Ceritasilat Novel Online

Istana Hantu 5

Istana Hantu Karya Batara Bagian 5


"Des-des-dess!"

Siauw-jin dan kawan-kawannya mengumpat caci.

Dalam saat begitu baik tapi gagal juga membuat mereka berlima menjadi marah.

See- ong diminta menyerang lagi dan Kim-mou-eng sibuk, mengeluh dan tiba-tiba Pendekar Rambut Emas itu mengeluarkan pit-nya (pena).

Dan ketika Siauw-jin kembali menyerang sementara See-ong memburu dan mengejar dengan pukulan bertubi-tubi mendadak pendekar ini membentak, menggerakkan tangannya dan meluncurlah pena di tangannya itu.

Senjata di tangan lima iblis itu terpental ketika benda kecil ini beterbangan dari satu tempat ke tempat lain, seolah bermata.

Dan ketika sabit dan jarum atau sendok terlepas dari tangan orang-orang itu maka Swat Lian tiba-tiba membuka mata dan bangkit berdiri.

"Biarkan,"

Wanita itu membentak.

"Aku sehat kembali, suamiku. Biarkan mereka menyerang dan aku menghajarnya!"

Kim-mou-eng girang.

Saat itu dia terdorong dan terbanting lagi ketika See-ong melancarkan pukulan, Khi-bal-sin-kang jadi setengah hati dikerahkan karena dikacau Siauw-jin.

Lima iblis itu membuyarkan konsentrasinya dan tentu saja pendekar itu gugup.

Namun ketika isterinya berteriak marah dan rupanya isterinya itu dapat melayani lawan maka Pendekar Rambut Emas berjungkir balik ketika dikejar See-ong.

"Dess!"

Kini See-ong yang mencelat.

Kakek tinggi besar itu berteriak ketika Kim-mou-eng berhasil melindungi dirinya.

Khi-bal-sin-kang sudah sepenuhnya lagi dikerahkan dan kakek itu mengumpat.

Dan ketika See-ong meluncur turun dan berjungkir balik menyerang lagi maka Siauw-jin dan empat temannya diserang Swat Lian.

"Keparat, kalian licik dan curang, Siauw-jin. Sekarang hadapi aku dan biar kubunuh kalian!"

Siauw-jin dan kawan-kawannya gentar.

Setelah Swat Lian bangkit dengan marah dan wanita cantik itu rupanya sehat kembali maka setan cebol ini panik.

Swat Lian berkelebat dan melancarkan pukulannya.

Dan ketika kakek itu mengelak namun terbanting roboh maka Siauw-jin bergulingan berteriak-teriak.

"Aduh, celaka. Tobat.....!"

Empat yang lain terkejut.

Mereka juga dihajar dan jatuh bangun, Swat Lian membagi-bagi pukulannya dan paniklah lima iblis itu.

Mereka tak tahu bahwa sebenarnya Swat Lian memaksa diri, wanita cantik ini menahan sakit dan mengerahkan sinkangnya menghajar lima orang itu.

Dan ketika mereka berteriak-teriak dan Siauw-jin melempar tubuh bergulingan tiba-tiba iblis cebol itu memutar tubuh melarikan diri.

"Tobat....!"

Toa-ci dan lain-lain gentar.

Apa boleh buat mereka pun lalu mengikuti pula perbuatan si cebol ini, memutar tubuh melarikan diri.

Dan ketika See-ong berhadapan dengan Kim-mou- eng dan Swat Lian tidak mengejar lawannya tiba-tiba wanita ini membentak dan menyerang kakek tinggi besar itu, melengking dan See- ong terkejut.

Dihantam dan dikeroyok dua tiba-tiba kakek tinggi besar itu marah, tidak takut namun Siang Le tiba-tiba mengeluh.

Entah kenapa muridnya itu mendadak menjerit dan berteriak-teriak minta tolong, kaget kakek ini.

Dan ketika perhatiannya terpecah dan pukulan si nyonya menyambar tiba-tiba kakek itu mencelat dan See-ong terbanting roboh.

"Dess!"

See-ong memaki bergulingan.

Hek-kwi-sutnya buyar karena konsentrasinya pecah.

Siang Le memanggil-manggil gurunya dan mendadak Swat Lian berkelebat, menyambar pemuda itu.

Tapi ketika See-ong berteriak dan membentak marah tiba-tiba kakek iblis itu melancarkan pukulan jarak jauh dan diserangnya nyonya itu.

"Dess!"

Swat Lian ganti terlempar bergulingan.

Nyonya itu memekik sambil mencaci-maki, berjungkir balik namun See-ong menyambar muridny.

Dan karena Pendekar Rambut Emas melindungi isterinya dan terkejut melihat isterinya terguling-guling maka See-ong tidak dikejar ketika menyambar muridnya itu, membawa lari dan tiba-tiba kakek ini pun memaki.

See-ong bingung karena dia tak tahu apa yang menyebabkan muridnya tiba-tiba seperti itu, mengerang dan mengaduh-aduh.

Dan karena lima pembantunya merat semua dan Siauw-jin serta kawan-kawannya entah kabur ke mana maka kakek ini menyelamatkan muridnya dan langsung meninggalkan pertempuran, bukan takut melainkan semata kebingungan oleh teriakan muridnya.

Siang Le seperti orang kesakitan dan menjerit-jerit.

Dan ketika Pendekar Rambut Emas menjaga isterinya sementara Swat Lian berjungkir balik melayang turun maka See-ong berseru agar pertandingan ditunda dulu.

"Kim-mou-eng, jaga dulu di situ. Aku tentu kembali!"

"Keparat!"

Swat Lian memaki.

"Jangan lari, See-ong. Hayo kembali dan putar tubuhmu!"

"Tidak,"

Pendekar Rambut Emas mencengkeram.

"Kau pucat, isteriku. Kau memaksa diri. Kau.... ah!"

Dan Swat Lian yang tiba-tiba roboh dan mengeluh di cengkeraman suaminya tiba-tiba dipeluk dan sudah terisak menahan sakit, memang sesungguhnya memaksa diri dan tiba-tiba wanita itu kembali muntah.

Dan ketika Pendekar Rambut Emas terkejut karena isterinya lemas tiba-tiba Swat Lian sudah ambruk dan pingsan di pelukannya.

"Celaka,"

Pendekar Rambut Emas pucat.

"Kau belum sehat, Lian-moi. Kandunganmu rupanya terganggu!"

Dan karena lawan-lawan sudah melarikan diri dan agaknya See-ong benar- benar akan kembali setelah menolong muridnya maka Pendekar Rambut Emas tiba- tiba berkelebat dan menyambar isterinya ini, memanggul dan cepat serta luar biasa ia menuju pantai.

Tak ada jalan lain saat itu kecuali meninggalkan Sam-liong-to.

See-ong terlalu tangguh dan isterinya sakit.

Menolong isterinya inilah yang harus didahulukan.

Maka begitu melesat dan mengerahkan ginkangnya tiba-tiba Kim-mou-eng sudah meninggalkan pertempuran dan kebetulan sekali melihat perahu Ji Pin, berteriak dan perahu itu pun mendekat.

Ji Pin tak tahu apa yang terjadi namun Pendekar Rambut Emas merasa kebetulan.

Isterinya sakit, dia khawatir kandungan isterinya itu akan gugur.

Dan ketika Ji Pin menyambut dan laki-laki ini berseri-seri tapi segera terkejut melihat ketegangan pendekar ini mendadak Pendekar Rambut Emas sudah berjungkir balik dan berada di atas perahunya.

Lalu begitu menyambar dayung dan meletakkan isterinya di lantai tiba-tiba Kim-mou-eng mendayung perahu dan melesat seperti iblis.

"Ambilkan air, siapkan air putih!"

Ji Pin gugup.

Dia diminta memberi minum nyonya yang pingsan itu, Kim-mou-eng menggerakkan perahu dan buru-buru meninggalkan Sam-liong-to.

Jelas membuat laki-laki itu bingung karena tak tahu apa yang terjadi.

Maka ketika dia bengong tak dapat memberi minum nyonya itu yang pingsan di lantai maka laki-laki ini mengeluh.

"Taihiap, bagaimana ini? Bagaimana cara aku meminumkannya?"

Kim-mou-eng sadar.

"Ah, letakkan dulu di situ, Ji Pin. Biar aku yang mengurusnya setelah kita tiba di sana!"

Pendekar itu menunjuk, bukan lain ke tempat di mana pulau yang ujung berada, yaitu pulau di mana dia pertama kali bertemu Ji Pin.

Dan ketika laki-laki itu mengangguk dan lega maka Kim-mou-eng mengerahkan kepandaiannya dan perahu meluncur seperti didorong kuat dan cepat dan Ji Pin hampir tak percaya pada apa yang dilihat.

Dia, yang hampir setengah hari tiba di situ tiba-tiba menempuh perjalanan tak kurang dari beberapa menit saja.

Perahu yang digerakkan Kim-mou-eng itu terbang melewati ombak, melejit dan meloncat seperti kijang melesat.

Dan ketika lima menit kemudian Ji Pin sudah kembali di tempatnya semula dan Kim- mou-eng berkelebat menyambar isterinya maka Pendekar Rambut Emas itu sudah mendahului perahu hinggap di pulau ini, berjungkir balik dan turun membawa isterinya.

Dan begitu dia menotok dan duduk bersila maka lengan pendekar ini sudah menempel di pundak isterinya memberikan pertolongan pertama, lupa pada air putih yang diminta dan Ji Pin melongo.

Laki-laki itu melihat Pendekar Rambut Emas ini telah menolong isterinya, tergesa-gesa.

Namun ketika muka pendekar itu mulai berseri dan terdengar keluhan di mulut wanita cantik itu maka Ji Pin berlutut dan siap disuruh ini-itu.

**SF** "Hei, apa yang mau kau lakukan, Liong-ko? Kenapa kau diam saja melihat aku dibeginikan orang?"

"Sst, diam. Jangan berisik, Eng-moi. Aku sengaja tak melawan agar kita bebas."

"Bebas? Setelah kita menjadi tawanan begini?"

"Eh, kenapa berteriak-teriak? Kau dan aku dijebloskan di tempat ini, Eng-moi. Tapi kita bukan menjadi tawanan malah menjadi orang- orang yang bebas. Lihat, aku dapat melarikan diri!"

Thai Liong, yang sejak tadi diprotes adiknya tiba-tiba menggerakkan lengan.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Totokan See-ong bebas dan pemuda itu bergerak.

Memang sejak mula pemuda ini sesungguhnya tak apa-apa, hanya pura-pura pingsan dan tentu saja melihat adiknya dirobohkan See-ong, menunggu dan kini mereka berdua dilempar ke ruang bawah tanah, yakni Istana Hantu itu.

Dan ketika adiknya membuka mata dan langsung bercuap-cuap maka pemuda ini meloncat bangun membebaskan dirinya.

"Nah, kau lihat,"

Katanya.

"Kita berdua tak berhadapan lagi dengan See-ong, Eng-moi. Dan kita bebas. Kau berdirilah!"

Thai Liong menepuk pundak adiknya, bebas dan Soat Eng pun meloncat bangun. Dan ketika adiknya itu memaki-maki dan Thai Liong tersenyum tiba- tiba pemuda ini memegang lengan adiknya.

"Tak perlu marah-marah, kita memang harus segera pergi."

"Pergi apanya? Memangnya kakek iblis itu harus dibiarkan saja?"

"Hm, apa maumu?"

"Kita keluar, Liong-ko. Dan hajar kakek keparat itu!"

"Dan memberikan kesempatan padanya untuk merobohkan dirimu lagi? Hm, jangan bodoh, Eng-moi. See-ong kakek lihai yang amat sakti sekali. Dia memiliki Hek-kwi-sut, kita tak dapat melawannya!"

"Aku tak takut!"

"Bukan takut atau tidak, Eng-moi, tapi bijaksana atau hanya menuruti nafsu marah belaka. Apakah kau ingin kita berdua celaka di tangannya? Tidak, dengarkan aku, Eng-moi. Kita harus pergi meninggalkan pulau ini!"

"Ya, dan berarti menemui kakek itu juga, Liong-ko. Sama saja karena kita akhirnya pasti berhadapan juga!"

"Tidak, kalau kita cerdik, Eng-moi. Dan aku sudah menentukan itu."

"Apa maksudmu?"

Sang adik terbelalak.

"Cerdik bagaimana?"

"Hm, kita dapat keluar tanpa harus menemui kakek itu, Eng-moi. Kita lewat belakang dan lari secara diam-diam!"

Soat Eng tertegun.

"Kau ingat dari mana kita pertama masuk, bukan? Kau tidak lupa terowongan bawah laut yang kita masuki?"

"Hm, itu?"

Gadis ini mengangguk.

"Ya, aku ingat, Liong-ko. Tapi aku tidak takut dengan kakek iblis itu!"

"Ah, lagi-lagi itu,"

Kakaknya mengomel.

"Aku tidak mempermasalahkan takut atau tidak takut, Eng-moi, melainkan mencari jalan selamat dan menghindari dulu kakek itu. Kita harus pulang dan melapor pada ayah atau ibu! Apakah kau ingin mati konyol di sini dan tidak kembali?"

Soat Eng tertegun.

"Ingat, jangan dibakar rasa marah, Eng-moi. Kita harus mendinginkan semua perasaan untuk maju ke perbuatan yang lebih penting. Aku juga tidak takut See-ong tapi melawannya sekarang ini adalah sebuah kebodohan belaka. Lihat, bagaimana kalau kita betul-betul mati di tempat ini? Bagaimana ayah dan ibu? Dapatkah kau bayangkan perasaan mereka?"

"Hm!"

Soat Eng mengangguk juga.

"Baiklah. Liong-ko, aku mengerti. Tapi lain kali kita harus kembali ke sini!"

"Ya, dan tugas kita gagal, Eng-moi. Istana ini ternyata berisi peninggalan harta melulu. Kita tak mendapatkan seperti apa yang ayah kehendaki!"

"Benar, apa maksud ayah dengan mutiara yang harus kita temukan itu? Mutiara yang mana?"

"Inilah, itu tak dapat kita temukan, Eng-moi. Sebaiknya kita kembali dan temui ayah!"

Lalu memberi isyarat adiknya agar tidak berisik lagi Thai Liong berkelebat ke belakang, turun dan menujulah pemuda itu ke tempat yang lebih bawah.

Soat Eng baru teringat bahwa di balik Istana Hantu ini terdapat jalan masuk dari tempat bahwa laut, yakni tempat seperti guha dimana kakaknya dulu diserang gurita dan hiu ganas.

Dia mengikuti dan akhirnya menempel di belakang kakaknya ini.

Dan karena mereka sudah mengenal jalan di situ dan lika-likunya sudah mereka hapal di luar kepala maka akhirnya kakak beradik ini tiba di bawah di mana terowongan bawah laut itu menjorok.

"Kita menyelam,"

Thai Liong memberi tanda cepat dan sudah mengajak adiknya berenang.

Tanpa ragu atau khawatir lagi pemuda itu sudah menyelam dan menghilang di bawah laut, ini adalah tempat di mana pertama kali pemuda itu menemukan jalan menuju ke Istana Hantu, lewat terowongan bawah laut.

Dan ketika Soat Eng mengikuti dan berenang di samping kakaknya maka gadis ini sudah menyelam meninggalkan Istana Hantu, melarikan diri, hal yang tak diduga See-ong.

Maklum, kakek iblis itu belum tahu bahwa dari sinilah dua muda-mudi itu menemukan jalan masuk.

Dan begitu Thai Liong mengajak adiknya menyelam dan berenang di bawah laut maka pemuda ini akhirnya muncul di tepi batu karang yang berbentuk setengah guha itu, meloncat dan naik ke atas.

Dan ketika adiknya menyusul dan mereka sudah di pantai yang aman maka Thai Liong mencari papan.

"Kita harus menyeberang, berselancar!"

Soat Eng cemberut.

Sesungguhnya tak suka dia meninggalkan pulau dengan cara begitu, melarikan diri.

Namun karena See-ong memang lihai dan di situ masih terdapat pula Enam Iblis Dunia maka gadis ini mengikuti dan menempel di belakang kakaknya saja, mencari alat menyeberang dan akhirnya mereka menemukan itu, bekas papan pecahan perahu dan Thai Liong sudah berjungkir balik di sini, hinggap dan bermain-main sejenak di atas papan ini, di atas laut.

Dan ketika adiknya berjungkir balik dan melayang pula di papan- selancarnya maka Thai Liong bergerak dan pemuda itu mengembangkan lengannya.

"Kita pergi!"

Soat Eng mengangguk.

Kakaknya sudah meluncur dan mengerahkan ginkang, ilmu peringan tubuh, bergerak dan meluncur di atas permukaan laut.

Dan karena mereka sudah terbiasa dan pekerjaan ini bukan pekerjaan yang sukar maka Soat Eng juga mengerahkan kepandaiannya dan bergerak mendampingi kakaknya, naik turun melewati ombak dan tak lama kemudian mereka sudah meninggalkan Sam-liong-to, tidak banyak bicara lagi dan masing-masing mendekati pulau di ujung.

Di situlah Ji Pin berada dan Thai Liong bermaksud menghampiri temannya ini, pergi dan diajak menjauhi tempat berbahaya itu.

Tapi ketika mereka tiba di tengah dan Thai Liong menyuruh adiknya mempercepat gerakan tiba- tiba adiknya itu berteriak kaget.

"Hei, ada mayat....!"

Thai Liong terkejut.

Adiknya sudah menuding dan di sebelah kiri mereka terapung sesosok mayat, timbul tenggelam di antara ombak dan Thai Liong tentu saja menunda gerakannya, apalagi adiknya juga berhenti, tertegun memandang mayat itu.

Tapi ketika Soat Eng berseru keras dan meluncur maju mendadak gadis ini sudah terbang menghampiri mayat itu.

Dan begitu gadis ini mengenal mendadak Soat Eng menjerit.

"Kong-kong (kakek)....!"

Thai Liong kaget bukan main.

Jerit atau pekik adiknya itu mengguncang hati, sukma terasa dibetot dan Thai Liong menggerakkan papan selancarnya.

Dan ketika pemuda itu terbang dan berjungkir balik mendekati adiknya maka pemuda ini tertegun dan pucat melihat apa yang terjadi.

"Kakek!"

Suara ini lirih, tercekat di kerongkongan namun wajah Thai Liong sudah berubah hebat.

Pemuda itu menggigil dan tiba- tiba terguling, adiknya juga terguling karena rasa kaget dan marah membuat Soat Eng kehilangan kewaspadaan, keseimbangannya lenyap dan gadis itu lupa bahwa dia berada di laut, di atas air.

Tapi begitu Soat Eng berteriak keras dan melengking tinggi tiba-tiba gadis ini telah mengerahkan ginkangnya lagi dan menyambar mayat kakeknya itu, Hu Beng Kui, menangis tersedu-sedu dan Thai Liong bengong.

Kakeknya, jago pedang itu, ternyata tewas dengan muka mengerikan.

Hampir seluruh tubuh bengkak dan Thai Liong melihat bekas-bekas pukulan yang mematikan.

Teringatlah Thai Liong akan geram atau suara pertempuran di luar, yang tak diduga sebagai kakeknya dan Soat Eng sudah mengguguk menyambar mayat kakeknya itu.

Tapi ketika gadis ini membentak dan meluncur membalik menuju ke Sam-liong-to lagi tiba-tiba Thai Liong terkejut.

"Hei, kembali, Eng-moi. Jangan ke sana!"

"Tidak!"

Gadis itu berseru.

"See-ong telah membunuh kong-kong, Liong-ko. Aku harus membalas dendam dan mengadu jiwa!"

"Tapi kita tak boleh kembali!"

"Kau pulanglah, laporkan pada ibu bahwa aku membalas dendam pada See-ong, Liong-ko. Kau pergilah dan biarkan aku menuntut balas!"

"Gila!"

Dan Thai Liong yang tentu saja tak mungkin membiarkan adiknya kembali ke Sam-liong-to tiba-tiba membentak dan mengejar adiknya itu, mengerahkan ginkang tapi Soat Eng tancap gas.

Gadis ini marah sekali dan tak menghiraukan seruan kakaknya, semakin dikejar semakin nekat.

Dan ketika mereka hampir kembali ke pulau dan Thai Liong cemas tiba-tiba pemuda itu melancarkan pukulan dari jauh dan pundak adiknya tepat sekali terkena serangan, mengeluh namun gadis itu malah memaki kakaknya.

Soat Eng terguling namun dapat membebaskan diri, maju dan meluncur lagi.

Tapi ketika dia hampir mendekati pulau dan Thai Liong marah tiba- tiba pemuda ini mengerahkan totokan sinar merah, Ang-Kong-ci.

"Eng-moi, kembali.... tuk!"

Soat Eng roboh.

Tanpa diulang lagi Thai Liong sudah menyambar adiknya itu, dimaki-maki namun pemuda ini tak perduli.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan ketika adiknya menangis dan berteriak-teriak maka Thai Liong menggerakkan kakinya dan meluncur menjauhi pulau, adiknya di pundak kanan sementara mayat kakeknya di pundak kiri.

Thai Liong tak memperkenankan adiknya itu membabi-buta, akibatnya Soat Eng marah- marah dan memaki kakaknya itu, habis- habisan.

Dan ketika Thai Liong menulikan telinga dan sejam kemudian sudah menyeberang dan berada di daratan besar maka pemuda itu melempar adiknya dan marah menegur keren.

"Eng-moi, jangan bodoh. Boleh kau menangis dan memaki-maki aku namun jenasah kakek harus dirawat. Lihat, apakah kita menelantarkannya begini saja? Apakah kita tidak memakamkannya? Jangan bodoh, Eng- moi. Sam-liong-to tempat berbahaya dan untuk sementara ini kita tak boleh mendekatinya!"

"Ah, kau cerewet. Kong-kong bukan kakekmu sejati, Liong-ko. Kau bisa saja berkata seperti itu karena kau bukan cucunya! Kau menggampangkan dan bersikap masa bodoh!"

"Apa?"

Thai Liong terkejut.

"Kau bicara seperti itu?"

"Ya, kau tak tahu sakitnya hati ditinggal keluarga, Liong-ko. Kau tak perduli kehilangan kong-kong! Kau bukan cucunya. Kau bisa saja bicara seperti itu. Kau...."

"Plak!"

Thai Liong tiba-tiba berkelebat, menampar adiknya ini.

"Diam kau, Eng-moi. Atau aku akan mencari See-ong dan dibunuh atau membunuh! Kau tahu siapa aku dan siapa dirimu? Kau tahu siapa ayah kita masing- masing?" **SF** (Bersambung

Jilid 7) Bantargebang, 19-10-2018,11.02 (Serial Bu-beng Sian-su) ISTANA HANTU

Jilid 7 * * * Hasil Karya . B A T A R A Pelukis . Soebagio Antonius S. * * * Percetakan & Penerbit U.P. DHIANANDA P.O. Box 174 SOLO 57101 ISTANA HANTU - BATARA KONTRIBUTOR . KOH AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITER .

SITI FACHRIAH ? PDF MAKER .

OZ Hak cipta dari cerita ini sepenuhnya berada di tangan pengarang, di bawah lindungan Undang- undang.

Dilarang mengutip/menyalin/menggubah tanpa ijin tertulis pengarang.

CETAKAN PERTAMA U.P.

DHIANANDA ? SOLO 1987 ISTANA HANTU (Lanjutan "Sepasang Cermin Naga") Karya .

Batara

Jilid .

7 * * * SOAT ENG terkejut.

berhadapan dengan kakaknya yang tiba-tiba mendelik dan merah padam seperti itu tiba-tiba gadis ini terperanjat.

Bicaranya yang kelepasan tiba-tiba membuat dia sadar bahwa dirinya bersalah.

Thai Liong tersinggung dan tentu saja marah bukan main mendengar kata-katanya tadi, bahwa kakaknya itu bukan cucu sejati kakeknya, karena Thai Liong dilahirkan dari ibu yang lain, Salima, mendiang sumoi ayah mereka sendiri (baca.

Pendekar Rambut Emas).

Dan ketika Soat Eng terkejut dan sadar melihat mata kakaknya yang berapi-api tiba- tiba gadis ini mengeluh dan jatuh terduduk.

"Liong-ko, maaf.... ampunkan aku....!"

"Berdirilah!"

Kakaknya membentak.

"Sumpah demi langit dan bumi aku akan mencari See- ong, Eng-moi. Tapi bukan sekarang dalam keadaan yang begini tidak menguntungkan. Tarik kembali kata-katamu bahwa aku bukanlah cucu Hu-taihiap!"

"Aku bersalah,"

Soat Eng menangis.

"Jangan laporkan pada ayah, Liong-ko. Atau biar kau hajar atau kau bunuh aku di sini!"

Gadis itu memeluk kaki kakaknya, tersedu dan lenyaplah kemarahan Thai Liong.

Apa yang dikata adiknya tadi memang amat tajam dan menyengat sekali, kata-kata itu membuat jurang perbedaan antara dirinya dengan Hu Beng Kui, kakek sejati adiknya itu.

Tapi karena dia adalah putera Pendekar Rambut Emas dan ayahnya itu adalah mantu jago pedang ini maka tak ada jarak bagi Thai Liong, tak nyana kalau tiba-tiba Soat Eng bicara seperti itu, pernyataan yang tentu saja menusuk dan menyakitkan hatinya.

Tapi ketika adiknya meratap dan menangis di bawah kakinya akhirnya Thai Liong menarik bangun adiknya itu, dengan muka masih merah.

"Eng-moi, lain kali jangan bicara seperti itu. Ibumu adalah ibuku, tak ada beda di antara kita!"

"Maaf, aku.... aku salah, Liong-ko. Aku.... aku terguncang oleh kematian kakek!"

"Bukan kau saja,"

Thai Liong menegur.

"Aku pun terguncang oleh kematiannya, Eng-moi. Dan sekarang kita rawat jenasahnya."

"Atau kita bawa pulang?"

"Hm, berapa lama? Tubuhnya mulai membusuk, Eng-moi. Rupanya sudah tiga empat hari terapung-apung di laut. Sebaiknya cepat kita kubur dan selesaikan di sini."

"Baiklah, aku menurut, Liong-ko...."

Dan Soat Eng yang tidak membantah serta mendebat kakaknya lagi lalu membuat lubang dan mengubur jenasah kakeknya itu, berkali-kali menangis dan Thai Liong sendiri bercucuran air mata.

Hu Beng Kui, si jago pedang yang gagah telah tewas.

Mayatnya terapung-apung di luat dan sungguh menyedihkan akhir hayat jago tua itu, jauh dari tempat tinggalnya dan jauh pula dari berita dunia, padahal kakek ini adalah seorang bengcu! Dan ketika semuanya selesai dilakukan dan Hu Beng Kui akhirnya dimakamkan di tempat itu maka Thai Liong berlutut menyatakan sumpahnya.

"Kong-kong, tenanglah di alam baka. Aku tak akan membiarkan See-ong dan pasti menuntut balas!"

"Benar, aku juga, kong-kong. Seumur hidup akan kucari kakek iblis itu dan kubunuh dia!"

Soat Eng, yang berlutut di samping kakaknya juga bersumpah.

Gadis itu membendul oleh tangis yang terus-menerus, berkemak-kemik dan mengepalkan tinjunya.

Dan ketika Thai Liong bangkit berdiri dan mengangkat bangun adiknya maka pemuda itu minta agar adiknya pergi.

"Kita tinggalkan kong-kong, kita pulang."

Soat Eng tersedu.

Gadis ini masih tak dapat meninggalkan tangisnya dan sekali dua ia bercucuran air mata, tewasnya kakeknya itu memang merupakan pukulan berat namun Thai Liong sudah menyambar lengannya.

Dan ketika sekali lagi mereka berlutut dan mencium makam maka Thai Liong meloncat dan terbang meninggalkan tempat itu, mengajak adiknya dan Soat Eng menggigit bibir.

Berkali-kali gadis itu harus ditarik karena setiap kali menoleh ke kuburan yang baru itu.

Thai Liong telah memberi tanda dan tak mungkin mereka lupa.

Dan ketika mereka membelok dan Soat Eng tak dapat melihat lagi maka Thai Liong minta agar adiknya mengerahkan ilmu lari cepat, berkelebat dan tubuh pemuda itu tiba-tiba meluncur ke depan, cepat dan Soat Eng pun menyusul.

Dan ketika mereka sama-sama mengerahkan ginkang dan terbang ke utara maka empat hari kemudian mereka tiba di padang rumput itu, tempat tinggal suku bangsa Tar-tar, mencari namun tidak menemukan ayah ibu mereka.

Thai Liong mendapat laporan bahwa ayah ibunya ke selatan, ke Ce-bu.

Dan sementara pemuda itu tertegun maka adiknya berkelebat dan balik menuju ke selatan.

"Hei, tunggu, Eng-moi. Mau ke mana kau?"

"Ce-bu. Ke mana lagi kalau tidak ke sana, Liong-ko? Ayo berangkat dan tidak perlu di sini lagi!"

"Nanti dulu....!"

Sang kakak menyusul.

"Mungkin kita terlambat juga, Eng-moi. Berhenti dan biar aku bicara! Thai Liong menyambar adiknya, minta agar Soat-Eng berhenti dan gadis itu pun berhenti. Thai Liong merah mukanya dan mengerutkan kening. Dan ketika adiknya bertanya mau bicara apalagi pemuda itu maka Thai Liong berkata.

"Mungkin kita terlambat. Ayah ibu jangan-jangan tak ada juga di sana!"

"Hm, belum tentu. Kalau ayah tak tahu meninggalnya kong-kong mungkin ayah menunggu, Liong-ko. Aku tetap ingin ke sana dan menengok!"

"Tapi kurasa sia-sia...."

"Tidak, sebelum kubuktikan sendiri aku masih berkeras, Liong-ko. Tolong sekali ini kau turuti aku dan ke Ce-bu!"

"Baiklah, mari kita buktikan,"

Dan Thai Liong yang tak mau berdebat dan main untung- untungan akhirnya menuruti juga permintaan adiknya itu, berkelebat dan kini mendahului.

Dia tak mau adiknya sendirian dan kecewa, betapapun dia harus menemani.

Dan ketika tiga hari kemudian mereka tiba di Ce-bu dan langsung memasuki rumah maka Uwak Lu ditemukan dan tertegun memandang mereka.

"Lho, kau, kongcu? Dan kau, siocia?"

"Ya, aku, uwak Lu. Mana ayah dan ibu?"

"Ibumu, eh.... ayahmu berangkat ke Sam- liong-to!"

Slap! Thai Liong dan Soat Eng terkesiap. Mereka kaget mendengar itu, jadi mereka bersimpang jalan. Dan ketika mereka saling pandang dengan muka berobah maka uwak ini menangis dan menceritakan.

"Ayah ibumu menyusul kakekmu. Hu-taihiap, loya.... berangkat duluan. Aku mencegah dan tak berhasil....!"

"Hm, kami tahu,"

Thai Liong menenangkan perasaannya.

"Dan kong-kong telah tiada, uwak Lu. Kong-kong telah tewas...."

"Apa?"

Perempuan tua itu menjerit.

"Loya.... loya tewas?"

"Ya."

"Ooh!"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dan perempuan itu yang jatuh tersungkur tiba-tiba menggerung dan menangis tersedu-sedu, menjerit memanggil nama Hu Beng Kui dan uwak ini histeris.

Kabar kematian Hu-taihiap diterimanya dengan tangis dan kekagetan.

Tapi ketika dia meloncat bangun dan beringas memandang ke depan tiba-tiba uwak ini bertanya.

"Siapa yang membunuh, kongcu? Siapa jahanam keparat itu? Mana dia? Siapa orangnya?"

"Tenanglah,"

Thai Liong menepuk pundak uwak ini.

"Dia orang lihai, uwak Lu. Kami datang mencari ayah ibu memang untuk melaporkan ini. Kau tak usah memikirkannya."

"Tapi kakekmu adalah majikanku, kongcu. Hu- taihiap adalah junjunganku!"

"Benar, dan terima kasih untuk rasa setiamu itu, uwak. Tapi urusan ini adalah urusan kami dan kau tinggal saja di rumah."

Uwak itu tersedu-sedu. Dia mengepal tinju dan memaki-maki pembunuh itu, Soat Eng jadi menangis pula karena uwak ini. Dan ketika Thai Liong mengerutkan kening dan mau pergi mendadak uwak itu menyambar lengannya.

"Nanti dulu, siapa orang itu, kongcu. Siapa pembunuh jahanam itu?"

"Perlukah kau tahu?"

"Tentu, aku dapat mengutuknya dalam doa, kongcu. Aku dapat minta pada Yang Maha Kuasa agar pembunuh itu dihukum!"

"Hm, dia See-ong...."

"See-ong?"

"Ya, See-ong, uwak Lu. Dan dia amat lihai karena memiliki ilmu iblis. Kami berdua hampir juga menjadi korbannya kalau tidak cepat- cepat meninggalkan Sam-liong-to!"

"Dan ayah ibu kalian ke pulau itu....!"

Uwak ini pucat, gemetar.

"Bagaimana, kongcu? Apakah tidak disusul saja?"

Thai Liong bingung.

"Sebaiknya memang kita susul,"

Soat Eng tiba- tiba berkata, matanya berapi-api.

"Kalau ayah ibu ada di sana kita susul, Liong-ko. Sekalian melihat apakah mereka tak apa-apa!"

"Benar, semalam aku bermimpi lagi, siocia. Ibumu menggendong labu!"

"Labu?"

Soat Eng mengerutkan kening.

"Apa arti mimpimu itu, uwak Lu? Baik atau jelek?"

"Aku kurang jelas, tapi menggendong buah dapat diartikan kehamilan, siocia. Mimpi itu tanda rejeki bagi keluarga kalian!"

"Apa?"

Soat Eng tertegun.

"Ibu hamil?"

"Aku tak tahu, aku hanya bermimpi. Tapi sekarang mimpiku cocok! Lihat, sebelum kakekmu meninggal aku bermimpi loya keterjang banjir, siocia. Dan benar saja kong- kongmu tiada!"

"Hm,"

Thai Liong yang kurang mempercayai segala mimpi menyambar lengan adiknya.

"Mimpi hanya kembang tidur, uwak Lu. Sebaiknya kami pergi dan kau tinggal di sini!"

Lalu berkata pada adiknya agar meninggalkan tempat itu.

Thai Liong berkelebat, menarik lengan adiknya dan Soat Eng mengangguk.

Memang setelah ayah ibunya tak ada di situ mereka harus meninggalkan Ce-bu, tak guna lagi berlama-lama di situ.

Dan ketika dua kakak beradik itu lenyap berkelebat dan meninggalkan uwak Lu maak uwak ini tertegun tapi berlari mengejar.

"Siocia.... kongcu, tunggu dulu....!"

Thai Liong dan Soat Eng membalik, berhenti.

"Ada apa?"

Mereka melihat uwak itu terengah pucat.

"Aku.... aku hendak berpesan, juga menceritakan sebuah kejadian yang belum kalian dengar. Cari dan temukan seorang pemuda yang mencuri Cermin Naga!"

"Apa?"

Thai Liong terkejut.

"Cermin Naga?"

"Benar,"

Uwak itu menangis lagi.

"Aku tertipu seorang pemuda, kongcu. Dia.... dia datang ke mari dan mengambil Cermin Naga!"

Soat Eng meloncat menyambar lengan perempuan ini.

"Uwak Lu, apa pula yang terjadi ini? Bagaimana bisa begitu dan kapan terjadinya?"

"Dua minggu yang lalu, siocia. Dan ayah ibumu sudah kuberi tahu. Dia, pemuda keparat itu...."

Perempuan ini menggigil.

"dia tinggi besar dan berkulit hitam, siocia. Gagah tapi sepak terjangnya tak tahu malu. Dia menipuku dan menendang, lari setelah mendapat sepasang cermin itu!"

Uwak ini lalu menceritakan, persis seperti apa yang dulu diceritakan pada Pendekar Rambut Emas dan isterinya. Dan ketika Soat Eng terbelalak dan kaget serta marah maka uwak itu menutup.

"Begitulah, itu yang terjadi, siocia. Aku tertipu dan dikelabuhi mentah-mentah. Tolong kalian cari dan tangkap pemuda itu. Dia tinggi besar berkulit hitam!"

"Hm-hm!"

Soat Eng mengepalkan tinju, marah berapi-api.

"Baik akan kucari pemuda itu, uwak Lu. Dan kau tenang sajalah di sini menunggu rumah!"

"Baik, dan bawa pemuda itu ke sini, siocia. Aku ingin menendang pantatnya seperti dulu dia juga menendang pantatku!"

Soat Eng mengangguk.

Setelah dia dibuat terkejut lagi oleh berita hilangnya Cermin Naga maka gadis ini gusar.

Kematian kakeknya belum meredakan kemarahannya tiba-tiba saja disusul hilangnya Cermin Naga, benda keramat yang disucikan kong-kongnya, bahkan setengah dipuja karena dari benda itulah kakeknya dapat menjadi lihai,duduk sebagai bengcu dan memiliki kesaktian tinggi.

Dan ketika semua jelas dan uwak itu bersinar-sinar maka Soat Eng menyambar kakaknya dan ganti berkelebat mendahului.

"Siocia, tangkap dan bekuk pemuda itu. Jangan lupa dibawa ke sini....!"

Soat Eng mengiyakan.

Setelah persoalan bertambah banyak dan urusan semakin menindih maka gadis itu tak mau banyak bicara lagi, terbang dan mengerahkan ginkangnya dan lenyaplah dia dari depan uwak itu.

Dan ketika di luar Ce-bu kakaknya diminta untuk menambah kecepatan karena kakaknya terlihat tepekur maka Soat Eng gemas mengerahkan semua kepandaiannya.

"Jangan melamun lagi, Liong-ko. Kita cari pemuda itu sekalian menuju Sam-liong-to!"

"Ya, baiklah, Eng-moi. Mari!"

Dan Thai Liong yang tersentak melihat adiknya terbang lalu mengerahkan kepandaian dan mengejar adiknya itu, berendeng dan mereka terbang bersama.

Ilmu lari cepat dua muda-mudi ini sudah tidak lumrah manusia lagi, mereka mengerahkan Jing-sian-eng dan lenyaplah keduanya memasuki hutan.

Dan ketika tak lama kemudian bayangan mereka sudah menyeberang hutan dan muncul serta lenyap lagi memasuki lembah atau ngarai maka kakak beradik ini bagai siluman yang tidak bersayap.

Orang akan tertegun melihat bayangan keduanya, lenyap dan tahu-tahu sudah muncul di tempat yang begitu jauh, lenyap dan muncul lagi di tempat yang lain.

Dan ketika semuanya itu tak dapat diikuti lagi karena mereka menghilang di luar Ce-bu maka Thai Liong dan adiknya sudah lenyap menuju ke timur.

**SF** "Hei, berhenti! Kau mau ke mana!"

Seorang pemuda tiba-tiba dibentak belasan perampok.

Saat itu dia memasuki hutan dengan tenang, lenggangnya kalem dan gerak- geriknya halus.

Pemuda ini tampak tertegun ketika dibentak, maklumlah, dia merasa tak mempunyai kesalahan dan seketika berhenti.

Dan ketika lima belas perampok mengepungnya rapat dan mereka semua memandang buntalan di punggungnya maka si pemimpin, yang membentak dan bertubuh tinggi besar mencabut golok.

"Kau memasuki wilayah kami, anak muda. Harus membayar upeti untuk meneruskan perjalanan!"

"Hm,"

Pemuda itu mengerti.

"Kalian perampok?"

"Kami penunggu hutan, penguasa wilayah ini. Siapapun yang masuk dan akan lewat harus memberi kami imbalan jasa agar aman!"

Si perampok mengelak, tak mau dituduh perampok dan temannya yang lain bersinar- sinar, mengangguk.

Mereka mengurung pemuda yang bersikap lemah lembut ini, pemuda tinggi besar namun tidak menakutkan, kulitnya hitam dan gagah.

Jadi kesan angker tak ada dan mereka bersikap kasar.

Namun ketika pemuda itu tersenyum dan menarik napas maka dia bertanya.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah, berapa harus kubayar ongkos melewati daerah ini?"

"Seratus tail, anak muda. Ditambah lima keping emas untuk menyeberang!"

"Hm, mahal amat. Tapi baiklah, aku tak mau ribut-ribut dan kalian terima ini,"

Pemuda itu menurunkan buntalannya, mengambil seratus tail perak dan lima keping emas.

Semua mata melotot ketika terdengar gemerincing di dalam buntalan, sekilas tampak berkelebatnya sinar uang yang menyilaukan.

Dan ketika seratus tail diserahkan berikut lima keping emas tiba-tiba kepala rampok itu tersenyum dan menerima.

"Ha-ha, sekarang boleh lewat. Aku membebaskan dirimu!"

"Terima kasih,"

Dan si pemuda yang memanggul buntalannya lagi dan mau berjalan mendadak dihadang empat belas yang lain.

"Eh, kalian mau apa?"

"Hm,"

Seorang di antaranya menyeringai.

"Kau harus membayar imbalan jasa untuk kami, anak muda. Seratus tail perak dan lima keping emas!"

"Tapi baru saja kuberikan...."

"Itu untuk Gee-twako, kami belum!"

Lelaki itu memotong, tertawa.

"Kami juga minta bagian, anak muda. Karena kami juga menjaga keamananmu!"

Yang lain tiba-tiba tertawa. Pemuda ini tertegun dan terhenyak sejenak, mau maju tapi dari segala penjuru menghadang orang- orang itu. Dia tak diperbolehkan melangkah dan harus membayar dulu pajak atau "upeti"

Itu, sebuah bentuk pemerasan yang kasar dan tidak bersahabat. Dan ketika dia memandang Gee-twako dan kepala rampok itu menyeringai ternyata laki-laki itu mengangguk.

"Benar, mereka anak buahku, anak muda. Kalau mereka memintanya itu adalah haknya."

"Tapi itu tadi...."

"Ha-ha, yang ini milikku, anak muda. Aku tak memberikannya pada mereka. Uangmu masih banyak, sebaiknya berikan saja dan kau aman!"

"Hm, empat belas kali seratus tail berarti seribu empat ratus tail. Aku tak punya sebanyak itu. Bagaimana kalau sebagian saja dan kalian mengalah?"

"Tanya saja empat belas orang itu, mereka mungkin mau mungkin tidak!"

"Tidak!"

Lelaki pertama menggeleng.

"Kau mendapat seratus tail, Gee-twako, kami juga harus sama agar adil. Kalau anak muda ini mengatakan tak punya sebaiknya kami geledah, siapa tahu dia bohong!"

Laki-laki itu melompat maju, tertawa menyambar buntalan si pemuda namun si pemuda mundur, mengelak dan sambaran itu pun luput.

Dan ketika laki-laki itu terkejut dan berseru marah mendadak iapun menyambar lagi dan mengejar, dikelit dan lagi-lagi luput.

Dan ketika kejadian itu berulang enam tujuh kali dan buntalan tak dapat dirampas maka laki- laki ini marah dan membentak.

"Hei, kau mau menyerahkannya atau tidak?"

"Tidak,"

Si pemuda menjawab, tetap tenang dan kalem.

"Aku tak memiliki uang sebanyak itu, sobat. Kalau kau mau memaksa jangan- jangan kalian kuhajar. Minggirlah, dan biarkan aku lewat!"

"Apa? Kau mau menghajar kami? Eh, dengar omongan ini, kawan-kawan. Pemuda kurang ajar ini menghina kita. Ayo tangkap, rebut buntalannya!"

Dan laki-laki itu yang kembali berteriak dan melompat maju tiba-tiba disusul teman-temannya yang sudah membentak menangkap lawan, dari segala penjuru bergerak ke satu titik dan pemuda itu agaknya bakal tertangkap.

Kiri kanan dan muka belakang sudah dikepung rapat, tak mungkin pemuda itu lolos.

Tapi ketika sebuah gerakan diperlihatkan pemuda itu dan dia lenyap di atas kepala rampok tiba-tiba pemuda itu menghilang dan empat belas orang itu bertumbukan satu sama lain.

"Hei.... plak-dukk!"

Kepala mereka saling hantam.

Empat belas orang itu berteriak kaget dan mengumpat caci, masing-masing benjol dahinya dan terpelanting.

Dan ketika mereka terkejut karena lawan menghilang dengan tiba-tiba mendadak si lelaki pertama terbelalak memandang ke depan.

"Hei, itu dia....!"

Si pemuda melenggang.

Ternyata dengan kepandaiannya yang luar biasa dia tadi melompati kepala orang-orang ini, berjungkir balik dan sudah turun di luar, melenggang dan uang yang diterima Gee-twako juga diambilnya kembali, begitu cepat dan si pemimpin rampok tak merasa.

Tapi ketika pundi-pundinya hilang dan buntalan kecil itu sudah menempel di buntalan si pemuda mendadak kepala rampok ini berteriak dan lari mengejar.

"Hei, uangku!"

Si pemuda tak menggubris.

Dia tetap melangkah namun kakinya sedikit diperlambat, tidak lari dan si pemimpin rampok pun tahu- tahu melompati atas kepalanya, berjungkir balik dan menunjukkan sedikit kepandaian.

Dan ketika pemuda itu berhenti dan Gee-twako melotot menuding buntalannya laki-laki tinggi besar itu membentak.

"Kenapa kau mengambil uangmu lagi?"

"Hm, kalian serakah,"

Pemuda itu tenang- tenang saja.

"Aku jadi sebal melihat tingkat kalian, perampok busuk. Sebaiknya kalian minggir dan biarkan aku lewat."

"Keparat!"

Dan si kepala rampok yang sudah mencabut goloknya dan menyerang tiba-tiba membentak dan membacok pemuda itu, dikelit dan golok lewat di pinggir telinga.

Anginnya bersiut namun si pemuda tersenyum, diterjang lagi dan lawan pun membalik.

Namun ketika dia mengegos dan enam tujuh kali semau bacokan atau tusukan golok mengenai angin kosong maka kepala rampok itu terkejut berteriak pada teman-temannya, disuruh membantu dan empat belas anak buahnya pun meluruk.

Mereka tadi sengaja mengganggu dengan hadangan itu, tak bermaksud melepaskan si pemuda kalau tak menyerahkan semua harta miliknya.

Gemerincing uang yang banyak di dalam kantung sudah membuat mereka mengilar.

Gee-twako memberi tanda dan empat belas orang itu mencegat.

Tapi ketika si pemuda berkelebat menghilang dan tahu-tahu lolos dari luar kepungan maka mereka pun marah di samping terkejut, mulai tahu bahwa lawan yang mereka hadapi adalah seorang pemuda lihai, berkepandaian tinggi.

Tapi karena mereka berjumlah banyak dan pemuda itu hanya seorang diri maka mereka mengeroyok dan pemuda itu diserang, dari mana-mana berhamburan golok atau tombak, menusuk dan menikam serta membacok.

Tapi ketika pemuda itu berkelit dan semua senjata menusuk angin kosong mendadak pemuda itu menggerakkan kaki dan mereka pun terpelanting bergulingan ketika ditendang.

"Pergilah.... des-des-des!"

Lima belas orang itu mencelat.

Mereka berteriak dan si kepala rampok mengaduh, dia merasa patah punggungnya namun dapat berdiri lagi, melompat bangun.

Dan ketika empat belas yang lain juga dapat bangun berdiri dan terbelalak marah maka si pemuda diserang dan dikeroyok kembali, berkelebat dan tahu-tahu sepasang tangan mendarat di pipi atau leher.

Pemuda itu membentak dan membalas lawannya.

Dan ketika orang-orang itu terpelanting dan menjerit satu sama lain akhirnya mereka bergulingan merintih pedas, masih dapat bangun berdiri dan untuk ketiga kalinya maju menyerang, nekat orang-orang itu.

Tapi ketika si pemuda mendengus dan golok atau tombak yang menyambarnya dipukul patah barulah orang-orang itu berteriak dan melarikan diri, didahului kepalanya, laki-laki tinggi besar itu.

"Tobat, ada siluman. Lari....!"

Lima belas orang itu berhamburan.

Tadi pemuda itu mengibas dan menangkap, golok atau tombak dicengkeram hancur dan terbanglah nyali mereka.

Dan ketika pemuda itu tersenyum dan tidak mengejar maka lima belas perampok itu terbirit-birit berteriak ketakutan, tak ada yang membawa senjata lagi dan pemuda itu meneruskan langkah, lenggangnya masih kalem dan tenang.

Dan sementara dia mengebut bajunya membersihkan dari debu maka di sana lima belas perampok yang tunggang-langgang itu bertemu dengan sepasang muda-mudi yang kebetulan berpapasan dengan mereka, yang terheran-heran melihat mereka berteriak-teriak menyebut siluman.

"Hei, berhenti. Ada apa?"

Si gadis, yang berdiri paling depan tiba-tiba membentak.

Laki-laki tinggi besar yang bukan lain si kepala rampok tiba-tiba tertegun, berhenti dan memandang gadis ini, gadis cantik dengan rambut dikepang.

Dan ketika dia dihardik lagi dan kepala rampok itu mendongkol maka dia membentak dan balas menyambar gadis ini.

"Di belakang ada siluman, mari pergi!"

Dan mau kurang ajar meremas dada orang laki-laki itu tertawa dan menyeringai, empat belas temannya juga berhenti dan tertegun.

Baru dihajar seorang pemuda lihai mendadak bertemu sepasang muda-mudi di tengah jalan, si gadis demikian cantik namun galak.

Dan karena kebiasaan buruk mudah berjangkit dan mereka adalah perampok-perampok kasar maka mereka tertawa melihat Gee-twako, pemimpin mereka meremas gadis itu, menyambar dan mau dibawa lari.

Tapi ketika gadis itu berkelit dan sebuah tamparan keras meledak di pipi sang pemimpin tiba-tiba Gee- twako menjerit dan berteriak roboh.

"Aduh.... plak-plak!"

Kaki si gadis menjegal, laki-laki itu terkejut dan melayanglah dua tamparan ke pipinya.

Dan ketika dia terguling- guling dan bengap dengan muka merah padam maka kepala rampok itu memaki dan menubruk lagi, menyerang namun tiga tamparan bahkan mendarat di kepalanya.

Kepala rampok itu berteriak dan terpelantinglah dia, ribuan kunang-kunang seolah menghiasi kepalanya dan empat belas anak buahnya terkejut.

Dan ketika Gee-twako membentak dan menyuruh mereka menyerang maka empat belas perampok itu maju menerjang dan mau menangkap si gadis, tak malu-malu mengeroyok namun si gadis mengeluarkan suara dari hidung.

Temannya, si pemuda yang berdiri menonton tampak tersenyum-senyum saja.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Mereka itu bukan lain Thai Liong dan Soat Eng adanya, tentu saja tahu bahwa yang dihadapi adalah orang-orang kasar yang tidak sepadan.

Thai Liong diam saja membiarkan adiknya dikeroyok perampok- perampok itu.

Dan ketika adiknya berkelebat lenyap dan pukulan serta tendangan dibagi- bagikan pada empat belas orang itu akhirnya para perampok ini sadar bahwa mereka ketemu "siluman"

Yang baru.

"Aduh, tobat.....!"

Mereka jatuh bangun.

Hanya dengan tamparan atau tendangan saja Soat Eng sudah menghajar orang-orang itu, si pemimpin terbelalak dan buru-buru kabur.

Di situ masih ada si pemuda dan kepala rampok ini gentar.

Maunya mengganggu tak tahunya malah dihajar.

Maka ketika empat belas temannya berteriak mengaduh-aduh sementara dia sendiri sudah merasakan lima kali tamparan yang membuatnya pusing maka laki-laki tinggi besar itu bergerak dan melarikan diri, disusul empat belas temannya dan para perampok sial itu mengaduh-aduh.

Mereka benar-benar sial, baru dihajar seorang pemuda sudah dihajar lagi seorang gadis.

Ini tentu temannya, pikir mereka.

Tapi ketika mereka berhamburan dan kepala rampok itu mendahului mendadak si gadis berkelebat dan tahu-tahu menyambar tengkuknya.

"Berhenti!"

Bentakan ini membuat si kepala rampok seakan terbang semangatnya.

Dicengkeram dan disambar seperti itu tiba-tiba saja dia roboh, seluruh tenaganya lumpuh dan mengeluhlah si kepala rampok itu.

Dan ketika teman-temannya yang lain terus melarikan diri sementara dia tertangkap maka laki-laki ini menjatuhkan diri berlutut dan meratap.

"Ampun.... ampun, lihiap. Lepaskan tanganmu....!"

"Hm, aku memang tak bermaksud membunuhmu. Aku hanya ingin bertanya kenapa kalian tadi berteriak-teriak menyebut siluman. Apa yang terjadi dan kenapa kalian terbirit-birit?"

"Aduh, di depan ada seorang pemuda, lihiap. Gagah dan tinggi besar. Kami.... kami dihajarnya....!"

"Siapa dia?"

"Kami tak tahu."

"Tinggi besar dan gagah?"

"Benar, lihiap."

"Berkulit hitam?"

"Ah, teman lihiapkah kiranya? Aduh, ampun lihiap. Aku.... aku tak tahu!"

Dan si kepala rampok yang justeru ketakutan dan semakin menggigil tiba-tiba mengira bahwa pemuda di depan adalah teman gadis ini, meratap dan minta ampun namun tiba-tiba gadis itu menendang.

Si kepala rampok mencelat dan terguling-guling.

Dan ketika gadis itu membentak agar dia pergi maka laki-laki itu merintih dan bangkit berdiri, cepat-cepat kabur.

"Teman-teman, tunggu! Aduh, sial aku....!"

Soat Eng tak menghiraukan.

Disebutnya ciri- ciri pemuda tinggi besar berkulit hitam mendadak membuat dia bersinar-sinar.

Itu adalah pencuri Cermin Naga! Harus dicari! Maka begitu si kepala rampok dibuat jungkir balik dan terbirit-birit melarikan diri Soat Eng sudah berkelebat dan terbang ke depan, minta agar kakaknya mengikuti dan berkata itulah pemuda yang dicari-cari.

Thai Liong terkejut tapi tak menjawab, dugaannya pun juga ke situ.

Maka begitu sang adik meloncat mengerahkan ginkangnya dan meluncur ke depan pemuda ini pun mengikuti namun berseru.

"Eng-moi, hati-hati. Sabar dulu....!"

"Aku tahu. Tapi pemuda itu harus dikejar, Liong-ko. Ayo cepetan dikit dan jangan sampai dia hilang!"

Soat Eng tancap gas, marah dan mengajak kakaknya mempercepat lari.

Berita si kepala rampok justeru membuatnya panas, kegusarannya bangkit dan Soat Eng sudah memasuki hutan itu.

Dan ketika dia melihat si pemuda yang dimaksud dan benar saja seorang pemuda tinggi besar berkulit kehitaman melenggang santai gadis ini sudah membentak dan berjungkir balik melayang di atas kepala lawan.

"Berhenti!"

Pemuda itu tertegun.

Soat Eng melayang turun dan sigap serta indah gadis itu berjungkir balik melewati atas kepalanya.

Pemuda ini tercengang namun tersenyum, kagum.

Dan ketika ia berhenti dan Soat Eng berdiri tegak maka belum apa-apa dia sudah dibentak.

"Kau yang menghajar lima belas orang tadi?? "Benar,"

Pemuda ini mengerutkan kening, tiba- tiba curiga.

"Apakah nona teman mereka?"

"Mulut lancang!"

Gadis itu membentak.

"Aku bukan teman mereka, manusia busuk, melainkan kaulah yang kuanggap teman mereka karena sepak terjangmu sama! Kau yang ke Ce-bu, bukan? Mana Cermin Naga yang kau curi?"

"Cermin? Cermin apa?"

"Cermin Naga! Kau kudakwa sebagai pencurinya!"

Dan Soat Eng yang membentak mengejutkan pemuda itu tiba-tiba menyambung.

"Serahkan benda itu atau kau mampus, cepat, sebelum aku menghajarmu!"

Dan si pemuda yang malah melongo dan bengong tiba-tiba tertawa dan untuk pertama kali terbahak-bahak, menganggap Soat Eng tidak waras dan mengira gadis itu gila! "Eh, kau datang-datang menuduhku sebagai pencuri, nona.

Atas dasar apa dan alasan apa hingga aku mendapat tuduhan seperti ini? Kau siapa dan bagaimana bicara yang tidak keruan? Aku tak mengerti, aku tidak tahu...."

"Wut!"

Dan Soat Eng yang tidak banyak cakap menerjang lawan tiba-tiba membentak dan melakukan tamparan Tiat-lui-kang, sinar merah mengejutkan pemuda itu dan pemuda ini berkelit.

Tapi ketika gadis itu mengejar dan Tiat-lui-kang kembali meledak maka dia tak dapat berkelit kecuali menangkis.

"Plak!"

Dan pemuda ini terjengkang! Soat Eng sudah membentaknya lagi dan pemuda itu berseru keras, dia menganggap Soat Eng gila dan berteriak-teriak.

Tapi ketika gadis itu terus menyerang dan tubuhnya menyambar seperti walet beterbangan maka pemuda ini menangkis dan melempar tubuh bergulingan.

"Plak-plak!"

Pemuda itu kaget sekali.

Dua pukulan Petir menyambar pundaknya dan baju pun hancur, hangus terbakar.

Untung, dia cepat mengerahkan sinkang dan tidak apa-apa.

Dan karena pemuda itu dapat melompat bangun dan berdiri lagi dengan mata terbelalak maka Soat Eng melengking dan menyerang lagi, melepas pukulan dan tendangan dan pemuda itu mengelak bingung.

Dia menangkis tapi selalu tergetar dan terpental oleh pukulan lawan.

Dan ketika sekali lagi dia terpelanting oleh sebuah tamparan maka bayangan Thai Liong datang berkelebat dan pemuda ini tertegun.

"Eng-moi, apakah pemuda ini orangnya?"

"Benar,"

Soat Eng melengking.

"Cegat dia, Liong-ko. Jangan sampai lari!"

"Eh-eh!"

Pemuda tinggi besar itu berteriak marah.

"Kalian siapakah dan kenapa menyerangku seperti orang gila? Tahan, nona.... tahan!"

Namun Soat Eng yang tak menggubris dan terus menyerang lawannya akhirnya membentak dan menghantam gusar, menganggap pemuda ini adalah pencuri yang mengambil Cermin Naga itu.

Tak ada maling yang mau mengaku sebagai maling.

Maka ketika si pemuda kembali terlempar namun dapat bangun untuk kesekian kalinya Soat Eng menjadi beringas dan marah sekali.

"Liong-ko, pemuda ini cukup hebat. Barangkali aku harus mengeluarkan Lu-ciang-hoat!"

Dan sinar putih yang berkelebat menghantam pemuda itu akhirnya membuat si pemuda menjerit terlempar, kali ini susah bangun namun dia bergulingan menjauh.

Tadi Lu- ciang-hoat menghantam bahunya dan dia serasa disambar geledek, tersengat dan mengaduh.

Namun ketika dia dapat bangun dan terhuyung membelalakkan mata maka Thai Liong juga terkejut dan mau tak mau menjadi kagum.

"Lihat, kalau bukan pemuda macam begini tak mungkin dapat menipu uwak Lu, Liong-ko. Dia harus dihajar dan dirobohkan!"

"Kalian gila!"

Pemuda itu berteriak.

"Aku tak tahu-menahu tentang pencurian, nona. Kalau terus-terusan begini jangan salahkan aku membalas!"

"Balaslah! Siapa takut?"

Soat Eng malah menjadi sengit.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hayo balas dan pukullah aku, pemuda siluman. Dan serahkan Cermin Naga atau kau mampus!"

Si pemuda merah mukanya.

Soat Eng sudah menyerang dan melepas pukulan-pukulan panas, sinar putih dan merah berkelebatan ganti-berganti dan dia marah.

Dan ketika kembali satu tamparan kuat menyambar kepalanya namun dia meliuk tiba-tiba untuk pertama kali pemuda itu melakukan gerakan aneh, merunduk.

"Dukk!"

Soat Eng tergetar.

Lawan, pemuda tinggi besar itu tak terpelanting.

Pemuda itu hanya bergoyang dan terdorong mundur.

Soat Eng terkejut karena Lu-ciang-hoatnya tertahan.

Untuk pertama kali dia merasa menghadapi lawan tangguh! Tapi Soat Eng yang memekik dan menyerang lagi akhirnya membentak dan berkelebatan mengelilingi lawan, pukulan dan tamparan silih berganti dan pemuda itu sibuk.

Pemuda ini membentak dan keluarlah lagi gaya serangannya yang aneh, merunduk dan tiba- tiba kedua lengan bergerak ke sana ke mari, kian cepat dan akhirnay berubah menjadi delapan belas pasang lengan.

Bukan main, Soat Eng terbelalak karena ke manapun ia menyerang selalu bertemu dengan delapan belas pasang lengan itu, terpental dan dia mulai terhuyung, melotot dan menyerang lagi namun si pemuda membalas.

Dan ketika Lu- ciang-hoat bertemu delapan belas pasang lengan dan dua-duanya berkelebatan dahulu- mendahului maka Soat Eng melengking dan gusar bukan kepalang.

"Benar, ini orangnya, Liong-ko. Semakin benar dugaan kita!"

"Kalian gila!"

Pemuda itu berseru, kini dapat menjaga diri dengan baik.

"Aku tak tahu- menahu tentang pencurian, nona. Kau tidak waras dan hentikan semuanya ini!"

"Mana bisa? Kau tidak menyerahkan Cermin Naga, bocah siluman. Dan aku akan menghajarmu sampai roboh!"

"Kalau begitu cobalah, barangkali kau atau aku yang gila.... plak-dess!"

Dan si pemuda yang kini tergetar membuat Soat Eng terhuyung lalu bergerak lagi mengeluarkan kepandaiannya, lengannya itu maju mundur dan berputar-putar cepat sekali.

Lu-ciang-hoat tertahan dan Soat Eng diam-diam kaget sekali.

Thai Liong, kakaknya, juga terkejut dan mengerutkan kening.

Dan ketika keduanya kembali bertanding namun tetap imbang maka Thai Liong menyuruh adiknya mengeluarkan Khi- bal-sin-kang, ilmu yang khusus mengembalikan setiap tenaga lawan.

"Keluarkan Khi-bal-sin-kang, gabung dengan Lu-ciang-hoat!"

Soat Eng mengangguk.

Gadis itu dengan marah sudah mengeluarkan ilmunya yang kedua ini, ilmu yang tak kalah hebat dan tentu saja menjadi semakin hebat kalau dipakai bersamaan dengan Lu-ciang-hoat.

Pemuda itu berteriak ketika menangkis, jatuh terbanting dan terguling-guling.

Dan ketika Soat Eng berkelebatan dan pemuda ini berseru keras maka tiba-tiba dia terdesak dan tangkisannya menjadi bumerang bagi diri sendiri.

"Plak-dukk!"

Pemuda itu menjadi pucat.

Dia ternyata tak memiliki ilmu lain kecuali delapan belas lengan itu, bingung dan mundur-mundur dan menangkis tapi selalu terpental.

Tenaganya membalik dan Soat Eng berseru girang.

Dan ketika pemuda itu terhuyung-huyung dan pucat memaki-maki maka satu pukulan di tengkuk akhirnya membuat dia terpelanting, jatuh terguling-guling namun hebatnya pemuda ini dapat bangun berdiri.

Ini menunjukkan bahwa sinkang (tenaga sakti) yang dimiliki pemuda itu kuat juga, luar biasa.

Soat Eng sampai gemas namun akhirnya dia melakukan pukulan ulang, sebuah tamparan dan pemuda itu menangkis, tak dapat mengelak.

Untuk kesekian kalinya dia pucat menangkis tamparan itu, maklumlah, dirinya selalu akan terbanting karena tenaganya akan membalik.

Dan ketika benar saja dia terlempar dan jatuh berguling-guling maka Thai Liong berkelebat dan menotok pundaknya.

"Tuh-auh!"

Pemuda itu roboh.

Sekarang Thai Liong berdiri di depannya dengan alis berkerut, pemuda ini terpaksa maju karena melihat lawan terlalu tangguh.

Adiknya harus bekerja lama untuk menundukkan lawan yang kuat ini.

Dan ketika Soat Eng berkelebat dan berdiri di samping kakaknya maka gadis itu minta agar kakaknya menggeledah.

"Periksa dia, rogoh semua isi bajunya!"

Thai Liong mengangguk.

Memang adiknya tak mungkin melakukan itu, adiknya wanita.

Menggeledah dan memeriksa seorang laki-laki tentu adiknya jengah.

Dan ketika dia membungkuk dan memeriksa isi kantung pemuda itu maka Thai Liong tertegun melihat kepingan uang terdiri dari perak dan emas, lumayan banyak.

"Hm, tak ada,"

Katanya.

"Apakah kita salah memeriksa orang?"

"Tak mungkin. Tentu disembunyikan di lain tempat, Liong-ko. Sebaiknya kita paksa dia mengaku dan dikompres!"

Soat Eng jengkel, Cermin Naga tak ada dan kakaknya mulai ragu.

Sebenarnya Thai Liong tak melihat watak buruk pada muka pemuda ini, orang yang mereka tangkap ini justeru berkesan jujur dan baik-baik, bimbanglah dia.

Tapi ketika adiknya membentak dan hal itu mungkin saja terjadi maka Thai Liong berdiri dan memandang pemuda itu, tajam bersinar-sinar.

"Sobat, sebaiknya kau mengaku. Kami mempunyai dugaan kuat bahwa kaulah pencurinya. Mana Cermin Naga dan di mana kau sembunyikan?"

"Kalian aneh,"

Pemuda itu tertawa.

"Aku bingung dan justeru heran akan sikap kalian, sahabat muda. Mestinya kalian percaya bahwa aku tidak tahu-menahu tentang Cermin Naga. Jangankan mengerti, mendengar saja baru kali ini. Apakah Cermin Naga itu dan bagaimana ujudnya?"

"Setan!"

Soat Eng memaki.

"Pemuda ini berpura-pura bloon, Liong-ko. Kalau begitu serahkan padaku dan biar kupaksa mengaku!"

Soat Eng menyambar, mencengkeram tengkuk dan segera pemuda itu merintih.

Meskipun jari- jari halus yang mencengkeramnya namun jari- jari itu penuh tenaga lweekang, serta menembus sumsumnya dan dia mendesis.

Dan ketika cengkeraman diperkuat sementara Thai Liong diam mengerutkan alis maka Soat Eng sudah membentak lawannya.

"Lihat, pencetan ini akan membuatmu seperti dibakar api. Kalau kau tidak mengaku jangan salahkan aku membuatmu menderita!"

"Lakukanlah,"

Pemuda itu berkata gagah, meringis menahan sakit.

"Aku memang tak tahu apa-apa, nona. Kalau aku harus disiksa barangkali ini memang nasibku yang sial!"

"Kau tak mau mengaku?"

"Apa yang harus ku-aku? Aku tak tahu-menahu benda sialan itu, nona. Disuruh mengaku tentu aku juga tak dapat menunjukkan... augh!"

Pemuda itu berjengit, Soat Eng sudah memencet jalan darah di tengkuknya dan muncullah sengatan panas yang membakar pemuda itu.

Bagai api yang tajam dan panas pemuda ini merasa terbakar, dia mengaduh namun akhirnya menggigit bibir, menahan sakit, diperkuat lagi pencetannya dan pemuda itu pun merah padam.

Perjuangan berat tampak diperlihatkan pemuda ini dan Soat Eng penasaran, menambah kekuatannya dan pemuda itu pun akhirnya berteriak.

Saking sakit dan marahnya dia menggigit bibir sendiri.

Namun ketika Soat Eng membentak agar dia mengaku pemuda ini malah memaki-makinya.

"Siluman busuk! Kau boleh bunuh aku, nona. Boleh siksa dan gorok leherku tapi tak dapat aku menerangkan. Aku tak tahu-menahu dan sumpah demi ibu bapakku aku tak mengerti urusan Cermin Naga!"

Soat Eng melotot.

Setelah berulang kali lawannya ini membantah tiba-tiba dia menjepit lagi sebuah jalan darah di leher kanan, jepitan atau pencetan yang akan membuat pemuda itru seolah kesetrom bongkahan es dingin.

Habis dibakar panas tiba-tiba sudah dibuat menjadi dingin, pemuda itu merasa tengkuknya terbakar tapi leher kanannya dicelup es.

Beku! Dan ketika dia menggigit bibir namun tak tahan juga tiba-tiba pemuda ini roboh dan pingsan.

"Ah, kau terlalu!"

Thai Liong terkejut.

"Lepaskan pemuda ini, Eng-moi. Bebaskan dia dan jangan kelewatan!"

Soat Eng menendang.

Setelah pemuda itu pingsan dan dia kalah maka kemarahannya semakin menjadi.

Gadis itu bukannya kasihan melainkan bertambah gusar.

Maka ketika kakaknya menyuruh lepaskan sementara pemuda itu sudah tak sadarkan diri maka dia menendang dan mencelatlah tubuh tinggi besar itu, terbanting dan tidak bergerak-gerak lagi karena sudah pingsan.

Soat Eng memaki- maki dan baru kali ini kalah berhadapan dengan seorang lawan yang demikian tegar, meskipun lawan itu dapat dirobohkannya.

Dan ketika kakaknya terkejut dan tak setuju pada tindakannya maka Thai Liong melompat dan memeriksa pemuda itu.

"Dia tak akan mati, paling-paling kelengar!"

"Hm, kau keras sekali,"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Kakaknya menegur.

"Aku jadi sangsi akan keteguhannya, Eng-moi. Kalau kita sampai salah maka kita harus menebus malu!"

"Cih, minta maaf maksudmu? Tak mungkin, pemuda ini jelas orangnya, Liong-ko. Aku yakin dan merasa pasti!"

"Tapi dia menolak tuduhan...."

"Memangnya maling harus mengaku maling? Tak mungkin, tak ada maling yang mengakui perbuatannya, Liong-ko. Justeru menurut pendapatku pemuda ini harus disiksa lagi yang lebih keras. Aku masih belum puas!"

"Tidak, jangan dulu!"

Sang kakak mencegah.

"Kita tangkap saja dia, Eng-moi. Kita tawan dan secara baik-baik dibujuk...."

"Apa? Dibujuk?"

Sang adik melotot.

"Membujuk penjahat tak ada gunanya, Liong-ko. Dia akan mempermainkan kita dan sia-sia. Sebaiknya diseret dan biar kau lihat perbuatanku!"

Soat Eng menyambar sebuah tali, mengikat dan melilit-lilit pemuda itu dan akhirnya mengambil air.

Dengan dingin dia mengguyur muka pemuda itu, menyadarkannya.

Dan ketika si pemuda gelagapan dan benar saja siuman maka pemuda itu membuka mata dan mengeluh.

"Aduh, aku belum mati?"

Pertanyaan ini menyedihkan. Thai Liong mau tertawa kecut tapi tak jadi, tersenyum ditahan dan adiknya yang bergerak. Dan ketika pemuda itu membuka mata dan beradu pandang dengannya maka Soat Eng mendesis.

"Kau belum mati, dan memang tidak akan mati. Aku ingin kau tetap hidup agar merasakan penderitaan lebih lanjut. Masihkah kau tidak mengaku dan ingin kuseret sepanjang jalan?"

"Ooh.....!"

Pemuda itu tertawa menyeringai, aneh sekali tidak nampak dendam.

"Kau berkali-kali memaksaku, nona. Dan agaknya berkali-kali pula aku harus menjawab dengan gelengan kepala. Aku baru kali ini turun gunung, mau pulang. Bagaimana bisa mencuri barang orang dan dituntut seperti ini? Kalau kau tidak percaya maka boleh siksa aku sampai puas, tapi hati-hati, perbuatanmu nanti kualat!"

"Kualat hidungmu!"

Soat Eng membentak.

"Menghajar seorang penjahat macam dirimu justeru dibenarkan hukum, pemuda siluman. Aku tak takut kualat dan lihat saja bagaimana aku menyiksamu!"

"Aku mau kau bawa ke mana?"

"Ke Sam-liong-to!"

"Ke laut?"

"Ya."

"Untuk apa?"

"Kujadikan santapan hiu!"

"Ha-ha!"

Pemuda itu tertawa bergelak.

"Tak ada hiu yang dapat memakan dagingku, nona. Tubuhku alot dan tua. Kau akan sia-sia!"

"Eh, mengejek?"

Soat Eng terbelalak.

"Kuhajar kau, pemuda setan. Tutup mulutmu dan jangan buka lebar-lebar.... plak!"

Soat Eng menampar pemuda itu, mengejutkan kakaknya dan Thai Liong berkata agar adiknya menahan diri.

Tamparan yang cukup keras itu membuat bibir si pemuda pecah.

Thai Liong berkelebat dan menyambar adiknya.

Dan ketika Soat Eng menggerutu dan kakaknya menegur maka pemuda ini terbelalak memandang Thai Liong, mulai merasa bahwa pemuda ini lebih lembut dibanding adik perempuannya, yang galak itu.

Pemuda yang menarik perhatiannya karena tiba-tiba dia melihat rambut Thai Liong yang keemasan.

Pemuda itu tertegun dan membelalakkan mata, teringat sesuatu.

Namun belum sempat dia bertanya atau membuka mulut tiba-tiba Soat Eng menyambar tali dan menarik dirinya, diseret.

"Liong-ko, aku ingin membuktikan omongan si sombong ini bahwa tubuhnya alot tak dapat dimakan hiu. Coba kubuktikan dan mari kita seret!"

Gadis itu bergerak, tak menghiraukan kakaknya lagi dan Thai Liong tertegun.

Pemuda ini mengerutkan kening namun adiknya sudah melangkah, tawanan mereka diseret dan bertemulah tubuh pemuda itu dengan kerikil dan batu-batu tajam, mengigit namun pemuda itu mengerahkan sinkangnya.

Tubuhnya tak apa-apa akan tetapi pakaiannya yang robek- robek.

Dan ketika Soat Eng tak perduli dan terus menyeret tawanannya maka Thai Liong kagum melihat kulit tubuh yang tegap mengkilat.

"Kau sebaiknya mengaku,"

Dia membujuk.

"Dan jangan biarkan adikku marah!"

"Hm, mengaku bagaimana? Justeru aku heran melihat kalian berdua, sobat muda. Kau tampaknya baik dan adikmu itu juga bukan orang jahat."

"Eh, untuk apa omong-omong?"

Soat Eng tak senang.

"Biarkan dia begini, Liong-ko. Dan lihat berapa kuat dan alot kulitnya!"

Si pemuda tersenyum.

Thai Liong geleng- geleng kepala dan diam-diam kasihan.

Sesungguhnya dia ragu dan bimbang, pemuda ini tampaknya bukan orang jahat dan dia khawatir kalau adiknya salah tangkap.

Berbahaya nanti, tentu mereka mendapat malu.

Namun karena adiknya tak perduli dan pemuda itu dilihatnya juga tak apa-apa diseret sepanjang jalan maka Thai Liong diam saja dan akhirnya justeru tertarik, ingin mengetahui siapa sebenarnya pemuda ini namun justeru pemuda itu tak memberitahukan namanya.

Thai Liong ditanya tapi juga balas tak memberitahukan namanya.

Dan ketika sehari itu mereka menyeret tawanan mereka maka si pemuda minta air minum.

"Aku haus, tolong berikan air."

"Huh, tidak mengaku mengapa minta minum? Kau bilang boleh dibunuh, pemuda siluman. Dan sekarang jangan banyak cakap sebelum mengaku!"

"Tapi tenggorokanku kering, aku bisa sakit...."

"Memangnya kenapa? Sakit pun tak perduli, kau bilang tubuhmu alot dan kuat!"

Pemuda itu menyeringai.

Setelah Soat Eng berkata seperti itu dia tak minta apa-apa lagi, malam menginap di hutan dan Soat Eng memanggang kelinci.

Bau sedap makanan itu juga membuat si pemuda lapar, perut berkeruyuk namun Soat Eng tak perduli.

Thai Liong memuji daya tahan pemuda ini, benar kuat dan cukup tangguh.

Dan ketika keesokannya mereka melanjutkan perjalanan dan menuju ke timur mendadak mereka mendengar dencing suara senjata beradu.

"Ada orang bertempur. Kita lihat!"

Thai Liong terkejut.

Adiknya tiba-tiba berkelebat dan pemuda yang diseret itu terantuk, mengaduh namun Soat Eng tidak perduli, terus berlari cepat dan tentu saja pemuda itu terbanting-banting, tubuhnya bertemu batu-batu keras dan Thai Liong membentak, menyuruh adiknya bersikap lunak sedikit.

Tak tahunya malah semakin menjadi dan Soat Eng terbang sambil menyeret pemuda itu, yang juga "terbang"

Dan terantuk serta naik turun menghantam apa saja, hancur bajunya dan punggung yang tegap serta kuat itu telanjang sudah.

Untung, karena sinkangnya memang luar biasa dan pemuda itu memiliki daya tahan sempurna maka akhirnya Soat Eng tiba di tempat yang penuh batu-batu karang, melihat belasan orang mengeroyok seorang laki-laki dan gadis ini berhenti.

Dia tak memperdulikan makian pemuda itu dan terbelalak.

Dan ketika dencing senjata itu membuat Soat Eng membelalakkan mata karena mengenal siapa yang dikeroyok maka Thai Liong juga tiba di situ dan berseru tertahan.

"Ayah.....!"

Kiranya Kim-mou-eng.

Pendekar Rambut Emas yang menghadapi orang-orang ini.

Dua muda- mudi ini terkejut karena ayah mereka dikeroyok belasan orang, dihujani senjata tajam namun ayah mereka itu tenang-tenang saja menyambut, mengelak dan mementalkan senjata-senjata yang menyambar, yang akhirnya bertemu sesama kawan sendiri dan mengeluarkan suara nyaring.

Dan ketika Soat Eng terkejut dan tentu saja marah tiba-tiba dia melompat dan menerjang ke depan, melepaskan tawanannya.

"Keparat, kalian manusia-manusia jahanam.... plak-des-dess!"

Soat Eng beterbangan, menyambar dari satu tempat ke tempat yang lain dan terlemparlah orang-orang itu.

Mereka adalah orang-orang berpakaian hitam seperti bajak laut, mengenakan ikat kepala merah dan sepak terjangnya liar.

Mengeroyok Pendekar Rambut Emas namun pendekar ini bersikap tenang-tenang saja, menghalau dan entah kenapa tidak bersikap keras.

Tapi begitu Soat Eng menyambar dan tubuhnya berkelebatan dari satu orang ke orang yang lain maka orang-orang itu menjerit dan terlempar bergulingan.

"Aduh, mati aku....!"

Soat Eng tak perduli.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia terus berkelebatan dari satu tempat ke tempat lain, melempar- lempar dan membanting orang-orang itu.

Dan ketika semuanya mencelat tak keruan sementara ayahnya tertegun di tempat maka orang-orang itu pun akhirnya melarikan diri dan jatuh bangun.

"Siluman, kita bertemu siluman betina....!"

Soat Eng mendamprat. Dia marah dan mau mengejar, tapi ketika ayahnya bergerak dan memegang lengannya maka Pendekar Rambut Emas, yang terbelalak tapi girang bertemu anaknya berseru.

"Tahan, biarkan mereka pergi!"

Dan gembira memandang puterinya pendekar ini menyambung.

"Kau di sini, Eng-ji (anak Eng)? Bersama kakakmu? Ah, bukankah kalian ke Sam-liong-to? Bagaimana bisa ada di sini?"

Dan Soat Eng yang juga girang serta memeluk ayahnya tiba-tiba tak menjawab malah bertanya di mana ibunya.

"Aku di sini!"

Dan sesosok bayangan yang berkelebat dan sudah berada di samping Pendekar Rambut Emas akhirnya membuat Soat Eng bertambah girang lagi, ibunya di situ dan muncul mengejutkannya.

Soat Eng melepaskan ayahnya dan menubruk ibunya itu.

Dan ketika ibunya tersenyum dan balas memeluknya maka sebuah bayangan berkelebat lagi dan datang membuatnya tertegun.

"Kim-siocia, aku juga di sini!"

Soat Eng menoleh. Hampir berteriak dia melihat Ji Pin di situ, tertawa dan membungkuk kepadanya. Dan ketika gadis itu melepas ibunya dan memutar tubuh maka Thai Liong mendekat dan memberi hormat pada ayah ibunya.

"Ayah, kami mencari-carimu. Baru saja ke Ce- bu!"

"Hm, kau, Thai Liong? Siapa pemuda itu?"

Kim- mou-eng menepuk pundak puteranya, tertawa tapi heran melihat pemuda yang diseret Soat Eng.

Pemuda itu terbelalak memandang semuanya dan aneh sekali wajahnyapun berseri-seri.

Dan ketika sang ayah bertanya namun dia belum sempat menjawab maka Soat Eng sudah mendahului dan berseru lantang.

"Dia pencuri Cermin Naga, kutangkap dan kuseret ke sini!"

Pendekar Rambut Emas terkejut.

"Pencuri Cermin Naga? Jadi pemuda ini?"

"Benar, yah, tapi dia tak mau mengaku!"

Dan Soat Eng yang berkelebat menyambar ujung tali lalu membentak pemuda itu agar bangun berdiri.

"Hayo, ini ayah ibuku. Mati kau, semakin tak dapat lolos lagi!"

Pemuda itu bersinar-sinar.

Bajunya yang robek tak dihiraukan, punggungnya mengkilat tegap namun kotor, tak perduli pada makian Soat Eng, bahkan tampak gembira bertemu dengan Pendekar Rambut Emas.

Dan ketika dua mata beradu dan Pendekar Rambut Emas tampak tertegun seakan mengingat wajah pemuda ini maka pemuda itu membungkuk dan menjura dengan gemetar.

"Paman, aku Ituchi...."

Pendekar Rambut Emas terkejut.

"Apa?"

"Benar, aku Ituchi, Paman. Menyampaikan hormat dan salam padamu."

"Wut!"

Pendekar Rambut Emas berkelebat, tahu-tahu semua tali putus.

"Kau..... benar!"

Seruan itu menggetarkan semua orang.

"Kau kusangka Raja Hu, anak muda. Ingat aku sekarang! Ah, kau mirip ayahmu. Benar, kau Ituchi putera Raja Hu!"

Dan Kim-mou-eng yang mencengkeram serta memeluk pemuda itu tiba-tiba tertawa bergelak dan pemuda itupun tersedak, girang bukan main tapi tiba-tiba menangis.

Dia tak kuasa menahan perasaannya lagi dan bercucuranlah air mata pemuda itu.

Dan ketika Pendekar Rambut Emas memeluk dan mencengkeramnya sementara pemuda itu menggigil penuh haru maka Pendekar Rambut Emas berseru pada isterinya.

"Lian-moi, liat. Bukankah ini putera Cao Cun? Ha-ha, mirip ayahnya, isteriku. Tinggi besar dan gagah! Ini Ituchi, bocah yang dulu hilang itu!"

Swat Lian tertegun.

Memang sejak mula dia serasa mengenal pemdua itu, bukan pemudanya melainkan ayah dari pemuda ini, yakni Raja Hu, suami Wang Cao Cun yang gagah namun telah meninggal dunia.

Pemuda itu mirip benar dengan ayahnya dan tentu saja dia terkejut.

Maka begitu suaminya mengingatkan dan berseru padanya tiba-tiba Swat Lian bergerak dan telah mencengkeram pemuda ini.

"Benar, kau putera Raja Hu. Ah, kau mirip ayahmu!"

Soat Eng dan Thai Liong pucat. Soat Eng tak mengira sama sekali bahwa "pencuri"

Yang diseret-seretnya itu kini mendadak berpelukan dengan ayahnya.

Ibunya juga tampak gembira dan berseri-seri.

Apa yang semula tak terbayangkan tiba-tiba terjadi.

Dan ketika pemuda itu dipeluk dan diremas ayahnya sementara ibunya berlinang air mata maka ayahnya itu melepaskan pemuda ini, bertanya, heran dan tidak mengerti.

"Ituchi, bagaimana kau bisa bertemu putera- puteriku? Ini Thai Liong dan itu Soat Eng!"

"Ah, aku bertemu secara kebetulan saja, paman. Di hutan...."

"Dan kau diseret-seret, dihajar! Bagaimana ini?"

"Aku..... aku menyerang mereka, mendahului!"

"Hm, benarkah?"

Pendekar Rambut Emas tak percaya, memandang penuh selidik. Lalu membalik dan menghadapi putera-puterinya pendekar itu bertanya, keren.

"Thai Liong, benarkah yang dikata Ituchi ini? Apa yang terjadi dan dapatkah kau menceritakannya secara jujur?"

Thai Liong berdegupan.

Kalau ayahnya sudah bertanya seperti itu dan dia harus menjawab maka tiba-tiba dia berada di posisi yang sulit.

Jawaban Ituchi tadi jelas bohong, dia kagum.

Ternyata pemuda itu melindungi adiknya dan tentu saja dia merasa simpatik.

Benar dugaannya, pemuda ini orang baik-baik.

Bahkan, tak dinyana tak disangka kiranya putera Raja Hu! Tapi ketika ayahnya bertanya dan pertanyaan itu diulang maka apa boleh buat Thai Liong menceritakan keadaan sesungguhnya, bahwa mereka bertemu para perampok dan perampok itu menyebut-nyebut Ituchi.

Kemarahan adiknya tentang hilangnya Cermin Naga membuat adiknya naik pitam, kehilangan kontrol dan jadilah Ituchi sebagai korban.

Dan karena Thai Liong pemuda jujur dan tak mau dia menyembunyikan semuanya itu maka Pendekar Rambut Emas merah padam dan melotot memandang puterinya.

"Jadi begitu? Kau menghina dan menghajar orang tak bersalah? Keparat, kau harus dihukum, Eng-ji. Kau lancang dan harus minta maaf..... plak!"

Dan sebuah tamparan yang membuat Soat Eng terpelanting dan menjerit mengaduh tiba-tiba mau disusul tamparan atau hajaran kedua, dicegah Ituchi dan pemuda ini berkelebat ke depan.

Jari Pendekar Rambut Emas ditahan dan Ituchi buru-buru membungkuk.

Dan ketika pemuda itu berkata bahwa semuanya ini hanya kesalahpahaman belaka maka pemuda itu menolong bangun Soat Eng.

"Sudahlah, semuanya tak sengaja, paman. Aku tak apa-apa dan tidak mendendam. Adik Soat Eng memang keras, tapi itu semua tentu ada sebab-sebabnya!"

Pendekar Rambut Emas tertegun.

Ituchi ini adalah putera Cao Cun, wanita cantik yang dulu mencintainya setengah mati (baca.

Pendekar Rambut Emas).

Akhirnya mendapat Raja Hu dan tentu saja segala penderitaan dan kepahitan hidup wanita itu dimengertinya.

Tak ada nasib semalang wanita itu.

Maka begitu puteranya mencegah dan watak baik memancar tulus tiba-tiba pendekar ini menahan marah dan kagum.

"Hm, kau seperti ibumu, sabar dan pengalah. Baiklah, betapapun puteriku harus minta maaf, Ituchi. Dia harus mengaku kesalahannya kepadamu!"

Dan membentak menyuruh puterinya minta maaf tiba-tiba Pendekar Rambut Emas memanggil Soat Eng, yang menangis dan tersedu dihajar ayahnya tadi, maju dan mendekat tapi Ituchi sudah mendorong pundak gadis itu.

Ituchi berkata dengan sungguh-sungguh bahwa dia tidak sakit hati atau dendam, menyuruh gadis itu melupakan semuanya dan tentu saja Soat Eng terpukul.

Apa yang ditunjukkan pemuda ini sungguh jauh bedanya dengan sepak terjangnya, bagai bumi dan langit.

Dan ketika Soat Eng mengguguk dan menubruk ibunya maka Thai Liong maju melangkah dan membungkuk di depan pemuda tinggi besar ini.

"Ituchi, maafkan adikku. Aku juga bersalah, sukalah kau memaafkan kami berdua karena saat itu kami memang mudah kehilangan kontrol diri. Harap kau maklumi kekasaran adikku karena kami.... kami sedang berkabung."

"Apa?"

"Benar, Ituchi. Nasib bertubi-tubi menimpa kami. Kong-kong...., kakek kami berdua baru saja meninggal dunia, tewas!"

Ituchi tertegun.

Bentakan melengking tiba-tiba terdengar di sebelahnya, pemuda itu terkejut dan melihat Swat Lian, isteri Pendekar Rambut Emas berkelebat.

Dan ketika Thai Liong menyelesaikan kata-katanya dan berdiri tepekur maka ibunya, puteri Hu Beng Kui itu menyambar pundaknya, langsung mencengkeram dan berkerotok.

"Thai Liong, apa katamu? Ayah tewas?"

"Benar, ibu,"

Thai Liong harus mengerahkan sinkangnya menahan, sedih.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Kong-kong.... kong-kong telah tiada. Kami menemukan jenasahnya terapung-apung di laut. Eng-moi yang menemukannya pertama kali."

"Ooh....!"

Wanita itu terhuyung.

"Benar, Eng-ji? Kau.... kau menemukan jenasah kakekmu?"

Soat Eng menangis.

"Benar, ibu,"

Suaranya pun serak dan basah.

"Kong-kong... kong-kong memang telah terbunuh di Sam-liong-to...."

"Jahanam keparat See-ong!"

Swat Lian menggerakkan tangan ke kiri, menghantam sebongkah batu dan terdengarlah ledakan dahsyat ketika batu sebesar gajah itu hancur.

Dengan pukulannya Lu-ciang-hoat wanita ini melepas kemarahan, melengking dan tiba-tiba berkelebat menghilang.

Dan ketika di sebelah kiri terdengar dentuman atau ledakan berkali- kali maka batu dan pohon hancur diterjang wanita ini, yang berteriak dan memekik memaki nama See-ong, menyambar-nyambar namun akhirnya sang suami berkelebat.

Pendekar Rambut Emas memanggil nama isterinya itu dan menangkap.

Dan ketika lengan isterinya dicengkeram dan wanita itu tersedu-sedu maka Swat Lian menubruk dan dipeluk suaminya ini, mengguguk di situ namun tiba-tiba ia mengeluh.

Perut didekap dan suami pun mengerutkan kening.

Dan ketika isterinya muntah dan roboh terhuyung tiba-tiba isterinya ini telah pingsan.

"Ah, ambilkan obat penenang guncangan!"

Thai Liong bergerak. Pemuda itu sudah mengambil obat yang dimaksud, berkelebat dan memberikannya kepada ayahnya. Dan ketika Kim-mou-eng menotok dan menolong isterinya maka tak lama kemudian isterinya sadar.

"Telanlah, dan tenanglah....!"

Sang isteri tersedu-sedu.

Begitu teringat kematian ayahnya tiba-tiba Swat Lian tak dapat menahan diri lagi, sang suami cepat menempelkan lengan di punggung dan mengalirlah hawa sinkang ke tubuh isterinya itu.

Dan ketika sang isteri kembali muntah dan pendekar ini mengerutkan alis maka Pendekar Rambut Emas berkata agar isterinya itu mengingat kandungannya.

"Tahan kemarahanmu, ingat jabang bayi yang ada di dalam!"

Thai Liong dan Soat Eng tertegun.

Tanpa malu- malu atau canggung lagi ayah mereka itu menegur sang ibu, mereka saling pandang dan teringat kata-kata uwak Lu.

Uwak itu bicara tentang mimpinya, mimpi bahwa ibu mereka menggendong buah labu.

Konon diartikan sebagai kehamilan dan benar saja ibu mereka muntah-muntah.

Ayah mereka bicara tentang itu dan tentu saja Soat Eng berseri-seri.

Dia akan punya adik! Tapi karena saat itu mereka lagi berduka tentang kematian sang kakek maka Soat Eng akhirnya terisak dan memeluk ibunya itu.

"Ibu, kau.... kau akan memberikan seorang adik padaku?"

Swat Lian menggigil.

Dipeluk dan mendengar pertanyaan manja dari puterinya ini tiba-tiba wanita itu memejamkan mata.

Pertanyaan Soat Eng terdengar kekanak-kanakan dan lucu, mengharukan.

Tapi memeluk dan mencucurkan air mata wanita ini mengangguk, berbisik.

"Ya, ibumu mengandung lagi, Eng-ji. Kau akan mempunyai adik seperti yang selama ini kau idam-idamkan. Tapi kakekmu... kakekmu, ah....!"

"Sudahlah, kong-kong sudah tiada, ibu. Banyak waktu bagi kita untuk membalas kematiannya. Tapi perhatikan adikku itu agar tidak terjadi apa-apa. Aku takut!"

Swat Lian menangis.

Ternyata Soat Eng takut dia keguguran, hal yang memang benar.

Tentu saja itu tak boleh terjadi dan wanita ini menguatkan hati.

Dan ketika sebuah tangan lembut mengusap punggungnya dan sang suami mengecup keningnya maka sebuah kata-kata lembut menyadarkannya dalam hiburan sejuk.

"Dengar, apa yang diminta Eng-ji sama juga dengan apa yang kuinginkan, Lian-moi. Kau harus menjaga kesehatanmu yang berarti menjaga kandunganmu itu. Bangkitlah, dan mari kita hadapi semuanya ini dengan tabah!"

Sang isteri mengangguk.

Akhirnya Swat Lian berhasil menenangkan diri, guncangan yang diterima sudah berhasil ditindasnya dan wanita itupun terisak.

Sedu-sedan sudah berganti dan yang tinggal hanyalah sorot kemarahan yang berapi-api.

Wanita itu memang marah sekali mendengar kematian ayahnya, di tangan See- ong.

Dan ketika sang suami mengusap dan bisikan serta kata-kata lembut menyadarkannya dari duka maka wanita itu sudah melepaskan pelukan puterinya.

"Kau ke mana saja? Bukankah ke Sam-liong- to?"

"Aku melarikan diri dari sana, ibu,"

Sang puteri terisak.

"Dan Liong-ko yang mengajakku lari."

"Hm, dan kami juga baru dari sana. Dan jahanam keparat See-ong itu betul-betul hebat!"

"Dan ibu bisa menceritakan itu?"

"Eh, sebaiknya kita tunda urusan sendiri, Eng- ji. Kita perlu tanya keperluan Ituchi!"

Pendekar Rambut Emas tiba-tiba menegur, teringat pemuda itu dan semua orang menoleh.

Ituchi tampak termangu dan terkejut mendengar tewasnya Hu Beng Kui, pemuda tinggi besar itu mengerutkan alis.

Tapi begitu Kim-mou-eng menyebut namanya dan semua menoleh tiba- tiba pemuda ini tersenyum dan kaget.

"Ah, aku.... aku mau pulang, paman. Rencananya menengok ibu dan adik perempuanku!"

"Hm,"

Kim-mou-eng mengangguk.

"Kalau begitu kau tidak ikut kami, Ituchi?"

"Maaf,"

Pemuda itu membungkuk.

"Lain kali saja, paman. Dan aku ikut berbela sungkawa atas kejadian ini."

"Terima kasih. Tak apa, Ituchi. Kalau begitu sampaikan salamku pada ibumu, juga kami semua!"

"Terima kasih kembali,"

Dan si pemuda yang kembali membungkuk dan menjura tiba-tiba menghadapi semuanya, berkata pada Swat Lian.

"Bibi, kukira tak enak rasanya aku mengganggu. Kalian sedang berkabung. Biarlah aku pergi dan pulang menemui ibuku. Sepuluh tahun aku tak jumpa, rindu rasanya hati ini!"

"Baiklah, terima kasih, Ituchi. Dan.... maaf atas perbuatan puteriku!"

"Ah, tak apa,"

Pemuda itu tersenyum.

"Adik Soat Eng baru diganggu bermacam persoalan, bibi. Aku dapat memaklumi dan sama sekali tak sakit hati. Baiklah, aku permisi dan biarlah lain kali aku akan berkunjung ke tempat bibi bersama ibu dan saudaraku!"

Pemuda itu membungkuk, memberi hormat dan akhirnya meloncat pergi. Namun ketika dia berkelebat dan baru memutar tubuh tiba-tiba Soat Eng memanggilnya.

"Ituchi, tunggu dulu!"

Dan ketika si pemuda tertegun dan berhenti gadis ini buru-buru melipat punggung, terisak.

"Aku minta maaf atas semua perbuatanku. Betapapun tak enak rasanya kalau belum menyatakan dengan mulut sendiri!"

Dan Soat Eng yang sudah meminta maaf dan menunduk dengan muka merah akhirnya membuat pemuda itu tertawa dan mendorong pundaknya.

"Eh, tak ada persoalan di antara kita, adik Soat Eng. Kalaupun kau pernah menghajar diriku biarlah hitung-hitung sebagai ujian fisikku apakah kuat atau tidak. Siapa tahu aku benar- benar akan dimangsa hiu!"

"Ah!"

Dan Soat Eng yang tersipu dan semburat merah lalu melihat pemuda itu berkelebat dan tertawa lebar, seperti menggoda tapi juga setengah mengolok.

Itulah kata-kata mereka berdua ketika saling memaki, tentu saja gadis ini tersipu dan malu.

Namun ketika pemuda itu lenyap dan kakaknya mendekat tiba-tiba kakaknya ini menghela napas.

"Pemuda yang baik, benar-benar baik!"

"Benar,"

Ayahnya turut bicara.

"Dan dia persis ibunya, Liong-ji. Sabar dan pengalah. Hm, untung saja adikmu tak sampai bertindak lebih jauh, membunuh umpamanya!"

Soat Eng menunduk.

Teguran ayahnya dan tamparan tadi cukup membuatnya hati-hati, gadis ini jera dan Ji Pin tiba-tiba melangkah maju.

Dan ketika Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening dan rupanya masih marah pada perbuatan puterinya maka laki-laki ini menjura.

"Kim-taihiap, jangan marahi lagi puterimu. Betapapun Kim-siocia terguncang dan kaget oleh kematian kong-kongnya. Harap kau tidak memarahinya lagi dan memberinya maaf."

Kim-mou-eng mengangguk.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, kalau tidak tentu sudah kuhajar lagi puteriku itu, Ji Pin. Betapapun ia ceroboh dan perlu mendapat pelajaran."

"Sudahlah,"

Isterinya membela.

"Eng-ji sudah menyatakan penyesalannya, suamiku. Ia tak perlu disalahkan lagi karena Ituchi juga tak mendendamnya!"

"Benar, sebenarnya aku juga turut bersalah, ayah. Bukan hanya Eng-moi saja,"

Thai Liong tampil memperkuat.

"Kalau aku juga tak curiga pada Ituchi, karena gambaran pemuda itu sama dengan yang dikatakan uwak Lu tentu kami berdua tak akan menangkapnya."

"Hm, apa kata uwak itu?? "Ciri-ciri pencuri Cermin Naga, ayah. Tinggi besar dan gagah berkulit kehitaman."

"Dan Ituchi memang persis itu, tapi bukan dia orangnya!"

"Eh, belum tentu!"

Ji Pin tiba-tiba menyelonong, turut bicara.

"Sebaiknya diselidiki lagi, Kim-taihiap. Orang yang tampak baik-baik belum tentu baik!"

"Hm, benar,"

Swat Lian tiba-tiba berkerut kening.

"Dan kita belum bertanya bagaimana pemuda yang hilang itu dapat selamat, suamiku. Kok tiba-tiba aku merasa tidak enak!"

"Tidak enak bagaimana?"

"Omongan Ji Pin membuatku ragu, sebaiknya memang kita selidiki lagi secara cermat!"

"Tidak mempercayai pemuda itu?"

"Bukan, bukan begitu. Hanya kita perlu meyakinkan diri, suamiku. Perjumpaan kita dengan pemuda itu terlalu singkat. Lagi pula kita tak tahu bagaimana sepak terjangnya selama ini!"

Kim-mou-eng tertegun.

Mendengar semua omongan itu tiba-tiba dia mengerutkan kening, di dalam hati tentu saja tak percaya karena sebagai putera Cao Cun tak mungkin pemuda itu berwatak jelek.

Tapi karena sepuluh tahun menghilang dan kini tiba-tiba muncul membuat heran maka Pendekar Rambut Emas tertegun juga mendengar omongan isterinya, juga Ji Pin, yang mula-mula menimbulkan kesangsian itu.

Dan ketika isterinya kembali bertanya bagaimana kalau pemuda itu diselidiki secara diam-diam maka pendekar ini menarik napas.

"Aku pribadi tetap mempercayainya. Tak ada roman jelek di wajah pemuda itu. Tapi kalau ingin memastikan diri tentu saja aku tak keberatan. Hanya siapa yang akan melakukan tugas ini?"

"Aku sanggup membayanginya, taihiap, kalau kau perkenankan!"

"Hm, kau, Ji Pin?"

"Ya, bukankah sedikit-sedikit kau menambah kepandaianku, taihiap? Kalau boleh tentu saja aku gembira melaksanakan tugas ini, asal diijinkan!"

"Aku setuju,"

Sang isteri tiba-tiba mendahului.

"Dan sebaiknya didampingi Thai Liong. Bagaimana pendapatmu, suamiku?"

"Hm, begitu? Padahal baru saja kita menemukan anak-anak kita?"

"Ah, tak apa,"

Thai Liong cepat-cepat menjawab.

"Kita sekarang tahu bahwa semuanya selamat tak kurang suatu apa, ayah. Kalau ibu menghendaki begitu tentu saja dengan senang hati aku akan melaksanakan tugas ini."

"Nah, apalagi?"

Ji Pin girang.

"Kim-kongcu dapat bersamaku, taihiap. Aku akan melakukan perjalanan bersama yang lebih menggembirakan!"

"Hm, baiklah,"

Kim-mou-eng akhirnya tersenyum.

"Ituchi memasuki daerah berbahaya, Liong-ji. Kalau memang kita ingin memastikan diri dan pemuda itu mendapat kesukaran justeru kalian dapat melindunginya dan menolongnya dari marabahaya."

"Bahaya apa?"

Thai Liong tak mengerti.

"Bukankah dia pulang ke kampung halamannya?"

"Tidak, pemuda itu tak tahu bahwa keadaan bangsanya sudah tidak seperti dulu ketika dipimpin ayahnya, Liong-ji. Sekarang yang memimpin adalah raja lain dan salah-salah kedatangan pemuda itu dikira akan merampas kedudukan! Benar juga, coba kau ikuti pemuda itu dan lihat keadaannya!"

Thai Liong terkejut.

Ayahnya segera bercerita bahwa keadaan bangsa liar sudah lain dibanding sewaktu dipimpin Raja Hu dulu.

Penggantinya sudah orang lain dan Ituchi justeru mendatangi bahaya.

Kedatangan pemuda itu bisa disalahartikan sebagai hendak merebut kekuasaan, maklumlah, dia putera Raja Hu, pemimpin terkenal sebelum raja itu memperisteri Cao Cun.

Dan karena omongan itu mengejutkan Thai Liong dan tentu saja pemuda ini mengangguk maka Thai Liong berkata.

"Baiklah, aku akan membayanginya, ayah. Kalau benar seperti katamu tentu aku akan menolongnya!"

"Dan aku ikut!"

Soat Eng tiba-tiba berseru.

"Aku ingin bersama Liong-ko, ayah. Sekalian menolong Ituchi sebagai penebus dosaku!"

"Tidak,"

Sang ibu ternyata menggeleng, tiba- tiba memegang lengan puterinya.

"Kau bersamaku, Eng-ji. Ibu kesepian bila kalian berdua pergi. Kau pulang, membantu ibu!"

Soat Eng tertegun. Melihat dan mendengar kata-kata ibunya tiba-tiba dia menghela napas, maklum bahwa ibunya minta ditemani, apalagi kalau sudah hamil tua. Dan ketika ia mengangguk namun sedikit kecewa tiba-tiba ayahnya berkata.

"Benar kata ibumu. Sementara ini biar kau bersama kami, Eng-ji. Ibumu sedang mengandung dan butuh teman. Kalian sama- sama wanita, tentu ibumu lebih bebas. Sebaiknya kakakmu bersama Ji Pin dan kau tinggal di rumah."

Tak ada alasan membantah. Soat Eng mengangguk lagi dan berlinang, menghapus air matanya dan ibunya sudah memeluknya. Dan ketika ibunya berbisik bahwa dia harus menemani ibunya maka gadis itu balas memeluk.

"Baiklah, aku tak membantah, ibu. Aku juga ingin menanti kehadiran adikku."

"Nah,"

Ayahnya menoleh.

"Kau boleh pergi, Liong-ji. Tapi hati-hati dan jangan gegabah!"

Dan begitu Thai Liong mengangguk dan melirik adiknya tiba-tiba pemuda ini berkelebat, minta diri pada ayah ibunya dan Ji Pin ditarik.

Lalu begitu laki-laki itu berseru pada Soat Eng dan kedua orang tuanya maka Ji Pin pun lenyap berkelebat dibawa Thai Liong.

**SF** Mari kita ikuti Ituchi.

Benar seperti dugaan Kim-mou-eng ternyata pemuda itu sudah diamati dari jauh oleh raja dan pembantunya.

Hari itu, empat hari setelah melakukan perjalanan tanpa henti pemuda tinggi besar ini tiba di tempat suku bangsanya.

Tapi karena dia tak dikenal dan tentu saja dihadang maka Ituchi berdebar memperkenalkan diri.

"Aku mencari ibuku, Wang Cao Cun. Aku Ituchi, putera Raja Hu."

"Ah, kau.... kau Ituchi Yashi?"

"Benar, dan sampaikan pada ibuku bahwa aku datang, penjaga. Aku rindu dan ingin bertemu ibuku!"

"Kalau begitu tunggu dulu, biar kusampaikan!"

Dan penjaga yang bergegas dengan muka berubah lalu buru-buru ke dalam di tapal batas.

Ituchi dihentikan dan sebagai pemuda atau warga yang baik pemuda itu berhenti, tidak meneruskan perjalanannya.

Dan ketika penjaga yang lain mengelilinginya dan bersikap hormat maka Ituchi bertanya apakah ibunya sehat-sehat saja dan siapa sekarang yang duduk sebagai raja.

"Ibunda permaisuri sehat-sehat saja, dan pemimpin sekarang adalah raja Cucigawa. Bagaimana pangeran baru datang sekarang setelah sepuluh tahun menghilang?"

"Hm, aku diculik, penjaga. Tapi untung masih hidup. Aku ditolong seseorang dan selamat. Apakah ibu tak pernah mencari-cariku?"

"Tidak, ibunda menangis sepanjang hari, pangeran. Merasa tak berdaya karena setahun gagal menemukan paduka!"

"Dan bibi Wan Hoa?? Penjaga tertegun.

"Kenapa diam?"

"Maaf, bibimu meninggal, pangeran. Sepuluh tahun yang lalu, ketika paduka diculik!"

"Apa?"

"Benar, pangeran. Bibimu telah tiada. Ibumu tinggal sendiri dan merana sepanjang tahun!"

Ituchi tergetar.

Tiba-tiba dia terkejut dan merasa bergoyang, melayanglah ingatannya kepada seorang wanita cantik yang penuh kasih kepadanya, membelanya mati-matian dari setiap bahaya dan pemuda tinggi besar itu tiba-tiba menangis.

Tak terasa air matanya bercucuran dan Ituchi merasa terpukul.

Tapi ketika dia menggigil dan kosong memandang ke depan tiba-tiba penjaga yang melapor ke dalam muncul, membawa berita.

"Paduka dipersilahkan masuk. Ibunda dan raja Cucigawa menunggu!"

Ituchi tertegun. Tiba-tiba dia mengusap air matanya, bergegas dan seekor kuda diberikan padanya. Tapi ketika pemuda itu menolak dan melompat ke depan tiba-tiba Ituchi sudah berkelebat dan berseru.

"Aku dapat datang, tanpa kuda!"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dan begitu pemuda itu mengerahkan kepandaiannya dan bergerak bagai siluman tiba-tiba dia telah lenyap dan menghilang di depan.

"Hei, tunggu!" **SF** (Bersambung

Jilid 8) Bantargebang, 19-10-2018, 20.44 (Serial Bu-beng Sian-su) ISTANA HANTU

Jilid 8 * * * Hasil Karya . B A T A R A Pelukis . Soebagio Antonius S. * * * Percetakan & Penerbit U.P. DHIANANDA P.O. Box 174 SOLO 57101 ISTANA HANTU - BATARA KONTRIBUTOR . KOH AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITER .

SITI FACHRIAH ? PDF MAKER .

OZ Hak cipta dari cerita ini sepenuhnya berada di tangan pengarang, di bawah lindungan Undang- undang.

Dilarang mengutip/menyalin/menggubah tanpa ijin tertulis pengarang.

CETAKAN PERTAMA U.P.

DHIANANDA ? SOLO 1987 ISTANA HANTU (Lanjutan "Sepasang Cermin Naga") Karya .

Batara

Jilid .

8 * * * NAMUN Ituchi tertawa.

Dia tentu saja tak menghiraukan seruan itu, hatinya terlampau girang dan sudah mengerahkan kepandaiannya.

Pemuda ini girang karena ibunya dan raja Cucigawa menyambut, dia tak kenal raja itu tapi dapat dipastikan tentu seorang raja yang baik.

Ibunya selama ini berada di situ dan selamat, berarti Cucigawa melindungi ibunya yang lemah dan pemuda ini memiliki gambaran yang baik tentang raja itu.

Dan ketika Ituchi berkelebat mengerahkan ginkang dan sebentar saja dia sudah memasuki perkampungan besar dari suku bangsanya ini maka dimana-mana ternyata menyambut orang-orang tua dan muda, laki-laki dan perempuan.

"Hidup pangeran Ituchi...!"

"Itu dia pangeran!"

"Aih, persis Raja Hu. Gagah dan tampan..!"

Ituchi melambaikan tangan ke sana-sini.

Dia mengangguk dan berseri-seri membalas semua seruan itu.

Ternyata rakyatnya menyambut dan dia segera dikenal sebagai Ituchi, putera Raja Hu.

Wajahnya memang mirip dan tak ada orang yang meragukan hal ini.

Memang pemuda itu mirip benar dengan ayahnya.

Dan ketika Ituchi gembira benar karena ternyata dia disambut rakyatnya dengan baik maka pemuda ini berkelebat dan sudah tiba di depan kemah paling besar, melihat seratus pasukan menyambut dan di depan sendiri berdiri seorang laki-laki gagah dengan seorang wanita cantik yang segera mengembangkan kedua lengannya.

"Ituchi! Anakku...!"

Ituchi bergerak.

Wanita itu tahu-tahu melompat dan menubruk, Ituchi sendiri segera mengenal ibunya dan memeluk.

Dan ketika dua orang itu saling cengkeram dan lupa keadaan sekitar tiba-tiba Ituchi sudah menangis sementara wanita itupun tersedu- sedu, tak dapat menahan gejolak hatinya.

"Aduh, kau, pangeran. Kau benar-benar mirip ayahmu dan pasti kusangka ayahmu kalau tidak mendengar laporan pengawal! Ituchi, ke mana saja kau selama ini? Kenapa tak pernah menengok ibumu? Kau sudah sedemikian besar dan gagah? Aih, aku rindu, anakku. Aku kangen dan selalu menangisi nasibmu!"

Cao Cun, wanita itu bercucuran air mata namun berseri-seri.

Anaknya masih hidup dan mereka masih dapat bertemu.

Bukan main girangnya wanita itu.

Dan ketika Ituchi juga tersedak dan belum dapat bicara baik karena kerongkongan dan lidahnya serasa tercekat maka bisik-bisik dan suara di sana-sini akhirnya menyadarkan dua orang itu.

"Aih, ini Raja Cucigawa, Ituchi. Sribaginda yang memimpin di sini setelah ayahmu tiada!"

Ituchi sadar.

Akhirnya diapun melepaskan diri dari pelukan ibunya dan melihat ibunya memberi isyarat.

Semua orang memandang mereka dan ibunya tampak berseri-seri.

Ituchi sendiri begitu gembira dan tadi melupakan keadaan sekitar.

Maklumlah, sepuluh tahun mereka tak berjumpa dan diam-diam Ituchi terharu.

Ibunya tampak kurus meskipun cantik, masih cantik namun wajah itu membayangkan kedukaan besar.

Bekas luka- luka batin tak dapat disembunyikan dan Ituchi terharu.

Namun ketika ibunya menunjuk dan laki-laki gagah itu sudah memandangnya tersenyum-senyum maka Ituchi melangkah maju dan cepat memberi hormat.

"Sri baginda, maafkan hamba. Hamba lupa memberi hormat!"

"Ha-ha!"

Laki-laki gagah itu tertawa, keras dan nyaring.

"Kau adalah saudaraku, Ituchi. Tak perlu berhamba karena kedudukanmu adalah pangeran. Aku saudara misan mendiang kakakku Cimochu, kita keluarga besar dan bangunlah!"

Ituchi gembira. Ternyata Cucigawa bukan seorang raja sombong dan dia berseri-seri. Inilah raja yang baik dan perlu dijadikan sahabat. Dan ketika raja mengangguk dan memegang pundaknya maka Cucigawa berkata bahwa dia benar-benar mirip ayahnya.

"Kau benar-benar mirip mendiang Raja Hu. Tak ada yang meragukan ini. Aih, selamat datang, pangeran. Mari masuk dan kita adakan pesta besar!"

Ituchi gembira bukan main.

Dia tentu saja mengucap terima kasih, raja membawanya masuk dan segera ibunyapun mengikuti.

Dan ketika semua orang bertepuk tangan dan riuh menyambut kedatangannya maka Ituchi benar-benar serasa di surga, begitu gembira hingga tak melihat beberapa pasang mata yang berkerut dan saling pandang, melempar senyum aneh dan satu dua di antaranya mengangguk, memberi isyarat rahasia.

Dan ketika semua sudah ke dalam dan di situ ternyata sudah disiapkan makan dan minum maka raja menjamu bagai menjamu seorang kaisar, membuat Ituchi kikuk dan tersipu-sipu.

"Ah, tak apa. Ini memang untukmu, adik pangeran. Kami ingin merayakannya semeriah mungkin!"

"Tapi aku kikuk!"

"Ha-ha, pertama begitu, pangeran. Selanjutnya tentu biasa. Eh...!"

Raja menoleh.

"Mana pemain musik dan para penari? Hayo, keluarkan mereka, panglimaku. Suruh ke sini menghibur Ituchi!"

Ituchi semakin tersipu-sipu.

Sikap raja yang demikian ramah dan menyambutnya demikian gembira membuat pemuda ini lengah.

Dia tak tahu adanya permainan mata di antara orang- ort tertentu.

Rakyat di luar bersorak-sorai dan merekapun rupanya ikut-ikutan membuat pesta, di luar, tak kalah meriah dan ramai dengan yang di dalam.

Dan ketika penabuh musik dan para penari muncul di panggung maka Cucigawa memerintahkan mereka untuk menyuguhkan kebolehan mereka.

"Hayo main sepenuh kemampuan. Tunjukkan kebolehan kalian!"

Para penari dan penyanyi mulai mendendangkan lagu-lagu.

Mereka menyanjung dan menyalami Ituchi, dua penari berlenggang-lenggok dengan gaya memikat.

Mereka tersenyum-senyum dan melempar kerling ke pemuda ini, Ituchi membalasnya dengan malu-malu, likat.

Dan ketika musik serta tarian semakin panas maka Ituchi diminta untuk menemani seorang penari.

"Apa?"

Pemuda ini terkejut.

"Menari di atas panggung? Ah, aku tak bisa, sri baginda. Aku malu!"

"Ha-ha, tarian dan nyanyian ini diadakan untuk menyambut kedatanganmu, Ituchi, jangan kecewakan mereka dan naiklah. Nanti tentu bisa!"

"Tapi aku malu!"

"Ah, semua begitu pertama kalinya, adik pangeran. Tapi tentu lenyap setelah di atas. Majulah, dan naiklah temani Umini itu!"

Raja mendorong Ituchi, minta agar si pemuda tak menolak dan lain-lain pun mendorong.

Akhirnya Ituchi naik juga dan menari atau menyanyi, sebisanya, serak-serak basah dan ternyata suara pemuda ini bagus.

Dan ketika semua tertawa dan Ituchi hilang kikuknya ternyata enak juga bernyanyi atau menari bersama wanita-wanita cantik! "Ha-ha, bagaimana, adik pangeran? Senang?"

"Hm,"

Ituchi mengusap keringatnya, setelah duduk lagi.

"Senang, sri baginda, dan asyik!"

"Ha-ha, kau senang dengan si Umini itu?"

"Ah, dia memang menyenangkan. Aku senang padanya!"

Raja tertawa bergelak.

Omongan Ituchi ini tak ada maksud lain, semata ungkapan senang karena gadis itu dapat membimbingnya di atas panggung, luwes menemani.

Ituchi tak memaksudkan lebih dari itu.

Dan ketika nyanyian serta tarian diteruskan lagi sementara pesta berlanjut terus maka raja mulai memperkenalkan pembantu- pembantunya, beberapa panglima dan perwira lain, satu per satu diperkenalkan dan tentu saja merupakan orang-orang yang dekat dengan raja ini.

Ituchi mengangguk-angguk dan gembira menyalam mereka, dua di antaranya menarik perhatiannya karena yang pertam adalah Horok panglima gagah yang wajahnya angker sedang yang lain adalah laki- laki muda yang sepantar dengannya, bernama Ramba, tinggi dan gagah dan pemuda itu katanya adalah panglima muda yang mengepalai pasukan Elang, yakin pasukan khusus yang merupakan pasukan terdepan bila ada musuh menyerang.

Jadi, pemuda ini jelas bukan pemuda sembarangan dan Ituchi melihat kilatan matanya yang tajam berpengaruh, getaran atau tanda dari lweekang (tenaga dalam) yang kuat dan tentu saja Ituchi tertarik.

Dua orang itu adalah pembantu terdekat Cucigawa, yang mengatur dan menjalankan tugasnya sebagai pengaman, jadi orang-orang yang tentu bukan orang sembarangan dan berkepandaian.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan ketika pesta selesai dan malam itu baru pemuda ini diperkenankan berdua dengan ibunya maka Cao Cun terisak-isak memeluk putranya ini, gembira namun juga menyembunyikan ketegangan.

"Ituchi, inilah dua adik perempuanmu! Lihatlah mereka, tahukah kau siapa kiranya?"

Ituchi tertegun.

Dua orang gadis remaja tiba- tiba muncul bersama ibunya, dua gadis cantik yang masih belia.

Masing-masing berumur tujuh belas dan lima belas tahun, cantik manis dengan kulit sedikit kehitaman.

Dia tertegun karena tak mengenal, tak tahu bahwa itulah hasil perkawinan ibunya dengan mendiang Cimochu, saudara tirinya karena Cimochu adalah juga putera mendiang Raja Hu dengan seorang isterinya.

Jadi ibunya ini dikawini anak tirinya sendiri karena sudah menjadi peraturan bangsa itu bahwa peninggalan ayah akan diwarisi anak, putera sulung, termasuk isteri dan selir ayahnya sendiri, kalau sang ayah meninggal.

Maka begitu ibunya memperkenalkan dua gadis remana ini dan Ituchi bengong maka dia menggeleng dan berkata.

"Aku tak tahu, seingatku tak punya adik! Bagaimana mereka ini bisa kau bilang sebagai adikku, ibu? Dari mana dan bagaimana?"

Cao Cun merah mukanya.

"Mereka... mereka dari suamiku yang baru, Ituchi. Dan inilah adik-adikmu!"

"Ooh...!"

Ituchi tertegun.

"Kau menikah lagi, ibu? Mana suamimu?"

"Dia... dia meninggal..."

Wanita ini agak tersendat.

"Jangan tanya dia lagi, anakku. Kau sambutlah dan terimalah dua adikmu ini!"

Cao Cun segera memperkenalkan nama, yang tua adalah Salini sedang adiknya bernama Nangi, dua-duanya dipeluk Ituchi dan tentu saja pemuda ini girang.

Dia tiba-tiba mempunyai adik, perempuan lagi.

Ah, betapa girangnya! Dan karena ayah tirinya sudah meninggal dan Ituchi tak menduga bahwa "ayah tirinya"

Itu adalah mendiang Cimochu, saudara tirinya sendiri maka pemuda ini menyambut dan memeluk mereka.

Ada rasa hangat dan haru di dalam hati.

Sepuluh tahun yang lalu pemuda ini masih berupa kanak-kanak dan tentu saja urusan orang-orang tua tak diketahuinya, apalagi setelah itu dia menghilang dan tak ada di tengah-tengah suku bangsanya.

Maka begitu dia menerima dan menyambut dua adiknya itu tampak ibunya gembira dan sedikit lega, akhirnya menyuruh dua gadis remaja itu mundur.

Sang ibu hendak bicara dengan Ituchi, Salini dan Nangi mengangguk.

Dan ketika akhirnya mereka benar-benar berdua dan Salini serta Nangi mundur maka Cao Cun menarik napas bertanya tentang nasib puteranya itu, ke mana saja selama ini.

"Maaf, ibu. Sebelum kujawab barangkali kau dapat menceritakan tentang bibi Wan Hoa. Benarkah dia..."

"Benar!"

Ibunya tiba-tiba tersedu.

"Bibimu wafat, Tuchi. Dan itu terjadi tak lama setelah kau pergi. Suaminya, Hek-eng Taihiap tewas, dibunuh orang. Dan kau katanya dibawa Kim- mou-eng! Kenapa Pendekar Rambut Emas itu tak pernah mau membawa dirimu menengok ibunya? Kenapa Kim-mou-eng demikian kejam dan tega memisahkan ibu dan anaknya sepuluh tahun lebih?"

"Apa?"

Ituchi mengerutkan kening.

"Kim-mou- eng? Aku dibawa Kim-mou-eng....?"

"Benar, begitu kata bibimu, anakku. Dan bibimu akhirnya meninggal setelah melihat kematian suaminya. Ah, terkutuk si pembunuh itu. Bibimu jatuh sakit dan akhirnya merana!"

"Tapi... tapi aku tak dibawa Kim-mou-eng,"

Pemuda ini terbelalak.

"Aku dibawa Cam-kong, ibu. Satu dari Enam Iblis Dunia. Dan aku tahu yang membunuh Hek-eng Taihiap adalah kakek iblis ini!"

Kepalan Dewa Tanpa Tandingan Karya Kho Wiro Sableng 121 Tiga Makam Setan Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini