Ceritasilat Novel Online

Penyair Sinting 1

Raja Gendeng 6 Penyair Sinting Bagian 1

Raja Gendeng 6 Penyair Sinting **** Karya Rahmat Affandi Sang Maha Sakti Raja Gendeng 6 dalam episode Penyair Sinting ***** TIM

Kolektor E-Book

Buku Koleksi . Denny Fauzi Maulana (

https.//free.facebook.com/denny.f.maulana) Scan,Edit Teks dan Pdf . Saiful Bahri Situbondo (

http.//ceritasilat-novel.blogspot.com) Dipersembahkan Team

Kolektor E-Book

(

https.//www.facebook.com/groups/Kolektorebook) *******

Setelah hampir setengah malam penuh menunggang kuda putih bernama Cantrik Abimayu.

Laki-laki gagah berpakaian bagus warna hitam membekal senjata berupa keris ini sampai di selatan gunung Kidul.

Laki-laki berusia empat puluhan ini tak lain adalah senopati Gagak Panangkaran Seperti telah dikisahkan dalam episode.

(Dendam Manusia Kutukan).

Sang senopati sekaligus orang kepercayaan adipati ditugaskan untuk menghubungi beberapa tokoh sakti yang masih terhitung sahabat dekat adipati.

Para sahabat itu diharapkan membantu pihak kadipaten untuk meringkus pembunuh haus darah yang telah melakukan serangkaian pembunuhan terhadap para pejabat kerabat adipati, para tumenggung juga beberapa orang penting lainnya.

Gagak Panangkaran seperti telah diketahui memutuskan untuk pergi sendiri tanpa didampingi pasukan kadipaten.

Kini setelah tiba di tepi pantai tak jauh dari bebukitan batu karang tempat dimana Windu Saketi atau yang juga dikenal dengan julukan si Tongkat Bala menetap, Gagak Panangkaran segera melompat turun dari atas kudanya .Kuda putih yang sangat penurut dan patuh itu kemudian ditambatkan pada batang pohon tumbang.

Sebelum Senopati mendaki puluhan undakan tangga yang melingkar di sekeliling punggung bukit karang.

Laki-laki itu mengusap tengkuk kuda.

"Cantrik Abimayu."

Ucap senopati menyebut nama kuda kesayangannya.

"Kamu tetaplah berada di sini.Tunggu sampai aku kembali.Jangan bersuara jangan pula berisik"

Sang kuda meringkik keras, pertanda mengerti.

Senopati Gagak Panangkaran tersenyum.

Dengan langkah tenang dia menyusuri kaki bukit.

Selanjutnya senopati mulai menaiki puluhan tangga batu menuju ke sebuah pondok yang terdapat di puncak bukit.

Sambil terus mendaki, senopati tidak henti-hentinya berpikir.

Dimana-mana terjadi pembunuhan.

Tapi semua yang terbunuh masih punya hubungan dengan adipati Seta Kurana.

Nanti setelah menemui kakek Windu Saketi dia harus menghubungi dua tokoh penting lainnya yaitu Ki Rangga Galih dan Ki Jaran Palon yang tinggal menetap tak jauh dari Kali Urang.

Karena sambil berjalan senopati larut dengan pikirannya maka tanpa terasa dia telah sampai di depan sebuah bangunan sederhana beratap nipah dimana sebagian dindingnya terbuat dari batu.

Deru angin laut menyambutnya.

Sementara dari halaman pondok sederhana itu dapat terlihat birunya laut dikejauhan serta suara burung camar yang terbang melayang di atas air.

Seumur hidup sudah tiga kali senopati menyambangi kediaman Windu Saketi.

Tapi tidak seperti biasanya kali ini pondok itu terasa sunyi.

Bahkan senopati Gagak Panangkaran melihat pintu pondok tertutup rapat seakan penghuninya sedang tidak berada di tempat.

Heran bercampur penasaran senopati pun memanggil-manggil nama kakek itu.

Tapi setelah memanggilnya beberapa kali senopati tak kunjung mendapat jawaban.

Senopati pun menjadi curiga.

Dengan cepat dia hampiri pintu yang tertutup rapat.

Tanpa menunggu pintu didorong.

Terdengar suara derit.

Pintu terbuka.

Ketika senopati melangkah masuk .Suasana ruangan gelap temaram.

"Ki Windu Saketi, apakah kau berada di rumah?"

Teriak senopati.

Lagi-lagi tak ada Jawaban.

Dengan cepat laki-laki itu memeriksa semua ruangan yang ada.

Dan ketika dia berada di kamar yang biasa ditempati si kakek.

Tiba-tiba saja dia mendengar suara derit dari bagian pintu dapur.

Walau sempat kaget, namun rasa curiga membuat senopati bergegas menuju ke bagian dapur sementara sambil melangkah diam-diam dia alirkan tenaga dalam ke bagian kedua belah tangan.

Sesampainya di bagian dapur senopati tertegun ketika melihat pintu terbuka.

Padahal ketika ia masuk melalui pintu depan dia melihat pintu di bagian itu dalam keadaan tertutup rapat.

"Seseorang agaknya telah menyelinap masuk ke tempat kediaman orang tua itu,"

Pikir senopati tambah curiga.

Setelah berlari dia mengejar keluar.

Tetapi sesampainya di halaman belakang bau busuk bangkai datang menyambutnya.

Laki-laki itu merasa perutnya menjadi mual, kepala pusing dan ingin muntah.

Anehnya walau bau busuk membuat isi perutnya mau terbongkar, Senopati justru memilih bertahan.

Sambil pegangi kepala dan tubuh agak terhuyung dia perhatikan keadaan di sekitarnya.

Senopati Gagak Panangkaran jadi tertegun ketika melihat sesosok tubuh tanpa kepala dalam keadaan mengembung busuk dikerumuni lalat tegak bersender pada sebatang pohon kayu.

Senopati berusaha mengenali sosok itu.

Walau diam-diam tengkuknya merinding dan dicekam rasa takut luar biasa.

"Mayat tanpa kepala itu sulit dikenali. Tapi dari ciri-ciri pakaian yang melekat ditubuh si mayat rupanya aku bisa menduga kemungkinan mayat itu adalah mayat Windu Saketi. Ah, orang tua yang seharusnya aku mintai bantuannya juga telah menemui ajal mengenaskan. Siapapun yang membunuhnya pastilah berhubungan erat dengan pembunuh sebelumnya. Kalau begitu aku harus menemui Ki Rangga Galih dan Ki Jaran. Aku tak mau terjadi apa-apa pada mereka sehingga harapanku untuk mendapat bantuan tenaga justru gagal berbuah malapetaka,"

Kata sang senopati dalam dirinya sendiri.

Tak mau berlama-lama berada di tempat itu senopati pun segera bergegas tinggalkan pondok besar di puncak bukit.

Namun belum begitu jauh langkahnya dari pondok yang ditinggalkan.

Tiba-tiba saja terdengar suara gelak tawa nyaring datang dari segala penjuru arah.

Senopati Gagak Panangkaran tercekat, langkah terhenti sedangkan kening berkerut penuh tanya.

Jelalatan dia memperhatikan sekeliling bukit hingga lerengnya.

Tapi dia tidak melihat kehadiran satu orang pun di tempat itu.

"Siapa yang tertawa.Apa yang ditertawakan? Aku sedang tergesa-gesa.Tidak ada yang lucu. Hanya orang sinting yang tertawa tidak pada tempatnya,"

Membatin senopati dalam hati.

Baru saja dia bicara seperti itu.

Seakan mendengar apa yang dikatakan laki-laki itu, suara tawa mengikik tiba-tiba lenyap.

Tapi ketika senopati kembali melangkah menuruni undakan tangga- tangga batu menuju ke kaki bukit.

Anehnya tawa kembali terdengar seolah orang yang tertawa seperti mentertawai dirinya.

Senopati yang mempunyai sifat tidak sabaran dan termasuk orang tinggi hati ini tentu saja merasa tersinggung.

Dia tidak dapat memastikan apakah orang yang tertawa itu sengaja mempermainkannya.

Yang pasti dia tidak suka dipermainkan seperti itu.

Tidak mengherankan senopati pun kemudian berteriak.

"Siapa yang tertawa selagi orang berduka dan diliputi kegalauan adalah manusia yang sama sekali tidak punya budi tak punya otak!"

"Hik hik. hik Edan! Orang waras begini dia bilang tak punya otak. Ya ya. Otak. Di mana otak? Otak selalu bersembunyi dibalik tulang yang keras .Kejahatan selalu datang di balik amarah. Amarah ditunggangi nafsu, akal kehilangan budi. Manusia tersungkur ke lembah hina dalam nista tercela. Weleh baru bicara apa aku tadi. Hi hi hi"

Mendengar suara ucapan yang melantur tak karuan itu senopati Gagak Panangkaran menjadi kesal.

Tapi karena sadar saat itu dia sedang melakukan tugas yang belum terselesaikan Senopati memilih untuk diam saja.

Kali ini dia segera bergegas menuruni tangga bukit.

Tapi lagi-lagi baru beberapa tindak dia melangkah tiba-tiba dia merasakan ada yang menyerimpung kakinya.

Senopati terhuyung.

Andai saja tidak segera mengimbangi diri dengan berjumpalitan di udara dapat dipastikan dirinya jatuh tersungkur dengan wajah terluka parah.

"Bangsat jahanam! Siapa yang telah berbuat jahil kepadaku?!"

Geram senopati begitu kakinya menjejak bebatuan.

Sekilas dia memperhatikan tangga tempat dimana dirinya nyaris jatuh tadi.

Dia melihat sepotong kayu.

Senopati merasa heran.

Bagaimana ada potongan kayu hitam tergeletak diundakan tangga bukit karena ketika melewati tangga yang sama pertama tadi dia tidak melihat kayu itu.

"Jelas seseorang sengaja berbuat iseng. Aku bukan orang yang suka diajak bergurau. Apalagi saat ini aku sedang menjalankan sebuah tugas penting,"
Raja Gendeng 6 Penyair Sinting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Batinnya. Tak sabar menunggu ada yang menjawab. Maka kini dia berkata.

"Jika tidak ingin bicara jangan mengganggu. Bersembunyi seperti pencuri adalah sikap manusia pengecut. Aku tahu siapapun dirimu kau ada di sekitar sini. Kau bahkan begitu dekat dari tempat aku berdiri. Keluarlah. unjukkan dirimu. Atau kau lebih suka dipaksa."

Di ujung ucapannya senopati Gagak Panangkaran tiba-tiba berter?ak keras.

Teriakannya itu jelas bukan sembarang teriakan karena senopati sengaja mengerahkan tenaga dalam.

Suara teriakan senopati memang membuat seluruh penjuru bukit bergetar keras, daun-daun hijau rontok berguguran, burung yang terbang diangkasa jatuh menggelepar menemul ajal bahkan membuat binatang buas yang tinggal di tempat itu lari tunggang langgang.

Tapi apa yang terjadi? Walau senopati telah melakukan usaha untuk memaksa orang keluar dari tempat persembunyian tetap saja segala upayanya itu tak membawa hasil.

"Jelas aku dipermainkan orang! Tapi buat apa kulayani!"

Kata senopati berusaha berpikir jernih. Maka sekali lagi setelah senopati mengayunkan langkahnya dia berkata.

"Aku tidak mencari permusuhan. Siapa pun dirimu aku tidak perduli. Aku harus pergi dari sini secepatnya."

Kata laki-laki itu dengan wajah masam suara berdengus.

"Hi hi hi. Terlalu pongah dan gampang naik darah adalah sifatmu, senopati. Kau mengaku hendak segera pergi? Aku bertanya mengapa harus tergesa gesa? Kau juga mengaku tidak mencari permusuhan, namun musuhmu bertaburan dimana- mana Senopati Gagak Panangkaran. Aku tahu kemana kau hendak pergi, aku juga tahu siapa orang berikutnya yang hendak kau sambangi. Aku punya usul lebih baik kau tak usah datang ke Kali Urang,"

Kata satu suara lantang dan nyaring. Tak menyangka tujuannya dapat diketahui orang. Senopati Gagak Panangkaran diam-diam dibuat terkejut.

"Bagaimana dia bisa tahu? Kepergianku tadi malam padahal cuma diketahui oleh gusti adipati."

"Siapa kau ini? Mengapa kau melarangku. Bagaimana kau juga tahu aku mau pergi ke Kali Urang?"

Tanya laki-laki itu curiga.

"Senopati. Aku tahu siapa saja orang yang punya hubungan dengan adipati Blora. Tapi tenang saja aku tidak melarangmu pergi ke Kali Urang. Aku Penyair Sinting cuma bisa mengingatkan kalau kau nekat pergi juga menemui para sahabat adipati. Kau hanya akan kecewa. Orang yang hendak kau datangi saat ini tidak bisa kau ajak bicara"

"Mengapa? Mereka itu sangat mengenalku!"

Sahut senopati tampak marah .Terdengar tawa dingin. Kemudian disusul ucapan.

"Lha bagaimana mereka mau bicara denganmu? Seseorang bisa diajak bicara syaratnya harus punya kepala punya mulut.Sementara kulihat orang orang yang hendak kau sambangi tak punya kepala. Nasib mereka tidak jauh berbeda dengan kakek Windu Saketi yang baru saja kau temukan di belakang rumah."

"Bagaimana kau tahu? Apakah kau yang membunuh mereka?"

Tanya senopati itu curiga.

"Eit-eit... Berburuk sangka adalah sebuah kejahatan."

"Sembarang menuduh adalah fitnah. Sampai saat ini aku tidak membunuh siapapun, senopati. Aku bahkan tidak membunuh seekor kecoak yang sedang sekarat. Aku tahu segala Karena aku adalah manusia yang suka gentayangan kemana-mana. Setiap kejadian selalu kuketahui. Aku bahkan ingat dengan segala peristiwa dimasa lalu,"

Kata suara itu. Senopati terpejam. Dia berpikir siapa gerangan orang yang bicara dengannya itu. Bersikap seakan mengerti apa yang dipikirkan senopati kadipaten Blora. Pemilik suara yang belum juga menunjukkan diri itu kini berkata.

"Kau belum mengenalku.Kau ingin tahu siapa aku.Wahai orang yang selalu melumuri kedua tangan dengan darah. Wahai orang yang mengayun senjata sambil tertawa. Aku langit engkau bumi, engkau keji aku murah hati. Engkau seorang pembunuh aku hanyalah perangkai kata-kata indah. Ketahuilah aku sama sekali tidak terlibat segala bentuk urusan darah yang kau ributkan bersama adipati Seta Kurana. Aku cinta damai dan ingin menjadikan dunia menghargai surga kebahagiaan bukannya neraka kebencian. Dengan semua alasan yang kusebutkan ini apakah sekarang kau sudah tahu siapa aku?"

"Penyair Sinting...."

Sentak senopati dengan suara berdesis mulut ternganga.

Terdengar suara tawa mengikik kemudian disusul dengan suara bergemerincing dan.

Byar! Byar! Tiba-tiba saja diketinggian terlihat ada cahaya berpijar dua kali berturut-turut.

Senopati tertegun, namun perhatiannya tertuju ke arah cahaya warna- warna yang bertaburan tak jauh di depannya.

Segala yang dia lihat kemudian lenyap menguap menjadi gumpalan kabut.

Selanjutnya dibalik gumpalan kabut yang meliuk-liuk itu muncul sosok berpakaian warna warni gemerlap.

Sosok yang ternyata berupa seorang gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun ini memiliki wajah yang cukup cantik.

Tapi wajah cantiknya justru dipoles dengan hiasan tebal tak karuan hingga penampilannya mirip dengan perempuan sinting.

Selain pakaian yang menyolok diselang seling aneka warna serta wajah yang dipoles bedak dan pupur tebal, Rambut hitam panjang si gadis di bagian samping kanan dan sisi sebelah kiri dikepang.

Sedangkan rambut di bagian belakang yang dibiarkan tergerai dihias untaian bunga menebar terharum semerbak.

Setelah memunculkan di atas ketinggian dalam keadaan mengambang berselendang kuning ini goyangkan kedua tangannya.

Begitu tangan digoyang kedua kaki meluncur ke bawah.

Selanjutnya kaki berbetis kuning langsat yang terbungkus sepasang kasut sewarna dengan selendang menjejak undakan tangga yang terdapat di kaki bukit.

Senopati Gagak Panangkaran menatap dengan mata melotot ke arah gadis itu.

Sebaliknya yang dipelototi malah kipas-kipaskan selendangnya sambil mengulum senyum.

Tak disanga-sangka gadis berpenampilan aneh mengaku berjuluk Penyair Sinting malah berkata.

"Laut biru, bulan kuning. Angin semilir berhembus tapi tak kuasa melenyapkan hawa panas yang membara dihati. Senopati, aku datang dengan damai. Aneh bila kau menatapku dengan seribu curiga."

"Aku tak pernah mengundangmu, aku juga tak pernah mengenalmu. Mengapa kau datang kesini? Sengaja ingin mencari perkara ataukah sudah bosan hidup?"

Hardik senopati tak kuasa menyembunyikan kegusarannya. Bukannya takut sebaliknya Penyair Sinting malah tersenyum.

"Senopati, kata-kata yang kau ucapkan sungguh membuat merinding bulu ketekku. Aku datang bukan untuk mencari perkara, tidak pula bosan hidup. Hidup ini terlalu menyenangkan bagiku. Semua serba lucu menggelikan. Orang marah jadi geli, orang cemburu karena cinta aku geli. Ketika musibah datang orang bersedih tenggelam dilamun duka aku juga geli. Lebih dari semua yang jelas kedatanganku kemari adalah untuk mencari tahu, sekedar mengingatkan barangkali ada yang terlupakan olehmu."

"Apa maksudmu? Aku tidak punya waktu!"

Dengus senopati lalu siap-siap hendak tinggalkan tempat itu. Melihat ini Penyair Sinting cepat mencegah dengan berucap.

"Mengaku tak punya waktu, kesibukan telah membuat manusia mengabaikan kebaikan untuk berbagi. Tapi siapa yang perduli? Ketahuilah aku melihat kepala Windu Saketi alias Si Tongkat Bala tergantung di halaman sebuah padepokan milik seorang kakek bernama Giri Soradana. Kepala kakek itu digantung dibawah cabang pohon Randu."

Mendengar ucapan Penyair Sinting wajah senopati Gagak Panangkaran berubah pias. Namun hanya sekejab. Sejurus kemudian dengan penuh kemarahan dia menatap gadis berpenampilan kacau ini. Dua tangan terkepal, pipi menggembung sedangkan mulut membentak.

"Apa kau bilang. kepala kakek Windu Saketi tergantung di sebuah padepokan. Padepokan siapa?"

"Padepokan itu milik seorang kakek bernama Giri Soradana,"

Terang sang dara Penyair Sinting "Jadi Giri Soradana yang telah membunuh Ki Windu Saketi?,"

Tanya senopati sambil menatap tajam pada Penyair Sinting. Si gadis tersenyum, gelengkan kepala dan lanjutkan ucapannya.

"Ketahuilah, Giri Soradana sama sekali tidak terlibat pembunuhan itu. Dia bahkan telah dianiaya, murid-murid serta pengikutnya dibunuh. Malah kakek Giri dipendam! Orang tua yang kusebutkan itu kini menemui ajal."

"Astaga?"

Desis senopati dengan mata terbelalak.

"Siapa yang telah melakukan kekejaman ini? Setahuku Giri Soradana adalah orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atau suka mencari perkara dengan orang lain. Mengapa orang bisa berbuat tega seperti itu?"

"Semua pertanyaan sebaiknya dikembalikan pada diri sendiri senopati."

"Aku tak mengerti apa maksudmu Penyair Sinting. Jangan bicara berpanjang kata, lebih baik kau berterus terang."

Kata senopati sambil memperlihatkan sikap tidak suka.

"Baiklah, orang meminta aku mengabulkan. Ketahuilah, Giri Soradana memang bukan orang jahat. Dia manusia yang baik dan jalan hidupnya pun rasanya lempang-lempang saja. Tapi aku melihat setiap orang yang punya hubungan dengan adipati Seta Kurana pasti bakal mengalami nasib mengenaskan seperti itu. Dan kau tahu selama ini Giri Soradana memang punya hubungan dekat dengan junjunganmu bukan?"

"Apa maksudmu. Mengapa gusti adipati dikaitkan dengan kematiannya?"

"Sebabnya tak lain semua persoalan berasal dari adipati sendiri. Sebagai senopati kau telah lama mengabdi padanya. Aku yakin kau tahu sejarah riwayat kehidupan adipati belasan tahun yang lalu. Yang terjadi sekarang adalah apa yang disebutkan sebagai sebab dan akibat. Makanya kau tak usah heran ketika melihat para tumenggung yang menjadi bawahan adipati semuanya menemui ajal. Para tumenggung itu dulu pernah terlibat persekutuan dengan adipati dalam melakukan pembantaian di Lembah Bangkal."

Terang Penyair Sinting, membuat senopati terperangah seolah tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.

"Lembah Bangkai. Telah lama dilupakan orang, aku sendiri tidak tahu menahu peristiwa pembantaian di Lembah itu. Yang kudengar semua penghuni lembah itu tewas terbunuh. Malah senjata pusaka yang menjadi kebanggaan kaum Kutukan kuketahui ada di tangan gusti adipati. Bila semua penghuni lembah terbantai, lalu mengapa sekarang ada yang datang menuntut balas?"

Tanya laki-laki Itu terheran-heran "Ada yang tewas ada yang selamat.

Yang selamat walau jumlahnya hanya beberapa orang saja, tapi mereka berusaha bertahan hidup dengan menanggung segunung kebencian.

Mereka bernafas dengan sejuta dendam.

Dan orang-orang yang dianggap sebagai manusia kutukan itu kini datang melakukan hal yang sama sebagaimana yang dilakukan oleh senopati dan para sahabatnya di masa lalu."

"Sebagai orang yang tidak memihak aku memandang apa yang dilakukan oleh orang-orang lembah bangkai itu adalah hal yang wajar."

"Tidak berpihak tapi kau membenarkan perbuatan mereka. Tapi tidak mengapa. Sekarang aku ingin penjelasan siapa yang telah membunuh kakek Giri Soradana?"

"Yang menghabisinya adalah manusia berwajah singa."

Terang Penyair Sinting.

"Kemudian apa lagi yang kau lihat?"

Tanya senopati tidak puas.

"Aku melihat potongan kepala Ki Rangga Galih dan Ki Jaran Palon tergantung berdampingan dengan kepala kakek Windu Saketi."

Seperti mendengar petir disiang hari.

Beberapa saat senopati itu hanya bisa ternganga dengan mata mendelik.

Dia menyadari bila tiga tokoh sakti yang hendak dimintai bantuannya dapat diihabisi secara mudah, tentulah orang-orang sisa dari Lembah Bangkai telah mempersiapkan diri dengan sebaik- baiknya disaat hendak melakukan balas dendam.

"Manusia Kutukan. Mendengar namanya saja darahku seperti mendidih,"

Geram laki-laki itu. Dia menarik nafas dalam-dalam. Kini perhatiannya tertuju pada Penyair Sinting. Dengan suara berat dia lanjutkan ucapan.

"Ternyata kau tahu banyak hal. Sekarang aku ingin tahu selain tiga manusia berwajah singa, siapa lagi yang bisa menjadi ancaman?"

"Sekali lagi kau bertanya dan aku akan menjawab pertanyaanmu. Yang kutahu masih ada Si Mata Bara atau juga dikenal dengan julukan Mata Setan. Selain Mata Bara masih ada sesepuh Lembah Bangkai seorang nenek sakti bernama Marasati tap? lebih dikenal dengan Harimau Setan. Dua orang ini jadi penentu. Mata Bara yang telah membunuh para tumenggung dan kerabatnya."

"Bagaimana dengan tumenggung Dadung Kusuma?"

"Aku hanya bisa menyarankan bila kau berniat menyambangi tumenggung Dadung Kusuma lebih baik batalkan saja niatmu. Tumenggung Dadung Kusuma tewas dua malam yang lalu bersama istrinya. Aku tak tahu bagaimana nasib putrinya Mangir Ayu. Mudah-mudahan saja dia selamat, dapat jodoh, beranak pinak dan panjang umur. Hik hik hik!"

Senopati tertegun. Dalam hati dia menggeram.

"Mata Bara, Mata Setan. Satu manusia dengan julukan menyeramkan. Aku sendiri jarang mendengar nama Harimau Setan. Rasanya keadaan semakin bertambah genting. Sudah tidak ada lagi orang yang harus kutemui apalagi kuminta bantuannya. Aku harus kembali ke kadipaten dan menjelaskan semua ini pada adipati. Tapi, gadis itu....!"

Diam-diam senopati melirik ke arah Penyair Sinting.

"Mengapa dia menjelaskan semuanya padaku. Apa dia bukan mata-mata?"
Raja Gendeng 6 Penyair Sinting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seakan mengerti dirinya dicurigai orang, Penyair Sinting tiba-tiba berucap.

"Senopati? Kau tidak perlu curiga padaku. Seperti yang kukatakan aku tak bermasalah pada siapapun."

"Jika tidak berpihak mengapa kau memberi tahu aku?"

Tanya senopati tetap curiga. Penyair Sinting tersenyum.

"Aku hanya mengingatkan padamu hendaknya sebagai senopati kau lebih banyak bercermin diri.Aku tak bisa membantumu,aku juga tidak bisa menghalangi keinginan orang yang hendak membalas dendam"

"Jadi kau mengenal semua manusia Kutukan itu? Atau kau sahabat dekatnya?"

Tanya laki-laki itu.

"Aku mengenal semua manusia. Tapi aku memilih menjaga hubungan baik dengan pemilik langit bumi ini."

"Kurang ajar. Pandainya kau bersilat lidah seolah dirimu ini manusia suci yang tidak pernah bersalah."

Dengus Gagak Panangkaran marah "Terserah bagaiamana kau memandangnya.

Aku cuma tidak ingin terjadi lagi pertumpahan darah.

Jadi rasanya tidak ada lagi yang Ingin kusampaikan padamu.

Cukup sampai di sini perjumpaan kita.Sampai bertemu lagi dalam suasana yang lain."

"Hei, apa maksud ucapanmu itu?"

Tanya senopati. Penyair Sinting tersenyum. Kemudian balikkan badan. Dua kaki yang menjejak tanah perlahan terangkat naik seiring dengan gerakan tubuhnya yang melambung ke atas.

"Tunggu. Jangan pergi aku belum selesai bicara!"

Teriak laki-laki Itu.

Percuma saja senopati mencegah.

Seperti seekor burung Penyair Sinting melesat tinggi, lalu bergerak menjauh.

Sebelum sosoknya benar-benar lenyap dari pandangan laki-laki Itu.

Sempat sayup-sayup terdengar Penyair Sinting melantunkan bait-bait syairnya.

"Kulihat kepiting berjalan miring. Anak monyet duduk menungging .Berjalan jauh tanpa pengiring. Tersesat jalan jadi pusing. Aku datang membawa sejuta kedamaian. Kebencian melenyapkan kasih sayang. Masa lalu lama telah dilupakan. Kini saatnya menuai malapetaka .Senopati ! Aku cuma bisa memberi jalan. Tinggalkan kemewahan. Mencari selamat. Pergilah bertobat. Sebelum nyawa menjadi busuk...."

"Bangsat sialan! Dasar penyair gila. Aku tak perlu nasehat, aku tak butuh syair. Kurang ajar! Cuma membuang-buang waktuku saja!"

Geram senopati sambil membanting kakinya.

Dengan membawa rasa kesal dihati laki-laki ini kemudian bergegas turun lalu menghampiri kudanya yang menunggu di tepi pantai.

Tapi sesampainya di tepi pantai dia lebih marah lagi ketika melihat bagian pelana kudanya ternyata dipenuhi kotoran manusia.

"Keparat! Bagaimana bisa begini? Siapa yang melakukannya?"

Teriak senopati marah. Dengan penuh kegeraman pelana kuda dia tarik lalu dicampakkannya. Tanpa pelana dia menunggangi kuda itu. Sepanjang jalan dia terus mengomel. Kuda kesayangannya juga tidak luput dari dampratannya.

"Kuda tolol! Orang lain buang hajat dipunggungmu kau diam saja!"

Sang kuda meringkik.

Rupanya binatang tidak senang diomeli.

Tak ayal lagi sang kudapun lari kencang sejadi-jadinya.

Senopati pun jadi kalang kabut.

**** Matahari telah mencapai titik tertingginya ketika kakek bertubuh bungkuk berpakaian serba putih ini tersadar dari pingsannya.

Sambil mengerang orang tua ini bangkit.

Setelah dapat duduk setengah tegak.

Si kakek tarik nafas dalam-dalam.

Tapi kemudian dia menyeringai begitu merasakan sakit yang luar biasa mendera perut dan dadanya.

"Rupanya aku masih hidup. Uh... sekujur tubuh yang mulai lapuk ini terasa remuk. Aku harus menyalurkan hawa sakti, kalau tidak luka di bagian dalam sulit bisa disembuhkan."

Setelah berkata bagitu si kakek menarik kedua kakinya yang terjulur lalu duduk bersila.

Dengan mata terpejam perlahan dia menarik nafas.

Secara perlahan pula dia alirkan tenaga dalam di bagian pusar.

Setelah itu dari pusat dimana tenaga dalam bersumber terasa hawa hangat mengalir deras ke perut juga dadanya.

Tenaga dalam kemudian menjalar kesekujur tubuh hingga si kakek yang bukan lain adalah Mbah Krupuk ini merasa tubuhnya menjadi enteng.

Merasa agak baikkan Mbah Krupuk kusir kereta kuda dan merupakan abdi tumenggung Dadang Kusuma segera memukul dadanya.

Begitu dada dipukul maka dari mulut menyembur darah kental kehitaman.

Mbah Krupuk sempat megap-megap, namun setelah menelan tiga buah benda berupa pil berwarna merah segala penderitaan yang dirasakannya hilang seketika.

"Sekarang aku merasa lebih baik. Berapa hari aku tidak sadarkan diri? Mengapa aku mengendus bau tak sedap di sekitar sini?"

Tanya si kakek pada dirinya sendiri.

Karena aroma tidak sedap semakin mengganggu pernafasannya.

Orang tua itu segera memperhatikan keadaan di sekelilingnya.

Sepasang mata Mbah krupuk terbelalak lebar ketika dia melihat mayat-mayat bergelimpangan di sekitarnya.

"Ada yang mati. Dan...bukankah mereka adalah pengawal katemenggungan?"

Pikir Mbah Krupuk. Karena hampir dua hari Mbah Krupuk tak sadarkan diri. Segala ingatan tentang semua kejadian di tempat itu hampir terlupakan olehnya. Tapl ternyata Ingatan si kakek cepat pulih.

"Astaga! Bukankah mereka ini adalah para pengawal yang mengiringi aku menuju ke tempat kediaman Ki Sabda Palon. Ya.. aku diperintahkan oleh gusti tumenggung untuk mengungsikan anak Istrinya di rumah gurunya. Kemudian seseorang yang dijuluki Si Mata Bara datang menyerang membunuh mereka ini. Mata Bara juga menyindirku dia mengatakan aku ini seperti kacang yang lupa pada kulitnya. Siapa dia? Di mana tumenggung, istri dan anaknya?"

Pikir Mbah Krupuk.

Si kakek kemudian bangkit berdiri.

Sekali lagi dia memperhatikan sekeliling tempat itu.

Dia tercekat ketika melihat seorang wanita setengah baya juga seorang laki-laki berpakaian cokiat tergeletak tidak jauh dari kereta kuda.

Sementara kuda penarik kereta itu sendiri raib entah kemana.

"Gusti tumenggung! Gusti Sitoresmi!"

Desis Mbah Krupuk.

Terkejut tak menyangka junjungan dan istrinya ikut menjadi korban kekejian Mata Bara .

Mbah Krupuk cuma bisa tegak tercengang.

Namun begitu dia dapat menguasai diri.

Dengan tergesa-gesa si kakek hampiri jenazah kedua majikannya.

Ketika sampai di sana memang Sitoresmi istri tumenggung Dadung Kusuma tewas dengan kepala pecah, sedangkan sang tumenggung menemul ajal dengan sekujur tubuh dipenuhi luka mengerikan.

Seperti telah dikisahkan dalam episode sebelumnya.

Kakek ini memang ditugaskan untuk membawa pergi istri dan puteri tumenggung Dadung Kusuma.

Sang tumenggung terpaksa meninggalkan istrinya mengingat beberapa Manusia Kutukan dari Lembah Bangkai muncul di rimba persilatan dan membunuh para pejabat serta tumenggung daerah yang berada di bawah wilayah kadipaten Blora.

Tapi belum lagi jauh Mbah Krupuk dan rombongan meninggalkan gedung katemenggungan.

Dia dan para pengawal katemenggungan dihadang oleh Mata Bara.

Perkelahian sengit terjadi.

Selusin pengawal menemul ajal hanya dalam beberapa gebrakan saja.

Sedangkan Mbah Krupuk juga kena dicidrai tapi rupanya tidak dibunuh.

"Jenazah itu sudah hampir membusuk. Rasanya gila sekali. Aku tidak percaya telah tidak sadarkan diri dalam waktu selama itu. Tapi.... dimana gusti Mangir Ayu putri gusti tumenggung? Apakah mungkin Mata Bara membawanya pergi. Celaka nasib gadis itu bila sampai terjatuh di tangan manusia haus darah. Aku harus mencarinya,"

Pikir Mbah Krupuk.

Ketika si kakek hendak pergi.

Orang tua ini tiba-tiba menjadi bimbang karena dia tidak tega meninggalkan mayat-mayat orang yang dikenalnya begitu saja.

Sedangkan menguburkan sendiri tidak mungkin.

Mbah Krupuk pun akhirnya mengumpulkan para penduduk desa untuk menguburkan mayat mereka.

Menjelang gelap barulah pemakaman selesai dilakukan.

Sebelum pergi mencari Mangir Ayu, Mbah Krupuk masih sempat membagi-bagikan sisa perbekalan dalam kereta kudanya pada penduduk itu.

Malamnya dengan menunggang seekor kuda dan membawa sekantong krupuk kesukaannya si kakek memulai perjalanannya.

Mengingat Mbah Krupuk tak tahu secara pasti kemana Mata Bara membawa Mangir Ayu.

Maka upaya untuk menemukan gadis itu bukan hal yang mudah.

Hampir semalaman penuh dia terus memacu kudanya.

Si kakek hanya berhenti dan beristirahat sebentar bila melihat kudanya nampak kelelahan.

Sementara itu pada waktu yang sama disebuah gubuk kecil tak jauh dari hutan di kaki gunung Merapi.

Seorang pemuda berpakaian kulit tebal berwarna putih dan membekal sebuah pedang aneh dipunggungnya.

Baru saja selesai memanggang tiga ekor ikan berukuran besar.
Raja Gendeng 6 Penyair Sinting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda tampan berambut panjang yang sebagian dikepang halus ini tiba-tiba berkata.

"Tiga ikan besar sudah matang. Sayang, ubi dan talas sayang sudah amblas ke dalam perut sejak tadi. Coba kalau matangnya bersamaan. Woih, pasti enak sekali."

Kata si pemuda yang bukan lain adalah Raja atau juga dikenal dengan sebutan Sang Maha Sakti dari istana Pulau Es.

"Makan tidak ada kenyangnya, memang perutmu itu terbuat dari apa?"

Bertanya gadis berpakaian serba hijau yang ada di tangga gubuk.

"Entah. Mungkin terbuat dari karet, mungkin juga dari gentong. Aku lupa bertanya pada ibuku. Begitu ingat dan hendak bertanya ibuku sudah pergi ke surga."

Kata Raja dengan mulut tersenyum namun wajahnya tampak muram.

"Hah..... aku ikut bersedih. Jadi ibumu sudah tiada, memang sakitnya apa?"

Tanya si gadis yang adalah Mangir Ayu.

Seporti telah dituturkan dalam episode Dendam Manusia Kutukan.

Mangir Ayu diselamatkannya dari kerangkeng yang terletak di depan Gua Cerekan di Lor Ploso.

Raja sendiri kemudian terpaksa membunuh dua penjaganya yang berujud manusia berwajah monyet atau kera.

Setelah menyelamatkan si gadis.

Raja pergi begitu saja, namun Mangir Ayu yang merasa sendiri nekat menyusulnya.

Dalam perjalanan mereka terlibat perbincangan.

Tapi karena tak ingin kemalaman di jalan.

Raja memutuskan untuk istirahat di gubuk yang letaknya tak jauh dari sebuah sungai yang banyak sumber makanannya.

Kini begitu mendapat pertanyaan si gadis.

Raja yang tidak suka mengingat-ingat masa lalunya yang menyedihkan itu pun menjawab.

"Tanyakanlah yang lain asalkan jangan tentang keluargaku."

"Mengapa tiba-tiba saja kau jadi perasa?"

Tanya Mangir Ayu sambil kerutkan keningnya.

"Kalau sudah tak punya rasa, sama saja aku dengan orang mati. Tapi sudahlah, lebih baik kau makan ikan ini, selagi masih hangat. Ikan ini sangat gurih. Aku sudah mencicipi sisiknya."

Gurau Raja sambil memberikan salah satu ikan panggang ditangannya.

"Gila. Cuma mencicipi sisik ikan bagaimana bisa tahu rasa ikannya?"

Kata Mangir Ayu. Lalu cepat-cepat mengambil ikan yang disodorkan Raja.

"Ha ha ha. Sisik itulah yang memberi tahu aku bagaimana rasanya."

Kata pemuda itu.

Sambil menikmati ikan panggang, pemuda ini sesekali melirik Mangir Ayu.

Bila mata mereka bertemu pandang Mangir Ayu pun tersipu.

Ia sadar Raja memang mempunyai wajah yang sangat tampan.

Dengan ilmu kesaktian yang dimiliki ditambah wajah yang tampan bila mau Raja pasti bisa mendapatkan gadis mana saja yang dia sukai.

Selagi melamun tiba-tiba saja Raja bertanya.

"Ikanku cukup asin. Apa ikanmu terasa asin juga?"

"Iya. Kau mendapatkan garam dari mana?"

"Hmm. Tak usah repot harus pergi ke laut. Aku telah menggarami ikan-ikanmu dengan keringat dan upilku saja ha ha!"

"Huek. Kurang ajar keterlaluan. Aku sudah menduga kau ini memang gila."

Maki Mangir Ayu sambil melemparkan sisa ikan ke arah pemuda itu. Raja menghindar lalu tertawa tergelak-gelak.

"Ha ha ha. Baru kukasih upil kau sudah marah, apa mau kau bila kuberi yang lain."

"Apa maksudmu?"

Tanya Mangir Ayu sambil delikan matanya. Raja tersenyum lalu gelengkan kepala.

"Bagaimana kalau kau kuberi ciuman apakah marah juga?"

Tanya Raja sengaja menggoda.

Mangir Ayu tersipu.

Wajahnya yang cantik nampak kemerahan.

Beruntung suasana di sekitar gubuk dalam keadaan gelap temaram kalau tidak Mangir Ayu pasti merasa lebih malu lagi "Sungguh aku tidak menduga ternyata kau laki-laki mata keranjang."

Dengusnya pura-pura marah padahal hatinya jadi gelisah mendengar ucapan pemuda itu.

"Aku cuma bergurau. Tapi kalau ternyata kau memang mau kucium, aku mana bisa menolak!"

"Pemuda kurang ajer. Lebih baik kau cium bokong kuda. Ada-ada saja. Mengapa kita tidak istirahat saja. Malam semakin larut, suasana di tempat ini aku rasakan begitu sunyi."

Ujar Mangir Ayu dengan mata menerawang memperhatikan kegelapan di sekitarnya. Sang Maha Sakti tidak menjawab. Sebaliknya menyandarkan punggungnya pemuda ini berkata.

"Aku tidak risau dengan keadaan di tempat ini. Yang aku risaukan mengapa orang tuamu dibunuh. Apa sebenarnya yang terjadi?"

Mangir Ayu yang duduk di tangga gubuk menatap ke arah Raja. Tapi belum sempat bicara apapun tiba-tiba saja terdengar suara gelak tawa memecah kesunyian. Seiring dengan terdengarnya suara tawa terdengar pula ada orang berkata.

"Hi hi. Bukannya aku mau usil tapi terus terang bila aku yang diajak oleh seseorang apalagi pemuda tampan untuk berciuman. Mana mungkin aku bisa menolaknya."

Tak menyangka ucapannya didengar orang baik Raja maupun Mangir Ayu tentu saja terkejut. Si gadis sempat bangkit lalu melompat turun tinggalkan tangga. Sebaliknya walau sempat kaget namun Raja kini terlihat tenang malah nampak acuh.

"Siapa yang baru saja bicara? Beraninya hidup?"

Hardik Mangir Ayu dengan suara lantang juga sengaja dikeraskan. Sebagai jawaban lagi-lagi terdengar suara tawa mengikik. Begitu tawa lenyap lagi-lagi terdengar jawaban.

"Siapa yang mengganggu? Dan tentunya aku belum bosan hidup. Kalau bosan kemarin-kemarin aku sudah membunuh diri. Hi hi hi!"

Jawab suara dari balik gelap. Raja yang sejak tadi diam saja kini malah bersikap konyol. Sambil tetap duduk di tempatnya dia berujar.

"Kalau ada yang iri karena aku tidak jadi mencium Mangir Ayu. Silahkan tunjukkan diri. Jika benar kau ingin aku cium sampai pingsan datanglah kemari. Aku sudah tidak sabar untuk melakukannya. Ha ha!"

"Kau benar-benar keterlaluan. Siapapun orang itu kita belum tahu, mengapa kau layani ucapannya yang gila?"

Kata Mangir Ayu marah sementara jauh di lubuk hatinya ada juga rasa cemburu .Enteng saja Raja menyahuti.

"Tak usah tersinggung. Aku yakin yang bicara itu cuma orang gila kesasar. Buat apa diambil hati?"

Mangir Ayu terdiam.

Dia sadar yang dikatakan Raja mungkin juga ada benarnya.

Bahwa mungkin benar mereka saat itu kedatangan orang kesasar juga gila.

Dia memilih mengalah.

Sementara itu di balik kegelapan di bawah pepohonan sudah tidak terdengar lagi suara orang tertawa tapi Raja sadar orang tadi masih berada di tempat itu.

Dugaannya memang tidak berlebihan.

Terbukti beberapa saat kemudian terdengar orang itu berucap.

"Mungkin aku termasuk salah satu dari sekian banyak orang yang tersasar di dunia ini. Tidak akan kutampik bila ada orang yang mengatakan diriku ini gila. Tapi segala kegilaanku belum seberapa dibandingkan dengan orang yang mengataiku tadi."

"Bagus kalau kau menyadarinya he he he"

Raja menanggapi sambil tertawa mengekeh.

"Kalau Sudah sama-sama tahu. Sekarang mengapa harus malu malu datang menghadap unjuk diri?"

"Mengapa harus malu bukankah masing-masing dari kita telah menutupi bagian yang memalukan. Hik hik hik!"

Sahut orang di dalam gelap.

***** Meski geli mendengar ucapan orang, namun Sang Maha Sakti dari Istana Pulau Es itu berusaha menahan tawa.

Sebaliknya Mangir Ayu jelas-jelas tidak suka mendengar ucapan orang.

Selagi puteri tunggal almarhum tumenggung Dadung Kusuma hendak membuka mulut.

Tiba-tiba saja.

Byar! Byar! Terdengar suara letupan yang disertai pijaran bunga api.

Kegelapan yang menyelimuti sekitarnya mendadak berubah menjadi terang benderang.

Raja tercengang sedangkan Mangir Ayu tercekat namun mulutnya terbuka.

Mereka sama menatap ke depan ke arah munculnya bunga api tersebut.

Sebelum pijaran bunga api benar-benar padam, tiba-tiba muncul satu sosok berupa seorang gadis berpakaian warna warni, berdandan mencolok rambut samping dikepang kecil-kecil sedangkan rambut belakangnya yang tergerai panjang dihias dengan aneka bunga yang dijalin begitu rupa hingga terlihat indah.

Begitu muncul sosok gadis berpenampilan serba aneh itu kemudian mendekati Raja dan Mangir Ayu.

Melihat kehadiran gadis berpenampilan selayaknya orang yang kurang waras Mangir Ayu jadi gelisah kalau tidak dapat dikatakan cemburu.

Sementara yang membuat Raja jadi terheran-heran.

Ketika gadis yang tak lain adalah Penyair Sinting mendekat ke arah mereka.

Dia tidak berjalan dengan dua kaki menyentuh tanah, melainkan bergerak mengambang setengah tombak di atas semak belukar yang dilewatinya.

"Astaga! Sama sekali aku tidak menyangka malam-malam begini aku didatangi kuntilanak."
Raja Gendeng 6 Penyair Sinting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Desis pemuda itu kaget, lalu tanpa sadar dia melompat mundur. Mendengar ucapan Raja, Mangir Ayu kini mulai berubah cemas.

"Daerah ini ternyata banyak kuntilanaknya. Lebih baik kita pergi, cari tempat lain yang tak banyak setannya,"

Kata si gadis lalu menarik tangan Raja namun Sang Maha Sakti tidak bergerak dari tempatnya. Sebaliknya dia malah berujar.

"Tunggu diam. Biarpun kuntilanak sebaiknya kita tanya apa kepentingannya."

"Hi hi hi. Aku bukan kuntilanak, aku cuma orang yang kelak mungkin bisa beranak,"

Kata Penyair Sinting disertai gelak tawa.

"Ah aku sudah menduga kau orang yang bisa beranak, lalu siapa dirimu ini."

"Apakah tukang jual bunga di pasar-pasar?"

Tanya Mangir Ayu. Mendengar ucapan si gadis gerakan Penyair Sinting tiba-tiba terhenti. Kemudian secara perlahan tubuhnya meluncur turun, lalu menjejak tumpukan bara yang masih menyala.

"Hei, jangan dinjak. Kau bisa terbakar!' teriak Raja sambil tergopoh-gopoh datang menghampiri. Niatnya yang semula hendak menolong terpaksa diurungkan ketika dia melihat kaki si gadis yang dilapisi kasut kuning berbulu itu ternyata tidak terbakar. Malah gadis itu pejamkan mata sambil tersenyum seakan kaki berpijak pada bara itu seperti menginjak tumpukan es tebal.

"Wah ini hebat. Luar biasa. Gadis aneh suka bermain api."

"Aku lebih suka bermain api asmara."

Sahut Penyair Sinting. Kemudian dengan tenang dia melangkah meninggalkan tumpukan bara api. Ketika dia berdiri di depan Raja dan Mangir Ayu lalu beberapa saat lamanya dia menatap gadis di depannya.

"Kau..orang tuamu baru saja menjadi korban. Keduanya tewas sesaat sebelum kau dibawa pembunuhya ke sebuah tempat."

Ujar Penyair Sinting tidak terduga. Ucapan Penyair Sinting membuat Mangir Ayu terkejut.

"Gadis aneh bermulut lancang. Dari mana kau tahu kedua orang tuaku tewas,"

Bentak Mangir Ayu yang entah mengapa tidak menyukai kehadiran gadis itu. Si gadis tersenyum.

"Percaya atau tidak. Tapi aku melihat dari tatap matamu"

Tegasnya tanpa ragu. Selanjutnya dengan sikap acuh dia berpaling pada Raja. Begitu dia menatap pemuda di depannya dengan seksama tiba-tiba dia kaget. Kemudian dari mulutnya terdengar ucapan.

"Ah... kau. Bukankah kau orangnya yang bernama Raja, satu-satunya pewaris tahta istana Es. Bukankah kau yang dijuluki Sang Maha Sakti dari istana pulau Es? Bukan cuma namamu saja yang Raja, tapi kau raja sungguhan. Sayang kau sedikit gendeng hingga gurumu sendiri selalu memanggilmu Raja Gendeng. Hi hi h..."

Tak menyangka gadis berpenampilan dan berdandan aneh itu mengenali siapa dirinya, walau sempat dibuat terkejut dengan penasaran pemuda itu bertanya.

"Bagaimana kau bisa tahu siapa diriku? Siapa dirimu ini yang sebenarnya? Apakah kau seorang peramal hingga bisa tahu asal usulku."

"Aku bukan peramal, aku hanya seorang penyair. Orang memanggilku Penyair Sinting. Aku Penyair Sintig bahkan tahu tentang tanda-tanda kehadiranmu sejak beberapa purnama yang lalu. Aku ucapkan selamat datang di rimba pembalasan dendam. Orang sepertimu sangat dibutuhkan di sini, kau datang pada waktu yang tepat. Namun kuharap kau dapat bertindak bijaksana."

Segala apa yang dikatakan oleh Pernyair Sinting ini tentu membuat bingung orang yang mendengarnya. Tidak hanya Mangir Ayu tapi juga Raja.

"Kau seorang penyair tapi tahu banyak persoalan. Namun terus terang aku tak mengerti apa yang kau maksudkan."

Penyair Sinting manggut-manggut tanda mengerti. Sementara Mangir Ayu tiba-tiba berkata.

"Raja... rasanya aku tahu siapa gadis aneh ini. Dia masih ada hubungannya dengan penghuni Lembah Bangkai."

"Bahkan tempat yang kau sebutkan itu aku sendiri tak pernah mendengarnya Mangir Ayu. Apa yang sebenarnya terjadi? Harap kalian berdua mau berterus terang."

Mangir Ayu dan Penyair Sinting saling pandang.

"Dia pembunuh. Dia adalah kaki tangan penghuni Lembah Bangkai. Aku yakin dia tahu pasti siapa yang telah menghabisi orang tuaku... !"

Geram Mangir Ayu, lalu menangis tersedu-sedu.

"Aku semakin tidak mengerti. Kalian berdua benar-benar membuatku bingung,"

Kata Raja sambil garuk-garuk kepala.

"Tunggu. Aku datang mencegah agar tidak terjadi pertumpahan darah. Aku tidak membunuh siapa pun. Kematian orang tuanya bukan aku yang menjadi penyebabnya. Tapi semua itu akibat dari perbuatan masa lalu tumenggung Dadung Kusuma,"

Terang Penyair Sinting. Mendengar ucapan gadis itu Mangir Ayu mendelik.

"Apa? Memangnya apa yang dilakukan oleh ayahku dimasa lalu?"

Tanya Mangir Ayu, suaranya bergetar karena dilamun rasa sedih dan perasaan marah.

Penyair Sinting yang biasanya bicara sesuka hati namun tak menyimpang dari kebenaran dan jalan hidupnya kini menghela nafas perlahan.

Sejenak dia menatap Raja yang memandangnya dengan mata penuh tanya.

Setelah itu perhatiannya tertuju pada Mangir Ayu.

Penyair Sinting merasa iba melihat penderitaan Mangir Ayu.

Bila dia bicara sebuah kenyataan, nantinya pasti akan sangat memukul perasaannya.

Tapi sebuah kebenaran betapa pun pahit harus dia ungkapkan juga.

Dengan mata menerawang Penyair Sinting lalu berujar lirih.

"Anak dara puteri tumenggung Dadung Kusuma. Sebelumnya aku mohon maaf bila yang kukatakan nanti ternyata menyakiti sekaligus menyinggung perasaanmu. Tapi di depan orang yang akan kumintai budi pertolongannya. Aku harus berkata jujur agar bisa dicapai kata sepakat."


Girls Of Riyadh Karya Rajaa Alsanea Dewa Arak 55 Perintah Maut Pendekar Gagak Rimang 8 Banjir Darah Di

Cari Blog Ini