Ceritasilat Novel Online

Teror 1

Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu Bagian 1

TEROR

Oleh Lexie Xu

Johan series 4

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

GM 312 01 15 0008

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Gedung Gramedia Blok 1, Lt.5

Jl. Palmerah Barat 29?37, Jakarta 10270

Cover oleh Regina Feby

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

anggota IKAPI, Jakarta, Mei 2012

www.gramediapustakautama.com

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

272 hlm., 20 cm.

ISBN: 978 ? 602 ? 03 ? 1296 ? 5Special Thanks

Johan Series nggak akan bisa terwujud tanpa bantuan dari banyak

orang, orang-orang yang ingin kuucapkan terima kasih secara

pribadi. Sayangnya, Lexie jauh dari sempurna, superpikun, dan

ceroboh luar biasa. Kalau sampai ada nama yang lupa kusebutkan

di sini, aku mohon maaf sebesar-besarnya.

God Trinity

Thank You, I may not know what?s Your plan for me, but so far

they?re all beautiful. Thank You, for making my life so unpredictable.

Thank You, for making me a better person with better future than

I imagined before. Thank You, for giving me Your unconditional

love.

My Family

Kalian semua yang bikin aku tahu bahwa di dunia ini aku nggak

hidup sendiri: Mama, Papa, Kori-Cory-Kori dalam hidupku?Ling

si tukang makeover, Sese penasihat keuanganku, Yeye my beloved little

sister?Sen, Johan of my life (just kidding, bro). Putry, adik ketemu

gede. Para keponakanku yang cakep dan imut-imut: Evander,

Ryuichi, Avery, Indy, dan Keiko. Juga untuk seluruh keluarga

Khouw (Xu) di Pontianak dan keluarga Liem di Jakarta.

My Beloved Colleagues

Regina Feby dan Erlin Cahyadi?my beautiful and talented

girlfriends, can?t live without you, girlfriends! Teman kongkow dan

makan-makan: Christina Tirta dan Mia Arsjad, yuk kita bikin

janji temu lagi dan makan sampe bulet-bulet lucu! Dadan

Erlangga, tetep semangat nulis ya, meski nggak pake dipecut,

nyahaha! Juga teman-teman penulis lain, aku bahagia dan bangga

banget menjadi sahabat kalian semua. Makasih ya!

My Dearest Friends at School

Christine Juliati, Reny Affrina Tambunan, Dian Christy Kristianti,

Soffy Sutanty, Dewi Anggraeni, Vicky Leander, Niluh Gede Vice

Bajarani, Ng Sui Fa, dan Oma Liping, makasih yaaa udah jadi

temen-temen senasib seperjuangan ngurusin anak-anak kita dan

tugas-tugas mereka yang nggak ada habis-habisnya. Makasih juga

udah jadi temen ngopi dan temen rusak karena makan gorengan

melulu, wahahaha! Untuk Jenny Irmeli Watilete, Susana Yuniarsih,

dan Erlina Sarumaha, kangen buangeeet sama kaliannn...

GPU Publisher

Untuk segenap divisi fiksi Gramedia Pustaka Utama, love you

all, terutama Mbak Vera, editorku yang sakti, hanya dengan

satu e-mail bisa bikin aku dancing-dancing di tengah pelataran

parkir. Untuk Michelle yang hobi nyuratin aku serta ngirimngirim paket, semua darimu selalu kutunggu dengan tampang

ngarep banget. Untuk divisi Markom terutama Mbak Sthella

dan Wisnu yang selalu jadi seksi repot di kala talkshow. Makasih sebesar-besarnya buat semua bantuan, pengajaran, dan keramahan yang sudah diberikan padaku bahkan sejak aku belumapa-apa. Aku bangga banget bisa bergabung dengan keluarga

besar GPU!

All the Lexsychopaths

Terima kasih sudah memilih bukuku dari rak buku dan menyukainya. Terima kasih, kalian sudah memberikan komen, dukungan,

dan kekuatan di saat aku merasa rendah diri dengan kemampuanku. Terima kasih telah menjadi seorang Lexsychopath. I know I?m

nothing without you guys, and you know I love you.

Dan yang terakhir sekaligus yang terpenting, Alexis Maxwell,

Zaizai-ku, TaeYang-ku, Hiro-ku. Kalau nggak ada kamu, aku

nggak tahu apa jadinya aku sekarang. I owe you big time, my little

baby, and I love you so, so much.

xoxo,

LexieDedicated to Alexis Maxwell.

"Ni bu guai, you shi hai hui shua lai

Dan ni bu huai, qi shi ni hen ke ai."

("You?re not always good, sometimes you?re so naughty

But you?re not really bad, actually you?re very cute.")

- F4, Can?t Help Falling in Love (OST Lilo & Stitch) It?s so true, Little Buddy.

I just can?t help falling in love with you!11

Prolog

Johan

BANYAK orang mengira dia sudah mati, tapi tidak demikian

halnya bagiku.

Ya, aku memang melihatnya terapung-apung di kolam itu, pucat dan bengkak, dan sama sekali tidak mirip anak perempuan

yang pernah kukenal. Aku juga hadir dalam pemakamannya, melihatnya berbaring dengan sopan di dalam peti mati, peti yang

kemudian ditutup dengan rapat dan dikuburkan empat meter di

bawah permukaan tanah. Aku melihat banyak orang menangisinya?mata-mata penuh air mata kesedihan yang kemudian berubah marah saat menatapku. Mata-mata yang mengatakan satu

hal yang sama: kau sudah membunuhnya!

Tapi itu kecelakaan!?begitulah pembelaan diriku selama ini.

Aku tidak mendorongnya, dia sendiri yang jatuh ke kolam. Aku

bahkan berusaha menolongnya, hanya saja dia terlalu panik untuk

menerima pertolonganku. Aku berusaha melupakan rasa puas12

yang sempat memenuhi hatiku, saat melihatnya berhenti berusaha

untuk hidup.

Tapi pokoknya, itu bukan salahku.

Lalu ibuku bunuh diri, meninggalkan catatan bahwa dia tidak

sanggup hidup bersama anak yang sudah membunuh anak perempuannya. Apakah ini berarti aku bukan anakmu juga, Mama? Pikiran ini menyakitiku, siang dan malam, baik saat aku terbangun

maupun di dalam mimpiku. Aku menyadari bahwa aku mulai

terpisah dari dunia ini. Semua orang mengucilkanku. Ayahku

bahkan membawaku tinggal di rumah terpencil di luar kota, tempat kami tidak perlu menghadapi pandangan menuduh para

tetangga, teman, dan keluarga. Namun ayahku juga sangat sering

meninggalkanku sendiri. Katanya dia harus pergi ke luar kota

atau luar negeri untuk bekerja. Hah, alasan!

Dan pada saat aku sendirian, dia pun muncul lagi.

Tak ada yang berubah pada dirinya. Tak ada bekas-bekas kematian yang terlihat pada dirinya. Dia tampak sama seperti dulu?

cantik, menggemaskan, dan membuatku muak setengah mati.

Tapi aku tahu yang lebih baik: dia sudah mati. Yang kuhadapi

ini hanyalah hantunya.

Lalu kenapa ada jejak-jejak kehidupannya di sekitarku? Susu

yang hanya dihabiskan separuh. Boneka Barbie di dalam kamarku.

Rasa pedas di tanganku saat aku menamparnya.

Ini hanya berarti satu hal: dia masih hidup!

Aku tidak tahu bagaimana penjelasannya. Mungkin dia hanya

berpura-pura mati saat dikuburkan. Mungkin ayahku berusaha

menyembunyikannya dariku. Mungkin juga seluruh dunia berkonspirasi untuk menipuku.13

Semua orang mengira aku goblok. Mereka sama sekali tidak

menyadari bahwa aku sudah mengetahui tipu daya mereka.

Tak heran aku jadi marah sekali. Kulampiaskan emosiku dengan bersikap kejam padanya. Aku memukulinya habis-habisan,

sampai tubuhnya berdarah-darah dan tenagaku terkuras habis,

sampai aku tidak sanggup bangun selama dua hari. Aku mengosongkan kulkas dan membiarkan dia kelaparan, namun belakangan kusadari dia tidak butuh banyak makan, dan keterbatasan

makanan di rumah malah hanya menyusahkan diriku sendiri.

Aku bahkan mendorongnya ke tengah jalan supaya ditabrak mobil, tapi entah bagaimana, akulah yang terjatuh dan akulah yang

nyaris ditabrak mobil.

Lambat laun, aku tersadar. Apa yang sudah kulakukan? Seharusnya aku membalas dendam pada dunia yang sudah menghakimiku dengan kejam, bukannya mengurusi si cecunguk kecil tak

berharga ini. Jadi aku pun belajar menerima kehadirannya, tidak

mengacuhkannya, menganggapnya hanyalah salah satu benda mati

yang tidak perlu kupusingkan. Sesekali, kalau aku sedang kesal,

kugunakan dia untuk melampiaskan kemarahanku. Yah, biarpun

tak berharga, dia punya kegunaan juga.

Aku tidak pernah bertanya-tanya kenapa semakin hari aku semakin bertambah tinggi dan besar, sementara dia tetap anak kecil

yang sama seperti bertahun-tahun lalu.

Saat lulus SMP, aku memutuskan sudah waktunya aku mulai

unjuk gigi. Aku terlalu pandai, terlalu tampan, dan terlalu hebat

untuk dikucilkan di rumah luar kota yang tidak ada apa-apanya.

Ayahku tidak pernah ada di rumah. Jadi sebenarnya aku bisa

melakukan apa saja yang kuinginkan.

Hal pertama yang ingin kulakukan adalah kembali ke rumah

14

mewah yang pernah kutinggali dulu. Aku tidak pernah hafal alamat rumah itu, tapi tidak sulit untuk mencari tahu. Aku mengambil rapor SD lamaku dari kamar ayahku. Di situ tertera alamat

lama kami. Aku cukup terkesan karena dulu aku pernah bersekolah di Sekolah Persada Internasional, salah satu sekolah terbaik di

negeri ini (meskipun aku sekolah di situ hanya sampai kelas dua

SD, saat tragedi itu merenggut kebahagiaan keluarga kami dan

memaksaku menghabiskan masa SD dan SMP di sekolah dekat

kawasan rumahku yang sepi di luar kota).

Hal kedua yang harus kulakukan adalah pindah kembali ke

sana. Sekolah Persada Internasional itu.

Tapi satu per satu dulu.

Aku menemukan rumah itu. Rumah tempat aku pernah bahagia, dan rumah tempat seharusnya aku berada. Rumah itu sudah

ditempati keluarga lain, tapi aku tidak mengalami kesulitan untuk

memasukinya. Aku masih ingat, ada jalan rahasia yang dulu kugunakan untuk berkeliaran di sekitar rumah, mencuri dengar

pembicaraan orangtuaku, dan terkadang kabur dari rumah kalau

aku sedang bosan. Kini kugunakan jalan-jalan rahasia itu untuk

menyelinap masuk ke dalam rumah dan mengintai penghuni baru

rumah tersebut.

Aku mengizinkan adik perempuanku yang seharusnya sudah

mati ikut serta. Bagaimanapun, itu kan bekas rumahnya juga. Dia

mengikutiku ke mana-mana, berseru-seru dengan penuh kerinduan, mengingatkanku pada masa-masa yang terasa bagaikan abad

lalu. Dia terpaku saat kami tiba di taman belakang yang dulunya

adalah kolam renang tempat dia pernah tenggelam.

"Aku benci kolam renang!" katanya tiba-tiba.15

Sebenarnya aku ingin mengejeknya, namun mendadak kusadari

sebuah keanehan.

Aku juga benci kolam renang.

Keluarga yang menempati bekas rumah kami itu bukanlah keluarga yang sepadan dengan keluarga kami. Sepertinya mereka

berasal dari golongan menengah ke bawah (oke, oke, kalau mereka dari golongan menengah ke bawah, pasti mereka tak akan

sanggup membeli rumah itu meskipun dihargai sangat miring.

Tapi yang jelas, menurutku, derajat mereka masih di bawah level

keluargaku yang sangat kaya dan terhormat). Yang lebih parah

lagi, mereka punya seorang anak perempuan yang seusia denganku. Namanya Jenny Angkasa?nama yang konyol banget, mengingatkanku pada kata jenazah?dan dia bersekolah di Sekolah

Persada Internasional.

Pertama kali menatap anak perempuan yang sama sekali tidak

istimewa itu, mendadak saja dendamku tertumpah padanya. Dia

menempati rumah yang seharusnya kutempati, dia bersekolah di

sekolah yang seharusnya adalah tempatku bersekolah. Padahal dia

hanyalah anak perempuan yang biasa-biasa saja. Mukanya jelek,

dan tampaknya dia tak punya bakat yang berarti. Sementara aku

yang begini istimewa malah diasingkan jauh-jauh.

Hidup sungguh tidak adil.

Saat aku mengintipnya dari balik tingkap di langit-langit dengan penuh amarah, gadis kecil di sebelahku bertanya dengan

suara polos, "Apa Kakak akan melakukan sesuatu padanya?"

"Ya," sahutku kejam. "Akan kusingkirkan dia."

Dan pada saat aku mengatakan akan menyingkirkannya, aku

tidak bermaksud hanya mengusirnya.
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berkat akting cemerlang anak-malang-yang-sering-ditinggal16

orangtua, tidak sulit bagiku mengurus kepindahan sekolah, meskipun sebenarnya ayahku sudah mendaftarkanku masuk ke SMA di

kawasan tempat tinggalku. Awalnya aku kepingin pindah rumah

juga, namun seluruh tabunganku sudah terkuras untuk biaya

masuk sekolah yang mahal sekali itu. Tak apa, hal itu bisa menunggu. Aku bisa bersabar. Aku orang yang sangat sabar.

Aku ingat sekali hari pertama pekan MOS sekaligus hari pertama

bersekolah di SMA Persada Internasional. Seperti biasa, aku melarang adik perempuanku yang konyol ikut serta ke sekolah, tapi dia

tetap saja mengintaiku di ujung lorong, di balik tanaman hias, di

antara kerumunan anak-anak. Inilah salah satu alasan aku benci adik

perempuan. Mereka semua tidak penurut. Aku berjanji dalam hati

untuk memukulinya setiba di rumah nanti, tapi aku juga tahu itu

tak bakalan menghentikan dia mengikutiku.

Tadinya aku sudah sempat mengira pasti akan sulit sekali

menemukan jejak Jenny Jenazah di antara ratusan anak baru.

(Setelah masuk sekolah, kuketahui ada dua Jenny lainnya, sehingga semua orang mulai membuat nama-nama panggilan kejam

untuk membedakan mereka. Diam-diam aku memberi Jenny Angkasa nama panggilan Jenny Jenazah, panggilan yang sangat cocok

untuk cewek yang seharusnya berakhir di liang kubur dalam

waktu dekat.) Tapi ternyata dia sangat gampang ditemukan.

Bukan karena dia cantik atau mencolok atau hal-hal hebat lainnya

(aku tetap beranggapan dia cewek paling tak istimewa di muka

bumi ini), tapi karena di sampingnya ada seorang cewek lain,

cewek tercantik yang pernah kulihat, cewek yang begitu menyilaukan sampai-sampai aku tidak berani menatapnya.

"Cantik sekali, ya." Kudengar suara adikku yang entah bersembunyi di mana. "Kakak juga suka sama dia?"17

Aku melengos. "Bukan urusanmu."

"Namanya Hanny Pelangi. Dia populer sekali. Setiap cowok di

sekolah ini membicarakannya." Adikku mendesah dan melanjutkan,

"Aku ingin tumbuh cantik seperti dia."

"Kamu nggak akan pernah cantik!" kataku kejam.

Untuk beberapa lama, aku tidak diusik lagi oleh anak perempuan cengeng itu dan bebas memikirkan cewek yang sangat menarik hatiku.

Hanny Pelangi.

Nama yang cantik, seperti pemiliknya.

Sebuah pikiran yang kuat mendadak tumbuh di hatiku. Pikiran

yang gelap, namun seketika menguasai hatiku. Bahwa cewek itu

harus menjadi milikku. Cowok berkualitas layak bersanding

dengan cewek berkualitas juga. Kami pasti akan menjadi pasangan

yang sangat serasi.

Menghadapi cewek sehebat ini, aku tidak boleh terburu-buru.

Perlahan-lahan aku membangun posisi sebagai sahabat cowok

yang penuh pengertian dan selalu siap sedia setiap kali dia butuh

tempat curhat.

Pendekatanku berjalan dengan baik, namun ada dua kendala.

Pertama, anak perempuan itu terus mengikutiku, diam-diam,

jauh di belakang, namun sangat mengganggu dan membuatku sulit

berkonsentrasi. Aku mencoba memenjarakan anak ingusan keparat

itu, namun entah bagaimana caranya, dia selalu bisa meloloskan diri.

Akhirnya aku menyerah, namun itu tak berarti aku mendiamkannya.

Begitu pulang ke rumah, aku akan melayangkan tamparan ke mukanya, dan kepuasan akan merebak di hatiku saat melihat pipinya yang

berbekas tanganku atau bibirnya yang berdarah.

Kedua, aku tetap saja tidak bisa menyingkirkan Jenny Jenazah18

dari sisi Hanny. Cewek brengsek itu seperti permen karet yang

menempel di sol sepatu, sampah kotor yang menyebalkan. Aku

sering memikirkan bagaimana cara membunuh dia. Cara yang

tidak mencolok, yang tidak akan membuatku dicurigai. Beberapa

skenario terasa oke, tapi aku masih perlu memikirkannya matangmatang.

Namun, jalan keluarku ternyata sangat mudah. Hanya dibutuhkan kesabaran untuk menanti. Saat mendengar Hanny pacaran

dengan Tony, cowok dekil yang mengerikan dari kelas sebelas?

berbeda dari biasanya, kali ini Hanny terdengar serius?aku buruburu mencari tahu. Ternyata ada rahasia di balik hubungan itu.

Rahasia yang menyangkut Jenny Jenazah. Kugunakan rahasia itu

untuk merusak persahabatan mereka. Yah, aku terpaksa harus memoles ceritanya sedikit?atau mungkin agak banyak, sama sajalah.

Yang penting aku berhasil membebaskan Hanny dari cengkeraman

cewek jelek yang hanya ingin nebeng populer itu.

Aku tidak berhenti sampai di situ. Kini aku bukan hanya

benci setengah mati pada Jenny Jenazah. Demi Hanny, aku mulai

meneror Jenny Jenazah. Aku berhasil menyebabkan kecelakaankecelakaan mengerikan yang menimpa Jenny-Jenny lain, dan

seperti dugaanku, Jenny Jenazah langsung menunggu gilirannya

dengan muka pucat dan tubuh gemetar. Diam-diam aku menertawakan kepengecutannya. Namun, tak kuduga, dia malah melibatkan si pecundang Tony dan teman sepermainannya yang busuk, Markus, dalam urusan ini.

Tapi otakku kan lebih cerdik daripada otak mereka semua digabungkan jadi satu. Aku mengirim adikku untuk mengintai

mereka, sementara aku menikmati hubunganku yang semakin

dekat dengan Hanny. Pernah sekali kutemukan adikku itu men-19

curi dengar percakapanku dengan Hanny di saat dia seharusnya

pergi ke rumah Jenny, hingga membuatku gusar dan menamparnya. Bisa-bisanya dia melalaikan tugasnya dan melakukan hal

serendah itu! Yah, kalau ingin hasil yang sempurna, kita memang

harus melakukannya sendiri. Memercayakan urusan penting pada

orang lain benar-benar berisiko tinggi.

Aku tidak tahu kesalahan apa yang sudah kulakukan. Tahutahu saja mereka mulai mencurigaiku. Lebih parah lagi, mereka

bahkan menghancurkan semua usaha kerasku dengan meyakinkan

Hanny untuk melawanku. Pengkhianatan Hanny membuatku

nyaris gila karena marah dan sakit hati, namun aku masih punya

secuil kesadaran untuk mengubah rencana dan berimprovisasi

dengan keadaan. Aku menculik dia, berharap bisa menjadikannya

sandera dan memaksa Jenny Jenazah menyerahkan diri.

Apa yang akan kulakukan pada mereka setelah itu adalah urusanku sendiri.

Dulu adikku itu pasti akan meraung-raung, memohon padaku

supaya melepaskan Hanny yang pernah dipuja setengah mati

olehnya. Tapi makin lama dia makin pendiam. Mungkin karena

terlalu sering kupukuli, mungkin juga karena dia sudah lebih dewasa. Kini dia lebih penurut dan lebih mengerti tindakanku, dan

meskipun tidak bertambah ramah terhadapnya, aku tidak terlalu

menganggapnya mengganggu lagi.

Tapi semuanya gagal. Semua rencanaku gagal karena Jenny

Jenazah, pacarnya, dan sahabat pacarnya yang brengsek itu. Aku

berusaha bunuh diri, namun usahaku itu pun gagal dan menyebabkanku dikurung di rumah sakit jiwa. Aku berpura-pura amnesia?

hal yang sama sekali tidak sulit bagiku. Namun di dalam hatiku, aku

tidak berhenti menyusun rencana pembalasan yang sempurna.20

Satu-satunya harapanku adalah mereka punya cukup banyak

nyawa untuk merasakan semua penderitaan itu.

Aku mulai belajar keras. Buku-buku yang tersedia di rumah

sakit jiwa sangat membosankan?tapi disukai adikku, si anak perempuan sialan yang rupanya sangat menikmati saat-saat di bangsal yang suram itu?jadi aku mulai merayu para perawat untuk

mengizinkanku menggunakan komputer. Dari situlah aku mulai

mempelajari ilmu-ilmu yang bisa kugunakan untuk menyukseskan

rencanaku.

Berhubung aku bisa mengakses internet, aku juga mulai menjalin beberapa korespondensi yang menyenangkan. Yang satu

menuntun pada yang lain, hingga pada akhirnya aku menemukan

orang-orang yang bisa kugunakan untuk membantuku melaksanakan rencanaku. Tentu saja, mereka tidak tahu apa-apa mengenai

isi hatiku. Aku hanya menyatakan simpati, mendapatkan kepercayaan, menebar bibit keraguan, mengipasi kemarahan. Lalu kuberi

mereka skenario "seandainya". Pada akhirnya, mereka akan mengira semua ide itu datang dari mereka sendiri, dan sama sekali

tidak ada hubungannya denganku.

Sementara itu, aku sendiri berperilaku cukup baik di rumah

sakit jiwa, menunjukkan kesembuhan demi kesembuhan yang

menakjubkan, memesona dokter dan para perawat. Kusuruh adikku bersembunyi supaya tidak mengacaukan keadaan, dan hanya

boleh muncul kalau kusuruh. Aku tidak peduli meski anak itu

tampak sedih dan terluka. Di dunia ini, yang harus kupikirkan

hanyalah diriku seorang. Soalnya, kalau bukan aku sendiri, siapa

lagi yang mau memperjuangkan kepentinganku?

Saat salah satu percobaanku lagi-lagi meledak, menghancurkan

sebagian ruangan, dan mengakibatkan rumah sakit kekurangan21

tempat, aku?dan beberapa orang lain yang dianggap sudah mulai sembuh?terpilih untuk dipindahkan ke pusat perawatan mental yang lebih nyaman. Setelah mengetahui tanggal keberangkatan,

dengan menggunakan korespondensi dengan orang-orang yang

tepat, aku berhasil mengatur kecelakaan pada bus yang akan memindahkanku ke pusat perawatan mental. Akibat kecelakaan itu,

semua orang tewas, beberapa menghilang.

Aku dan adikku termasuk salah satu golongan terakhir ini.

Juga salah satu teman satu blok di rumah sakit yang kurasa bisa

kugunakan untuk melaksanakan rencanaku.

Kini aku bebas! Aku bisa melakukan apa saja! Aku pun kembali ke rumah untuk mendapatkan dukungan modal yang kubutuhkan. Namun, berbeda dengan beberapa orang lainnya, ayahku

tidak bersedia kerja sama. Aku memutuskan untuk menyingkirkannya, tapi mendapat pertentangan dari adikku. Tentu saja, anak

itu sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahku.

Dia hanya menangis sesenggukan sambil mengikutiku.

Seandainya saja aku bisa menyingkirkannya juga.

Dengan berlagak sebagai anak yatim-piatu yang sangat berduka,

mudah sekali aku melaporkan kematian ayahku dan membuat

seluruh harta warisannya jatuh ke tanganku. Berkat aktingku yang

memukau, tak ada yang mempertanyakan kenapa aku bisa keluar

dari rumah sakit jiwa. Setelah semua uang ayahku ditransfer ke

rekeningku, aku pun menggerakkan setiap pion yang sudah kupersiapkan.

Seorang siswi di sekolah kami yang cukup manis tapi tidak

cukup baik bagi semua cowok, bernama Mila, yang menyimpan

dendam pada banyak cowok, mengatakan bahwa dia sudah memengaruhi pikiran Benji, pacar Hanny sekarang (sebenarnya aku22

muak pada Benji yang sama sekali tak pantas untuk Hanny, tapi

untuk sementara dia bisa jadi pion yang berguna, dan kebodohannya membuatku bisa menyingkirkannya sewaktu-waktu kalau

dia tak dibutuhkan lagi). Mereka akan kugunakan untuk menyita

perhatian Hanny.

Sementara teman lama Tony di Pontianak, Ailina, yang sedang

dirundung berbagai kemalangan akibat orangtuanya yang kabur

meninggalkan utang dan kakaknya yang terkena kanker, bisa kugunakan untuk menahan Tony si cowok sok pahlawan dan

Markus si pengekor, di Pontianak.

Sementara itu, ada yang harus kuurus secara pribadi.

Di Singapura.23

OKE, akan kujelaskan kenapa kelakuanku mirip orang sinting

hari ini.

Begini. Hari ini hari Sabtu. Dua hari lagi, yaitu hari Senin,

semester baru akan dimulai. Rencananya aku akan pulang hari

Minggu, sehari sebelum sekolah, seperti yang dilakukan setiap

anak yang pergi liburan (dan itulah yang dilakukan kebanyakan

orang, kan?). Yang tak diketahui kebanyakan orang, pagi tadi aku

sudah berkemas-kemas.

Di tengah jalan, waktu sedang jalan-jalan dengan teman-teman

sekolahku yang super menyebalkan?siapa lagi kalau bukan Jenny

Bajaj dan Jenny Tompel (atau Jenny Gajah Bengkak, atau siapa

sajalah julukannya sekarang)?aku langsung menyambar taksi dan

berkata, "Sori, gue pulang dulu, ya."

"Pulang ke apartemen?" tanya Jenny Bajaj heran. "Masih siang

begini? Kami ikut dong!"

1

Jenny24

"Elo kan barusan denger, Jaj," kata Jenny Tompel dengan nada

sinis. "Dia nggak ngundang kita, tau?"

"Dia ngundang kita kok." Jenny Bajaj menatapku penuh harap.

"Benar kan, Jen?"

"Sori," ucapku sekali lagi. Wajahku menjadi panas karena diserang dengan tatapan aku-tak-bisa-hidup-tanpa-dirimu dari Jenny

Bajaj dan tatapan awas-kalau-berani-meninggalkan-kami dari

Jenny Tompel. "Gue hari ini harus pulang ke Indonesia."

"Pulang ke Indonesia?!" pekik Jenny Bajaj dengan mata berkacakaca. "Tapi kan seharusnya kita pulang bareng besok!"

"Dasar nggak setia kawan!" tukas Jenny Tompel. "Kenapa lo

ninggalin kami?"

"Sori," ucapku untuk ketiga kalinya. Terus terang saja, aku

sudah mulai gemetar lantaran takut Jenny Bajaj meraung-raung

di tengah jalan sementara Jenny Tompel mencakari mukaku.

"Perasaan gue nggak enak karena Hanny misscall gue mulu, tapi

begitu gue telepon balik nggak bisa-bisa. Gue rasa dia ada urusan

yang penting banget atau ada sesuatu yang menimpa dia, jadi gue

harus buru-buru pulang nemuin dia."

"Alah, Hanny aja dipikirin!" kata Jenny Tompel ketus. "Dia
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan emang sok penting gitu!"

"Huhuuu Tega banget sih lo ninggalin kami berdua di

sini!!!" jerit Jenny Bajaj histeris.

"Udahlah, biarin aja dia pulang sendiri," cetus Jenny Tompel

pada sahabatnya yang cengeng itu. "Toh kita juga nggak butuh

dia!"

"Kita butuh banget, lagi. Kan kita nggak tau jalan-jalan di

Singapura, J-Li!"

"Gue juga nggak tau jalan kok," kataku sabar. "Tapi yang pen-25

ting kan kita bisa baca informasi di MRT1 atau ngomong bahasa

Inggris ke sopir taksi."

"Itulah masalahnya!" bentak Jenny Tompel malu. "Kami berdua

kan nggak mahir berbahasa Inggris!"

Yah, itu benar juga sih. Belum pernah kutemukan anak SMA

yang bahasa Inggris-nya begitu kacau seperti mereka berdua.

Entah bagaimana mereka bisa mengikuti pelajaran selama setahun

di kelas sepuluh dan naik kelas pula, di sekolah kami yang jelasjelas merupakan sekolah internasional. "Sori, tapi gue harus pulang hari ini. Sori ya, gue harus cabut sekarang." Aku masuk ke

taksi dan membuka jendela. "Sori banget ya, kita ngobrol lagi

nanti di sekolah."

Saat taksiku sudah meluncur pergi, aku menepuk kepala.

Aduh, sekarang mereka pasti tahu aku merasa sangat bersalah.

Mana ada orang lain yang mengucapkan "bye-bye" dengan enam

kata "sori"?

Oke, untuk kalian yang belum pernah ketemu dengan Jenny

Tompel dan Jenny Bajaj, yah, bisa kukatakan kalian beruntung

banget. Jenny Tompel adalah tipe cewek yang tak disukai semua

orang di sekolah?jutek, pengiri, dan suka mengharapkan yang

terburuk bagi semua orang kecuali dirinya, sementara Jenny Bajaj

sangat menakutkan karena sifatnya yang cengeng dan drama

queen. Bisa diduga, keduanya tak punya banyak teman di sekolah.

Akibatnya, keduanya terpaksa bersahabat, bukan hanya karena tak

punya teman lain, melainkan juga karena nama mereka yang

1 Mass Rapid Transit (Sistem Pengangkutan Gerak Cepat): semacam kereta api cepat

di Singapura.26

sama, Jenny?dan berhubung aku juga punya nama yang sama,

mereka menganggapku satu dari Trio Jenny.

Oh, no! Aku sama sekali tak berminat menjadi salah satu anggota Trio Jenny.

Yang lebih parah lagi, tiba-tiba saja mereka menyatroni liburanku di Singapura?tepatnya sejak sahabatku, Hanny, pulang

duluan lantaran harus mengurusi pekan MOS. Setiap pagi mereka

mendatangiku di apartemen, menyeretku keluar untuk jalan-jalan

dan shopping bareng mereka, memaksaku mendengarkan Jenny

Bajaj histeris tentang baju-baju yang tak muat di badannya dan

Jenny Tompel mencela penampilan setiap cewek keren yang lewat.

Tak jarang pula aku yang harus membayari karena menurut

mereka, ini rumah keduaku?disebut begitu hanya karena orangtuaku tinggal di sini, padahal aku sih merasa asing di tempat

ini?sementara mereka adalah tamu.

Gila, kalau kuingat-ingat lagi, masa-masa kebersamaanku yang

luar biasa panjang bersama mereka di Singapura adalah masamasa buruk yang penuh sengsara dan derita (cuma beberapa hari

sih sebenarnya, tapi bagiku serasa sudah berabad-abad aku terperangkap dalam kesengsaraan itu!).

Dan, selain perasaanku yang tak enak tentang Hanny?bagiku

aneh sekali sahabatku yang biasa selalu rajin curhat itu tidak bisa

dihubungi?yang membuatku ingin cepat-cepat bertemu dengannya dan memastikan bagaimana keadaan sahabat baikku itu, memang kedua Jenny itulah penyebab aku ingin sekali pulang lebih

cepat dari rencana, dengan diam-diam bagaikan maling takut tepergok sekaligus terburu-buru bagaikan orang lagi kebelet pipis.

Aku tidak tahan bila harus menghabiskan sehari lagi saja bersama27

mereka, dan aku bisa gila kalau harus melakukan perjalanan pulang bareng mereka.

Makanya, wajar banget kan kalau aku memaksa untuk pulang

ke Indonesia hari ini? Wajar kan kalau aku lari pontang-panting

sampai napasku nyaris putus? Wajar kan kalau aku menyambar

tiket dari calo yang tampangnya mencurigakan saat petugas di

loket menyampaikan bahwa tidak ada tempat duduk kosong lagi

yang tersedia? Wajar kan kalau aku pipis lima menit sekali lantaran gugup? Bukan hanya karena aku tegang, tapi juga karena tempat itu bagus banget untuk mengumpet.

Rasanya lega luar biasa saat aku sudah tiba dengan selamat?

dan tanpa ketahuan siapa-siapa?di dalam kabin pesawat terbang.

Pramugari yang cantik tersenyum padaku, menanyakan apakah

aku butuh bantuan, dan kubalas dengan senyum ramah juga sambil mengatakan, "Tidak, terima kasih, saya baik-baik saja."

Aku baru saja bersandar di kursi pesawat yang empuk saat terdengar suara familier yang kusangka sudah kulupakan.

"Hai, kita ketemu lagi."

Rasanya seperti mendapat kejutan listrik. Tubuhku langsung

kaku dan tidak sanggup bergerak selama beberapa saat, dan

hatiku dikuasai ketakutan yang amat sangat.

Johan menduduki kursi di sampingku dengan sikap santai, seolah-olah kami bukan musuh bebuyutan yang sudah tidak saling

ketemu selama setengah tahun. Tubuhnya tinggi, kurus, dan agak

bungkuk, dengan gaya berpakaian yang kaku dan konservatif.

Rambutnya tidak panjang, tapi juga tidak pendek, dan agak riapriapan, dengan kacamata yang gagangnya sudah patah namun

disambungkannya kembali dengan lakban (yang ini sedikit beda

karena dulu biasanya dia menyambung gagang yang patah itu28

dengan band-aid atau tensoplas). Dari ciri-ciri yang kusebutkan

itu, kalian mungkin mengira dia sedikit-banyak mirip Harry

Potter, tapi kurasa dia lebih mirip ilmuwan gila sejenis Dr.

Frankenstein. Meski sikap tubuhnya santai, matanya bergerak liar

ke kiri dan ke kanan, seolah-olah curiga ada orang yang sedang

mengintai kami.

Gawat. Tahu begini lebih baik aku pulang bareng Jenny Tompel

dan Jenny Bajaj saja. Apa sebaiknya aku turun dari pesawat sekarang juga?

Bagi kalian yang belum kenal Johan, mungkin kalian tak akan

mengerti rasa takut dan panik yang langsung menyergapku. Sepintas dia kelihatan seperti cowok kutu buku yang agak culun dan

pendiam, tapi kalau memang hanya itu sih, aku bakalan bersyukur banget. Kenyataannya, dia seorang psikopat jahat yang tidak

segan-segan mencelakai orang demi kesenangannya sendiri. Aku

bisa mengerti orang yang berbohong karena takut dimarahi, orang

yang mencuri akibat kelaparan, orang yang membunuh saat

membela diri. Tapi buatku mengerikan sekali kalau orang melakukan semua itu hanya karena iri, kesal, apalagi hanya karena senang melihat orang-orang menderita. Di sekelilingku banyak

orang yang membuatku iri, kesal, dan yang sikapnya memunculkan berbagai emosi negatif lain, tapi kalau kita biarkan saja, perasaan itu toh akan lewat juga.

Dan omong-omong, kalau hanya karena emosi negatif aku

ingin membunuh orang, cowok di sampingku ini pasti sudah

tewas beberapa kali.

Tapi Johan tidak berpikiran seperti itu. Sedikit saja dia merasakan emosi negatif terhadap seseorang, dia sudah sangat ingin

membunuh orang itu. Yep. Hanya karena tidak senang terhadap29

seseorang, dia tidak segan-segan melakukan apa saja untuk menyakitinya. Karena benci padaku dan naksir Hanny?sahabatku yang

cantiknya luar biasa?dia pernah menyelinap ke dalam rumahku

dan menakut-nakutiku, memfitnahku habis-habisan, mencelakai

teman-temanku, bahkan menangkap aku beserta teman-temanku

dan nyaris membuat kami semua terbunuh. Hingga saat ini aku

belum bisa lupa gelombang kebencian yang selalu dipancarkannya

saat menatapku.

Tapi, tadinya kukira aku sudah bebas dari semua itu

"Lo kelihatan pucat," katanya prihatin.

Yah, itu sih bukan berita baru. Memang kulitku pucat banget

kok. Kalau saja aku punya gigi taring, pastilah aku sudah disangka keluarga Edward Cullen (tapi aku bakalan kebagian peran jadi

anggota keluarga yang paling jelek, hiks.).

"Lo jadi kelihatan semakin lemah dan lembek, Jen. Sepertinya

lo kurang olahraga, seperti biasa."

Soal itu sih aku tidak perlu diingatkan. Kelemahan utamaku

memang pelajaran yang justru menjadi pelajaran andalan Hanny

sahabatku, Tony pacarku, dan Markus sahabat yang sudah kuanggap kakakku sendiri. Ya, betul. Dalam lingkungan pergaulanku,

akulah yang paling culun dan paling tidak keren.

"Tapi nggak apa-apa," lanjutnya dingin. Bagi kebanyakan

orang, mungkin kelihatannya Johan menyeringai untuk membuat

ucapannya terdengar seperti candaan, tapi seringai itu benar-benar

membuat perasaanku jadi tidak enak. "Justru itulah yang membuat orang-orang mau berteman dengan elo. Kalau nggak bisa

jadi objek yang enak untuk ditindas-tindas dan dijadikan sasaran

pelampiasan, lo nyaris nggak ada gunanya."

Aku tidak bisa menahan diri untuk memelototinya, tapi aku30

masih cukup menghargai nyawaku dengan menelan kemarahanku.

Bagaimanapun dia kan psikopat haus darah. Kita harus takut padanya. Lagi pula, ada banyak hal yang harus kutanyakan padanya.

"Kok lo bisa berada di Singapura?" (Pertanyaan yang kasarnya

akan berbunyi, "Bukannya lo seharusnya lagi dikurung di rumah

sakit jiwa?")

Johan tersenyum simpul, menyadari pertanyaan tersirat itu.

"Mereka melepaskan gue lebih cepat karena gue udah sembuh.

Menyenangkan, bukan?"

Aku sama sekali tidak percaya. Meski tidak menatapku dengan

penuh kebencian seperti dulu lagi, keramahannya tetap saja terasa

palsu dan menyesakkan, membuatku merasa sewaktu-waktu aku

bakalan ditikamnya dengan pisau.

Seharusnya, alih-alih membelikan oleh-oleh belasan gantungan

ponsel yang tak ada gunanya untuk sahabat-sahabatku, lebih baik

aku membelikan mereka rompi antipeluru. Atau baju zirah sekalian.

"Lalu setelah bebas, elo langsung jalan-jalan ke luar negeri?"

tanyaku memancing.

"Bukan," sahut Johan singkat.

Tepat saat itu, pesawat mulai menyalakan mesinnya yang memekakkan telinga. Mungkin karena itulah ucapan Johan terputus.

Dia memperhatikan dengan saksama saat pramugari menjelaskan

bagaimana cara penyelamatan diri jika pesawat jatuh, lalu menoleh ke belakang saat pramugari memberi penjelasan soal pintu

darurat. Namun dia tetap membisu hingga pesawat lepas landas

dan terbang ke angkasa.

"Gue pergi ke Singapura demi melakukan perjalanan ini bersama elo." Tidak menyangka kata-kata itu diucapkan olehnya, aku31

langsung menoleh padanya. "Demi ngeliat elo saat pesawat ini

gue ledakkan."

Aku ternganga. Meledakkan pesawat? Yang benar saja! Dia kan

cuma anak sekolah biasa. Lagi pula, dia kan juga ada di dalam

pesawat ini. "Tapi tapi elo sendiri juga bakalan ikut meledak

dong!"

"Gue nggak sebodoh itu," sahut Johan tenang. "Gue udah

mempersiapkan semuanya."

Aku diam sejenak, lalu berkata tegas, "Gue nggak percaya elo

sanggup melakukannya. Paling-paling lo cuma menggertak."

"Masa?" Johan menyunggingkan senyum samar yang membuatku berkeringat dingin. "Coba kita tunggu lima menit lagi."

"Apa yang bakal terjadi lima menit lagi?" todongku.

"Bukti dari apa yang udah gue katakan. Liat aja."

Aku menatapnya tak percaya. Di dalam hatiku, aku merasakan

ada perubahan dalam sikap Johan dibandingkan dulu. Cara

bicaranya jadi aneh, tapi bukan dalam arti yang baik. Waktu

masih bersekolah dulu, gaya bicaranya tidak terlalu jauh berbeda

dengan anak-anak lain, hanya matanya yang liar yang menunjukkan dia sedikit (atau menurutku, amat sangat) aneh. Tapi kini,

cara bicaranya juga ikut-ikutan aneh, begitu kaku dengan intonasi

rendah dan datar, mengingatkanku pada robot.

Tetap saja, seberapa pun besarnya perubahan yang dia alami,

baik secara fisik maupun mental, tidak mungkin dia berani meledakkan pesawat, kan?

Semoga dugaanku betul. Semoga dia hanya menggertak.

"Oh ya, gue sempat ngeliat elo dan Hanny jalan-jalan di

Orchard," katanya, tiba-tiba mengubah topik pembicaraan. "Dia

makin cantik aja, ya."32

Aku hanya bergumam menyetujuinya. Hanny, yang merupakan

cewek paling populer di sekolah, memang bertambah cantik belakangan ini. Rambutnya yang dulu selalu dipotong pendek, kini

dipanjangkan hingga sebahu. Kalau dulu dia punya gaya manja

yang meluluhkan hati cowok-cowok, kini dia tampak kuat dan

percaya diri, membuat kepribadiannya makin bersinar-sinar saja.

Saking cantiknya Hanny, cowok mana pun di sekolah kami pasti

pernah tergila-gila padanya.

Termasuk Johan.

"Gue dengar, sekarang dia pacaran dengan Benji."
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau saja aku tidak tahu soal obsesi Johan terhadap sahabatku

itu, aku pasti sudah melewatkan secuil informasi itu. Hanny memang pacaran dengan Benji si ketua OSIS, tapi itu terjadi

beberapa saat sebelum keberangkatan kami ke Singapura. Selain

teman-teman dekat, tak ada yang tahu-menahu soal itu.

"Dari mana elo tau dia pacaran dengan Benji?"

"Gue kan mengikuti perkembangan. Gue bahkan tau, dia kembali ke Indonesia demi bersama Benji."

Mendadak saja aku merasakan kengerian yang amat sangat.

Kalau aku saja diincarnya, apalagi Hanny! Apalagi, sejak kembali

ke Indonesia untuk mengikuti pekan MOS sebagai panitia MOS

yang elite, Hanny sudah berkali-kali berusaha menghubungiku.

Tadinya aku sempat mengira, dia sudah tak sabar ingin menceritakan kisah asyik-bin-masyuknya dengan Benji atau bagaimana

serunya menjadi pengurus MOS yang bisa main perintah pada

anak-anak baru. Kini kusadari, ada kemungkinan perasaan tak

enak di hatiku belakangan ini memang tidak salah. Hanny terus

menghubungiku karena ketakutan telah mendapat teror-teror lagi

dari Johan. Dia ingin minta tolong padaku, atau dia ingin mem-33

peringatkan aku bahwa Johan sudah kembali. Lalu sekarang

jangan-jangan dia sudah tidak ada di dunia ini lagi! Oh, tidak!

Aku mencengkeram tangan Johan yang diletakkannya di pegangan kursi. "Apa yang udah lo lakuin pada Hanny?"

"Nggak ada yang perlu dikhawatirkan." Seringai Johan tampak

dingin dan menyeramkan di mataku. "Gue hanya memberinya

kenangan pekan-MOS-yang-tak-terlupakan. Dia akan menyaksika

n pertunjukan yang luar biasa. Pertunjukan berupa tarian kematian."

Lalu, tambahnya murung, "Tapi tentu saja, bisa jadi ada kesalahan dan dia ikut terbunuh. Kalau itu yang terjadi, jangan khawatir, gue akan memastikan pembunuhnya menyesal."

Cara bicara Johan menunjukkan bahwa seandainya ada kesalahan dalam rencananya, itu adalah kesalahan orang lain, bukan

dirinya. Dia tipe orang yang menganggap dirinya selalu benar

dan menimpakan kesalahannya pada orang lain.

"Tapi daripada mengkhawatirkan Hanny, lebih baik elo

mengkhawatirkan Tony dan Markus. Untuk mereka berdua, gue

sama sekali nggak memberikan jalan keluar."

Aku menatapnya tak percaya.

Yah, mungkin melihat tampangku yang culun, kalian tak bakalan percaya kalau kukatakan Tony, pacarku, dan Markus, sahabatnya yang sudah kuanggap sebagai kakak sendiri, adalah cowokcowok paling keren di sekolah kami. Bagaimana mungkin mereka

tidak keren? Tampang Tony merupakan perpaduan kegantengan

antara Ken Zhu dari F4, Kyo dari King of Fighter, dan Laguna

dari Final Fantasy VIII, sementara Markus memiliki campuran

darah Asia dan Kaukasia, membuatnya menjadi salah satu sosok34

paling mencolok di sekolah. Setiap kali mereka lewat, selalu saja

ada cewek-cewek yang histeris.

Termasuk aku, meski aku hanya berani histeris di dalam hati.

Tentu saja, soal keren atau tidak, itu tergantung selera orang

yang mengatakannya. Tapi kalau aku mengatakan mereka termasuk cowok-cowok paling kuat di sekolah kami, aku tidak sekadar

membual. Sebagai bukti, baru saja beberapa waktu lalu mereka

meraih titel juara dalam kejuaraan judo nasional.

"Tony dan Markus kan sedang latihan di kamp judo," kataku

bingung.

Johan menyeringai lagi. "Elo kira, siapa yang memberi mereka

ide untuk pergi latihan jauh-jauh?"

Oke, sekarang aku mulai histeris, dan kali ini tidak bakalan di

dalam hati saja. Aku mau menjerit sekuat-kuatnya, lalu menjambaki Johan dan menusuk-nusuk matanya dengan gagang kacamatanya yang sudah pernah patah itu, sambil mengancam dia untuk

mengembalikan sahabat-sahabat dan pacarku dalam keadaan utuh

dan selamat. Kalau tidak, kalau tidak

Mendadak pikiran tak menyenangkan tebersit di kepalaku.

"Jadi elo juga yang mengirim Jenny Bajaj dan Jenny Tompel

untuk ngerjain gue?"

Johan tertawa kecil, tapi tawa itu kelihatan mengerikan karena,

seperti biasa, tawa itu tak mencapai matanya. "Seru, kan? Hanya

dengan sedikit pancingan di Facebook, mereka langsung datang

ke Singapura untuk mengganggu elo. Seperti dugaan gue, mereka

berhasil mengalihkan perhatian lo dari orang-orang yang seharusnya elo pikirkan."

Gila, makin sebal saja aku pada orang ini. Rupanya lantaran35

dia, aku sampai disiksa Jenny Tompel dan Jenny Bajaj berharihari secara eksklusif!

"Gue udah menduga, elo akan pulang lebih cepat." Johan tersenyum lagi. Kali ini plus sikap pongah penuh kemenangan. "Senang rasanya ngeliat elo membeli tiket dari orang suruhan gue

tanpa merasa curiga. Lo sendiri yang menempatkan diri lo pada

situasi ini, Jenny Jenazah."

Sebelum aku sempat membalasnya, mendadak terdengar seruan-seruan dari belakang kami.

"Semua tiarap!"

"Tundukkan kepala kalian dan letakkan tangan di tempat yang

bisa kami lihat!"

"Cepat! Kalau tidak, kami tidak akan segan-segan membunuh

kalian!"

Diikuti jerit-jerit panik para penumpang di bagian belakang,

"Aahhh! Jangan! Tolong!"

Aku terperangah saat melihat tiga pria muncul dari belakang

dengan sikap kasar dan tampang sengak. Tangan mereka memegang senjata sejenis parang yang berkilauan. Tersentak, aku menoleh pada Johan yang langsung menuruti perintah yang diteriakkan

dalam bahasa Inggris itu. "ELO PANGGIL TERORIS UNTUK

NGEBAJAK PESAWAT INI???"

"Yah, lebih praktis menggunakan tangan orang lain untuk melakukan pekerjaan kotor, kan?" katanya keji.

"Hei, kau!" Aku merasakan kepalaku didorong dari belakang.

"Tundukkan kepala dan angkat tanganmu!"

Gara-gara dorongan teroris itu, dahiku membentur sandaran

kursi depan dengan keras. Tidak luka sih, tapi kurasa memar. Supaya

tidak menjadi korban pertama dalam situasi ini, aku buru-buru36

menundukkan kepala dan mengangkat tanganku. Sesaat sebelum

menunduk, kulihat salah satu pria mengacungkan parangnya sambil

menerjang masuk ke kabin kokpit.

Gawat. Ini benar-benar gawat!

"Ladies and gentlemen," ucap pria berparang lain lewat mikrofon, dengan suaranya yang terdengar stereo banget. "Perkenalkan,

kami penguasa baru pesawat ini. Kami bukan teroris, melainkan

hanya sekelompok orang yang punya niat baik untuk membebaskan beberapa penumpang dari harta benda mereka yang berlebihan, supaya bisa kami bagi-bagikan pada saudara-saudara kami

yang lebih membutuhkan."

"Robin Hood," bisik Johan di sebelahku. "Ide yang lebih menarik daripada sekadar teroris, bukan?"

Sama sekali tidak menarik, apalagi ketiga pria itu tidak kelihatan seperti pembajak profesional. Sebaliknya, mereka semua tampak sama gugupnya dengan para penumpang yang mereka ancam.

Mungkin mereka semua orang baru di bidang ini.

"Kalau kalian bekerja sama, semuanya akan berakhir baik-baik

saja. Kami akan turun di Batam, setelah itu kalian bisa kembali

melanjutkan perjalanan menuju rumah masing-masing. Tapi kalau

kalian tidak mau bekerja sama, terpaksa akan ada pertumpahan

darah untuk membuat kalian mempertimbangkan pilihan kalian

lagi. Dan kalau sampai ada yang mencoba-coba melapor pada

pihak yang tidak kami inginkan, kami akan mengambil jalan ekstrem!" Dia mengacungkan ponselnya yang tampaknya berasal dari

ribuan tahun lalu karena lebih mirip termos ketimbang alat komunikasi. "Kalian lihat ini? Ini bukan ponsel biasa. Ini adalah detonator, alat untuk mengaktifkan bom yang sudah kami tanamkan

pada salah satu bagasi yang disamarkan sebagai CPU komputer.37

Hanya dengan menekan satu tombol, kita semua akan hancur

berkeping-keping. Tentu saja, kami masih kepingin hidup, dan

saya yakin demikian juga dengan kalian semua. Karena itu, kami

tidak akan mengambil tindakan drastis ini kalau kalian semua

mau bersikap baik."

Aku tidak bisa memercayai kata-kata mereka. Bukannya aku

tidak percaya mereka sanggup menanam bom di pesawat. Itu sih

di luar bidang dan pemahamanku. Masalahnya, seperti kataku

tadi, mereka kelihatan gugup dan tidak stabil. Bisa-bisa mereka

langsung menekan detonator yang mirip termos itu hanya karena

seseorang membuat bunyi-bunyi aneh. Ini membuatku berjanji di

dalam hati, bahwa aku hanya akan berurusan dengan para profesional. Orang tidak berpengalaman hanya akan membuat kita

semua celaka.

Tentu saja, janji ini hanya akan kutepati kalau aku berhasil

keluar hidup-hidup dari situasi ini.

Salah satu dari ketiga pria itu memegangi kertas dan membacanya keras-keras dengan kaku, seperti guru yang sedang mengabsen

murid-murid untuk pertama kalinya.

"Mr. Patel dari Singapura, Anda membawa perhiasan berlian

seharga ratusan juta yang akan Anda jual kepada salah satu kapitalis di Indonesia. Ibu Husein dari Malaysia, perhiasan yang Anda

kenakan juga memiliki harga serupa. Bapak Malik dari Indonesia,

dalam koper Anda terdapat sebuah lukisan Affandi yang seharusnya berada di museum yang diberi nama sesuai pelukis besar

itu."

Masih banyak lagi daftar nama yang disebutkan, menyadarkanku bahwa sebagian besar para penumpang berasal dari kalangan

atas. Namun, yang membuatku merasa tidak tega adalah sebagian38

besar orang yang disebutkan itu sudah berusia lanjut. Misalnya

Mr. Patel yang gampang dikenali karena dialah satu-satunya orang

India di kabin kami, rambutnya sudah memutih dengan wajah

keriput dan tubuh kurus yang bongkok. Melihat tampangnya saja

aku tahu dia kakek-kakek baik hati dan pekerja keras.

"Ini bukan Robin Hood," bisikku frustrasi. "Ini murni perampokan nggak berbelaskasihan."

"Sejak kapan perampok butuh belas kasihan?" balas Johan.

"Tapi jangan pedulikan mereka, Jenny Jenazah. Semua orang di

sini hanyalah figuran yang gue gunakan untuk membuat lo yakin,

bahwa gue sanggup melakukan apa aja yang gue inginkan. Dan

saat ini, keinginan gue yang terdalam adalah memberi lo kematian yang penuh rasa sakit. Kematian yang pantas untuk menebus

semua penderitaan gue di rumah sakit jiwa yang diakibatkan ulah

lo!"

Aku menelan ludah, percaya bahwa Johan sanggup melaksanakan ancamannya. "Johan, lo boleh ngelakuin apa aja ke gue, tapi

tolong jangan libatin Hanny, Tony, dan Markus."

"Seperti biasa, selalu munafik, heh?" Johan tersenyum. Senyum

yang tidak mencapai matanya, membuatnya terlihat makin menyeramkan saja. "Berharap disebut baik hati, Jenny Jenazah?"

"Baik hati gimana?" balasku pahit. "Kalo bisa nyelamatin diri,

gue pasti akan berusaha sekuat tenaga. Tapi sekarang nyawa gue

ada di tangan lo. Rasanya terlalu berlebihan kalo gue berharap lo

mau mengampuni gue, kan?"

"Memang," sahut Johan tanpa ragu. "Keajaiban pun nggak

akan bisa menolong lo, Jenny Jenazah. Riwayat lo tamat hari

ini."

Belum pernah aku merasa seputus asa ini. Sebentar lagi aku39

bakalan meledak bersama dengan lebih dari seratus penumpang

tidak berdosa lainnya, belasan kru pesawat yang malang, dan tiga

pria yang baru saja mulai berkarier di dunia terorisme. Lebih

parah lagi, aku akan mati dalam keadaan mengetahui bahwa ada

bahaya besar yang mengancam orang-orang yang sangat kusayangi.

Aku menolak untuk mati! Aku menolak untuk menangis meraung-raung. Aku menolak untuk menyerahkan diriku pada pikiran gelap yang mengatakan sudah tidak ada jalan keluar lagi,

bahwa inilah akhir hidupku, bahwa keinginan Johan bisa terpenuhi tanpa ada perlawanan.

Jadi, entah mendapat ide dan keberanian dari mana, secara

tiba-tiba aku menoleh ke jendela dan berteriak dengan nada sekaget mungkin, "Kok pesawat ini belok ke Malaysia?!"

Bukan hanya Johan yang terperanjat melihat ulahku, melainkan

juga ketiga pria yang sedang mejeng di depan.

"Masa?"

Seandainya pelaku pembajakan ini lebih profesional, mereka

tak akan masuk dalam jebakanku. Tapi berhubung ketiganya gugup dan panik, mereka langsung nemplok di jendela demi membuktikan kebenaran kata-kataku.

Kesempatan ini hanya sekejap, tapi langsung digunakan sebaikbaiknya oleh orang-orang di sekitar para pria itu. Dua penumpang pria bertubuh besar langsung menyergap dua di antara

mereka, sementara Mr. Patel yang gagah berani dan seseorang

yang kuduga adalah Bapak Malik menghadapi pria terakhir. Dengan tegang aku menonton pergulatan itu.

Lalu, entah bagaimana caranya, termos raksasa yang punya

nama asli detonator itu terpental ke atas.40

Melihat benda itu, Johan langsung berlari untuk menangkapnya. Tapi, hei, dikiranya aku akan membiarkannya begitu saja?

Dengan gerakan yang kurasa secepat kilat?sampai aku tersandung-sandung, senggol kiri-kanan, bahkan menginjak kaki seseorang?aku menyusulnya. Detonator itu jatuh ke arah kami berdua yang siap menggapainya.

Keterlaluan! Johan menyikut mataku!

Aku mengertakkan gigi menahan sakit dan meninju dadanya

sekuat tenaga. Yah, aku tahu, aku kedengaran seperti cewek yang

tidak segan-segan main kotor, tapi dalam kondisi begini, mana

bisa aku menerima kekalahan hanya karena terlalu banyak memikirkan ini-itu?

Johan langsung membungkuk sambil terbatuk-batuk. Satu hal

yang kuperhatikan dari Johan, meski tidak segan-segan menyakiti

orang lain, dia sendiri tidak tahan menerima pukulan atau kekalahan. Kurasa, itulah sebabnya dia langsung roboh saat menerima

pukulanku yang tidak bisa dibilang keras-keras amat, dan pasti
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itulah sebabnya kini dia menatapku dengan sinar mata penuh

kebencian saat aku berhasil meraih detonator itu.

Pesawat langsung dipenuhi teriakan gembira dan bunyi tepuk

tangan.

"Incredible, young lady." Mr. Patel mengusap kepalaku. "Siasat

yang luar biasa dan gerakan yang cepat juga."

Aku baru menyadari bahwa suara-suara itu ditujukan padaku.

Aduh, malu banget. Belum pernah aku jadi pusat perhatian

seperti ini.

Beberapa kru pesawat keluar dari kokpit, dan aku segera menyerahkan detonator itu pada orang yang kelihatannya paling

berwibawa, yang segera memperkenalkan diri sebagai pilot sekali-41

gus kapten pesawat ini. Sekali lagi aku menerima hujan pujian

yang membuat wajahku merah sampai ke kuping-kupingku, dan

lega sekali rasanya saat aku diizinkan kembali ke tempat

dudukku.

Johan tampak geram luar biasa.

"Jangan cepat senang," katanya dengan suara rendah dan gemetar. "Semua ini belum selesai."

Aku diam saja, tidak ingin memancing kemarahannya. Dalam

keheningan, kudengar bunyi ketak-ketuk yang rupanya berasal

dari jari-jari Johan yang mengetuk-ngetuk pegangan kursi.

"Gue masih punya kesempatan," gumamnya. "Perjalanan masih

panjang."

Tidak, pikirku. Semoga tidak. Dia sudah kehilangan rasa percaya dirinya. Seharusnya tidak ada ancaman lagi. Seharusnya kami

semua sudah aman.

Tapi bagaimana kalau tidak?

Aku dan Johan sama-sama tidak tenang selama sisa perjalanan

itu. Saat pesawat akhirnya mendarat dan berhenti, barulah aku

bisa menarik napas lega. Sepertinya Johan juga sudah berhasil

menenangkan dirinya.

"Kali ini elo bisa lolos," katanya saat pesawat berhenti. "Tapi

seperti gue bilang, semua ini belum berakhir. Selama lo masih

hidup, gue nggak akan berhenti meneror lo."

Dia menyalamiku.

Lalu, hanya sekilas, sepertinya aku mendengar dia berkata,

"Sampai jumpa lagi, Kak."

Jantungku serasa berhenti karena suara itu bukan suara Johan,

melainkan suara anak perempuan.

Belum sempat aku memastikan apa yang terjadi, orang-orang42

lain sudah ikut-ikutan menyalamiku dan mengucapkan terima

kasih. Bahkan sang kapten pesawat juga menghampiriku dan mengatakan bahwa aku berhak mendapatkan penerbangan gratis

selama setahun atau semacamnya. Namun aku tidak sempat menyimak tawaran menggiurkan itu dengan lebih saksama lagi.

Kulongokkan kepalaku mengatasi kepala si kapten yang tinggi

banget, berusaha mencari-cari Johan, dengan ribuan pertanyaan

menggema di dalam hatiku.

Namun dia sudah menghilang.43

Ini baru permulaan.

Tubuhku menggigil hanya karena membaca SMS yang barusan

tiba itu. Meski tidak ada nama pengirimnya, aku langsung tahu

siapa penulis pesan tersebut.

Johan.

Padahal apa yang kualami semingguan ini benar-benar mengerikan. Nyaris terjebak dalam reruntuhan bangunan, ancaman

mengerikan yang ditulis dengan darah ayam, kecelakaan-kecelakaan aneh yang nyaris merenggut nyawa rekan-rekanku sesama

pengurus MOS, dan kebakaran malam ini yang nyaris saja memanggangku hidup-hidup.

Dan ini baru permulaan dari panggung yang sudah disiapkan

Johan untukku, untuk menyiksa kami semua?

Benar-benar sulit dipercaya.

Saat ini di sekitarku dipenuhi ingar-bingar. Para petugas pema2

Hanny44

dam kebakaran, polisi, dan paramedis lalu-lalang di antara mobilmobil mereka yang beraneka ragam dan diparkir sembarangan.

Mudah sekali menyelinap di sekitar sini, menghilang di antara

kerumunan orang, tapi aku malah merasa sangat terekspos.

"Kok dari tadi diam aja? Apa segitu shocknya ngeliat muka

sendiri berlepotan banget?"

Aku melotot pada Frankie yang sedang menyeringai di sampingku. Yah, hal lain yang tidak bisa kupercaya adalah kenapa

tiba-tiba aku jadi pacaran dengan cowok ini. Dalam sikon biasa,

aku tidak mungkin melirik cowok supernyentrik ini. Cowok yang

punya tubuh tinggi yang dipenuhi otot, wajah dengan rahang

keras, kulit gelap, dan rambut panjang acak-acakan. Cowok ini

terlalu kasar untung dibilang ganteng, tapi harus diakui tampangnya memang menarik banget (dulu aku pernah menganggapnya

mirip Jerry Yan. Sekarang sih dia hanya Frankie). Di saat cowokcowok lain mengenakan setelan mahal berdasi dan sepatu mengilap di malam pesta berakhirnya MOS, dia malah mengenakan

kaus jelek yang memamerkan keteknya yang berbulu, celana gombrong yang warnanya sudah memudar, sandal jepit yang bahkan

terlalu jelek untuk dipakai ke toilet, dan penopang tangan yang

sepertinya barusan diperbaiki oleh paramedis namun tetap menebarkan bau gosong yang tak menyenangkan. Belum lagi latar

belakangnya sebagai cowok pembuat onar yang sering diskors dan

murid tidak naik kelas (yang berarti dia kini adik kelasku). Seharusnya aku malu punya cowok seperti ini.

Kenyataannya, aku malah bangga banget. Frankie bukanlah

anak manja seperti sebagian besar murid-murid di sekolah kami.

Di usia semuda ini, pada saat kami semua masih sibuk memikirkan urusan sekolah dan acara senang-senang, dia sudah bekerja45

untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan memiliki cita-cita

yang sedang diperjuangkannya habis-habisan. Dia selalu bisa kuandalkan pada masa-masa sulit, tidak segan-segan melakukan apa

saja demi aku, bahkan di saat-saat kritis dia rela mengorbankan

nyawanya untukku. Salah satu buktinya adalah penopang tangan

berbau gosong dan kedua tangannya yang diperban bagaikan

mumi. Semua luka di balik penopang tangan dan perban itu didapatnya lantaran menyelamatkan nyawaku. Yah, memang barang

bukti yang jelek banget, tapi tetap saja namanya barang bukti.

Dan yang paling ajaib adalah, berkat dia, kini aku tidak iri lagi

pada Jenny. Bukannya aku merasa rendah diri selama ini. Gila,

aku kan Hanny Pelangi, si cewek paling populer di sekolah. Aku

tak punya alasan untuk merasa rendah diri dan punya sejuta

alasan untuk jadi cewek narsis nan sombong. Hanya saja, tidak

enak betul berpacaran dengan segerombolan cowok pecundang

sementara sahabatmu satu-satunya sudah punya pacar sempurna

yang cinta setengah mati padanya.

Sekarang aku juga punya pacar yang, meski tidak sempurnasempurna banget, tapi juga cinta setengah mati padaku. Soal itu

sih aku yakin betul.

Tapi sekarang bukan saatnya untuk berbangga ria. Sekarang

aku lagi emosi karena dihina. "Apanya yang berlepotan?"

Frankie mencolek wajahku dengan tampang jail. "Sepertinya

Tuan Putri belum sempat ngaca."

Tentu saja. Setelah lolos dari kebakaran, memangnya prioritas

utamaku adalah mencari tahu apakah dandananku masih oke?

Sial, seharusnya aku mencari tahu apakah dandananku masih

oke.

Aku langsung menuju mobil polisi terdekat dan langsung meng-46

ucapkan sumpah serapah begitu kulihat tampangku di kaca spion,

yang membuat beberapa polisi siap menahanku. Habis mau gimana? Mukaku JELEK BANGET! Kulitku hitam karena terkena

asap, sampai ke lubang hidung segala, dan kelopak mataku merah. Belum lagi, tanpa perlu mengaca pun aku sudah tahu, bahwa

gaunku yang tadinya cantik luar biasa kini berubah jadi segumpal

kain gompal yang menjijikkan?sobek-sobek, hangus, hitam karena jelaga, dan dipenuhi noda darah. Euw. Kalau sampai ada

anak-anak kecil berkeliaran di sekitar sini dan melihatku, mereka

semua pasti langsung lari sambil menjerit-jerit ketakutan.

Padahal seharusnya mereka jejeritan gara-gara melihat muka

sangar Frankie.

Aku tahu Frankie sedang cengar-cengir, diam-diam menertawakanku, tapi aku tidak memedulikannya. Tanpa pamit lagi, aku

kabur ke toilet terdekat dengan kecepatan yang cukup menakjubkan?mengingat kakiku yang tadi tertimpa balok kayu masih

cukup sakit meski sudah diobati dan diperban?mengusir petugas

pemadam kebakaran yang sedang mengurus slang air untuk memadamkan kebakaran, lalu mulai mencuci muka sebisanya. Aku

tidak bisa melakukan apa-apa terhadap gaunku saat ini, tapi dalam waktu singkat aku akan memperbaiki hal itu. Akan kusingkirkan si gaun keparat dan akan kukenakan pakaian tercantik

yang kumiliki, hanya untuk mengenyahkan bayangan tentang

gaun jelek ini.

"Han?" Jenny muncul di pintu toilet. "Ngapain lo ngumpet di

toilet?"

"Bukannya ngumpet," gerutuku, "tapi tampang gue lecek

banget."47

"Siapa bilang?" tanya Jenny geli. "Elo tetap cewek paling cantik

di sekitar sini kok."

Itu sih tidak bisa dibantah lagi. Tapi tetap saja, aku kepingin

terlihat sesuai standarku dong.

Omong-omong, tadi?begitu aku berhasil keluar dari kebakaran yang melanda bagian belakang auditorium sekolah kami?tak

terkatakan betapa leganya aku melihat Jenny. Sudah berkali-kali

aku mencoba menghubunginya di Singapura, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Ternyata, dia terjebak di antara Jenny Tompel dan

Jenny Bajaj. Yah, harus kuakui, dua cewek itu benar-benar contoh

sempurna dari anggota kerajaan neraka jahanam, orang-orang

kepercayaan Raja Neraka untuk menghukum para pendosa yang

dosanya paling berat. Yang satu judes, sirik, senang mengkritik,

dan tidak pernah senang melihat kebahagiaan orang lain, sementara yang satu lagi menganggap dirinya adalah pusat semesta alam

dan seluruh dunia harus geger kalau sampai ada sesuatu yang

terjadi pada dirinya.

Entah hidup siapa yang lebih berat?aku yang harus menghadapi kejadian-kejadian mengerikan di sekitar sini selama semingguan, atau Jenny yang harus diteror kedua cewek itu.

Baru sekarang aku sempat memperhatikan, seperti biasanya,

Jenny tampak kasual dengan parka abu-abu bertudung tanpa lengan

dan celana jins yang sudah belel banget. Kalau saja dia mengenakan

topi untuk menutupi rambut panjangnya, sudah pasti dia bakalan

disangka cowok. Yah, meski baik dalam banyak hal?terlalu banyak

malah?modis bukanlah salah satu kelebihan Jenny. Tapi penampilannya saat ini jauh lebih bagus dibanding waktu awal-awal perkenalan kami. Dulu dia lebih mirip cewek kampung yang nyasar di

kota. Kini, berkat diriku, dia sudah mulai sadar-fashion.48

Mendadak kusadari mata Jenny kelihatan agak lebam. Lebam

itu nyaris tak terlihat karena ditutupi kacamata yang jarang

banget dipakainya kecuali saat pelajaran di sekolah. Tak heran

aku baru melihatnya saat ini.

"Jen?" Aku mengulurkan tanganku untuk menyelipkan jariku

ke balik bingkai kacamatanya. "Ini bukan eye shadow yang salah

pake, kan?"

Jenny langsung meringis saat jariku menyentuh daerah lebamnya. "Auw!"

"Kenapa tuh?" tanyaku penasaran.

Tidak setiap orang mendapat memar di mata, kan? Kecuali petinju, tentu saja, tapi itu pun petinju yang sedang babak belur.

"Oh, ini, mm, disikut orang di pesawat."

"Siapa?" tanyaku berang. "Elo balas sikut nggak?"

"Gue tonjok dadanya," sahut Jenny bangga?dan dia pantas

berbangga.

Jenny tipe cewek yang menyodorkan pipi kanan saat pipi

kirinya ditampar. Aku senang kini dia balas menampar.

"Bagus," sahutku puas, tidak bertanya-tanya lagi. "Eh, Frankie

mana?"

"Tuh, lagi bareng Les."

Les adalah sahabat baruku sekaligus sahabat dan mentor

Frankie. Kalau melihat penampilannya yang funky banget?rambut yang dipotong shaggy dan di-highlight merah, jaket kulit, badan bertato?kita tak bakalan menyangka usianya sudah lebih

dari tiga puluh tahun. Biarpun kelihatan badung, Les berpembawaan tenang, dewasa, kuat, dan bisa diandalkan. Dia juga sahabat

yang sangat baik. Setiap kali kami berada dalam kesulitan dan

memanggilnya, dia langsung datang menolong kami. Seandainya49

dia bisa terbang, aku pasti sudah mengiranya penjelmaan Superman.

Sambil menatap Frankie dan Les, Jenny menghela napas dengan gaya meledek. "Gue baru pergi sebentar, Han, tapi tau-tau

aja lo udah ganti cowok baru. Dan kali ini jenisnya nggak mirip

cowok-cowok lain."

"Jenisnya nggak mirip cowok-cowok lain?" tanyaku geli. Jenny

memang kadang-kadang suka mengatakan istilah-istilah lucu semacam ini. "Emangnya Frankie kenapa?"

"Yah, dia keliatan lebih," Jenny berusaha menggali ingatannya, mencari kata-kata yang tepat, "keras."

Aku memperhatikan Frankie. Ya, betul. Berbeda dengan cowok-cowok yang biasa bergaul dengan kami di sekolah, Frankie?

juga Les?tampak jauh lebih keras. Tidak heran, kedua cowok itu

berasal dari kehidupan yang keras, tidak diberi kesempatan untuk

bermanja-manja pada orangtua, dan harus berjuang sekuat tenaga
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demi kehidupan mereka sendiri.

"Kali ini gue nggak main-main lho, Jen," kataku pelan.

Jenny ternganga. Yah, aku juga tadinya tak mengira aku akan

mengucapkan kata-kata itu sih. "Hah?"

"Kali ini gue serius sama Frankie." Kali ini suaraku terdengar

lebih tegas.

Sesaat Jenny tidak berkata-kata. Aku sudah siap berdebat dengannya kalau sampai dia tidak memercayai ucapanku dan yakin

bahwa seperti biasa, sebentar lagi aku bakalan bosan dan berganti

cowok lagi.

Namun, akulah yang selalu meremehkan perasaan Jenny.

"Congrats ya, Han." Tahu-tahu saja dia memelukku. "Gue yakin, saat ini lo pasti bahagia banget."50

"Gue emang bahagia," gumamku malu, dan tambah malu lagi

saat Jenny menghampiri Frankie dengan mata bersinar-sinar penuh rasa ingin tahu.

"Jadi, gimana ceritanya sampai kalian ketemu?"

Sial, ternyata sahabatku tidak sepemalu seperti yang biasa

ditampakkannya.

"Oh." Wajah Frankie langsung ikut berbinar-binar. "Begini, di

malam yang mengerikan itu"

"Jenny!"

Suara itu menyelamatkanku dari rasa malu. Suara yang membuat Jenny langsung lupa pada Frankie dalam sekejap dan menoleh dengan wajah memerah.

"Tony!"

Astaga. Ini benar-benar adegan murahan. Cowok dan cewek

saling berlari ke arah masing-masing, lalu berpelukan mesra di

depan umum, sementara khalayak ramai diharapkan untuk bertepuk tangan. Untunglah, khalayak ramai tidak senorak itu. Kami

semua cuma mengalihkan pandangan, menatap langit yang dipenuhi bintang, rumput yang dipenuhi belalang, atau lampu polisi

yang masih berkedap-kedip dengan centilnya.

"Jen, ada apa ini?" tanya cowok yang memeluk Jenny, yang

tentu saja adalah Tony, pacar Jenny (kalau bukan, kejadian ini

pasti seru banget, karena Jenny bukan tipe cewek yang hobi dipeluk-peluk cowok lain).

Dulu aku pernah menganggap Tony ganteng banget, dengan

rambut panjang yang dibiarkan tumbuh tak beraturan tapi tetap

lurus mengilap, senyum yang berkilauan laksana Gilderoy

Lockhart di Harry Potter, dan mata bersinar-sinar badung dan jail

yang membuatnya tampak berbahaya. Kini dia tampak idiot di51

mataku, terutama karena dia memang selalu bertingkah idiot di

depan Jenny.

"Kenapa di sekolah rame banget?" sambung cowok itu.

Karena Jenny tidak sanggup berkata-kata saking girangnya ketemu Tony?sobatku itu juga sama idiotnya kalau sedang bersama

Tony; mereka memang pasangan idiot?jadi aku yang menyahuti

pertanyaan Tony, "Nggak apa-apa. Cuma acara MOS yang kelewat sukses."

"Acara MOS yang kelewat sukses?" tanya cowok lain yang datang bersama Tony. Markus Mann, cowok bule paling beken di

sekolah kami (berhubung sekolah kami sekolah internasional, tentunya bukan hanya dia cowok bule yang tersedia), sekaligus

sahabat Tony sejak kecil. Markus juga cowok yang oke banget,

dengan tubuh tinggi tegap, kulit yang lebih putih mulus ketimbang kulitku, rambut cepak rapi bak tentara, dan penampilan tak

bercela. Di malam ini, di saat semua tampil kucel dan memalukan, dia malah bergaya-gaya mirip selebriti dengan kemeja lengan panjang mengilap dan celana panjang dari bahan sutra.

Berhubung aku sudah kenal lama dengannya, aku berani taruhan

kemeja dan celana panjang itu bikinan Versace.

Sayang, menurutku, dia tetap saja kalah ganteng dibanding

Frankie si kain lap kucel.

"Ya." Paman Markus si inspektur polisi ganteng yang membantu kami membereskan semua kekacauan ini menyela dengan gayanya yang sok berkuasa tapi malah kelihatan keren banget. "Sepertinya kalian juga mengalami kamp pelatihan judo yang sukses.

Om mendapat banyak telepon yang merepotkan yang menyebutnyebut nama kalian lho."

"Oh, ya?" Aku menatap Markus dan Tony dengan penuh rasa52

ingin tahu, tapi sepertinya keduanya sama sekali tidak berminat

menceritakan pengalaman mereka. Tony tampak salah tingkah

(aku yakin dia pasti sudah melakukan sesuatu yang berbahaya

dan tidak ingin Jenny mengetahuinya), sementara Markus mengalihkan topik dengan luwes.

"Dari yang kudengar sih, Om memuji-mujiku setinggi bintang

di langit."

Muka Inspektur Lukas berubah bete. "Ge-er, ya?"

"Nggak lah. Aku tau semua itu kenyataan kok, Om."

"Anak-anak zaman sekarang memang overpede. Ya sudah, lebih

baik sekarang kalian pulang. Kalian semua tampak capek sekali."

Hmm, sepertinya si bapak inspektur ini sudah kepingin sekali

mengusir kami dari tempat ini. Baguslah, ini kesempatanku untuk

mengajak semuanya pulang. Aku sudah bete banget dengan tubuhku yang kotor dan gaunku yang compang-camping. Plus, kakiku

yang masih sakit banget.

"Benar," seruku penuh semangat. "Ayo, kita pulang bareng aja.

Akan aku ceritain dengan mendetail pengalamanku yang heboh,

seram, seru, dan"

"Tunggu dulu." Tony menahan kami semua, seolah-olah akan

ada bom yang bakalan meledak di dekat kami. Lalu, dia menarik

Jenny ke depan cewek aneh yang sedari tadi menatap kami bagaikan elang ganas yang ingin memangsa burung-burung pipit yang

lucu. "Jen, kenalin, ini kakakku."

APA???

"KAKAKMU?" teriak Jenny keras saking kagetnya.

"KAMU PUNYA KAKAK?" teriakku tak kalah keras dan kaget.53

Oke, mungkin kalian berpikir reaksi kami rada berlebihan.

Tapi sesungguhnya ini reaksi yang tepat dalam situasi seperti ini.

Soalnya, Tony salah satu cowok paling beken di sekolah kami?

dan itu berarti pengetahuan umum tentang cowok itu, mulai dari

silsilah keluarga hingga merek celana dalam favoritnya, bukan

rahasia lagi.

Tapi tak ada satu pun dari pengetahuan umum itu menyinggung soal seorang kakak, apalagi kakak yang aneh begini. Rambutnya hitam banget, dengan secuil rambut putih di bagian depan.

Mirip Rogue, cewek pengisap tenaga dari film X-Men. Tapi kalau

Rogue termasuk cewek feminin, yang ini mirip Storm yang siap

menyetrum siapa saja yang berani mencari ulah dengannya. Mana

matanya yang menatap tajam rada mengerikan, bibirnya menyunggingkan senyum yang tidak begitu menyenangkan, dan tubuhnya

menjulang tinggi dengan lengan lumayan berotot dan kaki yang

panjang.

Tidak mungkin ini kakak kandung Tony. Pasti kakak tiri. Atau

kakak angkat.

Tapi seandainya memang kakak tiri atau kakak angkat, Tony

pasti mengatakannya pada Jenny. Kenyataannya, cowok itu hanya

menyahut, "Yep. Namanya Tory, tapi kalian boleh panggil dia

Nenek Sihir."

Namanya pun benar-benar menyerupai Tony. Oke, mungkin

dia memang kakak kandung Tony, tapi tampang mereka benarbenar mirip langit dan bumi.

"Nice to meet you." Kakak Tony tersebut mengulurkan tangannya pada Jenny dengan gaya angkuh dan suara serak mirip cowok. "Aku ingin ngobrol lebih lama denganmu, tapi sori, sekarang aku lagi buru-buru."54

Sementara Jenny tampak kecewa karena tidak sempat saling

mengenal lebih lanjut, aku malah merasa lega banget. Habis,

kakak Tony itu benar-benar membuatku merasa tidak nyaman.

"Emangnya Kak Tory mau ke mana?" tanya Jenny.

"Mau pulang, ke Vancouver."

Kalau tadi aku dan Jenny yang terkaget-kaget?sementara Les

dan Frankie yang kebagian peran figuran hanya memperhatikan

tanpa banyak cincong?kini giliran Tony dan Markus yang tampak shock banget.

"Kalo kamu mau balik ke Vancouver, kenapa kamu ikut kami

ke sini dan bukannya langsung beli tiket waktu di airport tadi?"

protes Tony.

"Yah, aku kan kepingin ketemu adik iparku." Cara bicaranya

membuatku merasa dia tidak ingin bertemu denganku. Yah, nasib

cewek cantik memang begini. Aku selalu memberi kesan pertama

yang luar biasa menyenangkan bagi cowok-cowok, namun juga

terlalu sering memberi kesan pertama yang buruk luar biasa bagi

cewek-cewek. "Dan aku ingin mastiin dia baik-baik aja. Sekarang

kan semuanya udah beres. Aku bisa kembali ke Vancouver dengan

tenang. Sepertinya bagasi kalian udah dikeluarin, jadi kalian bisa

langsung pulang. Ada kendaraan, kan?"

"Jangan khawatir." Kali ini Les yang menyahut. "Aku akan

mengantar mereka semua pulang."

"Oke," angguk si nenek sihir (julukan itu tepat banget untuknya). "Kalo gitu, sampai ketemu lagi lain kali."

Tanpa menunggu jawaban dari kami, cewek itu langsung

berjalan pergi.

Kejutan berikutnya, tahu-tahu Markus pergi mengejarnya.

"Wah, wah," komentarku melihat bagaimana cowok playboy55

yang dulu nyaris jadi pacarku itu kini menggandeng tangan kakak

sahabatnya dengan mesra. Sepertinya pembicaraan mereka serius

banget. "Ada apa gerangan di antara mereka?"

"Kenapa?" tanya Frankie yang dari tadi sudah tidak senang

pada Markus. Tak heran, yang satu mirip selebriti, yang satu lagi

mirip gembel jalanan. "Cemburu, ya?"

"Bukan gitu," kilahku. "Cuma tertarik dan penasaran."

Tony tidak mengomentari kata-kataku, tapi saat Jenny menoleh

padanya dengan tatapan ingin tahu, cowok yang pilih kasih banget itu langsung menjawab, "Kayaknya Markus jatuh cinta setengah mati padanya."

Astaga! Tak pernah kusangka suatu hari aku akan mendengar

hal ini, bahwa cowok yang begitu playboy dan tidak pernah serius

pacaran seperti Markus bakalan jatuh cinta. Rasanya benar-benar

sulit dipercaya. Tapi aku yakin Tony tak bakalan menggunakan

istilah "jatuh cinta" kalau Markus tidak benar-benar jatuh cinta.

Apalagi cowok itu mengatakannya seolah-olah itu hal terberat

yang harus diakuinya.

Yah, hari ini memang dipenuhi banyak sekali kejutan.

Kusangka akhirnya Markus bakalan berhasil membujuk kakak

Tony kembali pada kami. Habis, Markus tidak pernah gagal memikat hati cewek. Kenyataannya, cowok itu kembali sendirian

dengan muka seperti baru saja menelan sebotol pil pahit.

Rupanya kakak Tony itu kebal terhadap pesona seorang cowok

playboy (atau barangkali dia lesbian?).

"Gimana?" tanya Tony penuh harap.

Dasar tolol, jawabannya sudah kelihatan jelas dari Markus yang

kembali sendirian dan air mukanya yang kecut banget.

Markus menggeleng lemah. Tampangnya benar-benar mengenas-56

kan. Benar juga kata Tony. Sepertinya cowok ini jatuh cinta setengah mati pada kakak Tony itu.

"Emangnya kenapa sih dia bisa nolak kamu?" tanya Jenny,

mengungkapkan pertanyaan yang dari tadi ingin kulontarkan.

Markus menghela napas. "Katanya, aku masih kecil."

"Itu sih cuma alasan," tukasku. "Kalian paling beda berapa

tahun? Satu? Dua?"

"Apa ini gara-gara gue?" tanya Tony tiba-tiba pada Markus.

"Kenapa bisa gara-gara kamu?" tanya Jenny heran.

"Karena, hm, aku sebenarnya nggak setuju dengan hubungan

mereka," kata Tony malu-malu. "Waktu di kamp latihan, aku

sempat marah-marah waktu lihat mereka terlalu dekat, jadi"

"Dangkal amat pikiranmu," celetukku. "Memangnya kenapa

kalau kakak dan sahabatmu pacaran? Takut ditinggal?"

Tampang Tony yang makin malu membuatku yakin tebakanku

benar.

"Dasar tolol!" teriakku. "Sana, suruh kakakmu balik! Bilang

kalo kamu sangat mendukung hubungan mereka, bahkan akan

jadi pendamping pria kalo mereka menikah dan jadi bapak permandian anak-anak mereka"

"Oke, nggak perlu ngebahas sampai sejauh itu kali, Han," sela

Jenny padaku geli, lalu menoleh pada Tony. "Cepat kejar kakakmu, sana!"

Tony langsung melesat bagaikan anak panah yang baru saja

dilepas dari busurnya.

"Wah, kapan-kapan boleh juga tuh tanding lari," gumam

Frankie terkagum-kagum. "Menurut lo gimana, Les?"

"Hah?" Les tersentak, seolah-olah baru tersadar. "Kenapa?"

"Malah tanya, lagi," gerutu Frankie. "Lagi mikirin apa lo?"57

"Bukan mikirin, tapi mengawasi," kata Les sambil tetap menatap sesuatu di kejauhan. "Ada yang kenal cowok tinggi kurus

yang rada bungkuk dan memakai kacamata?"

Mendengar deskripsi itu, seluruh tubuhku langsung mendingin.

"Johan." Suara Markus yang biasanya tenang terdengar dingin
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat mengucapkan nama itu. "Dia ada di sini?"

"Dia ada di dalam taksi yang kalian tumpangi pada saat datang

tadi."

"APA???"

Kami semua segera menoleh ke arah Tony yang sedang bicara

dengan kakaknya. Wajah Markus memucat saat menyadari betapa

dekat taksi itu dengan mereka. Kami semua berteriak ngeri saat

kakak Tony menyelinap masuk ke dalam taksi yang dimaksud

Les, yang beberapa detik kemudian langsung pergi menjauh dari

pandangan kami.

Tony berbalik pada kami dan langsung menyadari bahwa kami

sedang meneriakinya. Sayangnya, teriakan kami semua saling menimpa sehingga Tony kebingungan. Hanya Markus yang cukup

cepat bertindak untuk berlari ke arahnya dan memberitahunya

dengan sesingkat mungkin. Kulihat wajah Tony menjadi pucat

juga.

Saat keduanya siap mendekati polisi, kulihat seorang paramedis

menyerahkan sesuatu pada mereka. Selembar amplop. Tony

menyobek ujung amplop itu, lalu membaca isinya.

Lalu, tanpa berbuat apa-apa lagi, mereka kembali pada kami.

"Ada apa?" tanyaku tak sabar. "Kenapa kalian nggak ngerebut

mobil mana aja yang ada di sini dan langsung ngejar taksi itu?"58

Sambil membisu, Tony menyodorkan kertas yang dipegangnya

pada kami.

Kalau ada yang melapor polisi atau mengejar kami, aku akan

bunuh dia.

Kami semua hanya bisa terpaku membaca tulisan tangan Johan

tersebut.

"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Jenny pada

Tony.

Tony menyahut dengan berat hati. "Kita pulang."

59

"OMONG-omong, kenalin. Namaku Johan."

Aku tersentak saat mengenali nama itu. Meskipun belum pernah bertemu muka dengannya, Tony sudah menceritakan semuanya padaku tentang cowok ini, membuatku merasa sudah cukup

mengenalnya. Kini aku menatapnya dengan pandangan baru.

Mata yang bergerak-gerak tak tenang menyorotkan sinar liar, gagang kacamata yang pernah patah namun kini dilakban dengan

tidak rapi, tutur kata yang kelewat sopan Semua itu menimbulkan perasaan tak wajar, perasaan tak nyaman, perasaan bahwa kita

sedang ditipu dan dipermainkan.

Dan di balik wajah tanpa ekspresi itu, ada sebuah hati yang

mengharapkan segala yang terburuk terjadi pada diri kita.

Benar-benar mengerikan.

Kusingkirkan semua perasaan itu, lalu kusambut uluran tangannya dengan mantap. "Tory Senjakala."

3

Tory60

"Kamu mengenali namaku," kata Johan sambil mengamatiku.

"Itu berarti kamu udah pernah dengar cerita tentang diriku."

Aku mengangguk. "Tony udah cerita banyak."

"Berarti elo udah tau siapa gue." Mendadak segala kesopanan

Johan lenyap, berganti dengan sikap yang sebenarnya?dingin,

kejam, dan sedikit sinis. "Tapi elo masih berani menyambut uluran tangan gue?"

"Aku nggak takut sama kamu," sahutku tegas.

"Elo seharusnya takut," tegurnya lembut, membuat bulu kudukku langsung merinding. "Apa elo masih nggak sadar seberapa

jauh gue sanggup bertindak?"

Suara sirene meraung-raung di kejauhan. Johan menelengkan

kepalanya, mengintip melalui spion. "Ah, sepertinya ada yang

ngejar kita. Mungkin adik lo yang sok pintar, atau pembantunya

yang banyak gaya itu."

Lucu juga sih mendengar Markus disebut sebagai pembantuyang-banyak-gaya. "Atau lebih mungkin lagi, kedua-duanya."

"Benar juga," angguk Johan. "Jarang sekali melihat keduanya

beraksi sendirian. Sisi bagusnya, dengan rencana yang tepat, gue

bisa sekali tepuk dua lalat." Dia melongok ke depan. "Pak Sopir,

nanti ambil exit yang ke Pondok Indah, ya!"

"Lho, katanya mau ke bandara, Mas?" tanya si sopir heran.

"Nggak jadi, Pak, ada urusan lain yang lebih mendesak."

Kami keluar dari jalan tol melalui exit Pondok Indah, meluncur dalam kegelapan malam, hingga tiba di salah satu rumah

besar berdesain mewah yang terlihat terang benderang. Di jalan

depan rumah itu tampak beberapa mobil berjejer rapi. Rumah

yang sama sekali tidak pas dengan imej Johan.

"Ayo, kita turun di sini."61

Aku membiarkan Johan yang membayar ongkos taksi. "Ini rumahmu, ya?"

"Tentu aja bukan," sahut Johan geli. "Mana mungkin gue mau

ngebeli rumah mengerikan begitu?"

Mengerikan apanya? Psikopat memang punya standar yang berbeda dengan manusia biasa.

Kami menurunkan bagasiku, lalu Johan menghampiri Benz

berwarna hitam yang diparkir di pinggir jalan depan rumah itu.

"Gue cuma numpang parkir di sini. Ini mobil gue. Ayo, kita

masuk ke mobil."

Hell, cukup sudah. Sedari tadi aku sengaja bersikap bersahabat

dengan maksud membuatnya lengah. Tapi aku kan tidak sebodoh

itu untuk terus-menerus mengikuti kata-katanya. Bisa-bisa aku

malah mati konyol. Sori-sori saja, aku masih ingin menikmati

hidup kok.

Aku langsung menonjok mukanya dengan sekuat tenaga, dan

cowok letoy itu langsung terkapar di aspal. Tanpa malu-malu

kududuki cowok itu dan siap memukulinya sampai pingsan. Cowok itu mengangkat kedua tangannya, berusaha melindungi dirinya.

Dan jantungku nyaris berhenti saat mendengar dari mulut itu,

suara anak kecil menjerit, "Jangan pukul aku, Kak!"

Tubuhku langsung membeku.

Apa-apaan ini?

"Jangan pukuli aku lagi, Kak"

Kini Johan terisak-isak, dengan raut wajah yang sama sekali

bukan miliknya. Wajah yang tampak begitu tak berdosa, wajah

yang begitu ketakutan, wajah yang dipenuhi penderitaan. Dan

yah, aku tidak salah dengar. Suara yang keluar dari mulutnya62

memang suara anak kecil. Anehnya lagi, suara anak perempuan

yang masih kecil.

"Aku udah sering dipukuli Kakak. Tolong, ampuni aku"

Hell, seumur hidup aku belum pernah memukuli anak kecil.

Bagaimana ini? Aku harus bagaimana?

Saking shock dan merasa bersalah, aku hanya bisa membeku.

Isak itu perlahan-lahan mulai berhenti, dan dari sela-sela jari itu,

sepasang mata menatap ke arahku. Sepasang mata yang bersinarsinar menakutkan, dan tahu-tahu saja, sebelum aku sempat bereaksi, mataku sudah disiram pasir jalanan.

Aku mengucek-ucek mataku yang terasa perih sekali, namun

sebuah lengan melingkari leherku dari belakang. Kudengar bunyi

botol pecah, dan langsung tercium bau antiseptik memualkan.

Bau itu semakin nyata saat saputangan membekap mulut dan

hidungku, membuatku menyadari itu bau kloroform.

Brengsek. Brengsek!

"Gue nggak pernah lupa membawa kloroform ke mana pun.

Cuma untuk berjaga-jaga."

Apa yang dia bicarakan? Kenapa aku tidak mengerti apa-apa?

"Elo emang kuat. Tapi sayang, hati lo lemah. Itulah bedanya

elo sama gue. Tenaga gue mungkin nggak sekuat elo, tapi hati

gue jauh lebih kuat daripada siapa pun. Itulah sebabnya gue menang, dan elo yang kalah. Sayang sekali, Tory Senjakala. Kebebasan lo cukup sampai di sini."

Lalu, perlahan-lahan, semuanya menjadi putih.

***

Aku terbangun dalam kegelapan. Awalnya kukira ini akhir dari63

segalanya. Kalian tahu, ada teori yang mengatakan bahwa setelah

kita mati, tidak ada surga dan neraka. Yang ada hanyalah kegelapan yang abadi. Hell, kukira teori itu sungguhan terjadi. Ternyata,

setelah mataku mulai terbiasa dalam kegelapan itu, baru kusadari

aku berada di ruangan yang gelap gulita, ruangan berlantai batu

dan, belakangan kuketahui, berdinding batu juga. Ada pintu kayu

yang besar dengan jendela berjeruji, namun di luar sana sama

gelapnya seperti di dalam ruangan.

Jadi aku belum mati.

Aku bangkit dan langsung mengerang keras. Tubuhku sakit

semua. Sepertinya aku dibawa ke sini dengan cara yang sangat

kasar. Semua pelaku penculikan memang tidak tahu adat. Seandainya mereka lebih manis sedikit, mungkin orang-orang tak bakalan benci-benci amat pada para penculik. Tapi di sisi lain, siapa

lagi yang tega melakukan penculikan kecuali orang-orang yang

tega merenggut kebebasan dan kebahagiaan orang lain?

Kedua tanganku dirantai, demikian juga kedua kakiku. Aku

bisa bergerak dengan cukup baik, bahkan berdiri dan berjalan

sejauh semeter juga bisa. Asal tidak lari-lari atau guling-gulingan,

gerakanku bisa dibilang cukup bebas. Lumayan deh. Setidaknya,

kalau ada yang berani macam-macam, aku masih punya cukup

ruang gerak untuk berkelahi dengannya.

Tercium olehku udara yang lembap. Apakah lagi-lagi aku

dikurung di bawah tanah? Sepertinya begitu, kalau ditilik dari

suasana yang terlalu gelap.

Kalau benar begitu, sekali lagi, dalam hidupku yang baru berusia dua puluh tahun, aku ditawan orang untuk kedua kalinya?

sama-sama di ruang bawah tanah?dan hanya berbeda dua puluh

empat jam dengan kali pertama. Namun, berbeda dengan kali64

pertama, sekarang aku tidak berpura-pura ditawan?dan berbeda

dengan yang kali pertama, kali ini pelakunya benar-benar mengerikan.

Siapa Johan sebenarnya? Apakah dia benar-benar Johan, ataukah dia anak kecil yang terperangkap dalam tubuh Johan?

Ataukah dia hanya seseorang yang benar-benar pandai berakting?

Aih, sepertinya kali ini masa depanku bakalan suram.

Entah aku masih bisa ketemu Markus atau tidak.

Sedang apa cowok playboy itu saat ini? Apakah dia yang mengejarku dengan sirene meraung-raung tadi, ataukah itu hanyalah

polisi lain yang sibuk mengejar pencopet?

Lamunanku disela oleh sinar terang yang tampak pada jendela

berjeruji di pintu kayu, diikuti oleh sapaan Johan yang tenang.

"Udah siuman?"

Menyebalkan. Lagaknya seperti dokter saja.

"Udah." Hell, lagakku kayak pasien saja!

Terdengar suara berat kunci diputar, lalu Johan mendorong

daun pintu.

"Begini caramu memperlakukan tamu?" tanyaku dengan suara

riang yang sangat berlawanan dengan suasana hatiku.

"Ya," angguk Johan yang hanya berdiri di dekat pintu. "Siapa

pun yang datang ke sini, pasti akan langsung gue sekap di

sini."

"Memang malang banget orang yang mau bertamu ke sini."

Aku menatap mangkuk berisi sebatang lilin di tangannya. "Kamu

belum pernah dengar penemuan bernama senter?"

"Elo masih bisa bercanda, berarti lo belum sempat ketemu teman satu sel elo."65

"Teman satu selku?" Aku menoleh ke kiri dan ke kanan.

"Mana dia?"

Johan tersenyum misterius. "Nanti juga kalian akan berkenalan."

"Kalo maksudmu hantu, sori-sori aja, aku nggak percaya hantu,

nggak takut hantu, nggak peduli sama hantu," kataku sok gahar.

"Bukan hantu kok."

"Lalu?" Aku mencari-cari lagi. "Laba-laba? Kecoak? Yang begituan sih temen mainku sehari-hari."

Johan tidak menyahut. "Gue akan ngasih elo makan tiga kali

sehari. Jam enam pagi, jam dua belas siang, dan jam enam sore.

Untuk keperluan toilet, ada kloset, ember, dan handuk di pojokan."

"Baik sekali kamu," sindirku. "Kebutuhanku emang hanya itu

kok."

Melihatnya berbalik pergi, aku cepat-cepat berkata, "Tunggu.

Apa yang kamu inginkan dariku?"

Johan berhenti dan menoleh sedikit.

"Gue nggak ingin apa-apa dari lo," katanya tenang. "Elo cuma
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

collateral damage. Yang gue nggak suka adalah adik lo, pacarnya,

dan sahabat pacarnya. Dan gue kepingin mereka menderita, menangis ketakutan, meminta-minta ampun sama gue..."

"Mimpi aja kalo gitu," selaku. "Mereka nggak akan seperti

itu."

"Betulkah?" Senyum Johan terlihat mengerikan. "Kita liat aja

nanti."

Dia menutup pintu dan menguncinya, lalu membawa sinar

yang redup itu pergi bersamanya.66

Dan lagi-lagi aku sendirian di dalam gelap.

Ini tidak buruk, pikirku. Tidak lebih buruk daripada ngobrol

bareng Johan, mendengarkan ocehannya yang tidak masuk akal,

menatap mukanya yang menyunggingkan senyum tak wajar.

Mendadak tercium olehku bau amis yang mendekat dari belakang.

Hishhh.

Kaget setengah mati, aku menoleh ke belakang. Kulihat bayangan itu. Satu, dua?bukan, tiga. Atau empat? Bayangan-bayangan

dalam kegelapan, bayangan bagai tali-tali yang menjuntai dari

langit-langit, dengan berpasang-pasang mata yang menyorot

tajam, dingin, dan keji.

Oh-my-God. Ular! Dan oh-my-God sekali lagi, ularnya banyak!

Oke, ternyata lawanku tidak bakalan roboh dengan sebuah

tonjokan?atau banyak tonjokan. Jadi aku melepaskan kedua sepatuku, lalu menggenggamnya erat-erat seolah-olah benda itu

senjata tersakti di dunia.

Seekor ular menukik ke arahku. Aku langsung menghantamnya.

Semburan darah panas dan pecahan kulit langsung menerpa wajah dan tubuhku.

Euw.

Aku diserang lagi, kali ini oleh dua ekor ular yang bergerak

dari dua arah yang berbeda. Aku berhasil menghancurkan kepala

salah satunya, namun yang satu lagi berhasil memagut bahuku.

Kuketok kepalanya dengan tumit sepatuku, merasakan kepalanya

hancur tepat di badanku.

Sebelum aku sempat menarik napas, memikirkan kondisi tubuhku, ular-ular lain sudah bergerak ke arahku, siap mengeroyokku beramai-ramai.67

Dan sesaat sebelum semuanya berubah menjadi merah, semua

yang pernah berarti bagiku berkelebat dalam pikiranku Orangtuaku, Tony si bengal, Ali boneka beruangku yang lucu, Bo anjing kesayanganku, suster kepala yang hobi menghukumku menyapu di kantornya lalu bercerita tentang masa mudanya yang tak

kalah badungnya denganku, Jenny yang seharusnya bakalan menjadi adik iparku

Dan yang terakhir adalah Markus.68

AKU benar-benar idiot.

Bisa-bisanya aku membiarkan si nenek sihir kabur dengan psikopat gila itu di depan mata kepalaku yang, omong-omong, ternyata tak ada gunanya. Masa sih aku tidak sadar sama sekali kalau Johan ada di dalam taksi itu? Bukannya menjambak bajingan

itu keluar dari taksi dan menggebukinya habis-habisan di depan

polisi?aku rela menanggung risiko ditangkap?aku malah menyerahkan kakakku padanya dengan sukarela. Benar-benar idiot supertolol.

"Ini salahku." Kata-kata itu tidak keluar dari mulutku, melainkan dari Jenny yang mencengkeram lenganku erat-erat. "Ini semua salahku."

"Jangan hibur aku kayak gitu, Jen," sergahku. "Kenapa tau-tau

ini jadi salahmu? Sudah jelas aku yang ngebiarin dia masuk ke

dalam taksi itu."

"Bukan begitu. Johan... Johan tadi dateng bareng aku."

4

Tony69

Aku tidak mengada-ada waktu kukatakan kami semua menatap

Jenny dengan mulut ternganga lebar. Menyadari perhatian yang

diberikan padanya, Jenny langsung menunduk.

"Mmm, kejadiannya begini. Aku juga nggak tau, tapi sepertinya dia yang mengatur Jenny Tompel dan Jenny Bajaj untuk

menerorku di Singapura. Abis itu, waktu aku pulang naik pesawat, tau-tau dia duduk di sebelahku."

"Dia yang nyodok mata lo?" teriak Hanny mendadak dengan

berang.

Ya, betul. Bukannya aku tidak memperhatikan mata Jenny

yang ditutupi kacamata itu agak lebam. Hanya saja, aku berniat

menanyakannya dalam kondisi yang lebih sepi.

"Iya," sahut Jenny dengan suara kecil. "Dia mau meledakkan

pesawat. Aku rebutan remote bom sama dia. Aku menang, jadi

pesawatnya nggak jadi meledak. Tapi jadinya dia ngikut ke sini

tanpa kusadari."

Tak kuduga Jenny sudah melalui begitu banyak kesulitan.

Aduh, aku sangat bersyukur dia berhasil selamat dari semua itu!

Kurangkul bahunya dan kuciumi rambutnya.

"Bukan, bukan salahmu," bisikku. "Dia emang udah berniat

ke sini, Jen."

"Betul," sahut Hanny tegas. "Lo tau nggak, semua kejadian

mengerikan yang terjadi di sini, malam ini, semuanya gara-gara

dia? Ada lima?eh, tujuh?pengurus MOS yang sedang terkapar

di rumah sakit, semuanya gara-gara rencana busuknya. Jadi elo

nggak usah menyalahkan diri lo sendiri."

Jenny terdiam lama, lalu mendongak padaku. "Dan bukan salahmu juga, Ton. Kaca jendela taksinya emang gelap banget kok.

Aku juga nggak bisa ngeliat ke dalam."70

"Benar," angguk cowok bertubuh besar yang tak kukenali. Cowok itu mengenakan anting, bertato, dan rambutnya dicat merah,

namun anehnya menebarkan wibawa yang bahkan mungkin bisa

bikin kabur Pak Yono, guru Seni Rupa kami yang galaknya sudah

mencapai level legendaris. "Kalau mau menyalahkan, aku juga

salah. Seharusnya aku lebih cepat memperingatkan kalian."

"Dan kami semua juga salah karena nggak ikut liat-liat," kata

cowok babak belur yang sedari tadi mesra banget dengan

Hanny.

Tampang cowok itu sepertinya kukenal

Astaga! Itu kan Frankie, adik si Ivan yang bikin rekor sebagai

murid-paling-hobi-berkelahi-sepanjang-sejarah-SMA-PersadaInternasional. Kenapa tahu-tahu dia, dan bukannya Benji sang

ketua OSIS yang terhormat dan mulia (dan amat sangat menyebalkan), yang jadi pacar Hanny?

"Jadi mendingan sekarang kita fokus dulu dengan apa yang

bisa kita lakukan. Mr. Psikopat nggak mau kita lapor polisi, berarti dia mau berurusan dengan kita secara pribadi."

"Kita," kata Hanny tegas, "adalah gue, Jenny, Tony, dan

Markus. Lo kagak ada hubungannya, Frank. Kamu juga, Les.

Lebih baik kalian jangan ikut campur urusan ini. Bahaya banget,

soalnya."

"Honey, don?t you get it?" tanya si Frankie sok berbahasa

Inggris. "?Bahaya? is my middle name."

"Jadi nama lo sebenarnya Frankie Bahaya Cahyadi?" tanya

Hanny kesal.

"Nggak usah ngeributin hal kecil yang nggak penting gitu

deh," kata Frankie sambil mengibaskan tangannya yang masih

bebas?tangan yang satunya berbungkus penopang yang separuh71

hangus, membuatku bertanya-tanya siapakah yang sanggup melukai cowok yang terkenal brutal ini.

"Tapi Hanny benar," kataku pada adik Ivan itu. "Kalian nggak

tau betapa bahayanya Johan, apa yang sanggup dilakukannya.

Lebih baik kalian jauh-jauh dari urusan ini."

Frankie menyunggingkan senyum yang mengingatkanku pada

Leonardo DiCaprio di film Titanic saat berteriak, "I?m the king of

the world!"

"Mungkin lo belum kenal gue. Nama gue"

"Frankie Cahyadi," sahutku tak sabar. "Gue tau siapa lo dan

gimana reputasi lo. Adik Ivan si wakil ketua OSIS. Pembuat onar

kelas berat. Tadinya seangkatan dengan Jenny dan Hanny tapi

nggak naik kelas. Beberapa bulan lalu lo sempet gebukin Aldi

dan Aldo sampe nyaris dikeluarin dari sekolah."

"Oh, si kembar cebol nggak berguna dari klub judo itu, ya?"

Frankie menyeringai, sama sekali tidak terpengaruh dengan

ucapanku yang rada kasar. "Jadi ingat masa-masa indah saat kebengisan gue lagi jaya-jayanya."

Menyadari pelototan Hanny, Frankie buru-buru menambahkan,

"Tapi bukan itu yang gue maksud. Lo pasti nggak tau kalau gue

ini pria hebat yang berhasil membongkar kutukan kisah horor

SMA Persada Internasional."

Aku, Jenny, dan Markus melongo.

"Pria?" tanya Jenny.

"Hebat?" sambung Hanny.

Pertanyaanku jauh lebih berbobot. "Emangnya sekolah kita

punya kutukan kisah horor?"

"Kisahnya panjang, tapi intinya, kejadian itu juga didalangi

oleh Johan. Jadi, gue juga punya urusan sama si Mr. Psikopat ini.72

Tambahan lagi, sekarang gue pacarnya si Tuan Putri." Frankie

menunjuk Hanny yang wajahnya langsung memerah. "Urusan

dia, urusan gue juga. Jadi, suka atau nggak, gue akan kejar si

Johan. Terserah kalian mau kerja sama dengan gue atau nggak."

Dia menoleh pada cowok yang satu lagi. "Omong-omong, ini

Les. Dia mentor gue dan orang yang udah banyak nyelamatin nyawa

gue. Malam ini aja, kalo nggak ada dia, mungkin gue udah jadi abu,

gigi gue lagi diidentifikasi, meskipun nggak guna juga karena dokter

gigi gue aja kagak tau bentuk gigi gue kayak apa"

"Iya, iya, semua ngerti maksud lo," sela Hanny jengkel, lalu

bertanya pada cowok yang diperkenalkan dengan nama Les itu,

"Les, aku nggak ingin kamu maksain diri buat terlibat dalam

masalah ini."

Les tersenyum. "Nggak ada yang maksain diri, Han. Aku sendiri nggak mau ketinggalan bagian yang seru-seru."

"Sip lah." Frankie merangkul Les, lalu mengedarkan pandangan

pada kami semua. "Jadi, apa langkah kita selanjutnya?"

Brengsek. Dua cowok ini benar-benar keras kepala. Tapi kalau

dipikir-pikir lagi, mungkin ada bagusnya juga mendapatkan bantuan dari mereka. Soalnya, mereka kelihatannya bukan orangorang sembarangan.

Biasanya akulah yang memikirkan rencana yang akan kami jalankan, tapi kali ini Markus mengejutkanku dengan berpikir jauh

lebih cepat. Pikir-pikir, sejak tadi dia tidak banyak omong. Mungkin dia sedang sibuk menyusun siasat. "Mendingan kita samperin

rumah Johan."

Aku mengerutkan alis. "Johan terlalu cerdas buat tetap tinggal

di rumah itu."

"Tetap aja, siapa tau ada jejak yang bisa kita temukan di situ,"73

balas Markus. "Gue tau kemungkinannya kecil, tapi tetap layak

untuk dicoba. Bagaimanapun kita harus mulai dari suatu tempat,

kan? Selain tempat itu, emangnya ada tempat lain yang bisa kita

selidiki?"

Aku diam sejenak. "Kita bisa juga menyelidiki rumah sakit

jiwa tempat dia pernah dirawat. Begini aja, karena jumlah kita

cukup banyak, kita bagi jadi dua kelompok. Yang satu ke rumah

Johan, yang satu lagi ke rumah sakit jiwa."

"Kami akan ke rumah sakit jiwa," kata Frankie cepat. "Gue,

Hanny, dan Les."

Aku mengangguk. "Han, lo masih ingat letak rumah sakit itu,

kan?"

"Masih."

"Kalo begitu, gue, Jenny, dan Markus ke rumah si Johan." Aku

berpaling pada Les. "Les, tolong jaga anak-anak ini, ya."

"Anak-anak?" protes Frankie. Tapi Les langsung mengangguk

tegas. "Nggak usah khawatir soal itu. Mereka pasti akan baik-baik

aja."

"Kalo gitu, gimana kalo sekarang kita ke rumah gue dulu? Gue

harus ambil mobil, dan ada beberapa barang lain yang gue butuhin juga."

Setelah mengambil koper-koper yang tadinya sempat ditelantarkan begitu saja, kami pun naik mobil Alphard supernyaman yang

dikemudikan Les.

"Jangan terkecoh," seringai Les. "Ini bukan punya gue, tapi

pinjaman dari bengkel. Tadinya disuruh isi bensin. Sambil lewat,

gue mampir di sini."

"Bukannya pom bensin jauh banget dari sini, Les?" tanya

Frankie dengan muka polos.74

"Yah, namanya juga salah jalan," sahut Les santai.

"Capek?" Terdengar suara penuh perhatian dari sampingku.

Aku menoleh dan tersenyum pada Jenny. "Nggak."

"Bagian bawah matamu rada hitam, Ton," kata Jenny sambil

mengawasi mukaku.

Yep, aku memang tidak tidur semalaman, tapi dia tidak perlu
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu itu. Kuselipkan jemariku pada jemarinya, lalu aku menggenggam tangannya erat-erat. "Aku nggak apa-apa kok, Jen.

Bener. Kamu sendiri keliatan pucat."

"Oh, ya?" Wajah yang tadinya pucat langsung memerah, dan

genggaman tangannya padaku makin erat. "Aku juga baik-baik

aja kok."

Kubenamkan wajahku di rambutnya. "I?ve missed you, Jen."

"I?ve missed you too," sahut Jenny pelan. "Senang kamu udah

di rumah, Ton."

Ya, sekarang aku sudah berada di rumah. Di mana pun aku

berada, selama ada Jenny di sampingku, aku sudah berada di rumah.

Kami tiba di rumahku. Setelah mencampakkan koper-koper di

ruang tamu, aku kabur ke kamarku, meraih kunci mobil dan

membongkar-bongkar laci. Begitu turun lagi, aku membagi-bagikan senter kecil, pisau lipat, tali, korek api, sarung tangan, dan

borgol.

"Wah, sepertinya ada yang masih saja terpengaruh Lima Sekawan," komentar Jenny tepat mengenai sasaran.

"Borgol?" tanya Frankie sambil menelengkan kepala.

"Buat nangkap Johan," jelasku.

"Mainan lo aneh-aneh amat," komentar Frankie sambil menggeleng-geleng. "Dan gue lagi yang dikatain anak-anak."75

Rupanya anak ingusan ini masih tersinggung karena kusebut

sebagai anak-anak.

"Hey, listen, kiddo. Gue tahu badan lo gede, lo jago berantem,

dan sebagainya. Tapi lo adik temen baik gue. Kalo ada apa-apa


Pendekar Rajawali Sakti 204 Titah Sang Pedang Siluman Darah 13 Misteri

Cari Blog Ini