Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan Bagian 5
bumi, bagian bawah berugak yang tak berdinding seringkali dipakai sebagai
tempat untuk berkumpul warga setempat. Saya menyempatkan diri sejenak
ngobrol dengan tiga orang anak kecil yang kala itu tengah bermain-main di
bawah berugak.
Bangunan tradisional di dusun Sade terlihat sederhana, namun unik. Begitu
saya menyebutnya. Ia berdiri dengan konstruksi dan teknologi yang sederhana
pula, menggunakan bahan bangunan yang telah disediakan oleh alam.
"Ini maksud Ibu ngajak kamu ke sini. Ada sesuatu yang baru buat dibawa pulang, 'kan?"
Ibu merangkul saya sambil menuju ke depan, tuntas sudah petualangan kami
menjelajah setiap sudut dusun Sade dengan segala rasa tradisionalnya.
Siang itu, cerita saya bukan hanya tentang songket dan tenun ikat khas Lombok serta rumah adat di dusun Sade, tapi ini adalah cerita tentang relasi yang
indah. Hangat dan bersahabat. Itulah ciri khas Ibu, seharusnya sedari awal
saya menyadari ini. Ibu melipat jarak dan meniadakan batas sehingga saya tak
merasa asing di sampingnya, juga di antara keluarganya.
Di depan, kami kembali berkumpul dengan dua adik perempuan yang menunggu di gerai kain pertama tadi. Tanpa saya duga, Ibu memberi saya sehelai pashmina merah muda yang dibelinya di gerai itu.
"Buat kenang-kenangan dari Ibu. Bawa pulang ke Jakarta, ya. Kamu suka,
'kan?"
Saya mengangguk, tak kuasa menolak dan mengecewakan hatinya.
Ah, Ibu Tak ada yang sia-sia buat saya untuk semua yang telah diberikannya.
Sungguh, ini satu episode dalam hidup yang saya sebut bukan liburan biasa.
Sekali lagi saya tak merugi karena sudah melanggar janji pada diri. Seuntai senyum tulus mengembang di wajah Ibu. Saya menganggap pashmina itu tanda
cinta dari Ibu, meski ia bukan kain tenun ikat atau songket khas Lombok.
Rumah adalah di Mana Pun
***
Kami memang baru bertemu tujuh hari sebelumnya. Kala itu, saya datang
bersama tiga orang kawan seperjalanan mendaki gunung Rinjani. Malam ketika kami tiba di Lombok, rinai sedang membasahi tanahnya, sungguh deras.
Beruntung, seorang kawan asli Lombok yang sedang kuliah di Yogyakarta
menawarkan rumahnya untuk kami inapi. Maka, ke rumah Ibulah kami menuju.
Perempuan paruh baya yang saya hormati dan saya panggil Ibu itu adalah
Ibu dari Gading Rinjani, seorang teman yang diawal cerita ini saya sebut adik
perempuan. Jarak usia yang cukup jauh antara saya dengannya menjadi alasan
saya menganggapnya adik. Gading Rinjani punya satu orang adik perempuan,
Manggar Rengganis. Dialah yang menemani saya menjejaki setapak di gunung
Rinjani.
Sejak hari pertama datang di Lombok hingga tiba waktunya bertolak ke Jakarta,
Ibu tak luput mencurahkan segenap perhatiannya untuk saya, juga 3 orang teman saya. Bahkan Ibu menyempatkan diri mengantar saya berburu songket
dan kain tenun kesukaan saya, demi untuk menyenangkan hati saya.
Selama saya tinggal di rumah Ibu, tak sekalipun Ibu memperlakukan saya sebagai tamu. Dia menyambut saya layaknya seorang anak yang sudah lama tak
pulang ke rumah. Bahkan Ibu meminimalkan batas ruang privasinya. Bersama
Ibu, selalu ada cerita yang mampu melukis senyum di wajah kami. Di samping
Ibu, kerap tercipta hangat yang memenuhi relung hati.
Perhatian Ibu berlanjut ketika saya harus pulang ke Jakarta. Dengan sepeda
motor miliknya, Ibu membonceng saya sampai di bandara Internasional Lombok. Tak diizinkannya saya menumpang taksi.
"Biar Ibu yang antar!" tegas tanpa ada celah buat ditawar.
Di lobi bandara, saya mencium tangan Ibu, mengecup kedua pipinya, kemudian
memberi peluk hangat untuk perempuan yang saya hormati itu. Saya berlalu
meninggalkan Ibu dengan hati berat dan setangkup kenangan yang selalu ada
di hati. Oh ya, juga dengan menenteng sekeranjang telur asin oleh-oleh darinya
buat saya bawa pulang ke Jakarta!
Rumah adalah di Mana Pun
Perempuan paruh baya yang saya temui dalam perjalanan ini memang bukan ibu yang melahirkan saya, tapi penerimaannya atas diri saya menyentil
kesadar?an saya bahwa kasih sayang seorang ibu demikian tulus. Tanpa pamrih,
tak menuntut balas. Kadang, justru kita alpa akan hal ini.
"Karena kebaikan kitalah yang akan selalu diingat orang lain," begitu pesan Ibu
pada saya.
Sore itu, di pesawat yang membawa saya ke langit Jakarta, ada kangen membuncah buat Ibu yang mengandung, melahirkan, dan merawat saya, di rumah.
Tentu, di Jakarta, Ibu sudah menanti kepulangan saya selepas mendaki gunung
Rinjani. Buat saya, Ibu adalah sosok pahlawan sesungguhnya. Tanpa ada keluh,
Ibu mengandung, melahirkan, merawat bahkan hingga saat ini. Doa dan kasih
sayangnya tak pernah putus. Pun kini, Ibu terus memotivasi saya untuk tidak
pernah menyerah membuat nyata impian dan cita-cita saya. Ah, tanpa mampu
saya bendung, ada sembab di mata. Sungguh, rindu itu tak tertahan, rindu buat
Ibu di rumah.
He was my friend.
He was my enemy.
He was my rock.
He was my cuddle.
He was someone I went to when I was happy.***
Ken Ariestyani Perempuan yang akrab dipanggil Ken ini, merasa beruntung
pernah menjadi jurnalis. Profesi itu membawanya ke tempat-tempat eksotis di
Indonesia, yang kemudian menumbuhkan jiwa bertualangnya. Karena itu traveling dan menulis tak pernah lepas darinya. Sejak bergabung dengan Majalah Berita
Minguan, GATRA, sebagai reporter magang, ia punya satu mimpi: menulis buku.
"Mahameru. Bersamamu"adalah buku pertamanya. Di dunia maya, ia bisa ditemui
di @ristyanina atau?kenariestyani.s@gmail.com
Rumah adalah di Mana Pun
Pelajaran di Baluran
Rembulan Soetrisno
Or sad.
He was the one.
Someone who I thought would be my destiny.
But it turns out..
He?s not.
From this journey, I learned more about you.
I learned more about us.
And I learned more about me.
ni perjalanan berat. Bukan volumenya tapi ujian ketahanan hatinya. Tsah!
Ceritanya tentang saya dan seorang pria. Yah, sebut saja C. Nama aslinya
Caesar, tapi demi ketegaran hati saya, nama tersebut lebih baik tidak terlalu
sering kita pakai. Sepertinya, itulah guna inisial.
Saat perjalanan ini akan dilakukan, saya dan C sudah kelar! Putus! Pisah! Done!
Dadababay! Tapi saya masih sayang. DHUAR! Dan kenapa saya melakukan
perjalanan ini padahal sudah tahu perginya akan sama mantan? Oh well,
dilematis. Tiket perjalanan ini dibeli kira-kira 4 bulan sebelumnya. Ikut program
promo suatu maskapai. Saat itu saya dan C masih baik-baik saja, masih ceria,
masih berbicara, masih saling mencurahkan rasa. Ini salah satu perjalanan impian saya. Kenapa? Nanti saya ceritakan. Dan kalau ada yang bertanya kenapa
Rumah adalah di Mana Pun
saya nggak pergi sendiri, dan tetap mau pergi sama C? Yah, saya kembalikan
ke kalimat terakhir di paragraf sebelumnya: saya masih sayang. Cheesy, I know.
But, no matter how cheesy this would sound to you, saya hanya mau jujur
sama perasaan saya sendiri dalam tulisan ini.
Perjalanan 4 hari 3 malam bersama mantan ini akan dimulai dari Jakarta
menuju Surabaya dengan pesawat, lalu lanjut naik bus ke Taman Nasional Ba?
luran. Menginap di Taman Nasional Baluran selama satu malam, lalu lanjut ke
Malang ? kota impian untuk masa depan (ini kenapa saya tetap pergi: Malang,
men!! Kota impian masa depan!!), baru kembali lagi ke Jakarta.
Pagi itu saya bangun super pagi. Pesawat yang akan mengantar kami ke Surabaya akan bertolak dari Soekarno Hatta pukul 5.30 pagi. Berarti saya harus
sampai di bandara paling lambat pukul 4.30. Di luar kebiasaan, C bisa bangun
pagi, menelpon, dan setelah itu SMS saya. Saya berangkat dari Tomang. C berangkat dari Tangerang. Perhitungan saya, sepertinya ia akan sampai duluan.
Rasanya akan lebih lega: sampai di suatu tempat dan segera mendapati wajah
yang familiar. Dalam bayangan saya, ada C di sana, menyambut saya dengan
senyumnya yang bikin saya tergila-gila.
Pukul 4.20, saya sampai di bandara, menelpon C, dan dia masih di jalan. Oke,
harapan pupus. Tidak ada senyum itu. Kalau begitu, saya masuk duluan.
Sepuluh menit menunggu dan C tak juga muncul. Mungkin apa yang saya
takutkan akan terjadi. C tidak akan datang. Membuat saya menunggu dan berharap. Saya menunduk. Bisa jadi, C memang tidak akan datang, kesah saya
dalam hati.
C menelpon saya, memberitahukan sebentar lagi ia akan datang. Perasaan
yang tadinya sedih berubah menjadi sebal. Kenapa sih? Kenapa berangkat
cepat saja tidak bisa? Hanya untuk satu hari. Kenapa tidak mampu mengerasi
diri untuk berangkat cepat dan membuat saya tenang? Padahal tadi dia sudah
bangun pagi. Tidur lagi?Berpikir ulang lagi? Segala sumpah serapah melingkupi saya pagi itu.
Dan ini baru awal. Catat, baru awal.
Rumah adalah di Mana Pun
Fiuh. C akhirnya datang. Terlambat. Tetapi, saya sudah mengurus check in-nya,
jadi dia tetap bisa masuk. Tidak ada kata maaf. Tidak terlihat aura menyesal.
Kenapa saya terlalu keras pada diri saya sendiri sementara dia tidak menyadari
kesalahannya, ya? Itu pertanyaan besarnya!
Saya ini perempuan yang sudah kamu sakiti berkali-kali, C. Yang sudah kamu
lepaskan dengan mudah tanpa perjuangan apa-apa. Masih mau berkomunikasi
baik denganmu. Masih mau memberikan saran dan pendapat untuk kamu. Masih berusaha tegar mengurus segala sesuatunya untuk kamu. Masih mempersiapkan sedikit hati yang belum koyak untuk kamu.
Hati saya berdesir.Merasa bodoh.
Baluran
Saya sendiri yang bilang bahwa jalan menuju surga itu memang berat. Eh, kejadian lagi pas ke Baluran ini. TER-BUK-TI!
Taman Nasional Baluran ada di Situbondo, Jawa Timur.Ramai dibicarakan
se?bagai Africa Van Java, saya sudah pasti geregetan sekali ingin berkunjung
langsung. Apalagi kalau kalian ketik 'Baluran' di Google, itu foto-foto yang keluar semuanya bikin menganga!! I...i... ini beneran di Indonesia? Tsah!!
Kami menuju Baluran via Surabaya. Rutenya sebenarnya mudah, tapi memang
waktu yang dibutuhkan lama. Satu kudapan coklat yang terkenal paaaaanjang
dan laaaaaama juga dijamin habis, dan perjalanan belum pun setengah jalan.
Hihihi. Dari bandara Juanda naik Damri dulu ke Terminal Bungurasih/Purbaya,
dari situ jalan saja ke belakang cari Patas menuju Probolinggo. Nanti dari Terminal Banyuangga Probolinggo, naik bus lagi menuju Situbondo dan turun di
depan pintu gerbang taman nasionalnya. Gampang 'kan?
TIDAK!!
Hihihi. Sebenarnya bukan tidak mudah, tapi memang perjalanannya panjang.
Perjalanan dari Surabaya ke Probolinggo masih terhitung nyaman, karena busnya besar dan ber-AC. Nah, perjalanan dari Probolinggo ke Baluran itu yang lumayan bikin kering kerontang. Sudah busnya tidak berAC, supirnya royal mem
Rumah adalah di Mana Pun
bunyikan klakson), perjalanannya panjang banget pula! Lengkap sudah. Sudah
sampai di terminal Situbondo pun, semua orang turun dan kami masih saja
bertahan di dalam. Total sekitar 6-8 jam perjalanan dari Surabaya. Asyik ya.
Tapi walaupun lama, perjalanannya nggak semembosankan itu kok. Apalagi
kalau ada lelaki ganteng yang sangat kalian sayang duduk di samping selama
perjalanan, yang berusaha terus mengajak bicara, yang berusaha terus membuat saya tertawa.Yang berusaha terus memberikan harapan tapi tidak berkeinginan membuat harapan itu nyata..
Di bus Surabaya-Probolinggo, saya tidur. Dari Probolinggo ke Baluran saya
kadang tidur, kadang bangun dan lihat-lihat. Pas sudah mau sampai Baluran,
pemandangannya dahsyat. Ada satu kawasan berwarna biru terang yang isinya
mesin-mesin listrik-entah-apa-gitu besar sekali. Setelah itu pemandangan
laut membentang dengan latar pegunungan. Ciamik bingit - kalau kata anak
sekarang!! Kalau naik mobil sendiri mungkin enak, bisa berhenti sebentar untuk
lihat-lihat dan foto-foto; dan tentu saja jam perjalanannya jadi makin molor.
Hihihi.
Yang lucu, di perjalanan ini hati kami diobrak-abrik oleh orang Jawa Timur. Pertamanya dibilang perjalanan Surabaya-Probolinggo itu 2jam (yay!!), ternyata
. 3.5 jam (*krik krik). Lalu perjalanan Probolinggo ke Baluran dikatakan akan
memakan waktu 2.5 jam (dan hati ini sudah seneng banget), ternyata .... 4jam
lebih!! Hiks..
Ternyata bukan cinta saja yang bisa memporakporandakan hati saya, perjalan?
an pun juga.
Setelah sekian lama bertahan di dalam bus, sampailah kami di depan gerbang
Taman Nasional Baluran. Semesta berbahagia, langit cerah ceria, kami bersiap
berteriak haleluya ketika kemudian menyadari .perjalanan belum selesai.
Hahaha. Dari gerbang Taman Nasional Baluran, perjalanan masuk dilanjutkan
dengan ojeg. Tersedia 2 zona untuk tempat menginap: Zona Bekol dan Zona
Bama. Kalau menginap di Bekol, perjalanan hanya 45 ? 50 menit. Kalau seperti
kami, menginap di Bama, perjalanannya 1 jam. Yup, you read it right, another
one hour to go!! Hiyak!! *lompat ke ojeg*
Rumah adalah di Mana Pun
Saya naik motor sama Mas Sularso yang asyik cerita ini itu di sepanjang perjalanan. Tak lupa juga mengatakan, "Ini kita masuk (zona) Evergreen, ya, Mbak.
Di sini biasanya suka ada macan tutul melintas."
GULP!!
Apa banget deh Mas Sularso ini. *berdoa kencang itu macan nggak lagi ingin
melintas jalan mana pun yang kami lewati*
Satu jam perjalanan, kami sampai di Bama. Kami menginap di Wisma Kapidada
di zona Pantai Bama. Wisma Kapidada berbentuk rumah biasa dengan dua kamar di dalamnya. Mengingat ini adalah taman nasional, keadaan bagian dalam
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wisma Kapidada memang tidak bisa dibilang ciamik. Ya secukupnya saja.
Saya diberitahu teman untuk tetap bawa kantung tidur kalau ke Baluran, dan
walaupun spreinya terlihat rapi dan bersih, saya keukeuh gelar kantung tidur
di atasnya sebelum tidur. Hihihi, yang lucu, di Baluran ini, sama seperti banyak
tempat terpencil, waktu berjalan lambat. Pukul 9 malam rasanya sudah malam
sekali karena sepi dan nggak ada kegiatan apa-apa yang bisa dilakukan selain
ngobrol-ngobrol.
Jadi, Saya dan C menghabiskan waktu dengan mengobrol di pinggir pantai.
Awalnya, obrolan terasa kaku. Masih seputar kami. Dia seperti masih ingin
menekankan bahwa harapan itu masih ada. Terselip manis di dalam relung
jiwa, tapi dia tidak memberikan tanda apa-apa bahwa ia akan berusaha mewujudkan harapan itu.
If only he knew.
Tidak pernah sebelumnya ada lelaki yang bisa membuat saya diam dalam kenyamanan melihat sosoknya.
Hanya diam.
Tidak pernah sebelumnya saya berusaha sedemikian rupa untuk bertahan
demi sesuatu yang bernama cinta.
Rumah adalah di Mana Pun
Hanya dengannya.
Waktu menunjukkan pukul 10 malam ketika saya yang sudah kelelahan memilih tidur. Terbangun pukul12 malam, dan tepat ketika saya membuka mata,
DHEP, lampu dan kipas angin mati. Hahaha. Gensetnya berhenti di pukul 12
malam. Setelah genset mati, kipas yang saya pakai harus dialihkan, diganti
menjadi kipas manual!
Jadi penginapannya nggak ber-AC, Bulan? Well, you know, AC di penginapan
itu sungguh sangat mainstream, lho. Dan karena kami (kami?) anti-mainstream, jadi kami memutuskan memilih kamar yang tak berAC. Yeah! *padahal
cari yang murah.
Sebenarnya ada satu penginapan di zona Bekol yang dilengkapi AC, tapi dari
awal memang saya bertekad untuk menginap di zona Bama. Lagipula, saya
nggak tahu apa kalau genset mati, itu AC di penginapan Bekol bisa tetap berfungsi atau mati juga. Kalau mati juga ya sama saja dong. Hihihi.
Selamat pagi Baluran! Pagi di Baluran serasa seperti menikmati pagi di Africa.
Baluran memang terlanjur dikenal sebagai Africa van Java. Taman Nasional
Baluran yang ada di Situbondo - Jawa Timur ini benar-benar membuktikan
ia mampu menyandang nama itu. Tapi ....ada tapinya. Kalian bisa menikmati
suasana Afrika itu kalau kalian datang saat musim kemarau. Kalau datangnya
pas musim penghujan, suasananya sudah beda lagi. Lebih seperti Amazon
mungkin.
Luas Taman Nasional Baluran ini 25 ribu hektar. Dari 25 ribu hektar, 10 ribunya
adalah sabana. Sabana inilah yang menjadikan Baluran meraih predikat Africa
van Java karena saat musim kemarau, sungguh pemandangannya seperti di
Afrika! Selain sabana dan pantai, ada juga gunung dan zona Evergreen (yang
walaupun musim kemarau, tetap hijau royo-royo). Jadi, bisa dikatakan, wisata
di Baluran ini super lengkap!
Pagi ini, alarm saya berbunyi pada pukul 4 pagi. Pantai Bama adalah tempat
yang tepat untuk melihat momen matahari terbit, dan saya berencana menik
Rumah adalah di Mana Pun
mati momen itu. Saya bangun sebentar lalu ....mematikan alarm dan tidur lagi.
Hahaha. Masih mengantuk. Masih lelah. 'Kan habis genset mati, baru bisa tidur
lagi pukul dua atau setengah tiga. Huhuhu.. *alasan*
Pukul 4.30, saya bangun dan kaget melihat jam. Kemudian sedih, karena merasa momen matahari terbitnya sudah lewat. Padahal pikir punya pikir, kenapa
harus sedih ya? 'Kan saya juga yang mematikan alarm pukul 4 tadi. Akhirnya
bersiap keluar wisma saja dan astaga!! Ada banyak sekali monyet di depan
rumah!! Huaaaaaa.. Bagaimana mau jalan ke bibir pantai kalau ratusan monyet
berseliweran begini? Padahal, seharusnya saya yang tahu diri. Ini 'kan taman
nasional, ini habitat mereka dan sayalah yang numpang, jadi mereka pasti liar
seliar-liarnya; tidak bisa dianggap sama dengan monyet yang ada di seberang
sebuah mal di Jakarta Selatan; yang bisa lari mengejar sepeda lalu naik sepeda
dan bawa keranjang kecil ceritanya pulang dari pasar.
Saya keluar dan jalan pelan-pelan dengan yakin menuju bibir pantai. Melihat
kiri kanan mencari C. Tentu saja dia tak ada. Belum bangun rupanya. Ya kenapa
juga masih berharap dia bisa bangun pagi, ya. Terikat jadwal pesawat saja dia
bisa terlambat, apalagi hanya untuk melihat momen matahari terbit bersama
saya. Pfft.
Di sekeliling saya, monyet-monyet tak peduli. Mereka bahkan tidak mengenali
saya yang artis ibukota ini. Alamak. Sampai kira-kira 15-an langkah, tiba-tiba
ada satu monyet yang mengambil posisi menyerang, dan memberi saya mimik
menggeram. Grhhh, aih makjan, dengan kalem saya balik badan dan kembali ke
wisma dalam diam. *kalah sama monyet*
Menunggu lima menit di dalam wisma sambil lihat-lihat keadaan, akhirnya saya
beranikan diri untuk keluar lagi. Jalan terus jalan terus sampai di pinggir pantai,
kali ini saya berhasil! Kacamata hitam yang saya pakai membuat tidak satu pun
monyet itu mengenali saya! Sampai di pinggir pantai, saya merasa sedih lagi
karena melihat di langit tinggal semburat jingga. Momen matahari terbit sudah
lewat. Bengong. Menerawang. Diam.
Dalam diam-diam melankolis, tiba-tiba langit berubah aura. Semburat jingga
makin tebal menyeruak dan OMG OMG OMG OMG (sekali OMG lagi dapat pa
Rumah adalah di Mana Pun
yung cantik), mataharinya baru muncul!! Wah!! Langsung terharu sekali melihatnya.Momennya dapat sekali! Saya melihat matahari terbit dari baru semburat jingga sampai sebulat-bulatnya matahari naik. Saya langsung mengucap
syukur dalam hati. Bersyukur sekali dikasih lihat momen itu.
Saya berdiri lama untuk menikmati momen luar biasa itu sampai nggak sadar,
C sudah ada di belakang saya. Tiba-tiba dia ambil kamera lalu memotret saya.
Saya kembali melankolis. Melihat momen yang luar biasa dengan orang yang
sangat saya sayang. Apa yang kurang? Seandainya saja perasaan ini akan
sama indahnya saat tidak ada keinginan untuk memiliki, semua akan sempurna.
Kami diam dalam waktu yang lumayan lama. Masing-masing dengan pikirannya sendiri. Tiba-tiba saya merasakan suhu hangat menghinggapi tangan
kanan saya. Dia menyelipkan jemarinya, menggenggam tangan saya erat. Ujian
hati sudah dimulai. Saya nggak tahu bagaimana saya bisa bertahan setelah ini.
Kami jalan menyusuri pantai bersama. Bercanda seperti biasa. Memotret iniitu. Kalau waktu bisa saya hentikan, saya ingin berhenti saat itu. Merasakan dan
menikmatinya lebih lama. Hanya berdua.
Selesai berjalan-jalan, kami bersiap untuk safari trekking. Ada trek sepanjang
6 km yang sudah disiapkan oleh pengelola Taman Nasional Baluran untuk
pengunjung. Di sepanjang trek ini, berdoalah supaya ada binatang yang menampakkan diri. Dan, berdoalah juga yang menampakkan diri di depan mata
bukan macan tutul. Ketika kami jalan kemarin, sedang ada banyak sekali rusa.
Lalu ada burung merak, lutung, dan yang tak disangka tak diduga: kerbau air.
Huhuy! Lucunya ketika Mas Riko ? pemandu kami bilang, "Itu ada kerbau air
besar itu!!',saya langsung mengarahkan kamera ke arah yang ditunjuk, dan
ketika saya masih menikmati pemandangan kerbau besar yang mengilat berjemur di bawah teriknya sinar matahari, eh Mas Riko berkata lagi, "Mbak, ayo,
Mbak, cepet. Jangan lama-lama, nanti dia ke sini!" HAH?? Dia bisa ke sini? Bisa
mengejar? OMG OMG OMG! *langsung jalan cepat sambil nggak berani lihat
belakang* Hahaha.
Selesai safari trekking, saya berencana ingin snorkeling. Di Baluran, kita juga
bisa snorkeling langsung dari pantainya. Tapi untuk lihat koral yang bagus, kata
Rumah adalah di Mana Pun
Mas Riko, harus agak menjorok 100 meter ke arah tengah. Saya baru semangat
mau snorkeling, eh Mas Riko bilang, "Tapi hati-hati ya, Mbak, banyak bulu babi."
GLEK!! *melipir balik ke wisma, nggak jadi snorkeling* *anaknya penakut kalau
sama bulu babi* Hihihi.
Akhirnya saya dan C tidur-tiduran saja di teras wisma. Saya membaca buku,
dan C seperti hanya terdiam menikmati waktu. Semua terasa alami saja. Ini
laki-laki yang membuat saya dapat menikmati waktu dengan hanya berada di
sampingnya.
Cuma satu hari satu malam saya mencicipi Baluran, tapi sudah senang! Selain bisa menghabiskan banyak waktu dengan lelaki di sebelah saya ini (dan
menguji hati dan menikmati rasa bodoh sendiri), pemandu dan orang-orang di
Baluran baik semua. Dari 25 ribu hektar luas Baluran, yang mengurus hanya
sejumlah 100 orang PNS, dan 25 orang pegawai lepas. Kalau lagi ada kebakaran
di hutan Baluran, Mas Riko dan teman-temannya harus membawa tabung besar berisi air di punggung dan jalan kaki menyusuri hutan, atau naik gunung
menuju titik api. Gila ya, dedikasinya. Hebat sekali! Semoga semua pengurus
Baluran bisa terus sehat dan diberkati Tuhan karena mereka sudah jaga alam
dengan sangat luar biasa ya
Selesai dari Baluran, perjalanan kami tidak dilanjutkan kembali ke Surabaya
melainkan ke kota impian masa depan saya: Malang! Inilah alasan sesungguhnya kenapa saya berat untuk tidak pergi. Saya sudah memimpikan Malang, dan
menaruhnya 5 cm di depan mata (cieee) bahwa ini akan menjadi kota impian
untuk masa depan. Semua impian itu ada, bahkan ketika saya belum pernah
mengunjungi Malang. Yap, ini kali pertama saya mengunjungi Malang. Sayangnya, kenapa juga kota impian ini harus saya jelajahi untuk pertama kalinya
dengan sang mantan yang masih saya inginkan itu. Huhuhu.
Perjalanan dimulai dari Baluran menuju Probolinggo, kemudian dilanjutkan
dari Probolinggo menuju Malang, dan dari Malang menuju Batu (karena kami
akan menginap di Batu). Dari Baluran menuju Probolinggo, kami naik bus berAC, dan terpikir, kok ini ada yang AC? Kemarin dari Probolinggo ke Baluran
kenapa nggak naik yang AC?! Hihihi.
Rumah adalah di Mana Pun
Walaupun panjang dan lama, perjalanan ini cukup nyaman karena bus lumayan
dingin. Di beberapa kali kesempatan, ketika saya akan tertidur di dalam bus, C
mengangsurkan tangannya untuk menjaga supaya kepala saya tidak terantuk.
Saya yang terlalu besar rasa atau memang dia masih ingin menjaga saya?
Hati saya berkecamuk. Menahan rasa dan menumbuhkan harapan itu tidak
berjalan di satu lini yang sama. Saya masih berusaha keras melakukan yang
pertama ketika dia melakukan yang kedua. Saya bisa apa?
Dari Probolinggo ke Malang, kami berganti dengan bus yang lebih kecil dan tidak berAC. Pembicaraan kembali tentang kami. C bertanya apa ini kali pertama
saya jalan-jalan dan naik angkutan umum? Saya jawab, ya.
Tiba-tiba C berkata bahwa saya pantas mendapatkan yang lebih baik dari
dirinya. Hah, kenapa? Dia merasa tidak pantas untuk saya karena tidak bisa
memberikan materi apa-apa. Bahkan, tidak juga uang untuk menyewa mobil
yang lebih layak selama perjalanan. Loh, kok jadi gitu? Saya masih mencoba
mendengar, tapi jelas saya tidak bisa menerima. Jadi selama ini, permasalahan
konyol semacam ini yang dijadikan alasan? Dari apa yang dikatakannya, saya
justru semakin kuat menerima bahwa mungkin benar, saat ini, perpisahan yang
terbaik bagi kami. Konyol rasanya, ketika sekarang dia mengangkat isu itu, se?
perti mencari alasan dan menyalahkan saya untuk berpisahnya kami.
Kita sedang backpacking, bertualang, dan tiba-tiba dia bicara soal kenyamanan
materi? Mungkin dia memang bukan pejuang tangguh yang justru bisa melihat
dan bersyukur saya sangat menyayanginya. Dan, bahwa perjalanan ini adalah
sebuah perjalanan sederhana yang manis dan menyenangkan. Sayang, dia tidak melihatnya.
Kalau begitu ini cukup.
Dia tidak bisa bersyukur memiliki saya. Kenapa saya harus terus memelihara
harap saya padanya?
Saya cukup baik untuk seseorang di luar sana, yang tahu bahwa membahagiakan saya tidak hanya dengan materi. Saya cukup baik untuk seseorang di luar
sana, yang tahu bahwa saya pantas menerima rasa sayang dan perhatiannya.
Rumah adalah di Mana Pun
Saya cukup baik untuk seseorang di luar sana, yang mampu memperjuangkan
saya dengan keras. Saya cukup baik untuk seseorang di luar sana, yang yakin
bahwa saya akan menjadi istri yang baik baginya dan ibu yang baik bagi anakanak kami.
Saya cukup baik untuk seseorang di luar sana, yang sayangnya, bukan C - seberapa pun saya menyayangi dan menginginkannya.
Do you know why they have specific tense in English? It?s because they know.
This time, I know, I need to use past tense 'was? after C?s name. And be happy
about that.
Rembulan Soetrisno Lulusan Sastra Inggris Universitas Indonesia ini senang berbagi keabstrakan hidup dan cerita perjalanan lewat blog. Pernah menjadi guru TK
selama 4 tahun dan selalu merasa itu adalah 4 tahun terindah dalam hidupnya.
Setelah berhenti menjadi guru dan berjalan-jalan selama 1.5 tahun, tabungannya
pun habis dan ia kini mencoba menabung dan menyambung hidup kembali dengan menjadi mbak-mbak kantoran. Facebook:?Rembulan?Indira, Twitter : @ubermoon, blog :?www.ubermoon.blogspot.com, www.rembulanindira.blogspot.com
Rumah adalah di Mana Pun
Pulau Dewata Punya Cerita
Dite Rosita
ALI! BALI ISLAND! Yaps! siapa sih yang nggak kenal sama Pulau Dewata
ini, dan siapa juga yang nggak mau pergi ke Bali. Kalo nggak mau ke Bali
berarti udah jadi orang bodoh. Ya, ke Bali kok nggak mau! Hahaha.
Menurut gue Bali itu indah, pulau yang punya banyak keunikan, agama, dan
adat. Nggak pernah bosan rasanya buat nyebut BALI. Salah satu pulau yang
keren yang dimiliki Indonesia dan diminati pula sama turis-turis asing. Bulebule suka banget ke sini sekadar untuk menghitamkan kulit; mereka suka ba?
nget dengan kulit legam, sampai jauh-jauh dateng ke Bali buat ngitemin kulit.
Bule kebanyakan duit gitu tuh! Hahaha. Bali yang gue liat adalah Bali yang
selalu ramai dan selalu menyenangkan. Semua yang dibutuhin ada di Bali. Yah,
...memang Bali itu selalu menarik untuk dikunjungi.
Sebelum gue menceritakan perjalanan gue ke Bali, gue mau memperkenalkan
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dulu travelmate gue. Pasti kalian bertanya-tanya: gue ke Bali itu sama siapa,
iya 'kan?. Oke, gue kenalin travelmate gue yang satu ini. Namanya Didip, anak
asli Yogyakarta, kelahiran Gunung Kidul. Didip memiliki perawakan tinggi besar,
tingginya mungkin lebih dari 170cm. Nggak gemuk cuma berisi, kulit hitam.
Dari gambaran fisiknya dia nggak mengerikan kok, orangnya super duper
baik, ramah, penyabar, lebih suka bercanda, dan jarang banget yang namanya
marah. Dia cocok banget dijadiin travelmate si kalo kata gue, karena apa? Sifat
dia menurut gue banyak plus-plusnya, dan dia juga punya sisi kebapakan. Dia
masih single, loh! Kalo lo mau kenalan boleh banget!! Hahaha. Cukup sekian
yah, gue menceritakan sosok Didip ini, sekarang gue akan menceritakan perjalanan gue dan Didip menuju Bali!
Di perjalanan September 2013, ini gue pilih untuk pergi ke Bali, kenapa? Karena
gue pengen merasakan Bali tanpa adanya jam yang udah diatur, makan yang
udah disediain, belanja yang cuma dikasih waktu beberapa jam aja, atau nginep
ditempat yang udah ditentuin. Terakhir ke Bali itu waktu SMA, pas ada studytour ke Bali. Tapi nggak puas, karena semua udah diatur sama travel agent.
Perjalanan ini berawal pada 30 Agustus 2013; waktu itu gue berangkat menuju
Yogyakarta. Di Yogyakarta, gue stay dulu karena kebetulan temen gue ada
yang wisuda jadi sekalian aja gue pikir. Setelah gue menghadiri acara wisuda
temen gue itu, gue numpang untuk nginep di rumahnya - temen gue cewek kok
dan orang Yogyakarta asli.
Pada 1 September 2013, saat waktu menunjukkan pukul 07.30 WIB, gue dan
travelmate gue bergegas menuju stasiun lempuyangan, untuk naik kereta ekonomi menuju Banyuwangi. Setelah melakukan pengecekan di pintu masuk, gue
dan Didip menuju gerbong dan mulai mencari kursi yang tentunya sesuai tiket.
Travelmate gue notabene seorang pekerja kantoran yang menyukai dunia tra?
veling seperti gue, sengaja ambil cuti dan lo tau nggak? Dia ambil cuti dan nggak izin pergi ke Bali, katanya sih biar temen-temen kantornya itu nggak pada
heboh. Tapi, jangan ditiru yah buat yang pekerja kantoran.
Jam tangan gue udah menunjukkan pukul 08.00, saatnya kita berangkat!.
Tuutt..Tuuuttt, bunyi suara kereta api yang mulai jalan menuju Banyuwangi.
Kereta ekonomi memang selalu ramai. Di kereta, 1 sampai 3 jam kita masih bisa
ketawa-ketiwi cerita ini itu, tapi jam-jam setelah itu gue sama si Didip ini mulai
mati gaya. IYA MATI GAYA! Nggak ada yang bisa dikerjain selain ngobrol, liat
pemandangan di luar kereta yang penuh dengan pemandangan hijau, sawah,
langit yang cerah dan pemandangan kerumunan orang-orang penghuni kereta
ekonomi. Gue masih mencoba untuk mainin gadget yang gue bawa, ya ternyata
cuma gitu-gitu aja, sama aja nggak ada apa-apanya.
Rumah adalah di Mana Pun
Gue ngeliat orang yang duduk di samping gue, si Didip juga sama melakukan
hal yang sama kaya gue coba mainin gadgetnya, tapi akhirnya bosen juga.
Sekarang udah nggak usah khawatir sih, di kereta udah disediain colokan buat
nge-charge gadget. Gue merasa lelah dan Didip juga sama. Kruyuuuuukpletuk,
suara dari dalem perut gue bunyi! Tandanya gue laper, gue mencoba buat ngebuka roti rasa coklat buat isi perut. Nggak lupa juga gue nawarin ke Didip, "Mas,
mau roti nggak nih?" "Iya, mau." Tanpa pikir panjang dan jawaban yang berteletele, dia langsung ambil roti yang ada di tangan gue.
Perjalanan dari Yogyakarta ke Banyuwangi membutuhkan waktu 13 jam. Lama
juga, yah. Gue juga baru tau ternyata naik kereta pun masih lama juga. Namun,
setidaknya lebih efisien dan menghemat uang. Kita 'kan traveler dengan bujet
yang pas-pasan, jadi mau apa pun harus diperhitungkan.
Gue sama Didip berusaha buat tidur, merem-meremin mata berharap ba?ngun
udah sampe di Banyuwangi. Ah ternyata gue nggak bisa tidur nyenyak, entah
kenapa gue merasa bersemangat banget untuk cepet-cepet sampai di Bali.
Mungkin ada perasaan yang sangat kuat, yang disebut kangen. Bukan sama
orang, tapi kangen sama Pulau Bali. Gue coba nanya ke Didip, "Kita udah sampai di Banyuwangi belom, Mas? Udah malem jadi kanan-kiri nggak keliatan
gini," tanya gue. "Belom lah, mungkin sebentar lagi. Sekarang masih pukul
9 malem, Nduk. Dibawa tidur lagi aja, nanti biar aku bangunin kamu." jawab
Didip. Gue cuma bisa diem pas dia abis ngomong gitu. Gue coba untuk memejamkan mata lagi tapi tetep nggak bisa, mungkin karena sejam lagi gue sampe
di Banyuwangi.
Tiba-tiba gue keinget kejadian tadi siang pas kereta lagi melaju. Ada suatu
kejadian yang sedikit menghebohkan penumpang kereta api. Entah di daerah
Jawa Timur bagian mana, kereta yang gue naikkin ini nabrak orang! Gue panik
dong sebagai penumpang kereta. Gue pastiin ini kereta akan molor dari waktu
yang ada di tiket kereta. "Ada apa, Mas? Kok kereta berhenti?" rasa penasaran
gue muncul dan coba nanya ke si Didip. Ternyata orang di samping gue yang
gue tanyain itu udah nggak ada, dia lagi turun buat liat kejadianya. Tapi, zonk!,
tau-tau si Didip udah duduk lagi di sebelah gue sambil bilang, "Ada orang
ditabrak kereta, katanya si tukang becak. Tuh katanya lagi yang ditabrak ada
di bawah kereta, sekarang lagi dicoba dievakuasi." Penjelasan Didip bikin gue
Rumah adalah di Mana Pun
merinding. Gue penasaran tapi gue enggan buat berdiri dan ngeliat keadaan di
luar, cuma ngeliat dari balik jendela. Ramai, banyak orang membantu evakuasi
jenazah. Serem banget. Kenapa harus di kereta yang gue tumpangin sekarang?
"Ah, ngeri banget, emang itu tukang becak nggak liat ada kereta mau lewat?"
celetuk gue. Sambil ngeliat ke arah luar jendela, Didip jawab pertanyaan gue,
"Enggak tau si, tau-tau tadi kereta berhenti 'kan? Ya udah, sekarang kita berdoa
aja semoga sampai di Banyuwangi tepat waktu." "Amin." kata gue, sambil ngedoain abang tukang becak juga.
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.40 WIB, gue udah sampai di Banyuwangi.
Tiba-tiba Didip bisikin sesuatu di kuping gue, "Budeku jemput kita. Nanti biasa
aja ke budhe, orangnya nyantai kok," gue yang lagi dibisikin kaget diem tanpa
mengucapkan sepatah kata pun. Yang gue tau kita pergi ke Bali nggak bilang
sama yang lain terkecuali orangtua kita masing-masing. Eh, tapi gue nggak izin
si sama nyokap, soalnya nyokap gue nggak akan izinin gue untuk pergi jauh
apalagi ini anak ceweknya mana ada dibolehin. Nyokap gue masih terlalu kolot
menurut gue. Sebenarnya juga ada benarnya nyokap memprotect gue. Tapi,
tanpa gue izin ke nyokap, kakak-kakak gue udah tau kalo gue ke Bali jadi setidaknya sedikit menenangkan hati gue.
Kita turun di Stasiun Banyuwangi yang menjadi tujuan akhir para penumpang.
Dari kejauhan, terlihatlah sosok perempuan yang sudah mulai menua tapi
masih terlihat cantik dan segar. Ternyata si Didip udah nyamperin Budhe, "Hei,
ini budeku yang tinggal di Banyuwangi, nanti kita nginep di rumah budhe dulu
sebelum besok kita nyebrang di Ketapang," jelas Didip.
Gue sebagai anak muda langsung mendekat, dan cium tangan Budhe. Budhe
yang menyapa kita dengan hangat membuat gue nggak canggung. "Namanya
siapa, Mbak? Kok berani banget cewek mau ke Bali. Nggak takut, Mbak?" tanya
Budhe sambil ngeliat ke arah si Didip. "Saya Ita, temennya mas Didip, Budhe.
Enggak kok, Budhe. Insyallah berani," jawab gue sambil senyumin si budhe
pake senyum termanis yang gue miliki, halah. Tanpa basa-basi langsung
Budhe ngajak gue dan Didip ke mobilnya, "Ayok, langsung aja ke mobil. Nanti di
mobil bakalan rame, soalnya cucunya budhe ikut, ngga papa, 'kan?" "Iya, budhe,
nggak papa!" samber si Didip.
Rumah adalah di Mana Pun
***
Alarm gue berbunyi. Tandanya sudah pukul 08.00 WIB. Gue bergegas untuk
mandi karena sebentar lagi gue ke Bali! Setelah gue mandi, tak lama kemudian
Didip menyusul, dengan mandi yang sangat cepat. Di meja sudah tersedia dua
gelas teh hangat yang ternyata disiapin si Budhe buat gue sama Didip. Pas kita
berdua lagi ngobrol-ngobrol, Budhe dateng nyamperin kita buat ngajakin kita
breakfast. Sesampainya di meja makan terlibatlah kita bertiga dalam sebuah
obrolan.
"Dek, nanti nyebrangnya agak siang gak papa, ya? Soalnya, Mbak Vivi bisa jemput kalian siang. Nanti di Bali apa yang kalian perlukan sudah disediain sama
Mbak Vivi. Mbak Vivi ini kakak sepupu Mas Didip. Nanti bilang aja temannya
Didip gitu," ucap Budhe sambil menatap gue.
Didip yang langsung jawab, "Loh, Budhe hubungin si Vivi? Tadinya aku berniat
nggak kontak Budhe sama Vivi juga, lho, soalnya rencana kita mau get lost di
Bali."
"Iya, Budhe hubungin si Vivi biar dia tau kalau adeknya ke Bali, 'kan kalian lama
nggak ketemu to. Uwis rapapa. Sudah habiskan makan kalian, tambah lagi ayo
nasi sama lauknya."
Gue dari tadi cuma bisa diem dengerin mereka ngobrol ngalur-ngidul.
"Oh iya, Dip, nanti kamu dianterin sama Mas Roni ya ke pelabuhan. Budhe nggak ikut nganter," tambah budhe. Didip cuma anggukin kepala, tandanya mengiyakan tawaran budhe. Selesai makan kita pun kenyang! Masakan budhe enak
juga, bisik gue dalam hati.
Gue dan Didip langsung menuju ke lantai dua buat packing. Waktu sudah
menunjukkan pukul 10.00 WIB, gue dan Didip langsung pamit sama Budhe dan
Pakdhe. Sebelum kita berangkat, ternyata Budhe udah siapain keripik singkong
buat cemilan kita di jalan. Itu keripik buatan Budhe sendiri.
Rumah adalah di Mana Pun
Mobil udah sampai di depan pelabuhan. Setelah berterima kasih sama Mas
Roni, gue sama Didip langsung masuk ke pelabuhan. Pelabuhan Ketapang
ternyata sepi, nggak seramai yang gue bayangin. Gue dan Didip jalan menuju
loket. Karcis naik feri menuju Bali ternyata murah ya, cuma Rp6.500,00 pas
banget dikantong. Cuma butuh waktu 30 menit dari Ketapang untuk sampai di
Bali. Pas kita mau naik ke kapal feri, kita berdua harus lari-larian karena kapal
yang mau kita naikin udah mulai jalan, hampir aja ketinggalan kapal! Untung
aja, bapaknya baik mau nungguin kita sampe naik dan si bapak bilang, "Nggak
usah lari-lari, Mbak, kita tungguin kok. Tenang aja." Didip yang sudah terlanjur
ngos-ngosan, akhirnya memilih jalan lagi. Gue lihat si bapak nahkoda berhentiin kapalnya sebentar sambil nunggu gue dan Didip naik. Alangkah baiknya si
bapak.
Sesampainya di kapal, gue dan Didip mulai memilih tempat duduk. Wow bangku yang kita dudukin warnanya PINK pemirsaaaaaa, unyu ya! Duduk di bawah
itu berasa banget goyangan kapalnya, gue sama Didip mulai kliyengan. Untuk
menghindari hal-hal yang tidak kita inginkan, kita pindah ke lantai dua. Ternyata sama aja, goyangnya kapal bikin perut sama kepala ikutan goyang juga. Pusing dan mual gimana gitu. Untuk ngilangin rasa mual, gue dan Didip jalan-jalan
di sekitar kapal sambil nikmatin pemandangan dan angin yang berembus tidak
sepoi-sepoi lagi. Pemandangan di kapal sejauh mata memandang hanya lautan
lepas, dan bukit yang menjulang dengan kokohnya. Sinar matahari diam-diam
mulai membakar kulit kita. Gue mulai mengeluarkan handphone gue dan minta
tolong ke Didip buat fotoin gue, "Mas, fotoin dong!" Handphone gue langsung
diambil Didip, dan mulailah dia fotoin gue.
Tidak terasa kapal sudah mulai menepi tandanya kita sudah sampai di pelabuhan. Didip ngeliatin gue sambil tersenyum menantang, trus tiba-tiba bilang,
"Siap? Yuk, kita mulai jelajah Bali! Barang jangan sampai ada yang ketinggalan,
ya!"
Tuuuuuuut tuuuuuuut. Kapal mulai menepi di Bali. THIS IS BALI!!! Rasanya
seneng bukan kepalang gue udah sampai di Bali dengan perjalanan yang lumayan menguras tenaga. Gue dan Didip memutuskan untuk jalan kaki ke terminal.
Rumah adalah di Mana Pun
Jarak pelabuhan ke terminal cuma butuh waktu 5 menit dengan jalan kaki.
Meskipun banyak tukang ojek lalu lalang nawarin jasa mereka, dengan halus
kita menolak. Naik ojek bayar Rp5.000,00, jalan kaki cuma 5 menit dan malah
bikin kita sehat jasmani. Masuk di terminal, kita langsung nanyain ke orang
jurusan Kuta, digiringlah kita kaya ayam sama si bapaknya. Cuma kena biaya
Rp10.000 menuju Kuta.
Bus yang udah penuh penumpang semakin penuh sesak dengan kehadiran
penumpang bus yang mogok, termasuk gue dan Didip. Gue dan si Didip dapet
tempat duduk di belakang sebelahan sama ibu-ibu cantik asli Bali. Dengan ramahnya si ibu ngajak si Didip ngobrol, gue sebagai pendengar yang baik aja di
bus hehehe. Dari tadi, gue perhatiin handphone Didip bunyi melulu, kayaknya
Mbak Vivi. Dari tadi, Mbak Vivi bolak-balik nelpon, nanya udah sampai di mana.
Dia juga berulang kali angkatin telpon.
Tiba-tiba, kuping gue dibisikin Didip sambil bilang, "Keinginan kamu terkabul!"
"Hah, keinginanku? Keinginan apa?" tanya gue yang penasaran.
"Keinginan kamu buat naik pesawat terkabul. Pas kita pulang dari Bali, kita
bakal naik pesawat. Itu 'kan keinginanmu?" jelas si Didip.
Gue masih penasaran. Terus gue nanya ke si Didip lagi, "Naik pesawat? Siapa
yang mau bayarin?"
"Siapa lagi? Mbak Vivi kasih tiket cuma-cuma buat kita pulang ke
Yogyakarta,"ucap Didip. Gue langsung nyengir kegirangan, sesuatu yang ?nggak
pernah gue duga. Didip bilang ke kondektur, minta diturunin di Negara, di depan rumah makan muslim. Sebelum kita turun, Didip pamit sama ibu-ibu Bali
yang gue lupa namanya. Gue dan Didip ucapkan terima kasih untuk berbagi
kursinya. Ibu-ibu asli Bali itu membalas dengan hangat, "Sama-sama, Dik.
Hati-hati di Bali. Semoga liburan kalian menyenangkan." Kita berdua hanya
melempar senyum ke ibu-ibu itu.
Didip ternyata sudah bikin janji. Di rumah makan ini, teman Mbak Vivi akan
datang menjemput pakai sepeda motor. Setelah minuman yang kami pesan
datang, teman Mbak Vivi juga datang, bawa sepeda motor. "Itu temen si Vivi.
Rumah adalah di Mana Pun
Aku keluar dulu, kamu tunggu di sini ya, nanti aku jemput kamu," ucap Didip
sambil ninggalin gue. Mau nggak mau gue nunggu di rumah makan itu sendi?
rian, Didip pergi sama temen Mbak Vivi. Kenapa gue disuruh nunggu? Karena
temen Mbak Vivi itu ngejemput naik sepeda motor, padahal kita dateng berdua.
Lima belas menit berlalu, Didip akhirnya muncul dengan mobil Yaris putihnya.
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia turun dan langsung ajak gue ke mobil, "Iya, sebentar aku bayar dulu." Gue
langsung menuju meja kasir. Setelah selesai, gue menuju mobil. Didip nanya
ke temen Mbak Vivi yang ternyata juga ada di mobil, "Kita ke mana, Mas?" "Kita
ke hotel di deket pantai di Negara, dekat kok dari sini," kata temen Mbak Vivi.
Hotel!?
Hotel Bali Sunset namanya. Hotel ini masih sepi dan bener-bener nyaman buat
ditinggalin karena berasa hotel milik pribadi. Sesampainya kita di hotel kita
langsung diantar kekamar sama penjaga hotelnya dan temen dari Mbak Vivi
itu. Kami dapet kamar yang depannya langsung mengarah ke kolam renang
dengan cuaca yang mendukung pada saat itu, tapi sayang, gue nggak bawa
baju renang. Alhasil, yang ada cuma puas-puasin narsis di sana. Untuk membunuh rasa bosan, kita berdua jalan-jalan di sekitar hotel, ngeliat pantai yang
ada di belakang hotel: pantainya nggak bagus, kotor dan pasirnya hitam. Karena teriknya matahari di atas sana, gue langsung ajak Didip buat balik ke hotel.
"Hotelnya sepi ya, Mas," kata gue.
"Iya, kayaknya jarang yang ke sini. Padahal hotelnya bagus, ya," jawab Didip.
Masuk ke kamar, bukannya langsung mandi, kita berdua memilih merebahkan
badan. Untung tempat tidurnya lumayan besar, jadi cukup untuk kita berdua.
Sebelum tidur, kita berbagi bantal, setelah itu tidur saling membelakangi. Entah karena gue capek, tiba-tiba aja gue tertidur, dan Didip lagi asyik menikmati
siaran televisi. Baru aja tidur, udah dibangunin aja, "Ta, bangun, itu Vivi udah
selesai ngantor. Kamu mau mandi duluan, atau aku duluan?" tanya Didip. "Aku
duluan ya, nggak lama!" jawab gue dan langsung ambil handuk beserta peralatan mandi lainnya. Setelah gue kelar mandi, si Didip langsung lari ke kamar
mandi. Sebelum ke kamar mandi, dia bilang, "Itu Vivi udah di depan, kalau dia
ke sini, bilang aku lagi mandi." Gue langsung aja packing. Kelar packing, Didip
juga kelar mandi, dan lagi-lagi handphone dia bunyi.
Rumah adalah di Mana Pun
"Ayuk kita keluar, kita udah dijemput. Dia udah nungguin kita di parkiran," ajak
Didip. Gue ngebatin dari tadi, ini yang bakal bayar hotel siapa karena nggak
mungkin kita berdua bayar hotel bagus gitu, pasti mahal. Ternyata yang bayar
hotelnya itu Mbak Vivi; kita yang make dia yang bayar. Ah, betapa baiknya.
Masuk ke mobil, langsung si Didip diberondong pertanyaan, "Loh Dek, kamu
sama cewek? Aku kirain sama temen cowokmu! Apa ini calonmu, Dek?
Hahaha," sembari Mbak Vivi ngeledekin si Didip. Gue cengar-cengir nggak bisa
jawab soalnya gue canggung masuk mobil langsung ditanyain begitu. "Ah, ora,
iki kancanku kok, kenal pas ning karimun mbiyen," Didip ngejelasin kalo dia
dateng ke Bali itu sama temenya yang dulu kenal pas sama-sama lagi traveling ke karimunjawa. Mbak Vivi yang nyetir didampingin sama temen ceweknya
langsung bawa kita makan ke tepi pantai, makan seafood, minum kelapa muda.
Yang tadinya kita laper tapi nggak bilang, ternyata dibawa ke tempat makan
yang not bad-lah meskipun tempatnya di kampung campur sama warga.
Makan sambil dapet hiburan karaoke gratis, dengan suara yang serak-serak
fals dan nggak terasa makanan udah bersih. Ups! Makan hari itu pun dibayarin
Mbak Vivi juga, kita tinggal makan dan kembali duduk manis di mobil.
Sembari menuju Kuta, Mbak Vivi nanya ke Didip, "Dek, kamu mau naik mobil
atau motor di Bali? Mbak Vivi udah siapin dan kamu tinggal milih yang mana
nanti Mbak Vivi anter ke kos."
Gue sama Didip saling pandang karena nggak nyangka Mbak Vivi udah siapin
semuanya, "Emmm...motor aja, Mbak. Soalnya, Bali macet 'kan kalau siang?"
Didip menjatuhkan pilihannya pada motor. Perjalanan dari Negara ke Kuta itu
lama, jauh juga ternayata. Mbak Vivi nyuruh si Didip untuk pindah ke depan
barengan sama gue buat nyetirin mobilnya Mbak Vivi, sedangkan Mbak Vivi
dan temannya itu tidur dibelakang, mungkin dia lelah.
"Mas, nanti kalau ada pom bensin berhenti ya, aku pengen pipis," ucap gue
yang sedari tadi nahan.
Langit yang mulai gelap menemani kita, mobil sepi penumpang yang dibelakang pules banget tidurnya, gue memilih untuk nggak tidur karena nemenin si Didip nyetir.
Rumah adalah di Mana Pun
***
Sesampainya di Kuta malam sudah semakin larut, sebelum menuju kosan, kita
diajak makan sate kambing, duduk manis dengan menahan kantuk. Sate yang
sudah dipesan datang. Setelah makan malam selesai, kita langsung menuju
kos Mbak Vivi. Sesampainya di sana, gue buru-buru langsung tidur. Nyenyak
banget.
Pagi harinya, Mbak Vivi dateng ke kost buat ambil baju dan peralatan ceweknya. dia juga bilang kalau motornya udah ada di bawah dan tinggal dipakai.
Yess!! Sebelum matahari terlalu terik, kita menuju destinasi pertama: Pantai
Kuta!
Karena letaknya nggak jauh dari kos, wusssssssss secepat kilat kita sudah
sampai di Kuta dengan bantuan peta-nya mbah google map tentunya. Jalanlah
kita ke pantai. Kuta adalah pantai yang dari dulu masih sama belum ada perbedaan yang mencolok. Cuma ada pedagang, pengunjung yang ramai bergerombol hanya di titik-titik tertentu, dan bule-bule yang lalu lalang. Pasirnya yang
putih kecoklatan, angin pantai yang berembus, dan riuh suara wisatawan membuat kami damai.
Puas menikmati pemandangan pantai Kuta, kita kembali jalan menuju parkiran
motor dan nanyain lokasi pantai Pandawa ke juru parkir. Ternyata tidak semua
orang Bali tahu tentang pantai Pandawa ini. Setelah mendapatkan sedikit informasi dari teman-teman si tukang parkir, gue dan Didip mulai melanjutkan
perjalanan. Dan sebelum kita berdua cabut, nggak lupa juga kita ambil foto di
sekitar pantai Kuta.
Gue yang hanya mengenakan kaos lengan setengah panjang dan celana
pendek mulai ngeliat ada yang beda sama warna kulit gue: mulai menghitam!
Fixed! Gue iteman! Hahahaha. Harus gimana lagi, mau nggak mau, gue harus
nikmatin coooooooy. Motor mulai melaju dan mengarah ke GWK! Yaps! Kita
berdua memutuskan untuk menuju GWK. GWK adalah Garuda Wisnu Kencana,
tempat dengan patung Dewa Wisnu dan Burung Garuda plus tangan sang
dewa yang belum disatuin dari zaman baheula. Sepanjang jalan masuk menuju
GWK dipenuhi tanaman dan pepohonan yang hijau dan rindang, bikin suasana
Rumah adalah di Mana Pun
seger. Di taman-taman kecil, juga terdapat patung-patung hewan, seperti kerbau, harimau.
Mujur banget kami. Ketika datang ke GWK, samar-samar mendengar pertunjukan sendratari. Gue dan Didip langsung menuju tempat tersebut, "Ayo, Mas,
kita ke sana, kayaknya baru dimulai, deh!" ucap gue seraya berjalan menuju
tkp. Tari yang gue liat saat itu adalah pertunjukkan tari pendet dan tari-tarian
lainnya yang dipertunjukkan untuk pengungjung yang dateng ke GWK. Sebenernya setiap abis pertunjukkan berakhir, kita bisa foto bareng penarinya, lalu
nggak ketinggalan, menyelipkan uang ke penarinya, tapi gue sama Didip nggak
perlu bayar ke mereka, orang abis foto langsung kabur dari situ. Untung nggak
dikejar sama si penari!
Pertunjukkan selesai dan gue ajak Didip untuk ke atas, ngeliat patung-patung
Garuda dan Wisnu. Batu-batu kapur yang besar dan rumpt hijau yang dirawat,
cantik terhampar sejauh mata memandang. Pemandangan dari atas juga
ciamik, "Foto, yuk!" ajak gue ke Didip. "Ayuk, fotoin aku juga ya!"pinta Didip.
"Beres!" balas gue.
Puas muter-muter nikmatin GWK, kita berdua lanjut menuju Pantai Pandawa.
Pantai ini ada di urutan pertama di list tempat-tempat yang wajib dikunjungin,
dan ini motivasi gue untuk bisa sampai ke Bali! Tiga puluh menit dari GWK,
gue rela panas-panasan. Gue nggak bawa jaket dan tetep pake celana pendek,
berbanding terbalik sama si Didip yang pake jaket dan celana panjang. Tapi,
kalau di mah emang udah sawo matang sekali kulitnya, jadi nggak peduli kalau
nambah item.
Perjalanan ke Pandawa nggak lama. Sepanjang jalan menuju Pandawa, terdapat gugusan tebing yang tinggi di kanan-kirinya. Ini yang jadi ciri khas utama
dari pantai Pandawa. Sumpah ini pantai yang menakjubkan buat gue! Asli gue
lebay! Biarin ah!. Pantainya yang bersih, pasir putih, dan warna airnya yang
jernih bikin gue pengen berenang setiap ngeliat air! Tapi gue nggak bawa baju
renang, jadi sedih, kan gue. Bodohlah gue, kalah sama bule-bule yang bisa
berenang ceria di sana. Tapi setidaknya gue udah bisa menginjakkan kaki di
Pantai Pandawa, dan masukin kaki gue ke pantai!
Rumah adalah di Mana Pun
Sebelum kita turun ke pantai, gue dan Didip menepi sejenak melepas pegelpegel di badan dan memandangi pantai beserta tebing-tebing besar dibelakang
kita.
"Nggak nyesel mas aku minta ke sini, pantainya bagus banget!"seru gue.
Didip yang sedari tadi mulai mengambil foto menganggukkan kepala, tanda
ia juga suka dateng ke sini. Setelah puas mengambil gambar, kita turun
menuju pantai. Angin pantai emang beda, apalagi pemandangan air yang hijau
mendekati jernih bikin nggak santai, pengenya main air. Pantai yang bersih dan
banyak orang yang menjual payung beserta jasa untuk memijat.
"Kita mau kesebelah sana nggak? Kalo mau, ayuk," ajak Didip. Gue menolak
karena mengingat waktu yang dimiliki nggak banyak, "Nggak, ah. Kita langsung cabut aja, Mas."
"Yakin, nih?" tanya Didip lagi, seraya meyakinkan gue lagi.
"Iya, langsung aja yuk kita,"jawab gue. Hari semakin panas, lelah pun mulai menyergap tapi kita berdua masih tetap semangat.
Motor siap untuk digas menuju ketempat berikutnya, yaitu: Pura Luhur Uluwatu! Keren, men! Butuh waktu 1 jam dari Pandawa ke Uluwatu. Panas panas
item deh kulit. Kebayar si panas-panasanya sama yang ada di Uluwatu. Masuk
Pura ini, kita harus bayar Rp25.000,00 per orang. Yang masuk Uluwatu diwajibin pake kain berwarna ungu, untuk menghormati tempat suci tersebut. Jalan
menuju ke pura Uluwatu menurun, dan segera disambut oleh monyet-monyet
liar yang ada di sana. Gue langsung berubah mood di situ, yang tadinya seneng
gegara ada monyet, jadi males banget, mana monyetnya serem-serem pula.
"Ayo cepetan jalanya, aku takut nih!" teriak gue ke Didip. Didip yang udah tau
gue mulai ketakutan cuma nanggepin santai. Kita berdua jalan menuju ke
tebing yang langsung menyuguhkan pemandangan ciamik! Lautan Lepas! Gue
dan Didip tak henti-hentinya berdecak kagum. Sebenarnya masih ada pura di
atas, tapi ketika mau naik, ternyata sedang ada ibadah. Kita sebagai pengun
Rumah adalah di Mana Pun
jung nggak diizinin buat masuk. Hmm, oke, Bali itu memang selalu menarik
dengan masyarakatnya yang taat beragama.
Yang nggak ketinggalan, kita berdua nggak lupa untuk ambil foto ketika di atas
dengan pemandangan laut lepas. Gue rasa cukup untuk berada di atas, gue
langsung turun ke bawah, cari tempat yang rindang dan tentunya jauh dari
jangkauan monyet. Tapi, karena jumlah monyet memang sangat banyak, mau
nggak mau di mana-mana ada monyet. Gue berpindah dari satu tempat ke
tempat lain demi menghindari gangguan monyet-monyet sialan, Didip ngikutin
gue ke mana pun gue pergi.
Kejadian yang paling bikin gue dongkol hari itu adalah ketika ada monyet
dibelakang gue, dan Didip yang mengetahui hal ini, justru diem aja. Pada akhirnya gue tau ada monyet, gue sambil nahan rasa takut sekaligus marah langsung beranjak.
"Parah banget sih, ada monyet di belakang gue malah lo diem aja, gue takut
woy!" teriak gue.
"Gue sengaja nggak bilang soalnya gue tau lo takut,"kata Didip,
"Tapi ya nggak gitu jugalah, Mas, caranya! Takut banget ni!" Kemarahan gue
udah nggak ada ampun ke si Didip. Monyet sialan bikin gue naik darah, menjauh dari si monyet, gue dan Didip menuju ke tempat ramai. Banyak orang sedang mengabadikan momen, bersama pacar atau keluarga. Mereka juga seperti
kita, mengharapkan ada sunset, tapi sayang sore itu awan mendung datang.
Kita tetap bertahan, siapa tahu ada secercah kemungkinan ngeliat sunset cantik.
Semakin sore, Uluwatu semakin ramai pengunjung. Beberapa panitia di sana
membagikan lembaran yang berisikan pertujukkan kecak. Tarian yang bikin
gue penasaran dari dulu. Gue cari tau harga tiket pertunjukkan di sana. Ternyata Rp100.000,00, gue langsung nggak mau, deh. Kemahalan. Memang agak
kecewa, tapi it?s okay, itu sudah konsekuensi backpacker. Setelah dari Uluwatu
kita memutuskan untuk pulang ke kos. Capek rasanya dari Uluwatu ke Kuta
menempuh jarak yang jauh, untungnya pas kita balik ke Kuta udah malem, jadi
nggak semakin hitam ini kulit.
Rumah adalah di Mana Pun
Sesampainya di kos, kita berunding cukup lama tentang destinasi buat esok
hari. Akhirnya, kita sepakat buat ngejar sunset di Tanah Lot.
Paginya, gue dan Didip tancap gas ke Tanah Lot. Lagi-lagi, berbonceng dengan
sepeda motor. Perjalanan tersebut menelan waktu selama satu setengah jam.
Sesampainya di sana, Didip ngajakin gue buat nyari karang bolong yang banyak difoto itu. Karena sama-sama nggak tahu, akhirnya kita jalan aja.
Di sana kita dimanjakkan dengan pemandangan karang dan orang-orang yang
ngantri untuk mendapatkan air suci. Didip akhirnya jalan misah karena asyik
memotret. Gue menepi dan memilih duduk. Setelah Didip selesai dengan kegiatannya, gue nanya ke dia, "Jadi nggak kita cari karang bolongnya?" Didip
yang baru sebentar duduk langsung berdiri, samar-samar kita denger dari
information, kalo nanti malem ada petunjukkan tari kecak dengan harga tiket
Rp50.000,00/orang. Gue langsung ke bagian ticketing dan beli itu tiket tanpa
pikir panjang, "Mau 'kan, Mas, kamu nonton? Ayolah.." rengek gue. Didip cuma
anggukin kepala tanda setuju. Setelah ngebeli tiket, gue dan travelmate melanjutkan jalan, and see... Itu karang bolongnya!! Cakep!! Meskipun kita nggak
mendekat ke karang itu, karang bolong sudah terlihat. Di sekitar Tanah Lot terdapat taman kecil yang indah bersih dan rapi. Banyak pengunjung yang sedang
duduk santai, membaca, tiduran, dan mengambil gambar di taman itu.
Menunggu matahari terbenam, kita berdua duduk di tempat yang sudah disediakan kursi berjejer yang terbuat dari semen. Sudah ramai ternyata, banyak
yang nggak sabar untuk menyaksikan sunset.
"Cantik banget sunset-nya, Mas!" teriak gue, padahal si Didip juga ada di sam?
ping gue. Terus kita sama-sama sibuk dengan gadget kita masing-masing.
Mana ada sih orang yang nggak mau mengabadikan sunset yang bener-bener
cantik. Dari kanan sampai kiri, orang-orang sudah bersiap-siap mengambil
gambar sunset, dari yang pake kamera hp, pocket, hingga DSLRE yang lensanya puanjang banget.
Matahari sudah terbenam, berlarian kita ke tempat pertunjukkan tari kecak.
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dari langit yang masih sedikit terang, sebelum pengunjung ramai berdatangan,
Rumah adalah di Mana Pun
gue dan Didip udah stay di sana karena nggak pengen ketinggalan pertunjukkan. MC yang atraktif pake tiga bahasa yang dimix jadi satu sempet bikin penonton tertawa, bahasa jawa, inggris dan bahasa Bali dijadiin satu.
Nggak lama kemudian tari dimulai, cahaya penerangan semua dimatiin guna
memperlancar jalannya sendra tari. Sekitar 1 jam pertunjukkan berjalan dengan lancar dan dikemas dengan apik. Didip menepuk pundak gue, "Ta, liat dibelakang sana ada apa."
Gue langsung menoleh kebelakang, dan ternyata itu leak yang lagi duduk di
belakang dan sambil dadah ke arah gue, "Astagfirulloh, Mas!" Gue kaget ngeliatnya, Didip cuma ketawa-ketawa liat gue yang kaget. Nggak lama kemudian
pertunjukkan selesai, kita memutuskan untuk kembali ke Kuta.
Pagi yang cerah di hari kelima, gue dan Didip menuju Legian. Sebelum kita ke
Legian, kita berdua diculik sama mba cantik yaitu Mbak Vivi. Kita diajakin ke
tempat makan yang isinya makanan khas Bali yang tentunya dengan harga
yang nggak sebanding dengan kantong kita. Di sana, kita pesen makanan ba?
nyak banget. Salah satunya ada sate lilit dan ayam betutu, nyaaaam!! Enak
banget! Bikin nagih! Makan enak, kenyang dan GRATIS!.
Pagi itu, kami menghabiskan waktu di Legian. Berjalan-jalan, melihat-lihat
aktivitas di sana, dan tentu saja foto-foto! Beberapa kali, gue minta Didip buat
fotoin gue. Iya lah, ga sering-sering ke Bali kan, makanya fotonya harus diba?
nyakin.
Jalan-jalan di Legian sudah. Malamnya, kita ke Jimbaran for romantic dinner.
Kita sempet nyasar di Jimbaran, karena kita nggak menemukan jalan ke pantainya. Nyasarnya sampe di depan hotel mewah yang ada di Jimbaran.
Jimbaran tempat yang romantis. Meja makan dikasih lilin, beralaskan pasir
pantai, dan beratapkan langit. Sayang gue makan di sini cuma sama travelmate
gue, bukan sama pacar gue. Hahaha, yaaa, begitulah. Didip bukan pacar gue.
Meskipun deket banget, dan mau nemenin ke Bali, tetap dia bukan pacar gue.
Dia terlalu super-duper-baik buat dijadiin sekadar pacar. Buktinya, saking baik?
Rumah adalah di Mana Pun
nya, mau-mau aja kan dia diajakin buat romantic dinner, demi bisa ngrasain
pengalaman langka di Jimbaran.
"Wah, enak nih, Mas. Ayok kita habisi!" gue langsung mencicipi cumi yang gue
pesen tadi, enak rasanya. Nasi yang ada di bakul mulai gue ambil, gue ambilin
nasi buat Didip
"Udah jangan kebanyakan, segini dulu cukup."
Makan malam kami ditemani pemandangan ombak pantai. Musisi mulai
memainkan alat musiknya, dan bernyanyi dengan merdu. Pengunjung yang
datang bersama pasangan, bercengkrama dan tertawa bersama. Saking enaknya makan, kita nggak ngobrol banyak. Kalau orang Jawa bilang makan nggak
boleh disambi ngomong, nanti bisa-bisa tersedak.
Makanan mulai habis, kenyang rasanya.
"Habis ini, kita ke mana, Mas?" tanya gue.
"Kita langsung ke kos aja habis ini. Mandi dulu, istirahat sebentar, nanti baru
kita pikirin mau ke mana lagi, oke?"jawab Didip.
Dari Jimbaran, kita menuju kos. Setelah semua selesai mandi, datanglah Mbak
Vivi ke kos, ngajakin kita hangout. Sebelumnya, diajakin makan dulu dipinggir
jalan, makanan enak khas jawa timur yang udah jadi langganannya Mbak Vivi.
Makan makan udah beres, lanjut jalan ke sebuah tempat. Gue udah firasat sebenarnya. Pasti tempat hangout nggak lain adalah tempat ajib-ajib. Ternyata
tepat! Yak, sodara-sodara, kita DUGEM!
Gue sebagai anak yang nggak pernah masuk-masuk tempat kaya gitu langsung syok! Kenapa gue syok? Lo tau nggak? Tempat dugemnya itu emmmmmmmm, penyuka sesama jenis semua, coy! Penarinya aja cowok-cowok gitu,
deey, kanan kiri oke banget tauk nggak sih lo! Sebelah kanan gue, ciuman nggak ada hentinya, laki sama laki. Di kiri gue, cowok perawakan kecil tapi nggak
sekecil daus mini eh tapi entah itu cowok apa cewek, soalnya cantik. Pasangan
dia cowok juga, deuuuh maaaakk. Terjebak oh terjebak. Yang cewek ada sih,
tapi ya gitu, abnormal juga. Bukan berarti Mbak Vivi itu abnormal; dia normal
Rumah adalah di Mana Pun
kok, cuma temennya aja yang lesbi. Ada sih yang ganteng. Banyaaaaak, malah.
Tapi, maho. Ya nggak lakulah, gue di dalem situ!
Bagi gue itu nggak papa sih, mungkin dunia mereka seperti itu, gue masih butuh adaptasi aja masuk tempat-tempat seperti itu. Lagu-lagunya asyik, bikin
badan gue nggak mau diem.
"Mau minum apa kamu?" teriak Mbak Vivi
"Cocacola aja deh, Mbak," saut gue pake suara keras. Didip yang selalu stay di
samping gue juga ikut bergoyang, karena semakin lama semakin asyik lagunya.
Gue udah nggak sanggup lagi buat ada di dalem, mungkin gue sudah merasa
lelah. Meskipun gue udah mulai bisa bersatu sama lagu-lagunya yang asyik,
di dalem gue nggak minum apa-apa karna pada dasarnya gue nggak kenal bir
dan sejenisnya.
Gue bilang ke Didip, "Gue mau keluar."
"Apa?" Didip mencoba untuk mendengar dengan mengarahkan telinga kanannya ke arah gue, karena suara gue tertelan bisingnya musik.
"Gue mau keluar. Nggak tahan, Mas!" Gue setengah teriak. "Kamu jalan di depan, ya, Mas, buat buka jalan."
Didip mencoba keluar dari tempat itu sambil ngegandeng tangan gue. Saking
takutnya, gue nggak berani liat kanan kiri, gue cuma bisa nundukin kepala aja.
Ke sana pun nggak ada persiapan. Gue cuma pake celana jeans baju rajut biru
panjang dan sendal. Didip juga nggak modis-modis banget. Kaos oblong putih,
celana panjang, sendal. Untung aja gue nggak dicolek sama yang ada di sana,
karena di dalem udah ada cewek yang lirik-lirik gue, hah!
Dengan susah payah Didip menembus gerombolan cowok buat keluar. Kita
keluar juga setelah ada aba-aba dari Mbak Vivi untuk keluar. Di luar, ternyata
masih ramai pengunjung yang ingin masuk.
"Akhirnya bisa keluar juga, haduh!" teriak Didip.
Rumah adalah di Mana Pun
Setelah lepas dari hiruk pikuk tadi, gue terduduk sambil mendaratkan punggung ini ke dinding. Masih ngos-ngosan. Setelah beberapa detik, gue sama
Didip saling berpandangan. Sepertinya kita sama-sama terkejut barusan, dan
sama-sama belum pernah ngalamin yang kayak gitu. Melihat gue yang mukanya acak adut gitu, tiba-tiba Didit ketawa keras. Gue tahu, ini memang lucu.
Dua orang backpacker, jauh-jauh dari Jogja, tersesat di tempat beginian, dan
parahnya, kita sok banget kayak bisa kerasan di tempat ini. Hahahaha. Unik dan
lucu banget. Tak lama, gue pun ikut ketawa. Seluruh rasa lelah pun terkumpul
dan kita ledakkan bareng-bareng lewat tawa yang berderai-derai.
Tahu-tahu, Mbak Vivi nyusul kita dari belakang. "Aduh, parah temenku yang
cewek tadi, susah banget kalo udah ada dia. Naksir dia sama aku, aku 'kan normal," celetuk Mbak Vivi. Gue masih dengan bayangan-bayangan kanan kiri gue
didalem sana, oh my god!
Semuanya segera masuk ke dalam mobil, dan langsung tancap ke kosan lagi.
"Dek, besok pagi aku telpon kamu buat kepulangan kalian, ya. Kalo bisa dari
pagi udah standby, siap-siap aja kalo tiba-tiba aku nelpon. Kalian mau pulang
pagi apa sore?" tanya Mbak Vivi lagi. Gue sama Didip sama-sama ngelirik. Masih belum ada rencana pasti.
"Ya udah, nanti aku sms, Vi," kata Didip.
Setelah ngobrol cukup lama di kamar, akhirnya kita putuskan untuk berangkat
pagi. Pasalnya, aku ingin segera tiba di Purwokerto, dan segera istirahat. Kebayang banget, setelah 5 hari di Bali, badan pasti rasanya pegel-pegel semua.
Pagi itu sebenarnya hari yang bersejarah, karena itu adalah kali pertama gue
naik pesawat! Hahay, emang agak katrok ya. Biarin. Gue seneng bukan kepalang, ya maklum aja gue belum pernah naik pesawat sebelumnya. Untung di
dalem pesawat gue nggak katrok-katrok banget jadi nggak malu-maluin si
Didip lah, haha. Sesampainya di Jogja, aku langsung melanjutkan perjalanan ke
Purwokerto.
"Mas aku pulang dulu ya, makasih untuk perjalanan kali ini. Semoga bisa ngtrip bareng lagi ya kita," celetuk gue.
Rumah adalah di Mana Pun
"Iya, hati-hati ya. Nanti kabarin kalau sudah sampai Purwokerto," ucap Didip
seraya mengelus kepala gue. Gue tersenyum, dengan pandangan yang mantap
ke arah Didip. Siaap! Gue melenggang memasuki gerbong dan mulai mencari
tempat duduk.
Bye Yogyakarta! Tak sempat singgah sebentar di Yogyakarta karena waktu
yang terbatas. Ah, syukurlah, rezeki dari awal berangkat sampai pulang nggak
ada hentinya. Terima kasih Bali beserta orang-orang yang baik.
Sambil menatap pohon yang berlalu melawan laju di kereta, gue mulai terpikir
seluruh perjalanan yang mengesan di Bali. Kalau dipikir-pikir, gila juga ya gue.
Pertama, gue perempuan. Kedua, gue jalan-jalan jauh. Ketiga, gue tetep enjoy.
Yah, perempuan memang bisa melakukan sebuah perjalanan, nggak cuma lakilaki aja yang bisa.
Selalu ada jalan, kalau kita memang punya niat. Gue selalu yakin itu. Di mana
gue punya kemauan pasti di situ ada jalan. Gue juga yakin, kalau kita baik sama
orang, maka kita bakal nerima kebaikan dari orang lain pula. Perjalanan yang
gue lakuin ke Bali itu semua di luar perkiraan gue. Gue bareng sama Didip,
berniat get lost di Bali dengan jangka waktu 3-4 harian di Bali, ternyata kita
ketiban duren, di mana semua fasilitas dijamin, dan nggak keluar uang banyak
seperti yang udah kita estimasikan sebelumnya.
Rezeki emang nggak ke mana. Gue cewek tapi gue nggak merasa takut untuk
melakukan sebuah perjalanan yang gue sebut traveling. ***
Dite Rosita Lebih akrab dipanggil ita, lahir di banjarnegara tanggal 6 juni 1992.
Sekarang ini ia masih berstatus mahasiswi di salah satu universitas negeri di
purwokerto dan sudah masuk ke semester 6. Kalau pengen kenal, bisa mention di
twitternya @missnyol atau berkunjung ke akun facebook: Dite Rosita.
Rumah adalah di Mana Pun
SEPENGGAL KISAH
DI PULAU SANG MUTIARA HITAM
Christine Natalia
"Tanah Papua tanah yang kaya
surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah sebanyak madu
adalah harta harapan"
epenggal lagu "Aku Papua" yang dibawakan oleh Edo Kondologit ini menggambarkan keindahan Papua. Papua, pulau ujung timur Indonesia dengan
penuh kejutan yang membuat mata Wisata kita tertarik untuk mengunjunginya.
Siapa yang tidak bangga menjadi warga Negara Indonesia, yang memiliki sejuta tempat wisata yang memanjakan mata. Dari Sabang sampai Merauke, tidak
ada satu pun Pulau Indonesia yang tidak menyimpan rahasia alam yang indah.
Mulai dari Pantai, gua, air terjun, candi, tempat perbelanjaan bahkan upacara
adat pun menjadi satu kesatuan wisata yang membuat para wisatawan ingin
mengali lebih lagi. Tak heran jika Indonesia menjadi tujuan terfavorit wisatawan
mancanegara, bahkan sekelas artis Hollywood pun menjadikan kawasan Indonesia sebagai tempat rekreasi mereka.
Kali ini pilihan saya jatuh pada pulau paling ujung timur Indonesia. Pulau
dengan bentuk kepala burung Cendrawasih dengan luas sekitar 421.918 km2
ini memiliki tempat yang jauh dari pikiran saya. Untuk pertama kalinya, saya
menginjakkan kaki di tanah Papua. Disambut dengan keindahan pulau di atas
Danau Sentani, mata kita seakan dimanja dengan karpet hijau yang membentang menyambut sang burung besi mengantarkan para wisatawan menikmati
keindahannya. Tidak salah berada ditempat itu, keindahan alam Papua, seakan
memanggil dan mengajak kita untuk menikmati anugerah Tuhan di tanah ini.
Keunikan Papua terlihat dari orang-orangnya. Sebagian besar warga Indonesia
adalah Melayu, tetapi di Papua ini unik. Penduduk asli Papua berkulit hitam,
sehingga sekilas mengingatkan kita pada orang-orang Afro. Keunikan kedua,
Papua adalah pulau berbentuk kepala burung, dan kebetulan burung Cendrawasih merupakan burung yang menjadi identitas Papua. Keunikan ketiga, Papua berada di antara kawasan Benua Asia dan Benua Australia. Keunikan inilah
yang membuat saya tertarik untuk mengenal Papua lebih lagi.
Perjalanan saya mulai dari Ibukota Papua, yaitu Jayapura. Di pusat Pemerintahan ini, kondisi kotanya masih terkesan modern, meski gunung menjulang
mengelilingi, yang seakan berbentuk mangkok. Hiruk pikuk Pace Mace di bandara Sentani pagi ini menyambut kedatangan saya dengan keramahan mereka.
Di setiap beberapa meter, kita bisa menjumpai mace-mace dan anak-anak yang
berjualan sirih. Sirih berguna untuk kesehatan gigi, dan membuat gigi kuat.
Papua, tanah kaya sumber alam ini tidak seseram yang saya bayangkan. Beberapa tahun terahkir ini, kita sering mendengar pertikaian, perang antar suku
maupun demo-demo di Papua, tapi semua ketakutan itu serasa hilang, saat gunung yang gagah berdiri, indahnya Danau Sentani, dan senyum merekah dari
anak-anak Papua menyapa saya.
Perjalanan di Jayapura, saya mulai dari Kotaraja yang sering disebut King
City oleh masyarakat Jayapura. Di Kotaraja, seperti layaknya wilayah kecil di
Jayapura, di sini berbaur warga dari berbagai suku. Di pasar, banyak orang
Jawa yang mengadu nasib di Papua. Tak hanya orang Jawa, orang Manado pun
banyak dijumpai di kota ini. Tetapi jangan salah ya, meski mereka orang-orang
pendatang, mereka lebih suka menyebut dirinya orang Papua.
Di Kota Jayapura kita bisa mengeksplor beberapa tempat wisata, sebut saja
Monumen Mc.Arthur. Monumen Mc.Arthur terletak di atas Danau Sentani, tepatnya di Ifar. Perjalanan untuk ke sana membutuhkan sekitar 1 jam dari kota
Rumah adalah di Mana Pun
Jayapura, tetapi jangan khawatir, karena kita tidak akan bosan dengan suguh?
an keindahan sekeliling Danau Sentani dan pohon-pohon sagu yang menjadi
bahan pokok makanan masyarakat Papua. Mc.Arthur sendiri adalah seorang
pimpinan pasukan Amerika, yang menghadapi Jepang saat perang pasifik.
Dan beliau beserta pasukannya mendirikan tempat untuk camp mereka di atas
gunung yang letaknya di daerah Danau Sentani. Di atas monumen ini, kita bisa
melihat keindahan kota Jayapura, hiruk pikuk sang burung besi mendarat dan
meninggalkan bandara Sentani dan tak ketinggalan keindahan Danau Sentani
yang menarik mata kita. Pulau Papua terkenal dengan pantainya yang masih
bersih, di kota Jayapura pun terdapat Pantai Base-G, pantai ini biasa digunakan
team sepakbola sang mutiara hitam Persipura untuk berlatih fisik. Selain pantai
Base-G, Jayapura di malam hari pun dapat kita lihat di atas skyline, kecantikan
lampu kota Jayapura di malam hari bak Hongkong ala Indonesia. Tak hanya itu,
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kita juga bisa menikmati hiruk pikuk warga di malam hari di kawasan depan
Kantor Gubenur Papua, yang sering disebut dengan KuPang alias kursi panjang. Di sini kita bisa menikmati desiran laut di tengah kota.
Berawal dari penjelajahan di kota Jayapura ini, saya pun melirik salah satu
kawasan di Papua Barat yang sedang diperbincangkan dunia, Raja Ampat.
Kawasan eksotik yang perlu kita banggakan ini, menurut sejarahnya konon
berkaitan dengan telur-telur. Dahulu kala, ada sepasang suami istri yang sedang mencari makanan di hutan. Di sana, mereka menemukan 6 telur, dan
mereka membawa pulang telur-telur tersebut. Ketika malam menjemput, telurtelur tersebut menetas dan berwujud menjadi 4 laki-laki dan 1 perempuan, dan
satu lagi tidak menetas sama sekali. Dan saat mereka dewasa, diketahui adik
perempuan satu-satunya tersebut diketahui hamil, dan oleh kakak-kakaknya,
dia dimasukkan ke kulit bia (kerang), lalu dihanyutkan sampai terdampar di
Pulau Numfor yang sekarang termasuk dalam wilayah Biak. Telur yang tidak
menetas tersebut, akhirnya dijadikan Raja. Dan, nama Raja Ampat itu berasal
dari 1 Raja, dan 4 saudara laki-lakinya.
Di sisi lain, ada versi sejarah dari Raja Ampat ini sendiri. Kepulauan Raja Ampat di abad ke-15 merupakan bagian dari kekuasaan Kesultanan Tidore, sebuah kerajaan besar yang berpusat di Kepulauan Maluku. Untuk menjalankan
pemerintahannya, Kesultanan Tidore ini menunjuk 4 orang Raja lokal untuk
berkuasa di pulau Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool yang merupakan 4
Rumah adalah di Mana Pun
pulau terbesar dalam jajaran kepulauan Raja Ampat sampai sekarang ini. Istilah
4 orang raja yang memerintah di gugusan kepulauan itulah yang menjadi awal
dari nama Raja Ampat. (sumber:www.gorajampat.com).
Untuk menuju Raja Ampat dari Jakarta, kita bisa menggunakan pesawat
menuju Sorong. Dari Sorong kita bisa melanjutkannya menggunakan kapal
feri. Kapal feri yang menyeberang ke Raja Ampat beroperasi di jam 2 siang.
Sambil menunggu waktu pemberangkatan kapal Feri, kita bisa memanfaatkan
waktu untuk mengelilingi kota Sorong. Di kota Sorong, sama halnya kota-kota
di Papua, banyak warga pendatang di sini. Ada keuntungannya juga ada warga
pendatang, karena kita tidak perlu khawatir soal selera makanan. Di kota Sorong ada beberapa tempat yang bisa kita kunjungi, antara lain Tembok Berlin.
Jangan dibayangkan tembok besar ya, tetapi lebih ke tembok yang membatasi
antara laut dan daratan. Di sepanjang tembok Berlin, banyak pedagang pendatang yang menjajakan makanan khas kota asal mereka, seperti Coto Makasar,
Pecel Lele Surabaya dan lain-lain. Setelah puas menikmati tembok Berlin, kita
bisa juga menikmati satu Vihara Budda Jayanti yang terletak di atas kota Sorong. Dari Vihara ini, kita dapat melihat Sorong dan pulau-pulau sekitarnya.
Setelah puas mengisi waktu, saya menunggu kedatangan kapal feri yang akan
membawa saya menyeberang ke Waisai, Ibukota Raja Ampat. Dengan membayar tiket Rp.180.000, kita pun bisa mendaratkan kaki di Pelabuhan Waisai.
Dengan perjalanan selama 2 jam, dan disuguhi lautan yang membentang luas,
bersama dengan para warga Raja Ampat yang baru saja berbelanja di Sorong,
saya dan seorang teman menikmati perjalanan. Beberapa kali kita menjumpai
kapal-kapal Feri yang menyeberang dari atau pun ke Waisai. Pulau-pulau
kecil di Raja Ampat tampak seperti gugusan yang berdiri berjajar yang hanya
dipisahkan oleh laut. Menginjakkan kaki di pelabuhan Waisai, tidak usah khawatir dengan kendaraan menuju hotel, karena ada beberapa Pace-pace yang
siap mengantarkan dengan ojek-nya menuju hotel. Dengan merogoh kocek
Rp.15.000, kita bisa sampai di hotel dengan selamat. Jalanan menuju tengah
kota Waisai sangat menanjak, kalau kita berjalan kaki, akan sangat melelahkan.
Raja Ampat memiliki suguhan wisata yang sayang untuk dilewatkan. Di Waisai,
pasir putih menyapa kita bak karpet putih yang halus yang mengantarkan kita
ke kenikmatan alam. Ikan kecil berenang bebas dan menunjukkan kelihaiannya
Rumah adalah di Mana Pun
berenang di antara beningnya laut yang bisa kita nikmati. Penjelajahan dapat
kita mulai dari Tugu Selamat Datang, dan wajib untuk berfoto di sini, karena
menunjukkan kita sudah menginjakkan kaki di Raja Ampat. Setelah puas mengabadikan momen penting ini, saya melanjutkan perjalanan ke Pantai WTC.
Pantai ini merupakan tempat para penduduk menghabiskan sore mereka, dan
biasanya event-event dipusatkan di Pantai ini. Anak-anak berlari dan menceburkan diri ke Pantai yang menjadi pusat nongkrong ini seakan mengesankan
bahwa mereka sangat bersahabat dengan alam. Di sisi lain, para muda-mudi
yang menanti sang bulan menggantikan sang matahari tampak asyik bercanda
dengan dunianya.
Perjalanan saya lanjutkan ke area Pasar. Di Pasar ini, kita bisa membeli ikan
segar yang harganya sangat murah dibandingkan harga ikan di Pulau Jawa.
Tetapi, jangan ditanya harga sayur atau tempe, bahkan cabe di sini, bisa lebih
mahal dari ikan. Sebagian besar mata pencaharian penduduk di sini adalah
nelayan, jadi ikan pun dapat kita beli dengan harga yang sangat murah. Hilir
mudik para nelayan yang baru saja turun dari perahunya, membuat saya
tergelitik untuk bertanya kepada pace-pace bagaimana mereka menangkap
ikan. Ternyata mereka benar-benar masih manual, ada yang turun ke dasar
laut, ada juga yang menggunakan jala, dan yang penting untuk mereka adalah
tetap menjaga terumbu karang agar tidak rusak. Mereka sadar betul betapa
pentingnya terumbu karang untuk ikan-ikan dan terlebih untuk mata pencaharian mereka.
Di sini saya juga belajar memilih ikan yang segar dan tidak segar, mungkin selama ini kita kurang begitu memperhatikan cara memilih ikan, tapi pace-pace
ini dengan semangatnya menjelaskan pada wisatawan jenis ikan dan cara
memilih ikan yang segar. Pastikan insang berwarna merah, dan sisiknya masih
melekat dan mengilat, setidaknya itu sedikit tips dari pace-pace ini. Hiruk pikuk
pasar ini membuat kita merasa nyaman karena keakraban penduduk setempat.
Setelah puas bercengkerama menghabiskan waktu bersama penduduk Waisai,
saya pun kembali ke hotel untuk membersihkan diri dan siap menjelajah Waisai lebih lagi. Kali ini pilihan saya adalah bertemu dengan Bapak Agus, beliau
adalah seorang pelatih tari di Waisai, dengan anak-anak berusia 5-19 tahun.
Mereka biasa tampil di Festival Raja Ampat. Dengan suguhan ikan bakar yang
dimasak oleh sang istri, beliau mulai bercerita tentang prestasi anak-anak didi
Rumah adalah di Mana Pun
kannya, bahkan mereka sudah tampil di luar Raja Ampat. Anak-anak ini biasa
berlatih pada sore hari di depan rumah Bapak Agus, dan mereka sangat bersemangat berlatih meski Festival Raja Ampat sudah berahkir. Tari-tarian mereka
sedikit banyak dipengaruhi oleh adat Papua. Dan banyak juga anak didiknya
adalah warga pendatang, yang bukan asli Papua.
Pagi harinya, saya kembali berkeliling kota Waisai. Kota Waisai ini tidak terlalu besar, jadi menggunakan mobil pun kita dapat mengitari kota ini. Gedung
Pemerintahan kota ini sangat menarik, karena berbentuk ikan sesuai icon Raja
Ampat yang kaya akan biota lautnya. Di sisi lain terdapat dermaga yang khusus
kapal sang Bupati Marcus Wanma dan ada staf khusus yang bertanggungjawab menyiapkan segala keperluan para Pejabat Daerah terutama mengenai
transportasi. Dari atas dermaga yang terbentang memanjang, saya melihat
ikan berenang secara bebas. Warna hijau muda, biru bercampur jingga seakan
menambah keindahan alam dan sang ikan pamer akan kekayaan daerahnya.
Di dermaga ini, juga terdapat rumah persinggahan di mana Bupati dan Wakil
Bupati dapat beristirahat sambil menunggu kapal siap digunakan. Di sisi kota
ini, terdapat juga rumah Bupati yang letaknya di atas dan megah, dan tak kalah pentingnya yang juga merupakan kabar gembira bagi para wisatawan, di
sini juga mulai dibangun bandara, jadi tidak perlu repot-repot lagi harus antri
sebelum naik kapal Feri. Pemerintah Daerah Raja Ampat ini paham betul akan
potensi kekayaan daerahnya. Terbukti dengan banyaknya resor yang dikelola
pengusaha Indonesia bahkan warga negara asing. Dan di sepanjang jalan, kita
masih bisa menemui beberapa pohon.
Kota Waisai menyimpan banyak kekayaan alam yang cantik dan sayang untuk
dilewatkan, sebut saja Waiwo. Tempat ini banyak dikunjungi wisatawan, baik
mancanegara maupun wisatawan domestik. Di Raja Ampat ini, saya menyempatkan untuk diving. Saat melihat keindahan bawah laut ini, serasa terbayarkan
jerih payah saya mencapai tempat ini. Ikan-ikan kecil dan terumbu karang masih terpelihara dengan sangat baik. Tak heran para wisatawan asing yang menyukai kehidupan laut menyebut Raja Ampat sebagai surganya laut. Bagi yang
tidak bisa berenang, jangan khawatir, karena tanpa kita menyelam pun, kita
juga bisa menikmati keindahannya. Beningnya air di area Waiwo memudahkan
Rumah adalah di Mana Pun
kita melihat botani laut. Setelah berlelah-lelah menikmati keindahan laut, kita
bisa menikmati tempat menarik yang disajikan oleh Kota Waisai.
Saya mencoba berbaur bersama warga di sana di sore hari. Daerah Waisai tidak
terlalu banyak penduduk aslinya, penduduk di sini sebagian berasal dari Biak
dan Ternate. Yang lebih banyak tentunya dari Biak, karena keterikatan antara
sejarah Raja Ampat dan Biak. Selain pantai, keindahan alam, dan penduduk
yang ramah dan berbaur serta saling toleransi, Raja Ampat juga menawarkan
keindahan pulau-pulau kecil mereka. Desa Aborek, Misool, dan beberapa pulau
kecil siap menyambut kedatangan kita untuk mengeksplornya. Tak ketinggalan
batu Raja Ampat yang menjadi icon kegagahannya di antara laut yang menjadi
tujuan utama para Wisatawan. Untuk menuju icon Raja Ampat ini, dibutuhkan
waktu kurang lebih 4-6 jam dari Waisai menggunakan kapal feri. Namun, memang kita harus merogoh kocek cukup dalam. Tetapi itu semua terbayarkan
dengan kenikmatan yang belum tentu kita dapat di tempat lain bahkan di luar
negeri sekalipun.
Perjalanan ke Waisai berakhir, tetapi saat saya bertolak Sorong, saya bisa menikmati keindahan laut lagi. Kebetulan, saya orang cukup beruntung, karena
dalam perjalanan pulang, saya melihat ikan lumba-lumba yang sedang menari
dan menunjukkan betapa tinggi lompatannya di tengah laut yang membentang, seakan menjadi tontonan gratis yang menjadi ucapan terima kasih karena
sudah berkunjung ke wilayah Raja Ampat.
Perjalanan ke Waisai boleh berahkir, tetapi penjelajahan ke Papua Barat belum
berahkir, sebelum kembali ke Jakarta, tak lupa saya menikmati kota Sorong
terlebih dahulu. Di kota Sorong, tak kalah menariknya dengan kota Waisai, pulau-pulau kecil dapat kita jelajahi dengan menggunakan kapal rakyat. Kita bisa
menikmati Pulau Buaya, yang bentuk pulaunya dari jauh menyerupai buaya. Di
pulau ini tak mau kalah dengan Waiwo, mereka juga memiliki pasir putih yang
enggan untuk ditinggalkan, dan di Pulau ini juga banyak anak-anak muda yang
sekadar nongkrong untuk menikmati sunset.
Puas menikmati keindahan Sorong sore ini, saya melanjutkan menikmati
makanan khas Papua, sagu dan kuah kuning yang lezat plus ikan bakar yang
Rumah adalah di Mana Pun
yummy. Jangan pernah lupa membeli batik khas Papua. Batik khas Papua ini
memiliki motif yang berbeda, yang menonjolkan keunikan Papua, yang senjata, parang, rumah adat, bahkan patung-patung khas suku Asmat. Setiap kota
memiliki motif yang berbeda-beda. Selain motif, warna batik Papua cenderung
warna-warna terang dan menyala. Tak hanya batik, Papua juga mempunyai
tas khas yang disebut Noken. Noken ini terbuat dari serat kulit kayu dan karena
terbuat dari serat alami, tas ini bisa memuat berat yang cukup lumayan. Tas
noken biasa digunakan di atas kepala. Dan uniknya, menurut kepercayaan di
Papua, yang boleh membuat tas noken hanya orang Papua. Dahulu seorang
wanita yang bisa membuat tas noken dinyatakan sudah dewasa dan dianggap
siap menikah.
Kenikmatan Papua dan Papua Barat menyuguhkan keindahan tersembunyi
dari Pulau ujung Timur, dengan makanan khas, budaya dan keindahan laut
yang akan selalu dirindukan. Tanah Papua adalah surga yang jatuh ke bumi,
dengan keanekaragaman suku, agama, dan budaya yang saling menyatu. Betapa bangga kita menjadi warga Negara Indonesia. Mari berkunjung ke Pulau
ujung timur Indonesia dan cintailah wisata lokal.
Christine Natalia Rumbekwan akrab dipanggil Lia, adalah dara kelahiran kota
Salatiga, 27 Desember 1984. Dia anak kedua dari lima bersaudara, terlahir dari
Papa orang Biak dan Mama orang Salatiga. Dia lulusan dari Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga jurusan Ekonomi Akuntansi angkatan 2002, penyuka
warna biru, dan sangat menyukai novel romantis. Band favoritnya: Sheila on 7 dan
Michael Learn to Rock. Mau kenalan? Cek facebook lia?Natalia, twitter @lia_2712
atau email dilia_ers1984@yahoo.com
Rumah adalah di Mana Pun
Ini bukan Mimpi
Qisty Aulia
"And, when you want something, all the universe conspires in helping you to
achieve it"- Paulo Coelho, The Alchemist
a, Qisty mau ngedaki gunung."
Akhirnya kata-kata itu terlontar juga, topik pembicaraan yang awalnya
tentang pembicaran remeh temeh tiba-tiba aku ganti dengan mengutarakan niat pergi berpetualangan, perjalanan sepanjang mobil awalnya seru
sekarang menjadi tegang, aku tegang karena tidak tahu bagaimana pikiran
papa.
"Hmm bang Fadly, bang Benny, dan Nadia ikut juga, Pa."
Teman-teman terdekat jadi tumbal karena keinginan aku, mereka bertiga
adalah sahabat baik aku selama di Jakarta, berteman dengan mereka membuatku menjadi bebas ke mana saja, bisa di bayangkan jika tanpa mereka
mungkin aku hidup penuh kebosanan di Jakarta.
"Abang Harry juga ikut, Pa."
Yaaap, segalanya sudah di keluarkan, ibaratnya perang senjata untuk menembak sudah habis, abang kandung aku sebutkan namanya, semoga 4 orang ini
bisa membuat papa merasa yakin anak perempuanya akan baik-baik saja
"Ya boleh, kapan perginya?"
Jantung ku serasa loncat keluar mendengar kalimat Papa.
"Desember, Pa, akhir tahun."
Yes!! aku tersenyum menang, Terima kasih, Pa, aku membatin
Ini ya stasiun Senen, aku bergumam sendiri saat tiba di parkiran stasiun. Selama tinggal di Jakarta bolak balik naik kereta dari stasiun Kota ke stasiun Depok,
stasiun Senen ini yang belum pernah aku dengar.
Perjalanan ini menjadi serba pertama, naik dari stasiun Senen dan naik kereta
antar kota beserta kereta ekonomi. Aku begitu bersemangat memulai perjalanan, mencari teman-teman yang sudah tiba di stasiun Senen, ternyata Nganga
tiba lebih dahulu, terlihat juga ada Agit pendaki pemula sama seperti ku yang
sedang di temanin teman kantornya.
"Agit udah tiba dari tadi?" aku menyapa
"Udah dari tadi Agit di sini." jawab Agit
Rumah Adalah Di Mana Pun Karya 19 Pejalan Perempuan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itu yang warna hitam carrier Agit, isinya apa aja?" aku begitu terkejut melihat
ukuran yang super gede, beda jauh dengan carrier ku yang terlihat lebih kecil.
Ternyata isi carriernya nesting, tenda, beserta peralatan kelompoknya, yang
seharusnya perlatan itu di bawa oleh pendaki pria aku begitu heran dengan
tenaga Agit.
Setelah beberapa jam menunggu, akhirnya kereta Matramaja datang, jantungku deg-degan, papa yang masih menunggu kami raut mukanya terlihat tegang.
"Qisty pergi dulu ya, Pa," aku dan abang menyalami papa
"Nadia dan bang Fadly mana?" seseorang menanyakan kebaeradaan mereka,
Kita tiba-tiba panik menyadari bang Fadly dan Nadia tidak terlihat, Keyko
berkali-kali menelpon bang Fadly dan Nadia, tapi tidak ada jawaban dari tel
Rumah adalah di Mana Pun
ponnya. Akhirnya barang-barang mereka kita masukan ke dalam kereta, jantung kami seperti berdebar kencang. Aku begitu panik kalau Nadia dan bang
Fadly tidak naik kereta, karena mereka aku dapat izin untuk perjalnan segila ini,
bagaimana kalo mereka nggak jadi pergi, papa pasti akan melarang aku melanjutkan perjalanan ke Semeru. Kereta perlahan-lahan berjalan dan aku semakin
panik, dari kejauhan sana aku melihat dua orang yang membuat napasku legaaaa.. ahh bang Fadly dan Nadia sudah di kereta.
Kereta Matarmaja melaju di atas relnya menuju kota Malang.
"Key, itu makanan apa siy kok kayaknya enak?"
Aku memperhatikan penjual-penjual makanan di kereta berseliweran menjajakan makanan, perutku sebenarnya kenyang, tetapi rasa penasaran terhadap
makanan membuat lapar, ini sudah kesekian kali penjual yang berbeda lewat di
depan kita tetapi nasi yang di bungkusnya terlihat menggoda.
"Belii aja Kitty, Kitty 'kan tadi cuma neyemil nasi, sekarang nyemil lagi aja,"
Keyko meledek ku, untuk urusan makanan pasti aku selalu di bully.
Akhirnya aku membeli makanan yang di jual-jual pedagang, dan begitu sete?
rusnya setiap kereta berhenti di stasiun dan pedagan menjajalkan makananya
setiap itulah aku pasti makan-makanan yang beranekaragam.
"Orang-orang di kota besar harus bangga dengan makanan seperti ini, seharusnya makanan seperti ini yang banyak diisi di outlet food court." Aku memasukkan makanan ke mulut sambil berkomentar menikmati makanan kereta api.
"Hahaha tapi ngga di setiap pemberhentian kereta kamu makan teruus Kitty,"
salah satu dari Unyu menyelutuk, aku pun malu disindir seperti itu.
"Kit, bangun, Kiit," Keyko membangunkan ku
"Keh masih ngantuk.." aku menggerutu
Rumah adalah di Mana Pun
"Kita foto-foto ala Zafran dan Dinda yuk, Kit!" Keyko membujuk ku, Keyko masi
ingat dengan niat kita ingin coba mengeluarkan kepala lalu membentangkan
tangan sebelah seperti drama-drama film.
Akhirnya dengan mata setengah terbuka aku mengikuti Keyko ke arah pintu
gerbong, Udara pagi kala itu begitu segar menyapa muka kita, ngantuk yang
awalnya terasa berat tiba-tiba menghilang seketika, langit gelap lama-lama
berubah menjadi warna ungu lalu biru. Hamparan sawah sawah hijau, maupun
lereng-lereng menjadi pemandangan yang indah. Kami berdua benar-benar
terkesima dan menikmat udara pagi, lalu menyusul Hayya, Ida, bang Fadly pun
ikut bergabung sambil menikmat pagi ini di pintu lorong kereta, dan akhirnya
hampir setengah perjalanan pagi itu kita habiskan menikmati pemandangan di
Si Tolol 4 Perebutan Patung Dewi Fear Street Cewek Baru New Girl Pendekar Rajawali Sakti 103 Gadis
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama