Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng Bagian 3
Thomas berjalan dengan langkah ringan di lapangan berumput yang hijau. Dia memandang sekelilingnya. Patung Santo Francis masih menjulang. Langit terbentang di atas kepalanya. Biru terang, diselingi putih bersihnya awan. Semua di sini masih tampak sama. Hanya saja papan nama sekolah telah dicat ulang. Tapi warnanya masih tetap sama. Lonceng yang dahulu bekas lonceng gereja pun masih berada di puncak gedung sekolah.
Thomas berjalan dengan hati-hati, menghindari kolam air yang terbentuk karena hujan semalam. Perasaan melankolis tumbuh perlahan-lahan. Ia tenggelam dalam keterikatannya dengan masa lalu. Pikirannya mengembara dalam ruang memori.
Dia mendongak, menatap patung Santo Francis. Kenangan masa lalu seketika berdebur dan mengelupas. Di sini, tepat di sini, tujuh tahun yang lalu, dia bertemu Celia. Tidak dapat ditahan, Thomas termangu, menatap kosong ke jalan setapak. Mulutnya terbuka, ingin memanggil nama Celia agar angin dapat menerbangkan suaranya ke tempat Celia sekarang berada. Tapi, dibatalkannya. Ada sesuatu yang membisikinya bahwa Celia sudah tidak berada di dunia ini dan di mana pun. Bahkan Thomas tidak akan pernah mampu melihat Celia lagi.
Selama-lamanya.
Thomas mengedipkan mata, menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan-akan berusaha menghilangkan rasa takut saat mengetahui rahasia penting tentang takdirnya. Dia tahu, Celia memang tidak berada di sini sekarang.
"Hai!"
Thomas berbalik dan matanya menangkap seorang gadis
bercelana jins santai dan berkaus putih berjalan menyusulnya. Rambutnya pendek tapi modis. Berkacamata. Sekilas, raut wajah dan penampilannya mengingatkan Thomas pada gadis lain. Yang selalu berada di dalam hatinya. Celia.
"Hai juga," sapanya.
"Thomas, ya?"
Thomas mengamati senyum gadis itu yang secerah matahari pagi.
"Ingat, nggak?" sapanya sambil mengulurkan tangan. Thomas balas mengulurkan tangan dan menggenggam. Tangan gadis itu terasa dingin dan lembek. Thomas tidak pernah menyukai tangan seperti itu.
Dahi Thomas berkerut. Ah ya.
"Alya, kan?" tebak Thomas.
Gadis itu mengangguk gembira.
Thomas tersenyum sederhana.
"Halo, Alya. Apa kabar?" sapanya ramah.
"Baik-baik saja. Bagaimana denganmu?"
"Baik juga," jawab Thomas.
"Aku baru balik dari Australia kemarin. Pulang untuk selamanya."
"Mau cari kerja di sini?"
Thomas mengangguk.
"Balik ke negeri tercinta. Bagaimana kabarmu?"
"Sudah lulus dua tahun yang lalu. Akutansi, Universitas Trisakti. Sekarang kerja di bagian finance di perusahaan finding. Kepunyaan orang orang Korea."
"Bagaimana kabar..." Thomas menelan ludah,
"...orangtuamu? Apa mereka bisa menerima keadaan setelah peristiwa... eh, itu...."
Alya menelengkan kepala, tidak mengerti.
"Peristiwa itu... "
"Ia itu, peristiwa itu."
"Itu... itu yang mana?" tanya Alya sekali lagi. Dia berjalan merendengi Thomas menuju gedung utama sekolah.
"Itu. waktu kamu pergi meninggalkan Indoneaia... dan meninggalkan aku?" tanyanya malu-malu.
Thomas melirik Alya tanpa berkomentar lebih lanjut. Dia ragu menanggapi pernyataan Alya. Gadis itu balas melirik dan seketika membuang pandangan. Thomas menghela napas, berusaha tetap sopan dan ramah. Ia membatin, betapa miripnya wajah Alya dengan Celia, tapi betapa berbedanya sifat mereka.
"Eh, ngomong-ngomong," kata Alya.
"Ingat tidak waktu kita pertama kali kita bertemu di sini? " waktu itu kamu lagi lari kayak maling mau dikeroyok massa." Alya terkikik.
Wajah Thomas menggelap.
"Ketemu di mana?" Thomas memandang Alya tidak percaya.
"Aku tidak pernah ketemu kamu di sini.
"waktu itu aku ketemu kamu di depan pagar rumah. waktu mengantar kakakmu Celia pulang."
Alya mengerenyitkan dahinya.
"Kakak apa? Aku tidak pernah punya kakak. Aku anak tunggal, Thomas. Lupa ya?"
Thomas berhenti berjalan dan berbalik Saking cepatnya sampai Alya nyaris menabrak lelaki itu.
"Ada apa?!"
"Celia kakakmu. Kamu punya kakak, Alya. Sekarang kakakmu berada di Dunia-Atas, negeri langit. Baru tujuh tahun berlalu. Bagaimana mungkin kamu sudah lupa?" Emosinya tak terdefinisikan; terbentang antara emosi marah, frustrasi, dan panik. Thomas menekan pundak Alya, meremasnya.
"AW, sakit," kata Alya menepiskan tangan Thomas. Diamdiam, hati Alya langsung kebat-kebit. Lelaki ini menyentuhnya.
"Tenang, Thomas, jangan panik."
Thomas menarik tangannya buru-buru "Aku tidak panik. Aku sangat tenang. Justru kamu yang kelihatannya kacau dan tidak mampu mengingat dengan benar."
Alya mengerutkan kening bingung. Jangan-jangan Thomas berhalusinasi. Alya punya kakak? Yang benar saja.
"Sori, Thomas," kata Alya sopan.
"Aku tidak ngerti kamu ngomong apa. Negeri apa sih? Dunia-Atas? Aku belum pernah dengar. Yang jelas, aku punya ingatan yang cukup baik. Pikiranku masih tajam, belum jompo. Aku tahu persis aku tidak punya kakak. Hmm, kamu sedang bercanda ya?"
Thomas mengenakkan giginya dengan geram. Dia terlihat sangat syok melihat reaksi Alya.
"Bercanda?" katanya membeo.
"Aku tidak bercanda. Kakakmu bernama Celia. Dia setahun lebih tua darimu, satu angkatan denganku. Sekolahnya di sini, St. Francis International School. ingat?"
Alya menggeleng keras kepala.
Sekali lagi Thomas terlihat syok. Dia berdiri bodoh, menatap Alya dalam-dalam, mencari kebohongan di pancaran mata itu. Sejauh dia mencari, Thomas tidak berhasil menemukan ketidakjujuran di sana.
"Ini tidak mungkin," desisnya kepada dirinya sendiri. Thomas tepekur, memikirkan sesuatu.
"Ini pasti perbuatan dewa! Dia menghapus ingatan."
Alya mengerutkan keningnya.
"Apaan sih yang kamu
omong-in" tanyanya bingung. Lelaki itu bicara yang tidak-tidak.
Alya menatap Thomas. Ada berjuta-juta emosi berkelebat di mata Thomas. Alya tidak mengerti apa yang menyebabkan Thomas terlihat begitu cemas. Tak berdaya. Terenyak. Tatapan mereka bertabrakan lagi. Thomas tampak menyelidiki wajah Alya dan ketika apa pun yang sedang Thomas cari tak dapat ditemukan di sana, Thomas membuang pandangan.
Alya tiba-tiba teringat sesuatu.
"Thomas," kata Alya.
"Apa kamu sakit? Menurut Arief, temanku yang bisa melihat warna aura manusia. katanya kamu punya banyak energi buruk yang tidak baik untuk kesehatan." Alya menunjuk dada Thomas.
"Betul begitu?"
Thomas tidak menjawab apa-apa.
"Mungkin energi buruk dapat mengacaukan ingatanmu?" Dalam hati Alya menebak, jangan-jangan Thomas punya penyakit mental yang parah. Jangan-jangan Thomas perlu janji temu dengan psikiater.
Hening. Tiba-tiba dunia berubah menjadi ruangan kedap suara. Thomas berbisik,
"Celia ada. Nyata. Aku tidak mengada-ada. Ini bukan khayalan yang tidak masuk akal. Ini juga bukan masalah energi buruk. Ingatanku tidak kacau."
Bagaimana dengan penyakit mental, usul Alya dalam hati. Tapi dia tidak sanggup mengatakan kalimat itu.
"Ya.... mungkin ingatanmu tidak kacau. Tapi, bagaimana mungkin aku dan orangtuaku tidak tahu-menahu tentang... siapa tadi namanya?"
"Celia..." gumam Thomas berat hati.
"Ya, Celia..." Alya mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa foto.
"Lihat yang ini? Ini foto keluargaku tujuh tahun yang lalu. Hanya aku dan kedua orangtuaku. Yang ini? Ini foto beramai-ramai ketika nenekku berulangtahun ke-90. Seluruh keluarga besar berkumpul. Lihat, tidak ada satu pun yang tidak kukenal."
Thomas mengambil foto-foto itu dan memandangnya lekat-lekat. Satu per satu diperhatikan. Pada foto terakhir, napasnya berhenti. Dia nyaris memekik.
"Ada!" seru Thomas. Jarinya menunjuk sesuatu.
"Ini! Ini dia, fotonya. Lihat? Ini. Ini Celia."
Foto itu foto serombongan anak muda yang sedang piknik atau jalan-jalan di pegunungan. Mereka duduk berpose di atap baru dengan gaya masing-masing. Alya menatap foto itu dan mengenyitkan kening, bingung.
"Itu aku, Thomas. Dulu rambutku panjang, sebahu."
Thomas mendekatkan wajahnya.
"Itu Celia! Aku yakin."
"Ya ampun, Thomas!" kata Alya tegas.
"Itu aku. Ini acara kemping waktu kenaikan kelas. Bagaimana mungkin kamu bisa lupa? Kamu juga ikutan."
Alya menarik foto dari tangan Thomas, kesal. Dengan berat hati Thomas merelakan Alya mengembalikan foto-foto itu ke dalam dompet.
Tiba-tiba sebentuk pikiran mampir di benak Thomas.
"Aku tahu!" serunya bersemangat.
"Buku tahunan! Pasti ada nama Celia di sana! Ayo, kita pergi ke perpustakaan!" Thomas menyambar tangan Alya dan menyeretnya memasuki pintu gedung utama.
Di dalam. mereka nvaris menabrak seseorang.
"bu Larouner' seru Thomas. Dia tidak percaya pada keberuntungannya.
Ibu Caroline mengerutkan kening sejenak lalu sebuah senyum lebar menghias wajahnya.
"Ah. Thomas... dan Alya. Apa kabar? Kamu tinggi sekali, Thomas. Sudah jadi orang penting, ya?" katanya ramah.
"Orang penting? Biasa-biasa saja, Bu" jawab Thomas merendah. Sebelum Ibu Caroline sempat membuka mulut. Thomas melanjutkan terburu-buru.
"Bu Caroline, apa Ibu ingat punya murid bernama Celia? Dulu dia murid kesayangan Ibu karena hebat bermain musik. Dia kakak Alya."
Ibu Caroline terdiam sejenak, berpikir. Tak lama kepalanya menggeleng perlahan-lahan.
"Celia? Saya tidak pernah mendengar nama itu. Setahu saya, Alya tidak punya kakak di sekolah ini. Benar kan, Alya?"
Alya mengangguk menyetujui ucapan Ibu Caroline. Thomas terpana.
Ibu Caroline hendak membuka mulut lagi, tapi Thomas bergegas melewatinya. Tangannya masih menggandeng Alya. Gadis itu tersaruk-saruk mengikuti.
"Sori, Bu," seru Thomas di sela-sela langkahnya.
"Saya pergi dulu ya. Mau ke perpustakaan. Kapan-kapan kita ngobrol lagi." Tanpa basa-basi selanjutnya, Thomas menyeret Alya, meninggalkan Ibu Caroline yang masih terbengong-bengong.
"Thomas!" seru Alya.
"Tunggu... jangan menarikku seperti ini... Tunggu! Pelan-pelan..."
Thomas berbelok memasuki pintu perpustakaan tanpa melepaskan tangan Alya. Lalu dia berjalan menuju lemari buku dekat jendela besar. Kepalanya mendongak.
"Ini dia!" serunya bersemangat.
Thomas menenteng buku tahunan itu. Dia bergerak menuju meja terdekat. Dia mengempaskan tubuhnya di sana dan langsung membalik-balik halaman. Mulutnya bergumam. Alya ikut-ikutan menarik kursi, duduk di sebelah Thomas. Gadis itu bertopang dagu. Tungkainya disilangkan di bawah meja, terayun-ayun.
Lima menit berlalu. Thomas masih membalik-balik halaman.
Sepuluh menit...
Lima belas menit...
Mata Thomas yang tadinya bersinar perlahan-lahan meredup.
"Ketemu?" tanya Alya.
Thomas masih membalik-balik halaman.
Alya menggelengkan kepala.
"Thomas, coba dengarkan baik-baik. Aku tidak tahu dari mana kamu tiba-tiba mendapatkan ilham seperti itu. Mungkin karena kamu terlalu banyak latihan tenaga dalam. Aku dengar-dengar, energi yang terkumpul bisa mengacaukan pikiran." Alya menghela napas dan melanjutkan.
"Pokoknya, aku, orangtuaku, Ibu Caroline, dan bahkan buku tahunan ini tidak memberikan penjelasan sedikit pun tentang cewek yang ada di dalam ingatanmu. Mungkin kamu lagi ruwet, Thom. Coba dong terima kenyataan. Tidak Ada! Cewek! Yang! Bernama! Celia!" kata Alya tegas.
"itu saja. Sangat sederhana, kan? Jangan membebani pikiranmu dengan hal-hal yang tidak perlu. Nanti stres."
Thomas mendongak dan menatan wajah Alva. terlihat
sangat khawatir. Dia menyesal mempermasalahkan hal ini kepada Alya. Dia malu sekali.
Bagaimana jika Alya benar dan dia yang salah? Entah bagaimana caranya. mungkin energi buruk yang tadi disebut-sebut oleh Alya memang mengacaukan pikirannya. Celia sebenarnya bukan siapa-siapa. hanya eksistensi yang dimiliki oleh orang lain tapi tanpa sengaja mampir di kepala Thomas.
Tapi...
Secercah pikiran membuat hatinya perih. Jika Celia benar-benar tidak ada, berarti kenangan masa lalunya hanyalah sebuah kegilaan. Bahkan kebohongan besar. Thomas berusaha membayangkan pertemuannya pertama kali dengan Celia, tanpa Celia. Mungkinkah Celia adalah Alya saat itu? Mereka mirip. bukan? Apakah dia berhalusinasi?
Tapi Thomas tidak mampu melepaskan ingatan akan Celia.
Alya dan Celia adalah dua manusia yang berbeda.
Celia menjadi bagian dari dirinya. Tidak dapat terlepas. Rasanya Thomas sudah mengenal Celia beribu-ribu tahun lamanya. Ada sesuatu di masa lalunya yang tidak dapat dijelaskan dengan mudah oleh Thomas. Dan itu semuanya berhubungan erat dengan Celia.
Terus terang, dia belum pernah merasakan gelora emosi yang demikian berbeda dengan gadis-gadis lainnya. Bahkan
ketika dia menuntut ilmu di Australia. Begitu banyak gadis cantik dan menarik di sana, tapi Thomas tidak merasakan daya tarik sebesar daya tarik Celia kepadanya.
Apakah benar dia gila? Sudah sinting? Terlalu berpikir yang bukan-bukan? Terlalu banyak mengkhayal? Perlu konseling?
Gila atau tidak, Celia adalah bagian dari hidup Thomas yang tidak ingin terhapus begitu saja. Bagai debu menghilang diembus angin. Bagai buih lenyap diserap pasir pantai.
Suara-suara mulai membisikinya lagi.
"Celia masih hidup. Dia nyata dan dia ada."
"Kau tidak akan pernah bertemu dengannya |agi."
Alya memperhatikan wajah Thomas, penuh perhatian. Khawatir. Cemas. Bergumul menjadi satu.
Thomas tidak mampu lagi membiarkan pandangan mata Alya membunuh hatinya. Dia berdiri dan berjalan gontai keluar dari perpustakaan.
Lima menit berlalu.
Alya memutuskan keluar dari perpustakaan dan mencari Thomas. Entah di mana lelaki itu berada. Langkah kaki Alya berketak-ketuk di sepanjang lorong.
Mendadak dia berhenti.
Telinganya menangkap suara-suara janggal yang berasal dari ruang
Ruang musik?
Alya mengangkat tangan dan mengetuk pintu. Tidak ada yang membuka. Gadis itu menempelkan telinganya di daun pintu. Benar, terdengar suara... Suara musik yang dibunyikan sembarangan.
Alya menekan hendel pintu, mendorong, dan segera tatapannya terpaku. Thomas berada di dalam sana. Di bahu-nya terletak sebuah biola. Dia sedang memainkannya dengan sorot mata tajam. Nada-nada yang terdengar sangat kacau.
"Thomas?" seru Alya, terlalu terkejut untuk bereaksi lebih daripada itu.
Thomas menurunkan biola dan mengangsurkannya di depan Alya.
"Ini biola... milik Celia. Lihat, namanya tergraver di sini." Suaranya sarat dengan kesedihan.
Alya tidak tahu harus berbuat apa. Terpaksa dia maju dan menerima biola dari tangan Thomas.
"Ce... li... a...," eja Alya perlahan-lahan. Lalu mendongak memandang Thomas.
"Ada banyak Celia di sekolah ini, Thom."
Thomas menghela napas frustrasi.
"Bagaimana caranya meyakinkan kamu? Aku tahu Celia nyata. Aku bisa merasakan..."
Tatapan Thomas terlihat menderita. Garis-garis ketampanan yang terpahat di wajahnya tampak tak bercahaya. Ada sejuta perasaan yang dapat ditafsirkan di sana. Putus asa. Ketakutan. Cemas. Nyeri. Pedih. Rindu. Tangan Alya mendingin.
"Di mana Celia sekarang?" suara Thomas bergetar, nyaris seperti bisikan. Dia meneliti wajah Alya.
Thomas mengangkat kepalanya perlahan-lahan, memandang lurus ke depan. Pancaran penuh luka tapi ketetapan hati terlihat jelas di matanya. Melihat seperti itu, Alya seperti tidak berada di ruangan ini, pada dimensi ini, pada saat ini. Hanya Thomas di sana. Hanya Thomas yang menjadi bagian dari ruangan, dimensi, dan waktu. Astaga, desis Alya terpana. Mata Thomas memancarkan jutaan emosi yang semakin lama semakin kuat.
"Alya," bisik Thomas.
"Aku mencintainya... dan aku takut dia tidak tahu apa-apa. Aku bisa mati membayangkan apa
yang terjadi pada dirinya." Suaranya tercekik.
"Sekarang... Di sini... tidak ada seorang pun mengingatnya. Mungkin saja Celia sudah tidak eksis lagi. Hanya pikiranku yang mengada-ada...."
Mata Alya panas terbakar dan lehernya kering. Dia selalu membenci suasana yang sarat duka. Mengumpulkan keberaniannya, Alya mendekati Thomas dan menyentuh bahunya.
Sentuhan Alya memberikan sinar dalam kegelapan hidup Thomas. Seperti setetes embun mengalir di mulut yang dahaga.
"Kamu kelihatannya capek sekali. Kamu masih gering ya? Yuk, kita ngopi dulu." ajaknya.
"Lupakan masalah ini sejenak. Kamu perlu istirahat."
Sebenarnya Thomas tidak ingin ke mana-mana. Tapi kelihatannya Alya berusaha keras untuk menghibur hati Thomas.
"Di mana?" tanyanya. diam-diam mengiyakan ajakan Alya.
"Di mana aja, terserah. Punya tempat favorit ngopi?" Alya balik bertanya.
Thomas menggeleng.
"Tidak punya tempat favorit. Aku baru balik dari Australia, tidak familier lagi dengan tempattempat di Jakarta."
"Bagaimana kalau ke Coffee Club di Plaza Senayan?"
Thomas ingin berterima kasih kepada Alya yang berusaha membantu menghilangkan kesedihannya. Penahan-lahan dia mengangguk.
**
ISHTAR memandang Cermin Penglihatan di depannya. Dia menghabiskan banyak waktu memonitor Thomas di dunia makhluk hidup. Ishtar menghela napas. Dia belum dapat beristirahat dengan tenang semenjak Thomas berjanji akan menemukan dan mengembalikan Celia ke bumi.
Pemandangan yang menyenangkan terpapar di depan matanya. Keberadaan Celia di Dunia-Makhluk-Hidup telah terhapus sepenuhnya berkat mantra yang dilepaskan Ishtar. Hanya Thomas yang masih mengingat Celia karena mereka berdua mempunyai titik energi yang berhubungan. Tapi bahkan sekarang, Thomas juga mulai meragukan apakah kehadiran Celia dalam hidupnya benar-benar nyata.
"Thomas, dengar ya." Suara Alya terpancar keluar dari Cermin Penglihatan.
"Aku tidak mengerti bagaimana menerangkan hal ini padamu. Yang jelas, tidak ada yang mengingat Celia. Itu fakta. Berarti, Celia tidak ada di dunia ini. Kamu harus menerima kenyataan itu atau kamu akan gila mengkhawatirkan seorang gadis. yang tidak benar-benar nyata, Teman."
Senyum dingin merekah di wajah Ishtar.
Sangat sempurna. jika semua berjalan lancar seperti ini, kemenangan akan berada di pihak Ishtar.
Senyum Ishtar berubah menjadi tawa ketika menatap wajah Thomas yang perlahan-lahan berubah. Tampaknya lelaki itu mulai menyadari kebenaran kata-kata Alya.
Ishtar menonton Thomas keluar dari perpustakaan dengan air muka lemas. Lelaki itu masuk ke salah satu ruangan, menutup pintu, dan menatap sesuatu dengan nanar. Menggunakan satu tangan, dia menyambar benda itu, mengelusnya lembut, dan menupangnya di bahu. Thomas menggesek dawai biola pada senarnya. Nada-nada lembut tapi sedikit kurang harmonis mengisi udara. Thomas menutup mata sambil terus menggesek. Perlahan-lahan dua tetes air mata meluncur turun.
Ishtar tertawa keras.
Terdengar sedu sedan lagi, melayang bersama angin dingin. Sangat perih. Pedih. Ngilu dan nelangsa.
Ishtar berhenti tertawa.
Tunggu
Suara itu bukan berasal dari Cermin Penglihatan.
Ishtar berputar. Cermin menggelap. Kabut bergelombang menghilang.
Celia berdiri di ujung ruangan, menatap nanar ke arah cermin. Air mata mengalir turun di pipinya. Gadis itu menangis tanpa suara. Matanya memancarkan kesedihan dan kesenduan.
...dan letupan kemarahan. Dendam.
Ishtar tergagap, tanpa sengaja mundur satu langkah. Bersandar pada cermiin agar tidak terjatuh, sayapnya terlipat di
Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belakang. "Celia..." Suara yang keluar sangat serak. "Kenapa kau ada di... di..."
"Menonton...," jawab Celia. Suara itu seperti hantu, sukma. Berguna. Mendirikan bulu roma. "Sama seperti kau... menonton..."
"Celia...," bisik Ishtar. dangan marah. Aku... aku..."
"Busuk" seru Celia dengan suara rendah. Energi negatif gadis itu mulai menyelubungi tubuhnya yang bergetar hebat. "Kau menertawakannya. Aku tahu kehencianmu pada Thomas. Tapi... bagaimana mungkin kau bisa begitu gembira di atas penderitaan orang lain? Bagaimana mungkin kau bisa tertawa ketika Timnas sangat... sangat..." Suara Celia pecah dalam kesedihan. Setengah mati dia berjuang menahan air mata yang akan turun. _Jemarinya terkepal kuat dan kepalanya menggeleng-geleng tidak percaya.
"Percayalah, Celia... bukan maksudku..."
"Bukan maksudmu?! Jadi apa maksudmu?!" Celia tertawa sinis di tengah-tengah hamburan air matanya. "Keluargaku," katanya melengking, lidahnya terasa pahit mengucapkan kata-kata selanjutnya, "...telah melupakanku. Lupa! Hanya Thomas yang mengingatku dan dia mengira dirinya gila karena hal itu. Lalu kau santai-santai di sini dan menertawakannya"
"Celia..." bisik Ishtar dalam keputusasaannya.
"Kau tahu ini terjadi! Kau telah mengamat-amati Thomas dan keluargaku selama bertahun-tahun! Jangan-jangan kau juga yang membuat mereka melupakanku. Aku tidak heran. Kau bilang kau mencintaiku tapi kau tega menyakitiku dan keluargaku! Kau pembohong. Celia berdiri tegang, tubuhnya bergetar hebat.
Ishtar tidak bergerak. Secercah cahaya penyesalan membakar manik matanya.
Celia kehilangan semangat. Bahunya merosot turun dan energinya mati perlahan-lahan. Dia menghapus air mata dengan punggung tangan.
"Kupikir aku mengenalmu dengan baik. Dahulu... sekarang.... Aku ingin mencintaimu dengan cinta sederhana, tanpa perlu bersatu. Bukankah hal itu bisa terjadi? Kupikir kau mencintaku tanpa syarat. Cinta yang tulus dan tanpa tekanan. Kupikir... kupikir..." Celia menelan ludah dan menunduk.
Ishtar ingin mengatakan sesuatu... apa saja... untuk menetralisir situasi yang kacau ini. Dia ingin menghaluskan ucapan Celia. Ingin menghilangkan kilatan tajam mata Celia. Ingin memenangkan cinta Celia. Ingin memeluk tubuhnya. Ingin ....
Tapi tidak ada kata apa pun yang keluar dari mulut Ishtar.
Celia mendongak. Air di matanya masih tergenang. tapi kali ini sorotan matanya sangat tegas dan yakin. Dia mengumpulkan keberaniannya sebelum berkata. "Aku pergi, Ishtar," katanya lembut dan serak. "Aku akan mencoba segala cara agar dapat meninggalkan kerajaanmu dan kembali ke duniaku. Aku akan melakukan segala hal agar aku dapat bebas, walaupun nyawaku menjadi taruhannya."
Sehabis berkata seperti itu, Celia berbalik dan berjalan cepat.
Ishtar terlalu terkejut untuk bereaksi. Seluruh tubuhnya kaku, tak mampu bergerak. Tangannya terulur, teracung di udara. "Jangan...," bisiknya pilu. "Celia sayang..."
Tapi Celia telah menghilang.
"Jangan tinggalkan aku..."
Ishtar berdiri dalam keheningan. Wajahnya mendongak, menatap sejuta bintang yang berkelap-kelip di langit bekti. Air mata es meluncur turun di pipinya.
**
"Hai, manusia."
Terdengar sapaan familier. Halus, seperti suara angin berembus ringan. Enka membuka matanya. Senyumnya seketika mengembang lebar.
"Hai juga, monster cantik. Lagi tidak ada kerjaan di langit ya?"
Nannia mengangguk. "Bicaranya pakai suara telepati dong."
"Oya, lupa." Enka berdiri dan membagi tempat duduknya untuk Nannia.
"Ngomong-ngomong, suaramu yang asli merdu juga ya. Pernah berpikir untuk bekerja sebagai penyanyi kuil?"
Nannia tidak menanggapi perkataan Enka. Dia terenyak duduk asal-asalan. Tidak terlihat rona merah di air mukanya.
(Kenapa? Kok murung"
"Kita ketahuan, Enka. Ayah sangat marah."
Ucapan Nannia seperti guntur di siang bolang. Enka membalik terkejut. "Benarkah?"
Lamar-lamat Nannia mengangguk. "Benar."
"Jadi bagaimana sekarang? tanya Enka. "Apa aku akan dihukum?)
"Enka!" Sayap Nannia berkepak hebat. Jangan bercanda. ini masalah serius." "Aku serius." Nannia menunduk. Beberapa saat berlalu dalam keheningan. Enka menanti sabar. "Bagaimana kabar Ishtar?" tiba-tiba Nannia bertanya. "Dewi Ishtar?" Enka balik bertanya. Dahinya berkerut. (Apa hubungannya dengan Ishtar? Ada apa dengan dia?" "Karena... karena..." Nannia berhenti mendadak, tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Matanya menghunjam, memandang ke belakang punggung Enka. Menyadari betapa anehnya Nannia, perlahan kepala Enka berputar, mengikuti arah pandangan mata kekasihnya. Nun jauh di sana, seorang gadis cantik berdiri terpaku memandangi mereka berdua tanpa berkedip. "Siapa dia?" tanya Enka ragu-ragu, berusaha menebaknebak. Sejujurnya, dia belum pernah melihat gadis itu di lingkungan perkampungannya. Nannia membuang muka sedih. Enka semakin penasaran. "Apakah dia mengenaliku?" tanya Enka salah tingkah. "Kelihatannya dia bisa mendeteksi keberadaanmu di sini. Apakah kau melakukan penampakan sekarang. lanjutnya beruntun. Nannia perlahan-lahan mengangguk. "Gadis itu Ishtar," bisiknya. Mulut Enka terbuka, hendak memberikan komentar. Tapi Nannia langsung melanjutkan tanpa memberi kesempatan pada Enka. "Dia mengubah diri menjadi manusia, dibantu mantra ayahku. Ya, Enka, dia dapat melihatku karena energi kami sebagai makhluk
immortal saling berhubungan, walaupun dia sudah menjadi manusia." "Ishtar? Dewi Ishtar, Dewi Cinta dan Perang?" Enka tergagap. Ia terkesima, tersihir. Tak percaya. Tak ingin percaya. Sekali lagi Nannia mengangguk. "Apa tidak salah?!" Mata lelaki ini membelalak tidak percaya. "Mengapa dia mengubah diri menjadi manusia?" Nannia mengambil napas dalam-dalam. Sayapnya berkepak lembut. Dia memandang Enka tanpa berkedip. (Karena dia jatuh cinta padamu, Enka." Enka semakin terpana. "Apa...?"
**
Thumas meletakan double "premi-nya di atas meja bundar. Tadi dia nyaris memesan m'plc ciprerm, tapi tatapan tidak menyetujui dari Alya menahan dirinya. Di depannya, Alya memesan itu! .
Entah mengapa, Thomas tahu, fred chocolate bukanlah minuman Celia. Kalau dia bernama Celia sekarang. gadis itu pasti memesan... Thomas berpikir keras. Pasti cheese cake dengan segelas air putih dingin.
Lagi-lagi Celia.
Thomas menutup mata dan menggelengkan kepalanya. Tidak, dia tidak boleh mengingat Celia. Kenangan akan Celia bisa membuatnya gila. Padahal, Celia tidak pernah benar-benar ada. Mengapa dia tidak bisa menerima kenyataan itu?
Setengah bagian dari dirinya ingin menyerah saja. Akan sangat mudah untuk memercayai Alya, kedua orangtuanya1 Ibu Caroline. dan buku tahunan sekolah. Akan sangat mudah untuk menerima kemungkinan bahwa Celia hanyalah bayang-bayang yang tidak pernah ada, yang memanipulasi otaknya.
Tapi.
Setengah bagian dari dirinya yang lain menjerit, mengatakan bahwa kenangan akan Celia adalah kebenaran yang tak terbantahkan. Bahwa Celia dan perasaan cinta Thomas padanya adalah hal paling nyata yang pernah Thomas alami.
"Thomas?" Alya memanggil Thomas turun dari awangawang pemikirannya. Hati gadis itu menjadi sedih sekali lagi. Melihat semangat hidup Thomas yang meredup seperti ini bagaikan melihat burung elang yang sayapnya terpenggal.
"Apa?" tanya Thomas singkat.
"Mau classic cake?" tanya Alya.
Thomas membuka matanya lebar-lebar. Classic cake? Tunggu. Jangan-jangan...
"Mau cheese cake nggak?" ulang Alya sekali lagi. Mulai gemas. Aduh, bagaimana sih Thomas ini. Cakep sih cakep, tapi terkadang tulalit...
Thomas menggelengkan kepala, mengusir pening yang menyergapnya. Lupakan. Lupakan semua ini. Mungkin dia memang lagi berhalusinasi. Mungkin Alya bukan Celia, pada akhirnya. Mungkin mereka sama, pada akhirnya.
Memaksakan sebuah senyum Thomas berkata,
"Boleh juga."
Alya balas tersenyum dan memanggil pelayan.
Dunia-Atas dalam keadaan tegang Seperti bom yang siap meletus kapan saja. Antu sedang berusaha berbicara dengan anaknya, Nannia. Mulanya, terjadi komunikasi yang biasa-biasa aja. Tapi perlahan-lahan, nada suara Antu menggelegar.
"Nannia!" jerit Antu penuh kemarahan. "Apa kau sudah gila? Mencintai manusia seperti itu? Kau sengaja memalukan ibumu dan ketujuh saudaramu?!"
"Apakah ada yang salah dengan cinta?" balas Nannia getir. Dia melotot memandang ibunya. "Ishtar juga mencintai manusia, bukan dewa. Lelaki yang sama!"
"Aku tidak peduli pada Ishtar. geram Antu. "Aku hanya peduli pada anak-anakku."
Mata Nannia membeku dalam ketegangan. "Jangan melarang-larang, Ibu! Aku akan tetap mencintai Enka, menjalani kehidupan yang digariskan ayahku di langit! Akan kubuktikan-"
"Kau tidak harus membuktikan apa-apa" jerit Antu. "Aku ibumu! Dengarkan kata-kata ibumu, Nannia! Jangan sekali-kali "
"Hah! Lihat saja sendiri! Ibu tidak bisa berbuat apa-apa. Cintaku lebih kuat daripada apa pun. Akan kubuktikan. Sambil berkata seperti itu, Nannia berbalik dan menghilang.
Antu menggeram semakin keras. Tangannya terkepal erat. "Kalau begitu, akan kulakukan segala cara agar hubungan tidak masuk akal ini tidak akan pernah bisa terjadi. Kau dengar itu, Nannia?! SEGALA CARA!"
**
Ea bergerak-gerak gelisah. Air berputar-putar di tubuhnya. membiaskan efek basah , insting kedewaannya merasakan sesuatu yang salah. Semuanya tampak salah.
Dia tahu, di bumi hanya Thomas yang mampu mengingat Celia dengan baik.
Ea memutuskan untuk mengunjungi Celia.
Celia sedang duduk terpaku di ranjangnya. Matanya kosong menatap satu titik kosong. Ea memerhatikan Celia. Rasa prihatin menyisip di hatinya. Dia merasakan getaran hati Celia yang resah dalam kepiluan.
"Celia," sapa Ea.
Celia tidak menoleh. Gadis itu bahkan tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya, seakan-akan seluruh jiwanya berada di tempat yang jauh sekali. Untuk sementara tidak ada yang bertanya. Ea sebenarnya mengharapkan tanggapan Celia, tapi gadis itu hanya diam. Momen berlalu.
"Apa... apa... Thomas baik-baik saja?" akhirnya Celia bertanya setelah bermenit-menit diam. Ea tersesat dalam intonasi suara Celia yang tak terdefinisikan artinya.
"Thomas melawan semuanya. Mati-matian," jawab Ea. Mantra itu bekerja terlalu sempurna di Dunia-MakhlukHidup. Seluruh keluarga dan siapa pun yang mengenalmu telah lupa. Memori mereka dihapuskan. Harusnya kenanganmu juga menghilang perlahan jika... jika... Thomas dapat melupakanmu dan mulai mencintai gadis lain. Tapi Thomas... tidak " suara Ea semakin pelan, melembut, "tidak pernah... tidak... sanggup..."
Celia menggigit bibirnya. Thomas... desah Celia dalam hati. Terima kasih untuk terus mengingatnya. "Apa kau bisa menghapus mantra, agar mereka dapat mengingatku kembali?" Katakan ya. harap Celia dalam hati.
**
tadi, insting kedewaannya merasakan sesuatu yang salah. Semuanya tampak salah.
Dia tahu, di bumi hanya Thomas yang mampu mengingat Celia dengan baik.
Ea memutuskan untuk mengunjungi Celia.
Celia sedang duduk terpaku di ranjangnya. Matanya kosong menatap satu titik kosong. Ea memerhatikan Celia. Rasa prihatin menyisip di hatinya. Dia merasakan getaran hati Celia yang resah dalam kepiluan.
"Celia," sapa Ea.
Celia tidak menoleh. Gadis itu bahkan tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya, seakan-akan seluruh jiwanya berada di tempat yang jauh sekali. Untuk sementara tidak ada yang bertanya. Ea sebenarnya mengharapkan tanggapan Celia, tapi gadis itu hanya diam. Momen berlalu.
"Apa... apa... Thomas baik-baik saja?" akhirnya Celia bertanya setelah bermenit-menit diam. Ea tersesat dalam intonasi suara Celia yang tak terdefinisikan artinya.
"Thomas melawan semuanya. Mati-matian," jawab Ea. "Mantra itu bekerja terlalu sempurna di Dunia-Makhluk Hidup. Seluruh keluarga dan siapa pun yang mengenalmu telah lupa. Memori mereka dihapuskan. Harusnya kenanganmu juga menghilang perlahan jika... jika... Thomas dapat melupakanmu dan mulai mencintai gadis lain. Tapi Thomas... tidak..." suara Ea semakin pelan, melembut, "tidak pernah... tidak... sanggup "
Celia menggigit bibirnya. Thomas... desah Celia dalam hati. Terima kasih untuk terus mengingatnya. "Apa kan bisa menghapus mantra, agar mereka dapat mengingatku kembali?" Katakan ya, harap Celia dalam hati.
Ea ingin sekali mengangguk untuk menyenangkan hati sahabat manusianya. Tapi dia tahu, Celia berhak mendapatkan kebenaran. Maka dia menggeleng dan menjawab, "Tidak bisa, Celia. Mantra itu terlalu kuat untuk ukuranku."
Celia menghela napas.
"Kecuali..."
Celia membatu. "Kecuali...?"
"Kecuali jika kau dan Thomas berhasil menghancurkan energi itu."
"Energi apa?" tanya Celia berharap.
"Energi gabungan sayap Utukki dan darah Dewi Antu. Energi yang menculik dan menahanmu di sini. Energi yang sama juga, yang membangunkan Ishtar dari tidur panjangnya." Ea menunjuk dada Celia. "Energi itu tertanam di sana."
"Bagaimana caranya menghancurkan energi ini?"
"Sepuluh tahun..."
Tubuh Celia bagai terempas ke dalam jurang. "Sepuluh tahun " gumamnya. Jiwanya serasa terbetot lepas dari raganya, melayang-layang dengan amat perlahan. Bagai kehilangan bobot tubuh dan gravitasi bumi. "Sehari aja aku sudah tidak sanggup berada di sini. Apalagi sepuluh
tahun..."
"Celia, sepuluh tahun itu hanyalah angka relatif. Ingat, apa yang telah digariskan di langit, selalu dapat ditulis ulang. Masa depan dapat berubah Celia. Kau mempunyai kemampuan untuk mengubah masa depan. Dengarkan, kau masih manusia. Manusia mempunyai kekuatan mahadahsyat terhadap segala pahit-getir kehidupan."
Sejenak cahaya harapan berbinar di mata Celia, tapi masih terbakar api ketidakpercayaan. (Bagaimana dengan Dewa Ellil yang dapat mengubah takdirku? Apakah dia mau mendengar permohonanku?) "Kalau itu aku tidak bisa menebak. Emosi Ellil sulit diduga. Dia nyentrik." Wajah Celia tidak berubah. Dia sudah terbiasa dengan para dewa yang nyentrik. "Lantas, bagaimana caranya keluar dari kerajaan tolol ini?" Ea tidak menjawab sedikit pun. "Katakan padaku, Ea. Tolong. Jangan ada kebohongan lagi. Aku mohon padamu." Ea memalingkan wajah, tidak tahan disorot pancaran sedih di mata Celia. jangan ada kebohongan lagi. Celia benar. Ea akan menunjukan sedikit bantuan kepada manusia ini. "Melalui jalan kabut " Kepala Celia tegak dan matanya bersinar-sinar. Ea lupa betapa cantiknya mata itu. Kenangannya kembali pada tujuh ribu tahun yang lalu. Brengsek kau, Hibur:. Ea menghela napas. Betapa ironisnya. Dialah Dewi Cinta yang memberikan cinta kepada manusia, tapi harus menderita karena cinta. "Jalan kabut?" "Jalan kabut yang memusingkan. Tidak ada manusia yang sanggup melewati jalan kabut. Bisa berminggu-minggu terjebak di sana. Berputar-putar di tempat yang sama. Nyawa menjadi taruhannya." Celia menegakkan bahunya. "Aku akan mempertaruhkan
nyawaku demi Thomas." Matanya menyorot tajam kepada Ea. "Aku mencintainya tanpa syarat, Ea."
Ea terkesima. Suara itu menggema, bertalu-talu dalam pikiran Ea.
Beribu-ribu tahun yang lalu...
**
"Aku mencintainya tanpa syarat, Ea"
Ea menatap Ishtar yang kacau-balau. Wajah Dewi Cinta ruwet dan berantakan. "Kau tidak mungkin turun ke DuniaBawah, Ishtar! Apa kau sudah gila?! Kau tahu peraturannya. Semua dewa-dewi Dunia-Atas dapat terbunuh di sana."
Ishtar mengepak-ngepakan sayapnya, kalap. Udara bergasing-gasing dengan temperatur yang dapat seketika membekukan air mendidih.
Manusia yang dicintainya, Enka, mencintai monster Utukki termuda, Nannia. Akibatnya... Raja Langit murka. Antu memaksa Enka untuk melupakan Nannia, tapi Enka tampaknya tidak dapat dipaksa begitu saja. Dewa Langit kehilangan kesabaran dan membunuh Enka.
Enka mati. Ya, mati. Sama seperti prosedur kematian para makhluk hidup, Enka harus menghadap Pengadilan Tinggi Kerajaan Langit sebelum ditempatkan di Dunia-Bawah, tempat roh-roh manusia berada setelah kematian.
Sekarang Enka berada di Dunia-Bawah dan Ishtar merindukannya setengah mati.
"Aku akan melewati Tujuh Gerbang itu!)
Tidak sembarang dewa dapat pergi ke Dunia-Bawah. Untuk itu, ada tujuh gerbang raksasa menuju Dunia-Bawah yang dijaga monster-monster tingkat tinggi.
"Kau sudah kehilangan akal sehatmu, Ishtar. Jangankan tujuh, satu saja tidak mungkin. Kalaupun bisa, Dewi Ereshkigal akan membunuhmu seketika."
Tapi Ishtar tidak dapat dinasihati. Hatinya telah berketetapan dan pikirannya mantap. Itulah yang terjadi. Dia tewas di Dunia-Bawah. Tapi Ea menyelamatkannya dengan Air Kehidupan. Antu, Dewa Langit, akhirnya jatuh kasihan kepada Ishtar. ia menulis ulang jalan hidup Enka lima ribu tahun selanjutnya di atas Kitab Takdir. Cinta Enka dan Nannia akan diuji berkali-kali sebelum mereka dapat bersatu. Jika mereka tidak lulus, Enka akan menjadi milik Ishtar.
Pertama, mereka harus tetap saling mencintai selama beribu-ribu tahun.
Kedua, mereka harus tetap saling setia di tengah-tengah kekacawan yang terjadi.
Ketiga, mereka...
Ada begitu banyak syarat yang harus dilewati sempurna oleh Enka dan Nannia. Mereka tidak dapat melakuan kesalahan sekecil apa pun. Syarat terakhir adalah syarat yang paling mengerikan. Ea bergidik membayangkannya.
Syarat itu berkata mereka harus tetap saling mencintai walau hidup dalam dua "dunia" berbeda.
Ishtar berdiri di pojok surga kristalnya. Di atas kepalanya, langit terbelah. memberikan penglihatan luar biasa indah. Bintang berkedip-kedip terang. Angin beku bertiup melolong. Cahaya dingin bulan menyinari Ishtar tanpa belas kasihan. Langit merah bagai terbakar.
**
Celia berniat melarikan diri. Ishtar sudah tahu itu. Pasti Ea memberikan petunjuk kepada Celia agar dapat kabur dari kerajaannya. Energi Celia tidak dapat lagi dirasakan di mana pun.
Semuanya gara-gara Thomas...
Ishtar menunggu sesuatu. Dia merasakan kegelisahan yang mengungkungnya, efek dari penantian. Sepasang sayapnya bergerak-gerak tidak sabar. Menit demi menit berlalu.
Tak lama, Ishtar merasakan kehadiran sesuatu di belakangnya. Dari kegelapan, muncul tujuh mata bercahaya merah darah.
"Kami di sini, Ishtar."
Tujuh monster Utukki berjalan perlahan-lahan, mendekatinya.
"Ah, selamat datang," sapa Ishtar ramah. Senyumnya mengembang. "Aku punya rencana untuk kalian."
**
Thomas mengantar Alya hingga persis ke depan gerbang rumahnya. Gerbang ini... gerbang yang menjadi titik awal peristiwa antara Thomas dan Celia. Gerbang yang...
Thomas menggelengkan kepalanya kuat-Luat. Tidak. Jangan lagi ada Celia. Dia tidak ingin hantu perempuan yang tidak jelas juntrungannya bergentayangan di sana.
"Thomas. Kapan-kapan pergi lagi, ya? Tapi jangan ketemuan di sekolah. Malu dilihatin guru!" kata Alya, sedikit enggan keluar dari mobil Thomas. Sebenarnya lelaki itu asyik juga diajak berbicara tentang hal-hal lain. Kecerdasannya di atas rata-rata. Pengetahuannya juga. Penampilannya apalagi. Hanya saja...
Kalau Alya dapat menyembuhkan Thomas dari keterikatannya terhadap gadis yang bernama Celia itu, sudah jelas Thomas bakal menjadi miliknya.
Thomas mengangguk. Tiba-tiba dia teringat sesuatu.
"Ngomong-ngomong," katanya cepat-cepat sebelum Alya pergi,
"Kenapa tadi kau mau ke St. Francis?"
Tangan Alya yang hendak membuka hendel pintu tergantung di udara.
"Hmmm...." gumamnya, mengernyitkan
dahi.
"Tidak tahu alasannya. Aku sudah lupa," jawabnya ringan.
Thomas tertegun.
"Sudah lupa?" ulang Thomas membeo. Dia juga tertegun karena dia juga lupa. Lupa apa alasannya pergi ke St. Francis.
Ya ampun. Sepertinya ada kekuatan yang mengacaubalaukan pikiran orang. Mengapa mereka pergi bersama-sama ke sekolah? Air muka Thomas berubah.
Alya menatap perubahan cuaca di depan matanya dengan cemas. Matahari bersinar mulai tertutup awan mendung.
"Wah, mulai lagi. Ini gawat. Thomas akan bad mood lagi dan mulai mengungkit-ungkit soal Dunia-Atas, kutukan, dan si cewek hantu. Cukup sudah. Alya tidak akan kuat kalau harus mendengarkan sekali lagi curhat yang tidak masuk akal itu.
Alya tersenyum menenangkan.
"Ya sudah. Jangan mengingat hal-hal yang tidak jelas. Nanti stres." Lalu gadis itu melambai.
"Daah!"
Alya membuka pintu dan membantingnya tertutup. Thomas menginjak gas. Mobil berlalu meninggalkan gerbang rumah Alya. Menyadari keheningan dalam mobil, Thomas menekan tombol menyalakan peranti radio. Suara penyiar radio menyapa udara. Tak lama...
...sesuatu bergerak...
Apa itu? Tanpa alasan, tiba-tiba bulu kuduk Thomas berdiri semua.
...bergerak di kursi belakang mobil...
Takut-takut Thomas melirik ke kaca spion. Tidak ada siapa-siapa di kursi belakang.
Lampu merah. Mobil berhenti. Thomas menoleh ke belakang, mencari sumber gerakan. Kosong. Tidak ada siapasiapa. Jadi, apa itu tadi?
Lampu lalu lintas berubah warna, menjadi hijau. Saking tegangnya, Thomas lupa menyetir. Dia masih melirik-lirik ke kursi belakang. Sudah pasti, mobil-mobil lainnya mengklakson bertalu-talu. Apalagi bus, klaksonnya memekakkan telinga seperti terompet raksasa. Jendela belakangnya digebrak-gebrak oleh kondektur. Terkejut, Thomas menginjak gas lalu menepikan mobilnya ke pinggir jalan.
"EH GOBLOK! KALAU NGGAK BECUS NYETIR, NGGAK USAH NYETIR! DASAR MONYET LU!"
Thomas menulikan telinganya. Hidup di Jakarta memang harus tabah. Apalagi menghadapi kehidupan berlalu lintas yang gila. Bisa-bisa umur menjadi pendek kalau tidak sabaran.
Thomas menyenderkan tubuh di jok kursi dan menutup mata. Dia melakukan rileksasi yoga. Menenangkan pikiran, membuka mata hati, menajamkan indra, dan mengosongkan batin. Tak lama, Thomas dapat melihat aura jahat di sekelilingnya. Berpendaran.
Suara-suara kembali bergaung, mengganggu konsentrasi Thomas. Dia menggeram kesal. Kepalanya menjadi pusing.
"Brengsek!" gerutunya.
"Diam, jangan berisik!"
"Diam? Hahahahaha... Berani-beraninya menyuruh diam"
Thomas membeku. Matanya membelalak lebar.
Setelah itu hening kembali menerkam.
Warna wajah Thomas memucat. Suara itu... suara yang dikenalnya... suara yang berasal dari ribuan tahun yang lampau...
Thomas menutup mata kembali. Mengatur napas dan berkonsentrasi, memusatkan pikiran.
"Kau tidak berubah, sayangku. TEtap cantik. Sempurna. Tak buruk rupa."
Thomas terpepet ke belakang kursi mobil, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Di luar, matahari telah tenggelam sebagian. Langit menjadi remang. Suasana seperti ini adalah suasana yang sangat tidak nyaman bagi Thomas. Terang tidak. gelap tidak.
(Shh, tunggu" terdengar suara perempuan, lembut tapi dingin. Empuk tapi ketus. "Bergantian. Sekarang giliranku dulu. Nanti giliran kalian."
Thomas merinding. Ada lebih dari satu makhluk rupanya.
Terdengar geraman jahat.
"Pergii" teriak Thomas kuat-kuat. (Pergi jauh-jauh! Jangan ganggu aku" Kaki Thomas mulai gemetar. Matanya yang tertutup memandang liar dalam kegelapan langit, menunggu sesuatu...
...sesuatu yang akan muncul...
Warna perak kebiru-biruan menyelubungi udara di dalam mobil dan dari tengah-tengahnya, munculah sesosok makhluk. Pertama bentuknya sangat cair, lama-lama terbentuk lebih padat. Akhirnya Ishtar menampakkan diri di kursi sebelah Thnmas. Rambutnya yang panjang berwarna perak jatuh tergerai. Senyum jahat tenungging di bibirnya.
"Halo, Thomas," bisiknya. Ishtar duduk menyilangkan kaki. dia bertemu lagi."
**
Dewa Langit, Antu, dalam keadaan syok yang luar biasa.
Pertama, anak kesayangannya, Nannia jatuh cinta pada manusia. Kedua, ternyata Ishtar juga jatuh cinta pada lelaki yang sama. Dan yang ketiga, paling hebat dari semuanya, Ishtar nekat mengarungi Tujuh Gerbang untuk bertemu roh lelaki itu yang bergentayangan di Dunia-Bawah. Lalu dewi itu mati. Mati! Bukan mati main-main.
"lshtar itu Goblok..," gerutunya. Kepalanya pening. "ldiot. Goblok. Tolol"
Ea datang kepadanya. Air mukanya sangat tegang. Antu langsung tahu ada yang tidak benar.
"lshtar telah kuhidupkan dengan Air Kehidupan," kata Ea takut-takut, cemas Antu bakalan marah.
Dengan wajah keruh, Antu berdiri di depan cermin. Pemandangan yang terfokus di sana juga tidak membuat suasana hatinya bertambah baik. Di situ ada Nannia. sedang bertengkar hebat dengan ibunya. Dewi Antu menjerit-jerit seperti hilang ingatan. Nannia mengumpat. Kalau tidak dilerai, ibu-anak itu pasti akan terlibat dalam perkelahian fisik atau lebih gawatnya lagi, perkelahian mantra.
Antu menonton tanpa berkedip.
"Antu?" panggil Ea khawatir.
Antu tidak memberikan reaksi apa pun. Gawat, pikir Ea ruwet. Pasti Dewa Langit dalam tahap penolakan terhadap kenyataan. Dalam keheningan itu, perlahan-lahan senyum Antu mengembang. Dia menggosok-gosokkan tangannya dengan penuh gairah. Ea bertambah cemas.
"Aku akan menyihir Ishtar supaya dia tidur dalam jangka waktu yang lama. Ishtar itu terlalu emosional. Dia provokator. Tidak boleh bikin masalah lagi," kata Antu.
Ea diam. Menyimak kata demi kata.
"Aku akan menghidupkan Enka kembali. menjadi manusia yang benar-benar berbeda. Akan kuubah Nannia menjadi manusia juga. Ku biarkan Enka dan Nannia yang menentukan nasib mereka sendiri. Jika Enka gagal mencintai Nannia atau sebaliknya, Ishtar akan mendapatkan Enka."
Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gema suara Antu bertalu-talu. Dalam kegelapan malam, gelombang suara itu terapung-apung, menuju pendengaran Antu. Dewa Bumi itu tercekat, terpana. Tak percaya mendengar kata-kata tersebut.
Menghidupkan Enka kembali? Menjadikan Nannia manusia? Menidurkan Ishtar selama Langit menguji cinta mereka berdua?
Tidak... Sialan! Tidak.
Gelegak emosi Antu seperti kawah gunung berapi yang siap meletus. Kemurungan, kekesalan, dan malu terhadap tingkah laku Nannia masih membuatnya sakit kepala. Tidak, jelas tidak bisa. Dia tidak bisa membiarkan Ishtar tertidur dalam jangka waktu yang lama. Antu butuh partner untuk membereskan masalah ini.
Sambil menggeram, Antu melanjutkan langkahnya. Dia tahu apa yang harus dia lakukan. Kalau Dewa Langit menidurkan Ishtar, Antu harus membangunkannya. Dengan kekuatan darahnya dan sayap ketujuh Utukki...
Enka milik Ishtar, bukan Nannia. Antu hendak memastikan hal itu.
**
Alis Thomas bertaut
mengenali wajah yang berada di sampingnya.
"Kau" jeritnya penuh amarah. Kenangan sisa mimpi tentang perempuan putih yang nyaris membunuhnya menyala terang di pikiran Thomas. "Kau yang hadir di mimpiku! Kau yang memanipulasi pikiranku! Pasti kau juga yang yang... menculik Celia..." Suara Thomas menghilang akibat deru emosi.
"Thomas. Thomas...," desah Ishtar lemah lembut. "Atau perlu kupanggil dengan nama Nannia.":
Thomas tidak bergerak sedikit pun. Terlalu marah. Terlalu sakit hati.
lshtar melanjutkan. Suaranya tenang dan anggun. Satu kata yang keluar dari mulutnya menebas jantung Thomas. "Ah, kau mempunyai kesimpulan yang salah. Aku tidak menculik Celia. Dia memang seharusnya tinggal di tempatku karena di sanalah tempatnya berada. Bukan hanya itu, Celia sangat bahagia bersamaku sampai-sampai dia telah melupakanmu."
Thomas menggenggam setir kuat-kuat. "Bnh0ng" katanya kesal. Aura kemarahannya membara, menyelubungi seluruh tubuhnya.
"Aku tidak bohong. Sama seperti semua orang yang sudah melupakan Celia di bumi ini, demikian juga Celia melupakan mereka semua."
"Itu tidak benar" teriak Thomas. "Aku tidak melupakan Celia. Aku juga yakin dia tidak lupa!"
"Dasar lakilaki egois! Sombong. Ishtar mendengus. "Ini hanya masalah waktu. Suara-suara di pikiranmu yang menolongmu mengingat Celia. Kalau tidak, pasti kau juga sudah lupa. Sama seperti yang lain."
Mata Thomas membelalak tidak percaya. Kata-kata Ishtar
bagai anak panah beracun yang menancap tepat di hatinya. "Tidak mungkin," desisnya. "Dengarkan, aku tidak mungkin melupakan Celia karena aku mencintainya dan dia... mencintaiku."
"Dewa Langit mencintaimu. Aku mencintai Celia," kata Ishtar lembut, membetulkan pernyataan Thomas.
Thomas mengedip, seakan-akan terbangun dari tidur panjang. Rasa takut merayapi tubuhnya. Dadanya serasa mau meledak. "Tidak... mungkin..."
(Rasanya sakit, bukan? Ya, begitulah kebenaran, sayangku. Menyakitkan. Cintamu padanya... kosong. Cintamu padanya... tidaklah sekuat yang kamu kira dahulu. Cintamu melemah bersama fisikmu." Ishtar menghela napas. "Tapi aku di sini bukan untuk menyakiti hatimu, Thomas. Aku datang untuk misi penting tentang cinta."
Thomas mundur sampai nyaris terdesak ke pintu mobil. Ishtar memajukan tubuhnya. Mata hijau zamrudnya yang beku bersinar dan tangan putihnya teracung. "Aku akan mengubah penderitaan hidupmu, Thomas. Aku akan mengangkat kesakitan dan kepedihan itu. Aku akan menghilangkan suara-suara di benakmu. Aku akan membantumu melupakan Celia...)
Thomas memandang Ishtar tak berkedip. Terlalu ngeri. Pasti dewi itu berbohong. Pasti. Berbohong. Celia tidak mungkin melupakannya.
"Celia tidak ingin kembali ke sini. Kenyataannya, dia bahagia bersamaku di Dunia-Atas. Sekarang dia lebih kuat. Lebih percaya diri. Lebih dewasa." Ishtar mengibaskan rambutnya. "Kau tidak perlu mengkhawatirkannya. Lagi pula, yang dulu kaulakukan cuma menyakitinya, bukan?"
(Tega sekali kau berkata seperti itu!" Thomas melotot kepada Ishtar, gemetar hebat. Alisnya bergabung, waspada sewaktu Ishtar semakin mendekat. Hati Thomas yang tergelap dan terdalam mulai memercayai perkataan Ishtar. Benarkah Celia telah melupakannya? Jiwanya meranggas. Oh. jangan... jangan tega terhadapnya. Perasaan itu sangat menakutkan. Perasaan itu dapat membunuhnya.
"Ya. Pikirkan baik-baik. Jika kau sungguh-sungguh mencintainya, mengapa kalian TIDAK pernah mengucapkan kalimat istimewa itu?"
"Karena...," Thomas terdesak. "...karena aku bukan seperti orang kebanyakan yang mudah mengatakan cinta. Karena... Celia bukanlah seperti kau yang gampang merayu dengan kalimat gombal. Terkadang... cinta... sangat sulit... dikatakan..." Leher Thomas seperti tercekik. "Sangat... sangat sulit... tapi kau dapat... merasakan... nya...." Air mata Thomas mulai menyeruak. Air mata kebencian terhadap situasi yang dihadapinya. Air mata keputusasaan. Air mata penyesalan.
"Dengarkan aku baik-baik, Thomas. Celia tidak mengatakan cinta padamu karena dia tidak pernah mencintaimu. Tidak pernah! Kau bukanlah orang penting baginya. Bukan siapa-siapa." Ishtar tersenyum mengejek.
Energi tenaga dalam Thomas seakan membakar sekujur tubuhnya. Kepalanya tertunduk. "Sial... sialan... kau..., Ishtar! Tega sekali berkata seperti itu,:gumamnya.
Ishtar mengulurkan tangan pucatnya. Hanya berjarak sekitar sepuluh senti dari wajah Thomas. "Ah. sakit. Kepedihan.... Pengkhianatan...," bisiknya lembut. Napasnya mendenguskan udara beku. "Mari. Bersamaku. Akan. Kulenyapkan. Duka. Ini."
Ishtar bergerak dan menyentuh wajah Thomas.
Thomas berkedip. Lalu dengan keahlian ahli bela diri yang lihai, dia mengelak sempurna. Pintu terbuka cepat. Thomas berlari menuju moncong mobil.
"JANGAN SENTUH AKU!" penuh amarah dan ngeri.
Ishtar terengah. Terkejut dengan gerakan lincah Thomas menghindarinya.
Thomas seketika memosisikan berdirinya, memasang kuda-kuda. Penuh siaga. Waspada. Bertahan. Apabila makhluk luar angkasa sialan itu hendak sekali lagi mencoba menyentuhnya...
Dia mendongak, nyaris kehilangan keseimbangan.
...lshtar tidak berada di dalam mobil lagi.
Thomas terkejut. Posisi kuda-kudanya melemah seketika. Rasanya seperti diangkat dari tanah, menembus kabut tebal yang dingin. Cuaca seketika berubah, menjadi lebih kelabu. Momen selanjutnya di luar dugaannya. Thomas merasakan udara yang beku membekap seluruh pori-pori tubuhnya.
"Ah, Bodoh. Tolol. Ck, ck, ck! Begonya..." Terdengar suara bernada heran. "Kaupikir gerakan bela diri manusia dapat melemahkan serangan dewi sepertiku"
Udara beku menghantam dada Thomas dan menyebar ke seluruh tubuhnya. Sensasi kesakitan yang sama yang pernah Thomas rasakan dalam mimpi melibasnya seketika. Thomas menjerit kesakitan, lalu terjatuh ke trotoar. Thomas beringsut maju. Tidak! Dia tidak boleh menyerah. Dia tidak ingin mati konyol di trotoar seperti ini. Dalam waktu yang sangat singkat. Thomas mengumpulkan tenaga dalamnya cepat
cepat. sambil memfokuskan diri pada kenangan akan Celia, Thomas melepaskan energinya.
"IIIIIYYYAAA!!!"
Energi besar berwarna biru-kehijau-hijawan keluar dari tubuh Thomas, berputar, membelit, memilin, dan menghajar Ishtar seketika. Dewi itu terlihat sangat terkejut diserang secepat itu. Seluruh tubuhnya yang pucat terbakar tenaga dalam Thomas. Tercabik-cabik. Dia merasakan seluruh keberadaannya terpecah, hancur berantakan. Sayapnya berkepak hebat seperti burung yang terperangkap jala. Pembatas antara Dunia-Atas dan Dunia-Makthk-Hidup seketika terbuka. Ishtar tidak mampu menutupnya lagi. Seberkas kilat menghantam Ishtar dan dewi itu kehilangan keseimbangan. Dia menghilang dalam kabut yang turun bergasing-gasing.
Thomas berlutut, gemetaran, dan tidak dapat berpikir apa pun. Dari sudut matanya dia melihat sesuatu yang bergerak di dekat roda mobilnya.
Demi Dewa Langit. Apa itu?
Makhluk itu bergerak. Ada satu... dua... tiga...
Mengepung dari berbagai sudut.
Thomas menyiapkan diri, membuka seluruh indra yang dikuasainya agar tubuhnya berada dalam kewaspadaan tingkat pertama. Mulut Thomas kering. Seluruh sendi tubuhnya lemas. Dia tidak yakin dapat menghadapi teror yang berada di depan matanya.
Tujuh monster Utukki bergerak mengelilingnya. Mata mereka yang merah darah menatap Thomas.
Tak berkedip.
"Adik tercinta...," Utukki pertama mendesis.
"Pergi" bisik Thomas. "Pergi. jangan ganggu!"
Utukki pertama meluncurkan cakarnya di depan wajah Thomas. Nyaris. Thomas berhasil menghindar dengan cepat. Hanya sekitar dua senti cakar itu nyaris mengoyakan kulitnya. "Kau adikku tersayang. Favorit Dewa Langit. Kami tidak pernah bisa secantik dirimu. Atau sekuat dirimu. Atau bahkan setabah dirimu. Kami selalu menjadi monster yang hina. Yang buruk rupa. Dan yang harus dikunci di Kerajaan Monster jika Ibu tidak berjuang agar kami dapat keluar."
Dalam semenit itu, Thomas merasakan ketakutan yang tidak dapat dibayangkannya. Aura kebencian dan dendam menguap di udara, mengepungnya sampai dada Thomas terasa sesak.
"Dengan segala cinta dan perhatian yang berlebihan diberikan padamu, rupanya masih saja kurang ya, adikku? Kau memilih mencintai manusia fana. Dewa Langit malu. Dewi Bumi setengah gila. Semuanya berantakan tapi kau tetap pada pendirianmu. Kau memang luar biasa dalam menarik perhatian."
Thomas masih membeku ketakutan.
"Tapi sekarang, lihatlah dirimu. Beribu-ribu tahun berlalu, kau masih saja keras kepala. Dewa Langit harus ikut campur dalam masalah ini. Memalukan keluarga... ck, ck, ek..." Ketujuh monster mendekati Thomas sambil menggeram. "Sekarang, rasakan pembalasan kami! Rasakan bagaimana rasanya menjadi monster yang sesungguhnya. monster buruk rupa, yang ditakuti manusia."
Cakar itu bergerak, menyambar dahinya. Thomas tak sempat menghindar, menjerit dalam kesakitan. Dahinya panas. serasa terbakar api neraka.
"Celia...," desis Thomas sebelum dia terjatuh dan tak sadarkan diri. Darah segar mengalir ke tanah.
Orang-orang terpekik ketika melihat kilatan cahaya merah terang menerjang langit. Langit yang gelap mendadak berwarna darah. Mereka mendongak, menunjuk-nunjuk angkasa luas, menerka-nerka apa yang terjadi. sampaisampai tidak memerhatikan makhluk serupa perempuan dengan sayap yang putih pucat menghilang perlahan. Suaranya tawanya yang kejam bergema bersama angin malam.
Kabut menipis. Celia berjalan tersaruk-saruk melewati ketebalan awan yang mencekik lehernya. Dia nyaris mengembuskan napas lega karena semakin menipisnya kabut, ternyata cahaya semakin benderang. Tidak segelap yang dia bayangkan.
Dia menoleh kepada Ea. "Lalu ke mana? Kiri, kanan? Terus? Sebenarnya kau kenal daerah ini tidak sih?"
Ea menggeleng. "Maaf. aku tidak terlalu hafal daerah ini. Di sini bukan kerajaanku. Aku tidak mengenalnya, sebaik Ishtar. Tapi seharusnya ini jalan yang benar menuju pintu keluar. Kita bisa maju terus."
Celia menghela napas. Menyabar-nyabarkan dirinya. "Tapi kita sudah mencoba mencari jalan keluar selama berharihari'. Sepuluh hari totalnya. Tapi yang kita temukan adalah awan-awan sialan ini." Dia meringis. "Bisa-bisa kita terjebak di sini selama-lamanya."
Ea tersenyum. Dia ingin mengatakan "betul kan, apa katakU". tapi ditahannya. Celia tidak membutuhkan kata
kata seperti itu. "Jangan khawatir. Kerajaan Ishtar tidak sebesar yang kauduga. Kita akan menemukan jalan keluar pada akhirnya. Kita-"
Mendadak Celia megap-megap seperti kehabisan napas. Tangannya menekan dadanya sekuat tenaga. Matanya membelalak lebar dengan manik yang memancarkan emosi ketakutan.
"Ada apa?" tanya Ea penuh perhatian.
Mata Celia basah. Dia memandang Ea, pucat pasi. "Aku aku tidak tahu. Aku merasakan sesuatu... Entah apa... Seperti... kehilangan sesuatu.. Celia menelan ludah dengan susah payah. "Aku... seperti kosong. jantungku seperti... diremas..."
Perasaan itu mengaduk-aduk Celia sedemikian rupa sehingga dia merasa mual. Dalam beberapa saat, Celia menyadari... menyadari arti perasaan itu. Perasaan yang sama ketika dia pertama kali tiba di istana Ishtar. Perasaan yang sama pula ketika melihat Thomas menghilang perlahan dari pandangannya di bumi. Perasaan yang sama ketika melihat Thomas memanggil-manggil namanya dtngan panik.
Celia gemetar. "Ea! Sesuatu terjadi pada Thomas"
Ea tidak mendengarkan kata-kata Celia. Mata dewanya dengan tajam mengamati energi yang memancar dari tubuh Celia. Kelihatannya normal-normal saja. Kecuali...
...di tengah-tengah jantungnya, seberkas sinar yang berbentuk seperti ulat, yang menjadi energi penghubung antar Celia dan Thomas perlahan-lahan meredup...
Pikiran pertama Ea langsung terbang kepada Ishtar. Apa yang telah Ishtar lakukan sekarang?
"Kau harus menolong Thomas" seru Celia panik. "Tolonglah, Dewa Ea. Aku mohon padamu."
Ea menutup matanya. berkontemplasi. Bagaimana mungkin Celia dapat merasakan hal itu? Mereka tinggal di dunia yang benar-benar berbeda. Mungkin insting Celia membisikinya.
Celia melompat dan mengguncang-gunung tubuh Ea. Air bermuncratan ke mana-mana, membasahi sebagian jubah Celia. "Tolonglah," pinta Celia. setengah menangis. "Aku tidak dapat melindungi Thomas. Aku tahu kau bisa! Pergilah ke bumi dan jagalah Thomas."
"Celia...," desah Ea. "Peraturan Langit melarang dewadewa pergi sembarangan, berpindah-pindah dunia seperti itu..."
"Aku tidak peduli pada Peraturan Langit! Kau harus membantu Thomas! Dengarkan kata-kataku. Tolong..." Celia memohon-mohon. Tangisnya pecah. "Kalau kau... tt-tidak pergi... a-a-aku akan... kehilangan... Thomas... Aku bisa me-me-rasakannya..."
Ea berbalik, memejamkan mata erat-erat. Dia benci melihat tangisan Celia. Tapi tangisan itu tangisan permohonan manusia yang mengetuk pintu hati setiap dewa, khususnya Ea. Kembali ke bumi? Ea membatin.
"Sialan," desisnya kesal kepada dirinya sendiri. Matanya membuka.
Setelah itu, Ea berbalik kembali. Celia masih memandangi Ea penuh harap. "Baiklah. Aku coba," kata Ea perlahan. (Tapi...:
"Tapi?"
Ea menghela napas. "Kau tahu perbedaan waktu antara Dunia-Atas dan Dunia-Makhluk-Hidup, kan?"
Mata Celia menutup.
"waktu di sini bergerak lebih cepat daripada waktu di Dunia-Makhluk-Hidup. Ishtar sudah mengembalikan kecepatan dimensi waktu karena dia sudah berhenti mengamat-amati Thomas. Jika aku pergi ke dunia lain, meninggalkan dirimu di sini, aku akan kembali dalam jangka waktu yang lebih lama."
Celia memucat.
"Hanya Ishtar yang dapat mempermainkan waktu seperti itu. Dia mempunyai mantra yang dapat mengutak-atik kecepatan waktu."
Celia memaksakan sebentuk senyum. Senyum yang lemah. "Tidak apa-apa, Ea. Aku akan mencoba mencari jalan sendiri untuk keluar dari kerajaan brengsek ini. Pergilah dan lindungi Thomas. Jangan lupa kembali secepatnya."
"Aku berjanji."
Celia mengusap air matanya dan berbisik, "Semoga Dewa selalu melindungimu."
Wajah Ea mengeruh. "Aku ini Dewa, Celia. Aku tidak perlu didoakan."
Setelah berkata seperti, Ea berbalik dan menghilang dari pandangan.
Celia mendekap tubuh dengan kedua lengannya. Dia menatap ruang kosong tempat Ea tadi berdiri. Gadis itu sendirian. Sendirian dan sangat ketakutan, lebih daripada yang pernah dia bayangkan.
Ishtar kembali Ke kerajaannya. Napasnya mendengus Kesakitan. Tubuhnya terkoyak, terhantam tenaga dalam Thomas.
Tapi walaupun sakit. senyum samar membelah wajah. "Sukses..."
Tapi bukan saatnya untuk berlega hati. Ini baru permulaan.
Ishtar meringis. Sakitnya nyaris tak tertahankan. Tubuhnya yang putih mulai berganti warna. Beberapa di antaranya berwarna kehijau-hijawan, lebam hasil energi Thomas yang membakarnya.
Ishtar jatuh terduduk, bahunya bergetar kuat.
Ishtar sedikit menyesal merendahkan kemampuan Thomas, manusia itu. Dia nyaris lupa. pada dasarnya manusia adalah kumpulan energi yang diberi napas kehidupan oleh para dewa. Energi itu selevel energi dewa. Hanya manusia-manusia tertentu saja yang dapat melepaskan diri dari keterikatan tubuh fisiknya dan menemukan jiwa utamanya. Kemampuan Thomas sungguh di luar dugaan Ishtar.
Sekarang kembali di dunianya, Ishtar mengumpulkan elemen utama kedewaannya, yakni es. Cahaya terang biru beku memancar keluar dari seluruh pembuluh tubuhnya. Dengan begitu, lebam itu terasa lebih sejuk. Tak lama, selapis es terbentuk di seluruh permukaan tubuh, mulai dari wajah, leher, sampai ke mata kaki sehingga Ishtar dibungkus lapisan tipis menjadi kepompong es.
Lapisan es itu bekerja seperti plester, menyembuhkan lebam-lebam di tubuhnya.
Setelah Ishtar merasa nyaman, dia berdiri dan berjalan menuju Cermin Penglihatan. Setelah menyetel waktu agar menjadi sama dengan Dunia-Makhluk-Hidup, Ishtar meminta penglihatan.
Seekor kucing berwarna putih susu sedang berlari dengan kecepatan tinggi yang tak terbayangkan di trotoar. Gerakannya sangat gesit dan lincah. Anehnya, cara berlarinya tampak janggal, tidak normal. Salah satu kaki belakangnya terlihat terluka. Ada beberapa tetes darah mengotori bulu putihnya. Tidak ada orang yang memerhatikan keadaan itu.
Ishtar semakin tajam mengawasi Thomas.
Tubuh itu bukan manusia dan jiwa itu pastilah juga bukan manusia lagi. jiwanya telah diubah oleh para monster Utukki. Thomas berlari terus, terpincang-pincang, membelah malam tanpa bulan. Matanya berkilau liar, sangat primitif. Terkadang telinganya bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan.
Walaupun Ishtar bersenang hati melihat kondisi Thomas yang mengenaskan, bukan itu yang sesungguhnya ingin dilihatnya.
Ishtar berkonsentrasi terhadap energi penghubung Thomas.
Itu dia. Di dalam, dekat jantung Thomas. Berbentuk seperti ulat, berwarna kuning kemerah-merahan...
Perlahan lahan meredup, nyaris mati.
Ishtar menepuk kedua tangannya di bawah dagunya. Senyum lebarnya berkembang.
Energi penghubung dua dunia antara Thomas dan Celia nyaris lenyap.
'Iapi... tapi... energi itu berjuang untuk terus hidup,
walaupun tidak ada pertahanan sama sekali. Cahaya itu hidup-mati, hidup-mati, berkedip-kedip. Melemah, semakin melemah...
"Meong!"
Thomas mengeluarkan suara.
Ishtar tergelak, merasa lucu dengan suara aneh yang keluar dari kerongkongan Thomas. Lalu dahinya berkerut lagi, kembali menjadi serius. Tangannya terulur ke depan.
"Mati!" perintahnya. Seakan-akan dengan berkata seperti itu, energi itu akan segera padam.
Tapi perintah itu bagaikan angin lalu yang berembus mempermainkan rambut. Energi penghubung tidak mati. Tidak padam. Masih bergerak-gerak lemah, berjuang untuk hidup.
Lalu...
Beberapa saat kemudian...
Energi melemah...
...semakin lemah...
Dan padam.
Menghilang.
Lenyap.
Seperti api lilin yang mati ditiup angin dingin.
Thomas terus berlari, tanpa sadar apa yang terjadi pada dirinya. Gerakannya dipandu insting primitif binatang menuju kegelapan malam.
Ishtar menutup mata dengan kelegaan yang luar biasa.
Sukses.
Cermin Penglihatan menggelap. Ishtar tidak ingin menonton Thomas lagi. Balas dendamnya telah selesai. Manis, sangat manis. Sekarang, dengan energi penghubung telah
mati serta jiwa Thomas yang tidak memungkinkan dirinya untuk berjuang demi Celia, tidak ada yang menghalangi dirinya untuk bersatu dengan Celia.
Celia pasti kembali kepada Ishtar.
Yang harus Ishtar lakukan sekarang adalah menunggu. Dengan sabar. Dan kesabaran adalah seluruh waktu yang dimilikinya...
Saat saat ketiadaan. Kosong. Kegelapan. Tekanan... lorong penghubung antara Dunia-Atas dan Dunia-Makhluk Hidup.
Ea menunggu dengan sabar pada Lorong Penghubung. Kegelapan menahannya bergerak. Satu putaran akan berakhir. Dari ketiadaan menuju kekinian.
Lama sekali...
Mengapa bisa selama ini? Dahinya berkerut curiga.
"Ah, Ea. Apa kabar?"
Suara serak terdengar menyapa.
Ea mendongak.
Oh, tidak...
Di tengah-tengah ketiadaan dalam Lorong Penghubung. di mana tidak ada eksistensi akan keberadaan tubuh, herannya Ea dapat mendongak. Sepasang mata kuning menatapnya.
"Sedang apa di sini?" tanya Ea tenang.
"Apa?!" Suara serak melengking menyambar cepat. "Sedang apa di sini? Bukannya aku yang seharusnya bertanya sedang apa kau di sini?"
"Bukan urusanmu "
"0ya, begitu, heh?!" Ada setetes kesinisan di nada suara itu. "Aku pikir ini urusanku. Aku ditugaskan Dewa Antu untuk menjaga Lorong Penghubung antara Dunia-Atas dan bumi. Selamat datang di Portal Imigrasi?
Portal Imigrasi? Ea melongo. "Sejak kapan ada Portal... Imigrasi"
"Sejak banyak dewa ikut campur urusan manusia. Kau juga, Ea. Ea terkenal sebagai dewa yang suka ikut campur masalah orang lain. Kau pasti tahu Peraturan Langit
dengan jelas. Karena itu, tidak usah ikut campur. Manusia bumi itu hm, Thomas, bukan? Ya, Thomas bukan menjadi masalahmu."
"Dia memang bukan masalahku."
"Bukan masalahmu?" dengusnya. "Mau dengar pendapatku? Nannia seharusnya tidak perlu dilahirkan. Para Utukki sudah menganggaap tidak ada semenjak beribu-ribu tahun lalu. jadi, jangan ikut campur, Ea!"
"Tega sekali mereka..."
"Aku tidak butuh komentar moralitas. Itu bukan tanggung jawab pekerjaanku," ejek suara itu. "Sebagai hukuman karena kau ikut campur, aku akan meninggalkanmu terjebak di sini, di tengah-tengah Lorong Penghubung. Biar nanti Dewa Langit yang mengeluarkanmu dari sini."
"Dengarkan baik-baik! Aku tidak ikut campur!" teriak Ea berusaha tenang. Terjebak di tengah-tengah ketiadaan bukanlah ide yang baik. Dewa Antu pasti marah besar kepadanya. "Aku pergi melalui Lorong Penghubung untuk mengecek dewa-dewi lainnya yang bolak-balik tanpa tujuan jelas menuju Dunia-Makhluk-Hidup."
"Hahahaha, lucu sekali, Ea. Kau tidak ditunjuk sebagai polisi lalu lintas oleh Dewa Antu. Aku yang menjaga di Portal Imigrasi. Lagi pula, kau juga termasuk dalam daftar blacklist di sini. Paspor perjalanan ulang-alikmu sudah tidak berlaku lagi." Suara itu menggelegar, mengancam. "Aku tahu tentang hubunganmu dengan Celia."
Ea menghela napas, berusaha tidak menunjukkan kepanikannya. "Aku tidak melakukan apa pun yang melanggar Peraturan Langit. Aku juga tidak membantu siapa-siapa. Aku tidak merasa melakukan perbuatan salah apabila aku
memberikan secercah kehijaksaan untuk Celia. Itu hubungan persahabatan yang baik antara dewa dan manusia." (Kau berusaha menyelamatkan Thomas dari cengkeraman lshtar." "lshtar melakukan perbuatan yang tidak adil. Kecemburuannya sudah di ambang batas. Dia tidak berhak melakukan pembunuh brutal terhadap manusia. Demi apa pun." "Kau membantu Celia melarikan diri dari kerajaan Ishtar. Kau yang membuat Thomas bermimpi agar dia dapat menyadari dirinya sebagai Nannia. Kau yang memasukkan suara-suara Thomas ke dalam pikiran Celia." Ea menggeram frustrasi. "Semuanya bukanlah rencanaku. Kejadian-kejadian itu kecelakaan yang manis. Hubungan antara Celia dan Thomas terlalu kuat untuk diputuskan oleh apa pun. Bukan mantraku yang ampuh memasukkan suara suara itu di pikiran Celia, tapi kekuatan Celia yang dapat mendengarnya. Soal Thomas bermimpi, bukan aku yang memanggil mantra mimpi, itu alam bawah sadar Thomas sendiri. Dan terakhir, Celia memang ingin melarikan diri dari kerajaan Ishtar. Aku hanya mendampinginya, tidak memprovokasi. Mengerti?" Hening. Tidak ada sebutan balasan. Apakah dia mendengarkan? Atau... "Dengarkan baik-baik? kata Ea, berharap keheningan itu sebagai tanda yang bagus. "Biarkan aku lewat melalui Lorong Penghubung. Ishtar pun sudah melakukan tindakan di luar batas. Dia mempunyai Cermin Penglihatan yang dapat digunakannya sebagai alternatif jalan menuju Dunia-Makhluk Hidup. Nah, bagaimana dengan pelanggaran itu? Tidak ada yang melakukan tindakan apa-apa. Cermin Penglihatan
seharusnya dihancurkan Dewa Antu. Aku berjanji tidak akan membuat kekacawan di bumi. Aku hanya ingin mengunjungi Thomas, mengecek apakah dia baik-baik saja. Tentu hal itu tidak dilarang dalam Peraturan Langit, bukan?"
Masih hening. Tapi, tak lama, "Kelihatannya kau sangat tertarik pada sepasang manusia itu."
"Aku Dewa Kebijaksanaan. Dariku lahir kebijakan hidup yang menjaga manusia agar selalu berjalan di Jalan yang Terhormat. Celia-dari dulu sampai sekarang-adalah manusia yang terhormat. Yang menjaga kata-kata dan tindakannya. Bagaimana mungkin kubiarkan manusia seperti itu berjalan tanpa bimbingan?"
"Kebiasaan yang huruk...," dengus Sang Penjaga.
Ea diam, tidak berkomentar lagi. Mungkin sudah saatnya dia berhenti bicara. Dia sudah berbicara cukup banyak.
Keheningan sekali lagi menerkam Ea. Dewa itu mulai takut. Bagaimana kalau dia tidak diizinkan lewat? Lebih buruk lagi, dia ditangkap dan dibiarkan tersesat di Lorong Penghubung sampai Dewa Antu melepaskannya. Apabila itu terjadi... Ea merinding.
"Kau boleh lewat" akhirnya suara itu berkata. "Tapi dengar baik-baik. Jangan melewati batasmu. Kau tahu sampai sejauh mana kewajiban-kewajiban dewa. Jika aku mendengar kau sudah melanggar Peraturan Langit, kau akan segera dideportasi."
Ea nyaris mengembuskan napas lega. Tapi ditahannya. Senyumnya juga ingin mengembang, tapi sekali lagi ditahannya. "Terima kasih," katanya tulus. "Kalau aku menemukan dewa yang masuk dalam daftar cekal di bumi, aku akan memanggilmu" tambahnya.
" bagus. Selamat jalan dan selamat datang di Dunia Makhluk-Hidup."
Seketika itu juga, kegelapan menghilang. Ketiadaan dalam Lorong Penghubung berubah menjadi kekinian. Tubuh Ea perlahan-lahan terbentuk di Dunia-Makhluk-Hidup. Ea mengucapkan mantra sehingga hanya orang tertentu yang dapat menyadari keberadaannya. Lalu dia mulai melangkah. Mencari.
**
Thomas masih berlari. Langit gelap tanpa bulan semakin membuat orang-orang tidak ingin menghabiskan malamnya di luar rumah. Jalan raya lengang. Sudah pukul dua pagi. Sedikit sekali mobil-mobil yang masm berseliweran.
Thomas memperlambat langkahnya. Di bawah jembatan layang, dia melihat tumpukan kardus. Matanya berkilawan. Sekali lompat, dia sudah berada di bawah kardus. Thomas menggelungkan tubuhnya dan napasnya mendengkur.
Tidak jauh di sebelahnya, seorang nenek nenek ompong berusaha tidur di atas selembar koran. Dia terbangun mendengar suara gemeresik dari tumpukan kardus bekas. Nenek itu tidak berhasil melihat siapa yang sedang bergelung di sana, tapi telinganya mendengar dengkuran yang sangat dihafalnya.
Ah, kucing, pikirnya. Pasti sedang tidur lelap di balik tumpukan kardus.
Nenek itu kembali memejamkan mata dan tertidur.
Sesuatu yang sangat mengerikan terjadi di seluruh pori-pori kota.
Katanya Jakarta tidak pernah terlelap. Kota yang tidak pernah tidur. Tapi ketika Ea muncul persis di kolong jalan layang, suasana seperti mati. Matanya memindai sekeliling dengan cepat. Tidak ada seorang pun yang bergerak. Tidak ada mobil, motor, bus, bahkan bajaj. Lampu lalu lintas beruhah warna tanpa ada seorang pengendara yang mematuhi.
Beberapa pemulung dan peminta-minta tidur nikmat berselonjor di atas tikar bekas maupun koran.
Thomas berada di salah satu tumpukan kardus bekas. Tungkai kaki dan dagu bertemu karena eratnya gelungan tubuhnya. Bulunya yang berwarna putih susu terlihat keruh. Pada dahinya tampak bekas luka dalam yang berbentuk seperti... Ea menatap baik-baik. Seperti, cakaran? Kaki dan lutut Thomas dipenuhi lecet dan darah kering.
Pasti akibat berlari terlalu cepat. Ea jatuh kasihan dan muak pada saat bersamaan. Kasihan melihat kenestapaan Thomas dan muak terhadap perbuatan lshtar.
Thomas bergerak menggeliat. Matanya membuka, menatap ke arah kaki depannya. Lalu dia mendekatkan tungkai itu ke wajahnya dan mulai menjilat-jilat. Lidahnya terjulur keluar dan masuk. Berkali-kali.
Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemandangan yang sangat janggal, tapi normal bagi seekor kucing.
Ea menautkan jemarinya dan meremas resah. Astaga. Ini pasti pekerjaan Utukki.
"Ya ampun, Ishtar. Apa yang telah kaulakukan" desahnya
marah. Ea tahu, dengan adanya Portal Imigrasi, tidak akan ada
sembarang dewa lagi yang dapat bolak-balik masuk ke bumi. Utukki pasti turun ke Dunia-Makhluk-Hidup melalui Cermin Penglihatan Ishtar.
"Meong?"
Ea mendongak. Thomas menatapnya dan mengeong. Kemampuan intelektual Thomas telah dihilangkan secara paksa. jiwanya ditukar dengan jiwa seekor kucing sehingga keberadaan "kemanusiaan"nya benar-benar tidak berbekas.
Celia tidak salah. Thomas berada dalam kondisi yang sangat berbahaya. Kemampuan monster Utukki membunuh makhluk hidup jangan diragukan lagi. Bukan hanya membunuh seketika, mereka mempunyai kehebatan mempermainkan jiwa makhluk hidup tersebut. Utukki mempunyai kehebatan mantra dan sihir yang dapat membuat korbannya tewas memilukan.
Ea tahu mengapa Ishtar berusaha mendapatkan kemenangannya dengan cara seperti ini. Binatang bergerak berdasarkan instingnya dan untuk beberapa binatang, setia pada satu pasangan bukanlah suatu hal yang alami. Khususnya kucing. Mereka tidak ditakdirkan untuk hidup monogami bersama satu kucing lainnya.
Sekarang pasti Celia tidak akan terbekas dalam ingatan Thomas.
Perlahan-lahan Ea bergerak mendekati Thomas. Tiba-tiba Thomas berhenti menjilat-jilat tungkai kakinya. Seluruh tubuhnya terlihat waspada. Matanya mendongak, berwaspada dan tidak lengah.
Ea membeku di tempat. Memaki-maki kecerobohannya sendiri. Jika Thomas berlari ketakutan karena didekati olehnya...
(Bahkan menjadi seekor kucing pun tidak menyurutkan kecerdasanmu...," katanya kepada Thomas. Kagum.
Ea diam dan berusaha menyentuh pikiran hewani Thomas yang liar. Berusaha menangkap emosinya. Nyaris dekat... dekat...
Ya. Thomas lelah. Dan sedikit kelaparan. Ketakutannya masih membekas. Tapi di atas semua itu, keingintahuan-yang menjadi ciri khas seekor kucing-menyelubungi seluruh emosinya. Thomas bersiap menanti kejutan yang diberikan oleh makhluk dikelilingi air yang kini sedang memandanginya dengan serius.
Ea ingin sekali tersenyum, tapi ditahannya. Matanya memancar penuh pesona kepada Thomas.
walaupun kemanusiaan Thomas tidak terlacak, sifat dan tingkah lakunya masih ada di sana: hati-hati, waspada, sabar, dan penuh per-hatian. Kuat membelit di antara sifat-sifat ke-"kucing"-annya. Di tengah-tengah penderitaan dan perjuangan Thomas, potongan-potongan kecil yang menjadikan dirinya seorang "Thomas" masih ada di sana.
Thomas memang kuat. Kuat daripada siapa pun yang pernah hidup beribu-ribu tahun di Dunia-Makhluk-Hidup. Tidak heran, jalan hidupnya sangat unik dan berbeda dengan kehidupan makhluk "normal" lainnya.
Ea melangkah maju. Semakin mendekati Thomas.
Thomas seketika berdiri di keempat kakinya. Seluruh tubuhnya dalam kondisi waspada penuh. Pupil matanya membulat besar. kontras dengan warnanya yang hijau kekuning-kuningan. Thomas tidak terlihat takut dengan kehadiran Ea, hanya saja seluruh tubuhnya melakukan persiapan menyerang-atau-bertahan.
"Tenang, Thomas. Jangan tegang," bisik Ea lembut dan perlahan. "Aku temanmu yang akan melindungimu. Kau tahu itu. Aku akan menolongmu;
Thomas mundur ke pojok kardus dan merunduk. Matanya tidak berhenti mengawasi gerak-genk Ea. Terdengar suara rendah dengkuran dari lehernya.
"Aku tidak akan menyakitimu" kata Ea sekali lagi, lembut. "Aku hanya perlu melihat energimu. Setelah itu, aku akan mencoba mengubahmu kembali menjadi dirimu yang sebenarnya."
Thomas tidak bergerak, memindai Ea tanpa kedip. Ea mengerutkan keningnya dan menunduk sampai selevel dengan ketinggian Thomas, mencoba menembus sesuatu yang tak kasatmata... mencari energi utama Thumas... mencari... mencari...
Seperti kena hantam salju dingin, tubuh Ea gemetar.
Dia tidak melihatnya.
Ea tidak melihat energi penghubung antara Thomas dan Celia yang selalu menyala di tengah-tengah jantungnya. Biasanya energi itu seketika menyala seperti ulat yang sedang bergerak ke atas. Tapi kali ini...
Sekali lagi Ea mencari. Sekali lagi dia harus menelan ludah susah payah, seperti menelan pil yang luar biasa pahit.
Ea terlambat. Terlamhat melindungi Thomas. Terlambat menolong Thomas.
Ea memandang Thomas sekali lagi dalam kepedihan yang tak berujung. Oh, Thomas apa yang harus dia lakukan sekarang?
Ea tercekat. Setitik harapan berpendar.
tunggu.
Jika Thomas melawan semua ini, mungkin dia masih dapat mengingat Celia. Kalau Thomas dapat dibantu berkonsentrasi, tentu masih ada harapan.
Ea berusaha masuk ke pikiran Thomas sekali lagi. Hanya untuk mengecek...
Sedetik kemudian, Ea mendesah.
Tidak ada. Pikiran Thomas hanya sekadar insting kucing dan emosi dasar hewani. Tidak ada ingatan apa pun di sana.
"Celia...," desis Ea. cMaafkan aku.... Semuanya... sudah... terlambat..."
Celia benar soal perkataannya bahwa dia merasakan mereka akan kehilangan satu sama lain.
tapi untuk kehilangan Thomas karena hal ini
...memori indah yang dihapuskan dan digantikan dengan pikiran seekor kucing...
bahkan tidak mempunyai kemampuan untuk mengenang dirinya sendiri...
Apakah Celia masih akan terus mencintai Thomas dalam kondisi seperti ini?
Ea merasakan pipinya basah karena air tapi bukan air yang berasal dari lingkaran air yang selalu mengerubunginya. ini air mata.
Aneh.
Dewa Air sudah berabad-abad tidak menangis. Apalagi menangis demi cinta dan manusia.
"Ishtar, maafkan aku. Aku tidak mencoba menasihatimu semampuku. Sebagai teman, seharusnya aku tidak akan membiarkan ini terjadi. Aku tidak tahu betapa terlukanya
kau akibat Cinta ini. sekarang kau sendiri yang menghancurkan hidup Celia, jiwa yang paling kaucintai."
Betapa ironisnya hidup dewi cinta.
"Meong?"
Ea menunduk, menatap Thomas yang sedang berputarputar di kakinya, menggosok-gosokkan tubuh di kaki Ea. Mata kucingnya yang berwarna hijau menatap Ea dalamdalam.
Ea menggeleng. merasa heran dengan keberanian Thomas menghampirinya. Seakan-akan Thomas mengerti kesedihan Ea dan hendak mengajaknya berbagi.
"Aku minta maaf, Thomas." bisiknya lembut. "Aku mencoba sebisaku, tapi aku terlambat tiba di sini."
Thomas mengedip kemudian kembali menggosok-gosok manja. Mata Ea melembut. Dia mengulurkan tangannya dan membelai-belai bulu Thomas. Thomas kesenangan karena perbuatan Ea. Suara dengkuran yang berasal di tenggorokannya terdengar semakin keras.
Tiba-tiba...
Ea mundur mendadak. Pupil mata Thomas membesar ketakutan. Ada teror di sana. Ada sesuatu... Sesuatu Apa? Thomas mendesis marah.
Tujuh pasang mata merah memandang Ea dengan penuh kebencian. Aura kegelapan menyelubungi mereka. Kolong jalan layang menjadi kelam dan mengerikan.
"Ea." terdengar geraman yang menggema ke mana-mana. Tujuh suara berbicara bersamaan. "Apa yang kaulakukan di sini?"
(justru seharusnya aku yang bertanya pada kalian," balas Ea tak gentar. "Bagaimana kalian bisa di bumi? Portal
akan menghalangi kedatangan kalian kemari. Kalian tidak seharusnya berada di sini."
"Bukan urusanmu, Ea. Jangan ikut campur"
"Siapa bilang bukan urusanku? Kalian masuk dunia. Paspor kalian sudah tidak berlaku lagi! Ini pelanggaran! Aku dapat membuat laporan kepada Dewa Langit. Dan kalau hal itu terjadi, percayalah, kalian bisa seketika dideportasi"
Tujuh Utukki tertawa terbahak-bahak. Suara mereka menggema bagaikan hantu malam yang menyelinap di setiap jiwa manusia yang lemah.
"Kucing ini kebetulan sahabat manusiaku... dan adik perempuan kalian satu-satunya... Aku ingin dia kembali menjadi normal."
"Hahahaha! Sayang sekali, kami ingin dia tetap seperti itu, 0 Dewa yang agung," sindir Utukki.
Kilatan marah memancar dari mata Ea. "Jangan bicara sembarangan! Kalian bertindak di luar batas kekuasaan kalian!"
"Mungkin saja," jawab Utukki asal-asalan. "Tapi setelah hidup beribu-ribu tahun bersama adik kami, kami muak. Setelah mengamati tingkah lakunya, kami memutuskan untuk mengubahnya menjadi kucing."
"Bebaskan Thomas dan segera balik ke Dunia-Atas!" Ea menggeram. "Atau... aku yang langsung mengembalikan kalian!)
Utukki mengenakkan gigi dan taring mereka. Cakar besar itu terbuka lebar. "Hahaha! Apa, balik? Yang benar saja! Kami sudah capek-capek kemari. Kami sudah menemukan hadiah kami! Kami tidak akan balik cepat-cepat."
"Kalian gila."
"Siapa peduli? Adik kami menjengkelkan kami selama beribu-ribu tahun. Ini bentuk yang paling pas baginya.:
Ea tidak bisa menahan sabar lagi. Kemarahan mendidih di seluruh tubuhnya. Matanya menyipit. Ea meningkatkan kekuatan tenaganya. Air di seputar rubuh menggelegak, seperti ombak raksasa yang siap menghantam tebing pantai. Dalam waktu singkat, Ea menyerang.
Walaupun Utukki mengetahui serangan itu, mereka tidak berhasil mengelak dengan sempurna. Kecepatan dan tenaga Ea sungguh di luar dugaan. Energi besar seperti tsunami berwarna biru cerah menghantam leher Utukki dan membakarnya. Monster itu mengangkat taring dan cakar mereka, mengoyak-nguyak energi tersebut. Perlahan tenaga dalam mereka mengabur dan melemah.
"Ka|ian puas?" tanya Ea. "Kembalikan Thomas ke bentuk semula dan pulanglah ke Dunia-Atas. Atau kalian mau merasakan serangan lain" Ea menggeram. Air itu berbuih, bergelegak, seperti air yang dipanaskan dalam ketel.
Utukki meringis kesakitan. "Tidak akan! Nannia lebih pantas hidup sebagai kucing" Ketujuh pasang mata memerah dan mulut mulut mereka menjerit, "ini baru permulaan. Ea! Sudah lama kami tidak bertempur... Bosan juga terus-terusan hidup dalam damai."
Tiba-tiba, desisan marah Thomas yang sedari tadi dipertunjukkan kepada Utukki menjadi lolongan hewan kesakitan. Thomas terjatuh seketika ke tanah. Tidak bergerak.
Ea memutar tubuh dan menatap Thomas tidak percaya. Air di sekitar tubuh Ea berhenti menggelegak. "Hentikan!"
teriaknya penuh kemarahan. "Apa-apaan ini?! Kalian tidak boleh melakukan hal ini pada makhluk hidup!"
Thomas terbangun. Tubuhnya terlihat segar bugar.
"Hahahahahal" tawa Utukki membelah langit. "Coba saja hentikan kami! Di sini bukan daerah kekuasaanmu, Ea! Rasakan pembalasan kami untuk dewa yang suka ikut campur urusan makhluk lain!"
Ea menatap Thomas, yang berdiri sempurna pada keempat kakinya, bulu putih susunya berdiri tegak, punggung melengkung, dengungan kemarahan, mata yang berubah warna menjadi merah sedang menatapnya tajam, penuh kebencian, energi kegelapan menyelubungi Thomas....
"Thomas...," bisik Ea.
Ketujuh Utukki mengembuskan napas monster ke udara. "Maafkan kami, Ea. Kami memang monster pemalas. Untuk apa kami menyerang teman sendiri kalau kami punya teman yang bisa menyerangmu?"
"Sialan kalian" maki Ea.
wajah Ea kembali kepada Thomas yang sedang berjalan mendekati Ea selangkah demi selangkah. Ini pasti Mantra Perpindahan jiwa, kehebatan Urukki dalam sihir-menyihir. Ea tidak akan mungkin menyerang Thomas.
(Coba saja kalau kau berani menyakiti Thomas, Ea. Hantam dia dengan energi airmu itu!"
Thomas menyerang, melompat ke arah Ea. Taring dan cakar terbuka lebar. Ea segera menghindar.
"Hebat! Hebat!" Utukki berseru sambil bertepuk-tepuk cakar. "Ini bakal jadi tontonan yang asyik!"
Ea berusaha tidak terganggu mendengar komentar-komentar Utukki dan berusaha sekuat tenaga menghindari
serangan Thomas. Ia terengah-engah, ternyata kegiatan ini melelahkan. Thomas memang luar biasa. Tubuhnya sangat lentur dan gerakannya cepat.
Ea berpikir keras. Mantra apa yang bisa dia lakukan? Mantra Tidur? Ea mengawasi situasi. Masalahnya, dia harus bisa menolak empat titik penting di tubuh kucing agar dapat membuat Thomas tertidur. Dia melompat sekali lagi ketika Thomas menyerang dengan kecepatan luar biasa, di luar kecepatan makhluk hidup apa pun. Cakar Thomas mendesing di udara, hanya tersisa satu sentimeter dari lengan Ea.
"Aw" jerit Ea. Nyaris. Nyaris... Terdengar suara air berkecipak, hasil cakaran Thomas. Oke, mungkin Ea tidak akan berhasil menotok empat titik untuk menidurkan Thomas. Jangankan empat, satu saja susah setengah mati. Baiklah, mantra apa lagi? Kucing ini memang hebat. Saatnya untuk serius, bertindak keras tapi tidak bisa terlalu keras juga.
Sekali lagi Ea memusatkan perhatian. Dalam keadaan biasa, bagi Ea memusatkan perhatian adalah tindakan yang sama sederhananya dengan tindakan yang dilakukan manusia, seperti makan, tidur, bahkan bernapas. Tapi tidak dalam keadaan sekarang. Diserang kiri dan kanan dalam kecepatan tinggi membuatnya sulit berkonsentrasi penuh.
Thomas menyerang lagi. Ea melompat setinggi mungkin, membuka kedua tangannya, dan melontarkan semburan air energi ke tubuh Thomas. Pada saat bersamaan, sebuah cakar besar menghantam lengannya dan membuat Ea terpelanting ke bawah.
Ea terjatuh, menimbulkan bunyi berdebum. Lengannya
terluka. Dia meringis kesakitan. Tapi matanya mencari Thomas.
Hantaman energi Ea persis mengena dada Thomas. Mata Ea menyipit, menatap penuh perhatian kepada Thomas yang masih berbaring dalam bentuk seekor kucing.
Thomas berbaring miring. Kepalanya tergeletak di tanah. Keempat kakinya tertekuk. Perutnya naik-turun, bernapas perlahan-lahan.
Ya. Ea sekali lagi menyipit. Energi gelap yang dari tadi menyelubungi Thumas perlahan menghilang. Hantaman energi Ea mengisap habis mantra Utukki. Tapi Ea tidak terlalu peduli dengan Utukki. Dia mengkhawatirkan Thomas.
Ea berdiri tegak dan mengamati tubuh kucing yang masih pingsan itu lekat-lekat. Dia berusaha menyentuh pikiran Thomas, hanya sekadar menentukan apakah energi jahat Utukki yang menguasai jiwa Thomas telah lenyap sepenuhnya...
Ea tercekat.
Dalam jiwa kucing, jiwa Utukki sudah tidak berada di sana lagi. Energi gelap tidak berada di sana. Semuanya telah digantikan insting binatang yang normal. Tapi di sana... di sana... di balik pikiran primitif seekor kucing, Ea berhasil melihat begitu banyak imaji.
Imaji Celia.
Bukan...
Sekali lagi Ea tercekat.
Bukan imaji Celia. Semuanya... kenangan Celia. Dan kenangan Enka.
Enka yang berusaha menyelamatkan ayahnya di tengah kobaran api... Celia yang sedang berjalan lambat-lambat di dekat patung St. Francis... Enka yang sedang menangisi kematian ayahnya... Celia yang sedang menoleh sambil tersenyum... Obrolan-obrolan Enka bersama Nannia... Kerlingan galak Celia kepada Thomas... Percintaan Enka bersama Nannia...
Wajah panik Celia ketika diculik ke angkasa... Genggaman tangan mereka... Air mata Celia...
Wajah Enka yang tampan... Wajah Celia yang lembut
Ea nyaris tidak percaya. Semuanya ada di sana. Semua pengalaman Thomas bersama Enka dan Celia beribu-ribu tahun... kenangannya... ingatannya... memorinya... isi hatinya... semuanya berada di sana, dalam pikiran seekor kucing.
Mantra yang, terbuat dari darah Antu dan tujuh Utukki juga berada di sana. Ea dapat merasakannya. Mantra yang menciptakan dua dunia yang berbeda bagi Thomas dan Celia. Mantra yang juga berusaha melenyapkan kenangan itu semenjak mereka berdua saling jatuh cinta....
Tidak berhasil. Gagal.
Walaupnn energi dewa berhadap-hadapan dengan energi manusia... Walaupun Thomas telah diubah menjadi binatang, makhluk yang terendah dari urutan kasta makhluk hidup...
Tidak berhasil. Gagal.
Thomas selalu mengenang Celia.
Nannia selalu mengenang Enka.
Belum pernah terjadi sebelumnya. Ea menundukkan wajahnya. Bagaimana ini bisa terjadi? Apakah hubungan mereka berdua begitu kuat? Apa yang membuat hubungan itu menjadi sangat kuat?
Dewa Kebijaksanaan terpaku tak berdaya. Tidak percaya. Mulutnya ternganga lebar. Selama beberapa milenium hidupnya, dia belum pernah melihat hal seperti ini.
...berarti masih ada harapan.
Ea sangat bergembira dengan kenyataan ini sehingga dia tidak berhenti memandangi Thomas. Tubuh Ea perlahan melemah. Energi bumi melemahkan ketegarannya. Apalagi ditambah luka yang diderita lengannya. Dia harus kembali ke kerajaannya, menggunakan elemen pentingnya untuk menyembuhkan luka-luka di tubuh.
Jangan terlalu terpesona pada hal yang tidak perlu, Demi Kebijaksanaan .
Geraman suara itu menghantam kesadaran Ea. Ea langsung syok dan berbalik. Di sampingnya, tampak berdiri tujuh monster Utukki, dengan cakar dan taring ke arahnya, siap merobek-robek tubuhnya yang sudah lemah.
Ea mundur satu langkah.
Tujuh cakar melayang tinggi dan menghantam dada dan perut Ea. Air berkecipak keras, tak sempat mengelak. Semuanya berlalu demikian cepat. Sakitnya tak tertahankan. Ea menjerit sekuat tenaga.
ow. Cepat sekali. Kami tidak pernah menyangka ternyata Dewa Air tidak mampu mengelak serangan monster.
Ea terbaring di tanah, lumpuh akibat luka. Dahinya mengernyit. Fokus... fokus... Ea berusaha mengembalikan konsentrasinya yang hilang. Bagaimana caranya?
Tiba-tiba pikirannya terlempar kepada Sang Penjaga di Portal Imigrasi. Bisakah dia memanggil Sang Penjaga melalui Mantra Panggil-nya? Tentu bisa. Kalau tidak, jangan sebut dia Dewa Kebijaksanaan.
Fokus... fokus...
Bayangan Celia berkelebat. Gadis itu sedang berjalan di tengah-tengah kabut.
"Masih jauh?"
"Tidak, Celia. Tidak jauh lagi. Jalanlah terus. Jangan putus asa;
"Ea, kau di mana?"
"Aku di sini. Bersama Thomas-mu. Dia selamat."
"Sungguh?"
"Ya, sungguh. Thomas mencintaimu, Celia. Lakukanlah hal yang sama seperti yang dia lakukan untukmu."
Fokus... fokus...
Ea memanggil Sang Penjaga...
"Buka pintu Portal Imigrasi... Ada makhluk di bumi yang turun ke sini tanpa izin "
Utukki tertawa terbahak-bahak. Menggelegar.
"Ea, aku rindu padamu. Cepat datang kemari, bantu aku. Awan-awan ini semakin menyebalkan. Aku tersesat...."
Ah, Celia. Aku juga rindu padamu. Sudah berapa lama waktu berlalu di Dunia-Atas.?
Jangan tersesat. Ikuti kata hatimu..."
"Ea, satu pintu Portal Imigrasi terbuka. Transportasi dapat dilakukan sekarang."
Fokus... fokus...
Sakit sekali... Perih...
Inikah sakit yang dirasakan Thomas dan Celia selama beribu-ribu tahun? Ngilu... Nyeri... Pulih...
Dewa Antu, berilah dia kekuatan...
Fokus... fokus...
Thomas berdiri di ujung pelangi. Oh, dia sadar.
"Aku mencintainya, Ea. Selama-lamanya.:
"Aku tahu. Aku tahu, Thomas;
"Aku beruntung sekali memilikinya."
"Ya, kau beruntung. Bagaimana rasanya menjadi manusia?"
"Menjadi manusia lebih hebat daripada dewa. Manusia mempunyai energi manusiawi yang dapat mengalahkan energi dewa."
Bagus... bagus...
Cahaya terang membuka dari kedua tangan Ea, menghajar ketujuh Utukki. Diiringi pekik dan raungan kemarahan, Utukki menghilang lenyap dari bumi. Pintu Portal Imigrasi membuka dan seketika menutup.
(Terima kasih, Ea. Kau bisa diangkat jadi Polisi Lalu Lintas."
"Sama-sama. Aku hanya membalas utang budi karena kau mengizinkan aku melewati Portal Imigrasi."
"Betul kan, Ea? Mudah mengusir monster? Apa kataku tadi..."
"Kau benar."
"Aku selalu benar..."
"Sombong. jadi manusia jangan sombong. Itu melawan kodrat alam."
"Ah, Ea. Tidak heran aku selalu perlu dampingan Dewa Kebijaksanaan."
Thomas telah terbangun. Mengeong-ngeong manja di kaki Ea. Hidungnya mengendus-endus. Dia mengelilingi kaki Dewa Air tanpa takut pada air yang berkecipak di sekitarnya.
"Thomas, maaf aku tidak banyak membantu, tapi setidaknya ndak ada yang berani mengganggumu lagi, Apalagi kakak-kakakmu. Mereka sudah tidak berada di sini lagi.:
"Ya..."
"Kau akan menjadi Nannia yang kukenal lagi. Aku percaya. Dengan kenangan penuh cinta yang kaumiliki di pikiranmu. kau akan baik-baik saja."
"Terima kasih, Ea. Kau memang pantas jadi dewa kebijaksanaan."
"Dewa Antu bakalan marah besar jika dia tahu."
"ltu urusan belakangan."
"Thomas, ingatlah aku... Ingatlah aku, Sahabat..."
Di Dunia-Atas, seminggu telah berlalu. Celia masih berjalan melewati awan-awan yang sekarang menjadi semakin kelabu. Entah apakah karena warnanya benar-benar kelabu atau karena suasana hati Celia?
Air mata Celia tiba-tiba mengambang. Hatinya seakan perih tertikam belati.
"Dewa Ea?" bisiknya lirih.
Air mata Celia meleleh turun. Turun dan tidak berhenti. Dia menangisi sahabat dewanya yang takkan pernah dilihatnya lagi.
**
"ADA yang mau pergi ke fim marker?"
"Fim market.? Mau! Mau doong!" seru Raula bersemangat.
Adam menengok kepada Naeva yang sedang sibuk mengganti-ganti saluran televisi.
"Mau ikut nggak, Naeva?"
"Malas ah."
Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raula menoleh terkejut.
"Nggak mau ke fim market? Kenapa?"
"Besok ada Widraw."
"Bohong!" seru Raula.
"Katanya tadi nggak ada!"
mendadak. Aku juga baru tahu."
"Bohong!" seru Raula sekali lagi. Dia menyambar remote tv yang sedang dipegang Naeva.
"Aku baca buku-mu, besok nggak ada rencana " apa-apa."
"Kembaliin!" kata Naeva sambil berusaha merebut remote control itu kembali dari tangan Raula.
"Nggak!" Raula berdiri, menghindari serangan Naeva.
"Bilang dulu mau ikut!"
Naeva menggeleng-gelengkan kepalanya mengawasi teman-nya, yang residen bedah jantung, sedang menandak-nandak di samping televisi. Beginilah kalau kebanyakan belajar. Terkadang kapasitas otak dapat meledak juga.
"Dasar gila," rutuk Naeva.
Raula berjalan ke salah satu sofa. Tangannya di belakang punggung, menyembunyikan remote control.
"Jangan mengubur diri di apartemen terus, nanti sinting."
"Kamu sendiri sudah sinting!" gerutu Naeva sekali lagi. Tapi biar bagaimana juga. Naeva akhirnya mengakui dalam hati bahwa ide pergi ke fim market memang mengasyikan. Jalan-jalan, sekalian refresh. Sudah seminggu dia tidak mencari angin. Tumpukan ujian dan research paper merampok perhatiannya hahis-habisan.
"Cepat! Ganti baju sana!"
Naeva mengangkat pantatnya dan berjalan menuju kamarnya. Di sofa, Raula melempar pandangan kepada Adam. Lalu tersenyum penuh arti.
Adam balas tersenyum kikuk.
Fim market biasanya diadakan setahun sekali pada musim semi di kota Detroit. Musim Semi, musim hangat yang selalu ditunggu-tunggu oleh setiap orang. Musim di mana segala jenis festival dapat digelar. Fim market kali ini diadakan di Greekinun, dekat persimpangan Lafayette Boulevard dan Road 375.
Adam memarkir kendaraannya di tempat parkir yang disediakan. Lapangan tempat fim market digelar meledak dalam keramaian. Orang-orang berpakaian minim berlalu lalang dengan es krim dan gulali di tangan. Matahari berada di ujung langit, tidak terlalu panas, tidak juga terlalu
menyengat. Suasana yang sangat nyaman untuk berjalanjalan di sepanjang kios yang berderet-deret. Kios itu diatur sedemikian rupa sehingga sedap dipandang, lengkap dengan segala umbul-mnbul dan pernik-perniknya.
Raula sudah melenggang ke salah satu kios dan terlihat dalam percakapan seru dengan si pedagang. Dia sedang menawar satu set poci dan teko kecil ala Jepang. Naeva melongokkan kepala melalui bahu temannya.
"Untuk apa beli ini?" tanya Naeva heran.
"Buat Mami di Medan. Dia suka minum teh hijau. Kelihatannya keren kalau minum pakai poci dan teko ini. Sangat Jepang!" jawab Raula sambil lalu di tengah-tengah percakapan silang-menyilang antara si pedagang dengan penawar yang baru saja tiba.
Naeva berlalu karena merasa bosan.
Adam berjalan merendenginya.
Mereka berhenti sejenak di kios kaus. Adam melihat-lihat. Kaus bertumpuk-tumpuk dengan gambar dan tulisan-tulisan yang provokatif. Naeva membeli sepotong kaus . Adam tertawa melihat kaus itu dan juga membeli sepotong .
"Kita pakai bareng-bareng ke kampus, ya."
Mereka berjalan lagi. Melihat kios kiri dan kanan. Mengamat-amati barang-barang unik, lucu, dan aneh.
"Coba lihat telepon ini, Dam!" seru Naeva.
"Antik banget!"
Ketika mereka melewati sebuah kios, perhatian Adam tiba-tiba teralihkan. Matanya berbinar menatap sesuatu.
dengan tergesa, lelaki itu berjalan mendekati dan langsung mengambil patung itu.
"Apa sih?" tanya Naeva ingin tahu.
"Patung Marduk!" seru Adam.
"Wow! Hebat... luar biasa menakjubkan!" desisnya.
Patung itu berbentuk sangat aneh. Naeva tidak berhasil menemukan kata yang tepat untuk mendeskripsikan patung tersebut. Patung itu berwajah naga dan bertubuh anjing. Tungkai belakangnya seperti tungkai seekor naga, sementara kaki depannya adalah kaki seekor anjing. Dia mempunyai empat mata dan empat telinga.
Adam memegangi moncong patung.
"Lihat. Marduk dapat menyemburkan api dari mulutnya jika dia berbicara. Seperti seekor naga yang terus-menerus mengembuskan api."
"Siapa sebenarnya Marduk itu?" tanya Naeva.
"Marduk..." Adam membelai-belai punggung patung Marduk,
"...adalah dewa yang amat penting dalam mitos bangsa Babylonia. Dia mempunyai banyak nama yang disandangnya, tapi kebanyakan orang memanggilnya Bel Marduk. Bel berarti Lord. Dia dewa yang paling pintar dari antara dewa-dewa pintar lainnya. Ayahnya adalah Dewa Ea. Sering kali Marduk mempertanyakan apa yang ayahnya kerjakan; mengapa begitu, mengapa begini?"
Naeva diam, memperhatikan Adam.
"Dewi Tiamat menyerang Marduk karena pasangan Dewi Tiamat, Dewa Apsu, dibunuh oleh Ea. Tiamat mengubah diri menjadi Naga Raksasa, menelan Marduk bulat-bulat. Marduk mengubah diri menjadi angin dan menghancurkan tubuh Tiamat dari dalam. Marduk menjadikan kulit Tiamat
sebagai Kaki Langit baru. Kehancuran langit, begitu kata mitos mesopotamia. Lucunya, menurut sejarah, ada catatan penting tentang perubahan tata surya. Dr. Emanuel Velikuvsky menulis buku Ager in Chaos dan World in Collition tentang hancurnya beberapa planet beribu-ribu tahun yang lalu. Mungkinkah itu sebuah kebenaran?"
Naeva mengambil patung Marduk. Mengamat-amati dengan serius.
"Berapa sih harganya?" tanya Naeva kepada diri sendiri. Ukiran patung tersebut sangat indah. Lekukannya jatuh pada tempat yang tepat.
Adam tidak memperhatikan sekitarnya.
"Ada teori penting tentang bumi pada masa purba ketika bumi kehilangan setengah dari massanya karena bertubrukan dengan planet lain. Diperkirakan planet itu Mars atau planet yang berada di tengah-tengah orbit antara Mars dan Yupiter. Banyak mitos, legenda, dan saga dari seluruh dunia menceritakan tubrukan itu. Banyak juga yang bercerita tentang dinosaurus yang punah, bumi dalam kebakaran hebat, banjir besar, serta zaman es. Bangsa Sumeria mengurutkan dewa-dewinya sebagai planet dalam tata surya kita, seperti Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Nibiru, Yupiter, Saturnus, planet asing yang tidak jelas namanya, Uranus, Neptunus, dan Pluto. Anehnya, bagaimana caranya bangsa purba ini mengetahui kedudukan planet beribu-ribu tahu yang lalu, jauh sebelum ilmuwan kita menemukan susunan tata surya pada abad 20?"
Naeva tercengang mendengar kenyataan ini.
"Mitos Marduk adalah salah satu mitos yang terbesar dalam segala versi mitos Babylonia. Ilmuwan mencurigai Dewa Marduk mempunyai peran penting, simbol istimewa,
dan penceritaan yang berhubungan erat dengan sejarah tata surya kita."
Si penjual menyerahkan bungkusan kepada Naeva. Gadis itu mengacungkannya di depan hidung Adam.
"Nih, Marduk-mu sudah kubeli. Ayo, jalan lagi. Bosan di kios ini terus-terusan!"
**
THOMAS menunduk, tak bergerak. Mata kucingnya membulat berwarna hijau terang. Kaki depannya terangkat dan dia mendorong-dorong tubuh Ea, mengharapkan mukjizat. Mengharapkan Ea membuka mata lalu terbangun.
Tidak ada gerakan. Mata Ea tetap terpejam. Air yang tadi berputar-putar di tubuh Ea berhenti mengalir. warnanya bukan biru laut lagi, tapi biru pucat tanpa kehidupan. Membeku.
Thomas mengeong khawatir. Dia dapat mengendus sesuatu yang tidak benar. Sesuatu yang salah. Sesuatu yang membuat hatinya perih, pedih, dan terluka. Tapi sebagai kucing, dia tidak dapat menerka apa itu, tidak tahu bagaimana memperbaikinya.
Thomas maju sedikit dan menyentuh hidung Ea dengan hidungnya.
Tiba-tiba, tubuh kucing Itu bergetar hebat. Suara meongan kering meluncur keluar dari tenggorokannya. Seberkas cahaya... sesuatu.-. hidup kembali, memberikan secercah terang dalam awan pikiran seekor binatang.
tidak ada kata-kata.
Semuanya melewati pikiran dan instingnya begitu saja, seperti butir-butir putik bunga terbang bersama angin.
Tapi emosi itu...
Emosi yang dimiliki setiap binatang mamalia, termasuk kucing...
membuncah di seluruh aliran darahnya. Emosi yang berhubungan dengan wajah yang dimiliki seorang manusia menyentuh kesadarannya yang paling dalam. Fokusnya semakin jelas.
Wajah seorang perempuan.
Thomas tidak mengenalnya. Tidak mengenali bahwa dia mengenalnya.
Tapi emosi terdalam Thomas mengatakan wajah itu adalah wajah yang sangat familier. Sangat dekat dengan hidupnya. Senyum yang manis . rambut yang tergerai indah... tatapan lembut tapi penuh kebanggaan....
Secara insting, Thomas tahu jika dia menemukan wajah itu, emosi sedihnya akan menghilang. Dia mulai melangkah, mengikuti naluri primitif binatang.
Thomas tidak menyadari bahwa tubuh Ea yang sekarang berada jauh di belakangnya bersinar dalam cahaya perak, perlahan-lahan menghilang. Berkedip-kedip dalam keremangan bintang di atas langit malam yang hitam laksana tertumpah tinta.
**
Celia berjalan putus asa dan lelah melalui awan-awan tebal berwarna kelabu. Ini hari ke-23 semenjak dia melarikan diri dari istana Ishtar. Menyebalkan sekali. Dia benci luasnya
kerajaan ini. Setelah berjalan sendirian selama berhari-hari, Celia masih saja belum terbiasa. Suasananya sangat muram, dingin, dan seram. Heran, bagaimana mungkin Dewi Cinta tinggal dalam dunia yang kelabu seperti ini? Apakah mungkin karena Ishtar juga Dewi Perang?
Perut Celia protes.
Makan. Dia perlu makan. Tangan Celia menyentuh kantong gaunnya. Di dalamnya ada butiran-butiran beras yang diberikan Ea. Celia mengambil satu butir dan menelannya. Cukup satu butir untuk mengenyangkan perut selama dua belas jam, versi waktu Dunia-Atas.
Ah. Kenyang. Perut-nya tidak protes lagi. Tapi Celia kangen membayangkan kenikmatan menelan semangkuk bakso, nasi goreng, lontong sayur, dan berbagai macam makanan yang dapat ditemui di Jakarta, kota tercintanya.
Celia meneruskan langkahnya sambil membayangkan Thomas. Apakah lelaki itu selamat? Apakah Ea berhasil menemuinya? Apakah Thomas tetap menunggunya?
Apakah Thomas merindukannya sebesar Celia merindukan lelaki itu?
Celia berputar di tempat yang sama lagi. Sedari tadi. Entah apakah batu itu yang bergerak mengikutinya atau dia memang terjebak di tengah-tengah awan kelabu sialan ini.
Celia mendesah sedih. Belakangan ini, dia sering mendesah.
Awan semakin tipis di depannya dan Celia melihat seberkas cahaya. Bagus... bagus... Tunggu, jangan senang dulu. Apakah ini pertanda bagus atau buruk? Setelah berkali-kali berputar di tempat yang sama, gembira pada sesuatu yang
akhirnya akan mengecewakan... Celia telah kebal terhadap hal-hal seperti itu.
Dia berkedip, berusaha mengatur serapan cahaya di matanya. Langit berwarna ungu seperti bunga-bunga lavender Di hadapannya terbentang padang berumput hijau, dan jauh di depannya lagi tampak... gunung. Aneh! Gunung dan padang rumput? Ini hal baru setelah bermingguminggu matanya terbiasa dengan warna putih dan perak saja .Angin berembus lembut, tidak dingin, tapi hangat. Putik-putik dan kuntum bunga ikut beterbangan bersama angin, melewati rambutnya. Buru-buru Celia mengambil setangkai rumput dan mengikat rambutnya erat-erat dengan sulur itu.
Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Devil Dna Karya Peter Blauner Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama