Ceritasilat Novel Online

Dendam Manusia Kutukan 1

Raja Gendeng 5 Dendam Manusia Kutukan Bagian 1

Raja Gendeng 5 Dendam Manusia Kutukan **** Karya Rahmat Affandi Sang Maha Sakti Raja Gendeng 5 dalam episode Dendam Manusia Kutukan ***** TIM

Kolektor E-Book

Buku Koleksi . Denny Fauzi Maulana (

https.//free.facebook.com/denny.f.maulana) Scan,Edit Teks dan Pdf . Saiful Bahri Situbondo (

http.//ceritasilat-novel.blogspot.com) Dipersembahkan Team

Kolektor E-Book

(

https.//www.facebook.com/groups/Kolektorebook) *******

Angin menderu.

Kilat dan petir sambung menyambung tiada henti.

Hingga larut malam hujan lebat yang mengguyur kadipaten Blora belum juga menunjukkan tanda-tanda akan mereda.

Padahal luapan air sungai telah menggenang dimana-mana.

Di tengah suasana alam yang tidak ber- sahabat.

Dalam sebuah gedung megah tempat kediaman adipati dan pati kerabatnya justru terjadi peristiwa yang menggemparkan.

Beberapa kerabat adipati Seta Kurana termasuk istri dan dua putrinya tewas menemui ajal dengan kondisi mengenaskan.

Enam pengawal yang bertugas di tempat kediaman keluarga juga tak luput dari kematian.

Adalah senopati Gagak Panangkaran orang yang paling pertama mengetahui terjadinya malapetaka ini.

Saat itu senopati gagah berpakaian serba hitam berusia sekitar empat puluh tahun baru saja kembali dari beberapa wilayah katemenggungan yang masih berada di bawah pemerintahan adipati Blora.

Pada saat senopati bersama rombongan kecil memasuki pintu gerbang utama.

Dia yang menunggang kuda putih dan dalam keadaan basah kuyup tiba-tiba mendengar suara jerit dan pekik menyayat hati.

Setelah jerit dan pekik kesakitan lenyap, sekonyong-konyong di tengah suara deru hujan dia mendengar suara lolong aneh.

Ketika senopati nenatap ke arah datangnya suara.

Di jendela samping rumah ke dua yang bersebelahan dengan rumah induk.

Senopati melihat satu sosok berpakaian serba hitam melesat keluar menembus hujan.

Curiga telah terjadi sesuatu yang tak diingin kan di dalam gedung yang menjadi tempat kediaman kerabat adipati juga keluarganya.

Senopati pun melesat meninggalkan kudanya.

Sambil bergerak ke arah lenyapnya sosok hitam, senopati masih sempat berteriak ditujukan pada para pengawalnya.

"Cepat periksa gedung keluarga. Yang lainnya segera melapor pada gusti adipati di rumah utama!"

Para perajurit yang berpencar tiba bersama senopati dan jumlahnya tak lebih dari tujuh orang itu pun lalu berbagi tugas.

Mereka berpencar.

Sebagian menuju gedung utama bergegas menemui adipati sedangkan sebagian lagi memeriksa gedung keluarga.Di tengah gemuruh angin yang sangat dingin luar biasa.

Senopati terus berlari mengejar.

Tak lama di tengah kegelapan yang kadang diterangi cahaya kilat dia melihat sosok yang dikejar melesat melewati tembok benteng yang tinggi.

"Berhenti!"

Teriak Senopati.

Suaranya keras menggeledek.

Teriakan yang sia-sia karena orang yang dikejar terus saja berlari.

Senopati Gagak Panangkaran menjadi geram.

Sekali lagi dia meng- goyangkan tubuh dan mengayun kedua kakinya.

Wuus! Dengan satu gerakan yang luar biasa cepat Senopati Gagak Panangkaran tahu-tahu telah menghadang di depan sosok itu.

Sosok berpakaian serba hitam ternyata seorang laki-laki berwajah dingin dan bermata merah seperti bara itu tersentak kaget.

Rupanya dia tidak menyangka gerakan larinya masih dapat disusul orang.

Ketika sadar orang yang menghadang telah merintangi jalannya.

Dia perhatikan senopati sekilas.

Merasa mengenali siapa adanya laki-laki berpakaian hitam itu dia menyeringal.

"Ternyata kau senopati? Kau tak bisa menghentikan aku.Lebih baik kau urusi kerabat adipati Yang mati harus segera dikubur sebelum jasad menjadi busuk! Ha ha ha,"

Kata orang itu diringi tawa dingin.

Walau terkejut tak menyangka orang di depannya mengenal siapa dia adanya.

Namun mendengar ucapan terakhir orang itu senopati jadi tambah curiga.

Dia yang sebelumnya sudah dibuat kaget melihat mata yang merah menyala seolah memancarkan api, juga sempat tercengang melihat tubuh orang yang ditumbuhi sisik-sisik hitam besar.

Kini semakin sadar orang yang dia hadapi memang telah melakukan sesuatu yang tak diinginkan pada keluarga adipati.

"Siapa kau?"

Hardik senopati.

"Aku? Hmm, namaku tak penting? Orang sering menyebutku Si Mata Bara atau Mata Setan."

Senopati terdiam. Dia berpikir apakah pernah mendengar julukan seaneh itu. Begitu ingat dia menjadi kaget, mulut ternganga mata terbelalak.

"Iblis jahanam! Kau telah membunuh beberapa temenggung dan kerabatnya. Tak kusangka kau punya nyali muncul di kadipaten!"

Teriak senopati.

Dengan cepat dia mencabut keris Sindang Talangkas yang terselip dibalik pinggang pakaiannya.

Melihat senopati menghunus senjata, SI Mata Bara malah nenyeringai.

Sedikit pun dia tidak mengenal takut walau menyadari senjata di tangan senopati bukan senjata sembarangan.

"Kau hendak menangkap atau ingin membunuhku?"

"Aku ingin menghabisi iblis keparat sepertimu!"

Sahut senopati.

"Kau pasti tak akan mampu melakukannya. Kau bukan tandinganku. Lagi pula belum saatnya aku menghadap sang kematian sebelum semua urusan dan hutang terbayar lunas. Urusi saja kerabat adipati yang baru kubunuh!"

Kata Mata Bara dingin.

Walau sudah menduga tak urung senopati terkejut mendengar pengakuan laki-laki bermata bara itu.

Lalu, tanpa pikir panjang sang senopati cepat mengambil tindakan.

Sambil berteriak keras tiba-tiba dia melesat ke depan.

Tangan kiri terjulur, jemari terkembang siap merenggut putus tenggorokan.

Sementara itu keris sakti ditangan kanannya melesat lebih cepat membabat ke arah dada dan terus meluncur siap menghunjam di perut Mata Bara.

Melihat kecepatan gerak senopati yang luar biasa diam-diam si Mata Bara sempat tercekat.

Dan lebih terkejut lagi ketika menyadari dari ujung keris membersit dua larik cahaya hitam kebiruan yang siap menghunjam di dada dan perutnya.

Dua cahaya melesat mendahului sambaran keris.

"Serangan gila dan ganas luar biasa!"

Maki Mata Bara dalam hati.

Lalu menggoyangkan seluruh tubuhnya.

Wush! Satu kejadian yang sulit dipercaya membuat senopati Gagak Panangkaran belalakkan matanya .Tanpa terduga dengan mudah serangan senopati itu dihindari lawan.

Bahkan senopati tidak sempat melihat kapan Mata Bara berkelit menghindar.

Yang jelas tahu-tahu si Mata Bara telah berada di belakangnya.

Secepat kilat dia balikkan badan sekaligus kiblatkan senjata dalam genggaman.

Namun secepat apapun serangan bertenaga dalam tinggi dia lakukan tetap saja gerakannya kalah cepat dengan pukulan yang dilakukan si Mata Bara .

Blek! Satu pukulan yang mengarah di wajah yang disusul dengan tamparan keras ke bagian bahu senopati mendarat telak, membuat senopati terjungkal dengan wajah seperti remuk, hidung mengucurkan darah dan bahu sakit laksana ditindih batu sebesar kerbau.

Penuh kemarahan sambil menggerung akibat menahan sakit luar biasa.

Dengan tubuh termiring- miring laki-laki ini bangkit.

Jelalatan dia memperhatikan sekelilingnya.

Dia tidak melihat si Mata Bara.

Laki-laki bermata api itu raib seperti di telan bumi.

"Manusia jahanam! Kemana kau pergi!"

Teriak senopati Gagak Penangkaran marah bercampur penasaran.

Tidak ada jawaban.

Hanya saja di tengah angin gemuruh angin dan curah hujan dia mendengar suara raung lolong aneh seperti kawanan binatang terluka yang melontarkan kegusarannya.

Senopati mengusap wajahnya yang memar bengkak dan terasa tebal.

Dia juga menyeka darah yang meleleh dari hidung.

Setelah itu dia mengusap tengkuknya yang mendadak jadi dingin.

"Siapapun menusia bermata bara itu. Ilmunya sangat tinggi, kecepatan luar biasa. Aku tak mungkin mengejarnya. Lebih baik aku kembali ke gedung, tempat kediaman kerabat adipati. Mudah-mudahan gusti adipati selamat!"
Raja Gendeng 5 Dendam Manusia Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kata senopati.

Tanpa menunggu dia memutar tubuh.

Sekejab dia menatap ke arah tembok tinggi yang mengelilingi dua gedung utama.

Lalu dengan gerakan laksana terbang dia tinggalkan tempat ini.

**** Di dalam gedung bangunan megah ke dua tempat di mana kerabat dan keluarga adipati Seta Kurana tinggal menetap.

Suasana haru menyelimuti semua kerabat yang lolos dari maut.

Tak kurang laki-laki berusia enam puluh tahun berpakaian serba biru dan berbelangkon gemerlap itu tidak kuasa membendung air matanya.

Melihat istri dan dua putrinya terbujur kaku di atas pembaringan dengan sekujur tubuh dipenuhi luka sayatan.

Membuat laki-laki berpenamplan rapi yang tak lain adalah adipati Blora ini menitikkan air mata.

Dalam suasana berkabung duka di mana hujan mulai mereda.

Penjagaan di luar gedung dan bagian dalam tembok benteng makin diperketat.

Puluhan perajurit kadipaten bersenjata lengkap terus berjaga-jaga.

Dan ketika senopati Gagak Panangkaran muncul di halaman, semua pengawal yang berjaga jaga di depan pintu semua bungkukkan badan, menjura penuh rasa hormat namun hati bertanya- tanya.

Mereka tidak mengerti mengapa wajah senapati Gagak Panangkaran nampak bengkak lebam membiru.

Melihat wajah yang lebam serta tatap mata senopati yang mencorong marah tak satupun dari pengawal itu berani menegur.

Sesampai di sebuah ruangan yang luas dimana para kerabat adipati berkumpul, Senopati hentikan langkah.

Dia tertegun begitu melihat sedikitnya tujuh kerabat adipati terbujur kaku.

Sementara di tengah mayat-mayat yang menjadi korban terlihat penguasa Blora duduk bersimpuh.

Namun adipati segera bangkit berdiri begitu melihat senopatinya telah hadir di ruangan itu.

"Seumur hidup aku belum penah mengalami kejadian seperti ini.Keluarga dan kerabatku dibunuh di tempat kediamanku sendiri.Ini sangat keterialuan!"

Kata laki-laki itu.

Suaranya keras hampir berteriak, membuat semua yang hadir terkejut nanum hanya bisa tundukkan kepala.

Senopati Gagak Panangkaran tidak menjawab.

Dia bungkukkan badan sambil rangkapkan dua tangan di depan dada.

Ketika adipati sampai di depannya.

Laki-laki itu segera hendak mendamprat.

Namun segala yang hendak dia ucapkan buru-buru ditelan kembali begitu melihat wajah senopatinya lebam bengkak, sedangkan bagian hidungnya yang patah tampak membiru.

"Apa yang terjadi?"

Tanya adipati Seta Kurana dengan suara melunak nanun memendam kemarahan serta kepedihan mendalam.

"Ampun gusti. Saya baru saja melakukan tugas yang gusti berikan. Ketika kembali semua ini terjadi"

Adipati anggukkan kepala.

Menoleh pada semua yang hadir, lalu memberi isyarat pada senopati Gagak Panangkaran untuk menyingkir dari ruang duka.

Mereka meninggalkan gedung ke dua.

Ketika berjalan melewati halaman samping menuju gedung pertama yang menjadi tempat tinggal sekaligus pusat pemerintahan.

Senopati yang berjalan di belakang junjungannya terus-terusan mengawasi keadaan di sekelilingnya.

Dia merasa lega saat sampai di dalam gedung kebanggaan adipati tidak terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan.

"Apa sebenarnya yang telah terjadi? Aku juga ingin mendengar semua keadaan yang terjadi di setiap katemenggungan!"

Kata adipati sesaat setelah berada dalam satu ruangan pertemuan.

Saat itu adipati duduk di atas kursi besar di belakang sebuah meja kecoklatan terbuat dari jati.

Ruangan cukup luas berwarna kecoklatan itu cukup hangat dan tak terpengaruh udara dari luar.

Senopati Gagak Panangkaran yang juga telah duduk dikursi berhadapan dengan meja besar menghela napas sambil meluruskan punggungnya yang terasa sakit .

"Seseorang yang saya yakini merupakan pembunuh yang sama telah menyerbu gedung keluarga. Saya berusaha mengejar, tapi suasana yang gelap membuat pembunuh itu sedikit lebih beruntung."

Jawab senopati. Mata adipati mendelik, keningnya berkerut.

"Apa maksudmu dengan pembunuh yang sama?"

Tanya adipati penasaran.

Senopati menggeleng seolah berusaha mengingkari semua kenyataan yang dilihatnya.

Tapi ketika semua ciri korban yang tewas dengan kondisi yang tak jauh berbeda.

Sebagaimana pengakuan si Mata Bara.

Senopati merasa tidak ada gunanya menutupi kenyataan.

"Lima tumenggung, penguasa lima wilayah dalam kekuasaan gusti semua tewas, bersama keluarganya gusti."

Terang laki-laki itu dengan suara lirih.

Dengan perlahan diucapkan namun bagi adipati keterangan senopatinya tak ubah seperti lima tusukan senjata berbisa yang menembus jantungnya.

Dia terkesima.

Mata mendelik.

Menatap ke arah senopati seolah tak percaya dengan pendengaran sendiri.

"Semua terbantai. Gila! Ini kenyataan yang sulit kuterima,"dengus adipati dengan nafas mengengah. Pertanda laki-laki itu sedang dilanda kemarahan luar biasa.

"Kau sudah bertemu atau setidaknya sudah melihat pembunuh keparat itu? Atau mungkin kau melihat pembunuh itu keluar dari gedung keluarga?!"

Tanya adipati. Matanya yang merah menatap tak berkedip pada sang senopati.

"Ampun gusti. Saya melihat pembunuh itu. Saya juga bertemu dan berusaha menangkapnya tapi.... seperti yang saya katakan. Keadaan yang gelap sangat menguntungkan jahanam itu!"

"Kau gagal menangkap? Dan dia bahkan membuat cidera wajahmu?!"

Kata adipati disertai seringai, namun tidak puas. Senopati tidak menjawab.

"Kau diam. Berarti yang kukatakan benar". ucap adipati.

"Katakan siapa dia atau bagaimana ciri-ciri wajahnya!"

Desaknya tidak sabar.

"Dia berpakaian hitam, tubuh seperti manusia namun wajahnya menyerupai binatang. Wajah itu berubah-ubah. Matanya merah seperti bara. Dia mengaku berjuluk si Mata Bara atau Mata Setan."

Terang senopati. Dia juga kemudian menceritakan bagaimana sulitnya meringkus pembunuh itu. Mendengar penjelasan bawahannya. Adipati Seta Kurana terdiam. Tidak lama. Setelah berpikir dan berusaha mengingat-ingat adipati buka mulut.

"Mata Setan! Mata Bara. Sebuah julukan aneh. Aku pernah mendengar bahkan membuat satu perubahan besar terhadap kehidupan seseorang sesepuh di Lembah Bangkai. Orang itu dikenal dengan sebutan Harimau. Setan dan bukan Mata Bara atau Mata Setar "

"Apa maksud gusti? Siapa Harimau Setan "

Tanya senopati Gagak Panangkaran disertai tatap penuh tanya. Seakan sadar baru keterlepasan bicara. Adipati cepat menggeleng sekaligus berujar.

"Lupakan tentang Harimau Setan. Tadi kau mengatakan ada kesamaan antara pembunuh para tumenggung dengan pembunuh keluargaku. Apa maksudmu?"

Gagak Panangkaran tidak langsung menjawab. Sebaliknya dalam hati dia berkata.

"Aku yakin ada sesuatu yang sangat penting yang dirahasiakan oleh gusti adipati. Sesuatu yang mungkin hanya gusti dan para tumenggung itu saja yang mengetahuinya. Dia masih saja merahasiakan hal penting di saat seperti itu sungguh aku tidak pernah bisa mengetahui seberapa banyak rahasia yang tersembunyi di balik sanubarinya yang licik!"

"Senopati! Aku bertanya padamu, mengapa kau tidak menjawab. Memangnya apa yang kau pikirkan?!"

Sentak adipati membuat senopati Gagak Panangkaran tersadar dari lamunannya.

"Maafkan saya gusti. Sebelum saya menjawab pertanyaan gusti.Saya ingin ajukan pertanyaan."

"Gila! Pertanyaanku belum kau jawab, kau malah hendak ajukan pertanyaan tolol.Lekas katakan apa yang hendak kau tanyakan!"

Dengus sang adipati sambil kepalkan tangannya. Senopati sadar, junjungannya menjadi gusar. Namun dia tetap bersikap tenang.

"Gusti. Saya ingin tahu apakah jenazah para kerabat dan anak istri gusti dipenuhi luka goresan. seperti dicakar binatang buas? Dan apakah di antara jenazah itu ada pula yang seperti hangus?"

Walau tak begitu mengerti maksud tujuan pertanyaan sang senopati, namun adipati anggukkan kepala.

"Keadaan yang sama juga saya temukan pada jenazah para tumenggung dan keluarganya. Seperti yang saya katakan, pembunuh dari semua korban adalah orang yang sama. Dan ini sangat sesuai dengan pengakuan si Mata Bara."

Terang senopati. Adipati Seta Kurana terdiam. Entah apa yang dipikirkannya. Yang jelas sejauh itu sebagai senopati, Gagak Panangkaran tetap menghargai apa pun keputusan junjungannya.

"Aku tidak tahu siapa orang itu. Namun mengingat pembunuhan ini sangat meluas dan semuanya terjadi pada penguasa wilayah bawahanku. Nampaknya kita membutuhkan bantuan para sahabat kita."

Akhirnya adipati mengambil keputusan. Sebuah keputusan yang membuat senopati Gagak Panangkaran terheran-heran.

"Apa maksud gusti?"

Pertanyaan senopati membuat junjungannya bangkit berdiri. Setelah duduk di bibir meja, laki- laki itu berujar.

"Aku tidak pernah meragukan kemampuanmu dalam mengamankan daerah kekuasaanku. Tapi kadipaten Blora ini sangat luas. Dalam keadaan biasa aku tidak kawatir, namun dalam situasi seperti sekarang ini kita harus meningkatkan kewaspadaan. Aku yakin Mata Bara tidak sendiri. Mungkin dia punya pengikut untuk membuat kekacauan di mana-mana."

"Bagaimana gusti bisa yakin?"

"Aku hanya menduga."

Jawab adipati tanpa mau berterus terang.

"Kuharap kau pergi ke pantai selatan. Kau bisa temui sahabatku Ki Jaran Palon sahabat Windu Saketi, Ki Rangga Galih juga pemilik Padepokan Selatan kakek Giri Soradana."
Raja Gendeng 5 Dendam Manusia Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana dengan tumenggung Dadung Kusuma di Tritis? Saya dengar dari para telik sandi kita dia satu-satunya tumenggung yang masih selamat dari pembunuh itu!"

Terang senopati Gagak Panangkaran.

"Dadung Kusuma adalah salah satu sahabatku yang bisa membaca gelagat begitu keadaan semakin gawat dia pasti akan datang kemari bergabung bersamaku. Kau hubungi saja orang yang aku sebutkan. Kau harus berangkat malam ini juga!"

Tegas adipati membuat senopatinya heran.

"Malam ini? Apakah tidak menunggu esok? Dengan begitu saya bisa membantu gusti mempersiapkan segala keperluan untuk pemakaman!"

Tawar laki-laki itu. Sekedar menunjukkan rasa simpati dan itikat baik. Tapi tawaran itu disambut gelengan kepala sang adipati.

"Aku berterima kasih atas pengertianmu. Tapi segalanya sudah sangat mendesak. Kau boleh pergi, bawa pasukan untuk menyertaimu. Aku berharap esok sore sebelum matahari terbenam kau sudah kembali bersama orang-orang yang kita butuhkan."

"Perintah gusti saya junjung tinggi, namun saya merasa lebih baik pergi sendiri. Dengan begitu perjalanan bisa lebih cepat."

"Baiklah. Kau bebas menentukan pilihan. Aku yakin dengan kemampuanmu. Kau boleh pergi sekarang!"

Senopati Gagak Panangkaran anggukan kepala.

Setelah menjura hormat, laki-laki itu bangkit berdiri.

Tak ingin berlama-lama dia balikkan badan lalu bergegas tinggalkan ruangan itu.

Setelah senopati pergi, adipati Seta Kurana bangkit.

Dia kembali ke kursinya lalu duduk termenung.

Dengan hati gelisah dilamun kesedihan dia berpikir apakah mungkin musibah malapetaka yang menimpa para tumenggung, keluarga dan kerabatnya sendiri ada kaitannya dengan masa lalu.

Khususnya berkaitan dengan peristiwa di Lembah Bangkai.

"Segalanya telah lama berlalu. Jika kaum terkutuk itu memang ada yang lolos dari penyerbuan. Seharusnya sejak dulu-dulu mereka melakukan pembalasan. Apakah mungkin Harimau Setan bangkit dari keterpurukannya? Dia mengirim murid atau pengikutnya untuk membuat kekacauan?"

Batin adipati bingung dan hanya bisa menduga. Dia menghela nafas. Lalu berkata seolah ditujukan pada diri sendiri.

"Bila benar masa lalu yang menjadi pangkal sebab semua ini. Aku harus membersihkan semua persoalan yang masih tersisa."

Baru saja adipati berkata begitu.

Tiba-tiba lantai dan dinding ruangan pertemuan tempat dimana dia berada bergetar keras.

Adipati terkesiap namun cepat memperhatikan sekelingnya.

Selagi hatinya bertanya-tanya.

Tiba-tiba di tengah empat penjuru dinding menebar kepulan asap berwarna hitam pekat disertai terdengarnya empat suara ledakan berturut-turut .Ledakan itu membuat adipati terlempar, lalu jatuh terduduk di depan pintu yang terbuka.

Namun dia tidak cidera, hanya sekujur tubuhnya terasa panas seperti dipanggang di atas tumpukan api.

Sambil menahan nafas adipati menyalurkan hawa dingin ke sekujur tubuhnya.

Hingga rasa panas yang membakar sekujur badan lenyap.

Seiring dengan itu kepulan asap berangsur sirna.

Adipati melihat seluruh penjuru ruangan berikut isinya tetap utuh.

Namun ketika dia menatap ke empat penjuru dinding, orang tua ini dibuat tercekat.

Pada setiap dinding tempat dimana asap mengepul dan ledakan terjadi terdapat empat pesan aneh berbeda-beda.

Adapun empat pesan itu masing-masing berbunyi.

Lembah Bangkai Manusia Kutukan Hutang Darah & Nyawa Dendam Yang Harus dibalas.

Begitu selesai membaca setiap tulisan darah yang terdapat pada empat penjuru dinding.

Adipati merasa tengkuknya menjadi dingin.

Wajah pucat berkeringat.

Sedangkan sekujur tubuh bergetar dilanda rasa cemas.

Dengan bibir bergetar dan suara terbata dia berucap.

"Mereka.... bagaimana mungkin mereka yang dulu pernah kami bantai ternyata bangkit kembali? Apakah bukan roh dan hantu mereka yang gentayangan menuntut balas?"

Kemudian sang adipati terdiam.

Dia tak kuasa lagi berkata-kata.

**** Duduk bersimpuh di tengah lingkaran bersimbol bintang besar bersudut lima.

Sang Maha Sakti Raja Gendeng benar-benar merasa tidak berdaya seolah telah kehilangan segala kesaktiannya.

Dua tangan sulit digerakkan.

Sepasang mata terkatup seperti orang yang dihinggapi kantuk hebat, telinga serasa tuli, hidung sulit bernafas seolah ada upil besar yang menyumbat kedua lobang hidungnya.

Hanya mulut yang masih dapat dibuka dikatub.

Dan lebih beruntung lagi dia masih dapat bersuara.

Segala ketidak berdayaan yang dialami Raja mulai dirasakan saat matahari hampir terbenam.

Saat itu dia baru saja berpisah dengan Bocah Ontang Anting.

Sahabat tua yang menetap di Lembah Tapa Rasa tersebut ternyata memutuskan kembali ke lembah setelah ikut membantu Sang Maha Sakti mendapatkan senjata warisan almarhum ayahnya prabu Sangga Langit.

Melanjutkan tapa brata dan bersunyi diri menjadi pilihan Bocah Ontang Anting yang aslinya bernama Ki Sapa Brata ini.

Untuk mengetahui riwayat kakek jenaka itu dapat dikuti dalam episode Maha Iblis Dari Timur.

Tidak lama setelah berpisah dengan sahabatnya.

Raja yang berjalan menelusuri pendataran luas tiba-tiba merasa ada getaran-getaran aneh yang ditimbulkan oleh pedang pusaka yang tergantung dipunggungnya.

Getaran disertai guncangan dan suara berkelotakan beradunya pedang dengan rangkanya semakin dia rasakannya begitu dia sampai di atas ketinggian sebuah bukit.

"Mengapa pedang keluarkan suara berisik? Apa mungkin senjataku ini hendak berbuat ulah?"

Batin Raja sambil hentikan langkah.

Baru saja sang Maha Sakti membuka mulut keluarkan ucapan.

Tiba-tiba dia memekik kaget.

Rangka pedang yang menempel dipunggung pakaian putihnya mengeluarkan hawa panas dan dingin silih berganti.

Hawa panas dan dingin lalu menyengat punggung tak ubahnya seperti binatang berbisa.

"Arkh.... Apa yang terjadi? Mungkinkah senjata ini tak suka kugendong dipunggung? Lalu aku harus meletakkannya dibagian tubuh sebelah mana? Di depan? Oh tidak!"

Kata Raja sambil menggoyang-goyangkan jari telunjuknya.

"Di depan sudah ditempati pusaka keramat. Mana mungkin aku memindah pedang yang di depan ke dada atau ke wajahku? Apa kata dewa? Dan apa pula kata para wanita. Mereka bisa menertawakan aku"

Raja lalu tersenyum. Geli dengan ucapan sendiri. Street! Lagi-lagi satu sengatan luar biasa menghunjam dipunggung Raja membuat Pemuda ini menggeliat, meraung dan memelintir kesakitan.

"Pedang sialan! Pedang gila kurang ajar! Kalau tak suka bersamaku ya sudah. Aku tidak memaksa,"

Kata Raja geram.

Dengan tubuh terhuyung namun terus melangkah Sang Maha Sakti segera melepas pedang dan berikut rangkanya dari punggung.

Sekejab pemuda ini memperhatikan senjata itu.

Mula-mula pada bagian rangkanya yang berwarna kuning emas, setelah itu bagian pedang yang berwarna biru berbentuk seorang pertapa memakai mahkota.

Memandang ke arah hulu pedang.

Raja merasa matanya menjadi perih.

"Hulu pedang yang aneh. Berukir seorang pertapa bermahkota. Dan aku merasakan ada getaran memancar dari bagian hulu pedang ini,"

Batin Raja.

"Apa benar kau hidup? Atau pedangnya yang hidup?"

Tanya Sang Maha Sakti ditujukan pada hulu dan badan pedang yang terbenam dalam rangkanya.

Seolah memang mempunyai nyawa dan seperti mengetahui ucapan pemuda itu.

Dia melihat rangka pedang bergoyang-goyang sedangkan bagian hulunya manggut-manggut.

Kaget bercampur takut pemuda itu campakkan pedang di tangan sementara mulutnya berdesis.

"Whee... pedang edan. Aku takut, aku tak mau membawamu lagi. Lebih baik kita mengambil jalan hidup sendiri-sendiri."

Ngeri bercampur kesal pemuda itu lalu tinggalkan Pedang Gila tergeletak begitu saja.

Sambil bersiul-siul dia terus melangkah.

Tapi belum jauh berjalan dia merasakan ada yang menepuk pantatnya.

Pemuda ini nyaris jatuh tersungkur.

Merasa ada yang mempermainkannya Raja pun balikkan badan menatap ke depan.

Matanya terbelalak ketika melihat di depannya Pedang Gila yang dia campakkan ternyata telah berdiri tegak, melenggang-lenggok sambil keluarkan suara berkelotakan.

Tak percaya dengan penglihatannya sendiri Raja mengusap kedua matanya beberapa kali.

"Tidak salahkah yang kulihat ini? Pedang Gila bisa berjalan, bisa menari malah menggebuk bokongku? Kurang ajar keterlaluan. Sungguh luar biasa. Yang seperti ini jarang kulihat!?"

Kata pemuda itu memuji tapi juga memarahi.

"Sekarang katakan apa yang kau inginkan."

Raja tatap pedang yang berdiri tegak mengambang di atas tanah dengan mata mendelik.
Raja Gendeng 5 Dendam Manusia Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tahu yang kulihat ini bukan perbuatan dewa. Para dewa selalu sibuk, tak mungkin mereka bercanda. Ada sesuatu.... sesuatu yang menyertaimu. Bukankah begitu Pedang Gila?"

Kluk! Kluk! Nging! Nging! Seolah membenarkan hulu pedang melompat- lompat ke atas. Saat hulu berbenturan dengan rangkanya terdengarlah suara-suara aneh seperti itu. Raja menyeringai.

"Jadi benar kataku, Kau tidak sendiri ada sesuatu yang menyertaimu. Suatu kekuatan atau mungkin roh yang hidup. Sesuatu yang halus, sesuatu yang gaib! Ha ha ini membuatku pusing. Aku tak mau tahu, aku tak mau memikirkan. Seperti kataku carilah jalan sendiri-sendiri!"

Dengus Raja acuh.

Secepat kilat dia balikkan badan.

Lalu kembali berjalan tanpa menoleh-noleh lagi.

Seperti tadi.

Belum lagi jauh Raja berjalan.

Tiba-tiba terdengar suara berdesing tak ubahnya seperti suara pedang yang tercabut dari rangkanya.

Susra desing aneh sekonyong-konyong disusul dengan suara deru tak ubahnya topan mengamuk.

Terkejut.

Raja menoleh ke belakang.

Begitu melihat ke belakang wajahnya menjadi pucat, mata mendelik saat melihat pedang ternyata telah keluar sendiri dari rangkanya.

Dengan diikuti rangka di bagian belakang.

Pedang gila berputar saat memancarkan cahaya kuning benderang.

Kiranya gerakan berputar yang demikian dahsyat itulah yang telah menimbulkan deru tak ubahnya topan.

Tiada menyangka Pedang Gila bisa bergerak sesuka sendiri.

Raja jadi tertegun dan mengomel.

Tapi sebelum pemuda ini sempat mengambil keputusan apa-apa.

Tiba-tiba Pedang Gila menyapu ganas ke arahnya.

Tidak ingin menjadi korban senjata sendiri yang mengamuk tak tentu sebab.

Pemuda ini segera hantamkan pukulan sakti Badai Serat Jiwa.

Seperti diketahui pukulan ini adalah salah satu pukulan dahsyat yang diwariskan gurunya Ki Panaraan Jagad Biru.

Cahaya kuning terang menyilaukan berkiblat lalu menghantam gemuruh angin dan kilatan cahaya yang bersumber dari Pedang Gila.

Namun Raja dibuat tercengang begitu melihat pukulan yang dia lepaskan tersedot amblas tertelan deru angin yang ditimbulkan pedangnya.

"Edan! Bagimana bisa begini?!"

Seruan Raja lenyap.

Deru angin bersama cahaya datang melabrak menggulung tubuhnya.

Tanpa ampun dia terjungkal.

Sekuat tenaga sambil menggerutu pemuda ini berusaha meloloskan diri.

Selagi berjuang mencari selamat justru pedang kembali mengeluarkan pijaran cahaya yang langsung menyengat tubuhnya.

Raja menjerit setinggi langit.

Sengatan yang sangat keras membuatnya tak sadarkan diri.

Di saat Raja tidak dapat mengingat apa-apa.

Sang pedang terus menggiringnya ke suatu tempat.

Sampai akhirnya pemuda ini terlempar ke tengah sebuah lingkaran bersimbol bintang besar bersudut lima.

Setelah Raja terkapar di tengah lingkaran.

Perlahan tapi pasti kilatan cahaya dan deru angin yang memancar dari Pedang gila lenyap.

Rangka pedang yang mengikuti Pedang Gila berdiri tegak.

Sedangkan sang pedang melambung tinggi lalu berputar-putar di udara sebanyak tiga kali.

Dan selanjutnya meluncur lurus ke bawah menuju mulut rangka pedang.

Trek! Seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Pedang Gila kembali ke dalam rangkanya.

Semilir angin sepoi-sepoi akhirnya menyadarkan Raja dari pingsannya.

Seperti telah dituturkan begitu sadar dan mampu dudukan diri di tengah lingkaran .Raja merasa telah kehilangan segenap kekuatan yang dia miliki.

"Kejadian aneh, kejadian gila. Semua kurasakan seperti mimpi paling buruk yang pernah kualami. Tapi apa betul aku bermimpi? Mengapa mataku berat, telinga seakan tuli, kaki dan tangan serasa lumpuh. Cuma mulut saja yang bisa bicara."

Kata pemuda itu tergontai-gontai.

Selagi Raja merasa tak berdaya kehilangan seluruh tenaga luar dalam dan cuma mampu mengerutu dan mengomel saja.

Dari bagian hulu Pedang Gila yang tegak berdiri di dalam rangkanya terdengar suara berkeletekan sebanyak tiga kali.

Suara itu lalu disusul dengan suara langkah kaki dan berderitnya pintu yang terbuka.

Raja yang tak kuasa membuka kelopak matanya yang berat hanya bisa menduga kemungkinan dirinya berada di dalam sebuah gedung.

"Apa benar aku berada di daiam gedung? Mengapa aku merasakan ada tiupan angin semilir berhembus? Apa yang sedang terjadi pada diriku. Kekuatanku seolah lenyap. Dan ya, aku ingat semua ini bermula sesaat setelah Pedang gila berbuat ulah, mungkin pedang itu yang telah menyedot amblas semua kesaktian yang kumiliki?"

Baru saja Sang Maha Sakti Raja Gendeng berucap dalam hati. Sayup-sayup dia mendengar ada suara orang berkata.

"Yang Mulia Paduka Raja Gendeng. Sudah waktunya kau memulai sebuah perjalanan."

"Hah, apa?"

Sentak Raja kaget. Dia berusaha membuka matanya namun hal itu tak sanggup dia lakukan.

"Perjalanan kemana? Siapa yang bicara? Apa tidak tahu saat ini aku sudah berubah seperti orang yang lumpuh?"

"Bukankah setiap insan yang terlahir ke dunia awalnya dalam keadaan lemah tak berdaya dan tidak tahu apa-apa."

Menyahuti sang suara. Raja terdiam. Dia rasakan orang yang bicara itu tidak berada jauh darinya. Malah serasa ada di depannya.

"Soal itu aku sudah tahu. Aku bertanya siapa dirimu itu adanya?"

"Hamba. Soal diri hamba dapat kiranya hamba jelaskan bahwa hamba adalah roh yang hidup. Hamba adalah jiwa yang menyertai pedang Gila. Karena itu sesuai takdir kehendak suratan sebenarnya kita bisa bersahabat!"

Mendengar suara yang mengaku sebagai jiwa yang menyertai pedang Gila.

Raja berjingkrak kaget.

Andai saja kedua matanya dapat dibuka, tidak lengket seperti diberi perekat.

Pemuda ini pasti sudah delikkan matanya "Sahabat....? Jadi kau bersemayam di dalam pedang?"

"Betul-betul gila!"

Rutuk Raja disertai seringai mengejek. Seakan tidak menghiraukan ucapan Raja yang ketus. Lagi-lagi terdengar ucapan.

"Paduka Raja Gendeng. Hamba tidak bersemayam dalam tubuh pedang. Hamba justru bersemayam pada hulu pedang. Disanalah hamba menetap selama ratusan tahun. Semua yang hamba katakan betul, tapi bukan gila!"

"Wuah. Apapun alasanmu aku tidak perduli. Sekarang sebaiknya kau katakan aku berada di mana?"

"Gusti Raja, paduka berada di sebuah tempat bernama tanah Muasal dan tepat berada di tengah lingkaran kehidupan, Di dalam lingkaran kehidupan terdapat sebuah tanda, berupa simbol bintang bersudut lima. Setiap sudut dari simbol itu semuanya mempunyai makna tertentu."

Terang Roh Pedang "Apa arti semua itu? Mengapa aku bisa berade di tempat ini?"

Tanya Raja tidak mengerti.

"Bila paduka sampai di Tanah Muasal dan berada di dalam lingkaran kehidupan. Semua itu sesuai dengan garis suratan. Lingkaran kehidupan menjadi bagian semua mahluk yang hidup."

"Adapun simbol bintang bersudut lima melambangkan jalan hidup itu sendiri."

"Jalan hidup? Aku tak mengerti maksudmu!"

"Tidak sulit untuk memahaminya paduka Raja."

Ujar Roh yang bersemayam dalam pedang.

"Jalan hidup manusia itu diantaranya ada susah ada senang, bila ada sehat datang pula sakit, ada baik ada buruk, ada gelap ada terang ada hidup ada mati. Selagi hidup setiap manusia mempunyai kesempatan yang sama untuk mencapai tempat tertinggi dalam kehidupan. Tempat tertinggi itu adalah kemuliaan."

"Hm, baiklah. Jika semua yang kau terangkan Itu yang kau maksudkan aku sudah mengerti. Yang membuat aku belum mengerti mengapa aku bisa berada di tempatmu."

"Hamba hanya mahluk yang mendampingi pedang gusti. Sedangkan takdir bagi Pedang Gila dan gusti Raja menjadi dua hal yang tak bisa dipisah- pisahkan. Di mana ada pedang Gila di situ ada gusti dimana ada gusti di situ ada Pedang Gila. Perlu kiranya hamba terangkan pedang Gila adalah sebuah senjata sakti tak berpenghuni. Tapi di bagian hulu pedang ada hamba yang bersemayam di sana. Karena hamba mahluk yang hidup, hamba bisa diajak bicara tentang segala hal yang hamba ketahui. Namun dalam menentukan setiap tindakan hendaknya gusti putuskan sendiri."

"Wuah bagus juga. Aku setuju saja. Sekarang aku punya teman, punya sahabat yang bisa diajak bicara. Karena kau hanya mahluk yang tidak terlihat. Nanti setiap kali aku mengajakmu bicara orang-orang yang melihatku pasti beranggapan aku ini manusia edan."

Tukas Raja sinis.

"Masalah sekecil itu tak perlu gusti risaukan."

"Tidak usah kurisaukan?!"

Geram Raja.

"Jadi aku harus mengacuhkannya?"

"Baik. Aku tak mau berpanjang kata. Sekarang aku ingin tahu apa maksud ucapanmu bahwa aku harus memulai sebuah perjalanan??"

"Menurut ketentuan takdir para dewa. Sudah waktunya bagi gusti untuk meninggalkan pulau Es ini."

"Meninggalkan pulau? Hmm, aku pernah berpikir untuk pergi ke tanah Dwipa. Tentu ada di sebelah laut selatan. Tapi harapan itu rasanya hanya tinggal menjadi angan-angan. Karena sekarang aku rasakan semua kekuatanku lenyap entah kemana. Semua ini pasti gara-gara ulah Pedang Gila,"

Kata Raja penasaran.
Raja Gendeng 5 Dendam Manusia Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak usah bersedih hati, paduka. Semua ilmu kesaktian yang paduka Raja Gendeng miliki sama sekali tidak musnah. Semua kesaktian paduka tertahan pedang akibat terjadinya tali sambung rasa antara pedang dengan paduka."

"Hah apa? Jadi antara aku dan Pedang Gila telah terjadi kontak batin?"

Tanya Raja kaget dengan mulut ternganga.

"Begitulah yang terjadi."

"Gila betul. Cuma gara-gara kontak batin semua kekuatanku jadi tidak berfungsi dan aku berubah menjadi seperti karung basah yang tak berguna? Sekarang aku ingin tahu kapan semua kekuatanku pulih. Dan kemana aku akan pergi?"

Tanya Raja tidak sadar.

"Kekuatan paduka bakal pulih tidak lama lagi. Dan paduka akan dibawa menyeberang lautan luas. Nanti yang membawa paduka akan menentukan ke tempat seperti apa paduka bakal diantar."

Terang jiwa dalam hulu pedang.

Reja terdiam Membayangkan akan diantar dibawa menyeberangi lautan luas.

Raja langsung teringat pada dua mahluk peliharaan kedua gurunya.

Mahluk pertama adalah burung rajawali raksasa berbulu putih yang pernah ditugaskan menjaga Pedang Gila di dalam perut bukit induk yang terdapat di sebelah utara pulau es.

Rajawali Itu pula yang membantu Raja dan Bocah Ontang Anting menyingkirkan beberapa tokoh sesat yang berusaha merebut pedang dari tangan Raja seperti telah dikisahkan dalam episode (Pesta Darah DI Pantai Utara).

sang rajawali sakti tak lain adalah peliharaan Ki Panaraan Jagad Biru.

Sedangkan mahluk kedua beberapa seekor naga raksasa yang berdiam di dasar laut selatan.

Mahluk ini tak lain adalah mahluk peliharaan Nini Balang Kudu guru kedua Raja.

Adapun tentang naga besar itu Raja sendiri belum pernah melihatnya.

Sekarang Raja hanya bisa menduga apakah mungkin salah satu dari dua mahluk peliharaan kedua gurunya itu yang bakal mengantarnya ke tanah seberang? Terdorong rasa ingin tahu yang sedemikian besar.

Tak dapat menahan diri, Sang Maha Sakti Raja Gendeng pun ajukan pertanyaan "Aku ingat dengan rajawali bernama Sang Pelintas Samudera burung raksasa peliharaan guruku.Apakah mungkin dia yang akan mengantar Aku ke tanah seberang atau mahluk..!"

Raja tak sempat menyelesaikan ucapannya karena jiwa yang bersemayam dalam hulu pedang sudah memotong.

"Maafkan hamba gusti Raja. Hamba tahu tentang rajawalli serta naga yang gusti maksudkan. Namun terus terang saja bukan satu dari kedua mahluk itu yang hamba maksudkan."

"Lha. Memangnya aku akan memakai apa saat mengarungi lautan? Berjalan kaki atau berenang? Gila. Mana sudi aku melakukannya."

Tukas Raja bersungut-sungut.

"Tenang gusti. Pedang Gila yang akan mengantar gusti hingga sampai ketujuan."

Jawaban sang jiwa dalam hulu pedang ini karuan membuat Raja tercengang kaget. Dia geleng kepala. Mulut menggerutu tak karuan. Dengan perasaan marah dia membentak.

"Jangan bicara nggak tak karuan kepadaku ya. Mana mungkin sebilah pedang bisa mengantar seseorang apalagi harus menyeberangi lautan. Benar-benar edan!"

Samar-samar Raja mendengar suara tertahan. Raja tahu yang tertawa pastilah jiwa dalam hulu pedang.

"Aku bicara bersungguh-sungguh. Mengapa kau tertawa? Kau menyangka aku sedang melucu heh?! "

Bentak Raja tambah marah. Suara tawa lenyap setelah dibentak. Lalu terdengar sang jiwa berucap.

"Berbuat sesuai kehendak takdir. Atas restu dan izin yang maha kuasa. Tidak ada yang mustahil di dunia ini bila dewa berkehendak. Gusti memang akan berangkat ke tempat tujuan dengan menunggang pedang keramat dan pedang itu adalah pedang gila!"

"Aneh, sulit kupercaya. Aku tak menyangka bakal menjadi seperti nenek sihir yang bisa terbang menembus langit hanya dengan menunggang sapu tua. Aku tidak mau perduli walau pun seekor monyet bisa terbang yang nantinya akan pergi membawaku. Sekarang aku ingin keadaanku pulih sebagaimana sebelumnya. Aku tak mau ada orang lain melihat diriku dalam keadaan mirip orang tolol tak berdaya seperti ini!"

Tukas Raja ketus.

"Jangan khawatir gusti, Segala keusilan Pedang Gila adalah demi kebaikan gusti juga. Kini Gusti berdirilah!"

"Hah berdiri? Aku tidak punya tenaga lagi, bagaimana bisa berdiri?"

"Lakukan saja gusti. Tak usah tersinggung tak usah marah. Gusti pasti bisa!"

Ujar jiwa dalam hulu pedang. Walau merasa tidak puas namun Raja lakukan juga apa yang diperintahkan kepadanya. Dengan tangan bersitekan pada tanah pemuda itu mencoba bangkit. Ternyata dengan mudah dia dapat berdiri tegak.

"Selanjutnya apa?"

Tanya Raja.

"Hiruplah nafas dalam-dalam. Bila gusti mengendus aroma yang sangat harum berarti tanda- tanda pulihnya semua kekuatan dan keselarasan keinginan antara pedang dan gusti telah dicapai kata sepakat seiring sejalan. Jika sepakat dicapai Pedang Gila akan memberikan yang terbaik untuk gusti demikian pula sebaliknya."

Pemuda itu terdiam.

Kali ini dia masih mengikuti apa yang diperintahkan kepadanya.

Perlahan dia berusaha menghirup udara dalam-dalam melalui hidungnya yang agak mampat.

Tapi alangkah terkejut hati Raja begitu dia menghirup udara yang tercium olehnya bukan bau harum semerbak melainkan bau aneh.

Karuan saja pemuda ini keluarkan suara seperti orang yang bersin.

"Hasyih-hasyih.... Sial. Aku mencium bau aneh. Bau ini jelas bukan bau kentut. Bau kentut aku sudah hapal karena aku sering buang angin. Bau yang tercium olehku ini busuk sekali! Seperti bau bangkai!"

Rutuk Raja "Hmm, ke tempat itulah gusti akan pergi. Ada kematian di seberang laut sana.Ada kemarahan ada dendam.Tapi upaya gusti untuk memulihkan diri belum berhasil.Cobalah tarik nafas sekali lagi, hirup udara dalam-dalam."

Merasa kapok takut kejadian pertama terulang lagi tentu saja Raja enggan memenuhi permintaan jiwa dalam hulu pedang.

"Aku tak mau melakukannya!"

Tegas Raja terus terang.

"Kalau begitu gusti Raja tak akan pernah kemana-mana dan tetap berada disini selamanya."

"Gila. Kau menakuti atau mengancam aku?!"

"Tak ada yang menakuti tak ada yang mengancam. Semua yang hamba katakan memang benar adanya."

Jawab jiwa di hulu pedang.

Raja terdiam.

Setelah berpikir dan mempertimbangkan segala sesuatunya.

Tanpa menunggu sambil berdiri tegak pemuda itu menghirup nafas dalam-dalam.

Baru saja tarikan nafas panjang udara dihirup.

Tiba-tiba Raja mengendus aroma harum semerbak.

Aroma harum yang membuat hidungnya yang setengah mampat seperti tersumbat menjadi plong.

Lalu ada rasa sejuk dan nyaman luar biasa menyerbu masuk memasuki rongga paru sebelah kanan dan sebelah kiri.

Seiring dengan itu hawa panas dan dingin mengalir dari bagian pusar dan menyebar keseluruh penjuru tubuh.

Raja menyeringai.

Dia tahu segala tanda-tanda yang dirasakannya tak lain merupakan isyarat bahwa kekuatannya benar-benar telah pulih kembali.

Tapi ada yang masih kurang.

Raja masih belum bisa mendengar dengan jelas.

Matanya yang terkatup seperti diberi perekat pun belum bisa dibuka.

Rasanya dia bisa menjadi gila bila tak bisa melihat dan menjadi tuli pula.

Dengan hati diliputi rasa cemas buru-buru dia berkata.

"semua yang kumiliki sudah mulai pulih kesaktian dan tenaga dalamku. Tapi bagaimana dengan mataku? Telingaku juga."

"Tak usah bimbang. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Sekarang gusti menataplah lurus ke depan."

"Ke depan mana? Aku tidak bisa melihat. Mana aku tahu pandanganku lurus atau bengkok?!"

"Ke depan saja. Sejajar dengan tubuh gusti disebelah depan."

Terang jiwa dalam hulu pedang.

Merasa kesal sambil bersungut-sungut Raja turuti apa yang diperintahkan padanya.

Dia meluruskan punggung, luruskan wajah ke depan.

Begitu posisi menghadap lurus ke depan.

Pedang Gila yang berdiri tegak diluar lingkaran bergoyang- goyang sambil keluarkan suara dentring aneh tiga kali berturut-turut.

Gerakan pedang yang bergoyang terhenti.

Selanjutnya dari bagian hulu pedang yang terbuat dari batu pualam biru berukir pertama bermahkota membersit cahaya biru terang empat kali berturut- turut.

Empat cahaya biru melesat sebat, menderu ke arah Raja.

Sesampai di tengah jalan empat cahaya itu masing-masing membelah menjadi dua bagian dan dua tujuan.

Dua cahaya biru pertama siap menyambar sepasang mata Raja.

Sedangkan dua larik cahaya biru lainnya bergerak menyamping, menuju ke dua sisi kepala Raja tepat dimana dua telinga Sang Maha Sakti berada.

Karena tidak bisa melihat.

Raja hanya bisa merasakan ada hawa dingin sejuk menyambar ke bagian mata dan telinga kanan kiri.

"Hei... apa yang datang menghampiriku?"

Serunya ditujukan pada jiwa pedang.

"Tenanglah gusti. Hamba dan pedang Gila tidak bermaksud membuat gusti raja celaka."

Sahut jiwa pedang.

Baru saja sang jiwa menjawab tiba-tiba...

Plak! Plak! Ces! Raja merasakan kedua matanya seperti ditampar dan kedua telinga laksana dikepruk palu besi.

Pemuda ini terhuyung.
Raja Gendeng 5 Dendam Manusia Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia menggerung kesakitan.

Merasa dipermainkan Raja hendak mendamprat.

Namun sejurus kemudian dia telan ucapan urung mendamprat begitu rasa panas akibat sambaran cahaya berganti menjadi rasa sejuk menenangkan.

"Weeeh... pendengaranku lebih terang. tubuhku semakin enteng. Dan mataku...."

Hingga di sini Raja terdiam. Dia membuka matanya dulu. Setelah mata dapat dibuka tanpa hambatan. Raja pun tersenyum lebar. Seperti bocah yang mendapatkan mainannya yang hilang kini dia asyik menggerak-gerakkan matanya.

"Kau betul sang jiwa. Pandangan mata kini lebih terang, lebih jelas. Luar biasa. Terima kasih semuanya, terima kasih pada para dewa?"

Ucap raja kegirangan.

"Paduka Raja. Simpan dulu segala kegembiraan dihati. Sekarang perhatikan baik-baik apa yang ada disekeliling paduka."


Dewi Ular Legenda Yang Hilang Mahesa Kelud Pulau Mayat Pendekar Rajawali Sakti 153 Pemuas

Cari Blog Ini