Ceritasilat Novel Online

Istana Hantu 6

Istana Hantu Karya Batara Bagian 6


"Apa? Cam-kong? Kakek iblis itu?"

"Benar, dan kau tahu tentang kakek ini, ibu? Apakah kau mendengar sepak terjangnya?"

"Tentu, dialah dan kawan-kawannya yang berebut Cermin Naga, Ituchi. Aku mendengar gegernya dunia kang-ouw dengan peristiwa Cermin Naga itu. Ah, kau barangkali tak tahu. Itu kejadian beberapa tahun yang lalu, belasan tahun yang lalu!"

"Tidak, tentang Cermin Naga memang aku tak tahu, ibu. Tapi tentang Cam-kong ini, hm... dia iblis yang keji. Dia memaksaku untuk mengambil murid!"

"Apa? Jadi kau diculik?"

"Eh, apakah bibi Wan Hoa tidak bercerita?"

Ituchi malah tertegun.

"Semuanya diketahui bibi Wan Hoa, ibu, paling tidak suaminya, Hek- eng Taihiap!"

"Mereka... mereka tak bercerita..."

Cao Cun tiba-tiba pucat.

"Mereka tak pernah memberi tahu apa-apa, Ituchi. Mereka bahkan berkata bahwa kau aman di tangan Pendekar Rambut Emas!"

"Tidak, aku tak pernah bertemu Pendekar Rambut Emas, kecuali beberapa hari yang lalu. Aku selama itu disiksa kakek iblis itu dan setiap hari diancam bahaya!"

"Ooh..!"

Dan Cao Cun yang tiba-tiba sadar dan memaklumi apa yang terjadi tiba-tiba menjerit dan memanggil nama Wan Hoa, tahulah dia apa yang sebenarnya terjadi dan tertusuklah perasaan wanita ini.

Sebagai sahabat dan teman dekat Wan Hoa tentu saja Cao Cun tahu akan sikap dan segala gerak-gerik sahabatnya itu, pengorbanan dan cinta kasihnya yang besar hingga mereka melebihi saudara kandung.

Cerita Ituchi tiba-tiba membuka mata wanita ini bahwa kiranya selama itu Wan Hoa berbohong, sengaja menyembunyikan keadaan sebenarnya untuk menutupi kecemasan.

Bahwa Wan Hoa telah menghiburnya dengan kata-kata sejuk bahwa puteranya kini aman di tempat Pendekar Rambut Emas, menjadi murid dan dididik pendekar itu, yang sayangnya tak pernah membawa Ituchi menengok dirinya.

Hal yang sebenarnya menyakitkan hati wanita ini karena Ituchi adalah puteranya, yang dirindukan dan diharapnya setiap hari.

Betapapun rindu seorang ibu tak dapat dicegah.

Ituchi adalah putera satu-satunya, miliknya yang berharga karena pemuda itu adalah putera tunggal, satu-satunya anak lelaki.

Tapi begitu Ituchi menceritakan keadaan sebenarnya dan tahulah wanita ini bahwa selama ini kiranya dia "ditipu"

Wan Hoa tiba-tiba Cao Cun mengugguk dan tak dapat ditahan lagi dia menangis tersedu- sedu.

"Aduh, kau... kau bohong, Wan Hoa. Kalau begitu selama ini kau berdusta kepadaku. Ah, dan kau... kau... oh!"

Cao Cun tak dapat menahan kepedihannya, mengguguk dan kini tahu penyebab kematian sahabatnya itu, bukan oleh karena kematian suaminya melainkan lebih terutama oleh diculiknya puteranya itu oleh Cam-kong, kakek iblis yang tentu saja tak dapat dihadapi Hek-eng Taihiap.

Kakek itu terlampau lihai bagi suami sahabatnya itu, Cao Cun tahu benar akan ini.

Maklumlah, jelek-jelek dia pernah berkumpul dengan Pendekar Rambut Emas dan tahu nama-nama besar di dunia kang-ouw, seperti Cam-kong dan kawan-kawannya itu.

Maka ketika dia menyadari ini dan tahu bahwa kematian sahabatnya terutama disebabkan oleh diculiknya Ituchi, yang tak berani dikatakannya dan tentu saja menghimpit batin maka Cao Cun tersedu-sedu dan menangis begitu sedihnya.

Baru mengetahui sekarang setelah kejadian itu lewat sepuluh tahun, perasaannya seperti diremas dan tentu saja wanita itu pedih.

Wan Hoa tetap sahabatnya yang baik dan terbaik.

Ah, tak ada sahabat yang begitu baik dan mulianya seperti sahabatnya itu, Cao Cun terpukul dan sekaligus terharu bukan main.

Tapi ketika puteranya mengerutkan kening dan bertanya kenapa ia seperti itu maka wanita ini menghentikan tangis dan berkata, menahan isak dan sedu-sedan.

"Kau tak tahu, puteraku? Kau tak dapat membaca sepak terjang bibimu itu?"

"Tidak, aku tak paham, ibu. Coba kau jelaskan padaku. Aku tak mengerti."

"Dia mati karena dirimu. Bibimu Wan Hoa digerus perasaan dukanya karena tak dapat menjalankan tugas!"

"Tugas?"

Cao Cun tiba-tiba sadar.

Ia terkejut karena keterlepasan bicara itu, memandang kiri kanan dan akhirnya wanita ini terisak.

Sekarang ia harus bicara terus terang, tak ada gunanya lagi sembunyi-sembunyi.

Puteranya itu sudah besar dan cukup dewasa.

Maka ketika puteranya terbelalak dan mengerutkan kening maka wanita ini menghela napas berat, teringat kejadian sepuluh tahun berselang.

"Ya, tugas, Ituchi. Tugas menyelamatkanmu. Waktu itu pengganti ayahmu hendak membunuhmu. Kau dicari dan mau dibunuh. Bibimu mendengar. Dan karena tak ingin kejadian itu menimpa dirimu maka kau dibawanya keluar dari sini dan dibawa ke tempat Kim-mou-eng, begitu rencananya. Tapi Wan Hoa rupanya gagal, tak menceritakan ini dan entah apa yang dialaminya. Rupanya bibimu itu mengalami banyak kesulitan tapi tidak menceritakannya kepadaku!"

"Ah, begitu?"

Ituchi teringat.

"Bibi Wan Hoa memang ke tempat Kim-mou-eng, ibu, tapi tidak ketemu!"

"Lalu?"

"Lalu kami mencarinya. Bibi berkali-kali diganggu orang jahat dan hampir saja diperkosa!"

"Ah!"

Ibunya terkejut.

"Begitu, Ituchi? Lalu bagaimana?"

"Kami tak dapat menemukan Pendekar Rambut Emas, ibu. Dan ketika suatu hari bibi hendak diperkosa orang jahat tiba-tiba Hek-eng Taihiap muncul!"

"Ah, ceritakan itu. Coba ceritakan!"

Cao Cun terbelalak.

Tentu saja wanita ini tak mengetahui kesedihan dan penderitaan Wan Hoa, ketika wanita itu mengantar Ituchi dan keluar dari bangsa liar ini, karena Ituchi mau dibunuh (baca.

Sepasang Cermin Naga).

Dan ketika Ituchi menceritakan itu dan betapa pemuda ini teringat suka-duka perjalanannya bersama sang bibi maka Cao Cun menangis dan berlinang-linang air mata, akhirnya tersedu.

"Benar dugaanku. Benar sekarang. Kiranya bibimu berbohong untuk menenangkan aku. Ah, bibimu Wan Hoa seorang mulia, puteraku. Aku jadi tersayat-sayat mendengar ini. Kematiannya disebabkan oleh itu tapi dia tak mau menceritakannya, sampai napasnya yang terakhir!"

Wanita ini tak dapat menahan perihnya hati, mengugguk dan akhirnya menubruk puteranya itu. Dan ketika Ituchi tertegun dan mengerti ini tiba-tiba pemuda itupun tak dapat menahan haru dan menangis.

"Ah, bibi Wan Hoa benar-benar mulia, ibu. Kita berhutang budi!"

"Bukan hanya budi, nyawapun kita berhutang, Ituchi. Ah, diapun berkali-kali menyelamatkan nyawaku!"

Cao Cun mengguguk, tentu saja terpukul dan baru sekarang dia tahu.

Kesetiaan dan kemuliaan sahabatnya itu ternyata tak tanggung-tanggung, demikian besar dan bertumpuk! Dan ketika mereka bertangisan dan Ituchi mengiggil dengan air mata bercucuran akhirnya tengah malam itu mereka tak henti-hentinya menyebut nama Wan Hoa.

"Dia sungguh wanita besar, sahabat yang agung!"

"Benar, dan besok kita ke makamnya, ibu. Aku ingin sembahyang!"

"Benar, besok kita sembahyang, Ituchi. Kita siapkan sajian khusus untuk arwah bibimu!"

Pemuda ini termangu-mangu.

Setelah kejadian sepuluh tahun lewat diketahui dan dikumpulkan maka terharu dan kagumlah pemuda ini akan kesetiaan dan keluhuran budi bibinya itu.

Wan Hoa sahabat sejati dan jarang ada wanita seperti itu.

Nyawa pun dikorbankan dan kehormatanpun hampir-hampir saja ikut lepas.

Semuanya itu demi dirinya, karena ibunya dan persahabatan yang sudah luar biasa baiknya.

Ituchi tertegun dan kagum bukan main.

Wan Hoa memang hebat, wanita yang hebat.

Namun ketika percakapan beralih dan ibunya bertanya ke mana dia kalau begitu dan bagaimana dengan Cam-kong kakek iblis si pembunuh maka Ituchi menghela napas.

"Seseorang menolongku, ibu, dan orang inilah yang menyambung hidupku!"

"Siapa dia?"

"Guruku."

"Gurumu?"

"Ya, guruku, ibu, tapi juga guru semua orang!"

"Heh, bagaimana ini?"

"Hm, betul, ibu. Tapi sayang aku tak dapat menikmati semua pelajarannya. Guruku itu aneh, dia sering bepergian dan meninggalkan aku sendiri!"

"Bagaimana itu? Coba ceritakan, Ituchi, dan siapa gurumu itu. Tentu dia manusia hebat karena dapat mengambilmu dari kakek iblis Cam-kong!"

"Memang, dia hebat, ibu. Tapi, ah... perlukah kuberitahu? Dia tak ingin disebut, ibu. Aku agak tak enak!"

"Hm, aku ibumu, Ituchi. Aku bukan orang lain. Tapi kalau kau tidak percaya kepada ibumu dan menaruh curiga baiklah tak usah diberitahukan. Aku tak memaksa!"

Ituchi jadi tak enak.

"Dia kakek dewa Bu-beng Sian-su,"

Katanya perlahan.

"Dan untuk ini aku telah melanggar larangannya..."

"Apa? Bu-beng Sian-su?"

Ibunya terkejut.

"Kakek maha sakti itu?"

"Sesuatu, jangan keras-keras, ibu. Memang benar, dialah...!"

"Ah, kalau begitu kau beruntung, anakku. Pendekar Rambut Emas juga murid kakek dewa itu!"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Hm, ini lain. Aku tak diangkatnya sebagai murid penuh, ibu. Sian-su hanya memberiku sebuah ilmu yang baru kukuasai setelah sepuluh tahun! Kepandaian kakek itu hebat, terlampau banyak dan sukar semuanya. Otakku bebal dan sayang sekali aku hanya mendapat sebuah ilmunya itu saja, apalagi guruku itu juga sering bepergian!"

Cao Cun terbelalak.

Wanita ini tampak tertegun tapi berseri-seri.

Kiranya puteranya diselamatkan Bu-beng Sian-su, kakek dewa itu.

Pantas saja, Cam-kong tak dapat mempertahankan.

Dan ketika puteranya tampak menunduk karena menyesal hanya mendapat sebuah ilmu saja maka ibu yang bijaksana ini memeluk bahu puteranya, menghibur.

"Anakku, tak perlu menyesal. Meskipun hanya sebuah ilmu saja tapi kalau dari Bu-beng Sian- su tetaplah hebat! Kau beruntung, tentu sudah dapat menjaga dirimu dan ibumu!"

"Hm, tak sepenuhnya begitu,"

Ituchi teringat kekalahannya dengan Soat Eng.

"Meskipun hebat tapi aku tetap bodoh juga, ibu. Baru saja aku kalah oleh seseorang dan menjadi tawanan."

"He?"

"Benar, ibu. Aku baru saja dikalahkan seseorang, seorang gadis lagi, gagah dan cantik!"

"Siapa dia?"

"Soat Eng, Kim Soat Eng!"

"She Kim? Kalau begitu..."

"Benar, ibu, dia puteri Pendekar Rambut Emas."

"Ah, kalau begitu tak usah penasaran. Pendekar Rambut Emas dan keluarganya memang hebat!"

Sang ibu tiba-tiba berseri-seri.

"Bagaimana terjadinya hal itu, Ituchi? Dan kenapa berkelahi?"

"Aku menghajar rombongan perampok, datang gadis itu dan kami lalu bertanding,"

Ituchi lalu menceritakan asal-mulanya, didengarkan sang ibu dan Cao Cun berkerut-kerut. Tapi ketika sang putera selesai bercerita dan dia bertanya kenapa datang-datang puteri Pendekar Rambut Emas itu menyerang puteranya maka Ituchi menghela napas.

"Aku dikira pencuri, Cermin Naga hilang."

"Apa?"

"Benar, ibu. Aku dikira pencuri Cermin Naga. Dua kakak beradik itu mencari pencurinya dan kebetulan ciri-ciri pencuri itu persis diriku."

"Maksudmu?"

"Katanya tinggi besar dan gagah, berkulit kehitaman!"

"Hm!"

Sang ibu membelalakkan mata.

"Kalau begitu bukan orang Han, anakku. Itu ciri-ciri suku bangsa kita!"

"Adakah yang mampu melakukan itu?"

"Kukira tidak, tapi... hm, bagaimana itu bisa terjadi? Bukankah itu milik Hu-taihiap?"

"Maaf, aku lupa memberitahumu, ibu. Hu- taihiap telah meninggal."

"Apa?"

"Benar, ibu, tewas. Hu-taihiap dibunuh See- ong. Aku juga baru mengetahui itu setelah mereka bertemu ayah ibunya!"

"Maksudmu...."

"Ya, aku bertemu Kim-mou-eng, ibu, dan isterinya. Ah, mereka merupakan suami isteri yang hebat sekali!"

"Bagaimana keadaan Kim-mou-eng? Masih gagah dan tampan?"

"Hm, masih tampan, ibu, tapi sudah mulai berumur. Betapapun aku kagum kepadanya. Pendekar Rambut Emas itu berwatak jujur dan ksatria. Puterinya sendiri dihajar!"

Ituchi lalu menceritakan pertemuannya dengan Pendekar Rambut Emas itu, betapa Soat Eng mendapat hukuman dari ayahnya karena menangkapnya, menyiksa dan menyuruh dia mengaku padahal bukan dia pencurinya.

Dan ketika satu demi satu diceritakan semua dan sang ibu tampak terbelalak tapi berlinang-linang maka Ituchi mengakhiri.

"Kim-mou-eng titip salam untukmu, begitu juga dari isterinya. Aku mengucap terima kasih dan sayang aku tak dapat bersama mereka lebih lama."

"Ah,"

Wanita ini terisak.

"Kau benar, Ituchi. Terima kasih. Hm, omong-omong bagaimana dengan gadis bernama Soat Eng itu? Cantikkah dia?"

"Cantik, ibu, dan gagah!"

"Dan kau sudah punya pacar?"

"Belum! Eh.., apa maksudmu dengan pertanyaan ini, ibu? Kau mau apa?"

"Hm, aku punya gagasan, anakku. Aku tiba- tiba ingin menjodohkan dirimu dengan gadis itu, menjadi mantu Pendekar Rambut Emas! Maukah kau?"

Ituchi tertegun.

Pertanyaan ibunya yang sudah beralih ke masalah perjodohan mendadak membuat muka pemuda tinggi besar ini panas.

Tiba-tiba tanpa dapat dicegah terbayanglah wajah cantik itu, gagah tapi juga galak.

Dia tertegun tapi juga "ngeri".

Dan ketika ibunya bertanya kembali dan maukah dia dijodohkan tiba-tiba pemuda ini malu-malu dan jengah, tersipu.

"Ibu, urusan itu sebaiknya dibicarakan belakangan saja. Aku belum dapat menjawab."

"Tapi kau suka tidak?"

"Hm, suka bagaimana? Cinta?"

"Ya, apa saja namanya, anakku. Suka atau cinta!"

"Aku belum tahu..."

"Eh, masa?"

Sang ibu tak percaya.

"Kau sudah cukup dewasa, anakku. Kau tak perlu pura- pura di depan ibumu. Nanti ibumu yang melamar!"

"Hm,"

Ituchi semburat.

"Masalah suka tentu saja aku suka, ibu. Mana ada pemuda tak suka gadis cantik? Tapi dia galak, aku takut...!"

"Hi-hik!"

Ibunya ketawa.

"Kalau begitu niatku dapat diteruskan, Ituchi. Besok kukirim orang untuk ke tempat Pendekar Rambut Emas!"

"Jangan! Tidak..!"

Ituchi terkejut.

"Aku belum mau, ibu. Hal ini tak boleh tergesa-gesa dilakukan. Kita tak tahu apakah gadis itu sudah mempunyai kekasih atau belum. Kalau sudah tentu hilang mukaku nanti! Tidak, jangan, ibu. Biarlah hal ini kulakukan sendiri secara diam- diam!"

Dan ketika sang ibu tampak tertegun dan dapat menerima itu maka ibunya mengangguk dan menghela napas.

"Hm, baiklah. Kau benar-benar sudah cukup dewasa, puteraku. Kalau begitu masalah itu biarlah kuserahkan padamu sendiri."

Sang ibu lalu mengajak bercakap-cakap yang lain, hampir semalam suntuk namun akhirnya menjelang pagi mereka beristirahat juga.

Dan ketika sehari dua pemuda ini berkumpul dengan ibunya dan mendapat kenyataan betapa rakyat menyambutnya dengan gembira maka Ituchi merasa kerasan dan seolah tinggal di rumah sendiri, tak menganggap itu tempat asing baginya dan raja Cucigawa serta yang lain-lain juga tampak ramah dan baik.

Tapi ketika seminggu kemudian pemuda ini tinggal lebih lama dan rakyatnya hampir semua mengenal tiba-tiba saja sebuah gangguan muncul.

Malam itu, setelah delapan hari tenang-tenang saja tiba-tiba Ituchi mendengar jerit di kamar adiknya.

Kebetulan pemuda ini tinggal tak berjauhan dan jerit itu menggugahnya dari tidur.

Hampir lelap dia ketika jerit itu melengking.

Dan ketika suara gedobrakan dan gaduh mengiringi semuanya itu tiba-tiba adiknya berteriak-teriak minta tolong.

"Aduh, jahanam keparat. Lepaskan aku. Tolongg..!"

Ituchi berkelebat.

Mendengar teriakan adiknya yang dikenal sebagai Salini tiba-tiba pemuda ini bergerak cepat.

Pintu jendela dibuka lebar dan langsung berjungkir balik, melompat keluar dan Ituchi sudah menuju ke asal suara.

Dan ketika ia melihat sebuah bayangan berkelebat dari kamar adiknya maka benar saja Salini meronta-ronta di pelukan seorang laki-laki, yang memondongnya dan membawanya keluar.

"Berhenti! Lepaskan adikku...!"

Bayangan itu terkejut.

Ituchi telah berjungkir balik di depannya dan langsung mengadang, dia dicegat dan tentu saja tak dapat lari.

Pemuda itu telah meminta adiknya dan dia disuruh menyerahkan.

Tapi ketika Ituchi membentak dan anehnya tak ada pengawal atau pasukan yang berjaga, padahal itu termasuk kompleks raja maka laki-laki ini mendengus dan tiba-tiba dia menyerang Ituchi dengan satu hantaman ke wajah.

"Plak!"

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ituchi menangkis, tentu saja marah dan pemuda ini mengerahkan tenaganya.

Dan ketika laki-laki itu terpental dan berseru kaget maka Ituchi berkelebat merampas adiknya, menotok dengan dua jarinya dan lawan terkejut, menendang namun Ituchi menggertak saja.

Pemuda ini menarik totokannya dan tangan yang lain bergerak.

Dan ketika lawan menjerit karena tengkuk terkena sebuah tamparan maka Salini terlempar dan sudah disambar pemuda ini.

"Kau kembalilah, panggil penjaga!"

Salini tersedu-sedu.

Dia berkata bahwa adiknya di dalam kamar juga diganggu, seorang laki-laki lain mendekap dan mau membawa lari adiknya.

Nangi disumpal dan hanya dialah yang dapat berteriak-teriak.

Dan ketika benar saja dari jendela kamar berkelebat sesosok bayangan lain dan Nangi, gadis remaja itu meronta-ronta ah-uh-ah-uh maka Ituchi kaget dan membentak.

"Terkutuk! Kalian rupanya berkomplot...!"

Pemuda itu berkelebat, menarik Salini dan pemuda ini membentak bayangan itu.

Sekali bergerak tahu-tahu dia telah melayang di depan bayangan kedua ini, menampar tapi bayangan itu terkejut.

Dan ketika ia menangkis namun terjungkal oleh tamparan Ituchi maka barulah ribut-ribut itu didengar penjaga dan Ituchi sudah berkelebatan menghajar bayangan ini, menjerit dan terlempar oleh pukulan atau tendangannya dan si bayangan pertama membentak maju, mencabut senjata dan dikeroyoklah Ituchi oleh dua orang lawannya.

Tapi ketika Ituchi berani menangkis dengan tangan telanjang dan golok di tangan bayangan pertama terpental bertemu tangan pemuda ini maka dua orang itu terkejut sementara pengawal atau penjaga berdatangan dengan tombak atau pedang.

"Tangkap! Tangkap mereka ini. Mereka mau menculik kami berdua!"

Salini berteriak, menuding-nuding namun penjaga sudah melihat pertandingan Ituchi.

Pemuda itu menghajar dan membuat dua lawannya jatuh bangun, nyata Ituchi lebih kuat.

Dan ketika bayangan satunya mengeluh dan bersuit nyaring tiba-tiba dia meloncat dan melarikan diri dalam gelap.

"Kejar...! Kejar mereka itu. Tangkap!"

Namun penjaga malah bengong.

Mereka mendengar bentakan dan geraman si bayangan, yang kedua sudah menyusul yang pertama dan mereka melarikan diri.

Salini berteriak-teriak sementara Ituchi membuka sumbatan Nangi, adiknya termuda, mengharap penjaga meneruskan pekerjaannya tapi mereka malah menjublak.

Bentakan atau geraman bayangan itu rupanya membuat penjaga terkejut.

Dan ketika mereka menghilang dan Salini membanting-banting kaki maka gadis itu menubruk kakaknya dengan penuh kecewa.

"Kanda Ituchi, para penjahat itu lari. Mereka tak dapat dibekuk!"

"Hm, sudahlah,"

Ituchi mengusap keringatnya.

"Biar kukejar, Salini. Kau di sini dan akan kutangkap mereka!"

Namun sebuah suara tiba-tiba mencegah.

Horok, panglima berwajah angker itu muncul.

Panglima ini melompat dan mengibaskan lengannya, suaranya berat memerintahkan penjaga pergi, mencari bayangan itu.

Dan ketika semua berlompatan dan tinggallah panglima itu dengan Salini dan kakaknya maka mereka ditanya apa yang sebenarnya telah terjadi.

"Kami mau diperkosa, diculik. Dua laki-laki tak dikenal mau menggagahi kami...!"

Salini menangis, menceritakan pada panglima itu dan Horok mengerutkan kening.

Salini dipandang lalu beralih pada Nangi, gadis yang lebih muda.

Dan ketika gadis itu juga mengangguk dan menceritakan bahwa cerita kakaknya benar maka panglima ini mengangguk-angguk dan berkata.

"Baiklah, kalian kembali ke kamar masing- masing, Salini. Biar aku dan Ituchi mengejar keluar. Pergilah!"

Salini takut.

Ternyata gadis ini tak mau, meminta agar kakaknya mengantar dan kebetulan sekali ibu mereka keluar.

Cao Cun mendengar ribut-ribut itu dan tentu saja wanita ini terperanjat, anak-anaknya mau diculik.

Dan ketika dengan bergegas wanita itu berlari mendapatkan anak-anaknya dan lega melihat dua puterinya tak apa-apa maka Salini dan adiknya sudah menangis menubruk ibu mereka.

"Kami mau diculik, diperkosa! Ah, kami takut, ibu. Kami takut. Untung ada kanda Ituchi!"

"Benar, dua penjahat memasuki kamar kami, ibu. Hampir saja kami digagahi!"

Sang ibu pucat.

"Siapa mereka?"

"Tak kami ketahuui, kabur!"

"Apakah tak dapat dilihat wajahnya?"

"Mereka mengenakan saputangan hitam, ibu. Mereka menyembunyikan muka!"

"Sudahlah,"

Ituchi memotong.

"Sekarang ada ibu di sini, Salini. Biar aku dan panglima mengejar!"

Ituchi berkata, agak terburu karena dia khawatir dua penjahat itu lari jauh.

Kalau terlalu banyak bercakap-cakap dan mereka membuang-buang waktu tentu penjahat tak dapat ditangkap.

Maka begitu ibunya muncul dan Ituchi girang pemuda ini sudah menyerahkan dua adiknya, minta agar ibunya menjaga dan Horok mengangguk.

Panglima itu juga berkata demikian dan Ituchi berkelebat menyusul.

Dan ketika pemuda itu mengejar dan sudah mendahului panglima Horok maka panglima itu terkejut dan menyusulnya.

"Hei, tunggu, pangeran. Kita ke sini!"

Ituchi memutar.

Horok ternyata membawanya ke timur, panglima itu mengajaknya ke situ karena katanya akan memotong jalan.

Dan ketika Ituchi bergerak dan mengerahkan kepandaiannya maka laki-laki ini terkejut mengimbangi, coba mendahului tapi selalu gagal.

Ituchi diminta perlahan sedikit karena panglima itulah yang hendak menjadi petunjuk jalan.

Ituchi sebenarnya tak sabar namun menurut juga.

Dan ketika mereka berbelok- belok dan akhirnya menuju ke sebuah hutan lebat maka panglima itu tiba-tiba lenyap dan Ituchi kebingungan, tak mendapatkan buruannya.

"Hei, di mana kau, paman? Di mana kau?"

Beberapa bayangan tiba-tiba berkelebat.

Sebagai gantinya muncul belasan orang yang membentak pemuda ini.

Ituchi terkejut karena suaranya justeru menjadi petunjuk bagi lawan di mana dia berada.

Dan ketika kilauan golok berkelebatan di bawah sinar bulan maka belasan orang yang tanpa banyak cakap telah menyerangnya ini membuat pemuda itu gusar.

"Hei, siapa kalian. Berhenti!"

Namun orang-orang itu mendengus.

Mereka terus menyerang dan apa boleh buat Ituchi menangkis, dia mau menjatuhkan tangan keras namun masih tak tega.

Akibatnya golok dan pedang ditangkisnya patah-patah, seperti dulu dia mematahkan golook atau pedang para perampok, ketika mau bertemu Soat Eng.

Dan ketika orang-orang itu terpekik karena senjata mereka mencelat dari tangan maka pemimpinnya yang bersenjatakan trisula kecil berseru lagi agar mereka menyerang, mencabut senjata baru.

Akibatnya Ituchi geram dan mementalkan lagi senjata-senjata lawan, sang pemimpin mulai diincar dan pemuda ini tentu saja penasaran.

Dan ketika trisula itu menyambar dan Ituchi merasakan tenaga yang kuat maka dia membentak dan menangis senjata itu.

"Plak!"

Senjata itu terlepas.

Laki-laki itu berseru tertahan dan jelas dia kaget, matanya membelalak namun anak buahnya sudah maju membantu.

Saat itu Ituchi mau menangkap lawannya ini dan menyambar, tak jadi karena belasan senjata lagi-lagi menyerangnya dari segala penjuru.

Dan ketika pemuda itu mengelak dan menangkis dengan marah maka semua senjata dibuatnya patah-patah.

"Plak-cirng-cringg!"

Belasan orang itu terkejut.

Untuk kesekian kalinya lagi mereka berteriak, Ituchi ternyata hebat namun pemuda itu masih bersikap lunak juga, menendang dan menampar mereka dan berpelantinganlah orang-orang itu.

Tapi ketika Ituchi membalik dan mau menangkap si pemimpin ternyata orang itu sudah menghilang dan memberi isyarat untuk mundur, dengan suitan panjang.

"Wut-wut-wut!"

Ituchi mendapat serangan gelap.

Ketika dia mau mengejar dan menangkap siapa saja ternyata belasan pisau terbang menyambarnya, semua dari belakang dan dapat diduga sebagai serangan si pemimpin, yang entah bersembunyi dan menghilang ke mana.

Dan ketika Ituchi memaki dan membentak marah maka pisau-pisau itu dipukulnya runtuh dan tiba-tiba panglima Horok muncul.

"Pangeran, apa yang terjadi? Kau diserang musuh?"

"Eh!"

Ituchi mendongkol.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Ke mana saja kau, paman? Kenapa tak menjawab ketika kupanggil-panggil?"

"Maaf, aku di luar hutan, pangeran, melihat bayangan dua orang itu dan tak berani menjawab karena mereka tentu akan terkejut. Sayang karena aku mendengar suara pertempuran di sini maka aku kembali. Apakah pangeran diserang orang-orang jahat? Siapa mereka?"

"Entahlah, pemimpinnya bersenjatakan trisula, paman. Mereka menghilang ketika senjatanya kupatah-patahkan!"

"Aih, kalau begitu tempat ini tidak aman. Sebaiknya kita kembali dan mari bergabung dengan pengawal!"

Ituchi mendongkol.

Dua kali dia dibuat penasaran oleh dua kejadian.

Pertama orang- orang yang akan menculik dua adiknya itu sedang yang terakhir adalah serangan orang- orang tak dikenal ini, yang semua berkerudung dan sialnya melarikan diri, tak dapat ditangkap.

Lawan rupanya lebih mengenal keadaan dibanding dirinya, yang belum mengenal semua medan.

Maklumlah, dia belum begitu lama di wilayah ini.

Namun ketika Horok mengajaknya pergi dan kembali ke tempat mereka ternyata pengawal juga melapor bahwa orang yang dicari tak berhasil ditemukan.

"Mereka menghilang, entah ke mana. Cepat sekali."

"Sudahlah,"

Ituchi berkata.

"Kalian kembali ke tempat masing-masing, pengawal. Aku juga kembali dan penjagaan harap diperketat!"

Malam itu Ituchi muram.

Panglima Horok kelihatan menyesal pula namun Ituchi berkata tak apa, biarlah dia lebih berhati-hati untuk hari-hari berikut.

Dan ketika pemuda itu kembali ke dalam dan menemui ibu serta dua adiknya maka dua adiknya itu berlarian menyambut.

"Bagaimana, kanda? Tertangkap?"

"Tidak,"

Pemuda ini masygul.

"Bahkan aku diserang belasan orang-orang tak dikenal, Salini. Agaknya di luar ada musuh-musuh berbahaya yang tidak menyukai aku."

Dua adiknya terkejut.

"Kau diserang? Oleh siapa?"

"Aku tak tahu, Salini. Tapi aku tak takut. Yang kutakuti hanya kalau kalian diganggunya!"

"Hm,"

Sang ibu mengerutkan kening.

"Mulai sekarang kalian tidur saja bersamaku, Salini. Dan kakakmu sebaiknya pindah ke kamar yang lebih dekat!"

"Baiklah, ibu. Aku memang masih takut!"

Dan dua kakak beradik yang terisak itu lalu mundur dan masuk ke kamar ibu mereka.

Cao Cun sendiri keluar dan minta agar puteranya mengikuti.

Dan ketika Ituchi mengerutkan kening namun mengikuti ibunya maka Cao Cun menggapai anaknya duduk di sebelahnya.

"Aku khawatir jangan-jangan ini perbuatan orang dalam. Kau sebaiknya berhati-hati, Ituchi. Dan bawa saja dua adikmu keluar dari sini!"

"Apa?"

"Benar, aku khawatir, anakku. Jangan-jangan peristiwa seperti dulu akan terulang lagi!"

"Maksud ibu?"

Wanita ini terisak.

"Pangeran, bagaimanakah kesan-kesanmu selama di sini? Bagaimana rakyat menyambutmu?"

"Ah, baik, ibu. Aku senang!"

Ituchi bersinar matanya, teringat penyambutan rakyatnya dan betapa dia mendapat sambutan hangat.

Teringat itu dia berseri-seri karena rakyatnya menyambut baik.

Dia benar-benar tidak merasa asing tinggal di situ dan semuanya seperti di rumah sendiri.

Tapi ketika sang ibu mengerutkan kening dan justeru menjadi tak tenang maka ibunya itu berkata.

"Nah, itulah. Ini yang kukhawatirkan, pangeran. Jangan-jangan kedatanganmu malah membuat raja Cucigawa curiga. Ia mungkin khawatir, khawatir kalau-kalau..."

"Kalau-kalau apa?"

Pemuda ini mengerutkan kening.

"Aku datang bukan untuk merampas kedudukan, ibu, melainkan semata ingin menengok dan menemuimu!"

Sang ibu tertegun, melihat anaknya ternyata cerdas, dapat menangkap dalam sekali pembicaraan saja. Tapi menggeleng dan menghela napas ibu yang awas pandangan ini memberi tahu.

"Hm, itu kau, anakku, pendapatmu. Tapi bagi raja Cucigawa atau orang lain mungkin tidak begitu. Rakyat telah menyambutmu baik, mereka begitu hangat dan penuh simpati kepadaku. Raja jangan-jangan khawatir bahwa kau kelak akan merampas kedudukannya!"

"Ah, tak mungkin! Sri baginda begitu baik kepadaku, ibu, ramah dan suka tertawa-tawa. Aku tak percaya dia mencurigaiku lalu bermaksud membunuh aku!"

"Kau masih kurang pengalaman,"

Sang ibu mengerutkan kening.

"Orang yang suka tertawa-tawa belum tentu begitu dalamnya, anakku. Justeru dengan orang yang begini ini kita harus berhati-hati! Ibu sudah cukup pengalaman, cukup merasakan pahit getir hidup. Justeru ibu curiga dengan sikap raja yang begitu baik dan ramah, padahal raja adalah seorang yang keras dan kejam!"

"Ah, kejam?"

"Benar. Kau belum tahu banyak tentang kehidupan di sini, Ituchi. Kau belum mengenal penderitaan rakyatmu. Cucigawa adalah raja yang bertangan besi, tindakannya sewenang- wenang dan suka menangnya sendiri. Rakyat yang begitu gembira menyambutmu kukira karena mengharap kaulah yang akan menggantikan raja itu, seperti mendiang ayahmu dulu!"

Ituchi terkejut.

"Kau tidak percaya, bukan?"

Pemuda ini masih tertegun.

"Lihatlah besok, anakku. Selidiki dan menyelinaplah di tengah-tengah rakyatmu. Raja baru-baru ini membuat kegemparan besar dengan mengenakan tarip pajak yang mencekik!"

"Masa?"

"Hm, aku tak mau banyak bicara, anakku. Sebaiknya kau lihat dan amati semuanya itu. Sebulan yang lalu raja mengharuskan setiap kepala keluarga menyerahkan separoh dari hasil ternaknya untuk upeti!"

"Upeti?"

"Ya, begitu katanya, anakku. Tapi kenyataannya dusta karena harta ternak itu untuk raja sendiri, maksudku sebagian besar untuk sendiri karena sebagian kecil saja yang diberikan kepada kaisar di kota raja!"

Ituchi terkejut.

Dia memang belum tahu hubungan antara bangsa liar ini dengan istana, raja Tiongkok.

Tak tahu bahwa setiap tahun raja Cucigawa harus memberikan semacam tanda persahabatan kepada kaisar, sebagai imbalannya melindungi dan sewaktu-waktu membantu raja itu bila mendapat serangan dari luar.

Maklumlah, kaum nomad (suku pengembara) biasanya suka menyerang suku- suku bangsa lain bila jumlah kelompok mereka besar, mengganggu dan mengancam keamanan bangsa-bangsa lain karena suku nomad itu butuh tanah atau ternak yang lebih banyak, lebih luas.

Mereka bisa merupakan ancaman serius bila suku-suku bangsa tidak memperkuat diri, satu di antaranya adalah raja Cucigawa ini, yang menjalin hubungan dan mendekatkan diri pada pemerintahan di istana, yakni bangsa Tiongkok, di mana sebagai imbalannya tentu saja Cucigawa harus memberikan "tanda persahabatan", semacam upeti itu.

Dan ketika sang ibu menceritakan dan memberi tahu ini maka Ituchi terbelalak dan mengangguk-angguk, baru "mendusin".

"Ah, begitu kiranya, ibu? Jadi kaisar di kota raja meminta itu setiap tahun?"

"Ya, sebagai gantinya perlindungan dan bantuan kaisar kepada suku bangsa ini, anakku. Dan Cucigawa lalu membebankan itu pada rakyatnya. Mula-mula memang wajar, masih di batas kemampuan. Tapi setelah raja menyisihkan dan hanya memberi sebagian kecil saja kepada kaisar sementara yang banyak dipakai untuk memperkaya diri sendiri maka ada dua bahaya yang mengancam suku bangsa ini!"

Ituchi tertegun.

"Kau tahu bahaya apa itu?"

"Tidak."

"Yang pertama adalah ketidakpuasan kaisar, Ituchi. Dan kedua adalah ketidakpuasan rakyat. Pajak yang ?disunat? untuk kepentingan pribadi raja Cucigawa bakal menimbulkan pemberontakan. Perbuatan raja itu tak benar!"

"Begitukah?"

Ituchi mulai marah.

"Kalau begitu raja perlu ditegur, ibu, disadarkan!"

"Sudah, aku menegurnya secara halus, Ituchi, tapi tak mempan. Raja bahkan marah mendengar omonganku."

"Kalau begitu besok coba kulihat. Kalau benar rakyat menderita tentu aku tak akan tinggal diam!"

"Tapi hati-hati,"

Sang ibu mengerutkan kening, was-was.

"Cucigawa memiliki pembantu di mana-mana, Ituchi. Kau harus hati-hati dan jangan gegabah!"

"Aku tahu. Dan aku dapat menjaga diriku, ibu. Tak usah kau khawatir."

Dan pembicaraan yang lalu dibuktikan keesokannya oleh pemuda ini.

Secara diam-diam dan hati-hati Ituchi pergi menyelidik, masuk ke tengah-tengah suku bangsanya dan bertanya-tanya.

Dan ketika benar saja semuanya menjawab seperti kata- kata ibunya maak seorang kakek malah menangis.

"Celaka, kami merasa tertekan, pangeran. Raja terlalu kejam dengan meminta separoh dari hasil ternak kami. Dan celakanya semua itu ternyata sebagian besar dimiliki sendiri. Kami tak puas, tapi juga takut!"

"Takut apa? Bukankah kalian dapat memprotes?"

"Ah, raja memiliki kaki tangan, pangeran, dan mereka orang-orang kuat. Panglima Horok dan Ramba itu orang-orang yang kepandaiannya tinggi, apalagi trisula di tangan Ramba!"

Ituchi tersentak.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Trisula? Ramba bersenjata trisula?"

Dia teringat kejadian malam lalu, yakni ketika dikeroyok orang-orang bertopeng dan seorang di antaranya bersenjatakan trisula, sang pemimpin yang juga melepas pisau-pisau terbang ke arahnya.

Dan ketika kakek itu mengangguk dan berkata benar maka kakek ini menambahi.

"Ya, dan panglima Horok juga lihai, pangeran. Telapak Besi yang dipunyainya sanggup memukul hancur kepala seekor gajah!"

Ituchi tertegun.

Pembicaraan singkat dari satu orang ke orang lain akhirnya menambah informasi.

Kakek ini membuatnya terbelalak karena Ituchi teringat laki-laki itu, penyerangnya, orang yang bersenjata trisula dan pemuda ini tertegun.

Dan ketika segala yang diperlukan dirasa cukup dan keterangan orang-orang itu ternyata benar seperti kata ibunya maka Ituchi marah dan juga heran.

Bagaimana raja yang sudah berkedudukan dan serba cukup masih juga begitu tamak? Kenapa mengambil dan memiliki untuk diri sendiri sebagian besar pajak rakyatnya? Bukankah itu seharusnya untuk kaisar.

Dan ketika dia pulang dan kembali menemui ibunya mendadak ibunya menggigil dan mencengkeram lengannya.

"Puteraku, ke mana saja kau ini? Kenapa lama amat? Ibu menunggu-nunggumu, ada sesuatu yang penting!"

Ituchi terkejut.

"Soal apa?"

"Soal adikmu, anakku. Cucigawa baru saja mengutus utusan untuk meminta adikmu!"

"Apa? Meminta bagaimana?"

"Ah, tolol kau. Maksudnya melamar, anakku. Minta agar dua adikmu itu menjadi isterinya!"

"Hah?"

"Benar, mereka... ah..."

Dan dua gadis itu yang tiba-tiba melompat masuk dan menangis tersedu tiba-tiba menubruk ibu mereka dan Nangi mengguguk mencengkeram Ituchi.

"Kanda pangeran, tolong. Kami... ah, kami mau dinikah raja Cucigawa!"

Gadis cantik ini tersedu-sedu, kakaknya memeluk sang ibu sementara dia sendiri memeluk Ituchi.

Pemuda ini terkejut dan merah mukanya.

Maklumlah, itu berita baru baginya.

Dia belum melapor hasil penyelidikannya ketika tiba-tiba sang ibu sudah mendahului, kini dua adiknya datang dan mereka sudah tahu itu, muncul dan minta tolong dirinya, menangis.

Dan ketika ibunya pucat sementara dua adiknya itu mengguguk dengan air mata bercucuran maka Ituchi tak tahu apa yang harus dikatakan, menganggap itu janggal karena Cucigawa meskipun jauh namun masih ada hubungan keluarga.

"Ibu, bagaimana ini? Masa sri baginda meminta Nangi yang masih belia begini? Apakah dia waras?"

"Itulah, aku khawatir, anakku. Sebaiknya mereka kau bawa dan pergi dari sini!"

"Tidak, sebaiknya kutanya dulu dua adikku ini, ibu. Kalau mereka mau tentu saja tak perlu pergi. Tapi kalau mereka tak mau maka kita harus menolak dan raja akan kuhadapi!"

"Ah, kau tak tahu!"

Ibunya berseru.

"Keinginan raja tak boleh dibantah, anakku. Apa yang diinginkan harus diberikan, atau mereka akan dibunuh karena dianggap menghina raja!"

"Begitu gampang?"

Ituchi berseru marah.

"Tidak, ada aku di sini, ibu. Kalau raja mau bertingkah dia akan berhadapan dengan aku. Sebaiknya kutanya dulu Salini dan Nangi!"

Dan Ituchi yang sudah membalik menghadapi adiknya lalu bertanya apakah dua adiknya itu mau menerima lamaran Cucigawa, dijawab tidak dan tentu saja dua gadis itu menggeleng kuat-kuat.

Mereka menyatakan menolak dan bahkan marah-marah.

Cucigawa sudah mempunyai banyak isteri dan raja hanya ingin menikmati daun muda saja.

Baik Salini maupun adiknya menolak tegas.

Dan ketika itu dirasa cukup dan Ituchi marah maka pemuda ini berkata.

"Baik, kalau ibu tak berani menolak pinangan biarlah aku yang maju. Aku akan menghadap sri baginda dan secara baik-baik menyatakan tolakan ini!"

"Ituchi...!"

Namun pemuda itu sudah berkelebat.

Ituchi marah mendengar raja biasa bersikap sewenang-wenang, apa yang diingini harus dituruti, begitu kata ibunya.

Maka begitu dia berkelebat dan meninggalkan ibunya pemuda ini sudah memasuki kemah besar di mana raja sedang duduk menikmati arak, masuk dan pengawal tiba-tiba bersiap karena melihat wajah yang keras dari pemuda ini.

Betapapun Ituchi datang membawa marah.

Dan ketika raja terkejut melihat pemuda itu berkelebat dan berdiri di depannya maka Cucigawa meletakkan araknya dan bersinar-sinar memandang pemuda ini, masih tak lupa dengan tawanya yang lantang.

"Ha-ha, ada apa, adik pangeran? Kau datang ingin menemui aku?"

"Benar,"

Pemuda ini tak menyembunyikan maksudnya.

"Aku datang untuk urusan adikku, sri baginda. Mau bicara tentang lamaran paduka!"

"Eih, sudah secepat ini jawabannya? Ha-ha, silakan duduk, adik pangeran. Aku gembira kau datang membawa berita menyenangkan. Mana Salini dan Nangi? Kenapa mereka tak ikut?"

"Hm, terus terang saja kedua adikku tak dapat menerima lamaran ini, sri baginda. Mereka masih terlalu muda dan merasa bodoh! Maaf aku datang tidak membawa berita menyenangkan!"

Raja tiba-tiba tertegun.

Muka yang tadi gembira kena pengaruh arak mendadak merah dan melotot.

Pengawal rata-rata juga terkejut mendengar tolakan ini.

Baru kali ini raja Cucigawa ditolak! Tapi ketika raja dapat menahan dirinya dan tertawa bergelak tiba- tiba raja menyuruh pemuda itu duduk, karena masih juga berdiri.

"Ha-ha, mengejutkan. Kedatanganmu sungguh mengejutkan, adik pangeran. Tapi marilah duduk dan kita minum arak dulu. Bicara tanpa arak selamanya menjemukan. Marilah, mari duduk dan kita nikmati arak!"

Ituchi tertegun.

Raja sudah tenang kembali, tidak marah dan mata yang tadi melotot itu kini tampak ramah.

Ituchi lega dan dia agak tenang, kemarahannya berangsur lenyap dan diapun duduk, Cucigawa sudah menuangkan arak dan minta agar mereka minum bersama, pemuda ini tak menolak dan meneguk araknya.

Dan ketika raja bertanya kenapa lamarannya ditolak maka Ituchi agak berdebar.

"Mereka masih terlampau kecil, juga muda. Lagi pula kita masih sekeluarga baginda. Hal- hal begini membuat mereka tak enak dan takut!"

"Ha-ha, bagaimana pendapatmu, panglimaku?"

"Maaf,"

Horok, yang sejak tadi waspada mendampingi Cucigawa membungkuk.

"Alasan begitu terlampau dibuat-buat, sri baginda. Selir paduka sendiri yang termuda ada yang berusia empat belas tahun!"

"Ha-ha, dan Nangi lima belas. Eh, bagaimana ini, Ituchi? Bukankah alasannya tak masuk akal?"

"Hm!"

Pemuda itu tak enak.

"Urusan ini tak berani aku menanggapinya, sri baginda. Tapi dua adikku benar-benar masih terlalu muda dan hijau. Lagi pula hubungan kekeluargaan itu dapat mengganggu!"

"Eh, jangan begitu. Justeru aku ingin mempererat hubungan ini, Ituchi. Kalau mereka menjadi selirku maka kau semakin dekat denganku!"

"Maaf, mereka belum bersedia, sri baginda. Barangkali paduka dapat mencari lainnya saja. Salini dan Nangi masih terlampau kanak- kanak!"

"Hm,"

Raja tertawa aneh, menenggak araknya.

"Kau tak tahu kebiasaan di sini, adik pangeran. Baiklah kumaafkan sikapmu ini karena kau orang baru. Tak apa. Kalau begitu aku merubah niatku. Bagaimana kalau dua adikmu itu kupersembahkan pada kaisar? Apakah ditolak juga?"

Ituchi terkejut.

"Apa?"

"Ha-ha, jangan terkejut. Minggu depan kebetulan kami harus memberi upeti kepada raja Tiongkok, Ituchi, demi persahabatan yang selama ini terjalin. Kau tentu tak keberatan bila dua adikmu menjadi persembahan yang paling terhormat!"

"Sri baginda...!"

"Eh, nanti dulu. Jangan berteriak!"

Raja menggoyang lengan, tertawa.

"Tak ada alasan kiranya bagimu setelah ini, Ituchi. Atau kau memang mengada-ada dan sengaja hendak menghina aku! Bangsa di sini adalah bangsa yang patuh, mereka tak pernah membantah apalagi kepada rajanya. Kalau kau menolak dan kembali memberi alasan macam-macam maka kuanggap kau menghina diriku dan hendak mempermainkan!"

Ituchi gemetar.

"Sri baginda,"

Katanya tertahan-tahan.

"Omongan paduka sungguh tak kumengerti. Hinaan bagaimana yang dapat kulakukan di sini? Bukankah semuanya kukatakan secara jujur dan benar?"

"Hm, kalau jujur dan benar tak ada kata-kata seperti itu, adik pangeran. Masalah keluarga sesungguhnya tak perlu kau sebut-sebut. Ibumu itu juga pernah diambil Cimochu sebagai isteri, padahal Cimochu adalah anak tirinya! Bukankah ini lebih hebat lagi dibanding aku mengambil dua adikmu? Bukankah apa yang kulakukan jauh lebih terhormat daripada apa yang telah dilakukan ibumu itu? Ha-ha, jangan marah, Ituchi. Aku bicara benar dan jujur pula. Kau boleh tanya semua orang!"

"Bohong!"

Bentakan itu menggeledek, membuat semua orang terkejut.

"Kau memfitnah, sri baginda. Kau melepas omongan busuk. Kau... ah!"

Dan Ituchi yang gemetar tak dapat menahan diri tiba-tiba bangkit dari duduknya dan membanting hancur cawan arak yang diterima dari raja, tentu saja mengejutkan semua orang dan panglima Horok tiba-tiba melompat maju.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Para pengawal juga bergerak cepat dan tahu-tahu mengurung pemuda itu, tombak atau senjata lain tiba-tiba bergerak siap menusuk.

Ituchi telah melakukan sesuatu yang berani di hadapan raja, membentak dan mengatakan raja bohong, hal yang belum pernah dilakukan siapapun! Maka begitu Ituchi membanting cawan dan marah besar memandang raja maka raja pun merah mukanya dan melotot memandang pemuda itu.

"Sri Baginda, kau bohong. Kau... kau memfitnah. Tak mungkin hal itu dilakukan ibuku!"

"Hm,"

Raja tertawa mengejek, mata bersinar- sinar.

"Kau kurang ajar dan kembali menghinaku, Ituchi. Kau sombong dan tak tahu aturan. Kau kira aku bohong dan memfitnah? Kau kira aku menjual omongan busuk? Bagaimana kalau kita buktikan bersama?"

"Tak mungkin. Aku tak percaya, sri baginda. Aku tetap menganggapmu bohong. Sebaiknya kau tarik omonganmu itu dan minta maaf!"

"Ha-ha, bocah yang sombong!"

Raja bertepuk tangan.

"Panggil wanita itu, pengawal. Dan suruh ibunda permaisuri datang ke sini!"

Ituchi pucat.

Tanpa menunggu pengawal tiba- tiba dia bergerak mendahului, berkata bahwa dialah yang akan mengambil ibunya.

Raja harus bertanggung jawab dengan kata-katanya itu, pemuda ini marah bukan main, tak dapat menahan diri.

Dan ketika pengawal tertegun tapi tak berapa lama kemudian pemuda itu sudah membawa ibunya maka Cao Cun meronta dan menangis menampar puteranya itu.

"Lepaskan, kau mau apa?"

Ituchi menggigil, menghadap raja, tak menghiraukan kepungan dan bergeraknya pengawal yang bertambah banyak, juga Ramba yang tiba-tiba muncul di belakang.

"Sri Baginda,"

Pemuda itu marah sekali.

"Sekarang ibuku ada di sini. Kau katakanlah sekali lagi kata-katamu yang menusuk itu. Aku ingin bukti dan jawaban ibuku!"

"Ha-ha, kenapa tidak bertanya langsung? Baiklah, kukatakan sekali lagi bahwa ibumu ini pernah dikawin Cimochu, Ituchi. Dan sebagai bukti marilah tunggu jawaban ibumu, meskipun semua orang di sini juga menjadi saksi!"

Cao Cun tiba-tiba menjerit.

Dia tadi tidak diberi tahu apa yang menjadi sebab puteranya itu menyambarnya, Ituchi berkata bahwa raja ingin bertemu dengannya, untuk soal yang amat penting.

Sikap yang tentu saja membuat wanita itu ngeri dan takut.

Dia ngeri melihat wajah puteranya yang begitu gelap, maklum bahwa sebuah persoalan besar menghantam puteranya itu, tak menduga bahwa yang dipersoalkan adalah hubungannya dengan Cimochu, suami sekaligus bekas anak tirinya, hal yang merupakan aib bagi bangsa Tiongkok tapi bukan untuk bangsa liar itu.

Lain lubuk memang lain ikannya.

Maka begitu raja bicara tentang ini dan kiranya persoalan itu adalah persoalan ibu dan anak tiba-tiba Cao Cun hampir pingsan dan menjerit keras, berteriak dan tiba-tiba wanita ini terhuyung.

Dada didekap dan jantung pun rasanya seakan ditarik.

Hal yang disembunyi-sembunyikannya dari anaknya tiba-tiba saja dibuka tanpa tedeng aling-aling oleh Cucigawa, raja yang keji ini, yang tahu akan adat-istiadat Tiongkok dan kiranya kini mempergunakan itu sebagai panah beracun untuk melukai anaknya, tentu saja wanita itu pucat dan Cao Cun tiba-tiba roboh terguling.

Dan ketika wanita itu menangis dan roboh tersedu-sedu maka Ituchi terkejut dan tersentak melihat ini.

"Ibu, kau... kau ada apa?"

"Ha-ha, anak yang bodoh!"

Cucigawa tertawa bergelak.

"Kau menelanjangi ibumu dengan borook yang memalukan, Ituchi. Kau harus tahu bahwa ibumu terpukul. Hal itu tak dapat dibantahnya, dia malu dan terhina!"

"Hm, betulkan, ibu? Bukankah kata-kata itu bohong?"

Sang ibu tersedu-sedu, tak menjawab.

"Bagaimana, ibu? Bukankah itu tak benar adanya dan raja memfitnah?"

Sang ibu tetap tak menjawab, bahkan mengguguk. Dan ketika Ituchi menggeram dan Cucigawa tertawa aneh maka raja berkata lagi mengejutkan pemuda ini.

"Heh, kau berotak udang, Ituchi. Rupanya tak kau ketahui juga bahwa dua adikmu itu adalah hasil perkawinan ibumu ini dengan mendiang Cimochu. Kenapa kau masih hendak menyakiti hati ibumu dengan jawaban yang sudah jelas? Seluruh rakyat mengetahui itu, Ituchi, tak perlu ditanyakan karena hanya akan menyinggung ibumu...!"

"Dess!"

Raja tiba-tiba mencelat, kaget berteriak keras karena Ituchi tiba-tiba berkelebat, menghantam dan menampar raja.

Omongan yang tajam menusuk-nusuk dan selalu menghunjam dada Ituchi bagai pedang berkarat membuat pemuda itu tak kuat lagi, kemarahan Ituchi menggelegak dan ditamparlah lawannya.

Dan ketika Cucigawa terlempar dan raja bergulingan berteriak kaget maka semua orang terkejut dan berseru menyerang Ituchi, melihat pemuda itu mau mengejar dan membunuh raja.

Panglima Horok tiba-tiba membentak dan mau menghantam pemuda itu, memaki.

Ramba yang ada di belakang juga tiba-tiba berseru marah melihat rajanya dibanting.

Dan ketika semua orang mengeroyok dan bergerak dari mana-mana tiba-tiba Ituchi mengeluarkan pekik menggetarkan dan bergeraklah kedua tangannya menghantam ke sana-sini.

"Berhenti semua! Diam di tempat... des-des- des!"

Ituchi membuat kejutan, melempar semua orang dan Panglima Horan sendiri terbanting.

Ramba yang ada di belakang juga terpelanting dan berseru kaget.

Dan ketika yang lain-lain juga terlempar dan Ituchi berdiri dengan muka merah padam maka pemuda ini tegak bagai singa muda yang haus darah, kelaparan! "Semua, jangan bergerak, atau aku akan melancarkan pukulan maut!"

Semua gentar.

Apa yang telah diperlihatkan pemuda ini dalam segebrakan saja memang mengejutkan.

Hanya dengan kedua tangan mendorong ke kiri-kanan tiba-tiba mereka terlempar, roboh tak keruan.

Dan ketika pemuda itu membalik dan menghadapi ibunya maka Cao Cun bagai menerima pedang berkarat ditodong puteranya, pertanyaan yang menusuk dan membuat wanita itu hampir histeris.

**SF** (Bersambung

Jilid 9) Bantargebang, 20-10-2018,17.40 (Serial Bu-beng Sian-su) ISTANA HANTU

Jilid 9 * * * Hasil Karya . B A T A R A Pelukis . Soebagio Antonius S. * * * Percetakan & Penerbit U.P. DHIANANDA P.O. Box 174 SOLO 57101 ISTANA HANTU - BATARA KONTRIBUTOR . KOH AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITER .

SITI FACHRIAH ? PDF MAKER .

OZ Hak cipta dari cerita ini sepenuhnya berada di tangan pengarang, di bawah lindungan Undang- undang.

Dilarang mengutip/menyalin/menggubah tanpa ijin tertulis pengarang.

CETAKAN PERTAMA U.P.

DHIANANDA ? SOLO 1987 ISTANA HANTU (Lanjutan "Sepasang Cermin Naga") Karya .

Batara

Jilid . 9 * * * "IBU, benarkah kata-kata keparat ini? Bukankah dia bohong?"

"Tidak,"

Sang ibu menggeleng, tersedu-sedu.

"Dia... dia benar, Ituchi. Ibumu... ibumu memang bersuamikan Cimochu itu. Dan Salini serta Nangi, ooh.. mereka... mereka itu anak ibumu dengan Cimochu. Raja tidak bohong dan itu memang betul!"

"Apa? Jadi... jadi ibu..."

"Benar, di sini hukum adat lain dengan di Tionggoan, anakku. Warisan ayah dipunyai putera sulungnya termasuk ibu tiri..!"

"Ooh..!"

Dan Ituchi yang terhuyung memandangi ibunya tiba-tiba terbelalak dan seolah tak percaya.

Baru tahu sekarang bahwa Cimochu, kakak tirinya itu mengawini ibunya.

Anak dan ibu berkumpul menjadi satu, sebagai suami isteri, meskipun sang anak adalah anak tiri! Dan ketika Ituchi terhuyung dan hampir tak mempercayai ibunya maka Cucigawa terdengar tertawa bergelak dan bertanya di sana.

"Heh, bagaimana, Ituchi? Adakah aku berbohong atau memfitnah?"

Ituchi gemetar, membalik.

"Kau benar, Cucigawa. Dan sungguh tak kusangka bahwa ibuku dapat melakukan itu. Maaf, aku sekarang percaya. Biarlah aku pergi dan tidak di sini lagi!"

"Ha-ha, begitu enak? Tidak, kau telah menyerangku, Ituchi. Hukum pancung pantas untukmu. Kau menyerahlah, atau seluruh pasukanku akan bergerak dan rakyat kuberi tahu bahwa kau, putera Raja Hu yang perwira ternyata tak memiliki sopan-santun terhadap raja!"

Ituchi terkejut.

Saat itu dia mendengar ibunya menjerit dan roboh terhuyung.

Cao Cun terpekik mendengar semua kata-kata puteranya tadi.

Ituchi akan meninggalkannya dan sebuah kenangan keji ditinggalkannya untuknya.

Ituchi telah membawa semacam pandangan buruk tentangnya, tentang perkawinan itu dan tentu saja ibu ini terpukul.

Ituchi tak mau tahu bahwa semuanya itu dikarenakan adat.

Bangsa liar ini memang mempunyai adat yang lain daripada adat bangsa Han, tak ada aib dan malu bagi mereka untuk masalah seperti ini.

Anak tiri bebas saja mengawini ibu tirinya, kalau sang ayah meninggal.

Dianggap sebagai warisan ayahnya dan itulah adat bangsa ini.

Maka begitu sang anak mencemooh dan ada semacam hinaan di wajah puteranya itu untuknya tiba-tiba Cao Cun tak kuat lagi dan roboh pingsan.

"Ha-ha, kau menyakiti ibumu, Ituchi. Dan sekarang ibumu terpukul!"

"Biarlah,"

Pemuda ini acuh.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku bukan anaknya lagi, Cucigawa. Dan selamat tinggal untuk kalian semua!"

Pemuda itu berkelebat, melayang dan berjungkir balik di atas kepala semua orang tapi raja tentu saja tak membiarkan pemuda itu pergi.

Ituchi telah menghinanya di depan semua orang, pemuda itu berani menyerangnya.

Maka begitu membentak menyuruh semua pembantunya bergerak tiba-tiba Cucigawa telah memerintahkan pasukannya menyerang, dia sendiri telah mengambil busur dan menjepret pemuda itu.

Cucigawa ternyata ahli bermain panah.

Dan ketika Ituchi diserang dari mana- mana dan pemuda itu berjungkir balik di atas semua kepala orang tiba-tiba Ituchi membentak dan mengayunkan tangannya ke kiri kanan, mengibas.

"Plak-tring-trang!"

Panah dan pedang mencelat semua. Ituchi telah memukul itu dan pemuda ini sudah tiba di luar, melayang turun. Tapi ketika di sana ternyata telah menunggu ribuan orang yang memagar betis maka Ituchi terkejut dan raja tertawa bergelak di dalam.

"Ha-ha, lolos di sini tak mungkin lolos di luar, Ituchi. Serahkan dirimu dan menyerahlah baik- baik!"

Ituchi menggeram.

Kalau raja sudah menyambutnya seperti ini nyatalah bahwa keadaan tidak main-main lagi.

Pemuda itu marah dan Ramba serta panglima Horok berkelebatan keluar.

Dan ketika mereka memberi aba-aba dan pasukan di luar bergerak menyerang maka Ituchi sudah dihujani serangan dan tubrukan.

"Tangkap pemuda ini. Bunuh...!"

Ituchi tak dapat berbuat lain. Pasukan paling depan sudah menyerangnya dengan cepat, tombak dan golok atau pedang bersiutan saling susul. Dan ketika dari dalam raja Cucigawa juga menggerakkan busurnya maka tujuh panah menjepret menyambar pemuda ini.

"Siut-wir-wir-plakk!"

Ituchi membentak, menghalau semua serangan-serangan itu dan tujuh batang panah yang dibidikkan raja runtuh.

Cucigawa terbelalak tapi sudah menyerang lagi.

Dan ketika pasukan yang lain juga diperintahkan untuk menghamburkan panah maka Ituchi berkelebatan menangkis hujan panah ini, melengking dan membentak marah dan terkejut serta kagumlah semua orang melihat sepak terjangnya.

Dengan kedua tangan atau kakinya Ituchi sudah beterbangan menyambut semuanya itu, berkelebatan bagai burung menyambar-nyambar.

Dan ketika pemuda itu mulai membalas dengan menangkapi panah- panah yang menyambar tubuhnya maka Ituchi menyambit dan merobohkan sembilan orang yang ada di depan.

"Minggir, atau kalian roboh... crep-crep!"

Panah rampasan itu menyambar sembilan orang ini, membuat mereka terjengkang dan semuanya berteriak kesakitan.

Ituchi mengarahkan panah-panah itu ke pundak mereka, jadi tak membunuh namun mereka sudah mengaduh-aduh.

Dan ketika hal yang serupa juga dilakukannya berulang-ulang maka pasukan menjadi panik dan gempar.

"Jangan takut, lemparkan tombak kalian!"

Panglima Horok, yang juga menjadi korban namun tidak sampai roboh sudah mencabut panah yang menancap di pundaknya, maju dengan marah dan Ramba yang ada di belakang tiba-tiba mencabut sebuah trisula.

Dan ketika Ituchi terbelalak karena bentuk senjata itu mengingatkannya pada serangan di dalam hutan maka pemuda ini mendapat lemparan tombak yang bersaing dengan panah.

"Serang... terus serang...!"

Pemuda itu menggeram. Horok dan lain-lain sudah menyerangnya tak kenal takut, kagum juga pemuda ini. Namun ketika dia mengelak dan berkelebatan menangkis tiba-tiba sepasukan berkuda datang menerjang menyeruak pertempuran.

"Cring-crangg!"

Ituchi repot juga.

Dia hanya meroboh- robohkan lawannya, tak satupun dibunuh.

Maklumlah, mereka suku bangsanya sendiri dan Ituchi juga bukan pemuda kejam.

Pemuda ini tak berwatak telengas, dan sesungguhnya dia berhati lembut.

Tapi ketika pasukan berkuda datang menyerang dan lontaran tombak atau lembing menyertai pasukan itu maka pemuda ini sibuk dan menangkis, datang lagi pasukan berkuda yang lain dan Ituchi dibuat marah.

Lama-lama dia kewalahan juga dan musuh yang dihadapi kian banyak.

Mereka meluruk dan menerjang dirinya, gagah dan rata-rata pandai menunggang kuda dan Ituchi membelalakkan matanya.

Dan ketika dari mana-mana semua orang bergerak dan dia coba membuka jalan namun gagal maka pemuda ini berseru agar musuh-musuhnya tak memaksa dia berbuat kejam.

"Kalian minggirlah, biar aku pergi. Atau aku akan membunuh dan kalian mampus!"

"Bunuhlah!"

Horok berteriak.

"Kami membela junjungan kami, Ituchi. Dan siap mempertaruhkan nama baik yang kau cemarkan!"

"Hm, kau sombong, paman. Kalau begitu aku akan merobohkanmu lebih dulu dan jangan salahkan aku.. sing-bret!"

Ituchi menampar ke kiri, mementalkan sebatang tombak dan tiba- tiba dia berkelebat ke arah panglima ini.

Horok membuang senjatanya yang putus dan panglima itu mempergunakan kedua tangannya.

Ituchi teringat bahwa katanya panglima ini memiliki Tangan Besi (Tiat-ciang) atau ilmu kepandaian khusus di mana katanya tangan panglima itu dapat sedemikian kerasnya hingga mampu memukul pecah kepala seekor gajah.

Maka ketika dia berkelebat dan menyerang panglima ini maka Horok juga membentaknya menangkis dengan sepasang lengannya itu, lengan yang kokoh.

"Duk-plak!"

Horok ternyata berteriak.

Panglima ini terpental dan terpelanting bergulingan, sayang Ituchi tak dapat mengejarnya karena dari empat penjuru kembali dia mendapat hujan serangan.

Dua kelompok pasukan berkuda juga menerjangnya dengan gegap-gempita.

Mereka itu benar-benar pemberani dan gagah, hal yang membuat Ituchi semakin kagum, bangga bahwa suku bangsanya ternyata orang-orang yang gagah dan berani.

Tapi karena mereka membahayakan dirinya dan mau tidak mau ia harus mengelak maka dua orang di sebelahnya tiba-tiba ditangkap dan disambar dari atas kudanya, Ituchi bermaksud untuk merampas kuda ini.

"Turun... bres-bress!"

Dua orang itu berteriak.

Mereka terlempar dan tahu-tahu terbanting bergulingan, Ituchi telah berjungkir balik dan melayang turun di atas kuda yang kanan, yang kiri ditangkap dan dihela di sampingnya, dibedal dan tiba-tiba dengan dua ekor kuda di tangannya pemuda ini berteriak memecah barisan.

Dan ketika semua orang terkejut karena pemuda itu menerjang mereka maka Ituchi mencoba lolos dengan menunggang kuda! "Minggir...

hyehh..

herrr!"

Gaduhlah semua orang.

Mereka tiba-tiba melihat pemuda itu sudah memecah barisan, hal ini disengaja oleh Ituchi yang tak ingin lagi bermusuhan dengan bangsanya sendiri.

Mereka itu tak mengetahui persoalannya dan hanya mengikuti perintah raja Cucigawa saja.

Maka begitu dia membedal dan menjepit perut kuda kuat-kuat maka pemuda ini sudah membuat orang-orang di depan menyibak, takut diterjang kuda!"

"Hyehh-herrr...!"

Ituchi sudah melampaui setengah barisan.

Dengan cepat pemuda ini mau kabur, melarikan kudanya bagai terbang saja.

Tapi ketika di belakang terdengar bentakan dan seekor kuda berbulu merah melesat bagai kuda sembrani maka Ramba, pemuda tinggi tegap yang bersenjatakan trisula itu mengejar, juga bagai terbang! "Ituchi, berhenti.

Jangan seperti pengecut!"

Ituchi terkejut.

Cepat melebihi panah tiba-tiba lawannya itu telah berada di samping, trisula bergerak dan tahu-tahu ujungnya sudah mendekati hidung.

Ramba menusuk dan pemuda itu membentak.

Dan ketika Ituchi berkelit namun kaki lawan bergerak tiba-tiba kuda yang dihelanya kena tendang, meringkik dan lepas! "Ngiiikkk...!"

Ituchi terbelalak.

Tanpa dapat dicegah lagi kuda helaannya kabur, sebenarnya dia hendak mempergunakan itu sebagai cadangan, bila kuda yang ditunggangi ini lelah atau kehabisan tenaga.

Maka begitu kudanya kabur dan tinggal seekor saja yang ditungganginya itu maka pemuda ini menjadi marah dan memaki lawannya, yang saat itu bergerak dan kembali menusukkan trisula.

Ituchi menangkis dan otomatis berhenti sejenak.

Dan ketika trisula dibuatnya terpental tapi saat itu yang lain-lain datang menyerang maka pemuda ini gemas membentak Ramba.

"Ramba, jahanam keparat kau. Kau rupanya tak tahu diri!"

"Hm, tak perlu banyak cakap. Kau telah menghina raja, Ituchi. Dan hanya hukuman bunuh yang pantas diberikan kepadamu... siut- bret!"

Ituchi sedikit lengah, tertusuk pundaknya namun bajunya yang robek.

Saat itu yang lain-lain sudah datang menerjang, pasukan berkuda paling dulu di depan dan mereka itu membuat kening Ituchi berkerut, tertusuk dan robek baju pundaknya tadi.

Tapi begitu Ituchi sadar dan marah tiba-tiba pemuda ini menampar ketika trisula kembali menyambar.

"Plak!"

Trisula itu mencelat.

Akhirnya senjata di tangan Ramba terlepas, Ituchi menggerakkan tangan menampar lawannya itu.

Di atas kuda tak mungkin lagi lawannya mengelak.

Tapi ketika Ramba lenyap dan Ituchi terkejut karena lawan tahu-tahu menghilang mendadak saja dari bawah perut kuda menyambar sembilan pisau terbang yang menuju ke arahnya.

"Keparat, kiranya kau!"

Ituchi membentak, akhirnya melihat bahwa lawan berada di perut kudanya, menempel di bawah dan tiba-tiba lawannya itu telah melepas pisau.

Ituchi segera teringat bayangan yang menyerangnya di hutan, orang bersenjata trisula dan juga pisau- pisau terbang.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Maka begitu dia tahu dan yakin bahwa Ramba inilah kiranya orang itu maka pemuda ini membentak dan menangkap lima dari sembilan pisau terbang itu.

Lalu begitu dia menggerakkan tangannya dan membentak marah maka Ramba menjerit ketika lima buah pisau terbangnya menancap di tubuhnya; dua di lengan dan tiga yang lain di kaki dan perut.

"Aduh... crep-crep-crep!"

Ramba terjatuh dari perut kudanya.

Memang waktu itu dia menyelinap di bawah perut kudanya, gerakan yang luar biasa cepat dan menunjukkan bahwa Ramba ini adalah pemdua yang tangkas dan pandai bermain kuda.

Tapi begitu Ituchi meretour balik lima pisaunya dan semua menancap di tubuh maka pemuda ini mengeluh dan terbanting di atas tanah, tak dapat bangun dan hanya merintih dan Ituchi sementara itu sudah menghadapi serbuan yang lain.

Horok, panglima bertangan Besi itu juga penasaran memburunya, menyerang dan dibantu puluhan anak buahnya panglima ini mengeroyok.

Tapi ketika Ituchi membalik dan mendorong-dorongkan lengannya ternyata semua serangan itu mental dan senjata mereka patah-patah.

"Plak-cring-dess!"

Semua orang terpekik.

Panglima Horok sendiri terpelanting, lagi-lagi untuk kesekian kalinya dia tak mampu menghadapi lengan Ituchi.

Dari tangan pemuda itu muncul tenaga panas yang membuat telapaknya hangus, cepat menjalar dan tahu-tahu sudah membakar pundaknya.

Dan ketika panglima itu bergulingan dan mengeluh pucat maka dia memerintahkan agar semua orang maju mengeroyok, ganti-berganti dan tertutuplah jalan keluar yang tadinya siap di muka pemuda ini.

Ituchi sudah dikepung dan dikeroyok rapat lagi, pemuda itu jengkel dan marah.

Namun karena dia menunggang kuda dan dengan cepat dia merampas tombak dan memutar ini seperti kitiran maka Ituchi tetap merupakan lawan berbahaya bagi orang-orang itu.

"Minggir, atau kalian roboh!"

Ituchi menerjang ke depan, menjepit perut kudanya dan tombak di tangan juga bekerja.

Tanpa ragu-ragu lagi pemuda ini sudah mulai membalas dan bertangan keras, musuh yang menghadang disapunya dengan tombaknya itu, juga tangan kiri yang kadang-kadang melakukan pukulan jarak jauh.

Lawan dibuat terpekik ketika senjata mereka terlepas, kalah kuat bertemu tombak atau jatuh terbanting oleh pukulan tangan kiri pemuda itu.

Dan ketika Ituchi mendesak dan kudanya juga seperti kuda yang kesetanan menerjang ke depan maka pemuda ini berhasil membuka jalan dan hampir keluar lagi.

"Serang kudanya, bunuh kudanya itu!"

Ituchi terkejut.

Teriakan panglima Horok yang tiba-tiba disusul lontaran tombak atau lembing ke tubuh kudanya tiba-tiba membuat dia terkejut.

Kudanya meringkik panjang ketika sebatang tombak mengenai kakinya.

Dan ketika Ituchi belum sempat melindungi kudanya karena diri sendiri diserang dan dihujani panah dari mana-mana mendadak kudanya meringkik lagi menerima sambaran sebatang anak panah, tepat mengenai bokongnya.

"Kurang ajar!"

Ituchi membentak.

"Jangan menyerang binatang tak berdosa, tikus-tikus busuk. Hayo kalian serang aku dan jangan bersikap pengecut!"

Namun Horok tertawa bergelak.

Panglima itu merasa berhasil, gagasannya membuat Ituchi kebingungan dan kaget, sebatang panah tiba- tiba menyambar dari jauh dan raja Cucigawa tiba-tiba muncul lagi.

Dialah yang melepas panah itu dan tepat sekali panah yang besar ukurannya menancap di perut kuda.

Dan ketika kuda itu roboh dan Ituchi terjungkal maka yang lain-lain menghamburkan tombak atau panahnya ke tubuh pemuda ini.

"Sing-plak-dess!"

Ituchi marah, membentak dengan tenaga saktinya dan tiba-tiba menggulingkan tubuh.

Lawan yang paling dekat tiba-tiba terpekik, mereka terjungkal oleh bentakan pemuda itu, yang meledak bagai guntur.

Dan ketika Ituchi menangkis semua senjata dengan tamparan atau kebutannya maka pemuda ini sudah meloncat bangun dan menyambar seorang prajurit berkuda, menyerang prajurit itu dan prajurit ini terkejut.

Dia terpekik, tahu-tahu roboh terjungkal ketika angin sambaran pemuda itu mendahului pukulannya.

Dan ketika kuda menjadi tak bertuan lagi dan Ituchi berjungkir balik di sini maka pemuda itu sudah mendapatkan tunggangan baru dan kabur dengan cepat.

"Heii..!"

Panglima Horok terkejut.

"Cegat pemuda itu, pasukan. Panah dan serang lagi kudanya!"

Ituchi geram.

Horok tiba-tiba sudah menyerang kudanya dengan lemparan lembing yang kuat, senjata itu meluncur dahsyat namun dia mengibaskan lengan ke belakang, memukul runtuh lembing itu.

Tapi ketika dari mana-mana tombak atau lembing serta panah juga berhamburan ke kaki kudanya maka sebatang panah yang besar lagi-lagi dilepas raja Cucigawa, tepat mengenai perut kudanya, yang roboh dan meringkik-ringkik.

"Ha-ha, kau tak dapat lari, Ituchi. Kau terkepung dan bakal tertangkap!"

Ituchi berjungkir balik.

Dia terpaksa meninggalkan kudanya yang roboh dan tewas, kudanya itu tak bergerak lagi setelah terpanah oleh raja.

Cucigawa kiranya seorang raja yang pandai bermain panah, rata-rata panahnya besar-besar dan jepretannya selalu tepat, benar-benar seorang pemanah yang mahir.

Namun karena Ituchi pemuda yang tak kenal menyerah dan roboh satu dia sudah merampas lagi kuda yang lain maka pemuda ini mendapat gantinya dan melempar seorang prajurit terdekat, lagi-lagi merampas kuda baru namun Horok dan raja Cucigawa ternyata juga merupakan orang-orang yang tak kenal menyerah.

Mereka kagum tapi juga gemas tak dapat merobohkan Ituchi, pemuda itu hebat dan selalu dapat menangkis atau memukul balik senjata yang menyambar, satu-satunya jalan hanya memanah kudanya itu.

Maka begitu Ituchi berhasil merampas seekor kuda namun mereka juga merobohkannya kembali maka Ituchi gemas dan gusar, akhirnya sepuluh kuda roboh binasa dan sebagian besar terjungkal oleh panah raja Cucigawa.

Ituchi terbelalak dan marah.

Dan ketika dia kebingungan karena setiap kuda rampasan pasti dipanah dan dirobohkan oleh raja maka kepungan menjadi ketat dan kembali dia dikeroyok, lama-lama membuat pemuda ini letih dan Ituchi bermandi keringat.

Betapapun dia adalah manusia biasa, lawannya tak kurang dari dua ribu orang dan tak mungkin rasanya membunuh semuanya itu.

Ituchi masih tak sanggup membunuh bangsanya sendiri, dia paling-paling hanya merobohkan dan melukai mereka.

Dan karena hal ini akhirnya merugikan diri sendiri dan mau tak mau dia menjadi lelah maka tenaga pemuda ini berkurang dan kecepatannya juga mengendur.

Cepat sekali sinkangnya (tenaga sakti) juga ikut-ikutan menyusut.

Ituchi terkejut dan mulai khawatir.

Dan ketika benar saja tangkisannya tak sekuat mula-mula karena tangan gemetar maka panah di tangan raja akhirnya meluncur dan menancap di bahunya.

"Ha-ha, lihat, pasukanku. Pemuda itu mulai lemah!"

Ituchi menggigil.

Dia mulai pucat, memang mulai lemah dan tak dapat disangkal bahwa dia mulai terdesak.

Kalau saja dia mau membunuh barangkali musuh akan dibuat gentar.

Tapi Ituchi tak pernah membunuh.

Akibatnya musuh menjadi berani karena mereka paling- paling dibanting atau ditampar.

Hanya Ramba yang akhirnya tak dapat maju, panglima muda itu mendapat hajaran paling berat karena perutnya luka, dia dirawat dan disingkirkan dari tempat itu.

Dan ketika Ituchi mulai terdesak dan perlahan tetapi pasti pemuda ini mundur terhuyung-huyung maka Ituchi mengeluh memaki orang-orang itu.

"Kalian keparat, kalian bodoh. Kalau aku mau tentu kalian dapat kubunuh!"

"Ha-ha, tak perlu sombong. Kau boleh membunuh kalau kau mampu, Ituchi. Hayo laksanakan ancamanmu kalau kau bisa!"

Ituchi mendelik.

Terhadap suku bangsanya sendiri tak mungkin dia dapat membunuh.

Darah mereka adalah darahnya pula, pemuda ini melotot.

Dan ketika raja kembali menjepret sementara panglima Horok juga melepas tiga buah lembing maka sebuah di antaranya mengenai kakinya dan panah sang raja juga kembali menancap di bahu kiri.

"Crep-crep!"

Ituchi mengeluh.

Dari semua lawan-lawannya maka panah Cucigawa dan lontaran lembing panglima Horok adalah yang paling kuat.

Tenaga mereka itu besar dan panah maupun lembing menancap cukup dalam.

Kalau dia tidak kuat tentu roboh, orang lain mungkin sudah terjungkal tapi Ituchi masih dapat bertahan.

Kelemahan pemuda ini tak mau membunuh lawan membuat mereka kurang ajar, Horok maupun raja akhirnya lebih berani dan nekat.

Dan ketika Ituchi terpincang- pincang dan raja tertawa bergelak maka Cucigawa memerintahkan agar pemuda itu dijala! "Lempar jala, atau lasso..!"

Ituchi terkejut.

Lawan tiba-tiba memenuhi perintah ini dan jala atau lasso panjang mulai dilemparkan.

Mereka bermaksud menjirat atau menangkap pemuda ini, seperti kebiasaan mereka menangkap binatang buruan, harimau atau kijang! Dan ketika Ituchi menjadi marah dan tentu saja terhina tiba-tiba raja melepas empat panah berturut-turut, semuanya menjepret dan menyambar pemuda ini dari belakang.

Saat itu Ituchi memang sedang membalik untuk menghadapi serangan yang lain, tak tahunya raja menyerang dan Ituchi tahu bahwa panah yang dilepas raja selalu berbahaya.

Empat panah itu mendesing dan mengancam Ituchi.

Pemuda ini gugup.

Dan ketika dia membalik namun Horok melempar lasso tiba-tiba kakinya terjirat dan Ituchi terpelanting, roboh dan panglima itu cepat menariknya, tertawa bergelak.

Lasso atau jala- jala yang lain juga menyambar, jatuh di atas dirinya.

Kalau pun Ituchi dapat membebaskan diri dari lasso yang menjerat kakinya tak mungkin pemuda itu dapat melepaskan diri dari sekian banyak jala yang sudah bertaburan di atas kepalanya.

Pemuda ini bakal tertangkap dan benar-benar seperti harimau terjirat, jala atau tali-tali lasso itu akan mencekiknya kuat.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ituchi dalam bahaya! Dan ketika benar saja pemuda itu terjirat dan lasso atau jala-jala lain di atas tubuhnya menimpa kepala maka pemuda itu tertangkap dan Ituchi kaget berseru tertahan! "Ha-ha, mampus kau, bocah.

Sekarang tak dapat melepaskan diri lagi!"

Ituchi terkejut.

Dia meronta namun jala atau lasso itu bahkan semakin menjerat, Horok menariknya dan Ituchi sudah terangkat naik.

Namun ketika pemuda itu tertangkap dan terjerat seperti harimau yang meronta-ronta mendadak saja terdengar bentakan nyaring tepat di saat raja melepas tiga batang panahnya.

"Ituchi, jangan takut. Aku datang...!"

Sesosok bayangan berkelebat, cepat dan luar biasa dan tahu-tahu seorang pemuda berambut keemasan muncul.

Pemuda ini sudah bergerak bagai seekor burung garuda, begitu cepat hingga tahu-tahu semua orang terlempar.

Dan ketika jala atau lasso juga otomatis terlempar ke kiri kanan maka pemuda itu sudah menggerakkan kedua tangannya menangkis atau membetot, menyambar tubuh Ituchi sekaligus menampar runtuh tiga batang panah yang dilepas raja.

"Plak-plak-bret!"

Baju punggung Ituchi sedikit robek. Ituchi terbelalak melihat siapa yang datang, sudah dilepas dan keluar dari jala. Dan ketika pemuda itu tertegun namun tentu saja girang bukan main maka Ituchi berseru.

"Kim-kongcu..!"

Kiranya Thai Liong yang datang.

Sebagaimana diketahui, pemuda ini memang mendapat perintah ayahnya untuk membayangi Ituchi.

Putera Raja Hu itu masih diragukan sebagai pencuri Cermin Naga, Swat Lian tiba-tiba menaruh kecurigaan setelah terkena omongan Ji Pin.

Maka ketika Thai Liong menjalankan perintah ayahnya dan bersama Ji Pin membayangi pemuda itu maka kejadian di sini diketahui, tentu saja tak mau tinggal diam dan Thai Liong berkelebat, cepat menolong pemuda itu, yang tak mau membunuh suku bangsanya sendiri namun berakibat merugikan Ituchi, hal yang membuat Thai Liong kagum.

Maka begitu dia bergerak membebaskan pemuda ini dan Ituchi selamat maka Thai Liong berseru agar pemuda itu melarikan diri.

"Cepat keluar, biar kulindungi dari belakang..!"

Thai Liong menendang seorang prajurit berkuda, melihat Ituchi mulai gontai dan merampas kuda yang sudah ditinggalkan pemiliknya itu.

Prajurit itu terlempar dan terbanting dari atas kudanya, cepat dibetot dan diserahkan pada Ituchi.

Dan ketika pemuda ini bengong namun Thai Liong sudah mendorong punggungnya menyuruh naik maka Thai Liong menangkis dan memukul runtuh semua panah atau tombak yang diluncurkan padanya.

"Cepat, naiki kuda itu. Pergilah!"

Ituchi kagum.

Memang dia tak mau lebih lama lagi di situ, dia tak suka bertempur dengan suku bangsanya sendiri.

Dan ketika Thai Liong mendorong punggungnya dan sudah menangkisi semua senjata yang menyambar maka Ituchi melompat dan membedal kudanya itu, kini dilindungi dan kaget serta memaki- makilah semua orang.

Raja Cucigawa mendelik karena ikan yang sudah di depan hidung tiba- tiba kabur, lolos.

Dan ketika raja berteriak- teriak namun Thai Liong dan Ituchi sudah bergerak cepat maka dari luar muncul seorang penunggang kuda yang juga tiba-tiba melindungi Ituchi, menerjang dan menggebrak pasukan Cucigawa.

"Cepat... cepat, pangeran. Jalan sini!"

Kiranya itu adalah Ji Pin.

Laki-laki ini memang ditinggalkan di belakang oleh Thai Liong, tak diperkenankan maju.

Tapi dasar Ji Pin laki-laki bandel dan tak mau membiarkan Thai Liong bekerja sendirian maka laki-laki itupun muncul dan akhirnya membuka jalan buat Ituchi, merobohkan delapan orang dan pedang di tangannya berkelebat membacok kiri kanan.

Bantuan ini pun tak diduga raja dan semua orang terkejut.

Dan karena Thai Liong selalu mementalkan senjata mereka sementara Ji Pin mengejutkan dengan kudanya maka Ituchi akhirnya lolos dan keluar dari kepungan.

"Keparat! Kejar mereka, tangkap...!"

Namun raja berteriak sia-sia.

Ituchi telah selamat di bawah lindungan Thai Liong.

Pemuda ini adalah putera Kim-mou-eng, Pendekar Rambut Emas yang hebat.

Maka begitu lolos dan berhasil menyelamatkan Ituchi dengan mudah maka raja boleh berteriak- teriak sementara pemuda itu sendiri sudah tertawa di belakang dua temannya.

"Cepat, larikan kuda kuat-kuat, Ituchi. Jangan pandang belakang karena ini bagianku!"

"Ha-ha, benar!"

Ji Pin tertawa bergelak.

"Kim- siauwhiap akan melindungimu, pangeran. Tak usah khawatir karena kita tentu selamat!"

"Ah, terima kasih,"

Ituchi mengusap keringatnya.

"Kalian datang tepat waktunya, Kim-kongcu. Sungguh tak tahu apa jadinya kalau kalian tidak datang!"

"Sudahlah, larikan kudamu, Ituchi. Dan jangan panggil aku kongcu (tuan muda). Sebut saja namaku, Thai Liong!"

Ituchi tersenyum.

Dia kagum dan mengeprak kudanya, lari semakin kencang namun dengan mudah Thai Liong mengikuti.

Dengan ginkangnya (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa Thai Liong dapat mengikuti pemuda itu, bahkan Ji Pin disusul dan akhirnya Thai Liong berendeng dengan Ituchi, membuat pemuda itu tertawa.

Dan ketika mereka terus berlari cepat dan akhirnya tak terkejar lagi maka keluarlah mereka dari wilayah raja Cucigawa.

**SF** "Stop, kita berhenti di sini!"

Ituchi melambaikan lengan, memberi tanda dan meloncat turun.

Pemuda ini mendapat beberapa luka dan dua batang panah masih menancap di pundaknya.

Pemuda itu terhuyung dan hampir jatuh, Thai Liong menahan dan menegakkan tubuhnya.

Dan ketika Ji Pin sudah mendekat dan menghentikan kudanya maka laki-laki itupun meloncat turun.

"Pangeran, kau harus segera diobati. Lukamu perlu dibalut!"

"Benar, tapi hanya luka kecil saja, Ji Pin, tak berarti. Sudahlah, aku dapat mengurusnya dan terima kasih atas pertolongan kalian."

"Ah, kenapa begitu?"

Thai Liong mengerutkan alis.

"Kita bukan orang lain, Ituchi. Kita sahabat!"

"Benar, tapi.. ah, betapapun kau telah menyelamatkan jiwaku, Kim-kongcu. Tanpa kedatanganmu tentu aku akan tewas!"

"Hm, panggil namaku Thai Liong, Ituchi. Atau aku akan menyebutmu pangeran dan kita sama-sama canggung!"

"Maaf, eh... baiklah Thai Liong. Kau rendah hati dan sungguh menyenangkan sebagai sahabat! Baiklah, aku akan memanggil namamu dan kau menyebut namaku. Omong- omong, bagaimana kau ada di sini? Mana adikmu?"

"Adikku kembali, Ituchi. Ikut ayah dan ibu. Sedang aku, hmm... kebetulan saja di sini!"

"Tidak!"

Ji Pin tiba-tiba berseru.

"Kami berdua sengaja mengikutimu, pangeran. Dan kami akhirnya tahu semua apa yang terjadi. Ah, aku harus minta maaf, ini semua gara-gara kecurigaanku!"

Ji Pin berlutut, tiba-tiba menangis. Dan ketika Thai Liong dan Ituchi terkejut maka Ji Pin menegur agar Thai Liong tak usah bohong.

"Kongcu tak usah melindungiku. Semuanya ini aku yang bersalah. Kalau hanya karena aku kongcu lalu berbohong maka aku akan semakin menyesal mengutuk diriku!"

"Apa yang kau ucapkan ini?"

Ituchi tak mengerti.

"Kenapa minta maaf dan berlutut? Bangkitlah, aku tak mengerti, Ji Pin. Terangkan padaku apa yang kau maksud!"

"Hm!"

Thai Liong merah mukanya.

"Aku memang berbohong, Ituchi. Ji Pin hendak memaksudkan bahwa keberadaan kami di sini memang disengaja, bukan kebetulan!"

"Heh?"

"Benar..."

Tapi belum Thai Liong melanjutkan tiba-tiba Ji Pin sudah berkata.

"Pangeran, ini gara-gara mulutku. Kalau saja aku tak mencurigaimu tentu kami tak akan di sini. Maksudku, aku tetap curiga bahwa kaulah pencuri Cermin Naga!"

"Apa?"

Ituchi terkejut, mukanya tiba-tiba merah.

"Urusan itu masih akan diperpanjang lagi? Kalian tak percaya?"

"Bukan Kim-siauwhiap atau ayah ibunya yang tak percaya, pangeran, melainkan aku! Aku berkata pada mereka bahwa jangan-jangan kau hanya berpura-pura saja. Dan karena Kim- taihiap (pendekar besar Kim) maupun isterinya baru mengenalmu beberapa jenak maka kumunculkan kecurigaanku ini bahwa kau pandai menyembunyikan diri!"

"Hm,"

Ituchi marah.

"Kau terlalu, Ji Pin. Kalau tidak ada Thai Liong di sini tentu kau kuhajar!"

"Itulah, kau boleh menghukumku, pangeran. Boleh menghajar. Aku siap menerima!"

"Nanti dulu,"

Thai Liong berkata.

"Semuanya ini ada baiknya tapi ada juga buruknya, Ituchi. Memang tak dapat disangkal bahwa pertemuan kita yang singkat belum membuat pihak lain mengenal baik watak masing-masing. Ayah pribadi tetap percaya padamu, tapi ibu agak terpengaruh, lalu memerintahkan kami berdua mengikutimu. Bukan untuk maksud jelek melainkan semata melihat sepak terjangmu secara diam-diam. Dan karena kecurigaan Ji Pin ini justeru menyelamatkanmu dari serangan raja Cucigawa maka kuanggap Ji Pin akhirnya berjasa pula. Maaf kalau dia terlampar berterus terang dan blak-blakan!"

Ituchi tertegun.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Akhirnya dia mengakui juga, kemarahannya lenyap dan tiba-tiba pemuda itu menghela napas panjang.

Dan karena kecurigaan Ji Pin justeru membuat Thai Liong datang dan akhirnya menyelamatkannya dari serangan Cucigawa pemuda ini pun tersenyum pahit dan mengangguk.

"Betul juga. Sikap dan kata-katamu itu telah menyelamatkan aku, Ji Pin. Kalau Thai Liong tak datang dan aku sendiri menghadapi semuanya itu tentu aku telah pulang tinggal nama!"

"Maaf, aku juga salah, Ituchi. Aku mengikuti omongan Ji Pin dan agak curiga juga. Tapi kau sebenarnya dapat menghadapi semuanya itu, asal kau bersikap keras. Kenapa kau terlalu lunak dan mengalah pada orang-orang itu? Bukankah kau sebenarnya mampu membunuh orang-orang tak tahu diri itu?"

"Hm, aku tak sampai hati, Thai Liong. Mereka suku bangsaku sendiri. Membunuh mereka rasanya membunuh diri sendiri, aku tak dapat!"

Thai Liong mengangguk-angguk. Memang dia sudah menduga itu, Ituchi berhati lembut dan mulia, pemuda ini agak mirip dengannya, tak dapat bersikap kejam. Dan ketika pemuda itu menghela napas dan memandang Ji Pin tiba- tiba dia bertanya.

"Dan kau, kenapa menyuruh Thai Liong membantuku, Ji Pin? Bukankah kau curiga aku adalah pencuri Cermin Naga?"

"Ah, maaf, ampun, pangeran. Sekarang kecurigaan itu lenyap setelah melihat sepak terjangmu!"

"Apa saja yang kau lihat? Bukankah aku patut dicurigai lagi?? "Tidak... tidak! Aku salah, pangeran. Kau ternyata pemuda berwatak mulia dan baik. Sekarang aku yakin bahwa kau bukan pencurinya!"

"Bagaimana bisa yakin? Kebaikan apa yang telah kuperbuat?"

"Ah, sepak terjangmu selama ini, pangeran. Sikap dan perbuatanmu selama ini. Aku dan Kim-kongcu telah melihat semua yang terjadi di sana!"

"Maksudmu?? "Hm,"

Thai Liong maju bicara.

"Aku dan Ji Pin telah menyelinap di tengah suku bangsamu itu, Ituchi, dan melihat apa yang kau kerjakan ketika bertanya pada rakyatmu tentang kekejaman dan keserakahan raja. Kami kagum bahwa kau akan membela rakyatmu. Sayang, sebelum maksudmu terlaksana tiba-tiba saja timbul urusan adikmu itu di mana akhirnya kau malah memusuhi ibumu sendiri!"

"Kau tahu itu?"

"Maaf, Ituchi, aku telah mendengar semuanya. Aku prihatin. Dan aku kasihan kepada ibumu itu!"

"Apa? Kasihan?"

Ituchi tiba-tiba marah.

"Ibuku itu tak tahu malu, Thai Liong. Dia... dia wanita rendah!"

Pemuda ini tiba-tiba gemetar, gigi gemerutuk dan Thai Liong mengerutkan alis.

Sebagai orang luar dia tak berhak mencampuri urusan pribadi ini, itu urusan Ituchi dengan ibunya.

Tapi mendengar pemuda itu memaki ibunya tiba-tiba dia merasa kurang senang.

"Ituchi, maaf. Kudengar ibumu itu sudah banyak hidup menderita, tak perlu kau memakinya. Kalau kau tak senang harap simpan saja makianmu. Tak baik rasanya memaki ibu sendiri."

"Benar,"

Ji Pin menyambung bicara.

"Ibumu pahlawan wanita bangsa Han, pangeran. Kau agaknya belum tahu bahwa dia pembantu rahasia Kaisar!"

"Hm,"

Ituchi terkejut.

"Pembantu bagaimana? Apa yang kau maksud?"

Thai Liong mengedip pada Ji Pin.

"Ituchi, sebaiknya kutanya dulu bagaimana rencanamu. Ke mana kau mau pergi dan apakah dua adikmu di sana itu dibiarkan saja!"

"Aku tak punya adik!"

Ituchi ketus menjawab.

"Aku tak akan kembali ke sana, Thai Liong. Dan biar mereka mati atau apa!"

"Hm, tak bijaksana,"

Thai Liong menggeleng.

"Mereka lahir bukan atas kehendaknya, Ituchi. Kalau kau memusuhi ibumu tak seharusnya kau memusuhi mereka. Kemarahan terhadap ibumu tak boleh kau bawa-bawa pada dua gadis itu!"

Ituchi tertegun.

"Lihat,"

Thai Liong berkata lagi.

"Salini maupun Nangi tak mengharap turun ke dunia dengan kejadian seperti ini, Ituchi. Sebaiknya kau tekan kemarahanmu dan berpikirlah yang jernih!"

Pemuda itu menggeram.

"Thai Liong, sebaiknya tak usah bicara lagi tentang ini. Hatiku sakit, aku ingin melupakan itu!"

"Baik, dan ke mana kau pergi? Kau mau ke mana?"

Pemuda ini bingung.

"Aku ingin mencari pencuri itu! Aku ingin membersihkan namaku!"

Ituchi tiba-tiba mendapat jawaban, berkata mengejutkan Thai Liong dan tentu saja pemuda itu terbelalak.

Ituchi mengeraskan dagu dan rupanya mendongkol, membuat Ji Pin juga terkejut dan merah mukanya.

Laki-laki ini teringat sikapnya terhadap Ituchi, jadi menyesal dan tentu saja tak enak.

Tapi ketika dia menggigit bibir dan malu serta jengah tiba-tiba Thai Liong berkata.

"Ituchi, sebaiknya kau ikut aku saja. Kita menghadap ayah ibuku meminta nasihat!"

"Hm,"

Pemuda ini mengerutkan kening.

"Untuk apa? Aku khawatir mengganggu mereka, Thai Liong. Aku tak enak!"

"Tidak, aku mendampingimu, Ituchi. Kita ke sana dan siapa tahu ayah dapat memberi petunjuk atau nasihat untuk mencari pencuri Cermin Naga ini!"

"Baiklah,"

Muka itu tiba-tiba bersinar.

"Pencuri ini benar-benar membuat aku penasaran, Thai Liong. Kalau bukan karena pencuri ini barangkali kita tak akan bertemu. Aku setuju, boleh ikut denganmu!"

Thai Liong girang.

"Kalau begitu tunggu sebentar, Ituchi. Aku mengambil buntalanku yang kelupaan!"

Thai Liong berkelebat, lenyap dari tempat itu dan tersenyum memandang Ji Pin.

Laki-laki itu heran karena buntalan Thai Liong sebenarnya ada padanya.

Tapi ketika dia tertegun dan membelalakkan mata ternyata dari jauh tiba-tiba Thai Liong berbisik, mengerahkan ilmunya Coan-im-jip-bit, ilmu mengirim suara yang hanya akan didengar laki-laki ini saja.

"Ji Pin, temani Ituchi baik-baik. Aku hendak kembali ke sana mengambil dua gadis itu, menyembunyikan di tempat aman!"

Ji Pin berseri.

Tiba-tiba dia mengangguk dan tentu saja setuju.

Itu memang betul, Salini dan adiknya bukanlah gadis-gadis yang bersalah.

Mereka harus dilindungi dan diberi pertolongan.

Dan begitu dia mengerti dan mengangguk-angguk maka Ituchi yang heran dan mengerutkan kening bertanya.

"Kenapa kau mengangguk-angguk? Ada apa?"

"Ah, omongan Kim-kongcu memang benar, pangeran. Sebaiknya kau ke tempat Kim- taihiap untuk meminta nasihat. Siapa tahu kita semua akan memperoleh keterangan!"

"Hm!"

Ituchi tak membalas, ganti menganggukkan kepala dan sama sekali tak tahu kalau dikibuli Ji Pin.

Tentu saja Ji Pin tak akan memberitahukan apa sebabnya dia mengangguk-angguk, salah-salah Ituchi menjadi tak senang.

Dan ketika tak berapa lama kemudian Thai Liong datang maka Ji Pin berkata agar mereka secepatnya pergi pulang.

"Bagaimana?"

Bisik laki-laki ini.

"Sudah berhasil, kongcu?"

"Sudah, mereka kusembunyikan di tempat sahabatnya, Ji Pin. Sekarang kita tenang dan dapat melanjutkan perjalanan."

"Ya,"

Kini laki-laki itu berani bersuara keras.

"Kita menghadap ayahmu, kongcu. Mari dan cepat kita pergi!"

Begitulah, Ji Pin sudah mendapat tahu.

Tadi secara bisik-bisik dia bertanya tentang keselamatan dua gadis itu, dijawab sudah aman dan tentu saja laki-laki ini girang.

Dan ketika dia meloncat di atas punggung kudanya dan Thai Liong berkelebat maka Ituchi hendak mengikuti pemuda itu dengan cara berlari cepat pula.

"Tidak, kau berkuda, Ituchi. Kau masih terluka. Betapapun kecil tapi tak boleh luka itu robek. Kau naikilah kudamu, aku di sampingmu, mendampingi kalian berdua!"

Thai Liong berkata, cepat mendorong pemuda itu menaiki kudanya dan Ituchi tak dapat menolak.

Memang pundaknya masih perih, sudah dibalut dan luka akibat panahan raja Cucigawa itu cukup berbahaya, kalau tidak dirawat baik.

Maka begitu menaiki kudanya dan mengeprak bersama Ji Pin tiga orang ini segera meninggalkan tempat itu.

**SF** "Hei, kau sudah kembali, Liong-ko? Bersama Ituchi? Eh, mana Ji Pin?"

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu Soat Eng menyambut ketika kakaknya berkelebat di depan rumah.

Di belakangnya mengiring Ji Pin yang menunggang kuda, sayang laki-laki itu tertinggal karena Ituchi membalap, mengejar Thai Liong yang menambah kecepatan larinya.

Dan ketika dua orang itu tertawa-tawa dan tiba mendahului maka Ji Pin ditanya karena tak kelihatan di belakang, tak tahunya laki-laki itu pun muncul dan akhirnya mendengar pertanyaan Soat Eng.

Dan ketika Soat Eng tertegun melihat pundak Ituchi yang dibalut maka laki-laki itu berseru, di balik kepulan debu kudanya.

"Hei, aku di sini, Kim-siocia. Kalah dibalap...!"

Soat Eng menoleh.

Akhirnya dia melihat laki- laki itu, tertawa dan Ituchi sudah meloncat turun.

Pemuda ini membersihkan bajunya dan sudah menghampiri Soat Eng, memberi hormat.

Dan ketika Soat Eng tersipu dan balas mengangguk maka Ji Pin dan kakaknya sudah bertanya di mana ayah ibunya.

"Ayah sedang bersamadhi, ibu keluar."

"Hm, tak apa. kalau begitu mari masuk, Ituchi. Ayah di dalam."

"Kenapa dia? Terluka?"

"Benar, diserang raja Cucigawa, Eng-moi. Apa yang dikhawatirkan ayah akhirnya terjadi!"

"Bagaimana itu?"

"Nanti saja di dalam, kita menemui ayah dulu."

Dan Soat Eng yang sadar dan cepat menahan diri lalu mengajak tamunya ke dalam, tak tahunya Pendekar Rambut Emas tiba-tiba sudah berdiri di situ, Ji Pin sampai mengkirik karena munculnya pendekar itu seperti iblis saja.

Tak tampak gerakannya dan tahu-tahu sudah ada di situ, berdiri seperti hantu! Dan ketika Ituchi juga terkejut namun cepat memberi hormat maka pendekar ini tersenyum menyambut pemuda itu.

"Bangunlah, aku gembira melihat kedatanganmu, Ituchi. Tentu ada sesuatu yang penting hingga kau datang ke mari."

"Benar,"

Pemuda ini mengangguk.

"Thai Liong mengajakku ke mari, paman, mohon nasihat."

"Hm, dan kau terluka. Apakah diserang raja?"

"Benar, ayah,"

Thai Liong kini ikut bicara.

"Dan Ituchi hampir saja tewas!"

"Hm, masuklah. Kita duduk."

Dan Pendekar Rambut Emas yang melirik Ji Pin agar keluar sudah dimengerti laki-laki itu, keluar dan tiba- tiba berkelebat sebuah bayangan lain.

Dan ketika Ituchi memandang dan itu ternyata isteri Pendekar Rambut Emas maka pemuda ini buru-buru menjura.

"Bibi, maaf. Aku datang!"

"Ah, kau, Ituchi?"

Wanita ini terkejut.

"Kiranya kau dan Thai Liong?"

"Benar, aku, bibi. Thai Liong mengajakku ke mari."

"Dia mau mencari pencuri itu. Ituchi sekarang dimusuhi suku bangsanya sendiri!"

Thai Liong berseru, mengejutkan ibunya namun Pendekar Rambut Emas sudah batuk-batuk menyuruh mereka duduk.

Semuanya sudah ada di ruang dalam dan pendekar ini minta agar mereka tidak bicara dengan sendiri.

Dan ketika semua mengangguk dan duduk di ruangan yang besar maka Thai Liong mendahului dengan berkata bahwa Ituchi berada dalam kesulitan pribadi, masalah ibu dan suku bangsanya itu.

"Ituchi sekarang telah dimusuhi suku bangsanya. Sebaliknya dia juga memusuhi ibunya. Harap ayah memberi nasihat apa yang harus dilakukan dalam saat seperti ini!"

"Hm, apa yang terjadi? Coba kau terangkan, Liong-ji. Barangkali aku dapat menjawabnya."

Thai Liong bercerita.

Dia menceritakan permusuhan yang terjadi antara pemuda ini dengan Cucigawa, bermula dari kehendak raja yang ingin mengawini Salini dan Nangi, hal yang tak disetujui dua kakak beradik itu dengan alasan mereka masih terlalu muda, dikhawatirkan tak dapat melayani raja.

Namun ketika perkembangan menjadi besar setelah Ituchi menyebut-nyebut pula bahwa raja dan dua orang gadis itu masih ada hubungan darah maka Cucigawa membalik dengan mengatakan bahwa ibu pemuda itupun kawin dengan anak tirinya sendiri, mendiang Cimochu.

"Maaf, kau tentunya lebih tahu, ayah. Tak enak rasanya aku menceritakan bagian ini!"

"Hm,"

Pendekar Rambut Emas mengangguk- angguk, melihat muka Ituchi yang merah padam.

"Kau betul, Liong-ji. Lalu apa yang menjadikan Ituchi memusuhi ibunya?"

"Dia tak senang mendengar itu, ayah. Menganggap raja memfitnah dan akhirnya terjadi geger. Ituchi menyambar ibunya, disuruh menolak tuduhan itu. Tapi ketika bibi Cao Cun mengaku dan memang tidak salah maka Ituchi marah dan membenci ibunya!"

"Hm, wanita yang malang,"

Pendekar Rambut Emas menarik napas.

"Kau tak boleh membenci ibumu, Ituchi. Kau tak tahu betapa menderitanya ibumu itu. Kau harus minta maaf."

"Apa?"

Pemuda ini mengangkat mukanya, mata tiba-tiba bercahaya.

"Paman menyuruhku minta maaf? Padahal... padahal ibuku itu yang tak tahu malu?"

"Dengar,"

Pendekar ini tiba-tiba bersikap keren.

"Aku adalah orang yang paling tahu tentang ibumu itu, Ituchi. Masa mudanya lebih pahit daripada masa mudaku. Ibumu melakukan semuanya itu dengan terpaksa, dia adalah pembantu kaisar yang amat berjasa!"

Ituchi terbelalak.

"Kau harus berpikir lebih tenang,"

Pendekar ini melanjutkan kata-katanya.

"Barangkali kau tak tahu bahwa ibumu itu adalah mata-mata yang ditaruh kaisar di tengah-tengah suku bangsa ayahmu, Ituchi. Bahwa ibumu adalah pahlawan wanita yang menjadi korban dari strategi sebuah politik. Kau harus tahu bahwa bangsa Han sering diancam bangsa-bangsa liar yang ingin mencaplok wilayahnya!"

"Lalu?"

"Lalu ibumu dipasang. Di antara semua bangsa liar maka hanya bangsa Tar-tar dan suku bangsa ayahmu itu yang dianggap paling berbahaya oleh kaisar. Kaisar khawatir dua bangsa ini akan menyerang atau mengganggu bangsa Han. Tapi karena bangsa Tar-tar di bawah pimpinanku dan aku juga tak suka perang maka bangsa ini dapat kukendalikan tapi bangsa ayahmu tidak!"

Ituchi menggigil.

"Paman, aku tidak mengerti apa hubungannya ini dengan ibuku."

"Banyak hubungannya,"

Pendekar itu meneruskan.

"Karena bangsa ayahmu adalah orang yang suka berperang dan rata-rata bertemperamen tinggi maka kaisar dan para penasihatnya mulai mengatur siasat. Mereka menjalin hubungan baik dengan suku bangsa ayahmu itu, begitu juga dengan bangsaku. Dan karena hubungan baik itu harus selalu dijaga dan diawasi maka ibumu itulah yang akhirnya menjadi pengawas yang ditunjuk!"

"Aku belum mengerti,"

Pemuda ini masih tak puas.

"Aku ingin tahu apa hubungannya itu dengan semuanya ini, paman. Perkawinan ibuku itu dengan Cimochu!"

"Dengar dulu, jangan tergesa-gesa,"

Pendekar Rambut Emas mengangkat lengannya.

"Cerita ini panjang, Ituchi. Jangan dipotong kalau kau ingin mengerti!"

Pendekar itu lalu menjelaskan, menerangkan dengan panjang lebar apa yang sesungguhnya dialami Cao Cun itu.

Bahwa wanita itu menjadi korban dari strategi politik dan ketamakan, mula-mula berasal dari ketamakan Mao-taijin yang tak kenal puas akan harta, memasukkan wanita itu ke tempat pengasingan dan Cao Cun tak jadi menjadi selir kaisar, yakni mendiang kaisar lama di mana akhirnya wanita itu ditemukan Raja Hu, ayah dari pemuda ini.

Dan karena Raja Hu tergila-gila pada Cao Cun dan minta agar wanita itu diserahkan padanya maka kaisar lama, ayah dari kaisar sekarang menuruti permintaan itu, dengan berat hati dan kecewa karena tiba-tiba dia merasa jatuh cinta kepada puteri bupati Wang ini.

Cinta yang terlambat! Dan ketika kaisar menyerahkan wanita itu kepada Raja Hu dan meminta agar Cao Cun "mengendalikan"

Suku bangsa liar itu lewat suaminya maka Ituchi tertegun ketika Pendekar Rambut Emas menutup.

"Ibumu diminta agar mengendalikan dan mengawasi gerak-gerik suku bangsa ayahmu, agar tidak menyerang dan selalu menjalin hubungan baik dengan bangsa Han. Dan karena ayahmu tergila-gila dan amat mencintai ibumu maka selama itu pekerjaan ibumu berhasil. Sebenarnya ibumu menderita, mula-mula tak menyukai ayahmu karena ayahmu termasuk laki-laki dari bangsa liar. Tapi karena tugas telah diterima dan ternyata ayahmu juga baik kepada ibumu maka ibumu mencintai ayahmu pula namun sayang tak lama, karena hanya beberapa tahun saja lalu ayahmu keburu meninggal."

"Dan tahukah kau kenapa ibumu mula-mula tak suka kepada ayahmu? Apakah semata karena ayahmu termasuk bangsa liar? Tidak, kuberi tahu padamu, Ituchi. Ibumu tak suka karena waktu itu ibumu mencinta pamanmu ini. Dulu mereka berdua demikian akrab hingga ibumu menutup pintu hatinya terhadap orang lain, kaisar sekalipun!"

Swat Lian, nyonya cantik itu tiba-tiba bicara menyambung, mengejutkan Ituchi dan Pendekar Rambut Emas sendiri tersenyum kecut.

Pendekar ini mengangguk tak malu dan mengakui itu, tak ada cemburu di hati isterinya karena peristiwa itu adalah kisah di masa lalu, mereka sekarang sudah merupakan orang-orang setengah tua yang sudah cukup umur, Soat Eng jengah namun sang ibu bicara blak-blakan.

Dan ketika Ituchi tertegun dan terkejut memandang nyonya cantik itu maka Swat Lian bicara lagi, bersinar-sinar memandangnya.

"Lihat, betapa besar penderitaan ibumu, Ituchi, tapi betapa agung dan mulia wataknya. Demi negara dia mau mengabdi dan rela menerima hinaan, termasuk darimu, anak sulungnya!"

Ituchi terkejut. Tiba-tiba matanya berkaca- kaca, tak lama kemudian Ituchi mengeluh dan menangis. Dan ketika Swat Lian bicara lagi bahwa dosa baginya memusuhi ibu sendiri maka pemuda itu mengguguk dan menutupi mukanya.

"Maaf, aku... aku tak tahu, bibi. Aku tak mendengar riwayatnya. Kalau begitu aku salah, juga terhadap dua adikku Salini dan Nangi itu. Ah, aku harus menyelamatkan mereka, aku harus mengambil adikku!"

Ituchi tiba-tiba melompat bangun, teringat adiknya dan pemuda ini pucat membayangkan dua adiknya itu.

Salini Nangi akan dipaksa raja, tak ada lagi yang melindungi mereka itu.

Tapi ketika dia ditepuk dan Thai Liong bangkit menegurnya maka pemuda ini bertanya.

"Kau mau ke mana?"

"Menemui adikku, mengambil mereka!"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Terlambat, kau tadinya tak mau, Ituchi. Kalau saja aku tak bergerak cepat dan membawa adikmu itu tentu mereka sudah di bawah kekuasaan Cucigawa!"

"Apa? Maksudmu..."

"Benar, aku telah menyelamatkan adikmu itu, Ituchi, ketika aku berkata mengambil buntalan!"

"Ooh...!"

Dan Ituchi yang terkejut tapi girang mendengar ini tiba-tiba menubruk dan memeluk Thai Liong, meremas dan mencengkeramnya dan pemuda ini menahan sedu-sedan.

Hampir Ituchi terpekik girang mendengar itu, kegembiraannya demikian besar dan meluap.

Dan ketika pemuda itu menyatakan terima kasihnya namun Thai Liong mendorong dan tersenyum memandangnya pemuda ini berkata.

"Tak usah berterima kasih. Kita adalah sahabat, Ituchi. Dan sekarang dengarkan kata- kataku supaya kau tidak ceroboh lagi. Ayah benar, kau harus berpikiran lebih jernih agar tidak terhanyut dalam emosi."

Ituchi terharu.

Sekarang dia mendapat kenyataan bahwa keluarga Kim-mou-eng ini adalah keluarga baik-baik.

Pendekar Rambut Emas dan anak isterinya benar-benar orang- orang gagah.

Dan ketika dia terharu dan mengangguk menarik napas berat pemuda ini berkata.

"Kau benar. Aku hampir salah dua kali dengan membiarkan dua adik perempuanku di sana, Thai Liong. Ah, syukurlah kalau kau telah menyelamatkan mereka. Di mana mereka kau sembunyikan? Dan bagaimana dengan ibuku pula?"

"Mereka kubawa di tempat yang aman, Ituchi. Di tempat orang-orang yang tidak menyukai Cucigawa. Sedang ibumu sendiri, hmm... dia selamat, tak apa-apa. Kecuali terpukul dan agaknya jatuh sakit!"

"Kalau begitu aku harus ke sana, raja Cucigawa mungkin akan mencelakakan ibu!"

"Tak mungkin,"

Pendekar Rambut Emas tiba- tiba berkata.

"Ibumu masih di bawah lindungan kaisar, Ituchi. Tak ada siapapun yang berani mengganggu ibumu!"

Ituchi tertegun.

"Kau sangsi, bukan? Nah, boleh kau ke sana lagi, Ituchi. Tapi biar bersama Thai Liong dan jangan membuat keributan. Thai Liong rupanya mau pergi dan memang hendak kutugaskan untuk mencari pemuda pencuri itu!"

Ituchi girang.

"Begitukah? Baik, kalau begitu aku senang sekali, paman. Dan aku juga akan mencari maling hina itu!"

"Aku tak boleh ikut?"

Soat Eng tiba-tiba bertanya, berdebar memandang sang ayah. Namun ketika sang ayah menoleh pada sang ibu dan Swat Lian menggeleng ternyata nyonya ini mempertahankan puterinya.

"Tidak. Sudah kubilang sementara ini kau menemani aku, Eng-ji. Setidak-tidaknya sampai adikmu lahir. Kau tahu betapa repotnya kami!"

"Baiklah,"

Soat Eng menahan kekecewaan.

"Kau hati-hatilah, Liong-ko. Dan juga Ituchi."

"Ah, terima kasih,"

Ituchi menganggukkan kepala, bersinar-sinar.

"Aku tentu berhati-hati, Soat Eng. Dan bersama kakakmu tentu aku lebih aman!"

"Baiklah, kalau begitu apakah kami berdua boleh pergi sekarang?"

Thai Liong tersenyum, sedikit kasihan memandang adiknya.

"Kalau boleh kami ingin cepat berangkat, ayah. Dan kami tentu akan berhati-hati di jalan."

"Berangkatlah,"

Sang ayah mengangguk.

"Dan lindungi Ituchi, Liong-ji. Betapapun dia masih terluka tapi tak mungkin kami menahannya lebih lama di sini. Kalian berdua hati-hatilah, waspada di jalan."

Dua orang itu mengangguk.

Ituchi sudah mengucap terima kasih dan memberi hormat, dia memandang penuh keharuan kepada Pendekar Rambut Emas.

Ternyata pendekar ini bekas orang yang amat dicinta ibunya.

Tak aneh, Kim-mou-eng memang hebat dan gagah perkasa.

Dan ketika Ituchi berpamit pula pada Soat Eng maka dua orang pemuda itu berkelebat dan Soat Eng mengangguk, kembali menahan kekecewaan namun dia tahu keinginan ibunya.

Ibunya perlu teman dan biarlah kalau adiknya sudah lahir dia akan pergi.

Maka begitu kakaknya pergi dan Ituchi juga lenyap maka Soat Eng dipeluk ibunya dan ditepuk-tepuk halus.

"Kau tak akan meninggalkan ibumu, bukan?"

"Tidak,"

Gadis ini terisak.

"Tapi beri kebebasan lain kali kepadaku, ibu. Kalau kau sudah melahirkan!"

"Tentu, dan sekarang bantu ibumu di dapur, Eng-ji. Ibumu tadi mendapat seekor kijang!"

Pendekar Rambut Emas tersenyum.

Untuk kedua kali dia melihat isterinya mencegah Soat Eng, diam-diam melihat sinar aneh pada pandang mata puterinya itu.

Tapi ketika keduanya masuk ke dalam dan dua pemuda itu juga sudah lenyap dari ruangan itu maka pendekar ini pun menarik napas panjang dan meneruskan samadhinya.

**SF** "Hei, apa yang kau bawa itu, Togur? Kau main- main apa?"

Siauw-jin, si iblis cebol tiba-tiba terkejut ketika suatu hari diam endapatkan muridnya, Togura, asyik dengan sebuah benda yang bercahaya di tepi laut.

Kakek ini berkelebat dan tahu-tahu sudah mendekati muridnya itu.

Dan ketika Togur, pemuda tinggi besar ini terkejut tapi tertawa tiba-tiba dia bangkit berdiri menyimpan benda itu, yang cepat diketahui sebagai sebuah cermin oleh gurunya.

"Suhu, kau tak usah berteriak-teriak. Aku tak ingin diganggu. Kau pergilah, aku tak mempunyai apa-apa."

"Bohong! Itu tadi, ah.. bukan Cermin Naga yang kau bawa, anak siluman? Bagaimana kau mendapatkannya? Dari mana?"

"Hm,"

Togura, pemuda yang terkejut ini mengerutkan kening, mata bersinar-sinar.

"Kau bicara tak keruan, suhu. Kau gila! Siapa membawa Cermin Naga dan bagaimana aku mendapatkannya? Tidak, aku membawa cermin biasa, suhu. Cermin untuk mengaca diriku!"

"Bohong! Coba kulihat, Togur. Serahkan pada gurumu dan jangan membantah!"

Pemuda ini menyeringai.

Dengan tenang ia mengangguk dan mengambil cermin itu, yang diminta gurunya.

Tapi ketika sebuah tonjolan tampak di saku yang lain dan mata awas Hek- bong Siauw-jin tak dapat ditipu tiba-tiba iblis cebol ini membentak dan sudah menyerang muridnya.

"Bukan ini... itu!"

Si kakek iblis menyambar, maksudnya mau memaksa muridnya bersikap baik-baik dan menyerahkan benda itu. Tapi ketika Togura melejit dan tahu-tahu hilang maka kakek ini terkejut dan memekik.

"Hei, jangan main-main, Togur. Serahkan benda itu dan biar kulihat!"

Kakek ini membalik, melihat muridnya sudah ada di sebelah kanan dan tentu saja dia kembali menubruk.

Tapi ketika lagi-lagi muridnya menghilang dan cepat melebihi siluman saja tahu-tahu muridnya itu sudah berada di belakang maka kakek ini menjerit dan berkelebatan, kian lama kian cepat namun tetap saja muridnya itu tak mampu ditangkap.

Togura, memiliki gerak yang lebih cepat dari dirinya, padahal pemuda itu adalah muridnya.

Dan ketika dia memaki-maki dan mulai melancarkan pukulan atau tamparan maka Togura tertawa dan kini menampakkan diri, menyambut pukulan gurunya itu.

"Dess!"

Si kakek pendek mencelat.

Siauw-jin berjungkir balik enam kali sebelum mendarat dengan muka pucat.

Kakek itu berseru tertahan namun menyerang lagi, semakin marah.

Namun ketika dia menambah tenaganya dan mencelat terbanting maka kakek ini mengeluh berseru pucat, mengenal itu.

Pendekar Naga Putih 79 Tongkat Delapan Pendekar Rajawali Sakti 7 Pertarungan

Cari Blog Ini