Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng Bagian 1
Utukki Sayap Para Dewa
Clara Ng
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta 2011
ebook : Syauqy_Arr
**
The Michigan State Univercity, Februari 1996
LELAKI itu berjalan sambil mengetatkan jaket erat-erat di tubuh. Napasnya mengeluarkan asap putih yang bukan berasal dari rokok. Sementara telinganya membeku dan mati rasa. Dia bahkan tidak dapat bernapas normal.
Salju turun berhamburan tanpa henti sampai nyaris membutakan matanya. Di mana-mana yang terlihat hanyalah kapas-kapas putih melayang turun, berdempetan, sehingga tampak seperti daun-daun kecil runtuh dari langit.
Dulu, empat tahun yang lalu, ketika lelaki itu tiba pertama kali di kota ini, salju selalu mampu membuatnya terpesona. Dia yang berasal dari negeri tropis di mana matahari selalu hangat bersinar. dapat terbius dengan pemandangan putih seperti ini. Dingin tidak lagi dapat dirasakan. Berjalan, berlari, dan berusaha menangkap butirbutir putih dilakukannya tanpa memedulikan sekeliling. Entah apakah orang-orang bule menganggapnya sebagai manusia tanpa masa kecil yang bahagia. Dia tidak peduli. Dia terlalu disekap perasaan takjub oleh pesona alam nan dahsyat.
Salah satu kegiatan istimewa yang ia lakukan pertama kali adalah mendongak ke langit, membuka mulut lebar-lebar, dan menatap salju menari-nari turun sebelum jatuh ke lidah. Dia mengecap rasa dingin yang lumer di sana.
Lalu datang musim dingin kedua. Dan ketiga. Dan keempat
Setelah empat tahun, musim dingin tidak lagi menarik perhatian lelaki itu. Salju putih yang turun deras seperti hujan tidak lagi tampak cantik di matanya. Lelaki itu mengenal pengetahuan. Ternyata salju dapat membuat kecelakaan di jalan raya. Ternyata salju membuat hidup manusia menjadi lebih sulit. Ternyata setelah menyentuh tanah, salju menjadi kecokelatan karena kotor. Tidak ada bedanya seperti segumpal lumpur di pinggir trotoar.
Dan satu lagi... jangan tanyakan dinginnya.
Kekagumannya terhadap salju perlahan-lahan mencair seperti salju mencair oleh panasnya matahari musim semi. Musim favoritnya bukan lagi musim dingin. Baginya sekarang, musim dingin adalah musim muram yang menyimpan suasana kelam. Salju berwarna putih tidak sejujurnya putih. Sekarang ia tahu, putih bukanlah warna keindahan. Putih adalah warna pengkhianatan.
Lelaki itu menenggelamkan kedua tangannya yang dibalut sarung tangan tebal ke dalam kantong jaket dari kulit angsa. Berharap dengan mengerutkan tubuhnya seperti itu, udara dingin dapat sedikit dienyahkan. Beberapa butir salju menempel di kacamatanya, memperlihatkan setiap butir itu ternyata terukir dengan aneka bentuk indah. Bentuk yang tidak pernah sama satu dengan lainnya. Sama seperti cetakan jemari manusia.
Dia menoleh ke belakang. Mobilnya yang baru diparkir lima menit lalu telah penuh rinai salju. Malahan kaca depannya sudah tertutup rapat. Salju pasti sudah mengeras pada saat dia kembali. entah kapan. Mungkin pada saat fajar menjelang. Nanti dia harus menghabiskan waktunya mengorek-ngorek kaca depan dengan korekan khusus yang pasti dimiliki setiap pemilik mobil di negeri ini. Lelaki itu mendengus lelah. Sebentuk asap melayang keluar dari mulut lalu menghilang, bersatu dengan angin malam.
Dia melirik jam tangannya. Pukul dua belas tengah malam. Lewat sebelas menit.
Sambil menggosok hidung yang penuh dengan cairan beku, lelaki itu semakin mengetatkan jaket. Tas ransel terasa sedikit berat di punggungnya, tapi itu tidak seberapa dibandingkan dengan udara dingin yang menikam tulang. Dia harus segera mencapai tempat tujuan. Di sana temperatur hangat dan secangkir kopi nikmat dapat membuat otak yang setengah beku dapat kembali mencair dan bekerja normal.
Lelaki itu berjalan semakin bergegas. Sementara salju turun semakin deras.
**
"Naeva!"
Mata gadis itu berair setelah berjam-jam menatap layar monitor. Mungkin dia sudah setengah buta dan mengalami kesulitan fokus. Dia tidak bahu. Tapi telinganya bekerja baik. Di tengah-tengah keheningan perpustakaan kampus mahaluas, suara panggilan yang nyaris menyerupai bisikan sedikit mengagetkannya.
Naeva mendongak, memecahkan perhatiannya dari layar komputer.
Teman lelakinya berjalan menghampiri. Terlihat seperti mammarb karena tubuhnya dibungkus jaket bulu angsa yang luar biasa tebal. Kehangatan main ... kampus seakan-akan tidak sanggup menolong menaikkan suhu tubuhnya. Di tangan kanan, dia menggenggam cangkir styrofoam yang pasti isinya kopi . Pipi yang biasanya berwarna cokelat tua kali ini tampak memerah. Adam mencabut topi rajutan yang sedari tadi mendekam di kepala. Rambut hitam agak panjang menjadi berantakan tidak keruan. Sebagian besar berdiri tegak ke atas, melayang-layang seperti kapas tertiup angin. Pasti diakibatkan gesekan statis yang terjadi antara topi rajutan dengan udara yang luar biasa kering. Sepasang matanya terlihat merah seperti kurang tidur.
Sebagai langganan tetap di gedung ini, Naeva tidak merasa heran. Di kampus, siapa pun yang berkutat di perpustakaan raksasa pada jam-jam setan seperti sekarang mempunyai mata dengan spesifikasi khusus; merah, bengkak, berair. Seperti mata pecandu alkohol. Atau penderita sakit jiwa. Atau bahkan, orang sedang sakaw.
"Di luar turun salju?" tanya Naeva basa-basi sambil memutar tubuhnya di kursi sehingga mereka berhadapan. Tengkuknya terasa sangat kaku. Mungkin dia perlu menempelkan koyo di sana. Avial bulan kemarin ibunya menitip selusin koyo melalui teman yang baru saja kembali dari Indonesia.
Adam menarik kursi dan duduk di terminal komputer di sebelahnya.
"Bukan hanya salju," kata Adam sambil menggosok hidung yang merah berair.
"Badai."
"Persis seperti kata ramalan cuaca. Hhh..." Naeva menopang dagu, memerhatikan Adam melepaskan sarung tangan woL berwarna hijau lumut.
"Tumben datang jam segini. Telat banget. Biasanya sedari sore." katanya lagi.
"Barusan dari tempat lain. Biasa, riset."
Naeva mengembalikan perhatiannya kepada buku-buku tebal di depannya. Hm, halaman berapa tadi?
"Ujian apa?"
Naeva menggosok matanya yang perih. Kata-kata yang tercetak di buku terlihat morat-marit.
"Bukan ujian. Biasalah. Rrrmrrb paper di tengah-tengah semester. Sinting."
"Kelas apa?"
"Jurnalism 72011. Kelas benar:"
Teman lelakinya mendengus.
"Terdengar bumi' di telingaku."
Naeva melipat tangan di dada, mengangguk lelah.
"Kasihan sekali."
Sebuah buku terjatuh di salah satu sudut terminal. Walaupun tidak menimbulkan kehebohan yang parah, suara benda jatuh itu terdengar membahana di ruangan yang hening. Tidak ada seorang pun segera bereaksi. Penjaga perpustakaan bergerak keluar dari booth-nya dan merapikan bukubuku tersebut.
"Sedang mengerjakan apa sekarang, Dam?"
Adam berhenti menggoyang-goyang .
"Aku ambil kelas Religious Smdie: 750. Care Hanum/em untuk kelas lanjutan. Aku masih punya sekitar sepuluh kredit untuk kelas elerrit'e. Sekalian ambil History 560."
"History 560?"
Naeva melirik jam yang tergantung di dinding perpustakaan. Lima menit telah berlalu lagi. Buku-buku yang berserakan di sekeliling kakinya mulai terasa mengganggu. Kursi komputer berputar dan Naeva menangkap bayangannya pada monitor di terminal belakang. Samar-samar terlihat siluet wajah yang berantakan dan kurang cuci muka.
"Suka cerita-cerita mitologi?"
"Mitologi apa?" Sekali lagi, Naeva mengucek matanya. Apa yang dia lakukan di sini, tengah malam buta mengetik mem-rb paper.? Seharusnya dia mendengarkan kata-kata Steve Lim, pacarnya yang warga negara Singapura.
"Jangan mengambil kelas terlalu padat, apalagi kelas honor. Sekolah akan membuatnya mati muda."
Adam membungkuk, menarik ritsleting tas ransel. Dari dalam, dia mengeluarkan diktat tebal. Sebelum menyerahkannya kepada Naeva, Adam membuka kacamata dan mengelapnya hati-bati.
Pada halaman depan, tertera sederetan huruf... atau gambar... yang terlihat sangat tidak lazim.
"Tulisan apa itu?" tanya Naeva tertarik. Lupakan sejenak rermrrb paper sialan. Lima menit istirahat tidak akan membuat gelar Master of Arts yang akan diraihnya pada musim semi tahun depan tertunda.
Hati-hati Adam membuka diktat tersebut.
"Tulisan ini namanya abjad arneiffbnn atau kunciform."
Naeva menyipitkan matanya.
"Kun apa?"
"Kunciform. Tulisan bangsa Mesopotamia kuno. Seperti
huruf-huruf alfabet yang ada sekarang, hanya saja berbeda. Lebih kompleks daripada hieroglif, alfabetnya orang-orang Mesir kuno. Kau pasti pernah dengar yang itu."
Naeva berdiri dan membungkuk di samping terminal komputer Adam.
"Kau bisa membaca tulisan itu?" tanyanya tidak percaya.
"Sedikit-sedikit. Kalau tidak, bagaimana mungkin aku dapat meraih gelar Ph.D nanti?"
"Kau? Ph.D? Huh, sombongnya. Gelar master saja belum selesai."
"Ph.D..." Adam mendesah.
"Masa tidak tahu? Pemmnmr Head Damage."
Naeva terperangah lalu tertawa.
"Hahaha. Lucu."
"Perlu aku lanjutkan?"
"Br my gum, Sir."
Adam menatap Naeva sejenak lalu meneruskan omongannya,
"Lihat yang ini! Ini tulisan di prasasti yang berhasil ditemukan oleh para ilmuwan. Tulisan ini adalah salah satu sastra tertua di dunia, ditulis beribu-ribu tahun sebelum masehi. Namanya Epik Gilgamesh. Pernah dengar?"
Naeva menggeleng malas.
"Epik Bilbahes... apa? Cepat ngomong. Sebelum aku bosan dengan topik ini."
"Epik Gilgamesh. Kujamin kau tidak akan pernah bosan mendengar mitos-mitos ini. Apalagi mitos bangsa Mesopotamia. Banyak prasasti yang berhasil ditemukan di-"
"Sori memotong. Bangsa apa yang kauceritakan sedari tadi?"
"Bangsa Mesopotamia. Gabungan keturunan bangsa Sumeria dan Babylonia. Beribu-ribu tahun yang lalu mereka
hidup di antara Sungai Tigris dan Sungai Eufrat di daerah sangat subur bernama Alesopotamia. Sekarang daerah itu daerah selatan dan tengah negara Irak dan Kuwait."
Naeva mengangguk-angguk.
"Ohh..."
"Mereka salah satu bangsa pertama yang menetap setelah beribu-ribu tahun hidup sebagai bangsa nomaden. Mereka menetap karena akhirnya dapat mengontrol tanaman dan binatang untuk diolah menjadi bahan makanan. Mereka menggembalakan domba serta ternak lainnya, bercocok tanam. mendirikan kota-kota, dan membuat sistem pemerintahan yang mengatur kehidupan. Daerah ini akhirnya menjadi 'Buaian Peradaban' atau istilah bahasa Inggrisnya middle of chivilization."
Naeva mengangguk-angguk lagi.
"Oohh..."
"Deh..., bulet. Jangan kebanyakan oh, cobain ah. Anyway, prasasti yang memuat cerita-cerita mitologi banyak yang hancur dan rusak sehingga banyak cerita yang tidak atau kurang lengkap. Sayang sekali. Tapi, coba lihat yang ini, Naeva. Tulisan ini kutemukan di salah satu toko barangbarang antik di dauwtauw tadi sore."
Adam membuka diktat tebal yang kelihatan lusuh dan tua di depan Naeva. Dengan hati-hati tangannya menyisiri bagian tertentu pada halaman awal.
Naeva mendelik.
"Ya? Bisa tolong terjemahkan artinya? Aku buta huruf."
Adam mulai membaca perlahan-lahan.
"Di sini tertulis cerita tentang penciptaan dan kelahiran monster pembawa kericuhan di Negeri-Atas, alias dunia dewa-dewi. Monster termuda, karena sebab-musabab yang kacau-balau jatuh cinta pada seorang Bendera. Raja dewa memutuskan ia harus
mati dan hidup kembali tujuh ribu tahun kemudian untuk menggenapi nasib dan cintanya yang abadi. Sekarang sudah nyaris tahun 2000, Naeva."
Naeva menautkan dahinya.
"He-eh."
Adam meneguk kopi kental dari cangkir st_yanunm. Kopi itu rasanya tidak enak di lidah. Mukanya mengemyit kecut.
"He-eh? Cuma he-eh? Begitu aja reaksimu?"
Naeva mengerenyitkan keningnya semakin dalam. Pukul satu kurang lima belas menit. Diskusi yang kurang menarik pada saat ini.
"Iya deh. Bagaimana kalau..." Naeva mengambil napas dalam-dalam. Menggaruk-garuk pipinya.
"OH MY GOD! YOU'VE FOthD IT! HEBAT, GILA, MENAKJUBKAN! EUREM!"
Adam melirik sewot. Wajahnya yang sudah jelek gara-gara kopi menjadi semakin memburuk. Naeve buru-buru menghilangkan cengiran lebarnya.
"Oke deh, Pak. Peraturan nomor satu: dilarang bercanda di perpustakaan," gumam Naeva.
"Peraturan nomor dua: no nonsense. Hmm... Sekarang nyaris pukul satu. Aku harus kembali bekerja sebelum matahari bersinar. Salam cinta buat monstermu."
Naeva berjalan kembali ke terminal dan mulai mengetik beberapa kalimat. Adam mengembalikan perhatiannya ke arah monitor
"Silakan hitung."
Naeva mendongak. Air mukanya memancarkan rasa heran.
"Hitung apa lagi? Aku bukan mahasiswi matematika. Aku tidak kenal angka, Sayang. Duniaku adalah alfabet dan sensasi.. begitu." katanya sinis.
"Lima ribu dan dua ribu berjumlah tujuh ribu."
Naeva membesarkan kedua matanya sengaja.
"Wow, Adam. Sangat ruwet perhitungan matematikanya. Hmmm..."
"Jangan sinis. Dengarkan dulu kata-kataku. Maksudku, ber-dasarkan prasasti, beribu-ribu tahun telah berlalu. Berarti-"
"Berarti manusia sudah lebih canggih? Komputer sudah ditemukan? Bill Gates makin kaya? Harga ponsel semakin murah?"
Adam menulikan telinganya.
"...kalau tulisan ini benar, sekaranglah saatnya untuk menggenapi ramalan itu."
Naeva mendengus.
"Ya ampun. Kayaknya ada yang kurang tidur-"
"Dan yang lebih gila lagi, coba kau baca kalimat ini." Adam menuding deretan alfabet paku yang sangat asing di mata Naeva.
Naeva memutar bola matanya.
"Tertulis tentang monster yang terlahir kembali sebagai manusia."
"0 my God. Sangat... sangat..." Naeva kehilangan katakata.
"Sangat dalam." Dia memalingkan wajah, berusaha melupakan percakapan luar biasa yang terjadi pada pukul satu pagi dan kembali bekerja di terminal.
Adam tidak mendengarkan. Dia merapatkan bibir, lalu mengambil sisa tumpukan kertas-kertas lainnya dari tas ransel. Diletakannya semua kertas itu di samping meja terminal dengan rapi.
Di luar salju turun semakin deras. Naeva tidak menyadari bahwa percakapannya dengan Adam bukanlah akhir dari segalanya.
**
ADA yang sangat salah hari ini.
Thomas herlari kecil sambil mendongak menatap langit. Dia dapat merasakan gejolak dan sensasi cemas sedang mengoyak-ngoyak perutnya. Ada pesan tak tersirat sedang membisikinya. Seperti ada orang sedang mengendap-endap di belakangnya. Ingin menyerang secara licik. Seperti...
Sial. Dia tak dapat menerka.
Langit berwarna biru muda dengan awan putih mengapung jernih. Kaki Thomas berlari mantap, seperti musik tanpa kehilangan ketukan. Pagi yang sangat jernih di Jakarta. Wangi rumput basah menyeruak ke hidung.
Semoga tidak hujan lagi. Thomas tidak mampu lagi menghadapi banjir di mana-mana. Musim penghujan seharusnya sudah berakhir bulan kemarin, tapi tampaknya langit masih menyimpan banyak cadangan air. Sekali lagi Thomas mendongak menatap langit. Birunya langit tampak segar, bukan biru keabu-ahuan seperti dua hari lalu. Dua hari berturut-turut Jakarta digayuti mendung yang tidak jelas.
Thomas mempercepat langkahnya, berlari-lari membelah angin.
Di depannya terpampang papan nama cokelat muda bertuliskan St. Francis International School. Thomas mengerling ke arah papan nama itu yang konon telah berusia beratus-ratus tahun. Cerita dari mulut ke mulut menambahkan bahwa papan nama itu dicat oleh para misionaris ordo Fransiskan dan telah berpindah-pindah dari satu sekolah ke sekolah lainnya di berbagai negara selama para misionaris itu bekerja mengemban tugas mulia untuk mewartakan cinta kasih dan menyebarkan agama Kristen.
Melewati patung Santo Francis yang menjulang di samping pagar sekolah, Thomas mengambil aba-aba. Dilompati tangga sekali dua undak dan dengan cepat dia sudah berada di lapangan berumput.
Gedung sekolah yang megah terpampang di depan matanya, berjejer rapi bagai istana. Gedung dengan gaya kolonial dibangun orang-orang Belanda yang kaya raya pada tahun 1920-an. Mulanya diperuntukkan sebagai tempat ibadah alias gereja. Karena itu tidak heran, gedung sayap kanannya masih berbentuk gereja, lengkap dengan menara dan loncengnya. Sekarang dipergunakan sebagai gedung gimnasium. Lonceng gerejanya yang masih utuh tidak diganti, namun sudah tidak berbunyi lagi semenjak tahun kemerdekaan ketika gedung ini diubah menjadi sekolah katolik bertaraf internasional.
Pada sayap kanan, terdapat gedung berkubah besar berwarna kuning tua. Masjid bergaya neo-kolonial. tapi terlihat sangat serasi dengan gedung-gedung tua yang berada di sebelahnya. Masjid tersebut baru dibangun pada tahun tujuh puluhan ketika banvak murid-murid dari negara-negara
Arab dan Asia .... di Jakarta. menanyakan orangtua mereka datang untuk berdagang, mengadu nasib, dan beberapa jelas anak diplomat.
Gedung utamanya berada persis di depan jalan lebar yang sedang dilalui Thomas. Berwarna putih bersih dengan jendela-jendela besar yang menghadap empat penjuru mata angin. Pintunya setinggi empat setengah meter, berbentuk lengkungan megah. Tepat di atasnya, berdiri patung malaikat Gabriel. Mata Thomas hanya terarah pada tujuan utamanya. Pintu besar itu.
Thomas terus berlari seperti mengejar angin. Cepat, cepat. Bel sekolah sudah berbunyi tiga menit lalu.
Thomas mengenakkan gigi dengan gemas. Sampai detik ini, dia belum berhasil menemukan apa yang salah dengan paginya. Dengan cepat, disekanya keringat yang menetes turun dari dahi. Lalu Thomas mendongak.
Dan saat itulah, Thomas melihatnya.
Seseorang yang akan mengubah hidup Thomas di kemudian hari.
Seseorang yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Seseorang yang bersedia memberikan dunia kepada Thomas.
Seseorang yang berada sepuluh langkah di depan Thomas, berjalan dengan ringan, santai, dan tak tergesa-gesa.
**
Gadis itu pasti murid di sekolah ini. Kelihatan dari seragamnya yang berwarna sama dengan pakaian yang dikenakan Thomas. Tapi mengapa gadis itu tidak terlihat terburu buru? Bel sekolah sudah berbunyi sedari tadi. Sekali lagi Thomas melirik jam tangannya-astaga, sudah berbunyi lima menit lalu!
Mata pelajaran pertama adalah Sejarah Dunia. Ibu Popli sangat keberatan apabila murid-muridnya terlambat menghadiri pelajarannya. Sudah pasti, Thomas tidak ingin terlambat. Dia juga tidak ingin dipermalukan di depan kelas. Maka dibuangnya jauh-jauh rasa heran itu. Tiba secepat mungkin adalah prioritas utamanya sekarang.
Thomas berlari cepat melewati gadis itu.
Sekelebat Thomas melirik ke samping bahunya dan langsung terpana. Saking kagetnya, dia nyaris terpelesat jatuh. Genangan air diloncatinya dengan canggung.
Satu detik nyaris berlalu seperti seabad.
Demi Tuhan. Siapakah dia? Sambil terus berlari, Thomas menggeleng-gelengkan kepala seakan mengusir pening yang tiba-tiba menguasainya. Untuk alasan yang tidak jelas, kaki Thomas bergerak semakin lincah. Menjauhkan diri dari gadis itu. Meninggalkan berjuta-juta perasaan yang membuncah di dalam hati.
Langkah gadis itu...
Rambut hitamnya yang melayang tertiup angin semilir...
Harum tubuhnya...
wajahnya yang lembut...
Kehidupan memang tidak dapat dengan mudah ditebak. Dihantui perasaan tidak nyaman yang sedari tadi mengungkungnya, Thomas berlari melewati pintu gedung utama sekolah. Dia tidak menyadari langit di atasnya tibatiba berubah warna.
Andai saja galau ini dapat diterjemahkan artinya.
Ketika Thomas melesat cepat bak anak panah yang meluncur maju, peristiwa khusus itu membeku selama-lamanya di dalam hati dan pikiran Thomas.
Lelia berjalan lambat-lambat melewati undak-undakan besar. Diliriknya langit singkat. Dia tidak membutuhkan hujan hari ini. Air sudah terlalu banyak menggenangi Jakarta. Dia muak melihat hujan.
Dari tempatnya berjalan, terlihat gerobak bakso, nasi goreng, siomay ikan, dan segala penjual minuman berderetderet di depan pintu gerbang sekolah. Para pedagang sedang menyiapkan tenda-tenda plastik. Beberapa pancang yang terbuat dari bambu sudah ditegakkan. Bangku-bangku kayu berserakan di pinggir trotoar.
Gadis itu juga melewati papan besar bertulisan St. Francis International School. Dia tahu tentang sejarah papan nama itu. Pak Jeremy, guru matematika, yang sangat senior di sekolah ini pernah bercerita kepada Celia. Entah apa Pak Jeremy mengatakan yang sebenarnya ataukah dia sekadar mengkhayal, Celia tidak tahu. Bagi gadis itu, cerita apa pun tentang masa lalu gedung sekolah ini selalu terdengar menyenangkan.
Celia berjalan santai. Dia tahu bel sekolah sudah berdering selama tiga menit. Pelajaran pertama adalah Musik. Berbeda dengan Thomas, dia tidak takut terlambat. Alasannya jelas, Celia murid kesayangan Ibu Caroline. Semua murid sudah mengetahuinya. Oh, tidak. Bahkan seluruh dunia sudah mengetahuinya.
Kecerdasan Celia dalam musik menarik minat gurunya. Gadis itu mulai belajar bergaul dengan alat musik ketika dia berusia tiga tahun. Dengan asyik dia memencet-mencet tuts keyboard milik ibunya sehingga menimbulkan suara
suara yang sangat menyenangkan. Tidak seperti batita lainnya yang hobi tnenggebrak-gebrak tuts keyboard, pada usia tiga tahun Celia memperlakukan tuts seakan-akan sedang membelai wajah ibundanya. Bukan hanya itu, ia juga telah hafal memainkan lagu Bintang kecil dengan sempurna. Sentuhan-sentuhan tangan kecilnya pada keyboard sangat mengagumkan.
**
Terdengar langkah kaki yang beradu dengan batu. Gerakan itu sangat cepat dan ringan. Seperti seorang ahli bela diri yang lihai, yang sering tertulis di buku-buku silat. Celia menahan diri tidak menoleh ke belakang. Dengan kecepatan seperti ini, dia tahu siapa pun yang sedang berlari di belakangnya pasti akan segera menyusulnya.
Persis ketika Celia berada di tengah-tengah jalan setapak menuju pintu masuk gedung sekolah, lelaki itu berhasil melewatinya, sangat tergesa-gesa. Lalu mulai sedikit melambat tepat dua langkah di depannya.
Pada detik itu, lelaki itu menoleh ke belakang dan menatapnya sekilas.
Pada detik itu juga, jantung Celia berhenti berdenyar.
Detik selanjutnya tidak dapat diingatnya dengan jelas. Lelaki itu kembali berlari, meninggalkan Celia yang berdiri terpaku di tengah jalan.
No umi. Apa yang baru saja terjadi?
Celia berdiri terbengong-bengong. Setetes air jatuh menimpa rambutnya. Dia mendongak heran. Langit mendadak mengeruh. Awan-awan semakin memadat dan berwarna kelabu. Hmph! Hujan lagi. Sial.
Terdengar bisikan kecil di otak gadis itu, tumpah ruah
memasuki relung hatinya. Tapi Celia tidak mengacuhkan. Dia mulai berlari, menghindari hujan.
**
Antu berdiri tegap di depan gua gelap gulita. Dia melangkah masuk sambil menghitung napasnya sendiri. Sudah berapa lamakah waktu berlalu? Tujuh ribu tahun bukanlah waktu yang singkat. Sekaranglah saat jarum jam disetel kembali pada titik awal. Saatnya menggenapi apa yang telah digariskan.
Tubuh Antu yang tembus pandang semakin memucat dan tak berwarna. Dia adalah Dewi Bumi, pelindung ibu pertiwi. Matanya yang berwarna ungu menyurut tajam. Rambutnya panjang, berjurai-jurai ke bawah bersama jubahnya.
"Aku telah datang, anak-anakku!" Antu berseru dalam bahasa tua yang telah lenyap beribu-ribu tahun lamanya. "Aku telah datang untuk menyelesaikan tugas yang diembankan kepada kita. Bangunlah, anak-anakku. Tujuh ribu tahun telah berakhir."
Antu berhenti, tidak bergerak. Rambutnya berkibar-kibar tertiup angin. Antu menutup mata sejenak untuk memantapkan hati. Ketika matanya yang berwarna ungu tua itu membuka, terlihat nyala api berkilat-kilat.
"Aku memanggil namamu, anak-anakku. Bangunlah!"
Tujuh pasang mata berwarna merah darah perlahan-lahan membuka dalam kegelapan. Warna itu memantul ke setiap dinding gua. memberikan iluminasi cahaya indah tapi mengerikan. Antu tidak sedang mengagumi hal itu. Terdengar dengungan kasar dan suara gemeresik seperti suara logam diadu ke tanah.
"Lihatlah aku, anak-anakku" seru Antu tidak gentar. "Ibumu memanggilmu dengan segenap jiwa raga."
Suara gesekan kasar dan dengusan menggebu-gebu memenuhi seluruh dinding. Tiba-tiba pusaran angin kencang bertiup di dalam gua. Antu melangkah mundur. Dia tahu apa yang sedang dilakukan anak-anaknya.
"Lakukan sekarang serunya sekali lagi. "Kepakkan sayap lebar-mu kuat-kuat. Kepakan sayapmu yang akan memulai dan mengakhiri jalan hidup ini!"
Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sepasang mata berwarna merah melepaskan diri dari yang lain. Mata itu bergerak berputar-putar sebelum mendekati Antu. Terasa pusaran angin di sekeliling Antu. Sekali lagi, Antu melangkah mundur.
"lbu!" Suara menggeram membahana terpantul ke setiap dinding gua.
"Anakku yang pertama, Kii." Menahan haru, Antu mengulurkan tangannya. ibu sangat bahagia;
Kii mengepakkan sayap dan terbang mengelilingi Antu. Sayapnya yang lebar membentang sepanjang enam meter. Antu menutup mata, merasakan sensasi yang luar biasa indah mengisi jiwa. Musik indah mengalun lembut di seluruh relung hati.
"Segera katakan, Ibu!" seru Kii dari atas sambil terbang berputar-putar di atas kepala Antu. "Katakan kata-kata keramat itu. Kata-kata yang akan membuka pintu dan memberikan kemenangan kepada kita"
Antu mengangkat kedua tangannya ke udara. Suara kepakan sayap semakin menderu-deru. Enam pasang mata bergabung dengan Kii dan bersama-sama. mereka menciptakan
pusaran angin yang mendahsyat. Dalam kegelapan total di gua, tubuh Antu bergetar hebat.
"O, yang maha-agung teriak Antu. "Dengarkan katakata kami di sini! Kau yang menggariskan jalan ini, kau juga yang harus menyelesaikannya. Bukalah pintu gerbang dan biarkan setiap makhluk menjalaninya.
Kegelapan semakin menyelubungi seluruh sudut gua. Angin berdesir-desir kuat, menimbulkan tsunami udara. Antu memejamkan mata. Lantai gua bergetar dengan hebatnya bagai gempa bumi dengan titik episentrum terdekat. Antu menjerit ketika cakar besar berasal dari langit menembus kedua lengannya yang terangkat. Lengan yang tembus pandang mengucurkan darah, menetes turun bagaikan sungai kecil.
Sakitnya luar biasa. Antu menjerit pada langit. Tujuh pasang mata merah berputar-putar di atasnya. Kegelapan perlahan-lahan menikam Antu, tapi dia berjuang sekuat tenaga agar tidak kehilangan kesadaran. Darah menetes turun perlahan-lahan, mendarat di tanah, menimbulkan bercak-bercak berwarna putih susu.
Guntur menggelegar keras.
Antu terjatuh, terduduk di tanah. Dia memegang kepalanya kuat-kuat seakan-akan hendak mengusir rasa mual dan pening yang menghajarnya. Diliriknya lengannya dan menyadari bahwa luka itu sudah mengering. Tidak ada setetes darah pun di sana.
Angin berhenti menderu. Suara kepakan tidak terdengar lagi. Kegelapan perlahan-lahan digantikan cahaya temaram.
Antu beringsut.
Di depannya, tujuh anaknya sedang memandanginya
dalam kebisuan. mereka tidak lagi beterbangan melainkan duduk melingkar bersama Antu. Sayap-sayap mereka yang besar terlipat rapi.
Di tengah-tengah lingkaran, tampak sesosok makhluk dengan sepasang sayap raksasa terbaring tak berdaya. Sayapnya terlihat kuat dan mengilat, berwarna kuning keemasan. Indah sekali, berkilau-kilau di bawah iluminasi cahaya gua. Rambutnya yang panjang berwarna perak tergerai menutupi punggungrnya.
Melihat itu, Antu tersenyum.
"Ishtar," bisiknya. "Selamat datang kembali, Dewi Cinta. Saatnya telah tiba."
**
Thomas berdiri kesal di depan kelas. Persis seperti dugaannya, Ibu Popli tidak mengizinkannya mengikuti pelajaran Sejarah Dunia. Untuk kesejuta kalinya, Thomas melirik jam tangan, berharap bel sekolah yang mengakhiri mata pelajaran berbunyi. Untuk kesejuta kalinya pula, dia mendengus sebal.
Ternyata baru sepuluh menit berlalu. Aigh.
Pandangannya mengarah pada jendela besar di depannya. Jendela itu menghadap ke lapangan sepak bola di belakang gedung sekolah. Dari jauh terlihat awan bergumpal-gumpal. Thomas cemberut. Oh, ini sungguh menyebalkan. Langit semakin keruh. Pasti di luar telah hujan lagi. Padahal tadi pagi sangat cerah.
Tiba-tiba Thomas bersin.
"Bless you."
Thomas menggosok-gosok hidungnya sambil mencari
sumber suara. Pandangannya berhenti pada seorang gadis berseragam yang sedang melangkah perlahan menyusuri lorong sekolah.
Tiba-tiba gadis itu juga bersin.
"Bless you," kata Thomas, masih menggosok hidungnya. Dia tersenyum ramah.
"I lhh... Bersinnya kompak sekali." Gadis itu balas tersenyum kepada Thomas.
Untuk sejenak mereka berpandangan, lalu tawa mereka meledak. Gadis itu menutup mulutnya dan melirik Thomas. Tanpa ragu, Thomas mengulurkan tangan.
"Aku Thomas. Kelasku di sini," katanya sambil menunjuk ruangannya.
"Boleh tahu namamu?"
"Celia. Dari kelas sebelah."
Lalu Thomas menunduk, menatap lantai, menghitung jumlah keramik. Grogi sekali. Tidak tahu harus berkata apa. Dengan gelisah, dia mengetuk-ngetukkan kakinya. Perasaan tidak nyaman yang sedari tadi mengganggunya masih tidak dapat dihilangkan.
Celia menatap Thomas yang berdiri resah di depannya. Aneh, pikir gadis itu. Lelaki ini bersikap penuh percaya diri pada awalnya, tapi sekarang kelihatan cemas. Kira-kira apa yang sedang dipikirkannya? Celia mendongak menatap langit-langit lorong sekolah. Sejenak gadis itu merasakan kenyamanan luar biasa saat berdekatan dengan Thomas. Perasaannya sangat ringan, bagaikan bulu yang sedang mengapung di antara langit-langit dan lantai keramik. Dulu ia mengira Thomas tidak ada bedanya dengan teman-teman lelaki di kelasnya. Berisik. Berantem. Bikin gaduh.
Berani mendekati gadis-gadis. Tapi ternyata Thomas malah
pengecut. Menunduk menghitung semut di lantai. Tatapannya kuyu dan sedih.
"Kok berdiri di depan kelas?" tanya Celia. Mencari-cari topik pembicaraan.
"Kena hukuman, ya?"
"Aku terlambat. Kau tahu seperti apa Ibu Popli. Lebih kejam daripada Hitler."
Celia mengangguk mengerti.
Thomas memberanikan diri menatap mata Celia. Ada sesuatu di sana yang tidak dapat dijabarkan Thomas. Mata itu cokelat muda, penuh pancaran arti yang luar biasa. Magnet kuat yang menarik Thomas berlabuh di sana. Sumur dengan kedalaman yang tidak terhingga. Pesan rahasia yang hanya diketahui Thomas. Tak tahan, Thomas membuang muka ke arah lain.
"Kau sendiri sedang apa? Bulak-balik kayak setrikaan... Tidak duduk di dalam kelas...."
Celia mengangkat benda yang sedari tadi digenggamnya. Thomas melirik ke arah itu. Sebuah biola.
"Yang lain sedang latihan konser bersama-sama di ruang musik. Aku harus berlatih sendirian. Kata Ibu Caroline, mereka menginginkanku sebagai pengisi acara tunggal."
"Siapa 'yang lain' itu?"
"Panitia Malam Festival Musik."
"Oh."
Lalu Thomas terdiam lagi. Celia mulai bergerak, meninggalkan Thomas. Dia punya tiga puluh menit yang dapat digunakannya untuk berlatih biola. Ibu Caroline memberikan kebebasan penuh padanya. Celia berjanji tidak bermain-main dengan kebebasan itu. Ada ruangan kosong
di lantai enam. harus itu akan menggunakan ruangan itu untuk latihan.
Tiba-tiba Thomas menelengkan kepalanya.
"Ada apa?" tanya Celia heran.
"Kau dengar?"
Kepala Celia ikut-ikutan meneleng.
"Suara petir?" tanyanya heran.
"Bukan. Dengar lagi. Nah, yang itu. Dengar?"
Celia menajamkan pendengarannya. Dia nyaris membuka mulut memprotes tapi tidak jadi saat melihat air muka Thomas. Lelaki itu sedang menatap Celia. Air mukanya tegang. Terpaksa Celia diam. Dia menurunkan kemampuan indranya yang lain demi menaikkan kemampuan indra pendengarannya. Dia menutup mata. Pada detik'detik terakhir barulah Celia dapat mendengar.
Alunanya suara itu terdengar sayup-sayup, di tengahtengah suara petir yang menggelegar dan air hujan yang melimpah turun.
Celia terperanjat.
Suara lonceng gereja berdenting-denting lembut. Dengan latar belakang itu, terdengar suara azan berkumandang. Dengan indah, kedua bunyi itu melebur menjadi satu. Terdengar serasi dan harmonis. Seperti sebuah konser kompak alam semesta.
Mata Celia membuka.
Thomas berdiri di depannya, memandanginya dalamdalam.
Suara-suara itu seketika menghilang.
Celia mengedipkan mata bagaikan kembali dari dunia
antah-berantah. Pipinya memerah, tersipu menatap Thomas yang masih berdiri di depannya.
Tanpa berkata sedikit pun, Celia berputar. meninggalkan tempat itu dengan perasaan tidak menentu.
**
Ishtar merasakan sentuhan lembut di jemarinya. Ketika dia membuka mata. tampak Antu bersila di depannya. Ishtar mengerang perlahan, memandang sekeliling lambat-lambat.
"Anm." Tanpa sadar, erangan kecil keluar dari mulut Ishtar. Kepada tujuh pasang mata yang tak bergerak menatapnya, Ishtar berkata, "Utukki."
Hening sementara menyisip di tengah-tengah.
"Ishtar." Antu berbisik di telinga Ishtar. "Kami berhasil membangkitkanmu dari tidur panjang. Darah memang harus dilawan dengan darah. Darahku kuberikan agar kau dapat mendapatkan kehidupan kembali."
Ishtar bergerak; matanya membuka lebar. Tersaruk-saruk dia menopang tubuh dengan lengan kirinya. Matanya yang hijau cerah bagai zamrud berkilau dalam kegelapan.
"Saatnya telah tiba. Kau pantas mendapatkan apa yang kauperjuangkan. Tujuh puluh abad telah berganti. Kini zaman keemasan sudah menanti."
Ishtar bergerak lemah, berjuang untuk mengubah posisi duduknya. Sayapnya terkembang indah perlahan lahan bagai burung bangau melebarkan sayapnya. Anggun dan elegan.
"Jangan bergerak dulu. Minumlah ini. Cairan ini akan mengembalikan kekuatanmu kembali." Antu menyodorkan cangkir kecil berwarna keemasan. Ishtar menerimanya dengan tangan gemetar, lalu menyeruputnya. Lidahnya mengecap rasa yang tidak asing lagi. Seketika itu, tubuhnya bagai dialiri energi baru yang sangat kuat.
"Terima kasih, Antu."
Ishtar membentangkan sayapnya. Terdengar kepakan halus. Udara berputar-putar lembut.
"Ingat. Tidak ada jalan kembali. Kau yang menentukan. Dewi Cinta. Katakan padaku, apakah kau sangat yakin dengan pilihan ini?" Antu bergerak berdiri, membantu mengangkat tubuh Ishtar bersamanya.
Ishtar menjejak lantai gua, punggungnya tegap. Mata hijau itu menyipit dalam kegelapan. Sayapnya terus mengepak-ngepak lembut. Dia menunduk, wajahnya menekur. Tapi dalam tempo singkat, kembali Ishtar meluruskan seluruh tubuhnya.
"Sangat yakin," katanya kepada Antu. Tatapannya tegas dan senyumnya penuh percaya diri.
Antu bergairah. "Kalau begitu," serunya. "Mari kita mulai."
"Apakah ada penanda"
Antu menatap Ishtar sebentar sebelum mengangguk. "Penanda besar berasal dari langit. Hanya Utukki yang kedelapan mampu melihatnya."
**
Celia memejamkan mata sambil menjejakkan biola kuat-kuat di bahunya. Memberikan topangan yang mantap. Perlahanlahan dia mengangkat tongkat. menyentuh dawai. Dengan sepenuh hari dia mulai menggesek. Terdengar suara lembut mendayu mengisi udara yang sepi.
Sudah dua jam dia berada di ruang latihan ini. Sekolah
telah berakhir. Tadi seharian dia tidak dapat mengikuti mata pelajaran dengan fokus yang tidak pada tempatnya. Konsentrasi Celia pecah ke mana-mana. Pikirannya melayanglayang ke dunia antah-berantah.
Sejak tadi hanya ada satu nama mengganggu pikirannya. Thomas.
Oh, ini menyebalkan.
Gadis itu belum pernah merasakan kekuatan perasaan seperti ini. Selama tujuh belas tahun hidupnya, dia-sekali lagi-belum pernah merasakan getar-getar emosi yang demikian kuat dan meluap-luap.
Banyak lelaki di kelasnya maupun di luar kelasnya berlomba-lomba memberi perhatian lebih kepadanya. Celia bukanlah gadis dengan kecantikan di atas rata-rata. Hanya saja dia mempunyai wajah yang sukar dilupakan. Tatapan cerdas dan air muka yang lembut tapi kuat rupanya memang menjadi daya tariknya yang utama.
Wajah yang berkarakter. Siapa pun yang memandang Celia, mereka seperti memandang tempat peristirahatan. Seraut wajah tempat curhat. Seorang sahabat yang dapat diandalkan. Seorang teman berbagi rasa.
Pintu berderit membuka. Terkejut, Celia menoleh ke belakang. Konsentrasinya langsung buyar. Tongkat biola mengambang di udara.
"Cel, sudah selesai latihannya?"
Arief melongok masuk tanpa diundang. Celia menurunkan biolanya. Lagi-lagi Arief. Membosankan sekali. Lelaki itu tidak habis-habisnya mendekati Celia selama beberapa bulan terakhir. Gosip tidak jelas beredar di kalangan para pemburu gosip di sekolah. Dengan sukses, Arief berhasil menciptakan
kesan "memang benar antara dia dan Celia telah terjadi sesuatu" kepada seluruh murid.
Celia tidak suka hal itu.
Dengan tenang dia melangkah dan meletakkan biola di dalam kotak. Sebenarnya dia ingin bertahan di dalam ruangan ini. Berlatih tak henti. Tapi tampaknya dia memang harus tunduk pada waktu. Senja mulai menggerogoti langit. Saatnya pulang.
Di luar, lorong sekolah sudah sepi. Jejak langkah mereka menimbulkan gema yang terpantul ke setiap sudut. Suasana hening menulikan telinga Celia.
Tahu-tahu Arief sudah berada di sampingnya. Menjejeri langkahnya.
"Pulang sama siapa, Cel? Dijemput nggak?" tanya Arief ramah.
"Nggak," jawab Celia singkat.
Perasaan Celia tak keruan. Rasanya tidak nyaman berdekat-dekatan dengan Arief. Dia tahu Arief memang lelaki yang menjadi idola banyak perempuan di sekolah. Wajah dan tubuhnya memang saling menunjang. Semua yang ada di dalam tokoh utama cerita novel remaja, melekat dengan sempurna pada Arief. Dia kapten klub sepak bola. Anggota teater sekolah yang selalu mendapat peran utama. Murid yang disayang guru karena pandai membawa diri. Pendek
kata, kecerdasan otak dan kecerdasan emosi Arief di atas rata-rata untuk lelaki seusia dia.
Tanpa sadar Celia mendesah. Mengapa dia tidak tertarik kepada Arief? Mengapa tidak ada gejolak aneh yang memorak-porandakan hidupnya? Mengapa Arief tidak membuat pikirannya kacau-balau?
Berbeda dengan Thomas.
Siapakah Thomas sebenarnya?
Bahkan Celia tidak mengenalnya. Lelaki pendiam yang tidak menonjol dalam segala hal. Sederhana. Tidak pernah menempatkan diri sebagai pusat alam semesta. Satu-dua kali Celia mendapati Thomas sedang sibuk berlatih bela diri. Tendangan berputar dan mata yang tajam mengawasi gerak-genk lawan menarik perhatian siapa pun yang sedang menonton. Kelas Thomas bersebelahan dengan Celia dan selama tiga tahun berturut-turut, Celia tidak sedikit pun memberikan tolehan penuh untuk Thomas.
Tapi sekarang
Celia hanya membutuhkan satu detik untuk menyadari sesuatu.
Entah apakah Thomas telah menyadari eksistensi Celia jauh sebelum takdir mempertemukan mereka di lapangan berumput depan sekolah. Entah apakah Thomas juga merasakan derajat kepanikan yang dirasakan Celia ketika mereka bertemu di lorong sekolah tadi. Entah apakah Thomas juga...
Lamunan Celia terhenti. Tak terasa, jemarinya digenggam perlahan-lahan. Sangat... sangat hati-hati. Sangat... sangat lembut. Celia menunduk menyadari Arief sedang berusaha menggenggam jemarinya.
Tanpa sadar, Celia mengibaskan jemarinya secepat mungkin. Begitu saja, seperti mengusir lalat. Sekelebat tampak muara luka terpancar dari tatapan Arief. Celia tidak peduli. Dia menyeret kakinya, mempercepat langkah.
Nun jauh di ujung cakrawala, matahari sudah nyaris tenggelam. Senja yang meriah oleh sisa-sisa hujan menggantikan keangkuhan terik mentari siang. Langit bagai disapu kuas berwarna jingga keemasan. Anggun luar biasa. Celia lesap dalam kekagumannya terhadap orkestra alam.
Dua langkah menjauhi pintu utama, Celia melonjak terkejut. Di dekat patung malaikat, tampak bayangan panjang jatuh di tanah. Siluet samar-samar. Tidak perlu konsentrasi untuk mengetahui siapa yang berdiri di sana. Celia langsung mengenalinya. Siapa lagi kalau bukan Thomas.
"Thomas!" seru Celia. Suaranya menggelembung penuh dengan antisipasi yang berada di luar daya nalar Celia.
Thomas menoleh, mencari sumber suara. Dalam bayangan yang jatuh pada wajah Thomas, terlihat sebentuk api hangat membara di sana. Entah apakah Celia sekadar berhalusinasi atau tidak. gadis itu merasakan seluruh kekuatan alam semesta menyelubungi mereka berdua.
"Sedang apa di sini?" tanya Celia riang. Entah dari mana keriangan itu berasal.
"Kok sendirian?"
Thomas balas tersenyum kikuk.
"Sedang..." Mulut Thomas terbuka di udara. Kalimatnya menggantung. Dia ingin menyudahi perkataannya dengan kata selanjutnya "menunggumu". Tapi digigitnya lidahnya. Dia belum sanggup mengatakan hal itu.
"...sedang menonton burung-burung pulang " akhirnya Thomas menyelesaikan kata-katanya dengan wajah merah padam. Burung-burung? Apakah tidak ada perkataan yang lebih pandai daripada menonton burung-burung pulang ke sarang?
Di luar dugaan Thomas, kepala Celia mendongak menatap langit.
Arief tiba di samping mereka. Dia memandangi Celia yang sedang mendongak bagai disihir.
"Cel?" tanya Arief heran.
"Ngeliatin apa sih?"
Kepala Thomas ikut-ikutan mendongak.
"Ada ap-"
Thomas tersedak. Seperti ada bola menyumbat tenggorokannya, dia tidak mampu mengucapkan satu kalimat pun. Thomas terpaku menatap ke atas.
Mengawasi kedua temannya, Arief juga mendongak, tapi tidak berhasil melihat sesuatu yang mengherankan di sana. Langit masih berwarna jingga kekuning-kuningan. Matahari semakin lenyap terbenam di ujung barat. Burung-burung yang dikatakan Thomas-ramai berputar-putar terbang kembali ke sarang. Semua terlihat sangat wajar dan alami. Arief menurunkan dagu dan memandang Celia.
Bagi Thomas dan Celia, mereka melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh Arief. Bahkan siapa pun.
Di atas, langit terbuka, membelah diri. Warna merah menyala bagaikan lidah-lidah api sedang membakar kaki langit. Awan berarak-arak berwarna ungu, seperti asap yang bergunupal padat. Matahari tidak terlihat sedikit pun.
Dan yang paling aneh dari semuanya adalah tepat di sudut timur, tempat Bintang Timur berada, ada enam belas bintang berjajar di sana. Berbentuk panah dan busur.
**
Kota Ulami, daerah Mesopotamia, 5 000 SM.
SELURUH kota diselubungi cahaya kematian. Tidak seorang pun berani ke luar rumah. Anak-anak kecil yang sedari tadi bermain-main di depan beranda, diseret ibu mereka untuk berkumpul bersama di dalam rumah. Tidak boleh keluar. Para lelaki segera mengadakan pertemuan, berusaha meramal rahasia alam.
Dewa-dewa menghadapi masalah pelik. Begitu bisikbisik yang terdengar di antara para warga. Yang gelisah segera menanyakan kepada para pendeta. Pada saat suasana muram seperti ini, para pendetalah yang selalu menjadi tumpuan para masyarakat untuk mengetahui apa yang terjadi pada kerajaan langit. Pendeta selalu dianggap sebagai penghubung yang tepat antara dunia manusia dan dunia dewa.
Langit semakin berwarna kelabu. Petir menggelegar dan Sungai Tigris meluap. Anak-anak berteriak sambil memeluk ibu masing-masing. Para pendeta berdiam diri di dalam kuil para dewa dan melakukan berbagai ritual. Ada lima kuil kecil untuk memuja dewa-dewa tingkat rendah. Sebuah kuil
besar untuk menghormati Dewa Anu-Dewa Langit, berada di tengah-tengah kota.
Ellia, salah seorang pendeta itu, sedang berada dalam kuil Dewi Cinta, Ishtar. Jantungnya berdebar cepat. Dari tempatnya berdiri, dia dapat melihat seluruh kota terselubung cahaya muram. Ada yang sangat salah hari ini. Dalam hati, Ellia dapat merasakan. Dia menjilat bibirnya dengan gugup sebelum melangkah menuju meja persembahan. Saatnya melakukan ritual pemujaan sekali lagi dan mencari tahu apa yang sedang terjadi di kerajaan langit.
Suara gelegar guntur memorakporandakan angkasa.
Tepat pada saat itu, terdengar suara lengkingan tangis bayi. Nun jauh di salah satu rumah, istri Ellia baru saja melahirkan.
Dewa Langit, Anu, berdiri mondar-mandir dengan gelisah.
Istri pertamanya, Antu, Dewi Bumi dan Perempuan, sedang berjuang melahirkan bayi-bayinya. Setiap jeritan kesakitan Antu membuat guntur menggelegar di langit. Setiap bayi yang keluar dari rahimnya menimbulkan badai hujan angin di bumi. Bayi yang terakhir rupanya yang paling sulit.
Tangan Antu mencakar udara penuh penderitaan. Mulutnya menceracau, melengking penuh kemarahan. Teriakan Antu yang paling kuat menggelegar, merobek angkasa ketika bayi kedelapan akhirnya lahir dengan susah payah.
Antu berjalan tergopoh-gopoh. Istrinya tampak tergolek tidak berdaya di ranjang. Para dayang-dayang meng-angsurkan bayi bayi kepada Antu.
"Delapan," jawab salah seorang pembantu kerajaan. "Delapan bayi yang..."
Antu mendongak bangga. "Delapan bayi yang cantik."
Antu mendekat, memerhatikan bayi-bayi kecilnya. Semuanya berwarna merah muda dengan sisik-sisik yang memantulkan cahaya. Tampak cakar kecil di setiap kaki dan tangan mereka. Di belakang punggung, ada sepasang sayap berwarna putih pucat. Antu menggeleng. Dia tidak tahu cara mengatakannya. Yang jelas, semua bayinya tidak pantas disebut bayi dewa. Lebih pantas disebut sebagai bayi monster.
Semuanya buruk rupa.
Semuanya berwajah mengerikan.
Semuanya memancarkan aura iblis.
"lni yang kedelapan," kata salah satu dayang-dayang menyerahkan bayi terakhir yang terbungkus selimut ke tangan Antu.
Antu menarik sedikit sudut selimut itu. Tangannya gemetar. Perlahan-lahan, tersingkaplah seraut wajah di depan matanya. Saat itu juga, Antu terperangah. Tak dinyana, ini di luar dugaannya.
Bayi kedelapan ini sangat cantik.
Wajahnya berair muka sangat lembut dan mempunyai sudut-sudut seperti layaknya campuran antara dewa dan manusia. Bayi ini tak bersisik; kulitnya halus berwarna kopi susu. Antu mencari-cari tapi dia tidak berhasil menemukan taring ataupun cakar. Bayi ini mempunyai sepasang sayap yang luar biasa indah. Berwarna perak bersinar-sinar, berkilawan laksana cahaya rembulan.
Antu mendongak, menatap istrinya yang sedang memeluk tiga bayinya sekaligus.
"Mereka semua kunamakan Utukki," kata Antu bangga. "Mereka akan menjadi simbol kesuburanku sebagai dewi bumi."
Di ujung ruangan, Antu membungkuk dan mengecup pipi bayi yang berada di dalam tangannya. Dewa Langit memberkati bayi kedelapan. Utukki nomor delapan.
Sayap kecil itu mengepak perlahan. Udara berdesing lembut di sekitar tangan Antu. Dewa Langit tersenyum melihatnya. Di bumi, senyuman itu menciptakan pelangi.
"Perempuan," kata Antu berbisik. "Yang kedelapan perempuan. Satu-satunya perempuan."
Antu tidak mendengar. Dia sibuk mendekap ketujuh bayi monsternya.
Antu berjalan keluar dari ruangan sambil membopong Utukki nomor delapan. Ia mengayun-ayunkan bayi kecil itu di lengannya dengan gembira.
"Kau akan kunamakan Nannia," bisiknya. "Nannia cantik. Nannia nan rupawan."
Seakan mendengar namanya disebut, Nannia kecil membuka matanya. Sepasang mata berwarna biru laut menatap Antu. Sorotannya sangat teduh dan menenangkan hati. Di sana ada kedalaman jiwa yang tak dapat terukur.
Tak tahan, Antu mencium Nannia sekali lagi.
**
Celia berdiri gelisah di antara Thomas dan Arief. Matahari sudah tenggelam sempurna. Celia harus pulang cepat untuk menghindari omelan ibunya. Baru dua hari yang lalu dia kena semprot gara-gara lupa meminta izin
pergi. Celia tidak mau menghabiskan malam ini dengan mendengarkan kuliah dari Ibu.
Sedari tadi Celia menunggu Thomas menawarkan tumpangan di mobilnya. Semakin dia menunggu, semakin kesal hatinya. Thomas benar-benar pemalu kelas berat. Sejak tadi hanya berdiri bengong. Celia bisa dengan mudah mendapat tumpangan bersama Arief, yang pasti tidak keberatan mengantarnya pulang. Tapi bukan Arief yang dia inginkan. Celia mau Thomas.
"Yuk, pulang, Cel. Sudah malam. Ayo, kuantar," kata Arief baik hati.
Nah! Betul, kan. Seperti dugaannya, Arief pasti bersedia mengantarnya pulang.
Celia menatap si tolol Thomas. Pandangannya beradu sejenak dan Thomas segera membuang wajahnya jauh-jauh ke arah lain. Celia menarik napas kesal.
"Thomas," panggilnya singkat. Disambarnya tangan Thomas. Setengah menyeret, Celia memaksa Thomas menghampiri mobil yang diparkir dekat pohon.
"Ini mobilmu, kan?" tanya gadis itu tanpa basa-basi.
Thomas mengangguk terkejut. Tentu saja itu mobilnya.
"Bisa tolong antar aku pulang, nggak? Pasti bisa, kan? Masa sih aku harus pulang naik taksi? Tega nian, udah malam nih. Nanti kalau aku diperkosa, kau yang tanggung jawab ya."
Thomas terpana. Celia membombardirnya tanpa sedikit pun memberikan jeda napas.
Arief berdeham.
"Cel, nggak perlu naik taksi. Aku bisa anterin kamu kok."
Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Celia tidak menzguhris omongan Arief. Gadis itu memajukan wajah sehingga hanya berjarak sepuluh senti dari muka Thomas.
"Gimana? Bisa anterin aku pulang? Tenang aja, rumahku masih dijakarta kok. Nggak jauh-jauh amat."
Wajah Thomas bersemu merah. Dia tidak menyangka ternyata Celia bisa bersikap agresif. Tatapan judes seperti itu sangat tidak nyaman. Thomas berputar dan menekan alarm mobil. Hip, bip. Pintu mobil terbuka. Tanpa menunggu Iagi, pemuda itu membanting pintu dan menyalakan mesin.
Celia berdiri di samping mobil, merasakan kekesalan yang menggunung-gunung. Dasar Thomas! Dia lupa mempersilakan Celia menaiki mobilnya. Boro-bore membukakan pintu.
Rasanya Celia ingin menonjok cowok itu!
Dari ujung matanya, dia tahu Arief sedang menonton adegan tersebut dengan air muka merah padam. Air muka yang berteriak sekuat-kuatnya kepada Celia agar berhenti menaiki mobil merah tolol itu dan berjalan ke arahnya. Tapi Celia tidak mau. Untuk alasan yang tidak dapat dijelaskan sekarang, Celia menginginkan Thomas, bukan Arief.
Jadi?
Bagaimana ini?
Sekarang bukan saatnya untuk sok gengsi
Gadis itu maju dua langkah lebar dan membuka pintu mobil Thomas. Lelaki itu sama sekali tidak menoleh. Benarbenar menyebalkan pangkat tiga. Tapi Celia tidak tahu isi hati Thomas. Dia tidak pernah tahu bahwa dalam kediamannya, Thomas ingin sekali membelai jemari Celia.
Dalam sepersekian detik. tatanan mereka bertemu. Gesekan energi luar masa pecah membahana tanpa suara. sumbu tak kasatmata terbakar cepat. Celia menurunkan tatapannya. Thomas mengangkat dagu; memandang lurus ke jalan. memandang masa depan yang siap melebur bersamanya. Penggalan kisah selanjutnya yang menanti Thomas.
Mobil bergerak; meninggalkan debu. bola matahari di ujung cakrawala, dan masa lalu.
**
Bayi lelaki itu dinamakan Enka. Dinamakan Enka karena ia dilahirkan pada saat hujan badai mengamuk.
"Jadi, aku dilahirkan pada malam kedelapan monster Utukki dilahirkan, Yah?" tanyanya suatu hari pada usianya yang kedua belas.
Ini topik yang tidak bosan-bosannya dia tanyakan kepada ayahnya. Terus terang, membayangkan detik-detik kelahiran dirinya bersamaan dengan detik-detik kelahiran dewa di langit merupakan hal yang sangat menakjubkan.
Dan tentu saja, membanggakan.
Ellia mengangguk.
Enka adalah anak lelaki pertama Ellia. Ellia sangat bangga kepadanya. Ia banyak menghabiskan waktu bercakap-cakap dengan anaknya. Kegiatan mereka berdua yang paling disukai Enka adalah menatap langit pada malam hari. Enka dapat berbaring berjam-jam di padang rumput memandangi bintang-bintang yang membentuk gambar-gambar indah. Dia juga senang mendengarkan cerita ayahnya tentang bagaimana dewa-dewi hidup di Dunia-Atas.
"Waktu itu Dewi Antu berada dalam ambang kesakitan yang tidak terhingga. Raungannya terdengar sampai ke sini.
Mengerikan. Langit terbelah. Petir dan guntur merobekrobek langit. Hujan turun tidak ada henti-hentinya seperti hendak menenggelamkan dunia ini."
"Bagaimanakah rupa kedelapan Utukki itu. Yah?" tanya Enka sambil berguling ke arah ayahnya.
Mereka sedang berbaring di padang rumput, memandang langit yang semakin menggelap. Senja telah ditelan malam. Sebentar lagi bintang-bintang akan menguasai angkasa.
" bertemu Utukki?" tanya Ellia.
Tanpa ragu, Enka mengangguk. Bertemu dengan anggota kerajaan Dunia Atas yang kelahirannya bersamaan dengan kelahiran dirinya? Tentu saja. Kapan lagi...
Ellia tersenyum.
"Tentu saja, Nak. Suatu ketika kau akan bertemu mereka. Turuti kata-kata ayahmu. Ayah yakin, dewa sangat menyayangimu. Suatu hari kau akan mempunyai kesempatan berhubungan dengan dunia mereka."
Enka mencamkan ucapan Ellia dalam hati. Dia berguling ke samping. Ditatapnya rembulan yang bulat purnama di atas langit. Angin malam mengecupi telinganya. Saat itu Enka seketika tersadar.
Alam semesta sedang membisikinya bahwa dia mempunyai peran penting dalam kehidupan di masa depan.
Enka tersenyum di bawah kubah langit. Di atas, bintangbintang mulai mengisi posnya masing-masing.
**
Di dalam mobil selama perjalanan, Thomas hanya berdiam diri sambil menyetir. Paling jauh pertanyaannya berhubungan dengan jalan.
"Di daerah mana?",
"Mau lewat mana?",
"Boleh nggak belok di sini?". dan seterusnya.
Celia mulai merasa jengkel.
"Tahu nggak-"
"Ada undangan-"
Mereka berdua terdiam mendadak. Celia menoleh, natap Thomas lalu tertawa.
"Kenapa sih kita selalu barengan?" tanya Celia .
Thomas melirik ke kaca spion. Dia juga ikut-ikutan tersenyum.
"Mau ngomong apa? Duluan deh."
"Nggak penting kok. Duluan aja," sahut Celia sigap.
"Tadi ngomongin soal undangan... Hmmm, undangan apa sih?"
Thomas berdeham sejenak. Dia sedikit ragu-ragu untuk memulai. Tapi tatapan Celia tidak dapat ditawar lagi.
"Klub Bela Diri-ku akan mengadakan pertandingan persahabatan dengan sekolah lain. Aku ingin mengundangmu menghadiri acara tersebut. Kalau nggak tertarik juga nggak apa-apa kok. Ini cuma pertandingan yang nggak pentingpenting amat," kata Thomas cepat-cepat.
"Kamu ikut tanding nggak?"
Thomas mengangguk.
"Ya. Justru itu... maksudku, eh... aku pengin mengajakmu menonton pertandinganmu."
Oh. Celia menengok. Dari samping,
wajah Thomas perlahan bersemu merah.
"Mau!" jawab Celia cepat. Terlalu cepat. Dia ingin menyelamatkan Thomas dari keadaan tidak nyaman ini.
"Pasti mau. Kapan acaranya?"
Thomas nyaris mengembuskan napas lega mendengar jawaban Celia. Tapi ditahannya. Dia tidak ingin mempermalukan dirinya di depan gadis itu.
"Thanks. Acaranya minggu depan."
Thomas mengganti persneling buru-buru. Lampu lalu lintas berubah warna, dari merah menjadi hijau. Di sampingnya, Celia menepuk seekor nyamuk.
"Sudah berapa lama bergabung dengan klub bela diri?"
"Di sekolah ini sejak tiga tahun terakhir. Tapi kalau ikutikutan sanggar "initial art udah lama sekali. Sejak umur tiga tahun. Sudah mendarah daging dari kecil."
Celia mengerti. Perkataan Thomas mengingatkan dirinya sendiri. Celia sudah mengenal alat musik ketika dia berusia tiga tahun.
Thomas menoleh dan sejenak tatapan mereka bertabrakan. Senyum Thomas mekar pada kedua sudut bibir. Memperdalam aksen wajah tampan yang nyaris terlupakan; selalu tak terlihat oleh gadis-gadis lain. Celia terpaku melihat kenyataan itu. Tanpa sadar pipinya menghangat.
Jelas Thomas menyadari betapa merah mudanya wajah Celia. Muka berbentuk hati itu tampak semakin manis di mata Thomas. Pikiran-pikiran tentang Celia tadi gadis yang ngotot, pemaksa. dan sedikit tomboi mati seketika.
"Belok kanan!"
Teriakan Celia mengagetkan Thomas. Dengan sigap, pemuda itu membanting setir sampai ban mobil berdecit.
"Stop, stop di sini."
Thomas menginjak rem dan menepikan mobilnya. Kompleks perumahan Celia tampak sepi. Tidak ada satu orang pun yang berlalu-lalang di jalan. Lampu beranda rumah Celia sudah menyala terang.
Thomas turun dan membukakan pintu. Melihat hal itu.
Celia ingin tertawa, tapi ditahannya demi kesopanan. Dia kELuar dari mobil dibantu Thomas.
"Apa itu?" tiba-tiba Celia bertanya. Matanya menangkap sesuatu yang janggal di horizon.
Jauh di ufuk barat tempat matahari terbenam, tampak cahaya bundar berwarna merah menggelembung. Semakin membesar dalam hitungan detik. Thomas menyipitkan mata.
"Apaan sih...?"
Tiba-tiba perasaan aneh yang sedari tadi menghantuinya sepanjang hari muncul lagi. Kali ini semakin kuat. Demikian kuat sampai Thomas berdiri terpaku di tempat, tak bisa bergerak. Jantungnya berdebar kencang tanpa alasan jelas. Tanpa berpikir panjang, Thomas menyambar tangan Celia, nyaris membuat gadis itu menjerit terkejut.
"Aduh!" seru Celia.
"Bikin kaget aja."
Celia melihat cahaya aneh terpancar dari mata Thomas.
"Cel," kata Thomas. Nadanya terdengar tidak normal. Sangat sukar dicarikan padanan artinya.
"Cepat masuk ke rumah."
"Hhh..? Ada apa? Kenapa?" tanya Celia. Sekarang gilirannya yang ketularan cemas.
"Itu apaan sih?"
"Nggak tahu. Tapi kelihatannya kok bergerak kemari. Aneh."
"Bergerak kemari?" Celia menoleh ke kaki langit sekali lagi. Sekarang tampak lebih jelas. Cahaya bundar itu semakin bergerak ke arah mereka, seperti tembakan rudal yang sering Celia tonton di televisi. Terlihat sangat tidak alami.
"Kayak pesawat luar angkasa."
Celia menoleh. mencari sumber suara tersebut. Pemandangan aneh seperti itu rupanya menarik perhatian adik Celia yang bernama Alya. Gadis berusia enam belas tahun itu berdiri di balik pagar. Matanya membelalak, terpana pada cahaya tersebut. Entah apa yang dilakukan Alya sedari tadi di pekarangan depan rumah.
"UFO, maksudmu?"
Alya mengangguk sok pintar.
"Memangnya kamu pernah lihat UFO?" tanya Thomas tolol.
"Belum sih. Tapi sering lihat di televisi dan baca buku."
Sinar terang semakin menguasai langit. Mata Thomas perlahan-lahan menggelap, silau akibat cahaya itu. Tibatiba, pusaran sinar menikam Thomas demikian cepat sampai tak tertahankan. Tangan Thomas hanya mampu bergerak menutupi mata.
Rasanya sangat panas.
Panas dan sakit luar biasa.
Di tengah-tengah kekacawan pancaindra, Thomas menjejakkan kakinya kuat-kuat di tanah. Pengalamannya sebagai pendekar bela diri mengambil alih situasi yang sangat tidak masuk akal baginya. Pemuda itu membuka seluruh cadangan energi yang disimpan. Kekuatan tak kasatmata perlahan-lahan mengalir di seluruh tubuh Thomas. Dia memejamkan mata dan mengumpulkan konsentrasi. Sambil membuka tangan, Thomas melempar seluruh tenaga dalamnya keluar.
"HIIAAAT"
Tenaga dalam yang luar biasa besar memancar keluar dan menerkam pusaran cahaya merah itu. Ketika kedua daya besar itu bertubrukan. terdengar suara menggelegar.
Selubung merah berubah warna, menjadi ungu muda. Tapi tidak menyurutkan kekuatan yang semakin memuncak. Cahaya itu menyelinap ke setiap sudut, jatuh seperti bayangbayang gelap mengerikan.
Thomas mencari-cari Celia.
"Celia!" serunya.
"Sini! Di sini!" Terdengar teriakan dari dalam pekarangan.
"Masuk ke sini!"
Thomas berlari memasuki pekarangan lalu mematung di sana. Di sebelahnya, Celia berdiri gemetaran. Menyadari betapa anehnya perasaan yang menguasainya, tanpa raguragu Thomas menyentuh ujung jemari Celia. Thomas meremas jemari mungil itu kuat-kuat. Sambil menahan napas, dia menunggu reaksi gadis itu.
Celia balas membelai punggung jemari Thomas. Mereka berdua menoleh. Tatapan mereka terkunci seketika.
"Thomas...." bisik Celia.
Cahaya merah itu sekali lagi menerkam Thomas dan Celia. Kali ini disertai suara yang menggelegar kencang.
**
Gabungan darah Antu dan sayap para Utukki membuat kekuatan itu menjadi tenaga yang luar biasa dahsyat.
Celia tidak merasakan sakit apa pun. Dia hanya merasakan sensasi kesemutan di sekujur tubuh. Gadis itu mendengar Thomas yang berada di sebelahnya menjerit, seakan seluruh tubuhnya terbakar api neraka.
"Thomas!"
Celia memanggil-manggil. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Sensasi kesemutan itu semakin menjadi-jadi, merambat dari ujung kaki sampai ke leher. Celia menatap tangannya yang sedari tadi menggenggam tangan Thomas.
Gadis itu merasakan panik yang tidak terhingga ketika ia menyadari tangannya menjadi tembus pandang. Alya memanggil-manggil namanya di tengah-tengah suara gelegar yang mengitari Celia.
Thomas nyaris mengira ia akan mati. Sakitnya tidak tertahankan lagi, seakan seluruh di tubuhnya dialiri racun yang mematikan. Pancaindranya melemah. Dia remuk, pecah berantakan. Lelaki itu bertahan agar tidak jatuh pingsan. Tangannya menggenggam tangan Celia kuat-kuat.
Tangan Celia! Apa... ada apa...
Mata Thomas membelalak lebar ketika perlahan-lahan kehadiran Celia menghilang. Tangannya menggapai angin kosong.
Celia, seperti hantu yang tembus pandang lenyap perlahan. Wajah gadis itu pucat pasi, seperti memakai topeng yang tidak pas pada tempatnya. Tangan Celia terulur. berusaha menggapai tangan Thomas tapi sama seperti Thomas, tangan itu hanya menangkap udara. Mulutnya membuka dan memanggil-manggil nama Thomas, tapi tidak terdengar suara apa pun. Pancaran mata gadis itu sarat kepanikan.
"Celia!" teriak Thomas sekali lagi.
Gigi Thomas bergemeletuk, menahan sakit yang menikam seluruh sel tubuhnya. Putus asa, Thomas menggapai sekali lagi tapi tangannya menembus tangan Celia yang semakin kabur.
Setelah itu Celia menghilang.
Lenyap.
Seakan dia tidak pernah berada di sini.
Darah Antu dan sayap Utukki perlahan-lahan meninggalkan jiwanya.
Thomas terjatuh, gemetaran. Tangannya masih terulur, seakan-akan mengharapkan sebentuk mukjizat.
"Celia..." bisiknya pilu sebelum kegelapan merangkul Thomas.
Putih.
Semua putih.
Celia membuka mata perlahan-lahan.
Kosong
Lengang.
Celia bertanya-tanya dalam hati. Di mana dia? Apakah dia sudah mati?
Dingin.
Gadis itu gemetaran. Dengan cepat dia mengamati setiap jengkal tubuhnya. Seluruhnya terlihat nyata. Tidak lagi tak kasatmata. Tidak lagi tembus pandang. Jantungnya berdegup sempurna dan kulitnya mengerut kedinginan. Celia berdiri perlahan-lahan, sedikit gemetar.
Sekelilingnya tidak ada warna lain selain putih dan kelengangan yang luar biasa. Di mana dia? Diingat-ingatnya kejadian yang baru saja terjadi. Dia tidak berada di teras depan rumahnya lagi. Pasti dia dilempar ke dunia lain. Dunia apa? Jangan-jangan dia diculik makhluk luar angkasa.
Pikiran diculik oleh makhluk luar angkasa membuatnya ketakutan lagi.
Celia mulai melangkah hati-hati. Penuh sikap waspada. Aneh, rasanya dia mengapung, tidak menjejak lantai.
Langkahnya sangat ringan dan tidak terbebani berat tubuhnya. Dia nyaris terpeleset dengan kondisi seperti itu.
"Lihat manusia itu! Bagaimana mungkin kita berikan mereka sayap untuk terbang apabila berjalan seperti itu saja dia mudah terjatuh?"
"Manusia memang makhluk lemah. Tapi, mereka punya kekuatan tak terlihat yang tidak dimiliki oleh para dewa. Sayang hanya sedikit dari mereka yang menyadarinya."
Celia berhenti melangkah. Dia mendengar suara-suara tersebut di pikirannya. Saat itu juga Celia mengira dia berhalusinasi. Tapi dia tidak sempat berpikir lebih jauh. Sedetik kemudian, matanya terasa sangat berat. Gadis itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
Celia tidak sadarkan diri.
Ketika dia terbangun entah berapa waktu kemudian, gadis itu tercengang melihat keadaan sekelilingnya yang telah berubah total. Sekarang dia berada di sebuah ruangan luas yang langit-langitnya terbuat dari kristal sangat indah. Cahaya menari-nari melalui kristal tersebut merefleksikan warna putih ke setiap sudut dinding. Dia terbaring seorang diri di atas ranjang yang berwarna putih bersih. Putih, semuanya putih. Celia melirik ke bawah. Lantai itu tampaknya licin dan tembus pandang.
Di mana dia sekarang? Apa yang terjadi? Celia mengerang keras.
"Selamat datang di Kerajaan Ishtar."
Celia nyaris terlompat karena terlalu terkejut. Suara itu lagi! Menyusup di pikirannya. Merembes seperti cairan pada pori-pori tubuh. Kerajaan... apa?! Di mana?
kerajaan ishtar di Dunia-Atas.) terdengar suara lagi memasuki pikirannya.
Kening Celia mengerut. Dia mulai ketakutan. Kerajaan apa, di mana? Apa-apaan ini semua ?!
"Tenang, Celia."
Celia seketika merinding. Bukan hanya ada suara-suara itu mengisi pikirannya, melainkan siapa pun yang sedang berbicara itu seakan-akan mengenal dirinya. Siapa yang sedang berbicara ini?
"Kau mengenal diriku."
Bagaimana mungkin Celia mengenal suara ini. Rasa takutnya perlahan digantikan rasa curiga. Mungkin dia sedang dikerjain teman-teman sekolahnya. Mungkin dia diberi obat aneh yang membuatnya berhalusinasi seperti ini.
"Kamu tidak dikerjain teman-temanmu. Kamu juga tidak menelan obat aneh. Kamu benar-benar berada di duniaku."
Siapa pun yang berbicara di otaknya wajib memunculkan dirinya. HARUS.
"Ini aku, Celia. Ishtar. Lupakah kau?"
Perasaan aneh perlahan-lahan tumbuh pada diri Celia. lshtar? Siapa lshtar?
"Aku Dewi Cinta dan Perang."
Hah? Dewi... apa?
"Dewi Cinta dan Perang."
Celia nyaris lupa menghirup udara saking terlalu terkejut. Bagaimana mungkin suara itu seakan-akan bisa membaca pikirannya?
"Jangan takut, Celia. Aku tidak membaca pikiranmu. Kau
berpikir terlalu keras sehingga gelombangnya terpancar keluar."
Gelombang? Radio, kali. Celia memejamkan mata untuk berkonsentrasi agar pikirannya tidak terpecah ke manamana. Tiba-tiba, dalam titik kesadarannya yang tertinggi, pikirannya terbuka bagai air bah dan pertanyaan pun mengalir keluar.
"Siapa Anda" tanyanya sopan.
"Nab, betul kan? Bisa juga akhirnya.) Suara itu terdengar sangat gembira.
Celia tidak tahu mana yang lebih mengerikan. Dia dapat mendengar suara-suara yang tidak jelas itu atau dia baru menyadari ternyata dia pun dapat mengeluarkan suara-suara asing melalui pikirannya.
Suara asing dengan bahasa asing.
Celia mengerutkan tubuhnya yang gemetaran. Ini sangat janggal. Mengerikan. Sejak kapan dia belajar menguasai bahasa asing ini?
"lni aku. Ishtar. Dewi Cinta dan Perang."
Tiba-tiba, seorang perempuan yang sangat tinggi berdiri sekitar semeter di depannya. Kakinya menjejak jajaran enam belas bintang yang berbentuk busur dan panah. Wajah itu sangat cantik tapi terlihat tidak manusiawi. Tubuhnya tinggi semampai, feminin, dan memancarkan cahaya berwarna putih beku kebiru-biruan. Tatapan matanya sedalam samudra, berwarna hijau zamrud berkilat bagaikan bintang di langit.
Rambutnya berwarna perak bersinar, jatuh bergerai dari
punggung sampai ke mata kaki. Yang paling menakjubkan
dari semua itu, di punggungnya, ada sepasang sayap yang
luar biasa besar dan indah. Warna dari berbagai spektrum
jatuh di pucuk-pucuk sayap sehingga tampak berkilawan dari tempat Celia berdiri.
"Selamat datang kembali, Celia."
Celia yakin telinganya tidak salah menangkap kata-kata itu. Selamat datang kembali? Maksudnya...? Seperti di restoran saja.
"Apa aku pernah kemari" tanya Celia. ketika berhasil menemukan ketenangannya kembali.
(Ya. Lupa?"
Celia mengangguk. "Jelas lupa."
"Manusia," Ishtar mendengus, "memang makhluk pelupa."
"Jangan mengejek. Aku pasti ingat kalau aku pernah berada di tempat seperti ini!" kata Celia membela diri.
Ishtar tidak menjawab apa pun. Dia berjalan mendekati Celia. Sayap-sayap yang sangat indah itu terlipat rapi di belakangnya. Gerakan Ishtar yang anggun mengancam Celia.
"Mau apa?" tanya Celia sambil mundur selangkah. Dia tidak mau berdekat-dekatan dengan Ishtar.
(Kau berada di sini untuk menggenapi jalan hidup yang telah beribu-ribu tahun usianya."
"Jalan hidup..." Celia memberanikan diri menatap mata Ishtar. Di luar dugaan, mata itu sedang memandangnya dengan penuh kehangatan. Ada nyala kelembutan yang tidak dapat dijelaskan di sana. Seakan-akan mata itu mengalirkan emosi rindu.
Rindu?
Ishtar mengangguk. Celia menunggu jawaban, tapi Ishtar hanya diam. Pikiran Celia mendadak membelok. Dia teringat Thomas. Thomas yang menjerit kesakitan ketika cahaya
Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merah itu menerkamnya. Apa yang terjadi dengan Thomas? Hati Celia perlahan-lahan penuh dengan Thomas. Bagaimana dia? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia juga terjebak pada kerajaan tolol ini?
"Kau mencintainya, ya?-""
Celia mendongak, terkejut mendengar pertanyaan mendadak seperti itu.
"Cinta?"
"Mencintai lelaki yang barusan lewat di pikiranmu."
Celia nyaris lupa bahwa siapa pun yang sedang berdiri di depannya ini dapat membaca pikiran. Mulai sekarang, dia harus berhati-hati apabila sedang memikirkan sesuatu... atau seseorang. Dia tidak mau pikirannya terpublikasi ke mana-mana.
"Cinta? IIhhh... Jangan bercanda. Tadi pagi baru kenalan," katanya pura-pura angkuh. Suaranya sedikit bergetar. Dia berusaha sekuat tenaga agar tidak terlihat cengeng dan ketakutan.
Entah apakah Celia menarik kesimpulan yang keliru, mata zamrud Ishtar memancarkan kesenduan abadi.
"Lupakan Thomas."
Ucapan Ishtar sangat mengejutkan Celia. Dia tersedak. "Lu... Lupakan?"
"Kau dan aku menjadi bagian dari rencana besar ini, Celia. Energi luar biasa akan menyelubungimu di sini; yang menguncimu untuk kembali ke Dunia-Makhluk-Hidup. Kekuatan ini di luar daya manusia. Kau tidak akan pernah bertemu Thomas lagi. Kau akan tinggal di sini untuk waktu yang sangat... sangat lama." "Ishtar tersenyum dingin.
"Jadi lupakan lelaki itu!"
Cena mengerjap-ngerjapkan mata, "salahlah pendengarannya. Lupakan Thomas?
"Kau berada di sini untuk sebuah alasan." Ishtar tersenyum angkuh.
"Berapa lama kau akan menahanku di sini?" "Selama-lamanya."
**
RASANYA seperti berenang dalam danau yang kental dan membara. Thomas sulit bergerak. Seluruh tubuhnya ditekan gelombang kuat. Matanya tidak mampu terbuka. Apalagi kesadarannya. Ada sesuatu yang buruk sedang terjadi. Sesuatu yang berhubungan dengan masa lalunya, tapi Thomas tidak mampu mengingatnya dengan jelas. Kegelapan menikam seluruh kesadarannya.
Anehnya, dalam kegelapan itu, Thomas justru bertahan, tidak melawan dan tidak berusaha mencari setitik cahaya. Entah siapa yang membimbingnya, Thomas mengerti bahwa dengan berada dalam kegelapan yang mengerikan ini, dia justru akan menemukan sesuatu. Secercah jawaban untuk sejuta pertanyaan yang sedari tadi menggelayuti benaknya.
Thomas berkonsentrasi. Tekanan-tekanan pada pancaindranya membuatnya mati rasa dan lumpuh. Pada saat ini ia memang tidak membutuhkan pancaindra "normal". Ketajaman insting sebagai indra keenam, serta gelombang pikiran sebagai indra ketujuh adalah salah satu kelebihan manusia. Thomas sudah menyadari hal itu, bertahun-tahun yang lalu ketika dia mempelajari ilmu bela diri.
Kata gurunya, ada satu indra lagi, indra kedelapan yang menjadi kelebihan manusia di atas segalanya. Sayang gurunya tidak pernah mau mengatakan rahasia Itu, mengajarkan kepada Thomas.
Hanya Thomas seorang yang dapat membuka kunci tersebut.
Pikiran Thomas semakin terfokus. Tubuhnya semakin terasa ringan. Kegelapan perlahan-lahan menipis dan seberkas cahaya menyinari dirinya. Walau sangat pedih dan menyakitkan, Thomas tidak kehilangan konsentrasi.
"Celia..."
"Thomas..."
Thomas mengerjap-ngerjapkan matanya. Suara tadi... bahasa tadi... pikiran tadi...
"Bangun! Bangun!"
Lemah, Thomas membuka matanya. Suara itu menggelegar di pucuk telinganya. Samar-samar, terbingkailah seraut wajah lonjong.
"Bangun dong!"
Alya, adik Celia, sedang memandanginya lekat-lekat. Air mukanya terlihat cemas.
Akhirnya kedua mata Thomas terbuka sempurna. Dia mengerang. Tangannya serasa terbakar. Panas dan melepuh.
Bayangan Celia memandang Thomas dengan air muka ketakutan sebelum hilang dalam bayang-bayang kelabu menyakiti hati Thomas. Dia belum pernah melihat seorang gadis begitu pasrah meminta pertolongan kepadanya. Mulut Celia membuka dalam kebisuan. menjerit memanggil namanya. Dan Thomas tidak mampu melakukan apa pun.
"Kau tidak mampu melakukan apa pun karena Celia bukan milikmu."
Suara berat dan dingin merasuki kepalanya. Suara yang
berasal dari beribu-ribu tahun cahaya menerobos tanpa permisi. Suara masa lalu dan masa sekarang. Thomas merinding.
"Apa...," suara Thomas pecah,
"yang... terjadi?"
Di depan Thomas, Alya tampak gemetaran.
"Aku telepon polisi aja, ya!" serunya panik.
"Berapa sih nomor telepon polisi?!"
Thomas menahan tangan Alya.
"Jangan telepon polisi," katanya.
"Kenapa?"
"Karena..." Thomas memaksakan senyuman lemah di wajahnya.
"...Aku tidak punya duit."
"Gundul!" teriak Alya.
"Kakakku hilang diculik dan kamu masih bercanda seperti itu!! Itu kan kerjaan polisi?!"
Thomas mengangkat tubuhnya. Kepalanya pening.
"Pertama," katanya serak.
"Kakakmu hilang di langit. Polisi tidak akan bisa berbuat apa-apa. Kedua, aku punya feeling, kakakmu tidak apa-apa. Ketiga, aku benar-benar tidak punya duit. Jadi, nggak usah panggil polisi, dokter, hansip, wartawan, atau ketua RT. Bikin tambah repot. Semuanya pasti bakalan minta duit."
"Jadi?"
"'Tidak ada kata jadi. Kalau mau jadi, panggil saja anggota tim X-File. Mungkin mereka bisa menolong kita," Thomas berkata sambil melirik jarum jam tangannya. Jarum itu tidak bergerak, mati. Thomas menggoyang-goyangkan lengannya, mengharapkan tenaga kinetik yang menggerakan jam tangannya dapat bekerja kembali. Sia-sia.
Air muka Alya tidak dapat diterka artinya.
**
berasal dan beribu ribu tahun cahaya menerobos tanpa permisi. Suara masa lalu dan masa sekarang. Thomas merintling.
"Apa...," suara Thomas pecah,
"yang... terjadi?"
Di depan Thomas, Alya tampak gemetaran.
"Aku telepon polisi aja, ya!" serunya panik.
"Berapa sih nomor telepon polisi?!"
Thomas menahan tangan Alya.
"Jangan telepon polisi," katanya.
"Kenapa?"
"Karena..." Thomas memaksakan senyuman lemah di wajahnya.
"...Aku ndak punya duit."
"Gundul!" teriak Alya.
"Kakakku hilang diculik dan kamu masih bercanda seperti itu!! Itu kan kerjaan polisi?!"
Thomas mengangkat tubuhnya. Kepalanya pening.
"Pertama," katanya serak.
"Kakakmu hilang di langit. Polisi tidak akan bisa berbuat apa-apa. Kedua, aku punya fisting, kakakmu tidak apa-apa. Ketiga, aku benar-benar tidak punya duit. Jadi, nggak usah panggil polisi, dokter, hansip, wartawan, atau ketua RT. Bikin tambah repot. Semuanya pasti bakalan minta duit."
"Jadi?"
"Tidak ada kata jadi. Kalau mau jadi, panggil saja anggota tim X-File. Mungkin mereka bisa menolong kita," Thomas berkala sambil melirik jarum jam tangannya. Jarum itu tidak bergerak, mati. Thomas menggoyang-goyangkan lengannya, mengharapkan tenaga kinetik yang menggerakan jam tangannya dapat bekerja kembali. Sia-sia.
Air muka Alva tidak dapat diterka artinya.
"Di mana orangtua kalian?" tanya Thomas, tiba-tiba teringat sesuatu.
"Mereka..." Alya tergagap, kembali tersadar dari kebengongannya.
"Sebentar lagi pasti balik. Mereka pasti bakal bertanya. Bagaimana nanti jawabnya?"
"Terus terang saja."
"Terus terang? Seperti ini, ngomong-ngomong, Ma, Pa, tadi Celia diculik ke langit. Tidak tahu siapa yang menculik. Mungkin UFO.' Begitu caranya?" seru Alya sinis.
Thomas tidak menjawab apa pun. Otaknya berdenyutdenyut. Betul kata Alya. Bagaimana menjelaskan hal ini kepada orangtua Celia?
Seperti mengetahui kepanikan Thomas, sebuah mobil menderu di depan pagar. Diiringi suara mesin berdengung, gerbang besar itu otomatis membuka. Mercedes besar berwarna perak memasuki halaman.
Alya menelan ludah.
"Tuh, orangtuaku datang," katanya dengan wajah pucat.
"Yah..."
**
Celia dan Ishtar masih berdiri berhadap-hadapan. Celia mengangkat tangan dan menghapus air mata di pipinya cepat-cepat. Dia tidak ingin terlihat cengeng di depan dewi ini.
"Apa yang harus kulakukan di sini?:tanya Celia masgyul.
"Kita akan menggenapi nasib kita. Menjalani kehidupan yang telah digariskan Dewa Langit."
Ih, Dewa Langit? Makin menarik saja ceritanya. Celia cemberut. Dia melemparkan pandangan ke segala arah.
Ruang kristal beku dan dingin ini lama-lama kelihatan membosankan.
"Aku tidak mau hidup di sini selamanya. Tidak ada bioskop, toko buku, mal, biola... Aku bisa mati bosan."
Alis Ishtar berkerut ke atas. Dia menyimak perkataan Celia. "Kau butuh biola?"
Celia tidak tahu harus mengangguk atau menggeleng. Sebenarnya bukan itu masalah terbesarnya. Bukan sekadar biola yang dia butuhkan. Celia ingin pulang. Kembali ke kehidupan normalnya. Itu saja, sesederhana itu.
"Aku ingin pulang" katanya, menjaga agar suaranya tidak terdengar merengek.
Jika ini hanya mimpi, Celia ingin terbangun. Sekarang juga.
Ishtar menggeleng lamat-lamat. Ada pancaran kesedihan dan penyesalan di wajahnya. "Yang itu tidak bisa kukabulkan. Maaf."
Celia tidak mengerti dewi satu ini. Saat-saat tertentu wajah Ishtar menampilkan pancaran kerinduan yang luar biasa kepada dirinya. Siapakah Ishtar ini? Mengapa dia menahan Celia di kerajaannya? Dan kerajaan apa yang disebut-sebut sedari tadi?
Air muka Ishtar berubah, menjadi lebih memelas.
"Celia."
Celia mendongak terkejut. Tiba-tiba suara Thomas menyelinap di kepalanya.
Entah apakah Ishtar mendengarnya atau tidak, yang jelas dewi itu terlihat gusar. Seluruh tubuhnya bersinar, memancarkan cahaya bernama putih kebiru-biruan, seperti air yang membeku perlahan-lahan. Wajah itu semakin
berwarna pucat transparan. Tiba-tiba, entah dari mana berasal, tiba-tiba seekor singa muncul di sebelah Ishtar. Celia melompat terkejut.
Singa?
Singa itu berdiri di samping Ishtar. Tegap dan gagah. Sayap Ishtar mengembang ketika dia menaiki punggung binatang itu. Dengan kecepatan tinggi, singa melompat lalu menghilang dari pandangan, meninggalkan Celia berdiri terpaku. tak mampu bergerak. Terlalu terpana. Ishtar lenyap bersama singa tunggangannya begitu saja. Butirbutir salju jatuh berguguran di tempat dia menghilang. Udara mendingin seketika.
Ditinggal Ishtar dan singanya, Celia memandang sekeliling. Hebat. Sekarang dia berada sendirian di ruangan yang beku dan menyebalkan ini.
Celia merogoh kantong seragamnya. Jantungnya nyaris berhenti berdenyut ketika ia menyentuh benda yang sangat dikenalnya. Ditariknya benda itu keluar perlahan-lahan.
Ponsel. Asyik! Celia nyaris lupa bahwa dia mengantungi ponsel.
Semangat yang tadi tinggi menggebu-gebu merosot lagi ketika melihat skriin telepon genggam itu. Tidak ada sinyal. Sialan. Tentu saja. Bego. Pasti para operator ponsel itu tidak terpikir untuk memasang pemancar di istana Dewi Ishtar.
Lemas, Celia mengantongi ponselnya kembali. Sekarang apa yang harus dia lakukan?
**
kedua orangtua Lena turun dari mobil berjalan tergesa-gesa. Mengangguk singkat kepada Thomas dan mencium pipi Alya. Lalu menghilang di balik pintu depan.
Alya melongo. Sejak tadi mulutnya tidak tahan untuk tidak memberikan komentar.
"Gimana sih? Kok pada cuek? Biasanya cerewet, bakal bolak-balik bertanya seperti polisi menginterogasi maling."
Sekali lagi Thomas tersadar. Keanehan-keanehan yang terjadi seharian ini tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat.
"Jadi bagaimana sekarang?"
Thomas menggeleng.
"Aku... tidak tahu... Tapi aku yakin Celia... kakakmu dalam keadaan baik... Ada suara-suara yang membisikiku...."
Alya membelalak.
"Suara-suara apa?" tanyanya resah.
Thomas menggeleng sekali lagi.
"Aku tidak tahu...," katanya tidak yakin. Nadanya getir.
"Aku berada di sini, Thomas. Kau tahu aku berada di mana."
Thomas nyaris melonjak. Suara Celia kembali masuk ke dalam kepalanya. Sangat jernih. sejernih suara lonceng.
"Di mana?" tanya Thomas dengan suara lantang, entah kepada siapa dia berbicara. Angin kencang berdesir, dinginnya menusuk tulang. Helai-helai daun jatuh berputar-putar dari ranting pohon. Udara malam menyusup masuk bersama suara jangkrik.
"Aku di sini. Selalu menunggumu"
Thomas terpaku. Suara-suara itu bersimpang siur di kepalanya. Bening. Jelas. Sempurna. Terbawa angin. Mengalir di seluruh sel-sel tubuhnya. Berdegup bersama denyut nadinya.
Sekali lagi kegelapan menyelubungi Thomas.
**
Enka berdiri di depan meja persembahan. Jantungnya berdegup cepat, menahan ketidaksaharan dan semangat tanpa batas. Dia menoleh ke kiri, mencari ayahnya, Ellia. Ayahnya mengenakan jubah kebesaran pendeta pria. Enka menunduk, menatap dirinya. Pemuda itu mengenakan baju terusan putih sederhana, tanpa simbol-simbol apa pun.
Hari ini hari pemberkatan Erika sebagai pendeta lelaki di kuil Dewa Antu. Ellia beserta beberapa pendeta lainnya sedang melakukan upacara ritual meminta pemberkatan Dewa Langit.
Enka tahu dia ditakdirkan menjadi pendeta.
Kehilangan kesadaran berkali-kali sering kali dialami Erika semenjak usianya menyentuh akil balik. Jika kegelapan menyelubungi, Enka mengalami banyak halusinasi. Dia terangkat menuju dunia yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Ibarat dedaunan yang berserakan ke mana-mana, Enka tidak dapat merekatkan kejadian-kejadian itu satu sama lain secara utuh.
Tapi satu hal yang diyakininya, suatu ketika dia akan mengerti apa arti kegelapan itu.
Suatu ketika.
Suara Ellia yang menggumamkan nyanyian dalam bahasa tua menggugah Enka. Bersama-sama, Ellia dan pendeta lainnya membuka mulut dan mulai mengikuti alunan nada.
Hari itu langit berwarna biru cerah. para dewa sedang bersuka ria.
**
Alya menatap Thomas yang perlahan-lahan kembali sadar.
"Kamu kayaknya tidak sehat, ya. Dari tadi pingsan melulu," kata Alya mengawasi Thomas.
"Mau minum?"
Thomas mengangguk. Dia memang membutuhkan air, zat sumber kehidupan. Kerongkongannya kering kerontang.
"Air putih saja.Thank, ya."
Ditinggal Alya, Thomas menjatuhkan dirinya di kursi beranda. Sisa-sisa senja tak berbekas lagi, hilang. Malam sempurna menguasai bumi. Di tempat yang sama, Thomas masih duduk tepekur. Pikirannya melayang sepenuhnya kepada Celia. Pemuda itu tidak mengerti bagaimana mungkin seorang gadis dapat begitu menguasai jiwa dan raganya. Padahal mereka baru bertemu tadi pagi.
"Thomas, mantra dapat dihancurkan. Kutukan dapat membebaskan. Setelah sejauh ini kita melangkah. Tujuh ribu tahun bukanlah waktu yang singkat. Apalah artinya menunggu sebentar lagi. Bertahanlah, Thomas."
Thomas memandang kosong pada satu titik gelap di kebun. Dia syok berat. Suara-suara tadi menjajah kepalanya sampai dia tidak dapat berpikir jernih lagi. Mantra? Kutukan? Tujuh ribu tahun? Apa arti semua itu?
Thomas menekan kepala dengan kedua tangannya. Suarasuara itu menyelinap tanpa diundang. Sakit kepalanya semakin menjadi-jadi.
"KAU TIDAK AKAN BERHASIL MENEMUKAN CELIA! DIA MlLIKKU."
Suara kasar dan dingin itu kembali terdengar. Menggebrak kepala Thomas.
....DIA MILIKKU!!! MILIKKU SELAMANYA...
Terdengar suara jeritan perempuan membelah keheningan. Thomas terlompat dari kursi. Tubuhnya basah kuyup karena keringat.
"Thomas! Jangan putus asa. Kita mampu menjalaninya. Kita..."
Suara Celia terputus suara tawa yang membahana. Suara dingin dan angkuh membelah udara. Mendirikan bulu kuduk. Thomas mengerang sambil menekan-nekan kepala yang seperti hendak meledak.
"MANUSIA MAKHLUK LEMAH! KAU TIDAK AKAN BERHASIL MENEMUKAN CELIA! TIDAK AKAN"
Ini semakin tak terkendali. Sakit kepalanya semakin membabi-buta. Air muka Thomas mengeruh.
"Pergi!" teriaknya kesal.
"Jangan ganggu aku!"
Ketika Alya keluar membawa baki yang berisi dua gelas air putih dingin, Thomas masih belum sepenuhnya tenang.
Bisik-bisik di seluruh perkampungan mengatakan bahwa seorang petani berhasil menemukan alat berat yang dapat berputar. Bahannya terbuat dari kayu dan dapat digunakan untuk bertani. Dengar-dengar juga, ilmu itu diberikan oleh Dewa Pelindung Tukang Kayu, Dewa Nin-ildu kepada manusia agar manusia dapat semakin pandai dan tanah pertaniannya semakin subur. Benda itu dinamakan roda. Dalam sejarah peradaban selanjutnya, roda masih harus menunggu
seribu lima ratus tahun kemudian untuk digunakan secara massal oleh manusia.
**
Enka berjalan keluar dari kuil Dewi Antu. Hari ini gilirannya menyiapkan persembahan kepada dewi itu. Seharian ini, Ellia dan para cendekiawan lainnya sedang sibuk menciptakan simbol-simbol yang dapat dipahat di prasasti. Rencananya, setiap simbol itu akan merepresentasikan sebuah kata.
Api menyala terang di depan pintu masuk kuil. Enka mendongak menatap langit. Tiba-tiba tatapannya berhenti kepada bintang yang bersinar paling redup di angkasa. Entah hanya sekadar perasaannya, tapi bintang itu bergerak mendekati Enka.
...semakin dekat...
...semakin dekat...
Enka nyaris terjengkang ke belakang ketika sesosok makhluk asing tiba-tiba muncul di depannya. Diselubungi cahaya lembut, makhluk itu menundukkan kepalanya dalam-dalam kepada Enka. Gerakan itu adalah gerakan menghormat. Kulitnya cokelat susu, kelihatan kontras dengan gaun hijau pupusnya yang menyentuh mata kaki. Matanya bersinar terang, berwarna biru seperti warna samudra. Rambutnya hitam lebat mengilat. Kepalanya dikelilingi oleh-lingkaran nyala api biru pucat. Dan yang paling aneh dari semuanya, makhluk itu bersayap. Lebar, indah, dan anggun.
"Enka."
Suara itu menyapa lembut, masuk ke pikiran Enka. Sekali lagi makhluk itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sekali lagi melakukan gerakan menghormat.
"Siapa di sana?" teriak Enka. Tubuhnya gemetaran. Dia siap melakukan langkah seribu apabila makhluk ini mencoba-coba mendekatinya. Butir-butir keringat langsung berjatuhan di dahi dan punggung.
Enka membelalak. Bukan hanya bertanya dengan nada yang sangat kasual, makhluk itu melangkah mendekati Enka.
"Siapa bilang aku ingin bertemu denganmu?" seru Enka. Dia mundur satu langkah. Makhluk itu maju lagi. Enka mundur sekali lagi.
Jangan teriak-teriak. Tidak perlu bicara menggunakan mulut. Coba gunakan gelombang pikiran."
Mulut Enka menganga lebar. Gelombang pikiran apa? Ditatapnya makhluk itu. Kelihatannya makhluk itu serius. Jadi di luar kehendaknya, Enka berkonsentrasi. Tiba-tiba kalimat-kalimat mengalir keluar dengan sempurna begitu saja dari kepalanya. "Siapa kau? Dari mana kau tahu namaku?" tanyanya kagok.
"Nah, seperti itu. Bisa, kan? Hebat juga."
Enka tidak merasa tersanjung mendengar pujian itu. Kakinya menjejak tanah kuat-kuat; berharap kakinya tidak mengkhianati tubuhnya. Dia tidak ingin melakukan tindakan konyol seperti melarikan diri secepat-cepatnya, atau lebih kacau lagi, pingsan di tempat.
"Jawab saja penanyaanku. Siapa kau? Dari mana kau tahu namaku?"
Makhluk itu tersenyum.
Wajahnya bersinar cantik. "Namaku Nannia. Aku monster Utukki yang bungsu. Yang kedelapan. Aku tahu namamu karena setiap hari kau melakukan pemujaan ritual untuk ibuku, Dewi Antu."
Etika berdiri mematung. Astaga. monster menampakkan diri di depan matanya. Dan bukan sekadar monster! Dia salah satu monster Utukki. Mana yang lebih mengerikan daripada ini?
Enka tahu, menurut cerita-cerita para pendeta. monster monster Utukki adalah delapan monster yang dilahirkan oleh Dewi Antu pada malam Enka dilahirkan. Monster monster Utukki terkenal sangat buruk rupa dan kejam sehingga Dewa Antu menyegelnya dalam Kerajaan Monster selama-lamanya. Lalu bagaimana monster yang ini bisa berada di bumi?
"Aku minta izin ayahku, Dewa Antu, untuk turun ke bumi."
Enka berdiri gemetar. Kematian sebentar lagi menjemput nyawa. Tubuhnya akan membeku sebelum roh meninggalkan raga.
"Jangan takut. Kau tidak akan mati. Aku tidak akan membunuhmu."
Enka masih berdiri mematung, tidak tahu harus berkata apa. Monster Utukki tidak akan membunuhnya? Luar biasa. Mengapa dia tidak melakukannya? Apakah karena monster ini sudah tidak mampu membunuh manusia?
Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau salah. Aku masih mampu membunuh manusia."
Oh...
Mau apa kemari? tanya Enka, setelah bermenit-menit tidak tahu harus memberi reaksi apa. Setelah bertanya seperti itu, dia menyesal sekali. Bagaimana jika monster ini tersinggung?
"Galak sekali. Nggak boleh ya dewa mengunjungi kuilnya sendiri?"
"lni bukan kuilmu. Monster Utukki tidak mempunyai kuil. Ini kuil Dewi Antu."
Nannia mencibir. "Memangnya kenapa? Dewi Antu adalah ibuku."
"Setiap dewa mempunyai kuilnya masing-masing. Bahkan ayahmu, Dewa Antu, mempunyai tempat pemujaan sendiri. Tidak bisa dicampur aduk dan dipindahtangankan. Apalagi dipinjam-pinjam."
"Ah, itu kan hanya peraturan di sini. Peraturan manusia. Di langit, kami bisa bawa bawa nama bapak. Keren."
Enka terdiam. Di depannya Nannia tersenyum mengejek. Siapakah Nannia ini yang mempunyai pipi demikian halus seperti marmer?
"Manusia suka berpikir yang aneh-aneh. Jangan terlalu percaya omongan orang, Enka."
Tiba-tiba kesadaran Erika datang dengan cepat, seperti gelegar guntur menyambar pucuk pohon. Membakar. Secepat kilat Enka menjatuhkan diri di depan Nannia. Dia tanggap. Enka berlutut, meratakan kepalanya dengan tanah. Dia menyembah Nannia.
"Segala hormat dan puji aku panjatkan kepadamu, Dewi Nannia. Maafkan tindak-tandukku yang tidak terpuji sedari tadi."
Nannia bergegas mendekati Enka.
(Bangun, Tolol. Aku bukan dewa. aku monster. Kau tidak perlu menyembahku. Aku datang ke sini dengan satu tujuan."
Enka tidak bergerak dalam posisinya. Dia masih rata dengan tanah.
"Apakah tujuanmu, Monster yang Agung. Akan kulakukan apa saja untuk membuatmu merasa nyaman."
Nannia tersenyum lebar.
"Aku lagi bosan. Mau menemani ngobrol?"
Mata Enka membelalak sesenti di atas tanah. Sepuluh detik berlalu tanpa gerakan. Hanya napasnya yang menderu. Perlahan, Enka bangkit terduduk.
**
"Mantra itu, tahukah kau, nyaris tidak berhasil membawanya kemari."
Ishtar mengangguk. Bersama Antu, mereka berdiri di depan cermin besar milik Ishtar. Namanya Cermin Penglihatan. Cermin tersebut dapat memantulkan refleksi siapa saja yang ingin dilihat oleh Ishtar. Wajah Celia memenuhi seluruh ruang pada cermin.
"Thomas itu...," Antu mendesah. "Mempunyai kekuatan dan keteguhan yang sangat besar. Tenaga dalamnya memperlambat serangan kita."
Mereka berdua terdiam. Dalam cermin, terlihat Celia menjatuhkan dirinya di lantai lalu mulai menangis terisakisak.
"Dia sangat sedIh...," bisik Ishtar. Matanya tak lepas memandangi Celia. Terlihat pancaran kehangatan dan kesenduan dari sana. "Dia memikirkan Thomas... memikirkan lelaki itu...."
"Biarkan saja!" sergah Antu. "Nanti juga lupa. Manusia...," cemooh Antu, " tiada artinya)
Ishtar menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu," katanya tak percaya. "Beribu-ribu tahun aku mengenal manusia,
mereka sebenarnya bukanlah makhluk lemah. Mereka mempunyai kekuatan besar yang mampu membantu mereka bertahan terhadap segala sesuatu."
Antu berjalan, menyiapkan secangkir teh untuk dirinya. Tanpa perlu menghalau uap panas, ia meneguk cairan berwarna cokelat itu. Dingin. Di dalam kerajaan Ishtar, semuanya selalu dingin. Tidak ada yang hangat, apalagi panas.
Ini aneh, karena Ishtar adalah Dewi Cinta, yang seharusnya panas membara.
"Tahukah kau apa yang sesungguhnya menyebabkan kita sulit menyerang Celia?"
Ishtar masih terpaku memandangi Celia. Hatinya mencair melihat gadis itu masih terisak-isak di cermin. Ishtar ingin sekali berada di sebelah Celia dan merangkulnya. Ingin menghangatkan jiwanya. Mendekapnya. Mengatakan padanya agar tidak perlu takut karena Celia pasti akan merasakan cinta lagi. Cinta yang lain. Yang lebih abadi. Yang diberikan setulus hati. Yang...
"Tangan mereka, Ishtar," bisik Antu. "'Tangan mereka bergenggaman ketika serangan itu tiba. Kau tahu apa yang dapat melemahkan serangan dewa kepada manusia?"
Ishtar membeku. Dia menutup matanya.
"Cinta," bisik Antu sekali lagi, "Adalah mata rantai yang terkuat."
Ishtar menggebrak cermin sehingga pecah berkepingkeping. Sayapnya membuka dan mengepak liar. Matanya memancarkan cahaya berwarna ultraviolet yang membutakan siapa pun yang langsung menatapnya. Dia tahu itu. Dia sangat mengerti. Dialah Dewi Cinta dan Perang. yang
memberikan anugerah cuma-cuma kepada manusia dalam bentuk cinta. Cinta adalah hal terlemah yang dimiliki manusia. Yang dapat membuat manusia menderita. Yang dapat mengakibatkan perang berkepanjangan. Yang dapat membuat manusia rela melihat neraka.
Tapi seperti pedang yang mempunyai dua sisi, cinta juga dapat menguatkan.
Dan cinta jugalah yang kemudian menjadi bumerang bagi Ishtar.
Ditinggal Antu, Ishtar menatap pedih ke arah cermin yang telah pecah berkeping-keping. Dia berkonsentrasi sekitarnya. Seketika itu juga. pecahan-pecahan Bermain Penglihatan bergabung dan kembali menjadi cermin sempurna tanpa sedikit pun terlihat tanda-tanda bekas retakan.
Dia tidak ingin mengakui bahwa dia nyaris kalah oleh cinta manusia. Cinta seorang manusia. Bayangkan. Cis!
Ujung bibirnya naik. Ishtar menyunggingkan senyum melecehkan. Tidak, dia tidak kalah. Ini bukanlah akhir dari segalanya, justru ini adalah awal. Dia sudah mengetahui jalan hidup yang harus dijalani. Akhir jalan itu adalah kemenangan agung yang sekarang telah berada di dalam genggaman tangannya.
Mengambil napas dalam-dalam, Ishtar berkata, "Perlihatkan padaku sebuah penglihatan.
Cermin di depannya seketika membeku. Kabut tipis berputar-putar di tengah cermin. Perlahan-lahan, sebentuk gambar muncul di sana. Es yang membeku menjadi cair.
Ishtar menatap gambar di cermin tanpa berkedip.
Gambar itu menunjukkan pemandangan di depan rumah besar. Seorang lelaki duduk di salah satu kursi sambil meneguk air putih. Di sebelahnya seorang gadis yang usianya kurang lebih enam belas tahun sedang mendesak Thomas.
"Harus ke mana, coba ulangi?!" teriaknya.
"Kita harus mencari tahu di mana kakakmu berada. Ada orang yang kukenal baik yang dapat melihat menembus dimensi waktu dan ruang. Kita perlu berkonsultasi padanya."
"Kamu percaya hal-hal begitu?"
"Memangnya kamu punya ide lain yang lebih hebat?"
Alya menepuk nyamuk yang mulai terbang di dekat lehernya.
"Nggak," katanya pasrah.
"TErserah apa katamu deh."
Thomas menghela napas. Dia menopangkan dagu di atas telapak tangannya.
**
"Fokus" seru Ishtar. Seketika itu juga, cermin mengabur. Kabut putih kebiru-biruan muncul dan menghilang seketika. Wajah Thomas muncul pada seluruh cemiin. Air mukanya memperlihatkan keseriusan dan ketegasan. Seakan-akan tidak ada yang dapat menghancurkan semangatnya.
"Celia.."
Terdengar suara Thomas menggelegar di ruangan Ishtar. Dahi Ishtar mengerut tak percaya. Suara itu pasti suara batin yang diucapkan Thomas.
"Kau di mana? Aku datang..."
Ishtar mendengus mengejek. Senyumnya dingin. Dia berbalik dan meninggalkan ruangan. Meninggalkan Cermin Penglihatan dengan imaji bergambar wajah Thomas.
"Kita lihat saja nanti. Perang ini belum selesai. Celia milikku." Sayapnya berdesing mengerikan. Tangannya terkenal kuat. "Dan selamanya dia milikku."
**
"JADl di sini tempatnya?" desis Alya tidak percaya, memperhatikan sebuah rumah tua yang terletak di gang kumuh. Untuk mencapai tempat tersebut dibutuhkan perjuangan yang tidak mudah. Gangnya tidak mempunyai nama dan rumahnya pun tidak bernomor. Entah apakah gang itu mempunyai RT atau RW bahkan kelurahan.
Gang itu becek dan ada kotoran kucing di sana-sini. Gang tersebut juga tidak diaspal, jadi sepeda motor pun akan mengalami kesulitan bermanuver di sana. Selain sempit, jangan ditanya lumpurnya. Di pinggir gang, tidak ada lampu jalanan. Rumah-rumah di kiri-kanan gang berdempetan. Lampu di masing-masing beranda pun kuning temaram, tidak menolong menerangi kondisi lingkungan yang memang sudah terlihat memprihatinkan. Yang paling aneh dari semuanya adalah tidak adanya orang-orang yang berkumpul di pinggir jalan. Gang kumuh itu terlihat sepi dan lengang.
Thomas mengangguk yakin. Selama perjalanan kemari, Thomas sangat irit kata-kata. Diam-diam dia mengagumi tingkah laku Alya yang masih terlihat lincah di tengah
tengan kekacawan seperti ini. Dia melirik jam tangan Alya. Jam sembilan kurang lima belas.
"Gimana cara masuknya?" tanya Alya sekali lagi.
Thomas menunjuk pintu kayu yang dicat biru muda. Warnanya sangat kusam. Pada daun pintunya terdapat retakan di sana-sini. Kelihatannya bukan lagi sekadar pintu, tapi juga rumah rayap.
"Ketuk dulu."
Alya maju ragu-ragu. Dia mengangkat tangan dan mengetuk pintu tiga kali berturut-turut.
"Halo!"
Tidak ada sahutan apa-apa dari dalam rumah. Alya sekali lagi mengetuk dan berkata dengan tingkat suara yang lebih keras,
"Halo!"
Pintu berderit terbuka. Ruangan terlihat gelap gulita.
Alya menoleh ke belakang, meminta persetujuan Thomas. Thomas mengangguk dan bersama-sama mereka masuk ke ruangan.
Segera setelah mata Thomas terbiasa dengan kegelapan, dengan cepat matanya menguliti setiap pojok dan sudut ruangan. Tercium bau samar-samar yang tidak jelas. Sepertinya berasal dari asap kemenyan atau pembakaran hiu.
Warna cat di dalam ruangan itu pun sudah terlihat sangat kusam. Cahaya api lilin menari-nari di beberapa sudut ruangan. Terlihat dua kursi plastik menempel di dinding.
"Silakan masuk, Thomas dan Alya."
Nyawa Thomas nyaris melompat dari tubuhnya. Suara serak itu bagai pisau tajam yang mengiris-iris daun telinga. Di depannya, Alya menyambar lengan Thomas.
"Siapa... di sana?" tanya Thomas, setelah dapat berhasil menemukan suaranya kembali.
"Situ mencari siapa?" suara serak balas bertanya.
Kali ini Thomas berhasil melihatnya. Di pojok ruangan itu. terlihat samar-samar seseorang sedang duduk berselonjor di kursi malas. Sebatang rokok mengepul tak henti dari mulutnya. Dengan baju serbahitam membungkus tubuh, orang itu seperti makhluk dari kerajaan kegelapan.
"Saya mencari Pendosa!" seru Thomas. Hatinya luar biasa galau ketika mengucapkan kalimat itu.
Terdengar suara batuk memenuhi udara. Batuk kering yang parah. Thomas menunggu dengan sabar. Setelah batuknya mereda, orang tersebut meludah kuat-kuat. Lalu dia kembali terlihat asyik menyedot rokok. Asap disemburkan ke atas sehingga berbentuk gumpalan-gumpalan tanpa bentuk.
"Hahahaha!" Tawa liar memenuhi ruangan.
"Semua orang pendosa."
Alya memberikan pandangan penuh arti kepada Thomas. Artinya kurang-lebih adalah "Apa-apaan sih? Orang gila. tabu. Cepetan kabur. Kita salah alamat."
Tapi Thomas tidak menyerah begitu saja.
"Anda tahu nama kami," katanya ngotot.
"Berarti Anda sudah dapat menduga kedatangan kami. Tolonglah. Kami butuh bantuan Anda."
Asap rokok itu semakin membumbung tinggi. Mengepulngepul.
"Please,help me ..." Thomas mengernyitkan kening. Apa orang ini mengerti bahasa Inggris? Diukur dari lingkungan dan kondisi di sekeliling, kelihatannya tidak. Diulang lagi kata tersebut dalam bahasa Indonesia.
"Tolong... lah saya...," bisiknya terbata.
Hening sekali lagi mengisi ruangan. Alya sudah nyaris menarik tangan Thomas untuk segera angkat kaki dari rumah yang penuh sesak dengan asap rokok dan asap lainlainnya. Dia butuh udara segar secepatnya sebelum paruparunya diserbu sel-sel kanker. Thomas berdiri mematung sabar.
Terdengar deham menyesakkan yang kedengarannya bakalan menjadi gejala batuk parah. Thomas menahan napas, siap-siap mendengar serbuan batuk. Tapi ternyata tidak. Pendosa berkata serak sebelum disusul batuk batuk,
"I will see what i can do."
Mulut Thomas terbuka. Lalu tertutup lagi. Dan terbuka sekali lagi.
Oh. Wajahnya memerah.
Orang itu mengerti bahasa Inggris rupanya.
**
Rasa takut Celia menguap. Setelah beberapa jam berada di dalam ruangan kristal ini, perasaan kesalnya membumbung naik. Dia dibiarkan bengong tanpa melakukan apa-apa. Keparat dewi satu itu. Tahukah dia bahwa otak manusia bisa mati membeku apabila tidak diberi kesempatan untuk beraktivitas?
Terdengar suara desingan halus. Celia menoleh cepat. Seseorang muncul dari udara kosong begitu saja. Bagus, ada yang datang juga. Celia bergegas mendekati makhluk tersebut tapi kakinya berhenti mendadak. Napasnya seketika tercekat.
Berbeda dengan Ishtar, makhluk ini tidak mempunyai sayap. Seluruh tubuhnya dilapisi butir-butir emas, yang
setelah diamat-amati lebih jauh, ternyata bukanlah emas melainkan butir-butir gandum dan padi yang telah matang. Matanya berbentuk seperti kacang kenari, berwarna oranye, tajam, serta bersinar-sinar. Wajah itu sempurna tanpa cela, jenis kesempurnaan yang tidak dimiliki manusia. Rambutnya berwarna hitam, dipelintir beberapa untai tali panjang emas berjumbai-jumbai.
"Namaku Ashnan. Dewi' Gandum dan Padi," katanya elegan bagai balerina.
Dewi apa? Celia berdiri melongo, tidak mengerti harus melakukan apa. Menghormat, menyembah, atau berjabat tangan?
"Aku membawakanmu makanan." Keanggunan dan kegemulaian Ashnan mengingatkan Celia pada ibunya. Tiba-tiba hatinya dipenuhi rasa rindu. Rindu seperti air yang menggelegak di dalam ceret yang dipanaskan. Dalam hitungan detik, Celia mengerjapkan mata, menahan air mata yang menggantung di sana.
"Jangan sedih. Makanlah dulu. Kau butuh banyak tenaga agar tidak lemah.)
Di antara kelap-kelip silau emas yang berasal dari butir gandum, Celia berusaha mencoba membuat dirinya gembira.
Tiba-tiba satu set meja makan berikut delapan kursi muncul begitu saja. Seperti sulap. Di meja tersebut terhidang berbagai masakan yang menggugah selera. Hidung Celia mencium wangi sedap makanan.
"Silakan disantap."
"ini semua... untuk... saya?" tukas Celia tidak percaya.
"Ya."
"Oh, begitu? Anyway, terima kas..."
Belum selesai Celia mengucapkan kalimatnya, Ashnan menguap begitu saja. Sama seperti ketika dia muncul. Keheningan muncul lagi, diwarnai keheranan yang tampak nyata ditunjukkan oleh bahasa tubuh Celia.
Ragu-ragu, Celia memanjangkan tubuh, berusaha melihat hidangan yang tertata rapi di meja. Keheranannya berubah menjadi ketakjuban dalam sekejap. Celia nyaris tidak memercayai penglihatannya. Buset. Banyak sekali. Seperti sedang berpesta. Bagaimana mungkin dia bisa menghabiskan seluruh makanan ini seorang diri?
Perut Celia memang keroncongan. Santapan itu menggodanya habis-habisan. Tanpa pikir panjang, dia menarik salah satu kursi. Mengucapkan syukur sejenak dalam bentuk doa aneh.... doa terima kasih atas makanan yang diberikan oleh Dewi Gandum dan Padi? Coba teman-teman sekolahnya ada di sini, pikir Celia iseng. Mereka pasti tidak akan percaya pada ceritanya nanti.
...itu pun kalau dia berhasil pulang.
Celia mengangkat sendoknya lalu mulai makan dengan cepat. Dalam kesendiriannya. Dalam kegetirannya.
**
"Silakan duduk."
Thomas duduk tanpa ragu di salah satu kursi plastik yang sudah nyaris jebol. Debu dan sarang laba-laba menghiasi seluruh ruangan. Alya mengerutkan hidung, berusaha menahan diri agar tidak bersin. Dia alergi debu.
"Mari kita lihat apa yang terjadi."
Orang itu-yang tadi disebut Pendusa oleh Thomas
bergerak dari kursi malas. Bagai bayang-bayang hitam, dia tersaruk-saruk berjalan ke sebuah meja, mengambil asbak berbentuk kodok, dan mematikan rokoknya di sana. Dari tempatnya, Thomas memandang dalam bisu.
"Sori..." Dia terbatuk kecil.
"Kau punya rokok?"
Thomas menggeleng.
"Saya tidak merokok."
Pendosa terbatuk lagi.
"Hebat," katanya serak, di tengah serangan batuknya.
"jarang ada remaja yang berani berkata dia tidak merokok."
Thomas tidak menjawab apa-apa dan terus menunggu sabar. Alya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia memutuskan tidak duduk di mana pun. Lebih baik berdiri daripada alerginya kumat berdekatan dengan kursi yang pasti memenangkan juara lomba pengumpul debu terbanyak.
Pendosa mengambil mangkuk dan mengisinya dengan air. Diletakkannya mangkuk itu di meja kecil. Thomas menyeret kursi plastiknya, mendekat. Terus terang, ia penasaran. Air bening mengisi tiga perempat mangkuk. Tercium bau samar-samar.
"Bau apa ini?" tanya Alya tidak tahan. Rupanya dia juga mencium bau yang sama.
Tidak ada yang memberi jawaban atas pertanyaan itu. Alya menopangkan seluruh tubuh pada satu kaki hingga terasa mulai sedikit kesemutan. IIhh... Dia mengganti topangan kakinya. Pikiran Alya mulai mengudara.
Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Roro Centil 06 Lima Wajah Seribu Dendam Damar Wulan Karya Zuber Usman
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama