Ceritasilat Novel Online

Maha Iblis Dari Timur 1

Raja Gendeng 2 Maha Iblis Dari Timur Bagian 1

Raja Gendeng Maha Iblis Dari Timur **** Karya Rahmat Affandi Sang Maha Sakti Raja Gendeng dalam episode 2 Maha Iblis Dari Timur ***** TIM

Kolektor E-Book

Buku Koleksi . Denny Fauzi Maulana (

https.//free.facebook.com/denny.f.maulana) Scan,Edit Teks dan Pdf . Saiful Bahri Situbondo (

http.//ceritasilat-novel.blogspot.com) Dipersembahkan Team

Kolektor E-Book

(

https.//www.facebook.com/groups/Kolektorebook) *******

Hari ketiga belas Satu hari menjelang datangnya bulan purnama.

Wilayah pulau Pulau Es yang terletak di ujung paling timur laut selatan dilanda topan hebat.

Pohon-pohon besar bertumbangan, semak belukar dan bangunan kokoh hancur porakporanda.

Tak seorang pun penduduk penghuni pulau yang berani beranjak dari tempat persembunyiannya.

Sudah sepekan topan mengamuk tak tentu sebab.

Sejauh itu belum terlihat tanda-tanda topan bakal mereda.

Sementara di tengah badai topan terus berkecamuk.

Di satu tempat di sebuah pemakaman tua.

Seolah tidak menghiraukan murka alam dan dinginnya udara.

Seorang nenek tua berpakaian kelabu berambut panjang awut-awutan yang juga kelabu terus saja melakukan penggalian pada salah satu kubur yang berada di depannya.

Tanpa menghiraukan gemuruh angin yang membuat tengkuk berdiri.

Sesekali dari mulut si nenek yang keriput dan bergerigi hitam itu terlontar makian.

Duk! Duk! Suara lempengan batu pipih yang berfungsi sebagai pengganti pacul timbul tenggelam ditelan suara gemuruh angin.

Si nenek kemudian mulai menghitung.

Dan saat menghitung yang disebutnya selalu bilangan ganjil.

"Tiga-lima tujuh. Hidup... hidup yang celaka.Hidup yang sia-sia, hidup bergelimang kemaksiatan.Hidup berpesta pora dengan dosa! Aneh edan.mengapa manusia masih bisa tertawa?"

Teriak si nenek. Pacul batu pipih terus diayunkan meng- hantam tanah makam yang keras. Keringat meleleh bercucuran sampai akhirnya untuk kesekian kali ia kembali membuka mulut mengumbar ucapan.

"Aku ingin bertanya pada penghuni kubur benarkah neraka itu ada? Betulkah neraka itu menakutkan? Kalau benar, mengapa banyak sekali manusia berlomba-lomba menumpuk dosa. Seumur hidup aku menggali ribuan makam. Seribu pertanyaan kulontarkan pada penghuninya. Tapi mereka diam membisu tak mau menjawab segala tanyaku?"

Si nenek katubkan bibirnya, namun tangannya yang kurus kering hanya tinggal kulit pembalut tulang terus saja sibuk mengayunkan pacul batu pipih berwana hitam itu.

Sampai kemudian terdengar suara benda keras terbentur paculnya.

Crok! Benturan keras menghentikan gerakan si nenek.

Orang tua ini menyeringai.

Kilat menyambar menerangi seantero penjuru makam.

Si nenek dongakkan kepala ke langit.

Rambut kelabu yang awut-awutan menutupi wajah disibakkan.

Astaga! Sosok wajah yang terlindung rambut ini ternyata merupakan seraut wajah angker mengerikan untuk dipandang.

Wajah itu dihiasi lubang menganga dalam disana-sini.

Pada setiap lubang yang terdapat diwajah bersembulan belatung seukuran batang lidi berwarna putih kehitaman.

Belatung-belatung menggeliat dari setiap luka membusuk yang tak pernah sembuh.

Selain pemandangan menjijikkan ini, si nenek juga tak mempunyai hidung.

Hidung si nenek sumplung dan hanya merupakan sebuah rongga besar yang menampakkan lidahnya.

Yang lebih mengerikan lagi sepasang mata nenek ini hanya merupakan dua buah rongga besar menganga dalam dan tampak menghitam.

Dengan keadaan pisik yang seperti itu rasanya ia tidak layak disebut manusia.

si nenek rasanya lebih pantas disebut momok mengerikan yang baru saja bangkit dari liang kubur.

"Ada kilat menyambar. Penggalianku baru sampai pada makam ketujuh. Mudah-mudahan ini pertanda yang baik."

Kata si nenek.

"Penggalianku ternyata telah mencapai dasar makam. Mudahan- mudahan penghuninya bisa kutanya."

Setelah menghela nafas dalam dan menghembuskannya melalui rongga hidungnya yang sumplung.

Perempuan angker yang dikenal dengan julukan Momok Laknat Bukit Sumplung ini segera mendekam di dalam makam yang mempunyai kedalaman hanya sebatas dada itu.

Mula-mula si nenek mengeruk sisa-sisa tanah yang menimbun sebagian tubuh penghuni makam.

Aneh walau mata si nenek hanya berupa dua buah rongga hitam mengerikan.

Orang tua ini bersikap seolah melihat.

Terbukti ia dapat memastikan dimana kepala dan yang mana bagian kaki dari kubur yang telah digalinya.

Malah yang menakjubkan si nenek dapat membuang tanah ke bagian permukaan kubur yang kosong.

Setelah selesai mengeruk tanah yang menimbuni penghuni kubur.

Sang Momok Laknat ini segera mengumpulkan tulang belulang yang tergolek membujur di dasar liang lahat.

Tulang belulang selanjutnya dipindahkan ke atas selembar kulit lunak usang yang selalu dia bawa kemanapun Momok Laknat pergi.

Kraup! Sekali rengkuh semua belulang di dalam liang lahat telah berpindah ke atas lembaran kulit menebar bau busuk menyengat.

Lembaran kulit berisi tumpukan tulang dibuntalnya.

Momok Laknat bangkit.

Cangkul batu hitam disampirkan ke bahu kiri.

Setelah itu ia menghentakkan kakinya.

Sekali sentak sosoknya melesat keluar dari dalam liang lahat yang kosong.

Hanya dalam waktu sekedipan mata saja Momok Laknat telah berada di luar makam.

Angin masih menderu.

Kilat menyambar disertai gelegar petir.

Momok Laknat berjingkrak kaget.

Ia menoleh, matanya yang bolong besar menatap sekelilingnya.

Tiba-tiba dia menggumam.

"Hmm, suasana di pemakaman ini rasanya semakin tidak tenang. Para penghuni makam mulai gelisah. Mungkin mereka tak senang aku membongkar tempat tinggal temannya.Lebih baik aku cari tempat yang aman. Di tempat itu nantinya aku bisa bertanya pada penghuni kubur yang baru kubongkar ini,"

Pikir Momok Laknat.

Si nenek kemudian hentakkan kedua kaki secara bersamaan.

Tak ubahnya seperti bola karet yang dihempaskan ke tanah, tubuh Momok Laknat melambung dan melayang menjauh meninggalkan pemakaman tua.

Setelah melayang-layang diketinggian tak ubahnya seperti helai daun yang dihembuskan angin.

Momok Laknat pun sampai di depan sebuah bangunan putih diselimuti es yang keseluruhannya terbuat dari jalinan tulang belulang Dalam terpaan angin yang menggila.

Bangunan pondok putih bergoyang keras mengeluarkan suara berderak-derak.

Tapi bangunan dari jalinan tulang ikan paus itu sangat kokoh.

Bertahun- tahun musim datang berganti sehebat apapun topan datang menyerang namun tak mampu menghancurkan pondok tulang yang sederhana ini.

Momok Laknat perhatikan pondok bututnya sekilas sambil menyeringai lebar.

Dia lalu melangkah memasuki pondok.

Sesampainya di dalam pintu pondok ditutupnya rapat.

Sebuah pelita dinyalakan.

Suasana pondok yang gelap kini berubah menjadi terang.

Ketika cahaya pelita menerangi seluruh bagian dalam pondok.

Dalam ruangan terlihat sebuah pemandangan yang tidak lumrah.

Di sana sini terutama di empat sudut ruangan tergeletak sedikitnya tiga tengkorak manusia.

Tengkorak kepala yang seharusnya berwarna putih oleh si nenek diberi semacam pewarna merah darah.

Di sudut kiri ruangan diatas balai tempat tidur si nenek tersusun rapi puluhan tengkorak lain berwarna hitam.

Puluhan tengkorak yang tersusun rapi diatas balai kayu itu menggantikan kasur.

Selain itu diatas langit-langit pondok bergelantungan beberapa potongan kepala dalam keadaan setengah utuh namun diawetkan.

Potongan kepala yang terdiri dari laki-laki dan perempuan berambut panjang, lidah terjulur dengan bola mata membeliak keluar.

Agaknya Momok Laknat ini adalah manusia yang mempunyai kelainan jivwa.

Manusia normal mustahil berani tinggal disebuah tempat yang didalamnya dipenuhi tengkorak dan potongan kepala manusia.

Momok Laknat tertawa mengekeh.

Sambil tertawa dia meletakkan buntalan kulit yang berisikan belulang dan tengkorak yang baru saja diambilnya dari makam itu.

Tanpa menunggu Momok Laknat segera jatuhkan diri duduk menjelepok di lantai ruangan yang dingin.

Satu demi satu tulang belulang dibersihkannya.
Raja Gendeng 2 Maha Iblis Dari Timur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah semua belulang hingga ruas jari dibersihkan.

Momok Laknat meraih tengkorak kepala yang terbalut lumpur dan tanah.

Saat membersihkan semua belulang tidak sedikitpun wajah si nenek yang hitam pucat membersitkan perasaan ngeri.

Malah dengan tenang dan suara sengau Momok Laknat berujar.

"Seribu kubur telah kubongkar. Seribu kepala sudah kutanya. Dan kau...Kau adalah penghuni makam yang keseribu tujuh."

"Aku inginkan sebuah jawaban. Harap kau mau mengatakan padaku apakah surga dan neraka itu memang ada? Aku tahu kau cuma Mahluk hidup yang telah menjadi rongsokan tak berguna. Namun aku yakin rohmu, arwahmu, sukmamu atau apapun namanya tidak ikut mati. Arwahmu mendengar. Dan kuharap arwahmu berkenan datang untuk memberi jawaban yang aku butuhkan!"

Sepasang mata Momok Laknat yang bolong hanya berupa rongga memperhatikan tengkorak kepala yang telah bersih dan tergeletak ditelapak tangan kirinya.

Si nenek kemudian meletakkan tengkorak kepala itu diatas sebuah pendupaan menyala yang tergeletak di sampingnya.

Kini dia memutar tubuh hingga posisinya menghadap ke depan pendupaan yang terbuat dari potongan sebelah bawah tengkorak berwarna hijau.

Sambil duduk bersila, Momok Laknat letakkan dua tangan di atas lutut.

Rambut kelabu panjang awut-awutan disibakkan.

Dalam terangnya cahaya pelita terlihatlah wajahnya yang mengerikan seperti setan.

"Wahai jagad... wahai penguasa langit. Aku mohon pada penguasa jiwa-jiwa yang tak pernah mati. Sudi kiranya memberikan petunjuk berupa penjelasan nyata pada tua bangka ini. Harap dan pintaku tidak banyak setelah sekian lama aku hidup dalam penderitaan panjang yang tak mengenal kata habis."

"Segala jawaban yang kuterima baik berupa keburukan maupun kebaikan bakal menjadi hidupku kelak. Melalui raga yang telah berkalang tanah ini aku mohon diberi petunjuk. Aku sudah tidak sabar menunggu karena segala kesabaranku telah punah ditelan amarah..."

Kata Momok Laknat dengan suara menggerung dan nafas tersengal.

Bara menyala di dalam rongga tempurung kepala manusia tiba-tiba mengepulkan asal tebal.

Kepulan asap membubung memenuhi penjuru ruangan hingga menembus atap pondok yang terbuat dari jalinan tulang ikan paus.

Diluar pondok asap terus bergulung-gulung membubung ke langit.

Gulungan asap yang menebar bau setanggi akhirnya lenyap ditelan kegelapan langit kelam.

Tidak selang beberapa lama setelah kepulan asap pendupaan memenuhi seluruh sudut penjuru ruangan.

Di langit dalam kegelapan buta tiba-tiba terlihat kilatan cahaya menyambar.

Kilatan cahaya berwarna putih terang menukik tajam, melesat dengan kecepatan luar biasa menuju kearah pondok tulang yang dihuni si nenek.

Wuus! Wuus! Kilatan cahaya menembus atap pondok kemudian menyambar tengkorak kepala yang tergolek diatas pendupaan.

Walau mata tak dapat melihat, namun Monmok Laknat sadar apa yang sedang terjadi.

Momok Laknat terkejut.

Wajah yang hitam pucat tambah menghitam.

Dari hidung yang hanya berupa sebuah rongga menganga mengerikan terdengar suara hembusan nafas lega.

Si nenek yang sudah dapat menenangkan diri dengan cepat bungkukkan badan sekaligus anggukkan kepala tiga kali.

"Selamat datang! Selamat datang! Terima kasihku tak terhingga karena dewa yang agung telah berkenan memenuhi permintaan saya."

Kata Momok Laknat sambil tegakkan kepala kembali.

Tidak ada jawaban.

Diluar pondok tulang suara deru amukan topan mendadak terhenti.

Sementara dalam ruangan pondok keadaan terasa hening mencekam.

Sejauh itu dengan matanya yang bolong Momok Laknat terus memperhatikan semua perkembangan yang terjadi.

Di depannya tengkorak yang tergolek di atas pendupaan tampak mengalami guncangan hebat.

Guncangan itu disertai munculnya asap tebal menebar bau busuk bangkai.

Momok Laknat diam-diam terkejut.

Bau tebaran asap yang tercium olehnya jelas sangat berbeda dari yang sudah-sudah.

"Pertanda apakah ini? Apakah mungkin doaku tak pernah sampai ke tujuan? Para dewa tak berkenan menjawab permintaanku karena pikiran dan hatiku selalu disesaki hawa amarah dan kebencian?"

Membatin Momok Laknat dalam hati.

Baru saja Momok Laknat bicara sendiri tiba- tiba saja tengkorak yang tergeletak di atas pendupaan mengeluarkan suara desis.

Bagian mulut yang tinggal berupa tulang bergerak-gerak hendak bicara.

Namun tak ada suara yang keluar.

Si nenek menunggu, mulut yang hitam keriput berkemak-kemik.

Tapi sesuatu yang ia harapkan kemudian ternyata datangnya bukan dari langit atau kepekatan malam yang dingin, sebaliknya justru malah datang dari lantai tanah di bawah pendupaan.

Diawali dengan satu getaran keras yang disusul dengan guncangan hebat.

Dari dalam lantai pondok tepat dimana pendupaan tergeletak mendadak muncul kepulan asap kelabu.

Asap bergulung-gulung mengelilingi pendupaan lalu membubung ke atas disertai tebaran aroma busuk dan harum semerbak yang datang silih berganti.

Baik pendupaan yang terbuat dari tempurung tengkorak maupun tengkorak kepala yang tergeletak di atas pendupaan raib ditelan kepulan asap kelabu yang muncul dari balik lantai pondok tulang.

Dengan sepasang matanya yang bolong besar si nenek terus memperhatikan.

Jantung Momok Laknat berdetak keras, hati gelisah.

Tapi dia terus menunggu segala sesuatu yang terjadi dengan sikap waspada.

Penantian Momok Laknat tak berlangsung lama.

Di luar sunyi demikian mencekam.

Sesekali terdengar suara lolongan anjing dikejauhan.

Di dalam pondok tulang tiba-tiba angin menderu.

Asap yang muncul dari lantai meliuk-liuk.

Didahului suara raungan keras asap kelabu yang memenuhi seluruh penjuru ruangan mengeluarkan letupan tiga kali berturut-turut.

Momok Laknat terkesiap, tubuhnya tergetar akibat guncangan.

Namun dia tidak beringsut dari tempat duduknya.

Sementara itu suara letupan yang muncul dari balik asap kelabu ternyata memijarkan cahaya putih bening.

Cahaya bening lalu membentuk sosok tubuh.

Walau ujud sosok itu hanya samar adanya tapi segala sesuatunya semakin nyata.

Tangan, kepala badan dan kaki terlihat jelas.

Bersamaan dengan itu kejadian yang sangat luar biasa kemudian segera berlangsung.

Mula-mula tengkorak kepala diatas pendupaan melayang dan menyatu dengan bagian kepala sosok bening itu.

Selain kepala tulang belulang lain yang teronggok di atas hamparan kulit disamping Momok Laknat satu demi satu melayang membentuk susunan kesatuan kerangka tubuh yang utuh.

Si nenek berdecak kagum.

Tapi sebuah proses belum sepenuhnya terjadi.

Tulang belulang yang bergabung dengan bayangan putih bening tiba-tiba melakukan gerakan memutar.

Weer! Angin kembali menderu.

Susunan tulang belulang yang membentuk kesatuan tubuh mengeluarkan suara berkerotakan.

Tapi seiring dengan berputarnya rangkaian belulang yang menyatu dengan bayang-bayang tubuh itu.

Suara benturan antar tulang berangsur lenyap.

Tidak hanya itu, sosok yang cuma bayangan bening ternyata juga ikut raib menyatu dengan kerangka tubuh yang bersusun secara rapi.

Tapi sosok yang terbentuk dari bayangan dan tulang belulang itu ternyata masih belum sempurna.

Ia tidak memiliki kulit pembungkus daging.

Demikian juga dengan bagian kepala.

Kepala-kepala itu botak plontos tanpa kulit, berwarna kemerahan terbalut otot dan susunan pembuluh darah yang menyembul diantara kumpulan-kumpulan daging berwarna darah.

Dari keseluruhan penampilan, sosok berujud manusia tanpa kulit ini tak ubahnya seperti seonggok membentuk sebuah kesatuan tubuh berkelamin wanita.

Makluk Laknat agaknya menyadari semua perkembangan yang terjadi atas diri tulang belulang yang dibawanya dari kubur.

Dan dia dongakkan kepala saat mendengar suara dengus nafas datang dari arah depan.

"Apa yang terjadi? Mengapa pondokku sekarang menebar bau amis menyengat?"

Kata si nenek.

Dengan mengandalkan ilmu kesaktian serta ketajaman mata batin, Momok Laknat in? mencoba melihat keadaan yang berlangsung disekelilingnya.

Si orang tua melengak kaget saat mengetahui sosok mahluk aneh berujud manusia dengan sekujur tubuh terbuka tak terlindung kulit dan pakaian sama sekali.

"Siapa kau?!"

Hardik si nenek sambil menyembunyikan rasa kagetnya. Merasa ditegur orang manusia tak sempurna berkelamin wanita yang sekujur tubuhnya memerah seperti daging berjingkrak kaget dan buru- buru lindungi aurat sebelah atas dan bawah.

"Aih. Siapa yang bertanya? Mengapa membentak? Jadi kaget aku. Hik hik hik! Aku malu."

"Keparat sialan? Mengapa hidupku selalu dirundung kemalangan? kk... kau.... Ternyata kau mahluk betina seperti diriku juga? Mengapa tubuhmu tak sempurna? Tubuhmu hanya terdiri dari daging pembungkus tulang. Kau tidak mempunyai kulit hingga rupamu jadi tidak sempurna?"
Raja Gendeng 2 Maha Iblis Dari Timur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Geram si nenek yang tak pernah mengerti bagaimana manusia dengan tubuh tak sempurna dapat hidup.

"Hik hik hik. Aku ini bukan pelarian dari rumah jagal. Tak ada yang menguliti tubuhku. Tapi aku harus rela dapat hidup kembali meski tanpa kulit yang membungkus tubuhku."

Sahut sosok perempuan bertubuh aneh.

Perlahan sepasang matanya yang hanya dua bola mata besar yang menempel di dalam rongganya menatap ke arah si nenek.

Begitu mengetahui perempuan renta yang duduk di depannya tak memiliki hidung juga tak mempunyai mata.

Perempuan tanpa kulit ini terbelalak.

"Astaga! Melihat keadaan tubuhku yang tidak lengkap aku merasa sedih dan malu. Tapi... mahluk seperti apakah dirimu ini? Wajahmu hitam pucat angker mengerikan. Kau tak mempunyai hidung, matamu hanya berupa dua rongga besar menyeramkan. Membuatku takut dan merasa malu!"

Sekonyong-konyong wanita itu mendekap matanya yang gindal gandil seperti mau tanggal. Sementara itu tangan satunya silih berganti dipergunakan untuk menutupi dada dan bagian bawah perutnya yang berupa gundukan daging berwarna merah segar.

"Kurang ajar. Aku minta kau menjawab pertanyaanku. Lekas katakan siapa dirimu? Mengapa kau muncul dihadapanku?"

Hardik Momok Laknat hilang kesabarannya. Bukannya menjawab. Setelah jauhkan tangan dari mata dan pergunakan tangan itu untuk melindungi aurat di sebelah atas. Si perempuan tanpa kulit tiba-tiba membuka mulut.

"Para dewa. Kau hadirkan aku kedunia ini untuk kedua kalinya, tanpa kulit dan tanpa pakaian membuat aku menjadi malu besar. Aku minta kau lengkapi kekuranganku ini. Setidaknya kau beri aku pakaian yang pantas! Blar aku tidak malu luar dalam. Hik."

Wut! Wut! Baru saja wanita itu selesai berucap.

Di langit- langit ruangan muncul cahaya putih benderang.

Dari balik cahaya terjulur sepotong tangan yang besarnya hampir sama dengan batang kepala.

Walau cuma sepotong tangan saja yang menjulur dari balik cahaya, namun ukurannya yang besar membuat Momok Laknat melengak kaget.

"Tangan mahluk apakah itu?"

Batinnya dalam hati.

Dengan mata batin dia terus memperhatikan.

Dari tangan raksasa yang terbuka melayang beberapa pakaian bergerak cepat membungkus tubuh telanjang tak sempurna sosok perempuan aneh di depannya.

Si wanita memperhatikan diri sendiri.

Matanya berkedap-kedip menunjukkan rasa senang.

"Amboi pakaian ini berwarna merah, ukuran- nya sangat pas dan serasi dengan warna pakaian dagingku. Para dewa terima kasih dewa telah berkenan mengabulkan permintaanku."

Setelah berkata demikian dan puas memperhatikan diri sendiri.

Wanita berkepala plontos kemerahan ini palingkan kepala menatap ke arah Momok Laknat.

Merasa diperhatikan Momok Laknat yang sejak tadi memendam kekesalan di hati dengan berang membentaknya.

"Buat apa kau menatapku seperti itu? Kau pikir aku tak bisa melihat gerak gerikmu heh?"

Dihardik demikian rupa perempuan aneh ini tidak marah sebaliknya malah tertawa mengikik. Lalu secara berurutan dia dekap wajah, dekap dada dan dekap bagian bawah perutnya.

"Melihatmu marah-marah malu aku jadinya.Maafkan aku bila agak terlambat menjawab pertanyaanmu. Maklum saja aku hadir di depanmu dalam keadaan memalukan dari pada menanggung malu terus menerus maka kuminta pakaian pada dewa."

"Hmm, rupanya para dewa menaruh perhatian besar padamu. Begitu meminta langsung dikabulkan.Tidak seperti aku. Aku selalu berdoa pada para dewa dari dulu sampai sekarang. Dari muda sampai tua lumutan. Tapi doaku tak satupun yang dikabulkan. Aku manusia malang. Hidupku penuh amarah serta dendam yang tak terbayarkan. Aku mengelana dari satu kubur ke kubur lainnya."

"Mengapa itu kau lakukan? Tidakkah per- buatanmu mengganggu ketentraman arwah yang telah berpulang?"

Tanya perempuan tak berkulit. Mendengar ucapan perempuan di depannya mata bolong Momok Laknat didepannya menatap lurus ke depan.

"Kurang ajar! Beraninya kau mencelaku.Menyangkut segala urusanku kau tak perlu tahu.Aku sudah tidak percaya lagi pada orang yang masih hidup karena hanya orang mati saja yang bisa bicara jujur."

"Lalu apa yang kau cari?"

Mendengar pertanyaan seperti itu Momok Laknat terdiam sesaat. Tapi kemudian dia segera berucap.

"

Apa yang kucari? Aku hanya mencari kebenaran serta arti hidup yang sesungguhnya."

"Hik hik hik. Kau sudah cukup umur jangan membuat malu diri sendiri. Bukannya aku tak bermalu, bukannya pula aku sok tahu. Kebenaran itu sebenarnya dapat kau temukan dalam diri sendiri. Arti hidup bisa kau lihat di alam semesta.Bila makam yang kau bongkar untuk menemukan kebenaran dan arti hidup. Kau pasti tidak bakal menemukannya orang tua. Karena makam adalah tempat akhir dari hidup ini."

Terang perempuan tak berkulit tanpa maksud menggurui.

Momok Laknat gelengkan kepala.

Jawaban perempuan di depannya dia rasakan tidak memuaskan hati.

Justru malah menyinggung perasaannya.

Tidaklah heran dengan wajah kelam Momok Laknat tiba-tiba menatap perempuan itu dengan matanya yang bolong sekaligus membentak.

"Mahluk jahanam! Kau tidak cukup pantas bicara seperti itu denganku. Aku Momok Laknat malang melintang hidup dalam kesengsaraan dan dendam. Aku menjadi seperti ini karena ulah perbuatan seseorang."

"Seseorang siapa nek."

Tanya perempuan di depan dengan sikap acuh terkesan tak takut dengan kemarahan Momok Laknat "Kurang ajar.

Masih juga berani bertanya? Aku tak menghendakimu.

Aku ingin bertemu dan bicara dengan dewa.

Siapa dirimu ini? Apakah kau mahluk tak sempurna utusan dewa?"

Tanya si nenek. Di depan Momok Laknat bibir merah merekah yang tak terbalut kulit menyungging senyum aneh. Setelah seringai lenyap sambil menatap nenek berwajah mengerikan yang duduk di depannya. Perempuan itu berujar.

"Orang tua apakah kau tidak ingat mengapa kau menggali kubur orang yang telah mati?"

Tanya perempuan itu. Kemudian tanpa memberi kesempatan pada Momok Laknat untuk bicara dia menjawab pertanyaan sendiri.

"Kau selalu berdalih ingin mencari kebenaran. Kau hendak bertanya pada orang mati apakah surga dan neraka itu ada? Ketahuilah nenek. Aku adalah orang yang baru dikembalikan dari alam kematian. Namaku Widuri tapi dulu semasa hidup aku lebih dikenal dengan julukan Puteri Pemalu. Kerajaanku berdiri sebelum munculnya Istana Es."

Mendengar penjelasan perempuan itu diam- diam Momok Laknat terkejut.

Dia memang pernah mendengar tentang sebuah kerajaan lama yang diperintah oleh seorang wanita berbudi luhur berilmu tinggi dan memiliki kesaktian luar biasa.

Di masa kekuasaannya dulu sang puteri lebih sering berada di tempat pertapaan daripada di istana.

Dia tidak begitu tertarik menjadi penerus tahta orang tuanya.

Dan lebih memilih menjadi seorang pertapa.

Kelak kemudian hari istana runtuh karena ditinggal pemimpinnya.

Sedangkan sang puteri lenyap tak terdengar kabar beritanya lagi.

Ingat dengan semua itu dengan suara bergetar si nenek ajukan pertanyaan.

"Apakah benar engkau ini Puteri Widuri berjuluk Puteri Pemalu penguasa Istana Kuno?"

"Hik hik hik. Malu aku jadinya. Tapi memang benar aku adalah Puteri Pemalu penguasa Istana Lama atau Istana Kuno."

Tegas perempuan yang ternyata memang Puteri Pemalu adanya.

"Apa yang telah terjadi padamu? Aku mendengar Istana Kuno runtuh dan engkau, gusti puteri... lenyap."

Ucap Momok Laknat. Nenek ini tiba-tiba saja merasa rikuh saat sadar dengan siapa dia berhadapan. Diluar dugaan ternyata Puteri Pemalu yang selalu unjukkan sikap malu-malu malah menggoyangkan kepala.

"Dihadapanku jangan memakai segala bentuk peradatan, nek. Di depan pemilik langit bumi setiap manusia kedudukannya sama saja. Para dewa menilai manusia bukan dari kedudukannya tapi dari sisi kebaikan."

Kata Puteri Pemalu tegas. Setelah terdiam sejenak dia melanjutkan.

"Ketahuilah nek, sebuah rumah bila tidak diurus akan hancur.Demikian pula dengan istanaku. Belasan tahun aku tinggalkan istana itu. Semua urusan kuserahkan pada patih. Dan kemudian ketika aku kembali segalanya telah berakhir. Aku tahu semua itu adalah salahku, tapi aku tak mau selalu terjebak pada masa laluku."

"Lalu apa yang terjadi padamu?"

Tanya Momok Laknat penuh rasa ingin tahu.

"Soal diriku tak perlu dipermasalahkan.Sesungguhnya aku telah mati. Tak perlu nenek tahu apa yang menjadi sebab kematianku!"

"Jika begitu bagaimana kau bisa hadir dihadapanku dengan rupa seperti ini?"

Tanya si nenek penuh rasa ingin tahu.

"Hik hik hik. Kau bertanya padahal kau telah tahu jawabannya. Jasad yang terbentuk dan yang kini berada di hadapanmu nek sesungguhnya dulu adalah jasad gadis cantik yang sangat lugu. Kau yang mengumpulkan dan mengambil tulang belulangnya dari kubur gadis itu. Atas kehendak dan izin para dewa rohku diperintahkan untuk menempatinya."

"Untuk apa?"

Tanya si nenek.

"Untuk apa? Bukankah kau selalu meminta pada dewa agar diberi petunjuk. Dan aku diminta menjadi penunjuk jalan bagi kehidupanmu."

Terang Puteri Pemalu dengan sikap malu-malu.

"Aku hanya ingin bertanya apakah masih ada kemungkinan bagi diriku membalas dendam kesumat dan sakit hati pada orang yang telah membuat wajahku cacat begini rupa."

"Aku tahu nek. Soal wajahmu yang dibuat cacat rusak seperti itu. Para dewa berkenan memberi tahu diriku tentang segala sebab serta muasal dari bencana besar yang pernah kau alami di masa lalu. Ketahuilah olehmu nek bahwa neraka memang ada dan swargaloka itu sesungguhnya nyata adanya."

Mulut buruk hitam pucat dihiasi keriput menyeringai.

Tak terduga untuk pertama kalinya Momok Laknat tertawa tergelak-gelak.

Suara tawanya menggerung menyakitkan telinga Puteri Pemalu yang hanya terdiri dari tulang rawan merah tak terbungkus kulit.

Bangunan pondok yang terbuat dari susunan tulang paus berguncang hebat.

Puteri Pemalu terpaksa kerahkan tenaga dalam lindungi telinga dari pengaruh tawa si nenek.

Sekujur tubuh yang merah dipenuhi urat-urat darah bersembulan berubah merah pekat.

Puteri Pemalu cepat menyela dengan berkata.

"Nek, jangan membuat aku malu lagi nek. Kuharap tidak ada ucapanku yang terdengar aneh. Kuharap juga kau tidak melihat bagian tubuhku yang memalukan. Lalu gerangan apa yang membuatmu tertawa?"

Seolah tersadar Momok Laknat hentikan tawanya. Dua rongga matanya menatap ke arah Puteri Pemalu. Entah apa yang ada dalam benak Momok Laknat yang jelas sejurus kemudian dia berkata.

"Kau bicara surga dan neraka seolah kau pernah kesana dan melihatnya."

"Atas izin para dewa aku telah diperkenankan melihat dua tempat yang kau sebutkan itu nek."tegas Puteri Pemalu.
Raja Gendeng 2 Maha Iblis Dari Timur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika benar yang kau ucapkan. Mengingat kejujuranmu di masa lalu aku percaya. Lalu bagaimana keadaan dikedua tempat itu?"

Tanya si nenek dengan perasaan tidak sabar.

"Aku tak akan menjelaskan padamu, setidaknya bukan sekarang-sekarang ini. Tapi nanti disuatu saat yang tepat aku akan ceritakan apa yang kau ingin ketahui itu hingga membuat hatimu menjadi puas. Sekarang atas kehendak para dewa aku dikembalikan kedunia ini. Dewa mengirimkan arwahku dalam rupa cahaya putih bening seperti air. Kemudian dewa menjadikan tubuh yang kutempati dari tulang belulang yang kau ambil dari makam gadis yang semasa hidupnya memiliki sifat konyol luar biasa."

"Hah! Walau telah menduga namun aku kurang yakin tubuhmu terdiri dari susunan tulang belulang yang kubawa dari makam tua itu. Maafkan aku! Karena keinginanku kau telah bersusah payah mengetahui perintah dewa dengan kembali ke dunia ini lagi. Dengan kehadiranmu ini kuanggap dewa telah mengabulkan sebagian permintaanku."berucap si nenek. Dia lalu tersendu menangis sesunggukan. Namun itu hanya sebentar. Momok Laknat lalu terdiam membuat Puteri Pemalu yang sering tak sengaja mendekap bagian-bagian auratnya menjadi resah dan ajukan pertanyaan.

"Apa yang kau pikirkan nek?"

Momok Laknat tundukan kepala. Dia menggeleng perlahan namun kemudian kembali menatap kearah Puteri Pemalu.

"Aku masih kecewa karena kau tak mau menjelaskan tentang surga dan neraka. Tapi aku bisa memakluminya demi rasa hormatku kepadamu. Sekarang menyangkut soal dendamku pada seseorang yang telah membuatku cacat begini rupa. Apakah dewa memberimu perintah agar membantu aku menyelesaikan masa lalu itu?"

"Aku datang untuk mendampingimu. Kalau tidak buat apa bersedia menempati tubuh yang tak terbentuk dengan sempurna ini. Untuk sementara dewa berharap kau mengembalikan dendammu itu "

"Apa?"

Desis Momok Laknat dengan mulut ternganga. Andai saja rongga mata si nenek masih mempunyai bola mata tentu Puteri Pemalu bisa melihat si nenek bakal mendelik.

"Dewa mengatakan aku harus mengabaikan dulu masalah dendam kesumat? Apakah dewa-dewa mengira persoalanku tidak penting untuk diselesaikan?!"

Teriak si nenek. Melihat si nenek marah-marah, Puteri Pemalu dekap mulutnya. Dengan suara lembut santun dan membujuk gadis itu berkata.

"Maafkan aku nek.Bukannya aku atau para dewa menganggap remeh persoalanmu. Tapi saat ini ada satu masalah yang jauh lebih besar yang membutuhkan uluran tanganmu."

Terang sang puteri. Mendengar ucapan gadis di depannya. Momok Laknat dongakan kepala. Tak sabar dia cepat-cepat bertanya.

"Persoalan apa?"

"Begini. Sebelum aku menemanimu membantu membalaskan dendam dan segala rasa sakit hati pada musuh bebuyutanmu. Kau harus ikut denganku kesebuah perbukitan karang yang terletak di penanjung pantai utara pulau Es."

"Tempat yang kau sebutkan cukup jauh dari sini,"

Ucap Momok Laknat mengingatkan.

"Memang jauh, tapi bila bersamaku jarak yang jauh menjadi tidak berarti. Aku bukan manusia sepertimu lagi nek. Ingat, aku bisa mencapai suatu tempat hanya dalam waktu sekedipan mata."

"Aku tahu. Dan semua itu pasti berkat bantuan yang diberikan dewa kepadamu. Namun kau harus memberi tahu aku, mengapa jauh-jauh kita mendatangi pantai utara?"

Bertanya Momok Laknat dengan perasaan tidak mengerti. Puteri Pemalu bertanya sambil dekap wajahnya.

"Dalam perjalanan nanti aku akan ceritakan segalanya kepadamu. Termasuk juga tentang tujuan kita datang ke tempat itu."

Tegas si gadis.

Momok Laknat merasa tidak puas.

Namun untuk memaksa dan meminta penjelasan tentang duduk perkara Momok Laknat merasa sungkan mengingat masa lalu kehidupan Puteri Pemalu.

Dia hanya bisa mereka-reka dalam hati walau jawaban yang dia inginkan tak kunjung dia dapatkan.

Selagi Momok Laknat tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Tiba-tiba saja keheningan suasana di sekitar pondok lenyap dikejutkan dengan suara menderu aneh seperti suara langkah kaki orang berlari.

"Nek, ada orang datang menuju ke pondokmu"

Sentak Puteri Pemalu kaget sambil dekap dadanya yang tertutup pakaian merah. Momok Laknat kaget. Seketika dia melompat bangkit. Bergegas dia mengambil buntalan kecil di sudut pondok.

"Lekas ikuti aku!"

Kata Momok Laknat pada Puteri Pemalu.

Nenek renta itu segera menyelinap keluar melewati pintu pondok.

Sang puteri segera menyusulnya.

***** Satu sosok tubuh bergerak cepat melesat laksana anak panah meninggalkan Lembah Tapa Rasa.

Terpaut jarak yang cukup jauh.

Di belakang berpakaian putih mengenakan mantel berbulu terus mengikuti satu sosok lainnya.

Sosok kedua yang tertinggal di belakang berusaha menyusul orang yang berada di depan.

Namun walau dia telah menggerakkan segenap tenaga dan menggunakan ilmu lari cepat Kaki Seribu.

Tetap saja sosok bertubuh pendek kerdil berkepala botak dan berpakaian kotak-kotak itu tak berhasil menyusul.

Dengan nafas megap-megap dia memperlambat larinya.

Sepasang matanya yang belok menatap lurus ke depan.

Dengan perasaan letih bercampur jengkel laki-laki tua berusia sekitar delapan puluh tahun ini pun berteriak.

"Hei... paduka Raja Gendeng. Aku mengaku memyerah tak sanggup menyamai kecepatan ilmu larimu yang gila-gilaan itu. Tunggu aku, jantungku hampir copot, paru-paru rasanya mau meletus. Kalau kau terus saja berlari."

"Aku bersumpah tak kembali ke Lembah Tapa Rasa dan berdiam di sana sampai lumutan!"

Ancam si kakek jengkel.

Sosok yang dipanggil paduka Raja Gendeng yang tak lain adalah Si Gendeng atau lebih dikenal dengan sebutan Raja Gendeng hentikan langkah.

Sambil menggeleng dan menggaruk kepala yang ditumbuhi rambut panjang sebahu pemuda ini memutar tubuh balikan badan.

Bersungut-sungut pemuda ini hentakan kedua kakinya.

Sekejab saja dia telah berdiri tegak di depan si kakek.

Mata belok kakek kerdil yang bukan lain adalah Ki Sapa Brata atau lebih dikenal dengan sebutan Bocah Ontang Anting membeliak lebar melihat gerakan pemuda tampan bertampang konyol itu.

"Dengan kecepatan sehebat itu dalam berlari, mana mungkin aku yang sudah tua dan tak pernah tinggi ini bisa mengimbangi ilmu larimu."gerutu si kakek. Raja Gendeng yang juga dikenal dengan julukan Sang Maha Sakti Dari Istana Pulau Es geleng kepala sambil menggerutu. Bocah Ontang Anting terlihat acuh tak perduli, malah dia kemudian lanjutkan ucapannya.

"Jangan terlalu cepat.Gugusan pulau karang di pantai sebelah utara pulau ini sudah tidak jauh lagi. Kuharap kita bisa melakukan perjalanan dengan santai saja sambil berbincang membicarakan masa lalu."

"Masa lalu? Masa lalu siapa?"

Tanya sang pendekar.

"Masa lalu siapa? Tentu saja masa lalumu. Aku yakin sangat menarik. Tidak seperti masa lalu yang suram."

"Aku tidak tertarik untuk membicarakannya kek. Paling tidak untuk saat ini."

Kilah Raja Gendeng satu-satunya pewaris tahta Istana Pulau Es yang lolos dari serbuan Maha Iblis dari Timur ini sambil pencongkan mulut.

"Jadi kapan kau mau berbagi cerita denganku tentang masa lalumu itu? Kau tidak boleh pelit."

"Sekarang adalah waktu paling tepat bagiku untuk mengetahui riwayat hidupmu. Kau pernah berada dalam gemblengan manusia hebat setengah dewa Ki Panaran Jagad Biru. Jarang sekali orang seberuntung dirimu diambil murid oleh seorang tokoh maha sakti seperti dia. Selain itu kau juga diasuh oleh nenek hebat Nini Balang Kudu. Kukira penghuni dasar laut selatan itu juga menurunkan semua ilmu kesaktian yang dia miliki. Tapi dia itu manusia aneh. Wataknya angin-anginan mengikuti pasang surut air laut. Susah ditebak. Dan satu yang tidak aku sukai...!"

Gumam si kerdil Bocah Ontang Anting sambil manggut-manggut dan mengetuk keningnya.

Sang Maha Sakti Dari Istana Pulau Es menatap kakek di depannya dengan sikap acuh tak acuh.

Dia merasa geli melihat Bocah Ontang Anting bertingkah selayaknya orang yang sedang berpikir keras.

Raja Gendeng tiba-tiba membuka mulut ajukan pertanyaan.

"Apa yang tidak kau sukai dari guruku Nini Balang Kudu?"

"Hmm, aku tidak suka pada nenek budek tuli itu. Dulu aku pernah berselisih dengannya karena dia salah menangkap maksud ucapanku. Waktu itu aku memujinya. Tapi dia mengira aku malah menghinanya. Akibatnya dia menyerangku hingga babak belur. Aku yang tadinya bisa berdiri tegak dia hajar dengan pukulan sakti hingga membuatku ambruk. Satu purnama lebih aku berusaha menyembuhkan derita luka dalam hebat yang kualami. Tapi seperti yang kau lihat sekarang aku dalam keadaan segar bugar. Kepala bisa tegak tidak miring teleng seperti dulu. Terkecuali kepala yang satunya menunduk terus seumur-umur."

Kata Bocah Ontang Anting sambil senyum-senyum sendiri. Mendengar ucapan si kakek Raja Gendeng tak kuasa menahan tawa. Sambil tawa cekikikan tiba- tiba dia menyahuti.

"Bukankah punyamu yang satu itu telah kusembuhkan secara tak sengaja? Kau harusnya bersyukur, berterima kasih padaku karena dapat kesembuhan gratis. Kalau tak kutolong seumur-umur setiap melihat wanita cantik kau cuma bisa gigit jari. Ha ha ha!"

Wajah Bocah Ontang Anting bersemu merah seperti kepiting rebus. Sambil manggut-manggut dan rangkapkan dua tangannya si kakek menyelah.

"Wahai paduka Raja Gendeng. Kuakui engkau memang hebat. Tapi sayang mengapa cuma kepalaku yang selalu lumpuh itu saja yang bisa kau buat tegak Mengapa tidak sekalian kau carikan jodoh untukku. Biar hidup tua bangka ini menjadi asyik dan lebih mantap?! Ha ha ha!"

"Tenang. Aku pasti akan carikan jodoh untukmu kek. Jodohnya masih perawan kau mau?"

Tanya Raja Gendeng sambil kedipkan mata kirinya tiga kali. Mendengar itu wajah Bocah Ontang Anting seketika berubah jadi sumringah.

"Mau... mau. Aku pasti mau sekali kau carikan jodoh. Apalagi jodohnya masih perawan. Dapat perawan pasti mengasyikkan. Lihat belum apa-apa saja aku sudah gemetaran. Memangnya kau hendak mengawinkan aku dengan gadis mana,Raja?"

Kata si kakek penasaran sekali. Raja Gendeng tertawa bergelak. Tapi tawanya tak berlangsung lama. Sekejap kemudian tawa pemuda itu lenyap. Dengan mimik bersungguh- sungguh dia membuka mulut.

"Kau harus lebih sabar sedikit. Aku pasti bakal membantumu mencarikan jodoh yang sesuai untukmu. Sekarang sebaiknya kau dan aku mengesampingkan soal urusan jodoh."

"Ah...!"

Bocah Ontang Anting menghela nafas kecewa.

"

Aku sudah menduga kau pasti bakal bicara seperti itu."

"Orang tua kuharap jangan berkecil hati dulu.Kau tahu urusan yang lebih besar yang harus kita selesaikan malam empat belas hari bulan. Saat ini kau sendiri tahu kita sedang dalam perjalanan menuju bukit karang. Aku tidak mau dianggap sebagai murid yang tak berbakti dan tak tahu menjalankan amanat yang diberikan guru. Mencari dan menyelamatkan Pedang Gila sudah menjadi kewajibanku. Lagi pula raja dari semua pedang sakti yang pernah ada di dunia ini merupakan senjata pusaka milik Istana Pulau Es. Sebagai pewaris satu-satunya aku berkewajiban mengamankan Pedang Gila dari manusia-manusia sesat yang tak bertanggung jawab,"

Tegas Raja Gendeng.

Mendengar ucapan Sang Maha Sakti dari Istana Pulau Es itu Bocah Ontang Anting terdiam sambil manggut-manggut.

Tak selang berapa lama, seperti orang gelisah dia berjalan mondar-mandir di depan sang pendekar.

Kepala terus mengangguk-angguk tapi tatapan mata menunduk.

Melihat ini Raja Gendeng jadi tidak sabaran.

"Kek apa yang kau cari? Mengapa kau mondar- mandir di depanku. Apakah ada barangmu yang hilang?"

Tanya pemuda itu ketus.

Mendengar pertanyaan Raja Gendeng, Bocah Ontang Anting unjukkan wajah kaget.

Lalu tanpa dia sadari tangan kirinya cepat menekan bagian bawah perutnya.

Rasa cemas yang sempat membayang diwajah Bocah Ontang Anting lenyap berganti dengan perasaan lega.
Raja Gendeng 2 Maha Iblis Dari Timur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang tua ini menghembuskan nafas.

Puuh! Sementara dari mulutnya menyusul ucapan.

"Hhm, masih beruntung aku perkutut yang kau obati kemarin ternyata masih berada dalam sangkarnya.Coba kalau perkutut itu terbang, aduh aku bisa ketiwasan sengsara seumur-umur."

"Apakah dia masih terjaga?"

Tanya Raja Gendeng merasa geli tapi juga bercampur jengkel.

"Syukur pada dewa. Sejak kau obati perkutut itu melek terus tak pernah tidur. Tapi.... tap.!"

Berucap si kakek ragu namun juga gugup.

"Ada apa lagi?"

Tanya sang pendekar tambah "Anu, eh tidak."

Si kakek tertawa malu-malu. Sambil tersipu dia mengungkapkan ganjalan yang ada di hati.

"Anu, bagaimana kalau perkutut satu-satunya itu dicuri orang. Padahal seumur-umur dia belum pernah di sangkar yang apik?!"

"Tua bangka gila. Segala barang budukan begitu mengapa dirisaukan? Pencuri tengik mana yang berlaku tolol mencuri barang yang tidak berguna?!"

Geram Raja Gendeng tapi dia sendiri kemudian malah tertawa tergelak-gelak.

"Nah ini dia. Kau jangan pura-pura tidak tahu paduka raja."

Cibir si kakek mencemooh.

"Pada dasarnya kita laki- laki suka yang tengik. Mungkin saja pencuri perkutut orang gila yang suka tengik juga. Coba bagaimana kalau sampai kejadian?"

"Sudah!"

Kata Raja Gendeng ketus.

"Sedari tadi yang pikirkan cuma diri sendiri. Saat ini kita harus melanjutkan perjalanan. Tanggal empat belas bulan purnama hanya tinggal satu hari lagi. Aku khawatir orang-orang yang menginginkan senjata pusaka itu saat ini sedang menuju ke perbukitan karang. Jika mereka sampai lebih cepat dari kita, kecil kemungkinan bagiku untuk menyelamatkan Pedang Gila?"

Seolah ingat dengan tugas berat yang pernah diamanatkan Ki Panaran Jagad Biru beberapa tahun sebelumnya.

Bocah Ontang Anting pun kini bersikap bersungguh sungguh.

Walau telah berkali-kali diingatkan oleh sang pendekar agar si kakek tidak bersikap sungkan dan menggunakan segala peradatan tetap saja sekarang dia rangkapkan dua tangan di depan dada lalu menjura sebagai tanda hormat.

"Maafkan aku yang bodoh ini paduka Raja Gendeng..."

"Orang tua bodoh. Panggil saja namaku. Kau sudah tahu namaku adalah Raja. Mengapa masih juga memanggilku Paduka Raja Gendeng?"

Hardik sang pendekar dengan mata mendelik.

"Eh, anu begini maafkan aku lagi. Sebaiknya aku tidak memanggilmu paduka tapi Raja Gendeng saja. Bagaimana?"

Tanya Bocah Ontang Anting takut-takut. Dia takut pemuda itu mendampratnya Tidak disangka-sangka Sang Maha Sakti Dari Istana Es itu malah tertawa tergelak-gelak.

"Bagus. Di dunia banyak raja yang gila tahta, gila kekuasaan, gila wanita, harta benda. Tapi aku tidak menyukai semua itu dan memilih meninggal- kannya. Tidak salah apabila kedua guruku menyebutku sebagai manusia gendeng yang tidak rakus dengan gemerlap dunia."

Ucap sang pendekar.

"Ha ha ha. Kau keturunan raja, gurumu memberimu nama Raja. Hm, sebuah nama bagus dan mudah diingat. Melihat tingkah lakumu dan watakmu yang angin-anginan seperti orang edan, kukira memang tak salah ada kata Gendeng di belakang namamu!"

"Terima kasih kau telah mengingatkan.Sekarang ada baiknya kita segera berangkat kek!"

Raja Gendeng memberikan usul.

"Oh tentu. Kita memang harus segera berangkat. Apalagi serangan topan yang melanda pulau ini telah mereda. Kita bisa melanjutkan perjalanan tanpa takut mati kedinginan."

Sahut si kakek.

Raja Gendeng tersenyum.

Dia membalikan badan dan siap melangkah pergi.

Tapi gerakan pemuda ini tertahan begitu dia melihat tak jauh dari tempat mereka berada berdiri tegak sesosok mahluk aneh mirip dengan dengan sebatang pohon.

Mahluk itu tingginya mencapai dua tombak.

Mahluk ini sekujur tubuhnya diselimuti lapisan kulit tebal mirip kulit pohon tua berwarna coklat kehijawan.

Dua kaki panjang menjuntai besar luar biasa dan ditumbuhi puluhan selaput pipih panjang bergelayutan tak ubahnya seperti akar pohon yang bergelantungan.

Dua tangan demikian juga, tapi jari-jari pada tangan itu berkuku panjang melingkar- lingkar laksana seekor ular yang bergelung.

Sepasang mulut hanya merupakan sebuah garis besar tanpa bibir, hidung panjang menggelantung ke bawah tak seperti belalai gajah.

Sedangkan sepasang mata tumbuh di balik dua buah benjolan besar yang menonjol ke luar.

Mahluk ini sama sekali tak mempunyai rambut.

Di bagian atas kepala di mana seharusnya rambut tumbuh justru dipenuhi tonjolan daging berlapis kulit yang mencual kesegala penjuru tak ubahnya seperti dengan reranting pohon.

Melihat kehadiran mahluk aneh dengan ujud mirip dengan pohon tua ini baik Bocah Ontang Anting maupun Raja Gendeng saling melempar pandang.

Si kakek kerdil pandangi mahluk aneh itu dari bagian kepala hingga ke kaki.

Dalam hati dia berucap.

"Tadi aku tidak melihat ada siapa-siapa di sekitar sini. Tiba-tiba saja dia muncul. Tak ada suara yang kudengar tak pula kurasakan tanda-tanda kehadirannya. Aku yakin dia bukan mahluk sembarangan. Dia hadir di sini dengan membawa maksud yang tidak baik."

Sementara itu Sang Maha Sakti Dari Istana Pulau Es justru merasa heran namun juga menjadi geli melihat penampilan orang seaneh itu. Dia tidak begitu yakin apakah mahluk langkah di depannya bisa bicara. Diam-diam Raja Gendeng membatin sendiri.

"Kalau bukan karena dewa salah. Pastilah mahluk satu ini datang dari neraka perut bumi."

Dia lalu menatap lurus ke depan dan memperhatikan sosok berpenampilan unik itu.

"Mata tumbuh di atas benjolan, hidung seperti belalai, mulut cuma berupa garis. Hm, buat apa aku berurusan dengan mahluk seperti dia?"

Tanpa bicara apa-apa, pemuda ini segala melangkahkan kakinya.

Dia sengaja mengambil jalan lebih ketepi karena jalan yang hendak dia lewati terhalang oleh mahluk mirip pohon itu.

Tak disangka- sangka sang mahluk aneh bergeser kesamping menghadang jalan Raja Gendeng.

Melihat ini Bocah Ontang Anting yang jalannya seperti orang tua yang tertatih-tatih segera menghampiri.

"Siapa kau? Kurasa kau bukan pohon sungguhan. Siapapun dirimu harap segera menyingkir karena Raja Gendeng mau lewat!"

Perintah si kakek.

Mendengar Bocah Ontang Anting menyebut nama pemuda itu.

Tak disangka-sangka mahluk aneh mirip pohon itu membuka mulutnya yang cuma berupa garis.

Begitu mulut menganga maka terdengar suara gelak tawa sang mahluk.

Baik Raja Gendeng maupun Bocah Ontang Anting merasa kaget.

Mereka tak menyangka suara tawa sang mahluk membuat peredaran darah di tubuh mereka jadi kacau, jantung berdetak keras seperti mau meledak, telinga sakit dan kepala laksana dipalu.

Sebelum sesuatu yang buruk mereka alami.

Keduanya segera mengerahkan tenaga dalam dan menutup pendengaran masing-masing.

Sebentar saja Raja Gendeng berhasil menguasai diri.

Tawa aneh sang mahluk tak lagi berpengaruh pada dirinya.

Berbeda dengan Bocah Ontang Anting.

Walau kakek ini telah menutup indera pendengaran dengan pengerahan tenaga sakti.

Namun suara tawa sang mahluk masih dapat menembus telinganya.

Si kakek menggeram.

Dia sangat jengkel juga penasaran.

Dengan cepat dia merogoh sesuatu dari balik kantong perbekalannya.

Yang diambil oleh Bocah Ontang Anting ternyata adalah dua benda berwarna hitam kecoklatan dengan ukuran tak lebih dari jari kelingking.

Dua benda lunak masing-masing dia sumbatkan kelubang telinga kiri dan lubang telinga sebelah kanan.

Setelah dua benda di- sumpalkan ke liang telinga.

Suara tawa yang luar biasa dahsyat seolah lenyap dan tak berpengaruh bagi si kakek.

Orang tua ini senyum-senyum sendiri.

Dengan mulut menyeringai Bocah Ontang Anting berseru ditujukan pada mahluk aneh itu.

"Tertawalah kau sampai tenggorokanmu putus atau kalau perlu sampai paru-parumu pecah.Aku sudah memasang penangkal. Dengan penangkal itu telingaku bakal baik-baik saja dan terasa nyaman. Ha ha ha...!"

Mendengar ucapan si kakek Raja Gendeng kerutkan keningnya. Merasa heran pemuda ini ajukan pertanyaan.

"Kek.... kau hebat punya tangkalan. Tapi kalau boleh aku tahu tangkalanmu itu terbuat dari apa? Apakah benda yang disumpalkan ke liang telingamu itu sejenis jimat atau benda sakti lainnya?!"

Pemuda ini lalu pandangi kakek di sampingnya dengan mulut melongo disertai rasa ingin tahu.

Mendengar pertanyaan Raja Gendeng tawa Bocah Ontang Anting malah menjadi-jadi.

Begitu gelinya si kakek sampai-sampai air matanya berlelehan.

Namun dia segera hentikan tawa.

Kemudian dengan polos tanpa merasa aneh Bocah Ontang Anting jawab pertanyaan sahabatnya.

"Tidak. Aku tak punya ajimat apa-apa, Raja. Aku menangkal pengaruh tawa mahluk aneh itu dengan menggunakan upil yang kukumpulkan selama bertahun-tahun."

Mendengar ini karuan saja Raja Gendeng tak kuasa menahan tawa.

Bila tawa si kakek biasa-biasa saja tanpa disertai pengerahan tenaga dalam.
Raja Gendeng 2 Maha Iblis Dari Timur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebaliknya Raja Gendeng sengaja menyertakan tenaga sakti dalam tawanya.

Tujuannya dia ingin mengetahui sejauh apa tingkat tenaga sakti yang dimiliki oleh mahluk itu.

Didepan sana mahluk aneh berujud seperti pohon tampak tergetar.

Getaran berubah jadi guncangan ketika Raja Gendeng lipat gandakan tenaga dalam dalam tawanya itu.

Mahluk pohon menggerung, seolah tidak mau kalah dia makin memperhebat suara tawa.

Adu kekuatan tenaga dalam melalui suara tawa berakhir setelah terjadi ledakan keras berdentum di udara.

Mahluk berujud seperti pohon terjengkang roboh namun segera bangkit kembali.

Sementara Raja Gendeng yang sempat terhuyung kini mengusap dua daun telinganya yang berdenging dan tampak berwarna kemerahan.

"Mahluk gelo sialan! Tak mungkin dia memiliki tingkat tenaga dalam yang sangat tinggi. Aku cuma bisa membuatnya ambruk. Padahal seharusnya ujudnya yang aneh itu dapat kubuat porak poranda. Siapa dia? Ada maksud keperluan apa menghadang perjalananku?"

Pikir sang pendekar.

Di depan sana mahluk pohon mengusap tubuh ditumbuhi reranting.

Kepala itu berdenyut sakit seolah ada bisul dalam batok kepala yang mau meledak.

Tak berselang lama sepasang mata sang mahluk yang tumbuh diatas dua benjolan menatap lurus pada Raja Gendeng.

Dalam hati dia membantin.

"Pemuda ini ternyata memiliki tenaga dalam yang sungguh luar biasa. Aku yakin memang dia orangnya yang diperintahkan junjungan Maha Iblis Dari Timur untuk menghabisinya. Tugas terlanjur kuterima. Dia harus kulenyapkan. Hanya dengan cara itu mencegahnya menuju pantai utara. Aku adalah mahluk suruhan yang tidak pernah mengecewakan. Tapi sebelum kuhabisi agar tidak sampai kesalahan tangan lebih baik aku bertanya dulu kepadanya."

Mahluk pohon melangkah maju. Bocah Ontang Anting tiba-tiba bangkit dan segera berdiri menghadang di depan Raja Gendeng.

"Cukup! Selangkah lagi kau bergerak aku bersumpah akan membuntungi kedua kakimu yang jelek dan aneh itu?!"

Ancam si kakek. Mulut sang mahluk yang hanya berupa garis tipis menyeringai. Sepasang mata yang terlindung kulit tebal mirip kulit kayu yang mati berkedap kedip. Setelah memperhatikan Bocah Ontang Anting dia membentak.

"Kakek pendek cebol seperti bocah.Punya ilmu kesaktian apa kau hingga berani mengancamku. Aku tidak punya kepentingan apa- apa denganmu. Lebih baik kau menepi! Aku ingin bicara dengan pemuda itu."

"Mahluk kampret. Jahanam betul. Lihatlah dia sama sekali tidak memandang muka padaku!"

Kata si kakek ditujukan pada sang mahluk juga pada sahabat Raja Gendeng.

"Jangan berkecil hati kek. Mungkin tampangmu memang tak sedap untuk dipandang.Karena dia mau bicara padaku, biarkan saja beri dia kesempatan. Bagaimana pun aku tetap merasa tidak nyaman bicara dengan pohon yang bisa berpindah dan bisa pula bicara"

Kata Raja sambil menahan senyum.

"Paduka Raja Gendeng sialan. Kenapa malah tidak berpihak padaku. Dia tidak tahu aku berusaha melindunginya."

Gerutu Bocah Ontang Anting dalam hati. Wajah si kakek cemberut. Dia kemudian palingkan wajah ke jurusan lain. Sementara itu sang mahluk tanpa menghiraukan Bocah Ontang Anting segera membuka mulut.

"Aku mahluk pohon. Dalam kehidupan yang lain dan di sebuah tempat yang sangat jauh dari sini mahluk langka sepertiku menetap dan hidup selama ratusan ribu tahun. Namaku Raka Syiwa...."

Belum sempat mahluk pohon yang mengaku bernama Raka Syiwa menyelesaikan ucapan. Sang Maha Sakti Dari Istana Pulau Es ini cepat memotong.

"Teman-temanmu sesama mahluk pohon menetap di suatu tempat. Lalu mengapa kau gentayangan jauh sampai ke pulau ini punya urusan apa?"

Tanya pemuda itu acuh.

"Aku hanya mematuhi perintah tetua, raja dari seluruh diraja pohon yang terdapat di seluruh jagad untuk membantu seseorang yang berada di pulau ini."

"Siapa nama tetuamu?"

Tanya Raja Gendeng.

"Tetuaku bernama Karma Diraga."

Jawab mahluk pohon Raka Syiwa.

"Kalau begitu sebutkan siapa orangnya yang hendak kau bantu, mahluk aneh!"

Sela Bocah Ontang Anting. Raka Syiwa menyeringai. Walau dia merasa tak suka pada si kakek kerdil sejak pertama kali melihatnya namun dia tetap menjawab juga pertanyaan orang.

"

Orang itu tak bernama, namun dia dikenal dengan sebutan Maha Iblis Dari Timur!"

Dengan polos Raka Syiwa berterus terang, Mendengar jawaban mahluk pohon kagetlah Raja Gendeng dan si kakek dibuatnya.

Bocah Ontang Anting terperangah, mulut ternganga dan matanya yang belok melotot mendelik seperti melihat hantu.

Raja Gendeng sendiri segala menghela nafas.

Walau kaget namun buru-buru dia berujar.

"

Jika manusia sesat itu yang hendak kau bantu. Berarti kau salah dalam mengambil keputusan. Mengapa kau tidak membantu orang lemah dan serba kekurangan?"

"Maha Iblis Dari Timur adalah sahabat tetua Karma Diraga pemimpin dari semua mahluk pohon.Bila dia mengalami kesulitan, sudah menjadi kewajiban tetua untuk memberi bantuan."

"Berarti tetua dan Maha Iblis Dari Timur sama- sama mahluk terkutuk yang tak pernah berpihak pada kebenaran!"

Cibir Bocah Ontang Anting ketus. Raka Syiwa cuma menggeram.

"Mengapa kau menemui kami?"

Tanya Raja Gendeng tidak sabaran. Raka Syiwa mengusap bagian tubuh yang berbentuk dagu. Terdengar suara berkeretekan saat jemari tangan beradu dengan dagunya.

"Sebelum kujawab pertanyaanmu, aku ingin ajukan satu pertanyaan padamu"

Kata Raka Syiwa.

"Kurang ajar betul. Bukannya menjawab pertanyaan orang, kau malah ajukan pertanyaan.Agaknya mahluk sepertimu tak sadar sedang berhadapan dengan siapa?"

Maki si kakek sambil unjukan wajah merah.

Mahluk pohon menyeringai dingin.

Raja Gendeng kedipkan mata pada si kakek memberi isyarat agar tak bersikap gegabah dengan menyebut asal usul pemuda itu.

Rupanya kakek itu mengerti tidaklah heran dia akhirnya memilih untuk berdiam diri namun tetap bersikap waspada.

Sementara itu Raka Syiwa tetap ajukan pertanyaan pada Raja.

"Aku bertanya hanya satu kali saja."

"Mahluk konyol, mau bertanya berkali-kali tetap kuberi kesempatan selagi aku belum berubah pikiran!"

Sahut sang pendekar jengkel. Raka Syiwa acuh saja walau sadar pemuda di depannya mulai tidak sabaran terhadapnya. Kemudian untuk kesekian kali Raka Syiwa menmbuka mulut.

"Apa benar kau berasal dari Istana Pulau Es?"

Tanpa ragu Raja anggukkan kepala.

"Jika asal usulmu dari Istana Pulau Es, berarti kau masih keturunan gusti prabu Sangga Langit."

"Itu juga benar. Kok bisa tahu?"

Kata Raja disertai senyum mengejek.

"Kalau begitu kaulah orangnya yang bernama Raja, dikenal dengan sebutan Raja Gendeng berjuluk Sang Maha Sakti Dari Pulau Es. Apakah yang kukatakan ini juga benar?"

"Ha ha ha! Lagi-lagi yang kau katakan benar adanya. Seandainya kau seorang murid, kau pastilah murid nomor satu karena benar terus."

"Sekarang jelaskan padaku mengapa kau menghadang kami?"

Desak Raja tambah tidak sabaran "Raja... dia pasti memendam maksud yang tidak baik!"

Bocah Ontang Anting yang sejak tadi diam sambil memendam kejengkelan di hati tiba-tiba angkat bicara.

"Beri kesempatan padaku untuk menebas habis mahluk pohon satu itu?!"

"Ha ha ha! Sahabatku, aku tahu kau merasa jengkel aku juga bisa mengerti mengapa kau merasa muak dengan mahluk satu ini. Tapi menurutku lebih baik kau menyimpan tenaga untuk persiapan malam empat belas hari bulan nanti. Sekarang sebaiknya kau menepi, berikan kesempatan padaku yang lebih muda unjuk gigi. Kebetulan gigiku masih bagus dan lengkap, kalau kau yang unjuk gigi aku bisa malu besar karena gigimu kuning tak pernah dibersihkan."

"Lagi pula dia belum mengatakan maksudnya! Ha ha ha"

Sahut Raja Gendeng lalu tertawa tergelak- "Raja Gendeng kurang ajar. Biasa-bisanya kau mempermalukan tua bangka ini."

Damprat si kakek. Tapi kemudian dia menyeringai sendiri saat sadar giginya memang kuning berlapis sisa makanan membusuk dan menebar bau tidak sedap. Sementara itu Raka Syiwa terlihat mengumbar senyum lega.

"Orang yang disuruh mencari telah kutemukan, Sekarang sudah waktunya bagiku untuk melenyapkannya"

Membatin mahluk pohon ini dalam hati. Dia lalu melangkah maju. Dua tindak di depan langkahnya terhenti. Pada Raja dia pun berterus terang.

"Anak muda. Kau begitu lugu dan suka berterus terang. Aku suka dengan sikapmu yang konyol. Sebagai keturunan prabu Sangga Langit tak salah kau menjadi penerus tahta orang tuamu. Tapi menurutku kau tak pantas menjadi seorang raja."

"Di dunia ini mana ada seorang raja yang konyol, gila dan gendeng sepertimu. Kau cuma pantas menjadi rajanya orang gendeng sejagad."

Kata Raka Syiwa.

"Pertama itu yang ingin kukatakan.Sedangkan yang kedua aku datang ingin mengambil nyawa busukmu termasuk juga jiwa orang yang mencoba merintangi semua usahaku dalam melenyapkanmu!"

Walau sudah menduga Bocah Ontang Anting tak urung dibuat kaget juga dengan penjelasan Raka Syiwa.

Si kakek merasa darahnya mendidih, namun dia terpaksa menahan amarahnya karena ingat dengan ucapan Raja yang memintanya agar tidak turut campur.

Di lain pihak sang pendekar sendiri malah tersenyum mencibir.

Dia tidak merasa gentar walau telah mendengar ancaman mahluk pohon.

Sebaliknya dengan tenang Raja malah berujar.

"Nyawaku sepenuhnya kuserahkan pada pemilik langit bumi dan penguasa hidup dan matiku. Kalau cuma mahluk sepertimu yang menginginkan nyawaku ini alot lebih alot dari pohon disekelilingmu.Namun bila kau memaksa tak menjadi apa. Tapi kau harus berkata jujur padaku."

"Berkata jujur tentang apa?"

Tanya Raka Syiwa. Disertai tatapan penuh arti Raja Gendeng berkata.

"Apakah kau menginginkan nyawaku karena mendapat perintah dari Maha Iblis Dari TImur?"
Raja Gendeng 2 Maha Iblis Dari Timur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanya si pemuda.

"Terus terang kenyataannya memang demikian."

Wajah Raja yang penuh kemarahan perlahan berubah merah kelam.

Ingat dengan kedua orang tua, saudara dan semua penghuni Istana Es yang tewas terbantai di tangan Maha Iblis.

Kini dia berubah menjadi amat marah.

Seluruh otot-otot ditubuhnya bersembulan.

Matanya yang teduh bersahabat sekarang menjadi beringas dan liar.

"Begitu?"

Kata Raja Gendeng dingin.

"Setelah membantai seluruh orang yang kucintai. Sekarang mahluk terkutuk itu malah menghendaki nyawaku.Sungguh keterlaluan dan kuanggap sebagai keputusan yang goblok. Mengapa dia menyuruhmu menghabisi diriku?"

Tanya Raja Gendeng dengan suara serak tapi lantang.

"Jawabnya tidak sulit. Dia ingin pedang itu tidak jatuh ketanganmu!"

Jawab Raka Syiwa.

"Iblis keparat Laknat dan kau tak disangka- sangka ternyata hanya mahluk tolol kacung suruhan iblis!"

Damprat Bocah Ontang Anting.

Tanpa pernah diduga oleh siapapun si kakek yang memang telah menyiapkan dua pukulan sakti di tangannya secepat kilat menyambar berkelebat ke arah Raka Syiwa.

Dua tangan yang terkepal dan memancarkan cahaya hitam redup menderu ke bagian kepala sedangkan tangan satunya lagi melabrak bagian bahunya.

Raka Syiwa tentu saja tak menyangka bakal mendapat serangan tak terduga secepat itu.

Mahluk yang seluruh tubuhnya berlapis kulit tebal tak ubahnya kulit kayu yang telah mati ini tak sempat menghindar.

Tanpa ampun dua pukulan Bocah Ontang Anting mendarat telak mendarat kedua bagian sasaran yang dituju.

Bleng! Deng! "Akh..!"

Terdengar suara seperti pentungan besi membentur lempengan baja.

Raka Syiwa tergetar, bahu dan kepala serasa sakit berdenyut namun dia tak kekurangan sesuatu apa.

Sebaliknya Bocah Ontang Anting malah terkapar.

Dia merasa seperti ada kekuatan yang tak terlihat menarik belakang leher lalu melemparkannya.

Dengan perasaan heran si kakek bangkit.

Mulut cemburut sedangkan wajah sedikit pucat.

Ketika si kakek bangkit, Raja yang khawatir atas keselamatannya diam-diam memperhatikan.

Dia siap membantu bila Bocah Ontang Anting mengalami sesuatu yang tak diinginkan.

Dan ketika Raja melihat ada yang tidak beres pada dua tangan Bocah Ontang Anting tak dapat menahan diri dia berseru.

"Kek tanganmu!"

Karuan saja teriakan itu membuat si kakek perhatikan tangannya. Mata belok Bocah Ontang Anting membeliak lebar saat perhatikan kedua tangan ternyata dua tangan itu mengalami cidera berupa patah dibeberapa bagian.

"Bangsat sialan! Entah ilmu apa yang dia miliki."

"Aku seperti ada yang melempar. Tanganku laksana menghantam tembok saja. Sekarang patah lagi.Walah.... jadi kerjaan saja!"

Gerutu Bocah Ontang Anting sambil menyeringai menahan sakit di kedua belah tangannya.

"Kek tanganmu harus diobati!"

Kata Raja cemas menyangka tangan sahabatnya tak bisa disembuhkan lagi. Tapi si kakek menjawab acuh.

"Aku tahu... aku tahu. Mahluk pohon sialan itu pasti menyimpan ilmu yang membuat tanganku jadi begini rupa. Sekali lagi aku terpaksa bilang, sialan!"

Lalu acuh saja disertai tatap heran Raja Gendeng, Bocah Ontang Anting hampiri sebatang pohon.

Raja tidak tahu apa yang hendak dilakukan sahabatnya.

Selagi sang Maha Sakti menduga-duga.

Tak disangka-sangka Bocah Ontang Anting malah pukul-pukulkan dua tangannya yang patah di tiga tempat ke batang pohon itu.

Raja nyaris berteriak dengan mencegah.

Tapi kemudian dia jadi melongo saat mengetahui betapa dua tangan yang berpatahan itu mengepulkan asap tipis kebiruan disertai terdengarnya suara berderak.

Krak! Kreek! Kretek! Sungguh menakjupkan.

Di tengah suara jerit lolong kesakitan Bocah Ontang Anting.

Secara mengagumkan dua tangan yang patah tulang belulangnya bersambungan kembali.

Asap tipis biru lenyap.

Si kakek menyeringai sambil mengusap tangannya satu dengan yang lain bergantian.

Dengan sikap seakan tidak pernah terjadi apa-apa.

Bocah Ontang Anting balikkan badan dan sandarkan punggung dipohon yang baru dipukul dengan tangan patahnya.

Si bocah kedipkan mata pada Raja sebagai pertanda dia tidak apa-apa.

Bersamaan dengan itu dia berujar seolah ditujukan pada diri sendiri.

"Bagusnya aku menguasai ilmu Seribu Tulang Susunan Dewa hingga tulangku yang patah cepat bersambung lagi. Sayang... aku tidak sempat menguasal ilmu Air Liur Dewa Kasmaran. Kalau ilmu itu yang kukuasai tentu semua wanita cantik di dunia jatuh cinta tergila-gila padaku. Ha ha ha!"

"Ah. Orang tua gelo. Baru saja mendapat musibah sekarang dia bicara ngaco tak karuan."

Gerutu raja sambil menggaruk kepalanya.

Dia kemudian balikkan badan.

Kini dia dan Raka Syiwa saling berhadap-hadapan.

Raka Syiwa sendiri sebenarnya belum hilang rasa kagetnya.

Dia tak menyangka Bocah Ontang Anting memiliki ilmu kepandaian langka seperti itu.

Dia yang mempunyai ilmu Amarah Kembali tak habis mengerti lawan dapat menyembuhkan cideranya secepat itu.

Namun Raka Syiwa tak mau membuang waktu dan berpikir lama.

Segera saja berkonsentrasi pada lawan yang harus disingkirkannya.

"Aku tak punya silang sengketa denganmu.Tapi aku cuma ditugaskan menjalankan tugas. Tugas yang diberikan adalah dengan membunuhmu!"

Berkata Raka Syiwa dengan penuh semangat.

"Hmm. Aku telah menduga kau cuma sejenis mahluk kesasar yang tidak punya otak tak punya pendirian. Kau menginginkan nyawaku? Aku mau melihat bagaimana caramu melakukannya!"

Dengus Raja Gendeng sambil pencongkan mulutnya.

Raja menggerung saat melihat betapa dari lima ujung jari lawannya membersit.cahaya hitam pekat menggidikan menebar bau amis menyengat.

Dengan gerakan aneh pemuda ini menggeser kaki kanannya ke samping, kepala dimiringkan.

Dua tangan didorong ke depan bergerak sedemikian rupa menepis bagian lengan bawah sementara kaki terus bergeser cepat sambil melakukan tendangan ke bagian perut.

Serangan ganas yang dilancarkan Raka Syiwa luput mengenai sasaran.

Sebaliknya tangan dan kaki Raja Gendeng nyaris menghantam sasaran yang dituju.

Sekonyong-konyong Raja merasakan seperti ada tembok tebal yang sangat keras menghadang di depannya.

Akibat dari kenyataan yang tak terduga itu bukan saja membuat lawan lolos dari serangan.

Sebaliknya sebagaimana yang dialami oleh Bocah Ontang Anting sahabatnya.

Raja juga segera merasakan ada dua tangan yang tak terlihat mendorongnya dengan keras hingga membuatnya jatuh terpelanting.

Melihat lawan terjengkang Raka Syiwa segera menyerbu.

Sambil hantamkan kaki kirinya ke dada lawan dia berkata.

"Kau boleh memiliki segudang ilmu segunung kesaktian. Tapi bila berhadapan denganku segala kepandalan yang kau miliki menjadi tidak berguna!"

Berbarengan dengan ucapannya itu kaki Raka Syiwa menderu ganas, siap menghantam remuk dada pemuda itu.

Tapi Raja segera bertindak cepat.

Sekali dia menggerakkan punggung yang menempel di tanah dia sudah bergeser ke samping.

Serangan luput, Raja lambungkan tubuhnya ke atas.

Tak ayal serangan yang dilakukan Raka Syiwa hanya menghantam tanah.

Hentakan kakinya yang aneh dan sangat keras menimbulkan sebuah lubang menganga dalam setinggi lutut.

Raka Syiwa cepat tarik kakinya yang amblas, dia memutar tubuh.

Kini dilihatnya lawan berdiri tegak sambil berkacak pinggang sementara kepala menggeleng berulang.

"Aku sudah katakan padamu. Dia dilindungi semacam perisai yang tak terlihat. Perisai itu mempunyai daya tolak sebanding dengan serangan yang kita lancarkan pada Raka Syiwa. Paduka Raja Gendeng harus bisa menemukan gerangan apa yang membentenginya!"

Kata Bocah Ontang Anting melalui ilmu mengirimkan suara.

Raja manggut-manggut.

Tidak diberi tahu sekalipun dia sendiri tengah berpikir ke arah sana.
Raja Gendeng 2 Maha Iblis Dari Timur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malah kini dia segera merapal mantra ajian yang memungkinkannya dapat melihat sesuatu yang berada di luar penglihatan biasa.

Sambil berkelit menghindar pemuda ini segera tempelkan tangan kiri ke bagian kening tepat diantara kedua alis matanya.

Mulut berkemak-kemik sedangkan mata dikedap-kedipkan.

Mantra ajian Mata Dewa Menembus Bumi Kelam diterapkan.

Raja sapukan jari telunjuk yang menempel di kening ke bawah.

Sreet! "Auh....

hebat.

Ternyata dia dikelilingi oleh deretan pohon-pohon aneh yang keadaannya hampir sama dengan dia sendiri.

Pepohonan itu ranting dan cabangnya mirip dengan tangan manusia, bergerak terus tak mau diam.

Aku ingin memastikan apakah reranting pohon itu yang mendorongku tadi"

Batin Raja Gendeng.

Penasaran pemuda ini merangsak maju.

Dia kirimkan satu serangan tipuan yang berupa pancingan saja.

Saat serangan menderu siap menghantam deretan pohon gaib yang melindungi mahluk pohon seperti yang telah diduga ternyata memang segera bereaksi.

Deretan pohon seketika menjelma berubah menjadi sosok lain berupa laki-laki tinggi berkulit dan berwajah kehijawan memiliki beberapa tangan kurus kering yang cuma terdiri dari kulit pembalut tulang.

"Aku sudah tahu sekarang! Ternyata kau membawa serta bala bantuan berupa pengawal pribadi yang berada di sekelilingmu. Mahluk culas keparat!"

Teriak Raja Gendeng sambil hantamkan tangan kanannya melepas pukulan Badai Es yang diwariskan oleh Nini Balang Kudu.

Sementara itu mendengar teriakan Raja, Bocah Ontang Anting tersentak kaget.

Dia tidak melihat apa-apa, tapi mengapa Raja mengatakan Raka Syiwa membawa pengawal pribadi.

Apakah mungkin pengawal-pengawalnya terdiri dari mahluk gaib? Kalau benar si kakek menduga kemungkinan besar Raja memiliki ilmu yang memungkinkan dirinya melihat ke alam gaib.

Diam-diam si kakek merasa kagum.

Tapi dia tak ingin bertanya takut mengganggu konsentrasi Raja.

Sebaliknya dia terus mengawasi.

Di lain pihak Raka Syiwa diam-diam dibuat terperangah.

Sedikitpun dia tak menyangka lawan dapat mengetahui kehadiran para pembantunya yang selama ini selalu dia rahasiakan.

Tapi Raka Syiwa tak punya waktu berpikir lebih lama untuk mencari tahu ilmu aneh apa yang dimiliki lawan hingga membuatnya dapat melihat ke alam gaib.

Saat itu serangkum hawa dingin luar biasa menderu menghantam ke arah dirinya juga mahluk gaib jejadian yang berasal dari pohon.

Tidak ada pilihan.

Raka Syiwa tekuk kaki kanan yang berada di depan.

Dua tangan kemudian dia dorong menyambut serangan Raja Gendeng.

Melihat orang yang mereka lindungi mengambil tindakan dengan cara seperti itu.

Mahluk gaib jelmaan pohon hijau segera mengambil tindakan yang sama.

Mereka yang jumlahnya tak kurang dari delapan ini ikut dorongkan tangan masing-masing yang kurus kering tak ubahnya seperti ranting ke arah lawan.

Gelombang hawa panas luar biasa menderu ganas menyongsong serangan yang dilakukan Raja.

Tentu saja kekuatan serangan Raka Syiwa yang dibantu oleh delapan orang pengawalnya makin berlipat ganda.

Tak dapat dicegah.

Bentrok dua pukulan saktipun terjadi.

Terdengar suara ledakan dahsyat beruntun.

Pijaran bunga api memercik di udara.

Pukulan Raja tersapu lenyap.

Di tanah terdapat sebuah lubang menganga dalam akibat ledakan.

Raja bahkan terlempar sejauh tiga tombak, jatuh terlentang dengan nafas megap-megap dan kepala sakit berdenyut.

Namun secepatnya dia bangkit berdiri.

Belum sempat berdiri tegak lawan sudah memburunya disertai delapan pengawal gaib yang siap lancarkan pukulan mematikan.

Melihat ini Bocah Ontang Anting tidak tinggal diam.

Si kakek melesat.

Secepat kilat dia menyerang Raka Syiwa dengan menggunakan pukulan sakti yang dikenal dengan nama Amarah Mayat Berkabung.

Serangkum cahaya putih kemerahan disertai suara jerit dan pekikan aneh menderu dari tangan si kakek.

Raka Syiwa dan delapan pengawal gaibnya terkejut bukan olah-olah begitu merasakan ada hawa dingin dan hawa panas luas biasa menderu datang dari arah samping sebelah kiri mereka.

Dari perbawa serangan Raka Syiwa segera menyadari serangan si kakek bukan serangan biasa.

Tak ayal sambil menggeram marah Raka batalkan niatnya menghabisi Raja.

Sebaliknya dia memutar tubuh lalu sambut serangan ganas lawan dengan pukulan Tuah Pohon Sakti Menyendiri Di Kesunyian.

Wuss! Wuss! Dari dua tangan kedua dan juga mata Raka Syiwa secara aneh melesat empat larik cahaya hijau.

Dua larik cahaya berasal dari tangan kiri dan tangan kanan, sedangkan yang dua lagi berasal dari sepasang matanya.

Delapan pengawal tak mau diam.

Mereka juga menghantam Bocah Ontang An- ting dengan pukulan ganas yang mengandung hawa panas luar biasa ke arah si kakek.

Walau tak melihat ujud mahluk yang menyerangnya.

Namun si kakek agaknya menyadari ada serangan lain yang menyertai serangan Raka Syiwa.

Tak ayal lagi dia kembali menghantam ke depan dan secara membabi buta menyambut serangan delapan pengawal gaib Raka Syiwa.

Cahaya putih kemerahan kembali menderu menyusul cahaya sebelumnya yang dilepaskan oleh si kakek.

Buum! Buum! Benturan keras yang terjadi mengakibatkan tiga ledakan dahsyat menggelegar.

Pohon di sekeliling mereka hancur tumbang berguguran.

Raka Syiwa terhuyung.

Delapan pengawal gaib pelindung jatuh berkaparan di tanah, enam diantaranya menderita cidera berat sedangkan dua pengawal lagi tewas seketika dengan tubuh hangus dikobari api lalu lenyap menjadi kepulan asap.


Pendekar Slebor Dendam Jasad Dedemit Dewa Arak 65 Si Linglung Sakti All In Blackstone Affair 2 Karya Raine

Cari Blog Ini