Ceritasilat Novel Online

Penyair Sinting 2

Raja Gendeng 6 Penyair Sinting Bagian 2



"Jangan berbelit-belit, aku mau kau berterus terang sekarang. Katakan padaku apa yang dilakukan ayahku di masa lalu?"

Hardik Mangir Ayu. Mendengar ucapan Mangir Ayu yang tak bersahabat Penyair Sinting tidak merasa berkecil hati, sebaliknya malah tersenyum. Tapi tak lama kemudian dengan perasaan prihatin dia berkata.

"Anak dara. Kesalahan ayahmu dimasa lalu tak lain karena mengikuti perintah yang salah dari adipati Seta Kurana yang saat itu belum menjadi adipati Blora. Ayahmu bersama para sahabat adipati lainnya yang kini menjadi tumenggung di beberapa wilayah telah melakukan penyerbuan sekaligus pembantaian terhadap penghuni Lembah Bangkai."

"Apakah benar seperti itu kejadiannya?"

Potong Mangir Ayu kaget.

"Aku tidak berdusta."

Jawab Penyair Sinting.

"Mengapa adipati menghabisi penghuni Lembah Bangkai? Memangnya penghuni Lembah itu siapa?"

Tanya Raja tertarik juga penuh rasa ingin tahu.

"Para penghuni Lembah Bangkai."

Berkata Penyair Sinting dengan mata menerawang kosong.

"Mereka adalah sebuah kaum yang keadaan tubuh dan wajahnya menyerupai manusia dan binatang. Mereka kaum yang dikucilkan oleh orang-orang yang mengaku dirinya sempurna. Penyerbuan itu dilakukan karena mereka menganggap kaum aneh yang sering mereka sebut sebagai Manusia Kutukan itu sebagai sumber penyakit dan kemalangan bagi orang yang tinggal di luar lembah."

Terang Penyair Sinting.

"Apakah kejadiannya memang seperti itu?"

"Tidak. Kekurangan dan kelebihan yang dimiliki manusia kuanggap sebagai sebuah kuasa sang pencipta. Tapi adipati menganggap mereka adalah manusia kutukan para dewa. Padahal sebenarnya adipati menginginkan sebuah senjata pusaka bernama Cambuk Sakti Naga intan. Senjata paling hebat yang tiada tandingannya dan milik dari sesepuh Lembah Bangkai bernama Nyi Marasati atau lebih dikenal dengan julukan Harimau Setan."

"Kedengarannya seperti sebuah senjata yang langka. Lalu dimana senjata maut itu sekarang berada?"

Tanya Raja.

"Tentu saja berada ditangan adipati Seta Kurana,"

Kata Penyair Sinting. Setelah menghela nafas sejenak dia berkata lagi.

"Sebelum menjadi adipati. Seta Kurana telah menggulingkan adipati yang lama."

"Jika kau tahu semua riwayat kehidupan di Lembah itu. Mengapa kau tidak berusaha mengambil kembali cambuk yang dicuri?"

"Aku berpantang membunuh. Sementara Harimau Setan memang berniat merebut senjatanya lagi. Tapi dengan adanya senjata di tangan adipati sulit sekali bagi nenek itu untuk membunuh adipati Seta Kurana."

"Karena itu dia membunuh orang-orang penting kadipaten, lalu menghabisi lima tumenggung termasuk juga ayahku?"

Dengus Mangir Ayu geram.

"Kau. Jangan terlalu berburuk sangka. Yang membunuh ayahmu juga orang orang penting lainnya bukan Harimau Setan, tapi beberapa pengikutnya yang tidak lagi patuh pada perintah si nenek. Mereka bertindak sendiri-sendiri."

"Apakah kau kenal manusia aneh yang kedua matanya senantiasa menyala seperti bara?"

Tanya Mangir Ayu.

"Ya. Dia adalah salah satu diantara pengikut Harimau Setan."

"Bagaimana dengan manusia berwajah singa?"

Tanya Raja begitu teringat dengan kejadian di padepokan milik kakek Giri Soradana. Si gadis tersenyum.

"Tiga manusia berwajah singa itu termasuk orang yang bertindak diluar kendali Harimau Setan. Mereka tidak bisa disalahkan."

"Gadis culas. Dia datang kemari rupanya karena ingin minta bantuan Raja."

Batin Mangir Ayu.

"Jadi kau datang untuk mempengaruhi Raja."

"Aku hanya mengharapkan dia meluruskan duduk persoalan yang sebenarnya. Mungkin dengan bantuan pihak luar adipati mau mengembalikan cambuk sakti yang dulu dia rampas dari tangan nenek itu"

"Bagaimana kau bisa yakin Raja bisa mengatasi semua masalah ini. Sementara pembunuhan telah meluas kemana-mana."

Kata Mangir Ayu. Lalu dia melanjutkan.

"Aku sendiri tidak akan berpangku tangan atas kematian ayahku. Apapun yang dilakukannya dia tetap ayahku dan Mata Bara harus menyerahkan nyawanya padaku."

"Tanpa mengabaikan kemampuanmu. Terus terang kukatakan Mata Bara jelas bukan tandinganmu. Kau bisa mati sia-sia di tangannya!"

Kata Penyair Sinting. Mendengar ucapan gadis itu wajah Mangir Ayu seketika berubah kelam membesi .Dengan pipi menggembung dan mata mendelik besar Mangir Ayu berucap.

"Penyair Gila, kau tak merasakan betapa pedihnya hatiku ditinggal kedua orang tuaku. Kau terlalu besar mulut dan menganggap aku gadis lemah tidak berdaya. Aku tidak bisa menerima segala ucapanmu.Karena kau mengenal manus?a-manusia terkutuk dari Lembah Bangkal itu, aku menganggapmu sebagai musuhku juga. Karena itu sekarang juga kau harus mampus!"

Sambil berteriak lantang Mangir Ayu tiba-tiba menyerbu ke arah Penyair Sinting.

Raja tentu saja terkejut dan berusaha menengahi.

Ketika serangan Mangir Ayu menderu siap melabrak dada dan wajah Penyair Sinting.

Si gadis bersikap tenang.

Namun Raja melompat ke depan menghalangi serangan maut yang dilakukan Mangir Ayu.

Plak! Plak! Gerakan menepis yang dilakukan Raja membentur tinju si gadis, membuat Mangir Ayu terdorong mundur ke belakang sementara tangannya yang membentur telapak tangan Raja terasa sakit dan nyeri hingga kebagian bahu.

Kaget bercampur marah Mangir Ayu menatap ke depan.

Melihat Raja yang telah merintangi serangannya gadis ini jadi mengira Sang Maha Sakti berpihak pada Penyair Sinting.

"Kk... kau.... Rupanya kau terpikat dan jatuh hati pada penyair edan itu. Sungguh aku tidak menyangka"

Geram Mangir Ayu kecewa. Melihat Mangir Ayu jadi salah sangka. Raja bingung sendiri. Buru-buru dia menjawab.

"Bukan.. bukan itu maksudku. Aku tidak bermaksud membela siapapun! Sungguh, kau harus percaya."

Percuma saja Raja berusaha menyakinkan.

Mangir Ayu yang masih terguncang karena kematian orang tuanya akhirnya balikkan badan lalu berlari tinggalkan tempat itu.

Disepanjang jalan si gadis terus menangis.

Walau pun Raja berusaha mengejar tapi Mangir Ayu telah lenyap ditelan kegelapan malam.

Sementara itu setelah tidak berhasil mencegah kepergian Mangir Ayu.

Pemuda itu cuma bisa berdiri tertegun.

Dia lupa di belakangnya tepat di depan pondok yang dia tinggalkan Penyair Sinting masih berada di tempatnya.

Tidak lama setelah sempat diam memperhatikan akhirnya gadis ini membuka mulut.

Serangkaian kata-kata syair meluncur dari bibirnya.

"Laut biru langit biru. Jambangan hati terlepas ditelaga. Bulan menangis binatang merintih. Nyawa bertabur bercecer darah. Aku mencari dalam bingung di tengah dinding-dinding buntu .Engkau muncul membawa pedang seperti pangeran langit. Malam berlalu bertabur sunyi dalam tanya. Amarah dan dendam menutup tirai terang. Harapan muncul bersama sang penegak yang tak tersangkut dendam dan tertaut piutang. Dengan dua tangan kuletakkan di depan perutmu. Aku meminta kau segera datang ke Blora .Berbuatlah sebagai sang bijaksana. Bertutur dengan kearifan. Pintalah cambuk sakti Naga Intan dari sang penguasa. Agar darah tak lagi tertumpah dan kematian menjadi sia-sia."

Mendengar bait-bait syair yang dilantunkan Penyair Sinting.

Raja tentu saja dibuat terperengah.

Kata-kata yang diucapkan begitu indah sarat dengan makna.

Dan Raja tahu semua itu ditujukan padanya.

Tak lama kemudian sambil menghela nafas dan dalam keadaan tertegun ia tiba-tiba menjawab.

"Aku rasa segala harapanmu itu tidak mudah untuk kupenuhi. Meminta cambuk sakti dari tangan adipati Seta Kurana bukan perkara mudah meski cambuk adalah cambuk rampasan."

"Aku tahu, Tapi kalau kau tidak melakukannya, tak lama lagi bakal terjadi pertumpahan darah. Aku yakin setelah menunggu sekian lamanya Harimau Setan tak akan tinggal diam. Dia akan berlaku nekat mengambil kembali cambuk miliknya."

"Kalau begitu kebenaran harus ditegakkan dan nenek itu harus dibantu,"

Tegas Raja. Si gadis tersenyum sambil menggeleng.

"Tidak ada yang mengharapkanmu membantu salah satu dari mereka. Kau hanya diharapkan mampu jadi penengah dan bersikap adil. Bagaimana pun mereka telah terlibat silang sengketa. Apa yang telah dilakukan oleh adipati Seta Kurana, kini dia harus menanggung akibatnya."

"Penyair Sinting! Menurutmu apa yang seharusnya aku lakukan?"

Pancing Raja Gendeng berlagak tolol sambil garuk-garuk kepalanya. Gadis cantik berpenampilan aneh berdandan celemongan tak karuan yang ditanya diam sebentar sambil menatap pemuda itu. Selanjutnya dia berkata.

"Kau bertanya seolah aku ini seorang penasehat kerajaan."

"Tidak mengapa kalau kau beranggapan begitu? Bukankah kau tahu aku ini memang seorang pangeran, aku dapat menjadi raja kapan saja aku inginkan dan kurasa kau memang layak menjadi seorang penasehat kerajaan."

"Apa maksudmu? Menurutmu aku layak menjadi penasehat kerajaan dimana?"

Tanya Penyair Sinting dengan wajah berseri dan tampak Penyair Sinting lebih sumringah. Sambil senyum-senyum pemuda itu menjawab "Kau pantas menjadi penasehat raja di istananya orang-orang sinting.Ha ha ha...!"

Pemuda itu lalu tertawa tergelak-gelak.

"Terima kasih. Jadi kau tidak mau mendengar apa yang harus kau lakukan?"

Tanya Penyair Sinting.

Setelah berkata begitu si gadis ulurkan ujung selendang kuningnya yang bergelung melingkari kedua tangan.

Begitu dua tangan yang pegang ujung kedua selendang dikibaskan.

Maka seketika itu pula terdengar suara desis halus.

Seiring dengan terdengarnya suara desir maka tubuh gadis itu secara perlahan namun pasti terangkat naik dan terus bergerak melambung diketinggian.

Melihat kejadian itu Raja merasa takjub namun juga heran.

"Hei, apa yang kau lakukan?"

"Aku bukan burung, namun aku merasa lebih suka berada diketinggian."

Jawab Penyair Sinting dingin.

"Lalu kau hendak ke mana?"

"Segala yang hendak kusampaikan kau sudah mendengarnya. Kalau kau tidak suka mendengar nasehatku kau bebas menentukan pilihan. Sekarang juga sudah waktunya bagiku tinggalkan tempat ini."
Raja Gendeng 6 Penyair Sinting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Penyair Sinting. Tapi kau belum menjawab pertanyaanku."

Kata Raja sambil tersenyum. Penyair Sinting pura-pura unjukkan wajah kaget.

"Oh ya pertanyaanmu yang mana?"

Tanya si gadis. Raja terdiam sebentar, setelah berpikir beberapa jenak lamanya dia berkata.

"Tanah Dwipa bagiku masih baru dan agak asing. Menurutmu apa yang harus kulakukan?"

"Kau bebas berbuat sesuka hati, tak ada yang melarang bukan?"

Tanya Penyair Sinting disertai senyum sinis.

"Akh ternyata kau merajuk rupanya."

"Tidak. Aku tidak marah padamu. Aku hanya merasa mungkin akan terlalu banyak berharap dan memaksakan diri."

"Oh, tentu saja tidak Penyair Sinting. Kau tak usah berkecil hati. Sekarang pun aku sudah mengambil keputusan sendiri,"

Ucap Raja mantap membuat Penyair Sinting menoleh lalu menatap tajam kepadanya.

"Apa keputusanmu?"

Bertanya si gadis dengan mata berkedap-kedip aneh dan terlihat lucu.

"Keputusanku tentu dengan tidak berpihak pada siapapun. Aku lebih memilih akan berpihak pada diri sendiri. Bukankah sebaiknya begitu?"

Tanya Raja.

"Hm, anak kecil pun bisa membuat keputusan seperti itu."

Jawab Penyair Sinting sambil berusaha menyembunyikan rasa kecewanya. Dia kecewa karena Sang Maha Sakti Dari Istana Pulau Es itu ternyata tak kunjung menentukan tindakan apa kiranya yang bakal dia ambil.

"Maksudmu apakah kau bersedia memberiku sebuah petunjuk?"

"Kau lebih bijaksna dari penampilanmu. Jangan pernah mengaku kau lebih bodoh dariku."

Kata Penyair Sinting. Setelah itu dia terdiam lagi, namun tak lama segera melanjutkan.

"Waktu terus bergulir, aku sendiri tak punya banyak waktu. Masih banyak tugas yang harus kuselesaikan. Aku harus...!"

Belum lagi si gadis sempat menyelesaikan ucapannya. Tiba-tiba Raja memotong.

"Sebelum pergi kuharap kau mendengarku dulu. Ketahuilah aku telah memutuskan akan segera berangkat ke Blora. Aku harap adipati bisa kuajak bicara tentang senjata yang pernah diambilnya dari Lembah Bangkai. Bila dia bersedia mengembalikan Cambuk Sakti Naga Intan kepada pemiliknya yang sah, menurutmu apakah kemungkinan pertumpahan darah yang lebih besar dapat dihindari?"

Mendengar pertanyaan Raja, Penyair Sinting tersenyum.

Dia sendiri tidak begitu yakin apakah pertumpahan darah dapat dihentikan begitu cambuk si pemilik Harimau Setan dikembalikan pada si nenek.

Senopati kemungkinan besar pasti bakal mempertahankan senjata rampasan tersebut.

Apapun yang terjadi, sejak awal Penyair Sinting walau hubungannya dengan Harimau Setan cukup akrab namun dia tidak pernah berpihak pada si nenek.

"Kau diam! Aku melihat sepertinya kau ragu?"

Tanya pemuda itu hingga membuat Penyair Sinting tersadar dari lamunannya. Dengan tersipu dia menjawab.

"Aku... aku tidak ragu. Aku hanya berharap semua yang kau usahakan tidak mengalami banyak kendala."

"Kendala? Maksudmu bagaimana kalau adipati tiba-tiba saja menolak tawaranku? Apakah begitu?"

"Seandainya iya bagaimana?"

"Ha ha ha. Ini kukira bagian yang paling kusukai. Kalau dia menolak menyerahkan kembali senjata rampasannya itu aku akan memelintir telinganya hingga copot kemudian kubetot hidungnya hingga tanggal. Lalu kukorek biji matanya untuk kujadikan cendol. Dengan begitu dia pasti bakal berpikir seribu kali untuk menolak keinginanku."

"Hmm, kau lupa senjata adipati adalah senjata yang sangat berbahaya dan bisa menjadi senjata keji bila berada di tangan orang yang salah."

"Aku tidak takut. Bagaimana denganmu apakah kau merasa takut?"

Tanya sang Maha Sakti. Penyair sinting kedipkan matanya, kemudian sambil tersenyum dia berujar.

"Aku tidak takut dengan cambuk. Aku justru takut dengan pedang. Pedang lebih berbahaya dari pada cambuk. Hik hik!"

Raja ikutan tersenyum, namun otaknya berpikir. Begitu sadar maksud ucapan Penyair Sinting dia pun tak kuasa menahan tawa.

"Ah, pedang mana ya?! Ha ha ha!"

Sambil tertawa-tawa pemuda itu tiba-tiba ingat sesuatu. Serta merta tawanya terhenti. Namun ketika dia hendak membuka mulut ajukan pertanyaan. Raja terkejut sendiri. Penyair Sinting yang berdiri mengapung di atas ketinggian ternyata telah lenyap.

"Kemana dia pergi? Sejak tadi aku tak pernah mengalihkan perhatian darinya. Mengapa saat dia pergi aku justru tak melihatnya sama sekali. Hhm... gadis aneh. Bisa menghilang, datang dan pergi seperti hantu. Jangan-jangan dia memang hantu Sungguhan."

Batin Raja sambil mengusap tengkuknya yang dingin. ***** "Kurang ajar! Mengapa segala urusan jadi kapiran begini?"

Maki laki-laki gagah berpakaian serba hitam berbelangkon biru bersenjata keris, yang terselip di punggungnya.

Dalam ruangan mewah berdinding cokelat berlantai marmer berlapis permadani, Senopati Gagak Panangkaran yang baru kembali dari perjalanan jauh hanya bisa diam sambil tundukkan kepala.

Orang tua berusia hampir enam puluhan yang tak lain adalah adipati Blora Seta Kurana tampak tidak puas.

Wajahnya merah padam, dua tangan terkepal, pipi menggembung sedangkan pelipisnya bergerak-gerak.

Dengan tatap mata nyalang adipati bangkit berdiri dari kursi berlapis emas yang didudukinya.

Sesaat seperti orang bingung dia mondar mandir, orang tua ini jelas gelisah, tapi juga merasa penasaran setelah mendapat laporan dari senopatinya.

Seakan masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya sendiri, adipati itu sekali lagi berucap.

"Apa engkau tidak salah melihat, apa benar orang-orang sakti seperti Ki Rangga Galih, Windu Saketi dan Ki Jaran Palon yang hendak kita minta bantuannya telah menemui ajal dengan cara mengenaskan seperti itu?"

Senopati Gagak Panangkaran rangkapkan kedua tangan bungkukkan badan lalu menjura hormat. Selanjutnya dia menjawab.

"Ampun gusti adipati. Keadaan yang terjadi disana memang demikian. Saya hanya menemukan bagian tubuh tanpa kepala milik kakek Windu Saketi membusuk di belakang rumahnya. Seorang gadis aneh mengaku berjuluk Penyair Sinting mengatakan pada saya bahwa kepala kakek Windu Saketi tergantung di bawah pohon kapuk bersama dua kepala tokoh penting lainnya."

Terang laki-laki itu seadanya.

"Apakah kepala Ki Rangga dan Ki Jaran Palon juga tergantung di halaman padepokan milik Giri Soradana,"

Tanya adipati terlihat kurang puas.

"Begitu menurut pengakuan Penyair Sinting. Dia mengaku melihat dengan mata kepala sendiri, tiga kepala sahabat kita tergantung membusuk dihalaman padepokan."

"Bagaimana dengan Giri Soradana serta murid-muridnya?"

Tanya sang adipati sambil menarik nafas dalam-dalam. Setelah sedikit dapat menenangkan diri dia kembali duduk di tempatnya. Dua kaki diluruskan, sedangkan tatap mata tetap tertuju pada senopatinya.

"Orang tua itu mengalami cidera berat, semua muridnya terbunuh. Malah beliau sendiri dipendam hidup-hidup. Seseorang bernama Raja Gendeng bergelar Sang Maha Sakti Dari Istana Pulau Es datang memberi pertolongan, mengeluarkan kakek Giri dari pendaman. Tapi tetap saja si kakek tidak bisa diselamatkan."

"Tunggu. Kau mengatakan seseorang bernama Raja bahkan Gendeng pula telah menolong Giri Soradana,"

Kata adipati setengah menggumam. Matanya menarawang menatap ke langit-langit. Adipati berusaha keras mengingat-ingat apakah dia pernah mendengar atau mengenal nama pendekar aneh yang disebutkan bawahannya itu.

"Sang Maha Sakti Dari Istana Pulau Es? Baru kali ini aku mendengar nama aneh dan julukan seperti itu.Seingatku di ujung timur laut selatan. Di sana memang ada sebuah pulau dingin bernama Pulau Es. Konon di pulau itu berdiri sebuah istana putih bernama istana Pulau Es. Raja kerajaan es yang langka bernama Prabu Sangga Langit dengan parmaisurinya bernama ratu Purnama Sari. Tapi istana itu sekarang tak berpenghuni lagi.Prabu dan istrinya tewas terbunuh ketika Maha iblis Dari Timur dengan dibantu seorang penyihir dan pasukan alam gaib menyerbu istana itu. Jadi jelasnya istana telah runtuh."

"Kalau begitu mengapa sekarang muncul seorang pendekar muda yang berasal dari istana Pulau Es?"

Tanya Senopati tidak mengerti.

"Hal ini aku tidak tahu. Aku bahkan baru mendengar kehadirannya darimu. Tapi sepertinya dia berada di pihak kita, kalau pun nantinya dia menyeberang membantu pihak musuh. Aku tidak akan segan-segan menyingkirkannya."

"Lalu bagaimana dengan Penyair Sinting Gusti. Saya yakin dia tau segala hal tentang masa lalu gusti."

Adipati Seta Kurana tidak menanggapi. Sepasang matanya menatap senopati dengan pandangan menyelidik.

"Bagaimana kau bisa berkata begitu."

"Saya mendengar sendiri dia mengatakan tahu tentang masa lalu dan semua orang yang membantu gusti. Dia juga ada menyebut-nyebut tentang pembantaian yang gusti lakukan bersama para sahabat gusti di Lembah Bangakai sebelum menjadi adipati,"

Terang senopati Gagak Panangkaran.

Ucapan sanopatinya itu membuat adipati Seta Kurana terkejut "Penyair Sinting.Sering sekali kudengar namanya, namun dia manusia aneh yang sebenarnya jarang menampakkan diri di dunia ramai.

Dia bisa muncul di mana-mana.

Sejauh in? aku tidak tahu dia berada dipihak slapa?"

"Saya yakin dia berdiri dipihak sesepuh Lembah Bangkai, gusti."

Sahut Gagak Panangkaran membuat adipati Blora itu jadi tercengang.

"Astaga. Bukankah Harimau Setan sesepuh sekaligus pemimpin para manusia kutukan itu seharusnya tewas. Tubuhnya penuh luka, saat itu bahkan dia kehilangan tangan kirinya."

Ucapan senopati ini tanpa sadar dan telah membuka aib dari perbuatannya sendiri di masa lalu.

Untuk diketahui Gagak Panangkaran sebenarnya tidak sejak awal bergabung dengan adipati Blora.

Dia terpilih menjadi senopati tiga tahun setelah Seta Kurana memangku jabatan adipati Blora.

Gagak Panangkaran berasal dari desa Manding di daerah Pleret.

Sepak terjangnya yang menggemparkan serta kekuatannya yang sangat mengagumkan dalam berbagai perkelahian mengundang perhatian adipati hingga mengangkatnya menjadi senopati Blora.

Tidaklah mengherankan bila kemudian laki- laki ini bertanya.

"Gusti, memangnya apa yang telah terjadi di masa lalu?"

"Apa maksudmu?"

Sang adipati malah balik bertanya.

"Gusti adipati, menurut yang saya dengar serta kenyataan yang terjadi saat ini.Pembunuhan yang menimpa orang-orang dekat kita termasuk juga para tumenggung semua adalah akibat perbuatan gusti dan para sahabat dimasa lalu. Saya juga menyirap kabar para pembunuh itu berasal dari Lembah Bangkai."

"Apakah manusia keparat penyair gila itu tidak mengatakan padamu apa yang kami lakukan di Lembah Bangkai? Dia tidak menyinggung pemusnahan para kaum kutukan?"

Tanya laki-laki itu disertai seringai sinis. Senopati tampaknya hendak mengatakan sesuatu namun karena sungkan dia menjadi diam membisu. Melihat keraguan di wajah senopatinya, sang adipati kembali lanjutkan ucapannya.

"Jangan ada yang ditutup-tutupi, aku ingin kau berterus terang Gagak Panangkaran!"

Desak laki-laki itu.
Raja Gendeng 6 Penyair Sinting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Katakan apa yang kau dengar.Katakan juga apa yang kau lihat!"

"Saya tidak melihat apa-apa. Saya curiga melihat pembunuhan masih terus berlangsung. Bahkan tumenggung Dadung Kusuma dan istrinya telah menemui ajal.Pembunuhnya adalah manusia aneh berjuluk Mata Bara atau Mata Setan."

"Soal itu aku sudah tahu."

Senopati anggukkan kepala.

"Maafkan saya gusti adipati. Menurut yang saya dengar sisa-sisa Manusia kutukan itu datang untuk menuntut balas atas kematian para kerabatnya. Saya mendengar sesepuh Lembah Bangkai yang bernama Marasati atau yang lebih dikenal dengan sebutan Harimau Setan mau mengambil kembali senjatanya."

"Puah,lagi-lagi nenek keparat itu!"

Geram adipati sambil menggebrak meja. Meja hancur membuat senopati terkejut. Dia sadar adipati Seta Kurana rupanya tengah dilanda kemarahan besar setelah mendengar penjelasannya. Buru-buru senopati menjura sekaligus, berujar.

"Gusti bila ada kata-kata saya yang tidak berkenan dihati gusti, saya mohon maaf. Sedikitpun saya tidak punya maksud menyinggung perasaan gusti"

Diluar dugaan adipati malahan tertawa tergelak-gelak. Kenyataan itu membuat sang senopati terheran-heran. Walau begitu dia tetap diam. Senopati takut berucap salah. Adipati Seta Kurana katupkan mulut, seringai sinis terselip dibibirnya.

"Senopati."

Berkata laki-laki itu hingga membuat Gagak Panangkaran mengangkat wajah menatap junjungannya dengan perasaan sungkan.

"Perlu kau ketahui dalam diri manusia ada dua yang berdampingan namun tak pernah sejalan. Pertama adalah sisi baik dan kedua sisi buruk. Terserah sisi mana yang akan dipelihara oleh manusia itu sendiri. Di masa lalu, aku dan para pengikutku kebetulan sekali berpijak disisi yang buruk. Sisi gelap itu mengantarku menjadi seperti sekarang ini. Aku penjahat, aku pembunuh, aku dan pengikutku juga tukang fitnah. Belasan tahun lalu aku menyerbu Lembah Bangkai dan para penghuninya demi satu tujuan. Tujuanku adalah untuk mendapatkan senjata hebat bernama Cambuk sakti Naga Intan yang tiada duanya. Ketika cambuk kudapatkan aku habisi orang-orang yang memusuhi aku. Dan puncak dari semua kejahatanku adalah menggulingkan kekuasaan adipati yang lama Sodra Wilaguna. Begitu dia dan pengikutnya dapat kusingkirkan maka aku yang menggantikan kekuasaannya. Apakah kau sudah mengerti?"

Tanya laki-laki itu.

"Ampun. Saya sudah mengerti gusti."

Sahut senopati Gagak Panangkaran dengan suara perlahan namun jelas. Adipati menarik nafas lega.

"Bagus."

Laki-laki itu tersenyum.

"Perlu kiranya kau ketahui,untuk mencapai sesuatu dalam hidupku. cara dan selalu banyak jalan. Untuk mendapatkan yang besar, raih dulu yang kecil.Jalan hidup memang sangat kelam, penuh darah dan kekejian. Aku tak menyesal jika manusia sisa penghuni Lembah Bangkai itu kini datang menuntut balas. Yang aku sesalkan mengapa di antara mereka ada yang selamat."

"Apapun yang telah gusti lakukan bersama para sahabat yang lain, saya selalu berada di pihak gusti"

"Aku sangat senang mendengarnya. Bersikap setialah padaku sampai akhir hayat. Dengan begitu kau bisa hidup enak tanpa menemui banyak kesulitan. Ada pun tentang senjata Cambuk Sakti Naga intan, aku tak akan pernah menyerahkan senjata itu pada Harimau Setan. Senjata itu sekarang sudah menjadi milikku."

"Bagaimana Jika Harimau Setan dan pengikutnya yang liar itu datang kemari?"

Tanya senopati. Suasananya tenang namun menyimpan rasa kekhawatiran. Adipati menyeringai.

"Kau takut?"

Tanya adipati sambil menatap tajam senopatinya .Dengan cepat dia gelengkan kepala.

"Jika mereka nekat menyerang, aku akan menghabisinya. Kali ini aku akan menamatkan riwayat mereka semua hingga tidak ada yang tersisa sedikitpun."

Tegas sang adipati lebih bersemangat.

Gagak Panangkaran terdiam.

Dia benar-benar baru mengetahui kejahatan junjungannya.

Dia tidak menduga orang sebaik adipati dulunya mempunyai jalan hidup yang sangat menyimpang.

Sebagai kepala pasukan perang kadipaten, Gagak Panangkaran sesungguhnya punya segudang cita-cita yang belum terlaksana.

Dulu dia pernah bercita-cita mendirikan sebuah kerajaan.

Namun dia tidak tahu bagaimana cara memulainya.

Sekarang setelah adipati menjelaskan riwayat masa lalunya.

Sebuah gambararan tentang hari depan akan bertambah nyata.

Tidak tertutup kemungkinan dia akan mengikuti jejak adipati.

Atau kalau perlu dia akan menggulingkan kekuasaan adipati Seta Kurana jika waktunya betul-betul memungkinkan.

"Apa yang kau pikirkan senopati."

Tanya sang adipati. Gagak Pangkaran terkejut, namun buru buru tersenyum.

"Tak ada yang lebih penting untuk saya pikirkan selain memperkuat pasukan dan bersikap lebih waspada dari segala kemungkinan yang tidak diinginkan gusti."

Jawab senopati dan tentu saja dia berdusta. Adipati tersenyum.

"Aku bangga kepada kesetiaanmu dan rasa perduli terhadap ketenteraman wilayah yang menjadi kekuasaanku. Benar-benar patut menjadi contoh bagi semua orang yang mengabdi padaku."

"Bukankah apa yang saya lakukan sudah menjadi kewajiban saya sebagai penanggung jawab keamanan kadipaten Blora gusti."

Ujar Gagak Panangkaran. Padahal di hatinya dia berkata.

"Aku akan mengikuti jejakmu. Kelak aku akan menjadi penguasa yang lebih hebat darimu adipati culas"

"Bagus. Sekarang kau aturlah pasukanmu. Pertemuan kita akhiri sampai di sini saja."

"Titah gusti akan saya lakukan. Saya mohon undur diri."

Ujar laki-laki itu.

Sebelum berlalu dia rangkapkan tangan, bungkukkan badan lalu menjura pada sang adipati.

Setelah itu dia melangkah pergi.

***** Terdorong oleh rasa prihatin dan kecemasan atas sepak terjang beberapa kaumnya yang masih tersisa.

Nenek berpakaian serba hitam yang sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu lembut berwarna hitam kecoklatan itu akhirnya terpaksa meninggalkan Lembah Bangkai .Pagi hari saat matahari baru saja muncul diufuk langit sebelah timur sesepuh dari kaum aneh dan selalu dikucilkan ini telah sampai disebuah kali kecil yang termasuk kawasan Blora.

Si nenek bernama Marasati dan dikenal dengan sebutan Harimau Setan hentikan langkah.

Setelah memperhatikan keadaan sekitarnya.

Tiba-tiba saja si nenek berkata.

"Embun lembut membasahi ujung dedaunan. Sungguh ini adalah pagi yang indah. Aku tidak pernah melihat pemandangan seperti ini. Dikejauhan sana aku lihat puncak Merapi, tapi aku tidak melihat tanda-tanda keberadaan kaumku. Apakah mereka semua telah menemui ajal karena memperturutkan nafsu mengikuti dendam kesumat?"

Si nenek gelengkan kepala, menghirup nafas dalam-dalam sementara cuping hidungnya kembang kempis seolah sedang berusaha mengendus sesuatu.

Yang dilakukan si nenek tidak berlangsung lama.

Dia manggut-manggut, namun wajahnya yang tertutup bulu tipis memperlihatkan rasa prihatin yang mendalam.

"Aku dapat nengendus bau tubuh mereka. Tapi sebagian besar dari sisa kaumku itu telah menemui ajal. Kurasa hanya tinggal satu yang tersisa. Dia masih hidup, saat ini aku dapat merasakan dia sedang menuju ke kadipaten. Mengapa dia bertindak nekat tak mau mendengar perintahku? Mata Bara... seandainya adipati Seta Kurana hanya mengandalkan senjata miliknya sendiri, aku tidak mengkhawatirkan keselamatanmu, Jayeng Sakamuni,"

Ujar si nenek menyebut nama asli si Mata Bara atau juga dikenal dengan sebutan Mata Setan. Sekali lagi si nenek menarik nafas. Dia lalu lanjutkan ucapannya.

"Tapi kau tahu sendiri, dia telah merampas senjata saktiku. Andai aku tidak terlanjur berjanji pada para arwah saudara kita yang telah telah tewas dibantai oleh manusia laknat keji itu.Mungkin aku memilih melupakan senjataku Cambuk Sakti Naga Intan. Aku sudah lelah dan sangat tua. Tak banyak lagi yang bisa kulakukan untuk membela saudaraku senasib."

Si nenek lagi- lagi menggeleng.

Dengan menggunakan tangan kanannya dia mengusap lengan baju sebelah kirinya yang melambai-lambal tertiup angin.

Seperti diketahui Harimau Setan kehilangan tangan kirinya ketika menghadapi serbuan yang dilakukan oleh adipati Seta Kurana dimasa lalu.

Berkat kegigihannya kehilangan tangan kiri bagi si nenek tidak menjadi halangan.

Puluhan tahun dia melatih lengan baju kirinya menjadi senjata yang lebih ganas dan lebih berbahaya dari sebilah pedang.

Kini si nenek menatap jauh ke arah kejauhan.

Sayup-sayup dia mendengar suara kuda dipacu cepat menuju ke arahnya.

Dia merasa heran, dan juga curiga.

"Ada serombongan orang berkuda datang kemari. Matahari baru saja terbit. Siapa mereka?"

Pikir Harimau Setan.

Sekilas orang tua ini menoleh.

Dia menatap ke arah sebatang pohon menjulang tinggi.

Penasaran ingin mengetahui siapa gerangan adanya para penunggang kuda tersebut.

Tanpa membuang waktu Harimau Setan segera berkelebat ke arah pohon, lalu jejakkan kaki dan bersembunyi di balik kerimbunan cabang dan dedaunan.

Dari atas ketinggian pohon orang tua Itu memusatkan perhatian ke arah suara iring-iringan rombongan berkuda.

Kening si nenek berkerut tajam ketika melihat belasan laki-laki bersenjata berbagai jenis berpakaian seragam perjurit kadipaten memacu kuda tunggangannya dengan tergesa- gesa.Sementara tidak jauh di depan para perajurit berkuda itu terlihat pula seorang laki-laki berpakaian hitam berpenampilan gagah menunggang seekor kuda putih.

Walau sebelumnya tidak pernah melihat ciri dan penampilannya Harimau Setan segera tahu bahwa laki-laki berkuda putih itu adalah senopati Gagak Panangkaran yang dikenal sangat berani dan memiliki ilmu kesaktian tinggi.

"Sepagi ini senopati kadipaten dan perajuritnya berada jauh di luar kadipaten.Kalau tidak ada sesuatu yang penting, mana mungkin mereka muncul seperti orang yang dikejar-kejar anjing gila."

Kata si nenek lagi.

Orang tua ini diam menunggu.

Sementara iring-iringan rombongan berkuda itu semakin dekat dengan Kali Urang.

Mengapa senopati Gagak Panangkaran muncul di tempat itu? Adipati Seta Kurana yang menyadari bahwa sebagian pengikut setianya tewas maka dia mulai khawatir.

Apalagi pada malam harinya lima penjaga pintu gerbang utama tewas terbunuh dengan tubuh hangus seperti terbakar.

Adipati pun kemudian memerintahkan senopatinya untuk melakukan pengejaran.

Mereka tahu yang membunuh para penjaga itu pastilah si Mata Bara.

Pengejaran dilakukan tiada henti hingga menjelang fajar menyingsing, senopati dan pasukannya terus memburu, namun mereka kehilangan jejak.

Di tepi Kali Urang senopati Gagak Panangkaran menghentikan kudanya.

Melihat pimpinannya berhenti, para perajurit ikut berhenti.

"Kita kehilangan jejak. Sebaiknya kita kembali ke kadipaten."

Kata laki-laki itu memberi perintah.
Raja Gendeng 6 Penyair Sinting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Senopati, kita tak mungkin kembali. Gusti adipati sudah berpesan kita harus menemukan Manusia Kutukan yang berjuluk Mata Bara dalam keadaan hidup atau mati. Kita semua tahu dia orang yang paling berbahaya diantara para pembunuh itu."

Ujar seorang perajurit bersenjata gada dan mempunyai kumis paling lebat dan tebal. Mendengar ucapan perajuritnya, Senopati Gagak Panangkaran delikan mata. Dia bahkan membentak.

"Perajurit! Aku yang memimpin pasukan ini, aku pula yang menentukan. Yang kita kejar tidak kita temukan. Bagaimana bila ternyata dia bermuslihat, menunggu kita lengah lalu berbalik dan menyerang tempat kediaman gusti adipati? Kita harus kembali. Aku curiga apa yang aku pikirkan menjadi sebuah kenyataan."

Perajurit kekar berkumis tebal terdiam. Dia tidak berani membantah, bahkan menatap wajah Senopati pun dia tidak punya nyali.

"Tunggu apa lagi? putar arah kuda!"

Perintah senopati.

Tak ada lagi orang membuka mulut, setiap orang segera memutar arah kudanya masing-masing.

Tapi baru saja senopati hendak menggebrak kuda putih kesayangannya.

Tiba-tiba semua kuda berjingkrak kaget sambil meringkik keras.

Bulu-bulu binatang itu berdiri tegak seolah mereka melihat mahluk yang menakutkan.

Senopati Gagak Panangkaran diam-diam terkejut.

Keningnya berkerut sedangkan sepasang matanya jelalatan menatap beberapa arah yang dianggapnya mencurigakan.

Selagi semua orang bertanya-tanya dalam hati gerangan apa yang membuat kuda tunggangan mereka menjadi ketakutan seperti itu.

Tiba-tiba saja terdengar suara gelak tawa yang diikuti dengan bergoyangnya pohon besar yang terdapat disudut sebelah kanan kali.

"Senopati! Kalau mau kembali ke tempat kediaman adipati mengapa harus tergesa- gesa. Apa yang kau khawatirkan.Setahuku adipati adalah manusia sakti luar biasa.Bukan cuma kesaktiannya saja yang hebat. Dia juga pembantai hebat, pencuri senjata milik orang lain yang handal dan tukang fitnah keji yang tiada lawannya di dunia ini. Hi hik hik!"

Kata orang di atas pohon yang tak lain adalah Harimau Setan.

"Siapa kau? Sebelum aku membuatmu celaka sebaiknya tunjukkan diri. Kalau tidak, aku akan membunuhmu!"

Teriak senopati.

Diam-diam dia alirkan tenaga dalam ketangan kanannya.

Seketika tangan senopati telah berubah hitam mengepulkan asap tipis.

Sementara diatas pohon Harimau Setan tak mau menunggu lama.

Dia tahu lawan siap menghajarnya.

Tidak heran sambil berkelebat tinggalkan pohon yang dijadikan tempat bersembunyi si nenek berkata.

"Ternyata kau tidak jauh berbeda dengan adipati keparat itu. Kau dan dia sama-sama kejam, namun aku yakin ajalmu tak akan lama lagi. Hik hik"

Jiiik! Setelah sempat berjumpalitan dua kali.

Si nenek akhirnya jejakkan kaki di atas batu.

Tidak hanya senopati, semua pengikutnya juga pusatkan perhatian ke arah nenek itu "Lihat nenek aneh ini.

Sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu seperti bulu Harimau.Pantas kuda kita jadi gelisah."

Ujar salah seorang perajurit.

"Kuda kita menyangka dia harimau sungguhan, tidak tahunya cuma Harimau Setan!"

Timpal perajurit lainnya. Terdengar suara tawa berderai. Sementara itu senopati tetap memperhatikan nenek di atas batu dengan tatapan curiga.

"Melihat ciri-cirinya, aku yakin dialah orang yang biasa disebut Harimau Setan."

Batin laki-laki itu. Dia pun lalu melompat turun dari atas kuda. Sambil menyeringai senopati itu berujar.

"Yang dicari susah ditemukan yang tidak diharap justru muncul sendiri. Ha... ha... ha."

Melihat senopati tertawa terbahak- bahak, Harimau Setan keluarkan suara berdengus sekaligus ajukan pertanyaan.

"Apakah ada yang lucu senopati? Apa maksud ucapanmu?"

"Nenek renta tubuh berbulu seperti harimau. Bukankah kau orangnya yang bernama Marasati berjuluk Harimau Setan?"

"Kalau benar memangnya ada apa?"

"Aku sedang mencari pengikutmu yang bernama Mata Bara. Manusia terkutuk itu sudah waktunya untuk dimusnahkan, tetapi dia menghilang. Kau muncul di sini disaat aku merasa haus untuk membunuh. Apakah ini bukan sebuah kebetulan? Ha ha ha."

Harimau Setan menyeringai.

Sambil menggeleng dia pun tertawa.

Suara tawanya aneh mirip raungan harimau marah hingga membuat kuda kuda milik para perajurit menghambur lari ketakutan.

Melihat kuda berlarian tunggang langgang.

Para perajurit kadipaten terkejut.

Senopati tidak tinggal diam.

"Putih... kau kuda pintar. Jangan berlaku tolol mengikuti kuda-kuda bodoh lainnya. Apa yang kau lihat bukan harimau. Dia cuma manusia terkutuk yang memang sudah selayaknya disingkirkan dari duniamu,"

Teriak laki-laki itu.

Begitu mendengar teriakan sang majikan, kuda ini hentikan larinya kemudian berbalik lagi ke tempat semula, lalu diam seolah patung sedangkan matanya dipejamkan.

Andai Harimau Setan melihat tingkah kuda ini pada waktu yang lain tidak seperti sekarang.

Melihat kuda ketakutan bisa pejamkan mata tentu si nenek sudah tak kuasa menahan gelak tawanya.

Kini dia hanya bisa bersikap acuh.

Dua mata dipentang menatap lurus ke arah senopati Gagak Panangkaran.

Tak lama kemudian dia berkata "Senopati terus terang kukatakan aku bukanlah seperti si Mata Bara alias Mata Setan yang tidak mengenal aturan.Walau dendamku pada adipati Seta Kurana sedalam laut setinggi langit.

Aku tak akan melakukan pembalasan dengan membabi buta"

"Oh begitu? Kedengarannya indah dan kuyakin hatimu penuh damai. Tapi aku bukanlah orang yang suka bermanis mulut.Terangkan saja apa yang kau inginkan!"

Sentak senopati lalu sunggingkan seringai buruk.

"Aku ingin adipati Seta Kurana mengembalikan senjataku, Cambuk Sakti Naga Intan yang dirampasnya dulu. Aku juga ingin dia memotong tangannya sendiri sebagai pengganti tanganku yang dulu pernah ditabasnya!"

Ucapan Harimau Setan sungguh membuat senopati terkaget-kaget.

Dia tidak menyangka nenek yang telah kehilangan tangan kirinya itu ternyata berbicara begitu rupa di hadapannya.

Merasa tidak senang pimpinannya dipandang remeh laki-laki itu tiba-tiba tertawa.

Dia menatap ke arah para perajurit yang bersamanya.

Dengan mata mendelik mulut membentak.

"Kalian sudah mendengar apa yang diinginkan oleh wanita gila ini?"

"Ya, kami sudah tahu. Kami mengganggap apa yang dia minta sebuah tuntutan yang edan,"

Sahut para perajurit serentak.

"Pasukan goblok! Sudah tahu orang bersikap kurang ajar, mengapa kalian hanya berpangku tangan!"

Hardik senopati dengan mata mendelik nyalang.

Para perajurit tentu tahu arti ucapan pimpinannya.

Serentak mereka berhamburan lalu mengepung Harimau Setan dari segala penjuru arah.

Melihat belasan perajurit mengepungnya dengan senjata terhunus, Harimau Setan menyeringai.

"Aku telah mengatakan apa yang menjadi keinginanku secara baik-baik Senopati. Tapi kau menyambutnya dengan senjata terhunus. Kau ingin aku berlaku kasar. Lalu menghabisi anak buahmu dalam beberapa gebrakan saja?"

Kata si nenek setengah bertanya.

"Tua bangka sombong! Kau belum tentu selamat dari serangan mereka!"

Dengus senopati. Setelah itu dia berpaling lalu memberi isyarat pada para perajuritnya.

"Rajam dan bunuh...!"

"Hore... inilah yang paling aku suka...?"

Sambut beberapa perajurit gegap gempita.

Maka dengan penuh nafsu membunuh mereka itu menyerang si nenek.

Dalam waktu sekejab serangan gencar berupa tendangan dan jotosan maupun tusukan dan babatan senjata menghujani Harimau Setan dari segala arah.

Melihat serangan datang seperti curah hujan, si nenek dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh serta kecepatan gerak yang luar biasa berusaha menghalaunya.

Tak ayal ketika Harimau Setan memutar tubuh lalu mendorong sekaligus hantamkan kedua tangannya.

Benturan yang keras membuat para perajurit kadipaten itu jatuh berpentalan.

Melihat teman-temannya berjatuhan seperti pohon yang ditebang.

Perajurit yang berada di belakangnya serentak maju.

Dan kali ini mereka menyerang dengan kekuatan penuh.

"Srat...!"

Lima senjata berkiblat, menderu laksana air laut bergulung lalu menghantam bagian punggung, kepala dada bahkan kaki si nenek.

"Waduh mati aku!"

Seru si nenek.

Dia berpura-pura kewalahan padahal sebenarnya sama sekali si nenek tidak terdesak.
Raja Gendeng 6 Penyair Sinting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak disangka-sangka Harimau Setan ini telah berpura-pura lengah menghalau serangan ganas yang dilakukan para perajurit.

Dan tiga di antara serangan berhasil menembus pertahanannya.

Tak ayal lagi bahu, perut dan punggung Harimau Setan terkena satu bacokan dan dua tusukan.

Darah terlihat menyembur dari tiga luka ditubuhnya.

Sementara mata si nenek membelalak seolah tidak percaya dengan apa yang dialaminya.

"Kk..kalian...kalian ternyata sangat hebat..."

Ucap nenek itu dengan tubuh terhuyung.

Menyangka lawan dapat dilukai oleh perajuritnya.

Senopati Gagak Panangkaran tertawa sinis "Hanya seperti itukah ilmu kesaktian yang kau miliki? Jika menghadapi anak buahku saja kau sudah tidak berdaya bagaimana kau bisa melawanku.

Konon pula kau mau mengambil kembali senjatamu dari tangan adipati.

Kau bisa menjadi potongan daging tak berbentuk.Ha ha ha!"

"Hi hi hi! Senopati lihat kemari pentang matamu lebar-lebar,"

Kata si nenek. Senopati katobkan mulut, dia menatap ke arah lawan. Dilihatnya Harimau Setan mengusap lukanya di tiga bagian. Luka itu lenyap seketika tak meninggalkan bekas terkecuali bagian pakaian yang robek di tiga bagian.

"Gila! Tadi senjataku jelas-jelas menembus punggungnya!"

Seru salah satu perajurit sambil berdiri dengan mulut ternganga tak jauh di depan si nenek.

"Kalian hanya menusuk dan membacok angin. Sekarang rasakan pembalasanku!"

Teriak si nenek.

Sekali dia berkelebat tiga perajurit yang baru saja melukai tubuhnya keluarkan teriakan menyayat.

Satu diantara mereka di tendang hingga melambung tinggi lalu jatuh tersangkut ke sebuah pohon tinggi.

Sedangkan yang berada di sebelahnya jatuh tersungkur dengan kepala remuk leher patah membentur batu.

Satunya lagi jatuh terkapar mata mendelik dada melesak amblas terkena tendangan si nenek.

Melihat tiga perajuritnya celaka dalam satu gebrakan saja membuat Senopati tercekat sekaligus gusar.

Sementara para perajurit yang lainnya segera merangsak maju sambil kibaskan senjata di tangan masing-masing.

Senjata berupa pedang, golok juga tombak menderu, berkelebat menyambar menghujani Harimau Setan.

Tapi para perajurit yang rata-rata mengandalkan tenaga kasar dan mempunyai silat yang tidak tinggi ini ternyata bukanlah lawan Harimau Setan.

Diserang sehebat itu si nenek dengan mudah meloloskan diri.

Harimau Setan kemudian melambung tinggi dan sempat mengapungkan tubuhnya di atas ketinggian.

Begitu berada di udara si nenek Segera merapal mantra ajian pukulan sakti 'Mayat Menanti Siksa Mendera'.Selesai mulut si nenek berkemak-kemik.

Dalam waktu tak sampai sekedipan mata saja kedua tangannya memancarkan cahaya hitam redup disertai kepulan asap tipis menebar bau busuk menyengat.

Kemudian tanpa suara Harimau Setan memutar tubuhnya, sementara kedua telapak tangannya yang terkembang dihentakkan ke bawah.

Seet! Treeet! Wuush! Dua tangan melesat bagaikan kilat menyambar ke arah belasan perajurit yang bersirebut berusaha menghabisinya.

Hawa panas luar biasa menghantam para perajurit Itu membuat mereka terkejut namun tak kuasa selamatkan diri.

Seperti helai dedaunan yang dihantam angin topan para perajurit kadipaten jatuh berpelantingan.

Suara jerit dan pekik kesakitan merobek kesunyian .Serangan ganas itu tidak hanya membuat para perajurit menemui ajal seketika dengan tubuh hangus sulit dikenal.

Tapi diantara mereka yang luput dari serangan tak urung harus berusaha keras menyelamatkan diri dari serangan susulan si nenek yang semakin ganas tidak terkendali.

Sehebat apapun sisa-sisa para perajurit itu berusaha mendesak si nenek.

Tapi segala upaya mereka sama sekali tidak mendatangkan hasil apa-apa.

Malah ketika Harimau Setan melipat gandakan tenaga dalamnya.

Daya serangan orang tua itu makin tak berbendung.


Lima Sekawan Sarjana Misterius Dewa Arak 55 Perintah Maut Pendekar Bloon 13 Jodoh Di Gunung

Cari Blog Ini