Ceritasilat Novel Online

Rumah Dimanapun 4

Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan Bagian 4

kan sebagai alat kayuh tidak cukup panjang untuk menjangkau dasar laut.

Tetapi berok itu terus melaju dengan anggunnya, apapun yang terjadi seberapa

kuat ombak yang harus dilawan, Dia terus melaju di atas air. Saya membayangkan seperti yang tertulis di Injil ketika Yesus berjalan di atas air menunjukkan

muzizat kepada dua belas muridNya meredakan badai.

Di belakang persis berok Tuan, sampan-sampan promesa mengiringi Tuhan,

mereka membentuk brigade berjajar ke samping dan ke belakang untuk menjaga supaya tidak ada kapal lain mendahului berok utama. Gemuruh lantunan

Bapa Kami yang disusul oleh Salam Maria seperti dalam doa Rosario santer

terdengar dari mulut-mulut biarawati dari dalam kapalnya yang berada di

belakang sampan promesa. Doa itu diikuti oleh seluruh peziarah termasuk

saya, bahkan air laut serta hutan dari pulau seberang seolah ikut memantulkan

lantunan doa, seolah ingin ikut serta merambatkan doa sehingga gaungnya

menuju langit. Sorak-sorai dari peledang Lamalera juga tak mau kalah lantangnya seolah mengeluarkan matra-mantra untuk Tuan Menino. "Hoopllaaa..

Rumah adalah di Mana Pun

Hoyyaaa.. Hooplaaa.." yang lalu disambut oleh rius tepuk tangan dan sorakan

orang-orang yang melihatnya, karena para tetua itu menari-nari di atas kapal

serta menunjukkan atraksi seperti lomba dayung sungguhan. Alamakk.. saya

hanya geleng-geleng kepala dan merasakan gemetar pada tangan dan kaki

menyaksikan prosesi luar biasa ini. Sampai-sampai tali kamera terlilit kuat di

tangan, lagi-lagi takut nyemplung ke laut. Maklum kamera pinjaman.

Selain peziarah yang berada di dalam perahu-perahu, ada juga ribuan pasang

mata dari manusia yang berjajar berhimpitan di sepanjang pinggir pantai dari

Rewido sampai Kuce. Tidak hanya untuk sekadar melihat pawai kapal melainkan rasa cinta kepada Tuhan lah yang mendorong mereka rela melakukan itu.

Mereka turut serta mendoakan dan mengantarkan Tuhan. Saya jadi ingat kejadian yang dirayakan saat Minggu Palma, di mana orang Yerusalem mengeluelukan Tuhan Yesus dengan daun palma dan memberi doa, tetapi nantinya

merekalah juga yang akan menghakimi Tuhannya sendiri itu. Ya, kami yang berada di sini, yang sedang mendoakan dan menghantarkan Tuan yang dilarung

itu, juga akan menyalibkan Tuhan untuk menebus dosa kita.

Walaupun berok Tuan sudah tidak tampak dari pandangan mata, tetapi arakarakan kapal tidak habis-habis serta gemuruh doa pun tidak kunjung padam

terdengar. Berapa ribu sebenarnya jumlah kapal ini mungkin tidak ada yang

tahu. Dia yang didoakan terus melaju menuju IbuNya yang sudah menunggu

di Pantai Kuce. Sang Ibu, dengan pakaian kebesaran jubah beludru biru tua

yang tergerai di suluruh tubuhnya itu, setia menunggu AnakNya. Dia juga yang

akan mengantarkan AnakNya menuju armida. Ya, patung Tuan Ma sejak pukul

sepuluh sudah dikeluarkan dari kapela Tuan Ma di pusat kota, lalu dihantarkan

menuju Pantai Kuce. Nantinya, patung Tuan Ma akan menghantarkan Tu an

Menino untuk diletakkan di armida. Lalu Tuan Ma kembali diarak menuju Gereja

Katedral Larantuka untuk diletakkan di altar.

Setelah semuanya itu selesai, barulah pada malam hari kira-kira pukul 8,

setelah misa Jumat Agung, akan dilaksanakan prosesi jalan salib mengitari

delapan armida yang sudah dipasang di sepanjang jalanan kota Larantuka. Kali

ini patung Tuan Ma dan Tuan Ana yang akan diarak. Salah satu yang menjadi

Rumah adalah di Mana Pun

keunikan perayaan Paskah di Larantuka ini adalah bukan Yesus Kristus yang

menjadi pusat melainkan Bunda Maria yang berduka karena wafat AnakNya

itu. Begitu besar rasa cinta kepada Yesus sehingga Dia seolah ikut merasakan

penderitaan yang dialami Yesus melalui jalan salib. Hal itu tampak pada raut

wajah Bunda Maria pada patung Tuan Ma yang tampak murung karena berduka.

Setelah kira-kira setengah jam akhirnya seluruh kapal sudah tak tampak jelas

dari pandangan mata, hanya samar-samar kecil yang terus melaju menjauh

dari bibir pantai. Orang-orang satu persatu beranjak pergi, yang tertinggal hanyalah sampah yang beserakan, dari kulit kacang sampai botol bekas minum?an.

Sayang sekali.

Saya pun ikut beranjak pergi meninggalkan kapela dan pantainya, de?ngan keadaan baju basah keringat, rambut lepek dan lengket serta kaki yang lumayan

pegal. Berjalan menuju jalan yang tadi dilewati ketika datang, kembali menyusuri rumah-rumah penduduk menuju depan jalan raya. Di sepanjang jalan

saya berpikir, betapa agungnya prosesi ini. Ribuan kali saya memuji berdecak

kagum, bagaimana tidak? Semua orang seolah terhipnotis oleh Tuan Menino

dan laskarnya, termasuk saya yang tidak peduli dengan sengatan panas matahari, kita semua tetap antusias ingin ikut mengantar Tuhan. Saya teringat

tadi melihat seorang ibu yang menggendong anaknya sambil membawa payung, dengan butiran keringat yang menetes deras di kening rela berjejelan

dengan pria-pria yang tidak mau mengalah berada di barisan depan. Saya

meyakini, peristiwa ini tidak akan menjadi luar biasa jika tidak ada keyakinan

yang kuat oleh masyarakat Nagi itu sendiri, bahwa Persisan Anta Tuan serta

prosesi lain dalam Semana Santa adalah momen yang tepat untuk berserah

diri. Keyakinan itulah yang menjadi magnet bagi orang-orang lain seperti saya

yang juga ingin menjadi saksi kemegah?an ritual suci ini kemudian percaya

atas semua cerita di dalamnya. Luar biasa bukan? Coba bayangkan, di negara

aslinya saja, di Portugal sudah jarang ditemui acara Semana Santa, kalaupun

iya, hanya terjadi di desa-desa sedangkan di kota hanya di area dalam gereja.

Akhirnya sampai juga di bibir jalan raya. Dan saya harus menaiki angkutan kota

untuk pulang ke penginapan. Sesampainya di penginapan, saya berhasil meng
Rumah adalah di Mana Pun

habiskan satu botol air mineral 600 mililiter dalam sekejap. Haus ternyata.

Badan pun sudah terkapar di atas kasur, lelah sekali siang ini.

Saya rebahkan badan ini di kasur sambil terus melamunkan tentang apa yang

barusan dilihat dan pengalaman dua hari berada di kota kecil ini. Ya, walaupun

baru dua hari, Larantuka membuat mata saya terbuka oleh hal-hal yang belum

pernah saya lihat sebelumnya. Otak saya mencatat dengan huruf tebal bahwa

di Larantuka ini, ada kelompok besar masyarakat yang mempunyai sebuah

keyakinan luar biasa kuat terhadap sesuatu, dalam hal ini Tuhannya. Keyakinan mereka ini menjadi magnet bagi mereka sendiri dan orang lain, yang bisa

membuat orang lain tadi ikut terhipnotis dan ikut merasakan apa yang mereka

yakini. Tampak jelas bahwa orang Nagi yang sangat mencintai Tuan Ma yang

menjadi pusat kehidupan, mereka bisa saja saling berebut untuk hanya menyentuh jubah beludru biru kehitaman. Mereka beranggapan bahwa dengan

menyentuhnya seolah diberkati. Katanya lagi, jika ada jiwa seseorang berada di

dalam titik suci bisa melihat patung Reinha Rosario itu menjadi hidup, karena

patung itu dulunya memang hidup. Konon, patung itu adalah seorang gadis

cantik bernama Reinha berjubah biru tua yang terdampar di Larantuka dan

ditolong oleh nelayan setempat. Ketika nelayan sedang mencari bantuan warga

desa lalu kembali ke tempat semula, gadis itu sudah menjadi patung.

Pernah juga suatu saat, ketika masa penjajahan Portugis, satu-satunya sumber

air yang berada di atas bukit ingin diracuni oleh Portugis, tetapi seketika penjajah mengurungkan niat buruknya itu karena melihat kota Larantuka seperti dikerudungi sebuah jubah biru besar seperti milik Tuan Ma. Merinding bulu kuduk

ketika mama Maria menceritakan hal itu, orang yang mempersilakan saya untuk dua hari bermalam di rumahnya. Hebatnya saya langsung percaya, karena

saya merasakan sendiri, waktu saat mencium Tuan Ma kemarin, betapa nge?

rinya ketika saya melihat wajah Bunda Maria yang berduka itu, raut wajahnya

tampak jelas sedang bersedih. Sendu sekali. Saya hanya bertahan sekitar tiga

detik untuk menatapnya.

Oh, Larantuka, saya letakkan hati di kota seribu kapela ini. Tepat di ujung timur

salah satu pulau yang katanya miskin ternyata mempunyai kekayaan budaya

yang tidak ternilai dengan apa pun. Persisan Anta Tuan adalah salah satunya

yang sudah saya saksikan. Tidak ada alasan untuk tidak mencintai negeri

Rumah adalah di Mana Pun

sendiri. Lagi-lagi memuji. Tapi begitulah nilai yang sepatutnya saya berikan.

Prosesi yang luar biasa, kisah yang menarik, kota yang indah serta masyarakat

yang ramah.

Huff.. Kaki saya tiba-tiba terasa seperti kram, mungkin terlalu lama saya

senderkan di dinding dengan posisi lebih tinggi dari badan. Saya menggeliat

cukup kuat, terasa pegal semua badan. Untung bisa kembali ke posisi semula.

Rasa-rasanya saya harus segera tidur.***

Lucia Widi, atau biasa dipanggil Widi saja, adalah seorang perempuan alumna

Teknik Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta, pada 2009. Lupa kapan mulai

suka menulis, yang pasti berawal dari hobby menulis buku diary waktu kecil

serta memberi highlight kalimat yang disuka pada sebuah buku bacaan. Ia menyukai personal journey, karena segala sesuatunya harus diputuskan, dilakukan,

serta dipertanggungjawabkan sendiri. Seru dan lebih menantang.

Rumah adalah di Mana Pun

Melangkah ke Selatan Pulau Sulawesi

Citra Novitasari

Siapa yang tidak suka jalan-jalan? Siapa yang tak suka berwisata? Saya rasa

hampir semua orang suka dengan kegiatan yang satu ini. Hidup di kota dengan

tingkat kesibukan yang cukup tinggi membuat tubuh lebih cepat stress. Bera?

wal dari kejenuhan dengan rutinitas kese?harian, saya jadi ketagihan jalan-jalan.

Saya termasuk orang yang tidak terlalu suka dengan kesendirian,sering saya

bergabung dengan trip bersama kawan-kawan pejalan. Trip kawan-kawan

Pejalan tidak selalu identik dengan trip murah dan susah, tidak saya mungkiri

memang kami menekan biaya perjalanan sehemat mungkin.

Katanya di Tana Toraja ada kuburan tebing? Katanya di sana ada rumah adat

yang menarik? Katanya di Makassar ada air terjun yang keren? Ahh, saya

termakan katanya dan rasa penasaran itu semakin besar saat ditawari trip ke

sana.

Singkat saja ajakan mulai dari pembelian tiket promo selesai dengan mudah.

kemajuan teknologi memudahkan mobilitas pengguna untuk mengakses pembelian tiket jadi lebih mudah. Saya lupa kapan tepatnya tiket itu kami peroleh,

tapi range pembeliannya tidak lebih dari 3 bulan sebelum kami berangkat ke

Makassar.

Trip ini ada bukan karena kami dapat tiket murah, tapi memang sudah cukup

lama saya penasaran dengan Budaya di Makasar terlebih Tanah Toraja, sering

Rumah adalah di Mana Pun

saya hanya melihat keunikan budaya di daerah lain hanya melalui media elektronik.

Makassar itu kota tujuan trip kami, tapi bukan Makassar tujuan akhir?nya.

Makassar hanyalah pintu gerbang dan tempat kami melambaikan tangan. Para

pejalan yang mayoritas bergender wanita. Bagaimana tidak, kali ini kami 14

orang terdiri dari 13 wanita dan 1 laki-laki. Para penjelajah atau pejalan yang

pada umumnya didominasi kaum Adam tapi tidak sedikit juga dari kaum Hawa

jadi penikmat jalan.

17 Oktober 2013

Berhubung pesawat terbang pagi, saya memutuskan bermalam di rumah salah

satu kerabat yaitu Mbak Ipey dari Kamis malam. Sekitar pukul 19.30, saya berangkat dari rumah menuju Bogor. Janjian di Botani Square dan dijemput Mbak

Ipey sekitar 20.30. Seperti pada umumnya, saya sadar besok pagi saya harus

bangun dini hari, tapi yang namanya perempuan suka lupa daratan kalau sudah

berbincang dan kami tetap berbincang hingga larut malam.

18 Oktober 2013

Bangun dini hari sekitar pukul 02.00 langsung mandi dengan air hangat, bbbrr

tetap dingin. Detik itu juga saya menyesal memilih mandi, tapi ya masa tidak

mandi, hahahaa. Pukul 3 dini hari dengan taksi dari rumah Mbak Ipey, saya

sampai ke pool bus Damri di depan Botani.

Pukul 03.30, bus Dammri berangkat menuju bandara Internasional SoekarnoHatta. Karena semalam kurang tidur, tanpa buang waktu saya langsung gunakan headset dan mulai tidur, tapi sayangnya saya tidak bisa tidur . Ibu yang

duduk di samping saya panik takut ketinggalan pesawat karena pesawatnya

flight 04.50. Saya hanya tersenyum dan berkata dengan santainya, "Santai aja

Bu, pasti keburu kok."

Pukul 04.30, kami tiba di Soekarno - Hatta. Suasana bandara kala pagi itu ramai, belum pernah saya melihat suasana bandara tampak le?ngang. Tak usah

heran, bandara Internasional memang tak pernah sepi dari pengguna. Saya tidak mengenal semua teman yang bergabung dalam trip ini, tapi tak lama untuk

Rumah adalah di Mana Pun

saling mengenal satu sama lain. Para pejalan biasanya cepat mengakrabkan

dirinya dengan lingkungan teman seperjalanan. Dapat teman baru, pengalaman baru, dokumentasi baru, iya itu hal positif yang didapat para pejalan. Hehehe!

Tepat pukul 06.40, pesawat take-off menuju bandara Hasanuddin di Makassar. Bersyukur duduk dipojok dengan cuaca penerbangan kali itu cerah.. Subhanaullah jejeran keindahan alam luar biasa indahnya.

Tanpa sengaja, saat asyik membahas Gede-Pangrango, eh pas banget pemandangan Gede ? Pangrango nampang disebelah kanan saya. Kemudian disusul

jejeran pegunungan lain. Saya menebak-nebak, jejeran itu adalah: gunung-gunung di Jawa Timur, seperti Semeru, Bromo, dan sekitarnya. Untuk penerbangan dengan view sebaik ini, sangat disa?yangkan kalau hanya dinikmati dengan

tidur.

Semakin banyak saya melihat keindahan alam di dunia ini, semakin saya

merasa kecil. Indonesia jejeran kepulauan, aneka lanskap, entah itu di darat, di

laut, di pegunungan selalu seolah "menelan" saya. Belum waktunya menjelajah

negeri orang kalau negeri sendiri pun belum kau sapa dengan akrab, walau

tidak memungkiri di luar Indonesia banyak spot-spot wisata yang indah. Tapi

jika bukan kita (masyarakat Indonesia) yang mengeksplorasi, trus harus siapa

lagi? Negerimu indah, sobat, negerimu kaya, negerimu butuh kita untuk memperkenalkannya ke dunia luar.

Pukul 10.05 masih di tanggal 18 Oktober 2013, tibalah kami di bandara Hasanuddin-Makassar. Ini pertama kali saya menginjakkan kaki di sini. Bukan kota

ramai sepertinya. Itu kesan pertama waktu saya tiba di sana. Bandaranya sepi,

aktivitasnya juga tidak seramai kota-kota lain. Tapi arsitektur bangunannya

menarik, mungkin kalau malam akan semakin menarik ditambah aksen dari

lampu-lampu.

"Selamat datang di Makassar, selamat mengeksplor daerah yang selama ini

hanya ada di rencanamu saja." Begitu kira-kira sambutan yang muncul dalam

diri saya sendiri. Haha!

Rumah adalah di Mana Pun

Tak banyak yang saya ucapkan karena belum banyak informasi yang saya

peroleh. Saya lebih suka membiarkan pancaindera saya menikmati sesuatu

yang lain dari lingkungan biasanya.

Seharian ini, rencana kami hanya mengeksplorasi Makassar, tepatnya tempattempat di sekitar Maros. Di bandara, kita dijemput 2 mobil. Mobil itu sudah

booked dari Jakarta. Formasi 7-7 ditambah 1 sopir yang sekaligus akan mene?
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mani kami mengelilingi sebagian tempat wisata di Makassar.

Oh iya, selain mengeksplorasi wisata Makassar, saya juga mengeksplorasi

makanan yang khas di sana. Contohnya, makanan yang terkenal di sana ada

coto makassar dan sop saudara. Sang guide menjelaskan bahwa dua menu itu

secara kasat mata terlihat sama, tapi ada perbedaan di rempah-rempah yang

ada di dalam makanan itu. Singkat kata, sop saudara lebih banyak rempahrempahnya.

Saat tiba di salah satu rumah makan yang direkomendasikan sang guide, tanpa

buang waktu saya langsung tanya:

"Ada coto makassar?"

"Coto makassarnya tidak ada, adanya cuma sop saudara."

"Ya sudah, saya pesen sop saudaranya satu"

Karena sudah tahu hanya beda di rempah-rempah, saya pesan 1 sop saudara

hanya daging saja. Satu porsi.

Tak lama makanan pun datang, di meja disajikan 1 piring nasi dan 1 mangkok

kecil sop saudara. Satu mangkok lagi berisi jeruk nipis, 1 tempat sambal, 1 botol

kecap dan di tengah ada kerupuk juga. Sop saudara itu kuahnya gelap. Seperti

rawon menurut saya, tapi sop saudara hanya berisi daging.

Saya lebih tertarik melihat sambal yang tersaji di meja makan. Sambalnya berwarna coklat, sedikit berkuah, seperti bumbu rendang, tapi jangan coba-coba

ambil terlalu banyak, rasa sambalnya pedas. Hahahaaha. Bukan saya saja yang

berkomentar itu pedas, sebagian besar dari kami bilang sambalnya mantap.

Hahahahaha!

Rumah adalah di Mana Pun

Selesai makan, destinasi pertama adalah air terjun Bantimurung.

Mobil melaju ke Maros. Letaknya air terjun Bantimurung tidak terlalu jauh dari

tempat kami makan. Perjalanan hanya ditempuh sekitar 30 menit. Jalanan di

Makassar relatif bagus dan sepi, tanpa macet. Ini namanya "Liburan," jauh dari

kemacetan seperti di Jakarta dan sekitarnya.

Kawasan Bantimurung dikenal sebagai wisata air terjun, selain itu juga dikenal

dengan sebutan The Kingdom of Butterfly. The Kingdom of Butterfly. Dalam

khayalan saat diperjalanan, nantinya begitu tiba di sana, kita akan melihat kupu-kupu terbang mendekati pengunjung, atau setidaknya banyak kupu-kupu

berterbangan.

Tapi setiba di sana, hati saya miris. Betul, saya melihat banyak kupu-kupu terbang, tapi tidak banyak dan lebih banyak dalam bentuk kupu-kupu yang sudah

dikeringkan. Sedih! Hewan yang terkenal dengan kecantikannya saat mengepakan sayap sekarang dikeraskan dan dibentangkan di dalam bingkai.

Ini menarik, perihal oleh-oleh memang menjadi sesuatu yang khas dari suatu

tempat wisata tapi jika kegiatan pengawetan kupu-kupu ini dite?ruskan, bukan

tak mungkin, ini akan merusak ekosistem dan lingkungan wisata yang seharusnya menjadi daerah konservasi.

Sedikit saran saya, Pemerintah Daerah perlu membina pengelola, pelaku

bisnis, dan masyarakat agar melestarikan lingkungannya serta memberi

alternatif oleh-oleh lain. Selain itu, para pejalan juga harus peduli dengan

keberlangsung?an ekosistem kupu-kupu, dengan tidak membeli souvenir tersebut. Mengapa saya sarankan seperti itu? Mudah saja, hukum ekonomi! Tidak

ada konsumen maka Produsen lama-lama akan berkurang dan mungkin akan

collapse.

Retribusi masuk air terjun ini berbeda, untuk wisatawan lokal Rp20.000,- dan

asing Rp40.000,-. Di bagian depan sebelum air terjun ada Kolam Jamala.

Menurut mito,s kolam tersebut dialiri air sepanjang tahun yang keluar dari

dalam goa yang merupakan sungai bawah tanah. Menurut cerita, masyarakat

Rumah adalah di Mana Pun

kolam Jamala merupakan kolam tempat mandinya para bidadari dan dipercaya

bisa menyembuhkan beberapa penyakit, enteng jodoh, dan dapat menghindari

seseorang dari guna-guna atau ilmu sihir.

Air terjun Bantimurung tidak terlalu jauh dari pintu masuk. Air terjun me?ngalir

cukup besar. Debit air yang cukup besar dimanfaatkan pe?ng?unjung untuk

bermain air dengan ban. Selain masih harus lanjut ke destinasi berikutnya,

saya lihat permukaan di beberapa bagian cukup dalam dan licin. Hal ini me?

ngurungkan niat kami untuk berbasah-basahan,walaupun tidak memungkiri

kesegaran air itu menggoda saya untuk sedikit mencoba kesegaran air terjun

Bantimurung.

Pukul 13.00 WITA kala itu hari Jumat, biasanya tempat wisata cenderung ramai di kala hari libur Sabtu-Minggu, tapi saat itu cukup banyak pengunjung

yang berwisata di sana. Anak-anak kecil tampak riang bermain air di atas ban,

tertawa bersama kawan sebayanya dan para keluarga yang duduk di pinggir

menikmati makan siang sambil mengawasi anak-anaknya bermain air. Tidak

bisa dimungkiri, liburan bersama keluarga memang asyik. Ahh, saya jadi ingat

keluarga di rumah, hehehe.

Berlalu dari Bantimurung, mobil kembali melaju ke destinasi selanjutnya.

Rammang-rammang. Apa itu Rammang-rammang? Entahlah, saya pun tidak

sempat menjanjagi perihal Rammang-rammang.

Sekitar pukul 16.30 WITA, sedikit terkejut karena mobil berhenti di pinggir jalan dan kami disuruh turun. Oh, ternyata letak dermaga Rammang-rammang

itu memang dekat tepian jalan. Seperti layaknya dermaga lain, ini merupakan

dermaga kecil, dengan jembatan kayu untuk mempermudah pengunjung naik

ke atas perahu. Dari jalan raya ke arah timur, kita dapat melihat lanskap unik

tebing-tebing karst.

Dulu waktu saya kecil, sering saya melihat acara televisi yang menjelajah

daerah-daerah pedalaman yang harus naik perahu. Nah, dalam benak saya itu

hanya ada di alam liar, ternyata setelah saya menginjakan kaki di sana. Pikiran

itu hilang, kawan!

Rumah adalah di Mana Pun

Menurut info yang saya dengar dari salah satu rekan perjalanan kemarin, Rammang-rammang merupakan kawasan karst terbesar ketiga di dunia setelah

Kawasan Karst China Selatan dan Halong Bay di Vietnam.

Jadi, kami harus naik perahu untuk mengelilingi kawasan Rammang-rammang.

Dipandu sang pemilik perahu yang ramah, kami menikmati indahnya Rammang-rammang. Pemandangan dan sensasi menjelajah seperti layaknya para

petualang bisa saya rasakan di sana. Unik sekali tempat yang satu ini.

Pemandangan di sekitar kami di kelilingi tebing-tebing karst dan tumbuhantumbuhan air. Ada Mangrove yang menghijau juga. Sunyi, sepi menjelajah di

perahu yang melaju di atas sungai. Mata seakan dimanjakan dengan pemandangan tebing yang sungguh indah.

Sekitar 30 menit, perahu berhenti dan kami dipersilahkan turun. Daerah dataran luas dengan bentangan sawah yang dikelilingi karst sungguh menarik.

Ada beberapa rumah warga disekitar daerah tersebut. Potensi alam seindah

Rammang-rammang ini sepertinya tidak dieks?plorasi dengan maksimal,

seperti tidak terawat. Air yang kotor, kondisi dermaga yang tidak lagi bagus,

tempat pemberhentiaan pun kayunya sudah lapuk dimakan waktu. Rammangrammang juga belum banyak dikenal para pejalan, kalah terkenal dibanding

kawasan wisata air terjun Bantimurung dan kawasan wisata lain di Makassar

sana.

Dengan kondisi yang tidak terlalu terawat saja, sudah membuat saya terpukau, apalagi dengan kondisi yang terawat? Wah, pasti jauh lebih memesona

dan akan menambah kekaguman saya akan potensi yang ada di Rammangrammang.

Selesai mengeksplorasi daerah Makassar, tepatnya Maros, malamnya, kami

berangkat dari Makassar menuju Tana Toraja. Perlu kalian ketahui, bus yang

membawa kami ke Tana Toraja itu Metro jenis Jet bus. Fasilitasnya wow ba?

nget, nyaman sekali: kursi yang lega, selimut lucu, dan full music (dengan lagulagu slow rock yang easy-listening).

Rumah adalah di Mana Pun

19 Oktober 2013

Sekitar pukul 05.30 WITA, kita sampai di Tana Toraja. Saya terkejut karena

perkiraan saya perihal Tana Toraja itu seperti daerah pedalam?an, mungkin menyerupai daerah Baduy. Ternyata tidak seperti itu. Tana Toraja itu seperti kota!

Ada pasar, ada distro untuk pakaian, bank, atm, rumah-rumah makan, hotel,

wah lengkap. Dugaan saya meleset jauh.

Berhubung masih masuk waktu solat subuh, kita memutuskan untuk singgah di masjid sembari menunggu motor sewaan tiba. Hahahaha! Baru sekali

saya masuk masjid berasa salah tempat singgah. Kita masuk masjid dengan

perasaan bersalah. Belum juga masuk ke dalam masjid, penjaga masjid sudah

mewanti-wanti:

"Di sini tidak boleh mandi, ya!"

"Kita nggak mandi, Pak, cuma mau izin solat subuh dan ke toilet."

"Ya sudah, saya beri waktu 10 menit."

Berhubung toiletnya hanya satu, maka kami bergiliran. Saat saya ke toilet,

astaga, pintu pun digedor-gedor!

"Masjidnya mau dikunci!" kata penjaga masjid.

Saya buru-buru keluar dari toilet, dan dengan perasaan kecewa campur bersalah, akhirnya kami hanya duduk di teras masjid!

Di dunia pejalan menurut saya tempat singgah paling nyaman itu ya rumah

kerabat. Tapi kalau tidak ada rumah kerabat, masjid pun bisa jadi tempat singgah sementara sembari beribadah (kalau mau num?pang istirahat, ada baiknya

minta izin dulu pada pihak pengelola masjid). Alternatif lain, kita bisa beristirahat di "Hotel Pertamina" alias Pom Bensin hahaha! (ini istilah dari salah satu

rekan perjalanan). Balik lagi ke Masjid tadi, usut punya usut ternyata pengelola

masjid mau pergi kerja dan masjidnya harus dikunci. Ya sudah kami juga cuma

menum?pang. Kami pun minta maaf karena merepotkan.

Rumah adalah di Mana Pun

Berkunjung ke suatu wilayah yang jauh dari lingkungan keseharian kita memang sudah sepatutnya banyak melihat, mendengar, dan sedikit berkata. La?

yaknya seperti kita bertamu saja. Hormati sang pemilik rumah, maka kita akan

dijamu dengan rasa hormat itu sendiri.

Matahari sudah memancarkan sinarnya sekitar pukul 8 pagi. Dengan motormotor sewaan, kami pergi ke perkampungan khas Toraja, namanya Kete Kesu.

Sejuk serta semilir diterpa angin jalanan, pematang sawah masih tampak di

kanan-kiri jalan. Gunung Latimojong sesekali menampakkan panoramanya.

Kete kesu ini kumpulan rumah adat Toraja yang umurnya sudah ratus?an tahun.

Rumah tempat tinggal Orang Toraja namanya Tongkonan. Tongkonan ini hanya

dibangun oleh golongan ningrat atau bangsawan, karena untuk membangun

rumah ini membutuhkan biaya yang cukup banyak.

Berjajar beberapa Tongkonan lengkap dengan jajaran tanduk kerbau di depannya. Semakin banyak jumlah kerbau yang dipasang akan sebanding dengan

status sosialnya. Di depan tongkonan ada tempat untuk menyimpan padi. Sa?

yang sekali tempat seunik ini jika tidak didokumentasikan.

"Eh, foto di situ bagus, lho," celoteh teman saya.

Saya pun berlari ke tengah jalan, berdiri di antara rumah tongkonan dan lumbung padi dengan seulas senyuman di bibir.

Banyak pengunjung di Kete Kesu. Jika dihitung, lebih banyak wisata?wan asing

dibanding wisatawan lokal seperti kami. Di Kete Kesu, bukan hanya terdapat

rumah khas toraja. Di belakang perkampungan itu ada pula goa. Banyak kuburan, tengkorak, patung-patung, dan ada beberapa barang khas yang menurut info merupakan barang kesayangan atau yang berharga dari orang yang

telah meninggal.

Di Kete Kesu, peti-peti banyak juga tergeletak di depan Goa, sepanjang anak

tangga tergeletak juga tengkorak-tengkorak yang menurut info sudah berada di

situ cukup lama. Di bagian atasnya, terdapat jejeran-jejeran tengkorak lagi.

Rumah adalah di Mana Pun

Wisata yang lain dari yang lain. Biasanya, saya berwisata ke daerah yang

menawarkan pemandangan yang bagus; sekarang saya disuguhi kuburan,

tengkorak, dan peti. Ya, inilah yang menarik dari budaya di Tana Toraja.

Dari Kete Kesu, kita lanjut ke Londa. Masih sama, Londa juga merupakan goa

kuburan khas toraja. Ada 2 goa, yang satu kecil dan yang satu besar. Di sini,

saya sempet merasa takut. Aroma dalam goa bener-bener membuat saya tidak

nyaman. Terdapat aroma wangi bunga, dan ada aroma kopi juga. Saya masuk

goa yang berukuran lebih besar terlebih dahulu.

Di kanan-kiri tebing goa, hanya tersisa ruang yang begitu sempit, pe?ngap,

lembab, dan kami hanya diterangi 1 lampu petromaks yang disewakan di sana.

Tinggi goa tidak lebih dari 2 meter. Di beberapa bagian tingginya malah hanya

0,5 ? 1 meter. Kami harus menunduk agar bisa lanjut ke dalam. Jangan harap

bisa jalan berdampingan. Kami berbaris, dan bergiliran satu persatu untuk masuk ke goa.

Di sela-sela tebing, pasti ada tengkorak yang diletakkan tidak ber?aturan. Pemandangan itu berjarak tidak lebih dari 5 meter, sehingga tengkorak-tengkorak

itu begitu jelas. Nuansa horor sangat kental dan mencekam saat masuk ke

dalam goa kompleks perkuburan itu. Wisata di Toraja penuh dengan pesona

mistis.

Keluar dari goa yang satu, ternyata kami masih diajak masuk goa lagi dan yang

ini ukurannya lebih kecil. Bah, ini lebih deket lagi! Saya rasa di sini lebih dingin,

lebih bau, lebih lembab, dan membuat bulu kuduk terus-terusan merinding.

Bulu kuduk seperti diterpa angin, wow luar biasa rasanya. Antara perasaan ke?

takutan dan rasa penasaran yang kuat, saya memberanikan diri kembali masuk

ke goa itu. Semakin ke dalam dan sejauh mata memandang, mata masih disuguhi peti, bunga, dan lagi-lagi, tengkorak. Semua yang ada di sana membuat

saya ketakutan dan membuat saya tersadar akan suatu hal, yaitu kematian.

Dari Londa kami lanjut ke Lemo, nah ini komplek kuburan yang banyak dipotret. Saya pikir icon Toraja selain rumah adatnya, ya kuburan ini. Lemo

merupakan kuburan di tebing. Saya sempat baca salah satu artikel majalah

Rumah adalah di Mana Pun

yang ada di pesawat. Tahu nggak sih, ternyata kalau kita mau berkunjung ke

kompleks-kompleks kuburan di sana, ada larangan menggunakan pakaian berwarna merah. Boleh pakai merah asal didampingi guide (begitu menurut info

yang ada di majalah).

Lemo lebih menarik dari Londa, lebih rapi dan lebih unik juga, seperti komplek

perkuburan yang memang sudah didesain dengan gaya penyu?sunan yang

klasik. Tebing berdiri cukup tinggi, dari kejauhan pun kita sudah dapat melihat

tebing ini. Patung-patung tersusun rapi di bagian depan tebing. Oh iya, saya

juga tidak melihat ada tengkorak-tengkorak di sana. Sama-sama komplek

perkuburan, tapi karena disusun lebih rapi dan diletakkan cukup tinggi, di sini

saya tidak merasa takut sama sekali. Hehehe!

Dari Lemo, kami melanjutkan perjalanan ke seremoni Pemakaman Orang
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Toraja. Sulit buat saya bercerita perihal acara pemakaman di Toraja. Ini hanya

perspektif dari saya. Acara pemakaman pada umumnya pasti sedih, nah saat di

sana, saya tidak melihat raut kesedihan di wajah para keluarga.

Pihak keluarga foto-foto di depan keranda petinya, mulai dari keluarga inti

sampai kerabatnya. Masing-masing keluarga, tertawa, becanda, bahkan ada

acara makan besarnya juga. Dari situ, petinya dibawa ke tempat peristirahatan

terakhir, Peti jenazah diangkat-angkat sambil digoyang-goyang, dan dimasukkan ke tempat peristirahatan.

Saat saya di sana, itu hari terakhir. Peti jenazah akan dimasukkan ke tempat

peristirahatan terakhir. Sebelumnya, ada serangkaian upacara adat untuk

menghormati kerabat yang meninggal tapi sayangnya saya tidak menyaksikannya secara langsung.

"Pak, di sini sudah banyak rumah bergaya modern ya, rumahnya bagus-bagus."

"Itu bukan untuk tempat tinggal, tapi itu untuk tempat menaruh peti."

Hah! Nggak salah!? Saya terkejut demi melihat tempat peristirahatan terakhir

yang seperti rumah modern itu. Ternyata rumah-rumah tadi jadi kuburannya.

Sungguh dugaan saya lagi-lagi salah.

Panas dan lapar karena makan siang yang terlewat tidak begitu terasa, karena

Rumah adalah di Mana Pun

aroma selama di sana membuat saya mual. Bau kotoran kerbau, bau darah tertiup angin, menyebar ke segala penjuru (tidak perlu dibayangkan). Jangankan

untuk makan, untuk minum pun saya tak sanggup.

Perjalanan di Tana Toraja memberi saya pengetahuan baru akan suatu budaya.

Perjalanan ini juga menumbuhkan beberapa pertanyaan dalam benak saya.

Apa yang saya lihat kadang tidak selalu sinkron dengan apa yang harus diserap

logika pikiran, misalnya kenapa di dalam goa banyak sekali benda-benda

a?sing? Saya juga heran kenapa peti-peti tersebut diletakkan di tempat yang

tinggi.

Berawal dari penasaran, kemudian muncul banyak pertanyaan, bergulir dengan

komunikasi yang menghasilkan jawaban untuk mengakhiri rasa penasaran.

Ternyata dalam adat Toraja, seseorang yang telah meninggal akan hidup

kembali di alam baka, makanya orang tersebut harus dibekali banyak barang.

Barang-barang yang dianggap diperlukan nanti diikutsertakan di dalamnya.

Peletakan di ketinggian itu untuk menghindari pencurian, maka dari itu dipilih

tempat yang sulit dijangkau. Mungkin ini salah satu alasan kenapa tidak ada

raut kesedihan di wajah keluarga yang ditinggalkan. Mereka percaya ada kehidupan lain setelah kehidup?an dunia.

Upacara pemakaman khas Toraja memang hanya untuk kalangan ningrat saja.

Serangkaian acara pemakaman lebih mewah dibanding upacara pernikahan,

mulai dari biaya kerbau yang harus disembelih, pembangunan bangunan untuk

tempat peristirahatan terakhir, dan serangkaian acara adat lainnya.

Tidak salah kalau ada istilah "orang Toraja hidup untuk mati." Semasa hidup

orang-orang tersebut mengumpulkan uang dan pada akhirnya akan banyak

dikeluarkan untuk biaya kematian. Semakin tinggi jumlah kerbau yang dipotong, semakin tinggi derajat orang tersebut, dan semakin tinggi tempat peristirahatan terakhir, dipercaya akan semakin dekat dengan Sang Maha Pencipta.

Saya banyak belajar keaneka ragaman budaya di Tana Toraja, seperti budaya

penghormatan terakhir kerabat yang meninggal, kepercayaan adat, seni, dan

Rumah adalah di Mana Pun

ritual yang wajib dilestarikan di sana. Saya juga belajar tata krama dan ramah

tamah daerah di luar lingkungan saya.

Satu hal terlintas saat mata ini disuguhi pemandangan peti dan tengkorak

terus-menerus sepanjang hari, ya perihal KEMATIAN. Pernahkan terlintas

dalam pikiran apakah kita sudah mempersiapkan perihal itu? Kehidupan ini

pasti diakhiri dengan kematian, seperti apa nantinya kita akan diperlakukan

saat kematian itu tiba.

20 Oktober 2013

Sejenak menikmati indahnya sunset Losari. Perlahan sang senja menurun,

tanpa malu menenggelamkan seluruh penampakannya dari hadapan kami dan

sang malam menyambut kami. Saya penikmat sunset pantai. Buat saya sunset

pantai itu selalu romantis dan menenangkan. Malam semakin malam, Losari

jadi lautan manusia. Ramai sekali.

Selain Losari, ada masjid Amirul Mukminin (masjid Terapung) masjid yang letaknya di atas pantai Losari mempunyai daya tarik sendiri. Keunikan ini membuat masjid ini selalu ramai. Arsitektur masjid yang keren menambah aksen

nyaman untuk masjid ini. Semua tentang trip Makassar dan Tana Toraja memberi pengetahuan baru tentang sudut lain budaya daerah di Selatan Sulawesi.

"Pengalaman dari setiap perjalanan mengajarkan saya banyak hal tentang kehidupan, Jiwa masih penasaran dan mata ini tidak sabar melihat

keanekaragam?an alam dan budaya di Indonesia. Jangan ragu melangkah,

matamu jendela untuk dirimu & dirimu jendela untuk sekitarmu"***

Citra Novitasari lahir di Sukoharjo, 26 Maret, 23 tahun silam. Wanita dengan

tinggi 160 cm, kulit sawo matang dan lebih menyukai warna-warna terang dalam

berpakaian. Hobi senyum dan nyengir di depan kamera tapi kurang suka berdiri di

belakang kamera. Mendaki gunung, susur pantai, masuk pedalaman atau sekedar

city trip. Fb : Citra Novitasari (https://www.facebook.com/citra.novitasari.3), twitter : @citno, blog : www.pejalanwanita.blogspot.com (http://www.pejalanwanita.

blogspot.com/), email : citra.novitasari@gmail.com

Rumah adalah di Mana Pun

Bersantai di Sabang, Santai Bang!

Mehdia Nailufar

Mom, bulan depan aku pergi ke Aceh 9 hari."

"Hah? Kerja, dek?"

"Bukan, traveling."

bu cuma bisa menghela napas saja ketika saya minta izin beliau di tengah

perjalanan saya menjemput ibu dan ayah dari airport. Putrinya yang satu ini

masih butuh vaksin untuk berhenti traveling.

Izin dari orang tua sudah oke, tinggal izin kantor pikir saya. Lalu hari berikutnya

saya izin ke kantor. Agak deg-degan sih, pasalnya ini izin yang agak nggak tahu

diri. Cuti seminggu untuk traveling. Sebelumnya saya belum pernah ambil cuti

lebih dari sehari, meskipun untuk traveling. Seringkali kegiatan ini saya lakukan

di akhir pekan saja. Misalnya memakan hari aktif, saya korbankan satu hari

saja. Dengan demikian jatah cuti saya masih banyak untuk traveling lagi.

Saya yakin kok, nggak hanya saya saja yang begitu, teman-teman traveler

yang pekerja kantoran mungkin berpikiran seperti saya juga. Work hard, travel

harder.

Mengajukan cuti panjang tersebut punya dampak panjang yang sudah saya

sadari sebelumnya. Sebelum cuti, segala proyek yang sedang saya pegang harus selesai. At least 80% sudah mendekati selesai. Lembur hampir tiap malam

jadi langganan. Itulah resiko jika kita kerja kantoran dan nafsu traveling tidak

tertahankan.

Singkat cerita, bos memberikan restu pada karyawannya yang masih doyan kelayapan ini. Bersyukur sekali punya bos yang memahami pegawainya bahkan

mewanti-wanti pegawainya ini untuk berhati-hati dan wajib kembali dengan

selamat. Respons beliau benar-benar tidak terduga. She was sooooo calm, no

surprises.

Saya masih ingat betul kalimat beliau waktu itu, "Iya, nggak apa-apa.. Aku memahami kamu masih muda, dan kamu memang suka kegiatan seperti itu..Jadi

ya nggak apa-apa." Kata-kata yang lebih mengharukan lagi, "Kamu pergi sama

siapa? Nggak sendirian 'kan.. ati-ati loh..pokoknya balik."

Perjalanan kali ini adalah perjalanan pertama saya untuk di-host di kota orang

dalam waktu lebih dari dua hari. Dari 9 hari perjalanan, total 6 hari saya diberi

tumpangan tidur gratis oleh orang-orang baik di Medan, Aceh, dan Bukittinggi.

Tujuan utama saya dan Ichan, travelmate saya waktu itu adalah Pulau Weh.

Weh, di mana itu?? Weh adalah sebutan lain dari Sabang, pulau yang sebelumnya hanya saya dengar dari sebuah lagu saja. Ternyata banyak juga yang tahu

lagu Sabang-Merauke tapi tidak tahu Sabang itu di mana, Merauke itu di mana.

So did I..

Sebelum ada rencana ke Sabang, saya tidak tahu di sana ada apa saja. Hanya

sekadar tahu kalau Sabang itu ujungnya Indonesia. Bahkan baru 'ngeh' kalau

Pulau Weh itu ya Sabang. Begitu pula Merauke. Sampai sekarang aja belum

tahu tentang Merauke, really..

"Kamu kok bisa sampe Sabang??!!" pertanyaan itu berkali-kali dilontarkan

kawan-kawan di twitter, bbm, whatsapp, karena status yang berbau Sabang.

Semua itu berawal dari keisengan designer yang mati gaya di depan komputer

di suatu sore dan mendapatkan tiket promo dengan destinasi serta waktu yang

agak nggak terpikir. Pilihan kami jatuhkan ke Medan. Kami putuskan untuk ke

kota ini. Berjarak 2 bulan dari pembicaraan kami waktu itu. Tiket pulang pergi

Surabaya-Medan selama 9 hari issued.

Rumah adalah di Mana Pun

Jauh hari sebelum adanya promo ini, saya memang sudah sempat kepikiran

untuk cuti agak lama buat ke pulau orang dan tinggal lumayan lama di sana.

Ingin rasanya membaur dengan penduduknya, dan mencatat setiap pelajaran

kehidupan yang saya dapatkan dari perjalanan tersebut. Hal itu sudah terlintas

dalam kepala saya. Saya ingin melakukan perjalanan yang berbeda dari perjalanan saya sebelumnya yang motivasinya adalah untuk jalan-jalan. Kepuasan

pribadi. Tidak ada misi apa pun di situ. Siklus hidup saya setahun itu adalah

kerja untuk cari duit kemudian saya pakai untuk traveling. Hingga satu tahun

kemudian, makin banyak perjalanan yang saya lakukan, makin sering saya

bertemu orang baru dan makin kaya rasa yang saya dapat. Kemudian motivasi

saya lambat laut berubah dan saya mendadak berada di titik jenuh. Hari aktif

kerja keras dan traveling di akhir pekan, ternyata membuatnya saya bosan

karena sudah menjadi rutinitas. Apalagi hampir setiap minggu, saya bertugas

di proyek luar kota. Minggu ini di kota A, hari berikutnya di kota B. Melelahkan

tapi juga menyenangkan. Sisi lain dari kesenangan itu adalah intensitas dengan

orang-orang terdekat menjadi berkurang. Samar-samar hati kecil saya berbisik,

apa tujuan saya melakukan semua perjalanan ini?

"Kita sekalian ke Sabang sama Sumatera Barat aja cuy," kata Ichan saat kami

menyusun itinerary. Gila! We weren?t smart that time, waktu kami habis di perjalanan karena hampir semua destinasi kami tempuh via darat dan laut.

Dari Medan, kami tempuh 12 jam perjalanan darat untuk ke Aceh dengan bus.

Di Aceh kami sudah ditunggu beberapa teman perjalanan dari kota lain, dan

akan berangkat bersama ke Sabang.

"Lho, ini sudah sampai?"

"Belum, kita shalat subuh dulu."

Ini pertama kalinya saya berhenti tepat di waktu shalat untuk shalat di masjid di

saat saya naik angkutan umum. Di Jawa? Belum pernah kecuali sewa satu bus.

Belum sampai kota muslim tersebut, saya sudah merasakan suasananya.

Tempat wudlu wanitanya berbilik-bilik dan baru kali itu saya merasakan toilet

jongkok yang membelakangi pintu. Setelah beberapa kali di toilet umum lain,

saya mendapatkan kondisi serupa. Saya berkesimpulan ini salah satu budaya

Rumah adalah di Mana Pun

mereka. Toilet tidak boleh menghadap kiblat dan tidak boleh menghadap pintu,

hal ini memang ada di hukum Islam.

Sampai di terminal Aceh, kami mencoba tawar-menawar dengan tukang lobilobi, becak motor khas Aceh. Becaknya seperti motor dan bajaj tanpa atap dan

bergandengan. Satu motor bergandengan dengan becak beroda tiga. Sengaja

kami langsung menuju pelabuhan untuk langsung menyeberang ke Pulau Weh

karena jadwal kapal kami mepet. Di pelabuhan tersebut, dua teman saya lainnya sudah menunggu, dan saya resmi menjadi the only woman in this group.

Saya baru tahu ketika sampai di tempatnya, ternyata pelabuhan Balohan,

Sabang, ini adalah pelabuhan bebas pajak. Semua bebas masuk tanpa pajak,

bahkan mobil-mobil dari luar negeri pun bisa dirasakan penduduk Sabang, asal

tidak keluar dari pulaunya sendiri. Kalau keliling pulau ini, kita bakal menemukan banyak mobil mewah dan tidak kita kenal merknya di kota kita. Lucunya

lagi, saking banyaknya mobil ini, beberapa dari mereka menggunakannya

sebagai jemuran baju. Really! Baju yang sudah dicuci dijemur di atas mobil

mewah. Di mana lagi bisa menemukan momen langka seperti itu kalau bukan

di Sabang.

Pulau Sabang ini adalah pulau kecil yang bisa kita kelilingi memakai motor.

Beruntunglah kami diberikan satu mobil dari pemilik penginapan untuk berke?

liling. Oh, Man! Keliling pulau paling barat Indonesia pakai mobil.. keren, keren,

keren!

Apesnya, bensin kami sisa sedikit sekali. Sedangkan pom bensin hanya ada

satu di pulau tersebut. Bukan pom 24 jam pula. Akhirnya belum sempat kami

keliling pulau, kami kembali lagi ke penginapan. Malam itu kami hanya sempat

membeli makan malam saja di pinggir pantai Gapang. Ingat adegan salah satu

cerita di film Rectoverso tentang perjalanan satu kelompok traveller yang sedang makan malam dan berbincang di pinggir pantai? Salah satu dari mereka

adalah perempuan. Kondisi saya malam itu hampir sama persis dengan adegan

tersebut. Saat satu persatu cerita kehidupan masing-masing. Ah, pantai selalu

bikin galau di malam hari.

Meskipun malam itu kami tidak berhasil berkeliling kota Sabang, kami cukup

puas dengan hari pertama kami di sana. Saya sudah jatuh cinta dengan pulau

Rumah adalah di Mana Pun

ini sejak pagi pertama sampai di pelabuhan Balohan. Atmosfer santai benarbenar terasa. Cuaca saat itu juga mendukung sekali, tidak panas dan tidak hujan. Anginnya sejuk karena pulau ini belum begitu terkontaminasi polusi. Jalannya sudah beraspal dan bersih. Pemandangan kanan-kiri kita saat berkendara

adalah pantai. Benar-benar tempat yang tepat untuk kabur dari rutinitas.

Saat pertama sampai pagi itu, kami langsung meluncur berkuliner di sekitar

kota. Mie Jalak yang menjadi andalan pulau ini langsung terlahap bersih di depan kami. Setelah cukup kenyang, kami dihadapkan dengan para monyet dan

babi hutan di Tugu Nol Kilometer Indonesia. Banyak sekali monyet liar yang

bebas lompat ke sana-kemari, mengambil barang atau makanan yang mereka

minati dari manusia. Pagi itu, pengalaman saya pertama kalinya kejar-kejaran
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan babi hutan. Serem, Man! Yang pasti kami sudah menggapai titik paling

barat Indonesia. Bangganya luar biasa.

Kondisi tugu ini sebenarnya masih bagus, namun tidak terawat. Simbol nol

kilometernya juga sudah hilang. Di seberang tugu ini, kita bisa melihat bagian

Pulau Weh yang lain, lautan lepas bagian dari Samudera Hindia dengan tebingtebing yang indah serta semilir angin yang sejuk. Kita bisa mendapatkan setifikat tanda kita telah mengunjungi Tugu Nol KM. Caranya mudah, hanya menunjukkan bukti foto kita waktu di sana ke dinas pariwisata Sabang.

Dari Tugu Nol KM, kami lanjutkan perjalanan ke Pantai Gapang. Pantai berpasir

putih ini lokasinya sebelum Pantai Iboih. Airnya jernih, berwarna hijau. Segala

kelelahan kami hilang melihat pantai ini. Didukung semilir angin yang dingin

dan cuaca yang bagus, kami beristirahat sambil menikmati pantai dengan gradasi warnanya yang sangat indah. Warna biru langit dan dalamnya laut serta

hijau di bibirnya, juga putihnya pasir menghapus rasa lelah saya. Siang itu

tidak ada pengunjung lain selain kami berempat. Hanya ada anak-anak kecil

penduduk setempat yang bermain-main pasir dan ibu mereka yang mengawasi

dari kejauhan.

Hari sudah menjelang sore, kami langsung ke Iboih untuk ke penginapan dan

bersiap snorkeling ria. Spot snorkeling dan diving paling bagus adalah di pulau Rubiah. Hanya saja, waktu kami ke sana kondisi karangnya banyak yang

Rumah adalah di Mana Pun

hancur, efek dari gempa dan global warming, tapi ikan-ikannya cukup beragam

dan berwarna-warni indah. Tidak rugi kami melakukan perjalanan panjang ke

sini. Pulau Weh yang masih masuk dalam wilayah Aceh ini masih memegang

hukum Islam yang sama. Namun, di sini tidak seketat di Aceh aturannya. Para

wisatawan asing masih bisa berbikini namun hanya saat berenang saja. Lepas

dari air, mereka sebaiknya menggunakan penutup lagi.

Saat di Rubiah, kami serombongan dengan pengunjung lain yang berasal dari

Banda Aceh. Ada 3 wanita keibuan yang ternyata kakak beradik. Mereka seperti

tante-tante yang gila foto, setiap momen mereka minta kami fotokan. Mereka

hampir tiap bulan menghabiskan waktu beberapa hari untuk ke pulau Weh.

Pulau ini pulau paling tenang yang mereka datangi kata mereka. Nggak perlu

jauh-jauh untuk refreshing, Weh sudah cukup komplet untuk dijadikan tempat

refreshing. Ada pantai, danau, air terjun, benteng, bahkan gunung, meskipun

ukurannya tidak sebesar gunung-gunung di Jawa.

"Sebenarnya orang Aceh ini keturunan bangsa Melayu atau mana, ya?" gumam

saya di perahu saat menuju pulau Rubiah.

"Kalau lihat kami bertiga, kira-kira kami ada keturunan dari mana?" sahut Bu

Ida, salah satu rombongan wanita paruh baya yang satu perahu dengan kami.

"Dari Arab?" jawab saya agak sedikit ragu.

"Iya benar. Kami masih ada keturunan Arab. Kalian tahu kepanjangan dari

ACEH? Arab, Cina, Eropa dan Hindia. Oleh karena itu penduduknya punya banyak karakter fisik seperti Arab, Cina, Eropa, dan Hindia. Coba saja perhatikan

orang-orang di sini," cerita Bu Ida sambil menghabiskan satu batang rokoknya.

Entah dari mana asal mula nama ini, tapi setelah mendengar itu setiap kali saya

melihat warga setempat saya langsung menebak orang tesebut keturunan

mana. Haha

Anak-anak kecil yang di dermaga Iboih bermain-main sore itu, iseng saya bertanya pada salah satu anak di antara mereka. Ada anak kecil berparas ganteng

(menurut naluri wanita saya, gedenya pasti lebih ganteng. Haha) seperti keturunan Arab dan Eropa. Setelah saya tanya, bapaknya memang orang Portugal,

ibunya Aceh.

Rumah adalah di Mana Pun

Kami kembali ke penginapan mewah kami setelah puas ber-snorkeling. Mewah, karena penginapan kami berbentuk bungalow dengan dua kamar yang

langsung menghadap ke pantai. Setiap kamarnya punya pantry dan fasilitas

TV-DVD komplet. Keuntungan menjadi satu-satunya wanita di antara para pria

adalah privilege yang kita dapat akan lebih banyak. Saya diperlakukan seperti

putri, diberikan satu kamar khusus, sedangkan mereka sekamar bertiga. Ke

mana-mana saya merasa terlindungi dengan tiga pria ini.

Sebenarnya ada rasa takut jika kita traveling atau pergi ke tempat baru, apalagi

jauh dari rumah sendiri. Selama ini saya bekerja di antara para pria. Pekerjaan

saya di proyek tidak lepas dari rasa khawatir akan sesuatu hal karena faktor

gender. Ada rasa insecure, meskipun itu sedikit. Tapi saya selalu berusaha

berpikiran positif. Jika kita respek pada mereka, dan kita menjaga sikap kita,

mereka pasti juga akan respect kepada kita para wanita. Semakin banyak saya

bertemu dengan para lelaki di lapangan, di tengah traveling, dan di tempat lain,

semakin banyak saya tahu apa yang harus saya lakukan, bagaimana saya harus

bersikap di berbagai kondisi.

Tidak hanya di saat bekerja, sudah kerap kali juga saya menjadi satu-satunya

wanita di tengah traveling. Baik itu dengan keluarga atau dengan teman-teman. Bersyukur sekali saya dipertemukan dengan orang-orang baik.

Keesokan harinya kami lanjutkan untuk mengeksplore Pulau Weh dengan motor yang kami sewa di pelabuhan. Kami sempatkan makan nasi gurih dan mie

aceh di pasar Kota Sabang atau Jl. Perdagangan namanya. Nasi gurih dan mie

Aceh ini adalah makanan khas Aceh. Nggak afdol rasanya jika ke suatu daerah

tidak menjelajah kulinernya. Cukup banyak warung berjajar di jalan ini. Setelah

makan kami ke Danau Anoek Laot, danau ini cukup dekat dengan pelabuhan

Balohan dan menjadi sumber air minum warga satu pulau. Danau ini bisa kita

lihat waktu kita keluar dari pelabuhan dan perjalanan ke arah Iboih. Kami hanya

bisa melihat-lihat saja di danau ini karena aksesnya agak susah.

Pada saat keliling di siang hari, toko-toko hampir tutup semua. Seperti tidak

ada kehidupan di pulau ini. Hanya ada beberapa orang saja yang duduk-duduk

di pinggir rumah atau warung kopi untuk ngobrol. Pada saat saya tanya pada

Rumah adalah di Mana Pun

penjaga toko souvenir khas Sabang di daerah Kota Atas Sabang, "Bu, ini hari

libur? Kok semua toko pada tutup?"

Si ibu dengan santainya menjawab, "kan ini Sabang, Santai Bang! Sudah jadi

kebiasaan orang sini untuk bersantai di siang hari. Sore mereka buka kembali.

Penduduk di sini memang sangat santai sehari-harinya." Jangan harap bertemu keramaian di pulau ini selain di pasar. Pulau ini memang cocok banget

buat bersantai. Kami jadi merasa tidak enak pada beliau yang rela membukakan tokonya karena kami telepon, padahal saat itu siang hari. Bang Hijrah, pemilik toko tersebut tidak bisa menemui kami waktu itu. Padahal ia adalah duta

wisata Pulau Weh yang tahu bisa menceritakan banyak hal mengenai pulaunya

kepada kami.

Tujuan kami selanjutnya yaitu Pantai Sumur Tiga, di pantai ini kita bisa menikmati sunrise. Sayangnya kami ke sana di siang hari. Hanya bisa bermain-main

di pantai saja. Keindahan Pantai ini tidak kalah dengan Pantai Gapang. Pasirnya

putih dan gradasi warna air akibat salitasi terlihat memukau. Tidak berlamalama kami di sini karena kami harus balik ke Aceh sore hari sehingga hanya

beberapa tempat lagi yang bisa kami kunjungi. Destinasi terakhir kami yaitu

Pantai Anoi Itam dan Benteng Jepang. Lokasi Benteng ini sebelum Pantai Anoi

Itam dan saling berdekatan satu sama lain. Dari atas Benteng kita bisa melihat Pantai Anoi Itam yang pasirnya berwarna hitam. Di sini terkenal dengan

makanan rujak Aceh.

Jadwal berangkat kapal kami ke Pelabuhan Ulee Lheu pukul 4 sore. Masih banyak destinasi yang belum kami kunjungi di pulau ini, tapi kami harus segera

kembali untuk melanjutkan perjalanan ke kota lain. Tidak cukup dua hari untuk

menjelajahi pulau Sabang. Kami berharap bisa kembali ke Sabang lagi dan

melanjutkan perjalanan hingga Marauke.

Setelah bersenang-senang di Pulau Weh, kami singgah sehari di Aceh. Negeri

Serambi Mekah ini masih memegang tinggi syariat islam, jadi mayoritas penduduknya berbusana tertutup. Bahkan pengunjung kota ini juga dihimbau untuk berpakaian tertutup. Berkeliling di kota ini seperti merekonstruksi tsunami

2004 silam. Mengharukan mendengar cerita peristiwa tersebut dari mereka

Rumah adalah di Mana Pun

yang mengalaminya langsung, melihat peninggalannya dan melihat warganya

bangkit kembali.

Perjalanan ke Aceh ini adalah satu rangkaian perjalanan saya selama sembilan

hari di pulau orang. Meski hanya sehari saja di sini kami benar-benar memaksimalkan waktu singkat kami. Pada 28 April 2012 pagi kami sampai di Aceh.

Namun hanya sebatas transit saja. Kami langsung melanjutkan perjalanan ke

Pulau yang memang harus melalui Aceh dulu. Kami kembali dari Sabang hari

Minggu sore 29 April dan stay di Aceh selama sehari.

Pada hari yang sama saat kami meninggalkan pulau Weh, kami sampai di

Pelabuhan Ulee Lheu Aceh sore hari. Sudah ada lobi-lobi yang menjemput

kami. Kami sudah membuat janji dengannya saat kami diantarkan ke pelabuh?

an dari terminal Banda Aceh. Kami minta diantarkan ke Masjid Baiturrahman.

The Great Mosque! Salah satu saksi bisu kejadian Tsunami 2004.

Kami berhenti di pelataran masjid sambil menunggu kabar dari para host kami.

Kami terhubung dalam satu jejaring komunitas traveling dunia. Host kami bernama Ahlan dan Yuni. Di Aceh, syariat Islam sangat terjaga. Yang laki-laki tidak

bisa meng-host perempuan, begitu pula sebaliknya. Yuni ini adalah sahabat

teman trip saya waktu di Maratua. Dia pernah kuliah di Desain Interior ITS, jadi

kami kadang bercakap-cakap dengan bahasa Suroboyan. Yuni tinggal sendiri

di Banda Aceh, bekerja di Pemkot Aceh dan merangkap menjadi ibu kos muda

yang baik hati. Saat itu Yuni masih single, belum genap setahun kami berpisah

ia mengirim undangan pernikahannya. Ahlan Syahreza adalah mahasiswa kedokteran yang baru saja ujian profesi. A Smart and so friendly young, doctor.

Kami bertemu kembali di Surabaya saat ia bersama ayahnya. Inilah keunggulan

host-menghost, memperat hubungan. Yang sebelumnya tidak pernah bertemu

tiba-tiba menjadi orang yang sangat dekat dengan kita. Saat itu saya sempat

berpikiran iseng untuk menjodohkan Yuni dan Ahlan yang sepertinya cocok.

Tapi ternyata Yuni sudah punya teman dekat.

Sore itu Yuni menghampiri kami di Masjid Baiturrahman dan mengantarkan

kami sejenak untuk berkeliling masjid. We were so excited with her explanation

about the mosque and the tragedy of Tsunami. Kami sempatkan untuk sholat

maghrib dan ngaji sebentar dulu di sini. I sent some message to my parent that

Rumah adalah di Mana Pun

I reach Baiturrahman Mosque. Subhanallah.. Saya mengambil kamera saya

untuk memotret interior masjid. Tiba-tiba Yuni mengarahkan saya, "coba ke

sini, Meh. Kamu ambil fotonya dari sudut sini."

Wah..Yuni sudah hafal setiap sudut masjid ini, hingga ia tahu dari mana sudut

yang bagus untuk dipotret.

"Kamu tahu masjid ini benar-benar kaya. Lantainya berasal dari lembaran

marmer. Pintu dan elemen lainnya berhias ornamen-ornamen cantik. Kata

orang-orang, ada beberapa ornamen yang berlapis emas lho di sini," cerita

Yuni.

"Pada waktu tsunami, masjid ini benar-benar seperti lautan manusia. Orangorang sibuk menyelamatkan diri. Air sudah naik dan masuk ke masjid ini. Namun hampir semua orang yang masuk dalam masjid ini selamat. Subhanallah,

tempat suci ini seperti dilindungi malaikat. Ia menjadi salah sedikit bangunan

yang bertahan di tengah tsunami," imbuhnya.

Saya cuma bisa bengong mendengar ceritanya sambil menikmati arsitekturnya. Pemandangan di malam hari masjid ini sungguh indah. Kami diajak

berkeliling masjid kemudian berkumpul dengan teman-teman lain sesama komunitas itu. Kuliner lagi, kuliner lagi. Bang Ahlan dan teman-teman baru kami

mengajak kami mencoba sate matang. Sate Matang ini adalah sate daging sapi

dengan ukuran cukup besar dan disajikan dengan bumbu sate serta kuah sejenis kuah gulai. Satu porsi Sate Matang ini dihargai kira-kira Rp20-25 ribu rupiah. Meskipun baru saling mengenal, suasananya sangat akrab. Kami berbagi

cerita seputar traveling. Mereka bilang, "Orang Aceh itu hobi nongkrong. Kalau

kalian keliling, pasti nemuin banyak warung kopi berjajar sebagai tempat nongkrong mereka. Tempat kopi yang terkenal dan enak di sini adalah Ulhe Kareng.

Kalian harus nyoba nanti." Ah, sayang sekali kami tidak sempat mencobanya

karena waktu kami mepet.

Bang Ahlan mengantarkan saya ke rumah Yuni malam itu. Harus cukup e?nergi

untuk keliling Aceh keesokan harinya. Seperti biasa, kalo sudah ngumpul

bareng teman, ritual sebelum tidur adalah bercerita. Sharing pengalaman traveling, sharing soal kerjaan, atau bahkan sharing soal cinta. Wanita, oh wanita..

sekali dekat, kami bisa dengan mudah sharing rahasia. hehe

Rumah adalah di Mana Pun

Esoknya saya bangun pukul lima pagi. Saya dan Yuni berangkat sholat subuh

ke Baiturrahman. Saya sengaja membawa kamera untuk memfoto masjid

tersebut. Lebih sepi lebih bagus. Semakin ke Barat Indonesia semakin lama

pula waktu mulai aktivitas warganya. Di Aceh, pukul 5 pagi itu masih gelap, dan

baru mulai subuh. Bandingkan dengan di Surabaya, pukul 5 pagi sudah mulai

terang. Aktivitas di jalan raya saja baru terlihat ramai pukul delapan pagi; Di

Surabaya? Pukul 6.00 di A. Yani itu sudah mulai macet!

Sholat subuh dan mendengarkan kuliah subuh di Baiturrahman itu rasanya

gimana gitu. Subhanallah deh.. Apalagi waktu subuh masih terdengar burungburung berkicauan di dalam masjid.

"Kalian mau keliling naik apa hari ini?" tanya Yuni.

"Aku sih mau nyari persewaan motor, Yun.. atau naik lobi-lobi."

Yuni yang hari itu kerja tidak bisa menemani kami untuk berkeliling Aceh,

dengan baik hati ia menawarkan motornya untuk kami pakai seharian. "Kalian

pakai motorku saja, biar enak. Nanti tolong antarkan aku ke tempat kerja dulu

ya," katanya.

Waaaahhh, gimana nggak terharu. Padahal sebelumnya kami berencana cari

persewaan motor atau naik angkutan umum. Bahkan ia memberikan list tempat-tempat yang bisa kami kunjungi nanti. Well..destinasi sudah tercatat, peta

sudah di tangan (thanks Ahlan for the tourism Map of Banda Aceh), kami siap

mengeksplor Aceh! God loves the backpacker, right?!

Starting point adalah Baiturrahman. Foto-foto sejenak. Tidak ada habisnya

kami mengagumi masjid ini. Pukul 09.00 kami beranjak ke Blang Padang.

Blang Padang ini adalah lapangan salah satu bentuk terima kasih Aceh kepada

negara-negara yang telah membantu di saat Tsunami 2004. Di lapangan ini

kita akan disambut dengan bendera berbagai negara berjajar dan tulisan Aceh

Thanks to World di pintu masuknya. Kemudian monumen dengan tulisan cerita

singkat kejadian Tsunami. Di sekeliling monumen tersebut terdapat cetakancetakan beton dengan tulisan banyaknya korban Tsunami dan kata-kata pem
Rumah adalah di Mana Pun

bangkit semangat dengan berbagai bahasa. Lapangan ini dikelilingi tugu-tugu

kecil dengan bendera masing-masing negara yang membantu. Ada pesawat
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seulawah RI1 juga loh di sini, meskipun hanya replikanya saja.

Lokasi Blang Padang ini ada di seberang Museum Tsunami. Dari sini kita bisa

melihat bentukan utuh museum Tsunami yang menyerupai kapal dan berlatar gunung. Dari Blang Padang kami menuju ke Museum Aceh yang terdapat

replika rumah Aceh. Cuma ingin foto di depannya saja sih. Lokasi Museum ini

bersebelahan dengan pendopo Gubernur. Pendopo ini dikelilingi 99 nama Allah

atau biasa kita sebut dengan Asmaul Husna. Di sini kami juga tidak bisa masuk

karena lokasi ini termasuk restricted area.

Keliling kota ini benar-benar bernuansa islami. Taman Putro Phang menjadi

jujukan selanjutnya. Taman ini adalah taman yang dibangun khusus oleh Putro

Phang untuk istri tercintanya agar bisa bersantai dengan leluasa. Sebuah bentuk rasa cinta suami pada istrinya agar tidak bosan menghabiskan hari-harinya. So sweet, bukan? Yang cukup menarik di sini adalah semuanya berwarna

putih. Dari jembatan, bangunannya, tempat duduknya semua berwarna putih.

Jembatan ini ternyata cukup sering dijadikan obyek foto. Kami sempat mampir

sebentar ke masjid dengan kubah berbentuk topi khas Aceh. Lucu juga dijadikan obyek foto loh..

Siang harinya kami menuju Lhok Nga, pantai yang cukup terkenal dengan sunsetnya. Tapi kami ke sana di siang bolong, jadi terasa sekali teriknya matahari

siang itu. Waktu menuju Lhok Nga kami melewati kuburan massal korban Tsunami. Gerbangnya didesain khusus dengan tulisan-tulisan pengingat mati dan

cobaan yang didapatkan manusia. "Kami akan menguji dengan kebaikan dan

keburukan sebagai cobaan." Merinding saya berdiri di depan salah satu tulisan

tersebut.

Dari tengah kota menuju Lhok Nga bisa kita tempuh dalam waktu kurang lebih

45 menit. Gunung, tebing, sawah, sungai dan jajaran rumah kecil menjadi suguhan kami selama perjalanan ke Lhok Nga. Indah, benar-benar indah. Sebelum sampai di Pantai Lhok Nga, kami sempat nyasar dan berujung menemukan

satu area yang saya yakini area tersebut adalah monumen tsunami. Saya ingat

dengan TOR sayembara desain monumen tsunami tersebut di waktu kuliah.

Rumah adalah di Mana Pun

Area dan desain yang terpilih tersebut mirip dengan apa yang saya lihat waktu

itu. Namun sangat disayangkan, tempat itu benar-benar mangkrak tidak terurus. Rumput-rumput tumbuh panjang dan liar, sampah berserakan dan gersang. Kabarnya area ini akan direnovasi kembali oleh pemerintah.

Penduduk pribumi adalah petunjuk ampuh. Jangan pernah sungkan untuk

bertanya pada orang-orang sekitar jika kalian tidak tahu arah. Sapaan kecil bisa

berbuah cerita tidak terduga dari mereka yang mungkin tidak kita dapatkan

dari buku atau sumber lain. Setelah bertanya ke sana-ke mari, sampailah kami

di Lhok Nga Beach. Lokasinya ternyata berdekatan dengan Pabrik Semen Andalas. Sepiiiiiiiiii! Tidak ada pengunjung selain kami. Kami beristirahat di gubuk

gubuk yang ada di pinggir pantai. Menikmati pantai dengan semilir angin pantai

yang sejuk. Galau lagi, galau lagi. Mengapa pantai punya ikatan kuat dengan

rasa galau?

Perjalanana kami lanjutkan ke Lampuuk, salah satu pantai sumber Tsunami.

Jarak dari Lhok Nga ke Lampuuk cukup dekat. Hanya dalam waktu 10 menit

kami sudah sampai di pantai ini. Pantai dengan pasir yang benar-benar putih

dan begitu lembut, birunya laut dan hijaunya pepohonan di sekitar pantai melengkapi keindahan pantai. Saya membayangkan bagaimana ombak raksasa

itu menghantam desa, bahkan kota ini. Ngeri. Pantai secantik ini bisa berubah

menjadi ganas seketika.

Momen tersebut kembali muncul saat saya mengunjungi Museum Tsunami,

PLTD Apung, dan Kapal di atas rumah. Museum Tsunami lokasinya mudah

dicari karena berada di jalan utama Banda Aceh. Museum yang berseberang?

an dengan Blang Padang ini adalah karya Ridwan Kamil, arsitek muda asli

Bandung yang sudah cukup mendunia dan saat ini menjabat sebagai Walikota

Bandung. Cukup bangga saya bisa sampai sini dan merasakan langsung karya?

nya.

Awal masuk kita dihadapkan dengan dinding besar dengan relief peta Aceh

berwarna emas. Di area itu terdapat sisi dinding yang rusak seperti habis terkena gempa. Saya tidak tau dinding tersebut baru saja kena gempa atau memang sengaja didesain seperti itu agar efek tsunaminya lebih terlihat. Ada way

finding di setiap lantainya. Museum ini terbagi menjadi tiga area, Pra Tsunami,

Rumah adalah di Mana Pun

Saat Tsunami, dan Pasca Tsunami. Jadi ruang pamernya memperlihatkan dan

menggambarkan ketiga keadaan tersebut. Interior ruang pamernya dibuat

minim pencahayaan tapi ada pendar-pendar cahaya dari secondary skin ba?

ngunan. Dindingnya bergelombang maju mundur dari gypsum. Kita bisa melihat video dokumenter Tsunami 2004 berdurasi 10 menit. Air mata saya sempat

menetes waktu melihat rekaman itu.

Ada void yang dihiasi bendera banyak negara yang telah berpartisipasi membantu Aceh waktu Tsunami. Negara-negara yang berpartisipasi tersebut juga

dituliskan di setiap batu bulat buatan di sekeliling kolam di hall museum. Ada

mobil ambulance sumbangan yang dulu pernah dipakai saat evakuasi Tsunami.

This museum is awesome!

Panasnya Aceh hari itu nggak tanggung-tanggung. Kulit kami menghitam

seperti kulit orang Aceh kebanyakan. Haus juga tidak tertahankan. Beberapa

kali kami berhenti hanya untuk membeli minuman dingin. Tapi itu semua tidak

mengurangi semangat kami untuk melanjutkan perjalanan. Kami menuju PLTD

Apung setelah dari Museum Tsunami. Memang petunjuk dari orang lokal lebih

mudah dan meyakinkan karena waktu itu hanya dengan peta kurang bisa diandalkan. Ada beberapa area atau jalan yang tidak tergambarkan di peta kami.

PLTD Apung ini adalah kapal besar milik PLN yang terseret ombak Tsunami

sejauh 5 KM dari laut ke sebuah kampung penduduk. Kapal ini kemudian dijadikan konservasi oleh pemerintah dan penduduk setempat. Untuk masuk area

ini kita tidak ditarik retribusi. Pertama masuk kita akan melihat satu monumen kecil yang bertuliskan korban-korban Tsunami di beberapa kecamatan. Di

sampingnya ada ramp untuk menuju menara pandang yang dari situ kita bisa

melihat area sekeliling lokasi kapal terdampar. Kita juga bisa masuk dan naik

ke Kapal tadi. Tidak ada larangan di sana. Hanya saja kita perlu membeli koin

khusus untuk melihat jarak jauh lautan asal Kapal tersebut dengan teropong

yang terpasang di dek Kapal. Semilir angin dari atas Kapal dan terangnya sore

itu benar-benar mengagumkan.

Destinasi kami yang terakhir sore itu adalah Kapal di atas rumah. Ceritanya

hampir sama dengan PLTD Apung, kapal ini terdampar di suatu desa karena

Tsunami. Di dalam kapal waktu itu ada beberapa orang yang naik untuk

menye?lamatkan diri dan Tuhan memang Maha Kuasa, mereka semua selamat.

Rumah adalah di Mana Pun

Pasar adalah tempat saya bisa bertemu banyak orang dengan berbagai karakter dan latar belakang. Setelah list tujuan kami habis, kami sempatkan diri untuk makan di area pasar Atjeh, pasar sebelah Masjid Baiturrahman. Nasi lemak

menjadi pengganjal perut kami sore itu.

Setelah sholat (lagi-lagi di Baiturrahman) kami bersiap untuk kembali ke

Medan dengan bus kurnia. Kami diantarkan Ahlan dan Yuni ke terminal Aceh.

Ah, nggak rela rasanya pulang. Kami belum sempat berkeliling bersama para

host kami. Saya masih ingin menghabiskan waktu bersama mereka. Tinggal

bersama Yuni dan menghabiskan malam dengan cerita. Fiuuhhh.. benar-benar

perjalanan yang seru dan tak terlupakan!

"Pokoknya kalian harus ke sini lagi!" kata perempuan berkulit hitam manis itu.

"Iya, Yun. Kalau ada kesempatan pasti aku mau ke sini lagi. Kalian juga ya, kalau

ke Surabaya harus hubungin kami. Kita harus ketemu lagi!" pesan saya pada

Ahlan dan Yuni.

Duh, berat rasanya saya meninggalkan kota ini. Semakin banyak perjalanan

yang saya lakukan, semakin banyak orang yang saya kenal dan semakin ba?

nyak pengalaman yang saya dapat dan semakin besar cinta saya pada negeri

saya, Indonesia dengan keberagaman alam dan budayanya. "Hati-hati, traveling itu nagih lho!" pesan seseorang yang saya temui di perjalanan pertama saya

dulu. Hampir semua yang saya temui adalah para pekerja kantoran dengan

passion yang sama. Kerja dan jalan-jalan. Hanya beberapa dari mereka yang

sudah berkeluarga. Dari situ saya paham, saya harus kerja keras untuk bisa

seenaknya pergi liburan seperti ini lagi.

Sebuah perjalanan bagi saya selalu punya makna di dalamnya. Perjalanan

menjadi sebuah proses tumbuhnya jati diri saya. Sebuah proses untuk hati

saya lebih terbuka melihat sesuatu, menerima hal baru. Sebuah proses hidup

yang sebenarnya wajib dijalani bagi setiap wanita.

You will not know how cruel, how beautiful, and how complicated the life is,

if you don?t do a journey. And that was my last brutal leave in office, karena

Rumah adalah di Mana Pun

setelah itu saya mengajukan cuti selamanya. For good. Dalam arti lainnya

adalah resign, dan melanjutkan perjalanan saya lainnya. Perjalanan hidup yang

tidak ada habisnya.

Mehdia Nailufar lahir dan besar di kota bonek membuatnya sering bertindak

nekad untuk pergi travelling. Punya mimpi untuk travelling bareng suami keliling

Indonesia. Kecintaannya pada Indonesia diwujudkannya dengan mempelajari arsitektur nusantara dan masih berniat untuk mewujudkan guide book keliling nusantara melalui arsitektur. Tiga dari tujuh bersaudara ini selalu punya alasan untuk

travelling tanpa melupakan tanggung jawabnya sebagai istri. Sering cuap-cuap di

@multimehdia dan?www.mehdia-multimehdia.blogspot.com

Rumah adalah di Mana Pun

Pashmina Tanda Cinta

Ken Ariestyani

"Tak ada orang di dunia ini yang bisa menggantikan ibumu. Benar atau salah,

dalam pandangannya kau selalu baik."

(Harry S. Truman)

ika bukan karena melanggar janji pada diri sendiri, mungkin saya tak akan

mengalami episode ini dalam hidup. Pagi itu, ketika berada di Pantai Kuta,

Lombok, saya segera menyadari ini bukan sekadar liburan.

Pantai bukanlah prioritas dalam tujuan perjalanan saya. Selalu ada tempat lain

yang mampu mengalihkan perhatian saya dari pantai ketika berpergian ke sebuah daerah. Belakangan, gunung sempurna membuat saya jatuh hati untuk

menyambanginya. Ya, mendaki gunung. Bukan karena latah sekadar mengikuti

arus, tapi bagi saya itu menjadi sebuah perjalanan hati selain tentunya harus

benar-benar siap fisik dan mental.

Selepas turun dari Mahameru, yang merupakan gunung pertama yang saya

rengkuh, saya punya janji pada diri: ngga boleh ke mana-mana kalo abis mendaki gunung karena capek dan harus istirahat buat mulihin badan yang lelah

dan kaki yang pegel. Apalagi, kalau perginya ke pantai! Janji ini tak bisa ditawar.

Tapi suatu pagi di akhir pekan pertama pada Juli 2013, saya justru berdiri di

atas hamparan pasir pantai Kuta, Lombok. Padahal, 2 hari sebelumnya, saya

baru saja mendaki gunung Rinjani. Untuk pertama kalinya, gugurlah janji itu.

Dan, untuk pertama kalinya pula, saya ke pantai bersama Ibu

Sejujurnya, bukan pantai Kuta tujuan utama kami, melainkan dusun Sade, yang

menawarkan kerajinan tenun ikat dan songket khas Lombok sekaligus memperlihatkan proses pembuatannya.

"Pergi ke sana pasti bermanfaat buat kamu, deh," Ibu meyakinkan saya.

Kalimat Ibu terus terngiang di telinga saya. Tenun ikat, songket, dan rasa penasaran yang menggumpal akan rumah adat di dusun Sade, itulah yang berhasil

menggugah perhatian saya, yang lelah bukan buatan karena habis trekking

berkilo-kilo meter di gunung Rinjani. Dasarnya, saya sendiri memang menyukai

kain khas dari berbagai daerah. Karena tujuan kami ini berdekatan dengan pantai Kuta, Ibu berinisiatif mengajak saya mampir ke sana dengan iming-iming

melihat langsung pasirnya yang unik seperti biji merica. Saya pun tergoda.

Pantai Kuta yang letaknya di Lombok bagian selatan ini menjadi salah satu

destinasi favorit para wisatawan. Bagaimana tidak? Lihatlah, air lautnya tampak membiru namun tetap jernih, dengan ombak yang tenang, sehingga tak

menghalangi mata kalau ingin menikmati batu karang dan penghuni-penghuni

kecil yang tampak berenang dan merayapi karang-karang itu. Dan, benar!

Pasirnya sebesar biji lada. Bahkan kalau disandingkan dengan biji merica asli,

mungkin saya bisa tertipu.

Saya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Indahnya! Di sebelah kiri saya,

anak-anak kecil tengah asyik bermain air. Ceria wajah mereka. Di sisi lain, saya

melihat seorang lelaki berjalan menyusuri pantai, sesekali dia membungkuk,

memungut kerang yang menarik perhatiannya, kemudian menaruhnya di

dalam ember kecil yang ditenteng di tangan kirinya. Ada juga yang seperti

kami, duduk di pasir merica sambil ngobrol dengan keluarga dan teman-teman

mereka. Mungkin mengobrol tentang hari-hari yang dilalui, tentang momenmomen yang manis, atau apa saja. Udara pantai yang segar seolah membilas

ingatan, lalu menyisakan kenangan-kenangan yang indah untuk dibagikan.

Pagi itu, pantai Kuta ramai dikunjungi wisatawan, tapi saya masih bisa mera
Rumah adalah di Mana Pun

sakan suasana tenang di sini. Sama tenangnya ketika berada di sisi Ibu yang tak

luput memperhatikan kami.

Sesekali, ada tawa di wajah Ibu ketika kami tengah bercengkerama sambil

duduk di selembar tikar yang terhampar di pasir merica. Sesekali juga saya

menimpali senda gurau Ibu dan dua orang adik perempuan yang ikut bersama

kami. Saya menyadari, sebagai orang tua tunggal Ibu harus berjuang keras

untuk diri dan anak-anaknya. Tapi sejauh saya mengenal Ibu, tak pernah sekalipun saya mendengar keluhannya. Dan dengan segala daya yang dimilikinya,

Ibu selalu berusaha memenuhi kebutuhan juga keinginan anak-anaknya.

Pernah saya mendapati Ibu tengah menggoreng tempe, padahal sudah tersedia

makanan di meja untuk kami. Tempe itu digoreng Ibu untuk adik perempuan

yang begitu menyukai penganan berbahan dasar kedelai itu. Bagai sayur tak

bergaram, begitu kira-kira kalau tidak tersedia tempe sebagai teman makan

nasi. Maka tempe menjadi menu wajib baginya. Tak perlu repot diolah dengan

bermacam bumbu, digoreng pun cukup. Dan, bukan dia tak mampu menggo?

rengnya sendiri, tapi Ibu memang sengaja menyediakan tempe itu untuknya.

Seperti adik, saya juga menyukai tempe, meski sekadarnya saja. Tapi tak lengkap rasanya kalau tidak ada teman untuk makan tempe: sambal. Dan Ibu tak

pernah luput melengkapi menu yang disajikannya dengan sambal. Karena dia

tahu, saya terbiasa mencocol sambal ketika makan tempe. Sambal buatan Ibu

sungguh khas. Sambal goreng tomat dengan sedikit terasi. Rasanya? Sedap!

Pernah saya mencoba membuatnya, tapi sayang takaran terasinya kurang pas.

Alhasil, aroma terasi menguasai rasa sambal itu sendiri, pedasnya cabai kalah

kuat dengan terasi. Rasanya, asin yang tak karuan!
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagi saya, ini bukan sekadar soal tempe dan sambal. Tapi perhatian dan

kepedulian Ibu yang tersirat dalam tindakannya yang, mungkin, terlihat sederhana itu menjadi penting untuk kami. Lewat tempe dan sambal, Ibu mencoba

memahami kami, berusaha mengerti anak-anaknya. Memahami dan mengerti

apa yang menjadi kesukaan kami. Itulah Ibu, sosok ramah dan sederhana itu

selalu berusaha menyenangkan hati kami. Gurat yang menandakan kematang?

an usia di wajah Ibu tak membuatnya tampak menua karena paras itu selalu

mampu menghadirkan senyum, selelah apa pun dia.

Rumah adalah di Mana Pun

Saya dan adik begitu menyenangi traveling. Bahkan adik yang masih kuliah,

rela mengisi waktu liburnya dengan bekerja paruh waktu demi memenuhi

pundinya agar dapat melakukan sebuah perjalanan. Bahwa ada khawatir dalam

diri Ibu, kami mengakui. Tapi, Ibu tak melarang anak-anaknya untuk melangkah

dan singgah di tanah baru, juga mengukir cerita dalam perjalanan agar kisah

itu menambah warna hidup kami. Ibu justru membiarkan dirinya turut larut

dalam kesukaan anak-anaknya, traveling.

Ketika saya mencetuskan niat ingin melihat proses pembuatan songket di Dusun Sade, Ibulah yang paling bersemangat. Bahkan dia rela mengurangi waktu

tidurnya karena kami harus berangkat pagi-pagi sekali mengingat jauhnya jarak yang harus kami tempuh. Dan Ibu, bukan hanya memenuhi keinginan saya,

tapi dia juga mengajak saya menyusuri pasir merica di Pantai Kuta. Baiklah,

saya anggap ini bonus.

Siang itu, di pantai Kuta Lombok, bukan hanya hangat dari matahari pagi yang

saya rasakan, tapi juga hangat dari kebersamaan saya dengan Ibu dan adik

perempuan. Ada sebuah keintiman yang menjauhkan saya dari keterasingan.

Dan, bukan hanya nasi bungkus bekal dari rumah yang saya nikmati bersama

mereka, tapi juga keunikan yang terhampar di pantai Kuta. Unik karena pasirnya yang menyerupai biji merica dan bukit hijau yang menjorok ke tengah

laut di sisi kiri dan kanan saya, ini cukup menarik perhatian saya di pantai Kuta,

meski langit di sana sedikit kelabu.

Momen yang singkat itu saya abadikan dalam foto. Tentu saja, itu juga tak luput

saya kenang dalam hati karena ini kali pertama saya menikmati semilir angin

pantai bersama Ibu.

Tak lama kemudian, Ibu mengajak kami beranjak dari pantai Kuta. Tapi tibatiba, "awww!" saya meringis. Nyeri di lutut kanan dan sekujur kaki kembali

terasa ketika hendak menuju tempat parkir motor. Ternyata, itu pun dirasakan

oleh salah satu adik perempuan yang kemarin menemani saya mendaki Rinjani.

Kami pun berjalan terseok-seok, meniti langkah pelan-pelan, kadang sedikit

membungkuk karena menahan sakit. Namun itu tak lantas menyurutkan niat

kami menuju dusun Sade.

Rumah adalah di Mana Pun

***

Tingginya sekitar 3 meter, ia berdiri karena ada empat tiang yang menyangga.

Sedangkan di bagian atasnya terdapat atap yang bentuknya menyerupai kubah

Masjid, namun sedikit lonjong, bukan setengah lingkaran sempurna. Saya

menyebutnya demikian karena kesulitan menemukan istilah yang tepat. Atap

itu terbuat dari jerami dan anyaman bambu. Di tiang penyangga bagian depan

terdapat gapura bercat merah muda yang dikombinasikan dengan aksen ku?

ning dan hijau muda. Nah, bangunan inilah yang menyambut kami kala tiba di

dusun Sade.

Dusun tradisional Sade ini ada di Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten

Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Katanya, Dusun yang luasnya sekitar enam hektar ini dihuni oleh 152 kepala keluarga dan merupakan

perkampungan masyarakat suku Sasak yang terkenal baik di kalangan wisatawan nusantara maupun mancanegara. Pemerintah setempat mempertahan?

kan keaslian adat istiadat lokal di dusun Sade ini. Saya juga mendapat informasi kalau warga tidak boleh membangun permukiman baru lagi di sini. Begitu

yang tercantum dalam peraturan desa.

"Ada guide yang Ibu kenal. Dia bisa cerita banyak tentang Sade. Eh, dia ngga

pernah pasang tarif lho!" kata Ibu seraya menggandeng lengan saya, menuntun

masuk menyusuri jalan ke dalam dusun Sade.

Baru beberapa langkah beranjak dari gapura depan, saya mendapati seorang

perempuan yang tengah duduk menjaga barang dagangannya. Di sampingnya,

berdiri meja kecil yang memamerkan beragam bentuk kerajinan tangan, semisal gelang, cincin, dan gantungan kunci. Sebagian besar warga di sini memang

mengandalkan penjualan cinderamata dan kain tenun ikat serta songket khas

Lombok sebagai salah satu sumber penghasilan, selain hidup dari kegiatan

bertani.

Ibu membiarkan saya sejenak mengagumi hasil karya lokal tersebut. Sementara, ia mendahului saya. Namun setelah beberapa menit mengamatinya, saya

belum berminat untuk memilih, dan memutuskan menyusul Ibu. Di ujung sana,

Ibu tengah berbincang dengan seorang laki-laki, yang kemudian saya ketahui

sebagai guide yang akan menemani kami.

Rumah adalah di Mana Pun

Dia memakai kemeja yang dipadu dengan sarung. Saya pikir, ini belum waktunya solat. Belakangan, baru saya tahu kalau penggunaan sarung merupakan

salah satu tradisi yang tengah dipertahankan di dusun Sade. Di sana hampir

sebagian besar warganya menggunakan sarung, baik laki-laki maupun perempuan.

"Kenapa jalannya begitu, Mbak?"

Si Bapak, yang menjadi guide kami, heran melihat saya tertatih-tatih. Sungguh,

nyeri ini begitu menyiksa ketika kaki melangkah.

Melihat saya masih meringis menahan sakit, Ibu yang menjawab, "baru turun

dari Rinjani dia ini, Pak." Aroma logat sasaknya, sungguh terasa.

"Nah, yang ini juga. Lihat lah tuh jalannya begitu," Ibu menunjuk adik perempuan, yang menemani saya ke Rinjani, dengan ujung bibirnya.

Sambil melipat dahi karena terkejut, si Bapak memastikan saya, "masih kuat

jalan keliling di sini?"

"Demi kain tenun, kuat, Pak!" saya tertawa lebar untuk meyakinkannya.

Kemudian dia berdiri mengajak kami untuk mulai menyusuri setiap sudut dusun Sade. Saya yang sedari tadi masih di bawah mulai mengangkat kaki dan

menapak di anak tangga pertama. Kemudian diam untuk sejenak di situ sambil

sedikit membungkuk, menopang badan dengan kedua lengan di lutut. Tak perlu penjelasan, mereka yang melihat mafhum kalau saya sedang menahan nyeri!

Ibu dan dua adik perempuan menunggu saya yang jalannya serupa keong,

lelet. Mereka sengaja duduk persis di depan salah satu gerai kain songket dan

tenun. Gerai itu sederhana saja. Bangunan yang seluruh rangkanya terbuat

dari batang bambu dan atap jerami. Ketiga sisinya dilapisi anyaman bambu,

sedangkan sisi satunya dibiarkan terbuka sebagai akses bagi pengunjung yang

hendak melihat-lihat kain tenun di dalamnya. Rangka bambu di bagian atapnya

dilapisi dengan tumpukan jerami yang diatur sehingga tampak rapi dan teratur.

Sederhana tapi memikat. Begitu saya menyebutnya.

Bagaimana tidak? Di dalam gerai sederhana itu, saya mendapati untaian songket dan kain tenun ikat dengan beragam motif dan warna yang disusun teratur.

Rumah adalah di Mana Pun

Serupa pelangi, warni-warni. Ada beberapa kain yang diberi aksen dengan

benang emas sehingga memberi kesan mewah. Cantik, 'kan! Ada yang sudah

dibentuk sarung, ada pula yang berupa selembar kain. Bahkan, mereka membuat sajadah dari kain tenun itu. Tentu, dengan desain unik khas Sade. Bisa jadi

itu dilakukan untuk mengikuti perkembangan pariwisata. Sungguh kreatif!

Tahukah, kawan, bahan dasar kain tenun ini adalah kapas pilihan yang kemudian diolah dengan menggunakan alat tenun tradisional. Mereka membuat

sendiri alat tenun ini dari kayu dan bambu pilihan. Di gerai itu, saya mendapati

sebuah alat tenun tradisional yang sedang tidak dipakai si empunya. Saya

menilik alat itu dengan saksama. Sederhana saja bentuknya. Di bagian paling

bawah, ada dua kayu di sisi kiri dan kanan yang masing-masing bagian ujungnya dilubangi untuk menyangga kayu pipih agar bisa berdiri. Kayu pipih tadi

diberi celah yang fungsinya untuk menjepit kayu lainnya sebagai tempat untuk

melilitkan dan membentangkan benang yang mau ditenun.

"Coba aja, Mbak. Saya kasih tau caranya, sekalian difoto buat kenang-kenangan."

Suara perempuan yang ternyata pemilik gerai mengagetkan saya. Tapi dipikirpikir, boleh juga. Apa katanya tadi? Bisa foto-foto juga? Ah, hasrat narsis saya

seketika menggelegak.

Tanpa menunda lagi, saya segera duduk di atas tikar. Dia menyuruh saya agar

melonjorkan kedua kaki dengan telapak mengarah ke ujung kayu tempat be?

nang digulung. Kemudian saya menggenggam ujung kayu yang berada di antara lilitan benang dan menariknya.

"Yang kuat nariknya, Mbak!" , dia berseru pada saya.

Berulang kali mencoba, tapi tarikan saya masih saja dinilai kurang kuat. Penasaran, saya memintanya untuk mencontohkan. Dia pun duduk seperti saya tadi,

kemudian menarik kayu dengan hentakkan yang keras. Hah?! Harus sekuat

itu, ya. Oke! saya menyerah, tak lagi ada minat untuk melanjutkan. Lagipula,

beberapa frame foto dengan posisi seolah sedang menenun sudah terekam

baik di kamera. Cukuplah untuk sekadar membuat iri teman-teman yang belum

pernah ke sini, begitu pikir saya.

Rumah adalah di Mana Pun

Sedari tadi, Ibu memperhatikan saya, lalu tiba-tiba menyeletuk, "bikin kain tenun pake alat itu lama lho."

Kata-kata Ibu diamini oleh pemilik gerai. Dia menjelaskan pada saya kalau

proses pembuatan tenun ikat dan songket khas Lombok yang mengandalkan

peralatan tradisional itu memang membutuhkan waktu satu hingga dua ming?

gu. Bergantung pada jenisnya. Hasilnya adalah kain-kain yang bernilai seni dan

berkualitas cukup baik.

"Ngga kalah sama kualitas kain tenun dan songket dari daerah lain." Pemilik

gerai itu mencoba meyakinkan saya. Mungkin maksudnya supaya saya tertarik

membeli, padahal tanpa dipromosikan pun saya pasti membeli kain tenun

buat?annya.

Ada yang menarik tentang kain tenun khas Lombok ini. Dari hasil penelusuran,

saya mendapatkan informasi kalau kain tenun Lombok memiliki potensi untuk

diberdayakan sebagai basis pariwisata yang dirancang bukan sekadar untuk

meningkatkan keuntungan ekonomi, namun juga basis pariwisata yang berwawasan perlindungan dan pelestarian. Tenun sebagai atraksi kultur dengan

segala aspek budaya yang menyertainya adalah daya tarik wisata yang diyakini

mampu menimbulkan (dan meningkatkan juga, menurut saya) motivasi wisatawan untuk menambah waktu tinggalnya di Lombok. Nah!

Siang itu, kain-kain khas Lombok ini sempurna menggoda saya, merajuk

seolah meyakinkan kalau saya merugi jika tak membawa serta mereka. Saya

mau! Untuk urusan kain, saya tak memerlukan waktu lama ketika memutuskan

membeli atau tidak. Di rumah, ada beberapa kain khas dari berbagai daerah di

Indonesia, memang sengaja saya koleksi. Yang justru butuh waktu adalah ketika hendak memilih motif atau corak dan warna. Maka tak heran saya bisa berada lama di sebuah tempat penjualan kain. Seperti siang itu. Bahkan Ibu sampai

turun tangan dan dengan sabar membantu saya memilih kain yang mau saya

beli. Saya bimbang. Ah! Andaikan saya mampu menenunnya sendiri

Setelah cukup lama berkutat dengan beberapa "kandidat" kain-kain itu, saya

memilih dua sarung songket berwarna merah dan kuning dengan aksen be?

nang emas. Sehelai sajadah tenun berwarna biru turut dalam pilihan saya siang

itu.

Rumah adalah di Mana Pun

Saya merasa cukup puas dengan pilihan kali itu. Sejenak kemudian, Ibu mengajak berkeliling dusun Sade. Dia mengapit lengan saya. Akrab.

Tak berapa jauh melangkah dari gerai itu, saya mendapati gerai lain yang juga

menawarkan songket dan tenun ikat khas Lombok. Dusun Sade ini memang

terkenal dengan produksi kain tenun ikatnya, maka jangan heran kalau di sini,

banyak perajin yang menjual kain dengan jarak antar gerainya mungkin tak

sampai satu meter. Perempuan Sasak di dusun Sade ini mayoritas adalah perajin tenun yang hasil tenunnya dijual di sekitar rumah, begitu penjelasan bapak

guide sambil terus menuntun kami menyusuri setapak di antara rumah-rumah

adat Sasak.

"Motif dan warnanya hampir sama dengan yang tadi kok," kata Ibu dan si Bapak

guide hampir berbarengan, bermaksud memberi tahu saya.

Bisa dibilang rumah di dusun Sade ini jaraknya saling berdekatan dan berhadapan, menyisakan setapak tanah di antaranya. Lebarnya berkisar setengah

hingga satu meter. Biasanya, di depan atau di samping rumah ada satu gerai

yang memajang kain-kain khas Lombok ini.

Pada salah satu gerai yang lain, saya melihat seorang nenek tengah memintal

benang yang juga menggunakan alat pintal tradisional. Jadi, benang untuk

menenun biasanya dipersiapkan sendiri oleh mereka. Saya sempat menghampiri nenek pemintal benang itu. Sambil tetap memintal, dia memberi senyum

yang hangat dan ramah buat saya.

Selepasnya, kami berjalan sambil memperhatikan rumah-rumah adat Sasak.

Unik bentuk bangunannya. Pun demikian bahan dasarnya. Atap rumah Sasak

ini terbuat dari jerami dengan dinding yang terbuat dari anyaman bilah bambu

atau biasa disebut bedek. Anyamannya terlihat agak renggang, katanya berfungsi juga sebagai ventilasi. Di rumah itu, saya memang tak menemukan jendela. Bapak pemandu menawarkan saya dan Ibu untuk singgah dan melihat ke

dalam salah satu rumah.

"Boleh, Pak?" saya meragu.

Ternyata itu bagian dari cara untuk mengenalkan rumah adat mereka. Maka

saya dan Ibu tak menyiakannya. Kami masuk lewat pintu depan yang ukuranRumah adalah di Mana Pun

nya tak senormal pintu di rumah pada umumnya, sehingga harus membungkukkan badan agar kepala tak terbentur bagian atas pintu. Uniknya, pintu di

rumah adat ini hanya ada satu, di depan, tidak ada pintu belakang.

Di dalam rumah itu suasananya sejuk, meski tak ada jendela yang membawa

semilir angin dari luar.

"Lantainya campuran tanah liat dan kotoran kerbau," saya melongo ketika guide

kami mengatakan itu.

Saya mencoba menelusurinya. Dari informasi yang berhasil saya dapatkan,

lantai rumah Sasak memang dibuat dari tanah liat yang dicampur dengan

kotoran kerbau atau sapi dan abu jerami. Kemudian dicampurkan dengan air.

Sedangkan bahan bangunan seperti kayu dan bambu untuk membuat rumah

adat itu diperoleh dari lingkungan sekitar mereka. Kayu sebagai kerangkanya

disambung tanpa paku, tapi menggunakan teknik penyambungan yang diperkuat oleh pasak.

"Nah, itu dapurnya," pemandu kami menunjuk bagian belakang.

Saya menuju ke sana dengan menapaki tiga anak tangga. Katanya, jumlah anak
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangga itu sesuai dengan filosofi suku Sasak yakni wetu telu. Namun karena

asyik mengamati setiap detail di dalam rumah itu, saya lupa menanyakan

lebih lanjut tentang itu pada pemandu kami. Mereka menyebut bagian-bagian

rumahnya dengan bale luar dan bale dalam. Saya melihat ada satu sekat yang

membatasi bale luar dan bale dalam, di sekat itu terdapat lubang berbentuk

lonjong dengan tinggi sekitar satu meter. Nah, lewat situlah saya masuk ke

dapur.

Sebetulnya, dapur ini terletak di bale dalam yang merupakan ruang privasi

bagi pemilik rumah. Di bale dalam juga dipakai sebagai ruang tidur untuk

perempuan. Di dapur, semua peralatan masaknya terbuat dari tanah liat. Tidak

menggunakan kompor, tapi tungku yang memakai kayu bakar untuk memasak.

Kental aroma tradisionalnya.

Sesekali, Ibu meminta saya untuk mengabadikan keberadaannya di sana dengan kamera Blackberry miliknya. Bangunan-bangunan unik itu juga tak luput

dari intaian lensa kamera saya.

Rumah adalah di Mana Pun

Tak hanya rumah khas suku Sasak, di sana saya pun mendapati berugak atau

lumbung padi khas suku Sasak. Fungsinya untuk tempat menyimpan hasil


Goosebumps Horor Di Camp Jellyjam Misteri Elang Hitam Karya Aryani W Lupus Kecil Bolos Karya Hilman

Cari Blog Ini