Ceritasilat Novel Online

Dendam Manusia Kutukan 3

Raja Gendeng 5 Dendam Manusia Kutukan Bagian 3



Darah menyembur dari tiga bagian luka menganga di tubuh orang tua ini.

Giri Soradana hanya bisa menjerit.

Sepasang mata membelalak besar seolah tidak percaya dengan kenyataan yang dialaminya.

Si kakek terhuyung.

Selagi dia kehilangan keseimbangan sementara tubuhnya dipenuhi luka tak karuan.

Purudana kembali hunjamkan kukunya ke tenggorokan lawan.

Sret! Leher si kakek robek besar, tenggorokan terputus.

Dan dia jatuh terhempas seperti pohon ditebang.

Begitu menyentuh tanah, si kakek tewas kehilangan nyawanya.

Tiga manusia singa saling pandang sambil kibaskan jemari tangannya yang berlumur darah.

Setelah kuku jari yang berlumur darah bersih.

Mereka pun sama-sama sunggingkan senyum puas.

Tapi senyum diwajah manusia singa itu kemudian lenyap begitu sayup-sayup mereka mendengar suara orang berteriak kalang kabut.

"Wheeeh. ... dibawah ada pembunuhan. Para pembunuhnya sadis sekali. Sadis dan pengecut. Hweh.... kalian manusia atau mahluk buas? Kulihat dari ketinggian ini tampang kalian seperti beruk besar. Jelek sekali...!"

Kemudian suara ucapan mencibir dan menyindir ketiga manusia singa lenyap. Selanjutnya terdengar pekikan kaget.

"Walah... kok bisa begini. Pedang tolol! Kalau mau turun ke bawah ya turun saja. Jangan menukik begini. Aku bisa jatuh menyungsap. Nanti wajahku bisa rusak dan hidungku yang bagus jadi jelek. Hei.... turunnya pelan saja. Kira-kira seperti daun yang jatuh dari pohon, bukan seperti burung alap-alap yang menyambar mangsa, jangan pula mendarat seperti burung buta yang sedang jatuh cinta. Ha ha ha....!"

Tiga manusia singa yang ujudnya belum berubah sama ternganga.

Seketika mereka dongakkan kepala menatap ke arah terdengarnya suara.

Dari atas ketinggian terlihat sesosok tubuh melayang jungkir balik sambil mendekap sebuah pedang yang diapit diselangkangan.

Ketiganya menjadi tercengang.

"Siapa yang jatuh dari langit itu?"

Desis Kuruseta kaget.

"Bukan jatuh. Orang itu menunggangi sebuah pedang!"

Jatukara menimpali.

"Terbang diketinggian dengan menunggang pedang? Sungguh sesuatu yang sulit dipercaya!"

Tukas Purudana.

Laki-laki ini pentang mata lebar- lebar.

Tidak ada yang keliru dengan penglihatannya.

Saat itu dia memang melihat sosok berupa seorang pemuda berambut panjang riap-riapan berpakaian putih tampak melayang turun dengan tubuh terombang-ambing tak karuan.

Sementara tangan kanan nampak mencekal pedang diantara selangkangannya sedangkan tangan kiri menggapai tak tentu arah.

"Hanya orang gila saja yang bisa melakukan semua kegilaan itu!"

Ujar Jatukara heran namun tetap berlaku waspada.

Baru saja Purudana hendak membuka mulut menimpali ucapan temannya.

Di depan mereka menggelundung jatuh orang yang mereka bicarakan.

Begitu jatuh pemuda yang tak lain Raja Gendeng adanya segera bangkit, lalu mengusapi pakaiannya yang terkena tanah.

Kemudian dengan sikap acuh pedang yang berada diantara dua paha di tarik ke atas.

Sambil menggenggam dan memelototi pedang itu Raja mengomel.

"Aku tahu kau ini memang pedang bodoh. Tidak hanya bodoh tapi juga gila. Bukankah aku sudah katakan padamu kalau mengajak aku terbang. Terbanglah yang lurus-lurus saja. Jangan belak-belok, jangan pula berayun-ayun. Kalau berayun perutku jadi mual. Kalau belok-belok tubuhku jadi oleng. Tapi kau tak pernah menuruti perintah. Dasar bandel, dasar gila."

Damprat Raja bersungut-sungut. Melihat pemuda tak mereka kenal itu bicara dengan pedangnya. Tentu saja ketiga manusia singa itu jadi terheran-heran.

"Dia gila! Lebih baik, tak usah dilayani, mari tinggalkan tempat ini!"

Kata Kuruseta.

"Gila? Kalau gila kenapa punya pedang. Dan aku yakin pedang di tangannya itu bukan senjata sembarangan."

Ucap Jatukara dengan suara lirih. Belum sempat yang lainnya menimpali. Raja tiba-tiba membuka mulut.

"Setiap laki-laki biar waras atau gila pasti punya pedang. Tidak perduli apakah pedangnya bisa dipakai atau pedang butut namun tetap berguna. Ha ha ha!"

"Ah dia tidak gila. Lalu buat apa dia datang kemari? Apaksh ingin mencari mati?"

Purudana Kuruseta dan Jatukara tak mampu menyembunyikan senyum mendengar ucapan Raja. Namun seperti temannya dia tidak ingin berlama-lama melayani pemuda aneh itu. Jatukara melangkah maju, kemudian membuka mulut ajukan pertanyaan.

"Orang yang datang dengan menunggang pedang. Siapa kau? Mengapa kau datang kemari? Apakah kamu masih punya hubungan dengan tua bangka Giri Soradana yang telah mampus ini,"

Hardiknya sambil menunjuk ke arah si kakek yang terbujur tak bernyawa.

Raja tidak menjawab.

Sebaliknya dia menatap ke arah yang ditunjuk Jatukara.

Begitu melihat ke arah si kakek yang mengenaskan.

Raja pura-pura terkejut pura-pura unjukkan wajah ngeri sementara dalam hati sebenarnya dia merasa prihatin melihat orang mati mengenaskan seperti itu.

Berlagak seperti orang yang bingung.

Sang Maha Sakti Raja Gendeng menjawab.

"Mengapa aku sampai kesini, Aku tidak tahu. Kalau tak percaya tanya saja pada pedang ini. Namanya pedang Gila, dialah yang telah membawaku ke tempat ini. Mengenai hubunganku dengan orang yang mati itu, terus terang aku tak mengenalnya. Dan yang lainnya pun aku tak mau tahu."

Kemudian Raja tersenyum setelah memperhatikan tiga orang berwajah dan berpenampilan singa itu. Raja melanjutkan ucapan.

"Eeh, kalian ini siapa? Tampang seperti singa. Tapi mengapa bisa bicara, bahasa manusia?"

"Kami adalah orang-orang dari Lembah Bangkai. Manusia diluar lembah menyebut kami sebagai Manusia Kutukan. Kami manusia sepertimu, namun kami memang memiliki tubuh yang seperti ini. Semua jelas bukan salah kami. Hanya dewa yang tahu mengapa kami jadi begini."

"Oh....!"

Gumam Raja dengan mulut melongo dan kepala manggut-manggut.

"Orang-orang aneh. Satu hal yang membuat aku tak habis mengerti, mengapa kalian membunuh orang tua itu?"

Mendengar pertanyaan Raja, tiga manusia singa saling pandang. Tiba-tiba saja Kuruseta melangkah maju. Sementara Jatukara membisiki Purudana.

"Pemuda ini kellhatannya seperti orang yang kurang waras dan tak punya kepandaian apa-apa. Tapi siapa tahu kehadirannya di sini memang sengaja hendak mencari perkara."

"Jika dia berani mencampuri urusan kita, aku pasti akan menghabisinya,"

Jawab Purudana berbisik pula.

"Siapa kau? Dari mana asal usulmu anak muda?"

Tanya Kuruseta.

"Aku."

Sahut Raja sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Aku bernama Raja. Tapi guruku sering memanggilku Raja Gendeng. Padahal.... he he he... mereka kali yang gendeng."

Lanjut pemuda itu sambil terkekeh.

"Oh ya asal usulku rasanya tidak penting kusebutkan. Yang jelas aku datang dari suatu tempat yang jauh sekali."

"Pemuda keparat. Jika kau tidak punya hubungan dengan Giri Soradana dan tidak bermaksud mencampuri urusan kami. Sebaiknya lekas angkat kaki dari sini!"

Hardik Purudana hilang kesabarannya. Diperintah angkat kaki, dengan tingkah seperti orang tolol Raja pun mengangkat kakinya tinggi- tinggi.

"Kurang ajar! Mengapa kau tidak segera pergi?"

Geram Jatukara sengit.

"Edan. Tadi temanmu menyuruh aku angkat kaki. Setelah kaki kuangkat mengapa kau marah?"

"Keparat kurang ajar! Beraninya kau mempermainkan kami."

Sentak Purudana berubah gusar.

"Siapa yang mempermainkan? Sesungguhnya kalian yang suka mempermainkan nyawa orang lain."

Sahut Raja lalu tertawa cengengesan.

Mendengar ucapan pemuda itu tiga manusia singa menjadi marah.

Bahkan Kuruseta melompat maju lalu menyerang Raja dengan jotosan dan tamparan keras.

Melihat serangan ganas menerpa wajah dan menderu ke bagian dada.

Dengan gerakan seenaknya Raja meliukkan tubuh.

Wuut! Dua serangan mengenai tempat kosong.

Kuruseta terperangah.

Menatap ke depan dia melihat lawan berdiri tegak sambil cengengesan.

"Serangan tak berguna."

Dengus pemuda itu.

Tak terduga Raja hentakkan kaki.
Raja Gendeng 5 Dendam Manusia Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kuruseta terkejut sekali ketika melihat Raja tahu-tahu sudah berada di depannya.

Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi K?ruseta membuat laki-laki itu terjajar sambil menjerit kesakitan.

Ketika dua temannya menatap ke arah Kuruseta.

Mereka pun terkejut bukan main.

Pipi Kuruseta menggembung bengkak membiru.

Sementara dari sudut bibirnya meneteskan darah kental.

Menyadari pemuda aneh itu mempunyai ilmu kesaktian tinggi serta jurus-jurus silat yang hebat, tiga manusia singa tidak mau membuang waktu dan memberi hati.

Lalu Jatukara dan Purudana keluarkan suara raungan seperti raungan singa.

Selanjutnya keduanya ke depan menyerang Raja dengan satu terkaman ganas mematikan.

Melihat serangan datang pada waktu yang bersamaan.

Raja menyeringai, namun dia segera menggerakkan tubuhnya untuk menghindari kedua serangan itu.

Dari arah yang berlawanan masing-masing sepasang tangan lawan yang terpentang menyambar sementara jari-jari tangan yang berkuku tajam menyambar ganas ke bagian tengkuk juga perut pemuda itu.

"Walah! Singa jejadian yang rakus. Ternyata kallan benar-benar menghendaki kematianku?!"

Rutuk Raja.

Sambil berkata begitu, pemuda ini meliukkan tubuhnya, dua bahu digoyangkan sedangkan kaki bergerak lincah tak ubahnya soperti orang yang menari.

Dan ketika dua serangan siap mencabik perut dan tengkuknya.

Dengan bertumpu pada kedua kakinya, kepala sampai ke pinggang digerakkan seperti sebatang pohon yang ditiup angin.

Wuees! Tidak satupun dari serangan kedua lawan yang mengenai sasaran.

Malah kedua manusia singa itu nyaris bertubrukan dan hampir melukai satu sama lain.

Jatukara melompat mundur.

Sementara Purudana begitu serangannya luput segera jejakkan kaki dan kembali nenyerbu lawannya.

Melihat ini Kuruseta yang telah merasakan tamparan Raja tidak tinggal diam.

Dia berseru memberi perintah pada dua temannya melalui ilmu mengirimkan suara.

"Pergunakan serangkaian jurus Singa Berburu Mangsa.' Bila kita bersatu dan menyerang bersama-sama dia pasti mampus!"

"Kau benar. Kita memang harus mengeroyok dia. Aku sudah merasakan pemuda ini jauh lebih hebat dibandingkan Giri Soradana!"

Menyahuti Purudana melalui ilmu mengirimkan suara pula.

Tak diduga-duga, kiranya Raja mendengar semua pembicaraan yang berlangsung diantara mereka.

Terbukti ketika ketiga lawan menyerang bersama-sama dan merangsak maju dengan menggunakan jurus-jurus singa yang sangat berbahaya.

Sambil lambungkan tubuhnya, pemuda ini berucap.

"Woala.... bicara saja harus berbisik- bisik. Takut aku dengar ya? Kalau memang mau main keroyokan lakukan saja mengapa harus malu- malu. Tidak ada yang melihat ini....! Ha ha ha!"

Kata pemuda itu diiringi gelak tawa .Wajah tiga mnusia singa memerah. Mereka merasa malu namun juga kaget tak menyangka Raja mendengar apa yang mereka bicarakan. Seolah ilmu menyusupkan suara yang mereka pergunakan saat bicara tidak ada gunanya.

"Raungan seribu singa...!"

Teriak Jatukara sambil membuka mulut keluarkan lolongan panjang.

"Jurus Seribu Singa Berburu Mangsa!"

Timpal Purudana pula menyebut nama jurus serangan yang mereka pergunakan.

"Kawanan Singa Berpesta Darah...!"

Seru Kuruseta pula sambil menghantamkan kedua tangannya ke arah Raja.

Tiga lawan menyerbu ganas ke arah Raja merangsak maju sambil melepaskan tendangan dan pukulan tangan kosong.

Sementara dari samping sebelah kiri sambil keluarkan suara raungan terus menerus hingga membuyarkan perhatian Raja, Jutukara dengan jari-jari terpentang siap mencabik bahu dan rusuk pemuda itu.

Dari arah belakang Purudana dengan menggunakan jurus Seribu Singa Berebut Mangsa menggempur Raja dengan menghunjamkan kuku dan mulutnya yang ditumbuhi taring.

Diserang dengan kecepatan luar biasa dari tiga arah yang berlawanan sulit bagi Raja untuk meloloskan diri.

Walau dia telah mengerahkan jurus Tarian Rajawali yang dipadukan dengan jurus Delapan Bayangan Dewa.

Raja tetap saja terdesak.

Ketika pemuda ini memutar tubuh sambil hantamkan kedua tangan ke arah lawan-lawannya.

Justru pukulan Kabut Kematian yang dilepaskannya malah dapat ditangkis oleh lawan dan berbalik menghantam diri sendiri.

Buum! Wuarkh! Raja Gendeng menjerit keras.

Tubuhnya terpelanting bergulingan di atas tanah.

Melihat lawan terjatuh Purudana menyeringai.

Dia segera melesat ke arah pemuda itu sambil kibaskan tangan kiri ke dada Raja.

Walau berusaha selamatkan diri tapi serangan Purudana yang kemudian disusul dengan serangan dua temannya yang lain tak dapat dihindari oleh Sang Maha Sakti.

Bret! Sambaran kuku Purudana mencabik robek pakaian disebelah dada pemuda itu.

Dada Raja terluka dan meneteskan darah.

Mengalirnya darah dari luka didada Sang Maha Sakti membuat Kuruseta dan Jatukara semakin tambah bersemangat dan makin beringas.

"Bunuh!"

Teriak keduanya bersamaan.

Dua manusia singa menghantam pemuda itu dengan pukulan sakti 'Raja Singa Mencabut Nyawa'.

Begitu kedua lawan hantamkan kedua tangan ke arah Raja dari telapak tangan mereka membersit masing-masing dua larik cahaya merah mengerikan.

Ketika empat cahaya menderu merobek udara malam.

Terdengar suara raungan menggelegar.

Tanah berguncang keras, langit seperti runtuh sang Maha Sakti yang baru saja bangkit berdiri tercekat.

Merasa tidak punya kesempatan untuk meloloskan diri.

Raja tekuk kaki depannya.

Mulut berkemak-kemik.

Dua tangan yang dialiri tenaga sakti diangkat tinggi.

Hanya beberapa saat setelah tangan berada di atas kepala.

Dari kedua tangan memancar cahaya puth redup berhawa dingin menggidikkan.

Sambil menyeringai dingin.

Tanpa membuang waktu begitu melihat empat cahaya merah mengerikan siap melumat tubuhnya.Rajapun segera mendorong dua tangannya ke arah dua arah sekaligus.

"Pukulan sakti Seribu Jejak Kematian...! teriak Raja menyebut ilmu pukulan yang dilepas- kannya. Dua cahaya putih redup berkiblat di udara, menderu berputar tak ubahnya tameng kematian yang dingin luar blasa. Cahaya putih dan cahaya merah akhirnya saling bentrok menimbulkan suara ledakan keras menggelegar dan membuat semua orang yang berada disitu terpelanting akibat guncangan ledakan. Debu, pasir dan kepulan asap membubung tinggi di udara. Dua manusia singa yaitu Kuruseta dan Jatukara menggeram dan berusaha bangkit berdiri. Dada berdenyut sakit, sekujur tubuh seperti membeku. Perlahan mereka menghimpun hawa murni untuk menghalau serangan hawa dingin yang berasal dari pukulan lawan. Tak jauh dari kedua orang ini Purudana yang ikut menyerang Raja dari sebelah atas justru jatuh terduduk sambil dekap dadanya. Setelah alirkan hawa sakti ke bagian dada, Purudana akhirnya bangkit. Menatap ke depan tiga manusia singa tidak melihat lawannya lagi. Tapi Setelah kepulan asap dan debu lenyap dan keadaan di sekitarnya tenang kembali, ketiganya melengak kaget begitu melihat lawan tegak berdiri tak jauh dari mereka dalam keadaan tak kekurangan sesuatu.

"Edan! Bagaimana dia bisa bertahan dari serangan kita?!"

Seru Jatukara dan Kuruseta hampir bersamaan.

"Dia mempunyai ilmu kesaktian yang sangat tinggi. Aku kira sulit sekali bagi kita untuk membunuhnya!"

Ucap Purudana lirih.

"Cuah! menamatkan riwayat Raja gila seperti dia apa yang sulit?!"

Dengus Kuruseta. Mendengar orang-orang itu saling berbisik Raja menyeringai dingin. Dengan tatapan dingin pula dia memperhatikan ketiga orang itu satu persatu.

"Mau membunuh saja mengapa ribut-ribut. Lagi pula aku tak mungkin lari kemana-mana! Tunggu apa lagi?"

Kata pemuda itu sinis. Merasa ditantang tiga manusia singa menjadi kalap. Sambil menggeram salah seorang diantaranya berkata.

"Kau meremehkan kami. Sekejab lagi kau akan menyesali segala ucapanmu!"

"Serang!"

Teriak Purudana memberi aba-aba. Tiga manusia singa segera menyebar, kemudian berlompatan berusaha membunuh Raja. Melihat serangan ganas datang menderu ke arahnya. Dengan sikap tenang Raja berucap.

"Pedang Gila. Kau yang mengajak aku kesasar ke tempat ini. Sekarang aku tak mau perduli. Kini giliranmu unjuk gigi, karena aku tahu kau tak punya gigi maka perlihatkan kekuatan dan ketajamanmu. Aku paduka Raja Gendeng memberi restu memberi ijin!"

Ucap pemuda itu.

Begitu Raja selesai berucap.

Tiba-tiba pedang Gila yang berada dipunggung bergetar, getaran itu disusul dengan tercabutnya pedang dari rangkanya.

Begitu pedang pusaka itu melesat keluar dari rangkanya.

Dari ujung pedang hingga bagian hulu memancar cahaya kuning kebiruan.

Pedang kemudian meliuk di udara melenggang seolah menari di atas ketinggian persis di depan Raja.

Pemuda itu tersenyum sedangkan mulutnya berucap.

"Bunuh dan habisi mereka!"

Teriakan Raja ternyata mempunyai pengaruh yang sangat hebat terhadap pedang Gila.
Raja Gendeng 5 Dendam Manusia Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terbukti begitu mendengar perintah dari Raja, sang pedang segera berputar, lalu melesat cepat hingga menimbulkan suara deru mengerikan disertai berkiblatnya cahaya kuning memerihkan mata.

Wuus! "Hei....senjata itu lagi? Mengapa bisa bergerak sendiri!"

Seru Jatukara terkejut. Namun dia segera batalkan serangan dan berusaha selamatkan diri.

"Pedang milik si gondrong itu. Sungguh sebuah senjata aneh dan benar-benar gila!"

Teriak Purudana pula.

Segala teriakan dan seruan kaget kemudian berubah menjadi jerit dan pekik kesakitan.

Satu persatu manusia singa hanya mampu delikkan mata sambil dekap dada masing-masing yang berlubang menganga di tembus pedang.

Mereka tidak pernah melihat kapan Pedang Gila melukai mereka.

Yang mereka sadari adalah darah mengucur deras dari luka di tubuh mereka.

"Mengapa bisa begini..?"

Desis Kuruseta seolah tak percaya nasibnya berubah seburuk itu.. Laki-laki itu lalu ambruk. Dua temannya juga menyusul bertumbangan. Pedang Gila berputar diketinggian lalu kembali masuk ke dalam rangkanya. Slep! Raja tersenyum.

"Terima kasih kau telah membantu.Terima kasih pula kau telah menunjukan baktimu."

Ujar Raja ditujukan pada pedang.

"Hamba juga berterima kasih karena gusti Raja Gendeng telah berkenan memberi kepercayaan pada hamba!"

Sayup-sayup Raja mendengar jawaban.

Dan dia tahu yang menjawab pasti jiwa yang bersemayam dalam hulu pedang.

Raja manggut-manggut Sambil menghela nafas, tanpa menoleh lagi Raja tinggalkan tempat itu.

Sekejab sosoknya lenyap ditelan kegelapan.

Angin dingin menderu.

Dikejauhan terdengar suara lolong anjing dan lenguh burung hantu.

Dan diantara mahluk malam yang membuat berdiri setiap helai rambut disekujur tubuh terdengar pula suara Raja.

"Wahai, segala hantu pengganggu dan setan jembalang. Jangan membuat perkara. Permisi! Aku yang mulia Paduka Raja Gendeng mau lewat. Klak-klak-klak!" ***** Kembali di halaman depan tempat kediaman tumenggung Dadung Kusuma. Si Mata Bara yang baru saja selesai membantai para pengawal tumenggung dengan kesaktian yang bersumber dari sepasang matanya. Tampak diam dan terus memperhatikan sang tumenggung. Sikap dingin yang ditunjukkan oleh lawan membuat sang tumenggung yang telah banyak kehilangan pengikut dan istri ini menjadi sangat marah. Dia melangkah maju. Kemudian dengan mata mendelik sang tumenggung membentak.

"Manusia iblis! Segala kekejian yang kau lakukan benar-benar telah melebihi takaran. Sekarang terimalah ajalmu!"

Berkata begitu sang tumenggung segera menghantam lawan dengan ajian kesaktian.

"Melumat Jiwa Meruntuhkan Raga."

Ajian yang dilancarkan tumenggung ini adalah salah satu dari beberapa pukulan sakti yang pernah membuat geger dunia persilatan.

Tidaklah heran, begitu tumenggung hantamkan dua tangan ke depan.

Seketika itu juga terdengar suara bergemuruh aneh laksana sebuah bendungan yang jebol.

Tidak terlihat ada cahaya ataupun kilatan lidah api yang membersit dari tangan orang tua ini.

Tapi tiba-tiba saja Si Mata Bara yang menyambut dingin serangan lawan sambil mengumbar tawa dibuat tercekat.

Dia merasakan ada sebuah tirai raksasa yang sangat dingin namun tidak terlihat menggulung tubuhnya.

Seiring dengan itu tirai gaib terus melibat dengan gerakan seperti seekor ular melilit siap meremukkan sekujur tubuhnya.

Mata Bara menggerung dan diam-diam dia alirkan tenaga sakti kesekujur tubuh.

Sambil terhuyung Mata Bara berusaha menghancurkan tirai aneh yang melibat tubuhnya.

Upaya meloloskan diri Si Mata Bara ternyata tidak mudah.

Semakin dia berusaha menghancurkan tirai, semakin sulit baginya untuk bergerak.

Melihat ini tumenggung Dadung Kusuma segera menghunus senjata.

Begitu senjata sakti berupa tombak berwarna hitam berada dalam genggaman dia berseru.

"Ternyata tidak sulit menghabisi manusia iblis sepertimu.Ketahuilah kau telah terperangkap dalam ilmu ajianku.Sampai kapanpun kau tak akan mampu meloloskan diri dari perangkap ajian Melumat Jiwa Meruntuhkan Raga'.Sekarang terimalah kematianmu"

Berkata begitu sang tumenggung segera melesat ke depan sambil menyabetkan tombak hitam bergagang pendek tangan kebagian lambung lawan.

Cahaya hitam yang menderu dari ujung tombak berkiblat.

Hawa panas dan dingin menyambar Si Mata Bara.

Tak sampai seujung kuku lagi cahaya dari ujung tombak amblas menembus perut Mata Bara.

Tiba-tiba saja...

Wuss! Mata Bara sekonyong-konyong lolos dari sergapan.

Sambaran cahaya dan tusukan tombak hanya mengenai angin.

Tumenggung terkesima, namun cepat memutar tubuh.

Dia melihat lawan telah berdiri tegak, mulut menyeringai, mata yang merah membersitkan kemarahan luar biasa.

"Kau mengira bisa membunuh sekaligus menghabisi aku dengan semudah itu? Aku datang mencari korban, bukan aku yang aku yang menjadi korban. Tapi engkaulah yang akan menjadi korbanku!"

Ucap Mata Bara dingin.

"Bangsat jahanam. Bagaimana dia bisa lolos dari ilmu ajlanku?"

Kata tumenggung di dalam hati.

Tumenggung sama sekali tidak pernah menyangka lawan yang dia hadapi sesungguhnya mempunyai ilmu 'Lintah Menyelinap Dalam Air'.

Dengan ilmu seperti itu membuat Mata Bara berubah licin seperti belut.

Walau hati penasaran namun tumenggung tidak berkata apa-apa.

Begitu melihat lawan lengah dia pergunakan kesempatan itu untuk menyerang.

Tangan kiri dan kaki menyambar ganas menghantam lawan.

Dess! Buuk! Satu pukulan dan satu tendangan menggeledek mendarat di tubuh lawan.

Diserang dengan kekuatan sehebat itu seharusnya dada dan kaki Si Mata Bara patah ataupun remuk.

Namun aneh Si Mata Bara cuma terguncang.

Sementara dua bagian tubuhnya yang menjadi sasaran tidak nengalami cidera sedikitpun.

Penasaran sang tumenggung kembali melepaskan satu pukulan sakti yang dikenal dengan nama 'Tangan Setan Meremas Nyawa'.

Begitu tangan dikibaskan ke depan.

Si Mata Bara melihat seolah-olah tangan lawan bertambah panjang dan tambah membesar.

Lima jemari tangan yang berubah sebesar pisang ambon terus meluncur siap menjebol dadanya.

"ilmu setan!"

Dengus Mata Bara.

Dia menggeser kaki sambil miringkan tubuh.

Serangan tangan besar luput dan lewat sejengkal di depan dada Si Mata Bara.

Begitu tangan lawan lewat secepat kilat dia mencengkeram tangan itu.

Tumenggung Dadung Kusuma yang tak menyangka bakal mendapat serangan seperti itu segera berusaha menarik tangan yang dicekal sekaligus tikamkan tombak di tangan kanannya.

Usaha menarik tangan sekaligus membunuh lawan terlambat.

Dengan tak terduga Mata Bara tiba-tiba kedipkan matanya ke arah tangan dalam cengkeramannya.

Dua cahaya merah membara setajam mata pedang membersit dan siap menebas putus tangan sang tumenggung.

Ketika tusukan tombak datang siap menembus perut si Mata Bara segera melompat mundur ke belakang selamatkan diri.

Tumenggung Dadang menjerit setinggi langit.

Dia menjerit sambil kibas-kibaskan tangannya yang buntung, hangus menghitam mengucur darah.Sementara potongan tangan yang terbabat putus akibat hantaman cahaya dari mata lawan tercampak di tanah.

Jari-jarinya bergetar sedemikian rupa lalu diam tak bergerak.

Si Mata Bara tertawa dingin.

Sambil tertawa dia berseru.

"Tumenggung! Kurasa sudah waktunya bagimu untuk menyusul istri tercinta. Dan jangan lupa sesampainya di akherat bila tidak bahagia. Ingat-ingatlah putrimu yang cantik itu karena aku akan membuat hidupnya sengsara seumur-umur. Ha ha ha!"

Walau menderita sakit luar biasa. Sang tumenggung segera berpaling ke arah lawan begitu mendengar kata-kata bernada mengancam itu.

"Kau hendak menghancurkan masa depan anakku. Lebih baik aku mengadu jiwa denganmu!"

Teriak Sang tumenggung.

Dengan kekuatan yang masih tersisa laki-laki ini berlaku nekat.

Laksana macan terluka dia menerjang ke arah lawan, lalu menyerang dengan tendangan kaki dan tusukan tombak.

Mendapat serangan gencar secepat itu.

Mata Bara segera nenyambuti dengan pukulan pula.

Benturan terjadi.

Keduanya sama terdorong mundur, tapi tak urung ujung tombak masih sempat menggores lengan Si Mata Bara.

Merasa sedikit lebih unggul.
Raja Gendeng 5 Dendam Manusia Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tumenggung kembali melompat maju sambil hantamkan tombak ke wajah dan dada lawan.

Tombak menderu menebar hawa dingin berkesiuran, cahaya hitam berkiblat menyambar ganas .Melihat ini Si Mata Bara menyambut.

Dia goyangkan kepala dua kali.

Dari mata mencuat cahaya merah menyambar ke arah tombak sekaligus tubuh sang tumenggung.

Melihat dua cahaya menyerang dirinya Tumenggung menarik balik serangan dan memutar tombak untuk melindungi diri.

Tapi kemudian dia memekik kaget.

Tombak yang dipergunakan untuk menangkis menjadi leleh terkena sengatan cahaya merah.Bahkan cahaya itu menembus pertahanan dan menghantam dadanya Jees! Sengatan cahaya itu menembus dada dan menimbulkan lubang besar hitam menganga.

Sang tumenggung terhuyung, wajahnya pucat pasi.

Sedangkan dada yang berlubang besar mengepulkan asap menebar bau daging hangus terbakar.

Tak lama berselang setelah sempat terhuyung.Tumenggung Dadung Kusuma akhirnya roboh kehilangan nyawanya.

Si Mata Bara berucap.

"Satu lagi musuh besar menyusul ke liang kubur. Sekarang hanya tinggal adipati Seta Kurana. Dialah orang yang paling bertanggung jawab dalam semua perkara gila yang pernah terjadi."

Setelah itu dia terdiam. Kemudian tanpa bicara apa-apa dia melangkah menghampiri Mangir Ayu yang terkulai di bawah roda kereta yang hancur. Sejauh itu Mangir Ayu rupanya masih belum sadarkan diri.

"Aku tak mungkin membawa gadis ini ke Lor Ploso dan menahannya di Goa Cerekan. Aku harus memanggil Kara dan Ukuwudra. Biarkan dua manusia kera itu yang membawa mereka."

Setelah berkata begitu Si Mata Bara bersuit nyaring.

Begitu suara suitan lenyap.

Tiba-tiba terdengar suara berisik seperti suara sekawanan monyet.

Tak lama kemudian tanpa diketahui dari mana datangnya.

Tahu-tahu di depan si Mata Bara telah berdiri tegak dua laki-laki berpakaian hitam dengan sekujur wajah dan tangan ditumbuhi bulu-bulu halus.

Sesuai dengan namanya kedua laki-laki itu memang mempunyai bentuk wajah mirip dengan kera.

Melihat kehadiran dua manusia kera sahabatnya itu, Si Mata Bara pun tersenyum.

"Sahabat Mata Bara memanggil kami?"

Tanya salah satu diantaranya yang bernama Ukuwudra. Mata Bara anggukkan kepala.

"Benar. Aku mau kallan membawa dan menahan gadis ini di gua Cerekan. Urusanku masih banyak. Mustahil aku yang membawanya kesana"

Terang laki-laki itu.

"Kami tahu. Semua dendan belum terbalaskan. Rasanya masih banyak urusan yang harus diselesaikan. Kami akan membawa gadis itu."

Jawab Kara sambil menatap ke arah Mangir Ayu. Dia lalu memberi isyarat pada Ukuwudra. Tanpa menunggu Ukuwudra segera menghampiri Mangir Ayu lalu memangguinya di atas bahu.

"Kami pergi sahabat!"

Ujar Ukuwudra dan Kara berbarengan.

Si Mata Bara anggukkan kepala.

Tapi ketika dia menatap ke depan dua sahabat saudara senasib yang menetap di gua Cerekan itu telah lenyap.

***** Ketika dua manusia berwajah kera melewati jalan setapak di Lor Ploso, Mereka merasa lega karena dalam perjalanan ternyata tidak ada hambatan atau rintangan berarti yang mereka temui.

Kedua orang ini terus berlari.

Ukuwudra yang membawa Mangir Ayu dalam panggulan berada di sebelah depan.

Sedangkan Kara terus mengikuti tak jauh di belakangnya.

Setelah melewati jalan berliku dan memasuki sebuah tikungan panjang.

Di ujung tikungan tak jauh dari samping tebing terlihat sebuah gua besar menghadap ke sebuah lembah subur.

Itulah guo Cerekan yang menjadi tempat tinggal mereka selama ini.

Melihat tempat yang mereka tuju telah berada diambang mata.

Kedua manusia kera ini pun mempercepat larinya.

Tapi sejarak lima puluh tombak lagi mereka sampai di depan mulut gua.

Tanpa pernah terduga Mangir Ayu yang berada di atas bahu Ukuwudra tiba-tiba tersadar dari pingsannya.

Gadis cantik ini mula-mula mengeluh, tapi ketika kesadarannya mulai pulih dan dia merasa seperti sedang dibawa berlari .Mangir Ayu pun membuka matanya .Begitu melihat dia berada di atas panggulan orang yang tidak dikenal, karuan saja gadis itu menjerit ketakutan.

"Siapa kalian? Apa yang terjadi? Kemana aku hendak dibawa?"

Tanyanya dengan wajah tegang suara terbata-bata. Walau kaget tidak menyangka Bahwa gadis itu menjadi sadar secepat itu. Namun Ukuwudra tidak menjawab. Sebaliknya dia terus saja berlari hingga membuat Mangir Ayu jadi ketakutan dan mulai meronta-ronta.

"Lepaskan aku! Aku ingin bersama ayah dan ibuku!"

Pekiknya.

"Diamlah cah ayu. Ayah dan ibumu telah menemui ajal. Lebih baik kau ikut bersama kami. Kau pasti betah karena kami bisa memberikan kesenangan lahir dan batin."

Kata Kara lalu sunggingkan seringai monyetnya. Mangir Ayu memperhatikan kedua orang itu. Begitu melihat wajah manusia kera yang ternyata sangat berbeda dengan wajah manusia biasa, si gadis pun tambah ketakutan.

"Lepaskan aku... kalian adalah mahluk- mahluk yang tidak beradab."

Teriak Mangir Ayu. Sekali lagi dia meronta. Tapi diluar dugaan Ukuwudra ternyata memperketat cekalannya pada pinggang si gadis.

"Kalau dia tidak mau diam, lebih baik kau totok saja gadis itu saudaraku!"

Ucap Kara tidak sabar.

Belum sempat Ukuwudra menjawab ucapan saudaranya.

Tiba-tiba terdengar suara siulan yang disertai dengan tawa tergelak-gelak.

Kedua manusia kera terkejut.

Merasa berada di daerah kekuasaan sendiri keduanya sama hentikan langkah.

Kara yang bisa melenggang bebas segera pandangi keadaan di sekitarnya dengan mata nyalang.

Karena dia tidak melihat siapapun di sekitar situ.

Penasaran Kara membuka mulut dan berseru.

"Siapa yang bersiul, siapa yang baru saja tertawa? Kuharap jangan suka mencari perkara kalau tak mau mampus"

"Ha.ha..ha.Cara bicara bicaramu boleh juga.Hendak kalian bawa kemana anak gadis orang? Orang tak mau mengapa dipaksa."

"Memangnya kalian sendiri siapa. monyet? Apa memang tukang culik anak perawan?"

Mendengar orang menyebut diri mereka monyet. Ukuwudra langsung turunkan Mangir Ayu dari panggulan. Tapi Mangir Ayu sendiri tak dapat bergerak karena sebelum diturunkan dia telah ditotok oleh Ukuwudra.

"Sialan! Kita dibilang monyet, saudaraku!"

Rutuk Ukuwudra jelas-jelas tak dapat menerima.

"Siapapun yang berani menghina kita layak dibunuh."

Timpal Kara tidak kalah gusar.

"Memang monyet. Makanya aku memanggil kalian monyet. Apa kalian mengira tampang kalian tampan seperti pangeran. Pangeran kesasar sekalipun wajahnya tak mungkin seburuk itu. Jadi buat apa merasa tersinggung? Bila tampang memang buruk seperti beruk tak usah mata yang disalahkan. Lebih baik kalian bertobat atau berlutut dihadapan Rajamu ini. Biar gendeng-gendeng begini mudah-mudahan aku bermurah hati mau mengampuni. Ha ha ha."

Kata suara itu lagi-lagi disertai tawa.

Kedua manusia kera saling pandang.

Mata mereka merah dan mendelik besar pertanda berusaha menahan kemarahan di hati.

Dalam kemarahan meluap.

Belum lagi keduanya sempat membuka mulut tiba-tiba dari atas pohon tinggi melayang turun satu sosok berupa seorang pemuda berbaju putih berambut panjang.

Sedangkan dipunggungnya tergantung sebilah pedang berbentuk aneh berhulu batu pualam biru.

Dengan gerakan indah disertai liukan yang tak ubahnya seperti tarian jurus silat.

Pemuda itu kemudian jejakkan kedua kaki di depan mereka.

Begitu tegak berdiri.

Sambil bertolak pinggang si pemuda yang tak lain adalah Sang Maha Sakti Raja Gendeng adanya sunggingkan senyum.

Melihat seorang pemuda tidak mereka kenal menghadang di tengah jalan .Ukuwudra jadi tidak sabar.

Laki-laki itu melangkah maju.

Dengan mata melotot dari mulutnya menyembur ucapan.

"Kau yang bersiul tadi?"

Tanya Ukuwudra. Raja menganggukkan kepala.

"Apakah kau juga yang tertawa dan menghina kami monyet?"

Si pemuda mengangguk lagi.

"Bangsat kurang ajar! Siapa kau beraninya membuat perkara dengan kami?"

Hardik Kara Raja tersenyum. Sekilas melirik ke arah Mangir Ayu lalu kedipkan mata. Setelah itu dia menjawab.

"Apakah telingamu tuli. Aku sudah mengatakan aku adalah yang mulia paduka Raja Gendeng. Lalu tunggu apa lagi mengapa kalian tidak segera berlutut dihadapanku? Lagi pula apa takutnya membuat perkara dengan kalian? Kalian cuma dua monyet kesasar yang tak perlu ditakuti. Bukankah begitu nyet!"

Kata Raja sambil melirik ke arah Ukuwudra. Karuan saja ucapan Raja ini membuat kedua manusia kera seperti kebakaran jenggot. Ukuwudra melompat maju. Dengan sangat marah dia berteriak.
Raja Gendeng 5 Dendam Manusia Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pemuda gila kurang ajar. Beraninya kau mencampuri urusan kami? Sekarang juga kau harus merasakan akibatnya!"

Teriakan Ukuwudra disusul dengan tindakan sambil melompat maju.

Lalu dengan mengandalkan jurus-jurus keranya Ukuwudra menyerang Raja.Diserang sedemikian rupa pemuda ini berkelit menghindar, lalu membalas serangan Itu dengan jurus Tangan Dewa Menggusur Gunung.

Ketika Raja memutar dan mendorong kedua tangan ke arah Ukuwudra.

Tiba-tiba terdengar suara menggemuruh seperti topan.

Ukuwudra terkesima begitu melihat segulung angin menghantam tubuhnya.

Secepat kilat dia jatuhkan diri.

Serangan luput, Raja memutar tubuh dan menghantam kaki Ukuwudra dengan menggunakan kaki kiri.

Tapi yang diserang telah bergulingan menjauh.

Hentakan kaki Raja menimbulkan guncangan pada permukaan tanah.

Malah kaki pemuda itu amblas sampai ke betis.

Secepat kilat Raja menarik lepas kakinya dari tanah.

Tapi kesempatan dipergunakan Ukuwudra melancarkan serangan.

Wuut! Buk! Dess! Walau sempat berusaha berkelit sekaligus selamatkan diri.

Serangan Ukuwudra tetap menghantam bagian punggung dan rusuk kanan Raja.

Sang Maha Sakti mengeluh tertahan.

Bagian punggung yang kena digebuk orang terasa sakit bukan main.

Diam-diam Raja salurkan tenaga sakti kebagian punggungnya.

Belum sempat pemuda ini menarik nafas Ukuwudra melesat ke arahnya dengan dua tangan terpentang siap menerkam.

Tak ingin menjadi korban untuk yang kedua kalinya.

Pemuda itu jatuhkan diri dengan posisi terlentang.

Begitu tubuhnya rebah, dia menghantam lawan yang terus menyerbu ke arahnya dengan melepas dua pukulan sakti sekaligus.

Dalam keadaan tubuh meluncur cepat.

Ukuwudra terkejut bukan main begitu melihat dari telapak tangan Raja menderu hawa dingin luar biasa.

Tak ingin celaka walau sempat terkejut.

Ukuwudra berusaha selamatkan diri dengan membanting tubuhnya ke samping.

Tapi saat dia meluncur ke tempat yang aman, lawan tiba-tiba melepaskan pukulan susulan berupa ilmu pukulan sakti Kabut Kematian.

Tidak ada suara deru atau kilatan cahaya yang membersit dari tangan Raja.

Dari telapak tangan hingga ke pangkal lengan Sang Maha Sakti hanya terlihat kepulan asap putih tebal menyerupai kabut.

Kabut putih bergulung-gulung tak ubahnya seperti ular yang meliuk, lalu menyambar ke arah Ukuwudra sekaligus melibatnya.

Sesaat Ukuwudra hilang lenyap tenggelam dalam kepulan kabut tebal.

Kara terkesima.

Mata manusia kera itu mendelik.

Dan dia jadi tercekat begitu terdengar suara jerit menyayat hati dari balik gulungan kabut.

"Saudaraku, Ukuwudra...!"

Teriak Kara dengan hati dirayapi ketegangan.

Raja menyeringai.

Tangan yang diselimuti kabut putih dihentakkan ke atas dengan gerakan seperti membuang sesuatu.

Begitu tangan dihentakkan.

Kabut bergoyang keras.

Lalu dari balik gumpalan kabut asap melesat keluar Ukuwudra.

Laki-laki itu melayang dalam keadaan jungkir balik dan tubuh kaku laksana patung.Kemudian jatuh bergelebukan di depan Kara.

Melihat saudaranya tewas mengerikan dalam keadaan membeku.

Kara meraung sejadi-jadinya.

"Tidaaak..!"

Pekiknya histeris. Kara menangis sesunggukan. Tapi dia tidak mau tenggelam dalam kesedihan begitu lama. Secepat kilat dia bangkit, balikkan badannya menghadap ke arah Raja. Dengan kemarahan meluap disertai tatap mata penuh rasa benci dia berseru.

"Pemuda gendeng. Kau telah membunuh saudaraku?"

Geramnya.

"Aku membunuh karena dia memang punya niat membunuhku."

Jawab Raja.

"Hutang darah dibayar darah, hutang pati dibayar nyawa. Mampuslah kau,"

Teriak Kara .Sekonyong-konyong manusia kera ini lambungkan tubuhnya ke udara.

Begitu melesat ke atas dia menghantam Raja dengan pukulan Kera Sakti Murka.

Dua tangan menghantam ke bawah.

Dari telapak tangan Kara memancarkan cahaya merah kebiruan.

Cahaya itu bergulung laksana ombak, menderu menghantam Raja dari segala penjuru.

Hawa panas menyengat yang melanda kawasan sekitar membuat Mangir Ayu yang dalam keadaan tertotok tak dapat bergerak menjerit ketakutan.

Melihat ini Raja segera melompat ke arah si gadis lalu mendorongnya agar selamat dari serbuan pukulan lawan.

Mangir Ayu jatuh terguling-guling dan terhempas dibalik pohon besar.

Sementara setelah menyelamatkan gadis itu.

Raja segera selamatkan diri dengan menghantamkan dua tangannya ke atas.

Wuut! Wuut! Buum! Dua pukulan sakti beradu di udara.

Terdengar suara ledakan berdentum dua kali berturut-turut.

Di atas ketinggian terdengar suara jeritan keras yang disusul dengan suara benda jatuh bergedebukan.

Debu, asap dan pasir bertaburan memenuhi udara, membuat pemandangan menjadi gelap.

Sementara Raja yang tubuhnya terbenam amblas sampai ke pinggang akibat benturan itu mengerang sambil mendekap dadanya yang mengalami cidera di bagian dalam.

Setelah berusaha keras sambil menahan rasa sakit luar biasa disekujur tubuhnya.

Raja akhirnya berhasil keluar dari pendaman tanah.

Dengan rambut awut-awutan tak karuan dan pakaian kotor penuh debu.

Dia baringkan tubuh di atas tanah.

Perlahan setelah dapat mengatur nafas dan menyalurkan hawa sakti ke bagian dadanya yang cidera.

Pemuda tu merayap bangkit lalu duduk bersila.

Kepulan debu dan asap lenyap.

Pemandangan disekitarnya kembali terang seperti semula.

Raja layangkan pandangan mata.

Dia melihat Kara terkapar tak jauh dari tempatnya berada.

Melihat lawan tidak bergerak.

Sementara sekujur tubuhnya dipenuhi luka mengerikan.

Raja yakin Kara telah menemul ajal.

Sang Maha Sakti menarik nafas dalam-dalam.

Saat itu segala rasa sakit yang mendera tubuhnya benar-benar lenyap.

Perlahan dia menundukkan kepala namun kemudian ia buru-buru mengangkat wajah begitu mendengar suara Mangir Ayu dari balik pohon.

"Pemuda aneh bernama Raja Gendeng. Bagaimana keadaanmu? Kau baik-baik saja bukan?"

Tanya si gadis. Ada rasa khawatir dalam nada suaranya. Raja tersenyum, menatap ke arah pohon dimana gadis yang dia tolong tetap terbaring kaku akibat totokan.

"Aku...aku selalu baik-baik saja. Kau sendiri bagaimana? Apakah dalam keadaan baik juga?"

Tanya Raja polos "Huh baik apanya. Aku tak bisa menggerakan tubuhku, aku bahkan tak mampu berdiri atau berjalan. Bagaimana bisa dikata baik."

Sahut Mangir Ayu ketus.

"Jadi kau mau kutolong lagi?"

"Tak usah banyak bicara. Bebaskan saja totokan di tubuhku ini."

"Tubuhmu yang tertotok di sebelah mana?"

Tanya Raja sambil bangkit berdiri .Mangir Ayu terdiam. Wajahnya memerah. Dia tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Apakah harus berterus terang.
Raja Gendeng 5 Dendam Manusia Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ditanya malah diam. Kalau tidak mau kutolong, kalau tak sudi totokan itu kupulihkan ya sudah. Aku mau pergi saja."

Kata Raja tidak sabar.

"Hei tunggu. Jangan tinggalkan aku."

Seru Mangir Ayu.

"Katakan bagian tubuhmu sebelah mana yang telah ditotok monyet itu?"

Terbata-bata Mangir Ayu menjawab.

"Ngg...anu...dia menotokku di bagian dada sebelah kiri."

Ucapnya jengah. Raja tercengang.Lalu tertawa.

"Oalah.... disitu rupanya. Tak kusangka sebangsa monyet pun tahu dimana tempat yang asyik dan enak-enak. Ha ha ha."

"Pemuda gila. Jangan membuat malu diriku."

Damprat Mangir Ayu marah.

Raja tambah terkekeh.

Tapi segera datang menghampiri gadis cantik itu.

Tamat.

Episode selanjutnya Penyair Sinting (Tiada gading yang tak retak,begitu juga hasil scan cerita silat ini..

mohon maaf bila ada salah tulis/eja dalam cerita ini.

Terima kasih) Situbondo,27 Agustus 2019






Perempuan Di Titik Nol Women At Point Kesatria Cahaya Karya Paulo Coelho Dewi Ular Legenda Yang Hilang

Cari Blog Ini