Ceritasilat Novel Online

Penyair Sinting 3

Raja Gendeng 6 Penyair Sinting Bagian 3



Sebagai pimpinan, senopati Gagak Panangkaran tidak hanya gusar dan marah.

Kematian para perajuritnya yang, berlangsung dalam waktu singkat membuat laki-laki itu menjadi naik darah.

Tidaklah heran ketika si nenek merangsak maju berusaha menyingkirkan satu-satunya perajurit yang masih tersisa.

Senopati Gagak Panangkaran tiba-tiba melompat ke depan sambil menghantam nenek itu dengan tendangan .

Wuuut! Tendangan menderu, senopati kirimkan serangan susulan dengan melancarkan pukulan beruntun.

Harimau Setan yang tak menyangka bakal diserang seperti itu berusaha menghindari serangan itu, namun tinju kiri senopati datang menggebu, menggantikan serangan kaki dan pukulan tangan kanan yang berhasil dihindari si nenek.

Melihat tinju menderu siap menggebuk kepalanya.

Si nenek segera sambar tengkuk perajurit yang berada di depannya.

Dengan gerakan aneh namun berlangsung cepat luar biasa sang perajurit diputar lalu diangkat dijadikan alat untuk menangkis gebukan senopati.

Laki-laki itu terkejut bukan main ketika melihat perajuritnya dipergunakan si nenek sebagai tameng.

Tapi untuk menarik balik serangannya senopati tak dapat melakukannya mengingat jaraknya yang sudah sangat dekat.

Tanpa ampun tinju senopati itu menghantam punggung perajuritnya sendiri hingga mengeluarkan suara bergedebukan disertai derak suara tulang yang patah.

Sang perajurit menjerit setinggi langit, darah menyembur dari mulut dan hidung.

Selagi sang perajurit mengerang sekarat, Harimau Setan melemparkannya ke arah lawan.

Melihat perajurit itu melesat ke arahnya.

Senopati yang telah menjadi murka akibat muslihat yang dipergunakan si nenek kembali menghantam.

Braak! Sekali lagi terdengar suara tulang berderak.

Tubuh perajurit yang sudah tidak bernyawa itu akhirnya terpental jauh dan jatuh di kali Urang.

"Senopati! Apakah kau sudah gila hingga begitu tega menghabisi perajurit sendiri?"

Tanya Harimau Setan yang saat itu berdiri tegak di atas sebuah batu besar.

Gagak Panangkaran mendengus nafasnya memburu, wajah merah padam sedangkan sepasang mata tampak merah dilamun amarah.

Dengan tangan terkepal gigi bergemeletukan dia membentak "Perempuan terkutuk.

Kaulah yang menjadi pangkal sebab dari semua kegilaanku.

Kau habisi anak buahku dengan cara sekeji itu.

Apakah kau pikir aku akan memberi ampun?!"

Geram senopati meledak-ledak. Harimau Setan tersenyum dingin. Dengan sinis dia menjawab.

"Siapa yang hendak minta ampun pada manusia keparat kaki tangan pencuri. Kau dan adipatimu itu sama saja. Tidak ada nilainya dimataku. Dan aku tidak punya waktu melayanimu lebih lama senopati. Lihat serangan!!"

Teriak si nenek.

Begitu si nenek berteriak, Gagak Panangkaran langsung dongakkan kepala menatap ke depan.

Senopati ini tercengang saat melihat sosok si nenek mendadak raib, sementara dari arah depan senopati melihat sedikitnya tiga larik cahaya berbentuk kipas berwarna merah, biru dan hitam menderu menebar ke arahnya.

"Jahanam! ilmu pukulan apa yang dipergunakan tua bangka itu. Aku hanya melihat tiga cahaya aneh seperti kipas, tapi mengapa aku merasakan tubuhku seperti ditelan gulungan ombak?"

Pikir senopati.

Sebelum serangan si nenek benar-benar melabrak habis dirinya.

Senopati Gagak Panangkaran melompat mundur ke belakang.

Begitu kedua kaki menjejak tanah, laki-laki itu melepaskan pukulan 'Alunan Badai Laut Utara'.

Terdengar suara menderu disertai gulungan asap tebal menyerupai ombak laut yang murka.

Tiga cahaya berbentuk kipas yang dilepaskan oleh si nenek dan deru asap kelabu saling songsong hingga bentrokkan keras menggelegar tak dapat dihindari lagi.

Gleger! Terjadi ledakan luar biasa keras, membuat pepohonan hancur bertumbangan.

Debu dan percikan bunga api bertabur di udara.

Senopati Gagak Panangkaran jungkir balik dan terguling- guling sejauh tujuh tombak.

Sebaliknya di depan sana Harimau Setan jatuh berlutut, tubuh sebelah atas tergetar hebat, kedua tangan hingga ke bahu terasa seperti hancur sedangkan mulut menyemburkan darah.

"Senopati keparat! Ternyata ilmu pukulanmu sangat berbahaya. Kalau aku tidak segera mengambil tindakan. Cepat atau lambat aku bisa dibuatnya celaka!"

Batin si nenek. Perlahan namun pasti dia salurkan hawa murni ke bagian dada dan bahunya. Setelah itu si nenek bangkit berdiri. Namun baru saja orang tua ini berdiri tegak tiba-tiba dia mendengar bentakan disertai suara desir aneh.

"Harimau Setan! sudah waktunya kau menjadi setan sungguhan! Sekarang terimalah kematianmu!"

Teriak lawannya.

Harimau Setan memutar tubuhnya.

Begitu menatap ke depan dia melihat lawan telah melesat ke arahnya.

Sedangkan di tangan kanan tergenggam sebilah keris yang menjadi senjata andalannya.

Yang membuat Harimu Setan kaget, keris berkeluk tiga dan berwarna kemerahan itu tampak membersitkan cahaya merah kehitaman menebar hawa dingin menusuk.

Melihat senjata ditangan lawan membabat sekaligus menusuk ke bagian dadanya.

Harimau Setan menggerung marah, sekali si nenek gerakan tangan tahu-tahu dalam genggamannya terdapat sebuah tongkat berwarna hitam.

Tongkat segera diputar, cahaya hitam berbentuk sebuah perisai melindungi diri si nenek.

Trak! Trak! Senopati tambah beringas.

Lalu nekat menyerang sambil berusaha menembus pertahanan si nenek.

Benturan keris dengan tongkat milik si nenek membuat serangan senopati gagal mengenai sasaran.

Tapi senopati tidak perduli, Merasa gagal dengan serangan pertama dia kembali menggebrak.

Kali ini yang menjadi incaran senjata senopati adalah tubuh si nenek di sebelah bawah.

Begitu keris membabat siap menusuk kaki dan menghunjam kebagian pinggangnya si nenek berlaku nekat.

Dia lambungkan tubuhnya keudara.

Serangan luput namun ujung keris sempat merobek pakaian si nenek di sebelah belakang.

Merasa gagal menghabisi lawan, Senopati itu berteriak.

"Kali ini kau harus mampus!"

Sekonyong-konyong senopati memutar tubuh. Tapi diluar dugaan Tongkat Harimau Setan melesat sebat menghantam tengkuk laki-laki itu "Kurang ajar"

Maki senopati Gagak Panangkaran begitu sadar tongkat lawan nyaris menggebuk tengkuknya.

Kalau saja dia tidak cepat rundukkan tubuhnya seketika itu pukulan tongkat dapat membuat tulang lehernya berderak hancur.

Sementara itu Harimau Setan.

Serangan tongkatnya yang ganas sesungguhnya hanya muslihat saja.

Begitu senopati berhasil lolos dari sergapan tongkat.

Harimau Setan melepaskan pukulan 'Maut Menjemput Jiwa Melebur' Pukulan itu adalah salah satu pukulan sakti yang menjadi andalan si nenek.

Ketika dia dorongkan kedua tangannya ke arah lawan.

Cahaya biru terang disertai suara lolongan aneh mengguncang rimba di pinggiran kali itu.

Senopati tercekat ketika melihat cahaya melesat seperti lima anak panah yang mengincar lima bagian tubuhnya.

Karena jaraknya dengan si nenek tak begitu jauh.

Senopati merasa tidak leluasa untuk menyelamatkan diri.

Tak ada pilihan dia pun menyambuti serangan itu dengan kiblatkan keris Welang Wisa.

Cahaya hitam menyambar, bergerak tak ubahnya seperti seekor ular yang berenang di air.

Tapi aneh, ketika cahaya yang menyambar dari ujung keris membentur lima cahaya yang dilepaskan si nenek, cahaya itu tersedot amblas bahkan berbalik dan ikut menghantam senopati bersama lima cahaya biru lainnya.

"Ah, kurang ajar,"

Maki senopati. Secepat kilat dia coba jatuhkan diri. Tapi gerakan yang dilakukannya itu kalah cepat dengan sambaran lima cahaya yang berasal dari serangan si nenek.

"Akh.."

Senopati keluarkan suara seperti tercekik.

Mata mendelik, keris dalam genggaman terpental.

Lima bagian tubuhnya berlubang besar dan menyemburkan darah kehitaman begitu lima cahaya maut menembusnya.

Seakan tidak percaya dengan kenyataan yang dia alami.

Senopati itu hanya bisa belalakkan mata.

"Kk... kau..."

Katanya terputus-putus.

Senopati tidak bisa menyelesaikan ucapannya karena mulut yang dibuka lebih banyak menyemburkan darah.

Tubuhnya lalu bergetar.

Perlahan dia jatuh ambruk tak berkutik.

Senopati meregang nyawa dengan mata melotot penasaran.
Raja Gendeng 6 Penyair Sinting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Harimau Setan tersenyum dingin.

Tanpa menghiraukan senopati dan keris yang tercampak di sebelah tubuhnya.

Nenek itu kemudian melompat ke atas punggung kuda putih milik senopati.

"Sekarang aku yang menjadi majikanmu. Kau harus patuh kepadaku!"

Kata si nenek ditujukan pada sang kuda. Kuda meringkik lalu manggut-manggut.

"Kembali ke kadipaten, bawa aku kesana,"

Seakan mengerti kuda itu mengangguk lagi, lalu meringkik keras.

Kemudian tanpa menoleh kuda ini menghambur berlari tinggalkan tempat itu.

****** Keresahan hati adipati Seta Kurana sudah tak mampu disembunyikan lagi.

Apalagi setelah pembunuh berlaku nekat di gedung tempat kediamannya.

Walau pembunuh keji itu tidak sampai masuk ke bagian dalam gedung.

Tapi perbuatan nekatnya yang telah membunuh para penjaga gerbang depan membuat adipati merasa bahwa ancaman yang selama ini menghantui hidupnya telah menjadi jalan kematian bagi orang-orang yang selalu setia padanya.

Demi menjaga keamanan apalagi setelah senopatinya yang melakukan pengejaran belum juga kembali.

Maka adipati pun memutuskan untuk memperketat penjagaan.

Sayang sebagain pasukannya turut serta dengan senopati Gagak Panangkaran sehingga tidak semua sudut penjuru bagian dalam benteng gedung dapat diawasi oleh para pengawal.

Menjelang malam ketika senopati dan pasukannya tidak juga kembali maka adipati Seta Kurana pun terpaksa ikut berjaga bersama para perajuritnya.

Tidak seperti biasanya.

Malam yang sebelumnya selalu diguyur hujan gerimis dan langit disaput mendung.

Malam ini justru terlihat cerah.

Di langit yang biru terlihat bintang bertaburan.

Di langit sebelah barat bulan purnama empat belas hari bersinar cerah.

Sementara gedung megah tempat kediaman adipati terasa sepi mencekam.

Dibeberapa sudut di tempat yang tidak begitu menyolok mata, beberapa perajurit kadipaten terus berjaga-jaga.

Pada kesempatan yang sama di luar benteng tinggi yang mengelilingi gedung itu seorang laki- laki berpakaian serba hitam berjalan mengendap-endap mendekati pohon besar dimana sebagian cabang menjuntai ke bagian dalam atap gedung.

Sosok bermata merah yang tak lain adalah Si Mata Bara atau Mata Setan ini sebelumnya memang sengaja mengecoh senopati dan perajuritnya dengan berpura-pura melarikan diri.

Begitu senopati melakukan pengejaran.

Dia menyelinap di balik semak belukar.

Ketika iring-iringan rombongan para pengejarnya lewat.

Mata Bara keluar dari tempat persembunyiannya, lalu memutar langkah kembali menuju gedung kadipaten.

"Sunyi sekali. Adipati kurang ajar itu apakah pergi mengungsi? Mungkin dia takut menghadapi aku. Kalau benar dia pergi, mengapa benteng ini sepi dari penjaga? Mungkinkah penjaganya ikutan minggat karena takut kepadaku?"

Membatin laki-laki itu.

Dia yang saat itu berdiri di bawah pohon segera layangkan pandang memperhatikan keadaan diluar benteng.

Karena yakin di bagian luar tak berpenjaga.

Mata Bara lalu lambungkan tubuhnya ke atas.

Dengan gerakan tanpa suara sedikitpun kedua kakinya menjejak cabang pohon.

Dari atas ketinggian pohon dia julurkan kepala.

Sepasang mata menatap ke arah halaman gedung dan sekitarnya.

"Lagi-lagi sunyi. Tapi bukan berarti gedung ini sepi penjaga. Aku tidak perduli, aku harus masuk ke dalam gedung. Siapa tahu adipati sengaja bersembunyi disana!"

Kata Mata Bara.

Dengan gerakan seringan kapas, Mata Bara lalu melompat ke atas genteng.

Dari bagian genteng dia terus berlari menuruni atap gedung.

Dua kali dia berjumpalitan, dilain saat kedua kakinya telah menjejak halaman depan gedung tanpa suara.

Baru saja kaki menyentuh tanah, sebelum Mata Bara sempat menarik nafas.

Dari seluruh sudut penjuru muncul para pengawal adipati.

Dengan senjata terhunus mereka segera mengepung laki-laki itu .Seorang pengawal yang bertindak sebagai wakil senopati melangkah maju.

Laki-laki bertubuh tinggi besar ini bernama Soma Prawira tegas dalam bertindak tapi juga kejam.

"Kau rupanya selama ini yang menebar darah merenggut nyawa orang-orang penting kadipaten juga katemenggungan.Lama kami mencarimu. Sekarang kau berani munculkan diri apakah mau mencari mampus?1"

Hardik Soma Prawira dengan suara menggembor.

Mata Bara terdiam.

Hanya tatap matanya saja yang merah memperhatikan pegawal gedung dengan sorot mata dingin menusuk.

Setelah itu dia melangkah maju maksudnya hendak menghampiri Soma Prawira.

Tapi melihat Mata Bara bergerak, para pengawal yang mengepung mempersempit lingkaran.

"Jangan berbuat apapun jika tak ingin mampus!"

Teriak salah seorang pengawal yang berada di sebelah kiri Mata Bara mengancam.

"Begitu?"

Desis Mata Bara dengan seringai bermain dimulut.

"Kalian cuma kurcaci tidak berguna. Aku ingin bertemu adipati Seta Kurana, bukan cecunguk seperti kalian,"

Sahut laki-laki itu. Karuan saja ucapan Mata Bara membuat para pengawal dan wakil senopati menjadi sangat marah.

"Kau memang manusia terkutuk keparat. Kau tak mengenal tata karma. Kau berani menyebut gusti adipati secara sembrono, kau juga telah berlaku lancang menghina kami para pengawal adipati. Aku yakin adipati tak mau menemuimu,"

Kata Soma Prawira sambil mencabut pedang besar yang tergantung di punggungnya.

Dikatakan sebagai Manusia Terkutuk mendidih darah si Mata Bara.

Sekali tangannya bergerak.

Tahu-tahu Soma Prawira kena dicekalnya.

Wakil senopati meringis kesakitan ketika tangan kanannya yang memegang pedang besar dipuntir ke belakang sedang pedangnya dirampas Mata Bara.

Sambil memiting tangan Soma Prawira, pedang besar ditimang lalu dibolang baling ke udara.

Sebentar dengan sikap mengancam dia berkata.

"Cukup sudah kalian menghina dan merendahkan martabat kaum kami. Bila masih ada lagi yang berani menghina atau mengucapkan kata- kata yang menyinggung perasaan kami maka nasibnya akan seperti ini!"

Berkata begitu, tahu-tahu pedang besar di tangan Mata Bara berkelebat kebagian leher wakil senopati itu.

Tanpa berkedip mata Pedang ditempelkan ke leher Soma Prawira, kemudian pedang ditarik ke atas.

Creesh! Akh! Darah menyembur dari luka menganga di leher Soma Prawira.

Laki-laki tinggi besar itu keluarkan suara teriakan tapi juga mirip suara orang mengorok.

Mata laki-laki itu membeliak, lalu jatuh bergedebukan, melejang-lejang seperti kerbau disembelih.

Melihat apa yang dilakukan Mata Bara maka para pengawal dan penjaga yang lainnya menjadi geger.

Tanpa sadar mereka mundur.

"Siapa yang ingin cepat menemui iblis di neraka sebaiknya angkat senjata dan hadapi aku?"

Kata Mata Bara sambil menggenggam pedang Soma Prawira yang masih meneteskan darah.

Tak ada yang bergerak, tak ada yang berani buka suara.

Setiap pengawal saling pandang sesamanya dengan perasaan jerih hati ciut! Hingga kemudian terdengar suara langkah kaki berkasut di atas lantai.

Seketika semua mata kini alihkan perhatiannya ke bagian pintu depan gedung.

Mata Bara menunggu walau sebenarnya dia sudah merasa tidak sabar lagi.

Pintu gedung terbuka.

Di depan pintu berwarna kecoklatan berdiri tegak seorang laki-laki berpakaian serba biru berambut putih tertutup blangkon yang juga berwarna biru.

Laki-laki berkumis tebal tertata rapi bersenjata keris hitam bernama Jalak Sintir ini juga membekal sebuah cambuk bergelung tujuh berwarna putih dengan gagang berukir seekor naga berkepala intan.

Itulah Cambuk Sakti Naga Intan yang dia rampas dari pemiliknya belasan tahun lalu.

Melihat kehadiran laki-laki itu, perhatian Mata Bara justru lebih banyak tertuju ke arah cambuk yang tergantung dipinggang kanan orang.

"Bagus! Pencuri senjata pusaka sesepuh Lembah Bangkai, akhirnya berani tunjukkan diri."

Ujar Mata Bara dingin. Laki-laki yang memang adipati Seta Kurana adanya tak menanggapi ucapan orang. Sebaliknya dia melangkah maju, memperhatikan Soma Prawira yang kaku menjadi mayat lalu beralih pada Mata Setan yang memegang pedang wakil senopati.

"Kamu berani berbuat rusuh,membuat keonaran di daiam halaman gedung tempat tinggalku. Siapa kau?"

Tanya adipati sengit. Mata Bara tersenyum.

"Aku adalah Jayeng Sakamuni, dikenal dengan sebutan Si Mata Bara atau Mata Setan. Aku yang telah membunuh sebagian kerabatmu, aku membuat kekacauan di semua wilayah kekuasaan mu. Dan satu lagi yang patut kau ketahui. Aku adalah satu-satunya orang yang telah menghabisi semua tumenggungmu,"
Raja Gendeng 6 Penyair Sinting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terang laki-laki itu dengan senyum mengerikan.

Semua pengakuan Mata Bara membuat sang adipati menjadi sangat marah.

Sedikitpun dia tidak menyangka sang pembunuh yang selama ini dia cari-cari akhirnya berani muncul seorang diri di depannya.Walau kemarahan membuat darahnya terasa menggelegak.

Adipati yang lcik ini masih mampu bersikap tenang.

Seakan tidak pernah mendengar pengakuan yang mengejutkan dari Mata Bara sang adipati tiba- tiba berucap.

"Jayeng Sakamuni, Mata Bara atau siapapun dirimu ini. Aku tidak perduli. Bagiku kematian akan menghampiri siapa saja. Aku sudah tua dan tak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Kepadamu aku hanya bisa menawarkan satu jalan damai. Kalau kau mau menyudahi permusuhan diantara kita dan menganggap diriku sebagai sahabatmu. Aku bersedia menyerahkan kursi kekuasaan kepadamu."

Pernyataan itu sangat mengejutkan semua orang termasuk juga Mata Bara. Tapi Mata Bara tidak mudah termakan ucapan orang begitu saja. Karena itu dia ajukan pertanyaan.

"Tak kusangka kau yang dulu kuanggap sebagai Iblis paling keji. Entah mengapa tiba-tiba saja bisa berubah pikiran. Kau bermaksud menipu dan memperdayaiku bukan?"

Tanya Mata Bara disertai senyum mengejek. Adipati gelengkan kepala. Dengan mimik bersungguh-sungguh dia menjawab.

"Ada saatnya manusia bisa berubah. Dulu aku gila senjata sakti juga gila kekuasaan. Semakin tua aku menyadari semua yang aku kejar, semua yang aku lakukan dan semua yang aku dapatkan bukanlah jalan hidup yang sebenarnya. Aku ingin pergi ke suatu tempat untuk menembus semua kesalahanku. Aku pernah melakukan dosa besar di Lembah Bangkai. Kau pasti ingat. Betapa keji dan jahatnya diriku. Aku juga tahu kedatanganmu kemari adalah untuk menuntut balas. Kau menghendaki kematianku. Nyawaku kini sudah tidak berharga lagi!"

Ujar adipati dengan perasaan sedih berlinang air mata.

"Aku memang ingin menuntut balas atas kemusnahan kaumku. Aku juga datang ingin mengambil kembali Cambuk Sakti Naga Intan milik Harimau Setan."

Terang Mata Bara mulai terpancing hingga berkurang kewaspadaannya. Adipati cepat menyeka air matanya. Tidak terduga dia mengambil cambuk rampasan yang tergelung di pinggangnya. Adipati julurkan tangan, angsurkan cambuk ini.

"Aku mohon maaf atas semua kejadian di masa lalu. Cambuk ini sekarang kukembalikan. Ambillah, kalau kau merasa tidak puas kau juga boleh mengambil nyawaku,"

Kata adipati Seta Kurana.

Laki-laki itu kemudian jatuhkan diri berlutut di atas lantai.

Laki-laki itu menangis tersedu sedangkan cambuk dia biarkan tergeletak dilantai yang dingin.

Sikap adipati yang berubah menjadi baik sudah barang tentu membuat heran para pengawalnya.

Sedangkan Si Mata Bara nampaknya tambah percaya bahwa adipati yang sangat dia benci benar-benar telah insyaf.

Maka tanpa keraguan dia melangkah mendekati adipati itu.

Melihat kedatangan lawan.

Masih dalam keadaan berjongkok adipati julurkan tangan serahkan cambuk sakti Naga Intan yang berada di dalam genggamannya.

Tidak ada prasangka buruk apa-apa.

Polos saja si Mata Bara menyambut uluran cambuk itu.

Tapi begitu tangan Mata Bara siap menerima senjata kebanggaan kaum terkucil Lembah Bangkai itu.

Tiba-tiba tangan kiri sang adipati melesat menyambar perut Mata Bara.

Serangan tidak terduga dan berlangsung secepat kilat yang dilakukan adipati tak dapat lagi dihindari oleh lawannya.

Lima jemari tangan yang tiba-tiba memancarkan cahaya biru pekat menembus perut si Mata Bara.

Laki-laki itu meraung dahsyat.

Dalam keadaan perut ditembus lima jari lawan dia masih sempat menghantam kepala adipati.

Sang adipati tersentak dan segera tarik lima jarinya dari perut lawan.

Begitu jemari dibetot, maka isi perut Mata Bara berserabutan keluar.

Darah menyembur, Mata Bara terhuyung.

Matanya mendelik tak percaya.

Sementara adipati yang sudah melompat menjauh dan mampu berdiri tegak gelengkan kepala.

Kepala yang kena digebuk lawan serasa sakit luar biasa seperti mau meledak.

Pandangan mata berkunang-kunang.

Penuh amarah tak menyangka masih dapat dipukul orang.

Adipati menghela nafas dalam-dalam.

Begitu rasa sakit yang mendera kepalanya lenyap.

Dengan mata mendelik dia menatap ke depan.

Adipati terkejut ketika melihat lawan yang perutnya kena dijebol dan isinya berbusaian ternyata mengamuk membabi buta dengan menyerang para pengawalnya.

Serangan ganas si Mata Bara yang merasa telah ditipu benar-benar sangat luar biasa.

Dengan kekuatan matanya yang merah menyala setajam mata pedang puluhan pengawal bersenjata golok, pedang dan tombak dalam waktu singkat dapat dihancurkannya.

Jerit dan pekik kematian merobek kesunyian setiap kali si Mata Bara kedipkan matanya.

Cahaya merah menderu, menyapu apa saja yang terdapat di sekeliling halaman gedung itu.

Sampai akhirnya tidak satupun pengawal adipati yang tersisa.

Kemarahan si Mata Bara benar-benar telah menguras tenaga luar dan dalam yang dia miliki.

Nafas laki-laki itu mulai tersengal, dia berdiri dengan tubuh terhuyung.

Tapi Mata Bara memang mempunyai daya tahan yang sangat luar biasa .Dia masih mampu berdiri tegak, sedangkan tatap matanya yang merah namun mulai meredup menatap adipati dengan sorot penuh rasa benci.

Walau telah kehilangan pengawalnya.

Adipati sendiri merasa lega melihat lawan mulai melemah.

Sambil menyeringai laki-laki itu membuka mulut dan berucap.

"Manusia bersisik ular. Sepak terjangmu membunuhi para pajabat penguasa katemenggungan benar-benar membuatku merasa muak. Aku adipati Seta Kurana tidak pernah bisa mengampunimu. Dan.... kenyataannya kau sudah ditipu gampang pula diperdaya. Kau mengira aku mau memberikan Cambuk Sakti Naga Intan kepadamu begitu saja?! Huh... cambuk ini telah mengantar aku menjadi seorang penguasa, Tapi kalau aku tetap berhasrat juga ingin mendapatkan cambuk milik sesepuhmu ini. Aku bersumpah akan memberikannya, namun kau harus pergi ke neraka"

"Manusia iblis! Aku akan mengadu jiwa denganmu!"

Teriak Mata Bara .Dengan segenap sisa kekuatan yang dia miliki, Si Mata Bara alirkan kesaktiannya ke bagian mata, tangan juga kakinya.

Begitu mata merah redup itu kembali menyala terang laksana kobaran bara api.

Dia segera goyangkan kepala.

Empat cahaya merah terang berturut-turut membersit dari sepasang mata.

Di tengah jalan dua cahaya menukik tajam bersilangan membabat ke arah pinggul adipati dengan gerakan menggunting.

Dua cahaya lain menderu siap menembus ke bagian wajah dan perut lawan.

Mendapat serangan ganas sedemikian rupa.

Adipati tidak mau bertindak ayal.

Sambil memegang cambuk ditangan kanan, tangan kiri segera menyambar senjata pusaka andalan berupa keris hitam dikenal dengan nama keris Welang Wisa.

Kehebatan senjata ini bila mengenai tubuh lawan atau tergores sedikit saja.

Maka racun yang terdapat dalam luka akan menjalar kesekujur tubuh, membuat jantung berhenti berdenyut dan korbannya tewas dengan sekujur tubuh membiru.

Ketika keris dikibaskan menangkis serangan dua cahaya yang memancar dari mata lawan.

Cahaya hitam pekat disertai bau amis menusuk.

Benturan keras tak dapat dihindari.

Terdengar suara ledakan berdentum yang merobek sunyinya malam.

Bunga api berpijar di udara.

Adipati terhuyung.

Sedangkan guncangan ledakan membuat Mata Bara jatuh terduduk .Namun adipati makin harus berjuang keras menyelamatkan pinggangnya dari dua cahaya barsilangan itu .Sekali lagi dia hantamkan kerisnya ke depan.

Trat! Buum! Lagi-lagi terdengar suara letupan keras menggeledek, Adipati kembali tergetar.

Dua kakinya amblas melesak ke dalam tanah akibat guncangan.

Pakaian dibagian depan robek besar, nampak hangus mengepulkan asap.

Sementara bagian dalam dada seperti remuk.

Adipati langsung melesat ke udara begitu melihat si Mata Bara bangkit dan dengan menggunakan pukulan tangan kosong dia menyerang lawannya.

Begitu keduanya mengapung diketinggian.

Mata Bara segera hantamkan dua tangannya ke perut sang adipati.

Gerakan tangan yang sedemikian cepat menimbulkan suara berkesiuran .Inilah yang ditunggu adipati.

Begitu serangan datang dia mengenjot tubuhnya hingga melambung lebih tinggi.

Dua serangan luput.

Adipati ulurkan cambuk lalu cambuk Sakti Naga Intan itu kemudian diayun dan dicambukkan ke tubuh lawannya .Suara gemuruh mengerikan menderu menyertai berkelebatnya cambuk.

Pijaran seribu cahaya mirip tebaran intan memenuhi udara.

Kemudian terdengar suara lolong disana sini.

Si Mata Bara yang berusaha meloloskan diri begitu serangannya gagal merasakan tubuhnya terbetot tersedot ke arah cambuk.

Dengan menggunakan sisa tenaga yang dia miliki.

Mata Bara berusaha mencari selamat.

Tapi semua keinginannya tidak pernah terlaksana.

Seperti ledakan petir cambuk itu menghantam tubuhnya.
Raja Gendeng 6 Penyair Sinting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu punggung tersentuh cambuk.

Seketika itu pula tubuh Si Mata Bara meledak hancur menjadi kepingan daging hangus yang dikobari api.

Tiada jeritan yang terdengar terkecuali suara potongan-potongan tubuh yang berantakan di tanah becek .Adipati Seta Kurana tertawa dingin.

Dia jejakkan kaki dengan wajah membersitkan rasa puas.

Memperhatikan kepingan tubuh berserakan dan masih mengepulkan asap itu Adipati simpan keris Welang Wisa di balik punggungnya.

Sementara tangan kanan masih memegang cambuk yang baru saja merenggut korbannya.

Apa yang dilakukan oleh sang adipati ternyata tidak terlepas dari perhatian dua pasang mata.

Pemilik Sepasang mata yang duduk menjelepok di atas genteng bangunan ke dua yang tak lain adalah Sang Maha Sakti Raja Gendeng adanya golang goleng kepala.

Mulut yang semula bersungut-sungut segera berujar.

"Senjata sakti, ganas bukan main tapi senjata rampasan. Aku punya kewajiban untuk mengembalikan pada pemiliknya. Hidup adipati itu harus diakhiri, biarlah Pedang Gila ikut menentukan. Bukankah begitu hai pedang berjiwa,"

Ucapnya ditujukan pada pedang yang tergantung di punggungnya.

"Inggih...hamba mengikut saja apa perintah gusti paduka Raja Gendeng."

Terdengar suara jawaban sayup-sayup dari bagian hulu pedang.

Raja menyeringai, lalu manggut-manggut.

Sementara pemilik sepasang mata kedua.

Diam-diam sudah tak sabar menunggu.

Dia yang berdiri diatas pohon besar menatap lurus ke arah halaman.

Sebelum adipati balikkan badan tinggalkan halaman yang dipenuhi mayat-mayat berserakan itu.

Pemilik sepasang mata jenaka yang tak lain adalah gadis aneh yang dikenal dengan julukan Penyair Sinting itu berseru.

"Kekejamanmu! Kebusukan hati dan segala keculasanmu ternyata tak mengenal kata henti adipati. Kapan kau bertobat? Apakah menunggu nyawa minggat ke akherat. Sungguh keparat tak tahu adat!"

Ucapan bernada menghujat itu karuan saja membuat adipati yang hendak tinggalkan halaman kaget bukan main.

Sambil menahan marah, matanya jelalatan mencari-cari.

Kemudian dia tercekat begitu melihat seorang gadis berpakaian warna warni berdandan menor berambut panjang dijalin dihias bunga warna warni berdiri tegak di atas ketinggian pohon.

Setelah memperhatikan gadis itu.

Tiba-tiba dia berseru.

"Kau! Bukankah kau gadis gila yang sering mengumbar syair dimana-mana? Aku tahu kau punya hubungan sahabat dengan Harimau Setan, Tapi aku tidak melihat kau datang bersama nenek lemah yang tangan kirinya pernah kubuntungi itu. Kemana dia?"

Penyair Sinting yang berada diatas pohon tersenyum. Tiba-tiba dia berkata.

"Segala yang kau ucapkan kuanggap betul semua, adipati yang tidak benar adalah perbuatanmu. Ada pun tentang nenek sahabatku yang kau sebutkan itu. Aku tidak tahu dia berada dimana. Mungkin saja dia sedang menuju kemari setelah menghabisi senopatimu. Tapi mungkin pula dia sedang jongkok buang hajat di pinggir jalan.Hik hik hik!"

Jawaban Penyair Sinting yang terkesan seenaknya karuan saja membuat adipati tersinggung. Lain halnya dengan Raja. Ucapan Penyair Sinting justru membuatnya tak kuasa menahan tawa.

"Gadis ayu tapi berdandan seperti kuntilanak itu. Tak kusangka otaknya ternyata lebih miring dari otakku. He he he."

Ucap Raja namun cepat dekap mulutnya hentikan tawa. Di halaman Adipati melangkah maju. Ucapan Penyair Sinting yang menyinggung senopatinya ternyata menarik perhatian adipati. Sambil menahan geram adipati ajukan pertanyaan.

"Bagaimana kau tahu tentang senopatiku?"

"Kau tidak cukup mengenalnya. tapi aku mendengar jeritan arwahnya di neraka. Aku juga mendengar dia pesan padamu, adipati. Dia mengatakan padaku agar kau cepat menyusulnya ke sana."

"Gadis Gila jahanam. Beraninya kau bicara seperti itu pada penguasa Blora?!"

Geram laki-laki itu dengan pipi menggembung dan tangan terkepal. Penyair Sinting tidak menanggapi. Sebaliknya dia mulai melantunkan bait-bait syairrnya.

"Mengikis habis harapan yang sia- sia. Darah tertumpah terenggut jiwa kotor penuh Niat ingin menjadi penguasa .Menjadikan nurani tega melakukan segala. Lembah Bangkai. Manusia Kutukan. Siapa yang terkutuk. Yang lemah menjadi bangkai. Tapi engkau melenggang dalam tawa penuh dosa. Merampas segala. Demi menuai celaka. Demipara dewa. Ada keadilan di langit. Dunia penuh angkara. Sementara kekejian ada dimana-mana. Wahai adipati. Engkaulah sebab dari segala bala. Kini aku bertanya apakah kau telah siap menuai celaka?"

Mendengar syair yang diucapkan oleh Penyair Sinting itu karuan saja sang adipati tak dapat menahan kegusarannya.

Tanpa banyak kata diawali dengan teriakan melengking.

Laki-laki ini melesat ke atas pohon tepat dimana Penyair Sinting berada.

Begitu tubuhnya melambung tinggi dan gadis ini berada dalam jangkauannya adipati hantamkan cambuk sakti di tangannya.

Begitu cambuk membelah udara.

Sama seperti yang terjadi pada Si Mata Bara.

Tiba-tiba dari ujung hingga ke bagian hulu cambuk membersit cahaya putih terang laksana kilat.

Seiring dengan menderunya cambuk ke arah Penyair Sinting.

Di udara bertaburan ribuan butiran cahaya berkilau mirip intan.

Dikejauhan terdengar lolongan dan lenguh suara mahluk aneh mirip suara Naga.

Penyair Sinting yang sudah mengetahui kehebatan cambuk tidak menunggu hingga tubuhnya terbetot oleh suatu kekuatan yang bersumber dari cambuk.

Dia yang memiliki ilmu meringankan tubuh serta gerakan cepat luar biasa segera sentakkan tubuhnya kebelakang hindari hantaman cambuk.

Lalu dengan indah dia berjumpalitan dan jejakkan kaki di halaman gedung.

Diatas ketinggian lecutan cambuk di tangan senopati menghancurkan cabang dan ranting pohon tepat di mana Penyair Sinting berada.

Sebagian pohon hancur hangus berguguran terbakar mengepulkan asap.

Sadar lawan dapat meloloskan diri.

Kemarahan adipati makin meluap-luap.

Sambil balikkan badan dan mengayunkan cambuk ditangan sang adipati melesat ke bawah mengejar lawannya.

Belum sempat kedua kakinya menjejak tanah.

Lagi-lagi cambuk menderu.menghatam kepala Penyair Sinting.

Andai hantaman cambuk itu mengenai sasaran yang dituju.

Dapat dipastikan tidak hanya kepala Penyair Sinting saja yang hancur luluh.

Lebih cekaka lagi tubuhnya bisa meledak menjadi kepingan sebagaimana nasib yang dialami Mata Bara.

Tapi gadis ini bertindak cerdik.

Sebelum kilat menyambar dan pijaran cahaya seperti intan bertabur di udara.

Dari bawah dia melesat ke atas lalu menyerbu ke arah adipati.

Kemudian tangannya yang usil meninju bagian bawah perut adipati.

Karuan saja adipati yang tak menyangka mendapat serangan seperti itu menjerit keras.

Dia jatuh berlutut, sementara lecutan cambuk melesat tak tentu arah, Dan adipati menggerung sambil dekap bagian bawah perutnya yang sakit mulas tak karuan.

Sambil menggembor, wajah pucat dan kucurkan keringat dingin adipati bangkit berdiri.

Begitu menatap ke depan lawannya lenyap.

Jelalatan dia memandang ke atap gedung.

Dia melihat Penyair Sinting telah berdiri disana, mulut Penyair Sinting mencibir sambil bertolak pinggang.

Tapi yang membuat adipati terkejut.

Penyair Sinting tidak sendiri berada di atas atap itu.

Di sebelah kirinya.

Seolah memang sudah saling mengenal berdiri tegak seorang pemuda berambut gondrong sebahu berpakaian putih .Dipunggung pemuda itu tergantung sebilah pedang.

Sarung pedang berwarna emas sedangkan hulu pedang berwarna biru berkilau.

Sekali melihat adipati segera menyadari pedang di pemuda tak dikenal itu jelas bukan senjata biasa.

"Siapa kau? Kau berkomplot dengan Penyair Edan itu heh?!"

Hardik adipati gusar. Yang ditanya tertawa cengengesan. Sesekali dia menatap Penyair Sinting. Tapi kemudian perhatiannya lebih tertuju pada sang adipati. Tenang-tenang saja dia menjawab pertanyaan orang.

"Adipati, gadis ini bukanlah Penyair Edan. Dia hanya penyair Sinting. Aku tidak bersekutu dengannya. Aku cuma membantu dia meluruskan perkara. Turut jabatan yang kau pangku. Kedudukanmu masih berada jauh di bawah pangkatku. Kau seorang adipati, sedangkan aku ini seorang raja.Raja sungguhan walau cuma rajanya orang-orang gendeng. Jadi menurutku, sebaiknya kau kembalikan saja cambuk Sakti Naga Intan yang kau rampas dari tangan Harimau Setan.Setelah itu atas kesalahanmu di masa lalu sebaiknya kau membunuh diri dengan suka rela."

"Keparat busuk. Bagaimana kau tahu segala urusanku dimasa lalu?"

Tanya sang adipati dengan mata mendelik. Raja tersenyum.

"Soal itu aku sudah tahu."

"Hmm, jadi kau bernama Raja dan kau mengaku memang seorang raja. Raja apa? Rajanya orang gila. Ha ha ha!"

"Aku bicara sungguhan, mengapa kau tertawa. Rasanya tidak ada yang lucu."

Ucap Raja heran.

"Sebenarnya dialah yang gila. Mengapa kau ambil perduli. Sekarang sudah waktunya, tiba giliranmu untuk mengambil cambuk itu. Karena kau seorang raja pula maka kau patut menjatuhkan hukuman pada senopati terkutuk itu!"

Sentak Penyair Sinting yang sedari tadi diam saja.

"Jangan cuma pemuda edan itu saja yang menghadapi aku. Kau sekalian maju bersama agar aku tak perlu membuang banyak waktu"

Dengus adipati.

"Ha ha ha. Kau serakah sekali adipati. Hadapi aku dulu, nanti kalau aku mati. Kau berkesempatan memiliki gadis itu."

"Pemuda edan."
Raja Gendeng 6 Penyair Sinting di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maki Penyair Sinting.

Raja tertawa tergelak-gelak .Sambil tertawa tiba-tiba tubuhnya terangkat naik, kaki menggantung dua jengkal di atas genteng setelah itu....

Wuus! Sekali berkelebat sosok Raja lenyap dari pandangan.

Tahu-tahu adipati yang berada di halaman menjerit kaget.

Dess! Dess! Dua tendangan menggeledek yang dilancarkan Raja tanpa sempat dihindari lagi menghantam dada adipati hingga membuat dua rusuknya berderak patah.

Adipati jatuh terpelanting, terjengkang di atas tanah dengan mulut menyemburkan darah.

"He....hebat. Kau bisa bergerak seperti setan."

Desis Penyair Sinting kaget. Namun diam-diam dia merasa kagum.

"Kau layak menyebutku Raja Setan. Tapi inilah jurus serangan sekaligus ilmu lari cepat bernama Langkah Gaib Dewa Mabok...!"

Sahut Raja dingin.

Sang Maha Sakti Raja Gendeng balikkan badan, dia menatap ke arah adipati Seta Kurana yang baru saja bangkit berdiri.

Sang adipati menyeka mulutnya yang berlumur darah.

Dia juga diam-diam mengerahkan hawa murni untuk menyembuhkan luka dalam di dada.

Tapi akibat dua rusuk yang patah menusuk paru-paru upaya penyembuhan itu tidak banyak berguna.

"Adipati, kau masih punya kesempatan untuk bertobat. Serahkan cambuk itu."

Kata Raja. Adipati menyeringai.

"Aku lebih suka kau yang menyerahkan nyawa kepadaku! Hiaa....."

Teriak adipati dengan suara lantang.

Teriakan itu disusul dengan serangan ganas yang mengandalkan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.

Tapi berkat jurus Delapan Bayangan Dewa dan jurus Senandung Sang Maha Dewa.

Yaitu puncak dari seluruh jurus andalan yang berintikan gerak lemah lembut, cepat dan tidak terduga.

Semua serangan yang dilakukan adipati hanya mengenai tempat kosong.

Sadar semua serangan ganas yang dilakukannya tak mengenai sasaran.

Bahkan lawan dengan mudah dapat meloloskan diri.

Geram bercampur penasaran Adipati segera merangsak maju.

Cambuk yang tergenggam di tangan segera diputar lalu dikibaskan ke arah Raja.

Begitu cambuk melecut disertai ledakan yang menimbulkan kilatan cahaya.

Pemuda ini segera bergulingan menjauhi selamatkan diri.

Ketika cambuk kembali menggeletar dan membersitkan cahaya bertabur seperti ribuan butiran intan.

Raja segera mencabut Pedang Gila.

Pedang diputar lalu dikibaskan ke arah cambuk.

Sing! Sret! Seketika itu juga terjadi sebuah pemandangan aneh namun menegangkan.

Dari ujung hingga ke hulu pedang menderu cahaya kuning terang menyilaukan.

Cahaya itu dengan cepat berkelebat ke arah butiran cahaya putih berkilau yang bertabur di udara.

Satu kejadian yang luar biasa lagi terjadi.

Seluruh butiran cahaya putih terbetot, lalu tersedot amblas ke dalam pedang dalam genggaman Raja.

Penyair Sinting terkesima.

"Belum pernah aku melihat ada senjata sakti yang bisa mengalahkan kehebatan cambuk.Pedang Gila di tangan Raja benar-benar luar biasa."

Gumam Penyair Sinting.

Sementara itu di tempatnya berdiri tubuh Raja tampak bergetar.

Dua tangan yang memegang hulu pedang terguncang dan mengepulkan asap tipis.

Sekujur tubuh basah bersimbah keringat.

Sementara dari ubun-ubun terlihat mengepulkan kabut pula.

Saat itu Raja memang sedang berusaha mati- matian menahan pedang di tangan agar tidak sampai tersedot dan terpental ke arah cambuk.

Demikian halnya dengan adipati Seta Kurana.

Dia yang dibuat tercekat tak menyangka.cambuknya tak mampu berbuat banyak atas daya tarik yang ditimbulkan pedang di tangan lawan terpaksa melipat gandakan tenaga dalamnya ke arah cambuk.

Walau begitu akibat luka di paru-paru yang tertembus tulang rusuknya yang patah membuat adipati tak dapat bertahan lama.

Semakin keras dia mempertahankan cambuk Sakti Naga Intan di tangan.

Semakin kuat pula daya sedot pedang Gila di tangan Raja.

Setelah cambuk ditangan menggeletar hebat.

Sementara kepulan asap hitam bermunculan dari seluruh cambuk.

Adipati merasakan dua tangan yang mempertahankan cambuk itu terasa panas luar biasa.

Cambuk dilepaskan, terpental tak dapat dipertahankan.

Dari mulut adipati kembali ada darah menyembur keluar.

Terhuyung-huyung dia berusaha mencabut keris di pinggang.

Namun orang tua ini malah terjungkal roboh begitu pedang di tangan Raja menembus jantungnya.

Adipati hanya bisa delikan matanya.

Kedua kaki berkelojotan setelah mulut keluarkan suara mengorok, tubuhnya terkulai tanpa nyawa.

Raja mendengus,bersihkan pedang yang berlumur darah dengan pakaian sang adipati.

Lalu masukkan pedang ke dalam rangkanya.

Ketika dia berbalik.

Raja melihat di depan cambuk yang masih mengepulkan asap berdiri tegak Penyair Sinting.

Gadis cantik berdandan menor menyerupai kuntilanak itu tersenyum padanya.

"Kau telah membantu semua tugasku mewakili sesepuh Lembah Bangkai, aku mengucapkan terima kasih. Harimau Setan pasti menyambut gembira atas kembalinya cambuk ini padanya."

Terang Penyair Sinting.

"Cambuk ini milik nenek itu. Kau boleh membawa sekaligus menyerahkan padanya."

"Jadi kau tidak ikut ke Lembah Bangkai."

Tanya Penyair Sinting berusaha menutupi kekecewaannya.

"Tidak. Aku akan menuju ke barat. Sampaikan saja salamku pada nenek itu. Katakan padanya agar menjaga cambuk itu dengan baik."

Pesan Raja. Penyair Sinting mengangguk. Dia membungkuk, lalu ulurkan tangan meraih cambuk yang tergeletak di tanah. Sambil menggulung cambuk dia berujar "Apakah mungkin kita bisa bertemu lagi?"

Tak ada jawaban. Hanya semilir angin yang berhembus. Penyair Sinting tegak berdiri. Menatap ke depan ternyata Raja telah lenyap dari pandangan. Sayup-sayup dikejauhan Penyair Sinting mendengar suara orang berkata mirip orang bersenandung.

"Itu suara Raja."

Seru Penyair Sinting. Entah senandung apa yang didengar gadis itu. Yang jelas begitu senandung yang dia dengar berakhir. Penyair Sinting cemberut sambil menggerutu.

"Sial. Dia menyindirku. Mirip kuntilanak kuburan, apa betul aku mirip kuntilanak? Hik hik hik...!"

Sambil mengumbar tawa cekikikan Penyair Sinting berkelebat pergi.

TAMAT.

Episode Selanjutnya PECINTA DARI ALAM KEMATIAN (Tiada gading yang tak retak,begitu juga hasil scan cerita silat ini..

mohon maaf bila ada salah tulis/eja dalam cerita ini.

Terima kasih) Situbondo,29 Agustus 2019






Pendekar Slebor 67 Rahasia Sebelas Jari Gara Gara Warisan Kisah Oey Eng Si Pedang Pelangi Jay Hong Ci En Karya

Cari Blog Ini