Raja Gendeng 8 Bangkitnya Sang Titisan Bagian 2
Penujum Aneh lalu menceritakan semua kejadian yang dialaminya pada semua orang yang berada dalam ruangan pertemuan itu.
"Hm, nasib perawat kudaku memang mengenaskan. Dia tidak seharusnya tewas di tangan pangeran Durjana itu. Tapi memang sudah takdir suratan hidupnya harus berakhir seperti itu. Walau demikian kematiannya memberikan pengertian bagi kita. Ternyata banyak kejadian yang sulit diterima akal sehat di dunia ini."
Kata sang prabu dengan wajah menunjukkan rasa prihatin.
"Lalu apa yang harus kita lakukan gusti prabu? Kita tidak bisa membiarkan pangeran Durjana melakukan kejahatan lebih besar lagi. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana seandainya pangeran itu benar-benar berhasil menghimpun kekuatan lalu menggunakan bayi-bayi aneh untuk menyerang kita! Saya bukan manusia kejam yang tega membunuh bayi walaupun bayi-bayi itu sangat berbahaya."
Prabu Tubagus Kasatama berdiam sejenak. Dan akhirnya prabu berucap.
"Aku sangat ingin sekali bertemu Dewa Mabok. Banyak sekali yang ingin kutanyakan pada orang tua itu, khususnya tentang masa lalu pangeran Durjana. Tapi kalian telah meragukan keberadaannya. Aku ingin sekali mencari sekaligus menghancurkan pangeran itu."
"Paman Patih Aria Kusuma boleh membawa pasukan kerajaan bersama penujum Aneh."
"Cari keberadaan pangeran gila itu. Dan kalau benar dia mempunyai pengikut walau pengikutnya masih bocah kecil, aku perintahkan kalian untuk menyingkirkan mereka semua."
Tegas sang prabu.
Patih Aria Kusuma dan penujum Aneh sama anggukan kepala.
Setelah menjuru hormat ke arah sang prabu, keduanya tinggalkan ruangan itu.
Setelah penujum Aneh pergi dan patih pergi. Di dalam ruangan yang tertinggal hanyalah para pejabat tinggi kerajaan yang antara lain adalah Macan Merah alias Macan Berem juga Rangga Wulung Utama.
Kepada para pejabatnya sang prabu berujar.
"Aku ingin sekali memperhatikan setiap perkembangan yang terjadi. Penjagaan di daerah perbatasan diperketat. Siapapun orang asing yang memasuki wilayah kita harus kalian tangkap, bila melawan bunuh tanpa harus melalui proses diadili. Apakah kalian paham?"
"Kami memahami perintah gusti." kata para pejabat itu hampir bersama-sama.
"Bagus. Titahku sampai disini. Terkecuali Maung Berem dan Rangga Wulung Utama. Para pejabat lain sebaiknya segera tinggalkan ruangan ini." perintah sang prabu.
Tanpa banyak bicara ketujuh pejabat lain segera berlalu tinggalkan rungan itu. Setelah mereka hanya tinggal bertiga saja di ruangan itu. Suasana berubah jadi sunyi. Dalam hati Maung Berem bertanya-tanya gerangan apa yang membuat sang prabu menahan mereka. Terkecuali Rangga Wulung Utama satu satunya pejabat istana yang kerap menggunakan rambut panjangnya sebagai senjata. Laki-laki itu bersikap lebih tenang.
"Kalian berdua!"
Ujar sang prabu sambil menghela nafas dan sandarkan punggungnya di kursi kebesaran.
"Menurut para mata-mata telik sandi kita sebenarnya penculikan terhadap gadis-gadis tidak berdosa telah meluas kemanamana. Bahkan beberapa malam yang lalu di pantal Carita belasan gadis hilang lenyap, Para orang tua, anak-anak dan para janda tewas dengan tubuh meleleh mengenaskan
"Semua yang gusti katakan dan apa yang dikabarkan para mata-mata itu memang benar adanya ayahanda prabu."
Kata satu suara merdu menyahuti.
Kedua pejabat istana dan Prabu Tubagus Kasatama terkejut lalu cepat berpaling ke arah pintu yang menghubungkan ke ruangan dalam.
Begitu sang prabu menatap ke jurusan itu.
Dia melihat dua orang gadis berpakaian biru dan putih yang tak lain adalah puterinya sendiri terrnyata telah masuk sambil bungkukkan badan menjura kearah sang prabu.
Melihat kehadiran kedua puterinya, wajah sang prabu seketika berubah menjadi merah.
"Kemana saja kalian selama beberapa hari ini? Kalian pergi secara diam-diam!"
Damprat sang prabu dengan mata mendelik. Melihat raja marah. Dan merasa tak ingin mengganggu pertemuan orang tua dan anaknya.
Kedua pejabat itu buru-buru undur diri, tapi sebelum berlalu Rangga Wulung Utama berkata.
"Gusti kami tidak ingin mengganggu, kalau gusti membutuhkan kami selalu siap!"
"Pergilah! aku ingin bicara dengan dua putriku ini" dengus sang raja dengan wajah marah namun tatapan muram.
Setelah kedua pejabat pergi, puteri Arum Senggini yang berpakaian putih membuka mulut dengan wajah tertunduk tak berani menatap ayahnya.
"Maafkan kami ayahanda. Kepergian kami adalah untuk melihat perkembangan yang terjadi diluar istana, rama prabu."
"Begitu?"
Kata sang prabu disertai senyum mencibir.
"Kalian merasa telah mempunyai ilmu silat tinggi Heh! Ilmu kesaktian yang kalian miliki masih rendah, keadaan sekarang ini benar-benar genting"
"Seorang pangeran yang baru bangkit dari kematian seribu tahun yang lalu gentayangan menculik anak perawan. Apakah kalan tidak takut?"
Sentak sang prabu marah.
Puteri Arum Senggini diam tidak bisa menjawab. Pada saat itu dia hanya bisa melirik pada adiknya puteri Nia Agung. Sang adik segera membungkuk dalam-dalam.Kemudian sambil menatap lurus pada sang prabu dia berkata.
"Maafkan kami rama prabu. Kami telah pergi diluar sepengetahuan rama. Terus terang kami telah mendengar tentang munculnya Pangeran Durjana juga tentang segala tindakan yang dilakukannya. Kami bahkan sempat berhadapan dengan bayangan pangeran itu. Untunglah seorang pendekar datang membantu."
"Kau dan kakakmu telah bertemu dengan pangeran Durjana itu? Bagaimana kalian bisa menyelamatkan diri?"
Tanya prabu Tubagus Kasatama dengan suara lebih lunak. Sejak dulu sang prabu memang selalu mengalah bila bicara dengan putri bungsunya yang lucu itu.
"Teruskan ceritamu!"
"Seperti yang nanda katakan. Kami baru berhadapan dengan bayangan kembarnya saja. Dan kebetulan seorang pemuda sakti bernama Raja Gendeng datang membantu. Jadi kami lolos dari penculikan."
"Memangnya saat kejadian kalian berada dimana?"
Tanya sang prabu sambil menyembunyikan kekhawatirannya.
"Kami ada di pantai Carita, rama. Kami juga melihat bagaimana lebah-lebah aneh yang dikenal dengan nama Lebah Kepala Hati Berbunga menyerang penduduk nelayan disana." terang sang puteri.
Gadis ini juga tak lupa menceritakan bagaimana penduduk yang menemui ajal meleleh menjadi bubur. Tak lupa dia juga menjelaskan perjumpaannya dengan penjaga makam raja di pulau Rakata yang akhirnya menemui ajal akibat luka parah yang dialaminya. Setelah mendengar semua penjelasan putrinya prabu Tubagus Kasatama terdiam cukup lama. Sambil menyandarkan kepalanya diatas sandaran kursi kebesarannya, mata laki-laki itu menerawang.
"Aku pernah mendengar riwayat penjaga makam raja pulau Rakata. Namanya Ki Lara Saru Saru. Nama itu sama persis dengan nama yang baru kau sebutkan. Dia termasuk salah satu orang yang dikarunia usia panjang oleh dewa. Seandainya dia masih hidup hingga sekarang pasti dia bisa menceritakan pada kita tentang kejadian aib seribu tahun lalu yang dilakukan oleh Pangeran Durjana dan adiknya puteri Atut! "
"Perbuatan itu tidak hanya menjijikan tapi juga terkutuk. Mengapa rama prabu ingin mengetahuinya?"
Tanya Arum Senggini memberanikan diri
"Ini bukan mengungkit perkara lama. Istana Dewa Ruci yang juga dikenal sebagal istana paling suci di dunia persilatan mempunyai sejarah yang agung. Kehancurannya terjadi karena perbuatan Pangeran Bagus Anom Aditama atau yang kini dikenal dengan sebutan Pangeran Durjana. Kemudian nenek buyut kita pergi karena aib dan malu besar. Dia mengasingkan diri di tanah Dwipa sebelah barat. Sampai di sini dia memutuskan untuk membina keluarga yang kedua dengan salah satu pengikutnya yang paling setia. Aku tidak tahu pengikut yang mana yang dinikahi oleh gusti Ratu Tria.Aku adalah generasi ke tujuh.Walau begitu ikatan darah tak pernah lepas dari buyut ratu."
Terang sang prabu. Dia menatap ke arah kedua puterinya sekilas. Karena kedua gadis cantik itu diam saja akhirnya dia melanjutkan ucapannya.
"Lebah-lebah itu adalah lebah penghancur juga pemikat bagi para gadis yang disengatnya.Terkecuali para gadis, orang lain yang tersengat segera menemui ajal, sebaliknya bila gadis yang disengat. Gadis itu menjadi kasmaran, nafsunya meningkat diluar akal sehat dan dia rela diperlaku kan apa saja oleh Pangeran Durjana."
"Ih, mengerikan sekali,"
Desis Arum Senggini dengan tengkuk bergidik dan wajah tunjukan rasa ngeri
"Bagusnya Raja datang menolong."
Ujar Nila Agung pula.
"Dua kali kau menyebut nama aneh d depanku. Raja... apakah itu hanya sebuah nama ataukah dia benar-benar seorang raja, Nila?"
Tanya sang prabu.
Rupanya orang tua ini merasa penasaran.
Ditanya seperti itu membuat wajah Nila Agung berseri-seri.
Sementara Arum Senggini melirik adiknya.
Wajahnya merah, ada rasa tidak suka kalau tidak dapat dikatakan cemburu dihati Arum Senggini.
Karena sesungguhnya dia sudah merasa jatuh hati pada Raja sejak pandangan pertama.
Dengan penuh semangat Nila Agung yang tidak mengerti bagaimana perasaan sang kakak menjelaskan.
"Rama prabu. Pemuda yang bernama Raja itu, sesungguhnya seorang raja sungguhan di sebuah pulau di tengah laut pantai selatan. Dia biasa disebut Sang Maha Sakti dari Istana Pulau Es. Orang memanggilnya Raja Gendeng. Mungkin julukan itu berkaitan dengan wataknya yang angin anginan, bicara semaunya sendiri dan kerap bertingkah ngaco. Tapi selain sangat sakti hatinya polos dan baik." terang Nila Agung.
"Jangan terlalu cepat menilai. Kita belum lama bertemu dengannya."
Tukas Arum Senggini ketus
"Ih, kakak. Bukankah kita sama-sama tahu dia seorang pemuda yang baik dan polos. Eee, maksudku bukan berarti polos lalu tidak memakai apa-apa Iho...!"
Kata Nila Agung disertai tawa tertahan.
"Dasar puteri edan. Kau sama saja sintingnya dengan pemuda itu adik."
Damprat Arum Senggini membuat sang prabu geleng kepala. Buru-buru orang tua itu membuka mulut
"Sudah. Jangan bertengkar. Dan sekarang bukan waktunya bergurau. Lebih baik katakan pemuda itu sekarang ada dimana?"
"Rama prabu."
Kata Arum Senggini.
"Saat ini Raja sedang berusaha menemui seseorang berjuluk Dewa Mabok. Dia melakukan itu atas perintah Ki Lara Saru Saru sebelum menghembuskan nafas terakhirnya."
"Hmm, lagi-lagi Dewa Mabok. Aku yakin Dewa Mabok tahu banyak tentang Pangeran Durjana. Aku harus memberi tahu Maung Berem. Kita membutuhkan keterangan sebanyak-banyaknya untuk menghentikan Pangeran Durjana." ujar sang prabu
"Raja juga berjanji akan membantu, rama prabu." kata Nila Agung.
"Kurasa itu lebih bagus lagi. Tapi kalian jangan pergi kemana-mana tanpa perintahku!"
"Kami mengerti. Kali ini kami akan patuhi segala titah rama prabu."
Sahut Arum Senggini dan Nila Agung bersamaan.
Tidak lama kemudian setelah menghaturkan hormat pada ayahnya, keduanya beringsut mundur dan beranjak pergi meninggalkan prabu Tubagus Kasatama.
*******
Bangunan tua itu terletak diatas sebuah bukit tinggi.
Dibagian kaki hingga ke lereng bukit tumbuh subur berbagai jenis pohon menjulang tinggi.
Tapi disebelah atas bukit tampak gundul tanpa tanaman. Senja hari di lereng bukit angin dingin menebarkan aroma garam berhembus kencang.
Dikejauhan terdengar suara gemuruh ombak dan cericit camar yang hendak kembali pulang ke sarang.
Sementara di kaki bukit. Raja Gendeng baru saja jejakkan kaki di tempat itu segera memperhatikan keadaan di sekelilingnya.
Tidak terlihat ada orang lain di tempat itu.
Raja Gendeng 8 Bangkitnya Sang Titisan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sang Maha sakti dongakkan kepala menatap ke arah puncak bukit yang nampak kuning berkilauan.
Sayang karena terhalang pepohonan menjulang dan rimbunnya daun dia tidak dapat memandang dengan leluasa ke bagian puncak bukit.
"Aku harus mendaki lereng terjal itu.Tapi tidak ada jalan menuju ke bagian puncaknya.Aneh....mengapa masih ada orang di dunia ini memilih tempat tinggal yang sulit untuk dicapai? Lagi pula apakah mungkin bangunan batu di atas sana ada penghuninya?"
Kata pemuda itu seorang diri. Tak lama kemudian tanpa bicara lagi Raja segera berkelebat melewati semak belukar yang tumbuh subur diantara pepohonan besar.
Setelah melewati pepohonan sampailah Raja di sebuah tempat yang gersang dan tandus.
Tapi Sang Maha Sakti tidak memusatkan perhatian ke bagian puncak bukit yang hendak dituju .Perhatiannya kini malah tertuju ke arah bebatuan dan lamping bukit sebelah atas yang berwarna kuning emas.
Merasa tertarik Raja mengambil sepotong batu yang tergeletak di bawah kakinya .Dengan mulut termonyong-monyong dia memperhatikan batu kuning itu.
"Batu ini seperti mengandung emas. Apakah mungkin bagian atas bukit ini mengandung emas. Gila, mengapa tidak ada orang yang mengambilnya .Apakah orang tidak tahu bebatuan emas ini mempunyai nilai yang tinggi?"
Batin sang pendekar dalam hati.
Baru saja hatinya bicara seperti itu.
Tiba-tiha terdengar suara ngiangan berasal dari hulu pedang yang tergantung di punggungnya
"Sang Maha Sakti, paduka Raja Gendeng. Tak usah banyak berpikir tak usah banyak bicara. Memang betul bebatuan serta bukit disebelah atas ini mengandung emas banyak sekali. Bila diolah emas ini bahkan bisa dipergunakan untuk membangun sepuluh istana besar. Tapi tempat ini berada dalam pengawasan seorang kakek aneh dan gila!"
"Siapakah orangnya yang berani membuat perkara dengannya?"
Sadar yang baru saja bicara adalah jiwa yang bersemayam di dalam hulu pedang Gila.
Dengan senyum mencibir dia berkata.
"Jiwa pedang? Siapa orang gila yang menguasai bukkit ini? "
"Aku sendiri belum mengenalnya. Tapi aku bisa menduga penguasa bukdit emas ini tentutah orang yang suka membuang ingatannya ke comberan dan mulutnya sering bau tuak."
"Dewa Mabok maksudmu?"
Tanya Raja dengan kening berkerut
"Ya. Kemungkinan juga dia adalah orang yang hendak paduka temui."
Sahut sang jiwa pedang
"Kau yakin orang tua itu sedang berada di tempat sekarang ini?"
Tanya pemuda itu sambil dongakan kepala menatap ke puncak bukit
"Tempat itu sunyi.Dari sini pandanganku bisa menembus hingga bagian dalam bangunan. Tidak ada siapa-siapa terkecuali onggokan bumbung bambu bekas tuak. Sementara diluar pondok aku melihat ada beberapa sosok tubuh berkaparan sambil memegang bumbung bambu," terang jiwa yang bersemayam dalam hulu pedang.
"Kau tidak hendak mengatakan orang-orang itu kehilangan nyawanya karena mabuk kan?"
"Entahlah. Hamba belum memeriksa paduka. Tapi kalau paduka berkeinginan agar aku melakukan pemeriksaan diatas sana pasti hamba lakukan!"
Ujar sang jiwa menawarkan diri.
Raja tertegun, berpikir sejenak.
Dan sebelum sempat menjawab ucapan jiwa pedang, tiba-tiba dia mengendus aroma tuak yang sangat menyengat
"Uh, bau ini membuat lubang hidungku sampai tenggorokan terasa panas seperti mau terbakar. Luar biasa! Manusia mana yang sanggup minum tuak dengan aroma sekeras ini"
Kata Raja sambil menekab hidungnya.
Cepat pemuda ini memutar tubuh, mata jelalatan nanar memperhatikan sekelilingnya.
Pemuda ini tercengang begitu menyaksikan diatas cabang-cabang pohon yang menjuntai ke tanah bergelantungan kaku dalam keadaan terikat berbagai jenis kelabang, kalajengking juga ular berbisa.
Semua binatang itu dalam keadaan mati dan sepertinya baru selesai dipanggang karena mengepulkan asap menebar aroma daging bakar.
"Siapapun yang melakukan semua kegilaan ini pasti bukan manusia berkepandaian rendah!"
Kata Raja kagum namun dengan tengkuk merinding
"Tadi ketika sampai di sini kita tidak melihat daging panggang mahluk-mahluk beracun itu paduka Raja. Dia melakukan kegilaan di depan hidung paduka. Hebatnya lagi paduka yang memili ilmu kesaktian tinggi luar biasa tak melihat kehadirannya. Ck.ck ck..." kata jiwa dalam hulu pedang memberi bisikan.
"Diam. Jangan mengajak aku bicara terus. Karena kau hanya mahluk yang tidak terlihat nanti orang menyangka aku ini gila bicara seorang diri." dengus Raja.
"Paduka menyuruh diam, hamba akan menutup mulut. Tapi hati-hati paduka. Orang yang memanggang binatang berbisa itu berada tidak jauh disekitar sini."
Raja anggukkan kepala sekaligus sunggingkan seringai sinis Kemudian berseru.
"Aku datang dengan membawa maksud baik. Ingin bertanya tentang hal penting kepada engkau hai... orang yang tinggal di puncak bukit. Kuharap jangan menaruh curiga dan tunjukkan sikap yang aneh karena waktuku di tempat ini sangat terbatas!"
Belum lagi gema seruan Raja lenyap dikeremangan senja tiba-tiba saja terdengar suara tawa tergelak-gelak.
Mula-mula suara tawa terdengar biasa saja namun berpindah-pindah. Tapi semakin lama tawa yang terdengar makin melengking membuat Raja terpaksa menutup kedua telinganya dengan mengalirkan tenaga dalam ke bagian pendengarannya. Hebatnya lagi walau Sang Maha Sakti telah menutup pendengarannya, getaran suara tawa membuat tubuhnya terguncang. Sementara daun daun menghijau yang berada diatasnya rontok berguguran dan hancur menjadi kepingan tak ubahnya dimakan ulat.
"Sial! Orang ini ternyata tidak hanya mempunyai ilmu kesaktian memindahkan suara. Tap Juga mempunyai tingkat tenaga dalam yang sangat tinggi sekali"
Rutuk Raja dalam hati. Tak lama kemudian suara tawa mendadak lenyap.
Sebagai gantinya terdengar suara orang mendamprat
"Orang gila mana yang berani datang menghantarkan nyawa ke bukit Batas Kilau Dunia? Kalau cuma pencuri tengik yang ingin memperkaya diri sebaiknya batalkan keinginan. Jangan mencoba mencuri emasku. Jika tetap berlaku nekad aku akan mengajaknya mabok sampal mati lalu baru kuizinkan jiwanya mengambil emas diseluruh bukit ini Ha ha...."
"hai! Siapapun yang bicara. Ketahuilah aku tidak menginginkan emas-emas butut yang memenuhi bukit ini. Aku datang ingin bertemu dengan seseorang yang dikenal dengan julukan Dewa Mabok!"
Jawab Raja dengan suara lantang menggeledek
"Kurang ajar! Beraninya kau bersuara keras di wilayah kekuasaanku. Apakah kau mengira telingaku sudah tuli ya?"
Teriak suara itu dengan suara melengking.
Membuat Raja terhuyung dan telinganya seperti dihantam petir.
"Siapa kau? Beraninya kau menghardik seorang raja. Apakah kau mau kuhukum gantung" kata pemuda itu kesal.
"Hah apa? Kau kunyuk gila kemarin sore mengaku seorang raja? Kau raja apa? Aku yakin kau Cuma Raja Gendeng. Ha ha ha!"
Mendengar orang menyebut nama sekaligus julukannya. Raja jadi melongo dan menggaruk kepala
"Bagaimana dia bisa tahu. Aku ini Raja Gendeng?"
Kata pemuda itu lalu tersenyum sendiri. Sejenak Sang Maha Sakti menarik nafas dalam. Namun dia tersentak kaget begitu mendengar suara celegukan selayaknya orang yang sedang meneguk minuman. Kemudian terdengar bentakan.
"Orang gila! Aku sedang minum. Apa kau mau mencicipi tuakku yang harum ini?"
Kata satu suara.
Seperti tadi suara itu berpindah-pindah.
Tapi kali ini Raja melihat ada satu sosok bayangan berkelebat cepat mengelilingi dirinya. Belum lagi si pemuda sempat menjawab pertanyaan orang.
Tiba-tiba terdengar suara seperti air yang disemburkan dari mulut
Pruh!
Pruh!
Bueeer!
Semburan cairan menebar bau harum menyengat datang dari segenap sudut penjuru.
Menghantam sekujur tubuh Raja juga pepohonan di sekitarnya.
Ketika semburan cairan yang terrnyata tuak harum itu menghantam Raja, Sang Maha Sakti berpikir cepat.
Dengan mulut cemberut sambil menggerutu dia mengambil tindakan
"Orang satu ini gilanya lebih parah dibandingkan diriku. Orang gila harus kulayani secara gila pula!"
Berkata begitu Raja segera meliukkan tubuhnya.
Tangan kanan diacungkannya ke atas seakan telunjuk tangan kiri menunjuk-nunjuk ke bawah.
Lalu...
Wuuues!
Serta merta Raja Gendeng hilang raib tak meninggalkan bekas.
Sementara di tempatnya berdiri tadi, tanah dan pasir bermuncratan di udara. Daun-daun dikobari api, pepohonan dipenuhi lubang tertembus cairan tuak yang di semburkan orang.
"Orang gila kesasar itu bisa menghilang? Rupanya dia bisa berubah seperti kentut. Lumayan hebat tapi dia belum kenal aku ya. Ha ha ha...!" kata orang yang semburkan tuak disertai gelak tawa.
Raja yang baru saja selamatkan diri dari semburan tuak keras dan menyala setelah bergesekan dengan udara, kini nampak duduk nangkring di atas cabang pohon. Sambil mengusap dadanya yang berdebar kencang, bersungut sungut pemuda itu menatap ke bawah. Kobaran api akibat semburan tuak masih menyala. Batang pepohonan yang dipenuhi lubang tertembus tuak juga masih mengepulkan asap. Sambil menatap dengan bergidik, pemuda ini berucap.
"Bagusnya aku menggunakan ilmu sakti Gerak Lintas Cahaya dan ilmu sakti Belut Lumpur Jelaton warisan Nini Balang Kudu. Kalau tidak tubuhku ikut lumat terpanggang semburan cairan tuak sialan itu!"
"Orang gila kurang ajar! Beraninya kau mengucapkan kata sialan di tempat ini? Kau marah? Atau mungkin kau lapar? Ha ha ha."
Lagi-lagi terdengar dampratan disertai tawa tergelak-gelak. Begitu tawa lenyap orang yang belum juga unjukkan diri itu kembali berkata.
"Kalau lapar kau makan saja kelabang, kala jengking dan ular berbisa panggang yang bergelantungan di sekeliling pohon itu."
Raja menelan ludah. Mahluk-mahluk berbisa yang dipanggang itu memang mengundang selera. Apalagi saat itu perutnya memang keroncongan. Dari warnanya yang kecoklatan mungkin saja panggang ular enak dimakan. Tapi bagaimana setelah makan dia keracunan.
"Aku tidak sudi makanan menjijikkan itu."
Sentak Raja membuat pemilik suara menjadi sangat marah.
"Orang memberi kau malah menolak. Biarkan aku yang menghabisi makanan yang lezat ini."
Berkata begitu sekali lagi Raja mendengar suara angin berdesir. Desir angin lalu berputar menyambar ke arah binatang melata yang telah matang itu
Wuues!
Hebat luar biasa. Begitu hembusan angin lenyap, maka semua makanan yang bergelantungan di dahan pohon amblas lenyap entah kemana.,
Di suatu tempat di atas lereng bukit kuning. Raja mendengar suara berkeriukan seperti orang yang sedang mengunyah makanan garing. Ketika Sang Maha Sakti menatap ke arah itu. Diam-diam dia melengak kaget begitu melihat di lereng bukit yang terjal berdiri seorang kakek tua yang berpakaian hitam tak terkancing, wajah merah, bercelana gombrang hitam sebatas lutut. Di sekeliling pinggang si kakek bergelantungan selusin bumbung bambu berisi tuak. Yang membuat Raja berdecak kagum, orang tua itu berdiri dengan punggung menempel pada dinding tebing seolah tubuh itu berperekat reperti lem.
Walau kagum, melihat kakek berambut putih berjanggut dan berkumis putih ini. Namun kemudian Sang Maha Sakti cibirkan mulutnya.
Raja Gendeng 8 Bangkitnya Sang Titisan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Orang tua yang suka pamer ilmu pamer kebolehan. Baru punya kepandaian seujung upil saja sudah berani jual lagak di depanku. Memangnya kau ini siapa?"
Tanya Raja mengejek
"Setan gila sialan! Beraninya kau menghina diriku. Bicara seenak udelmu sendiri memangnya kau punya kebiasaan apa?"
Hardik si kakek sambil meneguk tuak dari dalam bumbung.
Setelah mengusap busa tuak yang berselemot disekitar mulut dan kumis dia menatap dengan mata mendelik pada Raja.
Walau dipelototi .Raja bukannya takut, sebaliknya malah cengar cengir lalu tertawa mengekeh .Sambil tertawa tenang saja dia jawab pertanyaan si kakek.
"Aku yang masih hijau ini tentu saja tidak asal bicara. Aku punya banyak kebiasaan, tapi aku tidak suka pamer sepertimu, apalagi pamer anuku!"
"Ha ha ha..."
"Hmm, ingin kulihat apakab kau punya sesuatu yang kau andalkan, orang gila. Aku akan kembali ke rumahku di puncak bukit itu. Tidak ada satupun jalan untuk mencapai tempat itu. Dan selama ini tak seorang pun yang bisa sampai di sana. Kalau benar kau punya kepandaian kutunggu kau di puncak bukit!"
Tantang si kakek .Si Kakek kemudian tertawa dingin. Sambil tergelak tubuhnya melesat ke atas lalu hilang raib dari pandangan mata.
"Rasanya tidak mudah memang."
Ujar Raja sepeninggal si kakek sambil layangkan pandang ke atas.
"Tapi aku punya ilmu Kadal Butut Merayap di dinding juga di dalam air. Apa susahnya mencapai puncak bukit."
Batin Raja. Baru saja Raja hendak menggunakan ilmu saktinya untuk menyusul s kakek, tiba-tiba dia mendengar suara ngiangan di telinga kanannya.
"Paduka. Bukankah Pedang Gila bisa mengantarmu terbang ke atas?"
"Heh, Jiwa Dalam Hulu Pedang. Kau hendak membuatku tampak tolol di depan kakek aneh itu? Kau diam saja, jangan kau tunjuki aku jalan yang enak-enak. Cara seperti itu hanya membuatku tak dapat merasakan nikmatnya penderitaan hidup."
"Menderita kok dibilang nikmat. Orang hidup Susah saja ingin hidup senang. Artinya tidak ada kenikmatan dalam penderitaan."
Kata sang jiwa pedang.
"Hus, tahu apa kau. Diam sajalah, bukankah sejak tadi aku memintamu diam?"
Kata Raja sambil bersungut-sungut.
"Terserah paduka. Hamba cuma memberi saran, diterima syukur tidak diterima keterlaluan."
"Dasar pedang gila. Kau dan diriku tak jauh berbeda."
Gerutu Raja.
"Persamaan watak itulah yang membuat kita dapat berdampingan. Kita pasangan yang serasi."
"Serasi gundulmu!"
Sambut Raja
"Ah paduka lupa.Hamba dan Pedang gila sama sekali tidak gundul. Yang gundul biasanya ada disebelah bawah.He he he."
Walau merasa geli raja tetap unjukkan wajah cemberut.
Kemudian tanpa bicara apa-apa lagi pemuda ini menggosok-gosok kedua telapak tangannya.
Dua tangan saling menggosok, mulut berkemak kemik.
Tangan didekatkan ke mulut, bibir dimonyongkan ke depan lalu mulut Sang Maha Sakti meniup
Puuh!
Asap mengepul berwarna putih kelabu.
Kedua tangan itu kini berubah bentuknya menjadi seperti kaki kadal.
Tak menunggu lama Raja segera bergerak cepat merayap dinding bukit.
Seperti kadal yang berlari diatas hambaran pasir panas, sekejab saja dia telah sampai dibagian puncak bukit.
Melihat Raja tiba-tiba muncul di depan pondok.
Si kakek yang menunggunya dengan merebahkan diri dibalai ketiduran pondok tersentak kaget.
si kakek segera sentakkan punggungnya hingga membuatnya terduduk lurus dibibir balai balai. Sekejab dia menatap ke arah Raja.
Sebentar mata itu berkedip, sebentar kemudian malah melotot
"Orang gila.Bagaimana kau bisa menyusul aku secepat itu?"
Tanya si kakek. Lalu perhatiannya tertuju ke arah telapak tangan dan jari-jari Raja yang di matanya terlihat aneh seperti tangan kadal.
"Tanganmu itu? Mengapa tanganmu berbeda dengan tanganku?"
Memperhatikan tangan sendiri tanyanya. Sambil tersenyum Raja buru-buru usapkan tangan ke bagian belakang bokongnya, lalu...
Jesst!
Begitu angin yang keluar dari bawah menyambar tangan Raja.
Seketika kedua telapak tangan hingga jarinya berubah kembali ke bentuk semula
"Heh, tanganmu."
Sentak si kakek sambil kembali perhatikan tangan pemuda itu.
"Tanganmu tadi... eh tadi aku melihat tanganmu seperti tangan kadal. Tapi whee... sekarang mengapa berubah lagi seperti tangan buaya. Ada apa dengan mataku?"
Kata si kakek sambil mengusap matanya berulang kali. Sambil tertawa geli didalam hati, Sang Maha Sakti yang tahu tangannya tidak seperti tangan buaya cepat memotong.
"Tanganku ini sangat bagus, utuh dan sama sekali tidak seperti tangan buaya, orang tua. Mungkin kau banyak minum. Karena mabuk membuat pandangan matamu jadi terbalik. Aku bisa menduga dalam keadaan seperti ini bisa saja begitu melihat nenek-nenek kau melihatnya seperti gadis cantik. Ha ha ha."
"Mungkin kau benar."
Ucap kakek itu sambil letakan bumbung di atas balai ketiduran berlapis tikar itu.
"Aku memang mabuk, kepalaku juga terasa pusing. Dalam keadaan mabuk penglihatan bisa berubah, pikiran jadi terbalik."
Si kakek angguk anggukan kepala
"Orang gila apakah kau pernah mabok. Atau kau mau ikutan bergabung denganku lalu kita mabuk bersama dari malam sampai pagi dan pagi lagi? Ha ha ha."
"Mohon dimaafkan. Aku tak pernah mabok dan tak mau ikutan mabok. Kalau mau mabok, maboklah sendiri orang tua."
"Ah jangan kelewatan. Menolak pemberian berarti menolak rejeki. Tapi... Hem, bagaimana kalau aku yang minum tapi kau yang mabok?!"
Tanya si kakek sambil kedipkan matanya.
"Mana mungkin. Kau yang minum bagaimana bisa aku yang mabok?"
Kata Raja. Tapi kemudian hatinya menjadi was-was. Dia takut kakek itu mengerjainya. Tak ingin konyol buru-buru Raja menyambung ucapan.
"Orang tua... kurasa mungkin. Mungkin saja minum aku yang mabok. Kurasa itu sebuah tipuan permainan lama. Tapi terus terang, kuharap kau tak mengerjai aku. Aku datang dengan membekal maksud dan kepertuan yang sangat penting."terang Raja bersungguh-sungguh.
"Wheeh, belum kukerjai kau sudah takut dan tahu duluan. Tapi tak jadi apa orang gila. Di hari menjelang malam ini hatiku sedang senang. Kau kuanggap sebagai tamuku karena berhasil naik ke puncak bukit ini. Tetapi tetap saja kau ini seorang tamu kesasar dan yang tak pernah kuundang. Katakan apa kepentinganmu orang gila!"
Kata si kakek. Walau merasa lega orang tua itu bersikap lunak, namun Raja merasa tidak senang mendengar si kakek menyebutnya 'orang gila."
Dia pun lalu menyampaikan apa yang menjadi ganjalan dihati.
"Orang tua aku bukan orang gila Aku punya nama. Aku harap jangan memanggilku orang gila lagi."
Sepasang alis mata si kakek terangkat naik. Mulut tersenyum namun mata menatap garang. Saking gusarnya mata itu bahkan berputar liar seperti mata juling.
"Kau punya nama orang gila? Katakan siapa namamu?"
"Namaku Raja, lengkapnya Raja Gendeng.." terang pemuda itu hingga membuat si kakek tak kuasa menahan gelak tawanya.
"Nah apa kataku? Nama depanmu memang bagus. Tapi ujung namamu itu. Apa artinya. Bukankah gendeng berarti juga gila, edan dan sinting? Mengapa kau merasa tersinggung ketika aku memanggilmu orang gila? Ha ha ha."
Raja hanya bisa geleng kepala. Namun kemudian cepat-cepat berkata.
"Aku senang-senang saja. Tapi aku juga ingin tau siapa dirimu ini. Apakah kau orang yang ku cari atau sebaliknya."
"Memangnya siapa yang kau cari?"
"Aku mencari seseorang?"
"Seseorang itu apakah kunyuk atau mungkin dia punya nama yang lebih bagus dari namamu?"
Kata si kakek, Walau merasa kesal, namun Raja tetap menjawab juga pertanyaan si kakek
"Namanya aku tidak tahu. Mungkin juga dia bernama Si Monyet tua. Tapi aku diberi tahu oleh seseorang. Orang yang kucari itu biasa disebut Dewa Mabok."
Sikakek berjingkrat kaget. Dia menatap Raja sekaligus memperhatikan pedang berangka aneh yang terbuat dari emas
"Kau mencari Dewa Mabok?"
"Apakah kau mengenalnya orang tua?"
Raja balik bertanya.
"Mungkin saja aku mengenalnya. Memangnya kau punya kepentingan apa ingin menemuinya?"
"Aku telah bertemu dengan seseorang yang bernama Ki Lara Saru Saru. Dia mengaku penjaga makam raja-raja Istana Dewa Suci di Pulau Rakata tak jauh dari gunung Krakatau. Sebelum menemul ajal dia berpesan agar aku menjumpai seorang kakek yang konon sakti bergelar Dewa Mabok"
Untuk yang kesekian kalinya mata si kakek tebelalak lebar. Mulut ternganga sedangkan kepala digolang goleng. Cepat dia bangkit
"Apakah kakek itu menjunjung tinggi pelita di atas kepalanya?"
Tanya si kakek seakan ingin memastikan.
Tanpa keraguan Raja anggukan kepala. Diluar dugaan begitu melihat anggulan kepala Raja, si kakek kembali terduduk.
Kedua kakinya mendadak lemas, mata yang merah menatap kosong.
Dari mulut orang tua itu terdengar gumaman namun juga seperti keluhan
Raja Gendeng 8 Bangkitnya Sang Titisan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jagad Dewa Bathara. Muliakanlah arwah orang-orang yang dimuliakan.Dibandingkan diriku dia adalah orang yang dikaruniai usia panjang. Bila dirinya menemul ajal, sesuai ketentuan takdir yang telah kuketahui, kematiannya tepat pada saat bangkitnya seorang pangeran durjana dari dasar Laut."
Si kakek kemudian tertunduk.
Namun diamnya tak berlangsung lama.
Tiba-tiba dia dongakan kepala, menatap ke arah Raja dengan sorot mata menyelidik.
Tanpa menunggu dia membuka mulut
"Jadi kau datang kemari atas perintah Ki Lara Saru Saru?"
"Begitulah "
"Kau hendak bertemu dengan Dewa Mabok?"
Tanya si kakek lagi. Raja anggukan kepala.
"Kau sudah bertemu dengan tua bangka yang kau cari. Aku Dewa Mabok. Begitu orang menyebut diriku."
"Aku sudah menduga."
Ujar Raja.
Pemuda itu kemudian bungkukan badan, rangkapkan badan dua tangan menjura hormat ke arah Dewa Mabok
"Aku tidak terkejut. Namun dihadapan manusia lapuk sepertiku kuharap kau tak memakai segala peradatan. Aku bukan manusia gila hormat. Lebih baik kau katakan mengapa penjaga makam raja di pulau Rakata itu memintamu mencari diriku?"
"Saya sendiri tidak tahu .Beliau hanya mengatakan hanya kaulah yang tahu siapa pangeran Durjana dan engkau pula yang dianggapnya cukup mengetahui bagaimana caranya menghentikan kejahatan pangeran Durjana setelah bangkit dari kematiannya."
Mendengar ucapan raja, wajah si kakek bertambah muram.
Dia lalu memberi isyarat kepada Raja agar duduk di depannya.
Pemuda itu datang menghampiri, lalu duduk diatas balai ketiduran.
Dewa Mabok tersenyum.
Sikapnya begitu acuh.
Namun Raja dapat melihat wajah Dewa Mabok menyembunyikan kegetiran dimasa lalu.
Tanpa banyak bicara. Dewa Mabok meraih bumbung bambu yang berjejer rapi diatas balal bambu.
Penutup bumbung di buka, aroma menyengat menyebar.
Begitu bumbung bambu diangkat lalu dijungkirkan diatas mulut semua isinya tercurah amblas masuk ke dalam mulut Dewa Mabok. Bumbung yang kosong kemudian melayang, jatuh menggelinding di halaman pondok. Bumbung ke dua datang menggantikan bumbung pertama.
Begitulah seterusnya.
"Menghadapi masalah yang berat tak dapat diselesaikan dengan meminum tuak sampai berbumbung-bumbung!"
Kata Raja tidak sadar.
"Tahu apa kau tentang diriku?"
Damprat si kakek sambil hentikan minumannya.
"Maaf, aku memang tak tahu apa yang terjadi dengan masa lalumu, namun dari wajahmu kau menyimpan beban yang berat?"
"Ha ha ha Orang gila, kau masih begini muda.Tapi kau sudah pandai membaca sikap orang."
"Sungguhpun aku ingin, namun aku tidak mau membicarakan masa laluku. Lebih baik kita bicara tentang pangeran itu saja." kata Dewa Mabok lalu semburkan sisa tuak di dalam mulutnya.
Begitu semburan tuak menghantam lempengan batu emas. Seketika batu hancur dan emas yang membalutnya meleleh menjadi cairan mendidih
"Pangeran Durjana sebelum tewas seribu tahun yang lalu, dia lebih hebat dan lebih kuat dari batu emas itu. Ilmu kesaktiannya tiada yang menandingi.Sayang jalan hidupnya menyimpang, kebejatannya melebihi keledai tolol. Jadi sekarang dia muncul di tanah Dwipa?"
Tanya Dewa Mabok sambil menatap dalam Raja yang duduk di sebelahnya.
"Betul kek."
"Itu artinya semua orang bakal menuai celaka."
"Bencana tidak akan terjadi bila kita dapat mencegahnya."
Kata pemuda itu.
"Ha ha ha. Kalau kau menyebut kita, berarti engkau dan aku. Aku tidak mau ikut campur."
"Kalau begitu aku akan menghadapi pangeran Gila itu seorang diri."
Tegas Sang Maha Sakti tanpa keraguan.
"Kau.... ha ha ha! Kau mau menghadapi manusia sakti luar biasa itu seorang diri? Manusia sombong! Kau mengira dirimu siapa?"
Hardik Dewa Mabok dengan mata mendelik. Raja tersenyum. Enak saja dia menjawab.
"Aku adalah aku, bukan dirimu apalagi mbahmu. Ha ha ha!"
"Orang Gila.Kau sungguh keterlaluan. Kalau. begitu aku sudah selayaknya mengujimu!"
Teriak si kakek lantang.
Keputusan Dewa Mabok sudah tentu membuat Raja Gendeng terkejut.
Namun dia tidak merasa takut.
Malah kemudian dia menjawab, sengaja memanasi hati s kakek
"Kusangka kau seorang dewa sungguhan. Tidak tahunya hanya seorang kakek renta yang cuma bisa menghabiskan umur dengan mabuk mabukan. Siapa takut menghadapimu?"
Seumur hidupnya yang lebih dari dari seribu dua ratus tahun.
Rasanya belum pernah ada orang yang berani bicara seperti itu dihadapannya.
Kini melihat Raja tidak memandangnya walau dengan sebelah mata pun maka membuat si kakek merasa tersinggung.
"Orang gila. Rupanya kau benar-benar mencari mati!"
"Hidup mati selalu kuterima siapa yang perduli."
Sahut Raja.
Sambil bangkit berdiri. Dewa Mabok mengumbar tawa.
Melihat si kakek bangkit. Raja pun segera bersikap waspada.
******
Satu rombongan pasukan kecil dipimpin langsung oleh Patih Tubagus Aria Kusuma melintas desa Saketi.
Saat itu malam telah larut.
Suasana desa yang berpenduduk padat ini dalam keadaan gelap temaram.
Di langit bulan sabit merah timbul tenggelam tertutup awan.
Ketika mereka sampai di tengah desa, Sang patih dan kakek berpakaian hitam bersorban yang bukan lain adalah Penujum Aneh Juru Obat Delapan Penjuru hentikan kuda.
Begitu pimpinan rombongan berhenti, maka para pengawal bersenjata lengkap yang mengiringi juga ikut hentikan kuda masing-masing.
"Kurasa malam belum terlalu larut benar. Tapi lhatlah Penujum Aneh. Desa ini aneh sunyi seperti kuburan,"
UJar sang patih pada Penujum Aneh yang duduk di atas kuda tidak jauh di sebelah kirinya. Si kakek anggukan kepala, matanya yang sering berkedip memperhatikan setiap rumah yang berjejer di kanan kiri jalan
"Paman patih."
Berkata Penujum Aneh sambil menghela nafas berat.
"Desa Saketi ini nampaknya mendapat serangan hebat. Menurut penglihatan mata batinku kejadiannya belum lama berselang. Mungkin tadi malam. Aku mencium tidak ada tanda tanda kehidupan. Dan aku dapat merasakan begitu banyak arwah-arwah gentayangan. Arwah para korban yang tewas secara mengenaskan."
"Desa ini mendapat serangan hebat. Namun kita sama sekali tidak melihat ada kerusakan yang berarti. Rumah dan bangunan tetap berdiri. Bukannya aku meragukan kemampuanmu Penujum, tapi apakah mata batinmu tidak salah melihat?"
Kata sang patih. Penujum aneh menyeringai. Kepada sang patih dia berkata.
"Sebaiknya paman patih perintahkan pada para pengawal untuk segera melakukan pemeriksaan disetiap rumah rumah."
Tanpa banyak bicara patih Tubagus Aria Kusuma segera memberi isyarat pada para pengawalnya. Sepuluh pengawal bertubuh tegap bersenjata pedang dan golok besar segera berlompatan dari atas punggung kuda masing-masing. Para pengawal kemudian berpencar. Lima memyebar ke sisi jalan sebelah kiri sedangkan sisanya segera bergerak ke arah rumah-rumah yang terdapat disebelah kanan jalan yang membelah desa.
Sisa pengawal lain yang menunggu di tengah jalan juga tidak tinggal diam. Mereka yang berjumlah tak kurang dari dua puluh orang segera menghunus senjata masing-masing, sedangkan sebagian lagi berjaga-jaga disekeliling sang patih dan Penujum Aneh. Satu demi satu rumah di kanan kiri jalan itu diperiksa. Para pengawal keluar masuk dari pintu ke pintu .Tapi setelah puluhan rumah digeledah. Para pengawal itu kembali menemui patih Tubagus Aria Kusuma dengan tangan hampa.
"Bagaimana?"
Tanya sang patih pada kepala pengawal bernama Gondang Ageng. Laki-laki besar berpakaian perajurit berwarma coklat dan berkulit hitam legam itu bungkukkan badan, sambil rangkapkan dua tangan di depan dada dia menjura kepada paman patih.
"Hampir semua rumah yang kami masuki dalam keadaan kosong.Tak satupun penghuninya yang kami temui."
Kemudian seorang perajurit lain berwajah masam bermulut runcing yang memeriksa beberapa rumah disebelah kanan jalan melangkah maju.
Setelah menjura dalam pada sang patih dia berkata.
"Ampun gusti patih. Hamba melihat ada beberapa tengkorak dan tulang belulang disalah satu rumah yang kami periksa. Hamba melihat dibawah tulang belulang ada ceceran darah dan cairan berbau amis. Hamba hanya bisa menduga cairan amis itu kemungkinan adalah kulit dan daging yang meleleh. Ada kekuatan yang luar biasa dahsyat telah menghabisi penghuni rumah."
"Kalau benar. Kekuatan apa yang bisa membuat rontok tubuh manusia. Lagi pula mengapa kita tidak menemukan mayat-mayat penduduk desa ini di rumah yang lain?" kata patih Aria terheran-heran.
"Kau tidak melihat kejadian yang lainnya, Manyun Pambayo,"
Tanya Penujum Aneh sambil menatap ke arah si wajah muram di depannya
"Tidak Penujum. Saya dan yang lainnya tidak melihat apa-apa."
Sahut Manyun Pambayo. Penujum Aneh menoleh pada sang patih.
"Pelakunya masih orang yang sama. menyerang penduduk desa adalah pasukan Lebah bernama Lebah Kepala Hati Berbunga. Penduduk yang tidak dibutuhkan dibunuh, sedangkan para anak gadisnya disengat dengan bisa asmara. Bila tersengat gadis-gadis itu berubah menjadi liar. Yang seperti orang yang kasmaran."
"Aku tidak tahu apa maksudmu kakek Penujum aneh."
Kata patih Aria Kusuma bingung
Raja Gendeng 8 Bangkitnya Sang Titisan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Semua ini perbuatan Pangeran Durjana. Dia seperti ayam jantan. Dia sengaja meracuni lalu mengumpulkan gadis-gadis itu untuk dijadikan pengantinnya. Seperti yang pernah saya katakan, paman patih. Gadis yang telah tidur dengan Pangeran Durjana segera mengalami kehamilan dan melahirkan tiga hari kemudian."
Penjelasan Penujum Aneh membuat patih Tubagus Aria Kusuma tercengang.
"Sungguh tak masuk akal. Sulit dipercaya. Bagaimana ada kehamilan bisa berlangsung sesingkat itu."
"Menurut penglihatan batinku Pangeran Durjana dibantu oleh sebuah kekuatan dahsyat dari kegelapan. Paman patih juga pasti lebih tidak percaya lagi bila kukatakan bayi yang terlahir itu bisa mengalami pertumbuhan yang cepat. Dalam tiga hari bayi-bayi itu akan menjadi seorang bocah seusia dua tahun."
Terang Penujum Aneh membuat patih Tubagus Aria Kusuma tambah tercengang. Lalu sambil telan ludah basahi tenggorokanya yang mendadak kering, sang patih ajukan pertanyaan.
"Apakah semua gadis yang telah tersengat Lebah Kepala Hati Berbunga itu diajaknya bercinta?"
Penujum Aneh anggukan kepala.
"Bagaimana mungkin ada manusia punya kemampuan seperti itu?"
"Ingat paman Patih. Pangeran Durjana yang aslinya bernama Pangran Bagus Anom Aditama kini bukan manusia lagi. Harus dingat pula dia baru saja bangkit dari kematiannya setelah seribu tahun mayatnya terkubur di laut gunung Krakatau .Sekarang dia menjadi iblis, dalam ujud manusia. Alam gaib baru saja memberi bisikan kepadaku Apa yang dilakukan pangeran Durjana bukanlah untuk mencari kesenangan semata. Anak anaknya yang terlahir dalam waktu singkat itu bisa menjadi senjata sekaligus kekuatan yang dapat menghancurkan semua keturunan gusti Ratu Tria Arutama yang bukan lain adalah mbah buyut paman patih juga prabu Tubagus Kasatama."
Terang Penujum Aneh. Patih Tubagus Aria Kusuma terdiam. Dia mengusap tengkuknya yang mendadak terasa dingin.
"Penujum Aneh. Menurutmu mungkinkah anak-anak iblis itu kini sudah terlahir kedunia ini? Mengingat sudah beberapa hari ini Pangeran Durjana berada di wilayah kita."
"Saya telah berusaha mencari tahu. Tapi saya melihat ada sebuah perisai gaib yang melindungi keberadaan gadis culikan dan pangeran Durjana. Saya hanya mengetahui sebuah jalan menuju ke tempat itu. Begitu kita bergerak menelusuri jalan ini, disebelah utara mungkin kita bisa mendapatkan sesuatu. Walau seorang penujum, saya punya kemampuan yang serba terbatas paman patih. Benar pula ujar-ujar yang mengatakan di atas langit masih ada langit. Saya tidak tahu apa yang bakal terjadi. Tapi firasat saya mengatakan kita akan menemukan sesuatu, sesuatu yang sangat mengerikan tak jauh di ujung jalan desa ini."
Baby Sitter Club 2 Claudia Dan Si Roro Centil 01 Empat Iblis Kali Progo Wiro Sableng 146 Azab Sang Murid
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama