Ceritasilat Novel Online

Yang Hilang 1

Yang Hilang Gone Girl Karya Gillian Flynn Bagian 1



Gone Girl Yang Hilang

by Gillian Flynn

Ebook by pustaka-indo.blogspot.com

Copyright ? Gillian Flynn, 2012

This translation published by arrangement with Crown Publishers,

an imprint of the Crown Publishing Group, a division of Random House LLC.

All rights reserved

YANG HILANG

oleh Gillian Flynn

GM 402 01 14 0110

? Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Gedung Gramedia Blok I, Lt. 5

Jl. Palmerah Barat 29?33, Jakarta 10270

Alih bahasa: Ariyantri Eddy Tarman

Editor: Reita Ariyanti

Desain sampul oleh: Eduard Iwan Mangopang

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

anggota IKAPI, Jakarta, 2014

www.gramediapustakautama.com

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ISBN: 978 - 602 - 03 - 1072 - 5

616 hlm; 20 cm

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Isi di luar tanggung jawab Percetakan

Untuk Brett: cahaya hidupku, senior

Flynn: cahaya hidupku, junior

Cinta adalah ketidaktetapan tak berbatas; kebohongan, ke?

bencian, bahkan pembunuhan, semuanya terjalin di dalam?

nya; ini peristiwa mekarnya lawan dari cinta, yang tak bisa

dihindari, mawar megah yang samar-samar beraroma darah.

?Tony Kushner, THE ILLUSION

Bagian Pertama

Si Anak Lelaki Kehilangan

Si Anak Perempuan

Nick Dunne

Hari Terjadinya

Ketika memikirkan istriku, aku selalu memikirkan kepalanya.

Bentuk kepalanya, sebagai permulaan. Kali pertama melihatnya,

aku melihat bagian belakang kepalanya, dan ada yang indah dari

belakang kepalanya itu, sudut-sudutnya. Seperti biji jagung yang

berkilau dan keras, atau fosil di tepian sungai. Dia memiliki kepala

yang akan disebut berbentuk cantik oleh orang zaman Victoria. Kau

bisa dengan cukup mudah membayangkan seperti apa bentuk

tengkoraknya.

Aku akan mengenali kepala istriku di mana pun.

Dan apa yang ada di dalamnya. Aku juga memikirkan itu: pikiran?

nya. Otaknya, semua koil itu, dan pikirannya meluncur di dalam

koil-koil itu seperti kaki seribu yang bergerak cepat dan panik.

Seperti pikiran seorang anak kecil, aku membayangkan membuka

tengkorak kepala Amy, melepaskan otaknya dari kumparan-kum?

parannya, dan menyaring otaknya, berusaha menangkap dan me?

nahan pikiran-pikiran Amy. Apa yang kaupikirkan, Amy? Pertanyaan

yang paling sering kuajukan selama masa pernikahan kami, jika

tidak disuarakan dengan lantang, jika tidak kepada orang yang bisa

menjawabnya. Kurasa pertanyaan-pertanyaan ini menjadi awan

badai dalam setiap pernikahan: Apa yang kaupikirkan? Apa yang

kaurasakan? Siapa dirimu? Apa yang sudah kita lakukan kepada

satu sama lain? Apa yang akan kita lakukan?

Mataku tersentak terbuka tepat pada pukul enam pagi. Tidak ada

gelepar bulu mata seperti sayap burung, tidak ada kedipan-kedipan

lambat menuju kesadaran. Peristiwa bangunku itu mekanis. Ke?

lopak mata terbuka dengan bunyi klik seperti boneka ventriloquist

yang menakutkan: Dunia gelap, lalu, saatnya beraksi! 6-0-0 kata

jam?di wajahku, hal pertama yang kulihat. 6-0-0. Rasanya ber?

beda. Aku jarang terbangun pada waktu yang begitu genap. Aku

pria dengan kebangkitan yang ganjil: 8.43, 11.51, 9.26. Kehidupanku

tidak memiliki alarm.

Tepat pada saat itu, 6-0-0, matahari memanjat naik ke atas

cakrawala pohon ek, menampilkan diri musim panasnya yang pe?

nuh seperti dewa yang berang. Pantulan matahari berkilau di se?

panjang sungai ke arah rumah kami, jari panjang yang gemerlapan

tertunjuk kepadaku menembus tirai kamar kami yang rapuh.

Menuduh: Kau sudah terlihat. Kau akan terlihat.

Aku berkubang di tempat tidur, tempat tidur New York kami di

rumah baru kami, yang masih kami sebut rumah baru, walaupun

kami sudah pulang kemari selama dua tahun. Ini rumah sewaan

tepat di tepi Sungai Mississippi, jenis rumah yang menjeritkan

Orang Kaya Baru Pinggiran Kota, tempat yang kudambakan ketika

aku masih kanak-kanak dari sisi kotaku yang berisikan rumah

tingkat kecil dan karpet berbulu tebal. Jenis rumah yang dengan

segera terasa familier: rumah baru, baru, baru, yang besar tapi

tidak istimewa dan tidak menantang yang akan?dan memang?

dibenci istriku.

"Haruskah aku melepaskan jiwaku sebelum aku masuk?" Kalimat

pertamanya ketika kami baru tiba. Rumah itu kompromi: Amy

meminta kami menyewa, tidak membeli, di kampung halamanku

di Missouri, dalam harapan kukuhnya bahwa kami tidak akan ter?

jebak di sini terlalu lama. Tetapi satu-satunya rumah yang disewa?

kan berkumpul di pengembangan gagal ini: miniatur kota hantu

berisikan rumah-rumah besar milik bank, yang gagal karena resesi,

dengan harga anjlok, lingkungan perumahan yang tutup sebelum

sempat dibuka. Rumah ini kompromi, tapi Amy tidak melihatnya

seperti itu, sama sekali tidak. Bagi Amy, ini adalah kehendakku

yang menghukum, tikaman pisau yang mengerikan dan egois. Aku

menyeret Amy, seperti manusia gua, ke kota yang dia hindari mati
matian, dan membuatnya tinggal di rumah yang dulu dia ejek.

Kurasa bukan kompromi jika hanya salah satu pihak yang berpikir

seperti itu, tetapi kompromi kami cenderung kelihatan seperti itu.

Salah satu dari kami selalu marah. Amy, biasanya.

Jangan salahkan aku untuk keluhan yang satu ini, Amy. Keluhan

Missouri. Salahkan perekonomian, salahkan nasib buruk, salahkan

orangtuaku, salahkan orangtuamu, salahkan Internet, salahkan

orang-orang yang menggunakan Internet. Aku dulu bekerja sebagai

penulis. Aku penulis yang menulis soal TV dan film dan buku. Dulu

ketika orang-orang membaca peristiwa di koran, dulu ketika ada

orang yang peduli akan pikiranku. Aku tiba di New York pada akhir

90-an, tarikan napas terakhir masa-masa cemerlang, walaupun

tidak ada yang tahu pada saat itu. New York penuh dengan penulis,

penulis sungguhan, karena ada majalah, majalah sungguhan, begitu

banyak. Ini pada masa ketika Internet masih menjadi hewan

peliharaan eksotis yang disimpan di pojokan dunia penerbitan?

lemparkan sedikit makanan kepadanya, tonton dia menari di se?

panjang tali kekangnya, oh cukup imut, ini jelas tidak akan mem?

bunuh kita di malam hari. Coba pikirkan: masa ketika anak-anak

yang baru lulus kuliah bisa datang ke New York dan dibayar untuk

menulis. Kami sama sekali tidak paham bahwa kami sedang me?

mulai karier yang akan menghilang dalam kurun satu dekade.

Aku punya pekerjaan selama sebelas tahun, kemudian aku tidak

punya lagi, secepat itu. Di seantero negeri, majalah-majalah mulai

pelan-pelan tutup, menyerah pada infeksi tiba-tiba yang dibawa

masuk perekonomian yang gagal. Para penulis (penulis sepertiku:

penulis novel bercita-cita tinggi, para pemikir yang gemar mere?

nung, orang-orang dengan otak yang tidak bekerja cukup cepat

untuk menulis blog atau membuat link atau tweet, pada dasarnya

pembual tua yang keras kepala) sudah tamat. Kami seperti para

pembuat topi perempuan atau pembuat pecut kuda: Masa kami

sudah berakhir. Tiga minggu sesudah aku dipecat, Amy kehilangan

pekerjaannya, seperti itulah keadaannya. (Sekarang aku bisa me?

rasakan Amy menatap dari balik bahuku, tersenyum mengejek

waktu yang kuhabiskan untuk mendiskusikan karierku, kema?

langanku, dan mengabaikan pengalamannya dalam satu kalimat.

Itu, dia akan memberitahumu, adalah tipikal. Persis seperti Nick,

katanya. Kalimat itu adalah refrein milik Amy: Persis seperti Nick

kalau... dan apa pun yang mengikuti, apa pun yang persis sepertiku,

adalah buruk.) Dua orang dewasa penganggur, kami menghabiskan

berminggu-minggu berkeliaran di apartemen brownstone Brooklyn

kami dengan kaus kaki dan piama, mengabaikan masa depan, me?

nyerakkan surat-surat yang belum dibuka di sepanjang meja dan

sofa, makan es krim pada jam sepuluh pagi dan tidur siang yang

lelap.

Kemudian satu hari telepon berdering. Saudara perempuan

kembarku yang menelepon. Margo pindah kembali ke kota asal

kami sesudah peristiwa pemecatannya sendiri di New York setahun

lalu?saudaraku ini satu langkah di depanku dalam semua hal,

bahkan nasib malang. Margo, menelepon dari North Carthage tua

yang menyenangkan, di Missouri, dari rumah tempat kami tumbuh

dewasa, dan ketika mendengarkan suaranya, aku melihat dia ketika

berusia sepuluh, dengan rambut gelap seperti topi dan celana pen?

dek terusan, duduk di dermaga belakang milik kakek-nenekku,

tubuhnya membungkuk gontai seperti bantal usang, kaki kurusnya

menggantung di dalam air, memperhatikan sungai mengalir di atas

kaki putih seperti ikan, begitu intens, amat terkendali bahkan ke?

tika dia masih kanak-kanak.

Suara Go hangat dan renyah bahkan ketika dia memberikan

kabar menusuk ini: Ibu kami yang tangguh sekarat. Ayah kami

nyaris tiada?pikirannya (yang buruk), jantungnya (yang menye?

dihkan), keduanya kabur ketika dia berkelana ke dataran kelabu

yang luas. Tetapi kelihatannya ibu kami akan terlebih dahulu sam?

pai ke sana. Sekitar enam bulan, mungkin setahun, waktu yang dia

miliki. Aku tahu Go sendiri sudah menemui dokternya, membuat

catatan dengan rajin dalam tulisan tangannya yang ceroboh, dan

dia penuh tangis ketika mencoba mengira-ngira apa yang sudah

dia tulis. Tanggal dan dosis.

"Yah, keparat, aku sama sekali tidak tahu apa ini, apa ini angka

sembilan? Apakah itu masuk akal?" katanya dan aku menyela. Di

sini ada tugas, sebuah tujuan, disodorkan di dalam telapak tangan

saudaraku seperti buah plum. Aku nyaris menangis lega.

"Aku akan pulang, Go. Kami akan pindah ke rumah. Kau se?

harusnya tidak melakukan ini sendirian."

Dia tidak memercayaiku. Aku bisa mendengar suara napasnya

di ujung sambungan.

"Aku serius, Go. Kenapa tidak? Tidak ada apa pun di sini."

Desah panjang. "Bagaimana dengan Amy?"

Itu yang tidak kupikirkan cukup lama. Aku hanya menganggap

aku akan membundel istri New York-ku dengan ketertarikan New

York-nya, harga diri New York-nya, dan mencerabutnya dari orang?

tua New York-nya?meninggalkan Manhattan yang sibuk, si tanah

masa depan yang menggairahkan?dan mentransplantasikan Amy
Yang Hilang Gone Girl Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke dalam kota kecil di dekat sungai di Missouri, dan segalanya akan

baik-baik saja.

Aku masih belum paham betapa konyol, betapa optimis, betapa,

ya memang persis seperti Nick-nya diriku berpikir begitu. Keseng?

saraan yang kemudian akan muncul dari hal ini.

"Amy akan baik-baik saja. Amy...." Di sini seharusnya aku berkata,

"Amy menyayangi Mom." Tetapi aku tidak bisa memberitahu Go

bahwa Amy menyayangi ibu kami, karena setelah bertahun-tahun,

Amy masih tidak mengenal ibu kami. Pertemuan mereka yang se?

dikit membuat mereka kebingungan. Amy akan membedah per?

cakapan itu selama berhari-hari sesudahnya?"Dan apa yang dia

maksud dengan... "?seolah-olah ibuku adalah wanita suku tani

kuno yang baru datang dari tundra dengan daging yak mentah

dikepit di lengan dan beberapa kancing untuk ditukar, berusaha

mendapatkan sesuatu dari Amy yang tidak ditawarkan.

Amy tidak berusaha mengenal keluargaku, tidak ingin tahu tem?

pat kelahiranku, dan entah kenapa, aku berpikir pindah ke kota

asalku akan jadi ide bagus.

Napas pagi hariku menghangatkan bantal dan aku mengganti

subjek pikiranku. Hari ini bukan hari untuk ragu-ragu atau menye?

sal, hari ini adalah hari untuk bertindak. Di lantai bawah, aku bisa

mendengar kembalinya suara yang sudah lama hilang: Amy mem?

buat sarapan. Membanting lemari kayu (bam-debum!), menderakkan

wadah-wadah dari kaleng dan gelas (trang-tring!), memindahkan

dan mengatur sejumlah panci logam dan wajan besi (srak-srek!).

Orkestra kuliner disetel, bergemerincing dengan seru menuju ke

bagian akhir, loyang kue terguling di lantai, menabrak dinding de?

ngan suara seperti simbal dihantam. Sesuatu yang mengagumkan

sedang dibuat, mungkin crepe, karena crepe itu istimewa, dan hari

ini Amy akan ingin memasak sesuatu yang istimewa.

Hari ini ulang tahun pernikahan kelima kami.

Aku berjalan bertelanjang kaki ke ujung anak tangga dan berdiri

mendengarkan, menyelusupkan jari-jari kakiku ke dalam karpet

seluas ruangan yang pada prinsipnya dibenci Amy, ketika berusaha

memutuskan apakah aku siap bergabung dengan istriku atau tidak.

Amy ada di dapur, tidak menyadari keragu-raguanku. Dia menye?

nandungkan sesuatu yang melankolis dan familier. Aku berusaha

keras menebaknya?lagu folk? Lagu anak-anak??kemudian me?

nyadari itu lagu dari serial televisi M*A*S*H. Bunuh diri itu tak

terasa sakit. Aku pergi ke lantai bawah.

Aku menunggu di dekat ambang pintu, memperhatikan istriku.

Rambut kuning menteganya diikat, buntut kudanya bergoyanggoyang ceria seperti tali untuk main lompat tali, dan dia sedang

mengulum ujung jarinya yang terbakar, bersenandung di sekitarnya.

Dia bersenandung kepada diri sendiri karena dia perusak lirik yang

tak tertandingi. Ketika kami pertama kali berkencan, lagu Genesis

diputar di radio: "She seems to have an invisible touch, yeah." Dan

Amy malah bernyanyi, "She takes my hat and puts it on the top

shelf." Ketika aku bertanya kenapa dia berpikir liriknya mungkin,

sedikit, samar-samar benar, dia memberitahuku dia selalu berpikir

wanita di lagu itu benar-benar mencintai si pria karena wanita itu

menaruh topi pria itu di rak atas. Aku tahu aku menyukai Amy saat

itu, benar-benar menyukainya, gadis ini yang memiliki penjelasan

untuk semua hal.

Ada sesuatu yang mengganggu ketika mengingat kenangan ha?

ngat dan merasa sepenuhnya dingin.

Amy mengintip crepe yang mendesis di wajan dan menjilat se?

dikit adonan di pergelangan tangannya. Dia kelihatan berjaya,

seperti seorang istri. Jika aku memeluknya, dia akan beraroma

seperti buah beri dan gula tepung.

Ketika dia melirik ke arahku yang bersembunyi dan mengenakan

celana boxer kusut, rambutku mencuat seperti Heat Miser, Amy

menyandar ke konter dapur dan berkata, "Halo, Ganteng."

Rasa getir dan ngeri merambat naik ke tenggorokanku. Aku

berpikir kepada diri sendiri: Oke, ayo.

Aku sangat terlambat berangkat kerja. Saudara perempuanku dan

aku melakukan hal bodoh ketika kami kembali ke rumah. Kami

melakukan hal yang selalu kami katakan akan kami lakukan. Kami

membuka bar. Kami meminjam uang dari Amy untuk melakukannya,

delapan puluh ribu dolar, yang pada suatu ketika tidak berarti

untuk Amy, tetapi pada saat itu nyaris berarti segalanya. Aku ber?

sumpah aku akan mengembalikan uang itu, dengan bunga. Aku

tidak akan menjadi pria yang meminjam uang dari istrinya?aku

bisa merasakan ayahku merengutkan bibirnya memikirkan itu. Yah,

ada segala jenis pria, frasa ayahku yang paling terkutuk, bagian

keduanya dibiarkan tidak terucapkan, dan kau jenis yang salah.

Tetapi sebenarnya itu keputusan yang praktis, langkah bisnis

yang cerdas. Amy dan aku membutuhkan karier baru; ini akan

menjadi karier baruku. Amy akan memilih karier barunya suatu

hari nanti, atau tidak, tetapi sementara waktu ada pemasukan,

dimungkinkan oleh sisa dana perwalian Amy. Seperti rumah

McMansion yang kusewa, bar ini menampilkan kenangan simbolis

masa kanak-kanakku?tempat yang hanya didatangi orang dewasa

dan melakukan apa pun yang dilakukan orang dewasa. Mungkin

itu alasannya aku begitu berkeras membeli bar ini sesudah mata

pencaharianku direnggut dariku. Ini pengingat bahwa aku, ternyata,

adalah orang dewasa, pria dewasa, manusia yang berguna, walau?

pun aku kehilangan karier yang membuatku menjadi semua itu.

Aku tidak akan membuat kesalahan itu lagi: Kawanan penulis ma?

jalah yang sekali waktu berjumlah begitu banyak akan terus di?

apkir?oleh Internet, oleh resesi, oleh publik Amerika, orang-orang

yang memilih menonton TV, atau bermain video games, atau me?

ngirim kabar elektronik, seperti, hujan resek! Tapi tidak ada aplikasi

untuk demam bourbon pada hari yang hangat di bar yang sejuk

dan gelap. Dunia akan selalu menginginkan segelas minuman.

Bar kami adalah bar pojokan dengan estetika berantakan hasil

tambal sulam. Fitur terbaiknya adalah rak-rak minuman dari zaman

Victoria berukuran besar di belakang konter bar, kepala naga dan

wajah malaikat terpahat timbul di rak dari kayu ek itu?hasil

pahatan kayu yang mewah di zaman plastik buruk rupa sekarang

ini. Selebihnya sebenarnya buruk rupa, tampilan desain terlusuh

dari setiap dekade: lantai linoleum dari masa Eisenhower, ujungujungnya melenting ke atas seperti roti bakar gosong; dinding

berpanel kayu meragukan langsung dari video porno rumahan

tahun ?70-an; lampu lantai halogen, penghormatan untuk kamar

asramaku tahun 1990-an yang tidak disengaja. Efek yang paling

kentara, anehnya, tempat ini terasa seperti rumah?bar ini tidak

kelihatan seperti bar jika dibandingkan dengan rumah butut yang

ditinggalkan dengan murah hati oleh seseorang. Dan riang: Kami

berbagi tempat parkir dengan tempat boling setempat, dan ketika

pintu kami terayun terbuka, bunyi hantaman bola boling menyoraki

kedatangan pelanggan.

Kami menamai bar itu The Bar. "Orang-orang akan berpikir kita

ironis, bukannya bangkrut dengan cara yang kreatif," begitu alasan

saudara perempuanku.

Ya, kami berpikir kami berlaku seperti orang New York yang

cerdas?bahwa nama itu adalah lelucon yang tidak benar-benar

dipahami orang lain, tidak seperti kami memahaminya. Tidak

metapaham. Kami membayangkan masyarakat setempat menger?

nyitkan hidung: Kenapa kau menamainya The Bar? Tetapi pe?

langgan pertama kami, wanita berambut kelabu dengan kacamata

bifokal dan celana joging pink, berkata, "Aku suka namanya. Seperti

di Breakfast at Tiffany?s dan kucingnya Audrey Hepburn dinamai

Cat."

Kami merasa tidak terlalu superior sesudah itu, hal yang baik.

Aku masuk ke tempat parkir. Aku menunggu hingga suara han?

taman bola meledak dari tempat boling?terima kasih, terima kasih,

Teman-teman?kemudian melangkah keluar dari mobil. Aku me?

ngagumi sekelilingku, masih belum bosan dengan pemandangan

usang ini: bangunan kantor pos yang pendek dan lebar dari batu

bata terang di seberang jalan (sekarang tutup setiap Sabtu), ba?

ngunan kantor sederhana berwarna cokelat pucat di ujung jalan

(sekarang tutup, titik). Kota ini tidak sejahtera, sudah tidak lagi,

sama sekali tidak. Sial, kota ini bahkan tidak orisinal, karena ada

dua Carthage, Missouri?kota kami secara teknis adalah North

Carthage, yang membuatnya terdengar seperti kota kembar, walau?

pun berjarak ratusan kilometer dari kota satunya dan berukuran

lebih kecil: kota kecil kuno tahun 1950-an yang manis, yang kemu?

dian membengkakkan dirinya menjadi daerah pinggiran kota ber?

ukuran sedang dan sederhana, dan menganggap itu sebagai

kemajuan. Tetap saja, ini kota tempat ibuku dibesarkan dan di sini

dia membesarkanku dan Go, jadi kota ini punya sedikit sejarah.

Sejarahku, setidaknya.

Ketika berjalan ke arah bar melintasi tempat parkir beton ber?

alang-alang, aku menatap lurus ke ujung jalan dan melihat sungai.

Itu yang selalu kusukai soal kota kami: Kami tidak dibangun di

tebing tinggi yang aman jauh dari Mississippi?kami berada di

Mississippi. Aku bisa menyusuri jalan dan melangkah masuk lang?

sung ke sungai itu, terjungkal ke bawah nyaris satu meter, dan akan

segera hanyut menuju Tennessee. Setiap bangunan di pusat kota

menampilkan garis yang digambar tangan di tempat air sungai

menerjang pada Banjir tahun ?61, ?75, ?84, ?93, ?07, ?08, ?11. Dan

seterusnya.

Sungai ini tidak meluap sekarang, tetapi mengalir deras, dengan

arus yang kuat dan berpilin. Bergerak bersamaan dengan sungai

adalah sebarisan panjang pria, mata terarah ke kaki mereka, bahu

tegang, berjalan dengan teguh entah ke mana. Ketika aku memper?

hatikan mereka, seorang tiba-tiba menengadah memandangku,

wajahnya tertutup bayang-bayang, kegelapan berbentuk oval. Aku

berpaling.

Aku merasakan kebutuhan yang mendesak, intens, untuk masuk

ke bar. Pada saat aku sudah menempuh sekitar tujuh meter, leherku

mendidih dengan keringat. Matahari masih menjadi mata marah

di langit. Kau sudah terlihat.

Perutku terpilin dan aku berjalan lebih cepat. Aku butuh segelas

minuman.

Amy Elliott

8 Januari 2005

Catatan buku harian

Tra dan la! Aku tersenyum macam anak yatim piatu yang diadopsi

ketika menulis ini. Aku malu menyadari betapa bahagianya aku,

seperti komik Technicolor gadis remaja yang mengobrol di telepon

dengan rambut dikuncir kuda, gelembung di atas kepalaku berkata:

Aku ketemu seorang cowok!

Tetapi aku memang bertemu seorang cowok. Ini kebenaran

teknis dan empiris. Aku bertemu cowok, laki-laki yang hebat, tam?

pan, pria yang lucu dan keren. Akan kugambarkan adegannya,

karena ini layak mendapatkan latar untuk anak-cucu mendatang

(tidak, tolong, aku belum berjalan sejauh itu, anak-cucu! Heh). Te?

tapi tetap saja. Ini bukan Tahun Baru, tetapi masih terasa tahun

baru. Sekarang musim dingin: malam yang tiba dengan cepat,

dingin yang membekukan.

Carmen, teman semacam baru kenal?semacam teman, nyaris
Yang Hilang Gone Girl Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan teman, jenis teman yang tidak bisa kaubatalkan?sudah

membujukku pergi ke Brooklyn, ke salah satu pestanya dengan

para penulis. Nah, aku suka pesta para penulis, aku suka penulis,

aku anak dari orangtua penulis, aku seorang penulis. Aku masih

senang menuliskan kata itu?PENULIS?kapan pun ada formulir,

kuesioner, dokumen yang menanyakan pekerjaanku. Baiklah, aku

menulis kuis kepribadian, aku tidak menulis soal Isu Hebat Hari

Ini, tetapi kurasa adil untuk mengatakan aku penulis. Aku meng?

gunakan jurnal ini untuk menjadi lebih baik: untuk mengasah

keterampilanku, untuk mengumpulkan detail dan pengamatan.

Untuk menunjukkan dan bukan bercerita, dan semua omong ko?

song penulis lainnya. (Senyum anak yatim piatu, maksudku, itu

tidak buruk, ayolah.) Tetapi sungguh, kurasa kuisku sendiri me?

menuhi syarat setidaknya untuk mendapat status penulis istimewa.

Benar, kan?

Di sebuah pesta kau menyadari dirimu dikelilingi para penulis

berbakat sungguhan, dipekerjakan di koran dan majalah berprofil

tinggi dan terhormat. Kau hanya menulis kuis untuk koran wanita

gadungan. Ketika seseorang bertanya kepadamu apa pekerjaanmu,

kau:

a) Jadi malu dan berkata, "Aku cuma penulis kuis, bacaan konyol!"

b) Mengambil sikap menyerang: "Sekarang aku penulis, tetapi aku

mempertimbangkan sesuatu yang lebih menantang dan layak

dilakukan?kenapa, apa pekerjaanmu?"

c) Berbangga hati akan pencapaianmu: "Aku menulis kuis

kepribadian menggunakan pengetahuan dari gelar S2-ku di

psikologi?oh, dan fakta lucu: aku adalah inspirasi untuk serial

buku anak-anak yang disukai banyak orang, aku yakin kau tahu,

Amazing Amy? Yah, jadi makan itu, bangsat sombong!

Jawaban: C, jelas C

Melanjutkan cerita, pesta itu diadakan salah satu teman baik

Carmen yang menulis soal film untuk majalah film, dan tulisannya

sangat lucu, menurut Carmen. Selama sedetik aku cemas dia ingin

menjodohkan kami: aku tidak tertarik dijodohkan. Aku butuh

disergap, tertangkap ketika sedang tidak siap, seperti serigala jakal

cinta yang liar. Aku terlalu sadar diri kalau tidak begitu. Aku

merasakan diriku mencoba memesona, kemudian aku menyadari

aku pastinya mencoba memesona, kemudian aku akan mencoba

lebih memesona untuk menebus pesona palsu itu, kemudian aku

pada dasarnya akan berubah menjadi Liza Minnelli: Aku menari

memakai baju ketat dan berkilau, memohonmu untuk mencintaiku.

Ada topi bowler dan gerakan tari jazz hands dan pamer gigi.

Tetapi tidak, aku menyadari, ketika Carmen berceloteh soal

temannya: Dia menyukai pria itu. Bagus.

Kami menaiki tiga rangkaian anak tangga yang usang dan ber?

jalan masuk ke embusan panas tubuh dan kepenulisan: banyak

kacamata berbingkai hitam dan rambut tebal; kemeja bergaya koboi

dan sweter berkerah tinggi dengan warna lembut; mantel peacoat

wol hitam tergeletak di sepanjang sofa, tumpah ke lantai; poster

berbahasa Jerman untuk The Getaway (Ihre Chance war gleich Null!)

menutupi satu dinding bercat retak. Franz Ferdinand diputar di

stereo: Take Me Out.

Sekumpulan pria nongkrong dekat meja kartu tempat minuman

beralkohol ditaruh, menuangkan lebih banyak minuman ke gelas

mereka sesudah setiap beberapa sesapan, semua amat menyadari

hanya ada sedikit minuman tersisa. Aku mendesak masuk, meng?

arahkan gelas plastikku di tengah-tengah seperti pengamen, men?

dapatkan beberapa bongkah es batu dan sedikit vodka dari cowok

berwajah manis yang memakai kaus Space Invaders.

Botol minuman alkohol rasa apel hijau yang kelihatan memati?

kan, pembelian ironis si tuan rumah, akan segera menjadi takdir

kami kecuali seseorang mau keluar dan membeli minuman, dan

itu sepertinya tidak akan terjadi, karena semua orang jelas percaya

mereka yang terakhir kali keluar membeli minuman. Ini pesta bulan

Januari, semua orang masih berperut penuh dan mabuk gula dari

masa liburan, secara bersamaan merasa malas dan kesal. Pesta di

mana orang-orang minum terlalu banyak dan memulai perkelahian

dengan kata-kata cerdas, mengembuskan asap rokok keluar dari

jendela yang terbuka bahkan sesudah si tuan rumah meminta me?

reka merokok di luar. Kami sudah saling mengobrol di ribuan pesta

liburan, kami tidak punya hal lain untuk dikatakan, kami bersamaan

merasa bosan, tetapi kami tidak mau kembali ke dinginnya Januari;

tulang kami masih terasa ngilu dari anak tangga stasiun kereta

bawah tanah.

Aku sudah kehilangan Carmen yang sedang bersama tuan rumah

dambaannya?mereka berdua sedang berdiskusi dengan intens di

pojok dapur, keduanya membungkukkan bahu, wajah mereka ber?

hadapan, menciptakan bentuk hati. Bagus. Aku berpikir untuk

makan agar ada yang kulakukan selain berdiri di tengah-tengah

ruangan, tersenyum seperti murid baru di ruang makan siang. Te?

tapi nyaris semua makanan sudah habis. Ada beberapa potongan

keripik kentang tersisa di dasar mangkuk Tupperware raksasa.

Nampan dari supermarket berisi wortel lama dan batang seledri

keras dan celupan yang kelihatan seperti air mani duduk tak ter?

sentuh di meja kopi, rokok berserakan di sekitarnya seperti batang

sayuran tambahan. Aku sedang melakukan kebiasaanku, kebiasaan

impulsifku: Bagaimana jika aku melompat dari balkon gedung per?

tunjukan sekarang juga? Bagaimana jika aku mencium si gelan?

dangan laki-laki di seberangku di kereta bawah tanah? Bagaimana

jika aku duduk di lantai pesta ini sendirian dan memakan semua

yang ada di nampan itu, termasuk rokoknya?

"Tolong jangan makan apa pun di area itu," kata pria itu. Itu dia

(bum bum BUMMM!), tapi aku belum tahu itu dia (bum-bumbummm). Aku tahu itu pria yang akan mengobrol denganku, dia

angkuh dengan ironis, tetapi gaya itu cocok untuknya. Dia tipe co?

wok yang kelihatan seperti sudah meniduri banyak orang, cowok

yang suka cewek, cowok yang akan meniduriku dengan benar. Aku

ingin ditiduri dengan benar! Kehidupan berkencanku seperti

berotasi di sekitar tiga tipe pria: mahasiswa kampus Ivy League

yang rapi yang percaya mereka karakter dalam novel Fitzgerald;

pria-pria Wall Street yang licik dengan simbol uang di mata mereka,

telinga mereka, mulut mereka; dan cowok-cowok cerdas dan sen?

sitif yang begitu sadar diri sehingga semuanya terasa seperti

lelucon. Pria-pria Fitzgerald cenderung meniru film porno dan

tidak efektif di tempat tidur, banyak suara dan akrobat yang tidak

menghasilkan apa pun. Orang-orang keuangan itu menjadi berang

dan lembek. Cowok-cowok cerdas bercinta seperti mereka sedang

mengarang musik math rock: Tangan yang ini memetik di sekitar

sini, kemudian jari ini menyajikan ritme bas yang menyenangkan....

Aku kedengaran cukup murahan, enggak sih? Jeda sebentar seme?

ntara aku menghitung ada berapa banyak... sebelas. Tidak buruk.

Aku selalu berpikir dua belas itu solid, angka yang pantas untuk

jadi akhir.

"Serius," lanjut Nomor 12. (Ha!) "Mundurlah dari nampan itu.

James punya tiga macam makanan lain di kulkasnya. Aku bisa

membuatkanmu buah zaitun dengan moster. Tapi cuma satu

zaitun."

Tapi cuma satu zaitun. Itu kalimat yang hanya sedikit lucu, tetapi

sudah terasa ada lelucon pribadi di dalamnya, lelucon yang akan

menjadi lebih lucu dengan pengulangan nostalgia. Aku berpikir:

setahun dari sekarang, kami akan berjalan di sepanjang Jembatan

Brooklyn saat senja dan salah satu dari kami akan berbisik, "Tapi

cuma satu zaitun," dan kami akan mulai tertawa. (Kemudian aku

menghentikan diriku. Buruk. Kalau dia tahu aku sudah memikirkan

setahun dari sekarang, dia akan kabur dan aku wajib menyema?

ngatinya.)

Intinya, aku akui, aku tersenyum karena dia menawan. Menawan

hingga membuat perhatianmu teralihkan, tipe wajah yang membuat

matamu jungkir balik, wajah yang membuatmu ingin mengatakan

fakta yang sudah jelas?"Kau tahu kau menawan, kan?"?dan me?

lanjutkan percakapan. Aku bertaruh cowok-cowok membenci pria

ini: Dia kelihatan seperti anak lelaki jahat yang kaya di film remaja

?80-an?yang akan menindas anak canggung sensitif, anak yang

akan berakhir dengan hantaman pai ke muka, krim kocok meleleh

ke kerahnya yang terangkat ketika semua orang di kafeteria ber?

sorak-sorai.

Tapi, dia tidak bersikap seperti itu. Namanya Nick. Aku me?

nyukainya. Nama itu membuatnya terkesan baik, dan biasa, dan

memang dia begitu. Ketika dia memberitahuku namanya, aku ber?

kata, "Nah, itu baru nama sungguhan." Wajahnya menjadi cerah

dan dengan cepat meluncurkan beberapa kalimat: "Nick cowok

yang bisa kauajak minum bir bersama-sama, cowok yang tidak

keberatan kau muntah di mobilnya. Nick!"

Dia membuat serangkaian pelesetan yang buruk. Aku berhasil

memahami tiga perempat rujukan filmya. Dua pertiga, mungkin.

(Catatan untuk diri sendiri: Sewa The Sure Thing.) Dia mengisi

gelas minumanku tanpa aku harus meminta, entah bagaimana

mengeluarkan satu gelas terakhir minuman yang bagus. Dia sudah

mengklaim diriku, menempatkan bendera pada diriku: Aku yang

pertama di sini, dia milikku, milikku. Rasanya menyenangkan, se?

sudah serangkaian pria-pria gugup, sopan pascafeminis, untuk

menjadi daerah kekuasaan seseorang. Nick memiliki senyum yang

menyenangkan, senyum seperti kucing. Dia seharusnya batuk dan

mengeluarkan bulu-bulu kuning Burung Tweety, mengingat caranya

tersenyum kepadaku. Dia tidak menanyakan pekerjaanku, yang

tidak masalah, dan berbeda. (Aku penulis, aku sudah bilang itu?)

Dia bicara kepadaku dengan aksen gelombang sungai Missouri-nya;

dia dilahirkan dan dibesarkan di luar kota Hannibal, tempat Mark

Twain tumbuh dewasa, insipirasi untuk Tom Sawyer. Nick mem?

beritahuku dia bekerja di kapal uap ketika dia masih remaja, makan

malam dan musik jazz untuk para turis. Dan ketika aku tertawa

(gadis New York manja, manja, yang tidak pernah berkelana ke

negara bagian tengah besar yang canggung itu, Negara Bagian Di

Mana Banyak Orang Lain Tinggal), dia memberitahuku bahwa

Missoura adalah tempat yang magis, yang paling cantik di dunia,

tidak ada negara bagian yang lebih menakjubkan. Matanya jail,

bulu matanya lentik. Aku bisa membayangkan rupanya ketika dia

masih bocah.

Kami berbagi taksi, lampu jalan membuat bayang-bayang me?

musingkan dan mobil mengebut seakan-akan kami sedang dikejar

sesuatu. Saat itu pukul satu pagi ketika kami menemui salah satu

kemacetan New York yang tidak bisa dijelaskan dua belas blok dari

apartemenku, jadi kami keluar dari taksi ke dalam udara dingin,

ke dalam Apa Selanjutnya? yang hebat, dan Nick mulai menemaniku

berjalan pulang, tangannya menempel di bagian bawah punggung?

ku, wajah kami kebas karena udara dingin. Ketika kami berbelok,

toko roti setempat sedang menerima kiriman gula tepungnya, di?

salurkan ke ruang bawah tanah berbarel-barel seperti semen dan

kami tidak bisa melihat apa pun kecuali bayangan para pengantar

gula dalam awan putih, manis. Jalan melembung dan Nick me?

narikku mendekat dan menampilkan senyum itu lagi, dan dia

menggamit seberkas rambutku di antara dua jari dan menelusurinya
Yang Hilang Gone Girl Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hingga ke ujung rambutku, menariknya dua kali, seperti mem?

bunyikan bel. Bulu matanya dihiasi tepung gula, dan sebelum

membungkuk, dia menayapu gula dari bibirku sehingga dia bisa

merasaiku.

Nick Dunne

Hari Terjadinya

Aku mengayunkan pintu bar lebar-lebar, menyelinap masuk ke

kegelapan, dan menarik napas sungguhan pertamaku di hari itu,

menghirup bau rokok dan bir, aroma rempah-rempah dari bourbon

yang menetes, aroma popcorn lama. Hanya ada satu pelanggan di

bar, duduk sendirian di ujung yang amat sangat jauh: seorang

wanita yang agak tua bernama Sue datang setiap Kamis dengan

suaminya hingga dia meninggal tiga bulan yang lalu. Sekarang,

wanita itu datang sendirian setiap Kamis, tidak banyak mengobrol,

hanya duduk dengan bir dan teka-teki silang, melestarikan ritual.

Saudara perempuanku bekerja di balik bar, rambutnya ditarik

ke belakang dengan jepit cewek kutu buku, lengannya merona

merah muda ketika dia mencelupkan gelas bir keluar-masuk air

busa sabun panas. Go bertubuh langsing dan berwajah ganjil, dan

bukan berarti itu tidak menarik. Butuh sesaat agar fitur wajahnya

menjadi masuk akal: rahang yang lebar; hidung langsing yang

cantik; mata lebar gelap. Jika ini film sejarah, seorang pria akan

memiringkan topi fedora-nya ke belakang, bersiul melihat saudara?

ku, dan berkata, "Nah, itu baru cewek hebat!" Wajah seperti ratu

film komedi tahun ?30-an tidak akan selalu dipahami di masa putri

bertubuh mungil kita sekarang, tetapi aku tahu dari tahun-tahun

kami hidup bersama bahwa para pria menyukai saudara perem?

puanku, sangat, yang menempatkanku di alam saudara laki-laki

yang aneh ketika merasa bangga sekaligus cemas.

"Apakah orang-orang masih membuat daging olahan pimento?"

katanya untuk menyapaku, tidak menengadah, tahu saja itu aku,

dan aku merasakan kelegaan yang biasanya kurasakan ketika aku

melihat saudaraku. Keadaan sekarang mungkin tidak luar biasa,

tetapi akan jadi baik-baik saja.

Kembaranku, Go. Aku mengatakan frasa ini begitu sering, ini

sudah menjadi mantra yang menenangkan dan bukan lagi kata-kata

sungguhan: Kembarankugo. Kami dilahirkan di era ?70-an, ketika

anak kembar masih jarang, sedikit ajaib: sepupu kuda bertanduk

satu, saudara peri-peri. Kami bahkan punya sedikit telepati anak

kembar. Go sesungguhnya satu-satunya orang di dunia ini yang

membuatku benar-benar merasa nyaman. Aku tidak harus men?

jelaskan tindakanku kepadanya. Aku tidak membuat klarifikasi,

aku tidak ragu, aku tidak khawatir. Aku tidak memberitahunya

segala hal, tidak lagi, tetapi aku memberitahunya lebih banyak hal

dibandingkan orang lain, sejauh ini. Aku bercerita kepadanya se?

banyak yang aku bisa. Kami menghabiskan sembilan bulan saling

memunggungi, saling melindungi. Ini menjadi kebiasaan seumur

hidup. Tidak pernah menjadi masalah bagiku bahwa dia perempuan,

aneh untuk anak yang amat mawas diri. Aku bisa bilang apa? Dia

selalu keren.

"Daging olahan pimento itu seperti daging asap, kan? Kupikir

mereka masih membuatnya."

"Kita harus beli," katanya. Dia menaikkan sebelah alis ke arahku.

"Aku tertarik."

Tanpa bertanya, dia menuangkan bir PBR ke dalam gelas yang

kebersihannya patut dipertanyakan. Ketika dia menyadari aku se?

dang menatap pinggiran gelas yang bernoda, Go mengangkat gelas

ke mulutnya dan menjilat noda itu, meninggalkan jejak ludah. Dia

menaruh gelas itu tepat di depanku. "Lebih baik, pangeranku?"

Go sangat yakin aku mendapatkan yang terbaik dalam segalanya

dari orangtua kami, bahwa aku anak laki-laki yang mereka ren?

canakan, anak tunggal yang bisa mereka biayai, dan bahwa Go

menyelinap ke dunia ini dengan mencengkeram pergelangan kaki?

ku, orang asing yang tidak diinginkan. (Untuk ayahku, terutama

orang asing yang tidak diinginkan.) Go yakin dia ditinggalkan untuk

bertahan hidup sendirian selama masa kanak-kanak, makhluk ma?

lang dengan barang bekas dan surat izin yang terlupakan, anggaran

yang dikurangi, dan rasa menyesal. Pandangan ini bisa jadi benar;

aku nyaris tidak bisa mengakuinya.

"Ya, pelayan kecilku yang jorok," kataku dan melambai-lambaikan

tanganku seperti seorang bangsawan.

Aku membungkuk di atas birku. Aku butuh duduk dan minum

satu atau tiga bir. Sarafku masih berseru-seru sesudah pagi tadi.

"Kau kenapa?" tanya Go. "Kau kelihatan berkedut-kedut." Dia

menjentikkan air sabun ke arahku, lebih banyak air daripada sabun.

Penyejuk ruangan menyala, meniup-niup bagian atas kepala kami.

Kami menghabiskan lebih banyak waktu di The Bar daripada se?

harusnya. Tempat ini menjadi tempat nongkrong masa kanak-kanak

yang tidak pernah kami miliki. Kami membuka paksa kotak-kotak

penyimpanan di lantai bawah tanah ibu kami pada satu malam

mabuk tahun lalu, ketika dia masih hidup tetapi sudah mendekati

waktu kematiannya, ketika kami membutuhkan kenyamanan, dan

kami kembali ke mainan dan permainan dengan banyak seruan

ooh dan aah di antara sesapan bir kalengan. Natal di bulan Agustus.

Sesudah Mom meninggal, Go pindah ke rumah lama kami, dan kami

pelan-pelan merelokasi mainan-mainan kami, satu per satu, ke The

Bar: boneka Strawberry Shortcake, sekarang tidak lagi beraroma

seperti kuenya, muncul di bangku pada satu hari (hadiahku untuk

Go). Mainan mobil Hot Wheels El Camino mungil, satu roda hilang,

muncul di rak di pojok (hadiah Go untukku).

Kami berpikir untuk mulai mengadakan malam permainan

papan, walaupun kebanyakan pelanggan kami terlalu tua untuk

merasakan nostalgia Hungry Hungry Hippos kami, atau Game of

Life dengan mobil plastik mungil untuk diisi dengan pasangan

suami-istri pentol plastik dan bayi-bayi pentol plastik. Aku tidak

ingat bagaimana kau bisa menang. (Renungan Hasbro yang men?

dalam hari ini.)

Go mengisi ulang birku, mengisi ulang birnya. Kelopak mata

kirinya sedikit terkelepai. Saat itu tepat tengah hari, 12.00, dan aku

bertanya-tanya sudah berapa lama dia minum. Go sudah melalui

dekade yang sulit. Saudaraku yang spekulatif, dia punya otak ilmu?

wan roket dan semangat penunggang rodeo, keluar dari bangku

kuliah dan pindah ke Manhattan pada akhir 1990-an. Dia salah

satu fenomena perusahaan dot-com yang pertama?menghasilkan

begitu banyak uang selama dua tahun, kemudian terjerumus ke

kehancuran saham Internet tahun 2000. Go tetap teguh. Dia lebih

seperti berusia dua puluh daripada tiga puluh; dia baik-baik saja.

Untuk babak kedua, dia mendapatkan gelar dan bergabung dengan

dunia berjas abu-abu perbankan investasi. Dia bekerja di level te?

ngah, tidak berlebihan, tidak ada salahnya, tetapi dia kehilangan

pekerjaannya?dengan cepat?seiring krisis ekonomi 2008. Aku

bahkan tidak tahu dia meninggalkan New York hingga dia me?

neleponku dari rumah Mom: Aku menyerah. Aku memohon kepada?

nya, membujuknya untuk kembali, hanya mendengar keheningan

gusar di ujung telepon. Sesudah menutup telepon, aku berziarah

dengan rasa penasaran ke apartemen Go di Bowery dan melihat

Gary, pohon beringin tercintanya, mati menguning di tangga da?

rurat, dan aku tahu dia tidak akan pernah kembali.

The Bar sepertinya membuat Go lebih ceria. Dia mengurusi

pembukuan, dia menuangkan bir. Dia kadang-kadang mencuri uang

dari stoples tip, tapi dia bekerja lebih banyak daripada aku. Kami

tidak pernah membicarakan kehidupan lama kami. Kami Dunne,

dan kami sudah selesai, dan anehnya merasa puas akan itu.

"Jadi, apa?" kata Go, cara biasanya untuk memulai percakapan.

"Eh."

"Eh, apa? Eh, buruk? Kau kelihatan buruk."

Aku mengangkat bahu menandakan ya; dia menyelidiki wajahku.

"Amy?" tanyanya. Itu pertanyaan mudah. Aku kembali meng?

angkat bahu?konfirmasi kali ini, gerakan bahu terus mau bagai?

mana?

Go memberiku ekspresi gelinya, kedua sikunya di bar, kedua

tangannya menopang dagu, mencangkung untuk membedah per?

nikahanku dengan tajam. Go, panel ahli tunggal. "Kenapa dia?"

"Hari yang buruk. Cuma hari yang buruk."

"Jangan biarkan dia membuatmu cemas." Go menyalakan rokok.

Dia merokok hanya satu dalam sehari. "Perempuan itu sinting." Go

tidak mempertimbangkan dirinya sebagai bagian dari kategori

umum perempuan, kata yang dia pakai dengan nada mengejek.

Aku meniup asap rokok Go kembali ke pemiliknya. "Hari ini

ulang tahun pernikahan kami. Lima tahun."

"Wow." Saudaraku menengadah. Dia pengiring pengantinnya,

terbalut warna ungu?"Kenya menawan, berambut kelam, terbalut

ametis," begitu komentar ibu Amy?tetapi ulang tahun pernikahan

bukan sesuatu yang Go ingat. "Astaga. Bangsat. Dude. Rasanya cepat

sekali." Dia mengembuskan lebih banyak asap ke arahku, permainan

tangkap kanker yang berjalan lambat. "Dia akan melakukan salah

satu, eh, apa namanya, bukan perburuan pemulung?"

"Perburuan harta karun," kataku.

Istriku menyukai permainan, kebanyakan permainan akal, tetapi

juga permainan hiburan sungguhan, dan untuk ulang tahun per?

nikahan kami dia selalu membuat perburuan harta karun yang

rumit, dengan setiap petunjuk mengarah pada tempat persem?

bunyian petunjuk selanjutnya hingga aku sampai ke akhir dan ke

hadiahku. Itu yang selalu dilakukan ayahnya untuk ibunya pada

ulang tahun pernikahan mereka, dan jangan pikir aku tidak melihat

peran gendernya di sini, bahwa aku tidak menyadari tanda-tanda?

nya. Tetapi aku tidak tumbuh dewasa di rumah Amy, aku dibesarkan

di keluargaku, dan hadiah terakhir yang aku ingat diberikan ayahku

kepada ibuku adalah setrika, ditaruh di konter dapur, tanpa

dibungkus.

"Haruskah kita bertaruh seberapa berangnya dia padamu tahun

ini?" tanya Go, tersenyum dari pinggiran gelas birnya.

Masalah dengan perburuan harta karun Amy: Aku tidak pernah

bisa menebak petunjuknya. Ulang tahun pernikahan pertama kami,

ketika masih di New York, aku menebak dua dari tujuh petunjuk.

Itu tahun terbaikku. Kalimat pembukanya:

Tempat ini seperti ceruk di tembok,

Tapi di sana satu Selasa musim gugur lalu kecup kita

berserobok.

Pernah ikut kompetisi mengeja ketika masih kecil? Detik mem?

bekukan sesudah katanya disebutkan, ketika kau mengayak otakmu

untuk melihat apakah kau bisa mengejanya? Rasanya seperti itu,

panik yang hampa.

"Bar Irlandia di tempat yang tidak terasa seperti Irlandia," Amy

menggamit.

Aku menggigit sisi bibirku, mulai mengangkat bahu, memeriksa

ruang duduk kami seakan-akan jawabannya mungkin akan muncul.

Dia memberiku semenit tambahan yang lama.

"Kita tersesat dalam hujan," katanya dengan suara yang bergerak

menuju kegusaran.

Aku menyelesaikan gerakan naik bahuku.
Yang Hilang Gone Girl Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"McMann?s, Nick. Ingat kan, ketika kita tersesat dalam hujan di

Chinatown berusaha menemukan restoran dim sum, dan restoran

itu seharusnya berada di dekat patung Konfusius tetapi ternyata

ada dua patung Konfusius, dan kita berakhir di bar Irlandia tidak

jelas itu, basah kuyup, dan kita menenggak beberapa gelas wiski,

dan kau menyambarku dan menciumku, dan itu?"

"Ya! Kau seharusnya membuat petunjuk dengan Konfusius, aku

pasti akan bisa menebak itu."

"Bukan patungnya yang penting. Tempatnya yang penting.

Momennya. Aku pikir itu istimewa." Dia mengatakan kata-kata

terakhir ini dengan nada kekanak-kanakan yang suatu ketika terasa

menawan bagiku.

"Itu memang istimewa." Aku menariknya ke arahku dan men?

ciumnya. "Ciuman itu adalah reka ulang ulang tahun pernikahan

spesialku. Ayo kita lakukan lagi di McMann?s."

Di McMann?s, si bartender, pemuda berbadan besar seperti

beruang dan berjanggut, melihat kami masuk dan menyengir, me?

nuangkan wiski untuk kami berdua, dan menyorongkan petunjuk

berikutnya.

Ketika aku sedih dan mengharu biru

Hanya satu tempat untuk bersiru.

Yang satu itu ternyata patung Alice in Wonderland di Central

Park, yang menurut cerita Amy kepadaku?dia sudah memberi?

tahuku, dia tahu dia sudah memberitahuku berkali-kali?mencerah?

kan suasana hatinya ketika dia masih kanak-kanak. Aku tidak ingat

sedikit pun percakapan itu. Aku jujur sekarang, aku sama sekali

tidak ingat. Aku menderita sedikit ADD dan aku selalu merasa

istriku sedikit menyilaukan, dalam arti sesungguhnya: kehilangan

pandangan yang jelas, terutama karena melihat cahaya terang.

Sudah cukup untuk berada di dekatnya dan mendengarnya bicara,

apa yang dia katakan tidaklah selalu penting. Seharusnya penting,

tapi kenyataannya tidak.

Pada saat kami sampai ke pengujung hari, bertukar hadiah?ha?

diah berbahan kertas sesuai tradisi di tahun pertama pernikahan?

Amy tidak lagi bicara kepadaku.

"Aku mencintaimu, Amy. Kau tahu aku mencintaimu," kataku,

membuntutinya keluar masuk gerombolan keluarga turis yang

terpesona di tengah-tengah trotoar, tidak awas, dengan mulut ter?

nganga. Amy menyelinap melewati kerumunan Central Park, ber?

manuver di antara para pelari bermata laser dan orang-orang

dengan sepatu roda berkaki seperti gunting, para orangtua yang

berlutut dan balita-balita yang berjalan cepat seperti orang mabuk,

selalu berada sedikit di depanku, dengan mulut terkatup rapat,

bergegas entah ke mana. Aku berusaha menyusul Amy, menyambar

lengannya. Amy akhirnya berhenti, menunjukkan ekspresi kaku

ketika aku memberikan penjelasan, satu jari di benakku menekan

kejengkelanku: "Amy, aku tidak paham kenapa aku harus membukti?

kan cintaku kepadamu dengan mengingat persis sama semua hal

yang kauingat, persis sama dengan cara kau mengingatnya. Itu

tidak berarti aku tidak mencintai kehidupan kita bersama."

Seorang badut di dekat kami meniup balon berbentuk binatang,

seorang pria membawa sebatang mawar, seorang anak menjilat es

krim, dan tradisi sungguhan terlahir, satu tradisi yang tidak pernah

kulupakan: Amy selalu berusaha berlebihan, aku tidak pernah,

sama sekali layak mendapatkan perlakuan seperti itu. Selamat

ulang tahun pernikahan, berengsek.

"Aku menebak?lima tahun?dia akan sangat murka," lanjut Go.

"Jadi aku harap kau memberinya hadiah yang sangat bagus."

"Ada di daftar hal yang harus kukerjakan."

"Apa sih simbol untuk lima tahun? Kertas?"

"Kertas itu tahun pertama," kataku. Pada akhir perburuan harta

karun tak terduga Tahun Pertama, Amy menghadiahiku satu set

kertas surat mewah, dengan inisialku dicetak timbul di bagian atas,

kertasnya begitu lembut aku menyangka jari-jariku akan lembap

sesudah menyentuhnya. Sebagai balasan, aku menghadiahi istriku

layang-layang kertas merah murahan, dengan gambar taman,

orang-orang berpiknik, embusan angin musim panas yang hangat.

Kami sama-sama tidak menyukai hadiah kami; kami berdua lebih

suka dengan hadiah yang kami berikan. Itu kebalikan dari O. Henry.

"Perak?" tebak Go. "Perunggu? Tulang? Bantu aku menebak."

"Kayu," kataku. "Tidak ada hadiah romantis dari kayu."

Di ujung lain bar itu, Sue dengan rapi melipat korannya dan

meninggalkan koran itu di meja bar dengan gelas kosong dan uang

kertas lima dolar. Kami semua bertukar senyum tanpa kata-kata

ketika wanita itu berjalan keluar.

"Aku tahu," kata Go. "Pulang ke rumah, tiduri dia dengan dahsyat,

lalu tampar dia dengan penismu dan berteriaklah, ?Ini kerasnya

kayu untukmu, jalang!?"

Kami tertawa. Kemudian pipi kami merona di tempat yang sama.

Itu lelucon cabul, tidak cocok datang dari seorang saudara perem?

puan, yang dengan senang hati Go lemparkan padaku seperti me?

lempar granat. Itu juga alasannya kenapa, saat SMA, selalu ada

gosip kami diam-diam bercinta. Inses anak kembar. Kami terlalu

akrab: lelucon kami, bisikan-bisikan kami. Aku cukup yakin aku

tidak perlu mengatakan ini, tetapi kau bukan Go, kau mungkin

salah menanggapi, jadi aku akan mengatakannya: Saudaraku dan

aku tidak pernah bercinta atau bahkan memikirkannya. Kami hanya

saling menyukai dengan sangat.

Go sekarang membuat gerakan pantomim menampar istriku

dengan penis.

Tidak, Amy dan Go tidak akan pernah berteman. Mereka masingmasing terlalu teritorial. Go terbiasa menjadi gadis dominan dalam

hidupku, Amy terbiasa menjadi gadis dominan dalam kehidupan

semua orang. Untuk dua orang yang hidup di kota yang sama?di

kota yang sama dua kali: pertama New York, sekarang di sini?me?

reka nyaris tidak saling kenal. Mereka berganti-ganti keluar-masuk

kehidupanku seperti aktor panggung dengan pengaturan waktu

yang tepat, yang satu keluar lewat pintu ketika yang lain masuk,

dan pada kesempatan yang jarang terjadi ketika mereka berdua

mendiami ruangan yang sama, mereka sepertinya bingung meng?

hadapi situasi itu.

Sebelum Amy dan aku berhubungan serius, bertunangan, me?

nikah, aku akan mendapatkan kilasan pikiran-pikiran Go dalam

kalimat-kalimat terpisah. Lucu ya, aku tidak terlalu memahami Amy,

misalnya siapa dia sebenarnya. Dan: Hanya saja kau terkesan bukan

seperti dirimu ketika bersamanya. Dan: Ada perbedaan antara men?

cintai seseorang dan mencintai bayangan orang itu. Dan akhirnya:

Yang penting adalah dia membuatmu benar-benar bahagia.

Dulu ketika Amy membuatku benar-benar bahagia.

Amy memberikan pandangannya mengenai Go: Dia sangat...

Missouri, ya kan? Dan: Kau harus berada dalam suasana hati yang

tepat untuknya. Dan: Dia sedikit bergantung padamu, tetapi kurasa

dia tidak punya orang lain.

Aku berharap ketika kami semua berakhir kembali di Missouri,

dua orang ini akan menghentikan perbedaan ini?sepakat untuk

tidak sepakat, bebas untuk menjadi kau dan aku. Tidak ada yang

melakukannya. Tapi Go lebih lucu daripada Amy, jadi ini pertem?

puran yang tidak sesuai. Amy cerdas, melelahkan, sarkastis. Amy

bisa membuatku marah, bisa menjelaskan dengan baik dan tajam,

tetapi Go selalu membuatku tertawa. Bahaya jika kau menertawakan

pasanganmu.

"Go, kupikir kita sepakat kau tidak akan pernah menyebut
nyebut alat kelaminku lagi," kataku. "Bahwa dalam batasan hu?

bungan persaudaraan kita, aku tidak memiliki alat kelamin."

Telepon berdering. Go menyesap birnya sekali dan menjawab

telepon, memutar bola mata, dan tersenyum. "Dia tentu ada di sini,

sebentar ya!" Kepadaku, Go berkata tanpa suara: "Carl."

Carl Pelley tinggal di seberang jalan dari rumahku dan Amy.

Sudah pensiun selama tiga tahun. Bercerai dua tahun. Pindah ke

lingkungan rumah kami langsung sesudah itu. Carl dulu bekerja

sebagai pedagang keliling?persediaan pesta anak-anak?dan aku

merasa sesudah empat dekade tinggal di motel, dia tidak merasa

kerasan di rumahnya. Dia muncul di bar nyaris setiap hari dengan

kantong kertas Hardee?s yang berbau tajam, mengeluhkan soal

keuangannya hingga dia ditawari minuman pertama gratis dari

bar. (Ini satu hal lain yang aku pelajari soal Carl dari hari-harinya

di The Bar?bahwa dia pecandu alkohol serius yang masih bisa

berfungsi.) Carl berbesar hati menerima apa pun yang hendak kami

"singkirkan," dan dia benar-benar serius: Selama sebulan penuh

Carl hanya minum botol-botol Zima yang berdebu dari tahun 1992,

yang kami temukan di ruang bawah tanah. Ketika rasa pengar

membuatnya harus tinggal di rumah, dia akan menemukan alasan

untuk menelepon: Kotak suratmu kelihatan sangat penuh hari ini,

Nick, mungkin ada paket. Atau: Hari ini semestinya hujan, kau mung?

kin mau menutup jendelamu. Alasan-alasannya itu omong kosong.

Carl hanya butuh mendengar denting gelas-gelas, deguk bir yang

dituangkan.

Aku mengangkat telepon, menggoyang-goyangkan wadah es di

dekat corong bicara telepon agar Carl bisa membayangkan gin.

"Hei, Nicky," suara lemah Carl terdengar. "Maaf menganggumu.

Aku pikir kau harus tahu... pintumu terbuka lebar dan kucingmu

itu ada di luar. Seharusnya tidak begitu, kan?"

Aku menggumamkan sesuatu yang tidak berarti.

"Aku mau ke sana dan memeriksa, tetapi aku sedikit tidak enak

badan," kata Carl dengan suara sedih.

"Jangan cemas," kataku. "Lagi pula, sudah waktunya aku pulang."

Perjalanan dengan mobil menghabiskan waktu lima belas menit,

lurus menyusuri River Road. Menyetir ke lingkungan perumahan

kami kadang-kadang membuatku merinding, begitu banyak rumah

gelap yang terbuka?rumah-rumah yang tidak pernah mengenal

penghuni atau rumah-rumah yang bertemu dengan pemiliknya dan

melihat mereka ditendang keluar, rumah-rumah berdiri penuh

kemenangan kosong, tanpa manusia.

Ketika Amy dan aku pindah ke sana, tetangga-tetangga kami

yang segelintir mendatangi kami: satu ibu lajang paruh baya de?

ngan anak tiga, membawa hidangan kaserol; ayah muda beranak

kembar tiga dengan enam kaleng bir (istrinya ditinggal di rumah

dengan si kembar tiga); pasangan Kristen yang lebih tua yang ting?

gal beberapa rumah dari kami; dan tentu saja, Carl dari seberang

jalan. Kami duduk di dek belakang dan mengamati sungai, dan

mereka semua mengobrolkan ARM?hipotek bertarif dapat di?

sesuaikan?bunga nol persen, dan ketiadaan uang muka dengan

nada sedih, kemudian mereka semua berkomentar bahwa Amy

dan aku satu-satunya pemilik rumah dengan akses ke sungai, satusatunya yang tidak memiliki anak. "Hanya berdua? Di rumah se?

besar ini?" tanya si ibu lajang, membagikan telur orak-arik sesuatu.

"Hanya kami berdua," aku menegaskan dengan senyum dan

mengangguk berterima kasih ketika aku menyuapkan telur yang

bergoyang-goyang ke mulut.

"Sepertinya sepi."

Soal itu dia benar.

Empat bulan kemudian, si wanita rumah sebesar ini kalah dalam

pertarungan hipoteknya dan menghilang di malam hari dengan
Yang Hilang Gone Girl Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiga anaknya. Rumahnya tetap kosong. Di jendela ruang duduk

masih tertempel gambar kupu-kupu buatan seorang anak, tinta

Magic Marker yang pudar oleh sinar matahari menjadi warna

cokelat. Satu malam tidak berapa lama yang lalu, aku menyetir

melewati rumah itu dan melihat seorang pria, berjanggut, kumal,

menatap keluar dari belakang gambar itu, mengambang dalam

kegelapan seperti ikan akuarium yang sedih. Dia melihatku me?

mandangnya dan menyelinap kembali ke dalam rumah. Hari beri?

kutnya aku meninggalkan kantong kertas cokelat yang penuh berisi

roti lapis di anak tangga depan; kantong itu tak tersentuh di bawah

sinar matahari selama seminggu, membusuk basah, hingga aku

mengambilnya kembali dan membuangnya.

Senyap. Kompleks ini selalu senyap dengan cara yang meng?

ganggu. Ketika aku semakin dekat dengan rumah kami, menyadari

bunyi mesin mobil, aku bisa melihat si kucing jelas ada di anak

tangga. Masih ada di anak tangga, dua puluh menit sesudah telepon

dari Carl. Itu aneh. Amy menyayangi kucing itu, si kucing yang

cakarnya disingkirkan, si kucing yang tidak pernah dibiarkan pergi

keluar, tidak pernah, karena si kucing, Bleecker, memang manis

tapi amat tolol, dan sekalipun ada alat pelacak LoJack di suatu

tempat di lipatan gemuk berbulunya, Amy tahu dia tidak akan

pernah melihat kucing itu lagi kalau sampai hewan itu keluar. Ku?

cing itu akan berjalan terhuyung-huyung langsung masuk ke Sungai

Mississippi?deedle-de-dum?dan mengambang hingga ke Teluk

Meksiko masuk ke mulut hiu banteng yang lapar.

Tetapi ternyata si kucing bahkan tidak cukup cerdas untuk me?

lewati anak tangga. Bleecker bertengger di ujung beranda, penjaga

gemuk tapi penuh rasa bangga?Prajurit Cobaterus. Ketika aku

masuk ke jalan mobil, Carl keluar dan berdiri di anak tangganya

sendiri, dan aku bisa merasakan si kucing dan pria tua itu mem?

perhatikanku ketika aku keluar dari mobil dan berjalan ke rumah,

bunga peony merah di sepanjang pinggiran kelihatan gemuk dan

segar, meminta untuk dilahap.

Aku baru akan berdiri menghalangi untuk menangkap si kucing

ketika kulihat pintu depan terbuka. Carl sudah memberitahuku,

tetapi melihatnya terasa berbeda. Ini bukan pintu terbuka sebentar

saja untuk mengeluarkan sampah. Ini pintu terbuka lebar dan

terasa buruk.

Carl terus berdiri di seberang jalan, menunggu responsku, dan

seperti pertunjukan yang buruk, aku merasakan diriku berperan

sebagai Suami yang Khawatir. Aku berdiri di anak tangga tengah

dan mengernyit, kemudian menapaki anak tangga dengan cepat,

dua sekaligus, memanggil nama istriku.

Hening.

"Amy, kau di rumah?"

Aku lari ke lantai atas. Tidak ada Amy. Papan setrika dipasang,

setrika masih menyala, sebuah gaun menunggu untuk disetrika.

"Amy!"

Ketika aku lari kembali ke lantai bawah, aku bisa melihat Carl

masih terpaku di ambang pintu yang terbuka, tangan di pinggang,

memperhatikan. Aku berbelok ke ruang duduk dan berhenti tibatiba. Karpet berkilauan dengan pecahan kaca, meja kopi hancur

berantakan. Meja di ujung kursi terguling, buku-buku tersebar di

lantai seperti tipuan sulap. Bahkan bangku antik yang berat ter?

balik, empat kaki pendeknya terkatung-katung di udara seperti

binatang mati. Di tengah-tengah kekacauan itu ada gunting yang

amat tajam.

"Amy!"

Aku mulai berlari, menyerukan namanya. Melewati dapur, di

mana teko teh sedang dipanaskan, turun ke ruang bawah tanah,

di mana kamar tamu tampak kosong, kemudian keluar lewat pintu

belakang. Aku berlari dengan langkah berat di sepanjang halaman

kami ke arah dek perahu sempit yang mengarah ke sungai. Aku

mengintip ke sisi perahu untuk melihat apakah Amy ada di dalam

perahu dayung kami, tempat aku pernah menemukannya pada

suatu hari, tertambat ke dek, bergoyang-goyang di atas air, wa?

jahnya menghadap ke matahari, mata tertutup, dan ketika aku

memandang pantulan sungai yang menyilaukan, ke arah wajah

Amy yang cantik dan bergeming, dia tiba-tiba membuka mata biru?

nya dan tidak mengatakan apa pun kepadaku, dan aku tidak me?

ngatakan apa pun dan kembali ke rumah sendirian.

"Amy!"

Dia tidak ada di sungai, dia tidak ada di rumah. Amy tidak ada

di sana.

Amy hilang.

Amy ElliotT

18 September 2005

Catatan buku harian

Wah, wah, wah. Tebak siapa yang muncul lagi? Nick Dunne, cowok

pesta Brooklyn, pencium di awan gula, si tukang menghilang.

Delapan bulan, dua minggu, dua hari, tidak ada kabar, kemudian

dia muncul lagi, seolah-olah itu bagian dari rencananya. Ternyata,

dia kehilangan nomor teleponku. Baterai ponselnya mati, jadi dia

menuliskan nomorku di kertas stiker. Kemudian dia memasukkan

kertas itu ke saku jinsnya dan memasukkan jins itu ke mesin cuci,

dan mesin cuci mengubah kertas itu menjadi bubur kertas

berbentuk pusaran air. Dia berusaha menguraikannya, tetapi hanya

bisa melihat angka 3 dan 8. (Katanya.)

Kemudian pekerjaannya membuatnya kewalahan dan tiba-tiba

sudah bulan Maret dan sudah terlalu terlambat dan memalukan

untuk berusaha menemukanku. (Katanya.)

Tentu saja aku sebelumnya marah. Aku sudah marah beberapa

saat. Tetapi sekarang tidak. Biarkan aku paparkan latarnya. (Kata?

ku.) Hari ini. Angin September yang kencang. Aku berjalan me?

nyusuri Seventh Avenue, menjalani kontemplasi waktu makan siang

dari wadah-wadah bodega?toko-toko bahan makanan kecil di

ping?gir jalan?begitu banyak kontainer plastik berisikan blewah,

honeydew, dan melon bertengger di atas es seperti ikan tangkapan

hari ini?dan aku bisa merasakan seorang pria menempel ke sisiku

ketika aku terus berjalan, dan aku melirik dari ujung mata ke arah

si pengganggu dan menyadari siapa dia. Itu dia. Si cowok dalam

"Aku ketemu cowok!"

Aku tidak menghentikan langkahku, hanya berpaling kepadanya

dan berkata:

a) "Apa saya kenal Anda?" (manipulatif, menantang)

b) "Oh, wow, aku senang sekali bertemu denganmu!"

(bersemangat, terlalu pasrah)

c) "Pergi kau, bangsat." (agresif, getir)

d) "Wah, kau jelas menunggu lama, bukan begitu, Nick?" (ringan,

main-main, santai)

Jawaban: D

Dan sekarang kami bersama. Bersama, bersama. Semudah itu.

Pemilihan waktunya sebenarnya menarik. Menguntungkan, bisa

dibilang begitu. (Dan aku akan mengatakannya seperti itu.) Baru

semalam ada pesta buku orangtuaku. Amazing Amy and the Big

Day. Ya, Rand dan Marybeth tidak bisa menahan diri. Mereka mem?

beri karakter senama dengan putri mereka sesuatu yang tidak bisa

mereka berikan kepada anak perempuan mereka sendiri: seorang

suami! Ya, untuk buku kedua puluh, Amazing Amy akan menikah!

Horeeee. Tidak ada yang peduli. Tidak ada yang ingin Amazing

Amy tumbuh dewasa, apalagi aku. Biarkan dia dalam kaus kaki

sepanjang lutut dan pita rambutnya dan biarkan aku tumbuh de?

wasa, tidak terbebani alter ego sastraku, setengah diriku yang

terikat dalam kertas, diriku yang seharusnya aku wujudkan.

Tetapi Amy adalah penghasilan keluarga Elliott, dan dia melayani

kami dengan baik, jadi kurasa aku tidak bisa merasa iri akan pa?

sangan sempurnanya. Dia menikah dengan Able Andy?si Andy

yang cakap dan baik, tentu saja. Mereka akan menjadi persis seperti

orangtuaku: bahagia-bahagia.

Tetap saja, jumlah pesanan buku yang amat sedikit dari penerbit

terasa menganggu. Amazing Amy yang baru biasanya mendapatkan

cetakan pertama seratus ribu eksemplar, dulu pada 1980-an.

Sekarang sepuluh ribu. Pesta peluncurannya, sesuai dengan jumlah

pesanannya, tidak menakjubkan. Tidak terasa benar. Bagaimana

kau mengadakan pesta untuk satu karakter fiksi yang memulai

hidup sebagai bocah enam tahun yang dewasa terlalu cepat dan

sekarang menjadi calon pengantin berusia tiga puluh tahun yang

masih bicara seperti anak kecil? ("Aduh," pikir Amy, "tunangan

tersayangku memang seperti monster penggerutu ketika tidak

dituruti... " Itu kutipan sungguhan. Buku itu membuatku ingin

menonjok Amy tepat di vagina bodohnya yang tak bercacat.) Buku

itu benda nostalgia, ditujukan untuk dibeli wanita yang tumbuh

dewasa dengan Amazing Amy, tetapi aku tidak yakin akan ada yang

ingin membacanya. Aku membacanya, tentu saja. Aku memberikan

restuku kepada buku itu?berkali-kali. Rand dan Marybeth takut

aku mungkin merasa pernikahan Amy adalah semacam tusukan

pada kondisi lajangku yang sudah berlangsung lama. ("Aku sendiri

berpikir wanita tidak harus menikah sebelum 35 tahun," kata ibuku,

yang menikahi ayahku ketika dia 23 tahun.)

Orangtuaku selalu cemas aku menilai Amy terlalu personal?me?

reka selalu memberitahuku untuk tidak memaknai karakter itu

terlalu banyak. Tapi tetap saja aku selalu menyadari setiap kali aku

mengacaukan sesuatu, Amy melakukannya dengan benar: Ketika

aku akhirnya berhenti main biola pada umur 12 tahun, Amy di?

kisahkan sebagai anak berbakat di buku selanjutnya. ("Aduh, ber?

main biola itu kerja keras, tetapi kerja keras adalah satu-satunya

cara untuk menjadi lebih baik!") Ketika aku membatalkan ikut ke?

juaraan tenis junior pada umur 16 tahun untuk pergi ke pantai

selama akhir pekan dengan teman-teman, Amy kembali berkomit?

men dalam pertandingan itu. ("Aduh, aku tahu menyenangkan

untuk menghabiskan waktu dengan teman-teman, tetapi aku akan

mengecewakan diriku dan semua orang jika aku tidak datang ke

turnamen.") Ini dulu membuatku sinting, tetapi sesudah aku masuk

Harvard (dan Amy memilih almamater orangtuaku dengan benar),

aku memutuskan semua itu terlalu konyol untuk dipikirkan. Bahwa

orangtuaku, dua psikolog anak, memilih bentuk pasif-agresif yang

publik kepada anak mereka itu bukan hanya sinting, tetapi juga

bodoh dan aneh dan semacam lucu. Jadi, ya sudahlah.

Pesta buku itu terasa seperti penderita skizofrenia, sama seperti

bukunya?di Bluenight, tak jauh dari Union Square, salah satu bar

remang-remang dengan kursi antik berlengan dan bersandaran,

dan cermin-cermin art deco yang seharusnya membuatmu merasa

seperti Anak Muda yang Ceria. Martini dengan gin bergoyang-go?

yang di nampan dibawa pelayan dengan senyum kaku. Jurnalis

rakus dengan seringai mahatahu dan kaki kopong, mendapatkan

minuman gratis sebelum mereka pergi ke tempat lain yang lebih

baik.

Orangtuaku mengelilingi ruangan berpegangan tangan?kisah

cinta mereka selalu menjadi bagian dari cerita Amazing Amy:

suami-istri dalam kerja kreatif bersama selama seperempat abad.

Pasangan jiwa. Mereka benar-benar memanggil diri mereka begitu,

yang masuk akal, karena kurasa mereka memang begitu. Aku bisa
Yang Hilang Gone Girl Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjamin itu, sesudah mempelajari mereka, sebagai anak tunggal

kecil yang kesepian, selama bertahun-tahun. Mereka sama-sama

tidak memiliki sisi yang tajam, tidak ada konflik menusuk, mereka

melintasi hidup seperti ubur-ubur kembar siam?melebar dan

mengerut berdasarkan insting, saling mengisi ruang dengan cair.

Membuat urusan pasangan jiwa ini kelihatan mudah. Orang-orang

berkata anak-anak dari keluarga yang berantakan mengalami hidup

yang sulit, tetapi anak-anak dari pernikahan yang ajaib mendapat?

kan tantangan tersendiri.

Tentu saja, aku harus duduk di bangku berlapis beledu di pojok

ruangan, jauh dari kebisingan, jadi aku bisa memberikan beberapa

wawancara kepada sejumlah anak magang yang terjebak dengan

tugas "cari kutipan" dari redaktur mereka.

Bagaimana rasanya melihat Amy akhirnya menikah dengan Andy?

Karena kau belum menikah, kan?

Pertanyaan diajukan oleh:

a) Cowok pemalu bermata lebar, menyeimbangkan buku catatan di

atas tas selempang besarnya.

b) Cewek muda berpakaian berlebihan, berambut kemilau dengan

stiletto ayo-tiduri-aku

c) Cewek bersemangat, bertato, rockabilly yang sepertinya terlalu

tertarik pada Amy dibandingkan dengan dugaan seseorang

tentang seorang cewek rockabilly bertato.

d) Semua yang di atas

Jawaban: D

Aku: "Oh, aku senang sekali untuk Amy dan Andy, aku mendoakan

yang terbaik untuk mereka. Ha, ha."

Jawaban-jawabanku atas pertanyaan-pertanyaan yang lain, tanpa

urutan yang jelas:

"Beberapa bagian Amy memang terinspirasi olehku dan beberapa

hanya fiksi."

"Aku lajang dan bahagia sekarang, tidak ada Able Andy dalam

hidupku!"

Tidak, aku rasa Amy tidak menyederhanakan dinamika priawanita."

"Tidak, aku rasa Amy tidak usang; kurasa seri ini klasik."

"Ya, aku lajang. Tidak ada Able Andy dalam hidupku sekarang."

"Kenapa Amy luar biasa dan Andy hanya cakap? Yah, tidakkah

kau tahu begitu banyak wanita berkuasa dan luar biasa yang mau

berhubungan dengan pria-pria biasa, Joe Biasa Saja dan Andy yang

Cakap? Tidak, cuma bercanda, jangan tulis itu."

"Ya, aku lajang."

"Ya, orangtuaku jelas pasangan jiwa."

"Ya, aku ingin itu dalam hidupku suatu hari."

"Ya, lajang, bangsat."

Pertanyaan yang sama terus-menerus, dan aku berusaha ber?

pura-pura pertanyaan-pertanyaan itu merangsang orang berpikir.

Dan mereka berusaha berpura-pura mereka bisa merangsang orang

berpikir. Syukurlah ada bar yang terbuka bebas.

Kemudian tidak ada orang lain yang mau berbicara kepadaku?

secepat itu?dan si cewek PR berpura-pura itu hal baik: Sekarang

kau bisa kembali ke pestamu! Aku menggeliat kembali ke dalam

kerumunan (kecil), di mana orangtuaku sedang dalam mode tuan

rumah sepenuhnya, wajah mereka merona?Rand dengan senyum

lebar seperti ikan monster prasejarah yang menampilkan semua

giginya, Marybeth dengan anggukan kepala riangnya yang seperti

ayam, tangan mereka terjalin, saling membuat tertawa, saling me?

nikmati keberadaan masing-masing, bersemangat akan satu sama

lain?dan aku berpikir, aku begitu amat kesepian.

Aku pulang dan menangis sesaat. Aku hampir 32 tahun. Itu tidak

dianggap tua, terutama di New York, tetapi kenyataannya adalah

sudah bertahun-tahun aku tidak benar-benar menyukai seseorang.

Jadi bagaimana mungkin aku akan bertemu dengan seseorang yang

kucintai, apalagi seseorang yang cukup kucintai untuk dinikahi?

Aku lelah karena aku tidak tahu aku akan bersama dengan siapa

atau apakah aku akan bersama dengan seseorang.

Aku memiliki banyak teman yang sudah menikah?tidak banyak

yang menikah dan bahagia, tetapi banyak teman yang sudah me?

nikah. Beberapa yang bahagia seperti kedua orangtuaku: Mereka

terpana oleh kelajanganku. Gadis cerdas, cantik, baik seperti aku,

gadis dengan begitu banyak ketertarikan dan antusiasme, pekerjaan

yang keren, keluarga yang penyayang. Dan, ayo katakan: uang.

Mereka mengernyit dan berpura-pura memikirkan pria yang bisa

mereka jodohkan denganku, tetapi kita semua tahu tidak ada yang

tersisa, tidak ada pria bagus yang tersisa, dan aku tahu mereka

diam-diam berpikir ada yang salah denganku, sesuatu yang di?

sembunyikan yang membuatku tidak bisa dipuaskan, tidak me?

muaskan.

Pasangan-pasangan yang bukan pasangan jiwa?yang sudah

pasrah?bahkan lebih tidak acuh terhadap kelajanganku: Tidak

sesulit itu untuk menemukan seseorang untuk dinikahi, kata me?

reka. Tidak ada hubungan yang sempurna, mereka bilang?mereka,

yang bertahan dengan seks wajib dan ritual waktu tidur penuh

dengan gas, yang menetapkan TV sebagai percakapan, yang yakin

bahwa penyerahan diri si suami?ya, Sayang, oke, Sayang?itu

sama dengan kerukunan. Dia melakukan yang kausuruh lakukan

karena dia tidak cukup peduli untuk berdebat, kupikir. Tuntutan

remehmu hanya membuat dia merasa superior atau kesal, dan suatu

hari nanti dia akan meniduri rekan kerjanya yang cantik dan muda

yang tidak meminta apa pun dari dirinya, dan kau akan benar-benar

terkejut. Beri aku pria dengan sedikit pemberontakan dalam diri?

nya, pria yang akan menantang omong kosongku. (Tetapi yang

semacam suka dengan omong kosongku.) Tapi: Jangan taruh aku

dalam salah satu hubungan di mana kita akan selalu saling me?

matuk, menyamarkan hinaan sebagai lelucon, memutar bola mata

kita dan "dengan jenaka" bertengkar di depan teman-teman kita,

berharap membujuk mereka untuk membela kita dalam perteng?

karan yang tidak mereka pedulikan. Hubungan-hubungan kalau

saja yang mengerikan: Pernikahan ini akan luar biasa kalau saja...

dan kau merasa daftar kalau saja itu lebih panjang ketimbang yang

disadari keduanya.

Jadi aku tahu aku tidak cocok untuk pasrah, tapi itu tidak mem?

buatku merasa lebih baik ketika teman-temanku berpasang-pa?

sangan dan aku tinggal di rumah pada Jumat malam dengan sebotol

anggur dan membuat masakan mewah untuk diri sendiri dan ber?

kata kepada diriku, Ini sempurna, seolah-olah aku mengencani

diriku. Ketika aku pergi ke begitu banyak pesta dan malam-malam

di bar yang tidak berakhir, terbalut parfum dan hairspray dan pe?

nuh harap, merotasi diriku di sekeliling ruangan seperti hidangan

pencuci mulut yang meragukan. Aku pergi kencan dengan pria-pria

yang menyenangkan dan tampan dan cerdas?sempurna di atas

kertas, dan membuatku merasa aku ada di tanah asing, berusaha

menjelaskan diriku, berusaha membuat diriku dikenali. Karena

bukankah itu inti dari semua hubungan; untuk dikenali orang lain,

dipahami? Dia memahamiku. Bukankah itu frasa sederhana ajaib?

nya?

Jadi kau menderita melalui malam dengan pria sempurna di

atas kertas?lelucon tersendat yang salah dimengerti, komentar

cerdas dan lucu dilempar dan tidak tertangkap. Atau mungkin dia

mengerti bahwa kau sudah membuat komentar cerdas dan lucu

tetapi, karena tidak yakin harus melakukan apa dengan komentar

itu, dia menggenggamnya di tangan seperti dahak percakapan yang

akan dia seka nanti. Kau menghabiskan sejam berikutnya berusaha

saling menemukan, saling mengenali, dan kau minum sedikit terlalu

banyak dan mencoba sedikit terlalu keras. Dan kau pulang ke tem?

pat tidur dingin dan berpikir, Tadi itu lumayan. Dan hidupmu adalah

garis panjang berisi lumayan.

Kemudian kau amprok dengan Nick Dunne di Seventh Avenue

ketika kau membeli blewah potong, dan dor, kau diketahui, kau

dikenali, kalian berdua. Kalian berdua menemukan hal-hal yang

sama persis yang layak diingat. (Tapi cuma satu zaitun.) Kau me?

miliki ritme yang sama. Klik. Kau saling tahu. Tiba-tiba kau melihat

membaca di tempat tidur dan wafel pada hari Minggu dan tertawa

akan omong kosong dan mulutnya di mulutmu. Dan itu terasa jauh

melampaui lumayan sehingga kau tahu kau tidak akan pernah

kembali ke lumayan. Secepat itu. Kau berpikir: Oh, inilah sisa hidup?

ku. Akhirnya tiba.

Nick Dunne

Hari Terjadinya

Tadinya aku menunggu polisi di dapur, tetapi bau tajam ketel teh

yang gosong menggelegak di pangkal tenggorokanku menguatkan

keinginan untuk muntah, jadi aku berjalan keluar ke beranda de?

pan, duduk di anak tangga paling atas, dan memaksa diriku untuk

tenang. Aku terus menelepon ponsel Amy dan panggilanku terus

masuk ke kotak suara, kalimat janji cepat dan singkat bahwa dia

akan menelepon balik. Amy selalu menelepon balik dengan segera.

Sekarang sudah tiga jam dan aku sudah meninggalkan lima pesan,

dan Amy belum menelepon balik.

Aku tidak berharap dia akan melakukannya. Amy tidak akan

pernah meninggalkan rumah dengan ketel teh masih di kompor

menyala. Atau dengan pintu terbuka. Atau apa pun yang menunggu

untuk disetrika. Wanita ini menyelesaikan segala sesuatu, dan dia

bukan orang yang akan meninggalkan sebuah proyek (seperti,

suami yang harus direnovasi, misalnya), bahkan jika Amy memutus?

kan dia tidak menyukai proyek itu. Dia menjadi sosok mengerikan

di pantai Fiji selama dua minggu bulan madu kami, berusaha keras

membaca sejuta halaman mistis dari The Wind-Up Bird Chronicle,

melemparkan lirikan kesal kepadaku sementara aku terus-menerus

melahap novel thriller. Sejak kepindahan kami kembali ke Missouri,

hilangnya pekerjaan Amy, hidupnya berpusar (berpindah?) pada

penyelesaian proyek-proyek kecil yang tidak terlalu penting. Gaun

itu semestinya sudah selesai disetrika.

Dan ruang duduk, tanda-tandanya menunjukkan ada pergulatan.

Aku sudah tahu Amy tidak akan menelepon balik. Aku ingin bagian

selanjutnya dimulai.

Saat itu adalah waktu terbaik di siang hari, langit bulan Juli tanpa

awan, matahari yang perlahan terbenam menjadi cahaya terang,

mengubah semuanya menjadi tampak keemasan dan rimbun, lu?

kisan Flemish. Polisi datang. Rasanya santai, dengan aku duduk di

tangga, burung malam di pohon, dua polisi ini keluar dari mobil

mereka dengan gerakan santai, seakan-akan mereka datang ke

acara piknik tetangga. Polisi-polisi muda, pertengahan dua puluhan,

percaya diri dan tidak bersemangat, terbiasa menghibur orangtua

yang cemas dengan anak remaja yang melanggar jam malam. Wa?

nita Hispanik, rambut gelap panjangnya dikepang, dan pria berkulit

hitam dengan sikap seperti marinir. Carthage menjadi sedikit (amat

sedikit) tidak Kaukasoid ketika aku tidak tinggal di sana, tetapi

kota itu masih begitu tersegregasi sehingga orang berkulit tidak

putih yang aku lihat dalam rutinitas keseharianku cenderung pe?

kerja pengembara: pengirim barang, tenaga medis, tukang pos.

Polisi. ("Tempat ini hanya berisi orang kulit putih, rasanya meng?

ganggu," kata Amy, yang, ketika dulu tinggal di Manhattan, kota
Yang Hilang Gone Girl Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan begitu banyak etnis, punya satu teman Afrika-Amerika di

antara teman-temannya. Aku menuduh Amy menginginkan pa?

jangan etnis, kaum minoritas di latar belakang. Percakapan itu

tidak berjalan baik.)

"Mr. Dunne? Saya Opsir Vel?squez," kata si polisi wanita, "dan

ini Opsir Riordan. Kami dengar Anda mencemaskan istri Anda?"

Riordan melihat ke ujung jalan, sembari mengisap permen. Aku

bisa melihat matanya mengikuti burung yang melesat pergi di se?

berang sungai. Kemudian dia menyentakkan pandangannya kem?

bali kepadaku, bibirnya yang berkerut memberitahuku dia melihat

semua yang dilakukan orang lain. Aku punya wajah yang ingin

kautonjok: Aku anak keturunan Irlandia kelas pekerja yang terjebak

di tubuh pria kaya berengsek. Aku amat sering tersenyum untuk

menebus wajahku, tetapi ini hanya kadang-kadang berhasil. Ketika

kuliah, aku bahkan memakai kacamata selama sesaat, kacamata

palsu dengan lensa netral yang kupikir akan memberiku kesan

ramah dan tidak mengancam. "Kau tahu kan, itu membuatmu lebih

kelihatan menjengkelkan?" komentar Go. Aku membuang kacamata

itu dan tersenyum lebih giat.

Aku melambai kepada kedua polisi itu: "Masuklah ke rumah dan

lihat sendiri."

Kedua polisi itu menaiki tangga, disertai suara-suara berdecit

dan gesekan dari sabuk dan pistol mereka. Aku berdiri di ambang

ruang duduk dan menunjuk kehancuran di sana.

"Oh," kata Opsir Riordan dan menderakkan buku-buku jarinya

dengan cepat. Dia tidak lagi terlihat bosan.

Riordan dan Vel?squez condong ke depan di kursi mereka di meja

ruang makan ketika mereka menanyaiku pertanyaan-pertanyaan

pertama: siapa, di mana, berapa lama. Telinga mereka secara

harfiah menjadi tegak. Mereka membuat panggilan yang tidak bisa

kudengar dan Riordan mengabariku bahwa para detektif sedang

dikirim kemari. Aku merasakan kebanggaan muram karena di?

anggap serius.

Riordan menanyaiku untuk kali kedua apakah aku melihat orang

asing di lingkungan kami akhir-akhir ini, mengingatkanku untuk

kali ketiga soal gerombolan tunawisma pengelana di Carthage,

ketika telepon rumahku berdering. Aku melontarkan diriku ke se?

berang ruangan dan menyambar telepon.

Suara wanita yang kecut: "Mr. Dunne, ini Rumah Jompo Bantuan

Comfort Hill." Itu tempat Go dan aku menempatkan ayah kami yang

menderita Alzheimer.

"Saya tidak bisa bicara sekarang, saya akan menelepon Anda

nanti," hardikku, dan menutup telepon. Aku tidak menyukai para

wanita yang bekerja di Comfort Hill: tidak tersenyum, tidak meng?

hibur. Tidak dibayar cukup, tidak dibayar cukup atas kelelahan

mereka, yang mungkin menjadi alasan mereka tidak pernah ter?

senyum atau menghibur. Aku tahu kemarahanku kepada mereka

itu salah arah?aku berang karena ayahku bertahan sementara

ibuku masuk ke tanah.

Sekarang giliran Go untuk mengirimkan cek ke sana. Aku cukup

yakin bulan Juli sekarang giliran Go. Dan aku yakin dia juga yakin

sekarang giliranku. Ini sudah pernah terjadi. Go berkata kami

berdua pasti secara tidak sadar sama-sama lupa mengirimkan

cek-cek itu, bahwa yang sebenarnya ingin kami lupakan adalah

ayah kami.

Aku memberitahu Riordan soal pria asing yang kulihat di rumah

kosong tetangga kami ketika bel pintu berdering. Bel pintu ber?

dering. Kedengarannya normal, seperti aku sedang menunggu

kiriman pizza.

Dua detektif masuk dengan kelelahan akhir sif kerja. Si detektif

pria bertungkai panjang dan kurus, dengan wajah yang meruncing

tajam ke arah dagunya yang kecil. Si detektif wanita, mengejutkannya,

tampak buruk rupa?mencolok, melebihi jangkauan buruk rupa

sehari-hari: mata bulat kecil tampak tertanam begitu kuat seperti

kancing, hidung bengkok yang panjang, kulit penuh bentol-bentol

kecil, rambut panjang lurus lepek dengan warna se?perti gumpalan

debu. Aku memiliki simpati untuk wanita buruk rupa. Aku di?

besarkan oleh trio wanita yang tidak sedap dipandang mata?

nenekku, ibuku, saudara perempuan ibuku?dan mereka semua

cerdas, baik hati, lucu, dan tangguh, wanita-wanita yang amat baik.

Amy adalah gadis cantik pertama yang pernah kukencani, benarbenar kukencani.

Si wanita buruk rupa bicara terlebih dulu, gaung dari Miss Opsir

Vel?squez. "Mr. Dunne? Saya Detektif Rhonda Boney. Ini rekan saya,

Detektif Jim Giplin. Kami dengar ada kekhawatiran soal istri Anda."

Perutku berbunyi cukup keras untuk bisa didengar semua orang,

tetapi kami berpura-pura tidak mendengarnya.

"Kami akan memeriksa sekeliling, Sir?" kata Giplin. Dia memiliki

kantong di bawah matanya dan helai-helai putih berantakan di

kumisnya. Kemejanya tidak kusut, tetapi dia memakainya seolaholah kemeja itu kusut; dia kelihatan seperti berbau rokok dan kopi

basi, walaupun kenyataannya tidak. Dia berbau seperti sabun Dial.

Aku mengarahkan mereka beberapa langkah pendek ke ruang

duduk, sekali lagi menunjuk kehancuran di sana, di mana si dua

polisi yang lebih muda sedang berlutut dengan hati-hati, seakanakan menunggu untuk dipergoki melakukan sesuatu yang berguna.

Boney mengarahkanku ke kursi ruang makan, jauh dari ruang du?

duk, tapi masih bisa melihat tanda-tanda pergulatan.

Rhonda Boney menanyaiku berdasarkan hal-hal sama yang

sudah kukatakan kepada Vel?squez dan Riordan, mata burung

pipitnya yang penuh perhatian terpancang padaku. Gilpin bercang?

kung pada satu lutut, menilai ruang duduk.

"Sudahkah Anda menelepon teman atau keluarga, orang-orang

yang mungkin sedang bersama istri Anda?" tanya Rhonda Boney.

"Saya.... Tidak. Belum. Saya rasa saya menunggu Anda semua."

"Ah." Dia tersenyum. "Coba saya tebak: bayi di keluarga."

"Apa?"

"Anda yang lebih muda."

"Saya punya saudara kembar perempuan." Aku merasakan ada?

nya penilaian internal. "Kenapa?" Vas favorit Amy tergeletak di

lantai, utuh, menempel ke tembok. Vas itu hadiah pernikahan, karya

besar dari Jepang yang disingkirkan Amy setiap minggu ketika

tukang bersih-bersih kami datang karena Amy yakin vas itu akan

pecah.

"Tebakan saya saja, kenapa Anda menunggu kami: Anda terbiasa

dengan orang lain yang memimpin," kata Boney. "Itu yang dilakukan

adik laki-laki saya. Soal urutan kelahiran." Dia menuliskan sesuatu

di buku catatan.

"Oke." Aku mengangkat bahu dengan kesal. "Anda butuh zodiak

saya juga atau bisakah kita mulai?"

Boney tersenyum ramah kepadaku, menunggu.

"Saya menunggu sebelum melakukan sesuatu karena, maksud

saya, Amy jelas tidak bersama seorang teman," kataku, menunjuk

ke arah kekacauan di ruang duduk.

"Anda tinggal di sini, berapa lama, Mr. Dunne, dua tahun?" tanya

Boney.

"Dua tahun September ini."

"Pindah dari mana?"

"New York?"

"City?"

"Ya."

Boney menunjuk ke lantai atas, meminta izin tanpa berkata-kata,

dan aku mengangguk dan mengikutinya, Gilpin mengikutiku.

"Saya penulis di sana," semburku sebelum aku bisa menghentikan

diri. Bahkan sekarang, dua tahun sudah kembali ke sini, dan aku

ti?dak bisa tahan ada orang yang berpikir ini satu-satunya ke?

hidupanku.

Boney: "Kedengarannya hebat."

Gilpin: "Menulis apa?"

Aku mengatur waktu jawabanku seiring dengan proses naik

tangga: Aku menulis untuk majalah (langkah), aku menulis soal

kebudayaan pop (langkah) untuk majalah pria (langkah). Di bagian

teratas tangga, aku berpaling dan melihat Gilpin menatap ke arah

ruang duduk. Dia menyentakkan pandangannya.

"Kebudayaan pop?" serunya sembari mulai menaiki tangga.

"Tepatnya itu membahas apa?"

"Kebudayaan populer," kataku. Kami mencapai puncak tangga,

Boney sedang menunggu kami. "Film, TV, musik, tetapi, eh, Anda

tahu, bukan seni tinggi, bukan hal muluk." Aku mengernyit: muluk?

Betapa sok menggurui. Kalian orang dusun mungkin butuh aku

menerjemahkan bahasa Inggris-ku, Koma, Pantai Timur Terdidik

ke dalam bahasa Inggris, Koma, Orang-orang Midwest. Aku tulistulis sedikit yang ada di kepala habis nonton pelem-pelem itu!

"Dia suka film," kata Gilpin, memberi tanda ke arah Boney. Boney

mengangguk: Memang.

"Sekarang saya pemilik The Bar, di pusat kota," tambahku. Aku

mengajar di kampus tingkat D3, tetapi menambahkan itu tiba-tiba

terasa terlalu memaksa. Aku bukan sedang berkencan.

Boney mengintip ke kamar mandi, menghentikan aku dan Gilpin

di selasar. "The Bar?" kata Boney. "Saya tahu tempat itu. Sudah

berniat mampir. Suka namanya. Sangat meta."

"Kedengarannya seperti keputusan yang cerdas," kata Gilpin.

Boney berjalan ke kamar tidur dan kami mengikuti. "Hidup yang

dikelilingi bir tidak terlalu buruk."

"Kadang-kadang jawabannya memang ada di dasar botol," kata?

ku, kemudian mengernyit lagi karena ketidakpantasan ucapanku.

Kami masuk ke kamar tidur.

Gilpin tertawa. "Saya tahu benar perasaan itu."

"Lihat kan setrikanya masih menyala?" aku memulai.

Boney mengangguk, membuka pintu ke ruang lemari kami, dan

berjalan ke dalamnya, menjentikkan sakelar lampu, menggerakgerakkan tangan berkaus tangan lateksnya di atas kemeja dan gaun

sembari berjalan terus ke belakang ruang itu. Dia tiba-tiba berseru,

membungkuk, berbalik?memegang kotak kubus sempurna yang

terbungkus dengan rumit dalam kertas perak.

Perutku mencelus.

"Ulang tahun seseorang?" tanyanya.

"Hari ini ulang tahun pernikahan kami."

Boney dan Gilpin berkedut seperti laba-laba dan berpura-pura

tidak melakukannya.

Pada saat kami kembali ke ruang duduk, polisi-polisi muda itu

sudah tidak ada. Gilpin berlutut, menyelidiki bangku ottoman yang

terbalik.

"Mm, aku sekarang sedikit panik, tentu saja," aku memulai.

"Aku tidak menyalahkanmu sama sekali, Nick," kata Gilpin de?

ngan tulus. Dia memiliki mata biru yang gelisah, kedutan yang

membuat gugup.

"Bisakah kita melakukan sesuatu? Untuk menemukan istriku.

Maksudku, karena dia jelas tidak ada di sini."

Boney menunjuk foto pernikahan di dinding: aku dalam tuksedo,

deretan gigi beku di wajahku, kedua lenganku secara resmi me?

rangkul pinggang Amy; Amy, rambut pirangnya tergelung dan ditata

dengan hairspray, tudungnya tertiup angin pantai Cape Cod, mata?

nya membuka terlalu lebar karena dia selalu mengedip di saat

terakhir dan dia berusaha keras untuk tidak mengedip. Itu hari

sesudah Hari Kemerdekaan, aroma sulfur kembang api bercampur
Yang Hilang Gone Girl Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan pasir samudra?musim panas.

Cape Cod berbaik hati kepada kami. Aku ingat, sesudah beberapa

bulan aku sadar bahwa Amy, pacarku, juga cukup kaya, anak tunggal

yang disayang dari orangtua genius dan kreatif. Semacam ikon,

berkat seri buku bernama sama yang kupikir bisa kuingat ketika

aku masih kanak-kanak. Amazing Amy. Amy menjelaskan ini ke?

padaku dengan nada tenang, terukur, seakan-akan aku pasien yang

baru bangun dari koma. Seakan-akan Amy sudah harus melakukan

itu begitu sering dan berakhir buruk?pengakuan kekayaan yang

disambut dengan terlalu banyak antusiasme, pengungkapan iden?

titas rahasia yang tidak dia ciptakan sendiri.

Amy memberitahuku siapa dan apa dia, kemudian kami pergi

ke rumah keluarga Elliott yang terdaftar sebagai bangunan ber?

sejarah di Nantucket Sound, pergi berlayar bersama, dan kupikir:

Aku bocah dari Missouri, terbang melintasi samudra dengan orangorang yang sudah melihat lebih banyak hal ketimbang diriku. Jika

aku mulai melihat banyak hal sekarang, hidup mewah, aku masih

tidak akan bisa menyusul mereka. Itu tidak membuatku merasa iri.

Itu membuatku merasa cukup. Aku tidak pernah menginginkan

kekayaan atau ketenaran. Aku tidak dibesarkan oleh orangtua

pemimpi besar yang membayangkan anak mereka sebagai calon

presiden. Aku dibesarkan oleh orangtua pragmatis yang mem?

bayangkan anak mereka sebagai calon semacam pekerja kantoran,

mencari nafkah semacam itu. Bagiku, sudah cukup memabukkan

untuk berada dekat dengan keluarga Elliott, meluncur melintasi

Samudra Atlantik dan kembali ke rumah mewah hasil renovasi

yang dibangun pada 1822 oleh seorang kapten kapal pemburu

paus, dan di sana untuk menyiapkan dan makan hidangan organik

dan sehat dengan nama yang tak bisa kulafalkan. Quinoa. Aku ingat

aku mengira quinoa adalah sejenis ikan.

Jadi kami menikah di pantai pada hari musim panas berlangit

biru gelap, makan dan minum di bawah tenda yang menggembung

seperti layar, dan dua jam sesudahnya, aku menyelundupkan Amy

ke kegelapan, ke arah ombak-ombak, karena aku merasa begitu

tidak nyata, aku yakin aku hanyalah secercah kilau. Kabut yang

dingin pada kulitku menarikku kembali, Amy menarikku kembali,

ke arah pendar keemasan tenda kami, di mana para dewa sedang

berpesta, segalanya ambrosia. Hubungan asmara kami persis se?

perti itu.

Boney mencondongkan tubuh untuk mengamati Amy. "Istrimu

sangat cantik."

"Memang, dia cantik," kataku dan merasa perutku bergoyang.

"Ulang tahun pernikahan yang keberapa hari ini?" tanyanya.

"Lima."

Aku menggerak-gerakkan kakiku dengan gelisah, ingin melaku?

kan sesuatu. Aku tidak mau mereka membahas betapa cantiknya

istriku, aku ingin mereka keluar dan mencari istriku, berengsek.

Aku tidak mengatakan ini keras-keras; aku sering tidak mengatakan

banyak hal keras-keras, sekalipun seharusnya aku melakukannya.

Aku menahan diri dan mengotak-ngotakkan emosiku hingga pada

tingkat yang menggangu: Dalam gudang bawah tanah perutku ada

ratusan botol kemarahan, keputusasaan, ketakutan, tetapi kau tidak

akan pernah menebak itu dari melihat diriku.

"Lima tahun, perayaan besar. Coba kutebak, reservasi di

Houston?s?" tanya Gilpin. Hanya itu restoran mewah di kota. Kalian

harus mencoba makan di Houston?s, kata ibuku ketika kami pindah

kemari, berpikir bahwa itu rahasia kecil unik milik Carthage, ber?

harap itu mungkin akan menyenangkan hati istriku.

"Tentu saja, Houston?s."

Itu kebohongan kelimaku kepada para polisi. Aku baru saja

mulai.

Amy Elliott Dunne

5 Juli 2008

Catatan buku harian

Aku gemuk oleh cinta! Berdegap-degap oleh semangat! Menjadi

tambun oleh pengabdian! Antusiasme pernikahan seperti lebah

yang senang dan sibuk. Aku berdengung riang di sekitarnya, rewel

dan menyiapkan makanan. Aku menjadi makhluk yang aneh. Aku

menjadi seorang istri. Aku menyadari diriku mengarahkan kapal

percakapan?begitu sering, tidak alamiah?hanya agar aku bisa

menyebutkan namanya keras-keras. Aku menjadi seorang istri, aku

menjadi orang yang menjemukan, aku diminta untuk mengembalikan

kartu Feminis Muda Mandiri-ku. Aku mengurusi pembukuan Nick,

aku memangkas rambutnya. Aku menjadi begitu kuno, pada satu

titik aku mungkin akan menggunakan kata kopek, menyeret badan

keluar dari pintu dalam mantel tweed-ku yang berayun, bibirku

dipulas merah, hendak pergi ke salon kecantikan. Tidak ada yang

mengangguku. Segala hal sepertinya akan jadi baik-baik saja, setiap

gangguan berubah menjadi cerita menggelikan yang dikisahkan

pada waktu makan malam. Jadi aku membunuh pengemis hari ini,

Sayang... hahahaha! Ah, kita bersenang-senang!

Nick itu seperti minuman alkohol yang kuat: Dia memberikan

perspektif yang tepat untuk semua hal. Bukan perspektif yang

berbeda, perspektif yang tepat. Dengan Nick, aku menyadari se?

benarnya tidak masalah jika tagihan listrik terlambat beberapa

hari, jika kuis terbaruku sedikit payah. (Kuis terakhirku, aku tidak

bercanda: "Kau akan jadi pohon apa?" Aku, aku pohon apel! Ini

tidak ada artinya!) Tidak masalah kalau buku Amazing Amy yang

baru terbakar hangus sepenuhnya, ulasan buku itu kejam, pen?

jualannya turun dengan mengejutkan sesudah awal yang terpin?

cang-pincang. Tidak penting warna apa yang kupakai untuk menge?

cat kamar kami, atau seberapa lama kemacetan membuatku ter?

lambat, atau apakah sampah daur ulang kami benar-benar didaur

ulang. (Jujur sajalah padaku, New York, ya atau tidak?) Tidak pen?

ting, karena aku sudah menemukan jodohku. Yaitu Nick, santai dan

tenang, cerdas dan menyenangkan dan tidak rumit. Tidak tersiksa,

bahagia. Ramah. Penis besar.

Semua hal yang tidak kusukai tentang diriku didorong ke bela?

kang benakku. Mungkin itu yang paling kusukai darinya, cara dia

membuatku. Bukan cara membuatku merasa, hanya membuatku.

Aku menyenangkan. Aku senang bermain. Aku bersemangat. Aku

pada dasarnya merasa bahagia dan benar-benar puas. Aku seorang

istri! Aneh rasanya mengatakan kata-kata itu. (Serius, soal daur

ulang itu, New York?ayolah, satu kedipan saja.)

Kami melakukan hal-hal konyol, seperti akhir pekan lalu kami

menyetir ke Delaware karena kami belum pernah bercinta di

Delaware. Akan kugambarkan adegannya, karena sekarang ini

benar-benar untuk anak cucu. Kami melintasi garis perbatasan?

Selamat Datang di Delaware!, kata papan penandanya, dan juga:

Keajaiban Kecil, dan juga: Negara Bagian Pertama, dan juga: Rumah

untuk Belanja Bebas Pajak.

Delaware, negara bagian dengan begitu banyak identitas.

Aku menunjukkan jalan tidak beraspal pertama yang kulihat

kepada Nick, dan mobil kami menderum selama lima menit hingga

kami melihat pohon pinus di semua sisi. Kami tidak bicara. Nick

mendorong kursinya ke belakang. Aku menyingkapkan rokku. Aku

tidak mengenakan pakaian dalam, aku bisa melihat mulut Nick

melengkung ke bawah dan wajahnya mengendur, ekspresi terbius,

bertekad, yang muncul di wajahnya setiap kali dia bergairah. Aku

memanjat naik ke atasnya, punggungku di depan wajahnya, berha?

dapan dengan kaca depan. Aku terdesak pada setir mobil, dan

ketika kami bergerak bersama, klakson mengeluarkan suara

embikan pelan yang menirukan suaraku, dan tanganku membuat

bunyi berdecit ketika aku menekankan tanganku ke kaca jendela.

Nick dan aku bisa orgasme di mana saja; kami berdua tidak pernah

merasa gugup soal itu, itu sesuatu yang cukup kami banggakan.

Kemudian kami menyetir kembali pulang. Aku makan dendeng

sapi dan duduk di mobil dengan kaki telanjang di atas dasbor.

Kami mencintai rumah kami. Rumah yang dibangun oleh

Amazing Amy. Apartemen brownstone Brooklyn yang dibelikan

kedua orangtuaku untuk kami, tepat di Promenade, dengan peman?

dangan kota Manhattan dari jendela yang lebar. Apartemen itu

mewah, membuatku merasa bersalah, tapi sempurna. Aku melawan

getaran anak kaya manja ketika aku bisa. Banyak yang kukerjakan

sendiri. Kami mengecat dinding sendiri selama dua akhir pekan:

hijau musim semi dan kuning pucat dan biru beledu. Teorinya

begitu. Tidak ada warna yang hasilnya seperti bayangan kami, te?

tapi kami berpura-pura tetap menyukai hasilnya. Kami mengisi

rumah kami dengan beragam hiasan kecil dari pasar loak; kami

membeli piringan hitam untuk pemutar piringan hitam milik Nick.

Semalam kami duduk di karpet Persia tua, minum anggur dan

mendengarkan piringan hitam yang tergesek seiring dengan langit

yang menggelap dan Manhattan dinyalakan, dan Nick berkata,

"Suasana seperti ini yang selalu kubayangkan. Ini persis sesuai

dengan bayanganku."

Pada akhir pekan, kami mengobrol di bawah empat lapis kain

penutup tempat tidur, wajah kami hangat di bawah selimut kuning

yang diterangi cahaya matahari. Bahkan lantai kayunya ceria: Ada

dua papan tua yang berderak yang berseru kepada kami setiap kali

kami masuk. Aku menyukainya, aku suka bahwa tempat itu milik

kami, bahkan kami memiliki cerita hebat di balik lampu lantai

kuno, atau gelas tanah liat berbentuk cacat yang ditaruh di dekat

teko kopi kami, tidak pernah diisi apa pun selain satu buah klip

kertas. Aku menghabiskan hari-hariku memikirkan hal-hal manis

yang akan kulakukan untuk Nick?membeli sabun peppermint yang

akan digenggam dalam tangannya seperti batu hangat atau mung?

kin irisan tipis ikan trout yang bisa aku masak dan hidangkan

untuknya, ode untuk era kapal uap merajai sungai. Aku tahu, aku

konyol. Tapi aku menyukainya?aku tidak pernah tahu aku bisa

menjadi konyol karena seorang pria. Rasanya lega. Aku bahkan

bisa jatuh lemas karena kaus kakinya, yang bisa dia lepaskan dalam

pose terjalin dengan menggemaskan, seolah-olah seorang anak

anjing membawa kaus kaki itu dari ruangan lain.

Hari ini setahun ulang tahun pernikahan kami dan aku gemuk

oleh cinta, sekalipun orang-orang terus memberitahu kami bahwa

tahun pertama pernikahan akan menjadi sangat sulit, seakan-akan

kami anak-anak naif yang berderap pergi ke peperangan. Ini tidak

sulit. Kami ditakdirkan untuk menikah. Hari ini ulang tahun per?

nikahan pertama kami dan Nick pulang kerja pada waktu makan

siang; perburuan harta karunku menunggunya. Petunjuk-petunjuk?

nya semua tentang kami, tentang setahun terakhir bersama:

Setiap kali suami sayangku sakit

Ini makanan yang membuatnya bangkit.

Jawaban: sup tom yum dari Thai Town di President Street. Ma?

najernya akan ada di sana sore ini dengan mangkuk pencicip dan

petunjuk berikutnya.

Juga McMann?s di Chinatown dan patung Alice di Central Park.

Tur megah kota New York. Kami akan berakhir di pasar ikan Fulton

Street, di mana kami akan membeli sepasang lobster yang luar

biasa, dan aku akan menaruh wadahnya di pangkuanku sementara

Nick bergerak-gerak gugup di dalam taksi di sebelahku. Kami akan

bergegas pulang dan aku akan menaruh lobster-lobster itu di panci
Yang Hilang Gone Girl Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baru kami di atas kompor lama dengan kelihaian seorang gadis

yang sudah menjalani begitu banyak musim panas di Cape semen?

tara Nick terkikik-kikik dan berpura-pura bersembunyi karena

takut di luar pintu dapur.

Aku sudah menyarankan kami pergi makan burger. Nick ingin

kami makan di luar?bintang lima, mewah?di suatu tempat de?

ngan hidangan yang teliti dan cermat dan pelayan-pelayan yang

senang menyebutkan nama-nama orang terkenal. Jadi lobster

adalah selingan yang sempurna, lobster-lobster itu adalah yang

semua orang katakan kepada kami (dan terus katakan) soal inti

pernikahan: kompromi!

Kami akan makan lobster dengan mentega dan bercinta di lantai

sementara wanita dari salah satu piringan hitam musik jazz lama

kami bernyanyi kepada kami dalam suaranya yang bergema. Kami

akan mabuk pelan-pelan dan dengan malas menyesap Scotch

kualitas bagus, kesukaan Nick. Aku akan memberikan hadiahnya?

kertas surat dengan monogram yang selama ini dia inginkan dari

Crane & Co. dengan jenis huruf sans-serif rapi berwarna hijau gelap,

di atas bahan kertas seperti krim tebal yang akan menyerap tinta

tebal dan kata-kata penulisnya. Kertas surat untuk penulis dan istri

penulis yang mungkin memancing satu atau dua surat cinta.

Kemudian mungkin kami akan bercinta lagi. Dan burger larut

malam. Dan lebih banyak Scotch. Voil?: pasangan paling bahagia

di daerah ini! Dan mereka bilang pernikahan itu kerja keras.

Nick Dunne

Malam ketika


Merivale Mall 02 Untukmu Segalanya Pendekar Gila 19 Murka Sang Iblis Pendekar Rajawali Sakti 168 Kitab Naga

Cari Blog Ini