Raja Gendeng 10 Rahasia Pangeran Durjana Bagian 2
"Kau benar! mahluk-mahluk jahanam itu agaknya memang sudah pergi. Tapi gara-gara berendam terus di dalam air membuat perutku kembung. Tubuh dan pakaianku basah, begitu juga dengan rambutku yang bagus, ini."
"Aku juga sama. Rambutku basah, tidak cuma rambut yang di atas di bagian lain juga ikutan basah." sahut Aki Kolot sambil menyusul berenang ke tepi.
Mereka akhirnya duduk diatas batu cadas yang menyembul di tepi sungai. Nini Burangrang beberapa saat lamanya dibuat sibuk mengeringkan rambut yang panjang. Sesekali dia juga mengelap air yang membasahi wajah. Sementara itu Aki Kolot segera melepas pakaian disebelah atas lalu memerasnya berikut giliran topi kupluknya yang selalu menempel bertengger di atas kepala yang mendapat giliran. Baju, dan kupluk lain dibenbeng diletakkan diantara ranting kering yang menjuntai ke sungal.
"Apakah perutmu juga gembung Ki?"
Tanya Nini Burangrang. Aki Kolot terdiam, dia melirik ke arah istrinya.
Dia melihat kebaya dan kain yang membalut tubuh istrinya yang basah.
Pakaian yang mencetak lekuk liku bentuk tubuh si Nini yang indah dan masih bagus.
Aki Kolot menelan ludah.
Sadar dirinya diperhatikan si nenek mendamprat.
"Jangan berpikir macam-macam. Malam ini aku tak akan sudi melayani keinginanmu!"
Aki Kolot menyeringai sambil garuk-garuk rambutnya.
"Hmm, dingin-dingin begini mengapa tidak mencari yang hangat.Oh ya...tadi kau bertanya apakah perutku gembung. He he he.Perutku tidak gembung istriku. Yang gembung justru yang berada di bawah perut."
"Tua bangka edan. Jangan macam-macam. Sudah kukatakan aku lagi tak sudi. Kau di sini dulu. Jangan mengintip!"
Kata si nenek. Dia lalu bangkit berdiri. Kemudian dengan gerakan enteng dia melayang bersembunyi dibalik semak berdaun lebar. Tak mengerti apa yang hendak dilakukan istrinya dia ajukan pertanyaan.
"Hei apa yang kau lakukan di situ?"
"Sudah diam."
"Aku hendak mengeringkan pakaian ini."
Hardik Nini Burangrang.
"Mengapa aku tidak boleh ikut. Apakah kau tidak kasihan pada burung hantu yang sudah siap kembali ke sarang?"
Kata si kakek dengan suara pelan memelas.
"Jangan mencari perkara. Persetan dengan burung hantumu itu. Berani mendekat aku akan meremas burung sialan itu sampai remuk. Hik hik hik!"
Dengus si Nenek disertai tawa mengikik.
Di tempat duduknya sambil terangguk;angguk Aki Kolot Raga menggumam sendiri
"Mendekat tidak boleh mengintip apa lagi. Apa kau tidak sadar selama-ini aku sudah tahu segalanya tentang dirimu. Aku tahu hitam putihnya, mulus dan buriknya. Tapi kau tetap hebat. Aku selalu saja tergila-gila padamu karena aku suka dengan pusermu yang bodong. He he he...!"
"Tua bangka tak tahu diri. Jangan kau ungkit kekuranganku, aku bisa malu sekali jika ada orang lain mendengar."
Gerutu Nini Burangrang.
Saat itu si nenek telah keluar dari balik semak belukar.
Dengan hati masih menahan rasa kesal dihati dia duduk di pinggir sungai.
Melihat istrinya telah berdandan rapi dengan rambut yang disanggul dan pakaian yang melekat dibadan masih agak basah. Aki Kolot Raga cepat cepat sambar baju dan topi yang tersangkut di ranting.
Sambil kenakan pakaiannya si kakek datang menghampiri.
Orang tua ini lalu duduk dihadapan istrinya.
Dua pasangan suami istri itu terdiam.
Sambil menahan dingin nampaknya mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
Seperti telah dikisahkan dalam episode Bocah Bocah Iblis.
Kakek nenek suami istri yang dikenal dengan sebutan Sepasang Naga Pamabokan sesungguhnya dua tokoh sakti dari Andalas.
Mereka sedang melakukan perjalanan menuju ke tanah Dwipa di sebelah timur dalam upaya mencari sebuah benda sakti.
Sayang di tengah perjalanan tanpa terduga mereka diserang oleh kawanan lebah yang sangat ganas lagi mematikan.
Tak heran walau keduanya merupakan tokoh yang berkepandaian sangat tinggi, namun karena mendapat serangan sehebat itu akhirnya mereka dapat di tawan.
Berada dalam tawanan Pangeran Durjana yang berdiam di sebuah bangunan bundar aneh seperti sarang lebah yang dikenal dengan nama Istana Kekuasaan dan Hasrat Cinta, mereka berada dalam pengawasan yang ketat .Keduanya tidak dapat pergi kemana-mana karena kawanan Lebah Pembunuh yaitu pasukan paling ditakuti dalam istana itu terus mengintai gerak gerik mereka.
Pangeran Durjana seperti telah diketahui telah menyuruh mereka untuk menculik putri Arum Senggini dan Nila Agung sekaligus membuat kekacawan di istana Malingping. Diluar dugaan Pangeran Durjana berlaku cerdik.
Mereka tidak dilepas begitu saja.
Diam-diam pangeran mengirimkan sekawanan Lebah Pembunuh yaitu lebah-lebah paling mematikan untuk mengawasi gerak-gerik mereka. Lebah-lebah itu telah diberi perintah bila kakek dan nenek ini tidak menjalankan tugas sesuai perintah sang pangeran maka mereka harus membunuh keduanya.
Sepanjang jalan.
Setelah sadar mereka diawasi .Nini dan Aki Kolot mencari cara agar mereka bisa menghindar dari pengawasan lebah-lebah.
Satu-satunya cara yang mereka anggap baik adalah dengan menceburkan diri ke dalam sungai.
Di luar dugaan lebah-lebah itu terus mengawasi permukaan sungai hampir sepanjang hari sampai kawanan Lebah menjadi bosan sendiri lalu pergi bersama rombongannya
"Kita sudah bebas,"
Kata Aki Kolot dengan suara serak memecah keheningan.
"Aku tahu." menyahuti Nini Burangrang.
"Kawanan lebah Pembunuh telah tertipu. Mulai sekarang kita bebas pergi untuk melanjutkan perjalanan menuju ke timur tanah Dwipa," kata si kakek lagi dengan wajah berseri
"Aku ingin, tapi sebaiknya kita tunda dulu,"
Ucap Nini Burangrang membuat kaget. Aki Kolot lega. Sambil menatap heran wajah istrinya dia bertanya.
"Ada apa istriku. Kenapa tiba-tiba saja kau berubah pikiran?"
"Aku benci bahkan mendendam pada pangeran itu. Sejak awal aku memang tidak tak punya niat untuk melakukan tugas yang diberikannya. Kau lihat ke sebelah sana...!" tanya Nini Burangrang sambil menunjuk ke arah benteng menjulang tinggi terlindung pepohonan berdaun lebat
"Itu Istana Malingping. Istana yang seharusnya kita serang. Istana itu dijaga sangat ketat. Kalau saja kita turuti perintah Pangeran gila menyerbu dan menculik dua puteri prabu Tubagus Kasatama. Kemungkinan kita bakal sulit meloloskan diri."
"Kita harus ke sana."
"Buat apa? Istriku bukankah lebih baik kita lanjutkan perjalanan saja?"
Kata Aki Kolot kurang sependapat dengan istrinya.
"Hi hi hi. Apakah kau tidak tertarik mengetahui apa yang bakal terjadi? Aku yakin pangeran Durjana bakal menyerbu istana itu. Aku ingin mengetahui apa yang akan dilakukannya."
Nini Burangrang berterus terang. Ucapan si nenek justru menimbulkan keraguan sekaligus rasa cemas, dihati suaminya.
"Bagaimana kalau Pangeran Durjana melihat kehadiran kita di sana?"
"Tidak usah takut. Asal tahu caranya kita pasti bakal selamat."
Tegas si nenek
"Selamat apanya. Dia punya pasukan lebah, dia juga memiliki pasukan iblis. Mengapa kita harus mencari perkara setelah terlepas dari sebuah bahaya?"
Kata si kakek masih saja khawatir.
Nini Burangrang tersenyum.
Dia dekati suaminya.
Mengira hendak dicium, Aki Kolot tampak gembira dan tersenyum-senyum.
Tak disangka sang istri cuma berbisik di telinganya.
Selesai Nini Burangrang berbisik dan jauhkan diri dari Aki Kolot.
Kakek itu malah tercengang mulut ternganga mata terbelalak.
"Apakah kau sudah gila. Cara itu bisa membuat kita tersesat ke dunia alam gaib."
Sentak K Kolot
"Hi hi hi. Kau takut mati? Kau takut lenyap di alam roh? Mengapa kau mengatakan rencanaku ini penuh kegilaan. Apakah kau tidak sadar ketika bercinta denganku kau suka bertindak aneh dan berlaku gila?!"
Sindir si cantik. Si kakek jadi bingung.
"Kau tidak mau? Kalau kau tidak mau memenuhi permintaanku. Aku memutuskan hubungan kita bakal berakhir sampai disini saja!"
Ancam si nenek lagi.
Aki Kolot Raga lagi-lagi dibuat terkejut.
Tentu saja dia tidak ingin Nini Burangrang meninggalkannya.
Dia tak bakal sanggup hidup tanpa sang Nini. Cepat orang tua ini menatap ke depan.
Tapi dilihatnya sang istri telah melangkah pergi meninggakannya
"Istriku. Jangan pergi sendiri. Jangan tinggalkan aku. Aku tak mau berpisah denganmu Biarlah aku mengalah, kuturuti permintaanmu jadi hantu untuk sementara waktu agar kita bisa menyaksikan segala kejadian di istana Malingping tanpa dilihat oleh siapapun."
Lalu buru-buru Aki Kolot bangkit kemudian bertari menyusul istrinya .Si nenek tertawa mengikik, merasa senang sekaligus merasa menang .Sambil terus melangkah, tanpa menoleh lagi Nini Burangrang diam-diam berucap.
"Huh dasar laki-laki. Walau gagah dan sehebat apapun dia pasti bakal berlutut di bawah kaki wanita."
*****
ROmbongan kawanan Lebah Kepala Hati Berbunga meninggalkan istana Kekuasaan dan Hasrat Cinta.
Di sepanjang jalan yang dilalui mahluk mahluk sangat mematikan itu terdengar gemuruh suara mendengung memekakkan telinga.
Cahaya bulan sabit yang terang temaram tak mampu menembus jalan yang dilewati rombongan lebah itu.
Semuanya menjadi gelap tertutup oleh lebah yang berterbangan di atasnya.
Mahluk-mahluk ganas ini tidak berkelompok sendiri.
Raja Gendeng 10 Rahasia Pangeran Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak jauh di belakang rombongan besar ini mengiringi sekelompok lebah berukuran ibu jari kaki orang dewasa.
Lebah pengiring yang dikenal dengan nama Lebah Pembunuh ini hitam pekat dengan bagian tengah kepala berwarna merah terang.
Di belakang Lebah Pembunuh, di atas jalan setapak mengiringi pula bocah berusia sekitar dua tahun berambut panjang gimbal tak terurus bermata merah bergigi runcing tajam.
Bocah-bocah ganas haus darah itu berjalan dengan cara merangkak, tak ubahnya seperti serigala kelaparan.
Mereka yang dikenal dengan sebutan Bocah Bocah Iblis ini terdiri dari laki-laki dan perempuan semuanya bertelanjang dada dan hanya mengenakan pakaian penutup aurat. Tak jauh dibelakang sekitar tujuh tombak dari para bocah iblis ikut menyertai satu sosok tinggi berpakaian hitam mirip jubah.
Wajah sang pemimpin yang tak lain adalah Pangeran Durjana yang aslinya dikenal dengan nama Pangeran Bagus Anom Aditama tidak tertihat.
Dia juga tidak menunggang kuda juga tak berjalan kaki.
Sang pangeran malam itu memimpin pasukannya dengan cara melayang mengambang dua jengkal di atas jalan yang becek. Bendera perang telah dikibarkan.
Genderang sudah pula ditabuh.
Pangeran Durjana yakin malam ini adalah usahanya menghancurkan istana Malingping bakal terwujud.
Sejak awal dia telah bertekat akan menghabisi seluruh kerabat kerajaan, perajurit dan kalau perlu binatang piaraannya sekalian.
Satu masalah yang tak kalah pentingnya ia akan berusaha menangkap puteri Arum Senggini dan adiknya puteri Nila Agung.
Sang pangeran berpikir seandainya semua rencana berjalan mulus sesuai yang dia harapkan, kelak dia bakal memperluas kekuasaannya.
Dia akan memperbanyak keturunannya untuk dijadikan pasukan yang kuat dan tangguh.
Semua itu tidak sulit untuk dilakukan bila penguasa kegelapan yang bertahta di Singgasana Sitaloka ikut memberi bantuan.
Membayangkan kemenangan berada di depan mata .Pangeran Durjana pun sunggingkan seringai dingin. Sambil terus melayang di atas tanah sang pangeran layangkan pandang ke depan. Dia melihat iring-iringan kawanan lebah yang beterbangan diketinggian terus bergerak semakin jauh. Sementara di atas jalan di depannya ratusan Bocah Bocah Iblis yang tak lain adalah darah dagingnya sendiri bergerak setengah berlari. Namun yang lucunya terkadang terjadi keributan diantara mereka. Mereka saling cakar atau saling tendang. Maklum namanya juga para bocah, di mana saja sama saja. Tapi Pangeran Durjana yang melihat kekacauan kecil ini menjadi tidak sabar. Dengan nada ketus kejam dia pun membentak.
"Anak-anak sekaligus para prajuritku. Ketahuilah kalian semua saat ini bukan sedang pergi berpelesiran. Ada satu tugas sangat penting yang harus kita selesaikan malam ini. Untuk itu bagi siapa saja yang bersenda gurau apalagi sampai berkelahl maka mereka akan mendapatkan hukuman dariku!"
Ancaman sang pangeran rupanya cukup baik.
Terbukti Bocah Bocah Iblis keluarkan suara raungan sambil angguk-anggukkan kepala. Tidak lama iringan para bocah menjadi tertib.
Mereka tidak lagi saling sikut.
Setelah dapat mengendalikan para pengikutnya .Pangeran Durjana pun keluarkan seruan.
"Penguasa kegelapan yang memberi kesenangan. Wahai yang berdiam di atas singgasana Sitaloka. Aku pangeran Durjana. Pangerannya orang yang sudah mati memohon padamu agar kau Sudi kiranya mengijinkan Mata Tunggal yaitu Mata Setan datang menghadap kepadaku sekarang juga!"
Suara seruan sang pangeran lenyap.
Para bocah meraung keras.
Sementara dikejauhan sana terdengar suara lolong anjing hutan membuat merinding bulu kuduk. Sambil melayang Pangeran Durjana terus menunggu.
Ternyata penantiannya tidak berlangsung lama.
Di atas ketinggian langit yang biru tiba tiba terlihat kilat menyambar yang disusul dengan pijaran api.
Pangeran Durjana dongakkan kepala menatap ke atas.
Dia tersenyum begitu satu cahaya merah yang mencuat diantara pijaran api bergerak turun dari ketinggian.
Cahaya itu menderu menuju ke arah dimana dirinya berada.
"Ikuti aku!"
Seru Pangeran Durjana. Sang cahaya merah yang ternyata sebuah mata tunggal berukuran besar sebagaimana yang diperintahkan mengikuti Sang Pangeran.
"Wahai Mata tunggal, Mata Setan."
Berkata pangeran itu tanpa mengurangi kecepatannya bergerak.
"Simpan cahayamu yang membakar itu. Nanti bila telah sampai di istana Malingping, kau boleh menghanguskan musuh-musuh kita dengan kekuatan panasmu.
Wuus!
Bluup!
Cahaya yang memancar dari mata tunggal tiba-tiba meredup, hingga tinggal berupa mata yang merah namun dengan ukuran yang tidak berubah.
"Bagus. Kau telah mematuhi perintahku. Seperti sebelumnya."
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam mata itu
"Pangeran. Penguasa tahta Sitaloka selalu memberiku perintah agar membantumu dalam mewujudkan segala apa yang kau cita-citakan. Tapi ketahuilah kepatuhanku hanya pada penguasa kegelapan. Jelasnya aku sekedar membantu namun tidak tunduk kepadamu,"
Terang Mata Setan
"Apapun namanya aku tidak perduli aku telah memberimu tugas untuk mencari tahu bagaimana kabar tentang Sepasang Naga Pamabokan yang kuberi tugas untuk menculik kedua putri gusti prabu Malingping."
"Tentang mereka. Mereka sangat mengecewakan. Pangeran tidak seharusnya menyuruh tawanan untuk melakukan tugas yang sangat penting. Harusnya sejak awal mereka di bunuh saja." jawab Mata Setan seakan menyesalkan.
"Apakah mereka mengingkari janji?"
Tanya sang pangeran. Diam-diam dia terkejut. Tapi disamping itu dia juga gusar sekali.
"Begitulah. Mereka sama sekali tidak melakukan tugas yang pangeran berikan."
"Aku telah mengirimkan kawanan Lebah Pembunuh untuk mengawasi gerak-gerik mereka.Jika kakek dan nenek tua itu ingkar janji seharusnya lebah-lebah itu menghabisi mereka!"
Tegas Pangeran Durjana sambil kepalkan kedua tinjunya.
"Harusnya memang demikian pangeran. Tapi kedua orang tua itu ternyata berlaku cerdik. Mereka menceburkan diri di dalam sungai Ci Atis .Sungai itu sangat dalam, kawanan Lebah Pembunuh mana berani ikutan mencebur ke sungai menyerang mereka."
"Mata Setan!"
Seru sang pangeran. Suaranya keras menggeledek pertanda laki-laki itu merasa kekecewaan dan kemarahannya telah mencapai ubun-ubun.
"Lebah Pembunuh bukan mahluk sembarangan. Mereka datang dari alam kematian. Jika tua bangka itu bermaksud mengecoh lebah-lebahku. Berapa lama kakek dan nenek itu sanggup bertahan di dalam air. Mereka bukan ikan. Tak sampai sepemakan sirih mendekam di dalam air mereka seharusnya muncul lagi ke permukaan. Mereka harus bernafas bukan?"
Sambil terus mengikuti Pangeran Durjana diketinggian Mata Setan menjawab
"Itulah yang tidak aku mengerti. Aku bisa menyirap kejadian yang telah berlalu. Dan aku tidak tahu entah ilmu aneh apa yang mereka miliki. Diluar dugaan mereka dapat bertahan di dalam air sehari penuh. Kawanan Lebah Pembunuh kemungkinan beranggapan orang yang mereka awasi sudah mati tertelan arus sungai. Kurasa inilah yang membuat para lebah beranjak pergi dari sungai itu."
Penjelasan Mata Setan setidaknya memberikan gambaran pada pangeran Durjana mengapa para lebah tidak membunuh mereka. Walau merasa kesal sang pangeran pun ajukan pertanyaan.
"Di mana lebah-lebah Pembunuh itu sekarang?"
"Sulit memastikannya. Aku sudah mencoba mencari tahu keberadaan itu. Namun aku hanya melihat ada selubung kabut aneh menghalang pandangan mataku."
"Hah apa? Mungkin ada musuh yang sedang mengawasi gerak-gerik kita?"
Sentak pangeran .Lalu tanpa sadar dia menatap ke atas ke arah di mana Mata Setan bergerak mengiringinya.
"Aku belum bisa memastikan. Yang kudengar cuma suara gelak tawa dan suara orang bersendawa, seperti suara kekenyangan karena meminum sesuatu!"
Pangeran Durjana terdiam. Dia sebenarnya ingin bertanya lebih banyak lagi tentang selubung kabut dan juga orang bersendawa.
Tapi pikirannya lebih tertuju pada Sepasang Naga Pamabokan.
Terdorong rasa ingin tahu dia pun bertanya
"Bagaimana tentang kakek nenek pendusta itu Mata Setan? Apakah mereka masih hidup?"
"Ya. Kenyataannya mereka masih hidup. Aku melihat mereka duduk di pinggir sungai. Tapi yang mengherankan tiba-tiba mereka raib seperti hantu."
Terang Mata Setan.
Pangeran Durjana anggukan kepala walau hatinya merasa tidak puas.
Dia hanya bisa menggumam sambil menduga-duga.
Gerangan apa yang akan dilakukan oleh pasangan suami istri itu.
****
Bulan beranjak menuju titik tertingginya .Sebagian langit tertutup awan putih.
Di beberapa tempat belahan langit beberapa bintang masih setia memunculkan diri melewati waktu. Sementara angin dingin berthembus sepoi sepoi.
Di sudut sebelah selatan diatas tembok tinggi bertangga batu.
Di sebuah ruangan yang biasa disebut pusat benteng.
Pejabat tinggi istana bertubuh loreng merah bernama Jatulaka yang juga biasa disebut Maung Berem atau Harimau Merah terlihat mondar mandir di ruang arena panggung dengan gelisah.
Sesekali laki-laki bertubuh tinggi dan suka berganti-ganti pakaian ini layangkan pandang ke seluruh penjuru sebelah atas benteng.
Dia melihat puluhan perajurit bersenjata panah api bersiaga di tempatnya masing masing.
Tak jauh di belakang mereka ratusan perajurit lain dengan tombak pedang dan golok mendekam siap menghadapi setiap kemungkinan yang datang.
Tak dapat disangsikan para perajurit yang rata-rata memiliki ilmu silat dan kepandaian cukup tinggi itu semuanya dalam keadaan diliputi ketegangan.
Walau tekat mereka bulat untuk berbakti pada kerajaan, namun setidaknya di hati mereka muncul perasaan cemas menantikan gerangan apa yang bakal terjadi.
Jatulaka menghela nafas.
Kemudian perhatiannya dialihkan ke bagian dalam istana.
Dia melihat di halaman depan samping kiri dan kanan istana bahkan bagian belakang istana dekat taman kaputren penjagaannya lebih diperketat.
Dia tahu, Rangga Wulung Utama pejabat tinggi di bawah patih yang baru saja diangkat menjadi senopati pastilah yang telah mengatur para perajurit dalam menghadapi segala kemungkinan terburuk.Patut diakui.
Kakek bertubuh pendek berambut panjang menjela yang satu itu memang sangat ahli dalam mengatur siasat muslihat perang.
Walau tidak pernah meragukan kehebatan senopati yang baru itu.
Namun jauh dilubuk hati mengingat musuh yang bakal mereka hadapi tak kunjung menampakkan diri. Jatulaka masih dilanda kecemasaan.
"Lebah-lebah itu dan Bocah Bocah Iblis yang menjadi kaki tangan Pangeran Durjana memangnya sekuat dan sebanyak apa? Jika pangeran itu datang melakukan penyerbuan dan tidak dibantu oleh kekuatan yang lain. Harusnya senopati tidak perlu mengatur sekaligus membuat pertahanan sebesar ini?"
Membatin Jatulaka dalam hati.
Pejabat yang diperbantukan menyusun kekuatan perang ini lalu berjalan menuju ke arah pintu yang terbuka.
Raja Gendeng 10 Rahasia Pangeran Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dari depan pintu dia julurkan kepala memperhatikan undakan tangga batu yang menghubungkan halaman kaputren .Banyak prajurit berjaga di sana, namun dia tidak melihat senopati yang berusia tak kurang dari enam puluh tahun itu.
"Kemana saja dia? Bukankah sebelumnya dia berjalan hendak menemuiku di sini?"
Pilkir Jatulaka .Baru saja Jatulaka bicara seorang diri. Tiba tiba di belakangnya terdengar suara orang berkata.
"Kau mencariku?"
Walau sudah mengenali suara orang namun Jatulaka tetap saja tak kuasa menyembunyikan rasa kaget begitu mengetahui orang yang sedang dia pikirkan tahu-tahu telah duduk di sebuah kursi. Kakek berpakaian kuning mewah itu tersenyum.
"Kau seperti orang bingung? Padahal hidup dan mati sudah menjadi bagian dari setiap manusia!"
Kata Rangga Wulung Utama.
"Bukan itu yang aku pikirkan, sahabat Rangga Wulung! Aku cemas apakah kita bisa mengatasi segala persoalan ini. Aku dengar Pangeran Durjana itu sangat hebat. Pasukan lebahnya tidak dapat dipandang sebelah mata. Belum lagi kekuatan baru yang dia miliki. Beberapa telik sandi kita mengatakan Bocah Bocah Iblis yang baru terlahir itu bukan cuma ganas. Mereka sangat sakti. Dan mereka bukan mahluk biasa selayaknya seperti seorang bocah."
Mendengar ucapan Jatulaka, Rangga Wulung Utama terdiam. Keningnya berkerut namun tatap matanya menyorot tajam menatap ke arah sahabatnya itu.
"Aku tak mau mendengar kau bicara seperti itu lagi. Ucapanmu itu sangat berbahaya dan melemahkan semangat para perajurit. Kuharap kau tidak merusak semua rencana yang telah kususun Jatulaka. Jika takut berperang sebaiknya kau tinggalkan Istana dan pergi sejauh mungkin mencari tempat perlindungan yang aman."
Tegas Rangga Wulung Utama sambil mengusap rambut saktinya yang panjang tergeral. Sadar senopati merasa tidak berkenan dengan apa yang diucapkannya buru-buru Jatu laka berkata.
"Sahabatku. Aku tidak bermaksud begitu. Betapa pun aku bakal membela kerajaan dan gusti prabu hingga titik darah terakhir!"
Rangga Wulung Utama tersenyum
"Begitu? Bagus! Aku senang mendengarnya," ucap si kakek.
"Aku memberi tugas yang mudah. Kau tetap berjaga di sini dan sekitar taman kaputren. Pimpin perajurit yang berada di sekitar taman. Bunuh siapa saja yang coba-coba memasuki kawasan kaputren!"
Tegas orang tua itu.
Jatulaka anggukkan kepala.
Tapi baru saja dia hendak mengucapkan sesuatu.
Tiba-tiba lima ekor burung hantu yang menetap tinggal di kawasan istana keluarkan suara melengking saling bersahut-sahutan
Gurt!
Gurt!
Gurt!
Jatulaka tercekat.
Matanya yang sipit seperti orang mengantuk membelalak.
Dia menatap ke arah Rangga Wulung Utama sejenak namun kemudian perhatiannya tertuju keluar.
"Burung-burung telah memberi tanda!"
Sentak orang tua itu.
"Aku tahu. sekarang waktu yang ditunggu sudah datang. Jangan berlaku lengah!"
Kata Rangga Wulung.
Orang tua itu kemudian bangkit dan bergegas menuju ke arah pintu.
Belum sempat dia berlari menuruni anak tangga.
Dari empat sudut penjuru benteng terdengar suara terompet sebagai peringatan tanda bahaya. Lalu dari atas sebuah menara tinggi yang terdapat di sebelah kiri gerbang utama terdengar suara prajurit pengintai.
"Musuh sudah datang. Mereka muncul dari delapan penjuru arah. Aku melihat seseorang berjubah hitam melayang. Aku juga melihat mahluk mahluk hitam melesat ke arah sini!"
Teriaknya lantang
"Lalu kau melihat apa lagi?"
Bertanya salah seorang perwira yang siaga di gerbang tak jauh dari menara.
"Mahluk-mahluk itu... eeh, maksudku bocah bocah aneh. Mereka muncul seperti kawanan iblis. Bocah-bocah itu kini menyerang semua penjaga perwira yang berada di luar benteng istana,"
Sahut perajurit di menara pengintai.
Penjelasan perajurit di menara pengintai membuat semua pasukan yang berada di atas maupun di dalam lingkungan istana menjadi tegang .Tapi mereka segera mencabut senjata masing masing.
Sementara perwira yang ajukan pertanyaan kini kembali berseru.
"Apa pun yang kau lihat dari atas itu. Secepatnya kau beritahukan pada kami agar kami tahu apa yang harus kami lakukan!"
Sang perwira tak menunggu jawaban perajurit yang berjaga di menara.
Dia sendiri kemudian menyadari bahwa saat itu pertempuran sengit telah pecah di sekeliling bagian luar benteng istana.
Suara jerit, pekik dan lolong kesakitan terdengar di mana-mana menyayat mengiris hati.
Ketika perwira ini bersama perwira lainnya bergerak menyerbu ke bagian pertahanan paling luar.
Dengan pandangan mata terbelalak seakan tidak percaya mereka menyaksikan bahwa pasukannya ternyata tengah berjuang menghadapi serbuan kawanan lebah berbisa yang menyerang dari segala arah. Lebah Kepala Hati Berbunga tidak sendiri.
Di belakang mereka turut mendukung lebah jenis lainnya yang ukurannya lebih besar dan tak lain adalah Lebah Pembunuh.
Dan lebih celaka lagi setiap kali menyengat perajuritnya.
Yang menjadi korban langsung jatuh terkapar dengan mulut berbusa mata mendelik tubuh melejang-lejang.
Setelah para pengawal nahas menemui ajal .Kejadian yang sulit dipercaya terpampang di depan para perwira itu.
Tubuh-tubuh pengawal yang bergelimpangan bergetar, kulit menggelembung lalu meleleh menjadi lendir dan onggokan tulang tengkorak mengerikan.
Dengan senjata terhunus di tangan.
Belasan perwira tinggi segera berpencar berbagi tugas dalam menghadapi serangan dahsyat kawanan lebah.
Selagi para perwira dan perajurit mengumbar serangan dengan melepas pukulan sakti sambil kibaskan pedang dan tombak untuk melindungi diri.
Dari arah depan Bocah Bocah Iblis haus darah mulai melakukan penyerbuan.Serangan dari dua jurusan yang datang dari sebelah atas dan bawah ini sungguh membuat pasukan kerajaan dan perwiranya dibuat repot.
Mereka bertahan mati-matian.
Namun hanya sebagian kecil lebah yang mereka bunuh.
Melihat ini perwira pertama lagi-lagi berteriak ditujukan pada penjaga di menara pengawas.
"Apakah ada kemungkinan musuh dalam ujud yang lain menyerbu mendekat ke benteng ini?"
Bukan jawaban yang didapat perwira ini.
Sebaliknya dari atas menara pengintai terdengar suara jerit menyayat hati.
Ketika sang perwira dongakan kepala memandang ke atas.
Dia melihat tiga perajurit yang berjaga di sana terjungkal dan melayang jatuh. Rupanya sebagian lebah yang mengetahui keberadaan perajurit pengintai langsung menyerang mereka.
Dan tiga penjaga yang terjatuh dari ketinggian begitu tubuhnya menyentuh tanah menemui ajal dengan tubuh meleleh mengepulkan asap.
"Keparat! Mahluk-mahluk terkutuk!"
Sentaknya geram.
Tanpa menunggu lebih lama sambil babatkan pedang di tangan dia menyerang para lebah dan bocah bocah itu.
Segala kekacawan yang terjadi di bagian sebelah luar tembok benteng istana tentu saja tidak luput dari perhatian Rangga Wulung Utama.
Sebagai senopati yang baru dia tidak tinggal diam.
Apalagi saat itu kawanan lebah telah merangkak ke atas benteng, menyerang para perajurit yang bertahan di sana.
Malah sebagian Lebah Pembunuh telah memasuki halaman istana juga dalam istana.
Melihat ini senopati segera berteriak kepada para perajurit bagian dalam benteng.
"Rentang jaring laba-laba...!"
Wuss!
Reeet!
Di delapan sudut penjuru tiba-tiba perajurit yang bertugas memasang perangkap segera menaikkan puluhan jaring berperekat.
Jaring-jaring halus ini begitu dibentang di atas ketinggian membuat kawanan lebah menjadi bingung.
Mereka yang tidak menduga adanya perangkap buatan itu langsung lebah yang beterbangan langsung terjebak.
Lebah-lebah yang berterbangan tersangkut terperangkap dalam jaring yang terpasang pada bambu dan digerak-gerakkan masing-masing oleh dua orang perajurit.
Banyak lebah yang dibuat tidak berdaya.
Namun yang lolos dari jaring terus menyerbu ke arah perajurit perajurit itu.
Setiap kali lebah berhasil menyengat maka yang menjadi korbannya segera menemul ajal. Walau perangkap yang dipergunakan cukup berhasil menjebak lawan.
Namun senopati ini nampaknya kurang puas.
Terlebih ketika dia mengetahui di luar sana sebagian besar perwira dan perajurit banyak berjatuhan menjadi korban.
Dengan gerakan cepat yang didukung dengan ilmu meringankan tubuh senopati melesat ke atas tembok benteng.
Begitu jejakkan kaki dari atas benteng pasukan yang berada. berseru ditujukan pada seluruh
"Kalian semua masuk ke tempat persembunyian"
Karena jauh sebelumnya perwira dan para perajurit telah diberi tahu.
Tentu saja mereka segera menyadari makna teriakan pemimpinnya .Puluhan perajurit dan perwira tiba-tiba hentakkan kakinya masing-masing.
Begitu kaki menghantam tanah.
Raja Gendeng 10 Rahasia Pangeran Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanah pun amblas dan setiap tubuh kemudian terjeblos masuk lubang persembunylan. Para bocah iblis yang menyerang dengan membabi buta juga kawanan lebah tentu saja tidak dapat menyerang apalagi menyusul mereka.
Kerena begitu perwira dan perajurit mencebloskan diri ke dalam lubang rahasia.
Lubang itu dengan cepat menutup. Pangeran Durjana yang terus memperhatikan semua yang terjadi kaget melihat kecerdikan senopati dalam mengatur siasat.
Tapi dia tidak kekurangan akal.
Tiba-tiba dia berseru ditujukan pada Bocah yang berada di luar benteng juga pada kawanan lebah piaraannya.
"Jangan hiraukan para pengecut itu! Lekas kalian serbu ke dalam istana. Di sana masih banyak hidangan yang pantas untuk kalian santap. Bunuh semua orang di dalam istana dan tinggalkan dua gadis yang bernama Arum Senggini dan Nila Agung!"
Seruan itu disambut gegap gempita baik oleh kawanan lebah maupun Bocah-Bocah Iblis. Berduyun-duyun seakan saling berlomba bocah-bocah itu merangsak dan berusaha melewati tembok tinggi dengan cara melompat.
Tidak sedikit yang bergerak menuju gerbang. Justru inilah yang ditunggu-tunggu oleh Rangga Wulung Utama sang senopati kerajaan .Begitu para bocah mendekat dan kawanan lebah beterbangan melewati benteng istana.
Senopati pun berteriak ditujukan pada pasukan pemanah juga para perajurit yang bertugas menggerakkan jaring perangkap.
"Hujani mereka dengan panah api! Sambut lebah-lebah itu dengan jaring laba-laba!"
Gema teriakan senopati melanda seluruh penjuru benteng.
Pasukan pemanah mernyambut semangat senopatinya dengan gegap gempita.
Ratusan batang dikobari api melesat dari busurnya.
Menghujani bocah-bocah Iblis membuat mereka kocar kacir.
Para bocah yang mampu menyelamatkan diri segera berguling-guling merapat ke tembok yang tidak sempat tertembus panah-panah itu.
Terdengar suara jerit pekik kesakitan di sana-sini para bocah yang terkena panah berkaparan di tanah lalu meledak hancur menjadi kepingan asap.
Bila di bawah keadaannya sangat kacau di luar dugaan pangeran Durjana.
Sebaliknya pasukan lebah gabungan dari Lebah Kepala Hati Berbunga dan Pembunuh keadaannya juga tidak jauh berbeda.
Mereka nampak kesulitan menghindar dari sergapan perangkap jaring perekat yang bermunculan diatas benteng dengan tidak terduga itu. Walau begitu setelah melihat nasib buruk yang menimpa kawan-kawannya.
Lebah-lebah lainnya kini bertindak lebih hati-hati dan berlaku cerdik.
Sadar jaring-jaring berperekat yang digerakkan para perajurit dapat membuat mereka tidak berdaya, maka kini mereka berusaha menghindari serbuan jaring.
Sebagai gantinya mereka terbang lebih rendah dibawah jaring-jaring lalu menyerang perajurit yang mengendalikan jaring.
Terdengar suara pekik dan ter?akan menyayat.
Para perajurit yang tersengat tewas seketika dan berjatuhan dari benteng.
Melihat ini senopati, jadi terkesima.
Tak membuang waktu dia segera membantu pasukannya dengan melepas pukulan dan kibaskan rambut saktinya yang panjang menjela.
Di sisi lain, Pangeran Durjana ternyata sangat murka begitu menyadari para pengikutnya:banyak yang menjadi korban.
Tak ada pilihan lain dengan kemarahan meluap-luap dia berteriak ditujukan pada Mata Setan.
"Sudah waktunya kau memberi dukungan. Aku mau kau habisi senopati tua berambut panjang itu. Aku juga ingin kau menyikat habis semua perajurit yang bertahan di atas benteng. Hangus kan mereka jangan diberi ampun!"
Diatas ketinggian Mata tunggal besar berwarna merah menyala yang sedari tadi diam menunggu tiba-tiba saja memancarkan cahaya terang.
Sebelum sang Mata Setan melesat menuju ke atas benteng terdengar Suara dari dalam mata itu.
"Perintahmu aku kabulkan. kau sendiri hendak kemana?"
Tanya Mata Setan. Pangeran Durjana keluarkan suara berdengus. Namun dia tetap menjawab pertanyaan mahluk berujud mata itu.
"Aku akan membuka jalan buat anak-anakku. Aku tidak mau mereka menjadi bulan-bulanan sekumpulan manusia kerajaan yang tolol itu. Kemudian aku akan masuk ke istana, menyingkirkan siapa saja yang menentangku untuk menemukan kedua puteri itu!"
Tegas sang pangeran geram.
Selanjutnya tanpa menunggu lama Pangeran Durjana ayunkan kedua kaki di atas permukaan .tanah.
Begitu kaki diayun.
Wuss!
Dengan gerakan secepat topan berhembus tahu-tahu dia telah berdiri sejarak tiga tombak di depan benteng.
Dengan pipi menggembung rahang bergemeletukan, disertai sorot mata tajam Pangeran Durjana cepat angkat tangan kirinya tinggi-tinggi .Begitu berada di atas kepala, jari-jarinya yang terkepal kemudian membuka.
Ketika lima jari tangan terbuka seluruhnya.
Entah dari mana datangnya tahu-tahu di telapak tangan sang pangeran terdapat dua benda hitam berbentuk bulat.
Kedua benda itu mengepulkan asap tipis berwarna biru kelabu. Kemudian tanpa menoleh setengah mengeram dia berkata ditujukan pada kedua benda tersebut.
"Hancurkan dinding benteng selebar-lebarrnya. Buat jalan agar bocah-bocah yang menjadi pengikutku dapat berpesta pora di dalam sana."
Dua benda bulat di telapak tangan kiri tiba tiba berputar lalu melosat ke arah benteng secepat kilat disertai suara deru menggidikkan dan kobran api .
Terdengar suara ledakan berdentum mengguncang malam yang hiruk pikuk diwarnai ceceran darah.
Tembok benteng yang kokoh dan tebal berlubang besar membentuk sebuah terowongan .Kepingan batu pasir dan debu bertaburan di udara.
Suasana di sekitar tembok hancur gelap sesaat.
Pangeran Durjana menyeringai puas.
Sementara kawanan Bocah Bocah Iblis yang berlindung dari serangan panah api dengan penuh kegembiraan berlarian memasuki halaman istana.
Mengetahui tembok benteng hancur.
Senopati Rangga Wulung Utama sebenarnya berniat menghalangi bocah-bocah itu agar tidak dapat menyerbu masuk ke dalam.
Tapi dia sendiri saat itu tak dapat bergerak leluasa karena Mata Setan menghujaninya dengan serangan cahaya panas mematikan yang bersumber dari mata tunggalnya yang dikedap-kedipkan.
Celakanya setiap kali senopati membalas serangan itu dengan melepaskan pukulan sakti bertenaga dalam tinggi, Mata Setan selalu menghindar dan melambungkan diri lebih tinggi hingga serangan yang dilakukan senopati sulit mencapai sasaran yang diharapkan.
Gagal menyerang Mata Setan yang berpindah-pindah diketinggian ,senopati menjadi sangat geram sekaligus penasaran.
"Andai aku bisa terbang dan mempunyai sayap!"
Ucapnya dalam hati.
Sayang senopati tidak punya waktu untuk berpikir lebih lama.
Saat itu Mata Setan setelah lolos dari serangan si kakek dengan penuh nafsu membunuh bergerak melesat ke bawah mendekat ke arah bagian atas tembok benteng yang cukup luas tak ubahnya seperti jalan berliku. Kemudian tanpa ragu dari jarak dekat sang mata mencecar kakek itu dengan serangan cahaya.
Puluhan cahaya menghantam tubuh senopati juga para perajurit yang bertahan di sekitarnya.
Tak punya pilihan lain.
Selain menghindar dan pergunakan rambutnya yang panjang orang tua ini juga segera mencabut senjata saktinya berupa sebuah kujang yang dikenal dengan nama Penakluk Jiwa
"Kau hendak menghabisi aku dengan kujang rongsokan itu, senopati? Percaya padaku, hidupmu hanya tinggal beberapa kejaban mata saja!"
"Makluk apa dia. Aku hanya melihat mata tanpa bagian tubuh yang lain!"
"Tapi aneh, bagaimana dia bisa bicara selayaknya manusia yang punya mulut?"
Rutuk si kakek, heran namun penasaran.
Hulu kujang yang terbuat dari gading digenggamnya dengan erat.
Tenaga sakti diam diam dia alirkan ke bagian tangan yang memegang senjata.
Tubuh senopati bergetar hebat.
Rambut panjangnya yang gagal mencederal Mata Setan berjingkrak tegak.
Byaar!
Kujang Penakluk jiwa di tangan senopati itu tiba-tiba memancarkan cahaya putih menyilaukan.
Tak menunggu lama selagi Mata Setan berada dalam jangkauan.
Si kakek segera kibaskan senjata di tangan lalu diarahkannya lurus-lurus ke arah mata yang menyala itu.
Tiga cahaya menebar hawa panas menggidikkan berkiblat menghantam ke arah mata merah besar yang mengapung diketinggian.
Melihat serangan ganas tiga cahaya yang memancar dari ujung kujang sakti, Mata Setan sedikitpun tidak menghindar.
Mata Tunggal itu malah membelalak bertambah besar.
Sebelum mata polos tanpa alis tanpa kelopak itu bergerak mengedip.
Tiba-tiba terdengar gumaman bercampur erangan marah.
"Tak tahu diri. Kau akan merasakan betapa cahaya yang memancar dari mataku ini akan menghancurkan senjata sekaligus melumat tubuhmu!"
Belum lagi gumaman sang mata lenyap.
Mata tunggal diketinggian berkedip tiga kali berturutturut. Tiga larik cahaya merah membahana menderu, menyambar ke arah tiga cahaya putih yang membersit dari ujung senjata senopati
Buum!
Dentuman menggelegar mengguncang bagian atas benteng, pijaran bertabur di udara membuat suasana yang temaram berubah menjadi terang benderang.
Senopati tua itu terhuyung.
Kagetnya bukan kepalang ketika sadar tiga cahaya yang memancar dari senjatanya tersapu habis digulung cahaya merah yang dipancarkan oleh Mata Setan.
Walau dua cahaya yang datang dari atas sama mengalami kehancuran setelah terjadi benturan menggelegar.
Tapi salah satu cahaya merah terus menyerbu menderu ke bawah siap menghantam senopati itu.
Sadar dirinya berada dalam ancaman bahaya besar senopati segera nemutar senjata lalu sambil berteriak keras senjata ditusukkan ke atas menangkis cahaya merah.
Wuus!
Creessst!
Raja Gendeng 10 Rahasia Pangeran Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Arkh...!"
Si kakek menjerit kesakitan ketika sadar kujang sakti di tangan tak mampu menghancurkan cahaya merah itu.
Sebaliknya kujang yang berada dalam genggamannya meleleh hingga kebagian hulu.
Dan yang lebih mengerikan lagi cahaya merah masih sempat membakar sang senopati.
Secepat kilat senopati kibaskan tangan dan berusaha memadamkan api yang membakar lengan bajunya.
Kujang yang tidak berbentuk dia campakkan dan entah jatuh kemana.
Orang itu terhuyung mundur.
Akhirnya dia bersender pada dinding benteng sebelah dalam. Secepatnya dia mengalirkan tenaga mumi berhawa dingin ke bagian lengannya yang hangus menghitam mengepulkan bau daging hangus.
Sambil menyeringai kesakitan dia juga menotok jalur darah di bagian pangkal lengan.
Perlahan rasa sakit berkurang.
Namun senopati sadar seandainya dia dapat bertahan hidup luka bakar di lengan kanannya akan membuatnya cacat sepanjang hayat
"Tanganmu sudah tidak berguna senopati tua. Mungkin rambut saktimu masih punya manfaat. Tapi dengan rambut sepanjang itu mana mungkin kau bisa membuat aku celaka! Kau akan mampus! Dan kematianmu telah berada di ambang mata!"
Kata Mata Setan. Mata tunggal merah menyala perlahan melayang turun bergerak mendekati di mana senopati berada. Sadar dalam keadaan terluka dia bakal mengalami banyak kendala untuk menghancurkan Mata Setan. Dalam hati, senopati berkata.
"Hyang dewa bathara. Aku tidak perduli dengan kematianku. Tapi seandainya pun aku meregang nyawa. Selamatkanlah gusti prabu senopati, selamatkan kedua putrinya dari tangan jahat Pangeran Durjana!"
Ucapan senopati terputus begitu tiba-tiba terdengar suara derap langkah kaki kuda yang dipacu cepat ditengah suara hingar bingar pasukan yang terlibat pertarungan sengit di bagian dalam benteng.
Terkejut senopati layangkan pandang ke arah jalan utama menuju pintu gerbang. Dia melihat seekor kuda berbulu hitam berlari cepat seolah terbang. Di atas kuda duduk seorang pemuda berambut gondrong riap-riapan berpakaian kelabu dengan posisi memunggungi kepala kuda. Pemuda itu nampak kalang kabut sementara dari mulutnya terdengar ucapan.
"Kuda aneh. Lajunya kencang sekali seperti dedemit kesiangan. Tapi sayang sepanjang jalan menebar kentut membuatku mabok. Hoeek..!"
Si pemuda yang bukan lain adalah Sang Maha Sakti Raja Gendeng keluarkan suara muntah. Tak terduga bersamaan dengan terdengarnya suara muntah tubuh pemuda itu melenting. Setelah jungkir balik tak karuan diketinggian akhirnya dia jejakkan kaki di atas bibir tembok benteng. Seperti orang bingung dengan mimik terkaget-kaget pemuda ini memperhatikan keadaan disekelilingnya .Dia melihat mayat-mayat perajurit yang tidak utuh lagi. Dia juga melihat senopati yang bersandar di dinding
"Whehh... aku terlambat. Pesta besar hampir lewat. Eeh..., orang tua penampilanmu seperti senopati. Tapi kau terluka?"
"Aku memang senopati istana Malingping. Mata Setan yang melukaiku, kau sendiri siapa? tanya si kakek heran.
Raja tersenyum. Acuh saja dia menjawab.
"Siapa aku tidak begitu penting. Aku cuma seorang raja. Raja Gendeng yang kebetulan tersesat ke sini,"
Sahut Raja. Tanpa menunggu ucapan senopati. Raja dongakan kepala menatap ke arah Mata Setan. Dia lalu kembali berucap. Kali ini ditujukan pada Mata Setan.
"Kalau tidak salah aku tadi sempat mendengar ada yang berkata bahwa kematian senopati telah berada di depan mata. Siapa yang bicara? Apakah kau mahluk aneh yang hanya berujud sebelah mata yang bicara?"
"Memang aku yang bicara."
Sahut Mata Setan tanpa keraguan. Raja berjingkrak pura-pura unjukkan wajah kaget
"Weh edan. Mata kok bisa ngomong. Biasanya yang dipergunakan bicara mulut."
Celetuk Raja sambil geleng-geleng kepala.
"Anak muda. Aku sudah tahu siapa kau. Kau terlalu jauh mencampuri urusan Pangeran Durjana. Kau juga telah membunuh puluhan bocah-bocah pengikut sang pangeran."
"Karena itu aku layak membunuhmu!"
Seru Mata Setan.
Mahluk yang ujudnya hanya terdiri dari mata itu akhiri ucapan dengan kedipkan mata tunggalnya.
Seketika itu juga satu gelombang cahaya merah panas dalam ukuran yang luar biasa besar mendera melabrak tubuh Raja.
Jika cahaya sampai menghantam dan mengenai sasaran.
Bukan hanya Raja saja yang bakal tewas dengan tubuh hangus menjadi bubuk.
Sebaliknya senopati Rangga Wulung Utama yang berada hanya sekitar lima langkah dari pemuda itu juga bakal menjadi korban.
Senopati keluarkan suara menggerung.
Sambil bergulingan menjauh selamatkan diri si kakek menghantam ke atas dengan salah satu pukulan sakti yang dikenal dengan nama Perisai Es Melanda Matahari. Begitu tangan dikibaskan dan didorong, dari telapak tangan senopati menderu hawa dingin luar biasa disertai kilatan cahaya putih menyilaukan.
Namun pukulan sakti senopati dengan mudah tersapu cahaya sang mata lalu hancur menjadi kepingan. Sementara di bagian yang lain tak jauh dari sang senopati satu cahaya laksana ombak raksasa terus menderu siap menggulung pemuda itu. Pemuda itu menggerung, mulut dipencong.
Dengan menggunakan jurus Tarian Sang Rajawali pemuda ini bergerak hindari terjangan cahaya serangan lawan.
Namun kemanapun ia menghindar cahaya merah menghanguskan itu mengejar, maka tanpa membuang waktu lagi Raja segera alirkan tenaga dalam tinggi ke bagian kedua belah tangannya.
Lalu dia siapkan pukulan Badai Es di tangan kanan serta ilmu pukulan Amukan Badai Laut Selatan.
Seperti diketahui Ilmu Badai Es adalah warisan gurunya Ki Panaran Jagad Biru sedangkan pukulan Amukan Badai Laut Selatan diwarisi dari guru raja satunya lagi Nini Balang Kudu. Dua tangan diangkat tinggi.
Tangan kanan berwarna putih berkilau dan menebar hawa dingin mengidikkan.
Sedangkan tangan kiri berubah hitam, pekat dan mengepulkan asap berwarna pekat. Tak menunggu lama beberapa saat lagi cahaya merah melabrak hangus tubuhnya.
Sambil menekuk kaki kanannya Raja segera menghantam ke atas dua kali berturut-turut .Satu gelombang cahaya hitam yang disusul dengan serangkum cahaya putih dingin luar biasa menderu di udara, bergerak cepat laksana dua mata tombak raksasa menghantam cahaya merah yang datang dari atasnya.
Buum!
Dentuman luar biasa keras mengguncang bagian atas benteng Istana.
Benteng itu bergetar hebat.
Kedua tepi benteng hancur menjadi kepingan bertabur di udara.
Guncangan ledakan membuat senopati yang bertubuh pendek terpental jauh lalu jatuh menyerangsang di cabang pohon yang terdapat di samping benteng.
Walau Raja melihat apa yang dialami senopati.
Dia tidak sempat menolong.
Sang Maha Sakti jatuh terduduk, kedua tangan yang melepas pukulan sakit sekali.
Dada mendenyut dan terasa panas seperti hangus.
Cepat pemuda ini salurkan hawa sakti ke bagian dada dan sekujur tubuhnya.
Rasa sakit yang menyesak di dada lenyap, dia cepat memperhatikan pakaiannya yang tadi sempat dikobari api.
Raja terbelalak tak percaya mulut berdecak kagum.
"Tadi pakaian baruku ini sempat dijilat api. Tapi aneh api dapat padam dengan sendirinya. Pakaian bagus ini ternyata tetap utuh tidak rusak."
"Hehh... pakaian ini rupanya ikut melindungi tubuhku."
Setelah sempat tenggelam dalam kegembiraan sekejap. Raja tiba-tiba ingat dengan lawannya. Seketika pemuda ini dongakkan kepala menatap ke atas. Dia melihat mata merah yang mengambang diatas ketinggian tiba-tiba lenyap dari pandangan. Mahluk aneh yang menampilkan diri dalam ujud berupa mata entah pergi kemana?
Jelalatan Raja layangkan pandang ke segenap sudut penjuru langit. Tapi mata besar yang dicarinya tak kunjung ditemukan.
Apa sesungguhnya yang terjadi dengan mata itu?
Diluar sepengetahuan Raja ketika benturan keras menggelegar terjadi antara dua pukulan yang dilepas Raja dengan cahaya merah yang dari sang Mata Setan mengakibatkan mata tunggalnya yang menjadi sumber kekuatan untuk menyerang mengalami guncangan hebat.
Mata itu menjadi sakit berdenyut laksana mau meledak. Selain itu rasa perih akibat pukulan Badai Laut Selatan terlalu menyakitkan sang Mata Setan. Dalam keadaan bergoyang limbung. Mata Setan bertanya sendiri.
"Apa yang terjadi denganku? Pemuda gondrong itu mahluk dari negeri mana? Mengapa mataku berdenyut luar biasa. Mengapa mata ini menjadi perih seperti disiram sekendi cairan garam? Aku tak mungkin dapat melanjutkan pertarungan dalam kondisi seperti ini. Aku harus menyingkir,"
Batin Mata Setan.
Kemudian tanpa perduli lagi dengan segala akibat yang bakal dia terima dari Penguasa Kegelapan di tahta Sitaloka,
Mata Setan diam-diam berkelebat tinggalkan tempat itu. Kepergiannya yang dilakukan diam-diam karuan saja membuat Raja kehilangan jejak
"Mata aneh itu entah minggat entah hancur!"
Seru Raja dengan perasaan lega
"Aku melihat dia pergi,"
Menyahuti senopati yang saat itu telah berdiri di cabang pohon tempat dia terjatuh. Raja menyeringai. Dia menatap ke bawah sambil julurkan kepala.
"Bagaimana keadaanmu kakek senopati? Tampaknya kau mengalami cidera berat di tangan kananmu. Aku ragu apakah tangan yang hangus itu bisa pulih?"
"Kau tak perlu risaukan aku lebih baik segera kau masuk ke istana. Tolong bantu gusti prabu Tubagus Kasatama dan ke dua putrinya. Jangan biarkan Pangeran Durjana menodai kedua putri kata senopati."
Raja yang sudah mengetahui pangeran Durjana bisa menjadi sangat sakti bila berhasi bercinta dengan kedua putri itu pura-pura bertanya.
"Memangnya kenapa kakek senopati?"
Dengan suara bergetar menyimpan kecemasan senopati cepat berteriak.
"Anak muda. Siapapun dirimu aku atas nama kerajaan mengucapkan banyak terima kasih. Ketahuilah bila puteri Arum Senggini dan Nila Agung sampai jatuh ketangan Pangeran Durjana maka tidak ada satu kekuatan sakti apapun yang bisa membunuhnya!"
"Wow nampaknya berbahaya sekali"
"Sudah. jangan hiraukan aku! Pergilah bantu mereka!"
Pinta si kakek. Raja manggut-manggut.
"Hmm, begitu. Baiklah aku pergi sekarang!"
Kemudian sambil tertawa dia tinggalkan puncak benteng.
Sementara itu ketika tembok benteng berhasil dijebol oleh Pangeran Durjana.
Puluhan bocah dan kawanan lebah segera bergerak menyerbu melalui jalan yang dibuka oleh pemimpinnya .Ternyata ketika kawanan lebah dan para bocah sampai disana.
Telah banyak sekali korban yang berjatuhan dikedua belah pihak.
Pertempuran yang berkecamuk makin menjadi dan diwarnai dengan dentang senjata di tengah jerit pekik kematian. Melihat teman-temannya mengamuk dan terus berusaha menghabisi perwira dan perajurit yang bertahan di sekitar istana.
Maka lebah-lebah dan Bocah Bocah Iblis yang baru muncul itu segera bergabung memberi bantuan pada teman-temannya.
Melihat ini Pangeran Durjana berpikir pasukannya yang terdiri dari kawanan lebah dan bocah-bocah buas pasti dapat memenangkan pertempuran.
Raja Gendeng 10 Rahasia Pangeran Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena itu sang pangeran yang saat itu berdiri di sudut halaman segera berkelebat menuju kebagian pintu depan Istana yang tertutup rapat yang dijaga ketat oleh sedikitnya sepuluh pengawal bersenjata.
Kehadiran Pangeran yang bergerak mengambang tanpa menyentuh lantai langsung disambut dengan serangan ganas oleh pengawal-pengawal itu.
Empat tombak menyerang rusuk dan bahu sebelah kiri.
Dari arah depan menyambar dua pedang yang mengarah ke bagian jantung dan perutnya.
Sedangkan dari samping sebelah kanan menderu golok dan keris, masing-masing membabat bagian pinggang dan kaki.
Diserang oleh sepuluh perajurit yang dikuasai amarah akibat kehilangan begitu banyak temannya.
Pangeran Durjana sama sekali tidak berusaha menghindar.
Sebaliknya dia mengumbar tawa tergelak-gelak
"Pilih bagian tubuhku yang manapun kalian suka!"
Tantang sang laki-laki yang dapat merubah rubah wajah dan penampilannya ini berdiri sambil berkacak pinggang.
Dan ketika sepuluh senjata berbagai jenis menghantam tubuhnya.
Terdengar suara berdentang sepuluh senjata yang menghujani tubuhnya tak ubahnya seperti menghantam tembok baja.
Malah para pengawal keluarkan seruan kaget begitu melihat senjata mereka meleleh.
Sementara itu tangan yang memegang gagang senjata bergetar hebat disertai panas yang luar biasa.
Tak ingin celaka.
Pengawal-pengawal itu segera mencampakkan sisa senjata dalam genggaman masing-masing. Mereka melangkah mundur, kibas-kibaskan tangan yang mengepul asap.
Dan ketika tiga diantaranya menatap ke arah lawan.
Mereka sama melihat Pangeran Durjana sama sekali tidak terluka.
Bahkan jubah hitam yang melekat di tubuhnya tidak ada yang robek terkena senjata.
"Dia bukan manusia!"
Desis pengawal yang berada di sudut sebelah kanan kecut.
"Dia hantu sakti!"
Berkata pula pengawal yang berdiri persis di depan pintu utama.
Sadar pangeran berjubah hitam itu bukanlah lawan mereka, para pengawal balikkan badan dan siap meninggalkan Pangeran Durjana.
Tapi orang orang itu menjadi kaget begitu menyadari kedua kaki tak dapat digerakkan seolah kaki mereka diganduli oleh ratusan kati batu besar yang tidak terlihat.
"Ha ha ha! Tak seorang pun diantara kalian yang kubiarkan lolos! Kalian semua sudah selayaknya menjadi tumbal santapan mahluk-mahluk yang bersemayam di dalam tubuhku!"
Berkata begitu Pangeran Durjana tiba-tiba kibaskan jemari tangannya yang berkuku runcing hitam.
Seet!
Cas!
Cras!
Raakk!
Tidak terdengar suara jeritan ketika lima kuku yang tajam menyambar putus tenggorokan mereka.
Darah memancar dari leher yang terluka menganga.
Sepuluh pengawal penjaga hanya bisa delikkan mata.
Pangeran menyeringai.
Tangan yang dipergunakan untuk menyerang pengawal itu diacungkan ke depan.
Secara aneh darah yang memancar dari setiap luka di leher para pengawal kini tidak lagi tumpah menyembur ke lantai melainkan tersedot ke telapak tangan sang pangeran.
Begitu curahan darah menyentuh telapak tangannya.
Darah tersedot amblas lenyap ke dalam telapak tangan sang pangeran. Sampai akhirnya tidak ada lagi darah yang memancar dari luka.
Satu demi satu pengawal malang jatuh bertumbangan.
Anehnya begitu tubuh mereka menyentuh tanah tubuh mereka lenyap berubah menjadi kepulan asap menebar bau busuk menyengat.
Pangeran Durjana keluarkan suara aneh seperti orang yang kekenyangan.
Dengan Mata nyalang dia menatap ke arah pintu yang tertutup rapat.
Sambil berjalan mengambang pangeran kibaskan tangannya, sementara dari mulutnya terdengar seruan.
"Terbukalah...!"
Dari ujung lengan jubah yang dikibaskan terdengar suara bergemuruh disusul oleh suara berderak pintu yang terbuka.
Begitu pintu terbuka. Pangeran Durjana ayunkan kakinya.
Tahu-tahu dia telah berada di dalam ruangan besar.
Sejenak lamanya mata putih pucat dengan satu titik hitam, di tengah bagian yang putih memperhatikan sekelilingnya.
Dia melihat beberapa bocah iblis terlihat begitu sibuk menggeragoti tubuh pengawal yang berhasil mereka bunuh.
Melihat ini Pangeran Durjana menyeringai.
"Ternyata diantara kalian sudah ada yang melakukan pesta di bagian dalam istana. Tapi mengapa aku tidak melihat dimana penguasa kerajaan Malingping dan dua puterinya yang bakal menjadi calon pengantinku!"
Gumam laki-laki yang tangan dan wajahnya dipenuhi lendir menjijikkan.
Baru saja dia berkata begitu.
Tiba-tiba dari balik ruangan lain muncul seorang laki-laki bertubuh tegap berpakaian sutera emas berkumis rapi dengan sebuah mahkota bertengger di atas kepalanya .Walau Pangeran Durjana belum pernah bertemu dengan penguasa Istana Malingping. Namun melihat ciri-ciri orang yang muncul di depannya serta mahkota emas yang bertengger di atas kepala.
Dia segera dapat memastikan lakilaki itu pasti gusti prabu Tubagus Kasatama.
Tapi belum lagi sempat dia membuka mulut ajukan pertanyaan, di depannya laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun yang tak lain memang gusti prabu Tubagus Kasatama sudah menghardiknya.
"Pangeran keparat dari liang kubur!"
"Begitu banyak kesengsaraan serta penderitaan yang kau timbulkan di tanah Pasundan ini? Kemunculanmu tidak hanya membawa malapetaka. Kau juga telah memporak porandakan ketenteraman yang kubangun selama puluhan tahun!"
Pangeran Durjana menyeringai memperlihatkan gigi-giginya yang tajam mengerikan.
Wajah yang bersih tiba-tiba berubah menjadi gelap tak ubahnya seperti cahaya bulan yang tertutup awan .Seringainya lenyap.
Dari mulut terdengar suara menggembor marah.
"Aku tahu siapa dirimu orang tua. Kau adalah prabu Tubagus Kasatama .Kau masih punya hubungan darah dengan Ratu Tria Arutama dan prabu Kalijati di istana Dewa Ruci"
"Bagus kau tahu persis silsilah dari keluargaku."
"Tentu saja aku tahu karena aku adalah salah satu bagian yang tersisih keluarga busuk itu!"
Dengus Pangeran Durjana geram
"Mahluk terkutuk. Dari hidup sampai mati kemudian hidup lagi ternyata kau masih juga melakukan perbuatan laknat tercela. Katakan mengapa kau lakukan semua ini? Mengapa kau menyerbu istanaku padahal aku tidak punya silang sengketa apapun denganmu!"
Bentak prabu Tubagus Kasatama sambil menghunus tombak sakti Ki Pleret.
Tombak bercabang hitam berwarna hitam pekat itu adalah senjata andalan yang kerap dipergunakan gusti prabu menghadapi lawan tangguh.
Melihat senjata di tangan sang prabu .Pangeran Durjana segera maklum senjata itu jelas bukan senjata sembarangan.
Tapi dia tidak mengenal rasa takut. Dengan tenang dia lalu menjawab pertanyaan prabu Tubagus Kasatama.
"Kau memang tidak punya silang sengketa denganku prabu. Tapi aku yakin kau pernah mendengar riwayat tentang diriku..."
"Kau hanya manusia terkutuk yang tega berbuat mesum dengan adik kandung sendiri!"
Potong prabu.
Wajah hitam Pangeran Durjana tampak semakin menghitam.
Mata yang pucat kini berubah merah seperti dikobari api.
Ucapan sang prabu tidak hanya membuatnya tersinggung tapi juga membuatnya marah sekali.
Sambil kepalkan dua tinjunya dengan suara menggereng dia membentak.
"Aku manusia bebas. Orang tuaku yang tak lain adalah nenek moyangmu tidak punya hak mengatur hidupku. Tapi dia telah melakukan satu kesalahan besar dengan menghukum mati diriku. Sejak saat itu aku bersumpah siapa saja yang punya hubungan darah dengan mereka harus kubunuh."
"Oh begitu. Tapi aku tidak takut mati dan tidak gentar dengan ancamanmu, pangeran busuk!"
Sahut gusti prabu tak kalah sengit. Mendengar itu Pangeran Durjana dongakkan kepala lalu mengumbar tawa bergelak.
Sekejab tawa pangeran lenyap dia membuka mulut dan berkata.
"Kau harus mati, tapi kematianmu tak akan kupermudah. Sebelum menemui ajal menghadap raja diraja neraka kau harus memberi tahu dimana puteri-puterimu berada. Aku ingin bercinta dengan mereka untuk menambah kesaktianku. Begitu aku selesai bercinta dengan mereka, kelak arwahmu tahu bahwa aku menjadi orang yang tak dapat dikalahkan oleh siapapun."
"Ha ha ha!"
Walau pernah diberi tahu oleh Penujum Aneh.
Namun ucapan Pangeran Durjana benar-benar membuatnya terkejut.
Bagi prabu Tubagus Kasatama kematian bukanlah sesuatu yang membuatnya risau.
Dia menyadari tiap-tiap mahluk yang bernyawa pasti bakal mati. Namun yang membuat hatinya sangat risau.
Bagaimana andai kedua putrinya benar-benar jatuh ke tangan manusia iblis itu?
Anaknya tidak hanya kehilangan kehormatan diri bahkan juga nyawanya.
Tidak tertutup kemungkinan Pangeran Durjana juga bakal menduduki istana dan menjadikan istana Malingping sebagai pusat segala kejahatannya.
Raja Gendeng 10 Rahasia Pangeran Durjana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku harus bisa menghabisi mahluk jahanam ini. Dia bukan lagi manusia. Dia iblis yang bangkit bersama jasad Pangeran Bagus Anom Aditama yang telah mati,"
Pikir sang prabu.
"Apa yang kau pikirkan gusti prabu?"
Tanya sang pangeran setelah lihat laki-laki di depannya sempat tertegun.
"Pangeran iblis,"
Sahut prabu Kasatama. Setelah berusaha menenangkan diri dia kemudian melanjutkan.
"Ketahuilah, kau tidak bakal mendapatkan satupun dari dua putriku. Mereka tak ada di istana ini. Lagi pula sudah cukup perbuatanmu merusak anak gadis orang!"
"Tidak! Beribu-ribu gadis masih kubutuhkan untuk memperkuat kedudukanku. Tapi mencari ribuan gadis bisa kulakukan nanti gusti prabu,"ujar pangeran dengan seringai dingin.
Setelah menelan ludah basahi bibir dia melanjutkan.
"Sekarang ini yang kubutuhkan adalah kedua putrimu."
"Mahluk keparat! Aku sudah mengatakan mereka tidak ada di istana!"
Bantah sang prabu. Pangeran Durjana diam, tidak menjawab. Sebaliknya dia menatap sang prabu sambil menghirup nafas dalam-dalam .Setelah menarik nafas dia menggeleng.
"Kau berdusta padaku. Aku dapat mengendus keberadaan mereka. Aku kan dapat merasakan denyut nadi serta detak jantung putri-putrimu. Mereka ada disekitar istana dan belum pergi kemanapun! Aku harus menemukan mereka!" berkata begitu Pangeran Durjana melangkah lebar berusaha masuk ke istana bagian dalam.
Melihat ini gusti prabu segera menghadang.
"Kau hendak kemana?"
Teriaknya sambil silangkan tombak Ki Pleret di depan dada.
"Aku ingin menangkap kedua putrimu dan membawanya pergi dari sini!" sahut sang pangeran dengan sikap acuh dan terus saja bergerak
"Jika begitu kau memang sudah selayaknya mampus ditanganku!"
Teriak sang prabu murka. Seketika itu dia melompat ke depan.
Tombak di tangan kanan ditusukkannya keperut lawan.
Sementara dengan tangan kiri yang telah dialir tenaga dalam tinggi dia menghantam.
Tidak tanggung-tanggung.
Begitu menyerang gusti prabu melepaskan salah satu pukulan sakti yang dikenal dengan nama Naga Dewa Mencengkeram Bumi. Kehebatan ajian yang dimiliki sang prabu ini sanggup meluluh lantakkan bukit dan gunung. Tombak melesat ganas menyambar ke bagian perut disertai pijaran cahaya hitam menggidikkan.
Dari tangan kiri menggemuruh lima larik berbentuk jari-jari panjang dan besar melabrak tubuh Pangeran Durjana disebelah atasnya.
Mendapat serangan yang begitu hebat disertai tebaran hawa panas dan dingin luar biasa.
Pangeran Durjana tercekat juga.
Seringai yang tersungging di mulut serta merta lenyap.
Dalam keadaan berdiri mengambang diatas lantai laki-laki itu segera menggeser tubuhnya ke sebelah kiri.
Secepat kilat dengan menggunakan tangan kiri dia berusaha menyambut hunjaman tombak, sedangkan tangan diputar sebat lalu didorongnya ke depan menangkis pukulan yang dilepaskan lawannya.
Tep!
Creek!
Ujung tombak yang membersitkan cahaya panas kena ditangkap lalu diputar hingga patah.
Tombak dalam genggaman selanjutnya dia remas hingga menjadi kepingan. Tapi satu bahaya lain mengancam keselamatan Pangeran Durjana.
Walau dia telah berusaha membendung serangan pukulan Naga Dewa Mencengkeram Bumi dengan mendorongkan tangan ke depan.
Tetap saja dia tak dapat menghancurkan serbuan cahaya berbentuk lima jari yang mengincar bagian dada sebelah atas.
Tak ingin celaka, Pangeran Durjana lipat gandakan tenaga dalam.
Kini dengan dibantu tangan kiri yang tadi dia pergunakan untuk meremas tombak sakti sang pangeran balas menyerang. Ternyata serangan susulan yang dilakukannya tak dapat berbuat banyak.
Lima cahaya berbentuk jemari raksasa terus menderu dan melabrak tubuhnya.
Tanpa ampun tubuh pangeran itu terdorong mundur, jatuh terhempas melabrak dinding Istana.
Dinding jebol .Pangeran Durjana seketika lenyap tertimbun reruntuhan bebatuan.
Prabu Tubagus Kasatama yang menduga lawannya tewas atau setidaknya mengalami cidera berat menarik napas.
Tapi belum sempat dia merasa lega, reruntuhan batu yang menimbuni lawan bergerak gerak.
Breel!
Batu puing dan reruntuhan bermentalan disegenap penjuru.
Dari balik timbunan batu lawan bangkit berdiri.
Walau sekujur tubuh juga jubahnya dalam keadaan kotor berselimut debu namun dia tak kekurangan sesuatu apa.
Malah sambil mengibaskan jubahnya dia menyeringai
"Ilmu pukulanmu memang sangat hebat. Tapi dengan kesaktian yang kau miliki itu. Mustahil kau dapat membunuhku! Ha ha ha!"
Dengus Pengeran Durjana disertai gelak tawa.
Gusti prabu terdiam tidak menanggapi.
Sebaliknya dia melompat ke depan melepas tendangan menggeledek disusul dengan hantaman tinju yang melesat ke bagian wajah.
Melihat tendangan berikut tinju lawan yang menderu ganas ke arahnya.
Pangeran Durjana sama sekali tidak menghindar.
Walau sadar dua serangan itu sangat berbahaya sebaliknya dia malah memasang badan.
"Mahluk terkutuk. Ternyata kau benar-benar mencari mampus!"
Teriak gusti prabu. Hantaman tinju mendera wajah.
Tendangan beruntun mengenai perut dan dada lawan.
Tapi Pangeran Durjana sedikitpun tidak bergeming dari tempatnya.
Pukulan dan tendangan hanya membuat kepala bergoyang dan tubuh bergetar.
Sebaliknya sang prabu tiba-tiba menjerit.
Tangan dan kaki yang dipergunakan untuk memukul dan menendang seperti menghantam gunung baja itu nampak bengkak menggembung. Sambil berjingkrak sekaligus kibas-kibaskan tangannya yang sakit luar biasa sang prabu melangkah mundur.
Namun pada saat yang bersamaan dengan gerakan secepat kilat pangeran Durjana melesat ke arahnya.
Sekali tangannya berkelebat satu pukulan keras melabrak perut dan dadanya membuat sang prabu terkapar dengan mulut menyemburkan darah. Megap-megap dia berusaha bangkit. Belum sempat sang prabu duduk, kaki lawan telah menginjak dadanya.
Sang prabu meronta sambil berusaha menghantam kaki lawan.
Tapi entah mengapa injakan kaki lawan seakan membuat seluruh tenaga dalam dan tenaga luar yang dimilikinya mendadak amblas lenyap entah kemana.
Melihat sang prabu kehilangan segala daya, Pangeran Durjana menyeringai.
"Kau baru saja terkena pukulan beracun selubung Tabir Mayat. Segala kesaktianmu jadi tidak berguna. Dan kau akan menemui ajal dalam waktu tiga hari. Seperti yang kukatakan... aku tidak mempermudah kematianmu. Kematianmu bakal berlangsung cukup lama dengan cara menyakitkan. Aku bisa mengatakan selamat menikmati penderitaanmu gusti prabu. Sedangkan aku sendiri akan bersenang-senang dengan kedua putrimu. Ha ha ha!"
"Iblis keparat! Jangan ganggu anak-anakku! Jika berani menyentuh mereka aku bersumpah akan membunuhmu!"
Teriak sang prabu kalap.
Pangeran Durjana hanya menyeringai.
Dia lalu menarik kaki kanannya yang menekan dada sang prabu.
Setelah itu diiringi tawa dingin sang pangeran tinggalkan lawannya.
Prabu Tubagus Kasatama menggeram.
Dia berusaha bangkit dan berniat mengejar Pangeran Durjana yang berlari ke arah ruang peraduan kedua putrinya.
Tapi usaha keras yang dia lakukan justru membuatnya kembali semburkan darah dari mulut dan hidungnya.
Sang prabu merasa pandangannya berkunang-kunang, dada sakit berdenyut sedangkan sekujur tubuhnya terasa panas seolah digarang diatas bara api.
Sang raja terkapar lagi.
Tubuhnya diam tidak bergerak entah pingsan entah sekarat!
TAMAT
Ikuti Kisah Selanjutnya dalam episode
Mutiara Pembunuh
(Tiada gading yang tak retak,begitu juga hasil scan cerita silat ini..
mohon maaf bila ada salah tulis/eja dalam cerita ini.Terima kasih)
Situbondo,17 September 2019
Pendekar Gagak Rimang Lambang Penyebar Jodoh Atau Cinta Karya Iman Nizrina Pendekar Kelana Sakti 10 Keris Buntung
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama