Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP Bagian 3
Dirabanya pundaknya yang terkena bacokan Tio Tong-hai, dan dirasanya mulut luka itu sudah merapat dan tertabur dengan obat luar.
Digerakannya tangannya perlahan-lahan, ternyata tidak ada ototnya yang putus sehingga ia tidak menjadi seorang yang cacad seumur hidup.
Pakkiong Liong menarik napas.
Katanya dalam hati.
"Hebat, anak yang bernama Tong Lam-hou itu bukan saja seorang ahli silat tetapi agaknya juga ahli pengobatan. Mudah-mudahan ia tidak termasuk golongan orang yang menentang pemerintah Manchu yang agung. Kalau tidak, agaknya aku akan mendapat lawan yang sangat berat."
Sesaat ia duduk merenung-renung, lalu berpikir lagi.
"Tetapi aku rasa dia bukan termasuk orang golongan penentang itu. Semalam ketika ia menemukan aku, aku dalam pakaian seragam prajurit Manchu, tapi ia tetap saja mau menolongku dengan sepenuh hati. Jika ia musuh, tentu aku sudah dicekiknya hingga mampus, atau dibiarkannya saja aku ke mulut serigala-serigala itu."
Tengah ia merenung bolak-balik, tiba-tiba dari luar ada langkah-langkah kaki, lalu pintu yang kasar itu pun ditarik dari luar, dan muncullah anak muda yang bernama Tong Lam- hou itu.
Kini wajahnya nampak lebih jelas, wajah itu sebenarrya dapat menjadi wajah yang garang, sebab ada berewok tipis berwarna coklat yang melingkari rahangnya.
Namun matanya justru tidak memancarkan kegarangan sedikitpun, malahan lembut seperti mata seorang pendeta.
Melihat Pakkiong Liong telah sadar, maka Tong Lam-hou tersenyum dan berkata.
"He, Jangan terlalu banyak bergerak dulu, luka- lukamu masih belum sembuh sama sekali. Tapi ternyata tubuhmu cukup kuat sehingga secepat ini kau sadar dari pingsanmu, padahal lukamu cukup berat. Ibuku sudah menyediakan bubur untukmu jika siuman, biar kuambilkan di dapur."
Dan tanpa menunggu Jawaban Pakkiong Liong lagi, Tong Lam-hou segera melangkah ke dapur, tak lama kemudian muncul lagi dengan sebuah mangkuk besar berisi bubur lengkap dengan sumpitnya.
"Nih, makanlah. Tadi ketika ibuku memasaknya, bubur ini masih hangat, tapi karena kau belum juga siuman maka diletakkannya saja di dapur sehingga dingin."
Terpengaruh oleh sikap tuan rumahnya yang begitu terbuka, tanpa ragu ragu Pakkiong Liong menerima mangkuk dan sumpit itu, dan oleh rasa lapar yang menggigit perutnya, maka isi mangkuk itu dalam sekejap saja sudah licin tandas, berpindah ke dalam perutnya.
Sebagai seorang berpangkat tinggi, Pakkiong Liong sudah merasakan Jenis masakan apapun yang mahal-mahal, kebanggaan rumah-rumah makan terkenal di Ibukota, dengan pelayanannya yang bahkan berlebihan.
Namun baru kini ia merasa betapa lezatnya suatu makanan yang ternyata cuma bubur dan sepotong daging yang entah daging apa itu.
Suasana tenang dan tenteram di gubuk itu agaknya menambah selera makannya, ditambah sikap Tong Lam-hou yang polos tanpa dibuat-buat.
Pelayan-pelayan di rumah-rumah makan di pak-khia ramah-ramah dan cantik- cantik, namun semua itu hanya ditujukan untuk mengeruk uang dari kantong langganannya sebanyak mungkin.
Sebaliknya Tong Lam-hou yang berpakaian dekil dan bau keringat itu jelas tidak mengandung pamrih apapun, selain ingin melihat Pakkiong Liong menjadi sembuh dan kuat kembali.
Menurutkan perutnya yang lapar itu, tanpa sungkan-sungkan Pakkiong Liong menghabiskan tiga mangkuk besar bubur dan beberapa potong "daging aneh"
Itu. Setelah itu barulah ia memuji.
"Hebat sekali. Siapa yang memasak masakan sehebat ini?"
Tong Lam-hou tersenyum bangga.
"Ibuku. Ia juru masak nomor satu di dunia."
"Aku percaya saja. Eh, dengan siapa kau tinggal di rumah ini?"
"Hanya bersama ibuku."
"Keluarga lainnya?"
Tiba-tiba wajah Tong Lam-hou jadi murung dan ditundukkannya kepalanya. Digenggamnya sebentuk batu kumala bundar berukir yang menjadi bandul kalungnya, diikat dengan tali rami yang sederhana. Sahut Tong Lam-hou.
"Ibuku adalah satu-satunya keluargaku yang kukenal di dunia ini. Sedang ayahku, aku melihatpun belum pernah. Aku hanya tahu ayahku bernama Tong Wi-siang, tetapi sudah meninggal ketika aku masih dalam kandungan."
Tiba-tiba Pakkiong Liong Juga menundukkan kepalanya.
"Maaf, pertanyaanku membuatmu bersedih. Tapi kau beruntung masih memiliki seorang ibu, sedangkan aku tidak punya ayah-ibu lagi saat ini. Ibuku meninggal ketika umurku tiga tahun, dan ayahku gugur di peperangan ketika umurku sebelas tahun. Aku bangga punya ayah seperti beliau, seorang prajurit yang gagah berani."
"Karena ayahmu seorang prajurit, maka kau juga menjadi prajurit?"
"Ya, aku ingin melanjutkan cita-cita ayahku, mengabdi Kaisar dan tanah air untuk mempersatukan seluruh daratan ini menjadi satu maha kerajaan yang besar."
"Apa yang akan kau dapat setelah itu? Pangkat yang tinggi? Kekayaan yang berlimpah- limpah? Atau apa?"
"Tidak apa-apa. Apakah seseorang yang mengabdi kepada negerinya harus selalu mengharap imbalan harta dan kemuliaan seperti itu? Tidak bisakah jika imbalannya hanya kepuasan karena melihat negerinya menjadi negeri yang maju, kuat dan sejahtera?"
Tong Lam-hou mengangguk-angguk mendengar Jawaban yang mantap itu. Tanyanya lagi.
"Tapi bukankah tugas prajurit itu adalah tugas membunuh? seperti binatang buas di rimba belantara yang belum tersentuh peradaban?"
"Siapa bilang? Kau agaknya salah paham tentang tugas seorang prajurit. Tugasnya adalah melindungi keamanan negara dan rakyat, jika tugas itu dapat terlaksana tanpa kekerasan, itu memang lebih baik. Tapi kadang-kadang kami harus membunuh juga, dan yang kami bunuh adalah pengacau-pengacau dan pemberontak- pemberontak yang membuat keributan di mana-mana. Kalau mereka tidak dibunuh, merekalah yang akan membunuh rakyat yang tak berdaya."
Tong Lam-hou termangu-mangu, lalu.
"Apa yang kau maksud dengan pemberontak?"
"Orang yang ingin mendirikan negara dalam negara. Kalau mereka dibiarkan, di daratan ini akan muncul puluhan dan bahkan ratusan negara-negara, dan adakah rakyat bisa tenang dalam keadaan seperti itu? Tidak. Masing masing negara pasti akan saling mencurigai, saling menyerang, saling bersekutu dan memencilkan. Ini bukan omong kosong, sebab sejarah negeri ini sudah membuktikan di jaman Liat-kok sebelum dipersatukan oleh Cin-si- hong-te dulu. Nah, orang-orang yang ingin membagi-bagi negara seperti membagi-bagi kue besar inilah yang harus di cegah kelakuannya."
"Aku mengerti sekarang. Tapi ada pihak lain yang berpendapat lain."
"Maksudmu bagaimana?"
"Baru kemarin aku berkumpul di rumah kepala desa Jit-siong-tin, sebab sekelompok orang yang menamakan diri mereka 'pembebas tanah-air' telah datang untuk mengambil 'sumbangan perjuangan' dari penduduk berupa bahan bahan makanan yang hampir empat gerobak penuh. Selain itu, mereka Juga telah bicara panjang lebar untuk mengajak penduduk ikut mengangkat senjata terhadap pemerintah yang sekarang yang mereka sebut sebagai penjajah. Nah, sekarang kau menyebut yang sebaliknya, Jadi mana yang benar?"
Pakkiong Liong menjawab.
"Setiap orang dapat saja memuji dirinya sendiri dengah sebutan yang paling indah, dan mencaci musuhnya dengan istilah yang paling busuk. Tapi ukuran baik atau jahat itu bukan perkataannya, melainkan perbuatannya. Para 'pembebas tanah-air' itu merampas bahan makanan dari penduduk desa, itu kelakuan seorang pejuang atau perampok?"
"Tapi bagaimana tuduhan bahwa bangsa Manchu merebut negeri bangsa Han?"
Pakkiong Liong balik bertanya.
"Kau suku apa?"
"Menurut ibuku, ayahku adalah suku Han dan ibuku suku Hui."
"Kau sangat membeda-bedakan orang lain berdasarkan sukunya atau darah keturunannya?"
Cepat-cepat Tong Lam-hou menggelengkan kepalanya.
"Tidak, sikap seperti itu tidak adil, sebab seseorang yang di dalam kandungan ibunya tidak dapat memilih ia akan menjadi bangsa apa, atau memilih warna kulit yang disukainya, sebab sudah ditentukan oleh Tuhan. Memandang orang lain berdasarkan warna kulit atau suku, adalah sikap durhaka, sama saja dengan mempersalahkan apa yang sudah ditentukan Tuhan. Lebih bijaksana Jika membedakan orang bukan berdasarkan warna kulitnya, tapi berdasarkan kelakuannya sendiri. Kelakuan orerg itu sendiri baik ataukah buruk?"
"Bagus. Itu jawaban tepat. Tong Lam-hou, patut kau ketahui bahwa di negeri ini ada puluhan suku-suku bangsa, kalau setiap suku bangsa ingin punya negeri sendiri, lalu bayangkan sendiri berapa puluh negarakah Jadinya di negeri ini? Kalau masing-masing bermusuhan, apakah rakyat tidak akan terjerumus ke dalam kesengsaraan? Meskipun aku seorang Manchu, aku sangat menghormati pemersatu-pemersatu dari bangsa-bangsa lain. Li Yan yang mendirikan dinasti Tong, Tio Gong- in yang mendirikan dinasti Song, kedua-duanya adalah orang Han, Wanyen Akuta si pemimpin bangsa Kim yang mendirikan dinasti Kim, Temuchin si pemilhpin bangsa Mongol yang mendirikan dinasti Goan yang wilayahnya pernah meliputi sepertiga dunia dan ia lebih dikenal dengan sebutan Jengish Khan. Lalu Cu Goan-ciang yang mendirikan dinasti Beng Juga aku kagumi, meskipun sekarang keturunannya menjadi musuhku. Jadi, Jika di antara bangsa Han sendiri tidak terdapat kerukunan, malahan perang saudara yang berlarut-larut, kenapa bangsa Manchu kami tidak boleh mengambil- alih pimpinan untuk mempersatukan negeri? Apa rakyat Han disuruh menunggu saja selesainya pertentangan antara pengikut- pengikut Cong-ceng yang bobrok dengan pengikut-pengikut Li Cu-seng yang beringas tetapi tidak ahli memegang pemerintahan itu? Jadi berapa tahun harus menunggu?"
Tong Lam-hou mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penjelasan itu.
Meskipun Tong Lam-hou cuma anak-gunung, namun beberapa buku sejarah pernah juga dipinjamnya dari teman-temannya yang tinggal di desa Jit-siong-tin, dan dibacanya sampai habis.
Dan dirasanya apa yang dikatakan Pakkiong Liong itu betul adanya.
Katanya.
"Kau benar. Tentu saja jika negara bersatu dan pemerintahan berwibawa, maka rakyatpun akan hidup sejahtera, tidak disibukkan oleh perang terus-menerus. Dinasti Beng di jaman Kaisar Yung-lo memang pernah mencapai kejayaannya, bahkan kapal-kapalnya berlayar jauh sampai ke seberang samudera, namun kemudian di jaman Kaisar Cong-ceng memang begitu merosot kewibawaannya sampai keadaan di dalam negeri rusuh sekali."
Wajah Pakkiong Liong berseri karena menemui seorang kawan yang sama pendiriannya. Katanya.
"Nah, kau ternyata paham sejarah juga. Persatuan itu yang sedang kami usahakan, lalu memberi kesempatan kepada rakyat untuk membangun dan hidup sejahtera. Namun keturunan dinasti Beng masih belum terima dan masih mengacau di mana- mana. Mereka mengaku memperjuangkan rakyat, padahal jaman dulu mana pernah Cong- ceng memperhatikan rakyatnya? Yang mereka, perjuangkan itu tak lain adalah kepentingan keluarga Cu sendiri, bukan kepentingan, rakyat,"
Tengah kedua anakmuda itu semakin tenggelam daiama keasyikan mereka bercakap- cakap, tiba-tiba dari luar gubuk terdengar suara seorang perempuan tua.
"A-hou, bantu aku sebentar!"
Tong Lam-hou segera bangkit dari duduknya dan berkata.
"Itu Ibuku datang. Ia baru pulang dari kebun untuk memetik kentang dan sayuran."
Pakklong Liong juga bangkit dari tempat berbaringnya dan berkata.
"Aku ikut membantumu... ."
"Jangan, nanti lukamu pecah lagi dan pengobatanku selama ini akan sia-sia saja,"
Sahut Tong Lam-hou sambil melangkah keluar rumah.
Namun Pakklong Liong tidak mau ketinggalan.
Disambarnya baju prajuritnya yang terlipat rapi dan sudah tercuci bersih di dekat pembaringannya itu, bahkan robek-robek pada baju itu sudah rapat karena ditisik halus.
Ibu Tong Lam-hou adalah seorang perempuan berusia kira-kira empat puluh lima "Ah, kau agaknya seorang bandel juga dan suka membantah orang tua,"
Sungut ibu Tong Lam-hou itu.
"Persis seperti A-hou. Pakkiong Liong dan Tong Lam- hou bertukar Dandanaan. tahun. Meskipun ia berpakaian seperti wanita- wanita suku Han umumnya, tetapi warna rambutnya yang agak kemerahan, matanya yang cekung serta hidungnya yang mancung merupakan ciri-ciri suku Hui yang sulit disembunyikan. Tubuhnya kelihatan masih kuat, agaknya karena terbiasa bekerja keras di alam pegunungan yang menyehatkan. Di wajahnya juga masih tergores sisa-sisa kecantikannya di masa mudanya. Bersambung ke
Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditiya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU
Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.
Jilid erempuan itu menyeret sebuah usungan dari kayu kasar yang diberi tali yang dikalungkan di pundaknya yang kuat.
Diatas usungan ada beberapa keranjang besar yang masing-masing berisi kentang, lobak, semangka, labu dan sayur-sayuran segar lainnya, tapi ada dua buah keranjang yang kosong.
Pakkiong Liong langsung memberi hormat kepada ibu Tong Lam-hou itu sambil berkata.
"Aku mengucapkan terimakasih atas pertolongan bibi dan putera bibi."
Ibu Tong Lam-hou menjawab sambil tertawa.
"Sudahlah, tidak perlu disebut-sebut lagi tentang pertolongan itu. Itu kewajiban P setiap orang. Tetapi sungguh mengherankan bahwa kau sembuh begitu cepat?"
"Ini berkat perawatan bibi dan saudara Lam-hou yang sangat cermat. Sekarang aku bisa membantu bibi menaruh keranjang-keranjang itu yang ini akan ditaruh di mana?"
"He, kau tidak boleh mengangkat yang berat-berat dulu!"
Cegah ibu Tong Lam-hou.
"Ih, anak bandel! Nanti lukamu kambuh lagi! Biar A- hou saja yang mengangkatnya!"
Tiba-tiba saja kewalahan perempuan ibu Tong Lam-hou itu menimbulkan suatu perasaan aneh dalam diri Pakkiong Liong.
Nada suaranya itu seperti seorang ibu yang memarahi anaknya yang kecil ketika bermain-main air hujan, alangkah sejuk rasanya dalam perasaan Pakkiong Liong.
Ia sudah tidak mempunyai ibu sejak berumur tiga tahun.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan alangkah terasa sepinya jika dilihatnya anak-anak lain bermanja-manja kepada ibunya, bahkan jika anak itu diomeli oleh ibunya.
Ketika ia menjadi remaja dan selesai berguru kepada Hoat-beng Lama di Tibet, ia menjadi seorang prajurit, dan mengisi kesepian hatinya dengan kesibukan- kesibukan seorang prajurit dari sebuah negeri yang sedang meluaskan wilayahnya.
Ia menjadi prajurit yang disegani kawan dan lawan, kemenangan demi kemenangan diraihnya, dan gadis-gadis Manchu memujanya seperti memuja seorang pahlawan dalam dongengan saja, tetapi kerinduan hatinyanya terhadap seorang ibu tak terisi juga.
Inang pengasuhnya tidak dapat mengisi kekosongan itu, sebab sang inang masih merasakan jarak antara dirinya yang hanya rakyat jelata itu dengan anak asuhannya yang masih punya hubungan darah agak jauh ,dengan Kaisar Sun-ti.
Kini, di depan gubuk reyot di lereng Tiam-jong-san itu tiba-tiba didengarnya sebuah suara yang selama ini dirindukannya, dan perasaan Pakkiong Liong pun bergolak.
Cepat-cepat ia menundukkan wajahnya agar matanya yang basah tidak terlihat oleh Tong Lam-hou dan ibunya.
Sementara itu, ibu Tong Lam-hou masih saja menyerocos terus tanpa mengetahui apa yang sedang bergejolak di hati Pakkiong Liong itu.
"Kau harus memperhatikan dirimu, meskipun tubuhmu cukup kuat. Eh, anak muda, kami belum mengetahui namamu... ."
"Namaku Pakkiong Liong,"
Sahut Pakkiong Liong.
"Tapi jika bibi dan A-hou mau, boleh panggil dengan A-liong begitu saja."
"Pakkiong Liong? Namamu agak aneh kedengarannya. Kau tentu orang dari luar Tembok Besar bukan.?"
"Benar, bibi, aku adalah seorang Manchu,"
Pakkiong Liong menyahut sambil mencoba memperhatikan perubahan air muka perempuan tua itu.
"Aku seorang dari sebuah bangsa yang sering disebut sebagai penjajah, meskipun sebenarnya kami hanya ingin mempersatukan."
Ternyata sikap dan tanggapan ibu Tong Lam-hou itu sangat melegakan Pakkiong Liong.
"ah, apa bedanya antara Manchu dan bukan Manchu? Yang sanggup mengayomi negeri, itulah yang berhak duduk di singgasana. Aku pernah mengalami masa pemerintahan orang Han di jaman dinasti Beng, ternyata mereka tidak becus memerintah sampai negeri menjadi kacau-balau. Dulu aku tinggal di.sebuah desa di Se-cuan, tapi gara-gara perang sampai berada di tempat ini, padahal ketika itu aku sedang mengandung A-hou dalam perutku."
"Apakah saat itu ayah masih ada?"
Tiba-tiba Tong Lam-hou bertanya. Perempuan itu menarik napas panjang- panjang dan berusaha untuk menutupi kepedihannya.
"Tidak. Saat itu ayahmu sudah tidak bersamaku lagi. Tapi jangan salah paham, A-hou. Ayahmu waktu itu tidak bersamaku bukan karena tidak bertanggung-jawab, melainkan karena ia seorang ksyatria sejati yang lebih mementingkan rakyat daripada mementingkan keluarganya sendiri. Saat itu ayahmu dan teman-temannya tengah dalam perjuangan yang gigih untuk menumbangkan pemerintahan bobrok dinasti Beng... ."
Pakkiong Liong terkesiap mendengarnya.
"Apakah suami bibi dulu berjuang di pihak Li Cu-seng?"
"Entahlah, ia jarang sekali berbicara tentang hal perjuangannya, dan andaikata berbicara juga ia hanya bicara samar-samar. Satu yang kutahu, ia tidak senang di bawah perintah siapapun, sehingga kurang kuatlah anggapan bahwa ia menjadi pengikut Li Cu-seng. Aku pernah melihat ia seorang diri saja telah membuat kocar-kacir sepasukan tentara Beng yang berjumlah hampir seratus orang, yang ketika itu sedang memeras sebuah desa."
Ketika berbicara tentang suaminya itu, maka perempuan Hui itu memancarkan sinar kebanggaannya.
"Siapa nama suami bibi 'tu?"
Tanya Pakkiong Liong lagi.
'''Namanya Tong Wi-siang.
Ilmu silat aslinya beraliran Soat-san-pay, tapi ia dan teman- temannya kemudian mendapat suatu penemuan ilmu silat di pegunungan Bu-san di Se-cuan, sehinggai ilmunya melonjak dengan tinggi, bahkan mengungguli tokoh-tokoh tua di jaman itu, meskipun ilmu barunya itu dianggap sebagai ilmu sesat oleh sebagian orang."
Nama itu agaknya memang bukan nama sambil lalu saja.
Meskipun Pak-kiong Liong belum pernah mendengarnya karena perbedaan kurun waktu, tapi kesimpulannya ialah bahwa Tong Lam-hou bukan keturunan orang sembarangan.
Dan ternyata sudah terbukti pula bahwa Tong Lam-hou sendiri juga bukan pribadi sembarangan, meskipun tampangnya seperti tampang anak gunung yang amat sederhana, lebih-lebih gurunya yang telah mendidiknya menjadi selihai itu tentu manusia yang maha dahsyat pula.
Mungkin tidak kalah dari guru Pakkiong Liong yang bermukim jauh di negeri.
Tibet sana.
"Guru Tong Lam-hou pasti sejajar dengan guruku, dan tokoh-tokoh setingkat mereka tidak banyak jumlahnya di dunia persilatan ini,"
Pikirnya. Sementara itu Tong Lam-hou telah mengatur keranjang-keranjang sayur-sayuran itu di samping gubuknya. Ketika melihat ada dua keranjang yang kosong itu, Tong Lam-hou bertanya kepada ibunya.
"Kenapa kosong, bu? A-pakah kebun kita diserang monyet lagi?"
Ibu Tong Lam-hou menyeka keringat disahinya. sambil menggerutu.
"Kali ini monyet- monyetnya bukan monyet-monyet gunung, tapi monyet-monyet dalam ujud manusia yang menamakan diri 'gerakan pembebas tanah-air' itu. Benar-benar menjemukan, dulu ketika dinasti mereka masih berkuasa, daerah ini dibiarkan saja tanpa kemajuan apa-apa, sekarang setelah mereka terjungkir dari tahta, rakyat daerah ini dipaksanya membantu perlawanan mereka dengan menarik hasil kebun kita seenaknya sendiri saja."
Pakkiong Liong yang berdiri bersandar di dekat pintu itu diam saja.
Namun diam-diam ia mencatat suatu hal dalam hatinya.
Rakyat yang tidak diperhatikan kesejahteraannya tentu kurang kesetiaannya kepada kerajaan, karena itu Pakkiong Liong merencanakan jika dia mampir ke kota Kun-beng sebagai Ibukota wilayah Hun-lam, ia akan menemui Sun-bu (Kepala Daerah) untuk memberikan perhatian lebih kepada daerah-daerah terpencil ini, supaya rakyat di sini lebih setia kepada Kerajaan Manchu dan dengan demikian mempersempit ruang gerak para pemberontak.
Sementara itu, sambil menumpuk-numpuk keranjang sayurannya, Tong Lam-hou juga ikut mengomentari.
"Benar, bu. Setiap kali mereka selalu bicara di depan orang-orang desa tentang perjuangan mereka, perjuangan yang tidak bakal banyak berarti bagi rakyat kecil, sebab begitu mereka duduk di singgasana akan lupalah mereka kepada rakyat yang pernah mendukung mereka. Kita hanya butuh ketenangan untuk bertani dan berkebun, tapi mereka setiap kali datang dengan senjata- senjata terhunus, tidak jarang mengancam dan. menakut-nakuti orang-orang yang tidak menuruti kemauan mereka. Kenapa mereka tidak jadi perampok sekalian? Kenapa mesti memakai nama yang mentereng sebagai pembebas tanah air? Pantaslah dulu ayah melawan dinasti bobrok itu, sampai sekarangpun keturunannya tetap bobrok!"
Dalam hatinya Pakkiong Liong merasa senang atas tanggapan ibu dan anak itu kepada keadaan negara saat itu, namun ia tidak mengomentarinya supaya di kemudian hari tidak dituduh sebagai mempengaruhi pendapat orang.
Bahkan pertanyaannya kemudian seolah- olah tak ada hubungannya sama sekali dengan keadaan pemerintahan.
"Hasil kebun sebanyak ini dikemanakan saja, bibi?"
"Sebagian dijual ke Jit-siong-tin, desa yang paling besar di sekitar sini, di sana ada sebuah pasar besar di mana pedagang dan pembeli dari desa-desa sekitar berdatangan setiap hari. Keperluan-keperluan lain seperti bahan pakaian atau barang-barang lain juga bisa didapatkan di sana. Sisa dari hasil bumi ini. kami simpan untuk makan sehari-hari."
"Apakah kebun bibi luas?"
"Lereng gunung ini tak ada penghuninya, kita mau menggarap seberapapun luasnya bisa saja asal tenaganya mencukupi. Untung tubuh A-hou sangat kuat hingga tanah yang digarapnya dapat cukup banyak."
"Apakah kehidupan demikian tidak terlalu berat?"
"Berat tidak berat itu bukan urusan kami, sebab tanpa kerja kami tidak makan."
"Kapan hasil kebun hari ini akan dibawa ke pasar Jit-siong-cin?"
"Besok. Agar sayurannya masih segar. A-hou yang biasanya membawanya ke sana dengan berangkat pagi-pagi buta."
"Biarlah besok aku pergi bersama A-hou,"
Kata Pakkiong Liong tiba-tiba.
"Pasar-pasar di kota-kota besar sudah pernah kulihat, tetapi pasar di tempat terpencil seperti ini belum kulihat."
Ibu Tong Lam-hou membelalakkan matanya.
"He, kau anak kota, mana bisa kau memikul keranjang sayuran seperti anak-anak gunung? Lagipula meskipun lukamu sudah baik tetapi badanmu masih lemah."
"Sudah kuat, bibi."
Kata Pakkiong Liong sambil menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, kemudian melakukan beberapa loncatan kecil.
"Besok badanku akan kuat kembali seperti biasa, dan jika aku berbaring saja malahan tidak sembuh-sembuh."
"Ah, agaknya kau seorang bandel juga dan suka membantah orangtua,"
Sungut Ibu Tong Lam-hou itu.
"Persis seperti A-hou."
Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou bertukar pandangan, dan merekapun tertawa serempak. Kata Pakkiong Liong.
"A-hou, besok pagi-pagi jika kau hendak berangkat ke Jit-siong-tin, bangunkan aku. Biar aku sekali-sekali belajar mengerjakan pekerjaan anak-anak desa."
"Bertani dan berladang juga?"
Ya, apa salahnya? Itu pengalaman baru bukan?"
Tong Lam-hou tertawa riang.
"Memang pengalaman baru untukmu. Kau nanti akan merasa bahwa mengayun cangkul untuk melubangi tanah tidak kalah asyiknya dengan mengayun pedang untuk melubangi dada musuh di medan perang. Mengayun cangkul berarti melestarikan kehidupan, mengayun pedang menyebar kematian dan penderitaan."
Pakkiong Liong menyeringai mendengar perbandingan yang dikemukakan oleh Tong Lam-hou itu. Namun ia mencoba membela pendiriannya.
"Mengayun pedang menyebar kematian, itu benar, tapi keliru kalau dikatakan menyebar penderitaan. Justru untuk membasmi para pengacau. Tanpa prajurit yang menjaga keamanan, apakah para petani berani keluar untuk menggarap ladangnya sambil berdendang?"
"Aku? Aku tetap berani... ."
"Ya, kareYia kau seorang petani istimewa. Sekelompok penjahat tidak berarti apa-apa di hadapanmu. Tetapi petani-petani lainnya?"
Tong Lam-hou mengerutkan alisnya sebentar, lalu.
"Betul juga kau. Tapi tanpa petani, prajurit-prajurit juga akan kelaparan sebab tidak ada yang menanam padi...
"Jadi... ."
"Jadi bagaimana? Agaknya prajurit dan petani harus melaksanakan tugas masing- masing dengan sebaik-baiknya, supaya negara kuat dan sejahtera."
Keduanya lalu tertawa berbareng. Perasaan saling bersahabat telah saling menebal di hati masing-masing. Ibu Tong Lam-hou yang mendengar perdebatan tentang prajurit dan petani itu menjadi terheran-heran. Tanyanya.
"Eh, apa- apaan kalian ini? Kenapa bicara tentang membunuh musuh di medan perang segala?"
Tong Lam-hou yang menyahut.
"Tadi sebelum ibu datang, aku sudah bercakap-cakap dengan A-liong. Ia seorang prajurit Kerajaan Manchu, dan tersesat ke daerah ini ketika menjalankan tugasnya. Makanya aku sarankan agar ia belajar menjadi petani saja."
"Ah, A-hou, memangnya kenapa kalau prajurit? Bukankah itupun pekerjaan mulia? Menantang bahaya demi membela rakyat yang lemah? Dan ibu sendiri juga tidak ingin melihat kau terus-terusan berada di lereng terpencil ini, tapi turun ke masyarakat menjadi orang yang gagah perkasa seperti mendiang ayahmu. Punya nama besar dan dikagumi orang...
"...dan membunuh sesama manusia tanpa berkedip?"
Potong Tong Lam-hou dengan bersungut.
"Tentu saja tidak. Seorang prajurit kadang- kadang membunuh, tapi yang dibunuh haruslah orang-orang berbahaya yang tidak dapat diperbaiki lagi,"
Pakkiong Liong yang menjawab.
"Orang macam itu kalau tidak dibunuh malahan akan membunuh orang lain lebih banyak lagi. Jadi lebih baik satu nyawa melayang daripada sepuluh nyawa melayang."
"Apakah orang sejahat itu benar-benar ada? Aku kurang percaya."
Kali ini Pakkiong Liong membiarkan ibu Tong Lam-hou yang menjawabnya.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukan saja ada, malah jumlahnyapun banyak sekali. Mungkin kau belum pernah melihatnya, anakku, karena sejak lahir kau belum pernah melangkah lebih jauh dari Jit-siong-tin. Dan orang orang Jit- siong-tin adalah orang-orang desa yang umumnya baik. Tapi kelak jangan terkejut jika di dunia ramai kau temui orang-orang semacam itu. Orang yang hanya memikirkan diri sendiri, tidak peduli sesamanya menderita kesengsaraan."
"Dunia ramai seperti itu sungguh menakutkan bu, aku tidak ingin memasukinya. Lebih baik aku tetap menjadi petani di tempat ini."
"Kau keliru besar, anakku. Semisal sebuah cangkul, andaikata ia disimpan terus ia akan tetap bersih dari lumpur, namun tidak berguna sedikit-pun. Jika ia dipakai mencangkul di ladang, ia akan berguna meskipun lumpur di ladang itu akan melekat kepadanya. A-hou, ibu dan ayahmu dan bahkan juga gurumu tidak mengharap kau menjadi pertapa yang menghabiskan umur ditempat sunyi ini. Kau harus turun gunung sebagai seorang ksyatria, karena banyak orang yang memerlukan pembelaanmu."
Tong Lam-hou hanya menundukkan kepalanya tanpa menjawab ya atau tidak. Sementara itu Pakkiong Liong telah berkata menyambung.
"Ucapan ibumu itu tepat sekali, A-hou. Kau akan hidup tenang di tempat ini, tapi berarti kau mementingkan dirimu sendiri, sebab kau sama sekali tidak peduli oleh sesamamu yang tengah hidup terancam orang- orang jahat. Padahal ilmumu yang tinggi kau tentu dapat berbuat sesuatu."
Tong Lam-hou hanya menarik napas saja.
Ia merasa ucapan ibunya dan pakkiong Liong itu benar adanya, namun terlalu sulit rasanya untuk memutuskan sekarang juga.
Ia masih terikat oleh sejuknya alam pegunungan, kicau burung merdu di pagi hari, gemericiknya air di sela-sela bebatuan, dan tawa ramah dan lugu dari orang-orang desa yang dikenalnya.
Akankah ia meninggalkannya dan terjun ke sebuah dunia yang asing, di mana yang nampak di wajah belum tentu sama dengan yang ada di hati, senyuman adalah alat penipuan, dan pedang menjadi begitu sering ditarik keluar dari wadahnya? Keputusan memang belum dapat diambil seketika.
Sementara itu Pakkiong Liong juga cukup bijaksana untuk tidak teralu mendesak Tong Lam-hou.
Mungkin bisa saja Tong Lam-hou dibujuknya agar mengambil keputusan saat itu juga, tapi keputusan yang tergesa-gesa dibuat pada saat jiwa belum mengendap adalah keputusan yang tidak matang, dan dapat menimbulkan penyesalan di kemudian hari.
Ini tidak diinginkan oleh Pakkiong Liong.
Ia sudah merasakan persahabatan yang terjalin antara dirinya dengan Tong Lam-hou, meskipun dalam waktu yang singkat, dan pakkiong Liong tidak ingin menjadikan Tong Lam-hou sekedar alatnya, namun sebagai sahabatnya.
Tetap dalam kepribadiannya.
Untuk diajak membagi suka dan duka, kejayaan dan kemuliaan.
Persahabatan tulus antar pribadi, bukan untuk saling memperalat demi tercapainya tujuan masing-masing.
Pada kesempatan itu Pakkiong Liong juga melihat sendiri betapa beratnya kehidupan rakyat kecil.
Tadinya sebagal seorang Panglima yang berkedudukan di Ibukota, ia tidak pernah memahami hal itu.
Di gedungnya yang besar dan indah, ia tinggal menyuruh pelayan untuk menyediakan makan, dan makanan yang lezat- lezat pun terhidang.
Tak terbayangkan ada seseorang membanting tulang dari pagi sampai sore nanya untuk menyuapi mulut untuk hari ini, hanya untuk hari ini.
"Kesejahteraan rakyat harus ditingkatkan agar dinasti Manchu ini langgeng, tidak rapuh seperti dinasti Beng,"
Kata Pakkiong Liong di dalam hatinya sambil melihat bagaimana Tong Lam-hou membelah-belah kayu besar di halaman samping gubuknya.
"Tetapi sebelum itu, para pengacau yang mengimpikan masa lalu itu harus ditumpas habis lebih dulu."
Hari itu terasa sebagai hari yang mengesankan bagi Pakkiong Liong.
Di tempat yang terpencil di lereng Tiam-jong-san.
itu, ia menemukan kasih-sayang dan persahabatan yang tulus, hakekat dari keberadaan manusia di jagad raya.
Namun ia menarik napas kalau ingat tugas-tugasnya sebagai prajurit belum selesai.
Suatu saat nanti ia akan kembali ke medan perang, ke tempat manusia saling membantai, namun Pakkiong Liong tidak mengingkarinya.
Ia memang tidak suka berperang, namun dengan demikian ia harus berperang dengan sungguh- sungguh agar musuh cepat tertumpas dan perangpun cepat berakhir.
Malam harinya, di gubuk kecil yang hanya diterangi lampu minyak kecil itu benar-benar terdapat sebuah kegembiraan.
Pakkiong Liong, Tong Lam-hou dan ibunya duduk mengelilingi sebuah meja yang kasar, makan malam bersama, yang dimakan juga masih makanan siang tadi.
Bubur, lalu "daging aneh"
Seperti, dendeng, ditambah dengan kuah lobak yang segar.
"Kau harus makan banyak supaya tubuhmu cepat kuat kembali, A-liong,"
Kata ibu Tong Lam-hou dengan nada keibuan, sambil menyendokkan bubur lebih banyak lagi ke mangkuk Pakkiong Liong.
Pakkiong Liong hanya mengangguk-angguk tanpa bisa menjawab, sebab mulutnya sedang penuh makanan sampai pipinya menggembung.
Panggilan "A-liong"
Terasa sangat menyegarkan jiwanya, sebab ia sudah bosan dengan panggilan "Ciangkun"
Atau "tuanku"
Atau "Yang mulia"
Yang dilakukan para bawahannya sambil menyerigai untuk menjilat.
Seakan berlomba, bila Pakkiong Liong menghabiskan semangkuk, Tong Lam-hou juga semangkuk.
Pakkiong Liong tambah semangkuk, begitu pula Tong Lam hou, sampai akhirnya masing-masing makan tiga mangkuk besar bubur.
Sambil mengendorkan ikat pinggangnya dan menepuk perutnya, Pakkiong Liong bertanya.
"Bibi semua yang memasak semuanya ini?"
"Tentu saja, masakah A-hou. Pernah ia mencoba memasak dan bubur sepanci hangus semua."
Pakkiong Liong tertawa sambil mengangkat kedua jempolnya.
"Hebat sekali makanan bibi ini. A-hou tadi berkata banwa bibi adalah juru masak nomor satu di dunia dan sekarang aku baru percaya."
Ibu Tong Lam-houpun tertawa dan menyahut.
"Memuji atau menyindir? Kau anak kota tentu pernah makan di rumah rumah makan terkenal dengan masakan kebanggaannya masing-masing. Sengaja membuat aku jadi besar kepala?"
Pakkiong Liong tersenyum.
"Tidak bibi, aku tidak berbasa-basi tetapi masakan bibi benar- benar luar biasa. Jika bibi membuka rumah makan di Pak-khia, rumah-rumah makan lain pasti bangkrut. Entah dendeng apa ini?"
"Dendeng serigala. A-hou yang mencari serigala dan aku buat dendengnya, cukup laris di Jit-siong-tin,"
Sahut ibu Tong Lam-hou tenang. Pakkiong Liong membelalakkan matanya mendengar itu katanya.
"Tak terduga. Baru beberapa malam yang lalu aku hampir disantap serigala, dan sekarang aku menyantap daging mereka."
Malam itu mereka masih bercakap-cakap ringan-ringan saja, sebelum masing-masing masuk tidur.
Dengan dibantu oleh ibunya, Tong Lam-hou masih sempat mengganti obat di mulut luka Pakkiong Liong yang hampir merapat sempurna itu.
Lalu membalutnya dengan kain bersih.
Pakkiong Liong membiarkan saja apa yang diperbuat ibu dan anak itu dengan perasaan terimamasih dalam hatinya.
"Kau sangat mahir ilmu silat dan ilmu pengobatan. Siapa gurumu?"
Tanya Pakkiong Liong kepada Tong Lam-hou.
"Guruku seorang tua yang bernama Ang Hoan. Usianya hampir seratus tahun tapi masih sanggup berjalan dari kaki gunung sampai ke gua kediamannya di puncak gunung ini dengan kecepatan seperti terbang saja. Kata guru sendiri, beberapa orang yang kurang suka kepada gerak-gerik guru telah memberinya julukan Tiam-jong-lo-sia (si Sesat Tua dari Tiam-jong-san)."
Hati Pakkiong Liong bergetar mendengar nama itu.
Gurunya pernah bercerita kepadanya bahwa puluhan tahun yang lalu orang-orang rimba persilatan di Tiong-gan pernah mencoba membuat urut-urutan siapa orang yang paling lihai di Tiong-gan itu.
Lalu tersusunlah sepuluh nama, dan Tiam-jong-losia Ang Hoan ini menduduki urutan pertama.
Pakkiong Liong tak menduga kalau tokoh itu masih hidup.
Ia terkenal dengan ilmunya yang disebut Hian-im- ciang (Pukulan Maha Dingin) yang sangat berlawanan dengan Hwe-liong-sin-kangnya Pakkiong Liong.
Jika Hwe-liong-sin-kang dapat menghanguskan badan musuh, maka Hian-im- ciang dapat membuat darah musuh membeku dalam sekali pukul, dan jika darah membeku maka jantungnya akan berhenti berdenyut dan lawanpun mampus.
Entah Tong Lam-hou sudah memperoleh itu atau belum? Kata Pakkiong Lione.
"Pantas kau hebat, A- hou. Kiranya kau murid pendekar tua yang kenamaan itu. Apakah beliau masih sehat-sehat saja?"
"Itulah hebatnya guruku. Makin tua bukan makin loyo tapi makin senat, agaknya karena kegemarannya berlatih silat itulah."
Sementara mereka bercakap-cakap itu, luka Pakkiong Liong sudah selesai ditaburi dengan obat baru. Tong Lam-hou lalu menguap sambil berkata.
"Nah, sudah beres. Tidurlah. Aku juga harus tidur supaya besok tidak terlambat bangun untuk berangkat ke Jit-siong-tin."
"Apakah Jit-siong-tin itu jauh?"
"Tidak jauh jika sudah biasa ke sana. Tapi jika tidak bangun pagi-pagi benar akan terlambat sampai ke pasar, dan kita tidak kebagian tempat untuk menggelar barang- barang dagangan kita."
"Sekarang, di mana kau akan tidur, A-hou? Bukankah yang kutiduri ini adalah pembaringanmu?"
"Jangan dipikir, aku bisa tidur di mana saja. Kau masih belum sehat betul, tidurkah di pembaringanku,"
Sambil berkata demikian Tong Lam-hou telah menggelar sehelai tikar di lantai gubuknya, lalu membaringkan dirinya tanpa canggung sedikitpun.
Tak lama kemudian iapun telah terlelap.
Yang tidak dapat segera memejamkan matanya adalah Pakkiong Liong.
Sambil menatap gubuk yang terbuat dari ilalang itu, pikiranya menerawang jauh.
Gumamnya seorang diri.
"Inilah sebuah surga kecil di tengah-tengah neraka dunia yang masih saja bising dengan peperangan."
Tiba-tiba dirasanya alangkah senangnya jika ia bisa mencopot tanda-tanda keprajuritannya dan kemudian berdiam di tempat itu.
Namun kemudian ia sadar, bahwa tenaganya masih sangat diperlukan untuk mempersatukan seluruh negeri ini di bawah satu bendera.
Terbayang wajah ayahnya sebelum menghembuskan napas terakhirnya.
"Abdikan dirimu untuk Negara dan Kaisar. Satukan seluruh daratan benua di bawah bendera Manchu."
Dan semangat Pakkiong Liong yang hampir saja padam terbuai oleh ketenteraman di gubuk itu, kini berkobar kembali.
Disadari memang belum saatnya memikirkan ketenangan diri sendiri, sementara para perongrong pemerintah Manchu masih berkeliaran di mana-mana.
Dan Pakkiong Liong sendiri-pun tidak tahu; sampai kapan titik akhir perjuangannya.
Namun akhirnya Pakkiong Liong terlelap pula dalam tidurnya.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kokok ayam hutan yang terakhir pada dini hari telah membangunkan seisi gubuk kecil itu.
Pakkiong Liong membantu Tong Lam-hou dan ibunya mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa ke pasar.
"Kau benar-benar ingin ikut?"
Tanya Tong Lam-hou.
"Ya,"
Sahut Pakkiong Liong.
"Tetapi kau tentu tidak dapat pergi ke pasar itu dengan baju seragam prajuritmu itu,"
Kata Tong Lam-hou.
"Nanti akan menarik perhatian dan barangkali menimbulkan masalah dengan orang-orang yang menamakan diri pembebas tanah-air itu."
Saat itu memang Pakkiong Liong masih memakai seragam Hui-liong-kun yang dikenakannya paa saat ia mengejar Pangeran Cu Hin-yang dan pengikut-pengikutnya.
Baju yang dipakainya ketika tidur sehingga sudah kusut.
Sesaat Pakkiong Liong menjadi kebingungan, kalau tidak memakai baju yang ini lalu memakai baju yang mana? Satu-satunya pakaian cadangannya sudah dibawa lari oleh kudanya ketika ketakutan bertemu dengan serigala dulu.
Tapi baju yang dibawa lari itupun baju prajurit.
Saat Pakkiong Liong kebingungan itu, ibu Tong Lam-hou telah mengeluarkan sepasang pakaian yang sederhana tetapi bersih.
Katanya.
"Pakai saja baju A-hou,ini badanmu hampir sama dengan badan A-hou. Tentunya cocok."
Maka Pakkiong Liong-pun berganti pakaian sehingga mirip anak desa, hanya saja kulitnya masih terlalu putih dibandingkan dengan anak- anak desa umumnya.
Ia juga mengganti sepatu kulitnya yang tingginya sampai ke betis itu dengan sepatu dari rami seperti yang biasa dipakai orang-orang desa, kepalanya memakai tudung bambu yang bukan saja berguna melindungi koalanya dari sinar matahari tetapi juga untuk menyamarkan wajahnya apabila bertemu dengan musuh-musuhnya.
Bukannya Pakkiong Liong takut, tapi ia masih belum mau menyulitkan Tong Lam-hou dan ibunya yang telah bercuat banyak kebaikan untuknya itu.
Dan bagaimanapun juga Pakkiong Liong belum, melepaskan naluri keprajuritannya sama sebali.
Maka diam-diam dibawanya sepasang pisau belati di balik bajunya, namun tidak ingin hal itu diketahui oleh Tong Lam-hou dan ibunya.
Sebelum hari menjadi terang, berangkatlah kedua anakmuda itu memikul keranjang- keranjang berisi macam-macam sayuran.
Bahkan salah satu keranjang juga berisi berpuluh-puluh lembar daging kering "dendeng serigala"
Yang menurut ibu Tong Lam-hou cukup digemari oleh orang-orang Jit-siong-tin.
Pakkiong Liong sendiripun sudah merasakan betapa lezatnya daging itu.
Karena menganggap Pakkiong Liong masih lemah, maka Tong Lam-hou berjalan perlahan- lahan saja, tapi ketika melihat Pakkiong Liong dapat mengikuti langkahnya dengan baik, maka Tong Lam-hou mempercepat langkahnya.
Ternyata Pakkiong Liong tetap tidak ketinggalan selangkahpun, bahkan deru napas yang terengah-engahpun tak kedengaran.
Tiba-tiba timbul keinginan Tong Lam-hou untuk menguji sampai di mana ilmu teman barunya yang mengaku sebagai prajurit Kerajaan Manchu ini.
Maka kini ia tidak berjalan di jalan setapak yang rata, melainkan memilih lereng-lereng yang licin karena hujan.
Berliku-liku, meloncat, menyusup, meluncur turun dan kemudian mendaki tebing-tebing yang hampir tegak lurus sambil menjaga agar isi keranjangnya tidak berceceran.
Ternyata pakkiong Liong tetap dapat mengikuti Tong Lam-hou tanpa terpisah jauh.
Bahkan, dasar anak-anak muda yang selalu ingin menang, kedua orang itupun kemudian berlomba untuk saling mendahului dengan mengerahkan Ilmu masing-masing.
Sampai akhirnya kedua anakmuda itu bagaiakan bayangan sepasang hantu yang terbang dari atas gunung tanpa menginjak tanah.
Tiba di kaki gunungg, Tong Lam-hou lebih dulu menghentikan luncuran tubuhnya sambil berseru .
"Hebat!"
Pakkiong Liong-pun berhenti meluncur dan menjawab.
"Kau juga hebat!"
Kedua anakmuda itu bertukar pandangan sambil tertawa, sementara napas mereka masih megap-megap karena baru saja mengerahkan seluruh kekuatan untuk lomba lari yang luar biasa itu.
Kedudukan boleh dikatakan seimbang, namun Tong Lam-hou dapat dikatakan memiliki kelebihan sedikit dalam kekuatan jasmani sebab lereng gunung itu memang medan latihannya setiap hari, sehingga otot-otot kakinyapun tumbuh dengan kokohnya.
Andai kata lomba lari itu diperpanjang lebih jauh lagi sedikit, maka Pakkiong Liong akan kalah selapis.
"Kau lebih hebat dari aku, A-hou,"
Kata Pakkiong Liong.
"Jika orang muda sehebat kau masuk menjadi prajurit, kerajaan, maka perang akan semakin cepat selesai dan rakyat pun bisa segera membangun dergan rasa aman."
"Apakah semua prajurit sehebat kau, A- liong?"
"Tidak semuanya. Tapi cukup banyak yang kekuatannya merata, misalnya para perwira, apalagi para Panglima. Namun negeri ini terlalu luas dan pemerintah masih membutuhkan banyak prajurit-prajurit yang baik."
"Mari kita lanjutkan perjalanan, tapi sudah tidak ada lomba lari lagi."
Pakkiong Liong tersenyum.
"Kenapa?"
"Jalan ini sebentar lagi akan ramai dengan orang menuju Jit-siong-tin. Jika kita berlari-lari malah akan disangka maling jemuran."
Kedua anak muda itupun kemudian berjalan berlenggang ke Jit-siong-tin sambil bercakap- cakap santai.
Sepanjang jalan, Tong Lam-hou banyak membalas sapaan ramah dari orang- orang yang menuju ke arah yang sama, agaknya memang sudah saling kenal dengan Tong Lam- hou.
"A-hou, kau tidak lupa pesananku bukan?"
Kata seorang lelaki setengah baya yang berjenggot seperti kambing.
"Tidak lupa, paman Lo. Sepuluh lembar dendeng dengan mutu terbaik?"
"Ah, kau pintar memuji barang dagangan sendiri. Tapi kuambil nanti siang saja setelah aku menagih di rumah Ji Liok-cu. Jangan lupa, sisakan sepuluh untukku."
"Beres, paman."
Di wilayah yang hampir-hampir tak bertuan itu, letak desa-desa agak berjauhan satu sama lain, dan Jit-siong-tin sebagai desa yang paling besar di sekitar situ telah menjadi semacam "ibukota"nya.
Jit-siong-tin terdiri dari kira-kira seratus buah rumah, termasuk rumah kepala desanya yang paling besar, dan di empat penjuru punya pula empat pintu gerbang sehingga mirip sebuah kota, hanya bedanya disini tidak ada tembok kota.
Bahkan setiap pintu gerbang dijaga oleh anggauta keamanan desa yang menyandang senjata pula.
Ketika Pakkiong Liong mendekati pintu gerbang selatan, tiba-tiba jantungnya berdegup keras.
Dilihatnya digapura desa itu berdiri sebatang bendera bertiang tinggi, bendera yang berwarna kuning dengan gambar matahari merah dan rembulan putih.
Bendera Kerajaan Beng! Darah Pakkiong Liong terasa mendidih melihat itu.
"Ini benar-benar gila dengan berani mengibarkan Jit-goat-ki di tempat ramai seperti ini berarti desa ini terang-terangan tidak mengakui kekuasaan yang syah pemerintahan sekarang. Pemasangan bendera ini entah berdasar kehendak penduduk sendiri atau dipaksakan oleh gerombolan pengacau?"
Sebagai prajurit yang setia kepada Kerajaan Manchu, memang Pakkiong Liong merasa tersinggung karena masih ada secuwil tanah yang mengibarkan bendera lain selain bendera Manchu. Geramnya.
"Ini suatu keteledoran bagi penguasa Manchu di wilayah ini, agaknya daerah ini tak pernah ditinjau sehingga jatuh ke dalam pengaruh para pembangkang. Meskipun daerahnya hanya kecil saja, tetapi akan dapat menjadi batu pijakan dan sekaligus sumber perbekalan bagi pemberontak untuk memperluas gerakan mereka. Biarpun kecil tapi lama-kelamaan bisa berbahaya."
Sementara Pakkiong Liong melangkah dengan hati yang kisruh, maka Tong Lam-hou melangkah di sampingnya dengan tenangnya.
Ia tidak peduli di gerbang desa itu akan dipasang bendera apapun atau cuma sepotong celana butut yang dicantelkan.
Pokoknya hari ini dagangannya harus terjual habis, dan barangkali akan dibelinya sepotong baju baru buat ibunya.
Ketika mendekati pintu gerbang, dua orang penjaga bersenjata tombak telah memalangkan tombaknya, dan seorang penjaga lainnya membentak.
"A-hou, berhenti!"
Pencegatan seperti itu terhadap para pedagang kecil memang hal biasa, maka tanpa banyak membantah Tong Lam-hou-pun berhenti meskipun dalam hatinya mengumpat. Sambil mengangguk ramah ia bertanya.
"Selamat pagi, Hong Toa-ko, apa kabar?"
Pemimpin penjaga di pintu gerbang selatan yang biasa dipanggil Hong Toa-ko atau Hong Lo- toa, malahan oleh anak buahnya sering dipanggil "Hong Tong-leng (Komandan Hong), adalah seorang lelaki empat puluh tahun bertubuh kurus kering bermata tikus, dan lagaknya seperti seorang Panglima besar.
Lagaknya yang penuh gertakan itu memang dapat mengalirkan uang ke kantongnya.
Setiap kali ia cukup menggertak seseorang dengan tuduhan "mata-mata Manchu"
Dan mengancam akan menyeret orang itu ke depan "pengadilan pembela tanah-air", maka orang yang dituduh itu tentu lebih suka mengeluarkan uang setahil dua tahil dan urusanpun akan beres.
Kali ini Hong Lo-toa memilih Tong Lam-hou sebagai sapi perahannya, untuk mengisi kantongnya yang tadi malam telah diludaskan di meja judi.
Ia tahu daging dendeng Tong Lam-hou cukup laris, dan tentunya Tong Lam hou punya banyak uang.
Sambil bertolak pinggang dengan dikitari beberapa anak buahnya yang bersenjata, Hong Lo-toa berkata.
"A-hou, biasanya kau sendirian saja, mengapa sekarang berjalan bersama seorang yang belum dikenal? Siapa dia?"
Tong Lam-hou sudah tahu Hong Lo-toa ini manusia macam apa.
Seorang yang mabuk kekuasaan, gila hormat, mengaku pendukung setia dinasti Beng.
Tapi sikapnya sebagai pendukung Kerajaan Beng itu bukan karena pendiriannya yang kuat, melainkan karena desa ini di bawah pengaruh pasukan Li Tiang-hong, sehingga Hong Lo-toa ini cuma mengikuti arah angin sekalian cari untung buat dirinya sendiri.
Begitu "gigih"nya ia, sehingga diangkat sebagai kepala keamanan di Jit-siong-tin yang bertanggung-jawab kepada Li Tiang-hong.
Dan ia tidak segan-segan memberi hukuman berat kepada orang-orang desa yang menentang kemauannya, tentu saja dengan mengobral tuduhan "kaki tangan Manchu".
Meski Tong Lam-hou merasa muak, tapi ia tidak ingin bertengkar dengar orang berwatak hina seperti ini.
Maka supaya urusan cepat selesai cepat-cepat disusupkannya dua tahil ke genggaman Hong Lo-toa sambil berkata.
"Ia saudara sepupuku yang datang dari kota Kubeng, Toako."
Setelah tangannya mengenggam uang, tentu saja kegarangan Hong Lotoa berkurang.
"Baik, aku percaya kepadamu karena selama ini memang kau berkelakuan cukup bersih, artinya tidak pernah dicurigai sebagai kaki-tangan musuh. Siapapun yang kedapatan berhubungan dengan kaki-tangan Manchu, akan dihukum."
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pakkiong Liong agaknya sudah tidak dapat menahan hati lagi, maka tiba-tiba ia bertanya.
"Siapa yang akan menghukum?"
Hong Lotoa menatap heran ke arah "saudara sepupu"
Tong Lam-hou itu, lalu bentaknya sambil bertolak pinggang.
"Kau bertanya siapa yang menghukum? Tentu saja pemerintah Kerajaan Beng Pakkiong Liong tersenyum sinis.
"Pemerintah Beng yang mana? Pemerintahan sudah diruntuhkan oleh Li Cu-seng dan rajanya yang terakhir bahkan mati menggantung diri di bukit Bwe-san. Li Cu-seng sendiri kemudian dikalahkan bangsa Manchu, adi pemerintah yang syah sekarang ini adalah pemerintah Manchu!"
Keruan wajah Hong Lotoa jadi merah padam mendengar bantahan itu. Selama ia menjabat sebagai "gubernur"
Jit-siong-tin belum pernah ada yang mendebatnya dengan berani seperti itu.
Semuanya tunduk dan takut kepadanya, biarpun ada yang takutnya cuma pura-pura seperti Tong Lam-hou.
Maka tangan kanan Hong Lotoa sudah terangkat, siap menggampar Pakkiong Liong.
Tong Lam-hou terkejut, jika sampai Hong Lotoa menampar Pakkiong Liong maka yang celaka bukannya Pakkiong Liong melainkan Hong Lotoa sendiri.
Dua puluh orang macam Hong Lotoa akan dapat digulung oleh Pakkiong Liong dalam sekejap mata.
Maka cepat-cepat Tong Lam-hou mendorong Pakkiong Liong mundur ke belakang, dan kemudian "memohonkan ampun"
Kepada Hong Lotoa.
"Maafkan saudaraku ini, Lotoa. Ia tidak sengaja menghina, maklum daerahnya jauh dari sini dan berada di bawah pemerintahan Manchu sehingga ia tidak tahu kalau daerah ini masih dikuasai pemerintahan lama. Maafkan dia, Lotoa."
Hong Lotoa menurunkan kembali tangannya sambil menjawab.
"Baik, mengingat saudaramu adalah orang baru di daerah ini, aku ampuni dia. Beritahu kepadanya, bahwa di wilayah Beng orang harus membayar pajak kepada pemerintah Beng untuk biaya perjuangan, Suatu kali kelak Ibukota Pak-khia akan kami rebut kembali dari tangan orang- orang Manchu "
Alangkah panasnya hati Pakkiong Liong mendengar ucapan-ucapan Hong Lotoa itu, tapi ia menahan diri sebab harus mengingat keselamatan Tong Lam-hou dan ibunya yang tinggal di daerah itu.
Maka ia diam saja ketika Tong Lam hou menyeret tangannya untuk meninggalkan tempat itu.
Setelah agak jauh dari Hong Lotoa dan kawan-kawannya, Pakkiong Liong bertanya.
"Apakah pemerasan seperti itu terjadi setiap hari?"
"Ya, itu belum seberapa."
"Jika seseorang tidak mau atau tidak mampu memberikan uang? Misalnya karena tidak punya uang, atau uang itu akan digunakan untuk keperluan yang lebih mendesak, umpamanya mengobati orang sakit parah?"
Tong Lam-hou ragu-ragu sejenak untuk menjawab, namun akhirnya dijawabnya juga.
"Orang yang menolak membayar itu akan diseret ke depan pengadilan yang mereka bentuk, dan mendapat hukuman rangket seratus kali dengan tuduhan tidak menyokong perjuangan pembebasan."
"Keterlaluan!"
Tiba-tiba Pakkiong Liong membalikkan badan dan hendak menuju ke tempat Hong Lotoa dan kawan-kawannya tadi. Tong Lam-hou terkejut dan cepat-cepat menghalangi langkah temannya itu, sambil bertanya.
"He, kau mau ke mana? "
"Aku akan menghajar mereka dan mengumumkan bahwa desa ini termasuk wilayah Kerajaan Manchu, bukan Kerajaan Beng yang sudah ambruk itu!"
"Jangan! Mereka punya banyak teman!"
"Aku tidak takut. Mereka telah menindas rakyat!"
"Mereka bukan saja berteman banyak, tapi juga ditulang-punggungi oleh Panglima Li Tiang-hong dengan pasukannya yang besar... ."
"Berapa besar pasukan Li Tiang-hong itu?"
"Kira-kira seribu orang bekas prajurit- prajurit Kerajaan Beng."
Tidak dapat menahan diri lagi, Pakkiong Liong segera menjawab.
"Tidak berarti banyak untukku. Aku juga seorang Panglima yang memimpin lima belas ribu orang prajurit terbaik di negeri ini, prajurit-prajurit dari Hui- liong-kun. Jika kukerahkan anak buahku kemari, maka Li Tiang-hong akan hancur menjadi debu."
Tong Lam-hou terkejut.
"Kau. ...kau... ."
"A-hou, baiklah aku berterus-terang kepadamu, aku adalah Panglima dari pasukan yang disebut Hui-liong-kun (Pasukan Naga Terbang) dari Kerajaan Manchu. Aku juga dijuluki orang sebagai Pak-liong (Naga Utara)."
Sesaat Pakkiong Liong menatap wajah Tong Lam-hou yang terlongong-longong itu. Kemudian terdengar suara Tong Lam-hou agak gugup.
"Jadi...jadi kaukah orangnya yang sedang dicari-cari oleh kelompok yang menamakan diri pembebas tanah-air itu?"
"Kenapa sedang dicari?"
"Kemarin, rakyat dari beberapa desa sekitar sini dikumpulkan di lapangan, lalu beberapa orang yang berpakaian prajurit Kerajaan Beng telah mengumumkan bahwa siapa yang dapat menunjukkan persembunyian seorang Manchu yang berjulukan Naga Utara, akan mendapat hadiah. Yang menyembunyikan akan dihukum berat."
Wajah pakkiong Liong menegang.
"A-hou, kau tidak tergiur oleh hadiah itu bukan?"
Tong Lan-hou tertawa geli melihat muka Pakkiong Liong yang kelihatan kuatir dan tegang itu. Katanya sambil tertawa.
"A-Liong, kau lihat tampangku ini apakan mirip dengan seorang gila uang dan gemar menjual sahabat? Dan setelah kupikir sebentar, agaknya betul juga pendapatmu."
"Pendapat yang mana?"
"Kesewenang-wenangan dari orang-orang yang menyebut diri mereka Pembebas Tanah Air itu tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Dulu pemerintahan Beng tidak pernah memperhatikan daerah ini, sekarang setelah mereka terusir dari singgasana maka daerah ini hendak diperasnya habis-habisan untuk membantu perlawanan mereka. Kelak jika mereka menang tentu daerah inipun akan mereka lupakan lagi."
"Bagus, A-hou, pikiranmu mulai terbuka. Kutambahkan satu hal lagi. Perjuangan mereka akan sia-sia saja karena mereka tidak memadai.. Yang bisa mereka dapatkan hanyalah memperpanjang kekacauan di mana-mana."
"Sekarang, A-liong, jika kau mau menghajar Hong Lotoa aku tidak akan mencegahmu lagi. Malah akupun ingin minta kembali uangku tadi, lumayan untuk beli baju."
Pakkiong Liong tertawa.
"Aku juga sudah berbalik pikiran."
"Eh, bagaimana kau ini? Setelah kubiarkan bertindak malah berganti pikiran?"
Sahut Pakkiong Liong.
"Maksudku, tidak ada gunanya menghajar keroco-keroco rendahan seperti Hong Lotoa dan teman-temannya itu. Tangkap saja pentolan pengacaunya sekalian."
"Maksudmu, Li Tiang-hong?"
"Benar, dan juga pentolan pengacau lainnya yang bernama Ma Hiong, seorang bekas bangsawan Beng yang bernama Cu Hin-yang. Jika mereka tertangkap, keroco-keroconyapun tidak akan berani mengacau lagi."
Tong Lam-hou mengangguk-angguk.
"Betul, tangkap ular harus kepalanya dulu. Tapi orang- orang itu tentu bersembunyi dalam sarang mereka yang dijaga ketat, apakah kita sanggup?"
Pakkiong Liong menggenggam tangan Tong Lam-hou dan menyahut mantap.
"Jika Naga Utara bergabung dengan Harimau Selatan (Lam-hou), apa yang bisa merintangi kita?"
"Baik. Demi kesejahteraan rakyat Jit-siong- tin, aku sanggup menerjang ke sarang pengacau-pengacau itu bersamamu."
"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Sahut Tong Lam-hou tertawa.
"Tetap seperti rencana tadi malam. Berdagang dulu, ada beberapa langganan yang sudah berjanji kepadaku hari ini."
Setelah tiba di pasar yang ramai, merekapun segera menggelar dagangan mereka, lalu Tong Lam-hou mulai berteriak-teriak menawarkan dagangannya.
Beberapa orang membeli, beberapa orang lagi tidak jadi membeli malahan mencela barangnya, namun sedikit demi sedikit uangnya memenuhi kantong Tong Lam-hou.
Setelah dagangan habis terjual, Tong Lam- hou duduk di bawah sebuah pohon yang rindang sambil menghitung uang hasil jualannya.
"Lumayan juga hari ini. Jika digabung dengan tabunganku bulan yang lalu, cukup untuk membeli selimut dan baju hangat buat ibu, agar ibu tidak selalu tidur dengan kedinginan karena selimut tuanya sudah robek- robek."
Bagi Pakkiong Liong, uang sejumlah itu tidak berarti sama sekali, namun ia ikut berbahagia melihat sahabatnya berbahagia pula. Diam-diam Pakkiong Liong berkata dalam hatinya.
"Kelak jika kau sudah bersamaku di Ibukota, sahabat, kau mau beli seribu selimut dan seribu baju hangatpun dapat kau dapatkan dengan mudah."
Waktu itu hampir tengah hari, pasar pun hampir bubar.
Pada saat itulah tiba-tiba dari sebuah warung arak kecil di pasar terdengar suara orang membentak-bentak, bahkan suara mangkuk yang dibanting pecah.
Lalu nampak lelaki tua pemilik warung itu tubuhnya terlempar keluar sampai berguling-guling, sambil memegangi kepalanya ia berteriak- teriak.
"Ampun tuan! Ampun tuan!"
Semua orang di pasar menolen ke suara ribut-ribut itu.
Dari dalam warung arak itu melangkah keluar tiga orang lelaki bertampang aneh.
Yang pertama bertubuh kurus seperti mayat dan pucat seperti mayat pula, tapi matanya bersinar kejam, di pinggangnya terselip pedang berbadan sempit berujung runcing.
Orang kedua pendek kekar dan botak, sebelah telinganya memakai anting-anting, dan pedang yang disandangnyapun bentuknya mirip pemiliknya.
Pendek, lebar, tebal.
Yang ketiga seorang lelaki yang berbaju kembang-kembang seperti perempuan, malahan mukanya juga dipupuri dan bibirnya digincu.
Gerak-gerik dan senyumnya genit, namun tidak menimbulkan rasa tertarik malahan menimbulkan rasa seram.
Senjatanya ialah sepasang pisau belati, yang satu diselipkan di ikat pinggangnya dan lainnya difcuat main-main di tangannya.
Ketiga orarg aneh itu belum dikenal oleh penduduk Jit-siong- tin, namun sikap r.ereka yang menakutkan itu membuat penduduk Jit-siong-tin tidak ada yang berani ikut campur dalam keributan itu.
Melihat ketiga orang aneh itu melangkah keluar, si pemilik warung arak berlutut sambil memohon.
"Ampuni aku yang lancang mulut ini, tuan-tuan! Ampuni aku, jangan hadapkan aku ke pengadilan pembebas tanah-air... Tapi si pucat itu malahan menendangkan kakinya sehingga pemilik warung itu kembali terguling-guling sambil menjerit kesakitan. Bentak si muka pucat itu.
"Ucapanmu tadi sudah cukup untuk menyeretmu ke tiang gantungan! Kesadaran ber-tanah-airmu benar- benar tipis! Kenapa kau tidak menjawab dengan sungguh-sungguh ketika kami tanya tentang orang Manchu yang hendak kami tangkap itu? Kau melindunginya?"
Tuduhan "melindungi orang Manchu"
Benar-benar tuduhan yang paling berat di desa itu, beratnya melebihi dosa apapun.
Tuduhan itu bisa menyeret seseorang ke tiang gantungan.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena itu, mendengar tuduhan dari si muka pucat itu, pemilik warung itu sampai membentur-benturkan jidatnya ke tanah.
Saking takutnya maka apa yang diomongkannya malahan menjadi tidak jelas.
Si pendek kekar berkepala botak itu agaknya ikut menunjukkan kegarangannya.
Melihat ketiga orang aneh itu melangkah keluar, si pemilik warung arak berlutut sambil memohon.
"Ampuni aku yang lancang mulut ini, tuan-tuan! Ampuni aku."
Tengkuk si pemilik kedai arak dicengkeramnya, lalu tubuhnya dilempar lemparkannya ke udara seperti sepotong kayu saja, dan si pemilik kedai itu sampai menjerit-jerit ketakutan.
Sementara itu, ribut-ribut di depan kedai arak itu telah memancing Hong Lotoa dan anak buahnya untuk datang ke tempat itu pula.
Ketika melihat ketangkasan si pendek botak itu, Hong Lotoa sadar bahwa dirinya bukan tandingan ketiga erang itu.
Maka seperti biasa ia akan menerapkan jurus "Daun Ilalang Tertiup Angin"
Alias menjilat.
Demikian watak orang- orang macam Hong Lotoa itu.
Bertemu dengan orang yang lebih lemah, dia menginjak.
Bertemu orang yang lebih kuat, dia menjilat, tidak peduli mengorbankan teman sendiri.
Kedatangan Hong Lotoa dan teman- temannya yang bersenjata itu telah menarik perhatian ketiga orang asing itu.
Si pendek botak untuk sementara meletakkan "permainan"nya dan membentak Hong Lotoa.
"Siapa kalian? Kalian akan membela tua bangka ini?"
Cepat-cepat Hong Lotoa mengangkat tangannya untuk memberi hormat, sambil menjawab.
"Jangan salah paham, saudara, kami adalah orang-orang yang bertangngung-jawab atas keamanan di desa ini. Kami hanya ingin tahu siapakah saudara bertiga ini, dan apa yang terjadi di sini?"
Si pendek botak itu hampir saja membentak Hong Lotoa sekalian, namun si muka mayat telah mendahului berkata dengan nada lebih lunak.
"baiklah kami memperkenalkan diri kami bertiga lebih dulu. Kami bertiga biasa di juluki sebagai Kun-lun-sam-long (Tiga Serigala Kun- lun). Aku bernama Mo Wan seng berjulukan Tiat-ge-long ( Serigala Taring Besi ), adikku yang kedua ini adalah Auyang Bun berjulukan Cui-long-cu ( Si Serigala Mabuk ) dan adikku yang ke tiga bernama Kiongwan Peng berjulukan Im-yang-long (Si Serigala Banci). Kami bertiga tengah mengemban tugas dari Li Ciangkun Li Tiang-hong untuk melacak jejak seorang mata-mata Manchu bernama Pakkiong Liong yang kabarnya berkeliaran di tempat ini. Kami mencoba mencari keterangan dengan bertanya kepada si keparat pemilik kedai ini, namun ia menjawabnya acuh tak acuh saja, seakan-akan kami ini pengemis yang berjongkok di depan pintu kedainya. Coba, pantas atau tidak sikapnya itu?"
Pemilik kedai itu kembali meratap-ratap.
"Ampun, tuan, aku benar-benar tidak tahu..."
Namun ratapannya terpotong oleh bentakan Hong Lotoa yang bengis.
"Diam! Meskipun aku tidak melihat sendiri tapi aku yakin kau tentu telah bersikap menyinggung perasaan ketiga tuan-tuan ini. Aku tahu sejak dulu memang kau kurang setia kepada Kerajaan Beng. Kemarin kau menggerutu meskipun para pejuang itu tidak mengambil banyak dari kedaimu bukan?"
Demikianlah Hong Lotoa yang gentar kepada Kun-lun-sam-long itu telah mengikuti arah angin dengan ikut-ikutan memarahi si pemilik kedai itu. Bahkan kemudian apa yang ditindakkan oleh Hong Lotoa telah terlalu jauh, teriaknya.
"Orang-orang yang tidak setia 'kepada perjuangan semacam ini tidak kita butuhkan lagi di tengah-tengah kita! Demi kejayaan Kerajaan Beng, ia kuputuskan untuk dihukum gantung! "
Semua orang terkejut, kesalahan sekecil itu saja dihukum gantung? Satu satunya yang mendukung tindakan Hong Lotoa itu hanyalah Kun-lun-sam-long.
"Bagus, tindakan saudara yang tegas ini kelak jika diketahui oleh Li Ciang kun tentu akan mendapat pujian."
Hidung Hong Lotoa kembang-kempis karena bangganya. Kepada anakbuahnya ia memerintahkan.
"Laksanakan hukum gantung!"
Dua orang anak buah Hong Lotoa segera menyeret pemilik kedai yang wajahnya sudah putih seperti kapur itu.
Namun wajah yang pucat itu sedikitpun tidak menimbulkan belas kasihan di hati Hong Lotoa.
Makin ia melihat orang menderita akibat keputusannya, makin banggalah ia, sebab merasa betapa "berkuasa"nya ia.
Dengan wajah tengadah Hong Lotoa memandang berkeliling ke arah penduduk desa yang berkerumun di sekitar kedai arak itu.
Bentaknya dengan garang.
"Nah, siapa lagi yang berani melawan kekuasaanku?"
Sikap itu telah membuat sekalian orang menjadi muak.
Hanya dengan menerima pengaduan tiga orang asing yang belum dikenal saja Hong Lotoa telah menjatuhkan hukuman gantung dengan semena-mena.
Bahkan si pemilik kedai yang nendak dihukum itupun tidak diberi kesempatan membela diri sepatah katapun.
Namun betapapun muaknya, siapa orang Jit-siong-tin yang berani melawan Hong Lota yang kejam itu? Namun ternyata ada.
Tong Lam-hou tidak tahan lagi melihat kelakuan Hong Lotoa yang menggunakan nyawa orang lain sebagai sarana mencari muka kepada atasannya itu.
Ketika si pemilik kedai yang tubuhnya sudah lemas seperti karung itu diseret ke sebuah pohon, di mana seorang anak buah Hong Lotoa lainnya sedang menyimpulkan tali untuk leher pemilik kedai itu, maka Tong Lam-hou telah berteriak dari antara kerumunan penonton.
"Tahan!"
Lalu dengan langkah tenang sekali ia masuk ke tengah arena, kepada dua orang pengawal Hong Lotoa yang menyeret si pemilik kedai, Tong Lam-hou berkata dengan suara penuh tekanan.
"Lepaskan orang itu!"
Orang-orang yang berkerumun di pasar itu seakan-akan tercekam sihir.
Benarkah yang berdiri di tengah gelanggang sekarang ini adalah Tong Lam-hou yang tadi? Yang bersikap ramah kepada siapapun, tidak suka berkelahi dan bahkan sering diperas dan dihina oleh Hong Lotoa? Kenapa sekarang menjadi begitu garang? Bahkan Hong Lotoa sendiripun melongo kaget.
Kedua arak buah Hong Lotoa itu tiba-tiba saja tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh pandangan mata Tong Lam-hou, lalu dilepaskannya si pemilik Kedai yang hampir digantung itu.
Ketika Hong Lotoa sudah sadar dari kagetnya, iapun marah bukan kepalang.
Teriaknya.
"A-hou sudah gilakah kau?! sadarkah kau siapa yang sedang kau lawan?!"
Biasanya jika Hong Lotoa membentak, A- hou akan membungkuk-bungkuk sambil terse- yum-senyum, dan menyusupkan setahil dua tahil ke tangan Hong Lotoa.
Namun kali ini lain, bagaikan seekor harimau yang garang Tong Lam-hou balas menatap ke arah Hong Lotoa sehingga Hong Lotoa mengkeret nyalinya.
Tong Lam-hou tidak membentak, namun suara yang dikumandangkan dari kepribadiannya yang sebenarnya itu mengandung perbawa yang tak terlawan oleh Hong Lotoa "Hong Lotoa, kaulah yang gila! Sejelek-jeleknya paman Sun si pemilik kedai ini, ia sudah hidup di desa ini belasan tahun, sudah belasan tahun menjadi sekeluarga besar dengan kita.
Hanya karena pengaduan ketiga cecunguk yang tak diketahui asal-usulnya ini, kau lantas begitu saja menjatuhkan hukuman gantung kepada paman Sun? Memangnya nyawa manusia kau anggap apa?"
Yang mengalami kegoncangan perasaan ternyata justru adalah Hong-Lotoa sendiri.
Ia menjadi gugup dan kehilangan kepribadiannya, seolah Tong Lam-hou yang dihadapinya sekarang ini berbeda dengan Tong Lam-hou di depan pintu gerbang desa tadi.
Namun ia tidak mau kehilangan muka begitu saja, segera dia mengeraskan suaranya.
"Tutup mulutmu, A- hou! Melawan aku sama saja dengan melawan Li Ciangkun!"
Dengan menyebut-nyebut orang kuat yang menjadi tulang punggungnya, Hong Lotoa berharap Tong Lam-hou akan ketakutan dan wibawanya dapat dipulihkan. Tapi sikap Tong Lam-hou benar-benar di luar dugaan.
"Ha ha ha, seorang Panglima dari dinasti yang sudah ambruk, apakah artinya? Bahkan andaikata sepuluh orang Li Tiang-hong muncul sekaligus di hadapanku, mereka tidak akan mampu menghukum Tong Lam-hou!"
Bersambung ke
Jilid Sumber Image . Koh Awie Dermawan Ko Aditiya first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu // . PM PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU
Jilid ? Hasil Karya . STEFANUS, S.P. pelukis . Didik. S Penerbit / Pencetak - C.V. G E M A - Mertokusuman RT RK III telepon No. SOLO - *** PENDEKAR NAGA DAN HARIMAU *** Karya . STEFANUS S.P.
Jilid EMPARLAH orang-orang di pasar mendengar ucapan Tong Lam-hou yang sangat berani itu.
Hong Lotoa menjadi pucat dan gemetar, namun ketiga orang, asing yang menyebut diri mereka Kun-lun-sam-jong itu tidak, tadi Tong Lam-hou sudah menyebut mereka sebagai "cecunguk"
Maka kini mereka harus menghajar anak muda ini agar nama Kun- lun-sam-long tidak dihina orang.
Orang yang pertama Mo Wan-seng itu segera melangkah maju disertai tatapan mata yang mengandung nafsu membunuh.
Tangannya sudah melekat di gagang pedangnya.
Katanya dingin.
"
Anak-muda, mengingat bahwa kau masih muda dan tidak berharga untuk kulawan, maka kuampuni kau asal kau berlutut G dan mengucapkan penyesalanmu kepada orang banyak!"
Tong Lam-hou tertawa dingin.
"Bagaimana kalau sebaliknya saja? Mengingat bahwa kau belum pernah bermusuhan denganku, kau akan kulepaskan asal kau juga mengampuni paman Sun... ."
"Kurang ajar! Kau berani tawar-menawar dengan Kun-lun-sam-ong? Siapa namamu dan apa pekerjaanmu?!"
Bentak Mo Wan-seng marah.
"Semua orang sudah tahu namaku Tong Lam-hou,"
Sahutnya tenang.
"dan pekerjaanku ialah menguliti serigala dan membuat dendeng serigala!"
Pakkiong Liong yang berada di antara para penonton itu hampir tak dapat menahan tertawanya mendengar jawaban itu.
Ketiga orang asing itu mengaku berjulukan Tiga Serigala dari Kun-lun, dan kini Tong Lam-hou menyebut dirinya sebagai tukang menguliti serigala.
Diam-diam banyak penduduk Jit-siong- tin yang mencemaskan nasib A-hou yang baik nati itu, kenapa begitu gila berani menentang Hong Lotoa dan orang-orang asing yang aneh itu? Yang merah padam wajahnya sudah tentu Mo Wan-seng dan kedua adik seperguruannya itu.
Mereka biasa ditakuti di wilayah barat sana, membunuh orang seperti membunuh tikus saja, dan orang-orang menggigil mendengar nama mereka.
Kini di desa terpencil di wilayah Hun Lam ini mereka diejek terang-terangan oleh seorang bocah desa yang sama sekali tidak punya nama di dunia persilatan.
Kiongwan Peng yang kebanci-bancian dan selalu tersenyum- senyum genit itu, tiba-tiba wajahnya berubah jadi kejam.
Sambil memegang sepasang pisau belatinya ia berkata kepada Mo Wan-seng.
"Toasuheng, aku ingin mengambil sepasang biji mata bocah ini, barangkali cukup menarik kalau diawetkan dan dijadikan kalung... ."
Ucapan itu sungguh menggidikkan, namun Tong Lam-hou menanggapinya sambil tertawa- tawa saja.
"dan serigala macammu ini agaknya kurang lezat kalau dijadikan dendeng, lelaki bukan perempuan juga bukan... ."
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Belum habis ucapannya, Kiongwan Peng telah menjerit sambil menyerang secepat kilat dengan sepasang belatinya.
Belati kiri menusuk ke mata, belati kanan menusuk ke pusar, dua gerakan yang sangat ganas dilakukan serempak dengan kecepatan yang tinggi.
Jarang musuh yang lolos dari serangannya ini.
Namun Tong Lam-hou ringan saja melangkah ke samping sambil mendorongkan telapak tangannya ke tubuh si Serigala Banci Kiongwan Feng itu, sehingga tubuh lawannya terhuyung-huyung sampai hampir jatuh telungkup.
Kejadian itu mengejutkan ketiga Jagoan dari Kun-lun itu.
Sekali pandang saja mereka segera tahu bahwa kali ini mereka telah terbentur seorang lawan tanguh.
Namun mereka tidak gentar.
Sudah berpuluh kali mereka menjumpai musuh yang kuat dan setiap kali pula berhasil mengatasinya dan tidak jarang mencincang lawan mereka, maka kali ini mereka tetap berkeyakinan dapat mengalahkan lawan.
Kiongwan Peng yang hampir saja jatuh itu cepat-cepat menguasai keseimbangan badannya.
Dan sekejap kemudian ia sudah menyerang kembali dengan jurus Ya-long-tiau- kan atau Serigala Liar Meloncati Parit, sepasang belatinya berkelebatan begitu cepatnya sehingga seolah-olah ia punya beberapa pasang tangan dengan beberapa pasang belati yang bergerak serempak, berkilauan di bawah sinar matahari.
Seluruh tubuh Tong Lam-hou telah terkurung rapat.
Namun kembali Kiongwan Peng harus kecewa, sebab dengan gerakan selicin belut Tong Lam-hou telah lolos dari kepungan ujung- ujung belati itu, bahkan sekali lagi kakinya sempat menendang betis Kiongwan Peng sehingga tokoh dari kun-lun itu terbanting roboh.
Kali ini benar-benar roboh mencium tanah.
Sedang gerakan Tong Lam hou tadi tidak mirip gerakan silat, seperti menyepak sembarangan saja namun hasilnya memuaskan.
Sampai di sini, habislah kesabaran kedua "serigala"
Lainnya.
Kalau dibiarkan terus- menerus agaknya Kiong-wan Peng akan terjungkal berulang-kali, dan nama besar Kun- lun-sam-long akan tersapu habis.
Karena itu Mo Wan-seng telah mencabut pedangnya yang runcing dan sempit itu, sambil berseru kepada Auyang Bun.
"Jisute, menghadapi kaki tangan Manchu ini kita tidak perlu sungkan-sungkan.. Ayo kita maju serentak!"
Begitu mulutnya terkatup, begitu pula ujung pedangnya cergerak dengan gerakan Hui-seng- kiong-goat atau Bintang Beralih Menabrak Bulan, kearah kerongkongan Tong Lam-hou.
Caranya menerkam dan menyergap benar- benar mirip cara seekor serigala, cepat, ganas dan telak.
Namun tikaman itu dapat dihindari sehingga ia merubahnya menjadi sabetan Hui- sin-pek-san (Memutar Badan Menyabet Gunung), yang lagi-lagi dapat dihindari oleh Tong Lam-hou dengan gerakan yang amat sederhana.
Sementara itu si "serigala"
Kedua Auyang Bun juga sudah terjun ke gelanggang dengan pedangnya yang tebal dan lebar itu.
Diikuti pula oleh Kiongwan Peng yang bertempur dengan sengit sekali karena ia sudah dua kali dirobohkan oleh Tong Lam-hou.
Kini penduduk Jit-siong-tin menyaksikan pertunjukkan yang hebat.
Si bocah gunung A- hou yang dikenal sebagai anak yang baik hati dan sedikitpun tak bisa bersilat tiba-tiba telah mengejutkan seluruh Jit-siong-tin karena sanggup menghadapi keroyokan Kun-lun-sam- long yang bersenjata, sedang Tong Lam-hou tetap bertangan kosong, yang merasa perasaannya kacau adalah Hong Lotoa hampir tiap hari ia membentak-bentak dan menghina A-hou, namun kini dilihatnya A-hou ternyata memiliki ilmu silat sehebat itu.
Diam-diam ia ingin agar A-hou terbunuh saja oleh ketiga orang asing itu, sebab kalau A-hou hidup ada kemungkinan akan membalas dendam kepadanya, dan Hong Lotoa insyaf sekarang bahwa sebenarnya dirinya tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan A-hou yang sering dihinanya itu.
Tapi agaknya harapan Hong Lotoa jauh dari kenyataan.
Ketiga "serigala"
Itu memang bertempur dengan ganas luar biasa, senjata- senjata mereka berputaran dengan kecepatan luar biasa dan menimbulkan angin berkesiur, namun ujung baju Tong Lam-hou saja tak dapat mereka sentuh.
Tong Lam-hou benar-benar telah mengejutkan mereka.
Di satu saat Tong Lam-hou bertahan dengan kokohnya bagaikan sebungkah bukit karang yang tak tergoyahkan, di lain saat ia bergerak begitu ringan seperti asap saja, sehingga seolah-olah ketiga lawannya telah berkelahi dengan sesosok mahluk tak berwujud.
Dan apabila Kun-lun-sam-long memperhatikan ilmu apa yang dimainkan oleh Tong Lam-hou, maka penasaranlah mereka.
Ternyata ilmu yang dimainkan itu adalah ilmu pukulan yang disebut Tam-cap-hoa-hong, ilmu silat pasaran yang oleh tukang-tukang obat di pinggir jalan saja bisa dimainkan, bahkan jagoan-jagoan kelas, kambing yang berceceran di mana-mana rata-rata juga bisa ilmu ini.
Namun sekarang dimainkan oleh Tong Lam-hou maka bukan main bahayanya.
Kuda-kudanya kokoh kuat, jika berpindah tempat berkelebat secepat kilat, sementara sepasang kepalanya dan sepasang kakinya bagaikan empat buah palu godam baja yang dapat menghancurkan tulang-tulang lawannya apabila kena.
Pakkiong Liong yang menonton di antara kerumunan penduduk desa itu, diam-diam mengangguk-anggukkan kepalanya sambil membatin.
"Tong Lam-hou benar-benar sebutir mutiara yang tersembunyi dalam lumpur. Aku tidak kagum jika ia sanggup mengimbangi Kun- lun-sam-long dengan ilmu ajaran Tiam-jong-lo- sia yang aneh-aneh dan sulit dimainkan itu. Namun hanya dengan silat bakul obat Tam-cap- hoa-hong dapat mengimbangi ketiga musuhnya, benar-benar kecerdasan yang luar biasa. Tadinya, siapa percaya bahwa silat pasaran yang hanya banyak dibanggakannya itu bisa dipakai untuk benar-benar berkelahi?"
Ilmu Tam-cap-hoa-hong terdiri dari empat bagian dasar yang disebut Tam cui, Cap-kun, Hoa-kun dan Hong-bun, semuanya dimainkan oleh Tong Lam-hou dengan sempurna lambat- laun Kun-lun-Sam-long mulai terdesak.
Tidak peduli mereka bertiga berkelahi dengan kebuas an mirip serigala-serigala liar.
Alangkah penasarannya tiga orang jagoan Kun-lun itu.
Mereka bisa menerima kekalahan dengan rela jika lawannya seorang pendekar terkenal yang memainkan ilmu yang istimewa pula.
Tapi sekarang? Lawannya cuma seorang anak dusun dan yang dimainkannya Cuma "silat gerak badan"
Yang maha sederhana itu, tentu saja Kun-lun-sam-long merasa terhina sekali.
Hari ini habis sudah nama besar mereka.
Tidak ada jalan lain kecuali mengadu nyawa saking malunya.
Sementara itu, Tong Lam-hou boleh dikata belum berpengalaman sama sekali dalam perkelahian yang sebenarnya, meskipun hampir tiap hari ia melakukan latihan dengan gurunya.
Maka ketika merasa mulai mendesak lawan, Tong Lam-hou menjadi lengah, ia tertawa terbahak-bahak sambil mengejek.
"Ha ha-ha... tikus-tikus macam inikah yang diupah oleh Li Tiang Hong untuk menangkap Pakkiong Liong si Naga Utara? !"
Pada saat ia mengejek, gerakannya menjadi agak kendor.
Saat itulah Kiongwan Peng secara licik telah menyergap dari belakang ke punggung Tong Lam-hou dengan gerakan Siang- liong-Jip-hai (Sepasang Naga Masuk Sa- mudera).
Dibarengi dengan Ma Wan-seng serta Auyang Bun yang menerjang dari depan secara berbarengan.
Tong Lam-hou terkejut, sadarlah ia sudah berbuat suatu kesalahan, kini serangan lawan datang dari tiga penjuru seolah-olah tak dapat dibendung lagi.
Dalam usahanya untuk menyelamatkan diri, tanpa pikir panjang Tong Lam-hou telah menggulingkan diri ke samping secepat ia bisa.
Namun masih agak terlambat juga, sebab pedang runcing Mo Wan-seng sempat menyerempet pundaknya sehingga berdarah, Juga pisau belati Kiongwan Peng menyerempet pinggangnya sehingga luka pula.
Cepat Tong Lam-hou meloncat bangun dengan gerakan Le-hi-ta-teng (Ikan Lele Meletik), ketika tangannya meraba pundak dan pinggangnya yang berdarah, maka tiba-tiba muka Tong Lam hou juga menjadi merah padam seperti warna darah yang membasahi telapak tangannya itu.
Matanya berapi-api memandang ketiga lawannya.
Geramnya seperti harimau luka.
"Kalian benar-benar berniat membunuhku? Bagus...bagus...kalau begitu akupun tidak akan sungkan-sungkan lagi. Kalian sudah memilih nasib kalian sendiri."
Sikap Tong Lam-hou yang tadinya tidak bersungguh-sungguh menjadi sangat angker itu telah menggoncangkan jantung ketiga "serigala"
Itu.
Hati mereka mulai merasa agak kecut, namun mereka masih mempunyai sedikit rasa malu sehingga tidak mau terbirit-birit begitu saja.
Sesaat kemudian, Tong Lam-hou mulai menyerang ketiga lawannya.
Namun kali ini ia tidak bermain-main lagi dengan Tam-cap-hoa- hong, melainkan dengan ilmu ajaran gurunya.
Sepasang telapak tangannya dengan Jari-jari rapat melakukan gerakan menusuk dan menabas seperti golok, sekejap saja ketiga orang Kun-lun-sam-long itu sudah terjebak dalam serangan-serangan maut yang berputar dahsyat.
Dan setelah Tong Lam-hou berkelahi dengan sungguh-sungguh karena marahnya, maka terlihatlah betapa hebat tandangnya.
Bagaikan segulung angin prahara yang menggulung ketiga lawannya dan menggilasnya tanpa ampun.
Dan beberapa saat kemudian, si serigala Banci Kongwan Peng yang lebih dulu megap-megap di bawah tekanan lawannya.
Ketika Tong Lam-hou menusukkan ujung jari- jarinya ke lehernya, ia menyilangkan sepasang belatinya untuk mencoba menggunting pergelangan tangan Tong Lam-hou agar putus, namun secepat kilat Tong Lam-hou menarik tangannya dan kakinya menendang lurus ke depan dengan kecepatan luar biasa.
Si Serigala banci itupun terlempar keluar dari arena dengan tulang-tulang rusuk yang rontok semua, setelah memuntahkan darah iapun melayang nyawanya.
Dua kakak seperguruannya hanya melihat kematian adik seperguruan mereka itu tanpa berbuat apa-apa, sebab gerakan Tong Lam-tou demikian cepat.
Mereka terlongong sejenak, sebab tidak percaya bahwa Kun-lun-sam-long yang malang melintang di kawasan barat itu kini bakalan terbantai oleh seorang anak dusun tak bernama di kawasan terpencil ini.
Ketika Tong Lam-hou melangkah mendekati sisa kedua "serigala"
Itu, tubuh merekapun menjadi gemetar.
Tiba-tiba saja terjadilah sesuatu yang tak diduga oleh semua pihak.
Mo Wan-seng tiba-tiba telah mendorong adik seperguruannnya sendiri, Auyang Bun, ke arah Tong Lam-hou, sedangkan, ia sendiri secepat kilat telah meloncat untuk ka-bur.
Auyang Bun sama sekali tidak menduga kakak seperguruannya akan tega mengorbankan dirinya untuk keselamatannya Si Serigala Banci itupun terlempar keluar dari arena dengan tulang rusuk uang rontok semua, setelah memuntah-darah ia pun melayang nyawanya.
sendiri, ia terhuyung ke arah Tong Lam-hou sambil mengacungkan pedangnya, sementara mulutnya berteriak.
"Toasuheng, kau... ."
Ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, sebab tubuhnya yang tak bernyawa kemudian terkulai di hadapan kaki Tong Lam-hou.
Rupanya Tong Lam-hou sendiri cukup terkejut ketika melihat Auyang Bun menubruk kepadanya, maka tanpa banyak pertimbangan lagi ia segera mengelak sambil menjotos ke dada Auyang Bun, tak ampun lagi "serigala"
Kedua itupun mampus dalam keadaan yang sama dengan Kiongwan Peng.
Tulang-tulang dadanya patah semua.
Tong Lam-hou sendiri baru menyadari sesaat kemudian bahwa gerakan Auyang Bun tadi adalah karena didorong oleh Mo Wan-seng yang ingin menyelamatkan diri sendiri dengan mengorbankan adik seperguruannya sendiri.
Ketika Tong Lam-hou telah sadar dan hendak mengejar Mo Wan-seng, maka orang itu telah melenyapkan diri di antara kerumunan penduduk desa dan tak terkejar lagi.
Kini yang aaa di arena itu tinggallah dua sosok mayat dari orang kedua dan ketiga dari Kun-lun-sam-long, serta Tong Lam-hou yang berdiri tegak dengan sikap garang.
Ketika pandangan matanya menyambar Hong Lotoa dan teman temannya yang tidak sempat melarikan diri, tiba-tiba saja Hong Loto dan teman-temannya menjadi gemetar, Begitu takutnya mereka sampai lutut mereka tak mampu lagi menopang badan mereka, sehingga merekapun berlutut.
"ka...kami...minta...ampun...kata Hong Lotoa tergagap-gagap. Bahkan kepada si pemilik kedai she Sun yang hampir saja digantungnya itu, Hong Lotoa juga menyembah-nyembah sambil memohon.
"Paman Sun, a...aku minta ampun... ."
Pemilik kedai itu bukan seorang pendendam, namun karena nyawanya hampir saja melayang gara-gara kesalahan kecil saja, maka ia masih merasa mendongkol juga. Tiba- tiba tangannya terayun dan muka Hong Lotoa telah digamparnya berulang-kali. Katanya.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gampang saja minta ampun setelah tahu dirimu tersudut. Tapi andaikata tadi tidak ada A-hou, bukankah aku sekarang sudah tergantung kaku, di pohon itu? Hanya karena kau ingin menjilat atasanmu yang kau panggil Li Ciangkun serta ketiga orang asing tadi?"
Penduduk Jit-siong-tin yang biasanya sangat tertekan oleh tingkah-lakli Hong Lotoa dan teman-temannya tanpa dapat berbuat apa-apa, kini bangkit keberaniannya, merasa mendapat kesempatan untuk membalas.
Salah seorang penduduk telah berteriak dari tengah kerumunan.
"Gantung saja dia!"
Lalu yang lain-lainnya pun menyahut.
"Benar. Selama ini sudah berapa orang desa kita yang dihukum secara sewenang-wenang oleh Hong Lotoa, entah dirangket entah digantung atau dipenggal, sekarang kita balas!"
"Jangan! Bakar saja hidup-hidup!"
"Ia juga sudah menodai anak perawan janda Ma di desa sebelah, sehingga gadis itu bunuh diri saking malunya!"
Pucatlah wajah Hong Lotoa dan teman- temannya, lenyaplah kegarangan yang selama ini mereka tunjukkan dan mereka pergunakan untuk menekan rakyat kecil. Hong Lotoa segera memeluk kaki Tong Lam-hou samoii meratap.
"A-hou... eh, Tong Siau-hiap (Pendekar Muda she Tong), hanya kau yang dapat menolong aku... ."
Semakin bergolak orang-orang Jit-siong-tin yang ingin menumpahkan benci mereka kepada Hong Lotoa, semakin erat Hong Lotoa memeluk kaki Tong Lam-hou sambil menangis seperti anak kecil.
Kini ia merasakan sendiri betapa takutnya seseorang menghadapi kematian, biasanya ia malah tertawa gembira melihat betapa pucatnya wajah seseorang yang diputuskan hukuman mati dalam "pengadilan pembebasan tanah-air"
Dan kini, tak terkendali lagi celananyapun menjadi basah karena ia telah terkencing-kencing ketakutan.
Yang kebingungan adalah Tong Lam-hou.
Ia kasihan melihat Hong Lotoa, tapi ia juga maklum bahwa penduduk JIt-siong-tin sudah banyak dirugikan oleh Hong Lotoa.
Bukan saja dirugikan harta benda, tetapi beberapa orang malahan sudah kehilangan sanak keluarganya yang dihukum mati.
Dalam kebingungannya itu Tong Lam-hou menatap kepada Pakkiong Liong, seorang Panglima yang dianggapnya Jauh lebih berpengalaman daripadanya.
Tapi nampaknya Panglima yang sudah terbiasa bergelut di antara ratusan ujung senjata itu juga tidak tahu bagaimana caranya meredakan kemarahan orang banyak.
Akhirnya secara untung-untungan Tong Lam-hou berteriak.
"Saudara-saudara, tahan! Tenanglah sebentar!"
Suara yang dilontarkan dengan landasan tenaga dalam itu bagaikan halilintar yang meledak di langit, seketika membuat suara orang-orang yang berteriak-teriak itu menjadi bungkam.
Kini semua mata ditujukan ke arah Tong Lam-hou, si penjual dendeng yang mendadak menjadi seorang pahlawan itu.
Karena memang tidak pandai berbicara, maka Tong Lam-hou bicara sekenanya saja tidak peduli orang banyak menjadi puas atau tidak.
"Saudara-saudara, memang Hong Lotoa banyak kesalahannya, tapi berilah ia kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Kelihatannya ia sudah menyesal sekali, dan alangkah kejamnya kalau kita main hakim sendiri terhadap orang yang tak berdaya."
Benar juga, banyak orang yang menggerutu tidak puas mendengar rerka-taan Tong Lam- hou yang dirasa terlalu lunak itu.
"Dosanya sudah besar sekali, menganggap nyawa orang-orang sedesanya sebagai mainan belaka!"
Teriak seseorang.
"Ya, mana boleh ia tidak dihukum?!"
Teriak yang lain. Maka kembali bersahut-sahutanlah suara orang-orang banyak itu.
"Gantung dia!' "Penggal kepalanya!"
"Tenggelamkan di sungai!!"
Tetapi kembali suara Tong Lam-hou yang keras menggelegar mengatasi keributan itu.
"Tenang, saudara-saudara! Kita akan menghukum dia, tetapi tidak dengan hukuman mati!"
Banyak penduduk Jit-siong-tin yang keberatan dengan keputusan Tong Lam-hou yang dianggap terlalu ringan itu, namun semuanya tak berani menentang Tong Lam-hou.
Kini bagi rakyat Jit-siong-tin, Tong Lam-hou tak ubahnya malaikat yang turun dari langit yang harus ditaati segala sabdannya.
Tetapi masih ada juga yang berteriak.
"Setelah dihukum, usir dia dari desa ini!"
"Betul! Kita tidak butuh manusia penjilat macam dia!"
"Perginya harus merangkak seperti anjing, sebab selama ini dia jadi anjingnya Li Tiang- hong untuk memeras kita!"
Bagi Tong Lam-hou hal itu lebih baik daripada Hong Lotoa harus digantung atau ditenggelamkan ke sungai atau entah apa lagi.
Karena itu ia tidak lagi mencegah kemauan penduduk desa, yang bagaimanapun juga memerlukan sedikit pelampiasan setelah terperas selama bertahun-tahun.
"Nah, Hong Lotoa, kau sudah dengar sendiri keputusan penduduk desa?"
Tanya Tong Lam- hou yang kakinya masih dipeluk oleh Hong Lotoa.
Hong Lotoa mengangguk-anggukkan kepalanya, mukanya tidak sepucat tadi lagi, bagaimanapun juga sekedar hukuman badan dan diusir dari desa tidaklah seberat hukuman mati.
Bahkan, tanpa diketahui oleh siapapun, timbul niat jahat dalam hati Hong Lotoa, jika ia pergi dari desa ini maka akan diajaknya pasukan Li Tiang-hong kelak untuk membumi hanguskan desa yang telah menghinanya itu.
Namun niat itu dipendamnya dalam hati, dan dengan liciknya wajahnya kelihatan begitu menimbulkan jelas kasihan.
Kalau aku bersembunyi dalam pasukan Li Caingkun, siapa lagi yang 'bisa menangkap aku? demikian pikirnya.
"Terima kasih Tong Taihiap,"
Kata Hong Lotoa sambil menyembah Tong Lam-hou.
"Aku tidak bisa melupakan budimu ini... ."
Sahut Tong Lam-hou dingin.
"Jangan gembira dulu, kau belum tahu hukuman apa yang bakal dijatuhkan bukan?"
Wajah Hong Lotoa memucat lagi.
"Hu...hukuman...ap...apa?"
"Kau gemar menginjak sesamamu, maka kedua kakaimu harus dipatahkan. Mulutmu gemar menfitnah dan memberi keputusan hukuman secara sewenang-wenang, maka aku akan minta semua gigi depanmu, atas dan bawah,"
Kata Tong Lam-hou.
"Cukup ringan bukan?"
"Tong Taihiap!"
Jerit Hong Lotoa ketakutan.
"Kalau kau tidak mau hukuman ini, apa kau lebih suka kuserahkan kepada penduduk Jit- siong-tin supaya mereka sendiri yang menghukummu?"
Tanya Tong Lam-hou.
"Jangan! Jangan!"
Teriak Hong Lo-toa cepat- cepat. Sementara penduduk Jit-siong-tin yang mendengar keputusan itu telah menyambutnya. Kata seseorang.
"Terlalu ringan! Tapi boleh segera dilaksanakan!"
Maka hukuman itupun dilaksanakan.
Kedua kaki Hong Lotoa dipatahkan lututnya, dan gigi depannya dihabiskan oleh Tong Lam-hou dengan sekali pukul saja.
Tentu saja Hong Lotoa melolong-lolong seperti babi disembelih namun di dalam hatinya tidak timbul rasa penyesalan atas kelakuannya selama ini.
Bahkan ia mendendam kepada Tong Lam-hou dan penduduk Jit-siong tin.
Hong Lotoa sama sekali tidak menyadari bahwa hukuman yang diterimanya itu terlalu ringan dibandingkan kesengsaraan yang telah ditimbulkannya atas diri penduduk Jit-siong-tin.
Itulah watak manusia.
Merasa diri sendiri diperlakukan kurang adil atau terlalu kejam, namun jika ia sendiri berbuat Kejam kepada orang lain dengar, mudah dilupakannya.
Dengan dipapah oleh dua orang anak buahnya, dan diikuti oleh segenap anak buahnya yang juga ikut diusir dari desa itu, maka Hong Lotoa-pun meninggalkan desa yang sudah bertahun-tahun diperasnya atas nama "Gerakan Pembebas Tanah Air"
Itu. Tapi hasil perasan itu sebagian besar masuk ke kantongnya sendiri dan habis di meja judi atau di rumah pelesiran. Sedangkan "Gerakan Pembebasan Tanah Air"
Menerima tidak sampai sepertiganya.
Maka Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong meninggalkan desa itu dengan diantar oleh seluruh penduduk desa sampai ke gerbang desa, seperti mengantar seorang pahlawan saja.
Namun sebegitu jauh Pakkiong Liong belum mengaku terus-terang kepada penduduk desa bahwa dia adalah seorang Panglima Kerajaan Manchu.
Namun secara samar-samar ia menjanjikan perlindungan kepada penduduk Jit-siong-tin apabila Li Tiang-hong dan pasukannya marah.
Pakkiong Liong merasa gembira bahwa satu desa sudah dibebaskan dari pengaruh kaum penentang pemerintah Manchu, sehingga kaum pemberontak itu kehilangan sebagian dari daerah sumber perbekalannya.
Sementara itu, jauh di luar desa Jit-siong-tin, Mo Wan-seng tengah melangkah dengan lesu disebuah jalan yang sepi.
Hari ini benar-benar hari naas bagi Kun-lun-sam-liong, yang sekaligus kehilangan dua anggota di tangan seorang anak dusun tak ternama, bahkan melarikan diri seperti seekor anjing yang digebuk.
Sebenarnya tujuan Kun-lun-sam-long ingin menangkap Pakkiong Liong itu bukan karena rasa cinta-tanah-air dan sebangsanya, melainkan demi uang hadiah yang berjumlah banyak, yang dijanjikan oleh pihak Li Tiang- hong bagi siapa saja yang dapat menangkap hidup atau mati Panglima Manchu yang sangat terkenal itu.
Tak terduga yang didapatnya bukan hadiah, malahan nasib sial harus kehilangan dua orang saudara seperguruannya.
Bahkan Auyang Bun mati karena dikorbankan bagi keselamatan dirinya sendiri, agar ia mendapat kesempatan untuk kabur.
Kini rasanya arwah adik seperguruannya yang kedua itu masih melekat di tengkuknya dan menjerit menuntut perbuatannya.
"Tidak! Tidak!"
Tiba-tiba Mo Wan-seng berlari sekencang-kencangnya seperti seorang gila. Lalu di tempat yang sepi ia berteriak-teriak seorang diri.
"Maafkan aku, jisute! Lebih baik kau saja yang berkorban daripada kita mati semua dibunuh bocah keparat itu! Aku bersumpah akan membalas dendam meskipun dengan bantuan Suhu dan temannya itu!"
Setelah berteriak-teriak seperti orang gila, perasaan Mo Wan-seng agak lega, ia harus segera menemui gurunya yang kebetulan juga sedang berada di daerah itu.
Ia berharap sore ini sudah bisa menemui gurunya, dan nanti malam sudah bisa menyerbu rumah Tong Lam- hou, penduduk Jit-siong-tin tentu dapat dipaksa untuk memberi tahu di mana rumah si penjual dendeng itu.
Sementara itu, Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong berjalan pulang ke gunung dengan langkah-langkah ringan.
Pendekar Naga Dan Harimau Karya Stefanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil bercakap- cakap.
"Apakah tindakanmu itu nantinya tidak menjerumuskan kau dan ibumu ke dalam persoalan yang berlarut-larut? Sedang selama ini kalian sudah hidup dengan tenang?"
Tanya Pakkiong Liong. Tong Lam-hou menarik napas.
"Ya, memang mungkin begitu. Ketenteraman yang selama ini sudah kami nikmati akan terganggu dengan peristiwa-peristiwa yang menjadi ekor dari peristiwa tadi. Tapi apa boleh buat. Aku tidak bisa melihat paman Sun si pemilik kedai arak itu digantung sewenang-wenang hanya karena hal-hal yang tidak berarti. Jika kau hanya memikirkan ketenteraman hidupku sendiri dan membiarkan orang lain diinjak-injak, aku benar-benar seorang yang mementingkan diriku sendiri ibu-ku bahkan akan marah jika tahu aku bersikap mementingkan diri sendiri. Ayahku di akherat mungkin juga marah."
"Tapi oleh Hong Lotoa dan teman- temannnya kau akan dicap sebagai kaki tangan Manchu atau pengkhianat tanah air... ."
Tong Lam-hou tertawa.
"Terserah aku mau dicaci-maki sebagai apapun. Dunia sungguh terbalik kalau orang yang berusaha menolong sesamanya malah dianggap pengkhianat, sedang orang orang semacam Hong Lotoa malah dianggap pahlawan tanah air. Tapi aku tidak peduli. Tidak peduli pemerintahan bangsa Han atau Manchu, kalau rakyat sejahtera maka harus didukung, dulu ayahkupun menentang Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng. Tidak ada salahnya kalau sekarang aku sebagai anaknya juga melabrak pengikut-pengikut dinasti Beng yang belum lupa dengan kebiasaan lama untuk menindas rakyat... ."
Demikianlah, kejadian di Jit-siong-tin itu telah memberikan sebuah pandangan baru dalam diri Tohg Lam-hou.
Tanpa didorong- dorong oleh siapapun.
Tapi ia menyadari sendiri bahwa, pengacau-pengacau semacam Hong Lotoa dan pentolan-pentolan lainnya harus dibekuk, meskipun mereka berkedok sebagai pembebas tanah air.
Dan ia sadar apa yang dikatakan oleh Pakkiong Liong itu benar, bahwa orang-orang semacam Hong Lotoa itu masih banyak terdapat di mana-mana.
Ingin menegakkan kembali dinasti Beng, tidak peduli tindakannya itu meresahkan rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa.
Demikianlah, sambil bercakap-cakap mereka tanpa sadar sudah di depan gubuk Tong Lam-hou.
Ibu Tong Lam-hou menyambut mereka, dan alangkah terkejutnya ketika melihat pundak dan pinggang anaknya terluka.
Maka tanpa tedeng aling-aling Tong Lam-hou menceritakan semua kejadian di Jit-siong-tin- kepada ibunya.
"Aku terpakse mpmhunuh dua orang penjahat, bu,"
Tong Lam-hou mengakhiri ceritanya.
"Mereka adalah orang orang yang sewenang-wenang, sedikit pun tidak menghargai nyawa sesama manusia."
"Bagus, nak, bagaimanapun juga ayahmu tidak akan kecewa punya putera seperti kau,"
Kata ibu Tong Lam-hou dengan muka berseri "Bukalah bajumu, biar ibu obati lukamu."
"Hanya luka kecil saja, bu."
"Meskipun hanya luka kecil, siapa tahu senjata Kun-lun-sam-long itu dibubuhi racun, sehingga lukanya bisa berbahaya. Mari kuperiksa."
Setelah Tong Lam-hou membuka baju dan ibunya menaburkan luka-luka itu dengan obat, ibu Tong Lam-hou itu masih saja menggeremang.
"Membela rakyat kecil tidak perlu takut kesulitan apapun, nak. Itulah tugas pendekar. Dulu ayahmu pun tidak gentar meskipun banyak musuhnya, begitu pula ibu tidak takut andaikata peristiwa di Jit-siong-tin itu ada ekornya. Kau sudah bertindak betul"
Tong Lam-hou menjadi besar hati mendengar kata-kata ibunya itu, sedang Pakkiong Liong diam-diam kagum juga kepada perempuan itu.
Para ibu biasanya sangat memanjakan anaknya, ibaratnya tidak boleh lepas dari gendongannya dan tidak boleh mengalami kesukaran yang sekecil apapun, dan akhirnya si anak akan menjadi seorang yang manja dan cengeng.
Namun ibu Tong Lam-hou nampak tenang-tenang saja ketika mendengar bahwa anaknya baru saja melakukan perkelahian mati hidup, tidak kaget dan tidak kuatir sedikitpun.
Bukan karena tidak menyayangi anaknya, namun karena sadar bahwa anaknya telah tumbuh menjadi pribadi tersendiri, bukan kepribadian yang tumbuh di bawah lindungan ketiak ibunya.
Dan menilik kata-katanya, Pakkiong Liong menduga bahwa ibu Tong Lam-hou ini agaknya mengerti tentang ilmu silat juga, cuma belum dibuktikan sampai seberapa tingginya.
Hari itu dilewati tanpa kejadian apa-apa di gubuk itu.
Makanan mereka masih juga sayur lobak, namun tetap saja mereka menyantapnya dengan lahap.
Pembicaraan masih berkisar tentang peristiwa di Jit-siong-tin tadi, dan ketika Tong Lam-hou menyampaikan keinginannya untuk bersama-sama Pakkiong Liong menyerbu ke sarang pengacau dan membekuk pentolan-pentolannya, maka ibu Tong Lam-hou malah menyambutnya dengan bersemangat.
"Bagus. Aku mendukung rencana kalian. Sudah terlalu lama desa-desa miskin itu menjadi sapi perahan orang-orang yang mengaku pejuang itu. Kalau pentolan-pentolan mereka dapat tertangkap, rakyat akan aman."
Namun bagaimanapun juga ia tetap seorang ibu, maka dipesankannya juga kepada anaknya.
"Kau bersemangat seperti mendiang ayahmu, A- hou, aku bangga kepadamu. Namun kau harus berhati-hati , begitu pula A-liong. Pentolan- pentolan pengacau itu tentu bersembunyi dalam sarang yang dijaga kuat oleh anak buah mereka."
"Baik, ibu, besok kami akan berangkat ke sarang pengacau itu. Ibu juga harus menjaga diri baik-baik di rumah."
"Jangan pikirkan ibu. Ibu sanggup menjaga diri, dan bukankah tidak jauh dari sini juga ada gurumu? Ia tentu akan membantu jika aku mengalami kesulitan,"
Kata ibu Tong lam-hou Malam harinya ketika ketiga orang itu sedang bercakap-cakap di dalam gubuk, tiba- tiba dari luar gubuk terdengar suara berkesiurnya pakaian, menandakan ada seseorang yang mendekati gubuk itu dengan ilmu meringankan tubuh.
Dan ternyata kemudian disusul kesiur-kesiur pakaian dua kali lagi, sehingga diperkirakan yang datang itu ada tiga orang.
Dugaan Pakkiong Liong tentang kelihaian ibu Tong Lam-hou semakin kuat ketika melihat perempuan tua itu ternyata tenang-tenang saja berkata sambil tetap memegang mangkuk buburnya.
"Wah, agaknya cecunguk-cecunguk yang mengaku pejuang itu telah datang ke gubuk kita, A-hou, coba kau tengok keluar. Tapi hati-hatilah, menilik suara langkah-langkah mereka maka agaknya ada dua orang yang lihai di antara mereka, dan yang seorang berilmu rendah saja."
Ketika Tong Lam-hou melangkah keluar, maka Pakkiong Liong juga meletakkan mangkuk buburnya dan bangkit dari duduknya, sambil berkata.
"Bibi, biar aku temani A-hou menjenguk keluar."
"Hati-hati A-liong, badanmu belum kuat benar."
"Baiklah, bibi."
Sementara itu dari luar gubuk telah terdengar suara bentakan yang bengis.
"Bangsat kecil yang bernama Tong Lam-hou, cepat keluar sebelum kubakar gubukmu ini!"
Ketika Pakkiong Liong menoleh ke arah ibu Tong Lam-hou, maka dilihatnya perempuan setengah tua itu sama sekali tidak menggigil ketakutan. Dengan tenang ia menanggak minumannya, lalu berkata sambil tertawa.
"Wah, tamu kita malam ini agaknya seorang yang kasar."
Sementara itu Tong Lam-hou telah melangkah keluar pintu, kemudian disusul oleh Pakkiong Liong.
Sesuai dengan suara langkah kaki tadi, yang datang, itu itu benar-benar tiga orang.
Di bawah cahaya bulan sepotong yang cukup terang, Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong dapat dapat mengenal bahwa salah seorang dari ketiga "tamu"
Itu adalah Mo Wan- seng.
Orang tertua dari Kun-lun-sam-long yang julukannya seram, Serigala Taring Besi, namun tadi siang terbirit-birit meninggalkan gelanggang dengan cara yang tidak kenal malu, yaitu dengan mengorbankan adik seperguruannya sendiri.
Sedang yang dua orang lagi adalah, orang- orang tua berusia setengah baya.
Yang seorang berjubah panjang, berjenggot putih, sepasang matanya memancarkan cahaya kemerah- merahan seperti serigala asli, dan di punggungnya ia menggendong sebatang pedang yang seorang lagi juga berusia sebaya, tubuhnya tegap berotot, namun berpakaian seperti seorang pendeta Buddhis lengkap dengan tasbeh dilehernya dan tongkat sian-thung di tangannya.
Hanya saja matanya yang bersinar buas itu sama sekali tidak sesuai dengan penampilannya sebagai seorang pendeta yang harusnya bersikap ramah dan lembut.
Begitu melihat Tong Lam-hou telah keluar, Ma Wan-seng segera menudingnya sambil berkata kepada orang tua yang menggendong pedang itu.
"Suhu, itulah orangnya yang berani membunuh jisute (adik seperguruan ke dua) dan samsute (adik seperguruan ke tiga) !"
Tong Lam-hou bertolak pinggang di depan ketiga orang itu, katanya sambil tertawa.
"He- he-he... serigala bertaring besi yang tadi, siang terbirit-birit kini muncui lagi dengan mengajak induknya. Seperti anak kecil yang menangis karena permainannya direbut oleh kawannya, lalu melaporkan kepada ibunya."
"Tutup mulutmu!"
Bentak orang tua yang menggendong pedang itu.
"Kau si bocah busuk ini sudah berani membunuh dua orang muridku, berarti sama saja dengan menantang aku. Kau tahu siapa-aku?"
"Kita belum berkenalan, tentu saja aku tidak kenal kau."
Orang tua yang menggendong pedang itu menggeram.
"Kau belum mengenal aku, itulah tanda kepicikan pengetahuanmu. Jika kau tahu siapa aku, kau akan menggigil ketakutan dan menyembah-nyembah mohon ampun kepadaku. Akulah yang bernama Lamkiong Siang, orang menjuluki aku secagai Hwe-san-lo- long (Serigala Tua Bermata Api)."
Mendengar itu Tong Lam-hou tak dapat menahan tertawanya. Katanya.
"Lagi-lagi serigala. Tadi siang sudah kuusir tiga serigala, sekarang malah datang induknya serigala yang bermata api segala. Tapi maaf, aku tidak bisa menerima serigala tua, sebab dagingnya alot untuk dibuat dendeng dan tidak laku di jual... ."
Alangkah marahnya Lamkiong Siang mendengar ucapan Tong Lam-hou itu. Matanya yang kemerah-merahan seperti api itu nampak lebih menyala, namun Tong Lam-hou menatapnya tanpa takut.
"Kau marah agaknya? Tapi kau harus tahu alasannya kenapa kubunuh dua orang muridmu. Mereka bertindak sewenang-wenang hendak membunuh orang. Jika kau tidak bisa mengajar murid-muridmu sendiri, jangan marah kalau orang lain yang mengajarnya."
Lamkiong Siang tidak menjawab sepatah katapun.
Dengan sikap yang menyeramkan ia melangkah maju mendekati Tong Lam-hou.
Tiba-tiba ujung jarinya menusuk ke tenggorokan Tong Lam-hou, geraknya memang cepat sekali, jauh lebih cepat dari Kun-lun-sam- long yang dihadapi Tong Lam-hou tadi siang.
Tong Lam-hou terkejut melihat serangan itu, namun ia sempat menarik mundur kakinya setengah langkah sambil memiringkan tubuhnya.
Lamkiong Siang agaknya terkesiap juga melihat ketangkasan lawannya yang masih rriuda itu.
Namun sebagai tokoh tua berpengalaman ia tidak mudah melepaskan tekanan atas diri lawannya.
Begitu tangan kanan luput, secepat kilat tangan kirinya menyusul menyambar ke depan dengan gerakan Hek-liong-pa-bwe (Naga Hitam Memutar Ekor) dengan jari jarinya yang kuat bagaikan besi itu hendak menyambar ke iga lawan.
Sekali lagi Tong Lam-hou berhasil dipaksanya mundur selangkah.
Namun Tong Lam-nou juga tidak sudi didesak mundur terus-terusan.
Wallbanger Karya Alice Clayton The God Father Sang Godfather Karya Pendekar Bayangan Sukma 15 Maut Buat
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama