Ceritasilat Novel Online

Air Mata Terakhir 2

Air Mata Terakhir Karya Norman Duarte Tolle Bagian 2



Cio San tentu saja tidak bertanya dari mana nona itu tahu mengenai kejadian penyerangan 4 orang itu. Jika nona itu ingin mematai-matai seseorang, hal itu akan dengan mudah saja dilakukannya. Entah bagaimana caranya.

"Iya. Menarik bukan? Ilmu mereka sangat tinggi. Tidak ada yang pernah mengetahui tentang mereka. Tahu-tahu saja mereka muncul di hadapanku. Entah siapa yang memerintahkan mereka?"

Kata Cio San. Si Nona Babi terlihat merenung sebentar, lalu ia bertanya.

"Menurut Hongswee, setinggi apakah ilmu mereka?"

Dengan tidak ragu Cio San menjawab.

"Ilmu mereka hanya setingkat di bawah Suma Sun!"

Mau tidak mau si Nona Babi terhenyak juga. Katanya.

"Tidak mungkin orang sehebat mereka94 menyerang Hongswee tanpa alasan apapun. Pasti ada orang lain yang memerintahkannya."

Lanjut si nona.

"Ada 2 kemungkinan. Sang pemimpin muda Mongolia bernama Esen, atau pamannya yang jahat yang mencoba meraih kekuasaannya. Tapi menurutku kedua orang itu tidak memiliki cukup wibawa dan kekuatan untuk dan memerintah 4 orang itu."

Bukankah nona ini cukup menakutkan? Dalam hati Cio San tertawa.

Setiap saat hidupnya mengalami berbagai macam urusan.

Bertemu dengan rumah bordil ini beserta majikannya seolah memberi tanda bahwa urusan yang akan dihadapinya kelak pun akan bertambah banyak.

"Berarti kita sampai pada kemungkinan lain,"

Kata Cio San. Nona itu mengangguk. Ia hanya menunggu Cio San meneruskan kalimatnya.

"Ada orang yang lebih berbahaya yang sedang mengintai di balik bayang-bayang. Anak kecil pun bisa sampai pada kesimpulan itu, bukan?"

Tawa Cio San.95 Si Nona Babi tertawa juga. Katanya.

"Dalam keadaan seperti ini Hongswee masih bisa tertawa, aku yakin musuh yang berat pun bisa Hongswee hadapi dengan mudah."

"Dalam keadaan seperti ini, mau menangis pun sulit,"

Tawa Cio San.

"Kenapa bisa begitu?"

"Karena saat ini, caraku mandi saja sudah banyak orang yang tahu. Makanan apa yang belum pernah ku makan juga sudah banyak orang yang tahu. Jangan-jangan caraku bercumbu dengan perempuan juga sudah diketahui? Jika begitu, mau menangis juga kan sudah percuma. Toh orang juga sudah tahu cara menangisku."

Kembali si Nona Babi tersenyum.

"Malah aku semakin kagum kepada Hongswee. Orang lain tentu tak akan setenang itu menghadapi keadaan seperti ini."

Apakah nona itu mengancam? Cio San merasa seperti itu. Tapi ia tidak khawatir. Karena untuk khawatir tentulah sudah terlambat. Jika nona ini dan orang-orangnya mau, mereka mungkin sudah dapat mencelakakannya sejak dulu.96

"Sepanjang jalan mempunyai begitu banyak orang, entah berapa dana yang sudah nona habiskan hanya untuk mengetahui seberapa besar suara mengorokku,"

Tawa Cio San.

"Ah, Hongswee jangan menertawakan kami. Uang bukanlah hal besar bagi kami. Yang sulit itu adalah bagaimana cara supaya Hongswee tidak merasa terganggu dengan keberadaan kami dalam perjalanan Hongswee."

Nona ini bermaksud mengatakan bahwa mata- matanya adalah orang-orang yang memiliki kemam- puan tinggi.

Sebab jika tidak, tentu akan sangat gampang ketahuan oleh Cio San.

Tapi si nona mengata kan hal ini dengan cara yang halus sekali.

Juga cukup dengan beberapa kalimat itu, ia ingin mengatakan bahwa mereka memiliki dana yang sangat besar.

Si nona sudah menyerang Cio San cukup dengan kalimat halus.

Cio San mulai merasa bahwa obrolan ini sebenarnya sudah merupakan pertarungan sejak awalnya.

"Memiliki kekuatan sebesar itu, jika hanya dipakai untuk mengurusi rumah bordil, rasanya menyia-nyiakan kemampuan. Orang seperti nona, rasa-rasanya cukup menggoyang kekaisaran."97

"Kekaisaran? Hongswee ini terlalu memuji. Kami justru suka dengan kekaisaran saat ini. Bagiku tidak ada keputusannya yang merugikan bagi usaha kami."

Ia menggunakan kata "kami"

Dengan sengaja sebanyak 2 kali.

Apakah maksudnya mengenai rumah bordil beserta para anak buahnya, ataukah mengenai sebuah kelompok yang jauh lebih besar? "Nona memiliki kelompok sebesar itu, bisa dibayangkan betapa hebatnya orang-orang yang berada di dalamnya.

Aku malah tidak berani membayangkan."

Nona itu tersenyum penuh rahasia. Katanya.

"Aku sendiri pun tidak berani membayangkan. Tapi Hongswee tidak perlu membayangkan, karena memang hal-hal seperti ini tidak perlu dibayangkan. Bukankah lebih enak membayangkan hidup nyaman beserta istri yang cantik dan anak yang lucu-lucu. Bukan begitu?"

Pelan.

Tapi dalam.

Maksud perkataan si nona adalah sebaiknya Cio San tidak perlu ikut campur urusan mereka.

Sebaiknya ia memikirkan hidupnya dan ketenangan keluarganya.98 Ia juga menyerang bagian paling halus dalam jiwa Cio San.

Cinta.

Cinta yang begitu menyakitkan.

"Selama ini aku hidup bebas tanpa ikatan. Malahan belum pernah membayangkan punya istri cantik dan anak-anak yang lucu. Mungkin karena aku terlalu suka usil sok ikut campur urusan orang."

"Nah itu dia. Bukankah sudah saatnya Hongswee memikirkan pula tentang masa depan? Dunia persilatan tidak ada puasnya. Tidak ada akhirnya. Tidak ada pula batasnya. Sampai kapan akan menantang angin? Jika perlu, Hongswee dapat memilih siapa saja yang berada di sini untuk dibawa pulang."

"Aku tidak punya rumah. Bagaimana bisa pulang?"

"Hongswee tinggal tunjuk rumah yang mana di seluruh Tionggoan ini. Besok sudah bisa Hongswee tempati."

"Nona mengalami banyak kesulitan hanya untuk menyenangkan hatiku, aku malah sedih karena tidak mampu membalas perbuatan baik nona,"

Tukas Cio San dengan sungguh-sungguh.99

"Hal di dunia ini, apa yang tidak sanggup Hongswee lakukan? Semua kemampuan Hongswee bahkan orang tuli pun sudah mendengar, orang bisu pun membicarakan."

Itu artinya, jika si nona dan kelompoknya membutuhkan sesuatu, Cio San harus siap menjalan kannya.

"Seperti yang nona bilang, jika sudah berumah tangga, mana mungkin bisa memikirkan lagi urusan dunia persilatan?"

"Jika istri dan anak bisa mengerti, apapun bisa dilakukan bukan?"

Itu artinya, mereka akan melakukan segalanya untuk membuat istri dan anak "mengerti". Ancaman yang sangat sungguh-sungguh. Tapi si Nona mengata- kannya penuh halus dalam kalimat yang membuai.

"Dalam keadaan seperti ini, nampaknya aku tak bisa melakukan apa-apa selain menikmati apa saja yang terjadi di hidupku, bukan?"

"Hidup memang seperti ini. Cukup dijalani saja. Terkadang tidak ada satu hal pun yang bisa kita lakukan."100 Itu artinya, mulai saat ini takdir hidupmu berdasarkan perintah yang dikeluarkan kelompokku.

"Mendengar ucapan nona yang begitu bijaksana, aku dapat menduga bahwa dahulu pun nona pernah mengalami nasib seperti ini. Nasib apa boleh buat."

Tu-Ji tersenyum. Katanya.

"Kesulitan hidup bisa membuat seseorang menjadi lebih bijaksana. Bukan begitu, Hongswee?"

"Ya benar sekali. Orang yang bijaksana tidak akan membuat hidup orang lain susah. Dari yang aku perhatikan di sini, betapa pelayanan di tempat ini sangat menyenangkan, tidak seorang pun gadis- gadisnya yang melakukannya dengan terpaksa atau terhina. Aku hanya bisa mengambil kesimpulan, bahwa siapa pun pemilik tempat ini, pasti pernah merasakan hal buruk di dalam hidupnya. Sehingga ia tidak ingin hal itu terjadi kepada orang lain,"

Kata Cio San. Nona itu tersenyum. Senyum yang memiliki begitu banyak arti. Ada kebanggaan, kesedihan, kenangan, dan harapan di dalam satu senyum itu.

"Suasana kamar yang sederhana dibalik pintu emas, menggambarkan betapa pemiliknya sangat101 mengenang masa lalunya. Masa lalu yang kini membuatnya menjadi berhasil seperti saat ini. Masa lalu yang perih, namun pada saat itu sangat menyenangkan hatinya."

Nona Babi masih tersenyum.

Senyum yang sama.

Sebenarnya Cio San ingin membahas luka-luka di sekujur tubuh si Nona Babi, tetapi ia tidak sampai hati.

Bagaimana pun ia mengerti, luka-luka itu adalah dari masa lalunya yang kelam.

Tapi ia dapat menduga, justru luka-luka itulah lambang kejayaan si nona.

Karena luka-luka itulah ia mampu menjadi orang seperti saat ini.

Tentulah si Nona Babi dulunya ada pelacur pula.

Entah karena apa ia terpaksa menjadi pelacur.

Menurut tebakan Cio San mungkin karena kemiskinan dan kelaparan.

Mungkin ia adalah yatim piatu sehingga tak ada seorang pun yang menjaga dan menghidupinya.

Kamar yang sederhana ini sedikit menggambarkan kehidupannya sebelum menjadi pelacur.

Meskipun miskin, ia bahagia.

Mungkin saat itu orang tuanya masih ada.

Menyayanginya penuh kasih sayang.

Karena itulah si nona menata kamarnya sedemikian rupa.

Hanya untuk mengenang dan mengulang masa lalu yang mendamaikan hatinya.102 Apakah karena kini kehidupan si nona sendiri tidak mendamaikan hatinya? Cio San hanya berani menduga.

Ia tidak mungkin mengungkapkan kata-kata yang mengungkit masa lalu seseorang yang menyakitkan.

Nona Babi masih hanya tersenyum.

Cio San bisa membayangkan, dulu ketika menjadi pemuas nafsu lelaki, nona ini telah melalui berbagai macam siksaan.

Ia mengerti betapa sulitnya menjadi pelacur.

Lalu kita ia memulai usaha ini, ia memperlakukan anak buahnya dengan penuh rasa hormat dan kasih sayang.

Inilah mengapa gadis-gadis yang ada di sini semuanya bersikap dengan sangat baik.

Semua sangat menghormatinya bagaikan kakak mereka sendiri.

"Aku dapat menduga, Hongswee pasti bisa menebak masa laluku. Tak perlu Hongswee bicara pun aku dapat memahami apa isi hati Hongswee. Aku hanya berterima kasih bahwa Hongswee tidak mengungkitnya. Untuk hal ini, rasa kagumku semakin bertambah,"
Air Mata Terakhir Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya nona itu buka suara.

Masa lalu dapat merubah masa depan seseorang.103 Sayangnya, masa lalu yang indah memang tak mungkin terulang kembali.

Cio San tidak berbicara.

Di saat seorang wanita sedang mencurahkan perasaannya, laki-laki memang sebaiknya tidak berbicara.

"Aku harap Hongswee mengerti semua obrolan kita tadi."

Tentu saja Cio San tidak mengerti. Tapi ia pasang tampang mengerti. Ia hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum.

"Baiklah. Jika Hongswee sudah mengerti, aku tidak perlu berbicara apa-apa lagi."

Paham bahwa pertemuan sudah selesai, Cio San meminta diri. Begitu keluar dari ruangan itu, ia sudah disambut dengan Lang-Lang yang sedari tadi duduk di luar.

"Sekarang, apa lagi acaranya?"

Tanya Cio San.

"Pertanyaan bodoh."

Nona cantik itu menarik tangan Cio San dengan lembut.104 Ternyata sudah larut malam.

Bulan terang.

Malam indah.

Jika bukan untuk memadu cinta, untuk apa malam diciptakan?105 BAB MENJALANKAN AMANAT Rembulan di langit malam.

Sinarnya yang dulu pucat kini bercahaya perak.

Hati yang dulu hancur, bukankah dapat disatukan kembali? Bertahun-tahun hidup merana, bukankah dapat hilang hanya dengan satu kecupan? Perjalanan yang sepi dan melelahkan, bukankah dapat terlupa hanya dengan satu pelukan? Malam ini cinta terasa membara.

Jika esok datang, kebahagiaan ini pun bisa menghilang.

Mengapa tidak menikmati saja waktu yang tersisa? Lang-Lang membenamkan dirinya dalam-dalam ke pelukan Cio San.

Sepanjang hidupnya menjadi gadis penghibur, mungkin baru kali ini ia merasakan getaran di dalam jiwanya.

Sentuhan halus laki-laki ini telah menjarah seluruh jiwanya.

Jika setelah ini ia mati, ia rela.

Selama ini menemani para lelaki yang kesepian dan mencari kesenangan, sebenarnya ia sendiri pun106 tidak mengerti.

Apakah sesungguhnya justru dirinya sendiri yang kesepian? "Kau tidak boleh pergi,"

Kata Lang-Lang manja. Seperti anak kecil yang akan ditinggal ayahnya bekerja di ladang.

"Aku kan belum bilang aku akan pergi,"

Jawab Cio San dengan halus.

"Tapi aku tahu kau akan pergi."

Ingin rasanya Cio San berkata.

"Bukankah pada akhirnya semua orang akan pergi?", tapi ia tidak ingin merusak malam ini. Ia benar-benar ingin menikmati sisa waktu dengan tenang. Ia memilih untuk diam saja. Kamar yang tadi terasa panas membara, kini sudah sejuk karena jendela-jendela sudah terbuka. Cahaya rembulan masuk menyinari wajah mereka. Gadis cantik itu menatap wajah Cio San. Ia menyadari bahwa ia tidak mungkin menahan lelaki itu untuk pergi. Air matanya menetes membasahi pipi. Siapakah yang dapat memahami kepedihan hati seorang gadis penghibur? Dukanya selalu tertutup oleh wajah dan penampilan yang sempurna. Tangisnya tersembunyi dibalik tawa mesra dan107 senyuman yang menggoda. Tidak bolehkan mereka merasakan cinta sejati? "Aku heran. Mengapa aku bisa merasakan perasaan seperti ini?"

Seolah ia berbicara kepada dirinya sendiri. Cio San paham apa yang dimaksud Lang-Lang. Justru karena paham, ia memilih untuk diam.

"Kau kenapa diam saja?"

Tanya Lang-Lang.

"Aku takut jika aku bicara, aku kehilangan saat- saat terindah menikmati waktu ini denganmu."

"Ini berarti kau akan pergi, bukan?"

Tanya Lang- Lang lagi seolah ia tidak tahu jawabannya. Dengan berat Cio San terpaksa mengangguk.

"Apakah kau tahu apa yang akan terjadi jika kau pergi?"

Lang-Lang kembali bertanya.

"Ya. Mereka akan membunuhku."

Ia berbicara seolah ia tahu siapa "mereka"

Itu.

"Lalu kenapa kau tidak tinggal saja?"

Kalimat ini penuh dengan permohonan.

"Karena tempat tinggal laki-laki, bukanlah di dalam pelukan perempuan."108 Sebagai seorang gadis penghibur, mau tidak mau Lang-Lang bisa memahami maksud perkataan ini. Perjalanan hidup manusia memang tidak pernah berhenti sebelum ia mati. Malam semakin gelap. Sebentar lagi mungkin fajar akan tiba.

"Apabila nanti kau pergi, mau kah kau tetap mengingatku?"

Mereka baru saja bertemu, tapi ikatan perasaan sudah sangat dalam.

Hal seperti ini sudah sering terjadi di dunia ini.

Ada beberapa orang yang meninggalkan kesan begitu dalam di hidup kita walaupun pertemuan dengannya hanya sebentar saja.

Cio San menggenggam tangannya, lalu mengecup dahinya dengan halus.

Katanya.

"Tanpa kau minta pun, kau sudah membuat sebuah lubang di hatiku. Lubang ini hanya milikmu seorang. Tidak akan terisi siapapun. Ruang kecil ini akan selalu menjadi milikmu."

Lang-Lang menjadi tenang. Tapi hatinya menjadi semakin sedih.

"Jika nanti semua ini selesai, maukah kau datang menjemput aku?"109

"Jika aku dan kau masih hidup setelah semua ini, aku berjanji."

"Benarkah? Kau tidak berbohong hanya untuk menyenangkan hatiku, bukan?"

Cio San mengangguk. Kali ini Lang-Lang yang mencium dahinya.

"Maukah kau membantuku?"

Tanya Cio San.

"Aku bersedia melakukan apapun untukmu. Katakan saja."

"Siapakah mereka?"

Lang-Lang terdiam sebentar. Seolah ia harus mengumpulkan seluruh tenaga untuk menjawabnya. Lalu ia berkata.

"Aku sendiri tidak pernah tahu. Tapi kekuasaan mereka begitu besar sampai-sampai kaisar pun harus tunduk pada mereka. Tunduklah pada mereka. Segala keinginanmu akan terlaksana."

Ingin Cio San tertawa mendengar kalimat ini, tapi Lang-Lang menceritakannya dengan sungguh- sungguh.

Gadis itu tidak berbohong.

Kamar mulai menjadi dingin.

Cio San menarik selimut.

Dengan mesra ia mencium bibir Lang-Lang.

Gadis itu membalas ciuman itu dengan mesra pula.110 Penuh dengan gairah dan cinta yang mendalam.

Dari balik selimut, tangan Cio San bergerak.

Ia menulis beberapa huruf di perut Lang-Lang.

Tulisannya berbunyi.

"Apakah mereka mengintai?"

Lang-Lang mengerti ini, ia hanya mengangguk- angguk sambil mengerang. Seolah menikmati ciuman mereka yang membara.

"Siapa mereka?"

Kembali Cio San menulis. Lang-Lang memeluk Cio San dengan mesra. Dari balik selimut ia menuliskan.

"12 orang. Aku tak tahu."

"Apa tujuan mereka?"

Tulisan Cio San.

"Menguasai seluruh dunia,"

Tulis Lang-Lang.

Kembali Cio San ingin tertawa terbahak-bahak.

Memangnya 12 orang ini ingin menjadi dewa? Tapi ia segera menyadari, manusia yang otaknya sudah tidak waras jumlahnya memang sangat banyak.

Kini ia mengerti.

Orang-orang ini ingin mengajaknya bergabung dalam kelompok mereka.

Jika ia menolak, ia pasti akan dibunuh.

Melihat kemampuan mereka yang sekilas dipamerkan oleh rumah bordil pimpinan Si Nona Babi ini, Cio San sama sekali tidak dapat memandang mereka dengan remeh.111 Cinta kembali membara.

Membakar sampai matahari menyingsing.

Pagi sudah menjelang.

Lang-Lang tertidur kelelahan.

Ketika akhirnya ia membuka matanya, dilihatnya Cio San masih memeluknya dan memandangnya dengan penuh rasa sayang.
Air Mata Terakhir Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tidak tidur? Apa yang kau pikirkan?"

Tanya Lang-Lang.

"Aku berpikir bagaimana caraku membayar semua pelayanan di tempat ini,"

Jawab Cio San sambil tertawa. Lang-Lang mencubitnya dengan manja.

"Tentu saja sudah ada orang yang membayarkannya untukmu?"

"Aku tidak kenal dengannya. Mengapa ia mau membayarkannya untukku?"

"Karena ia berharap bisa mengikat persahabatan denganmu."

Tentu Cio San mengerti bahwa orang ini tentunya salah satu dari ke 12 orang ini. Tapi karena112 tahu mereka sedang diawasi, ia pura-pura bertanya.

"Siapakah dia?"

"Kau akan bertemu dengannya suatu saat nanti,"

Kata Lang-Lang. Selesai berbicara, ia kembali menarik Cio San.

"Jangan bicara lagi."

Jika seorang perempuan menyuruhnya "jangan bicara lagi"

Dengan manja dan mesra, seorang laki-laki seharusnya tahu apa keinginannya.

Cio San adalah seorang laki-laki.

Lang-Lang seorang perempuan.

Ia sangat cantik.

Seluruh tubuhnya seolah memberikan getaran mistis yang paling pribadi, paling rahasia, dan paling mempesona.

Ia begitu cantik, begitu anggun.

Mengapa justru wanita yang paling cantik dan paling anggun yang biasanya menjual dirinya di tempat seperti ini? Apakah kecantikan merupakan sebuah kutukan? Ataukah karena uang? Ataukah pujian dan decak kagum saja tidak cukup?113 Cio San tidak mau berpikir lebih jauh.

Sudah ada orang tak dikenal yang membayar segala pengeluarannya di rumah bordil ini.

Sudah ada wanita yang dengan relanya memberikan cinta dan rasa sayang yang dalam.

Ia tidak mau berpikir.

Ia mau menikmatinya dengan tenang.

Karena mungkin sebentar lagi segala badai akan datang.

Jika tidak menenangkan diri terlebih dahulu, bagaimana mungkin seorang manusia bisa melaluinya? Tengah hari.

Cio San berdiri di depan cermin.

Lang-Lang membantunya berpakaian.

Sang Jenderal Phoenix terlihat gagah dan tampan sekali.

Gadis yang berada di sampingnya pun sangat pantas bersanding dengan nya.

Apabila ada orang yang melihat pasangan ini, tentu akan mengira mereka adalah pasangan muda yang tinggal di istana kekaisaran.

Meskipun ada kesedihan di wajah mereka, hati mereka masing-masing masih memiliki harapan.

Jika114 ada umur, jika ada takdir, masih mungkin berjumpa kembali.

Cio San berdiri menatap Lang-Lang.

Inilah perpisahan mereka.

Semalaman memadu cinta, tentu tiba juga masa berpisah.

Lang-Lang mencoba mengeraskan hatinya.

Entah kenapa ia begitu cinta dengan lelaki yang baru sehari ditemuinya itu.

Mungkin karena sebelum bertemu dengannya, ia ditugaskan untuk mempelajari seluruh kehidupan lelaki itu.

Ini yang membuatnya seolah mengenal lelaki itu seumur hidupnya.

"Kau sudah berjanji padaku. Aku harap kau selalu mengingatnya,"

Kata Lang-Lang.

"Mau memaksa lupa juga tidak bisa lupa,"

Tukas Cio San sambil tersenyum.

"Aku tidak ingin melepasmu dengan kesedihan. Aku ingin melepasmu dengan gembira. Kuharap, kau tidak salah menentukan pilihan."

Memilih untuk bergabung dengan "mereka"? Cio San hanya tersenyum dan mengangguk.

"Kita tidak perlu mengucapkan salam perpisahan, bukan?"115

"Tidak,"

Nona itu menjawab dengan tegas, tetapi jauh di dasar hatinya seluruh hidupnya telah terguncang.

Cio San mengecup kening Lang-Lang dengan mesra.

Sebuah kecupan memang dapat mengubah hidup seseorang.

*** Rumah bordil itu telah jauh tertinggal di belakang.

Hanya sebuah titik kecil yang tak lama lagi akan menghilang.

Ia hanya semalam di sana, tetapi kenangan yang tertulis di relung hatinya tidak mungkin akan terlupa seumur hidupnya.

Ia sendiri tidak memahami mengapa hatinya begitu mudah terombang-ambing perasaan.

Sedih dan bahagia datang silih berganti.

Cinta dan benci sambung menyambung bagai ikatan yang tak terputuskan.

Kenangan dan harapan menjadi kabur dan tak berbatas.

Setiap detik adalah masa lalu dan masa depan yang terjadi secara bersamaan.116 Langkahnya membawanya masuk ke dalam sebuah hutan.

Pemandangannya indah karena banyak bunga Tho yang mekar.

Namun pemandangan indah ini segera terganggu saat telinganya mendengar suara pertempuran dari kejauhan.

Dalam sekali gerak, tubuhnya melesat ke arah suara pertempuran.

Bagitu sampai, ia melihat rombongan Piauwsu23 sedang dikeroyok oleh sekelompok orang.

Dari Piuw-ki24 nya, Cio San mengenali bahwa rombongan yang dikeroyok ini berasal dari Ang Liong Piuwkok25.

Kelompok pengawal ini sangat terkenal di Tionggoan karena usaha mereka cukup banyak cabangnya, dan pengawalan mereka selalu aman.

Rombongan ini nampaknya sedang dikeroyok oleh sekelompok orang yang kemungkinan besar adalah perampok.

Dari cara berpakaian dan cara menyerangnya yang berangasan, Cio San yakin kesimpulannya tidak keliru.

Ia memutuskan untuk menolong rombongan Piauwsu ini.

Jika ia memutuskan untuk bergerak, siapa pula yang bisa menahannya? Dalam sekejap mata, 23 Pengirim dan Pengawal Barang 24 Panji Tanda Pengenal 25 Jasa Pengiriman dan Pengawalan Naga Merah117 kelompok perampok itu sudah kocar-kacir.

Salah seorang pemimpinnya ditahan oleh Cio San.

"Siapa namamu?"

Tanya Cio San.

"Perduli apa kau tahu namaku?"

Jawab ketua perampok yang sudah tidak berdaya itu.

Cio San tertawa.

Dengan jiwanya yang pengasih, ingin ia mengampuni ketua perampok itu.

Memintanya untuk bertobat dan mengubah jalan hidupnya.

Tapi dari satu kali omongan saja ia bisa menduga, keinginannya itu akan sia-sia.

Di dunia ini orang jahat yang tidak mau berubah amat sangat banyak.

Tangan Cio San bergerak menotok sebuah titik di tulang belakang si perampok.

Tidak ada rasa sakit, tidak ada perasaan aneh.

Bahkan si perampok sendiri heran dengan apa yang dilakukan Cio San.

Karena tahu-tahu totokannya terbuka.

"Pergilah. Jangan sampai aku bertemu kembali denganmu,"

Kata Cio San.

Perampok itu tertawa.

Ia lalu mengambil kuda dan membedalnya kencang sekali.

Seandainya perampok itu tahu bahwa seumur hidupnya kaki dan tangannya tidak akan bisa lagi dipakai untuk memukul118 orang, tentunya tertawanya tidak akan seriang itu.

Tapi ia akan baru tahu beberapa hari ke depan.

Cio San memperhatikan sekitarnya.

Rombongan ini terdiri dari 15 orang, semuanya terluka parah.
Air Mata Terakhir Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bahkan ada yang sudah meninggal.

Rupanya tadi ia sedikit terlambat.

Dengan cepat ia bergerak mengeluarkan bubuk obat yang biasa ia bawa di kantongnya.

Obat yang ia rancik sendiri dan sangat ia percayai khasiatnya dalam mengobati luka akibat benda tajam.

Dikumpulkannya para korban yang terluka, yang masih hidup hanya ada 4 orang.

Yang 2 pun sudah sekarat.

Hanya tinggal 2 orang yang masih bisa bertahan.

Cio San merawat mereka sampai malam hari.

Membuat api unggun, menyiapkan makanan, dan menyuapi mereka.

Tidak terhingga rasa syukur yang ada di wajah mereka.

Hanya ucapan terima kasih yang tulus yang diucapkan sangat lemah.

Cio San menangkan mereka dan meminta mereka untuk beristirahat.

Ia berjanji untuk menjaga mereka.

Keempat orang ini tidak mau karena rasa tanggung jawabnya akan barang yang mereka bawa.

Cio San bisa mengerti.

Kehormatan para Piauwsu ini119 adalah pada barang kawalan mereka.

Jiwa raga boleh melayang, tapi barang kawalan tidak boleh hilang.

Saat malam sudah larut, para Piauwsu masih terjaga.

Meskipun dengan mengarang dan mengaduh, mereka berusaha untuk tidak tertidur dan mencoba untuk melawan rasa sakit yang mereka derita.

Salah seorang Piauwsu menarik tangannya dan berkata.

"Ba... awa aaa...ku ke bawah pohon sssana."

Cio San menurut dan membopong lelaki sseparuh baya itu ke tempat yang dimintanya.

"A ku, ta hu, in-kong26 ada... lah orang... baik"

Cio San hanya tersenyum. Ia tahu nyawa orang ini sudah tidak panjang lagi. Nafasnya sudah berat dan terdengar suara seperti orang mengorok. Tapi orang ini masih berusaha untuk berbicara.

"Ma...u kah... tu...an meno...longku se...ka...li... la...gi?"

Agak sulit Cio San memahami perkataan orang ini, tapi ia mengangguk tanda paham.

"A...ku berhu...tang ke...pada sese... or ang. Kuharaptu...an...maumenyam...pai...kan...hut...a ng...ku." 26 Tuan Penolong120

"Tentu saja,"

Jawan Cio San dengan yakin.

"Te...ri...makas...ih. Na...manya Si Bu...rik..."

Si burik? Seburuk apa wajahnya? Orang itu lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari kantong bajunya.

Kain bungkusan berawarna putih yang sudah bernoda darah sangat banyak.

Di dalamnya ada sebuah kotak kayu.

Dalam sekali pandang, Cio San dapat melihat sebuah peta yang digambarkan di kain bernoda darah itu.

Sang Piauwsu itu tidak berkata apa-apa lagi.

Wajahnya menggambarkan ketenangan dan kegembiraan yang teramat besar.

Ia mati dengan dengan keyakinan bahwa orang yang dipercayainya itu akan membantunya menyampaikan pesan terakhirnya.

Dengan tangannya Cio San mengusap mata Piauwsu yang malang itu.

Sahabatnya yang masih tersisa pun menangis terharu.

Sejak mereka memutuskan untuk bekerja sebagai Piauwsu, mereka telah mengerti apa yang bakal terjadi di dalam hidup mereka.

Tetapi perpisahan tetap saja merupakan sesuatu yang menyedihkan.121 Cio San merawat mereka selama 3 hari.

Berkat obat-obatan racikannya, serta perawatannya yang penuh perhatian, ketiga orang ini berhasil selamat dan berangsur-angsur sembuh.

Begitu sudah kuat, Cio San menaikkan mereka ke sebuah kereta milik rombongan Piauwsu itu dan mengantarkan mereka sampai keluar hutan.

Dari sana mereka dengan aman menuju ke sebuah kota kecil di mana mereka dapat beristirahat dan melanjutkan perjalanan.

Cio San pun melanjutkan perjalanan.

Ada amanat yang harus ia sampaikan.

Amanat orang yang telah meninggal memang wajib disampaikan.

Ia telah berjanji.

Dengan sekuat tenaga ia akan melaksanakan janji itu.

Ia lalu membuka bungkusan kain itu dan mempelajari peta yang tergambar di sana.

Selain gambar dan coretan-coretan, ada juga tulisan yang berisi beberapa keterangan.

Cio San mulai membaca keterangan yang dituliskan di kain itu.

Keterangan di gambar itu, tempat yang dimaksud cukup dekat dengan kota Siangyang.

Kota ini merupakan kota legendaris, karena merupakan kota pertahanan terakhir kerajaan Song melawan serbuan bangsa Goan.

Pendekar besar Kwee Cheng122 meninggal mempertahankan kota itu bersama keluarganya.

Hanya anak perempuannya yang bernama Kwee Siang yang selamat.

Nona itu kemudian menjadi bhiksuni dan membuat partai Go- Bi Pay.

Partai di mana ibu Cio San belajar ilmu silat.

Bahkan Cio San pernah tinggal beberapa tahun di Go- Bi Pay saat masih kecil.

Kota Siangyang tidak pula jauh dari tempatnya.

Apabila ditempuh tampa beristirahat, ia bisa mencapai kota itu dalam 2 hari.

Cio San lalu lanjut membaca catatan di kain berdarah itu.

"Aku telah berkali-kali mencoba kembali ke tebing itu. Turun dengan menggunakan tali yang sudah kupersiapkan. Tapi berkali-kali ku cari ke dasar sungai, tetap saja tidak menemukan jalan masuknya. Satu-satunya cara yang belum kucoba adalah terjun langsung dari ujung tebing. Tapi aku masih belum memiliki keberanian untuk menguji hal ini. Bagaimana jika aku keliru?"

Membaca ini Cio San jadi bertanya-tanya.

Jadi si Burik ini tinggal di dalam jurang? Jalan masuk ke jurang itu pun masih rahasia? Siapa si Burik ini? Mengapa ia tinggal di tempat yang begitu rahasia?123 Bagaimana awal pertemuan si Piauwsu tua dengan si burik itu? Semua pertanyaan ini menjadi semakin menarik bagi Cio San.

Rasa ingin tahu dan jiwa petualangannya mendorongnya untuk secepatnya berangkat ke tempat itu.

Cukup sulit juga mencari tempat itu, karena gambar di peta itu kurang begitu jelas.

Baru pada hari ke 6 Cio San berhasil menemukan tebing yang dimaksud.

Tebing itu sudah dipenuhi rumput-rumput yang tinggi.

Jika tidak dicari dengan seksama, orang tidak mungkin akan menemukan tebing ini.

Hutan lebat telah menutupinya, jalan setapak pun sudah tidak lagi ada.

Tanpa peta, tidak mungkin orang akan menemukan tebing ini.

Lalu bagaimana Piawsu tua itu menemukan tempat ini? Cio San tidak mau berandai-andai.

Tugasnya hanyalah menyampaikan amanat ini.

Selain itu, bukan urusannya.

Ia duduk di ujung tebing itu memperhatikan ke bawah.

Jurangnya dalam sekali.

Ada ratusan tombak.

Menggunakan ginkang setinggi apapun, jika jatuh ke bawah tubuhnya akan menjadi perkedel.124 Setelah berpikir cukup lama, Cio San memutuskan untuk turun menggunakan tali dulu.

Dengan cepat ia bergerak mengumpulkan akar-akaran dan juga bamboo untuk disambungkan menjadi tali yang cukup panjang.

Hampir seharian ia menjalin akar- akan itu sampai akhirnya dirasa cukup panjang untu sampai ke dasar jurang.

Malam datang menjelang, dan Cio San memilih untuk beristirahat untuk mengumpulkan tenaga.

Tadi saat mencari akar-akaran dia pun sudah mengumpul kan bahan makanan untuk ia masak.

Banyak ubi-ubian liar serta dedaunan bumbu yang berada di sana.

Ia juga tadi sempat menangkap seekor ayam hutan yang cukup besar.

Pagi-pagi Cio San sudah bangun.

Tenaganya telah terkumpul semalaman.

Cio San merasa ada sedikit keanehan di dalam tubuhnya.

Ia belum bisa mengenali keanehan ini.

Tapi kadang-kadang ada rasa lemas yang muncul saat ia mengerahkan tenaga.
Air Mata Terakhir Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Puncaknya saat ia dulu diserang oleh 4 orang bertopeng itu.

Seolah seluruh tenaganya hilang saat seluruh tenaganya dikerahkan.

Memikirkan ini ia agak merasa khawatir.

Tetapi janjinya terhadap orang yang meninggal harus segera125 terlaksana.

Cio San kemudian mencoba mengusir pikiran yang membuatnya was-was ini.

Apa yang terjadi, terjadilah.

Dengan yakin ia bersiap-siap menuruni lereng tebing yang curam.

Saat baru akan turun, matanya tertumbuk pada sesuatu pada dinding batu-batuan di hadapannya.

Dinding batu itu tertutup lumut dan reremputan liar.

Tapi matanya yang tajam dapat melihat ada tulisan yang terukir pada dinding batu itu.

Segera ia beranjak ke sana dan mencoba menyingkirkan lumut dan rerumputan pada dinding itu.

Tulisannya sudah sangat sulit terbaca.

Dari beberapa hurufnya yang terlihat kuno, Cio San yakin bahwa tulisan ini dibuat lebih dari 150 tahun yang lalu.

"16 tahun cinta ditepati"

Hanya tulisan itu yang tersisa.

Huruf lainnya sudah tidak terbaca lagi.

Cio San mengingat-ingat, sepertinya ia pernah mendengar kisah cinta ini.

Entah ia mendengarnya di mana.

Memikirkan ini, hatinya semakin penasaran untuk mengetahui apa yang ada di bawah.

Tali akar-akaran sudah diikat.

Ujungnya sudah dijulurkan ke bawah.

Ia segera berangkat! Tebing jurang sangat licin karena bebatuannya memang terbuat dari bahan yang licin, selain juga126 diliputi lelumutan yang membuatnya bertambah licin.

Sebuah kesalahan kecil saja ia bisa terjun bebas ke bawah.

Kini nasibnya hanya bergantung pada kekuatan akar-akaran dirajutnya itu.

Cio San tidak perduli.

Rasa penasarannya malah membuatnya semakin semangat menuruni jurang yang terjal dan dalam itu.

Setelah beberapa lamanya menuruni jurang itu akhirnya sampai juga ia di dasarnya.

Lembah itu sangat indah.

Banyak bunga bermekaran.

Sungai kecil melawati tempat itu.

Kupu-kupu dan lebah memenuhi tempat itu.

Lebah.

Ia seperti mengingat sesuatu.

Cerita yang pernah didengarnya saat ia masih kecil dahulu.

Tapi apa itu, ia masih belum mampu meingingatnya.

Cio San menyusuri dan memeriksa seluruh tempat itu.

Tidak ada orang yang tinggal di dalam lembah itu.

Ia berteriak-teriak berharap ada orang yang membalas teriakannya, namun hanya pantulan suaranya sendiri yang didengarnya.

Cio San mencari-cari sampai semalaman hingga akhirnya ia menyerah.

Memang tidak orang yang tinggal di tempat itu.

Apakah Piauwsu itu menipunya?127 Untuk apa pula menipunya? Setelah berpikir keras berulang-ulang, ia yakin Piauwsu itu berkata jujur.

Apalagi ia sendiri mampu membedakan orang yang berbohong dengan yang jujur.

Satu-satunya penjelasan bahwa di tempat ini ada sejenis pintu rahasia.

Cio San memutuskan untuk melanjutkan lagi pencariannya besok pagi.

Esok harinya, ia melanjutkan pencariannya.

Karena mencari jalan atau pintu rahasia.

Ia mengerahkan segala kemampuan dan daya pikirnya, namun sampai tengah hari ia masih belum menemukannya.

Tidak ada satu hal pun yang mencurigakan di tempat ini.

Tapi satu hal yang membuat ia yakin bahwa ada orang yang tinggal di tempat ini adalah bahwa bunga-bunga, kupu-kupu serta lebah terawat dengan sangat rapi.

Karena belum berhasil juga, Cio San memutuskan untuk beristirahat dan memikirkan kembali rahasia tempat ini.

"Aku seharusnya memulai dari awal. Ya. Awal rahasia ini adalah bagaimana sang Piauwsu bisa sampai kemari."

"Dari segala kemungkinan, kemungkinan yang paling besar ia sampai di ujung tebing di atas sana128 adalah bahwa ia memang tidak sengaja sampai di situ. Mungkin karena ia dikejar musuh atau perampok yang ingin mengambil barang kawalannya. Melihat harga diri dan kebanggaan para Piauwsu, mungkin saja ia memilih untuk melompat masuk jurang daripada memberikan barang kewalannya kepada orang lain."

"Mungkin jalan satu-satunya masuk ke tempat rahasia itu adalah dengan cara melompat langsung dari atas tebing menuju ke dasar sungai. Tadi sudah kucoba masuk sungai. Cukup dalam. Ku rasa aku bisa selamat jika lompat dari tebing dan langsung masuk ke sungai. Mungkin lompatan itu akan cukup keras sehingga sanggup membuat pusaran air dan membuka jalan rahasia di tempat itu. Hanya inilah satu-satunya penjelasan yang bisa ku temukan. Itulah sebabnya Piauwsu itu tidak sanggup menemukan kembali tempat rahasia itu karena ia pun turun dengan tali. Jika melompat langsung, kemungkinan memang bisa menemukan jalan rahasianya."

Hati Cio San sudah bulat.

Jika ia gagal, paling- paling ia mati karena menyampaikan amanat dari orang lain.

Kematian yang cukup pantas menurutnya.

Segera ia naik ke atas lagi dengan menggunakan tali akar yang sebelumnya ia gunakan.

Sesampai di atas129 sebelum melompat, ia menulis dulu di dinding tepat di sebelah tulisan kuno yang tadi dibacanya.

"Melompat ke dalam jurang karena menyampaikan amanat. Hidup atau mati berada pada takdir Thian (langit) ? Cio San"

Ia melompat.

Melompat dengan rasa rela dan ikhlas karena ia tahu ia telah berbuat hal yang benar.

Ia tidak mengerahkan ginkang, tidak pula menutup mata.

Ia ingin menikmati pemandangan yang indah ini.

Mungkin untuk pertama dan terakhir kalinya.

Dalamnya jurang seolah tanpa ujung.

Segala pemandangan bergerak sangat cepat.

Kenangan masa lalu sekilas terbesit seluruhnya di hadapannya.

Entah kenapa ia tidak bersedih.

Entah kenapa pula ia tidak merasakan takut sedikit pun.

Sepertinya ia yakin bahwa dugaannya benar.

Byuuuuuurrrrrrrrrrrrrr!!!! Tubuhnya mencebur ke dalam sungai dengan sangat deras.

Cipratan air menjulang bertobak- tombak.

Ia masuk ke dasar sungai yang gelap.

Laju tubuhnya yang deras ternyata menimbulkan pusaran air yang keras.

Pusaran air ini mendorong tubuhnya130 mengikuti sebuah jalur yang aneh.

Di ujung jalur itu terlihat sebuah cahaya.

Aha! Cio San membiarkan tubuhnya terbawa pusaran arus dan memasuki cahaya itu.

Pusaran yang deras mendorong tubuhnya masuk ke dalam cahaya itu dan melontarkannya keluar! Cio San ber-poksai27 3 kali untuk mengikuti dorongan pusaran air itu.

Haaaaap! Kakinya mendarat di rerumputan.

Ia seperti berada di dalam sebuah goa.

Atap goa tinggi menjulang.

Ada lubang-lubang di atap goa yang membuat sinar matahari dapat masuk dengan nyamannya.

Di dalam goa itu ternyata bagaikan bilik tempat tinggal seseorang.

Ada perkakas yang dibuat dengan sangat sederhana.

Ada tali panjang melintang yang terlihat sudah sangat tua.

Ada batu berbentuk kotak yang ukurannya hampir sama dengan sebuah tempat tidur yang sepertinya terbuat dari batu es yang kokoh.

27 salto131 Kembali ingatan Cio San seolah membawanya ke sebuah cerita yang sangat dikenalnya.

Ia ingat dulu ibunya pernah bercerita tentang tempat ini.

Akhirnya ingatan itu muncul kembali.

Tebing yang dalam, tulisan 16 tahun, lebah, bunga-bungaan, tempat tidur dari balok es, tali panjang.

Ia ingat sekarang.
Air Mata Terakhir Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cerita ratusan tahun yang lalu tentang seekor burung rajawali sakti dan sepasang pendekar.

Pasangan yang harus melewatkan begitu banyak cobaan karena cinta mereka yang dianggap tabu oleh masyarakat.

Hubungan cinta guru dan murid.

Yo Ko dan Siauw Longlie.

Apakah ia berada di lembah itu? Apakah tadi ia terjun dari Tebing Patah Hati? Saat ia berusaha keras mengingat cerita itu, tahu-tahu ada pedang menyambar.

Jurus pedang itu sangat hebat, tapi tanpa pengarahan tenaga dalam yang benar.

Malahan mungkin orangnya sama sekali tidak mengerti tentang tenaga dalam.

Dengan gampangnya Cio San menahan pedang itu dengan kedua ujung jarinya.

Penyerang itu132 terperangah.

Cio San pun terperangah.

Di hadapannya berdiri sesosok gadis berpakaian putih, kulitnya pun putih seperti salju.

Sayang wajahnya tertutup cadar berwarna putih pula.

"Siauw Lionglie-liehiap28 ?" 28 Pendekar wanita Siauw Liong Lie133 BAB GADIS DI DASAR JURANG Gadis bercadar itu seolah terhenyak mendengar nama itu. Sepertinya ia tidak menyangka lelaki di hadapannya mengenal nama itu. Ia mencoba menarik pedang tapi apa daya, pedang itu menancap dalam jepitan jari Cio San seolah ditempel oleh perekat maha kuat. Putus asa, akhirnya si gadis bercadar melepas pedang itu dan mencoba memukul Cio San. Pukulan seorang gadis yang tidak bisa silat. Gerakannya indah tetapi tanpa kekuatan. Seperti orang menari. Sekali menghindar, Cio San buka suara.

"Nona mohon berhenti menyerang. Aku kemari untuk meng- hantarkan amanat."

Nona itu berhenti untuk mendengarkan.

Tapi ia kembali menyerang Cio San.

Gerakannya sangat indah, tapi sama sekali tidak ada tenaga yang tersalurkan.

Melihat ini Cio San agak heran juga.

Gerakannya merupakan jurus yang amat indah dan dahsyat jika dilakukan dengan benar.

Sayangnya nona134 ini sepertinya belum pernah berlatih tentang penyaluran tenaga.

Tangan Cio San bergerak.

Ia terpaksa menotok gadis bercadar itu.

"Lepaskan aku!"

Teriak si nona. Suaranya merdu sekali. Terdengar sangat lembut di telinga Cio San. Dengan sigap Cio San mengeluarkan bungkusan titipan sang Piauwsu. Katanya.

"Seorang Piawsu yang sekarat memintaku untuk mengantarkan benda ini kepada si burik di dasar jurang ini. Jika bukan karena sudah berjanji, tidak mungkin aku mau menghantar nyawa melompat ke dalam jurang."

Si gadis bercadar memperhatikan bungkusan itu. Ia seolah mengenal kain putih berlumuran darah yang mengering itu. Tapi hatinya belum yakin, ia bertanya.

"Siapa nama Piauwsu itu?"

Dalam hati Cio San bersyukur bahwa sebelumnya saat mengantarkan para Piauwsu yang selamat, ia sempat bertanya tentang nama Piauwsu itu.

"Namanya Cong Le Hong."

"Ia sudah meninggal?"

Tanya si gadis seolah tidak percaya.135

"Ya. Ia meninggal dikeroyok perampok. Sebelum meninggal ia sempat memintaku menyampai kan bungkusan ini kepada si Burik. Di kain pembungkusnya ada gambar peta dan tulisan tangan nya. Silahkan nona membaca sendiri."

Sambil berkata begitu, Cio San membuka totokan si nona.

Sekarang saat si nona sudah tenang, Cio San memperhatikan wajahnya.

Wajah itu sebenarnya cantik meskipun tertutup cadar.

Tetapi di sana-sini terlihat daging yang mengelupas dan membusuk di wajahnya.

Juga tercium bau amis yang cukup tajam.

Mungkin karena ini si nona menutup wajahnya dengan cadar.

Mungkin karena ini pula ia dipanggil Si Burik.

Setelah nona itu membaca tulisan dan peta pada kain itu, hatinya menjadi yakin.

Ia lalu berkata.

"Aku sudah memperhatikanmu sejak tadi. Ketika kau naik ke atas, ku pikir kau sudah memutuskan untuk pergi. Ternyata kau melompat ke dalam sungai."

Saat Cio San mau menjawab tahu-tahu tubuhnya bergetar hebat. Perutnya terasa terbakar dan kepalanya merasa pening. Ia jatuh terduduk136 dengan lemas. Rupanya rasa lemas yang akhir-akhir ini muncul, kini menyerangnya dengan hebat.

"Uhuuuuuukkkk!"

Cio San muntah darah segar. Si gadis bercadar kaget.

"Ada apa?"

Tanyanya dengan dingin.

Tapi suara pertanyaannya seolah menghilang.

Pandangan Cio San mengabur.

Semuanya menjadi gelap.

Ia tidak ingat apa-apa lagi.

*** Saat tersadar, Cio San sudah terbaring di atas dipan.

Si gadis bercadar duduk di sebuah kursi di sampingnya.

"Baguslah kau sudah tersadar."

Kepala Cio San pusing sekali.

Ia mencoba mengingat apa yang terjadi tetapi tubuh dan pikirannya terasa lemah sekali.

Kemungkinan ketika ia terjun dari tebing jurang dan masuk ke dasar sungai, hempasan yang ia alami sangat deras sehingga menimbulkan goncangan di dalam tubuhnya.137 Ia tidak bisa berpikir lebih jauh karena kepalanya terasa sakit sekali.

Akhirnya ia mencoba menutup mata dan beristirahat saja.

Sayup-sayup terdengar gadis bercadar itu bersenandung.

Suara nyanyiannya sangat lembut.

Tak terasa, akhirnya Cio San tertidur kembali.

Sangat lama Cio San tertidur, hampir 2 hari lamanya.

Ia terbangun karena perutnya terasa lapar sekali.

Ia lalu mencoba bersemedhi untuk mengatur kerja seluruh tubuhnya.

Cukup lama ia bersemedhi, berangsur-angsur tubuhnya terasa hangat dan kekuatannya muncul kembali.

Ia mencoba menduga-duga apa yang terjadi pada dirinya.

Serangan rasa lemas ini terjadi tak berapa lama setelah kejadian pemberontakan Pangeran Cu.

Pada saat itu, ia terkena panah yang melukai jantungnya.

Tapi dengan menggunakan Anggrek Tengah Malam, Bwee Hua berhasil menyembuhkan dirinya.

Cio San yakin sekali ia telah sembuh dan pulih seluruhnya.

Kejadian ke-2 yang paling memungkinkan sebagai penyebab rasa lemas ini adalah karena ia138 secara tidak sengaja menyerap tenaga murni Suma Sun.

Apakah tenaga murni Suma Sun beradu dengan tenaga murninya sendiri sehingga kedua kekuatan ini malah saling menyerang? Cio San belum yakin benar.

Tapi perkiraan inilah yang paling masuk akal baginya.

Ia bangkit mencoba untuk duduk.

Si gadis bercadar ternyata masih tetap berada di kursi samping dan menjaganya.

Katanya dengan dingin.

"Makanlah dulu, sedari tadi kudengar perutmu keruyukan."

Cio San tertawa.

Walaupun dalam keadaan lemah seperti ini ia masih bisa tertawa bahagia.

Jika ada seorang wanita menjaga dan merawat dirinya saat sedang sakit, memangnya apa lagi yang dibutuhkan seorang laki-laki? Melihat Cio San masih lemah, Si gadis lalu menyuapi Cio San tanpa canggung.

Semangkuk bubur umbi-ubian yang dicampur daging yang enak sekali.

Baunya wangi dan rasanya sangat gurih.

"Buburnya dingin,"

Kata si nona masih dengan sikap tak acuh.

"Jika yang kau suapkan itu berupa pasir dan kerikil, aku masih tetap akan berterima kasih, nona."

"Berhentilah merayu,"

Pendek saja jawaban si Nona.139 Cio San dapat melihat, mungkin di sepanjang hidupnya nona ini tidak pernah dirayu orang.

Wajahnya yang burik, hidupnya yang menyendiri di dasar jurang, berapa besar kemungkinan ia bertemu lelaki yang menyukainya? "Apakah Piauwsu itu pun mengalami hal yang sama denganku? Jatuh ke dasar jurang dan terluka?"

Gadis itu mengangguk. Tangannya masih menyuapi bubur.

"Karena berhutang nyawa, ia berjanji memberikanmu hadiah suatu saat nanti jika ia mampu kembali kemari?"
Air Mata Terakhir Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gadis itu mengangguk lagi. Katanya.

"Padahal aku kan sudah berkali-kali menolak janjinya. Tahu- tahunya orangnya memang tidak datang, tetapi hadiahnya yang datang bersama orang lain,"

Ujarnya ketus. Melihat Cio San diam saja, gadis itu akhirnya tidak tahan untuk bercerita.

"Suatu hari tahu-tahu ada mayat muncul di sungai yang melewati kamar ini. Aku paham bahwa mayat itu terjatuh dari atas tebing, masuk ke dalam sungai di luar, lalu terbawa pusaran air masuk sampai140 ke dalam lubang rahasia. Lalu muncul ke sini. Ketika menariknya keluar sungai, ternyata ia masih hidup."

Lanjutnya.

"Sekujur tubuhnya penuh luka bacokan. Ia tak sadarkan diri, tetapi tangannya masih memeluk sebuah benda dengan kuatnya. Bahkan ketika aku baringkan dia di atas dipan, tangannya tidak mau melepas benda yang dipegangnya. Sepertinya ia lebih suka kehilangan nyawa daripada kehilangan barang itu. Setelah ia sadar dan sembuh, ia lalu bercerita bahwa ia adalah seorang pengawal barang yang dirampok di tengah jalan. Karena terpaksa, ia harus melompat ke dalam jurang, dan tanpa sengaja terseret arus sampai kemari. Begitu sembuh, ia langsung meminta diri karena harus mengantarkan barang yang dikawalnya. Ia berjanji suatu saat nanti akan berkunjung lagi kemari."

Cio San lalu bertanya.

"Berarti ada jalan keluar dari jurang ini tanpa harus memanjat melalui tali ke atas?"

Gadis bercadar itu mengangguk.

Dalam hatinya Cio San menduga, bahwa gadis ini benar-benar memilih hidup sendirian di jurang ini adalah karena ada alasan tertentu yang membuatnya harus mengasingkan diri.

Bukan karena ia tersesat dan141 tidak bisa keluar.

Ia juga tidak lahir dan besar di tempat itu.

Dilihat dari caranya bergaul dan bercakap dengan orang lain, rasanya nona ini pernah hidup di tengah keramaian bersama orang lain.

Tetapi mungkin saja ada kejadian di masa lalu yang membuatnya menjadi bersikap dingin terhadap orang lain.

Kejadian yang membuatnya mengasingkan diri ke tempat ini.

Tapi ia tidak ingin bertanya alasan apa yang membuat nona itu memilih menyendiri di sini.

Jika gadis ini telah memilih jalan hidup seperti ini, tentu karena alasan kuat yang orang lain tidak punya hak untuk tahu.

Tiba-tiba nona itu bertanya.

"Kau mengenal Siauw Lionglie?"

Cio San menggeleng. Tapi semua orang di dunia Kang Ouw29 tentu sudah mengenal nama itu. Nama yang sangat terkenal sejak ratusan tahun yang lalu. Pertanyaan nona ini yang lugu membuat Cio San penasaran.

"Lalu kenapa kau menyebutnya?"

Tanya si nona lagi. 29 Dunia Persilatan142

"Siauw Lionglie?liehiap adalah seorang tokoh pendekar perempuan yang amat sangat terkenal pada ratusan tahun yang lalu. Dikisahkan ia sempat tinggal dalam sebuah jurang selama 16 tahun terpisah dari kekasihnya."

Gadis itu mengangguk seolah memang sudah pernah mendengar cerita ini. Penasaran, Cio San bertanya.

"Nona memiliki hubungan dengan pendekar itu?"

Gadis itu menggeleng. Tapi ia berkata.

"Aku menemukan buku catatan hariannya di tempat ini."

Hampir copot jantung Cio San mendengarnya.

Tebing Patah Hati adalah sebuah tempat yang sangat ternama di jaman dahulu.

Karena kejadian tinggalnya Siauw Lionglie di jurang ini selama 16 tahun, banyak orang yang kemudian datang mencari tempat itu dan berusaha mencari peninggalan-peninggalannya.

Rupanya orang-orang yang mencari itu tidak menemukan apa yang mereka cari sehingga lambat laun tempat ini terlupakan oleh waktu.

Ternyata peninggalan-peninggalan itu tersimpan di tempat tinggal pendekar wanita itu yang hanya bisa dimasuki melalui jalan rahasia!143 Tali tambang yang tergantung melintang itu adalah tempat tidurnya.

Kotak batu dari balok es itu adalah tempat ia melatih tenaga murninya.

Perabotan kuno yang dibuat seadanya di tempat itu pun sudah terlihat sangat tua.

Rupanya memang merupakan peninggalan pendekar wanita itu.

Tentu saja Cio San hafal sekali dengan cerita tentang pendekar wanita itu.

Ibunya sering mengisah kan tentang para pendekar di masa lalu yang banyak menimbulkan kekaguman di dalam hatinya.

Selama ratusan tahun peninggalan itu tetap terjaga.

Gadis bercadar yang tinggal di sini pun tetap merawatnya dan menjaga tempat itu utuh seperti semula.

Siapa sebenarnya gadis ini? Apa yang membawanya ke tempat ini? Selesai makan dan merasa tubuhnya telah kuat, Cio San mencoba bangkit dan berjalan.

Tubuhnya masih belum pulih seluruhnya.

Tapi kini ia masih punya kekuatan yang berjalan.

Tanyanya.

"Bolehkah aku berkeliling melihat tempat ini?"

"Silahkan,"

Jawab si Burik tak acuh.

Nampaknya ia sedang sibuk melamun dan memikirkan sesuatu.

Seandainya nona ini berasal dari kalangan persilatan tidak mungkin ia akan membiarkan orang144 lain seenaknya beredar di tempat itu karena begitu berharganya wasiat-wasiat dan peninggalan yang tersimpan di tempat itu.

Goa ini sangat indah batu-batuan di dalamnya bercahaya berkilauan.

Memantulkan cahaya matahari yang masuk lewat lubang-lubang di atapnya yang menjulang.

Memberikan warna-warni yang sangat indah di dalam ruangan goa itu.

Sungai mengalir di dalam goa ini dan menyediakan air bersih dan ikan yang tak ada habisnya.

Dari dalam sungai inilah rupanya jalan masuk rahasia itu.

Di dalam goa juga banyak tumbuhan-tumbuhan yang dapat bertahan hidup karena sinar matahari yang cukup.

Melihat keadaan goa ini, Cio San jadi teringat dengan masa lalunya yang sempat beberapa tahun ia habiskan di dalam goa yang gelap.

Di dinding goa banyak sekali tulisan-tulisan puisi yang indah.

Dengan rasa tertarik Cio San membaca puisi-puisi itu.

Membutuhkan waktu yang cukup lama baginya untuk menyelesaikan membaca puisi-puisi itu namun hatinya menjadi sangat gembira karena dari puisi-puisi inilah, ia menjadi mengerti kisah yang belum pernah diketahui masyarakat luas.145 Menurut kisah yang selama ini diketahui, setelah berhasil menghalau bangsa Goan di kota Siangyang, pasangan pendekar Yo Ko dan Siauw Lionglie mengasingkan diri ke Gu-Mu Pay30.

Sampai akhir hayat mereka menyepi di tempat itu.

Menyempurnakan ilmu silat mereka sambil menghabiskan hidup bersama-sama.

Namun ternyata kerinduan mereka terhadap dunia luar lama-lama muncul juga.

Di usia tua mereka, Yo Ko mengajak istrinya untuk mengunjungi dunia luar kembali.

Mereka sama-sama berjanji untuk tidak ikut campur dalam masalah dunia persilatan yang terjadi saat mereka keluar.

Dalam perjalanannya ini, mereka mengunjungi tempat-tempat yang penuh kenangan bagi perjalanan cinta mereka.

Mengunjungi perguruan Coan Cin yang sudah sangat mundur karena kehilangan murid dan kehilangan tokoh-tokoh besar.

Mengunjungi kota Siangyang tempat di mana mereka terakhir bertarung bersama keluarga Kwee dalam mempertahankan benteng kota itu.

Juga mengunjungi banyak tempat lain yang penuh kenangan.

30 Partai Kuburan Kuno146 Sampailah mereka ke Tebing Patah Hati yang sudah mulai terlupakan orang.

Pasangan pendekar ini kemudian memutuskan untuk tinggal beberapa saat di dalam jurang ini.

Yo Ko menuliskan banyak puisi cinta di dinding sebagai kenang-kenangan.

Ia ternyata juga meninggalkan banyak petunjuk tentang ilmu silat.

Membaca semua petunjuknya membuat Cio San serasa ingin berteriak kegirangan.

Di jamannya, pendekar besar Yo Ko adalah pendekar muda yang paling tinggi ilmunya.

Meskipun ilmunya merupakan percampuran dari berbagai macam ilmu silat, pendekar itu sendiri berhasil menciptakan sebuah ilmu hebat bernama "Tapak Duka Nestapa".

Tak ada orang yang tahu bagaimana ilmu itu sebenarnya, karena ilmu itu telah hilang bersama pendekar Yo Ko itu sendiri.

Meskipun di tembok tidak ada pelajaran mengenai "Tapak Duka Nestapa", tetapi petunjuk-petunjuk tentang cara menyalurkan tenaga, menggabungkan tenaga, serta mengembangkan berbagai ilmu menjadi sebuah jurus yang dahsyat telah dituliskan dengan cukup rinci.

"Siapapun yang telah berhasil sampai ke tempat ini, berhak untuk menggunakan tempat ini dengan semestinya"147 Itulah salah satu tulisan yang tertera di tembok. Seolah memberikan ijin bagi siapapun untuk tinggal dan mempelajari apapun yang tertulis di tempat itu. Mungkin si gadis bercadar pun membaca tulisan ini dan menjadi penyebab dengan mudah ia mengijinkan Cio San untuk berkeliling menikmati keadaan tempat itu.

"Semua ilmu mempunyai dasar yang sama. Sifat dan pembawaan seseorang lah yang membuat sebuah ilmu menjadi berbeda penerapannya, penggunaannya. Selalu luruskan hati dan akal, maka jalan untuk mempelajari ilmu apapun terbuka lebar."

Begitulah kata-kata pembuka mengenai ilmu silat yang tertulis di dinding.

Begitu cocok dengan pemahaman Cio San sendiri.

Karena ilmu silatnya memang beragam dan bercampur.

Ada dasar pernafasan Go-Bi Pay yang ia pelajari dari ibunya.

Ada dasari ilmu silat Bu-Tong Pay yang ia dapatkan selama belajar di perguruan itu.

Ada juga ilmu Menghisap Bintang yang ia dapatkan dari partai Beng Kauw.

Juga beberapa jurus 18 Tapak Naga yang sempat ia pelajari, ada pula jurus Tongkat Pemukul Anjing dari partai Kay Pang.

Bahkan ia sendiri pun menciptakan sebuah ilmu148 yang terilhami dari seekor ular, yang ia namakan Tapak Ular Derik.

Semua ilmu ini sangat hebat dan mampu digunakannya dengan luwes.

Apalagi ia memiliki pemahaman yang cerdas yang membuatnya dapat memecahkan rahasia-rahasia ilmu ini.

Beberapa tahun yang lalu ia sempat pula bertemu pasangan tua maha sakti yang memberikannya sebuah petunjuk ilmu silat yang meskipun sudah ia pahami, belum mampu ia pecahkan seluruh rahasianya.

Mendapatkan petunjuk pendekar besar Yo Ko di dalam goa ini, seolah-olah pemahamannya terbuka seluruhnya.

Ternyata mempelajari ilmu silat tidak hanya menggunakan akal dan raga saja, tetapi perasaan manusia juga memegang peran penting.
Air Mata Terakhir Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jika manusia belum mampu mengendalikan perasaan sedih, susah, senang, kecewa, atau bahagia, maka ilmunya pun tidak akan mampu mencapai tahap tertinggi.

Untuk sampai pada tingkat tertinggi, manusia harus bisa mematikan perasaannya.

Hal ini sudah dilihatnya pada diri Suma Sun.

Pendekar pedang itu telah mampu mencapai tahap tanpa perasaan, sehingga ilmu pedangnya tidak memiliki tandingan.149 Tetapi ternyata menurut tulisan pendekar besar Yo Ko, tahap yang lebih tinggi daripada tahap itu masih ada pula.

Yaitu tahap di mana manusia mampu menguasai perasaannya dan menggunakan perasaan itu sebagai kekuatan tambahannya.

Hal ini bisa dibuktikan ketika melihat orang yang marah dan mengamuk, seolah-olah kekuatannya berlipat ganda.

Tetapi kekuatan ini tidak dapat dikendalikan, karena sebelumnya perasaan tidak dikendalikan pula.

Apabila seseorang dapat mengendalikan seluruh perasaannya dan bukan mematikan perasaan itu, maka itulah sumber kekuatan terbesar.

Jika seseorang butuh, ia dapat mengeluarkan perasaan marahnya tanpa membutuhkan penyebab untuk marah.

Jika seseorang ingin, ia dapat mengeluar kan perasaan sedihnya tanpa membutuhkan sebab untuk bersedih.

Inilah, menurut tulisan pendekar besar Yo Ko, sebagai titik utama di mana manusia bisa memunculkan tenaga paling dahsyat.

Bukankah jika sedih, atau marah, manusia dapat melakukan apa saja yang tidak pernah bisa diduga?150 Karena patah hati, seorang laki-laki yang terhina dapat mempunyai semangat untuk memperbaiki dirinya menjadi manusia baru yang mengagumkan.

Karena rasa malu, seorang dapat berusaha keras melakukan apapun untuk menjadi orang yang lebih baik.

Perasaan dan dorongan seperti inilah yang membuat umat manusia bergerak ke masa depan.

Membuat penemuan-penemuan baru.

Ilmu baru.

Peradaban baru! Membaca ini, semua halangan dan rintangan di dalam pikiran Cio San terbuka semua.

Selama ini dia mengekang perasaannya karena ia merasa perasaan nya sangat mempengaruhinya dalam bertindak dan bersilat.

Tak tahunya, seharusnya perasaan itu mampu dilatih dan dikendalikan agar mampu digunakan sebagai sumber tenaga yang besar.

Inilah intisari dari ilmu "Tapak Duka Nestapa"! "Nona, apakah engkau mempelajari jurus pedang dari petunjuk di dinding ini?"

Tanya Cio San.

"Tidak. Aku mempelajarinya dari buku catatan tangan Siauw Lionglie,"

Jawab si nona bercadar.

"Bolehkah aku melihat buku itu?"151

"Tentu saja. Apapun yang berada di tempat ini juga adalah menjadi milikmu."

"Eh ada satu hal yang ingin kutanyakan pula, Apakah Piauwsu itu juga mempelajari ilmu di tembok ini?"

Tanya Cio San lagi.

"Sayangnya tidak. Dinding ini hanya bersinar di siang hari saat cahaya mentari masuk. Saat aku merawat dia, ia tersadar dari luka-lukanya pada saat malam hari setelah pingsan selama beberapa hari. Begitu tersadar, yang diingatnya hanya barang yang dikawalnya. Ia bertanya kepadaku mengenai jalan keluar tempat ini karena ia harus mengantarkan barang secepatnya sampai selamat. Ia berjanji akan kembali suatu saat nanti, namun yah, kau tahu sendiri akhir ceritanya."

"Demi Thian! Aku sampai lupa berkenalan saking kagumnya melihat tempat ini. Perkenalkan namaku Cio San. Bolehkah aku tahu siapa nama nona?"

"Kau boleh panggil aku Ouw Bin-nio31"

Katanya tak acuh. 31 Nona Muka Buruk / Burik152

"Baiklah. Salam kenal,"

Cio San mengangkat tangan sambil menjura. Nona buruk rupa hanya mengangguk, rupanya ia memang tidak mengenal adat istiadat kamu persilatan. Lalu katanya.

"Buku-buku yang kau cari, ada di pojokan sana. Aku harus pergi merawat lebah dan kupu-kupu. Nanti agak sorean aku kembali. Kau tak perlu mencariku ya."

Kata-katanya ringan dan terkesan cuek. Meskipun terasa dingin, Cio San malah merasakan kehangatan yang aneh di balik kata-kata dan tingkah laku nona itu yang dirasanya cukup cuek dan tidak perdulian.

"Baik, nona."

Si nona lalu mencebur ke dalam sungai di ujung yang berlawanan dengan tempat masuk rahasia yang tadi di lalui Cio San.

Ternyata di sana banyak sekali jalan rahasia.

Cio San hanya mengangguk-angguk dengan kagum.

Dari tulisan puisi yang dibacanya di tembok goa, pasangan pendekar Yo Ko dan Siauw Lionglie membuat beberapa jalan rahasia dan tuas- tuas khusus di tempat itu dengan cara meniru pintu- pintu rahasia yang berada di Kuburan Kuno.153 Dengan bersemangat ia pergi ke pojokan di mana terdapat sebuah rak yang berisi banyak sekali kitab dan lembaran-lembaran sutra.

Ada sebuah buku bersampul putih bersih yang bertuliskan "Catatan Milik Liong Lie".

Halaman paling awal, tertulis.

Aku membuat catatan ini agar di masa mendatang orang masih mengingat kisah kami.

Kisah cinta yang begitu tulus namun menghadapi banyak pertentangan.

Semoga di masa depan, manusia dapat berpikiran terbuka.

-Siauw Lionglie- Cio San membuka lembaran-lembaran ini dengan penuh rasa hormat.

Ia tahu bahwa ia sedang membuka catatan paling pribadi dari kehidupan seorang pendekar di masa lalu.

Membaca tulisan yang indah itu, seolah Cio San terbawa ke masa lalu menyaksikan perjuangan dan cobaan yang dialami kedua pasangan itu.154 Di bagian pertengahan kitab, Siauw Lionglie menuliskan sebuah puisi yang sangat dalam.

Siapa yang merubah hatiku? Siapa yang membuat kita satu? Selalu menyatu beban kecewa Namun takkan ku kan berakhir Siapa yang membuat ku pilu? Kembali datang masa lalu Semakin dalam gejolak jiwa Benci dan cintaku menyatu Kenangan indah pun memudar Alam pun terasa sendu Walau kita kan berpisah Rasa ini bergelora Siapa yang membuat ku resah? Tak berharap untuk berjumpa Benci dan cinta selalu menyatu155 Tak pernah aku kan berakhir Melihat diri sendiri, seolah penderitaan Cio San tidak sebanding dengan apa yang kedua pasangan ini alami.

Fitnah, hinaan, cemoohan, serta berbagai cobaan yang sangat berat harus mereka jalani demi mempertahankan cinta mereka.

Membaca catatan ini air mata Cio San menetes dengan deras.

"Entah sudah berapa lama kami tinggal di Kuburan Kuno. Anak-anak pun sudah besar. Kami tentu tidak dapat menahan mereka selamanya untuk tinggal di tempat ini seumur hidup mereka. Suamiku setuju untuk melepas mereka ke dunia luar asalkan mereka berjanji untuk menjaga rahasia siapa mereka sebenarnya. Asalkan mereka sanggup menahan diri untuk tidak terlibat dengan urusan dunia persilatan. Setahun setelah anak-anak pergi keluar, suamiku pun tak tahan ingin melihat keadaan dunia luar juga. Akhirnya kami pergi mengunjungi berbagai tempat yang penuh kenangan. Sekedar mengenang masa lalu yang penuh percobaan. Aku sungguh bahagia cinta kami dapat bersatu. Enam bulan kami berkeliling Tionggoan dengan menyamar menjadi156 pelancong tua. Jaman telah berubah dan tak ada yang mengenal kami yang sudah tua ini. Suamiku mengajakku kembali ke Jurang Patah Hati dan tinggal di sini selama beberapa lama sampai kami bosan. Untuk mengisi waktu luang, aku menulis kitab ini. Sekedar menjadi kenang-kenangan dan salam perkenalan bagi siapapun yang menemukan tempat ini di masa mendatang."

Tak terasa hari sudah sore. Nona Burik sudah pulang. Tahu-tahu ia muncul dari dalam sungai. Ketika dilihatnya Cio San berbaring di atas dipan, segera ia bertanya.

"Kau sakit lagi?"

Pertanyaannya seolah penuh perhatian tapi diucapkan dengan cuek dan acuh.

"Tidak,"

Jawab Cio San sambil tersenyum.

"Oh,"

Hanya itu jawab si Nona. Dilihatnya di atas meja kayu ada asap mengepul. Mangkok dan hidangan sudah tertata rapi. Kata Cio San.

"Aku memanaskan bubur yang tadi."157 Si nona hanya mengangguk lalu pergi ke meja dan menikmati bubur itu tanpa bersuara apa-apa. Menawari Cio San makan pun tidak. Padahal tubuhnya sedang basah kuyup. Ia makan sambil membelakangi Cio San, mungkin karena ia tidak ingin wajahnya yang buruk terlihat oleh lelaki itu. Sambil tersenyum, Cio San membaca kembali kitab yang sedang dibacanya. Begitu selesai makan, si nona burik berkata.

"Aku ingin mengganti baju. Kau tidak boleh mengintip,"

Setelah berkata begitu pun nona itu lalu pergi ke pojokan dan mengganti bajunya. Tentu saja Cio San tidak berani mengintip. Ia berbalik badan dan berusaha menghilangkan pikiran yang tidak-tidak dari kepalanya.

"Sudah."

Begitu Cio San membalik badan, nona itu sudah berada di sampingnya.

"Apa yang kau baca?"

Cio San hanya menunjukkan sampul kitab yang dibacanya.

"Kau menangis ya? Hayo mengaku?"

Kalimatnya itu adalah kalimat godaan yang lucu, tapi diucapkan dengan cuek dan hampir terasa begitu dingin. Seolah tidak ada perasaan di dalamnya.158

"Kenapa kau bisa tahu? Mungkin sepertinya karena sebelumnya kau pun menangis membacanya,"

Balas Cio San menggoda dengan nada yang agak dingin pula.

"Wajar seorang wanita menangis. Kalau laki-laki menangis itu yang tidak wajar,"

Tukas si nona.

"Laki-laki kan juga punya perasaan. Tentu saja boleh menangis."

"Laki-laki punya perasaan? Kau bercanda?"

Oh ternyata karena laki-laki nona itu mengasingkan diri ke tempat ini.

"Ya. Kami pun memiliki perasaan. Nona baru tahu?"

"Ya,"

Jawabnya pendek. Sebenarnya Cio San bermaksud menggoda nona itu dengan pertanyaannya tadi, tak tahunya, jawaban si nona burik yang pendek dan dingin malah membungkamnya.

"Minggirlah. Aku mau tidur."

Singkat, padat, dan jelas.

Cio San pun minggir dari dipan.

Si nona lalu menata bantal lalu merebahkan tubuh dengan nyaman.

Saat tidur cadarnya tidak dibuka.

Bau amis159 yang keluar dari wajahnya pun masih menebar aroma yang kurang nyaman.

Tahu-tahu nona itu bertanya.

"Kau masih sakit?"

"Berkat bantuan nona, tubuhku sudah hampir pulih seluruhnya,"

Jawab Cio San.

"Bagus. Kau bisa tidur di lantai."160 BAB MEMPELAJARI ILMU YANG HILANG Lantainya bersih. Sepertinya tiap hari memang dibersihkan oleh nona itu. Tapi saat ini Cio San belum mengantuk. Ia masih tertarik untuk membaca kisah hidup dan petualangan Siauw Lionglie beserta suaminya yang penuh lika-liku. Karena itu Cio San memilih duduk di dekat meja makan karena hanya di situlah yang ada kursi. Tulisan Siauw Lionglie ternyata berupa kalimat yang panjang-panjang. Ia lebih suka menuliskan perasaan dan pemikirannya sendiri daripada membahas orang lain. Ini sebuah hal yang ditangkap Cio San dari tulisan-tulisan pendekar wanita itu. Cinta kasihnya yang mendalam kepada Yo Ko membuatnya rela berkorban dan melakukan apa saja yang ia rasa perlu. Yang menarik dari kitab ini, terkadang Siauw Lionglie juga menuliskan pendapat-pendapatnya tentang beberapa jurus silat yang ditemuinya.161 Misalnya ia membahas ilmu silat Hakim Roda Emas (Kim Lun Hoat Ong) yang menurutnya sangat tangguh namun berhasil ia pecahkan dengan jurus yang sederhana. Atau ia juga memberikan catatan- catatan penting terhadap ilmu andalan pendekar besar Kwee Ceng yaitu 18 Tapak Naga (Hang Liong Sipat Ciang).

"Pukulan ini adalah pukulan terkuat dan terbaik yang pernah kulihat. Segala kekuatannya mampu menghancurkan apa saja. Terukur, tepat, dan tidak memerlukan gerakan tipuan atau tambahan lainnya. Kata Oey-yoksu, hanya Tapak Duka Nestapa milik suamiku yang sanggup menghadapinya. Awalnya aku sendiri masih ragu karena ilmu suamiku itu hanya bisa mencapai puncaknya jika hatinya sedang bersedih. Untungnya saat ini, ia telah mencapai tahap yang lebih tinggi daripada tahap Tanpa Perasaan. Entah apa aku menyebutnya. Dari yang kudengar sebenarnya ada satu lagi ilmu tapak yang sakti, namanya Tapak Sakti Buddha, atau Tapak Buddha. Konon katanya Bhiksu Tat Mo sang pencipta ilmu silat sendiri yang menciptakan ilmu ini setelah ia menurunkan semua ilmu silat yang dimilikinya kepada murid-muridnya. Ia bertapa dan mengucilkan diri selama puluhan tahun untuk162 menciptakan ilmu terakhir sebelum ia meninggal. Dari kabar yang tersiar di dunia persilatan, saat keluar dari pertapaan, ia menulis kitab tentang keagaamaan, yang ternyata jika diterapkan pada ilmu silat, akan menghasilkan apa yang dikenal dengan ilmu Tapak Buddha itu. Sayangnya dari kalangan biara Siau Lim Pay (Shaolin) sendiri, belum terdengar ada orang yang menguasainya. Bahkan ilmu ini seolah hilang ditelan waktu."
Air Mata Terakhir Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cio San membaca tulisan Siauw Lionglie dengan penuh semangat sampai-sampai ia tidak sadar bahwa saat itu bahkan sudah memasuki terang tanah (selesai waktu Subuh).

Ia sama sekali tidak mengantuk dan meneruskan membaca catatan harian milik Siauw Lionglie ini.

Ada catatan kecil yang menarik hati Cio San.

"Ciu Pek Tong ternyata terus bertambah muda. Setelah terus meminum madu giok dari Lebah Giok, ilmu silatnya pun bertambah sakti. Jika bukan karena sifatnya yang hanya suka bermain, aku yakin ia adalah pendekar yang ilmunya paling tinggi saat ini setelah Kwee Ceng sekeluarga meninggal, dan para pendekar besar semua menghilang.163 Kabar yang tersiar mengatakan bahwa Oey- Yoksu naik kapalnya pergi menghilang di tengah lautan. Sesuatu yang katanya sudah ingin ia lakukan sejak dulu. Dari 5 pendekar besar, yang masih hidup hanya suamiku dan Ciu Pek Tong saja. Entah sudah berapa usianya tiada seorang pun yang tahu."

Saat kecil Cio San pernah mendengar sekilas cerita tentang Ciu Pek Tong yang dijuluki Bocah Tua Nakal.

Ilmunya sangat tinggi tapi kesukaannya hanya bermain-main saja seperti anak kecil.

Saat ini, yang paling menarik bagi Cio San adalah ternyata huruf Cio pada namanya ternyata sama dengan huruf Ciu pada nama Ciu Pek Tong.

Rupanya karena suku bangsa Han yang luas, terkadang memang ada beberapa huruf yang sama namun penyebutannya sedikit berbeda karena logat dan budaya bangsa Han yang bermacam- macam.

"Jangan-jangan, aku memiliki hubungan keluarga dengan beliau?"

Memikirkan hal ini Cio San semakin bersemangat. Begitu kitab pertama selesai, Cio San menyambung dengan kitab yang ke-2. Kali ini Siauw Lionglie lebih membahas tentang kungfunya sendiri.164

"Ada beberapa ilmu yang aku kuasai. Pertama adalah Ilmu Hati Suci. Yang kedua adalah, Pedang Hati Suci. Yang ketiga adalah Tapak Kecantikan. Yang keempat adalah Tapak Jaring Tanpa Batas. Kelima adalah Tapak Kanan Kiri yang kupelajari dari Ciu Pek Tong. Lima ilmu inilah yang kupakai dalam berkelana mengarungi dunia Kang-Ouw. Aku dan suamiku memutuskan untuk mengajarkan kelima ilmu untuk siapapun yang menemukan tempat ini. Pelajarilah dengan hati yang lurus, karena hanya dengan hati yang lurus baru engkau bisa memaknai semua maksud ilmu-ilmu ini."

Bisa dibayangkan betapa senangnya hati Cio San saat menemukan kitab ini.

Dengan seksama ia membaca petunjuk-petunjuk dari kitab-kitab yang ada di sini.

Dalam hati Cio San memutuskan untuk tidak mempelajari Ilmu Hati Suci, Pedang Hati Suci, dan Tapak Kecantikan.

Karena dari namanya saja ilmu ini lebih cocok untuk perempuan.

Bukannya ia kurang berpikiran terbuka, melainkan karena ia menganggap bahwa terlalu banyak ilmu juga bukan hal yang baik.

Cio San akhirnya memilih untuk memilih mempelajari ilmu Tapak Kanan Kiri ciptaan Ciu Pek Tong.165 Setelah mempelajari dengan seksama, ilmu ini ternyata memiliki dasar yang sama dengan ilmu Tapak Ular Derik miliknya, di mana tangan yang satu dapat berfungsi sebagai kepala, dan yang satunya lagi dapat berfungsi sebagai ekor.

Dengan berbekal ilmu inilah ia bisa menggabungkan 18 Tapak Naga yang merupakan ilmu pukulan tenaga luar, dengan ilmu Thay Kek Koen 32 yang merupakan ilmu tenaga dalam.

Petunjuk di kitab yang ditulis Siauw Lionglie ini malah semakin memperdalam pemahaman Cio San dalam menggunakan Tapak Ular Derik miliknya sendiri.

Dulu ia menciptakan ilmu ini hanya dengan meniru gerakan ular sakti raksasa yang ditemuinya di dalam goa.

Hanya berdasarkan pengamatan dan akalnya sendiri.

Sedangkan penjelasan di kitab ini jauh lebih mendalam, lebih mendasar lagi.

Saat itu juga Cio San mencoba pemahaman barunya itu.

Telapak tangan kanan mengambang di depan.

Tangan kiri agak ke belakang dan melengkung di atas kepala.

Kuda-kuda dasar Thay Kek Koen.

Tapi telapak kanannya membentuk kepala ular, sedangkan tangan 32 Tai Chi166 kirinya sudah bergetar hebat mengeluarkan suara derik ekor ular yang khas.

Ia menutup matanya.

Memusatkan pikiran dan mengingat semua yang dibacanya.

Kini bukan hanya tangannya yang bergerak sendiri-sendiri, tetapi seluruh anggota tubuhnya seolah dapat bergerak sendiri-sendiri.

Telinga kanan seolah dapat mendengarkan musuh di belakang, dan telinga kiri seolah dapat mendengarkan musuh di depan.

Keduanya dapat bertukar fungsi secara luwes.

Kini mata pun bisa menjadi telinga.

Hidung bisa menjadi mata.

Perasaan dapat menjadi jiwa.

Hati dapat menjadi tubuh! Di dalam tubuhnya kini mengalir kekuatan sakti dari jamur aneh yang dulu dimakannya, bercampur dengan daya penyembuh Anggrek Tengah Malam, bercampur dengan tenaga sakti yang secara tidak sengaja ia serap dari Suma Sun.

Kini tubuhnya memancarkan cahaya yang jauh lebih bersinar daripada dahulu.

Seolah hawa naga meliputi dirinya dengan begitu dahsyat.

Blaaaaarrrrrrrrrrrr!!!! Tenaga itu pecah! Menghantam dirinya sendiri.167 Sebelum pingsan, akhirnya Cio San mengerti apa penyebab penyakitnya yang kini timbul.

*** Saat ia membuka mata, ternyata hari sudah malam.

"Berapa lama aku pingsan?"

Tanyanya kepada nona burik.

"Tiga hari,"

Jawab si nona.

"Mohon maaf sudah merepotkanmu,"

Kata Cio San. Walaupun tubuhnya masih lemas, ia merasakan kini tenaganya sudah mulai pulih.

"Ledakannya sangat hebat. Tempat ini seolah- olah mau runtuh. Aku sampai mengira kau akan mati. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Tanya nona burik? "Tenagaku menghantam diriku sendiri."

"Memangnya bisa begitu?"

Tanya si nona heran.

"Ya, bisa."

"Oooooo,"

Hanya itu saja yang keluar dari bibir di balik cadar itu.168

"Apakah nona mempelajari jurus Pedang Hati Suci yang ada di kitab ini?"

Tanya Cio San. Si nona mengangguk.

"Tapi nona tidak mempelajari tenaga dalamnya ya?"

"Aku sudah mencoba. Tetapi pelajarannya terlalu sulit. Bahasanya susah dicerna. Aku pun juga tidak punya kesabaran untuk bersemedhi tiap hari."

Itulah sebabnya ketika pertama kali bertemu, jurus pedang nona ini sangat dahsyat, tetapi tidak ada tenaga di dalamnya.

Rupanya ia memang tidak mempelajari tenaga dalam sama sekali.

Cio San tidak bertanya lagi.

Tadi sebelum ia pingsan, ia sudah menemukan penyebab penyakitnya.

Ternyata karena ada 3 tenaga yang berkumpul di dalam tubuhnya.

Tenaga dari jamur sakti, tenaga dari Anggrek Tengah Malam, dan tenaga murni Suma Sun.

Dulu ketika hanya ada tenaga jamur sakti, ia dengan mudah mengendalikan tenaga itu.

Lalu ketika ia mendapatkan tenaga Anggrek Tengah Malam, rupanya kedua tenaga ini meskipun saling berlawanan tetapi karena hanya ada 2, maka terjadi keseimbangan.

Tubuhnya secara bawah sadar mampu mengatur kedua tenaga ini untuk tidak saling169 menyerang.

Baru setelah ia menerima tenaga Suma Sun lah ia mendapat serangan penyakit ini.

Itu karena ketika mendapat tenaga Suma Sun, tubuhnya mempunyai 3 tenaga.

Hal ini menciptakan ketidakseimbangan di dalam tubuhnya sehingga ketiga tenaga itu saling menyerang.

Cukup senang juga Cio San akhirnya ia mampu mengetahui permasalahan yang ada di dalam tubuhnya.

Jika bukan karena mempelajari Tapak Kanan Kiri ciptaan Ciu Pek Tong ini, belum tentu ia dapat mengetahui penyebab penyakitnya itu.

"Sekarang penyelesaiannya adalah mengeluar kan tenaga Suma Sun dari dalam tubuhku, atau menambah tenaga sakti yang baru. Tetapi menambah tenaga baru adalah hal yang riskan, karena aku sendiri belum tahu cara bekerjanya di dalam tubuhku. Yang paling masuk akal adalah mengeluarkan tenaga Suma Sun ini dari dalam tubuhku. Tapi bagaimana caranya?"

Perlu diketahui, jika tenaga sakti sudah masuk ke dalam tubuh, maka tenaga itu seperti menancap kan akar-akarnya ke dalam tubuh manusia.

Menghapus tenaga itu dari dalam tubuh, adalah seperti mencabut pohon maha besar yang akarnya sudah menancap dalam ke setiap pori-pori manusia,170 setiap indranya, setiap anggota tubuhnya, setiap organnya.

Amat sangat sukar, dan juga tentu sangat menyakitkan.

Hal ini pulalah yang membuat mempelajari ilmu Baju Pengantin menjadi sangat sulit.

Penderitaannya terlalu besar.

Memikirkan hal ini membuat Cio San menjadi mengantuk.

Tahu-tahu ia teringat lagi tulisan Siauw Lionglie yang sempat dibacanya.

Tentang Madu lebah giok dan tempat tidur dari batu es! "Madu lebah giok memiliki khasiat sakti yang sangat hebat, Bahkan kekuatannya bisa membuat Ciu Pek Tong menjadi muda kembali.

Seluruh rambutnya menghitam.

Ia bahkan sanggup menyembuhkan istrinya Eng Kouw yang rambutnya juga sudah memutih semua.

Menurut pengamatanku, Madu Lebah Giok tidak hanya membuat seseorang awet muda, tetapi juga khasiatnya dapat menambah tenaga sakti di dalam tubuh manusia.

Setiap hari aku tidur di atas batu giok.

Hawa dinginnya membuat tubuh dan tulang-tulangku menjadi sangat kuat.

Aku menjadi mampu mengatur tenaga saktiku, juga mampu berlatih menahan perasaan."171 Ya! Inilah jawaban dari seluruh pertanyaan Cio San.

Ia harus minum Madu Lebah Giok dan setiap hari harus tidur di atas balok es! Segera ia beranjak ke balok es yang besar itu.

Esnya sudah sangat mengeras sehingga tidak mungkin mencair lagi.

Keadaan goa ini juga membuat hawa di goa itu mampu terjaga dengan baik.

Melihat Cio San berbaring di atas balok es itu, nona burik berkata.

"Aku sudah mencobanya juga. Kau tak akan tahan dalam waktu satu jam."
Air Mata Terakhir Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jangankan satu jam, beberapa menit saja Cio San sudah tidak tahan. Segera ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengimbangi serangan hawa dingin yang menusuk tubuhnya itu.

"Bagaimana nona itu dapat bertahan selama satu jam padahal ia tidak memiliki tenaga dalam?"

Tanyanya dalam hati.

"Oh tentu karena si nona sudah meminum Madu Lebah Giok."

Satu jam berlalu.

Dua jam berlalu.

Tiga Jam berlalu.

Si nona burik hanya menatap Cio San yang sudah tertidur dengan pulas.

Ia tersenyum.

Senyumnya manis sekali.172 *** Hari demi hari berlalu.

Setiap hari Cio San hanya membaca kitab-kitab tulisan Siauw Lionglie dan puisi tulisan Yo Ko yang ada di tembok goa.

Sedangkan si Nona Burik setiap hari merawat lebah dan kupu-kupu.

Tak terasa sudah setengah bulan Cio San di dalam goa ini.

Pemahaman ilmu silatnya semakin mendalam.

Tulisan Yo Ko di dinding goa merupakan puisi-puisi indah yang ternyata berisi penjelasan-penjelasan tentang ilmu silat dan tenaga dalam yang sangat tinggi.

Sayangnya dengan keadaan tubuhnya yang sekarang, Cio San tidak dapat mengerahkan tenaganya lebih lama.

Begitu tenaga sakti terkumpul, maka seolah terjadi perang di dalam tubuhnya.

Segera Cio San menghentikan pengerahan tenaga ini dan mengatur nafas serta bersemedhi.

"Satu-satunya cara adalah mencoba menggunakan Madu Lebah Giok. Sayang kata si Burik, Madu ini baru matang dalam beberapa hari lagi. Terpaksa harus menunggu,"

Batin Cio San.173 Tinggal sekian lama di tempat yang sepi seperti ini bukannya membuat ia bosan, malahan ia semakin betah.

Malahan Cio San sudah memutuskan, ia akan tinggal lama di dalam jurang ini.

Kehidupan dunia persilatan yang terlalu banyak tipu daya, bunuh membunuh, serta saling menghancurkan membuat nya merasa hidupnya tidak pernah tenang.

Sepi, sunyi.

Meskipun ia kesepian di dalam kesunyian, namun apa salahnya? Bukankah setiap orang berhak untuk hidup tenang? Bukankah setiap orang berhak untuk hidup sesuai keinginannya sendiri? Ia tidak perduli orang-orang akan menertawakan pilihannya.

Karena toh yang menjalani pilihannya adalah dirinya sendiri.

Cio San tertawa.

Sebenarnya ia tidak sendirian.

Ada nona buruk rupa yang juga tinggal di sini.

Mereka berdua bagai orang yang terbuang dari kehidupan, kini berjalan bersama di sebuah dunia yang terasing.

Meskipun berat, bukankah lebih baik jika ada yang menemani? "Apa aku menikah saja dengannya?"

Tahu-tahu pikiran ini muncul di hatinya.174 Jika ia berkata menikah di hadapan teman- temannya, kemungkinan mereka akan tertawa karena menganggapnya bercanda. Cukat Tong mungkin akan berkata.

"Nampaknya mabukmu cukup berat, arak apa yang kau minum? Aku juga mau!"

Atau mungkin Suma Sun akan memandangnya dalam-dalam dengan matanya, seolah ia dapat melihat. Lalu berkata.

"Aku benar-benar berharap kau selamat dalam pertarungan ini."

Tahu-tahu ia teringat kedua sahabatnya itu.

Bagaimana kabar mereka? Jika aku tinggal di sini selamanya, apakah mereka akan datang mengunjungi ku? Sehat-sehatkah mereka? Apakah mereka bahagia? Ia sendiri tidak sehat.

Ia sendiri tidak bahagia.

Tetapi justru orang lain yang ia pikirkan.

Justru ia lebih sedih memikirkan keadaan orang lain ketimbang keadaan dirinya sendiri.

Cio San tahu, apapun keputusannya, kedua orang sahabatnya itu tentu akan dapat mengerti.

Adakalanya seseorang yang kuat, tabah, dan berkemauan keras pun, dapat jatuh di dalam kehidupan.

Ada saat di mana ia tidak mampu lagi menghadapi semua derita kehidupan sehingga175 seluruh kekuatannya hilang, dan seluruh semangatnya mencair bagai salju terkena panas.

Ada sebuah kelompok kuat yang sangat berkuasa yang mencoba menguasai dunia, di luar sana.

Entah ia sanggup menghadapinya atau tidak.

Sama sekali ia tidak takut terhadap mereka, tetapi dengan keadaan tubuhnya seperti ini, apa yang sanggup ia lakukan? Dahulu, dalam keadaan apapun ia berani menerjang ke depan.

Sekarang, ia berpikir puluhan kali untuk melakukan sesuatu.

Apakah karena ia sudah mulai menua? Apakah ia telah kehilangan semangat usia muda? Saat ini usianya sudah mencapai lebih dari 30 tahun.

Masih belum tua.

Tetapi pengalaman hidupnya yang penuh kepahitan terkadang mengikis sedikit demi sedikit semangat kehidupannya.

Cinta dapat mengubah seorang manusia.

Cio San adalah seorang manusia.

Mendadak si nona burik muncul dari dalam sungai.

Setiap hari pekerjaaannya memang hanya mengurusi lebah dan kupu-kupu.

Tubuhnya basah176 kuyup membuat pakaiannya yang anggun menempel dengan ketat pada tubuhnya.

Mau tidak mau Cio San harus mengakui, bentuk tubuhnya sangat indah.

Segera ia mengalihkan pandangan.

Ia takut jika memandang lebih lama, darah bakal keluar dari hidungnya, atau kepalanya bakal meledak.

"Jangan mengintip. Aku mau mengganti baju."

Nona itu sebenarnya sudah tidak perlu mengingatkan karena hampir setiap hari, hal inilah yang ia lakukan. Begitu si nona selesai berganti baju, Cio San bertanya.

"Dulu apakah saat nona masuk ke jurang ini, juga sudah membawa persedian baju pula?"

Si burik menangguk mengiyakan. Namun ia melanjutkan.

"Kebanyakan baju yang kupakai di sini adalah peninggalan Siauw Lionglie."

"Oh begitu,"

Tukas Cio San.

Baju-baju itu pantas sekali dipakai si nona.

Semuanya berwarna putih dengan lengan baju yang panjang menjuntai.

Jika Siauw Lionglie berada di sini pada usia tuanya, berarti baju-baju yang berada di sini pun adalah baju yang ia pakai saat sudah berusia tua.177 Dan jika si burik menggunakannya dengan pas sekali, bisa dibayangkan betapa Siauw Lionglie mampu menjaga tubuhnya sehingga awet muda, segar, dan indah seperti gadis belia.

Berpikir seperti ini bukan karena Cio San mempunyai bayangan yang tidak-tidak.

Tetapi hal ini menggambarkan bahwa Siauw Lionglie mampu menjaga tubuhnya.

Dalam hati Cio San mempunyai harapan untuk sembuh.

Madu Lebah Giok, tidur di balok es, atau tenaga dalam yang dilatih Siauw Lionglie! "Aku harus menyembuhkan diri dulu.

Jika sudah sembuh, baru keluar menghadapi kelompok itu."

Dalam hati ia telah menetapkan keputusan.

Jika ia sudah menetapkan keputusan, kaisar pun harus mendengarkan!178 BAB KISAH SI BURIK Dari buku tulisan Siauw Lionglie, Cio San mendapat tahu bahwa balok es kehijauan ini bernama Pusaka Giok Es, dan jumlahnya amat sangat sedikit di seluruh dunia.

Pasangan Pendekar Sakti ini sangat beruntung karena dalam perjalanan mereka yang terakhir ini, mereka menemukan pusaka ini secara tidak sengaja di dasar sebuah sungai.

Beberapa hari kemudian, si Burik berhasil memanen madu.

Cio San menyambutnya dengan penuh semangat.

"Ah, wangi sekali!"

Warna madu ini bukan kuning kecoklatan, melainkan bening agak kehijauan.

Aromanya sangat wangi dan menerbitkan rasa lapar.

Begitu diminum, rasanya malah tidak terlalu manis seperti madu pada umumnya, tapi justru inilah yang membuat madu ini terasa enak sekali.

Seolah-olah seluruh buah-buahan dan sari bunga yang ada di muka bumi ini dikumpulkan179 jadi satu lalu diolah menjadi minuman yang sangat nikmat.

Rasanya dingin dan menyegarkan.

Kental tapi begitu masuk kerongkongan seolah tipis seperti air sungai.

Seluruh tubuhnya merasakan kesejukan yang nyaman.

"Aku tak menduga madu bisa juga membuat orang merasa mabuk."

"Ini madu terbaik di dunia,"

Kata si Burik pendek, ia pun meminumnya.

Dari raut wajahnya terlihat sinar cerah yang indah setelah menenggak madu itu.

Rasa sejuk dan nyaman dalam tubuh Cio San terasa semakin jelas.
Air Mata Terakhir Karya Norman Duarte Tolle di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lama-lama semakin kuat.

Dari rasa sejuk berubah menjadi rasa dingin.

Rasa dingin ini perlahan-lahan semakin menusuk.

Seperti ada ribuan jarum yang menghempas ke dalam tubuhnya.

"Aaaaaaaahhhhhhhhhh!"

Karena tidak kuat Cio San meronta. Menyadari bahwa Cio San terserang penyakit nya lagi, segera si Burik membopong Cio San ke atas Pusaka Giok Es.

"Racun? Aku tidak mungkin keracunan. Tubuhku anti racun,"

Kata Cio San dalam hati.180 Getaran tubuhnya berubah menjadi amat deras.

Sepertinya khasiat madu sakti itu malah bertabrakan dengan semua tenaga sakti yang ada di dalam tubuhnya.

Seluruh tubuhnya bergetar seolah disengat petir maha dahsyat.

Darah hitam legam dimuntahkan dari dalam perutnya.

"Hooooooeeeeeeeekkkkkkkssssss!"

Kembali ia tidak sadarkan diri.

*** Cio San seolah terkena racun hebat yang membuyarkan seluruh tenaganya.

Beberapa hari ia terbaring lemah, tapi kekuatan hatinya membuat dirinya tetap tegar dan berkeinginan kuat untuk sembuh.

Untunglah dengan adanya Pusaka Giok Es, Cio San dapat berlatih untuk mengatur kembali kekuatannya.

Ia bagaikan orang lumpuh yang tergolek lemah di atas batu.

Hanya kemauan keras dan keinginan yang kuatlah yang membuatnya sanggup bersabar dan bertahan mengalami penderitaan ini.

Si Burik pun sekuat tenaganya merawat Cio San.

Meskipun ia tidak181 banyak bicara dan bersikap cuek, ia selalu memperhatikan seluruh keperluan Cio San.

Memasak, membersihkan ruangan dan lain- lain.

Untunglah di tempat itu juga ada baju-baju peninggalan Pendekar Besar Yo Ko, sehingga tubuh Cio San tetap terjaga kebersihannya.

Ia sangat susah bergerak.

Seluruh tubuhnya lumpuh dan terasa bagai ditusuk-tusuk ribuan jarum.

Hampir 1 bulan terbaring lemah, Cio San akhirnya sudah bisa mengerakkan tubuhnya sedikit- sedikit.

Berkat berbaring di atas Pusaka Giok Es, rasa seperti ditusuk-tusuk itu berangsur-angsur menghilang.

Cio San tidak berani menghimpun tenaga dalam lagi dan lebih memusatkan perhatiannya untuk pemulihan dirinya.

Ia hanya berani bersemedhi untuk memusatkan pikiran, dan menenangkan dirinya.

Orang lain jika berada di dalam keadaan seperti dirinya tentunya akan patah semangat karena mengalami kelumpuhan seluruh tubuh, tetapi semakin menderita, justru semakin kuat tekadnya untuk sembuh.

Di hari ke 40, ia sudah sanggup berdiri dan berjalan meskipun tertatih-tatih.182

"Sepertinya luka dalamku terlalu berat. Apakah selamanya aku tak akan bisa menggunakan ilmu silat lagi?"

Batinnya.

Pertanyaan ini pun terlalu berat.

Tetapi selama seseorang masih hidup, bukankah ia akan terus memiliki harapan? Bukankah justru ketika harapan itu hilang, seseorang akan kehilangan seluruh hidupnya? Cio San tersenyum.

Dulu ia sudah pernah mengalami hal seperti ini beberapa kali.


Goosebumps 1 Selamat Datang Di Rumah Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju

Cari Blog Ini