Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng Bagian 2
Bau itu ternyata bau asap kemenyan dan hio yang dibakar bersamaan. Diletakkan persis di depan mangkuk.
Pendosa kembali lagi. Tangannya menangkup di depan dadanya seperti sedang membawa sesuatu. Berlembarlembar kelopak bunga mawar putih berjatuhan di atas air.
Setelah itu, Pendosa duduk bersila di atas kursi malas dan memenjamkan mata.
Dua menit berlalu dalam kebisuan. Lelaki aneh itu tidak melakukan gerakan apa pun. Thomas mendongak dan menatap Alya. Mereka berdua melempar pandangan penuh arti tanpa tahu harus berbuat apa-apa. Lima menit kemudian, terdengar suara senandung. Thomas mencari-cari sumber suara tersebut. Pendosa masih duduk di tempatnya, membatu seperti arca. Mulutnya menceracau dalam nada-nada sumbang tak jelas.
Apa yang harus dilakukan Thomas?
Ragu-ragu, Thomas menutup kedua matanya, berusaha mengheningkan Cipta. Kontemplasi, seperti apa yang sering Suhu, guru spiritualnya lakukan. Tiga menit berlalu lagi. Tidak ada kejadian apa-apa, hanya udara semakin gerah. Thomas membuka salah satu matanya. Keringat mulai membasahi punggung dan kemejanya. Pendosa masih bergeming, dalam posisi dan keadaan yang sama.
Pada saat saraf Thomas nyaris tak mampu bertahan lagi, lamat-lamat suara senandung itu berubah iramanya.
Tanpa membuka mata, Thomas menajamkan pendengarannya. Tapi, tidak ada kata-kata berarti yang berhasil ditangkap Thomas.
Senandung itu bagai suara dengungan lebah diselingi oleh lengkingan tinggi pada ketukan tertentu.
Di tengah kekacawan kata-kata, Thomas menangkap perubahan ganjil. Sekarang senandung itu terdengar mengalun lebih sempurna bagai lagu.
Dalam kegelapan indra. Thomas menaiki gelombang nada tersebut. Mengalir mengikuti arus yang membawanya ke
jeram deras dan air terjun. Tapi ia tidak tenggelam. Pada titik yang tepat, Thomas melompat, berhasil mendarat pada sebuah kesadaran di luar kesadarannya.
Dia terbang, bagai elang yang tak kehilangan arah. bersama gelombang nada itu.
Membumbung. Semakin tinggi. Sayapnya mengepak kuat.
Semua yang berada di dalam ruangan menjadi samar-samar, remang, tak terfokus. sebelum akhirnya menghilang sempurna. Pemandangan yang lebih bening menggantikannya.
Thomas berada di atas awan. Di kaki langit. Di ujung horizon. Di atap bumi.
Dan di tempat itu, Thomas melihat Celia.
Matanya mengerjap tidak percaya.
"Celia!"
"Thomas...?"
Thomas berlari ke arah Celia. Ketika mereka nyaris bertemu, langkah Thomas terhalang. Tirai tipis seperti air menghalangi mereka. Terkejut, tangan Thomas naik dan menyentuh tirai tersebut. Tak bisa ditembus. Thomas mencoba sekali lagi. Tetap tidak ada perubahan.
Akhirnya mereka hanya berdiri berhadap-hadapan.
Thomas memukul telapak tangannya ke lapisan tersebut. Gelombang air menggelegak pada tempat pukulan itu terjadi. Selebihnya tidak ada yang berubah.
Di depannya, tangan Celia naik, berusaha menyentuh telapak tangan Thomas. Mereka berpandangan sambil menekankan telapak tangan masing-masing.
"Celia, kamu di mana?:
"Aku berada di dunia gila. Keluarkan aku, Thomas!" Dengan panik Celia menekan-nekan tirai air.
(AKU akan lakukan sebisaku." "Aduh... huhuhu... Aku takut.... takut nggak bisa kembali.... "
"Celia, aduh. jangan nangis. Jangan takut. Kau tidak akan mati di sini. Aku janji."
"Aku..."
Cahaya besar bagai kilat menghantam mata Thomas. Membutakan seketika. Rasanya perih dan menyilaukan. Kabut pekat berputar-putar di sekitarnya, menghancurkan hayang-hayang Celia.
Dalam satu detik yang penuh kepedihan, Thomas melihat dua titik air mata menetes di pipi lembut Celia.
" ' ' HHHHHHHHHHHH!!!"
Mata Thomas membelalak terbuka.
Di depannya tampak pemandangan menakutkan. _Jeritan Pendosa melengking tinggi. Kedua tangan menutupi wajah, seakan-akan muka itu terbakar api yang tak kasatmata.
"AAAANMUXAAAUUUUDUUUUUUHHH HHI IH! ! !"
Thomas melompat dan menerjang Pendusa. Dia ingin membantu menghilangkan penderitaan itu, tapi tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Dengan panik, tangannya menyambar bahu Pendosa dan mendekapnya erat. Tubuh itu berguncang-guncang dalam pelukan Thomas sebelum akhirnya melemah.
Mata Pendosa terbuka lebar. Bulu matanya terbalik. memandang Thomas yang gemetar ketakutan. Tatapannya penuh kehampaan. Penuh kebencian. Penuh ketakutan. Semuanya mendidih menjadi satu.
"Ada apa? Kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Thomas .
"Kematian...." Pendosa mendesah serak. Suara itu mendirikan bulu kuduk Thomas.
"Bayang-bayang kematian menaungimu, Nak. Ke mana pun kau pergi..."
Rahang Thomas ternganga. Kaku dalam keterkejutan.
"Sepuluh tahun kau harus menanti.... Bayang-bayang itu akan semakin gelap. Ada kaum.... jalan yang harus kaulewati... Tidak bisa lari..."
Thomas menanti dengan tegang.
"Sepuluh tahun... tunggulah sampai tanda itu tiba... kau tahu apa yang harus kaulakukan..."
Pendosa menggeliat. Tulangnya bergeretak sebelum matanya meredup kembali. Lelaki itu terbatuk-batuk parah sampai punggungnya melengkung. Bau tembakau kering terlontar dari mulutnya. Thomas menahan napas agar tidak muntah ketika mencium bau tidak sedap itu.
"Pulanglah, Nak. Tidak ada yang bisa kaulakukan sekarang."
"Tapi..."
"Pulanglah."
"Hidup manusia terdiri atas pilihan-pilihan.
Thomas nyaris terguling mendengar bisikan sempurna itu. Bahasa kuno... disampaikan melalui gelombang pikiran....
Lelaki ringkih di pelukan Thomas bergerak. Pendosa berjuang untuk berdiri, membebaskan tubuhnya. Kakinya diseret memasuki ruangan lain, menghilang dari pandangan. Sepeninggal lelaki peramal itu, Thomas dan Alya saling melempar tatapan.
Api lilin menari-nari di ujung sumbu lilin sebelum menciut kemudian mati dan menyisakan kegelapan.
**
"sudah makan kenyang? tanya ishtar ramah.
Tiba-tiba seluruh sisa hidangan serta meja makan menghilang begitu saja. Celia berusaha untuk tidak terlalu terkejut. Bagaimanapun juga, ia sudah harus terbiasa dengan sulap di negeri khayangan. Kejadian itu tidak boleh mengganggunya lagi.
"Ialu apa sekarang? Boleh tidur siang?" sindir Celia sambil berkacak pinggang.
"Mau tidur siang?"
Dewi tolol. Tentu saja dia tidak butuh tidur siang. Pada jam segini biasanya dia sedang... Celia berpikir sejenak. Hari apa sekarang? Apakah di sini ada kalender? Dia kehilangan dimensi waktu. Oke, mungkin sekarang hari Kamis... berarti saatnya les bahasa Prancis.
"Mari kita singkirkan basa-basi tolol ini sebentar," tukas Celia sambil berjalan tanpa ragu ke arah Ishtar. "Terus terang aja. kenapa sih kau menahanku di sini? Aku rasa aku berhak tahu. Di keluargaku. aku sudah cukup dewasa untuk mengetahui setiap keputusan yang berhubungan dengan diriku."
Ishtar menghela napas.
Celia berdiri terlalu dekat sehingga napas Ishtar menerpa wajah Celia. Terasa udara dingin yang dapat membekukan samudra. Celia mundur satu langkah.
"Kau sungguh ingin tahu?" tanya Ishtar ragu-ragu.
"ya," jawab Celia mantap.
"Kau bersedia menanggung segala akibatnya?"
"Ya."
Ishtar berhenti, tidak bertanya-tanya lagi. Sayapnya berkepak-kepak lembut, membuat udara dingin berdesing di sekitar Celia. Sekali lagi, Celia melangkah mundur. Menjauh dari atmosfer yang mendadak sangat tidak bersahabat.
"Baiklah," jawab Ishtar sekali lagi, kali ini tanpa setetes keraguan sedikit pun. "Kau yang menanggung akibatnya nanti."
"Maksudnya?"
"Aku akan memberimu penglihatan masa depan."
Tiba-tiba, di depan Celia tampak putaran kabut kelabu. Tangan Ishtar terangkat, mengacung. Kabut itu menipis dan tampak gambar yang semakin memfokus. Pada deretan imaji tanpa jeda, ada seraut wajah. Celia mengenalinya seketika.
Thomas.
Celia nyaris memekik.
Mengapa wajah Thomas begitu berbeda? Tampak seperti lebih... dewasa. Lebih... tampan. Lebih... tua?
"Th0mas sepuluh tahun dari sekarang."
Oh... Lelaki itu nyaris seperti dulu. Tatapannya masih sesabar yang Celia kenal. Dagunya bersih tercukur meninggalkan semburat warna khas. Celia menatap imaji itu lekat-lekat, seakan-akan ingin menyegel wajah itu di dalam hatinya. Selama-lamanya.
Kelihatannya Thomas berada di dalam ruangan remangremang. Celia tidak dapat menebak di mana tempat itu. Di lorong? Di kamar tidur? Di gudang? Sedetik kemudian, jeritan membahana memerah sepi. Pupil mata Celia membesar ketakutan. Di depannya, thomas mengerang-ngerang seperti menahan penderitaan dan kesakitan yang luar biasa.
"Hentikanl" jerit Celia, tanpa bisa ditahan-tahan. "Apa yang terjadi dengan Thomas?! Hei, hentikan! Jangan... jangan sakiti dia... Jangan..." suara Celia melemah.
Raungan penuh amarah Thomas pun perlahan-lahan melemah.
Susah payah, Celia mendongak. Tanpa bisa melakukan apa-apa, gadis itu menonton putus asa. Tubuh kekasihnya meregang, meliuk-liuk penuh penderitaan. Mulutnya terbuka tanpa sedikit pun suara terdengar. Matanya membelalak ke langit. Sejuta kolam kepedihan beriak di mata Thomas. Celia tidak mampu melukiskan sakitnya! Tak lama, otot Thomas menyerah. Melemas. Thomas mengembuskan napas terakhir ketika cahaya kehidupan menghilang dari matanya.
Keringat dingin mengucur di punggung Celia. "Apa yang terjadi... Ada apa...? Kenapa Thomas?"
"Dia mati, Celia."
Tanpa bisa ditahan, dua tetes air mata bening meluncur turun.
"Mati kenapa... kenapa...?"
Lapisan kabut semakin tipis. Imaji Thomas menjadi bayang-bayang kelabu dan kemudian menghilang. Celia memalingkan wajah. Energi kehidupan gadis itu meredup, terempas di dasar ngarai.
"Kenapa kau menunjukkan semua itu padaku?)
Ishtar melangkah mendekati Celia. Gerakannya anggun dan gemulai, tak bercela. Tangannya menjulur. menyentuh dagu Celia, Dan mengangkatnya penuh kasih sayang. Bagai tersihir, mata Celia terpaku pada mata zamrud milik Ishtar.
"Thomas harus mati. Dia harus kusingkirkan karena..."
Mata Ishtar menggelora dalam gelegak kehangatan yang tak dapat Celia mengerti. Bibir Ishtar tersenyum lembut.
"...karena aku mencintaimu, Celia. Mencintaimu sepenuh hati. Mencintai sebesar cinta itu sendiri. Mencintaimu sedalam bisa mencintai. Selamanya. Kau milikku yang paling berharga. Aku terlalu mencintaimu
Celia terpaku. Tak bergerak. Air mata membeku di sudut matanya.
Apa kata Ishtar?
Celia menatap ruang kosong di depannya lekat-lekat, seperti melihat hantu-hantu bergentayangan di sana. Kerongkongannya terasa sangat kering. Dia menelan ludah susah payah. Apa dia tidak salah dengar?
Dewi Cinta ternyata lesbian.
Bagai tersedot ke dalam pusaran yang tidak dikenali sumbernya, Celia menjejakkan kakinya kuat-kuat agar tubuhnya tidak ambruk ke depan.
**
"LIHAT nih, bentuk ini kan lambang cinta, yang juga berarti jantung. Sebenarnya sih jantung nggak romantis romantis amat. Dia itu kuli, tahu... pekerja keras selama 24 jam. Nonstop, tanpa henti."
Naeva mengistirahatkan kakinya ke depan. Susah kalau punya roonsuite residen bedah jantung di rumah sakit. Setiap gilanya kumat-maksudnya kalau lagi banyak tekanan pekerjaan pasti harus siap diceramahi soal jantung.
"Aduh, Raula, gitu aja dipikirin," jawab Naeva.
"Menurutku, lambang cinta sama dengan lambang jantung karena jantung adalah organ pemberi hidup. Cinta kan juga begitu. Cinta adalah alasan manusia untuk hidup."
"Duile..., puitisnya. Mentang-mentang wartawan."
"Eh, kutil. Yang puitis itu seharusnya sastrawan, bukan wartawan."
Raula melambaikan jemarinya yang pendek-kurus. Calon dokter spesialis satu ini memang sangat mungil.
"Masa bodoh," tanggapnya santai.
"Bagiku, mereka spesies yang nggak ada bedanya."
"Kami disamakan spesies? Tega banget lu."
Naeva mengganti saluran televisi. Di sebelahnya, Raula masih sibuk membalik-balik halaman buku yang luar biasa tebal. Bisa digunakan untuk membunuh orang dengan dua cara yang hebat. Pertama dengan sambitannya, kedua dengan membacanya.
Tok. Tok. Tok.
Naeva bergerak menuju pintu. Dia mengintip di lubang pintu.
"Siapa?" tanya Raula dari sofa sambil mengulet.
"Adam."
Naeve membuka kunci dan melepaskan kait pengaman pintu. Di luar berdiri Adam. Jaketnya yang sedikit kebesaran membekap tubuhnya. Butir-butir salju menempel di bahunya.
"Hah, salju lagi?" pekik Naeva tidak percaya.
"Kan harusnya udah spring?"
Adam membersihkan sepatu botnya sebelum masuk ke apartemen. Di dalam dia melemparkan topi rajutan sembarangan ke sofa.
"Hai!" sapanya kepada Raula.
"Hai juga!" balas Raula, nyengir. Dia mengumpulkan buku-bukunya lalu terbuyung-huyung berdiri.
"Berat banget...." gumamnya.
"Mau ke mana?" tanya Naeva.
"Belajar di kamar dong. Kan nggak mau ganggu privasi orang."
"Siapa yang ganggu siapa?" tanya Naeva tidak mengerti.
Raula kerepotan menenteng... bukan, bukan menenteng. Yang benar, menggendong empat buku yang semuanya mempunyai masalah dengan berat badan. Sambil berjalan susah
payah menuju ke kamar tidurnya, gadis itu mengedipkan mata.
"Ada deh..."
"Sialan," kata Naeva, melihat tingkah laku-nya yang gila.
"Nggak ke rumah sakit?" teriaknya lagi.
Terdengar pintu dibanting tertutup.
"Nantiii!" suara Raula terendam tembok, tapi masih dapat terdengar.
Di ruang tamu, Naeva duduk berselonjor. Adam sibuk mengobrak-abrik tas ranselnya. Entah apa yang sedang dicari.
"Nggak ada paper.?" tanya gadis itu sekenanya, mencari topik untuk basa-basi.
Adam menggeleng.
"Kamu?" balasnya.
"Ada paper; nggak? Quiz? Mid-mm exam? Rencana bunuh diri?"
"Nggak ada. Tapi minggu depan kelihatannya parah."
"Sama dong. Mau ke Kruger's? Butuh belanja. Yang dekat-dekat aja."
Naeva menimbang-nimbang sejenak. Ya, sepertinya dia memang perlu berbelanja. Ada beberapa barang kebutuhan yang sudah habis.
"Oke! Pakai mobilmu ya!" kata Naeva sambil berdiri. Dia menyambar remote TV dan menekan tombol mati.
"Tunggu sebentar, aku mau ambil tasku dulu."
Naeva berlalu ke kamar tidur. Setelah menyambar tas dan jaket, dia berjalan ke luar. Diketuknya pintu kamar Raula, tiga kali ketukan sesuai perjanjian.
"Masuk!"
Naeva membuka pintu dan menyembulkan wajahnya.
"Aku mau ke Kroger's. Ada titipan?"
Raula memutar kursi kulitnya, menghadap Naeva.
"Tahu nggak. Jantung hewan kecil berdenyut lebih cepat. Kalau
jantung gajah berdenyut 25 kali per menit sementara tikus kesturi, hewan menyusui yang paling kecil, berdenyut 800 kali per menit. Jantung manusia berdenyut kurang lebih 72 kali per menit."
"Aku nggak tanya. Mau nitip apa di Kroger's?"
"Berat jantung 0,5 persen dari berat tubuh tapi dia memerlukan lima persen darah untuk terus berdenyut. Rakus banget ya. Percaya nggak, jantung itu ternyata doyan makan, tapi nggak ada masalah dengan berat badan. Nggak kayak kamu, kalau nggak diet bisa gendut."
"RAULA!" Naeva menjerit.
"Bosan tahu dengar ituitu terus. Aku memang gendut, jelek, lagi. So ubur? Yang penting aku bahagia. Ganti topik dong, please. Aku tanya untuk terakhir kali! Ada titipan barang?-"
"Jantung memompa darah atas inisiatif sendiri, jadi tanpa komando dari otak. Untung aja begitu. Kalau nggak, bisa-bisa kalau otak lagi ngambek, jantung juga ikut-ikutan nggak bekerja." Raula terkikik melihat air muka Naeva.
"Sori. sayangku, jantungku, ati-amplaku. Bercanda. Apa katamu tadi? Kroger's? Boleh deh. Titip brokoli, sosis sapi, dan es krim rasa rocky road ya. Pim yang paling besar! Ingat, es krim hanya untuk Raula. Yang kelebihan berat badan, jangan coba-coba."
"Dasar sinting," gerutu Naeva sambil tersenyum. Tidak tersinggung. Dia menutup pintu di balik punggung.
Tiba di ruang depan, ternyata Adam sudah siap.
"Yuk, berangkat!" seru Naeva sambil mengikat tali sepatu ketsnya. Sebenarnya sepatu itu nyaris masuk lemari untuk hibernasi karena musim dingin seharusnya telah berakhir. Tapi berhubung di luar masih bersalju, terpaksa Naeva
menggunakan sepatu yang sama. Padahal gadis itu sudah tidak sabar mengenakan sepatu lainnya yang terbuka di sana-sini, memamerkan kuku-kuku kakinya yang dicat pink membara.
Adam tersenyum.
"Yuk."
"Mitos diceritakan berkali-kali dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mitos yang kita kenal bercerita tentang hubungan istimewa antara penciptaan dunia dan asal muasal peradaban. Seluruh dunia, dari Asia ke Amerika, Afrika ke Australia, tak terhitung banyaknya cerita turun-temurun dari satu manusia ke manusia lain. Epos, petualangan sang pahlawan. cerita dewa-dewi, serta makhluk-makhluk halus berusaha memberikan pencerahan tentang penciptaan manusia dan hidup sebelum-dan-sesudah-kematian."
Naeva ingin bunuh diri di dalam mobil. Seperti kurang diceramahin tentang jantung dan embel-embelnya, ternyata Adam tidak berbeda dengan Raula, mengoceh tidak keruan tentang mata kuliah. Begini akibatnya kalau belajar terlalu keras. Pasti mengalami delusi. Begini juga akibatnya kalau kebanyakan bergaul dengan anak-anak magister, calon profesor masa depan. Otaknya ternyata dikarbit.
"Bayangkan kehidupan beribu-ribu tahun lalu," kata Adam bersemangat sambil menyetir.
"Sebelum ditemukan lampu, listrik, televisi, atau radio, mendongeng adalah satu-satunya hiburan yang menyenangkan pada malam-malam panjang dan dingin. Bahkan, banyak dongeng atau cerita-cerita itu menjadi bagian dari terciptanya agama-agama besar di dunia. Mitos adalah cerita paling hebat sepanjang zaman."
Naeva menjilat bibirnya yang kering. Dia merogoh tas, Untung Kroger's tidak terlalu jauh dari apartemen. Kalau ya, entah berapa lama lagi Naeva harus mendengarkan mata kuliah tambahan di mobil ini.
"Dulu manusia tidak mengerti apa yang menyebabkan cuaca berubah. Padahal mereka hidup tergantung dari iklim tersebut. Untuk menjawab begitu banyak pertanyaan dan misteri tentang alam, manusia mencoba mencari-cari jawaban dengan menceritakan aneka khayalan dan fantasi. Pada banyak kebudayaan kuno, manusia menghormati matahari sebagai sumber kehidupan utama manusia di bumi. Hujan. angin, petir, dan semua hal yang mengubah iklim dianggap sebagai reaksi dewa-dewi di langit. Mesir dan bangsa-bangsa di Amerika Utara memuja matahari sebagai dewa agung yang pantas dihormati. DI daerah di mana hujan sangat jarang, seperti di Barat Daya Amerika, Dewa Hujan dianggap sebagai dewa pusat alam semesta. Bangsa Yunani memuja Zeus, ibunda' god, sementara bangsa Islandia memuja Thor, sama-sama god."
Mobil Adam berbelok, memasuki lapangan parkir Kroger's. Naeva menghela napas lega. Kuliah berakhir.
**
THOMAS duduk dengan sabar, bersila dengan bahu tegak sejajar punggung. Gurunya-mereka memanggilnya Suhu, yang artinya "guru" dalam dialek Hokkien membuka kedua telapak tangannya di atas bahu Thomas. Selama beberapa menit, tangannya berjajar tidak bergerak.
Thomas merasakan panas yang terpancar dari tangan tersebut. Dia menutup mata, berkonsentrasi menerima tenaga dalam yang disalurkan Suhu.
"Hmmm ," gumam Suhu. Suaranya sedalam samudra mahaluas dan setenang angin sepoi-sepoi.
"Ada di sini. Saya coba melepaskan energi buruk ini." Tangan Suhu berputar dan jemarinya menyambar sesuatu yang tak terlihat.
Tubuh Thomas bergetar hebat. Dia menutup mata, berkonsentrasi. Kesadarannya terjatuh semakin dalam. Terdengar dengusan kuat Suhu. Thomas bertahan sekuat tenaga. Setiap hari mereka melakukan ritual seperti ini. Pembersihan spiritual, begitu kata gurunya. Tapi semenjak Thomas terhantam kekuatan yang luar biasa dahsyat pada hari Celia menghilang. ritual ini tampaknya jadi melelahkan dan menyakitkan bagi Suhu.
"Nak," kata Suhu sambil mendengus sekali lagi.
"Banyak sekali energi buruk yang berkumpul di sini. Saya tidak mengerti. Mereka sepertinya menempel erat di tubuhmu dan menjadi bagian dari jiwamu."
Thomas mengangguk, merasakan hal sama yang dikatakan oleh Suhu. Dia berkerut, menahan sakit ketika jemari gurunya berputar-putar dan menarik-narik sesuatu yang tidak kelihatan. Kali ini sakitnya tidak tertahankan. Tubuhnya seperti terbakar, diremas-remas, dipilin-pilin, sebelum hancur berkeping-keping.
"Tahan!" seru Suhu.
"jangan bergerak. Tahan!"
Thomas memejamkan matanya kuat-kuat sampai seperti seluruh sendinya luruh lantak. Pikirannya terpusat pada satu titik. Gemuruh gelombang menerpa seluruh sel tubuhnya. Dadanya serasa remuk. Dia mulai mengejang-ngejang tak sadar.
"Nak," terdengar lamat-lamat Suhu membelai telinganya. Begitu teduh dan menenangkan jiwa.
"Buka matamu."
Thomas belum juga melakukan permintaan Suhu.
"Nak, buka matamu," kata Suhu sekali lagi. Singkat, tegas tapi lembut.
Akhirnya Thomas membuka matanya. Dia tidak tahu harus berkata apa kepada Suhu yang sedang memandanginya. Muncul setitik penyesalan dalam hati Thomas. Mengapa dia harus melibatkan gurunya ini? Pembersihan spiritual kali ini tampaknya sangat melelahkan.
Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya sudah menghapus sebagian besar energi buruk itu," kata Suhu.
"Setiap hari."
Thomas terdiam.
"Dan setiap hari energi itu bertambah banyak. Berkumpul
di sini," Suhu menunjuk dada Thomas dengan dua jari,
" dekat jantungmu."
Thomas masih terdiam.
"Hari ini," Suhu melanjutkan.
"energi itu begitu kuat berkumpul sampai tenaga dalam saya sulit mencapainya. Saya tidak mengira hal ini bisa terjadi. Tidak ada manusia yang mempunyai begitu banyak energi buruk berkumpul di tubuhnya. Ada sesuatu yang salah, Thomas."
Suhu membuka kedua telapak tangan dan menghadapkannya pada dada Thomas.
"Nak," katanya,
"kau membawa begitu banyak energi buruk tapi anehnya. energi itu tidak membunuhmu. Hal ini sangat mengherankan. Hanya makhluk-makhluk dari dunia gelap yang dapat memancarkan energi buruk sebanyak ini."
"Makhluk-makhluk dari dunia gelap?" tanya Thomas. Dia mendongak dan menatap Suhu lekat-lekat.
Suhu tidak menjawab pertanyaan Thomas. Tangannya bergerak-gerak lembut tanpa menyentuh tubuh Thomas. Sekali lagi Thomas merasakan sensasi seperti ditohok. Tubuhnya menghangat dan mulai bergetar.
Rasanya sangat aneh.
Suhu menghentikan gerakannya. Terlihat beberapa titik keringat di dahi orang tua itu. Kedua tangannya naik dan menggenggam bahu Thomas kuat-kuat. Beliau mengambil napas dalam-dalam.
"Nak," katanya.
"Ada sesuatu dengan masa lalumu."
"Masa lalu? Maksudnya masa kecil saya. Suhu?"
Suhu menggeleng.
"Bukan. Bukan sekadar masa kecil. Tapi masa lalu..." Beliau menekankan kata itu sekali lagi.
"Dahulu kala. Sebelum kau bereinkarnasi."
Thomas membelalak.
"Reinkarnasi?"
"Ya, Nak." Suhu menekan bahu Thomas semakin kukuh.
"Masa lalu. Beratus-ratus tahun yang lalu. Atau mungkin ribuan tahun yang lalu. Energi ini terlalu membingungkan untuk dimengerti. Satu-satunya jawaban adalah kan harus mencari tahu apa yang terjadi dengan dirimu di masa lalu. Sebelum kau menjadi Thomas."
Thomas meremas pahanya. Cemas. Frustrasi. Tidak mengerti.
"Bagaimana saya harus memulainya?"
"Mulailah pencarian tersebut di dalam mimpi dan suara bawah sadar. Kau pasti akan menemukannya."
Thomas mengerutkan kening. Mimpi? Suara bawah sadar? Suara yang baru-baru ini sangat akrab dengannya adalah suara teriakan Celia.
Celia... Dia berpikir kembali tentang Celia.
Suhu melepaskan tekanan di bahu Thomas. Wajahnya terlihat terkejut melihat reaksi muridnya. Gelombang energi Thomas berubah warna. Dalam seperkian detik, dia melihat sesuatu yang belum pernah dilihat. Apakah karena kecemasannya sebagai guru kepada murid berpengaruh terhadap energi Thomas? Tidak mungkin. Thomas pasti sedang memikirkan sesuatu. Dari pengalamannya sebagai guru tenaga dalam dan ilmu kebatinan, Suhu tahu betapa emosi seseorang dapat memengaruhi energinya.
Suhu kembali membuka kedua telapak tangannya dan berkonsentrasi. Satu menit berlalu.
Sekali lagi, dia merasakan kekuatan pijaran api energi yang belum pernah dirasakannya. Jauh di dalam tubuh Thomas. Suhu ingin membangkitkan nyala itu agar dia tahu
apa yang sedang terjadi dalam diri muridnya. Kembali dia berkonsentrasi kuat...
Di Sini... di sini...
Tangan Suhu melakukan gerakan memilih, seakan-akan hendak menyambar sesuatu yang tak kasatmata. Tersentuh! Teraba! Diremasnya energi itu. Keringat menetes deras di punggungnya. Kedua alisnya bertaut. Tangannya menggenggam kuat-kuat, menarik, dan menarik...
...lalu ia tersentak ke belakang.
Nyaris terjengkang.
Kesadaran langsung menyambar Thomas.
"Ada apa, Suhu? Kenapa?"
Gemetar, Suhu menutup telapak tangannya. Setitik pijaran seperti setetes harapan yang tadi menyala tiba-tiba lenyap ke dalam kegelapan tubuh. Energi Thomas telah hilang lagi, tak terlihat.
"Saran saya, Nak," kata Suhu setelah berhasil menenangkan diri.
"Cobalah sekali lagi mencari jawaban dari mimpi mimpimu. Kau tidak pernah bisa menebak apa yang pernah terjadi di masa lalu jika kau tidak peka. Selalu gunakan mata-hati dan telinga-hati."
Suhu menutup mata.
Tanpa tanda tanda, Thomas melompat tinggi dan berputar di udara. Ketika dia mendarat di lantai, Thomas sudah berada pada kurang-lebih tiga meter lebih jauh dari tempat dia duduk. Lelaki itu langsung mengambil posisi bersiaga. Kuda-kuda bertahan yang sempurna. Gerakan tadi adalah gerakan refleks yang dikuasai sangat baik oleh para pendekar ilmu bela diri. Indra peka Thomas mengetahui sesuatu yang harus dijauhi segera.
Mata Suhu membuka. Thomas merinding.
Mata itu memancarkan aura kematian dan kekelaman. Bagai malam panjang yang dingin dan kelabu. Itu bukan mata Suhu yang diingat Thomas selalu berbinar dengan penuh kasih sayang.
"Th0mas," panggil Suhu. Bukan, itu bukan suara Suhu. Thomas tidak mengenali suara Ishtar yang menggelegar di seluruh ruangan. "Kau sangat ingin tahu apa yang terjadi pada dirimu, bukan? Pesanku, jangan coba-coba! Kematian akan menjadi taruhanmu."
Thomas menggeram.
Lalu kehilangan fokus.
Dan kegelapan sekali lagi menyelubunginya.
Ishtar berdiri di depan Cermin Penglihatan. Sayapnya yang berwarna keemasan berkepak-kepak liar. Gaunnya berdesir lembut terkena embusan angin dingin.
Wajahnya mendekati cermin dan uap napasnya menempel pada cermin. Seketika itu udara membeku di sana. Kabut tipis berwarna biru keperak-perakan berputar-putar di atas cermin yang membeku. Seperti sulap, cermin perlahan-lahan mencair.
Pada bayangan cermin, tampak Celia sedang tertidur kelelahan.
Ishtar terus memandangi Celia tanpa berkedip. Sayapnya berhenti berkepak. Konsentrasinya tak surut.
Itu dia. Ishtar nyaris terlompat terkejut. Energi yang sangat kecil, berbentuk seperti ulat, terlihat di dalam jantung Celia. Energi yang berakar dan bertumbuh dari emosi gadis
itu. Energi yang menghidupkan dan mengaupi. Sangat kecil dan berpendar-pendar dalam kegelapan. Seperti cahaya lilin yang memberikan terang dan harapan.
Energi yang sama persis dengan yang dimiliki Thomas.
"Sialan" geram Ishtar geram. "Mereka masih berhubungan."
Kedua jemari Ishtar terkepal kuat. Wajahnya membeku dingin. Dia harus memadamkan api itu. Memutuskan hubungan yang telah terjadi selama beribu-ribu tahun. Hubungan yang tidak masuk akal.
"Tunjukkan Thomas!" jerit lshtar.
Seketika itu, muncul kabut dalam Cermin Penglihatan. Ketika kabut semakin menghilang, terlihatlah imaji Thomas dengan sempurna.
Thomas sedang berbaring di ranjangnya, menatap langit langit kamar. Matanya semakin berat. Sudah berjam-jam dia tidak dapat tidur dengan tenang. lnstingnya berkata dia harus selalu sadar dan siap sedia, tapi badannya berteriak kelelahan. Seluruh sel tubuhnya membutuhkan tidur agar pikirannya selalu tetap tajam dan fokus.
Pendar matanya terbang tinggi ke langit biru. Dalam kesunyian batin, ia memanggil kenangan akan wajah lembut yang dirindukannya. Apa yang sedang Cella lakukan sekarang? Apakah dia selamat? Apakah dia sakit? Apakah dia sendirian?
Thomas menghela napas ketika kantuk perlahan-lahan meninabobokannya. Sebelum dia menutup mata, Thomas melarungkan harapan agar Celia selalu dalam kondisi baik.
Dia berjanji menemukan Celia. Bagaimanapun caranya.
Tersenyum kejam, Ishtar menekan kedua tangannya pada
Cermin Penglihatan. Sambil mengucapkan mantra yang dimiliki para dewa-dewa di langit, Ishtar bergerak ke depan. Cermin Penglihatan yang memadat menjadi cair, memberikan jalan untuk masuk ke dunia lain.
Udara terik seketika menerpa wajah Ishtar. Temperatur Jakarta yang panas menghangatkan kulit dan sepasang sayapnya. Ishtar mendongak menatap langit. Sudah nyaris senja, tapi matahari masih memanggang kota Jakarta dengan kejam. Mahkotanya menyembul angkuh pada rentangan horizon.
Ishtar perlahan membungkuk dan berlutut di depan Thomas. Pemuda itu tampak damai dalam tidurnya. Murni bagaikan bayi yang tak berdosa. Tapi Ishtar tahu, penampilan dapat dengan mudahnya menipu. Mata Ishtar berkeriap dingin, membayangkan betapa dalamnya Thomas menyakiti hatinya selama beribu-ribu tahun. Sekaranglah saatnya pembalasan.
Ya, Thomas sangat tampan. Bahkan lebih tampan daripada yang dilihatnya di cermin. Mengapa alam semesta bermain dadu dengan pemuda ini? Mengapa Thomas mendapatkan yang terbaik dari segalanya? Ishtar mengerti sekali mengapa Celia jatuh cinta kepada lelaki ini.
...berkali-kali.
...bahkan setelah beribu-ribu tahun berlalu.
Ishtar membungkuk di atas wajah Thomas. Rambut panjangnya yang berwarna perak tergerai ke depan. Bintangbintang kecil serta salju berjatuhan dari atas. Bibir Ishtar nyaris menyentuh bibir Thomas. Ishtar menutup mata lalu membuka mulutnya sedikit.
Dia mengembuskan napas.
Udara membekukan wajah Thomas. Butir-butir es berbentuk kaca menyebar, menyelimuti rambut Thomas, lehernya dan bahunya, terus turun ke lengan. dada, kaki dan akhirnya seluruh tubuh Thomas diselimuti embun beku.
Thomas mulai gemetar dalam tidurnya. Tangan Ishtar menjulur. Dengan garang, dia menekan dahi Thomas kuatkuat. Getaran tubuh Thomas seketika berhenti.
"Tidak boleh bangun."
Sesungguhnya Ishtar agak gentar melihat Thomas dapat berjuang dari kondisinya sekarang. Thomas mempunyai keyakinan yang tidak dimiliki manusia biasa. Selain itu, sebagai manusia, Thomas adalah pendekar bela diri yang kuat. Yang mempelajari ilmu-ilmu batin di luar kekuasaan manusia.
Tangan Ishtar yang satu lagi menekan dada Thomas. Ishtar mengawasi dengan gembira ketika butir-butir darah Thomas mulai membeku perlahan-lahan.
Wajah Thomas membiru. Tidak, lelaki ini tidak akan bisa melarikan diri dari kondisinya sekarang. Thomas miliknya.
Beberapa menit berlalu.
Thomas masih berbaring tak bergerak, nyaris mati membeku. Degup jantungnya mulai melambat. Ishtar menatap penuh kebencian yang bercampur dengan kesenangan. Tidak lama lagi... sebentar lagi...
"C Ce... Celia..."
Ishtar mendongak, bergetar dalam keterkejutan. Sayapnya berdesing-desing. Thomas berbisik lembut. Ini benar-benar tidak masuk akal. Nyawa lelaki itu sudah berada dalam genggamannya. Energinya sudah meredup. Sekali lagi Ishtar
menatap wajah Thomas lekat-lekat. Seluruh muka Thomas berwarna biru pucat, terbungkus lapisan es.
Mata Ishtar membelalak tidak percaya ketika melihat setetes air mata meluncur turun.
Hangat air mata mengalir turun dari kelopak mata Thomas menuju pipinya, mencairkan lapisan es. Bibir yang beku itu retak dan warna merah pucat menggantikan warna biru beku.
"Celia aku... aku... cin... cinta... pada... m..."
Tidak! Tangan Ishtar meluncur turun dari dada Thomas dan dia terpaku menatap Thomas. Tidak mungkin... Tidak bisa... Mustahil...
Tiba-tiba dia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya.
"Antu" Ishtar berbisik terkejut.
"lshtar!" Suara itu mengiris kebisuan. Di belakangnya, Dewa Langit tidak bergerak dari posisinya. 'Wajah gelap Antu memancarkan angkara murka. "Segera hentikan apa pun yang' kaulakukan pada Thomas. Apakah aku harus ikut campur juga dalam masalah ini? Kelewatan. Kau sudah melewati batas wilayah kekuasaanmu.
Ishtar menelan ludah.
"Tidak cukupkah kebencianmu padanya? Jalan hidup sudah kugariskan pada kalian semua. Sudah jelas kau pemenangnya, lshtar. Belum cukupkah itu?"
Ishtar menunduk, menatap Thomas. Air mata mengalir perlahan-lahan di pipi pemuda itu. Thomas nyaris mati membeku jika Antu tidak muncul tapi benarkah demikian? Ada kekuatan mahadahsyat yang tak terlihat yang dimiliki manusia. Apakah itu? Kekuatan apa yang membuat
makhluk lemah itu selalu bertanam terus terang Ishtar cemas. Dia tidak memercayai apa yang dikatakan Antu. Jalan hidup telah digariskan? Dia pemenangnya?
Ishtar belum percaya. Ya, itu saja belum cukup.
"lSHTAR" gelegar Antu.
"Aku...," Ishtar berbisik dalam kekalahannya, "...aku akan mengembalikan kondisi Thomas. Dia tahu, apabila dia tidak melakukannya segera, pasti Antu yang akan melakukan hal itu.
Ishtar kembali menekan kedua tangannya di dada Thomas. Kali ini dia menarik butir-butir es dari tubuh lelaki itu dan mencairkan darahnya kembali. jantung Thomas perlahan berdegup normal.
"Seharusnya Antu tidak membangunkamnu, Ishtar. Aku menyesal tidak menghukum Antu."
Ketika dia selesai, Ishtar berbalik dan menghadap Antu. Dewa Langit bergerak, melangkah mendekati Thomas. Dengan lembut dia membelai dahi dan dada pemuda itu. Seakan-akan ingin memastikan bahwa Thomas dalam keadaan sehat sempurna. Antu menatap Thomas dengan pandangan penuh kasih sebelum berbalik dan memandang Ishtar. Mata biru Antu menghunjam tak bersahabat. Sayapnya bersinar-sinar seperti bintang kejora.
"Kau nyaris membuat kesalahan yang takkan pernah kuampuni, Ishtar," kata Anu tegas. "Sekarang kau harus kembali ke tempat kita. Jangan sekali-kali kau turun ke tempat ini. Bukan di sini seharusnya kau berada. Ini dunia . Dunia-Makhluk-Hidup. Kau tahu jelas Peraturan Langit."
Antu tidak bergerak di tempatnya sampai melihat Ishtar
menghilang. Baru setelah itu, sayap lebarnya membentang dan diiringi api yang menyala-nyala, Antu lenyap.
Thomas terjatuh ke dalam mimpi yang luar biasa aneh. Biasanya, dia jarang mengingat mimpinya. kecuali mimpi mimpi yang berhubungan dengan sayap, langit biru, dan meja persembahan. Sampai sekarang pun dia masih tidak mengerti mengapa mimpi itu berkali-kali datang dan mengapa dia dapat mengingatnya dengan jelas.
Tapi mimpi yang kali ini seperti sedang dialaminya sendiri...
Dia bermimpi sedang berada di atap rumah, mengagumi langit yang berbintang. Celia berada di sebelahnya, memandangi kubah surga bersama-sama. Jemari mereka saling bertaut. Thomas merasakan kegembiraan yang luar biasa. Bahagia karena Celia pada akhirnya tidak mengalami masalah apa pun.
Thomas ingin memeluk Celia dan membisikinya bahwa hidupnya terasa lengkap bersama gadis itu.
Tapi dia tidak dapat bergerak. Thomas membeku di tempatnya, tidak mampu mengatakan sebait kalimat pun. Pada saat itu, dia melihat betapa anehnya wajah Celia. Itu bukan wajah yang dikenalnya dengan baik. Bukan pula wajah yang sangat dekat di hatinya. Kulit Celia berwarna putih keperakan. Tidak terlihat setetes darah pun yang mengalir di sana. Sangat tidak manusiawi. Matanya berwarna hijau zamrud menyorot penuh kebencian. Tatapan Celia sarat dengan kemarahan yang dapat seketika membunuh Thomas di tempat.
Celia...? Apa... kenapa...?
Celia menunduk di atas Thomas yang entah mengapa berbaring di atas genteng. Thomas menelan ludah grogi menyadari betapa cantiknya Celia, betapapun mengerikan tatapan kelam matanya. Thomas ingin membuka mulut, ingin meminta maaf, ingin mengatakan sesuatu tentang perasaannya. tapi seluruh indra dan tubuhnya mati rasa. Thomas mengira Celia merengut karena Thomas tidak melakukan apa pun demi Celia. Tapi ternyata Celia hanya memandangi Thomas. Sayup-sayup suaranya menembus kepala pemuda itu.
"Thom," bisiknya. "Untuk semua peristiwa yang menyakiti hatiku... setiap tindakan tolol yang kaulakukan padaku... kejadian yang membuatku kecewa. Ini, untuk segala hal dari dirimu yang menghancurkan hidupku. Dan ini, untuk seluruh waktu yang kuhabiskan menunggumu menyatakan perasaanmu yang terdalam padaku, selama beribu-ribu tahun"
Thomas terpaku menatap Celia. Seluruh tubuhnya memberontak, tapi dia hanya membeku. Kata demi kata yang diucapkan Celia bagaikan pisau bermata dua yang sangat tajam. mengiris dan menusuk hatinya. Sakitnya melebihi rasa memar ditendang lawan dalam pertandingan.
"Celia " teriaknya putus asa. berusaha sekuat tenaga menggerakan tubuhnya, tapi sia-sia.
"Tunggu. Jangan... aku mohon. Aku minta maaf... Aku selalu ingin memberitahumu, tapi... tapi aku-"
Perkataannya terpotong ketika Celia menunduk dan mencium bibirnya. Otak Thomas seketika membatu. Sentuhan di mulutnya membakar anti beku di seluruh wajah Thomas.
Tubuhnya serasa terlonjak ke langit, menahan sakit yang tak terhingga. Thomas masih tidak mampu bergerak. Butir-butir kaca es membekukan seluruh kulitnya, dari kepala sampai ke mata kaki. Meremukkan Thomas dari seluruh penjuru mata angin. Tangan Celia bergerak ke atas dada Thomas. menekannya, dan mengisap seluruh udara kehidupan yang dimiliki Thomas.
Celia berusaha membunuhnya.
Itulah pikiran liar yang berkelebat sejenak dalam otak Thomas.
Semua perasaan dan kesakitan tubuh yang didera Thomas lenyap seketika. Menghilang. Digantikan perasaan sedih luar biasa yang menghantam jiwanya. Meremasnya sampai tak tertahankan sakitnya.
"Celia, sebesar itukah kebencianmu padaku? Aku minta maaf atas semua hal yang telah kulakukan, apa pun yang telah menyakitimu, sekarang dan di masa lalu. Seandainya aku diberi kesempatan sekali lagi... Seandainya aku dapat menyatakan perasaan ini "
Thomas ingin berteriak sekuat-kuatnya kepada bintangbintang yang berada di atas langit malam. Banyak hal yang tidak dilakukan Thomas di masa lalu, ketakutan yang membunuhnya, kepengecutan yang menghabisi nyawanya. Thomas tahu semua itu. Malam ini dia menyadarinya. Tapi, dia tidak akan membiarkan dirinya mati sekali lagi tanpa berjuang untuk Celia. Thomas ingin menyatakan betapa dalam perasaannya kepada gadis itu. _Jiwanya memberontak. Otaknya melawan. Bertahan dari tiupan angin dingin kematian yang perlahan-lahan menghantamnya, membekukan paru paru. jantung. pemanasan....
"t.... Le... pena..."
Sakitnya tiada terhingga. Kegelapan mulai turun, menaungi seluruh dunianya. Thomas harus bergerak secepat mungkin sebelum semuanya terlambat.
"Celia..., aku... aku... cin... cinta... pada... m..."
Setelah itu, wajah yang menunduk di depan Thomas bukan lagi Celia. Seraut air muka yang berwarna putih kebiru-biruan dengan rambut panjang berwarna perak. Mata zamrud perempuan itu memandang Thomas dengan sorot yang luar biasa terkejut.
Thomas seperti terpeleset di dalam air yang mengalir deras. Kegelapan nyaris menenggelamkannya. Dia tidak merasakan apa-apa lagi.
Seluruh tubuhnya kembali menghangat.
**
Enka membaringkan tubuhnya di tilam batu. Tubuhnya sangat penat. Seharian dia membantu ibunya mengembalakan kambing di bukit berumput . Sorenya. dia menghabiskan waktu berdongeng kepada anak-anak kecil yang begitu bersemangat mendengarkan ceritanya.
Enka cuma ingin tidur. Kepalanya sedikit pusing. Besok pagi dia harus menghadiri ritual upacara bersama ayahnya untuk memuja Dewa Air, Ea.
Semenit kemudian, Enka terlelap. Seperti kebiasaannya, dia bermimpi.
Merah, kuning, hijau. ungu, biru, oranye, putih. Warnawarna bergantian menyiram dunia asing yang belum pernah dilihatnya. Sebuah kota yang terang benderang disirami
cahaya. Seperti berenang di sungai raksasa. Ikan-ikan berwarna-warni, berlenggak-lengguk berseliweran ke sana-kemari. Sebagian terlihat cantik, sebagian lagi terlihat ganas, sebagian lagi tampak buruk rupa. sebagian lagi memakan sesamanya.
Di depannya berdiri seorang lelaki.
Dari pakaiannya, Enka tahu lelaki itu bukanlah lelaki yang berasal dari kotanya. Lelaki itu mengenakan bahan baju aneh, entah terbuat dari apa. Lelaki itu juga mengenakan semacam pelindung entah apa di kakinya. Pokoknya semua yang dikenakannya tampak janggal di mata Erika.
"Thomas."
Seperti ada suara yang membisikinya, Enka tahu nama lelaki itu. Thomas. Suara lain menyelinap masuk tanpa diundang. Enka mengerutkan kening, tidak mengerti.
Thomas menatapnya tanpa berkedip. Mata itu bagai telaga yang tak bertepi. tak bermuara. Lembut tapi tegas. Menatap mata itu, ada setitik nyeri perlahan-lahan membuncah di dada Enka. Entah mengapa.
Thomas berjalan mendekatinya. Enka menunggu sampai Thomas berdiri cukup dekat dengannya. Tapi Thomas berjalan terus... terus... terus.
...menabrak Enka dan berjalan menembus dirinya.
Enka berbalik terkejut. Tubuhnya tembus pandang. Thomas juga berbalik terkejut. Mereka bertatap-tatapan.
"Bangun! Bangun! Cepat!"
Enka mengerang perlahan. Tubuhnya terguncang-guncang keras.
"Bangun! Kebakaran di kuil! Cepat! Cepat!"
Samar-samar telinganya mendengar kata kebakaran. Kelopak matanya naik dan seraut wajah penuh kecemasan sedang memandangnya.
Wajah ibunya.
"Bantu ayahmu! Dia masih di dalam kuil!"
Enka melompat seketika. Dalam keadaan setengah terjaga, dia berlari keluar. Terlihat asap membumbung tinggi, memenuhi udara. Suara orang-orang berteriak-teriak. Di mana-mana terjadi kekacawan luar biasa.
Sejenak Enka tertegun di antara suara riuh-rendah para tetangga. Bahunya terdorong seseorang dan dia nyaris terjatuh. Saat itulah, kesadaran menghantamnya kuat-kuat. Tanpa berpikir panjang, dia ikut berlari, bersama-sama gelombang manusia.
"Di sana! Di sana!"
Enka mempercepat langkahnya. Asap semakin tajam memerihkan mata. Kulitnya mulai terpanggang panas api.
Lima belas meter dari tempatnya berdiri, Enka dapat melihat kuil Dewa Antu berkobar-kohar dilalap api. Jantungnya berdenyut keras. Orang-orang berlarian mengambil air dari sumur-sumur terdekat. Seperti pertarungan yang masih jauh berlanjut, api tidak terlihat menyerah dengan mudah.
"EIllia!"
Terdengar teriakan seseorang.
Jantung Enka memompa lebih cepat. Ayahnya! Di mana ayahnya? Menahan panas dan asap yang menggila, Enka berjalan mendekati kuil.
"Di mana ayahku?" teriaknya kepada seseorang yang sedang berada cukup dekat dengannya.
"Di dalam!" teriak lelaki itu. menunjuk ke arah dalam kuil
yang setengahnya tampak merah menyala. Si jago merah telah menyebar ke mana-mana.
Tanpa berpikir panjang, Enka berlari mendekati pintu kuil. Sayup-sayup terdengar teriakan dari mulut lelaki itu.
"Jangan ke dalam! Semuanya sudah terbakar!"
Tapi Enka tidak peduli. Dia seperti terbang ketika melompati undak-undakan pintu masuk. Dua loncatan sekaligus. Api mengepung kiri dan kanan. Cepat! Cepat! Jantungnya memompa dengan ketukan stakato. Telapak kakinya terasa panas ketika menyentuh lantai yang membara.
Kuil serasa neraka. Keringat membanjiri seluruh tubuh Enka. Lelaki itu mengedar pandangannya ke seluruh kuil, panik. Di mana ayahnya? Di ujung ruangan. api sudah bersatu dengan tembok. Enka maju dua-tiga langkah. Kulitnya melepuh dan napasnya tersekat karbondioksida yang kebanyakan dihirup.
Dia harus menemukan ayahnya! Dia tidak akan keluar sebelum berhasil menemukan ayahnya!
Satu menit yang rasanya seperti berabad-abad. akhirnya Enka melihat sesosok tubuh tergeletak di lantai. Demi Dewa Antu, itu dia ayahnya! Adrenalin mengalir deras di seluruh nadinya. Tanpa pikir panjang, Enka berlari menerobos api.
Lalu terpana.
Dewi Lilith turun dari langit, berdiri angkuh di samping ayahandanya.
"oh!" teriak Enka ketakutan.
"Jangan ambil nyawa ayahku!"
Dewi Lilith. Dewi Kematian. Dewi Pencabut Nyawa.
mengepakkan sayapnya yang lebar. seluruh tubuhnya berwarna gelap. Bayang-bayang kematian menyelubungi auranya. Ke mana pun dia melangkah dan apa pun yang disentuhnya mati.
Panas api yang membara mengacaukan seluruh kinerja tubuh Enka. Pandangannya mengabur. Sekuat tenaga Enka melawan rasa nyeri dan pedih yang membakar seluruh tubuhnya. Dia meringsek maju, bagai gajah terluka.
Dewi Lilith ikut bergerak dari arah yang berlawanan. Matanya menyorot tajam, terfokus kepada Enka, tidak ada yang lain, hanya dia seorang. Bara api semakin menjilatjilat. Temperatur panas di dalam kuil sudah nyaris tidak tertahankan lagi.
Tepat dua meter mereka berhadapan, tiba-tiba tubuh Enka disambar sesuatu yang menyebabkan dia terpukul mundur.
"Mundur" terdengar teriakan, menembus kepalanya. "Jangan dekati dia"
Samar-samar, di tengah-tengah asap yang membutakan mata dan api yang mencekik lehernya, Enka dapat melihat makhluk yang tadi mendorongnya kuat-kuat.
Monster Utukki kedelapan, Nannia, sedang membentangkan sayapnya persis di depan Enka, melindungi lelaki itu agar tidak melangkah lebih jauh ke depan.
Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mundur! Cepat lari keluar! Lari! Lari! Di sini sudah tidak aman lagi!" Sekali lagi terdengar raungan dahsyat melalui pikirannya.
"Tapi, ayah... ayahku!" Enka merangsek maju. Kakinya seketika melepuh. Kulitnya seakan mencair kena panas. Dengan kalap, dia menepis sayap besar itu.
"MUNDUR!" Terdengar teriakan lagi. Sayap itu menampar wajah Enka. Rasanya dingin. Menyegarkan kulitnya yang perih akibat hawa panas. "MUNDUR"
"Aku ingin menyelamatkan ayahku.
"KAU TIDAK MUNGKIN MENYELAMATKAN AYAHMU! DIA SUDAH MATI!"
"Tidak mungkin! Dia belum mati! Aku masih bisa menyelamatkannya.
"AYAHMU SUDAH MATI! DIA SUDAH DIJEMPUT GENII KE PENGADILAN TINGGI LANGIT! AKU BARU SAJA DARI SANA.
(Tidak mungkin! Nyawa ayahku belum diambil Dewi Lilith! Lihat! Dewi Kematian masih berada di sana!"
"DEWI LILITH BUKAN HENDAK MENCABUT NYAWA AYAHMU! DIA HENDAK MENCABUT NYAVVAMU! CEPAT MUNDUR"
Enka tersentak. Dia menatap Nannia dengan tatapan nanar. Sekali lagi sayap Nannia menghantam bahu Enka sehingga lelaki itu terhuyung-huyung mundur.
"MUNDUR"
Dalam kekalutan dan perasaan yang bergerak turun-naik, Enka melangkah mundur. Sekali lagi dia menoleh ke belakang. Ayahnya tergeletak di lantai tak bergerak. Api sudah berada di ujung kakinya dan perlahan-lahan melahap tanpa belas kasihan.
Air mata menyerebak seketika.
Enka mengedipkan matanya dan berpaling. Berusaha menghilangkan pemandangan menyedihkan itu. Langkahnya terhenti. Dia terpaku membatu.
Di depannya berdiri Dewi Lilith.
Kematian berada di ujung hidup Erika. Lelaki itu dapat
merasakannya. menyambar cepat seperti nurung-nurung Nazar mematuki bangkai binatang. Sebuah lubang besar membuka di bawah kakinya dan Erika terjerumus turun. Menggelincir dalam kegelapan. Hanyut. Tanpa bisa dihentikan.
Di depan Enka berdiri Genii, kerbau bersayap yang mengantar jiwa-jiwa manusia menuju Pengadilan Tinggi Kerajaan Langit sebelum diturunkan ke Dunia-Bawah.
Baru ketika Enka melangkahkan kakinya, seberkas sinar terang membuka di atas kepala Enka. Sebelum dia menyadarinya, tiba-tiba Enka sudah berada kembali di tempat dia berasal. Dalam kuil terkepung api yang berkobar-kobar.
Di depannya, Nannia sedang menghantam kepala Dewi Lilith. Kedua makhluk-bukan-manusia itu sedang bergumul.
"Lari!" teriak Nannia. "Jangan berada di dalam sini! Cepat keluar! Dia hendak menyedot nyawamu"
Tanpa menoleh, Enka berlari sekuat-kuatnya. Dari belakang punggungnya terdengar suara derak-derak api membakar dinding kuil. Juga terdengar jeritan membahana. Bulu kuduk Enka berdiri. Entah apa yang Nannia lakukan terhadap Dewi Kematian itu. Enka tidak mau tahu.
Mencapai pintu kuil, Enka meloncat melewati api yang mengepung setinggi langit-langit kuil.
Baru ketika tangannya menyentuh rerumputan, Enka menyadari bahwa dirinya masih hidup. Dalam hati, dia bersyukur nyawanya masih berada di dalam tubuh fisiknya.
Dari dalam reruntuhan yang dilalap api, sekali lagi terdengar raungan kemarahan.
**
THOMAS melangkah hati-hati di atas rumput basah di halaman depan sekolah. Halimun tipis masih menempel di ujung-ujung daun. Patung Santo Francis tegak berdiri di temparnya, menjadi saksi bisu ketika Thomas bertemu Celia di tempat dia berdiri sekarang.
Thomas melempar pandangan jauh ke luar pagar. Jalanan mulai sedikit ramai. Mobil-mobil berlalu-lalang, tapi tidak menimbulkan kemacetan yang berarti. Menurut istilah radio,
"ramai lancar". Pedagang kaki lima belum membuka dagangannya. Trotoar masih sepi.
Thomas berjalan memasuki pintu masuk gedung utama sekolah. Tidak terdengar suara-suara langkah kaki maupun teriakan-teriakan yang biasanya terjadi. Tidak ada kesibukan di lorong yang ingar-bingar. Thomas melangkah perlahanlahan. Tapak kakinya menimbulkan gema di sepanjang lantai keramik.
Tunggu satu jam lagi. Pasti suasana akan berubah menjadi hiruk-pikuk.
Thomas melewati kelas Celia. Kenangan akan Celia membanjiri benaknya sekali lagi. Lidah Thomas kelu
mengingat gadis itu. Ia tercenung sambil melanjutkan langkahnya menuju kelas. Mencoba berpikir untuk tidak berpikir.
Kelasnya juga masih sunyi senyap. Tak ada seorang murid pun yang telah hadir, kecuali Thomas. Lelaki itu berjalan menuju lokernya. membuka pintu, dan mengambil beberapa buku teks untuk kelas hari ini lalu berjalan menuju meja.
Terkantuk-kantuk Thomas duduk di kursi. Dengung AC mengisi seluruh ruangan. Semalam suntuk dia sulit tidur, apalagi setelah mimpi buruk tersebut. Mata Thomas terasa berat. Keheningan meninabobokannya.
Dia merebahkan kepalanya di atas meja. Tak lama kemudian Thomas jatuh tertidur.
Sekali lagi, dia bermimpi.
Kali ini dia tidak bermimpi tentang Celia yang mengisap napas kehidupannya. Untunglah. Dia terjaga di padang berwarna putih karena salju. Butir-butir kaca beku berguguran di atas kepalanya. Thomas mendongak. Langit berwarna biru pekat dengan gemerlap bintang-bintang yang cahayanya sangat pucat.
Di manakah dia?
Thomas tidak tahu.
Udara sangat dingin. Dingin yang menusuk tulang. Thomas menggigil. Seragam sekolah yang dikenakannya tidak cukup untuk membungkus tubuhnya dengan kehangatan. Lagi pula, dia yang berasal dari negeri tropis di mana iklim sangat bersahabat, tidak terbiasa dengan cuaca sedingin itu.
Mata Thomas menyipit, berusaha menembus guguran
salju di depan matanya. Perasaan aneh dan takut perlahanlahan tumbuh.
Suara-suara yang belakangan akrab di telinganya kembali bergaung. Suara kasar yang mengerikan menghantam kepalanya. Semakin intens. Semakin bertalu-talu. Kepalanya seketika sakit luar biasa, seperti disayat-sayat dan ditusuktusuk.
Thomas berputar dalam lingkarannya sendiri, mencaricari jalan untuk melarikan diri. Sekelilingnya selubung warna putih terlihat angkuh. Tidak ada tempat apa pun yang dapat dijadikan persembunyian. Suara-suara menggelora di kepalanya, menghancurkan dan mencabik-cabik seluruh kulit tubuhnya seperti angin pagi yang menerpa wajahnya.
Thomas ingin berteriak sekuat-kuatnya kepada siapa pun yang sedang bersuara di dalam kepalanya agar diam sejenak. Agar pergi dan meninggalkan dirinya. Agar tidak pernah kembali dan mengganggunya lagi. Tapi usahanya sia-sia. Mulutnya terpaku mati. Lidah Thomas seperti menempel di geliginya.
Suara-suara itu menggema, menguat, mempercepat nada, dan akhirnya menjadi satu jeritan panjang yang tak putus-putus di kepala Thomas. Pemuda itu berlutut sambil memegangi kepalanya, bagai didera semiliar godam. Matanya terpejam rapat, menahan air mata penuh penderitaan.
"AAAAAAAAAAAARRRRRRRGGGGGGGHHHHH!!!" jerit Thomas sambil mendongak memandang langit,
"STOOOPPP!!!!"
Dan suara-suara itu mendadak berhenti.
Seperti suara musik yang dimatikan mendadak, kesenyapan menyergap Thomas. Telinga dan kepalanya berdering-dering dalam kesunyian. Seluruh ototnya terpaku beku, antara ada dan tiada.
Thomas berlutut beberapa saat, matanya masih terpejam rapat. Dia menarik napas dalam-dalam, memasukkan seluruh energi baru ke dalam tubuhnya. Menahan energi itu sejenak dan mengubahnya menjadi tenaga dalam yang mengalir di seluruh arteri darah. Bagaikan diberi makanan pemberi kekuatan.
Thomas membuka matanya.
Alangkah terkejutnya dia ketika udara dingin yang dari tadi membekukan tulang telah berhenti berembus. Ya, dia masih merasakan embusan angin, tapi itu hanya sekadar udara dingin yang nyaman. Yang tidak menimbulkan nyeri apa pun. Thomas berdiri dan menoleh.
Dia nyaris terjatuh ketika di depannya berdiri seseorang... bukan... binatang... atau makhluk...
"Aku kagum pada ketabahanmu, Thomas." Suara itu terdengar sangat ramah.
Makhluk yang berada di depannya sangat besar. Tingginya dua kali lipat tubuh Thomas. Janggutnya menjuraijurai ke belakang tertiup angin. Rambutnya sedikit panjang, bergelombang, dan berwarna putih bersih. Di atas kepalanya ada tapi tinggi berbentuk kepala burung. Dia mengenakan baju kebesaran berwarna biru langit dengan rumbai-rumbai istimewa berwarna kuning emas di setiap ujung lengan dan jubahnya. Dari penampilannya yang luar biasa anggun dan berkarisma, sepertinya dia seorang raja. Dan bukan hanya itu yang membuat mulut Thomas
menganga lebar. Makhluk ini mempunyai sepasang sayap yang luar biasa besar. Lebar sayap itu bahkan melebihi tingginya. Berwarna gradasi dari putih bersih sampai merah berkilau pada ujung ujungnya.
Thomas terpaku menatap makhluk itu. Dia tidak mampu bergerak. Dia tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
"Namaku Antu, Dewa Langit."
Thomas masih membeku di tempatnya. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Menghormat. menyembah, atau berjabat tangan?
Antu tertawa. Terdengar sangat merdu. Bagai kicau burung di awal musim semi.
"Pikiranmu tidak ada bedanya dengan Celia ketika dia melihat dewa pertama kali."
Thomas membelalak. "Celia?" tanyanya sempurna, mengalir keluar dari getaran pikirannya. Disampaikan dalam bahasa kuno dan Thomas tidak pernah tahu kapan dia mempelajarinya.
Antu mengangguk. Kedua sayapnya mengepak, lalu melipat sempurna.
"Bagaimana Anda biSa kenal Celia? Di mana dia sekarang? Apakah dia sehat-sehat saja? Bantulah aku membawanya pulang kembali."
"Celia dalam keadaan baik-baik saja. Aku jamin. Dia gadis tabah dan kuat. Tidak heran kau sangat mencintainya."
Mulut Thomas membelalak terbuka. Tersipu sedikit.
Bagaimana makhluk ini bisa tahu? Thomas tidak pernah mengatakan sedikit pun kata cinta... ataukah pernah?
pipinya merah padam mengingat mimpinya semalam.
Tapi... tapi... bukankah itu hanya mimpi?
Dan sekarang... bukankah sekarang pun sekadar mimpi?
"Kau benar, Thomas," kata Antu, menegaskan segala pemikiran yang bersimpang siur di kepala Thomas. "Kau bermimpi. Tapi di lain pihak, kau juga tidak bermimpi. Kau benar-benar berada di sini.
"Maksudnya?"
"Kau berada di daerah kekuasaan Dewi Ishtar, Dewi Cinta dan Perang. Celia juga berada di sini. Aman dan tidak ada masalah sedikit pun. Dia hanya tidak dapat meninggalkan dunia ini dan kau juga tidak dapat mengunjunginya. Untuk saat ini.:
Mata Thomas bersinar gembira sampai tidak mendengar kata-kata Antu selanjutnya. Yang mendenging di telinganya sedari tadi adalah "Celia berada di sini".
Yang benar?!" serunya bersemangat. "Pak, eh... maksud saya, Dewa, apakah aku boleh bertemu Celia?"
Antu menatap Thomas dengan penuh kepedihan dan kehangatan. "Dengar, Nak. Dengarkan baik-baik." katanya tajam, menghapus kegembiraan Thomas seketika. "Kau tidak punya banyak waktu sekarang. Aku harus segera kembali ke langit. Ini bukan daerah kekuasaanku walaupun aku mempunyai hak istimewa untuk berada di mana pun. Dewi Ishtar tidak dapat mengusirku pergi. Hanya saja aku tidak seharusnya bertemu manusia seperti ini. Karena Dewi Ishtar berusaha membunuhmu dengan brutal, aku memutuskan untuk menerangkan satu hal yang sangat penting kepadamu."
Thomas membiarkan kata-kata itu terserap di telinganya.
Dia kurang mengerti tapi diam-diam dia juga menyadari betapa penting situasi yang dihadapinya sekarang.
"Kau tidak dapat bersama Celia karena jalan hidup yang telah kugariskan di langit beribu-ribu tahun yang lalu. Aku juga tidak dapat melakukannya sekarang karena kita berada di dunia mimpi, dunia yang terlepas dari realitas. Kau tidak akan mampu melihatnya dan Celia juga tidak akan mampu melihatmu, walaupun kalian berdiri berdampingan sekarang."
Thomas menundukkan kepalanya. Rasa kecewa menghantam bagai tsunami hati. Semuanya terlihat sangat nyaris.
"Kalian berdua kau dan Celia terhubung. Kalian berdua saling mencintai, walau kau tidak pernah mengatakan kalimat itu padanya selama ribuan tahun." Antu mengedipkan satu matanya. Thomas tidak mengerti maksud gerakan tersebut. "hubungan itu yang membuat kenangan akan dirimu terus menyala dalam hati Celia. Dan sebaliknya, Thomas, energimu terhubung erat dengan energi Celia."
Thomas ingin menanyakan banyak hal kepada Antu, tapi mulutnya terkunci rapat.
"Tapi walaupun demikian, hubungan itu sangat lemah. Energi dapat mudah menghilang. Hukum Kekekalan Langit menggariskan bahwa kenangan manusia tidak akan pernah selamanya kekal. Kenangan akan mati. Kenangan akan lenyap. Kenangan akan didaur ulang. Kalau itu terjadi, Thomas, kau tidak boleh melupakan Celia. Kalau kau melupakan Celia, gadis itu akan selamanya terjebak di dunia ini. Apakah kau mengerti?"
Astaga. tentu tidak. Tidak. Tidak. Tidak. Thomas tidak
mengerti. thomas tidak mengerti satu patah Kata pun. Thomas tidak dapat mengerti mengapa semua peristiwa gila dan tidak masuk akal ini harus terjadi.
"Hal terpenting dalam hidupmu yang harus kaulakukan adalah mengingat Celia dengan sempurna."
Thomas memandang Antu yang balas memandangnya dengan mata birunya yang sangat menghanyutkan. "Aku tidak mungkin melupakan Celia," katanya tegas. Bagaimana mungkin Thomas dapat melupakan gadis itu, yang dengan ketus memaksanya mengantar dia pulang ke rumah? Bagaimana mungkin Thomas melupakan senyum gadis itu yang sangat manis dan sederhana? Bagaimana mungkin Thomas dapat melupakan rasa nyeri di dadanya ketika melihat Celia perlahan menghilang ke langit biru? Bagaimana mungkin...
Antu menatap Thomas dalam diam.
"Ingatlah Celia dalam ketidaksempurnaanmu sebagai manusia. Ingatlah dia dalam ketidakkekalanmu sebagai manusia. Hanya sepuluh tahun. Sepuluh tahun yang kaubutuhkan, Thomas. Bertahanlah. Langit telah menggariskan sesuatu dalam hidupmu. Kau akan menjalaninya sesuai dengan pilihan-pilihamnu."
"Mengapa sepuluh tahun?" tanya Thomas.
"Aku menunggumu dewasa. Sekarang kau terlalu muda untuk menghayati takdir dan cinta. Kau akan siap pada waktunya. Kau akan tahu kapan waktu itu tiba. Sepuluh tahun adalah waktu yang relatif. Tubuh dan jiwamu matang tanpa membutuhkan kalender."
Thomas berdiri tegap, tangannya terkepal erat. Seakanakan hatinya terangkat dan dia mempersembahkannya
kepada Dewa Antu. Menunjukan bahwa dia yakin dengan apa yang akan dia katakan. "Aku tidak akan melupakan Celia."
"Bagus." Antu mengangguk. "Karena kau akan melupakan mimpi ini."
"ApaP"
Dewa Antu bergerak menjauh. Di bawah kobaran api berwarna merah darah dan kuning keemasan, Antu bergerak naik ke langit lalu menghilang. Tinggal serpih-serpih salju berguguran di depan Thomas.
"Tunggu!" teriak Thomas ke langit, frustrasi. "Aku perlu mengingat kejadian ini! Bagaimana mungkin aku mengingat sesuatu yang akan kulupakan"
"Nak, kau menyimpan kenangan ini di alam bawah sadarmu." Suara Dewa Antu mengalir sempurna di kepala Thomas walaupun dia tidak terlihat di mana-mana. "Hanya saja kau tidak mempunyai akses bebas terhadap kenangan ini dalam keadaan sadar."
Thomas mengejar tempat di mana Dewa Antu berdiri. Tidak ada seorang pun di sana. Angin mendesir-desir dingin.
"T-t-ta... tapi...," seru Thomas kebingungan.
"Jangan khawatir, Thomas," kata Dewa Antu. "Aku yakin kau bisa melakukannya. Aku selalu mengawasi dan menjagamu dari atas. Aku tidak mau menghabiskan waktuku yang berharga sekarang apabila semua ini akan menjadi sia-sia."
"Tunggu, tunggu! Ya ampun, tunggu sebentar! Aku mohon," Thomas memohon. Kantuknya mulai hilang. Diiringi rasa panik yang menderanya, Thomas merasakan sebentar lagi dia pasti bangun dari tidur. Dia menggigit bibirnya dalam-dalam. bertahan untuk terus berada di
dunia ini. "Aku punya banyak pertanyaan sekarang! Jangan pergi!"
"Selamat tinggal, Thomas." Suara Antu semakin menghilang tertiup angin.
Thomas memaki-maki dalam hati. Sialan, pikirnya kesal. Mimpi yang aneh. Matanya terbuka dan kelas sudah penuh dengan murid-murid. Thomas buru-buru menghapus liur yang mengalir turun dari mulutnya. Suara ingar-bingar memenuhi ruangan kelas.
"Eh, Thomas! Lu mimpi apa? Gila, sampe ngiler seperti itu!"
"Jorok ih! Geli!"
Terdengar suara tawa ngakak teman-temannya.
Sekali lagi Thomas mengelap bibirnya dengan punggung tangan. Dia rupanya tertidur dan memang bermimpi. Tapi mimpi apa? Dia hanya mengingat sesuatu tentang salju dan... sayap?
Aneh.
Thomas kembali merebahkan kepalanya di atas tumpukan buku. Jam di dinding menunjukan bahwa kelas akan dimulai dalam lima belas menit.
Masih ada lima belas menit. Cukup waktu untuk kembali tidur.
Thomas memejamkan matanya dan kesadarannya langsung menghilang. Dia terjun kembali ke dalam tidur yang lelap.
Tapi kali ini Thomas tidak bermimpi.
**
Fajar menjelang
kota Ulami. Mentari pagi menghangatkan langit dengan cahaya oranye terang. Tidak terlihat gejala hujan atau angin kencang. Tapi bagi Enka, pagi itu pagi yang buruk. Embusan angin membawakan keheningan kontemplasi di tengah-tengah puing sebuah kuil.
Enka memandang reruntuhan dengan pilu.
Dari belakang punggungnya, terdengar suara-suara dengungan nyanyian para perempuan dan lelaki. Mereka sedang membersihkan tubuh Ellia. Sebentar lagi seluruh kota akan mengadakan upacara pelepasan jenazah ayahnya.
Nyanyian itu mendengung, mengisi setiap tarikan napas yang dihirup Fnka. Sambil termenung, mulut Enka bergumam, bersatu dalam dengungan itu.
Setelah beberapa menit berlalu, matanya menyambar sosok yang tak asing lagi. Enka menoleh sekelilingnya, memerhatikan apakah orang-orang di sekitarnya menyadari kehadiran makhluk itu. Tapi semuanya bergerak dan bekerja dengan normal, tidak ada yang terlihat terganggu ataupun terkejut.
Enka berjalan mendekati.
"Enka," sapa makhluk itu.
"Nannia," balas Enka. Sekali lagi dia melihat sekelilingnya. "Apakah hanya aku yang bisa melihatmu"
"Yap, tepat sekali. Hanya kau yang bisa melihatku sekarang."
"Kenapa hanya aku?:
"Karena aku menampakkan keberadaanku padamu. Gampang, kan?"
Enka merebahkan tubuhnya di rerumputan, menyandarkan kepala pada sebatang pohon besar. Dia menghela napas.
"Masih mikirin kejadian kemarin malam, ya?"
"Tidak bisa lepas dari pikiranku."
Nannia mendengus. "Dasar manusia. Apa-apa dipikirin."
Enka mendongak. Matanya berkata-kaca lagi mengingat kejadian kemarin malam. Khususnya ayahnya. "Mengapa kau menyelamatkanku?"
Nannia melompat turun dari sebuah batu besar. Ia melangkah ringan menuju pohon dan menjatuhkan dirinya di sebelah Enka. Lelaki itu nyaris beringsut terkejut. Sayap Nannia yang besar menggesek kulit Enka, memberikan sensasi lembut, sangat feminin.
"Karena..." Nannia melempar pandangan ke depan, tatapannya kosong. "...Karena belum saatnya kau diadili Pengadilan Tinggi Langit lalu turun ke Dunia-Bawah."
"Lalu kapan saatku?"
Nannia tersenyum. "Aku tidak tahu, Enka."
"Lho?"
"Aku kan cuma monster, bukan dewa. Itu rahasia Dewa Ellil."
"Jadi..." Enka tergagap. Monster satu ini memang suka melucu. Apa pun yang dia katakan selalu membuatnya bingung. "Jadi bagaimana kau bisa tahu aku belum saatnya pergi ke Dunia-Bawah?"
Nannia mengangkat bahu. Sayapnya berkepak. Sekali lagi tak sengaja menyentuh lengan Enka. Entah mengapa, Enka menyukai sentuhan itu. "Tebak-tebak saja. Feeling. Hahaha...)
Astaga. Monster itu tertawa. Tawanya sangat lembut dan mendayu-dayu. Bagaimana mungkin? Enka menoleh, mengawasi Nannia dari samping. Betana femininnya Nannia dan
betapa cantiknya seluruh penampilannya. Betapa hangat dan sederhana seluruh pendar energi yang dipancarkannya. Bagaimana mungkin dia dapat dikatakan sebagai monster? Dia sama sekali tidak terlihat buruk rupa. Apalagi mengerikan.
Nannia masih tertawa. Bahunya berguncang-guncang. Melihat pemandangan ini, ada gelitik geli membuncah di dada Enka. Tanpa sadar bibirnya merekah.
Enka tersenyum.
Senyuman di Fajar pertama setelah kejadian memilukan yang terjadi pada ayahnya.
Nannia menyadari manusia yang berada di sebelahnya tersenyum setelah menatapnya. Dia juga ikut melemparkan pandangannya pada Erika. Diam-diam Nannia mengagumi makhluk hidup yang duduk sebelahnya. Betapa tampannya lelaki ini. Wajahnya tidak berlekuk seperti dewa-dewa. tidak sempurna, tapi sangat manusiawi. Memancarkan aura kehidupan yang Nannia sulit mengerti. Di Dunia-Atas, tidak ada dewa yang dapat menandingi pancaran energi yang dikeluarkan Enka.
(Ngomong-ngomong,) tanya Enka. "Kau benar-benar yakin ayahku diadili?"
Nannia mengangguk.
"Bagaimana kabarnya?"
(Baik-baik saja. Dia mengirim pesan untukmu. Katanya, jadilah manusia yang manusiawi."
Enke tercenung. itu selalu pesan ayahnya yang disampaikan berulang-ulang padanya.
"Bagaimana menjadi manusia yang manusiawi itu?" tanya Nannia tiba-tiba.
"Kau tidak tahu?" Enka tercengang. "Bukankah seharusnya tahu?-""
"Duh, Enka?" sindir Nannia. "Bagaimana harus kujelaskan sekali lagi bahwa aku adalah monster. Monster! Bukan dewa. Dewa tahu segala. Monster tahu sedikit-sedikit. Begitu bedanya. Paham? Mengerti?"
Enka tidak mengerti. "Apa yang membuatmu berbeda, Nannia? Maaf, boleh kupanggil nama saja"
Nannia mengangguk. "Apa yang membuatku berbeda? Ibuku Dewi Bumi dan ayahku Dewa Langit. Jadi seharusnya aku putri kerajaan alam semesta. Ya, benar. Itu yang membuat perbedaan. Huahaha..."
Nannia tertawa lagi.
Enka menggaruk kepalanya. Merasakan kehangatan... keramahan... yang menyenangkan, yang menyisip di antara mereka berdua. Entah mengapa, diam-diam Enka sangat menyukai monster langit yang sedikit sinting ini.
"Sebentar lagi ayahku akan diritualkan. Aku harus ke sana."
"Mau kutemani?" tanya Nannia bersemangat.
"Upacaranya panjang dan berteletele. Nanti kau bosan."
"Aku janji tidak akan bosan."
"Nanti kau harus kembali ke langit. Mungkin ada kesibukan di atas sana?"
(Aku tidak ada kesibukan. Monster tidak punya kesibukan khusus. Aku akan menemanimu, Oke?"
"0ke."
**
Celia terbangun dari tidurnya. Sejenak dia gelagapan, nyaris lupa berada di mana. Dikedipkannya matanya bendang kali. Oh, ya. Dia berada di kerajaan si Dewi Lesbian itu.
Diliriknya meja samping. Napas Celia tercekat. Di sebelahnya tampak sebuah biola. Biola?! Celia langsung terjaga seratus persen. Dia terduduk di ranjangnya yang sangat luas. Ada biola! Ishtar menyiapkan biola untuknya.
Tangan lentik Celia menyentuh kayu yang terpelitur indah. Biola yang sempurna. Apa sih mereknya, pikirnya ingin tahu. Oya, sekali lagi Celia lupa. Tidak ada merek di dunia dewa dewi.
Celia mengambil biola tersebut dan menjejakkannya dengan mantap di bahunya. Diangkatnya tongkat biola itu tinggi-tinggi. Sambil memantapkan posisi duduk di ranjang, Celia mulai menggesek. Dawai bergetar.
Nada-nada indah mendesah. Merintih. Menyayat kalbu. Memantulkan gema cinta. Mata Celia terpejam, basah.
Di tempatnya, Thomas tercekat.
Alunan nada mendesing di kepalanya. Meratap lembut, mendayu-dayu, meniti nada-nada jiwa. Bagaikan gesekan tongkat bersenar kepada dawai biola.
Lagu itu mengingatkannya pada sesuatu. Sesuatu yang lama hilang. Sesuatu yang tidak dapat diingatnya dengan mudah. Sesuatu dari kenangan masa lalu. Sesuatu... sesuatu...
Thomas menutup matanya. Membiarkan seluruh jiwanya mengalun di antara nada. Mengangkat raganya menuju langit biru, tempat nada-nada itu berasal. Tempat di mana seribu biola memainkan lagu semesta.
Thomas terbuai, lenyap dalam pikiran dan kesadaran berada pada titik antara ada dan tiada.
Dewa Antu menatap cermin miliknya dengan tenang. Menatap apa yang terjadi pada Thomas dan Celia.
"Mereka sangat luar biasa. Energi itu terhubung kuat," katanya kepada Cermin. "jiwa mereka tidak dapat dipisahkan begitu saja."
"Kau berutang pada mereka, Dewa Antu," jawab Cermin. "Mereka sepantasnya tahu apa yang terjadi."
Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tidak berutang apa-apa kepada mereka. Jika mereka menghendaki, mereka akan menemukan jawaban atas apa yang telah terjadi pada mereka... beribu-ribu tahun yang lampau."
(Bagaimana caranya jika kau tidak ikut campur.
"Manusia...," desah Antu, " punya cara sendiri.:
Antu menatap cermin dengan tegang.
"Aku yakin ".
Thomas membuka matanya. Sekali lagi dia berada di tempat yang tidak dia kenal. Di sekelilingnya udara bersih dan matahari bersinar hangat, berlimpahan. Bunga-bunga memahkotai rerumputan hijau. Sungai berwarna perak mengalir di antara dua bukit. Dan kupu-kupu... oh! Banyak sekali, bagai peri-peri bersayap yang sedang menari-nari lincah, terbang berputar. Bel-bel kecil yang bergantungan di ujung sepatu lancip peri-peri itu berdenting-denting. Thomas tersadar, menghirup napas dalam-dalam. Wangi bunga
menyeruak di seluruh indra penciumannya. Ini bukan sekadar "tempat" yang didatangi dirinya. Ini panggung natura. Ini kerajaan semesta.
Thomas ingin berlari. Dengan kaki-kaki telanjang, menari berputar-putar di bawah tebaran karpet kelopak bunga. Tapi lelaki itu hanya berjalan perlahan. Mendekat. Gemerecik air hinggap pada telinga Thomas. Untaian nada me-ngembara di antara desau angin. Mengecupi pipi Thomas, menggenapi semesta jiwa yang tak bertepi.
Dekat sungai, Thomas menunduk. Dia melihat bayangannya di sana. Air berwarna perak, jernih bagaikan kaca.
Thomas menatap semakin dalam.
Air sungai berubah menjadi cermin besar. Cermin yang memantulkan refleksi Thomas. Memancarkan ketampanannya dengan sempurna. Dia jadi terlihat indah dan cemerlang, di antara gemerlap sinar mentari.
Mendadak cermin berkabut. Thomas nyaris terjengkang memasuki kabut. Tapi di tengah-tengah usahanya menjaga keseimbangan, tiba-tiba muncul sebentuk imaji. Kabut menghilang, terangkat. Imaji semakin jelas, terfokus.
Thomas terpaku.
Di depannya, tampak refleksi lain. Bukan gambaran Thomas. Bukan imaji Thomas.
Entah mengapa, Thomas tahu, dia sedang memandangi refleksi dirinya. Bukan refleksi orang lain. Bukan pula reflelsi makhluk lain.
Refleksi dirinya beribu-ribu tahun yang lampau.
Napas Thomas tercekat. Kepalanya pusing. Dia nyaris terjengkang kembali, masuk ke cermin di bawah kakinya.
Walau mengalun sepenuh jiwa. Duka. suka. haru. cinta.
pedih bergayut memacu satu. Ada nada menyayat, mengiris. Dawai bergetar; mendesah, berbisik kepada senarnya, kembali mengangkat Thomas ke dimensi kegelapan. Tiba-tiba sekelilingnya berubah total. Tidak ada rumput. Tidak ada bunga-bunga. Tidak ada kupu-kupu. Tidak ada sungai. Thomas telah kembali ke dunianya. Di kantin sekolah.
Thomas mengedipkan mata saat nada-nada menguap di udara. Memorinya masih mengingat jelas apa yang dilihatnya tadi.
Sebentuk wajah yang tidak dikenalnya, tapi Thomas tahu itulah dirinya.
Sebentuk wajah yang sangat cantik, tapi Thomas tahu itulah dirinya.
Sebentuk wajah perempuan, tapi Thomas tahu itulah dirinya.
Dan sepasang sayap.
Thomas nyaris tersedak.
"Dia tahu," bisik Antu. Dewa Langit itu tersenyum lembut. "Dia memang hebat. Dia tahu.:
Cermin di depannya tidak bergerak tidak memberikan reaksi apa pun.
"Thomas," desis Antu penuh kebahagiaan dan kelembutan yang tak terucapkan. "Thomas... anakku..."
CELIA berhenti memainkan biola. Mendadak. Matanya terbuka lebar. Sesuatu menyusup di dalam indra keenamnya sampai membuatnya merinding. Ada yang tidak benar. Ada yang salah. Sesuatu... entah apa...
Dia berjalan keluar, berjingkat-jingkat dari kamar tidurnya. Piamanya berwarna kuning, yang diberikan seseorang... atau makhluk... atau siapa. Tidak terlalu peduli. Yang jelas, makhluk itu tidak bersayap dan menghormat berlebihan kepada Celia. Mungkin dayang-dayang di kerajaan ini.
Memasuki ruangan utama, jantungnya berdebur lebih cepat. Dia belum pernah merasakan ketegangan seperti ini. Seakan instingnya bersiap-siap mendengarkan rahasia besar yang bisa membuatnya pingsan di tempat.
"Ishtar?" panggilnya. Suaranya menggema di seluruh ruangan itu.
Tidak ada jawaban. Tidak ada desingan angin dingin yang biasanya menandakan kemunculan Ishtar di udara kosong.
Sangat hening. Hening janggal. Spektrum cahaya yang
merembes keluar dari langit-langit kristal menari-nari tidak pada tempatnya. Semuanya terlihat aneh.
"Ishtar?" panggil Celia. Panik perlahan-lahan mulai menggerogoti dirinya. Seperti ada yang sedang memandangi Celia dari sudut ruangan. Tapi ketika Celia menoleh, tidak ada siapasiapa di sana. Sekali lagi bulu kuduk Celia meremang.
Matanya menangkap cermin besar. Celia berjalan mendekati cermin dan menatap bayangannya di sana. Ia seperti hantu, pucat pasi. bercahaya kebiru-biruan. Tampak rambut redup tergerai dan matanya yang tidak bercahaya. Celia membelalak tidak percaya pada penglihatannya.
Tangannya bergerak naik dan membelai pipinya. Dulu ini wajah yang bersinar, penuh semangat hidup, dan berwarna merah jambu. Sekarang pipinya tampak semakin putih dan tembus pandang.
Celia menatap sekeliling. Mengapa semuanya harus putih seperti ini? Dia muak dengan putih. Dia muak pada udara dingin yang terus-menerus menghantuinya. Dia muak pada semuanya!
Putih bukanlah warna abadi.
Putih adalah warna menjijikkan.
Warna membosankan.
warna yang mengingatkannya pada cinta yang tidak pada tempatnya.
Sekali lagi Celia merinding. Pengakuan Ishtar kepada dirinya membuatnya mual.
Celia membalikkan tubuh. kembali ke kamarnya. Rasa cemas, lelah, dan putus asa menggandulinya sampai rasanya dia nyaris tidak bisa bernapas.
Tiba-tiba terdengar suara lantunan.
Celia berhenti bergerak.
Apa... siapa... mengapa...?
"ISHTAR?" Sekali lagi dia memanggil. Jantungnya berdebar lebih kencang. Ketakutan mencengkeram napasnya.
Lolongan itu semakin menderu-deru. Memantul dari segala arah. Terdengar sangat sedih, putus asa..., dan sangat frustrasi. Mengiris-ngiris hati siapa pun yang mendengarnya. Celia menoleh ke kiri dan kanan, berputar, berusaha mencari lokasi dari mana sumber suara itu berasal.
Sia-sia. Seluruh ruangan dihantui suara tangisan itu.
"Ishtar?" bisik Celia. Matanya berkaca-kaca. Air mata ketakutan menitik di salah satu pipinya.
"Oh , sayangku... anakku.."
Suara.
Di tengah lolongan tangis itu terdengar suara.
Celia terpaku, tidak bergerak di tempatnya. Ia ingin melangkah, tapi lidah-lidah angin dingin menahannya. Tangisan itu terdengar mencekam. Tiba-tiba dia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Celia menoleh.
"Pergilah dari tempat ini. Kembali ke kamarmu. Tidak ada yang perlu kaucari di sini."
Celia ternganga. Siapa pun yang menyuruhnya pergi adalah makhluk luar biasa. Di ruangan kristal yang selalu dingin ini, udara tiba-tiba menghangat karena kehadirannya. Energinya besar dan ketika dia berbicara, seluruh bintang-bintang mendengarkan. Alam semesta memerhatikan.
Namanya Dewa Antu. Entah dari mana kesadaran itu berasal, Celia merasa mengenal makhluk ini. Mengenal dekat.
"Siapa... Apa yang terjadi...? Siapa yang menangis...?"
Kelihatannya Antu segan memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberondung Celia. Tapi akhirnya dia mengatakan sesuatu karena Celia menunggu. Air mukanya tidak sabar.
"Ishtar," Antu menjawab singkat.
Celia menelan ludahnya. Ishtar? Kenapa dia... kenapa menangis seperti itu ?"
Mata Antu memandang Celia lembut. "Dia tidak apa-apa. Jangan khawatir, Celia"
Celia tidak bergerak dari tempatnya. Dia masih terpana. Angin berembus kencang, membawa lolongan suara sekali lagi. Tubuh Celia merinding. Gelombang suara putus asa bagai hendak berkisah tentang satu cerita sendu. ndak apa-apa?! Yang benar saja... Tangisan itu menyayat hati... Ada suara yang berbisik 'anakku'... Anak siapa, maksudnya? Apakah Ishtar punya anak?"
Antu mendekati Celia dan merangkul tubuhnya. Tiba-tiba seluruh kehangatan mengalir di jantung Celia. Bagai masuk ke kotak kenangan yang dipenuhi rasa aman dan cinta. Bagai kembali menjadi bayi kecil yang sedang ditimang-timang penuh kasih. Itulah rasanya. Celia dilindungi tangantangan kuat Antu.
"Beribu-ribu tahun yang lalu..." Antu memulai perkataannya dengan penuh kelembutan. "Ishtar, Dewi Cinta dan Perang, jatuh cinta pada seorang manusia. Seorang pendeta lelaki. Dia menghadiahi lelaki itu anugerah cinta yang besar, lebih besar daripada manusia-manusia lainnya. Sebegitu besar cinta Ishtar kepadanya. sampai dia rela menukar hidup kedewaannya demi lelaki itu. Dia ingin
tinggal di Dunia-Makhluk-Hidup, berusaha mencintainya tanpa pamrih. Aku memberikannya mantra sehingga dia menjadi makhluk . Tapi lelaki itu tidak menyadari cintanya. bahkan kehadiran dirinya. Ishtar putus asa dan dia hamil di bumi, melahirkan anak perempuan. Anak yang sangat dicintainya. Tapi tak lama, pendeta itu menyerahkan hidupnya... cintanya... yang diberikan oleh Ishtar... kepada makhluk lain, monster Dunia-Atas. Pada saat itulah, mantra yang menyelubungi Ishtar kehilangan kekuatannya. Ishtar harus kembali kemari tanpa bayinya. Dia tidak dapat kembali ke bumi. Pada saat itu Cermin Penglihatan-nya telah aku segel selama beberapa ribu tahun. Anak perempuannya tumbuh sendirian, menjadi tua. dan akhirnya mati tanpa mengetahui siapa ibunya..."
Antu berhenti perlahan ketika sekali lagi terdengar lagi lolongan ngilu mengisi ruangan. Angin bertiup kencang, mengibarkan rambut pucat Celia.
"Pada malam-malam tertentu...," Antu melanjutkan, "Ishtar kembali ke Dunia-Makhluk-Hidup melalui Cermin Penglihatan. Aku juga yang melepaskan penyegelan itu karena tidak tega melihat kepedihannya. Sambil memberikan kekuatan cinta kepada para ibu yang sedang membuai bayi-bayi mereka, Ishtar melebur, menjadi angin malam. Angin dingin yang melelang nyeri. Ia sedang menangisi anak perempuannya yang hilang. Dan pada malam-malam itu, kesedihannya melingkupi langit dan bumi. Secara insting, seorang ibu akan mendekap bayinya dan bersumpah dalam hati bahwa ia rela menukar nyawa demi anaknya."
Celia membeku. Mulutnya terkunci rapat.
**
Bajunya, apa yang dikenakan Celia? Baju yang sangat aneh, berwarna perak pucat seperti cahaya bulan, me-nutupi seluruh tubuhnya dari atas sampai ke mata kaki. Celia sedang berdiri memandangi sesuatu, entah apa itu. Thomas merasakan nyeri di sekujur tubuhnya, terutama di ulu hati...
Celia sedang berdiri memandangi Ishtar berjalan ke arahnya. Tangan Celia gemetar memegang cangkir berisi teh dingin. Tiba-tiba, cangkir tergelincir dari tangannya dan pecah berantakan di lantai.
"Celia!" seru Ishtar. "Kenapa?"
"Rmrr..." Celia menggigit bibirnya, menahan sakit.
"Sakit...," desisnya,
" di sini..." Jantungnya serasa ditarik keluar dari tubuhnya. Dia menjerit menahan nyeri.
Ishtar menyambar bahu Celia dan menyalurkan energi kepada gadis itu melalui mata zamrudnya yang kini berpendar tajam. Ishtar berkonsentrasi kuat kepada titik energi Celia yang menahan gadis itu di Dunia-Atas.
Energi itu bersinar, semakin lama semakin terang.
"CELIA!" teriak Ishtar. "Tahan"
Tiba-tiba, di tengah pendaran energi berwarna merah marun, muncul setitik api kecil berbentuk seperti ulat. Menggeliat dan membesar. Itu titik yang menghubungkan Celia dengan Thomas. Seseorang di bumi berusaha membesarkan api itu agar Celia dapat kembali kepada Thomas... atau sebaliknya, Thomas naik ke Dunia-Atas...
Mata Ishtar bersinar berbahaya. Sayapnya mengembang lebar. Mulutnya berkomat-kamit, mengeluarkan mantra agar Celia bertahan di dunianya.
Tiba-tiba Celia berhenti bergetar. Dengan lembut Ishtar merengkuh gadis itu dalam pelukannya.
Mata Celia membuka, terkejut. Hati Ishtar serasa tercabik-cabik melihat secercah harapan di mata cokelat Celia. Pengharapan untuk dapat kembali ke Dunia-Makhluk Hidup.
Tubuh Thomas mengabur bertahap.
**
"Suhu!" teriak Arief bingung.
"Thomas hilang."
Thomas kelihatan pucat, seperti hantu. Tubuhnya tembus pandang, melangkah bersama angin. Mulutnya menggigil, menahan sakit yang disebabkan perpindahan jiwa ke dunia lain.
"Suhu!" panggil Arief sekali lagi.
"Suhu?"
"Celia?" tanya Ishtar lembut.
Cahaya besar berwarna merah menyambar. Celia terlompat dari pelukan Ishtar.
Di tengah-tengah cahaya itu, sesosok tubuh terbentuk sempurna. Samar-samar. Celia maju satu langkah. Apa itu? Dewa yang menampakkan diri? Entah mengapa, kali ini gadis itu tidak merasa takut sedikit pun. Dia maju lagi.
Darah seperti berhenti mengalir di wajah Celia.
Seseorang mengenakan baju yang sangat dihafalnya. Seragam sekolahnya... Rambut hitam... Tatapan yang selalu diingat Celia...
"Th... Thomas?" sapanya tidak percaya. Ragu-ragu. Suaranya nyaris seperti bisikan. Tapi Thomas mendengar
panggilannya. Dia membuka matanya dan memandang Celia nanar.
Aduhai. Mata itu! Mata yang berwarna cokelat muda, yang sangat teduh dan menenangkan. Mata yang berbicara banyak di saat kata-kata tidak dapat dengan mudah mengalir keluar. Mata yang seperti oase, tempat penyegaran jiwa. Mata yang bekerlip, mendekati jiwa agar tak berjarak, tanpa bahasa.
"Celia?" Mulut itu membuka, memanggil namanya dengan sempurna.
Celia maju mendekat, berdiri terpaku.
"Thomas." bisiknya terharu.
Celia tidak dapat berpikir apa-apa lagi. Setelah berharihari terperosok dalam dunia yang sangat asing dan mengerikan, Celia berkhayal dapat bertemu Thomas sekali lagi. Sekali saja, dan dia akan sangat bahagia.
"Celia...," kata Thomas susah payah. Dia ingat akan utangnya kepada Celia. Gadis itu wajib mendengarkan apa yang ingin ia katakan, setelah beribu-ribu tahun menunggu.
"Celia, aku... aku minta maaf... jika aku belum... belum pernah bilang... aku cinta pada mu...."
Rasanya sangat melegakan. Sakit yang ditahannya seperti menghilang. Seperti ada batu besar terangkat lepas dari tubuh Thomas. Dia merasa lebih ringan. Bagai burung, dia terbang menjelajah langit.
Celia mengangguk. Mulutnya kering.
Tiba-tiba terdengar getaran mengkhawatirkan berasal dari energi yang membungkus Thomas. Cahaya itu mulai mengabur.
"Celia... kau di mana...?" Susah payah Thomas bertanya.
Celia mengulurkan tangannya hendak menangkap Thomas. Tapi seluruh lengan lelaki itu tranparan, tidak dapat dijamah.
"Aku..." Sekali lagi Celia berusaha menjangkau Thomas. Sia-sia.
"Aku di negeri Dewi Ishtar, Dewi Cinta dan Perang. Dunia-Atas, Thomas... ramalan itu... mitos... kau... adalah Utukki kedelapan.... Aku..."
Thomas mengangkat wajahnya dengan susah payah. Suara Celia semakin terbuai angin dan semakin tidak tertangkap indra pendengarannya.
"Celia... ingatlah aku...," susah payah Thomas berkata. " jangan lupakan... Jika kau lupa, semuanya akan sia-sia. Itulah peraturannya...."
"Thomas..."
Lalu kemudian Thomas menghilang lenyap.
Celia jatuh terduduk. Sambil memeluk tungkai kakinya, dia menangis dalam isak yang tak terdengar.
Ishtar berputar, menjauh penuh murka.
Lelaki itu memandang perempuan yang berbaring di depannya. Tidak ada sehelai benang pun melilit tubuhnya. Seksi. Sangat cantik. Sempurna. Dahulu dia tidak pernah bisa membayangkan betapa sensualnya tubuh perempuan ini. Tapi sekarang... berada di hadapannya...
Napasnya mendengus. Bukan, itu bukan napas penuh nafsu. Bukan pula napas tak terkendali. Itu napas penuh gejolak cinta dan asmara. Anugerah terindah yang dimilikinya yang akan dibagikan kepada perempuan itu.
Cinta memang harus saling membagi.
Lelaki itu menunduk. Bersiap membagi sebagian energinya untuk perempuan itu. bersiap membagi sumber kenikmatan kepada perempuan itu. Dan tentu saja, bersiap membagi benih kehidupan yang dimiliki olehnya.
Ciumannya meleleh begitu saja di bibir pasangannya. Rasanya sangat nikmat. Lembut dan sederhana. Cinta memang sederhana. Tidak sulit dan tidak merepotkan. Cinta sejati adalah cinta yang bertaut tak kasatmata. Tak terlihat tapi terasa. Tak teraba tapi terduga.
Lelaki itu membelai tubuh kekasihnya. Terdengar desah napas lembut membutakan seluruh indra. Dia bersedia mati dan berjalan menuju Dunia-Bawah jika itu yang perempuannya inginkan.
Perempuannya balas memagut dengan penuh gelora. Lelaki itu menaiki rubuh kekasihnya. Mereka berputar seperti bulan melakukan gerakan ritualnya melingkari bumi. Mereka berdansa seperti para penari menggeliat sempurna. Mereka bergerak dalam ketukan lagu yang tepat.
Lalu langit di atas kepala mereka meledak dalam gelegar dahsyat. Meteor melaju setengah lingkaran dan terbakar menuju garis edar orbit. Bintang-bintang bermunculan semarak.
Dan pada saat yang bersamaan, semuanya bergelora, menghajar mereka dari enam belas arah penjuru angin. Kenikmatan tiada tara, yang tak bisa tergantikan oleh apa pun.
Mereka berdua berbaring telentang, tak bertenaga. Lemas. Hening. Bahagia. Terpenuhi. Meledak. Meluap. Menjadi satu. Jantung berdenyar.
**
"Enka..."
"Ya?"
"aku mati."
"Aku juga.:
"Bukan. Maksudku bukan 'mati' yang itu. Bukan mati mampus. Aku kan monster. Tidak mungkin mati kecuali aku melanggar Peraturan Langit yang telah ditetapkan oleh Dewa Langit."
"Iya, betul juga. Aku suka lupa." Enka tertawa dan berbalik. Dibelainya tubuh Nannia. "jadi mati seperti apa dalam definisi monster?)
"Maksudku, aku beneran mati. Bercinta dengan manusia? Astaga. Ayah bisa marah besar."
Enka mendekap tubuh Nannia erat-erat. (Tidak usah dipikirkan sekarang. Nanti saja kita hadapi bersama-sama."
"Tapi..."
"Tidak ada tapi. Harus 0ke..." Mata Enka tak berkedip menatap pipi Nannia yang halus yang menyandar di bahunya. Tangannya naik lalu membelai pipi itu. 0, halusnya...
(Yah...)
"Tidak ada yah. Oke"
Nannia menggelendot manja pada tubuh Enka. Sayapnya berkeriau lemah. "llhhh... oke."
**
"MERICA, tinggal sedikit... Garam... saus tomat... pala... jahe... Di mana jahe? Jahe... yuhuuu, di mana engkau?"
Raula terkikik melihat tingkah laku Naeva. Dia membuka kulkas dan mengambil sekotak susu segar. Dituangkannya susu itu ke gelas plastik tinggi. Lalu Raula meneguk cepatcepat.
"Gimana sih caranya?"
"Gampang!" seru Naeva sambil mengayun-ayunkan pisau dapur.
Raula memandang ngeri.
"Eh, awas! Hati-hati dengan pisau itu! Tajam!"
Naeva menurunkan pisau dan melemparnya ke bak cuci piring.
"Tuh, resepnya. Fotokopi aja kalau tertarik."
Raula melirik sekilas dan mencibir.
"Ngapain fotokopi? Tunggu dimasakin aja. Kan punya alat yang pintar memasak. Dimanfaatin dong!"
Naeva melempar kain lap ke dahi temannya.
"Sialan lu!" katanya kesal. Kepala Raula berkerudung kain lap dapur.
"Bantuin di dapur sekali-sekali! Jangan nongkrong di depan TV terus!"
"Eit!" Raula balas melempar. Lemparannya mendarat di punggung Naeva dan bercokol di sana.
"Aku kan dokter bedah jantung terkenal. Mana mungkin ke dapur?! Biar suami aja. Hahahaha..." Sambil tertawa terbahak-bahak, Raula berjalan ke luar dapur. Sayup-sayup terdengar suara garingnya,
"Udah kelar tuh! Buruan ke dapur sebelum Tuan Putri marah! Jangan lupa bilang masakannya nomor satu di dunia!"
Naeva mengigit bibirnya menahan tawa.
Adam memasuki dapur. Tangannya memegang buku tebal.
"Buku nggak boleh masuk dapur," kata Naeva.
"Kenapa emangnya?"
"Nggak punya kode akses."
Pura-pura tuli, Adam meletakkan buku yang dibawanya ke meja makan.
"Besok ujian nih," gumamnya.
"Ujian apa?"
"Penciptaan langit dan bumi, versi Mesopotamia."
Naeva membuka kulkas, mengambil sebotol air dingin, dan menuangkannya ke gelas tinggi Adam.
"Yuk, makan dulu," ajaknya manis.
Lima menit berlalu...
Adam mengunyah nasinya perlahan-lahan. Matanya tidak lepas dari buku. Naeva menarik kursi dan duduk di sebelah lelaki itu. Dia menghela napas. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang menyebalkan akan segera terjadi. Bergaul lama dengan Adam membuatnya sangat terbiasa dengan tingkah laku lelaki itu. Pasti sebentar lagi.
"Pada mulanya adalah cinta:..."
diberikan persembahan dan dipuja-puji manusia karena walaupun gampang naik darah, Ellil dewa yang sensitif terhadap penderitaan manusia. Dia memberikan pengampunan dan kemudahan bagi banyak orang yang memohon padanya. Ellil adalah penjaga Kitab Takdir atau lembaran kitab yang menulis tentang karma setiap manusia."
"Mau tambah nasi?" tanya Nae-va.
Adam mengangguk.
Lalu melanjutkan.
"Dewi Ishtar anak dari Antu dan Sin, Dewi Bulan. Dialah Dewi Cinta, Kelahiran, dan Perang. Dia mahir menggunakan panah dan busur. Ishtar terkadang ditemani seekor singa dan bahkan menungganginya. Dia pernah pergi ke Dunia-Bawah, mengancam penjaga Gerbang untuk membuka Tujuh Gerbang agar dia dapat masuk. Ishtar terbunuh di sana tapi berhasil dibangkitkan kembali oleh Ea dengan tetesan Air Kehidupan. Dewi ini disebut juga sebagai bintang timur atau Venus."
Raula melongok ke dapur lalu suara tawanya menggelegar.
"Lagi ada pelajaran ya?" sindirnya.
Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Naeva mencibir.
"Biarin!"
"Kayak kurang banyak ambil kelas aja! Sakit lu!"
"Biarin! Eh, mau ke mana? Rapi sekali!"
"Biasalah, mau ke rumah sakit. biasa gini aja rapi? Biasa aja kok."
"Lebih rapi dari biasanya. Mau ketemu pasien atau ngelirik cowok di sana?"
"Biarin! Mau cari suami dokter, ya jelas ke rumah sakit, dong! Masa turun ke jalan? Itu mah kerjaan wartawan."
"Sialan. Nyindir nih."
Raula berbalik dan meninggalkan dapur.
"Daahhh, Adam! Daah, tercinta! Sampai ketemu nanti malam! . Hari ini gue ada jadwal operasi."
"Oke deh. Luck!"
"LUCK!"
Terdengar pintu dibuka lalu ditutup. Sedetik kemudian, muncul hening.
**
BERTEMAN dengan dewa-dewi ternyata menyenangkan.
Celia meletakan biola kesayangannya kembali ke dalam kotak. Dia ingin mandi busa. Dayang-dayang telah menyiapkan semuanya di dalam kamar mandi.
Hidup seperti ini akhirnya berhasil juga dijalani. Pada mulanya sangat sulit. Penuh air mata dan kepedihan. Tapi lama-lama Celia dapat melewati hari demi hari. Bulan demi bulan. Dan tahun demi tahun.
Sudah tujuh tahun berlalu. Tujuh tahun berdasarkan penanggalan Dunia-Makhluk-Hidup.
Kalender manusia yang diberikan Ishtar berdiri tegak di samping ranjangnya. Celia setia mencoret setiap tanggal yang telah berlalu. Kalendernya penuh coretan Spidol berwarna merah.
"Celia."
Celia menyipitkan mata mendengar suara Thomas di kepalanya. Selama ini, suara-suara itu tidak pernah hilang, selalu muncul setiap saat. Menemaninya tidur. Mendampinginya di saat-saat kesedihan tak mampu dibendungnya.
Mereka pasti akan bertemu lagi.
**
BERTEMAN dengan dewa-dewi ternyata menyenangkan.
Celia meletakan biola kesayangannya kembali ke dalam kotak. Dia ingin mandi busa. Dayang-dayang telah menyiapkan semuanya di dalam kamar mandi.
Hidup seperti ini akhirnya berhasil juga dijalani. Pada mulanya sangat sulit. Penuh air mata dan kepedihan. Tapi lama-lama (Delia dapat melewati hari demi hari. Bulan demi bulan. Dan tahun demi tahun.
Sudah tujuh tahun berlalu. Tujuh tahun berdasarkan penanggalan Dunia-Makhluk-Hldup.
Kalender manusia yang diberikan Ishtar berdiri tegak di samping ranjangnya. Celia setia mencoret setiap tanggal yang telah berlalu. Kalendernya penuh coretan Spidol berwarna merah.
"Celia."
Celia menyipitkan mata mendengar suara Thomas di kepalanya. Selama ini, suara-suara itu tidak pernah bilang, selalu muncul setiap saat. Menemaninya tidur. Mendampinginya di saat-saat kesedihan tak mampu dibendungnya.
Mereka pasti akan bertemu lagi.
Air muka Celia melembut setiap saat dia mengingat Thomas. Mata cokelatnya yang hangat. Air mukanya yang sangat khawatir. Ketabahannya. Semi harapan yang disemainya.
Tiga tahun lagi menurut kalender Makhluk-Hidup. Entah berapa tahun lagi menurut waktu Dunia Atas.
Seperti yang dikatakan oleh Dewa Antu.
Tiga tahun lagi... semoga mereka dapat bersatu.
Celia menghela napas ketika setitik kesadaran hadir dalam benaknya. Menurut Dunia-Atas dia berusia 35 tahun sekarang. Dimensi waktu menjadi sedikit berubah. Peraturan pertama, dimensi waktu di Dunia-Makhluk-Hidup bergerak lebih lambat daripada waktu di Dunia-Atas. Tiga hari berlalu di Dunia-Makhluk-Hidup berarti satu bulan di DuniaAtas. Tapi semenjak Ishtar menghabiskan waktu dengan Cermin Penglihatan-nya, dimensi waktu menjadi lebih cair dan bergabung.
Pada saat ini, Ishtar menyetel kecepatan dimensi waktu di Dunia-Atas (pada kerajaan Ishtar saja) sama dengan dimensi waktu di Dunia-Makhluk-Hidup. Tujuannya agar Ishtar dapat melakukan pengamatan dengan lebih mudah. Jika Ishtar tidak sedang mengamati kegiatan Thomas, kecepatan masing-masing dunia akan bergerak normal kembali.
Gadis itu berdiri di depan cermin di kamar mandi. Tampak bayangannya terpantul di sana. Rambutnya yang dulu berwarna hitam sehat sekarang berlimpahkan cahaya pucat keperak-perakan. Tidak pernah dipotong, tapi pertumbuhannya sangat lambat. Panjangnya semata kaki. Tiap hari dipuntir dan diikat ke atas. Ditambah berbagai jepitan
yang diberikan para dayang-dayang. Tubuhnya matang, lekuk-lekuk keperempuanannya terbentuk sempurna. Dadanya penuh dan panggulnya membesar tepat pada tempatnya. Kulitnya bersinar seperti cahaya bulan, lembut dan kenyal.
Untuk ukuran wajah, tidak ada yang banyak berubah di sana. Orang akan selalu mengira Celia berusia dua puluh lima tahun. Garis-garis muka Celia, entah kenapa, seperti ketinggalan jauh dengan perkembangan pesat usianya. _Jiwanya melesat meninggalkan raga di tempat yang sama.
Celia ingat, Thomas telah berjanji untuk mengembalikannya ke Dunia-Makhluk-llidup. Tapi Ishtar tampaknya juga tidak ingin dikalahkan Thomas. Semua dewa-dewi beserta dayang-dayang yang pernah mengunjungi Celia di sini menyatakan kecemasan mereka terhadap keinginan Celia kembali ke Dunia-Makhluk-Hidup. Harapan untuk pulang seperti cahaya api yang tertiup angin kencang. Lemah.
Sudah tujuh tahun. Harapan yang ada memang semakin menipis.
Thomas, jangan putus harapan. Aku tidak akan melupakanmu...
"Hai, Celia."
Celia mendongak, mengedip-ngedipkan matanya, berusaha menghilangkan kolam yang berada di sana. Dewa Ea, Dewa Kebijaksaan, sedang berdiri memandanginya penuh simpati.
"Maafkan aku. Aku menyesal." kata Ea perlahan. Hatihati. "Aku sungguh menyesal membuatmu sangat sedih. Mulai hari ini aku tidak akan menggunakan suara-suara Thomas lagi di dalam kepalamu."
"Jangan" jerit Celia. pipinya memerah, menyadari betapa cepat reaksinya. "Jangan...," katanya lirih. "Aku selalu ingin mendengar suaranya."
"Aku tidak mau kau bersedih karena mendengarkan suara Thomas."
Air muka Celia menjadi lebih waspada. "Dewa Ea," katanya dengan tenang, tapi sedikit tegang. "Aku lebih baik selalu mengingat Thomas dan menjadi terluka karena hal itu, daripada tidak mendengar suaranya dan merindukannya setengah mati." Mata Celia melembut. "Aku takut melupakan semua hal yang kecil tentang Thomas."
Ea terpaku beberapa saat, menatap Celia dalam-dalam. "Ah, Celia. Kau tidak berubah selama beribu-ribu tahun...." Dia menegakkan punggungnya dan menepuk pundak Celia. Lidah-lidah air memercik, membasahi kaki Celia. "Baiklah. aku pergi dulu!"
"Tunggu" seru Celia.
Tapi Ea sudah menghilang.
"Dewa Ea...?" desis Celia. Gadis itu menghela napas berat dan menggelengkan kepalanya. Dewa Air yang satu itu memang sangat bijaksana dan aneh, tidak terbayangkan. Kebiasaannya muncul mendadak dan menghilang mendadak harus dibiasakan oleh Celia. Kalau tidak...
Ihhh...
Celia tersenyum pahit, berusaha melawan air mata yang tidak pernah kering di matanya.
Dia berada di Dunia-Atas, negeri para dewa-dewi. Negeri para penguasa jagat raya. Tempat semuanya hidup abadi. Tempat cakrawala membentang tak terhingga. Kalau mereka nyentrik, siapa yang dapat disalahkan?
Ishtar sedang berdiri di depan Cermin Penglihatan. Kabut berwarna abu-abu berputar dan melayang, berselancar di atas cermin, hanya untuk menghilang dan memunculkan imaji-imaji lain sekehendak Ishtar.
"Ishtar."
Ishtar melompat sedikit dalam keterkejutannya. Seketika cermin menggelap. Dia menoleh dan menatap Ea yang berdiri tidak jauh di belakangnya. "Ea," kata Ishtar angkuh. Dingin. "Mau apa kemari?"
"Tidak usah pura-pura. Kau tahu persis mengapa aku berada di sini."
Ishtar mendengus gusar. "Lalu kenapa? Apa yang bisa kaulakukan sekarang? Kau berada di daerah kekuasaanku. Kau tidak berhak menghentikanku begitu saja."
"Aku tidak...:
"Aha Jangan kira aku tidak tahu kau menolong Celia dengan memantrai suara suara Thomas dalam pikirannya. Kau pikir aku begitu bodoh, Ea? Kau pikir aku dewi yang lemah? Aku akan mengacaukan mantra itu. Segera, bahkan sebelum kau mengedipkan mata."
Ishtar tersenyum ketus.
"Mantra itu tidak bisa dikacaukan karena sudah tertanam di dalam pikiran Celia. Aku Dewa Kebijaksanaan dan aku dapat melakukan itu. Selama Celia mengingat Thomas, suara itu akan selalu bersamanya kata Ea tenang.
Tangan Ishtar terkepal kuat. Matanya memancarkan kemurkaan. Ia terbenam dalam kemarahan yang teramat sangat.
"Celia dan Thomas ditakdirkan untuk selamanya bersama-sama. mereka saling mencintai, Ishtar! Bagaimana mungkin menghilangkan anugerah terindah itu? Kau yang memberikannya kepada Thomas dan seluruh manusia di dunia, beribu-ribu tahun silam. Anugerah itu tidak dapat direnggut begitu saja. Seberapa besarnya usahamu, sampai-sampai tidak mau mengakui cinta itu, kau akan menghancurkan dirimu sendiri. Bukan itu saja, hati Celia akan hancur beserta semua yang Celia cintai. Mau begitu?"
Suara Ea yang lembut sangat kuat, bergema sampai setiap sudut. Ishtar tertampar telak, mundur satu langkah karena terlalu terkejut. Dia menatap Ea, matanya membelalak antara marah dan sakit hati. Tubuhnya mulai bergetar dalam kekecewaan. Tanpa sadar, Ishtar menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya pada apa yang didengarnya.
"Aku tidak akan menyakiti Celia. Aku mencintainya."
Mata biru muda Ea melembut. Air mengalir di seluruh tubuhnya, berputar-putar laksana anak-anak sungai mencari sumbernya. "Aku mohon padamu, Ishtar. Demi cinta dan kebijaksanaan, biarkan semuanya berlalu. Lupakan semua. jadikanlah sekadar kenangan indah. Tinggalkan semua dendam dan kepedihan yang tidak masuk akal ini. Biarkan Celia kembali ke Dunia-Makhluk-Hidup. Biarkan dia kembali bersama keluarganya. Lupakan Thomas dan kecemburuanmu padanya. Hancurnya energi buruk yang menghalangi mereka berdua. Aku mohon, Ishtar."
Ishtar menggelengkan kepalanya. Matanya tertutup rapat.
"Kembalikan mereka ke asalnya, lepaskan semuanya, serahkan kepada alam semesta, bebaskan mereka dari ikatanmu..."
Ishtar tertegun. Tapi ia keras kepala. "Aku satu-satunya keluarga Celia sekarang. Aku pengantinnya. Aku kekasihnya."
"Tidak. Kau Dewi Cinta, yang hidup abadi, yang menganugerahkan cinta pada semua manusia. Biarkan manusia menggunakan cinta itu sebebas-bebasnya, Ishtar. Jangan menyalibkan cinta itu sendiri. Kalau cinta itu dipaksakan pada Celia, itu berarti kau menghancurkan hatinya dan membawa pergi kebahagiaannya."
"Kau tidak mengerti, Ea... Kau tidak mengerti..."
"Tidak. Kau yang tidak mengerti. Kau mengkhianati dirimu sendiri. Kau mengkhianati cintamu sendiri." Suara Ea melembut. "Cinta... adalah kekuatan, kekuatan untuk berani merelakannya pergi, walau itu menyakitkan. Cinta... adalah ketabahan, ketabahan untuk menerima hal-hal yang sangat sulit diterima. Cinta adalah keabadian, karena cinta itu adalah jantung, pemberi kehidupan."
Ishtar membuka mata. Api dingin menari-nari di manik matanya. Tubuhnya bergetar, dia bertahan sekuat-kuatnya untuk mengontrol dirinya sendiri. "Celia bahagia berada di sini." Suaranya dingin seperti angin di musim salju. "Dia bahagia berada di sini..."
Ea masih menatap Ishtar dalam-dalam. Air mukanya tidak dapat terbaca mudah.
Wajah Ishtar mengeras. "Keluar!" bisiknya serak. "tinggalkan daerahku dan jangan pernah kembali. Celia tidak perlu dikunjungi olehmu.
Ea berdiri terpaku, tidak bergerak seinci pun. "Kau mengusirku?" katanya tenang. Setenang lautan tanpa riap ombak. "Di sini memang daerahmu, tapi bukan kau yang dapat mengusirku seperti itu. Setiap dewa berhak mengunjungi
daerah masing-masing. Kau tahu, Dewa Antu sangat serius soal yang satu itu."
Ea berputar. Sekali lagi, dia berkata dalam keteduhan. Setiap kata-katanya terdengar menyegarkan jiwa, seperti air yang sanggup menghilangkan dahaga dan kepenatan. "Baiklah, kalau itu maumu. Kita tidak akan pernah bertemu lagi, jika itu keinginanmu. Tapi kapan pun mau mengobrol, undanglah aku.
Ishtar terpaku seperti patung.
Suara Ea semakin tajam dan bernada cepat. "Biarpun begitu, aku tidak mau menghancurkan hubungan baikku dengan Celia. Aku akan selalu mengunjunginya. Aku Dewa Air. Manusia menyebutku sebagai Dewa Kebijaksanaan. Aku telah menganugerahkan mata kebijaksanaan pada Celia untuk dapat melihat dalam kegelapan. Aku telah menganugerahkan hati peka kepada Celia agar dia dapat menentukan jalan hidupnya sendiri. Biarkan Celia mendengar dengan telinga hatinya dan melihat dengan mata hatinya."
Setelah mengucapkan perkataan itu, Ea menghilang, meninggalkan Ishtar termangu memandangi ruangan hampa. Tak lama, dia ambruk berlutut. Hatinya tercabik-tabik. Jiwanya terkoyak. Bagai samudra bergejolak dalam badai dahsyat tak terkira.
**
Thomas menatap jendela pesawat terbang dengan tenang. Refleksi dari kaca bundar itu membingkai wajahnya. Matahari Sore nyaris terbenam di balik cakrawala. Hatinya berdesir, bertanya. Ke manakah matahari akan bersinar; bukankah matahari akan selalu hadir? Hari ini dia pulang
kembali ke Jakarta, membawa pulang sejuta kenangan yang telah ditinggalkannya di kota itu.
Pilot mengumumkan sebentar lagi mereka akan mendarat di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng. Para penumpang dipersilakan memasang sabuk pengaman.
Thomas mendesah. Dia tidak perlu memastikan sabuk pengamannya. Thomas telah terikat erat di kursinya.
Tujuh tahun.
Tujuh tahun telah berlalu.
Thomas telah berusia 25 tahun lewat beberapa bulan. Tubuhnya telah lebih tinggi dan lebih tegap. Otot-otot lelaki dewasa bermunculan pada tempat yang tepat, hasil dari aktivitas bela dirinya selama bertahun-tahun. Mukanya semakin tampan dengan garis-garis lembut tapi tegas tercetak di wajahnya. Dia masih lelaki yang tenang dan pemalu, tidak meledak-ledak maupun cerewet dalam celoteh. Thomas selalu irit dalam kata-kata.
Hari ini dia kembali setelah bertahun-tahun berada di negeri kangguru menuntut ilmu. Thomas berhasil membawa
pulang gelar Master of Arts dalam bidang Sejarah, dengan spesifikasi letb Ami Folklore.
Dia meme|amkan matanya. Pesawat melayang turun, mengaduk aduk perutnya yang terisi penuh kopi. Dia tidak pernah menyentuh makanan pesawat terbang. Tidak pernah mau. Makanan itu tercecap di lidahnya bagai mengunyah kardus.
Pesawat akan segera mendarat.
Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Kembalinya Si Manusia Rendah Karya
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama