Ceritasilat Novel Online

Rumah Dimanapun 3

Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan Bagian 3

anyak orang yang pertama kali bertemu denganku mengira aku berasal dari tanah Minangkabau. "Kamu Padang ya, In?" tebak mereka.

Bukan cuma aku, bahkan mamaku sering sekali mendapat pertanyaan

yang mengarah sama. Padahal aku paduan Jawa Sunda dan tidak ada darah

Minang sama sekali. Lama kelamaan, jadi penasaranlah aku dengan daerah

yang terletak di Provinsi Sumatera Barat yang memiliki ibu kota Padang ini.

Informasi pegunungan, danau, air terjun, pantai, bentang alam yang bervariasi,

juga makanan dengan rasa yang menggoda lidah, me?narikku untuk mencoba

berkeliling sebagian tempat di sana. Akhirnya aku merencanakan mengunjunginya di akhir Maret 2013 lalu, menikmati kota ke kota yang penuh dengan

pemandangan kehijauan bumi khatulistiwa.

"Fel, ke Padang, yuk!" sapaku dalam pesan singkat lewat WhatsApp kepada

Felicia, seorang sahabat yang bekerja sebagai ahli biologi dan menghabiskan

hari-harinya di hutan untuk mengamati kelelawar. Impianku ke Padang sudah

terpupuk sejak zaman kuliah, aku ingin melihat Rumah Gadang, bangunan khas

dari tanah Minangkabau, dan mengamati kehidupan dari dekat di dalamnya.

Sebagai arsitek, aku selalu tertarik untuk melihat permukiman, salah satu bentuk pengolahan ruang untuk memenuhi kebutuh?an dasar manusia.

Sementara Felicia, ia tertarik dengan keindahan alam Minangkabau. Gadis bertubuh mungil yang mudah diajak jalan ke mana saja ini - baik gunung, pantai,

kota atau desa -, hampir-hampir tidak berangkat karena tiba-tiba perusahaan

tempatnya bekerja mengirimnya ke Soroako bertepatan dengan tanggal keberangkatan kami. Untung saja, tugasnya diundur sehingga rencana kami tetap

berjalan sesuai persiapan.

Kami tidak pernah pergi hanya berdua saja karena sebelumnya selalu dalam

rombongan besar, sehingga perjalanan ini terasa unik karena semua harus

kami putuskan berdua. Jika biasanya kami mengurus banyak orang, kali ini

kami santai berbagi tugas mencari data tentang lokasi. Apalagi soal makan,

tidak satu pun dari kami yang rewel. Makanan hanya ada enak dan enak sekali,

selorohku. Siapa bisa menolak masakan Minangkabau? Kelezatannya terramu

dari bumbu yang kaya rempah sehingga meninggalkan rasa lama di lidah. Sudah terbayang berbagai makanan yang tak boleh kami lewatkan nanti.

Selama 3 bulan, kami berdua bertukar info hanya dengan satu file di google

drive berisi rancangan itinerari, lokasi yang akan dikunjungi, narahubung, dan

penginapan yang akan dituju. Karena kesibukan kami tidak memungkinkan

bertemu, setiap ada info pasti kami taut di google drive sehingga yang masingmasing bisa membaca.

"Naik DAMRI saja!" seruku di bandara Minangkabau ketika kami tiba pukul 8

pagi. Mencoba transportasi umum adalah salah satu yang harus dilakukan

untuk mendapatkan ongkos transportasi yang lebih murah. Dengan aplikasi

google map di smartphone, kami bisa memetakan arah tujuan sehingga bisa

memperkirakan waktu perjalanan. Setelah sekitar 35 menit di dalam bus, kami

tiba di kota Padang dan turun di depan Museum Adityawarman. Dari situ, kami

berjalan kaki ke arah Pelabuhan Batang Arau yang merupakan tempat bertolak

menuju Pulau Sikuai, tujuan pertama kami hari itu.

"Lho, kok tutup kantornya?" kata Felicia kecewa melihat kantor PT Sikuai Island yang tergembok pagarnya. "Jadi kemarin kontak di website-nya susah

dihubungi itu karena tutup, ya?" tambahku. Aku memasang kacamata hitam

sambil mengedarkan pandangan berkeliling di tepi jalan yang mulai panas

di tepi sungai Batang Arau itu. Kulihat seorang lelaki bertubuh agak gemuk,

berkulit gelap, dan berambut keriting berjalan menghampiri kami.

"Sikuai, Dik? Kalau lewat kantor sudah nggak jalan lagi. Sewa boat saja sama

saya. Satu juta dua ratus saja pulang pergi, nanti bebas mau di sana sampai

Rumah adalah di Mana Pun

jam berapa. Bisa nombak ikan juga sama penjaga pantainya di sana. Sudah

gratis masuk pulaunya, nggak bayar karcis lagi."

Wah, sewa boat sendiri? Apa tidak terlalu mahal untuk kami yang hanya berdua ini? Aku dan Felicia berpandang-pandangan. Anggaran kami hanya dua

ratus lima puluh ribu per orang untuk pergi ke Pulau Sikuai. Tapi untuk tidak

berangkat, kok tanggung sekali karena kami sudah sampai sini.

"Bisa kurang lagi, Pak? 'kan saya cuma berdua, berat kalau segitu. Atau kita

tunggu lagi barangkali ada yang mau sharing," tawarku. Barangkali saja ada

orang lain yang mau ke Sikuai dan kami bisa berbagi biaya sewa perahu 'kan

lumayan, pikirku. Sekitar lima belas menit kami berdua tetap nongkrong di tepi

jalan dan berharap harganya turun.

Bapak itu kembali lagi, dan memberi penawaran terakhirnya, "Delapan ratus

deh, Dik. Buat isi solarnya aja, soalnya kapal ini punya sendiri. Langsung saya

antar sekarang, cuma satu jam di jalan, adik bisa main sepuasnya di sana."

"Kalau mau putar-putar snorkelling bisa ya, Pak?"

"Iya, saya antar. Nanti bisa lihat Pulau Pagang juga yang banyak bulenya. Bisa

mandi juga kalau sesudah dari pulau Sikuai, karena di Sikuai tak ada airnya."

Okelah, walaupun agak lumayan di atas anggaran, namun kami berharap

mendapatkan keindahan yang sepadan. Setelah memberikan uang 200 ribu

untuk panjar membeli solar, kami membeli nasi dan lauk di satu rumah makan

Padang yang baru buka untuk bekal makan siang di Pulau Sikuai nanti.

Setengah jam kemudian kami sudah melaju di atas perahu kayu di Samudera

Hindia. Motor tempel yang mendorong perahu cukup memekakkan telinga.

Felicia memakai topi caping yang dipinjamkan oleh Pak Iin, tukang perahu itu.

Aku memakai topi lebarku berwarna merah jambu, sengaja kubawa untuk bermain di pantai siang ini. Angin bertiup agak kencang sehingga aku mengikatkan tali topiku agak kuat.

Ombak bulan Maret itu tidak terlalu besar, cenderung tenang malah. Di kejauhan, kami melihat Pelabuhan Teluk Bayur dan kapal-kapal besar yang bersanRumah adalah di Mana Pun

dar juga yang antre masuk pelabuhan. Posisi kami yang hanya beberapa ratus

meter di tepi garis pantai membuat pemandangan di darat tetap bisa dinikmati dengan mudah. Beberapa mercusuar berdiri tegak di tepian sepanjang

perjalan?an kami. Sesekali ada speedboat yang menyalip perahu kami dengan

suara menderu.

Setelah sekitar satu jam di kapal, sampailah kami di Pulau Sikuai. Dari kejauh?

an kami sudah melihat dermaganya yang berwarna merah. Kapal menepi dan

kami naik ke dermaga. Pulau ini benar-benar sepi. Hanya ada satu penjaga

pulaunya yang dikenal baik oleh Pak Iin. Kami berjalan menyusuri dermaga

menuju area bangunan utama. Di samping banyak pohon kelapa yang melambai-lambai. Benar-benar tempat yang nyaman untuk mengasingkan diri.

Tadinya, Pulau Sikuai merupakan resor yang dikelola oleh Sikuai Island Resort

yang berkantor di Jalan Batang Arau. Biasanya reservasi dilakukan di sana dan

ada ferry yang akan mengantarkan pengunjung di jam-jam tertentu. Dengan

tidak beroperasinya perusahaan ini, maka pengelolaannya pun menjadi terbengkalai. Ada satu bangunan utama di depan dermaga yang berfungsi seba?

gai ruang bersama yang cukup besar. Berbelok ke kiri, akan tampak deretan

pohon-pohon kelapa, jalan setapak, dan pondok-pondok sewa yang semuanya

menghadap pantai.

Kami menyusuri jalan setapak yang merupakan perkerasan keliling pulau. Pantainya memiliki buliran pasir putih yang cantik, namun banyak sampah pelepah

daun kelapa kering yang berjatuhan. Pantai ini menghadap ke laut yang langsung bertemu Pulau Panjang yang ditumbuhi hutan-hutan yang hijau. Di

sebelah kanan jalan setapak adalah pondok-pondok cantik yang dulu ramai

disewa turis untuk menikmati keindahan Sikuai. Pondok berwarna merah ini

dibuat dari kayu dan dicat merah cerah. Penjaga pulau menawarkan kami untuk

meng?inap dengan harga Rp500.000,- per malam.

Dari salah satu info tentang pemandangan indah di puncak, aku dan Felicia

memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi pulau. Terdapat tangga beton

menuju puncak bukitnya, dengan kondisi tidak terlalu bagus. Tiang-tiang lampu dari bambu di samping tangga mengiringi langkah ke atas.

Rumah adalah di Mana Pun

"Wah, tinggi juga ya, Fel!" ujarku terengah-engah. Dasar kami berdua pejalan

berenergi tinggi, asyik saja mendaki langkah demi langkah di tengah udara

panas yang mencucurkan keringat. Bergantian kami saling mengambil gambar

diri.

Beberapa saat dari puncak kami bertemu satu detektor gempa lalu melihat

jalan tangga menurun dan mendaki lagi. "Belum sampai juga, nih. Terus?" ta?

nyaku sambil mengambil napas.

"Sedikit lagi, nih!" Felicia berlari kecil menuruni lembah dan naik. Ternyata

sampai puncak memang indah ketika melihat sekeliling. Laut biru berpadu hijau toska memeluk pulau-pulau lain di sekitarnya. Sayang angin sedikit bertiup

dan panas menyengat itu membuat kami banjir peluh. Tak apalah, siapa juga

yang mengharap hujan di saat liburan?

Turun dari bukit, kami mencemplungkan diri di birunya laut tepi pantai putih.

Walaupun pantainya landai, namun tepat sesudah garis airnya, langsung lembah turunan curam yang banyak ikan warna warni berenang mondar-mandir

di situ. Cantik sekali melihat mereka bergerombol bermain di antara terumbu

karang.?

Melakukan perjalanan dengan sahabat selalu menyenangkan. Kami samasama paham kekuatan fisik masing-masing. Felicia tahu aku tak terlalu pandai

berenang, sehingga ia tidak memaksa untuk terjun langsung ke laut dari dermaga. Makanya kami memilih untuk berenang-renang di tepian langsung dari

pantai ke laut.?

Kami melanjutkan eksplorasi dengan berjalan sampai ujung pulau. Masih

terlihat sisa keindahan pulau ini di masa jayanya dengan jalan dermaga kayu

sampai perkerasan untuk jalur bersepeda keliling pulau ini. Pondok-pondok

juga masih berdiri kokoh hanya catnya yang mulai mengelupas. Namun denyut

kehidupan wisata di sini sudah menghilang, karena prasarana-prasarana pen?

ting juga banyak yang tidak berfungsi.?

"Sayang ya, pulau seindah ini nggak ada yang merawat dengan benar lagi,"

kataku sambil menunggu Pak Iin datang dengan perahunya di dermaga. "Padahal tempat ini enak untuk leyeh-leyeh menyepi. Kalau masih ada sepeda yang

Rumah adalah di Mana Pun

disewakan, lewat jalur yang tadi kita lewati 'kan asyik untuk keliling pulau,"

sambung Felicia. Seperti membaca pikiran saja, karena kami berdua samasama hobi olahraga. Hari ini walau pun naik turun bukit, mungkin kalau ada

sepeda kami masih sanggup untuk berkeliling.

Menjelang sore kami mampir Pulau Pagang untuk mandi dan membersihkan

diri. Tak disangka ketika melihat langit dalam perjalanan pulang terbentang

sebusur pelangi menghiasi langit di atas Pulau Sumatera di sisi timur kami.

Hingga perjalanan kami selama satu jam di kapal sebelum gelap, pelangi itu

masih menemani dengan warna cantiknya. Luar biasa sekali pemandangan ini,

apalagi di sisi barat matahari tenggelam membiaskan cahaya keemasan di perairan laut dan awan-awan berarak. Aku hanya bisa termangu atas kesempatan

melihat pemandangan indah ini. Kuucap syukur dalam-dalam.

Setiba kembali di Padang, kami berdua berjalan menyusuri tepi pantai hingga

tempat menginap di Hotel Hangtuah. Sempat malam-malam mencoba Martabak Kubang yang tersohor itu di lokasi aslinya di Jalan M. Yamin, dan ternyata

benar, enak banget! Lokasinya juga tak jauh dari hotel tempat menginap. Rupanya, hotel kami termasuk strategis jika ingin berkeliling jalan kaki. Paginya de?

ngan smartphone Felicia, kami memetakan jalur ringan sebelum siang bertolak

ke Bukittinggi.

"Kita ke Taman Budaya 10 menit, Museum Adityawarman di seberangnya, terus

jalan kaki 30 menit sampai Es Krim Ganti Nan Lamo, baru minta dijemput sopir

di situ," ujar Felicia usai mengecek arah dengan aplikasi google map. Sejak di

Jakarta aku juga sudah bolak-balik membaca google map kota Padang sehingga sudah agak familiar dengan jalanan di kota ini. Dalam perjalanan bersama,

apalagi berdua saja, kami harus sama-sama tahu apa rencana perjalanan, tidak

hanya menggantungkan pada yang lain. Kalau sampai berselisih tentu tidak

enak dan nyaman perjalanannya. Untunglah kami berdua punya "frekuensi"

yang mirip, sehingga model becandaan pun sama. Aku yang memilih hotel,

sementara Felicia mencari kontak transportasi. Itinerari pun kami susun berdua

dengan mengandalkan peta.

Rumah adalah di Mana Pun

Sayangnya, Taman Budaya yang kami datangi tidak buka dan tidak ada kegiatan sehingga aku hanya berkeliling dan memotret arsitektur bangunannya.

Terdapat teater terbuka juga gedung auditorium yang besar untuk pertunjukan.

Yang bisa dilihat langsung adalah satu pendopo kayu di sudut depan teater

terbuka. Langit-langitnya yang tinggi dengan susunan kayu lambrisering1

juga hiasan tiangnya mempercantik detail bangunan ini. Panggung datar di

tengah bangunan terbuat dari kayu yang bisa berderak jika pelakon panggung

bergerak di atasnya. Aku membayangkan sastra Melayu yang indah itu dibahasakan dan diteriakkan lantang di ruang-ruang pertunjukan terbuka ini. Juga

terbayang muda-mudi berlatih Tari Piring yang biasanya hanya kulihat di acara

pernikahan saja. Semoga dengan ruang kultural seperti ini, kebudayaan alami

tidak punah digerus arus global dan terus ada generasi yang menganggap lokalitas itu sesuatu yang tetap keren dan bangga akan kekhasannya.

Kami menyeberang jalan untuk tiba di Museum Adityawarman. Bangunan ini

berbentuk Rumah Gadang khas Minang yang amat besar di tengah pekarangan

yang cukup luas. Ada dua bangunan lumbung di depannya. Terdapat tangga

besar di depan sebagai jalan masuk utama ke museum. Pintu dan jendelanya

diukir dengan motif organik yang kaya, salah satu motif kekayaan Nusantara.

Bangunan ini memanjang dari barat ke timur dan menghadap ke selatan.

Setelah berfoto-foto di depan, kami celingukan karena pintu utama depannya

tertutup.

"Wah, gimana cara kita masuk?" tukasku.

"Masa nggak ada yang jaga, sih? Ini 'kan masih hari Sabtu," sambung Felicia.

Kami menyusuri samping museum dan menemukan seseorang di depan sebuah kantor kecil. "Masuk saja lewat belakang lalu naik tangga ke atas, Dik,"

jawabnya setelah kami menanyakan cara masuk museum. Di taman belakang,

kami melihat arca Adityawarman yang namanya dijadikan nama museum.

Beliau adalah nama salah seorang raja yang pernah berkuasa di Malayapuraya

dengan masa pemerintahan antara 1347-1375 M.

Masuk ke bawah museum, terdapat berbagai peralatan berburu dan peralatan

memasak di zaman dulu. Bahkan ada goggle yang dipergunakan untuk me?

Lambrisering: bilah-bilah kayu yang disusun memanjang

Rumah adalah di Mana Pun

nyelam beserta tombak untuk mencari ikan. Beberapa binatang khas Sumatera

juga dipasang sebagai awetan di situ. Aku bergidik ngeri melihatnya. Sementara Felicia si ahli biologi ini menjelaskan cara membuat awetan dari binatang

mati.
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami bergerak ke atas, menuju ruang pamer utama. Di sini, diperlihatkan singgasana pelaminan Minang, juga hantaran yang harus dibawa saat acara lamaran. Selain itu, juga ada bagan matrilineal atau garis keturunan dari pihak ibu

yang banyak dianut oleh keluarga-keluarga di Minang.

Keluar dari museum, udara mulai terik menyengat padahal masih jam 10 pagi.

Tapi itu tidak mengurungkan niat untuk berjalan ke Es Krim Durian Ganti nan

Lamo karena kelelahannya pasti terbayar sepadan. Setelah kira-kira 20 menit

berjalan ditambah tanya sana sini untuk menuju Jalan Pulau Karam, sampailah

di kedai dengan nuansa kuning yang tidak terlalu ramai ini. Bau harum durian

yang menguar membuat terbit air liur untuk segera mencicipi es krim durian

ini. Kami memesan dua mangkuk es krim durian float yang terdiri dari es krim

durian, dan tiga scoop es krim vanila, cokelat, strawberry, yang dihidangkan

dengan pacar cina dan susu kental manis cair dan campuran lainnya. Rasanya,

wuih, jangan ditanya. Lokasi ini wajib dikunjungi jika kamu penggemar durian

dan sedang berkunjung ke Padang.

Tak lama, sopir pesanan Felicia yang akan membawa kami ke Bukittinggi

datang. Kami diantar ke hotel setelah sebelumnya membeli oleh-oleh khas

Padang. Setelah membungkus beberapa penganan khas yaitu kripik singkong

pedas Sanjai khas Padang. Walaupun berupaya menekan biaya, tetap saja ingin

membawa oleh-oleh untuk beberapa orang dekat di tanah Jawa, daripada menyesal tidak mencicipi penganan lezat dari kota asal ini.

Dari situ kami bertolak ke Jembatan Sitti Nurbaya yang membentang di atas

Sungai Batang Arau yang penuh dengan kapal-kapal. Pemandangan rumahrumah yang tersusun bertingkat-tingkat di bukit seberang sungai melatari

jembatan ini. Kalau malam, banyak pedagang makanan di jembatan ini untuk

dinikmati bersama keindahan lampu-lampu kota. Bergantian aku berfoto de?

ngan sahabatku ini. Asyiknya perjalanan bersama itu, ada yang bisa diminta

foto kalau menemukan spot bagus. Apalagi Felicia ini bermata bagus untuk

menemukan momen unik.

Rumah adalah di Mana Pun

Tak lupa juga mengunjungi Pantai Air Manis yang yang berjarak sekitar 30

menit dari kota Padang dan terkenal sebagai pantai tempat legenda Malin Kundang dikutuk jadi batu. Agak kecewa juga, karena batu kutukan itu sudah mulai

rusak. Namun pantainya yang amat lebar dan relatif landai datar dengan latar

pulau penuh pohon kelapa di tengah laut mengobati kekecewaan kami. Tak

lama kami berada di sana karena sinar matahari tepat berada di ubun-ubun.

Pak sopir pun membawa kami kembali ke Padang menuju Bukittinggi.

"Saya kepengin lihat Rumah Gadang, Pak," kataku pada Pak Iis, sopir yang

meng?antar kami ke Bukittinggi ketika kami istirahat makan siang di Soto Garuda, restoran khas Soto Padang yang terkenal. "Sejak kuliah dan belajar tentang

rumah adat, ingin sekali berkunjung ke lokasi-lokasi aslinya."

"Sudah ke Museum Adityawarman? Kalau mau lihat gonjong nanti di tepi jalan

banyak bangunan. Ada rumah, hotel, restoran, banyak kok bangunan yang ada

gonjongnya seperti Rumah Gadang."

"Bukan, yang mau saya lihat Rumah Gadang asli. Rumah Gadang yang masih

ada yang tinggal di dalamnya dan beraktivitas. Ingin tahu ruangan-ruangan di

dalamnya, bahan bangunannya, sudah umur berapa."

Memang salah satu ketertarikanku ke Minangkabau adalah rumah adatnya

dengan gonjong atau atap model tanduk kerbau yang cuma bisa ditemui di sini.

Jika hanya melihatnya di museum, rasanya kurang berjiwa. Bukannya rumah

itu didirikan untuk satu kebutuhan? Lalu bagaimana sebuah rumah bergonjong memenuhi fungsi bertinggal sebuah keluarga? Itu yang ingin kuintip dari

Rumah Gadang.

Perjalanan ke Bukittinggi yang biasanya bisa ditempuh dalam waktu 2 jam,

molor menjadi 3 jam karena ada kemacetan di beberapa titik SPBU. Apalagi ini

long weekend, membuat banyak orang Padang yang berwisata ke Bukittinggi.

Untung aku pergi dengan Felicia. Watakku yang agak tidak sabar pada kema?

cetan agak redam dengan adanya teman seperjalanan yang lebih tenang.

Sayang ketika kami lewat air terjun Lembah Anai, hujan turun rintik-rintik yang

membuat kami enggan melangkahkan kaki keluar dari mobil untuk menikmati

air terjun yang berada di tepi jalan sekitar satu jam sebelum kota Bukittinggi.

Rumah adalah di Mana Pun

Kami berpikir untuk mampir di saat pulang dan melanjutkan perjalanan sampai

kota Padangpanjang yang di situ terdapat sate padang Mak Syukur yang lezat.

Walaupun hanya tujuh tusuk seporsi, namun ukuran dagingnya yang besarbesar ditambah aroma kunyit segar di bumbunya, menghangatkan perut kami

yang lapar lagi akibat udara dingin.

Hari sudah menjelang gelap ketika kami akhirnya tiba di kota berkabut itu. Pak

Iis mengarahkan mobil ke depan Jam Gadang yang terkenal itu. Kami berdua

turun walaupun masih tersisa rintik halus membasahi rambut. Jangan mengaku ke Bukittinggi kalau tidak ke Jam Gadang. Satu area seluas kurang lebih

1000 m2 berada di sekeliling menara putih yang menjadi ikon khas kota ini.

Plaza sekitar jam ini penuh dengan pedagang yang menjajakan cinderamata

dengan obyek Jam Gadang. Dari pedagang balon sampai tukang foto keliling

menawarkan jasanya.

Menurut keterangan di situ, Jam Gadang sudah mengalami kemiringan sebesar

dua derajat pada tahun 2010. Menara yang didirikan pada tahun 1926 ini diba?

ngun tanpa menggunakan besi penyangga dan adukan semen. Campurannya

hanya kapur, putih telur, dan pasir putih. Dalam puluhan tahun sejak berdirinya,

memang dimungkinkan terjadi perubahan tumpuan menara jam ini. Jika tidak

direstorasi sejak sekarang, bisa saja Jam Gadang bernasib seperti Menara Pisa

di Italia.

"Sandaran di pagar, Fel..." sambil mengarahkan Felicia untuk difoto dengan

latar menara jam ini. Agak sulit memotret keseluruhan menara jika tidak sambil

jongkok dan kamera diletakkan di mata kaki kemudian lensa diarahkan pada

sudut yang tepat. Gadis bercelana selutut itu mengikuti arahanku hingga aku

mendapat satu komposisi menarik.

Ketika hari sudah benar-benar gelap kami meninggalkan plaza kecil itu walaupun masih banyak orang menikmati malam di situ. Pantas saja ramai, rupanya

ini malam Minggu, sehingga banyak muda-mudi yang menghabiskan waktu

dengan bercengkrama di situ. Kami masuk mobil untuk mencapai hotel yang

sebenarnya tak terlalu jauh dari situ. Ternyata kami sempat tersesat kelewatan

beberapa kilometer. Ah, tapi tersesat itu biasa. Tidak seru kalau semua perjalanan dilalui dengan mulus-mulus saja.

Rumah adalah di Mana Pun

Baru saja kami menertawakan kebodohan berdua karena salah memetakan

jalan, sesampai di hotel ternyata kondisinya tidak seperti yang diharapkan. Kali

ini Felicia mengeluh karena kamarnya agak pengap juga tidak memakai AC.

"Dapat harga berapa di sini? 200 ribu? Waktu aku ke Kinabalu kemarin, kamarnya sekitar 150 ribu tapi lebih bagus dari ini," komentarnya sambil berganti

pakaian. Aku yang memesan hotel itu lewat internet jadi agak merasa sayang

juga, "Sudahlah, cuma semalam ini. Mau cari yang lain juga sayang uangnya.

Udaranya sudah cukup dingin nggak perlu AC, deh," sabarku.

"Kamar mandinya jelek begini, suasananya juga nggak jelas," keluhnya lagi

memeriksa kloset duduk yang tak bertutup, dan lantai yang retak di sana sini.

Aku jadi tak enak hati, karena data hotel yang aku dapatkan benar-benar cuma

dari internet, dan aku langsung?booking?saja karena murah. Wah, sudah waktunya menaikkan anggaran harian buat penginapan nih, pikirku yang selalu

menghitung tiga ratus ribu sehari per orang untuk makan, transpor dan penginapan. Ada seorang teman yang berprinsip, pokoknya kalau tidur harus enak,

karena?recovery?di perjalanan itu penting. Siasatnya, hemat di dana transpor.

Baiklah, lain kali benar-benar harus mengecek tingkat kelayakan hotel yang

mau dipilih. Harus pantas dengan apa yang dibayarkan.

"Besok pagi-pagi sekali kita langsung jalan saja ke Ngarai Sianok, nggak usah

sarapan di sini, cari makan di Pasar Atas saja," ucapku sebelum keluar makan

malam. Meskipun cuek dan biasa tinggal di hutan, sahabatku ini rupanya masih

pemilih juga. Bukan ia tak bisa tidur di tempat seperti ini, namun tak minimnya

informasi yang kami dapat sehingga menempati lokasi yang menurut kami

yang salah. "Ya, sudahlah besok begitu saja," sambil membuka pintu keluar.

Sesudah makan malam martabak, roti cane, mie goreng dan menelan lagi

segelas teh talua hangat, rasanya badan menjadi enak dan berat untuk beristirahat serta tidak lagi mengindahkan kondisi kamar tersebut.?Penting untuk

mengenal pribadi masing-masing sehingga hal-hal yang terasa mengganjal

bisa dibicarakan langsung dan dicarikan jalan keluarnya. Bukankah itu artinya

sahabat? Daripada tak jujur dan memendam perasaan tak enak yang akan

mengganggu perjalanan.?Memang sering ada hal yang tidak cocok engan rencana, namun jika dipersepsikan tak mengganggu dan menemukan kompromi,

selanjutnya bisa lebih menyenangkan.

Rumah adalah di Mana Pun

***

Namun kami tetap bangun pagi-pagi sekali untuk check out. Tepat pukul 6 pagi

aku dan Felicia sudah menggendong ransel berjalan-jalan menuju Museum

Bung Hatta di tengah jalanan yang berkabut agak tebal sambil menunggu dijemput sopir. Tentu saja museumnya belum buka. Bahkan pagarnya pun masih

tergembok sehingga aku cuma bisa memotret sebagian dinding bangunan

sampingnya yang terbuat dari anyaman bambu yang disusun horisontal, sehingga udara bisa menyelisip di antara bilah-bilah yang tersusun itu.

Bangunan ini adalah rumah kelahiran Bung Hatta yang lahir pada tanggal 12

Agustus 1902. Selama 11 tahun beliau tumbuh di bangunan kayu asri ini, de?

ngan gaya tropisnya yang khas. Ada teras depan untuk bersosialisasi, baik di

bawah maupun di atas sebagai balkon. Terdapat beberapa jendela ganda, sepasang jendela luar dengan papan masif, dan sepasang jendela dalam dengan

bingkai kaca. Untuk mengantisipasi hawa dingin di Bukittinggi, jendela bagian

luar bisa dibuka dan jendela kaca tetap tertutup.

Rupanya belum selesai petaka nyasar di Bukittinggi, karena menuju Ngarai

Sianok pun masih berputar-putar di dalam kota karena Pak Iis lupa jalan dan

belok?annya. Ternyata kota Bukittinggi ini kecil namun benar-benar berbukitbukit. Kami sempat melewat Jam Gadang dua kali sebelum menemukan arah

dan belokan yang benar menuju Tembok besar Koto Gadang, yang baru diba?

ngun untuk menikmati cadas batu Ngarai Sianok.

Dari awal jalan masuk ke arah Ngarai sudah cukup ramai. Kami maklum, karena

itu hari Minggu sehingga banyak orang yang berolahraga. Bapak-bapak, ibuibu, anak-anak, bahkan puluhan anak sekolah berjalan-jalan dengan pakaian

olahraga di sini. Jalur mendekati ngarai selebar dua meter dengan perkerasan

paving block arah menurun. Kiri dan kanannya adalah pangkasan bukit yang

ditumbuhi hutan-hutan. Setelah 15 menit berjalan, tampak bentang batu de?

ngan puncaknya yang masih tertutup kabut. Lama-kelamaan kabut naik dan

puncaknya bisa dilihat dengan jelas. Hamparan tebing batu ini memanjang bisa

dinikmati sepanjang tepi sungai, yang merupakan titik terendah lembah ini.

Sungai ini juga bisa diseberangi dengan jembatan gantung yang ramai orang

mengantri menaikinya. Ada petugas yang menyilakan setiap beberapa orang

Rumah adalah di Mana Pun

untuk lewat di jembatan sesuai kapasitas yang diizinkan. Ketika mendapat

giliran untuk menyeberang jembatan, aku dan Felicia berniat berfoto-foto di

tengah jembatan, tapi ternyata banyak orang yang mengantri sehingga kami

mengurungkan niat itu sebelum tiba di seberang.

Baru di ujung jembatan kami mulai mendaki Koto Gadang yang didesain mirip dengan tembok Cina itu. Setelah beberapa menit mendaki puluhan anak

tangga, aku dan Felicia mulai lelah. "Di mana ini berakhirnya, Uni?" tanyaku

pada seorang perempuan yang juga berjalan pagi di situ. Nanti di dekat pasar,

jawabnya ramah. Berhubung perjalanan kami masih jauh, kami memutuskan

untuk kembali lagi ke tempat kami diturunkan pak sopir. Sesudah menyeberang

kembali jembatan gantung, ternyata berjalan balik ke titik awal yang menanjak

cukup menguras tenaga. Lumayanlah untuk olahraga pagi.

Dengan perut lapar dan lelah, kami menuju Pasar Atas yang berada tepat di

samping Jam Gadang untuk sarapan Nasi Kapau. Sebelumnya salah seorang

teman di Jakarta sudah mewanti-wanti agar tidak lupa mampir Nasi Kapau di

Pasar Atas ini karena masakan Minang di sini lezat tiada duanya. Ngiler dengan

penjelasannya, kami?blusukan?mencari warung yang dimaksud. Ternyata hanya

sebuah warung makan yang agak luas di tengah pasar yang kalau siang banyak

menjual kain songket itu. Berbagai foto artis maupun pejabat menunjukkan

bahwa warung ini memang layak untuk dikunjungi karena masakannya terbukti

enak. Sayangnya, waktu masih menunjukkan pukul setengah 9 dan masakan di

warung ini belum matang.

"Fel, makannya di jalan saja yuk. Cari nasi kapau yang lain. Nanti mau jam

berapa kita sampai Payakumbuh?" bisikku gelisah memikirkan jadwal kami

yang padat. Felicia mengecek jarak tempuh di smartphone-nya, "Lah, sebentar

lagi, In. Tunggu matang dan dicoba, deh. 'kan tujuan kita sampai Pasar Atas ini

untuk coba masakannya. Masih terkejar." Aku tetap merasa gamang. 'Kan tidak

lucu kalau kami nanti ketinggalan pesawat pulang.?

"Bu, ini masih berapa lama lagi matangnya?" kejarku. "Sudah matang ini, Dik.

Itu sudah datang makanannya. Sebentar disusun, nanti adik bisa foto-foto di

sana," sabar Uni Lis yang melihatku gelisah. Mungkin dikiranya aku sudah lapar

sekali.

Rumah adalah di Mana Pun

Untunglah janjinya benar. Segera tersusun masakan dalam mangkuk-mangkuk

stainless steel yang ditumpuk-tumpuk. Felicia sempat kufoto bergaya girang

ala Uni-uni penjual Nasi Kapau dengan sendok panjangnya. Aku memesan

ayam gulai dan dendeng bercabai dengan teh talua. Karena masih terlalu pagi,

rendang impian kami belum matang. Sudah dua hari makan berbagai macam

makanan minang, belum makan rendang itu rasanya belum komplet.

Sesudah kami bertiga kenyang, mobil melaju ke arah timur menuju kota Payakumbuh. Sekali lagi aku mengingatkan pada pak sopir bahwa aku ingin melihat

Rumah Gadang yang mungkin ditemui di tepi jalan. Beruntungnya aku, lepas
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setengah jam kami meninggalkan Bukittinggi, pak sopir berhenti dan menunjukkan satu Rumah Gadang tua yang berada di tepi jalan. Mulanya aku hanya

berdiri di pekarangannya, memotret-motret rumah tersebut dari luar.

"Mau masuk, Dik?" Pak Iis mengajakku untuk masuk.

"Malu, Pak. Memangnya boleh?" Harap-harap cemas namun gembira bercampur ingin, aku mengikuti pak sopir yang mengetuk pintu dan mengucap salam.

Setelah bercakap sejenak dalam bahasa Minang ternyata pemilik rumah mempersilakan masuk untuk melihat-lihat rumah. Wah, salah satu impianku me?

ngunjungi rumah-rumah adat di Nusantara terwujud di sini.

Menurut Uni Yuni, yang bertinggal di sini, rumah ini sudah ditinggali turun

temurun dan umurnya sudah lebih dari 100 tahun. Kami masuk melalui tangga

dari bagian samping, langsung menuju ruangan besar yang difungsikan seba?

gai ruangan bersama. Agaknya fungsi ruang bersama ini khas di banyak ba?

ngunan di Indonesia. Terdapat pesawat televisi juga dua speaker besar di antara dua tiang dengan hamparan tikar di depannya untuk menonton bersama.

Di bagian samping terdapat mesin jahit untuk sehari-hari yang diletakkan di

tepi jendela untuk pencahayaan alami. Di sebelah kanan terdapat kamar dan

dapur yang tak berdaun pintu, hanya ambang saja ditutup oleh kain yang disibakkan apabila penghuni mau lewat. Di rumah gadang, jumlah kamar disesuaikan dengan jumlah anak perempuan, sehingga apabila berkeluarga bisa tinggal

bersama suaminya di kamar-kamar tersebut.

Penghuni rumah memanfaatkan ruang bersama ini untuk melakukan kegiatankegiatan sehari-hari. Di area dekat pintu masuk terdapat lemari makan, kulkas

Rumah adalah di Mana Pun

dan meja makan yang dekat dengan ambang pintu bertirai menuju dapur. Di

sudut sebelahnya masih tertumpuk kayu bakar dan sekop untuk mengolah pekarangan. Untuk kegiatan mandi dan mencuci dilakukan di luar rumah gadang.

Sehingga harus keluar melalui satu-satunya pintu masuk yang tadi kami ketuk.

Terdapat 6 tiang kayu kotak berukuran 15 x 15 cm yang berfungsi sebagai

penunjang utama atap rumah ini. Lantai panggung berjarak sekitar 1.5 meter

dari tanah ini disusun dari papan-papan kayu yang disusun memanjang. Seluruh dinding bangunan juga terbuat dari kayu. Dinding luar pada bagian memanjangnya disusun horisontal, dengan lima jendela yang berjajar menghadap

jalan raya. Bilah-bilah kayu disusun membentuk pola mencapai tanah menutupi kolong bangunan.

Pada bagian dinding yang pendek, selain tertutup papan, pada bagian luarnya

juga dilapis dengan anyaman bambu yang disusun berdiri. Pelapis ini melin?

dungi area telanjang papan kayu supaya tidak mudah rusak karena langsung

terekspos cuaca. Jika di bagian memanjang bisa terlindungi oleh teritis2, maka

di bagian pendek terlindungi oleh anyaman bambu ini.

Atap rumah ini berbentuk dua pasang gonjong tanduk kerbau yang berbahan

seng. Sudah agak jarang pemasangan atap berbahan ijuk seperti yang dulu

dipakai di rumah gadang. Di balik atap ini terdapat struktur atap yang membentuk gonjong tersebut. Di rumah yang kami kunjungi ini, struktur atap tertutup oleh langit-langit yang terbuat dari papan-papan kayu. Fungsi lain dari

langit-langit ini adalah gudang untuk meletakkan barang-barang yang sudah

tidak terpakai lagi. Seperti halnya arsitektur kayu yang berusia tua, bangunan

ini tidak menggunakan paku untuk konstruksinya. Sambungan kayu diikat de?

ngan pasak, yang membuatnya lentur ketika gempa.

Sebenarnya aku tak puas berada sebentar di sini. Ingin di lain kesempatan

mencoba bertinggal beberapa hari supaya bisa mencecap bagaimana denyut

kehidupan di rumah gadang, juga merasakan bagaimana arsitektur kayu yang

lampau ini mengakomodasi iklim lokal dan tetap bertahan hingga kini. Menjejakkan kaki di salah satu peninggalan kekayaan budaya Nusantara semakin

meninggikan niatku untuk terus melestarikan lokalitas bangunan ini, mem2

Teritis: bagian atap yang menjorok ke luar

Rumah adalah di Mana Pun

populerkannya sehingga menjadi kebanggaan dan tidak tergerus modernitas

zaman.

"Aku pengen menginap di Rumah Gadang, Fel," cetusku, "Lain kali kalau kita

keliling Minangkabau lagi, harus cari kenalan yang punya Rumah Gadang buat

diinepin, ya!"

Sepanjang jalan menuju Payakumbuh mulai banyak tampak di tepi jalan

rumah-rumah gadang dalam berbagai ukuran. Ada yang besar terlihat tua

dan berwarna gelap, ada yang masih baru dengan nama terpampang di depan

pintunya, ada yang sudah agak lapuk, ada yang masih terawat. Aku tersenyum berbinar-binar. Impianku melihat pemukiman Minang ini tercapai dengan kenekatan membuat rencana perjalanan hingga ke Payakumbuh. Ranah

Minangkabau ini sangat luar biasa bentang alamnya.

Tapi itu hanya sebagian keindahan sebelum kami akhirnya tiba di Lembah

Harau yang berjarak sekitar setengah jam sebelah timur Payakumbuh. Dari kejauhan sudah tampak bukit batu, yang lama kelamaan dilihat dari dekat besar

sekali. Tebing-tebing batu ini membentang ratusan meter dengan kemiringan

hampir 90 derajat. Lamat-lamat dari jauh kami melihat air terjun yang jatuh di

antara tebing-tebing itu. Tidak cuma satu, hingga kami menyisip dengan mobil

di jalan di antara tebing-tebing batu itu, kami sudah melihat tiga air terjun yang

berjatuhan.

"Wah, air terjun! Obyek wisata favoritku! Kamera siaapppp??"

Tinggi tebing kira-kira 300-400 m itu melingkupi satu kawasan ini. Untungnya

dengan bentangan yang luas ini bisa dilalui dengan mobil dengan kondisi jalan

aspal yang cukup baik. Di jalur itu kami berbelok ke kiri dan menyusur tepian

tebing sejauh kira-kira satu kilometer. Ada satu tebing di kanan kami yang

dekat sekali dengan jalan, dan tebing di kiri kami yang terpisahkan oleh hutan.

Aku dan Felicia kagum melihat bentang batu yang sedemikian besar hampir

3-4 km panjangnya terdampar di dataran ini.

Di antara tebing-tebing itu, lagi-lagi kami melihat air yang meluncur jatuh

memecah batu dengan jarak dekat. Ada berapa banyak air terjun di sini ya,

Rumah adalah di Mana Pun

pikirku. Rasanya melihat begitu besar batu dan begitu banyak air terjun di

satu tempat membuat perasaanku senang bukan kepalang. Begitulah, bahwa

hampir setiap perjalananku aku menemukan air terjun yang bagiku bermakna

jatuhan pecahan yang menyimpan energi begitu besar, namun akhirnya tenang

di kubangan.

"Ayo coba teriak di sini!" Felicia menemukan echo point. Apabila kita berteriak

di titik ini, maka akan terdengar gema yang dipantulkan oleh tebing-tebing

batu tersebut. Aku dan Felicia mencoba bergantian berteriak. Puas mencoba,

kami melanjutkan perjalanan ke sisi kanan jalur masuk tadi.

Kami masih menyisiri sisi tebing sampai menemukan satu dataran luas yang

berdiri rumah adat Minangkabau di atasnya. Agaknya akan dibuat sebuah

resor atau tempat peristirahatan di sini, dengan rumah adat dan pemandangan

menghadap bukit-bukit batu raksasa itu di kejauhan. Terus ke ujung jalur jalan,

ada satu air terjun yang cukup ramai pengunjung. Di sekitarnya pun banyak

warung-warung yang berjualan makanan dan cinderamata dilengkapi dengan parkir mobil. Karena butuh, kami mampir sebentar ke kamar kecil, namun

a?khirnya memilih beranjak karena hari sudah semakin siang. Lembah Harau

dan bongkahan batu raksasanya memberi kesan keras dan panas hari itu, seolah diimbangi sejuk dengan air terjun yang berjatuhan di mana-mana.

Dari rekomendasi seorang teman, kami melanjutkan perjalanan ke Batusangkar. Kota ini terletak di antara Payakumbuh dan Padangpanjang, namun di

sisi perbukitan yang dekat dengan Danau Singkarak. Jadi ada satu simpang di

Nagari Lima Puluh Koto pada jalan raya Payakumbuh Bukittinggi yang menuju

selatan ke arah Batusangkar. Jalan yang dilalui berbukit-bukit dengan banyak

permukiman Minang. Tentu saja, karena lebih pedalaman, tak kurang dari 30

rumah gadang bisa dilihat di kampung aslinya. Ada yang di pekarangan berderet, ada yang berdiri sendiri di satu pekarangan besar. Terlihat juga aktivitas

orang-orang di sekitar rumah gadang, anak-anak kecil yang bermain di beberapa kolong yang terbuka.

Pemandangan di luar tak kalah indah. Dengan awan menaungi, kami melihat

Gunung Singgalang di sebelah barat yang puncaknya tertutup kabut. Sementara lembah kehijauan di kiri juga memanjakan mata di sepanjang jalan yang

Rumah adalah di Mana Pun

ditempuh sekitar satu jam itu. Sinyal ponsel pun kembang kempis. Seandainya

satu kali punya kesempatan ke sini lagi, ingin rasanya membawa tenda dan

berkemah di padang rumput itu sambil memandang indahnya pegunungan.

Tempat tujuan kami di Batusangkar adalah Istana Baso Pagaruyung. Bangunan

yang berada di Kecamatan Tanjung Emas, hanya beberapa menit dari pusat

kota Batusangkar ini merupakan kekayaan kerajaan Pagaruyung yang dipamerkan untuk dinikmati publik.

Tepat di tengah jalan masuk, berdirilah Istana Pagaruyung yang dibangun pada

tahun 1976 sebagai replika dari Istano Basa Raja Alam yang dibakar Belanda

pada tahun 1804. Jalan di depannya dibuat dari susunan batu pecah, yang

demikian lebar membentuk pelataran.

Sayang sekali, untuk menjaga kondisi istana, pengunjung tidak diperbolehkan

naik dan masuk. Kondisi istana yang beberapa kali terbakar ini sangat bagus.

Sempat terbakar di tahun 2007 akibat sambaran petir, renovasi besar yang

menelan biaya sebesar 20 milyar ini membuat obyek wisata ini semakin cantik.

Menurut data dari situs kota Batusangkar, bangunan ini terdiri dari 11 gonjong,

72 tonggak dan 3 lantai. Aku melihat di kolong panggungnya, terdapat ruang

pengelola dengan pintu dari bawah. Di situ juga bisa menyewa baju adat untuk

difoto.

Seperti khasnya rumah gadang, di sisi lebar istana ini pun tertutup oleh anyaman bambu yang dilapisi pengawet supaya tidak lekas lapuk. Atapnya pun

masih menggunakan ijuk hitam berlapis di dalamnya. Dinding, pintu dan jendela kayu yang melapisi sisi luarnya, ukiran-ukiran indah dari pengrajin terbaik

terpasang dengan motif organik berhiaskan warna-warna cerah. Di depan

terdapat anjungan depan sebagai ruang penerima, juga ada anjungan belakang

yang tertutup yang kemungkinan difungsikan sebagai ruang bertinggal atau

bangunan servis.

Di samping istana berdiri berpasangan dua surau untuk laki-laki dan perempuan. Ada bedug dari kulit sapi pada lokasi surau laki-laki yang dibunyikan

sebagai penanda waktu sholat. Sementara bagian belakangnya terdapat kolam

dan taman yang banyak dijadikan tempat bercengkrama muda-mudi di situ.

Area hijau ini sekaligus menjadi pemandangan dari jendela belakang istana.

Rumah adalah di Mana Pun

Alih-alih melihat setiap sudut bangunan sepertiku, Felicia berjalan ke arah

utara kompleks bangunan, untuk melihat pohon beringin yang terbelah dua

karena tersambar petir. Anak biologi ini memang lebih tertarik pada makhluk

hidup daripada hasil karya manusia sepertiku. Tak selalu dalam satu perjalanan

dua orang memiliki minat yang persis sama. Justru perbedaan itu membuat

pengalaman lebih kaya, dan lebih toleran. Sangat penting sama-sama mandiri

dan tidak mengkhawatirkan satu sama lain.

"Sudah jam tiga nih, In," telepon Felicia mencariku. "Barangkali macet di jalan

seperti kemarin," sambungnya. Aku yang sedang asyik memotret sudut-sudut

di bagian belakang istana agak terkejut. Wah, nggak lucu ini kalau ketinggalan

pesawat jam 8 nanti. Masih minimal 3 jam lagi perjalanan kami kembali dari

Batusangkar ke Padang.

"Sebentar, ya. Lima menit, deh," sambil mengacungkan lima jariku ketika melihatnya di depan istana. Aku berlari untuk memotret ke arah rangkiang yang

ber?arti lumbung di sebelah kiri depan istana. Bangunan ini tinggi langsing ha?

nya dengan dua gonjong di atasnya. Kualitas ukirannya pun sama dengan yang

di bangunan utama. Proporsi rangkiang ini sangat diperhatikan sehingga tidak

terlihat terlalu kecil terhadap istana.

Begitu duduk di mobil, segera Pak Iis memacu mobil menuju Padangpanjang.

Tadinya kami berencana mampir ke Danau Singkarak juga yang hanya berlokasi 15 km dari Batusangkar. Namun karena tak yakin terburu, akhirnya tujuan

itu kami lewatkan.

Tepi jalan yang kami lewati kali ini didominasi sawah. Agak jarang kendara?

an juga yang melintas karena medannya cukup lumayan, harus pengemudi

trampil yang bisa melalui jalan dua jalur dengan banyak tanjakan dan kelokan

ini. Untung kami melaluinya di siang hari. Kalau malam, terbayang gelapnya

ketika harus melintas tanpa banyak bertemu kendaraan lain.

Hampir jam empat sore ketika kami sampai di Padangpanjang. Dengan perut

lapar, kami mampir di satu Restoran Minang dan segera menyerbu rendang!

Rupanya sejak kedatangan kami dua hari sebelumnya, daging berbumbu kari

kebanggaan ranah Minangkabau ini belum mampir di lidah. Dengan sayur daun

singkong mentah dan sambal hijau, kami makan dengan lahap.

Rumah adalah di Mana Pun

Ketika di perjalanan kami melalui Air terjun Lembah Anai lagi, gerimis kembali

tiba. Jadi kami batal mampir lagi di air terjun tepi jalan itu. Aku yang kelelahan

kemudian tertidur sepanjang jalan. Akhirnya kami tiba di bandara Minangkabau

pukul 17:30. Wah, lega rasanya lebih cepat.

"Terima kasih, Pak. Minangkabau benar-benar indah sekali," ujarku dan Felicia

sambil berpamitan pada Pak Iis yang sudah menemani kami berputar-putar.

Aku senang sekali karena berhasil mewujudkan salah satu impianku melihat

Rumah Gadang yang berupa hunian. Memang, dengan niat yang cukup dan

rencana bertahap, satu per satu impian akan terwujud. Yang penting berani

mengambil keputusan untuk melangkah.***

Indri Juwono. Seorang arsitek yang menghabiskan waktu sehari-hari dengan

menggambar, suka baca buku sejak kecil dan koleksi ratusan buku dari sastra

hingga buku anak-anak. Hobi lari dan bersepeda, sesekali main basket untuk

menjaga kebugaran. Sering melewatkan hari libur di jalan, gunung, hutan, dan

pantai. Paling suka tersesat di permukiman arsitektur lokal, mengamati tatanan

budaya pembentuk ruang hidup dan gerak sosial. Menjadi finalis Skyscanner Bloscars Travel Award 2014. Blog :?www.tindaktandukarsitek.wordpress.com, fb : Indri

Juwono, twitter : @miss_almayra

Rumah adalah di Mana Pun

Rumah adalah di Mana Pun

Keyko Cecilia

Wahai lelaki yang menghidupkan gilaku,

Pertemuan adalah barang mewah yang

takkan kuhambur-hamburkan.
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat rindu menyaput kepala, seringkali

air mata menyelamatkannya dari gigil.

Jadi besok kita nggak malam mingguan, ya?" ujarnya. Ah dia, tahu saja cara

menggoda saya.

aya terduduk di atas kasur, di antara pakaian yang akan dikemas untuk perjalanan beberapa hari ke depan, sedang rintik hujan menahan

seorang lelaki di sebuah stasiun. Rasanya masih ada waktu beberapa

jam lagi untuk berkemas. Jakarta tampaknya ingin menyambut akhir pekan

dengan tanah basah. Tiket pesawat dengan harga promo yang sudah saya cetak berbulan-bulan sebelum hari ini, entah harus saya syukuri atau sesali.

I'll fly away tomorrow

To far away

I'll admit a clich?

Things won't be the same without you

Entah berapa lama saya terlelap dan akhirnya terbangun dalam keka?getan

yang luar biasa, dengan sepotong penggalan lagu Adelaide Sky-nya Adhitia

Sofyan tertinggal di kepala. Sontak saya memeriksa pukul berapa sekarang.

Fiuh. Sepertinya kebiasaan saya berkemas 30 menit sebelum berangkat masih

sulit ditinggalkan. Sebagai seorang pemalas, kali ini saya kembali menunjukkan

totalitas; saya urung mandi. Bukan karena saya, si anak kos ini, sedang berhemat sabun atau sampo, tapi memang sebagai time freak, saya punya ketakutan

luar biasa terhadap kata 'telat? (kecuali terhadap tenggat tulisan).

Bergegaslah saya memasukkan pakaian (yang terlihat di tengah 'kapal pecah?)

serta barang-barang pribadi lainnya termasuk sepatu lari super ngejreng berwarna kombinasi oranye dan kuning neon. Ke mana pun saya bervakansi, selalu

saya niatkan untuk lari di sana. Walau seringkali niat itu terjawab oleh iler di

pukul enam pagi. Setelah saya rasa segala keperluan selama di sana telah dimasukkan ke dalam ransel, saya keluar rumah di subuh buta bagai remaja yang

hendak kabur dari rumah. Dan dengan cerdasnya, saya belum memesan taksi

untuk berangkat ke bandara.

Berdasarkan pengalaman, biasanya beberapa taksi sering melintas atau sekadar parkir tak jauh dari tempat saya berdiri ini. Namun sayang?nya pagi ini tak

satu pun taksi yang lewat, maka menelepon operator taksi adalah satu-satunya

pilihan. Jantung yang super duper dag-dig-dug ini akhirnya kembali tenang

setelah sebuah telepon masuk; konfirmasi dari sopir taksi yang akan menjemput saya.

"Pak, ngebut ke bandara, ya," ujar saya dari bangku belakang.

Belum sejengkal pun saya meninggalkan Jakarta, isi kepala saya lebih dulu

berkelana ke dunia-dunia penuh pertanyaan: adakah 'rumah? yang dapat

memberi nyaman serta keteduhan bagi jiwa saya di sana nanti?

Pagi buta selalu membuat saya mencintai jalanan ibu kota. Tak sepi, namun tak

pula padat. Dengan kecepatan sekitar 80km/jam, taksi yang saya tumpangi

Rumah adalah di Mana Pun

berpacu dengan mobil-mobil yang tampaknya punya tujuan yang sama; segera

tiba di bandara. Kepala saya kemudian memutar 'film? tentang gambaran yang

dicipta imaji saya sendiri tentang Belitung. Langit biru, awan kapas, dan deru

ombak. Seketika saya tersadar akan benda maha penting yang terlupakan: kacamata hitam favorit dengan bingkai bergambar bunga-bunga kecil.

Ternyata waktu tempuh dari rumah menuju bandara hanya dua puluh menit,

sedang argo taksi yang saya bayar lebih mahal ketimbang harga promo tiket

pesawat pergi-pulang yang saya dapat. Tak terbayang bila saya berangkat ke

bandara di jam pulang kantor. Bisa-bisa anggaran ngemper selama traveling

bisa habis untuk bayar argo taksi.

Setelah check in, saya bergegas menuju ruang tunggu. Masih banyak waktu

sebenarnya untuk sekadar ngopi atau melanjutkan tidur. Dari pengalaman trip

yang lalu-lalu, kali ini saya menyempatkan ke gerai ATM demi stok rupiah di

dompet. Ga lucu 'kan, kehabisan uang tunai di saat traveling sementara segala

kartu di dompet tak berarti apa-apa?

Awalnya saya pikir di perjalanan kali ini saya tidak butuh bacaan sebagai senjata pemberantas kebosanan. Ternyata pikiran saya salah. Alhasil saya cuma bisa

'nonton? timeline twitter. Entah sudah berapa lama saya bersosialisasi di dunia

maya, tiba-tiba saya disadarkan oleh panggilan dari pengeras suara bahwa

penumpang dipersilakan memasuki pesawat.

Bergegas saya berlari-lari kecil menuju gate yang disebut oleh petugas bandara. Setibanya di sana, saya mengucapkan tujuan saya ke petugas yang

mengecek boarding pass, takut-takut kalau saya salah. Ia katakan "ya." Saya

terus mempercepat langkah. Tiba-tiba ada petugas yang mengejar saya di belakang dan berujar kalau saya salah gate. Oalah..

Ternyata pesawat telah penuh dan saya termasuk yang ditunggu. Saat memasuki pesawat, hidung saya mencium aroma tak sedap. Memang mayoritas penumpang pagi itu adalah laki-laki dan tunggu... apakah mereka semua mengikuti

jejak saya dalam urusan "tidak mandi" ?

Rumah adalah di Mana Pun

Hampir selama di penerbangan saya terlelap. Bangun-bangun, saya disambut

pengumuman bahwa pesawat akan segera mendarat. Ah, Belitung, akhirnya.

Sebuah keisengan dan keberuntungan membawa saya ke sini.

Setelah turun dari pesawat, saya langsung menyalakan handphone untuk

meng?hubungi Bang Kiray. Beliau akan menampung saya selama di Belitung.

Ini pertemuan pertama saya dengannya, setelah secara virtual diperkenalkan

Yongky, sahabat saya yang juga tukang jalan. Bila pada perjalanan-perjalanan

sebelumnya saya sibuk menyiapkan itinerary, kali ini saya menyerahkan

semuanya ke dia.

Bandara Hanandjoedin ini tak lebih besar dari Stasiun Pasar Turi di Surabaya.

Terlihat hanya ada pesawat yang saya tumpangi tadi yang sedang parkir. Beberapa gerombolan penumpang tampak tengah berfoto-foto di depan tulisan

nama bandara. Sepertinya tujuan mereka ke sini mirip dengan saya: bervakansi.

Mudah saja saya temukan Bang Kiray di antara gerombolan penjemput tamu

maupun penjaja jasa tur yang berdiri di depan pintu kedatangan. Setelah bersalaman, kami menuju mobil yang menanti untuk mengantar ke rumahnya.

Setibanya di rumah, saya langsung disuruh mengambil baju renang serta baju

ganti. Rencananya hari itu saya bersama Kak Yeni, istri Bang Kiray, akan ke Pulau Lengkuas dan pulau-pulau di sekitarnya. Kak Yeni sendiri telah siap di atas

motor dengan perlengkapannya; wajan, bahan masakan, dan wadah makanan.

Saya mulai mencium aroma keseruan!

Berkumpullah kami di rumah seorang teman Kak Yeni untuk menitipkan motor,

lalu bersembilan menuju dermaga dengan menggunakan mobil. Kesan pertama saya atas mereka sebagai penduduk lokal: murah senyum! Di sepanjang

jalan, ada saja yang menjadi bahan tertawaan mereka. Walau Bahasa Melayu

saya payah, saya dapat menangkap isi percakapan mereka dengan baik.

Jalanan menuju dermaga sungguh lengang. Amat jarang kami berpapasan

dengan mobil lain. Suatu hal yang ajaib jika hal itu terjadi di Jakarta. Di kanan

kiri masih hijau, dan antar rumah satu dengan rumah lainnya memiliki jarak.

Deru angin dan bunyi mesin menjadi musik latar di jeda percakapan.

Rumah adalah di Mana Pun

Tak berapa lama kemudian, tibalah kami di dermaga. Karena harus menjejakkan kaki ke air, saya memutuskan untuk mengganti celana jeans yang saya

kenakan dengan celana renang. Lalu naiklah kami satu persatu ke atas perahu.

Baru beberapa meter dari bibir pantai, keindah?an sudah menghambur ke segala penglihatan. Hamparan pasir putih, air jernih, langit biru.

Pandangan saya tak lepas dari kumpulan batu-batu besar dengan susunan

acak namun artistik tiap kali perahu mendekat ke pulau-pulau tak berpenghuni.

Setelah sekitar 30 menit dibuai ombak, sampailah kami di Pulau Lengkuas.

Beberapa perahu sejenis tampak berjejer di garis pantai. Karena akhir pekan,

pulau ini menjadi ramai akan wisatawan dari luar Belitung.

Kak Yeni tampak seperti kepala dapur, sibuk di depan kompor sambil sesekali

menepis asap dari bara ikan bakar yang ditiupkan angin ke arahnya. Sedang

saya yang kemungkinan besar membuat kekacauan, cuma bisa jongkok sambil

menatap mereka masak. Dalam hati saya bergumam, "Ah, bahagia sekali Bang

Kiray punya istri jago masak begini."

Sekitar dua jam memasak, akhirnya kelar juga. Kami menggelar terpal untuk

dijadikan alas duduk, dengan pelepah dari pohon-pohon kelapa sebagai pelin?

dung kepala dari cahaya matahari. Entah karena lapar atau masakan sederhana

ini memang sungguh nikmat, semua sibuk dengan piring di depannya sambil

sesekali berkelakar. Jauh-jauh berjalan, selalu ada 'keluarga? yang menjadikan

saya sebagai bagiannya.

Usai makan, berjalanlah kami ke batu-batu besar sambil berfoto-foto. Karena

kaki saya rentan kepleset, saya urung naik ke atas batu-batu tersebut. Takut

Nickey, kamera saya, yang menjadi korbannya. Sementara yang lain sibuk berfoto di batu, saya memilih bertelanjang kaki berjalan di atas pasir.

I WISH YOU WERE HERE

Tulis saya di atas pasir. Lalu saya potret dan kirimkan ke seseorang di sana. Sebuah balasan masuk ke handphone saya. Titik dua tutup kurung.

Karena matahari semakin tinggi, kami berangsur naik ke atas mercusuar. Mercusuar ini sendiri berumur lebih dari seabad, dengan anak-anak tangganya

Rumah adalah di Mana Pun

yang sudah berkarat namun tetap berdiri kokoh. Sesekali kami berhenti untuk

menenangkan napas karena mendaki serasa tiada habisnya.

Sesampainya di puncak mercusuar, telah banyak wisatawan yang tidak melewatkan kesempatan untuk mengabadikan diri dalam potret berlatar keindah?

an ciptaan Tuhan. Balkon dari puncak mercusuar ini hanya bisa dilewati dua

orang, sehingga masing-masing harus tahu diri untuk tidak berlama-lama

berada di satu titik tempat. Saya sendiri sudah siap dengan kamera dan gadget.

Yang satu untuk koleksi pribadi, yang satu lagi untuk kemudahan berbagi via

social media.

Salah satu pemandangan favorit saya selain pemandangan matahari terbit di

gunung adalah ini: gradasi warna biru laut. Kalau tak ingat bahwa di sini masih ada orang lain, rasa-rasanya ingin saya bermenung lama-lama di atas sini

sambil mengamati sekawanan kelelawar yang sesekali lewat. Sedang di bibir

pantai perahu-perahu mulai berkurang, meninggalkan pulau ini.

Merapatlah sejenak. Biar debur rinduku mereda.

Puas berfoto, kami kembali turun seiring matahari yang juga ikut turun. Agenda selanjutnya adalah snorkeling. Karena tak memungkinkan untuk berganti

baju di kapal, saya memutuskan untuk berganti baju renang di kamar kecil yang

tersedia di areal mercusuar.

Perahu mengantarkan kami ke bagian laut yang tak jauh dari bibir pantai. Rupanya sudah ada beberapa penumpang perahu lain yang telah berada di sana

untuk menikmati pemandangan bawah air. Tak mau membuang waktu, saya

langsung pakai pelampung dan snorkel lalu terjun ke air.

Sayangnya sedang tak banyak ikan yang lewat. Mungkin terlalu ramai orang,

sehingga kami harus memancingnya dengan melemparkan roti ke bawah sana.

Kemudian segerombolan ikan berwarna gelap lewat di bawah kaki saya. Walau

yang saya harap adalah bisa melihat ikan berwarna-warni.

Kenyang menelan asinnnya air laut yang tak sengaja masuk ke dalam mulut,

kami kembali naik ke atas perahu untuk menuju pulau-pulau lainnya. Lagi, saya

kembali memenuhi space memori kamera dengan menambah koleksi foto-foto

ke dalamnya.

Rumah adalah di Mana Pun

Setelah singgah di beberapa pulau, kami kembali ke dermaga untuk pulang.

Maklum, hari sudah mulai senja dan tampaknya perahu yang kami tumpangi

adalah perahu terakhir yang merapat.

Di boncengan belakang motor, saya duduk anteng melihat langit yang mulai

gelap. Bulan sabit dan satu bintang terang tampaknya menjadi pemain utama

pementasan malam. Jalanan tak sesepi tadi siang. Iya, ini malam minggu. Se?

pertinya semua remaja keluar rumah untuk sekadar berkumpul dengan teman,

atau berkencan.

Tiba di rumah, saya segera membersihkan diri dari pasir pantai yang lengket

di kulit. Saya dan keluarga Bang Kiray akan makan malam di??luar. Lalu saya

dibawa ke warung makan di tepi Pantai Tanjung Pendam. Warung tak hanya

dipenuhi oleh muda-mudi, namun juga beberapa keluarga. Kota yang di Sabtu

siangnya sangat sepi, menjadi sangat ramai di sabtu malam. Di pinggir pantai

yang tak dilengkapi dengan penerangan pun ramai dengan beberapa pasang

remaja yang duduk berdua-duaan. Entah apa yang mereka bicarakan di tengah

gelap, sedang saya hanya bisa mengucap rindu lewat pesan singkat.

Sekalipun merindu itu syahdu, getarnya sering menggoncang bahtera diamku.

Malam mingguan, yuk.

Selamat tidur.

Liburan adalah saatnya mematikan segala alarm yang biasa mengganggu

waktu bermesraan dengan kasur. Entah karena kecapaian, semalam saya tidur

pulas dan pagi ini terbangun sekitar pukul enam. Gagal lagi lari pagi. Di luar

sedang turun tetes-tetes air dari langit. Saya raih handphone yang berkedapkedip tanda ada pesan masuk, lalu tersenyum.

Kapan kamu pulang ke Jakarta?

Rumah adalah di Mana Pun

Selasa pagi. Mas mau jemput?

Lama amat. Nanti mas suruh sopir DAMRI jemput kamu.

Kata Bang Kiray, langit Belitung memang sedang memasuki musim hujan.

Beruntunglah kemarin matahari masih mau tampil. Mau tak mau jadwal bermain ke Belitung bagian timur hari ini tergantung pada cuaca. Hari itu pun sebenarnya Kak Yeni harus bekerja. "Tunggu istriku pulang dulu, ya," ucap Bang

Kiray. Sekalian menunggu hujan reda kalau begitu.

Tak lama usai adzan zuhur, tinggallah rintik-rintik gerimis kecil. Sementara

awan putih melingkupi langit hingga tak menyisakan satu titik biru pun. Saya,

Kak Yeni, Bang Kiray dan seorang temannya berangkat dengan menggunakan

motor. Di sepanjang perjalanan, hanya suara berisik angin yang terdengar

menghantam helm yang saya kenakan. Hawa siang ini begitu nikmat untuk

dipakai melamun.

Sebagai seorang yang pendiam, saya hanya bisa menanggapi "ohh" tiap kali

teman Bang Kiray yang membonceng saya ini menjelaskan sesuatu yang kami

lewati, walau sebenarnya isi kepala seringkali cerewet. Saya masih tak percaya

bahwa kini saya berada di sini, di Belitung, di tempat yang awalnya saya tak
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengenal siapa pun.

"Tak apa 'kan, naik motor sekitar dua jam?" tanya Bang Kiray sesaat sebelum

berangkat tadi. Saya tersenyum. Sebelumnya saya pernah menempuh Jakarta

- Cibodas dengan motor, yang waktu tempuhnya lebih lama dari ini. Bedanya,

kala itu bersama dia untuk trail run di Gunung Gede. Pegel sih, tapi kapan lagi

memanjakan mata dengan yang hijau-hijau begini?

Papan penunjuk bahwa replika 'SD Laskar Pelangi? sudah terlihat. Saat itu sepi.

Ada dua ekor anjing yang sedang bermain di pekarangannya. Tak lama kemudian, ada sebuah mobil yang mampir. Tampaknya mereka hanya singgah untuk

berfoto. Setelah kemudian mereka berlalu, barulah saya memotret bangunan

tersebut. Sebagai penyendiri yang tak suka difoto, saya pun lebih senang

memotret objek selain manusia.

"Istriku, kemarilah!" ujar Bang Kiray yang telah siap dengan ponsel di tangannya. Kak Yeni tentu saja dengan senang hati berpose. Saya mendadak terharu

Rumah adalah di Mana Pun

melihat pasangan ini. Delapan tahun pacaran dan sedang di usia keenam tahun

pernikahan, keduanya tampak mesra la?yaknya pasangan di masa awal pacaran.

Tak jauh dari bangunan tersebut, saya dibawa ke Museum Kata Andrea Hirata.

Bangunan satu tingkat itu terlihat apik dan sederhana, dan terdiri dari beberapa

bangunan terpisah. Memasuki bangunan utamanya, tampak berbagai karya

serta penghargaan-penghargaan dipampang rapi. Jendela-jendelanya yang

besar dibuka, sehingga cahaya dari luar masuk. Lantainya dari semen, walau

di beberapa bagian diberi alas semacam tikar. Seperti biasa, saya sibuk sendiri

menjepret.

Dari satu ruangan ke ruangan saya jelajahi, hingga mata saya berhenti di "Warung Kupi Kuli." Nuansa zaman baheulanya masih terasa, de?ngan kompor tungku yang sedang mengepulkan asap. Di seberangnya tergantung ukulele yang

bersebelahan dengan kutipan novel "Cinta di dalam Gelas" yang juga karya Andrea Hirata, yang mengangkat budaya minum kopi masyarakat Melayu.

Puas memotret, kami meninggalkan bangunan itu untuk beranjak ke pantai.

Pantai pertama adalah Pantai Lalang. Sejujurnya bagi saya pantai itu terasa

hambar. Mungkin karena matahari sedang enggan bersinar sehingga langit

kurang berwarna, atau memang sepanjang bibir pantai hanya ada hamparan

pasir tanpa batu-batu. Tak berlama-lama, kami pun meninggalkan pantai itu

menuju Pantai Serdang.

Mirip dengan 'kepolosan? Pantai Lalang, senja di Pantai Serdang ini menjadi

cantik oleh kehadiran perahu-perahu berwarna-warni yang berbaris rapi di

sepanjang pantai. Uniknya lagi, tidak seperti pada umumnya pantai yang

ditumbuhi pohon kelapa, pantai ini justru ditumbuhi pohon cemara. Warungwarung yang menjual makanan laut pun cukup banyak berjejer. Beberapa

mobil tampak diparkir di tepi jalan, sedang pemuda-pemudi terlihat berjalan

bergerombol.

Azan maghrib pun berkumandang. Usai berfoto-foto, kami mampir di sebuah

masjid yang berlokasi tak jauh dari situ. Kultur agamis di Belitung tampaknya

masih kuat. Saat saya memasuki masjid, terlihat para perempuan maupun lakilaki tengah sibuk membaca Al-Qur?an menjelang masuk waktu Isya. Hal yang

hampir tak pernah saya temukan saat mampir di masjid ibukota.

Rumah adalah di Mana Pun

Manggar, Belitung Timur, terlihat ramai di malam hari. Entah mungkin karena

saat itu hari minggu. Dari atas motor, tak sengaja saya melihat toko pakaian

bernama "H M" tanpa "&" dengan font mirip brand pakaian ternama "H & M."

Hihihi ada-ada saja.

Kembali menyusuri jalanan ke arah rumah Bang Kiray di Tanjung Pandan,

makin lama jalan yang dilewati makin gelap tanpa penerangan apapun di kiri

kanan jalan. Di jalanan yang sepi ini beberapa kali kami berpapasan dengan

pengendara motor lain, namun tak banyak. Namun dengan begitu, bulan sabit

yang menggantung tampak seperti lampu tidur di langit-langit kamar.

Pagi ini saya mendapati diri masih memakai pakaian lengkap sisa bermain

kemarin. Lagi, gagal lari pagi. Di luar pun gerimis. Semoga Belitung dalam dua

hari ini cerah, doa saya dalam hati.

Hari ini Kak Yeni harus kerja, sehingga menjelang siang nanti saya akan diantar

berjalan-jalan oleh Bang Kiray. Semacam salut dengannya, yang walaupun

bekerja tapi masih bisa mengurus keluarga dan rumah.

Tampaknya semesta mengabulkan permintaan saya. Perlahan langit makin

cerah dan tampak awan kapas bergelantung di birunya. Saya, Bang Kiray,

dan jagoannya, Kaka, berangkat dengan menggunakan motor. Saya dibawa

mencicip mie ayam yang dilihat dari ramainya tempat, bisa disimpulkan enak.

Walau sehari-hari menjadi 'pescatarian?, traveling adalah momen saya untuk

merasakan kuliner lokal yang kemungkin?an besar menggunakan hewan se?

bagai bahan makanan.

Usai sarapan, perjalanan dilanjutkan dan saya dibawa ke Pantai Tanjung Pendam, yang saya datangi saat malam minggu kemarin. Bedanya, karena hari

senin, jadi pantai terlihat sepi. Kata Bang Kiray, bila cuaca cerah, di pantai yang

paling dekat dengan kota ini kita dapat menikmati pemandangan matahari terbenam.

Pantai. Pantai. Pantai.

Rumah adalah di Mana Pun

Kata yang pertama kali muncul di pikiran tiap 'Belitung? disebut. Pagi ini juga,

saya dibawa menuju Bukit Berahu, sebuah pantai yang dikelola dan menjadi

satu kesatuan dengan sebuah penginapan.

Untuk menuju pantai, kami menuruni anak-anak tangga dan melewati beberapa cottage yang menghadap langsung ke laut. Tampak beberapa perempuan

sedang menyapu daun-daun yang berguguran. Kaka melepaskan sandalnya

dan tampak kegirangan bisa bermain dengan ombak. Sementara Bang Kiray,

mengarahkan pose sambil membidik melalui kamera di ponselnya. Saya sendiri

sempat-sempatnya melamun sambil menatap kapal di kejauhan.

Tak berlama-lama di sini, perjalanan pun dilanjutkan menuju desa nelayan

Tanjung Binga. Aroma amis ikan menyerbu ke penciuman saya. Dari jauh

tampak hamparan ikan-ikan yang sedang dijemur. Saat Bang Kiray singgah di

sebuah warung, saya langsung menyambar kamera dan berjalan ke belakang

untuk melihat ada apa di belakang sana. Saya merasa beruntung sekali saat

mendapati beberapa perempuan sedang merebus ikan, sedang yang lain mulai

menyebarkan ikan-ikan yang telah direbus untuk dijemur dan menjadi ikan

asin.

"Boleh numpang foto ya, kak," ujar saya meminta izin kepada seorang perempuan yang sedang mencuci ikan.

"Sekalian ajak temannya, Mbak.. Dibikinkan video," balas kakak itu sambil

melanjutkan pekerjaannya.

Aha! Seru juga ya kalau kapan-kapan saya mengabadikan perjalanan saya

dalam sebuah video. Tentunya untuk hasil yang bagus, sulit dilakukan saat solo

traveling. Setelah mendapat cukup banyak foto, saya ucapkan terima kasih dan

kemudian berlalu.

Matahari makin tinggi dan cuaca makin membuat gerah. Setelah meninggalkan

Tanjung Binga, sekarang saya menginjakkan kaki di Pantai Tanjung Tinggi.

Ingat adegan Bu Muslimah bersama para laskar pelangi yang bermain di balik

batu-batu besar di tepi pantai? Di lokasi itulah saya berada. Terdapat papan informasi yang menunjukkan bahwa benar, syuting film tersebut di tahun 2008

dilakukan di sini.

Rumah adalah di Mana Pun

Keindahan pantai tersebut tak hanya di batu-batunya yang super besar. Sinar

matahari yang menyelinap di balik batu-batu pun membuat celah-celahnya

tampak berkilau ketika ditangkap lensa kamera saya. Untunglah saya ke sini di

hari Senin, sehingga pantai tak penuh wisatawan. Desau angin yang membuat

daun-daun bergesekkan menambah syahdu pemandangan. Entah siapa yang

berinisiatif meletakkan dua kursi santai tak jauh bibir pantai, sehingga membawa isi kepala saya ke banyak 'jika?.

Duduklah di sebelahku, agar laut dapat mengingat kita.

Kebetulan sekali hari ini dua sahabat saya berulang tahun. Bila biasa?nya saya

membawa kertas yang bertuliskan ucapan selamat dan berfoto di atas ketinggian gunung, kali ini saya menulis ucapannya di pasir pantai dan mengirimkan

fotonya lewat WhatsApp.

Di bawah pepohonan di tepi pantai, ada bangku-bangku yang bisa digunakan untuk bersantai. Sebuah keluarga yang membawa bekal makan siang,

menawari saya untuk bergabung. Rasanya saya ingin tinggal lebih lama lagi di

sini..

Langit mulai tampak gelap, pertanda agar kami segera kembali pulang. Siang

itu juga Bang Kiray harus bekerja, sehingga saya punya waktu untuk beristirahat sambil menunggu cuaca kembali cerah. Walau ternyata menjelang malam

hujan terus mengguyur.

Hujan dan rindu bersatu; menyerbu. Lalu aku berkamu.

Pagi ini saya bangun lebih pagi bukan karena ingin berlari, tapi sudah saatnya

mengucap perpisahan dengan Belitung. Ransel berisi setumpuk pakaian kotor

dengan rindu yang melekat di sana sini telah siap untuk digendong.

"Datanglah kemari bulan februari, biar kita bisa pesta durian."

Dengan langkah yang berat, saya meninggalkan keluarga ini. Keluarga yang

membuat saya melamunkan cinta dan 'rumah? di ruang tunggu bandara.

Rumah adalah di Mana Pun

Bila suatu saat saya menjejak kembali di Belitung, saya ingin itu dilakukan

bersamanya.

Agar ketika berlari, suara derap langkah kita seperti sedang bercerita.

Agar ketika matahari sedang tinggi, bayangan kita saling menimpa.

Agar sepi dapat rehat dari kewajiban melayani kita.***

Keyko Cecilia, Perempuan bipolar ini mencintai kopi, lari, dan seni. Saat galau

tingkat dasar, ia sering didapati sedang bernyanyi-nyanyi. Saat galau tingkat

menengah, ia biasa mengunyah puisi. Dan saat galau tingkat akhir, biarkan ia bervakansi. Bila ingin mengajaknya menikmati secangkir (atau bercangkir-cangkir)

kopi, silakan hubungi dia ke sini:?keyko.rcecilia@ymail.com?atau twitter: @keykocecilia

Rumah adalah di Mana Pun

Persisan Anta Tuan

Lucia Widi

ukul enam waktu setempat, alarm yang terpasang semalam pada seluler

berbunyi. Suaranya cukup kencang karena seluler berada tidak jauh

dari bantal. Mata sangat berat untuk terbuka, karena aktivitas kemarin

yang cukup melelahkan namun menyenangkan; mengeliling kota dengan berjalan kaki. Menyusuri jalan kota di pinggir pantai, lalu masuk ke rumah-rumah

ibadat yang banyak terdapat di tempat ini, sampai masuk ke gang-gang kecil

pemukiman penduduk. Bertegur sapa de?ngan masyarakat yang sedang sibuk

mempersiapkan sebuah acara besar. Aisshh.. menyenangkan sekali aktivitas

kemarin.

Awalnya tidak pernah terbayangkan pada akhirnya bisa menginjakkan kaki di

pulau yang sepintas kalau diucapkan memiliki makna bunga: flower. Ya, Flores.

Ini adalah sebuah perjalanan personal menjelajah Nusa Tenggara Timur yang

sudah dirancang setahun yang lalu, walaupun tidak seluruhnya disinggahi.

Kota kecil ini menjadi tempat ketiga setelah Kupang dan Maumere dan nantinya akan dilanjutkan menuju Ende. Bisa bayangkan betapa bahagianya saya

akhirnya bisa menginjakkan tanah timur. Dan semburat sinar matahari yang

dengan malu-malu memancar dari sela tirai jendela kamar penginapan berhasil

membuat mata ini untuk terbuka.

Hari ini adalah hari perayaan Jumat Agung, saya hendak mengikuti salah satu

prosesi dari beberapa perayaan Semana Santa di Larantuka. Ya, saya sedang

berada di kota kecil ujung timur Pulau Flores, Larantuka. Sudah dua hari saya

berada di kota yang berjuluk Nagi Tana. Nagi Tana si Kampung Halaman, begitu orang Larantuka menyebutnya. Maksud saya jelas, untuk mengikuti peraya?

an Pekan Suci menjelang hari raya Paskah di Larantuka yang dikenal dengan

nama Semana Santa, sebuah prosesi keagamaan warisan bangsa Portugis di

mana tahun ini genap berusia limaratus dua tahun.

Saya dengar cerita bahwa konon, bangsa Portugis datang dengan niat awal untuk berdagang rempah-rempah, lalu seturut waktu mereka membawa misionaris bangsanya untuk menyebarkan agama Katolik, beserta segala tradisi yang

mereka miliki di Hindia Belanda. Semana Santa salah satu warisan Portugis

yang sudah dipenuhi tradisi-tradisi lokal Larantuka.

Bagi orang Nagi, selama 40 hari menjelang Semana Santa diyakini sebagai

waktu yang tepat untuk membersihkan diri. Sebuah tapa diri menyesali dosadosa yang sudah diperbuat selama setahun terakhir, rentan waktu yang sama

ketika Yesus Kristus melakukan aksi puasa.

Bagi saya, Semana Santa bukan hanya merupakan prosesi keagamaan saja,

tetapi sudah menjadi perayaan adat. Sepanjang jalan yang saya lewati kemarin,

di setiap sudut ada sekelompok masyarakat baik beragama Katolik atau bukan, secara beramai bergotong royong mempersiapkan semua keperluannya,

mendirikan armida-armida untuk berdoa. Ada saat juga saya melihat lelaki

berpakaian koko dan me?ngenakan peci menjadi petugas tata tertib saat umat

Katolik sedang mengikuti misa di Gereja Katedral Larantuka. Sebuah konsep

Pancasila yang sederhana bukan?

Rangkaian utama Semana Santa dimulai dari hari Minggu Palma, dilanjutkan

dengan Rabu Trewa, Kamis Putih, Jumat Agung dan berakhir di Sabtu Santo.

Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan perayaan Pekan Suci dari tempat-tempat lain, tetapi di Larantuka ada sesuatu yang sangat istimewa sehingga ribuan

orang dari belahan bumi mana pun datang ke kota yang panjangnya tidak lebih

dari 10 kilometer. Mereka datang jauh-jauh dari tempat asalnya hanya untuk

menjadi saksi luar biasanya prosesi-prosesi ada, untuk mengenang kisah seng?

sara sampai dengan bangkitnya Yesus Kristus, di kota kecil ini. Salah satunya

akan saya ceritakan buat kamu.

Rumah adalah di Mana Pun

Tepat pukul 8 pagi, ojek yang saya tumpangi sampai di depan jalan kecil. Jalan

itulah yang akan menunjukkan arah menuju Kapela Tuan Menino di Kota Rewido, di Kelurahan Sorotari Tengah, kira-kira 4 kilometer dari pusat kota. Di gereja kecil, itulah akan dilaksanakan sebuah prosesi laut mengarak patung Tuan

Menino dengan menggunakan sampan. Namanya Persisan Anta Tuan, saya
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyebutnya melarung Tuhan.

Arak-arakan akan dimulai dari Kapela Tuan Menino menuju Pantai Kuce, di

kelurahan Pohon Siri. Ada dua titik pusat tempat berlangsungnya prosesi melarung Tuhan, Pantai Kuce dan Kapela Tuan Menino. Kedua tempat ini dipilih

karena memiliki peranan penting dalam pro?sesi Persisan Anta Tuan. Kapela

Tuan Menino adalah "rumah" bagi tori yang berisi patung Tuan Menino, di

sinilah sehari-harinya patung Tuan Menino disimpan dalam sebuah tori. Sedangkan Pantai Kuce adalah tempat berlabuh Tuan Menino setelah dilayarkan

dari kapela tadi, kemudian patung yang disebut Kanak Yesus itu akan diarak

menuju Armida Tuan Menino. Armida atau Ramida dalam bahasa Portugis

adalah tempat pemberhentian dalam upacara jalan salib. Ada sekitar delapan

pemberhentian dalam upacara jalan salib pada Jumat Agung di malam harinya;

Armida Missericordia, Armida Tuan Menino, Armida St. Philipus, Armida Tuan

Trewa, Armida Pantekebi, Armida St. Antonius, Armida Kuce dan Armida Desa

Lohayong. Armida-armida menceritakan kisah hidup Tuhan Yesus dari lahir

sampai wafatnya.

Di sepanjang jalan menuju kapela, tampak beberapa pemuda dan pemudi

berpakaian rapi sedang berjaga. Ada yang berjas biru dan hijau, sepertinya itu

pakaian almamater kampus mereka, ada juga yang berpakaian hitam-hitam.

Mereka semua mengenakan kain bertuliskan "Panitia Semana Santa" yang di?

selempangkan pada bahu. Dengan ramah mereka mempersilakan semua orang

yang datang dan memberi arah jalan menuju kapela. Saya menyusuri jalan

kampung menuju kapela tersebut bersama peziarah-peziarah lainnya, melewat?i

rumah-rumah penduduk sambil sering-sering membalas senyuman dan sapaan masyarakat yang dijumpai. Bahagianya menjadi warga negara Indonesia.

Belum sampai pada halaman kapela, saya sudah mendengar suara orangorang berdoa yang keluar dari alat pengeras. Ada bahasa yang tidak saya

mengerti, lalu berusaha mencerna sembari terus berjalan. Tetapi kemudian

Rumah adalah di Mana Pun

saya teringat perkataan Tante Rina, seorang yang baru saya kenal kemarin,

"Kami orang Larantuka walaupun 99% beragama Katolik, juga mengenal istilah mengaji, berdoa dengan menggunakan bahasa Portugis." Mungkin itulah

yang sedang orang lakukan di dalam kapela: mengaji. Walaupun mereka berdoa juga dengan bahasa Indonesia.

Saya terus ikuti ke mana orang berjalan dan petunjuk yang sudah terpasang?

pada kursi yang sengaja diletakkan atau pada pagar rumah penduduk,

mendekati pusat gemuruh orang mengaji tadi. Setelah ja?lan?an habis dan berhenti di bibir pantai, terlihat ada sebuah bangunan yang sederhana. Bangunan

rumah ibadat itu tidak megah tapi cukup bisa mencerminkan rupa sebagai

rumah Tuhan, dua menara tinggi di sisi kanan dan kiri dengan cat berwarna

krem, sederhana namun unik.

Di seputaran kapela, terlihat banyak orang sudah berkumpul. Tua-muda lakiperempuan, semua berbondong-bondong memenuhi bibir pantai. Saya melihat

di halaman kapela ada orang-orang mengantre di depan pintu masuk kapela

untuk mencium kotak berisi patung suci yang berada di dalam, tori namanya.

Saya pun tidak mau melawatkan. Dengan yakin saya berjalan menuju ke arah

kapela, menanggalkan semua barang bawaan dan menitipkannya kepada

pemuda-pemudi yang berjaga.

Di sini saya juga harus melepaskan alas kaki untuk masuk ke dalam. Dengan

bertelanjang kaki, berbaur dengan peziarah lainnya, berbaris dua-dua untuk

masuk ke dalam kapela. Terus melangkah maju hingga akhirnya sampai di

pintu masuk utama. Di titik ini, di pintu utama kapela, para peziarah harus

berjalan berlutut menuju altar untuk mencium sebuah tori sebagai tanda penghormatan kepada Tuhan. Berada di dalam ruangan di kanan kiri koridor, saya

melihat umat duduk berjajar beralaskan karpet sederhana berwarna hijau polos

memanjatkan doa untuk Tuhan. Dengan nyala lilin-lilin yang juga dipasang

berjajar, seolah sebagai pejunjuk jalan menuju altar, menambah khusuk suasana serta hawa yang panas. Saya terus maju berjalan berlutut dengan rasa

sedikit gugup. Entahlah, mungkin banyak dosa. Tetapi sudah tidak mungkin

untuk mundur mengurungkan niat dan keluar dari barisan, toh secara perlahan

sudah sampai depan altar, dan saya diharuskan untuk mencium sebuah kotak

tori berselimutkan kain beludru biru kehitaman dengan lambang salib berwana

Rumah adalah di Mana Pun

keemasan di atasnya. Sebenarnya saya sedikit berharap dapat melihat patung

yang tersimpan di dalam, tetapi sayang tori dalam keadaan tertutup.

Setiap kapela menyimpan torinya sendiri, seperti malaikat pelindung?bagi tiap

kapela itu. Di Kapela Tuan Ma misalnya, tersimpan Tori Tuan Ma atau Bunda

Maria, atau di Kapela Tuan Ana tersimpan pula Tori Tuan Ana atau Tuhan

Yesus. Di kapela Tuan Menino ini ada dua buah tori, besar dan kecil. Sesuai de?

ngan namanya, di dalam tori kecil tersimpan patung Tuan Menino yang dalam

bahasa Portugis berarti Kanak Yesus, sedangkan tori besar disemayamkan patung Yesus Wafat di Salib. Uniknya, setiap tori tidak dikeluarkan disembarang

waktu. Misalnya saja, tori besar dan kecil hanya dikeluarkan dua kali dalam

setahun, yaitu ketika acara Muda Tuan yaitu memandikan patung Tuan Menino

dengan air kelapa dan pada prosesi Persisan Anta Tuan ini. Tetapi se?pertinya,

semua patung yang dimiliki Larantuka dikeluarkan pada acara bersejarah ini ya,

Semana Santa. Terlebih Tuan Ma, karena Dialah pusat dari Semana Santa.

Di dalam kapela, saya mengikuti apa yang orang lakukan dengan kotak beludru

hitam tadi, menundukkan kepala seraya mencium dan berdoa Bapa Kami.

Setelah selesai berdoa, saya masih mengikuti gerak-gerik orang yang tadi diamati, yaitu mundur tiga langkah dengan posisi masih berlutut baru kemudian

balik badan lalu berjalan ke belakang. Ini adalah salah satu cara penyembahan

yang unik dan menjadi ciri khas Larantuka, pasalnya di hari kemarin saya pun

melakukan hal serupa di kapela Tuan Ma. Lumayan juga untuk terapi lutut.

Dari cara unik tadi, ada hal-hal yang bisa dipetik dari ritual itu, yaitu jika ingin

menghadap kepada Tuhan dalam arti berdoa, jiwa dan badan kita harus tulus

lahir batin. Manusia dilahirkan untuk berdosa, dan bagi orang Katolik, Tuhan

Yesus ada untuk menebus dosa manusia, yang diperingati pada setiap pera?

yaan Paskah ini. Maka, jiwa dan raga kita harus siap untuk memohon ampun

kepadaNya, karena manusia lahir dan tanah dan akan kembali ke tanah. Huuhh!

Masih terasa jantung ini berdegup kecang.

Kemudian dengan cepat bergegas berjalan keluar, entah mengapa saya sangat tergesa, mungkin karena hawa panas lilin yang menguap ke atas atau

karena gugup. Lalu setelah berhasil keluar, saya mencari sepa?sang sepatu

yang dilepaskan tadi. Ketika sedang memakai sepatu, saya sempat berbincang

Rumah adalah di Mana Pun

sedikit dengan seorang bapak yang duduk di depan saya. Dia menanyakan beberapa hal kepada saya:

"Dari mana asal nona?"

"Jakarta, Pak."

"Wah, jauh sekali."

"Iya," jawab saya sambil tersenyum.

"Nona datang dengan siapa?"

"Sendirian saja."

"Waah, berani sekali."

Saya membalas dengan senyuman sambil terus mengikat tali sepatu. Lalu tak

lama bapak itu bertanya lagi; "Tinggal di mana?"

"Di penginapan Weri, Pak."

Bapak itu bercerita kalau mengenal baik dengan Bapak Beni, si empunya peng?

inapan tempat saya tinggal.

"Sampaikan salam untuk Pak Beni ya, Nona. Bilang dari Frans."

"Baik, Pak. Nanti saya sampaikan," balasan saya lalu pamit kepadanya

Kemudian saya bergegas keluar, tepat di pinggir pantai depan halaman Kapela

Tuan Menino, saya melihat sebuah sampan yang bertengger di atas bongkahan

kayu pohon kelapa dan dijaga oleh seorang pemuda. Sampan kayu itu sebagian

besar badannya dicat berwarna hitam, atapnya terbuat dari batang bambu

yang sudah dipilah-pilah menjadi lembaran dan diselimuti penutup kain, pun

berwarna hitam. Berok, begitu masyarakat menyebutnya, akan membawa patung Tuan Menino menuju Pantai Kuce. Sampan yang sederhana namun kokoh

dengan penyangga yang terbuat bambu di kanan kirinya, seolah menjadi sa?

yap. Saya memutar mengelilingi berok itu, mengambil beberapa jepretan tanpa

berani memegang. Takut.

Rumah adalah di Mana Pun

Setelah puas melihat berok, saya melihat sekitar di bibir pantai. Keadaan Pantai

Rewido sama seperti di sebagian besar pantai Larantuka, berupa tanggulan

seperti dermaga, katanya untuk mencegah abrasi. Tinggi dermaga di Pantai

Rewido sekitar dua meter dari permukaan. Cukup tinggi, karena laut di sini

cepat sekali pasang sebab lautnya merupakan pertemuan dua arus antara Selat

Flores dan Laut Flores. Di sepanjang pantai ada pondok-pondok beton beratapkan rumbia. Pantai ini juga banyak terdapat pohon-pohon yang cukup membuat rimbun suasana. Di dalam pondok itu disediakan tempat duduk yang juga

terbuat dari beton dengan meja bundar kayu di tengahnya. Tetapi saya memilih

duduk di salah satu sisi dermaga, agar lebih dekat dengan air laut, tepat di

bawah pohon terindang. Di sebelah kiri ada dua gadis tanggung, sepertinya

mereka berteman akrab, dan di sebelah kanan ada seorang bocah kecil yang

datang bersama sang ayah. Si anak kecil itu duduk manis sambil melihat ke

air laut. Sekali-kali tampak di sudut matanya malu-malu melirik ke arah saya.

Lucu. Sesekali saya arahkan lensa kamera menuju wajahnya, lalu ke arah lain

untuk bertingkah sok cuek, kemudian kembali kepadanya. Bola hitam matanya

tampak jelas di ujung kiri, semakin jelas saya melihat lirikan malu-malunya.

Tetapi tetap tidak berani untuk menoleh ke arah saya, hanya lirikan kecil. Sedikit pelit ya. Saya tertawa dalam hati, betapa lugunya bocah laki-laki ini. Si

ayah berdiri di belakangnya, membiarkan saya menggoda anaknya.

Kemudian setelah puas menggoda bocah kecil tadi, saya alihkan kamera ke

pandangan lain. Saya melihat jam di pergelangan tangan, jarum menunjukkan pukul sembilan waktu setempat. Masih ada dua jam lagi sebelum prosesi

dimulai. Apa yang dilihat oleh mata saya ini sangatlah indah, di seberang jelas

terlihat Pulau Adonara yang bersebelahan dengan Pulau Solor. Di belakang dua

pulau tadi, samar-samar tampak Pulau Lembata, pulau yang terkenal dengan

pemburu ikan paus di Desa Lamalera. Rangkaian pulau-pulau tadi membentuk

garis gradasi hijau dari pohon-pohon di pantainya. Gradasi hijau itu kemudian

disambut oleh warna biru langit Flores yang sangat bersih dan bertemu lagi

dengan toskanya laut. Seperti lukisan pemandangan yang sering kita jumpai di

galeri-galeri seni. Katanya, di bibir pantai ini adalah jarak paling dekat dengan

Pulau Adonara, dibandingkan dengan pantai lain di sepanjang kota. Pernah

sesekali orang berenang untuk mencapai Pulau Adonara, walaupun ada juga

kapal-kapal nelayan yang menyediakan jasa penyeberangan. "Dari sini, masih

Rumah adalah di Mana Pun

terdengar suara orang berteriak dari seberang, nona." kata bapak yang datang

dengan Leo bocah lugu tadi. Seru ya sepertinya.

Lalu saya melihat sesuatu yang unik, ada segerombolan ikan hiu kecil muncul

menari-nari di permukaan laut yang berwarna toska. Air laut sangatlah jernih,

jadi gerak mereka cukup terlihat jelas. Ikan-ikan itu berenang-renang di seputaran pantai, kadang sangat dekat, kadang menghilang, lalu muncul lagi. Bapak

Leo berkata lagi kepada saya, "Ikan itu selalu datang saat persisan, nona. Ikut

mengantar Tuan." Beliau juga bilang kalau ikan-ikan itu tidak akan muncul

selain pada persisan. Saya ikuti gerak licah ikan-ikan kecil itu dengan lensa kamera, sesaat mereka melompat-lompat kecil keluar dari permukaan air, seolah

ingin menunjukkan kepada manusia bahwa ingin turut serta mengantar Tuhan.

Aih, lucunya. Leo saja sampai heboh dibuatnya.

Terlalu asyik melihat ikan-ikan menari dan pemandangan yang indah, tak sadar

pantai ini semakin banyak dipenuhi orang-orang, baik penduduk setempat dan

peziarah dari dalam dan luar negeri bahkan tidak sedikit wartawan yang ingin

meliput acara ini. Sepertinya terik matahari yang menusuk di ubun-ubun tidak

sekalipun mengurungkan niat mereka. Entah apa yang membuat mereka bisa

bertahan, karena sudah terbiasa dengan panas, atau mungkin ditahan-tahanin

panasnya atau memang niat yang sangat besar untuk menyaksikan prosesi

luar biasa ini dan ikut mengantar Tuhan. Hhmmm.. sepertinya saya masuk

dalam gabungan kategori yang kedua dan ketiga. Rasa penasaran saya cukup

besar dan mengalahkan semua termasuk keadaan basah baju oleh peluh keri?

ngat yang mengucur deras di seluruh bagian tubuh. Inilah derita manusia yang

sehari-hari berada di ruangan dengan penyejuk buatan ya.

Di dalam kapela masih terdengar suara khusuk orang berdoa, kali ini doa yang

saya dengar adalah doa jalan salib. Sedangkan di luar, di pantai dari selatan

arah pusat kota, tampak perahu-perahu yang berpenumpang peziarah terus

berdatangan di Pantai Rewido. Jumlahnya kian banyak, satu persatu kapalkapal itu hilir mudik mengantarkan peziarah. Bentuk kapal yang datang pun

beraneka rupa, ada kapal layar, ada kapal yang dihias bagaikan hendak ikut

lomba, lalu ada kapal motor nelayan. Mereka semua seperti ingin berlomba

menghiasi selat seolah akan digelar sebuah pawai bahari besar. Selain kapalkapal yang beralih tugas menjadi kapal peziarah tadi, ada juga puluhan sampan

Rumah adalah di Mana Pun

kecil yang di dayung oleh dua sampai tiga pemuda, atau disebut dengan sampan promesa. Kapal-kapal itu yang akan besama-sama mengiring berok Tuhan

Yesus menuju Pantai Kuce.

Nantinya, urutan perahu-perahu ini tidak sembarangan. Mereka tidak boleh

berada di depan berok Tuhan. "Berok Tuan harus di depan," masih kata ayah

bocah kecil tadi. Lalu diikuti oleh sampan promesa, kemudian menyusul perahu

motor para biarawati. Para biarawati inilah yang akan memimpin iringan doa

untuk Tuan selama berada di laut. Perahu biarawati itu dikuti para perahu hias

yang ternyata milik tetua adat dari desa-desa sekitar termasuk peledang atau

sampan untuk menangkap ikan paus dari Desa Lamalera di Pulau Lembata

tadi, dan barulah yang terakhir perahu motor peziarah. Saya? Duduk manis saja

di bibir pantai bersama Leo.

Setelah kira-kira dua jam menunggu, setelah asyik memotret pemandangan
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekitar, puncak acara akhirnya segera dimulai. Mesin-mesin kapal semakin

jelas menderu, dan Selat Flores semakin dipenuhi oleh ribuan kapal seolah

akan terjadi perang antar perompak, seperti di film-film saja. Luar biasa pemandangan ini, tidak pernah terbayangkan oleh saya ternyata Indonesia memiliki satu upacara adat semegah ini. Semua kapal berbaris di belakang gerbang

dermaga tempat barok Tuan bersandar. Para pemuda di atas sampan promesa

terus mengayuh melawan arus yang kuat agar tetap berada dalam posisinya.

Tiba-tiba ada satu sampan promesa yang terbalik, tiga pemuda berhasil

?nyemplung ke laut dan basahlah tubuh serta seluruh pakaian yang dikenakan.

Susah payah mereka berusaha membalikkan sampan de?ngan terus berenang

melawan arus, lalu segera bergegas naik ke atas setelah sampan kembali normal dan terus mendayung. Aduh, kasian sekali.

Pada akhirnya, dari dalam kapela tampak empat lelaki memikul Tori Tuan Menino keluar menuju halaman. Semua orang yang semula duduk manis langsung

bangkit berdiri dan berebut tepat di bibir pantai seolah diberi aba-aba oleh

seorang konduktor. Saya yang sedari awal berada di bibir pantai merasa semakin terdorong ke pinggir sempat melirik ke arah air laut, ketinggian permukaan

hanya berkisar dua puluh sentimeter dari dermaga dengan ombak yang semakin kuat. Mulai gemetar kaki saya, takut nyemplung ke laut.

Rumah adalah di Mana Pun

Empat lelaki tadi berjalan pelan keluar menuju bibir pantai membawa kotak hitam semu biru itu, lalu meletakkannya ke dalam berok. Gemuruh orang berdoa

semakin santer terdengar di seluruh penjuru pantai, tidak mau kalah dengan

deru mesin kapal. Seorang imam memimpin doa di depan berok Tuan, memberkati berok agar selamat dalam pela?rungan. Bunga-bunga dan wewangian

ditaburkan mengelilingi berok Tuan. Air pantai pun tak luput dari berkat sang

imam, berharap laut memberikan jalan mulus agar Tuan sampai dengan selamat. Setelah semuanya siap, berok Tuan Menino mulai berlayar menuju Pantai

Kuce. Secara perlahan berok di dorong secara beramai supaya menyentuh air.

Tali-tali yang tadi disematkan pada kapal mulai dilepaskan dari jangkar kayu.

Lalu seorang yang berdiri di ujung depan sampan mulai mengayuh dengan

batang kayu panjang secara kuat tenaga, dibantu dengan seorang lain dengan

membawa batang yang sama berdiri di ujung belakang. Mereka menancapkan

dengan kuat batang kayu itu sampai ke dasar laut, dan mendorong sampan

agar bisa bergerak maju. Satu orang duduk tepat di belakang yang berdiri di

depan membantu mendayung, sedangkan di dalam sampan ada sekitar tiga

orang bertugas menjaga tori.

Berok Tuan terus berlayar menyusuri selat, sampan itu melaju di pinggiran laut

saja, mungkin karena arus yang kuat atau memang batang kayu yang diguna?


Fear Street Kucing Cat Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Fear Street Kucing Cat

Cari Blog Ini