Ceritasilat Novel Online

Bangkitnya Sang Titisan 3

Raja Gendeng 8 Bangkitnya Sang Titisan Bagian 3


"Hmm, kita semuanya harus bersikap waspada."

Kata Patih ditujukan pada pengawalnya

"Sebaiknya kita segera melanjutkan perjalanan!"

Usul Penujum Aneh.

Akhirnya tanpa menunggu lebih lama lagi rombongan itu mereka segera melanjutkan perjalanan.

Tak sampai sepenanakan nasi mereka sampai di ujung desa.

Patih Aria Tubagus dikejutkan oleh tumpukan benda-benda menggunung yang teronggok di tengah jalan.

Karena mendung gelap mereka tidak dapat melihat dengan jelas tumpukan apa yang bertimbun ditengah jalan itu.

Tapi mereka mengendus bau amis bercampur bau busuk yang menyengat.

"Gondang Ageng! Nyalakan obor besar. Cepat periksa ke depan!"

Kata sang patih pada kepala pengawal

"Baik gusti."

Laki-laki tegap itu kemudian turun dari kuda.

Obor besar dia nyalakan.

Cahayanya yang kuning kemerahan menerangi kegelapan disekitarnya.

Ketika Gondang Ageng bergerak ke depan.

Semua kuda tunggangan meringkik gelisah.

"Aku tidak suka dengan suasana sunyi seperti ini."

Kata patih berterus terang.

"Tumpukan yang menggunung di depan kita. mayat-mayat penduduk desa Saketi, paman patih." menerangkan penujum Aneh.

Suaranya lirih namun jelas. Baru saja penujum Aneh berkata seperti itu Gondang Ageng yang telah sampai di depan onggokan yang bertimbun di tengah jalan keluarkan suara seperti orang yang mau muntah. Gondang Ageng terhuyung, perutnya bergelung mual. Matanya nanar dan gelap. Buru-buru dia melangkah menjauh. Setelah mengatur nafas cepat laki-laki itu balikan badan lalu berjalan tergesa menghampiri patih yang duduk di atas kuda terdepan.

Melihat kepala pengawal begitu tegang, wajah pucat mata mendelik seperti baru melihat setan, sang patih jadi tidak sabar lalu cepat-cepat ajukan pertanyaan.

"Apa yang kau lihat?"

Dengan suara terbata Gondang Ageng menjawab.

"Mayat-mayat, gusti patih. Mayat mayat penduduk desa. Rasanya mereka belum lama menemui ajal, tapi tubuh mereka meleleh seperti bubur."

"Hoek!"

Gondang Ageng kembali keluarkan suara mau muntah. Dan kali ini dari mulutnya menyembur cairan dan makanan.

"Manusia jorok. Lekas kembali ke kuda dan kita lanjutkan perjalanan!"

Perintah patih Tubagus Aria Kusuma jijik juga marah.

Terbungkuk-bungkuk Gondang Ageng kembal ke kudanya.

Semua prajurit tak ada yang berani membuka mulut walau sebenarnya mereka merasa geli melihat Gondang Ageng kena didamprat karena muntah. Setelah lewat tengah malam, udara dingin terasa tambah mencucuk.

Jalan yang mereka lewati dipenuhi bebatuan licin berlumut.

Iringan-iringan rombongan berkuda berjalan semakin lambat. Di bagian paling depan, Penujum Aneh yang kini bertindak menjadi penunjuk jalan terus saja memanjatkan doa dan membaca mantra-mantra saktinya.

Sesekali dari mulutnya terdengar suara menggumam

"Apakah kakek penujum sudah melihat ada tanda-tanda?"

Tanya patih Tubagus Aria Kusuma seperti sudah tidak sabar. Merasa terusik si kakek yang duduk diatas kuda sambil pejamkan mata menoleh. Dia membuka mata dan segera menjawab.

"Tanda-tanda...? Aku mengendus bau kematian. Datangnya dari hutan kecil ini "

"Mendengar ucapanmu aku jadi tidak sabar lagi. Biarkan kini aku yang mengambil alih, memimpin di depan!" kata patih kesal.

"Silahkan. Saya tidak ingin menghalangimu patih."

Sahut Penujum Aneh.

Patih Tubagus tersenyum aneh.

Laki-laki itu menggebah kudanya.

Memacu kuda lebih cepat ternyata tidak mudah.

Jalan licin membuat kuda yang ditunggangi para perajurit kerap tergelincir membuat suasana yang sunyi berubah menjadi hiruk pikuk.

Setelah menembus belantara dan semak belukar rombongan sang patih akhirnya sampai disebuah lapangan luas dipenuhi hamparan pasir putih.

Dalam suasana temaram dimana bulan sabit telah tenggelam hanya ada cahaya bintang dan nyala obor yang menerangi keadaan itu.

"Sunyi. Tidak terlihat ada tanda-tanda keberadaan orang yang kita cari di tempat ini." kata patih sambil menatap lurus ke depan.

"Jangan gegabah, jangan pula cepat mengambil kesimpulan. Saya merasakan di tengah hamparan pasir itu mendekam mahluk-mahluk ganas yang baru saja terlahir ke dunia ini."

"Apa? Maksudmu bayi-bayi itu?"

Desis sang patih.

"Lalu dimana bersembunyi Pangeran Durjana yang kita cari?"

Tanyanya penasaran.

"Disebuah tempat tak jauh dari sini. dia punya singgasana bundar seperti kubah namun mirip sarang lebah. Tak akan mudah mencapai tempat tinggalnya bila kita tidak mampu menyingkirkan para pengawalnya!"

Gumam Penujum Aneh dengan wajah tegang dan suara dingin. Patih Tubagus Kusuma Putera yang sudah tidak sabar dan selama ini sangat penasaran segera meludah

"Hanya menghadapi bocah-bocah kecil kenapa harus takut?"

Dengus sang patih marah. Baru saja laki-laki berusia enam puluh tahun itu berkata seperti itu.

Mendadak sontak kesunyian yang mencekam dikejutkan dengan terdengarnya suara raungan.

Bersamaan dengan terdengarnya suara raungan itu dari arah pedataran pasir yang sangat luas, angin kencang berhembus menerbangkan butiran pasir ke arah mereka.

Semua orang yang berada di tepi hamparan pasir segera berlompatan dari atas punggung kuda masing-masing. Begitu jejakan kaki di tanah mereka segera lindungi mata dan cabut senjata masing masing.

Hanya Patih Tubagus Aria Kusuma yang bersikap tenang.Sementara Penujum Aneh segera melepas sorban sakti berwarna hitam yang melingkar diatas kepalanya.

Berada dalam genggaman tangan kanan sorban sakti lalu dikibaskan ke depan dan menghantam deru angin serta pasir yang menghantam ke arah mereka.

Begitu sorban menghantam angin dan semburan pasir terdengar suara letusan-letusan keras yang dibarengi dengan jeritan marah disana sini.

"Manusia-manusia tak tahu diri.Apakah kalian sudah bosan hidup dan ingin mampus sepert ibu-ibu kami yang malang!"

Hardik satu suara .Dari suaranya jelas yang bicara adalah suara bocah berumur sekitar dua tahunan.

Patih dan Penujum sama berpandangan.

Pukulan sorban Penujum Aneh memang membuat hembusan angin dan serangan pasir yang melesat seperti anak panah terhenti.

Namun sebagai gantinya.

Sebelum rasa kaget dihati semua orang yang berada disitu lenyap.

Tiba tiba saja dari balik kedalaman pasir melesat keluar beberapa sosok tubuh ke arah mereka.

Sedikitnya lima orang sosok tubuh melayang dalam keadaan jungkir balik tak karuan.

Lalu..

Bregkg!

Tujuh tubuh berjatuhan saling tindih.

Penujum Aneh dan Patih Tubagus Aria Kusuma yang tadinya siap menghantam karena mengira yang datang adalah musuh yang hendak menyerang langsung batalkan niat.

Begitu mereka menatap ke depan.

Keduanya sama tercengang dan belalakkan mata.

"Astagat! Kekejian seperti apa yang telah berlangsung di tempat ini?"

Desir sang patih seolah tidak percaya dengan penglihatan matanya sendiri.

Dia melihat tujuh sosok yang berjatuhan didepannya itu ternyata para gadis muda.

Wajah mereka masih utuh.

Mereka tewas dengan sekujur tubuh dan isi perut lenyap entah kemana.

Seolah ada binatang buas yang memangsa mereka. Tanpa memperdulikan ucapan patih, Penujum Aneh segera ulurkan tangannya ke arah onggokan mayat gadis-gadis itu.

Tiba-tiba sang penujum memekik kaget ketika merasakan ada satu kekuatan tak terlihat menyambar tangannya.

Kekuatan itu datang dari mayat para gadis.

"Jangan didekati, jangan disentuh.Semua mayat itu dikuasai oleh sebuah kekuatan yang sangat jahat." seru si kakek memberi peringatan.

"Lalu apa yang kau lakukan tadi Penujum?"

Tanya sang patih sambil menatap ke arah si kakek yang masih mengusapi telapak tangan kanannya.

Tangan itu terasa nyeri, panas seperti terbakar

"Aku hanya mencoba mencari tahu apa penyebab kematian dan siapa yang telah memangsa gadis-gadis desa ini."

"Dan kakek berhasil menemukan sebuah petunjuk penting?"

Tanya patih disertai tatapan tajam menusuk .Penujum Aneh anggukkan kepala. Tapi belum lagi dia sempat menjawab pertanyaan sang patih. Tiba-tiba terdengar suara gelak tawa dingin menggidikkan.
Raja Gendeng 8 Bangkitnya Sang Titisan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Wahai penujum berjenggot panjang."

Kata satu suara bocah di pasir. Si kakek tertegun. Tanpa sadar dia mengusap jenggotnya yang memang panjang menjuntai ke pusar.

"Kami yang baru lahir sudah tahu siapa dirimu. Harap tidak terkejut. Ketahuilah kami yang telah membunuh ibu yang telah melahirkan kami kami ini atas perintah ayahanda rama Pangeran Durjana...!

"Mahkluk keji. Anak-anak iblis terkutuk!"

Potong Patih Tubagus Aria Kusuma geram.

"Jika kalian yang telah membunuh, lalu siapa yang memangsanya?" lanjut sang patih.

"Kraak! Grauung!"

Sebagai sambutan atas ucapan sang patih.

Tiba-tiba terdengar suara raungan keras.

Raungan pertama disusul dengan raungan ke dua dan seterusnya membuat pepohonan terguncang dan para perajurit yang berada dibelakang sang patih dan Penujum Aneh terhuyung.

"Patih kurang ajar! Kau tidak layak bicara seperti itu kepada kami."

Teriak satu suara melengking

"Hanya ayahanda rama Pangeran Durjana yang patut berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya. Kalian hanyalah kotoran yang harus disingkirkan. Kami kuat, kami akan melenyapkan segala bentuk kemunafikan yang ada di dunia ini" sentak satu suara yang lain.

Seperti yang pertama suara itu juga seperti suara anak kecil. Patih dan Penujum saling pandang. Si kakek melangkah maju, sekali lagi dia mengulangi ucapannya.

"Siapa pun dirimu. Lekas katakan apa yang terjadi dengan gadis-gadis ini?"

"Hi hi hi!"

Terdengar suara tawa serentak bersahut-sahutan. Suara tawa lenyap kemudian terdengar jawaban.

"Untuk menjadi seperti kami. Kami terpaksa mengambil sari kehidupan dari dalam diri ibu kami. Dengan menggunakan tubuh mereka kami cepat menjadi besar. Kami telah bermurah hati menjawab pertanyaanmu, lalu apa yang hendak kau lakukan bersama patih itu Penujum?"

"Anak-anak iblis. Kami akan menghabisimu!"

Tegas patih Tubagus Aria Kusuma.

"Aku bertanya pada penujum, tapi mulutmu lancang menjawab. Apakah kau mengira kami tidak tahu siapa dirimu itu? Kami sangat mengenalmu patih. Ayahanda rama Pangeran Durjana yang telah memberi tahu. Bau tubuhmu, bau darahmu sama persis dengan ciri-ciri yang diberikan rama. Artinya kau masih cucu cicit keturunan Ratu Tria Arutama raja di istana Dewa Suci di pulau Rakata yang pernah membuat rama Pangeran Durjana dan kekasihnya menemui ajal seribu tahun yang lalu. Kau harus kami lenyapkan. Apakah kau telah siap untuk segera berangkat ke neraka?"

Tanya suara dari balik kedalaman pasir. Walau hati terasa panas dan kemarahan sempat menggelegak sampai ke ubun-ubun namun sang Patih tetap berlaku tenang dan berusaha menahan diri. Sambil tersenyum dia kemudian bahkan berkata.

"Aku mau saja dibawa kemana pun yang kalian suka. Ke neraka juga boleh asalkan aku digendong di punggung kalian dan kalian semua ikut serta mengantarku."

"Kurang ajar! Anak-anak! Habisi patih kerajaan dan pengikutnya juga Penujum tua itu!"

Teriak suara itu lantang bergema.

Suara teriakan lenyap.

Tiga puluh pengawal, walau sempat tercekat namun cepat menyebar mengelilingi sang patih dan Penujum Aneh.

Dengan senjata dilintangkan di depan dada mereka nampaknya telah siap melindungi diri.

Selagi para prajurit itu mengambil sikap dengan posisinya masing-masing.

Di tengah hamparan pasir yang sangat luas tiba-tiba saja muncul tiga buah benda berbentuk persegi tiga berwarna putih berkilau tak ubahnya tiga buah batu permata raksasa.

Penujum Aneh yang mengenali tiga buah benda yang baru muncul dari dalam pasir terkejut namun juga segera berseru memberi peringatan.

"Tiga Lentera Akherat! Cepat nyalakan semua obor yang tersisa.
Tancapkan sembilan obor dihadapan kita!"

Seru si kakek.

Para pengawal yang merasa masih memegang obor yang belum dinyalakan segera menyalakan obornya. Begitu obor menyala mereka segera berlari ke depan lalu menancapkannya di depan penujum . Patih Tubagus Aria yang tak tahu maksud penujum tak dapat berbuat banyak.

Dia cuma bisa menyaksikan kesibukan perajuritnya.

Sembilan obor dilihat sang patih menyala berjejer.

Sementara di tengah hamparan pasir satu pemandangan luar biasa terjadi.

Tiga batu segi tiga berkilau tak ubahnya Mutiara.

Semakin lama tiga batu memancarkan cahaya putih terang benderang .Melihat ini Penujum Aneh segera silangkan kedua tanganya di depan dada, kedua kaki ditekuk sedangkan sorban hitam yang sejak awal dililitkan dipergelangan tangan kanan nampak bergetar.

"Lentera itu akan menyerang kita.Terlambat sedikit menyalakan sembilan obor penolak bala, kita semua bakal menuai nasib celaka!"

Menerangkan si kakek. Penjelasan Peramal Aneh membuat Patih menyadari banyak sekali hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan alam gaib yang tak diketahuinya.

Laki-laki ini tidak mau diam.

Dia segera menghunus senjata andalannya berupa sebuah kujang yang dikenal dengan nama Penakluk Jiwa. Baru saja senjata sakti berada dalam genggaman.

Di tengah hamparan pasir sedikitnya enam cahaya yang berasal dari tiga batu segi tiga berkiblat lalu menderu menghantam ke arah Penujum Aneh, patih juga para perajurit itu.

Melihat cahaya putih menyilaukan menebar hawa panas luar biasa menderu dengan kecepatan seperti kilat menyambar datang menghantam.

Penujum Aneh tidak tinggal diam.

"Ilmu Penahluk Lentera Akherat! Musnahkan semua cahaya yang berasal dari tiga batu itu!" sambil berseru Penujum Aneh dorongan kedua tangannya ke depan.

Hembusan angin yang menderu dari telapak tangan Penujum Aneh menyambar sembilan api obor.

Sembilan api obor mencelat ke depan, berubah menjadi besar ketika berada di udara.

Tiga puluh perajurit menahan nafas menunggu dengan perasaan tegang namun siap mengambil tindakan. Enam cahaya menyilaukan dari tiga batu Lentera Akherat dengan sembilan nyala obor yang terisi mantra sakti Penujum Aneh akhirnya bertemu di udara.

Sedikitnya tiga ledakan berdentum mengguncang tempat itu.

Debu dan pasir bermuncratan membubung tinggi di udara.

Guncangan keras membuat para perajurit jatuh bergelimpangan.

Diantara mereka ada yang menderita cidera berat terluka bahkan tiga diantaranya menemul ajal.

Sedangkan para perajurit yang selamat segera bangkit dan langsung membuat benteng pertahanan yang kuat.

Selagi segala kokacauan akibat ledakan belum mereda, Patih Tubagus Aria Kusuma tiba-tiba berseru.

"Penujum Aneh! Lihat ke depan. Rupanya serangan api obormu yang dilambari mantra sakti tak sanggup memusnahkan semua cahaya itu!"

Sang penujum tersentak. Dia menatap ke depan searah yang yang ditunjuk patih. Dia melihat diantara kepulan dan kepingan pasir berpijar yang mulai luruh sedikitnya dua cahaya putih menyilaukan saling berjejer menderu ganas ke arah mereka.

"Paman patih. Pergunakan Kujangmu, kau hancurkan cahaya yang disebelah kiri sedangkan yang disebelah kanan adalah bagianku!"

Berkata begitu Panujum Aneh tidak mau menunggu lebih lama.

Sebelum cahaya putih menghanguskan tubuhnya dia segera bergerak mengambil tindakan. Orang tua ini tiba-tiba lambungkan tubuhnya, sorban hitam yang melingkar di tangan kanan dia kebutkan ke depan sedangkan tangan kiri yang telah teraliri tenaga dalam dengan bebas lancarkan pukulan ke arah cahaya itu.

Melihat Penujum Aneh berlaku nekat.

Patih Tubagus Aria Kusuma juga melesat ke atas.

Kujang ditangan yang memancarkan cahaya kuning kehijauan karena telah dialiri tenaga dalam dia putar sedemikian rupa, membentuk sebuah perisai pertahanan yang kokoh juga mengandung daya serang luar biasa.

Wuut

Buum!

Arkh....

Benturan antara kujang sakti Penahluk jiwa dengan cahaya tak dapat dihindari.

Patih menggerung kesakitan.

Walau laki-laki ini berhasil menghancurkan cahaya maut itu, namun kujang ditangan berubah panas seperti bara.

Tak sanggup menggenggam senjata itu sang patih terpaksa melepaskannya.

Senjata jatuh dihamparan pasir tapi kemudian lenyap seperti di betot dari dalam.

Sambil kibas-kibaskan tangannya yang melepuh.

Dengan gerakan yang ringan.

Patih mampu jejakkan kakinya di tepi lapangan.

Tapi dia sendiri menjadi marah saat sadar senjatanya lenyap di curi mahluk yang bersembunyi di dalam pasir.

Selagi patih dibuat kelimpungan, Penujum Aneh sendiri yang ternyata sanggup hancurkan cahaya yang melabraknya tampak melayang turun.

Orang tua itu mengomel tak berkeputusan saat menyadari ujung sorbannya dikobari api dan mengepulkan asap.

Kalang kabut kobaran api akhirnya mampu dia padamkan.

Tapi baru saja dia jatuhkan diri tak jauh disamping sang patih, kini dia dikejutkan dengan teriakan para perajurit yang berjaga di tepi lapangan.

Ketika si kakek dan patih memandang ke arah perajuritnya.

Mereka melihat satu pemandangan yang menggidikkan.

Puluhan kuda tunggangan menghambur berlarian selamatkan diri.

Yang tak sempat lari justru menjadi mangsa bocah-bocah seusia dua tahun.

Bocah-bocah yang muncul dari balik kegelapan dan kedalaman pasir tidak hanya menyerang dan memangsa kuda dengan menggunakan kuku yang mencuat tajam ataupun giginya yang runcing.

Lebih mengerikan lagi mereka menyerang perajurit juga memangsanya.

Setiap perajurit yang dapat mereka buat roboh ataupun yang telah dilukai langsung mereka kerubuti.

Mereka ada yang menggigit leher, menyedot darah bahkan mencabik robek sekujur tubuh perajurit yang menjadi korban.

"Bocah Bocah Iblis! Tak kusangka mereka jauh lebih ganas dari binatang buas sekalipun.Dari mana mereka munculkan diri!"

Teriak sang patih gusar.
Raja Gendeng 8 Bangkitnya Sang Titisan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Mereka muncul dari pasir ini. Aku tidak bisa memastikan lagi, karena sekarang mereka muncul dari mana saja!" menyahuti Penujum Aneh.

Wuut

Sekali kaki dihentakkan. Tubuh si kakek melayang ke tepi lapangan pasir. Dengan segenap kesaktian yang dia miliki dan didukung oleh mantra-mantra sakti yang dimilikinya Penujum Aneh melakukan gebrakan. Sambil mengibaskan sorban ditangannya dia berusaha menghalau bocah-bocah yang mengepung dan menyerang para perajurit itu.

Sementara itu patih Tubagus Aria Kusuma begitu menyaksikan para pengawalnya semakin banyak yang menemui ajal segera ikutan menyerbu. Laki-laki itu mengamuk dengan melepaskan pukulan dan mengumbar tendangan sakti. Setiap kaki dan tangan bergerak, para bocah yang jumlahnya lebih dari dua puluh orang itu pasti Jatuh terpelanting sambil menjerit dan menggeram .Diantara bocah yang menjadi korban tendangan ada yang kepalanya remuk. Namun aneh. Bocah iblis yang terkapar tiba tiba bangun lagi.

Kepala yang remuk kembali utuh sedangkan kekuatan mereka semakin berlipat ganda.

"Kita telah banyak kehilangan perajurit, paman patih!" teriak penujum Aneh yang merasa kewalahan menghadapi serbuan ganas bocah bocah itu.

"Aku telah membunuh mereka. Tapi mereka bangkit lagi. Kulihat mahluk-mahluk ini sebaliknya bertambah kuat!" teriak sang patih sambil terus melepas pukulan-pukulan dahsyat

"Kegelapan adalah sekutu mereka. Malam menjadi teman abadi bagi mereka hingga membuat mereka sulit untuk dilenyapkan. Kau pergilah! Biarkan aku yang akan menahan mereka. Kau harus mencari cara, kau harus menemukan seseorang yang mengerti benar tentang mereka."

"Aku tidak akan meninggalkan tempat ini. Pemahamanmu tetang dunia gaib jauh lebih luas dibandingkan diriku. Sebaiknya kau yang pergi. Biarkan aku yang akan menahan mereka. Aku tak takut mati. Kau lebih dibutuhkan oleh kerajaan. Selamatkan prabu dan juga keluarganya!" seru patih tak mau mengalah.

"Aku sudah tua."

Sahut penujum Aneh.

Sambil berucap dia kibaskan tangan kirinya kearah bocah bertelanjang dada yang menyerangnya dari atas pohon.

Bocah itu terpental.

Tubuhnya terpelanting membentur pohon.

Dari mulut menyemburkan darah.

Namun sambil menyeringai dia bangkit lagi.

Bersama yang lain dia kembali menyerang.

Sambil terus menghadapi gempuran ganas mereka. Penujum Aneh sempatkan diri lanjutkan ucapan.

"Paman patih jangan keras kepala. Aku meminta kau tinggalkan tempat ini maka patuhi permintaanku. Kau harus mengerti mereka bukan mahluk biasa. Mereka bukan bocah biasa. Lihatlah kuku dan gigi mereka. Tak ada bocah yang berpenampilan seperti itu. Mereka adalah anak-anak iblis. Cepat pergi!"

Percuma saja Penujum Aneh berteriak.

Patih Tubagus Aria Kusuma bahkan tidak punya waktu untuk menjawab.

Saat itu sebaliknya dia mulai terdesak.

Saat itu para prajurit yang tergabung bersamanya berguguran satu demi satu, hingga kemudian kepala pengawal Gondang Ageng ikut menjadi korban.

Dan dari balik kegelapan datang berbondong-bondong bocah iblis lainnya.

Melihat teman-temannya sibuk menggerogoti perajurit yang tewas.

Bocah-bocah baru muncul inipun bersirebut menghabisi mangsanya.

Sedangkan mereka yang tidak kebagian kini berbalik menyerang patih dan juga Penujum Aneh.

Karuan saja serangan tambahan ini membuat kedua orang tua sakti ini mulai kewalahan.


******


Sementara itu suasana di puncak bukit emas di ujung sebelah utara Labuhan, Dewa Mabok yang sudah banyak menghabiskan tuak keras sejak siang hari, kini betul-betul dibuat penasaran oleh Raja.

Tidaklah heran begitu bangkit, si kakek segera melambaikan tangannya ke arah bumbung bambu kosong yang banyak bergeletakan dihalaman pondok. Tangan melambai lalu berputar sedemikian rupa dan diarahkan kepada Sang Maha Sakti.

Puluhan bumbung kosong terangkat naik, lalu melayang di udara.

Selanjutnya sambil keluarkan suara menderu bersiutan bumbung-bumbung itu menghantam Raja bertubi-tubi .Melihat Dewa Mabok menyerang dengan mengandalkan tenaga dalamnya .Raja tidak gentar.

Dengan menggunakan jurus Tarian Sang Rajawali warisan nenek renta Nini Balang Kudu, dengan kaki masih menempel di atas tanah dia meliukan tubuhnya ke belakang.

Sambaran bumbung yang seharusnya menghantam dada, wajah dan kepala luput. Dewa Mabok tertawa tapi juga keluarkan suara mendengus. Lalu dia lambaikan tangan ke arah dirinya sendiri.

Belasan bumbung bambu yang tadinya meluncur dibelakang Raja kini berbalik dan menyerang pemuda itu dari arah belakang.

Tidak tanggung-tanggung.

Bukan cuma punggung dan kepalanya saja yang jadi sasaran .Sebaliknya bumbung-bumbung itu sebagian melesat ke bawah menyerang pinggang dan menotok bagian kaki Raja.

"Hoo...hebat juga.
Kau juga hendak membuatku kaku seperi patung tolol!'"

Gerutu Raja.

Wuut!

Satu gerakan dilakukannya.

Tahu-tahu tubuhnya telah melambung ke atas jungkir balik tak karuan lalu melayang berputar menyambar ke arah Dewa Mabok, sedangkan tangan dan kaki menendang bagian leher dan perut orang tua itu.

Untuk kedua kalinya serangan Dewa Mabok luput.

Sebaliknya tak menyangka bakal mendapat serangan balik.

Dengan gerakan terhuyung grubak-grubuk seperti orang yang hendak terjatuh.

Dewa Mabok hindari serangan itu. Raja mendengus.

Serangannya luput, sementara dari atas dan samping kanan kiri, bumbung bumbung yang kosong kembali menghajar pemuda

"Orang tua ini ternyata cukup cerdik. Sambil menghindari seranganku sebaliknya dia diam-diam melancarkan serangan juga."

Membatin Sang Maha Sakti begitu berhasil jejakan kakinya.

"Ah kulihat kau masih utuh, tubuhmu belum ada yang terluka. Ingin kulihat apakah kau sanggup menghindar dari serangan Bumbung Kosong Menggebuk Naga?!"

Kata Dewa Mabok. Si kakek segera miringkan tubuhnya.

Telunjuk tangan kiri menunjuk ke langit.

Sedangkan tangan kanan bergerak mengusap wajah.

Sambil memutar mutar tangan kanan, tangan kiri yang menunjuk ke langit dia lambaikan ke arah bumbung-bumbung yang mengambang di udara.

"Kepruk! Buat tubuhnya babak belur!"

Seru si kakek. Raja tersenyum, menyambut dingin ucapan Dewa Mabok.

Dan senyum pemuda itu lenyap.

Tiba tiba terdengar suara berdengung tak ubahnya sekawanan lebah berpindah sarang.

Ketika Sang Maha Sakti dongakan kepala memandang ke atas, tiba-tiba saja dia melihat belasan bumbung bambu telah berpencar didelapan penjuru, lalu seperti elang menyambar benda-benda itu menghantam Raja dengan bertubi-tubl.

Tiada kesempatan bagi Raja Gendeng untuk menghindar.

Sambil katubkan mulutnya dia segera memutar tubuh.

Laksana gasing tubuhnya menderu lalu melambung ke atas menyambuti serangan bumbung-bumbung itu.

Dalam keadaan bergerak sebat diam-diam Raja julurkan tangannya ke atas.

Kemudian dengan menggunakan pukulan Genta Gaib pemuda itu menghantam.

Traak!

Pletak!

Belasan bumbung kosong dipukul hancur hingga menjadi kepingan yang mengepulkan asap tebal.

Tapi salah satu bumbung luput dan menghajar kepalanya.

Melihat serangan bumbungnya dapat dihancurkan secara mudah.

Dewa Mabok dengan mata merah memandang mendelik. Dia jatuhkan diri meratapi bumbungnya yang hancur.

"Remuk. Hancur sudah benda kesayanganku. Kau sungguh keterlaluan orang gila. Mengapa kau lakukan semua ini." kata Dewa Mabok meratap.

Raja yang baru saja jejakan kaki tak jauh dari si kakek meringis sambil mengusapi kepalanya yang benjol.

"Siapa suruh kau menyerangku?" kata pemuda itu bersungut-sungut.

"Bagus cuma bumbung yang kubuat remuk. Bagaimana benda kesayangamu yang lain ?!"

"Heh apa maksudmu? Kau mengira sudah menang ya?" sentak Dewa Mabok.

Serta merta dia bangkit berdiri. Dia menatap Raja.

"Ah, aku belum kalah. Aku masih menang. Kepalamu benjolkan? Mengaku saja. Salah satu seranganku mengenaimu. Ha ha ha"

"Lalu...?"

"Apa? Kau masih bertanya lalu? Kita lanjutkan lagi. Aku belum melihat semua kepandaianmu."

"Orang tua. Aku datang dengan membawa maksud baik. Diantara kita tidak ada permusuhan. Kau..!"

Belum sempat Raja menyelesaikan ucapannya tiba-tiba Dewa Mabok berseru.

"Lihat serangan!"

Belum lagi teriakan Dewa Mabok lenyap. Tahu-tahu tubuh si kakek sudah menghuyung di depannya. Tangan terjulur siap menjebol mata pemuda itu sedang tangan yang lain menggebuk ke bagian rusuknya. Angin dingin menyambar ganas, membuat Raja sadar serangan yang dilakukan Dewa Mabok walau terlihat asal-asalan namun mengandung tenaga dalam dan hawa sakti yang sangat dahsyat.

Kepalang basah sekaligus ingin menjajaki sejauh apa kesaktian yang dimiliki orang tua itu. Raja segera memutar tubuh. Kemudian dengan tangan terkepal dia menangkis serangan si kakek.

Plak!

Plak!

Dess!

Satu benturan keras terjadi membuat Dewa Mabok melengak kaget. Mulut ternganga mata menatap tak percaya. Orang tua itu terhuyung. Sedangkan Raja sendiri setelah sempat terjajar tanpa menghiraukan lengannya yang bengkak menggembung kini balas menyerang orang tua itu
Raja Gendeng 8 Bangkitnya Sang Titisan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Dia benar-benar gila. Tenaga dalamnya hebat luar biasa."

Tanpa perduli kini dia malah balas menyerang.

"Pemuda sinting dan nekat!"

Batin si kakek Dan bagi Dewa Mabok tidak ada kesempatan untuk berpikir lama.

Dia melihat Raja telah menghantamnya dengan pukulan berhawa dingin yang dikenal dengan nama ilmu Badai Es. Angin dahsyat menderu disertai kabut putih.

Dewa Mabok jatuhkan diri lalu semburkan tuak yang baru diteguknya

Cuah!

Semburan tuak yang mengobarkan api akhirrnya berbenturan keras dengan pukulan yang dilancarkan Raja.

Terdengar suara seperti gunung runtuh.

Dewa Mabok menggeram.

Tapi cepat bergulingan kesamping ketika melihat sebagian serangannya amblas tersedot pukulan Raja.

Sementara pemuda itu sendiri melakukan serangan susulan dengan melepaskan pukulan Kabut Kematian .Melihat serangan ganas ini dengan tubuh terhuyung Dewa Mabok terpaksa dorongkan dua tangannya ke depan.

Tapi dalam kesempatan itu mulutnya juga sempat keluarkan seruan kaget

"Pukulan sakti kabut Kematian .Orang gila punya hubungan apa kau dengan manusia aneh bernama Ki Panaraan Jagad Biru di pulau Es?"

"Biarkan aku menghajarmu dengan pukulan ini dulu. Nanti baru aku bersedia memberi penjelasan."

Sahut Raja yang diam-diam heran tak menyangka Dewa Mabok mengenali ilmu yang dipergunakannya juga mengenal nama salah satu gurunya.

Wuus!

Blaar!

Karena Raja terus dorongkan kedua tangannya, tak ada pilihan lain Dewa Mabok pun terpaksa melindungi diri dengan mendorong ke dua tangannya pula.

Bentrok pukulan tak dapat dihindari.

Membuat puncak bukit emas seperti hancur.

Hawa panas menghampar.

Dewa Mabok jatuh terduduk.

Sedangkan tiga tombak didepannya Raja terjengkang dengan posisi menungging.

Megap-megap Dewa Mabok mengusap wajahnya yang pucat berkeringat.

Ketika menatap ke depan, dia tertawa melihat Raja dalam keadaan seperti itu.

"Ha ha ha! Kau hebat."

"Tapi kau cuma bisa membuatku jatuh terduduk.Sedangkan kau malah kubuat terjungkir."

Raja menggeliat bangkit.

Setelah berdiri tegak dan meluruskan punggungnya dia balikkan badan menghadap ke arah Dewa Mabok.

Mulut menyeringai namun dengan tatapan dingin dia berucap.

"Orang tua kau jangan bangga dulu. Ilmu kesaktianmu memang sangat tinggi kalau bukan aku yang kau serang mungkin sudah celaka. Tapi lihatlah, aku masih bisa mencabut rambut di janggutmu yang hanya beberapa helai itu. Sekarang kau mau bilang apa?"

Kata pemuda itu. Dewa Mabok cepat tekap dan raba dagunya. Begitu sadar bulu-bulu yang tumbuh didagunya berkurang. orang itu menggerung dan semburkan sumpah serapah.

"Orang gila. Menyerangku secara gila-gilaan, beraninya kau bertingkah konyol dihadapanku? Apakah kau tahu tak pernah ada orang yang berani berbuat segila itu kepadaku?"

"Mana aku tahu, orang tua. Bertemu denganmu baru sekali ini."

Kata Raja acuh.

"Benar-benar sialan."

Maki Dewa Mabok sambil geleng kepala.

"Cepat kau duduk di hadapanku!" perintah si kakek.

"Untuk apa? Kalau mau bicara aku sudah siap mendengar. Tak perlu berdekat-dekat tak perlu berhadapan. Bagaimanapun kita bukan pasangan kekasih."

Jawab Raja.

Si kakek tambah kesal.

"Orang gila tak tahu diri. Jangan mengira aku tak dapat membuatmu sengsara. Ilmu kepandaianmu boleh selangit tembus. Namun aku tahu bagaimana caranya melumpuhkan orang lain. Lekas duduk!"

Raja menatap orang tua itu. Melihat Dewa Mabok nampak bersungguh sungguh. Sang Maha Sakti pun segera mendekat.

Tanpa bicara dia segera duduk di depan si kakek.

"Apa hubunganmu dengan Ki Panaraan Jagad Biru?"

Tanya Dewa Mabok.

Raja terdiam. Dia merasa ragu untuk menjawab. Namun setelah melihat sikap Dewa Mabok berubah lebih baik. Raja menduga kemungkinan Dewa Mabok mengenal baik gurunya.

"Orang tua itu adalah guruku."

Jawab Raja.

"Aku sudah duga. Hanya dia yang mempunyai ilmu pukulan Sakti Kabut Kematian. Jadi kau ini muridnya? Tapi mengapa sifatmu jauh bebeda dengan orang tua pemurung itu?"

"Aku memang muridnya. Soal sifat aku tidak tahu. Aku seorang yang sangat gembira. Sedangkan dia seorang perenung."

"Ah luar biasa. Mengingat Ki Panaraan sahabatku itu berdiam di pulau Es di ujung laut selatan tanah Dwipa, apakah dirimu juga berasal dari sana? "

"Begitulah."

"Lalu apakah nama dan julukanmu itu juga pemberian gurumu?"

Tanya Dewa Mabok sambil menatap dalam mata pemuda didepannya.

Belum lagi Raja menjawab.

"Hmm. Nama dan sebutan itu sesuai dengan tabiatmu."

Gumam si kakek. Sekilas dia melirik ke arah pedang yang tergantung dipunggung Raja.

"Pedang itu. Bukankah pedang dipunggungmu bernama Pedang Gila. Satu-satunya pedang sakti milik penguasa istana Pulau Es bernama Prabu Sangga Langit. Dari mana kau mendapatkannya? Kau mencurinya ya?"

Mendengar ucapan Dewa Mabok, Raja tak kuasa menahan tawa walau jauh dihatinya Raja merasa kesal.

"Orang yang kau sebutkan itu adalah ayahku, orang tua. Aku adalah pewaris satu-satunya istana pulau Es. Kedua orang tuaku telah tiada. Aku tidak suka menjadi raja setidaknya sampai saat ini."

Terang pemuda itu. Dewa mabok manggut-manggut. Tapi kemudian wajahnya terlihat bersungguh-sungguh.

"Aku merasa prihatin dengan kejadian yang dialami orang tuamu."

"Apakah kakek pernah mendengar tentang musibah yang menimpa mereka?"

"Ya. Kejadiannya sudah lama, sekitar puluhan tahun yang lalu. Pedang dipunggungmu itu memang pedang langka. Tidak heran banyak orang yang menginginkannya. kau harus menjaga Pedang gila dengan sebaik-baiknya. Oh ya bagaimana kabar gurumu?"

"Beliau baik-baik saja, kek."

"Lalu bagaimana kau bisa kemari?"

"Saya seorang pengembara. Orang sepertiku bisa berada dimana saja. Terus terang saat ini aku tidak ingin membicarakan masa laluku, kek. Aku hanya ingin menolong, membantu kerajaan Malingping dari kehancuran." terang Raja yang tidak mau diungkit tentang masa lalunya.

"Baiklah."

Dewa Mabok anggukan kepala.

"Keputusanmu baik untuk membantu prabu Malimping. Namun kau harus tahu siapa orang yang kau hadapi. Menghadapi apalagi menyingkirkan Pangeran Durjana bukan perkara mudah. Terlebih setelah dia bangkit dari kematiannya."

"Apa yang kakek ketahui tentang pangeran mesum itu? Apakah engkau mengenalnya?"

Tanya Raja.

Wajah Dewa Mabok berubah muram. Dengan mata menerawang dia berkata.

"Kini kau menjadi tamuku. Aku layak menerimamu. Mari ikut aku. Malam semakin dingin. Bicara didalam pondokku rasanya lebih nyaman." ujar Dewa Mabok.

Raja mengangguk tanda setuju. Dia lalu berdiri dan berjalan mengikuti Dewa Mabok. Pondok kemudian terbuka. Keduanya lalu menghilang di balik pintu pondok yang tertutup. Malam semakin dingin. Dikejauhan terdengar suara burung pungguk sayup-sayup menyayat hati.


******

Kembali pada Penujum Aneh dan patih Tubagus Aria Kusuma. Setelah mendapat gempuran dahsyat dari bocah-bocah iblis itu.

Patih Aria Kusuma terpaksa menggunakan segenap ilmu kesaktian yang dia miliki untuk menyerang lawan-lawannya. Ketika belasan bocah dengan kuku tajam dan gigi runcing berhamburan melompat ke arahnya dengan gerakan menerkam dan merobek, Patih yang telah kehilangan senjata saktinya terpaksa menghantam mereka dengan ilmu pukulan Meruntuhkan Karang Mengguncang Langit!.

Begitu sang patih memutar tubuh sambil menghantam kearah bocah-bocah itu. Dari telapak tangannya berkiblat lima larik cahaya aneh berwarna warni. Lima cahaya menebar hawa panas luar biasa.

Belasan bocah iblis rupanya menyadari betapa berbahayanya serangan sang patih. Mereka jatuhkan diri sama rata dengan pasir lalu lenyap dan baru kembali munculkan diri setelah serangan sang patih hanya mengenai tempat kosong.

Melihat serangannya tak mengenai sasaran yang diharapkan, patih kertakan rahang lalu bergerak mengambang meluncur dua jengkal diatas pasir sedangkan kedua kakinya yang telah berubah merah seperti bara api menyambar ke arah bocah bocah itu.

Terdengar suara jeritan menyayat berturut turut. Sedikitnya tiga bocah yang terkena serangan terkapar dengan wajah dan tubuh hangus. Namun tak lama setelah tergeletak diatas pasir mereka bangkit lagi. Dengan kemarahan meluap-luap bersama teman-temannya yang lain para bocah itu lakukan gebrakan dahsyat.

Lima bocah menyerang tubuh sang patih dibagian bawah. Sedangkan lima lagi menyerang tubuh sebelah atas, sedangkan sisanya melancarkan serangan di bagian punggung orang tua itu. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh serta gerakan yang sangat cepat luar biasa. Sang patih tidak hanya sanggup selamatkan diri dari sergapan. Sebaliknya dia juga menghantam roboh lawan yang menerkamnya dari arah depan. Beberapa lawan terjatuh.

Namun dari atas pohon yang berbatasan dengan padang pasir itu tiba-tiba berlesatan tiga sosok tubuh mungil yang berbalut cawat berbadan polos.

Tiga menerkam sang patih dengan ganas. Walau telah berusaha menyelamatkan diri. Namun dia tak dapat lolos dari sambaran jemari tangan berkuku rucing yang datang dari sebelah kirinya.

Tanpa ampun leher sang patih robek besar. Darah segar mengucur deras dari luka yang menganga.

Bau amis darah ternyata mengundang perhatian bocah-bocah iblis yang lain. Sebagian mereka lalu berbalik menyerang patih Tubagus Aria Kusuma yang dalam keadaan terhuyung. Orang tua ini menggerung. Dua tangan terus menghantam secara membabi buta. Tapi perlawanan yang dilakukan oleh sang patih hanya sia-sia.

Setelah sekujur tubuhnya yang dipenuhi cabikan itu digelayuti belasan bocah iblis. Dia pun akhirnya tersungkur roboh.
Raja Gendeng 8 Bangkitnya Sang Titisan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Begitu patih ambruk bocah-bocah buas itu berebut menggerogotinya. Menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu,

Penujum Aneh jadi terkesima. Dia berpikir
seorang diri mana mampu menghadapi bocah-bocah iblis. Tapi untuk meninggalkan tempat itu bukan perkara yang mudah. Walau dia tahu sebagian bocah kini disibukan menyantap sang patih. Namun belasan bocah iblis yang lain masih mengepung.

Mereka tidak sekedar mengepung, namun dengan segenap daya berusaha membunuh si kakek. Tak ada pilihan lain. Dengan menggunakan sorbannya yang buntung dibagian ujungnya, Penujum Aneh berusaha menghalau dan menyingkirkan lawan-lawannya. Ketika para bocah menggempur lalu menyergapnya dari segala penjuru, Si kakek terpaksa lambungkan tubuhnya ke udara.

Sambil melompat, tangan kiri melepaskan pukulan sakti. Sedangkan tangan kanan dihantamkan ke depan dan ke atas. Dua bocah yang menyerang dari sebelah atas langsung terpental. Jatuh terpelanting sambil menjerit. Sedangkan empat bocah lain yang menyerang dari depan dibuat melolong terkena sabetan sorban.

Bocah-bocah itu jatuh bergedebukan diatas tanah. Melihat temannya terjatuh, maka bocah bocah lainnya menjadi sangat marah. Sekali mereka hentakan kakinya, tubuh mereka melambung ke atas mengejar ke arah sang Penujum membuat kakek ini kaget.

Buru-buru Penujum Aneh tarik kakinya lebih ke atas. Tapi karena daya mengapungnya semakin berkurang mau tak mau tubuhnya kembali meluncur ke bawah. Melihat kaki si kakek menjuntai. Tanpa ampun para bocah itu menyambarnya. Tangan bergerak cepat, mencabik sedangkan mulut menggigit. Penujum Aneh meronta. Dia mengibaskan tubuhnya untuk membuat lepas bocah-bocah yang menggelayuti kaki dan punggungnya. Tetapi sebagian yang lain malah merangkak naik memanjat tubuh si penujum sebelah atas lalu menggigit bagian bahu dan tengkuk orang tua itu.

Penujum Aneh cepat jatuhkan diri, bergulingan ke tanah sambil memukul begitu merasakan ada satu kekuatan dahsyat menyedot darah keluar.

Setelah cengkeraman dipunggung teratasi dan lawa? yang bergelayutan dipunggungnya dapat dihalau. Terhuyung-huyung si kakek bangkit. Sambil melompat menjauh dari serbuan lawan lawannya. Si kakek merogoh saku celana. Dari balik saku muncul sebuah benda bulat sebesar telur berwana kehitaman.

Ketika para bocah merangsak maju, sambil menggeram dan mulut menyeringai menahan sakit luar biasa penujum berseru.

"Mahluk-mahluk jahanam! jika aku tidak selamat, akan ada yang datang untuk melenyapkan kalian semuanya!"

Selesai berucap Penujum Aneh membanting benda hitam itu.

Terdengar suara letupan keras.

Asap tebal berwarna hitam menyebar membubung tinggi memenuhi kegelapan disekelilingnya, membuat suasana yang gelap makin bertambah gelap.

Para bocah menggerung.

Tapi tebaran asap yang berbau harum kemenyan membuat mereka segera menyingkir.

Kemudian lari berhamburan tenggelamkan diri kedalam pasir.

Semuanya lenyap.

Sunyi mencekam.

Hanya deru angin yang terdengar.

Dan tulang belulang merah yang berserakan.

TAMAT.

Episode Selanjutnya

Bocah-Bocah Iblis


(Tiada gading yang tak retak,begitu juga hasil scan cerita silat ini..
mohon maaf bila ada salah tulis/eja dalam cerita ini.Terima kasih)

Situbondo,16 September 2019



Kisah Sepasang Naga Karya Kho Ping Hoo Si Tolol 2 Serigala Serigala Berbulu Senopati Pamungkas I Karya Arswendo

Cari Blog Ini