Ceritasilat Novel Online

Permainan Maut 4

Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu Bagian 4

"Thank you, sangat menenangkan," ucapku geli.

Tony menyipitkan matanya dan mendesah. "Kalian berdua

benar-benar menjijikkan."

"Thank you, aku sangat tersanjung mendengarnya," kata Tory

dengan nada tersanjung yang sama denganku waktu menanggapi

ucapannya. "Oke, lanjut. Jadi menurutmu, aneh sekali tadi ma

lam nggak ada satu pun dari kita yang terbangun saat Agus

diculik?"

"Ya." Tony tampak lega saat pembicaraan beralih ke topik yang

lebih disukainya. "Coba lo pikir, man. Kita berdua kan bukannya

orang yang hobi hidup santai-santai." Orang ini benar-benar

nggak ngaca. Bisa dibilang dialah orang yang hidupnya paling

santai yang pernah kukenal. "Kita juga pernah kerja keras, latihan

gila-gilaan, nggak tidur semalaman. Tapi kita nggak pernah tepar

sampai nggak bangun-bangun gitu."

"Apalagi aku," sela Tory. "Aku orangnya gampang banget ter

bangun."

"Nah," tandas Tony penuh kemenangan. "Kalo udah begitu,

aneh sekali kan, kita nggak terbangun sama sekali? Menurut kali

an kenapa coba?"

Sebuah kemungkinan melintas dalam pikiranku. "Kita di

bius."

Tony mengangguk.

"Dan satu-satunya yang bisa ngelakuin itu cuma Bi Ani, koki

kita," sambung Tory.

Aku merasakan nada kekecewaan pada suara Tory, dan aku

mengerti hal itu. Kami semua menyukai Bi Ani yang ramah dan

murah hati, dan kami memercayainya untuk mengurus ransum

makanan kami. Namun kini ada kemungkinan dia sudah

mengkhianati kami?dan kemungkinan itu sangat besar.

"Bi Ani nggak bakalan sanggup ngangkat Jay, Aldi, Aldo,

Martin, apalagi Agus, kalo dia sendirian aja," ucap Tony. "Dia

butuh bantuan. Dugaan gue, yang bantuin dia adalah Bi Atiek.

Itulah sebabnya mereka mulai dengan nyulik mereka-mereka yang

paling ringan."

"Jadi ini nggak ada hubungannya dengan masalah pulang ke

Jakarta," kataku.

"Begitulah," sahut Tony. "Tapi saat kemarin Tory menyinggung

dugaannya yang ternyata mendekati kebenaran ini, mereka lang

sung berniat matahin dugaan itu dengan nyulik Agus."

"Tapi bahkan dengan bantuan Bi Atiek pun, Bi Ani nggak

akan sanggup ngangkat Agus," ujar Tory. "Apa ini berarti Bang

Sat juga terlibat?"

"Mungkin aja." Tony mengerutkan alisnya. "Meskipun aku

ragu Bang Sat terlibat. Soalnya Bang Sat kelihatan terpukul ba

nget waktu pick-up-nya tenggelam."

"Sementara pelaku semua kejadian ini pastilah orang yang

sama dengan orang yang ngerusak jembatan," kataku. "Jadi sejak

saat itu, mereka udah punya rencana untuk ngurung kita di sini.

Lalu kita dibikin kelaparan untuk ngurangin berat badan kita,

supaya lebih gampang diangkut."

"Kira-kira seperti itu." Tony berjalan sambil merenung, sampaisampai tidak sadar saat tersandung lantaran kakinya terantuk

batu. "Pertengkaran Jay dengan si kembar adalah kesempatan

bagus bagi mereka untuk beraksi. Kita jadi mengira kejadian

itulah yang bikin Jay menghilang, padahal sama sekali nggak ada

sangkut pautnya."

"Cerdas juga. Tapi," napasku tertahan, "ini berarti dalang se

benarnya bukan Bi Ani, Bi Atiek, apalagi Bang Sat."

"Ya." Lagi-lagi Tony mengangguk. "Masalahnya, Ailina dan

Celina masih ada di rumah sakit, sementara kakaknya sedang

dirawat di Jakarta dan..."

"Kata Ailina, kakaknya sedang ada di Jakarta," kata Tory me

ngoreksi. "Gimana kalo Ailina bohong? Gimana kalo sebenarnya

kakaknya masih ada di suatu tempat di perkebunan ini?"

Memikirkan ada seseorang yang hidup di perkebunan ini tanpa

kami ketahui, membuatku merinding.

"Kalo emang benar," kataku, "dia tinggal di mana? Kenapa kita

nggak pernah ketemu dengannya? Kenapa kita nggak pernah

nemuin tanda-tanda kehidupannya?"

"Itulah yang perlu kita selidiki," kata Tony penuh tekad.

"Malam ini, gimana kalo kita nggak makan malam?"

Usul yang sangat luar biasa, mengingat usul ini muncul dari

orang yang sangat mementingkan makanan.

"Mungkin bukan cuma makan malam kita yang diberi obat

bius, tapi juga minuman kita," kataku mengingatkan.

"Kalau begitu, kita jangan mengonsumsi apa-apa," tegas Tony.

"Paling-paling air putih yang harus kita ambil sekarang juga.

Selain itu, jangan makan dan minum apa-apa lagi."

Crap. Hari ini bakalan jadi hari yang berat banget.

Seharian itu kami berusaha bersikap biasa-biasa saja. Kami

tetap membantu Bi Ani dan Bi Atiek mengurus rumah, menimba

air, menyiangi tanaman, dan memetik jeruk. Kami juga me

mancing dan berburu burung lagi. Kali ini aku berhasil me

nangkap seekor ikan bandeng yang cukup besar. Seharusnya aku

berpuas diri dengan tangkapan ini, namun kan rencananya kami

tidak makan malam. Jadi, aku hanya bisa menatap ikan itu

sambil menelan air liur dan menyesali kenapa aku tidak me

nangkapnya sebelum makan siang. Dari tampang mereka yang

berkerut-kerut, bisa kulihat Tony dan Tory punya pemikiran yang

sama denganku.

"Semoga gue nggak keburu pingsan saking lapernya," bisik

Tony padaku.

Aku hanya menyeringai pahit. Habis, aku juga berpikir be

gitu.

Malam itu kami berangkat tidur dengan hati berdebar-debar

dan perut keroncongan. Aku sama sekali tak punya bayangan apa

yang akan kami hadapi. Aku hanya yakin malam ini akan ada

seseorang yang diambil lagi, tapi aku tidak bisa menebak siapakah

orangnya?dan aku tidak punya waktu untuk menduga-duga.

Saat ini yang kulakukan adalah berusaha keras mengatur napasku

supaya terdengar seperti orang yang tertidur lelap. Mata yang

tertutup tidak boleh mengedip, tubuh tidak boleh melakukan

gerakan mendadak. Tidak boleh mengacuhkan nyamuk yang

hinggap atau kutu kasur yang menggigit.

Dan aku tidak tahu seberapa lama kami harus tetap berpurapura seperti ini.

Setelah penantian yang rasanya seperti berjam-jam, akhirnya

kudengar bunyi yang menandakan adanya aktivitas di sekitarku.

"Bangun." Itu suara Bi Atiek. "Kita mulai kerja."

"Ya," suara sahutan Bi Ani terdengar ogah-ogahan.

Jadi Bi Atiek yang memimpin tugas ini, dan Bi Ani hanya

mengikuti. Ada kelegaan di dalam hatiku. Teringat betapa ke

duanya berdebat tentang Celina, kusadari bahwa Bi Ani mung

kin berada dalam posisi terjepit yang memaksanya melakukan

semua ini. Bisa jadi, kalau kami menemukan caranya, kami

bisa membuat Bi Ani berpihak pada kami dan mengakui se

muanya.

"Siape kali ini?" tanya Bi Ani dengan suara letih. "Kame sudah

tadak sanggup angkat yang berat-berat. Tadi malam pinggang

kame nyaris patah."

"Kau juga dengar orang-orang mulai curige kita cuma ambil

yang keci-keci," ketus Bi Atiek. "Jadi kite harus bisa ambil yang

besa bah, biar kita tadak ketahuan." Diam sejenak. "Ambe budak

yang itu jak."

Hening sejenak.

"Jangan," terdengar suara Bi Ani. "Yang itu kan perempuan."

Napasku tercekat. Tory? Mereka ingin mengambil Tory? Mataku

terbuka, dan tatapanku langsung beradu dengan mata Tony yang

menatapku tajam.

Jangan bergerak, begitulah kira-kira yang ingin dikatakan Tony

padaku.

Tapi mana mungkin aku berdiam diri dan membiarkan Tory

diambil begitu saja?

"Perempuan juga tak ape," kata Bi Atiek. "Pokoknya manusia

jak yang penting."

Apa maksud kata-kata itu?

Mendadak aku merasa ngeri setengah mati. Aku ingin bangkit

duduk dan mencegah apa pun yang mereka lakukan, tapi lagi-lagi

Tony memelototiku.

Oke. Ambil napas, usahakan untuk tetap tenang, dan ber

pikirlah baik-baik. Tony benar. Kalau bangun sekarang, bisa jadi

Bi Atiek dan Bi Ani mengingkari semua tuduhan kami. Lalu,

keesokan harinya, mereka akan mengubah rencana mereka, dan

kami harus mulai dari awal lagi.

Lagi pula, kami tidak akan meninggalkan Tory. Saat Tory

dibawa pergi, kami akan segera mengikuti mereka.

Jadi aku menahan diri dan sama sekali tidak bergerak. Crap.

Benar-benar susah banget. Untung saja aku membelakangi me

reka. Kalau tidak, pasti aku sudah ketahuan. Tidak bisa ku

bayangkan perasaan Tory yang saat ini sedang diangkat oleh

kedua pengurus rumah itu. Seandainya di dalam hatinya ada se

dikit ketakutan karena bakalan dibawa pergi, Tory pasti sudah

ketahuan.

Betapa kagumnya aku pada cewek luar biasa itu.

Kudengar bunyi pintu dibanting. Sepertinya mereka sama

sekali tidak repot-repot berusaha untuk tidak berisik. Tentu saja,

apa yang perlu ditakutkan? Yang mereka tahu adalah bahkan

gempa bumi pun tak bakalan bisa membuat kami semua ter

bangun, apalagi kalau hanya suara percakapan dan bunyi debam

an pintu.

Aku langsung membuka mata. Tubuhku tak sabar lagi untuk

bertindak. Kami harus segera membuntuti mereka!

"Ayo." Tony melompati tubuh Irwan dan Leo yang terbujur

bagai orang mati, lalu mendarat di sampingku. Yang tak kuduga,

wajah Tony kelihatan cemas setengah mati. "Kita susul mereka."

Berbeda dengan Bi Ani dan Bi Atiek, kami berdua harus bisa

bergerak tanpa suara, dan itu nyaris tidak mungkin dilakukan di

rumah yang senang menimbulkan suara-suara mengerikan ini.

Terpaksa kami membiarkan Bi Ani dan Bi Atiek agak jauh di

depan kami, lalu bergerak dengan sehati-hati mungkin, bagaikan

dua sosok ninja dalam balutan pakaian berupa kaus basket dan

celana gombrong. (Kalau Tony mau, dia boleh jadi Naruto. Kalau

aku sih sudah cukup puas jadi Hattori Hanzo.) Sedikit salah

langkah saja kami bakalan ketahuan, tapi kami sudah cukup

terlatih dalam beberapa kesempatan saat kami berkeliaran di

rumah ini malam-malam.

Tapi gila, semua ini benar-benar menegangkan.

Kami tiba di lantai terbawah. Kukira kami bakalan menuju ke

luar penginapan, namun ternyata kedua pengurus rumah itu

menuju dapur dan meletakkan Tory di pojok ruangan. Pikiranku

dipenuhi tanda tanya. Memangnya ada apa di dapur? Kan hanya

ada persediaan makanan, akuarium-akuarium, peralatan masak

seperti kuali, panci, pisau...
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Astaga. Apa mereka berniat memutilasi Tory?

Jantungku berdebar keras sekali, dan napasku hampir saja

putus menunggu tindakan kedua pengurus rumah itu.

Semoga mereka tidak berniat mencelakai Tory.

Di luar dugaan kami, kedua pengurus rumah itu menyingkir

kan salah satu lemari penyimpanan, menampakkan sebuah pintu

kayu besar. Astaga, ternyata rumah ini punya ruang bawah tanah.

Tentu saja, ini kan rumah lama, pasti punya ruang rahasia atau

semacamnya. Seperti rumah Jenny dulu. Selama ini kami tidak

memikirkan kemungkinan itu karena dari luar bentuk rumah ini

tampak jelas?sama sekali tak ada ruangan yang bisa disembunyi

kan. Tak kami sangka, ternyata ruangan tersembunyi itu ada di

bawah tanah.

"Apa yang harus kita lakukan?" bisikku pada Tony saat kedua

pengurus rumah itu menghilang di balik pintu kayu bersama

Tory.

"Kita tunggu," sahut Tony dengan suara pelan. "Jangan sampai

kita masuk ke sarang musuh pada saat semuanya lagi ngumpul.

Begitu mereka keluar, kita sergap. Setelah itu, kita baru turun."

"Kalo gitu, apa nggak mendingan tadi kita sergap dulu se

belum mereka bawa Tory turun ke ruangan bawah tanah?" pro

tesku.

Tony terdiam lama. "Oh iya, ya. Harusnya gitu..."

Arghh. Dasar Tony idiot kelas berat. Sekarang kami jadi mem

bahayakan Tory.

"Tapi ini ada bagusnya juga," kata Tony membela diri. "Setidak

nya, sekarang Tory pasti bikin sibuk orang-orang di bawah. Jadi

kita bisa ngurus yang di atas, lalu lanjut ke yang di bawah."

Semoga saja begitulah yang terjadi.

Tory

MAU saranku yang paling bijaksana?

Jangan mau berperan sebagai korban penculikan. Benar-benar

tidak enak. Aku diperlakukan dengan kasar, diseret-seret bagaikan

boneka tak bernyawa, dilempar-lempar seperti sekarung kentang

tak berharga. Entah berapa juta sel otakku yang mati gara-gara

kepalaku tidak diperlakukan dengan hormat, entah berapa benjol

dan memar yang kudapat gara-gara badanku tidak mendapat

perlakuan lembut. Belum lagi daster putihku yang indah dan

biasa kugunakan untuk berpura-pura jadi hantu ini jadi sobek.

Pokoknya, kalau aku ketemu siapa pun yang bertanggung

jawab atas semua ini, aku bakalan minta ganti rugi. Dasterku saja

seharga dua juta rupiah (memang sih, itu termasuk PPT alias

Pajak Pendapatan Tory yang besarnya 500% dari harga beli),

belum lagi biaya rawat inap di rumah sakit milik keluarga seharga

lima juta per malam (kalau bukan di kamar suite, nggak asyik

rasanya) dan harga obat (apa kalian tahu sekarang harga obat

mahal banget? Terutama obat hasil racikan keluarga yang harganya

bisa dipasang dengan semena-mena). Pokoknya, pada saat semua

ini berakhir, aku akan memastikan pelaku kejahatan ini bangkrut

sebangkrut-bangkrutnya?dan mereka akan menyesal sudah men

cari masalah dengan Tory Senjakala.

Kurasa aku berbakat jadi penegak hukum?apalagi karena aku

merasa diriku adalah hukum.

Hell, sekarang aku kok kedengaran seperti diktator? Sudahlah,

lebih baik aku jadi orang biasa yang tak berbahaya saja. Misalnya

guru yang hobi menyiksa murid-murid yang badung, penjahit

yang suka menusuk-nusuk pegawai-pegawai yang malas dengan

jarum, biarawati yang akan meninju siapa saja yang pelit banget

dan tidak menyumbang kolekte. Astaga. Sepertinya tidak ada

karier yang tidak berbahaya untukku. Kalau begitu aku jadi pem

balap sajalah. Setidaknya bahayanya jelas.

Kukeraskan rahangku saat sekali lagi kepalaku membentur

dinding kayu yang mengapit tangga menuju ruang bawah tanah.

Menarik bukan, bahwa rumah seperti ini punya ruang bawah

tanah? Aku bertanya-tanya apa yang akan kutemui di bawah situ.

Semoga saja memuaskan. Kalau tidak, semua penderitaanku

bakalan sia-sia.

Aku lega sekali saat kami tiba juga di ruang bawah tanah.

Akhirnya aku tidak perlu mengalami perjalanan penuh guncangan

dan benturan lagi. Namun ruang bawah tanah itu rupanya jauh

lebih luas daripada dugaanku. Kami melewati daerah penuh

karung-karung dan kotak-kotak yang kuduga berisi makanan.

Hell, sementara kami semua kelaparan di atas sana! Kalau sudah

waktunya nanti, aku pasti bakalan mencari perhitungan untuk

ketidakadilan ini.

Pendaratan yang kudapatkan sama sekali tidak mulus. Aku

dilemparkan begitu saja ke atas tumpukan karung yang sepertinya

berisi beras, kalau dirasakan dari kepadatannya. Tapi setidaknya

itu lebih baik daripada dibiarkan terkapar di lantai yang ke

bersihannya sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan.

"Ayo, kita naik," gumam Bi Atiek yang dari tadi judes banget.

Aneh, mendadak saja dia terdengar ketakutan. "Lebih baik kita

tadak ketemu dia."

Dia? Siapa itu dia? Kenapa dia bisa membuat Bi Atiek yang

jutek ngacir secepat kilat?

Hell, seluruh urusan ini benar-benar membuatku penasaran.

"Bi Atiek, kali ini siapa?"

Buset. BUSET. Suara si anak-SMP-berdada-montok-penggodaMarkus!

Kenapa dia ada di sini? Bukannya seharusnya dia sedang tepar

di rumah sakit?

"Ini... hah!" Kurang ajar. Apa maksudnya dengan "hah"? Pasti

itu gara-gara melihat aku, kan? "Kalian bawa si nenek lampir?

Syukurin!"

Hell, apa tidak salah, aku dikatai nenek lampir? Bukannya yang

lebih pantas jadi nenek lampir itu dia?

"Ada apa, Cel?" Nah, sekarang suara si cewek-sok-imut-yangbelagak-jadi-nona-rumah-yang-baik-padahal-menyimpan-enambilah-pisau-berkilauan-di-kamar. "Astaga, ini kan kakak Tony!

Aduh, kenapa kalian bawa dia ke sini?"

"Terpakse, Non," sahut Bi Atiek. "Habisnya tadak ade yang

keci-keci lagi. Semuanya besa-besa, kame sama Bi Ani tadak sang

gup angkat."

"Tapi kan Bibi bisa suruh saya dan Celina bantu angkat,

seperti kemarin."

Oh, jadi Agus-si-ketek-berbisa harus diangkat empat orang

sekaligus. Ohohoho. Andai aku bisa melihat adegan Agus-si-ketekberbisa digotong-gotong... Pasti semuanya memaki-maki aroma

luar biasa yang menguar dari tubuh sang babon. Aih, adegan

yang lucu.

"Ya sudah," kata si cewek-sok-imut-tukang-parno dengan suara

penuh sesal. "Gimanapun, lebih baik dia daripada Tony atau

Markus. Ayo, kita bawa ke dalam, Cel."

"Non, saya dan Bi Ani tadak perlu ikut masuk, kan?" tanya Bi

Atiek takut-takut.

"Tadak usah. Bibi pergi dulu aja, biar tadak usah ketemu dia."

"Makasih, Non."

Kenapa sih Bi Atiek buru-buru mau pergi? Siapa sih dia yang

begitu membuat takut semua orang?

Tak lama kemudian aku pun tahu jawabannya.

Dua nona rumah kami yang bermuka dua mengangkatku

dengan susah payah?iya deh, aku memang berat?lalu me

nyeretku dengan lebih kasar lagi daripada pengurus-pengurus

rumah mereka. Sepertinya kami melalui beberapa ruangan se

belum akhirnya tiba di ruangan yang harus kami tuju?ruangan

yang cukup besar untuk hidup nyaman di bawah tanah.

Serius deh. Belum pernah kutemui rumah yang begini ajaib.

Saat tiba di ruangan itu, aku langsung mencium bau mirip

bau besi atau tembaga yang begitu kental dan memuakkan, yang

belakangan kukenali sebagai bau darah. Saat diletakkan?atau

tepatnya dilemparkan?ke tengah-tengah ruangan, aku berusaha

membuka mataku sesedikit mungkin supaya bisa mengintip.

Andai saja aku tidak melakukannya.

Sesuai dengan reputasinya sebagai ruang bawah tanah, kamar

itu sangat sederhana, suram, dan lembap. Lilin-lilin yang tak ter

hitung jumlahnya menerangi ruangan itu seharusnya menambah

kan sedikit kehangatan, namun tetap saja kulitku masih merin

ding karena sebab-sebab yang sulit kumengerti. Di tengah-tengah

ruangan terdapat sebuah gambar pentakel yang dibuat dengan

sangat rumit. Sepertinya ada upacara ritual aneh dan tak me

nyenangkan yang biasa dilakukan di sini.

Namun yang membuat jantungku nyaris berhenti adalah, di

sekeliling ruangan itu, terlihatlah teman-teman kami yang

lenyap?Jay, Aldi, Aldo, Martin, dan Agus. Semuanya tergantung

di langit-langit dengan rantai besar dan berkarat. Tubuh mereka

tampak pucat, sementara pakaian mereka berlumuran darah yang

sudah berwarna cokelat. Di bawah mereka terdapat baskom se

olah-olah benda itu digunakan untuk menampung darah

mereka?dan aku tak heran kalau mereka sudah mati karena

kehabisan darah, karena mereka benar-benar tampak pucat, nyaris

transparan.

Sekarang sepertinya aku tidak perlu pura-pura pingsan lagi,

soalnya aku bakalan pingsan sungguhan.

"Ini korban berikutnya?" Terdengar suara serak yang langsung

membuatku merasa ngeri. "Bagus. Sudah lama aku kepingin kor

ban cewek."

Enak saja. Memangnya aku bakalan membiarkan hal itu terjadi

dengan begitu gampang?

Begitu ada yang menyentuhku, aku langsung mencekal tangan

itu kuat-kuat?dan kaget setengah mati. Habis, lengan yang ku

cekal itu besar dan keras laksana lengan petinju. Aku memelototi

pemilik tangan sekaligus suara serak mengerikan itu. Meski masih

muda?mungkin sekitar dua puluhan?wajah itu tampak jauh

lebih tua daripada usianya karena keriput, suram, dan pucat,

seakan-akan sudah lama tidak melihat matahari?yang sangatlah

aneh karena sepertinya matahari cinta setengah mati pada kota

ini. Kurasa inilah si kakak laki-laki yang terkena kanker itu.

Namun berlawanan dengan mukanya yang mirip orang siap

mati, orang itu bertubuh tinggi dan besar, kelihatan sangat kuat

dan sehat. Mirip Tank Abbott yang sanggup menggilas setiap

orang yang punya nyali untuk menghadapinya. Aku benar-benar

sudah salah langkah karena berani-beraninya mencekal orang ini

dan berencana merobohkannya. Tapi bukan kekuatan yang mem

buatku bisa merobohkan seorang cowok, melainkan kecepatan.

Dan kali ini aku tidak perlu merobohkannya. Aku tidak

bodoh, aku tahu tak bakalan bisa mengalahkan orang ini. Yang

bisa kulakukan hanyalah mencuri sedikit waktu supaya aku bisa

ngacir sejauh-jauhnya dari tempat ini.

Jadi aku mengeluarkan jurus curang-namun-efektif-yang-sudahterkenal-selama-berabad-abad. Kutendang selangkangan cowok itu

sekuat-kuatnya.

Terdengar raungan keras menggema dalam ruangan itu bagai

kan singa yang baru saja dicabuti kukunya, tapi aku tidak berniat

menunggunya pulih dari rasa sakit. Aku langsung melompat ke

arah pintu, siap-siap bergabung dengan Tony dan Markus yang

entah ada di mana. Hell, kalau sampai aku ketemu mereka, akan
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kusundul mereka juga karena berani-beraninya membiarkanku

menentang bahaya seorang diri. Apa mereka tidak mengkhawatir

kan cewek lemah tak berdaya sepertiku? Apa mereka tidak cemas?

Apa mereka tidak memikirkan bahwa nyawaku bisa berada di

ujung tanduk?

Ngacir dulu ah.

Tiba-tiba kurasakan hantaman keras di punggungku laksana

ditabrak truk (bukan berarti aku pernah ditabrak truk. Kalau iya,

mungkin aku sudah tak ada di dunia ini). Begitu sakitnya

sampai-sampai aku tersungkur ke lantai.

"Meremehkan kami, ya?" Hell, itu suara si cewek-penggodayang-ngaku-ngaku-masih-SMP-tapi-jangan-jangan-memalsukanumur. "Udah gue kira dari tadi, elo nggak benar-benar terbius.

Makanya gue udah siap-siap menghajar lo dengan kursi ini."

Rupanya aku dihantam dengan kursi?dan sepertinya yang

terbuat dari kayu. Kurang ajar. Aku jadi tidak sanggup berdiri.

Mana pandanganku jadi berkunang-kunang. Samar-samar kulihat

dia menyentakkan kursi yang ternyata langsung hancur itu, lalu

memisahkan salah satu bagian kayu yang terpanjang.

"Gimana rasanya, hah?" Cewek itu berkacak sebelah pinggang

sambil mengacungkan senjata barunya itu. "Pasti nggak ada apaapanya dibanding jatuh dari tangga, kan? Pasti lo bertanya-tanya

soal kejadian di tangga itu. Berhubung riwayat lo udah mau ta

mat, gue kasih tau deh, biar lo nggak jadi hantu penasaran. Jadi

sebenarnya gue sengaja jatuhin diri gue kok. Itu sebuah keharus

an, supaya kalian semua nggak curiga saat gue dan Ailina pergi

dari rumah. Awalnya gue emang ketakutan, dan nyaris ngebatalin

niat itu. Tapi entah kenapa gue bisa ngelakuin itu juga. Gue

berhasil nahan diri supaya nggak jatuh parah-parah banget, tapi

untungnya sempat pingsan juga, jadi gue nggak perlu bersandi

wara sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Sampai di sana,

Ailina harus mastiin supaya dokter yang merawat gue adalah dok

ter kami, dokter yang udah bersedia bekerja sama dengan kami

untuk malsuin keterangan. Dan kalian semua pun tertipu."

Meski secara fisik aku merasa lemah, pikiranku masih tetap

jernih. "Jadi kalian juga yang ngerusak jembatan."

"Iya dong," sahut si cewek gila dengan nada seolah-olah itu

sebuah prestasi hebat. "Kami pulang malam itu juga, lalu nge

rusak jembatan pada pagi hari. Yang agak ngerusak rencana

hanyalah kami nggak tahu kalo si Abang sedang ngejemput anakanak pengecut yang langsung kepingin pulang itu. Bukannya

kenapa, kami nggak mau ngelibatin penduduk lokal. Berbahaya

kalo ketauan. Tapi kalian kan orang luar. Kalo kalian hilang,

nggak akan ada yang nyangka kalian lenyap di sini. Tapi kalo

udah begini, sepertinya si Abang juga harus dilenyapkan."

Sambil mengumpulkan kekuatan, aku bertanya lagi untuk

mengulur waktu sekaligus memuaskan rasa ingin tahuku. "Kenapa

kalian ngelakuin semua ini?"

Suara si cewek gila berubah suram. "Demi kesembuhan kakak

gue. Kakak gue sakit kanker darah. Menurut dokter-dokter goblok

di Jakarta, dia udah nggak mungkin sembuh lagi. Tapi kami tau

lebih baik. Kami nyari informasi di internet, dan ada yang bilang

kalo ada cara alternatif untuk ngobatin penyakit ini."

Astaga, bisa-bisanya cewek itu kedengaran bangga dengan

tindakannya itu. Dasar goblok, tolol, idiot, gila. "Dengan meng

adakan ritual."

"Bukan cuma ritual. Kalo kakak gue minum darah dari se

jumlah orang sehat, darah suci yang dipersembahkan pada dewa,

darahnya akan dibersihin dari segala penyakit dan dia akan

sembuh. Cuma dibutuhin tiga mangkuk darah dari enam orang

yang berbeda, dan dia akan sembuh. Kebetulan, elo orang ke

enam."

Benar-benar ini urusan iblis, melibatkan angka enam segala?

lebih tepatnya lagi, tiga kali enam. Astaga.

"Setelah ini, semuanya akan berakhir. Kakak gue akan sembuh.

Kami akan kembali ke rumah kami sebagai keluarga utuh. Gue

akan jadian sama Markus, dan Ailina bakal jadian sama Tony.

Sementara lo, lo boleh pergi ke neraka."

Aku tertawa singkat. "Apa nggak sebaliknya? Bukannya kamu

yang lebih layak menghuni neraka?"

"Dasar cewek nggak tau diri!"

"Auw!" Aku tidak sanggup menahan teriakan kesakitan saat si

cewek-gila-dan-kejam menghajar punggungku sekali lagi.

"Apa lo nggak sadar, nyawa lo ada di tangan kami?" lanjut

cewek gila itu.

"Tadi kamu bilang keluargamu utuh," ucapku tanpa memeduli

kan perkataannya yang tidak penting banget. "Emangnya keluarga

mu utuh? Kalo iya, kenapa orangtuamu nggak keliatan?"

Sesaat si cewek gila terdiam. "Kok lo bisa tau soal orangtua

gue?"

"Nggak butuh ritual atau upacara gila untuk tau soal gituan,"

balasku seenaknya.

"Orangtua, lo bilang?" ulang si cewek gila, seolah-olah perkata

an itu sudah menyinggung perasaannya. "Kami nggak punya

orangtua, tau? Buat apa punya orangtua yang nggak bisa nyari

duit, yang kerjanya berjudi dan berfoya-foya, dan begitu utang

bank jatuh tempo, mereka langsung kabur ninggalin anak lakilaki mereka yang sakit kanker dan dua anak perempuan yang

bahkan belum lulus sekolah?"

Mendengar perkataannya, aku pun membisu. Mau tak mau

aku jadi kasihan juga. Seandainya ini terjadi pada temanku?atau

pada orang asing sekalipun?aku akan sangat bersimpati dan

berusaha memberikan bantuan sebisanya. Mungkin aku akan

melakukan hal yang sama dengan Tony si tengil yang langsung

berderap ke sini untuk membantu temannya yang berada dalam

kesulitan. Tentu saja, aku akan menempuh jalan yang lebih halus

dan tak kentara. Memangnya aku mau kelihatan jadi orang baik

hati dan penuh belas kasih? Itu kan tidak sesuai dengan imejku,

sementara aku sangat menyukai imejku yang sekarang ini dan

tidak berniat mengubahnya.

Tapi terhadap orang-orang ini, yang langsung berubah jahat

pada saat kondisi memburuk, yang tidak segan-segan mencelakai

orang lain yang tidak berdosa, memerangkap kami semua di peng

inapan paling seram di dunia, membuat kami semua kelaparan,

menggantung teman-temanku seperti binatang dan mencuri darah

mereka?bahkan memukulku dari belakang, dua kali pula?aku

sama sekali tidak boleh lemah. Soalnya, sekali saja aku terjebak

rasa kasihan, tahu-tahu saja mereka bakalan mengumpankanku

pada buaya sambil berkata, "Tolonglah, ini demi keselamatan jiwa

kami!"

Sementara mereka sama sekali tidak memedulikan keselamatan

jiwaku. Dasar bajingan keparat.

"Kenapa kau malah ngobrol dengannya?" Aku tersentak ke

belakang saat si kakak-raksasa-bertampang-mirip-mayat-hidup

menjambak rambutku, lalu menjedukkan kepalaku yang malang

ke lantai berubin jelek. Ouch. Bertambah lagi deh daftar kejahat

an mereka. "Dasar cewek bangsat. Berani-beraninya menendangku.

Ayo, Cel, bantu aku menggantungnya di atas."

"Ih, Kakak. Kan gue udah lama nggak ngobrol sama siapasiapa selain Kakak dan Kak Ailina. Wajar dong kalo gue bawel

sedikit."

Apanya yang bawel sedikit? Kalau sampai aku lolos dari sini,

aku akan memastikan semua kata-katanya muncul di koran. Bisa

kubayangkan tajuk berita menghebohkan: "Keluarga Vampir

Maniak Memangsa Sekelompok Judoka namun Berhasil Digagal

kan Kakak si Kapten Judo yang Cantik". Hmm, agak kepanjang

an gara-gara memasukkan kata-kata mengenai kakak-kapten-judoyang-cantik itu, tapi itu justru bagian terpenting dari judulnya.

Tanpa kata-kata itu, judul itu kedengaran membosankan dan tak

bakalan menarik perhatian pembaca.

Oke, sepertinya aku juga harus berhenti melantur. Mungkin

otakku jadi rada tidak beres karena kepalaku diperlakukan dengan

tidak hormat. Apalagi dalam waktu dekat, aku bakalan jadi kor

ban persembahan ritual yang sama sekali tak bakalan menghasil

kan apa-apa selain kerugian besar di pihakku.

Tolong!

"Markus!"

Hell, kenapa aku ini, bisa-bisanya menyebut nama cowok itu

pada saat-saat seperti ini?

"Markus?" Terdengar suara tertawa puas nan centil di bawahku.

"Nggak gue sangka, di balik sikap dingin lo, ternyata lo tergilagila sama si bule itu. Sori ya, Nek, setelah semua ini berakhir,

Markus jadi punya gue. Jangan sakit hati, ya! Ayo, Kak Nardi,

mulai upacaranya. Jangan tunggu sampai subuh."

Susah payah aku menyingkirkan denyutan sakit di kepala dan

punggungku, lalu menatap adegan di bawahku. Si kakak-raksasapemuja-setan sedang sibuk komat-kamit, sementara dua adik

perempuannya yang mengenakan gaun berwarna hitam panjang

dan kelihatan seperti sepasang gagak betina berperan sebagai

asisten. Si kakak-sok-imut-yang-tampak-pendiam-malam-ini

menyodorkan baskom plastik yang tampak murahan di bawah

tubuhku?hei, darahku layak ditampung di tempat yang lebih

bagus!?sementara si adik-gila-yang-lagi-bertampang-puas-diri

membersihkan sesuatu yang tampak seperti cambuk???

Ini gila. Benar-benar gila. Aku harus bisa membebaskan diriku.

Kalau saja ikatan tali ini tidak erat banget. Arghh, aku frustrasi!

Aku frustrasi jadi pihak yang lemah. Aku tidak mau menyerah.

Aku tidak sudi menyerah begitu saja.

Tapi sepertinya aku tidak punya pilihan lain.

Tanpa daya aku menatap si adik menyerahkan cambuk itu

pada kakak laki-lakinya sambil tersenyum licik. Hell, cewek itu

pasti menikmati adegan penyiksaan dengan aku sebagai korban

nya. Dasar cewek gila. Semua orang di keluarga ini gila!

Aku memejamkan mata saat si kakak laki-laki mengayunkan

cambuknya padaku.

Lho, kok tidak kena?

Aku membuka mata dan melihat tangan si kakak laki-laki yang

sebesar batang pohon sedang ditahan oleh Markus. Wajah cowok

itu dingin dan tampak sedikit kejam.

"Berani sentuh dia sedikit aja," geraman Markus terdengar jelas

di ruangan hening itu, "akan kubuat kau mengenal neraka."

Arghh. Ganteng. Ganteng banget!

Oke, kurasa aku juga gila, bisa-bisanya histeris memikirkan

kegantengan Markus pada saat-saat seperti ini.

"Hei, Nenek Sihir." Oh. Ternyata si adik-tak-berguna juga

muncul, tapi kemunculannya sama sekali tidak menarik perhatian

ku. "Kamu baik-baik aja?"

"Kalo ngeliat posisiku begini, nggak terlalu," kataku dari atas,

berusaha menutupi rasa senangku karena bala bantuan sudah

datang. "Tapi nggak masalah. Yang lebih penting, kalian berdua

bisa ngalahin Tank Abbott itu nggak?"

Markus tidak melepaskan pandangannya dari si kakak-laki-lakiraksasa-yang-kusebut-Tank-Abbott. "Bisa dong."

"Oke, kalo gitu cepet lakuin dan buruan turunin aku dari

sini."

Markus melirik ke arahku, ujung bibirnya melengkung ke atas,

membuat wajahnya yang dingin jadi melembut.

"Trust me."

Hell, cowok ini memang pandai membuatku deg-degan.

Tony

AKU tidak mendengarkan percakapan konyol antara Markus
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan si nenek sihir lagi. Mataku melekat pada Ailina yang berdiri

tak jauh dariku, berdampingan dengan Celina. Keduanya me

ngenakan gaun hitam konyol. Ailina membawa sebatang tongkat

besi, sementara Celina menggenggam potongan kayu yang tampak

berbahaya. Mereka sama-sama memasang wajah kami-siap-matiuntuk-membela-keluarga.

Brengsek, memangnya aku tidak? Darahku mendidih banget

melihat si nenek sihir yang biasanya belagu kini tergantung di

langit-langit bagaikan ikan tuna yang siap dijadikan sashimi, se

mentara teman-teman seperjuanganku yang garang banget dalam

pertandingan judo kini mengelilingi ruangan itu dengan tubuh

loyo dan tampang sekarat.

Perjalanan yang kami lalui untuk tiba di tempat ini tidak

mudah. Pertama-tama, kami harus melumpuhkan Bi Ani yang

nyaris tidak memberikan perlawanan berarti dan Bi Atiek yang

melawan habis-habisan. Aku nyaris kena bacok parang besar yang

diayunkan Bi Atiek sebelum akhirnya Markus berhasil meringkus

pengurus rumah yang mengerikan itu.

"Cepat tolong si Amoy sebelum terlambat," kata Bi Ani saat

kami mengikat dirinya. Sebagai tawanan, tampangnya kelihatan

lebih girang daripada yang seharusnya, membuatku tertegun.

"Bi Ani?"

"Bibi tadak pernah berpihak pada mereka," katanya tegas.

"Mereka orang-orang jahat, dan Bibi sudah tua. Bibi tadak ber

daya waktu disuruh melakukan hal-hal yang tadak sesuai dengan

hati nurani. Tapi Bibi selalu siap membantu kalau ada yang mau

melawan mereka."

"Pengkhianat kau!" teriak Bi Atiek yang sedari tadi sudah kami

ikat erat-erat. "Dari awal kame sudah tadak percaya kau! Kau tak

suke sama Non Celin!"

Melihat adegan itu, aku dan Markus berpandangan. Rasanya,

pada kondisi begini, kedua pengurus rumah ini tidak punya ke

mampuan untuk berimprovisasi dalam sandiwara mereka. Bahkan,

sebenarnya, kalau kami lebih curigaan sedikit, seharusnya kami

menyadari bahwa belakangan ini sikap keduanya berbeda daripada

biasanya. Bi Ani yang biasanya ramah jadi pendiam dan jarang

bicara dengan kami, bahkan selalu tergagap saat kami tiba-tiba

memanggilnya, sementara Bi Atiek yang biasanya hanya berani

memasang tampang masam kini sering senyum-senyum tanpa

alasan. Kukira Bi Atiek diam-diam senang melihat kami semua

kelabakan gara-gara urusan ini.

Maka kami pun memutuskan untuk memercayai Bi Ani dan

batal mengikatnya. Aku ingin sekali menginterogasinya, tapi siapa

yang tahu apa yang sedang dihadapi si nenek sihir di bawah sana,

jadi aku menanyakan hal yang lebih penting.

"Bibi mau menolong kami?" Bi Ani mengangguk penuh se

mangat. "Bisa nggak Bibi beritahu kami siapa yang terlibat dalam

urusan ini?"

"Hanya Jang Nardi, Non Ailina, Non Celin, dan kami berdua,

Jang."

Brengsek! Aku ingin sekali mengetahui kenapa Ailina dan

Celina terlibat dalam urusan ini. Bukankah seharusnya mereka

sekarang ada di rumah sakit? Tapi aku menahan rasa penasaranku

dan meminta, "Kalau begitu, bisa tolong bangunin Bang Sat dan

ketiga teman kami?"

"Tadak bise." Bi Atiek yang menjawab dengan air muka puas.

"Sekali kena bius, mereka tadak bise bangun sampai enam jam

lebih."

Kami tidak bisa menunggu sampai enam jam lebih. Si nenek

sihir berada dalam keadaan bahaya.

"Kalian tadak bise tanya ape-ape sama dia," kata Bi Atiek

merujuk pada Bi Ani. "Dia baru tahu soal semua ini beberapa

hari lalu. Kami sudah tahu dia tadak bise diajak sekongkol, jadi

sebelum butuh-butuh amat, kami tadak mau ngasih tahu apeape."

Yah, terus terang, aku juga merasa Bi Ani terlalu polos untuk

diajak berbuat jahat sih.

"Kalau begitu, tolong jaga Bi Atiek," kataku pada Bi Ani.

"Kalau teman-teman kami bangun, suruh mereka bantu kami di

ruang bawah tanah. Sementara itu, Bibi bisa beri sedikit ke

terangan tentang apa yang akan kami hadapi di sana?"

Tidak banyak yang bisa diceritakan Bi Ani selain bahwa Nardi,

kakak laki-laki Ailina dan Celina, menderita penyakit kanker dan

yakin bahwa dengan mengadakan ritual meminum darah mereka,

penyakitnya dapat disembuhkan. Selain itu, menurut Bi Ani, sang

kakak orang yang sangat kasar dan tidak segan-segan memukul

siapa saja kalau sedang marah. Bahkan kedua adik perempuannya

pun sering mendapat jatah pukulan.

Setelah diberitahu tentang ruangan yang harus kami tuju, aku

dan Markus segera menyelinap ke ruang bawah tanah. Supaya

kedatangan kami tidak disambut dengan gegap gempita, kami

tetap bergerak secara diam-diam dan perlahan-lahan.

"Kita harus bergerak lebih cepat, coy," gumam Markus. "Gue

nggak mau sampe kita telat nyelametin Tory."

"Gue juga nggak mau kalo dia tahu-tahu jadi korban per

sembahan atau semacamnya," balasku seraya berbisik. "Tapi kita

juga nggak mau ketangkep sebelum sempat nyelametin dia,

kan?"

Markus tidak membalas ucapanku, tapi yang penting dia tahu

aku benar.

Kami sama-sama terkejut saat menyadari betapa luasnya ruang

bawah tanah ini. Tidak heran kami sama sekali tidak menyadari

ada yang tinggal di bawah sini. Ruangan luas dengan makanan

berlimpah, lubang-lubang udara yang dibikin secara tidak men

colok, dan persediaan air yang mengalir secara otomatis. Kurang

ajar. Sementara kami susah-susah menimba di atas!

Begitu tiba di ruangan yang dimaksud, aku langsung menuntut

jawaban dari Ailina.

"Jadi, semua yang kamu bilang padaku, semua yang kamu

minta untuk dirahasiain, semua itu tipuan belaka?" tanyaku me

nuntut jawaban.

"Sori, Ton. Aku juga terpaksa." Sekilas kulihat ada penyesalan

di wajah Ailina, tapi kurasa itu hanya karena pengaruh cahaya

lilin. Cewek itu benar-benar pandai menipu. "Kami terpaksa.

Kami butuh orang luar untuk dikorbanin, dalam jumlah banyak

pula. Kalo bisa, aku juga nggak ingin memperalat kamu. Tapi

dari beberapa teman yang kumintai pertolongan, hanya kamu

yang mau menanggapiku."

Dan dia membalasku dengan mencelakai teman-teman dan

kakakku! Kadang aku tidak mengerti kenapa ada orang-orang

yang tidak mengenal kebaikan sama sekali. "Lalu bagaimana

dengan orangtuamu? Itu juga bohongan?"

"Seandainya itu benar, itu akan jauh lebih baik, Ton," bisik

Ailina. "Kenyataannya, mereka orangtua yang jahat banget.

Mereka ninggalin kami begitu aja di masa-masa sulit."

Mendengar ucapannya?ditambah dengan matanya yang mulai

tergenang air mata?aku jadi tidak tega juga. "Ya udah. Sekarang,

lepasin kami. Lepasin kakakku dan teman-temanku, dan biarkan

kami pergi dari sini. Serahin diri kalian ke polisi. Itu hal terbaik

yang bisa kalian lakuin, Lin. Demi diri kalian sendiri juga."

"Saran apa itu?" ketus Celina di sebelahnya. "Apa salah kami

sampai harus nyerahin diri ke polisi? Emangnya salah kalo kami

ingin ngelakuin yang terbaik untuk keluarga kami?"

Astaga, otak cewek satu ini benar-benar sudah menyimpang.

Masa dia masih merasa tidak bersalah?

"Tinggal satu orang, Ton," pinta Ailina padaku. "Cuma satu

lagi. Setelah itu kami akan pergi dan nggak akan ngeganggu

kalian lagi."

"Tidak." Suara bagaikan mayat yang barusan bangkit dari ku

buran menggema dari arah cowok yang sedang berhadapan

dengan Markus. "Mereka tidak boleh pergi. Setelah tahu rahasia

kita, mereka harus dijadikan korban persembahan juga."

"Mimpi aja sono," ketusku. "Cuma orang bego yang mau

ikutan ritual bodoh gitu dengan sukarela."

"Kalau begitu, kami terpaksa mengambil jalan kekerasan."

Terlintas dalam pikiranku bahwa raksasa yang sepertinya adalah

kakak Ailina itu benar-benar sudah gila, tapi aku tidak sempat

berpikir lebih dalam lagi. Soalnya, serta-merta dia melemparkan

sebatang lilin pada Markus. Aku melihat Markus mengelak de

ngan sigap, namun si raksasa supergila sudah menerjang Markus

lagi dengan kecepatan tinggi bagaikan traktor yang dipaksa

balapan di arena Formula One. Aku bergegas menolong Markus,

namun jalanku dihadang oleh Ailina dan Celina.

"Jangan keroyok kakakku!" pekik Celina sambil menghunjam

kan potongan kayu itu padaku. Gila, ujungnya tajam sekali. Aku

buru-buru mengelak, tapi Ailina sudah menyusul dengan meng

ayunkan tongkat besinya. Aku bisa saja menangkap pergelangan

tangannya, mematahkan tangannya, lalu merebut senjatanya dan

menggebuki si Celina sampai pingsan?tapi astaga, mana mung

kin aku melakukannya? Prinsipku, aku tidak akan memukuli

cewek?tak peduli kondisi bahaya seperti apa yang harus ku

hadapi. Bahkan si nenek sihir pun belum pernah terkena pukul

anku meskipun kami sudah sering berkelahi.

Aku mengeraskan rahang saat bahuku terkena hantaman tong

kat Ailina. Brengsek. Kalau begini terus, aku bakalan jadi bulanbulanan dua cewek itu. Belum lagi Markus...

Mendadak kepalaku ditendang oleh sesuatu yang melayanglayang.

Maksudku, si nenek sihir.

"Turunin aku, bego!" teriaknya sambil terus menendang-nendang,

membuatku buru-buru menghindar sejauh-jauhnya darinya. "Biar

aku yang hajar dua cewek itu!"

Berani-beraninya dia mengataiku bego. Dikiranya gampang

menurunkan seorang manusia dari ketinggian dua meter sambil

diincar dua cewek yang sedang kesetanan dengan senjata ber

bahaya. Dasar nenek sihir.

Tapi dia benar. Meski hanya dari ekor mataku, aku bisa me

lihat Markus kewalahan menghadapi si cowok raksasa yang tidak

segan-segan melemparkan apa saja ke muka Markus?dari lilin

yang masih menyala hingga tikus yang kebetulan lewat?sambil

menggebuki sohibku itu. Aku harus segera membantunya. Urusan

dengan dua cewek ini bisa diserahkan pada si nenek sihir.

Dengan susah payah aku mendekati tali yang menahan berat

badan si nenek sihir. Jelas kedua cewek itu mendengar teriakan

si nenek sihir dan berusaha keras supaya aku tidak berhasil

membebaskannya. Tapi niatku lebih kuat. Tak apalah aku kena

hajar satu-dua kali?oke, sebenarnya enam kali?asal bisa

membebaskan si nenek sihir.

Saat aku menarik ikatan tali itu, tubuh si nenek sihir langsung

meluncur ke bawah. Tanpa malu-malu si nenek sihir menjerit

seakan nyawanya bakalan melayang.

Tapi lalu si tolol Markus menangkapnya.

Bisa-bisanya dia melakukan hal itu. Bukannya sedari tadi dia

kelabakan dihajar si raksasa gila? Kenapa tahu-tahu dia bisa ber

pindah ke tengah-tengah ruangan dan menyambut si nenek sihir
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tepat waktu?

Hanya satu penjelasannya. Sohibku yang malang itu benarbenar tergila-gila pada si nenek sihir!

"Tangkapan yang bagus," kata si nenek sihir sambil mengusap

dahi Markus yang berlepotan darah.

"Kalo nggak, bisa-bisa nanti aku digebukin sama kamu."

"Aku jadi berutang sama kamu nih."

"Sama aku juga dong," tukasku kesal karena dilupakan. "Liat

nih. Mukaku sampai babak belur demi ngelepasin kamu."

"Iya deh, kamu nggak sepenuhnya nggak berguna." Dasar

nenek sihir brengsek. "Ya udah, serahin dua cewek gila ini pada

ku. Kalian pergi sana hadapin si Tank Abbott."

Beres. Sekarang semuanya jadi lebih seimbang. Bisa kulihat si

nenek sihir sudah mulai menghajar dua cewek itu dengan ganas

seperti singa yang barusan dilepaskan dari kandang. Aku dan

Markus berpandangan.

"Nggak keren amat main keroyok," ucapku.

"Gue juga ngerasa gitu," angguk Markus menyetujui. "Kalo

gitu, salah satu dari kita aja yang maju."

"Karena lo udah sempet mencicipi tinjunya, gimana kalo

sekarang giliran gue?"

Markus tertawa. "Setelah mencicipi, jangan nangis, ya!"

"Kalopun nangis, gue lakukan dalam hati aja kok."

"Jangan berebut giliran," seringai si raksasa gila. Wajahnya yang

jelek tampak semakin jelek. Pada titik ini, Tank Abbott pun ke

lihatan seperti Robert Pattinson kalau dibandingkan dengannya.

"Kalian berdua benar-benar memuakkan dengan gaya kalian yang

sok hebat. Sejak dulu, aku paling benci dengan tipe seperti ini.

Orang-orang yang lahir dengan keberuntungan, tidak pernah

mengalami masalah, dan menindas orang-orang lain yang lebih

lemah. Akan kubuat kalian menyesal karena sudah datang ke

sini."

"Emang udah nyesel kok." Aku ingin melanjutkan dengan

mengatakan bahwa bukan kami, melainkan dialah yang hobi

menindas orang lain, tapi si gila itu keburu menyerbuku. Meski

punya tampang mirip petinju yang sudah sering dipermak lawan

nya, si raksasa gila ternyata sama sekali tidak menguasai bela diri

sedikit pun. Gerakannya tidak terkoordinasi seperti sapi gila yang

berniat menghabisi matador dengan cara apa pun. Tanpa malumalu dia mencakar, menjambak, menendang, meninju, dan me

lemparkan barang-barang dengan ganas. Yang lebih parah, dia

bahkan juga menggigit.

Gawat. Menilik sifat gilanya, bisa-bisa dia juga mengidap

penyakit rabies.

"Oi, man!" teriakku pada Markus sambil menghindari si gila.

"Dari tadi lo bener-bener ngelawan buldoser ini?"

"Yeah." Dan Markus masih bisa menyahutiku dengan suara

santai begitu? Kadangkala kemampuan sohibku itu sulit diduga.

"Tapi gue juga cuma bisa bertahan kok. Kayaknya kita nggak

mungkin bisa ngalahin dia dengan cara biasa, coy."

"Jadi? Gue harus gimana dong?"

"Yah, lawan cara kotor dengan cara kotor juga dong."

Cara kotor seperti apa? Pikiran itu terus melayang-layang

dalam benakku sementara aku menghindar dari tamparan dan

tabrakan si traktor raksasa yang mengamuk hebat.

Menarik kupingnya sampai putus?

Mencolok matanya?

Memasukkan jariku ke lubang hidungnya?

Hanya ada satu jawaban untuk semua itu: euw.

"Nggak usah malu-malu!" Kudengar si nenek sihir berteriak

dari seberang ruangan. "Tendang aja itunya."

Dasar. Itu sih jurus cewek. Sebagai sesama cowok, aku tahu

betul betapa sakitnya kalau bagian tubuh yang satu itu ditendang.

Kalau aku melakukannya dan tahu-tahu jadi karma, aku bisa

berabe nanti.

"Cepetan!" desak si nenek sihir. "Tadi aku sempat ngelakuin

hal itu dan dia langsung koma!"

Wah, membayangkan si raksasa gila jadi koma membuatku

tergoda untuk melakukannya.

Tapi si raksasa gila tidak membiarkanku melakukannya. De

ngan kedua tangan melindungi bagian terpenting tubuhnya itu,

dia menyerudukku. Kesempatan yang sangat tepat! Tanpa segansegan aku membalas serudukannya dengan menyundul hidungnya.

Terdengar bunyi krak yang agak-agak membuatku keder.

"Hidungku!" raung si raksasa gila sambil membekap hidungnya

yang mengucurkan darah. "Kau menghancurkan hidungku!"

Dikuasai rasa dendam, si raksasa gila menerjangku lagi. Kali

ini aku sudah terpojok. Di belakang punggung dan sampingku,

puluhan lilin yang menyala menanti, siap membakarku kalau aku

mencoba menghindar.

Matilah aku, pikirku dalam waktu sekejap itu. Kali ini tak ada

jalan lain lagi.

Pada saat-saat terakhir, Markus menarikku menyingkir dari

hadapan si raksasa gila.

Dengan perasaan ngeri, kami menyaksikan si raksasa gila

menabrak lilin-lilin di depannya. Dalam waktu sekejap saja api

mulai menyebar ke seluruh tubuh si raksasa gila dan mulai mem

bakarnya hidup-hidup. Kontan saja si raksasa gila meraung-raung

sambil menggapai-gapai tanpa tujuan.

"Kak Nardi!" pekik Ailina dan Celina serempak.

Tanpa perlu dikomando lagi, aku dan Markus langsung men

cari air yang, sialnya, tak ada di ruangan itu. Jadi kami me

nyambar masing-masing sebuah karung, mengosongkan isinya,

dan mulai menggebuki si raksasa gila dengan karung tersebut.

Pada akhirnya kami berhasil memadamkan api, tapi si raksasa gila

juga pingsan dengan tubuh penuh luka bakar.

Sementara Ailina dan Celina berlutut di samping tubuh kakak

mereka yang sedang tepar dengan wajah bersimbah air mata,

kami bertiga sibuk menurunkan teman-teman kami yang ter

gantung-gantung bagaikan boneka marionet, lalu membaringkan

mereka di lantai. Untunglah, meski tubuh mereka pucat dan

denyut nadi mereka lambat, semuanya masih bernapas. Tapi

sepertinya kondisi semuanya cukup genting?terutama Jay, yang

kulitnya terasa dingin di tanganku. Paling tidak, mereka semua

pasti kelaparan banget.

"Lin," kataku sambil berlutut di samping Ailina, "kamu harus

kasih tau aku cara untuk keluar dari tempat ini."

"Untuk apa?" isak Ailina. "Supaya kamu bisa ngelaporin kami

ke polisi?"

Aku tidak mau membantah yang satu itu, tapi aku tidak mau

membuatnya ketakutan dan tidak mau bekerja sama dengan

kami. "Lin, kalo kita nggak buru-buru ke rumah sakit, Jay dan

yang lainnya bisa mati!"

Mendengar ucapanku, wajah Ailina berubah, tapi dia tetap

membisu.

"Lin, gimana caranya keluar dari tempat ini?" tanyaku. "Pasti

kamu udah nyiapin jalan saat kamu memutuskan untuk ngerusak

jembatan itu, kan?"

"Jangan kasih tau dia, Kak!" teriak Celina sambil tersedu sedan.

"Mereka nggak bakalan menang kalo nggak bisa keluar dari sini."

"Tapi kalian juga akan ngedapetin tuntutan hukum yang lebih

berat dari ini," sahutku sabar. "Sekarang, mumpung belum ada

yang tewas, lebih baik kalian bekerja sama."

"Lagian," tambah Markus di sebelahku, "kakak kalian juga

nggak akan selamat kalo nggak segera dibawa ke rumah sakit.

Luka bakarnya serius banget!"

Ailina diam lagi selama beberapa saat sebelum berkata, "Ada

terowongan di ujung ruangan ini."

"Kakak!" protes Celina.

"Mereka benar, Cel," kata Ailina sambil menggigit bibir. "Kak

Nardi akan meninggal kalo nggak dirawat di rumah sakit. Kalo

dia juga udah nggak ada lagi, di dunia ini kita tinggal berdua

aja."

Celina langsung terisak-isak mendengar ucapan Ailina.

"Terowongan itu agak melandai, menuju ke bawah," jelas

Ailina padaku. "Soalnya terowongan itu nembus ke bawah sungai

yang jembatannya rusak itu. Setelah melalui sungai, kalian akan

nemuin jalan keluar yang menembus ke atas lantai sebuah

bangunan yang berfungsi sebagai garasi." Dia melepaskan

kalungnya, lalu memberiku dua kunci yang tergantung di kalung

itu. "Ini kunci gembok bangunan itu, dan ini kunci motor yang

disimpan di sana. Kamu bisa naik motor, kan?"

Aku dan Markus berpandangan. Kami berdua sama-sama jago

membawa mobil, bahkan aku yakin aku sanggup membawa truk

pula. Tapi kalau motor...

"Biar gue aja," kata Markus tenang.

Aku tercengang. "Emangnya lo bisa bawa motor?"

"Kira-kira."

Oke, kira-kira jauh lebih baik daripada jawaban nggak bisa

sama sekali yang akan kuberikan. "Oke deh. Kalo gitu, lo yang

keluar dari sini."

Markus mengangguk. "Jagain Tory ya, coy."

Permintaan yang konyol banget. Mana mungkin aku tidak

menjaga si nenek sihir yang notabene adalah kakakku sendiri?

Tapi kurasa cowok yang sedang dimabuk asmara memang sering

melakukan hal yang tidak-tidak. Aku sudah mengalaminya

beberapa kali dengan Jenny.

Asyiiik. Sebentar lagi aku bisa menelepon Jenny.

Atas petunjuk Ailina, kami segera menemukan lubang yang

ditutupi tumpukan karung. Saat sedang memindahkan karungkarung itu, kudengar Ailina berkata dari belakangku, "Aku nggak

ingin membela diri, Ton, tapi sebenarnya semua ini bukan salah

kami."

Tanpa memberi kami waktu untuk menghentikan ucapannya,

Ailina berkata, "Saat sedang putus asa dengan vonis dokter,

ada yang nawarin pengobatan alternatif pada kami. Dia sangat

pandai membujuk, membuat kami merasa semua ini sangat

masuk akal. Dia bahkan ngebantu kami nyusun rencana untuk

ngejebak kalian. Dan dialah yang maksa aku nulis surat pada

mu, Ton."

"Jadi semua kesalahan sebenarnya terletak padanya?" tanya si

nenek sihir sinis.

"Aku tau, semua ini kedengaran nggak masuk akal, tapi aku

nggak berbohong, Ton," kata Ailina berkeras. "Orang itu bahkan

berkata dia kenal banget dengan kamu dan Markus."

"Oh, ya?" Aku menanggapi dengan setengah hati. "Emangnya

siapa namanya?"

"Johan."

Dan jantungku pun serasa berhenti berdetak.

Markus

KALAU

kalian bertanya padaku siapa orang yang paling

menakutkan di dunia ini, tanpa ragu aku akan menjawab,

"Johan."

Sebenarnya aku sudah mengenal Johan sekitar setahun lalu.
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat itu aku dan Tony bergabung dalam kepengurusan MOS

yang mengurusi anak-anak angkatan baru. Maksud utama kami

adalah mengecengi siswi kelas sepuluh yang cantik dan sudah

kami kenal sejak kecil, yaitu Jenny. Tapi kenyataannya, dalam

kepengurusan MOS, lebih banyak pengurus yang bergabung

dengan niat buruk?mengecengi anak-anak baru?sehingga mau

tak mau aku ketiban urusan-urusan yang lebih serius.

Dalam kepengurusan MOS itu aku memperoleh kesempatan

untuk memperhatikan anak-anak baru. Salah satu yang menggores

kan kesan mendalam di hatiku adalah Johan. Meski waktu itu

aku belum tahu namanya?dan tidak berniat mencari tahu?aku

sudah merasakan ketidaknyamanan saat bertemu pandang dengan

nya. Matanya yang selalu bergerak-gerak liar mencerminkan

kelabilan perasaannya, dan senyumnya yang agak sinis menanda

kan dia menertawakan ulah orang-orang di sekitarnya. Tapi saat

itu aku hanya berpikir, aku tak bakalan mau berurusan dengan

nya, dan membiarkan momen itu lewat begitu saja.

Setengah tahun kemudian, Tony dipancing oleh teman-teman

kami yang merasa hati mereka yang tulus dan lembut dikerjai

habis-habisan oleh Hanny, dan Tony menerima taruhan bahwa

dia bakal sanggup membalaskan dendam kaum cowok yang ter

tindas itu. Kami pun melakukan aksi pendekatan pada Hanny?

yang berarti mendekati Jenny pula, karena keduanya sudah

bersahabat akrab sejak hari pertama pekan MOS.

Pada saat itulah kami mengenal Johan lebih dekat lagi. Cowok

itu terobsesi berat pada Hanny dan, sebagai akibatnya, sangat

membenci Jenny. Lalu, untuk menakut-nakuti Jenny, Johan

mencelakai dua teman sekelas mereka yang sama-sama bernama

Jenny. Pada akhirnya, dia nyaris membunuh Jenny dan Hanny,

juga aku dan Tony yang berusaha melindungi mereka berdua.

Kami berhasil menggagalkan rencana Johan dan menjebloskannya

ke rumah sakit jiwa.

Itulah sebabnya aku meragukan cerita Ailina. Tidak mungkin

Johan yang melakukan semua ini pada kami. Soalnya dia masih

berada di rumah sakit jiwa, terkurung dalam kamar yang diberi

pengawasan ketat, tidak ubahnya seperti penjara. Tidak mungkin

dia bisa keluar dari sana?atau melakukan aksi melalui internet

tanpa diketahui orang lain. Jangan-jangan Ailina mengetahui

masalah antara kami dan Johan, dan menggunakan cerita itu

untuk membela diri.

"Kamu serius?" tanyaku dengan nada sesantai mungkin. Aku

tidak ingin dia mengetahui kegelisahan yang mulai menyebar di

hatiku. "Johan yang kami kenal saat ini sedang berada di rumah

sakit jiwa lho."

"Kalau begitu, kita membicarakan Johan yang berbeda," kata

Ailina dengan nada ragu. "Johan yang kami kenal sekarang berada

di Singapura kok."

"Singapura?" Tony langsung mencekal kerah baju Ailina, mem

buat cewek itu menjerit kaget. "Kamu bilang Singapura?"

Aku buru-buru menarik Tony. "Hei, tenang dong, coy!"

"Mana bisa gue tenang?" teriak Tony dengan wajah pucat pasi.

"Johan ada di Singapura, dan itu berarti dia sedang ngejar Jenny

lagi!"

"Kita nggak tau itu Johan yang sama atau nggak," kataku

sambil berusaha menenangkan jantungku yang mendadak berpacu

keras. Crap. Aku juga sama khawatirnya dengan Tony.

"Tapi Johan mana lagi yang bisa bikin rencana begini seram?"

tanya Tony separuh histeris. "Johan mana lagi yang bisa nyuruh

orang untuk mancing kita ke sini sementara dia ada di Singapura?

Emangnya semua orang yang bernama Johan seseram itu?"

Harus kuakui, memang hampir tidak mungkin ada kebetulan

seperti ini.

Arghh. Aku makin takut saja.

"Gue akan keluar sekarang juga," kataku. "Setelah manggil

ambulans, gue akan hubungi Jenny atau Hanny secepatnya. Gi

mana?"

Tony mengangguk. "Lo bisa? Kalo nggak biar gue aja. Gue

pasti bisa."

Biasanya sobatku ini pintar, tapi dalam kondisi seperti ini dia

benar-benar seperti orang idiot.

"Nggak, lo tinggal di sini bareng Tory." Aku menoleh pada

Tory. "Ry, kamu harus jagain Tony. Jangan sampai dia berbuat

yang aneh-aneh."

Tory mengangguk. Matanya dipenuhi rasa penasaran, tapi saat

ini aku tidak berniat memberikan penjelasan padanya. Masih ada

banyak waktu untuk itu, tetapi sudah sangat sedikit waktu yang

tersisa untuk menolong Jenny dan Hanny.

"Aku pergi dulu."

Kusapukan bibirku pada pipinya, berharap itu cukup untuk

saat ini. Lalu, kali ini, akulah yang tidak menunggu jawaban

darinya, melainkan langsung pergi begitu saja.

Karena saat ini nasib banyak orang ada di tanganku.

Saat aku selesai diberi pengarahan oleh Ailina mengenai kantor

polisi dan merasa siap melakukan perjalanan panjang, tiba-tiba

Tony menjerit, "Tunggu! Tunggu!"

Aku menoleh padanya dengan jengkel. Uh, padahal aku sudah

mengucapkan salam perpisahan segala.

"Tunggu sebentar, ya. Tunggu."

Memangnya aku idiot banget, sampai-sampai dia harus

mengulangi permintaannya empat kali? Saat melihat sobatku itu

pergi entah ke mana, aku menoleh pada Tory, yang mengangkat

bahunya dengan tampang sama bingungnya denganku.

Lalu, dengan nada santai banget, cewek itu bertanya, "Jadi,

Jenny bukan cewek yang pernah kamu taksir?"

Uh-oh. Gawat. "Mm, bukan."

"Lalu siapa dia?" Lagi-lagi dia berkata dengan wajah polos yang

sanggup menipu siapa saja yang belum mengenalnya luar-dalam.

"Sepertinya dia sangat berarti bagi Tony."

"Begitulah," sahutku. "Soal itu, sebaiknya kamu tanyain aja

pada Tony sendiri."

"Iya deh. Aku nggak berniat nyuruh kamu mengkhianati

teman sendiri."

Untunglah. Kalau dia terus mengorek-ngorekku, bisa jadi aku

benar-benar mengkhianati teman sendiri.

Lima menit kemudian, Tony kembali dengan muka merah dan

napas terengah-engah.

"Ini, handphone dan dompet lo."

Buset. Aku sendiri saja tidak ingat membawa semua itu.

"Thanks, Ton."

Tony mengangguk, masih dengan napas ngos-ngosan. "Good

luck. God bless."

Kali ini aku berhasil masuk ke terowongan tanpa halangan.

Terowongan itu sangat gelap dan sempit, hanya ditopang kayukayu yang kelihatan rentan. Mungkin Ailina, Celina, atau bahkan

Tory akan bisa bergerak di sini dengan lebih leluasa, tapi gerakan

yang tersedia bagiku sangat terbatas. Berhubung langit-langitnya

sangat rendah, aku terpaksa separuh merangkak separuh merayap.

Aku berusaha menyingkirkan khayalan mengerikan bagaimana

aku melakukan sesuatu yang membuat langit-langit runtuh dan

membuatku terkubur hidup-hidup di dalam sini?sesuatu yang

pasti terjadi kalau Johan sampai tahu aku sedang merayap-rayap

di bawah sini.

Crap. Jantungku berdebar keras lagi.

Dalam perjalananku, aku bertemu tiga ekor cacing, seekor

tikus, dan dua ekor kecoak?dan percayalah, pertemuan-pertemu

an itu sangat tidak menyenangkan bagi kedua belah pihak. Kalian

mungkin pernah mendengar dongeng-dongeng tentang pria muda

yang ketemu binatang yang bisa berbicara yang membantunya

mencapai akhir perjalanan lebih cepat. Sayangnya, keberuntungan

semacam itu tak terjadi padaku. Binatang-binatang itu malah

langsung kabur ke arah yang berlawanan saat aku melintas, dan

aku bersyukur karenanya. Kalau sampai binatang-binatang itu

memutuskan untuk jadi teman seperjalananku dengan memasuki

pakaianku, tamatlah riwayatku.

Saat mendekati sungai, aku mendengar bunyi air di atas

kepalaku. Aku merasa sedikit lega saat melihat terowongan itu

menyambung pada pipa besi yang sangat besar dan bisa kulewati

dengan mudah. Tapi itu bukan berarti aku bisa merangkak

dengan kecepatan tinggi laksana kecoak-kecoak yang kutemui.

Medan yang kulalui sangat sulit, pertama-tama menurun dengan

curam, kemudian menanjak dan membuatku tergelincir beberapa

kali. Air menetes-netes dari sambungan pipa besi, membuatku

mulai berpikir yang tidak-tidak lagi. Bagaimana kalau air berhasil

menerobos masuk? Meski aku bisa berenang, napasku tak cukup

panjang untuk mencapai tempat berudara segar.

Aku merangkak lebih cepat lagi. Semoga saja terowongan ini

segera berakhir.

Perjalanan itu mungkin sebenarnya hanya seratusan meter, tapi

waktu yang kugunakan untuk melewatinya serasa beribu-ribu

tahun. Pada saat akhirnya aku tiba di tangga kayu yang disandar

kan di dinding terowongan yang mengarah ke atas, rasanya aku

jauh lebih tua tiga ribu tahun. Tapi aku sangat bersemangat

menaiki tangga itu.

Kubuka pintu tingkap menuju ke atas?dan di depanku ter

hamparlah kebebasan.

Dengan tangan gemetar aku memutar kunci pada gembok

pintu dan membuka kedua daun pintu lebar-lebar. Udara segar

langsung menyerbu masuk, dan aku langsung menghirupnya de

ngan rakus. Sinar matahari terasa panas di kulitku, menandakan

hari sudah mulai siang.

Tengah hari, dugaku sambil memayungi mataku dan melongok

melihat matahari yang sudah berada di atas kepala. Berhubung

kejadian yang kami lalui begitu berat, aku sempat mengira aku

bakalan tiba di atas pada malam hari. Untunglah aku tidak meng

habiskan waktu selama itu. Soalnya, bisa-bisa aku telat.

Aku membalikkan tubuhku, lalu menatap motor yang ada di

dalam ruangan itu lekat-lekat dengan tatapan seorang judoka

pada lawannya.

Aku belum pernah membawa motor, tapi aku pernah men

dengar teori bagaimana cara membawa motor. Sambil mengumpul

kan rasa percaya diri, aku duduk di jok motor tersebut. Spontan

aku menggerakkan spion dan menyesuaikannya dengan arah

pandanganku.

Astaga, kurasa bahkan Tony pun tak bakalan mengenaliku

kalau kami tahu-tahu berpapasan di jalan. Markus yang biasanya

rapi, bersih, dan wangi, kini mirip banget orang yang baru saja

terlempar keluar dari dalam tornado. Seluruh tubuhku berlepotan

tanah dan lumpur, mataku merah karena semalaman tidak tidur,

belum lagi kuku-kukuku hitam-hitam semuanya. Benar-benar

menjijikkan deh. Kuharap aku punya kesempatan untuk mem

bersihkan diri dalam waktu singkat.

Aku berusaha menutupi tampangku yang kotor dengan helm
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tersedia. Sialnya, helm itu berwarna pink. Yah, pada saatsaat seperti ini aku tidak boleh banyak komplain. Kutancapkan

kunci motor di tempatnya, lalu kuputar perlahan-lahan. Mesin

yang langsung menggerung-gerung membuatku terperanjat.

Tenang, Markus. Lakukan semuanya selangkah demi selangkah,

dan kamu akan baik-baik saja.

Dengan kaki kiri, kumasukkan persneling. Perlahan tanganku

memutar gas untuk membiasakan diri. Setelah merasa yakin, aku

melepaskan persneling perlahan-lahan diimbangi dengan memutar

gas.

Arghh. Motornya JALAN!

Pada titik ini, sudah terlambat bagiku untuk berteriak-teriak

minta tolong atau sejenisnya (apalagi karena tidak ada orang sama

sekali yang berkeliaran di sekitarku). Yang bisa kulakukan hanya

lah menaikkan kaki kananku dan mempertahankan keseimbangan

sambil memikirkan cara untuk menaikkan kecepatan dan me

ngerem motor ini dengan semulus mungkin.

Sementara itu, aku harus mengingat-ingat petunjuk yang di

berikan Ailina untuk tiba di kantor polisi terdekat.

Aku berhasil menghentikan motor tepat satu senti sebelum

menghantam jendela kaca depan kantor polisi. Gila, kalau sampai

aku menabrak jendela atau salah satu motor polisi, bisa-bisa aku

langsung dijebloskan ke penjara. Lalu aku akan berteriak-teriak,

"Tapi saya datang ke sini untuk minta tolong!" Dan para polisi

cuma menatapku dengan muka bete, "Halah, alasan saja kau ini,

Jang!" Akhirnya, nasib semua orang pun berakhir di tanganku

gara-gara sepeda motor.

Untunglah kenyataannya tidak seburuk itu.

Tapi tak bisa dihindarkan, seorang polisi sempat muncul

dengan muka siap memarahiku. Tanpa memberinya kesempatan

untuk memarahiku, aku langsung menghampirinya sambil men

cabut helmku dan memasang tampang dunia-bakalan-kiamat-danAndalah-harapan-umat-manusia-satu-satunya. "Pak, saya sangat

membutuhkan pertolongan Bapak!"

Wajah si polisi yang tadinya bete langsung terperangah. Sesaat

kukira dia mengenaliku, tapi rupanya dia hanya kaget karena

tampangku yang betul-betul berantakan.

"A ada apa, Nak?" tanyanya tergagap setelah pulih dari rasa

kaget.

"Teman-teman saya terperangkap di Lembah Jeruk, Pak.

Jembatannya rusak, sementara banyak di antara mereka yang

terluka parah. Kami nggak punya sambungan telepon di situ, jadi

kami mengandalkan Bapak untuk menyelamatkan kami semua."

Si polisi langsung berubah siaga. "Saya akan menelepon

ambulans sekarang juga. Silakan masuk dulu, Jang."

Aku sudah terbiasa mendatangi kantor polisi. Bukan karena

aku punya mental penjahat, tapi pamanku, adik ibuku, adalah

seorang inspektur polisi. Setiap kali ibuku pulang dari luar negeri,

beliau selalu memintaku mengantarkan oleh-oleh untuk Paman

Lukas. Jadi bisa dibilang aku merasa akrab dengan suasana kantor

polisi yang formal dan dingin.

"Permisi, nama Jang siapa?"

Aku mendongak pada si polisi yang menyambutku tadi. Selain

dia, masih ada tiga orang polisi lain yang menatapku dengan

wajah penuh selidik.

"Bagaimana caranya Jang keluar dari Lembah Jeruk?"

Aku pun menceritakan pengalaman kami, dimulai dari undang

an Ailina pada Tony untuk menginap di rumahnya yang dicurigai

memiliki "kutukan". Meski kata-kataku mengalir lancar, aku tahu

ceritaku sangat sulit dipercaya. Wajah para polisi itu tampak

skeptis, seolah-olah aku hanyalah ABG tukang bual yang men

coba bikin heboh di kantor polisi. Tapi tampang mereka mulai

tampak pengertian saat aku menceritakan bagaimana aku melolos

kan diri dari situ. Mungkin mereka berpikir, "Pantas penampil

anmu mirip orang yang baru saja mendobrak keluar dari dalam

peti mati yang terkubur sedalam enam meter."

Untuk menegaskan integritasku, aku menyalakan ponsel yang

dengan cerdiknya kumatikan saat aku menyadari sinyal ponsel

tidak mencapai Lembah Jeruk. Dengan lega aku menyaksikan

benda itu kembali berfungsi. Lalu, setelah menekan-nekan se

bentar, aku mengambil buku catatan kecil di dekat pesawat

telepon, lalu menuliskan tiga deret nomor.

"Ini nomor telepon orangtua saya. Bapak akan mendapatkan ke

terangan bahwa saya anak baik-baik yang nggak punya kebiasaan

membuat onar. Ini nomor telepon sekolah saya, yang akan menegas

kan bahwa saya salah satu murid terbaik di seluruh sekolah itu. Dan

ini nomor telepon paman saya. Beliau seorang inspektur polisi.

Namanya Inspektur Lukas, dan dia pasti akan meminta BapakBapak sekalian untuk membantu saya sekuat tenaga, karena masalah

yang saya hadapi adalah masalah sungguhan."

Polisi yang menyambutku menatap tiga deret nomor itu lama

sekali, lalu berkata, "Kami akan memeriksa nomor-nomor ini.

Harap tunggu sebentar di luar."

"Tapi tolong buruan ya, Pak. Ini menyangkut masalah hidup

dan mati."

Dengan tegang aku keluar dari kantor sempit itu, lalu berdiri di

tengah-tengah ruang tamu tanpa punya keinginan untuk duduk.

Kuputuskan untuk menghubungi nomor telepon apartemen Jenny

di Singapura, namun yang kudapatkan hanyalah pemberitahuan

bahwa nomor tersebut berada di luar jangkauan. Apa boleh buat,

sinyal ponsel yang kuperoleh hanya dua garis. Aku mencoba

menelepon beberapa kali lagi, namun hasilnya tetap sama.

Crap.

Saat aku mencoba lagi untuk entah yang keberapa kalinya, si

polisi keluar untuk menemuiku.

"Maaf, Jang Markus." Kali ini dia menyapaku dengan rasa

hormat. Ini berarti aku mendapat pujian setinggi langit dari tiga

sumber yang kuberikan pada mereka. "Inspektur Lukas sedang

tidak ada di tempat, tapi wakilnya mengatakan bahwa Jang

Markus adalah salah satu anak paling pemberani yang mereka

kenal." Wah, hidungku jadi kembang-kempis mendengarnya.

"Jangan khawatir, Jang. Ambulans sudah dalam perjalanan, dan

kita akan menyusul mereka. Karena jembatannya sudah ambruk,

kita akan berangkat dari pelabuhan, naik kapal menuju Lembah

Jeruk. Kami harap Jang ikut dengan kami, supaya bisa memandu

kami ke tempat yang tepat."

Nah, sekarang perkembangan cerita jadi lebih menyenangkan.

Hanya ada sedikit masalah.

"Mm, saya boleh pinjam telepon sebentar, Pak?"

Mata si polisi menyipit. "Untuk apa?"

"Buat telepon ke Singapura."

Tampang si polisi langsung berubah bete seperti awal

pertemuan kami. "Maaf, Jang, telepon sini hanya untuk urusan

polisi. Jang bisa pakai telepon di wartel."

Yeah, seakan aku punya waktu banyak untuk keliling-keliling

mencari wartel saja. Lagi pula, sekarang kami harus kembali ke

Lembah Jeruk. Sepanjang jalan, aku tetap berusaha menghubungi

Jenny dan Hanny dengan ponselku. Saat sambungan ke telepon

apartemen Jenny di Singapura akhirnya berhasil, aku malah diberi

tahu bahwa Jenny dan Hanny sudah kembali ke Jakarta.

Untuk apa mereka kembali ke Jakarta?

Arghh, semua urusan ini benar-benar membuatku frustrasi.

Setelah mengitari setengah kota, kami pun tiba di pe

labuhan. Rasanya seperti jagoan keren saja saat aku menaiki

kapal feri yang dipenuhi polisi dan paramedis menuju Lembah

Jeruk, apalagi saat aku punya kesempatan untuk membersihkan

diri di kamar mandi sederhana di dalam feri itu. Saat aku ke

luar dari kamar mandi, sesaat semua orang tidak mengenaliku.

Ini membuktikan bahwa tampangku tadi benar-benar tak layak

dianggap manusia.

Saat kapal mendekat ke Lembah Jeruk, aku bisa melihat

sahabatku dan kakaknya yang cantik melambai-lambai padaku

dari tepi sungai. Begitu kapal merapat ke pelabuhan sederhana di

situ, aku langsung melompat turun.

Jantungnya nyaris berhenti saat Tory menyambutku dengan

sebuah pelukan. Namun pelukan itu sama sekali tidak mesra.

Bahkan, saat aku menatap wajahnya, mata Tory berkilat-kilat

penuh rasa ingin tahu yang membuatku sadar bahwa pelukan ini

hanyalah kedok untuk menanyaiku tanpa diketahui Tony.

"Jadi, karakter Jenny ini," ah, sudah kuduga dia tak akan

melepaskan topik ini, "dia benar-benar sehebat apa yang dikata

kan Tony?"

Aku yakin, sebagai cowok yang tergila-gila pada Jenny, Tony

pasti membesar-besarkan kelebihan Jenny. Namun aku juga tahu

bahwa Jenny layak menerimanya. Jadi aku hanya mengangguk

menjawab pertanyaan itu.

"Terus, kamu sebenernya pernah naksir Jenny nggak?"

Aku menggeleng.

"Masa?" Mata Tory menyipit, berusaha mendeteksi kalau-kalau

aku berbohong. Tapi aku memang sama sekali tidak berbohong.

"Kok nggak naksir? Dia kan hebat gitu."

"Bagiku, dia cuma adik perempuan yang manis banget kok,"

sahutku jujur.

"Kalo gitu," Tory tersenyum jail, "gimana kalo Hanny?"

Pertanyaan ini jauh lebih kompleks daripada kedua pertanyaan

di atas.

Melihatku terdiam saja, bibir Tory melengkung ke atas. "Udah

kukira."

Dan sesaat terlintas dalam pikiranku, kisah ini tak akan ber

akhir sesuai dengan keinginanku.

Tory

Oke, aku menghadapi perkembangan tak terduga.

Setelah ditinggal pergi oleh Markus, aku dan Tony mengurus

para tawanan supaya tidak mengganggu pekerjaan kami. Biar

gampang diawasi, kami mengikat kakak-beradik yang lagi asyik

menangis dan Bi Atiek yang kemudian ikut menangis bersama

mereka di pohon besar yang sering digunakan untuk meng

gantung persembahan pada buaya.

Lalu kami mulai bekerja keras mengangkat Jay dan yang

lainnya ke atas. Kami sudah menduga bahwa Markus akan

kembali dengan kapal melalui Sungai Kapuas, jadi kami mem

baringkan teman-teman kami yang sedang pingsan itu di re

rumputan di tepi sungai. Pada saat bala bantuan tiba, mereka

bisa langsung diangkut ke kapal dan dibawa ke rumah sakit

secepatnya. Sebagai sentuhan persahabatan yang penuh perhati

an, kami payungi mereka supaya terlindung dari sengatan sinar

matahari khatulistiwa yang brutal. Dari kejauhan, teman-teman

kami yang sekarat itu mirip bule-bule yang sedang berjemur

di tepi pantai.

Untunglah, sebelum tiba pada keharusan mengangkat Agus-siketek-berbisa-yang-makin-bau-saja-pada-kondisi-begini dan si

kakak-laki-laki-hangus-yang-beratnya-mencapai-satu-ton, Bang-Satsi-sopir-preman dan ketiga cowok lainnya muncul. Kami langsung

menghibahkan sisa pekerjaan yang tak menyenangkan itu pada

mereka.

Setelah itu kami berpiknik dengan riangnya di samping para
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bule yang sedang bersantai itu (cuma si kakak-laki-laki-hangus

yang mirip cowok kulit hitam). Sebenarnya kami tidak bermaksud

piknik, hanya ingin mengisi perut sekenyang-kenyangnya dengan

makanan yang kami ambil dari ruang bawah tanah, tapi kondisi

nya betul-betul mirip piknik. Apalagi pembicaraan berlangsung

dengan seru saat Tony menceritakan apa yang terjadi pada temanteman yang asyik ngorok di saat aku nyaris dicambuki bagaikan

budak belian yang tidak sengaja memecahkan gelas.

Tentu saja, aku membantu dengan memberikan beberapa infor

masi penting yang bahkan tidak diketahui oleh Tony?informasi

yang kukorek dari cewek-penggemar-Markus-yang-kini-nemplokdi-pohon-jeruk waktu aku nyaris dicambuki dengan brutal. Bagai

mana orangtua mereka meninggalkan mereka dalam kesusahan,

bagaimana mereka menjebak kami semua ke tempat ini, bagai

mana mereka bersekongkol dengan dokter, merusak jembatan,

dan sebagainya. Para pendengar ceritaku mendengar penuturanku

dengan wajah terkesima, bahkan juga si Tony yang merasa sudah

tahu banyak. Hmm, kurasa lebih baik aku memasukkan kisah ini

ke koran sungguhan dan membuat banyak pembaca lain ter

kesima.

Kami memutuskan untuk bergiliran menunggu Markus.

Menurut Tony, kemungkinan Markus akan tiba pada sore hari,

jadi kami bisa menyerahkan giliran pertama pada orang lain. Jadi

kugunakan kesempatan itu untuk mandi, lalu menerobos ke

kamar adikku yang langsung menjerit bagaikan cewek yang baru

saja sadar dirinya diintip.

"Apa-apaan sih?" tanyanya berang.

"Cerita dong," pintaku sambil duduk di ranjangnya, "siapa itu

Johan dan, sekali lagi, siapa itu Jenny." Sebelum dia sempat

mengucapkan sepatah kata pun, aku menambahkan dengan suara

penuh ancaman, "Kali ini nggak boleh bohong."

Tony menatapku dengan penuh selidik, lalu menghela napas

seolah-olah akan melakukan pekerjaan terberat seumur hidup

nya.

Lalu dia pun bercerita.

Hell, bahkan dalam mimpi pun aku tak bakalan menyangka

Tony dan Markus pernah mengalami kejadian yang begitu me

ngerikan. Berhadapan dengan psikopat berkepribadian ganda yang

tidak segan-segan mencelakai orang lain demi memenuhi obsesi

nya. Tapi kalau kupikir-pikir lagi, di dunia ini memang banyak

orang yang tidak malu-malu mencelakai orang lain demi ke

pentingan diri sendiri. Hanya saja, kebanyakan dari mereka hanya

lah pecundang yang pada akhirnya akan mencelakai diri sendiri

dan punya kepribadian ganda yang mengerikan.

Mau tak mau aku jadi kagum pada cewek bernama Jenny,

cewek yang dicintai adikku. Cewek itu hanyalah cewek biasa,

cewek rata-rata, mungkin saja hatinya tidak sesuci dan seindah

yang dilukiskan adikku yang sedang dimabuk cinta. Tapi sebenar

nya sulit sekali hidup sebagai seorang cewek biasa. Cewek yang

harus berdampingan dengan sahabat yang begitu populer tanpa

merasa iri, cewek yang lebih memikirkan perasaan sahabatnya

ketimbang perasaan sendiri, cewek yang sanggup menerima ke

kurangan teman-temannya dengan penuh rasa humor.

Tak kusangka, adikku yang kukira berpikiran dangkal dan tak

pernah serius ternyata sanggup melihat sampai ke dalam hati.

Mendengar bagaimana karakter cewek yang dipilihnya itu mem

buatku bangga bukan main.

Berbeda dengan Markus yang tadinya kukira cowok serius

namun ternyata sedangkal selokan.

Tak sulit bagiku untuk menebak dia bakalan naksir cewek

paling populer di sekolah. Cewek yang ditaksir hampir semua

cowok di sekolah, memacari sebagian besar di antaranya, lalu

mematahkan hati semuanya. Cewek berotak kosong yang hanya

mementingkan penampilan. Tipe cewek glamor yang dengan

senang hati akan kugebuki kalau berani bertingkah di depan

Mendadak saja segala perasaan yang kumiliki terhadap Markus

terasa tak begitu berharga lagi.

Mungkin lebih baik aku kembali ke Vancouver secepat mung

kin, sebelum aku melakukan hal-hal yang akan kusesali di ke

mudian hari.

Pelukan yang kuberikan pada Markus pada saat dia kembali

dari perjalanannya adalah pelukan terakhir untuknya. Setelah itu,

aku diam saja mengawasi anak-anak terluka yang segera diberikan

perawatan medis sementara, sementara para tawanan diurus oleh

polisi. Kami menumpang kapal terakhir bersama orang-orang

sehat lainnya: Bang Sat, Bi Ani, serta tiga anggota klub judo yang

tersisa. Pada saat kapal kami mengangkat sauh, hari sudah mulai

gelap.

Tapi ini tidak menghalangi niat Tony.

"Gue dan Markus bakalan kembali ke Jakarta malam ini,"

katanya tegas. "Tapi mungkin dalam waktu dua-tiga hari lagi

kami akan kembali ke sini. Gimana dengan kalian?"

Ketiga cowok yang ditanya berpandangan.

"Gue rasa lebih baik kami tetap tinggal," kata Irwan-si-cowokrata-rata. "Kalau sampai ada yang siuman sebelum kalian kembali,

setidaknya mereka nggak akan mengira mereka udah ditinggal

in."

"Benar," sahut Sugi-si-tukang-khayal. "Lagi pula, kan kita be

lum sempat liat-liat kota ini. Sekarang udah waktunya kita pelesir

sedikit sambil ngecengin cewek-cewek lokal."

"Ah, gue sih lebih suka ngecengin cewek-cewek di kota sen

diri," kata si cowok-cempreng-Leo yang melemparkan tatapan

aneh padaku. "Kamu gimana, Ry? Mau ikut pulang atau mau

tinggal di sini?"

Hmm. Sejujurnya, aku akan senang sekali melihat muka

Markus kalau kukatakan aku ingin tinggal di sini. Tapi, ber

hubung aku bukan cewek yang hobi main tarik-ulur dalam soal

percintaan (aku lebih senang tarik-ulur dalam arti harafiah?

maksudnya, main tarik tambang), aku menjawab dengan sepenuh

hatiku, "Aku mau kembali ke Jakarta. Aku juga kepingin mencari

Jenny."

Wajah Tony kelihatan horor banget, sementara si cowokcempreng-Leo langsung kecewa. Sepertinya kepergianku ke Jakarta

tidak direstui banyak pihak, selain Markus yang langsung ter

senyum girang.

Padahal niatku untuk kembali ke Jakarta sama sekali tidak ada

hubungannya dengan dirinya.

Saat kapal kami mendekati pelabuhan, Tony berpaling pada

Bang Sat. "Bang, kami pamit dulu. Tapi saya pasti akan kembali

ke sini. Pada saat itu, saya akan belikan Abang satu pick-up

seperti yang sudah saya janjikan."

Wajah Bang Sat langsung berseri-seri. "Oke, Bos."

"Bi Ani," suara Tony berubah lembut, "terima kasih untuk

bantuan Bi Ani selama ini. Maaf ya, kalau kami sudah merepot

kan Bibi, dan maaf juga karena kami sempat mengira Bibi ber

sekongkol dengan para penjahat itu."

Bi Ani menggeleng. "Memang saya sudah bersekongkol dengan

mereka, Jang. Kalau bukan karena pembelaan kalian semua, pasti

saya sekarang juga sudah dipenjara bersama mereka. Terima kasih

ya, Jang Tony, Jang Markus."

"Sama-sama, Bi," kali ini Markus yang menyahut dengan

ramah dan penuh simpati.

Aku sudah siap untuk kabur dari adegan memilukan yang

tidak melibatkan diriku ini ketika kudengar ucapan Bi Ani, "Moy,

terima kasih juga, ya."

Lidahku mendadak kelu. "Saya nggak berbuat apa-apa kok,

Bi."

Tapi Bi Ani malah berkata, "Siapa bilang? Amoy anak perempu

an terhebat yang pernah saya temui. Jangan lupain saya ya,

Moy."

Hell, kenapa aku jadi sentimentil?

"Nggak lah, Bi, cuma Bibi satu-satunya orang di dunia ini

yang panggil saya Amoy," sahutku, berusaha mengusir jauh-jauh

air mata yang nyaris menetes. Aku kan tidak mau bergabung

dengan dua kakak-beradik yang menangis seharian karena bakalan

jadi napi itu.

Akhirnya kami tiba juga di pelabuhan. Sebuah taksi mungil

yang mirip VW atau sejenisnya sudah menunggu kami. Hell,

mana sanggup mobil sekecil itu memuat dua cowok raksasa

segede Tony dan Markus plus bagasiku yang besar-besar?

Ternyata perkiraanku salah besar. Taksi itu mirip taksi

Doraemon atau sejenisnya. Dari luar kelihatan kecil, tapi bagian

dalamnya ternyata cukup lapang. Begitu taksi itu mulai melaju,

Tony dan Markus langsung sibuk dengan ponsel mereka lagi.

"Lo telepon Hanny," kata Tony tanpa mengalihkan pandang

annya dari ponselnya. "Gue telepon Jenny."

"Got it."

Yeah, tentu saja. Si Markus pasti senang banget ketiban tugas

menghubungi cewek cakep.

"Eh, Nenek Sihir, pinjam handphone-mu dong."

Tanpa bicara aku menyerahkan ponselku pada adikku si tukang

palak, yang rupanya bisa menggerakkan kedua tangannya untuk

melakukan aktivitas yang berbeda. Ini menandakan dia berbakat

jadi orang aneh di sirkus.

Ada beberapa hubungan telepon yang berhasil tersambung,

namun semuanya berakhir dengan percakapan singkat yang siasia. Jenny tidak ada di Singapura. Hanny sudah pulang ke

Indonesia. Jenny belum tiba di rumah di Jakarta. Hanny sedang

ada di sekolah. Oke, dari semua itu, yang terakhir terdengar

paling mencurigakan. Habis, sekarang kan sudah jam enam sore.

Untuk apa cewek populer itu berkeliaran di sekolah pada jam-jam

begini seperti cewek-cewek kutu buku yang menganggap sekolah

adalah rumah kedua mereka?

Mungkin saja dia sedang disibukkan oleh Johan.

Sepertinya kedua cowok di kiri dan kananku juga disibukkan

dengan pikiran yang sama, karena semakin mendekati bandara,

wajah mereka berdua semakin pucat saja. Bahkan, saat taksi berhenti

di bandara, Tony langsung menghampiri tong sampah dengan niat

mau muntah. Tapi sepertinya perutnya lebih kuat daripada

mentalnya, karena dia tidak berhasil memuntahkan apa-apa.

"Nggak usah lebay gitu, kali," komentarku sambil menonton

adegan itu seraya berjongkok di depan adikku yang mencengke

ram si tong sampah yang malang dengan kekuatan penuh.

"Kamu nggak ngerti," kata Tony dengan suara serak dan sorot

mata mengerikan. "Dalam kehidupan Johan, aku dan Markus

hanyalah figuran yang nyebelin, namun dia mau bersusah payah

ngerancang jebakan buat kita sampai ke Pontianak. Aku tau, itu

cuma salah satu trik Johan untuk ngejauhin kami dari Jenny dan

Hanny yang jauh lebih penting buat dia. Tapi kalo kami yang

figuran aja harus menghadapi kejadian yang begitu mengerikan,

apalagi Jenny dan Hanny yang jadi target dia yang sebenarnya?"

Oke, sekarang aku mengerti ketakutan Tony. Bahkan, harus

kuakui, aku juga ikut-ikutan ngeri.

"Kalo begitu, tunggu apa lagi?" Oke, suaraku ternyata lebih

kasar daripada yang kumaksud. Hal-hal beginianlah yang mem

buatku sering dikira orang jahat. "Ayo, kita beli tiket."
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untunglah masih ada tempat dalam penerbangan terakhir me

nuju Jakarta. Dalam waktu singkat, kami sudah berada di dalam

pesawat terbang yang sedang ngebut gila-gilaan dengan tujuan

lepas landas. Supaya tidak dilemparkan keluar dari pesawat, kedua

cowok itu terpaksa mematikan ketiga ponsel yang ada di tangan

mereka. Namun kegelisahan tidak pernah meninggalkan keduanya.

Saat kami tiba di Bandara Soekarno-Hatta, keduanya praktis

langsung menerjang keluar dari pesawat terbang.

"Wartel dulu, man!" teriak Tony. "Kak, tolong urus bagasi

kita!"

Kak? Dia memanggilku "Kak", bukannya "Nenek Sihir" seperti

biasa? Adikku ini pasti luar biasa cintanya pada Jenny.

Karena tidak banyak penumpang dalam pesawat kami, dalam

waktu singkat aku berhasil mendapatkan bagasi-bagasi kami.

Sambil membawa barang-barang itu dengan troli?walaupun

kuat, aku bukan Superwoman yang bisa membawa bagasi seberat

tiga puluh kilogram?aku mencari-cari wartel terdekat yang mung

kin diserbu oleh kedua cowok yang sedang menggila itu.

Tony muncul duluan dengan sumpah serapah.

"Jenny nggak ada di mana-mana," lapornya dengan muka

cemas. "Pengurus rumahnya bilang, dia belum tiba di rumah,

padahal katanya dia bakal pulang hari ini."

Kami sama-sama menoleh saat Markus menghampiri kami

dengan wajah yang sulit dideskripsikan.

"Gue berhasil ngomong sama Hanny, coy," katanya pada Tony.

"Tapi hubungannya jelek banget. Gue nyaris nggak bisa denger

suaranya, tapi gue tau dia bisa denger suara gue. Saking tegang

nya, gue jadi meracau sembarangan. Tapi gue berhasil suruh dia

untuk hati-hati."

"Ada tanda-tanda Jenny ada di situ?" tanya Tony penuh ha

rap.

Markus menggeleng. "Sori."

Tubuh Tony langsung lemas lunglai lagi.

"Udahlah, nggak usah ngerasa kayak the end of the world gitu,"

hiburku. "Dalam waktu satu atau dua jam, tergantung traffic, kita

akan tiba di rumah. Saat itu kalian bisa mengerahkan semua

upaya?dengan telepon, mobil, polisi, bahkan helikopter untuk

mencari mereka. Beres, kan? Sekarang, lebih baik kita pikirin

tempat-tempat yang mungkin mereka tuju."

Markus mengangguk. "Sepertinya tempat pertama yang harus

kita cari adalah sekolah."

Kita? Memangnya aku harus ikut juga?

Perjalanan itu jauh lebih lancar daripada yang kami duga.

Dalam waktu kurang dari satu jam, kami sudah memasuki kom

pleks perumahan Hadiputra Bukit Sentul.

"Apa itu?" teriak Tony saat kami mulai mendekati sekolah yang

tak pernah kumasuki itu. Dari kejauhan, kami sudah mengenali

lampu mobil polisi yang meriah banget dan mirip lampu disko.

"Kenapa ada banyak polisi di sini?"

"Ada ambulans juga," gumam Markus.

"Pak, berhenti di sini!" kata Tony sambil menggebuki punggung

sopir taksi yang sudah berbaik hati mengantar kami jauh-jauh pada

waktu yang begini larut. Nanti kami harus memberinya tips yang

banyak. Kalau tidak, kujamin dia akan meludahi kami.

Begitu taksi berhenti, aku jadi ikut-ikutan tegang. Bagaimana

kalau terjadi sesuatu pada Jenny? Bisa-bisa adikku langsung

bersumpah untuk memburu Johan sampai salah satu di antara

mereka mati?atau lebih parah lagi, bersumpah untuk jadi biksu

dan mengasingkan diri di gunung selama-lamanya.

Tapi keteganganku tidak berlangsung lama.

"Jenny!"

Aku melihat sosok cewek yang sangat tidak mencolok di antara

keramaian itu, menoleh cepat saat mendengar suara adikku. Ce

wek itu sebenarnya cukup cantik, dengan tubuh semampai,

rambut hitam panjang, dan kulit putih bersinar, namun penampil

annya biasa-biasa saja tanpa sentuhan makeup, aksesori keren,

atau pakaian up-to-date. Pada saat ini, cewek itu hanya mengena

kan jins dan kaus lengan buntung bertudung dengan gambar

Duffy Duck di bagian depan, sementara satu-satunya aksesori

yang dikenakannya hanyalah kacamata berbingkai perak mengilap.

Senyum yang disunggingkannya tulus dan cantik tapi sederhana

dan tidak menonjol, menyebabkan tak ada yang menduga bahwa

dia baru saja mengalami sesuatu yang jauh lebih menegangkan

dibanding kami semua.

Sebaliknya, cewek di sampingnya sangat mencolok sampaisampai aku merasa harus memberikan seluruh perhatianku

padanya dan melupakan dua cowok lain yang menemani me

reka. Cewek itu lebih pendek, baik dalam soal tubuhnya yang

berisi maupun rambutnya yang disanggul tinggi, mengenakan

gaun cokelat keemasan yang sangat mewah namun compangcamping, dan, meski berantakan, senyumnya yang berkilauan

membuatku silau bahkan dari kejauhan begini. Tak heran dia

jadi cewek yang membuat hampir semua cowok di sekolah

keren ini jatuh cinta. Tidak heran dia jadi cewek yang mem

buat Markus jatuh cinta.

Aku langsung benci padanya pada pandangan pertama.

Adegan pertemuan kembali antara Tony dan Jenny mirip

adegan romantis di film-film murahan. Sang cowok berlari-lari

mendekat dan sang cewek menyambut dengan kedua tangan

terulur padanya, diakhiri dengan ciuman memalukan yang mem

buat tatapan kami semua langsung terarah pada bintang-bintang

di langit yang, omong-omong, tak begitu kelihatan.

"Jen, ada apa ini?" tanya Tony dengan suara mirip cowok

idiot. "Kenapa di sekolah rame banget?"

Cewek di sebelah Jenny, yang aku yakini adalah Hanny si

cewek populer, yang menyahuti pertanyaan itu. "Nggak apa-apa.

Cuma acara MOS yang kelewat sukses."

Hell, semakin lama aku semakin kikuk di depan cewek

supercantik ini. Tubuhku yang tinggi jadi terasa kaku dan cang

gung di dekatnya, penampilanku jadi serasa aneh mirip cewek

abnormal, tampangku jadi serasa lebih mirip cowok maskulin

ketimbang cewek feminin. Mau tak mau aku jadi salut pada

cewek mana pun yang berani berteman akrab dengan cewek yang

begitu mengintimidasi ini.

"Acara MOS yang kelewat sukses?" tanya Markus sambil

menatap cewek itu dengan tertarik?pastinya tidak hanya tertarik

dengan ucapannya.

"Ya." Seorang polisi yang tampangnya familier tahu-tahu men

dekati kami. Hell, itu kan pamannya Markus. "Sepertinya kalian

juga mengalami kamp pelatihan judo yang sukses. Om mendapat

banyak telepon merepotkan yang menyebut-nyebut nama kalian

lho."

"Dari yang kudengar sih, Om memuji-mujiku setinggi bintang

di langit," balas Markus, membuat pamannya itu langsung tam

pak jengkel.

"Ge-er, ya?"

"Nggak lah. Aku tau semua itu kenyataan kok, Om."

"Anak-anak zaman sekarang memang overpede." Paman Markus

menghela napas. "Ya sudah, lebih baik sekarang kalian pulang.

Kalian semua tampak capek sekali."

"Bener," angguk si cewek populer. "Ayo, kita pulang bareng aja

yuk. Akan aku ceritain dengan mendetail pengalamanku yang

heboh, seram, seru, dan"

"Tunggu dulu." Tony menyeret pacarnya ke depanku dengan

tampang penuh semangat. "Jen, kenalin, ini kakakku."

Sepertinya Jenny tak bakalan kelihatan lebih kaget kalau

dikenalin dengan hantu nenek buyut kami. "Kakakmu?"

Si cewek populer ikut-ikutan berteriak, "Kamu punya ka

kak?"

Apa-apaan ini? Kenapa semua orang kelihatan kaget banget?

Jangan-jangan selama ini Tony menyimpan rahasia tentang diriku

seolah-olah aku anak haram keluarga. Hell, akan kucincang dia

begitu kami sudah kembali ke rumah.

Atau tidak. Aku tidak berniat kembali ke rumah lagi. Ada

urusan lain yang lebih penting.

"Yep," seringai Tony, menyahut pertanyaan populer saat ini.

"Namanya Tory, tapi kalian boleh panggil dia Nenek Sihir."

Suatu saat pasti akan kucincang dia.

"Nice to meet you," kataku sambil menyalami Jenny dengan

tampang seramah mungkin, tapi dalam kondisi capek fisik dan

mental seperti ini, suaraku terdengar seperti geraman singa. "Aku

ingin ngobrol lebih lama denganmu, tapi sori, sekarang aku lagi

buru-buru."

"Oh." Wajah Jenny yang tampak kecewa membuatku merasa

disukai. Pantas saja adikku yang tolol jatuh cinta padanya. Cewek

ini membangkitkan segala perasaan baik yang kukira tak kumiliki.

"Emangnya Kak Tory mau ke mana?"

"Mau pulang," sahutku, "ke Vancouver."

Kini Tony dan Markus yang menoleh padaku dengan wajah

shock.

"Kalo kamu mau balik ke Vancouver," kata Tony tergagap,

"kenapa kamu ikut kami ke sini dan bukannya langsung beli tiket

waktu di airport tadi?"

"Yah, aku kan kepingin ketemu adik iparku." Aku sama sekali

tidak menyinggung kalau aku juga ingin melihat sendiri cewek

populer yang pernah pacaran dengan Markus. "Dan aku ingin

mastiin dia baik-baik aja. Sekarang kan semuanya udah beres.

Aku bisa kembali ke Vancouver dengan tenang." Aku menoleh ke

arah taksi kami. "Sepertinya bagasi kalian udah dikeluarin, jadi

kalian bisa langsung pulang. Ada kendaraan, kan?"

"Jangan khawatir." Seorang cowok yang berada di dekat Jenny

dan si cewek populer?cowok yang tampangnya mirip banget

Vanness Wu, cowok idamanku pada suatu masa di zaman dahulu

ketika aku masih ABG?menyahutiku dengan suaranya yang

rendah dan menenangkan. Cowok ini kelihatannya lumayan seru,

dengan tato di sekujur tubuh dan aura yang membuatku sung

kan. Pada saat-saat biasa aku tak bakalan melewatkan kesempatan

berkenalan dengan cowok seseram ini, tapi saat ini aku sedang

tidak berminat?dan semua kesalahan kutimpakan pada Markus.

"Aku akan mengantar mereka semua pulang," sambung cowok

itu.

"Oke," sahutku ringan. "Kalo gitu, sampai ketemu lagi lain

kali."

Baru berjalan beberapa langkah, kurasakan seseorang meraih

tanganku.

"Jangan pergi begitu aja," tegur Markus di dekat telingaku.

"Kita masih punya urusan yang belum selesai, kan?"

Aku mengangkat sebelah alisku. "Urusan apa?"

"Urusan tentang kita."

"Nggak ada yang namanya urusan tentang kita," sahutku seraya

menggeleng. "Sejak awal aku sudah bilang aku nggak tertarik

menjalin hubungan denganmu, kan?"

Wajah Markus tampak sama pucatnya dengan tadi waktu kami
Permainan Maut Johan series 3 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih berada di bandara, tapi perasaanku sendiri juga tidak kalah

kacaunya saat mengatakan semua itu padanya.

"Kamu dikelilingi cewek-cewek hebat yang sepantaran dengan

mu, cewek-cewek yang jauh lebih pantas denganmu dibandingkan

aku," ucapku lagi. "Sedangkan aku, aku nggak tertarik menjalin

hubungan dengan cowok yang lebih muda, cowok yang belum

bisa apa-apa, cowok yang masih bergantung pada orangtua. Kalo

kamu kenal aku, seharusnya kamu tau aku lebih cocok dengan

cowok yang kuat dan mandiri."

Bagian pertama memang kuucapkan setulus hatiku, tapi bagian

kedua sama sekali tidak benar. Aku menyukai Markus apa adanya.

Aku tahu saat ini dia hanyalah siswa SMA culun, tapi suatu hari

nanti dia akan tumbuh menjadi pria dewasa yang kuat, mandiri,

dan bisa diandalkan?bukan saja oleh orang-orang di dekatnya,

tapi juga oleh orang banyak, karena Markus tak akan menjadi

cowok yang menyimpan keahliannya untuk diri sendiri, melain

kan akan menggunakannya untuk menolong orang banyak.

Tapi setidaknya, kata-kataku yang kasar membuatnya bungkam

sejenak.

"Aku nggak mau cewek lain selain kamu," katanya akhirnya.

"Kalo kamu nggak suka aku yang sekarang, tunggu aku beberapa

tahun lagi. Aku janji, aku akan jadi cowok yang kamu ingin

kan."

Mendengar kata-katanya, aku tidak tahu harus menangis atau

tertawa. "Mungkin. Tapi sementara itu, kamu bebas ngelakuin

apa saja yang kamu inginkan. Kalo kamu ketemu cewek lain, aku

nggak akan nagih janjimu ini kok. Jadi nggak usah khawatir."

Kutepuk bahunya. "Until then."

Saat berjalan meninggalkan Markus, kurasakan sesuatu yang

patah jauh di dalam hatiku, membuat jantungku terasa sakit

luar biasa dan air mataku ingin menyerbu keluar. Tapi ini ada

lah keputusan terbaik. Seandainya saat ini aku setuju untuk

berhubungan dengannya, tak pelak lagi kami harus menjalin

hubungan jarak jauh. Lalu, karena dia akan terpesona pada

cewek-cewek lain yang lebih dekat dan bisa mengurusnya, dia

akan memutuskan hubungan denganku. Dan aku akan ditinggalkan oleh cowok terhebat yang pernah kukenal seumur hidupku.

Tapi kalau aku memberinya waktu untuk mendinginkan kepala

dan berpikir, mungkin semuanya akan memiliki akhir yang berbeda. Mungkin saja kami tak akan sempat menjalin hubungan,

tapi setidaknya aku tidak perlu menangis karena harus kehilangan

dirinya. Namun mungkin juga waktu akan membuktikan, tidak

hanya padaku melainkan juga pada dirinya sendiri, bahwa katakatanya benar. Bahwa hanya aku satu-satunya cewek yang dia

inginkan. Dan saat kami berdua sama-sama pasti dengan perasaan

kami, pada saat itu, tidak terlambat untuk memulai sesuatu yang

abadi.

Saat aku tiba di depan taksi, kusadari bahwa masih ada orang

yang mengejarku.

"Hei, ini bukan gara-gara aku, kan?" tanya adikku sambil menahan pintu bagasi yang kubuka. Tumben-tumbenan, mukanya

serius saat bicara denganku. "Bukan karena aku nggak setuju

kamu pacaran sama Markus, kan?"

Aku mengangkat alisku lagi. "Emangnya apa peduliku sama

keinginanmu?"

Tony menatapku lekat-lekat. "Aku tahu kamu peduli."

Ah, adikku ini memang sudah bertambah dewasa. Biarpun hanya sedikit.

"Yeah, emang peduli, tapi tenang aja, ini bukan gara-gara

kamu kok," kataku sambil mengedikkan kepalaku ke arah bagasibagasi di dekat kaki kami. "Tuh, barang-barang kalian. Jangan

lupa diambil, ya."

Tony tidak menyahutiku, melainkan membantuku memasukkan

lagi koper-koperku ke bagasi taksi.

"Sampai ketemu lagi," katanya tanpa diduga-duga.

Aku tersenyum padanya. "Yeah, sampai ketemu lagi, bro."

Tanpa melihat kiri-kanan lagi, aku masuk ke taksi.

Ternyata aku tidak sendirian di jok belakang.

"Siapa kamu?" tanyaku kaget. "Kenapa kamu ada di sini?"

Cowok yang sudah stand by duluan di jok belakang itu ber

tubuh tinggi, kurus, dengan kacamata yang pernah patah gagang

nya dan disambung lagi dengan lakban, menunjukkan ke

cerobohan dan ketidakrapian. Untunglah. Cowok ini kelihatannya

sama sekali tidak berbahaya.

"Mm, sori, tapi ini taksiku," katanya dengan wajah malu-malu.

"Dari tadi aku udah nunggu di sini. Kata si sopir taksi, dia akan

segera bawa aku pergi kalo kalian udah bayar ongkos taksinya."

Arghh. Seharusnya tadi aku titip pesan pada si sopir taksi

untuk menungguku. "Tapi aku lagi buru-buru. Aku harus ke

bandara sekarang juga."

"Kalo begitu, kita pergi sama-sama aja," kata cowok itu ramah.

"Aku juga kepingin ke bandara kok."

Tidak enak rasanya melakukan perjalanan satu jam dengan

orang asing, tapi saat ini pasti sulit sekali mencari taksi lain yang

berkeliaran di kompleks perumahan kami. Lagian, aku malas

banget harus keluar dan ketawa cengengesan pada Tony dan

Markus, dan mengatakan bahwa taksiku direbut orang.

"Ya udahlah," kataku sambil menahan rasa dongkol. "Ayo

jalan, Pak Sopir."

Taksi kami segera meluncur keluar dari perumahan, menuju

arah tol Jagorawi yang akan membawa kami kembali ke Jakarta.

"Jadi, kamu kakak Tony?"

Aku menoleh pada cowok itu dengan curiga.

"Tony salah satu siswa paling beken di sekolah kami," jelas

cowok itu. "Tapi aku belum pernah dengar soal kakaknya."

"Yah, itu rahasia gelap keluarga kami," tukasku seenaknya.

Cowok itu tersenyum, namun kali ini senyumnya terasa tidak

begitu menyenangkan. "Semua orang punya rahasia gelap ke

luarga."

Aku membuang muka, jelas-jelas mengisyaratkan bahwa aku

tidak ingin mendengar rahasia gelap keluarganya.

Tapi cowok itu malah mengulurkan tangannya padaku.

"Omong-omong, kenalin. Namaku Johan."

Tamat


Demon Glass Karya Rachel Hawkins Pendekar Rajawali Sakti 133 Tengkorak Pendekar Mata Keranjang 7 Persekutuan

Cari Blog Ini