Ceritasilat Novel Online

Teror 3

Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu Bagian 3

buruk kok. Satu-satunya yang membuatku kesal hanyalah Frankie

yang merangkak-rangkak di depanku dan, dalam beberapa kesempatan, nyaris menendang mukaku. Heran, aku tidak mengerti

kenapa si brengsek itu begitu sentimen padaku. Memangnya aku

pernah salah apa padanya?

"Itu dia!" bisik Tony yang berada di barisan paling depan.

"Johan, sepertinya baru dari arah dapur."

"Ngapain dia di dapur?" tanya Jenny. "Kayaknya nggak mungkin

bisa bayangin Johan masak di dapur pake celemek deh."

"Mungkin aja kalo dia nggak punya juru masak," sahut Hanny

sambil bersempil-sempilan dengan Jenny. "Namanya manusia kan

harus makan juga. Minggir, Ton. Aku juga mau ikutan liat."

"Sekarang giliran gue," kata Frankie setelah menunggu tiga

detik. "Wow, orang bilang jangan menilai dari penampilan, tapi

rumah ini emang sesuram penampilan luarnya. Mengerikan banget. Kenapa sih lo bisa tinggal di sini bertahun-tahun, Jen?"144

"Terpaksa," sahut Jenny sederhana.

"Sini, biar gue liat."

Kini giliranku menyerobot Frankie dengan tidak sabar. Aku

menempelkan mataku pada lubang di lantai, dan mataku langsung bertabrakan dengan mata Johan. Dia mendongak, menatap

lurus ke arah lubang tempat kami mengintip. Wajahnya yang

tanpa ekspresi kelihatan aneh sekali.

Bulu kudukku meremang, dan aku langsung menarik diri.

Crap. Yang benar saja. Tak mungkin dia bisa mendengar kami di

atas sini. Tidak mungkin dia bisa menduga kedatangan kami.

Tidak mungkin dia bisa melihatku tadi.

Ataukah memang itu yang terjadi?

"Ada apa?" tanya Hanny.

Aku menempelkan jari di bibirku dan menggeleng. Namun

Frankie malah kembali mengintip. Saat menegakkan tubuh kembali, wajahnya kelihatan pucat. Kurasa, saat ini wajahku juga

pucat banget.

"Masa dia tau kita ada di sini?" bisik Frankie tanpa suara.

Aku mengangkat bahu.

Kini giliran Tony yang mengintip. Setelah menempelkan mukanya di lantai selama beberapa saat, dia mengangkat jari jempolnya.

"Udah pergi," bisiknya sambil mendongak dan menatap kami

semua. "Kalo dia curiga, pasti dia udah balik lagi sambil bawa

obor buat ngebakar kita."

Benar juga sih. Hanya saja, tadi aku yakin sekali dia menatap

mataku. Tapi mungkin saja itu lantaran aku terlalu waspada terhadap psikopat yang satu ini.

Tiba-tiba terdengar jeritan samar-samar yang membuat bulu

kudukku berdiri.145

"Apa itu?" tanya Hanny dengan suara tertahan.

Pandanganku bertemu dengan sorot cemas di mata Tony.

Tory.

Ya. Itu pasti Tory! Ya Tuhan, apa yang terjadi padanya?

"Kita harus turun sekarang," kataku panik.

"Jangan," geleng Tony. "Itu terlalu berisiko."

"Yang gue tau, sampai sejauh ini, Johan itu pengecut," kata

Frankie. "Kalo kita berlagak ingin menghajar dia habis-habisan,

gue rasa dia pasti akan langsung nyerah."

"Tapi saat ini Tory berada di tangannya," kata Tony muram.

"Itu kartunya yang paling penting. Selama Tory masih disekapnya,

dia tahu kita nggak bisa berbuat apa-apa terhadapnya. Dalam

keadaan terdesak, dia tinggal menggunakan Tory untuk ngancam

kita, dan kita pasti akan menuruti segala kemauannya."

"Sebaliknya," bantah Frankie, "kalo kita serang dia dan ngancam dia, bisa aja dia menggunakan Tory untuk menukar keselamatannya, kan?"

Tony menggeleng lagi. "Lo terlalu nganggap remeh Johan. Dia

tahu kita nggak akan tega mencelakai dia, sedangkan dia nggak

segan-segan mencelakai kita semua. Itu keuntungannya yang

terbesar sekaligus kelemahan kita yang terbesar."

"Kita nggak bisa mengambil risiko dia mencelakai Tory lebih

lama lagi," kataku. "Lebih baik kita temuin dia sendiri. Dari

suara tadi, Tory pasti ada di rumah ini, dan dia nggak jauh-jauh

amat dari sini."

"Kalo mengingat tadi Johan baru dari arah dapur, mungkin,"

duga Jenny, "dia disekap di sana."

"Di dapur?"

Jenny mengangguk. "Di belakang dapur, maksudku. Ada gu-146

dang besar yang letaknya lebih rendah dari lantai satu, jadi semacam gudang bawah tanah, meski rasanya itu masih belum terhitung bawah tanah juga deh."

"Sepertinya tempat yang tepat untuk menyekap seseorang,"

gumam Tony. "Oke, kita coba periksa ke situ. Masalah kita sekarang, kita ada di langit-langit lantai dua, dan untuk ngecek lantai

satu, kita harus turun dari tempat ini tanpa ketauan Johan."

Kata-kata Tony langsung membuat kami semua bungkam seribu bahasa. Crap, memang nyaris tak mungkin kami bisa turun

dari tempat ini tanpa ketahuan Johan yang paranoid banget itu.

Sebenarnya sih, aku tidak peduli ketahuan atau tidak?kalau ketahuan, malah itu bakalan jadi kesempatan bagus untuk berhadapan

langsung dengan Johan. Dan percaya deh, kalau itu sampai

terjadi, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Akan kuhajar

si Johan habis-habisan, akan kupermak mukanya sampai makin

jelek saja, dan akan kubikin dia menjerit-jerit minta ampun.

Hmm, pasti bakalan puas rasanya.

Tapi bagaimana kalau itu malah membahayakan teman-teman

yang lain? Lebih parah lagi, bagaimana kalau itu sampai membahayakan Tory?

"Kurasa aku tau caranya."

Alih-alih Tony si pembuat rencana kelas wahid, kali ini Jennylah yang membuka mulut. Kami semua langsung menatap takjub

padanya. Wajah cewek itu memerah saat menyadari dirinya jadi

pusat perhatian.

"Kita pisah jadi tiga kelompok," katanya dengan suara kecil. "Aku

dan Hanny akan menghadapi Johan dengan berlagak ketangkap.

Dari belakang, Tony dan Frankie akan nyergap Johan. Sementara

itu, Markus yang akan pergi nolong Kak Tory. Gimana?"147

"No way!" protes Tony keras. Menyadari tatapan tajam kami

semua, dia mengulangi dengan suara lebih pelan. "No way. Terlalu bahaya buatmu, dan Hanny juga. Aku nggak setuju."

"Namaku kok kayak tambahan aja?" tukas Hanny jengkel.

"Tapi Jenny benar. Dari dulu dia menginginkan aku dan Jenny.

Kami pasti berhasil mengalihkan perhatiannya."

"Gimana kalo kalian malah ditangkap olehnya?" tanya Tony

sangsi.

"Itu nggak akan terjadi," sahut Jenny dengan suara menenangkan. "Aku pernah lolos darinya waktu di pesawat terbang. Bukannya aku sombong, tapi kurasa aku berhasil lolos bukan karena

keberuntungan, melainkan karena, hm, aku"

"Lebih jago dari Johan?" seringai Frankie. "Mantap!"

Kalau cewek-cewek lain, seperti Hanny, langsung pasang tampang narsis saat dipuji, Jenny tampak siap ngumpet saking malunya. "Ah, nggak, bukan gitu. Cuma, hm, kukira aku mungkin

bisa mengatasi dia."

"Pasti bisa, apalagi sekarang ada gue," kata Hanny narsis, lalu

menatap kami semua. "Menurut gue, rencana Jenny sempurna

banget. Kita jalani aja. Gimana?"

"Lo yakin bisa menghadapi Johan?" tanya Frankie pada

Hanny.

"Lo nggak percaya sama kemampuan gue?" Hanny balas menantang.

"Percaya deh," Frankie nyengir. "Oke, Tuan Putri. Asal lo janji

jangan macam-macam sebelum gue tiba."

"Iya deh, gue juga masih menghargai nyawa gue kok." Hanny

menoleh padaku. "Markus?"

"Yah." Aku mengangguk, lalu menoleh pada Tony. "Sori, Ton,148

menurut gue ini rencana yang bagus. Seandainya lo punya rencana lain yang nggak kalah bagus, gue akan mendukung. Tapi sepertinya cuma rencana ini satu-satunya yang bisa kita jalani."

Tony terdiam lama. "Oke deh. Aku setuju, dengan satu perubahan kecil." Dia menatap Jenny lekat-lekat. "Aku ikut dengan

kalian."

"Nggak bisa," tegas Hanny sebelum Jenny sempat menjawab.

"Semua juga tau, di mana ada kamu, pasti ada Markus. Johan

pasti akan curiga."

"Tapi aku nggak mungkin ngebiarin kalian berdua tanpa pengawal."

"Aku nggak butuh pengawal." Kali ini Jenny yang menegaskan.

"Ton, thanks karena kamu berusaha melindungiku, tapi hubungan

kita" Lagi-lagi wajahnya memerah. "Kita ini setara. Aku ini

partnermu, bukan cewek lemah tak berdaya yang harus terusmenerus diperhatikan dan dilindungi. Aku juga sanggup melakukan sesuatu. Please, jangan anggap remeh aku."

Kini wajah Tony yang tampak tak berdaya. "Aku bukannya

nganggap remeh kamu, Jen. Aku hanya, kalo sampai sesuatu

terjadi pada dirimu"

"Tenang aja." Jenny menyunggingkan senyum tabahnya yang

langsung meluluhkan hati kami semua. "Aku nggak akan melakukan apa pun yang menentang bahaya. Aku akan pura-pura jadi

cewek yang ketangkap basah dan udah pasrah banget. Gimana?"

Lagi-lagi Tony diam lama sekali.

"Ton," ucapku mengingatkan. "Tory butuh kita."

"Gue tau." Tony menghela napas. "Ya udah. Aku setuju dengan

rencanamu, Jen. Tapi kamu harus janji, jangan sampai ketangkap."149

Jenny mengangguk. "Iya, aku janji."

"Oke." Kini Tony tampak seperti dirinya yang biasa lagi,

matanya bersinar-sinar tanda dia siap menyusun rencana untuk

langkah berikutnya. "Jadi kita turun ke salah satu ruangan dan

bikin keributan, sementara Markus keluar dari ruangan lain?"

"Iya," sahut Jenny. "Tadi kamu liat nggak, Johan pergi ke arah

mana?"

Wajah Tony berubah suram. "Sepertinya ke bekas kamarmu,

Jen."

"Ngeri bener sih," tukas Hanny. "Bukannya itu kamar tempat

ibunya bunuh diri?"

"Itu sih bukannya ngeri, tapi sentimental," timpal Frankie.

"Sentimental di tempat orang gantung diri," Hanny mendengus. "Kalo itu namanya bukan mengerikan, dunia ini benarbenar udah terbalik. Jadi kita turun di mana?"

"Menurutku, kita bisa turun di ruangan bekas kantor ayahku,"

sahut Jenny, "kalo ruangan itu masih ada. Ada beranda yang

terhubung dengan ruangan itu, pasti cocok buat tempat persembunyian kamu dan Frankie, Ton. Kalian tinggal tunggu waktu

yang tepat untuk nyergap Johan."

"Waktu yang tepat, maksudnya tentu saat aku memberi isyarat

kalo aku udah berhasil membebaskan Tory," kataku memastikan.

Jenny mengangguk membenarkan. "Kalo kamu, sebaiknya

kamu turun di kamar yang dulunya bekas kamar orangtuaku.

Kamu masih ingat kan, tempat turunnya di dalam kamar mandi,

dekat bath tub. Kamu pasti nggak akan mengalami kesulitan. Tapi

kamu harus turun beberapa saat sesudah kami membuat keributan, supaya Johan nggak mendengar bunyi-bunyi yang mungkin150

kamu sebabkan. Gimanapun, lokasi tempat kamu turun dan

posisi dia sekarang sangat dekat."

"Got it."

Sesaat kami hanya berputar-putar, memeriksa setiap ruangan

yang memiliki pintu tingkap. Untunglah Johan tetap berada di

ruangannya, yang kebetulan tidak memiliki pintu tingkap di

langit-langit.

"Aneh, katanya udah direnovasi," gumam Jenny. "Tapi kok denah rumahnya nggak berubah sama sekali?"

"Lebih aneh lagi, sepertinya nggak ada orang lain lagi yang ada

di rumah ini selain Johan," kata Frankie. "Aneh banget, rumah

seluas ini hanya ditempati dia sendirian dan seorang tawanan."

"Menurut gue justru nggak aneh," gelengku. "Johan nggak

percaya pada orang lain. Dia merasa lebih aman ngerjain semuanya sendirian."

"Tapi dia kan nyuruh orang lain ngelakuin pekerjaan kotornya

pada kejadian yang didalanginya di sekolah kita dan di kamp

latihan kalian."

Aku punya perasaan Frankie tidak setuju dengan apa pun yang

kukatakan.

"Well, yeah, justru gara-gara kedua kejadian itulah sekarang dia

makin berhati-hati. Mana mau dia nerima satu kegagalan lagi

yang diakibatkan oleh orang lain?"

"Benar juga sih." Meski begitu, suara Frankie mirip orang mendumel.

Serius deh, apa sih masalah orang ini terhadapku?

Akhirnya kami semua kembali pada pintu tingkap yang menghubungkan langit-langit dan bekas kantor ayah Jenny.

"Kita berpisah di sini," kata Tony padaku. "Good luck, man."151

"You too."
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tony mengintip ke bawah dulu sebelum akhirnya meloncat

turun ke ruangan bawah. Sesaat dia menggantungkan dirinya di

langit-langit, lalu perlahan-lahan dia melepaskan tangannya dan

mendarat tanpa menimbulkan bunyi. Meski bertubuh besar, sahabatku itu memang bisa diandalkan dalam kejadian-kejadian yang

membutuhkan ilmu meringankan tubuh.

Saat Frankie mendarat di sampingnya, terdengar bunyi debaman yang membuat jantung kami semua berhenti berdetak.

Satu, dua, tiga detik. Lima detik. Sepuluh detik dan belum ada

tanda-tanda kehadiran Johan. Aman. Fiuhhh. Oke, jantung boleh

bekerja kembali.

Dengan hati-hati, keduanya membantu Jenny dan Hanny turun.

Setelah itu, seperti rencana, Tony dan Frankie langsung bersembunyi

di beranda. Dari posisiku di langit-langit, aku tidak bisa melihat

keduanya sama sekali, tapi aku yakin keduanya akan mampu bergerak cepat jika keselamatan Jenny dan Hanny terancam.

Jenny dan Hanny saling menatap sebentar. Jenny menarik

napas, sementara Hanny membenarkan rambutnya. Lalu keduanya

saling memberi isyarat dengan anggukan. Aku segera menutup

pintu tingkap hingga hanya menyisakan sedikit celah supaya aku

bisa mendengar apa yang terjadi dan memperkirakan kapan aku

harus mulai bergerak.

Kudengar bunyi pintu terbuka dan jeritan tertahan?tak jelas

itu dari Jenny ataukah Hanny.

"Johan!" Kali ini suara Hanny yang terdengar olehku.

"Halo, Hanny, kekasihku sayang, lama tidak ketemu."

Bulu kudukku merinding mendengar suara Johan yang seharusnya bernada mesra, namun malah terdengar dingin di telinga-152

ku. Aku sangat ingin tetap tinggal untuk mendengarkan apa yang

terjadi dan menjaga kedua cewek itu kalau-kalau ada sesuatu yang

terjadi pada mereka, namun aku juga tahu inilah saatnya aku

harus pergi menolong Tory. Kesempatanku mungkin hanya sebentar, mengingat Johan begitu cepat menghampiri mereka. Tebersit

dalam pikiranku bahwa mungkin Johan juga sudah mengetahui

keberadaan kami di sini. Kalau tidak, mana mungkin dia bisa

memasuki ruangan yang sama dengan yang dituju Jenny dan

Hanny? Mana mungkin sikapnya bisa begitu tenang meski menangkap basah Jenny dan Hanny di rumahnya sendiri?

Sudahlah. Ada Tony dan Frankie di situ, dan aku yakin mereka

berdua akan menjaga Jenny dan Hanny dengan taruhan nyawa

mereka sendiri. Sementara itu, Tory menungguku. Hanya aku

satu-satunya yang bisa menyelamatkannya.

Dalam waktu singkat aku sudah turun ke kamar yang dulunya

adalah kamar orangtua Jenny. Seperti yang sudah kami selidiki

tadi, kamar itu kosong. Aku berhasil membuka pintu kamar

tanpa menimbulkan suara dan menyelinap ke luar. Koridor

tampak sepi, menandakan pintu ruangan yang dulunya menjadi

kantor ayah Jenny kini tertutup. Aku bertanya-tanya apa yang

sedang terjadi di dalam ruangan itu, tapi aku tidak berhenti

untuk menguping.

Aku menuruni tangga, dan berhasil menyelinap ke arah dapur

tanpa banyak kesulitan. Aku sama sekali tidak melihat ada orang

lain yang berkeliaran di dalam rumah maupun mendengar suara

yang menandakan ada kehadiran orang lain di rumah ini. Perjalananku benar-benar mulus.

Atau tadinya kukira begitu, hingga aku tiba di depan tangga

batu menuju lantai "setengah" bawah tanah seperti yang dijelas-153

kan Jenny. Di sana, duduklah seorang pria tinggi kurus yang

tampak gampang dirobohkan, sedang memegangi sebilah golok

yang sepertinya menyeramkan.

"Siapa kau?" tanya pria itu sambil berdiri, tampangnya kelihatan curiga.

Tapi sepertinya orang ini rada bego. Mungkin aku bisa mengecohnya.

"Aku," sahutku sambil memasang sikap setenang mungkin,

"disuruh untuk mengambil tawanan."

"Mana kuncinya?"

"Bukannya kau yang pegang kunci?"

"Bukan tuh."

Crap. Bukankah biasanya penjaga pintu sel yang membawa

kunci? Johan benar-benar tidak memercayai siapa pun. Meski

begitu, aku tetap mempertahankan aktingku. "Kalo begitu, kita

berdua berada dalam masalah. Bos kepingin ketemu tawanannya

sekarang juga."

"Kalo begitu, suruh dia yang datang ke sini!" balas si penjaga

pintu sengit. "Kenapa kita yang harus nanggung kesalahan kalau

dia yang lupa ngasih kita kunci?"

"Hei, kau juga tau kan, dia itu galak banget. Aku takut sekali

padanya, dan tadi aku udah kena marah nih. Kau keliatan lebih

pemberani dibanding aku. Gimana kalo kau aja yang pergi minta

kunci padanya?"

Sesaat kukira tipuanku tak berhasil, karena pria itu hanya

menatapku lama sekali. Keringat dingin mulai menetes di keningku. Crap. Bisa-bisa ketahuan nih.

"Oke," sahutnya, membuatku nyaris menghela napas lega. "Biar

aku yang hadapi dia. Kau benar, aku sama sekali tidak takut pada-154

nya." Sambil berjalan pergi, dia mendumel keras-keras, "Dasar

anak baru bernyali kecil. Kenapa sih dia tidak bisa mempekerjakan orang yang lebih berguna?"

Saat pria itu lenyap dari pandangan, aku langsung menuruni

tangga. Crap. Di bawah sini benar-benar gelap. Aku merogohrogoh kantongku dan menemukan senter kecil pemberian Tony.

Saat benda itu kunyalakan, cahayanya menyorot sebuah pintu

kayu yang kelihatan besar sekali. Ada jendela berjeruji di bagian

atas pintu itu. Aku langsung mengintip ke dalam melaluinya. Bau

tak enak menyergap hidungku, tapi aku sama sekali tidak memedulikannya.

"Tory?" Aku berbisik. "Tory, kamu di situ?"

Lama sekali tak ada jawaban. Aku menyorotkan senterku ke

dalam dan menemukan sebuah sosok. Saat aku menyoroti sosok

itu, aku nyaris berteriak kaget. Sekujur tubuh cewek itu berlumuran darah. Pakaiannya yang serbahitam sobek-sobek, dan setiap

sobekan menampakkan kulit yang terluka dan mengucurkan

darah. Bahkan wajahnya yang pucat dipenuhi percikan darah.

Namun yang paling menonjol adalah tangannya yang berlumuran

darah dan memegangi sesuatu yang tampak seperti sepatu bot

(yah, itu memang sepatu bot, cewek itu sekarang sedang bertelanjang kaki).

Awalnya dia menatapku dengan nyalang seolah-olah tidak mengenaliku. Lalu, dari bibir yang gemetaran itu, dia berucap pelan,

"Markus?"

"Yah," sahutku dengan hati perih, sama sekali tidak bisa membayangkan kemalangan apa yang terjadi pada cewek itu, sampai-sampai

dirinya tampak seperti orang yang sudah berjuang hingga titik darah

penghabisan begitu. "Kamu baik-baik aja di dalam situ?"155

"Baik-baik?" Meski suaranya gemetar, dia tetap kedengaran

pongah. "Emangnya aku keliatan baik-baik aja? Dan by the way,

what took you so long?"

Aku tertawa kecil, meski sesungguhnya aku nyaris ingin menangis melihat ketabahannya itu. "Sori telat..."

Tiba-tiba kudengar suara dari belakangku, membuatku meloncat ke samping secara otomatis. Berkat gerakan itu, alih-alih menembus tubuhku, golok yang dilemparkan pria kurus penjaga sel

tadi menancap di pintu kayu.

"Sudah kuduga ada yang aneh," geramnya. "Kau menipuku,

ya?"

"Baru tau, ya?" balasku sambil berusaha menarik golok yang

tertanam di pintu kayu itu. Crap. Sama sekali tak bisa digerakkan.

"Kau kehilangan senjata."

"Tidak kok." Aku terperanjat saat dia menarik sebilah golok

lagi dari pinggangnya. "Kau yang bodoh sudah menganggapku

remeh."

Dia benar. Aku memang menganggapnya remeh, dan sekarang

aku menyesal.

"Tory, kamu butuh senter?" tanyaku sambil menghadapi si pria

bergolok yang berjalan mendekat sambil mengacungkan goloknya

ke arahku.

"Nggak, udah terbiasa gelap-gelapan."

Sebenarnya aku jadi kepingin ketawa saat mendengar jawabannya itu, dan tergoda banget untuk membalasnya dengan kata-kata

lucu, tapi saat ini ada yang lebih penting.

"Kalo begitu," kataku sambil menyimpan senter itu dalam saku

celana, "sabar sebentar ya, Ry. Ada yang harus kusingkirin

dulu."156

"Sama, di sini aku juga gitu."

Aku tidak tahu apa yang Tory hadapi di situ, tapi aku berkata,

"Kamu tenang aja. Sebentar lagi aku akan bebasin kamu."

"Oke."

Aku memusatkan perhatian pada lawan di depanku. Aku tahu,

aku nyaris tak punya kemungkinan untuk menang melawan pria

bergolok itu dalam arena pertempuran yang begitu sempit. Tapi

aku juga tidak bisa membiarkan diriku kalah. Aku harus menang.

Kalau aku sampai kalah, Tory akan terus sendirian di bawah situ,

dan aku akan menyia-nyiakan pengorbanan teman-teman lain

yang sedang berjuang di atas sana.

"Mampus kau!"

Aku kadang heran dengan orang-orang yang berteriak dulu

sebelum menyerang, tapi saat ini aku tidak punya kesempatan

untuk mencela kebiasaan itu. Aku mengelak dari sabetan golok

sekaligus menangkap pergelangan tangan penyerangku dan berusaha merebut senjatanya. Si pria bergolok melancarkan tendangan

padaku, membuatku harus mengelak dan menarik tanganku yang

sedang mencekal tangan yang memegang golok. Akibatnya golok

itu kembali menyerangku secara bertubi-tubi dan aku pontangpanting menghindar.

Saking sibuknya menghindar, aku tidak memperhatikan kondisi

di sekitarku, dan tahu-tahu saja aku mendapatkan posisiku sudah

terpojok.

Crap.

Adegan selanjutnya bagaikan gerakan lambat dalam film. Si

pria bergolok berteriak keras dengan suara yang nyaris tak layak

didengarkan, sementara aku menatap golok yang sedang dihunjamkannya padaku dengan mata terbelalak. Pada sepersekian detik157

sebelum golok itu membelah kepalaku, aku mendapatkan pencerahan: Golok itu mungkin lebih panjang dari tanganku, tapi tidak lebih panjang dari kakiku. Astaga, kenapa dari tadi aku tidak

menyadarinya?

Maka kulakukan usaha terakhirku. Dengan perkiraan tepat

yang nyaris mendekati jenius, aku menendang tangan si pria

bergolok dengan sekuat tenaga. Serangan itu langsung membuat

senjatanya terjatuh. Benda itu sempat mengenai kakiku dan membuat goresan panjang di bagian pahaku sebelum terjatuh ke

tanah, tapi itu sama sekali tak masalah mengingat bahaya besar

lain yang mungkin timbul kalau benda itu sampai mengenai kepalaku.

Dalam kesempatan yang hanya sekejap itu, sebelum si pria

bergolok berhasil memungut senjatanya lagi, aku meninju mukanya sampai pria itu terpental ke belakang. Lalu kuberi satu tinju

terakhir sekuat tenaga, membuatnya menabrak tembok batu di

belakangnya, lalu jatuh tersungkur ke bawah. Aku segera berlutut

di sampingnya untuk memastikan kondisinya. Sip, pria itu sudah

pingsan. Sekarang aku bisa membebaskan Tory.

Satu-satunya cara untuk membebaskan Tory adalah menghancurkan pintu kayu itu, dan aku tidak bisa melakukannya tanpa

menimbulkan suara berisik. Ini berarti Johan pasti akan menyadari apa yang sudah kulakukan, tapi aku tak punya pilihan lain.

Saat ini prioritasku adalah membebaskan Tory, dan apa pun yang

terjadi di atas sana, aku yakin, bisa diselesaikan oleh Tony dan

Frankie.

Jadi kuhantam pintu kayu itu dengan golok.

Pintu kayu itu ternyata cukup kuat. Golok itu sama sekali tidak bisa menembus pintu. Aku hanya bisa merusak gerendelnya,158

lalu kudobrak pintu itu sekuat tenaga. Setelah beberapa kali dobrakan, pintu itu jebol juga. Aku langsung menghambur ke dalam

dan menarik tangan Tory yang terasa basah dan lengket.

"Ayo, cepat keluar dari sini!"

Dan barulah kudengar suara mengerikan itu.

Hisshh.

Crap. Ular???

Aku terbelalak melihat mulut ternganga penuh taring yang

meluncur cepat ke arahku. Namun cewek di sampingku segera

mengayunkan sepatu bot di tangannya dengan sigap. Percikan

darah segar yang amis langsung mengenai wajahku saat pukulannya mengenai muka si ular.

Jadi dari situlah darah yang menempel di tubuhnya. Berapa
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ekor ular yang sudah dibunuhnya?

Tangan Tory menggenggamku erat-erat. Tanpa berkata-kata

lagi, kami keluar dari ruangan gelap mengerikan yang belakangan

kusadari dipenuhi bau amis ular dan darah itu.

Baru beberapa lama kami keluar dari situ, tiba-tiba Tory berkata, "Sori, bisa berhenti dulu sebentar?"

Di bawah sinar matahari di pekarangan belakang, Tory tampak

sangat mengenaskan. Selain pakaiannya sobek-sobek, tubuhnya

penuh luka dan berlepotan darah. Kakinya pun telanjang dan

kotor banget. Kini aku melihat bahwa juga ada bekas-bekas air

mata yang sudah mengering pada wajahnya yang pucat pasi.

Dan tubuhnya yang tinggi kurus tampak gemetaran hebat.

Tanpa bisa menahan diri lagi, aku memeluknya erat-erat.

"Udah, udah," bisikku di telinganya. "Semua udah berakhir."

Cewek itu terisak-isak. "Kukira aku bakalan mati."

"Kamu tahu aku nggak akan ngebiarin hal itu."159

"Kukira kamu udah benci banget padaku."

"Mana mungkin? Sejak kecil kamu sering ngisengin aku, mempermalukan aku, jahatin aku. Setiap kali kamu datang, aku kepingin lari. Tapi itu pun nggak mengurangi rasa sukaku padamu."

"Ah, ya, kamu emang cowok yang aneh banget." Lalu, sambil

menangis lagi, dia memelukku erat-erat. "Jangan pernah ninggalin

aku lagi, Markus. Jangan pernah ninggalin aku lagi seumur hidupku...!"

Jantungku berhenti sejenak. "Apa itu semacam pengakuan cinta?"

Dia tertawa di antara isakannya. "Semacam itulah."

Aku terdiam lama, berusaha menenangkan perasaanku yang

galau, lalu balas bertanya, "Kamu nggak akan berubah pikiran

lagi, kan?"

"Nggak," sahutnya pasti.

"Kalo gitu, baguslah," kataku. "Karena aku nggak akan ngebiarin kamu pergi lagi untuk selamanya."

Mendengar ucapanku itu, Tory tersenyum.

Lalu dia memejamkan matanya.160

OKE, ada fakta penting yang harus kalian ketahui tentang diriku.

Aku orang yang egois banget.

Ya, benar. Bukan egois saja, melainkan egois banget. Asal tahu

saja, aku bukan orang yang senang mengakui kelemahan diri

sendiri. Tapi fakta yang satu ini harus kalian ingat baik-baik untuk memahami diriku dengan lebih baik lagi. Aku tidak bangga

dengan kekurangan ini, tapi aku juga tidak akan meminta maaf

karenanya. Menurutku, wajar-wajar saja manusia punya sifat

egois. Kita tidak bisa berharap orang lain yang memikirkan atau

memperjuangkan kebahagiaan kita, jadi kita sendirilah yang harus

melakukannya. Sama seperti para pedagang, kita kan tidak bisa

memberi harga murah terus-menerus kepada para pelanggan bertampang memelas, lalu menyalahkan nasib karena keluarga kita

miskin berkepanjangan. Kitalah yang harus berjuang, meminta

hak-hak kita, dan mempertahankan apa yang menjadi milik kita.

10

Hanny161

Lagi pula, dengan berbuat begitu kan bukan berarti kita melukai

orang lain.

Oke, harus kuakui, memang dalam beberapa kesempatan aku

sudah melukai orang lain karena keegoisanku. Seperti waktu aku

masih hobi bergonta-ganti cowok, lalu memutuskan mereka karena aku sudah bosan dengan mereka dan tidak ingin diganggu

lagi. Tapi itu kan dulu. Sekarang aku sudah jauh lebih baik.

Tapi sebaik-baiknya aku, aku bukan Jenny yang rela-rela saja

mengorbankan kenyamanan hidupnya demi kepentingan orang

lain. Jadi, tindakan menolong-orang-sampai-harus-mempertaruhkan-nyawa seperti yang kulakukan saat ini sebenarnya adalah sesuatu yang di luar kebiasaanku. Apalagi orang yang harus kuselamatkan itu adalah kakak perempuan dari cowok yang pernah

mengerjaiku habis-habisan, yang kelihatannya jutek banget dan

tidak suka padaku. Sori-sori saja, kalau memang semuanya tergantung padaku, aku tak bakalan sudi melakukan hal ini.

Masalahnya, kalau aku tidak melakukannya, aku akan merasa

bersalah banget pada sahabat-sahabatku.

Dan tanpa melakukannya pun, aku tetap harus menghadapi

bahaya mengerikan bernama Johan.

Sial, semua ini benar-benar menyebalkan. Aku mengutuk hari

saat aku bertemu dengan Johan. Aku mengutuk hari saat aku

berteman dengan Johan. Aku mengutuk hari saat Johan berhasil

kabur dari rumah sakit jiwa.

Aku mengangkat wajahku dan bertatapan dengan Jenny, yang

mengangguk padaku, menandakan bahwa dia sudah siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. Aku melirik ke atas. Markus

sudah menutup tingkap, yang berarti dia juga siap bergerak di saat

kami bikin huru-hara untuk menarik perhatian Johan.162

Di belakang kami, tidak terasa tanda-tanda kehadiran Frankie

dan Tony yang seharusnya sedang bersembunyi di beranda. Sebenarnya, begitu tiba di sini, aku langsung tidak suka dengan ide

mereka bersembunyi di situ. Soalnya, ada pintu kayu yang membatasi ruangan kami dengan tempat persembunyian mereka itu.

Oke, memang itu hanya pintu kayu tak berbahaya yang mungkin

gampang didobrak. Tapi tetap saja itu penghalang yang cukup

merepotkan bagi salah satu pihak jika pihak lain dikerjai Johan.

Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Sudah terlambat untuk mengubah rencana. Yang bisa kulakukan hanyalah

berharap semuanya bisa berjalan lancar.

Aku membalas anggukan Jenny. Kami berdua mendekati pintu

dan membukanya.

Dan kami pun melihat Johan tersenyum pada kami.

Kudengar jeritan tertahan?dan dengan malu kusadari bahwa

jeritan itu berasal dari mulutku. Oke, ulahku rada memalukan, tapi

aku tidak sendirian. Di sebelahku, Jenny langsung mencengkeram

jemariku dengan erat dan nyaris meremukkannya. Astaga, dari mana

datangnya kekuatan laksana monyet panik ini? Seharusnya dia

menggunakannya untuk menyakiti Johan, bukannya aku.

Kami sama-sama hanya bisa menatap tak berdaya saat Johan

melenggang masuk dengan santainya. Yang membuatku kesal, aku

sudah melakukan kesalahan pertama. Aku menunjukkan rasa takut terhadapnya. Tapi tak masalah, aku kan bisa memperbaikinya.

"Johan," ucapku sambil memasang wajah sengak ala aku-nggaktakut-padamu-dasar-setan-psikopat.

"Halo, Hanny, kekasihku sayang." Senyum Johan, seperti biasa,

tidak mencapai matanya. Karena itulah, senyumnya terlihat me-163

nyeramkan banget. Mirip orang-orang dalam videoklip Black Hole

Sun, sebuah lagu lama yang pernah beken banget. "Lama nggak

ketemu, ya."

Mendengar sapaan mesra yang menjijikkan itu, kemarahanku

langsung berkobar-kobar. Belakangan barulah terpikir olehku,

kemarahan itulah yang berhasil membuatku lupa sama sekali dengan ketakutanku.

Alih-alih mendampratnya, aku mengeluarkan pertanyaan yang

lumayan cerdas, "Dari mana lo tau kami ada di sini?"

"Nggak sulit mengetahui ada yang merayap-rayap di atas sana,"

kata Johan ringan sambil menuding ke arah Jenny. "Gue kan

udah melakukannya selama bertahun-tahun saat Jenny Jenazah

yang jelek itu masih menghuni rumah ini."

Oke, sebagai manusia yang objektif, aku juga sadar Jenny tidak

bisa dikategorikan cewek cantik yang sanggup bikin heboh atau

semacamnya. Sebaliknya, kalau dia tetap menjadi dirinya sendiri,

bisa-bisa kita tidak sadar dia ada di situ. Tapi Jenny tidak jelek.

Dia memiliki seraut wajah yang manis, belum lagi sikapnya yang

tenang membuatnya tampak feminin. Kalau dibanding-bandingkan, Johan malah jauh lebih jelek daripada Jenny (meski aku juga

bingung mau dibandingkan dari sisi mana, karena toh tidak ada

kesamaan apa pun di antara mereka). Kadang aku bingung dengan orang-orang semacam ini, orang-orang jelek yang hobi

mengatai orang lain jelek juga. Aku saja yang cantik begini

jarang-jarang mengucapkannya terang-terangan (kalau dalam hati

sih sering banget. Frankie saja sering jadi korban penghinaanku

di dalam hati?eh, kalau dia sih, bukan di dalam hati saja, tapi

sering sekali benar-benar kukatai jelek ding, hihihi).164

"Hei, jaga mulut lo!" bentakku kesal. "Kalo mau menghina,

ngaca dulu dong! Kayak diri lo sendiri cakep aja."

"Cakep dong," sahut Johan tidak tahu malu. "Buktinya lo mau

aja pacaran dengan gue waktu itu."

APA???

"Emangnya kapan kita pernah pacaran?"

"Waktu lo musuhan dengan Jenny Jenazah."

Sesaat aku tidak sanggup berkata-kata. "Yang bener aja. Waktu

itu kita kan cuma temenan, bukannya pacaran! Ge-er banget

lo!"

"Tapi kenapa semua orang menyebut kita ?Hanny dan

Johan??"

"Karena semua yang deket-deket dengan gue pasti bakalan ikut

populer."

Oke, aku tahu kata-kataku narsis, sombong, dan tidak tahu

malu, tapi saat ini aku sudah tidak peduli lagi saking marahnya.

"Udah bagus cowok sekuper elo gue jadiin temen, eh lo malah

ngelunjak minta dianggap pacar. Apa itu nggak berarti, dikasih

hati minta ampela?"

"Kamu bisa menyangkal sesukamu, tapi itu tidak akan mengubah masa lalu kita," balas Johan dengan kata-kata sok sopan dan

muka sok penuh pengertian yang membuatku ingin sekali menonjoknya. "Atau lo malu, berhubung sekarang lo udah punya pacar

baru?"

Oh, orang ini benar-benar menyebalkan!

"Bicara soal pacar baru, ke mana cowok lo yang hitam dan

jelek itu? Jangan bilang dia tewas dalam ledakan itu."

Makin lama bicara dengan cowok ini makin tak tertahankan

saja kesalku. Selain kepingin balas mengatainya karena berani165

menghina Frankie?astaga, Frankie jauh lebih keren dibandingkan

cowok pucat yang sepertinya bakalan mental ke ujung dunia kalau sampai ditendang si Frankie ini!?aku juga ingin mengamuk

kalau ingat apa yang dilakukannya pada Les.

"Gue nggak berminat melibatkannya dalam urusan kita."

"Begitu, heh?" Johan tampak tak terkesan dengan jawabanku

yang tegas. "Lalu bagaimana dengan elo, Jenny Jenazah? Nggak

ingin melibatkan Tony dan Markus juga, meskipun ada kakaknya

di tangan gue?"

"Sebenarnya, itulah yang ingin kami bicarain dengan elo."

Jenny menyahut pelan dan terdengar tulus banget. "Johan, masalah ini kan dimulai di antara kita bertiga, jadi seharusnya diselesaikan antara kita bertiga aja dong. Jangan libatin orang lain. Tolong

bebasin kakak Tony, ya"

"Lalu? Kalian bersedia menggantikan dia jadi mainan gue?"

Mainannya? Apa maksudnya dengan mainan? Sial, sekarang

aku mulai cemas.

"Johan, apa yang udah lo lakuin pada kakak Tony?"

"Kenapa? Cemas?" Johan tersenyum lagi. "Mau menemui

dia?"

"Nggak." Sial, aku menyahut terlalu cepat! "Maksud gue

dari mana kami tau kalo kami nggak dijebak?"

"Jawaban yang bagus," sahut Johan. "Sayang, elo nggak pandai

berbohong, Han. Gue tau, elo nggak mau kita mendekati kakak

Tony saat ini, karena pasti sekarang ada yang sedang nolongin dia.

Betul, kan?" Johan menelengkan kepalanya. "Kalau didengar-dengar

lagi, memang ada keributan di bawah sana. Yah, gue harap siapa pun

yang kalian tugaskan untuk menyelamatkan kakak Tony, sanggup

menghadapi lawan yang udah gue persiapkan untuknya."166

"Emangnya," tanya Jenny takut-takut, "siapa lawan yang

udah lo persiapkan?"

Dasar Jenny memang culun. Kenapa dia bertanya dengan

mengutip kalimat norak yang diucapkan Johan?

"Oh, hanya teman gue sesama penghuni rumah sakit jiwa yang

hobi mengoleksi golok. Dia bilang, kalo dia sedang marah, dia

nggak akan segan-segan membacok orang."

Gawat. Semua ini benar-benar gawat.

"Tapi gue rasa kalian nggak memperhitungkan teman gue itu,"

kata Johan ringan. "Dan itu berarti ada seseorang, atau mungkin

dua, yang sedang menjaga kalian di sini." Johan mendongak.

"Meski ada kemungkinan mereka bersembunyi di langit-langit,

buat gue kemungkinan yang lebih besar lagi, mereka bersembunyi
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di beranda."

Arghh. Sial, sial! Ketahuan!

"Pilihan yang kurang bijaksana."

Apa maksudnya?

"Apa nggak ada yang sadar?" Johan menyunggingkan senyum

simpul yang tak terlihat menyenangkan. "Pintu itu udah gue atur

sehingga nggak bisa dibuka dari luar."

Jantungku serasa berhenti berdetak. "Bohong."

"Silakan dicoba, kalo nggak percaya."

Tanpa berpikir panjang lagi, aku langsung menghambur ke

pintu itu dan mencoba membukanya. Dari celah tirai di jendela,

bisa kulihat Tony dan Frankie juga sedang melakukan hal yang

sama. Namun berbeda dengan yang dikatakan Johan, pintu itu

ternyata bisa dibuka dengan mudah.

"Gampang sekali kalian tertipu, hahaha."

Kami semua menoleh. Darahku seperti diserap dari wajahku167

saat melihat Jenny berada di tangan Johan. Sebilah belati menempel di bawah dagunya, siap memotong leher sahabatku menjadi

dua.

Sial, lututku jadi lemas melihatnya.

"Lepasin dia, Johan!" kata Tony, tampangnya terlihat dingin

dan pucat bagaikan vampir yang lagi butuh darah.

"Sori, ngeliat tampang kalian yang, omong-omong, sadis dan

nggak kenal ampun, sepertinya dia satu-satunya tiket gue untuk

keluar dari sini dengan selamat."

Johan benar-benar pandai memutarbalikkan fakta. Yang sadis

dan tidak kenal ampun kan dia, kenapa dia malah menyalahkan

kami? Sudah begitu, dia menyeret-nyeret Jenny mundur pula,

sampai-sampai sahabatku itu tersandung-sandung. Aku tidak

mampu menahan jeritan tertahan saat melihat setetes darah mengalir turun dari leher Jenny.

"Jenny!" jeritku tertahan.

"Salahin diri lo sendiri karena milih pacar yang begini lemah,

Tony! Dari sekian banyak orang, dialah target yang paling gampang diincar. Berhati lembek, reaksinya lamban, gampang ditindas, dan selalu masang wajah rela berkorban yang memuakkan.

Jujur aja, gue benar-benar kesal karena nggak berhasil meledakkan

dia di pesawat."

Bukan hanya mukaku yang menjadi pucat, melainkan juga wajah Tony dan Frankie. Melihat betapa dendamnya Johan pada

Jenny, mau tak mau aku jadi semakin kagum pada Jenny yang

berhasil menggagalkan semua urusan itu tapi tetap terlihat rendah

hati. Tapi aku juga takut. Sangat takut. Sejauh apa psikopat ini

berani bertindak demi melenyapkan kami semua?

"Tapi nggak masalah. Urusan ini akan segera gue beresin hari168

ini juga. Nggak lama lagi, lo nggak akan ngerepotin siapa-siapa

lagi kok, Jenny Jenazah."

"Johan, lepasin dia!" geram Tony. "Kalo nggak, gue akan bikin

lo menyesal seumur hidup!"

Johan tersenyum dingin. "Seharusnya gue takut dengan ancaman itu, tapi saat ini kurasa lo nggak akan berani berbuat

apa-apa. Elo terlalu peduli pada makhluk menyedihkan ini."

Saat ini kami sudah berada di ujung koridor. Johan dan Jenny

berdiri tepat di tepi tangga. Dulu ada sebuah pagar pendek yang

membatasi lantai dua dengan langit-langit tinggi ruang tamu di

lantai satu, tapi kini pagar itu sudah diruntuhkan. Dari posisiku,

aku bisa melihat Markus sedang berpelukan mesra dengan kakak

Tony. Sial, bisa-bisanya cowok itu melakukan sesuatu yang hina

di saat-saat seperti ini!

Tapi tunggu dulu. Sepertinya kakak Tony itu kotor sekali.

Astaga. Kalau aku tidak salah lihat, sepertinya Markus sedang

menangkap tubuh kakak Tony yang lunglai dan berlumuran

darah. Jangan-jangan dia sudah

Tidak. Aku tidak bisa membayangkan ada seseorang di dekatku

yang benar-benar tewas karena kekejaman Johan.

Bukan hanya aku yang memperhatikan Markus dan kakak

Tony.

"Wah, rupanya emang udah diselamatkan," kata Johan setelah

melakukan kerlingan cepat. "Dasar orang yang nggak bisa diandalkan. Memang, kalau kita ingin sesuatu dilakukan dengan benar,

kita harus melakukannya sendiri. Memercayai orang lain benarbenar sesuatu yang tolol sekali. Untungnya, gue udah memperhitungkan hal itu." Ujung bibir Johan melengkung sedikit, matanya169

menyipit dengan licik. "Utang mata diganti mata, utang nyawa

diganti nyawa."

Kata-katanya benar-benar ngawur dan tidak masuk akal. Kami

sama sekali tidak berutang nyawa padanya. Johan benar-benar

menyebalkan, mengucapkan semua itu seolah-olah dialah yang

benar dan kami yang salah. Namun aku tidak sempat memprotes

ucapannya, karena dia sudah mendorong Jenny. Aku hanya bisa

terbelalak tatkala melihat sahabatku itu terjatuh melewati tepi

lantai koridor lantai dua menuju ke lantai satu.

"Jenny!" teriak Tony sambil menghambur ke arah Jenny, namun Johan langsung membentaknya.

"Jangan bergerak! Kalo lo bergerak, akan gue tendang dia sampai terkapar di bawah sana dengan leher patah."

Ternyata Jenny belum benar-benar terjatuh ke bawah, melainkan bergelantungan di tepi lantai koridor. Urat-urat tangannya

yang biru tampak menghiasi kulit lengannya yang putih, wajahnya yang biasanya pucat kini memerah dan berhias urat-urat yang

menonjol di pelipisnya. Mulutnya terkatup rapat, tidak menjerit,

mengeluh, atau meminta tolong sedikit pun, tapi aku tahu dia

sedang berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan hidupnya

yang sudah berada di ujung tanduk.

Dan sementara itu, di antara kami dan dia, berdirilah Johan

yang menatap kami dengan wajah kejinya yang penuh kemenangan.

Memikirkan Jenny berusaha keras untuk tetap hidup, sementara kami hanya bisa berdiri tanpa daya, membuatku merasa frustrasi banget. Di sebelahku, aku bisa merasakan otot-otot Tony

menegang, namun pikirannya dipenuhi berbagai keraguan dan

ketakutan. Frankie juga hanya bisa mengawasi keadaan dengan170

sikap waspada, tapi tidak berani melakukan lebih dari itu. Harus

kuakui, hanya itulah yang bisa mereka lakukan, sebab sedikit saja

gerakan mencurigakan dari mereka akan membuat Johan tidak

segan-segan menghabisi Jenny.

Itu berarti, saat ini, hanya akulah yang bisa menyelamatkan

Jenny. Bukan dengan otot, tentu saja, tapi dengan cara lain yang

lebih efektif, yaitu dengan menggunakan kelebihanku. Dan bukannya sombong, tapi kelebihanku yang paling utama adalah pesona

dan daya tarik yang sudah membuat kelepek-kelepek hampir semua cowok di SMA Persada Internasional, termasuk si cowok

sadis di depan kami ini.

"Oke." Aku mengerjapkan mataku dengan lambat, menyunggingkan senyumku yang paling oke. "Jadi, apa mau lo saat ini?"

Aku menyembunyikan rasa puas saat Johan terpana menatapku.

"Aku ingin kamu, Han."

Sial, inilah akibatnya kalau berani bergenit-genit dengan psikopat! Aku tidak sanggup mempertahankan sikap manisku lagi dan

mendelik padanya.

"Apa maksud lo?" tanyaku ketus.

"Ikutlah denganku, Han."

Oke, apa aku hanya bermimpi? Mendadak sikap Johan jadi

berubah. Alih-alih bersikap dingin dan kejam, sekarang dia malah

kelihatan, astaga, tersipu-sipu!

"Apa pun yang kamu inginkan, akan kuberikan semuanya.

Akan kuberikan semua uang yang kamu inginkan. Akan kubelikan rumah dan mobil impianmu. Akan kutemani kamu berkeliling dunia. Apa saja yang kamu inginkan, Sayang."

Eugh. Apa ini yang namanya rayuan? Pantas saja dia tidak

laku-laku. "Lo kira gue cewek matre, apa?"171

"Semua gadis di dunia ini berlomba-lomba untuk mendapatkan

cowok seperti aku, Han."

Kata-kata yang sombong dan tidak pada tempatnya itu membuatku tak mampu menahan sikap sinis. "Lucu, kok gue nggak

liat satu pun yang ada di sekitar sini?"

Wajah Johan yang tadinya malu-malu langsung mengeras kembali. "Baiklah kalau begitu. Lo bisa ucapkan selamat tinggal pada

temen lo ini."

"Tunggu!"

Teriakanku berhasil mencegah Johan menghadiahkan tendangan

penalti di kepala Jenny.

"Oke."

"Oke?" tanya Johan tak percaya.

"Oke?" ulang seseorang yang di sampingku yang kukenali sebagai suara Frankie.

"Oke," anggukku pada Johan tanpa mengacuhkan Frankie.

"Gue akan ikut dengan elo."

Kupikir semua pasti akan menyadari ini hanya taktik belaka.

Yang perlu kulakukan hanyalah menjauhkan bajingan ini sejauhjauhnya dari Jenny. Setelah tidak ada ancaman lagi, mungkin dua

cowok tinggi gede yang bersamaku ini bisa menyelamatkanku dan

menggebuki si psikopat letoy sampai pingsan.

Tak tahunya aku mendengar suara gerungan bernada protes.

"Hei, hei, tunggu dulu. Apa lo nggak butuh minta izin pacar

lo yang sekarang alias gue?"

Kini aku menoleh pada Frankie, dan melihat wajahnya yang

gelap makin menghitam saja saking betenya. Mana mulutnya

cemberut dan matanya mendelik. Astaga, kenapa sih aku bisa jatuh cinta pada cowok sejelek ini?172

Aku mengangkat alis dengan gaya sok. "Kenapa gue harus minta izin?"

"Karena," balasnya sengit, "lo kan sekarang cewek gue. Kalo

ada apa-apa sama elo, gue jadi jomblo lagi dong."

Sekarang aku yang jadi naik darah. "Jadi gue harus minta izin

lantaran lo takut ngejomblo?"

"Jelas!"

Oke, cukup sudah. Aku berpaling pada Johan. "Ayo, Han, kita

pergi aja dan tinggalin orang-orang ini."

Sebenarnya aku jengkel sekali melihat air muka Johan yang

penuh kepuasan, tapi aku lebih kesal lagi pada Frankie yang berani-beraninya mengaku dia lebih takut ngejomblo daripada kehilangan pacar yang sangat dicintainya.

Kalo dipikir-pikir, dia memang tidak mungkin seromantis itu.

Dasar cowok sialan. Aku memang malang bisa jadian dengan

cowok separah dia.

Sambil berjalan pergi, aku melirik ke belakang. Sip lah, Tony

sudah bersiap menolong Jenny. Dalam waktu dekat, nyawa Jenny

tak bakalan terancam lagi, dan aku akan kabur dari psikopat

ini

"Nggak segampang itu, tau!"

Aku menjerit saat Frankie merenggut tanganku yang sedang

ditarik Johan, sementara tangannya yang lain tertekuk ke belakang, siap melontarkan tonjokan keras. Namun mendadak dia

menghentikan gerakannya. Tebersit dalam pikiranku, Frankie pasti

tahu, kalau sampai dia menjotos Johan, kemungkinan besar psikopat itu bakalan mental ke lantai satu, dalam keadaan leher patah

(tapi kemungkinan besar tangannya yang masih sakit itu pun

bakalan tambah kesakitan banget). Sesuai perkiraanku, Frankie173

mengubah tonjokannya menjadi cengkeraman, merenggut kerah

baju Johan dan melemparkannya ke lantai koridor.

Rasa panik menjalar di hatiku saat melihat Johan mulai merogoh-rogoh sakunya, seakan-akan hendak mencabut senjata atau

apa. Hal yang sama sepertinya juga terlintas dalam pikiran

Frankie, karena cowok itu langsung menduduki Johan dan menonjok mukanya. Kulihat wajah Johan menampakkan rasa takut yang

amat sangat, seolah-olah dunia bakalan kiamat sebelum tinju

Frankie mengenai mukanya.

Lalu tiba-tiba gerakan Frankie terhenti.

Aku bergegas mendekati mereka, dan terbelalak saat melihat

Johan menghunjamkan sesuatu ke perut Frankie. Tangan Frankie

langsung mencengkeram apa pun yang sedang dipegang Johan,

sedangkan wajah Johan tampak penuh tekad saat dia terus menancapkan benda itu lebih dalam.

"Frankie!" jeritku. "Frankie, lo nggak apa-apa?"

"Hanny!" Tiba-tiba kurasakan Jenny sudah berdiri di sampingku. Suaranya tak kalah shock dibandingkan denganku.

"Frankie!"

Tony menyeruak di antara aku dan Jenny. Dengan muka tanpa

ekspresi, dia menghantam muka Johan sekuat tenaga sampai terdengar bunyi krak yang menandakan patahnya hidung bajingan

psikopat itu. Otomatis Johan langsung menarik kedua tangannya

untuk membekap hidungnya yang tak seberapa malang kalau dibandingkan dengan apa yang sudah dilakukannya pada orangorang lain.

Kami tidak tahu harus lega atau tetap panik melihat yang menancap di perut Frankie bukanlah pisau belati yang berlumuran

darah, melainkan sebatang jarum suntik. Namun yang membuat174

kami ngeri adalah tabung jarum suntik itu sudah kosong. Ini

berarti, apa pun yang ada di dalamnya, sudah disuntikkan ke dalam tubuh Frankie yang, omong-omong, langsung jatuh terkulai

begitu kami melepaskannya. Aku buru-buru menangkapnya, tapi
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku lupa cowok ini gedenya minta ampun. Astaga, rasanya seperti

ditimpa batu satu ton!

Melihat wajahku yang sudah mau semaput, buru-buru Jenny

ikut membantu. Bukannya aku menghina, tapi cewek itu kan

tidak punya tenaga sama sekali. Meski wajahnya sudah kemerahan

karena membantuku, rasanya Frankie tidak bertambah ringan

sedikit pun.

"Ayo, kita rebahin dia di lantai aja," kataku akhirnya dengan

putus asa.

Jenny mengangguk cepat-cepat tanpa menyahut sepatah kata

pun. Kurasa dia juga nyaris semaput, barangkali malahan lebih

parah dibanding aku. Memikirkan bisa melepaskan Frankie pasti

membuatnya lega banget.

Sementara itu, aku bisa mendengar Tony sedang menginterogasi

Johan yang sedang megap-megap di lantai sambil meratapi hidungnya yang hancur.

"Heh, brengsek! Cepetan ngaku, apa yang lo suntikkan ke

Frankie?"

"Racun yang paling jahat!" teriak Johan. "Cuma gue yang punya penawarnya!"

"Racun apa?" tanya Tony sambil menarik tinjunya ke belakang,

siap menonjok sekali lagi. "Kalo lo nggak buru-buru ngasih penawarnya, gue akan tonjok muka lo sampe kagak bisa dikenalin lagi!"

"Elo berani?"

Tony langsung melayangkan tinjunya ke muka Johan, tapi175

beberapa sentimeter sebelum mengenai Johan, Johan langsung

berteriak-teriak, "Jangan! Jangan pukuli gue lagi!"

"Betul, Kak! Tolong, jangan pukuli kami lagi!"

Kami semua terpaku mengenali suara anak perempuan itu.

"Jocelyn," ucap Jenny pelan.

"Iya, ini aku, Kak Jenny." Betapa mengerikan mendengar suara

yang begitu imut keluar dari mulut Johan yang berdarah-darah.

"Jangan pukuli dia, Kak Tony. Dia nggak bersalah."

Seperti ditinju, Tony tersadar dari rasa kagetnya dan menyergah

keras, "Apanya yang nggak bersalah? Nggak liat si Frankie tepar

di situ tuh?"

"Itu hanya obat bius biasa, nggak berbahaya. Kakakku hanya

ingin kalian panik dan menuruti keinginannya. Dia sama sekali

nggak siap nerima perlakuan seperti ini. Dia sangat takut, Kak.

Sekarang dia sedang meringkuk ketakutan di sudut hatinya, jadi

aku bisa keluar dan menemui kalian semua."

Aku tidak tahu apa yang harus kuucapkan. Sejujurnya, kejadian di depanku ini sangat menakutkan. Wajah Johan yang biasanya keji dan memuakkan kini tampak seperti anak kecil yang

polos. Bahkan ada air mata yang menggantung di ujung matanya,

air mata yang ditahan habis-habisan supaya tidak jatuh. Bisa kurasakan hatiku mulai lumer, dipenuhi rasa tidak tega terhadap siapa

pun yang sedang diduduki Tony itu.

"Kalian nggak percaya?" tanya Johan dengan suara Jocelyn lagi.

"Coba kalian panggil ambulans. Mereka bisa menegaskan katakataku. Aku nggak tau obat apa yang dia gunakan. Aku nggak

mengerti yang seperti itu. Tapi aku tau, dia udah menggunakannya pada banyak orang, dan selain sempat tertidur sejenak, semuanya baik-baik aja."176

"Jadi si Frankie cuma tidur?"

Sial, aku sudah khawatir sampai jantungku mau copot begini.

Tidak tahunya cowok itu enak-enakan molor. Benar-benar menyebalkan.

"Begitulah, Kak." Jocelyn tersenyum lemah. "Jadi Kak Hanny

nggak perlu cemas lagi."

"Aku nggak cemas," bentakku malu.

"Jadi, mana Johan?" Tony menyela. "Suruh dia keluar. Dasar

pengecut, bisanya ngumpet kalo digebukin orang. Nyuruh adik

ceweknya yang keluar buat belain pula. Bener-bener percuma jadi

cowok."

"Gue bukan pengecut!" teriak Johan tiba-tiba, kali ini dengan

suara normalnya yang liar. "Dan obat yang gue suntikkan ke

Frankie benar-benar beracun. Kalo kalian nggak nyerah dan ngikutin keinginan gue, dalam lima jam lagi dia akan mati!" Lalu

Johan menoleh ke samping, seolah-olah ada makhluk tak

kasatmata yang sedang berlutut di sampingnya. "Dasar anak kecil!

Emangnya kamu tau apa? Jangan mengacaukan rencanaku, dasar

anak bau kencur!"

Rasanya benar-benar aneh waktu melihat Johan yang sama menunduk dan menyahut pelan, "Maafin aku, Kak."

"Kenapa kamu malah minta maaf?" bentak Tony, yang tahutahu jago berkomunikasi dengan anak tak jelas yang bersemayam

dalam tubuh Johan itu. "Dia itu orang yang bunuh kamu,

tau?"

Johan menggeleng cepat. "Bukan, bukan salah Kakak. Aku kan

udah pernah menjelaskan, bukan Kakak yang membunuhku..."

"Halah, kamu kira aku tolol?" sela Tony tak sabar. "Mana

mungkin itu cuma kecelakaan? Jelas-jelas orang itu punya hobi177

menyingkirkan para penghalangnya dengan berbagai cara. Asal tau

aja, kamu makin merusaknya dengan membantunya membela

diri, Jocelyn!"

Mendadak saja Johan menendang Tony, membuat Tony melompat mundur. Secara otomatis Tony langsung memasang kudakuda, mengira Johan akan menyerangnya secara membabi buta.

Ti

dak tahunya psikopat itu langsung ngacir secepat kilat ke ruangan terdekat.

"Hei, kembali lo, dasar pengecut sialan!" teriak Tony sambil

mengejarnya. Tapi dia langsung mental dengan gaya jelek banget

akibat menabrak pintu yang dibanting Johan di depan hidungnya.

Kulihat dia melirik Jenny dengan malu?yah, siapa yang tidak

malu, menabrak pintu dengan gaya cupu begitu??lalu dia

menggedor-gedor pintu itu untuk melampiaskan kekesalannya.

"Buka, Johan! Gue bakalan terus nungguin di sini sampe lo keluar! Sampe mati juga gue akan tetap tungguin!"

"Sebaiknya nggak," kataku datar. "Dia bisa kabur lewat pintu

tingkap di langit-langit."

"Brengsek, benar juga! Johan, buka!" Tony mulai menggedor

lagi dengan berisik. "Jangan bikin gue emosi, ya! Lo tau kan,

tenaga gue lebih kuat daripada sapi. Kalo sampe gue hancurin

pintu ini, muka lo bakalan gue permak sampe nggak berbentuk

lagi!"

"Badannya juga!" seruku memanas-manasi.

"Badan lo juga!" ulang Tony dengan nada sekeras dan sekeji

mungkin. "Tulang lo bakalan gue patahin semua. Kulit lo bakalan

gue kelupasin. Rambut lo bakalan gue cabutin sampe botak. Pokoknya, sampe bokap lo aja nggak bakalan bisa ngenalin lo lagi!

Hei, kenapa lo diem aja? Lo denger nggak omongan gue?!"178

Sebagai jawabannya, mendadak di luar terdengar bunyi mesin

mobil dinyalakan.

"Brengsek!" teriak Tony sambil berlari ke jendela terdekat.

"Bisa-bisanya keparat itu kabur dari jendela!"

"Ton, jangan gila!" Jenny cepat-cepat menarik Tony saat cowok

itu naik ke ambang jendela dan bersiap meloncat turun. "Kamu

bukan Peter Parker. Bisa-bisa lehermu patah kalo kamu nekat

meloncat ke bawah."

"Tapi si Johan bisa tuh!" sergah Tony tidak mau kalah.

"Nggak, dia nggak bisa. Dia pakai alat bantu kok."

Kami melihat ke jendela yang ditunjuk Jenny, dan seutas

tambang yang masih bergerak-gerak tergantung di sana.

"Seharusnya udah bisa diduga," geram Tony sambil memukuli

ambang jendela yang tak berdosa. "Mana mau si pengecut itu

membahayakan dirinya sendiri? Dalam segala hal, dia pasti selalu

berusaha nyari jalan aman tapi nggak segan-segan mencelakai

orang lain."

"Yang lebih menyebalkan, dia selalu menang," kataku nyaris

menangis saking kesalnya. "Dia berhasil mencelakai Frankie, lalu

kabur tanpa terluka sama sekali."

"Frankie nggak akan apa-apa, Han," Jenny menyentuh lenganku. "Elo denger kata Jocelyn. Dia cuma terkena obat tidur. Lagian, usaha kita nggak sia-sia. Kita berhasil menyelamatkan kakak

Tony."

Halah, memangnya aku peduli dengan kakak si Tony yang

aneh itu? Uhm, oke, kalau mengingat kondisinya yang berdarahdarah, seharusnya aku peduli.

"Ngomongin soal Tory, kurasa aku harus ngeliat kondisinya179

dulu," kata Tony sambil melompati Frankie tanpa rasa hormat

sedikit pun, lalu menuruni tangga secepat kilat.

"Bagus," gerutuku seraya berlutut. "Sekarang kita yang kebagian tugas menurunkan si tukang tidur."

"Biar gue bantu deh," kata Jenny bermurah hati, namun katakatanya tak berarti bagiku lantaran bantuannya sama sekali tidak

berguna.

Kami berdua mendorong Frankie hingga duduk, lalu melingkarkan lengannya ke belakang leher kami. Saat berusaha menariknya berdiri, kami malahan kembali jatuh terduduk. Aku berpandangan dengan Jenny.

"Semuanya sia-sia aja," gumamku.

"Nggak," bantah Jenny. "Ayo, kita coba sekali lagi."

"Bukan itu, Jen. Tentang Johan." Aku tidak sanggup menyingkirkan kecemasan yang makin memenuhi dadaku. "Setiap kali

kita berhasil nemuin dia, dia selalu berhasil kabur. Setiap kali dia

ngerencanain sesuatu, dia selalu berhasil. Dia udah menculik

kakak Tony, melukai Les, melumpuhkan Frankie, dan entah apa

lagi yang akan terjadi. Gimana, gimana kalau nanti gue atau

elo yang jadi korban? Dia kan paling nafsu ngerjain kita berdua,

Jen."

Jenny terdiam mendengar kata-kataku.

"Gimana kalo dia yang menang, Jen, dan bukan kita?" tanyaku

lagi. "Ini bukan dongeng. Ini dunia nyata. Dalam dunia nyata,

kebaikan nggak selalu menang. Gimana kalo pada akhirnya, hidup kita semua berakhir di tangan Johan?"

Dan yang membuatku takut adalah, Jenny hanya menatapku

tanpa daya. Saat itulah aku tahu.

Kali ini, tidak akan ada akhir yang bahagia untuk kami semua.180

BELUM pernah aku melihat si nenek sihir separah ini.

Saat ini, dia kelihatan seperti nenek sihir yang sudah kehilangan kekuatan sihirnya?atau singkat kata, seperti nenek-nenek

biasa. Tubuh tingginya yang lunglai tampak tak bertenaga sama

sekali, rambutnya yang lepek dan lusuh dengan sejumput warna

putih menjuntai acak-acakan di depan wajahnya, dan bau badannya yang sangat tidak mengenakkan membuat Hanny buru-buru

menjaga jarak. Tidak ada lagi lirikan tajam yang menusuk hati,

tidak ada lagi suara judes yang terdengar dingin sekaligus licik,

tidak terasa lagi ancaman bahwa sewaktu-waktu dia bakalan melancarkan tonjokan mematikan.

Aku nyaris kasihan melihatnya.

Nyaris, karena begitu aku menghampirinya, dia menyambutku

dengan bisikan serak dan lemah, "Balasin dendamku, ya. Kalo

nggak, kamu yang bakalan kukejar-kejar seumur hidup."

Brengsek. Dalam kondisi seperti ini pun, dia masih tidak malu11

Tony181

malu memerintahku laksana ibu suri paling berkuasa (yah, biasanya

kan ibu suri lebih berkuasa daripada raja) yang sedang memerintah

budak paling hina. Mana mungkin aku kasihan padanya?

Oke, aku ngaku deh. Aku benar-benar sedih melihat kondisinya yang seperti ini, tapi sampai mati pun aku tidak bakalan

mengakuinya. Sama saja dengan dia yang tak sudi mengakui ketidakberdayaannya meski aku yakin dia bakalan tumbang kalau saja

tidak ada Markus yang terus-menerus menopangnya sedari tadi.

Menyadari bahwa kondisinya terlalu lemah untuk kuinterogasi,

aku menoleh pada Markus. "Apa yang terjadi?"

Dengan suara rendah, Markus menceritakan bagaimana dia

menemukan si nenek sihir terkurung dalam gudang bawah tanah

yang dipenuhi ular. Mata sohibku itu berkilat-kilat, menandakan

dia sedang memendam kemarahan yang amat sangat. Dan saat

mendengarkan keseluruhan cerita itu, kurasakan amarah bergemuruh juga di dalam hatiku. Seandainya saja Johan menyadari apa

yang sanggup kami berdua lakukan untuk membalaskan dendam

ini, dia pasti bakalan naik roket dan kabur ke galaksi terjauh!

Sementara Jenny dan Hanny hanya bisa ternganga mendengar

cerita Markus yang mengerikan tentang pengalaman si nenek sihir?yang bersangkutan hanya diam membisu dengan muka termenung?aku tidak tahan lagi. Begitu Markus menyelesaikan

ceritanya, aku langsung menghampiri teman sejawat Johan yang

sudah diikat Markus dan diamankan di halaman belakang. Butuh

waktu bagiku untuk menyadari bahwa aku tidak datang sendirian.

Markus menyusul tak jauh di belakangku.

Saat kami tiba di sana, si gila yang katanya hobi mengoleksi

golok itu sedang berguling-guling di halaman belakang sambil

menggeram-geram. Mau tak mau aku tercengang melihatnya.182

"Lagi ngapain lo?"
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengumpulkan tenaga dalam," ketusnya. "Jangan dekat-dekat.

Saat ini aku sangat marah dan sangat berbahaya."

Dasar orang gila.

Aku dan Markus berjongkok di depannya dan berpandangan.

"Lo yang lakukan?" tanya Markus sambil mengedikkan kepalanya pada si orang gila.

"Oke." Aku beralih pada si orang gila. "Siapa namamu?"

"Aku pasien tak bernama," sahut si orang gila dengan suara

takzim, seolah-olah dia sedang mengatakan sesuatu yang sangat

bijaksana.

"Aku dokter tanpa tandingan," balasku sambil memasang tampang sekejam mungkin, yang tak sulit mengingat kondisi perasaanku saat ini. "Kalau kau nggak ingin kusuntik dengan jarum

segede sumpit, lebih baik kau jawab pertanyaanku."

Si orang gila memasang muka menantang. "Aku justru mau

sekali disuntik. Jarumnya semakin gede semakin bagus."

"Kalau begitu, kalau ingin disuntik, lebih baik kau jawab pertanyaanku dengan jujur."

"Baik, Dokter."

Aku berusaha menyingkirkan perasaan tak enak karena ditatap

dengan penuh harap oleh orang sinting kelas berat yang kepingin

disuntik dengan jarum superbesar.

"Kau tau di mana Johan sekarang?"

"Nggak tau," sahutnya yakin.

"Pikir dulu dong, baru jawab!" bentakku.

"Nggak perlu," balasnya. "Johan memang begitu. Dia melakukan semuanya sendirian. Kalau bukan karena dia takut dipukul183

cewek ganas yang tadinya dikurung di sini, aku tak bakalan diajak ikut serta dalam operasi sepenting ini."

"Memangnya ini operasi apa?" celetuk Markus heran.

"Operasi Pelenyapan Orang-orang Tak Berguna."

Entah kenapa, kata-kata konyol itu membuatku bergidik. "Pelenyapan?"

"Oh, iya," sahut si orang gila tak bernama dengan muka sungguh-sungguh. "Satu-satu harus dilenyapkan dari muka bumi, begitulah kata Johan. Sudah kubilang dia butuh golokku untuk

melenyapkan orang-orang itu, tapi dia bilang dia lebih suka menggunakan caranya sendiri."

"Yaitu?"

Si orang gila menatapku seraya membisu, lalu berkata perlahanlahan, "Dia ingin menyiksa kalian semua sampai mati."

Kali ini aku benar-benar merinding. Terlintas dalam pikiranku,

seandainya si nenek sihir hanyalah cewek biasa, pasti dia sudah

mati di dalam sel berisi puluhan ular yang diceritakan Markus

padaku?atau setidaknya menjadi gila. Namun kakakku itu

bukanlah cewek normal. Dia memiliki keberanian dan ketegaran

yang melebihi manusia pada umumnya. Dia sudah melalui

banyak kejadian yang tak menyenangkan, namun tetap berhasil

selamat sambil menginjak-injak musuh yang berani merintangi

jalannya.

Tetap saja, penyiksaan Johan mengoyak-ngoyakkan keberanian

dan ketegaran si nenek sihir sampai menjadi serpihan-serpihan

kecil yang nyaris tak bersisa.

Diingatkan dengan semua yang telah dialami si nenek sihir,

aku jadi emosi lagi.

"Dengar, ya," kataku sambil mencengkeram leher baju si orang184

gila. "Saat ini, kau juga termasuk orang tidak berguna. Jadi kalau

kau tidak memberitahu kami informasi penting, kau bakalan kuberikan pada Johan untuk dilenyapkan juga. Kau mau itu terjadi?"

Wajah si orang gila memucat. "Tidak mau!"

"Kalau begitu, beritahu kami sesuatu yang ada gunanya, tolol!"

"Tapi aku betul-betul tidak tau apa-apa!" jerit si orang gila.

"Aku tidak tau apa-apa. Sungguh. Ampuni aku"

Melihat si orang gila mulai terisak-isak, aku jadi tidak tega.

Bagaimanapun, orang ini sakit dan tidak waras. Dan bukannya

dibawa ke rumah sakit, kondisinya ini malah dimanfaatkan oleh

Johan untuk membantunya melakukan kejahatan. Rasanya aku

sendiri tidak sanggup menurunkan tangan kejam pada orang

semalang ini.

"Sudahlah," kataku, jengkel karena merasa tidak tega pada

orang yang sudah membantu Johan ini. Seraya berdiri, aku berkata pada Markus, "Gue rasa, dia benar-benar nggak tau apa-apa."

"Kalo gitu, apa rencana kita selanjutnya?" tanyanya.

"Tentu aja, mau nggak mau, kita harus panggil polisi," ucapku

enggan. "Tapi sebelum mereka datang, kita harus menyelidiki rumah ini. Seberapa pun Johan berhati-hati, pasti ada jejak yang

ditinggalkannya. Dia kan bukan orang sakti yang sanggup menduga betapa cepatnya kita mengetahui keberadaannya. Pasti dia

belum sempat bersiap-siap kabur."

"Sip!"

Kami tiba di ruang duduk. Di sana Jenny dan lainnya sedang

menunggu kami. Wajah Markus yang tadinya kayak bajingan mendadak berubah jadi welas asih saat dia menghampiri si nenek sihir.185

"Kami harus menggeledah rumah ini sebelum polisi tiba," katanya. "Kamu tunggu di sini, ya?"

Si nenek sihir langsung mencengkeram tangan Markus eraterat. "Nggak. Aku mau ikut kamu aja."

"Jangan," tukasku. "Kamu kan berlepotan darah gitu. Nanti

mengotori TKP. Lagian tubuhmu kan masih lemah gitu."

Si nenek sihir rupanya masih cukup kuat untuk memberiku

pelototan ala Medusa, tapi rupanya dia cukup tahu diri untuk

tidak membantah dan hanya bisa melontarkan makian lemah.

"Dasar adik tukang tindas sialan."

Markus menepuk tangannya perlahan. "Tenang aja, aku nggak

akan lama kok."

"Dasar temen tukang tindas sialan."

Sohibku itu berusaha memasang tampang tanpa ekspresi, tapi

aku tahu dia sedang menahan senyum. Kurasa sohibku itu memang rada masokis. Dimaki kok dia malah hepi banget?

"Tentu aja dia senang," kata Jenny saat aku mengutarakan hal

itu padanya. "Itu berarti kondisi kakakmu nggak seburuk kelihatannya."

Oh ya, benar juga sih.

"Tapi kakakmu hebat sekali ya. Meski sudah menghadapi kejadian mengerikan begitu, dia masih aja bisa bercanda."

Aku tidak menyangka si nenek sihir bakalan dipuji Jenny, tapi

memang Jenny selalu bisa menemukan sisi baik semua orang?kecuali Johan, tentu saja. Sepertinya keduanya langsung saling tak

menyukai sejak pandangan pertama.

Supaya polisi tidak menyadari ada tangan-tangan kurang ajar

yang mencoba mengacaukan TKP, kami menggeledah dengan sangat hati-hati. Kami menyentuh barang dengan tangan terbung-186

kus sarung tangan (untungnya semua orang masih menyimpan

barang-barang yang sempat kubagi-bagikan) dan berusaha mengembalikan barang-barang tepat pada tempatnya. Kami bahkan

membungkus kaki kami dengan kantong plastik supaya tidak

meninggalkan jejak-jejak kaki.

Saat aku dan Markus bertemu di pekarangan belakang, aku

sudah putus asa, jengkel, dan kepingin menghajar orang, lantaran

mengira lagi-lagi kecerdasan Johan membuat kami semua tampak

seperti orang-orang idiot. Di saat yang sangat mengesalkan itu,

tahu-tahu saja Markus menyikutku keras-keras.

"Apa-apaan sih?" teriakku tak senang. "Minta ditabok?"

Markus mengedikkan kepalanya.

Aku terpaku melihat gundukan tanah yang, tidak salah lagi,

masih segar alias kelihatan jelas baru saja dibuat.

"Mayat?" bisikku.

Markus menyahut dengan bunyi menelan ludah yang sangat

tidak keren. "Ayo, kita coba cari tau."

Meski penasaran banget, aku harus menyeret kakiku ke arah

gudang untuk mengambil sekop. Maksudku, terakhir kali kami

menemukan orang yang dicelakai Johan, orang itu adalah ayahnya. Mana tahu mayat kali ini adalah seseorang yang mungkin

kami kenal juga.

Aduh, kuharap korban malang ini bukan seseorang yang kami

kenal.

Markus yang membuka pintu gudang, meraih sekop, dan

melemparkannya padaku. "Lo yang gali."

"Kok gue?" protesku.

"Kan gue yang nemuin. Jadi lo yang gali dong."

"Halah, bilang aja lo nggak mau kebagian tugas jorok."187

"Sebenernya, gue nggak mau kebagian tugas mengerikan."

Brengsek.

Saat kami menuju pekarangan belakang, Jenny, Hanny, dan si

nenek sihir nongol mendadak dengan muka tegang seperti sepasukan cewek yang baru saja melakukan kejahatan. Mata mereka

langsung tertuju pada sekop yang kupegang.

"Buat apa tuh?" tanya si nenek sihir tanpa basa-basi.

Aku ingin memberikan jawaban yang kira-kira bisa menakutnakuti si nenek sihir?sekaligus menakut-nakuti Hanny yang

biasanya berlagak sok pemberani. Tapi berhubung aku cowok

yang baik?oke, bukannya aku baik, aku hanya tidak tega pada

cewekku yang manis?aku hanya menyahut, "Buat mukulin kepala siapa pun yang keluar dari gundukan tanah itu. Eh, omongomong, ngapain kamu bangun? Bukannya berbaring aja dengan

manis selayaknya manusia biasa. Tubuhmu kan penuh luka

begitu."

"Aku masih kuat kok," jawabnya bandel.

"Kan udah kubilang, itu berarti kondisi kakakmu nggak

seburuk kelihatannya," timpal Jenny, lalu memandangi gundukan

tanah yang kutunjuk tadi dengan mata terbelalak. "Ton,

menurutmu, itu isinya orang?"

"Aku nggak tau, Jen," gelengku. "Ukurannya sih cukup buat

mengubur satu orang."

"Atau beberapa orang," kata Hanny muram, "kalau dipotong

kecil-kecil."

Kami semua menatap Hanny dengan ngeri.

"Udahlah, nggak usah banyak bacot!" Hanya si nenek sihir

yang sama sekali tidak merasa ngeri, bahkan kelihatan tak sabar

dan bersemangat banget. "Cepat bongkar kuburan itu, Ton!"188

Si nenek sihir memang cewek barbar kelas berat. Tega-teganya

dia menyuruh adik sendiri membongkar kuburan orang tak dikenal?atau beberapa orang, kalau seperti yang diduga Hanny. Dengan jantung berdebar-debar, kuayunkan sekopku berkali-kali,

berusaha menegarkan diri dengan apa yang bakalan kulihat di

balik gundukan tanah itu. Setelah beberapa kali menggali, sekopku mengenai sesuatu yang keras.

"Peti mati, ya?" tanya Hanny sambil melongokkan kepalanya.

Yang jelas itu memang peti kayu, hanya saja bentuknya tak

mirip peti mati. Dan ukurannya pun ternyata lebih kecil dari

dugaanku.

"Mungkin ini potongan tubuh satu orang aja," kata Hanny

lagi, masih tetap bersikeras dengan dugaan mutilasinya.

"Buka! Buka! Buka!"

Yang terakhir ini tentu saja sorakan si nenek sihir. Kenapa sih

dia tidak bersikap lemah dan nyaris pingsan terus-terusan saja?

Dengan jantung nyaris copot, aku membuka peti mati?

maksudku, peti kayu tersebut.

Dan kami menemukan setumpuk besar dokumen.

"Apa ini?" tanya Hanny tak sabar.

"Kurasa," sahut Markus pelan, "ini yang kita cari-cari sedari

tadi."

Ucapan Markus tidak salah. Di kotak kayu itu, tersimpanlah

semua harta kekayaan Johan. Dokumen-dokumen transaksi sejumlah vila dan rumah yang tersebar di wilayah Jabodetabek, BPKB

selusin mobil mewah (sial, aku benar-benar iri banget), buku tabungan beberapa bank yang jumlah saldonya membuat mata

kami semua melotot, serta sebuah benda lain yang tak kami sangka-sangka.189

Cincin berlian dua karat.

"Kayaknya dia mau ngelamar kamu, Han," cetusku spontan

begitu melihat benda itu.

Hanny langsung memelototiku. "Jangan ngomong yang anehaneh dong."

"Coy," ucap Markus menyelaku sebelum aku mulai mengemukakan teoriku soal cincin bermatakan berlian segede jempol

kakiku itu. "Jadi, apa yang akan kita lakuin dengan semua ini?"

Kami berdua saling melemparkan tatapan yang, harap dicatat,

bukan tatapan mesra, melainkan tatapan ala kami-nggak-sudimelakukan-hal-yang-baik-dan-benar-kecuali-itu-menguntungkandiri-kami. Suara sirene meraung-raung di kejauhan, mengingatkan

kami siapa yang akan muncul berikutnya.

"Kita serahin semua penemuan kita ini pada polisi," tegasku.

"Kenapa?" tuntut si nenek sihir dengan muka bak residivis

kelas kakap. "Kita kan udah tau di mana aja si Johan bersembunyi. Seharusnya kita bisa bekuk dia sendiri."

"Bukan gitu, Ry," kata Markus dengan nada yang pantas digunakan untuk menghibur anak kecil tak berdosa tapi tak pantas

digunakan pada cewek kriminal yang sudah banyak melakukan

berbagai kejahatan itu. "Ini justru salah satu siasat terbaik."

"Siasat terbaik?" Si nenek sihir mengerutkan alis pertanda tidak

mengerti strategi kami yang luar biasa.
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya." Tak disangka-sangka, Jenny yang menyahut. "Polisi akan

menyita semua propertinya dan membekukan akun-akunnya. Dan

pada saat Johan nggak punya jalan keluar lagi, kita nggak perlu

repot-repot lagi. Dialah yang akan mencari kita."

"Jenny benar." Aku mengangguk. "Meski kita berhasil merahasiakan semua ini dari polisi, kita juga nggak bisa berbuat apa-apa.190

Menggerebek tempat-tempat ini satu per satu? Mencari-cari mobil-mobilnya di antara jutaan mobil lain di Jabodetabek? Siapa

yang tau apa yang direncanakan Johan berikutnya dengan kekayaannya yang menyebalkan itu?"

Terdengar gedoran keras di pintu depan. "Buka pintu! Ini

polisi!"

Aku tidak menunggu persetujuan yang lain lagi, melainkan

langsung membalikkan tubuh.

"Tunggu, Ton." Suara tak senang si nenek sihir menghentikan

langkahku. "Kamu rela kalau pada akhirnya polisi yang berhasil

menangkapnya duluan?"

Memikirkan kemungkinan itu bakalan terjadi membuatku terdiam sejenak.

"Tentu saja nggak," sahutku akhirnya, tanpa menoleh pada si

nenek sihir supaya tak ada yang menyadari gejolak perasaanku.

"Tapi lebih baik begitu daripada kita membiarkannya lolos hanya

karena mau balas dendam dengan tangan kita sendiri."

Si nenek sihir diam sejenak. "Hell, kukira aku bisa main hakim

sendiri duluan. Ya udahlah. Lakuin aja sesuai kemauanmu.

Omong-omong, Markus, pamanmu inspektur polisi, kan? Kamu

bisa maksa dia bocorin semua hasil penyelidikannya ke kita?"

Halah, dasar si nenek sihir, kejailannya benar-benar tak terbendung.

Aku meneruskan langkahku dan membuka pintu depan. Yang

pertama kali kulihat adalah wajah inspektur polisi yang baru saja

disebut-sebut si nenek sihir.

"Lama sekali buka pintunya," kata Inspektur Lukas dengan

muka tak senang. "Sedetik lagi kami sudah siap mendobrak."

Dengan gaya minggir-kalau-nggak-mau-diinjak-polisi-sengak,191

dia berjalan masuk melewatiku seraya memberi perintah pada

para bawahannya.

"Periksa rumah ini." Lalu dengan muka garang, dia berpaling

padaku. "Mana keponakan sialan itu?"

"Di sini, Om." Markus berjalan maju dan otomatis mengakui

dirinya sebagai si keponakan sialan. "Kok Om lagi yang datang?"

"Om sudah punya firasat buruk waktu ada laporan masuk dari

Jalan Belitung," kata Inspektur Lukas yang memang tahu alamat

rumahku. "Kalau nggak teliti, Om sudah hampir mendobrak rumah seberang alias rumahmu, Ton. Sekarang, cepat kalian ceritakan semuanya. Awas kalau sampai ada yang ketinggalan lagi."

Berhubung kami sudah berniat membeberkan semuanya, kami

pun buru-buru melakukan perintahnya. Apalagi paman Markus

sudah kelihatan tak senang banget. Bisa berabe kalau kami sampai

kehilangan kontak sehebat dia di kepolisian.

Saat sedang sibuk bercerita, tahu-tahu kulihat dua paramedis

lalu-lalang di depan Frankie yang tergolek di sofa, yang tampaknya sangat nyenyak dalam tidur yang diakibatkan oleh obat bius

itu. Brengsek, aku iri setengah mati. Aku bahkan tidak bisa

mengingat kapan terakhir kali aku tidur. Kalau semua ini sudah

berakhir, aku akan tidur sebulan penuh dan bangun hanya untuk

berbagai panggilan alam yang tidak bisa dihindari.

"Mas, Mas," panggilku. "Si Frankie tolong diangkut sekalian.

Dia memang keliatannya cuma lagi asyik-asyik tidur, tapi sebenarnya tadi dia disuntik obat bius dan kami nggak tau apakah dosisnya cukup atau perlu ada penanganan lebih lanjut."

"Tunggu dulu." Inspektur Lukas menghentikan dua paramedis

yang sudah asyik memindahkan Frankie ke atas usungan. "Kalian192

tadi bilang, Frankie yang mengambil flash disk Johan yang diperolehnya dari rumah sakit jiwa?"

Saat kami mengangguk, Inspektur Lukas langsung menggeledah

Frankie tanpa malu-malu. Di kantong depan celana Frankie, dia

menemukan benda yang dimaksud. Lalu diacungkannya ke depan

wajah kami.

"Ini barang bukti, mengerti?"

Tampang Inspektur Lukas yang garang membuat kami semua

hanya bisa mengangguk sambil menelan ludah.

"Bawa pergi tukang ngorok ini," perintahnya lagi pada kedua

paramedis yang buru-buru ngacir sambil membawa pergi pacar

Hanny garis miring tukang ngorok itu.

"Juga si nenek sihir ini," ucapku dengan nada perintah yang

sama dengan si inspektur pada paramedis lain.

Berbeda dengan tanggapan penuh hormat yang diterima oleh

Inspektur Lukas, aku mendapat pandangan bingung dari si paramedis dan pandangan tak senang dari si nenek sihir.

"Memangnya kenapa aku harus dibawa pergi, hah?" tanya si

nenek sihir sambil berkacak pinggang.

"Ngaca dulu, Nek," balasku. "Kamu bukannya baru aja dikurung dan digigiti ular-ular, dan tadi kamu gemetaran nggak

henti-hentinya?"

Wajah si nenek sihir tampak merah. "Aku nggak gemetaran

kok."

"Ya, kamu gemetaran," tegas Markus. "Dan kamu harus ke

rumah sakit, Ry. Kita nggak tahu apa efek gigitan ular-ular itu

terhadapmu."

Sekali lagi aku memerintah si paramedis. "Bawa nenek sihir ini

pergi."193

Kali ini si paramedis tidak membantah. Ditariknya si nenek

sihir dengan kekuatan yang cukup mengesankan, karena tampak

jelas si nenek sihir tidak berniat digusur tanpa perlawanan.

"Tapi aku nggak mau pergi sendirian," protesnya. "Aku nggak

mau ditinggal!"

"Ya udah kalo begitu." Markus meloncat ke dalam ambulans.

"Aku ikut ke rumah sakit deh."

"Nggak perlu!"

Markus yang didorongnya dari dalam ambulans mental keluar,

sementara dari dalam ambulans nongollah kepala si nenek sihir

seolah-olah anggota tubuhnya itu melayang-layang di atas tanah.

"Lagian," wajah itu kelihatan licik banget, "aku berani taruhan,

kalian belum tidur sejak pulang dari Pontianak, kan? Padahal saat

itu kita sempat begadang sebelum pulang."

"APA???"

Kini Jenny dan Hanny ikut memelototi kami berdua. Hanny

bahkan berkacak pinggang.

"Jadi kalian belum tidur selama dua malam?" tanya Jenny dengan suara tak percaya.

"Eh." Aku dan Markus menggaruk-garuk kepala, berlagak

sedang sibuk mengatasi masalah ketombe.

"Kalo nggak kubocorin rahasianya, dia nggak mungkin mau

ngaku deh," kata si nenek sihir dengan muka superkeji.

"Cukup, udah, udah!" bentak Hanny, mendadak dengan kewibawaan yang tidak pada tempatnya. "Kalian berdua benar-benar

keterlaluan. Coba kalian liat Frankie."

Serta-merta kami semua menoleh ke arah Frankie yang tergolek

di dalam ambulans dengan mulut menganga dan iler menetes di

sudut mulut, bagaikan bayi besar yang, perlu kalian ketahui, tidak194

ada lucu-lucunya dan sama sekali tidak menggemaskan. Tapi

harus diakui, caranya tidur benar-benar nyaman dan bikin iri.

"Dia yang pasti nafsu banget untuk membalaskan dendam Les,

malah tidur dengan nyenyaknya."

"Hm, tapi itu kan sebenarnya bukan pilihannya," selaku, tapi

lagi-lagi aku kena bentak.

"Diam!" Hanny menusuk-nusuk dadaku dan dada Markus dengan kuku jarinya yang panjang-panjang dan dicat warna cokelat

madu keemasan. "Kalian berdua, pulang! Tidur! Jangan sok

macho lagi! Biar aku dan Jenny yang pergi ke rumah sakit."

"Tapi kalian juga tau kalo saat ini Johan sedang tersudut."

Markus nekat memprotes, "Gimana kalo sampe ada apa-apa?"

"Coba liat semua polisi ini!" Hanny merentangkan kedua tangannya. "Semuanya jauh lebih kuat daripada kalian berdua."

Ouch. Kata-katanya memang benar sih, tapi tidak perlu diumumkan keras-keras begitu. Kan sakit hati jadinya.

"Dilindungi mereka jauh lebih baik daripada dilindungi kalian

berdua. Jadi pergi sana ke rumah seberang!"

Tatapan Markus beralih pada si nenek sihir. "Kamu nggak mau

kutemani?"

"Nggak tuh," sahut si nenek sihir enteng, lupa kalau beberapa

detik lalu dia masih merengek-rengek bagaikan cewek manja.

"Aku cuma nggak seneng dikirim ke rumah sakit kok. Bukan

berarti aku kepingin ditemani di tempat menyebalkan itu."

Setiap paramedis di sekitar kami langsung melotot pada si

nenek sihir. Pada dasarnya, si nenek sihir memang gampang bikin

kesal orang-orang di sekitarnya.

"Beneran kamu akan baik-baik aja kutinggal?" tanya Markus

penuh selidik.195

"Yah, yang nggak baik-baik adalah orang-orang di sekitarku."

Si nenek sihir cengar-cengir. "Aku bakalan jadi pasien yang nyebelin banget, tau?"

Aku sama sekali tidak meragukan kata-katanya.

"Udah, nggak usah banyak bacot lagi." Hanny meloncat ke atas

ambulans, lalu menarik Jenny. "Ayo, Jen, kita tinggalin cowokcowok nggak tau diri ini sebelum mereka mulai bertingkah lagi."

Mulutku membuka, mencoba memprotes, tapi Hanny sudah

menyuruh paramedis menutup pintu. Dari celah yang tersisa,

kulihat Jenny melambai padaku. Mukanya sama sekali tidak kelihatan sedih karena harus berpisah denganku.

Aku dan Markus hanya bisa menatap kepergian ambulans itu

dengan perasaan terluka karena ditinggalkan begitu saja.

Kami tersentak saat mendengar Inspektur Lukas berdeham.

"Bisa teruskan pembicaraan kita?" tanyanya.

Sebenarnya, yang disebut pembicaraan adalah interogasi gilagilaan. Aku tidak pernah sadar bahwa Inspektur Lukas ternyata

secerewet tante-tante yang bakalan menikahkan anaknya. Nyaris

tak ada detail yang dilewatkan olehnya, sementara matanya mengawasi kami bagaikan elang. Mendadak kusadari ada rasa tak senang

dalam sorot matanya itu.

"Kenapa, Om?" Rupanya Markus juga menyadari hal itu. "Kok

mukanya bete banget?"

"Dengar ya, kalian berdua." Bukannya menjawab pertanyaan

kami, si inspektur malah menegur kami dengan suara tajam yang

agak-agak bikin keder. "Lain kali, jangan menutupi informasi

penting dari polisi lagi, ya!"

"Abis mau gimana lagi, Om?" kataku dengan tampang memelas. "Johan memerintahkan kami untuk nggak lapor polisi. Yang196

nyawanya jadi taruhan kan kakak saya. Kami nggak boleh bertindak gegabah sedikit pun."

"Memang benar sih," kata Inspektur Lukas, masih tetap bersungut-sungut. "Tapi kita kan keluarga. Seharusnya kalian lebih

memercayai saya dong!"

"Lho, yang berhubungan keluarga dengan Om Inspektur kan

cuma si Markus," protesku tak setuju.

Bisa kurasakan pelototan Markus dari sebelahku, tapi aku berlagak tidak tahu apa-apa.

"Yah, kalau melihat adegan tadi, sepertinya cepat atau lambat,

kita bakalan jadi keluarga juga kok."

Brengsek. Inspektur ini rese bener sih. Mana sekarang tampangnya cengar-cengir. Memangnya polisi boleh memasang tampang

seperti itu?

"Elo sih, man," gerutuku sambil menyodok rusuk Markus.

"Kerjanya bikin adegan cinta yang nggak romantis dan bikin

orang-orang yang nonton jadi pucet."

"Kenapa juga orang-orang harus jadi pucet?" tanya Markus

heran.

"Ya jelas jadi pucet lah!" teriakku dan Inspektur Lukas bersamaan.

"Apa kamu tidak sadar bahwa dari tadi banyak yang nonton?"

lanjut Inspektur Lukas dengan nada menggerutu.

"Yah, ehm," Markus tampak canggung, lalu tertawa. "Ya udah,

sori deh. Abis, tiap kali ngomong sama Tory, jadi lupa dengan

dunia sekitar sih."

Gila, makin didengar, sohibku ini makin bikin malu saja. Wajahku sudah masam banget, sementara Inspektur Lukas cuma

menggeleng-geleng.197

"Dasar anak muda. Ya sudah. Kalau menguping pembicaraan

kalian tadi, sepertinya kalian benar-benar kurang tidur. Mumpung

Johan sedang dalam pelarian, sebaiknya kalian gunakan saat-saat
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini untuk beristirahat. Jangan khawatir, kami akan menjaga

rumah ini."

"Kalo ada perkembangan, tolong beritahu kami ya, Om," kata

Markus.

Mata Inspektur Lukas menyipit. "Sementara kalau kalian yang

menemukan informasi, kalian menyembunyikannya? Benar-benar

tidak adil. Di mana-mana, polisi yang seharusnya menahan informasi dari orang-orang sipil, bukan sebaliknya!"

"Yah, mulai sekarang kita tuker-tukeran yang adil deh," kataku

agak gombal.

"Oke, saya mengerti. Masalah ini menyangkut kalian secara

pribadi. Sudah seharusnya kalian diberitahu semuanya. Jadi, jangan khawatir. Kalian istirahat saja baik-baik."

Inspektur Lukas menepuk bahu kami dengan ramah. Lalu, dengan halus sekali, dia menggiring kami pergi. Tahu-tahu saja

kami sudah berada di depan gerbang rumahku. Sebelum kami

sempat memprotes, Inspektur Lukas sudah ngeloyor pergi dan

berbicara dengan rekan-rekannya dengan muka serius.

"Dasar licik," kata Markus sambil menggeleng-geleng. "Kita

dipaksa pulang begitu aja."

"Ya udahlah, gimana kalo kita menuruti saran semua orang aja

dan pergi tidur?" kataku sambil membuka gerbang.

"Menurut lo, kita bisa tidur?" tanya Markus sangsi.

"Jelas nggak bisa," tukasku. "Tapi kita harus berusaha, supaya

saat Johan kembali lagi, kita bisa menghajar dia dengan kekuatan

penuh."198

Kami naik ke lantai dua. Aku membuka kamar kosong yang

seharusnya menjadi kamar si nenek sihir namun sudah ditinggalkannya selama bertahun-tahun.

"Nih, lo tidur di sini aja," kataku. "Tapi jangan bongkar-bongkar barang si nenek sihir, ya!"

Markus menatapku dengan muka tersinggung. "Lo kira gue

apaan?"

Aku tidak menanggapinya dan langsung memasuki kamarku.

Setelah menendang lepas kedua sepatuku, aku langsung meloncat

ke atas ranjang, dan begitu mencium bau iler yang samar-samar

menguar di bantal, mendadak saja aku merasa begitu mengantuk.

Ini tidak wajar. Kenapa tahu-tahu aku begini mengantuk? Apa

aku pingsan gara-gara bau iler yang menyengat banget ini? Atau

jangan-jangan Johan menaruh obat bius di sekitar sini?

Ah, tidak mungkin. Dia tidak mungkin menyelinap ke rumah

ini. Kami melihatnya pergi begitu saja, dan rumahku tak punya

pintu belakang yang bisa digunakannya untuk menyelinap

Aku tidak sanggup berdebat dengan diriku sendiri lagi.

Aku tertidur pulas.199

AKU benci banget yang namanya rumah sakit.

Yah, aku tahu, ini bukan berita baru. Banyak banget orang

lain yang juga membenci tempat jahanam itu. Tapi, berbeda dengan orang-orang lain, kenanganku tentang rumah sakit benarbenar bikin sakit hati, jiwa, dan raga. Hampir semua acara berantem yang kujalani berakhir di rumah sakit. Kalau aku kalah, aku

yang terkapar di rumah sakit dengan perban di sekujur tubuhku,

membuatku pantas main jadi kaki tangan Imhotep di film The

Mummy. Tapi kalau aku menang, lawankulah yang kubikin terkapar di rumah sakit dengan tampang mirip mumi, sementara aku

dipaksa menjenguk ke rumah sakit dan harus mengucapkan permintaan maaf yang sebenarnya bahkan tak sudi kuludahkan. Hell,

kalau aku yang dihajar, aku tidak pernah dimintai maaf. Jadi kenapa aku harus minta maaf kalau mereka yang kugilas?

Mana UGD di sini sama sekali tidak mirip dengan adegan-adegan keren di film ER atau Grey?s Anatomy. Kita mengira bakalan

12

Tory200

ketemu pasien-pasien yang berlumuran darah dan berteriak-teriak

kesakitan, dokter yang memukul-mukul dada pasien sambil

berteriak "Aku tidak akan membiarkannya mati!" sementara paramedis berseliweran ke sana kemari sambil mendorong tempat

tidur beroda dengan kecepatan tinggi. Tapi di sini tidak ada yang

seperti itu. Kebanyakan UGD suasananya damai dan tenteram,

dengan orang-orang bertampang tenang dan dingin yang memegangi jarum suntik dan memamerkan senyum datar.

Rasanya malah menakutkan.

"Tidak sakit?"

Aku menengadah dan menatap dokter wanita yang merawatku.

"Nggak, Dok."

"Berapa banyak ular yang mengerubutimu?" tanya si dokterwanita-berkacamata-jelek dengan tampang prihatin, tapi aku

malah curiga.

"Dokter tau dari mana saya dikerubuti ular?"

Si dokter tersenyum tipis. "Dari bekas lukamu yang berbedabeda ukurannya, saya bisa menebaknya."

Oh. Aku memang terlalu curiga. "Saya nggak tau berapa banyak, Dok." Aku diam sejenak. "Hitungannya jadi kacau sejak

delapan belas."

Jenny menatapku dengan mata terbelalak. "Delapan belas?"

"Masa sih kamu bisa tetep hidup setelah dikerubuti delapan belas

ular?" tanya si cewek-populer-super-jutek sambil mengernyit.

Hell, cewek ini tidak percaya padaku. Kubalas tatapannya dengan angkuh. "Dikerubuti delapan belas preman pun aku tetep

bisa hidup kok. Memangnya aku cewek lemah yang cuma bisa

ditolong cowok?"

Mendengar ucapanku yang sok banget, si cewek populer hanya201

memelototiku dengan muka tak senang. Masa bodoh amat. Saat

ini aku tidak punya kesabaran untuk meladeninya. Menyadari

rasa tak senangku padanya, si cewek populer mengalihkan topik

dan mengedikkan dagu pada cowok raksasa yang terkapar pingsan

di ranjang sebelah. "Cowok itu baik-baik aja, Dok?"

"Kadar obat bius dalam darahnya tinggi sekali. Kalau bukan

gara-gara tubuhnya besar sekali, dia pasti sudah menemui ajal

karena overdosis. Kami sudah berusaha menetralisir obat bius itu.

Mungkin besok pagi dia sudah bisa bangun."

Si cewek populer tidak bereaksi, tapi sorot matanya mencerminkan kelegaan. "Bagaimana dengan Les?"

"Les?"

"Cowok yang tadi pagi masuk ICU."

"Oh, cowok ganteng yang bernama Leslie itu," seru si dokter

wanita dengan mata berbinar-binar. Hmm, sepertinya dia kasmaran sama oknum yang rupa-rupanya bernama Lassie ini. "Dia

sudah sempat siuman, jadi kami pindahkan dia ke kamar inap

biasa." Sorot matanya menusuk saat dia bertanya pada si cewek

populer, "Memangnya dia apamu? Pamanmu, ya?"

Aku berani taruhan, dia bakalan menancapkan jarum suntik ke

muka si cewek populer kalau sampai jawaban yang diberikannya

adalah, "Bukan, pacar saya."

Sepertinya si cewek populer juga menyadari kemungkinan mengerikan itu. Buru-buru dia memberikan jawaban yang diharapkan oleh si dokter wanita, "Iya. Dokter kok tau aja sih?"

Si dokter wanita terkekeh genit. "Feeling."

Feeling si dokter ini jelek banget. Kalau dia mengobati dengan

feeling juga, bisa-bisa dia terkena tuntutan malapraktik di manamana.202

Begitu mendapatkan jawaban yang diinginkannya, si dokter

wanita bertambah ramah. "Jangan khawatir. Teman kalian ini,"

dia menunjuk Frankie, "akan dipindahkan ke kamar yang sama

dengan Pak Leslie. Sebenarnya saya ingin menyatukannya dengan

pasien-pasien cowok yang berasal dari sekolah yang sama dengan

kalian, tapi ruangannya sudah penuh."

Pasien-pasien cowok dari sekolah yang sama? Memangnya apa

yang terjadi, sampai ada banyak pasien cowok dari sekolah anakanak ini yang menghuni rumah sakit ini? Oh ya, waktu itu ada

kebakaran. Apa gara-gara kejadian itu?

"Sedangkan nona ini," dia tersenyum padaku, sementara aku

mengerutkan alis karena disebut nona ini, seakan-akan aku cewek

yang imut banget, "kamu beruntung karena semua lukamu tidak

berbahaya. Hanya saja, tubuhmu lemah sekali. Jadi lebih baik kita

pasangi infus." Ouch. "Yah, untung sekali ular-ular itu tidak berbisa. Kalau tidak, saya tidak akan bisa membayangkan akibatnya.

Nah, kamu akan ditempatkan di ruangan yang sama dengan

pasien-pasien cewek dari sekolah kalian."

Hell, memangnya aku sudi disuruh seruangan dengan cewekcewek manja SMA Persada Internasional yang kerjanya hanya

cekikikan sambil menyisir rambut?

"Nggak usah, Dok, thanks," ucapku. "Saya mau kamar private

aja."

"Oke, oke." Si dokter wanita terkekeh lagi. Mungkin dia sedang kegirangan karena bakalan mendapat pasien VIP. "Kamu ini

memang ada-ada saja. Tenang saja, saya akan mengurus semuanya.

Suster," dia memanggil seorang perawat yang menjadi asistennya

di ruangan itu, "nanti tolong antar nona ini ke kamar 747. Pastikan infusnya terpasang dengan benar, demikian juga pastikan203

obat-obatnya nanti diminum sesuai dosis yang tadi saya berikan."

"Baik, Dok." Si perawat segera memencet aiphone, meminta

rekannya yang bertugas di lantai 7 mempersiapkan kamar yang

dimaksud karena ada pasien baru yang akan masuk.

Lantai 7 Sip lah. Pasti pemandangannya bagus.

Setelah semuanya siap, aku dipaksa duduk di kursi roda (meski

sebenarnya aku lebih suka jalan sendiri?walaupun sedikit lemas,

aku masih kuat jalan kok!) dan diantar suster tersebut ke kamar

perawatanku. Si cewek populer dan temannya dengan setia

mengiringi kami bagai dayang-dayang teladan.

Mulutku langsung ternganga saat mendapati kamar yang dimaksud ternyata adalah kamar inap bersama yang dua dari tiga ranjangnya sudah diisi oleh siswi-siswi SMA Persada Internasional.

Hell, kan sudah kubilang aku mau kamar private! Kenapa aku

masih juga dikasih kamar milik bersama begini? Apa mereka

menganggapku hanya bercanda karena lebih suka sendirian setelah

dikurung dengan rekan-rekan satu sel yang berusaha menggigitiku? Sejuta ocehan dan omelan sudah siap menyembur dari dalam

mulutku ke arah si perawat, tapi semuanya tercekat di kerongkongan saat aku mulai mengamati pasien-pasien itu. Jadi aku

diam saja saat si perawat yang lumayan cantik itu menyuruhku

berbaring lalu mulai memasang slang infus di tanganku.

Yah, memang ada dua cewek di kamar itu. Tapi bukannya

sedang bergosip sambil manikur dan mencatok rambut seperti

dugaanku, kedua cewek itu terbujur di ranjang, kelihatan seperti

sedang koma, dengan slang-slang terpasang pada tubuh mereka.

Salah satu di antara mereka bahkan mirip banget dengan mumi

lantaran seluruh mukanya terbalut perban.204

"Hell." Tanpa sadar aku bertanya keras-keras, "Mukanya terbakar?"

"Bukan." Si cewek populer menyahut, suaranya lemah. "Disayat-sayat."

HELL.

Aku menatap cewek malang itu. Aku tidak ragu, cewek yang

sanggup bersekolah di SMA Persada Internasional pasti sanggup

memaksa orangtuanya membiayai operasi plastik atau sejenisnya.

Tapi tetap saja, terlepas dari sanggup atau tidak membetulkan

kembali wajahnya, tidak ada cewek waras yang merelakan wajahnya dipermak dengan sadis. Boro-boro disayat-sayat, aku pasti

bakalan menghajar siapa pun yang berani mencoret-coret mukaku.

"Yang satu lagi diracuni," jelas si cewek populer tanpa ditanya.

"Dengan sangat kejam, karena dosis yang diberikan cukup sedikit

sehingga nggak akan menewaskannya detik itu juga, tapi memberinya kematian perlahan-lahan."

Dia sama sekali tidak menyebut siapa pelakunya, tapi itu tidak

diperlukan. Tidak mungkin di sekolah mereka terdapat banyak

psikopat maniak, kan? Mungkin saja bukan Johan yang melakukannya secara langsung, tapi Johan punya banyak cara untuk

mengendalikan orang lain dari jarak jauh untuk melakukan pekerjaan kotornya.

Belum pernah kutemui penjahat yang lebih mengerikan daripada bajingan itu. Begitu sadis, begitu licik, begitu cerdik!

"Johan pasti udah tau kita ada di sini," kata Jenny mendadak.

Meski sudah bisa menduga hal itu, tetap saja kami semua

langsung membeku saat kenyataan itu diucapkan keras-keras.

"Iya nih, kemungkinan besar sih gitu," sahut si cewek populer205

dengan rahang mengeras. "Mungkin dia juga tau kita udah

berpisah dengan Tony dan Markus."

"Dia nggak akan sebego itu ngejar Tony dan Markus sendirian," gelengku. "Melawanku aja dia nggak becus, apalagi melawan Tony dan Markus sekaligus? Menurutku, dia pasti mengincar

kita kemari."

"Kalau begitu, kita nggak boleh berpisah," tegas si cewek populer, mendadak kelihatan mirip pemimpin?dan aku tidak suka

dipimpin oleh cewek manja bertampang pesolek. "Sial, saat-saat

begini, Frankie dan Les bukan hanya nggak berguna, tapi juga

butuh perlindungan kita. Ayo, kita ke kamar mereka."

Jenny ragu-ragu sejenak. "Gimana dengan Kak Tory?"

"Tentu saja aku ikut," tegasku. "Aku nggak mau tiduran nggak

jelas di sini sementara kalian asyik memukuli psikopat."

"Oke, oke," kata Jenny sambil menahanku yang hendak mencabut jarum infus. "Tapi jangan cabut jarum infus ini, Kak. Kakak

butuh cairan infus supaya nggak dehidrasi."

"Ya deh." Sambil bersungut-sungut aku menenteng botol infusku. Hell, bikin repot saja. "Terus gimana dengan mereka?" tanyaku sambil mengedikkan kepala ke arah dua cewek yang terbujur
Teror Johan series 4 Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak sadarkan diri dengan berbagai kabel dan pipa menancap di

tubuh mereka.

"Emangnya mau gimana lagi?" balas si cewek populer ketus. "Aku

juga nggak suka ninggalin mereka di sini. Tapi kalo disuruh milih,

jelas aku lebih milih melindungi sahabat-sahabatku. Lagi pula,

rasanya idiot banget kalo kita berpisah demi melindungi cewekcewek ini. Yang diincar Johan itu kan kita, bukan mereka."

Oke, kata-katanya pedas, menyebalkan, dan kedengaran tega

banget, tapi dia memang benar. Kami tidak bisa melindungi se-206

mua orang. Dari yang kutangkap, sepertinya masih ada satu bangsal semacam ini yang dipenuhi anak-anak cowok SMA Persada

Internasional yang terluka. Kalau kami bertiga berpisah dan melindungi kamar-kamar itu sendirian, Johan pasti akan bisa mengalahkan kami dengan mudah. Aku tidak begitu senang mengakui

kelemahan diriku sendiri, tapi harus kuakui saat ini aku tidak

begitu yakin bisa mengalahkan Johan.

Tapi tentu saja, aku juga tidak sudi dikalahkan olehnya.

Tanpa banyak bacot lagi, aku dan Jenny mengendap-endap

mengikuti si cewek populer menuju kamar rawat inap pacarnya.

Bangsal itu terletak di sayap yang berlawanan dengan kamar yang

tadinya kami tuju. Untung tidak ada perawat yang memergoki

kami. Dari ketiga ranjangnya, hanya dua yang terisi. Tanpa malumalu aku mengambil ranjang ketiga dan membaringkan diri di

situ. Dengan tampang rada menantang aku melayangkan pandangan, siapa tahu ada yang tidak setuju (terutama si cewek populer). Ternyata si cewek populer langsung mengangkat kursi dan

duduk di samping cowok hitam yang sedang tidur dengan tampang bloon setengah mati, sementara Jenny langsung mengintip

ke luar jendela.

"Nggak keliatan apa-apa," keluhnya. "Lantai ini menghadap ke

hutan nggak jelas."

"Biarpun nggak menghadap ke hutan nggak jelas, lo tetap

nggak akan bisa ngeliat apa-apa," tukas si cewek populer. "Lo kira

si Johan bakalan melompat masuk sambil memamerkan muka

seramnya itu dari jendela seperti tadi?"

Sesaat kami semua terdiam, sibuk dengan pikiran masingmasing. Lalu, mendadak saja, kudengar suara mencurigakan.

"Ada apa, Kak Tory?"207

Napasku yang tersentak membuat Jenny langsung bertanya dengan khawatir. Di saat-saat lain, aku akan memuji perasaannya

yang peka dengan perubahan suasana hati orang lain, tapi saat ini

aku betul-betul tegang.

"Nggak," sahutku tergagap. "Kalian dengar sesuatu?"

"Dengar apa?"

Kami semua diam mendengarkan, dan aku mendengar suara

itu lagi. Suara desisan. Aku menoleh ke jendela dan nyaris memekik. Ada seekor ular di situ!

Aku langsung menerjang Jenny dan menyibak tirai dengan kasar, siap menghajar reptil keparat itu, namun yang kutemukan

hanyalah tali tirai yang tergantung-gantung lemas.

Sementara itu, dari belakangku, terdengar desisan yang begitu

dekat.

"Kalian nggak denger suara ular?" bisikku.

Kedua cewek itu terdiam. Sementara aku bisa mendengar desisan ular itu lagi, tampang kedua cewek itu bloon-bloon saja,

menandakan mereka tidak mendengar apa yang kudengar.

Hell, apa-apaan ini? Apa aku mulai berhalusinasi yang anehaneh?

"Ah, udahlah. Forget it." Karena tak ingin disangka orang gila,

aku menepiskan suara itu sebisaku dan kembali ke tempat tidur.

"Eh, kalian lapar?"

Kini keduanya benar-benar menatapku seolah-olah aku orang

gila, tapi lalu si cewek populer melirik jam tangannya.

"Sebentar lagi makan siang," katanya. "Kakak kan pasien rumah sakit ini, berarti Kakak bakalan dapat jatah makan siang.

Sedangkan kita," dia menatap Jenny dengan muka licik, "ada dua

pasien di sini yang nggak akan makan, kan?"208

Jenny terbelalak. "Masa lo mau ngembat makanan mereka?"

"Mereka kan nggak butuh, sementara kita nggak bisa sembarangan berkeliaran di rumah sakit tapi kita butuh energi buat


Pendekar Slebor 33 Jodoh Sang Pendekar Pendekar Rajawali Sakti 204 Titah Sang Shugyosa Samurai Pengembara 10

Cari Blog Ini