Raja Gendeng 14 Misteri Perahu Setan Bagian 1
Raja Gendeng 14 Misteri Perahu Setan
****
Karya Rahmat Affandi
Sang Maha Sakti Raja Gendeng 14 dalam episode
Misteri Perahu Setan
*****
Team Kolektor E-Book
Buku Koleksi : Denny Fauzi Maulana
(https.//m.facebook.com/denny.f.maulana)
Scan,Edit Teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
(http.//ceritasilat-novel.blogspot.com)
Dipersembahkan Team
Kolektor E-Book
(https.//www.facebook.com/groups/Kolektorebook)
*****
Pagi hari.
Suasana yang sejuk menyelimuti kali Dengkeng.
Di atas ranting pepohonan yang tumbuh condong ke arah kali burung-burung berkicau menyambut datangnya pagi.
Di langit sebelah timur tidak terlihat tanda-tanda matahari bakal memunculkan diri.
Langit gelap disaput mendung kelabu. Sementara di atas pohon besar yang condong setengah rebah di kaki bukit, seorang pemuda tampan berambut gondrong berpakaian kelabu yang bukan lain adalah Sang Maha Sakti Raja Gendeng adanya baru saja membuka matanya.
Udara yang dingin di kawasan itu membuat lelap tidur sang pendekar.
Pemuda ini lalu menggeliat.
Setelah mengusap matanya dia menatap lurus ke depan.
Nun dikejauhan sana terlihat gunung Anjasmoro menjulang tinggi seakan menyandak langit.
"Pagi yang dingin.Mata melek penuh belek. Di bawah sana ada sungai.Tapi..."
Raja tidak menyelesaikan ucapannya.
Membayangkan saat menyentuh air sungai yang dingin sejuk dapat membuat sekujur tubuhnya menggigil, pemuda ini menggeliat lagi.
Sementara itu sepasang matanya menatap ke arah sekelilingnya.
Tidak ada yang dapat dilihat .Pemandangan yang biasanya indah di tempat itu terutama di pagi hari kali ini diselimuti kabut tebal.
"Di sana kabut di sini kabut. Di mana-mana dipenuhi kabut. Bagus aku tidak kentut. Seandainya sampai kentut pemandangan di tempat ini akan tambah butut."
Kata pemuda itu lalu tersenyumsenyum sendiri. Sang pendekar yang semula rebah dibatang pohon kini berusaha duduk.
Dua kaki dijulur menjuntai ke bawah.
Mulut komat-kamit, lidah dijulur menjilat sudut bibir kiri kanan.
"Asin...!"
Sang Maha Sakti menyeringai lagi.
"Bibirku jadi asin. Padahal jauh dari laut. Aku kira rasa asin di ujung bibirku karena iler, air liurku yang mengering. Masih bagus selagi tidur aku cuma mengiler, bagaimana kalau sampai ngompol juga. Seumur hidup tak akan ada gadis yang mau denganku. Ha ha ha...!"
Gumam pemuda itu disertai tawa mengekeh.
Tapi tawa sang pendekar mendadak lenyap.
Entah mengapa dia ingat pada Kabut Hitam.
Mahluk berujud anjing besar berbulu hitam yang aslinya adalah seorang gadis sakti berwajah cantik .Seperti telah dikisahkan dalam episode sebelumnya.
Setelah kejadian meluapnya air bah yang hampir menenggelamkan desa Tretes.
Keduanya yang terseret arus air saat berusaha membantu menyelamatkan penduduk desa itu akhirnya terpisah.
Hingga saat ini Raja tidak tahu apakah Kabut Hitam yang aslinya bernama Bulan Perindu masih hidup ataukah sudah menemui ajal.
"Seluruh rakyat di tanah Dwipa ini harus bebas dari penindasan dan kesengsaraan hidup yang panjang. Dan kebebasan hidup tidak mungkin mereka nikma?i jika Gagak Anabrang yang menjadi biang malapetaka masih ada,"
Pikir Raja.
"Aku berterima kasih pada Kabut Hitam yang telah banyak membantu. Semoga dewa melindungi dan memberinya umur yang panjang, nafas panjang wajah cantik dan semuanya serba panjang," kata sang pendekar lalu lagi-lagi senyum sendiri .
Hujan gerimis tiba-tiba turun. Senyum si pemuda mendadak lenyap. Seakan enggan meninggalkan batang pohon yang dijadikan tempat tidurnya sepanjang malam, pemuda ini malah bergeser mencari tempat yang lebih teduh. Tapi baru saja dia duduk dicabang pohon yang lebih teduh, sayup-sayup terdengar suara orang bersenandung dan air kali yang berkeciprak.
Sang Maha Sakti tertegun.Lalu menatap ke arah jurusan Kali Dengkeng. Saat itu jarak antara kali dengan pohon tempat di mana dirinya beerada hanya sejauh sepuluh tombak, sehingga dari ketinggian pohon seharuaenya dia dapat melihat jelas siapa yang berada di dalam kali itu. Setelah memperhatikan alur kali dari arah hulu hingga ke hilir dengan seksama Raja merasa heran sebab tidak melihat searang pun berada di dalam kali tersebut.
"Apa karena aku baru saja bangun tidur dan pandangan terhalang oleh belek di mata hingga tak dapat melihat orang yang berada di dalam kali" batin Raja.
Penasaran dia mengusap matanya tiga kali. Setelah mata diiusap, sekali lagi dia menatap ke arah Kali Dengkeng.
Astaga!
Mata sang pendekar membelalak lebar saat melihat di dalam alur kali yang sangat luas, sedikitnya ada lima orang gadis berkulit putih bagus berpinggul besar tengah berenang hilir mudik sambil bercengkerama .Melihat pemandangan indah dari gadis-gadis muda. Raja sempat tidak berkedip. Tapi selintas pikiran muncul dalam benaknya.
"Dari mana gadis-gadis muda itu datang? Di sekitar tempat ini tidak ada satu pun rumah penduduk. Kali Dengkeng dikellingi hutan rimba yang lebat. Apakah mereka manusia? Ataukah mereka adalah para bidadari yang baru turun dari Kayangan?" membatin Raja dalam hati.
Sambil terus memperhatikan mengawasi sang pendekar melanjutkan,
"Seandainya mereka bidadar kayangan. Apa di sana tidak ada air, sungai atau danau yang indah untuk membersihkan diri dan bersegar diri?"
Dengan wajah merah pemuda itu palingkan kepala menatap ke jurusan lain.
Dalam diam dia berpikir.
Namu hati murid Ki Panaraan Jagad Biru Ini terusik saat menyadari suara gadis-gadis yang bersenandung dan bersenda gurau tadi mendadak lenyap.
Begitu juga suara kecipak air sungai tak terdengar lagi.
Penasaran pemuda ini kembali menatap kearah sungai tempat di mana gadis-gadis itu berada. Tapi kejut di hati Sang Maha Sakti bukan alang kepalang ketika mendapati para gadis yang mandi di sungah itu ternyata telah raib.
Semua pemandangan indah yang dilihatnya benar-benar berubah.
Raja tidak pernah tahu kemana perginya para gadis itu.
Yang pasti di dalam kali Dengkeng sebagai gantinya sang pendekar melihat lima ekor kawanan kerbau liar sedang berendam di sana.
"Aneh! Apakah ada yang salah dengan mataku?"
Desisnya sambil mengusap kedua belah mata.
"Hanya kerbau..."
Gumam pemuda itu lagi setelah matanya kembali diarahkan ke alur kali.
Bingung dan penasaran dia memukul-mukul kepalanya sendiri.
"Mungkin bukan mataku yang salah. Bagaimana bila otakku yang sudah tidak lempang lagi. Apakah aku sudah gila?"
Gumam Raja heran.
Setelah cukup lama memikirkan kejadian yang dianggapnya tidak masuk akal itu, Sang Maha Sakti Raja Gendeng tiba-tiba ingat dengan sang jiwa yang bersemayam dalam hulu pedang Gila.
Senjata sakti yang dulu semasa berada di atas istana pulau Es menjadi incaran banyak tokoh yang diantaranya adalah Maha Iblis Dari Timur.
(Untuk lebih jelas pembaca dapat mengikuti episode 'Misteri Pedang Gila)
Raja tiba-tiba menepuk rangka pedang di sebelah bawah yang bertengger menggelantung di punggungnya.
"Wahai... sahabatku.Jiwa yang bersemayam di hulu Pedang Gila. Apakah kau berada di tempat, apakah kau mendengarku?"
Kata Raja setengah bertanya.
Sunyi.
Tak ada jawaban.
Kesal pemuda ini kembali menepuk rangka pedang dengan tepukan yang lebih keras.
"Hoi jiwa yang berada di hulu pedang. Aku butuh teman bicara, ada sesuatu yang menjadi ganjalan. Apa yang kau lakukan di dalam sana. Lekas bangun. Jawab pertanyaanku!"
Plak!
Sebagai gantinya Raja merasakan ada tangan tidak terlihat menampar pipinya membuat pemuda itu mengaduh kesakitan.
Pipi lalu diusap-usap, namun mulut mendamprat.
"Hei..! Berani benar kau menamparku? Tidakkah kau tahu aku adalah seorang raja yang harus dihormati?"
Hardik sang pendekar, wajah unjukkkan rasa tidak suka mulut bersungut-sungut.
Tiba-tiba Raja mendengar suara mengiang di telinga kanan. Dan pemuda ini sadar suara mengiang itu datang dari Jiwa dalam hulu pedang.
"Saya tidak tuli, paduka Raja. Saya juga tidak sedang tidur. Sudah lama paduka tidak mengajak saya bicara atau berbincang-bincang membuat saya memilih untuk bersemedi"
"Oalah! Tak kusangka kiranya kau marah padaku. Ketahuilah bukannya aku tidak mau mengajakmu bercakap-cakap. Aku tidak sempat tak punya waktu karena urusanku banyak."
Kilah sang pendekar.
"Apakah urusan dan kesibukan paduka Raja termasuk memperhatikan, mengintip lima kerbau hutan yang sedang mandi?!"
Raja Gendeng 14 Misteri Perahu Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata jiwa dalam pedang penuh sindiran. Diam-diam sang pendekar tercekat
"Bagaimana kau bisa tahu?"
Tanya pemuda itu kaget. Tapi kemudian tak kuasa menahan tawa. Setelah ketawanya berhenti, lalu kembali menyambung ucapannya.
"Jiwa dalam pedang apa benar kau hanya melihat lima ekor kerbau liar. Kau tidak melihat sesuatu yang lain. Misalnya..."
Raja tidak menyelesaikan ucapannya malah menggaruk kepala.
"Adakah sesuatu yang membuat paduka Raja bingung? Tidak ada siapa-siapa di sini. Hanya kita berdua. Paduka hendak berkata apa. Misalnya.. yang paduka maksudkan itu kelanjutannya apa?"
Wajah pemuda itu berubah merah. Sulit rasanya untuk berterus terang, Apalagi bicara tentang gadis-gadis yang dia ihat.
"Paduka terlihat ragu, ingin menyampaikan sesuatu namun malu. Apakah selain kerbau liar paduka hendak mengatakan bahwa ada lima bokong indah lainnya yang sempat paduka lihat?"
Tanya sang Jiwa.
Raja menjadi kaget .Tanpa sadar dia berseru.
"Bagaimana kau bisa tahu? Benar kau melihat lima anu yang lain?"
Tanyanya dengan wajah berseri
"Anu apa yang paduka maksudkan? Apakah anunya buaya? Wah kalau yang satu itu saya tidak melihatnya yang mulia, Saya memang melihat banyak buaya di bagian hilir. Sayang saya tidak berani memeriksanya."
"Jangan bicara ngaco. Sebelum melihat kerbau-kerbau itu. Terus terang aku melihat ada gadis-gadis yang sedang mandi, berenang di kali itu sambil bersenda gurau. Gadis-gadis itu lenyap Lalu yang kulihat hanya ada lima kerbau."
"Mungkin gadis yang paduka lihat sedang kumpul kebo. Eeh... maksud saya mereka bisa berubah menjadi kerbau."
"Jiwa dalam pedang!"
Kata Raja dengan suara menggeram.
"Saya yang mulia."
"Kuharap kau tidak bercanda. Aku bersungguh-sungguh. Aku memang melihat para gadis di kali itu. Menurutmu apakah pandangan mataku keliru atau otakku yang sudah tidak lempang lagi?"
"Saya rasa yang kedua yang betul, paduka."
Sahut Jiwa disertai tawa mengekeh.
"Kamprett" geram Raja sambil katubkan mulut dan kepalkan kedua tinjunya.
"Masih saja kau bergurau denganku?"
"Paduka. Maafkan saya. Jangan mengumbar amarah mengikuti kata hati. Orang yang sering marah cepat mati."
"Aku tidak peduli"
Dengus Raja membuat Jiwa dalam pedang tak berani lagi bicara sembarangan
"Baiklah Jika paduka menghendaki saya bicara yang sebenarnya. Terus terang di luar kali Dengkeng memang tidak ada apa-apa.Tidak ada gadis mandi tidak pula ada kerbau. Semuanya biasa biasa saja."
"Hah."
Raja terperangah.
Namun dia segera menoleh, menatap ke arah kali di mana kerbau liar mendekam di sana.
Mata sang pendekar mendelik ketika melihat kali itu, tepat seperti dikatakan jiwa Pedang memang tidak terlihat binatang apapun,
"Bagaimana mungkin?"
"Ada yang tak beres. Ada sesuatu hadir di tempat ini, namun paduka Raja tidak menyadarinya."bisik sang Jiwa.
Terbelalak dengan tatapan tidak percaya tanpa sadar sang pendekar berpaling menatap ke arah hulu pedang.
"Sungguhkah bicaramu itu? Memangnya siapa yang hadir di tempat ini?"
Tanya Raja tak mengerti.
"Saya dapat merasakan seseorang yang tak dapat saya katakan apakah itu mahluk ataukah manusia berkepandaian tinggi yang telah mengirimkan sesuatu yang membuat paduka menjadi bingung."
"Siapa pun dia memangnya apa yang telah dikirimkannya kepadaku?"
"Astaga! Harusnya paduka tidak menyebut kata-kata seperti itu. Lihatlah mer?ka ada dan muncul di mana-mana?!"
Seru sang Jiwa gugup.
"Apa maksudmu heh?"
Seru pemuda tak mengerti.
"Lihatlah di sekeliling kita!"
Ucap jiwa dalam pedang.
Terdorong oleh rasa ingin tahu dan curiga, secepat diberi tahu secepat itu pula pendekar Sang Maha Sakti pallingkan kepala menatap keadaan di sekelilingnya.
Ketika mata menatap memperhatikan, kejut di hati sang pendekar bukan kepalang. Dia melihat puluhan mahluk aneh serba putih tembus pandang sebagaimana yang dikatakan sang jiwa muncul di seluruh penjuru.
Semua mahluk itu tanpa suara, melayang sedemikian rupa tanpa menyentuh tanah bergerak melangkah mendatangi Raja.
"Mahluk-mahluk itu siapakah mereka? Dari mana mereka datang?"
Tanya si pemuda dengan mata jelalatan memperhatikan
"Mereka tidak datang dari mana-mana. Mereka ada di sekitar kawasan kali Dengkeng ini, paduka. Lihatlah ke sudut sebelah kiri tak jauh dari pohon rengas itu!"
Sahut sang Jiwa.
Tanpa membuang waktu Raja menatap ke arah yang dimaksudkan.
Dia melihat ada kabut pekat di bawah pohon rengas.
Kabut itu ditiup oleh pusaran angin.
Setelah sempat berputar-putar, kabut membagi diri menjadi beberapa bagian. Selanjutnya bagian-bagian kabut yang terpecah itu membentuk satu sosok mewujud menjadi manusia tembus pandang.
Seolah tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Raja mengusap mata sambil gelengkan kepala
"Tidak mungkin! Apa yang kulihat ini kurasa hanya tipuan mata, semuanya ini hanya sihir, tenung yang dilancarkan oleh seseorang."
Sentak sang pendekar. Takjub ada heran pun ada.
"Tepat."
Kembali terdengar suara ngiang jawaban sang Jiwa.
"Mahluk-mahluk yang datang, muncul di tempat ini berasal dari mantra-mantra Ilmu hitam yang dilancarkan seseorang."
"Siapapun yang mengirimkannya dia adalah orang yang memiliki ilmu serta sihir yang sangat kuat."
"Ini dapat dilihat betapa sempurnanya mahluk yang berasal dari kabut itu, Lihatlah baik-baik kesempurnaan ciptaan mantra itu.Ada mata, ada kepala, hidung, tangan, tubuh kaki dan yang lainnya."
"Walaupun sebagian anggota tubuh itu terbalik"
Sindir Raja disertai senyum mencibir.
"Benar. Terbalik sebagian namun yang lainnya cukup bagus."
Sahut Jiwa membenarkan.
"Apakah mereka ini hidup?"
Tanya Raja sementara pandangannya terus tertuju kepada mahluk-mahluk yang mendekat ke ?rahnya.
"Ya."
"Aku tidak percaya ada seseorang selain pemilik langit bumi yang dapat menghidupkan kabut."
Tukas Raja.
"Yang paduka Raja lihat hanya sebuah tiruan. Mereka ada karena kekuatan., Tanpa mantra, yang namanya kabut selamanya tetap kabut."
Terang sang Jiwa
"Apakah mereka punya nama?"
Tanya pemuda itu lagi.
"Ya. Mahluk yang dibangkitkan dari kabut oleh kekuatan mantra hitam sesat. Orang-orang dahulu sering memberinya nama Mahluk Alam Kabut..." jelas jiwa dalam pedang.
"Apa? Mahluk Kalang Kabut?! Aneh sekali namanya?" kata Raja dengan lagak selayaknya orang tuli.
"Paduka. Harap jangan bertingkah seperti orang tuli. Paduka tidak budek, suara saya cukup Jelas,"
Ucap sang Jiwa kesal.
Kemudian tiba-tiba saja pemuda itu merasakan ada mulut yang tidak terlihat meniup liang telinganya kiri kanan membuat sang pendekar berjingkrak karena tiupan itu membuat telinganya seperti digelontor air es.
Ulah Sang Jiwa membuat Raja berteriak tidak karuan.
"Hei, apa yang kau lakukan?"
"Ha ha ha. Saya hanya ingin memastikan telinga paduka memang tidak tuli."
"Baiklah. Sekarang aku tidak mau bergurau lagi. Apa yang kau katakan aku mendengarnya dengan jelas. Tadi kau mengatakan mereka adalah mahluk Alam Kabut,"
Dengus pemuda itu sambil mengusapi kedua telinganya yang dingin seakan beku.
"Ya. Saya memang berkata begitu"
"Tapi kau lihat sendiri aku tidak punya waktu denganmu lebih lama. Lihatlah, mereka sudah semakin mendekat. Aku harus...!"
Sang pendekar tidak sempat menyelesaikan ucapannya, karena pada waktu yang bersamaan puluhan mahluk serba putih tembus pandang telah menyerang sang pendekar dari segala penjuru. Melihat puluhan mahluk putih menyerang dari atas, bawah, samping kanan-kiri dan belakang.
Pemuda ini tidak mau mengambil resiko.
Ketika mahluk-mahluk itu menghujaninya dengan pukulan dan tendangan.
Raja Gendeng 14 Misteri Perahu Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia yang tadinya duduk sambil uncang-uncang kaki segera melompat bangkit. Secepat tubuhnya melambung ke udara Raja menghantam dua mahluk yang menyerang bagian kepala. Angin dingin menderu.
Pukulannya melabrak tubuh mahluk itu. Tapi walau sudah menduga tak urung Sang Maha Sakti Raja Gendeng dibuat terperangah karena serangannya seperti menghantam angin.
Tanpa berpikir lama, pemuda itu segera memutar tubuh.
Dua tangan kembali dikibaskan dengan gerakan menghalau.
Sedangkan kaki yang bebas bergerak ikut pula menghantam .Cahaya merah berkiblat dari tangan Raja, sedangkan dari bagian kaki memancar Cahaya biru benderang.
Hawa dingin dan hawa panas menderu menghantam ke segenap penjuru.
Puluhan mahluk penyerang tidak tinggal diam. Dengan kecepatan luar biasa mereka pun menghantam, menangkis sekaligus melakukan serangan balasan ke arah Raja.
Cahaya putih menyilaukan mata bertebaran di udara, menggempur ke arah Sang Maha Sakti disertai tebaran hawa dingin luar biasa.
Tak dapat dihindari lagi beradunya tenaga dalam pun terjadi.
Tidak ada ledakan maupun letupan yang terdengar. Raja tersentak ketika merasakan tubuhnya dari atas hingga ke bawah seperti digencet balok es dari delapan arah sekaligus.
Pemuda ini megap megap.
Sekujur tubuhnya seakan remuk.
Wajah pucat dan kucurkan keringat dingin.
Greek!
Greek!
Terdengar suara sendi-sendi tulangnya berkeretekkan.
Rasa sakit pada setiap persendiannya sungguh luar biasa.
Sambil menggeram pemuda itu menahan nafas.
Sementara melihat majikannya mengalami kesulitan.
Sang Jiwa tiba tiba berbisik.
"Paduka. Biarkan saya membantu paduka!"
"Kau diam saja di situ. Aku masih bisa mengatasinya sendiri."
Sahut Raja.
Ucapan pemuda itu memang tidak berlebihan, Saat itu juga dia alirkan tenaga dalam sekaligus tenaga sakti kesekujur tubuhnya.
Dua tangan yang mendekap di bagian dada perlahan direntang. Kemudian dengan menggunakan jurus Tangan Dewa Menggusur Gunung diapun menghantam puluhan mahluk putih dan tangan lainnya menggunakan pukulan Kepakan Sayap Rajawali.
Seet!
Wuss!
Byar!
Satu gelombang angin luar biasa ganas menderu ke segala penjuru arah, lalu menghantam mahluk-mahluk yang mengerubutinya.
Walau puluhan mahluk berusaha menangkis dengan mendorong tangan masing-masing lebih keras lagi.
Tapi puluhan tubuh yang mengapung diketinggian pohon itu ternyata tak mampu bertahan.
Tak ayal.
Seperti helai bulu burung yang disapu angin.
Puluhan mahluk berpelantingan disertai suara jerit dan desis aneh.
Sebagian diantaranya hancur menjadi kepingan kabut. Sedangkan yang lainnya jatuh dibawah pohon.
Serangan yang dilakukan Raja ternyata tidak hanya membuat puluhan mahluk putih penyerang rontok.
Lebih dari itu daun pohon yang rimbun hancur menjadi kepingan dan bertebaran.
Ranting dan cabang pohon tercerai berai, berjatuhan ke tanah dalam berbentuk serpihan.
Raja mendengus.
Dengan gerakan seringan kapas dia melesat kebawah.
Namun baru saja kakinya menjejak tanah, beberapa lawan yang selamat dari serangan kembali merangsak, menggempur pemuda itu dengan kekuatan penuh. Walau Raja bergerak lincah, melluk-liukkan tubuh sambil melompat kesana kemari.
Tak urung salah satu pukulan lawan masih menyambar punggung dan bahunya.
Raja merasakan seperti dihantam benda lunak dan empuk. Namun hantaman itu menimbulkan rasa sakit yang sangat luar biasa, membuat sang pendekar terhuyung namun masih sanggup kibaskan tangan sambil berputar.
Wuus!
Satu gelombang angin menderu secara susul menyusul disertai tebaran uap putih seperti bunga es.
Semua mahluk penyerang menggerung sambil berusaha menahan pukulan Badai Es yang di lancarkan oleh Raja.
Sia-sia saja mereka bertahan.
Ketika pukulan sakti yang dilakukan Raja menyapu tubuh mereka.
Seketika itu juga sosok yang berasal dari kabut tak kuasa lagi menggerakkan sekujur tubuhnya.
Terdengar suara jerit melolong di sana-sini.
Satu demi satu mereka jatuh bertumbangan.
Begitu tubuh mereka menyentuh tanah.
Sosoknya pun lenyap mengepul menjadi uap.
Sang Maha Sakti dari Istana Pulau Es itu menghela nafas disertai gelengan kepala.
Sekejab dia layangkan pandang memperhatikan keadaan disekelilingnya.
Kini tidak terlihat lagi satu pun mahluk dari Alam Kabut itu.
Lalu tanpa menoleh ke belakang dia berseru ditujukan pada jiwa pedang.
"Sihir seharusnya kulawan dengan sihir juga. Apa pendapatmu tentang semua yang baru saja terjadi?"
Sunyi sekejab, namun Raja kemudian mendengar suara ngiang ditelinganya.
"Pertama tama saya mengucapkan selamat karena paduka tidak kekurangan sesuatu apa. Yang kedua menurut saya sihir memang harus dilawan dengan sihir juga. Paduka punya ilmunya dan kemampuan untuk melakukannya."
"Aku tahu, Tapi siapa yang mengirimkan mantra sihir itu padaku?"
Tanya Raja bingung.
"Mengenai siapa yang telah melakukan perbuatan keji pada paduka. Saya yakin orangnya adalah penghuni Perahu Setan."
"Perahu Setan? Siapa penghuni Perahu Setan? Apakah dia manusia sepertiku ataukah dedemit gentayangan?"
Kata Raja setengah bertanya.
"Saya tidak bisa menjawab paduka.Keberadaan Perahu Setan dan penghuninya telah diketahui kalangan tokoh dunia persilatan sejak dulu. Namun siapa pemilik sekaligus orang yang berdiam dalam perahu itu tidak ada yang tahu.Paduka, saya yakin penghuni Perahu Setan ingin menghabisi sekaligus membunuh paduka."
"Aku sudah tahu, Jubah Sakti dan Jubah Api telah mengatakannya padaku."
"Mengapa?"
"Jangan berlagak tolol, Jiwa. Kau melihat sendiri ketika berada di Tretes aku telah membunuh dua saudara kembar bernama Ayudra Bayu dan Ayudra Tirta kaki tangan Gagak Anabrang .Terbunuhnya mereka ditanganku rupanya menimbulkan rasa tidak senang di hati gurunya."
"Dua kembaran itu? Bukankah mereka manusia sesat. Mengapa guru mereka mempersoalkan kematian mereka?"
Tanya sang Jiwa heran.
"Jawabannya cukup mudah. Jika seorang guru membiarkan kelakuan bejat muridnya lalu membela kematian sang murid, maka perbuatan gurunya juga tidak kalah bejat dengan kelakuan muridnya."
"Hm, ternyata otak paduka Raja cukup encer."
Memuji sang Jiwa.
"Kau tidak usah berlebihan. Kalau otakku encer munglin isinya sudah meluber keluar melalui lubang telingaku, Dan kemana-mana telinga ini pasti menebar bau tidak sedap."
"Paduka jorok sekali, Ucapan paduka membuat saya mau muntah."
Kata jiwa yang disambut dengan gelak tawa sang pendekar.
Kemudian sambil tertawa-tawa dia tinggalkan tempat itu.
*****
Tubuh pendek kerdil berpakaian hijau berpenampilan selayaknya seorang raja itu duduk dengan menenggelamkan diri di atas kursi kebesaran empuk yang seluruh rangkanya terbuat dari emas murmi.
Tak jauh di belakangnya seorang gadis ayu berpenampilan seronok berpakaian kuning tipis yang hanya menutupi bagian aurat sebelah atas dan bawah terus menerus menggerakkan kipasnya.
Sementara delapan perempuan lain berusia dibawah dua puluh lima tahun berpakaian serba hijau yang tak lain adalah Gagak Anabrang adanya tersenyum saat salah satu istrinya mengusap dan membelai dadanya yang ditumbuhi bulu-bulu lebat.
"Tidak sekarang istriku. Akan ada malam istimewa untuk membahagiakan kalian semua!"
Kata Gagak Anabrang dengan suara parau seperti tercekik.
Lalu dia menjauhkan jemari tangan yang lembut itu.
Sang istri wanita berkulit kuning langsat berwajah cantik walau kecewa namun tidak berani membantah
"Sudah lama kita tidak bersenang-senang suamiku. Kami semua siap melayanimu!"
Berkata perempuan muda sekaligus istri kedua Gagak Anabrang mengingatkan.
Diingatkan begitu rupa Gagak Anabrang merasa tersinggung.
Dia yang semula menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi segera bangkit .Begitu bediri tegak dia membuka mulut,
Raja Gendeng 14 Misteri Perahu Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Banyak urusan rumit yang menghadangku akhir:akhir ini. Sebagai suami aku tidak pernah membuat kalian kecewa bukan?" kata Gagak Anabrang sambil layangkan pandang menatap ke arah istri-istrinya satu demi satu.
Delapan istri yang duduk mengelilingnya tundukkan kepala tapi manggut-manggut tanda membenarkan ucapan Gagak Anabrang. Kemudian salah seorang diantaranya membuka mulut memberi jawaban.
"Maafkan kami semua kakang. Kami sadar kakang tidak pernah mengecewakan kami semua. Dan kami ikut merasa prihatin atas diri dan keselamatan istri utama kakang yang hingga saat ini belum juga kembali"
"Bagus. Ternyata kalian masih peduli atas keselamatan istri tuaku. Dan kalian cukup mengerti jika bukan Rai Nini dan segala bantuan yang telah diberikannya, kalian tidak mungkin menjadi istriku" kata Gagak Anabrang disertai senyum sinis.
Sekali lagi perempuan-perempuan belia yang bersimpuh dibawah kaki kursi sama anggukkan kepala. Tapi kini tidak seorangpun diantara mereka yang berani bicara. Suasana hening menyelimut. Hanya suara desir angin yang berasai dari kipas besar yang digerakkan gadis berpakaian kuning yang terdengar.
Sampai kemudian terdengar suara langkah langkah berat mendekati pintu utama. Suara langkah terhenti di balik pintu. Gagak Anabrang menatap tajam ke arah pintu. Setelah itu dia berkata.
"Lor Gading Renggana. Kaukah yang berdiri di balik pintu itu?"
Sebagai jawaban terdengar suara raungan menggeledek.
Gagak Anabrang terkejut namun segera maklum orang yang datang bukanlah Lor Gading Renggana, orang besar berkepala kecil berselubung kain hitam yang selama ini selalu mengantar dirinya berpergian kemana-mana.
"Patijara... ternyata kau yang muncul."
Seru Gagak Anabrang dengan mata berbinar wajah berseri.
"Aku telah menganggapmu lebih dari sahabat. Karena itu jangan bersikap sungkan. Masuklah rumahku ini tidak terkunci!"
Baru saja Gagak Anabrang selesai berucap. Terdengar suara deru menerpa pintu. Pintu terbuka lebar. Di depan pintu berdiri tegak satu sosok aneh berupa seekor burung hitam besar setinggi pinggul orang dewasa. Gagak Anabrang menatap mahluk di depan pintu beberapa jenak lamanya. Dia melihat burung hitam memperhatikan istri-istrinya sekilas. Melihat tatap aneh dari sepasang mata sang mahluk yang kemerahan tanpa ada warna hitam atau coklat dibagian tengahnya itu, Gagak Anabrang tersenyum.
"Kau tidak sedang menginginkan wanita bukan? Atau kau merasa tertarik pada salah seorang istriku."
Sindir Gagak Anabrang disertai senyum sekaligus julurkan lidah hitamnya yang panjang bercabang.
"Kreak!"
Burung hitam bermata merah keluarkan suara pekikan keras sekaligus gelengkan kepala.
Melihat burung menggeleng-geleng. Gagak Anabrang segera memberi isyarat pada delapan stri sekaligus gadis pengasuhnya untuk meninggalkan ruangan itu.
Wes!
Tiga kali burung berbulu hitam pekat itu menggerakkan tubuhnya.
Seketika itu pula sOsoknya lenyap menjelma berubah menjad seorang laki-laki muda berusia sekitar tiga puluh tahun, berkulit bersih berpakaian serba hitam
"Kuucapkan selamat datang padamu sahabatku.Mendekatiah kemari, kau boleh duduk dimanapun yang kau sukai!"
Patijara tersenyum dingin.
Lalu tanpa bicara dia melangkah lebar, menghampiri sebuah kursi dan duduk di depan Gagak Anabrang.
"Bagaimana hasil penyelidikanmu, Patijara?" bertanya Gagak Anabrang tidak sabar lagi.
Orang yang ditanya bersikap acuh, membuat Gagak Anabrang merasa tidak senang.
Namun mengingat Patijara sangat dibutuhkannya saat ini. Gagak Anabrang hanya bisa memendam segala kemarahan dihati dengan tersenyum.
"Jelaskan apa saja yang kau temui dalam perjalananmu.Aku telah siap mendengarkan segala kemungkinan hingga kabar terburuk sekalipun."
Tanya Gagak Anabrang.
Patijara menghela nafas panjang.
Sambil sandarkan punggungnya pada sandaran kursi dia menatap Gagak Anabrang.
Seumur hidup bersahabat dengan Patijara. Gagak Anabrang baru kali ini ditatap dengan sorot mata aneh seperti itu membuat perasaannya jadi tidak karuan.
"Jangan-jangan... istriku itu.."
Batin Gagak Anabrang. Namun dia memilih untuk tidak berpikir terlalu jauh lebih dahulu.
"Sebenarnya paman sudah mengetahui apa yang hendak aku sampaikan!"
Ujar pemuda yang dapat merubah diri menjadi beberapa mahluk lain itu
"Apa maksudmu? Kau belum bicara apa-apa bagaimana aku bisa tahu apa yang hendak kau sampaikan Patijara? Bagaimana dengan istriku Rai Nini.Apakah kau berhasil menemukan jejaknya di Kaliwungu?"
"Saya tidak menemukan istri paman di Kaliwungu. Namun saya menemukan tempat tinggal Raden Pengging Ambengan yang hancur luluh lantak. Di tempat itu agaknya telah terjadi perkelahian hebat malam tadi"
"Kau tidak menemukan mayat tua bangka Pengging Ambengan?"
Tanya Gagak Anabrang tidak sabar.
"Tidak. Tua bangka yang paman maksudkan menurut saya tidak tewas.Dia pergi ke suatu tempat menjemput perawan Siluman yang paman Inginkan."
Jawab Patijara, Sepasang mata laki-laki itu mendelik besar.
Wajah diselimuti perasaan sedangkan hati menjadi galau
"ucapanmu itu berarti Raden Pengging Ambengan tidak mau memenuhi permintaanku. Istriku gagal melakukan tugas, tapi kemana dia perg bersama mahluk-mahluk pengawalnya?."
Dengan wajah tertunduk, Patijara menjawab
"Saya tidak suka menyampaikan kabar ini. Namun jika tidak saya jelaskan, saya khawatir paman menduga yang bukan-bukan atas diri saya. Terus terang bibi Rai Nini dan belasan monyet yang menjadi pengawainya tewas di tempat itu.Saya memang tidak melihat tewasnya mereka. Namun dari tanda-tanda serta aroma kematian yang ditinggalkan, saya berani bersumpah bibi Rai Nini memang telah menemui ajal."
Mendengar petir menggelegar di telinganya Gagak Anabrang tidak akan sekaget itu. Orang tua kerdil ini berjingkrak, mulut ternganga mata mendelik seolah hendak melompat dari rongganya.
"Keparat jahanam! Tua bangka itu telah menghabisi isteriku!" geram Gagak Anabrang sambi menepuk keningnya.
"Andai aku tidak membiarkan istriku pergi menemui dan bermaksud membujuk Raden Pengging, dia pasti masih hidup sampai sekarang."
Sesalnya
"Paman. Bibi Rai Nini pergi menemui orang tua sakti itu dengan maksud dan tujuan yang baik.Dia tak ingin ada pertumpahan darah.Dia ingin agar Raden Pengging menyerahkan gadis persembahan lewat jalan damai bukan dengan cara kekerasan."
Timpal Patijara .Mendengar ucapan itu Gagak Anabrang justru menyeringai.
Seolah ditujukan pada dirinya sendiri dia berkata.
"Tujuan baik belum tentu didasari hati yang tulus. Aku menaruh curiga kepergian istriku ke Kaliwungu juga menyimpan maksud tujuan tertentu."
"Kalau pun benar. Semua itu sudah tidak penting lagi untuk dibicarakan. Paman harus menangkap, meringkus dan menculik gadis yang bernama Dadu Sirah Ayu itu dengan cara apapun. Kalau tidak paman harus mengorbankan Arum Dalu putri paman satu-satunya sesuai janji paman dengan yang Terlaknat Dari Alam Baka."
"Aku tidak akan pernah mengorbankan apalagi mempersembahkan Arum Dalu pada yang Tertaknat Dari Alam Baka!"
Sentak Gagak Anabrang
"Putriku itu selama ini sudah hidup menderita. Kelainan dan penyakit yang dialaminya sudah membuatnya hidup sengsara seumur-umur."
"Walaupun paman sendiri yang mengucapkan janji mengikat hubungan dengan Yang Terlaknat Dari Alam Baka?"
Kata Patijara seakan mengingatkan. Gagak Anabrang terdiam.
"Aku telah melakukan dan mengambil jalan hidup yang salah."
Ujarnya kemudian.
"Aku tahu yang terkutuk dari gelapan itu telah memenuhi janjinya. Dia telah membantu aku, hingga menjadikan aku kaya raya. Tapi kau sendiri tahu. Aku sangat menyayangi sekaligus mencintai putriku satu-satunya. Aku tidak mungkin mengorbankannya. Aku tebih memilih Dadu Sirah Ayu, gadis yang menjadi incaran setiap siluman untuk menjadi pengganti anakku."
"Apapun yang paman hendak lakukan saya selalu mendukung. Tapi perlu kiranya paman ketahui untuk menangkap gadis itu bukan perkara mudah."
"Apakah karena gadis itu ada banyak orang yang melindungi?"
Tanya laki-laki itu dengan seringai bermain dimulut
"Bukan soal perlindungan. Semua ini menyangkut banyaknya orang yang menginginkan gadis yang terlahir pada malam sabtu kliwon bulan sabit ke tujuh itu. Bukan hanya siluman yang tahu bahwa darah Dadu Sirah Ayu mempunyai manfaat. Bukan cuma siluman saja yang tahu kesucian gadis itu bisa membuat seseorang jadi awet muda dan hidup abadi. Beberapa tokoh rimba persilatan pun banyak yang mengetahuinya."
Terang Patijara.
"Aku tidak perduli.Gadis itu harus kudapatkan secepatnya. Malam bulan sabit ketujuh hanya tinggal dua hari lagi dari sekarang. Rasanya aku tidak mungkin berpangku tangan."
"Jadi paman hendak berbuat apa?"
Tanya Patijara sambil menatap dalam-dalam laki-laki di depannya. Tanpa berpikir lama Gagak Anabrang membuka mulut memberi jawaban.
"Aku akan menangani semua ini. Aku tidak ingin dibuat kecewa oleh kaki tanganku."
"Saya menganggap keputusan paman adalah keputusan tepat. Tapi paman juga tidak boleh melupakan pengorbanan Ayudra Bayu dan Ayudra Tirta."
Diingatkan seperti itu membuat Gagak Anabrang delikkan matanya.
"Apa kau bilang? Aku harus mengingat kedua kembaran yang tidak berguna itu? Aku telah memberikan apa saja yang mereka minta. Jika mereka tewas saat menjalankan tugas itu adalah pengorbanan yang setimpal, sesuai dengan imbalan yang mereka dapatkan"
"Dan paman tidak pernah berplkir mengapa orang-orang dengan kepandaian hebat seperti mereka dapat terbunuh. Paman tidak ingin mencar tahu siapa yang membunuhnya?"
"Aku telah telah mengetahui siapa pembunuh dua saudara kembaran itu. Menurut mata-mataku, pembunuh saudara kembaran itu adalah seorang pemuda aneh tidak dikenal. Tapi jelas dia bukanlah si keparat Raja Pedang, manusia busuk yang seharusnya sudah kuhabisi sejak dulu."
Ujar Gagak Anabrang berapi-api
"Paman. Menurut pendapat saya pemuda gondrong yang telah membunuh Ayudra Bayu dan adiknya itu bukan manusia biasa. Dia sama berbahayanya dengan Raja Pedang.Dia seorang pendekar, berasal dari pulau terpencil bernama pulau Es."
"Pendekar dari pulau Es?"
Desis Gagak Anabrang. Kening laki-laki tua itu berkerut dalam. Dia berusaha mengingat-ingat.
"Apakah mungkin dia adalah seorang yang selama ini disebut-sebut sebagai Sang Maha Sakti Raja Gendeng yang kabarnya telah membuat kegegeran di rimba persilatan?"
"Tepat. Si gondrong aneh yang bertingkah laku seperti orang yang kurang waras itu sebenarnya sangat berbahaya."
"Hmm,"
Gumam Gagak Anabrang. Dengan mata menerawang dia berujar.
"Andai saja dia dapat dibujuk dan mau bergabung dengan kita, aku bisa menghadapkannya dengan Raja Pedang."
"Orang gila seperti pendekar itu mana bisa diatur, paman. Menurut saya sebagaimana halnya raja Pedang yang harus dibinasakan, sang Maha Sakti Raja Gendeng juga perlu kiranya dilenyapkan dari rimba persilatan sesegera mungkin."
Usul Patijara
"Usul yang bagus.Tapi kau sendirilah yang harus harus membantuku melenyapkan pendekar itu. Tentu bakal banyak hadiah yang bisa kau dapatkan dariku.Lebih dari itu sebagaimana janjiku dulu. Seandainya kau terus menerus bersikap setia maka aku akan menjodohkan dirimu dengan putriku Arum Dalu."
"Bukannya saya menolak tawaran yang terakhir. Tapi mengingat Arum Dalu demikian berarti dalam kehidupan paman. Tentu saja saya tidak berani menerima keputusan paman menjodohkan saya dengan Arum Dalu."
Jawab Patijara. Mulut berkata begitu, namun di dalam hati dia membatin.
Raja Gendeng 14 Misteri Perahu Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hanya manusia tolol buta yang mau menjadi suami gadis berpenyakit, Walau aku tahu orang tuanya kaya raya.Tapi siapa yang tahan berdekatan dengan gadis budukan yang siang hari tubuhnya menebar bau busuk bangkai!"
Sementara melihat Patijara menolak usulnya secara halus.
Dalam hati Gagak Anabrang berkata,
"Aku tahu sebab penolakanmu itu Patijara. Anakku memang bernasib malang. Andai dia cantik dan tubuhnya menebar bau harum sepanjang siang dan malam tentu semua laki-laki bakal tergila-gila padanya. Arum Dalu... sayang kecantikan wajah dan keharuman tubuhmu hanya terjadi di malam hari saja. Tapi tidak mengapa. Aku tidak perlu menunjukkan kemarahanku atas penolakan Patijara. Aku masih membutuhkan bangsat satu ini."
Pikir Gagak Anabrang. Setelah berkata begitu kini dia menatap ke arah pemuda di depannya. Setelah menghela nafas pendek dia berkata.
"Patijara! Lupakan tentang Arum Dalu. Sekarang aku ingin bertanya padamu apakah kau mau melakukan beberapa tugas lagi?"
"Apapun tugas yang paman berikan, asalkan aku sanggup melakukannya Saya pasti akan memenuhinya."
"Hmm, bagus. Ternyata kau memang bisa kuandalkan. Begini.. aku ingin kau mencari pemuda yang disebut Sang Maha Sakti itu. Aku ingin kau menghabisinya."
"Saya mengerti. Tapi menurut saya dia tidak punya silang sengketa secara langsung dengan paman."
Ucap Patijara.
"Tidak punya silang sengketa denganku? Apakah membunuh dan menghabisi beberapa pengikut serta kaki tanganku bukan suatu kesalahan? Dia telah mencampuri urusanku. Dan yang menjadi tugasmu adalah menyingkirkannya."
"Membunuh dan menghabisi pemuda berilmu tinggi seperti Raja Gendeng bukanlah perkara mudah"
"Aku tahu. Tapi kau sebagai manusia yang dikenal cerdik dan banyak akal pasti bisa menemukan cara yang tepat. Aku sendiri akan mencari Raden Pengging Ambengan. Tua bangka itu layak mampus di tanganku. Dan selain tua bangka yang satu itu aku juga merasa harus menemukan Dadu Sirah Ayu secepatnya. Sebelum malam perjanjian tiba aku sudah harus membawa gadis itu ke bukit Batu Segala Puji Segala Serapah."
"Paman. Walau saya ragu semua yang paman rencanakan dapat berjalan dengan lancar. Namun mengingat banyaknya rintangan yang bermunculan akhir-akhir ini ,saya harap paman dapat berlaku waspada."
"Ha ha ha! Terima kasih atas nasehatmu. Namun kau sendiri tahu selama hidup tidak ada apapun yang kutakutkan."
Dengus Gagak Anabrang. Setelah terdiam sejenak sambil menghela naas pendek, dia melanjutkan.
"Patijara. Mengingat waktu yang semakin mendesak, Dan bukan pula aku berniat mengusirmu. Sekarang ini ada baiknya kau lakukanlah tugasmu"
Patijara tersenyum
"Saya merasa sudah waktunya untuk memulai sebuah pesta. Saya akan cari pemuda itu.Sekarang ijinkan saya pergi!"
Setelah bungkukkan badan tanda penghormatan Patijara segera balikan badan dan tinggalkan ruangan itu.
Gagak Anabrang mengiringi kepergian Patijara dengan tatapan tajam penuh rencana. Sementara itu ketika langkah Patijara sampai di depan pintu.
Sosoknya mendadak berubah menjelma menjadi burung hitam besar.
Sang burung keluarkan suara pekikkan tiga kali berturut-turut.
Setelah itu tanpa menoleh lagi dia melesat tinggalkan Gagak Anabrang.
Orang yang ditinggalkan menyeringai
"Aku harus segera memberi tahu Empu Saladipa. Dia juga harus kuberi tugas.Aku tidak mau memelihara keledai tua yang hanya bisa menggerogoti harta bendaku."
Geram Gagak Anabrang dengan suara mendengus. Tidak berselang lama laki-laki ini keluarkan suitan panjang.
Begitu suitan lenyap terdengar suara langkah kaki berat berlari mendatangi.
Gagak Anabrang menunggu.
Hanya dalam waktu sekejaban mata di depan pintu muncul sosok seorang laki-laki bertubuh gemuk besar luar biasa berkepala kecil diselubungi kain hitam.
Laki-laki itu bukan hanya kulitnya saja yang hitam.
Namun dia juga memakai pakaian hitam.
"Junjungan memanggil saya?"
Tanya si gemuk besar yang bukan lain adalah Lor Gading Renggana.
"Aku ingin kau membawaku ke suatu tempat secepatnya."
Kata Gagak Anabrang. Laki-laki itu melompat dari atas kursi lalu berjalan bergegas menghampiri Lor Gading Renggana yang selama ini telah dianggapnya sebagai kuda yang mengantarkannya berpergian ke mana-mana.
"Balk junjungan! Saya akan membawa Junjungan berlari secepat mata mengedip."
Sahut laki-laki besar berkepala kecil itu.
Kemudian tanpa menunggu. Lor Gading bungkukkan tubuh dan berjongkok serendah mungkin.
Seperti biasanya melihat Lor Gading bersiap menerimanya.
Gagak Anabrang segera melompat ke atas bahu laki-laki besar itu.
Sebelah duduk bertengger di atas bahu.
Lor Gading Renggana bangkit.
Setelah tegak berdiri dia memutar tubuh Lalu
Wuust!
Hanya sekedipan mata sosok Lor Gading Renggana dan orang yang berada di atas panggulan lenyap dari pandangan mata .
*****
Malam hari kawasan hutan jati di sebelah utara Purworejo diguyur hujan gerimis.
Angin berhembus.
Di kejauhan sesekali terdengar suara lolong anjing. Di tengah suasana tidak bersahabat dalam kepekatan malam.
Tiba-tiba satu bayangan panjang melayang laksana terbang di atas pucuk pepohonan.
Sosok bayangan berwarna merah ternyata adalah sebuah perahu itu terus melayang membelah ketinggian udara menuju ke sebuah padang rumput tak seberapa luas yang terdapat di tengah hutan jati tersebut.
Andai ada yang melihat melayangnya perahu merah diketinggian udara tentu mengejutkan karena lazimnya perahu bergerak melaju di air.
Namun perahu satu ini justru mengapung di ketinggian. Tidak berselang lama setelah sampai di pinggir lapangan berumput basah, perahu itu berputar diketinggian sebanyak tiga kali.
Lalu perlahan namun pasti sang perahu melesat ke bawah dan baru berhenti bergerak setelah bagian perut perahu menjejak di tanah.
Sunyi mencekam.
Namun perahu dengan beberapa layar lebar membentang itu kemudian bergoyang.
Begitu seluruh badan perahu bergoyang, maka dua layar merah yang berkembang menguncup.
Selanjutnya ada cahaya merah menyala dari bagian lambung perahu berbentuk saung dan berfungsi sebagai tempat tinggal.
"Kleker...!"
Dari balik rumah-rumahan di lambung perahu terdengar suara orang mengorok.
Kemudian ada satu benda melesat keluar, lalu terdengar suara benda berat jatuh bergedebukan. Melesatnya benda pertama diikuti benda kedua. Sekali lagi terdengar suara bergedebukan yang disusul suara hela nafas berat tertahan.
"Orang mati bukannya tidak berguna. Orang mati bisa dijadikan pengobat hati. Menggantikan yang telah berpulang akibat perbuatan setan jalang. Mereka semua harus merasakan sekaligus menanggung akibatnya, Tiada sahabat dan tiada berguna pula teman saat ini. Tapi biarlah sementara kemarahan dan angkara murka mengendap mendekam lebih lama di lubuk hati. Sampai pada akhirnya segala ganjalan di hati dapat kubuat menjadi impas. Hutang nyawa dibayar nyawa. Hutang pati dibayar pati..." kata satu suara di dalam perahu.
Angin dingin sekali lagi berhembus. Rintik hujan kembali diwarnai gemuruh angin serta suara lolong menyayat. Dari dalam perahu yang dikenal dengan nama perahu Setan satu sosok bayangan serba merah berkelebat. Sambil memegang lentera merah ditangan kiri akhirnya sosok yang juga berpakaian serba merah itu jejakan kaki tak jauh dari dua benda yang bergeletakkan di samping perahu. Tanpa bicara lagi sosok yang wajahnya terlindung topeng tipis bergambar tengkorak itu melangkah cepat hampiri dua sosok yang baru dicampakkannya.
Setelah berjongkok sosok tinggi semampai berjubah menjela hingga ke tanah dekatkan lentera merah ke arah kedua sosok di depannya. Ketika cahaya temaram menerangi kedua sosok yang terbujur itu. Maka terlihatlah sebuah pemandangan yang cukup menyeramkan. Dua sosok kaku ternyata memang sudah tidak bernyawa. Satu diantaranya yang berpakaian hitam, berbibir, kaki, dan telinga mirip kuda tewas dengan tubuh melepuh seperti terbakar.
Sementara bagian bahu hingga ke dada terdapat luka menganga mengerikan seperti bekas tebasan, Sedangkan sosok yang satunya lagi tampaknya menemui ajal dengan luka tusuk diperut tembus hingga ke punggung.
"Orang-orang konyol bernasib malang. Raja Pedang jelas bukan lawanmu. Tapi dihadapanku dia bukan siapa-siapa."
Gumam orang berjubah bertopeng tengkorak.
Siapakah kedua mayat yang dibawa oleh manusia misterius penghuni perahu Setan ini?
Mereka tidak lain adalah dua bersaudara yang dikenal dengan sebutan Arwah Kaki Kuda dan Singa Tetua.
Sebagaimana telah diceritakan dalam episode sebelumnya.
Kakak beradik penghuni Lembah Batu Gamping ini sengaja menghadang perjalanan Kelut Birawa dan Dadu Sirah Ayu yang sedang dalam perjalanan menuju Kaliwungu. Mereka berdua menginginkan Dadu Sirah Ayu yaitu gadis cantik yang berpikiran seperti bocah tujuh tahun itu untuk kepentingan mereka sendiri. Tetapi disaat Arwah Kaki Kuda yang mempunyai penampilan selayaknya kuda dan Singa tetua yang berwajah tampan namun bertubuh selayaknya singa terlibat perkelahian dengan Kelut Birawa dan gadis dalam lindungannya.
Renjana Pendekar Karya Khulung Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama