Ceritasilat Novel Online

Teror 2

Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu Bagian 2

terjadi sama elo, gue bersalah sama dia, karena nggak jagain adiknya baik-baik. Kalo lo keberatan, sori, tapi begini cara gue memperlakukan temen dan keluarga temen-temen gue."

Frankie diam sejenak. "Ivan masuk rumah sakit lho."

"Kok bisa?" Aku tidak terlalu kaget, soalnya Ivan memang

terkenal sangat serius dalam tim atletik. "Kecelakaan waktu

latihan?"

"Bukan, didorong dari lantai dua gym."

Ini baru mengagetkan. Bahkan Markus yang diam dari tadi

pun tersentak kaget. "HAH???"

"Kok bisa?" tanyaku.

"Singkatnya, itu ulah Johan," kata Frankie, kali ini wajahnya

serius. "Makanya, masalah ini juga personal buat gue."

Jadi, kami semua yang terlibat di sini punya urusan pribadi

dengan Johan. Buset. Harus kuakui, Johan memang pandai banget mencari musuh.

"Batere handphone penuh?" tanyaku mengecek.

Untunglah, selain ponselku dan Markus yang sudah sekarat

banget, semua ponsel berada dalam keadaan baik-baik saja.

"Begitu ada kabar, cepetan update, ya," pesanku.

"Ya, Bos," sahut Frankie sambil cengar-cengir. "Ayo, kita berangkat ke rumah sakit jiwa!"

"Jangan ngomong yang aneh-aneh gitu dong." Hanny menyikut Frankie yang langsung mengaduh kaget. "Kalo sampai ada

yang harus berperan sebagai pasien, lo jadi sukarelawan, ya?"76

"Kami jalan dulu," kata Les sambil melambai, lalu menggiring

Hanny yang melambai-lambai pada Jenny, dan Frankie yang masih menggerutu kiri-kanan.

"Sekarang kita ke rumah Johan," kataku pada Jenny dan

Markus. "Siap?"

Jenny dan Markus mengangguk.

"Ayo, kita jangan buang-buang waktu lagi," kata Markus sambil membuka pintu mobilku.

"Markus?"

"Ya?"

"Rambut lo kacau bener."

Markus yang biasa pasti akan langsung kaget, berteriak "Masa

sih?" lalu buru-buru mengaca. Tapi Markus yang hari ini hanya

berkata, "Pikirin amat. Ayo jalan, coy!"

Ini tandanya sohibku itu benar-benar cinta mati pada kakakku

yang mirip nenek sihir itu.

Oke. Setelah semua ini beres, aku janji akan merestui hubungan mereka.

* * *

Rumah Johan terletak jauh di luar kota. Setelah sederet kejadian

mengerikan yang merenggut nyawa adik dan ibu Johan, ayah

Johan memutuskan lebih baik mereka tinggal jauh dari pandangan semua orang, supaya hidup mereka lebih damai dan tenteram.

Sayangnya harapan itu tidak terkabul, karena ancaman yang

sebenarnya bukanlah datang dari orang-orang luar, melainkan dari

putranya sendiri.

Kami memarkir mobil tak jauh dari rumah tersebut, tapi tidak77

dekat-dekat juga. Kan kami tidak ingin kedatangan kami

diketahui. Aku bahkan menyembunyikan mobilku di antara

semak-semak, berharap tak ada yang memperhatikan keberadaan

mobil itu selain kami bertiga.

Lalu kami berjalan kaki menuju rumah Johan.

Rumah itu sebetulnya rumah yang indah, dirancang dengan

model Mediterania yang pernah beken beberapa tahun lalu,

dengan cat berwarna peach yang menenteramkan, berhias batubatu alam dan jendela-jendela tinggi besar. Dari luar, rumah itu

tampak sangat normal. Namun dalam kegelapan malam begini,

setiap rumah kosong terlihat mengerikan.

Dan yang ini adalah rumah Johan. Itu berarti, kadar mengerikannya berkali-kali lipat lebih parah.

"Lo masuk duluan." Aku memberi aba-aba pada Markus. "Jen,

kamu di belakang Markus. Aku akan ada di belakangmu."

Setelah mengenakan sarung tangan, Markus memutar hendel

pintu. Tidak terkunci, sama seperti dulu waktu terakhir kami datang kemari. Setelah kami semua masuk, aku menutupnya dengan

perlahan-lahan.

Lantai berlapis debu, sarang laba-laba di pojok rumah, perabotan yang ditutup dengan kain. Sesuai dugaan kami, rumah ini

sudah lama tidak ditinggali. Namun kami tetap tidak berani

mengambil risiko ketahuan. Alih-alih menyalakan lampu, kami

menggunakan senter kecil yang nyalanya cukup terang tapi tidak

mencolok. Cukup untuk melihat bahwa tidak banyak yang bisa

kami dapatkan di ruang depan.

Markus memimpin kami menuju kamar ayah Johan. Dibanding saat pertama kali kami melihatnya, kamar ini tampaknya

pernah digunakan sebelum akhirnya ditinggalkan begitu saja. Se-78

buah gelas terletak di dekat tempat tidur, juga ada sikat gigi dan

handuk di kamar mandi, serta tumpukan pakaian kotor yang belum sempat dicuci.

Di meja kerja, di samping sebuah unit komputer, menumpuklah barang-barang pribadi milik ayah Johan?jam tangan Rolex,

bolpoin Mont Blanc, dompet Bally yang dipenuhi kartu identitas,

kartu kredit, dan beberapa kartu nama. Sama sekali tidak ada

uang tunai, ponsel, BlackBerry, ataupun iPad.

"Aneh," gumam Markus.

Yep, betul. Aneh sekali. Tidak mungkin seorang pengusaha seperti ayah Johan meninggalkan barang-barang pribadinya begitu

saja, dan tak mungkin pula dia pergi ke mana-mana tanpa membawa ponsel. Bahkan aku pun selalu membawa ponsel saat masuk

ke kamar mandi (atau ini hanya aku saja?).

Aku punya perasaan ayah Johan sudah meninggal, dan semua

uangnya dicuri Johan.

Tanpa berkata-kata, kami meninggalkan kamar itu, lalu memasuki kamar berikutnya.

Kamar adik Johan, Jocelyn.

Kamar itu tetap kelihatan seram seperti ketika kami memasukinya

untuk pertama kalinya. Memang sih, berbeda dengan dulu, kini

tidak ada lagu opera yang menggema. Namun tetap saja, bonekaboneka yang sudah rusak, seprai yang dicabik-cabik, dinding yang

penuh dengan goresan, ditambah lagi kegelapan yang melingkupi

semua itu, membuat bulu kuduk kami merinding. Lega rasanya saat

kami memutuskan keluar dari situ.

Lalu, tentu saja, kamar Johan.

Kamar Johan tetap bau seperti dulu. Tidak, kurasa yang sekarang jauh lebih bau. Sepertinya bukan sekadar bau busuk sampah,79

meskipun Johan memang senang menumpuk sampah di kamarnya. Tapi bau yang lebih mencolok adalah bau bangkai yang

menusuk, meski tak ada bangkai yang terlihat. Mungkin ada beberapa binatang peliharaan Johan yang mati lantaran terlalu lama

tidak diberi makan pemiliknya yang berbulan-bulan harus terkurung di rumah sakit jiwa, dan baru-baru ini saja baru dibersihkan.

Bau itu masih ditambah bau kotoran binatang-binatang peliharaannya yang masih hidup. Kelinci, tikus, burung, dan ular, yang

ditempatkan dalam kandang masing-masing di kamar itu. Banyak

orang senang menjaga kebersihan binatang piaraan dan kandangnya, namun Johan pasti tak punya kebiasaan baik itu.

Kami berusaha menahan bau-bauan itu demi menemukan satu

atau dua petunjuk yang bisa memberitahu kami di mana Johan

saat ini. Dari tumpukan sampah yang masih segar dalam kamar

itu, kami memperkirakan bahwa belakangan ini Johan pernah

tinggal di sini selama beberapa waktu yang sangat singkat. Mungkin tiga atau empat hari.

Apa yang dilakukannya selama itu?

Membunuh ayahnya?

"Ayo, kita cek ke belakang," kataku.

Yang kumaksud dengan belakang adalah pemakaman keluarga

di belakang rumah tersebut. Belakangan pemakaman itu dipenuhi

berbagai gundukan berisi binatang-binatang yang sempat dibunuh

Johan dalam berbagai eksperimennya.

Sebenarnya aku tidak takut pada hantu, setan, roh penasaran,

mayat hidup, dan kerabat kerja mereka. Tapi malam ini, saat berputar-putar di pemakaman begini sambil memeriksa apakah ada

gundukan baru yang masih tampak segar, aku jadi waswas. Sebentar-sebentar aku melirik ke arah dua makam dengan batu nisan80

di atasnya. Yang satu milik ibu Johan yang bunuh diri, yang satu

lagi milik Jocelyn, adik perempuan Johan yang kini hidup dalam

diri Johan.

Seram banget sih.

Tenang, tenang. Ini hanyalah pemakaman biasa. Yang berbaring

di bawah sini hanyalah orang-orang?dan binatang?yang sudah

mati, bukannya yang masih hidup. Dan soal Johan, bukannya dia

dirasuki adiknya atau apa. Pasti ada penjelasan logis. Mungkin

semacam kepribadian ganda atau apalah. Pokoknya, bukan sesuatu

yang patut ditakutkan.

"Ugghh"

Aku terpaku di tempatku, demikian juga Markus. Jenny langsung merapat padaku.

"Apa itu?" bisiknya.

"Nggak tau." Dalam kondisi biasa, tentunya aku sudah girang

banget merasakan Jenny begitu dekat denganku. Tapi saat ini aku

tidak sempat menikmatinya, karena aku juga rada ngeri. Suara itu

mirip suara erangan manusia, tapi rasanya seperti berasal dari dunia lain. Dimensi lain. "Kayak suara dari dalam kuburan."

"Nggak mungkin," kata Markus. Mukanya yang putih kini

tampak makin pucat dalam kegelapan malam, bersinar bagaikan

lampu taman hidup yang menyeramkan. "Semua kuburan ini

kuburan lama. Nggak ada yang kelihatan baru digali atau sejenisnya. Jadi nggak mungkin ada orang yang masih hidup yang tinggal di dalam kuburan itu."

Seperti aku, Markus juga menolak memercayai hantu. Perlahanlahan dia memeriksa semak-semak yang menembus ke arah hutan.

"Apa berasal dari luar situ, ya?"

Kami semua berteriak saat sebuah bayangan menerkam ke arah81

kami semua. Saking kagetnya, kami semua tak sanggup bergerak.

Bayangan itu menerpa Markus, yang berhasil menahannya dengan

kedua tangannya.

Astaga!

"Kelinci," Markus tertawa getir. "Mungkin bekas piaraan Johan

yang kabur." Dia melepaskan kelinci itu, yang langsung meloncatloncat pergi dengan riang. "Menurut kalian, itu bunyi kelinci

tadi?"

"Bukan," geleng Jenny. "Tadi seperti suara manusia, bukan suara binatang."

"Coba kita dengar lagi."

Kami semua berdiam diri, namun yang terdengar hanyalah

keheningan yang menyesakkan.

"Nggak ada apa-apa," kataku. "Mungkin"

Suara erangan yang lebih keras menyela suaraku.

"Beneran!" teriakku sambil menoleh ke kiri dan ke kanan.

"Ada seseorang di sini!"

Ini benar-benar mengerikan. Suara misterius di tengah-tengah

kuburan? Apakah itu suara hantu?

Seandainya saja aku bisa lari.

Tapi sebagai gantinya, aku malah menerobos semak-semak,

memasuki hutan yang tampak angker. Jenny menempel di belakangku, dan aku tahu Markus menjaga barisan terakhir.

"Halo?" teriakku. "Siapa di situ?"

Lagi-lagi tidak ada jawaban.

Brengsek.

"Halooo?" teriakku lagi. "Ada orang di sini?"

Mendadak dunia serasa lenyap dari hadapanku. Brengsek, rupanya ada lubang jebakan di belakang sini, dan aku tidak menya-82

darinya sama sekali lantaran terlalu asyik mencari sumber suara.

Akibatnya, aku terperosok ke dalamnya.

"Ton!" Kudengar Jenny menjerit dari atas. "Tony, kamu nggak

apa-apa?"

Aku ingin menyahutnya, mengatakan bahwa aku baik-baik

saja, tapi suaraku tidak sanggup keluar.

Sebab di depanku, terbujurlah tubuh ayah Johan.83

SESAAT kami tidak mendengar suara Tony, dan aku mulai khawatir.

Aku jarang mengkhawatirkan Tony. Sahabatku itu salah satu

orang paling tahan banting yang pernah kujumpai. Kalian kira

dia berhasil jadi orang terkuat di klub judo karena dia paling

kuat? Sori ya. Masih ada aku yang jadi tandingannya. Namun dia

berhasil memenangkan banyak pertandingan karena dia tidak

pernah mengeluh, selalu bangkit setiap kali dibanting orang, malah makin menggila jika di bawah tekanan. Bagiku, Tony adalah

sosok monster yang tidak perlu dikhawatirkan?dan aku cukup

senang karena monster itu memilih untuk jadi sahabatku dan

bukannya musuhku.

Aku bahkan sama sekali tidak menyinggung soal kami berdua

yang tidak tidur sejak 36 jam lalu. Bukan masalah besar. Aku

biasa begadang pada masa-masa ulangan umum demi mencapai

prestasi yang setidaknya tidak memalukan. Tony lebih gampang

5

Markus84
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

uring-uringan kalau kurang tidur, tapi aku yakin dia tak bakalan

sudi disuruh istirahat di saat dia tahu kakaknya berada dalam

bahaya.

Crap. Memikirkan nasib Tory yang sedang berada di tangan

Johan, dadaku terasa sesak. Seharusnya aku menjaganya dengan

lebih baik. Seharusnya aku tidak menyerah pada sakit hati karena

ditolak olehnya, melainkan tetap mengawasinya dengan saksama.

Seharusnya aku nempel padanya seperti lintah, prangko, lem

Power Glue, atau apa sajalah. Pokoknya aku tidak boleh lepas

darinya. Dan karena kelengahan sesaat itu, kini aku tersiksa oleh

rasa sesal sepanjang waktu.

Aku berharap Johan tidak menurunkan tangan kejamnya pada

Tory. Bagaimanapun, Tory tidak pernah berurusan dengannya.

Aku tahu, rasanya berlebihan mengharapkan Johan mau menunjukkan belas kasihan, tapi siapa tahu?

Harapan itu hancur berantakan beberapa saat kemudian.

"Man!" teriak Tony. "Ulurin tali, cepat! Tapi pegangin ujungnya

erat-erat, ya!"

"Oke," sahutku bingung sekaligus lega. Dari suaranya yang

tidak kedengaran kesakitan atau apa, aku yakin sahabatku itu

baik-baik saja.

"Kamu nggak bisa naik, Ton?" tanya Jenny cemas. "Terkilir?"

"Bukan hanya itu, Jen. Ada yang harus kita naikin." Hening

sejenak. "Ayahnya Johan."

Aku kaget setengah mati. Ayah Johan ada di dalam lubang itu?

Sudah berapa lama dia ada di dalam situ? Diakah yang sedari

tadi mengeluarkan suara-suara erangan menakutkan itu? Begitu

banyak pertanyaan yang ingin kulontarkan, tapi first thing first.

Dahulukan masalah yang lebih penting.85

Aku menahan ujung tali yang satu, merasakan Tony sedang

sibuk dengan ujung tali yang lain. Beberapa lama kemudian, kudengar sahabatku itu berteriak, "Tarik!"

Meski berat, usahaku tidak terlalu sulit lantaran Tony juga

membantu mendorong dari bawah. Begitu ayah Johan berhasil

kami naikkan, Jenny langsung menghampiri ayah Johan dan melepaskan tali dari badannya. Sementara aku membantu Tony naik,

mataku melirik ke arah mereka.

Bisa kubilang pria itu adalah pria paling mengenaskan yang

pernah kulihat.

Hanya sekali aku melihat ayah Johan sebelum ini. Meski memiliki

reputasi sebagai pengusaha sukses, penampilannya sama sekali tidak

mencerminkan demikian. Tubuhnya tinggi namun kurus dan bungkuk, membuatnya bagaikan pria versi tua dari Johan. Dia mengenakan setelan yang ukurannya terlalu besar untuk dirinya, seolaholah berat badannya pernah merosot drastis. Rambutnya kelabu,

dengan raut wajah yang tampak letih, membuatnya tampak seperti

orang yang kalah sebelum waktunya. Namun, semua itu tidak ada

apa-apanya dibandingkan penampilannya saat ini.

Kedua kakinya patah?bukan karena jatuh seperti yang dialami

Tony, melainkan dipatahkan dengan sengaja. Ada luka dan

memar-memar di bagian betis, luka-luka yang pastinya sakit

sekali, dan bau busuk yang menguar dari sana?selain bau pesing

dan bau kotoran?menandakan bahwa sepertinya kedua kaki itu

tidak bisa dipertahankan lagi. Wajahnya yang keriput dipenuhi

bekas-bekas air mata yang sudah mengering, dengan pipi penuh

luka yang kukenali sebagai luka akibat ditendang. Bibirnya kering

mengerut bagai bibir kakek tua akibat kekurangan air minum.

Jemari tangannya berdarah, dengan kuku-kuku yang sudah copot86

semua. Mungkin karena tadinya dia tetap berusaha memanjat

naik dari dalam lubang tersebut. Tubuhnya pucat dan gemetaran,

dan dia tidak sanggup berbicara.

Pria itu sudah separuh sekarat. Hanya sepasang bola mata yang

masih bergerak-gerak itulah yang menandakan dia masih hidup.

"Ada sedikit air di bawah sana," lapor Tony begitu naik ke

atas. Dia langsung berdiri, meski dari cara jalannya yang terpincang-pincang, aku tahu pergelangan kakinya terkilir. "Sedikit banget. Jadi kemungkinan besar kini dia menderita dehidrasi. Soal

makanan, gue rasa selama ini dia hidup dengan makan serangga

atau semacamnya. Atau mungkin juga dia nggak makan apa-apa

berhari-hari." Wajah Tony tampak gelap saking berangnya. "Jahanam itu benar-benar kejam. Setelah melukai ayahnya habis-habisan, dia membiarkannya mati sendiri."

Kalau terhadap ayahnya saja dia tidak punya belas kasihan,

apalagi terhadap Tory? Tidak. Aku tidak boleh berpikir begitu.

Aku harus tetap berpikir positif.

"Kakimu," kata Jenny perlahan.

Tony tersenyum pada Jenny. "Ini bukan apa-apa ketimbang

yang udah dialami bapak ini. Kita harus bersihin tubuhnya dan

kasih dia makan-minum dulu. Ayo, man, bantu gue bawa dia ke

dapur."

Kali ini kami tidak segan-segan lagi menyalakan lampu demi

menyiapkan makanan dan menyelamatkan jiwa ayah Johan. Bahan makanan yang tersedia sangat sedikit. Selain bumbu dapur,

hanya ada beras dan telur. Namun Jenny berhasil membuat kami

takjub dengan mengatakan dia bisa membuat sesuatu yang bisa

dimakan dengan bahan-bahan itu. Sejujurnya, di seluruh sekolah

kami yang dipenuhi anak-anak manja, yang bisa memasak mung-87

kin hanya ada satu di antara seratus murid?dan rupanya Jenny

termasuk makhluk langka tersebut, meski dia mengklaim cuma

bisa masak telur mata sapi, omelet, telur orak-arik, telur setengah

matang, dan sup telur (kurasa Jenny bisa tetap hidup bahagia

andai seluruh binatang di dunia ini punah menyisakan sepasang

ayam yang hobi bertelur).

Saat Jenny sibuk memasak, aku dan Tony berjuang untuk tidak

muntah sementara kami membaringkan tubuh orang tua itu di

lantai kamar mandi, membersihkan kotoran-kotoran yang sangat

bau dari tubuhnya, memandikannya, lalu memakaikannya pakaian

bersih dan merawat luka-lukanya sebisa kami.

Malam ini Jenny membuat bubur yang cukup cair sehingga

gampang dicerna, dengan telur kocok disiram di atasnya. Dengan

sabar Jenny menyuapi pria tua itu?yang lalu kami baringkan di

tempat tidur kamarnya?sesendok demi sesendok, sambil sesekali

diselingi minum air putih, hingga sepanci bubur berikut sebotol

besar air minum habis olehnya. Pada akhirnya, wajah ayah Johan

mulai bersemu kemerahan, perutnya membesar dan membuncit,

tubuhnya juga tidak gemetaran lagi. Saat dia bicara, suaranya

serak karena sudah lama tak digunakan.

"Kalian anak-anak yang menyelamatkan nyawa Johan setengah

tahun lalu."

Sebenarnya sih, kami juga yang nyaris mengakhirinya. Tapi

Tony hanya mengangguk. "Betul, Om. Saya Tony, ini Markus,

dan ini"

"Jenny Angkasa." Ayah Johan tersenyum, sesuatu yang luar

biasa banget mengingat apa yang sudah terjadi pada dirinya.

"Kamu masih tinggal di rumah lama kami itu?"88

"Nggak lagi, Om," sahut Jenny tersipu. "Tempatnya seram banget sih soalnya."

"Memang betul," katanya menyetujui. "Terima kasih. Kali ini

kalian sudah menyelamatkan nyawa saya."

"Itu hanya kebetulan, Om," sahutku. "Memangnya kenapa Om

bisa berada di situ?"

"Oh, sebenarnya itu kesalahan saya sendiri." Ayah Johan tersenyum malu. "Saya jalan-jalan di sore hari dan tidak memperhatikan lubang di tengah jalan. Tanpa sengaja, saya jatuh ke dalam

lubang."

Kami berpandangan tak percaya. Setelah apa yang dilakukan

Johan terhadapnya, pria ini masih berusaha melindunginya? Astaga! Entah aku harus kagum pada kasih sayang orangtua yang

begitu dalam, ataukah merasa gemas karenanya. Tebersit dalam

hatiku, seandainya ayahnya lebih tegas, akankah Johan tumbuh

menjadi orang yang berbeda?

Kurasa tidak. Orang seperti Johan akan selalu menemukan alasan untuk melakukan kejahatan.

"Om, kaki Om jelas-jelas dipukul sampai patah," kata Tony

tanpa basa-basi. "Muka Om ditendangi. Om ditinggalkan begitu

saja berhari-hari, padahal Johan sempat ada di rumah ini. Dari

kondisi kamarnya, jelas-jelas tempat itu pernah ditinggali selama

beberapa waktu."

Ayah Johan terdiam mendengar ucapan Tony yang tanpa ampun.

"Kenapa Om masih melindunginya?" tegurku, mencoba jalan

yang lebih halus.

"Bagaimanapun, dia satu-satunya anak saya yang tersisa," kata

ayah Johan dengan wajah seperti ingin menangis. "Saya sudah89

tua, tidak apa-apa kalau hidup saya berakhir. Tapi dia masih

muda, masa depannya cerah"

"Om, kalau begini terus, Johan nggak bakalan berubah," sela

Tony tegas. "Dia akan terus-menerus menyalahkan semua orang

atas nasib buruknya, mencelakai orang lain, dan pada akhirnya

akan menciptakan masa depan yang suram dan menyedihkan

untuk dirinya sendiri. Apa Om mau hidupnya berakhir seperti

itu?"

Ayah Johan terdiam lagi.

"Om," kataku, "Om juga tau kalau Johan butuh perawatan,

kan? Hanya dengan cara itu dia bisa sembuh, bukannya membiarkan dia berkeliaran di jalanan, menculik orang-orang seenaknya"

"Menculik orang?"

Tony mengangguk. "Kakak saya. Itu sebabnya, saya harus menemukan dia, bagaimanapun caranya."

Aku mengangguk, menegaskan kata-kata Tony. "Dan sepertinya, saat ini hanya Om satu-satunya orang yang bisa menolong

kami."

Ayah Johan tepekur lama sekali, memandangi meja seolah-olah

benda itu bakalan membagikan kebijaksanaan padanya. Akhirnya

dia mengangkat wajah dan menatap kami semua.

"Saya tidak tahu ke mana Johan pergi," katanya, membuat

kami semua langsung lemas. "Tapi saya punya beberapa petunjuk.

Dari beberapa percakapan dengannya saat saya sudah jatuh ke

dalam lubang, sepertinya dia mencoba memalsukan kematian saya

dan membuat seluruh harta saya jatuh ke tangannya. Kalau dia

berhasil, itu berarti dia punya kontrol terhadap semua aset saya.

Kebetulan dia sudah berusia tujuh belas tahun bulan Oktober90

tahun lalu. Dengan sedikit bantuan dari koneksi-koneksi saya, dia

pasti bisa memanfaatkan aset itu untuk melakukan apa saja.

Kalau kita hubungi koneksi-koneksi ini, kita pasti bisa melacak

apa yang dia lakukan."

"Jadi Om mau membantu kami?" tanyaku penuh harap.

"Ya," angguk ayah Johan. "Tapi dengan satu syarat. Tolong jaga

Johan baik-baik, jangan biarkan dia terluka."

Itu janji yang akan sangat sulit dipenuhi, mengingat yang ingin

kulakukan pada Johan saat ini adalah mencabik-cabiknya sampai

hancur berantakan, tapi saat ini aku bahkan rela menyeberangi

neraka, asal bisa menyelamatkan Tory.

"Oke," sahutku tegas. "Kami janji."91

JUJUR saja, aku salut pada Johan.

Jangan salah paham. Bukannya aku senang-senang amat pada

Mr. Psikopat itu, apalagi menyetujui kelakuannya yang sudah

menyebabkan Hanny dan sohibnya Jenny nyaris celaka, membuat

kakakku dan empat temannya nyaris menghadap Raja Neraka

sebelum waktunya, dan kini menculik kakak Tony di depan

hidung kami yang mancung-mancung tapi tidak bisa mengendus

penjahat ini. Jelas, biar diupah sepuluh juta dolar ditambah jabatan sebagai presiden sebuah negara dan istana raksasa sebagai

tempat tinggal, aku tetap tak bakalan sudi jadi temannya.

Tapi, musuh ataupun bukan, dialah orang pertama yang harus

kuhadapi dengan sungguh-sungguh. Berbeda dengan orang-orang

yang kuhadapi selama ini, aku tidak bisa mengandalkan tenaga kasar

belaka, melainkan harus menggunakan otakku juga. Otak yang

selama ini sudah menganggur cukup lama, dan kini baru kusadari

ternyata memiliki ide-ide gemilang yang sangat menantang.

6

Frankie92
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dengar," kataku saat kami sedang berada dalam perjalanan

menuju rumah sakit jiwa yang tadinya dihuni Johan. "Begitu kita

nyampe nanti, biar gue yang hadapi semua orang yang menghalangi kita."

"Hei," tegur Les dengan tampang waswas, "elo nggak akan

ngajakin semuanya berantem, kan?"

"Nggak dong," sahutku pongah. "Rencana gue jauh lebih keren

dan dahsyat. Pokoknya, kalian konsentrasi aja buat ngerjain tugas

kalian."

"Emangnya apa tugas kami?" tanya Hanny tak senang. Dasar

tuan putri, diperintah sedikit saja sudah mau ngajak berantem.

"Yah, nyari petunjuk soal Johan dong."

"Jadi intinya, kami membongkar-bongkar, sementara elo mengalihkan perhatian," kata Les menyimpulkan.

"Betul," anggukku.

"Gimana caranya elo mengalihkan perhatian?" Seperti biasa,

nada bicara si tuan putri mengisyaratkan elo-kurang-jago-jadi-mendingan-gue-aja.

"Pokoknya bisa aja," kataku berkeras. "Serahin yang begituan

sama gue deh."

Begitu tiba di rumah sakit jiwa, kami menghampiri meja depan yang, berhubung sudah malam, kosong melompong. Sebagai

gantinya, ada dua satpam yang sedang berjaga-jaga dengan tampang mengantuk yang mendadak langsung ngecring saat melihat

kami mendekat.

"Selamat malam, Pak," ucapku dengan kesopanan maksimum

yang jarang kutampakkan dalam kehidupan sehari-hari. "Maaf

mengganggu malam-malam begini. Numpang tanya, apa teman

baik saya, Johan, dirawat di sini?"93

"Ini sudah lewat jam besuk, Nak."

"Betul, Pak. Tapi kami datang jauh-jauh dari Malang, dan

kami nggak punya duit untuk menginap. Apa Bapak bisa menolong kami?"

Sekuat tenaga aku mempertontonkan muka memelas dan

penuh harap, sampai-sampai sepertinya mataku mulai berkacakaca.

"Maaf, Nak," kata si satpam dengan tampang menyesal. "Peraturan adalah peraturan."

"Bukannya peraturan dibuat untuk diubah, Pak?" tanyaku

sendu. "Tolonglah, Pak, saya perlu ketemu Johan. Ini sangat penting, menyangkut masalah hidup dan mati."

"Tapi"

"Tolonglah, Pak!" teriakku putus asa. "Setidaknya, beritahu

saya apa Johan baik-baik saja, supaya saya nggak pulang dengan

tangan hampa!"

Sambil berteriak begitu, aku membanting tanganku yang diberi

penopang ke atas meja dengan gaya memprihatinkan, membuat

tatapan kedua satpam itu langsung tertuju ke tanganku. Dari

ekor mataku, aku bisa melihat tampang Hanny dan Les sudah

siap ngakak. Buset, kalau mereka sampai melakukannya, tawaku

pasti ikutan meledak juga.

Chill, chill.

Akhirnya salah satu satpam berhasil mengalihkan tatapannya

dari tanganku dan berkata, "Coba saya lihat apa yang bisa saya

lakukan."

Keduanya melangkah ke belakang meja resepsionis dan menelepon sebentar, sementara aku menahan diri sekuat tenaga untuk

tidak menari hula-hula di atas meja.94

"Maaf, Nak," salah satu satpam berkata pelan, "Johan sudah

meninggal."

"APA???" teriakku sekuat tenaga. "Tapi tapi saya sudah datang jauh-jauh. Kami sudah berjanji untuk saling mengenalkan

anggota keluarga kami" Aku menarik Les yang langsung terlonjak kaget. "Ini kakak saya, kami sudah terpisah selama bertahuntahun, namun akhirnya berhasil saya temukan melalui internet.

Dan," dengan tangan yang sama aku merenggut Hanny yang

mukanya tampak aneh banget, "ini calon istri saya dari kampung. Susah payah saya jemput sampai harus menembus hutan

belantara, menyeberangi sungai dan rawa, serta menunggu tiga

hari tiga malam supaya diizinkan pergi oleh calon mertua saya

yang kolot." Aku menelungkupkan wajahku di meja, menyembunyikan wajahku. "Sekarang semuanya percuma. Johan sudah pergi

mendahului kita semua! Johan, apa yang harus kulakukan tanpa

dirimu?"

Aku mengguncang-guncang bahuku supaya kelihatan sedang

menangis meraung-raung.

"Sudahlah." Kurasakan tangan si satpam menepuk bahuku.

"Yang sudah meninggal tidak akan kembali lagi. Relakan saja,

Nak."

"Betul juga kata Bapak. Bapak memang sangat bijaksana." Aku

mengangkat wajahku, berpura-pura mengusap air mata, dan bicara dengan suara terisak-isak. "Boleh nggak, untuk terakhir kalinya,

saya melihat kamar Johan selama dia tinggal di sini?"

"Sebentar, biar saya tanyakan dulu."

Si satpam berbicara di corong telepon lagi, lalu tersenyum dan

mengacungkan jempolnya pada kami.

YES! Aku memang brilian.95

Kami diantar ke depan sebuah pintu. Di situ seorang perawat

berpakaian serbahijau menyambut kami.

"Yang mana sahabat baik Johan?" tanyanya ramah.

"Saya, Sus," sahutku sambil memasang muka mengibakan.

"Saya turut berdukacita," kata sang perawat sambil menepuk

bahuku dengan sikap keibuan. "Kejadiannya sangat tragis. Seharusnya dia dipindahkan ke pusat perawatan yang lebih baik, namun di tengah jalan, bus yang mereka tumpangi mengalami

kecelakaan. Tidak ada yang selamat."

Jadi begitu rupanya cara Johan meloloskan diri. Sneaky.

"Maaf, tidak boleh membawa senjata tajam." Si perawat melucuti barang-barang yang barusan kudapatkan dari Tony si penyalur barang-barang terlarang. Hah, sial. Aku jadi merasa telanjang,

memasuki sarang-entah-apa tanpa senjata. "Nanti kalian bisa

mengambilnya lagi setelah kembali."

Setelah barang-barang kami diamankan ke dalam laci, sang

perawat membawa kami memasuki bagian dalam rumah sakit

jiwa itu. Langkah kami bergema di lantai ubin koridor yang

retak-retak, melewati kamar-kamar berukuran kecil dengan pintu

yang memiliki jendela berteralis di kiri-kanan kami. Koridor itu

sehening gereja yang sedang kosong, dengan penerangan remangremang mirip lampu toilet umum. Kipas angin berputar-putar di

atas kepala kami, suaranya yang berderak-derak menimbulkan

perasaan yang tidak menyenangkan.

Entah kenapa, bulu kudukku jadi merinding. Dan sepertinya

bukan aku saja yang merasa begitu. Di sampingku, Hanny berjalan merapat. Les juga diam saja, padahal dari tadi dia cengarcengir terus.

Kami berhenti di depan pintu kamar bernomor 47. Nama96

Johan tertera di depan pintu, tepat di bawah jendela teralis. Si

perawat mengeluarkan serenceng kunci, lalu memasukkannya ke

lubang kunci.

BAM!

Rohku nyaris terbang ke langit saat mendengar gedoran di

belakangku.

Aku menoleh, dan aku mendapati diriku sedang menatap seraut wajah yang sedang menyeringai, menempel di balik jendela

teralis. Si tuan putri yang biasanya bersikap sok berani mengeluarkan suara seperti tercekik dan langsung mengkeret di sampingku.

Terlintas dalam pikiranku bahwa cewek ini betul-betul manis.

Meski ketakutan, dia tidak histeris atau menyuruhku menabok si

gila itu. Jadi, biarpun di dalam hati aku juga merasa ngeri, aku

buru-buru berdiri di depannya, siap melindunginya, meskipun

kurasa si gila bermulut seringai itu tak bakalan bisa melakukan

apa-apa berhubung ada pintu besi yang membatasi kami dan

dia.

"Kalian orang suruhan ayahku?" tanyanya.

"Bukan"

"Bohong!" Kami semua terlonjak saat dia menggedor pintunya

lagi keras-keras. "Kalian dikirim untuk membereskanku, kan?

Jawab pertanyaanku!"

Kami bertiga hanya bisa terpaku menatap orang yang menatap

kami dengan sinar mata liar itu.

"Jangan pedulikan dia," kata si perawat menenangkan kami.

"Dia tidak berbahaya kok, hanya sering ketakutan berlebihan.

Kalau dibiarkan, dia pasti akan tenang sendiri."

Tidak mengacuhkan si orang gila yang mulai meneriaki kami97

sambil menggedor-gedor pintu dengan kasar, si perawat mempersilakan kami masuk ke ruangan yang telah dibukanya.

"Ini kamar Johan."

Aku tidak tahu apa yang kuharapkan, tapi jelas aku kecewa

dengan apa yang kami dapatkan. Tidak ada apa-apa dalam ruangan itu. Hanya ada sebuah ranjang dengan meja nakas di sampingnya, sebuah lemari kecil, serta sebuah meja belajar lengkap dengan kursinya. Semuanya kosong melompong.

Kurasa sekarang waktunya aku mulai berakting lagi.

Aku berdiri di depan meja belajar, meletakkan kedua tanganku

di atas meja. Tubuhku membungkuk lesu.

"Nggak ada apa-apa," kataku frustrasi. "Aku nggak bisa merasakan kehadiran Johan di sini." Kalau ada, huh, pasti bakalan

mengerikan sekali. "Apa ada barang-barang pribadi Johan yang

masih tertinggal, yang mungkin bisa saya bawa sebagai kenangkenangan?"

"Yah, ada sih, tapi"

"Tolonglah, Suster!" Aku menggenggam tangan si perawat dengan

tampang butuh banget. Lagi-lagi kugunakan tanganku yang dibalut

penopang supaya si perawat jadi kasihan. "Barang-barang itu nggak

berharga bagi Suster, tapi bagi saya, itu nggak ternilai harganya. Itu

barang-barang peninggalan sahabat saya yang sudah pergi mendahului saya, Suster, dan orang-orang lain di dunia ini..."

Aku menambahkan sedikit sentuhan dengan menunduk dan

mengeluarkan suara seperti anak anjing mendengking.

"Baiklah, baiklah."

Sepertinya si perawat mulai takut melihat gaya lebayku. Mungkin dipikirnya aku akan menangis lagi (tentu saja, aku akan melakukannya kalau gaya-anak-anjing-ku tidak membuahkan hasil).98

"Ayo, ikuti saya ke kantor," ujar si perawat cepat-cepat.

Kami dipandu ke sebuah kantor sempit yang berantakan, dipenuhi dengan lemari dan arsip-arsip (seandainya saja kami bisa

mencari arsip tentang Johan). Salah satu pintu dalam kantor itu

mengarah ke gudang yang dipenuhi kardus-kardus.

"Ini barang-barang milik para pasien rumah sakit yang sudah

meninggal, namun tidak sempat diambil oleh pihak keluarga,"

kata si perawat. "Barang Johan ada di sekitar sini, tapi saya tidak

tahu di mana persisnya."

"Biar kami saja yang mencarinya, Suster," kataku sambil menyentuh lengannya dengan lembut. "Kami berutang itu pada Johan."

"Baiklah," angguk si perawat. "Saya akan menunggu kalian di

kantor depan."

Sepeninggal si perawat, barulah Les menyeringai padaku.

"Sahabat Johan, heh?" tanyanya. "Psikopat juga dong."

"Jangan gitu dong," tukasku jengkel. "Udah capek-capek bikin

sandiwara keren, bukannya dipuji, malah dihina-dina. Lain kali

gue nggak mau eksyen lagi, ah!"

"Mungkin elo harus mempertimbangkan buat jadi aktor,

Frank," kata Hanny tulus, membuatku mulai ge-er. "Bisa jadi

nanti elo saingan sama Mandra."

Aku cemberut lagi. "Maunya gue kan saingan sama Dude

Herlino, gitu."

"Halah, badan lo kayak preman gitu. Mimpi pun tolong jangan ketinggian deh! Paling-paling lo dikasih peran jadi tukang

pukul atau tukang culik anak orang. Figuran nggak penting semua, hehehe."

Cewek ini memang sama sekali tidak romantis. Aku sering99

bertanya-tanya, apakah sikapnya terhadap cowok lain juga seperti

itu? Apakah sikapnya pada Markus juga seperti itu?

Oke, aku memang cemburu berat pada cowok bule sialan itu.

Sebelum ini, selama setengah tahun aku melihat Tony jalan bareng Jenny di sekolah, sementara Hanny jalan bareng Markus.

Yah, kabarnya Hanny memang pacaran dengan cowok lain, dan

hanya bersahabat dengan Markus. Tapi tetap saja, sementara

pacar-pacarnya silih berganti, Markus tetap setia di sampingnya.

Padahal, yang kutahu, sebelumnya si bule sok ganteng itu juga

rajin sekali berganti-ganti pacar.

Sementara itu, si tuan putri bahkan tidak sadar kalau aku ada

di dunia ini. Apa hidup ini nggak tragis?

Tapi sudahlah, sekarang bukan saja dia sadar bahwa aku ada,

dia malahan juga sudah jadi pacarku. Aku kan cowok cool. Aku

tak bakalan meributkan hal-hal kecil, hal-hal remeh-temeh seperti

ini. Aku bukan cowok lebay seperti Ivan, kakakku yang sedikitsedikit langsung nangis kalau melihat ceweknya ngobrol sama

cowok lain!

"Omong-omong, elo jago banget nangisnya, sama kayak Ivan.

Keturunan, ya?"
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sialan.

"Nggak usah komplen terus deh," gerutuku. "Ayo, bantuin gue

nyari barang si Johan."

"Kayak dari tadi lo kerja aja," balas Hanny.

"Kalian berdua dari tadi cuma saling meledek," tukas Les, "sementara gue yang nggak ada hubungan apa-apa di sini malah

repot angkat-angkat kardus. Sana, periksa kardus mana yang kepunyaan Johan."

"Baik, Bos!" seru kami serempak.100

Saat mulai memeriksa kardus-kardus itu, perasaan tak nyaman

mulai melingkupi diriku. Maksudku, bayangkan saja, saat ini

kami sedang dikelilingi barang-barang peninggalan milik pasienpasien rumah sakit jiwa yang sudah meninggal. Orang ini, misalnya, namanya Fernando, nama yang sangat normal, tapi kenyataannya dia mati di rumah sakit jiwa. Mungkin saja dia mati

karena keselek garpu, mungkin juga ayahnya mengirim pembunuh

bayaran untuk membereskannya. Seperti ketakutan si cowok gila

yang tinggal di depan kamar Johan.

"Tempat ini seram, ya," ucap Hanny tiba-tiba.

"Kenapa? Ingat cowok gila tadi, ya?" tanyaku penuh simpati,

dan kali ini tidak sekadar akting.

"Iya," sahutnya sambil bergidik. "Tapi bukan cuma itu. Memikirkan semua barang-barang ini adalah peninggalan orang-orang

seperti dia dan Johan, rasanya menyeramkan banget. Emangnya

apa yang ada dalam kotak-kotak ini, ya?"

Yah, Hanny benar. Kotak-kotak itu berisi sisa-sisa kegilaan

orang-orang yang pernah dirawat di sini, yang berhasil keluar bukan karena sudah waras, melainkan gara-gara mati. Bisa saja

kotak-kotak ini berisi foto-foto orang yang kepalanya dipotong

semua, koleksi pakaian penuh bercak darah, boneka-boneka bayi

yang dimutilasi

Arghhh. Hentikan! Bisa-bisa aku jadi sinting sendiri.

"Omong-omong, soal kecelakaan yang katanya dialami Johan,"

kataku berusaha mengalihkan perhatian, "menurut kalian itu sungguhan?"

"Dari cerita yang gue denger soal Johan semalaman ini sih,

kemungkinan besar hasil rekayasa," kata Les. "Sepertinya dia punya kemampuan mengendalikan orang."101

"Bener," angguk Hanny muram. "Dulu aku juga dikendaliin

sama dia. Kukira aku berada di pihak yang benar, nggak tahunya

semuanya hanya tipuan Johan."

"Dari mana lo tau kalo dia cuma ngebohongin elo?" tanyaku

ingin tahu.

"Gue nggak sengaja datang ke rumah dia pada saat dia sedang

nggak ada," sahutku. "Rumah yang sekarang sedang disatroni

Jenny dan lainnya itu. Rumah itu benar-benar menakutkan, tapi

yang paling mengerikan adalah kamar adik Johan yang hancur

berantakan. Sepertinya kamar itu udah lama nggak digunakan,

tapi" Hanny terdiam sebentar. "Gue pernah denger Johan ngomong dengan adiknya. Belakangan gue tau kalau adiknya udah

meninggal bertahun-tahun lalu."

Bulu kudukku langsung meremang.

"Apa maksudnya, Han?" tanya Les, sama penasarannya denganku. "Apa kamu ingin mengatakan bahwa dia bisa berkomunikasi dengan hantu adiknya?"

"Bukan," geleng Hanny. "Sepertinya lebih rumit daripada itu."

Hanny terdiam lagi. "Kurasa Johan punya kepribadian ganda.

Jadi, dia sendiri kadang bertingkah laku dan bicara persis seperti

adiknya."

Buset. Aku belum pernah bertemu orang yang punya kepribadian

ganda. Aku jadi bertanya-tanya, seperti apakah Johan kalau bertemu

face to face denganku? Apakah dia akan tampak seperti ABG biasa,

ataukah aku akan bisa melihat sinar kegilaan dari matanya seperti

cowok gila yang tinggal di seberang kamarnya tadi?

"Dapat!" seru Les tiba-tiba.

Aku dan Hanny segera meninggalkan pekerjaan kami dan102

menghampirinya. Les meletakkan kardus yang bertuliskan nama

Johan besar-besar itu di depan kami.

"Buka?" tanyanya.

Aku dan Hanny mengangguk. Hatiku berdebar-debar, bertanyatanya apakah yang akan kami temukan di dalam kotak itu. Mungkin

ini seperti kotak Pandora. Begitu terbuka, seluruh dunia ini akan

langsung dipenuhi virus mematikan yang menyebar lewat udara.

Oke, kurasa aku terlalu banyak nonton film.

Tanpa ragu Les menyobek lakban yang menyegel kardus itu.

Saat dia membuka tutup kardus itu, bisa kurasakan kami semua

menahan napas.

Benda pertama yang tampak oleh kami adalah sebuah lukisan

dari krayon. Menampilkan sepasang pria dan wanita yang sedang

menggandeng seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan.

Di atas gambar orang-orang itu terdapat nama-nama mereka dalam tulisan anak kecil yang jelas namun kaku.

Papa. Mama. Kakak. Aku.

"Ini," kata Hanny pelan, "ini pasti buatan Jocelyn, adik

Johan."

Buset, belum apa-apa sudah seram banget.

Tapi barang-barang yang berada di dalam kardus itu bukanlah

milik Johan, melainkan milik Jocelyn. Boneka dengan pakaian

bagus dan lipstik sungguhan yang melewati garis bibir, topi berenda yang biasa dikenakan gadis kecil, buku-buku gambar yang dipenuhi gambar-gambar anak kecil dan krayon-krayon yang sudah

tinggal separuh, gaun-gaun merah muda yang cantik dan berukuran mini, beraneka ragam pita mulai dari pita rambut hingga pita

yang biasa digunakan untuk membungkus kado, dan sepasang

sepatu merah yang imut namun modis.103

Oke, semoga aku tidak kedengaran seperti pengecut, tapi saat

ini aku betul-betul ngeri.

Ponsel Hanny berbunyi. Wajahnya yang muram mendadak

berubah cerah, dan aku langsung lupa dengan rasa ngeriku.

"Hai!" serunya riang. "Gimana kabarnya di situ?"

Aku menyenggolnya sambil berbicara tanpa suara. "Siapa?

Markus, ya?"

Buset, cewek itu malah menendangku sambil memberiku pelototan yang tak menyenangkan.

"Yang bener?" tanyanya penuh semangat. "Masa? Oke, oke,

nanti gue dan yang lain ke situ."

Ah, cara ngomongnya tidak sok sopan, berarti bukan Tony

atau Markus, melainkan Jenny. Tenanglah hatiku.

"Dasar cowok posesif," kata Les dengan muka tanpa ekspresi,

sehingga kalau aku tidak benar-benar yakin, aku pasti mengira

aku hanya salah dengar.

Aku cemberut saja. Bukan salahku kalau aku posesif. Namanya

juga punya pacar cantik yang dikelilingi banyak cowok ganteng.

Kalau aku tidak hati-hati, bisa-bisa aku mendadak jadi single

lagi?dan kali ini bukan sekadar single, tapi single yang pahit dan

merana abis.

Tiba-tiba mataku menangkap sebuah benda yang kecilnya amitamit, terselip di antara pita-pita cantik. Aku mencoba menggali-gali

pinggiran kardus dengan jari telunjukku, lalu kuangkat benda itu

dan bersiul keras. "Coba liat apa yang gue temuin ini!"

Mata Hanny yang sedang menelepon langsung membulat, sementara Les berkata takjub, "Sebuah flash disk."

Aku mengangguk penuh kepuasan.

Jackpot!104

ENTAH kenapa aku malah harus terlibat dalam masalah ABG

begini.

Padahal, yang benar saja, usiaku sudah lebih dari tiga puluh

tahun?atau kira-kira seperti itulah, berhubung aku pernah tidak

tahu tanggal dan tahun kelahiranku. Yang kuingat adalah masa

ABG-ku yang penuh perkelahian, keonaran, dan kericuhan sudah

berlalu belasan tahun lalu, dan sejak saat itu, aku sudah berjanji

untuk menjadi orang yang lebih baik, hidup lebih damai, dan

fokus pada masalah-masalah yang lebih dewasa saja.

Tapi kini aku mendapati diriku terseret dalam salah satu urusan tergawat yang pernah kuhadapi. Aku harus menghadapi salah

satu lawan paling cerdik dan mengerikan dan harus melakukan

tindakan-tindakan yang belum pernah kulakukan sebelumnya.

Ayolah, masuk ke rumah sakit jiwa dan membongkar gudang

mereka? Itu pengalaman sekali seumur hidup dan, sori-sori saja,

aku tidak berminat mengulanginya lagi.

7

Les105

Lalu kini aku harus membawa Frankie dan Hanny, dua ABG

yang dipercayakan padaku, mengunjungi rumah otak kriminal

dari semua kejadian ini. Karena sudah malam, aku menyetir lambat-lambat supaya bisa mengenali daerah terpencil yang letaknya

hampir di luar kota itu.

"Tempat ini menyeramkan banget," kata Frankie sambil melongok-longok ke luar jendela Alphard yang sedang melaju kencang.

"Pantas untuk sarang Mr. Psikopat."

"Hati-hati," tegurku. "Gue nggak tanggung kalo kepala lo copot disambar truk."

"Mana mungkin?" cela Frankie, tapi buru-buru memasukkan

kepalanya kembali ke dalam mobil.

"Yang itu rumahnya," kata Hanny sambil menunjuk rumah

besar di kejauhan.

"Lho, mana mobil Tony?"

"Mungkin diparkir agak jauh, jaga-jaga kalo Johan datang ke

sini dan ngenalin mobilnya," duga Hanny. "Sebaiknya kita juga

jangan parkir terlalu dekat dengan rumah itu, Les."

"Aku akan parkir di sini aja." Aku membelokkan mobil ke

sebidang padang rumput yang terlihat cukup lapang, karena tentunya aku tidak ingin menggores badan mobil (yang bukan milikku itu) dengan semak belukar atau pepohonan. Kuparkir di bawah pohon, terlindung dari sinar bulan. "Beres. Nggak akan ada

yang bisa melihat mobil ini, kecuali kalau dia benar-benar mencarinya."

"Dari sini masih jauh nggak, Tuan Putri?" tanya Frankie pada

Hanny.

"Tergantung stamina," sahut Hanny sok. "Kalo stamina lo jelek, mungkin bagi lo perjalanan ini kayak tiada akhir."106

"Stamina gue sih nggak perlu dipertanyakan lagi," balas Frankie

tak kalah sok. "Kalo gue model, pasti dalam waktu deket gue

udah dikontrak buat iklan minuman energi."

"Sayang banget ya, lo bukan model."

"Apa tuh maksudnya?"

Pasangan ini memang hobi banget berdebat. Kadang lucu melihatnya, kadang capek juga. Tapi bagi keduanya, hubungan ini

sempurna. Bagi Hanny yang pembosan, cowok seperti Frankie tak

bakalan membuatnya bosan. Sedangkan bagi Frankie, cewek seperti Hanny sangat menantang.

Rumah Johan ternyata jauh lebih dekat daripada dugaanku

(apa ini berarti staminaku cukup baik? Yah, kuharap begitu). Dari

luar, rumah itu tidak terlalu berbeda dengan rumah-rumah lain

yang pernah kulihat?selain bahwa rumah itu sangat gelap,

terpencil, dan tidak menampakkan tanda-tanda kehidupan. Aku

senang, Tony dan yang lainnya cukup berhati-hati. Tak ada yang

menyangka kalau ada segerombolan anak remaja?dan satu pria

dewasa?yang sedang bertamu ke situ.

Seperti yang sudah diinstruksikan Tony, kami semua mengenakan sarung tangan sebelum memasuki rumah itu. Setelah menutup pintu depan, kami menggunakan senter kecil yang menyorotkan sinar remang-remang, yang tak mungkin terlihat dari luar,

untuk menerangi jalan kami, yang sementara itu sudah melewati

ruang depan. Sekali lagi, aku salut dengan ketelitian Tony dalam

hal-hal seperti ini. Sahabatnya, Markus, memang tampak tenang

dan dingin, sementara Frankie penuh inisiatif dan selalu siap diajak beraksi, tapi Tony memiliki sesuatu yang lebih daripada kedua anak itu. Seolah-olah dia selalu berpikir satu atau dua langkah ke depan.107

Dia pemimpin sejati.

"Jangan jalan sembarangan," bisik Hanny. "Jangan berisik, jangan"

"Whoa!"

Aku dan Hanny menoleh dengan jengkel ke arah Frankie, yang

terpaku di depan sebuah kamar. Saat aku menghampirinya, aku

ikut terpaku melihat kondisi kamar itu.

Itu kamar seorang anak perempuan. Kamar berwarna serbapink, dengan tirai dan seprai berenda-renda, dan banyak boneka

berpakaian cantik.

Dan semuanya sudah dicabik-cabik dengan ganas!

Tatapanku turun pada sebuah boneka anak perempuan yang

tergeletak di lantai. Separuh mukanya rusak, seperti dikelupas

dengan sengaja, dengan pakaian yang sudah sobek-sobek dan salah satu kakinya dipotong?mungkin dengan gunting taman.

"Creepy banget!" bisik Frankie.

"Yah." Aku mengangguk di sampingnya, tidak sanggup

mengalihkan pandangan, tapi juga tidak ingin melihat lebih lama

lagi.

"Makanya," ketus Hanny pada Frankie dengan suara tertahan,

"gue udah bilang, jangan jalan sembarangan. Rumah ini ngeri
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banget, tahu? Kalo lo buka-buka pintu kamar sembarangan, bisabisa lo dimakan ular."

Mata Frankie terbelalak. "Ada ular di sekitar sini?"

Hanny diam sejenak. "Dulu emang ada, tapi sekarang gue

udah nggak tau lagi."

Memang rumah yang mengerikan sekali.

"Jadi, yang mana kamar ayah Johan?" tanyaku, karena ruangan

itulah yang menjadi tujuan kami.108

"Yang sebelah sini."

Aku membuka pintu, dan sebilah pisau langsung menempel di

leherku. Yang tak kalah dingin dibanding permukaan pisau itu

adalah sepasang mata tajam milik cowok bernama Markus.

"Buset!" Kudengar Frankie berseru di belakangku. "Apa-apaan

ini?"

"Kalian rupanya." Dari belakang, aku mendengar suara Tony.

"Ayo, masuk."

Aku menoleh dan melihat Tony menurunkan pisaunya dari

tengkuk Frankie. Wajahnya sama sekali tidak menampakkan

ekspresi apa pun. Astaga, kedua anak ini benar-benar mengerikan.

Kalau mereka mau, kurasa mereka bisa memiliki profesi sampingan menjadi pembunuh bayaran.

Begitu memasuki ruangan, tatapanku langsung jatuh pada

Jenny. Sejak pertama kali melihat sahabat Hanny itu, aku sudah

merasakan sesuatu padanya. Bukan cinta, tentu saja, karena aku

tidak akan pernah tertarik pada seorang ABG karena perbedaan

usia yang terlalu jauh. Aku kan bukan om-om pemangsa gadis

muda. Namun Jenny mengingatkanku pada seorang cewek yang

pernah kukenal sewaktu aku masih kecil, juga sewaktu aku masih

ABG. Cewek yang sederhana, manis, dan penuh pengertian, cewek yang tidak mungkin bisa kulupakan, cewek yang hingga saat

ini masih menghuni tempat paling penting di hatiku.

Dan mengingatnya sekarang masih menimbulkan rasa perih di

hatiku.

Hei, hei. Hentikan. Fokus. Sekarang bukan waktunya

mengingat-ingat masalah sendiri.

Pandanganku tertuju pada sosok di atas ranjang. Seorang pria

yang biasa-biasa saja, dengan rambut kelabu, tubuh ringkih, dan109

luka-luka berat yang kelihatan jelas meskipun separuh tubuhnya

diselubungi selimut. Namun yang lebih menarik perhatianku adalah sorot mata pria itu. Sorot mata pria yang sudah melihat terlalu banyak, menderita terlalu banyak, dan merasa hidup terlalu

lama. Pria yang sudah letih menjalani hidup dan siap mengakhirinya.

Aku langsung kasihan pada pria ini.

"Selamat malam, Pak. Saya Les, ini Frankie dan Hanny."

Dia tersenyum pada kami semua, senyum yang tampak welas

asih. "Selamat malam. Maaf sudah mengganggu kalian semua

malam-malam begini."

Astaga, orang ini benar-benar sopan. Apa benar dia ayah

Johan?

"Sama sekali nggak mengganggu, Pak. Bapak sendiri baik-baik

saja?" Aku sudah mendengar tentang berbagai luka parah yang

dialami ayah Johan ini. "Apa nggak lebih baik kita ke rumah

sakit sekarang?"

Pria itu menggeleng. "Saya yakin, kalau sampai saya berada di

rumah sakit, mereka akan melakukan berbagai pengobatan dan

operasi, dan saya tak akan bisa membantu kalian menemukan

Johan secepat mungkin. Toh luka-luka ini sudah terlambat untuk

ditangani, lebih telat satu atau dua hari tidak akan membawa

perbedaan banyak."

Kenapa orang sebaik ini bisa jadi ayah Johan?

"Kalau begitu, kami benar-benar berterima kasih atas semua

pertolongan Bapak."

Ayah Johan tersenyum muram. "Saya juga bertanggung jawab

atas semua perbuatan Johan. Seandainya saja saya ayah yang lebih

baik, tentu dia tidak akan seperti ini."110

Kini giliranku yang menggeleng. "Setiap orang bertanggung

jawab atas pilihannya sendiri. Orang yang menyalahkan orang

lain atas pilihannya hanyalah pengecut yang hanya bisa lari dari

tanggung jawab."

Aku jarang mengeluarkan kata-kata keras, namun aku tidak

ingin berbohong pada pria baik ini. Dan dari sikapnya yang langsung terdiam, aku tahu dia menyadari makna tersirat dari katakataku.

Aku bersimpati padamu, tapi aku tidak akan segan-segan menghajar anakmu.

Kira-kira seperti itulah yang ingin kusampaikan padanya, dan

kira-kira seperti itu jugalah yang ditangkap olehnya.

Ayah Johan menghela napas. "Saya tahu, kalian semua menganggapnya jahat dan kejam. Tapi bagi saya, Johan tetaplah bayi

lucu yang pernah saya timang-timang, bayi tak berdaya yang tak

bisa apa-apa tanpa orangtuanya, bayi manis yang pernah membuat saya sangat bahagia."

"Bayi manis dan lucu itu kini sudah berubah menjadi monster,

Om," tukas Frankie. "Monster yang membahayakan semua orang

yang berada di dekatnya."

"Tapi itu tidak membuat saya berhenti menyayanginya."

Aku tidak tahu apa yang harus kurasakan pada orang ini. Ada

rasa jengkel dan gemas. Bisa-bisanya ada orang yang sama sekali

tidak bersikap tegas dan galak di saat anaknya bersikap menyebalkan. Gara-gara orang semacam inilah, dunia ini dipenuhi anakanak manja yang tidak tahu diri dan suka bersikap seenaknya.

Dan gara-gara orang inilah, psikopat seperti Johan merajalela dan

menyebabkan banyak kesulitan pada orang-orang di sekitarnya.

Tapi aku juga merasakan sebersit kekaguman padanya, sesuatu111

yang aku yakin juga dirasakan oleh Frankie yang, omong-omong,

saat ini sedang memelototi kaki orang tua itu, seolah-olah dia

ingin mendamprat anggota tubuh itu habis-habisan saat ini juga.

Aku yakin, di dalam hatinya, Frankie juga sedang melakukan hal

yang sama denganku?menyumpah-nyumpahi Johan, memakimaki betapa beruntungnya bajingan keparat itu.

Ayah Frankie sangat keras dan condong pada kakaknya yang

memiliki segudang prestasi, menganggap Frankie sebagai kambing

hitam keluarga yang tidak berguna, memberinya berbagai hukuman keras yang menyakitkan fisik dan hatinya. Sedangkan aku, aku

bahkan tidak tahu siapa ayah kandungku. Yang kumiliki hanyalah

ayah tiri pecandu narkoba yang hobi memukuliku setiap kali aku

terpaksa menampakkan diri di depannya.

Melihat orang lain yang memiliki ayah yang baik dan penyayang membuat kami berdua iri setengah mati. Melihat orang lain

menyia-nyiakan ayah mereka yang baik dan penyayang membuat

kami ingin membunuh orang-orang tidak tahu diri itu.

"Meskipun begitu, saya sadar Johan tidak bisa menjalani hidup

normal layaknya manusia biasa," tambah ayah Johan. "Dengan masa

kecil yang traumatis seperti itu, seharusnya dia menjalani terapi

seumur hidup. Kelalaian sayalah yang membuatnya tumbuh dengan

memendam semua kemarahan dan kebencian itu. Sekarang saya tak

akan melakukan kesalahan yang sama lagi. Saya akan melakukan apa

saja untuk menyelamatkannya, termasuk memasukkannya ke rumah

sakit jiwa selama sisa hidupnya."

Berbicara begitu panjang membuat tenaga ayah Johan terkuras.

Napasnya terengah-engah, dan kedua tangannya yang terjalin kelihatan berusaha keras untuk tidak gemetar. Kami semua baru

menyadari hal itu saat Jenny meremas kedua tangan keriput itu.112

"Kami mengerti, Om," katanya lembut. "Kita akan berusaha

bersama-sama untuk menyelamatkan Johan."

"Dan salah satu caranya adalah ini." Frankie mengacungkan

flash disk yang ditemukannya dengan penuh kebanggaan. Matanya

tertuju pada komputer yang tergeletak di atas meja. "Kami boleh

mengakses komputernya, Om?"

Ayah Johan mengangguk. "Silakan."

Frankie langsung menyalakan komputer, lalu mencolokkan flash

disk itu ke sebuah lubang yang ukurannya pas sekali, sementara

jari-jarinya mulai menari-nari di atas keyboard. Terus terang saja,

aku tidak begitu mengerti soal komputer. Pendidikanku tidak

mencakup bidang itu, demikian juga pekerjaanku sebagai montir

di bengkel. Jadi, daripada berbingung-bingung ria, aku menempatkan diri di samping Jenny yang melihat pekerjaan Frankie

dan Hanny dari belakang dengan tidak sabar.

Dari ekor mata, aku memperhatikan Tony dan Markus yang

menemani ayah Johan yang sedang sibuk menelepon di tempat

tidur. Keduanya sibuk meneliti nomor dari buku telepon, membuatku menduga bahwa ponsel ayah Johan pasti sudah lenyap.

Pasti dicuri Johan.

"Sudah menghubungi nomor ponsel Bapak?" tanyaku menyela

aktivitas mereka.

Ayah Johan mengangguk muram. "Dimatikan."

Yah, tidak ada salahnya bertanya.

Aku menoleh saat mendengar napas Jenny tersentak. Tatapan

matanya mengarah pada monitor komputer yang menampilkan

foto-foto dirinya dan Hanny.

"Ada apa, Jen?" tanya Tony dari tempat tidur.113

"Itu foto-foto aku dan Hanny!" Jenny menunjuk ke monitor

sambil menelan ludah.

"Foto-foto kalian bersama aku dan Jenny juga ada!" tambah

Hanny, matanya mengerling ke Tony dan Markus setelah memperhatikan foto-foto yang diklik satu per satu oleh Frankie.

Kulihat berbagai foto yang menampilkan aktivitas keempat

anak itu dalam berbagai situasi?ada yang sendiri, berdua, bertiga,

atau keempatnya sekaligus?baik di sekolah maupun di luar sekolah. Mungkin jumlahnya puluhan.

"Pantas dia selalu tau gerak-gerik kita. Dari dulu dia selalu

mengawasi kita." Tony mengepalkan tinjunya.

"Hei, ini file berisi skenario rencana-rencana kejahatan Johan!"

Tiba-tiba Frankie berseru setelah membuka dan membaca salah

satu file. "Di sini disebutkan rencananya melarikan diri dari rumah sakit jiwa, mengacaukan pekan MOS, membuat Tony dan

Markus meninggalkan Hanny dan Jenny untuk menyelidiki kasus

di Pontianak, membereskan ayahnya, dan rencananya terbang

ke Singapura."

Hanny mengangguk geram. "Dia pasti menguntit kita selama kita

di Singapura, Jen! Nggak heran dia tau kalo kita beli gantungan

ponsel itu. Dia ngeliat kita beli, dan dia beli satu juga yang sama

kayak punya lo, lalu dia pamerin benda itu lewat Mila yang pake

kostum Oknum X di acara pekan MOS yang horor banget kemarin

itu, bikin gue nyaris gila karena khawatir soal elo."

"Hal-hal kecil seperti itu aja dia perhatiin ya." Frankie

menggeleng-geleng. "Bener-bener master of psychopath! Wah, liat,

ini back-up e-mail-e-mail Johan. Keren! Kita bisa ajuin semua ini

sebagai bukti di pengadilan bahwa dialah dalang kejadian di sekolah kita dan kamp latihan judo!"114

"Juga dalang pembajakan pesawat!" imbuh Jenny. "Liat, ini

e-mail berisi korespondensi dia dengan pimpinan teroris di pesawat itu. Yep, aku ingat orangnya. Ini emang dia!" Jenny menunjuk foto kecil di samping e-mail balasan dari orang tersebut.

"Gila!" Hanny mendekatkan wajahnya pada monitor. "Coba baca

gimana caranya dia ngebujuk orang-orang ini, begitu halus, memancing dengan kata-kata manis, sampai-sampai mereka mengira ide itu

berasal dari diri mereka sendiri. Pantas mereka mau aja ngelakuin

pekerjaan-pekerjaan kotor skenario Johan itu."

"Lho, file apa ini?"

Frankie mengklik sebuah file bernama readme.doc. Aplikasi

Microsoft Word langsung berjalan, diikuti dengan tulisan besarbesar yang langsung memenuhi layar:

Tolong hentikan Kakak.

Jocelyn

"Jocelyn," bisik Jenny. "Jadi dia yang ninggalin semua petunjuk

ini untuk kita!"

"Pantas kotak barang-barang peninggalan Johan di rumah sakit

jiwa itu hanya berisi barang-barang anak kecil," sambung Hanny

perlahan. "Rupanya itu semacam isyarat dari dia."

"Jocelyn?" Ayah Johan menyela. "Ada apa dengan Jocelyn?"

Tanpa bicara Frankie menggeser monitor supaya bisa dibaca

ayah Johan, yang wajahnya langsung memucat.

"Apa-apaan ini? Semacam lelucon?"

"Bukan, Om," sahut Tony dari sampingnya. "Jocelyn itu salah satu pribadi lain dari Johan. Dengan kata lain, Johan punya

kepribadian ganda."115

"Apa Om pernah mengecek kamar sebelah situ?" tanya
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Markus. "Kamar anak perempuan yang penuh boneka yang dicabik-cabik itu?"

"Saya baru tahu tentang kamar itu setelah Johan masuk rumah

sakit jiwa," sahut ayah Johan malu. "Sebelumnya, saya tidak begitu menaruh perhatian tentang rumah kami. Saya pernah bertanya

pada Johan waktu mengunjunginya di rumah sakit jiwa, tapi dia

tidak menjawab saya."

"Apa dokter-dokter di rumah sakit jiwa nggak tau dia punya

kepribadian ganda?" tanyaku heran.

Ayah Johan menggeleng. "Mereka mengira kecelakaan yang

nyaris merenggut nyawanya itu membuatnya lupa ingatan dan

kembali jadi anak kecil. Itu saja."

"Kalau begitu," kata Frankie, "berarti dia cuma pura-pura dari

awal. Sejak masuk rumah sakit jiwa dia nggak pernah lupa ingatan, nggak pernah kembali jadi anak kecil. Dia hanya berpurapura begitu untuk bikin semua orang lengah dan ngebiarin dia

berkeliaran ke mana-mana seenaknya. Mungkin begitulah cara dia

ngedapetin akses komputer, dengan pura-pura tersesat di kantor

perawat atau sejenisnya."

"Asumsi yang bagus banget," angguk Tony, dan dada Frankie

langsung membusung sok sebelum akhirnya disodok Hanny. "Sekarang kita tau kalo pribadinya yang lain, Jocelyn, menolak untuk

jadi partner kejahatannya. Dia sengaja ninggalin jejak untuk

kita."

Kami semua terdiam, tidak tahu harus merasa takjub atau

ngeri dengan penemuan baru ini.

Mendadak gelas yang dipegang Jenny meluncur ke lantai, menimbulkan bunyi pecahan yang menyentakkan kami semua. Serta-116

merta kami menyadari wajahnya yang dipenuhi kengerian luar

biasa, sementara tatapannya mengarah ke jendela.

Jantungku nyaris berhenti saat melihat di balik jendela, terdapat seraut wajah pucat yang nyaris tampak bersinar, menatap

kami dengan senyum yang tidak mencapai matanya, membuat

senyum itu tampak palsu dan menyeramkan. Telapak tangan kanannya menempel pada kaca jendela. Sesaat, aku mengira

mungkin saja itu sesosok hantu?pemikiran yang menggelikan

karena aku bahkan tak percaya hantu?tapi lalu kusadari itu manusia.

Dan manusia itu bernama Johan.

Jadi, seperti itulah tampangnya.

Pertanyaannya, sejak kapan dia berdiri di situ?

"JOHAN!" Markus yang biasanya tenang, kini dengan berapiapi berteriak, "Di mana Tory?"

Tidak ada gunanya Markus menyerbu ke depan jendela yang

diberi teralis besi. Johan sama sekali tidak beranjak kabur, melainkan menelengkan wajahnya, menatap Markus dengan geli, seolaholah mengejeknya karena tidak sanggup berbuat apa-apa.

Mendadak Johan mundur sedikit, lalu dengan gerakan secepat

kilat dia melempar kaca jendela dengan sebuah batu yang lumayan besar.

"Awas!" Tony menarik Jenny menjauh dari jendela, sementara

yang lain langsung merapat ke dinding di seberang jendela.

Kulihat Frankie sempat mencabut flash disk dari komputer, tapi

perhatianku teralihkan saat Johan melempar barang kedua ke dalam kamar.

Oh, sial. Itu bom molotov.

"Ada bom! Ayo, keluar semuanya!" Aku menarik Markus yang117

kebetulan ada di dekatku, tampak jauh lebih bisa diandalkan daripada Frankie yang kedua tangannya terbalut perban dan Tony

yang sedari tadi terpincang-pincang. "Markus, tolong bantu

aku!"

Aku dan Markus meraih ayah Johan dan menyeretnya keluar

dari kamar, mengikuti Jenny dan Hanny di depan kami, serta

Tony dan Frankie yang berlari cepat di belakang mereka berdua

dengan gerakan siap melindungi kedua cewek itu.

Bom itu meledak di belakang kami, menimbulkan dengingan

keras di telingaku. Tanpa melihat, aku tahu kamar yang tadinya

tempat kami berkumpul itu sudah hancur terbakar.

"Keparat!" teriak Frankie. "Nggak sudi gue dijebak dalam kebakaran dua kali sehari! Tambah sekali lagi, udah serasa minum

obat aja!"

"Cepat, ke pintu depan!" seru Tony.

Namun sebelum kami tiba di ruang depan, ruangan itu sudah

meledak, memercikkan pecahan-pecahan batu ke arah kami,

sementara ruangan di depan kami runtuh dalam kobaran api.

"Pintu samping!" teriak ayah Johan sebisa mungkin dengan

suara seraknya. "Ada pintu samping di sebelah situ!"

"Lewat sini!" teriakku pada yang lainnya mengatasi suara ledakan yang entah di mana lagi. "Ke pintu samping!"

Aku membuka pintu samping dan shit! Johan berdiri di depanku. Tangannya memegang sebuah bom molotov yang siap

dilemparkannya.

Oh, sial!

Aku berbalik sebelum Johan sempat melemparkan benda itu,

berusaha melindungi ayah Johan yang berada tepat di sampingku

dan Frankie yang ada di belakangnya. Namun sepertinya Johan118

sengaja melemparkannya di depan hidung kami, menimbulkan

ledakan yang memekakkan telingaku, membakar punggungku,

dan melemparkanku seakan-akan tubuhku tak berbobot sama sekali.

Lalu, semuanya menjadi gelap.119

AKU terbangun dan mendapati dunia sudah kiamat.

Langit berwarna merah, berhias kobaran api di beberapa tempat di sekitar situ. Udara terasa sesak, membuatku terbatuk-batuk

sambil megap-megap menggapai oksigen. Asap yang begitu tebal

membuatku nyaris tidak bisa melihat sekelilingku dengan jelas.

Seluruh tubuhku sakit-sakit dan dipenuhi luka. Saat aku mengusap hidungku yang terasa sakit sekali, tanganku langsung berlumuran darahku sendiri.

Seraut wajah asing dengan mata nyaris jereng menatapku dari

jarak tiga sentimeter.

"Nak, coba sebutkan, berapa jari saya?" katanya sambil mengacungkan dua jari yang nyaris mencolok mataku.

Susah payah aku mengeluarkan suara dari tenggorokanku yang

sekering gurun pasir. "Dua"

"Bagus." Lalu orang yang ternyata paramedis itu berteriak

keras-keras, "Yang ini baik-baik saja!"

8

Frankie120

Aku berusaha mengumpulkan ingatanku. Yang terakhir kuingat,

aku, Hanny, dan Les disuruh bergabung dengan Jenny, Tony, dan

Markus di rumah Johan. Di sana kami bertemu ayah Johan yang

sekarat yang, omong-omong, saat ini bisa kulihat sedang diangkat

ke atas tandu. Saat sedang sibuk membuka isi flash disk yang

kami temukan di rumah sakit jiwa, tahu-tahu kami melihat Johan

sedang nemplok di jendela dengan muka seram dan mulai menghujani kami dengan bom dari botol yang berisi sumbu dan bensin, membuat dunia di sekitar kami terguncang hebat. Aku langsung merenggut Hanny yang masih terperangah memandangi

jendela dan menyeretnya keluar, sementara Les berada di depanku

bersama ayah Johan dan Markus. Kami berlari ke pintu samping,

lalu

Oh, brengsek.

Aku meloncat tegak dan mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Rumah yang tadinya adalah rumah Johan tinggal tersisa separuh, sementara separuhnya lagi tinggal gunungan reruntuhan yang

bagaikan kuburan besar yang mengerikan.

"Mana teman-temanku?!" teriakku histeris. "Mana Hanny?

Mana Les?"

"Tenang, tenang," kata si paramedis. "Kami akan menemukan

mereka."

Akan? Akan saja tidak cukup. Seharusnya mereka sudah ditemukan. Aku mengibaskan tangan si paramedis yang entah kenapa

sibuk mengurusi tanganku, lalu mulai berteriak-teriak, "Hanny!

Les!"

"Di sini ada satu!"

Lebih cepat dari orang-orang lain, aku melesat ke asal suara

itu. Seorang paramedis sedang membantu Hanny yang menyeruak121

keluar dari tumpukan batu-batu bagai mayat hidup dalam filmfilm, hanya saja yang ini bermuka hitam banget dan berambut

acak-acakan. Tapi tidak ada darah. Tidak ada darah. Oh, untunglah!

Tanpa memikirkan paramedis yang berada di dekat kami, kupeluk dia erat-erat. "Gimana perasaan lo?"

"Kayak baru aja mati," gumamnya. "Kita ada di mana?"

"Reruntuhan rumah Johan."

Hanny mengedarkan pandangannya, dan segera menyadari apa

yang terjadi. Tangannya mencengkeram lenganku hingga kukukukunya yang hitam memutih. "Jenny. Mana Jenny?"

Aku menggeleng, demikian pula paramedis yang berada di dekat kami.

Hanny mulai menendang-nendang panik.

"Auww!"

Jenny nongol dari bawah kaki Hanny sambil mengusap-usap

hidungnya yang bercetak motif sepatu dan meringis.

"Jen!" Aku ditinggalkan cewekku, yang sudah memeluk sahabatnya dengan girang. "Untung lo masih hidup!"

Jenny bangkit berdiri. Dibanding Hanny yang cuma cemong

sana cemong sini, kondisi Jenny lebih tidak keruan. Tangan kirinya terluka kena pecahan batu, sementara kedua lututnya juga

berdarah. Tapi tak sedikit pun dia mengeluh, melainkan hanya

mengedarkan pandangan dan bertanya, "Mana Tony?"

Terus terang, aku tidak mengkhawatirkan yang satu itu?ataupun sahabatnya yang sering jadi sasaran kecemburuanku.

"Jen!"

Betul, kan? Meskipun ternyata kondisi mereka juga tidak bagus-bagus amat. Aku menyadari Tony memang sudah pincang122

dari kapan-kapan, tapi kini wajahnya juga berlumuran darah,

dimulai dari bagian pelipis hingga leher. Sedangkan Markus mirip

orang yang baru saja selamat dari pembantaian atau sejenisnya.

Baju dan celananya sobek-sobek, semuanya berlumuran darah.

Seluruh tubuhnya dipenuhi baretan. Tapi yang penting keduanya

selamat, malahan didampingi sepasang paramedis wanita yang

tampak penuh perhatian terhadap keduanya.

"Tangan lo kenapa?" tanya Markus sambil mengedik padaku.

Semua orang langsung menatap ke arah tanganku, termasuk

diriku sendiri. Hatiku mencelos saat melihat penopang tanganku

yang tadinya gosong dan sempat diperbaiki oleh paramedis, kini

tercabik-cabik lagi. Aku sama sekali tidak bisa merasakan apa-apa

di baliknya.

"Tangan lo nggak apa-apa?" tanya Hanny dengan suara gemetar.

Kukeraskan hatiku dan menjambak sisa-sisa penopang tangan

yang masih menempel pada tanganku.

Wow! Tanganku mulus banget. Kalau ini dalam film kartun,

pasti sudah ada bunyi cling-nya.

"Kurang ajar, sampe bulu-bulunya pun nggak ada!" bentak

Hanny tak senang. "Lo sengaja ya, pake begituan cuma buat nampang?"

"Nampang apanya?" Aku memamerkan luka jahitan yang tadinya ditutupi gips tersebut. "Ini nggak boleh kena air. Gue disuruh pake penopang biar nggak bikin repot. Belum lagi telapak

tangan gue yang sempet gosong demi nyelametin elo dari balok

panas di sekolah tadi. Rasanya masih cenat-cenut, tau!"

Aku berusaha memasang tampang memelas supaya semua123

bersimpati, tapi sepertinya usahaku gagal, karena Hanny masih

tampak jengkel.

"Tapi tadinya gue udah ngira, seluruh tangan lo luka parah."

Apa sih maksudnya? Memangnya dia berharap seluruh tanganku mirip ayam panggang hangus, gitu?

Sayang, sebelum aku sempat menjernihkan hal itu, suara Jenny

yang halus sudah menyela kami, "Les mana?"

Astaga. Benar juga.

Aku menatap semua orang penuh harap, tapi dua cowok yang

barusan berkeliaran itu hanya menggeleng, membuat hatiku mulai

kebat-kebit lagi.

"Ayah Johan?" tanya Tony.

"Ada di situ," tunjukku. "Gue harus nyari Les."

"Kita cari sama-sama."

Aku mulai memanggil-manggil Les sambil menggali beberapa

tumpukan batu dan semen yang mencurigakan, namun Les tidak

kelihatan. Aneh, kan tadinya dia berada persis di depanku.

Seharusnya dia tidak jauh-jauh dariku. Ayah Johan saja sudah

ditemukan paramedis sebelum aku. Seharusnya dia juga sudah

ditemukan dong.

Di mana sih dia?

Jantungku berhenti sejenak saat aku menemukannya. Tentu

saja, sejak tadi kami tidak melihatnya karena yang tampak dari

Les hanyalah punggungnya yang telanjang, dan punggung itu tak

berbeda jauh dengan kayu hangus yang berserakan di sekitarnya.

Tanpa bisa menahan diri lagi, aku berteriak histeris, "Les!

Les!"124

Aku membalikkan tubuhnya, semakin panik melihat mata Les

yang terpejam, wajahnya yang kotor dan berlumuran darah, serta
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

napasnya yang tinggal satu-satu.

Brengsek. Aku ingat semuanya sekarang. Sesaat sebelum ledakan terakhir itu membuat kami semua terpental tak sadarkan diri,

Les menggunakan dirinya untuk melindungi aku dan ayah

Johan.

Brengsek. Kenapa dia selalu melakukan hal ini padaku? Melindungiku, menyelamatkanku, membuatku berutang budi padanya

jauh lebih banyak dibanding orang-orang lain di dunia ini? Kalau

ada apa-apa terjadi pada dirinya, bagaimana caranya aku membayar utang sebesar itu?

"Les, bertahanlah." Aku menariknya bangun, menggenggam

erat tangannya yang lunglai. "Jangan mati dulu. Gue pasti bisa

nyelamatin elo! Pasti bisa! Pak, cepat tolong dia!"

Lalu aku menyerahkannya pada dua paramedis yang sudah menanti di sampingku. Ya jelas dong, memangnya apa yang bisa

kulakukan untuk menyelamatkannya selain menyerahkannya pada

orang-orang yang memang ahli mengobati?

Tapi itu tidak berarti aku lepas tangan. Kuikuti tandu yang

membawa Les ke mobil ambulans. Tanpa malu-malu aku menyelinap di antara tandunya dan tandu yang ditempati ayah Johan.

Kupantati ayah si bejat yang nyaris menewaskan sahabatku itu,

kugenggam tangan Les dengan cemas sementara dia mulai

dipasangi infus dan berbagai peralatan mengerikan lain. Aku

memejamkan mata saat seorang paramedis menusuk tangan Les

dengan jarum infus yang besar.

Lalu tiba-tiba sebuah tangan mencengkeram lenganku dari belakang. Aku menoleh dan melihat ayah Johan terbelalak menatapku.125

Gila, ayah dan anak sama-sama menakutkan!

"Belitung," bisiknya. "Johan. Belitung."

"Belitung?" tanyaku bingung. "Maksudnya, Johan ada di Belitung? Belitung yang pulau itu? Yang kayak di film Laskar Pelangi?"

Ups. Ketahuan aku pernah nonton film mengharukan itu. Bukan berarti aku menangis waktu menontonnya, hanya sedikit

terisak-isak kok.

"Bukan Belitung"

Oke, aku makin bingung saja. "Bukan Belitung? Lalu maksudnya apa? Johan ada di mana dong, Om? Om?"

Bukannya menjelaskan ucapannya, ayah Johan malah terkapar

lagi. Matanya terpejam rapat-rapat.

"Hei, Om!" seruku sambil mengguncang-guncangnya. "Jangan

pingsan dulu dong. Kasih tau gue, eh, saya, Johan ada di mana,

Om?!"

"Apa-apaan kamu?" Paramedis yang sedang merawat menghardikku. "Apa yang kamu lakukan pada orang sakit?"

"Gue, uhm, saya menginterogasi," kataku.

Jawaban yang salah, karena paramedis itu tampak makin berang saja. "Nanti saja interogasinya. Yang penting kita selamatkan

nyawanya! Keluar!"

Sembari melontarkan kata terakhir itu, paramedis itu menendangku keluar dari dalam ambulans. Sambil bersungut-sungut, aku

menatap pintu ambulans yang ditutup rapat. Buset, kan aku tidak

salah apa-apa. Kan kami memang harus tahu Johan ada di mana.

Tanpa daya kutatap kepergian ambulans itu. Astaga, bahkan

aku belum sempat bicara apa-apa pada Les. Gara-gara ulah ayah

Johan dan kata-katanya yang membingungkan, kesempatanku jadi

melayang.126

Tapi aku tidak ragu. Les pasti selamat. Dia harus selamat. Dia

akan selamat dan kami berdua akan membuka bengkel terbaik di

seluruh daerah ini.

Seraya menatap ambulans itu hingga lenyap dari pandangan,

aku menghalau kecemasanku jauh-jauh. Saat ini, yang Les inginkan dariku pastilah memusatkan seluruh perhatianku untuk menyelesaikan masalah ini?dan itulah yang akan kulakukan sekarang. Kutolehkan kepalaku ke kanan dan kiri, lalu kudapati

Hanny dan lainnya sedang diobati paramedis sambil diinterogasi

Inspektur Lukas, inspektur bertampang keren yang diam-diam

kukagumi (satu-satunya kekurangannya hanyalah dia ternyata

paman si Markus yang menyebalkan itu).

"Halo, Frankie," sapanya ramah padaku saat aku mendekat.

"Sering sekali ketemu denganmu belakangan ini."

"Begitulah, Pak Inspektur," sahutku. "Kan kita sama-sama

sedang menyelamatkan dunia."

Inspektur Lukas nyengir mendengar jawabanku.

"Gimana keadaan Les?" tanya Hanny. Wajahnya yang dekil

namun cantik kelihatan cemas. "Apa separah itu?"

"Separah apa?" tanyaku bingung.

"Sampe-sampe elo dilempar keluar dari ambulans."

Wah, ternyata dia memperhatikan kejadian itu juga. "Oh, itu

sih gara-gara gue ngebentak-bentak bapak si Johan."

Air muka Hanny yang cemas berubah jengkel. "Kenapa lo bentak-bentak bapaknya Johan? Emang dia salah apa sama elo?"

Sebelum aku sempat menyahut, dia sudah menyergah lagi, "Lo

kira mentang-mentang anaknya bejat, bapaknya bejat juga? Nggak

gue sangka, pikiran lo sepicik itu. Gue kira lo cowok yang lebih

baik dari orang-orang kebanyakan, nggak taunya"127

"Pak Inspektur." Dengan kasar aku menyela ucapan Hanny

yang langsung memelototiku. "Gue, eits, saya nggak perlu ngasih

keterangan apa-apa, kan?"

Inspektur Lukas mengangguk seraya melirik Hanny dengan

ngeri. "Sepertinya sudah cukup. Luka-luka kalian juga tidak ada

yang perlu penanganan khusus, kan?"

"Betul, Pak, tidak ada. Semua sudah ditangani, tidak ada yang

perlu dikhawatirkan." Petugas paramedis yang terakhir menangani

lukaku yang menjawab. "Tapi sebentar, masing-masing akan kami

berikan obat pereda nyeri dan pencegah infeksi."

Setelah kami diberi air minum dan disuruh menelan obat yang

mereka berikan, para petugas itu pun membereskan peralatan medis mereka. "Kalau begitu, kami boleh jalan dulu, ya?"

Kami pun berpamitan pada Inspektur Lukas.

Aku menoleh pada Tony. "Kita jalan ke mobil?"

"Semoga aja benda itu belum dibakar juga oleh Johan," kata

Tony muram.

"Kalau ada polisi atau apa di sekitar situ, seharusnya masih

selamat," kata Jenny yang selalu menggunakan akal sehat.

"Kalo gitu kita ke sana sekarang juga," kataku. "Ada yang

harus gue ceritain, tapi tanpa dikupingi para polisi itu."

Yah, sayang juga aku harus merahasiakan ini dari si inspektur

keren.

Setelah agak jauh dari kerumunan orang-orang, aku melontarkan pertanyaan yang sedari tadi sudah kutahan-tahan. "Ada yang

tau artinya Belitung?"

"Belitung?" tanya Jenny dengan raut wajah aneh.

"Ya," anggukku. "Tadi bapaknya Johan bilang, Johan ada di

Belitung."128

"APA???"

Apa-apaan ini? Semua orang tampak shock. Itu berarti, mereka

semua mengerti arti ucapan itu?hanya aku yang cengok seperti

orang tolol.

"Hei, ada yang mau jelasin nggak, Belitung itu apa?" tanyaku

jengkel.

"Belitung itu nama jalan," jelas Hanny dengan muka tegang.

"Jalan di depan rumahku," sambung Tony lagi sambil mengatupkan rahangnya.

"Jalan di depan rumah lamaku," tambah Jenny dengan wajah

pucat.

"A.k.a. jalan di depan rumah lama Johan," tandas Markus.

Whoa, jalan yang beken banget, sampai didiami begitu banyak

orang yang berkaitan dengan masalah ini. "Menurut kalian, Johan

benar-benar ada di situ?"

"Nggak salah lagi." Tony mengangguk. "Sejak Jenny pindah

dari situ, rumah itu direnovasi oleh pemilik baru. Baru-baru ini,

sebelum gue dan Markus pergi ke kamp latihan judo, rumah itu

direnovasi lagi. Biasanya yang seperti itu kan hanya terjadi

lantaran ada pergantian pemilik."

"Jadi, rumah itu dibeli lagi oleh Johan?" tandas Jenny ngeri.

"Bisa jadi."

"Sialan! Padahal tadi kita semua kan dari rumah lo! Gue nggak

ngebayangin Tory disekap di seberangnya!" geram Markus.

"Orang itu benar-benar gila," sambung Tony. "Berani-beraninya

dia ngelakuin semuanya di depan mata kita. Tanpa kita sadari

pula!"

"Gue rasa, Johan punya kecenderungan untuk nunjukin pada

kita kalau dia nggak takut sama kita semua," dugaku. "Selain129

masalah rumah ini, bukti lainnya adalah dia sengaja memperlihatkan diri sesaat sebelum dia meledakkan rumahnya sendiri."

Hanny mengangguk. "Dia ngelakuin semua itu seolah-olah dia

nantang kita, padahal dia udah mastiin kita nggak akan bisa

ngejar dia. Kesimpulannya, dia itu pengecut yang berlagak berani."

"Johan ini luar biasa banget," kataku takjub. "Kayaknya kok

dia punya semua sifat jelek di dunia ini, ya? Sampe-sampe reputasi gue kalah sama dia."

"Lo mau punya reputasi setara psikopat?" tanya Hanny jengkel.

Kenapa sih dia selalu marah-marah padaku?

"Nggak sih, tapi kan biasanya gue yang punya reputasi jelek

penuh cela. Sekarang, dibanding Johan, gue jadi kayak malaikat

ganteng dan baik hati."

"Malaikat jelek dan dekil, kali," tukas Hanny. "Jadi, sekarang

kita ke sana?"

"Tentu aja," sahut Markus cepat. "Jangan buang-buang waktu

lagi. Tory nunggu kita. Nah, itu mobil kita. Ternyata masih sehat-sehat aja."

Kami lega melihat mobil Tony masih terparkir dengan manis

di tempat yang terlindung pepohonan.

"Mobil yang lo naikin tadi di mana, cuy?" tanyanya padaku.

Aku dan Hanny serempak menunjuk tempat mobil kami diparkir. "Masih sehat juga," kataku lega. "Bawa dua mobil?" tanyaku

bersemangat karena mengira bakalan kebagian menyetir

Alphard.

"Kalo lo bisa," sahut Tony. "Emangnya lo yang bawa kunci

Alphard-nya?"130

Brengsek! Sudah kukira aku melupakan sesuatu. Harusnya kucolong benda itu dari saku Les sebelum aku diusir oleh si paramedis galak itu.

Berhubung Markus duduk di samping Tony di kursi depan,

terpaksa aku duduk di jok belakang bersama dua cewek menarik.

Oke, aku tidak terpaksa. Sebenarnya, aku lumayan senang dengan

posisi itu, berbeda dengan si tuan putri yang mukanya langsung

berubah tatkala aku berdempet-dempetan dengannya.

"Kenapa?" tanyaku sambil memasang muka polos. "Ada yang

salah?"

"Lo dudukin gaun gue!"

Aku buru-buru mengangkat pantatku. "Ya ampun, segitu saja

marah banget."

Lagian, salah sendiri masih pakai-pakai gaun merepotkan itu.

Memang sih dia jadi kelihatan cantik, tapi ini kan bukan saatnya

pasang gaya. Tapi tentu saja tak kuucapkan semua itu padanya,

berhubung bisa-bisa aku tambah dibetein.

"Iya dong. Gaun gue jadi makin sobek aja, soalnya."

Buset! Jadi itu sebabnya belahan kakinya jadi tinggi banget?

"Oh, gitu. Sori deh."

Aku melirik kaki di sebelahku, lalu buru-buru menepiskan

segala pikiran yang berkelebat di benakku. Bukan saatnya memikirkan yang tidak-tidak. Saat ini ada teman yang harus diselamatkan. Ada dendam yang harus dibalas. Ada ketidakadilan yang

harus diperbaiki.

Les, jangan khawatir. Akan kuhajar bajingan psikopat itu untukmu. Karena itu, berjanjilah padaku. Tetaplah hidup.

* * *131

Hal pertama yang perlu kami urus adalah pakaian kami yang

sudah compang-camping.

Jelas masalah itu menjadi prioritas utama kami. Si tuan putri

mengomel terus tentang pakaiannya yang makin seronok saja dari

waktu ke waktu, sementara harus kuakui penampilan kami semua

mirip orang-orang yang baru saja selamat dari pembantaian yang

dilakukan oleh Jason Voorhees.

Kami berhenti di rumah Markus yang letaknya ternyata cukup

jauh dari perumahan dan berganti pakaian di situ. Sebenarnya

kami bisa saja menggunakan rumah Tony yang searah dengan

perjalanan kami, tapi kami tak ingin menarik perhatian Johan,
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seandainya psikopat itu ternyata hobi mengintai rumah seberang.

Rumah Markus ternyata aje gile gedenya, dengan desain minimalis yang tampak modern namun bagiku kelihatan suram dengan dominasi warna abu-abu dan hitam. Pekarangannya luas,

namun tidak banyak tanaman, sehingga lebih menyerupai padang

rumput daripada taman. Garasinya yang besar tertutup rapat,

membuatku bertanya-tanya mobil apakah yang dibawa cowok

pesolek ini.

"Orangtuamu ada di rumah?" tanya si tuan putri.

Jengkel rasanya melihat tampang si tuan putri yang keder seperti cewek diajak menemui calon mertua.

"Nggak tuh," sahut Markus santai. "Bokapku pasti lagi kerja,

sementara Nyokap lagi ada pemotretan di Phuket."

Pantas saja tingkahnya mengesalkan begitu. Rupanya ibunya

semacam artis atau apa gitu, sampai-sampai ada sesi pemotretan

segala.

"Yang ini kamar gue," jelasnya padaku, sementara Tony sudah

menyelonong seolah-olah itu rumahnya sendiri. "Kami ganti baju132

di sini. Jen, Han, kalian pakai kamar orangtuaku aja. Kalian bisa

pinjam pakaian ibuku."

"Oh, ya?" pekik si tuan putri, membuatku makin bete saja.

"Pakaian supermodel? Wow, Jen, kita bisa bongkar-bongkar

nih."

"Jangan kelewatan dong," tegurku sok bijak. "Gimanapun itu

kan pakaian nyokapnya. Kalian harus sopan dan rapi, jangan sampai bikin malu."

"Nggak apa-apa. Nyokap gue juga orangnya serampangan.

Santai aja."

Arghh. Orang ini benar-benar membuatku darah tinggi.

Koleksi pakaian si cowok sok selebriti memang luar biasa,

disimpan dalam kamar pakaian yang ditata rapi bagaikan butik

kenamaan?dan semuanya bermerek mahal. Baju-bajunya terdiri

atas kemeja-kemeja lengan panjang yang necis, yang sama sekali

bukan gayaku, tapi terpaksa harus kukenakan karena hanya itulah

yang tersedia. Yang mengesalkan, ternyata pakaiannya pas untukku. Asal tahu saja, dengan tubuh segede ini, aku sering mengalami kesulitan berbagi pakaian dengan orang lain. Tak kusangka,

dari sekian banyak teman-temanku, justru pakaian si cowok superrapi inilah yang paling cocok untukku. Padahal, bukannya tubuhku masih lebih gede daripada dia, ya?

Benar-benar menyebalkan.

"Gue jadi mirip pelayan restoran," hinaku pada bayanganku di

depan cermin.

"Baguslah," sahut Markus cuek. "Gue jadi ngasih lo ide buat

mata pencaharian baru juga, kan."

Sialan. "Sori-sori aja, gue maunya jadi montir bengkel."

"Suit yourself. Menurut gue, jadi pelayan lebih enak. Pakaian133

rapi, dapet tips banyak. Kalo jadi montir, tampang selalu dekil,

mana gaji gitu-gitu aja."

Orang ini benar-benar mengesalkan. Kepingin kutendang saja

sampai nancap di dinding.

Sambil bersungut-sungut, aku mengikuti keduanya keluar?dan

terpana.

Si tuan putri sudah berganti pakaian dari gaun compang-camping nan seksi menjadi kaus kedodoran warna putih yang menampakkan bahu sebelah dan celana jins superketat. Dia tampak

cantik luar biasa, membuat ilerku nyaris menitik, tapi buru-buru

kutelan supaya tidak mempermalukan diri sendiri. Di sampingnya,

Jenny tampak malu-malu sekaligus imut banget dengan gaun terusan pendek yang santai berwarna pink, yang menampakkan

sepasang kakinya yang jenjang.

Di sebelahku, mulut Tony ternganga, mukanya kelihatan

goblok luar biasa, membuatku jadi bertanya-tanya kenapa dulu

aku pernah menganggap orang ini cowok paling oke di sekolah.

Lalu dia menghambur dan memeluk Jenny yang wajahnya langsung memerah. "Aduh, kamu cantik banget, Jen! Jantungku sampai lumer nih!"

Jenny tertawa salah tingkah. "Thanks."

"Very nice, Jen," puji Markus sedemikian rupa, memberiku kesan bahwa dia benar-benar menganggap dirinya sebagai kakak

laki-laki Jenny. Kenapa sih dia tidak bisa bersikap seperti itu

terhadap Hanny juga? "Kamu harus lebih sering pakai gaun santai

begini, cocok banget soalnya."

"Masa?" tanya Jenny tersipu. "Tapi repot kali pakai begini terus tiap hari. Lebih enak pakai jins."

"Ah, Jenny kan selalu cantik pakai apa aja," kata Tony, tam-134

pang bangganya menyaingi bapak-bapak yang menemukan anaknya sudah jago naik sepeda.

"Hei, kok nggak ada yang muji aku?" Si tuan putri berkacak

pinggang dengan muka tidak senang banget. Seperti biasa, keegoisannya muncul lagi tatkala merasa tidak diperhatikan.

"Lo juga cantik," kataku sambil merangkul bahunya. "Tapi

nggak ada yang berani muji karena takut digebukin sama gue."

Si tuan putri tampak puas dengan penjelasan itu. Untunglah,

karena tampang Tony dan Markus pun sudah mulai keder melihat gaya tuan putri yang tak senang. Ternyata bukan cuma aku

seorang diri yang takut pada si tuan putri.

"Jadi, kita cabut ke Belitung?" tanyaku pada si tuan putri.

"Iya, tapi bukan yang pulau itu."

"Iya, ngerti kok."

Tak ada yang perlu tahu soal aku betul-betul sempat mengira

Johan kabur ke Pulau Belitung yang jauh itu. Malu kan, kalau

semuanya menganggapku idiot beneran.

Oke, aku tahu, tadi kami baru saja mendatangi rumah Tony

untuk melengkapi diri kami dengan persenjataan, tapi baru sekaranglah aku benar-benar memperhatikan Jalan Belitung yang

terkenal tersebut. Jalan itu dipenuhi rumah-rumah putih bergaya

lama yang besar dan megah, dengan taman luas berisi pohon-pohon besar yang rindang dan pohon-pohon palem di pinggiran

jalan. Beberapa mobil lama terparkir di depan sejumlah rumah,

sama tuanya dengan mobil Vitara Tony yang seharusnya sudah

masuk museum ini (si pemilik langsung mendelik waktu kutanya

berapa duit yang dia habiskan buat perawatan di bengkel, padahal

pertanyaan itu sah-sah saja mengingat aku hobi mangkal di bengkel).135

"Yang mana tuh rumah legendaris tersebut?" tanyaku pada

Jenny.

"Itu dia."

Rumah yang ditunjuk Jenny ternyata jauh lebih mengerikan

daripada rumah Johan yang meledak tadi. Meski sudah direnovasi,

rumah itu tetap kelihatan suram. Mungkin karena pohon-pohon

besar itu. Mungkin juga karena bentuk bangunannya yang,

entahlah, menurutku terlalu kaku. Atau mungkin hanya karena

aku menyadari bahwa seandainya Count Dracula memutuskan

untuk tinggal di Sentul sini, dia pasti akan sangat menyukai

rumah ini.

Aku tidak mengerti kenapa cewek lemah tak berdaya seperti

Jenny sanggup tinggal di rumah itu selama bertahun-tahun. Kurasa

cewek ini pasti jauh lebih tangguh daripada yang ditampakkannya.

"Nggak ada mobil di depan rumah," gumam Markus. "Lampulampu juga tampak padam. Tapi nggak berarti Johan nggak ada

di dalamnya."

"Namanya juga orang gila. Mungkin dia lebih senang gelapgelapan."

Alih-alih berhenti, Tony terus menyetir melewati rumah itu

dan rumahnya sendiri.

"Lho, kita nggak ke rumah lo, Ton?" tanyaku heran.

"Nggak," tegas Tony. "Lebih baik kita jangan ambil risiko. Saat

ini kita cuma perlu tahu gimana kondisi rumah itu, apakah aman

kalau kita masuk sekarang, atau lebih baik kita menunggu."

"Eh, Ton, dari tadi gue kepingin nanya, Benz yang lagi mangkal di pekarangan lo itu punya babe lo?" tanyaku sambil menunjuk ke arah Benz yang mangkal di pekarangan rumah Tony yang

tampak sangat normal ketimbang rumah di seberangnya.136

"Lo kira tetangga gue baek bener, ngasih gue Benz segala?"

"Yah, masalahnya, gue bingung, kok bokap lo bawa mobil modis bener, sementara lo pake yang"

Lagi-lagi aku dipelototi. "Mobil ini gue beli sendiri dengan

tabungan gue, tau!"

"Fortuner yang dikasih bokapnya dihancurin Johan," jelas

Markus nyengir. "Dia malu buat minta lagi sama bokapnya, jadi

dia beli sendiri."

Whoa, ternyata cowok ini bukan cowok manja seperti muridmurid di sekolahku yang bisanya cuma merengek-rengek minta

mobil. Seperti si tuan putri di sebelahku, misalnya. Tapi saat ini

aku tidak berani mengungkit-ungkit hal itu. Bisa-bisa aku ditempeleng sampai mental kembali ke rumah Johan?maksudku yang

di luar kota, bukan yang di sini.

"Jadi apa rencana kita sekarang, Ton?" tanya Jenny mengalihkan topik dengan mulus.

"Kalian semua masih bisa jalan terus?" Tony balas bertanya.

"Bisa," sahut Markus cepat.

"Tentu aja," sahutku tidak mau kalah.

Tony yang sedang menyetir menoleh ke belakang, membuatku

langsung mencengkeram sandaran bangku depan erat-erat. "Jen,

kamu dan Hanny pulang aja, ya?"

"Nggak mau!" teriak Jenny, bersamaan dengan Hanny berteriak, "Nggak sudi!"

"Jen, kamu kan juga tau kalo Johan itu bahaya banget," tegur

Tony. "Cukup aku, Markus, dan Frankie yang menghadapinya."

"Jadi kamu nyepelein kami berdua?" tanya Hanny sambil berkacak pinggang, sikunya menyenggol tulang rusukku dengan keras, membuatku langsung mengaduh.137

"Bukan begitu"

"Kalo begitu, jangan banyak bacot!" tegas si tuan putri dengan

suara berwibawa. "Johan menginginkan aku dan Jenny. Tanpa

kami berdua, bisa-bisa kalian dicuekin. Jadi mendingan kalian

bawa kami atau kalian bakalan pulang dengan tangan kosong."

Tony mangap seolah-olah masih ingin mengatakan sesuatu, tapi

Markus memotong, "Hanny benar, Ton. Gue tau lo mengkhawatirkan mereka berdua kalo mereka ikut. Tapi bagi gue, lebih bahaya lagi kalo kita tinggalin mereka. Gimana kalo Johan nyuekin

kita, lalu malah ngejar mereka?"

Ucapan Markus membuat Tony langsung bungkam. Setelah

diam selama beberapa saat, dia akhirnya berkata, "Kalo gitu jangan jauh-jauh dari kami, ya."

"Yes!" seru si tuan putri dengan tampang puas diri, seolah-olah

dia yang memenangkan perdebatan itu, sementara aku jengkel

karena semua ini berkat pemikiran hebat Markus si bajingan sok

ganteng. "Jadi, apa yang akan kita lakuin sekarang?"

"Tentu aja kita masuk lewat pintu belakang."

"Pintu belakang?" tanyaku heran.

Mungkin bagi kalian, pintu belakang rumah adalah sesuatu

yang biasa-biasa saja. Namun, di kompleks perumahan yang mewah ini, pintu belakang adalah sesuatu yang mustahil dimiliki.

Pasalnya, kompleks perumahan ini termasuk cukup padat. Hampir setiap rumah dikelilingi rumah-rumah lain di samping kiri

dan kanan, juga bagian belakang. Jadi, kalau tidak kepingin ditabok tetangga empunya belakang rumah, sebaiknya tidak membuat

pintu belakang secara sewenang-wenang.

Jadi kalian mengerti kan, kenapa aku kaget mendengar istilah

pintu belakang itu disebutkan?138

"Yep. Dari situ kita bisa memasuki rumah secara diam-diam,

menyelidiki di mana Tory disekap, menolongnya, lalu membekuk

Johan hidup-hidup. Gampang, kan?"

"Enak aja lo ngomong," gerutu Markus. "Nggak gampang

membekuk Johan hidup-hidup, tau! Lo inget nggak setengah tahun lalu? Dia terus-menerus nyoba bunuh diri saat ditangkap."

"Tipikal pengecut," cemoohku. "Berani berbuat, nggak berani

bertanggung jawab. Jangan khawatir, gue nggak akan biarin dia

kabur begitu aja. Kalo gue udah nempel sama dia, gue bakalan

nemplok terus kayak lintah. Jadi, pintu belakangnya ada di

mana?"

"Di sini."

Kami berhenti di depan sebuah rumah. Ada sebuah plang

besar bertuliskan "Apotek Makmur" terpampang di depan, dan

papan nama putih yang lebih kecil di bawahnya bertuliskan:

Dr. Hendra Rusli

Spesialis penyakit THT

Jam praktik: pagi: 07.00?09.00

sore: 19.00?21.00

Aku menatap sekelilingku dengan bingung. "Kita semua emang

luka-luka, tapi siapa yang sakit telinga, hidung, atau tenggorokan?"

Semua tidak menyahut, tapi bukan hanya dua cewek yang duduk di jok belakang bersamaku, melainkan Tony dan Markus

juga menoleh ke belakang dan menatapku penuh arti.

"Gue?" tanyaku tak senang. "Kenapa harus gue?"

"Emangnya lo lupa kalo hidung lo patah?" sambung Hanny.139

"Lagian, ini waktunya lo beraksi lagi. Kali ini, lo berperan jadi

pasien yang sedang kesakitan banget."

"Oh, jadi gue harus nunjukin bakat akting gue lagi nih?"
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jelas."

"Oke deh." Aku menyeringai. "It?s show time, everybody. Watch

and learn."

Begitu membuka pintu mobil dan keluar, aku langsung memulai sandiwaraku dengan menutupi hidungku dan memasang raut

kesakitan. Tidak terlalu sulit, aku tinggal memencet-mencet hidungku yang memang sudah sakit dan diperban, dan tiba-tiba

saja mataku sudah mulai berair. Aku mendobrak pintu apotek

dan langsung berteriak sengau, "Gila, idi bedar-bedar sakid banged! Bada dokdernya? Bada???"

"Bertahanlah, Frank." Kali ini si tuan putri ikut bersandiwara

denganku. "Gue tahu ini sakit, tapi sebentar lagi nyampe. Dokternya ada di atas. Dia cukup lihai kok."

"Jangad dinggalin gue, jangad suruh gue ke dokder sendiriad," rengekku.

"Nggak, Frank. Kita semua temenin elo kok."

"Janji, ya? Jangad ada yang gabur begidu aja."

"Iya, Frank, lo tenang aja," kata Tony dengan ekspresi aneh

yang membuatku curiga dia sedang tertawa diam-diam.

Berhubung masih subuh, apotek itu masih sangat sepi. Hanya

ada seorang tukang bersih-bersih yang sedang memegangi alat pel

dan dua orang cewek di belakang konter obat. Semuanya menatap kami dengan tampang prihatin. Sama sekali tak tebersit dalam

pikiran mereka bahwa aneh sekali seorang cowok pergi ke dokter

dengan dikawal empat orang temannya. (Kalau ini sungguhan,

aku tak bakalan sudi dikawal ke dokter. Malu-maluin banget.140

Bahkan, kalau bisa, aku akan langsung mendatangi dokternya

secara diam-diam dan berkata dengan tampang tegar, "Nggak

usah sungkan-sungkan, Dok. Langsung sodok aja jarum suntiknya

ke dalam lubang hidung." Dan apa pun yang terjadi setelah itu,

akan kukubur dalam-dalam sebagai rahasia pribadi.)

"Dokternya belum datang, Dik," kata salah satu orang yang

berdiri di dekat konter obat. "Pulang dulu saja."

Mendengar itu, Tony langsung berteriak, "Gila! Apa kalian

nggak ngeliat teman saya ini lagi kesakitan banget?! Idung lo sakit

nggak, Frank?"

"Udah mau madi!" raungku. "Gue nggak bisa ke mana-mana lagi

selain di sidi! Mendingad gue dunggu sampai dokdernya munjul!"

"Ya udah, kita tunggu sampe dokternya munjul, eh, muncul," kata Tony garang. "Nggak masalah, kan?"

Dua cewek dan si tukang bersih-bersih buru-buru kembali

pada kegiatan mereka. Jelas mereka tidak ingin berurusan dengan

sekelompok remaja pembuat onar.

"Ruang tunggu dokter di lantai atas, Mbak?" tanya Markus,

kali ini dengan sopan, dan cewek-cewek di konter obat langsung

menatapnya dengan sorot mata bersinar-sinar.

"Betul, Dik," kata salah satunya. "Tapi mau tunggu di bawah

juga boleh. Nanti saya bisa bantu telepon dokternya supaya datang lebih cepat."

"Ah, nggak usah, kasihan dokternya nanti," kata Markus sambil

menyunggingkan senyum menyebalkan. "Lebih baik kami tunggu

aja di atas. Nggak apa-apa, kan? Kami nggak akan merepotkan

kok."

"Iya, silakan, nggak apa-apa kok," kata cewek yang satu lagi.

"Anggap saja rumah sendiri. Mau saya ambilkan minum?"141

"Aduh, thank you banget, Mbak, tapi nggak usah repot-repot.

Kami akan baik-baik saja kok di atas. Terima kasih, ya."

Kami menaiki tangga diam-diam.

"Ternyata," ucapku kecewa, "semua jago sandiwara, ya."

"Gue nggak sandiwara apa-apa kok," balas Markus santai.

"Yah, bakat alami ngerayu cewek-cewek, ya," seringai Tony.

"Bakat yang bikin iri," sambung Hanny.

"Ah, Tuan Putri bisa juga kok kayak gitu," kataku. "Buktinya

gue manut aja diseret ke mana-mana."

"Itu sih karena elo bego."

Iya deh, aku memang bego.

Kami tiba di lantai dua. Ruang tunggu terhampar di depan,

dengan meja resepsionis mengawal sebuah pintu?namun tidak

ada orang di sekitar situ.

"Sip lah," kata Tony. "Sekarang kita ke belakang."

"Ke belakang?" tanyaku keberatan. "Rame-rame?"

"Yep."

Kami menuju bagian belakang rumah itu, melewati sederet

toilet?untunglah, kukira kami disuruh masuk ke toilet barengbareng, namanya juga diajak ke belakang?dan sebuah dapur

kecil. Di belakang lagi terdapat pelataran untuk menjemur pakaian dan tangki besar untuk penampungan air.

Tony memimpin kami menuju tangki besar itu. Di belakangnya, terdapat tangga untuk memanjat tangki. Jelas bagiku, tangga

itu juga bisa digunakan untuk naik ke atap rumah di belakangnya.

"Dan inilah, Saudara-saudara," Tony mengumumkan dengan

bangga, "pintu belakang kita."142

RASANYA seperti dj vu saja.

Setengah tahun lalu, kami juga merangkak-rangkak dalam

ruangan gelap berlangit-langit di bawah atap?bukannya benarbenar gelap, karena dari celah-celah genteng, berkas-berkas sinar

matahari menyelinap masuk dan memberikan penerangan remangremang untuk kami. Bedanya, setengah tahun lalu, yang merangkak-rangkak hanyalah aku, Tony, dan Jenny. Saat itu Jenny sedang

dimusuhi habis-habisan oleh Hanny. Kini keduanya bersahabat

dekat bagai saudara kandung ketemu gede, dan kini Hanny juga

membawa pacarnya yang punya tampang dan bodi kuli yang

sama sekali tidak kuduga bakalan menjadi tipe kesukaannya.

Menarik sekali melihat ke mana hidup membawa kita pergi.

Setengah tahun lalu, aku hanya bergerak untuk memuaskan

rasa ingin tahuku yang kelewat gede. Tentu saja, aku ingin melindungi Jenny dari siapa pun yang saat itu sedang mengincarnya,

tapi terlebih lagi, aku kepingin tahu siapa bangsat kurang ajar

9

Markus143

tersebut. Pada akhirnya kami mengetahui orang itu adalah Johan.

Kini orang yang sama jugalah yang membuat kami merangkakrangkak di sini lagi. Bedanya, kali ini kami yang mengintainya.

Dan kali ini, aku melakukan semua ini untuk menyelamatkan

sebuah jiwa. Jiwa cewek yang kucintai. Jiwa cewek yang menjadi

separuh jiwaku. Jiwa yang kalau lenyap, akan menjadikan hidup

ini bagaikan neraka untuk selama-lamanya.

Ini berarti aku sedang berjuang untuk masalah hidup dan matiku sendiri.

Itulah sebabnya kini aku merangkak-rangkak di atas tingkap

langit-langit yang dipenuhi udara berdebu, kecoak yang menyelinap di sela-sela kakiku, belum lagi sarang laba-laba yang menempel di rambutku. Tak masalah, aku pernah mengalami yang lebih


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Night In Turkistan Karya Najib Al Pendekar Perisai Naga 2 Selendang Mayat

Cari Blog Ini