Ceritasilat Novel Online

Bangkitnya Sang Titisan 1

Raja Gendeng 8 Bangkitnya Sang Titisan Bagian 1


Raja Gendeng 8 Bangkitnya Sang Titisan

****

Karya Rahmat Affandi

Sang Maha Sakti Raja Gendeng 8 dalam episode

Bangkitnya Sang Titisan

*****


Team Kolektor E-Book

Buku Koleksi : Denny Fauzi Maulana

(https.//m.facebook.com/denny.f.maulana)

Scan,Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo

(http.//ceritasilat-novel.blogspot.com)

Dipersembahkan Team
Kolektor E-Book

(https.//www.facebook.com/groups/Kolektorebook)


*****

Menjelang pagi pasang air laut meluap hingga ke daratan.

Suasana desa nelayan di Pantai Carita terasa sunyi mencekam.

Tak terlihat tanda-tanda kehidupan didesa itu.

Semua penduduk tewas terbantai setelah sekawanan lebah berasal dari dunia kematian yang dikenal dengan nama Lebah Kepala Hati Berbunga menyerang sekaligus membunuh orang tua, anak-anak juga para perempuan tua.

Seperti telah dikisahkan dalam episode sebelumnya, kawanan lebah selain hanya membunuh para orang tua dan anak-anak saja, juga iring-iringan makhluk berbisa ini menyerang para gadis. Tetapi Setiap gadis yang diserang oleh lebah Kepala Hati Berbunga tidak menemui ajal.

Kebanyakan gadis justru menjadi salah tingkah, darah berdesir aneh, wajah memerah, jantung berdegup kencang dan tak ubahnya seperti orang yang dimabuk cinta.

Seperti telah diketahui pula, setelah tersengat lebah, mereka terus berjalan beriringan tanpa mengenal lelah mengikuti kawanan lebah yang telah menyengat mereka.

Sepanjang jalan dari masing-masing mulut terdengar suara mendesah.

Sampai disuatu tempat tak jauh dari kaki bukit yang ditumbuhi pepohonan menjulang tinggi, kawanan lebah yang memimpin di depan hentikan gerakan terbangnya.

Begitu kawanan mahluk-mahluk berbisa ini berhenti maka belasan gadis ini ikut hentikan langkah pula.

Mereka menatap ke arah lebah-lebah berkepala merah itu dengan pandangan kosong, sementara dari mulut mereka tetap keluar suara desis tiada henti.

Ribuan kawanan lebah bersikap tidak perduli.

Mereka yang terbang mengambang diatas ketinggian tiba-tiba melakukan gerakan aneh, sayap dikepak hingga mengeluarkan suara berdengung menggidikkan.

Setelah itu mahluk-mahluk ini terbang tinggi.

Diketinggian mereka berputar tiga kali lalu menukik tajam ke bawah menembus kegelapan di bawah pohon.

Suasana kembali sunyi mencekam. Para gadis saling pandang.

Mereka begitu resah.

Dua tangan tidak mau diam terus mengusap bagian-bagian tubuh sedangkan dari mulut terus menerus keluarkan suara desah.

Tetapi kesunyian tidak berlangsung lama.

Tiba-tiba saja terdengar suara lolong anjing saling bersahut-sahutan.

Angin dingin menderu menebarkan bau busuk menyengat. Bersamaan dengan itu dari balik kegelapan berkelebat satu sosok bayangan hitam.

Sekejab saja sosok yang baru muncul telah berdiri di depan para gadis.

Sosok yang datang memiliki tubuh tegap tinggi.

Sekujur tubuh digelayuti ribuan lebah.

Lebah-lebah inilah yang tadinya menyerang dengan sengatan berbisa hingga membuat para gadis dimabuk asmara.

Sosok tinggi itu menatap sejenak pada para gadis yang berdiri berjejer didepannya.

Kemudian dari mulut yang digelayuti lebah terdengar ucapan lirih namun memerintah.

"Wahai para budak dan hambaku, pengawal setia pesuruh pencari kenikmatan. Menyingkir sebentar, lakukan pengawalan dibelakang. Aku ingin memperkenalkan diri pada para kasih dan calon-calon istriku ini!"

Baru saja mulut selesai berucap, ribuan lebah yang bergelayutan diseluruh tubuh sosok tingg tersebut keluarkan suara berdengung, sayap di kepak kemudian secara serentak berhamburan tinggalkan majikannya.

Setelah sempat terbang berputar diatas kepala, mahluk-mahluk berkepala merah itupun mengambang diketinggian tak jauh dibelakang majikannya.

Begitu kerumunan lebah menyingkir, kini sekujur tubuh sosok tinggi itu terlihat jelas.

Sosok berupa laki-laki berambut hitam panjang memilikd wajah pucat, angker seperti mayat.

Sepasang mata putih kusam dengan dua titik hitam kecil di tengah mata.

Dia hanya memakai celana sebatas lutut, dadanya terbuka dipenuhi tulang-tulang bertonjolan dilapisi lendir.

Perut membuncit pusar mencuat keluar sepanjang ibu jari.

Selain itu kedua kakinya menjuntal, lutut runcing bergerigi sedangkan disetiap jemari ditumbuhi kuku panjang melengkung berwarna hitam kecoklatan.

Secara keseluruhan penampilan laki-laki ini selain menyeramkan juga tidak sedap untuk dipandang.

Yang aneh walaupun keadaannya begitu mengerikan namun gadis-gadis yang berada dihadapannya tidak merasa takut sedikitpun.

Malah mereka terlihat begitu bersemangat, tangan menggapai dengan gerakan hendak merangkul, lidah dijulur-julur keluar masuk mulut. Melihat ini laki-laki itu menyeringai.

Tanpa membuang waktu dia pun kemudian berucap ditujukan pada gadis-gadis itu.

"Kuucapkan selamat datang pada kalian semua calon istriku. Aku adalah pangeran kebebasan, aku menyebut diriku sebagai Pangeran cinta. Tapi para pendahulu, juga para sesepuh yang tidak menyukai kebebasan jalanku menyebut sebagai Pangeran Durjana. Tapi aku tidak perduli. Karena aku tahu segala rasa cinta akibat hubungan sedarah dengan adikku puteri Atut terus berkobar hingga kubawa ke liang kubur, lalu aku kemball hidup sesuai dengan sumpahku."

Pangeran Durjana hentikan ucapannya. Sekali lagi dia memperhatikan belasan gadis didepannya. Mulut mengurai senyum, sedangkan gadis-gadis itu anggukan kepala seolah mengetahui apa yang diucapkan sang pangeran dan segala rahasia hatinya.

"Kepada kalian semua kuharapkan dapat membantu aku dalam mewujudkan semua impianku. Implan adalah membuat sebuah singgasana baru, pasukan yang luar biasa hebat dan membasmi semua anak turun Ratu Tria Arutama yang tak lain adalah bunda kandungku sendiri. Aku tahu keturunannya ada yang menjadi raja di istana Malingping. Aku ingin menghancurkan mereka semua termasuk juga manusia keparat yang dijuluki Dewa Mabok. Tapi... untuk mewujudkan semua impianku itu aku butuh pasukan yang besar. Kekuatan itu kuharapkan datang dari darah dagingku sendiri. Kita akan bercinta, setelah kalian hamil semua, atas kuasa kegelapan tiga hari setelah masa kehamilan kalian akan melahirkan. Bayi-bayi yang terlahir segera tumbuh besar dalam waktu enam hari. Dan mereka ini bukanlah bayi biasa. Mereka adalah kekuatan penyerang yang digembleng oleh kuasa kegelapan Ha ha ha...!"

Para gadis yang berada dalam pengaruh sirap saling berbisik. Sesekali mereka menggeliat dan meliuk-liukkan pinggulnya. Mulut berdesis, mata setengah terpejam sementara bibir mereka yang merah nampak menganga. Melihat semua itu Pangeran Durjana hentikan tawa.

"Mengajak semua gadis itu bercinta sepanjang malam ini akan sangat melelahkan. Tapi demi sebuah kehendak semua itu tidak mengapa"

Membatin sang pangeran di dalam hati. Lalu pada gadis-gadis itu dia berkata,

"Wahai para kekasihku .Sudah waktunya kita pergi ke istana cinta. Tapi sebelum itu aku ingin memperlihatkan diriku yang sebenarnya pada kalian."

"Wahai junjungan. Wahai pangeran yang kami damba. Kami semua sudah tidak sabar melihat rupa ujudmu yang sebenarnya. Tunjukanlah sekarang, perlihatkanlah diri pangeran."

Kata salah seorang gadis berpakaian kuning berpinggul indah berkulit putih.

"Kami sudah tidak sabar menerima belaianmu Bawalah kami ke surga yang indah itu. Jangan biarkan kami kedinginan disini. Hik hik hik" timpal gadis berpakaian serba hijau berdada besar.

"Bagus. Kalian memang penuh semangat mengingat usia kalian yang masih muda. Sekarang bukalah mata, pentang yang lebar. Lihatlah diriku apakah aku layak disebut sebagai Sang Pencinta dari Alam Kematian. Ha ha ha...!"

Setelah berkata begitu pangeran Durjana memutar tubuhnya

Wuus!

Mula-mula sang Pangeran memutar tubuhnya dengan lambat. Namun semakin lama semakin bertambah cepat. Bersamaan dengan itu terlihat asap mengepul menyelimuti tubuh sang pangeran. Kepulan asap membubung. Aroma kemenyan sangat menyengat.

Ketika sang pangeran berhenti bergerak kepulan asap yang menyelimuti tubuhnya secara perlahan berangsur lenyap. Ketika semua gadis menatap ke depan, mereka semua sama tercengang begitu melihat sosok pangeran yang bertubuh pucat berwajah angker menjijikan ternyata telah menjelma berubah menjadi seorang pemuda berwajah gagah tampan berkulit putih bersih berkumis halus dengan dada ditumbuhi bulu

"Bagaimana? Apakah orang sepertiku layak mendapatkan kalian semua?"

Tanya sang pangeran.

"Oh gusti pangeran.Ini sungguh luar biasa. Ketampananmu membuat kami tak sabar lagi menunggu. Bawalah kami semua ke dalam pelukanmu," kata gadis-gadis itu bersamaan.

Mereka kemudian berlarian, menghambur berebut memeluk Pangeran Durjana.

Sang Pangeran tertawa penuh kemenangan. Tak ubahnya seperti orang yang baru memenangkan pertempuran besar.

Sambil merangkul beberapa gadis yang dianggapnya paling cantik dia berjalan meninggalkan tempat itu. Selain dilikuti beberapa gadis di belakangnya ribuan lebah mengawal pangeran itu.


****


Sementara itu dibagian sebelah selatan pantai Carita.

Disaat pasang air laut mulai surut. Gadis cantik berpakaian putih berambut panjang dan gadis berpakaian biru dengan lesung pipit dikedua pipinya masih duduk bersimpuh di atas pasir.

Wajah mereka membayangkan rasa khawatir ketika keduanya menatap kedepan.

Sesosok tubuh berupa seorang kakek renta berambut putih berwajah tirus dengan tubuh layaknya tengkorak tergeletak diatas lembaran daun nipah.

Keadaan orangtua itu sangat mengenaskan.

Bagian kening lebam membiru, tenggorokan terluka, sedangkan dada disebelah kiri menganga lebar.

Tak jauh disamping si kakek tergeletak sebuah pelita.

Pelita itu bukan pelita hiasan melainkan pelita keramat yang bernama pelita kepala.

Sebagaimana telah dikisahkan dalam episode sebelumnya, Orangtua yang dikenal dengan nama Ki Lara Saru-saru itu sebenarnya adalah penjaga makam raja-raja kuno di pulau Rakata.

Usianya lebih dari seribu tahun.

Dia muncul dikarang Hantu, sebuah pulau kecil diselatan gunung Krakatau bertepatan dengan malam bangkitnya pangeran Durjana dari kematiannya.

Kehadiran Ki Lara di pulau itu adalah untuk mencegah sang pangeran kembali dari kematian. Namun diluar dugaan setelah bangkit dari dasar laut pangeran Durjana ternyata memiliki ilmu kesaktian yang sangat luar biasa.

Raja Gendeng 8 Bangkitnya Sang Titisan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kehebatannya menjadi empat kali lipat.

Perkelahian sengit terjadi, dua pelita keramat yang didatangkan dari alam arwah yang bertengger dibahu kanan kiri si kakek dibuat hancur.

Hanya satu pelita yang luput dari kehancuran.

Sebaliknya Ki Lara sendiri mengalami nasib nahas. Selain dapat dilukai, Pangeran Durjana juga menjebol dadanya, menguras darah di jantung dan menggunakan darah si kakek untuk memperpanjang hidup pangeran itu sendiri. Pangeran Durjana lalu pergi bersama pasukan lebahnya dengan cara terbang melewati selat Rakata sedangkan Ki Lara tidak sadarkan diri .Begitu dia sadar di tengah malam, pelita kepala yang bertengger diatas kepalanya membimbing sekaligus menuntun Ki Lara yang sekarat mengarungi lautan dengan menggunakan perahu kecil.

Ketika Ki Lara terdampar bersama perahunya di pantai Carita.

Di tempat itu justru sedang terjadi perkelahian sengit antara dua gadis yang tak lain adalah puteri Arum Senggini dan Nila Agung kedua anak prabu Tubagus Kasatama dari istana Malingping dengan mahluk bayangan kiriman pangeran Durjana.

Kedua puteri cantik ini terdesak.

Namun pada saat yang sangat menghawatirkan itu muncullah Raja di tempat itu.

Berkat bantuan sang Maha Sakti Raja Gendeng, lima bayangan kembar Pangeran Durjana dapat dilenyapkan.

"Kita tak mungkin bisa menyelamatkan kakek ini." kata puteri Arum Senggini dengan nada putus asa.

Sang adik puteri Nila Agung tidak langsung menjawab melainkan menatap kearah si kakek yyang terkapar tidak sadarkan diri. Setelah sempat terdiam lama.

Dia pun lalu membuka mulut.

"Jika kakek ini orang biasa, dalam keadaan terluka parah dan kehilangan darah begini banyak seharusnya dia sudah tewas."

"Dia punya daya tahan luar tidak berdaya."

Sahut Arum Senggini. Sang puteri kemudian menatap sekelilingnya. Dia tidak melihat siapapun.

"Sayang kita melihat pemuda yang telah membantu mereka itu."

"Kemana dia?"

"Dia siapa?"

Tanya Nila Agung.

"Kau jangan berpura-pura. Aku tidak melihat pendekar gendeng itu."

Ujar Arum Senggini.

"Oh Raja. Aku tidak tahu dia pergi kemana, mungkin saja sedang mencarikan obat untuk kakek ini." kata Nila Agung

"Mencari obat? Apa dia bisa menyembuhkan luka berat yang dialaminya? Dia kehilangan hampir seluruh darahnya. Sekalipun seorang raja obat tak mungkin bisa menyembuhkan Ki Lara."

"Soal itu aku tidak tahu kakak. Aku bukan turunan tabib. Siapa tahu Raja selain putera raja yang memiliki ilmu kesaktian luar biasa tinggi juga masih keturunan dukun. Hi hi hi..." ujar Nila Agung menduga-duga.

Belum lagi Arum Senggini sempat menanggapi ucapan adiknya. Tiba-tiba dari balik kelebatan semak belukar berkelebat satu bayangan putih kearah mereka. Kedua gadis ini terkejut ketika melihat didepan mereka berdiri tegak seorang pemuda berambut gondrong sebahu berpakaian putih. Pemuda itu kemudian menurunkan satu tandan pisang masak dari bahunya lalu meletakkan pisang harum di depan mereka.

"Kalian merasani."

Tanya si pemuda yang bukan lain adalah sang Maha Sakti Raja Gendeng. Kedua puteri itu tersipu, Nila Agung buru-buru hendak menjawab, namun Raja segera menyambung ucapannya.

"Aku sudah mendengar semuanya dan menurutku didalam tubuh ini hanya terdapat satu jenis darah yaitu darah biru. Tidak ada darah dukun sebagaimana yang kalian sangka. Tapi aku memang telah dibekali berbagai ilmu pengobatan oleh kedua guruku."

"Hmm, ternyata kau tidak hanya mempunyai kesaktian tinggi. Tapi juga pandai dalam hal pengobatan. Lalu... apakah kau hendak mengobat Ki Lara ini dengan menggunakan pisang?"

Tanya Arum Senggini bersungguh-sungguh. Raja tersenyum lalu cepat gelengkan kepala.

"Oh tentu saja tidak. Keadaannya tidak memungkinkan untuk ditolong. Jangankan aku, kurasa dewa obat sekalipun tak mungkin bisa memulihkan keadaannya."

"Jadi apa gunanya pisang ini kau bawah kemari?"

Tanya Nila Agung dengan kening berkerut penuh rasa ingin tahu. Pertanyaan sang puteri berlesung pipit ini membuat senyum Raja makin melebar. Dengan enteng dia menjawab.

"Aku yakin gusti puteri berdua lapar. Dimalam dingin begini membuat orang mudah lapar. Lagipula bukankah banyak sekali wanita yang suka pisang?!"

"Heh apa maksud ucapanmu itu?"

Hardik Arum Senggini sambil delikkan matanya

"Eh iya. Apa maksud ucapanmu itu? Lagipula mengapa kau masih juga memanggil kami gusti padahal kau putera seorang raja pula?"

Kata Nila Agung.

"Aku tidak punya maksud apa-apa. Tentang bagaimana aku memanggil kalian jangan dipikirkan. Aku mudah lupa. Aku juga sering lupa diriku ini putera seorang raja. Yang kuingat diriku kelak bakal menjadi raja diraja cacing tanah. Ha ha ha."

"Tak kusangka kau benar-benar edan." kata Arum Senggini dengan mata melotot.

Ketika Raja hentikan tawa dan balas menatap ,gadis itu merasakan jantungnya berdebar lebih keras. Buru buru sang puteri palingkan kepala menatap kearah laut. Raja bersikap acuh. Sebaliknya dia melangkah mendekati Ki Lara Saru-Saru lalu duduk bersimpuh disebelah kiri si kakek.

Sang Maha Sakti segera memeriksa keadaan tubuh si kakek. Tubuh itu terasa dingin laksana es. Ketika menyentuh bagian dada Ki Lara, Raja sadar bahwa sesungguhnya orangtua itu masih hidup.

"Apakah ada harapan untuk ditolong?"

Tanya Arum Senggini

"Aku akan menyalurkan tenaga dalam ketubuhnya!" jawab pemuda itu.

"Selain menderita kehilangan banyak darah si kakek juga mengalami keracunan hebat,"

Raja langsung meletakkan telapak tangan kanannya dibagian pusar orang tua itu .Perlahan namun pasti hawa sakti mengalir deras dari telapak tangan Raja kebagian perut Ki Lara. Puteri Arum dan puteri Nila Agung terus memperhatikan apa yang dilakukan Raja. Mereka melihat dari bagian ubun-ubun, telinga juga lubang hidung pemuda itu mengepul asap tipis kelabu. Sementara hawa sakti menjalar kesekujur tubuh Ki Lara. Sebaliknya tubuh Raja basah bersimbah keringat. Melihat kepulan asap aneh keluar dari telinga, hidung dan ubun-ubun Raja dengan berbisik juga menahan geli Nila Agung berujar.

"Lihatlah! Aku sering melihat orang hebat, manusia sakti berusaha menolong seseorang. Biasanya hanya dari ubun-ubunnya saja yang keluar kabut asap. Tapi pemuda yang satu ini lain sekali. Bukan cuma ubun-ubun, tapi hidung dan telinganya juga mengeluarkan asap. Aku menaruh dugaan tidak tertutup kemungkinan selain mempunyai kesaktian luar biasa di dalam tubuh Raja tersimpan pedupaan."

"Apakah kau tertarik padanya?" sela Arum Senggini dengan suara berbisik pula .

Mendengar ucapan sang kakak wajah Nila Agung berubah kemerahan. Lalu sambil tutupi mulutnya dia menjawab.

"dia muda, gagah tampan dan sakti pula. Biarpun gendeng masih keturunan raja. Wanita mana yang tidak tertarik padanya. Kembali pada diriku, rasanya aku tidak akan.."

"Tidak akan apa? Tidak akan jatuh cinta padanya?"

Desak sang kakak penasaran.

"Tidak akan menolak. Hi hi hi."

"Dasar tidak bermalu. Kau dan dia kurasa bisa menemukan kecocokan. Tapi lihat.. dari bokongnya sekarang mengepulkan asap kuning. Kurasa dia jorok juga. Hih...!"

Berpura-pura tidak mendengar Raja terpaksa menahan tawa didalam hati. Setelah menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Ki Lara, pemuda ini segera memeriksa si kakek.

"Jantungnya kembali berdenyut. Tapi dia masih belum sadarkan diri."

Kata pemuda itu ditujukan pada dua gadis didepannya. Kedua puteri itu saling berpandangan.

"Apakah ada cara membuat orang tua malang ini tersadar?"

Tanya Arum Senggini.

"Ada. Selalu saja ada jalan, tapi apa kau sanggup melakukannya?"

"Kalau kau saja tidak bisa, apakah berarti kami mampu membantu Ki Lara?"

Tanya Nila Agung.

"Kalian? Aku yakin salah satu dari kalian pasti bisa."

Ucap Raja unjukkan sikap bersungguh sungguh.

"Bagaimana caranya?"

Bertanya Arum Senggini namun juga nampak ragu disertai curiga.

"Kakek ini hanya bisa sadar bila salah satu dari kalian mencium pipinya?"

Karuan saja kedua gadis ini tersentak kaget dan delikkan matanya.

"Hah, apa.... ? Kau tidak bersungguh-sungguh bukan?"

Tanya Nila Agung tidak percaya.

"Ya. aku tidak berdusta."

Sekali lagi kedua gadis ini sama berpandangan.

"Pemuda ini gila. Bagaimana bila dia berniat mengerjai kami?"

Batin Arum dalam hati.

Sementara itu setelah sempat berpikir, Nila Agung tiba-tiba membuka mulut

"Baiklah, aku mau mencium pipi kakek malang ini. Tapi bila setelah kucium ternyata dia tidak sadar juga, aku bersumpah akan memenggal kepalamu!"

Ancamnya. Dengan yakin Raja anggukkan kepala.

"Kau tak usah ragu. kau boleh membawa pulang kepalaku untuk dijadikan pajangan di taman kaputren bila nanti terbukti aku berdusta."

"Bagaimana kakak?"

Tanya Nila Agung sambil menatap saudaranya.

"Terserah dirimu. Kalau aku harus berpikir seribu kali,"

"Jika berniat menolong lakukan saja. Mengapa ragu."

Tukas Raja.

Ucapan Sang maha Sakti seakan memberikan tantangan tersendiri bagi Nila Agung.

Akhirnya tanpa keraguan gadis ini segera mencium pipi Ki Lara kanan kiri. Setelah itu dengan wajah merah sambil terus memperhatikan si kakek Nila Agung beringsut menjauh .Arum Senggini hendak tertawa tapi urung saat melihat adiknya tersipu malu.

Akhirnya dia terdiam dan ikut memperhatikan Raja ternyata tidak berdusta karena sesaat setelah pipinya dicium oleh Nila Agung, Ki Lara Saru Saru memang segera sadarkan diri.

Setelah sadar mata si kakek berkedap-kedip.

Mulut ternganga sambil memperhatikan sekelilingnya.

"Bagus kek. kau sudah sadar. Walau kau menderita cidera begini hebat namun peruntunganmu lebih bagus dibandingkan diriku. Kau mendapat ciuman dari seorang puteri. Sedangkan aku belum pernah dicium. Jangankan ciuman seorang puteri. Di cium Kuntilanak atau dedemit liang kuburpun belum pernah. Ha ha ha...." celetuk Raja diringi gelak tawa.
Mendengar ucapan Sang Maha Sakti. Nila Agung tersipu malu. Sedangkan sang kakak delikkan mata pada Raja Manusia gila.

Raja Gendeng 8 Bangkitnya Sang Titisan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pandai sekali kau membuat malu adikku."

Damprat gadis itu ketus.

"Ah mengapa kau marah? Apakah kau merasa iri dan kini berniat ingin mencium aku? Jika itu keinginanmu aku pasti tidak menolak."

Goda Raja membuat Arum Senggini tambah kesal namun akhirnya lebih memilih berdiam diri

"Kalian semua mengapa musti ribut. Apakah kalian tidak sadar ada bahaya besar mengancam didepan mata?"

Kata Ki Lara tiba-tiba dengan suara lirih tersengal. Mendengar ucapan itu membuat semua orang menatap pada Ki Lara

"Apa maksudmu?"

Tanya Nila Agung. Si kakek memandang gadis yang bersimpuh di sebelah kirinya.

"Kau gadis baik dan seorang puteri pula. Aku yakin kau puteri gusti prabu Tubagus Kasatama.."

Ucapan Ki Lara yang tidak terduga itu karuan saja membuat kakak beradik itu menjadi kaget.

"Dari mana kakek tahu kami puteri Raja?"

Tanya Arum Senggini heran .

"Orang tuamu gusti prabu Tubagus Kasatama boleh jadi tidak mengenalku tapi aku tahu dia keturunan siapa."

"Memang kami anak turun siapa kek?"

Tanya Nila Agung.

"Kalian masih cicit Ratu Tria Arutama generasi ketujuh. Ratu Tria adalah penguasa istana dewa suci yang juga dikenal dengan istana dewa ruci di pulau Rakata."

Terang Ki Lara dengan nafas mengengah.

Mendengar penjelasan Ki Lara, Arum Senggini segera teringat dengan cerita ayahandanya tentang asal usul nenek moyang mereka.

"Kek menurut ramanda prabu bukankah eyang buyut Ratu Tria telah mangkat sekitar tujuh ratus lima puluh tahun yang silam?"

"Kau benar."

"Sebagai juru kunci makam raja-raja di pulau Rakata. Sebagaimana yang telah kakek katakan kepada kami. Apakah benar pangeran Durjana itu benar-benar telah bangkit dari kematiannya?" tanya Nila Agung

"Itu juga benar.Aku menyaksikan hari kebangkitannya. Aku telah berusaha menghalangi dan mengembalikan dia ke alam kematian.Sayang aku tidak berdaya dan hasilnya seperti ini."

"Maafkan kami berdua kakek. Lalu apa yang harus kami lakukan ?"

Tanya Arum Senggini. Ki Lara tidak segera menjawab. Sebaliknya layangkan pandang pada Raja. Barulah setelah itu si kakek berujar.

"Kalian harus kembali ke istana secepatnya. Beri tahu ayahanda kalian bahwa saat ini ada bahaya besar sedang mengancam negeri. Pangeran Durjana pasti akan menghimpun kekuatan baru. Lebih dari itu dia akan terus menculik gadis-gadis cantik. Para gadis itu akan dijadikannya pengantin dengan harapan dapat memberikan keturunan baru dalam waktu singkat."

Terang Ki Lara. Kemudian pada Raja dia juga berkata,

"Aku tahu riwayat hidupmu. Aku juga mengetahui kemungkinan hanya kau satu-satunya bisa membantu mengatasi masalah besar ini..."

"Tapi kek. Aku tidak mengetahui persoalan yang sebenarnya."

Sahut Raja. Si kakek tersenyum tipis

"Kau akan tahu. Untuk itu kau harus menemui orang yang dikenal dengan sebutan Dewa Mabok. Dia menetap di sebuah bukit tak jauh dari sebuah tempat bernama Labuhan."

"Tapi tempat itu jauh dari sini kek."

Ujar Arum Senggini.

"Kau tak usah khawatir. Pemuda sakti ini mempunyai senjata hebat bernama Pedang gila .Senjata dipuggungnya itu memiliki jiwa. Dia bisa terbang dengan menunggang senjatanya."

"Edan. Tak masuk akal. Ada senjata membawa terbang penmiliknya."

Desis Nila Agung dengan mata membelalak tak percaya.

"Aneh tapi mengagumkan. Andai aku punya pedang hebat seperti punyamu itu?!"

Ujar Arum Senggini sambil menatap pemuda itu. Raja tersenyum.

"Hanya laki-laki yang punya pedang hebat. Kalau wanita paling juga punya sarungnya. He he Hanya Sang Titisan he...!"

Sahut Raja.

"Kau benar-benar sinting. Nama senjatamu juga aneh."

Dengus Arum Senggini yang tahu maksud ucapan Raja Gendeng.

"Sudah jangan bersilat lidah dan bicara ngaco tak karuan. Lekas kalian pergi. Kau cari Dewa Mabok sedangkan kalian kembali ke istana."

Perintah Ki Lara.

"Bagaimana dengan dirimu sendiri?"

Tanya Raja. Rupanya dia merasa berat hati untuk meninggalkan kakek ini.

"Iya kek, bagaimana dengan dirimu?"

Ujar Nila Agung.

"Tak usah pikirkan diriku. Aku sudah terlalu karatan untuk hidup lebih lama lagi. Usiaku lebih lebih dari seribu tahun!"

Terang si kakek membuat ketiga orang disampingnya tercengang tak percaya. Tanpa menghiraukan orang-orang itu Ki Lara melanjutkan.

"Aku sudah habis. Aku akan mati .Karena itu tolong ambilkan pelita itu. Letakan di dadaku"

Arum Senggini cepat ambil pelita yang terletak di samping kepala KI Lara lalu buru-buru menyerahkannya pada orang tua itu. Setelah menerima pelita, sambil menggenggamnya dengan sepuluh jemari tangan. Ki Lara letakan pelita itu di atas dada. Kedua matanya kemudian meredup. Sementara dari mulut terdengar ucapan.

"Wahai maut bebaskan aku dari nestapa. Lepaskan aku dari derita usia panjang. Duhai pelita alam Anwah. Bimbinglah aku menuju dunia kehidupan paling abadi. Aku telah siap untuk dibawa pergi... Selamat tinggal yang masih hidup. Semoga selamat pula buat orang yang bernama Selamat"

Begitu Ki Lara Saru Saru selesai mengucapkan kata-kata aneh itu. Raja pun tersenyum tak kuasa menahan geli. Dalam hati Sang Maha Sakti Dari Istana Pulau Es itu membatin.

"Orang tua ini agaknya betul-betul pikun. Mengapa segala nama orang dia bawa bawa? Apa mungkin dia punya saudara bernama Selamat?"

"Raja, lihat...."

Seru Nila Agung membuat Sang Maha Sakti tersentak dari lamunannya sekaligus menatap ke arah si kakek.

Dia tertegun ketika melihat bagaimana sekujur tubuh Ki Lara tiba-tiba saja diselimuti kabut biru kehitaman.

Kabut biru bergulung membubung tinggi ke langit.

Kemudian seiring dengan membubungnya kabut ke angkasa.

Sosok Ki Lara ikut terangkat naik

Wouues!

Tubuh yang terbungkus kabut itu melayang keatas lalu bergerak menuju kearah gunung Krakatau

"Luar biasa. Dia pergi begitu saja.Setelah nyawanya pergi, tubuhnya bahkan ada yang menjemput."

Gumam Arum Senggini. Nila Agung manggut-manggut sambil mengusapi tengkuknya yang merinding .Sementara Raja sendiri tanpa diduga-duga membuka mulut.

"Sungguh orang tua yang sangat tahu diri. Dia tidak mau membuat kita-kita menjadi repot, mengurusi dan menguburkan jenazahnya. Tanpa kita minta seseorang yang tak dapat kita lihat dengan sukarela membawanya."

"Kau ada-ada saja."

Dengus Arum Senggini. Gadis ini kemudian bangkit berdiri. Setelah membersihkan pakaiannya yang dipenuhi pasir dia berkata pada adiknya.

"Nampaknya kita harus segera kembali ke istana. Kita harus memberi tahu ayahanda prabu sebagaimana yang pesankan oleh kakek itu. Tapi kakak...!"

Berkata Nila Agung bimbang.

Sejenak dia melirik kearah Raja.

Saat itu fajar mulai menampakkan kehadirannya.

Sebentar lagi malam berganti siang namun suara angin yang datang dari laut memberikan aroma garam dan hawa dingin luar biasa.

Melihat tingkah sang adik yang ragu, Arum Senggini berkata.

"Apa yang terjadi dengan dirimu? Apakah setelah bertemu dengan pendekar gendeng ini kau jadi malas untuk kembali!? Kau mau ikut dia silakan saja. Aku bisa pulang ke istana sendirian."

"Eeh, bukan begitu maksudku kakak. Apakah sebaiknya kita undang saja dia ke istana. Dia sudah menolong kita. Tak ada salahnya sebagai rasa terima kasih kita memberikan jamuan kecil-kecilan di istana."

"Tidak usah berlebihan. Apakah kau sudah lupa, Ki Lara memberinya perintah untuk menjumpai seseorang berjuluk Dewa Mabok?"

Kata Arum Senggini kesal.

"Ya. Kita mempunyai tugas dan tujuan masing-masing. Aku akan menemui Dewa Mabok. Kalian itu kembalilah ke istana. Setelah itu jangan lagi pernah gentayangan diluar istana. Orang-orang secantik kalian bisa menjadi incaran orang jahat. Diluar banyak lebah dan kumbang. Jika lebah atau kumbang sampai mengantuk kalian, perut kalian bisa masuk angin. Ha ha ha!"

"Pemuda sinting kurang ajar. Bicaramu ngaco tak karuan. kami bukan gadis lemah, bukan pula gadis murahan."

Sentak Arum Senggini. Kepada adiknya dia berkata.

"Tunggu apa lagi? Mari kita pergi"

Sekali jemari tangannya terjulur, lengan adiknya telah berada dalam cengkeraman.

Setengah memaksa dia mengajak adiknya menghampiri kuda mereka yang berada tidak jauh dari tempat itu.

Nila Agung hanya bisa menurut.

Tapi sebelum naik ke punggung kudanya dia sempat menoleh menatap ke arah Raja.

Merasa dipandang pemuda itu kedipkan matanya sambil tempelkan jemari di bibir .Rupanya Arum Senggini melihat tanda yang diberikan Raja.

Sambil melompat ke punggung kuda dia mengomel.

"Apa aku bilang. Pemuda itu ternyata memang tidak waras."

Sang adik tertawa. Lalu memacu kudanya dengan hati berbunga-bunga. Setelah kedua puteri itu pergi. Dengan arah berlawanan Raja tinggalkan tempat itu.

Dalam perjalanan menuju ke tempat kediaman Dewa Mabok pemuda ini terus berpikir tentang kehadiran lebah-lebah mematikan juga tentang nasib yang dialami oleh Ki Lara Saru Saru. Selagi Raja tenggelam dalam pikirannya yang kalut tiba-tiba dia mendengar suara ngiang datang dari belakang punggungnya.

"Wahai sobatku Raja. Apa yang mengganggu pikiranmu?"
Raja Gendeng 8 Bangkitnya Sang Titisan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Sang Maha Sakti melengak kaget. Dia menoleh, menatap ke arah hulu pedang tempat dimana pedang Gila tergantung. Dia yang mengenali suara ngiangan itu segera menyahuti.

"Menurutmu apa yang mengganggu pikiranku? Apakah kau tidak tahu sudah lama pikiranku mengalami gangguan?!"

"Ah, paduka Raja Gendeng. Tidak ada yang salah dengan pikiranmu, otak paduka Raja kulihat masih lempang-lempang saja. Mungkin paduka agak terusik dengan kehadiran kedua gadis cantik tadi?"

Mendengar ucapan jiwa yang bersemayam di dalam hulu pedang Gila. Raja pun tertawa tergelak-gelak.

"Kau sok tahu, jiwa yang bersemayan dalam hulu pedang, aku tidak memikirkan mereka. Untuk apa?" ujar Raja sambil terus melangkah.

"Jangan terlalu menutup diri. Tidak perlu malu-malu padaku paduka. Puteri berlengsung pipit itu jelas sangat tertarik padamu. Tapi jangan lupa kakaknya yang bernama Arum Senggini itu diam diam sebenarnya sudah jatuh hati pada paduka!"

Terang jiwa yang bersemayam di hulu pedang.

Kening Raja berkernyit

"Apa kau bilang? Jangan bicara sembarangan. Arum Senggini jelas-jelas menunjukkan rasa tidak sukanya padaku. Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan dia jatuh hati padaku? "

"Paduka...paduka.Arum Senggini sifatnya memangnya seperti itu. Ucapan selalu bertentangan dengan isi hati.Mulut mengatakan benci tetapi hati tertarik padamu.Aku yakin dia hanya ingin menunjukkan kewibawaannya di depan paduka juga adiknya."

"Aku bisa gila sungguhan bila hidup dengan gadis ketus seperti dia. Ahk sudahlah. Lupakan mereka,"

Kata Raja sambil kibaskan tangannya.

"Lalu...!"

Tanya sang jiwa.

"Kau dan kekuatan aneh yang telah membuatku tersesat kesasar ke tempat ini. Aku ingin tahu siapa Dewa Mabok. Sebagai jiwa yang tahu tentang banyak hal banyak perkara. Coba katakan padaku siapa Dewa Mabok?"

Kata Raja dengan nada memerintah

"Paduka Raja Gendeng jangan terlalu menyalahkan saya.Saya hanyalah jiwa, saya ini sukma yang mengawasi keadaan dan setiap perkembangan yang terjadi di delapan pejuru dunia persilatan. Kewajiban saya memberi tahu paduka."

Ujar jiwa pedang

"Karena itu aku mengharapkan kepadamu agar mencari tahu siapa orang yang bergelar Dewa Mabok itu. Apakah dia dewa sungguhan ataukah cuma orang gila yang kesasar bernama dewa namun suka mabok."

Kata Raja lalu pencongkan mulutnya.

"Baiklah paduka. Harap bersabar menunggu barang sebentar!"

Raja mengangguk setuju, namun dia tetap melanjutkan langkahnya. Kemudian dia mendengar suara desir angin ditelinganya.

Selanjutnya terdengar pula suara debur ombak sayup-sayup.dikejauhan.

"Mengapa kudengar suara ombak? Memangnya sekarang kau berada dimana, jiwa pedang?"

Tanya Raja.

"Aku menjelajah masa lalu. Aku melihat pulau. Ada sebuah istana megah ditengah pulau itu." terang jiwa penghuni hulu pedang hanya berupa ngiangan lirih.

"Pulau apa?"

"Pulau di tengah laut namanya pulau Rakata. Aku juga melihat sebuah gunung menjulang di permukaan laut. Itulah gunung Krakatau."

"Lalu istana itu?"

"Ah hanya sebuah istana tua, paduka. Setelah kutelusuri istana itu dulunya adalah istana suci. Namanya istana Dewa Ruci. Saya melihat cahaya terang benderang disana. Tapi kemudian cahaya terang lenyap, ada mala petaka terjadi di istana itu. Saya melihat seorang ratu, tapi sebelumnya saya juga melihat seorang gadis selayaknya seorang puteri dan seorang pemuda tampan. Mungkin dia pangeran dan puteri raja. Lalu.."

"Lalu apa?"

"Lalu keduanya melakukan hubungan layaknya suami istri."

"Apa arti semua itu?"

"Kedua orang yang saya lihat itu dikutuk. Istana mendadak gelap gulita."

Terang jiwa pedang.

"Mungkin mereka masih merupakan saudara sedarah paduka."

"Gila."

Kata Raja sambil geleng kepala. Setelah menghela napas dan berpikir sejenak dia lanjutkan ucapannya.

"Apa hubungannya yang kau lihat dengan orang yang bernama Dewa Mabok?"

"Orang yang berjuluk Dewa Mabok itu datang dari istana itu. Dia meninggalkan istana ribuan tahun yang lalu bersama seorang wanita berpakaian dan berpenampilan selayaknya seorang ratu. Mereka menyeberang ke tanah Dwipa ini."

"Apakah mungkin dulunya Dewa Mabok seorang raja?"

"Hal itu hamba tidak tahu paduka Raja Gendeng. Lebih baik kita cari saja orangnya."

"Hmm, baiklah. Kau boleh kembali. Satu saja pertanyaanku apakah mungkin pangeran Durjana dan lebah-lebahnya berhubungan erat dengan istana di pulau Rakata?"

"Ya. dia memang datang dari pulau itu. Dia telah mati seribu tahun yang lalu. Kini bangkit kembali untuk menyusun kekuatan dan melakukan balas dendam pada orang-orang yang dia benci dan seluruh keturunannya."

Jelas jiwa pedang .Raja manggut-manggut. Kemudian dia mendengar suara desir angin dibelakang punggungnya. Dia tahu jiwa pedang Gila telah bersemayam kembali di hulu pedang.

"Kau sudah datang ?"

Tanya pemuda itu.

"Ya ada apa paduka? Apakah paduka meminta saya untuk membawa paduka terbang? "

"Terbang seperti nenek sihir tolol dengan sapunya. Oh tidak. Aku punya ajian Bayu Sang Titisan Berhembus. Aku merasa lebih nyaman berlari dengan kedua kaki sendiri. Ha ha ha!"

Selesai dengan ucapannya. Raja Gendeng hentakan kakinya

Wuues!

Begitu kaki bergerak dengan kecepatan seperti kilat. Raja melesat tinggalkan tempat itu.


*****

Kakek berpakaian hitam yang menyelubungi rambut panjangnya dengan sorban duduk tenang di dalam ruangan besar di istana Malingping.

Duduk didepan kakek berjenggot putih panjang menjulai seorang laki-laki tegap berpakaian selempang putih berambut panjang digelung ke atas. Tak jauh di samping sebelah kiri kakek itu di atas sebuah kursi kebesaran duduk seorang lakilaki berpakaian kuning sutera bermahkota emas berpenampilan rapi. Dialah prabu Tubagus Kasatama, pemimpin kerajaan Malingping dan penguasa wilayah tanah Dwipa disebelah barat.

Adapun kakek berjenggot panjang menjulai tak lain adalah sahabat dekat prabu Tubagus Kasatama.

Seperti telah diketahui kakek tua ini bernama Anjengan Giriswara atau juga dikenal dengan julukan penujum Aneh juru Obat Delapan Penjuru. Adapun laki-laki tegak berpakaian selempang putih tak lain adalah patih Tubagus Aria Kusuma paman dari sang prabu sendiri. Disamping mereka di tempat itu berkumpul beberapa pejabat penting kerajaan lainnya.

Seperti telah diceritakan dalam epsode sebelumnya, penujum Aneh sengaja meninggalkan gunung Kendeng menuju ke kota Raja adalah dengan tujuan ingin memberi kabar kepada raja tentang ancaman yang datang dari lautan.

Tidaklah heran, mengingat pentingnya perkara yang dihadapi, maka sang prabu pun memanggil patih juga para pejabat istana lainnya.

"Menurutku apa yang disampaikan paman penujum harus kita carikan jalan keluarnya."

Ucap prabu Tubagus Kasatama.

"Kehadiran pangeran Durjana saya rasa juga tidak sekedar mengumpulkan para gadis cantik mencari kepuasan napsu. Tapi dia juga mempunyai maksud dan tujuan lain."

Sambut patih prabu Tubagus Aria Kasatama sambil menjura hormat pada sang prabu.

"Maafkan saya paman patih. Maafkan saya gusti prabu. Menurut hemat saya sesuai pula dengan penglihatan mata batin saya, pangeran Durjana riwayat masa lalunya adalah pangeran terkutuk yang telah melakukan berbagai pelanggaran di istana Dewa Ruci. Dia telah melakukan hubungan terkutuk dengan saudara sedarah. Itu sebabnya ibunya, bunda Ratu Tria Aritama menjatuhkan hukuman berat dengan menggantungnya lalu menguburkan mayatnya di selat Rakata."

"Aku sudah tahu, penujum. Bagaimanapun aku masih merupakan cicit gusti Ratu Tria Aritama. Aku juga tahu sebelum digantung pangeran Durjana sempat bersumpah dia bakal melakukan balas dendam begitu arwahnya bangkit dalam kehidupan ke dua. Dan kukira kehidupan kedua itu telah dimulai"

Gumam sang prabu.

"Jadi sekarang saatnya. Dia ingin membalas dendam. Karena aku termasuk cicit gusti ratu Tria Arutama. Aku yakin kita semua berada dalam incarannya." ujar patih Tubagus Aria Kusuma pula.

"Jadi selain menjadi kesenangan pada gadis gadis culikannya itu, Dia juga berusaha menyusun kekuatan baru. Tapi mana mungkin bisa membangun kekuatan besar dalam waktu yang singkat, gusti prabu,"

Sela seorang pejabat bernama Kalijan mewakili para pejabat lain yang ikut hadir dalam ruangan itu. Sang prabu manggut-manggut sambil mengelus janggutnya yang lebat namun tertata rapih. Dia terus berpikir. Sampai kemudian dia berkata.

"Aku telah menduga segala kekacawan bakal terjadi. Dan semua kekacauan berpangkal dari munculnya pangeran gila yang baru bangkit dari kematiannya. Hanya ada satu hal yang menjadi ganjalan di lubuk hatiku. Bagaimana kalau pangeran Durjana bisa mengumpulkan kekuatan besar dalam waktu yang singkat?"

"Yang mulia gusti prabu. Sesuai wangsit serta pandangan mata batin saya. Pangeran itu menggunakan bayi-bayi yang baru terlahir untuk menghancurkan musuh-musuhnya."

Terang penujum Aneh, Apa yang dikatakan sang penujum sudah barang tentu membuat kaget semua orang yang berada didalam ruangan pertemuan itu.

Termasuk juga seoerang pejabat penting kerajaan yang bernama Jatulaka atau lebih dikenal julukan Maung Berem atau Macan Merah.

"Penujum Aneh,"

Berkata laki-laki itu sambil menatap ke arah si kakek. Semua mata kini tertuju ke arah penujum juga Jatulaka.

"Aku tidak mengerti bayi yang baru terlahir bisa dijadikan alat untuk mencapai sebuah maksud jahat. Seorang bayi secara umum dalam keadaan lemah bahkan tak bisa mengurus diri sendiri. Lagi pula bayi siapa yang dimanfaatkan oleh pangeran jahanam itu?"

Penujum Aneh tersenyum namun wajahnya tampak tegang dan terlihat menyimpan kekhawatiran mendalam. Setelah sempat diam. Diapun lalu membuka mulut.

"Apa yang saya lihat dengan menggunakan mata batin memang suatu pemandangan yang aneh. Tapi saya akan berterus terang dan merupakan kewajiban untuk menyampaikan kebenaran. Siapa saja gadis yang menjadi kurban dinta pangeran Durjana bakal mengalami kehamilan. Kehamilan itu tidak berlangsung selama sembilan bulan sepuluh hari sebagaimana seharusnya. Para gadis korban kebejatan pangeran Durjana akan mengalami kehamilan selama tiga hari. Dalam tiga hari anak-anak itu terlahir dan bertumbuh sebagaimana selayaknya bocah berusia dua tahun. Bayi-bayi itulah yang akan menjadi musuh bagi kita." jelas si kakek.

"Ini sesuatu yang sangat mustahil."

Berkata patih Tubagus Aria Kusuma.

"Tapi siapapun diantara kita tahu, penujum Aneh adalah orang yang sangat jujur lagi dapat dipercaya, Namun aku masih tidak mengerti siapa orangnya yang dianggap sebagai musuh itu?"

Kata prabu Tubagus Kasatama sambil melirik ke arah penujum Aneh.

"Mungkin kita. Karena kita masih punya hubungan darah dengan almarhum gusti ratu Tria Arutama."

Sahut patih Tubagus Aria Kusuma.

"Tepat. Pangeran Durjana menganggap penguasa kerajaan Malingping sebagai musuh yang harus disingkirkan karena dia masih punya keinginan dalam kebangkitannya bisa menjadi seorang raja yang berkuasa. Tapi disamping itu dia ingin mencari tahu apakah bekas musuh-musuh lamanya masih bertahan hidup hingga saat ini?"

"Musuh lama?"

Desis seorang pejabat bernama Rangga Wulung Utama yang sedari tadi diam saja.

Untuk diketahui kakek bertubuh pendek berpakaian serba kuning dan memiliki rambut dua kali panjang dari tubuhnya ini adalah pejabat istana yang sangat ahli dalam muslihat dalam pertempuran.

Kedudukan kakek berusia sekitar enam puluh tahun itu hampir sama dengan seorang senopati perang.

Penujum Aneh anggukan kepala.
Raja Gendeng 8 Bangkitnya Sang Titisan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Sebelum membuka mulut menjelaskan pengalaman gaib yang didapatnya, Penujum Aneh layangkan pandang memperhatikan semua orang yang memandang kepadanya.

"Dahulu menurut apa yang saya lihat dari alam gaib.Mbah buyut paduka prabu yang bernama Ratu Tria Arutama mempunyai seorang penasehat penting merangkap patih kerajaan juga senopati. Saya tidak punya kemampuan menembus alam gaib lebih jauh lagi untuk mengetahui siapa nama orang penting yang memegang beberapa jabatan itu. Namun saya tahu dia dikenal dengan sebutan Dewa Mabok"

"Dewa Mabok?"

Desis patih Tubagus Aria Kusuma.

Sementara pejabat termasuk juga sang prabu sendiri nampak terperangah kaget

"Dewa Mabok! Gelar sebutan itu sepertinya aku pernah mendengar.Kalau tidak salah dia menetap disebuah gubuk tak jauh dari Labuhan.Manusia aneh dan konon jelmaan seorang dewa pembangkang di kayangan."

Kata gusti prabu dengan mata menerawang.

"Ampunkan hamba gusti prabu."

Berkata Maung Berem sambil menjura dalam-dalam.

"Menurut yang hamba dengar orang tua yang berjuluk Dewa Mabok telah lama tak diketahui rimbanya. Mungkin saja dia sudah tiada!"

"Hamba rasa Dewa Mabok sudah meninggal sebagaimana yang dikatakan oleh teman hamba Maung Berem." timpal Rangga Wulung Utama ikut mendukung.

Mendengar penjelasan kedua pejabatnya perhatian sang prabu kini tertuju pada Sang Penujum kembali. Merasa diperhatikan Penujum Aneh berlaku tenang. Dia segera teringat dengan kejadian yang dialaminya saat berada di pemakaman keluarganya. Di tempat itu dia sempat bertemu dan berbincang dengan Dewa Mabok. Tapi diakhir pertemuan Penujum Aneh akhirnya tahu yang menemui dirinya itu ternyata hanyalah bayangan kakek aneh yang di sekililing pinggangnya digelayuti bumbung bambu berisi tuak keras. Untuk lebih jelasnya dapat diikuti dalam episode Pencinta Dari Alam Kematian.

Hotel Bertram At Bertrams Hotel Karya Animorphs 11 Petualangan Di Dua Dunia Taiko Karya Eiji Yoshikawa

Cari Blog Ini