Yang Hilang Gone Girl Karya Gillian Flynn Bagian 3
Yang kedengarannya amat mirip dengan keluarga Desi sendiri, dan
ketika anak lelaki itu membawa ibunya untuk bertemu dengan
Amy, dia menjadi semakin khawatir melihat kemiripan antara diri?
nya dan Mrs. Collings. Si wanita itu mencium pipi Amy dengan
dingin dan bergumam dengan tenang di telinganya, "Semoga berun?
tung." Amy tidak tahu apakah itu peringatan atau ancaman.
Sesudah Amy memutuskan hubungan dengan Desi, anak lelaki
itu masih berkeliaran di sekitar lingkungan sekolah Wickshire,
figur seperti hantu dalam blazer gelap, bersandar di pohon ek di?
ngin yang gundul. Amy kembali dari pesta dansa pada satu malam
di Februari dan menemukan Desi berbaring di tempat tidur Amy,
telanjang, di atas seprai, teler karena sedikit overdosis pil. Desi
keluar dari sekolah tidak lama sesudah itu.
Tetapi dia masih menelepon Amy, bahkan sekarang, dan be?
berapa kali dalam setahun mengirimi Amy amplop tebal berbusa
yang dia buang tanpa dibuka sesudah menunjukkannya kepadaku.
Amplop-amplop itu memiliki cap pos St. Louis. Empat puluh menit
jauhnya. "Ini kebetulan mengerikan yang menyedihkan," kata Amy
kepadaku. Desi memiliki hubungan keluarga di St. Louis dari sisi
ibunya. Ini Amy ketahui tetapi dia tidak mau mencari tahu lebih
banyak. Aku mengaduk-aduk sampah untuk mengambil satu
amplop, membaca suratnya, lengket dengan saus alfredo, dan surat
itu benar-benar menjemukan: membicarakan tenis dan perjalanan
dan segala hal kelas atas. Anjing Spaniel. Aku berusaha membayang?
kan pria langsing bergaya ini, seseorang yang memakai dasi kupukupu dan kacamata berbingkai kulit kura-kura, mendobrak masuk
ke rumah kami dan menyambar Amy dengan jari-jari lembut,
terawat rapi. Mengempaskan Amy ke bagasi mobil vintage-nya dan
membawa Amy untuk... mencari barang antik di Vermont. Desi.
Adakah orang yang akan percaya pelakunya Desi?
"Desi tinggal tidak jauh dari sini sebenarnya," kataku. "St. Louis."
"Nah, lihat, kan?" kata Rand. "Kenapa polisi tidak sibuk me?
nyelidiki ini?"
"Seseorang harus melakukannya," kataku. "Aku akan pergi. Se?
sudah pencarian di sini besok."
"Polisi sepertinya serius berpikir pelakunya... ada di dekat sini,"
kata Marybeth. Dia memancangkan pandangan kepadaku sedetik
terlalu lama, kemudian bergidik, seakan-akan dia mengenyahkan
pikiran dari kepalanya.
Amy Elliott Dunne
23 Agustus 2010
Catatan buku harian
Musim panas. Burung-burung. Sinar matahari. Aku menghabiskan
hari ini berjalan terseok-seok di sekitar Prospect Park, kulitku
pedih, tulangku linu. Bertarung melawan kesedihan. Ini kemajuan
karena aku menghabiskan tiga hari sebelumnya di rumah kami
dalam piama lusuh yang sama, menunggu pukul lima, ketika aku
bisa minum. Berusaha membuat diriku mengingat penderitaan di
Darfur. Memaknai keadaan yang ada. Yang, kurasa, itu berarti
mengeksploitasi orang-orang di Darfur lebih jauh.
Begitu banyak yang terjadi selama seminggu terakhir. Kurasa
itu yang terjadi, semuanya terjadi sekaligus bersamaan, jadi aku
menderita nyeri emosional. Nick kehilangan pekerjaannya sebulan
yang lalu. Resesi seharusnya mereda, tetapi tampaknya tidak ada
yang tahu soal itu. Jadi Nick kehilangan pekerjaannya. Ronde kedua
pemecatan, persis seperti prediksinya?hanya beberapa minggu
dari ronde pertama. Ups, kami tidak memecat cukup banyak orang.
Idiot.
Awalnya aku pikir Nick mungkin baik-baik saja. Dia membuat
daftar panjang hal-hal yang selama ini ingin dia lakukan. Beberapa
hal kecil: Dia mengganti baterai jam tangan dan mengatur ulang
jam dinding, dia mengganti pipa di bawah bak cuci piring kami
dan mengecat ulang semua ruangan yang sudah kami cat dan tidak
kami sukai. Pada dasarnya, dia melakukan banyak hal untuk kali
kedua. Rasanya menyenangkan melakukan beberapa hal untuk kali
kedua, ketika kau hanya bisa melakukan sedikit saja dalam ke?
hidupanmu. Kemudian dia mulai melakukan hal-hal besar: Dia
membaca War and Peace. Dia memikirkan untuk kursus bahasa
Arab. Dia menghabiskan banyak waktu untuk menebak keteram?
pilan apa yang akan bisa dijual selama beberapa dekade ke depan.
Itu menghancurkan hatiku, tetapi aku berpura-pura tidak merasa
seperti itu demi dirinya.
Aku terus bertanya kepadanya: "Kau yakin kau baik-baik saja?"
Awalnya aku bertanya dengan serius, sembari minum kopi, ber?
tatapan, tanganku di atas tangannya. Kemudian aku mencoba lebih
santai, tidak mendesak, sekilas. Kemudian aku mencoba dengan
lembut, di tempat tidur, mengelus rambutnya.
Dia selalu memberikan jawaban yang sama: "Aku baik-baik saja.
Aku tidak mau membicarakan itu."
Aku menulis kuis yang sempurna untuk masa-masa itu: "Bagai?
mana Kau Mengatasi Pemecatanmu?"
a) Aku duduk memakai piama dan makan es krim banyakbanyak?merajuk itu terapi!
b) Aku menulis hal-hal buruk soal bosku di internet, di semua
tempat?mengomel rasanya menyenangkan!
c) Sampai pekerjaan baru tiba, aku berusaha menemukan hal-hal
berguna untuk dilakukan dengan waktu luangku yang baru,
seperti mempelajari bahasa baru yang bisa dijual atau akhirnya
membaca War and Peace.
Itu pujian untuk Nick?C adalah jawaban yang benar?tetapi
dia hanya tersenyum masam ketika aku menunjukkan itu kepada?
nya.
Beberapa minggu kemudian, kesibukannya berhenti, dia ber?
henti menjadi berguna, seolah-olah dia bangun pada satu pagi di
bawah tanda usang berdebu yang berkata, Kenapa Repot-Repot?
Tatapannya kosong. Dia makan banyak makanan pesanan, cangkang
Styrofoam di dekat tempat sampah yang penuh. Dia tidak bicara
kepadaku, dia bertingkah seolah-olah bicara denganku menyakiti
fisiknya dan aku wanita yang keji untuk meminta itu darinya.
Nick nyaris tidak mengangkat bahu ketika aku memberitahunya
aku dipecat. Minggu lalu.
"Itu buruk sekali, aku menyesal," katanya. "Setidaknya kau punya
uangmu untuk bertahan."
"Kita punya uangnya. Sebenarnya aku suka pekerjaanku."
Nick mulai menyanyikan You Can?t Always Get What You Want,
sumbang, dengan nada tinggi, dengan sedikit tarian terhuyung-hu?
yung, dan aku menyadari dia mabuk. Sekarang hari semakin sore,
hari indah dengan langit biru, dan rumah kami lembap, pekat de?
ngan aroma manis makanan Cina yang membusuk, semua tirai
diturunkan, dan aku mulai berjalan dari ruangan ke ruangan lain
untuk mengalirkan udara keluar, menarik tirai terbuka, menakuti
debu-debu kecil, dan ketika mencapai sarang yang gelap, aku ter?
sandung kantong di lantai, kemudian ada kantong yang lain dan
lainnya, seperti kucing dalam film kartun yang berjalan ke ruangan
penuh dengan jebakan tikus. Ketika menyalakan lampu, aku melihat
lusinan kantong belanja, dan mereka berasal dari tempat yang
tidak didatangi orang yang dipecat. Mereka berasal dari toko-toko
pakaian pria eksklusif, tempat yang menjahit jas dengan tangan,
di mana para penjualnya membawakan dasi satu per satu, disam?
pirkan di lengan, kepada si pembeli laki-laki yang duduk nyaman
di kursi berlengan berbahan kulit. Maksudnya, barang-barang
sialan ini dibuat sesuai pesanan.
"Apa ini, Nick?"
"Untuk wawancara kerja. Kalau ada orang yang mulai membuka
lowongan lagi."
"Kau butuh begitu banyak?"
"Kita kan punya uangnya." Dia tersenyum kepadaku dengan getir,
lengannya terlipat.
"Maukah kau setidaknya menggantung pakaian-pakaian ini?"
Beberapa pembungkus plastiknya sudah dikunyah hingga hancur
oleh Bleecker. Tumpukan kecil muntahan kucing tergenang di dekat
satu jas tiga ribu dolar; kemeja putih jahitan tangan dipenuhi bulu
oranye di tempat si kucing tidur siang.
"Tidak sebenarnya, enggak," katanya. Dia menyeringai ke arahku.
Aku tidak pernah bawel. Aku selalu bangga soal aku yang tidak
bawel. Jadi ini mengesalkanku karena Nick memaksaku untuk
menjadi bawel. Aku bersedia hidup dengan sedikit ketidakrapian,
kemalasan, kehidupan yang lesu. Aku menyadari aku lebih seperti
orang tipe A ketimbang Nick, dan aku berusaha hati-hati dan tidak
menerapkan kebiasaan rapi dan membuat daftarku kepada Nick.
Dia bukan tipe pria yang akan berpikir untuk menyedot debu atau
membersihkan kulkas. Dia benar-benar tidak mengerti hal-hal
seperti itu. Tak apa. Sungguh. Tetapi aku suka standar hidup ter?
tentu?kurasa adil untuk mengatakan sampah seharusnya tidak
sampai menumpuk dan piring-piring seharusnya tidak didiamkan
di bak cuci selama seminggu dengan noda burrito kacang kering
menempel. Itu perkara menjadi teman sekamar dewasa yang baik.
Dan Nick tidak melakukan apa pun lagi, jadi aku harus bawel dan
itu membuatku kesal: Kau mengubahku menjadi sesuatu yang tidak
pernah kulakukan dan tidak pernah ingin kulakukan, orang yang
bawel, karena kau tidak memenuhi kewajibanmu yang paling men?
dasar. Jangan lakukan itu, itu tidak baik.
Aku tahu, aku tahu, aku tahu kehilangan pekerjaan itu amatlah
membuat stres, dan terutama untuk seorang pria, mereka mengata?
kan rasanya seperti anggota keluargamu meninggal, dan terutama
untuk pria seperti Nick, yang selalu bekerja, jadi aku menarik napas
dalam-dalam, menggulung kemarahanku menjadi bola karet merah,
dan dalam benakku menendangnya ke luar angkasa. "Yah, kau ke?
beratan kalau aku menggantung pakaian-pakaian ini? Agar tetap
bagus untuk kaupakai?"
"Bersenang-senanglah."
Pemecatan suami dan istri, manis, bukan? Aku tahu kami lebih
beruntung daripada kebanyakan orang: Aku menggunakan Internet
dan mengecek dana perwalianku setiap kali aku gugup. Aku tidak
pernah menamainya dana perwalian sampai Nick melakukannya;
uangnya sebenarnya tidak sebesar itu. Maksudku, tabungan ini
menyenangkan, bagus?785.404 dolar yang kumiliki di tabungan
berkat orangtuaku. Tetapi ini bukan jenis uang yang mengizinkanmu
untuk berhenti bekerja selamanya, terutama tidak di New York.
Tujuan orangtuaku adalah untuk membuatku merasa cukup aman
jadi aku tidak harus membuat pilihan berdasarkan uang?dalam
pendidikan, karier?tetapi tidak begitu mapan sehingga aku bisa
tergoda untuk berhenti bekerja. Nick mengolok-olok, tetapi kurasa
itu tindakan yang baik untuk dilakukan orangtua. (Dan layak di?
lakukan, mengingat mereka menjiplak masa kecilku untuk dijadikan
buku.)
Tetapi aku masih merasa mual soal pemecatan itu, pemecatan
kami, ketika ayahku menelepon dan bertanya apakah dia dan Mom
bisa mampir. Mereka butuh bicara dengan kami. Sore ini, sekarang,
sebenarnya, kalau tidak masalah. Tentu saja tidak masalah, ku?
bilang, dan di kepalaku, aku berpikir, Kanker kanker kanker.
Orangtuaku muncul di pintu, terlihat seperti sudah berusaha
keras. Pakaian ayahku disetrika rapi, terselip rapi, dan mengilat,
sempurna kecuali lekukan di bawah matanya. Ibuku mengenakan
Yang Hilang Gone Girl Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
salah satu gaun ungu terangnya yang selalu dia pakai untuk pidato
dan upacara, dulu ketika dia masih mendapatkan undanganundangan acara itu. Dia bilang warna itu menuntut rasa percaya
diri yang memakainya.
Mereka berdua kelihatan baik-baik saja, tetapi sepertinya malu.
Aku mengantar mereka ke sofa dan kami semua duduk diam selama
sesaat.
"Anak-anak, ibumu dan aku, kami sepertinya punya?" ayahku
akhirnya memulai, kemudian berhenti untuk jeda batuk. Dia me?
nempatkan tangannya di lutut; buku-buku jari besarnya memucat.
"Yah, sepertinya kami membuat masalah keuangan yang amat
besar."
Aku tidak tahu seperti apa reaksiku seharusnya: terkejut, mem?
besarkan hati, kecewa? Orangtuaku tidak pernah mengakui ma?
salah apa pun kepadaku. Kurasa mereka tidak punya banyak ma?
salah.
"Kenyataannya adalah kami tidak bertanggung jawab," lanjut
Marybeth. "Kami hidup selama satu dekade terakhir seolah-olah
kami masih menghasilkan uang sebanyak yang kami hasilkan se?
lama dua dekade sebelumnya padahal sebenarnya tidak. Kami tidak
menghasilkan setengah dari uang itu, tapi kami hidup dalam pe?
nyangkalan. Kami bersikap... optimistis mungkin istilah yang baik.
Kami terus berpikir buku Amy selanjutnya akan berhasil. Tetapi
itu tidak terjadi. Dan kami terus membuat keputusan buruk. Kami
membuat investasi dengan gegabah. Kami membuang-buang uang
dengan gegabah. Dan sekarang."
"Pada dasarnya kami bangkrut," kata Rand. "Rumah kami, juga
rumah ini, semuanya tidak terbayar."
Aku pikir?berasumsi?mereka langsung melunasi pembayaran
rumah ini untuk kami. Aku tidak tahu mereka membayar kredit
untuk rumah ini. Aku merasakan sengatan rasa malu bahwa aku
terlindungi seperti yang dikatakan Nick.
"Seperti yang kubilang, kami membuat kesalahan penilaian yang
serius," kata Marybeth. "Kami seharusnya menulis buku: Amazing
Amy dan Hipotek Bertarif Dapat Disesuaikan. Kami akan gagal men?
jawab setiap kuisnya. Kami akan jadi kisah pengingat. Teman Amy,
Wendy Ingin Semua Sekarang."
"Harry Si Pura-Pura Tak Paham," tambah Rand.
"Jadi apa yang akan terjadi kemudian?" tanyaku.
"Itu tergantung padamu," kata ayahku. Ibuku mengeluarkan
pamflet buatan mereka sendiri dari tas tangannya dan menaruhnya
di meja di depan kami?diagram batang, garis, dan lingkaran yang
dibuat dengan komputer rumah mereka. Hatiku terasa sakit mem?
bayangkan orangtuaku mengernyit membaca manual penggunaan?
nya, berusaha membuat usulan mereka kelihatan indah untukku.
Marybeth memulai penawarannya: "Kami ingin bertanya apa?
kah kami bisa meminjam sebagian dana perwalianmu sementara
kami mencari tahu apa yang akan kami lakukan untuk sisa hidup
kami."
Orangtuaku duduk di depan kami seperti mahasiswa yang ber?
semangat dan berharap mendapatkan kerja magang pertama me?
reka. Lutut ayahku bergerak-gerak hingga ibuku menaruh ujung
jari dengan lembut di atasnya.
"Yah, dana perwalian itu uangmu, jadi tentu saja kalian bisa
meminjam uang itu," kataku. Aku hanya ingin pembicaraan ini se?
lesai; ekspresi penuh harap di wajah kedua orangtuaku, aku tidak
tahan. "Berapa banyak yang kalian butuhkan, untuk membayar
semuanya dan merasa nyaman selama beberapa saat?"
Ayahku menatap sepatuku. Ibuku menarik napas dalam-dalam.
"Enam ratus lima puluh ribu," katanya.
"Oh." Hanya itu yang bisa kukatakan. Itu nyaris semua tabungan
yang kami miliki.
"Amy, mungkin kau dan aku sebaiknya mendiskusikan?" Nick
memulai.
"Tidak, tidak, kita bisa melakukan ini," kataku. "Aku akan meng?
ambil buku cekku."
"Sebenarnya," kata Marybeth, "kalau kau bisa mentransfer uang?
nya ke rekening kami besok, itu paling baik. Kalau tidak, akan ada
periode menunggu sepuluh hari."
Itu saat aku tahu mereka berada dalam masalah serius.
Nick Dunne
Dua hari hilang
Aku terbangun di sofa yang ditarik memanjang di kamar hotel
pasangan Elliott, merasa lelah. Mereka berkeras aku menginap di
hotel?rumahku belum dibuka kembali untukku?berkeras dengan
urgensi yang sama, yang sekali waktu mereka lakukan dengan
menyambar tagihan saat makan malam: keramahtamahan sebagai
kekuatan alam yang ganas. Kau harus membiarkan kami melakukan
ini untukmu. Jadi aku membiarkan mereka. Aku menghabiskan
malam mendengarkan suara dengkur mereka dari balik pintu ka?
mar tidur, yang satu teratur dan dalam?dengkuran keras penebang
kayu?yang satu lagi terengah-engah dan tidak teratur, seolah-olah
sedang bermimpi tenggelam.
Aku selalu bisa mematikan diriku seperti lampu. Aku akan tidur,
kataku, tanganku dalam posisi berdoa menempel di pipiku, Zzzzz,
tidur nyenyak anak yang dicekok NyQuil?sementara istriku yang
insomnia berbaring gelisah di tempat tidur di sebelahku. Tapi se?
malam aku merasa seperti Amy, otakku masih berjalan, badanku
tegang. Aku, seringnya, adalah pria yang merasa benar-benar nya?
man dengan dirinya. Amy dan aku akan duduk di sofa menonton
TV, dan aku akan berubah menjadi lilin cair, istriku berkedut dan
bergerak-gerak terus di sebelahku. Aku bertanya kepadanya sekali
apakah dia mungkin menderita sindrom kaki gelisah?iklan untuk
penyakit itu sedang ditayangkan, wajah para aktor semuanya me?
rengut gelisah ketika mereka menggoyang-goyangkan betis dan
menggosok-gosok paha?dan Amy berkata, Aku menderita sindrom
semua gelisah.
Aku memperhatikan langit-langit kamar hotel berubah abu-abu
kemudian merah muda kemudian kuning dan akhirnya menarik
diriku hingga bangkit melihat matahari memancar tepat ke arahku,
di seberang sungai, sekali lagi, tuduhan dari matahari. Kemudian
nama-nama bermunculan di kepalaku?ting! Hilary Handy. Nama
yang begitu imut untuk dituduh melakukan tindakan yang begitu
mengerikan. Desi Collings, mantan penguntit yang tinggal satu jam
jauhnya. Aku sudah mengklaim keduanya milikku. Ini era lakukan
semuanya sendiri: perawatan kesehatan, real estate, penyelidikan
polisi. Gunakan internet dan pecahkan masalahnya sendiri karena
semua orang bekerja terlalu banyak dan kekurangan pekerja. Aku
dulu jurnalis. Aku menghabiskan lebih dari sepuluh tahun mewa?
wancarai orang sebagai mata pencaharian dan membuat mereka
menceritakan diri mereka sendiri. Aku mampu melakukan itu, dan
Marybeth dan Rand juga meyakini itu. Aku berterima kasih mereka
memberitahuku mereka masih memercayaiku, si suami di bawah
sedikit awan kecurigaan. Atau aku membodohi diri sendiri meng?
gunakan kata sedikit?
Days Inn menyumbangkan ruang pesta mereka yang jarang dipakai
untuk dijadikan kantor pusat Pencarian Amy Dunne. Sepertinya
tempat itu tidak layak?ruangan dengan noda cokelat dan bau yang
terperangkap?tetapi tepat sesudah fajar, Marybeth mulai bekerja
mengubahnya, menyedot debu dan mengelap dengan tisu disin?
fektan, mengatur papan pengumuman dan meja telepon, menggan?
tung foto wajah Amy berukuran besar di satu dinding. Poster
itu?dengan tatapan Amy yang tenang, percaya diri, mata yang
mengikutimu?kelihatan seperti foto dalam kampanye presiden.
Malahan, pada saat Marybeth sudah selesai, seisi ruangan mende?
ngungkan efektivitas?harapan mendesak seorang politisi yang
sangat tidak diunggulkan dengan banyak pengikut yang menolak
menyerah.
Tak lama sesudah pukul 10.00, Boney tiba, bicara di ponselnya.
Dia menepukku di pundak dan mulai mengotak-atik alat pencetak.
Para sukarelawan tiba dalam kelompok-kelompok: Go dan enam
teman mendiang ibu kami. Lima wanita empat puluhan, semuanya
mengenakan celana kapri, seakan-akan mereka berlatih untuk
pertunjukan tari: dua di antaranya?langsing dan pirang dengan
kulit terbakar matahari?berlomba-lomba menjadi pemimpin, yang
lain dengan riang mengalah menjadi pengikut. Sekelompok wanita
tua berambut putih yang bicara keras-keras, berusaha mengalahkan
pembicaraan temannya, beberapa di antara mereka sedang me?
ngetik pesan, orang-orang tua yang memiliki energi dalam jumlah
yang mencengangkan, begitu banyak semangat muda yang mem?
buatmu bertanya-tanya apakah mereka berusaha mencari per?
hatian. Hanya ada satu pria yang muncul, pria berwajah menarik
seumurku, berpakaian baik, sendirian, gagal menyadari bahwa
kehadirannya membutuhkan semacam penjelasan. Aku memper?
hatikan si Pria Penyendiri ketika dia mengendus-endus kue-kue
pastry, mencuri pandang ke arah poster Amy.
Boney selesai menyetel alat pencetak, menyambar muffin yang
kelihatan seperti dedak, dan berjalan untuk kemudian berdiri di
dekatku.
"Apakah kalian memperhatikan semua orang yang mengajukan
diri sebagai sukarelawan?" tanyaku. "Maksudku, seandainya itu
seseorang?"
"Seseorang yang sepertinya memiliki ketertarikan yang men?
curigakan? Tentu saja." Boney memotel pinggiran muffin dan me?
masukkannya ke mulut. Dia merendahkan nada suaranya. "Tetapi
sejujurnya, pembunuh berantai menonton acara TV yang sama
seperti kami. Mereka tahu kami tahu mereka suka?"
"Melibatkan diri dalam penyelidikan."
"Itu dia, benar." Boney mengangguk. "Jadi mereka lebih berhatihati soal hal-hal seperti itu sekarang. Tetapi ya, kami menyaring
segala jenis orang aneh untuk memastikan mereka cuma, kau tahu
kan, orang aneh."
Aku mengangkat sebelah alis.
"Contohnya, Gilpin dan aku adalah detektif utama dalam kasus
Kayla Holman beberapa tahun silam. Kayla Holman?"
Aku menggeleng: tidak tahu.
"Yah, bagaimana pun, kau akan menemukan hantu-hantu tertarik
pada hal seperti ini. Dan waspadalah kepada dua orang itu?"
Boney menunjuk ke arah dua wanita empat puluhan yang cantik.
"Karena mereka kelihatan seperti tipenya. Terlalu tertarik meng?
hibur si suami yang khawatir."
"Oh, ayolah?"
"Kau akan terkejut. Pria tampan sepertimu. Hal seperti itu ter?
jadi."
Persis saat itu salah satu wanita itu, yang lebih pirang dan ber?
kulit lebih cokelat, menatap kami, membuat kontak mata, dan
melemparkan senyum paling lembut dan malu-malu kepadaku,
kemudian menunduk seperti kucing yang menunggu untuk dieluselus.
"Tapi dia akan bekerja keras; dia akan jadi si Nona Terlibat," kata
Boney. "Jadi itu bagus."
"Bagaimana akhir kasus Kayla Holman?" tanyaku.
Boney menggeleng: tidak.
Empat wanita masuk berbaris, saling mengoper botol losion
Yang Hilang Gone Girl Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tabir surya di antara mereka, mengusapkannya di lengan, bahu,
dan hidung mereka. Ruangan itu beraroma seperti kelapa.
"Omong-omong, Nick," kata Boney. "Ingat ketika aku bertanya
apakah Amy punya teman di kota?bagaimana dengan Noelle
Hawthorne? Kau tidak menyebut namanya. Dia meninggalkan dua
pesan kepada kami."
Aku memberi Boney tatapan kosong.
"Noelle di kompleks rumahmu? Ibu kembar tiga?"
"Tidak, mereka bukan teman."
"Oh, kok aneh. Dia sepertinya berpikir mereka berteman."
"Itu sering terjadi kepada Amy," kataku. "Dia mengobrol sekali
dengan orang dan mereka menempel. Menakutkan."
"Itu yang dikatakan orangtuanya."
Aku mendebatkan keinginan bertanya langsung kepada Boney
soal Hilary Handy dan Desi Collings. Kemudian aku memutuskan
untuk tidak melakukannya; akan kelihatan lebih baik jika aku yang
memegang kendali. Aku ingin Rand dan Marybeth melihatku dalam
gaya pahlawan. Aku tidak bisa melupakan pandangan yang diberi?
kan Marybeth kepadaku: Polisi sepertinya serius berpikir pelakunya...
ada di dekat sini.
"Orang-orang berpikir mereka mengenal Amy karena mereka
membaca buku-buku itu ketika tumbuh dewasa," kataku.
"Aku bisa mengerti itu," kata Boney, mengangguk. "Orang ingin
percaya mereka mengenal orang lain. Orangtua ingin percaya me?
reka mengenal anak-anak mereka. Para istri ingin percaya mereka
mengenal suami mereka."
Sejam kemudian dan pusat sukarelawan mulai terasa seperti piknik
keluarga. Beberapa mantan pacarku mampir untuk menyapa, me?
ngenalkan anak-anak mereka. Salah satu teman baik ibuku, Vicky,
datang dengan tiga cucu perempuannya, bocah 8-12 tahun ber?
pakaian serba-pink.
Cucu. Ibuku sangat sering membicarakan soal cucu, seolah-olah
itu sudah pasti akan terjadi?setiap kali dia membeli furnitur baru,
dia akan menjelaskan dia memilih gaya seperti itu karena "Ini akan
cocok ketika ada cucu." Dia ingin hidup untuk melihat cucu-cucu.
Semua temannya punya cucu untuk dipinjamkan. Amy dan aku
sekali waktu mengundang ibuku dan Go makan malam untuk me?
rayakan minggu paling menguntungkan di The Bar. Aku mengabari
kami punya alasan untuk sebuah perayaan, dan Mom melompat
dari kursinya, tangis meledak, dan memeluk Amy, yang juga mulai
menangis, menggumam dari balik pelukan ibuku yang mencekik,
"Nick membicarakan soal The Bar, dia cuma membicarakan soal
The Bar." Kemudian ibuku berusaha keras untuk berpura-pura dia
hanya bersemangat soal itu. "Banyak waktu untuk punya bayi,"
katanya dengan suara paling menenangkan, suara yang cuma mem?
buat Amy menangis lagi. Dan itu aneh, karena Amy sudah me?
mutuskan dia tidak ingin punya anak, dan dia sudah menyatakan
fakta ini beberapa kali, tetapi air matanya memberiku sedikit ha?
rapan yang aneh bahwa mungkin Amy berubah pikiran. Karena
sebenarnya tidak ada banyak waktu. Amy sudah 37 tahun ketika
kami pindah ke Carthage. Dia akan berulang tahun ke-39 bulan
Oktober.
Kemudian aku berpikir: Kami harus mengadakan pesta ulang
tahun pura-pura atau sesuatu seperti itu kalau ini masih berlanjut.
Kami harus menandainya entah dengan cara seperti apa, semacam
perayaan, untuk para sukarelawan, media?sesuatu untuk mem?
bangkitkan perhatian. Aku harus berpura-pura penuh harap.
"Si anak sapih kembali," sahut suara sengau dan aku berpaling
melihat pria kurus mengenakan kaus sempit di sebelahku, meng?
garuk-garuk kumis berujung lentik. Teman lamaku Stucks Buckley,
yang terbiasa memanggilku si anak safih sekalipun tidak tahu cara
mengucapkan safih dengan benar atau pun paham maknanya apa.
Aku berasumsi dia meniatkan maksudnya seperti sinonim bajingan
yang keren. Stucks Buckley, itu terdengar seperti nama pemain
bisbol, dan seharusnya Stucks menjadi pemain bisbol, hanya saja
dia tidak pernah memiliki bakat, hanya keinginan yang kuat. Dia
pemain paling baik di kota, ketika dia tumbuh dewasa, tetapi itu
tidak cukup baik. Dia sangat terkejut ketika dikeluarkan dari tim
universitas, dan semua menjadi amat buruk sesudahnya. Sekarang
dia pemadat dengan kerja serabutan dan suasana hati yang cepat
berubah. Dia sempat mampir ke The Bar beberapa kali untuk men?
cari pekerjaan, tetapi dia menggeleng pada setiap tugas sehari-hari
payah yang aku tawarkan, menggigiti bagian dalam pipinya, kesal:
Ayolah, Bung, kau punya apa lagi, kau pasti punya yang lain.
"Stucks," kataku, menyapa, menunggu untuk melihat apakah dia
sedang dalam suasana hati bersahabat.
"Kudengar polisi sungguh-sungguh mengacaukan penyelidikan
ini," katanya, menyelipkan tangannya ke ketiak.
"Terlalu awal untuk berkata seperti itu."
"Ayolah, Bung, pencarian-pencarian setengah hati ini? Aku me?
lihat lebih banyak kerja keras untuk menemukan anjing walikota."
Wajah Stucks terbakar matahari; aku bisa merasakan hawa panas
memancar dari dirinya ketika dia membungkuk mendekat, me?
nyemburku dengan Listerine dan tembakau. "Kenapa mereka tidak
menahan orang-orang? Banyak orang yang bisa dipilih di kota,
mereka tidak membawa satu pun ke kantor polisi? Tidak satu pun?
Bagaimana dengan para Pemuda Buku Biru? Itu yang kutanyakan
kepada si detektif wanita: Bagaimana dengan para Pemuda Buku
Biru? Dia bahkan tidak mau menjawabku."
"Apa itu Pemuda Buku Biru? Geng?"
"Orang-orang yang dipecat dari pabrik Buku Biru musim dingin
tahun kemarin. Tanpa pesangon, tanpa apa pun. Kau lihat beberapa
gelandangan yang berkeliaran di sekitar kota berkelompok, keli?
hatan amat sangat kesal? Mungkin para Pemuda Buku Biru."
"Aku masih tidak paham: pabrik Buku Biru?"
"Kau tahu Percetakan River Valley. Di ujung kota? Mereka mem?
buat buku biru yang kaupakai untuk menulis esai dan hal lain
sewaktu kuliah."
"Oh. Aku tidak tahu."
"Sekarang kampus-kampus menggunakan komputer, sejenisnya,
jadi?fuuh!?dadah, Pemuda Buku Biru."
"Ya Tuhan, seisi kota ini akan mati," gumamku.
"Pemuda Buku Biru, mereka minum, madat, mengganggu orangorang. Maksudku, mereka sudah melakukan itu, tetapi mereka
harus selalu berhenti, kembali bekerja pada hari Senin. Sekarang
mereka berkeliaran tak terkendali."
Stucks menyeringai menampilkan barisan gigi yang sompek ke
arahku. Ada bercak cat di rambutnya; pekerjaan musim panasnya
sejak SMA, mengecat rumah. Aku mengkhususkan diri pada penge?
catan tepian, dia akan menjelaskan, dan menunggu apakah kau
paham leluconnya atau tidak. Kalau kau tidak tertawa, dia akan
menjelaskannya.
"Jadi, polisi sudah memeriksa mal?" tanya Stucks. Aku memulai
gerakan naik bahu bingung.
"Sial, Bung, bukannya kau dulu reporter?" Stucks selalu kelihatan
marah akan pekerjaanku dulu, sepertinya pekerjaanku itu ke?
bohongan yang dipertahankan terlalu lama. "Pemuda Buku Biru,
mereka membuat kota kecil nyaman di dalam mal itu. Menetap.
Berjualan narkoba. Polisi mengusir mereka sesekali, tetapi mereka
selalu kembali hari berikutnya. Omong-omong, itu yang aku kata?
kan kepada si detektif wanita: Selidiki mal keparat itu. Karena
beberapa orang, mereka memerkosa seorang gadis beramai-ramai
di sana sebulan yang lalu. Maksudku, ada sekelompok pria marah
berkumpul dan tidak akan bagus untuk wanita yang bertemu de?
ngan mereka.
Dalam perjalanan bermobil ke daerah pencarian sore itu, aku
menelepon Boney, mulai bicara segera setelah dia mengucapkan
halo.
"Kenapa mal tidak diselidiki?"
"Mal akan diselidiki, Nick. Kami memerintahkan anggota meng?
arah ke sana sekarang."
"Oh. Oke. Karena temanku?"
"Stucks, aku tahu, aku mengenalnya."
"Dia membahas soal?"
"Pemuda Buku Biru, aku tahu. Percayalah, Nick, kami bisa meng?
atasi ini. Kami ingin menemukan Amy sama sepertimu."
"Oke, eh, trims."
Rasa membela kebenaran dalam diriku mengempis, aku me?
minum tegukan besar kopi dari cangkir Styrofoam raksasa dan
menyetir ke daerah yang ditetapkan untukku. Tiga titik ditelusuri
sore ini: dermaga perahu Gully (sekarang dikenal sebagai Tempat
Nick Menghabiskan Pagi Hari, Tidak Terlihat oleh Siapa pun); hutan
Miller Creek (yang tidak layak menyandang nama itu; kau bisa
melihat restoran makanan cepat saji di antara barisan pohon); dan
Wolky Park, wisata alam dengan jalur hiking dan berkuda. Aku
ditugaskan ke Wolky Park.
Ketika aku tiba, seorang polisi setempat sedang bicara kepada
sekitar 12 orang, kaki-kaki gemuk dalam celana pendek ketat,
kacamata hitam, dan topi, losion seng oksida di hidung mereka.
Kelihatannya seperti hari pembukaan acara berkemah.
Dua kru TV yang berbeda ada di sana merekam gambar untuk
stasiun TV lokal. Sekarang akhir pekan perayaan 4 Juli; Amy akan
diselipkan di antara berita negara bagian dan kompetisi memasak
di barbekyu. Satu reporter muda terus menguntitku seperti nya?
muk, menderaku dengan pertanyaan tidak penting, tubuhku ber?
ubah kaku sepenuhnya, tidak seperti manusia, akibat perhatian
dari si reporter, wajah "prihatin"-ku kelihatan palsu. Semilir bau
kotoran kuda menggantung di udara.
Para reporter dengan segera mengikuti para sukarelawan ke
jalur di taman. (Jurnalis macam apa yang menemukan si suami
yang dicurigai, siap untuk dimangsa, kemudian pergi? Jurnalis tidak
bermutu dengan bayaran rendah yang tersisa, sesudah semua
jurnalis yang layak dipecat.) Seorang polisi muda berseragam
memberitahuku untuk berdiri?di sini?di pintu masuk ke bera?
gam jalur, di dekat papan pengumuman yang memuat begitu ba?
nyak pamflet tua, juga pengumuman orang hilang untuk Amy,
istriku menatap dari foto. Dia ada di mana-mana hari ini, meng?
ikutiku.
"Apa yang seharusnya kulakukan?" aku bertanya kepada si polisi.
"Aku merasa seperti keparat di sini. Aku harus melakukan sesuatu."
Di suatu tempat di hutan, seekor kuda meringkik dengan sedih.
"Kami membutuhkanmu di sini, Nick. Bersikap ramahlah, beri
semangat," kata si polisi, dan menunjuk ke termos oranye terang
di sebelahku. "Tawarkan air. Tunjukkan arah kepada siapa pun
yang menuju arahku." Dia berbalik dan berjalan ke istal kuda. Ter?
lintas di benakku mereka dengan sengaja membatasiku dari tempat
yang mungkin menjadi tempat kejadian apa pun. Aku tidak yakin
apa makna semua itu.
Ketika aku berdiri tanpa tujuan, berpura-pura sibuk dengan
kotak pendingin, mobil SUV yang datang terlambat melaju masuk,
merah mengilat seperti cat kuku. Dari situ keluarlah wanita-wanita
empat puluhan dari kantor pusat. Si wanita yang paling cantik,
Yang Hilang Gone Girl Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang dianggap Boney sebagai penggemar, mengikat rambutnya
dalam kuncir kuda yang tinggi sehingga salah satu temannya bisa
menyemprotkan obat antiserangga ke belakang lehernya. Wanita
itu mengibas-ngibaskan tangan ke uap obat dengan hati-hati. Dia
melirik ke arahku dari ujung matanya. Kemudian dia melangkah
menjauh dari teman-temannya, membiarkan rambutnya tergerai
di sekitar bahu, dan mulai berjalan ke arahku, senyum cemas penuh
simpati di wajah, senyum Aku amat menyesal. Mata besar cokelat
seperti kuda poni, atasan merah jambunya berakhir tepat di atas
celana pendek yang rapi. Sandal berhak tinggi, rambut dikeriting,
anting-anting emas besar. Ini, pikirku, bukan cara berpakaian ketika
mencari orang hilang.
Tolong jangan bicara denganku, Nyonya.
"Hi, Nick, aku Shawna Kelly. Aku amat menyesal." Dia punya suara
bervolume keras yang berlebihan, sedikit melengking, seperti ke?
ledai seksi ajaib. Dia mengulurkan tangan dan aku merasa sedikit
waspada ketika teman-teman Shawna mulai berjalan menyusuri
jalur, melemparkan lirikan khas cewek ke arah kami, si pasangan.
Aku menawarinya yang kumiliki: rasa terima kasihku, airku,
kecanggunganku dengan mengulum bibir. Shawna tidak kelihatan
akan pergi, walaupun aku menatap ke depan, ke arah jalur di mana
teman-temannya menghilang.
"Aku harap kau punya teman, saudara, yang merawatmu selagi
menjalani ini, Nick," katanya, menepuk seekor lalat pikat. "Para
pria lupa untuk merawat diri mereka. Makanan penghibur adalah
hal yang kaubutuhkan."
"Kami selama ini makan daging asap?kau tahu, cepat, gampang,"
Aku masih bisa merasakan salami di belakang tenggorokanku,
uapnya meruap naik dari perutku. Aku jadi tersadar aku belum
menggosok gigiku sejak pagi tadi.
"Oh, pria malang. Yah, daging asap, itu tidak cukup." Dia meng?
geleng, anting emas itu memantulkan sinar matahari. "Kau harus
menjaga kekuatanmu. Nah, kau beruntung, karena aku membuat
pai ayam Frito yang lezat. Kau tahu? Aku akan membuat itu dan
mengantarkannya ke pusat sukarelawan besok. Kau bisa memanas?
kannya di microwave setiap kali ingin makan malam lezat yang
hangat."
"Oh, itu kedengarannya terlalu merepotkan, sungguh. Kami baikbaik saja. Kami benar-benar baik-baik."
"Kau akan menjadi lebih baik sesudah menyantap makanan
enak," katanya, menepuk-nepuk tanganku.
Hening. Dia mencoba pendekatan lain.
"Aku harap ini tidak ada hubungannya dengan... masalah tuna?
wisma kita," katanya. "Sumpah, aku sudah membuat laporan
keluhan berkali-kali. Seseorang menerobos masuk kebunku bulan
lalu. Sensor gerakanku menyala, jadi aku mengintip ke luar dan
dia di sana, berlutut di tanah, melahap tomat. Menggerotinya se?
perti apel, wajah dan atasannya ternoda sari dan biji tomat. Aku
berusaha menakut-nakutinya, tetapi dia mencuri setidaknya dua
puluh tomat sebelum kabur. Mereka tegang, para Pemuda Buku
Biru itu. Tidak punya keahlian lain."
Tiba-tiba aku merasakan kedekatan dengan gerombolan Buku
Biru ini, membayangkan diriku berjalan ke kemah getir mereka,
melambaikan bendera putih: Aku saudara kalian, dulu aku bekerja
di media cetak juga. Komputer mencuri pekerjaanku juga.
"Jangan bilang kau terlalu muda untuk mengingat Buku Biru,
Nick," kata Shawna. Dia menyodokan jari ke pinggangku, membuat?
ku terlonjak lebih daripada yang seharusnya.
"Aku begitu tua, aku lupa soal Buku Biru sampai kau mengingat?
kanku."
Dia tertawa: "Berapa umurmu, 31, 32?"
"Coba 34 tahun."
"Masih bayi."
Trio wanita lansia penuh energi tiba persis saat itu, berderap
ke arah kami, seorang sedang sibuk dengan ponselnya, semua me?
ngenakan rok berkebun berbahan kanvas kuat, sepatu Keds, dan
atasan untuk golf tanpa lengan, menampilkan lengan gual-gail.
Mereka mengangguk kepadaku dengan hormat, kemudian melirik
tidak senang ketika melihat Shawna. Kami kelihatan seperti pa?
sangan yang menjadi tuan rumah acara barbekyu di pekarangan
belakang. Kami kelihatan tidak patut.
Pergilah, Shawna, pikirku.
"Jadi omong-omong, para tunawisma itu, mereka bisa menjadi
amat agresif, seperti mengancam wanita," kata Shawna. "Aku
mengatakan itu kepada Detektif Boney, tetapi kurasa dia tidak ter?
lalu suka kepadaku."
"Kenapa kau bilang begitu?" Aku sudah tahu apa yang akan dia
katakan, mantra semua wanita yang menarik.
"Wanita tidak terlalu menyukaiku." Dia mengangkat bahu. "Begi?
tulah. Apakah dulu?apakah Amy masih punya banyak teman di
kota?"
Sejumlah wanita?teman ibuku, teman Go?dulu mengundang
Amy ke kelab buku dan acara Amway dan malam khusus wanita
di Chili?s. Amy tentu saja menolak semua undangan itu dengan
sedikit pengecualian, yang dia datangi dan benci: "Kami memesan
sejuta gorengan kecil dan minum koktail yang dibuat dari es krim."
Shawna memperhatikanku, ingin tahu soal Amy, ingin dikelom?
pokkan bersama dengan istriku, yang akan membenci Shawna.
"Kurasa dia mungkin punya masalah yang sama denganmu,"
kataku dengan suara ketus.
Shawna tersenyum.
Pergilah, Shawna.
"Sulit untuk datang ke kota baru," katanya. "Sulit untuk berte?
man, semakin kau bertambah tua. Apakah dia seumur denganmu?"
"Tiga puluh delapan."
Itu sepertinya membuat Shawna senang juga.
Pergilah, keparat.
"Pria cerdas, suka wanita yang lebih tua."
Shawna mengambil ponselnya dari tas tangan hijau kekuningan
yang berukuran amat besar, tertawa. "Kemarilah," katanya dan
mengulurkan sebelah lengan, merangkulku. "Beri aku senyum lebar
kaserol ayam Frito."
Aku ingin menamparnya, saat itu, ketidakacuhannya, keperem?
puanannya: berusaha mendapatkan semburan ego dari suami yang
kehilangan istri. Aku menelan amarahku, berusaha mundur, ber?
usaha menebus kesalahan dengan berlebihan dan menjadi ramah,
aku tersenyum seperti robot ketika dia menekankan wajahnya ke
pipiku dan mengambil foto dengan ponselnya, suara klik kamera
palsu menyadarkanku.
Dia membalik ponsel dan aku melihat dua wajah terbakar
matahari berimpitan, tersenyum seolah-olah kami sedang ber?
kencan pada pertandingan bisbol. Melihat seringai tidak tulusku,
mataku yang setengah terutup, aku berpikir, Aku akan membenci
pria ini.
Amy Elliott Dunne
15 September 2010
Catatan buku harian
Aku menulis dari suatu tempat di Pennsylvania. Pinggiran barat
daya. Di motel sesudah jalan tol. Kamar kami menghadap ke tempat
parkir, dan kalau aku mengintip dari balik tirai cokelat pucat yang
kaku, aku bisa melihat orang-orang berseliweran di bawah lampu
fluoresen. Itu jenis tempat yang akan dikerumuni orang. Aku me?
rasakan nyeri emosional lagi. Terlalu banyak yang sudah terjadi,
dan begitu cepat, dan sekarang aku ada di Pennsylvania barat daya,
dan suamiku menikmati tidur menantang di tengah-tengah bung?
kusan keripik dan permen yang dia beli dari mesin penjual ma?
kanan di ujung koridor. Makan malam. Dia marah kepadaku karena
aku tidak mendukungnya. Aku pikir aku menampilkan topeng yang
meyakinkan?hore, petualangan baru!?tetapi kurasa aku tidak
melakukannya.
Sekarang aku mengingat-ingat lagi, kami sepertinya sedang me?
nunggu sesuatu terjadi. Nick dan aku seperti sedang duduk di
bawah naungan kedap udara dan kedap angin, kemudian naungan
itu terjatuh dan?ada yang harus dilakukan.
Dua minggu yang lalu, kami menganggur seperti biasa: setengah
berpakaian, pekat dengan rasa bosan, bersiap-siap sarapan dalam
keheningan sehingga kami akan membaca seluruh bagian koran.
Kami bahkan membaca suplemen otomotif sekarang.
Ponsel Nick berdering pada pukul 10.00 dan aku bisa menebak
dari suaranya, itu Go. Nick terdengar ringan, kekanak-kanakan,
caranya bicara dengan Go. Caranya bicara kepadaku dulu.
Nick berjalan ke kamar tidur dan menutup pintu, meninggalkanku
memegang dua Eggs Benedict yang baru dimasak bergoyanggoyang di piring. Aku menaruh piring Nick di meja dan duduk di
seberangnya, bertanya-tanya apakah aku seharusnya menunggu
sebelum makan. Kalau itu aku, pikirku, aku akan kembali keluar
dan memberitahu Nick untuk makan, atau aku akan mengangkat
jari: Sebentar dulu. Aku akan menyadari orang lain di sana, pa?
sanganku, ditinggalkan di dapur dengan piring berisi telur. Aku
merasa buruk karena berpikir seperti itu. Karena tidak lama kemu?
dian aku bisa mendengar gumam cemas dan seruan kesal dan
kalimat menenangkan yang lembut dari balik pintu, dan aku mulai
bertanya-tanya apakah Go sedang bermasalah dengan pria di kam?
pung halaman. Go sering putus hubungan. Bahkan ketika dia yang
memutuskan hubungan itu, dia membutuhkan banyak pegangan
tangan dan kalimat menenangkan dari Nick.
Jadi aku menampilkan wajah Malangnya Go yang biasa ketika
Nick muncul, telur-telur sudah kaku di atas piring. Aku melihatnya
dan tahu ini bukan sekadar masalah Go.
"Ibuku," katanya memulai dan duduk. "Bangsat. Ibuku terserang
kanker. Stadium empat dan sudah menyebar ke hati dan tulang.
Dan itu buruk, itu...."
Dia menutupi wajahnya dengan tangan dan aku menghampirinya
dan memeluknya. Ketika Nick menengadah, matanya kering. Te?
nang. Aku tidak pernah melihat suamiku menangis.
"Terlalu banyak tekanan untuk Go, ditambah dengan Alzheimer
yang diderita ayahku."
"Alzheimer? Alzheimer? Sejak kapan?"
"Yah, sudah agak lama. Awalnya mereka menduga itu demensia
awal. Tetapi ternyata jauh lebih buruk."
Aku langsung berpikir, ada yang salah dengan kami, mungkin
tidak bisa diperbaiki, kalau suamiku tidak berpikir untuk mem?
beritahuku soal ini. Kadang-kadang aku merasa ini permainan
pribadinya, bahwa dia diam-diam bersaing dalam kemampuan
tidak terbaca orang lain. "Kenapa kau tidak mengatakan apa pun
kepadaku?"
"Ayahku bukan orang yang suka kubicarakan sering-sering."
"Tetapi tetap saja?"
"Amy. Tolong." Dia menunjukkan ekspresi itu, seolah-olah aku
tidak berpikir, seolah-olah dia begitu yakin aku tidak berpikir se?
hingga aku bertanya-tanya apakah aku memang begitu.
"Tapi sekarang. Go bilang kepada ibuku, dia membutuhkan
kemoterapi tetapi... dia akan amat sangat sakit. Dia membutuhkan
Yang Hilang Gone Girl Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bantuan."
"Haruskah kita mulai mencari perawatan di rumah untuknya?
Perawat?"
"Dia tidak punya asuransi seperti itu."
Nick menatapku, lengan bersilang, dan aku tahu apa yang dia
pikirkan: menantangku untuk menawari membayar perawatan itu,
dan kami tidak bisa membayarnya, karena aku sudah memberikan
uangku kepada orangtuaku.
"Oke, kalau begitu, Sayang," kataku. "Apa yang ingin kaulakukan?"
Kami berdiri berhadapan, pertarungan, seolah-olah kami sedang
berkelahi dan aku tidak diberitahu. Aku mengulurkan tangan untuk
menyentuhnya dan dia hanya menatap tanganku.
"Kita harus pulang." Dia memelototiku, membelalak lebar-lebar.
Dia menjentikkan jari-jarinya seolah-olah dia berusaha menyingkir?
kan sesuatu yang lengket. "Kita habiskan setahun dan kita akan
melakukan hal yang seharusnya. Kita tidak memiliki pekerjaan,
tidak punya uang, tidak ada yang menahan kita di sini. Bahkan kau
harus mengakui itu."
"Bahkan aku harus mengakuinya?" Seolah-olah aku sudah me?
lawan. Aku merasakan ledakan amarah yang kutelan.
"Ini yang akan kita lakukan. Kita akan melakukan hal yang benar.
Kita akan menolong orangtuaku sekali ini."
Tentu saja itu yang harus kami lakukan, dan tentu saja jika dia
menjelaskan masalah ini kepadaku tanpa bersikap seolah-olah aku
musuhnya, itulah yang akan kukatakan. Tetapi dia keluar dari pintu
sudah mengancamku seolah-olah aku adalah masalah yang harus
diselesaikan. Aku suara getir yang harus dibungkam.
Suamiku adalah pria paling setia di planet ini sampai dia tidak
lagi begitu. Aku sudah melihat matanya benar-benar berubah men?
jadi lebih gelap ketika dia merasa dikhianati seorang teman, bahkan
sahabat lama yang dia sayangi, kemudian si sahabat itu tidak
pernah disebut-sebut lagi. Dia melihatku pada saat itu seolah-olah
aku objek yang akan dilontarkan keluar jika perlu. Tatapannya itu
membuatku ngeri, sebenarnya.
Jadi semua ini diputuskan begitu cepat, dengan sedikit perdebatan:
Kami meninggalkan New York. Kami pergi ke Missouri. Ke rumah
di Missouri di tepi sungai tempat kami akan tinggal. Rasanya
surealis dan aku bukan orang yang suka menyalahgunakan kata
surealis.
Aku tahu ini akan baik-baik saja. Hanya saja begitu jauh dari
bayanganku. Ketika aku membayangkan kehidupanku. Bukan ber?
arti aku bilang ini buruk, hanya saja.... Jika kau menebak sejuta kali
ke mana hidup akan membawaku, aku tidak akan menduga ini.
Aku merasa itu mencemaskan.
Mengemas barang di truk U-Haul rasanya seperti tragedi mini:
Nick, bertekad dan merasa bersalah, mulutnya rapat membentuk
garis lurus, menyelesaikan semuanya, tidak mau menatapku. Truk
U-Haul parkir selama berjam-jam, menyumbat lalu lintas di jalan
kecil kami, mengedip-ngedipkan lampu tanda darurat?bahaya,
bahaya, bahaya?ketika Nick naik-turun tangga, jalur perakitan
satu orang, membawa kardus berisi buku, kardus berisi peralatan
dapur, kursi-kursi, meja nakas. Kami membawa sofa vintage kami?
chesterfield tua lebar kami yang Dad sebut sebagai peliharaan kami,
kami amat menyayanginya. Sofa itu akan jadi benda terakhir yang
kami kemas, tugas dua orang yang melelahkan dan janggal. Mem?
bawa benda raksasa itu menuruni tangga (Sebentar, aku harus
istirahat. Angkat ke kanan. Sebentar, kau berjalan terlalu cepat.
Awas, jariku jariku!) akan menjadi latihan penguatan tim yang amat
dibutuhkan. Sesudah sofa, kami akan membeli makan siang di kedai
pojok, roti bagel isi untuk dimakan di jalan. Soda dingin.
Nick mengizinkanku membawa sofa itu, tetapi benda besar kami
yang lain tetap tinggal di New York. Salah satu teman Nick akan
mewarisi tempat tidur kami; orang itu akan datang nanti ke rumah
kosong kami?tidak ada apa pun selain debu dan kabel-kabel?dan
membawa tempat tidur itu, kemudian dia akan menjalani kehi?
dupan New York-nya di tempat tidur New York kami, makan ma?
sakan Cina jam dua pagi dan bercinta malas-malasan dengan
kondom bersama perempuan-perempuan bermulut kurang ajar
yang bekerja di bagian Humas. (Rumah kami akan diambil alih oleh
pasangan berisik, pasangan suami-istri pengacara yang tanpa malu
dan terang-terangan merasa girang karena kesepakatan harga yang
murah ini. Aku membenci mereka.)
Aku mengangkut satu barang untuk setiap empat yang diangkut
Nick turun. Aku bergerak lambat, terseok-seok, seakan-akan tulang?
ku sakit, kenikmatan seperti demam hinggap di diriku. Semuanya
terasa sakit. Nick melewatiku dengan tergesa-gesa, naik-turun
tangga, dan melemparkan pandangan berkerut kepadaku, mem?
bentak, "Kau baik-baik saja?" dan terus berjalan sebelum aku
menjawab, meninggalkanku ternganga, sosok kartun dengan lubang
hitam untuk mulut. Aku tidak baik. Aku akan jadi baik, tetapi se?
karang aku tidak baik. Aku ingin suamiku memelukku, menghiburku,
memanjakanku sedikit saja. Hanya sebentar.
Di bagian belakang truk, Nick sibuk dengan kotak-kotak kardus.
Nick membanggakan keahlian mengemasnya: Dia (dulu) orang
yang memasukkan piring ke mesin cuci piring, pengemas tas untuk
liburan. Tetapi setelah tiga jam, jelas kami sudah menjual atau
menghadiahkan terlalu banyak barang milik kami. Gua truk U-Haul
yang amat besar hanya setengah penuh. Itu memberiku satu ke?
puasan dalam sehari itu, rasa puas membara yang kejam di dalam
perut, seperti setitik merkuri. Bagus, pikirku. Bagus.
"Kita bisa membawa tempat tidurnya kalau kau benar-benar
mau," kata Nick, melihatku sekilas sambil memandang jalan. "Kita
punya cukup ruang."
"Tidak, kau menjanjikannya kepada Wally, Wally harus men?
dapatkannya," kataku tegas.
Aku salah. Katakan saja: Aku salah, aku minta maaf, ayo kita
bawa tempat tidurnya. Kau seharusnya memiliki tempat tidur lama
nyamanmu di tempat baru ini. Senyum kepadaku dan bersikap
baiklah kepadaku. Hari ini, bersikap baiklah kepadaku.
Nick menghela napas keras-keras. "Oke, kalau itu yang kauingin?
kan. Amy? Benarkah?" Dia berdiri, sedikit kehabisan napas, ber?
sandar pada tumpukan kardus, yang paling atas bertuliskan spidol
Magic Marker: BAJU MUSIM DINGIN AMY. "Ini kali terakhir aku men?
dengar soal tempat tidur, Amy? Karena aku menawarkan ini seka?
rang. Aku akan dengan senang hati mengemas tempat tidur itu
untukmu."
"Betapa baiknya dirimu," kataku, sepelan tarikan napas, caraku
membantah: embusan parfum dari alat penyembur yang buruk.
Aku pengecut. Aku tidak suka konfrontasi. Aku mengangkat satu
kardus dan berjalan ke arah truk.
"Kau bilang apa tadi?"
Aku menggeleng ke arah Nick. Aku tidak mau dia melihatku
menangis, karena itu akan membuat Nick lebih marah.
Sepuluh menit kemudian, anak tangga terdengar berdebum?
bum! Bum! Bum!?Nick menyeret sofa kami turun sendirian.
Aku bahkan tidak bisa melihat ke belakangku ketika kami me?
ninggalkan New York, karena truk itu tidak punya jendela belakang.
Di kaca spion, aku mengamati garis langit (garis langit yang me?
mudar?bukankah itu yang mereka tuliskan di novel zaman
Victoria ketika si tokoh perempuan malang dipaksa meninggalkan
rumah keluarganya?), tetapi tidak ada gedung yang bagus?
Chrysler, atau Empire State, atau Flatiron yang muncul di kaca
persegi panjang kecil berkilau itu.
Orangtuaku mampir malam sebelumnya, menghadiahi kami jam
kukuk keluarga yang aku sukai ketika aku masih kanak-kanak, dan
kami bertiga menangis dan berpelukan sementara Nick me?
masukkan tangan ke saku dan berjanji untuk merawatku.
Dia berjanji akan merawatku tetapi aku merasa takut. Aku me?
rasa sesuatu berjalan salah, amat salah, dan itu akan menjadi lebih
buruk. Aku tidak merasa seperti istri Nick. Aku tidak merasa seperti
seseorang sama sekali: Aku sesuatu yang dikemas dan dibongkar,
seperti sofa atau jam kukuk. Aku sesuatu yang dienyahkan ke tem?
pat pembuangan sampah, dilempar ke sungai, kalau perlu. Aku
tidak merasa nyata lagi. Aku merasa aku bisa menghilang.
Nick Dunne
Tiga hari hilang
Para polisi tidak akan menemukan Amy kecuali seseorang ingin
dia ditemukan. Fakta itu jelas. Semua tempat hijau dan cokelat
sudah diselidiki: berkilo-kilometer Sungai Mississippi yang berlum?
pur, semua jalur pejalan kaki dan hiking, hutan-hutan kami yang
jarang-jarang dan menyedihkan. Jika Amy masih hidup, seseorang
harus mengembalikannya. Kalau dia tewas, alam akan menyerahkan?
nya. Itu kebenaran yang gamblang, seperti rasa masam di ujung
lidah. Aku tiba di pusat sukarelawan dan menyadari semua orang
menyadari fakta ini juga: Ada kelesuan, perasaan kalah, yang meng?
gantung di tempat itu. Aku berkeliaran tanpa tujuan di sekitar meja
pastry dan berusaha meyakinkan diriku untuk makan sesuatu. Roti
Danish. Aku menjadi yakin tidak ada makanan yang lebih membuat
depresi daripada Danish, pastry yang sepertinya sudah apak ketika
baru tiba.
"Aku yakin tempatnya di sungai," salah satu sukarelawan berkata
kepada temannya, keduanya memilih-milih pastry dengan jari-jari
kotor. "Tepat di belakang rumah si suami, cara paling gampang,
kan?"
"Dia seharusnya sudah hanyut ke kolam pusaran air sekarang,
di kanal atau sesuatu."
"Tidak kalau dia dipotong-potong. Potong kakinya, tangannya...
badannya bisa hanyut sampai ke Teluk. Setidaknya sampai Tunica."
Aku berbalik sebelum mereka melihatku.
Guruku dulu, Mr. Coleman, duduk di meja untuk bermain kartu,
membungkuk di atas telepon penerima informasi, menuliskan
informasi. Ketika aku berserobok pandang dengannya, dia mem?
buat tanda orang sinting: satu jari melingkar-lingkar di telinganya,
kemudian menunjuk ke arah telepon. Dia menyapaku kemarin de?
ngan mengatakan, "Cucu perempuanku tewas oleh pengemudi yang
mabuk, jadi...." Kami bergumam dan saling menepuk dengan cang?
gung.
Ponselku berbunyi, ponsel cadangan?aku tidak tahu di mana
aku bisa menyimpannya, jadi aku membawanya bersamaku. Aku
sudah menelepon dan teleponku dibalas, tetapi aku tidak bisa me?
nerimanya. Aku mematikan ponsel, memeriksa ruangan untuk
memastikan pasangan Elliott tidak melihat aku melakukannya.
Marybeth sedang mengetik di BlackBerry-nya, kemudian menjauh?
kannya sepanjang lengan agar bisa membaca teksnya. Ketika me?
lihatku, dia berderap dengan langkah cepat kakunya, memegang
BlackBerry di depan badan seperti sebuah jimat.
"Berapa jam dari sini ke Memphis?" tanyanya.
"Tak sampai lima jam, menyetir. Ada apa di Memphis?"
"Hilary Handy tinggal di Memphis. Penguntit Amy dari SMA.
Kebetulan macam apa itu?"
Aku tidak tahu harus bilang apa: bukan kebetulan?
Yang Hilang Gone Girl Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yah, Gilpin menolakku juga. Kami tidak bisa mengizinkan pe?
ngeluaran untuk sesuatu yang terjadi dua puluh tahun yang lalu
atau lebih. Bajingan. Pria itu selalu memperlakukanku seperti aku
nyaris histeris; dia akan bicara kepada Rand sementara aku di sana,
sepenuhnya mengabaikanku, seolah-olah aku membutuhkan suami?
ku untuk menjelaskan hal-hal kepada aku yang bodoh. Bajingan."
"Kota ini berantakan," kataku. "Aku yakin mereka benar-benar
tidak punya anggaran, Marybeth."
"Yah, kami punya. Aku serius, Nick, gadis ini sinting. Dan aku
tahu dia berusaha mengontak Amy selama bertahun-tahun. Amy
memberitahuku."
"Dia tidak pernah memberitahuku."
"Berapa ongkos untuk menyetir ke sana? Lima puluh dolar?
Baiklah. Maukah kau pergi? Kau bilang kau akan pergi. Kumohon?
Aku tidak akan bisa berhenti memikirkannya hingga aku tahu ada
seseorang yang sudah bicara kepada gadis itu."
Aku tahu ini memang benar, setidaknya, karena putri Marybeth
mengidap masalah panik hebat yang sama: Amy bisa menghabiskan
semalaman merewelkan bahwa dia meninggalkan kompor menyala,
walaupun kami tidak memasak hari itu. Atau apakah pintunya
terkunci? Apakah aku yakin? Dia pembuat skenario terburuk pada
skala yang amat tinggi. Karena bayangannya tidak pernah sekadar
pintu tidak terkunci, tetapi pintu tidak terkunci, dan ada orangorang di dalam rumah, dan mereka menunggu untuk memerkosa
dan membunuhnya.
Aku merasakan lapisan keringat menguar ke permukaan kulitku,
karena, akhirnya, ketakutan istriku sudah menjadi kenyataan. Ba?
yangkan rasa puas yang mengerikan itu, tahu bahwa rasa cemas
selama bertahun-tahun itu akhirnya terbayar juga.
"Tentu saja aku akan pergi. Dan aku akan mampir di St. Louis,
menemui yang satu lagi, Desi. Anggap saja aku sudah melakukannya."
Aku berbalik, mulai berjalan keluar dengan dramatis, berhasil
menjauh enam meter, dan tiba-tiba, ada Stucks lagi, wajahnya masih
lelah karena kantuk.
"Dengar-dengar polisi menyelidiki mal kemarin," katanya, meng?
garuk-garuk rahang. Tangan satunya memegang donat berlapis
gula, belum digigit. Tonjolan berbentuk bagel tampak di kantong
depan celana kargonya. Aku nyaris membuat lelucon: Apakah itu
roti di kantongmu atau kau....
"Yah. Tidak ada apa-apa."
"Kemarin. Mereka pergi kemarin, bangsat-bangsat itu." Dia me?
nunduk, menatap ke sekeliling, seolah-olah cemas mereka akan
mendengar perkataannya. Stucks mencondongkan badan ke arah?
ku. "Kau pergi malam hari, itu ketika mereka ada di sana. Siang
hari, mereka ada di sungai atau keluar mengibarkan bendera."
"Mengibarkan bendera?"
"Kau tahu lah, duduk di dekat pintu keluar jalan tol dengan
papan-papan bertuliskan: Dipecat, Tolong Bantu, Butuh Uang Bir,
apa pun," katanya, memeriksa ruangan. "Mengibarkan bendera,
Bung."
"Oke."
"Malam hari mereka ada di mal," katanya.
"Kalau begitu, ayo pergi nanti malam," kataku. "Kau dan aku dan
siapa pun."
"Joe dan Mikey Hillsam," kata Stucks. "Mereka akan mau ikut."
Kakak-beradik Hillsam berusia tiga-empat tahun lebih tua daripada
aku, preman kota. Mereka tipe pria yang lahir tanpa gen takut,
kebal terhadap rasa sakit. Bocah-bocah atlet yang menghabiskan
musim panas dengan cepat di atas dua kaki pendek berotot, ber?
main bisbol, minum bir, memenuhi tantangan-tantangan aneh:
main skateboard ke parit drainase, memanjat menara air telanjang.
Tipe pria yang akan memacu mobilnya, bermata liar, pada Sabtu
malam yang membosankan dan kau tahu sesuatu akan terjadi,
mungkin tidak bagus, tetapi ada sesuatu. Tentu saja kakak-beradik
Hillsam akan mau ikut.
"Bagus," kataku. "Malam ini kita pergi."
Ponselku kembali berdering di sakuku. Benda itu tidak mati
dengan benar. Ponsel itu berdering lagi.
"Kau akan menjawab itu?" tanya Stucks.
"Tidak."
"Kau seharusnya menjawab setiap panggilan, Bung. Kau harus
melakukannya."
Tidak ada yang bisa dilakukan sepanjang sisa hari. Tidak ada ren?
cana pencarian, tidak harus ada pamflet tambahan, semua telepon
ditunggui. Marybeth mulai meminta para sukarelawan pulang;
mereka hanya berdiri tanpa tujuan, makan, bosan. Aku curiga
Stucks pergi dengan setengah isi meja sarapan di dalam kantong?
nya.
"Ada yang mendengar kabar dari para detektif?" tanya Rand.
"Tidak ada," Marybeth dan aku sama-sama menjawab.
"Itu bisa jadi bagus, kan?" tanya Rand, mata penuh harap, dan
Marybeth dan aku sama-sama mengiyakan dirinya. Ya, tentu.
"Kapan kau berangkat ke Memphis?" tanya Marybeth kepadaku.
"Besok. Malam ini teman-temanku dan aku akan menyelidiki
mal sekali lagi. Kami pikir itu tidak dilakukan dengan benar ke?
marin."
"Bagus," kata Marybeth. "Ini tindakan yang kita butuhkan. Kami
menduga itu tidak dilakukan dengan benar kali pertama, kami akan
menyelidiki sendiri. Karena aku cuma?aku cuma tidak terkesan
dengan apa yang sudah dilakukan sejauh ini."
Rand menaruh sebelah tangan di bahu istrinya, tanda bahwa
komentar ini sudah dinyatakan dan diterima berkali-kali.
"Aku ingin ikut denganmu, Nick," kata Rand. "Malam ini. Aku
ingin ikut." Rand mengenakan kaus golf biru muda dan celana co?
kelat gelap, rambutnya hitam berkilau seperti helm. Aku mem?
bayangkan Rand berusaha akrab kepada kakak-beradik Hillsam,
melakukan rutinitas dia-teman-semua-orang yang sedikit me?
maksa?hei, aku juga suka bir yang enak, dan bagaimana tim olah?
ragamu itu??dan merasakan datangnya serangan kecanggungan.
"Tentu saja, Rand. Tentu saja."
Aku memiliki sepuluh jam kosong untuk dihabiskan. Mobilku sudah
dikembalikan kepadaku?sudah diproses dan divakum dan diambil
sidik jarinya, kurasa?jadi aku menumpang ke kantor polisi dengan
seorang sukarelawan lansia, salah satu tipe nenek-nenek sibuk
yang sepertinya sedikit gugup sendirian bersamaku.
"Aku cuma mengantarkan Mr. Dunne ke kantor polisi, tapi aku
akan kembali kurang dari setengah jam," katanya kepada salah satu
temannya. "Tidak lebih dari setengah jam."
Gilpin tidak mengambil surat kedua Amy sebagai barang bukti;
dia terlalu bersemangat dengan pakaian dalam untuk peduli pada
surat kedua itu. Aku masuk ke mobilku, menyentakkan pintu hingga
terbuka, dan duduk ketika hawa panas mengalir turun, membaca
ulang petunjuk kedua dari istriku:
Bayangkan diriku: Aku tergila-gila padamu
Masa depanku kabur tanpa dirimu
Kaubawa aku ke sini agar aku bisa mendengarmu bicara
Tentang petualangan kanak-kanak: jins belel dan topi tudung
mata
Persetan dengan orang lain, untuk kita mereka tak dekat
Dan ayo curi ciuman... pura-pura kita baru terikat
Itu di Hannibal, Missouri, rumah masa kanak-kanak Mark Twain,
di mana aku bekerja pada musim panas ketika aku masih muda,
ketika aku berkeliaran kota berdandan sebagai Huck Finn, dengan
topi jerami usang dan celana yang sengaja dibuat compang164
camping, tersenyum agak nakal, membujuk orang-orang untuk
mengunjungi Kedai Es Krim. Itu salah satu cerita yang kaukisahkan
ketika sedang makan bersama, setidaknya di New York, karena
tidak ada yang akan menyaingi cerita itu. Tidak ada yang akan bisa
mengatakan: Oh yah, aku juga begitu.
Komentar "topi tudung mata" itu lelucon antara kami: Ketika
pertama kali aku memberitahu Amy aku memerankan Huck, kami
sedang makan malam di luar, meminum botol anggur kedua kami,
dan Amy sedikit mabuk dan menggemaskan. Seringai lebar dan
pipi merona ketika dia minum. Mencondongkan badan di meja
seakan-akan aku memiliki magnet dalam diriku. Dia terus bertanya
kepadaku apakah aku masih memiliki topi tudung mata itu, apakah
aku mau memakai topi tudung mata itu untuknya, dan ketika aku
bertanya kenapa, demi semua yang suci, dia berpikir Huck Finn
memakai tudung mata, Amy langsung menelan ludah dan berkata,
"Oh, maksudku topi jerami!" Seolah-olah dua kata itu bisa
dipertukarkan. Sesudah itu, setiap kali kami menonton tenis, kami
selalu memuji topi jerami para pemain.
Namun, Hannibal adalah pilihan yang aneh untuk Amy, karena
aku tidak ingat kami menjalani waktu yang baik atau buruk di sana,
kami cuma ada di sana. Aku ingat kami berjalan-jalan di sana se?
kitar setahun yang lalu, menunjuk berbagai hal dan membaca plang
dan berkata, "Menarik," sementara orang satunya menyetujui, "Me?
mang." Aku pernah ke sana setelah itu tanpa Amy (keinginan nos?
talgiaku tidak terpatahkan) dan menjalani hari yang luar biasa,
seringai lebar, hari semua terasa benar di dunia ini. Tetapi dengan
Amy, itu dilakukan dengan kaku, tanpa berpikir. Sedikit memalukan.
Aku ingat pada satu titik memulai cerita konyol soal wisata kemari
ketika kanak-kanak, dan aku melihat mata Amy menjadi kosong,
dan aku diam-diam berang, menghabiskan sepuluh menit membuat
diriku kesal?karena pada titik ini dalam pernikahan kami, aku
begitu terbiasa marah kepada Amy, rasanya nyaris nikmat, seperti
menggigiti kutikula: Kau tahu kau harus berhenti, bahwa itu tidak
seenak yang kaupikir, tetapi kau tidak bisa berhenti menggerogoti
jarimu. Di permukaan, tentu saja, Amy tidak melihat apa pun. Kami
terus berjalan, dan membaca plang, dan menunjuk.
Itu pengingat yang cukup buruk, kelangkaan kenangan baik yang
kami miliki sejak kami pindah, sehingga istriku terpaksa memilih
Hannibal untuk perburuan harta karunnya.
Aku sampai di Hannibal dalam dua puluh menit, menyetir me?
lewati gedung pengadilan Gilded Age yang megah yang sekarang
hanya dihuni oleh restoran sayap ayam di lantai bawah tanahnya,
dan berjalan melewati serangkaian tempat usaha yang sudah
tutup?bank masyarakat yang gagal dan bioskop mati?menuju
ke sungai. Aku parkir di tempat parkir di sebelah Mississippi, tepat
di depan perahu sungai Mark Twain. Parkir gratis di sana. (Aku
selalu senang akan kebaruan itu, kemurahhatian parkir gratis.)
Spanduk bergambar pria bersurai putih tergantung lesu di tiang
lampu, poster-poster mengeriting dalam udara panas. Hari itu
panas kering, tapi tetap saja, Hannibal sepertinya hening dengan
cara yang tidak biasa. Ketika aku berjalan menyusuri beberapa
blok toko suvenir?selimut tebal dan barang antik dan gula-gula?
aku melihat lebih banyak lagi papan tanda dijual. Rumah Becky
Thatcher ditutup untuk renovasi, dibayar dengan uang yang belum
dikumpulkan. Untuk sepuluh dolar, kau bisa menuliskan namamu
di wajah Tom Sawyer yang dilabur cat putih, tetapi hanya ada se?
dikit orang yang berminat.
Aku duduk di depan pintu toko yang kosong. Terlintas di benak?
Yang Hilang Gone Girl Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ku bahwa aku membawa Amy ke akhir segalanya. Kami sesungguh?
nya mengalami akhir dari satu cara menjalani kehidupan, frasa
yang aku terapkan hanya kepada suku di Papua Nugini dan para
pembuat kaca tiup di Appalachia. Resesi menutup mal. Komputer
menutup pabrik Buku Biru. Carthage bangkrut; kota kembarnya
Hannibal kalah bersaing dengan daerah wisata yang lebih cerah,
berisik, seperti kartun. Sungai Mississippi-ku yang tercinta dimakan
ikan karper Asia, melompat-lompat berlawanan arus menuju Danau
Michigan. Amazing Amy sudah tamat. Ini akhir dari karierku, karier
Amy, akhir dari ayahku, akhir dari ibuku. Akhir dari pernikahan
kami. Akhir dari Amy.
Desah peluit perahu uap yang seperti hantu terdengar dari su?
ngai. Aku berkeringat hingga menembus kemejaku. Aku memaksa
diriku berdiri. Aku memaksa diriku membeli tiket tur. Aku me?
napaki rute yang ditelusuri Amy dan aku, istriku masih ada di sisiku
dalam benakku. Saat itu udaranya pun panas. Kau BRILIAN. Dalam
imajinasiku, dia berjalan lambat di sebelahku, dan kali ini dia ter?
senyum. Perutku berubah cair.
Aku membayangkan istriku berjalan di sekitar objek turis utama.
Pasangan berambut kelabu berhenti sejenak untuk mengintip ke
dalam rumah Huckleberry Finn tetapi tidak mau bersusah payah
berjalan ke dalam. Di ujung blok, seorang pria berpakaian seperti
Twain?rambut putih, jas putih?keluar dari Ford Focus, meregang,
melihat ke sepanjang jalanan yang sepi, dan masuk ke kedai pizza.
Kemudian kami di sana, di bangunan berdinding papan yang se?
belumnya adalah ruang pengadilan ayah Samuel Clemen. Tanda di
luar bertuliskan: J. M. Clemens, Keadilan Kedamaian.
Dan ayo curi ciuman... pura-pura kita baru terikat.
Kau membuat ini begitu menyenangkan dan mudah, Amy. Seolaholah kau sebenarnya ingin aku menemukan petunjuk-petunjuk ini,
untuk merasa baik akan diriku sendiri. Teruskan seperti ini dan aku
akan memecahkan rekorku.
Tidak ada orang lain di dalam. Aku berlutut di lantai papan ber?
debu dan mengintip ke bawah bangku pertama. Kalau-kalau Amy
meninggalkan petunjuk di tempat umum, dia selalu menempelkannya
di bawah benda-benda, di antara permen karet tergumpal dan
debu, dan pilihannya selalu benar karena tidak ada yang suka me?
meriksa bagian bawah benda-benda. Tidak ada apa pun di bawah
bangku pertama, tetapi ada selembar kertas menggantung dari
bangku di belakangnya. Aku merangkak bangkit dan menarik lepas
amplop biru Amy, ada sepotong perekat menempel di sana.
Hai Suami Sayang,
Kau menemukannya! Kau pria brilian. Mungkin membantu
karena aku memutuskan tidak membuat perburuan harta karun
tahun ini sebagai pawai paksaan menyiksa melewati kenangan
pribadiku yang misterius.
Aku mengambil petunjuk dari Mark Twain yang begitu kau?
sukai:
"Apa yang harus dilakukan kepada orang yang menciptakan
perayaan ulang tahun? Dibunuh saja akan terlalu ringan."
Aku akhirnya paham, yang kaukatakan dari tahun ke tahun,
bahwa perburuan harta karun ini seharusnya menjadi waktu
untuk merayakan kita, bukan ujian apakah kau ingat semua yang
kupikirkan atau kukatakan sepanjang tahun. Kau akan berpikir
itu yang akan disadari sendiri oleh seorang wanita dewasa,
tetapi... kurasa itu gunanya suami. Untuk menunjukkan apa yang
tidak bisa kita lihat sendiri, sekalipun itu butuh waktu lima tahun.
Jadi aku ingin mengambil waktu sejenak sekarang, di tempat
masa kanak-kanak Mark Twain, dan berterima kasih untuk
KECERDASAN-mu. Kau benar-benar orang paling pintar, paling
lucu yang kukenal. Aku memiliki ingatan yang menyenangkan:
dari masa bertahun-tahun ketika kau mencondongkan badan ke
arah telingaku?aku bisa merasakan napasmu menggelitik daun
telingku, sekarang, ketika aku menulis ini?dan membisikkan
sesuatu hanya untukku, hanya untuk membuatku tertawa. Betapa
tulusnya itu, aku sadar, bagi seorang suami berusaha membuat
istrinya tertawa. Dan kau selalu memilih momen terbaik. Apa
kau ingat ketika Insley dan suami doger monyetnya memaksa
kita datang untuk mengagumi bayi mereka, dan kita melakukan
kunjungan wajib ke rumah mereka yang sempurna dengan cara
aneh, terlalu banyak bunga, terlalu banyak muffin, untuk acara
makan sebelum makan siang dan bertemu dengan bayi, dan me?
reka begitu munafik dan menggurui soal kita yang tidak punya
anak, dan sementara itu ada bayi laki-laki buruk rupa mereka,
berlumuran air liur dan wortel rebus dan mungkin kotoran?
telanjang hanya memakai cukin berenda dan sepasang sepatu
rajutan?dan ketika aku menyesap jus jerukku, kau mencondong?
kan badan dan berbisik, "Itu yang akan kupakai nanti." Dan aku
menyemburkan minumanku. Itu salah satu momen ketika kau
menyelamatkanku, kau membuatku tertawa tepat pada waktunya.
Tapi cuma satu zaitun. Jadi biarkan aku mengatakannya lagi: Kau
CERDAS. Sekarang cium aku!
Aku merasakan jiwaku mengempis. Amy menggunakan per?
buruan harta karun ini untuk mengarahkan kami kembali ke kami.
Dan itu sudah terlambat. Sementara menulis petunjuk-petunjuk
ini, dia sama sekali tidak tahu isi pikiranku. Kenapa, Amy, kenapa
tidak bisa kaulakukan ini lebih cepat?
Pengaturan waktu kami memang tidak pernah baik.
Aku membuka petunjuk berikut, membacanya, menyelipkannya di
kantongku, kemudian mengarah pulang. Aku tahu ke mana aku
harus pergi, tetapi belum siap. Aku tidak bisa menerima pujian
lain, kata baik lainnya dari istriku, satu lagi cabang buah zaitun.
Perasaanku untuk Amy berpindah terlalu cepat dari getir ke manis.
Aku kembali ke rumah Go, menghabiskan beberapa jam sen?
dirian, minum kopi dan mengganti-ganti saluran TV, cemas dan
kesal, membunuh waktu hingga jemputan pukul sebelas malam ke
mal.
Saudara kembarku pulang tak lama sesudah pukul tujuh, ke?
lihatan lemas karena bekerja sendirian di bar. Lirikannya ke arah
TV memberitahuku aku sebaiknya mematikan benda itu.
"Apa yang kaulakukan hari ini?" tanya Go, menyalakan rokok
dan mengenyakkan badan ke meja kartu usang milik ibuku.
"Menjaga pusat sukarelawan... kemudian kami akan memeriksa
mal jam sebelas," kataku. Aku tidak mau memberitahu Go soal pe?
tunjuk dari Amy. Aku sudah merasa cukup bersalah.
Go membagikan kartu soliter, tepukan tegas kartu di meja adalah
teguran. Aku mulai berjalan mondar-mandir. Dia mengabaikanku.
"Aku menonton TV cuma untuk mengalihkan perhatian."
"Aku tahu, aku paham."
Dia membalik kartu Jack.
"Pastinya ada sesuatu yang bisa kulakukan," kataku, berjalan
mengelilingi ruang duduk Go.
"Yah, kau menyelidiki mal beberapa jam dari sekarang," kata Go
dan tidak memberikan dukungan lebih banyak. Dia membalik tiga
kartu.
"Sepertinya kau berpikir itu buang-buang waktu."
"Oh. Tidak. Hei, semua layak diperiksa. Mereka menangkap si
Son of Sam gara-gara surat tilang, kan?"
Go adalah orang ketiga yang menyebutkan ini kepadaku; ini pasti
mantra untuk kasus yang tidak terpecahkan sesudah beberapa
lama. Aku duduk di seberangnya.
"Aku belum cukup sedih soal Amy," kataku. "Aku tahu itu."
"Mungkin tidak." Dia akhirnya menengadah menatapku. "Kau
bertingkah aneh."
"Aku berpikir daripada panik, aku fokus pada merasa marah
kepadanya saja. Karena kami berada dalam situasi yang buruk
akhir-akhir ini. Rasanya salah bagiku untuk merasa cemas terlalu
banyak karena aku tidak punya hak untuk melakukan itu. Kurasa
begitu."
"Kau sudah bertingkah aneh, aku tidak bisa berbohong," kata
Go. "Tapi ini situasi yang aneh." Dia mematikan rokok. "Aku tidak
peduli bagaimana kau bertingkah denganku. Berhati-hatilah dengan
orang lain, oke? Orang-orang menghakimi. Dengan cepat."
Dia kembali bermain soliter, tetapi aku ingin perhatiannya. Aku
terus bicara.
"Aku sebaiknya mungkin mengunjungi Dad nanti," kataku. "Aku
tidak tahu apakah aku akan memberitahunya soal Amy."
"Tidak," kata Go. "Jangan. Dia bahkan lebih aneh soal Amy
daripada kau."
"Aku selalu merasa Amy pasti mengingatkan Dad akan mantan
pacarnya atau sesuatu?yang pergi meninggalkannya. Sesudah
dia?" Aku menggerakkan tanganku meluncur ke bawah yang me?
nunjukkan Alzheimer-nya?"dia semacam kasar dan bertingkah
buruk, tetapi...."
"Yah, tapi dia ingin membuat wanita itu terkesan pada saat yang
sama," kata Go. "Bocah dua belas tahun menyebalkan yang terjebak
di dalam tubuh pria berengsek delapan puluh tahun."
"Bukankah semua wanita berpikir semua pria sebenarnya
berhati bocah dua belas tahun yang menyebalkan?"
"Hei, kalau hatinya cocok."
Pukul 23.08, Rand menunggu kami persis di balik pintu geser
otomatis di hotel, wajahnya mengerut ke kegelapan untuk melihat
kami. Kakak-beradik Hillsam mengendarai pikap mereka; Stucks
dan aku naik di bagian belakangnya. Rand datang berjalan meng?
hampiri kami dalam celana pendek khaki untuk golf dan T-shirt
Middlebury yang rapi. Dia melompat ke belakang mobil, menduduk?
kan diri di pembungkus roda dengan kelihaian yang mengejutkan,
dan menghadapi perkenalan dengan orang-orang seperti dia pe?
mandu acara bincang-bincang kelilingnya sendiri.
"Aku benar-benar menyesal soal Amy, Rand," kata Stucks dengan
suara keras, ketika kami melaju keluar dari tempat parkir dengan
kecepatan tinggi yang tidak perlu dan masuk ke jalan tol. "Dia
begitu manis. Sekali waktu dia melihatku mengecat rumah, bekerja
hingga bu?bokongku berkeringat, dan dia menyetir ke 7-Eleven,
membelikanku es krim besar, dan membawakannya kepadaku,
dengan menaiki tangga."
Itu bohong. Amy sangat tidak peduli kepada Stucks atau mi?
numannya sampai Amy tidak akan mau repot-repot pipis di gelas
untuk Stucks.
"Itu kedengarannya seperti Amy," kata Rand dan aku merona
merah dengan rasa kesal tidak menyenangkan yang tidak jantan.
Mungkin itu sisi jurnalis dalam diriku, tetapi fakta tetap fakta, dan
orang-orang tidak bisa mengubah Amy menjadi kesayangan semua
orang hanya karena itu bijaksana secara emosional.
"Middlebury, eh?" lanjut Stucks, menunjuk ke arah T-shirt Rand.
"Punya tim rugby yang sangat hebat."
"Memang benar," kata Rand, senyum lebar lagi, dan dia dan
Stucks memulai diskusi yang mustahil dipercaya mengenai rugby
seni liberal mengalahkan derum mobil, udara, malam, hingga kami
sampai di mal.
Joe Hillsam memarkir pikapnya di luar batu pertama Mervyns.
Kami semua melompat turun, meregangkan kaki, menggoyang-go?
Yang Hilang Gone Girl Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yangkan tubuh kami agar terbangun. Malam itu panas dan lembap
dan diterangi bulan. Aku memperhatikan Stucks mengenakan?
mungkin ironis, atau mungkin tidak?T-shirt yang bertuliskan
Hemat Gas, Kentut di Stoples.
"Jadi, tempat ini, yang kita lakukan, sangat berbahaya, aku tidak
mau berbohong," Mikey Hillsam memulai. Dia menjadi lebih berotot
setelah bertahun-tahun, begitu pun saudaranya; bukan hanya dada
mereka yang penuh otot tetapi penuh otot di semua tempat. Berdiri
bersisian, mereka berbobot nyaris 230 kilo.
"Kami datang kemari sekali, aku dan Mikey, cuma untuk?aku
tak tahu, untuk melihat, kurasa, melihat tempat ini jadi apa, dan
kami nyaris dihajar habis-habisan," kata Joe. "Jadi malam ini kami
tidak mau mengambil risiko." Dia meraih ke dalam mobil dan
mengambil tas kanvas besar dan membuka ritsletingnya memper?
lihatkan enam tongkat bisbol. Dia mulai membagikan tongkat itu
dengan serius. Ketika dia sampai ke Rand, Joe ragu. "Eh, kau mau
juga?"
"Tentu saja aku mau," kata Rand dan mereka semua mengangguk
dan memberi senyum menyetujui, energi dalam rangkaian tepukan
punggung yang bersahabat, kau hebat, pak tua.
"Ayo," kata Mikey dan mengarahkan kami sepanjang bagian luar
mal. "Ada pintu dengan kunci yang dirusak di dekat Spencer?s."
Kami baru saja melewati jendela gelap Shoe-Be-Doo-Be, tempat
ibuku dulu bekerja lebih dari setengah hidupku. Aku masing ingat
semangat ibuku pergi melamar pekerjaan di tempat paling me?
nakjubkan?mal!?berangkat pada suatu pagi di hari Sabtu untuk
pameran lowongan pekerjaan mengenakan celana resmi berwarna
merah muda kekuningan yang terang, wanita empat puluh tahun
mencari pekerjaan untuk kali pertama, dan dia pulang ke rumah
dengan seringai dan wajah merona: Kami tidak bisa membayangkan
betapa sibuknya mal itu, begitu banyak toko yang berbeda! Dan
siapa yang tahu di mana Mom akan bekerja? Dia melamar ke sem?
bilan toko! Toko pakaian dan toko stereo dan bahkan toko yang
menjual berbagai jenis popcorn. Ketika dia mengumumkan se?
minggu kemudian bahwa dia sudah resmi menjadi wanita penjual
sepatu, anak-anaknya tidak terkesan.
"Kau harus menyentuh semua jenis kaki bau," keluh Go.
"Aku akan bertemu dengan begitu banyak orang yang menarik,"
koreksi ibu kami.
Aku mengintip lewat jendela yang muram. Tempat itu kosong
kecuali pengukur sepatu yang dibariskan sia-sia di dinding.
"Ibuku dulu bekerja di sini," aku memberitahu Rand, memaksanya
berlama-lama denganku.
"Dulu ini tempat seperti apa?"
"Tempatnya menyenangkan, mereka bersikap baik kepada ibu?
ku."
"Maksudku apa yang mereka jual di sini?"
"Oh, sepatu. Mereka menjual sepatu."
"Oh, ya! Sepatu. Aku suka itu. Sesuatu yang benar-benar di?
butuhkan orang. Di akhir hari, kau adalah yang sudah kaulakukan:
Kau menjual sepatu kepada lima orang. Tidak seperti menulis,
heh?"
"Dunne, ayo!" Stucks sedang bersandar di pintu yang terbuka di
depan; yang lain sudah masuk.
Aku menduga mal akan berbau ketika kami masuk: kehampaan
dengan temperatur terkendali. Malahan, aku mencium bau rumput
kering dan tanah, aroma dari luar bangunan, tidak sesuai dengan
tempat ini. Gedung itu amat panas, nyaris kabur, seperti bagian
dalam kasur. Kami bertiga membawa senter kemah berukuran
raksasa, cahayanya menerangi bayangan-bayangan menganggu: Ini
daerah pinggiran kota, pasca kejatuhan komet, pasca serangan
zombi, pasca kemanusiaan. Ada beberapa jejak roda troli belanja
yang berlumpur berputar-putar gila di lantai putih. Seekor rakun
mengunyah makanan anjing di pintu masuk ke toilet wanita, mata?
nya berkilau seperti uang koin.
Seluruh mal ini senyap; suara Mikey bergema, langkah kami
bergema, kekeh mabuk Stucks bergema. Kami tidak akan menjadi
serangan mendadak, kalau kami memang memikirkan untuk me?
nyerang.
Ketika kami tiba di jalan utama pusat mal itu, seluruh area mal
meluas: empat lantai, eskalator dan lift saling menyilang dalam
kegelapan. Kami semua berkumpul di dekat air mancur yang kering
dan menunggu seseorang memimpin.
"Jadi, kawan-kawan," kata Rand dengan nada ragu, "apa rencana?
nya sekarang? Kalian semua tahu tempat ini dan aku tidak. Kita
harus memikirkan cara sistematis untuk?"
Kami mendengar derak logam yang nyaring tepat di belakang
kami, pagar keamanan ditarik ke atas.
"Hei, ada orang!" Stucks berteriak. Dia mengarahkan senter?nya
ke seorang pria dengan jas hujan yang mengembang, berderap
cepat dari pintu masuk toko Claire?s, berlari dengan kecepatan
tinggi menjauh dari kami.
"Hentikan dia!" seru Joe dan mulai berlari mengejarnya, sepatu
tenis bersol tebal menampar lantai keramik, Mikey berada tepat
di belakangnya, senter mengarah ke si orang asing, dua bersaudara
itu berseru dengan suara serak?berhenti, hei, Bung, kami hanya
mau tanya. Pria itu bahkan tidak menoleh ke belakang. Aku bilang
berhenti, bajingan! Si pelari itu tetap diam di tengah-tengah te?
riakan, tetapi dia menambah kecepatan larinya dan melewati
koridor mal, berada di dalam dan di luar jangkauan cahaya senter,
jas hujannya mengepak-ngepak di belakangnya seperti jubah.
Kemudian pria itu melakukan akrobat: melompati tempat sampah,
oleng di ujung air mancur, dan akhirnya menyelinap lewat pagar
keamanan logam di Gap dan menghilang.
"Bangsat!" Wajah, leher, dan jari-jari kakak-beradik Hillsam me?
rah seperti terkena serangan jantung. Mereka bergantian meng?
geram kepada pagar, berusaha mengangkat pagar itu.
Aku meraih pagar itu bersama mereka, tetapi pagar itu tidak
bisa digerakkan lebih daripada lima belas sentimeter. Aku ber?
baring di lantai dan berusaha menyelipkan diriku lewat celah itu:
jari kaki, betis, kemudian terjepit di pinggang.
"Tidak, tidak bisa lewat," gerutuku. "Bangsat!" Aku bangkit dan
mengarahkan senterku ke dalam toko. Ruang peraganya kosong
dan hanya diisi tumpukan rak pakaian yang sudah diseret ke bagian
tengah oleh seseorang, seolah-olah akan membuat api unggun.
"Semua toko terhubung di belakang untuk jalan sampah," kataku.
"Dia mungkin ada di ujung lain mal ini sekarang."
"Yah, kalau begitu, ayo ke sana," kata Rand.
"Keluar, bangsat!" seru Joe, kepalanya mendongak, matanya me?
ngernyit. Suaranya menggema di dalam mal. Kami mulai berjalan
tidak beriringan, membawa tongkat kami di sebelah kami, kecuali
kakak-beradik Hillsam, yang menggunakan tongkat mereka untuk
memukuli pagar dan pintu keamanan, seolah-olah mereka sedang
patrol militer di daerah perang yang berbahaya.
"Lebih baik kau yang datang kepada kami daripada sebaliknya!"
seru Michael. "Oh, halo!" Di jalan masuk ke toko hewan peliharaan,
seorang pria dan wanita meringkuk di atas beberapa selimut ten?
tara, rambut mereka basah karena keringat. Mikey menjulang di
atas mereka, bernapas terengah-engah, mengelap alisnya. Itu
adegan perang ketika si tentara yang frustrasi bertemu dengan
penduduk tidak berdosa dan hal-hal buruk terjadi.
"Kau mau apa, keparat?" tanya si pria di lantai. Dia begitu kurus,
wajahnya amat tirus dan cekung seperti meleleh. Rambutnya me?
lekat ke bahunya, matanya muram dan menengadah: Yesus yang
tercemar. Si wanita terlihat lebih baik, dengan lengan dan kaki yang
bersih dan montok, rambut tipisnya berminyak tapi tersisir.
"Kau Pemuda Buku Biru?" tanya Stucks.
"Bukan pemuda yang jelas," gumam si pria itu, melipat lengannya.
"Tunjukkan sedikit hormat, berengsek," bentak si wanita. Kemu?
dian dia kelihatan seperti akan menangis. Dia berpaling dari kami,
berpura-pura melihat sesuatu di kejauhan. "Aku muak tidak ada
orang yang tidak punya rasa hormat."
"Kami bertanya kepadamu, sobat," kata Mikey, bergerak lebih
dekat ke si pria itu, menendang bagian bawah kakinya.
"Aku bukan Buku Biru," kata si pria. "Cuma sial saja."
"Omong kosong."
"Ada banyak orang di sini, bukan cuma Buku Biru. Tetapi kalau
itu yang kaucari...."
"Ayo, ayolah cari mereka," kata si wanita, mulutnya melengkung
turun. "Pergi ganggu mereka."
"Mereka nongkrong di Hole," kata si pria. Ketika kami kelihatan
bingung, dia menunjuk. "Di Mervyns, ujung jauh, melewati tempat
korsel dulu."
"Dan persetan untuk kalian semua," gumam si wanita.
Ada noda serupa dengan lingkaran di ladang gandum di tempat
dulu korsel dipasang. Amy dan aku sempat menaikinya tepat se?
belum mal ditutup. Dua orang dewasa, duduk bersisian di kelinci
yang naik-turun, karena istriku ingin melihat mal tempat aku meng?
habiskan masa kanak-kanakku. Hubungan kami tak selalu buruk.
Pagar penghalang ke Mervyns sudah dijebol, jadi toko itu terbuka
begitu lebar dan menyambut seperti pagi hari ketika obral hari
presiden. Di dalam, toko itu sudah dikosongkan kecuali konter yang
dulu adalah tempat mesin kasir dan sekarang menjadi tempat se?
kitar selusin orang dalam beragam kondisi teler karena narkoba,
di bawah tanda yang bertuliskan Perhiasan dan Kecantikan dan
Seprai. Mereka diterangi lampu gas untuk berkemah yang menger?
jap seperti obor. Beberapa orang nyaris tidak membuka mata ketika
kami melintas, yang lain pingsan. Di pojok yang jauh, dua orang
yang nyaris masih remaja sedang mengulang Pidato Gettysburg
seperti orang sinting. Sekarang kita terlibat dalam perang sipil
besar.... Seorang pria telentang di karpet mengenakan celana pen?
dek jins tak bernoda dan sepatu tenis putih, seolah-olah dia dalam
perjalanan ke pertandingan bisbol anaknya. Rand menatap pria itu
seakan dia mungkin mengenalnya.
Carthage punya masalah obat terlarang lebih besar daripada
yang aku ketahui: Para polisi baru kemari kemarin, dan para
pecandu obat ini sudah kembali, seperti lalat yang gigih. Ketika
kami melintasi tumpukan manusia, seorang wanita yang menderita
obesitas menghampiri kami di atas skuter elektrik. Wajahnya ber?
jerawat dan basah karena keringat, giginya seperti kucing.
"Kau mau beli atau pergi, karena ini bukan untuk ditonton," kata
wanita itu.
Stucks menyinari wajah wanita itu.
"Singkirkan benda keparat itu dariku." Stucks melakukannya.
"Aku mencari istriku," aku memulai. "Amy Dunne. Dia hilang se?
jak Kamis."
"Dia akan muncul. Dia akan bangun, menyeret dirinya pulang."
"Kami tidak cemas soal narkoba," kataku. "Kami lebih khawatir
soal para pria di sini. Kami mendengar gosip."
"Tak apa, Melanie," satu suara berseru. Di ujung bagian anak
anak, pria jangkung kurus menyandar pada bagian dada maneken
Yang Hilang Gone Girl Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang telanjang, mengawasi kami, ada seringai miring di wajahnya.
Melanie mengangkat bahu, bosan, sebal, dan pergi dengan
skuternya.
Pria itu terus mengawasi kami tetapi dia berseru ke bagian
belakang bagian anak-anak, tempat empat pasang kaki menjulur
keluar dari ruang ganti pakaian, para pria berkemah di kotak me?
reka masing-masing.
"Hei, Lonnie! Hei, semuanya! Para bajingan ini kembali. Ada lima
orang," kata si pria. Dia menendang kaleng bir kosong ke arah kami.
Di belakang pria itu, tiga pasang kaki mulai bergerak, para pria
beranjak bangun. Satu pasang kaki tidak bergerak, si pemiliknya
entah tidur atau pingsan.
"Ya, keparat, kami kembali," kata Mikey Hillsam. Dia memegang
tongkat bisbolnya seperti tongkat biliar dan menumbuk dada
maneken di antara bagian payudaranya. Maneken itu terjungkal
ke tanah, si pria Buku Biru menyingkirkan lengannya dengan mulus
ketika maneken itu jatuh, seolah-olah semua itu hasil latihan. "Kami
ingin informasi soal wanita yang hilang."
Si tiga pria dari ruang ganti pakaian bergabung dengan teman
mereka. Mereka semua mengenakan T-shirt pesta Yunani: Pi Phi
Tie-Dye dan Fiji Island. Toko-toko Goodwill setempat dibanjiri
T-shirt semacam ini ketika musim panas?para lulusan universitas
menyingkirkan suvenir lama mereka.
Para pria itu langsing dan kuat, lengan berotot dengan alur nadi
biru yang mencuat. Di belakang mereka, seorang pria dengan kumis
panjang, terkulai dan rambut dikuncir kuda?Lonnie?keluar dari
ruang ganti pojok berukuran paling besar, menyeret pipa panjang,
memakai T-shirt Gamma Phi. Kami sedang berhadapan dengan
keamanan mal.
"Ada apa?" seru Lonnie.
Kami tidak bisa mendedikasikan, kami tidak bisa menahbiskan,
kami tidak bisa meniadakan tanah ini... anak-anak itu mengulang
pidato itu dengan nada yang nyaris terdengar seperti jeritan.
"Kami mencari Amy Dunne, kau mungkin melihat dia di berita,
hilang sejak Kamis," kata Joe Hillsam. "Wanita menyenangkan, can?
tik, manis, diculik dari rumahnya."
"Aku sudah dengar. Terus?" kata Lonnie.
"Dia istriku," kataku.
"Kami tahu apa yang kalian lakukan di sini," lanjut Joe hanya
bicara kepada Lonnie, yang mengibaskan kucir rambutnya ke
belakang, mengertakkan rahangnya. Tato hijau pudar menutupi
jari-jarinya. "Kami tahu soal pemerkosaan beramai-ramai."
Aku melirik ke arah Rand untuk melihat apakah dia baik-baik
saja; dia sedang menatap maneken telanjang di lantai.
"Pemerkosaan ramai-ramai," kata Lonnie, mengentakkan kepala
ke belakang. "Apa maksudmu, keparat?"
"Kalian," kata Joe. "Pemuda Buku Biru?"
"Pemuda Buku Biru, seolah-olah kami semacam geng." Lonnie
mendengus. "Kami bukan binatang, bangsat. Kami tidak menculik
perempuan. Orang ingin merasa tidak bersalah karena tidak
membantu kami. Nah, mereka tidak layak mendapatkan bantuan,
mereka gerombolan pemerkosa. Yah, omong kosong. Aku akan
keluar dari kota terkutuk ini kalau pabrik memberiku pesangon.
Tetapi aku tidak dapat apa pun. Tak satu pun mendapatkan apa
pun. Jadi kami di sini."
"Kami akan memberimu uang, banyak uang, kalau kau bisa
memberitahu kami apa pun soal hilangnya Amy," kataku. "Kalian
kenal banyak orang, mungkin kau mendengar sesuatu."
Aku mengeluarkan foto Amy. Kakak-beradik Hillsam dan Stucks
kelihatan terkejut, dan aku menyadari?tentu saja?ini hanya taktik
pengalihan sok jantan bagi mereka. Aku mengacungkan foto itu ke
muka Lonnie, berharap dia hanya melihat sekilas. Alih-alih, dia
mencondongkan tubuh mendekat.
"Oh, berengsek," katanya. "Dia?"
"Kau mengenalinya?"
Lonnie malah kelihatan terpukul. "Dia ingin membeli pistol."
Amy Elliott Dunne
16 Oktober 2010
Catatan buku harian
Selamat hari jadi untukku! Sebulan penuh sebagai penduduk
Missouri dan aku sedang dalam proses menjadi orang Midwest
yang baik. Ya, aku sudah sepenuhnya terputus dari semua hal ber?
bau East Coast dan aku layak mendapatkan keping tiga puluh
hariku (di sini aku akan dapat keping keripik kentang). Aku men?
catat, aku menghormati tradisi. Aku si Margaret Mead dari
Mississippi.
Coba kulihat, apa yang baru? Nick dan aku sedang terlibat di
dalam hal yang kusebut (kepada diriku sendiri) sebagai Perkara
Jam Kukuk. Harta warisan yang dikasihi orangtuaku kelihatan ko?
nyol di rumah baru ini. Tetapi begitu pun semua barang New York
kami. Sofa chesterfield besar kami dengan dipan kecil padanannya
tergeletak di ruang duduk kelihatan terpana, seolah-olah mereka
terkena panah bius ketika masih berada di lingkungan alamiahnya
dan terbangun di lokasi penahanan baru dan asing ini, dikelilingi
karpet palsu dan kayu sintetis dan dinding polos. Aku memang
kangen rumah lama kami?semua lekukan dan tonjolan dan re?
takan tipis yang muncul karena waktu. (Jeda sebentar untuk pe?
nyesuaian sikap.) Tapi yang baru juga menyenangkan! Hanya
berbeda. Jam itu tidak akan setuju. Si burung kukuk juga kesulitan
beradaptasi dengan tempat barunya: Si burung kecil meluncur
seperti mabuk sepuluh menit sesudah satu jam; tujuh belas menit
sebelum satu jam; empat puluh satu sesudah satu jam. Burung itu
mengeluarkan ratapan sekarat?kuu-kruuuuk?yang selalu men?
dorong Bleecker berlari masuk rumah dari tempat persem?
bunyiannya, dengan mata liar, siap siaga, ekornya meremang ketika
dia menengadah ke arah bulu-bulu si burung dan mengeong.
"Wow, orangtuamu pasti amat membenciku," kata Nick setiap
kali kami berada dalam jarak untuk bisa mendengar bunyi jam itu,
walaupun Nick cukup cerdas untuk tidak mengusulkan menyingkir?
kan benda itu. Aku sebenarnya ingin membuang benda itu juga.
Aku yang (penganggur) di rumah seharian penuh, cuma menunggu
benda itu berkaok, penonton bioskop yang tegang bersiap-siap
menunggu seruan orang sinting di belakangku?merasa lega (nah,
itu dia!) dan marah (nah, itu dia!) setiap kali seruan itu terdengar.
Banyak komentar soal jam itu pada acara perayaan rumah baru
(oh, lihat itu, jam antik!), yang diinginkan Mama Maureen Dunne
dengan gigih. Sebenarnya, tidak dengan gigih; Mama Mo tidak ber?
sikeras. Dia hanya membuat hal-hal menjadi kenyataan dengan
berasumsi hal-hal itu memang nyata: Dari pagi pertama sesudah
kepindahan, ketika dia muncul di pintu kami dengan telur orak-arik
selamat datang dan sepaket besar tisu toilet (yang tidak mendam?
pingi si telur orak-arik dengan baik), dia membicarakan acara
perayaan rumah seolah-olah itu fakta. Jadi kapan kau mau meng?
adakan acara perayaan rumah baru? Sudah terpikir siapa yang
harus aku undang ke acara itu? Apa kau ingin acara perayaan rumah
baru atau sesuatu yang menyenangkan, seperti pesta minum-minum?
Tetapi acara perayaan rumah baru yang tradisional selalu menye?
nangkan.
Dan tiba-tiba ada tanggal, dan tanggal itu hari ini, dan keluarga
dan teman-teman keluarga Dunne menggoyang-goyangkan payung
untuk menyingkirkan air hujan Oktober dan dengan cermat dan
hati-hati mengelap kaki mereka di keset yang dibawakan Maureen
untuk kami pagi ini. Keset itu bertuliskan: Semua yang Masuk ada?
lah Teman. Keset itu dari Costco. Tetapi semua orang berbelanja
dalam jumlah banyak karena?tidak seperti penduduk Manhattan?
mereka punya ruang untuk menyimpan 24 stoples acar manis.
Dan?tidak seperti penduduk Manhattan?mereka semua makan
24 stoples acar manis. (Acara kumpul-kumpul tidak akan lengkap
tanpa meja berputar penuh dengan acar manis dan buah zaitun
Spanyol langsung dari stoplesnya. Dan bongkahan garam.)
Aku akan gambarkan adegannya: Saat itu salah satu hari yang
berbau kuat, ketika orang-orang membawa bau dari luar ruangan
bersama mereka, bau hujan di lengan baju dan rambut mereka.
Tamu wanita yang lebih tua?teman-teman Maureen?menyajikan
berbagai makanan dalam wadah plastik yang bisa dicuci di mesin
yang akan mereka minta kembali nanti. Dan minta dan minta. Aku
tahu, sekarang, aku harus mencuci wadah itu dan mengantarkannya
kembali ke rumah masing-masing?antar-jemput Ziploc?tetapi
ketika baru tiba, aku tidak tahu soal protokol ini. Aku dengan patuh
mendaur ulang semua wadah plastik jadi aku harus membelikan
yang baru untuk semua orang. Sahabat baik Maureen, Vicky, dengan
segera menyadari wadahnya baru, dibeli di toko, peniru, dan ketika
aku menjelaskan kebingunganku, dia terbelalak terkejut: Jadi begitu
cara mereka melakukannya di New York.
Tetapi acara perayaan rumah barunya: Para wanita yang lebih
tua adalah teman Maureen dari pertemuan orangtua-guru masa
lalu, dari kelab buku, dari toko Shoe-Be-Doo-Be di mal, di mana
dia menghabiskan empat puluh jam seminggu menyelipkan sepatu
berhak kotak ke kaki wanita dengan umur tertentu. (Dia bisa meng?
ukur kaki dengan hanya melihat?nomor 8, sempit!?itu trik
pestanya.) Semua teman Mo menyayangi Nick dan mereka semua
punya cerita soal hal manis yang dilakukan Nick untuk mereka
selama bertahun-tahun.
Para wanita yang lebih muda, wanita yang mewakili kumpulan
orang yang mungkin menjadi teman Amy, semuanya memiliki
potongan rambut pendek yang dicat pirang, selop sandal yang
sama. Mereka adalah putri dari teman-teman Maureen dan mereka
menyayangi Nick, dan mereka semua punya cerita soal hal manis
yang sudah dilakukan Nick untuk mereka selama bertahun-tahun.
Sebagian besar kehilangan pekerjaan karena mal yang ditutup atau
suami mereka menganggur karena mal yang ditutup, jadi mereka
semua menawariku resep untuk "hidangan murah dan mudah"
yang biasanya melibatkan kaserol terbuat dari sup kalengan, men?
tega, dan keripik.
Para pria bersikap ramah dan tidak banyak bicara dan berke?
rumun membentuk lingkaran, membahas olahraga dan tersenyum
dengan murah hati.
Semua orang ramah. Mereka benar-benar seramah yang bisa
mereka lakukan. Maureen, pasien kanker tertangguh di tiga negara
bagian, mengenalkanku kepada semua temannya dengan cara yang
sama kau akan menunjukkan hewan peliharaan baru yang sedikit
berbahaya: "Ini istri Nick, Amy, yang lahir dan besar di New York
City." Dan teman-teman Maureen, montok dan menyambut dengan
baik, dengan cepat terkena serangan aneh sindrom Tourette: Me?
reka mengulang kata-kata?New York City!?dengan tangan me?
nangkup dan mengatakan sesuatu yang sulit untuk direspons: Itu
pasti keren. Atau, dengan suara melengking, mereka bernyanyi New
York, New York, bergoyang ke kiri dan kanan dengan gerakan jazz
hands sederhana. Teman Maureen dari toko sepatu, Barb, berseru,
"Nue York Ceety! Ambil tali," dan ketika aku mengernyit karena
bingung, Barb berkata, "Oh, itu dari iklan salsa lama!" dan ketika
Yang Hilang Gone Girl Karya Gillian Flynn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku masih tidak bisa mengerti, dia merona, menaruh tangan di
lenganku, dan berkata, "Aku tidak akan sungguhan menggantung?
mu."
Pada akhirnya, semua orang terkikik-kikik dan mengaku mereka
belum pernah ke New York. Atau bahwa mereka sudah pernah?
sekali?dan tidak terlalu tertarik. Kemudian aku mengatakan se?
suatu seperti: Kau akan menyukainya atau Itu jelas bukan untuk
semua orang atau Mmm, karena aku kehabisan hal untuk dikatakan.
"Bersikap ramahlah, Amy," Nick mendesis di telingaku ketika
kami mengisi ulang minuman di dapur (orang Midwest senang
minum dua liter soda, selalu dua liter, dan kau menuangkan soda
itu ke cangkir plastik Solo merah berukuran besar, selalu).
"Aku melakukannya," rengekku. Itu benar-benar menyakiti pe?
rasaanku karena jika kau bertanya kepada siapa pun di ruangan
itu apakah aku sudah bersikap ramah, aku tahu mereka akan bilang
Kadang-kadang aku merasa Nick sudah memutuskan versi diriku
yang tidak nyata. Sejak kami pindah kemari, aku sudah mengikuti
acara keluar malam khusus para gadis dan parade amal, aku sudah
memasak kaserol untuk ayah Nick dan membantu menjual tiket
undian. Aku menggunakan sisa uangku untuk diberikan kepada
Nick dan Go agar mereka bisa membeli bar yang selalu mereka
inginkan, dan aku bahkan menaruh ceknya di dalam kartu ber?
bentuk gelas bir?Bersulang untukmu!?dan Nick hanya mengucap?
kan terima kasih dengan datar. Aku tidak tahu harus melakukan
apa. Aku mencoba.
Kami mengantarkan minuman soda, aku tersenyum dan tertawa
lebih keras, visi keanggunan dan semangat baik, bertanya kepada
semua orang apakah aku bisa membawakan hidangan lain untuk
mereka, memuji para wanita soal salad ambrosia dan celupan
kepiting dan irisan acar terbalur krim keju dan terbungkus dalam
salami.
Ayah Nick tiba bersama Go. Mereka berdiri tanpa suara di depan
pintu, Gotik ala Midwest, Bill Dunne kurus, kuat dan masih tampan,
ada plester Band-Aid kecil di dahinya, Go berwajah muram, rambut?
nya dihiasi jepit, matanya menghindari ayahnya.
"Nick," kata Bill Dunne, menjabat tangannya, dan dia melangkah
masuk, dahi mengernyit ke arahku. Go mengikuti, menyambar Nick,
dan menariknya ke belakang pintu, berbisik, "Aku tidak tahu dia
ada di mana sekarang, secara mental. Apakah suasana hatinya se?
dang buruk atau dia hanya bertingkah seperti bajingan. Tidak tahu."
"Oke, oke. Jangan cemas. Aku akan mengawasinya."
Go mengangkat bahu dengan kesal.
"Aku serius, Go. Ambil bir dan istirahat. Kau dibebaskan dari
tugas menjaga Dad selama sejam berikutnya."
Aku berpikir: Kalau itu aku, Nick akan mengeluh aku bersikap
terlalu sensitif.
Para wanita tua terus berkeliaran di sekitarku, memberitahu
bagaimana Maureen selalu berkata betapa Nick dan aku adalah
pasangan yang menyenangkan dan bahwa Maureen benar, kami
jelas ditakdirkan bersama.
Aku memilih kalimat klise dengan niat baik seperti ini ketimbang
pembicaraan yang kami dengar sebelum kami menikah. Menikah
adalah kompromi dan kerja keras, kemudian lebih banyak kerja
keras dan komunikasi dan kompromi. Kemudian kerja keras. Lupa?
kan semua harapan, wahai kalian yang masuk.
Pesta pertunangan di New York adalah yang terburuk, semua
tamu gerah karena anggur dan kekesalan, seolah-olah setiap pa?
sangan bertengkar dalam perjalanan ke kelab. Atau mereka meng?
Pendekar Naga Putih 66 Siluman Gurun Lima Sekawan 02 Petualangan Di Puri Fallen Too Far Karya Abbi Glines
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama