Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan Bagian 2
Wulan sudah turun dari kawah, mereka terlihat sangat kelelahan. Tentu saja
mereka seperti itu karena kami bergadang dan belum makan nasi pula, kalau
saya pasti tidak kuat deh. Setelah mereka makan bakso kami pun pulang de?
ngan berbekal jawaban dari abang tukang bakso, kami pulang lewat arah Tumpang yang melewati daerah sabana dan bukit teletubies, karena bukit-bukit di
sana memang seperti yang ada di film anak-anak dengan tagline "berpelukan"
itu. Hehehehe Kami naik motor bersentuhan dengan kabut-kabut yang mulai
Rumah adalah di Mana Pun
banyak, naik motor bebek biasa di lautan pasir dan kabut itu cukup menyulitkan tetapi terbayar dengan pemandangan yang dimanjakan Bromo. Hamparan
pasir, gumpalan awan putih yang beriringan cantik kemudian pemandangan
bukit-bukit hijau seperti perosotan raksasa.
Kami sempat berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan sekitar, kami
seperti ada di taman impian, saya tidak dapat menyembunyikan kekaguman
pada bukit-bukit hijau yang dihiasi bunga-bunga kecil itu, sungguh sangat
menawan, setelah berfoto-foto kami melanjutkan perjalanan pulang. Setelah
melewati jalan berpasir, kami bertemu jalan berbatu. Jalan ini tidak lebih
baik dari pasir, jalannya rusak dan kami berjalan di tengah kabut. Perasaan
mencekam pun kembali menyerang kami, yang tadinya sudah tertawa riang
menjadi diam lagi. Pukul 12.00 kami berhenti sejenak karena takut keadaan
kabut yang sudah tidak bersahabat, udara yang semakin dingin. Oh yah saking
dinginnya, bulu-bulu jari dan bulu mata sampai membeku. Hahaha
Kami menunggu kabut menipis dengan duduk-duduk di saung pinggir jalan,
pemandangan di kala kabut tebal pun tidak kalah cantiknya. Posisi kami yang
masih di atas membuat kami dapat melihat pemandangan indah yang samarsamar, pohon-pohon hijau menjulang seolah ingin menepis kabut-kabut tebal
itu. Setelah kami berfoto-foto di tengah kabut, kami melanjutkan perjalanan
karena menurut orang yang sedang istirahat di sana juga, jarak pandang ke
bawah masih bagus.
Kami berjalan pelan dan terus menjaga jarak, tidak lupa membunyikan klakson
sesekali untuk memberi tanda; kami yang dibonceng harus sering mengecek ke
belakang, apakah teman yang di belakang masih mengikuti atau tidak.
Sepanjang jalan berkabut kami diam seperti malam sebelumnya. Saya hanya
bisa bertasbih, karena samping kanan dan kiri kami juga jurang yang berkabut.
Saya melirik ke arah jurang itu, ada pohon tinggi menyeruak di antara kabut,
membentuk bayangan seolah pohon itu sedang bercermin. Berarti kabutnya
tebal sekali, dalam hati saya berpikir demikian, membikin jantung ini ingin
melompat karenanya. Allah Maha Besar dapat membolak-balikan keadaan
dalam sekejap. Beberapa jam sebelumnya saya dibuat terkagum-kagun dengan
sebagian kecil lukisanNya, kini saya dibuat takut dengan keajaiban lainnya. Hati
Rumah adalah di Mana Pun
ini juga dengan mudahnya dibuat senang dan sedih: beberapa tahun lalu merasakan bahagia yang tidak terkira sampai lupa diri, kemudian dalam sekejap
kebahagian itu seperti terbanting dari ketinggian, dihujam beban kekecewaan
yang dalam, luka yang perih.
Lambat laun, jalan mulai membaik, kabut mulai hilang, berganti sapaan rintik
hujan.Untungnya kami sudah menemukan perkampungan. Di kiri dan kanan
jalan perkampungan tersebut, terhampar perkebunan apel yang luas. Apel-apel
itu bergantung manis seperti hiasan lampu di pohon natal. Selain itu, di tiap
rumah penduduk pasti punya pohon apel; pohonnya satu sampai tiga tetapi
buahnya itu loh sampai menutupi pohonnnya. Perkebunan apel ini menjadi
daya tarik sendiri, bagi orang kota yang biasa hanya melihat apel di pasar atau
supermarket.
Setelah mata ini dimanjakan dengan hijaunya pohon-pohon apel, akhirnya
kami memasuki wilayah Tumpang, dan mampir ke warung untuk makan siang.
Setelah itu, kami segera melanjutkan perjalanan karena sudah "dihajar" oleh
rasa capek yang luar biasa. Alhamdulillah kami kembali ke Malang dengan selamat padahal medan perjalanan berat ke Bromo.
Di sepanjang malam itu, saya merasakan cinta yang amat dalam pada Bromo.
Saya harus ke sana lagi, kelak. Tanpa terasa, saya meraba-raba hati saya, dan
menemukan luka di sana yang sepertinya mulai pulih.
Pengalaman menarik di Bromo semalam, disempurnakan dengan keceriaan di
esok harinya. Saya membuka jendela, dan berucap syukur atas jiwa yang baru.
Benar kata Pak Cik itu, ini semua telah dirancang oleh Tuhan. Saya menatap
langit, terdiam agak lama, dan berseru: selamat pagi, duniaa! Ini aku, siap
menempuh hari-hariku!
Pagi itu, saya ke Alun-alun Batu bersama Kak Silvi, suami dan adiknya. Kami
bergembira bersama di Alun-alun Batu yang ternyata keren. Terdapat beberapa
permainan seperti bianglala, air pancur dan permainan anak lainnya. Di sana,
juga terdapat banyak patung yang berbentuk buah-buahan dan hewan dengan
ukuran yang besar sekali. Lucu! Saat saya sedang larut dalam kegembiraan,
Rumah adalah di Mana Pun
telepon genggam saya bergetar. Saya hafal benar nomor tersebut ? yang sudah saya hapus beberapa bulan lalu. Dari dia. Saya hanya diam, tidak ditolak
atau diterima. Nomor itu menelepon sampai tiga kali, semuanya tidak saya
respons. Ada rasa aneh saat nomor itu muncul di hadapan saya, bukan rasa
kangen atau rasa ingin mengobrol dengannya seperti dulu, tapi rasa lepas. Ya,
saya sudah tidak terlalu peduli lagi. Buat apa terus mengharapkan orang yang
tidak pernah mengharapkan saya lagi, buat apa menangis untuk seseorang
seperti itu.
Perjalanan saya kali ini memberikan pelajaran berharga. Kehidupan seperti
jalan menuju Bromo, berliku, banyak hambatan tetapi di ujung sana ada keindahan yang menunggu, semoga juga sudah ada kebahagian yang menunggu
saya setelah awan gelap ini pergi. Bromo telah menghapuskan luka itu, mungkin belum sempurna tetapi Bromo membuat saya berpindah. Dan luka itu telah
saya larung di Bromo bersama lautan pasir yang luas.***
Silvani Habibah nama lengkapnya. Veni panggilannya. Jika ada yang tanya hobinya, dia pasti menjawab jalan-jalan dan membaca. Jika hari libur tiba, maka
orang-orang pun bertanya, jalan-jalan kemana? Maka, mereka bisa ikuti coretan
kisahnya di silvanihabibah.wordpress.com. Foto-foto hasil jalan-jalannya ada di
FB: Silvani Habibah dan twitter @silvanii untuk laporan langsungnya :)
Rumah adalah di Mana Pun
Selalu Ada Cerita Manis di Blue Fire
Sari Musdar
told you! Harusnya sebelum traveling, riset dulu dan buat perencanaan.
Ngga seperti ini! Saya belum pernah traveling sekacau ini!" aku membentak
laki-laki berambut brindil yang berdiri di depanku. Dua remaja yang duduk di
samping kiriku tampak melihat takjub. Hampir setengah jam lalu, dua sopir ojek
yang kami naiki dari Ketapang menurunkan kami di tempat yang menurut me?
reka halte tempat menunggu angkot ke kawasan Ijen. Tempat kecil ini terletak
tak jauh dari pertigaan jalan dan lebih mirip pangkalan ojek. Hanya ada 4 motor
terparkir di bawah atap seng. Seorang gadis berkerudung hitam mengenakan
jaket warna senada duduk di batu bersama remaja pria. Kelihatannya mereka
bukan backpacker yang akan bertraveling ke Ijen. Di depan mereka, tampak 2
bungkus dus besar seperti orang Jawa pulang kampung.
Tempat ini begitu sunyi, padahal hari belum menjauhi siang. Sedari tadi aku
hanya melihat dua motor lewat di hadapanku. Beberapa angkot warna kuning?
cerah lewat tapi ke arah lurus dari pertigaan. Aku mulai gelisah. Sepasang
remaja di sampingku tampak senang menonton kami berdebat.
"Mbaknya mau ke mana?" si gadis berbicara dengan aksen seperti logat Madu?
"Mau ke Ijen. Kata tukang ojek tadi kita bisa naik angkot dari sini."
"Oh, kalau jam segini sudah ngga ada, Mbak, jarang sekali."
Aku melongo sambil melirik kesal ke Stephane dan menjelaskan padanya info
yang baru aku dapatkan.
"Lebih baik Mbak nyewa mobil atau motor pekerja tambang belerang yang mau
berangkat kerja. Kalau di sini terus kasihan kedinginan"
Inilah yang aku kurang suka jika backpacking ke daerah-daerah di Indonesia. Transportasi dan akomodasi yang kurang memadai, membuat kita harus
benar-benar membuat perencanaan yang sangat matang. Tidak demikian halnya dengan Stephane, laki-laki asal Metz, Perancis, yang aku jumpai di Paris,
April tahun ini. Dia adalah tipikal backpacker yang senang pergi mengikuti kata
hati. Selama perjalananku dari Jakarta, Bromo, Baluran, dan sekarang menuju
Ijen, rasanya energiku sudah habis menjelaskan keadaan Indonesia yang tidak
bisa seenaknya pergi "go show," apalagi beberapa hari lagi Lebaran.
Tak mudah mendapatkan tumpangan di desa dekat Ijen sini. Baru saja lewat
mobil bak terbuka yang membawa pekerja tambang. Mereka minta harga 200
ribu rupiah demi melihat turis bule. Aku bersikeras tidak mau menerima harga
tersebut.
"Dasar mata duitan!" gerutuku kembali ke halte.
"Kenapa, Sari?" Stephane yang sedari tadi asyik mengajarkan bahasa Inggris ke
Firman, remaja pria di depannya mendapati mukaku yang kesal.
"Aku pikir orang desa lebih simpatik. Bukannya nolong, malah senang mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain! Susah memang kalau pergi sama
bule!"
Stephane menyodorkan aku coklat, "Nih, biar ngga kesal." Berlawanan de?
nganku yang tampak mudah panik karena terbiasa dengan perencanaan yang
detail, Stephane tampak santai. Menurutnya, setiap detik dalam hidup ini harus
dinikmati apa pun itu. Hidup justru lebih menarik dengan kejutan-kejutan yang
dibawanya ke hadapan kita. Kejutan? You know what, I hate surprise!
"Mbak Sari duduk aja, saya akan coba menghentikan motor pekerja tambang,
ya. Mungkin kalau saya yang ngomong mereka akan kasih harga wajar," Firman, adik Siti, gadis yang duduk di sampingku menawarkan bantuan. Dia tam
Rumah adalah di Mana Pun
pak senang bertemu Stephane yang dari tadi mengajarkannya bahasa Inggris.
"Di pondok, saya diajarkan bahasa Inggris dan Arab, Mbak, tapi saya belum berani ngomong sama orang asing takut mereka ngga ngerti bahasa Inggris saya
yang medhok," katanya berkelakar saat mengenalkan diri tadi.
Setelah menunggu lebih dari setengah jam, Firman berhasil menghentikan 4
pengendara motor. Tapi harga yang ditawarkan menurutku masih berlebihan.
"Mbak, yang ini mau ngga? Dia minta dibayar 50 ribu per motor?" tanya Firman
setengah berbisik. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengacungkan jempol. Jadilah aku dan Stephane ke Ijen dengan ojek motor.
Ini benar-benar perjalanan di luar dugaanku. Sangat berbeda dengan peng?
alamanku sebelumnya. Naik ojek dari desa Licin ke Ijen yang lumayan jauh,
ditempuh lebih dari setengah jam perjalanan dengan jalan yang mendaki dan
berkelok-kelok di tengah gerimis. Untunglah sepanjang perjalanan mataku
dibuai pemandangan yang sangat indah, dari pematang sawah teras miring,
kebun coklat lalu menanjak ke vegetasi yang hanya dijumpai di dataran tinggi
seperti pohon pinus. Sepanjang perjalanan, aku banyak berdoa supaya motor pekerja tambang yang ala kadarnya ini bisa menaiki jalan tanjakan dengan
mulus.
"Sudah sampai, Mbak."
"Oh.." aku masih terdiam di jok belakang, "Dingin banget ya Pak Kasman? Sama
seperti Tembagapura tempat saya kerja dulu."
"Iya, Mbak. Itu Taman Nasional Ijen. Mbak sudah punya penginapan belum?"
Nah ini dia pertanyaan yang aku tunggu, seruku dalam hati. "Belum, Pak. Di
sekitar sini, ada ngga, ya?" kataku sambil menyerahkan uang selembar lima
puluh ribu.
"Wah, penginapan adanya tadi di bawah. Kalau di sini, agak jauh, Mbak. Mbak
ke sini mau lihat blue fire, ya?"
Aku mengangguk.
Rumah adalah di Mana Pun
"Kalau mau lihat blue fire harus berangkat dari sini jam 2 pagi, Mbak. Bareng
aja sama saya dan teman-teman. Gini aja, ini kalau Mbak mau ya, gimana kalau
tinggal di rumah teman saya, Pak Waskito. Rumahnya sih sederhana, Mbak.
Yah, ala kadarnya. Tapi, daripada bolak balik ke bawah lagi cari hotel? Iya, kalau
ada kamar kosong, kalau tidak ada? Kalau ada pun, lumayan mahal sewa mobilnya."
"Sebentar ya, Pak, saya jelaskan dulu ke teman saya. Pak Kasman jangan ke
mana-mana dulu ya." Aku menjauh dari kerumunan pekerja tambang dan asap
rokok kretek mereka. Dalam hati aku bersungut-sungut, ini 'kan bulan Ramadhan, apa mereka tidak puasa? Aku mencari Stephane yang tampak tenang
menikmati hawa dingin Ijen. Ingin rasanya aku marah-marah, membentak,
memelototin, mencekik lehernya, arggh, tapi sayang aku sedang puasa. Lagi
pula tidak mungkin marah-marah di depan para pekerja tambang. Jujur saja,
aku agak bete, sebab aku tipikal orang yang sulit menumpang tidur di rumah
orang, apalagi kalau tempatnya tidak nyaman dan tidak bersih. Sekarang karena petualangan ala Stephane ini, terpaksa aku harus menginap di rumah warga
setempat.
Aku menjelaskan Stephane pilihan untuk tinggal di rumah Pak Waskito. Dia
tidak keberatan karena menurutnya itu pilihan terbaik dibandingkan harus
kembali turun mencari penginapan. Pak Kasman dan rekan kerjanya memandu
kami dengan berjalan kaki ke tempat yang dikatakannya tempat penjualan batu
belerang. Tempat ini tidak jauh dari Taman Nasional Ijen - hanya sekitar dua
ratus meter. Stephane berjalan di depan bersama Pak Kasman; aku di urutan
terakhir, menapaki jalan sambil mengingat-ingat awal perjalanan ini.
Perjalanan ini bukan perjalanan yang pernah aku bayangkan. Terlalu banyak
kejutan. Beberapa orang di Indonesia mungkin mengenal aku sebagai traveler
mandiri dan penulis travel, tapi perjalanan yang aku lakukan sangat terencana
? tidak seperti kali ini. Karena lebih sering traveling ke luar negeri, demi menghemat biaya, aku merancangnya dengan sangat matang. Mulai dari membuat
itinerary, mencari tanggal traveling, memesan hostel, transportasi antarkota
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan akomodasi, aku lakukan jauh-jauh hari. Aku tidak merencanakan pergi ke
Bromo, Taman Nasional Baluran, apalagi Ijen. Aku sudah pernah ke Bromo 7
Rumah adalah di Mana Pun
tahun lalu, dan dalam hidupku aku malas untuk pergi ke destinasi wisata yang
sama berulang kali.
Semula, aku hanya membantu Stephane memesankan tiket kereta api menuju
Malang. Bukan pekerjaan yang mudah memesan tiket kereta atau pun pesawat
satu hari sebelum keberangkatan di hari-hari mendekati Lebaran. Tiba-tiba
demi mendengar kata "kawah Ijen," imanku mulai tergoda. Aku belum pernah
pergi ke sana. Orang bilang kita bisa melihat api warna biru dari kawah Ijen
sebelum subuh. Waktunya memang tidak tepat. Berkelana di bulan Ramadhan, mendaki di tengah hawa dingin, bukanlah pilihan bijak. Walaupun ada
kemudah?an dalam Islam bagi para musafir, aku tidak ingin ibadah puasaku terganggu hanya karena traveling. Ibuku sempat melarang karena jalanan menuju
timur Jawa pastilah penuh dengan orang-orang yang mudik.
Aku dan Stephane memulai perjalanan dari Stasiun Pasar Senen. Untunglah
kami masih mendapatkan tiket kereta Matarmaja seharga Rp130.000 sekali
jalan. Cukup murah dibandingkan harga tiket lain yang sudah merangkak
mendekati harga Rp500.000. Stasiun Pasar Senen di bulan Ramadhan dipenuhi orang-orang yang akan pulang kampung dengan tas-tas besar dan
kardus-kardus yang mungkin berisi oleh-oleh. Aku kagum pada mereka yang
mau berdesak-desakkan dengan tas-tas besar mereka yang merepotkan. Kursi-kursi yang tidak seberapa sudah dikuasai beberapa orang yang datang lebih
dulu. Sebagian besar akhirnya pasrah duduk di lantai beralaskan koran. Aku
masih berusaha menguatkan diri berdiri di peron ini. Masih ada 15 menit lagi.
"Yah di sini ngga ada restoran siap saji, ya!" keluhku setengah berbisik.
"Apa?"
"Ngga ada restoran. Aku ngga siap beli makanan untuk buka nanti."
"Sini aku beliin, kamu duduk aja di atas bodypack saya."
"Ngga usah, Steph. Cuma ada waktu 15 menit, mana sempat kamu balik ke sini
dengan nasi. Kalau jam buka puasa, restoran pasti penuh! Percaya deh sama
saya!" kataku nyinyir
"Trust me!"
Rumah adalah di Mana Pun
"Awas kalau kamu telat, saya tinggal!" ancamku. Dari awal perjalanan, aku sudah marah-marah, dan menimbun dia dengan aneka nasihat.
Lima belas menit sudah berlalu, tapi laki-laki yang berkelana dari Metz, Polandia, Rusia, Mongolia, China, Thailand, dan Sumatra lewat jalur darat ini belum
kelihatan rambut brindil kuningnya. Aku sudah bersemangat akan mengatakan,
"Told you, planning is super-important when you are traveling independently!"
begitu dia muncul. Saat menoleh ke arah kiri, dia muncul dengan terengahengah dan ada tas plastik hitam di tangannya.
"Nasi, ayam goreng, sayur nangka, sambal hijau, dan teh manis hangat. Kamu
bisa buka puasa nanti," dia tersenyum. OK kali ini aku tidak bisa mengatakan:
"Told you!"
Orang-orang langsung berhamburan dan berebut masuk ke Kereta AC Ekonomi Matarmaja begitu moncong kereta itu berhenti di peron 3. Aku kadang
tidak mengerti mengapa kebanyakan orang Indonesia demikian tidak sabarnya
sampai kadang-kadang harus sikut-sikutan demi bisa duduk manis lebih dulu
di kereta. Toh sesama penumpang satu kereta kita berangkat di jam yang sama
bukan? Stephane menggamit lenganku, "Kita masuknya nanti saja setelah me?
reka."
Kereta Matarmaja ini ternyata jauh berbeda dibandingkan kereta Argo. Tujuh
tahun lalu aku pernah ke Bromo lewat Surabaya naik kereta Argo Lawu yang
jauh lebih nyaman dibandingkan kereta yang aku naiki saat ini. Bangku kereta
ini mirip kereta Senja Ekonomi zaman dahulu: hijau dan datar. Tak terbayangkan kondisi pantat dan punggungku selama belasan jam ke depan. Untunglah
masih ada AC. Satu bangku hijau datar ini diduduki 3 orang. Aku dan Stephane
berhadapan di dekat jendela, di sampingku ada 2 bapak-bapak Jawa, di sam?
ping Stephane suami istri yang sudah lanjut usia. Stephane ternyata menarik
perhatian orang-orang di sekitarku untuk memulai pembicaraan. Si Ibu yang
duduk di hadapanku dengan ramahnya menawarkan penganannya saat azan
Magrib tiba. Aku lebih memilih menikmati nasi ayam bungkusku. Ini makanan
ternikmat yang pernah aku rasakan.
"Enak?" tanya Stephane.
Rumah adalah di Mana Pun
"Iya, terima kasih, ya."
Dia tampak tersenyum senang.
"Itu, Mbak Sari, rumah pengumpul belerang," suara Pak Kasman membuyarkan
lamunanku. Tempat pengumpulan belerang ini hanya berupa tanah dengan
satu rumah besar yang sangat sederhana, yang aku pikir adalah kantor perwakilan dari Perusahaan Tambang Belerang yang membeli bongkahan batubatu belerang dari para penambang tradisional. Di sekitar rumah tadi, ada
beberapa gubuk dari kayu yang dijadikan warung makan untuk para pekerja
tambang tradisional ini. Ada dua orang lelaki tua yang sibuk mengatur pikulanpikulan berisi bongkahan belerang berwarna kuning terang di dekat timbangan
besar.
"Pak Waskito, iki ono tamu dari Jakarta" Yang dipanggil tampak tetap asyik
mengatur pikulan-pikulan.
"Ora kerungu," seloroh teman Pak Kasman.
"Pak?e ini lho ada tamu dari Jakarta," kali ini Pak Kasman menepuk pundak Pak
Waskito.
Laki-laki yang dipanggil Pak Waskito tampak tersenyum. "Wah ono Londo!"
Aku merasa tidak terlihat di sini.
"Stephane, senang bertemu Anda!" Stephane mencoba mempraktikkan Bahasa
Indonesianya dengan suara sengau.
"Dari Perancis? Ca va bien? Bien venue a Ijen!" kata Pak Waskito ramah
Aku jauh lebih kaget dari Stephane saat mendengar kata-kata dalam Bahasa
Perancis yang diucapkan dengan pengucapan yang baik dari seorang pekerja
tambang. Sebentar kemudian kami bercakap-cakap. Pak Waskito ternyata
dulu pernah bekerja sebagai sopir becak dan pemandu wisata dadakan keliling
Yogya. Di Yogya sana, dia sempat diajari bahasa Inggris dan Perancis. Dengan
bangga, dia bercerita pernah membawa turis-turis Perancis ke Kawah Ijen. Dia
Rumah adalah di Mana Pun
bahkan mengaku pernah menjadi pemandu pengelana terkenal Nicolas Hulot
yang mengulas asal muasal kawah Ijen di tayangan 'Ushuwaia Adventure?.
"Itu Nicolas naik helikopter, Mbak, meliput kawah," katanya bangga
Aku kagum melihat semangatnya mencari sesuap nasi. Tidak mudah untuk
orang setua dia berjalan sejauh 6 kilometer pulang pergi dengan jalanan yang
mendaki dan curam menurun mendekati kawah, apalagi dengan bau belerang
yang sangat tajam di kegelapan. Setiap pikulan berisi bongkahan batu belerang
seberat 80 kilogram. Sesekali dia tampak terbatuk-batuk.
"Ada Jamsostek, Pak?" tanyaku menyelidik khas HRD.
"Baru ada beberapa tahun lalu, Mbak," jawab Pak Waskito diawali batuk-batuk.
Naluri laki-laki Stephane memikatnya untuk mencoba memikul pikulan keranjang batu belerang.
"Boleh saya coba, Pak?"
Pak Waskito tampak ragu-ragu, "Bule jarang yang bisa, Mas." Tapi kemudian,
dia menunjuk satu pikulan, "Itu coba yang 70 kilo."
Seolah mengumpulkan segala kekuatan, Stephane menggulung kaos lengan
panjangnya. Dia hanya mampu mengangkat selama 5 detik untuk kepentingan
dokumentasi. Aku memberikan dua jempol ke arah Pak Waskito, dan temanteman, "Bapak-bapak hebat!"
"Ya sudah, Mbak, ini sudah mau gelap, kita jalan ke rumah saya."
Dinginnya malam di Ijen mengingatkan aku akan Tembagapura. Padahal Paltuding hanya terletak di ketinggian 1600 mdpl, 1000 meter lebih rendah dari
Tembagapura tempat aku bekerja di Papua dulu. Bromo pun tidak sedingin
ini. Aku, Stephane, Pak Waskito, Pak Kasman dan beberapa temannya duduk
mengitari kompor kayu sambil minum kopi dan merokok. Tidak ada pilihan lain
karena di luar sana sangat dingin dan gelap. Listrik hanya menyala pagi hari
hingga jam 6 sore. Pembicaraan berlangsung santai. Masing-masing bertukar
cerita tentang anak mereka. Sesekali mereka bertanya tentang Perancis ke Ste
Rumah adalah di Mana Pun
phane. Jam delapan malam kami semua pergi tidur. Besok harus bangun jam 2
pagi untuk melihat Blue Fire.
Semalaman aku tidak bisa tidur. Dinginnya udara malam menusuk hingga ke
tulang. Di Tembagapura, meskipun dingin, tersedia penghangat di setiap kamar, seperti di negara-negara empat musim. Tidak mungkin aku mengharapkan hal yang sama di rumah Pak Waskito. Stephane kelihatan cukup pulas tidur
di dalam selimut tidurnya. Itulah modal dia sewaktu mendaki gunung Kerinci
yang katanya lebih dingin dari Ijen. Mata ini rasanya belum cukup terpejam
saat Pak Waskito sudah membangunkan kami. Aku mengecek bawaanku, 2
bungkus roti, keju, coklat, satu botol air mineral dan termos kecil yang kuisi teh
hangat manis semalam. Ranselku sudah kuisi bekal untuk sahur nanti di pinggiran kawah Ijen, dan tentu saja kameraku. Sementara Stephane hanya membawa satu botol air mineral, coklat, dan kamera. Pukul 2 kurang, kami sudah
siap. Stephane memasangkan lampu senter di kepalaku, dan meminjamkan
sarung tangannya sebelum kami berangkat.
Ini bukan kali pertama kami harus bangun sebelum Subuh. Di Bromo, beberapa
hari lalu, kami harus bangun jam 4 pagi demi melihat matahari terbit. Sampai
di depan kantor Perhutani di Taman Nasional Paltuding, ternyata sudah banyak
turis bule bercampur dengan pekerja tambang dengan pikulan berisi keranjang
kosong. Perjalanan pun dimulai. Kami menekuri jalan tanah menanjak di kege?
lapan malam. Uap udara keluar saat aku bicara. Awal perjalanan masih santai,
karena tanjakan tidak terlalu miring, tetapi untuk mencapai pos 1, kemiringan
tanjakan mulai membuat aku kelelahan.
"Doucement, s?il te plait,"aku mulai ngos-ngosan. Stephane menghentikan
langkahnya.
"Ini saya sudah pelan"
Coklat mungkin bisa menambah tenagaku. Aku merogoh tas ranselku. Sejenak kemudian memberi tanda ke Stephane untuk melanjutkan perjalanan.
Perjalanan baru berlangsung sekitar 10 menit ketika kemudian aku memanggil
Stephane.
"Berhenti lagi?"
Rumah adalah di Mana Pun
"Iya, kamu tu jalannya cepat banget. Kaki kamu panjang!"
"Ini kecepatan jalan saya yang paling lambat, Sari.."
"Tapi aku akan punya asma, Steph. Berhenti di sini enak lho. Lihat, kita bisa
menatap bintang-bintang," kataku membela diri. Stephane memanfaatkan
waktu rehat dengan meneguk air.
"Ok, kita lanjut!" kataku sambil memasukkan botol minuman.
Jalan tanah melewati Pos 1 ternyata lebih menanjak, membuat napasku mulai
tersengal-sengal. Stephane kelihatannya mulai kasihan, dan menawarkan bantuan membawa ranselku. Untuk saat ini, lupakanlah emansipasi dan feminisme.
Berjalan tanpa beban tas ransel lebih dari 2 kilogram kelihatan akan memperingan perjalananku. Bagian tersulit menuju Kawah Ijen ternyata bukanlah
bagian jalan yang menanjak, tapi menuruni jalan kecil setapak berbatu yang
cukup licin. Sepanjang jalan dari Paltuding sampai tepian Kawah Ijen tadi aku
berpapasan dengan beberapa pekerja tambang belerang yang ramah menyapa
kami dengan ucapan "Pagi." Mereka berjalan tanpa wajah kepayahan seperti
aku, padahal sambil mengangkut bongkahan belerang melampaui 80 kilogram.
Mendekati kawah napas serasa sesak karena uap belerang yang sangat tajam
merasuk ke paru-paru. Aku menutupi hidungku dengan masker.
"Kita sampai, Sari! Kamu lihat warna biru di depan sana?"
Aku tersenyum gembira disusul batuk karena bau belerang. Kami berdua
langsung mengeluarkan kamera dan mengatur kamera kami, mengabadikan
kilauan biru di tengah kegelapan. Pekerja tambang menghancurkan bongkahan
besar belerang dengan linggis dan mengisi keranjang pikulan mereka. Menurut
penuturan salah satu pekerja yang memandu kami sampai ke pinggiran kawah,
di dasar kawah, sejajar dengan permukaan danau, terdapat tempat pengambil?
an belerang. Padatan belerang berwarna kuning terang itu berasal dari lelehan
6000 derajat celcius berwarna merah membara yang keluar dari pipa dan
karena udara dingin, membeku membentuk bongkahan belerang berwarna
kuning terang. Aku membandingkan para pekerja tambang tradisional ini
dengan mantan kolegaku di Papua sana. Para pekerja ini harus berjalan kaki 6
kilometer pulang pergi di jalan tanah mendaki dan jalan setapak batu yang licin
Rumah adalah di Mana Pun
menurun curam tanpa APD (Alat pengaman Diri) yang lengkap - jauh berbeda
dengan mantan rekan-rekanku di Papua sana yang menggunakan fasilitas
kerja sangat canggih dan modern. Perjalanan yang sulit dan penuh perjuangan
itu tak sebanding dengan belerang yang hanya dihargai 800 rupiah per kg.
Di kawah Ijen, aku merasa tertampar. Sebagai manusia kota aku mudah mengeluh saat di tengah perjalanan dihadang kemacetan. Perjalananku ke Ijen kali ini
sungguh membuka mata. Hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana.Adakalanya Tuhan dengan selera humornya memasukkan kejutan-kejutan kecil agar kita
berinteraksi dengan manusia di sekitar. Adakalanya kita harus memperlambat
kecepatan, berhenti sejenak, dan menikmati kejutan-kejutan yang dihadirkan
Tuhan tanpa kepanikan yang berlebihan apalagi sumpah serapah.
Sesungguhnya tidak ada yang sia-sia dari setiap perjalanan. Tiap perjalanan
akan membawa kita pada satu cerita, entah itu melalui orang yang kita jumpai
atau melalui keindahan alam atau bangunan yang kita lihat. Di sini, di depan
api biru di tepi kawah Ijen, aku menikmati pemandangan yang disajikan Tuhan
padaku sambil menikmati makan sahurku. Aku dan Stephane duduk manis
di undukan batu tak jauh dari kawah Ijen. Menatap dalam hening pijaran api
biru di gelap pagi buta. Kami serempak memasukkan kamera. Biarlah mata ini
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menresapi keajaiban alam di hadapan kami saat ini. Biarlah mata dan hati kami
terpuaskan menyimpan semua memori keindahan Kawah Ijen. Resapi semua
keheningan menjelang terbit matahari. Suatu saat nanti, aku hanya bisa mengingat rasa ini yang mungkin tidak aku dapatkan di tempat lain.
"Sudah mau Subuh, lihat api biru mulai diganti dengan uap putih raksasa yang
makin meninggi di sebelah kiri kawah," suara Stephane mengingatkanku untuk berhenti makan. Dia berkata tanpa menolehkan kepalanya, masih terpaku
pada perubahan langit menjelang pagi. Kami seolah masih malas beranjak dari
tempat ini, memotret segala sudut di sekitar kawah ini dengan lensa mata kami.
Langit mulai terang. Uap putih keabuan di sebelah kiri kawah makin membumbung tinggi dan samar-samar mulai terlihat danau hijau toska yang cukup
kontras dengan warna bebatuan belerang yang kuning terang. Aku tersenyum
menyaksikan pergantian warna di depanku sambil melirik ke Stephane.
"Quoi? Kamu pasti pengen bilang, terima kasih Stephane, karena kamu saya
bisa sampai Kawah Ijen. De rien, Sari, saya sudah biasa kok dibentak-bentak"
Rumah adalah di Mana Pun
katanya gede rasa sambil menyunggingkan senyum membuat dekik di pipinya
muncul.
Aku menoyor lengannya, "Ih, sok tahu!"
Stephane membalas dengan melesakkan kupluk topi bagian depanku hingga
menutup mata.
"Stephane, tu es o??"
Lelaki Perancis ini tertawa-tawa kecil melihat aku yang pura-pura buta. Dia
menjulurkan lengan kanannya. "Yuk! Kita harus kembali ke Ketapang"
"Magnifique, n?est-ce pas, Stephane?" kataku tanpa beranjak dari tempat
dudukku.
"Oui, tr?s magnifique. Merci, Sari telah menemani saya ke sini"
Sungguh, akan ada cerita manis di setiap akhir perjalanan, sesulit apa pun itu
kita memulainya.
Sari Musdar. Penulis novel laris Cinderella in Paris, novel yang disebut pembacanya bergenre? 'adventure romance?, buku Panduan Hemat Keliling Eropa dan
"Travelove". Pemenang naskah terfavorit di "Publisher Searching for Author" yang
diadakan Grasindo Publisher tahun 2013.?Selain masih bekerja di bidang manajemen SDM,?Sari?yang hobi traveling dan fotografi ini disebut The Jakarta Post pada
peringatan hari Kartini 2012 sebagai "Fun Fearless Female Traveler".?Sari?bisa
dikontak di blognya, website?http://sarimusdar.com, twitter @sarimusdar.
Rumah adalah di Mana Pun
Yeay... Banyak Kenangan di Derawan!
Intan Deviana
upanya aku dan calon suami (sekarang statusnya suami.red) sudah
langsung terpikat dengan segala "keperawanan" dan kecantikannya.
Cerita para traveler di blog-blog mereka sih begitu, tapi kita berdua memang langsung seperti dihipnotis dengan foto-foto yang mereka tampilkan di
halaman pribadi mereka itu. Kataku waktu itu ke cami (calon suami), "Aku pengen banget ke Derawan, Yang. Itu 'kan di Kalimantan. Nah, kita 'kan belom pernah ke Kalimantan, tuh, jadi kalo kita honeymoon di Derawan ''kan bisa sekalian
ngubah status 'belum pernah ke Kalimantan? jadi 'sudah pernah ke Kalimantan?.
Gimana?"
Yaaa... Waktu itu sih cami cuma senyum-senyum aja, tanda belum langsung
kasih lampu hijau dengan ide cemerlangku itu. Biaya yang diperlukan untuk ke
sana memang tergolong lebih mahal dibanding kalau kita honeymoon ke Bali
atau Lombok yang notebene selalu menjadi tujuan populer para pasangan yang
ingin bulan madu. Temanku aja sudah ada tiga pasangan yang bulan madu ke
Bali-Lombok. Ya Tuhan... Ngga ada tempat lain apa ya selain dua destinasi itu?
Jadi ceritanya sih, selain misi mengubah "status" tadi, aku cuma ingin membuat pengalaman baru dan memberi rekomendasi untuk para pasutri dengan
berkunjung ke tempat yang belum biasa pasutri kunjungi untuk berbulan
madu. Tapi, di sisi lain cami masih aja belum sepenuhnya setuju. Pertimbang?
annya, "Sebenernya aku pengennya ke Bali, Yang. 'Kan bisa lebih hemat biaya."
Alamak Ayaaanng!
Tapi teteplah aku yang menang, secara aku ngeracunin cami terus, dan pada
akhirnya cami memang selalu nurut sama rencana-rencana aku, hehehe...
Awalnya cami sempat mengusulkan untuk backpacking-an aja ke Derawan.
Backpacking di sini dalam arti kita bulan madu ke Derawan-nya tanpa pakai
tour agent alias ngeteng. Katanya, "Kan nanti pasti ada berantem-berantemnya
tuh, Yang, nanti seninya di situ." Boleh juga sih ide cami, biasanya kalo ngeteng
gitu bakal banyak cerita tak terduga yang kebanyakan adalah kejadian-kejadian
tak diinginkan. Jadi tambah aneh deh nanti cerita bulan madu kita. Yang biasanya bulan madu tuh pakai fasilitas yang luxury, eh kita malah berniat
ngeteng, hadeh...
Tiba-tiba jadi teringat dulu waktu ngeteng ke Singapura sama adek. Ceritanya
aku sudah perfectly nyiapin semua itinerary selama di Singapura. Segala informasi tentang akses transportasi, hostel, dan spot-spot yang wajib dikunjungi
sudah tersusun rapi. Tapi, dasarnya ngeteng ke tempat yang belum pernah
dikunjungi sama sekali, ujung-ujungnya banyak waktu yang terbuang karena
kesasar dan kesasar. Nah lhoo.. Dari pengalaman tidak mengenakkan itu, aku
kasih pertimbangan ke cami, "Yang, apa ngga lebih baik pakai tour agent aja?
Masa nanti bulan madu kita harus ada nyasar-nyasarnya? Iya sih itu berseni,
tapi sepertinya jangan pake kesasar juga 'kan kalo untuk bulan madu. Takutnya
nanti waktu kita cuma habis dijalan. Gimana, Yang?" Cami jadi sedikit mempertimbangkan saranku. Sudah bayarnya tidak sedikit, pakai nyasar pula, apa
nanti ujung-ujungnya ngga nyesek? "Ya sudah, kalo gitu, besok kita cari tour
agent aja ya, tapi cari yang paling murah dan pelayanannya bagus," kata cami.
Lah... Nah itu, murah dan bagus, apa tidak bingung carinya.
Setelah diskusi singkat itulah kita mulai berburu tour agent (aku lebih suka menyebutnya trip organizer alias TO) yang membuka trip ke Derawan. Ternyata
mencari TO yang "murah dan bagus" seperti kata cami itu gampang-gampang
susah. Cami menemukan beberapa TO yang menyediakan honeymoon package ke Derawan untuk 3 hari 2 malam. Dan kalian tahu berapa harga paket bulan madunya? Yang jelas, sangat mencekik tabungan kita berdua. Itu aja belum
termasuk harga pesawat pulang pergi-nya. Wah, enggak deh. Pasti ada TO lain
yang lebih murah dan bagus!
Rumah adalah di Mana Pun
Sambil mencari TO lain yang lebih murah dan lebih bagus, kita sembari mencari sebanyak-banyaknya info mengenai Derawan dan akses menuju ke sana.
Kata cami, "Setidaknya kita punya bekal info tentang Derawan. Kalo perlu cari
tahu tentang harga kamar, harga sewa boat, harga pesawatnya, sama transportasi selama di sana seperti apa. Nanti kita bisa tahu dana minimal yang harus
disiapin."Masukan cami jempolan deh. Dari data-data yang berhasil kita kumpulin, kita jadi tahu biaya-biaya yang harus kita siapin.Jadi kita juga bisa tahu
TO mana yang memberikan harga mahal dan murah. Bisa selektif deh kita.
Nah, masalahnya adalah cami telat kasih masukan yang jempolan itu ke aku,
soalnya atas persetujuan cami juga, aku sudah terlanjur booking dan bayar
lunas tiket pesawat pulang pergi Jakarta-Tarakan yang harganya jauh lebih
murah dibanding tiket Jakarta-Berau - selain jadwal flight-nya yang memang
lebih match dengan itinerary kita. Padahal menurut informasi yang kita kumpulin setelahnya, kalau hanya berdua aja lebih baik lewat Berau, karena jatuhnya akan lebih murah walaupun memang harga tiket pesawatnya lebih mahal.
Terus gimana dong?
Memasuki H-50 dari jadwal keberangkatan kita, TO itu belum ketemu-ketemu
juga. Padahal aku dan cami sudah berulang kali browsing, tweeting, emailing, facebooking, tapi masih aja belum berjodoh dengan TO yang pas. Sampai
pada suatu hari, aku melihat ada notifikasi di twitter-ku. Rupanya ada akun
yang baru saja mem-follow aku. Betapa girangnya saat aku tahu akun tersebut
adalah TO yang menyediakan paket wisata ke Derawan. Aih, langsung deh aku
mention akun bernama @DerawanTour itu, aku ceritakan tujuan dan kondisi
kita yang ingin berbulan madu dan sudah memegang tiket pesawat pulang pergi. Tambah girang saat @DerawanTour secepat kilat memberi kepastian kalau
mereka bisa bantu kita dengan harga hasil negosiasi pula, yang artinya sangat
pas dengan kantong kita. Nah, kali ini baru bisa lega deh kita berdua.Akhirnya
permasalahan TO untuk bulan madu ke Derawan terselaikan. Sekarang tinggal
fokus ke acara nikahan kita! Yippiiee...!!!
Selasa, 26 November 2013
Pagi itu jam 08.30 pagi WITA kita sudah mendarat mulus di bandara Juwata,
Tarakan, Kalimantan Utara. Penerbangan selama dua jam tiga puluh menit dari
Rumah adalah di Mana Pun
bandara Soekarno-Hatta ini nyaris tanpa delay, bahkan dua puluh menit lebih
cepat sampai ke Tarakan dari jadwal sesungguhnya. Setibanya di arrival gate,
rupanya kita sudah dijemput Mas Rahman, pemilik akun @DerawanTour alias
www.derawan-tour.com, bersama satu orang teman baru bernama Mas Dinar
yang ternyata baru pulang nge-trip dari Makassar, waahhh... Keduanya sudah
terlebih dahulu kenal sebelumnya.Mas Rahman menyampaikan, "Ndak apa-apa
ya aku membawa teman?" Kemudian Mas Dinar nyeletuk, "Iya kasian Mas Rahman nanti jadi obat nyamuk, hehehe" Tidak masalah bagi aku dan suami, yang
penting suasana honeymoon-nya masih bisa kerasa. Kebetulan banget malah,
mungkin nanti Mas Dinar bisa sekaligus bantu untuk motretin kita, batinku.
Hihihi
Karena jumlah personel kita cuma empat orang, menurut Mas Rahman akan
sangat berisiko kalau kita langsung menyeberang ke Derawan menggunakan
boat kecil bermesin 40pk. Soalnya laut yang akan kita lewati adalah lautan
Sulawesi di mana kemungkinan kondisi ombak besar bisa terjadi kapan saja.
Selain itu, kapal-kapal berukuran besar pun sering lalu lalang di lautan itu. Mas
Rahman tidak ingin mengambil risiko itu, apalagi sambil membawa aku dan
suami yang masih pengantin baru. Sedangkan menyewa boat besar dengan
mesin 200pk akan sangat menguras anggaran kalau hanya digunakan untuk
empat orang. Perjalanan Tarakan-Derawan menggunakan boat besar saja
bisa memakan waktu 3,5 jam. Kalau menggunakan boat kecil akan memakan
waktu sampai 5 jam perjalanan laut. Kalian bisa ngebayangin betapa bosannya
berada di atas laut selama 5 jam dengan boat tanpa atap dan berukutan kecil?
Kalau kita sih tidak mau lama-lama di atas laut. Bukan karena mabok laut, tapi
pasti bakal garing banget. Belum kalau kebelet pipis, belum kalau ada ikan gede
nabrak boat kita. Makasih deh
Akhirnya Mas Rahman memberikan alternatif agar kitamenyeberang dulu ke
Tanjung Selor menggunakan boat reguler, kemudian melanjutkan perjalanan
menggunakan mobil ke Tanjung Batu, baru setelah itu menyeberang ke Derawan dengan boat kecil. Rutenya cukup panjang dan memakan waktu yang
tidak sebentar,ya? Tapi, kapan lagi bisa honeymoon sekaligus bertualang? Ini
nih seninya!
Rumah adalah di Mana Pun
Setibanya di Tanjung Selor sekitar pukul 11 siang WITA, kita sudah ditunggu
mobil jemputan untuk melanjutkan perjalanan ke Tanjung Batu. Perjalanan
darat ini akan memakan waktu setidaknya 5 jam. Wah, betapa tidak ramainya
jalanan raya di daerah ini, ya? Suasananya masih sangat lengang. Kanan kiri jalan tidak ada pemandangan rumah berimpit-impitan layaknya perkampungan
ibukota. Cuma ada beberapa toko kecil yang menjual makanan dan minuman,
bukan mini market yang jumlahnya bisa lebih dari lima di satu ruas jalan kotakota besar.
Makin jauh dari sungai Kayan, sungai yang setia menemani dermaga Tanjung
Selor, akses jalan yang mulai dibangun tahun 1997 ini makin sepi. Bahkan cuma
ada satu dua kendaraan saja yang lewat setiap beberapa menit. Kanan kiri jalan
yang kita lihat sekarang adalah hutan alam yang sepertinya sudah semakin
gundul, berubah fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Beberapa kali
terlihat perkebunan pisang gunung dan padi gunung. Tidak ada penerangan
atau lampu jalan sama sekali. Jadi, sepertinya tidak disaranakan melewati ruas
jalan ini kalau sudah akan menjelang malam. Benar kata Mas Rahman, kita tidak akan menemui pemandangan seperti ini kalau kita menggunakan perjalan?
an via laut ke Derawan. Setidaknya perjalanan kita jadi lebih bervariasi, tidak
melulu berada di laut yang cuma ada air dan langit. Melalui akses jalan ini, kita
bisa mampir sebentar sekadar buat pipis dan beli jagung manis mentah seharga Rp10.000 satu ikat yang terdiri dari lima buah jagung. Kita juga bisa melihat
Sei (sungai) Sajau, sungai lain yang membelah daratan Kalimantan. Yang jelas
akses jalan yang kita tempuh selama 5 jam ini bebas macet, tidak ada traffic
light, berkelak-kelok, dan sepi banget!
Pengalaman Mas Rahman jadi guide sampai akhirnya mempunyai usaha TO
sendiri yang sudah dijalaninya selama tiga tahun, membuatnya gampang
mengakrabkan diri dengan kita. Selain banyak bercerita tentang usahanya dan
Pulau Derawan, beliau juga banyak bertanya kepada kita.Jadinya ya akubisa
langsung nyaman cerita tentang hobi naik gunung-ku.Walaupun Mas Rahman
bukan pendaki gunung, tapi beliau terlihat antusias bangetmendengar cerita
pengalamanku naik beberapa gunung di pulau Jawa. Aku aja yang biasanya
langsung molor kalau sudah ada di mobil, tidak ngantuk sama sekali gara-gara
keasikan nyerocos sama Mas Rahman.
Rumah adalah di Mana Pun
Saat kita sampai di Tanjung Batu sekitar pukul 4 sore WITA, boat kecil yang
akan mengantar kita ke tujuan utama sudah siap. Perjalanan terakhir sebelum
benar-benar mendarat di pulau Derawan ini cuma memakan waktu 35 menit.
Boat kita pun meluncur. Duh, makin tidak sabar aja nih kaki sampai di dermaga.
Suasananya mulai senja pula. Suami nyolek-nyolek pinggangku waktu boat
mulai merapat persis di depan deretan kamar di atas laut yang belakangan kita
tahu bahwa salah satunya akan menjadi kamar menginap kita selama di sini.
Baiklah, selamat datang di pulau Derawan!
Salah satu tempat favoritku untuk menikmati matahari terbenam adalah di
pantai. Makanya, setelah meletakan barang-barang di dalam kamar, sore itu
aku tidak mau melewatkan momen untuk melihat sunset dari titik yang berbeda. Seperti biasa, kalau jalan bersebelahan, suami pasti akan merangkul
pundakku atau menggandeng tanganku, sambil sesekali berhaha-hihi dan
mendengar keterangan dari Mas Rahman. Kita terus berjalan ke tempat terbaik
merasakan terbenamnya matahari yang hari itu datang satu jam lebih cepat
dari biasanya. Kamera yang sudah kita bawa tidak boleh nganggur nih. Langsung deh aku minta suami berpose di antara gradasi warna-warni senja langit
Derawan untuk bisa menghasilkan foto siluet. Kenapa aku menyuruh suami
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpose duluan? Soalnya untuk urusan kamera dan foto-memfoto, sepertinya
aku jauh lebih unggul daripada suami, hahaha
Rabu, 27 November 2013
Karena ngantuk dan mungkin terlalu capek, pagi itu kita gagal menyaksikan
matahari terbit. Kita bangun kesiangan! Padahal begitu buka pintu kamar,
pemandangan sunrise-nya sudah langsung kelihatan. Jadi ya sudah, setelah
kesiangan, kita langsung berbenah untuk sarapan dan menyiapkan diri untuk
island hopping. Yap, hari itu adalah petualangan sebenarnya dari acara ho?
neymoon ini. Datang ke Derawan tidak akan lengkap tanpa island hopping ke
pulau-pulau sekitar Derawan. Derawan adalah kepulauan yang memiliki pulaupulau cantik yang wajib dikunjungi wisatawan. Di kepulauan ini, beberapa
pulau yang terkenal selain pulau Derawan adalah pulau Maratua, Kakaban, Sa?
ngalaki, dan pulau Gusung. Setiap pulau itu menyimpan keindahannya masingmasing. Nah,hari itu kita siap untuk menguaknya satu per satu. Yeah!
Rumah adalah di Mana Pun
Kita berangkat dari dermaga Derawan tepat pukul 7 pagi WITA, menggunakan
boat yang kemarin kita pakai menyeberang dari Tanjung Batu ke Derawan.
Harga sewa boat ukuran kecil untuk pulang pergi Tanjung Batu-Derawan dan
island hopping kira-kira sebesar Rp2.500.000. Harga ini nih yang menurut
info yang kita kumpulkan tempo hari menjadi anggaran yang paling menguras
kantong. Mahalnya biaya sewa ini akibat konsumsi bahan bakar yang memang
sangat boros, apalagi menurut Mas Rahman, harga bahan bakar di Derawan
jauh lebih mahal dari harga bahan bakar sesungguhnya, karena di sini, tidak
ada SPBU.
Kali ini, Mas Rahman tetap stay di Derawan. Maka, selama perjalanan ke pulaupulau, tugasnya digantikan oleh Mas Oyo. Pulau pertama yang kita kunjungi
adalah Maratua. Pulau Maratua terkenal dengan paradise resort-nya. Sayangnya kita kemari cuma buat numpang nampang dan foto di depan resort-nya
dan menyusuri sebagian pantainya. "Belum nasib" lah buat nginep di resortnya, karena penginapan di Maratua Paradise Resort dibandrol Rp660.000 per
kepala untuk di Water Villa dan Rp550.000 per kepala untuk di Beach Villa.
Catat, per kepala ya, bukan per kamar, hehehe... Tapi jelas dong, angka sebesar
itu akan terbayar dengan segala fasilitas yang diberikan pihak resort. Harga
tersebut sudah termasuk makan sebanyak 3 kali dan tentunya pemandangan
indah yang tidak akan ada habisnya disuguhkan di lokasi ini.
Sementara kita memulai kegiatan kita, Mas Oyo lebih memilih menunggu kita
di depan restoran pulau. Mungkin beliau sudah bosan kali ya bolak-balik datang
ke pulau ini, pikirku. Jadinya ya cuma kita bertiga saja, aku, suami, dan Mas
Dinar yang menggunakan kesempatan berharga ini untuk puas berfoto-foto.
Untung saja Mas Dinar tidak merasa dirinya obat nyamuk. Malah dia dengan
senang hati menawarkan bantuan untuk memotret-motret kita berdua. Ahihihi,
baiksekali!
Pernah di suatu website, aku melihat foto boat yang seolah-olah mengambang di atas permukaan air laut Maratua. Nah, sekarang aku pengen banget
nih membuktikan keotentikan foto-foto itu. Benar saja, saking jernihnya air
laut pulau ini, sampai-sampai membuat boat kita seakan mengambang di atas
permukaan airnya.Wow! Keren banget yak! Ternyata foto-foto itu emang tidak
bohong, beneran kaya melayang lho boat-nya.Sudah gitu kolam air laut rak
Rumah adalah di Mana Pun
sasa yang bening banget ini bisa lho memantulkan dengan sempurna warna
biru langit di atasnya. Jadi, air lautnya berubah warna jadi biru turquoise yang
makin jauh makin bergradasi menjadi biru langit sampai hampir tidak tampak
batas antara langit dan permukaan air laut. Cantiknya!
Kita bertiga (aduh, bulan madu kok bertiga ya hahaha) lanjut jalan lagi ke
pantai bagian timur. Sejauh mata memandang ke arah laut lepas, yang ada
cuma warna biru dan boat besar tidak tau milik siapa yang sudah tertambat
di sana sejak sebelum kita sampai di pulau ini. Boat kecil milik kita hilang dari
pandang?an, tertutup deretan bangunan kayu yang berdiri di atas air.Pohon
kelapa yang setengah tumbang tapi masih sangat kokoh saat kita naiki menjadi
titik pemberhentian kita berikutnya untuk berfoto-foto. Birunya laut dan langit
berpadu dengan putihnya pasir pantai membuat setiap gambar yang kita ambil
terlihat aduhai banget. Panas matahari saja kalah sama semangat kita untuk
terus berfoto ria. Justru cuaca cerah seperti ini yang sangat kita harapkan selama berada di sini. Paradiso banget ini, aaahhh
Tepat satu jam bernarsis ria di Maratua, kita meluncur menuju pulau kedua. Ini
dia pulau fenomenal yang sering aku baca di internet, pulau Kakaban. Menurut
para traveler yang banyak bercerita tentang Kakaban, di pulau ini ada sebuah
danau air asin yang berada di tengah-tengah pulau dan menjadi tempat tinggal
ribuan ubur-ubur tanpa sengat! Setibanya di dermaga pulau Kakaban, beberapa wisatawan sepertinya sudah tiba lebih awal di sana dan sedang beristirahat
di dekat dermaga. Salah satunya menyapa kita dan mengatakan bahwa di danau sedang ramai orang-orang dari stasiun televisi swasta dan beberapa media
sedang melakukan shooting untuk acara mereka. Mendengar kabar itu aku
jadi sedikit tidak bersemangat karena kita mungkin jadi tidak bisa merasakan
private island seperti halnya saat di Maratua tadi. Mas Oyo lalu menyuruh kita
membawa safety jacket, masker dan alat snorkel kita untuk dipakai saat berenang bersama ubur-ubur nanti.Kali ini beliau tidak tinggal di dermaga, namun
ikut bersama kita.
Untuk mencapai danau Kakaban, kita perlu berjalan kaki terlebih dahulu selama
kurang lebih lima menit. Beberapa anak tangga terbuat dari kayu kita lewati
dengan hati-hati supaya tidak terpeleset. Dari jarak kurang dari 10 meter, kita
kembali dapat melihat air, bedanya kali ini adalah air danau di tengah-tengah
Rumah adalah di Mana Pun
pulau. Benar aja, orang-orang media sudah ramai memadati teras kayu yang
ukurannya tidak seberapa itu. Aku membayangkan, tidak sampai lima puluh
orang aja suasananya sudah ramai, apa jadinya kalau kita datang saat long
weekend, yang pasti bakal lebih ramai daripada sekarang? Walah, tidak usah
dibayangin deh!
Tanpa menunggu waktu lama lagi, aku pun melepas pakaian luarku, memakai
safety jacket dan goggles berlensa mika minus 3,5. Maklumlah ini mata sudah
ketergantungan banget sama kacamata. Kalau cuma mengandalkan masker
yang nempel di alat snorkel, tidak akan membuataku bisa melihat jelas makhluk hidup unik di bawah sana. Dari atas teras kayu, aku sudah bisa menangkap
jelas ada benda berwarna kuning bergerak-gerak di permukaan air.Tambah
kagum aku saat bisa melihatnya langsung dari dalam air. Wow! Tidak kusangka
ternyata jumlahnya banyak banget gini.Aku bahkan selalu dikelilingi ubur-ubur
ke mana pun aku bergerak. Ternyata gambar-gambar yang banyak aku lihat di
internet itu juga asli, benar-benar nyata seperti yang ada di hadapan aku sekarang. Kadang-kadang tanpa sengaja kakiku menendang "kepala" ubur-ubur itu
saat berenang meraih ubur-ubur yang lain. Karena tidak menyengat, aku pun
berani untuk memegang dan mencium si jelly fish itu. Kata suami, "Ya ngga
usah sampe dicium juga kali, Yang. Jangan diangkat lama-lama ubur-uburnya,
kasian ngga bisa napas." Iya deh, siap suamiku hihihi Sesekali suami memberitahu kalau ada ubur-ubur yang berukuran sangat besar. Suka gemes jadinya
kalau sudah ngelihat yang gede banget, rasanya pengen "ngeremes-remes" tu
jelly. Ada juga jenis ubur-ubur lain yang berwarna putih bening dengan ukuran
lebih lebar seperti payung. Tidak boleh lupa lah foto-foto sama penghuni Kakaban ini. Keren banget pasti bisa foto berdua sama ubur-ubur. Asyik!
Lumayan lama juga kita berendam di danau. Akhirnya aku dan suami beranjak
ke darat sebentar untuk minum dan makan cemilan yang kita bawa.Sambil
beristirahat, aku melihat para awak media yang masih asyik mengambil gambar, action and cut, dan beberapa ada yang sibuk banget mengapung di air
untuk mengambil foto dengan kamera canggih mereka. Lah, aku kok tiba-tiba
jadi minder yak, membawa kamera DSLR, tapi masih belum canggih bener
"ngutak-ngutiknya" itu. Serasa shock banget, hehehe Sepertinya keahlian aku
tidak ada apa-apanya kalau harus dekat-dekat sama mereka yang sudah mahir
memainkan kamera.
Rumah adalah di Mana Pun
Lagi asyik memandangi para pembuat berita itu bekerja, suamiku tiba-tiba
nyeletuk, "Itu ada fotografer hebat, Yang. Namanya Arbain." Tapi sepertinya
aku tidak begitu sadar suami akubilangapa saat itu. Aku cuma bisa menangkap
kalau di bawah sana yang lagi sibuk mengapung sambil pegang kamera adalah
seorang fotografer profesional. Aku cuma manggut-manggut aja.
Aku sudah kembali bersiap untuk terjun lagi ke dalam air saat kemudian salah
satu dari orang-orang media itu menyapa aku dan suamiku.
"Owh, jadi rupanya ini pasangan yang lagi honeymoon di Derawan, ya. Selamat Selamat, ya," kata seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh limaan
itu sambil langsung menyambar tangan kita dantanya nama kita berdua. Aku
bertanya-tanya: siapa, ya?
Walah, ternyata Mas Oyo yang cerita ke mereka bahwa kita kemari dalam rangka bulan madu. Jelas saja kita berdua tiba-tiba langsung jadi pusat perhatian
di tempat itu. Yang awalnya agak kurang bersemangat karena aku pikir mereka
akan membuat private island kita terganggu, justru saat itu berubah jadi sesu?
atu yang menyenangkan, hihihi Pria yang belakangan aku tahu adalah Om
Bara itu minta kita untuk mau diwawancara sebentar oleh salah satu program
acara NET.TV bertajuk Indonesia Morning Show, yang saat itu lagi meliput ke?
giatan di danau Kakaban itu. Hmmm baiklah, kapan lagi bisa muncul di televisi? Asyik banget!
Seorang kameramen dan reporter bersiap merekam dan mewawancara kita.
Cuma ada beberapa pertanyan ringan aja sih dari mereka, kirain bakal tanya
yang panjang-panjang hehehe Tidak sampai 15 menit, kegiatan itu pun selesai. Entah kapan akan ditayangkan hasil wawancara kita itu, yang penting
sudah pernah direkam oleh media, hehehe Wawancara dan pengambilan
gambarku dan suami baru saja selesai saat dari belakang Om Bara tiba-tiba
memperkenalkan aku dengan pria lain yang baru saja beranjak naik dari dalam
danau.
"Nah, kebetulan ini ada Arbain Rambey, Mbak Intan. Dia fotografer Kompas,"
kata Om Bara.
Glek Aku tiba-tiba teringat dengan celetukan suamiku beberapa waktu sebelumnya. Ternyata dia juga sempat bilang, "Arbain, Yang. Ayang tahu nggak?"
Rumah adalah di Mana Pun
Tapi rupanya aku tidak begitu ngeh. Sepersekian detik aku cuma bisa melongo,
membelalakkan mata, dan terkejut bukan main saat menyadari yang ada di
depan aku sekarang adalah Arbain Rambey. Tokoh yang selama beberapa bulan terakhir ini tulisannya sering aku baca di koran Kompas, tweet-nya sering
akuretweet, tokoh yang sudah lama membuat aku penasaran kaya gimana sih
orangnya. Soalnya, meskipun sering membaca dan mendengar namanya, aku
belum pernah sekalipun browsing untuk mengetahui wajahnya seperti apa.
Dan saat itu, tanpa diduga sama sekali beliau sudah ada di hadapan aku. Langsung aja tuh aku sambar tangannya mengajak bersalaman sambil bilang, "Owh,
Om Arbain Rambey. Ya ampun, apa kabar Om? Sering banget baca artikel Om
di koran." Begitulah pertemuan yang tidak pernah aku duga akan terjadi di
tempat sejauh ini, ternyata adalah pertemuan dengan Arbain Rambey. Om Bara
lalu mengambil alih kameraku untuk kemudian diberikan kepada Om Arbain
dan memintanya untuk memotret kita berdua.Lalu, Om Bara gantian memotret
kita berdua dengan Om Arbain.Ya ampun, ini mimpi nggak sih?
Menjelang tengah hari, semua kru media tersebut berkemas dan beranjak untuk kembali ke penginapan mereka. Ternyata mereka menginap di Sangalaki,
pulau ketiga yang akan kita kunjungi nanti setelah dari Kakaban. Tidak lupa Om
Bara memberikan kartu namanya biar nanti aku bisa menghubunginya.
Tiba-tiba hujan turun begitu saja saat kita akan menyantap makan siang di
bangunan kecil di atas laut di tepi pulau Kakaban. Menu capcay, ikan goreng tepung, dan sambal itu langsung habis kita santap. Beruntung karena hujan tidak
terlalu lama membasahi bumi, kita segera bersiap melanjutkan perjalanan ke
pulau Sangalaki.
Pulau Sangalaki menjadi tempat yang nyaman bagi para penyu untuk kawin
dan bertelur. Di pulau ini juga ada penangkaran tukik (bayi penyu) yang secara rutin akan dilepaskan kembali ke lautan setelah mereka siap. Sampai di
Sangalaki, Mas Oyo langsung mengantar kita ke lokasi penangkaran tukik. Di
beberapa titik di kolong penginapan terlihat bekas pasir yang sengaja digali
oleh penyu untuk bertelur. Lubang yang digali terlihat begitu besar. Ketika kita
sampai di tempat penangkaran tukik, hewan mungil tersebut sedang berada di
sebuah kotak besar terbuat dari kayu. Tukik-tukik itu sedang menunggu saat
yang tepat untuk dilepaskan kembali ke lautan.
Rumah adalah di Mana Pun
Mas Oyo bilang ada satu cara untuk nge-test naluri tukik-tukik tersebut. Jadi,
saat kita mau melepaskannya ke lautan, coba balikkan badannya sehingga arah
lautan menjadi berada di belakang tukik itu. Seekor tukik yang naluri alaminya
baik pasti akan langsung membalikkan badannya mencari arah ke mana lautan
akan menyambut kedatangannya. Hmm, naluri yang mengesankan. Dia tahu ke
mana dia pergi.
Merasakan suasana Sangalaki yang sepi banget gini, suami tiba-tiba ngajak
aku untuk menyusuri pantainya.Akhirnya bisa berduaan juga, batinku. Jalanjalan sambil dirangkul suami gini rasanya adem banget. Apalagi pemandangan
cantik ini tidak pernah ada habisnya. Iseng-iseng aku minta suami untuk meng?
ubur aku dengan pasir putih Sangalaki. Digalilah sedikit pasir itu oleh suami,
terus aku tiduran di atasnya.Sedikit demi sedikit bagian badan aku mulai tertutup timbunan pasir. Lah, lama yak ternyata ngubur pakai pasir doang, suami aja
sampai berkeringat gitu.
Setelah badan ini berhasil ketutup semua oleh pasir (kecuali bagian kepala
tentunya), biar keren aku minta suami untuk menuliskan "SANGALAKI" di atas
gundukan pasir itu. Dasar suami tulisannya jelek, dia pun harus berulang kali
mencoba menulis satu kata itu agar terbaca jelas saat dipotret dengan kamera,
dan akhirnya berhasil. Hehehe..Nah, sekarang giliran suami yang ternyata
pengen dikubur juga pakai pasir. Saat sudah siap mau dikubur, dari kejauhan
tiba-tiba terdengar bunyi mesin boat yang makin lama makin terdengar jelas
mendekat ke arah kita. Yaaahh, itu pasti suara boat Mas Oyo deh. Mereka pasti
nyariin kita karena kita tadi perginya tidak pake pamit sama mereka, hihihi Ya
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah, artinya suami gagal berpose sama seperti aku dibawah gundukan pasir.
Bete tuh pasti dia, hihihi
Sangalaki tidak cuma soal penyu dan penangkaran tukik. Pulau ini juga menyimpan keindahan biota laut luar biasa di bawah air. Snorkeling pun menjadi
aktivitas yang tidak boleh terlewatkan saat berkunjung ke pulau ini. Kalau
beruntung, kita bisa bertemu dengan ikan pari jenis Manta yang konon banyak
berseliweran di lautan sekitar pulau Sangalaki.
Dengan peralatan snorkeling yang telah sempurna terpasang, kita pun menceburkan diri ke lautan lepas Sangalaki.Sedikit saja membenamkan wajah di air
Rumah adalah di Mana Pun
lautnya, aku sudah bisa melihat karang laut, ikan nemo, dan banyak banget
jenis ikan lainnya berlalu lalang di bawah badan aku. Sayang, Manta sepertinya
malu-malu ketemu sama kita. Aku sudah berharap banget bisa say hello sama
dia, eh tidak taunya tidak nongol-nongol. Hiks. Di beberapa titik ada perairan
yang rupanya cukup dangkal sehingga kita bisa berdiri di atasnya. Tapi, sebaik?
nya jangan berdiri di atas terumbu karangnya ya, soalnya dikhawatirkan bisa
merusak ekosistem di bawahnya.
Matahari sudah condong ke barat. Perjalanan pulang kembali ke Derawan
masih lumayan panjang. Sesegera mungkin kita bergegas naik ke boat untuk
kembali pulang. Rupanya dalam perjalanan pulang ke Derawan, masih ada satu
tempat unik lagi yang akan kita singgahi. Sampai di Derawan, Mas Oyo cuma
menjemput Mas Rahman untuk ikut serta dalam perjalanan terakhir kita hari
itu. Dari Derawan menuju pulau bernama Gusung itu cuma memerlukan waktu
beberapa menit. Pulau itu hanya berupa pasir putih yang memanjang luas dari
barat ke timur. Tidak ada apa pun di sana, kecuali hamparan pasir putih saja.
Sebagian pasirnya terendam air laut akibat sedang pasang. Kalau lagi surut,
luasnya hamparan pulau pasir ini bisa lebih jelas terlihat.
Petualangan kita hari itu ditutup cantik dengan bias cahaya di langit sore,
di balik gumpalan awan putih yang luas menutup datangnya sinar matahari
senja. Hasil biasan cahaya itu menghasilkan sebuah pelangi di atas awan yang
berbentuk seperti angin tornado. Sebuah pemandang?an langka yang lagi-lagi
sengaja Tuhan suguhkan untuk kita hari itu. Indaaahh banget. Puas sekali kita
hari itu.
Kamis, 28 November 2013
Ketika aku bangun saat subuh, aku mendapati barang dan pakaian kita sudah
tertata rapi di meja kamar. Sudah tidak ada lagi pakaian berserakan di kasur
dan lantai. Semua sudah rapi. Rupanya suami sudah beres-beres tadi malam
sebelum pergi tidur. Semalam aku memang langsung tepar karena kelelahan
jalan-jalan seharian. Jadinya sama sekali tidak sempat untuk berkemas. Untung saja suami lagi rajin, jadi aku tinggal memasukkan barang-barang dan
pakaian kita ke dalam keril. Suami sudah bangun saat aku selesai mandi.
Rumah adalah di Mana Pun
Kata suami, "Sudah mau pulang ya kita? Padahal kayanya kemaren baru sampai di Derawan."
Aku jawab, "Tapi Ayang seneng, kan? Puas, kan?"
"Ya iya, lah. Seneng. Seneng bangett! 'Kan perginya sama ayangku istriku,"
jawab suami sambil mencubit pipiku, meraih pinggangku dan memelukku erat.
Lalu, ia mendaratkan ciuman yang hangat. Sebuah adegan penutup yang sempurna untuk perjalanan kami di tempat yang sempurna ini.
Selalu ada kisah di setiap perjalanan, termasuk dalam perjalanan kita kali ini.
Walaupun hari itu semua harus selesai, tapi pengalaman di dalamnya tidak
akan pernah berhenti untuk terus bercerita, baik sekarang maupun kelak ketika
kami sedang bercengkerama dengan anak dan cucu.***
Intan Deviana Safitri, atau akrab dipanggil Intan, lahir di negeri ngapak Cilacap,
12 Mei 1989. Jalan-jalan, menjelajah, dan foto-foto menjadi serangkaian hobi
perempuan muda yang baru saja menikah ini. Kegiatan itu semakin lengkap dengan kesukaan barunya dalam dunia blogging sejak hijrah ke kota metropolitan,
Jakarta, akhir tahun 2011 lalu. Kisah perjalanan Intan bisa diintip di http://travelingneverdies.wordpress.com. Facebook di http://www.facebook.com/intan.deviana.79, twitter@intanintuntun
Rumah adalah di Mana Pun
Mahameru Menyapaku "Hai Rinjani"
Gading Rinjani
Hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi yang tanda tanya tanpa kita mengerti,
tanpa kita bisa menawar,
Terimalah dan hadapilah.
-Soe Hok Gie
engan keberanian dan tekad, kami pun berdua menggapai salah satu
mimpi kami. Bagi kami hidup adalah petualangan besar, dan bermimpi
adalah langkah awal sebuah cita-cita. Mahameru, puncak tertinggi Pulau Jawa, adalah sebuah tujuan, dan perjalanan ini proses kami belajar.
Om Iwan Fals bilang "tak kenal maka tak sayang," jadi aku akan memperkenalkan diri dulu biar banyak yang sayang... #halah!
Namaku Gading Rinjani, tapi mereka biasa memanggilku Rinjani. Kebanyakan
saat aku memperkenalkan diri kepada orang-orang yang baru aku kenal, mere?
ka akan berkata "Wah, neng udah suka ngebolang, panggilannya Rinjani pula!
Itu nama rimbanya neng, ya? Pasti anak mapala nih di kampusnya? Ya 'kan? Ya
'kan?" katanya penuh ke-sok-tahu-an.
Nama rimba? Helloooooo... Bokap aku potong kambing ya buat kasi nama itu,
nih liat aku punya KTP, gumamku dalam hati.
"Mbeeeeeeeeeek..." Kemudian terdengar suara kambing. Kok bisa ada kam?
bing? Aku bingung. Dude Herlino bingung. Kok ada Dude Herlino? Orang yang
bertanya tadi juga ikut bingung.
Aku dan Dude Herlino hanya senyum manis saat mereka beranggapan Rinjani
adalah nama rimbaku. Aaaaarggh.. tidaaaak.. dari mana datangnya Dude Herlino? Kok nongol lagi?! Entahlah, abaikan saja, sambil berharap semoga mereka
tak 'kan melupakan "Rinjani."
Dan aku juga mau ngenalin Travelmate aku.
JEEENGGG JEEENGG!!
"Mas, tolong sebelum aku melanjutkan ini, kameranya dimatikan dulu." *cerita?
nya lagi ngomong sama wartawan*
Sebut saja namanya "Aan," karena "Jaka" atau "Boy" sudah sangat mainstream.
Dalam kurun waktu dua tahun ini, kami melakukan perjalanan bersama, kami
menemukan keindahan alam, bersama-sama bernapas menikmati udara segar
dan udara sesak kota yang penuh polusi. Setiap perjalanan akan selalu menghadirkan pengalaman suka dan duka. Tapi kami dapat berbagi itu semua, berbagi rasa, berbagi cerita. Intinya dunia ini besar, karena aku nggak bisa menghabiskannya sendiri, makanya aku berbagi.
Malam itu Aku dan Aan memulai perjalanan dari Stasiun Lempuyangan Yogyakarta menuju Stasiun Kota Baru Malang.
Di perjalanan ini aku bersama pelangi
Menikmati warna-warni imajinasi
Aku berbincang lagi bersama malam
Mencoba melupakan mimpi yang terkelam
Perjalanan Yogyakarta-Malang dengan jarak tempuh kurang lebih 6-7 jam
tidak pernah bosan kami lewati, kereta api pun bisa menjadi tempat yang nyaman untuk kami membuat obrolan asyik dengan pemandangan lampu kota dan
Rumah adalah di Mana Pun
bulan bintang yang memenuhi langit malam itu. Sampai akhirnya dini hari kami
berdua terlelap dalam damainya hati kami.
Fajar datang. Kereta kami masih berjalan. Saat kami membuka mata, sunrise
menyambut dengan latar belakang persawahan, kemudian bukit, hingga gedung dan perumahan kota. Aan tersenyum kepadaku, menghias pagiku bersama langit cerah kemerahan yang di kumandangkan oleh sekawanan burung
berterbangan membelah langit yang benderang.
Finally, kereta tiba di Stasiun Kota Baru Malang. Aku ucapkan selamat pagi untuk Kota Malang. Saat aku dan Aan turun dari kereta, berbarengan dengan lima
orang pemuda yang turun dari arah gerbong sebelah dengan masing-masing
menggendong carrier mereka. Aku segera bisa menebak kalau tujuan kami
berdua dengan mereka sama, yaitu: "Mahameru"
Awalnya aku dan Aan saling mencuri-curi pandang ke 5 pemuda itu, lirik-lirikan sampai kemudian mata kami bertemu dan berakhir dengan lempar-lemparan senyum. Ini para pendaki apa para pemain FTV? Untung saja tidak ada
adegan tabrakan antara kita.
"Mas-mas dari Yogyakarta juga, ya?" Aan memulai perbincangan.
"Iya nih, kita berlima mau ke Semeru," Jawab salah satu pemuda berambut
gondrong dan berkaca mata hitam. Mas kok mirip personel band Jamrud, ba?
tinku sambil memperhatikan Mas Gondrong itu berbicara dengan Aan.
"Wah sama dong mas, kita berdua juga mau ke Semeru. Kalau begitu barengan
aja mas."
"Kalian cuma berdua? Ya udah, mending kita gabung aja."
"Kenalin, Mas, saya Aan, dan ini Rinjani."
"Rinjani? Wah... beneran anak gunung nih"
"Hahahahaha, aku pikir kamu akan bertanya 'itu nama rimba kamu ya?? Hahahaha." Aku tertawa sambil menepuk-nepuk pundak mas-mas itu. Mereka
semua ikut tertawa hingga terpingkal-pingkal. Hingga merusak gerbong kereta
api. Oke abaikan kalimat barusan.
Rumah adalah di Mana Pun
"Rinjani, Aan, kenalin yang gondrong ini namanya Ganjar, yang pakai behel ini
namanya Irsyad, yang berbadan tinggi namanya Surya, yang gemuk ini Reza,
dan nama saya Ditto."
Sebuah perjalanan memang selalu mempertemukan kami dengan orang baru
dan teman baru, kami pun mensyukuri itu. Bersama merekalah kami melanjutkan perjalanan menuju Tumpang mencari truk yang akan mengangkut kami ke
Ranu Pani.
Sampai di Tumpang kami bertemu kembali dengan 4 orang backpacker asal
Surabaya. Mereka bernama Adit, Yusan, Firman, dan Daud. Kami berdua
dan lima rombongan dari Yogyakarta tadi memutuskan untuk melanjutkan
perjalan?an bersama mereka.
Inilah yang membuat Aku dan Aan lebih suka jalan berdua, karena pasti akan
bertemu dengan teman baru. Bagi kami berdua, hal ini sangat menyenangkan. Kami sebut sebagai seni perjalanan. Bertemu dengan orang-orang baru,
bertukar cerita, sampai terkadang ada hal-hal yang justru bermafaat bagi kita
sendiri.
Dua jam perjalanan dari Tumpang menuju Ranu Pani ditempuh di atas truk
dengan kontur jalan yang berbatu dan berbecek, tapi aku tak merasakan itu.
Selain karena penuhnya canda tawa di atas truk, perhatianku juga teralihkan
oleh pemandangan Bukit Teletubies, Penanjakan Gunung Bromo, dan padang
sabana indah lainnya.
Aku sangat menikmati perjalanan panjang menyusuri lereng bukit, apalagi
semeru memiliki Watu Rejeng yang eksotis. Masih terekam dalam ingatanku
bagaimana aku terkesima menyaksikan pemandangan yang sangat menakjubkan ke arah lembah dan bukit-bukit yang ditumbuhi hutan pinus. Trek mendatar dan menurun serta jalan menanjak berdebu dan curam, lumayan menguras
tenaga. Tapi aku tidak menyerah, kamu selalu memberi motivasi dan semangat
yang semakin meneguhkan niatku mencapai puncak Semeru. Bersama kamu.
Setelah berjalan cukup lama, akhirnya dari kejauhan aku melihat cekungan
yang berair. Itulah Ranu Kumbolo. Danau indah yang membuat kita melupakan
rasa capek, yang membuat kita melupakan trek menguras tenaga dari Ranu
Rumah adalah di Mana Pun
Pani hingga sampai di sini. Dan aku malah semakin semangat melangkahkan
kaki sampai akhirnya aku tiba di Pos 5. Pos yang berada persis di atas Ranu
Kumbolo.
Sampai di Ranu Kumbolo kami disambut hujan, langit pun sudah mulai gelap.
Suhu udara mulai mendingin. Tanpa membuang waktu kami segera membangun tenda dalam gelap dan dinginnya malam. Hujan turun dengan sangat
deras, angin pun sangat kencang. Membuat kami kesusahan dalam mendirikan tenda. Suasana Ranu Kumbolo malam itu mencekam. Dengan tabah kami
membangun tenda.
"Kamu di dalam tenda aja, rapikan barang-barang kita." Perintah Aan setengah
berteriak agar aku mendengar ucapannya di tengah badai ini.
"Kamu nggak apa-apa diluar?" Aku membalas ucapan Aan dengan berteriak
juga.
"Aku nggak apa-apa, cepat kamu masuk. Badainya makin besar. Aku hanya
tinggal memasang pasak tenda ini kok." Jelas Aan.
Aku mengikuti perintahnya, dengan cekatan aku masuk kedalam tenda, menutup pintu tenda dan merapikan barang bawaan kita. Aku menempatkan carrier
di setiap ujung bagian dalam tenda untuk membantu menahan tenda ini agar
tetap berdiri.
Hujan sangat deras, angin kencang dan suara guntur yang mencekam membuat tenda kami serasa akan terbang atau hancur berantakan. Dengan sekuat
tenaga aku menahannya. 15 menit berlalu, aku sudah tak mendengar suara Aan
yang sedang memasang pasak tenda diluar. Aku juga tak mendengar suara
para pendaki lainnya. Yang kudengar hanya suara badai. Gemuruh angin. Aku
takut. Aku merasa sendiri. Aku berdoa memohon perlindungan untukku, Aan,
para pendaki lain, dan bumi pertiwi kami.
"Ya Allah seperti inikah yang dirasakan orang-orang diluar sana yang tidak
memiliki tempat tinggal? Yang tidur hanya dengan beralaskan kardus? Dan
bagaimana dengan mereka yang hidup beratapkan langit-Mu? Ya Allah... Ampuni kurangnya syukurku"
Rumah adalah di Mana Pun
Tak lama kemudian aku medengar sayup-sayup suara Aan memanggilku dari
luar. Ada perasaan lega di hati dan aku membukakannya pintu tenda.
"Kamu nggak apa-apa 'kan?"
Aan tidak menjawab pertanyaanku. Wajahnya pucat, badannya menggigil
kedinginan. Aku keringkan badannya dengan handuk, menyelimuti badannya
dengan sleeping bag dan membuatkannya kopi susu panas.
"Badan kamu panas, besok kita nggak usah melanjutkan ke puncak aja, ya."
"Nggak apa-apa kok, besok pagi juga aku udah baikan."
Aku khawatir. Tapi aku tau betul Aan seperti apa. Aku tak mungkin menghalangi keinginannya untuk ke puncak. Malam itu, aku terus mengenggam ta?
ngannya yang dingin.
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Alhamdulillah setelah beberapa jam hujan angin mulai menghilang. Badai berlalu. Purnama kembali bersinar bersama hiasan sang bintang yang bertaburan.
Suasana Ranu Kumbolo sudah sangat menenangkan bersama terdengarnya
suara tawa bahagia para pendaki lainnya. Suhu badan Aan pun sudah menurun. Terima kasih Tuhan.. Dengan cepat Kau telah kembalikan senyum kami.
"Badan kamu sudah ngga panas lagi hehehe.."
"Aku 'kan sudah bilang, demamnya bakal cuma sebentar doang, kamu nggak
percaya aku sih." Jawab Aan sedikit tertawa.
"Iya deh iya..."
Sambil tertawa, Aan mengusap-usap kepalaku.
"Kamu tau nggak kenapa Tuhan menciptakan Bulan dan Bintang, selain untuk
menerangi kita di malam hari?"
"Kenapa?"
"Coba kamu lihat bulan itu.." aku menunjuk langit sambil merasakan kenyamanan rumput yang aku duduki membelakangi tenda saat itu. "Perputarannya
Rumah adalah di Mana Pun
memberitahu kita tentang hitungan waktu yang terus berganti. Dan coba kamu
lihat bintang-bintang, susunannya menjadi penunjuk jalan seorang pengembara seperti kita ini."
Kami berdua melewati lagi malam indah seperti ini. Tenda tempat berlindung,
api unggun yang menghangatkan, naungan bintang, dan dua gelas coklat panas yang menemani tawa kami.
Keindahan yang penuh pesona itu, menawanku dalam setiap kesan indah. Kesan kepadamu yang seindah purnama ini. Yang bersinar terang dalam dinginnya malam.
Saat pagi datang, sebuah pemandangan yang luar biasa menyambut kami dari
luar tenda. Angin barat berembus sejuk mengelus manja bulu kuduk ku. Aku
terpaut dalam kemesraan fajar. Dua angsa putih di atas danau yang seolah ikut
mewarnai kanvas hati ini. Menyatu dengan tinta warna pelangi. Seperti kemilaunya cahaya dari butiran-butiran embun pagi. Melunturkan rasa lelah yang
masih disisakan tidur kami.
Sinar mentari yang mulai terbit dari sela-sela bukit.
Suara burung menambah suasana hangat pagi itu.
Memang benar jikalau orang mengatakan Ranu Kumbolo adalah "Surga Para
Pendaki." Suasana ini, rasa ini, menambah kesan nikmat sarapan pagi kami.
Menjelang siang aku dan yang lain mulai berkemas-kemas kembali. Dari Ranu
Kumbolo dilanjutkan perjalanan menapaki Tanjakan Cinta. Tanjakan yang terlihat landai di foto, tapi lumayan berat kalo dirasakan langsung. Tapi aku nggak
boleh ngeluh! Hap hap hap..
Aku ngga tau apakah benar atau tidak mitos Tanjakan cinta. Agar berjodoh,
bayangkan saja sosok seseorang yang kita cintai dengan tidak menoleh kebelakang saat menapaki tanjakan itu. Padahal aku yakin jika dari Tanjakan Cinta
ini aku menoleh kebelakang, aku akan melihat pemandangan Ranu Kumbolo
yang sangat indah. Melihat jelas danau itu di antara sisi bukit-bukit. Tapi kenyataannya... Aku mengikuti mitos itu.
Rumah adalah di Mana Pun
Aku tetap melihat ke depan, sambil membayangkan wajah dia. Membayangkan
raut wajahnya saat sedang tertawa memperlihatkan deretan giginya yang rapi.
Membayangkan saat ia menatapku dengan matanya yang sendu. Semuanya
terlihat indah, sampai kemudian aku membayangkan dia menjulurkan sedikit
lidahnya kemudian berkata kepadaku....
"Heh! Kamu kok O?on sih?"
"Heh! Yaudah sana kamu sama cewek yang nggak lama loadingnya! Yang
lebih oke, yang lebih cantik, yang lebih..." Aku terus bergumam.
"Dan lebih waras? Hahahaha.." Tawanya keras.
*timpuk sendal*
"Cewek cantik mah sekarang banyak, cewek o?on sedikit. Ya aku lebih milih
yang sedikitlah."
*Mati*
Di ujung Tanjakan Cinta, terbentang padang rumput yang sangat luas. Padang
rumput ini dinamakan Oro-oro Ombo. Semeru adalah sebagian kecil dari
lukisan tangan Tuhan. Dari awal perjalanan ini aku tak henti-hentinya mengucap Subhanallah atas kebesaran-Nya yang telah menciptakan ini semua. Orooro Ombo yang dikelilingi bukit dan gunung serta cantiknya bunga berwarna
ungu yang membentang luas di sini, semakin menambah rasa teduh di hati
untuk siapa saja yang melihatnya.
Perjalanan panjang dari Ranu Kumbolo kemudian melewati Oro-oro Ombo
hingga sampai di Kalimati membuat persediaan air kami semakin sedikit. Selama perjalanan ini, aku dan Aan serta kawan-kawan baru rombongan dari
Yogyakarta dan Surabaya selalu berbagi. Berbagi makanan, air, dan saling
membantu sampai masing-masing diri kita yakin kalau teman kelompok kami
tidak ada yang melarat. Penjajahan Jepang kali ya, melarat.
Aku baru bertemu rombongan ini kemarin, tapi dari kedekatan ini kami jadi
sama-sama merasa seperti sudah mengenal lama. Aku juga merasa, teman
bertemu di gunung sangat memiliki jiwa solidaritas yang tinggi.
Rumah adalah di Mana Pun
Kopi coklat panas menemani perbincangan kami dalam sejuknya Kalimati.
Untuk aku yang doyan makan, sangatlah bahagia melihat logistik yang bermacam-macam seperti ini (gabung sama logistik rombongan lainnya hahahaha)
walaupun pendakian kali ini aku tidak membawa Tempe, makanan favoritku.
Logistik kami memang sederhana, tapi kebersamaan yang membuatnya istimewa.
Aku teringat saat ke pasar membeli logistik bersama Aan.
"Bu, niki Ubi ne kaleh kilo, pintenan?" Aan bertanya kepada penjual Ubi di Pasar.
"Dua kilo apa nggak kebanyakan? Kita 'kan cuma berdua aja?" Aku bertanya
dengan bingung.
"Kita emang dari sini cuma berdua, tapi nanti di sana kita akan ketemu temanteman baru.."
"Oh iya ya.. Kenapa aku nggak kepikiran sampai ke sana? Makasih ya, kamu
memang selalu mengajarkanku arti berbagi kepada sesama." Aku membatin.
Dan memang benar, Ubi Goreng dan Ubi Rebus buatan kami berdua "laku
keras" hahahaha. Teman-teman sangat menyukainya. Ada perasaan bahagia
pula antara aku dan Aan melihat mereka menyukai Ubi buatan kami. Bahagia
itu memang sangatlah sederhana.
Tak terasa langit kembali mulai memerah. Puncak mahameru terlihat jelas sore
ini dengan sedikit awan yang menutupinya. Suasana ini merasuk ke dalam hati,
otak dan seluruh tubuhku.
Di kala senja berkilau cahaya emas akan menyapamu, mendekapmu hangat
seperti ibu memeluk anaknya. Adakah engkau menyadari kebesaran Tuhan?
Akankah kau bersyukur atas karunia-Nya?
Malam pun tiba, kami meninggalkan semua barang di dalam tenda. Setelah
berdoa memohon keselamatan pada Yang Maha Kuasa, kami mulai melangkahkan kaki di kesunyian dan dinginnya malam. Kami melewati bukit pasir yang
menjulang tinggi, curam dan mudah terperosot. Udara malam ini sangat dingin,
aku menyesal tidak menggunakan pakaian yang berlapis-lapis. Sering aku
Rumah adalah di Mana Pun
beristirahat karena melemahnya fisikku. Di sini aku tersadar memang benar
kalau Mountains are not fair or unfair, they are just dangerous.
Langkah mulai gontai, stamina mulai habis membuat aku hampir saja putus
asa melewati trek berpasir ini. Namun dalam kelemahan ini, aku teringat akan
orang-orang yang selalu mendoakan setiap jengkal langkah kaki ini. Membuat
aku kembali bersemangat dan terus berjalan.
Setelah enam jam melewati trek berpasir di lereng Mahameru, akhirnya aku
sampai di puncak tertinggi Pulau Jawa (puncak abadi para dewa). Alhamdulillah, tak henti-hentinya aku mengucap syukur. Segala puji bagi Tuhan semesta
alam.
Aku menoleh ke arahmu, mendapatimu dengan pandangan sendu yang selalu meluluhkanku. Saat geliat ruh kata-kata menyampaikan pesan rasa pada
sekumpulan awan putih. "Kamu tau? Aku bahagia sekali. Terima kasih sudah
membawaku ketempat impianku. Di sini. Bersama kamu." Batinku. Aku tak
mampu berkata-kata sambil terus memandangnya.
Pagi itu perlahan hati ku merasa tenang, secercah fajar mulai datang. Tapi aku
tidak merasakan bahwa sebenarnya aku semakin dekat dengan matahari, karena suhu udara negeri di atas awan memang sangatlah dingin. Aku menghirup
udara yang dingin itu, sampai aku dapat melihat asap yang keluar dari mulutku.
Saat ini aku mungkin sedang berada di atas puncak tertinggi Pulau Jawa. Yah,
sangat tinggi. Tapi di sini aku juga berpikir, aku mungkin akan pergi ketempat
yang lebih tinggi dari yang aku pikirkan. Yaitu akhirat.
Fajar tertepis hangatnya sinar mentari, walau aku masih ingin memeluk kedamaian pagi, menenangkan jiwa yang kian rapuh, yang kini semakin sadar akan
kebesaran-Mu.
Aku mulai turun kembali ke bawah melewati treck pasir yang tak mudah aku
lewati saat naik, namun terasa lebih mudah saat berjalan turun. Dengan tumit
kaki sebagai penopang dan tumpuan , serta badan yang harus dapat menjaga
keseimbangan. Merosot atau dengan berlari akan membuat kita lebih cepat
Rumah adalah di Mana Pun
sampai kebawah. Sinar mentari dan genggaman teman seperjalanan menghangatkan perjalanan turunku dari puncak. Perlahan aku dapat melupakan rasa
dingin yang luar biasa saat di puncak.
Kami kembali lagi di Kalimati, suara merdu kicauan burung terdengar lagi pagi
ini. Menemani aku dan yang lainnya berkemas-kemas untuk segera melanjutkan perjalanan pulang. Setelah tiba kembali di Ranu Kumbolo, kami mendirikan
tenda di sini. Aku merasa ngantuk yang sangat teramat dahsyat. Aku mengambil ranting pohon kecil untuk mengganjal mata kantukku. Mereka semua teriak
histeris ketakutan melihatku. Karena rasa kantuk yang berlebihan membuat
aku berimajinasi kita adalah sekawanan kelompok Happy Tree Friends yang
sedang bermain di hutan.
"Enak ya jadi kalian berdua" Celetuk Mas Adit secara tiba-tiba.
"Enak gimana Mas?"
"Cepet banget bisa tidur. Dua menit istirahat di jalan pun kalian bisa tidur loh!
Ckck.."
"Itu mah Si Aan yang tukang molor"
Aan yang mendengar perbincangan kami dengan jelas pun langsung memberikan aku kode seperti akan-menjitak-ku-segera.
"Ah kalian berdua sama aja. Sama-sama tukang molor."
Tawa teman-teman yang lain seperti meng-iya-?kan perkataan Mas Adit.
Aku hanya nyengir menanggapi mereka dan siap-siap masuk kedalam tenda
menuju alam dunia lain.
Aku tidur sangat nyenyak dalam gumpalan awan-awan yang lembut dengan
danau indah di sekitarnya. Aku terbangun akibat suara gemercik air danau
yang di mainkan dua angsa putih. Aku memakai gaun putih dengan mahkota
rajutan bunga-bunga kecil di kepala. Terlihat kabut tipis menutupi lekuk gunung dan pohon yang hijau. Pelangi yang dilukis para bidadari. Dan ikan-ikan
yang hidup bahagia didanau itu.
Rumah adalah di Mana Pun
Aku sedang berada di dalam sebuah negeri. Negeri yang jauh dari segala
kebisingan. Negeri di atas awan. Negeri khayangan.
"Hei.. bangun, makan yuk.." Aan membangunkanku.
"Iyaaah..Habishh..makhan..mahin di danau yak..." gumamku sambil terus berusaha membuka mata. Sleeping Bag ini memelukku erat.
Makan siang bersama di Ranu Kumbolo. Ini momen yang paling mengesankan.
Menyiapkan makanan sambil tertawa dan bercanda bersama dengan orang
baru, teman baru, pengalaman baru, dan tempat yang baru seperti ini akan
menjadi cerita yang tak 'kan terlupakan.
Sehabis makan kami main di danau. Mengambil gambar bersama di camera
dengan latar belakang pemandangan Ranu Kumbolo yang indah ini, tidak akan
kami lewatkan. Aku senang bertemu mereka di sini, dan cerita-cerita di Mahameru akan membuat tali silaturahmi kami tidak berhenti di sini saja.
Sedang asyik bermain air di danau, Mas Ganjar Gondrong menghampiriku.
Tidak ketinggalan dengan kaca mata hitam andalannya. Mirip personil Band
Jamrud.
"Rinjani, kamu ada handbody nggak?"
"Nggak ada, Mas"
"Kalau sisir? Ada nggak?"
"Nggak ada juga, Mas"
"Kowe iki wedok udu sih?"
Semua tertawa mendengar perkataan Mas Ganjar.
"Hahahaha... Rinjani ke sini cuma bawa odol dan sikat gigi aja, Mas." Si Aan
ikut-ikut meledekku.
Aku menggerutu dan berjanji dalam hati, besok kalau naik gunung lagi, aku
akan seperti cewek-cewek yang lain. Membawa perlengkapan cewek. Yah, aku
janji.
Rumah adalah di Mana Pun
Setelah merasa puas bermain di Ranu Kumbolo, aku dan yang lain berkemaskemas untuk kembali melanjutkan perjalanan pulang. Kami memutuskan untuk
mencoba melewati jalur lain menuju Ranu Pani. Jalur yang lebih menanjak
namun lebih cepat dibandingkan dengan jalur yang di lewat saat kami datang.
Jalur ini disebut dengan jalur Ayek-ayek. Jalurnya para porter dan penduduk
lokal daerah Gunung Semeru.
Di perjalanan, kami sempat berisitirahat lama dan berbincang-bincang dengan
seorang porter. Sembari aku dan Aan membuat api unggun kecil untuk memasak kopi, Bapak Porter dan dua temannya sesama porter yang terlihat lebih pas
seperti cucunya, banyak menceritakan kehidupan mereka di Gunung Semeru.
Bapak Porter mengatakan tidak sedikit ada saja pendaki yang tidak mengikuti
aturan Taman Nasional Gunung Semeru. Beliau juga bercerita banyak pendaki
yang tidak dapat menjaga alam dengan baik. Masih saja ada tangan-tangan
jahil para pendaki yang merusak keindahan alam Gunung Semeru. Aku sedih
mendengar cerita Bapak Porter, sangat disayangkan alam yang sangat indah
ini dihancurkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Semoga
mereka dapat segera sadar dan semoga di antara kita akan lebih sering saling
mengingatkan akan pentingnya melestarikan alam.
Aku tertegun mendengarkan cerita Bapak Porter. Sudah berumur lansia namun
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih kuat bekerja menjadi seorang porter. Naik turun gunung setiap harinya,
dengan memikul beban berkali-kali lipat beratnya dibanding beban tas carrier
yang kami pikul. Semua itu beliau lakukan demi tanggungjawabnya menafkahi
keluarga. Menghidupi istri dan anak-anaknya. Bertemu dengan Bapak Porter
menyadarkan aku bagaimana berkorban dan berjuangnya Orang Tua kita demi
kebahagiaan keluarga.
Bisa dikatakan perjalanan turun ini aku lebih sering berhenti untuk istirahat,
karena jalan yang menanjak dan curam. Belum lagi melewati celah gunung
yang licin dan berbatu. Namun tidak ada sedikitpun rasa menyesal melewati
jalur ini. Pemandangan yang indah dan udara segar angin sejuk menampar tubuh membuat aku yakin akan merindukan tempat ini.
Udara sejuk melewati perkebunan yang di tanami berbagai macam sayuran dan
buah-buahan. Bunga-bunga berwarna-warni tumbuh di pinggiran jalan se
Rumah adalah di Mana Pun
tapak. Aku berbatin, "Tempat dengan suasana seperti ini sangat bagus sekali
jika dijadikan latar belakang video clip sebuah lagu." Kemudian aku berlari-lari
kecil, berputar-putar ke kiri dan ke kanan. Sambil mengajak Aan menyanyikan
lagu My Heart. Ambil reff nya aja ya. Udah iya-in aja.
If you love somebody could we be this strong
I will fight to win our love will conquer all
Wouldn?t risk my love, even just one night
Our love will stay in my heart
My heart....
Aku dan Aan tidak terlihat seperti Acha Septriasa dan Irwansyah. Kami berkejar-kejaran di taman bunga. Sampai hujan turun pun kami menari dan menyanyi di bawahnya. Bukankah kami lebih terlihat seperti Rahul dan Anjali di
film Kuch-kuch Hota Hai? Abaikan. Kemudian Inspektur Vijay datang, dia memang selalu tiba belakangan. Lho bukankah di film Kuch-kuch Hota Hai tidak
ada pemeran sebagai penjahat? Aku bingung. Inspektur Vijay lebih bingung
lagi. Aku memang korban film India, tapi aku selalu suka setiap kali melihat
kamu tertawa di dalam candaku yang tidak lucu.
Senja itu kami tiba kembali di Pos Ranu Pani. Walau kita sampai di sini nggak
berbarengan. Ada yang lebih dulu, ada yang lebih awal, dengan waktu yang
tidak begitu lama, tapi kita saling menunggu untuk sama-sama menyantap
bakso Ranu Pani yang menjadi bayang-bayang perjalananku saat turun melewati perkebunan.
Dari kejauhan sudah terlihat bapak sopir truk dengan truknya yang sudah
menunggu kami. Dengan perasaan hati gembira kami semua mendekati pak
sopir truk yang akan membawa kami kembali ke Pasar Tumpang dan kemudian
kami dapat kembali pulang ke rumah masing-masing. Tampak raut wajah kami
seperti mengatakan: 'alhamdulillah-bantal-guling-kasur-aku-datang-padamu?.
Oke, mungkin yang seperti itu hanya raut wajah ku. Ah, tapi kenyataan akhirnya
kita yang di buat menunggu sama Bapak truk.
Rumah adalah di Mana Pun
Bapak truk tidak mau mengangkut aku dan teman-teman, dikarenakan jumlah
kita hanya ber-tujuh. Udah nego kayak gimana pun bapak truk tetap tidak setuju. Dengan sabar kami menunggu turunnya pendaki-pendaki lain. Jika banyak
tumpangan dalam truk, maka dengan begitu Bapak truk akan dengan senang
hati mengangkut kami. Ini lebih perih dari di-PHP-in sama gebetan. Bapak truk
PHP.
Tiga jam berlalu. Langit gelap. Hujan turun lagi. Sepi tidak ada tanda-tanda
kedatangan batang hidung pendaki lain. Bapak truk masih menebar PHP. Agar
tidak merasa bosan, aku dan teman-teman yang lain keluar-masuk sebuah
warung. Di tengah suasana seperti ini, mendoan dan pisang goreng hangat bisa
lebih menenangkan perasaan kami. Memang benar, di setiap cobaan pasti ada
hikmahnya. Hikmah yang aku dapat di sini adalah aku bisa lebih punya waktu
lebih lama dengan mereka, sebelum akhirnya kita berpisah. Lebih banyak
waktu lagi untuk saling mengenal, untuk saling bercanda dan bertukar cerita
maupun pengalaman.
Melihat kesabaran kami, atau mungkin kasihan, atau mungkin bapak truknya
yang capek menuggu pendaki lain. Akhirnya kami di angkut juga ke Pasar
Tumpang. Sepertinya Bapak truk merasa bersalah dengan sikap PHP-nya.
Sesampainya di Pasar Tumpang, entah karena suhu udara di sana dingin, atau
perut kami yang memang ususnya sampai telapak kaki, bawaannya perut cepet
banget merasa lapar. Sate Kambing dan Soto Tumpang incaran awal kami.
Kurang lengkap rasanya jika pergi traveling ke suatu daerah tanpa mencoba
kulinernya.
Rasa lelah ini dilawan dengan persaan sedih saat kami mulai mengucapkan
kalimat perpisahan di Stasiun Gubeng Surabaya. Berpisah dengan orang-orang
yang bahkan kami pun tidak saling kenal sebelumnya. Dan Mahameru yang
membuat kami seperti keluarga. Sebelum berpisah pun kami membuat perjanjian: "Kalau di antara kita ada yang menikah, jangan lupa undang-undang ya."
Aku terkesima dengan perjanjian yang kita buat ber-sebelas-orang-ini. Terima
kasih teman-teman, berjalan di atas awan bersama kalian adalah pengalaman
yang luar biasa.***
Rumah adalah di Mana Pun
Gading Rinjani, Gadis kelahiran Lombok yang ditubuhnya mengalir darah Suku
Jawa dari Ayah dan Suku Sasak dari Ibu ini, sejak bocah memang suka bertualang
bersama teman-teman di desanya. Seperti sebuah perjalanan, ia memilih kuliah di
Yogyakarta. Gadis yang juga menggemari Film Bollywood ini tidak akan melewati
Wisata Kuliner di setiap perjalanannya. Hobbynya doyan makan banyak membuat
gadis lain envy, karena berat badannya segitu-gitu aja. Temukan kicauannya di
akun twitter @gadingrinjani
Rumah adalah di Mana Pun
Kelana Bentang Ranah Minangkabau
Indri Juwono
Pendekar Naga Putih 14 Pusaka Bernoda Kindo 01 Wasiat Di Puri Elang Pendekar Rajawali Sakti 116 Datuk Muka
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama