Ceritasilat Novel Online

Utukki Sayap Para Dewa 4

Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng Bagian 4



Pemandangan di depan matanya sangat cantik.

Jauh jauh... lebih cantik daripada kerajaan Ishtar.

Sekelebat, pemandangan ini seperti pemandangan yang biasa dilihatnya di buku-buku "weling di bumi. Hanya saja... rumputnya berwarna sangat... sangat hijau. Gunungnya berwarna sangat... sangat biru. Dan, tentu saja tidak ada matahari di atas langit. Aneh lagi. Tidak ada bulan. Bintang-bintang bertaburan di langit yang berwarna ungu. Aneh. janggal. Seperti semua keanehan dan kenyentrikan yang ditemui di Dunia-Atas.

Celia melangkah maju dengan hati-hati. Rumput-rumput tinggi menerpa kakinya. Sentuhan yang nikmat sekali setelah berminggu-minggu tidak pernah melihat tanaman apa pun.

"Hai, Celia..."

Celia menoleh dan tercengang.

**

Thomas duduk persis di depan rumah besar. Ekornya memukul-mukul tanah. Matanya terpaku tajam, tak berkedip. Pupilnya membulat lebar, melebarkan jalan masuk bagi cahaya. Lalu dengan gerakan gemulai, dia melompat ke atas pagar tinggi yang membatasi rumah dengan jalan raya.

Thomas mengikuti bau pekat di udara yang sudah tidak asing lagi. Seekor kucing lain yang berwarna kuning mengawasi gerak-geriknya. Tapi Thomas tidak memedulikannya. Dia mengikuti bau yang keras itu, menuju rumah melalui genteng.

Dia tiba di dalam rumah melalui langit-langit. Begitu mendarat, Thomas menciumi lantai rumah. Begitu banyak aroma, begitu banyak bau. Dari mulai yang segar sampai aroma yang samar-samar. Ada juga bau dari masa lalu. Telinga Thomas menegak. Ah ya. Ini dia. Bau ini sangat berbeda dengan bau yang dia cium. Begitu tua, begitu lama, bercampur-aduk dengan bau-bau lainnya. Tapi Thomas dapat menciumnya dengan mantap. Seraut wajah terbentuk seketika dalam benak seekor kucing.

Hati Thomas seketika pedih. Otomatis, nalurinya membimbingnya untuk mengeluarkan kepedihan itu. Seekor kucing akan mengeong jika merasa sakit, maka Thomas pun mengeong lirih.

Thomas mengendus ke sana-kemari sambil mengisinya dengan meongan sedih. Dia mulai mengikuti bau itu. Di beberapa tempat bau itu menghilang, ada juga yang memecah ke segala arah. Thomas mengikuti arah hati yang terkuat.

Dia berjalan melewati meja kursi, tangga, dan beberapa perabotan rumah.

Thomas berhenti di depan pintu. Bau itu terputus di sana. Dia berdiri dengan kedua kakinya dan menggarukgaruk pintu. Tidak terjadi apa-apa. Dia menoleh ke belakang. Lampu remang-remang menyala di lorong. Tidak ada seorang pun yang menyadari kehadiran seekor kucing liar di dalam nimah.

Thomas duduk dan mendongak. Dia melihat hendel pintu. Seekor kucing tahu kegunaan hendel pintu. Manusia selalu menekan benda itu sebelum memasuki ruangan yang berada di baliknya. Thomas berkonsentrasi.

Dengan gerakan cepat, dia melompat, menekan hendel pintu dengan kedua kaki depannya. Dia terpeleset.

Gagal.

Coba sekali lagi. Thomas melompat.

Gagal.

Setelah berkali-kali melompat, akhirnya hendel tertekan dan pintu terdorong membuka.

Thomas menyelinap masuk.

Kamar gelap gulita. Pupil mata Thomas membulat sempurna, menyerap cahaya sebanyak-banyaknya agar dapat melihat dalam kegelapan. Imaji ruangan tersebut mulai terbentuk dalam pikiran Thomas.

Bau itu sangat, sangat keras.

Thomas mengeong-ngeong lirih sambil berputar-putar di lantai. Dia tidak dapat menahan diri. Tubuhnya sakit. Hatinya perih. Emosinya membuncah keluar. Thomas tidak dapat melukiskan semuanya dalam kata-kata.

Ya. Bau itu ada di sini. Tajam. Tapi... di mana manusia yang melepaskan baunya? Thomas memanggil-manggil putus asa dengan meongannya.

Tidak ada jawaban.

Pemilik bau tersebut tidak berada di sini.

Dia akan kembali, bukan?

Thoums bersedia menunggu.

Dia mendongak menatap ranjang. Dengan kegemulaian seekor kucing. Thomas melompat ke atas kasur dan menggelung nikmat di salah satu sudut.

Thomas akan menunggu.

Menunggu si pemilik bau ini tiba.

Dan jika saatnya tiba...

Thomas mengeong sedih sebelum memejamkan mata. Dia tertidur.

Dalam mimpi seekor kucing, Thomas tahu dia berada di dalam kamar Celia.

Celia berputar cepat, bersiap lari dengan langkah seribu.

Tampak sosok manusia berdiri di depannya, tersenyum gembira. Thomas.

Celia membelalak lebar. Lelaki itu mengenakan baju berwarna merah darah. Rambutnya ternyata lebih panjang, diikat ke belakang menjadi kucir ekor kuda. Celia mundur tiga langkah, matanya tajam membara.

"Mau ke mana?" seru Thomas. "Kok malah lari? Sudah capek-capek kemari, tapi malah dicuekin begitu aja. Gimana sih kamu ini?"

Celia berusaha tampak tenang, tidak terpancing dengan ucapan Thomas. "Kamu... bukan... Thomas," katanya tegas. "Siapa kamu? Jangan pura-pura. Tidak ada gunanya, saya tahu."

"Ck, ck. Hebat. Dia tahu. Bagaimana ..

.

Celia mendengus. "Mau: deh. Siapa pun kamu, yang jelas kamu nggak bisa akting. Kalau di planet saya, kamu dapat disamakan dengan para pemain sinetron yang norak dan kampungan itu!"

"Penghinaan!" Thomas meleletkan lidahnya kepada Celia. "Pemain sinetron itu kan lebih norak."

Celia tidak bereaksi apa-apa melihat pipi Thomas yang ditarik ke sana-kemari oleh tangan lelaki itu sendiri. Air muka Celia kosong. "Kamu nggak lucu," katanya sebal sambil berputar dan melangkah menjauh.

"Tunggu! Tunggu dulu!" seru Thomas. "Mau ke mana? Kok pergi begitu aja?"

Celia mengenakkan giginya tanpa menoleh. "Mau pergi sejauh-jauhnya. Memangnya enak berdekatan dengan kamu? Saya pergi mencari bantuan untuk kabur dari tempat terkutuk ini. Yang jelas, siapa pun kamu, kayaknya kamu tidak akan bisa menolong saya."

"Ya ampun, galaknya cewek satu ini. Nggak bisa bercanda ya?" Thomas berjalan cepat-cepat di belakang Celia. "Saya lagi berusaha membuatmu tersenyum. Kok cemberut terus sih sedari tadi? Ketawa dong! Kayak gini. Hahahahaha.

Celia menepis bahu Thomas. "Minggir! Jangan teriakteriak di depan hidung saya. Kamu harus sikat gigi dulu! Mulutmu bau!"

Thomas membelalakkan matanya. "Apa sih yang kamu lihat dalam diri cowok itu? Udah jelek, sekarang jadi kucing lagi.

Celia bengong. "A... apa?

"Kucing. Belum tahu. ya?"

Air muka Celia mengeras seperti batu. "Kucing? Maksudnya?

"Yang itu bukan kerjaannya si Ishtar, tapi kerjaan para monster Utukki." Thomas terkekeh. "Hehehe... dibantu oleh Ishtar, tentunya."

Celia mengusap-usap kepalanya. Kepalanya serasa pecah, hatinya sakit. Apa yang terjadi pada Thomas? Semoga apa pun yang terjadi padanya, Ea dapat melindungi Thomas. Di depannya,

"Thomas" menandak-nandak.

Gila. Semuanya gila, pikir Celia geram.

"Nggak mungkin gila. Dunia ini memberi kehidupan bagi makhluk-makhluk yang waras."

Cukup sudah. Makhluk satu ini benar-benar tidak bisa nyambung dengannya. Tanpa banyak kata-kata, Celia berbalik dan melangkah menjauh.

(Eh, mau ke mana lagi? Kok cepat-cepat?"

Celia mengibaskan tangannya. "Pergi! Jangan ganggu saya lagi!"

"Begitu saja tersinggung. Jangan pergi dulu dong, sayangku. Nanti kamu menyesal lho. Kamu kan belum tahu siapa saya)

"Tidak mau tahu dan tidak peduli."

"Kalau kamu tahu, kamu akan peduli.)

"Percuma, kamu tidak membuat saya kagum. Akting aja tidak bisa. Sori deh, kamu tidak selevel dengan intelektual saya."

Alis "Thomas" naik. "Sombong"

"Saya? Sombong? Saya hanya mengatakan fakta." Celia masih melanjutkan langkahnya. Dia tidak berhenti sejenak pun.

"Kalau begitu, saya juga bisa menunjukkan fakta bahwa saya mempunyai sihir yang teramat ampuh. Saya dapat mengubah pemandangan ini menjadi kebakaran hutan. Mau membuktikan kesombongan saya?

Celia berhenti melangkah. "Coba saja kalau berani" tukasnya lalu dia kembali berjalan cepat-cepat tanpa menoleh. Dia sampai pada titik muak. Mempunyai hubungan dengan dewa nyentrik di negeri sinting ini akan membuatnya benarbenar tidak waras.

(Tunggu, tunggu! Ya deh. Saya benar-benar sombong sekarang. Saya bisa menghancurkan energi buruk yang ada di antara kamu dan Thomas."

Celia membeku.

"Saya juga bisa mengembalikan kamu ke bumi... bertemu kembali dengan Thomas."

Tubuh Celia seakan terbakar karena terlalu terkejut. Apa kata "Thomas"? bertemu... kembali... dengan... Thomas?

"Kalau kamu sedang bercanda, kamu sama sekali nggak lucu," kata Celia lamat-lamat dengan suara tercekik.

"Saya tidak bercanda. Sumpah!"

Jantung Celia berdebar seperti sedang berlomba lari. "Saya akan berbalik. Tapi, awas jangan menyamar menjadi Thomas lagil"

"Oke kalau itu yang kamu mau." Suara itu bukanlah suara Thomas. melainkan suara yang mendesis, seperti berasal dari tungku berapi.

Celia menarik napas dalam-dalam, berbalik, dan seketika melongo.

Makhluk yang berada di depannya benar-benar membuatnya nyaris memekik. Panjangnya... ya panjangnya... sekitar

tiga meter. Berwajah naga, moncongnya mengembus-embuskan asap tebal seperti sedang merokok. Kadang-kadang lidahnya menjulur keluar. Telinganya ada empat dan matanya juga ada empat. Memandang Celia tajam tapi jenaka. Makhluk ini mempunyai empat kaki. Dua kaki di depan adalah kaki makhluk mamalia biasa. Celia memutar otak, mereka-reka mamalia apa itu. Seperti sepasang kaki anjing. Dua kaki belakangnya mempunyai cakar besar, seperti sepasang kaki naga. Tubuhnya tentu saja tubuh anjing dengan ekor panjang yang bergoyang-goyang heboh. Persis seperti anjing yang sedang bergembira ria.

"Tutup mulutmu, gadis manis. Aduh, besar sekali gigigigimu."

Celia nyaris tidak berhasil menutup mulutnya. Dia masih terperangah.

"Kenapa? Kok masih bengong? Nggak suka penampilan saya yang asli ya?"

Celia menutup mulutnya rapat-rapat. "Su-suka... suka ba-banget..."

"Bagus deh kalau suka. Sekarang masuk ke hal yang paling penting. Mau tahu siapa saya?)

"Siapa kamu?"

"Tebak."

"Nggak tahu."

"Tebak dong. Saya cukup terkenal di bumi."

"Nggak tahu."

"Masa tidak bisa menebak?"

Celia tidak punya waktu dipermainkan seperti itu. Wajah gadis itu mengeruh. Tanpa banyak cakap, Celia berbalik dan berjalan menjauh.

"Ya ampun!" Terdengar seruan dari belakang punggungnya. "Kamu benar-benar nggak bisa diajak bercanda ya! Galak benar!"

Tiba-tiba makhluk itu berada persis di depan Celia. Gadis itu tidak tahu bagaimana dia dapat berlari secepat itu dari belakangnya. Kepalanya menunduk. Salah satu kaki depannya diulurkan kepada Celia.

"Maaf. Perkenalkan, nama saya Marduk. Selamat datang di kerajaan saya. Kebetulan saya dan Ishtar bertetangga."

Tatapan Celia kosong. Tidak ada pancaran kagum sama sekai. Marduk mendenguskan asap dengan kecewa.

"Nggak pernah dengar nama saya""

Celia menggeleng. "Kenapa? Apakah saya harus kagum mendengarnya?

"Kamu nggak pernah dapat pelajaran sejarah dunia, ya?"

"Apa hubungannya dengan namamu?"

"Saya Marduk. Dewa terhebat yang dipuja Bangsa Babylonia."

"Oh..."

Komentar Celia yang asal bunyi membuat Marduk mendengus. Asapnya bergumpal-gumpal keluar dari hidungnya. Celia terbatuk-batuk.

"St0p!" teriak Celia. dangan mendenguskan asap seperti itu lagi! Saya tidak mau dapat oleh-oleh kanker paru-pam dari negeri ini."

"Jangan takut. Asap ini tidak mengandung karbon monoksida. Dijamin tidak akan merusak paru parumu."

Bagi Celia, ini semakin memusingkan. Dia tidak ingin terlibat percakapan yang tidak jelas dengan Marduk. "Eh...,"

katanya, berusaha mengubah topik pembicaraan. (Bagaimana kabar Dewa Ea?"

"Dewa Ea?" tanya Marduk. Air muka menjadi sedikit mendung. "Kamu tidak tahu? Dewa Ea tewas di bumi."

Senyum Celia menguap.

Ada jeda sesaat.

"M... ma... ti? Tapi dia baru turun ke bumi seminggu... y-yang l-l-l-lalu...." Air mata Celia berlinang-linang. "Bagaimana dia mati? M-m-mengapa? Bu-bukannya... dia De-dewa yang tidak bisa m-m-mati?"

Marduk menggelengkan kepalanya. (Tentu saja dewa bisa mati jika berada di dunia lain. Dewa Ea berada di bumi. Dia hanya bisa hidup abadi jika berada di DuniaAtas. Bahkan jika dia turun ke Dunia-Bawah pun, dia bisa mati."

Jantung Celia seperti diremas-remas. Sakitnya tak tertahankan. Mata gadis itu panas terbakar. "Semua... semua salah s-saya. Ea m-m-mati karena saya. Saya yang menyuruh d-dia turun ke bumi, melindungi T-thomas..."

Celia membuang muka sambil mengusap air mata yang mengalir deras di pipi. Marduk memandanginya tajamtajam. Empat mata itu benar-benar mengganggu Celia.

"Bukan salahmu kalau Ea mati. Lagi pula, dia tidak mati dalam penderitaan. Dia mati dengan penuh hormat, melawan monster, membela makhluk hidup. Jadi, sekarang dengarkan saya baik-baik, Celia."

Celia tidak ingin mendengarkan apa-apa lagi. Dia ingin mati, ingin mampu merampas jantung kehidupannya dan menghancurkannya seketika.

"Kamu tidak boleh mati. Langit belum menggariskan kematianmu. Ayo, kuatkan dirimu, jangan cengeng."

Sekali lagi Celia mengusap air mata dengan punggung tangannya. Hatinya sangat sedih dan remuk.

Pantas saja...

Seharusnya Celia sudah mengetahuinya...

Sekarang dia sendirian.

Benar-benar sendirian.

Angin dingin menyusup di hatinya yang kosong, melolong penuh kebencian. Dewa Ea tidak kembali padanya. Thomas tidak kembali untuknya. Tahun-tahun berlalu tanpa kesan. Sekarang malah berlalu dengan kecepatan konstan Dunia-Atas. Berarti dia semakin tua di sini, jauh lebih cepat daripada keluarganya, sahabat-sahabatnya, bahkan Thomas. Kesempatan dan harapan untuk kembali di Dunia-Makhluk hidup semakin menipis setiap detik. Celia telah kehilangan semua. Kehilangan segalanya.

Tubuh Celia bergetar.

"Kamu nggak sendirian, Non," kata Marduk sambil sekali lagi mengembus-ngembuskan asap di mulutnya. "Kan ada saya... hehehehe..." Dia terkekeh menyebalkan. Celia ingin menampar makhluk itu. "Sekarang, semuanya tergantung padamu untuk menyelesaikan apa yang dimulai Dewa Ea. Sttt... tahu nggak, dia telah berhasil menyelamatkan Thomas"

Mata Celia terbuka lebar. Air matanya telah kering. Apa... Ea menyelamatkan Thomas?

"Begini, Non. Saya mau buka rahasia sedikit. Saya memang sengaja menunggumu di sini."

Satu detik berlalu dalam kebisuan... Dua detik... Tiga detik...

"Halluoo?" teriak Marduk. "Dewa memanggil manusia?:

"0h? Eh ya...," Celia tergagap. "Apa... Menunggu?" ulangnya tolol. Suaranya seperti bergema.

"Ya, menunggu cewek yang tampangnya kurang-lebih seperti kamu. itu pesan Ea. Tahu nggak, saya sangat dekat dengan Ea ," kata Marduk dengan nada "tahu nggak"-nya yang garing itu. "Kamu harus menyelesaikan pertandingan yang belum selesai."

"Pertandingan apa?"

Marduk memutar dua bola matanya. Sisa duanya lagi mengedip manja.

"Sini. Kemari," kata makhluk itu. "Lihat baik-baik. Lebih gampang begini..."

Celia berjalan patuh, mengikuti Marduk yang sudah berlalu menuju sungai. Sesampainya di sana. Marduk mengangguk.

"Yap. Layarnya cukup besar, kan?" katanya, pada dirinya sendiri. "Tadi sudah saya bilang bahwa saya akan menunjukkan Thomas padamu. Tapi, penting nih, jangan terkejut atau histeris, apalagi pingsan. Saya tidak punya perlengkapan pertolongan pertama. Kamu juga pasti nggak ingin mendapat pemanasan buatan dari Marduk."

Marduk tertawa tergelak-gelak.

Celia tidak mengerti di mana letak lucunya. Jadi dia diam saja.

"Nggak lucu ya. Siapin diri baik-baik, Non. Pemandangannya agak tidak menyenangkan."

"Pemandangan apa? Thomas... Thomas nggak mati, kan?" tanya Celia takut-takut.

Marduk menggeleng. "Kurang-lebih begitu.:

Celia menatap Marduk dengan tatapan hampa.

"Siap atau tidak? Janji tidak boleh histeris. Harus tetap tenang sehingga saya bisa menjelaskan rencana selanjutnya"

Celia menutup mata selama tiga detik. Membayangkan wajah Thomas. Apa yang terjadi dengan hidup Celia jika Thomas mendapatkan kesulitan di Dunia-Makhluk-Hidup? Apakah dia dapat menghadapinya? Untuk apa dia hidup jika Thomas... sudah mati?

Celia membuka matanya. Ketenangan menguasai seluruh jiwa-raganya. "Siap," jawabnya kalem.

"Oke mari kita mulai Lihat!"

Celia melihat.

Air berubah, mengeras menjadi seperti gelas kaca. Cahaya bersinar dan perlahan-lahan imaji terbentuk sempurna di sana...

"Masa lalu dulu," bisik Marduk. Tidak ingin mengganggu konsentrasi Celia. "Setelah itu apa yang terjadi sekarang... biar lebih masuk akal."

Celia melihat Thomas sedang menyetir mobil. Di sebelahnya Alya sedang tertawa-tawa. Jantung Celia melompat dalam ketukan yang tidak beraturan. Itu mereka... mereka yang sangat dicintainya. Lelaki itu dan adik tersayangnya. Thomas tampak lebih dewasa, mantap, tenang, tak tergoyahkan. Dia persis sama seperti yang diingat Celia.

Oh. Betapa Celia merindukan Thomas.

"'Thomas...," bisiknya. Tidak, Celia tidak akan menangis. Dia akan menonton baik-baik.

Thomas berhenti di depan rumahnya. Alya turun. Thomas berlalu. Tiba-tiba seberkas cahaya terang menghantam mobil. Wajah lelaki itu terlihat terkejut dan panik.

Ketika itu Ishtar muncul di samping Thomas.

Celia merasa sesak napas.

"Ayo. Tetap tenang. Jangan berhenti. seru Marduk yang berada di sampingnya.

Celia bertahan. Menonton Ishtar menyakiti Thomas dan membiarkan tujuh monster Utukki tiba di bumi. Gadis itu terus menonton ketika monster Utukki mencuri jiwa Thomas dan menggantikannya dengan jiwa seekor kucing.

Air matanya mulai turun membasahi pipi. Tanpa suara, dia menangis. Dengan ketegarannya, Celia terus bertahan.

Dia melihat Dewa Ea bertarung dengan Thomas dan membuatnya kembali menjadi normal. Dia juga melihat tujuh monster Utukki menghajar dada dan perut Ea sehingga membuatnya terjatuh ke tanah...

"Stop...," bisik Celia serak. Air matanya jatuh bercucuran. "Saya sudah mengerti... Tolong... jangan diteruskan... Sangat menyakitkan..."

Marduk menyentuh air dengan kakinya dan gambaran mengabur sebelum menjadi jernih kembali.

"Seminggu telah berlalu di sini,) kata Marduk. "Di sana baru berlalu dua belas jam."

**

Thomas tampak tidur di ranjang Celia, menggelung nikmat. Dengkurannya terdengar jelas. Bulunya yang berwarna putih susu kelihatan lebih bersih. Pasti kucing itu telah menjilat-jilat semua telah kering dan kotoran yang menempel di sana. Tiba-tiba, Thomas terbangun. Mata

kucmgnya membelalak ke satu arah, menatap tajam. Pupil matanya membesar.

Dia mengeong. Mengeong lagi. Mengeong terus-terusan. Suaranya lirih dan lembut. Seakan-akan hendak mengatakan sesuatu.

Marduk mundur dua langkah. Celia juga. Meongan itu terdengar sangat menyedihkan.

"Apa dia bisa melihat kita?" tanya Celia gugup.

"Nggak mungkin" jawab Marduk. Lidahnya menjulur keluar terus: seperti sedang berpikir keras. "Tapi mungkin Thomas dapat mendeteksi sesuatu. merasakan. mengindra. Kucing mempunyai indra kesembilan yang sangat peka. Sebutannya adalah indra mata-ketiga-dan-telinga-ketiga."

"Indra kesembilan?" tanya Celia heran. "Bagaimana dengan indra keenam, tujuh, dan delapan?"

"Indra keenam adalah naluri atau insting. Indra ketujuh adalah gelombang pikiran. Indra kedelapan adalah... itu rahasia. Kamu harus menemukan indra kedelapanmu sendiri. Nggak ada yang boleh mengatakan apa indra kedelapan itu."

"Oh "

"Indra kesepuluh... suara hati. Sepuluh indra makhluk hidup. Indra yang diberikan para dewa agar makhluk hidup dapat bertahan hidup di Dunia-Makhluk-Hidup."

Bayangan mengabur. Marduk menoleh kepada Celia. Pipi gadis itu basah, matanya tergenang air mata, tapi ekspresi wajahnya sangat tenang. Kalem. Dan bertahan...

Marduk nyengir lebar. "Monster Utukki berada di DuniaAtas sekarang. Cermin Penglihatan Ishtar telah tertutup untuk siapa pun kecuail Ishtar sendiri. Ea berhasil melontarkan Utukki kembali ke sini sebelum dia meninggal. Di

sini, Utukki menyimpan erat jiwa Thomas," kata Marduk menjelaskan perlahan-lahan.

Celia segera mengerti.

"Di mana mereka?" tanyanya tidak sabar.

"Di Istana Monster. Saya bisa menunjukkan jalan ke sana. Tapi saya tidak bisa masuk ke kerajaan mereka."

"Mengapa?"

"Karena kerajaan itu adalah satu-satunya kerajaan di Dunia-Atas yang tertutup bagi para dewa. Para monster tidak diperkenankan menerima tamu. Pergi keluar pun, sangat sulit. Dewa Antu yang menyegelnya. Hanya Nannia yang diperkenankan ke sana-kemari dengan mudah. Tidak heran para Utukki yang lain cemburu dengannya. Saya heran bagaimana Ishtar dapat mengeluarkan Utukki. Pasti dia mendapat bantuan dari Antu."
Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tunjukkan pada saya."

Cengiran Marduk bertambah lebar. "Nah, begitu dong. Itu baru semangat namanya"

"Terima kasih, kita butuh persiapan."

"Persiapan apa?"

"N0n," kata Marduk melecehkan. "Nanti. kamu bukan hanya menyelamatkan jiwa Thomas, kamu juga akan melawan tujuh monster Utukki, dan memasuki Istana Monster. Di sana, monster-monster berkeliaran bebas. Yang jelas. kalau kamu masuk melenggang ke sana tanpa bantuan Marduk..." Marduk mendenguskan api dari mulutnya. "...kamu tidak akan dapat bertahan lebih dari sepuluh detik. Monster monster itu akan membunuhmu seketika."

"J... jadi... bagaimana caranya... melawan mereka semua...?" tanya Celia tergagap.

Marduk tersenyum lalu dengan kaki depannya, dia mengeluarkan sesuatu secara ajaib. "lni," katanya, menyerahkan kepada Celia. "Pakai ini di rambutmu."

Celia mengambil benda itu ragu-ragu. Berwarna merah. bentuknya panjang berjurai-jurai ke bawah. "Apa ini?" tanyanya heran.

"ltu... ya ampun? Nggak tahu? itu pita rambut."

"Jelas sekali ini pita rambut," sambar Celia kesal. "Untuk

apa? Bagaimana cara pita rambut ini membantu saya memasuki Istana Monster, melawan Utukki, dan menyelamatkan jiwa Thomas?"

Marduk memutar keempat bola matanya. "Pakai aja di rambutmu dulu. Jangan banyak bertanya. Ikat di sana. Tenang, benda itu nggak akan menggigit."

Celia menggerai dan mengikat rapi rambutnya dengan pita tersebut. Dia menunggu.

Tidak terjadi apa-apa.

Marduk, sekali lagi, nyengir lebar. "Ck, ck sempurna...," katanya. "Pas sekali. Pantas..."

Celia menjadi gemas. "Kalau ini gaya bercandamu yang norak..."

"Saya tidak bercanda, Non," kata Marduk. "Marduk tidak pernah bercanda untuk masalah sihir."

"Sihir?"

"Coba lihat dirimu di sungai."

Celia berjalan menuju air. Dia menjulurkan tubuhnya.

"Aw" teriaknya tidak percaya. "Yang benar?!"

Marduk terkekeh. "Ya. Benar sekali!)

Celia sekali lagi melongok. Dia tidak melihat bayangannya sama sekali di sungai. "Pita ini membuat saya tidak dapat terlihat! Apa kamu bisa lihat saya?"

"Jelas dong saya bisa lihat kamu. Pita itu kan kepunyaan Marduk"

"Jadi, saya masuk ke Istana Monster, menggunakan pita ini agar saya tidak dapat terlihat?" tanya Celia sambil berjalan kembali menuju Marduk.

"He-eh," kata Marduk mengangguk mantap. "Selain itu, pita ini menjadi penghubung kita berdua. Pita itu mata ke

lima saya. Percayalah, mereka tidak akan dapat mendeteksi keberadaan dirimu."

Mata Celia membesar. (Jadi... jadi ," Oh, please. Coba tolong ulangi lagi rencana megabrilian ini. "...kamu mau saya masuk ke Istana Monster, mengalahkan Utukki, membebaskan jiwa Thnmas. dan menyelinap keluar persis di depan mata mereka?"

"Rencana yang pintar, anak manis."

Benar-benar gila. Sinting. Tidak waras. Idenya dapat membuat nyawa Celia terancam.

Tapi Celia memang sudah mendekati gila. Terlalu lama di Dunia-Atas memang dapat membuat otak menjadi tidak sehat. Senyum Celia perlahan-lahan mengembang. Dengan penuh percaya diri. gadis itu berkata, "Ayo, kita pergi sekarang"

Kabut menipis dan menghilang perlahan. Lenyap. Bulu kuduk Celia meremang. Kegelapan menyelubungi dunia yang terbentang di depan matanya. Sayap-sayap berkeriapan di sana. Lolongan penuh amarah mengisi udara. Langit berwarna merah darah.

Monster berada di mana-mana.

Tidak. Tidak. Tidaaaak!

"Marduk," bisik Celia hati-hati. Giginya bergemeletuk. "Saya nggak yakin lagi..."

"Kamu harus yakin, Non. Kamu bisa. Ingat, mereka kan tidak bisa melihat kamu. Lagian, monster-monster itu banyak berkeliaran di luar sana. Kalau kamu bisa melewati mereka, selanjutnya tidak ada masalah berarti."

"gampang banget ngomong."

"Percayalah sama Marduk. Non," kata Marduk sambil nyengir lebar. "Nah, sekarang fokus. Konsentrasi. Napas yang tenang. Jalan yang mantap. Ingatlah Thomas. Ingatlah Ea. Mereka akan bersamamu dalam setiap langkah di sana."

Kaki depan Marduk bergerak. Sekali lagi. sebuah benda muncul dari udara kosong di depan mereka berdua.

Marduk mengangsurkan benda itu ke depan Celia. Gadis itu ternganga melihatnya.

(Apa ini...?"

"Biola. Astaga! Lemot sekali kamu ini."

"Saya tahu itu biola" sergah Celia kesal. "Ya ampun. Dengar ya, harap catat. Jangan bercanda dengan saya!"

"Saya tidak bercanda." Keempat mata Marduk mengedip. "Ambil biola ini. Benda ini senjatamu melawan Utukki. Kamu dapat memainkan musik dengan indah. Mainkan sepenuh hati."

"Lalu apa yang bakalan terjadi kalau saya memainkan biola itu?" tanya Celia menggebu. "Utukki jadi ngantuk? Tertidur? tanyanya sinis.

"Pok0knya mainkan saja. Mainkan lagu yang keluar dari hatimu yang terdalam."

Celia mendekap biola itu erat-erat ke dadanya. Percuma, alat musik itu tidak membuat jantungnya berdegup normal kembali. Bagaimana mungkin dia dapat memainkan musik dari hatinya yang paling dalam jika seluruh tubuhnya gemetar tidak keruan?

"Lagu apa yang harus saya mainkan? Klasik? Pop? Jazz? Dangdut koplo ? Dangdut metal ? Keroncong?

kamu akan tahu kalau kamu sudah berada di dalam sana." Marduk mengedipkan matanya. Api mengepuk keluar dari dengusannya. "Siap? Saya akan memghitung sampai tiga. Kamu akan langsung berada di kerajaan mereka. Dengarkan perintah-perintah saya selama berada di dalam."

Celia memejamkan matanya. "Siap...," bisiknya lemah.

"Oke! Satu... dua... TIGA"

Pada hitungan ketiga, tubuh Celia rasanya tersedot udara kencang. Selanjutnya, dalam sepersekian detik, kegelapan menyelimuti. Kegelapan itu hanya sebentar. Tanpa sadar, Celia sudah mendarat di tanah para monster.

"Marduk memanggil Celia. Marduk memanggil Celia. Do you copy?"

Celia mengedipkan matanya berkali-kali sebelum berusaha membuka mata lebar-lebar. Bulu kuduknya seketika merentang.

"Roger Celia mendengar Marduk. Copy."

"Dengar baik-baik. Kamu harus belok kiri ke tempat monster berkumpul. Di sana udaranya hangat dan kamu mampu melewatinya dengan mudah. Hati-hati. Jangan menginjak kaki mereka, menyenggol sayap mereka, atau bermainmain dengan tanduk mereka. Copy;

Celia cemberut. Bahkan dalam keadaan yang genting seperti ini, Marduk bisa-bisanya bercanda seperti itu.

"Makasih atas informasinya. Sangat menenangkan hati."

Marduk terkekeh.

Celia berkonsentrasi. Lompat. Minggir. Astaga, ada monster yang sedang mabuk-mabukan di sana. Jangan lihat-lihat. Cepat jalan bergegas. Langkah kecil tapi mantap. Dada tegak. Jangan main-main. Serius. Serius. Serius!!!

Terdengar jeritan mengerikan membelah udara. Sabetan sayap nyaris menghantam Celia.

"Apa... apa itu?" tanya Celia memucat. Darah berhenti mengalir di wajah. Dia terpaku panik di tempatnya. Tidak mampu bergerak.

"Lari! Lari, Celia" Marduk berteriak keras sampai Celia nyaris terpelanting. "LARII"

Sial. Sial. Sial. Tanpa berpikir dua kali, Celia berlari secepat-cepatnya. Dia tidak menoleh ke kiri maupun ke kanan. Gadis itu berlari lurus. Jantungnya berdebur kuat sampai dia kira jantung itu bisa menggelinding keluar.

"Stooop!" seru Marduk. "Sekarang kamu bisa tenang."

Celia terengah-engah. "Ya a... m... pun... heh.. huh Apa... sih i... tu... hah... huh... tadi?-""

"Dewa Annunaki, monster segala monster. Kebetulan lagi jogging di luar."

JOGGING? Ya ampun. Celia ingin menepuk dahinya kuat-kuat. "Memangnya dia dapat melihat saya?"

"Dia tidak dapat melihatmu. Tapi dia dapat mendeteksi keberadaanmu. Raja para monster gitu luh." Suara Marduk memelan. "SIAL! LARl LAGI, CELIA! DIA BERADA PERSIS DI BELAKANGMU.

Ob, sial. Tanpa pikir panjang, Celia berlari sekuat tenaga.

"Lurus! Lurus! Belok... nah, lihat kan? Belok kiri! Kiri! KIRI. CELIA! ITU KANAN, TOLOL! Kiri... betul... Terus! Lari yang kuat Zig-zag dong! Nah gitu Sekarang, dengar baik-baik. Kamu harus melompat. Pada hitungan ketiga. Satu... dua..."

"TUNGGU, TUNGGU! Heh... Huh..." Celia terengah

engali sambil terus berlari. "L0mpat ke MANA?! APA YANG HARUS SAYA LOMPATI"

"Pokoknya lompat aja! Jangan tanya-tanya. Hitungan ketiga. Satu... dua TIGA! LOMPAT SEKARANG!"

Celia melompat setinggi mungkin...

...dia merasa dirinya melayang... melayang tinggi... terbang...

"Hhhhaaaaaahhhh!" jeritnya.

...dan mendarat di tengah-tengah kumpulan monster yang sedang main kartu.

Celia menjerit sekuat tenaga. Mata-mata para monster sedang memandanginya. Sayap-sayap mereka berkembang lebar. Energi hitam menyeruak di tengah-tengah mereka.

hebat dengus Marduk. "Kenapa nggak sekalian cabut aja pita itu dan menyilakan seluruh monster di kerajaan ini melihatmu dengan jelas."

Celia menggeram. "Sialan. Berisik lu!"

Celia berdiri cepat-cepat. Tidak memedulikan mata-mata mengerikan, Celia langsung mengambil langkah seribu. Lari secepat-cepatnya. Angin mengembus, menampar pipi. Tapi Celia tidak peduli. Dia bergerak maju. Kakinya seperti disetel mesin otomatis. Tidak memelan sedikit pun.

"Celia... Celia... CELIA?!"

"A... apa-"" tanya Celia terengah-engah, masih terus berlari.

"Kayaknya dia sudah nggak kelihatan lagi. Berhenti sebentar. Kamu udah lari nonstop selama... hm, dua tahun.

Celia memelankan langkahnya. Wajahnya berubah menjadi hijau. "Saya... mau muntah...," katanya terbata-hata.

"Kamu nggak boleh muntah, Non. Kamu nggak apa-apa.

Apa kata saya? Kamu hebat! Nah. Sekarang jalan terus. bentar lagi sampai."

Celia berjalan selama sepuluh menit kemudian.

"Celia, dengar." Terdengar suara Marduk di kepalanya. "Sebentar lagi kamu akan berhadapan dengan saudarasaudara Thomas dari masa lalu. Para Monster Utukki. _Jumlah mereka ada tujuh. Pita yang kamu pakai memang hebat, bisa membuatmu menghilang, tapi Utukki adalah monster yang luar biasa kuat dan cerdas. Tidak akan mudah melawannya. Jadi, sekarang katakan pada saya. Apakah Thomas pantas menerima semua perjuangan ini?"

"Hah?" Celia bengong. "Saya sudah berjalan sejauh ini dan baru sekarang kamu bertanya begitu sama saya?"

"Ya."

"Kenapa?"

"Jawah saja dulu."

Celia terdiam. Diam yang panjang, sedih, dan perih. Dia tahu, dia pantas memperjuangkan Thomas. Thomas pantas menerima semua perjuangan ini. Perasaan yang membuncah di dalam dada Celia membuatnya merasa yakin. Perasaan yang tidak pernah diucapkannya keras-keras kepada Thomas.

Memori runtuh di kepala Celia. Kepingan-kepingannya bertaburan di sana. Thomas... dia sungguh mencintai lelaki itu. Tidak masalah apabila dia baru mengenalnya di bumi selama beberapa jam sebelum dia disedot ke angkasa. Dalam dasar hari Celia yang terdalam. rasa ini bukanlah rasa yang terjadi dalam beberapa jam di bumi. Rasa itu telah berakar

kuat, hidup dalam jiwa Celia lama sekali. Celia tahu hal itu. Dia dapat merasakannya. Walau dia tidak pernah mengatakan kepada Thomas, dia tahu.

Celia masih terjatuh dalam diam. Matanya terpejam erat, mengenang ingatannya.

Wajah Thomas... wajah yang akrab sekali di hati saya. Saya tidak tahu bagaimana bisa terjadi, tapi saya percaya akan jodoh. Dia belahan jiwa saya. Thomas telah hidup di hati saya selama beribu-ribu tahun dan langit tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengubahnya."

Bibir Celia bergetar.

"Thomas adalah sayap... dan saya adalah sayap satunya lagi Memisahkan kami berdua, berarti seperti menghancurkan kemerdekaan seekor rajawali."

Jantung Celia berdebar semakin cepat. Air matanya merebak di matanya. "Jadi kamu mengerti kan... sekarang saya dipanggil untuk membela dia agar rajawali dapat selalu terbang tinggi menjadi raja langit "

"Kamu dulu masih kanak-kanak," terdengar komentar Marduk. "Tentu saja sangat sulit mengatakan kata cinta. Tambah, kamu pasti juga sangat kewalahan dengan perasaan itu sendiri. Sekarang kamu perempuan dewasa..."

Ya. Celia menyadarinya. Dia telah dewasa. Usianya 35 tahun. Perempuan dewasa yang seharusnya bertindak secara dewasa pula. Rasional. Tidak bertindak di luar akal sehat seperti... hmm, melawan tujuh monster. Bukan hanya satu, tapi tujuh! Bayangkan.

"Seorang perempuan dewasa yang berpikir dan menimbang suatu persoalan dengan pemahaman orang dewasa. Kamu tidak bisa mengambil keputusan berdasarkan kenangan masa lalu. Ambilah kearifan sekarang dan per-gunakanlah itu untuk saat ini."

Celia mengembuskan napas berat. "Yah... saya tahu...," desahnya.

"Jika, dan hanya jika, kamu tahu Thomas akan memilih mencintai orang lain selama kamu di sini, jika pada akhirnya kamu berhasil pulang dan kemudian menemukan Thomas lebih muda daripada yang kamu bayangkan, jika dia merasa kamu tidak cocok dengan sifat-sifatnya... katakan, Celia, apakah kamu tetap mau berada di sini? Apakah kamu mau melawan Utukki? Apakah kamu mau membebaskan jiwa Thomas sekarang"

Pertanyaan dan pernyataan lama yang sangat familier di pikiran Celia mengalir keluar dengan mudah dari mulut Marduk. Semuanya tumbuh menjadi satu menuju muara ketakutan dan kebimbangan seorang Celia. Tapi, ketika gadis itu membuka mulut, sebuah jawaban mantap keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam.

"Ya, Marduk. Saya akan melakukannya; bisik Celia dengan cepat.

"Jawaban keren, Non," kata Marduk. "Dan sekarang kebetulan banget kita sudah sampai di sini."

Celia tergagap. "Di mana"

"Lihat ke atas, di sebelah kananmu."

Celia mendongak. Di atasnya, terbentang tebing tinggi yang jauh di puncaknya terdapat sebuah gua. Pintu masuknya berbentuk seperti mulut membuka dengan gigi-gigi taring menyembul di sana-sini.

(Siap nggak, Non?"

Celia mengangguk mantap.

"Pada hitungan ketiga, kamu akan berada di depan mulut gua. Satu... dua... TIGA!" Tubuh Celia serasa melayang, jauh tinggi ke atas tebing. Dalam dua detik kemudian, dia sudah berdiri di depan pintu masuk. Celia melongokkan kepalanya ke dalam gua. "Gelap banget," keluhnya. Jantungnya mulai berdebar-debar. "Jangan takut. Auramu akan memancar dari tubuhmu, kayak senter." Celia berkedip. "Aura saya?" tanyanya heran. "Apa sih aura itu?" "Energi tubuh." ""'ow. Hebat,) dengus Celia, berpura-pura kagum. "Ada lagi trik yang bisa kamu tunjukkin sekarang?-"" Marduk menggeleng. "Nggak ada. Hehehehe..." "jadi rencananya begini. Saya masuk saja ke dalam, ketemu monster Utukki, memainkan biola, membuatnya ngantuk, dan mengambil jiwa Thomas kembali. Begitu?" Marduk tidak menjawab apa-apa. "Halloo?" seru Celia. "Ehm... nggak persis seperti itu sih...." Celia mendesah kesal. "Lucu deh kamu." "Saya memang lucu." Marduk terkekeh. Lalu melanjutkan. "Begini ya.... Monster Utukki terkenal sebagai monster-monster mengerikan. Salah satu yang terkuat di sini. Dengan pita itu, mereka tidak dapat melihat di mana kamu berada. Tapi yang jelas, mereka dapat mendeteksi keberadaanmu. Sori banget, saya tidak dapat menyihirmu dengan mantra lainnya. Ini usaha maksimal saya." Celia terpana. "Ooo... oke deh..." Lalu perlahan-lahan

bibirnya mengerut naik. "Ngomong-ngomong, kenapa saya baru diberitahu sekarang, bukannya tadi sebelum kita tiba di sini?"

"Kalau sudah saya katakan tadi, bisa-bisa kamu mogok kemari." Marduk mendengus. Celia merasa Marduk sedang setengah mati menahan tawa. "Oya, satu lagi, Celia. Kamu harus yakin kamu tidak akan terbunuh oleh para monster Utukki."

"Memangnya kenapa kalau saya terbunuh?"

"Halooo? Kamu bakalan mati, Non," jawab Marduk semudah melafal ABC.

"Kalau saya mati, apa saya bisa hidup lagi?"

(Sori. Nggak bisa."

Celia mendesah. "Kalau begitu, sampaikan rasa belasungkawa saya," katanya sekali lagi. Sinis.

"Sama-sama."

Celia cemberut, berbalik. dan melangkah dengan kaki gemetar. Aura tubuhnya berwarna biru lembut menyala perlahan-lahan, membelah kegelapan. Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah.... Gerakan tubuhnya gemulai. Celia mendekap biola erat-erat di dadanya.

Gua dalam keadaan hening total. Saking heningnya, Celia merasa degup jantungnya bergema ke mana-mana.

"Ke mana?"

"Maju terus."

Keringat Celia mulai bercucuran di dahinya. "Serem banget di sini," desahnya. (Udah gelap, hening, lagi."

"Namanya juga gua monster. Masa terang benderang seperti mal? Nanti penampakannya nggak muncul." Tawa Marduk bergema. "Kadang-kadang kamu suka tulalit ya."

Pada saat itu, Celia merasakan gerakan. Suara bergemerisik. Celia terpaku di tempat. Tidak mampu bergerak. Bibirnya mendadak kering.

"Nngg..., kayaknya mereka di sini ya...? Marduk?"

Tidak terdengar reaksi apa pun.

"Hei... Marduk? MARDUK? HALLOO?"

"YA! Hehehe... Ehm, sori. Tadi ada monster cewek lewat. Seksi. Hehehe... Coba lihat. Ya.... Mereka tepat di belakangmu.

Celia berputar perlahan.

"Terus? Lalu apa? Harus ngapain?" tanya Celia menggebu.

"Angkat biolamu dan mainkan segera."

"Sekarang?" tanya Celia tidak percaya.

"O, nggak, honey bunny meet. Tunggu aja sampai tahun unta. ARRRGH! Ya... gimana sih, jelas sekarang! Cepat, sebelum kamu ditelan mereka."

"D-d-dite-telan?"

"Ditelan, ya maksudnya dibunuh. Gimana sih. Idiot sekali."

Celia menjepit biola di bahunya itu dengan dagunya dan mulai menggesek. Pikirannya kacau. Konsentrasinya pecah ke mana-mana. Jiwanya tidak dapat menyatu dengan lagu. Akibarnya, suara-suara yang keluar sangat tidak harmonis.

"Celia, musiknya jelek! Fokus! Fokus!!!"

Celia berusaha memusatkan perhatian.

"lagi main biola atau main gundu?! Mau dibunuh sama monster, ya?!" Teriakan Marduk bergema di kepalanya. menghantam keras. Membuat kepalanya berdenyut-denyut.

Keringat dingin mengalir deras di punggung Celia. Kepalanya mulai terasa sakit akibat celotehan makhluk berkaki empat itu. Celia tepekur dalam keremangan, di antara kekelaman gua yang semakin kelam.

"Kalau main biola yang benar! Jangan-"

"MARDUK! TOLONG DlAM!!!"

Untunglah Marduk terdiam. Kalau tidak...

Celia menopang biolanya di atas bahunya dengan lebih mantap. Kakinya gemetar, tapi dia menjejak kakinya kuatkuat di tanah. Sepenuh hati, Celia menutup mata. Tangannya teracung ke atas bersama dengan tongkat biola. Ketika senar mulai menyentuh dawai

"Siapa di sana?"

Terdengar raungan serak mengebas telinga Celia. Membuat tubuhnya langsung gemetaran.

Monster Utukki.

Celia berdiri tegak, bergeming di posisinya. Berusaha melihat tanpa mata. berusaha mendengar tanpa telinga...

Oh, mereka di sana!

Celia berbalik perlahan.

Tujuh pasang mata menyala dalam kegelapan. Berada sekitar lima meter dari tempatnya berdiri. Mata-mata itu berputar liar ke kiri dan kanan. Mencari. Memindai. Memantau. Seketika udara bergasing cepat. Sayap-sayap itu pasti sedang berkepakkan.

Sayap...

Mata merah...

Taring tajam...

Cakar besar...

Celia menelan ludah susah payah, mencoba membasahi tenggorakannya yang tiba tiba kering kerontang. Oke, monster ini memang besar. Bersayap. Bermata merah. Beraura kelam.

"Siapa di sana?" terdengar raungan lagi. "Kami tahu keberadaanmu."

"Celiaaaa" suara Marduk menggeram di kepala Celia. "Angkat tongkat biola dan mainkan sekali lagi!"

Gemetaran, Celia menjepit biola di bahu dengan dagunya dan mencoba menggesek perlahan. Suara lembut mendayu memecah sepi.

"Suara biola? Kami tahu! Pasti Celia! Buat apa kemari memainkan musik? Tidak ada gunanya! Gua ini sudah disihir sehingga musik apa pun tidak akan dapat dimainkan dengan indah!"

"Celia, jangan dengarkan..." Sayup-sayup terdengar suara Marduk.

Persis dua meter di depan Celia, berdiri monster Utukki. Bentuk tubuhnya sangat besar. Celia dapat melihat cakar raksasa itu. Cakar yang...

Celia menelan ludah.

...cakar yang membunuh Dewa Ea.

Ingatan itu membuatnya terluka.

"Mau apa datang kemari? Membalas kematian Dewa Ea? Hahahaha! Dia memang pantas mati karena suka turut campur urusan orang lain. Mau mengambil jiwa Thomas? Huahahahahah Coba aja kalau berani. Apa tidak sayang dengan nyawamu sendiri?"

Air mata mengambang di pelupuk mata Celia mengingat

"Cinta... Cis! Tidak ada manfaatnya. Tragis. Kucing tidak akan mempunyai ingatan sempurna. Tapi lucunya, si Thomas bodoh itu masih mempunyai memori. Memori yang tidak ada gunanya! Karena dia tidak pernah dapat memahami memori itu. Huahahaha. Berjalan saja harus pakai empat kaki. Tragis, bukan? Semua gara-gara cinta."

Mata Celia mulai terbakar. Kemarahan menggelegak. Dia menggesek senar biola membabi buta. Nada-nada yang keluar tidak beraturan. Tidak ada satu lagu pun yang tercantol di kepalanya. Demi Thomas Celia harus... fokus! Fokus! Terdengar lagi suara sayup sayup. Pasti Marduk berbicara kepadanya. Celia harus mampu memainkan nadanada dengan indah. Jika tidak, jiwa Thomas tidak dapat diselamatkan.

"Ah. Cinta.... Sangat menyedihkan.... Sangat menyakitkan.... Sekarang kamu datang untuk memohon jiwa Thomas...." Utukki tertawa terbahak-bahak. "Tldak mungkin! Lepaskan rasa cinta itu, Celia. Bebaskan dirimu dari penderitaan cinta yang tidak ada gunanya. Cukup Thomas saja yang merasakan neraka. Hahahahah

Sial. Dahi Celia berkerut. Sekarang, pikirkan dalamdalam. Mengapa monster Utukki sialan mengatakan katakata yang menyakitkan seperti itu?

Tentu saja, Utukki menginginkan Celia kehilangan kontrol terhadap dirinya. Kehilangan konsentrasi. Kehilangan kemampuan untuk menciptakan roh dalam musiknya...

Ya! Itu dia!!!
Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Celia mengusap air mata dengan punggung tangannya. Inilah saatnya, saat pembalasan dendam! Dia menutup mata erat-erat, berusaha berkonsentrasi sambil membawa kenangan Thomas bersama jiwanya. Membawa kenangan Dewa Ea bersama pikirannya....

Dewa Ea, bantuin dia.

Celia mulai menggesek dawai biola lembut dengan sepenuh jiwa. Nada-nada indah mengalun bagai kupu-kupu lincah beterbangan di antara taman bunga. Celia terus menggesek, mempersembahkan duka-haru. Dia membuka jiwa selebar-lebarnya, bagai cermin hati yang, memantulkan seluruh rasa. Apakah kau mendengarkan, Dewa Ea? Ini adalah lagu belangsungkawa, kepedihan yang tak dapat teruntai menjadi satu kata untuk diucapkan. Apakah kau mendengarkan, Thomas? Ini tentang jiwa-jiwa kesepian kita. Hanya satu biola mengalunkan satu lagu di gua, tetapi ada sejuta alat musik ikut mengiringi suara biola Celia sehingga menjadi sebuah orkestra besar, simfoni tentang cinta, duka lara, hidup, dan perjuangannya. Seribu alat musik dimainkan sepenuh hati. Bergelora bagai ombak samudra dalam pesta bulan purnama.

Nada-nada musik menyerang dan membunuh setiap inci kekelaman dan keheningan gua. Menjadikan seluruh dinding berpijar dalam cahaya keemasan.

Tujuh monster Utukki menjerit.

**

Alya membuka pintu gerbang. Di depannya berdiri Suhu.

"Siapa Anda?" tanya Alya heran.

"Saya guru spiritual Thomas. Boleh saya masuk untuk bertemu Thomas?" Alya menggelengkan kepalanya.

"Kenapa mencari Thomas

di sini? Rumahnya bukan di sini. Anda rupanya salah informasi."

"Nak," desak Suhu.

"Saya tahu Thomas berada di sini. Berilah saya kesempatan untuk membuktikannya," lanjutnya lagi, masih dengan nada yang sama.

Alya nyaris menutup pintu gerbang secepat-cepatnya. Sudah banyak cerita-cerita seram dari koran dan teman-temannya tentang para penjahat yang menggunakan berbagai trik untuk dapat menipu. Siapa pun orang ini...

"Nak Alya, tolong dengarkan saya baik-baik. Thomas memerlukan bantuan saya. Percayalah."

Mata Alya membelalak. Sesuatu yang hangat mengaliri hatinya. Tatapan mata orang tua itu adalah tatapan tenang, kalem, dan dalam. Dan yang paling penting dari semuanya, bola mata itu memancarkan rasa percaya. Astaga. Apakah ini hipnotis? Alya mengeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak sempat berpikir lagi karena tanpa sadar, tangannya membuka pintu gerbang dan menyilakan Suhu masuk. Entah Siapa yang menggerakkan itu. Rasanya serba-otomatis. Rasanya dia benar-benar pernah mengenai orang tua ini, bertahun-tahun yang silam. Rasa yang tidak asing menggoda Alya.

"Tunjukkan kamar kosong di rumah ini," perintah Suhu tenang.

Alya berjalan naik tangga, membimbing Suhu.

"Di sini." kata Alya, sambil menunjuk pintu yang tertutup.

"Tolong dibuka."

Alya menekan hendel pintu. Suhu melongokkan kepalanya dan menggeleng.

"Bukan. Bukan yang ini." Suhu melangkah keluar dari kamar.

"Apakah ada kamar kosong yang lain?"

"Ada. Ada satu lagi." Alya menutup pintu dan berjalan. Otaknya penuh pikiran yang simpang siur.

"Maaf. Pak, boleh saya tahu? Bapak sedang mencari apa di kamar kosong?" tanyanya bingung.

Suhu meremas kedua tangannya.

"Mencari Thomas," jawabnya kalem.

"Tadi sudah saya katakan, Thomas tidak berada di smi."

"Nak, Thomas berada di sini. Saya dapat merasakan energinya," jawab Suhu penuh percaya diri.

Alya berhenti berbicara. Percuma berdebat dengan lelaki tua itu. Tidak ada gunanya. Dia terus melangkah menuju sebuah kamar lagi. Ditekannya bendel pintu tanpa ragu. Seketika ruangan terbuka di depan matanya.

Alya terlompat ke belakang.

"Astaga! K-kucing!" jerit Alya seketika.

"Lho, masuk dari mana?! Huusss Husss! Keluar" KELUAR KAU-"

Tangan Suhu menekan bahu Alya.

"Tunggu, Alya. Sebentar. Jangan diusir."

"Apa, jangan diusir?! Mana mungkin! Itu kan kucing liar dari luar. Mengotori ruangan sembab"

"Kucing itu adalah...," Suhu menghela napas panjang.

" Thomas."

Alya menoleh cepat. Saking cepatnya, tulang lehernya berbunyi krek.

"Agghh!" Alya mengaduh. memegangi lehernya. Lalu dengan cepat membelalak.

"T"-Thomas."? Thomas adalah... kucing ini??" Suara Alya terbata-hata. Kata-kata tidak dapat muncul dengan mudahnya. Bibirnya tergagap.

Si kucing menggeliat. Tatapan matanya yang tampak ngantuk seketika terlihat tajam. Dia mengawasi gerak-genk Suhu dan Alya dengan awas.

"Thomas...," bisik Suhu sambil berjalan perlahan. Satu langkah. Dua langkah. Tiga, empat... lalu berhenti. Dia membungkukkan tubuhnya di samping ranjang.

"Jangan takut. Saya temanmu, tidak akan menyakitimu."

Thomas berdiri pada keempat kakinya. Seluruh bulunya berdiri tegak. Alya mengawasi, antara percaya dan tidak percaya. Dahinya berkerut dalam.

Tiba-tiba Thomas berdebum jatuh ke ranjang. Kakinya menekuk aneh, seperti tidak bertulang. Dia bernapas berat, satu-satu. Bulunya yang berwarna putih susu perlahan-lahan berubah warna, menggelap menjadi abu-abu pucat. Matanya yang hijau terbelalak tanpa kehidupan. Sekelebat ada sorot kebingungan terpancar di sana.

Suhu berlutut di samping ranjang, membelai punggung Thomas dengan lemah lembut. Thomas mengeong lemah, tapi tidak mengeluarkan dengkuran khas kucing. Tidak bergerak.

"Ada apa?" tanya Alya. Gadis itu akhirnya masuk ke kamar. Sambil menutup pintu di belakang punggungnya, Alya ikut-ikutan berlutut di sebelah Suhu.

"Saya tidak tahu," jawab Suhu.

wajahnya sangat serius. Tangannya terus membelai-belai bulu Thomas.

"Energinya sedang diisap habis."

"Maksudnya?" tanya Alya, tidak mengerti.

"Makhluk gelap," jawab Suhu. Air mukanya sangat prihatin.

"Siapa pun dia... Makhluk yang kuat... Sedang

mengisap energi kehidupan Thomas. Sedikit demi sedikit semenjak dia menjadi kucing. Dan sekarang..."

Alya tidak berani bertanya lagi. Dia terpaku memandangi Thomas.

"...sekarang sedang mengisap sebanyak-banyaknya."

"Lalu bagaimana? Apa jadinya?"

"Kehilangan energi sama saja seperti kehilangan darah. Kehilangan banyak energi, apalagi sampai habis, akan mengakibatkan kematian."

Entah mengapa, tiba tiba Alya merinding. Dia tidak mengerti semua ini. Pertama, bagaimana Suhu dapat mengetahui keberadaan muridnya, Thomas, di sini? Kedua. bagaimana mungkin kucing itu Thomas? Bagaimana bisa Thomas berubah dari manusia menjadi kucing. Ketiga, bagaimana mungkin sekarang Alya memercayai apa yang dikatakan SuhU? Keempat, yang paling hebat dari semuanya, bagaimana mungkin dia tiba-tiba merasakan gelombang kesedihan yang luar biasa menerpa jantungnya?

"Suhu!" teriak Alya. Entah mengapa Alya berteriak, dia tidak mengerti.

"Tolong bantu Thomas!"

Jadi sekarang dia percaya kucing itu Thomas.

Suhu menggelengkan kepalanya frustrasi. Melihat itu, Alya menjadi takut. Wajahnya memucat.

"Saya tidak bisa. Kalau bisa, saya sudah mencoba sedari tadi, Nak."

Suhu menutup matanya, seakan-akan berusaha menghilangkan rasa kekhawatirannya.

Thomas mengeong sekali lagi, mencoba mengangkat kepalanya, dan terkulai lemas. Alya mengulurkan tangan, membelai-belai kepala kucing itu. Dalam hati, Alya berharap semoga orangtuanya tidak masuk ke kamar. Jika hal

itu terjadi, sumpah disambar petir, dia tidak akan dapat menjelaskan kepada orangtuanya kegilaan apa yang sedang terjadi pada dirinya. Membelai-belai kucing kampung yang sedang sekarat sambil menangis-nangis? Hebat sekali.

"Thomas." bisik Alya.

"Lihat aku... Jangan tinggalin aku...," bisiknya, seakan-akan mencoba mengalirkan kekuatan tubuhnya kepada Thomas.

Mata Thomas mencoba fokus sebelum perlahan-lahan menutup, tenggelam dalam ketidaksadaran.

Suhu menekan-nekan beberapa titik di tubuh Thomas, memberikan energi tambahan. Sia-sia. Tubuh kucing itu semakin menciut dan lemah.

"Saya tidak yakin Thomas dapat bertahan." desahnya penuh rasa khawatir.

Alya mulai menangis. Dia terus membelai-belai kaki Thomas.

"Apa lagi yang bisa dilakukan sekarang?" katanya putus asa.

"Berdoa, Nak," kata Suhu. Tatapannya tidak lepas dari Thomas.

"Berdoalah agar monster tidak mengisap seluruh energinya sampai habis."

Suhu tidak perlu menjelaskan panjang-lebar. Alya menutup matanya.

Bersama mereka berdoa.

**

Monster Utukki berdiri tegak, nyaris membatu. Mata merah menyala dalam kegelapan. Raung kemarahan nwnggelegar. Dengan sekali sambar, cakar besar melayang di udara. "AWAS, CELIA! DI SEBELAH KAN..." Celia sudah dapat merasakan. Dia melompat cepat; biola

tidak bergeser dari bahunya. Tangan kanannya bergerak, menggesek kembali. Simfoni jiwa berhamburan keluar tanpa meredup. Dalam konsentrasinya yang luar biasa terhadap musik, air matanya mencair turun. Celia hanyut di dalam lagu.

Raung kemarahan kembali mencabik-cabik suara musik. Terasa energi hitam melintas di samping Celia. Rasanya seperti berjalan di dalam neraka kegelapan. Celia merasa mual. Tapi dia terus bertahan. Cakar menghajar lagi di sebelah kirinya tanpa sempat menghindar.

Pedih.

Sakit.

Aduh.

Celia berdarah. Cakar itu menancap di paha kirinya, menyalurkan sensasi terbakar di seluruh indranya. Celia ingin menjerit tapi dia menggigit bibirnya kuat-kuat. Tidak, tidak. Dia tidak boleh menjerit. Seluruh jiwa dan hatinya harus mengarah pada musik.

Celia terpincang-pincang berusaha berdiri tegak, terus memainkan simfoni.

"Fokus, Celia! jangan pikirkan rasa sakit! Konsentrasi di atas semua kesadaran fisik. Demi Dewa Ea, kamu tidak bisa kalah sekarang!"

Teriakan Marduk. Terdengar timbul-tenggelam di kepala Celia.

Gadis itu menutup matanya. Simfoni terakhir. Harus diselesaikan dengan sempurna. Keberadaan Marduk perlahanlahan menghilang dari kepala Celia.

Cahaya merah yang berasal dari ketujuh mata monster Utukki tampak melemah.

"Celia," terdengar tujuh suara serak. "Kamu tidak akan menang melawanku. Dengarkan, semakin kamu menyakiti kami, kamu juga menyakiti Thomas. Kamu tahu, energi Thomas kami isap untuk menyembuhkan energi kami yang hilang dirampas musikmu."

Thomas...

"Apakah kamu hendak membunuh Thomas dengan tanganmu sendiri? Dia akan mati, Celia. Energinya sudah berpindah ke tubuh kami. Di bumi, napas Thomas akan berat, tinggal satu-satu. Jantungnya akan berdetak lambat. Dia tidak akan bertahan lama."

Benarkah apa yang dikatakan Utukki?

Simfoni terakhir. Fokus. Fokus. Celia ingat lagu ini. Lagu yang dimainkan oleh dirinya sendiri ketika dia masih berada di bumi, bertahun-tahun yang lalu. Dikelilingi anak-anak bisu-tuli yang tinggal di rumah penampungan, bernama Yayasan Cinta Tak Butuh Suara. Celia datang bersama teman-teman sekolahnya dan Ibu Caroline dengan tujuan menghibur anak-anak cacat itu. Sekarang kenangan itu kembali lagi, membuai pikiran Celia. Dengarkan lagu ini! Mereka yang tak punya telinga tapi mampu mendengar. Mereka yang tak mampu mendengar tapi dapat menyimak. Bantu dia... Tolonglah semuanya...

Terdengar suara kruk... kruk... kruk

Air mata Celia bercucuran selama dia menggesek biola. Sepasang sayap khayali tumbuh di punggungnya, tampak rapuh tapi lembut, membawanya meluncur terbang menuju samudra cahaya. Di sana, Celia menari, berputar-putar. melenggak-lenggok, menghayati segala rupa dan rasa. Konser simfoni menggema di seluruh indranya.

Bertahan...

Jeritan kesakitan terdengar menyayat dan mengiris kalbu.

Krak... kmh... kmh...

BERTAHAN!!!

O, Dewa Antu, sakitnya nyaris tak tertahankan. Pedih. Nyeri.

Krak... krek... kruk...

Gua runtuh. Terdengar retakan keras dari langit-langitnya.

"CELIA, LARl! GUANYA AKAN HANCUR!"

Sayup-sayup Celia mendengar suara Marduk di kepalanya. Intonasi raungan Utukki perlahan melemah. Menggelincir lenyap.

"CELIA!!! AWASSSSS! CEPAT LARI!"

Celia segera bergerak. Lari keluar. Tanpa pikir panjang, tanpa aba-aba. Di belakangnya terdengar raungan dan suara berderak yang semakin menggila.

Persis ketika Celia berhasil melampaui pintu, seluruh gua hancur lebur dengan suara menggelegar. Rata dengan tanah.

Celia terpaku menatap gua yang berantakan. Napasnya terengah-engah. Bersiap mengambil langkah seribu apabila monster Utukki muncul dari balik reruntuhan gua.

"Celia..."

"Hah... heh... Marduk... kayaknya... monsternya hi... hah... hilang... heh..."

"Ya," terdengar bisikan lembut di kepala Celia. "Kamu berhasil, Celia. Kamu berhasil"

"Apa yang... terja-ja-jadi dengan... hah... mereka...?"

"Kamu melempar mereka ke Dunia-Bawah dengan musikmu. Gua runtuh karena getaran nada yang sangat kuat. Luar biasa."

"Bagai... mana dengan... Thomas?"

"Dia akan baik-baik saja. Kamu menyelamatkan Thomas. Jiwanya sudah kembali kepada Thomas."

Celia memejamkan matanya. Lega. Bahagia. Lelah. "Bagus," bisiknya. "Tidak sia-sia... saya... main biola..."

Kegelapan menyelubunginya.

Celia merasa dirinya melayang. Musik yang dimainkanya tadi menjelma lagi. Lalu berhenti mendadak persis ketika Celia terjatuh dalam lorong gelap tanpa dasar. Udara mendingin di sekitarnya. Aneh, pikir Celia. Tapi dia tidak mampu mendapatkan penjelasan apa pun. Tubuhnya seperti kesemutan, tidak dapat bereaksi sempurna.

Sesuatu menyentuh tubuhnya.

Celia tak bergerak. Apalagi melawan.

"Ah. Celia. Celia-ku yang gagah berani..."

Dingin. Semuanya terasa sangat dingin.

Celia mengerang.

"Sttt... jangan bergerak... sayangku..."

Bintang. Di mana-mana ada bintang. Berkedip-kedip di langit yang beku. Cahayanya berwarna pucat.

"Ah...," desah Celia. Cahaya bintang semakin meredup di matanya.

Semuanya terlihat sangat familier.

**

Suara. Bunyi-bunyian. Dia tahu suara apa itu

Itu. Musik

Suara itu adalah kata.

"Ingat."

Sebuah kata. Sebuah perintah. Dia tahu apa yang dimaksud dengan kata itu.

Rasanya sudah sangat lama dia mampu mencerna artinya...

Ingat... apa?

Kata. Kata-kata. Banyak kata berhamburan di kepalanya. Dia tahu apa artinya. Semua bergabung menjadi kalimat. Semakin cepat. Semakin penuh. Semakin kompleks.

"Ya. Aku ingat. Aku mengerti;

Sejenak kebingungan menyusup. "Sejak kapan aku lupa? Mengapa aku lupa?"

Tubuhnya sakit. Rasanya dia membesar. Bulu-bulunya berjatuhan. Rontok. Indra pendengaran melemah. Indra penciuman melemah. Emosi berkembang.

Dengan perubahan itu, sebuah gerbang terbuka lebar. Kata-kata berhamburan ke dalam pikiran. Bagaikan air bah. Tumpah ruah.

Ya, ini adalah bahasa. Untuk bercakap-cakap. Untuk mengatakan rupa. Untuk mengungkapkan rasa.

"Aku benar-benar ingat sekarang."

Seraut wajah muncul dalam pikirannya. Wajah yang hidup di sana selama entah berapa musim, entah berapa milenium.

Celia...

"Aku ingat Celia."

Kenangan berhamburan masuk. Semuanya. Ketakutannya, kecemasannya, kerinduannya, ketabahannya...

Sakit. Pedih. Ada yang hilang di hatinya. Apa? Oh ya.

Celia tidak berada di sini. Dia berada di atas sana. Negeri dewa-dewi. Dan dia berada jauh. Jauh... dari sisi Celia.

Mengingat hal itu, sudut hatinya berdarah.

Thomas perlahan-lahan membuka matanya.

"Dia sudah sadar!" Terdengar seruan gembira.

"Alya!" kata Suhu cemas. Menahan tangan Alya.

"Jangan sentuh Thomas dahulu. Transformasinya menjadi manusia belum sempurna."

Wajah Alya memerah. Dan memerah... semakin memerah...

"Ambil selimut!" Terdengar suara menggelegar di samping telinganya. Nyaris membuat Alya terjengkang.

"Mana selimut? Cepat! Lemparkan ke atas tubuh Thomas."

Selimut... Alya tergagap. Oya. selimut! Thomas kembali menjadi manusia... Telanjang bulat, tentu saja. Gemetar, Alya membuka lemari pakaian. Dengan cepat tangannya menyambar selembar selimut merah muda. Alya melemparkan cepat-cepat ke atas tubuh Thomas, menyelimuti lelaki itu.

Thomas menoleh. Suhu dan Alya sedang memandanginya dengan cemas berbaur kelegaan.

"Thomas?"

"Y. ya..." Thomas tersedak. Tubuhnya sangat lemah, bergelung di balik selimut merah muda. Tapi di dalam jiwa dan pikirannya, Thomas telah kembali menjadi Thomas yang dulu. Thomas yang kuat.

"Selamat datang, Nak."

**

Ishtar menghapus

mata beku dari pipinya

menatap Celia yang berbaring di depannya. Terlihat pucat, berwarna keperakan beku di bawah cahaya bintang. Seluruh tubuhnya nyaris dibalut oleh lapisan es. Celia terdampar di padang salju kerajaan Ishtar.

Ishtar berlutut di samping Celia. Perlahan-lahan tangannya menyentuh punggung gadis itu. Ishtar mengangkat tubuh Celia dan menggendongnya lembut.

"Masih hidup," bisik Ishtar lega. wajah putihnya bersinar kebiru-biruan ketika air mata kegembiraan menetes. "Masih hidup... syukurlah..."

Ishtar berdiri, hati-hati menggendong tubuh Celia yang lunglai di lengannya. Dia tidak memedulikan darah yang menetes dari paha Celia mengotori jubah putihnya. Sepasang sayapnya yang lebar berkeriap lembut.

"Celia... Celia-ku... akhirnya kau kembali juga padaku..." Sesudah berkata seperti itu, Ishtar terangkat ke langit biru beku. Sayapnya membentang dari Barat sampai Timur.

**

CELlA mengerang. Pahanya terasa sangat nyeri. Sakit yang menyeluruh di sendi-sendi tubuhnya, menyebar di setiap urat nadi.

Dia selamat, pikirnya tanpa sadar. Sebelum kegelapan menerkamnya. pikiran akan kematian telah membayanginya. Tapi Celia tidak mati. Tidak mungkin dia dapat merasakan ngilu yang parah seperti ini dalam kematian, bukan? Berarti dia hidup.

"Sstt... jangan banyak bergerak. Nanti demamnya bertambah tinggi."

Suara itu. Suara yang tidak asing.

Celia mengerang sekali lagi.

Perlahan Celia membuka mata. Terasa sentuhan dingin mengusap-usap dahinya. Gemulai, penuh kelembutan.

"Ah... Celia. Bangun juga akhirnya..."
Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata Celia membingkai sempurna seraut wajah. Ishtar tersenyum kepadanya. Mata hijau zamrudnya tampak berkilauan.

Seketika itu, perut Celia bergolak panik. Menatap wajah yang tidak pernah dia ingin lihat lagi membuat lehernya

tersekat penuh kemarahan. Gadis itu bergerak, berusaha bangun.

Jangan sentuh aku!" Suara Celia terdengar kasar, serak. dan keluar dari mulutnya yang sangat kering seperti kertas ampelas. Sekali lagi Celia berusaha duduk. tapi nyeri di pahanya tak tertahankan. Otot kakinya tidak sanggup menopang tubuhnya sehingga gadis itu jatuh telentang kembali. Jeritan kecil keluar dari mulutnya, menahan kesakitan. Sekali lagi Celia berusaha bergerak.

"Celia. jangan!" desah Ishtar ketakutan ketika dilihatnya gadis itu mengerutkan keningnya. seakan-akan berkonsentrasi untuk menghilangkan rasa sakit. "Luka-lukamu belum sembuh benar. Kau butuh banyak istirahat." Tangan Ishtar bergerak, hendak menyentuh bahu Celia.

Minggir dari hadapanku!" desis Celia di antara giginya yang bergemeletuk, menahan sakit. Jangan coba-coba sentuh aku" Ditamparnya tangan Ishtar ke samping.

"Celia... kau..."

Air muka Celia penuh kemarahan dan kekesalan. "Aku tidak tahu bagaimana aku bisa terdampar di sini. Mungkin karena mantramu yang licik," katanya ketus. "Tapi, dengarkan aku baik-baik. Aku akan keluar secepatnya."

"Celia..." Putus asa, Ishtar menatap Celia yang tetap berjuang untuk meninggalkan ranjang. "Tunggu, aku ingin mengatakan... aku mencintaimu..."

"Cinta?" sergah Celia kasar. Matanya mendelik. "Kau tidak mengerti apa arti cinta yang sesungguhnya."

Gemetar, Ishtar berdiri, menatap Celia yang meringis. berjuang menahan sakit. "Celia...," desahnya tak percaya. Suaranya terhenti, ketika tanpa sengaja pandangannya

bertabrakan dengan kerlingan Celia. Mata itu menatapnya dengan pandangan penuh jijik dan benci. Celia... manusia yang dicintainya sepenuh hatinya. segenap jiwa raganya, seluruh alam semestanya...

"Bagaimana mungkin kau dapat disebut sebagai Dewi Cinta?! Kau tidak pantas menyandang nama itu!"

Pengantinnya...

Ishtar tidak sanggup menatap sorot kebencian di pancaran mata Celia.

"Aku... aku tidak akan menahanmu di... sini, Celia " Suara itu mengalir dari mulut lshtar. Serupa bisikan. Nyaris tak terdengar, bahkan oleh telinganya sendiri. "Aku tidak bisa melakukannya.... bahkan jika aku menginginkannya. Tapi kau boleh tinggal di sini sampai luka-lukamu sembuh. Setelah itu, kau boleh pergi."

Selesai berkata seperti itu, Ishtar berbalik dan meninggalkan Celia.

Celia berbaring kembali, termangu. Matanya terasa berat. Tiba-tiba gadis itu teringat pita yang diberikan Marduk. Disentuhnya pita tersebut di kepalanya. Di mana Marduk?

"Cclia memanggil Marduk... please... Celia memanggil Marduk... Do you copy? MARDUKKKK? Kamu di mana? Ganti!

Tidak ada jawaban.

Berbaring lemas, Celia memejamkan mata. Tiba-tiba kepalanya terasa sangat pening. Tak lama, kegelapan kembali menguasai kesadarannya.

Ishtar berdiri tegak di depan Cermin Penglihatan yang berkabut gelap. Kata-kata Celia meremas jantungnya sehingga pecah berkeping-keping. Dia menatap Cermin dan membisikkan kata-kata mantra. Tampak di depan matanya. sekeping pemandangan yang mengerikan. Sahabatnya, Ea terbunuh. Teman yang pernah menghidupkannya dari kematian. Terbunuh oleh Monster Utukki yang dilepaskan Ishtar di Dunia-Makhluk Hidup.

Tanpa dapat ditahan, Ishtar tergugu. Tangannya merentang, berusaha menghilangkan bayang-bayang kematian Ea pada Cermin Penglihatan.

Percuma. Tidak ada yang dapat ia lakukan untuk mengubah kenyataan bahwa Ea telah tiada.

Tubuh Ishtar gemetar hebat. Air matanya jatuh berlinang di pipinya, bagai runtuhan intan berlian berkilau tertimpa cahaya. Ea telah mengingatkan akan bahayanya. Tapi Ishtar tidak peduli dan tidak mau mendengar.

Ishtar berbisik, melepaskan ribuan mantra di depan cermin. Kata-kata mantra yang tidak pernah dia ucapkan sebelumnya. Mantra yang hanya dimiliki Dewi Cinta dan Perang. Mantra yang hanya boleh digunakan untuk keadaan darurat, khusus untuk para makhluk hidup.

Tapi kali ini dia memantrai dirinya sendiri.

Tangan Ishtar mengaung di depan Cermin Penglihatan. menyentuhnya. Tampak bayang-bayang kabut kembali berputar-putar di sana. Berwarna kelabu muram, kebiruan.

"Kembali!" seru Ishtar di antara kata-kata mantranya. "Kembali ke masa lalu!"

Lalu dia mengembuskan napas di depan cermin itu.

Napasnya yang beku mengubah bayang-bayang kabut itu. Kali ini tampak pemandangan indah terbentang di depan cermin. Ishtar berdiri tegak, menatap bayangan itu dengan penuh kenangan.

Suara Celia kembali bergema di kepalanya.

Isakan kecil terlompat keluar dari mulut Ishtar. Dengan penuh percaya diri, dia bergerak, maju satu langkah. Ishtar menekan seluruh tubuhnya ke dalam cermin dan masuk ke sana. Bayang-bayang kelabu muram bergasing, berbentuk spiral. Di tempatnya, Cermin kembali membeku.

Ishtar telah kembali ke masa lalu.

Ishtar berdiri tegak, menatap Enka duduk bersebelahan dengan Nannia, berbisik-bisik. Tidak ada seorang pun di perkampungan yang menyadari kehadiran Nannia.

Ishtar bergerak, meninggalkan Enka dan Nannia. Matanya berputar, mencari-cari seseorang. Bulan bersinar sempurna di kaki langit. Ishtar bergerak perlahan, matanya berkilau bagaikan bintang fajar.

Rasanya seperti mencari-cari dalam bentangan keabadian. Tapi kesabaran Ishtar berbuah manis. Tampak sesosok muncul, berjalan tegak dalam kegelapan malam. Ishtar nyaris tersedak dalam kegembiraan yang muncul di hatinya. Dia berjalan ke balik pohon dan mengamati lelaki itu.

Lelaki itu tidak berhenti, tidak menyadari kehadirannya sama sekali. Membawa tentengan besar di tangannya, dia

terus berjalan. berjalan ke rumahnya, lelaki itu membuka pintu dan menyelinap masuk.

Hati Ishtar menghangat tanpa sebab melihat semua kejadian itu.

"Jadi, rupanya lelaki itu ayah anakmu, Ishtar?"

Ishtar ter-loncat mendengar suara yang menyelinap di kepalanya. Dia berbalik.

"Ea" Reaksi Ishtar lebih kepada rasa malu daripada marah karena ketahuan mengintip makhluk hidup. "Mengapa mengikutiku sampai ke sini?"

"Aku? Mengikutimu? Tentu saja aku tidak mengikutimu. Bagaimana bisa? Di masa depan, aku sudah mati. Ingatkah kau? Sekarang aku adalah Ea dari masa lalu. Sedari tadi menunggumu di sini."

Ishtar menggelengkan kepalanya. "Jangan coba-coba menggunakan kata-kata sok bijaksanamu, Ea. Aku tidak mengerti."

"My dear friend, aku Dewa Kebijaksanaan. Kata-kataku pasti penuh dengan kata-kata bijak. Aku tidak akan pernah bisa bergaya funky seperti Marduk."

Ishtar melirik.

Wajahnya mengeruh. "Pergi. Tinggalkan aku di sini! Jangan sok ikut campur urusan makhluk lain!"

Ea menggoyang-gnyangkan telunjuknya. "Kau salah. Urusanmu adalah... urusanku juga. Kita sama-sama berhubungan dalam dunia ini, Ishtar. Jangan coba-Coba mengusirku pergi. Dalam hati kau tahu, kau membutuhkan nasihat bijakku."

Ishtar tampak berpikir sejenak. Lalu dia menarik napas panjang. "Kalau begitu," katanya, "katakan padaku, apa yang sebaiknya kulakukan sekarang, 0 dewa yang bijaksana. Aku sudah kembali ke masa lalu. Melihat Enka bersama Nannia di sana. Melihat Enka, calon suamiku yang kelak akan kutinggalkan bersama bayi perempuanku. Katakan, apa yang harus kulakukan agar aku dapat mengubah sejarah?"

Ea mendecak. "Kau ingin mengubah sejarah?" Lalu dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kau tahu apa risikonya, Ishtar?"

Ishtar mengangguk. "Aku tidak akan repot-repot kembali ke masa lalu jika aku tidak tahu risiko apa yang akan kuhadapi."

"Kau juga tahu bahwa pada dasarnya masa lalu tidak dapat diubah secara radikal? Ada bagian-bagian besar yang tetap tak berubah, walaupun kau berusaha mengacaubalaukannya."

Ishtar mengangguk sekali lagi.

"Dan risikonya... Dewa Antu bisa marah besar jika tahu kau yang menjadi dalangnya. Kau dapat terbunuh, Ishtar."

"Aku tahu," bisik Ishtar.

Suara lembut Ishtar menyentuh hati Ea yang terdalam. "Apa yang menyebabkan kau melakukan semua ini?" tanyanya. Ea tercekat sebelum melanjutkan mengajukan satu pertanyaan penting. "Cinta?"

Ishtar tertawa singkat. Suaranya berdenting laksana bunyi bel. "Cinta?" tanyanya. "Akulah Dewi Cinta, Ea. Tentu aku tahu arti cinta yang sesungguhnya."

Suara Celia bergema kembali di kepalanya.

...tidak mengerti arti cinta yang sesungguhnya...

Ea menatap Ishtar dalam-dalam. "Begitu?"

Ishtar tidak menjawab. Mereka berdiri berdua, di bawah

sebatang pohon. Daun-daun kering berguguran lembut di atas kepala mereka. Angin malam berembus dingin bagai udara merembes keluar dari kungkungan kotak alam semesta.

"Kau yakin dengan pilihan ini, IshtarP"

Ishtar tidak butuh waktu banyak untuk menjawab pertanyaan itu. "Yakin," jawabnya tanpa jeda sedikit pun.

"Berarti, terjadilah apa yang harus terjadi. Masuklah ke masa lalu dan terimalah konsekuensi apa pun yang kauubah. Ingat, masa lalu akan tetap mempertahankan elemen-elemen pentingnya. Kau akan tetap menikahi Enka, lelaki itu, dan melahirkan bayi perempuan. Enka tetap bersama Nannia dan Enka akan tetap terbunuh. Kau akan tetap turun ke Dunia-Bawah dan mati di sana. Dunia bawah lain tidak akan berubah tapi kan dapat berubah di masa depan.

Ishtar terdiam dalam kenangan. Kata-kata Ea mengalir di antara gemeresik daun-daun yang luruh tertiup angin. Menari-nari di udara sebelum berserak terjatuh pasrah di tanah. Ea masih melanjutkan perkataannya.

"Kau juga mengerti banyak hal yang dahulu tidak kau mengerti. Terimalah penderitaan menjadi manusia; penderitaan yang bercampur bersama kegembiraan. Itulah hakikat cinta. jadilah lebih bijaksana, Ishtar. Atas nama Kebijaksanaan, aku mengizinkan kau masuk di dunia ini!"

Ishtar memejamkan mata. Angin berputar-putar di sekelilingnya. Dia merasa tubuhnya terangkat dari tanah dan ketika dia mendarat kembali, Ishtar membuka matanya. Tubuhnya tidak berwarna putih lagi. Diangkatnya lengannya ke depan dadanya. Jari-jarinya berwarna cokelat muda dengan kuku bersih yang sedikit panjang di sana. Rambutnya berwarna gelap, sangat panjang dan lebat. Dia melirik ke punggungnya. Sayapnya telah lenyap. Ishtar kembali menjadi manusia.

Ishtar akan mengarungi masa lalu sekali lagi.

"Ninna?"

Perempuan itu menoleh. Ishtar tahu, Ninna adalah nama yang digunakannya selama dia menjadi manusia. Lelaki itu, suaminya, Enka. sedang memandanginya. Ishtar berkedip. Di mana dia? Sedang apa dia sekarang?

"Kau kelihatan bingung seharian ini. Ada apa? Sesuatu mengganggu pikiranmu, Ninna?"

Ishtar memandang sekelilingnya. Dia berada di dalam rumah. Dia tahu rtamah ini. Dia sangat hafal. Ya, betul. Ishtar telah kembali menjadi istri Enka. Di masa lalu. Ketika dia turun ke bumi, Enka tidak memedulikannya sehingga seorang pemuda di perkampungan bernama Etana, mendekatinya. Ingin mengusik kecemburuan Enka, Ishtar menikahi Etana tanpa pikir panjang. Mungkin juga tanpa cinta.

Entahlah...

Dan sekarang di sinilah dia berada. Di sebuah rumah bersama Etana. Suaminya.

Terdengar suara bayi menangis.

Oh. Bayi perempuannya.

Ishtar berjalan menuju buaian. Dengan lembut dia membungkuk dan mengangkat bayi tersebut. 0, lembutnya kulit anaknya. Ishtar mendekatkan pipi empuk itu ke depan hibirnya. Cemas, dia menciumi bayinya bertubi-tubi. Ternyata si bayi menyukai tindakan bundanya. Dari tangisan melengking perlahan-lahan berubah menjadi senyum. Ishtar menimang-nimang si kecil dengan penuh kasih. Bayinya. Anaknya. Yang kemudian akan ditinggalkan tanpa mengetahui siapakah ibu kandungnya. Alangkah sedihnya. Membayangkan hal itu membuat hatinya terkoyak. Apa yang dapat dia lakukan untuk mengubah sejarah?

Ishtar menunduk, menatap sepasang mata bulat cokelat muda. Ishtar menyentuh sepuluh jari kecil itu. Dengan cepat, telunjuk Ishtar tergenggam erat oleh si bayi. Air mata Ishtar meleleh penuh haru. Hatinya tercekat dalam kegembiraan yang tak berbatas.

jempol mungil itu. Tatapan lugu itu. Senyum manis itu.

Sesuatu menyentuh bahunya. Ishtar terusik. Sepasang tangan kokoh melingkari pinggang dan mengetatkan pelukan.

"Aku mencintaimu, Ninma. Sepenuh hati, segenap jiwa ragaku, selamanya."

Emosi hangat mengalir di seluruh tubuh Ishtar. Air matanya tanpa sadar meleleh, jatuh dari pipi, menetes di lantai. Menjadi manusia memang sangat kompleks. Emosi dapat mudah menyergap. Tidak heran, Celia dapat dengan mudahnya menangis.

Ishtar nyaris mengatakan dia tidak pernah mencintai Etana. Dia bersama-sama Etana karena dia ingin selalu berada di bumi, berdekatan dengan Enka, pemuda yang dicintainya setengah mati. Tapi tegak-ah Ishtar mengatakan kenyataan itu? Pelukan ini... ciuman ini... sentuhan ini... kehangatan ini... hubungan kekeluargaan ini...

"Kau adalah nyawaku, Ninma."

Bayi di pelukan Ishtar tertidur lelap. Ishtar mengayunayunkan bayinya dengan lembut. Bibirnya menyenandungkan seuntai lagu, meninabobokan si kecil. Sementara tepat di belakangnya, Etana masih memeluknya, bersama-sama ikut bergoyang mengikuti gerakan irama tubuh Ishtar.

"Ninma... Ninn-a...," bisik Etana, mengalun bersama nada.

Itu adalah bisikan terindah penuh cinta yang diucapkan oleh Etana, yang mengalir memasuki relung terdalam.

Ishtar ingin memejamkan mata, tapi tak perlu. Air matanya telah mengaburkan pandangan. Membuat sekelilingnya tak terlihat sempurna. Sentuhan lembut Etana halus membelai kulit Ishtar, memenuhi jiwanya yang sepi mengenaskan. Etana mencium tengkuk Ishtar. Terdengar bisikan halusnya, mendayu membelah sunyi hati.

"Aku sayang kau. Ninma..."

Di luar, seribu cahaya bintang menari dalam kegelapan malam. Menambah gempita resital bulan purnama. Ini adalah momen terindah...

...bagi Ishtar yang berasal dari masa depan.

Malamnya mereka bercinta. Setitik tunas menggeliat dalam hati Ishtar, mendobrak. Ingin tumbuh subur. Ingin menjadi kecambah di luar kegelapan biji.

Demikianlah. mereka terus bercinta pada malam-malam selanjutnya. Kebahagiaan Ishtar menjadi semakin genap dan sempurna.

"Matanya itu."

Isntar tersenyum mendengar perkataan Ea. Dia senang menyuapi bayinya. Ea sedang mengunjungi rumah Ishtar, mencurahkan kekagumannya terhadap bayi mungil kwayangan Ishtar.

"Bahagiakah kau dengan keputusanmu kembali ke masa lalu? Bertemu Etana dan anak perempuanmu?"

Ishtar tersenyum. "Ketika aku kembali ke masa ini, kupikir aku akan terus mempunyai emosi yang sama. Tapi... aku merasakan suasana yang berbeda. Cintaku tentu masih kuberikan pada Enka. Tapi Etana...," lshtar mendesah, " ternyata sangat mencintaiku. Cintanya bagai air terjun yang membasuh jiwaku. Kalau kupikir-pikir, cinta Etana padaku sekarang jauh lebih besar daripada cintanya yang dulu. Aneh."

"Tahukah mengapa, lshtar?"

Ishtar menggeleng.

"Karena kau berusaha mencintainya pula. Waktu itu, matamu terlalu dibutakan oleh Enka sehingga kau tidak memedulikan Etana. Sekarang. kau pun mencintainya tanpa ragu. Bagai cermin, hatimu memantulkan cinta dan mereFleksikan cinta pasanganmu. Ah, Ishtar sayang, kau mulai mengerti arti cinta yang sesungguhnya."

Mata Ishtar bercahaya penuh harapan. "Berarti... apakah aku dapat mengubah masa lalu? Apakah aku dapat mengatur sejarah? Aku ingin ) Ishtar menutup mata, mengucapkan kata selanjutnya dalam gemetar bibir. "Enka mencintaiku."

Ea menggeleng. "Masa lalu tidak akan berubah, Ishtar. Kau sudah tahu hal itu dari dulu. Enka tetap akan mencintai Nannia. Kau tetap akan kehilangan anak perempuanmu. Dan..."-Ea menelan ludah. Walaupun menyakitkan hati Ishtar, Ea bertekad untuk tetap mengatakan kata-kata selanjutnya, "Enka akan tetap terbunuh."

Suara Ea seperti gema yang terpantul di telinga Ishtar.

"Apakah kau tidak menyerah untuk mengulang masa lalu?" tanya Ea mantap.

Ishtar tidak menjawab. Hanya air matanya yang berlinang-linang.

Dua tahun berlalu.

Ishtar sedang menyisir rambut anak perempuannya, ketika pintu rumahnya menjeblak terbuka. Seorang tetangganya tergopoh-gopoh masuk.

"Ninma, cepat ke sana! Etana sedang berkelahi dengan Enka!"

Ishtar membelalak terkejut. Dengan cepat, disambarnya anaknya ke dalam gendongan. Lalu dia berlari keluar terburu-buru.

Di lapangan berumput, Etana berdiri berhadap-hadapan dengan Enka. Kemarahan menggelegak di wajah Etana.

"Etana!" teriak Ishtar.

"Apa yang terjadi?"

Etana melirik Ishtar sekilas, tidak menggubris. Kakinya berderap maju, menerjang angin. Etana menyerang bagai banteng terluka. Tangan kanannya mengayun sigap dan... BUK! Dengan telak menghajar tulang pipi Enka. Lelaki itu terjerembap. Dengan cepat Etana melompat ke atas tubuh Enka dan menendang selangkangannya. Enka terguling di tanah, meringis kesakitan.

"Hentikan!" teriak Ishtar panik.

"HENTIKAN! APA YANG KAULAKUKAN?!"

Ishtar menurunkan anak perempuannya, berlari ke arah Enka dan membantu lelaki itu berdiri. Darah mengalir dari mulut Enka yang terkoyak.

"Nimna! Menyingkir!" teriak Etana.

"Ini bukan urusanmu. Jangan coba-coba menengahi kami! Ini urusan lelaki."

"TIDAK!" jerit Ishtar.

"Sampai kau berhenti memukuli Enka, aku tidak akan menyingkir."

Tatapan Etana tampak terluka mendengar teriakan istrinya.

"Kau hendak melindungi dia? Melindungi lelaki yang lebih kaucintai?"

Jantung Ishtar seperti tertusuk pedang tajam. Terkoyak. Tercabik berdarah. Bagaimana mungkin Etana mengetahui perasaan Ishtar?

"Etana...." pinta Ishtar pilu. Diabaikannya tatapan penuh luka dan' sorot mata pasangannya.

"Jangan... jangan lakukan ini padaku. Tolonglah, aku mohon..."

Etana maju satu langkah di depan mereka. Tangannya bergerak, menyambar sesuatu di dalam sarung yang tergantung di pinggangnya. Di bawah sinar matahari yang terik, tampak pisau bermata dua. Logamnya memantul di mata Ishtar yang memandang dengan ngeri.

"Minggir, Ninma. Akan kuselesaikan urusan ini dengan cepat!"

Enka berdiri tegak, masih terhuyung-huyung akibat pukulan dan tendangan Etana. Ishtar berdiri di sampingnya. Tiba-tiba tangan Etana bergerak secepat burung hantu menyambar tikus. Pisaunya terhunus ke depan dan langsung menyambar perut Enka.

"Agar semuanya berakhir..."

"ASTAGA!" Ishtar menjerit dan memeluk Enka yang

seketika roboh ke tanah. Darah muncrat, berhamburan ke mana-mana. Membasahi seluruh tangan Ishtar.

"Kau gila!" kata Ishtar kepada Etana.

Sorotan Etana masih penuh luka ketika menatap Ishtar memeluk Enka membabi buta.

"Gilakah itu namanya? Gilakah menjadi cemburu karena terlalu mencintaimu? Gilakah jika aku tidak rela melihatmu membagi cinta?"

Ishtar terisak-isak. Demi Dewa Ea, terjadi perubahan di masa lalu. Enka tidak dibunuh oleh Dewa Antu. Enka terbunuh di tangan Etana. Ishtar mendapat pencerahan, sekelumit pengertian dan kebijaksanaan. Ucapan Ea terngiang kembali di kepalanya. ...

Sekarang Ishtar telah mengerti.

"Ya, kau benar!" teriak Ishtar di antara air matanya.

"Itu gila. Cinta tidak seharusnya seperti ini. Kau membuat orang yang kucintai terbunuh!"

Etana berdiri menggigil.

"Beginilah cinta yang seharusnya. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara mencintaimu lebih daripada ini."

Ishtar bergolak dalam emosi. Kenangannya membumbung tinggi, bagai burung-burung pipit beterbangan di atas dahan padi. Peristiwa ini bagaikan deja vu. Pantas saja. Pantas saja Celia merasa marah ketika Ishtar berusaha membunuh Thomas. Jadi beginilah rasanya jika dicintai secara membabi buta. Cinta yang tak mampu melihat adalah tikaman panah tepat pada jantung. Cinta yang tak mampu mendengar adalah pemerkosaan pada jiwa dalam kesewenang-wenangan.

"Tidak... tidak...," desis Ishtar putus asa.

Ishtar merasa pusing ketika darah Enka mengalir, membasahi bajunya. Napas lelaki itu tinggal satu-satu. Jika Enka meninggal, mantra Ishtar terputus. Dia akan kembali menjadi makhluk abadi lagi; menjadi dewi. Meninggalkan anak perempuannya di bumi tanpa mengetahui Siapakah ibu kandungnya. Alam lalu tidak dapat diubah. Ia tidak dapat menggantinya, walaupun sudah kembali ke masa lalu.

Tapi siapa yang menduga bahwa pembunuhan terhadap Enka kali ini bukan dilakukan oleh Dewa Antu? Tangan pasangannya, Etana-Iah, yang berlumuran darah Enka.

Tubuh Ishtar gemetar. Etana berjalan menghampiri Ishtar.

Wajahnya menunduk, menatap kekasihnya. Pancaran tanpa sinar. Layu, memelas, memohon.

"Ninma, bangunlah. Pulanglah bersamaku. Tinggalkan lelaki ini. Hiduplah terus mendampingiku sampai ajal menjelang."

Hening.

"Etana..."

Oh, Yang Maha Agung. Suara Ishtar telah berubah. Bukan lagi suara manusia, melainkan suara yang mengembuskan udara dingin. Tubuh Ishtar perlahan-lahan memutih. Di pangkuannya, darah Enka telah mengental, bernama kehitam-hitaman. Enka memejamkan mata karena kelopaknya terasa sangat berat.

Tarikan napas pertama.

Sayap Ishtar perlahan-lahan tumbuh.

Etana membelalak melihatnya.

"Nin... Ninma...?" Air muka Etana berubah menjadi ketakutan.

Enka mengerang. Tarikan napas kedua. Susah payah.

Sayap Ishtar telah sempurna tumbuh. Seluruh tubuhnya berwarna putih. Aura dingin menyelubunginya. Seluruh masyarakat di perkampungan membeku menjadi es, kecuali Etana dan Enka.

"Namaku bukan Ninma. Aku Ishtar, Dewi Cinta dan Perang," bisik Ishtar sendu, menahan bendungan air mata.

Etana berusaha menyentuh Ishtar, tapi tidak bisa. Tubuh Ishtar terbungkus lapisan udara dingin yang tak dapat ditembus.

Ishtar menoleh, menatap anak perempuannya yang berdiri membeku.

"Oh, anakku!" pekiknya pilu. Dia tidak tahan, terisak sedih.

"Aku kehilanganmu lagi!"

Kepala Enka melemah; terjatuh menyamping ke tanah. Tarikan napas ketiga. Yang terakhir.

Ishtar merasakan seluruh tubuhnya bersiap meninggalkan Dunia-Makhluk-Hidup. Susah payah dia berkata,

"Etana... aku tidak dapat kembali... katakan pada anak kita bahwa aku mencintainya dengan seluruh hidupku. Rawatlah dia baikbaik. Terangkan kepadanya siapa ibu kandungnya. Ingatlah selalu, bahwa dia tercipta dari cinta yang ada di..." Tubuh Ishtar menjadi tembus pandang. Suaranya menggema.

"... di antara kita berdua. Katakan padanya... Jangan lupakan aku... Ingat..."

Langit berwarna putih meledak di wajah Ishtar. Kaki langit terbuka. Ishtar menghilang di udara.

"Ninma..."

Sayup-sayup terdengar ratapan panggilan dari Etana.

"Jangan tinggalkan aku..."

"Jangan tinggalkan aku...

**

Ishtar berdiri tegak di depan Cermin Penglihatan. Matanya berkaca-kaca menatap bayangan di cermin.

"Oh..., Etana..."

Walaupun suara Ishtar hanya berupa bisikan, suara itu menjelajah ke mana-mana, seakan-akan hendak menembus ribuan tahun yang lampau, melewati rentetan milenium, menyeberangi bintang-gemintang. untuk mencapai sepasang telinga yang dimiliki makhluk hidup yang telah lama mati.

"Etana, maafkan aku "

**

Thomas sedang tertidur.

Dalam mimpinya, dia berada di tengah hujan salju. Thomas berdiri gemetaran, memandang sekelilingnya. Giginya bergemeletuk. Seluruh tubuhnya terasa sangat lemah.

Salju menutupi seluruh jarak pandang yang dapat dilihatnya. Butir-butir es berdansa di langit kelam. Jatuh, turun, dan mendarat di seluruh tubuhnya. Thomas berusaha bergerak. Melangkah. Tapi kakinya serasa tertancap di tanah, tidak mampu bergerak.
Utukki Sayap Para Dewa Karya Clara Ng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di atas semua itu, Thomas merasa sangat dingin.

Di mana dia berada sekarang? Angin dingin bertiup lembut, membelai daun telinganya yang telah mati rasa.

Thomas menoleh. Tiba-tiba ada bayangan yang sangat dekat. Mata Thomas menatap seseorang yang sedang berdiri di tengah salju, tidak jauh dari tempatnya berdiri. Tatapan gadis itu kosong, tanpa ekspresi apa pun.

Segera Thomas menyadari siapa gadis yang sedang berdiri di sana.

"Celia!" teriaknya tanpa ragu. Thomas berusaha bergerak, tapi tak mampu. Seluruh tubuhnya membeku karena es.

Samar-samar, di antara butir-butir salju yang berguguran, terlihat alis Celia bertaut.

"Siapa kau?" tanyanya bergema, dibawa angin dingin.

"Celia!" teriak Thomas putus asa. Tangannya terulur susah payah.

"Ini... aku Thomas. Please. Kau harus ingat. Makhluk seram itu berusaha membuatmu melupakan aku."

"Siapa... ka...u...?" Suara Celia semakin terdistortasi angin.

Tiba-tiba di sebelah Celia berdiri Ishtar. Thomas bergetar terkejut.

"Celia!" Teriakan Thomas telah berubah menjadi raungan kemarahan.

"Jangan berdiri di dekatnya. Dia setan, Celia! Kau tidak sepantasnya berada di sebelahnya. Kembalilah padaku. Aku akan menyelamatkanmu dari kematian ini."

Di luar dugaan Thomas, Celia mundur satu langkah. Gadis itu menyelinap dan berdiri di belakang Ishtar. Tangannya menggenggam gaun Ishtar erat-erat seakan telah memutuskan ke mana selanjutnya Celia hendak melangkah. Tiba-tiba bayangan gadis itu menghilang. Lenyap bagai butir-butir salju terpanggang matahari.

Thomas mengedipkan mata tidak percaya.

"Hei!" serunya kepada Ishtar. Thomas meradang sampai ke ubun-ubun. "Ke mana kau bawa Celia?"

Ishtar menatap mata Thomas, tak berkedip. Sinar matanya bercahaya bagai bintang Timur. Dia berjalan mendekati Thomas tanpa ragu-ragu. Salju berhenti berjatuhan dari

langit. temperatur menghangat. thomas tidak merasa kedinginan lagi.

"Thomas...," bisik Ishtar lembut.

"Mundur!" teriak Thomas. Alisnya bertaut penuh amarah. Dia ingin memasang kuda-kuda menyerang, tapi seluruh otot tubuh Thomas bagai tersihir. Tidak mampu bergerak seinci pun.

Ishtar berdiri sekitar dua meter di depan Thomas. Dia meniup udara ke wajah lelaki itu. Thomas mengerutkan muka ketika uap dingin menerpa mukanya. Titik-titik salju menempel di seluruh tubuhnya. Apa yang Ishtar lakukan? Apakah dia hendak membekukan Thomas kembali seperti waktu itu?

(Tenang, Thomas," bisik Ishtar. "Kau tidak akan merasakan apa-apa."

Ishtar menatap kagum ketika Thomas berjuang melawan mantranya. Ishtar dapat merasakan betapa benci dan murkanya Thomas kepada dirinya. Seluruh energi tubuh lelaki itu ditingkatkan untuk menyerang mantra Ishtar. Tapi sia-sia...

Thomas melemah. Tubuhnya menjadi tenang. Tatapannya terpaku menatap Ishtar tanpa daya. Thomas mengepalkan jemarinya susah payah.

"JANGAN" teriak Thomas. "JANGAN LAGI!"

Ishtar melangkah maju. Tangan putihnya terulur dan dia menyentuh bahu Thomas. Mata Thomas berkaca-kaca. antara marah dan menahan kejutan nyeri yang akan ditanggungnya.

"Celia!" panggil Thomas sia-sia. "Kau di mana...?"

Bintang-bintang berjatuhan di atas kepala Thomas. Berwarna kuning, berkedip-kedip pucat. Thomas dapat

mendengar Celia balas memanggilnya. Begitu memilukan. Sangat pedih sampai Thomas nyaris mati mendengar suara yang sangat dirindukannya.

"Dewa Antu, tolonglah..."

Thomas ambruk berlutut.

Di depannya Ishtar pun jatuh berlutut.

"Jangan...," pinta Thomas sendu. "Jangan sakiti..." Bukan, ini bukan permohonan bagi dirinya. Tapi permohonan demi Celia.

Mata Ishtar menutup. Tangannya berada di bahu Thomas lalu bergerak ke bawah. Telapak tangan Ishtar membuka, menekan dada Thomas lembut. Seluruh tubuh Thomas terasa diremas dengan aliran yang rasanya...

Hangat?

"Kau bebas, Thomas." Terdengar suara Ishtar menggema. "Aku telah menghilangkan mantra darah Antu dan sayap Utukki. Kau bebas"

Thomas berkedip tidak percaya. Tubuhnya serasa pecah berhamburan. Dia seperti jatuh ke dalam lubang tanpa dasar. Lubang kehangatan...

Penuh cinta.

wajah Ishtar tampak pias, seperti hantu. Senyumnya mengembang. Senyum yang lelah, tapi terlihat energi positif terpancar dari sana.

"Aku tidak berharap kau memaafkan perbuatanku padamu, Thomas," Ishtar berbisik. "Jika aku dapat menghapus kesakitan dan nyeri yang disebabkan olehku, menghapus penderitaan yang kaujalani... akan kulakukan. Tapi, aku tidak bisa. Bahkan untuk mengubah masa lalu pun aku tidak bisa)

dalam kemurungannya, thomas merasa melayang-layang, kehilangan kesadaran diri. Tangan Ishtar sekali lagi terulur. menyentuh dahi Thomas, membelai-belainya.

"Thomas...," katanya sekali lagi. (Aku minta maaf. Sepenuh hatiku. Segenap jiwaku. Untuk semuanya. Untuk segalanya. Ada satu hal penting yang aku ingin kauingat adalah... Celia tidak pernah melupakanmu. Dia selalu ingat..."

Dalam ketidaksadaran Thomas, setitik air mata jatuh di pipinya.

"Dia selalu ingat, Thomas... Ingat padamu... Hanya kau yang selalu berada di hatinya.."

**

ISHTAR menatap Cella yang berbaring di depannya.

Mata itu sedang terpejam rapat. Rambutnya yang panjang berwarna hitam pucat tergerai di bahu. Air mukanya tampak lelah tapi garis-garis pertahanan diri tergurat jelas di sana. Celia tak pernah putus asa. Bahkan dalam tidurnya sekalipun. Dia adalah manusia yang luar biasa tabah dan kuat.

Ishtar mendesah. Dua tetes air mata bahagia jatuh di pipinya. Tangannya bergerak, menyentuh dada Celia dengan penuh kasih sayang.

Cahaya berwarna kuning kemerah-merahan berpendar di dada Celia. Tangan Ishtar bertahan di sana untuk beberapa lama. Setelah warna itu memudar, terjadi perubahan di seluruh tubuh Celia. Wajahnya tidak tampak pucat lagi. Ada semburat warna merah muda menyala di sana. Ishtar tersenyum puas.

Mata Ishtar bergerak. Kali ini perhatiannya tertuju pada paha Celia yang masih terluka. Tampak darah berwarna hitam mengering di sana. Sekali lagi Ishtar memindahkan tangannya. Disentuhnya paha Celia dengan penuh kasih. Sebentuk lapisan es menutupi luka itu. Seketika luka merapat dan darah menghilang.

Ishtar berdiri menunduk di depan Celia yang masih berbaring tanpa sadar. Perlahan-lahan dia berlutut di samping ranjang. Dengan lembut, Ishtar menyentuh dahi Celia. Gerak-geriknya sangat hati-hati dan penuh perhatian. Lalu dia berbalik. Tanpa suara, Ishtar meninggalkan Celia.

Sekali lagi, suara Celia menggema di kepalanya. Kalimat yang pernah diucapkannya dengan penuh kebencian.

Tetapi sekarang di kepala Ishtar, nada-nada dan kalimat itu telah berubah sedikit.

Ishtar menghapus air mata yang menggenang di matanya.

"Kau bebas, Celia. Seperti Thomas, kau mendapatkan sayapmu kembali. Terbanglah setinggi-tingginya ke langit biru bagai rajawali merdeka. Cintaku akan memberikanmu sayap yang terkuat. Capailah surga, Celia. Capailah kehahagiaan."

...mengerti ini cinta yang sesungguhnya...

Ada yang tidak gembira dengan keputusan Ishtar membebaskan Thomas. Tentu saja. Siapa lagi...

Dia Dewi Bumi, Dewi Antu.

Sekarang, berdiri di Dunia-Makhluk-Hidup, alisnya berkerut penuh perhatian, mengamati Thomas. Antu berhasil masuk melalui Portal Imigrasi tanpa kecurigaan sedikit pun dari Sang Penjaga.

Energi pemisah Thomas dan Celia telah terputus, dihilangkan oleh Ishtar. membayangkan itu, bibir Antu mencibir. Ishtar jadi bodoh karena cinta. Bagaimana mungkin

Ishtar tiba-tiba menjadi lemah dan mengambil keputusan yang sangat tolol seperti itu?

Antu menggelengkan kepalanya geram. Sekarang semuanya tergantung pada dirinya. Anak-anak tercintanya, monster Utukki telah terlempar ke Dunia-Bawah dan terkunci di dunia itu. Ishtar bukan lagi sekutunya. Antu sendirian, tak sabar ingin memainkan bidak caturnya dengan sempurna. Antu mendesah geram.

Dia akan mengikuti perkembangan ini dalam diam dan menunggu saat yang tepat untuk membalas dendam.

Ishtar berdiri di depan Cermin Penglihatan dengan tubuh gemetar.

Pada cermin tampak pemandangan yang nyaris membuatnya pingsan karena terkejut. Bibir Ishtar turun ke bawah, melengkung sempurna. Dia kesal. Jengkel. Matanya menatap Antu di Dunia-Makhluk-Ilidup, berdiri tak kelihatan. Tembus pandang. Antu berada di Dunia-Makhluk-Hidup? Yang benar saja. Bagaimana bisa? Apa yang akan dia lakukan di sana?

Ishtar berdiri terpaku, berusaha menggapai emosi dan pikiran Antu. Ketika ia berhasil mencapainya, Ishtar nyaris terjengkang ke belakang.

Kebencian.

Balas dendam.

Dengki.

Semuanya berbaur menjadi satu.

Ishtar terpana, tidak memercayai apa yang berhasil dilihatnya. Apakah dia dahulu memiliki emosi negatif seperti

itu? Ishtar menggeleng-gelengkan kepalanya. Cintanya kepada Celia akhirnya berhasil membunuh kebenciannya kepada Thomas. Cinta Etana kepada dirinya berhasil menyiram sanubarinya, menghapus semua rasa dengki dan keinginan untuk balas dendam.

Cinta-pada akhirnya-memang menjadi penyelamat.

Cinta-pada akhirnya-memang sepasang sayap.

Oh, Antu. Maafkan dirinya. Maafkan jika Ishtar belum berhasil menaburkan cinta di dalam jiwa Dewi Bumi.

Ishtar menarik napas dalam-dalam. Tangan putihnya bergerak ke depan, menyentuh Cermin Penglihatan. Perlahanlahan tubuhnya masuk kembali ke cermin.

"Celia," bisiknya lembut. "Kau akan bertemu kembali dengan Thomas. Percayalah."

Sambil menutup mata, dia menekan seluruh tubuhnya masuk ke cermin.

"...aku berjanji "

Tak disangka, angin kencang bertiup. Antu bergerak, merasakan tubuhnya dirasuki hawa dingin. Dia mendongak, menatap langit, mengawasi pergerakan awan. Ini perubahan cuaca yang aneh.

Antu berdiri di depan pagar rumah Alya. Matanya dapat menembus sekat-sekat pembatas, menembus benda padat seperti dinding rumah. Sekarang Antu mengawasi Thomas. Sementara yang lainnya sedang bercakap-cakap di dalam kamar Celia. Air muka Antu sangat fokus dan sarat konsentrasi.

Antu tidak mengawasi sekelilingnya. Perhatiannya hanya satu. Thomas.

Angin dingin bertiup lagi, mengembuskan rambutnya. Helai rambut itu melambai-lambai melewati bahu. Antu merasakan titik-titik es menggigit pipinya.

Hujan es?

Di Jakarta?

Sesaat, Antu terpana tidak memercayai kesadarannya. Dia mengerang. Dahinya berkerut menjadi satu.

Cuaca tidak akan menjadi seperti ini jika tidak ada yang mengutak-atik.

"Ishtar...," desisnya marah.

Mengertilah dia. Mengertilah dia bahwa sekarang bukan hanya Thomas dan Celia yang menjadi musuh abadi Antu. Ishtar pun telah menjadi sekutu mereka.

"Dasar bodoh," pikir Antu pahit. Senyum melecehkan terbentang di bibirnya. "Kau mencoba menghentikanku? Hah, coba saja. Aku tidak akan hidup selama beribu-ribu tahun hanya untuk dikalahkan oleh dewi tolol yang jiwanya labil karena cinta."

Antu membuka kedua lengannya yang tak kasatmata. Suara tawanya bercampur desing angin dingin yang semakin kencang berputar. Tangan Antu mulai terasa kaku, mati rasa.

"Apa lagi yang bisa kaulakukan padaku, Ishtar?" tanya Antu kejam. "Kau tahu. aku tidak mudah dikalahkan olehmu. Aku tahu keterbatasamnu dan aku juga tahu bagaimana melawan kelebihanmu. Di negeri ini, tidak ada musim dingin. Tidak mungkin ada salju. Matahari akan melelehkan temperatur bekumu. Mantramu lemah, tolol. Kau tak dapat menghentikanku."

Dan setelah berkata seperti itu. Antu berputar cepat.

Mata Ishtar membelalak tidak percaya. Tubuhnya mematung. Dia baru saja kembali keluar dari cerminnya.

Tangannya menempel erat di kaca itu.

"Tidak mungkin. desisnya pedas. "Tidak ada yang bisa melawanku seperti itu!"

Ishtar berdiri cemberut Sepasang manik mata hijau zamrudnya tak bergerak, terpaku menatap gambaran di cermin.

Tidak ada dewa maupun makhluk hidup mana pun yang dapat bertahan melawan kemampuan Ishtar mempermainkan cuaca di Dunia-Makhluk-Iiidup. Antu tampaknya menjadi lawan yang luar biasa tangguh.

Tangan Ishtar terkepal erat. Apa pun yang terjadi, dia harus melindungi Thomas dari serangan Antu.

Ishtar menggigit bibir bawahnya. Dia harus menemukan caranya .

Antu bergerak penuh percaya diri. Hujan es yang berjatuhan di kota jakarta telah meleleh. Antu, Dewi Bumi, mengubah pergerakan planet bumi, sehingga perputaran pada porosnya diperlambat. Matahari menyala lebih garang pada garis khatulistiwa, mencairkan udara dingin yang dibawa mantra Ishtar.

Sekarang semuanya berjalan dengan sempurna. Thomas tidak akan menyadari bahaya yang sedang mengintainya.

Manusia itu pasti mengira sebentar lagi hidupnya akan kembali normal.

Antu tersenyum melecehkan. Jika saja Thomas tahu apa yang akan terjadi pada hidupnya sebentar lagi...

Tiba-tiba, angin dengan kekuatan mahadahsyat dan temperatur yang di bawah titik beku menghajar wajah Antu. Merobek-robek kulitnya yang tembus pandang. Membekukan paru-paru. Menghentikan napasnya. Antu megap-megap akibat serangan dingin itu. Matanya membelalak tidak percaya ketika perlahan-lahan selapis tipis es mulai menjalar di seluruh tubuhnya, seperti ular-ular kecil yang membelitnya.

"Apa-apaan!" teriaknya tidak percaya. "Bagaimana cara si Ishtar sialan itu mengubah cuaca menjadi seperti ini?"

Antu menutup mata, melipat kedua tangannya di depan dadanya. Seberkas cahaya merah berpendar, menghangatkan lapisan es yang menyelimutinya.

Tapi...

Mata Antu nyaris membelalak lagi.

Dalam keterkejutannya. dia kehilangan fokus. Es itu tidak mencair, melainkan makin tebal. Dingin itu melawan hangat yang Antu ciptakan. Mematikan udara panas yang dihasilkan dari energi Antu.

"Tidak mungkin...," desis Antu. Mulutnya mengembuskan asap putih dingin. Sekarang seluruh tubuhnya bagaikan kepompong es. Antu harus berhasil melarikan diri dari pertandingan yang tampaknya berat sebelah ini.

Tapi dia tidak mampu.

Matanya melirik geram ke seluruh tuhuhnya yang terlapis

"Bagaimana mungkin?" desis Antu sekali lagi. Mau tidak mau dia kagum pada kemampuan lshtar. Kagum yang penuh kemarahan. Murka. "Ishtar tidak mungkin mempunyai tenaga sebesar ini!"

Dengan kekuatan terakhirnya, Antu berteriak dalam keheningan, berusaha sekuat tenaga membebaskan dirinya.

**

Di dalam kamar, Thomas mendongak.

"Apa itu?" tanyanya. Pendengarannya dipertajam.

Suhu balas memandangnya.

"Ada yang sedang berteriak kesakitan... Penuh amarah... Penuh kebencian..."

**

Halo?"

Celia berjalan terpincang-pincang keluar dari ruangan. Dia mengenakan baju berwarna biru muda yang sangat cocok di tubuhnya. Setibanya di luar, langkah Celia terhenti. TErenyak. Di depannya tampak meja makan dengan cangkir dan teko yang terbuat dari keramik. Diangkatnya teko. Dia menuang teh hijau yang masih mengepul ke dalam cangkir.

Halo?" panggilnya sekali lagi ke ruangan yang kosong.

Pahanya masih terasa sedikit nyeri, tapi secara keseluruhan Celia merasa sangat sehat. Dia meneguk teh hijaunya. Air mengalir di tenggorokannya. menghangatkan tubuh. Kesegarannya semakin pulih. Celia menghela napas gembira.

Dia teringat mimpi-mimpinya selama dia jatuh ke dalam ketidaksadaran. Ishtar berjanji mengembalikan dirinya ke Dunia-Makhlnk-Hidup. Entah dari mana dia mendapatkan

keyakinan, Celia tahu, mimpi itu bukanlah sekadar mimpi. Ishtar benar-benar berjanji kepadanya.

Hari ini juga Celia berharap dapat bertemu Marduk untuk mengucapkan terima kasih atas apa yang telah dewa itu lakukan kepadanya.

Celia meneguk teh hijau sekali lagi. Dilemparkan pandangan matanya ke seluruh ruangan yang mengelilinginya. Dinding-dinding kristal dan langit-langit yang tampak seperti kaca saling memantulkan cahaya berwarna-warni sehingga tampak seperti pelangi.

Sangat cantik. Tapi semuanya dingin dan kosong. Lengang. Tanpa kehangatan cinta.

Beginikah hidup Dewi Cinta?

Ya. Celia mendesah panjang. Dia nyaris mati. Tapi perjuangannya berharga berkali-kali lipat. Jiwa Thomas telah kembali kepada tubuh aslinya.

Bukan hanya itu, mereka berdua juga bebas dari mantra jahat. Mereka akan segera bertemu, tak lama lagi.

Ya. Semua perjuangannya sangat berharga. Celia berani melakukan sekali lagi, jika diperlukan.

Semuanya terasa sangat aneh. Tahun-tahun berlalu begitu cepat. Ishtar... Antu... Ea... Marduk... Utukki... Wajah-wajah makhuk Dunia-Atas berlalu lalang di pikiran Celia. Membayangkan mereka semua. setitik cahaya muncul di mata gadis itu.

Semuanya berlalu seperti mimpi. Celia tenggelam dalam pikirannya. Teh hijau perlahan mendingin. Tiba-tiba Celia menyadari keanehan itu. Biasanya, apa pun yang berada di istana Ishtar selalu terasa dingin, tapi kali ini untuk pertama kalinya, Celia dapat merasakan secangkir teh panas.

Pasti Ishtar mempersiapkan sepoci teh hangat dengan sangat spesial. Kehangatan dan udara panas adalah hal yang sangat langka, mungkin juga mahal di dunia Ishtar. Pasti sangat sulit melakukan mantra panas.

Tatapan mata Celia meredup lembut. Ada saat-saat di mana dia dapat menyentuh hati Ishtar, lubuk hatinya yang terdalam. Ada juga saat-saat kekesalan Celia meluap-luap, ingin mencekik Ishtar seketika.

Celia menyeruput tehnya sekali lagi. Masih terasa hangat di bibir. Wajahnya perlahan-lahan berubah...

Dia membatu.

Cangkir masih berada di ujung bibir ketika Celia merasakan sesuatu yang aneh tumbuh, menegangkan otot-otot tubuhnya.

Dia bergerak seketika. Cangkir terlepas dari tangannya. Hancur berkeping-keping. Dia bangkit berdiri tegak. Lalu langsung berlari, secepat kakinya membawanya.

sialan desisnya panik. "Monster berada di manamana..."

Pahanya tertarik ke atas. Celia meringis kesakitan menahan nyeri. Bagaimana mungkin ada monster di dalam istana Ishtar? Apa yang dikatakan Marduk? Monster tidak dapat bepergian sembarangan ke tempat lain. Mereka terkunci di istananya sendiri. Lalu mengapa sekarang...

Celia tidak sempat menganalisis apa pun.

"Marduk... Marduk...," panggilnya berkali-kali. Putus asa. "Celia memanggil Marduk. Tolong. Tolong, jawab. Celia memanggil Marduk. Ganti!"

Celia terus berlari. Apa yang terjadi? Apakah Ishtar berpura-pura ketika berkata hendak membebaskan Celia dan Thomas? Apakah ini juga pekerjaan Ishtar? Jika benar... "Terkutuklah kau, Ishtar" umpatnya geram.

Celia tidak mau mati. Tidak mau mati setelah apa yang telah terjadi pada dirinya. Mata gadis itu menyala dalam kemurkaan tak terhingga. Ishtar pasti melakukan sesuatu. Dia hendak membunuhnya! Membunuh Celia di dalam istananya sendiri! Oh, betapa teganya dewi satu itu!

Celia berlari tanpa sempat bernapas. Apa kata Marduk? Zig-zag. Kecohlah mereka. Lari kanan. Kiri. Kiri. Kanan lagi. Diliriknya ke belakang. Di mana monster itu? Celia teperangah. Ada tiga monster sedang mengejarnya.

Sekarang empat. Oh, bukan. Lima...

Sial. Sial. Sial.

Kakinya seketika sakit dipaksa berlari secepat itu. Kesembuhannya belum total benar. Celia tersedak hawa dingin. Dia terbatukbatuk. Ada belokan di ujung jalan. Celia tidak berhenti berlari.

Gadis itu nyaris terpeleset ketika melihat pemandangan di depannya.

Di tengah-tengah ruangan, Ishtar sedang berdiri di depan Cermin Penglihatan. Dewi itu berlutut, tangannya masuk ke cermin. Kepalanya menunduk hingga menempel erat di dadanya. Seluruh tubuhnya dipenuhi cahaya putih kebirubiruan yang tembus pandang. Sangat terang, nyaris membutakan mata Celia. Energi kuat memancar, berputar-putar di sekitar cahaya itu.

Tiba-tiba tiga makhluk bersayap lebar memotong jalan

Celia. Sambil menghunuskan pedang, sayap mereka terbentang bercahaya.

"Ih" jerit Celia ketakutan.

Terdengar suara mengerikan di belakangnya. Sambil terus berlari, Celia sempat menoleh ke belakang. Pemandangan itu membuatnya nyaris terjungkal ke depan karena terlalu terkejut.

Tiga makhluk bersayap sedang bertarung dengan lima monster yang sedari tadi mengejar Celia. Terdengar teriakan dan jeritan mengerikan membahana. Cahaya Putih yang terpancar dari tubuh makhluk bersayap bercampur baur dengan aura kelam monster.

Mata Celia berpaling lagi. Tatapannya bertabrakan dengan pemandangan di cermin. Tampak kota Jakarta terbentang di sana. Celia melihat

"Thomas" panggilnya terkejut.

Terdengar raungan kemarahan sekali lagi.

"Celia" Ada panggilan dari belakang punggungnya. Celia berbalik. Salah satu makhluk bersayap sedang menoleh memandanginya. Wajahnya tampak luar biasa tampan. "hati hati"

Celia terpaku berdiri. Siapa makhluk itu? Mengapa dia mengetahui namanya?

Semua monster terjatuh di lantai. Perlahan-lahan tubuh mereka memudar, menjadi semakin hitam, kemudian lenyap di udara.

Celia mengalihkan perhatiannya kembali kepada Ishtar. Apa yang sedang Ishtar lakukan terhadap Thomas? Apakah dia akan menyakiti Thomas sekali lagi? Celia harus mencegahnya. Dia harus mendorong Ishtar jauh-jauh dari cermin sialan itu.

"STOP" teriak Celia meradang marah. (JANGAN SAKITI THOMAS!"

Dia berjalan terpincang-pincang mendekati Ishtar.

"Celia. Jangan dekati Baginda Ratu Ishtar."

Sakitnya nyaris tak tertahankan. Robekan luka itu terbuka lagi. Darah mulai mengalir perlahan di pahanya, darah merah menetes-netes di lantai kristal yang putih jernih. Celia terjatuh. Dengan susah payah tangannya bergerak. Gadis itu merangkak dengan kaki dan tangannya. Satu langkah, dua langkah. Lututnya mulai mati rasa.


Pedang Bunga Mei Karya Gu Long Pendekar Pulau Neraka 50 Bidadari Pendekar Cambuk Naga 10 Asmara Pasak

Cari Blog Ini