Ceritasilat Novel Online

Dendam Manusia Kutukan 2

Raja Gendeng 5 Dendam Manusia Kutukan Bagian 2



Kata Jiwa hulu. Raja terdiam. Dia menatap lurus ke arah pedangnya. Pedang gila yang berada di luar lingkaran bersimbol bintang masih tegak berdiri. Setelah itu perhatiannya tertuju ke arah lingkaran yang mengelilinginya.

"Tidak ada apa- apa. Hanya sebuah tanda di atas tanah hitam."

"Seperti yang hamba katakan. Semua simbol, semua tanda bukan sesuatu yang biasa. Ada kekuatan yang bersemayam dalam simbol bintang yang akan menyatu dengan diri gusti. Sekarang gusti harus menahan nafas apapun yang terjadi apapun yang dilihat jangan dilawan. Terima saja dengan sikap pasrah. Mudah-mudahan di masa yang akan datang apa yang gusti dapatkan hari ini akan berguna."

"Hhm, aku tak mau banyak bicara. Kau menyuruh aku begini kuikuti begini. Kau memintaku begitu aku ikut begitu. Sekarang aku sudah siap."

Jawab Raja.

Dia lalu menahan nafas.

Begitu nafas ditahan.

Tiba-tiba Raja merasakan tanah tempat kedua kakinya berpijak bergetar hebat.

Lalu Seiring dengan terdengarnya suara gemuruh aneh mengerikan dari simbol bintang bersudut lima mencuat cahaya putih menyilaukan.

Cahaya Itu menyebar mengikuti arus yang membentuk simbol.

Tak lama cahaya mencuat ke atas membubung tinggi hingga membuat Raja lenyap dari pandangan mata.

Anehnya walau Sang Maha Sakti berada di tengah-tengah cahaya.

Sedikitpun dia tak merasakan sengatan hawa panas yang luar biasa.

Malah Raja merasa sekujur tubuhnya menjadi sejuk.

Walau demikian pemuda ini tetap saja dilanda gelisah.

"Jiwa dalam hulu pedang apa yang terjadi?"

Tanya Raja dengan suara bergetar tersendat.

"Jangan banyak bicara paduka. Semua cahaya itu adalah lambang kejayaan dari kehidupanmu. Kelak hidup paduka selalu dinaungi cahaya terang selamanya. Bersiaplah paduka!!"

Kata sang dewa mengingatkan.

Raja menahan nafas, mulut terkatub tak berani bersuara tak berani berkata-kata.

Dan sesuatu yang sulit dipercaya pun kemudian terjadi.

Tiba-tiba saja seluruh cahaya putih benderang yang muncul dari simbol bintang lima sudut menderu ke arah Raja dari segala penjuru arah.

Pemuda ini jadi tercekat.

Dia terkejut bukan main.

Belum lagi hilang rasa kejut di hati Raja.

Seluruh cahaya benderang itu amblas lenyap memasuki tubuhnya.

Sang Maha Sakti terguncang hebat.

Dia merasa sekujur tubuhnya terasa mau meledak.

Namun semua yang dirasakan Raja berlangsung sekejab.

Setelah semua cahaya amblas lenyap menyatu dengan tubuhnya kini dia merasakan kesegaran yang luar biasa.

"Bukan main, semua yang kulihat sungguh menakjubkan!"

Gumam pemuda itu ,perlahan dia kitarkan pandang. Ketika matanya menatap ke arah lingkaran dan simbol di atas tanah. Kening Raja berkerut tajam.

"Lenyap. Tanda-tanda itu semuanya lenyap?!"

Desisnya heran.

"Tak usah dipikirkan. Segala unsur yang mendukung kehidupan gusti Raja telah menyatu dalam diri gusti. Saat ini sudah waktunya bagi gusti untuk pergi."

"Pergi. Dengan pedang itu?!"

Tanpa sadar Raja melirik ke arah Pedang Gila. Dia melihat pedang bergoyang-goyang.

"Ya. Pedang ini. Kami akan membawa gusti, bersiap-siaplah!"

Sahut jiwa dalam hulu pedang.

"Tapi... bagaimana caranya?"

Tanya Raja.

Tak ada jawaban.

Sebaliknya dengan tidak terduga pedang melambung tinggi.

Lalu menukik ke bawah selanjutnya pedang meluncur ke arah selangkang pemuda itu.

Begitu pedang berada tepat di bawah kedua kaki Raja rangka pedang menempel ketat disana.

"Hei, apa-apaan ini!"

Seru Raja sambil menyambar bagian atas pedang dan memegangnya dengan erat. Begitu bagian atas pedang dipegang. Senjata dalam rangkanya Itu menderu melesat ke atas ketinggian bersama Raja yang berada di atasnya.

"Walah....luar biasa. Akhirnya aku bisa terbang juga seperti nenek sihir ha ha!"

Kata pemuda itu diringi tawa tergelak-gelak.

******* Matahari belum lagi memunculkan diri di utuk sebelah timur.

Namun belasan pengawal ketemenggungan terlihat sibuk mempersiapkan dua kereta kuda.

Di halaman depan bangunan megah berdinding jati bercat hijau beberapa pengawal yang lain tampak berjaga-jaga mengawasi keadaan di sekitarnya.

Melihat gerak-gerik dan sikap para pengawal itu kiranya dapat diduga ada sesuatu yang mereka khawatirkan.

Tak lama kemudian dua kereta kuda yang telah dipersiapkan muncul di halaman.

Di atas masing- masing kereta duduk seorang kakek tua berpakaian serba putih, berambut dan berjanggut putih.

Kakek ini adalah kusir kereta yang telah mengabdi pada tumenggung Dadung Kusuma lebih dari enam tahun.

Tak ada yang tahu siapa namanya.

Namun mengingat kebiasaannya yang doyan makan krupuk.

Maka orang-orang pun memanggilnya Mbah Krupuk.

Di atas kereta kedua duduk seorang laki-laki bertubuh gemuk berseragam warna cokelat.

Dia adalah kepala pengawal katemenggungan bernama Pati Jaladara.

Dalam keadaan biasa, Pati Jaladara tugasnya hanya menjaga keamanan wilayah katemenggungan Seleman.

Tapi dalam keadaan mendesak dimana keselamatan tumenggung dan kerabatnya dalam ancaman bahaya besar.

Maka Pati Jaladara terpaksa merangkap menjadi kusir.

Hari beranjak siang.

Langit gelap dengan munculnya mendung di langit.

Dari pintu depan rumah kediaman tumenggung yang terbuka tiba-tiba muncul seorang gadis cantik berpakaian serba hijau.

Menyusul di belakang si gadis seorang wanita setengah baya berpakaian serba hitam berambut panjang digelung.

Walau usianya tidak muda lagi, namun kecantikan dimasa muda masih tersisa di wajah wanita ini.

Adapun gadis berpakaian serba hijau yang berjalan menuju kereta pertama tak lain adalah Mangir Ayu, puteri tunggal tumenggung Dadung Kusuma.

Sedangkan wanita yang mengiring di belakangnya bukan lain adalah Sito Resmi istri sang tumenggung.....

Sebenarnya apa yang terjadi hingga kerabat keluarga tumenggung itu bersiap meninggalkan tempat kediamannya? Seperti telah diketahui ketika senopati Gagak Panangkaran kembali dari perjalanan melakukan penyelidikan di lima wilayah katemenggungan.

Para tumenggung dan keluarganya menemui ajal secara mengenaskan.

Tidak diketahui siapa yang menghabisi para pimpinan cabang bawah wilayah kadipaten Blora itu.

Senopati sendiri hanya baru berhasil menyerap kabar bahwa para pembunuh itu berasal dari lembah bangkai.

Hal ini diperkuat dengan pengakuan si Mata Bara yang telah membunuh para kerabat juga istri dan dua putri sang adipati.

Seperti sama telah diketahui.

Senopati sempat melakukan pengejaran terhadap sang pembunuh.

Namun dia gagal meringkus si Mata Bara, bahkan senopati kena dihajar hingga wajahnya biru lebam sedangkan tulang hidungnya patah.

Apa yang menimpa para sahabat sesama tumenggung tentu saja didengar oleh tumenggung Dadung Kusuma.

Dia sendiri belum mengetahui mengapa pembunuh haus darah tiba-tiba muncul di wilayah yang masih berada dalam kekuasaan adipati Seta Kurana.

Namun demi mengingat masa lalunya yang kelabu.

Dan demi cintanya pada keluarga, tumenggung Dadung Kusuma pun memilih menyelamatkan anak istrinya.

Malam menjelang hari ke tujuh setelah peristiwa pembunuhan demi pembunuhan terjadi.

Dia memutuskan untuk mengungsikan anak istrinya ke kali Urang.

Di kali Urang keluarganya akan dilindungi oleh guru sang tumenggung yang bernama Ki Sabda Palon, salah satu tokoh yang cukup disegani di kawasan gunung Merapi.

Maka di pagi buta selagi matahari belum menampakkan diri, Tumenggung memerintahkan pengawalnya untuk berkemas.

Istri serta anak tumenggung telah masuk ke dalam kereta pertama lalu muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi, berkulit gelap, kumis tebal berpakaian dan berbelangkon warna cokelat.

Laki-laki yang tak lain adalah tumenggung Dadung Kusuma segera melangkah menghampiri kereta di depan yang dikusiri Mbah Krupuk.

Melihat kehadiran pimpinannya para pengawal, Mbah Krupuk sama bungkukkan badan menjura penuh rasa hormat.

Tumenggung bersikap acuh.
Raja Gendeng 5 Dendam Manusia Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia hampiri pintu kereta yang terbuka.

Setelah hentikan langkah tumenggung julurkan kepala menatap ke bagian dalam kereta.

Dia melihat putrinya.

Mangir Ayu duduk tenang.

Sementara sang istri terlihat gelisah.

"Kali Urang tidak jauh dari sini."

Berkata tumenggung pada anak dan istrinya.

"Kalian akan aman dalam perjalanan. Segala kebutuhan telah dipersiapkan dalam kereta ke dua. Aku akan segera menyusul begitu aku mengetahui keadaan baik- baik saja."

"Tapi ayah. Menurutku sebaiknya ayah ikut pergi bersama kami sekarang juga. Apa pun alasan ayah meminta kami menetap sebentar di rumah kakek Sabda Palon pasti menyangkut urusan penting."

Ujar Mangir Ayu yang rupanya malah menghawatirkan keselamatan ayahnya. Sang tumenggung tersenyum. Dia membelai rambut hitam Mangir Ayu yang lebat.Penuh perhatian tumenggung berkata.

"Ayah lebih tahu bagaimana harus menjaga diri. Ayah berjanji akan menyusul ke kali Urang begitu persoalan selesai."

Disertai senyum tumenggung menarik tangannya.

Pintu kereta dia tutup.Lalu dia memberi isyarat pada kedua kusir untuk berangkat.

Ketika iring-iringan kereta kuda yang dikawal belasan penjaga bergerak lambat meninggalkan halaman.

Tiba-tiba saja terdengar suara menderu yang disusul dengan sambaran lidah api ke arah dua kereta itu.

Sambaran lidah api yang datang dari balik pintu gerbang depan Itu laksana kilat menghantam dua kereta kuda, membuat beberapa pengawal meringkik kaget.

Sedangkan tumenggung Dadung Kusuma dibuat tercengang.

"Istriku! Anakku..! "

Pekiknya.

Sambil berteriak tumenggung melesat ke arah pintu kereta.

Niatnya ingin menarik anak dan istrinya keluar dari kereta.

Sementara itu Mbah Krupuk yang mendapat serangan tiba-tiba segera melompat tinggalkan kereta yang dia duduki.

Dua kuda dalam kagetnya meringkik keras, lalu angkat kaki depan tinggi-tinggi.

Di bagian kepala pengawal yang menjadi kusir di kereta kedua segera mencabut golok besar yang tergantung di pinggang.

Selanjutnya tubuh yang gemuk besar itu melesat, menghadang ke arah sambaran lidah api sambil babatkan golok besar di tangan.

Segala tindakan penyelamatan yang dilakukan tumenggung terlambat sudah.

Hantaman lidah api yang datang susul menyusul melabrak kereta hingga menimbulkan dua ledakan berdentum.

Kereta hancur menjadi kepingan.

Empat kuda penarik kereta bergelimpangan roboh dengan tubuh hangus.

Dua penumpang kereta terlempar keluar hingga membuat tumenggung menjerit histeris.

Dia segera berlari ke arah anak dan istrinya yang, jatuh terkapar mengepulkan asap.

Ketika dia memeriksa keadaan putrinya.

Ternyata Mangir Ayu hanya terluka dengan pakaian hangus di sebelah bawah.

Gadis ini diam tak bergerak tidak sadarkan diri.

Sementara ketika tumenggung melihat istrinya.

Dia terkesima, mata terbelalak kedua lutut goyah kehilangan tenaga.

Di luar dugaan Sito Resmi ternyata tewas dengan kepala pecah, dada terluka tertembus potongan kayu kereta.

Di bagian lain Mbah krupuk yang sempat selamat ternyata bertindak nekat.

Mengetahui kedua majikannya masih berada di dalam kereta dia balikkan badan lalu melompat hendak menolong.

Tapi sebelum pintu sempat tersentuh tangannya.

Kereta itu meledak.

Ledakan membuat tubuh kurusnya terlempar jauh hingga membentur dinding bangunan, lalu jatuh menggelosoh, terkapar tak sadarkan diri.

Di lain pihak Pati Jaladara sedang berusaha keras menghancurkan sambaran dari lidah api.

Dia menghadang sambil ayunkan golok besarnya.

Tapi di luar dugaan sambaran lidah api yang menerjangnya mempunyai kekuatan luar biasa.

Dengan mudah serangan Pati Jaladara hancur.

Golok besar di tangannya terpental jatuh dalam keadaan merah menyala.

Sementara kepala pengawal ini terlempar sejauh tiga tombak dengan tubuh dikobari api.

Sambil menahan rasa sakit luar biasa akibat Jilatan api yang membakar pakaiannya.

Pati Jaladara berguling-guling selamatkan diri.

Dia selamat begitu api padam.

Namun keadaannya sangat menyedihkan.

Selain sekujur tubuh dipenuhi luka.

Seluruh badannya menghitam seperti kayu bakar.

Bersusah payah dengan dibantu para pengawal yang lain Pati Jaladara bangkit berdiri.

Setelah berdiri tegak dia berteriak.

"Sebagian pengawal lindungi tumenggung dan keluarganya!"

Seru laki-laki itu. Para pengawal segera berpencar, berbagi tugas. Sebagian berlarian ke arah datangnya serangan. Sebagian lagi bergerak melindungi majikannya.

"Aku tak butuh perlindungan. Cari jahanam yang telah membunuh istri dan mencederai putriku!"

Teriak Dadung Kusuma dalam sedih dan kemarahannya.

Dia sendiri segera bangkit, lalu meninggalkan jenazah istrinya.

Kemudian dia melangkah lebar menuju pintu gerbang yang meleleh dikobari api.

Berdiri tidak jauh dari pintu gerbang.

tumenggung sempat melihat bagaimana keadaan Pati Jaladara.

Dia merasa iba melihat keadaan kepala pengawal itu namun juga mengagumi semangat Pati melakukan pengabdiannya.

"Bagaimana keadaanmu? Kau boleh istirahat bila kau merasa tak sanggup membantuku!"

Ujar Tumenggung.Pati Jaladara sunggingkan seringai. Tanpa menghiraukan sakit disekujur tubuhnya yang serasa luluh lantak dia menjawab."

"Gusti tumenggung. Saya hanya pantas beristirahat bila nyawa saya terlepas dari badan. Tapi selama hidup apa pun yang terjadi saya tetap membela gusti" **** Ucapan Pat? Jaladara yang begitu tulus dan terdengar polos membuat tumenggung Dadung Kusuma merasa terharu. Namun dia tidak punya waktu lagi berpikir lama. Dia tak ingin terhanyut dalam arus perasaan. Tak mau menunggu.tumenggung memutar tubuh dan menatap ke arah pintu gerbang. Kemudian dia berteriak.

"Siapapun yang telah membuat kekacauan di tempat kediamanku harap tunjukkan diri!"

Baru saja tumenggung selesai berucap.

Entah dari mana datangnya tahu-tahu di depannya berdiri tegak seorang laki-laki berpakaian serba hitam, berambut panjang riap-riapan bermata merah seperti nyala api.

Melihat kehadiran laki-laki itu para pengawal segera melakukan pengepungan sambil menghunus senjata masing-masing.

Tumenggung Dadung Kusuma menatap orang di depannya dengan pandangan tajam menusuk.

"Aku belum pernah melihat atau bertemu orang dengan ciri-ciri seperti ini. Tapi melihat jemari tangannya yang ditumbuhi kuku-kuku seperti pisau pipih melengkung. Semua Ini mengingatkan aku pada penghuni Lembah Bangkai. Apa mungkin dia salah satu dari sisa manusia kutukan yang pernah kami bantai dulu?"

Pikir laki-laki itu.

"Kau tak perlu berpikir membuang waktu tumenggung. Aku sangat mengenalmu walau mungkin kau sudah melupakan aku."

Kata laki-laki itu dengan suara keras menyentak "Keparat jahanam pembunuh keji. Memangnya siapa dirimu ini?"

Bentak tumenggung marah.

"Kau lupa? Kau mengatakan aku pembunuh keji. Mana lebih keji perbuatanmu dimasa lalu dibandingkan apa yang kulakukan hari ini?"

Kata laki-laki bermata Bara tak kalah sengit "Apa maksudmu? "

"Jangan berpura-pura. Sesungguhnya kau adalah iblis yang berkedok dewa. Ketahuilah, aku si Mata Bara, aku Si Mata Setan.Aku berasal dari Lembah Bangkai.Aku manusia yang tersisa dimana kau dan para sahabatmu sering menyebut kami sebagai manusia kutukan.Apakah kau ingat?!"

Tumenggung Dadung Kusuma terdiam sambil mengusap janggutnya yang hitam meranggas. Kemudian sambil menyeringai dia membuka mulut.

"Ah ternyata kau hanya manusia setengah mahluk menjijikkan yang dikutuk oleh para dewa?!"

Katanya disertai senyum mengejek.

"Dewa tidak pernah mengutuk kami. Yang dilangit sangat pemurah.Kalian sebagai manusia yang sempurna yang sering melancarkan fitnah dan berbuat seolah-olah segala kemalangan manusia bersebab dari keberadaan kami."

"Kau tak perlu membela diri. Kau telah membunuh istriku. Kau layak mendapat hukuman berat dariku!"

Tegas tumenggung gusar.

"Kau baru kehilangan istri, tumenggung. Bagaimana dengan kaum kutukan di Lembah Bangkai. Mereka kehilangan seluruh kerabat. Bahkan kami telah kehilangan semua. Kau dan para keparat itu yang merenggut apa yang kami cintai dari kehidupan kami. Tapi kau tidak perlu berkecil hati. Aku telah mengirim beberapa para tumenggung sepertimu menghadap raja akherat. Aku bahkan telah mengirim anak juga beberapa kerabat adipati Seta Kurana ke alam baka. Dari semua yang telah kuperbuat ini bagaimana caranya kau hendak menghukumku?"

Kata si Mata Bara penuh rasa benci.

Walau diam tidak bergeming namun tumenggung Dadung Kusuma sebenarnya terkejut bukan main.
Raja Gendeng 5 Dendam Manusia Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sama sekali dia tidak menyangka momok pembunuh yang selama ini bergentayangan menghabisi orang-orang yang sangat dikenalnya ternyata berani muncul dihadapannya bahkan telah membunuh istrinya.

Melihat Mata Bara bertindak nekat dan membuat kekacauan tanpa banyak pertimbangan lagi tumenggung memberi tanda pada para pengikutnya.

Melihat isyarat itu Pati Jaladara yang mengalami luka bakar cukup parah dengan dibantu oleh anak buahnya segera mencabut senjata cadangan berupa sebilah pedang pendek berwarna hitam.

Dengan senjata ditangan Pati merangsak maju.

Begitu bergerak kaki segera menderu menghantam ke bagian perut.

Sementara pedang membabat bagian leher lawan.

Dari arah belakang para pengawal menyerang dengan sabetan serta bacokan senjata di tangan.

Melihat serangan berbahaya yang datang dari arah depan dan belakangnya.

Si Mata Bara keluarkan suara berdengus.

Sekali menghentakkan kakinya tubuh laki-laki ini melambung ke atas.

Pada saat tubuh melesat, dia memutar tubuh lalu kepalkan kedua tangan menyongsong serangan senjata kepala pengawal dan pasukannya.

Wuss! Dari kedua tangan Mata Bara menderu hawa panas luar biasa, menjalari setiap orang yang berada di sekelilingnya.

Hingga membuat lima orang pengawal tersapu roboh.

Dua diantaranya terpelanting dengan perut tertancap senjatanya sendiri.

Sementara itu Pati Jaladara yang lebih berpengalaman bertindak cepat.

Begitu hawa panas menderu melabrak tubuhnya, pedang pendek yang dipergunakan untuk menyerang segera diputar membentuk perisai pertahanan yang kokoh.

Benturan keras antara pedang dengan pukulan tak dapat dihindari lagi.

Ledakan berdentum mengguncang tempat itu.

Debu pasir dan bunga api bermuncratan di udara.

Pati Jaladara terlempar.

Sekujur tubuh serasa remuk sedangkan mulut menyemburkan darah.

Setelah berkelojotan dia terdiam untuk selamanya.

Di depan Si Mata Bara yang baru jejakkan kaki sempat terhuyung akibat terguncang ledakan.

Namun dia tidak kekurangan sesuatu apa.

Belum sempat laki-laki itu menarik nafas.

Lagi-lagi belasan pengawal yang selamat serentak menyerbu ke arahnya dengan kekuatan berlipat ganda disertai kemarahan meluap-luap.

"Orang-orang bodoh! Mengapa lebih memilih mati, padahal aku bersedia memberi kesempatan hidup."

Geram si Mata Bara dengan suara mendengus.

Tidak ada yang menghiraukan ucapannya.

Malah para pengawal itu dengan lebih bersemangat saling berlomba menyerang Mata Bara dengan membabi buta.

Melihat serangan ganas datang bertubi-tubi serentetan sambaran senjata menyerang disekujur tubuh.

Si Mata Bara dengan menggunakan jurus "Nestapa Berkalang Tanah' yang dipadu dengan Jurus Jeritan Tanpa Suara segera sambuti serangan itu.

Beberapa kali sabetan senjata lawan hampir mengoyak perut, merobek dada dan menebas putus kakinya.

Namun dengan menggunakan dua jurus gabungan Si Mata Bara berhasil menyelamatkan diri.

Malah ketika sang Manusia Kutukan menggerakkan kaki dan hantamkan tangannya ke segenap penjuru arah para pengawal menjerit dan jatuh berpelantingan.

Mereka yang menjadi korban serangan Mata Bara ada yang wajahnya remuk terkena tendangan.

Ada pula yang rusuknya patah tersambar jotosan.

Tak kurang ada yang menemul ajal terkena sambaran kuku-kuku jari tangan lawan yang mencuat panjang setajam pisau pipih.

Melihat teman-temannya jatuh bergelimpangan.

Mereka yang selamat dari serangan Itu kembali membangun kekuatan dan terus merangsak maju.

Melihat tindakan nekat yang dilakukan sisa-sisa pengawal itu, kesabaran Mata Bara pun akhirnya lenyap.

Mata Bara tiba-tiba saja melompat mundur ke belakang.

Begitu dia jejakkan kakinya.

Diam-diam dia salurkan tenaga dalam ke bagian matanya.

Begitu hawa sakti mengalir deras kebagian mata.

Maka sepasang mata yang merah menyala seperti bara itu pun membersitkan cahaya merah terang menggidikkan.

Melihat perubahan ini.

Tumenggung Dadung Kusuma yang terus mengawasi jalannya perkelahian tiba-tiba berteriak ditujukan pada para pengawalnya.

"Kallan semua mundur. Manusia keparat dari Lembah Bangkai Itu siap menyerang kalian dengan mata iblisnya!"

Satu peringatan yang terlambat.

Sedikitnya tujuh pengawal sudah terlanjur menyerang Mata Bara dengan pukulan serta tendangan mautnya.

DI samping serangan senjata ditangan mereka membuat Mata Bara terpaksa mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk meloloskan diri dari serangan mereka.

Setelah lolos dari serangan, tiba-tiba dia mengedipkan matanya tujuh kali berturut-turut .Begitu sepasang mata berkedip.

Dari kedua mata laki-laki itu membersit cahaya merah terang berbentuk pipih laksana pedang panjang.

"Selamatkan diri!"

Lagi-lagi tumenggung Dadung Kusuma berteriak kaget ketika melihat sedikitnya empat belas larik cahaya menderu ganas siap untuk menghantam para pengawal itu.

Tujuh pengawal dibuat tercekat saat merasakan hawa di sekitar mereka bertambah panas luar biasa.

Ketika mereka menatap ke depan, para pengawal ini pun delikkan mata begitu sadar belasan cahaya merah terang berkelebat menghantam ke arah mereka dengan kecepatan seperti kilat.

Walau para pengawal ini rata-rata mempunyai ilmu kepandaian yang cukup lumayan.

Namun mendapat serangan seganas itu tentu saja membuat mereka tercengang namun cepat memutar senjata ditangan masing-masing untuk melindungi diri.

Senjata menderu.

Angin berdesir.

Kilatan senjata yang diputar sebat membuat para pengawal ini lenyap dari pandangan.

Benturan keras pun terjadi.

Terdengar suara letupan-letupan yang disusul dengan suara jerit menyayat di sana sini.

Darah muncrat di udara, senjata dan potongan tubuh berpentalan lalu terdengar suara benda- benda jatuh bergedebukan.

Ketika tumenggung menatap ke depan.

Matanya membeliak, perasaan tercekat dan jantung seakan berhenti berdenyut.

Dengan wajah berkeringat tengkuk terasa dingin sang tumenggung melhat bagaimana tujuh pengawalnya menemui ajal dengan tubuh terpotong.

Potongan tubuh pengawal dalam keadaan hangus dikobari api.

"Kejam dan sangat keji sekali?!"

Pekik tumenggung merinding.

Di depannya di antara kutungan tubuh si Mata Bara menyeringai dingin.

Tapi dia tidak menjawab.

Hanya tatap matanya saja yang memandang tajam pada lawannya.

***** Kembali dari perjalanan di Kuto Gede, Giri Soradana kakek berusia hampir tujuh puluh tahun ini merasa gelisah.

Entah mengapa dia ingin cepat-cepat sampai di padepokannya yang berada di Parang Tritis.

Sejak mendengar kabar terjadinya pembunuhan-pembunuhan aneh yang menimpa beberapa tumenggung dan keluarganya di wilayah kadipaten Blora.

Kakek berpakaian serba biru berambut putih panjang digelung ini memutuskan mempersingkat kunjungannya.

Tidak heran baru sepekan berada di rumah kerabatnya, Giri Soradana memutuskan kembali ke padepokan.

Langit Biru.

Bulan empat hari bersinar indah di ketinggian sana.

Saat itu Giri Soradana telah memasuki sebuah desa bernama Muncang.

Dari desa yang sunyi itu Parang Tritis sudah tidak begitu jauh lagi.

Tanpa menoleh si kakek terus memacu kudanya.

Sesekali dia berpapasan dengan penduduk setempat.

Para penduduk desa yang ramah yang mengenal kakek ini ada yang memintanya untuk singgah.

Tapi Giri Soradana tidak menghiraukan.

Tidak berselang lama setelah melewati kawasan hutam jati kecil.

Sampailah pimpinan padepokan Alas Langit di halaman rumahnya.

Kuda berhenti dan si kakek melompat turun dari kudanya.
Raja Gendeng 5 Dendam Manusia Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah menambatkan dan melangkah menuju bagian depan rumah.

Si kakek jadi tertegun.

Seakan baru sadar.

Dia melihat betapa padepokan sederhana yang ditempati sedikitnya dua puluh orang murid itu sepi sekali.

Bahkan bagian dalam padepokan nampak gelap gulita.

"Kemana perginya murid-muridku? Aku telah berpesan agar mereka tidak kemana-mana selama aku pergi. Lalu mengapa sekarang padepokan sunyi seperti ditinggalkan penghuninya?"

Membatin si kakek.

Merasa gelisah Giri Soradana menatap sekelilingnya.

Dia tidak melihat apa-apa.

Halaman padepokan kosong, namun saat itu dia menghirup nafas dalam-dalam dan si orang tua mengendus bau anyir darah.

Entah mengapa jantung Giri Soradana berdegup kencang.

Degup dijantung berganti dengan rasa curiga saat kesunyian tiba-tiba dipecahkan oleh suara lolongan anjing.

"Anjing melolong di tengah malam begini?"

Sentak si kakek kaget.

"Puluhan tahun aku tinggal menetap di Parang Tritis ini. Seumur hidup aku belum pernah mendengar lolongan di malam bulan purnama"

Giri Soradana telan ludah, basahi tenggorokannya yang mendadak kering. Hatinya tambah gelisah, pikiran makin tidak karuan. Tiba-tiba dia ingat dengan dua murid tertuanya. Seketika dia berseru memanggil nama kedua muridnya.

"Sorana! Sumali! Kalian ada dimana?!"

Sunyi.

Tidak ada jawaban.

Hanya suara deru angin yang terdengar.

Orang tua ini mulai curiga.

Rasa curiga yang kemudian membuatnya tak ingin berlama-lama berada di halaman ini.

Dengan langkah lebar Giri Soradana bergegas ke pintu.

Pintu ternyata hanya tertutup rapat, namun tidak dikunci.

Sambil menahan nafas si kakek dorong pintu itu.

Pintu terbuka.

Udara dari dalam menyerbu keluar.

Giri Soradana tidak hanya tercekat, lebih dari itu perutnya bergelung mual nyaris muntah ketika bau busuk bercampur amis darah menyengat hidungnya.

Sadar telah terjadi sesuatu yang luar biasa terhadap murid-muridnya si kakek segera bergegas masuk.

Mula-mula dia meraih pelita yang tergantung disebelah kiri dinding lalu menyalakannya.

Begitu pelita ditangan menerangi segenap penjuru sudut.

Giri Soradana keluarkan seruan kaget.

Mata si kakek yang cekung terbelalak, wajah pucat kedua lutut goyah seakan kehllangan tenaga.

Di dalam ruangan utama Giri Soradana melihat mayat-mayat muridnya bergelimpangan tanpa nyawa.

Tubuh mereka di penuhi luka juga bekas cabikan seolah muridnya diserang oleh sekawanan mahluk buas haus darah.

"Siapa yang telah melakukan kebiadaban sekeji ini? Seumur hidupku baru kali ini aku melihat kejahatan seperti ini."

Ucap orang tua Itu dengan mata berkaca-kaca namun hati diliputi kemarahan luar biasa.

Giri Soradana menghitung sambil memperhatikan mayat-mayat itu.

Jumlahnya hanya delapan belas.

Dua murid tertua yaitu Sumali dan Sorana tidak terdapat diantara mayat saudara seperguruannya.

Maka dengan sekujur tubuh menggeletar, si kakek segera melakukan pemeriksaan di ruangan lainnya.

Di dalam salah satu ruangan besar yang biasa dipergunakan murid-muridnya beristirahat.

Dua murid tertua yang dia cari pun ditemukan.

Tapi mereka juga sudah tak bernyawa.

Ketika si kakek mendekati dia melihat tubuh Sorana terbujur kaku.

Ditangannya menggenggam sebilah pedang.

Dada pemuda berusia tiga puluh tahun Itu jebol.

Isi perut berbusai keluar.

Sementara tak jauh di sebelah kirinya terdapat mayat Sumali.

Pemuda itu nampaknya diserang selagi tidur.

Terbukti tenggorokannya terkoyak mata melotot sedangkan lidah terjulur keluar.

Dengan mata nanar Giri Soradana menatap sekeliling ruangan.

Dia melihat perabotan yang porak poranda.

Ini merupakan satu pertanda pembunuh menyerang Sorana yang mendengar suara gaduh dan jeritan saudara-saudaranya di ruang depan.

Dengan menggunakan pedang pemuda itu melakukan perlawanan.

Namun agaknya sang pembunuh mempunyai ilmu dan kesaktian luar biasa.

Sorana kalah.

Atau kemungkinan murid-muridnya diserang binatang buas.

Namun Giri Soradana tidak begitu yakin sebab tidak ada mahluk atau binatang buas berkeliaran di sekitar Parang Tritis? Puluhan tahun tinggal menetap di tempat itu mereka belum pernah melihat atau diganggu binatang buas.

"Aku sangat yakin semua ini pasti perbuatan manusia. Menusia biadab yang tidak punya hati tak berperasaan. Tapi siapa?!"

Batin si kakek lalu terdiam. Merenung sambil memikirkan setiap kemungkinan. Kemudian di dalam hati Giri Sorodana bertanya.

"Apakah mungkin pembunuhan yang terjadi terhadap para tumenggung pejabat bawahan senopati Seta Kurana ada hubungannya dengan malapetaka yang dialami oleh murid-muridnya"

Si kakek gelengkan kepala.

Belasan tahun Seta Kurana menjadi adipati.

Walau antara sang adipati dengan dirinya masih ada hubungan sahabat, namun si kakek jarang sekali bertemu dengan adipati itu.

Dia tak tahu pasti bagaimana sepak terjang adipati dalam menjalankan pemerintahannya.

Satu-satunya yang dia tahu.

Dulu sebelum Seta Kurana menjadi seorang adipati jalan hidupnya cenderung menyimpang dan menghalalkan segala cara.

Dengan latar belakang yang seperti itu mungkin saja Seta Kurana mempunyai banyak musuh.

"Tapi mengapa Giri Soradana harus ikut terkena getahnya? "

Dia menghela nafas. Tapi tarikan nafasnya jadi tertahan begitu sekonyong-konyong dia mendengar suara pekik burung gagak di atas atap padepokannya. Si kakek tercekat. Mendadak tengkuknya terasa dingin. Dengan suara terbata mulutnya berucap.

"Burung gagak Mahluk penghubung antara dunia nyawa dan alam roh.Aku merasakan sesuatu yang sangat buruk bakal terjadi. Perasaanku tidak enak...Jagad Dewa Bathara.Kumohon perlindunganmu. Aku tidak ingin mati bersimbah darah atau menemui ajal dalam keadaan terluka."

"Setidaknya aku harus menguburkan jenazah seluruh muridku dulu."

Belum lagi suara Giri Soradana lenyap.

Di luar sana, tepat di halaman terdengar suara raungan tiga kali berturut-turut.

Suara raungan lenyap.

Di halaman depan dia mendengar suara benda berat terjatuh.

Blum! Bluk! Bluk! Terdengar suara bergedebukan tiga kali berturut-turut.

Giri Soradana diam membisu.

Dia memasang telinga berusaha mendengarkan perkembangan selanjutnya.

Tapi tak ada lagi suara yang terdengar.

Si kakek menelan ludah dalam hati dia berkata sendiri.

"Benda apa yang jatuh. Suaranya seperti kelapa. Tapi tidak satupun pohon kelapa tumbang di sekeliling padepokanku!"

Pikirnya bimbang.

Segala apa yang sempat terpikir oleh si kakek lenyap.

Tiba-tiba keheningan dipecahkan oleh suara gemuruh dahsyat luar biasa.

Seiring dengan Itu terdengar suara lolong dan raungan disertai dengan tawa angker menggidikkan Giri Soradana.

"Kami datang dari jauh.Kami membawa oleh-oleh.Kuharap kau suka menerimanya. Sekarang keluarlah! Mengapa harus mendekam berlama-lama dalam padepokanmu yang buruk itu.Apa kau lebih suka mencium bau amis darah dan mengendus bau busuk bangkai dari murid-muridmu sendiri? Ha ha ha!"

Kaget hati Giri Soradana bukan main terlebih setelah mendengar bagian akhir ucapan orang.

Sekarang dia tahu siapa yang datang pastilah orang yang membantai murid-muridnya.
Raja Gendeng 5 Dendam Manusia Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak menunggu lebih lama si kakek segera menyambar sebilah pedang yang tergantung di sudut dinding.

Laksana kilat dia berkelebat menuju ke halaman.

Ketika orang tua ini sampai disana dia melihat halaman dipenuhi kabut.

Di tengah kabut terdengar suara menderu.

Tapi suara menderu tidak berlangsung lama.

setelah deru angin berangsur mereda.

Hamparan kabut yang menghalangi pandangan mata lenyap.

Memandang ke depan Giri Soradena merasakan jantungnya seolah berhenti berdenyut.

Dengan mata mendelik tak percaya dia menatap ke tanah.

Dia melihat tiga potong kepala bergeletakan di atas tanah itu.

Masing-masing kepala tanpa badan ini dalam keadaan hampir membusuk, lidah terjulur sedangkan mata terbeliak terbuka.

Seolah tidak percaya dengan penglihatannya sendiri dia melangkah lebih mendekat ke arah tiga kepala tersebut.

Begitu Giri Soradana melihat wajah dari ketiga kepala dengan jelas.

Dia melompat mundur sambil keluarkan seruan tertahan.

"Ki Rangga Galih...Windu Saketi... Jaran Palon..?!"

Desis Giri Soradana menyebut tiga nama yang sangat dikenalnya.

Penglihatan ketua padepokan Alas Langit itu memang tidak keliru.

Tiga kepala yang bergeletakan di halaman rumahnya memang kepala tiga tokoh sakti yang dia kenal dan masih terhitung sahabatnya sendiri.

"Ini benar-benar sangat keterlaluan...!"

Geram Giri Soradana. Suaranya serak parau pertanda si kakek mengalami guncangan batin yang hebat. Dengan tubuh bergetar dilanda kemarahan luar blasa. Dengan nafas tersengal dia lalu berteriak.

"Aku tidak dapat menerima para sahabatku diperlakukan seperti Ini.Iblis manapun yang telah melakukan kekejian ini kuharap cepat tunjukkan diri??"

Grauung! Reeeng! Ngehrr! Sebagai jawaban terdengar suara raungan hebat.

Lalu dari balik kegelapan pohon berkelebat tiga sosok tubuh berpakaian serba putih dan...

Jlik! Tidak sampai sekedipan mata di depan Giri Soradana kini berdiri tegak tiga laki-laki bertubuh tinggi besar namun agak bungkuk berambut panjang riap-riapan berwajah aneh.

Setelah Giri Soradana memperhatikan lebih seksama akhirnya dia menyadari baik wajah maupun bentuk rambut ketiga laki-laki itu mirip sekali dengan singa jantan.

Setelah agak lama memperhatikan kehadiran orang-orang berpenampilan aneh ini Giri Soradana jadi ingat dengan suatu kaum yang menetap di Lembah Bangkai.

Sekelompok orang yang tinggal menetap disana memang mempunyai bentuk tubuh yang tidak sempurna.

Penampilan mereka adalah perpaduan antara manusia dan hewan.

Itulah sebabnya orang di luar lembah menamakan mereka sebagai kaum kutukan atau Manusia Kutukan.

"Bukankah mereka telah musnah? Dalam peristiwa penyerbuan yang dilakukan Seta Kurana dan kaki tangannya belasan tahun yang lalu dan kudengar lembah itu telah dibumi hanguskan. Lalu mengapa masih ada yang gentayangan. Apakah yang kulihat ini hanya rohnya? Roh yang tersesat?"

Membatin si kakek dalam hati.

Selagi Giri Soradana terombang-ambing dalam kebimbangan.

Salah seorang diantara mereka yang berada di sebelah kiri melangkah maju.

Dua tindak di depan tiga kepala yang tergeletak di tanah dia hentikan langkah.

Mewakili dua temannya orang ini membuka mulut perkenalkan diri.

"Giri Soradana aku bernama Purudana.Yang berdiri di belakangku bernama Kuruseta.Kemudian yang berada disampingnya tak lain adalah Jatukara. Ketahuilah, kami telah beberapa kali datang kemari. Kami tidak menemuimu, hanya muridmu yang kami temukan.Lalu kami menjemput nyawa mereka!"

Ucap manusia berwajah singa mengaku bernama Purudana itu dingin.

Giri Soradana membisu, tapi matanya terus memperhatikan.

Dia merasa heran bagaimana tiga manusia setengah mahluk itu bisa mengenal siapa dirinya padahal diantara mereka baru sekali ini berjumpa.

"Mengapa kalian membunuh murid-muridku? Apa salah dan dosa mereka?"

Tanya Giri Soradana sambil bersikap sabar menahan diri. Kuruseta yang berdiri di belakang Purudana melangkah maju. Setelah berdiri sejajar dengan Purudana dia berhenti, mulut menyeringai namun mata menyorot tajam penuh kebencian.

"Jangan bertanya mengapa kami membunuh, jangan bicara tentang segala dosa, Giri Soradana. Kau, muridmu dan tiga orang yang kepalanya kami persembahkan kepadamu ini bukankah masih terhitung sahabat adipati Seta Kurana?!"

"Yang kau katakan memang tidak salah."

Jawab Giri Soradana.

Tiga manusia singa sama menyeringai, dongakkan kepala lalu keluarkan suara raungan menggelegar.

Raungan itu membuat tanah bergetar, daun-daun hijau jatuh berguguran dan kakek itu sendiri diam-diam merasakan nafasnya jadi sesak.

Suara raungan terhenti, Laki-laki ke tiga bernama Jatukara tak mau tinggal diam.

Tanpa beranjak dari tempatnya berdiri dia berucap.

"Siapa yang masih punya hubungan dengan Seta Kurana pasti akan mati."

"Mengapa? Aku merasa tidak berbuat salah. Aku juga tidak tahu menahu dengan peristiwa di lembah Bangkai belasan tahun yang lalu?"

Dengus si kakek tetap berusaha bersikap tenang.

"Kau tidak ikut dalam penyerbuan itu. Kau tidak terlibat terhadap peristiwa pembantaian kaum kami. Yang melakukannya adalah para tumenggung, kaki tangan Seta Kurana dan Seta Kurana sendiri."

Sahut Kuruseta.

"Kesalahannya adalah, kau dan tiga manusia malang ini bersahabat dengan adipati keparat itu."

Purudana menimpali. Tak mau kalah. Jatukara pun menambahkan.

"Siapa saja yang punya hubungan dengan adipati harus mati di tangan kami!"

"Manusia picik, berhati buta. Membunuh dan menghabisi orang yang tidak ikut terlibat masalah adalah perbuatan keliru dan tersesat. Sebagai ketua padepokan Alas Langit aku berhak menuntut balas atas kematian murid-muridku!"

Geram Giri Soradana marah.

Mendengar ucapan si kakek.

Tiga manusia berwajah singa saling pandang lalu sama sunggingkan seringai dingin.

Inilah yang mereka tunggu.

Tantangan dan perkelahian sampai mati memang sudah lama mereka nantikan.

Tidaklah mengherankan dengan suara dingin ketiganya menyahuti ucapan si kakek.

"Orang tua! Kami siap menerima hukuman darimu.Tapi kami ragu apakah kau mampu membunuh kami."

Melihat lawan tidak memandang sebelah mata kepadanya.

Giri Soradana kertakkan rahang.

Tanpa pikir panjang lagi dia segera mencabut pedang.

Sreet! Ketika pedang dicabut dari rangkanya Giri Soradana cepat salurkan tenage sakti ke hulu senjata, lalu melompat ke depan sekaligus babatkan senjata itu ke arah dua lawannya.

Pedang membabas dari kepala hingga ke bahu.

Suara desing mengerikan menyertai berkiblatnya pedang.

Cahaya putih yang membersit dari ujung pedang tiba-tiba menghantam Purudana dan Kuruseta.

Wuus! Wuus! Melihat sambaran cahaya yang disusul dengan babatan pedang datang secepat itu.

Tidak ingin gegabah dua manusia singa Ini berlompatan kesamping dengan arah berlawanan selamatkan diri.

Sabetan pedang luput.

Dua kilatan cahaya dari ujung pedang menghantam tempat kosong di belakang kedua lawannya.

Dalam kegusarannya si kakek menggeram.

Dia segera memutar tubuh, siap menyerang Purudana yang baru saja berdiri.

Tapi tanpa dia sadari Jatukara yang tadi berdiri di bagian paling belakang tahu-tahu telah berada di atas kepala si kakek.

Dengan gerakan cepat luar biasa Jatukara julurkan tangan kirinya bermaksud menjebol ubun- ubun lawan sedangkan tangan kanan berkelebat ke arah leher dengan jari terpentang siap mematahkan leher itu.

Sambaran angin akibat serangan yang dilakukan Kutukara ternyata sempat dirasakan Giri Soradana.

Dengan menggunakan jurus Elang Menari diatas Gunung, tanpa melihat ke atas pedang di tangan disentakkan untuk membabat putus dua lengan Kutukara.

Manusia singa ke tiga ini kaget bukan main melihat lawan gerakkan pedang secepat Itu.

Tak ada pilihan lain untuk menyelamatkan kedua tangan.

Kutukara terpaksa menarik balik serangan lalu jatuhkan diri di belakang lawannya.

Baru saja kakinya menjejak tanah dengan menggunakan siku dia menghantam punggung Giri Soradana.

SI kakek menggerung, tubuh kurusnya terpental ke depan namun tak sampai jatuh tersungkur.

Punggungnya terasa sakit bukan main.

Tanpa menghiraukan sakit yang mendera, Giri Soradana segera berkelit menghindar ketika melihat Paruseta dan Kuruseta menghantamkan dua pukulan yang disusul dengan tendangan menggeledek.

Diserang dari dua arah sekaligus.

Giri Soradana terpaksa menggunakan ilmu meringankan tubuh serta kecepatan gerak untuk menyelamatkan diri.

Ketika pukulan dan tendangan yang dilakukan oleh dua lawannya meleset.
Raja Gendeng 5 Dendam Manusia Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kini giliran si kakek merangsak maju.

Satu jotosan keras diarahkan ke wajah Purudana.

Sementara tangan kiri berkelebat menyambar siap menjebol dada Kuruseta.

Melihat serangan ini Purudana melompat ke belakang sambil menangkis jotosan lawan.

Benturan keras terjadi.

Keduanya sama bergetar.

Namun celaka bagi Kuruseta.

Walau lawan terguncang keras akibat benturan dengan Purudana tetapi jemari tangan lawan membeset rusuknya.

Kraak! Terdengar suara pakaian robek.

Kuruseta menjerit sakit namun juga menjadi sangat marah begitu melihat pakaiannya robek di sebelah rusuk kiri, sementara dipermukaan kulit terdapat luka sambaran jari.

Luka itu mengucurkan darah.

Kaget mendengar teriakan Kuruseta, Purudana dan Jatukara yang baru saja menyerang kemball segera berlompatan mundur ke belakang dengan wajah heran mata saling pandang.

Menyangka ketiga lawannya menjadi jerih Giri Soradana menyeringai silangkan pedang di depan dada.

Sambil tersenyum dingin kakek ini tiba-tiba berkata.

"Mula-mula pakaianmu yang kubuat robek. Tapi sekejab lagi aku akan mencabik-cabik tubuh kalian!"

"Manusia sombong! Kau pasti yang akan menerima nasib celaka di tangan kami."

Sahut Purudana dan Jatukara menanggapi ucapan temannya dengan suara raungan.

Dengan gerakan bersamaan ketiga manusia singa ini angkat tangannya tinggi-tinggi.

Begitu tangan diangkat tinggi dari langit tiba-tiba terlihat kilat menyambar ke arah tiga pasang tangan itu.Tiga pasang tangan mengepul, Cahaya kilat yang menyambar lenyap.

Begitu kepulan asap sirna, tiga pasang tangan yang mengacung ke langit berubah besar memanjang ditumbuhi bulu kecoklatan.

Sedangkan diujung setiap jari mencuat kuku melengkung panjang seperti kuku singa.

Tidak hanya tangan manusia singa saja yang berubah.

Mata, mulut serta gigi mereka juga mengalami perubahan.

Mata yang hitam berwarna kecoklatan, sekujur tubuh ditumbuhi bulu-bulu lebat begitu juga dengan bagian wajah semuanya tertutup dengan bulu-bulu kecoklatan.

Giri Soradana terbelalak kaget.

Kalau tidak menyaksikannya sendiri mana mungkin orang tua ini percaya.

"Mahluk terkutuk! Kalian semua memang sudah seharusnya musnah dari dunia ini!"

Teriak si kakek.

Begitu berteriak dengan mengerahkan seluruh ilmu kesaktian yang dia miliki.

Giri Soradana menggebrak maju.

Sadar lawan tak dapat dipandang enteng.

Dia menggunakan jurus-jurus andalannya untuk menyerang tiga manusia singa itu.

Tak dapat dipungkiri serangan yang dilakukan Giri Soradana kali ini selalu sangat ganas juga berlangsung cepat luar biasa.

Beberapa kali pukulan yang dilakukannya mengenai tubuh lawan, begitu pula dengan tendangan yang dilancarkannya.

Tapi aneh walau pukulan dan tendangan mengenai tubuh ketiga lawannya dengan telak.

Mereka sama sekali tidak menderita cidera parah.

Melihat lawan dapat bertahan dari setiap serangannya.

Si kakek terpaksa menggunakan pedang ditangan untuk menyerang mereka.

Seperti harimau terluka orang tua ini merangsak maju.

Melihat si kakek berlaku nekat tiga manusia singa segera menggempurnya dari tiga arah sekaligus.

Perkelahian sengit terjadi.

Bentrok antara pukulan dan tendangan beberapa kali terjadi.

Tapi semua itu hanya membuat tiga manusia singa terjajar.

Giri Soradana menggeram.

Laksana mahluk terluka si kakek meliuk-liuk memutar tubuh sedangkan pedang di tangan menghantam ke tiga bagian tubuh lawannya sekaligus.

Hebatnya melihat pedang berkelebat menyambar siap menembus tubuh ketiga lawan.

Justru mereka bertindak nekad menyongsong sekaligus menyambuti serangan pedang tersebut.

Benturan keras antara pedang dengan kuku-kuku lawan terjadi.

Terdengar suara berdentingan tak ubahnya seperti pedang membentur ujung tombak.

Bunga api berpijar ditiga penjuru tempat.

Giri Soradana keluarkan seruan tertahan.

Matanya mendelik ketika pedang ditangan yang dipergunakan untuk membabat lawan ternyata patah menjadi tiga bagian begitu bentrok dengan kuku-kuku lawannya.

Tak Ingin celaka.

Dia segera melompat tinggi sambil melepaskan pukulan ganas ke arah lawan-lawannya.

Tapi upaya mencari selamat serta pukulan yang dia lepaskan ternyata kalah cepat dari serangan balasan yang dilakukan ketiga lawannya.

Ketika tiga pasang tangan menderu, melesat ke arah wajah, dada dan punggungnya dia tak kuasa menyelamatkan diri.

Kreek! Kraak! Terdengar suara pakaian, kulit dan bagian tubuh yang robek tercabik kuku-kuku lawan yang tajam.


Forgotten Eve Karya Phoebe Jelihim Sang Pembebas Karya Syam Asinar Trio Detektif 39 Misteri Kejaran Teror

Cari Blog Ini