antara kalian yang bersedia

ngejelasin siapa itu Jenny?"

Oke, apakah ini khayalanku saja, atau tampang Tony memang

memucat?

Tony

UNTUNG banget si nenek sihir tidak mendesak kami untuk

bercerita lebih banyak soal Jenny.

Berhubung si keparat ember Markus yang menyebut-nyebut

nama Jenny, kubiarkan dia yang bertanggung jawab. Dengan

terbata-bata dia mengatakan bahwa Jenny adalah cewek yang

pernah ditaksirnya selama bertahun-tahun secara sepihak (ke

bohongan yang pernah diutarakannya padaku juga), dan bahwa

Jenny yang dimaksud bukanlah Jenny yang pernah tinggal di

depan rumah kami. Kemungkinan besar Tory bakalan menyelidiki

dengan gencar, lalu mendapatkan nama Jenny Tompel dan Jenny

Bajaj, dua cewek teman sekelas Jenny yang sama sekali tidak

punya kemiripan dengan Jenny selain nama mereka. Setelah men

dapati bahwa kedua cewek itu punya reputasi yang tidak begitu

menyenangkan, pasti nama baik Markus akan tercemar di mata

Tory karena pernah naksir sepihak dengan cewek-cewek semacam

itu di masa mudanya.

Rasakan! Itulah akibatnya kalau bermulut ember.

Di sisi lain, aku tidak menduga bahwa seluruh anggota klub

judo ternyata sangat antusias untuk latihan tanding. Rupanya,

setelah diinterogasi sehabis latihan di perkebunan jeruk (asyiknya

banting-bantingan di atas tanah dan menyebabkan seragam jadi

kotor penuh lumpur benar-benar sebuah misteri yang sulit di

jelaskan dengan kata-kata), mereka semua sudah tidak sabar lagi

mengikuti ujian kenaikan tingkat. Irwan, Leo, Sugi, dan Agus
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengincar ban hitam. Martin dan si kembar mengincar kenaikan

tingkat menjadi kyu pertama. Bahkan Jay yang biasanya mem

banggakan sabuk putihnya yang matching dengan segala warna itu

pun kini mengidam-idamkan sabuk cokelat yang dulu dikatakatainya sabuk paling tidak modis sedunia.

Leganya. Sepertinya aku dan Markus bisa meninggalkan klub

judo dengan tenang.

Keesokan paginya, Bang Sat menjemput tepat waktu.

"Siape yang mau balek Jakarte?" tanyanya dengan dialeknya

yang khas.

"Kame, Bang!" teriak Jay, Aldo, Aldi, dan Martin dengan logat

yang sama.

Kadang aku bangga dengan kemampuan anak-anak klub judo

dalam beradaptasi dengan lingkungan.

"Nape cepat-cepat balek?" tanya Bang Sat menyayangkan. "Kali

an belum lihat ape-ape di sini, bah."

"Iye, Bang," sahut Jay dengan logat Melayu medok seolah-olah

dia dilahirkan di sini. "Panas benar di sini. Kame takut ketampan

an kame terganggu, bah."

"Mana iye?" balas Bang Sat dengan muka pongah. "Lihat

abang kau ini, masih tampan rupawan pula."

Wajah Jay langsung kesenangan saat Bang Sat menyebut diri

nya sebagai "abang"-nya. Tanpa malu-malu Jay melewatiku, siap

menduduki bangku depan seperti yang sudah dilakukannya pada

hari pertama. Tapi berhubung sudah sempat mencicipi keganasan

sinar matahari dan tidak berniat mengulanginya (apalagi demi

mengantarkan anak-anak culun ini), aku tidak berniat menyerah

kan tempat kehormatan itu. Kupelototi dia dengan tatapan se

tajam sinar laser, dan Jay langsung mundur teratur serta meng

ambil tempat duduk di bak belakang bersama yang lainnya.

"Kalian yang tinggal di sini," pesanku pada Markus, si nenek

sihir, trio Irwan-Leo-Sugi, serta si tolol Agus, "hati-hati ya. Jangan

ngelakuin hal-hal yang nggak diinginkan."

"Maksudnya, jangan godain sister tercinta!" Terdengar seruan

Jay dari bak belakang. "Terutama buat Markus sayang dan Leo

malang."

"Siapa yang malang?" tukas Leo tak senang.

"Tenang aja," kata Markus dengan muka tanpa ekspresi yang

membuatku sulit menebak niatnya. "Gue bakalan jagain anakanak di sini. Lo kembali aja secepatnya."

Tak kuduga harapan Markus terjadi dalam waktu beberapa

menit kemudian.

Pick-up yang kami tumpangi melintasi jalan tak beraspal yang

dipenuhi batu-batuan, membuat kecepatan pick-up tak mungkin

lebih dari sepuluh kilometer per jam. Kami terbanting-banting

sejenak, membuat perut kami yang barusan diisi penuh dengan

sarapan lezat bergolak hebat. Perasaanku jadi lega saat melihat

jembatan kayu di depan. Setidaknya, pada saat melintasi jembatan

sepanjang sepuluh meter itu, kami bisa menikmati beberapa saat

penuh kedamaian.

Namun saat roda pick-up menyentuh jembatan, rasanya pick-up

kami jatuh lima senti. Di belakang terdengar jeritan kaget yang

keluar dari kerongkongan Jay.

"Eh, ada apa? Ada apa?"

"Kok kita kayak mau jatuh?"

"Ton, apa yang terjadi di depan?"

Aku tak mengacuhkan suara-suara dari belakang pick-up dan

berusaha kelihatan tidak panik. "Bang Sat, kenapa nih?"

"Tadak tahu, Jang." Matanya mendadak terbelalak, dan aku

ikut-ikutan membelalakkan mata saat menyadari apa yang terjadi.

"Ya ampun, jembatannya mau roboh!"

"Kyaaa!" jerit Jay dengan suara mirip cewek histeris di dalam

komik Jepang. "Jembatannya mau patah?"

"Buruan maju, biar kita bisa pulang!" pekik Aldo.

"Jangan, mundur aja, soalnya lebih dekat!" balas Aldi.

"Ton, gimana dong?" teriak Martin.

Masih tanya-tanya, lagi. Memangnya ada pilihan lain? Aku bisa

melihat jembatan semakin ambruk. Telat bertindak sedikit saja,

jembatan bakalan ambruk dan kami semua akan jatuh ke dalam

sungai.

"Mundur!" teriakku. "Mundur, Bang!"

"Tadak bise, Jang!" Bang Sat tidak kalah paniknya dibanding

kami semua. "Pikepnya tadak mau jalan!"

Gawat! Sepertinya kami semua bakalan jadi sarapan buaya?

termasuk si pick-up keparat yang tidak mau bergerak.

"Semuanya, ayo lari!" teriakku sambil membuka pintu.

Saat kakiku menyentuh jembatan kayu, aku langsung tahu

bahwa jembatan itu sedang menuju kehancuran. Sambil ber

pegangan pada besi pagar jembatan, aku menarik Jay dan lari

pontang-panting ke pinggir sungai. Saat Bang Sat, orang terakhir

yang memutuskan untuk kabur, jatuh tersungkur di sampingku

dengan napas terengah-engah, aku menyaksikan papan-papan

jembatan itu ambruk, membawa pick-up malang milik Bang Sat

beserta semua harta benda milik Martin, Jay, dan si kembar.

Sesuatu yang mirip batang pohon mengitari si pick-up yang

sedang tenggelam, perlahan namun pasti, lalu lenyap ke dalam

air bersama-sama si pick-up. Menyadari makhluk apa itu, kami

semua langsung memucat.

"Nyaris eike jadi santapan buaya," isak Jay. "Kalo itu benerbener terjadi, eike nggak bisa ketemu Markus lagi."

Yeah, nyaris saja aku tidak bisa ketemu Jenny lagi untuk se

lamanya.

"Pikep kame," ratap Bang Sat. "Gimane kame cari duit buat

hidup kalau tadak ada pikep?"

"Jangan khawatir, Bang," ucapku. "Nanti kalo kita semua ber

hasil keluar dari sini, aku usahain buat beliin Abang pick-up lagi

deh."

"Yang benar, Jang?" tanya Bang Sat dengan wajah sama sekali

tak terhibur. "Pikep kan mahal."

"Tadak, bah." Eits, tahu-tahu aku juga berbahasa Melayu. "Nanti

kami semua patungan, pasti bisa kebeli meskipun cuma pick-up

second."

"Seken juga tak ape," sahut Bang Sat, kali ini tampak penuh

harap.

Aku mengangguk. "Akan kami usahakan. Omong-omong, Bang,

tadi waktu Abang ke sini, jembatannya menunjukkan tanda-tanda

mau ambruk nggak?"

"Tadak," geleng Bang Sat. "Rasanya biase-biase jak. Kame lewat

kayak tadak ada masalah."

Brengsek. Apa ada kemungkinan jembatan ini sengaja dirusak?

Kalau iya, oleh siapa?

Tiba-tiba aku teringat legenda Kakak dan Adik. Kalau tidak

salah, Bi Ani mengatakan bahwa tidak ada yang selamat dari

dendam arwah si Adik karena jembatan kayu yang menjadi satusatunya akses keluar runtuh.

Mungkinkah... kejadian ini adalah perbuatan arwah si Adik

juga?

Tidak. Tidak mungkin. Aku kan tidak percaya hantu-hantu

"Bang, ada cara lain untuk keluar dari sini selain melewati

jembatan ini?"

Jawaban Bang Sat membuatku merinding.

"Tadak ade, Jang. Perkebunan jeruk dikelilingi sungai ini, bah.

Katanya sungainya sengaja dibikin biar jeruk-jeruknya tadak

diambe orang."

"Dan sungai-sungainya penuh buaya," kataku perlahan.

"Jelaslah, Jang," kata Bang Sat. "Gudang belakang itu dulu

bekas jagal binatang, bah. Buaya-buaya suka ngumpul di situ buat

cari makan."

Jadi begitu penjelasannya. Pantas saja banyak buaya yang

berkeliaran di sekitar sini.

"Oke," putusku. "Kita kembali ke rumah dulu. Setelah itu kita

baru memutuskan langkah apa yang akan kita ambil."

Kami berjalan kaki kembali ke rumah Ailina. Meski perjalanan

pergi tadi sama sekali tidak bisa dibilang nyaman, perjalanan

pulang lebih tidak menyenangkan lagi. Jalanan yang rusak, mata

hari yang panas, pikiran yang dipenuhi oleh hantu dan arwah,

belum lagi Jay yang terus merengek-rengek.

"Gimana nih, Ton? Harta benda eike ludes semua."

"Sabarlah, Jay," hiburku. "Yang penting nyawa lo masih utuh."

"Tapi baju-baju Versace eike hanyut semua."

"Ntar pinjem aja sama Markus. Dia juga bawa beberapa ke

meja Versace."

"Celana dalemnya juga?"

"Wah, soal itu sih gue nggak mau ikutan ngurusin," cetusku

ngeri. "Mendingan lo nego sendiri aja sama Markus."

Untunglah, setelah itu Jay tidak banyak komen lagi. Kurasa dia

sedang membayangkan negosiasi yang akan dilakukannya dengan

Markus. Ah, peduli amat. Biarlah itu jadi masalah pelik Markus

seorang diri.

Kami tiba di perkebunan jeruk dalam keadaan kelaparan,

kepanasan, dan amat sangat kehausan. Markus dan Tory yang

sedang asyik bertengger di atas pohon langsung meloncat turun

dan menyambut kami dengan muka bertanya-tanya, kenapa kami

semua pulang lagi dengan berjalan kaki. Tapi saking kehausan

dan kecapekan, kami semua tidak memedulikan keduanya lagi,

seakan-akan mereka makhluk tak kasatmata. Bagaikan monyetmonyet liar yang tak kenal aturan, kami semua langsung me

manjat pohon terdekat dengan cekatan banget seolah-olah sudah

pandai melakukannya sejak lahir, lalu mengganyang jeruk-jeruk

yang manis-manis itu. Kutelan seluruh isi buah jeruk itu, ter

masuk biji-bijinya, sampai-sampai lupa dengan niat burukku

untuk meludahi biji-biji itu ke arah Markus yang memandangi

kelakuanku dengan mulut ternganga bego. Dalam beberapa

kesempatan, aku nyaris melahap kulit jeruk juga. Untunglah aku

tak melakukan hal setolol itu. Tapi harus kuakui, itu bukan

karena aku masih punya akal sehat, melainkan gara-gara benda

itu susah banget kujejalkan ke dalam tenggorokanku.

"Kalo ngeliat pemandangan seperti ini," suara si nenek sihir

terdengar serius, "aku bisa ngerti kenapa Darwin nyimpulin

bahwa manusia itu keturunan monyet."

Markus manggut-manggut. "Mungkin emang ada sejumlah

manusia tertentu yang keturunan monyet."

"Kalo udah begitu, aku jadi malu ngaku-ngaku punya adik."

Dasar brengsek. Langsung kusemburkan semua biji yang ku

kumpulkan di dalam mulutku. Tepat mengenai sasaran. Sip

deh.

"Oke, oke." Dengan gaya menjijikkan Markus memayungi si

nenek sihir dari serangan senjata rahasiaku. "Sekarang lo udah

cukup manusiawi untuk ceritain apa yang terjadi?"

Oh ya. Aku lupa situasi sedang gawat.

Buru-buru aku menuruni pohon. Terlintas dalam pikiranku,

mungkin kelakuanku memang beneran mirip monyet. Tapi enak

saja, aku tak bakalan sudi mengakui hal itu.

"Mana yang lainnya?" tanyaku sambil kembali mengenakan

topeng-penuh-wibawa-ku.

Markus makin terheran-heran saja melihat tampangku yang
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendadak serius. "Sebentar. Gue panggilin dulu."

"Panggilin juga Bi Ani dan Bi Atiek. Kita kumpul di ruang

makan aja."

Tak lama kemudian kami semua?termasuk Bi Ani, Bi Atiek,

dan Bang Sat?berkumpul di ruang makan, satu-satunya ruangan

yang cukup untuk menampung kami semua tanpa menimbulkan

klaustrofobia.

Aku segera menceritakan pengalaman kami dengan singkat

namun jelas. Bahkan Pak Arakian, guru bahasa Indonesia kami

yang superperfeksionis, bakalan memuji efisiensi ceritaku. Namun

pada saat ini tidak ada yang memedulikan kemampuanku yang

luar biasa itu. Semuanya terperangah mendengar pengalaman

buruk yang baru saja kami alami itu.

Saat kuselesaikan ceritaku, Markus berkata, "Oke, jadi singkat

kata, saat ini kita terkurung nih."

Brengsek. Kata-katanya lebih singkat dan jelas lagi. Tapi kali

mat itu sama sekali nggak ada seru-serunya. Jauh banget di

bandingkan ceritaku tadi.

"Apa benar-benar nggak ada jalan keluar?" tanya Markus sam

bil melayangkan pandangan pada Bang Sat, Bi Ani, dan Bi Atiek.

"Dengan perahu, misalnya?"

"Bise, tapi suseh, Jang," sahut Bang Sat. "Setahu kame di sini

tadak ade perahu, jadi kita harus buat sendiri. Kame tadak ade

pengalaman, bise-bise perahunya tadak kuat. Kalau sampe bocor

atau rusak, kita bisa dimakan buaya."

Tak ada satu pun di antara kami berniat jadi santapan

buaya.

"Berhubung di sini nggak ada telepon maupun sinyal ponsel,"

renung Markus, "kita nggak bisa minta bantuan. Apa mungkin

ada yang bisa mengetahui soal jembatan ambruk itu dalam waktu

dekat?"

Bang Sat berpikir sejenak, lalu wajahnya berubah ceria. "Ade.

Ade dua kemungkinan. Yang pertama, kalau Non Ailina balek ke

rumah. Yang kedua, kalau kuli-kuli kebun datang buat kerje."

"Betul, Jang," kata Bi Ani. "Kuli-kuli perkebunan datang setiap

dua hari sekali. Kemarin mereka sudah datang. Besok mereka

pasti akan datang lagi."

Oke, ada dua harapan yang sangat besar di sini. Tampangtampang tegang langsung berubah jadi rileks.

Tapi aku tetap tidak mau ambil risiko. Aku bertanya pada Bi

Ani, "Bagaimana dengan persediaan makanan, Bi?"

Bi Ani menerangkan bahwa selain beberapa kardus makanan

kaleng dan mi instan, masih ada ikan, kerang, kepiting, dan

udang yang dipiara di dalam akuarium. Selain itu, ada pula

sayuran yang ditanam di pekarangan belakang, ayam-ayam piara

an, belum lagi jeruk-jeruk di perkebunan. Di gudang penyimpan

an makanan terdapat makanan kering seperti ikan teri dan ebi,

stoples-stoples berisi asinan, dan sebuah kotak besar penuh es

yang diisi dengan sejumlah daging untuk kebutuhan dapur dan

buaya.

"Semua bahan itu mungkin bisa digunakan untuk memberi

makan kita semua untuk sebulan, Jang," kata Bi Ani mengakhiri

penjelasannya.

Kekhawatiranku langsung lenyap dalam sekejap. Yeah, selama

ada makanan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kan?

"Oke kalau begitu," tandasku. "Guys, kita udah tau faktafaktanya. Biarpun saat ini kita terkurung di sini, tapi dalam

waktu singkat masalah akan segera diketahui dan diperbaiki. Kita

bisa keluar-masuk perkebunan seenak jidat lagi, dan yang

kepingin pulang bisa cabut ke bandara ASAP." Dan aku juga bisa

segera menelepon Jenny. "Sementara menunggu, kita nggak akan

mendapat kesulitan, karena persediaan makanan lebih dari cukup.

Don?t worry, guys. Kita semua bakalan baik-baik aja."

Ucapanku segera membuat kekhawatiran dalam ruangan itu

lenyap dalam seketika. Semua mulai bercanda-canda lagi,

termasuk Bang Sat yang bahkan mulai membuat lelucon tentang

pick-up-nya yang hilang. Tak seorang pun dari kami menyangka

bahwa semuanya jauh dari kata "baik-baik saja".

Justru, sekarang barulah permulaannya.

Markus

SEGALANYA tak tampak baik-baik saja bagiku.

Pada hari ketika para pekerja perkebunan seharusnya datang,

aku dan Tony bangun pagi-pagi (melihat betapa gampangnya

Tony dibangunkan hari itu membuatku menyadari betapa cemas

nya dia dengan kejadian ini) lalu nangkring di dekat jembatan,

bersiap-siap berteriak meminta pertolongan kalau ada batang

hidung yang muncul. Namun setelah menunggu seharian (dan

juga beberapa hari berikutnya) tanpa hasil, kami akhirnya pasrah

dengan kenyataan bahwa pertolongan tak akan pernah tiba.

Awalnya sih lumayan juga. Ada ribuan kesibukan yang mem

buat kami merasa seperti anak-anak petani yang rajin dan sehat.

Kami menimba air (termasuk Tory, yang lari bolak-balik sambil

membawa tiga ember dan membuat semua orang terkagumkagum, namun ternyata ember-embernya tak pernah diisi dan

napasnya yang terengah-engah itu cuma bohongan), memberi

makan ayam, ikan, dan buaya, lalu menyirami dan memberi

pupuk pada tanaman di kebun depan maupun belakang, serta

memetik sayuran dan buah yang siap dipanen. Tony bahkan

berkoar-koar bahwa beginilah gaya hidup yang dijalani oleh

biksu-biksu Shaolin untuk memperkuat otot, mental, dan tenaga

dalam. Harus kuakui, bolak-balik menimba air memang membuat

lengan dan kakiku bertambah kuat, tapi rasanya tidak ada

pengaruhnya sama sekali untuk tenaga dalam. Malahan hingga

detik ini aku tidak merasa punya tenaga dalam setitik pun.

Tapi memang ada pengaruh yang cukup kuat terhadap mental

juga. Anak-anak yang tadinya ogah-ogahan bangun pagi?ter

masuk Tony yang sampai detik ini masih selalu mengomel

panjang lebar setiap kali beker kami menjerit-jerit histeris?kini

merasa terpanggil karena tidak tega menyuruh Bi Ani dan Bi

Atiek melakukan segalanya. Barangkali juga sebagian dari mereka

tidak ingin dianggap tidak setia kawan?atau yang lebih mungkin

lagi, takut digebuki kalau tetap tidur-tiduran hingga siang

sementara yang lain bekerja membanting tulang.

Hidup kami yang tadinya begitu damai dan tenteram mulai

dihiasi lumuran darah saat kami harus menyaksikan Bi Atiek

tanpa segan-segan menggorok ayam yang tadinya sempat kami

sayang-sayang dan beri makan, atau tatkala melihat Bi Ani

mengeluarkan isi perut ikan-ikan cantik yang beberapa saat

sebelumnya masih berenang-renang ceria di dalam akuarium.

Mental kami makin diuji saat tak sengaja kami menyaksikan

seekor buaya merobek-robek bangkai kambing yang barusan

digantung Bang Sat di atas pohon. Biasanya korban-korban itu

raib tanpa ada adegan kekerasan, namun belakangan ini kami

tidak terlalu sering membuang-buang makanan. Mungkin ka

rena itulah buaya-buaya itu jadi lebih ganas dibandingkan

biasanya. Kenyataan yang membuat kami membuang jauh-jauh

keinginan untuk mencari pertolongan dengan berenang me

nyeberangi sungai.

Suatu ketika, saat semua orang tidak memperhatikan, diamdiam aku, Tony, dan Tory kembali menyelinap ke kamar-kamar

di lantai dua. Meski sudah mendengar cerita kami, Tony tetap

terperangah saat melihat kondisi kamar-kamar itu dengan mata

kepalanya sendiri, sementara aku dan Tory masih saja merasa

ngeri saat melihatnya sekali lagi. Dan seberapa pun kami mencari

dan berpikir keras, kami sama sekali tidak berhasil menemukan

petunjuk apa pun yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan

kami tentang keluarga itu?apa yang terjadi pada mereka sebelum

kami tiba di sini, kenapa Ailina berbohong pada Tony mengenai

keluarganya, dan yang terpenting: di mana orangtua mereka

berada.

Pada sore hari, setelah beristirahat sembari menurunkan makan

siang di dalam perut, kami akan melampiaskan rasa frustrasi

dengan berlatih judo gila-gilaan di perkebunan jeruk. Untunglah,

rimbunnya pepohonan menghalangi sinar matahari memanggang

kami. Meski begitu, tak urung beberapa dari kami mulai me

ngeluh tentang ketek yang makin asam dan kulit yang bertambah

hitam. Pembicaraan mengenai merek-merek terbagus produk

whitening, deodoran, dan klinik dermatologi menjadi topik

populer di antara kami. Salah satu hasil dari pembicaraan-pem

bicaraan itu adalah kami berhasil meyakinkan Agus, yang be

lakangan ini baunya benar-benar tak tertahankan lagi, untuk

mengunjungi klinik dermatologi paling terkemuka begitu kami

kembali dari kamp latihan.

Memang harus diakui, kami semua mengalami peningkatan

pesat. Kerja keras ala menggotong-ember-air-tanpa-boleh-tumpahsetetes-pun, disiplin bangun-jam-enam-pagi-dan-tidur-jamsembilan-malam, latihan-latihan tanding dengan lawan-lawan

berkualitas, semua itu membuahkan hasil yang tidak sedikit. Apa

pun alasan Tony membawa kami datang ke sini, kusadari kamp

latihan ini sama sekali tidak sia-sia. Bahkan Jay yang sering

merasa dirinya lemah lunglai dan lebih cocok bermain kabuki

pun kini mulai berotot.

Bisa dibilang kamp latihan ini sukses berat.

Kebalikan dari perkembangan hubunganku dengan Tory.

Sepertinya, sejak adegan aku-dan-Tory-nyaris-berciuman dilihat

semua orang, selalu saja ada orang yang berkeliaran di sekitar

kami. Beberapa bergerak atas inisiatif sendiri?seperti Leo dan

Jay, misalnya?tapi sisanya, aku curiga, mendapat perintah rahasia

dari Tony untuk mengawasi kami. Habis, tidak mungkin semua

itu hanya kebetulan. Awalnya kukira aku hanya parno?mungkin

karena terlalu lama berada di rumah Ailina, aku jadi ketularan

sifat parnonya?tapi lalu suatu kali aku memergoki Aldi dan

Aldo sedang asyik meneropongiku saat aku sedang berada di

kamar mandi. Gila, memangnya mereka Jay? Kalau saja mereka

cukup dekat dan aku tidak cuma mengenakan handuk, pasti aku

sudah menyergap mereka dan menginterogasi mereka habishabisan. Kalau perlu dengan siksaan kejam segala.

Oh ya, bicara soal Jay, anak itu terus-menerus menyita waktu

ku dengan merecokiku soal pinjaman barang-barang kebutuhan,

sampai-sampai aku harus menyerahkan lebih dari separuh per

sediaan celana dalamku. Dan tidak, itu bukan pinjaman, melain

kan pemberian. Meski dibalikin, aku tak bakalan mau mengena

kannya lagi!

Aku jadi penasaran banget. Kenapa sih Tony menentang

hubunganku dengan Tory? Apa dia masih curiga aku hanya mainmain dengan kakaknya? Atau dia tidak menyukai ide Markus171

naik-pangkat-dari-sohib-berkedudukan-setara-menjadi-kakak-iparyang-harus-dihormati?

Tidak, rasanya tidak mungkin. Tony tidak mungkin sepicik itu.

Paling-paling dia takut kehilangan rekan senasib sepenanggungan

untuk menghadapi Tory.

Halah, itu juga alasan yang cukup picik, mengingat taruhannya

adalah kebahagiaan sahabat dan kakaknya.

Omong-omong soal Tory, cewek itu juga misterius banget.

Tadinya kukira dia juga menyukaiku. Kalau tidak, dia pasti sudah

menamparku saat aku menciumnya, kan? Namun ternyata dia

juga oke-oke saja saat orang-orang berkeliaran di sekitar kami dan

memperhatikan kami, siap menangkap basah sesuatu yang

mesum. Sesekali aku bisa melihatnya cengar-cengir sendiri, seolaholah sedang membayangkan adegan yang seru banget. Kuharap

itu melibatkan mengerjai anak-anak keparat yang sudah
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuatku merasa kehilangan privasi.

Sikap Tory yang tidak pernah serius itulah yang membuatku

frustrasi banget. Aku sama sekali tak punya bayangan bagaimana

kah perasaan Tory padaku, apakah dia menyukaiku lebih dari

sekadar adik sahabatnya, ataukah dia hanya mau main-main

denganku. Yeah, Tony benar-benar tolol. Ketimbang mempermain

kan Tory, kemungkinan aku dikerjai Tory jauh lebih besar lagi.

Seharusnya aku yang ketakutan dan kabur pontang-panting.

Ini berarti hanya ada dua kemungkinan: aku memang goblok

banget, atau aku ternyata cowok masokis yang berharap dibikin

patah hati oleh seorang cewek jail. Dua kemungkinan yang sama

sekali tidak menyenangkan.

Untunglah, saat ini aku tidak punya waktu untuk merenungi

kisah cintaku yang malang. Bagaimanapun, kami mulai gelisah

setelah beberapa hari lewat dan belum ada tanda-tanda datangnya

bala bantuan. Tony mulai uring-uringan karena lama tidak ber

bicara dan bertemu dengan Jenny, Jay merasa tak mungkin bisa

bertahan lebih lama lagi tanpa produk whitening, dan kami semua

mungkin bakalan tewas akibat kehabisan napas lantaran udara

segar disedot habis oleh ketek Agus.

Jadi kami mengurangi jadwal latihan kami dan mulai mem

bangun jembatan darurat. Kami kumpulkan setiap kayu yang

tersedia, bahkan sempat-sempatnya menebang dua pohon jeruk,

membuat Bi Atiek berteriak-teriak marah dan memaki-maki kami.

Yah, bukannya aku tidak merasa bersalah karena sudah merusak

properti orang lain, tapi memangnya kami harus diam-diam saja

menunggu pertolongan yang tidak pernah datang?

Setelah berhari-hari memalu, berteriak karena jari yang terkena

palu, dan meneriaki orang yang mengambil palu yang sedang

digunakan tanpa izin, kami berhasil membuat bilah-bilah papan

untuk jembatan. Kelihatannya sangat bagus dan kokoh. Kami

menyuruh Agus meloncat-loncat di atasnya. Papan tetap utuh. Sip

lah.

Jadi pada hari yang cerah itu, kami semua berkumpul di depan

jembatan yang sudah terpasang dengan indah di tempat jembatan

lama pernah berdiri kokoh, bersiap-siap menikmati hari kebebasan

yang kami perjuangkan dengan pengorbanan keringat, darah,

dan?dalam kasus Jay?air mata. Di depan jembatan itu kami

pun bertengkar mengenai siapa orang pertama yang bakal

melewati jembatan itu. Biarpun bangga dengan jembatan itu dan

tak sabar mencicipi dunia bebas, tak ada yang mau jadi kelinci

percobaan dan makanan buaya.

Akhirnya, kami berhasil memaksa Aldo, yang berat badannya

paling ringan di antara kami?bahkan lebih ringan daripada

Tory?untuk mencobanya. Aldo berjalan hingga ke tengah-tengah

jembatan, melambai-lambai riang pada kami, dan jembatan itu

pun mulai berderak-derak. Wajah Aldo memucat. Tanpa disuruhsuruh lagi, dia lari pontang-panting kembali ke arah kami,

sementara si jembatan hancur berantakan.

Sementara itu, kami hanya bisa terpaku menatap hasil kerja

selama dua minggu yang lenyap begitu saja. Pikiran yang sama

terlintas dalam hati kami semua.

Semua ini gara-gara Agus meloncat-loncat di atasnya.

Lalu Bang Sat pun meledak dengan meneriakkan makian yang

persis dengan namanya sendiri. "Kapan sih orang-orang sadar kite

sudah tadak ade di dunia ini?"

Tony menelan ludah. "Bang, kita masih ada kok di dunia ini."

"Memangnya Abang nggak tinggal bareng keluarga?" tanyaku.

"Tadak, bah!" geleng Bang Sat. "Kame tinggal sama kawankawan kame, semuanya sopir juge. Sudah biase kame tadak pulang

tiga-empat hari. Makanya kame tadak harap apa-apa dari mereka.

Mereka mungkin kire kame dapat kerje bagus dan lame,

padahal..."

Bang Sat lalu mengucapkan sederetan sumpah serapah yang

sangat menambah kekayaan perbendaharaan kosakata bahasa

Melayu kami.

"Kenapa ya, sampai nggak ada yang tau jembatannya roboh?"

Irwan melontarkan pertanyaan yang sudah menggema berkali-kali

dalam hati kami semua. "Kalo Ailina, mungkin aja emang harus

nginap di rumah sakit lebih lama karena Celina, tapi kenapa bisa

nggak ada kuli yang mampir?"

Bahkan Bi Atiek yang biasanya selalu sok tahu pun tidak

punya penjelasan dalam hal ini.

"Gimana dengan persediaan makanan kita, Bi?" tanya Tony

yang selalu mementingkan makanan di atas segala-galanya.

Wajah Bi Ani tampak suram. "Sudah tinggal sikit sekali, Jang.

Sudah tidak ada ayam dan ikan. Sayur-sayuran dan makanan

kering juga sisa sedikit sekali. Untuk buaya sudah tidak ada sama

sekali. Yang masih cukup banyak cuma jeruk, Jang."

Sebenarnya aku juga sudah punya bayangan mengenai krisis

persediaan makanan ini. Hal ini bisa dilihat dari kegiatan kami

yang makin lama makin santai saja. Dulu kami masih bisa mem

beri makan ayam dan ikan, tapi kini yang perlu kami urusi

hanyalah segelintir sayur-mayur yang sama sekali tidak menggugah

selera.

Terus terang saja, semua ini agak aneh bagiku. Soalnya be

lakangan ini kami tidak makan terlalu banyak?bahkan Agus dan

para buaya pun hanya makan separuh dari jatah biasanya. Tapi

kenapa makanannya berkurang begitu cepat? Bi Ani pernah

mengatakan bahwa persediaan makanan kami cukup untuk se

bulan. Kenyataannya, hanya dalam waktu setengah bulan ransum

kami sudah nyaris ludes.

Tapi aku menahan komentarku. Habis, aku kan tidak bisa

masak. Urusan menyediakan makanan bukanlah keahlianku, jadi

bisa saja perhitunganku meleset. Lagi pula, aku percaya sepenuh

nya pada Bi Ani.

"Oke kalau begitu," putus Tony seraya meninju kepalanya

sendiri dengan muka penuh tekad. "Mulai sekarang, kita harus

bertanggung jawab dalam soal mencari makan juga. Gue nggak

peduli cara apa yang akan kita gunakan. Pokoknya, jangan

sampai gara-gara nggak usaha apa-apa, kita jadi mati kelaparan

di sini!"

Sobatku ini memang penuh semangat hidup. Ajaibnya, se

mangat hidupnya itu menular pada orang-orang di sekitarnya,

menyebarkan perasaan positif dan ceria yang menyenangkan.

Sayang, aku tidak punya pengaruh sebesar itu. Keberadaanku

biasanya malah mengintimidasi orang-orang di sekitarku, mem

buat teman-teman cowok merasa tertekan dan mantan-mantan

pacarku menjadi posesif. Kurasa kalian bisa bilang kami berdua

adalah pasangan Yin dan Yang.

Dengan penuh semangat kami membuat rencana bertahanhidup-ala-Flinstone dan membagi tugas. Aku, Aldi, Aldo, dan Jay

bertugas memancing di sungai. Tony, Irwan, Leo, dan Sugi ber

buru burung. Sedangkan Bang Sat, Agus, Martin, dan Tory akan

menjelajahi seputar perkebunan, siapa tahu ada binatang lezat

yang bisa disantap. Awalnya aku agak cemas karena Tory terpisah

dariku dan Tony, namun ternyata cewek itu senang sekali dengan

tugas dan kelompoknya.

"Aku punya rencana besar," Tory menyela Tony yang sedang

membagi-bagi petunjuk. "Martin bisa jadi umpan, sementara

Agus menunggu di belakang Martin dengan bau ketek memabuk

kan. Nah, buaya bakalan muncul karena tertarik dengan Martin.

Saat dia sedang kelenger gara-gara bau Agus, aku dan Bang Sat

akan langsung menciduknya dengan sekop, golok, dan keber

untungan. Gimana, setuju nggak?"

Rencana besar itu langsung ditolak mentah-mentah oleh

seluruh anggota kelompoknya.

Semangat kami hanya bertahan setengah hari. Belum apa-apa,

Jay sudah mengeluh panjang lebar saat kami harus mencari

umpan untuk kail kami.

"Latihan di bawah pohon aja eike udah nggak tahan banget,

apalagi harus panas-panas ngegali cacing. Bisa-bisa kulit eike jadi

rusak total. Kalian semua kan tau pengaruh UV terhadap kulit

kita. Tanpa SPF12, kita semua terancam terkena kanker kulit.

Mana eike udah nggak meni-pedi selama dua minggu. Tuh liat,

kuku eike keliatan mengenaskan banget. Tega-teganya suruh eike

gali-gali."

"Ya udah, lo nggak usah gali cacing," kata Aldi tiba-tiba. "Nih,

gue kasih lo cacingnya. Gratis!"

Aldi melempar cacing kuat-kuat ke arah Jay, yang langsung

menggelinjang-gelinjang dengan panik seraya memekik, "Iiih!

Jijay! Jijay!" sementara Aldi dan Aldo ketawa terbahak-bahak.

"Tenang, Jay," tegurku. "Aldi nggak ngelempar apa-apa kok.

Dia cuma mau ngerjain lo aja."

"Iya, mana mungkin gue rela ngasih lo cacing gratis?" ledek

Aldi. "Lo kira gampang nyari gituan?"

Berhubung sering dikerjai orang, Jay memang hobi marahmarah. Tapi dia jarang sekali mengamuk, karena meskipun

jengkel karena menjadi korban keisengan semua orang, dia punya

selera humor yang cukup tinggi. Namun pada saat ini dia sudah

mencapai ambang batas kesabarannya. Kerja keras yang tidak

sesuai dengan gaya hidupnya, sinar matahari yang merusak

penampilannya, akomodasi yang tidak memenuhi standarnya,

membuat keisengan Aldi jadi tak tertahankan.

"Anjrit!" hardik Jay berang. "Dikau kira eike nggak bisa ma

rah?"

Tanpa bisa kucegah lagi, Jay langsung menerjang Aldi.

Dan Aldi langsung jatuh ke dalam sungai.

Oh, crap.

Sesaat kami semua hanya bisa mematung saat Aldi megap-megap

sambil menjerit, "Tolong...! Buaya..., jangan... makan... aku...!"

Dalam kondisi biasa, aku bakalan ingat bahwa Aldi sebenarnya

pandai berenang. Namun saat itu kami semua sama-sama me

rasakan ketakutan yang luar biasa sampai-sampai tak bisa bereaksi

sesuai dengan yang seharusnya. Tanpa pikir panjang, aku langsung

membuka bajuku dan terjun ke sungai. Kuraih Aldi yang malah

balas mencakar-cakariku saking paniknya. Saat aku menyempatkan

diri berhenti sejenak untuk melihat sekelilingku, mataku ber

tabrakan dengan sepasang mata bulat, kuning, dan lapar tak jauh

dari kami.

Crap. CRAP.

Dengan mengerahkan seluruh kekuatan dan kecepatanku,

kuseret Aldi ke pinggir sungai. Kami langsung ditarik oleh Bang

Sat, Tory, dan Agus yang rupanya sedang berada di sekitar situ.

"Kamu nggak apa-apa, Markus?" tanya Tory, tangan kanannya

menyodorkan kaus yang tadi sempat kulepas, sementara tangan

kirinya meremas lenganku dengan cemas.

Aku hanya menggeleng lemah. Saat ini rasanya aku benarbenar tak bertenaga. Gila! Nyaris saja kami dikejar buaya. Aku

menoleh ke arah sungai, dan pemilik sepasang mata kuning yang

sempat menatapku itu sudah lenyap.

Untunglah aku berhasil selamat.

"Bangsat!"

Crap. Bukannya bersyukur masih hidup atau berterima kasih

padaku yang sudah mempertaruhkan nyawa demi menolongnya,

Aldi malah langsung melabrak Jay.
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dasar bajingan keparat! Gue cuma lemparin lo cacing bohong

an, tapi lo berani ngelempar gue ke buaya?!"

Biarpun jauh lebih besar, Jay memang bukan tandingan Aldi.

Sebelum menjadi anggota klub judo, Aldi adalah salah satu anak

preman yang gemar berkelahi dan hobi malakin anak-anak SD

yang ukurannya jelas jauh lebih kecil daripada tubuhnya. Semen

tara Jay malah jauh lebih lemah lembut dan feminin dibanding

cowok-cowok standar. Tak heran Jay langsung sempoyongan saat

didorong-dorong secara kasar oleh Aldi.

"Sori, Di," sahut Jay dengan suara gemetar. "Eike nggak

sengaja."

"Halah, banyak alasan!" bentak Aldi sambil terus mendorongdorong bahu Jay. "Gimana kalo tadi gue beneran dimakan buaya?

Pengecut kayak lo emangnya bisa nolongin gue?"

"Aldi," tegurku berusaha menengahi dari jauh. "Cukup. Jay

kan udah minta maaf."

"Emangnya minta maaf aja cukup, Mar?" Kemarahan Aldi ber

alih padaku. "Nyawa gue nyaris melayang! Coba gue yang dorong

lo ke dalam situ. Apa lo mau maafin gue?"

"Kalo ngomong, inget siapa yang ada di depanmu dong," cela

Tory. "Markus tadi udah terjun ke sungai dengan sukarela demi

nyelametin kamu. Apa itu berarti dia nggak akan maafin kamu?"

Aldi tergagap sebentar mendengar ucapan Tory. "Yah, beda

dong. Kan Markus melakukannya sukarela, sementara gue di

dorong secara paksa."

"Kenapa pada ngumpul di sini?" Tony muncul bersama Irwan,

Leo, dan Sugi. "Hei, man! Kenapa lo basah kuyup begini? Baru

san pacaran sama buaya?"

Aku nyengir. "Kira-kira gitu deh. Udah bertatapan mesra

lho."

"Hah?" Tony menatapku dengan bingung. "Serius?"

"Pake nanya, lagi," cibir Tory. "Ya jelas bukan gitu, dasar

culun. Dia terjun ke sungai buat nolongin Aldi."

"Kenapa si tolol itu bisa tau-tau ada di sungai?" tanya Tony

makin heran saja.

"Si tolol itu didorong oleh Jay yang berang karena dilemparin

cacing bohongan."

Sepertinya Tony tidak butuh penjelasan lebih lanjut. Dia

langsung berdiri dan berteriak keras-keras, "Aldi, Jay, ke sini!"

Sebagai hasil dari teriakan itu, semua orang langsung menge

rubungi kami. Aldi masih bersungut-sungut setelah menumpahkan

kekesalannya pada semua orang yang mau mendengarkannya,

sementara Jay tampak takut-takut.

"Kalian berantem melulu, dari Jakarta sampe ke sini!" semprot

Tony. "Emangnya kalian mau apa sih?"

"Aldi sih, jailin eike melulu," Jay merajuk.

"Salah sendiri sikapnya konyol banget," balas Aldi sengit.

"Emang dia pantes dijailin sih. Tapi kali ini dia keterlaluan, Ton.

Masa gue diumpanin ke buaya?"

"Eike kan udah bilang sori," kilah Jay dengan wajah bersalah.

"Eike bener-bener nggak sengaja."

"Ada kesalahan-kesalahan yang nggak bisa dimaafin, tau

nggak?" bentak Aldi. "Kalo gue mati, emangnya gimana cara lo

ganti rugi ke bokap-nyokap gue dan ke Aldo?"

"Ton, eike bener-bener nggak sengaja..."

Tampang Jay yang kelihatan sudah mau nangis membuat kami

semua tidak tega. Buru-buru Tony membelanya.

"Udahlah, Di," katanya menenangkan. "Yang penting kan lo

udah selamat, nggak kekurangan sesuatu pun. Gue juga lega,

sohib gue yang sok pahlawan terjun ke sungai bisa balik dalam

keadaan utuh." Crap. Bukannya yang sering berlagak sok pahla

wan itu dia? "Makanya, nggak usah marah lagi. Mending kita

bersyukur aja."

"Bersyukur gimana?" tanya Aldi berang. "Kalo dari awal dia

nggak dorong gue, nggak ada yang perlu diselametin. Hei, Jay,

dengerin ya! Gue nggak akan maafin lo buat selamanya. Kalo

mau, nyawa ganti nyawa. Kalo nggak, lo nggak usah berharap

gue sudi temenan lagi dengan makhluk konyol seperti elo. Ayo,

Do, kita pergi."

Aldo menatap kami semua dengan muka kecut, lalu tanpa

bicara apa-apa, dia pun mengikuti saudara kembarnya. Bisa ku

lihat dia sebenarnya tidak menginginkan keributan ini, tapi Aldi

yang jauh lebih dominan memang selalu menjadi pengambil

keputusan untuk setiap kegiatan mereka.

"Nyawa ganti nyawa?" gumam Tory sinis. "Boleh juga ancam

annya."

"Sori ya, Ton, eike bikin keributan," ucap Jay. "Sori, Mar, eike

bikin dikau terjun ke sungai."

"Gue tau lo nggak bermaksud gitu, Jay," aku menepuk bahu

nya. "Santai ajalah."

Mata Jay langsung berkaca-kaca. "Tapi nggak semua orang

berpikir gitu."

"Yah, sekarang si Aldi emang lagi kesal," kata Tony. "Nanti

setelah rada lamaan, dia pasti bakalan lebih adem. Percaya deh."

Berbeda dengan keyakinan Tony, Aldi marah-marah sepanjang

hari dan membuat suasana menjadi tidak enak. Makan malam

kami yang minim banget menambah runyam keadaan. Aldi terusmenerus menyalahkan Jay yang mengganggu acara memancing

kami sampai-sampai kami tak sempat menangkap ikan seekor

pun.

Supaya tidak membuatnya bertambah bete, sehabis makan

malam Irwan, Leo, dan Sugi menawarkan diri menemani pasang

an kembar itu. Tapi dalam waktu singkat ketiganya langsung

kembali kepadaku dan Tony.

"Dia nggak puas-puasnya marah-marah," keluh Sugi. "Kalo

mau ngomel ya nggak masalah, tapi tiga jam denger dia merepet

terus, kuping gue copot juga."

"Bosen gue denger topik buaya dan Jay," gerutu Leo. "Lamalama gue jadi ngerasa si Jay mirip buaya juga. Sori, Jay."

"Mana ngancemnya itu lho," tambah Irwan. "Tiap tiga menit

selalu bilang, dia mau ikat si Jay malam-malam di pohon tempat

bekas persembahan buat buaya itu. Kayak dia beneran mau

ngelakuin itu aja."

Jay yang seharian ini bareng aku, Tony, dan Tory, bungkam

mendengar laporan itu.

"Tenang aja, Jay," hiburku. "Lo tahu sifat Aldi. Biarpun

omongannya gede, dia nggak akan sanggup ngelakuin hal-hal

kelewatan seperti itu deh."

Namun keesokan harinya, saat kami bangun, Jay sudah meng

hilang.

Tory

BIASANYA aku senang menonton acara baku hantam, tapi kali

ini perasaanku tidak enak banget.

Di luar sifat-sifatnya yang unik, Jay adalah anak yang baik.

Meski sikapnya kadang jutek terhadapku lantaran dia men

cemburui hubunganku dengan Markus?yang, omong-omong,

tidak ada apa-apanya deh?tidak ada kelicikan atau niat buruk

dalam perlakuannya padaku. Belum lagi gayanya yang lebay

banget selalu membuatku kepingin tertawa. Pokoknya, tidak ada

ruginya membiarkan Jay berkeliaran di sekitarku.

Saat dia tidak turun untuk sarapan, aku mulai uring-uringan.

"Mana Jay?" tanyaku sambil celingak-celinguk.

"Nangis kali semaleman," kata si-cowok-cempreng-bernama-Leo

yang duduk di sebelahku. "Nggak berani turun gara-gara matanya

sembap."

"Oh, kasihan banget. Nanti kubawain sarapan deh, sekalian

lotion untuk kompres mata."

Kalau tak salah, aku membawa lotion yang pernah terkontaminasi

pemulas mata. Aku tidak sengaja mencampurnya lho. Serius.

Dari ekor mataku, aku melihat Didi-si-kembar-sulung-yanglagi-bete dan Dodo-si-kembar-bungsu-yang-idiot senantiasa ber

tukar pandang. Hmm, kuduga mereka bakalan menyulitkan Jay

lagi hari ini. Kali ini, kalau mereka keterlaluan, akan kuhajar

sampai babak belur.

Selesai menyikat sarapan mi instan yang tidak begitu me

ngenyangkan, aku pergi ke dapur untuk meminta bagian Jay. Bi

Ani menyisipkan tambahan sayur dan tomat yang rada bikin

ngiri.

"Kasihan dia, Moy. Dari tadi malam dia murung terus."

Bi Ani memang baik banget, apalagi kalau dibandingkan de

ngan Bi Atiek yang jelas-jelas tidak suka kami mengacak-acak

rumah ini. Padahal kami semua sudah berlaku baik kok. Sung

guh. Memang sih kami sempat membongkar kamar-kamar ter

kunci di lantai dua, tapi dia kan tidak tahu itu. Jadi seharusnya

dia tidak perlu pasang tampang semasam itu.

Saat aku menaiki tangga sambil membawa baki, tahu-tahu saja

aku diserobot.

"Biar aku aja." Markus merebut baki itu dari tanganku. "Mau

ke tempat Jay, kan?"

"Iya," sahutku seraya mengangkat alis. "Ini barang ringan

banget kok. Aku bisa bawa sendiri."

"Yah, tapi nggak aman kalo kamu masuk kamar cowok sen

dirian."

Kata-kata itu nyaris membuatku ngakak. Habis, secara fisik Jay

memang cowok, tapi secara mental aku lebih cowok daripada Jay.

Seandainya Jay punya niat buruk terhadapku, aku jauh lebih kuat

dibanding dia. Tapi kusimpan tawaku di dalam hati dan me

nyahut dengan manis, "Terserah kamu aja deh."

Markus menatapku penuh selidik. Mungkin dia curiga dengan

sikap manisku, mungkin juga dia terpesona padaku. Tidak tahu

lah. Mukanya memang gitu-gitu aja sih. Kurasa tampangnya yang

seperti itulah yang membuatnya sering dibilang cool. Tapi bukan

olehku lho.

"Kalian mau ke tempat Jay?"

Mendadak adikku yang tengil muncul juga. Rambutnya yang

panjang seperti biasa berantakan banget di pagi hari. Mukanya

mirip ilmuwan gila yang baru saja dikeroyok tikus-tikus labo

ratorium. Pokoknya tak sedap dipandang mata deh. Heran juga,

aku pernah dengar bahwa Tony salah satu cowok paling ganteng

di sekolahnya. Mungkin aku harus bersyukur tidak pernah masuk

sekolah yang dipenuhi cowok-cowok yang lebih jelek daripada si

ilmuwan gila. "Gue ikut juga dong."

Aneh. Aku rada yakin belakangan ini si adik-bertampangilmuwan-gila mengintaiku dengan ketat. Mungkin dia takut aku

bakalan macam-macam dengan partner-kejahatan-si-ilmuwan-gila.

Hmm, kayak aku mau saja. Memang sih Markus ganteng dan

charming, mana tubuhnya tinggi, penampilannya keren, senyum

nya manis, dan sikapnya lebih manis lagi...

Oke, oke. Aku nyerah deh. Cowok playboy sialan itu memang

cowok paling keren yang pernah kutemui seumur hidupku. Mana

mungkin aku bisa memaksa diriku untuk tidak tertarik padanya?

Kurasa aku sudah naksir padanya entah sejak kapan. Bukan sejak

pertama kali ketemu, tentu saja, karena waktu itu dia masih

balita culun yang diam-diam mengenakan popok di balik celana

nya. Yah, barangkali sejak SD, waktu dia mulai tumbuh lebih

tinggi daripada tubuhku.
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan sekarang dia berlaku seolah-olah aku cewek satu-satunya

di dunia ini yang menarik perhatiannya. Yah, mungkin saja ini

gara-gara sekarang aku memang cewek berusia muda satu-satunya

di sekitar sini, atau mungkin dia hanya ingin keren-kerenan de

ngan berpacaran dengan cewek kuliahan. Tapi intinya, sikapnya

padaku benar-benar tak bercela, membuatku nyaris meleleh dan

berlutut di hadapannya.

Tapi hell, aku ini Tory Senjakala yang pandai mengendalikan

diri. Apa pun perasaanku padanya, itu tidak mengubah kenyataan

bahwa dia sahabat adikku, jenis yang tak boleh kuganggu gugat.

Belum lagi reputasinya sebagai cowok paling playboy yang pernah

kukenal. Dan tentu saja aku ingat terus dengan reputasiku sebagai

orang yang selalu dikhianati dan dicampakkan. Jadi, boleh saja

kami saling menggoda, lirik-lirikan, satu-dua ciuman, tapi hanya

sebatas itulah.

Tapi kurasa aku tak bakalan merasa cukup dengan "hanya

sebatas itu". Aku bakalan kepingin lebih, dan aku tidak bisa

mendapatkan lebih. Jadi, daripada aku patah hati, lebih baik aku

berhenti dekat-dekatan dengannya dan berlagak cool. Ini bukan

jual mahal. Aku tidak suka jual mahal. Aku hanya tidak ingin

berperan jadi cewek dengan cinta sepihak yang malang. Aku tidak

pernah malang. Aku ini Tory Senjakala yang kuat, mandiri, dan

bisa memorakporandakan dunia kalau aku mau (oke, kenapa aku

jadi terdengar seperti Godzilla ya?). Aku pasti bisa menghilangkan

cinta konyol ini.

Apa tadi aku bilang cinta? Lupakan saja. Ini bukan cinta. Ini

cuma nafsu.

Hell, kedengarannya malah lebih buruk lagi.

Oke, apa pun namanya, perasaan ini tidak penting. Aku pasti

bisa melupakannya.

Fokus. Sekarang bukan saatnya memikirkan diri sendiri. Seka

rang saatnya menghibur Jay. Mana lotion-ku yang berwarna ungu?

Pasti keren kalau Jay mengenakannya di kelopak matanya.

Mungkin dia bakalan tambah cantik, atau siapa tahu dia malah

kelihatan seperti habis ditonjok di bagian mata.

"Jay, buka pintu!"

Kudengar Markus mengetuk pintu kamar Jay saat aku berlari

ke atas untuk menjemput lotion-ku. Sepertinya Jay ngambek berat

karena tidak ada jawaban sama sekali. Waktu aku kembali ke

lantai tiga, Markus dan Tony masih berdiri di depan kamar Jay

dengan tampang ya-ampun-nggak-asyik-banget-jadi-tamu-nggakdiundang.

Dengan tak sabar aku dan lotion-ku menyeruak di antara me

reka. "Buka aja pintunya..."

Pintu kamar Jay ternyata tidak dikunci.

Dan kamar itu kosong.

"Jay?" Aku memanggil sambil mengintip ke kolong tempat

tidur. "Jay?" Lemari. "Jay?" Luar jendela. "Jay?"

"Ngapain kamu nyariin sampai ke luar jendela segala?" tegur

Tony.

"Siapa tahu dia iseng main petak umpet," balasku.

"Emangnya dia seiseng kamu?" tanya Markus geli.

"Kalo nggak ada di sini, dia ada di mana dong?" Aku balas

bertanya.

"Mungkin ke toilet," duga Tony. "Tapi kalo iya, seharusnya kita

liat dia dong. Kan dari tadi kita ada di ruang makan, dan nggak

mungkin dia bisa ke toilet tanpa ngelewatin ruang makan."

"Mungkin dia lewat tembok?" aku memberi pendapat.

"Udah kubilang, dia nggak mungkin seiseng kamu." Aku

menahan napas saat Markus mengusap kepalaku. "Mungkin dia

pergi ke luar, kepingin mencari udara segar."

"Nggak ada," kataku sambil berkelit dari Markus dan me

longok ke luar jendela yang menghadap ke perkebunan jeruk.

"Kalo dia emang jalan-jalan di situ, pasti keliatan dari sini,

kan?"

"Yah, siapa tau dia ada di pekarangan belakang, meratapi

buaya."

Wah, kalau iya, itu bakalan menjadi pemandangan yang

mengharukan banget. Bisa-bisa mataku mulai berkaca-kaca, lalu

perlahan-lahan air mataku pun menetes di pipi. Ih, amit-amit.

Aku nggak mungkin bisa bergaya-gaya sendu seperti itu deh.

Kalau nangis, biasanya ingusku berlepotan ke mana-mana. Kayak

waktu itu aku menangis sambil menyedot ingusku dengan baju

Markus. Pokoknya tangisanku sama sekali tidak keren. Jadi lebih

baik aku tidak terlalu sering menangis.

"Perasaan gue nggak enak, man." Tony mulai gelisah. "Kita cari

si Jay, yuk."

"Oke." Markus mengangguk, lalu menoleh ke arahku. "Ikut?"

Mana mungkin aku menolak ajakan seru ini?

Tapi saat kami keluar dari pintu belakang dan mengedarkan

pandangan tajam kami ke seluruh pekarangan, tidak ada tandatanda keberadaan Jay. Malahan, semua anggota klub judo lagi

ngumpul di sana kecuali kami yang baru datang dan Jay. Si

cowok-cempreng-bernama-Leo dan Irwan-si-cowok-superbiasa

asyik bermain catur, sementara Sugi merenungi lukisan pacar

imajinernya dengan muka romantis. Si-jarum-pentul-bernamaTintin dan Agus-si-ketek-berbisa kelihatan baru selesai menyirami

sayur-mayur, soalnya kini mereka perang-perangan menggunakan

penyiram tanaman. Sementara itu, Didi-si-kembar-sulung-yanglagi-bete dan Dodo-si-kembar-bungsu-yang-selalu-idiot sedang

berdoa di depan kuburan ayam yang kami buat untuk me

ngenang ayam-ayam yang telah gugur demi kelangsungan hidup

kami. Si sopir-nyasar-Bang-Sat tampak sangat tertarik dengan

ritual yang dilakukan Didi-si-kembar-sulung-yang-lagi-bete dan

Dodo-si-kembar-bungsu-yang-selalu-idiot, yang melibatkan acara

bakar-membakar kertas-kertas bertuliskan "I love you, my chicks".

"Liat Jay nggak?" tanyaku.

Semua menggeleng heran. Hanya Didi-si-kembar-sulung-yanglagi-bete yang menyahut dengan seringai, "Udah gue kubur di suatu

tempat."

"Jangan macem-macem," tukas Tony. "Gue serius nih. Jay

hilang. Ayo, semuanya, bantu gue nyari dia."

"Ogah," tolak Didi-si-kembar-sulung-yang-lagi-bete. "Kalo lo

cemas, lo aja yang nyari sendiri. Jangan libatin orang lain yang

nggak peduli."

"Gue peduli kok," kata Irwan-si-cowok-superbiasa sambil

menggerakkan ratunya ke depan raja milik si-cowok-cemprengbernama-Leo. "Skakmat. Ayo, kita cari si Jay."

"Sialan," gerutu si-cowok-cempreng-bernama-Leo. "Bisa-bisanya

gue kalah hari ini. Biasanya kan gue yang menang."

"Elo sih kagak konsen tiap kali Markus hilang bareng kakak

nya Tony," seringai Sugi-si-tukang-gambar-dan-tukang-ber

khayal.

Melihat bagaimana si cowok cempreng menanggapi ucapan si

tukang khayal dengan bersungut-sungut, kusadari kata-kata si

tukang khayal memang benar. Hmm, jadi aku penyebab kekalah

an si cowok cempreng. Keren juga. Kalau aku menebarkan sedikit

bibit di sana-sini, mungkin aku bisa jadi Helen of Troy yang

bikin perang lantaran direbutin banyak cowok.

Selain Didi-si-kembar-sulung-yang-lagi-bete yang menolak keras

untuk membantu kami dan Dodo-si-kembar-bungsu-yang-selaluidiot yang pasrah total dengan keputusan saudaranya, kami semua

mulai menyisir daerah itu demi mencari Jay. Namun sekeras dan

seteliti apa pun usaha kami, Jay tidak kelihatan sama sekali.

Hell, ini benar-benar aneh.

"Oke, gue bukannya nuduh ya," kata Tony, menghadapi si

kembar sambil berkacak pinggang dengan tampang yang jelas-jelas

dipenuhi tuduhan. "Apa kalian ngelakuin sesuatu pada Jay?"

"Sesuatu apa?" tanya Didi-si-kembar-sulung-yang-lagi-bete

berpura-pura bego.

"Ya, betul," sahut Dodo-si-kembar-bungsu-yang-selalu-idiot cepat

dan mencurigakan. "Sesuatu apa? Kami nggak ngerti deh."

"Yah, siapa tahu kalian ngurung dia di mana gitu," kata Tony

sambil melayangkan pandangan ke seluruh perkebunan, siapa

tahu ada tempat yang terlewatkan. "Atau ngubur, barangkali."

"Itu kan cuma bercanda!" bantah Didi-si-kembar-sulung-yanglagi-bete. "Masa cuma karena omongan kayak gitu kami dicurigai?

Selera humor lo rendah amat."

"Betul, Ton," timpal Dodo-si-kembar-bungsu-yang-selalu-idiot.

"Kami nggak ngelakuin apa-apa kok! Lagian, Aldi bukannya mau

ngubur si Jay kok, tapi ngelempar dia ke sungai biar dimakan

buaya."

"Coy, gue tau ada satu tempat yang belum kita cari," kata

Markus pada Tony, tidak mengacuhkan pernyataan si kembar, lalu

mengedik ke arah gudang di tepi sungai. Gudang yang menurut

Bang Sat adalah tempat penjagalan binatang pada zaman dulu.

Tony mengangguk, menyetujui pendapat Markus. "Coba gue

mintain kunci sama Bi Ani."

Ternyata yang memegang kunci adalah Bi Atiek, namun peng

urus rumah bertampang masam itu sama sekali tidak keberatan

meminjami kami kunci itu. Bahkan tampangnya kelihatan rada

senang. Saat kami membuka pintu yang berderit keras saking

karatannya itu, kami langsung mengerti kenapa si bibi kelihatan

girang banget. Soalnya, bau tembaga yang sangat keras dan me

muakkan langsung memenuhi hidung kami.

Hoek.

Bagian dalam gudang itu suram banget. Hanya ada sedikit

jendela yang memberikan penerangan, sehingga suasananya ter

lihat remang-remang. Rantai-rantai dan gantungan dari besi yang

sudah berkarat tergantung di langit-langit, sementara bercakbercak darah memenuhi dinding. Pasti bau tembaga itu berasal

dari rantai-rantai dan gantungan besi itu, juga dari bercak darah

yang mengering.

Tempat ini benar-benar jorok dan mengerikan.

Para anggota klub judo memutuskan untuk menunggu di luar

saja, sementara Markus dan Tony masuk dengan sukarela. Karena

tidak mau ketinggalan, aku langsung menyusul mereka. Saat

sedang menoleh kiri-kanan dengan curiga, tahu-tahu saja aku

menabrak Markus dan Tony yang berhenti berjalan. "Hei, kok

stop mendadak?"

Lalu aku terperangah.

Di belakang situ, terlihat bayangan seseorang digantung di

langit-langit.

"Jay...," bisikku serak.

Perlahan-lahan kami mendekat, dan ketegangan dalam hati

kami mencair sedikit tatkala melihat itu hanyalah sebuah karung

berukuran besar. Tapi kami tetap waswas. Jangan-jangan isi ka

rung itu adalah...

"Pasir," kata Markus sambil memukuli karung itu dengan dua kali

tonjokan. "Mungkin dulunya pernah berfungsi sebagai sandsack."

"Apa gunanya sandsack ditaruh di sini?" tanya Tony heran.

"Yah, jangan tanya gue. Bukan gue yang gantungin di situ."

"Guys, kalo emang udah nggak ada urusan di sini, keluar yuk,"

ajakku.

"Nenek sihir pun nggak betah berlama-lama di tempat me

nyeramkan ini," kata adikku yang tengil sambil nyengir. "Ya

udah, ayo kita keluar."

Kami mengunci pintu, lalu mengajak semua orang minggat

sejauh-jauhnya dari gudang itu.

Namun, semua ini tidak menjawab satu pertanyaan penting:
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di manakah Jay?

Meski masih ingin mencari Jay sekali lagi, kami memutuskan

untuk makan siang dulu. Gara-gara sarapan yang terlalu sedikit,

tubuh kami jadi gampang banget lemas. Hidangan makan siang

juga terbatas banget, hanya ada sayur-mayur dan ikan teri. Kami

memaksimalkan lauk yang hanya sedikit dengan makan nasi se

banyak-banyaknya?yang tidak bisa dikategorikan banyak banget,

karena kami harus menjatah beras yang hanya bisa dipakai sampai

entah kapan. Hmm, nanti kalau kami sudah berhasil keluar dari

sini, aku janji bakalan makan enak sebanyak-banyaknya.

"Mungkin," bisikan si-jarum-pentul-bernama-Tintin terdengar

sangat jelas di tengah-tengah keheningan yang tercipta saat semua

sibuk melahap makanan masing-masing, "tadi malam Jay diambil

sang Kakak."

Kini bahkan denting sendok dan garpu yang beradu dengan

piring tidak terdengar lagi. Hell, seharusnya aku yang mengucap

kan kata-kata itu?dengan maksud bercanda, tentu saja. Tapi

rasanya tidak pantas bercanda di saat-saat seperti ini, apalagi

target candaannya adalah Jay yang kini lenyap tanpa bekas.

"Lo percaya takhayul juga, Tin?" tanya Agus-si-ketek-berbisa

yang duduk di sebelahnya.

"Abis penjelasannya apa lagi, Gus?" balas si-jarum-pentulbernama-Tintin. "Coba lo bayangin. Malam-malam, Jay lagi na

ngis di kamarnya, meratapi perlakuan nggak adil..."

"Siapa yang nggak adil?" sergah Didi-si-kembar-sulung-yanggampang-emosi.

"Siapa aja," sahut si-jarum-pentul-bernama-Tintin, jengkel

karena ceritanya dipotong. "Pokoknya, karena kecapekan nangis,

Jay jadi ketiduran. Lalu pintu terbuka perlahan-lahan. Sebuah

sosok bergaun putih muncul di ambang pintu."

Oke, sekarang aku mulai berimajinasi juga. Tentu saja, sosok

bergaun putih itu kubayangkan memiliki wajah seperti wajahku.

"Sosok itu mendekati ranjang Jay tanpa suara. Perlahan-lahan,

dia pun menyeret Jay turun dari ranjang hingga jatuh ke lantai,

lalu menyeberangi kamar. Awalnya, Jay yang kecapekan sama

sekali nggak merasakan gerakan itu. Namun saat dia mulai

tersadar, semuanya udah terlambat. Dia terbangun di dunia yang

nggak dikenalinya, dunia penuh kegelapan, dunia yang isinya

hanyalah arwah-arwah penasaran."

Tampang si-jarum-pentul-Tintin tampak nyalang dan me

nyeramkan. Kami semua sampai terhipnotis olehnya.

"Nggak ada penjelasan lain lagi selain ini," kata si-jarumpentul-Tintin penuh keyakinan. "Biarpun ramping, ukuran Jay

kan lumayan gede, nggak gampang ngumpet kayak gue. Tapi

sekarang bayangannya pun nggak keliatan. Apa nggak mencuriga

kan?"

"Ada kemungkinan lain lagi, Tin," Agus-si-ketek-berbisa berkata

sambil menatap sendoknya lekat-lekat. "Dia dicelakain orang yang

benci sama dia."

"Apa maksud lo?" ketus Didi-si-kembar-sulung-yang-gampangemosi.

"Maksud gue jelas," kata Agus-si-ketek-berbisa dengan muka

menantang. "Tinggal gimana cara lo menginterpretasikan ucapan

gue."

"Apa tuh interpretasi?" tanya Dodo-si-kembar-bungsu, yang

ternyata lebih tolol daripada Agus-si-ketek-berbisa.

"Menerjemahkan," jelas Agus-si-ketek-berbisa. "Menurut gue,

malam-malam Jay dipukulin sampai nggak sadar. Setelah itu dia

dibuang ke sungai oleh penyerangnya itu. Saat ini," Agus-si-ketekberbisa menghela napas, "Jay udah nggak ada lagi di dunia ini.

Bagian-bagian tubuhnya ada di dalam perut buaya, sementara

jiwanya udah bergabung dengan jiwa-jiwa lain yang lenyap di

Sungai Kapuas..."

"Cukup!" teriak Didi-si-kembar-sulung-yang-kini-tampakketakutan. "Nggak usah fitnah gue dengan bikin cerita aneh-aneh

dong!"

"Ini bukan fitnah," balas Agus-si-ketek-berbisa tak kalah

garang. "Ini salah satu kemungkinan yang cukup besar." Dia me

nyipitkan mata. "Atau lo takut pendapat gue ini bikin lo jadi

tersangka utama?"

"Kalian semua cuma ngelebih-lebihin," geram Didi. "Menurut

gue, Jay cuma lagi ngumpet buat ngebales gue, dan sekarang dia

lagi ketawa-ketawa karena semua orang kerepotan dan nyalahin

gue."

Kemungkinan itu, meski kecil, memang ada. Tapi kalau begitu,

seharusnya Jay muncul untuk minta makanan, mencuri makanan,

meminta seseorang membawakannya makanan, atau sejenisnya.

Tak mungkin demi mengerjai kami semua, dia memilih untuk

kelaparan. Yeah, Jay bukan orang yang bisa bersusah-susah seperti

itu.

"Jadi menurut kalian gimana?" tanya Agus-si-ketek-berbisa,

tatapannya meminta dukungan kami semua.

"Kalo menurut gue sih, jangan pernah berasumsi," kata adikku,

mengucapkan kata-kata keren dengan gaya dimirip-miripkan dengan

Mel Gibson, Brad Pitt, atau siapa sajalah bintang film yang

matching. "Mendingan kita cari bukti dulu, baru menyusun teori."

"Benar," angguk Markus. "Kalo ingin ngecek kebenaran cerita

lo, Gus, seharusnya di tepi sungai ada jejak yang bisa kita

dapetin. Entah bekas tubuh Jay diseret maupun hasil pergulatan

buaya dengan Jay. Gimana kalo setelah makan kita coba liat?"

"Kami juga ikut," kata Didi-si-kembar-sulung yang sedari tadi

menolak ikut acara pencarian itu. "Akan kami buktiin kalau kami

nggak ada sangkut-pautnya dengan masalah ini."

Setelah menghabiskan makan siang hingga licin tandas, kami

segera menelusuri tepian sungai. Ternyata kami tidak perlu lamalama mencari. Di dekat pohon yang biasa digunakan untuk

mengikat "persembahan untuk buaya", terlihat jejak tubuh diseret

yang masih baru, padahal sudah lama sekali sejak Bang Sat

menggantungkan korban terakhir untuk para buaya itu.

Dan meski selalu ada bercak-bercak darah di daerah itu, kini

tampak bercak darah yang masih baru.

Kami semua menahan napas, seketika membayangkan apa yang

sudah terjadi pada Jay di tempat ini.

"Bukan kami!" Teriakan panik Didi-si-kembar-sulung-dan195

tersangka-utama membuyarkan lamunan kami. "Bukan kami yang

ngelempar Jay ke sini!"

"Iya, betul!" sambung Dodo-si-kembar-bungsu-dan-tersangkapembantu-usaha-pembunuhan. "Kami kan takut buaya juga.

Mana mungkin kami mau dekat-dekat tempat ini, apalagi malammalam gitu?"

"Kami dijebak!" teriak Didi-si-kembar-sulung sambil menatap

kami semua dengan mata nyalang. "Kalian semua ngejebak kami!"

"Tenang, Di," kata Markus. "Kami nggak nuduh atau ngejebak

kalian kok..."

"Nggak nuduh?" teriak Didi tak percaya. "Lalu kenapa ada

beginian? Pasti ini ulah seseorang yang kepingin menimpakan

semua kesalahan pada kami. Ya, betul. Pasti gitu! Tapi gue nggak

sebegitu tololnya, bersedia dituduh padahal nggak bersalah sama

sekali."

"Di..." Adikku berusaha menenangkan Didi, tapi Didi me

nepiskan tangannya.

"Ayo, Do, kita pergi," ketus Didi. "Nggak ada gunanya kita

ngebela diri di depan orang-orang yang sedikit pun nggak percaya

pada kita."

Dodo menatap kami semua dengan tampang takut-takut, tapi

seperti biasa, dia mengikuti kembarannya pergi. Sementara itu

kami hanya berdiri dan tidak mengejar mereka.

"Apa yang harus kita lakuin, Ton?" tanya Irwan.

Dan adikku yang biasanya cerdik dan penuh ide itu hanya

menjawab, "Gue sama sekali nggak tau."

Tony

OKE, rasanya aku mengalami jalan buntu.

Masalahnya lebih gampang kalau ini menyangkut orang-orang

yang tidak kita kenal. Kita bisa menyelidiki habis-habisan, me

ngupas semua rahasia, dan membuktikan semua kebohongan.

Tapi kali ini yang kuhadapi adalah teman-teman yang tergolong

teman-teman dekatku. Mereka rekan-rekan di klub judo yang

berjuang bersama-sama denganku, orang-orang yang selalu meng

harapkanku dan mematuhiku. Meski mereka punya segudang

kekurangan yang agak sulit diterima masyarakat, aku memercayai

mereka. Aku bahkan yakin mereka tidak memiliki kelicikan dan

niat buruk dalam hati mereka untuk mencelakai teman-teman

sendiri.

Apakah keyakinanku ini terlalu berlebihan?

Dan seandainya bukan mereka yang melakukannya, jadi siapa

kah pelakunya?

Roh si Kakak?

Tidak. Aku tidak sudi menerima jawaban itu. Pasti ada pen

jelasan yang lebih masuk akal, dan aku bertekad menemukan

nya.

Sore itu kami meneruskan rencana kami untuk mencarimakan-ala-Flinstone dengan memancing ikan dan berburu

burung, tapi rencana itu gagal total. Seandainya hidup di zaman

manusia gua, kami semua pasti jadi orang-orang yang mati paling

cepat. Serius deh, tidak ada darah pemburu setetes pun yang

mengalir dalam tubuh kami. Waktu menemukan sasaran empuk

berupa tiga ekor burung yang asyik mematuk-matuk di halaman,

aku malah merasa mereka imut banget dan membiarkan mereka

berkicau dengan bahagianya. Rasanya berdosa banget kalau aku

harus melempari mereka dengan batu hingga mati. Markus malah

bilang, dia tidak tega mengumpankan cacing pada ikan, apalagi

harus menusukkan cacing itu ke kail. Kalau menyakiti cacing

jelek saja dia tidak sanggup, apalagi pada burung-burung manis

dan lucu yang kutemui.

Mau tak mau kami harus melewati latihan sekali lagi. Kemarin

kami sudah bolos latihan lantaran kehebohan akibat pertengkaran

Jay dan si kembar, dan hari ini kami semua terlalu sibuk ber

perang dengan hati nurani kami saat mencari makan. Setidaknya

si nenek sihir dan gengnya lebih berhasil karena mereka me

mutuskan untuk mengumpulkan jeruk, tanaman pakis, dan

kangkung yang tumbuh di dekat sungai. Minimal sore ini tidak

terbuang dengan sia-sia.

Aldi dan Aldo sama sekali tidak muncul saat makan malam.

Yah, mereka tidak rugi-rugi amat. Hidangan malam ini lagi-lagi

berupa sayuran hijau. Tak apalah, yang penting mengenyangkan,

biarpun aku mulai merindukan A&W, KFC, dan terutama, steik

American Grill dengan paduan saus bawang putih dan lada

hitam. Memikirkannya pun perutku sudah menjerit-jerit minta

pulang. Bahkan si nenek sihir tampak enggan makan, sampaisampai Markus yang belakangan ini sok akrab banget dengan si

nenek sihir harus membujuknya menghabiskan nasi. Rasanya me

rinding banget melihat si nenek sihir tampak lemah tak berdaya

seolah-olah tersihir oleh Markus.

Oke, aku memang tidak senang dengan hubungan mereka.

Bilang saja aku egois, tapi aku merasa tidak mungkin ada hal

baik yang diakibatkan hubungan itu. Persahabatanku dan Markus

bakalan renggang, itu sudah pasti, karena aku tidak sudi sering

dekat-dekat dengan si nenek sihir. Kalau Markus kepingin dekatdekat, itu pilihannya, bukan pilihanku. Belum lagi aku harus

menghindarkan Jenny dari jangkauan keisengan si nenek sihir.

Dan tentu saja, Hanny dan si nenek sihir tak bakalan cocok.

Pokoknya, persahabatanku dengan Markus bakalan hancur

dalam waktu sekejap kalau dia benar-benar pacaran dengan si
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nenek sihir. Padahal, yang benar saja, mereka kira hubungan itu

akan berlangsung lama? Markus si cowok paling playboy sesekolah

kami dan si nenek sihir cewek yang tidak pernah menanggapi apa

pun secara serius. Aku yakin, hubungan mereka tak bakalan ber

tahan sampai tiga bulan. Dan sementara itu, kerusakan sudah

terjadi di mana-mana.

Hubungan ini terlalu berisiko dan tidak layak dijalani. Kenapa

Markus yang biasanya selalu membuka mata lebar-lebar kini

malah tidak bisa melihat hal itu? Pasti sohibku itu diam-diam

punya otak supertolol, itulah penjelasannya. Atau mata minusnya

sudah tidak tertolong lagi.

Tapi masalah menyebalkan ini harus kukesampingkan dulu.

Sekarang yang lebih penting adalah menyelidiki kenapa Jay bisa

lenyap begitu saja. Apakah ini memang siasat Jay untuk menarik

perhatian kami?kalau benar, berarti siasat itu sukses luar biasa?

ataukah ada yang telah mencelakainya. Dugaanku, kemungkinan

kedua inilah yang terjadi. Jay tidak mungkin menyembunyikan

diri dengan begitu rapi tanpa bantuan orang lain. Selain tidak

secerdas itu, dia juga tidak bakalan mau bersusah-susah dan

menderita demi melakukan hal itu. Kalau Jay menyembunyikan

diri, saat ini dia pasti sudah bosan setengah mati, nyaris mati

kelaparan, dan sangat desperate memikirkan penampilannya. Pasti

dia bakalan keluar dengan sendirinya. Makanya, tiadanya bayang

an Jay hingga saat ini membuatku yakin sembilan puluh sembilan

persen Jay sedang berada dalam bahaya?atau lebih mengerikan

lagi, sudah tidak ada lagi di dunia ini.

Semoga saja dia masih hidup.

Keesokan paginya, seperti biasa aku bangun dengan bersungutsungut. Hingga saat ini aku tidak pernah terbiasa bangun pagi.

Setiap kali mendengar jeritan beker, yang pertama kali terlintas

dalam pikiranku adalah memaki-maki penemu jam beker, siapa

pun bajingan keparat itu. Seharusnya dunia ini dibebaskan dari

tirani beker yang memaksa setiap orang bangun pada saat udara

sedang dingin-dinginnya. Seandainya aku punya kekuatan super,

yang pertama kali kulakukan adalah menghancurkan setiap jam

beker yang ada di dunia ini berikut pabrik-pabriknya dan me

menjarakan setiap orang yang mengaku bisa membuat jam

beker.

Markus sama sekali tidak memedulikan ocehan wajibku pada

pagi hari dan asyik mematut-matut dirinya di depan cermin. Aku

sama sekali tidak mengerti kenapa dia hobi menyisir lama-lama.

Dia kan nyaris tak punya rambut.

"Kalo udah puas, mandi dulu sana," katanya. "Bau iler lo

sampe kecium dari sini."

Bohong, pikirku seraya mencium-cium kausku sendiri. Bauku

baik-baik saja. Agak asam karena keringat, dan itu tidak meng

herankan karena aku tidur tanpa AC. Tapi selain itu, bauku baikbaik saja kok.

Tapi kuturuti juga kemauannya tanpa banyak cincong.

Kutimba air di sumur untuk mengisi bak di dalam kamar mandi,

lalu kubersihkan tubuhku dengan saksama, dari ujung rambut

hingga ujung kaki, seraya memikirkan Jenny dengan frustrasi.

Jenny pasti sedang bingung karena tidak bisa menghubungiku.

Kuharap dia tidak menduga yang aneh-aneh, seperti bahwa aku

berselingkuh atau semacamnya. Biasanya kan cowok-cowok

begitu. Kalau sudah tidak bisa dihubungi, itu berarti sedang se

lingkuh. Tapi aku kan tidak seperti cowok-cowok kebanyakan.

Seharusnya Jenny tahu itu dan memercayaiku.

Tapi tetap saja, aku harus menghubunginya secepat mungkin.

Siapa tahu dia menyangka aku sudah mati digebuki orang.

Selesai mandi, aku melewati ruang makan dan melihat seluruh

anggota klub judo?plus si nenek sihir, Bang Sat, Bi Ani, dan Bi

Atiek?sudah berkeliaran di sana.

Kecuali Aldi dan Aldo, juga Jay tentu saja.

"Hei, mana si kembar?" tanyaku sambil mengelap rambutku

yang basah dengan handukku.

"Belum keliatan dari tadi," sahut Markus.

Perasaanku mendadak jadi tidak enak. Kenapa ini seperti dj

vu kejadian kemarin?

"Kalo gitu, biar gue samperin ke kamar mereka deh."

"Gue juga ikut," kata Markus sambil melompat ke tangga ber

samaku.

"Aku juga." Brengsek! Kenapa si nenek sihir jadi ikut-ikutan?

Sekarang kami seperti Trio Detektif yang diciptakan oleh Alfred

Hitchcock.

Kami tiba di depan kamar si kembar di lantai tiga, dan aku

mulai mengetuk.

"Aldi?" panggilku. "Aldo? Kalian di dalam?"

Suara si nenek sihir bagaikan bisikan setan di bahuku. "Nggak

usah basa-basi. Langsung dobrak aja."

Mauku juga begitu, tapi tidak lucu kan, kalau keduanya lagi

asyik-asyik tiduran?atau lebih parah lagi, hanya mengenakan

handuk karena hendak siap-siap mandi.

"Aldi? Aldo?"

Oke, sekarang aku mirip burung beo yang cerewet dan ke

dengaran idiot.

"Didi!" teriak si nenek sihir sambil memutar gerendel dan

menggedor dengan gaya tak sabaran. "Dodo! Buruan keluar! Ka

lau nggak, kudobrak ya!"

Sama sekali tidak ada tanggapan.

"Udah, dobrak aja," perintah si nenek sihir.

Meski tidak berniat menuruti perintahnya, aku terpaksa

melakukannya juga. Brengsek, pintu itu bergeming.

"Man," aku memberi isyarat pada Markus, "pada hitungan ke

tiga."

Markus mengangguk.

"Satu, dua tiga!"

Kami menendang pintu itu bersama-sama, dan pintu itu lang

sung terempas terbuka.

Dan seperti dj vu, kamar itu kosong lagi.

What the hell?

Kami berjalan masuk dan memandangi ruangan itu dengan

saksama. Tidak ada tanda-tanda kekerasan yang menandakan ke

duanya diculik, pakaian mereka (yang semuanya adalah pinjaman

dari Irwan dan Sugi) masih utuh, bahkan sepatu-sepatu mereka

masih ada di dekat pintu masuk.

Sama seperti yang terjadi pada Jay kemarin.

"Ayo, kita ajak yang lain untuk nyari mereka," kata Markus

muram. "Tapi gue berani taruhan, kita nggak akan berhasil

nemuin mereka berdua."

Benar kata Markus. Meski kami sudah menyisir daerah itu tiga

kali dengan tim pencarian yang berbeda-beda, tak ada yang ber

hasil menemukan apa pun. Bahkan jejak yang ada di dekat

pohon yang menjadi tempat menggantung persembahan buaya

itu hanyalah jejak kemarin. Sama sekali tak ada tanda-tanda

bahwa Aldi dan Aldo pernah dibawa ke tempat itu.

"Apa gue bilang?" Martin menatap kami penuh kemenangan.

"Mereka diseret pergi sama roh sang Kakak. Sang Kakak butuh

teman buat mengobati kesepian, makanya dia ambil mereka ber

tiga."

"Itu penjelasan yang sangat nggak masuk akal," tukas Agus

bertekad untuk kelihatan berani, namun wajahnya yang ketakutan

tidak bisa membohongi kami semua.

"Tapi teori lo udah nggak berlaku," balas Martin. "Lo bilang,

pelakunya musuh mereka. Nah, musuh Jay ya si kembar, dan

musuh si kembar cuma si Jay. Jay kan udah hilang, mana mung

kin dia menculik si kembar? Yang sekarang tersisa cuma teori

gue. Dan kalian nggak punya teori yang lain, kan?"

Harus kuakui, aku sama sekali tidak punya bayangan apa yang

terjadi di sini.

"Ada sesuatu yang mengerikan di sini," kata Martin dengan

suara separuh berbisik yang membuatnya tampak misterius. "Se

suatu yang jahat. Dari awal gue udah ngerasa rumah ini punya

hawa jahat yang sangat kental. Itulah sebabnya gue kepingin

kabur waktu ada kesempatan. Sekarang semuanya udah ter

lambat." Wajahnya berubah gelap. "Kita semua akan mati di

sini."

Semua orang tercekam mendengar ucapan Martin.

"Wah, sori, Tin," kataku akhirnya seraya menyibak rambut

panjang yang menutupi wajahku. "Gue sih nggak mau mati di

sini. Masih banyak urusan yang belum selesai. Bisa-bisa gue jadi

roh penasaran." Aku menatap wajah-wajah di sekelilingku. "Kita

akan terus nyelidikin masalah ini. Gimanapun caranya, kita harus

bisa nemuin Jay, Aldi, dan Aldo. Hidup atau mati. Dan kita akan

tunjukin pada siapa pun yang udah nyari gara-gara dengan kita,

bahwa saat ini mereka udah bermain-main dengan maut."

Aku menoleh pada Markus, yang langsung mengangguk. "Yeah,

kita nggak akan ngebiarin siapa pun yang udah nyelakain rekanrekan kita lolos begitu aja. Nggak peduli itu manusia biasa atau

pun roh penasaran."

"Well said." Si nenek sihir ikut campur dengan salah satu

ujung bibir melengkung ke atas. "Ayo, kita balas ngerjain bajing

an yang udah berani banget ngeganggu liburan kita!"

Sepertinya si nenek sihir hanya kesal gara-gara kenyamanan

liburannya yang terganggu. Habis, rasanya mustahil banget kalau

dia ternyata punya perhatian terhadap Jay dan si kembar yang

baru dikenalnya.

Tapi setidaknya, aku bisa berkata, siapa pun yang berada di

balik kejadian-kejadian ini sudah berada dalam masalah besar.

Terutama karena di pihak lawannya ada si nenek sihir.

Keesokan paginya, giliran Martin yang lenyap dari kamarnya.

Kali ini semuanya semakin misterius saja. Soalnya, Martin

sekamar dengan Agus. Memang sih, kalau sedang tidur, Agus

tidak bisa diganggu gugat meski ada sekelompok gajah menarinari di sampingnya?tapi kan si penculik tidak tahu soal itu.

Kenapa dia begitu berani memasuki kamar mereka dan menculik

salah satu saja?bukan dua-duanya sekaligus?

Dan seperti yang terjadi pada Jay maupun si kembar, tidak ada

tanda-tanda perlawanan.

Gawat. Ini benar-benar gawat. Kalau dibiarkan begini terus,

bisa-bisa setiap hari akan ada orang yang hilang, sampai tak ada

satu pun yang tersisa.

Memikirkan hal itu membuatku mual.

"Mulai sekarang," kudengar Markus berkata pada si nenek

sihir, "kamu tidur di kamar kami."

Si nenek sihir langsung memelototi Markus. Kukira dia ter

singgung karena disuruh tidur sekamar dengan cowok-cowok, tapi

tidak tahunya dia menyahut, "Aku dapat tempat tidurmu, ya. Ogah

kalau harus tidur di lantai, apalagi tempat tidur bekas Tony."

Brengsek. Kok sepertinya bagi si nenek sihir, lantai masih lebih

bagus ketimbang tempat tidurku?

"Deal," sahut Markus pasrah. "Biar aku yang tidur di lantai."

Sepertinya tidak ada yang mau tidur di tempat tidurku. Ah,

sudahlah. Anggap saja ini keberuntunganku, aku bisa tetap me

miliki tempat tidurku untuk diriku sendiri.
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan cuma Tory," kataku keras-keras. "Mulai sekarang, se

muanya tidur di kamar yang sama. Abang juga."

"Kame?" tanya Bang Sat sambil menunjuk dirinya sendiri

dengan heran. "Kenapa kame harus tidur sekamar dengan kalian?

Tadak ade yang ngincar kame, bah."

"Buat jaga-jaga aja, Bang," sahutku. "Abang nggak mau dapat

celaka kan?"

Mendengar pertanyaanku, Bang Sat langsung tidak membantah

lagi.

"Bi Ani dan Bi Atiek juga, ya," pintaku.

Kedua pengurus rumah ini saling berpandangan dengan ragu,

lalu mengangguk.

"Ini langkah pertama kita," kataku pada semua orang untuk

meredakan kegelisahan dan kepanikan yang sudah tersebar di

antara kami. "Mulai sekarang, kita nggak boleh sendirian lagi.

Kalau mau ngapa-ngapain, harus ngajak banyak orang. Termasuk

urusan ke kamar kecil dan sejenisnya."

"Wah, gawat dong," gumam si nenek sihir tak senang.

"Langkah kedua," kataku tanpa memedulikan selaan si nenek

sihir, "kita harus bisa ungkapkan misteri ini secepatnya. Mungkin

kita bisa mulai dari memikirkan kenapa Jay, Aldi, Aldo, dan

Martin diculik."

"Mereka orang-orang yang mau pulang ke Jakarta waktu itu,"

jawab Markus rendah.

Yep, itu juga yang mengganggu pikiranku. Dari sekian banyak

anak-anak yang bisa diculik, justru yang pernah mau pulang ke

Jakarta-lah yang mendapat giliran awal?kalau memang pen

culikan ini akan terus berlanjut.

Mau tak mau, aku bertanya-tanya juga dalam hati. Apakah aku

termasuk kelompok itu? Meski tidak ingin kembali ke Jakarta,

aku juga menemani mereka di pick-up waktu itu. Jujur saja, aku

tidak mau mendapati diriku sudah berada di surga?atau neraka,

di mana sajalah tempat yang mau menerimaku?di saat

seharusnya aku bangun pagi. Tapi aku tak keberatan kalau

sekadar diculik, karena aku kepingin tahu siapa yang melakukan

nya. Siapa tahu aku bisa melakukan sesuatu untuk membebaskan

yang lainnya?atau setidaknya memberi isyarat pada yang lain

supaya bisa mengetahui apa yang terjadi dan mengambil tindak

Yah, tapi kurasa itu skenario yang terlalu bagus. Lebih besar

kemungkinan aku terbangun di neraka daripada terbangun di se

buah bangunan terpencil tempat orang-orang menyekap TKW.

"Ada lagi?" tanyaku.

"Dibanding orang-orang lain, mereka nggak terlalu gede," kini

giliran si nenek sihir yang tampil. "Kamu, Markus, Agus, Leo,

dan Bang Sat termasuk cukup besar, jadi nggak gampang diseret

begitu aja. Irwan dan Sugi emang tidak gede-gede amat, tapi me

reka juga cukup berotot. Sementara Jay, biarpun cukup tinggi,

termasuk kurus, bahkan kurasa berat badannya lebih ringan

daripada aku."

Hmm, pendapat si nenek sihir masuk akal juga. Bisa jadi

itulah yang membuat anak-anak itu diculik duluan?bukan ka

rena mereka termasuk rombongan yang kepingin pulang ke

Jakarta.

"Seandainya, seandainya," kataku menekankan kata terakhir,

"mereka memang disekap, kira-kira mereka bakalan disekap di

mana?"

Inilah pertanyaan yang tidak bisa kami jawab. Setiap tempat

di perkebunan ini sudah kami jelajahi, termasuk gudang bekas

tempat penjagalan yang bau dan mengerikan itu. Tapi tak ada

satu tempat pun yang menunjukkan tanda-tanda tempat itu

pernah digunakan untuk menyekap orang.

Kecuali...

"Gimana dengan kamar-kamar di lantai dua?" tanya Irwan.

Aku menoleh pada Bi Ani dan Bi Atiek. Keduanya meng

geleng.

"Kami tadak punya kunci kamar-kamar itu," Bi Atiek yang

menjawab. "Kamar-kamar itu milik majikan kami, dan kami

dipesan untuk tadak masuk-masuk sembarangan."

"Apa itu nggak aneh?" tanya Leo. "Waktu gue mau ke sini,

gue pesan ke pengurus rumah untuk rajin-rajin bersihin kamar

gue kok. Kalau orangtua gue, mungkin mereka nggak mau kamar

mereka diutak-atik karena ada barang-barang yang berharga

banget. Tapi kita nggak punya barang berharga yang patut

dikhawatirkan. Palingan Xbox atau action figure. Gimana dengan

yang lain?"

Semua orang mengangguk setuju. Kecuali si nenek sihir.

"Aku sih nggak mau orang-orang nyentuh kamarku," katanya

sambil tersenyum penuh arti. "Karena aku punya banyak hal yang

kurahasiain yang ada di dalam kamarku. Hal-hal yang aku nggak

ingin diketahui orang lain."

Mendapat pancingan dari si nenek sihir, aku langsung bertanya

pada Bi Atiek dengan muka setolol mungkin, "Memangnya ada

yang dirahasiakan Ailina, Celina, dan kakaknya, Bi?"

Sementara Bi Ani hanya menatap kami dengan muka tak

mengerti, menandakan bahwa dia sama sekali tidak tahu apa-apa,

Bi Atiek malah gelagapan. Pasti dia tahu lebih banyak daripada

yang diakuinya.

"Bi Atiek?" desakku.

"Tadak ade, Jang." Pembohong. Kami sudah pernah memasuki

kamar-kamar mengerikan itu. "Tadak ade yang perlu disembunyi

kan."

Ingin sekali aku mendesak Bi Atiek supaya mengatakan se

suatu, tapi mulut pengurus rumah yang terkatup rapat itu sudah

menunjukkan maksudnya. Jadi aku tidak bertanya apa-apa lagi,

berharap dia mengira aku sudah melupakan kecurigaanku itu.

Padahal aku tak bakalan lupa.

Saat kami menyudahi pembicaraan itu, Markus dan si nenek

sihir mendekatiku.

"Bi Atiek berbohong," kata si nenek sihir, mengucapkan hal

yang sudah kuketahui.

"Pertanyaannya," sambung Markus, "apakah itu hanya loyalitas

atau dia emang nyembunyiin sesuatu?"

Aku juga ingin tahu jawabannya.

Malam itu kami semua tidur di kamarku, yang bisa dibilang

kamar terbesar selain kamar-kamar di lantai dua. Tadinya kukira

aku bakalan bisa tidur dengan leluasa di tempat tidurku sendiri,

tapi lalu Sugi nyungsep di sebelahku tanpa malu-malu dan lang

sung ngorok dengan wajah bahagia. Markus tidur di kasur lantai

bersama Irwan, Leo, Agus, dan Bang Sat, sementara Bi Ani dan

Bi Atiek bergelung di pojokan. Di seluruh kamar, tampaknya

yang bisa tidur dengan mewah hanyalah si nenek sihir.

Seperti biasa, setelah makan malam, kami semua sudah me

ngantuk sekali. Padahal baru jam sembilan malam. Yah, tidak

mengherankan, kalau mengingat keseharian kami diwarnai dengan

kerja keras dan ketegangan...

Tunggu dulu.

Bukannya aku belum pernah kerja keras seperti ini. Memang sih,

aku belum pernah menjalani pelatihan ala kuil Shaolin semacam ini,

tapi latihan-latihan sebelum pertandingan judo taraf nasional juga

tidak kalah kerasnya. Sedangkan Markus, aku mengenal sohibku itu

layaknya diriku sendiri. Berbeda denganku yang selalu cuek dalam

soal pelajaran akademis (tapi selalu memperoleh nilai tinggi?yep,

aku tahu dunia ini memang tidak selalu adil, tapi aku tidak bisa

banyak protes karena sudah kebagian otak encer dan tampang

ganteng), Markus selalu belajar hingga larut malam saat ulangan

umum. Terkadang dia bahkan tidak tidur sama sekali. Tapi selama

masa ulangan umum berlangsung, dia sama sekali tidak kelihatan

terkantuk-kantuk. Dan tidak pernah ada dalam kamus kami untuk

tidur jam sembilan malam. Bagi kami, jam sembilan bukanlah

malam. Jam sembilan itu sore.

Tapi kenapa kami bisa mengantuk begini?

Hanya ada satu penjelasan.

Kami dibius.

Betul. Itulah penjelasan yang paling tepat. Kenapa kami tidak

pernah tahu bagaimana Jay dan si kembar menghilang? Kenapa

Martin bisa diculik dari kamar yang ditempatinya bersama Agus?

Dan malam ini, kalau sampai ada yang menghilang di antara

kami, kejadian itu akan mengonfirmasikan hasil pemikiranku ini.

Habis, tidak mungkin salah satu dari kami tidak terbangun kalau

ada yang lenyap, kecuali kalau kami semua dibius.

Pikiranku semakin hanyut antara sadar dan tidak. Gawat. Pada

hal aku baru saja menemukan titik terang dalam masalah ini.

Kalau sampai aku melupakan hal ini keesokan harinya.

Brengsek. Aku tidak boleh lupa.

Sebab kalau aku tidak salah, besok kami akan menemukan

bahwa yang lenyap adalah orang itu.

Agus.

Markus

PAGI ini, Agus-lah yang menghilang.

"Hell," gumam Tory di sebelahku. "Ini berarti aku salah. Mereka

nggak hanya nyulik orang-orang yang bertubuh ringan."

Aku hanya mengangguk tanpa bisa menyahut. Crap. Semua ini

benar-benar membuat kami semua frustrasi. Bayangkan saja,

setelah kami semua tidur seruangan, tetap saja tak ada yang ter

bangun saat salah satu dari kami lenyap. Mana kali ini orang

yang lenyap itu sebesar dan seberisik Agus pula. Kalau yang

seheboh Agus saja bisa lenyap tanpa suara, bagaimana dengan

yang jauh lebih kecil dan ringan?

Bagaimana dengan Tory?

Mungkin sebaiknya mulai sekarang aku merantainya pada

diriku, supaya kalau sampai dia diculik, aku tetap bisa meng

ikutinya. Tapi bagaimana kalau aku yang dibawa pergi? Aku kan

tidak mau menyeret-nyeretnya.

"Kamu salah. Justru itulah yang mereka ingin kita pikirin."

Aku dan Tory menoleh pada Tony yang tepekur. Jelas sekali

sahabatku itu sudah berpikir keras mengenai masalah ini. Kadang

aku iri dengan kecerdikannya. Sepertinya Tony selalu bisa me

nemukan jawaban dari setiap misteri atau teka-teki yang kami

temui. Kurasa dia bakalan berhasil kalau dia bercita-cita membuka

kantor detektif. Sayangnya, cita-cita Tony tidak mirip manusiamanusia normal pada umumnya. Katanya, demi mengenang

Bruce Willis yang mati dalam film Armageddon, dia kepingin jadi

astronaut. Kukatakan padanya bahwa sebenarnya dalam film

Armageddon Bruce Willis berkarier di bidang pengeboran minyak

lepas pantai. Tapi Tony tetap berkeras mau jadi astronaut.

Menurutnya, karier itu akan sangat berguna kalau sampai ada

alien mendarat di bumi dan kami semua butuh seseorang untuk

membawa kami keluar dari planet ini.

Kalian menanyakan karierku? Ah, dari penampilanku yang rapi

dan kebiasaanku yang sangat mengutamakan kebersihan saja

kalian sudah bisa menebaknya, kan? Betul, aku ingin jadi dokter.

Tepatnya, dokter spesialis bedah jantung. Kalau Tony mau jadi
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

detektif, kami bisa jadi pasangan Sherlock Holmes dan Dokter

Watson (yeah, aku tidak keberatan jadi Watson kok. Menurutku

dia keren). Sayang Tony mau jadi astronaut. Tapi dia bilang,

kalau dia butuh dokter di pangkalan luar angkasa nanti, dia bakal

mengajak aku. Uh, seperti aku mau saja diajak tinggal di tempat

yang tidak ada oksigennya.

Oke, topik ini sudah melantur terlalu jauh. Kembali ke topik

semula di mana Tony barusan mengatakan pendapat Tory salah

dan, "Justru itulah yang mereka ingin kita pikirin."

"Mereka?" tanyaku ingin tahu.

"Ya," angguk Tony. "Sudah jelas ini bukan perbuatan satu

orang, melainkan sekelompok orang. Mungkin dua, mungkin juga

lebih. Menurut gue sih lebih."

"Pasti udah ada orang yang elo curigai," tebakku.

Tony mengangguk lagi, membuatku semangat. "Yep. Dan bu

kan cuma satu orang." Dia mengedikkan bahunya pada kami, lalu

berkata dengan suara lantang, "Ayo, kita jalan-jalan di per

kebunan jeruk untuk cari udara segar. Pengap banget di sini."

"Tapi, Ton, gimana dengan semua ini?" protes Sugi, tidak se

nang Tony kabur di saat semua sedang kalang kabut menghadapi

peristiwa menghilangnya Agus.

"Nggak ada gunanya kita ngendon di sini, Gi," sahut Tony.

"Justru kita harus berada di alam terbuka dan nyegerin pikiran

kita. Jangan sampai masalah ini bikin pikiran kita jadi butek.

Sebaiknya kalian juga jalan-jalan. Jangan sampai terpisah ya!"

"Kita nggak ngajak mereka?" bisikku pada Tony saat kami

sudah keluar dari penginapan.

Tony menggeleng. "Gue nggak mau menimbulkan kecurigaan.

Kalau sampai mereka tahu kita ngadain rapat kecil atau sebagainya,

bisa-bisa mereka mulai bikin rencana lain yang sulit ditebak."

"Kamu bilang soal mereka terus," kata Tory dengan suara te

nang, tapi matanya yang berkilat-kilat tidak bisa menyembunyikan

ketidaksabarannya. "Siapa sih mereka?"

Namun Tony tidak menyahut pertanyaan Tory sampai kami

sudah jauh sekali dari perkebunan.

"Sebelumnya, gue mau tegasin dulu kalo gue nggak mau

nuduh," kata Tony. "Gue akan paparin faktanya, setelah itu kalian

simpulin sendiri."

Itulah salah satu yang kusukai dari Tony. Meski selalu punya

pendapat bagus, dia tidak mau membiarkan kami menelan semua

kata-katanya mentah-mentah. Berkat itulah otakku selalu terasah

saat bersamanya.

"Pertama-tama, soal kejadian Agus tadi malam. Apa kalian

nggak ngerasa aneh, kenapa kalian nggak terbangun saat Agus

lenyap?"

"Karena, mungkin aja kata-kata Martin benar," sahut Tory

tanpa ekspresi, sehingga aku tidak tahu dia serius atau tidak.

"Mungkin aja Agus beneran diseret sama si Kakak yang lagi ke

pingin punya temen gaul."

"Yah, kalau mau nyari temen gaul, apa nggak ada yang lebih

bagus daripada Agus?"

Kata-kata Tony benar banget deh.

"Bener juga sih," Tory manggut-manggut. "Jay, Aldi, Aldo,

Martin. Semuanya nggak ada yang keren-keren amat. Kalo aku

hantu cewek yang mau cari teman abadi, yang pertama-tama ku

bawa pastilah," dia menepuk bahuku, "kamu."


Lima Sekawan 21 Sirkus Misterius Raksasa Bermata Satu Odisei Buku Girl Talk 02 Berani Tampil Beda

Cari Blog Ini