Rainys Days Karya Fita Chakra Bagian 2
juga dia ya," komentarnya.
Browny menempelkan tubuhnya ke kakiku. Rupanya dia mengajakku bermain-main. Sejak kucing itu ada di kamarku, aku jarang mengajaknya bermain-main. Aku terlalu sibuk mengasihani diri sendiri. Mual, muntah, dan rasa takutku belum sepenuhnya hilang. Aku tak mau menambah penderitaaanku dengan asma jika terlalu sering dekat dengan Browny. Beberapa kali malahan kubiarkan dia berada di balkon.
Kusorongkan mangkuk berisi makanan untuk Browny. Baru kusadari tubuhnya masih saja kurus. Tiba-tiba aku merasa bersalah karena tak memberinya makan.
Mungkin, lebih baik segera kuberikan pada Kian, batinku. Kurasa dia tak akan keberatan merawat. Ghea membuka tirai pintu menuju balkon lebar-lebar. Sinar matahari yang masuk ke dalam kamarku menyilaukan mata. Spontan, aku mengangkat tangan, menutupi sebagian wajahku.
" Bangun dan mandi, sana!" Ghea mendorong tubuhku. " Jangan pikirkan Ben lagi. Masih banyak hal penting yang lebih pantas kau pikirkan."
Aku beranjak ke kamar mandi. Browny mengeong membuntutiku. Waktu pertama kali melihat Browny, aku iba melihatnya basah dan kedinginan. Browny mengingatkanku pada kejadian terburuk dalam hidupku. Saat taman hiburan yang kudatangi bersama Ben tidak lagi menyenangkan.
" Kamu mirip kucing kecebur got, waktu itu," kata Ghea.
Tidak, aku tak ingin tampak seperti itu lagi. Aku harus lebih kuat dan tegar, tegasku dalam hati.
Kian
Ada dua jenis perempuan yang mencuri perhatianku. Pertama, perempuan yang mirip dengan Ibu. Kedua, perempuan yang butuh pertolongan. Rainy tidak termasuk dalam kedua tipe perempuan itu. Cewek itu bertolak belakang dengan Ibu dalam berbagai hal.
Ibu berambut tebal, hitam terurai, dan rapi. Rainy berambut tipis, kecokelatan dan tak jelas potongannya. Bibir Ibu selalu tampak tertarik ke atas, membentuk garis senyuman (setidaknya begitulah jika dia bersamaku). Sedangkan Rainy, tampak murung, pendiam, dengan garis bibir mendatar yang tak pernah kulihat melengkung.
Cewek-cewek lain berebut perhatian dengan purapura terjatuh di depanku, atau mendadak butuh bantuan untuk beberapa hal sepele, seperti minta ditemani ke suatu tempat. Mereka seolah tahu kelemahanku. Aku tidak bisa membiarkan seorang cewek dalam kesulitan.
Tapi, Rainy, justru sebaliknya. Dia sama sekali tak mem biar kan aku mendekatinya. Dia membuat pagar di sekelilingnya, supaya cowok berada di luar pagar itu. Seakan dia bahkan berharap dengan bersikap demikian, orang-orang akan melupakannya
Beberapa hari setelah aku menyerahkan Browny, kami kembali diam-diaman, seperti tak kenal. Di kampus, dia langsung menghindar jika berpapasan, seolah-olah aku ini orang menakutkan yang harus dihindari. Di apartemen, aku tak pernah melihatnya keluar kamar. Sepertinya, dia sengaja mengisolasi diri.
Setelah terakhir kali aku melihatnya muntah di depan kios crepes dan mengantarnya pulang, aku masih tak tahu kenapa dia seperti cangkang kerang yang selalu terkunci. Tapi aku tak mau memaksanya bicara.
Aku terlalu kasihan padanya, sampai tak tega untuk memaksanya bicara. Padahal, cewek satu ini sungguh membuatku penasaran. Aku yakin ada sesuatu yang salah selain sikapnya yang sangat tertutup. Apakah dia menderita suatu penyakitMaka, kejadian kali ini adalah luar biasa. Setidaknya demikianlah menurutku. Pagi ini, aku menemukannya di perpustakaan.
Oo, jadi di sini rupanya dia bersembunyi saat berada di kampus? Pantas saja aku tak pernah melihatnya di kantin, di taman, atau di tempat lain setelah kejadian itu. Seharusnya aku sadar ketika tahu dia bekerja di kafe buku itu. Orang yang tertutup lebih nyaman berada di tempat sepi seperti perpustakaan ini. Suasana perpustakaan ini mirip dengan kafe tempat Rainy bekerja.
Saat aku melihatnya, Rainy tak mengangkat wajah. Aku menyambar salah satu buku dari rak yang kulewati. Ada banyak meja yang kosong di ruangan itu, tapi aku memilih
meja yang ditempatinya. Meja itu terletak di sebelah rak buku besar, sedikit tersembunyi dari pandangan orang karena terhalang rak-rak lainnya.
Aku sengaja duduk di seberangnya. Biasanya, berada di perpustakaan membuatku tenang. Tapi kali ini berbeda. Duduk berseberangan dengan cewek itu membuatku susah konsentrasi.
Entah berapa kali aku meliriknya. Rambutnya menjuntai lemas di bahunya, kali ini tanpa topi pet yang biasa dipakai. Sedikit sinar matahari membuat warna rambutnya nyata. Kecokelatan. Cewek ini benar-benar menarik. Sikap acuhnya membuatku ingin mendekat. Kuputuskan untuk mengajaknya ngobrol.
" Hai," sapaku. " Gimana kabar Browny?"
Entah mengapa pertanyaaan itu yang keluar. Jantungku berdebar lebih kencang. Aku sampai khawatir suaranya terdengar sama Rainy. Kuusap hidungku berkali-kali.
Semoga saja dia tidak berpikir kalau aku memberikan Browny supaya punya bahan ngobrol kalau ketemu. Ya, meski itu memang salah satu alasanku.
Rainy melirikku sekilas dengan tatapan pergi-kaudari-sini. Lalu kembali sibuk dengan laptopnya.
Tapi aku malah menatapnya, menunggu jawabannya. Hei, ini tempat umum, tahu. Semua orang bebas datang ke tempat ini. Sadar kalau kupandangi, dia mengangkat wajah.
" Kalau kamu mau tahu, Browny membuatku sesak napas," katanya akhirnya.
" Kenapa? Apa dia mengacaukan kamarmu?" Aku tertawa kecil, meredakan kegugupanku. " Aku dulu pernah punya kucing. Dia suka sekali menggaruk-garuk sofa, menarik gorden, dan mengacak-acak benang rajut milik ibuku. Dia hanya ingin menarik perhatian. Biasanya bakal berhenti kalau aku ajak main."
Aku heran dengan kemampuan bicaraku yang mendadak meningkat. Biasanya, aku hanya berkata seperlunya. Sepotong kalimat atau sekadar ya dan tidak. Kadang-kadang, berhadapan dengan cewek membuatku gelisah.
Kepalanya menyembul dari balik laptop. Aku terkejut melihat pipinya yang gembung dan wajahnya pucat pasi. Matanya tampak lelah dan ada lingkaran berwarna gelap disekelilingnya.
" Bulu-bulunya, membuat alergiku kambuh," ucapnya singkat. Lalu kembali sibuk tenggelam di balik laptop. Aku bengong sesaat. " Kenapa..."
" Kenapa nggak bilang waktu itu?" potongnya tak sabar. " Kamu nggak kasih aku waktu untuk beralasan."
Aku langsung menggaruk-garuk kepalaku. Damn! It s true!
" Maaf," kataku akhirnya. " Kalau begitu, biar Browny sama aku aja emmm... tapi..."
Tiba-tiba, aku teringat Ayah.
Ayah juga gak suka kucing. Katanya bau dan berisik, terakhir aku tahu kalau Ayah ternyata alergi bulu kucing. Sejak itu aku seolah sadar kalau Ayah hanya mencintai
Ibu. Dia mengizinkan kucing-kucing itu tetap di rumah karena Ibu. Dia juga membenciku karena akulah penyebab Ibu meninggal. Aku ragu apakah dia pernah mencintaiku karena diriku sendiri dan bukan karena Ibu. Aku meringis mengingat hal itu. Pertanyaan itu selalu muncul dalam benakku sejak beranjak remaja.
Rainy mendengus.
" Kayaknya kamu juga gak suka kucing." Kalimat Rainy mengejutkanku.
" Oh& bukan. Aku suka kucing, hanya& emmm aku punya pengalaman buruk dengan kucing," jawabku menghin dar.
Aku kembali menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal.
" Terus gimana?" tanyaku pelan.
" Terserah kamulah. Yang penting jangan cerewet. Aku lagi sibuk." Juteknya keluar lagi.
Aku pun menutup mulut. Beberapa menit kemudian kuhabiskan untuk menonton dia mengetik. Menunduk, diam, menikmati setiap ketukan jemarinya pada keyboard. Rasa nya damai, sampai aku teringat bekal makanan yang kubawa.
" Kamu udah makan?" bisikku, supaya tidak mengganggu orang lain. Entah mengapa aku merasa harus menawarkan. Kurasa karena aku pernah melihatnya muntah dan tampak sangat lemas.
Dia melotot. Merasa terganggu. " Bukan urusanmu!"
" Aku bawa bekal." Aku mengeluarkan kotak bekalku dari dalam tas. Memperlihatkan sandwich sederhana.
Dia melirik. Matanya terlihat ingin mengambil sandwich itu. Tapi dia masih jual mahal.
Tiba-tiba, terdengar suara perut kelaparan. Mirip kerupuk saat dikunyah dalam potongan besar. Aku ingin tertawa, tapi kutahan supaya dia tak tersinggung. Aku yakin banget dia memang lapar. Dia menelan ludah berkali-kali, terlihat dari lehernya yang kurus itu. " Mau?" Aku menyodorkan kotak bekalku. " Beli di mana?" Dia mulai tertarik, meski kulihat dia masih menjaga sikap.
Ya ya, aku tahu bagaimana jaim-nya cewek-cewek ini. Seringkali mereka sengaja melakukannya supaya para cowok tertantang mendekati. Namun kurasa, cewek ini jaim bukan karena ingin membuatku penasaran. " Bikin sendiri."
Mata gadis itu membulat. Kelihatannya dia ragu, tapi tidak menemukan alasan untuk tidak percaya. Tinggal di apartemen membuatku bersyukur bisa masak. Paling tidak, aku bisa menekan pengeluaran.
" Ambil aja." Aku mendorong kotak bekalku lebih dekat.Tangannya terulur perlahan. Dia mengambil satu sandwich lalu mengunyahnya seperti orang kelaparan. Suara berdecap terdengar keras di dalam perpustakaan yang sepi ini. Aku sampai ternganga melihatnya. Apa dia selapar itu" Makasih," ucapnya sambil mengunyah.
Aku mengangguk. Lalu pura-pura asyik membaca meski mataku masih sempat meliriknya ketika dia tampak menelan makanan itu dengan susah payah. Jangan-jangan, dia gak suka. Aku mulai berpikir yang tidak-tidak.
" Enak?" tanyaku. " Kamu suka?" Aku tak tahan bertanya. Dia mengangguk. Lalu menggeleng. Membuatku bingung maksudnya.Tak lama kemudian, dia seperti keselek.
" Kenapa?" Jujur, aku khawatir. Apa dia juga alergi makanan buatku? Atau tak suka kupandangiAku mengingat-ingat bahan makanan yang kusisipkan ke dalam sandwich itu. Keju, tomat, potongan beef, selada& semuanya segar. Kurasa tak ada yang membahayakan. Tidak ada bahan yang menimbulkan alergi. Tidak ada yang busuk.
Rainy menutup mulutnya dengan tangan. Matanya melotot. Dia seperti akan muntah.
" Rainy& " Dia berlari keluar perpustakaan, meninggalkan laptopnya terbuka begitu saja.
Aku berlari mengikutinya. Dia masuk ke dalam kamar mandi perempuan, membuatku terpaksa menunggunya di depan. Kudengar dia mengeluarkan semua isi perutnya, lalu terdengar suara air keran.
Aku mondar-mandir di depan kamar mandi, tak sabar menunggunya keluar. Kenapa ini terjadi lagi? Kurasa, ada sesuatu tak beres padanya.
" Kamu nggak apa-apa?" " Pergi kamu!" teriaknya.
Aku mundur beberapa langkah.
" Aku& , " ucapku tertahan di udara. " Maaf," sesalku tanpa tahu apa kesalahanku. Kurasa setelah ini dia akan semakin kesal padaku.
Dia terisak perlahan, membuatku bingung. " Rainy, aku minta maaf. Lain kali, aku nggak akan memak sa mu makan," kataku akhirnya.
Rainy menyembunyikan wajahnya di balik kedua lengannya. Kepalanya menelungkup di atas kedua lututnya yang kurus. Tubuhnya melengkung bersandar dinding. Dia berjongkok di lantai di depan deretan kamar mandi itu. " Jangan ganggu aku!" usirnya ketika aku mendekat. " Oke& oke& kalau kamu butuh bantuan, kamu tahu aku di mana," ujarku akhirnya. Aku tak mau melihatnya lebih histeris.
Aku berjalan meninggalkannya sambil berpikir keras. Aku pernah membaca tentang orang seperti Rainy, selalu muntah saat makan. Masalahnya bukan pada makanan itu melainkan pada dirinya sendiri.
Apakah ada sesuatu yang buruk terjadi padanya? Seharian itu, aku tak melihatnya lagi. Cemasku memuncak hingga aku tak bisa tidur. Baru kusadari, belakangan aku tak berhenti memikirkannya. Cara dia berbicara, cara dia menunduk menutupi wajah dengan sebagian rambutnya, juga tubuh kurus berbalut kulit putih pucat itu& .
Dua kali sudah aku memergokinya muntah. Aku menggaruk-garuk kepala. Bingung. Belum pernah aku memikirkan seorang cewek seperti ini.
Bab 7
Rainy
G emerincing lonceng yang nyaring terdengar ketika
aku sedang mengelap meja. Kepalaku langsung memutar ke arah pintu. Sejak Ben datang ke Kafe Buku, aku merasa harus waspada setiap kali mendengar bunyi lonceng. Denting lonceng halus karena tertiup angin pun bisa terdengar olehku.
Aku menghela napas melihat seorang cowok mengenakan jaket jins kusam dan sepatu kets tersenyum. Meski dia bukan Ben, dia juga bukan orang yang kuharapkan datang. Paling tidak, untuk saat ini. Lagipula, aku malu ketahuan muntah di depannya. Dua kali pula.
" Kurasa kita akan lebih sering bertemu di sini. Tugasku sedang banyak-banyaknya," katanya lagi. Dia langsung mengambil tempat di sudut, membuka laptopnya.
" Susu cokelat?" tanyaku pendek. Bekerja di tempat ini membuatku hapal selera pelanggan.
Senyumnya melebar. Aku baru menyadari matanya yang menyipit saat tertawa itu membuatnya semakin manis sekaligus lucu. Sorot matanya dalam, menjorok masuk pada ceruk di samping tulang hidungnya yang mancung.
" Seperti biasa, tapi jangan terlalu panas ya, sore ini gerah banget." Dia mengangguk. " Aku menunggu temanku," lanjutnya tanpa kutanya.
" Oh& ." Apa pedulikuSekilas, aku mengamati penampilannya. Untuk ukuran orang yang tinggal di apartemen, penampilannya terlalu biasa. Sederhana. Biarpun menyasar segmen mahasiswa, aku tahu pasti yang tinggal di apartemen ini golongan atas.
Kulirik tas kumal dan lusuh, sepatu kets model lama, jaket jins yang memudar warnanya (aku tahu itu bukan warna aslinya. Aku bisa membedakan jins belel asli dan belel karena dimakan usia sejak kecil), dan jam tangannya entah apa mereknya. Nggak ada yang istimewa dari penampilannya. Kecuali, yah& kecuali tampangnya yang cute dan badannya yang lumayan tinggi.
Aku berbalik ke dapur. Ketika aku kembali untuk meng antarkan susu cokelat hangatnya, seorang cowok sudah duduk berhadapan dengan Kian.
" Rainy& kenalkan. Ini temanku, Marcell," kata Kian padaku. " Dia vokalis band di kampus kita," Kian menekankan kata " kita" , seolah ingin mengakrabkan diri.
" Hai." Si cakep berambut gondrong itu memandangku. Aku menangkap kilatan yang kukenal dari matanya. Seperti Ben saat mengamati cewek. Detik itu juga aku menyimpulkan. Playboy.
Malas-malasan, kusambut jabat tangannya. Dari sudut mata, aku bisa melihat Nadia menatapku dengan padangan
cemas. Sejak kejadian beberapa hari lalu, aku merasa dia melirikku lebih sering. Sesering telepon Mama saat memastikan aku mengenakan dress yang pantas di pesta ultah temanku dulu. Aku harus ekstra hati-hati bersikap dan berbicara pada pelanggan jika masih ingin bekerja di sini.
" Baru kali ini aku ketemu orang yang namanya Rainy," katanya masih memegang tanganku. " Kok aku nggak pernah lihat cewek cantik kayak kamu di kampus ya?" gombalnya.
Buru-buru aku menarik tangan. " Mau pesan apa?"
Belum sempat dia menjawab, bunyi denting lonceng di pintu mengalihkan perhatianku.
" Selamat siang. Silakan masuk, Bu," sapa Nadia ramah.
Aku menoleh, lebih karena aku ingin melarikan diri dari tatapan usil Marcell. Tapi aku terkejut ketika melihat siapa yang datang.
" Saya mencari& " " Mama?"
Sosok wanita anggun, mengenakan sepatu berhak 10 senti dan berambut ikal kemerahan itu menoleh padaku.
" Nah, itu dia. Saya mencari Rainy. Anak saya." Mama berjalan menujuku. Tatapannya menyiratkan hal-pentingyang-tak-bisa-ditunda.
Nadia bengong. Wajahnya mendadak terlihat seakan kafe kami roboh seketika. Dia pasti takkan menyangka itu
mamaku. Mana dia tahu? Aku tak pernah menceritakan asal-usulku.
Aku cepat-cepat melepas celemekku. Mama tak akan mau menunggu lama. Itu terlihat jelas dari raut wajahya.
" Emergency. Gantikan aku sebentar," bisikku menjejalkan celemek di tangan Nadia yang masih terbengong-bengong. " Dan Nadia... mingkem.."
Nadia mengerjapkan mata, pikirannya kembali normal. Dia langsung memasang senyum, lalu menghampiri Kian dan Marcell.
Aku meliriknya, merasa sedikit lega karena dia tak berada di dekat kami untuk menguping. Kugandeng Mama ke dalam da pur, ehm& ralat. Lebih tepatnya kugeret karena aku melakukan nya dengan paksa.
" Oh, akhirnya Mama menemukanmu juga." Mama mengusap titik-titik keringat di dahinya. " Bisa-bisanya kamu bekerja di tempat seperti ini. Panas sekali," keluh Mama.
Aku berdecak. Mama nggak pernah bisa hidup tanpa AC yang dingin. Mungkin sebaiknya Mama tinggal di Alaska.
" Kenapa Mama mencariku? Aku sudah bilang aku baik-baik saja."
Mama mengibaskan rambut ikalnya yang wangi, hasil seharian di salon setiap minggu sekali. Oh, aku kesal sekali melihat nya! Kenapa Mama selalu terlihat seperti kakakku? Mama selalu terlihat cantik. Lihat saja dandanannya itu. Lipstik nude, blush on merah muda, dan maskara yang
membuat bulu mata nya melengkung bak bulan sabit. Sempurna.
" Kenapa Mama mencarimu?" ulang Mama memandangku dari atas ke bawah, seperti menatap orang yang ketahuan mencuri. " Karena Mama ingin tahu, kenapa kamu memutuskan Ben."
Aku meremas ujung kemejaku mendengarnya. Mestinya aku bisa menduga ini. Mestinya aku tahu, Ben akan mengejarku dengan segala cara, termasuk melapor pada Mama. Sembunyi di tempat ini ternyata bukan solusi yang cerdas.
" Dari mana Mama tahu aku bekerja di sini?" Aku balik bertanya.
" Gampang. Mama tanya Ghea."
Aku mendesah, kembali menyesali hal lain. Kalau Mama bisa membuatku terintimidasi, begitupun pada Ghea. Kalau menyangkut aku, putri semata wayangnya, Mama punya radar yang kuat. Penciumannya lebih hebat dari anjing pelacak mana pun.
" Kamu belum jawab Mama. Kenapa kamu putusin Ben? Kamu tahu kan, Ben putra Om Dicky. Dia partner bisnis Papa. Dan mereka, sedang dalam tahap negosiasi," tekan Mama.
Ya ya, tanpa dibilang pun aku tahu. Ben putra seorang pengusaha recording. Papa dan Om Dicky sedang menggarap se buah proyek bersama di bidang itu. Ini proyek besar. Proyek yang diharapkan Papa mendatangkan banyak keuntungan kelak.
Mama memandangku dalam-dalam. Aku mengalihkan pandangan. Jujur, aku takut melihat Mama memandangku seperti itu. Aku tak bisa mengatakan hal yang sebenarnya. Kare na kalau aku bilang Ben mengasariku, Mama bisa pingsan di tempat.
" Kami& kami tidak cocok, Ma," kataku pelan. Mama melotot. Tangannya menyilang di bahu. Dan dia mondar-mandir di depanku. Sebentar lagi, aku akan mendengar ceramah yang luar biasa lama. Kutekuk kakiku dan kusandar kan punggung ke tembok.
" Yang bener saja? Ben itu keren, tampan, kaya!" Kurasa, aku perlu sumbat telinga setidaknya untuk satu jam ke depan. Tapi tidak mungkin aku pamit di tengahtengah omelan Mama. Jadi kuputuskan menebalkan telinga sambil menunduk, memandangi ujung sepatuku.
" & . kalau kamu mau tahu, banyak yang naksir Ben. Apalagi yang kurang dari Ben? Dia nyari kamu ke mana-mana. Tanya tuh temen-temenmu. Mama jadi curiga, apa alasanmu pindah kuliah karena Ben? Kamu mau menghindari Ben? Ben cuma mau kamu yang jadi pacarnya."
Aku mendengus. Yang bener saja" Mama bakal kasih tahu tempat tinggalmu sama Ben." Mama mengeluarkan ponselnya.
" Ma! Please, deh. Rainy udah dewasa. Biarkan Rainy membuat pilihan sendiri," tiba-tiba sesak di dadaku membuncah keluar. Buntalan kekesalan itu terlempar juga dari mulutku.
" Sejak kecil, Mama selalu mengatur hidupku. Mama yang memutuskan dengan siapa aku berteman, Mama yang memutuskan aku harus ikut les balet dan modeling. Mama juga yang memutuskan aku harus sering-sering mengenakan dress. Bahkan, Mama mengatur perutku supaya tidak makan saat lapar! Bukan karena kita kekurangan uang untuk membeli makanan, tetapi karena menurut Mama tubuhku terlalu gemuk! Sementara orang gemuk nggak cantik sama sekali."
Mama berhenti mondar-mandir. Wajahnya seperti saat dia mendengar Eyang meninggal setahun yang lalu. Dia tampak sangat shock. Seumur hidupku baru kali ini aku meluapkan kekesalan padanya. Aku, si anak patuh yang selalu menurut perkataannya kali ini menuntutnya berhenti ikut campur.
" Kamu& berani-beraninya kamu bilang begitu pada Mama," ujarnya menyerupai bisikan.
Tanganku sedingin es. Aku tak menyangka bicara pada Mama lebih mengerikan ketimbang ujian. Tapi dadaku terasa lebih lega.
" Maaf, Ma. Untuk kali ini saja, please. Biarkan Rainy hidup tenang. Ben bakal dapat cewek yang lebih sesuai," kataku berusaha tegar.
Mama menatapku tajam.
" Kamu keterlaluan, Rainy. Papa butuh proyek itu. Ben bisa mempengaruhi papanya karena hal ini."
Aku terdiam. Meski aku masih merindukan Ben, untuk alasan apa pun aku tidak akan kembali padanya.
Buat apa bersama orang yang selalu menyakiti dan merendahkanmuMama meraih tas Hermes-nya yang berharga jutaan. Lalu dengan gayanya yang anggun, dia berjalan keluar. Wangi parfumnya terembus angin menyebar ke seluruh ruangan.
Sampai di pintu dapur, Mama membalikkan badan. " Tegakkan badan. Jangan bersandar di dinding sambil membungkuk begitu. Dan rambutmu, cepat rapikan. Potongan rambut itu sudah nggak jelas," komentar Mama.
Aku mengangguk lemah. Mama masih memandangiku.
" Kamu makan apa saja tadi? Pipimu tembem begitu," selidiknya. " Ingat diet."
Aku mendesah. " Baik, Ma," jawabku putus asa. Mama mengibaskan rambut lalu berjalan ke luar diiringi tatapan aneh dari Nadia.
Kian
Apa aku gak salah dengar, mamanya menyuruh Rainy untuk diet? Apa dia tidak bisa melihat kalau anaknya itu tinggal tulang? Entah kenapa aku jadi kesal dengan mamanya Rainy.
" Wow!!" gumam Marcell ketika mama Rainy melintasi
meja kami. Aku tak menggubrisnya, yang kukhawatirkan hanya Rainy. Aku berjalan menuju dapur dan melihat cewek itu hampir menangis.
" Aku keluar sebentar ya Nad," katanya sambil berlalu. Nadia hanya diam saja, tak tahu harus berkata apa. Sesampai di pintu dapur mata kami bertemu. " Kamu?? Kamu nguping?" Tuh kan sewot lagi. " Aku cuma mau pesan air putih. Kau tidak apa-apa?" " Sama sekali bukan urusanmu," katanya sambil memandangku sengit lalu pergi.
Aku tak tahu apa yang tengah merasukiku, yang jelas kakiku melangkah menyusul Rainy. Kudapati dia sedang duduk di sebuah bangku dekat kedai crepes.
" Kamu mau apa sih?"
" Rainy, aku gak sengaja dengar perkataan mamamu. Dan kamu tanya aku mau apa? Aku mau bilang, kamu sama sekali gak tembem. Malah kamu itu kurus banget. Jadi, jangan diet," kataku cepat-cepat sebelum dia memotong omonganku.
Dia diam sambil memandangku, seperti mencari sesuatu di mataku. Lama kami terdiam sambil saling memandang. Kutatap matanya lembut.
Dia menarik napas dalam... lalu tersenyum. Rainy si cewek murung dan jutek tersenyum. Dan senyumannya sangat manis.
" hanks, Kian," ucapnya pelan.
Aku terlalu terkejut untuk menanggapinya. Yang kutahu Rainy sangat manis kalau tersenyum.
" Kian," panggilnya. " Kiaan& ." Oke juteknya keluar lagi.
" Sorry," jawabku sambil duduk di sampingnya. Sore yang gerah ini menemani kami dalam diam. Sesekali angin bertiup mengacak rambutnya dan seperti tidak merasa terganggu Rainy membiarkannya.
" Tapi mengenai rambutmu, mamamu benar," celotehku. Dia tersedak dan membulatkan matanya seolah berkata bukan-urusanmu.
" Oke, sorry," jawabku sambil tersenyum.
Dari Kafe Buku aku langsung menuju toko bungaku. Tepatnya, toko bunga milik Ibu, yang kemudian jadi tanggung jawabku sejak lulus SMU. Sebelumnya, toko ini dikelola oleh Om Bayu dan istrinya. Mereka mengangkat seorang karyawan untuk mengurus toko bunga ini. Kemudian, saat lulus SMU, aku minta Om Bayu menyerahkan pengelolaannya padaku.
Tadinya Om Bayu menolak permintaanku dengan alasan lebih baik aku fokus kuliah. Toh semua biaya ditanggung Om Bayu. Tapi aku memaksa karena menurutku ini sebagai awal agar aku bisa mandiri. Tidak mungkin aku bergantung pada keluarga Om Bayu terus.
Aku mulai belajar mengatur waktu. Pagi sampai sore aku kuliah. Lalu sore sampai malam, aku pergi ke toko. Ada juga seorang karyawan yang membantuku di toko itu, namanya Pak Seto.
Awalnya, aku merasa berat mengelola toko bunga ini. Bukan karena aku tidak bisa. Tapi karena berada di sini membuatku ingat Ayah dan Ibu. Sejak aku kecil, mereka sering membawaku ke sini. Karena itu, aku hapal namanama bunga di sini, cara merawatnya, bahkan memberikan saran pada pelanggan, bunga seperti apa yang cocok untuk kebutuhan mereka.
" Bunga mawar cocok diberikan pada orang terkasih. Mawar merah bisa melambangkan ucapan " Aku cinta padamu , Kian." Ayah menjelaskan ketika aku bertanya mengapa Ayah sering memberikan bunga mawar merah pada Ibu.
Sedikit ilmu tentang bunga itu jadi bekalku dalam mengelola toko. Tak jarang, aku mesti memberi saran pada pengunjung, ketika mereka bingung memilih bunga. Aku juga ikut senang ketika kunjungan berikutnya mereka kem bali dengan wajah puas dan mengucapkan terima kasih atas saranku. Kurasa, aku cocok dengan pekerjaan ini.
Marcell bilang ini bukan pekerjaan yang macho. Tapi nyatanya dia juga butuh saranku ketika mau memberi bunga pada gebetannya. Seperti saat ini. Dia sengaja ikut ke toko bunga karena ingin memberikan bunga pada cewek yang katanya baru-baru ini mencuri hatinya.
" Kali ini bunganya harus istimewa," katanya sambil melihat-lihat jejeran bunga di rak.
Aku langsung ngakak.
" Bukannya selama ini semua yang kukasih itu istimewa" Yang ini beda Ian& "
" Oke& kalau gitu nama lengkap cewek ini siapa?" tantangku karena Marcell tidak pernah hapal nama lengkap gebetannya.
" Rahasia. Tapi kalau kali ini berhasil, bakal aku kasih tahu secepatnya. Kamu orang pertama yang bakal aku kasih tahu." Sepertinya dia serius kali ini.
" Paling umum sih mawar& tapi kalau kali ini spesial, gimana kalau mawar kuning?" usulku.
" Kenapa kuning?"
" Karena mawar kuning artinya, " Mari berteman ." " Aku gak pengen temenan doang..."
" Karena kau bilang kali ini istimewa, dan sepertinya benar-benar istimewa, jadi kusarankan berteman dulu." Selama ini Marcell selalu memberikan mawar merah kepada semua gebetannya, tanpa berpikir si cewek bakal suka atau enggak.
" Bener juga sih& apalagi kayaknya cewek itu suka sama cowok lain, Ian," nada suara Marcell terdengar sedih.
Anak ini benar-benar jatuh cinta rupanya. " Jadi, kau juga bakal ngasih mawar kuning ke cewek itu?" tanya Marcell dengan senyum isengnya. " Cewek itu? Siapa?" Aku mulai was-was.
" Siapa lagi? Yang di kafe tadilah." Sekarang alis Marcell naik turun seperti minta pengakuan.
" Aku khawatir sama Rainy. Dan kau tahu kan aku tidak bisa melihat perempuan kesulitan. Hanya itu&
perasaan kasihan. Gak lebih," jelasku panjang lebar, yang sayangnya aku sendiri pun meragukan jawabanku itu.
" Ya& makanya aku tanya apa kau tidak mau memberinya mawar kuning? " Mari berteman ."
Ucapan Marcell ada benarnya juga. Tapi jauh di lubuk hatiku, aku ingin memberikan Rainy mawar berwarna lain.
Bab 8
Rainy
" R ainy!!!"
Aku berlari ke pintu. Sejak tahu aku tak akan membukakan pintu jika hanya ketukan saja, Ghea selalu menjerit-jerit memanggilku.
" Rainy! Buruan!" pekiknya lagi. " Sabar, kenapa?" gerutuku.
Yang kuomeli malah nyengir tanpa dosa.
" Aku bawa makanan." Dia mengangkat kantung plastik dari sebuah restoran Jepang kesukaanku.
" Kamu pasti belum makan."
Aku memandangnya sebal. Ghea itu kayak ahli nujum. Dia tahu yang kupikirkan dan kurasakan. Kami duduk di lantai sambil sibuk membuka plastik itu. Aroma sushi menyeruak tanpa ampun ke hidungku. Otakku memasang alarm sehingga perutku berbunyi lebih keras.
" Laper, ya?" tanya Ghea. " Nih, buat kamu." Ghea menyodorkan ramen. Aku membukanya pelan-pelan. Tapi yang terlihat di dalamnya seperti cacing-cacing yang mengerikan.
" Jaga kesehatan, Rainy. Makan sedikit saja nggak bikin gemuk." Ghea memasukkan sepotong besar sushi ke mulutnya
Hap!
Liurku hampir menetes melihat caranya makan. Bagaimana mungkin selera makan Ghea yang hebat dan porsi makan sebesar raksasa itu tak membuatnya gemuk? Sementara aku harus mati-matian menjaga makanku. " Bengong aja. Makan, gih," katanya lagi. " Enak." Iklan paling persuasif yang sedang berlangsung di depanku membuatku tergoda makan. Aku kemudian teringat Kian. Dan kamu tanya aku mau apa. Aku mau bilang, kamu sama sekali gak tembem. Malah kamu itu kurus banget. Jadi, jangan diet.
Kuambil sumpit, mengambil sejumput ramen tanpa melihat wujudnya. Kemudian memasukkannya ke mulutku.
" Apanya yang lucu? Kenapa senyum-senyum? Ramennya aneh?" tanya Ghea bertubi-tubi.
Rainys Days Karya Fita Chakra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Enggak... aku cuma keingat sama Kian." Mata Ghea berubah jadi menyelidik.
" Kian... tetanggamu? Hmmm sepertinya aku miss sesuatu di sini?" tanya Ghea sambil tersenyum usil.
" Enggak ada apa-apa Ghea. Oh ya kemaren Mama datang ke kafe dan kami sedikit berdebat," jawabku enteng berharap fokus Ghea akan teralihkan.
" Berdebat?? Kau dan mamamu? Rainyyy!!" Aku tahu Ghea pasti sulit percaya. Sampai sekarang aku juga gak percaya kalau aku berani membantah perkataan Mama. " Mama datang ke kafe. Dan kamu biang keladinya.
Kamu yang memberitahu, kan?" ujarku. Ghea malah tertawa.
" Dia mamamu, Rainy. Mana mungkin aku bohong," katanya santai.
Buk!
Aku melempar bantal padanya.
" Jahat! Mama marah-marah padaku saat aku kerja, tahu."
" Kenapa?" tanya Ghea polos.
" Kayak nggak tahu Mama saja. Udah kuduga, Mama mem bela Ben. Ben mengadu sama Mama kalau dia mencariku."
Ghea memutar bola matanya.
" Setidaknya mamamu gak tahu tempat tinggalmu yang baru. Dia lupa nanya."
" Jangan pernah bilang apa-apa lagi soal aku dan Ben sama Mama," tuntutku. Aku tak pernah bilang pada Mama kalau Ben menyakitiku. Bukan karena aku mau menutupi, tapi aku rasa tak akan ada gunanya. Sejak kecil Mama tak pernah mendengar perkataanku. Ingat saja bagaimana Mama memaksaku masuk sekolah fashion design."
Tiba-tiba, suara Mama terdengar di telingaku. Aku jadi mual. Ramen itu mungkin sudah jadi cacing dalam perutku. Cepat-cepat aku minum, berharap makanan yang kumakan tergelincir keluar.
Ghea berhenti makan. " Kamu kenapa?"
Aku tersedak dan langsung lari ke kamar mandi. " Hueek!"
Setelah semuanya keluar. Aku merasa lega sekaligus puas. Tubuhku tak akan menimbun lemak.
" Rainy& " panggil Ghea. " Kamu sakit?" tanyanya cemas.
Aku menggeleng.
" Aku hanya& " Aku terduduk di lantai. " Aku nggak tahu, Ghe," ucapku putus asa.
" Sejak kapan kamu muntah setiap makan?" selidiknya.
Aku diam. Beberapa kali aku menolak Ghea saat dia mengajakku makan. Baru kali ini Ghea melihatku muntah.
" Kamu harus ke dokter," tegasnya.
Ghea memaksaku ke dokter keesokan harinya. Kakiku tiba-tiba seperti tongkat kayu yang kaku saat berjalan dari ruang tunggu ke ruang periksa. Aku terpaksa mengikuti Ghea karena dia mencengkeram lenganku.
Sekarang, aku terdampar di depan tatapan menyelidik dokter perempuan itu. Usianya mungkin seumuran Mama. Tapi kelihatannya dia lebih peduli kesehatanku dibanding Mama.
" Diet tak boleh drastis seperti itu," katanya.
" Dia juga muntah setiap kali makan, Dok," tambah Ghea membuatku ingin membungkam mulutnya. Pengadu!
Dokter itu menatap mataku dalam-dalam. " Bulimia bisa saja begitu," ujarnya tenang. Aku dan Ghea ternganga.
Bulimia! Itu kelainan yang serius. Aku pernah membacanya dan tak menduga ini terjadi padaku. Parahkah keadaankuGhea memandangku seolah aku pesakitan kelas berat. Aku melengos. Aku yang tahu tubuhku. Buktinya, aku masih bisa hidup, masih bisa berpikir, dan masih bisa berjalan dengan baik. Kupikir belum separah itu.
" Mulai sekarang, jaga baik-baik temanmu. Jangan biarkan dia tak makan sama sekali." Dokter itu menatapku sekali lagi.
Aku mengerjapkan mata. Tak percaya. " Baik, Dok," jawab Ghea.
Aku mendengar kesungguhan dari nada suaranya. Kurasa, setelah ini, dia akan mengirimiku makanan setiap hari.
Kian
Sore ini, sepulang kuliah aku meminjam motor Marcell untuk pergi ke toko bunga. Soalnya aku udah rada telat. Sore ini bunga baru akan datang, dan aku perlu mendatanya.
Saat membayangkan ingin cepat sampai di toko, aku melihat Rainy di depanku. Dia berjalan cepat-cepat seperti biasanya. Wajahnya merunduk menekuri aspal. Sesekali matanya berkeliaran melihat sekeliling, seperti takut diikuti orang.
Tapi ketika sampai di ujung jalan dan berbelok menuju apartemen, tiba-tiba dia memperlambat langkahnya. Lalu berhenti di samping tembok pagar gedung apartemen, seolah sedang memikirkan sesuatu. Mengintip sebentar, kemudian bersandar di tembok. Wajahnya terlihat aneh. Seperti akan menangis. Dan juga ketakutan
Aku menghentikan motor tepat di depannya. " Mau pulang?" tanyaku basa-basi.
Dia menggeleng. Wajahnya pucat.
Aku menoleh ke arah jalan yang akan dilewatinya. Jalan itu adalah jalan satu-satunya menuju apartemen.
Kulihat seorang cowok seumuranku bersandar di sebuah mobil sedan hitam mengilat. Meski tak terlalu jelas, aku menyimpulkan tampangnya sama sekali tidak menakutkan. Tingginya sejengkal lebih tinggi dariku. Badannya proporsional. Dia mengenakan setelan kaus berwarna biru gelap yang membuat kulit putihnya sangat menyolok. Kurasa dia bukan tipe cowok yang suka usil menggoda cewek karena bisa jadi, perempuanlah yang mengejar-ngejarnya.
" Kenapa kamu berdiri di sini?" tanyaku lagi. Aku ingin bertanya siapa lelaki itu, tapi mati-matian kutahan. Rainy hanya menatapku. Kali ini, kulihat dia seperti melihat
hantu. Aku sempat melihat tangannya bergetar beberapa kali. Kesimpulanku, dia benar-benar ketakutan. " Ikut aku, yuk," ajakku.
Entah ilusi atau bukan, aku melihat sebuah titik cahaya di kedua matanya muncul. Seperti yang sering kulihat kalau Ibu menerima bunga mawar merah dari Ayah.
" Itu ekspresi paling jujur dari seorang manusia," kata Ayah waktu aku bertanya. Aku meyakininya sampai sekarang.
" Ke mana?"
Akhirnya keluar juga suaranya.
" Ikut saja. Aku mau ke tempat kerja." Aku menepuk bagian belakang motor, menyuruhnya duduk. " Pakai, nih." Kuangsurkan helm tertutup padanya.
Dia memandangi helm itu seperti baru pertama kali melihat benda itu.
" Sorry. Nggak ada helm lain," kataku lagi. Helm Marcell seperti helm pembalap. Tapi aku yakin bersih. " Nggak berkutu, kok," candaku.
Dia menarik ujung bibirnya ke atas. Sedikit. Kurasa dia menahan senyum.
Tak lama kemudian, kami sudah berada di motor, lalu melaju lurus tanpa melewati jalan depan apartemen. Diam-diam, aku merasa beruntung Marcell memaksaku membawa motornya.
" Pelan-pelan," teriak Rainy di kupingku. Aku tersenyum sendiri.
" Kamu belum pernah naik motor?"
" Bukan urusanmu," katanya mulai jutek. " Mama nggak pernah ngizinin aku naik motor," jawabnya.
Aku tersenyum lagi. Kurasa dia mulai nyaman bersamaku. Buktinya dia mau ikut denganku, meski tanpa berpegangan padaku sama sekali.
Beberapa saat kemudian kami berdiam diri, sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku, tentu saja, sibuk merangkai kata, mereka-reka hal yang akan kukatakan nanti. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Sesuatu yang belum pernah terjadi selama ini.
Sekitar dua puluh lima menit kemudian, kami sampai.
" Mau ke mana, sih?" katanya cemas.
" Tenang, aku gak bakal nyulik kamu kok," sahutku di antara deru motor. " Sebentar lagi sampai. Tuh, di ujung jalan."
Aku menghentikan motorku di depan sebuah toko roti yang berada tepat di samping toko bungaku, karena di depan tokoku tidak ada tempat parkir karena penuh diisi pot-pot bunga.
" Sampai," sahutku agar Rainy lebih tenang. " Tempat apa ini?"
" Toko bunga, milik orangtuaku," kataku sambil memarkirkan motor dan melepas helm.
Aku melambai pada Pak Seto yang terlihat dari kejauhan sedang memotong tangkai-tangkai mawar. Dia
karyawan yang membantuku mengelola toko ini.
" Wow!" pekik Rainy. " Kamu sering ke sini?" tanyanya takjub.
" Hampir setiap hari."
Dia tertawa. Matanya yang bulat besar itu menyipit di ujung. Baru kali ini kudengar tawanya.
" Seumur hidup, baru kali ini aku bertemu cowok kayak kamu," katanya sambil masuk ke dalam toko.
Aku langsung menyalakan sprayer untuk menyiram tanaman. Spontan, Rainy meloncat menepi. Dia lalu duduk di sebuah bangku panjang, mengamati bungabunga itu basah terciprat air. Rasanya menyenangkan, memandangi jajaran bunga mawar, anyelir, dan aster tepat di hadapan kami.
" Aku juga baru kali ini ketemu cewek sepertimu. Cuek, murung, dan sedikit jutek. Cocok seperti namamu. Gerimis. Mendung," ujarku.
Dia menunduk.
" Sejak kapan orangtuamu punya kebun ini?" Rainy mengalihkan pembicaraan.
" Sejak aku kecil. Waktu itu Ibu masih hidup." Tibatiba, aku teringat Ibu.
" Maaf," katanya. " Aku tak tahu ibumu sudah meninggal. Kalau ayahmu?"
Aku menggeleng.
" Masih hidup." Tapi aku tak pernah berhubungan lagi dengannya sejak kematian Ibu, batinku.
Sampai sekarang, aku masih ingat wajah Ayah saat meninggalkanku. Mungkin, Ayah masih menganggapku sebagai penyebab kematian Ibu. Mungkin dia masih membenciku. Mungkin, aku satu-satunya orang di muka bumi yang tidak ingin ditemuinya.
Rainy mendesah. Kakinya bergoyang-goyang. " Kamu pasti sangat menyayangi ibumu," tebaknya tepat.
" Lebih dari yang kamu bayangkan," jawabku. Lalu kami terdiam beberapa saat.
" Oh ya kenapa namamu Rainy? Apa kamu lahir saat gerimis?" ujarku dengan nada bercanda.
Kumatikan sprayer, lalu mengamati potongan-potongan bunga yang sudah dikumpulkan Pak Seto.
Rainy tertawa kecil. Dia mengambil setangkai mawar dari dalam ember, membauinya sambil memejamkan mata. Persis seperti saat Ibu menerima mawar dari Ayah.
" Mungkin. Mama nggak pernah cerita. Tapi aku nggak suka hujan. Hujan itu& menyedihkan," katanya kemudian.
" Kok bisa?"
" Iya. Hujan itu menyedihkan." Matanya menerawang. " Karena mengingatkanku pada seseorang, di masa laluku."
Hampir saja aku bertanya, apakah orang itu yang dihindari ketika kami berangkat? Yang membuatmu berdiam diri dan ketakutan di ujung jalan? Namun, kutelan
pertanyaan-pertanyaan itu kembali.
" Ada berapa macam mawar di tokomu?" tanya Rain sambil mengamati mawar-mawar yang tersedia di toko ku.
" Ada yang merah, putih, dan kuning. Tiga itu saja." Kuajak dia berkeliling toko yang berukuran 3x5 meter ini.
" Tokoku terbagi dua ruangan, yang depan ini untuk display dan di balik tirai itu untuk perawatan. Bungabunga yang baru datang akan kami sortir dulu di sana, lalu ditata dan dipindahkan ke bagian depan ini." Rainy terlihat sangat antusias mendengar penjelasanku. Dan tanpa kusadari aku semakin ingin melihatnya tersenyum. " Kau suka bunga apa?" tanyaku.
" Aku? Tidak ada yang khusus. Aku suka semua bunga." Rainy mengambil mawar kuning dan menunjukkannya padaku.
" Aku pernah dengar mawar kuning itu untuk persahabatan, apakah benar?" tanyanya.
Aku mengangguk. Aku teringat dengan bunga daisy warna oranye yang baru saja datang tadi pagi. " Sebentar ya." Aku berjalan ke ruangan di balik tirai, mengambil setangkai daisy oranye.
" Ini bunga yang kupikir cocok buatmu." Aku menyerahkan bunga itu pada Rainy. Dia menatapku heran tapi mengambil bunga itu dan tersenyum.
" Kenapa ini cocok buatku?"
" Daisy oranye artinya kehangatan, sukacita, dan semangat."
Rainy tampak terkejut, sepertinya aku terlalu
menunjukkan ketertarikanku padanya. " Aku& hanya ingin kau lebih gembira Rainy, permohonan kecil dari tetanggamu," ujarku iseng.
" Kita baru bertetangga& belum nyampe sebulan, kan?" tanya Rainy sambil tersenyum.
Dia tersenyum dan itu membuat hatiku hangat. " Ya, belum sampai sebulan tapi sepertinya kita sudah melalui banyak kejadian, kan?"
Rainy hanya menatapku sambil mengangguk-angguk kecil.
" hanks buat bunganya Kian& aku suka."
Tak terasa hampir dua jam kami berada di toko ini. Kami bicara banyak hal, mengenai bunga. Aku tak ingin merusak kesenangan ini dengan menanyakan segala hal tentang Rainy. Dia terlihat sangat senang selama dua jam ini, seolah-olah lupa dengan semua masalah dan ketakutannya.
" Sudah mau pulang?" Kulihat Rainy menguap beberapa kali, mungkin dia lelah.
" Boleh& apa kau sudah selesai di toko?"
" Tidak apa-apa, ada Pak Seto yang menjaga." Aku segera membereskan peralatan yang kami pakai untuk memotong bunga. " Kalau mau cuci tangan, ke balik tirai itu saja, ada wastafel."
Setelah beres-beres kami pun pamit pada Pak Seto. " Pak Seto, saya pulang ya," teriakku.
Samar kudengar Pak Seto menyahut dari arah rak anggrek.
" Loh udah mau balik Mas."
Tak lama kemudian Pak Seto muncul di depan kami. Dia tampak sumringah melihat Rainy. Waktu kukenalkan tadi, aku bilang kalau Rainy ini tetangga baruku. Tapi aku yakin, pasti Pak Seto mikir yang macem-macem, namun ia enggan mengungkapkannya.
" Iya udah mau hujan Pak, lihat tuh langitnya udah mulai gelap. Bapak juga jangan pulang malam-malam ya, bentar lagi tutup aja Pak."
" Iya Mas, nanggung tinggal sedikit lagi." " Ya udah, kami pamit ya Pak," ujarku. " Pamit ya Pak," sahut Rain sambil tersenyum. Kami berjalan ke arah motor yang kuparkir di depan toko roti, tapi sesampainya di situ titik-titik hujan mulai turun.
" Kamu pakai ini," kataku menyerahkan jas hujan padanya.
" Buat kamu saja. Ini kan punyamu," tolaknya. " Cuma ada satu, udah kamu pakai aja." Aku memaksanya mengenakan jas hujan itu. Kurasa akan sedikit kebesaran, tapi lebih baik daripada kehujanan. Kuperhatikan lingkaran hitam di seputar matanya masih terlihat seperti biasa.
Dia mengalah dan mengenakannya. Dalam perjalanan pulang, aku merasa tangannya sesekali memegang bahuku
ketika aku mengendarai motor lebih cepat. Aku teringat caranya membaui mawar tadi. Kurasa aku tahu mengapa aku menyukainya meski dia tidak termasuk dalam dua golongan gadis yang kusukai.
Matanya, mirip sekali dengan Ibu.
Perjalanan pulang terasa lebih cepat dari saat berangkat. Aku takjub, mengapa saat bersamanya waktu berjalan lebih cepat. Hujan semakin deras. Seharusnya aku merasa dingin. Namun yang kurasa sebaliknya. Hatiku menghangat seperti saat menyesap secangkir susu cokelat hangat.
Bab 9
Rainy
S emakin lama, kafe semakin ramai. Karena itu, aku
seringkali kehilangan kesempatan membaca bukubuku yang kusukai. Dulu, aku sering membaca di jam kerja karena pengunjung hanya datang saat jam makan siang. Kini, aku menggantinya di malam hari menjelang kafe tutup.
Namun belakangan, keasyikanku membaca juga terganggu karena Kian dan teman-temannya sering ngobrol lama di teras. Seringkali hal ini mengusik konsentrasiku. Karena, entah mengapa, aku mulai memikirkan Kian. Caranya berbicara, caranya memperlakukan perempuan... dia berbeda dengan cowok lainnya.
Beberapa kali mereka melibatkanku dalam pembicaraan. Seperti saat ini.
" Rainy, sini dong, gabung sama kita," ajak Marcell. " Jangan gaul sama buku terus."
Kulihat Fey memandangku aneh. Kurasa, dia tak suka denganku. Entah karena apa. Tapi demi kesopanan, aku menuruti juga perkataan Marcell.
Aku duduk tepat di depan Kian, satu-satunya kursi yang kosong di sekeliling meja mereka. Aku sedikit
gugup saat Kian memandangiku. Ada perasaan berbeda yang kurasakan. Kemarin, aku bahkan memberanikan diri mengantarkan Browny ke kamarnya. Dia minta maaf karena terlalu ikut campur, saat melihatku muntah. Kurasa itu tak perlu. Sesungguhnya, aku marah untuk menutupi rasa maluku.
Tak banyak yang kami bicarakan. Tapi bersamanya ternyata menyenangkan. Setelah dari toko bunga itu, aku mulai sedikit lebih santai. Aku tak lagi ketakutan di malam hari, atau saat pulang ke apartemen.
" Lain kali, kita harus pergi berempat," kata Marcell lagi.
" Pergi sama Fey aja, dia suka nonton," ucap Kian sambil meneguk susu cokelatnya. Di teras yang dinaungi tanaman rambat itu, sinar bulan terlihat di langit.
" Oya? Kebetulan kalau begitu. Gimana kalau kita nonton sekarang?" kata Marcell.
Fey melengos. Dia malah mencondongkan tubuhnya ke arah Kian yang langsung mengeratkan jaketnya seolaholah tak ingin tersentuh oleh Fey.
Aku memandang mereka bergantian, antara geli dan penasaran. Sudah tertebak bagaimana perasaan mereka satu sama lain. Marcell jelas-jelas naksir Fey. Sementara Fey mengejar Kian. Lalu bagaimana dengan Kian? Kurasa, dia tak menyukai Fey, tapi tak bisa menolaknya dekatdekat dengannya.
Sesaat aku geli sendiri membayangkan perasaan mereka. Cinta memang aneh. Ada yang mati-matian suka
sama seseorang. Ada pula yang menolak mati-matian. Cinta berputar-putar dan bisa menjadi segi banyak. " Pergi sendiri, sana," tolak Fey.
" Ayolah, temani. Nanti kuantar pulang, Fey." Marcell berdiri.
Fey meraih tasnya. Raut wajahnya terlihat kesal. Mungkin dia tak suka dipaksa.
" Aku pulang saja." Dia buru-buru ke luar kafe. " Fey!" panggil Marcell. " Gawat, marah deh dia," rutuknya. Keningnya berkerut tanda gelisah. Alis tebalnya ikut naik karenanya.
Kian tersenyum melihatnya.
" Aku kejar Fey ya," Marcell ikut bergegas ke luar. Kian mengalihkan matanya kepadaku.
" Begitulah Marcell. Pantang baginya kalau ditolak cewek."
" Oh, memangnya kenapa? Memangnya Marcell udah pernah nembak Fey?" tanyaku asal.
" Kemarin malam... Dan Marcell baru kasih tahu aku tadi sore. Selama ini dia ternyata suka sama Fey, tapi setiap bertemu Fey dia malah berubah jadi orang menyebalkan. Katanya sih, dia grogi kalau ketemu atau dekat-dekat dengan cewek yang disukainya, jadinya yah...." Kian menjelaskan panjang lebar mengenai sahabatnya itu. Marcell yang aneh, batinku.
Pandangan Kian yang seperti boneka Teddy Bear-ku dulu membuatku salah tingkah. Bukan sekali ini seseorang menatapku seperti ini. Tapi rasanya berbeda dengan Ben
dulu. Bersama Ben selalu membuatku cemas karena bisa-bisa detik ini tak sama dengan detik berikutnya. Bisa saja setelah berkata mencintaiku, dia memakiku dan mengataiku macam-macam.
Bersama Kian, aku tak pernah merasa terancam. Justru sebaliknya, dia membuatku tenang.
" Yah... seperti itulah cinta. Dia bisa datang tiba-tiba, bisa juga bersembunyi sekian lama tanpa kita sadari. Namun saat menyadari, kamu akan tahu, tak bisa melepaskan cinta itu begitu saja," kata Kian pelan.
Sinar bulan yang pucat menyinari sebagian wajah Kian menerobos di antara helai-helai daun anggur. Lesung pipitnya terlihat jelas. Aku bisa melihat matanya yang kecokelatan itu. Dan itu, membuatnya semakin terlihat menawan.
Aku menunduk dalam diam, tak tahu harus bilang apa. Desiran-desiran halus muncul di dadaku. Tanganku seketika berkeringat dingin. Mengapa perkataannya seolah ditujukan padaku? Mendadak aku merasa seperti dalam suasana kencan yang romantis. Nadia sudah pulang duluan. Jalanan sudah mulai sepi.
" Sudah malam. Pulang, yuk," ajaknya.
Entah mengapa, aku mengangguk tanpa pikir panjang.
Sepanjang jalan kami berjalan bersisian. Sesekali dia mencandaiku dan aku menimpalinya dengan tawa. Kuperhatikan rambutnya yang berantakan, sebagian menyentuh ujung kerah jaketnya. Dia memasukkan kedua
tangannya ke dalam saku, sama sekali tak menyentuhku. Namun, berada di bawah sinar purnama bersamanya membuat momen ini terasa istimewa.
Kian
" Kiaaannn."
" Kiaaaannn& "
Minggu pagi ini aku ingin tidur lebih lama karena semalam bekerja seharian di toko. Ada banyak bunga yang datang dan juga para pembeli. Tapi suara Fey di depan pintuku sepertinya tak mengizinkan.
" Apa sih Fey? Ini masih pagi," ujarku kesal karena Fey mengganggu tidurku. Aku masih ngantuk.
" Aku mau bicara," semburnya sambil menerobos masuk ke dalam apartemenku.
" Ada apa Fey," nadaku melunak. Pasti ada sesuatu yang membuat Fey jadi sesewot ini.
" Marcell!!!"
Oke& bersiaplah Kian.
" Kenapa kamu selalu seolah-olah melemparkan aku pada Marcell?" Nada suara Fey meninggi. Sepertinya dia tidak suka dengan kejadian tadi malam. Memang benar aku seakan menyodorkannya pada Marcell. Tapi itu karena Marcell menyukainya. Aku hanya mencoba jadi teman yang baik bagi Marcell.
" Aku gak ngerti."
" Kamu setumpul itukah Kian? Apa selama ini kamu gak tahu kalau aku suka sama kamu?"
Hening.
Ini dia. Aku tahu selama ini Fey menyimpan rasa padaku. Tapi aku tak menyangka kalau dia benar-benar serius.
" Kian& aku tuh suka sama kamu," ucap Fey pelan sambil keluar.
Rasa kantukku mendadak hilang. Aku benar-benar tak mampu berpikir jernih saat ini. Aku butuh susu cokelat hangat.
Siangnya aku ke toko karena hari Minggu biasanya toko akan ramai pembeli. Dari pagi aku belum melihat Rainy. Tadi sempat kuketuk pintunya untuk sekadar say good morning, tapi sepertinya dia masih tidur. Aku masuk ke toko dan menemukan Marcell sedang melihat-lihat anggrek.
" Cell," panggilku. " Tumben nih? Ada apa?" Marcell tak pernah datang ke toko sepagi ini. Terlebih di Minggu pagi.
" Lagi gak ada kerjaan aja& jadi gimana dengan Rainy?" tanyanya dengan senyum-senyum iseng. " Apanya yang gimana?" Aku mencoba mengelak. " Semalam kalian ngobrol apa aja?" Sepertinya Marcell
emang gak mau nyerah.
" Biasa& hal sehari-hari. Ama Fey gimana?" Perasaanku mulai gak enak. Ada perasaan bersalah mengingat perkataan Fey tadi pagi.
" Itu dia alasanku datang ke sini& ," suara Marcell melemah.
" Ada apa Cell?" Sepertinya aku tahu arah pembicaraan
ini.
" Aku pernah bilang kan kalau Fey suka sama orang lain."
" Iya& ," jawabku sambil mengatur ekspresi. " Orang itu kamu, Ian," seru Marcell sambil tersenyum. Tapi wajahnya tampak kecewa.
Rainys Days Karya Fita Chakra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku tak mampu berkata-kata. Hanya menatap Marcell dan bunga-bunga bergantian.
" Sorry& " Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.
" No problem, Bro& " Marcell menepuk-nepuk pundakku. " Tapi aku gak akan ngelepas Fey semudah ini." Wajah Marcell berubah cerah.
" Wish me luck. Fey pasti jadi pacarku!"
Ini baru Marcell. Dia gak akan semudah itu melepas cewek yang disukainya.
Gantian aku yang menepuk-nepuk pundaknya dan Marcell hanya tertawa-tawa.
Seorang lelaki masuk ke dalam toko. Tampangnya lumayan keren. Berkaca mata hitam dan memakai t-shirt yang terlihat pas di badannya. Kulitnya putih, kontras
dengan warna kausnya yang hitam. " Selamat pagi," sapaku.
Dia melepas kacamatanya di hadapanku. Tangannya yang dimasukkan ke dalam saku membuatnya terlihat angkuh. Baru kali ini aku melihatnya.
" Saya perlu rangkaian bunga. Yang berbeda. Untuk cewek yang istimewa," katanya.
Alisku naik seketika. Tamu ini butuh penanganan khusus rupanya. Aku hapal kebiasaan para pelanggan tokoku. Mereka lebih suka bunga yang cantik dan harum. Yang berbeda? Kurasa ini bukan pembeli biasa.
Mataku langsung mengitari toko. Ada puluhan jenis bunga di dalam toko ini. Sebagian diambil dari kebun sendiri, sebagian dipasok oleh supplier.
" Mau yang impor atau lokal?" tanyaku. Dilihat dari penampilannya, lelaki ini berkantung tebal.
" Harga tak masalah. Yang penting, harus istimewa, dan berkesan misterius." Dia mengangkat ponselnya, " Sebentar, saya angkat telepon dulu."
Aku mengangguk. Di sebelahku, Marcell menyikutku.
" Siapa dia? Sok banget." Aku mengangkat bahu.
Dia menutup telepon, " Jadi, apa yang Anda sarankan?"
" Bagaimana kalau anggrek? Anggrek ungu." Aku menunjuk anggrek ungu di pojok ruangan. Ungunya terlihat manis, dipadu warna putih. " Saya rasa itu akan jadi
bingkisan yang istimewa."
" Oke, siapkan saja. Saya akan bayar dulu," katanya sambil berkacak pinggang.
Aku menyiapkan kuitansi dan menyerahkan padanya. " Saya ingin dikirim Sabtu malam ke alamat ini. Ini kartu ucapannya," dia meletakkan amplop berwarna ungu.
Sabtu malam berarti dua hari lagi, tanggal dua puluh lima, batinku sambil mencatat di dalam buku pesanan.
" Dan ini uangnya," dia meletakkan sejumlah uang di atas meja.
Lelaki itu lalu berjalan keluar toko, meninggalkan aku dan Marcell yang terbengong-bengong.
" Gile, duitnya banyak bener," komentar Marcel melihat lembaran uang di meja. " Kebanyakan, tuh."
Aku menghitungnya. Benar, seharusnya masih ada kembalian. Tapi dia tak memintanya. Tepatnya, tidak menunggu kembaliannya.
Aku meraih kertas itu. Mataku melebar membaca alamat yang tertera di kertas itu. Alamat itu, adalah alamat apartemen di sebelahku. Kamar 523.
Perasaanku tiba-tiba tak enak. Siapa dia? Pacar RainyKubalikkan amplop berwarna ungu tersebut. Tertutup erat oleh perekat.
Sialan! Mengapa aku jadi ingin tahu beginiBab 10
Rainy
M alam hari adalah saat yang paling tak menyenangkan
bagiku.
Aku bisa melamun, menatap langit-langit kamar berjam-jam lamanya sebelum tertidur. Perutku berkriukkriuk lapar. Ketika makan, aku merasa seperti melakukan dosa besar. Jadi aku memaksa makanan itu keluar lagi. Setelahnya, aku akan terbaring lemas. Aku tahu ada yang tak beres. Namun, tak berani menerima kenyataan.
Kadang-kadang, Ghea berhasil membuatku makan. Kadang-kadang tidak. Seharusnya aku lebih keras pada diriku sendiri dalam hal makan jika ingin sembuh. Tapi perkataan Mama sejak aku balita dan omelan Ben ketika melihat pipiku mulai gemuk seakan terngiang di telingaku.
Aku mendengarnya bergaung di setiap ruangan. Bergaung& bergaung terus sampai lelah membuat mataku terpejam.
Ponselku berdering-dering melagukan lagu kesayanganku. Sejak terakhir kali aku menerima telepon dari Ben, aku selalu terkaget-kaget saat benda itu berbunyi. Aku takut luar biasa. Berkali-kali aku mengganti nomor teleponku demi menghindarinya, tapi tetap saja aku sering
mendapatkan telepon dari nomor asing. Aku yakin itu Ben.
Aku mematikan telepon berkali-kali. Namun, kemudian aku ingat janjiku pada diri sendiri. Kalau aku menghindar terus, Ben akan terus menerorku. Kurasa aku harus bersikap lebih tegas. Jadi kuangkat telepon itu.
" Rainy, aku ingin bertemu denganmu. Besok pagi, di tempat biasa," suara Ben terdengar penuh penekanan.
" Aku tidak akan datang," tegasku. " Aku tidak memerlukanmu lagi, Ben. Aku tidak mencintaimu lagi," kurasakan suaraku bergetar saat mengatakannya. Matimatian kutahan tangis di sela-sela rasa takutku. Ben harus tahu, aku bukan perempuan lemah.
" Kamu harus datang, kali ini saja. Besok hari ulang tahunmu. Aku hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun," suara Ben melembut. Lalu dia mematikan telepon.
Tangisku pecah seketika. Takut, sedih, dan rindu bercampur jadi satu.
Di sudut hatiku, aku senang karena Ben masih mengingat ulang tahunku. Tapi tetap saja, aku trauma dengan kejadian buruk itu. Aku tak ingin bertemu dengannya lagi. Tubuhku menggigil.
Jelang pukul 10 malam, aku mendengar suara langkah seseorang di depan pintu saat terjaga. Aku selalu ketakutan kalau-kalau Ben datang. Apalagi setelah Mama menemuiku.
" Ghea?" tanyaku ragu. Tak ada sahutan.
Aku mengintip dari balik pintu. Sepi. Penasaran, kubuka pintu kamar. Mataku terpaku pada sebuah buket di lantai. Anggrek berwarna ungu.
Dari mana? Aku mencari-cari kartunya. Tak ada. Aneh sekali. Bunga anggrek ungu bukan sesuatu yang lazim dikirimkan untuk seseorang.
Aku bergidik.
Hanya Ben, lelaki yang sering mengirimiku bunga. Tapi dulu dia selalu mengirimkan mawar. Bukan anggrek ungu seperti ini.
Bulu kudukku meremang. Cepat-cepat kututup pintu setelah membawa bunga itu masuk ke dalam kamar. Aku tak ingin Fey yang cerewet itu bertanya-tanya. Aku juga tak ingin orang lain tahu masalahaku.
Kian
Apa rasanya mengantarkan bunga dari orang lain untuk cewek yang kamu sukaiPerasaanku tak karuan. Campur aduk. Aku berdiri di depan pintu kamarnya lama, sambil berpikir. Apa tidak sebaiknya ku simpan saja bunga itu? Atau tetap kuletakkan? Atau kubuang sajaTapi aku sudah berjanji pada pelanggan untuk mengantarkannya. Dan dia sudah membayar untuk itu. Mana mungkin aku menahan bunga anggrek ungu itu hanya untuk memenangkan hatikuLagipula, bunga anggrek ungu benar-benar bukan diriku. Jika aku memberikan bunga pada orang yang kusukai, aku gak akan memberikan anggrek ungu.
Aku tergugu sekian lama. Sejak kapan aku memikirkan dia akan menerima bunga darikuSejak& mungkin sejak aku tahu ada lelaki yang mengirimkan bunga untuknya. Apa pun bunga itu, artinya ada yang mengaguminya. Apakah itu berarti Rainy punya pacar? Siapa pacarnya? Kok, aku nggak pernah lihat dia bersama cowok? Malahan, dia seperti ingin menghindar kalau ketemu laki-laki.
" Orangnya pergi mungkin, Mas."
Aku menoleh. Seorang mahasiswa yang kelihatannya masih tingkat 1 duduk di koridor. Aku menduga dia menunggu kunci kamar yang dibawa teman sekamarnya. Beberapa di sini memang berbagi kamar, mereka sering meributkan kunci kamar saat salah satu pergi, karena kadang-kadang, teman sekamarnya lupa membawa kuncinya.
Aku tersenyum gugup, baru tersadar aku sudah lama mematung di depan pintu. Hanya memandangi pintu kamarnya tanpa mengetuk atau membunyikan bel.
" Oh& Nggak ada orang di dalam ya?" tanyaku linglung.
Dia itu mengangkat bahu.
" Mungkin. Tadi juga ada tamu, sudah nunggu lama, tapi gak ada yang buka pintu."
Aku termenung mendengarnya. Kalau cowok yang me
mesan bunga itu pacarnya, kenapa dia tak memberikannya sendiri? Apa ini hari istimewa mereka berdua jadi dia ingin buat kejutanSeorang lelaki lain datang menghampiri remaja yang bicara denganku. Kukenali dia sebagai teman sekamarnya. Malam-malam begini, kurasa mereka baru pulang dari kafe.
" Permisi ya Mas," dia pamit ketika melihat temannya datang.
Aku hampir memanggilnya ingin bertanya apakah Rainy pergi sendiri atau bersama cowok. Tapi kuurungkan niatku.
Aku bukan siapa-siapanya. Lagipula, bukan urusanku. Buru-buru kuletakkan bunga itu ke lantai. Tepat di depan pintu kamarnya. Biasanya aku menunggu penerima membuka pintu dan memberikannya langsung supaya aku tahu pasti bunga kirimanku diterima orang yang benar. Tapi kali ini tak kulakukan.
Logikaku akhirnya memenangkan perseteruan. Sungguh jahat aku kalau menahan bunga itu.
Dalam hati, aku masih berharap pengirim bunga itu bukan orang yang istimewa untuk Rainy.
" Kenapa Browny?"
Pagi-pagi aku terbangun karena Browny menggesekgesekkan tubuhnya ke pintu kamar seperti ingin keluar.
Browny mengeong melihatku. Dia mondar-mandir di depan pintu, kelihatan gelisah
" Kamu mau ke luar?" tanyaku. Baru beberapa hari Rainy memberikan Browny padaku. Kurasa dia merindukan pemilik lamanya.
Browny kembali mengeong.
" Oke& oke& Sebentar." Aku melemparkan selimut lalu pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Tepat ketika aku selesai. Seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku mengintip dari lubang pintu. Seorang cewek berdiri di depan, menunggu pintu dibuka.
" Maaf mengganggu. Apakah teman saya, di sebelah kamarmu, sudah keluar dari kamarnya?" tanyanya sopan.
" Rainy?" Aku malah bertanya balik. " Biasanya jam segini dia belum berangkat."
Matanya membulat. Lalu berbalik menjadi cemas. " Saya sudah mengetuk pintu dan memanggilmanggilnya sejak setengah jam yang lalu, tapi tidak ada sahutan."
Browny melesat keluar dan kembali mengeongngeong. Kali ini di depan kamar Rainy. Aku buru-buru mengikuti Browny. Perasaan khawatir memenuhi hatiku. Aku menggedor-gedor pintunya sekencang mungkin. Seketika, punggung tanganku memerah karenanya.
" Saya khawatir dia pingsan," cewek itu mengungkapkan kekhawatiran yang sama denganku.
" Bagaimana kalau kudobrak saja?" Aku meminta persetujuan. Aku baru ingat sekarang, aku pernah beberapa
kali melihatnya bersama Rainy. Sepertinya mereka dekat. Mungkin dia sahabat Rainy.
Dia mengangguk.
" Nggak ada jalan lain," cetusnya setuju.
Aku mengambil ancang-ancang dari pintu kamar Fey. Berlari beberapa langkah.
Braak!
Pintu pun terbuka seketika. Browny berlari masuk, masih mengeong-ngeong.
" Rainy!!!" teriak gadis yang bersamaku.
Mataku tak berkedip melihatnya. Rainy terbaring di lantai dengan mata tertutup. Kupastikan dia tidak tidur di lantai. Semalam udara sangat dingin.
Kugoyang-goyang tubuhnya. Rainy tidak merespon sama sekali.
" Bawa ke rumah sakit saja," putusku segera. Tanpa menunggu jawaban, aku membopong tubuhnya yang ringan. Baru kusadari, tangan dan kakinya menyerupai tongkat. Kurus kering. Rambutnya terlihat semakin tipis dan cekungan di sekitar matanya membuat matanya terlihat semakin dalam.
Aku menduga-duga apa yang terjadi. Apakah dia muntah-muntah lagi? Apakah dia dehidrasiSaat aku membawanya ke luar kamar sekilas kulihat bunga anggrek ungu yang semalam kukirim. Tergeletak di lantai dalam kondisi rusak. Tangkainya patah, bunganya tercabik-cabik. Jika seorang cewek merusak bunga yang dikirimkan padanya, kurasa itu bukan pertanda baik.
" Cepat," pekik cewek itu membuatku bergegas berlari menuju lift. " Pakai mobilku saja. Aku yang nyetir."
Fey melongokkan kepala dari kamarnya. Tapi aku tak mendengarnya mengucap sepatah kata pun. Hanya pandangan matanya yang terlihat bertanya-tanya.
Menit demi menit terasa sangat lambat meski mobil berjalan melaju. Cewek itu ngebut dan beberapa kali melanggar lampu merah. Di sela-sela jalanan pagi yang padat, dia merepet dan memaki mobil-mobil lain supaya minggir.
Sementara aku, duduk sambil merangkul Rainy yang kulitnya terlihat seolah tak dialiri darah. Rainy mengingatkanku pada saat-saat terakhir Ibu. Waktu itu, Ibu hanya diam, kulitnya pucat pasi sampai-sampai bibirnya pun terlihat seputih kapas.
Aku berusaha meredakan kecemasanku dengan memijat-mijat dahiku. Tapi yang kurasakan justru sebaliknya. Melihat wajahnya yang diam tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya, aku justru berharap dia memakiku. Seperti yang dulu pernah dilakukannya saat aku memergokinya muntah dan menangis. Setidaknya, dengan demikian aku tahu, tubuhnya masih sehat. Mendadak, aku sungguh takut kehilangannya. Aku belum mengatakan perasanku padanya.
Bab 11
Rainy
S aat aku membuka mata sekelilingku seperti bayangan
mengabur.
Aku berusaha mengenali ruangan di sekitarku. Dalam beberapa menit, aku baru tahu ini bukan kamarku. Kaget, aku buru-buru bangun. Namun tangan seseorang menahanku.
" Jangan banyak bergerak," larangnya.
Kepalaku seperti berputar. Aku terpaksa kembali berbaring.
" Ini?" tanyaku.
" Di rumah sakit," sahutnya. " Aku dan Ghea menemukanmu pingsan di dalam kamar."
Aku menoleh, mataku bertatapan dengan matanya. Pandang an lembut seperti Teddy Bear itu membuatku gugup. Dia lagi, dia lagi. Kenapa selalu dia yang muncul di saat-saat terburukku" Aku mau pulang," rengekku ketika melihat tanganku dialiri selang infus. " Aku tidak sakit."
" Rainy, kamu sakit." Mata Kian menusuk hatiku. Rambutnya terlihat acak-acakan seperti belum sempat disisir. Aku memalingkan wajah, menyibukkan diri dengan suasana ruangan tersebut. Padahal, aku hanya tak mau
terus-terusan melihat wajahnya. Aku takut benar-benar jatuh cinta padanya. Setelah berbagai hal yang kualami, kami banyak menghabiskan waktu berdua. Tapi tentu saja, aku masih sangat menjaga jarak. Hatiku sangat rapuh. Aku tak ingin cowok membuat hatiku kembali hancur berkeping-keping seperti dulu.
" Apa yang terjadi?" Kuputuskan untuk tidak keras kepala. Tubuhku terasa sangat lemah seolah-olah seluruh sendi dalam tubuhku menghilang seketika.
" Kamu pingsan. Kata dokter kamu dehidrasi," jelas Kian.
" Ooh," sahutku pendek.
Aku mengingat-ingat hal terakhir yang terjadi padaku. Anggrek ungu datang, telepon dari Ben, lalu kucabik-cabik anggrek itu melampiaskan kekesalan dan ketakutanku. Terakhir, aku mual dan muntah-muntah. Seharian kemarin aku memang tak makan sedikit pun.
" Rainy& ," panggil Kian. " Aku mencemaskanmu," katanya sungguh-sungguh.
Aku salah tingkah melihatnya bicara seperti itu. Kedua rahangnya mengeras menandakan kesungguhan hati. Tapi aku terlalu takut untuk membalas perhatiannya.
" Aku sungguh-sungguh mencemaskanmu," ulangnya tegas. Tangannya terulur menyentuh tanganku. Lalu tanpa kusangka-sangka dia menggenggam tanganku, menautkan jemarinya ke jemariku. Tubuhku seketika menghangat. Desiran-desiran halus kurasakan memenuhi hatiku. " Aku tadi menelepon ke rumah Rainy& " tiba-tiba
Ghea masuk ke dalam kamar. " Oh, udah siuman rupanya," ujarnya lega.
Aku buru-buru menarik tanganku. Demikian juga Kian. Wajahnya mendadak merah padam, seperti baru saja melakukan perbuatan yang sangat memalukan. Aku merasa geli melihatnya. Suasana jadi canggung. Kian berdiri tegak di samping tempat tidurku sementara aku menelangkupkan tangan di dadaku. Jantungku masih berdebar-debar sempurna karena genggamannya.
" Maaf& " Ghea memandangi kami berdua bergantiganti. Kurasa dia menebak-nebak apa yang terjadi di antara kami. Aku tak pernah menceritakan soal Kian padanya. Tapi aku yakin, dengan kedekatan kami selama bertahun-tahun dia langsung tahu perasaanku. " Tak apa, bicara saja," kataku meredakan kekakuan. " Rainy, aku terpaksa bilang pada mamamu yang terjadi," Ghea berterus terang.
Mulutku membulat tanpa sempat kutahan. " Sorry, kupikir ini sudah saatnya. Mamamu harus tahu kalau kamu sakit." Ghea buru-buru meneruskan.
Suara sepatu berketuk-ketuk di lantai terdengar. Aku yakin benar itu milik siapa. Seorang wanita dengan make up lengkap berlari menyeruak masuk ke dalam kamar. Mama.
" Rainy, kamu kenapa?" pekiknya cemas.
Ghea dan Kian langsung ke luar kamar ketika Mama datang. Mama duduk di samping tempat tidurku. Baru kali ini aku melihat Mama mencemaskanku.
" Gimana keadaanmu? Ghea bilang kamu pingsan di apartemen. Kenapa Rainy? Kenapa kamu gak makan sama sekali. Kenapa kamu bodoh banget, diet itu ada aturannya, Sayang," Mama merepet seperti biasa.
" Ma, Rainy masih pusing," keluhku.
Mama terdiam mendengar suaraku yang lemah. " Oke," kata Mama sambil menghela napas, " Lain kali bilang sama Mama kalau mau diet. Mama akan kasih tahu caranya."
Aku benar-benar tak habis pikir. Sudah sering aku dikejutkan dengan kata-kata Mama, tapi baru kali ini aku merasa Mama benar-benar tidak peduli padaku.
" Ma... sebaiknya Mama pulang saja. Aku mau istirahat," ucapku kasar. Aku sudah tidak tahan lagi. Mama harus tahu kalau dia sudah melewati batas.
Mama terkejut mendengar kata-kataku, tapi dia tidak bisa membalasnya. Aku langsung menarik selimut menutupi kepalaku.
Kudengar Mama menghela napas berat.
" Baik, Mama minta maaf. Mama akan pergi setelah melunasi tagihan." Kudengar suara sepatu Mama menjauh dari ranjangku.
" Oya, siapa cowok itu?" tanya Mama tiba-tiba. Aku memyibakkan selimut dari kepalaku lalu menatap Mama tajam.
" Teman," jawabku pendek.
Mama mengangguk-angguk, menggoyangkan kedua anting bulat di telinganya.
" Kamu nggak naksir dia, kan?" tanya Mama ingin tahu. " Kelihatannya dia gak cocok buatmu."
Maksud Mama pasti bukan tak cocok untukku. Tepatnya, Kian tak cocok untuk keluarga kami. Aku kembali menutupi kepalaku dengan selimut.
Kian
Ada baiknya juga peristiwa itu terjadi. Paling tidak, aku bisa bernapas lega karena Rainy bisa segera ditangani oleh dokter. Setelah dua hari dirawat, keadaaannya mulai membaik. Setiap hari aku menengoknya dan membawa sesuatu yang bisa mengurangi kebosanannya. Seringkali aku membawa buku. Tapi, khusus hari ini, aku memberinya bunga mawar. Aku tak pernah lupa raut wajahnya saat itu. Dia terkejut, aku mengetahui hari ulang tahunnya.
" Dari mana kamu tahu hari ulang tahunku?" tanyanya.
Aku menggaruk-garuk kepala tak tahu harus menjawab apa.
" Makasih banyak," katanya akhirnya. " Tapi kamu nggak perlu repot-repot. Kamu mau ke sini aja aku udah senang. Kurasa aku punya banyak teman yang peduli padaku, lebih dari yang kusangka."
Teman? Jadi dia hanya menganggapku temanTak urung hatiku mencelos seketika. Keberanian yang tadi sudah kudengung-dengungkan saat berangkat mendadak menguap. Aku yakin kalau Marcell tahu, dia akan kembali mencelaku habis-habisan. Kamu nggak tahu, aku sayang kamu lebih dari teman, Rainy!
" Tentu saja. Dan aku salah satu teman yang peduli padamu, selain Ghea dan yang lainnya," ujarku menutupi rasa malu.
Dasar bodoh! Aku tak henti-hentinya memaki di dalam hati. Kupikir dia akan tahu yang kurasakan setelah aku memberinya bunga dan menggenggam tangannya waktu itu. Ternyata nggak semudah itu.
" Teman yang baik." Rainy mencium-cium mawar dariku, lalu meletakkannya di meja. " Bagaimana kabar Browny?"
" Dia baik-baik saja. Dia kangen kamu," ujarku. Aku menunjukkan beberapa foto Browny yang ada di dalam kamera yang kubawa hari itu. Kalau bukan karena Browny, mungkin aku takkan tahu bahwa Rainy pingsan saat itu. Kucing pun ternyata bisa bersikap seperti anjing pada tuannya.
Rainy tertawa kecil. Wajahnya bersemu merah. Kelihatannya, dia sudah mulai pulih. Namun aku masih khawatir. Melihat gelagat mamanya yang datang hari itu aku bisa menduga bagaimana susahnya jadi Rainy.
Mama Rainy benar-benar seperti model. Tak heran jika dia menginginkan anaknya seperti dirinya. Yang kuherankan, dia tak tampak benar-benar mencemaskan
kondisi Rainy saat itu. Malah bicara soal diet yang benar dan sebagainya. Ghea sempat menceritakan sedikit tentang keluarga Rainy.
" Aku harus berterima kasih pada Browny," kata Rainy. " Ntar kubeli mainan deh buat dia."
Aku tertawa mendengarnya. Entah mengapa aku sedikit gugup. Berkali-kali aku memainkan kameraku untuk menghilangkan kegugupanku. Aku memotret mawar, wajah Rainy saat tersenyum, bahkan jemarinya yang lentik.
" Hei, cukup! Aku tak mau terlihat jelek di foto-foto itu," protes Rainy.
" Baiklah," kataku. Bagiku Rainy tak pernah terlihat jelek. " Browny pasti senang kalau tahu kamu udah sehat," sahutku. Dengan wajah kemerahan begitu, Rainy tampak lebih segar. Bentuk wajahnya yang lonjong membuatnya semakin cantik. Bulu matanya juga terlihat lentik menaungi mata almond-nya.
" Oya? Kurasa, dialah yang paling merindukanku." Hening sejenak di antara kami. Sebenarnya, aku yang paling merindukanmu, Rainy, batinku.
" Cepat sembuh ya."
Dia mengangguk, memandangku sekilas dengan kedua mata berbintik cahaya kecil.
Bab 12
Rainy
S etelah aku pulang dari rumah sakit, Kian beberapa kali
mengajakku ke toko bunganya. Anehnya, aku selalu menurutinya. Tidak seperti saat aku baru pindah.
Kini, aku merasa lebih aman bersamanya. Kami berteman baik, meski aku masih sangat berhati-hati padanya. Aku merasa seperti kucing menemukan pelukan yang hangat, begitulah perasaanku saat berada di dekatnya. Nyaman.
Dan kemarin dia mengajakku ke kebun bunganya. Kebun itu terletak di pinggir kota dan tidak begitu besar, tapi sangat indah. Bunga-bunga di kebun itu sangat beragam dan semuanya sangat cantik.
" Kenapa kau baru mengajakku ke sini?" tanyaku waktu itu. Kian selalu membawaku ke toko bunganya dan tidak pernah cerita kalau dia punya kebun bunga.
" Karena tempat ini sangat istimewa bagiku, jadi aku hanya membawa orang-orang yang istimewa saja," jawabnya santai. Aku tersipu tapi tak ingin berharap lebih.
" Jadi aku ini istimewa buatmu?"
" Kamu teman yang istimewa, Rainy," jawabnya sambil memandangku lembut.
Ada desiran aneh mendengar kata " teman istimewa" dari mulut Kian. Sepertinya jauh di lubuk hati, aku ingin menjadi lebih dari sekadar teman bagi Kian.
Tapi... aku belum berani. Aku masih belum bisa membuka hatiku. Aku masih terluka parah.
Di kebun itu ternyata ada ayunan. Ayunan itu terikat di pohon besar di belakang kebun. Dudukannya dari ban mobil besar. Aku menduga ayunan itu sudah ada sejak Kian kecil. Daun berbunga kecil yang merambat dari pohon itu mulai menutupi hampir seluruh bagian tali, menandakan usianya.
" Ayah membuat ayunan ini saat aku baru masuk sekolah. Katanya ini hadiah karena aku gak rewel waktu di sekolah tanpa Ibu." Kian mengaku.
Saat aku mencoba naik Kian memeggangi talinya lalu mengayun pelan-pelan.
" Kau bisa sendiri?" tanyanya sambil menatapku cemas.
" Kian... aku bukan anak kecil," jawabku sambil tersenyum. Nampak sekali kalau dia takut aku terjatuh atau mengayun tinggi-tinggi.
Kian duduk di kursi yang ada di dekat ayunan itu sambil memainkan kameranya, menjepret apa saja yang dirasanya menarik.
" Kamu kayak anak kecil yang ketemu mainan," katanya sambil tertawa saat melihatku menjejakkan kaki ke tanah, berkali-kali berusaha mengayun lebih tinggi. " Hal paling menyenangkan yang kuingat dari masa
kecilku hanya main ayunan di halaman sekolahku dulu," kenangku. " Aku selalu merengek pada Mama untuk berangkat lebih pagi supaya aku bisa puas bermain ayunan. Soalnya, lebih siang sedikit te man-temanku berdatangan, dan aku nggak leluasa lagi main ayunan."
Kian tertawa sampai matanya menyipit. Wajahnya yang kecokelatan tertimpa sinar matahari tampak menyenangkan sekali. Aku menyukai lesung pipitnya yang terlihat jelas saat itu. Sesekali, dia menyisir rambutnya yang berantakan itu dengan jemarinya.
" Ayunan ini mainanku yang paling berharga," ujar Kian menyorotkan lensanya padaku. Entah mengapa belakangan ini aku sering menemukannya asyik dengan kamera itu.
Aku memalingkan wajah, tak suka jadi pusat perhatian. Sengaja, aku mengayun ayunan itu lebih kencang supaya kamera tak menangkap wajahku. Angin terasa menyapu wajahku.
" Aku punya banyak mainan di rumah. Tapi tak ada yang mene maniku bermain. Jadi buat apa? Katanya, Mama dan Papa bekerja untukku, tapi mereka tak pernah ada saat kubutuhkan."
Kian mengecek foto-foto hasil jepretannya. Kuperhatikan belakangan dia punya hobi baru, memotret. Dia membawa-bawa kameranya ke mana saja. Tidak hanya untuk memotret bunga-bunga kesayangannya.
" Selama mereka masih memberikan perhatian kurasa mereka masih ingat kamu," hibur Kian.
Aku melempar pandangan pada bunga anggrek ungu yang menarik perhatianku. Melihatnya mengingatkan pada anggrek ungu yang kuterima. Mungkinkan anggrek itu dari Kian? Kalau benar dari dia, aku menyesal telah mencabik-cabiknya. Tapi kalau benar dari dia mengapa tak memberikannya sendiri? Aku lebih yakin bunga itu dari Ben, karena datangnya hampir ber de katan dengan saat dia meneleponku.
" Mama selalu mengingatkanku tentang berbagai hal," jelasku sambil berdiri. " Tapi bukan karena sayang. Itu karena Mama selalu bermimpi ingin menjadikanku model. Sayangnya, aku tak bisa memenuhi impiannya."
Rainys Days Karya Fita Chakra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ban yang sudah tua dan berdebu itu membuat celanaku kotor. Kutepukkan tanganku pada celana, mengusir debu yang menempel. Akhirnya aku lelah berusaha membuat ayunan itu mengayun lebih tinggi.
Kian berdiri lalu berjalan menghampiriku. " Duduklah. Aku ayun lebih tinggi," katanya menarik tali ayunan itu. Aku menurut. Dia mendorong ban itu kuat-kuat. Aku seperti terlempar ke udara. Kupejamkan mata menik mati perasaan berdebar sekaligus senang saat ayunan itu mengombang-ambingkan tubuhku naik turun. Wajahku tertiup angin dari berbagai arah.
" Hidup itu seperti duduk di ayunan," kudengar suara Kian sayup-sayup. " Kadang kamu di atas, kadang kamu di bawah. Tergantung ke mana nasib membawamu. Susah dan senang nikmati saja. Toh akan berlalu. Kalau kamu merasa sedih, katakan saja. Itu akan membuatmu lega."
Ayunan melambat tepat saat Kian berhenti bicara. Aku merasakan dia memegang tali ayunan untuk menghentikan lajunya. Saat aku membuka mata, kutemukan dia berdiri di depanku, memandangku dalam-dalam hingga aku melihat betapa gelapnya bola matanya.
" Berjanjilah kamu akan mengatakan hal yang membuatmu sedih. Aku ingin melihatmu tersenyum," katanya seakan menuntutku.
Tanpa kusadari, aku mengangguk.
Hatiku seringan kapas. Kian begitu lembut dan meneduhkan. Aku hanya berharap, mudah-mudahan Kian sebaik yang kukira. Aku masih saja takut salah menyangka. Wajah Ben, masih saja sering muncul ke mimpiku. Dia seperti mimpi buruk dalam hidupku.
Kian
" Kayaknya makin mesra aja nih ama Rainy," Marcell lagilagi nongol di toko bungaku Minggu pagi ini.
" Dia lagi sakit Cell," jawabku sambil mencari-cari Pak Seto.
" Pak Seto tadi baru aja pergi. Katanya mau ke kebun," seru Marcell.
" Jadi Pak Seto ninggalin toko tanpa ada yang jaga?" Wah nggak biasanya Pak Seto melakukannya. Tidak pernah malah.
" Kan ada aku...," Marcell nyegir.
Pasti ada sesuatu. " Kamu suruh ngapain Pak Seto?" tanyaku curiga.
" Emmm... oke. Malam ini aku mau nembak Fey lagi. Dan aku perlu bunga yang istimewa Ian. Kata Pak Seto di kebun ada bunga baru dan harusnya udah mekar hari ini. Jadi aku minta Pak Seto melihatnya dan kalau udah mekar, aku beli. Lagian Pak Seto berani ninggalin toko karena aku melihatmu lagi beli roti di toko sebelah," jelas Marcell panjang lebar, berharap aku tak menyalahkan Pak Seto. " Emang yakin Fey bakal nerima kali ini?" " Dia kayaknya udah putus harapan denganmu." " Hah? Kenapa? Pantas dia gak pernah menggangguku lagi." Sejak kejadian Rainy itu, Fey seperti menghilang dari hidupku. Kalau kami bertemu di koridor, dia hanya menyapakau sekilas dan langsung pergi.
" Kenapa? Kau merasa kehilangan?" tanya Marcell dengan nada ngambek.
" Bukan begitu. Fey anaknya baik walaupun dia bawel. Aku hanya tak mau kehilangan teman." Ini benar. Aku tak ingin Fey menjauhiku atau memusuhiku.
" Katanya kamu sudah menentukan hati." " Menentukan hati?" tanyaku bingung.
" Kata Fey... hatimu sudah kau tetapkan untuk satu orang."
Ada bisikan dalam hatiku, Rainy... hatiku sudah kutetapkan untuk Rainy. Aku hanya tersenyum sambil menarik napas.
" Kenapa Fey bisa bilang kayak gitu?"
" Karena kalau bersama Rainy kamu tampak bahagia. Kau menatapnya seolah Rainy itu bidadari yang turun dari langit. Waktu melihatmu membopong Rainy yang pingsan, Fey bisa lihat kalau kau sangat khawatir. Seakan tak mau kehilangan dirinya."
Tumben Fey bisa bijak seperti itu. Dan tumben pula Marcell tidak mengodaku tentang hal itu.
" Aku emang sayang sama Rainy. Tapi...," seruku " Tapi... butuh waktu yang tepat buat ngungkapinnya? Sampai kapan Ian?" sahut Marcell.
Sampai kapan? Aku juga tidak tahu. Mungkin sampai aku yakin, dia tidak menganggapku sebatas teman. Sampai dia bisa lebih terbuka padaku. Sampai aku tahu, siapa cowok yang mengirimkan bunga padanya. Ya, aku perlu tahu semuanya sebelum aku bilang cinta padanya. Aku tak mau mengatakannya sekarang karena aku tidak siap kecewa.
Aku memberi isyarat supaya Marcell diam. Aku tak suka dicereweti seperti itu. Kalau soal cewek, Marcell lebih cerewet dari siapa pun.
" Terus kenapa mau nembak Fey lagi? Kali ini dah yakin?"
" Yah... ini karena dia udah nyerah denganmu. Jadi, kenapa tidak. Ada banyak alasan kenapa orang-orang jadian. Sama-sama suka atau pelarian," serunya mantap.
" Kau mau dijadikan pelarian Fey?" tanyaku heran. Ini sangat tidak Marcell.
" Kenapa enggak, dengan begitu aku bisa nyembuhin luka Fey karena dirimu!!" semburnya sambil tertawa.
Aku hanya geleng-geleng kepala saja mendengarnya. Kali ini Marcell memang benar-benar serius dengan Fey.
" Kau bakal tahu kalau kamu jatuh cinta pada seseorang, jika kamu takut kehilangannya." Marcell berkata serius.
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Animorphs 1 Serbuan Makhluk Asing Hamukti Palapa Karya Langit Kresna
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama